Anda di halaman 1dari 14

Pendahuluan

Dalam tatanan kehidupan bangsa Indonesia, desa memiliki dinamika peran sejarah
tersendiri karena sebelum bangsa Indonesia meraih kemerdekaan pun, desa telah
menjadi suatu institusi politik yang kuat. Sebutan desa (Suhartono,2000 hal 9)
mulanya hanya dikenal dalam masyarakat Jawa, sementara misalnya di Bali dikenal
dengan dusun, Marga di Sumatera selatan, nagari (sumatra), huta (batak) dll. Tetapi
apapun istilah yang digunakan, tetapi desa secara sosiologis mengandung makna
kesatuan masyarakat yang bertempat tinggal yang homogen, tergantung pada alam
dan berada diluar kota atau pedalaman dalam entitas tertentu.

BAB 2

PEMBAHASAN
Feodalisme berasal dari kata feodum yang artinya tanah.Dalam tahapan
masyarakat feodal ini terjadi penguasaan alat produksi oleh kaum pemilik tanah, raja
dan para kerabatnya. Ada antagonisme antara rakyat tak bertanah dengan para pemilik
tanah dan kalangan kerajaan. Kerajaan, merupakan alat kalangan feodal untuk
mempertahankan kekuasaan atas rakyat, tanah, kebenaran moral, etika agama, serta
seluruh tata nilainya.
Kondisi pada masa feodalisme di Indonesia bisa diambil contoh pada masa kerajaankerajaan kuno macam Mataram kuno, kediri, singasari, majapahit. Dimana tanah
adalah milik Dewa/Tuhan, dan Raja dimaknai sebagai titisan dari dewa yang berhak
atas penguasaan dan pemilikan tanah tersebut dan mempunyai wewenang untuk
membagi-bagikan berupa petak-petak kepada sikep-sikep, dan digilir pada kerik-kerik
(calon sikep-sikep), bujang-bujang dan numpang-numpang (istilahnya beragam di
beberapa tempat) dan ada juga tanah perdikan yang diberikan sebagai hadiah kepada
orang yang berjasa bagi kerajaan dan dibebaskan dari segala bentuk pajak maupun
upeti.
Sedangkan bagi rakyat biasa yang tidak mendapatkan hak seperti orng-orang
diatas mereka harus bekerja dan diwajibkan menyetorkan sebagian hasil yang didapat
sebagai upeti dan disetor kepada sikep-sikep dll untuk kemudian disetorkan kepada
raja, Selain upeti, rakyat juga dikenakan penghisapan tambahan berupa kerja bagi
negara-kerajaan dan bagi administratornya.
Pada tahap masyarakat feodal di Indonesia, sebenarnya sudah muncul
perlawanan dari kalangan rakyat tak bertanah dan petani. Kita bisa melihat adanya
pemberontakan di masa pemerintahan Amangkurat I, pemberontakan Karaeng
Galengsong, pemberontakan Untung Suropati, dan lain-lain.
Hanya saja, pemberontakan mereka terkalahkan. Tapi kemunculan gerakangerakan perlawanan pada setiap jaman harus dipandang sebagai lompatan kualitatif
dari tenaga-tenaga produktif yang terus berkembang maju (progresif) berhadapan
dengan hubungan-hubungan sosial yang dimapankan (konservatif). Walaupun
kepemimpinan masih banyak dipegang oleh bangsawan yang merasa terancam karena
perebutan aset yang dilakukan oleh rajanya.
Budaya Feodal

