NIM : PO71251190028
PRODI : D-IV TERAPI GIGI DAN MULUT TK.1
DOSEN PENGAMPU : APDELMI,S.Pd,.M.Pd
MATAKULIAH : SOSIOLOGI KESEHATAN
TUGAS : RESUME PERTEMUAN KE-12
Menurut Hillier (1991) jenis kelamin adalah (sex) mengacu pada perbedaan
biologis antara laki-laki dan perempuan. Gejala yang hanya dapat dialami kaum
perempuan seperti menstruasi, kehamilan, melahirkan, abortus, dan menopause dapat kita
masukkan dalam kategori ini. Istilah gender di lain pihak mengacu pada makna sosial
yang diberikan pada perbedaan jenis kelamin.
Gambaran mengenai kaum perempuan sebagai makhluk lebih lemah yang lebih
rentan terhadap berbagai penyakit daripada laki-laki sehingga peran yang dapat diberikan
kepada perempuan jauh lebih terbatas daripada peran laki-laki, misalnya merupakan
perbedaan gender. Menurut Waldron faktor sosial (dalam Sunarto, 2014).
Di bidang kesehatan kita jumpai bahwa adanya perbedaan antara distribusi morbiditas
dan mortalitas antara laki-laki dan perempuan. Cockerham mengatakan bahwa penyebab
kaum laki-laki memiliki harapan hidup lebih pendek dari kaum perempuan salah satunya
disebabkan karena sebagai organisme biologis kaum laki-laki memiliki lebih banyak
kelemahan daripada kaum perempuan yang menjadikan laki-laki lebih rentan terhadap
penyakit dan kelainan sejak masih berada dalam kandungan. Sebagai dampak adanya
kelemahan faaliah pada kaum laki-laki inilah maka pada laki-laki dijumpai angka
kematian sekitar 12% lebih tinggi pada janin sebelum lahir (prenatal) dan sekitar 130%
pada bayi baru lahir (neonatal).
Data Badan Pusat Statistik Indonesia tentang angka kematian bayi berdasarkan
Sensus Penduduk tahun 2000 memperlihatkan bahwa di tiap provinsi angka kematian
bayi laki-laki lebih tinggi daripada angka kematian bayi perempuan. Sedangkan data
Badan Pusat Statistik Indonesia mengenai angka harapan hidup berdasarkan Sensus
Penduduk 2003 memperlihatkan bahwa angka harapan hidup laki-laki di tiap provinsi
lebih rendah daripada angka harapan hidup perempuan (lihat Badan Pusat statistik
Indonesia, 2008). Meskipun angka kematian janin dan bayi baru lahir lebih tinggi pada
laki-laki, namun menurut Cockerham di lain pihak ditemukan pula bahwa morbiditas
lebih banyak dijumpai di kalangan perempuan sehingga demikian kaum perempuan lebih
sering sakit daripada lakilaki, tetapi kaum laki-laki lebih cepat meninggal dunia. Di
samping itu, kaum perempuan menderita penyakit kronis yang sama dengan laki-laki,
tetapi kaum perempuan mulai menderita penyakit tersebut pada usia lanjut. Menurut
Waldron faktor sosial yang menyebabkan perbedaan mortalitas laki-laki dan perempuan
bervariasi sesuai dengan kebudayaan masyarakat yang bersangkutan (faktor lintas
budaya). Selain itu, suatu faktor sosial dalam suatu masyarakat tertentu juga dapat
bervariasi dari waktu ke waktu (faktor sejarah), (dalam Sunarto, 2014). Suatu faktor
sosial penting yang menyumbang pada perbedaan mortalitas laki-laki dan perempuan
adalah perbedaan sosialisasi peran. Misalnya dalam banyak masyarakat perempuan
disosialisasikan untuk lebih mengutamakan peran sebagai ibu rumah tangga daripada
partisipasi dalam angkatan kerja.
Pertama, jumlah laki-laki yang setiap hari berada di jalan raya baik sebagai
pengemudi maupun pengendara kendaraan bermotor pada umumnya lebih besar daripada
perempuan sehingga peluang bagi laki-laki untuk terlibat dalam kecelakaan lalu lintas
lebih besar.
Gadis tersebut merupakan korban aborsi yang dilakukan oleh seorang dukun.
