PENDAHULUAN
untuk pasien dengan cedera tersebut diestimasikan mencapai 4 milliar dolar Amerika
Serikat per tahunnya untuk pelayanan kesehatan akut maupun kronis.5
Cedera Medula spinalis memiliki prevalensi tinggi yang berhubungan dengan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Patofisiologi yang mendasari cukup kompleks
dan masih sulit dipahami. Dengan mengetahui patofisiologi yang mendasari kejadian
trauma medula spinalis akan lebih memudahkan untuk melakukan intervensi bagi dokter
baik dari segi farmakologi maupun operatif (Randal, 2001).19
1.2 Tujuan
Penulisan referat (tinjauan pustaka) ini bertujuan untuk memberikan informasi
mengenai cedera medulla spinalis. Secara khusus, akan di bahas mengenai definisi,
epidemiologi, anatomi medulla spinalis, patofisiologi cedera medulla spinalis, mekanisme
dan tipe cedera medulla spinalis, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana cedera
medulla spinalis, serta prognosis.
BAB II
2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Cedera medula spinalis di definisikan sebagai cedera atau kerusakan pada
medula spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik sementara maupun
permanen pada fungsi motorik, sensorik, maupun otonom (Dumont dkk, 2001).6
Sedangkan menurut Steinmetz MP dkk, Cedera medula spinalis merupakan cedera
yang disebabkan oleh rudapaksa langsung maupun tak langsung (terlebih dahulu
terjadi pada tulang, jaringan, atau pembuluh darah) yang megenai medula spinalis. 2
Cedera medula spinalis merupakan salah satu keadaan darurat neurologi yang
memerlukan tindakan cepat, tepat dan cermat untuk mengurangi angka kecacatan dan
kematian. Penatalaksanaan kasus cedera medula spinalis memerlukan perhatian
khusus, mulai dari tempat kejadian, saat mentransfer penderita ke fasilitas kesehatan,
sampai perawatan di rumah sakit.5
2.2.
Epidemiologi
Angka kejadian tahunan cedera medula spinalis seluruh dunia berkisar antara 11,5
hingga 57,8 kasus per 1 juta penduduk tiap tahunnya (Ackery dkk, 2004). Di Amerika
Serikat, angka kejadian cedera medula spinalis sekitar 40 kasus per 1 juta penduduk,
dan sekitar 12.000 kasus baru di diagnosis pertahun. Terdapat distribusi usia bimodal
dengan frekuensi tertinggi terjadi antara usia 15 hingga 29 tahun dan yang kedua
terjadi pada usia 65 tahun atau lebih. Penyebab utama kematian pasien rawat inap
dengan cedera medula spinalis umumnya berkaitan dengan komplikasi pernafasan.9
Penyebab tersering cedera medulla spinalis adalah kecelakaan lalu lintas (50%),
jatuh (25%), cedera yang berhubungan dengan olahraga misalnya berkuda (10%),
sisanya akibat kekerasan dan kecelakaan kerja. Usia 35 tahun merupakan usia ratarata cedera medulla spinalis di dunia, dan usia 28,7 adalah usia rata-rata di Amerika
Serikat. Cedera medula spinalis umumnya lebih banyak terjadi pada laki-laki di
bandingkan perempuan dengan perbandingan 4:3 (Sekhon and Fehlings, 2001).9
Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeeve Foundation bekerja sama dengan
Centers for Desease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian untuk
mengetahui epidemiologi Penyebab cedera medulla spinalis ( Gambar 1).
2.3.
Gambar2AnatomiSegmenMedulaSpinalistampakPosterior
Medullaspinalis,sepertiotak,diselubungiolehtigajenispembungkusmening
yang konsentris, yakni piamater, arachnoid, dan duramater. Pembungkus dalam,
piamatermerupakanmembranhalusbervaskuleryangmelekateratpadapermukaan
medullaspinalisdanradiksspinalis.Arachnoidterletakantarapiamaterdanduramater.
Arachnoid merupakan membran tembus cahaya yang menyelimuti medulla spinalis
sepertisebuahkantongyangcukuplonggar.Antarapiamaterdanarachnoidterdapat
ruangsubarachnoid.RuanginiberisiLiquorCerebrospinal(LCS)yangdihasilkanoleh
sistemventrikelcerebri.Pembungkusterluarmedullaspinalisadalahduramateryang
merupakanmembranliatdandanfibrosa.Membraninimembungkusmedullaspinalis
secara longgar, seperti halnya arachnoid yang berhubungan dengan duramater,
meskipunsecarateoriterpisaholehsuatubidangyakniruangsubdural.Duraterpisah
daridindingtulangkanalisvertebralisolehruangepidural.20
Medulaspinalisterdiridariduasubstansia,antaralainsubstansiagrisea(Gray
Matter)yangterletakinternaldansubstansiaalba(whitematter)yangterletaklebih
eksternal.7,8,10 Secara umum, substansia alba terdiri dari traktus Ascending yang
memiliki fungsi sensorik dan Descending yang memiliki matorik. Sedangkan
substansiagriseadibagimenjadi10laminaatau3bagianyaitucornuanterior,cornu
posterior,dancornulateralisyangtersusundarinukleusnukleusyangberperandalam
potensiaksineuronneuron(Gambar3).7
Gambar3AnatomiMedulaSpinalisPenampangMelintang
Padabeberapaindividuterdapatberbagaivariasaidalamsuplaidarah medulla
spinalis (Gambar 4). Arteri spinalis anterior dibentuk oleh pertemuan cabang arteri
yangmelewatinyasecaracaudaldarisetiaparterivertebralisdanbersatudigaristengah
dekatforamenmagnum.Arteriiniakanturunsepanjangsumsumtulangbelakangdan
terletakdiataudekatfisuramediananterior.Dibawahsegmenservikalkeempatatau
kelimaterdapat arteri spinalis anterior yangmengaliri ataudialiriolehateri medula
anterioryangtidakberpasanganyangmunculdariarterimedulaspinalislateral.10
Pembuluh darah ini memasuki kanalis vertebralis melalui foramen
intervertebralis,dandidaerahservikalmerupakan percabangan dariarteriservikalis
asendens; dithorakal berasaldariinterkostalis;dandi abdomen berasaldarilumbal,
iliolumbar,danarterisakralislateral.Arteriarteriinimenembus selubungduradari
radiksmedullaspinalis dandibagimenjadiduacabangyaituanteriordanposterior.
