Anda di halaman 1dari 44

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kehamilan merupakan peristiwa alami yang terjadi pada wanita, namun kehamilan dapat
mempengaruhi kondisi kesehatan ibu dan janin terutama pada kehamilan trimester pertama.
Wanita hamil trimester pertama pada umumnya mengalami mua, muntah, nafsu makan
berkurang dan kelelahan. Menurunnya kondisi wanita hamil cenderung memperberat kondisi
klinis wanita dengan penyakit infeksi antara lain infeksi HIV-AIDS[1].
HIV/AIDS adalah topic yang sangat sensitive dan lebih banyak sehingga banyak penelitian
melibatka anak-anak yang rentan untuk terjangkit HIV. Setiap usaha dilakukan untuk
memastikan bahwa keluarga akan merasa baik [2].
Penyakit AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu syndrome/kumpulan
gejala penyakit yang disebabkan oleh Retrovirus yang menyerang sistem kekebalan atau
pertahanan tubuh. Dengan rusaknya sistem kekebalan tubuh, maka orang yang terinfeksi mudah
diserang penyakit-penyakit lain yang berakibat fatal, yang dikenal dengan infeksi oportunistik.
Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika Serikat pada tahun 1981 dan
virusnya ditemukan oleh Luc Montagnier pada tahun 1983[3].
Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) adalah penyebab penyakit dan kematian yang
terkemuka di kalangan perempuan dan anak-anak di negara-negara dengan tingkat infeksi human
immunodeficiency virus (HIV) yang tinggi. Transmisi HIV dari ibu ke anak (Mother To Child
Transmission MCTC) adalah rute infeksi HIVpada anak yang paling signifikan. Beberapa
intervensi telah terbukti efektif dalam mengurangi MTCT termasuk pilihan persalinan secara
caeseran, substitusi menyusui dan terapi antiretroviral selama kehamilan, persalinan, dan pasca
melahirkan. Jika intervensi ini diterapkan dengan benar maka dapat mengurangi MTCT sebesar
2% [4].

Orang-orang yang terinfeksi positif HIV yang mengetahui status mereka mungkin dapat
memberikan manfaat. Namun, seks tanpa perlindungan antara orang yang yang berisiko
membawa HIV sero-positif sebagai super infeksi, penularan infeksi seksual, dan kehamilan yang
tidak direncanakan dapat membuat penurunan kesehatan seksual dan reproduksi. Hal ini jelas
bahwa banyak pasangan yang harus didorong untuk melakukan tes HIV untuk memastikan status
mereka dengan asumsi bahwa mereka mungkin terinfeksi karena pernah memiliki hubungan
seksual denga seseorang yang telah diuji dan ditemukan sero-positif HIV[5].
Komunikasi seksualitas antara orangtua dan anak telah diidentifikasi sebagai factor pelindung
untuk seksual emaja dan kesehatan reproduksi, termasuk infeksi HIV. Meningkatkan kesehatan
seksual dan reproduksi remaja merupakan prioritas dunia. Intervensi yang bertujuan untuk
menunda perilaku seksual, mengurangi jumlah pasangan seksual dan meningkatkan penggunaan
kondom. Dari penelitian yang dilakukan di negara berkembang menunjukkan bahwa pendidikan
seksualitas memiliki potensi untuk memberikan dampak positif pada pengetahuan, sikap, norma
dan niat, meskipun mengubah perilaku seksual sangat terbatas[6].
Evolusi infeksi HIV menjadi penyakit kronis memiliki implikasi di semua pengaturan perawat
klinis. Setiap perawat harus memiliki perawatan klinis. Setiap perawat harus memiliki
pengetahuan tantang pencegahan, pemeriksaan, pengobatan, dan kronisitas dari penyakit dalam
rangka untuk memberikan perawatan yang berkualitas tinggi kepada orang-orang dengan atau
berisiko untuk HIV.

1.2 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dalam penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat :
a.

Memahami tentang penyakit HIV/AIDS

b.

Mengetahui bagaimana epidemiologi HIV/AIDS

c.

Mengetahui etiologi pada HIV/AIDS

d.

Memahami patoghenesis pada HIV/AIDS

e.

Memahami manifestasi klinis pada HIV/AIDS

f.

Mengetahui cara pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS

g.

Memahami pengobatan HIV/AIDS

h.

Mengetahui pencegahan HIV/AIDS

i.

Mengetahui prognosis pada HIV/AIDS

j.

Mengetahui asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS

1.3 Perumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini, antara lain :
a.

Apa pengertian HIV/AIDS ?

b.

Bagaimana epidemiologi HIV/AIDS)?

c.

Bagaimana etiologi pada HIV/AIDS?

d.

Bagaimana patoghenesis pada HIV/AIDS?

e.

Bagaimana manifestasi klinis pada HIV/AIDS?

f.
g.

Bagaimana pemeriksaan diagnostik HIV/AIDS?


Bagaimana pengobatan HIV/AIDS?

h.

Bagaimana pencegahan HIV/AIDS?

i.

Bagaimana prognosis pada HIV/AIDS?

j.

Bagaimana asuhan keperawatan pada ibu hamil dengan HIV/AIDS?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian
Human

immunodeficiency

virus (HIV)

adalah

retrovirus

yang menginfeksi sel-sel

sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksiberlangsung,


sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.
Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome(AIDS).
Hal inidapat memakan waktu 10-15tahun untukorang yangterinfeksi HIVhingga berkembang
menjadiAIDS; obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV ditularkan melalui
hubungan seksual(anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi, berbagi jarum yang
terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan dan menyusui[8]
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah penyatuan sel
telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid; mual yang timbul pada
pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi puting; pembesaran abdomen

yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin, bunyi jantung janin, dan
terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG[9].
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit infeksi
oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh infeksi HIV
(Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996)[9].
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa jumlah
wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi. Sekitar 80%
penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya. Seroprevalensi HIV pada ibu
prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,4-29,6% pada ibu hamil yang biasa
menggunakan narkotika intravena[10].
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang
lebih muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan
pada usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli
kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk hamil dan
melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa prevalensi HIV di
klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun positif
HIV-AIDS perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia reproduksi[10].
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS pada wanita
hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi HIV. Pada negara
berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di luar rumah. Kondisi ini
dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan isteri sangat percaya bahwa
suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap tabu untuk dibicarakan[10].
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV) dibandingkan dengan
wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering dapat menularkan HIV
kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil International Microbicides
Conference 2010, abstract

#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang
berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui[11].
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia, terutama di Afrika
dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita HIV/AIDS. Sekitar 80%
penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui suntikan obat (terutama
penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu melalui plasenta kepada
janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal berkisar antara 13-48%[12].
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk
menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang
memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang
diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai
pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan dan
terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui[12].
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam hal ini
diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada pasangannya, perlu
dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter. Tentulah dalam memabuka
rahasia ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan keluarga, teman-teman, dan
kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien terhadap dokternya[12].
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu dan salah
satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan pelayanan tersebut.
Dengan kemanjuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat hidup lebih panjang dan risiko
penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV positif tidak perlu memberitahukan
pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati melakukan tindakan-tindakan medik yang
mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi, serta berhati-hati dengan alatalat yang digunakan[12].
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu
dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan, dan

kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke janin
lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi mereka. Uji
antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah reaksi rantai
polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi virus HIV neonatus.
Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu hamil untuk
melindunginya[13].