Usaha lain sebelum melakukan aborsi adalah minum jamu peluntur, pil kina, dan pil
lainnya yang dibeli di apotek. Kemudian dia datang ke seorang dokter kandungan. Dokter
menolak melakukan aborsi karena terikat sumpah dan hukum yang mengkriminalisasi
aborsi. Si gadis minta tolong dukun paraji untuk menggugurkannya. Rupa-rupanya tidak
berhasil, malah terjadi perdarahan. Ia masih sempat menyembunyikan ini semua kepada
kedua orang tuanya, selama 4 hari berdiam di kamar dengan alasan sedang datang bulan.
Ia tidak berani bercerita pada siapa-siapa apalagi pada ibu dan bapaknya.
Cerita itu berakhir dengan amat tragis, gadis itu tidak tertolong. Kasus tersebut
menggambarkan ketidakberdayaan si gadis. Ia memilih mekanisme defensif dan
menganggapnya sebagai permasalahan dirinya sendiri. Ia menyembunyikan keadaannya
karena malu dan merasa bersalah. Masyarakat akan menyalahkan karena dia tidak
mengikuti apa yang disebut moral atau aturan sehingga ia memilih mati meskipun tidak
sengaja. Aborsi merupakan dilema bagi perempuan, apa pun latar belakang penyebab
kehamilannya dan apa pun status ekonominya. Untuk menuntut hak reproduksinya dia
harus mendapat dukungan seperti bantuan dari komunitasnya atau dukungan emosional
dan tanggung jawab bersama dari orang yang paling dekat (pacarnya). Dalam konteks ini,
maka jelas bahwa persoalan hak reproduksi pada akhirnya adalah persoalan relasi antara
laki-laki yang berbasis gender serta masyarakat dan negara sebagai perumus, penentu,
dan penjaga nilai bagi realisasi hak reproduksi perempuan.
Pada contoh kasus tersebut merupakan bentuk kekerasan yang berbasis gender
yang memiliki alasan bermacam-macam seperti politik, keyakinan, agama, dan ideologi
gender. Salah satu sumber kekerasan yang diyakini penyebab pada kasus tersebut adalah
kekerasan dari laki-laki terhadap perempuan adalah ideologi gender, misalnya perempuan
dikenal lemah lembut, emosional, cantik, dan keibuan. Sementara laki-laki dianggap
lebih kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Bentuk kekerasan ini merupakan dilanggarnya
hak reproduksi akibat perbedaan gender.
Perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang
sangat panjang. Perbedaan ini dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan
dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Pada akhirnya perbedaan ini dianggap sebagai
ketentuan Tuhan yang tidak bisa diubah dan dianggap sebagai perempuan. Kekerasan
rumah tangga dalam berbagai bentuk sering terus berlangsung meskipun perempuan
tersebut sedang mengandung. Konsekuensi paling merugikan bagi perempuan yang
menjadi korban kekerasan adalah dampak terhadap kondisi kesehatan mentalnya.
Dampak ini terutama menonjol pada perempuan korban kekerasan seksual.
1. Sebagian besar masyarakat banyak menganut kepercayaan yang salah tentang apa
arti menjadi seorang wanita, dengan akibat yang berbahaya bagi kesehatan wanita.
2. Setiap masyarakat mengharapkan pria dan wanita untuk berpikir, berperasaan, dan
bertindak dengan pola-pola tertentu, dengan alasan hanya karena mereka dilahirkan
sebagai wanita atau pria, contohnya wanita diharapkan untuk menyiapkan masakan,
membawa air dan kayu bakar, merawat anak-anak dan suami, sedangkan pria diharapkan
untuk bekerja di luar rumah untuk memberikan kesejahteraan bagi keluarga di masa tua
dan untuk melindungi keluarga dari ancaman (bahaya).
4. Kegiatan lain tidak sama dari satu daerah ke daerah lain di seluruh dunia,
tergantung pada kebiasaan, hukum dan agama yang dianut oleh masyarakat tersebut.
5. Peran jenis kelamin bahkan tidak sama di dalam suatu masyarakat, tergantung pada
tingkat pendidikan, suku dan umurnya.
6. Peran gender di ajarkan secara turun temurun dari orang tua ke anak-anaknya.
Sejak anak-anak berusia sangat muda, orang tua memperlakukan anak wanita dan pria
secara berbeda, meskipun kadang-kadang tanpa mereka sadari.