Anda di halaman 1dari 26

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN FEBRUARI 2021

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

RUPTUR PERINEUM

DISUSUN OLEH :

Roadah Ramadhani Hambali

111 2019 2108

PEMBIMBING:

dr. Syahruni Syahrir, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2021

1
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa:


Nama : Raodah Ramadhani Hambali
Stambuk : 111 2019 2018
Judul : Ruptur Perineum
Telah menyelesaikan Tugas Ilmiah dalam rangka kepaniteraan klinik pada

Bagian Ilmu Obstetri Dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas

Muslim Indonesia.

Makassar, Februari 2021


Supervisor Pembimbing,

dr. Syahruni Syahrir, Sp.OG

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,

karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka refarat ini

dapat diselesaikan dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu

tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad SAW beserta para

keluarga, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti ajaran

beliau hingga akhir zaman.

Referat yang berjudul “Ruptur Perineum” ini disusun sebagai

persyaratan untuk memenuhi kelengkapan bagian. Penulis mengucapkan

rasa terimakasih sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah

diberikan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama

penyusunan karya tulis ilmiah ini hingga selesai. Secara khusus rasa

terimakasih tersebut penulis sampaikan kepada dr. Syahruni Syahrir,

Sp.OG sebagai pembimbing dalam penulisan referat ini.

Penulis menyadari bahwa refarat ini belum sempurna, untuk saran

dan kritik yang membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan

penulisan refarat ini. Terakhir penulis berharap, semoga laporan kasus ini

dapat memberikan hal yang bermanfaat dan menambah wawasan bagi

pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Makassar, Februari 2021

Penulis

3
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................1
HALAMAN PENGESAHAN......................................................................2
KATA PENGANTAR................................................................................3
DAFTAR ISI.............................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...............................................................7
2.1 Anatomi.......................................................................................…...7
2.2 Definisi ……………………. ...............................................................8
2.3 Etiologi……………………... ..............................................................9
2.4 Epidemiologi……………... ..............................................................12
2.5 Patofisiologi……………………….. ..................................................13
2.6 Klasifikasi………………………….. ..................................................14
2.7 Diagnosis………………………….. ..................................................17
2.8 Tatalaksana……………………….. ..................................................19
2.9 Komplikasi,,……………………….. ..................................................21
2.10 Prognosis………………………….. ................................................22
BAB III KESIMPULAN.........................................................................23
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................24

4
BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan dan persalinan merupakan hal fisiologis yang akan

dilalui seorang wanita dalam kehidupan. Persalinan ialah serangkaian

proses yang terjadi untuk pengeluaran hasil konsepsi (janin dan uri), dari

rahim wanita dengan usia kehamilan cukup bulan atau hampir cukup

bulan, melalui jalan lahir atau dengan jalan lain. Salah satu kondisi yang

seringkali menyertai proses persalinan adalah ruptur perineum. 1

Perineum merupakan bagian penting pada saat proses persalinan

yang sangat sensitif terhadap sentuhan dan cenderung mengalami

robekan pada saat proses persalinan secara alami. Ruptur perineum

adalah robeknya perineum pada saat janin lahir. Robekan ini sifatnya

traumatik karena perineum tidak kuat menahan regangan pada saat janin

lewat. Persalinan dengan tindakan seperti ekstraksi forsep, ekstraksi

vakum, versi ekstraksi, kristeller (dorongan pada fundus uteri) dan

episiotomi dapat menyebabkan robekan jalan lahir.2,3

Dampak dari terjadinya ruptur perineum pada ibu dapat

mengakibatkan terjadinya infeksi pada luka jahitan dimana dapat

merambat pada saluran kandung kemih ataupun pada jalan lahir yang

dapat berakibat pada munculnya komplikasi infeksi kandung kemih

maupun infeksi pada jalan lahir. Ruptur perineum juga dapat

mengakibatkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah yang

5
tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus.

Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya

kematian pada ibu post partum mengingat kondisi fisik ibu post partum

masih lemah.2

6
BAB II

TINAJUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Perineum adalah regio yang terletak antara vulva dan anus,

panjangnya rata-rata 4 cm. Saat persalinan, tidak hanya ditentukan oleh

organ-organ genitalia interna saja seperti uterus dan vagina, tetapi bagian

seperti otot-otot, jaringan-jaringan ikat dan ligamen- ligamen juga

mempengaruhi jalan lahir. Otot-otot yang menahan dasar panggul

dibagian luar adalah musculus sphincter ani externus, musculus

bulbocavernosus yang melingkari vagina, dan musculus perinei

transversus superfisialis. Lebih ke dalam lagi ditemukan otot dalam yang

paling kuat, disebut diafragma pelvis, terutama musculus levator ani yang

berfungsi menahan dasar panggul. Letak musculus levator ani ini

sedemikian rupa dan membentuk sebuah segitiga di bagian depan,

disebut trigonum urogenitalis. Di dalam trigonum ini terdapat uretra,

vagina dan rectum.4

Perineum terdiri atas diafragma urogenital dan bagian bawah dari

genitalia eksterna Regio urogenital berhubungan dengan pembukaan dari

sistem urinaria dan sistem reproduksi. Sedangkan regio anal terdiri atas

anus dan musculus sphincter ani externus. Perineum terletak di bawah

7
diafragma pelvis. Perineum merupakan area berbentuk belah ketupat bila

dilihat dari bawah, dan dapat dibagi menjadi regio urogenital dan regio

anal di posterior oleh garis yang menghubungkan tuberositas ischii secara

horizontal. Perineum bila dilihat dari bawah dengan tungkai abduksi

berbentuk berlian dan di anterior dibatasi oleh symphisis pubis, posterior


4
oleh ujung os. coccygis, dan lateral oleh tuber ischiadicum

Gambar 1. Anatomi Perinuem pada Wanita

2.2 Definisi

Ruptur adalah robek atau koyaknya jaringan secara paksa.

Sedangkan perineum adalah lantai pelvis dan struktur yang berhubungan

yang menempati pintu bawah panggul; bagian ini dibatasi disebelah

anterior oleh symphisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber ischiadicum,

dan di sebelah posterior oleh os. Coccygeus. Ruptur perineum adalah

8
robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun

dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan terjadi hampir pada

semua primipara Pada dasarnya, robekan perineum dapat dikurangi

dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui kepala janin terlalu

cepat.4

2.3 Etiologi

Etiologi ruptur perineum umumnya terjadi ketika berlangsungnya

persalinan, diantaranya adalah persalinan kala 2 yang panjang atau

adanya penggunaan alat bantu untuk persalinan yang pada akhirnya juga

memerlukan episiotomi untuk memudahkan jalan lahir. Ada pula beberapa

faktor risiko yang meningkatkan terjadinya ruptur perineum, yaitu faktor

maternal, janin ataupun intrapartum.5

Selain itu, rupture perineum dipengaruhi oleh beberapa factor, yaitu

factor maternal, factor janin, dan factor penolong. Faktor maternal

meliputi:3,6

 Nuliparitas : vagina dan perineum belum lentur menahan

regangan karena belum pernah mengalami persalinan

sebelumnya

 Etnis Asia : etnis Asia ditemukan memiliki perineum dengan

bentuk, karakteristik jaringan (elastisitas, lengkungan persalinan),

serta lama persalinan kala 2 yang cenderung meningkatkan risiko

ruptur perineum

9
 Usia ibu < 20 tahun : berhubungan dengan status primi-paritas

pada wanita usia muda

 Ukuran perineum yang pendek (< 25 mm) : berhubungan dengan

peningkatan regangan akibat toleransi terhadap ukuran janin yang

berkurang (jalan lahir sempit)

 Persalinan pada usia kehamilan > 40 minggu : berhubungan

dengan ukuran janin yang besar

 Kesempitan pintu bawah panggul, mengejan terlalu kuat, partus

presipitatus,.