2.2 Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi), termasuk
diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat sebanyak 8.400.000
kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anak-anak. Di Indonesia
berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan PLP Departemen
Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanyak 685 orang yang
dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia pada
dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang sebenarnya. Pada penyakit ini
berlaku teori Gunung Es dimana penderita yang kelihatan hanya sebagian kecil dari yang
semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik 1 penderita yang terinfeksi telah
terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum diketahui[2].
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan masalah
penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya menanggulangi
problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan yang dilakukan
semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan transmisi yang
memungkinkan dapat terserang HIV[2].
Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi tersebut sudah
mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi (dengan prevalens >
5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks (WPS), dan waria. Situasi
demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada pada tahap concentrated
epidemic. Situasi penularan ini disebabkan kombinasi transmisi HIV melalui penggunaan jarum
suntik tidak steril dan transmisi seksual di antara populasi berisiko tinggi. Di Tanah Papua

(Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini ternyata telah menular lebih jauh,
yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan seksual berisiko pada masyarakat umum
(dengan

prevalens

>

1%).

Situasi

di

Tanah

Papua

menunjukkan

tahapan

telah

mencapai generalized epidemic[14].


Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen Kesehatan (Depkes)
tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada beberapa subpopulasi berisiko tinggi tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun 2006 prevalens HIV
berkisar 21% 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17% pada waria[14].
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV
pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi
HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi pelanggan penjaja seks (PPS), yang jumlahnya
lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta. Sekalipun jumlah sub-populasinya
paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak penasun dalam infeksi HIV. Gambaran
tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia
tahun 2006, yang jumlahnya berkisar 169.000-217.000, dimana 46% diantaranya adalah penasun
sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%[12].
Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil pendapat ini berdasarkan hasil survey di
daerah perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana rata-rata prevalensi
HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada tahun 2003. Di
wilayah India prevalensi secara nasional dikalangan wanita hamil masih rendah di daerah miskin
padat penduduk yaitu Negara bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar. Tetapi peningkatan angka
penularan relatif kecil dapat berarti sejumlah besar orang terinfeksi karena wilayah tersebut
dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi India. Prevalensi HIV lebih dari 1% ditemukan
dikalangan wanita hamil, di wilayah industri di bagian barat dan selatan India[12].
Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV
dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5% dari seluruh wanita
yang mengunjungi klinik bersalin yang positif terinfeksi HIV ditahun 2004. Prevalensi tertinggi
adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau lebih yaitu satu dari tiga wanita yang
diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi 30% dikalangan

wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di wilayah Botswana, Lesotho, Nambia
dan Swaziland[10].

2.3 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawankawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV[3].
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya yang asli
merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia masuk ke sel
target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai reseptor untuk virus
HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus
yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus
dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut[3].
`

Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian

selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA (Ribonucleic
Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung terdiri atas lipid
dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang
rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk
virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah
dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet[3].
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat
juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak[3].

2.4 Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina, dan ASI.
Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara; seksual hubungan
seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan menyusui. HIV muncul
sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan 33 juta orang
diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi AIDS, dan 15 juta
anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua orang tua mereka karena
AIDS[6].
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit yaitu sumber
infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat
masuk kuman (portd entre)[3].
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui pertukaran cairan tubuh
(misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi berat pada sistem imun selular menandai
sindrom immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi telah didokumentasi
dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui[16].
Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama
pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini disertai
viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise,
mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga
minggu[16].
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak sebagai organ
sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai vehikulum yang
dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai
cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau
servik dan darah penderita[3].
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara penularan
HIV yang diketahui adalah melalui[3]:
1. Transmisi Seksual

Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual


merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan dengan
semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV
kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks,
jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow (1985)ditemukan resiko
seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan seksual yang dilakukan
pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan seksual dengan berganti pasangan
merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV.
a.

Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual menderita

AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.


Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b.

Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual pada

promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria maupun
wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksua
a. Transmisi Parenral
-

Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah

terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik
yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang
dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi
parental ini kurang dari 1%.
- Darah/Produk Darah

Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun 1985.
Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor
telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah
lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air
susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.

PENULARAN HIV DARI WANITA KEPADA BAYINYA


Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau
hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama penggidap HIV,
tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, serta alat
untuk menorah kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita secara
berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%, wanita
heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%[17].
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual. Salah
seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke isterinya
sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun penelitian ain
mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi positif) dalam 1-3
tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami dianggap sama[10].
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui hubungan
seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS sebagian besar
(85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi yang bisa terjadi
saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan belum ada gejala AIDS
kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada
ibu kemungkinannya mencapai 50%[17].

Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau kontak
antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat melahirkan.
Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan bisa dicegah
dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post partum melalui ASI,
resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%[17].
Kasus HIV-AIDS disebabkan oleh heteroseksual. Virus ini hanya dapat ditularkanmelalui kontak
langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan sebagian besar (75%) penularan terjadi
melalui hubungan seksual. HIV tergolong netrovirus yang memiliki materi genetik RNA.
Bilamana virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes), maka RNA diubah menjadi DNA
oleh enzim reverse transcriptase. DNA provirus tersebut diintegrasikan kedalam sel hospes dan
selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen virus[10].
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada periode
intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan 24 minggu
dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal terjadi sebelum
persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina, sekresi
serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan biologis,
dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for Syphilis) yang
positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-luka merupakan tempat
masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk menangkap HIV akan
aktif mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV tersebut ke dalam peredaran
darah[10].
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus, serviks
dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas dan
penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada trimester
pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan seksual. Keadaan ini
juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang paling sering terjadi antara
pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20% setelah melakukan hubungan
seksual dengan tidak menggunakan kondom[10].

Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV


heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh infeksi sifilis atau
herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga terjadi kerusakan membran
mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang mengalami
inflamasi[10].

PERIODE PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat kesehatan,
pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus meregleksikan perkiraan ini jika wanita
dan bayi baru lahir akan menerima perawatan yang tepat. Individu yang berada pada kategori
infeksi HIV meliputi[16]:
1.

wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2.

wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;

3.

wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;

4.

wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;

5.

setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.

Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan kepada wanita
berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan prenatal. Hasil negative pada
pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi bahwa titer selanjutnya akan
negative[16].
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis, hepatitis B,
Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi vaginal kronis),
sitomegalovirus (CMV), dan toksoplasmosis. Sekitar setengah jumlah penderita AIDS
mengalami peningkatan titer[16].

