Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Cedera Medulla Spinalis adalah Cedera dengan angka kejadian yang rendah, biaya
pengobatan yang tinggi dan perubahan hidup yang dratis pada penderitanya. Cedera
medulla spinalis merupakan suatu kondisi medis yang kompleks dan mengakibatkan
terganggunya produktivitas pasien. Secara historis, cedera medulla spinalis dikaitkan
dengan tingkat kematian yang sangat tinggi. Namun, belakangan ini di negara-negara
dengan angka pendapatan perkapita yang tinggi, cedera medulla spinalis dipandang
sebagai penghambat produktivitas hidup dan lebih sebagai tantangan secara pribadi dan
sosial yang harus dapat diatasi.1
Perubahan paradigma ini menyebabkan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan
di Negara maju, yang artinya angka harapan hidup penderita cedera medulla spinalis
menjadi lebih baik lagi. Jenis pelayanan tersebut mulai dari peningkatan kualitas tanggap
gawat darurat, intervensi pengobatan dan reahabilitasi medik yang efektif, dan berbagai
macam kemajuan teknologi yang dikembangkan sebagai upaya untuk meningkatkan
angka harapan hidup. Hasilnya, produktivitas seseorang dengan cedera medulla spinalis
dapat ditingkatkan dan fungsinya dalam masyarakat dapat dimaksimalkan (WHO, 2013).
Insiden cedera medulla spinalis diperkirakan 11,5 hingga 57,8 kasus per satu juta
penduduk per tahun (Ackery dkk, 2004). Di amerika serikat insiden cedera medulla
spinalis diperkirakan 40 kasus per satu juta penduduk, dengan rata-rata 12.000 kasus baru
yang terdiagnosa pertahun. Umumnya terjadi pada remaja dan dewasa muda. Penyebab
tersering adalah kecelakaan lalu lintas (50%), jatuh (25%), cedera yang berhubungan
dengan olahraga misalnya berkuda (10%), sisanya akibat kekerasan dan kecelakaan kerja.
2,3,4,9

Kemajuan di bidang ekonomi dan transportasi diduga memiliki peranan terhadap


tingginya insiden kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan cedera kepala dan cedera
medula spinalis. Cedera medula spinalis memiliki efek yang merugikan pada pasien dan
keluarganya. Pasien dengan cedera medula spinalis memerlukan penyesuaian terhadap
berbagai aspek, seperti mobilitas yang terbatas, psikologis, urologis, pernafasan, kulit,
disfungsi seksual, dan ketidakmampuan untuk bekerja. Selain itu, biaya yang dikeluarkan

untuk pasien dengan cedera tersebut diestimasikan mencapai 4 milliar dolar Amerika
Serikat per tahunnya untuk pelayanan kesehatan akut maupun kronis.5
Cedera Medula spinalis memiliki prevalensi tinggi yang berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Patofisiologi yang mendasari cukup kompleks
dan masih sulit dipahami. Dengan mengetahui patofisiologi yang mendasari kejadian
trauma medula spinalis akan lebih memudahkan untuk melakukan intervensi bagi dokter
baik dari segi farmakologi maupun operatif (Randal, 2001).19
1.2 Tujuan
Penulisan referat (tinjauan pustaka) ini bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai cedera medulla spinalis. Secara khusus, akan di bahas mengenai definisi,
epidemiologi, anatomi medulla spinalis, patofisiologi cedera medulla spinalis, mekanisme
dan tipe cedera medulla spinalis, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana cedera
medulla spinalis, serta prognosis.

BAB II
2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Cedera medula spinalis di definisikan sebagai cedera atau kerusakan pada
medula spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik sementara maupun
permanen pada fungsi motorik, sensorik, maupun otonom (Dumont dkk, 2001).6
Sedangkan menurut Steinmetz MP dkk, Cedera medula spinalis merupakan cedera
yang disebabkan oleh rudapaksa langsung maupun tak langsung (terlebih dahulu
terjadi pada tulang, jaringan, atau pembuluh darah) yang megenai medula spinalis. 2
Cedera medula spinalis merupakan salah satu keadaan darurat neurologi yang
memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat untuk mengurangi angka kecacatan dan
kematian. Penatalaksanaan kasus cedera medula spinalis memerlukan perhatian
khusus, mulai dari tempat kejadian, saat mentransfer penderita ke fasilitas kesehatan,
sampai perawatan di rumah sakit.5

2.2.

Epidemiologi
Angka kejadian tahunan cedera medula spinalis seluruh dunia berkisar antara 11,5
hingga 57,8 kasus per 1 juta penduduk tiap tahunnya (Ackery dkk, 2004). Di Amerika
Serikat, angka kejadian cedera medula spinalis sekitar 40 kasus per 1 juta penduduk,
dan sekitar 12.000 kasus baru di diagnosis pertahun. Terdapat distribusi usia bimodal
dengan frekuensi tertinggi terjadi antara usia 15 hingga 29 tahun dan yang kedua
terjadi pada usia 65 tahun atau lebih. Penyebab utama kematian pasien rawat inap
dengan cedera medula spinalis umumnya berkaitan dengan komplikasi pernafasan.9
Penyebab tersering cedera medulla spinalis adalah kecelakaan lalu lintas (50%),
jatuh (25%), cedera yang berhubungan dengan olahraga misalnya berkuda (10%),
sisanya akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Usia 35 tahun merupakan usia ratarata cedera medulla spinalis di dunia, dan usia 28,7 adalah usia rata-rata di Amerika
Serikat. Cedera medula spinalis umumnya lebih banyak terjadi pada laki-laki di
bandingkan perempuan dengan perbandingan 4:3 (Sekhon and Fehlings, 2001).9
Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeeve Foundation bekerja sama dengan
Centers for Desease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk
mengetahui epidemiologi Penyebab cedera medulla spinalis ( Gambar 1).

Gambar 1 Penyebab Cedera Medula Spinalis

2.3.

Anatomi Medula Spinalis


Diatassarafmotorik,terdapatsuatuintegrasidarisistemmotorikyaitumedula
spinalis. Medula spinalis dimulai dari cervicomedullary junction dan berakhir di
konusmedularis. Fisuradansulkusmenandaipermukaanluardari medulaspinalis;
danmemilikikepentinganklinis.Fisuramediananteriordansulkusmedianposterior
membagi medula spinalis menjadi dua bagian yang simetris. Radix anterior dan
posterior membentuk nervus spinalis, yang terdiri dari 31 pasang. Ada 8 pasang
nervusservikal,12thorakal,5lumbal,5sakral,dan1koksigeal(Gambar2).Terletak
disetiapbagiandorsalradixadalahGanglionRadixDorsalis(DRG).10

Gambar2AnatomiSegmenMedulaSpinalistampakPosterior

Medullaspinalis,sepertiotak,diselubungiolehtigajenispembungkusmening
yang konsentris, yakni piamater, arachnoid, dan duramater. Pembungkus dalam,
piamatermerupakanmembranhalusbervaskuleryangmelekateratpadapermukaan
medullaspinalisdanradiksspinalis.Arachnoidterletakantarapiamaterdanduramater.
Arachnoid merupakan membran tembus cahaya yang menyelimuti medulla spinalis
sepertisebuahkantongyangcukuplonggar.Antarapiamaterdanarachnoidterdapat
ruangsubarachnoid.RuanginiberisiLiquorCerebrospinal(LCS)yangdihasilkanoleh
sistemventrikelcerebri.Pembungkusterluarmedullaspinalisadalahduramateryang
merupakanmembranliatdandanfibrosa.Membraninimembungkusmedullaspinalis
secara longgar, seperti halnya arachnoid yang berhubungan dengan duramater,
meskipunsecarateoriterpisaholehsuatubidangyakniruangsubdural.Duraterpisah
daridindingtulangkanalisvertebralisolehruangepidural.20
Medulaspinalisterdiridariduasubstansia,antaralainsubstansiagrisea(Gray
Matter)yangterletakinternaldansubstansiaalba(whitematter)yangterletaklebih
eksternal.7,8,10 Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus Ascending yang
memiliki fungsi sensorik dan Descending yang memiliki matorik. Sedangkan
substansiagriseadibagimenjadi10laminaatau3bagianyaitucornuanterior,cornu
posterior,dancornulateralisyangtersusundarinukleusnukleusyangberperandalam
potensiaksineuronneuron(Gambar3).7

Gambar3AnatomiMedulaSpinalisPenampangMelintang

Padabeberapaindividuterdapatberbagaivariasaidalamsuplaidarah medulla
spinalis (Gambar 4). Arteri spinalis anterior dibentuk oleh pertemuan cabang arteri
yangmelewatinyasecaracaudaldarisetiaparterivertebralisdanbersatudigaristengah
dekatforamenmagnum.Arteriiniakanturunsepanjangsumsumtulangbelakangdan
terletakdiataudekatfisuramediananterior.Dibawahsegmenservikalkeempatatau
kelimaterdapat arteri spinalis anterior yangmengaliri ataudialiriolehateri medula
anterioryangtidakberpasanganyangmunculdariarterimedulaspinalislateral.10
Pembuluh darah ini memasuki kanalis vertebralis melalui foramen
intervertebralis,dandidaerahservikalmerupakan percabangan dariarteriservikalis
asendens; dithorakal berasaldariinterkostalis;dandi abdomen berasaldarilumbal,
iliolumbar,danarterisakralislateral.Arteriarteriinimenembus selubungduradari
radiksmedullaspinalis dandibagimenjadiduacabangyaituanteriordanposterior.
Arteriradikulerasimetrisdankadangkadangtidakada.Arterimedulerterbesar,arteri
radikuleranteriorAdamkiewicz,terletakdiantaraT9danL2,biasanyapadasisikiri,
danmensuplaibagianlumbal.Suplaidarahkesetiaptingkatmedullaspinalissebanding
dengan luas penampang area grey matter, dan kaliber arteri spinalis anterior yang
terbesaradalahditingkatlumbaldanservikal.10

