Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Ruptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara paksa (Dorland,
1994). Perineum adalah bagian yang terletak antara vulva dan anus panjangnya
rata-rata 4 cm. Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak
jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin
dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau
kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam
tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi luas
apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada
biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari pada biasa,
kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar
daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahirkan dengan
pembedahan vaginal.
2.2 Epidemiologi
Lebih dari 85% wanita di United Kingdom yang mengalami trauma perineal
sewaktu menjalani persalinan pervaginam. Namun angka prevalensi ini tergantung
dari variasi tempat obstetrik, termasuk angka tindakan episiotom. Di Belanda,

angka episiotomi 8%, sementara di Inggris angka episiotomi mencapai 14%, 50%
di Amerika Serikat, dan 99% di Negara-negara EropaTimur.
2.3 Anatomi
Perineum adalah wilayah pelvic outlet di ujung diafragma pelvis (levator
ani), merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul, terletak antara
vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fasia urogenitalis serta diafragma
pelvis, batasannya dibentuk oleh ramus pubis di depan ligamen sacrotuberos di
belakang. Perbatasan perineum sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.

Ligamentum arkuata di bagian depan tengah.


Arkus iskiopubik dan tuber iskii di bagian lateral depan.
Ligamentum sakrotuberosum di bagian lateral belakang.
Tulang koksigis di bagian belakang tengah.

Pelvis outletnya dibagi 2 regio oleh garis melintang yang menghubungkan


bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan sebuah segitiga
belakang anal. Diafragma urogenitalis terletak menyilang arkus pubis diatas fasia
superfisialis perinei dan terdiri dari otot-otot transversus perinealis profunda.
Diafragma pelvis dibentuk oleh otot-otot koksigis dan levator ani yang terdiri dari
3 otot penting yaitu: M. puborektalis, M. pubokoksigis, dan M. iliokoksigis.
Susunan otot tersebut merupakan penyangga dari struktur pelvis, di antaranya
lewat uretra, vagina, dan rektum.
2.3.1

Segitiga Urogenital
Di sini terdapat M. bulbokavernosus, M. transversus perinealis

superfisialis dan M. iskiokavernosus. Otot-otot diwilayah ini dikelompokkan ke


dalam kelompok superfisial (dangkal) dan dalam bergantung pada membran
perineal. Otot bulbospongiosus melingkari vagina dan masuk melalui bagian

depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian belakang, sebagian serabutnya


mungkin menyatu dengan otot kontralateral superfisial transverseperineal (otot
yang melintang kontralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus
(sfingter).
Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan
bagian duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara
pada persimpangan dua pertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia
minora.
Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan
belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital
berbentuk tipis. Di bagian yang sama terletak juga otot cincin external uretra.
2.3.2

Segitiga Anal
Wilayah ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorectal. Disini

terdapat M. sfingter ani eksterna yang melingkari anus.


2.3.3 Badan Perineal
Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara
vagina dan kanal anus. Pada bidang sagital berbentuk segitiga. Pada sudut
segitiganya terdapat ruang rektovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal
antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam bagian perineal terdapat
lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal melintang dan otot cincin
anus bagian luar.

2.3.4

Anorektum

Anorektum

merupakan

bagian

yang

paling

jauh

dari

traktus

gastrointestinalis dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal
anus berukuran 3.5 cm dan terletak dibawah persambungan anorektal yang
dibentuk oleh otot puborectalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga bagian
(subcutaneus / bawah kulit), superfisial (permukaan), dan bagian profunda
(dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborectalis. Cincin otot anus
bagian dalam merupakan lanjutan menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian
ini dipisahkan dari bagian luar cincin otot anus oleh otot penyambung yang
membujur rectum.

Gambar 1. Diafragma perineum dan urogenital wanita.