Budaya Feodal adalah budaya yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir
orang, dilakoni oleh para pemimpin dan orang yang berada dalam lingkaran
kekuasaan, mereka yang bisa merapatkan diri. Budaya Feodal berasal dari budaya
Barat. Pada dasarnya feodal adalah suatu penataan hubungan antara bangsawan
dengan prajurit, biasanya berlaku di kalangan militer, juga dilingkungan kerajaan
untuk raja dan keluarga kerajaan serta kroninya. Kini sudah pula masuk kedalam
budaya politik dan kekuasaan pemerintahan. Jangan sampai budaya itu masuk ke
dalam rumah tangga, diterapkan oleh seseorang terutama kepada istri dan anakanaknya serta lingkungan famili dekat dan tetangganya, suasananya sangat tidak enak
dan kaku karena tidak demokratis.
Budaya feodal ini biasanya hanya dinikmati oleh orang yang berkedudukan
tinggi atau orang berpangkat, atau orang-orang yang dianugerahi banyak kelebihankelebihan yang dihargai oleh masyarakat seperti; keturunan raja atau bangsawan,
hartawan, orang yang memiliki kedudukan, dll, mereka bisa kong kali kong sesama
mereka karena punya akses dengan pusat kekuasaan untuk mengamankan kekuasaan
dan kepentingannya, satu dua orang yang mau loyal akan mereka tarik kedalam
lingkarannya silih berganti dari satu generasi ke generasi lain, sedangkan orang diluar
yang tidak masuk ke dalam lingkaran kekuasaannnya lebih diposisikan menjadi
pelengkap, dijadikan alat untuk penghibur dan penggembira oleh kaum feodal.
Sifat feodal selalu merasa diri lebih dari orang lain, jika posisinya lebih tinggi
dari orang lain maka orang lain itu dianggap lebih rendah darinya, tidak sederajat,
harus mau unggah ungguh (kata orang jawa) di hadapannya, sehingga dengan itu ia
bisa menikmati kelebihan dan kebesarannya terlihat didepan umum. Bagi yang mau
unggah-ungguh akan mendapatkan perhatian yang baik dan tentu kebagian rezeki
yang lebih daripada yang tidak mau unggah-ungguh, tentu orang itu biasanya kurang
disukai dan bisa ditinggal dan dilupakan bahkan kadang ada yang sampai dimarahi
dan dicurigai.
Ajaran Islam pada dasarnya sangat tidak sesuai dengan budaya feodal ini,
karena lebih banyak mudaratnya dari manfaatnya. Budaya feodal lebih menjunjung
tinggi perbedaan kasta karena kedudukan atau keturunan diantara manusia, itu lebih
kepada keyakinan agama dan adat istiadat yang mengenal dan menegakkan kasta.
Sifat itu tidak sesuai pula dengan visi dan misi Al Washliyah yang menjunjung tinggi

ajaran Islam, maka Al Washliyah tentu menolaknya dan selama ini orang yang
bersikap feodal tidak akan mendapat tempat dan kehormatan termasuk orang yang
mempertahankan dinasti kepemimpinan berdasarkan keturunannya di Al Washliyah.
Di Indonesia, seperti halnya orang Arab pada umumnya memiliki sifat dasar
egaliter. Mungkin sifat ini lebih banyak dipengaruhi oleh ajaran Islam, akan tapi
dikerajaan-kerajaan yang tumbuh di Indonesia yang tidak didasarkan Islam, baik
kerajaan kecil maupun kerajaan besar, yang dapat pengaruh dari penjajah Belanda
tumbuh sifat feodalnya.
Sikap Feodal itu mensakralkan budaya yang diciptakan manusia dan banyak
meninggalkan nilai-nilai agama dan nilai-nilai universal yang dianut oleh bangsa yang
beradab demi melanggengkan kekuasaan. Kepemimpinan feodal selalu menerapkan
sikap disiplin tinggi yang sangat protokoler, dibangun sikap loyal pada atasan atau
raja yang cenderung berlebihan walaupun mengorbankan ajaran agama dan
kepentingan keluarga. Sikap itu diciptakan lebih kepada kepentingan untuk
membesarkan nama pemimpin agar lebih dikagumi dan dihormati dalam rangka
melanggengkan kepemimpinan dan kekuasaannya serta melindungi kepentingannya.
Orang-orang yang bisa sukses berada di dalam kepemimpinan Feodal dalam
praktek pada umumnya adalah mereka yang mau cari muka kepada pimpinannya,
tunduk patuh setia walaupun kadang harus melawan hati nurani. Orang yang suka cari
muka biasanya lebih disukai ketimbang orang yang idealis yang mau mengkritik demi
kebaikan bersama dan kebenaran, biasanya orang seperti itu malah dibenci dan
disingkirkan dan dicari cari kesalahannya dengan alasan tidak bisa diajak kerjasama.
Dalam Kepemimpinan Feodal, dalam penerapannya praktek hukum biasanya
selalu dirasakan tumpul keatas tajam kebawah walau yang ditonjolkan kesamaan hak
didepan hukum, cenderung korup dan rekayasa untuk pembenaran apa yang sedang
dilakukan, dalam pembagian rezeki umumnya tidak merata dan proporsional, sangat
besar bagian untuk atasan atau raja dan kroni-kroninya dengan cara direkayasa dan
kecil sekali bagian untuk anak buahnya dan rakyat biasa. Keadaan suasana kelihatan
lebih aman dan stabil karena memimpin lebih bersifat otoriter, tapi sesungguhnya
penderitaan yang berkepanjangan dirasakan oleh orang banyak. Orang yang
memimpin bersifat feodal senang dihormati walau yang menghormati kehilangan

derajat kemanusiaannya.