Gambar4SuplaiArteriMedulaspinalis

Arterispinalisposteriormerupakansaluranplexiformyangberbedayangterletak
dekat dengan sulkus posterolateral dan pintu masuk rootlets dari nervus spinalis
posterior. Arteriinijugaberasaldariarterivertebralis,danbergabungdenganarteri
medulaposterior.Arterisentralis,cabangdariarterispinalisanterior,mensuplaibagian
anteriordanbagiantengahmedulaspinalis.Cabanganteriordanposteriorarterimedula
spinalis membentuk anastomosis perifer, yaitu arteri vasocorona, yang mensuplai
bagiantepimedulaspinalis,termasukfuniculilateraldanventral.10
Anastomosisinipalingtidakefisiendiwilayahkolumna lateral.Arterispinalis
posteriormensuplai cornu posteriordansebagianbesarfunikuli dorsalis;dansisanya
disuplaioleharterispinalisanterior. Medulaspinalis servikaldanlumbosakrallebih
kayavaskularisasidarithorakal.10
Drainasevenamedulaspinalisdaripleksuskapilerkepleksusvenaperiferyang
sesuaidengansuplaiarteri.Bagianutamavenaberadapadaforamenintervertebralisdi
bagiandada,perut,danronggapanggul,tetapipleksusvenaspinovertebral(pleksus
Batson)jugaterusnaikkedalamronggaintrakranialdansinusvenasertadapatmenjadi
saranatransportasiseltumor.10
2.4.

Patofisiologi9
Cedera pada medulla spinalis bersifat bifasik. Mekanisme cedera primer
meliputi geseran (shearing), laserasi, regangan akut, dan aselerasi-deselerasi tiba-tiba
yang berujung pada kerusakan akson, pembuluh darah, atau membran sel. Pada
beberapa keadaan medula spinalis bisa benar-benar terpotong. Kebanyakan cedera
sering menyisakan pinggiran subpial (subpial rim), yang terdiri dari akson yang
telah mengalami demielinasi atau dismielinasi, yang berfungsi sebagai substrat yang
berpotensi menjadi tempat regenerasi. Bisa juga terjadi edema akut medulla spinalis
yang menyebabkan iskemia. Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai cedera yang tidak
terlihat baik secara radiografis maupun histopatologis.
Peningkatan kadar sitokin, termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-) dan
interleukin 1-beta (IL-1), terjadi dalam beberapa menit setelah cedera. Terlebih lagi,
glutamat yang mencapai kadar sitotoksik dapat dijumpai karena tumpah-nya
cadangan glutamat dan disfungsi transporter glutamat astrosit. Periode yang dikenal
sebagai fase cepat ini dapat berlangsung hinga 2 jam pascatrauma.

Gambar 6: Mekanisme yang mendasari trauma Medula spinalis, ditekankan


pada sentral iskemia, peningkatan kalsium intraselular, dan apoptosis pada kematian
sel (Randall et al, 2001).
Cedera sekunder terbagi menjadi fase akut, intermediet, dan kronik. Fase akut
dibagi menjadi fase akut awal dan fase subakut. Proses biokimiawi yang terjadi pada
fase akut awal cedera merupakan target dari terapi neuroprotektif. Homeostasis ionik
kehilangan keteraturannya selama periode ini dan berujung pada apoptosis dan
kematian sel nekrotik. Khususnya, deregulasi Ca2+ berakibat pada beragam proses
yang merusak seperti disfungsi mitokondria. Hal tersebut selanjutnya menyebabkan
rendahnya kadar adenosin trifosfat (ATP). Tanpa ATP yang cukup untuk menjalankan
transporter yang bergantung pada energi semisal transporter membran Na+/K+ATPase, homeostasis ionik akan semakin terganggu. Kekacauan homeostasis ionik
berujung pada kegagalan pompa glutamat Na+/K+, yang tentunya berakhir pada
peningkatan kadar glutamat. Glutamat selanjutnya bekerja pada berbagai reseptor
glutamat seperti reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), asam alfa-amino-3-hidroksi-5-

metil-4-isoksazolepropionik (AMPA), dan kainit, sehingga menyebabkan influx Na+


dan Ca2+.
Reaksi radkal bebas mengakibatkan kerusakan membran melalui peroksidasi
lipid, yang semakin menyebabkan lisis sel, disfungsi organel, dan deregulasi kalsium.
Produksi radikal bebas memuncak 12 jam pascatrauma dan terus begitu selama
seminggu setelahnya sebelum kembali pada kadar pratrauma pada minggu ke-4 atau
ke-5. Baru-baru ini diketahui bahwa mediator utama dari cedera radikal bebas adalah
radikal peroksinitrit (Xiong dkk, 2007). Pada model tikus, radikal peroksinitrit telah
terbukti menyababkan apoptosis (Bao dan Liu, 2003).
Antioksidan dan inhibitor radikal peroksinitrit menunjukkan hasil yang
menjanjikan sebagai elemen neuroprotektif. Salah satu di antaranya, metilprednisolon,
dulunya digunakan karena diduga berperan sebagai inhibitor peroksidasi lipid; namun,
pemakaian rutinya sudah tidak lagi dianjurkan. Setelah medulla spinalis mengalami
cedera, sawar darah-otak jadi memiliki permeabilitas yang lebih tinggi karena
kerusakan sel endotel serta proses astrositik dan mediator inflamasi yang
meningkatkan permeabilitas vaskuler.
Studi dengan model hewan memperlihatkan bahwa permeabilitas vaskuler
memuncak dalam 24 jam dan turun perlahan dalam 2 minggu (Noble dan Wrathall,
1989). Pada manusia, waktu yang dibutuhkan diduga sama. Dua mediator yang
produksinya naik untuk meningkatkan permeabilitas vaskuler adalah TNF- dan IL1. Substansi lain yang memiliki efek negatif terhadap permeabilitas sawar darah-otak
adalah reactive oxygen species (ROS; contohnya nitrat oksida, NO), histamin,
metaloproteinase matriks (matrix metalloproteinase), dan elastase.
Meskipun respon inflamasi menyebabkan efek-efek yang merugikan, proses
tersebut penting dalam mempertahankan lingkungan yang sesuai untuk regenerasi dan
dalam membuang debris seluler. Studi dengan model hewan telah mempelajari
perubahan-perubahan yang terjadi pada tingkat seluler. Belum lama ini, medulla
spinalis yang diambil dari spesimen otopsi pasien yang mengalami SCI digunakan
untuk meneliti perubahan-perubahan pada tingkat seluler (Fleming dkk, 2006).
Studi ini memperlihatkan adanya neutrofil pada lokasi cedera dalam 4 jam
pascatrauma. Setelah memuncak antara 1 dan 3 hari pascatrauma, neutrofil tetap ada
selama 10 hari. Sel-sel mikroglia juga merupakan komponen penting dari proses
inflamasi awal. Sel-sel tersebut menjadi aktif dan jumlahnya meningkat pada 3 hari
pertama pascatrauma. Seperti neutrofil, keberadaan sel mikroglia berhubungan
9