Faktor janin meliputi janin besar, posisi abnormal seperti

oksipitoposterior, presentasi muka, presentasi dahi, presentasi bokong,

distosia bahu dan anomali kongenital seperti hidrosefalus. Faktor

penolong meliputi cara memimpin mengejan, cara berkomunikasi dengan

ibu, ketrampilan menahan perineum pada saat ekspulsi kepala,

episiotomi dan posisi meneran.3

Adapula yang menyebutkan factor intrapartum yang meliputi: 6,7

 Persalinan dengan instrumen : berhubungan dengan peningkatan

tekanan dan regangan pada perineum

 Persalinan kala dua >60 menit : menandai persalinan yang sulit dan

berhubungan dengan ukuran janin serta kapasitas jalan lahir ibu

yang tidak seimbang

10
 Penggunaan epidural: hanya meningkatkan risiko ruptur perineum

apabila terdapat 2 faktor lain, yakni persalinan kala 2 memanjang

dan penggunaan instrumen

 Penggunaan oksitosin : peningkatan kontraksi uterus menyebabkan

tekanan pada perineum yang lebih tinggi

 Episiotomi midline : 7 kali lipat lebih berisiko ruptur dibandingkan

dengan mediolateral

 Persalinan dalam posisi litotomi, duduk, jongkok, dan

menggunakan birth stool: berhubungan dengan dorongan ibu yang

lebih kuat dibandingkan dengan posisi lainnya

Usia wanita yang disarankan untuk melahirkan adalah pada umur 20-

35 tahun, dimana menurut data dari Lindgren et al. tahun 2011, usia

tersebut memiliki risiko mortalitas dan morbiditas paling rendah. Di luar

usia tersebut, disebutkan bahwa faktor risiko pendarahan pasca

persalinan akan meningkat. Hal ini disebabkan karena pada usia kurang

dari 20 tahun, fungsi reproduksi belum berkembang dengan sempurna,

sedangkan pada usia diatas 35 tahun, fungsi reproduksi sudah menurun

sehingga kemungkinan terjadinya komplikasi pasca persalinan

meningkat.8

Paritas juga mempunyai pengaruh terhadap kejadian ruptur perineum.

Pada ibu dengan paritas satu atau primipara akan memiliki risiko lebih

besar untuk mengalami robekan perineum daripada ibu dengan paritas

11
lebih dari satu. Hal ini dikarenakan karena jalan lahir yang belum pernah

dilalui oleh kepala bayi sehingga otot-otot perineum belum meregang.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa robekan perineum terjadi hampir pada

semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan

berikutnya.8

Selain paritas, jarak kelahiran yang merupakan rentang waktu

antara kelahiran anak sekarang dengan kelahiran anak sebelumnya, hal

ini juga merupakan faktor yang mempengaruhi terjadinya robekan

perineum. Jarak kelahiran kurang dari dua tahun tergolong risiko tinggi

karena dapat menimbulkan komplikasi pada persalinan. 8

Episiotomi juga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya ruptur

perineum. Prinsip tindakan episiotomi adalah pencegahan kerusakan yang

lebih hebat pada jaringan lunak akibat daya regang yang melebihi

kapasitas adaptasi atau elastisitas jaringan tersebut. Pertimbangan untuk

melakukan episiotomi harus mengacu kepada pertimbangan klinik yang

tepat dan teknik yang paling sesuai dengan kondisi yang dihadapi. 8

2.4 Epidemiologi

Epidemiologi ruptur perineum secara global digambarkan dengan

prevalensi sebesar 85% dari seluruh persalinan. Diduga sebesar 0,6-11%

dari seluruh wanita yang melahirkan per vaginam mengalami ruptur

perineum derajat 3-4. Insidensi ruptur perineum pada wanita primipara

adalah sebesar 90,4% yang menurun hingga 68,8% pada wanita

12
multipara.5

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) terjadi 2,7 juta

kasus ruptur perineum pada ibu bersalin. Angka ini diperkirakan mencapai

6,3 juta pada tahun 2050. Seiring dengan semakin tingginya bidan yang

tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan baik. Di Amerika 26 juta ibu

bersalin yang mengalami ruptur perineum, 40% diantaranya mengalami

ruptur perineum. Di Asia ruptur perineum juga masalah yang cukup

banyak dalam masyarakat, 50% dari kejadian ruptur perineum di dunia

terjadi di Asia. Prevalensi ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum di