Perkembangan Feodalisme di Indonesia; Masa Kerajaan Tradisional dan Pra


Kemerdekaan.
Di Indonesia, praktek feodalisme ini dapat ditemukan dalam kehidupan
kerajaan-kerajaan. Awal lahir feodalisme 400 M, lahirnya kerajaan Tarumanegara
(Kutai), puncak kejayaannya pada 1300 M pada masa kerajaan Majapahit.Para raja,
permaisuri, putri, dan pangeran bersikap jumawa, kalangan priyayi bersikap anggun
dan congkak terutama pada kalangan rakyat jelata yg dianggap kastanya berada satu
level di bawahnya, baik dari segi warna darah (darah mereka biru berkilau, sedang
darah rakyat berwarna merah kecoklatan), maupun dari segi status sosial (harta dan
lingkungan pergaulan). Sistem sosial saat itu membagi umat manusia dalam dua kelas
yaitu kelas raja atau para priyayi (government) dan kelas rakyat jelata (the governed).
Pengkotakan ini berlaku selamanya.Jabatan dalam struktur pemerintahan kerajaan
hanya dipegang oleh para priyayi. Dalam strata sosial interen kerajaan, priyayi ada
yang termasuk pada golongan tinggi dan golongan rendah. Priyayi tinggi terutama
mereka yang menjabat pemerintahan pada struktur jabatan tinggi misalnya bupati,
sedangkan priyayi rendah adalah mereka yang menduduki jabatan pemerintahan pada
strata yang rendah misalnya wedana.
Kalangan priyayi akan seterusnya secara turun temurun menjadi pemerintah;
sementara kalangan rakyat akan selamanya menjadi abdi, punakawan yang diharuskan
untuk selalu tunduk dan sembah sungkem pada kalangan pamong praja. Negara,
dalam sistem ini, adalah milik kalangan ningrat yang berdarah biru; dan adalah
kewajiban rakyat berdarah merah coklat tua itu untuk tunduk dan selalu bertekuk lutut
di depan kaki para ningrat.
Hubungan seperti ini dalam pandangan masyarakat Jawa di masa lalu adalah
hubungan gusti kawula. Raja adalah gusti dan rakyat adalah kawula. Hubungan
patrimonial ini membuat rakyat harus selalu tunduk dan patuh terhadap apa yang
diperintahkan oleh penguasa. Sebaliknya, penguasa memiliki kewajiban untuk
melindungi rakyat. Walaupun dalam prakteknya, rakyat lebih banyak harus
melakukan kewajibannya kepada penguasa. Feodalisme di masa kerajaan-kerajaan
tradisional Indonesia ini mirip yang terjadi dengan feodalisme yang terjadi di Barat