dengan area jaringan yang rusak. Pada hari ke-5 hingga ke-10 pascatrauma, populasi
sel yang dominan berganti menjadi mikroglia aktif dan makrofag. Makrofag yang
memiliki fenotipe fagositik dikenal sebagai reaktif CD68 (Schmitt dkk, 2000). Setelah
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah cedera, hampir seluruh makrofag
berbusa yang terlihat tidak lagi reaktif CD68 (Fleming dkk, 2006). Hal ini diduga
karena terjadi penurunan aktivitas fagositik dari makrofag yang sudah ada, yang
berujung pada berkurangnya ekspresi protein lisosom.
Saat ini makrofag diduga memiliki masa hidup 4 minggu namun tidak
mengekspresikan fenotipe fagositik selama durasi waktu tersebut (Ross dan Auger,
2002). Terlebih lagi, makrofag yang tiba di lokasi lesi kronik mungkin tidak
terpengaruh oleh lingkungan lokal untuk menghasilkan CD68. Baru-baru ini muncul
dugaan bahwa sekresi enzim oksidatif dan proteolitik oleh neutrofil, mikroglia aktif,
dan makrofag selama 3 hari pascatrauma mengakibatkan cedera sekunder derajat
berat pada medulla spinalis. Mediator nonseluler yang membantu proses ini meliputi
TNF-, interferon, dan interleukin, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Inhibisi
TNF- telah terbukti mempercepat pemulihan pasca-SCI (Bethea dkk, 1999).
Meskipun demikian, TNF- juga ternyata bersifat protektif in vitro (Cheng dkk, 1994)
dan dalam studi dengan model tikus yang mengalami defisiensi TNF- (Kim dkk,
2001). Karena itu, peran sesungguhnya TNF- dalam SCI perlu didefinisikan dengan
lebih baik sebelum modalitas terapeutik di masa mendatang dapat digunakan untuk
memanipulasi mediator ini.
Kematian sel setelah SCI terjadi melalui salah satu dari dua mekanisme:
apoptosis atau nekrosis. Kemungkinan besar, sebuah mekanisme kematian sel yang
baru saja diketahui, yang dinamai nekroptosis, dapat menyebabkan proses nekrotik
yang telah terprogram sebelumnya (Galluzzi dan Kroemer, 2008). Teori apoptosis
belum tercatat dengan baik dalam studi SCI pada manusia, namun terdapat banyak
literatur berkenaan dengan hal ini pada SCI model hewan. Setelah SCI, muncul
ekspresi dari ligand Fas oleh mikroglia dan limfosit serta FasR oleh oligodendrosit
(Casha dkk., 2001, 2005; Nagata dkk,1995).
Telah dipahami bahwa salah satu metode potensial untuk mengawali kaskade
kaspase (caspase cascade) adalah melalui interaksi ligand Fas dan reseptor Fas.
Proteolisis dan pemecahan asam deoksiribonukleat (DNA) merupakan bagian dari
apoptosis. Memblok kaskade kaspase akan memblok apoptosis. Dalam studi model
hewan, apoptosis terjadi dengan cepat pada ologodendrosit setelah cedera iskemik,
10

karenanya menyebabkan demielinasi aksonal (Totoju dan Keirstead, 2005). Fenomena


ini tidak terlihat dengan jelas dalam pemeriksaan postmortem kasus SCI pada
manusia (Kakulas, 2004; Norenberg dkk., 2004).
Periode subakut berlangsung mulai dari 2 hari hingga 2 minggu. Pada saat
inilah respon fagositik mulai bekerja membuang debris seluler. Eliminasi substansi
penghambat pertumbuhan yang dijumpai pada debris mielin memiliki efek yang
berpotensi bermanfaat dalam pemulihan aksonal (Donnelly dan Popovich, 2007).
Astrosit juga mencapai kadar puncak pada periode subakut. Astrosit membentuk
parut yang mencegah regenerasi aksonal dalam studi dengan model hewan
pengerat. Keberadaan parut astroglia tidak begitu jelas pada manusia (Hagg dan
Oudega, 2006). Meskipun diduga berdampak negatif terhadap pemulihan, parut
astroglia berperan penting dalam homeostasis ionik dan dalam mengembalikan
integritas sawar darah-otak, oleh karena itu membatasi sel-sel imun dan edema.
Fase intermediet terlihat antara 2 minggu dan 6 bulan pascatrauma dan
dicirikan oleh maturasi parut astrositik serta regenerai aksonal yang terus-menerus.
Setelah periode ini, SCI memasuki fase kronik. Selama fase kronik, terjadi maturasi
dan stabilisasi parut astrositik, pembentukan syrinx dan kavitas, serta degenerasi
Waller. Ini merupakan periode di mana kebanyakan terapi bertujuan mencapai
remielinasi dan kekenyalan dari sistem saraf.

Gambar 7. Mekanisme mendasari trauma medula spinalis, dengan penekanan pada peran pengaruh
lokal. Peran gangguan vaskular, edema interstitial dan kompresi medula spinalis,

11

pelepasan glutamat, dan inflamasi.

2.5.

Mekanisme dan Tipe Cedera


Menurut

terjadinya

mekanisme

cedera,

dibagi

atas

Hiperflexion,

Hiperextension, Compression, Rotation, Lateral Stress, Distraction (Gambar 6). 11,12

Gambar 8 Mekanisme Cedera Medula Spinalis

Kerusakan medulla spinalis dan radiks dapat terjadi melalui 4 mekanisme, yakni:
1.

Kompresi oleh tulang, ligamentum, herniasi diskus intervertebralis dan


hematom. Yang paling berat adalah kerusakan akibat kompresi tulang dan
kompresi oleh korpus vertebra yang mengalami dislokasi ke posterior dan

2.

trauma hiperekstensi.
Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada
jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis

3.

4.

terhadap regangan akan menurun dengan bertambahnya usia.


Edema medulla spinalis yang timbul segera setelah trauma menyebabkan
gangguan aliran darah vena dan kapiler.
Gangguan sirkulasi akibat kompresi tulang atau system arteri spinal anterior

dan posterior.23
Cedera medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat di klasifikasikan menjadi
fraktur dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relative 3:1).23

12

ketiga tipe cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa, antara lain
kompresi vertikal dan anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera
hiperekstensi). Pada cedera fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya
diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan akan mengalami stress
maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada diatas akan
terdorongkebawah (kadang menjadi dua). Fragmen posterior dari korpus vertebra
yang mengalami fraktur akan terdorong ke belakang dan memberikan kompresi pada
medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan cedera yang
paling sering pada daerah servikal dan umumnya melibatkan daerah C5/C6 (terjadi
subluksasi/dislokasi). Seringkali, terdapat robekan dari interspinosus dan posterior
longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera ini tidak stabil.12,13 Cedera yang
lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan dislokasi.12 cedera medulla
spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan
langsung atau vascular.24
Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertical dengan posisi kepala
ekstensi (retrofleksi).12 Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel)
dari vertebra servikalis bagian tengah (C4-C5), dimana dapat terjadi fraktur unilateral,
bilateral, dan robekan ligament anterior.12 Cedera hiperekstensi dari medulla spinalis
umumnya terjadi tanpa terlihat adanya kerusakan vertebra atau misalignment dari
vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat menjadi serius
dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat penonjolan ligamentum flavum
atau dislokasi vertebra yang sementara karena robekan ligament (ketika di X-ray atau
CT-Scan alignment sudah kembali normal). Walaupun penggunaan Ct-Scan dan Xray tulang belakang lateral dapat digunakan untuk melihat cedera tulang belakang
(perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari leher), adanya robekan dan penonjolan
ligament dari dislokasi vertebra dapat dilihat dengan menggunakan MRI. 23 Selain itu,
cedera medulla spinalis yang terjadi dapat diakibatkan oleh central cervical cord
syndrome. Cedera dengan mekanisme ini umumnya melibatkan orang tua dan pasien
dengan spinal canal stenosis.
Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. Pada cedera kompresi,
korpus vertebra mengalami pemendekan dan mungkin terjadi wedge compression
fracture atau brust fracture dengan aspek posterior dari korpus masuk ke dalam kanal
spinalis.13 Wedge fraktur umumnya stabil karena ligamentum intak, namun apabila
terdapat fragmen yang masuk kedalam kanalis spinalis dan biasanya terdapat

13

kerusakan ligament sehingga tergolong tidak stabil. Apabila terjadi kombinasi gaya
rotasi, dapat terjadi tear drop fracture yang di golongkan sebagai fraktur tidak
stabil.23,24
Shock Spinal
Syok spinal awalnya didefinisikan sebagai hipotensi arteri setelah episode
cedera medulla spinalis. Definisi tersebut telah berkembang dan meliputi hilangnya
refleks tendon secara permanen. Modifikasi tambahan pada definisi tersebut direvisi
lagi dan sekarang sudah mencakup seluruh temuan yang berkaitan dengan transeksi
medulla spinalis secara fisiologis dan anatomis yang berujung pada penurunan refleks
spinal selama beberapa waktu.
Syok spinal memiliki beberapa cirri khas. Derajat keparahan cedera
berkorelasi dengan derajat keparahan syok spinal. Sebuah cedera pertama-tama
memengaruhi refleks dihasilkan di dekat lokasi cedera itu dahulu, dan refleks yang
dihasilkan pada lokasi yang lebih distal dari cedera terpengaruh belakangan. Oleh
karena itu, cedera servikal yang berat dapat menyebabkan retensi dari refleks sakral,
seperti refleks bulbokavernosus dan refleks anal. Fakta bahwa penurunan refleks yang
bersifat proksimal-ke-distal terjadi dalam menit-menit yang berurutan dapat
memberikan penjelasan fisiologis mengenai perubahan-perubahan tersebut. Telah
dibuat sebuah hipotesis yang mengatakan bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh
hilangnya input supraspinal yang berujung paa hiperpolarisasi neuron. Temuan lain
menyebutkan bahwa penjalaran depresi refleks ke arah atas, yakni fenomena SchiffSherington, tidak jarang terjadi. Penting untuk membedakan penurunan tekanan darah
akibat syok sirkulatorik dari penurunan tekanan darah akibat syok spinal (Tabel 1).
Karena tonus simpatis menurun, terjadi pengumpulan darah pada sistem vena
serta penurunan tonus simpatis pada sistem kardiovaskuler. Di satu sisi, syok
sirkulatorik memerlukan penggantian volume, dan di sisi lain, syok spinal
membutuhkan vasopresor. Saat seseorang pulih dari syok spinal, refleks otot kembali
normal mulai dari bagian terbawah hingga bagian teratas, kecuali pada lokasi cedera.
Seiring waktu, terjadi sindrom spastik

TABEL 1.1 Persamaan dan Perbedaan antara Syok Neurogenik dan


14

Hipovolemik
Syok neurogenic
Hipotensi
Bradikardi
Arefleksia
Merespon terhadap vasopressor

Syok hipovolemik
Hipotensi
Takikardi
Refleks normal
Merespon terhadap penggantian volume

Belum ada kesepakatan mengenai definisi dari berhentinya syok spinal.


Kebanyakan literatur mendefinisikan akhir dari syok spinal sebagai kembalinya
refleks-refleks tertentu. Meskipun begitu, tidak semua refleks berkurang pada setiap
pasien; penurunan refleks berbeda antar individu. Pemulihan dari syok spinal terjadi
setelah berhari-hari atau berbulan-bulan, jadi terdapat masa transisi yang lambat dari
syok spinal menjadi spastisitas yang terjadi sebagai suatu kesatuan.
Sebuah teori menyebutkan bahwa masa transisi ini terdiri dari empat fase
(Ditunno dkk., 2004). Fase pertama terjadi dari 0 hingga 24 jam setelah terjadi cedera
dan dicirikan oleh arefleksia atau hiporefleksia. Refleks tendon dalam menghilang.
Selama periode ini, refleks patologis yang pertama muncul adalah refleks plantar
terlambat (delayed plantar reflex), diikuti oleh rangkaian refleks kulit seperti refleks
bulbokavernosus, refleks dinding abdomen, dan refleks kremaster. Terganggunya
kontrol simpatis dapat menyebabkan bradiaritmia, blok konduksi atrioventrikuler, dan
hipotensi. Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi karena hiperpolarisasi neuron
motorik.
Fase 2 terjadi antara hari ke-1 dan ke-3 setelah terjadinya cedera. Refleks kulit
terlihat lebih jelas selama periode ini, akan tetapi refleks tendon dalam masih belum
ada. Tidak jarang pasien tua dan anak-anak mengalami pemulihan refleks tendon
dalam pada periode ini. Tanda Babinski juga dapat terlihat pada pasien.
Supersensitivitas

denervasi

dan

peningkatan

ekspresi

reseptor

menjelaskan

perubahan-perubahan yang terjadi pada periode ini. Fase berikutnya terjadi antara 4
hari hingga 1 bulan setelah terjadinya cedera. Refleks tendon dalam biasanya pulih
pada hari ke-30. Terdapat perdebatan yang sengit mengenai kapan refleks tersebut
mulai terlihat lagi.
Kembalinya refleks Babinski sangat berdekatan dengan kembalinya refleks
Achilles. Refleks plantar terlambat juga berkurang. Perubahan otonom seperti
bradiaritmia dan hipotensi mulai menghilang. Periode ini ditandai oleh pertumbuhan
sinaps yang disokong oleh akson. Fase keempat didominasi oleh refleks hiperaktif dan

15

terjadi mulai dari 1 hingga bulan setelah terjadinya cedera. Hipotensi vasovagal dan
bradikardi umumnya menghilang dalam 3 sampai 6 minggu, namun pemulihan
hipotensi ortostatik bisa memakan waktu 10 hingga 12 minggu. Episode hipertensi
maligna atau disrefleksia otonom mulai muncul pada periode ini. Hal-hal tersebut
merupakan akibat dari pertumbuhan sinaps yang disokong oleh badan sel.
Shock Neurogenic
Shock neurogenic merupakan gangguan kondisi hemodinamik yang dapat
terjadi akibat edema. Seorang pasien dikatakan mengalami shock neurogenic jika
ditemukan kondisi hipotensi, bradikardi, dan vasodilatasi perifer akibat disfungsi
otonom yang parah dan gangguan pada control sistem saraf simpatis pada cedera
medulla spinalis akut. Selain itu, umumnya akan ditemukan hipotermia pada pasien.
Kondisi ini biasanya ditemukan pada pasien yang mengalami cedera tulang belakang
diatas level T6 dan tidak muncul pada level dibawah T6. Gangguan pada sistem saraf
simpatis mengakibatkan turunnya resistensi vascular yang menyebabkan terjadinya
dilatasi vascular dan bermanifestasi sebagai hipotensi. Shock neurogenic perlu
dibedakan dengan shock hipovolemik dan spinal. Pasien dengan shock hipovolemik
akan cenderung mengalami takikardi, bukan bradikardi.20
2.6.

Klasifikasi
Kalisifikasi cedera medulla spinalis menurut American spinal injury
Association (ASIA) dan The International Medical Society Of Paraplegia (IMSOP)
didasarkan pada keutuhan fungsi motorik, sensorik, dan sfingter (Tabel 1).
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan menggunakan 10 key musdes. Kekuatan
motorik ditentukan berdasarkan MRC Grading System (skor 0-5). Total skor fungsi
motorik adalah 100. Pemeriksaan sensorik dilakukan pada 28 dermatom pada tiap sisi
tubuh, meliputi pemeriksaan test masing-masing adalah 112. Level sensorik dan
motorik diidentifikasi sebagai segmen paling kaudal dari medulla spinalis yang masih
memiliki fungsi sensorik dan motorik normal.

16

Gambar 9 The American Spinal Injury Associotion (ASIA) neurologic classification of spinal cord
injury and the ASIA impairment scale.

Tabel 2 Klasifikasi cedera medulla spinalis menurut ASIA dan IMSOP


Grade
Grade A

Lesi
Komplit

Kondisi fungsi motorik dan sensorik


Tidak ada fungsi motorik dan sensorik yang
masih baik pada segmen setinggi S4-S5

Grade B

Inkomplit

Fungsi sensorik masih baik, namun fungsi


motorik terganggu di bawah level dan meluas
sampai setinggi segmen S4-S5

Grade C

Inkomplit

Fungsi sensorik masih baik. Fungsi motorik di


bawah level masih ada dan lebih dari dari
setengah otot-otot di bawah level memiliki
kekuatan <3

Grade D

Inkomplit

Fungsi sensorik masih baik. Setengah dari


otot-otot di bawah level memiliki kekuatan
motorik dengan nilai 3

Grade E
2.7.

Normal

Fungsi motorik dan sensorik normal

Gejala klinis
17

Cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua, yaitu cedera medula spinalis
parsial dan total.1,2 Gejala klinis cedera medula spinalis bergantung pada tinggi dan
derajat keparahan lesi. Pasien yang mengalami trauma pada vertebra diatas C4 akan
membutuhkan ventilator untuk bernafas karena lesi akan mengganggu fungsi otonom
tubuh pasien. Berikut ini adalah gambaran gejala dan tanda yang akan dialami pasien
yang mengalami lesi medula spinalis inkomplit:
Central Cord Syndrome
Central Cord Syndrome terjadi sekitar 9% dari total seluruh cedera medula
spinalis dan merupakan sindroma medula spinalis yang paling sering ditemukan.
Sindroma ini pertama kali dilaporkan oleh Thornburn pada tahun 1887 dan di
populerkan oleh Scneider dkk, pada tahun 1954.10 Mekanisme cedera yang
menyebabkan terjadinya sindrom ini adalah hiperekstensi leher. Hiperekstensi leher
dapat menyebabkan trauma pada bagian sentral medula spinalis. Hal ini
mengakibatkan injuri pada traktus kortikospinal lateralis yang terletak di bagian
medial dari medula spinalis. Traktus kortikospinal lateralis merupakan traktus yang
terdiri dari saraf-saraf yang mempersarafi ekstremitas atas. Sehingga, injury pada
traktus ini dapat menyebabkan kelemahan motorik terutama pada ekstremitas atas.
Namun, tidak menutup kemungkinan kelemahan motorik ekstremitas bawah juga
dapat terjadi. Gangguan fungsi lain yang dapat terjadi pada sindrom ini adalah
gangguan fungsi otonom (disfungsi kandung kemih yang berupa retensi urin) dan
berbagai derajat gangguan fungsi sensorik.
Pasien dengan usia lanjut memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom ini
karena umumnya telah mengalami spondilosis servikal, penebalan ligamentum
plavum daro posterior sehingga dapat menyebabkan trauma pada bagian sentral
medula spinalis. Selain itu, trauma kompresi dan dislokasi juga dapat menyebabkan
terjadinya sindrom ini karena lebih sering menyebabkan injuri pada sentral medula
spinalis.

18

Gambar 10 Central Cord Syndome

Anterior Cord Syndrome


Anterior cord syndrome merupakan sindrom yang terjadi karena trauma pada korda
anterior medulla spinalis. Mekanisme cedera yang paling sering menyebabkan sindrom
ini adalah fleksi atau rotasi leher. Trauma yang menyebabkan sindrom ini dapat berupa
trauma kompresi langsung(oseus) yang mengenai korda anterior medela spinalis atau
cedera iskemik pada arteri spinalis anterior. Trauma pada korda anterior medulla spinalis
akan menyebabkan gangguan pada fungsi traktus kortikospinalis ventral dan traktus
spinotalamikus spinotalamikus. Pasien dengan sindrom ini akan mengalami deficit
motorik bilateral dan komplit di bawah level lesi. Gangguan fungsi lain yang juga dapat
dialami pasien adalah kehilangan sensasi nyeri dan suhu beberapa level di bawah lesi.
Sementara itu fungsi kolumna posterior umumnya tidak terganggu(vibrasi dan posisi).

19

Gambar 11 Anterior Cord Syndrome

Posterior Cord Syndrome


Posterior cord syndrome merupakan sindrom yang terjadi akibat adanya trauma pada
korda posterior medulla spinalis. Mekanisme cedera yang paling sering menyebabkan
sindrom ini adalah hiperkestensi servikal dengan fraktur pada posterior vertebra. Pada
korda posterior terdapat fasikulus kuneatus dan fasikulus grasilis yang berfungsi
mentransmisikan sinyal diskriminasi dua titik ipsilateral, vibrasi, dan proprioseptif.
Sehingga trauma pada korda posterior akan menyebabkan gangguan diskriminasi, vibrasi
dan proprioseptif. Sedangkan fungsi motorik dan sensasi nyeri serta suhu tetap baik.

Gambar 12 Posterior Cord Syndrome

Brown-sequard syndrome

20

Brown-sequard syndrome merupakan sindrom yang terjadi akibat hemiseksi medulla


spinalis. Mekanisme cedera pada sindrom ini adalah trauma tembus pada tulang belakang
di region leher atau punggung. Trauma tersebut dapat menyebabkan kerusakan traktus
ascending dan desending pada salah satu sisi korda spinalis. Hal ini akan bermanifestasi
sebagai gangguan fungsi motorik ipsilateral, gangguan proprioseptif ipsilateral, gangguan
sensorik berupa hilangnya sensasi nyeri dan suhu kontralateral satu atau dua level di
bawah lesi.

Gambar 13 Brown-Sequard Syndrome

Conus Medularis syndrome


Conus medularis syndrome merupakan syndrome yang terjadi akibat trauma yang
terjadi pada radiks lumbal. Trauma pada radiks lumbal akan bermanifestasi dalam bentuk
kombinasi gejala upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN). Gejala
yang sering ditemukan adalah arefleksia kandung kemih, sistem gastrointestinal, dan
ekstremitas bawah. Pasien sering kali mengeluhkan baal di sekitar anus. Dapat terjadi
deficit motorik dan sensorik pada ekstremitas bawah dengan tingkat yang bervariasi.

21

Gambar 14 Conus Medularis Syndrome

Cauda equine syndrome


Cauda equine syndrome merupakan sindrom yang terjadi akibat kompresi
pada kauda equine oleh tulang atau protusi diskus. Gejala klinis dari sindrom ini dapat
berupa low back pain, kelemahan pada ekstremitas bawah yang asimetris, hilangnya
fungsi sensorik yang asimetris, retensi atau inkontinensia urine, menurunnya tonus
rectum/spingterani, seaddle anesthesia, disfungsi ereksi pada pria dan gangguan
respon seksual pada wanita, serta terganggunya refleks bulbokavernosus.

Gambar 15 Cauda Equina Syndrome

2.8.
2.8.1

Diagnosis
Evaluasi Klinis

22

Diagnosis dapat di tegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan


pemeriksaan radiologis. Dugaan terhadap adanya cedara medulla spinalis di dapatkan
melalui anamnesis yang menyeluruh baik mengenai mekanisme trauma dan gejala
yang berhubngan dengan trauma pada daerah spinal (umunya nyeri) dan adanya
defisit motorik dan sensorik.14 Selain itu, Cedera medula spinalis akut harus diduga
jika di temukan adanya gejala Motorik berupa hemiplegi, tetraplegia, atau paraplegi.
Atau adanya gejala sensorik berupa hemianestesi atau hemihipestesi. Atau adanya
gejala otonom berupa retensio urine, konstipasi, ileus, hipotermi, hipotensi, ataupun
bradikardi.8,14
Namun, untuk lebih memudahkan pemeriksa untuk menentukan level trauma
medulla spinalis yang dialami oleh seseorang, maka ASIA (American Spinal Injury
Association)

telah

merekomendasikan

atau

menciptakan

langkah-langkah

pemeriksaan untuk menentukan level cedera tersebut, yaitu (Asia, 2014):


1. Tentukan level sensorik pada bagian tubuh kanan dan kiri
Merupakan bagian terbawah dimana dermatome tubuh yang diperiksa
menggunakan tes pin prick dan tes raba halus masih utuh. Lakukan pemeriksaan
dengan menggunakan pemeriksaan pin prick dan light touch, dimana untuk setiap
dermatom maksimal diberi nilai 2 dengan total seluruhnya (dermatom tubuh
bagian kanan dan kiri) untuk masing-masing pemeriksaan adalah 112. Untuk skala
pemeriksaan masing-masing dermatom adalah sebagai berikut (Asia, 2014):
0 = absent
1 = terganggu
2 = normal
NT = not testable
Tabel 3. Petanda Pemeriksaan Sensorik (Greenberg, 2006)
Level
C2
C3
C4
C5
C6

Dermatome
Occipital protuberance
Supraclavicular fossa
Ujung sendi acromioclavicular
Bagian samping antecubital fossa
Ibu jari, pemukaan belakang, proximal

Level
T8
T9
T10
T11
T12

Dermatome
ICS 8
ICS 9
ICS 10 (umbilicus)
ICS 11
Titik tengah ligamen inguinal

C7

phalanx
Jari tengah,

belakang,

L1

Pertengahan jarak T12 dan L2

C8

proximal phalanx
Jari kelingking, permukaan belakang,

L2

Bagian mid-anterior paha

T1
T2
T3

proximal phalanx
Bagian dalam (ulnar) antecubital fossa
Puncak axilla
Intercostal space (ICS) 3

L3
L4
L5

Medial femoral condyle


Medial malleolus
Kaki bagian dorsal pada sendi metatarsal

T4

ICS 4 (garis puting)

S1

3
Tumit bagian samping

permukaan

23

T5
T6
T7

ICS 5
ICS 6 (xiphoid process)
ICS 7

S2
S3
S4-5

Pertengahan popliteal fossa


Ischial tuberosity
Area perianal

Gambar 16. Dermatome Tubuh (Asia, 2014)


2. Tentukan level motorik pada bagian tubuh kanan dan kiri
Merupakan bagian terbawah tubuh yang diperiksa dengan nilai minimal 3 dan segmen
di atasnya dinilai masih utuh (skor 5). Lakukan pemeriksaan motorik pada bagian
tubuh yang dipersarafi oleh segmen medulla spinalis tertentu dengan nilai total yang
dapat dicapai adalah 100. Berikut adalah skala pengukuran motorik (Asia, 2014):
0
: paralisis total
1
: masih teraba atau terlihat adanya kontraksi otot
2
: pergerakan aktif, tidak ada hambatan ROM (range of motion), tidak bisa
3

melawan gravitasi
: pergerakan aktif, tidak ada hambatan ROM (range of motion), dapat melawan

gravitasi
: pergerakan aktif, tidak ada hambatan ROM (range of motion), dapat melawan

gravitasi dan sedikit tahanan pemeriksa


: pergerakan aktif, tidak ada hambatan ROM (range of motion), dapat melawan

gravitasi dan tahanan yang normal dari pemeriksa


NT : not testable (pasien tidak dapat diperiksa oleh karena beberpa sebab seperti
dilakukannya imobilisasi, nyeri atau adanya kontraktur)
3. Tentukan satu level neurologikal yang mungkin

24

Merupakan segmen medulla spinalis terbawah dimana fungsi motorik dan sensorik
masih normal pada kedua belahan tubuh dan yang paling mendekati setelah dilakukan
pemeriksaan pada langkah 1 dan 2 (Asia, 2014).
4. Tentukan apakah traumanya bersifat komplit atau tidak
Jika voluntary anal contraction = No dan skor sensori S4-5 = 0 dan deep anal
pressure = No, maka cedera dikatakan KOMPLIT, tetapi jika sebaliknya maka cedera
dikatakan INKOMPLIT (Asia, 2014). Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan rectal
toucher pada pasien untuk menilai (Greenberg, 2006):
a. Adakah sensasi yang dapat dirasakan pasien ketika pemeriksa memasukkan jarinya
ke dalam lubang anus
b. Pemeriksa merasakan tonus sphincter ani pasien, baik saat istirahat maupun saat
berkontraksi (volunter)
5. Tentukan derajat cedera menggunakan ASIA Impairment Scale
Berikut adalah tabel yang dapat dipakai untuk menentukan derajat cedera medulla
2.8.2

spinalis yang dialami pasien (tabel 2).