Beberapa ketidaknyamanan prenatal (mis., keletihan, anoreksia, dan penurunan berat badan.
Menyerupai tanda dan gejala infeksi HIV. Diagnosis banding semua keluhan akibat kehamilan
dan gejala infeksi dibenarkan. Tanda-tanda utama perburukan infeksi HIV meliputi penurunan
berat badan, lebih dari 10% berat badan sebelum hamil, diare kronis selama lebih dari satu bulan,
dan demam (intermiten atau konstan) selama lebih dari satu bulan[16].
Untuk menyokong sistem imun wanita hamil, konseling diberikan, mencakup nutrisi optimum,
tidur, istirahat, latihan fisik, dan reduksi stress. Apabila infeksi HIV didiagnosis, wanita diberi
penjelasan tentang teknik berhubungan seksual yang lebih aman. Penggunaan kondom dan
spermisida 9 non-oksinol dianjurkan untuk meminimalkan pemaparan HIV lebih jauh jika
pasangan wanita tersebut merupakan sumber infeksi. Hubungan seksual orogenital tidak
dianjurkan. Hal yang sama penting ialah merujuk wanita tersebut menjalani rehabilitasi untuk
menghentikan penyalahgunaan substansi. Penyalahgunaan alcohol atau obat-obatan lain
mengganggu sistem imun tubuh dan meningkatkan risiko AIDS dan kondisi terkait[16]:
1.

sistem imun tubuh harus rusak dulu sebelum HIV dapat menimbulkan penyakit

2.

alcohol dan obat-obatan mengganggu banyak terapi medis dan terapi alternatif untuk

AIDS
3.

dan obat-obatan mempengaruhi pertimbangan pengguna yang menjadi lebih cenderung

terlibat dalam aktivitas yang membuatnya berisiko mengidap AIDS aatau meningkatkan
pemaparan terhadap HIV
4.

alcohol dan penyalahgunaan obat menyebabkan stress, termasuk masalah tidur,

yang membahayakan fungsi sistem imun.


Terapi farmakologi untuk infeksi HIV berkembang dengan pesat sejak virus tersebut ditemukan.
Obat primer yang disetujui untuk terapi infeksi HIV adalah 3azido-3-deoksitimidin (zidovudin,
AZT [Retrivirl]). Walaupun obat ini menjanjikan hasil yang baik bagi terapi infeksi HIV,
penggunaannya dalam kehamilan dibatasi karena adanya potensi efek mutagenic atau toksik
potensial pada janin. Azitomidin saat ini dipelajari pada beberapa penelitian terkendali pada
wanita hamil, yang memiliki hitung sel T-helper kurang dari 400 sel/mm3 dan terbukti secara
signifikan mengurangi risiko transmisi HIV dari wanita terinfeksi ke janinnya[16].

PERIODE INTRAPARTUM
Perawatan wanita bersalin tidak secara sustansial berubah karena infeksi asimptomatik
HIV. Model kelahiran yang akan dilakukan didasarkan hanya pada pertimbangan obstetric karena
virus menembus plasenta pada tahap awal kehamilan[16].
Focus utama adalah mencegah persebaran nosokomial HIV dan melindungi tenaga
keperawatan kesehatan. Risiko tranmisi HIV dianggap rendah selama proses kelahiran per
vaginam terlepas dari kenyataan bahwa bayi terpapar pada darah, cairan amniotic, dan sekresi
vagina ibunya[16].
Pemantauan janin secara elektronik dan eksternal lebih dipilih jika pemantauan
diperlukan. Ada kemungkinan inokulasi virus ke neonates jika pengambilan sampel darah
dilakukan pada kulit kepala janin atau elektroda dipasang pada kulit kepala janin. Selain itu,
individu yang melakukan salah satu prosedur ini berisiko tertusuk jarum pada jarinya[16].

PERIODE PASCAPARTUM
Hanya sedikit diketahui tentang kondisi klinis wanita yang terinfeksi HIV selama periode
pascapartum. Walaupun periode pascapartum awal tidak signifikan, follow-up yang lebih lama
menunjukkan frekuensi penyakit klinis yang tinggi pada ibu yang anaknya menderita penyakit.
Konseling tentang pengalihan pengasuhan anak dibutuhkan jika orang tua tidak lagi mampu
merawat diri mereka[16].
Terlepas dari apakah infeksi terdiagnosis, roses keperawatan diterapkan dengan cara yang
peka terhadap latar belakang budaya individu dan dengan menjunjung nilai kemanusiaan. Infeksi
HIV merupakan suatu peristiwa biologi, bukan suatu komentarmoral. Sangat penting untuk
diingat, ditiru, dan diajarkan bahwa reaksi (pribadi) terhadap gaya hidup, praktik, atau perilaku
tidak boleh mempengaruhi kemampuan perawat dalam member perawatan kesehatan yang
efektif, penuh kasih sayang, dan obyektif kepada semua individu[16].

Bayi baru lahir dapat bersama ibunya, tetapi tidak boleh disusui. Tindakan kewaspadaan
universal harus diterapkan, baaik untuk ibu maupun bayinya, sebagaimana yang dilakukan pada
semua pasien. Wanita dan bayinya dirujuk ke tenaga kesehatan yang berpengalaman dalam terapi
AIDS dan kondisi terkait[16].

2.5 Manifestasi Klinis


Gejala dari infeksi akut HIV terjadi sekitar 50% kepada seseorang yang baru terinfeksi. Gejala
yang ditimbulkan adalah[6]:

Demam

Malaise

Ruam

Myalgia

Sakit kepala

Meningitis

Kehilangan napsu makan

Berkeringat

Adapun gejala infeksi HIV kronis sebagai berikut[6]:

Infeksi bakteri berulang

Candidiasis di saluran bronkus, trachea, paru dan esophagus

Herpes simpleks kronis

Kaposi sarcoma (proliferasi vaskuler neoplastik ganas yang multi sentrik dan ditandai

dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan, biasanya pada pada ekstremitas bawah
yang ukuran dan jumlahnya membesar dan menyebar ke daerah yang lebih proksimal)

Pneumoncystis

Wasting syndrome

Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil atau orang
dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan spectrum yang
lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala
yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-gejala AIDS
rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi[15].
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. mereka merasa
sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV akan
menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain[15].
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu[15]:
1.

kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. pada

tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya HIV
disebut window period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi
HIV.
2.

kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan

tanpa gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi infeksi HIV pada orang
dewasa sebagai berikut[6]:

Kelompok I: infeksi akut

Kelompok II: infeksi asimptomatik

Kelompk III: Infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP)

Kelompok IV: penyakit-penyakit lain.

2.6 Pemeriksaan Diagnostik

`Tes-tes saat ini tidak membedakan antara antibody ibu/bayi, dan bayi dapat menunjukkan tes
negative pada usia 9 sampai 15 bulan. Penelitian mencoba mengembangkan prosedur siap pakai
yang tidak mahal untuk membedakan respons antibody bayi vs.ibu[18]:

Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi

baru lahir tetapi memberikan data dasar imunologis.

EIA atau ELISA dan tes Western Blot: Mungkin positif, tetapi invalid

Kultur HIV (dengan sel mononuclear darah perifer dan, bila tersedia, plasma).

Tes reaksi rantai polymerase dengan leukosit darah perifer: Mendeteksi DNA viral

pada adanya kuantitas kecil dari sel mononuclear perifer terinfeksi.

