RUPTUR PERINEUM
Oleh
Farina Angelia
No. BP 2040312148
Preseptor
dr. H. Erman Ramli, Sp. OG (K)
2021
KATA PENGANTAR
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini telah dibantu oleh banyak pihak.
Dalam usaha penyelesaian makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Bapak dr. H. Erman Ramli, Sp. OG (K), selaku preseptor
yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memberikan
bimbingan, saran, dan arahan kepada penulis dalam penyusunan referat ini.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Perineum merupakan bagian penting pada saat proses persalinan yang sangat
sensitive terhadap sentuhan dan cenderung mengalami robekan pada saat persalinan
secara alami. Selain itu, perineum juga berfungsi sebagai pengontrol aktivitas BAK
(buang air kecil), BAB (buang air besar), dan akrivitas seksual bagi ibu pasca
melahirkan. Robekan atau ruptur yang terjadi pada saat proses persalinan diduga
dapat mengakibatkan gangguan fungsi dasar otot panggul yang dapat mempengaruhi
aktivitas kontrol BAK, BAB, dan aktivitas ibu pasca melahirkan.1,2
Referat ini ditulis dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan
belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital
berbentuk tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu kehadirannya tidak
diakui oleh sebagian ahli. Di bagian yang sama terletak juga otot cincin
eksternal uretra. 2,4,5
Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot
pubo rektalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus
urogenitalis antara otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan
perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum merujuk sebagian
besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus. 2,4,5
2.1.4 Anatomi anorektum
2.2. Definisi
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga
pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dicegah dengan memastikan kepala
janin tidak terlalu cepat lahir. Namun, kepala janin yang akan lahir jangan ditahan
terlampau kuat dan lama karena dapat menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam
tengkorak janin, serta melemahkan otot-otot dan fassia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.1,3,4
Insidensi laserasi pada perineum mencapai 0,25 hingga 6%, dimana terdapat
berbagai faktor risiko yang dapat memperberat laserasi pada perineum, seperti
episiotomi medialis, nullipara, kala II yang memanjang, persalinan yang diinduksi,
posisi oksipital posterior persisten, persalinan pervaginam dibantu, ras Asia, dan berat
bayi yang besar. 2
1) Derajat I
Perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina, kulit perineum, dan fourchette,
dan tidak mengenai fasia serta otot. Derajat ini termasuk laserasi periurethral,
yang dapat menyebabkan perdarahan besar.2
2) Derajat II
Perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fasia
serta otot-otot perineal, namun tidak mengenai sfingter ani. Robekan dapat
terjadi di garis tengah, namun seringkali meluas ke satu atau kedua sisi
vagina, membentuk segitiga ireguler. 2
3) Derajat III
Perlukaan lebih luas dan lebih dalam dari derajat II menyebabkan muskulus
sfingter ani eksterna terputus. Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral,
tetapi dapat juga bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan
muskulus levator ani yang terjadi pada waktu persalinan normal atau
persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada
vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar dan mengakibatkan terbentuknya
hematoma. 2
Gambar 2.4 Laserasi perineum derajat III2
4) Derajat IV
Robekan pada perineum derajat III yang dapat meluas ke mukosa rektum dan
melibatkan sfingter ani eksterna dan interna. 2
Episiotomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episton (regio pubis) dan
tomy (memotong). Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum
yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara,
jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot, dan fasia perineum dan kulit
sebelah depan perineum. Insisi dapat dilakukan di garis tengah, yang disebut
sebagai episiotomi mediana atau episiotomi yang dimulai di garis tengah lalu
diarahkan ke lateral menjauhi rektum, atau disebut sebagai episotomi
mediolateral. 2,11,12
1) Distosia bahu
2) Sungsang
3) Janin makrosomia
4) Persalinan pervaginam dibantu
5) Posisi oksiput posterior persisten
6) dan indikasi lain yang dapat menyebabkan rupture perineum apabila
tidak dilakukan episiotomy
Berdasarkan pihak ibu dan pihak janin, indikasi episiotomi terbagi atas: 12
1. Indikasi janin
2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi
rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi.
1) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina
sampai batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai
adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan procaine 1-2%; atau
larutan lidonest 1-2%; atau larutan xylocaine 1-2%. Setelah pemberian
anestesi, jari menyusup antara kepala dan perineum. Kemudian insisi
dimulai pada arah jam 6 pada introitus vagina dan diarahkan ke
posterior. Panjang insisi sekitar 2 sampai 3 cm tergantung panjang
perineal dan derajat ketebalan perineum. Insisi yang dilakukan
disesuaikan dengan jenis persalinan yang akan dilakukan, namun harus
dihentikan sebelum mencapai sfingter ani eksterna. Bila kurang lebar
disambung ke lateral (episiotomi medio lateralis). 2,12
Gambar 2.7 Teknik Episiotomi Medialis2
1) Pada teknik ini, gunting episiotomi diposisikan pada arah jam 7 atau
jam 5, kemudian insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina
menuju ke arah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan
kearah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang
melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm. 2, 12
Gambar 2.9 Penjahitan Episiotomi Mediolateral2
1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira
pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam.12
2.6.1 Derajat I
2.6.2 Derajat II
Penanganan post operatif pada pasien yang telah menjalani perbaikan robekan adalah:
Pasien harus menjaga higiene perineum. Pasien yang memiliki hygiene perineum
yang baik akan sembuh dan bebas dari nyeri lebih cepat. Rekomendasi standar
untuk higiene perineum adalah membasuh daerah perineum dengan air hangat
menggunakan botol semprot oleh karena air hangat akan membantu mengurangi
nyeri . 2,12
Selain itu, pasien juga harus menghindari trauma pada perineum, terutama pada
robekan tingkat III dan IV. Yaitu dengan menghindari terjadinya konstipasi dan
diare, karena konstipasi dapat menyebabkan trauma rektal akibat peregangan,
dan feces encer pada diare dapat memasuki luka dan menyebabkan infeksi.
Insiden konstipasi dan diare dapat dikurangi dengan menggunakan pelunak feses
dan diet rendah-residu yang dapat membentuk feses lunak yang tidak besar.
Pasien sebaiknya tidak menggunakan laksansia atau suppositoria karena dapat
menimbulkan diare. 2,12
Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah perbaikan
luka pada episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka pendek yang paling
utama adalah hematoma dan infeksi, sedangkan komplikasi jangka panjang adalah
inkontinensia feses dan nyeri perineum persisten. 9,10,11
Infeksi pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan akan disertai
dengan keluhan nyeri dan sekret yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun
biasanya sulit membedakan antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat
infeksi. 9,10,11
Inkontinensia feses terjadi pada 10% wanita yang telah menjalani perbaikan
robekan tingkat III dan IV, walaupun teknik perbaikannya sudah cukup baik.
Inkontinensia dapat terjadi segera maupun beberapa hari/minggu postpartum.
Inkontinensia yang tertunda biasanya akibat luka yang kembali terbuka atau infeksi.
9,10,11
2.9 Prognosis
PENUTUP
3.1 Kesimpulan