Persyarafan perineum berasal dari segmen sakral 2, 3, 4 dari sumsum
tulang belakang yang bergabung membentuk nervus pudendus. Syaraf ini
mensyarafi pelvis melalui foramen sciatic mayor dan melalui lateral ligamentum
sakrospinosum, kembali memasuki pelvis melalui foramen sciatic minor dan
kemudian lewat sepanjang dinding samping fossa iliorektal dalam suatu ruang

fasial yang disebut kanalis Alcock. Begitu memasuki kanalis Alcock, N. pudendus
terbagi menjadi 3 bagian / cabang utama, yaitu: N. hemorrhoidalis inferior di
regio anal, N. perinealis terbagi menjadi N. labialis posterior dan N. perinealis
profunda ke bagian anterior dari dasar pelvis dan diafragma urogenital; dan
cabang ketiga adalah N. dorsalis klitoris.
Perdarahan perineum sama dengan perjalanan syaraf yaitu berasal dari A.
pudenda interna yang juga melalui kanalis Alcock dan terbagi menjadi A.
hemorrhoidalis inferior, A. perinealis dan A. dorsalis klitoris.
2.4 Etiologi
Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:
1.
2.
3.
4.

Kepala janin terlalu cepat lahir


Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
Pada persalinan dengan distosia bahu

Persalinan seringkali menyebabkan perlukaan pada jalan lahir. Perlukaan


pada jalan lahir tersebut terjadi pada dasar panggul/perineum, vulva dan vagina,
servik uteri, uterus. Seringkali ruptur perineum spontan disebabkan oleh perineum
kaku, kepala janin terlalu cepat melewati dasar panggul, bayi besar, lebar
perineum, paritas.
2.5 Klasifikasi
2.5.1 Ruptur Perineum Spontan
Ruptur perineum spontan adalah luka pada perineum yang terjadi karena
sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini
terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur. Tingkat robekan perineum
dapat dibagi atas 4 tingkatan:
1. Tingkat I:
5

Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa
mengenai kulit perineum sedikit.
2. Tingkat II:
Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai selaput lendir vagina
juga muskulus perinei transversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani.
3. Tingkat III:
Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otototot sfingter ani. Ruptur perineum tingkat III dibagi menjadi beberapa bagian
seperti:
- Tingkat III a: Robekan < 50 % ketebalan sfingter ani
- Tingkat III b: Robekan > 50% ketebalan sfinter ani
- Tingkat III c: Robekan hingga sfingter ani interna
4. Tingkat IV:
Robekan hingga epitel anus.

Gambar 3. Tingkat robekan perineum spontan.

2.5.2

Ruptur Perineum yang Disengaja ( Episiotomi )


Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan

terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum
rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum, dan kulit sebelah depan perineum.
Episiotomi dilakukan dengan tujuan untuk mencegah robekan berlebihan
pada perineum, membuat tepi luka rata sehingga mudah dilakukan penjahitan
(reparasi), dan mencegah penyulit atau tahanan pada kepala.

Episiotomi dibagi menjadi 4 jenis berdasarkan tempat insisinya, yaitu


episiotomi medialis, mediolateralis, lateralis, dan jenis Schuchardt. Pemilihan
jenis episiotomi bergantung kepada operator, dimana tiap jenis episiotomi
mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing.

Gambar 4. Jenis episiotomi.


Episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan:
a. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma
b. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi
rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi.
c. Meningkatnya nyeri pasca persalinan di daerah perineum
d. Meningkatnya resiko infeksi.
Indikasi untuk melakukan episiotomi dilihat dari pihak janin atau ibu:
1. Indikasi janin.
- Sewaktu melahirkan janin episiotom. Tujuannya untuk mencegah
-

terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin.


Janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi vakum,

dan janin besar.


2. Indikasi ibu

Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti


akan terjadi robekan perineum, terutama pada primipara, persalinan sungsang,
persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar.
Namun indikasi sekarang yang digunakan untuk melakukan episiotomi
telah

banyak

berubah.

