Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perdarahan postpartum menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di Indonesia.


Perlukaan jalan lahir merupakan penyebab kedua perdarahan setelah atonia uteri yang terjadi
pada hampir persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan
ini lebih sering terjadi pada pasien primigravida karena kaku nya perineum.Pasien dengan
perdarahan pasca persalinan yang tidak mendapat penanganan yang baik bisa menyebabkan
kematian ibu, sekaligus meningkatkan mordibitas dan mortalitas ibu. Robekan pada jalan
lahir bisa bervariasi tergantung dari penyebab terjadinya trauma pada daerah jalan lahir.
Trauma bisa menyebabkan robekan pada daerah perineum, vagina dan serviks. Trauma juga
bisa terjadi akibat tindakan selama persalinan seperti tindakan episiotomi. 1
Ruptur Perineum terjadi karena adanya ruptur spontan maupun tindakan episiotomi
perineum yang dilakukan. Episiotomi itu sendiri harus dilakukan atas indikasi antara lain:
bayi besar, partus prematurus, perineum kaku, persalinan dengan kelainan letak, persalinan
dengan menggunakan alat bantu baik forceaps maupun vakum. Apabila episiotomi tidak
dilakukan atas indikasi yang tepat, maka menyebabkan peningkatan angka kejadian dan
derajat kerusakan pada daerah perineum.
Ruptur pada daerah perineum merupakan penyebab tersering kematian ibu yang
dihubungkan dengan persalinan pervaginam. Ruptur pada anal spingter merupakan
komplikasi terbesar yang dapat mempengaruhi kualitas hidup seorang wanita.1
BAB II
ANALISIS KASUS

Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien datang sendiri ke IGD RSUD Padang
Panjang dengan keluhan nyeri menjalar ke ari-ari hilang timbul sejak 10 jam SMRS pasien
masuk pada 13 April 2023.. Pasien berusia 22 tahun sedang hamil anak pertama, pasien juga
mengalami keluarnya Lendir bercampur darah dari kemaluan sejak 10 jam SMRS serta juga
mengeluarkan air-air merembes dari kemaluan sejak 5 jam SMRS.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan bahwa tekanan darah 126/77 mmHg, nadi
70x/menit dari pemeriksaan darah rutin didapatkan Hb 12,6 gr/dL, hematokrit 36%, dan
leukosit 9390 mm3. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
pasien didiagnosis dengan G1P0A0H0 Parturiem aterm 37-38 minggu + Kala I Fase aktif
SMRS.
Ruptur Parturiem grade 1-2 diduga akibat dari tidak dilakukannya episiotomi. Dan
plasenta Meski tidak ditemukannya banyak faktor yang dapat menyebabkan ruptur perineum
seperti malpresentasi,berat bayi >4kg, dan penggunaan alat alat seperti forcep, namun pada
pasein ini didapatkan data bahwa pasien melahrikan untuk pertama kalinya atau primipara
yang biasanya lebih sering terjadi ruptur perinemum. Dengan dilakukannya
episiotomi ,koreksi bedah akan lebih mudah dilakukan karena hasil laserasi akan lebih
teratur. Episiotomi bila dilakukan terlalu dini dan tidak sesuai kebutuhan, dapat
mengakibatkan perdarahan yang terjadi mulai dari insisi hingga pelahiran. Jika dilakukan
terlalu lambat, laserasi tidak dapat dicegah. Umumnya episiotomi dilakukan ketika kepala
terlihat selama kontraksi hingga diameter 3 atau 4 cm. 3,4.
Terapi yang biasa diberikan dengan cara metronidazol karena adanya nilai leukosit
sebesar 9390/uL yang diduga adanya infeksi dari sumber perdarahan. Pemberian
metronidazol juga dapat mengurangi angka terbentuknya fistula. Dilakukan repair vagina
dengan menjahit mukosa rektum dikikuti dengan penjahitan muskulus sphincter ani interna
danExterna
BAB III
KAJIAN TEORI
4.1. Definisi
Ruptur adalah robeknya jaringan secara paksa. Perineum adalah lantai pelvis dan
struktur yang berhubungan yang menempati pintu bawah panggul; bagian ini dibatasi
disebelah anterior oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber ischiadikum, dan di
sebelah posterior oleh os. coccygeus, dan dibagi menajadi segitiga urogenital dan segitiga
anal Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada
persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan memastikan
kepala janin tidak melalui dasar panggul dengan terlalu cepat. (menjaga jangan sampai dasar
panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat.) Sebaliknya kepala janin yang akan lahir
jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan
dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fascia pada dasar panggul karena
diregangkan terlalu lama.1,2,3