Antigen p24 serum atau plasma: peningkatan nilai kuantitatif dapat menjadi indikatif

dari kemajuan infeksi (mungkin tidak dapat dideteksi pada tahap sanagt awal infeksi HIV)

Penentuan immunoglobulin G, M, dan A serum kualitatif (IgG, IgN, dan IgA): Bukan

diagnostic pada bayi baru lahir tetapi memberikan data dasar imunoogis.

Diagnosis pada Bayi dan Anak


Bayi yang tertular HIV dari ibu bisa saja tampak normal secara klinis selama periode neonatal.
Penyakit penanda AIDS tersering yang ditemukan pada anak adalah pneumonia yang
disebabkan Pneumocystis carinii. Gejala umum yang ditemukan pada bayi dengan ifeksi HIV
adalah gangguan tumbuh kembang, kandidiasis oral, diare kronis, atau hepatosplenomegali
(pembesaran hapar dan lien)[17].
Karena antibody ibu bisa dideteksi pada bayi sampai bayi berusia 18 bulan, maka tes
ELISA dan Western Blot akan positif meskipun bayi tidak terinfeksi HIV karena tes ini
berdasarkan ada atau tidaknya antibody terhadap virus HIV. Tes paling spesifik untuk
mengidentifikasi HIV adalah PCR pada dua saat yang berlainan. DNA PCR pertama diambil saat
bayi berusia 1 bulan karena tes ini kurang sensitive selama periode satu bulan setelah lahir. CDC

merekomendasikan pemeriksaan DNA PCR setidaknya diulang pada saat bayi berusia empat
bulan. Jika tes ini negative, maka bayi terinfeksi HIV. Tetapi bila bayi tersebut mendapatkan ASI,
maka bayi resiko tertular HIV sehingga tes PCR perlu diulang setelah bayi disapih. Pada usia 18
bulan, pemeiksaan ELISA bisa dilakukan pada bayi bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang
lain[17].
Anak-anak berusia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis dengan menggunakan kombinasi
antara gejala klinis dan pemeriksaan laboratorium. Anak dengan HIV sering mengalami infeksi
bakteri kumat-kumatan, gagal tumbuh atau wasting, limfadenopati menetap, keterlambatan
berkembang, sariawan pada mulut dan faring. Anak usia lebih dari 18 bulan bisa didiagnosis
dengan ELISA dan tes konfirmasi lain seperti pada dewasa. Terdapat dua klasifikasi yang bisa
digunakan untuk mendiagnosis bayi dan anak dengan HIV yaitu menurut CDC dan WHO[17].
CDC mengembangkan klasifikasi HIV pada bayi dan anak berdasarkan hitung limfosit
CD4+ dan manifestasi klinis penyakit. Pasien dikategorikan berdasarkan derajat imunosupresi (1,
2, atau 3) dan kategori klinis (N, A, B, C, E). Klasifikasi ini memungkinkan adanya surveilans
serta perawatan pasien yang lebih baik. Klasifikasi klinis dan imunologis ini bersifat eksklusif,
sekali pasien diklasifikasikan dalam suatu kategori, maka diklasifikasi ini tidak berubah
walaupun terjadi perbaikanstatus karena pemberian terapi atau factor lain[17].
Menurut Depkes RI (2003), WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah
penularan HIV dari ibu ke anak dan anak, yaitu dengan mencegah jangan sampai wanita
terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah dengan HIV/AIDS dicegah supaya tidak hamil, apabila
sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular pada bayi dan anaknya, namun bila ibu
dan anak sudah terinfeksi maka sebaiknya diberikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan
keluarga[17].
Uji HIV pada Wanita Hamil
CDC telah merekomendasikan skrining rutin HIV secara suka rela pada ibu hamil sejak tahun
2001. Banyak dokter telah mengadopsi kebijakan universal opt-out skrining HIV (yang berarti
bahwa pengujian adalah otomatis kecuali jika wanita secara khusus memilih untuk tidak di uji)
pada wanita hamil selama tes kehamilan rutin dan telah dieliminasi persyaratan untuk konseling
sebelum uji dilakukan dan persetujuan tertulis untuk tes HIV. Penelitian dianalisis oleh Angkatan

US Preventive Services Task mengungkapkan bahwa pada tahun 1995 tingkat tes HIV di antara
wanita hamil di Amerika Serikat adalah 41% 9 (dianjurkan dilakukan tes universal pada tahun
pertama kehamilan) dan meningkat menjadi 60% pada 1998. Pada tahun 2005, di negara bagian
dan provinsi Kanada yang telah menerapkan pengujian "opt-out", angka tes HIV di antara
perempuan hamil berkisar antara 71% sampai 98%, dibandingkan dengan 15% menjadi 83%
dalam keadaan dan provinsi yang memiliki Kebijakan opt-in yang membutuhkan seorang
wanita untuk secara khusus meminta tes HIV[6].
Identifikasi dini pada wanita hamil memungkinkan untuk pemberian pengobatan terapi
antiretroviral untuk mendukung kesehatan dan mengurangi risiko penularan bayinya. Tes HIV
direkomendasikan Tes HIV direkomendasikan untuk semua wanita hamil pada kunjungan
prenatal pertama. Tes HIV kedua, selama trimester ketiga sebelum 36 minggu kehamilan, juga
dianjurkan bagi wanita yang berisiko, tinggal di daerah prevalensi HIV tinggi, atau memiliki
tanda-tanda atau gejala yang konsisten dengan infeksi HIV akut[6].
Jika seorang wanita yang berstatus HIV belum didokumentasikan ketika dia tiba saat persalinan
dan melahirkan, tes cepat HIV harus ditawarkan. Jika hasil tes awal positif, segera inisiasi ARV
profilaksis yang tepat intravena harus direkomendasikan tanpa menunggu konfirmasi hasil. Jika
wanita menolak pengujian, bayi baru lahir harus menerima pengujian cepat sesegera mungkin
setelah lahir sehingga profilaksis antiretroviral dapat ditawarkan jika terdapat indikasi[6].

2.7 Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian makanan untuk
bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian makanan bayi dalam konteks
HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara khusus, telah dilaporkan bahwaantiretroviral
(ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang terpapar HIVsecara signifikan
dapat mengurangi risiko penularan HIV pasca kelahiran melalui menyusui. Bukti ini memiliki
implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang hidup dengan HIV mungkin dapat memberi
makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-

sama, intervensi ASI dan ARV memiliki potensi secara signifikan untuk meningkatkan peluang
bayi bertahan hidup sambil tetap tidak terinfeksi HIV[19].
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya, mereka
mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan merekomendasikan bahwa
otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan praktik pemberian makan bayi, seperti
menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk mengurangi transmisi atau menghindarimenyusui,
harus dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka. Hal ini berbeda
dengan

rekomendasi

sebelumnya

di

mana

petugas

kesehatan

diharapkan

untuk

memberikan nasihat secara individual kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang berbagai
macam pilihan pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara untuk
pemberian makanan bayinya[19].
Dimana otoritas nasional mempromosikan pemberian ASI dan ARV, ibu yang diketahui
terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka setidaknya sampai usia
12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan kecuali jikadapat
diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (AFASS) [19].
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang ada dalam
darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa dipilih untuk
negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan diberikan 200mg dosis
tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir dosis tunggal.
Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36 minggu
2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung [17].