Indikasi

untuk

melakukan

episiotomi

untuk

mempercepat kelahiran bayi bila didapatkan:


a. Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan.
b. Penyulit kelahiran pervaginam (sungsang, distosia bahu, ekstraksi cunam,
atau ekstraksi vakum).
c. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan
persalinan.
2.6 Diagnosis
Birmingham

Perineal

Research

Evaluation

Group (BPREG)

mengembangkan Peri-Rule sebagai alat bantu dalam mendiagnosis robekan


derajat dua. Peri-Rule dirancang fleksible dengan skala pada satu sisinya (dengan
panjang 105 mm, lebar 10 mm, dan dalam 4 mm). Penggunaan alat ini bertujuan
untuk membantu dalam memperkirakan grade dari robekan perineum.
Dalam membuat diagnosis klinik yang akurat adalah:
1. Informed consent untuk pemeriksaan vagina dan rektal.
2. Harus dapat terlihat dengan baik cedera pada perineal, jika tidak
dimungkinkan pasien harus ditempatkan dalam posisi litotomi.
3. Pemeriksaan secara visual meliputi dinding vagina untuk menilai sobekan
vagina. Jika didapatkan robekan multipel atau dalam, maka sebaiknya
diposisikan

dalam

litotomi.

Laserasi

diidentifikasi.

vagina

pada

apeks

harus

4. Pemeriksaan rektal harus dilakukan untuk menilai mukosa rektum dan


sfingter anus. Dan dilakukan juga setelah dilakukan penjahitan untuk
menghindari luka tersisa yang masih terbuka.
5. Untuk menegakkan trauma perineal harus juga dikonfirmasi dengan
palpasi. Dengan menempatkan jari telunjuk pada lubang anal dan ibu jari
pada vagina. Hal ini bertujuan untuk menilai sfingter anal dengan lebih
baik, lalu pasien diminta untuk mengkontraksikan otot daerah perineum,
sehingga dapat dinilai fungsinya.
2.7 Tatalaksana
a. Prinsip dalam menangani ruptur perineum:
-

Jahit secepat mungkin setelah anak lahir. Hal ini untuk mencegah darah
keluar yang berlebih dan meminimalkan risiko infeksi.

Cek kelengkapan alat dan hitung kapas swab dan spons.

Pencahayaan harus cukup

Kateterisasi dalam waktu 24 jam, untuk mencegah retensi urin.

Tutup dead space dan pastikan hemostasis tercapai. Untuk mencegah


hematoma.

Jahitan tidak harus ketat; hal ini bisa menyebabkan jaringan hipoksia yang
justru bisa menghambat penyembuhan luka.

Pastikan tepi luka tertutup secara baik.

b. Persiapan untuk penjahitan:


- Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di tepi
tempat tidur atau meja. Topang kaki dengan alat penopang atau minta
-

anggota keluarga untuk memegang kaki ibu.


Tempatkan handuk atau kain bersih dibawah bokong ibu.
Tempatkan lampu sedemikian rupa sehingga perineum bisa dilihat dengan
jelas.

Gunakan teknik aseptik saat memeriksa robekan atau episiotomi,

memberikan anestesi lokal dan menjahit luka.


Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir
Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril.
Dengan teknik aseptik, persiapkan peralatan dan bahan-bahan disinfektan

tingkat tinggi untuk penjahitan


Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah

dilihat dan penjahitan bisa dilakukan tanpa kesulitan


Gunakan kain atau kassa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk
menyeka vulva, vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah

atau bekuan darah yang ada sambil menilai dalam dan luasnya luka.
Periksa vagina, serviks dan perineum secara lengkap. Pastikan bahwa
laserasi / sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau dua. Jika
laserasinya dalam atau episiotomi telah meluas, periksa lebih jauh untuk
memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukkan
jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan hati-hati dan angkat jari
tersebut perlahan-lahan untuk mengidentifikasikan sfingter ani. Raba tonus
atau ketegangan sfingter. Jika sfingter terluka, ibu mengalami laserasi
derajat tiga atau empat dan harus dirujuk segera. Ibu juga dirujuk jika

mengalami laserasi serviks.


Ganti sarung tangan dengan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau

steril yang baru setelah melakukan rectum.