Indonesia dengan kejadian infeksi luka jahitan sebanyak 5% dan

perdarahan sebanyak 7% dan kematian pada ibu postpartum sebanyak

8%. Di Jawa Timur ruptur perineum yang dialami ibu bersalin dengan

perdarahan sebanyak 7%, infeksi luka jahitan sebanyak 5%. 9

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi ruptur perineum diawali dengan peregangan pada

bagian perineum, terutama pada saat melahirkan yang akhirnya

menyebabkan robekan pada dinding vagina yang dapat meluas hingga

mencapai anus.5,6

Kondisi seperti primiparitas dapat menyebabkan ruptur perineum

karena jalan lahir dan perineum belum pernah teregang karena persalinan

sebelumnya. Hal ini menyebabkan kelenturan perineum masih belum

13
cukup menahan ukuran janin dan tekanan dorongan ibu, sehingga ruptur

perineum akan terjadi.5,6

Mekanisme lainnya adalah perineum yang pendek, menyebabkan

tekanan pada perineum tidak dapat ditoleransi dengan maksimal dan

meningkatkan kemungkinan ruptur perineum, yang juga dapat

mengakibatkan perdarahan postpartum. Selain itu, penggunaan instrumen

pada persalinan biasanya berhubungan dengan penarikan, sehingga

menyebabkan tekanan dan regangan yang lebih tinggi pada perineum

saat proses persalinan.5,6

2.6 Klasifikasi

Klasifikasi derajat rupture perineum terdiri dari ruptur perineum

spontan dan disengaja.

2.6.1 Ruptur perineum spontan

Ruptur perineum spontan terbagi atas 4 derajat sebagai berikut: 6

 Derajat 1 : Laserasi hanya pada mukosa vagina dan kulit perineum,

tetapi tidak mengenai fasia dan otot.

 Derajat 2 : Laserasi melibatkan otot-otot perineum, tetapi tidak

mengenai spinchter ani.

 Derajat 3A : laserasi pada <50% otot sfingter anal eksterna

 Derajat 3B : laserasi pada >50% otot sfingter anal eksterna

14
 Derajat 3C : laserasi pada otot sfingter anal eksterna dan interna

 Derajat 4 : Laserasi meluas sampai ke mukosa rectum hingga

lumen rektem. Pada derajat ini, robekan mengenai kulit, otot, dan

melebar sampai sphincter ani dan mukosa rectum.

Gambar 1. Klasifikasi derajat rupture perineum

2.6.2 Ruptur perineum disengaja (episiotomi)

15
Episiotomi adalah insisi bedah yang dibuat di perineum untuk

memudahkan proses kelahiran. Pada persalinan spontan sering terjadi

robekan perineum yang merupakan luka dengan pinggir yang tidak

teratur. Hal ini akan menghambat penyembuhan sesudah luka dijahit.

Oleh karena itu, dan juga untuk melancarkan jalannya persalinan, dapat

dilakukan insisi pada perineum saat kepala janin tampak dari luar dan

mulai meregangkan perineum. Oleh karena itu, dan juga untuk

melancarkan jalannya persalinan, dapat dilakukan insisi pada perineum

saat kepala janin tampak dari luar dan mulai meregangkan perineum 10

a. Episiotomi medialis

Tipe ini akan dilakukan insisi garis tengah vertikal dari fourchette

posterior sampai ke rektum. Namun, tipe ini berhubungan dengan

meningkatnya trauma perineum parah dengan perluasan derajat 3 dan

4.4

b. Episiotomi mediolateral

Tipe episiotomi ini adalah pengirisan pada posisi 45 derajat terhadap

fourchette posterior pada satu sisi. Insisi semacam ini akan mencegah

terjadinya trauma perineum yang parah. 4

c. Episiotomi lateralis

16
Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira jam 3 atau

9 menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak

dilakukan lagi, oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka

sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah

pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang

banyak. Selain itu jaringan parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa

nyeri yang mengganggu penderita. 4

Gambar 2. Tindakan episiotomi

2.7 Diagnosis

Ruptur perineum merupakan salah satu penyebab perdarahan

postpartum. Apabila terjadi perdarahan yang berlangsung meskipun

kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan adanya retensi plasenta

maupun adanya sisa plasenta, kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan

lahir. Tanda dan gejala robekan jalan lahir diantaranya adalah

17
perdarahan, darah segar yang mengalir setelah bayi lahir, uterus

berkontraksi dengan baik, dan plasenta normal. Gejala yang sering terjadi

antara lain pucat, lemah, pasien menggigil. Rukiyah (2010) juga

menjabarkan ciri khas robekan jalan lahir yakni kontraksi uterus kuat,

keras dan mengecil; perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir,

perdarahan ini terus menerus setelah pijatan atau pemberian uterotonika

langsung mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Robekan jalan lahir

harus dapat diminimalkan karena dapat menimbulkan terjadinya syok. 8

Diagnosis ruptur perineum dilakukan dengan pemeriksaan perineum

dengan teliti setiap selesai persalinan dengan mencari adanya robekan

pada perineum. Anamnesis pada ibu biasanya tidak terlalu berguna

karena ibu pasti merasakan sakit pasca melahirkan dan tidak dapat

membedakan nyeri yang disebabkan oleh laserasi. Pemeriksaan fisik

mencakup pemeriksaan colok dubur.. Setelah setiap persalinan

pervaginam, perineum, vagina, dan serviks harus diperiksa dengan

cermat. Pemeriksaan colok dubur harus dilakukan dengan laserasi yang

parah untuk menilai integritas dan tonus sfingter ani. Hal ini dilakukan

untuk memastikan patensi sfingter anus dan merasakan bila ada laserasi

di bagian anus.6,12

Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi saat ini dianjurkan untuk

mendiagnosis ruptur perineum. Pemeriksaan penunjang untuk ruptur

perineum hingga saat ini masih belum dijadikan pemeriksaan rutin, namun

berbagai literatur telah membuktikan efektivitas penggunaan

18
ultrasonografi endoanal dalam diagnosis ruptur perineum. Hal tersebut

dirangkum dalam sebuah ulasan Cochrane, yang menyimpulkan bahwa

ultrasonografi endoanal dapat mengidentifikasi robekan kecil yang pada

akhirnya dapat mengurangi kejadian inkontinensia ani. Namun, memang

penelitian yang sama juga menemukan kekurangan dari metode ini, yakni

peningkatan nyeri perineum pada 3 bulan pasca persalinan. 6,10

2.8 Tatalaksana

Penatalaksanaan ruptur perineum dilakukan berdasarkan derajat

keparahan ruptur, untuk derajat 1 dan 2, umumnya tergantung dari

penilaian dokter dan juga keputusan pasien. Ruptur perineum derajat 3

dan 4 umumnya dilakukan penjahitan dengan mengikuti beberapa prinsip

(siapa yang melakukan tindakan, persiapan tindakan, cara perbaikan

ruptur, serta jenis alat dan bahan yang digunakan dalam tata laksana). 6

Dalam persiapan untuk melakukan perbaikan laserasi perineum,

tenaga kesehatan memerlukan pencahayaan yang adekuat , perbaikan

ruptur dilakukan oleh klinisi yang ahli, dan anestesi diberikan secara

adekuati. Jahitan yang paling umum digunakan untuk memperbaiki

laserasi perineum adalah jahitan braided absorbable atau chromic. Jahitan

braided absorbable dikaitkan dengan berkurangnya nyeri selama

pemulihan.11

19
Tujuan penjahitan ruptur perineum adalah untuk menyatukan

kembali jaringan tubuh dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu.