Intervensi Terapetik Antiretrovirus


Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai harapan dalam proses
masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus, memanipulasi gen virus untuk mengendalikan
produksi protein virus, membangun kembali sistem imun, mengkombinasikan terapi, dan
mencegah resistensi obat. Dua pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan kadar RNA
HIV serum, digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan penyakit dan

menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat. Hitung sel T
CD4+ memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang sekarang, sedangkan
kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis klinis (status hitung sel T CD4+
dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan/ml (2x104) dianggap oleh banyak
pakar sebagai indikasi untuk memberikan terapi antiretrovirus berapa pun hasil hitung sel T
CD4+. Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum sangat bermanfaat untuk
mengetahui

laju perkembangan

penyakit,

angka

pergantian

virus,

hubungan

antara

pengaktivasian sistem imun dan replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi obat antiretrovirus
disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV[20].
Tujuan utama terapi antivirus adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan jumlah
virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan kualitas
hidup, dan pengurangan morbiditas an mortalitas HIV[20].
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV[20]
1.

replikasi HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem imun rusak dan

berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan kesintasan jangka-panjang sejati
yang bebas dan disfungsi sistem imun sagat jarang terjadi.
2.

Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan berkaitan

dengan laju destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh HIV, perlu dilakukan
pengukuran periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+ untuk menentukan
factor risiko perkembangan penyakit serta mengetahui saat yang tepat untuk memulali atau
memodifikasi regimen terapi antiretrovirus
3.

Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang yang terinfeksi HIV,

maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per orang berdasarkan tingkat
risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+.
4.

Pemakaian terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan replikasi HIV

dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-pemeriksaan RNA HIV plasma yang
sensitive akan membatasi kemungkinan munculnya varian-varian HIV resisten-penyakit. Karena
itu, tujuan terapi seyogyanya adalah penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat dicapai.

5.

Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka panjang lama dalah

pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV yang efektif yang belum pernah
diterima oleh pasien dan tidak memperlihatkan resistensi silang dengan obat antiretrovirus yang
pernag diterima oleh pasien.
6.

Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi harus selalu

dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.


7.

Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang tersedia masih

terbatas, karena telah terbukti adanya resistensi-silang di antara obat-obat spesifik. Karena itu,
setiap perubahan dalam terapi antiretrovirus meningkatkan pembatasan-pembatasan terapetik di
masa mendatang.
8.

Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa memandang

status kehamilan.
9.

Prinsip terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan dewasa

yang terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi oleh HIV memerlukan
pertimbangan farmakologik, virologik, dan imunologik tersendiri.
10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi dengan terapi
antiretrovirus kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar batas deteksi
pemeriksaan pemeriksaan RNA HIV plasma sensitive.
11. Individu yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang dibawah batas
yang dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan demikian, para pasien harus diberi
penyuluhan untuk menghindari perilaku seksual dan penyalahgunaan obat yang berkaitan dengan
penularan atau akuisisi HIV dan pathogen menular lainnya.

Tabel 1. Rekomendasi untuk pengobatan antiretroviral infeksi HIV selama kehamilan[21]


Kelas Obat

Rekomendasi

Direkomendasika

NRTI

Zidovudine, lamividine

n
Agen Pengganti

Didanosine,bemtricitabin

NNRTI

Protease inhibitor

Entry

Integrase

inhibitor

inhibitor

...

...

...

...

Atazanavir,

Enfuvirtide

Raltegravi

darunavir,

, maraviroc

...

...

Nevirapine

Lopinavir/ritonavi

...

Indinavir,

e, stavudine,b abacavir

ritonavil,
saquinavir
gel

hard
capsule,

nelvinafire
Ketidakcukupan

Tenofovir

...

Data

fosamprenavir,
tipranavir
Tidak

...

Direkomendasika

Efavirenz,

...

delavirdine

n
Catatan. NNRTI, nonnukleoside reverse-transcriptase inhibitor; NRTI, nukleoside reservetranscriptase inhibitor.
a

Sebaiknya hanya digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4 > 250sel/mm3 jika

manfaatnya lebih banyak dari pada risiko yang berhubungan dengan hepatotoxicity.
b

Didanosine dan stavudine sebaiknya tidak digunakan dalam kombinasi lainnya

Regimen Pengobatan yang Direkomendasikan dan Regimen yang Dihindari


Obat yang direkomendasikan yaitu zidovudine (ZDV) yang menjadi bagian dari beberapa
regimen untuk pengobatan wanita hamil, kecuali terdapat dokumentasi riwayat keparahan ZDVberhubungan dengan toksisitas atau resisten. Untuk wanita yang memiliki riwayat keracunan
ZDV atau resisten, regimen sebaiknya termasuk sedikitnya 1 obat antiretroviral yang melewati
plasenta untuk memberikan fetus preexposure prophylaxis. Obat antiretroviral lainnya yang

melewati plasenta manusia termasuk didanosine, lamivudine (3TC), tenofovir, nevirapine (NVP),
dan lopinavir. Beberapa dari inhibitor protease juga memiliki variabel yang sedikit ke bagian
plasenta[21].
Ketika memilih regimen yang sesuai untuk wanita hamil, kombinasi regimen
antiretroviral terdiri dari 3 obat yang direkomendasikan. Pada umumnya, prinsip pedoman
pengobatan untuk wanita yang tidak hamil sebaiknya benar-benar dipertimbangkan. Harus
terdapat dua kekuatan inhibitor nukleosida reverse-transkriptase dengan inhibitor nonnukleosida
reverse-transkriptase atau inhibitor pratease yang cocok (tabel 1). Efavirenz pada umumnya
dihindari selamas trimester pertama kehamilan karena menyangkut teratogenitas. NVP tidak
direkomendasikan untuk wanita dengan jumlah sel CD4 >250 sel/mm3 karena meningkatkan
risiko terjadinya ruam dan hepatotoksik. Tetapi jika si wanita telah toleransi terhadap NVPterdiri dari regimen sebelumnya saat kehamilan, regimen ini sebaiknya dilanjutkan selama
kehamilan[21].
Kombinasi dari stavudine dan didanosine sebaiknya dihindari selama kehamilan karena
berpotensi menyebabkan toksisitas mitokondrial dan asidosis laktat. Pada umumnya, monoterapi
sebaiknya dihindari selama kehamilan karena berpotensi dalam menyebabkan perkembanagan
resistensi antiretroviral. Pengobatan ZDV intravena intrapartum direkomendasikan untuk semua
wanita yang terinfeksi HIV kecuali terdapat riwayat hipersensitif terhadap ZDV[21].
Yang paling utama, dan mungkin sangat penting, langkah dalam mencegah MTCT
merupakan uji umum HIV dari seemua wanita yang hamil untuk diidentifikasi mana yang
berisiko menularkan virus untuk janinnya. Di negara berkembang, terapi kombinasi antiretroviral
direkomendasikan selama masa kehamilan tanpa memperhatikan jumlah sel CD4 atau jumlah
virus untuk menurunkan risiko penularan HIV kepada fetus. Jadwal operasi caesar
direkomendasikan untuk wanita hamil dengan muatan plasma RNA HIV > 1000 kopi/ mL. Di
United States dan negara berkembang lainnya, hindarkan pemberian air susu direkomendasikan
untuk menurunkan lebih lanjut risiko penularan perinatal. Dari sumber- negara terbatas,
penelitian yang sederhana dan singkat dari regimen antiretroviral juga berperan dalam
mengurangi transmisi MTCT. Terapi yang optimal untuk infeksi maternal dalam kehamilan, dan
perawatan untuk janin akan sukses dengan pendekatan multidisiplin untuk merawat wanita hamil
yang terinfeksi HIV[21].

