Anda di halaman 1dari 24

Clinical Science Section

RUPTUR PERINEUM

Oleh
Farina Angelia
No. BP 2040312148

Preseptor
dr. H. Erman Ramli, Sp. OG (K)

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

RSUD DR. ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI

2021
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat


Allah S.W.T berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat atau
Clinical Science Section dengan judul “Ruptur Perineum”, serta tak lupa shalawat
beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W. Referat ini merupakan salah satu syarat
dalam mengikuti kepaniteraan klinik daerah di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas RSUD Dr. Achmad Mochtar Bukittinggi.

Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini telah dibantu oleh banyak pihak.
Dalam usaha penyelesaian makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak dr. H. Erman Ramli, Sp. OG (K), selaku preseptor
yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan
bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis dalam penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak


kekurangan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua
saran dan kritikan yang membangun guna penyempurnaan referat ini. Akhir kata,
semoga referat ini dapat bermanfaaat bagi, akademisi, dunia pendidikan, instansi
terkait, dan masyarakat luas.

Bukittinggi, April 2021

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pasien dengan perdarahan pasca persalinan yang tidak mendapat penanganan


yang baik bisa menyebabkan kematian ibu, sekaligus meningkatkan mordibitas dan
mortalitas ibu. Robekan pada jalan lahir merupakan salah satu penyebab utama
pendarahan pasca persalinan. Robekan pada jalan lahir bisa bervariasi tergantung dari
penyebab terjadinya trauma pada daerah jalan lahir. Trauma bisa menyebabkan
robekan pada daerah perineum, vagina dan serviks. Trauma juga bisa terjadi akibat
tindakan selama persalinan seperti tindakan episiotomi. Bagian yang paling sering
mengalami perlukaan akibat persalinan ialah perineum 1,3

Perineum merupakan bagian penting pada saat proses persalinan yang sangat
sensitive terhadap sentuhan dan cenderung mengalami robekan pada saat persalinan
secara alami. Selain itu, perineum juga berfungsi sebagai pengontrol aktivitas BAK
(buang air kecil), BAB (buang air besar), dan akrivitas seksual bagi ibu pasca
melahirkan. Robekan atau ruptur yang terjadi pada saat proses persalinan diduga
dapat mengakibatkan gangguan fungsi dasar otot panggul yang dapat mempengaruhi
aktivitas kontrol BAK, BAB, dan aktivitas ibu pasca melahirkan.1,2

Ruptur perineum merupakan suatu kondisi robeknya perineum yang terjadi


pada persalinan pervaginam. Diperkirakan lebih dari 85% wanita yang melahirkan
pervaginam mengalami ruptur perineum spontan, yang 60% - 70% di antaranya
membutuhkan penjahitan. Angka morbiditas meningkat seiring dengan peningkatan
derajat ruptur.2,3

Ruptur perineum dibagi menjadi 4 derajat, sesuai dengan bagian anatomis


yang dikenainya. Tatalaksana atau repair ruptur perineum didasarkan pada derajat
beratnya ruptur perineum, serta teknik reparasi yang digunakan juga disesuaikan
dengan derajat rupturnya.3,4
1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Menambah pengetahuan mengenai definisi rupture perineum,


klasifikasi, etiologi dan faktor risiko, teknik menjahit robekan,
episiotomi, teknik episiotomi, perawatan post operatif, komplikasi post
operatif, prognosis pada rupture perineum.

1.2.2 Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di


bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas
Andalas.

1.3 Metode Penulisan

Referat ini ditulis dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Perineum

Perineum merupakan daerah berbentuk diamond yang terletak diantara kedua


paha yang menggambarkan pelvic outlet: simfisis pubis anterior, rami pubis,
tuberositas ischial anterolateral, ligament sakrotuberous posterolateral, dan koksigis
posterior. Batasan perineum terbentuk oleh rami pubis di depan ligament
sakrotuberos di belakang. Pelvic outlet dibagi oleh garis melintang yang
menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan
sebuah segitiga belakang anal.2,4,5

Gambar 2.1 Anatomi Perineum2

2.1.1 Segitiga urogenital

Otot-otot di wilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial


dan dalam bergantung pada membran perineal. Bagian bulbospongiosus,
perineal melintang dangkal dan otot ischiocavernosus terletak dalam bagian
terpisah yang superfisial. Otot bulbospongiosus melingkari vagina dan masuk
melalui bagian depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian belakang,
sebagian serabutnya mungkin menyatu dengan otot contralateral superfisial
transverse perineal (otot yang melintang kontralateral dipermukaan perineal)
juga dengan cincin otot anus (sfingter). 2,4,5

Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan


bagian duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput
dara pada persimpangan dua sepertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah
labia minora. 2,4,5

Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan
belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital
berbentuk tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu kehadirannya tidak
diakui oleh sebagian ahli. Di bagian yang sama terletak juga otot cincin
eksternal uretra. 2,4,5

2.1.2 Segitiga anal

Bagian ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorektal.4

2.1.3 Badan perineal

Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut)


antara vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada
sudut segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit
perineal antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam bagian
perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal
melintang dan otot cincin anus bagian luar. 2,4,5

Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot
pubo rektalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus
urogenitalis antara otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan
perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum merujuk sebagian
besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus. 2,4,5
2.1.4 Anatomi anorektum

Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus


gastrointestinalis dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum.
Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak dibawah persambungan anorektal
yang dibentuk oleh otot puborektalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga bagian
(subcutaneus / bawah kulit), superfisial (permukaan) dan bagian profunda
(dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborektalis. Cincin otot
anus bagian dalam merupakan lanjutan menebalnya otot halus yang
melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin otot anus oleh otot
penyambung yang membujur rectum. 2,4,5

2.2. Definisi

Ruptur merupakan robeknya jaringan secara paksa. Perineum adalah lantai


pelvis dan struktur yang berhubungan dengan pintu bawah panggul; bagian ini
dibatasi disebelah anterior oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber
ischiadikum, dan di sebelah posterior oleh os. coccygeus, dan dibagi ke dalam
segitiga urogenital anterior dan segitiga anal posterior atau “the anterior urogenital
triangle and the posterior anal triangle”.1,3,4

Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dicegah dengan memastikan kepala
janin tidak terlalu cepat lahir. Namun, kepala janin yang akan lahir jangan ditahan
terlampau kuat dan lama karena dapat menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam
tengkorak janin, serta melemahkan otot-otot dan fassia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.1,3,4

2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Robekan perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:12

1) Kepala janin terlalu cepat lahir


2) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3) Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
4) Pada persalinan dengan distosia bahu

Insidensi laserasi pada perineum mencapai 0,25 hingga 6%, dimana terdapat
berbagai faktor risiko yang dapat memperberat laserasi pada perineum, seperti
episiotomi medialis, nullipara, kala II yang memanjang, persalinan yang diinduksi,
posisi oksipital posterior persisten, persalinan pervaginam dibantu, ras Asia, dan berat
bayi yang besar. 2

2.4 Klasifikasi Ruptur Perineum

2.4.1 Ruptur Perineum Spontan

Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa


dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat
persalinan dan biasanya tidak teratur. Tingkat robekan perineum dapat dibagi
atas 4 derajat: 1,2,9,10

1) Derajat I

Perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina, kulit perineum, dan fourchette,
dan tidak mengenai fasia serta otot. Derajat ini termasuk laserasi periurethral,
yang dapat menyebabkan perdarahan besar.2

Gambar 2.2 Laserasi perineum derajat I2

2) Derajat II
Perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fasia
serta otot-otot perineal, namun tidak mengenai sfingter ani. Robekan dapat
terjadi di garis tengah, namun seringkali meluas ke satu atau kedua sisi
vagina, membentuk segitiga ireguler. 2

Gambar 2.3 Laserasi perineum derajat II2

3) Derajat III

Perlukaan lebih luas dan lebih dalam dari derajat II menyebabkan muskulus
sfingter ani eksterna terputus. Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral,
tetapi dapat juga bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan
muskulus levator ani yang terjadi pada waktu persalinan normal atau
persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada
vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar dan mengakibatkan terbentuknya
hematoma. 2
Gambar 2.4 Laserasi perineum derajat III2

4) Derajat IV

Robekan pada perineum derajat III yang dapat meluas ke mukosa rektum dan
melibatkan sfingter ani eksterna dan interna. 2

Gambar 2.5 Laserasi perineum derajat IV2

2.4.2 Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)

Episiotomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episton (regio pubis) dan
tomy (memotong). Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum
yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara,
jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot, dan fasia perineum dan kulit
sebelah depan perineum. Insisi dapat dilakukan di garis tengah, yang disebut
sebagai episiotomi mediana atau episiotomi yang dimulai di garis tengah lalu
diarahkan ke lateral menjauhi rektum, atau disebut sebagai episotomi
mediolateral. 2,11,12

Episiotomi dapat menurunkan kejadian trauma perineal posterior,


perbaikan dengan bedah, dan komplikasi penyembuhan, serta trauma perineal
anterior. Episiotomi dapat dipertimbangkan atas beberapa indikasi, antara
lain:2

1) Distosia bahu
2) Sungsang
3) Janin makrosomia
4) Persalinan pervaginam dibantu
5) Posisi oksiput posterior persisten
6) dan indikasi lain yang dapat menyebabkan rupture perineum apabila
tidak dilakukan episiotomy

Berdasarkan pihak ibu dan pihak janin, indikasi episiotomi terbagi atas: 12

1. Indikasi janin

a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah


terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan
cunam, ekstraksi vakum, dan janin besar.