Berikan anestesi lokal.
Siapkan jarum dan benang. Gunakan benang kromik 2-0 atau 3-0. Benang
kromik bersifat lentur, kuat, tahan lama, dan paling sedikit menimbulkan

reaksi jaringan.
Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit dan

jepit jarum tersebut.


c. Pemberian Anestesi Lokal

10

Berikan anestesi kepada setiap ibu yang memerlukan penjahitan laserasi


atau episiotomi. Penjahitan sangat menyakitkan dan menggunakan anestesi
lokal merupakan asuhan sayang ibu. Berikut merupakan prosedur untuk
pemberian anestesi lokal:
-

Jelaskan pada ibu apa yang akan dianda lakukan dan bantu ibu merasa

santai.
Ambil 10 ml larutan lidokain 1% ke dalam alat suntik sekali pakai ukuran
10 ml (tabung suntik yang lebih besar boleh digunakan jika diperlukan).
Jika lidokain 1% tidak tersedia, larutkan 1 bagian 2% dengan 1 bagian

normal salin atau air steril yang sudah disuling dengan perbandingan 1:1.
Tusukkan jarum ke ujung atau pojok laserasi atau sayatan lalu tarik jarum

sepanjang tepi luka (ke arah bawah ke arah mukosa dan kulit perineum).
Aspirasi (tarik pendorong tabung suntik) untuk memastikan bahwa jarum
tidak berada di dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke dalam tabung
suntik, jangan masukkan lidokain dan tarik jarum seluruhnya. Pindahkan
posisi jarum dan suntikkan kembali. Alasan: ibu bisa mengalami kejang
dan kematian bisa terjadi jika lidokain disuntikkan ke dalam pembuluh

darah
Suntikan anesthesia sejajar dengan permukaan luka pada saat jarum suntik
ditarik perlahan-lahan. Tarik jarum hingga sampai ke bawah tempat

dimana jarum tersebut disuntikkan.


Arahkan lagi jarum ke daerah di atas tengah luka dan ulangi langkah ke-4,
dan sekalilagi ulangi langkah ke-4 sehingga tiga garis di satu sisi luka
mendapatkan anestesilokal. Ulangi proses proses ini di sisi lain dari luka
tersebut. Setiap sisi luka akan memerlukan kurang lebih 5 ml lidokain 1%
untuk mendapatkan anestesi yang cukup.

11

Tunggu selama 2 menit dan biarkan anestesi tersebut bekerja dan


kemudian uji daerah yang dianastesi dengan cara dicubit dengan forcep
atau disentuh dengan jarum yang tajam. Jika ibu merakan jarum atau
cubitan tersebut, tunggu 2 menit lagi dan kemudian uji kembali sebelum

menjahit luka.
2.8 Teknik Episiotomi dan Penjahitan
Tujuan menjahit laserari atau episiotomi adalah untuk menyatukan
kembali jaringan dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu (memastikan
haemostasis). Ingat bahwa setiap kali jarum masuk ke dalam jaringan tubuh,
jaringan akan terluka dan menjadi tempat yang potensial untuk timbulnya infeksi.
Oleh sebab itu pada saat menjahit laserasi atau episiotomi gunakan benang yang
cukup panjang dan gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mencapai tujuan
pendekatan dan haemostasis. Keuntungan teknik penjahitan jelujur:
1. Mudah dipelajari, hanya perlu satu jenis penjahitan dan satu atau dua
jenis simpul
2. Tidak terlalu nyeri karena lebih sedikit benang yang digunakan
3. Menggunakan lebih sedikit jahitan.
a) Penjahitn laserasi pada perineum
1. Cuci tangan dengan cara seksama dan gunakan sarung tangan disinfeksi
tingkat tinggi atau steril. Ganti sarung tangan jika sudah terkontaminasi
atau tertusuk jarum maupun peralatan tajam lainnya.
2. Pastikan bahwa perlatan dan bahan-bahan yang digunakan sudah steril.
3. Setelah memberikan anestesi lokal dan memastikan bahwa daerah tersebut
sudah dianatesi, telusuri dengan hati-hati menggunakan satu jari untuk
secara jelas menentukan batas-batas luka. Nilai kedalaman luka dan
lapisan jaringan mana yang terluka. Dekatkan tepi laserasi untuk
menentukan bagaimana cara menjahitnya menjadi satu dengan mudah.

12

4. Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm di atas ujung laserasi di bagian


dalam vagina. Setelah membuat tusukan pertama, buat ikatan dan potong
pendek benang yang lebih pendek dari ikatan.
5. Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke arah cincin
hymen.
6. Tepat sebelum cincin hymen, masukkan jarum ke dalam mukosa vagina
lalu ke bawah cincin hymen sampai jarum berada di bawah laserasi.
Periksa bagian antara jarum di perineum dan bagian atas laserasi.
Perhatikan seberapa dekat jarum kepuncak luka.
7. Teruskan ke arah bawah tapi tetap pada luka, menggunakan jahitan jelujur,
hingga mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan bahwa jarak setiap
jahitan sama dan otot yang terluka telah dijahit. Jika laserasi meluas ke
dalam otot, mungkin perlu melakukan satu atau dua lapis jahitan terputusputus untuk menghentikan perdarahan dan atau mendekatkan jaringan
tubuh secara efektif.
8. Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan teruskan
penjahitan

menggunakan

jahitan

jelujur

untuk

menutup

lapisan

subkutikuler. Jahitan ini akan menjadi jahitan lapis kedua. Periksa lubang
bekas jarum tetap terbuka berukuran 0,5 cm atau kurang. Luka ini akan
menutup dengan sendirinya pada saat penyembuhan luka.
9. Tusukkan jarum dari robekan perineum ke dalam vagina. Jarum harus
keluar dari belakang cincin hymen.
10. Ikat benang dengan membuat simpul di dalam vagina. Potong ujung
benang dan sisakan sekitar 1,5 cm. Jika ujung benang dipotong terlalu
pendek, simpul akan longgar dan laserasi akan membuka.
11. Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan bahwa tidak
ada kasa atau peralatan yang tertinggal di dalamnya.

13

12. Dengan lembut masukkan jari yang paling kecil ke anus. Raba apakah ada
jahitan pada rectum. Jika ada jahitan yang teraba, ulangi pemeriksaan
rectum 6 minggu pasca persalinan. Jika penyembuhan belum sempurna
(misalkan jika ada fistula rektovaginal atau ibu melaporkan inkontinesia
alvi atau feses), ibu segera dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.
13. Cuci daerah genital dengan lembut dengan sabun dan air disinfeksi
tinggkat tinggi, kemudian keringkan. Bantu ibu mencari posisi yang aman.
Gambar 5. Episiotomi mediolateralis.

b) Teknik menjahit berdasarkan tingkat ruptura


1. Tingkat I:
Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan hanya dengan
memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau
dengan cara angka delapan (figure of eight).
2. Tingkat II:

14

Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II maupun


tingkat III, jika dijumpai pinggir yang tidak rata atau bergerigi, maka
pinggir bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan
sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian
digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka
robekan. Mula-mula otot-otot dijahit dengan catgut. Kemudian selaput
lendir vagina dijahit dengan catgut secara terputus-putus atau jelujur.
Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan. Terakhir
kulit perineum dijahit dengan benang sutera secara terputus-putus.
3. Tingkat III:
Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit. Kemudian fasia
perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik,
sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah
oleh karena robekan diklem dengan klem pen lurus. Kemudian dijahit
dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya
robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum
tingkat II.
4. Tingkat IV:
Pasien dirujuk ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai.
c) Teknik episiotomi dan penjahitannya
1. Episiotomi medialis
Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina
sampai batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah
cara anestesi infiltrasi antara lain dengan larutan procaine 1%-2%; atau
larutan lidonest 1%-2%; atau larutan xylocaine 1%-2%. Setelah pemberian
anestesi dilakukan insisi dengan mempergunakan gunting yang tajam

15

dimulai dari bagian terbawah introitus vagina menuju anus, tetapi sampai
tidak memotong pinggir atas sfingter ani, hingga kepala dapat dilahirkan.
Bila kurang lebar disambung ke lateral (episiotomi mediolateralis).
Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri
dan kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit
dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat
atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus
(interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang
dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut
chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera.
2. Episiotomi mediolateralis
Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina
menuju kearah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan ke
arah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang
melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm.
Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama
dengan tekhnik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan
sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya harus
simetris
3. Episiotomi lateralis
Pada tekhnik ini insisi dilakukan kearah lateral mulai dari kira-kira
pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam.
Tekhnik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak
menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana
terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan
perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan
rasa nyeri yang mengganggu penderita.
2.9 Perawatan Luka Perineum

16

Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk menyehatkan


daerah antara paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara
kelahiran placenta sampai dengan kembalinya organ genetik seperti pada waktu
sebelum hamil
a. Tujuan Perawatan Luka Perineum
1. Mencegah terjadinya infeksi sehubungan dengan penyembuhan jaringan.
2. Pencegahan terjadinya infeksi pada saluran reproduksi yang terjadi dalam
28 hari setelah kelahiran anak atau aborsi.
Menurut Kartika (2008) untuk menghindari terjadinya infeksi, maka cara
membersihkan luka perineum adalah sebagai berikut :
1. Siapkan alat-alat cuci seperti sabun yang lembut, air, baskom, kasa, dan
pembalut wanita yang bersih.
2. Cuci tangan di kran atau air yang mengalir dengan sabun.
3. Lepas pembalut yang kotor dari depan ke belakang.
4. Semprotkan atau cuci dengan betadin bagian perineum dari arah depan ke
belakang.
5. Keringkan dengan waslap atau handuk dari depan ke belakang.
6. Setelah selesai, rapikan alat-alat yang digunakan pada tempatnya. Cuci
tangan sampai bersih.
7. Catat, jika ada prubahan-perubahan perineum, khususnya tanda infeksi.
8. Lakukan tidur dengan ketinggian sudut bantal tidak boleh lebih dari 30
derajat.
Perawatan luka perineum menurut APN adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
5.

Menjaga agar perineum selalu bersih dan kering.


Menghindari pemberian obat trandisional.
Menghindari pemakaian air panas untuk berendam.
Mencuci luka dan perineum dengan air dan sabun 3 4 x sehari.
Kontrol ulang maksimal seminggu setelah persalinan untuk pemeriksaan
penyembuhan luka.

2.10 Hubungan Perawatan Perineum dengan Kesembuhan Luka

17

Perineum
Menurut Suwiyoga (2004) akibat perawatan perineum yang tidak benar
dapat mengakibatkan kondisi perineum yang terkena lokhea menjadi lembab
sehingga sangat menunjang perkembangbiakan bakteri yang dapat menyebabkan
timbulnya infeksi pada perineum. Infeksi tidak hanya menghambat proses
penyembuhan luka tetapi dapat juga menyebabkan kerusakan pada jaringan sel
penunjang, sehingga akan menambah ukuran dari luka itu sendiri, baik panjang
maupun kedalaman luka. Pada kenyataan fase-fase penyembuhan akan tergantung
pada beberapa faktor termasuk ukuran dan tempat luka, kondisi fisiologi umum
pasien, dan cara perawatan luka perineum yang tepat (Morison, 2003).

BAB 2
PRESENTASI KASUS
Nama
: Mimi Marlina
Usia
: 27 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
No. Rekam Medis : 44 48 44
Agama
: Islam
Suku
: Minangkabau
Alamat
: Labuang Canduang Kabupaten Agam
KELUHAN UTAMA
Nyeri pinggang menjalar ke ari ari sejak 8 jam yang lalu sebelum masuk
rumah sakit
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
18

Nyeri perut menjalar ke ari ari sejak 1 hari yang lalu sebelum masuk rumah
sakit
-

Keluar lendir bercampur darah sejak 1 hari yang lalu


Keluar air air dari kemaluan tidak ada
Keluar darah dari kemaluan tidak ada
Tidak haid sejak 9 bulan yang lalu. HPHT lupa
Riwayat hamil muda : Mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Pasien rujukan dari Puskesmas Matur dengan diagnosis suspek bayi besar
Pasien rutin memeriksakan kehamilan 1 kali dalam 2 minggu ke praktik

bidan.
Riwayat hamil tua: mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Riwayat menstruasi: menarche usia 12 tahun, siklus haid teratur, lamanya
7 hari, 2 3x ganti pembalut/hari, nyeri tidak ada

RIWAYAT PERNIKAHAN
-

Menikah 1 kali, usia pernikahan 1 tahun

RIWAYAT KEHAMILAN/PERSALINAN/ABORTUS
-

G1P0A0H0

RIWAYAT KONTRASEPSI
-

Tidak pernah memakai kontrasepsi

RIWAYAT PENYAKIT DAHULU


Pasien tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, dan
hipertensi. Riwayat alergi tidak ada
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Keluarga pasien tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal,
DM, dan hipertensi. Riwayat alergi tidak ada
RIWAYAT PEKERJAAN, SOSEK, KEBIASAAN
Pasien seorang ibu rumah tangga, dengan pendidikan terakhir SMP
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum

: sakit sedang

Kesadaran

: komposmentis kooperatif

Tekanan darah

: 110/80 mmHg

19

Nadi

: 88 x/menit

Nafas

: 23 x/menit

Suhu

: 36,5oC

Status Lokalis
Kepala

: normocefalus

Leher

: JVP 5 2 cmH2O

Thoraks

: cardiac dan pulmo dalam batas normal

Abdomen

: status obstetrikus

Genitalia

: status obstetrikus

Ekstremitas

: akral hangat, perfusi baik

Status Obstetrikus
Abdomen
Inspeksi

: striae positif
Linea mediana hiperpigmentasi positif
Perut tampak membuncit sesuai dengan usia kehamilan

Palpasi

: Leopold 1

: TFU 34 cm
Teraba massa nodular bisa digoyangkan

Leopold 2

: tahanan terbesar teraba di sebelah kanan


Teraba bagian bagian terkecil di sebelah
kiri

Auskultasi

Leopold 3

: teraba massa bulat, keras, terfiksir

Leopold 4

: divergen

His

: 3-4x/ 35/ kuat

: DJJ

: 143 156 x/menit

Genitalia
Inspeksi

: tidak tampak tumor, laserasi, fluksus

Palpasi

: pembukaan 7 8cm, ketuban (+), bagian bawah janin


kepala, denominator ubun-ubun kecil

20

HASIL LABORATORIUM
Hb

: 11,3 gr/dL

Leukosit : 15.930 /mm3


Trombosit: 255.000 /mm3
Eritrosit : 4.460.000 /mm3
Ht

: 33,7%

DIAGNOSA KERJA
G1P0A0H0 parturient aterm kala I fase aktif
Tindakan
Kontrol vital sign, tanda-tanda vital, DJJ, dan His

FOLLOW UP
-

4 Juni 2016 pukul 13.00 WIB


A/
G1P0A0H0 parturient aterm kala I fase aktif
P/
Informed consent
Kontrol VS, TTV, His, dan DJJ

Pukul 18.00 WIB


S/
Pasien kesakitan, ingin mengedan, gerak anak (+)
O/
status generalis dalam batas normal
Abdomen :
His 4x/40/kuat
DJJ 128-134 x/menit
Genitalia :
pembukaan lengkap, teraba kepala di HIII
A/
G1P0A0H0 parturient aterm kala II
P/
Pimpin persalinan

Pukul 20.00 WIB


S/
Pasien kesakitan, ingin mengedan, menjalar ke ari ari, gerak
anak (+)
O/
status generalis dalam batas normal
Abdomen :
His 4x/45/kuat
DJJ 126-132 x/menit
Genitalia :
pembukaan lengkap, ketuban dipecahkan, sisa
jernih, teraba kepala di HIII-HIV
A/
G1P0A0H0 parturient aterm kala II
P/
Bantu kala II dengan vakum ekstraksi