Keterangan untuk obat yang digunakan pada pasien HIV/AIDS[23]:


3TC (nama dagang)
Lamivudine 150 mg
Indikasi: pengobatan HIV pada dewasa dengan progresive immunodefeciency dengan atau tanpa
pengobatan sebelumnya dengan antiretroviral, infeksi HIV pada anak-anak (umur 3 bulan)
dengan progresif immunodefeciency dengan atau tanpa pengobatan sebelumnya dengan retrovir
Norvir (nama dagang)
Ritonavir
Indikasi: monoterapi untuk infeksi HIV.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas
Efek samping: astenia, gangguan GI dan neurologi, termasuk mual, muntah, diare, anoreksia,
nyeri abdomen, gangguan pengecapan, prestesis perifer dan sirkum oral
Dosis: kapsul/solid sehari 2 x 600mg
Reyataz (nama dagang)
Atazanavir sulfat
Indikasi: terapi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain.
Kontra indikasi: hipersensitifitas terhadapa atazanavir, kombinasi dengan midazolam,
dihiroergotamin, ergotamin, ergonovin, metilergonovin, cisapride, dan pimozid.
Efek samping: skit kepala, mual, ikterus, muntah, diare, nyeri abdomen, pusing, insomnia,
gangguan saraf perifer, ruam kulit.
Dosis: dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi) sehari 1 x 400mg, dewasa (pasien
yang sudah pernah mendapat terapi) sehari 1 x 300mg, pasien ditambah dengan ritnovir sehari 1
x 100mg + efavirenz.

Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan obat anti-HIV
dimana menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi virus HIV kepada janin dengan
cara penggunaan sebagai berikut[23]:

selama kehamilan setelah trimester pertama: dengan memberikan anti-HIV sedikitnya

tiga anti-HIV yang berbeda yang dikombinasikan (atripla).

selama labor dan persalinan: diberikan AZT (zidovudine) IV, kemudaian diberikan

anti-HIV yang lain melalui mulut.

setelah melahirkan: diberikan cairan AZT selama 6 minggu.

2.8 Pencegahan
Penularan HIV dari ibu ke bayi bisa dicegah melalui empat cara, mulai saat hamil, saat
melahirkan, dan setelah lahir yaitu[17]:
-

Penggunaan antiretroviral selama kehamilan

Penggunaan antiretroviral saat perasalinan dan bayi bayi yang baru dilahirkan

Penatalaksanan selama menyusui

Bayi dari ibu yang terinfeksi HIV memperlihatkan antibody terhadap virus tersebut hingga 10
sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus plasenta. Karena
itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG ,erupakan hal yang sia-sia,
karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari antibody ibu. Sebagian besar dari bayi
ini, seiring dengan waktu, akan berhenti memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk
sendiri antibody terhadap virus, yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV
sejati dapat diketahui melalui pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau
analisis PCR untuk RNA atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan
karena sensitive untuk mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus[20].

Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum diketahui pasti.
Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak menyusui dan tidak
diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi serupa di negara-negara yang
sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi HIV pada bayi terjadi in utero dan
80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan pascapartus dapat terjadi melalui
kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan tambahan risiko 15% penularan perinatal[20].
Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit ibu yang
lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah. Pada tahun
1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG) membuktikan bahwa
pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV mengurangi penularan ibu ke
bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika Serikat, insiden AIDS yang
ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai 1997 akibat uji HIV ibu
prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan merupakan sekitar 20%
dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum minoritas (Amerika Afrika dan
keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85% dari seluruh kasus AIDS. Selain
pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama masa hamil, tindakan-tindakan lain
yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV ibu kepada anak antaea lain[20]:
1.

seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka

penularan sebesar 50%);


2.

pemberian zidovudin intravena selama persalinan dan pelahiran;

3.

pemberian sirup zidovudin kepada bayi setelah lahir;

4.

tidak memberi ASI

Data menunjukkan bahwa perkembangan penyakit mengalami percapatan pada anak. Fase
asimptomatik lebih singkat pada anak yang terjangkit virus melalui penularan vertical. Waktu
median sampai awitan gejala lebih kecil pada anak, dan setelah gejala muncul, progresivitas
penyakit menuju kematian dipercepat. Pada tahun 1994, CDC merevisi sistem klasfikasi untuk
infeksi HIV pada anak berusia kurang dari 13 tahun. Pada sistem ini, anak yang terinfeksi

diklasifikasikan menjadi kategori-kategori berdasarkan tiga parameter: status infeksi, status


klinis, dan status imunologik[20]
Perjalanan infeksi HIV pada anak dan dewasa memiliki kemiripan dan perbedaan. Pada anak
sering terjadi disfungsi sel B sebelum terjadi perubahan dalam jumlah limfosit CD4+. Akibat
disfungsi sistem imun ini, anak rentan mengalami infeksi bakteri rekuren. Invasi oleh pathogenpatogen bakteri ini menyebabkan berbagai sindrom klinis pada anak seperti otitis media,
sinusitis, infeksi saluran kemih, meningitis infeksi pernapasan, penyakit GI, dan penyakit
lain[20].
Seluruh
karenahuman

dunia,

pada

immunodeficiency

diperolehmelaluimotherto-child
antara280dan

2008,diperkirakan 430.000[240.000-610.000]
virus(HIV)

transmission

360.000.000 diperolehselama

terjadi
(MTCT)

persalinan

pada
HIV.

anak-anak,

infeksibaru
yang

90%

Dari 430.000 infeksi

baru,

danpada

periodepra-melahirkan.

Dariinfeksi baruyang tersisa,sebagian besardiperolehselama menyusui.Padabayi yangterjangkit


HIVselama waktu persalinan, perkembangan penyakitterjadi sangat cepatdalam beberapa
bulanpertama

kehidupan,

sering

menyebabkan

kematian.

Untuk

mengaktifkanantiretroviral(ARV) profilaksisharus diberikan kepada bayi sesegera mungkin


setelah lahir, semua bayi yang memiliki status pajanan HIV harus diketahui sejak lahir[24].
Data terbaru yang diterbitkan mengkonfirmasi manfaat kelangsungan hidup dramatis bagi
bayi yang mulai diberikan ART sedini mungkin setelah diagnosis HIV, diperoleh dari review
Organisasi Kesehatan Dunia(WHO) pedoman pengobatan pediatrik. PadaJuni 2008, pedoman
baru dikeluarkan, yang merekomendasikan inisiasi ART segera pada bayi didiagnosis dengan
infeksi HIV. Dalam rangka untuk mengidentifisikan bayi yang akan membutuhkan ART segera,
konfirmasi awal dari infeksi HIV diperlukan. Pada November 2008, pertemuandiadakan
untukmeninjaurekomendasioleh WHOuntuk pengujiandiagnostikinfeksi HIVpada bayidan anakanak[24].