Penjahitan tidak sebaiknya dilakukan dengan metode figure of

eight karena dapat menyebabkan iskemia jaringan. Mukosa anorektal

yang robek dijahit dengan metode simple interrupted atau continuous.

Jika terjadi ruptur sfingter, maka penjahitan dilakukan menggunakan

metode simple interrupted atau matras, lalu penjahitan dilakukan secara

terpisah (masing-masing lapisan). Penjahitan dimulai 1 cm dari puncak

luka. Jahitan sebelah dalam ke arah luar, dari atas hingga mencapai

bawah laserasi. Pastikan jarak setiap jahitan sama dan otot yang terluka

telah dijahit. Masing-masing lapisan yang robek diperbaiki satu-persatu

agar fungsi dapat kembali normal. Ikat benang dengan membuat simpul

dalam vagina. Potong ujung benang dan sisakan 1,5 cm. Kemudian

melakukan pemeriksaan ulang pada vagina dan anus untuk mengetahui

terabanya jahitan pada rectum karena bisa menyebabkan fistula bahkan

infeksi.11

20
Gambar 3. Teknik perbaikan rupture perineum

Tata laksana nonmedikamentosa yang dapat dilakukan untuk

mengurangi nyeri pasca penjahitan robekan, umumnya dapat

menggunakan ice pack, gel pads dingin, berendam dengan air dingin atau

menggunakan lubrikasi ketika kembali melakukan aktivitas seksual. Tata

laksana medikamentosa bertujuan sebagai terapi suportif, berupa

pemberian antibiotik pasca penjahitan robekan, serta pemberian obat

analgesik.12

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang paling umum dari laserasi perineum adalah

perdarahan. Sebagian besar perdarahan dapat dikontrol dengan cepat

dengan bebat tekan dan perbaikan melalui pembedahan. Namun,

pembentukan hematoma dapat menyebabkan kehilangan darah dalam

jumlah besar dalam waktu yang sangat singkat. 11

Selain pendarahan, komplikasi langsung juga termasuk rasa sakit dan

waktu penjahitan yang menyebabkan penundaan mother-child bonding.

Ada juga risiko infeksi yang menyebabkan penundaan penyembuhan

luka.11

Komplikasi jangka panjang termasuk nyeri, inkontinensia urin atau ani

dan keterlambatan kembali ke hubungan seksual karena dyspareunia.

Gejala ini terjadi lebih parah pada wanita yang menjalani episiotomi

21
dibandingkan dengan mereka yang mengalami rupture spontan.