Arteriradikulerasimetrisdankadangkadangtidakada.Arterimedulerterbesar,arteri
radikuleranteriorAdamkiewicz,terletakdiantaraT9danL2,biasanyapadasisikiri,
danmensuplaibagianlumbal.Suplaidarahkesetiaptingkatmedullaspinalissebanding
dengan luas penampang area grey matter, dan kaliber arteri spinalis anterior yang
terbesaradalahditingkatlumbaldanservikal.10
Gambar4SuplaiArteriMedulaspinalis
Arterispinalisposteriormerupakansaluranplexiformyangberbedayangterletak
dekat dengan sulkus posterolateral dan pintu masuk rootlets dari nervus spinalis
posterior. Arteriinijugaberasaldariarterivertebralis,danbergabungdenganarteri
medulaposterior.Arterisentralis,cabangdariarterispinalisanterior,mensuplaibagian
anteriordanbagiantengahmedulaspinalis.Cabanganteriordanposteriorarterimedula
spinalis membentuk anastomosis perifer, yaitu arteri vasocorona, yang mensuplai
bagiantepimedulaspinalis,termasukfuniculilateraldanventral.10
Anastomosisinipalingtidakefisiendiwilayahkolumna lateral.Arterispinalis
posteriormensuplai cornu posteriordansebagianbesarfunikuli dorsalis;dansisanya
disuplaioleharterispinalisanterior. Medulaspinalis servikaldanlumbosakrallebih
kayavaskularisasidarithorakal.10
Drainasevenamedulaspinalisdaripleksuskapilerkepleksusvenaperiferyang
sesuaidengansuplaiarteri.Bagianutamavenaberadapadaforamenintervertebralisdi
bagiandada,perut,danronggapanggul,tetapipleksusvenaspinovertebral(pleksus
Batson)jugaterusnaikkedalamronggaintrakranialdansinusvenasertadapatmenjadi
saranatransportasiseltumor.10
2.4.
Patofisiologi9
Cedera pada medulla spinalis bersifat bifasik. Mekanisme cedera primer
meliputi geseran (shearing), laserasi, regangan akut, dan aselerasi-deselerasi tiba-tiba
yang berujung pada kerusakan akson, pembuluh darah, atau membran sel. Pada
beberapa keadaan medula spinalis bisa benar-benar terpotong. Kebanyakan cedera
sering menyisakan pinggiran subpial (subpial rim), yang terdiri dari akson yang
telah mengalami demielinasi atau dismielinasi, yang berfungsi sebagai substrat yang
berpotensi menjadi tempat regenerasi. Bisa juga terjadi edema akut medulla spinalis
yang menyebabkan iskemia. Akan tetapi, kadang-kadang dijumpai cedera yang tidak
terlihat baik secara radiografis maupun histopatologis.
Peningkatan kadar sitokin, termasuk tumor necrosis factor alpha (TNF-) dan
interleukin 1-beta (IL-1), terjadi dalam beberapa menit setelah cedera. Terlebih lagi,
glutamat yang mencapai kadar sitotoksik dapat dijumpai karena tumpah-nya
cadangan glutamat dan disfungsi transporter glutamat astrosit. Periode yang dikenal
sebagai fase cepat ini dapat berlangsung hinga 2 jam pascatrauma.
dengan area jaringan yang rusak. Pada hari ke-5 hingga ke-10 pascatrauma, populasi
sel yang dominan berganti menjadi mikroglia aktif dan makrofag. Makrofag yang
memiliki fenotipe fagositik dikenal sebagai reaktif CD68 (Schmitt dkk, 2000). Setelah
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun setelah cedera, hampir seluruh makrofag
berbusa yang terlihat tidak lagi reaktif CD68 (Fleming dkk, 2006). Hal ini diduga
karena terjadi penurunan aktivitas fagositik dari makrofag yang sudah ada, yang
berujung pada berkurangnya ekspresi protein lisosom.
Saat ini makrofag diduga memiliki masa hidup 4 minggu namun tidak
mengekspresikan fenotipe fagositik selama durasi waktu tersebut (Ross dan Auger,
2002). Terlebih lagi, makrofag yang tiba di lokasi lesi kronik mungkin tidak
terpengaruh oleh lingkungan lokal untuk menghasilkan CD68. Baru-baru ini muncul
dugaan bahwa sekresi enzim oksidatif dan proteolitik oleh neutrofil, mikroglia aktif,
dan makrofag selama 3 hari pascatrauma mengakibatkan cedera sekunder derajat
berat pada medulla spinalis. Mediator nonseluler yang membantu proses ini meliputi
TNF-, interferon, dan interleukin, seperti yang telah dibahas sebelumnya. Inhibisi
TNF- telah terbukti mempercepat pemulihan pasca-SCI (Bethea dkk, 1999).
Meskipun demikian, TNF- juga ternyata bersifat protektif in vitro (Cheng dkk, 1994)
dan dalam studi dengan model tikus yang mengalami defisiensi TNF- (Kim dkk,
2001). Karena itu, peran sesungguhnya TNF- dalam SCI perlu didefinisikan dengan
lebih baik sebelum modalitas terapeutik di masa mendatang dapat digunakan untuk
memanipulasi mediator ini.
Kematian sel setelah SCI terjadi melalui salah satu dari dua mekanisme:
apoptosis atau nekrosis. Kemungkinan besar, sebuah mekanisme kematian sel yang
baru saja diketahui, yang dinamai nekroptosis, dapat menyebabkan proses nekrotik
yang telah terprogram sebelumnya (Galluzzi dan Kroemer, 2008). Teori apoptosis
belum tercatat dengan baik dalam studi SCI pada manusia, namun terdapat banyak
literatur berkenaan dengan hal ini pada SCI model hewan. Setelah SCI, muncul
ekspresi dari ligand Fas oleh mikroglia dan limfosit serta FasR oleh oligodendrosit
(Casha dkk., 2001, 2005; Nagata dkk,1995).
Telah dipahami bahwa salah satu metode potensial untuk mengawali kaskade
kaspase (caspase cascade) adalah melalui interaksi ligand Fas dan reseptor Fas.
Proteolisis dan pemecahan asam deoksiribonukleat (DNA) merupakan bagian dari
apoptosis. Memblok kaskade kaspase akan memblok apoptosis. Dalam studi model
hewan, apoptosis terjadi dengan cepat pada ologodendrosit setelah cedera iskemik,
10
Gambar 7. Mekanisme mendasari trauma medula spinalis, dengan penekanan pada peran pengaruh
lokal. Peran gangguan vaskular, edema interstitial dan kompresi medula spinalis,
11
2.5.
terjadinya
mekanisme
cedera,
dibagi
atas
Hiperflexion,
Kerusakan medulla spinalis dan radiks dapat terjadi melalui 4 mekanisme, yakni:
1.