Asuhan Keperawatan

I.Pengkajian.
1.Riwayat : tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2.Penampilanumum : pucat, kelaparan.

3.Gejala

subyektif : demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari berulang
kali,

lemah,

lelah,

tidur.
dan

anoreksia,

BB

4.Psikososial
penghasilan,

perubahan pola

hidup,

menurun,
:

sulit

kehilangan

ungkapkan

perasaan

meringis.
atau

nyeri,

5.Status

pekerjaan

takut,
mental

cemas,
:

marah

pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl, hilang interest

pada lingkungan sekitar, gangguan prooses piker, hilang


konsentrasi,

memori, gangguan atensi dan

halusinasi

dan

delusi.

6.HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir atau
mulut,

mulut

kering,

7.Neurologis :gangguan

suara

berubah,

disfagia,

refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan , kaku kuduk,

kejang,
8.Muskuloskletal
9.Kardiovaskuler

epsitaksis.

paraplegia.
:

focal
;

motor

takikardi,

deifisit,
sianosis,

lemah,

tidak

hipotensi,

mampu
edem

melakukan
perifer,

ADL.

dizziness.

10.Pernapasan : dyspnea, takipnea, sianosis, SOB, menggunakan otot Bantu pernapasan, batuk
produktif

atau

non

produktif.

11.GI : intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia,

perut

kram,

12.Gu

hepatosplenomegali,

lesi

atau

eksudat

kuning.
pada

genital,

13.Integument : kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

II.Diagnosa keperawatan

1.Resiko

tinggi infeksi berhubungan dengan

imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang

beresiko.
2.Resiko

tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan

nonopportunisitik
3.Intolerans

dengan infeksi HIV, adanya infeksi

yang

dapat

aktivitas berhubungan dengan

ditransmisikan.

kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,

kelelahan.
4.Perubahan

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,

meningkatnya

kebutuhan

5.Diare

metabolic,

berhubungan

dan

menurunnya

dengan

absorbsi

zat

gizi.

infeksi

GI

6.Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang

orang

dicintai.

III.Intervensi keperawatan.
Diagnosa

keperawatan

Resiko

tinggi infeksi berhubungan

dengan imunosupresi,

malnutrisi dan pola

hidup yang beresiko.


Intervensi
Keperawatan
tanda-tanda

1.Monitor
infeksi

2.gunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif.


meberikan

baru.
Cuci tangan

sebelum

tindakan.
3.Anjurkan

pasien

4.Kumpulkan

metoda

mencegah

spesimen

terpapar

untuk

terhadap
tes

lingkungan
lab

yang

sesuai

patogen.
order.

5.Atur pemberian antiinfeksi sesuai order


Rasional

1.U

ntuk

pengobatan

2.Mencegah

pasien

terpapar

sakit.

3.Mencegah

oleh

kuman

dini

patogen

yang

diperoleh

di

rumah

bertambahnya

infeksi

4.Meyakinkan diagnosis akurat dan

pengobatan

5.Mempertahankan kadar darah yang terapeutik

Pasien akan bebas infeksi oportunistik dan


kriteria
hasil

komplikasinya

engan kriteria tak ada tanda-tanda infeksi baru, lab tidak ada infeksi oportunis, tanda vital
dalam batas normal, tidak ada luka atau eksudat.
Diagnosa
2
o

Resik
tinggi

infeksi (kontak pasien)

berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi

nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.


Intervensi
jurkan

pasien

1.An
atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan kuman

patogen

lainnya.

2.Gunakan

darah

pasien.

dan

cairan

tubuh

precaution

bial

merawat

Rasional

1.Pasien

dan

ini

keluarga

mau

dan

memerlukan

informasikan

2.Mencegah transimisi infeksi HIV ke orang lain

Kriteria
Hasil

Infeksi HIV

tidak

ditransmisikan,

tim

dengan kriteriaa kontak

kesehatan

memperhatikan

universal

precautions

pasien dan tim kesehatan tidak terpapar HIV, tidak terinfeksi

patogen lain seperti TBC.


Diagnosa

Intolerans

aktivitas

berhubungan

dengan kelemahan,

pertukaran

oksigen,

malnutrisi, kelelahan.
Intervensi

1.Monitor
2.Berikan

respon
bantuan

perawatan

fisiologis
yang

terhadap
pasien

sendiri

aktivitas
tidak

mampu

3.Jadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.


Rasional :

1.R

espon bervariasi dari hari ke hari

2.Mengurangi

kebutuhan energi

3.Ekstra istirahat perlu

jika karena meningkatkan kebutuhan metabolik


Kriteri Hasil :
Pasien berpartisipasi dalam kegiatan, dengan kriteria bebas dyspnea dan takikardi selama
aktivitas.

Diagnosa 4
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
Intervensi :
1.Monitor

kemampuan

2.Monitor

BB,

3.Atur

mengunyah

dan

intake

antiemetik

4.Rencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

dan
sesuai

menelan.
ouput
order

Rasional :
1.Intake

menurun

dihubungkan

dengan

2.Menentukan

nyeri

tenggorokan

dan

mulut

data

dasar

3.Mengurangi

muntah

4Meyakinkan bahwa makanan sesuai dengan keinginan pasien


Krtiteria Hasil :
Pasien mempunyai intake kalori dan protein yang adekuat untuk memenuhi kebutuhan
metaboliknya dengan kriteria mual dan muntah dikontrol, pasien makan TKTP, serum albumin
dan protein dalam batas n ormal, BB mendekati seperti sebelum sakit.
Diagnosa 5
Diare berhubungan dengan infeksi GI
Intervensi
1.Kaji

konsistensi

dan

frekuensi

2.Auskultasi
3.Atur

feses

dan

adanya

darah.

bunyi

agen

antimotilitas

dan

psilium

usus
(Metamucil)

sesuai

order

4.Berikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside


Rasional
1.Mendeteksi

adanya

darah

feses

2..Hipermotiliti

3.Mengurangi

motilitas

usus,

yang

pelan,

emperburuk

dalam
mumnya

perforasi

dengan
pada

diare

intestinal

4.menghilangkan distensi
Kriteriaa hasil :
Pasien merasa nyaman dan mengnontrol diare, komplikasi minimal dengan kriteria
perut lunak, tidak tegang, feses lunak dan warna normal, kram perut hilang,
Diagnosa 6

Tidak efektif

koping

keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang

orang dicintai.
Intervensi :
1.Kaji

koping

2.Biarkan

keluarga

keluarga

terhadap

sakit

mengungkapkana

pasein

dan

perasaan

perawatannya

secara

verbal

3.Ajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.