Inkontinensia flatal dapat bertahan selama bertahun-tahun setelah OASIS

(Obstetric anal spinchter injuries).11

Sekitar 25% wanita yang menderita cedera OASIS akan mengalami

dehiscence luka dalam enam minggu pertama pasca melahirkan dan 20%

akan menderita infeksi luka. Fistula rektovaginal dan / atau rektoperineal

dapat berkembang pada wanita yang memiliki cedera OASIS yang tidak

teridentifikasi atau tidak sembuh dengan baik.11

Kualitas hidup dapat sangat dipengaruhi oleh parahnya laserasi

perineum dan inkontinensia urin, flatal atau feses jangka panjang yang

mungkin terjadii. Waktu yang dibutuhkan seorang wanita untuk kembali ke

fungsi seksual normal setelah trauma perineum bervariasi. Semakin parah

laserasinya, semakin lama fungsi seksual kembali normal. 11

2.10 Prognosis

Prognosis pasien dengan ruptur perineum cenderung baik jika

diberikan tata laksana yang cepat dan tepat. Tercatat bahwa 60-80%

wanita yang mengalami penjahitan robekan akan hidup normal tanpa

gejala, pada waktu 12 bulan setelah penjahitan. 12

22
BAB III

KESIMPULAN

Ruptur perineum adalah robeknya organ genital wanita yang

biasanya terjadi pada saat melahirkan. Ruptur perineum dapat terjadi

secara spontan maupun iatrogenik, yaitu karena episiotomi dan persalinan

dengan bantuan instrumen. Ruptur perineum dibagi lagi berdasarkan

derajat keparahannya, dari derajat 1 yang hanya mengenai mukosa

vagina dan kulit perineum hingga derajat 4, yakni robekan yang meluas

hingga epitel anus. Ruptur perineum dapat didiagnosis secara langsung

melalui pemeriksaan fisik yang menyeluruh terutama setelah persalinan

untuk memeriksa adanya laserasi. Selain itu pemeriksaan colok dubur

juga dapat dilakukan untuk memastikan apakah adanya ruptur hingga ke

sfingter atau saluran anus. Pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi

dapat digunakan juga untuk membantu diagnosis ruptur perineum. Tata

laksana ruptur perineum dilakukan dengan penjahitan robekan serta

23
dengan non medikamentosa ataupun medikamentosa seperti antibiotik,

dan. penghilang nyeri 

DAFTAR PUSTAKA

1. Garedja, Yudit., dkk. 2013. Hubungan Berat Badan Lahir dengan

Ruptur Perineum Pada Primipara di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou

Manado. Jurnal e-Biomedik (eBM). 1(1):719-725

2. Sari, Apriani., dkk. 2015. Hubungan Antara Paritas Dengan Kejadian

Ruptur Perinuem pada Persalinan Normal di Klinik Utama Asri

Medical Center Yogyakarta dan RSUD Panembahan Senopati

Bantul. Jurnal Kesehatan Reproduksi. 2(3):183-189.

3. Haryanti, Yunida., dkk. Analisis Penyebab Terjadinya Ruptur

Perineum pada Ibu Bersalin. Jurnal Kebidanan. 9(2):38-40.

4. Dhifa, Alfun., Setiawan, Oky Somang. 2017. Gambarang Derajat

Keparahan Ruptur Perineum dengan Melihat Faktor Berat Lahir Bayi

Pada Primipara dan Multipara Saat Persalinan dan Multipara Saat

24
Persalinan Pervaginam di RS PKU Muhammadiyah Gamping.

Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Malang.

5. Goh, R., D. Goh, and H. Ellepola, Perineal tears A review. Australian

Journal for General Practitioners, 2018. 47: p. 35-38

6. Homer, C. and A. Wilson. 2018. Perineal Tears: A literature review.

Diakses melalui

https://www.safetyandquality.gov.au/sites/default/files/migrated/D19-

2045-Perineal-tears-lit-review-including-Commission-cover-for-

external-publications_Jan-2019.pdf pada tanggal 7 Februari 2021.

7. Cola, A., et al., 2016. Third and fourth degree perineal tears:

incidence and risk factors in an Italian setting. European Journal of

Obstetrics and Gynecology and Reproductive Biology, 206: p. e27.

8. Kristianto. Unud. 2018. Karakteristik Perineum Pada Persalinan

Pervaginam di RSUP Sanglah Denpasar Periode Januari 2016-

Desember 2016. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

9. Pemiliana, Putri., dkk. 2019. Faktor-Faktor yang Berhubungan

Dengan Ruptur Perineum pada Persalinan Normal di Klinik Niar

Medan Tahun 2018. Jurnal Kesehatan. 2(2):170-182.

10. Walsh, K.A. and R.M. Grivell. 2015. Use of endoanal ultrasound for

reducing the risk of complications related to anal sphincter injury

after vaginal birth. Cochrane Database of Systematic Reviews.

25
11. Ramar, Cassandea., dkk. 2020. Perineal Lacerartions. Diakses

melalui https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559068/ pada

tanggal 7 Februari 2021.

12. RCOG. 2015. The Management of Third and Fourth-Degree Perineal

Tears. Green-top Guideline. 3(29): p. 1-19. Diakses melalui

https://www.rcog.org.uk/en/guidelines-research-services/guidelines/

gtg29/ pada tanggal 7 Februari 2021.

26

Anda mungkin juga menyukai