2.
trauma hiperekstensi.
Regangan jaringan yang berlebihan akan menyebabkan gangguan pada
jaringan, hal ini biasanya terjadi pada hiperfleksi. Toleransi medulla spinalis
3.
4.
dan posterior.23
Cedera medulla spinalis dan kolumna vertebralis dapat di klasifikasikan menjadi
fraktur dislokasi, fraktur murni, dan dislokasi murni (dengan frekuensi relative 3:1).23
12
ketiga tipe cedera tersebut terjadi melalui mekanisme yang serupa, antara lain
kompresi vertikal dan anterofleksi (cedera fleksi) atau dengan retrofleksi (cedera
hiperekstensi). Pada cedera fleksi, kepala tertunduk secara tajam ketika gaya
diberikan. Kedua vertebra servikal yang bersangkutan akan mengalami stress
maksimum dan batas anteroinferior dari korpus vertebra yang berada diatas akan
terdorongkebawah (kadang menjadi dua). Fragmen posterior dari korpus vertebra
yang mengalami fraktur akan terdorong ke belakang dan memberikan kompresi pada
medulla spinalis (tear drop fracture). Mekanisme cedera ini merupakan cedera yang
paling sering pada daerah servikal dan umumnya melibatkan daerah C5/C6 (terjadi
subluksasi/dislokasi). Seringkali, terdapat robekan dari interspinosus dan posterior
longitudinal ligaments sehingga menyebabkan cedera ini tidak stabil.12,13 Cedera yang
lebih ringan dari mekanisme fleksi hanya menyebabkan dislokasi.12 cedera medulla
spinalis terjadi akibat kompresi atau traksi dan menyebabkan adanya kerusakan
langsung atau vascular.24
Pada cedera hiperekstensi terjadi kompresi vertical dengan posisi kepala
ekstensi (retrofleksi).12 Stres utama terjadi pada daerah posterior (lamina dan pedikel)
dari vertebra servikalis bagian tengah (C4-C5), dimana dapat terjadi fraktur unilateral,
bilateral, dan robekan ligament anterior.12 Cedera hiperekstensi dari medulla spinalis
umumnya terjadi tanpa terlihat adanya kerusakan vertebra atau misalignment dari
vertebra, walaupun begitu, cedera medulla spinalis yang terjadi dapat menjadi serius
dan permanen. Cedera tersebut dapat terjadi akibat penonjolan ligamentum flavum
atau dislokasi vertebra yang sementara karena robekan ligament (ketika di X-ray atau
CT-Scan alignment sudah kembali normal). Walaupun penggunaan Ct-Scan dan Xray tulang belakang lateral dapat digunakan untuk melihat cedera tulang belakang
(perlu dilakukan fleksi dan ekstensi dari leher), adanya robekan dan penonjolan
ligament dari dislokasi vertebra dapat dilihat dengan menggunakan MRI. 23 Selain itu,
cedera medulla spinalis yang terjadi dapat diakibatkan oleh central cervical cord
syndrome. Cedera dengan mekanisme ini umumnya melibatkan orang tua dan pasien
dengan spinal canal stenosis.
Mekanisme cedera lainnya yaitu cedera kompresi. Pada cedera kompresi,
korpus vertebra mengalami pemendekan dan mungkin terjadi wedge compression
fracture atau brust fracture dengan aspek posterior dari korpus masuk ke dalam kanal
spinalis.13 Wedge fraktur umumnya stabil karena ligamentum intak, namun apabila
terdapat fragmen yang masuk kedalam kanalis spinalis dan biasanya terdapat
13
kerusakan ligament sehingga tergolong tidak stabil. Apabila terjadi kombinasi gaya
rotasi, dapat terjadi tear drop fracture yang di golongkan sebagai fraktur tidak
stabil.23,24
Shock Spinal
Syok spinal awalnya didefinisikan sebagai hipotensi arteri setelah episode
cedera medulla spinalis. Definisi tersebut telah berkembang dan meliputi hilangnya
refleks tendon secara permanen. Modifikasi tambahan pada definisi tersebut direvisi
lagi dan sekarang sudah mencakup seluruh temuan yang berkaitan dengan transeksi
medulla spinalis secara fisiologis dan anatomis yang berujung pada penurunan refleks
spinal selama beberapa waktu.
Syok spinal memiliki beberapa cirri khas. Derajat keparahan cedera
berkorelasi dengan derajat keparahan syok spinal. Sebuah cedera pertama-tama
memengaruhi refleks dihasilkan di dekat lokasi cedera itu dahulu, dan refleks yang
dihasilkan pada lokasi yang lebih distal dari cedera terpengaruh belakangan. Oleh
karena itu, cedera servikal yang berat dapat menyebabkan retensi dari refleks sakral,
seperti refleks bulbokavernosus dan refleks anal. Fakta bahwa penurunan refleks yang
bersifat proksimal-ke-distal terjadi dalam menit-menit yang berurutan dapat
memberikan penjelasan fisiologis mengenai perubahan-perubahan tersebut. Telah
dibuat sebuah hipotesis yang mengatakan bahwa perubahan tersebut disebabkan oleh
hilangnya input supraspinal yang berujung paa hiperpolarisasi neuron. Temuan lain
menyebutkan bahwa penjalaran depresi refleks ke arah atas, yakni fenomena SchiffSherington, tidak jarang terjadi. Penting untuk membedakan penurunan tekanan darah
akibat syok sirkulatorik dari penurunan tekanan darah akibat syok spinal (Tabel 1).
Karena tonus simpatis menurun, terjadi pengumpulan darah pada sistem vena
serta penurunan tonus simpatis pada sistem kardiovaskuler. Di satu sisi, syok
sirkulatorik memerlukan penggantian volume, dan di sisi lain, syok spinal
membutuhkan vasopresor. Saat seseorang pulih dari syok spinal, refleks otot kembali
normal mulai dari bagian terbawah hingga bagian teratas, kecuali pada lokasi cedera.
Seiring waktu, terjadi sindrom spastik
Hipovolemik
Syok neurogenic
Hipotensi
Bradikardi
Arefleksia
Merespon terhadap vasopressor
Syok hipovolemik
Hipotensi
Takikardi
Refleks normal
Merespon terhadap penggantian volume
denervasi
dan
peningkatan
ekspresi
reseptor
menjelaskan
perubahan-perubahan yang terjadi pada periode ini. Fase berikutnya terjadi antara 4
hari hingga 1 bulan setelah terjadinya cedera. Refleks tendon dalam biasanya pulih
pada hari ke-30. Terdapat perdebatan yang sengit mengenai kapan refleks tersebut
mulai terlihat lagi.
Kembalinya refleks Babinski sangat berdekatan dengan kembalinya refleks
Achilles. Refleks plantar terlambat juga berkurang. Perubahan otonom seperti
bradiaritmia dan hipotensi mulai menghilang. Periode ini ditandai oleh pertumbuhan
sinaps yang disokong oleh akson. Fase keempat didominasi oleh refleks hiperaktif dan
15
terjadi mulai dari 1 hingga bulan setelah terjadinya cedera. Hipotensi vasovagal dan
bradikardi umumnya menghilang dalam 3 sampai 6 minggu, namun pemulihan
hipotensi ortostatik bisa memakan waktu 10 hingga 12 minggu. Episode hipertensi
maligna atau disrefleksia otonom mulai muncul pada periode ini. Hal-hal tersebut
merupakan akibat dari pertumbuhan sinaps yang disokong oleh badan sel.
Shock Neurogenic
Shock neurogenic merupakan gangguan kondisi hemodinamik yang dapat
terjadi akibat edema. Seorang pasien dikatakan mengalami shock neurogenic jika
ditemukan kondisi hipotensi, bradikardi, dan vasodilatasi perifer akibat disfungsi
otonom yang parah dan gangguan pada control sistem saraf simpatis pada cedera
medulla spinalis akut. Selain itu, umumnya akan ditemukan hipotermia pada pasien.
Kondisi ini biasanya ditemukan pada pasien yang mengalami cedera tulang belakang
diatas level T6 dan tidak muncul pada level dibawah T6. Gangguan pada sistem saraf
simpatis mengakibatkan turunnya resistensi vascular yang menyebabkan terjadinya
dilatasi vascular dan bermanifestasi sebagai hipotensi. Shock neurogenic perlu
dibedakan dengan shock hipovolemik dan spinal. Pasien dengan shock hipovolemik
akan cenderung mengalami takikardi, bukan bradikardi.20
2.6.
Klasifikasi
Kalisifikasi cedera medulla spinalis menurut American spinal injury
Association (ASIA) dan The International Medical Society Of Paraplegia (IMSOP)
didasarkan pada keutuhan fungsi motorik, sensorik, dan sfingter (Tabel 1).
Pemeriksaan motorik dilakukan dengan menggunakan 10 key musdes. Kekuatan
motorik ditentukan berdasarkan MRC Grading System (skor 0-5). Total skor fungsi
motorik adalah 100. Pemeriksaan sensorik dilakukan pada 28 dermatom pada tiap sisi
tubuh, meliputi pemeriksaan test masing-masing adalah 112. Level sensorik dan
motorik diidentifikasi sebagai segmen paling kaudal dari medulla spinalis yang masih
memiliki fungsi sensorik dan motorik normal.
16
Gambar 9 The American Spinal Injury Associotion (ASIA) neurologic classification of spinal cord
injury and the ASIA impairment scale.
Lesi
Komplit
Grade B
Inkomplit
Grade C
Inkomplit
Grade D
Inkomplit
Grade E
2.7.
Normal
Gejala klinis
17
Cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua, yaitu cedera medula spinalis
parsial dan total.1,2 Gejala klinis cedera medula spinalis bergantung pada tinggi dan
derajat keparahan lesi. Pasien yang mengalami trauma pada vertebra diatas C4 akan
membutuhkan ventilator untuk bernafas karena lesi akan mengganggu fungsi otonom
tubuh pasien. Berikut ini adalah gambaran gejala dan tanda yang akan dialami pasien
yang mengalami lesi medula spinalis inkomplit:
Central Cord Syndrome
Central Cord Syndrome terjadi sekitar 9% dari total seluruh cedera medula
spinalis dan merupakan sindroma medula spinalis yang paling sering ditemukan.
Sindroma ini pertama kali dilaporkan oleh Thornburn pada tahun 1887 dan di
populerkan oleh Scneider dkk, pada tahun 1954.10 Mekanisme cedera yang
menyebabkan terjadinya sindrom ini adalah hiperekstensi leher. Hiperekstensi leher
dapat menyebabkan trauma pada bagian sentral medula spinalis. Hal ini
mengakibatkan injuri pada traktus kortikospinal lateralis yang terletak di bagian
medial dari medula spinalis. Traktus kortikospinal lateralis merupakan traktus yang
terdiri dari saraf-saraf yang mempersarafi ekstremitas atas. Sehingga, injury pada
traktus ini dapat menyebabkan kelemahan motorik terutama pada ekstremitas atas.
Namun, tidak menutup kemungkinan kelemahan motorik ekstremitas bawah juga
dapat terjadi. Gangguan fungsi lain yang dapat terjadi pada sindrom ini adalah
gangguan fungsi otonom (disfungsi kandung kemih yang berupa retensi urin) dan
berbagai derajat gangguan fungsi sensorik.
Pasien dengan usia lanjut memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom ini
karena umumnya telah mengalami spondilosis servikal, penebalan ligamentum
plavum daro posterior sehingga dapat menyebabkan trauma pada bagian sentral
medula spinalis. Selain itu, trauma kompresi dan dislokasi juga dapat menyebabkan
terjadinya sindrom ini karena lebih sering menyebabkan injuri pada sentral medula
spinalis.
18
19
Brown-sequard syndrome
20
21
2.8.