Rasional :
1.Memulai

suatu

2.Mereka

tak

hubungan
menyadari

dalam

bekerja

bahwa

secara
mereka

konstruktif
berbicara

dengan
secara

keluarga.
bebas

3.Menghilangkan kecemasan tentang transmisi melalui kontak sederhana.


Krtiteria Hasil :
Keluarga atau orang penting lain mempertahankan suport sistem dan adaptasi terhadap
perubahan akan kebutuhannya dengan kriteria pasien dan keluarga berinteraksi dengan cara yang
konstrukt
IV. Implentasi
DX.
1

1.Memonitor

tanda-tanda

infeksi

baru.

2.Menggunakan teknik aseptik pada

setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum


meberikan

tindakan.

3.Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang patogen.


4.Mengumpulkan

spesimen

untuk

5.Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai order

DX.2

tes

lab

sesuai

order.

1.Menganjurkan

pasien

atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV dan

kuman

patogen

lainnya.

2.Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien.

DX.3
1.Memonitor

respon

2.Memberikan

bantuan

fisiologis

perawatan

yang

terhadap
pasien

aktivitas

sendiri

tidak

mampu

3.Menjadwalkan perawatan pasien sehingga tidak mengganggu isitirahat.

DX.4
1.Memonitor

kemampuan

2.Memonitor

BB,

3.Mengatur

mengunyah

dan

intake

menelan.

dan

antiemetik

ouput

sesuai

order

4.Merencanakan diet dengan pasien dan orang penting lainnya.

DX.5
1.Mengkaji

konsistensi

dan

frekuensi

2.Mengauskultasi
3.Mengatur

feses

dan

adanya

bunyi

agen

antimotilitas

dan

psilium

darah.
usus

(Metamucil)

sesuai

order

4.Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside

DX.6
1.Mengkaji
2.Membiarkan

koping

keluarga

keluarga

terhadap

sakit

mengungkapkana

pasein
perasaan

3.Mengajarkan kepada keluaraga tentang penyakit dan transmisinya.

dan

perawatannya

secara

verbal

V. Evalusi
Setelah di berikan asuhan keperawatan kepada klien, kebutuhan klien sedikit demi sedikit
terpenuhi.

BAB

III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
AIDS adalah suatu penyakit retrovirus epidemik menular, yang disebabkan oleh infeksi
HIV, yang pada kasus berat bermanifestasi sebagai depresi berat imunitas seluler, dan mengenai
kelompok risiko tertentu, termasuk pria homoseksual atau biseksual, penyalahgunaan obat
intravena, penderita hemofilia, dan penerima transfusi darah lainnya, hubungan seksual dari
individu yang terinfeksi virus tersebut.

3.2 Saran
Semoga Makalah ini dapat berguna bagi penyusun dan pembaca. Kritik dan saran
sangat diharapkan untuk pengerjaan berikutnya yang lebih baik

DAFTAR PUSTAKA

1.

Hartati Nyoman, Suratiah, Mayuni IGA Oka. Ibu Hamil dan HIV-AIDS. Gempar:

Jurnal Ilmiah Keperawatan Vol. 2 No.1 Juni 2009.


2.

Doku Paul Narh. Parental HIV/AIDS status and death, and Childrens Phychological

Wellbeing. International Journal of Mental Health system 2009;3(26):1-8


3.

Siregar FA. Pengenalan dan Pencegahan HIV-AIDS. Medan. Universitas Sumatera

Utara, 2004.
4.

Heemanides HS, Lonneke AVV, Ralph V, Fred DM, Aimee D, Gerard VO, et all.

Developinh quality indicators for the care of HIV-infected pregnant women in the Dutch
Caribbean. Aids Research and Therapy 2011; 8(32) : 1-9.
5.

Wamoyi J, Martin M, Janet S, Josephine B, Shabbar J. Changes in sexual desires and

behaviours of people living with HIV after initiation of ART: Implications for HIV prevention
and health promotion. BMC Public Health 2011; 11(633): 1-11.
6.

Bradley-Springer L, Lyn S, Adele W. Every Nurse Is an HIV Nurse. AJN

2010;110(3):33-39.
7.

Bastien S, LJ Kajula, WW Muhwezi. A review of studies of parent-child

communication about sexuality and HIV/AIDS in sub-Saharan Africa. Reproductive Health


2011;8(25):1-17.
8.

Anonymous. HIV/ AIDS. WHO. 2010

9.

Dorland WAN. 2010. Kamus Kedokteran Dorland Edisi 31. Jakarta: EGC.

10. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Harrison: Prinsip- Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam Vol. 1 (Edisi 13). 1995.

11. Walter J, Linda F, Melanie JO, William DD, Theresa G, Alice S, et


all. Immunomodulatory factors in cervicovaginal secretions from pregnant and non-pregnant
women: A cross-sectional. BMC Infectious Disease 2011; 11(263): 1-7.
12. Anonymous. 2007. Rencana Nasional Penanggulangan HIV-AIDS di Indonesia 20072010. Jakarta: Komisi Penanggulangan AIDS.
13. Susanti NN. Psikologi Kehamilan. Jakarta: EGC, 2000.
14. Hanafiah MJ, Amir A. Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan Edisi 4. EGC: Jakarta.
2007.
15. Hartati N, Suratiah, Iga OM. Ibu hamil dengan HIV-AIDS. Gempar: Jurnal Ilmiah
Keperawatan. 2009:2:1.
16. Bobak, Lowdermik, Jensen. 2005. Buku Ajar Keperawatan Maternitas Edisi 4. Jakarta:
EGC.
17. Nursalam, Kurniawan ND. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi. Jakarta:
Penerbit Salemba Medika
18. Doengoes ME & Mary Drances Moorhouse. 2001. Rencana Perawatan Maternal/Bayi
Edisi 2. Jakarta: EGC.
19. Anonymous. Guidelines

on HIV and

infant

feeding

2010

Principles

and

recommendations for infant feeding in the context of HIV and a summary of evidence. WHO.
2010.
20. Price SA, Lorraine MW. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi
6 Volume 1. Jakarta: EGC.
21. Anderson Brena L, Uvin Susan Cu. Pregnancy and optimal care of HIVInfected Patients. Clinical Infectious Diseases, 2009; 48: 449-55.
22. Anonymous. 2010. HIV

and

Pregnancy:

anti-HIV

medications

for

Pregnancy.AIDS info: A service of the U.S. Department of Health and Human Service.

Use

in

23. Anonymous. 2009. ISO indonesia. Jakarta: Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.
24. Anonymous. 2010. WHO recommendations on the diagnosis of HIV infection in infant
and children. WHO.
25. Trsetianingsih Y. 2011. Keperawatan Ibu Hamil. Yogyakarta: Program Studi Ilmu
Keperawatan STIKES A. Yani.
26. Wiley, Blackwell. Nursing Dianoses Definition and Classification 2009-2011. 2009.
United States of America: Mosby Elsevier.
27. Moorhead S, Johnson M, Maas ML, Swanson E. 2009. Nursing Outcome Classification
(NOC) Fourth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.
28. Bulechek GM, Butcher HK, Dochterman JM. 2009. Nursing Interventions Classification
(NIC) Fifth Edition. United States of America: Mosby Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai