Sudah genap satu bulan saya mengalami long covid syndrome, yaitu gejala yang
masih muncul pada penyintas covid meskipun sudah dinyatakan sembuh oleh rumah sakit.
Hasil tes PCR saya sudah negatif, hasil scan paru-paru saya juga menunjukkan sudah tidak
ada lagi infeksi. Namun, saya masih sering batuk, sesak nafas dan kelelahan pada saat
beraktivitas normal.
Kakak perempuan saya yang lebih dahulu dinyatakan positif. Dia bekerja sebagai
asisten apoteker di sebuah rumah sakit swasta yang digunakan untuk merawat pasien covid.
Walaupun seluruh protokol kesehatan sudah diterapkan, namun risiko untuk terpapar dan
terinfeksi masih mengintai. Masalahnya, virus itu akhirnya terbawa ke rumah dan
menginfeksi anggota keluarga yang lain termasuk saya.
Seperti yang keluarga kami alami, seluruh pejuang garis depan di dunia dan keluarga
mereka tentu dalam bahaya. Harus berkejaran antara vaksinasi dan risiko paparan virus yang
disinyalir sudah bermutasi menjadi lebih menular. Mengutip data dari Muhammadiyah
Disaster Management Centre (MDMC), 70 persen tenaga kesehatan dan staf medis adalah
perempuan.
Perempuan yang lebih banyak bekerja di rumah sakit, berhadapan langsung dengan
virus, merawat pasien hingga banyak yang terpapar, bahkan meninggal dunia. Risiko mereka
pun bertambah berkali-kali lipat jika sedang dalam kondisi hamil. Sedangkan vaksinasi yang
digadang-gadang menjadi jalan penyelamat, akan mampu mengurangi risiko paparan
sebanyak 65 persen setelah suntikan tahap ke-2.
Padahal, di belahan dunia yang lain, kiprah pemimpin perempuan disebut-sebut lebih
berhasil tangani covid daripada pemimpin laki-laki. Salah satunya adalah perdana Menteri
Selandia Baru Jacinda Ardern yang cukup bijak menunjukkan sisi empatinya melalui siaran
live facebook. Selain membuat kebijakan lockdown ketat, Ardern juga rutin melakukan sesi
FAQs daring dengan followersnya. Dia telah berkomunikasi dengan berbagi anggota
masyarakat, mulai dari artis hingga pengusaha. Cara Ardern berkomunikasi sangat
menyentuh pikiran dan hati masyarakat Selandia Baru. Strategi komunikasi tersebut menurut
Suze Wilson, seorang peneliti kepemimpinan, dinilai sangat inklusif, milenial, dan
menghilangkan sekat-sekat antara politisi dan konstituennya. Empati seorang pemimpin
apalagi sesama perempuan, setidaknya bisa memberikan dukungan solidaritas terhadap para
perempuan yang sangat lelah berada di tengah pandemi.
Adanya risiko yang tinggi pada pekerja kesehatan perempuan di masa pandemi, namun
justru menghadapi ketimpangan