2.8.1
Diagnosis
Evaluasi Klinis
22
telah
merekomendasikan
atau
menciptakan
langkah-langkah
Dermatome
Occipital protuberance
Supraclavicular fossa
Ujung sendi acromioclavicular
Bagian samping antecubital fossa
Ibu jari, pemukaan belakang, proximal
Level
T8
T9
T10
T11
T12
Dermatome
ICS 8
ICS 9
ICS 10 (umbilicus)
ICS 11
Titik tengah ligamen inguinal
C7
phalanx
Jari tengah,
belakang,
L1
C8
proximal phalanx
Jari kelingking, permukaan belakang,
L2
T1
T2
T3
proximal phalanx
Bagian dalam (ulnar) antecubital fossa
Puncak axilla
Intercostal space (ICS) 3
L3
L4
L5
T4
S1
3
Tumit bagian samping
permukaan
23
T5
T6
T7
ICS 5
ICS 6 (xiphoid process)
ICS 7
S2
S3
S4-5
melawan gravitasi
: pergerakan aktif, tidak ada hambatan ROM (range of motion), dapat melawan
gravitasi
: pergerakan aktif, tidak ada hambatan ROM (range of motion), dapat melawan
24
Merupakan segmen medulla spinalis terbawah dimana fungsi motorik dan sensorik
masih normal pada kedua belahan tubuh dan yang paling mendekati setelah dilakukan
pemeriksaan pada langkah 1 dan 2 (Asia, 2014).
4. Tentukan apakah traumanya bersifat komplit atau tidak
Jika voluntary anal contraction = No dan skor sensori S4-5 = 0 dan deep anal
pressure = No, maka cedera dikatakan KOMPLIT, tetapi jika sebaliknya maka cedera
dikatakan INKOMPLIT (Asia, 2014). Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan rectal
toucher pada pasien untuk menilai (Greenberg, 2006):
a. Adakah sensasi yang dapat dirasakan pasien ketika pemeriksa memasukkan jarinya
ke dalam lubang anus
b. Pemeriksa merasakan tonus sphincter ani pasien, baik saat istirahat maupun saat
berkontraksi (volunter)
5. Tentukan derajat cedera menggunakan ASIA Impairment Scale
Berikut adalah tabel yang dapat dipakai untuk menentukan derajat cedera medulla
2.8.2
25
Padapasienyangsadardanyangterganggukesadarannya,evaluasidengan
menggunakan radiografi pada awal terjadinya cedera tulang belakang sebaiknya
dilakukan dengan menggunakan CTScan tulang belakang servikal kualitas tinggi,
dan bila tidak tersedia dapat pula digunakan 3 gambaran radiografi sederhana
berdasarkanpadakriteriaNEXUS(NationalEmergencyXRadiographyUtilization
Study). Terdapat 5 kritetria yang digunakan untuk membantu dokter dalam
mengeksklusikan pasien dengan risiko rendah untuk dilakukan radiografi servikal.
Sadarpenuh,pasienasimtomatisyangmemenuhisemuakriteriapadaBox63.2dapat
dilakukan pencitraan. Studi ini dilaporkan memiliki sensitifitas sebesar 99% dan
sensitifitas sebesar 12,9% dalam mendiagnosis cedera tulang belakang dengan
menggunakankriteriakriteriatersebut.TheCanadianCSpineRulediketahuilebih
baikdibandingkandengankriteriaNEXUSpadasensitifitasdanspesifisitaspasien
dengan cedera kepala yang dalam kondisi stabil. Kriteria skrining meliputi factor
risikotinggi,factorrisikorendahdankemampuanuntukmerotasikan lehersecara
aktif.DenganmenggunakanCanadianCSpineRule,pasienyangberusialebihdari
65 tahun dengan mekanisme berbahaya atau dengan paraestasia (kriteria risiko
tinggi) sebaiknya dilakukan radiografi sederhana. Kedua kriteria tersebut tidak
dilakukan penilaian lebih lanjut sebagai kriteria risiko tinggi. Bila pasien pada
kelompok ini baru merasakan nyeri dan meraakan nyeri tekan pada daerah leher
bagian posterior, tidak diperbolehkan dalam posisi duduk, atau posisi ambulatory,
kapansajasetelahterjadinyacederaatauterlibatpadakecelakaankendaraanbermotor
sederhana,kemudianpencitraansebaiknyadilakukan.Bilakekurangandatatemuan,
selanjutnyadilakukanpenilaiandengancaramenilaikemampuandalammerotasikan
kepala.CTScankualitastinggiatautigagambaranradiografisederhanapadatulang
belakangservikalsebaiknyadilakukanpadaapsienyangtidakmampumerotasikan
kepalanyalebihdari45derajatdarisegalaarah.
PlainRadiografi
PlainRadiografi sebaiknyameliputi anteroposterior (AP),odontoidterbuka
dan gambaran lateral dengan fleksiekstensi. XRay CSpine lateral yang adekuat
dapat memvisualisasikan area antara occiput dan puncat T1. Gambaran Swimmer
dapat membantu dalam melihat bagian kaudal dari tulang servikal. Empat garis
sebaiknya digambar pada XRay bagian lateral CSpine untuk mengevaluasi
26
subluksasiataufraktur.(1)garisanteriorvertebrae,(2)garisposteriorvertebrae,(3)
garislaminarspinal,(4)garisposteriorspinosa.Temuantemuanyangmenunjukkan
subluksasilebihdari3,5mmatausudutkifosislebihdari11derajatterhadapsegmen
vertebrae dapat menyebabkan ketidakseimbangan. Subluksasi yang mencapai 25%
atau50%menandakanadanyalepasnyafasetbaikbilateralataupununilateral.
Cedera distraksi fleksi ringan dapat dicurigai melalui adanya perluasan /
pelebaran jarak interspinosa. Atlantodental interval merupakan sebuah pengukuran
yangdiambildaribatasanteriorhinggakebagianterdekatdengananteriorarkusCI.
Bila nilainya lebih dari 3 mm, dapat dicurigai terjadinya robekan ligamentum
transversum.RasioPowersmerupakanrasioantarajarakdaridasarkearkusposterior
dari atlas yang dibagi oleh jarak dari ophistion ke arkus anterior atlas. Disosiasi
atlantooksipitaldapatdicurigaidarirasiopowersyanglebihdari1.
PembengkakanjaringanlunakdisekitarvertebraedapatpuladiketahuipdaX
RaylateralCSpine.NormalnyabatasatasC3yaitusebesar4mm.sejumlahmassa
yangtergantungdilateraldariC1danC2yangdapatdilihatpadagambaranodontoid
dapatdiukuruntukmenentukanintegritasdariligamentumtransversum.Massayang
tergantunglebihdari7mmdapatdicurigaisebagairobeknyaligamentumtransversum.
XRay secara lengkap pada seluruh tulang belakang sebaiknya dilakukan bila
ditemukanadanyakelainanpadatulangbelakangyangterdekteksimelaluipencitraan,
sejakcederatulangbelakngyangtidakmenularterlihatpada10,5%kasus.Radiografi
padatulangbelakangtorakaldanlumbalAPlateralsebaiknyadilakukanuntukmenilai
aligment,kifosis,ketinggiandiskusdanfraktur.
FrakturTorakalbiassajatakterlihatpadagambaranXRaydanmembutuhkanCT
Scan atau MRI bila dicurigai ada cedera pada region ini. Foto Skoliosis dapat
mendeteksi adanya deformitas dan ketidakseimbangan sagittal tetapi lebih penting
lagi dapat dipakai sebagai landasan studi untuk menilai kifosis post traumatic
progresif
CTScan
Potongan tipisaksial CTScan tulang belakang dengan rekonstruksi sagittal lebih
sensitif dalam mendiagnosis fraktur tulang belakang. Selain itu, fraktur di region
oksipitoservikal atau di cervicothoracal junction dapat terlihat lebih baik dengan
menggunakan CTScan. Computed Tomography Angiography (CTA) dapat
27
digunakanuntukmenilaicederaarterivertebralisdenganfrakturyangmeliputiforame
transversum dari C1 C6. Studi CT dinamis dapat digunakan untuk menilai
subluksasirotatoriatlantoaksial.
MRI
MRImerupakanujisensitivedalammengevaluasicederaligament,robeknyadiskus,
kompresisumsumtulangatauhematompadatulangbelakang.Pasientraumayang
mengalami gangguan kesadaran, yang tidak dapat melakukan fleksiekstensi pada
tulangbelakangservikal,dapatdilakukanpemeriksaanMRIdalamwaktukurangdari
24jamuntukmengevaluasicederaligamentyangdisertaidenganShortTauInversion
Recovery(STIR).Cederapadaligamenttransversumjugadapatdievaluasidengan
menggunakanMRI.Supresilemakdapatmembantudalammendiagnosisdiseksipada
tulangbelakang.KEtikaterdiagnosisdenganterlepasnyafasettulangservikal,MRI
dapatdilakukanuntukmembantumendeteksiherniasidiskusyangdapatberpengaruh
kepadastrategipengobatan.
2.9.
Tatalaksana
Prinsip terapi cedera spinal traumatika ditujukan untuk
1.
2.
3.
4.
28
perlu dicurigai adanya cedera pada kolum spinal. Perhatian pertama pada pasien
cedera spinal ini terutama pada area leher atas, khususnya ditujukan pada fungsi
respirasi.
Jalan napas (airway) harus bersih dan pemeriksa harus memeriksa keadaan
servikal pasien. Pada pasien yang belum jelas apakah terjadi gangguan pada servikal
atau tidak, maka perlu dipasang pelindung leher (collar neck). Pelindung leher ini
baru dilepas bila tidak terbukti adanya cedera spinal. Berikutnya, pemeriksa harus
memeriksa pernapasan pasien (breathing). Apabila dijumpai adanya paralisa
diafragma, maka perlu segera dipasang bantuan ventilasi. Setelah itu, pemeriksaan
ditujukan pada sirkulasi (circulation) untuk melihat apakah sirkulasi pasien cukup
adekuat atau tidak. Gangguan kontrol simpatis dapat mengakibatkan hipotensi tanpa
adanya kehilangan darah. Pemberian cairan yang tepat perlu dipertimbangkan dengan
seksama pada kasus semacam ini.
Hal berikutnya yang diperhatikan adalah mengenai disabilitas (disability).
Dalam hal ini yang dinilai adalah tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, tandatanda lateralisasi, dan tingkat level cedera spinal. Biasanya pasien-pasien yang
mengalami defisit neurologis ataupun cedera tulang torakal atau lumbal akan
mengalami retensi urin. Maka pasien perlu dipasang kateter urin. Setelah memeriksa
disabilitas pada pasien, hal yang dilakukan selanjutnya adalah melakukan evaluasi
(evaluation). Evaluasi disini adalah memeriksa kembali keadaan pasien dari ujung
rambut sampai kaki.
Tatalaksana medikamentosa untuk cedera medulla spinalis didasarkan pada
rekomendasi National Acute Spianl Cord Injury Studies III(NASCIS III) berdasarkan
NASCIS II dan NASCIS III, pasien dengan trauma medulla spinalis akut diberikan
terapi metilprednisolon dalam 8 jam pertama setelah terjadinya trauma. Jika psien
datang kurang dari 3 jam pertama setelah terjadinya cedera medulla spinalis, pasien
diberikan dosis methylprednisolone 30mg/kgBB bolus selama 15 menit. Berikan jeda
45 menit sebelum dilanjutkan dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam dalam infus selama 23
jam berikutnya. Jika pasien datang dalam rentang waktu 3-8jam pasca trauma, maka
methylprednisolone diberikan dengan dosis 30mg/kgBB bolus selama 15 menit.
Kemudian di lanjutkan dengan dosis 5,4mg/kgBB/jam dalam infus selama 48 jam
berikutnya.
Pemberian methylprednisolone 8 jam pasca trauma tidak dianjurkan karena
memberikan
hasil
pengobatan
yang
lebih
buruk
dibandingkan
placebo.
gastrointestinal, pneumonia, sepsis, ulkus peptic, dan hiperglikemia. Pada lesi medulla
spinalis setinggi servikal dan torakal dapat terjadi vasodilatasi perifer akibat
terputusnya intermediolateral kolumna medulla spinalis. Akibatnya terjadi hipotensi,
hal ini dapat diatasi dengan pemberian simpatomimetik agents, seperti dopamine atau
dobutamin. Bradikardi simptomatis dapat diberika atropine.
Jika terjadigangguan pernapasan pada cedera servikal, merupakan indikasi
perawatan di ICU. Pada cedera medulla spinalis, rehabilitasi ditujukan untuk
mengurangi spastisitas, kelemahan otot dan kegagalan koordinasi motorik. Terapi
fisik dan strategi rehabilitasi yang lain juga penting untuk mempertahankan
fleksibilitas dan kekuatan otot dan untuk reorganisasi fungsi saraf, penting juga
memaksimalkan penggunaan serat saraf yang tidak rusak.9
Tindakan operasi
Tatalaksana berupa tindakan operatif paling baik dilakukan dalam jangka
waktu 24 jam sampai 3 minggu setelah terjadinya trauma. Indiksi tindakan operatif
adalah:
1.
2.
3.
4.
30
discus
tanpa
spinal
stenosis.
Sebelumnya,
penentuan
waktu
dilaksanakannya dekompresi bersifat kontroversial, akan tetapi bermunculan buktibukti yang semakin kuat bahwa dekompresi awal berhubungan dengan prognosis
yang lebih baik. Surgical Timing in Acute Spinal Cord Injury Study (STASCIS)
merupakan studi cohort internasional multicenter terbesar dalam studi tentang cedera
medulla spinalis akut. Studi tersebut merekrut 313 pasien, yang 182 di antaranya
menjalani dekompresi awal (<24 jam) dengan rata-rata waktu tunggu 14,2 5,4 jam
sebelum operasi sedangkan 121 sisanya dalam kelompok yang menjalani dekompresi
dengan rata-rata waktu tunggu 48,3 29,3 jam sebelum operasi. Studi tersebut
menyimpulkan bahwa kemungkinan terjadinya perbaikan adalah 2,8 kali lebih besar
pada kelompok yang menjalani dekompresi lebih awal (Fehlings dkk., 2012).9
Studi terbaru lainnya dari Pakistan menunjukkan bahwa mereka juga
mendapati hasil yang memuaskan dari tindakan dekompresi awal (Umerani dkk.,
2014). Metaanalisis terbaru dari 18 studi memperlihatkan bahwa operasi spinal
awal memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan skor motorik total
yang lebih tinggi, angka perbaikan neurologis yang lebih besar, dan durasi rawat inap
yang lebih singkat; meskipun begitu, karena heterogenitas dari studi-studi tersebut,
bukti yang diperoleh tidak dapat dianggap kuat (van Middendorp dkk., 2013).9
Baru-baru ini Spine Study Trauma Group mencoba membuat protokol standar
untuk memandu dokter-dokter dalam menangani fraktur torakolumbal. Hasilnya,
terciptalah Thoracolumbar Injury Severity Score (TLISS) dan Thoracolumbar Injury
Classification and Severity Score (TLICS). TLISS merupakan algoritma yang
menentukan skor berdasarkan mekanisme cedera, cedera ligamen posterior, dan
defisit neurologis (Vaccaro dkk., 2005). Ada pendapat bahwa dapat muncul
variabilitas yang besar antarpengamat saat mereka mencoba membuat postulat
mekanisme cedera dan memberikan skor tambahan untuk kategori tersebut. TLICS
31
kemudian diciptakan untuk memusatkan perhatian pada morfologi fraktur (Lee dkk.,
2005). Karena sejauh ini reliabilitas dari kedua sistem tersebut belum teruji dan belum
divalidasi secara klinis, para dokter tidak boleh semata-mata bergantung pada
algoritma TLICS dan TLISS dalam memandu pengambilan keputusan.9
Pasien-pasien dengan fraktur kompresif pada vertebrae thoracolumbales yang
tidak memerlukan intervensi operatif bisa memenuhi syarat untuk prosedur
augmentasi vertebra. Vertebroplasty ,merupakan prosedur perkutaneus yang
menyuntikkan semen tulang akrilik yang diformulasikan khusus untuk memberikan
stabilitas. Kyphoplasty adalah prosedur yang memanfaatkan balon perkutaneus yang
dapat dipompa untuk mengembalikan tinggi vertebra serta mengurangi komplikasi
karena kebocoran semen. Secara teori, prosedur ini dapat mengembalikan ketinggian
(atau ketebalan) corpus vertebra dan mengurangi deformitas kifotik. Umumnya,
pasien yang memenuhi syarat untuk menjalani vertebroplasty harus memiliki fraktur
akut atau subakut dan tidak ada kebocoran pada corpus vertebra bagian posterior. Dua
uji acak prospektif terbaru gagal memperlihatkan adanya perbaikan dari nyeri dengan
prosedur vertebroplasty (Buchbinder dkk., 2009; Kallmes dkk., 2009). Meskipun
kyphoplasty terbukti mengurangi deformitas kifotik lokal, nampaknya tidak ada
dampak positif yang terlihat secara keseluruhan (Korovessis dkk., 2008; Pradhan
dkk., 2006).9
2.10.
Komplikasi
Komplikasi akut dibagi menjadi komplikasi hiperakut dan komplikasi subakut seperti
pada table berikut.
Komplikasi hiperakut:
Hipotensi
Efek simpatektomi
Perdarahan
Bradikardi
Dengan atau tanpa hipovolemi
Hipotermi atau demam
Dengan atau tanpa infeksi
Hipoventilasi/gagal napas
Occiput-C2: kehilangan seluruh fungsi respirasi, kelemahan n.cranialis.
C3-C4 : Diafragma dan intercostal mempertahankan fungsi faring dan laring
C5-T1 : Intercostal mempertahankan diafragma
T2-T12:Kehilangan fungsi intercostal bervariasi (hati-hati berhubungan
dengan ARDS sekunder pada aspirasi dan tenggelam pada saat cedera).
Komplikasi Iatrogenic
Dislokasi dengan cedera medulla spinalis sekunder
32
2.11.
atau terapi
Malnutrisi
Reflex otonom
Biasanaya sekunder dari overdistensi bladder dan bowel
Usia penderita dan penyakit kronis meningkatkan semua resiko dari cedera
medulla spinalis.
COPD komplikasi paru
ASCVD komplikasi jantung + serebral
Degenerative spinal stenosis komplikasi neurologis
Hipertrofi prostat komplikasi urologi
Osteoporosis komplikasi ortopedik
Prognosis
Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit, 90%
penderita cedera medulla spinalis dapat membaik dan hidup mandiri. Kurang dari 5%
pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis
komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%.
Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu
samapi 6 bulan pasca cedera medulla spinalis. Kemungkinan pemulihan spontan
menurun setelah 6 bulan.18
33
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
1.1
KESIMPULAN
Cedera Medula spinalis adalah cedera yang menimpa medula spinalis yang
menyebabkan kerusakan, baik komplit maupun inkomplit, dan gangguan fungsi
mayor (motorik, sensoris, otonom, dan refleks). Trauma medula spinalis sering terjadi
pada kaum remaja dan dewasa muda seiring dengan meningkatnya kejadian
kecelakaan lalu lintas, yang tentu saja dapat merusak kualitas hidup seseorang sedari
muda.