2. Indikasi ibu. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan


sehingga ditakuti akan terjadi robekan perineum, terutama pada primipara,
persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak
besar.

Namun, episiotomi sebaiknya tidak rutin dilakukan. Pada suatu


penelitian, ditemukan tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan risiko
inkontinensia alvi lebih tinggi tiga kali lipat serta inkontinensia flatus dua kali
lipat dibandingkan persalinan dengan laserasi spontan. 2,11,12

Selain itu, episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan: 7

1. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma

2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi
rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi.

3. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum

4. Meningkatnya resiko infeksi.

2.5 Teknik Episiotomi

Sebelum episiotomi, analgetik dapat menggunakan analgetik epidural saat


persalinan, blokade nervus pudendus bilateral, atau dengan infiltrasi lidokain 1%.
Apabila dilakukan terlalu cepat, perdarahan akibat episiotomi akan cukup besar
selama interval antara insisi dan saat persalinan. Namun, apabila dilakukan terlambat,
laserasi tidak dapat dicegah. Episiotomi sebaiknya dilakukan saat kepala sudah
terlihat saat kontraksi dengan diameter kepala mencapai 4 cm, seperti mahkota.2,7
Gambar 2.6 Teknik Episiotomi12

2.5.1 Episiotomi medialis

1) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina
sampai batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai
adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan procaine 1-2%; atau
larutan lidonest 1-2%; atau larutan xylocaine 1-2%. Setelah pemberian
anestesi, jari menyusup antara kepala dan perineum. Kemudian insisi
dimulai pada arah jam 6 pada introitus vagina dan diarahkan ke
posterior. Panjang insisi sekitar 2 sampai 3 cm tergantung panjang
perineal dan derajat ketebalan perineum. Insisi yang dilakukan
disesuaikan dengan jenis persalinan yang akan dilakukan, namun harus
dihentikan sebelum mencapai sfingter ani eksterna. Bila kurang lebar
disambung ke lateral (episiotomi medio lateralis). 2,12
Gambar 2.7 Teknik Episiotomi Medialis2

Perineum digunting mulai dari ujung paling bawah introitus vagina


menuju anus melalui kulit, selaput lender vagina, fasia dan otot perineum.
12

2) Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri


dan kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit
dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat
atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus
(interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang
dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut
chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera. 12

 Otot perineum kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.


 Pinggir fasia kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
 Selaput lendir vagina dan kulit perineum dijahit dengan benang sutera.
Gambar 2.8 Teknik menjahit luka episiotomi medialis12

2.5.2 Episiotomi mediolateralis

1) Pada teknik ini, gunting episiotomi diposisikan pada arah jam 7 atau
jam 5, kemudian insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina
menuju ke arah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan
kearah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang
melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm. 2, 12
Gambar 2.9 Penjahitan Episiotomi Mediolateral2

2) Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama


dengan teknik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan
sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya
harus simetris. 12

 Menjahit jaringan otot-otot dengan jahitan terputus-putus


 Benang jahitan pada otot ditarik
 Selaput lendir vagina dijahit
 Jahitan otot-otot diikatkan
 Fasia dijahit
 Penutupan fasia selesai
 Kulit dijahit

2.5.3 Episiotomi lateralis

1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira
pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam.12

2) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak


menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana
terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat
menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi
dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. 12

2.6 Teknik Menjahit Robekan Perineum

2.6.1 Derajat I

Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan


memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau
dengan cara angka delapan (figure of eight). 5

2.6.2 Derajat II

Laserasi derajat II melibatkan fasia dan otot (muskulus perinei


transversalis) dari badan perineum tapi tidak mengenai sfingter anus. Robekan
ini biasanya melebar ke atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentu
luka segitiga yang ireguler. Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan
perineum tingkat II atau III, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau
bergerigi, maka pinggir yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih
dahulu. Pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem
terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru
dilakukan penjahitan luka robekan. Awalnya otot dijahit dengan catgut.
Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara interuptus atau
kontinu.

Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir


kulit perineum dijahit dengan benang secara interuptus.
Gambar 2.10 Teknik menjahit robekan perineum derajat II12

2.6.3 Derajat III

Laserasi derajat III meluas melewati kulit, membran mukosa, dan


badan perineum, dan melibatkan sfingter anus. Mula-mula dinding depan
rektum yang robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum
rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-
ujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem dengan klem
Pean lurus, kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga
bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit
robekan perineum derajat II.

Gambar 2.11 Teknik menjahit robekan perineum derajat III12


2.6.4 Derajat IV

Teknik yang digunakan untuk menjahit laserasi deajat IV melibatkan


sfingter ani dan mukosa rektal. Teknik pertama dan yang lebih disarankan
adalah teknik end-to-end dan teknik kedua, yaitu teknik overlapping.

Teknik end-to-end dilakukan dengan meperkirakan jarak antara robekan


tepi mukosa rektum dengan jahitan pada otot rektal sejauh 0,5 cm. Benang
yang dapat digunakan adalah 2-0 atau 3-0 chromic gut. Lapisan otot kemudian
ditutup dengan sfingter ani interne. Kemudian akhir dari jahitan di sfingter ani
eksterna diisolasi, dan ditutup secara end-to-end dengan 3-4 jahitan terputus-
putus.

Gambar 2.12 Teknik menjahit “end-to-end” robekan perineum derajat IV2

Teknik overlapping merupakan metode alternatif untuk memperkirakan


sfingter ani eksterna. Berdasarkan penelitian, metode ini tidak menghasilkan
hasil anatomi atau fungsional yang lebih baik dibandingkan dengan metode
end-to-end. 2

2.7 Perawatan Post Operatif

Mayoritas pasien yang menjalani perbaikan robekan mengalami rasa tidak


nyaman yang meningkat dalam minggu pertama setelah persalinan. Dalam 5 sampai 7
hari postpartum, jahitan yang terletak di dalam jaringan akan mulai diabsorbsi, jahitan
yang terletak di bagian luar dan terekspos dengan udara mungkin akan lebih lama
terabsorbsi. Ketika benang jahit telah diabsorbsi, pasien mungkin dapat merasakan
potongan benang jahit ketika menmbersihkan daerah perineum. Hal ini adalah
normal. Dalam 6 minggu post partum, jika robekan sembuh secara normal,
pemeriksaan fisis pada perineum akan normal. Bekas luka mungkin tidak begitu jelas.
Biasanya tidak terdapat nyeri pada saat ini dan pasien dapat melanjukan aktifitas
seksualnya.2,12

Penanganan post operatif pada pasien yang telah menjalani perbaikan robekan adalah:

 Kontrol nyeri pada hari-hari setelah persalinan biasanya dengan pemberian


acetaminophen atau ibuprofen, meskipun kadang-kadang pasien dapat
membutuhkan analgesik narkotik (seperti kodein). Tetapi narkotik dapat
menyebabkan konstipasi dengan feses yang keras, sehingga dapat merusak luka
jahitan robekan derajat III dan IV. 2,12

 Pasien harus menjaga higiene perineum. Pasien yang memiliki hygiene perineum
yang baik akan sembuh dan bebas dari nyeri lebih cepat. Rekomendasi standar
untuk higiene perineum adalah membasuh daerah perineum dengan air hangat
menggunakan botol semprot oleh karena air hangat akan membantu mengurangi
nyeri . 2,12

 Selain itu, pasien juga harus menghindari trauma pada perineum, terutama pada
robekan tingkat III dan IV. Yaitu dengan menghindari terjadinya konstipasi dan
diare, karena konstipasi dapat menyebabkan trauma rektal akibat peregangan,
dan feces encer pada diare dapat memasuki luka dan menyebabkan infeksi.
Insiden konstipasi dan diare dapat dikurangi dengan menggunakan pelunak feses
dan diet rendah-residu yang dapat membentuk feses lunak yang tidak besar.
Pasien sebaiknya tidak menggunakan laksansia atau suppositoria karena dapat
menimbulkan diare. 2,12

2.8 Komplikasi Post Operatif

Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah perbaikan
luka pada episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka pendek yang paling
utama adalah hematoma dan infeksi, sedangkan komplikasi jangka panjang adalah
inkontinensia feses dan nyeri perineum persisten. 9,10,11

Hematoma sering terjadi setelah penggunaan forsep dan biasanya disertai


dengan nyeri atau tekanan pada rektum. Dapat pula terjadi retensi urin. Pada keadaan
yang jarang, jika kehilangan darah karena hematoma cukup banyak, maka pasien
dapat mengalami syok hipovolemik. Pada pemeriksaan fisis terlihat pembengkakan
perineum atau vagina yang unilateral dan massa yang dapat dipalpasi pada
pemeriksaan bimanual. 9,10,11

Infeksi pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan akan disertai
dengan keluhan nyeri dan sekret yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun
biasanya sulit membedakan antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat
infeksi. 9,10,11

Inkontinensia feses terjadi pada 10% wanita yang telah menjalani perbaikan
robekan tingkat III dan IV, walaupun teknik perbaikannya sudah cukup baik.
Inkontinensia dapat terjadi segera maupun beberapa hari/minggu postpartum.
Inkontinensia yang tertunda biasanya akibat luka yang kembali terbuka atau infeksi.
9,10,11

Nyeri perineum persisten dan dispareunia. Normalnya dalam 6 minggu


postpartum, nyeri perineum akan menghilang. Beberapa wanita mengeluhkan nyeri
yang persisten. Nyeri tersebut dapat tajam atau tumpul, yang diperberat oleh kegiatan
dan posisi tertentu. Beberapa wanita mengeluhkan nyeri ketika bersenggama. 9,10,11

2.9 Prognosis

Kebanyakan pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan


sangat baik, dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka
yang minimal. Namun dapat terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek maupun
jangka panjang pada 10% pasien dengan ruptur perineum tingkat IV, walaupun sudah
dilakukan penanganan dengan baik. Jika tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan
perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama. 2,10,11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Laserasi / ruptur perineum adalah robeknya perineum pada saat persalinan


pervaginam, dapat terjadi secara spontan maupun akibat episiotomi.
2. Ruptur perineum spontan terjadi akibat pengeluaran kepala dan bahu janin
yang terlalu cepat atau tidak terkendali.
3. Episiotomi tidak rutin dilakukan karena memiliki resiko perdarahan,
hematoma, infeksi, dan nyeri pasca persalinan. Indikasi episiotomi adalah
apabila terdapat gawat janian, penyulit pervaginam, dan adanya jaringan
parut pada vagina.
4. Ruptur perineum dapat dibagi menjadi empat derajat. Pada ruptur derajat 1
tidak dibutuhkan penjahitan. Pada ruptur derajat 2 dibutuhkan penjahitan
mulai dari mukosa vagina, otot-otot perineum, dankulit. Ruptur derajat 3
dan 4 merupakan indikasi rujukan ke layanan kesehatan sekunder, karena
tindakan repair perineum dengan derajat 3 dan 4 membutuhkan operator
yang sudah terlatih. Teknik menjahit yang tepat dapat mencegah
terjadinya komplikasi berupa hematoma.
5. Pasca tindakan repair perineum, pasien harus di edukasi unutk menjaga
kebersihan perineum untuk mengurangi risiko infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Wiknjosastro, H., Ilmu Kebidanan. Edisi Keempat Cetakan Ketiga. Jakarta :


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo, 2010.
2. Dorland . Kamus kedokteran Dorland. Edisi 31. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC, 2010.
3. Cunningham FG, Kenneth JL, Steven LB, John CH, Dwight JR, Catherine
YS. Obstetri Williams volume 1. Edisi 23. Alih Bahasa : Brahm U Pendit.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC,2013.
4. Gant NF, Cunningham FG. Dasar – dasar ginekologi & obstetri. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2011.
5. Mochamad Anwar, Ali Baziad, R. Prajitno Prabowo. Ilmu Kandungan. Edisi
3. Jakarta.Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo. 2011.
6. Errol R. Norwitz, John O. Schorge. Operative vaginal delivery in Obstetrics
and Gynecology at a Glance. United States of America. 2007.
7. Martinal L. Pernoll. Perineotomy in Benson and Pernoll's handbook of
Obstetrics & Gynaecology. McGraw-Hill 10th Ed.
8. D. Keith Edmonds. Chapter 24 in Dewhurt's Textbook of Obstetrics &
Gynaecology. Blackwell Publishing 7th Ed.
9. Katariina L.,Tiina P., Rune R., et al. Decreasing the Incidence of Anal
Sphincter Tears During Delivery in Obstetrics and Gynaecology Vol. 111, No.
5, May 2008. P 1053-1057
10. Jan Willem, Mark Vierhout, Piet Struijk et al. Anal Sphincter Damage After
Vaginal Delivery: Functional outcome and risk factors for fecal incontinence
in Acta Obstetricia et Gynaecologica Scandinavica 80. 2001. P 830-834.
11. A. Cornet, O. Porta, L. Pineiro et al. Management of Obstetric Perineal Tears
in Obstetrics and Gynaecology International Volume 2012, Hindawi
Publishing Corporation. P 1-7.
12. Ranee Thakar, Abdul Sultan. Obstetric anal sphincter injury: 7 critical
questions about care in Obg Management February 2008. P 56-68.

Anda mungkin juga menyukai