Anda di halaman 1dari 30

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MARET 2021


UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

HIPERBILIRUBINEMIA

Oleh :
Muh. Hamzah Rizal Kunu
111 2020 1012

Pembimbing :
Dr. dr. Ema Alasiry, Sp.A(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK PADA


BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan dibawah ini menyatakan bahwa :


Nama : Muh. Hamzah Rizal Kunu
NIM : 111 2020 1012
Universitas : Universitas Muslim Indonesia
Laporan Kasus : Hiperbilirubinemia

Adalah benar telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik berjudul


Hiperbilirubinemia dan telah disetujui serta telah dibacakan dihadapan supervisor
pembimbing dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian Ilmu Kesehatan Anak
Rumah Sakit I bnu Sina Makassar Fakultas Kedokteran Universitas Muslim
Indonesia.

Makassar, Maret 2021


Supervisor Pembimbing

Dr. dr. Ema Alasiry, Sp.A(K)

2
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Subhanahuwa Ta’ala atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini sebagai salah satu
tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Muslim Indonesia.

Dalam referat ini penulis melakukan pembahasan mengenai


“Hiperbilirubinemia”. Kami sangat menyadari bahwa penulisan referat ini belum
mencapai sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu, kami dengan penuh harap beberapa
saran dan kritik saudara saudari yang dapat memperbaiki penulisan selanjutnya. Baik
yang kami tulis sendiri atau orang lain.

Akhir kata, semoga penulisan ini dapat memberikan sumbangsih bagi


keilmuan baik bagi diri sendiri, institusi terkait, dan masyarakat umum.

Makassar, Maret 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...........................................................................................1

HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................2

KATA PENGANTAR.........................................................................................3

DAFTAR ISI.......................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................6

2.1 Definisi..........................................................................................................6

2.2 Epidemiologi.................................................................................................6

2.3 Etiologi..........................................................................................................7

2.4 Patofisiologi...................................................................................................9

2.5 Klasifikasi....................................................................................................12

2.6 Diagnosis ....................................................................................................14

2.7 Tatalaksana..................................................................................................17

2.8 Komplikasi..................................................................................................24

2.9 Prognosis.....................................................................................................25

BAB III KESIMPULAN................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................28

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hiperbilirubinemia merupakan keadaan normal pada bayi baru lahir selama

minggu pertama, karena belum sempurnanya metabolisme bilirubin bayi. Keadaan ini

disebabkan oleh gabungan peningkatan katabolisme heme dan imaturitas fisiologis

hepar dalam konjugasi dan ekskresi bilirubin.. Secara fisiologis, kadar bilirubin akan

meningkat setelah lahir, lalu menetap dan selanjutnya menurun setelah usia 7 hari.

Meskipun demikian, 3%-5% neonatus yang mengalami hiperbilirubinemia

merupakan proses patologis yang berisiko tinggi terhadap terjadinya

kernicterus.Hiperbilirubinemia adalah gangguan yang mengancam nyawa pada bayi

baru lahir. Kondisi ini disebabkan oleh kelainan multifaktorial dengan banyak gejala

yang dapat ditimbulkan. Di Indonesia, hiperbilirubinemia merupakan masalah pada

bayi baru lahir yang sering dihadapi tenaga kesehatan itu terjadi pada sekitar 25-50%

bayi cukup bulan.. Hiperbilirubinemia pada neonatus merupakan kondisi yang sering

ditemukan. Sekitar 60-70% terjadi pada neonatus cukup bulan dan 80% pada

neonatus kurang bulan mengalami ikterus dalam minggu pertama kehidupan. 1,2,3

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Hiperbilirubinemia adalah meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang

terjadi pada bayi baru lahir. Hiperbilirubinemia didefinisikan sebagai kadar bilirubin

serum total ≥5 mg/dL (86 μmol/L), ditandai dengan kuning pada kulit, konjungtiva,