Pemeriksaan Penunjang9
PenilaianAwalRumahSakit
Saat pertama kali pasien dating ke rumah sakit, riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik harus didapatkan secara lengkap. Paramedic biasanya dapat
membantu memberikan kesimpulan secara lengkap mengenaikejadian terjadinya
cederadariberbagaisumber.Riwayatpenyakitsebaiknyaterfokuspadawaktudan
mekanisme cedera.Informasimengenai cederapadaservikal dapatdiketahui pada
saatkejadian.Timtraumasebaiknyamelakukanpenilaianulangterhadapjalannapas,
pernapasandansirkulasiketikapasiensudahterpasangmonitot.Pipanasogastricdan
kateterfoleydapatdigunakan.Pemeiksaandarahmeliputimetabolismdasar,hitung
sel darah lengkap, pembekuan darah dan keracunan (toksikologi) sebaiknya
dilakukan. Pemeriksaan fisik secara detail sangatlah penting dilakukan dalam
menentukankelengkapandanderajatkeparahandaricedera.Halinitermasukdalam
mengevaluasireflekreflekototsepertirefekkutaneusabdomen,kremasterdanreflek
sacral.Tulangsacrumsebaiknyadievaluasipadasemuapasien.Pencitraanradiografi
sebaiknyadilakukanuntukmenentukanlokasicedera.Berdasarkanmanifestasiklinis
dantemuanpencitraan,keputusansebaiknyasecaracepatsebaiknyadilakukandalam
menentukanreduksitertutup,dekompresidanstabilisasiataumanajemenkonservasi.
EvaluasiRadiografi

25

Padapasienyangsadardanyangterganggukesadarannya,evaluasidengan
menggunakan radiografi pada awal terjadinya cedera tulang belakang sebaiknya
dilakukan dengan menggunakan CTScan tulang belakang servikal kualitas tinggi,
dan bila tidak tersedia dapat pula digunakan 3 gambaran radiografi sederhana
berdasarkanpadakriteriaNEXUS(NationalEmergencyXRadiographyUtilization
Study). Terdapat 5 kritetria yang digunakan untuk membantu dokter dalam
mengeksklusikan pasien dengan risiko rendah untuk dilakukan radiografi servikal.
Sadarpenuh,pasienasimtomatisyangmemenuhisemuakriteriapadaBox63.2dapat
dilakukan pencitraan. Studi ini dilaporkan memiliki sensitifitas sebesar 99% dan
sensitifitas sebesar 12,9% dalam mendiagnosis cedera tulang belakang dengan
menggunakankriteriakriteriatersebut.TheCanadianCSpineRulediketahuilebih
baikdibandingkandengankriteriaNEXUSpadasensitifitasdanspesifisitaspasien
dengan cedera kepala yang dalam kondisi stabil. Kriteria skrining meliputi factor
risikotinggi,factorrisikorendahdankemampuanuntukmerotasikan lehersecara
aktif.DenganmenggunakanCanadianCSpineRule,pasienyangberusialebihdari
65 tahun dengan mekanisme berbahaya atau dengan paraestasia (kriteria risiko
tinggi) sebaiknya dilakukan radiografi sederhana. Kedua kriteria tersebut tidak
dilakukan penilaian lebih lanjut sebagai kriteria risiko tinggi. Bila pasien pada
kelompok ini baru merasakan nyeri dan meraakan nyeri tekan pada daerah leher
bagian posterior, tidak diperbolehkan dalam posisi duduk, atau posisi ambulatory,
kapansajasetelahterjadinyacederaatauterlibatpadakecelakaankendaraanbermotor
sederhana,kemudianpencitraansebaiknyadilakukan.Bilakekurangandatatemuan,
selanjutnyadilakukanpenilaiandengancaramenilaikemampuandalammerotasikan
kepala.CTScankualitastinggiatautigagambaranradiografisederhanapadatulang
belakangservikalsebaiknyadilakukanpadaapsienyangtidakmampumerotasikan
kepalanyalebihdari45derajatdarisegalaarah.
PlainRadiografi
PlainRadiografi sebaiknyameliputi anteroposterior (AP),odontoidterbuka
dan gambaran lateral dengan fleksiekstensi. XRay CSpine lateral yang adekuat
dapat memvisualisasikan area antara occiput dan puncat T1. Gambaran Swimmer
dapat membantu dalam melihat bagian kaudal dari tulang servikal. Empat garis
sebaiknya digambar pada XRay bagian lateral CSpine untuk mengevaluasi

26

subluksasiataufraktur.(1)garisanteriorvertebrae,(2)garisposteriorvertebrae,(3)
garislaminarspinal,(4)garisposteriorspinosa.Temuantemuanyangmenunjukkan
subluksasilebihdari3,5mmatausudutkifosislebihdari11derajatterhadapsegmen
vertebrae dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Subluksasi yang mencapai 25%
atau50%menandakanadanyalepasnyafasetbaikbilateralataupununilateral.
Cedera distraksi fleksi ringan dapat dicurigai melalui adanya perluasan /
pelebaran jarak interspinosa. Atlantodental interval merupakan sebuah pengukuran
yangdiambildaribatasanteriorhinggakebagianterdekatdengananteriorarkusCI.
Bila nilainya lebih dari 3 mm, dapat dicurigai terjadinya robekan ligamentum
transversum.RasioPowersmerupakanrasioantarajarakdaridasarkearkusposterior
dari atlas yang dibagi oleh jarak dari ophistion ke arkus anterior atlas. Disosiasi
atlantooksipitaldapatdicurigaidarirasiopowersyanglebihdari1.
PembengkakanjaringanlunakdisekitarvertebraedapatpuladiketahuipdaX
RaylateralCSpine.NormalnyabatasatasC3yaitusebesar4mm.sejumlahmassa
yangtergantungdilateraldariC1danC2yangdapatdilihatpadagambaranodontoid
dapatdiukuruntukmenentukanintegritasdariligamentumtransversum.Massayang
tergantunglebihdari7mmdapatdicurigaisebagairobeknyaligamentumtransversum.
XRay secara lengkap pada seluruh tulang belakang sebaiknya dilakukan bila
ditemukanadanyakelainanpadatulangbelakangyangterdekteksimelaluipencitraan,
sejakcederatulangbelakngyangtidakmenularterlihatpada10,5%kasus.Radiografi
padatulangbelakangtorakaldanlumbalAPlateralsebaiknyadilakukanuntukmenilai
aligment,kifosis,ketinggiandiskusdanfraktur.
FrakturTorakalbiassajatakterlihatpadagambaranXRaydanmembutuhkanCT
Scan atau MRI bila dicurigai ada cedera pada region ini. Foto Skoliosis dapat
mendeteksi adanya deformitas dan ketidakseimbangan sagittal tetapi lebih penting
lagi dapat dipakai sebagai landasan studi untuk menilai kifosis post traumatic
progresif
CTScan
Potongan tipisaksial CTScan tulang belakang dengan rekonstruksi sagittal lebih
sensitif dalam mendiagnosis fraktur tulang belakang. Selain itu, fraktur di region
oksipitoservikal atau di cervicothoracal junction dapat terlihat lebih baik dengan
menggunakan CTScan. Computed Tomography Angiography (CTA) dapat

27

digunakanuntukmenilaicederaarterivertebralisdenganfrakturyangmeliputiforame
transversum dari C1 C6. Studi CT dinamis dapat digunakan untuk menilai
subluksasirotatoriatlantoaksial.

Gambar 17 Gambaran Ct-Scan Abdomen Penderita dengan Cedera Medulla Spinalis

MRI
MRImerupakanujisensitivedalammengevaluasicederaligament,robeknyadiskus,
kompresisumsumtulangatauhematompadatulangbelakang.Pasientraumayang
mengalami gangguan kesadaran, yang tidak dapat melakukan fleksiekstensi pada
tulangbelakangservikal,dapatdilakukanpemeriksaanMRIdalamwaktukurangdari
24jamuntukmengevaluasicederaligamentyangdisertaidenganShortTauInversion
Recovery(STIR).Cederapadaligamenttransversumjugadapatdievaluasidengan
menggunakanMRI.Supresilemakdapatmembantudalammendiagnosisdiseksipada
tulangbelakang.KEtikaterdiagnosisdenganterlepasnyafasettulangservikal,MRI
dapatdilakukanuntukmembantumendeteksiherniasidiskusyangdapatberpengaruh
kepadastrategipengobatan.
2.9.

Tatalaksana
Prinsip terapi cedera spinal traumatika ditujukan untuk
1.
2.
3.
4.

Meminimalkan kemungkinan terjadinya defisit neurologis


Mengembalikan integritas kolum spinalis semaksimal mungkin
Mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi
Optimalisasi rehabilitasi fungsional
Pada pasien-pasien cedera kepala berat dengan penurunan kesadaran, pasien