Pukul 20.15 WIB

21

O/

Dengan vakum ekstraksi lahir bayi laki laki, BB 3700 gr, PB

47cm, A/S 7/8, plasenta lahir spontan lengkap, tampak ruptur sepanjang
perineum kurang lebih 3 cm tidak mengenai sfingter ani
A/
P1A0H1 post partum pervaginam dengan vakum ekstrasi a.i kala II
memanjang + ruptur perineum derajat 2
P/
Repair ruptur perineum
Kala IV
5 Juni 2016 pukul 07.00 WIB
S/
Demam tidak ada, ASI sedikit, PPV (+) berkurang
O/
status generalis dalam batas normal
Mata :
konjungtiva anemis -/Abdomen :
FUT teraba 2 jari dibawah pusat
Kontraksi (+) baik
Genitalia :
v/u tenang, PPV (+)
A/
G1P0A0H0 parturient aterm kala II + nifas hari I
P/
Amoksisilin 3 x 500mg
SF 1 x 1
Vit C 3 x 1
mobilisasi, ASI on demand
6 Juni 2016 pukul 07.00 WIB
S/
Demam tidak ada, ASI sedikit, PPV tidak ada
O/
status generalis dalam batas normal
Mata :
konjungtiva anemis -/Abdomen :
FUT teraba 2 jari dibawah pusat
Kontraksi (+) baik
Genitalia :
v/u tenang, PPV (+)
A/
G1P0A0H0 parturient aterm kala II + nifas hari II
P/
Amoksisilin 3 x 500mg
SF 1 x 1
Vit C 3 x 1
mobilisasi, ASI on demand, acc pulang

DAFTAR PUSTAKA

1. Mc Candlish R, Bowler U, van AstenH et al. A randomized controlled trial of care


of the perineum during second stage of normal labour. Br J Obstet Gynaecol.
1998; 105:1262-72.
22

2. Wagner M. Pursuing the birth machine: the search for appropriate technology.
Camperdown: ACE Graphics, 1994, pp 165-74.
3. Statistical Bulletin. NHS Maternity Services. London: Department ofHealth,
2003.
4. Bonica, John J. Principles and Practice of Obstetric Analgesia and Anesthesia, FA
Davis Co. Philadelphia, 2nd ed, 1995;501-513
5. Sultan AH. Obstetric perineal injury and anal incontinence. Clinical Risk.
1999;5:193-6.
6. Faltin DL, Boulvain M, Floris LA, Irion O. Diagnosis of anal sphincter tears to
prevent fecal incontinence: a randomized controlled trial. Obstet Gynecol.
2005;106(1):6-13.
7. Metcalfe A, Tohill S, Williams A, Haldon V, Brown L, Henry L. A pragmatic tool
for the measurement of perineal tears. Br J Midwifery. 2002; 10(7):412-7.
8. Wood T. Not suturing is safe. Pract Midwife. 1999; 2(7):15.
9. Head M. Dropping stitches. Nursing Times 1993; 89(33):64-5.
10. Clement S, Reed B. To stitch or not to stitch? A long-term follow-up study of
women with unsutured perineal tears. Pract Midwife. 1999; 2(4):20-8.
11. Lundquist M, Olsson A, Nissen E, Norman M. Is it necessary to suture all
lacerations after a vaginal delivery? Birth 2000; 27(2):79-85.
12. Pretorius GP. Episiotomi. Br Med J 1982; 284:1322.
13. Morison, Moya J. 2003. Manajemen Luka. Jakarta : EGC
14. Suci, Indah. 2008. Hubungan Perawatan Luka Perineum dan Tingkat Kesembuhan
Luka Perineum Pada Ibu Nifas Hari Ke-7 di Wilayah Kerja Puskesmas
Lamongan. KTI. Lamongan

23

Anda mungkin juga menyukai