dan mukosa. Adapun yang menyebutkan bahwa Hiperbilirubinemia adalah terjadinya

peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang

diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90.1,3,4

2.2 Epidemiologi

Setiap tahun, 65% dari 4 juta neonatus di Amerika Serikat menderita

hiperbilirubinemia pada minggu pertama hidupnya. Di Malaysia, 75% neonatus

menderita hiperbilirubinemia pada tahun 1998. Di Indonesia, pada tahun 2007,

kejadian hiperbilirubinemia neonatal bervariasi Di antara beberapa rumah sakit

pendidikan di RSU Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta melaporkan terdapat 58%

kasus hiperbilirubinemia yaitu 38% neonatus yang baru lahir menderita

hiperbilirubinemia. RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan 22,8% neonatus menderita

hiperbilirubinemia, dan RS Dr Sutomo di Surabaya 33% neonatus menderita

hiperbilirubinemia.5 Insiden lainnya di RSCM, RS. Dr. Sardjito, RS Dr. Soetomo, RS.

Dr. Kariadi bervariasi antara 13,7% hingga 85%. Berdasarkan data registrasi

6
neonatologi bulan Desember 2014 sampai November 2015 di Rumah Sakit Umum

Pusat Sanglah kota Denpasar Bali, diantara 1093 kasus neonatus yang dirawat,

didapatkan 165 (15,09%) kasus dengan ikterus neonatorum.1

2.3 Etiologi

The American Academy of Pediatrics (AAP) menyatakan bahwa

hiperbilirubinemia memiliki banyak faktor risiko, antara lain kadar total serum

bilirubin atau biirubin transkutaneus >75%, inkompabilitas golongan darah (Rhesus

atau ABO), penyakit hemolitik seperti defisiensi glucose-6-phosphate dehydrogenase

(G6PD), usia ibu ≥25 tahun, ras ibu Asia Timur, diabetes gestasional pada ibu,

riwayat saudara kandung yang kuning atau menerima fototerapi, cephalohematoma

atau memar yang signifikan, ASI eksklusif, jenis kelamin laki-laki, dan prematuritas. 1

Adapun yang menyebutkan hiperbilirubinemia disebabkan oleh:4

a. Produksi yang berlebihan.

Pada ikterus fisiologis biasanya disebabkan karena volume eritrosit yang

meningkat, usia eritrosit yang menurun, meningkatnya siklus enterohepatik.

Pada ikterus patologis terjadi oleh karena hemolisis yang meningkat seperti

pada inkompatibilitas golongan darah sistem ABO, inkomptabilitias rhesus,

defek pada membran sel darah merah (Hereditary spherocytosis,

elliptocytosis, pyropoikilocytosis, stomatocytosis), defesiensi berbagai enzim

7
(defisiensi enzim Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), defesiensi

enzim piruvat kinase, dan lainnya), hemoglobinopati (pada talasemia).

Keadaan lain yang dapat meningkatkan produksi bilirubin adalah sepsis,

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), ekstravasasi darah

(hematoma, perdarahan tertutup), polisitemia, makrosomia pada bayi dengan

ibu diabetes

b. Gangguan pada proses uptake dan konjugasi hepar

Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat

untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia

dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (Sindrom

Criggler-Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang

berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.

c. Gangguan pada transportasi

Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.

Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya

salisilat, sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak

terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke

sel otak

8
d. Gangguan pada ekskresi

Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.

Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi

dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain

9
Gambar 1. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia

2.4 Patofisiologi

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Saat sel darah merah mengalami

hemolisis, hemoglobin dilepaskan. Bilirubin diproduksi dalam sistem

retikuloendotelial sebagai produk akhir katabolisme heme dan dibentuk melalui

reaksi reduksi oksidasi. Sekitar 75% bilirubin berasal dari hemoglobin, tetapi

degradasi mioglobin, sitokrom, dan katalase juga berkontribusi. Pada langkah

oksidasi pertama, biliverdin dibentuk dari heme melalui aksi heme oxygenase,

langkah pembatas laju dalam proses tersebut, melepaskan besi dan karbon

monoksida. Besi disimpan untuk digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida

dikeluarkan melalui paru-paru dan dapat diukur dalam napas pasien untuk mengukur

produksi bilirubin. Reduktase biliverdin mengurangi biliverdin menjadi bilirubin tak

terkonjugasi (indirect). 4,6,7

10
Bilirubin dalam plasma diikat oleh albumin sehingga dapat larut dalam air.

Zat ini kemudian beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati. Ketika mencapai

hati, bilirubin diangkut ke sel hati, di mana ia mengikat ligandin. Penyerapan

bilirubin ke dalam hepatosit meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ligandin.

Konsentrasi ligandin rendah saat lahir tetapi meningkat pesat selama beberapa

minggu pertama kehidupan. Hepatosit melepaskan bilirubin dari albumin dan

mengubahnya menjadi bentuk bilirubin terkonjugasi dengan bantuan enzim

uridinediphosphoglucuronosyltransferase (UDPGT/ UGT1A1). Konjugasi bilirubin

sangat penting secara biologis karena ia mengubah molekul bilirubin yang tidak larut

dalam air menjadi molekul yang larut dalam air. Kelarutan dalam air memungkinkan

bilirubin terkonjugasi diekskresikan ke empedu. 4,6,7

Dalam bentuk glukoronida terkonjugasi, bilirubin yang larut tersebut masuk

ke sistem empedu untuk diekskresikan. Saat masuk ke dalam usus bilirubin diuraikan

oleh bakteri kolon menjadi urobilinogen. Urobilinogen dapat diubah menjadi

sterkobilin dan diekskresikan sebagai feses. Sebagian urobilinogen direabsorsi dari

usus melalui jalur enterohepatik dan darah porta membawanya kembali ke hati.

Urobilinogen daur ulang ini umumnya diekskresikan ke dalam empedu untuk kembali

dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi sistemik ke ginjal, tempat zat

ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama urin. 4,6,7

11
Gambar 2. Metabolisme bilirubin

Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang

melebihi kemampuan hati normal untuk ekskresikannya atau disebabkan oleh

kegagalan hati (karena rusak) untuk mengekskresikan bilirubin yang dihasilkan dalam

jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi hati juga

akan menyebabkan hiperbilirubinemia.4

2.5 Jenis Hiperbilirubinemia

2.5.1. Ikterus Fisiologis

Ikterus fisiologis adalah hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang terjadi

setelah hari pertama pasca kelahiran dan dapat berlangsung hingga 1 minggu.

Biasanya muncul antara usia 24-72 jam dan antara 4 dan -5 hari dapat dianggap

12
puncak pada neonatus cukup bulan dan pada prematur pada hari ke 7, menghilang

pada 10-14 hari kehidupan.2,6

Bentuk ikterus ini umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan kadar

bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Pada bayi cukup bulan

yang diberi susu formula, kadar bilirubin akan mencapai puncaknya sekitar 6-8 mg/dl

pada hari ke-3 kehidupan dan kemudian akan menurun cepat selama 2-3 hari diikuti

dengan penurunan lambat sebesar 1 mg/dL selama 1 sampai 2 minggu. Pada bayi

cukup bulan yang mendapat ASI, kadar bilirubin puncak akan mencapai kadar yang

lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan terjadi lebih lambat, bisa terjadi selama 2-4

minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu.8

Pada bayi kurang bulan yang mendapat susu formula juga akan terjadi

peningkatan kadar bilirubun dengan kadar puncak yang lebih tinggi dan bertahan

lebih lama, demikian pula dengan penurunannya bila tidak diberikan fototerapi

pencegahan. Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih dalam kisaran

fisiologik, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolism bilirubin.8