pascatrauma yang mengeluh nyeri pada vertebra, cedera pada supraclavicula,


luka/memar pada wajah, dan/atau mengalami defisit neurologis pada ekstremitasnya

28

perlu dicurigai adanya cedera pada kolum spinal. Perhatian pertama pada pasien
cedera spinal ini terutama pada area leher atas, khususnya ditujukan pada fungsi
respirasi.
Jalan napas (airway) harus bersih dan pemeriksa harus memeriksa keadaan
servikal pasien. Pada pasien yang belum jelas apakah terjadi gangguan pada servikal
atau tidak, maka perlu dipasang pelindung leher (collar neck). Pelindung leher ini
baru dilepas bila tidak terbukti adanya cedera spinal. Berikutnya, pemeriksa harus
memeriksa pernapasan pasien (breathing). Apabila dijumpai adanya paralisa
diafragma, maka perlu segera dipasang bantuan ventilasi. Setelah itu, pemeriksaan
ditujukan pada sirkulasi (circulation) untuk melihat apakah sirkulasi pasien cukup
adekuat atau tidak. Gangguan kontrol simpatis dapat mengakibatkan hipotensi tanpa
adanya kehilangan darah. Pemberian cairan yang tepat perlu dipertimbangkan dengan
seksama pada kasus semacam ini.
Hal berikutnya yang diperhatikan adalah mengenai disabilitas (disability).
Dalam hal ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tandatanda lateralisasi, dan tingkat level cedera spinal. Biasanya pasien-pasien yang
mengalami defisit neurologis ataupun cedera tulang torakal atau lumbal akan
mengalami retensi urin. Maka pasien perlu dipasang kateter urin. Setelah memeriksa
disabilitas pada pasien, hal yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan evaluasi
(evaluation). Evaluasi disini adalah memeriksa kembali keadaan pasien dari ujung
rambut sampai kaki.
Tatalaksana medikamentosa untuk cedera medulla spinalis didasarkan pada
rekomendasi National Acute Spianl Cord Injury Studies III(NASCIS III) berdasarkan
NASCIS II dan NASCIS III, pasien dengan trauma medulla spinalis akut diberikan
terapi metilprednisolon dalam 8 jam pertama setelah terjadinya trauma. Jika psien
datang kurang dari 3 jam pertama setelah terjadinya cedera medulla spinalis, pasien
diberikan dosis methylprednisolone 30mg/kgBB bolus selama 15 menit. Berikan jeda
45 menit sebelum dilanjutkan dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam dalam infus selama 23
jam berikutnya. Jika pasien datang dalam rentang waktu 3-8jam pasca trauma, maka
methylprednisolone diberikan dengan dosis 30mg/kgBB bolus selama 15 menit.
Kemudian di lanjutkan dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam dalam infus selama 48 jam
berikutnya.
Pemberian methylprednisolone 8 jam pasca trauma tidak dianjurkan karena
memberikan

hasil

pengobatan

yang

lebih

buruk

dibandingkan

placebo.

Methylprednosolon dosis tinggi memiliki efek samping berupa perdarahan


29

gastrointestinal, pneumonia, sepsis, ulkus peptic, dan hiperglikemia. Pada lesi medulla
spinalis setinggi servikal dan torakal dapat terjadi vasodilatasi perifer akibat
terputusnya intermediolateral kolumna medulla spinalis. Akibatnya terjadi hipotensi,
hal ini dapat diatasi dengan pemberian simpatomimetik agents, seperti dopamine atau
dobutamin. Bradikardi simptomatis dapat diberika atropine.
Jika terjadigangguan pernapasan pada cedera servikal, merupakan indikasi
perawatan di ICU. Pada cedera medulla spinalis, rehabilitasi ditujukan untuk
mengurangi spastisitas, kelemahan otot dan kegagalan koordinasi motorik. Terapi
fisik dan strategi rehabilitasi yang lain juga penting untuk mempertahankan
fleksibilitas dan kekuatan otot dan untuk reorganisasi fungsi saraf, penting juga
memaksimalkan penggunaan serat saraf yang tidak rusak.9
Tindakan operasi
Tatalaksana berupa tindakan operatif paling baik dilakukan dalam jangka
waktu 24 jam sampai 3 minggu setelah terjadinya trauma. Indiksi tindakan operatif
adalah:
1.
2.
3.
4.

Terdapat fraktur dan pecahan tulang yang menekan medulla spinalis


Gambaran defisit neurologis yang progresif memburuk.
Fraktur atau dislokasi yang tidak stabil.
Terjadinya herniasi diskus intervertebralis yang menekan medulla spinalis.

Indikasi operasi adalah untuk dekompresi, stabilisasi, dan koreksi deformitas.


White dan Panjabi mendefinisikan stabilitas spinal sebagai kemampuan vertebra di
bawah beban fisiologis untuk membatasi pola pergeseran sehingga tidak merusak atau
mengiritasi medulla spinalis atau radix spinalis dan sebagai tambahan, mencegah
deformitas yang melumpuhkan atau nyeri karena perubahan struktural (White dan
Panjabi, 1990). Hasil pemeriksaan radiografis awal dapat menunjukkan instabilitas
spinal, namun penilaian klinis berdasarkan riwayat dan pemeriksaan serta pencitraan
dapat lebih menegakkan diagnosis instabilitas spinal yang lebih definitif.9
Untuk fraktur dan dislokasi akut, penentuan waktu kejadian dalam
hubungannya dengan manifestasi dan kelengkapan cedera perlu dinilai. Uji acak
prospektif dengan model hewan menunjukkan adanya perbaikan neurologis dengan
dekompresi operatif yang segera pada kasus cedera medulla spinalis (Rabinowitz
dkk., 2008). Dalam ulasan sistematik literatur tersebut, dekompresi yang dilakukan
dengan segera terbukti memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan
dekompresi yang dilakukan belakangan apabila dilakukan dalam 24 jam setelah
terjadinya cedera (La Rosa dkk., 2004).

30

Operasi pada periode awal terbukti aman apabila parameter hemodinamik


stabil serta terdapat ahli bedah dan ahli anestesi (Fehlings dan Perrin, 2006).
Dekompresi pada kasus herniasi discus dan fraktur yang menyebabkan central cord
syndrome terbukti memberikan hasil yang memuaskan dalam hal pemulihan motorik
dan rasio biaya-efektivitas (Guest dkk., 2002).9
Patologi servikal yang dapat menyebabkan central cord syndrome terbagi
menjadi tiga kategori: (1) spondilosis servikal pada kasus stenosis spinal segmental
atau patologi anterior karena kompleks discus/osteofit; (2) subluksasi fraktur; dan (3)
sekuestrasi

discus

tanpa

spinal

stenosis.

Sebelumnya,

penentuan

waktu

dilaksanakannya dekompresi bersifat kontroversial, akan tetapi bermunculan buktibukti yang semakin kuat bahwa dekompresi awal berhubungan dengan prognosis
yang lebih baik. Surgical Timing in Acute Spinal Cord Injury Study (STASCIS)
merupakan studi cohort internasional multicenter terbesar dalam studi tentang cedera
medulla spinalis akut. Studi tersebut merekrut 313 pasien, yang 182 di antaranya
menjalani dekompresi awal (<24 jam) dengan rata-rata waktu tunggu 14,2 5,4 jam
sebelum operasi sedangkan 121 sisanya dalam kelompok yang menjalani dekompresi
dengan rata-rata waktu tunggu 48,3 29,3 jam sebelum operasi. Studi tersebut
menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya perbaikan adalah 2,8 kali lebih besar
pada kelompok yang menjalani dekompresi lebih awal (Fehlings dkk., 2012).9
Studi terbaru lainnya dari Pakistan menunjukkan bahwa mereka juga
mendapati hasil yang memuaskan dari tindakan dekompresi awal (Umerani dkk.,
2014). Metaanalisis terbaru dari 18 studi memperlihatkan bahwa operasi spinal
awal memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan skor motorik total
yang lebih tinggi, angka perbaikan neurologis yang lebih besar, dan durasi rawat inap
yang lebih singkat; meskipun begitu, karena heterogenitas dari studi-studi tersebut,
bukti yang diperoleh tidak dapat dianggap kuat (van Middendorp dkk., 2013).9
Baru-baru ini Spine Study Trauma Group mencoba membuat protokol standar
untuk memandu dokter-dokter dalam menangani fraktur torakolumbal. Hasilnya,
terciptalah Thoracolumbar Injury Severity Score (TLISS) dan Thoracolumbar Injury
Classification and Severity Score (TLICS). TLISS merupakan algoritma yang
menentukan skor berdasarkan mekanisme cedera, cedera ligamen posterior, dan
defisit neurologis (Vaccaro dkk., 2005). Ada pendapat bahwa dapat muncul
variabilitas yang besar antarpengamat saat mereka mencoba membuat postulat
mekanisme cedera dan memberikan skor tambahan untuk kategori tersebut. TLICS
31

kemudian diciptakan untuk memusatkan perhatian pada morfologi fraktur (Lee dkk.,
2005). Karena sejauh ini reliabilitas dari kedua sistem tersebut belum teruji dan belum
divalidasi secara klinis, para dokter tidak boleh semata-mata bergantung pada
algoritma TLICS dan TLISS dalam memandu pengambilan keputusan.9
Pasien-pasien dengan fraktur kompresif pada vertebrae thoracolumbales yang
tidak memerlukan intervensi operatif bisa memenuhi syarat untuk prosedur
augmentasi vertebra. Vertebroplasty ,merupakan prosedur perkutaneus yang
menyuntikkan semen tulang akrilik yang diformulasikan khusus untuk memberikan
stabilitas. Kyphoplasty adalah prosedur yang memanfaatkan balon perkutaneus yang
dapat dipompa untuk mengembalikan tinggi vertebra serta mengurangi komplikasi
karena kebocoran semen. Secara teori, prosedur ini dapat mengembalikan ketinggian
(atau ketebalan) corpus vertebra dan mengurangi deformitas kifotik. Umumnya,
pasien yang memenuhi syarat untuk menjalani vertebroplasty harus memiliki fraktur
akut atau subakut dan tidak ada kebocoran pada corpus vertebra bagian posterior. Dua
uji acak prospektif terbaru gagal memperlihatkan adanya perbaikan dari nyeri dengan
prosedur vertebroplasty (Buchbinder dkk., 2009; Kallmes dkk., 2009). Meskipun
kyphoplasty terbukti mengurangi deformitas kifotik lokal, nampaknya tidak ada
dampak positif yang terlihat secara keseluruhan (Korovessis dkk., 2008; Pradhan
dkk., 2006).9
2.10.