Prinsip terapi dari trauma medula spinalis ini adalah Meminimalkan kemungkinan
terjadinya defisit neurologis, Mengembalikan integritas kolum spinalis semaksimal
mungkin Mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi, dan Optimalisasi rehabilitasi
fungsional. Pada aspek biomolekular, berdasarkan waktu kejadian, trauma medula
spinalis dibagi menjadi dua, primer dan sekunder. Trauma primer adalah trauma yang
disebabkan secara langsung setelah benturan, sedangkan trauma sekunder adalah
trauma yang terjadi karena trauma primer yang meliputi syok neurogenik, kerusakan
vaskuler seperti perdarahan dan iskemia, eksotosisitas, trauma sekunder yang
dimediasi kalsium dan gangguan cairan-elektrolit, apoptosis, gangguan di fungsi
mitokondria, dan proses lainnya.
Dengan mengetahui kedua aspek biomelekuler tersebut, diharapkan akan bisa
menentukan intervensi yang tepat dari segi pengobatan dan pembedahan untuk
mencegah efek lanjutan yang lebih buruk dari trauma medula spinalis.
Penggunaan kortikosteroid terutama methylprednisolone dosis
tinggi,
direkomendasikan pada studi yang diberi nama NASCIS II (National Acute Spinal
Cord Injury Study). Methylprednisolon 30mg/kgbb dalam 15 menit kemudian
dilanjutkan 5,4 mg/kgbb dalam 23 jam berikutnya pada cedera medulla spinalis dalam
8 jam setelah cedera medulla spinalis meningkatkan prognosis neurologis pasien.
34
Study
NASCIS
III
kemudian
menambahkan
menambahkan
bahwa
terapi
methylprednisolone yang dimulai dalam 3 jam setelah cedera medulla spinalis harus
dilanjutkan selama 48 jam.
Penyusun menyadari terdapat banyak kekurangan dari segi isi, sumber, maupun
penulisan dalam referat ini. Saran dan kritik akan selalu diharapkan dari para
pembimbing, konsulen, dan rekan sejawat.
1.2
SARAN
Adapun saran terhadap petugas kesehatan terutama dokter spesialis saraf dapat
meningkatkan profeionalisme dalam menangani cedera medulla spinalis sesuai
dengan standar. Dan agar petugas kesehatan dapat memberikan tatalaksana yang
adekuat agar dapat mencegah secondary injury/sekuele pasca trauma pada penderita
cedera medulla spinalis.
35
DAFTAR PUSTAKA
1. Noback CR, Strominger NL, Damerest RJ, et al. The Human Nervous System
Structure and Function. 6th Edition. New Jersey: Humana Press Inc.2005
2. Steinmetz MP, Anderson P, Pata R, Resnick DK. Anatomy and Pathophysiology of
Spinal Cord Injury. In Atlas of Spine Trauma Adult And Pediatric. WB
Saunders.2008:11-20
3. Sonne C, Imaging of Traumatic Spine Injury, AAN 2004.
4. Marcotte PJ, Shaver EG, Weil RJ, Acute Spinal Disorder in Neurologic and
Neurosurgical Emergency, WB Sunders, 2011, p.363-403
5. Freidberg SR, Magge SN. Chapter 60. Trauma to the Spine and Spinal Cord. In: Jones
HR, Srinivasan J, Allam GJ, Baker RA. 2 nd Edition. Elsevier, Saunders. 2012. P.56771.
6. Dummont et al. Acute Spinal Cord Injury, Part 1:Patophysiologic mechanisms. Clin
Neuropharmacol 2001;24(5):254-64
7. Snell RS. Chapter 4.The spinal Cord and Discending Tracts. In: clinical
Neuroanatomy.7th Edition. Lippincott William & Willkins,Philadelphia.2010.p 13384.
8. Gondim FAA, Gest TR. Topographicand Functional Anatomy of The Spinal Cord .
Emedicine
Medscape
2013.
http://emedicine.madscape/article/1148570-
overview#showall
9. Robbert BD, Joseph J, John CM, Scot LP. Trauma of the Nervous System, Spinal
Cord Trauma. In: Bradleys Neurology in Clinical Practice.7 th Edition.Elsevier, Phila
delphia.2012.p 881-902.
10. DeJongs,SectionE.TheNeurologicExamination.In:TheMotorSystem,TheSpinal
CordSection.7th Edition.WilliamW.Champbell,MD.Bathesda,Maryland.2013.Page
375388.
11. Satyanegara, Ilmu bedah Saraf, Ed.3, 1998, Gramedi, Hal.321-7
12. National Institute of Neurological Disorder ang stroke. Spinal Cord Injury, Emerging
Concepts. Juli 2001.
13. Schreiber D. Spinal Cord Injuries. Feb 2003. Available at: http://emedicine.com
14. Chin LS. Spinal Cord Injuries. Emedicine Medscape 2013.
http://emedicine.medscape.com/article/79382overview#showall
36
15. Stieletall.TheCanadianCspineRuleversustheNEXUSlowriskcriteriainpatient
withtrauma.NengJmed2003;349:25108.
16. Yeon HB, Sethi RK, and Harris MB, Evaluation and Early Management of Spinal
Injury ina polytrauma patient. In Atlas of Spine Trauma Adult and Pediatric. WB
Saunders. 2008:21-27
17. Steroid for Spinal Cord Injury. Trauma org. May 10, 2005.
18. Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, Neurotrauma, McGraw Hill, p1095-165,
1229-44
19. Randall, Dumont. 2001. Acute Spinal Cord Injury, Part I: Pathophysiologic
Mehanisms.
University
of
Virginia.
available
form:
http://grants.hhp.coe.uh.edu/clayne/6397/SCI_online/Dumont_pathophysiologic_Mec
h_2001.pdf
20. Crossman AR, Neary D, Neuroanatomi: medulla Spinalis, p69-87.
21. Shepherd Center 2011, Understanding Spinal Cord Injury: What You Should Know
about
Spinal
Cord
Injury
and
Recovery,
available
from:
http://www.spinalinjury101.org/details.
22. Profyris, Christos, Cheema, Surindar, 2003. Degenerative dan regenerative
mechanism governing spinal cord injury. Australia: Neurobiology of desease.
Available
from:
http://www.researchgate.net/profile/Michael_Azari/publication/8645688_Degenerativ
e_and_regenerative_mechanisms_governing_spinal_cord_injury/links/02e7e53c487aa
481c6000000.pdf
23. Ropper AH, Samuels MA. Chapter 44. Dessease of the Spinal Cord. In: Adams and
Victors Principles of Neurology. 9th Ed. New York: McGraw-Hill; 2009.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=3640625.
24. Kaye AH. Cahpter 16.Spinal Injuries. In: Kaye AH. Essential Neurosurgery. 3 rd Ed.
Victoria, Bleckwell publishing.2005.p.225-334.
37