2.5.2 Ikterus Patologis

Ikterus patologis biasanya terjadi sebelum umur 24 jam setelah lahir dan

menetap lebih dari 14 hari atau 2 minggu, disertai peningkatan serum bilirubin

melebihi 5 mg / dl / hari.4 Jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus patologik,

yang tidak mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik. Terdapatnya hal-hal di bawah

13
ini merupakan petunjuk untuk tindak lanjut, yaitu: ikterus yang terjadi sebelum usia

24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi;

peningkatan kadar bilirubin total serum >0,5 mg/dL/jam; adanya tanda-tanda

penyakit yang mendasar pada setiap bayi (muntah, letargis, malas menetek,

penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau suhu yang tidak stabil);

ikterus yang bertahan setelah delapan hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari

pada bayi kurang bulan.8

Hiperbilirubinemia yang mengarah ke kondisi patologis antara lain: (1) timbul

pada saat lahir atau pada hari pertama kehidupan, (2) kenaikan kadar bilirubin

berlangsung cepat (>5 mg/dL per hari), (3) bayi premature, (4) kuning menetap pada

usia 2 minggu atau lebih, dan (5) peningkatan bilirubin direk >2 mg/d atau >20% dari

Bilirubin Serum Total (BST).9

2.6 Diagnosis

Presentasi klinis dari hiperbilirubinemia adalah ikterus. Pada umumnya,

icterus muncul pada hari kedua atau ketiga kehidupan, namun jika icterus muncul

pada 24 jam pertama kehidupan maka akan mengarah ke icterus patologis dan

memerlukan beberapa evaluasi. Oleh karena itu pada saat anamnesis perlu ditanyakan

onset munculnya icterus pada bayi. Perlu pula ditanyakan riwayat saudara yang

memiliki keluhan yang sama pada periode neonatal, riwayat hemolytic disorders

dalam keluarga, riwayat pada ibu yang menderita infeksi dan konsumsi obat-obatan

tertentu, adanya trauma saat lahir, terlambatnya pemotongan tali pusat. Kemudian

14
riwayat postnatal seperti BAB dempu dan penggunaan obat-obatan pada ibu

menyusui.10 Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak berbahaya, tetapi kadang-

kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (Kern

icterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu

formula, muntah, opistotonus, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan

kematian..8

Untuk mendiagnosis hiperbilirubinemia dapat dilakukan metode visual,

walaupun memiliki angka kesalahan yang cukup tinggi tetapi masih dapat digunakan

bila tidak tersedia alat yang memadai.


Panduan WHO mengemukakan cara

menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:8

1.Pemeriksaan dilakukan pada pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya

matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan

buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

2. Kulit bayi ditekan dengan jari secara lembut untuk mengetahui warna di bawah

kulit dan jaringan subkutan.

3. Keparahan ikterus ditentukan berdasar- kan usia bayi dan bagian tubuh yang

tampak kuning.

15
Gambar. 3 Pemeriksaan kulit ikterus

Setelah lahir, bayi harus diperiksa setidaknya setiap 8 hingga 12 jam. Ikterus

dapat dideteksi pada pemeriksaan fisik, tetapi kulit yang lebih gelap membuat

penilaian lebih sulit. Ikterus memiliki perkembangan cephalo-caudal. Sklera dan

selaput lendir juga dapat diperiksa untuk mengetahui adanya icterus. 1 Selain itu, salah

satu cara memeriksa derajat icterus pada neonates secara klinis, mudah dan sederhana

adalah dengan penilaian menurut Kramer. Lokasi penentuan derajat ikterus

berdasarkan Kramer dapat dilihat pada gambar 3:4

Gambar 4. Derajat icterus berdasarkan Kramer

16
Jika ada keraguan dalam evaluasi visual, bilirubin transkutan (TcB) atau Total

Serum Bilirubin (TSB) harus dinilai. Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku

emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya

intervensi lebih lanjut. Bilirubin transkutan merupakan intrumen spektrofotometrik

dengan prinsip kerja yang memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya (panjang

gelombang 450 nm). Konsentrasi TSB harus diperiksa ulang dalam 4 sampai 24 jam,

tergantung pada usia bayi, nilai TSB, dan faktor risiko. Setelah TcB atau TSB diukur,

hasil harus diinterpretasikan berdasarkan nomogram. Hiperbilirubinemia dianggap

patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin terhadap usia

neonates >95%.1,4,8

Gambar 5. Kadar serum bilirubin terhadap usia neonates menurut Normogram

Pemeriksaan serum bilirubin (direk dan indirek) harus dilakukan pada

neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-

17
bayi yang tergolong risiko tinggi mengalami hiperbilirubinemia berat. Pemeriksaan

tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan penyebab ikterus antara

lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah lengkap dan hapusan darah,

hitung retikulosit, skrining Glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD) dan

bilirubin direk.4

Evaluasi hiperbilirubinemia harus dilakukan sebelum kelahiran dan

diperpanjang hingga beberapa minggu pertama setelah melahirkan. Anemia hemolitik

yang disebabkan oleh isoantibodi pada bayi merupakan faktor risiko utama

hiperbilirubinemia berat dan neurotoksisitas bilirubin. Ketidakcocokan ABO dapat

terjadi jika golongan darah ibu O dan golongan darah bayi A atau B.

Hiperbilirubinemia pada bayi dengan gejala penyakit hemolitik ABO biasanya

terdeteksi dalam 12 hingga 24 jam pertama setelah lahir.1

2.7 Tatalaksana

Membantu ibu menyusui dengan tepat dapat menurunkan kemungkinan

hiperbilirubinemia. Para ibu harus menyusui setidaknya 8 sampai 12 kali dalam

beberapa hari pertama setelah melahirkan untuk membantu pemasukan ASI. Ibu

harus ditanyai tentang kesulitan dan konsultan laktasi yang terlibat bila diperlukan.

Pola tinja, pola buang air kecil, dan berat bayi baru lahir adalah indikator yang baik

untuk mengetahui apakah bayi mendapat ASI yang cukup. Pada hiperbilirubinemia

akibat pemberian ASI, penghentian ASI selama 24-48 jam akan menurunkan bilirubin

18
serum. Mengenai pengentian pemberian ASI (walaupun hanya sementara) masih

terda- pat perbedaan pendapat.1,8

Sejak ditemukannya efek sinar matahari pada penurunan konsentrasi bilirubin

pada tahun 1958, kebutuhan untuk transfusi tukar karena hiperbilirubinemia berat

telah menurun secara signifikan. Fototerapi bekerja dengan mengubah bilirubin

menjadi senyawa yang larut dalam air yang disebut lumirubin, yang diekskresikan

dalam urin atau empedu tanpa memerlukan konjugasi di hati. Dua faktor terbesar

dalam konversi bilirubin menjadi lumirubin adalah spektrum cahaya dan dosis total

cahaya yang dikirim. Bilirubin adalah pigmen kuning, sehingga paling kuat menyerap

cahaya biru pada panjang gelombang 460 nm. Selain itu, efek fototerapi hanya

terlihat ketika panjang gelombang dapat menembus jaringan dan menyerap bilirubin.

Lampu dengan keluaran dalam rentang 460-490-nm adalah yang paling efektif dalam

mengobati hiperbilirubinemia. Meskipun sinar matahari telah terbukti menurunkan

konsentrasi bilirubin, hal ini tidak disarankan karena sulit untuk menentukan jangka

waktu yang aman untuk memaparkan bayi telanjang ke sinar matahari tanpa terbakar

matahari.1

Inisiasi fototerapi harus didasarkan pada konsentrasi TSB, usia dalam jam,

dan faktor risiko, seperti yang direkomendasikan dalam pedoman dari AAP. Nilai

TSB harus digunakan, dan nilai bilirubin direk tidak boleh dikurangi dari total saat

menentukan kapan harus memulai terapi. Saat menggunakan fototerapi intensif,

penurunan 0,5 mg / dL (8,6 􏰀mol / L) per jam dapat diharapkan dalam 4 sampai 8

19
jam pertama. Ketika TSB tidak menurun atau meningkat selama fototerapi,

kemungkinan besar hemolisis sedang berlangsung.1

Prinsip penatalaksanaan hiperbilirubinemia dengan fototerapi adalah untuk

mengurangi kadar bilirubin dan mencegah peningkatannya. Fototerapi menggunakan

sinar untuk mengubah bentuk dan struktur bilirubin menjadi molekul yang dapat

diekskresikan walaupun ada gangguan konjugasi.4

Tidak ada standar yang tetap untuk digunakan dalam penghentian fototerapi.

Oleh karena itu, pertimbangan klinis direkomendasikan. Beberapa penulis

menyarankan untuk berhenti setelah bilirubin menurun 4 sampai 5 mg / dL (68,4

sampai 85,5 􏰀mol / L). Yang lain menyatakan bahwa nilainya harus turun menjadi 13

sampai 14 mg / dL (222,4 menjadi 239,5 􏰀mol / L) jika seorang bayi mengalami

hiperbilirubinemia kembali.1

Setelah fototerapi kadar bilirubin dapat kembali meningkat, keadaan ini

disebut rebound bilirubin, namun kondisi ini biasanya hanya rata-rata 1 mg/dL

sehingga bayi setelah fototerapi tidak perlu menunggu dipulangkan untuk observasi

rebound bilirubin. Jika setelah dilakukan fototerapi tidak terjadi penurunan kadar

bilirubin yang diinginkan maka dipertimbangkan untuk melakukan tranfusi tukar.4

20
Gambar 5. Pedoman fototerapi di rumah sakit untuk bayi dengan usian kehamilan 35 minggu atau lebih.

Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan dilakukannya fototerapi:4

1. Kualitas spectrum dari sinar yang digunakan

Sumber sinar yang paling efektif untuk mendegradasi bilrubin adalah sinar

dengan panjang gelombang 400 – 520 nm, dengan gelombang terbaik 460 nm

(Stokowski, 2011). Pada panjang gelombang ini sinar menembus kulit paling

baik dan paling maksimal diserap oleh bilirubin. Sinar biru, hijau dan turkois

(antara biru dan hijau) merupakan sinar yang paling efektif. Banyak pendapat

yang salah yang menyatakan bahwa fototerapi menggunakan sinar ultraviolet

(panjang gelombang < 400 nm)

2. Intensitas Sinar

21
Intensitas sinar yang dimaksud adalah jumlah photon yang disalurkan per

sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang terpapar. Semakin tinggi intensitas

sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin. Fototerapi standar

biasanya menggunakan intensitas sinar 10 μW/cm/nm, sedangkan fototerapi

intensif ≥ 30 μW/cm/nm

3. Jarak antara bayi dan sinar

Intensitas cahaya berbanding lurus dengan jarak antara bayi dan sinar,

semakin dekat jarak antara bayi dan sinar semakin tinggi intensitas sinar yang

didapat. Jarak yang dianggap cukup aman adalah sekitar 15-20 cm.

4. Area permukaan tubuh yang terpapar sinar

Semakin luas area permukaan tubuh yang terpapar sinar maka makin efektif

fototerapi yang dilakukan. Merubah posisi bayi secara berulang selama

fototerapi tidak meningkatkan kecepatan penurunan kadar bilirubin .

Dianjurkan memposisikan bayi dengan posisi supine. Untuk mendapatkan

hasil yang maksimal maka selama fototerapi bayi dibiarkan telanjang.

Pemakaian diaper masih kontroversi, beberapa penelitian menyatakan

penggunaan diaper selama fototerapi tidak mempengaruhi penurunan kadar

bilirubin. Selama fototerapi diharuskan menggunakan penutup mata untuk

mengurangi risiko kerusakan retina bayi yang masih imatur

22
Gambar 6. Faktor yang Mempengaruhi Fototerapi

Gambar 7. Fototerapi

Transfusi tukar adalah pengobatan pertama yang berhasil untuk

hiperbilirubinemia berat. Prosedur ini harus dilakukan hanya di unit perawatan

intensif neonatal oleh dokter terlatih. Transfusi pertukaran untuk bayi adalah keadaan

darurat medis, dan pasien harus dirawat langsung di unit perawatan intensif neonatal.

Pada dasarnya, dokter dengan cepat mengeluarkan bilirubin dari sirkulasi dan

23
antibodi yang mungkin berkontribusi pada hemolisis yang sedang berlangsung.

Prosedur ini melibatkan pengambilan sebagian kecil darah bayi dan menggantinya

dengan jumlah sel darah merah donor yang sama melalui satu atau dua kateter sentral

sampai volume darah bayi diganti dua kali. Infus albumin 1 sampai 4 jam sebelum

prosedur dapat meningkatkan jumlah bilirubin yang dikeluarkan. 1

Transfusi tukar harus segera dimulai pada bayi yang mengalami ikterus yang

menunjukkan tanda-tanda ensefalopati bilirubin akut, bahkan jika nilai TSB menurun.

Faktor risiko hiperbilirubinemia berat dan rasio albumin / bilirubin harus

dipertimbangkan saat mempertimbangkan kapan memulai transfusi tukar. Meskipun

transfusi tukar berhasil pada bayi yang mengalami hiperbilirubinemia berat, terdapat

banyak komplikasi, termasuk infeksi, trombosis vena portal, trombositopenia,

enterokolitis nekrotikans, ketidakseimbangan elektrolit, bahkan kematian. Tingkat

komplikasi dilaporkan sekitar 12%. Karena faktor risiko ini, fototerapi harus

dimaksimalkan untuk mengurangi kebutuhan transfusi tukar.1

Gamma globulin intravena direkomendasikan untuk bayi yang memiliki

penyakit hemolitik isoimun jika TSB meningkat meskipun dilakukan fototerapi atau

TSB berada dalam 2 hingga 3 mg / dL (34,2 hingga 51,3 􏰀mol / L) dari level untuk

transfusi tukar. Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas

golongan darah ibu dan bayi, pemberian IVIG dapat menuRunkan kemungkinan

dilakukannya transfusi tukar.1,8

24
Gambar 8. Pedoman transfuse tukar di rumah sakit untuk bayi dengan usian kehamilan 35 minggu atau lebih.

Phenobarbital dapat merangsang hati untuk menghasilkan enzim yang

mening- katkan konjugasi bilirubin dan mengekskresikannya. Obat ini efektif

diberikan pa-da ibu hamil selama beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum

melahirkan. Penggunaan phenobarbital post natal masih menjadi pertentangan oleh

karena efek sampingnya (letargi). Coloistrin dapat mengurangi bilirubin dengan

mengeluarkannya melalui urin sehingga dapat menurunkan kerja siklus

enterohepatika.8

2.9 Komplikasi

Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus sawar otak dan sel-sel

otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya disfungsi saraf bahkan kematian.

25
Mekanisme dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disfungsi saraf ini masih

belum jelas. Bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang timbul akibat efek

toksik bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan pada beberapa nuklei

batang otak. Kern ikterus adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi

pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons dan

serebelum. Akut bilirubin ensefalopati terdiri dari 3 fase yaitu:4

a. Fase Inisial: ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan bayi

dan reflek hisap buruk.

b. Fase Intermediate: tanda-tanda kardinal fase ini adalah moderate stupor,

iritabilitas dan peningkatan tonus (retrocollis dan opisthotonus). Demam

muncul selama fase ini.

c. Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan

tonus, tidak mampu makan, high-pitch cry dan kadang kejang.

Manifestasi klinis kernikterus: pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang

selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk athetoid cerebral palsy yang

berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze dan displasia dentalenamel.4

2.10 Prognosis

Prognosis sangat baik jika pasien menerima pengobatan sesuai dengan

pedoman yang diterima. Peningkatan kejadian kernikterus yang nyata dalam beberapa

26
tahun terakhir mungkin disebabkan oleh kesalahpahaman bahwa ikterus pada bayi

cukup bulan yang sehat tidak berbahaya dan dapat diabaikan.10

BAB III

KESIMPULAN

Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar bilirubin >5

27
mg/dL pada darah, yang sering ditandai oleh adanya ikterus. Pada bayi baru lahir,

hiperbilirubinemia sering terjadi oleh kare- na kemampuan hati bayi yang masih

kurang untuk mengekskresikan bilirubin yang terus diproduksi. Etiologi

hiperbilirubunemia perlu di deteksi secara pasti, fisiologik atau non- fisiologik,

sebagai dasar pemeriksaan dan tindak lanjut penanganan neonatus. Pengobatan

hiperbilirubinemia bertujuan untuk menurunkan kadar bilirubin yang tinggi.

Pemantauan dan pemeriksaan yang tepat sangat dibutuhkan untuk menentukan jenis

pengobatan yang akan dipergunakan.

DAFTAR PUSTAKA

28
1. Wijaya, Felicia., Suryawan. I Wayan. Faktor Risiko Kejadian Hiperbilirubinemia

pada Neonatus di Ruang Perinatologi RSUD Wangaya Kota Denpasar. Medicina.

2019;50(2):357-364.

2. Ullah, Sana, et al. Hyperbilirubinemia in Neonates : Types, Causes, Clinical

Examinations, Preventive Measures and Treatments: A Narrative Review Article.

Iran Journal Public Health. 2016;45(5):558-568. [Disitasi 2 Maret 2021]. Tersedia di

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4935699/

3. Cholifah, dkk. Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Hiperbilirubinemia di RS

Muhammadiyah Gersik. [Disitasi 2 Maret 2021]. Tersedia di

http://eprints.umsida.ac.id/6567/4/4.%20Artikel%20Faktor-%20Faktor%20Yang

%20Berpengaruh%20Terhadap%20Hiperbilirubinemia.pdf

4. Lestari, Kadek. Fisioterapi Meningkatkan Kadar Malondialdehid pada Bayi dengan

Hiperbilirubinemia. 2016. [Disitasi 2 Maret 2021]. Tersedia di

https://sinta.unud.ac.id/uploads/dokumen_dir/9a247617da2beec5cacc939d25d6ac70.

pdf

5. Nurani, Namira, dkk. Incidence of Neonatal Hyperbilirubinemia based on Their

Characteristic at Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung Indonesia. Althe

Medical Journal. 2017;4(3):431-434.

6. Lauer, Bryon., Spector, Nancy. Hyperbilirubinemia in the Newborn. Pediatrics in

Review : American Academy of Pediatrics . 2011;32(8):341-349. . [Disitasi 2 Maret

2021]. Tersedia di

https://pedsinreview.aappublications.org/content/pedsinreview/32/8/341.full.pdf

29
7. Rohsiswanto, Rinawati. Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35 Minggu di

Indonesia: Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Sari Pediatri. 2018;

8. Mathindas, Stevry, dkk. Hiperbilirubinemia pada Neonatus. Jurnal Biomedik.

2013;5(1):4-10.

9. Rohsiswatmo, Rinawati. Indikasi Terapi Sinar pada Bayi Menyusui yang Kuning.

2013. [Disitasi 3 Maret 2021]. Tersedia di

https://www.idai.or.id/artikel/klinik/asi/indikasi-terapi-sinar-pada-bayi-menyusui-

yang-kuning

10. Hansen, Thor. Neonatal Jaundice. Pediatric : Cardiac Disease and Critical Care

Medicine. [Disitasi 3 Maret 2021]. Tersedia di

https://emedicine.medscape.com/article/974786-overview#a4/

30

Anda mungkin juga menyukai