abad pertengahan.
Dalam melaksanakan pemerintahan dan melanggengkan kekuasaannya di
Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan sistem pemerintahan tidak
langsung yang memanfaatkan sistem feodalisme yang sudah berkembang di
Indonesia. Ciri khas feodalisme adalah ketaatan mutlak dari lapisan paling bawah
terhadap atasannya. Hubungan antara para kolonialis dengan para feodal adalah
hubungan yang saling memanfaatkan dan saling menguntungkan, sedangkan rakyatlah
yang menjadi objek penindasan dan penghisapan dari kedua belah pihak.
Kepemilikan perseorangan atas tanah dan budak pada akhirnya mencapai
puncaknya dan memunculkan pertentangan pokok antar si budak dengan para tuan
budak di mana-mana. Hal ini direspon oleh para tuan budak dengan membebaskan
secara relatif budak dan memperlonggar beban kerja serta memperbaiki kualitas hidup
(makanan dan pakaian). Diikuti oleh upaya tuan budak untuk memperkuat diri dengan
membangun suprastruktur kekuasaan lokal dengan mengangkat diri sebagai raja atas
sebuah wilayah, mempekerjakan budak-budak yang memiliki kebebasan secara relatif
di atas tanah dan juga membangun kekuatan militer atau prajurit, yang dipimpin oleh
para tukang pukul dan anak-anak tuan budak. Inilah yang menjadi awal mula
munculnya kerajaan-kerajaan lokal dan kecil-kecil di Indonesia. Hal ini menandai
lahirnya era setengah perbudakan dan perkembangan feodalisme.
Ini berarti pula beberapa pikiran dan kajian sejarah selama ini yang selalu
melihat zaman kemunculan kerajaan di Indonesia hanya sebagai era feodalisme
adalah tidak tepat. Memang benar ketika dikatakan bahwa kekuasaan pada waktu itu
mengambil bentuk feodal yaitu kerajaan, akan tetapi hakekat hubungan produksi dan
tenaga-tenaga produktif yang ada jelas lebih tepat bila dikatakan sebagai setengah
perbudakan. Pembuatan candi-candi yang mempekerjakan rakyat tanpa dibayar,
perang dan penaklukan dengan merekrut prajurit dari kalangan kaum tani tanpa
dibayar, semua tanah dan hasilnya adalah untuk keperluan dan milik Raja, raja yang
menentukan apakah seseorang itu adalah orang bebas atau tidak, merupakan beberapa
bukti yang menguatkan karakter masyarakat setengah perbudakan.
Masa berkuasanya kerajaan Majapahit adalah babak paling akhir dari masa
setengah perbudakan untuk bisa hidup dan mempertahankan syarat-syarat
penindasannya. Sehingga kehancuran Majapahit juga bisa dikatakan sebagai
kehancuran dari suprastruktur setengah perbudakan. Cikal bakal feodalisme telah
tumbuh pada masa setengah perbudakan yang semakin menonjol dengan berdirinya

kekuasaan para raja yang sebelumnya adalah tuan budak dan pada hakekatnya adalah
kekuasaan para tuan tanah. Perubahan ini sebagai akibat perkembangan kekuatan
produktif dalam hal ini para budak yang tidak lagi sesuai dengan hubungan produksi
perbudakan yang menindas mereka. Kelas kelassosial dalam masyarakat setengah
perbudakan sengaja disamarkan dalam ajaran agama Hindu dengan ajarannya tentang
Kasta. Ajaran Hindu tentang kasta sosial tersebut kemudian dilawan oleh Islam yang
mulai hadir di Indonesia pada Abad 14 Masehi. Akan tetapi Islam tidak melawan
perkembangan feodalisme yang mencirikan penguasaan tanah luas oleh para
bangsawan dan tokoh-tokoh agama. Islam hanya melawan sistem setengah
perbudakan yang masih ada dan di sisi yang lain semakin memberikan kekuatan bagi
tumbuh dan berkembangnya feodalisme. Yang perlu dicatat bahwa pada saat itu
feodalisme sebagai corak produksi belumlah sempurna, karena kekuasaan ekonomi
maupun politik feodalisme tidak terkonsolidir dan terpusat. Tidak ada kota yang
sungguh-sungguh menjadi pusat desa, dan tak ada pusat kekuasaan yang betul-betul
tersentral. Mereka masih terdiri dari tuan tanah tuan tanah lokal (raja raja lokal)
yang melakukan monopoli atas tanah dan segala kekayaan alam lainnya. Konsolidasi
dan pematangan feodalisme di Indonesia dilakukan di kemudian hari oleh
kolonialisme.
Raja dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta
pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan
dengan kekuasaan mutlak. Dalam situasi demikian itu, maka kawula hanya mengenal
hak pakai atas tanah dengan sistem hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan kerabat
kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam berupa tanah
apanase untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau
bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping itu dalam hal-hal
khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu
dengan tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah tanah-tanah perdika mutihan
dan sebagainya
Kedudukan pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi
dan Bangsawan dan sangat dipandang tinggi dan mulia. Yang namanya trah
bangsawan maupun priyayi memiliki citra khusus dan istimewa, selain berdarah
biru mereka dianggap mumpuni dan waskita dalam pergaulan masyarakat
kebanyakan. Dan ketika orang-orang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai
norma moral orang orang yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai

norma moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik atau


meminta pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap
benar, tidak pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral yang akan
ditiru oleh bawahannya.
Struktur feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada
ketidakadilan dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling
berkuasalah yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan
yang luas dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi
ada juga yang secara turun temurun berkuasa karena atas dasar banyak pengikutnya
dan dipercaya oleh para pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu hanya
orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani dan berbakti
pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga raja. Dan para
petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari stratifikasi sosial yang sebenarnya
sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti rakyat. Dalam era yang
sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara tanpa adanya rakyat
maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan struktur feodalisme semakin
sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah. Karena pada masa feodalisme
ini sektor pertanian sangatlah penting dan pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya
petani yang banyak pula mengingat semakin besar hasil produksinya maka kerajaan
itu akan semakin maju.
Statifikasi sosial feodal masyarakat Jawa terdiri dari :
a) Raja mempunyai kekuasaan yang absolut atas atas hidup dan hak milik hamba
kawulanya dari yang tertinggi hingga yang terendah,
b) Bangsawan, baik yang berasal dari keluarga raja maupun priyayi atau abdi dalam
atau pegaawai kerajaan di atas kepala desa serta orang orang yang tidak biasa
( cedikiawan, sastrawan / pujangga),
c) Petani wong cilik (orang kecil).
Paham kekuasaan Jawa yang dilandasi dengan despotisme membawa akibat
raja harus mempertahankan monopoli kekuasaan mutlak . Oleh karena itu di Jawa
tidak mungkin ada bangsawan bangsawan daerah sejati yang memiliki otonomi luas.
Karena juga terikat dengan doktrin despotis. Raja adalah turunan dewa yang
menguasai segala tanah dan seisinya serta yang hidup di atasnya.
Besarnya kekuasaan raja dalam mengatur dan menentukan seseorang dalam
tangga sosial masyarakatnya sehingga Raja berperan dalam mengangkat seseorang

dari kalangan bawah menjadi seorang bupati atau patih melalui pangestukaum priyayi,
baik terhadap raja maupun terhadap kawula. Mereka nunut kamukten( numpang
kemuliaan) raja dengan cara melanggengkan simbol kekuasaan. Meninggikan raja
dalam banyak upacara, samadengan menegaskan kepriyayian mereka. Kesetiaan
priyayi pada raja adalah karena perkenalan mereka sejak dini dengan kekuasaan
melalui simbol- simbol bersamaan dengan sosialisasi. Stratifikasi priyayi yang
ditunjukan dalam simbol baik jumlah sembah, pakaian, bahasa dan tempat duduk
waktu mengahdap raja, semuanya memperkuat struktur tersebut. Menjadi abdi dalem
bagi priyayi adalah cita cita mereka sejak kecil.
Pemimpin, orang orang tinggi dan para orang tua dalam pandangan orang
Jawa harus dilayani dan dihormati secara luas. Orang orang bawahan merasa
dihormati kalau boleh menghaturkan hadiah kecil kepada atasan , sebaliknya menjadi
atasan membawa kewajiban untuk melindungi para bawahan dan mereka yang
kedudukannya lembih rendah. Bawahan mengharapkan dari atasan perlindungan dan
pedoman moral, sedangkan atasan boleh memperhitungkan pelayanan dan loyalitas
dari para bawahan. Bawahan dan orang orang rendahan tidak berhak untuk
mengukur atasan atau orang orang yang berkedudukan lebih tinggi norma moral,
untuk mengkritik atau meminta pertanggungjawaban mereka , melainkan justru
sebaliknya, kelakuan atasan dengan sendirinya dianggap benar dan dengan demikian
menjadi standar moral yang akan ditiru oleh bawahannya (Suseno,1996).
Koentjaraningrat ( 1969) menilai kenyataan tersebut secara negatif.
Pengaruh pada VOC dan Hindia Belanda :
Pada masa Van den bosch tahun 1830, pemerintah Belanda membangun
sebuah sistem ekonomi-politik yang menjadi dasar pola kapitalisme negara di
Indonesia. Sistem ini bernama tanam paksa. Ini diberlakukan karena VOC mengalami
kebangkrutan.Tanam Paksa merupakan tonggak peralihan dari sistem ekonomi
perdagangan (merkantilis) ke sistem ekonomi produksi. Ciri-ciri tanam paksa ini
berupa:
1.

Kaum tani diwajibkan menanam tanaman yang laku dipasaran Eropa, yaitu tebu,
kopi, teh, nila, kapas, rosela dan tembakau; kaum tani wajib menyerahkan
hasilnya kepada pemerintah kolonial dengan harga yang telah ditentukan oleh
pemerintah Belanda;

2. Perubahan (baca: penghancuran) sistim pengairan sawah dan palawija;


3.

Mobilisasi kuda, kerbau dan sapi untuk pembajakan dan pengang kutan;

4.

Optimalisasi pelabuhan, termasuk pelabuhan alam;

5.

Pendirian pabrik-pabrik di lingkungan pedesaan, pabrik gula dan karung goni;

6.

Kerja paksa atau rodi atau corvee labour untuk pemerintah;

7.

Pembebanan berbagai macam pajak.


Sistem ini juga merupakan titik awal berkembangnya kapitalisme perkebunan

di Indonesia.Tapi, dalam pelaksanaan sistem ini pelaksanaannya tidak luput dari


tatanan yang feodal, dengan menggunakan bantuan orang oranglokal, di mana desa
menjadi mata rantai antara petani dan pejabat di nusantara atau biasanya disebut
regent oleh Belandadan regent ini bertanggung jawab kepada pemerintah setempat.
Sehingga secara langsung VOC dan Hindia Belanda menggunakan para penguasa
daerah sebagai alat untuk melakukan tanam paksa ini, karena tatanan liberalisme tidak
mungkin diterapkan di Nusantara yang tidak selan dengan kultur masyarakat
Nusantara.
Karena paham konservatif ini secara langsung akan membentuk hubungan
langsung antara pemerintah dan desa dengan melalui perantara seorang bupati, Bupati
berperan sebagai pengawas dan menjamin produksi atau disebut mandor, sedang
kepala desa bertanggung jawab memenuhi target produksi. Dan setiap bupati dan
Kepala desa di bayar berdasarkan jumlah produksi dan kualitas produksi tersebut
( cultuurprocenten)
Itulah beberapa alasan mengapan peranan feodal spenting bagi VOC dan
Hindia Belandakarena struktur masyarakat Nusantara yang tradisinal masih kuat
menganut feodal jadi mau tidak mau VOC maupun Hindia Belanda harus mempunyai
strategi untuk menyiasati hal tersebut, karena dari beberapa sistem yang dilaksanakan
di Nusantara mengalami kegagalan, di antaranya monopoli, pajak dan lain lain. Dan
untuk itu maka diadakan penyelesaian memalui percampuran antara kolonialisasi dan
feodal,
Pendapat Tidak Setuju akan Feodalisme.
Dalam sejarah feodalisme, sekelompok orang yang disebut bangsawan yang
menguasai suatu wilayah, memiliki hak kuasa atas tanah, hasil produksi dan hak atas
setiap individu dalam wilayah tersebut. Hak-hak yang dimiliki pun terkesan tak
terbatas, kaum bangsawan dapat mengambil keputusan yang merugikan masyarakat
dan tidak dapat diganggu gugat oleh masyarakat tersebut karena kaum feodal