Komplikasi
Komplikasi akut dibagi menjadi komplikasi hiperakut dan komplikasi subakut seperti
pada table berikut.
Komplikasi hiperakut:
Hipotensi
Efek simpatektomi
Perdarahan
Bradikardi
Dengan atau tanpa hipovolemi
Hipotermi atau demam
Dengan atau tanpa infeksi
Hipoventilasi/gagal napas
Occiput-C2: kehilangan seluruh fungsi respirasi, kelemahan n.cranialis.
C3-C4 : Diafragma dan intercostal mempertahankan fungsi faring dan laring
C5-T1 : Intercostal mempertahankan diafragma
T2-T12:Kehilangan fungsi intercostal bervariasi (hati-hati berhubungan

dengan ARDS sekunder pada aspirasi dan tenggelam pada saat cedera).
Komplikasi Iatrogenic
Dislokasi dengan cedera medulla spinalis sekunder
32

Decubitus karena prolong spine board maintenance


Perdarahan Gastrointestinal
Dengan atau tanpa pemberian streroid
Dengan atau tanpa pemberian dosis kecil heparin
Ileus, distensi abdominal/vomitus.
Komplikasi sub akut cedera medulla spinalis
Gagal nafas sekunder
Sumbatan lender
Atelectasis
Pneumonia
Emboli paru
Thrombosis vena dalam
Fungsi bledder dan bowel
Priapism
Retensi urine dengan overdistensi bladder
Bladder dapat flaccid atau spastik
Spingter dapat flaccid atau spastik
Dissinergik vesikosfingterik
Impaksi fecal
Overdistensi rektal
Hemoroid
Decubitus
Hati-hati pada penggunaan spine board yang lama untuk proses diagnostic

2.11.

atau terapi
Malnutrisi
Reflex otonom
Biasanaya sekunder dari overdistensi bladder dan bowel
Usia penderita dan penyakit kronis meningkatkan semua resiko dari cedera

medulla spinalis.
COPD komplikasi paru
ASCVD komplikasi jantung + serebral
Degenerative spinal stenosis komplikasi neurologis
Hipertrofi prostat komplikasi urologi
Osteoporosis komplikasi ortopedik
Prognosis
Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit, 90%
penderita cedera medulla spinalis dapat membaik dan hidup mandiri. Kurang dari 5%
pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis
komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu
samapi 6 bulan pasca cedera medulla spinalis. Kemungkinan pemulihan spontan
menurun setelah 6 bulan.18

33

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

1.1

KESIMPULAN
Cedera Medula spinalis adalah cedera yang menimpa medula spinalis yang
menyebabkan kerusakan, baik komplit maupun inkomplit, dan gangguan fungsi
mayor (motorik, sensoris, otonom, dan refleks). Trauma medula spinalis sering terjadi
pada kaum remaja dan dewasa muda seiring dengan meningkatnya kejadian
kecelakaan lalu lintas, yang tentu saja dapat merusak kualitas hidup seseorang sedari
muda.
Prinsip terapi dari trauma medula spinalis ini adalah Meminimalkan kemungkinan
terjadinya defisit neurologis, Mengembalikan integritas kolum spinalis semaksimal
mungkin Mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi, dan Optimalisasi rehabilitasi
fungsional. Pada aspek biomolekular, berdasarkan waktu kejadian, trauma medula
spinalis dibagi menjadi dua, primer dan sekunder. Trauma primer adalah trauma yang
disebabkan secara langsung setelah benturan, sedangkan trauma sekunder adalah
trauma yang terjadi karena trauma primer yang meliputi syok neurogenik, kerusakan
vaskuler seperti perdarahan dan iskemia, eksotosisitas, trauma sekunder yang
dimediasi kalsium dan gangguan cairan-elektrolit, apoptosis, gangguan di fungsi
mitokondria, dan proses lainnya.
Dengan mengetahui kedua aspek biomelekuler tersebut, diharapkan akan bisa
menentukan intervensi yang tepat dari segi pengobatan dan pembedahan untuk
mencegah efek lanjutan yang lebih buruk dari trauma medula spinalis.
Penggunaan kortikosteroid terutama methylprednisolone dosis

tinggi,

direkomendasikan pada studi yang diberi nama NASCIS II (National Acute Spinal
Cord Injury Study). Methylprednisolon 30mg/kgbb dalam 15 menit kemudian
dilanjutkan 5,4 mg/kgbb dalam 23 jam berikutnya pada cedera medulla spinalis dalam
8 jam setelah cedera medulla spinalis meningkatkan prognosis neurologis pasien.
34

Study

NASCIS

III

kemudian

menambahkan

menambahkan

bahwa

terapi

methylprednisolone yang dimulai dalam 3 jam setelah cedera medulla spinalis harus
dilanjutkan selama 48 jam.
Penyusun menyadari terdapat banyak kekurangan dari segi isi, sumber, maupun
penulisan dalam referat ini. Saran dan kritik akan selalu diharapkan dari para
pembimbing, konsulen, dan rekan sejawat.
1.2

SARAN
Adapun saran terhadap petugas kesehatan terutama dokter spesialis saraf dapat
meningkatkan profeionalisme dalam menangani cedera medulla spinalis sesuai
dengan standar. Dan agar petugas kesehatan dapat memberikan tatalaksana yang
adekuat agar dapat mencegah secondary injury/sekuele pasca trauma pada penderita
cedera medulla spinalis.

35

DAFTAR PUSTAKA

1. Noback CR, Strominger NL, Damerest RJ, et al. The Human Nervous System
Structure and Function. 6th Edition. New Jersey: Humana Press Inc.2005
2. Steinmetz MP, Anderson P, Pata R, Resnick DK. Anatomy and Pathophysiology of
Spinal Cord Injury. In Atlas of Spine Trauma Adult And Pediatric. WB
Saunders.2008:11-20
3. Sonne C, Imaging of Traumatic Spine Injury, AAN 2004.
4. Marcotte PJ, Shaver EG, Weil RJ, Acute Spinal Disorder in Neurologic and
Neurosurgical Emergency, WB Sunders, 2011, p.363-403
5. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones
HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. 2 nd Edition. Elsevier, Saunders. 2012. P.56771.
6. Dummont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part 1:Patophysiologic mechanisms. Clin
Neuropharmacol 2001;24(5):254-64
7. Snell RS. Chapter 4.The spinal Cord and Discending Tracts. In: clinical
Neuroanatomy.7th Edition. Lippincott William & Willkins,Philadelphia.2010.p 13384.
8. Gondim FAA, Gest TR. Topographicand Functional Anatomy of The Spinal Cord .
Emedicine

Medscape

2013.

http://emedicine.madscape/article/1148570-

overview#showall
9. Robbert BD, Joseph J, John CM, Scot LP. Trauma of the Nervous System, Spinal
Cord Trauma. In: Bradleys Neurology in Clinical Practice.7 th Edition.Elsevier, Phila
delphia.2012.p 881-902.
10. DeJongs,SectionE.TheNeurologicExamination.In:TheMotorSystem,TheSpinal
CordSection.7th Edition.WilliamW.Champbell,MD.Bathesda,Maryland.2013.Page
375388.
11. Satyanegara, Ilmu bedah Saraf, Ed.3, 1998, Gramedi, Hal.321-7
12. National Institute of Neurological Disorder ang stroke. Spinal Cord Injury, Emerging
Concepts. Juli 2001.
13. Schreiber D. Spinal Cord Injuries. Feb 2003. Available at: http://emedicine.com
14. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/79382overview#showall

36

15. Stieletall.TheCanadianCspineRuleversustheNEXUSlowriskcriteriainpatient
withtrauma.NengJmed2003;349:25108.
16. Yeon HB, Sethi RK, and Harris MB, Evaluation and Early Management of Spinal
Injury ina polytrauma patient. In Atlas of Spine Trauma Adult and Pediatric. WB
Saunders. 2008:21-27
17. Steroid for Spinal Cord Injury. Trauma org. May 10, 2005.
18. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, Neurotrauma, McGraw Hill, p1095-165,
1229-44
19. Randall, Dumont. 2001. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mehanisms.

University

of

Virginia.

available

form:

http://grants.hhp.coe.uh.edu/clayne/6397/SCI_online/Dumont_pathophysiologic_Mec
h_2001.pdf
20. Crossman AR, Neary D, Neuroanatomi: medulla Spinalis, p69-87.
21. Shepherd Center 2011, Understanding Spinal Cord Injury: What You Should Know
about

Spinal

Cord

Injury

and

Recovery,

available

from:

http://www.spinalinjury101.org/details.
22. Profyris, Christos, Cheema, Surindar, 2003. Degenerative dan regenerative
mechanism governing spinal cord injury. Australia: Neurobiology of desease.
Available

from:

http://www.researchgate.net/profile/Michael_Azari/publication/8645688_Degenerativ
e_and_regenerative_mechanisms_governing_spinal_cord_injury/links/02e7e53c487aa
481c6000000.pdf
23. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Dessease of the Spinal Cord. In: Adams and
Victors Principles of Neurology. 9th Ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.
24. Kaye AH. Cahpter 16.Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery. 3 rd Ed.
Victoria, Bleckwell publishing.2005.p.225-334.

37

Anda mungkin juga menyukai