memegang kuasa atas apapun yang berada di wilayahnya. Dengan kata lain, dalam
sistem feodalisme, kedaulatan rakyat berada di tangan satu orang atau sekelompok
orang yang mengambil hak kemerdekaan individual masyarakat dalam suatu
komunitas dan ini bertentangan dengan demokrasi.
Sebagaimana sejarah telah menceritakan tentang kehidupan feodalisme dari
masa ke masa, maka ada beberapa dampak negatif yang perlu diperhatikan akibat dari
pelaksanaan system ini dalam masyarakat.
Pertama, dari segi politik, muncul kekuasaan yang terpusat hanya pada
sekelompok orang tertentu yang memiliki pangkat dan jabatan (baca: bangsawan atau
priyayi). Semua urusan pemerintahan dipegang dan dikuasai kelompok ini, rakyat
tidak berhak ikut campur dalam keputusan mereka tetapi harus selalu patuh akan
perintah dan kebijakan mereka. Maka sebagaimana yang disebutkan sebelumnya,
hubungan yang muncul adalah gusti-kawula (baca: hubungan patrimonial). Prinsip
egalitarianism dalam hal ini menjadi tidak berlaku sehingga rakyat pun kehilangan
harkat dan martabatnya yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia (baca: fitrah
manusia).
Kedua, dari segi budaya, tertanamnya asas setia dan tunduk dalam diri
rakyat kepada penguasa. Maka kemudian rakyat akan berpikir mereka hanya perlu
tunduk dan melaksanakan perintah tanpa berinisiatif untuk mengembangkan
kreativitas dirinya sendiri. Daya saing antar rakyat menjadi terbatasi oleh rasa segan
dan takut kepada penguasa atau atasan. Rakyat menjadi pasrah dan tidak suka bekerja
keras, karena mereka menganggap dengan menurut kepada atasan, mereka akan
mendapatkan apa yang diinginkan. Maka kemudian, mental penjilat menjadi tumbuh
subur dalam budaya feodalisme dimana mental dan tekad untuk maju begitu sulit
diwujudkan karena hanya berharap pada atasan.
Bila kita melihat hubungan negara dan desa secara histori, politis, kita akan
melihat bahwa desa hanya menjadi obyek negara saja. Desa, hampir selalu menerima
beban, tugas dan kewajiban dari negara. Sejak masa feodal tradisional di zaman rajaraja, desa merupakan tempat untuk menyediakan makanan bagi kerajaan di samping
ia pun menjadi sumber tenaga manusia. Jadi pada masa itu desa telah merupakan basis
yang penting bagi kerajaan. Meskipun demikian, ia sama sekali tak mempunyai
kekuatan dalam menghadapi tekanan dari atas. Komunikasi yang tcrjadi hanyalah
komunikasi yang searah saja yaitu komunikasi dari atas yang diterima rakyat dcngan
re1a karena perintah raja identik dengan kehendak. Di samping itu rakyat juga

menganggap bahwa hanya rajalah yang mampu menciptakan kesejahteraan bagi


seluruh kerajaan.
Desa di zaman feodal sangat tergantung atau di bawah kekuasaan se-orang
raja. Ini berkaitan erat dengan teori milik raja (vorstendomein), yaitu raja pemilik
tanah seluruh kerajaan, dan dalam pemerintahannya dibantu oleh birokrat yang terdiri
dari sentana dan narapraja.
Jika tanah dikuasai oleh raja berarti rakyat petani mempunyai akses yang
sangat kecil terhadap tanah dan berarti segala hasil produksi pertanian yang dihasilkan
oleh petani setidaknya harus dibagi kepada raja dan para pejabat kerajaan. Sistem
feodal ini berdampak terhadap rendahnya daya tawar petani dalam pengeloaan asetaset sumberdaya yang dimiliki desa karena pengelolaan tanah oleh petani tidak lain
wujud dari kepentingan atau kekua-saan dari raja. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa rakyat atau petani boleh mengelola tanah jika mendapat restu dari sang
penguasa raja. Untuk itu, mobilisasi atau gerak maju dan gerak mundur desa di
zaman feodal sangat tergantung pada intervensi kekuasaan raja. Perubahan tidak
dapat dilihat sebagai proses wajar dalam kehidupan, melainkan merupakan berkah
dari seorang raja
Munculnya Politik Desa
Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas.
Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan
secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa didasarkan
atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya kawula dan gusti, atau
bawahan dan atasan.
Raja dianggap sebagai pusat dari segala kekuasaan dan alam semesta, serta
pemilik jagad raya. Paham ini menempatkan raja sebagai pemilik tanah kerajaan
dengan kekuasaan mutlak. Dalam situasi demikian itu, maka kawula hanya mengenal
hak pakai atas tanah dengan sistem hanggadhuh. Terhadap kaum keluarga dan kerabat
kerja serta para pegawai kerajaan diberlakukan sistem tanah pinjam berupa tanah
apanase untuk kaum keluarga dan kaum kerabat raja (Sentra dalem), dan lungguh atau
bengkok untuk para pegawai kerajaan (Abdi Dalem). Disamping itu dalam hal-hal
khusus, raja menghadiahi tanah kepada sekelompok warga masyarakat tertentu
dengan tugas-tugas tertentu. Dari kejadian ini lahirlah tanah-tanah perdika mutihan
dan sebagainya
Kedudukan pemimpin dalam masyarakat Jawa identik dengan kaum priyayi
dan Bangsawan dan sangat dipandang tinggi dan mulia. Yang namanya trah
bangsawan maupun priyayi memiliki citra khusus dan istimewa, selain berdarah
biru mereka dianggap mumpuni dan waskita dalam pergaulan masyarakat
kebanyakan. Dan ketika orang-orang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai

norma moral orang orang yang berkedudukan lebih rendah tidak berhak menilai
norma moral orang-orang yang berkedudukan tinggi, apalagi mengkritik atau
meminta pertanggung jawaban mereka, maka atasan dengan sendirinya dianggap
benar, tidak pernah salah dan dengan demikian menjadi standar moral yang akan
ditiru oleh bawahannya.
Struktur feodalisme dalam pandangan masa kini bisa di katakan tidak ada
ketidakadilan dan memang itulah yang ada dalam sistem feodalisme. Yang paling
berkuasalah yang mengatur segalanya dari segi politik, dia yang mempunyai lahan
yang luas dan mempunyai harta kekayaan dialah yang berkuasa(bangsawan), tetapi
ada juga yang secara turun temurun berkuasa karena atas dasar banyak pengikutnya
dan dipercaya oleh para pengikutnya (Raja). Sedangkan para abdi dalem itu hanya
orang-orang yang setia pada raja atas dasar loyalitas dan sudah melayani dan berbakti
pada raja dengan jangka watu yang tidak lama, serta para keluarga raja. Dan para
petani dan wong cilik hanya sebagai bagian dari stratifikasi sosial yang sebenarnya
sangat berperan penting dalam struktur feodal, seperti rakyat. Dalam era yang
sekarang pun unsur rakyat sangat penting dalam sebuah negara tanpa adanya rakyat
maka tidak bisa disebut negara, begitu pula dengan struktur feodalisme semakin
sedikit rakyat maka kerajaannya pun semakin lemah. Karena pada masa feodalisme
ini sektor pertanian sangatlah penting dan pertanian tidak akan berjalan tanpa adanya
petani yang banyak pula mengingat semakin besar hasil produksinya maka kerajaan
itu akan semakin maju.
Politik desa mengalami pasang surut ditengah pergulatan mencari identitas
Republik ini. Era feodalisme dijaman raja-raja pra kolonial politik desa sangat
diwarnai oleh dominasi para tuan tanah yang kemudian menjadi elit di pedesaan
(Suzzan K. 1998), sehingga masyarakat desa hanya dimobilisasi untuk kepentingan
tenaga kerja, dan raja (para tuan tanah) itu menjadi pemilik dan pengatur kehidupan
masyarakat desa. Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat desa pun harus
menerima

kenyataan

penjajah

bangsa

Eropa

(Belanda)

yang

disamping

pengeksploitasi desa, mengambil alih kepemilikan atas tanah ulayat masyarakat desa
sampai pada memaksa untuk menjadi buruh kepada belanda dengan sistem Tanam
Paksa (Hans Anlof (2001) dan Suhartono, Opcit). Masuknya penjajah merupakan
kelanjutan dari depolitisasi masyarakat desa karena antara kaum penjajah dengan para
raja melakukan kerjasama politik untuk menundukan masyarakat desa.
Menariknya, meskipun ditengah kengkraman feodalisme raja dan penjajah

desa tetap berkembang menjadi desa yang demokratis. Adalah Hatta (dalam
Suhartono) menilai bahwa desa mengandung ciri-ciri sebagai masyarakat yang
demokratis yakni adanya rapat desa (tempat dimana rakyat bermusyarawah dan
bermufakat), adanya hak-hak untuk mengadakan protes dan mulai adanya kesadaran
untuk melakukan tolong menolong diantara sesamannya. Kondisi itu mungkin dapat
meruntuhkan argumentasi rasionalitas politik barat bahwa demokrasi hanya bisa
berkembang dalam iklim politik yang demokratis (tanpa sistem feodalisme dan
kolonialisme) argumentasi universalitas demokrasi yang dipandang barat lahir dalam
kondisi dimana kebebasan dijamin oleh konstitusi yang juga ditandai dengan
persamaan kedudukan dimuka hukum dan adanya perbedaan dapat terbantahkan oleh
suatu kenyataan politik desa yang dapat mengembangkan demokrasi di atas tekanan
(kengkraman) atas kebebasan dan persamaan derajat (Nasir,2002).
Konstatasi di atas menjadi wacana awal ketika membahas bagaimana
perubahan-perubahan politik dipedesaan dari masa ke masa setelah kita mencapai
kemerdekaan, lima puluh lima tahun silam.

Anda mungkin juga menyukai