4.2 Anatomi Perineum


Perineum merupakan bagian permukaan pintu atas panggulterletak antara vulva dan anus.
Perineum terdiri dari otot dan fascia superfisialis perinci dan terdiiri dari otot- otot koksigis
dan levator anus yang tediri dari 3 otot penting yaitu muskulus puborekatalis, muskulus
pubokoksigis, muskulus iliokoksigis. Susunan otottersebut merupakan penyangga dari
struktur pelvis, diantaranya lewat uratra, vagina dan rektum. Perineum berbatasan sebagai
berikut:
a) Ligamentum arkuata dibagian depan tengah;
b) Arkus iskiopublik dan tuber iskii dibagian lateral lateral depan;
c) Ligamentum sakrotuberosum dibagian lateral belakang;
d) Tugas koksigis dibagian belakang tengah.
Daerah perineum terdiri dari 2 bagian:
a) Regional disebelah belakang, disini terdapat muskulus fingter ani eksterna yang
melingkari anus;
b) Regio urogenetalis, disini terdapat muskulus bulbo kavernous, muskulus transversus
perinealis superfisialis dan muskulus iskio kavernosus
4.3 Faktor Risiko
Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana: 1,2,3
1. Penggunaan forceps
2. Berat bayi lebih dari 4 kg
3. Primiparitas
4. Distosia bahu
5. Malpresentasi
6. Episiotomi mediolateral

4.4 Derajat Ruptur Perineum


Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan
perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.
Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 derajat: 1,2,3
Derajat I
Bila perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina atau kulit perineum pada perlukaan
tingkat I.
Derajat II
Ada perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fascia serta otot-
otot diafragma urogenitalia.
Derajat III
Perlukaan lebih luas dan lebih dalam dari tingkat II menyebabkan muskulus sfingter ani
eksterna terputus. Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, tetapi dapat juga bilateral.
Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani yang terjadi pada waktu
persalinan normal atau persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum
atau pada vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar dan mengakibatkan terbentuknya
hematoma. Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar panggul sehingga mudah terjadi
lapsus genitalis. Robekan perineum juga dapat mengakibatkan robekan jaringan pararektal
sehingga rectum terlepas dari jaringan sekitarnya. Diagnosis ruptur perineum juga dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan langsung. Pada tempat terjadinya perlukaan akan timbul
pendarahan yang bisa bersifat pendarahan arterial. Perlukaan perineum tingkat III
memerlukan teknik penjahitan khusus. Langkah pertama yang terpenting ialah menemukan
kedua ujung muskulus sfingter ani eksternus yang terputus. Perlukaan ini umumnya terjadi
pada saat melahirkan kepala. Untuk mencegah terjadinya, perlukaan perineum yang
bentuknya tidak teratur, dianjurkan episiotomi.
Derajat IV
Robekan pada perineum yang mengenai eksterna dan interna spingter ani dan epithelium ani.
4.5 Episiotomi
Definisi
Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya
selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan
fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum.3,4
Di masa lalu, dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin yang tujuannya adalah
untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata sehingga mudah
dilakukan penjahitan (reparasi), mencegah penyulit atau tahanan pada kepala.

INDIKASI
1.Untuk mencegah robekan perineum atau regangan otot perineum yang berlebihan.
Robekan perineum lebih sulit dikendalikan daripada regangan perineum dan dapat
mencakup sfingter ani, sedangkan regangan perinemum yang berlebihan dapa menjadi
faktor predisposisi prolaps di kemudian hari
2.Untuk melindungi janin jika janin prematur atau jika terjadi trauma berulang pada
perineum akibat persalinan macet
3.Untuk mencegah kerusakan pada bagian presentasi janin yang abnormal, seperti
presentasi muka, persalinan sungsang dan persalinan persalinan lain yang dibantu dengan
alat. Pada kasus-kasus tersebut episiotomi dapat dilakukan sebelum perineum teregang.

JENIS EPISIOTOMI
1.Episiotomi Medialis4
Tehnik yang paling mudah untuk dilakukan. Tehnik ini juga mudah untuk dijahit kembali
bila tidak terjadi perluasan robekan perineum
2.Episiotomi Mediolateralis4
Tehnik ini akan lebih sulit dijahit kembali karena tepi tepinya akan mengalami retraksi
yang tidak sama , namun episiotomi ini dapat memberikan perlindungan yang lebih baik
dan merupakan episiotomi yang paling ideal Saat melakukan episiotomi metode yang baik
adalah menggunakan anastesia dengan menyuntikan 10ml lidokain 1% sepanjang garis
insisi yang akan dilakukan episiotomi. Episiotomi bila dilakukan terlalu dini dan tidak
sesuai kebutuhan, dapat mengakibatkan perdarahan yang terjadi mulai dari insisi hingga
pelahiran. Jika dilakukan terlalu lambat, laserasi tidak dapat dicegah. Umumnya
episiotomi dilakukan ketika kepala terlihat selama kontraksi hingga diameter 3 atau 4 cm.
4.6 Penjahitan Laserasi Pada Perineum
Penjahitan robekan derajat I dan II :2,7,8
1.Gunakan anestesi lokal dengan lidokain.
2.Jahit mukosa vagina dengan jahitan jelujur menggunakan benang 2-0. Mulai jahit sekitar
1 cm di atas apeks robekan vagina. Lanjutkan jahitan sampai lubang vagina. Satukan tepi
robekan vagina. Masukkan jarum ke bawah lubang vagina dan keluarkan melalui robekan
perineum kemudian ikat benang.
3.Jahit otot perineum dengna jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0. Jika robekan
dalam, beri lapisan jahitan kedua untuk menutup robekan.
4.Jahit kulit dengan jahitan putus-putus (atau subkutikular) menggunakan benang 2-0 yang
dimulai pada lubang vagina.
5.Jika robekan dalam, lakukan pemeriksaan rektum. Pastikan bahwa tidak terdapat jahitan
di dalam rektum.
Penjahitan robekan perineum derajat III dan IV: 2,7,8
1.Jahit robekan di ruang operasi.
2.Gunakan blok pudendal, ketamin atau anastesi spinal. Penjahitan dapat dilakukan
menggunakan anestesi lokal dengan lignokain dan petidin serta diazepam melalui iv secara
perlahan jika semua tepi robekan dapat dilihat, tetapi hal tersebut jarang sekali.
3.Jahit rektum dengan jahitan putus-putus menggunakan benang 3-0 atau 4-0 dengan jarak
0,5 cm untuk menyatukan mukosa. Tutup lapisan otot dengan menyatukan lapisan fasia
menggunakan jahitan putus-putus. Oleskan larutan antiseptik ke area yang dijahit dengan
sering.
4.Jika sfingter robek, pegang setiap ujung sfingter dengan klem Allis . Jahit sfingter
dengan dua atau tiga jahitan putus-putus menggunakan benang 2-0.
5.Oleskan kembali larutan antiseptik ke area yang dijahit.
6.Periksa anus dengan dari yang memakai sarung tangan untuk memastikan penjahitan
rektum dan sfingter dilakukan dengan benar.
7.Jahit mukosa vagina, otot perineum dan kulit, seperti pada ruptur tingkat I dan II.

4.7 Tatalaksanana Pasca Penjahitan


Pasien biasanya akan merasa nyeri dan tidak nyaman. Pemberian es batu dapat mengurangi
rasa pembengkakakan dan mengurangi rasa tidak nyaman pada pasien. Analgesik kodein juga
dapat membantu proses pemulihan dengan mengurangi rasa nyeri. Tatalaksana lainnya
adalah:
1. Penggunaan laksatif untuk mencegah luka terbuka
2. Pemberian antibiotik spektrum luas termasuk metronidazol. Diberikan saat tindakan
dan pasca tindakan dapat mengurangi angka kejadian terbukanya luka dan terbentuknya
fistula
3. Menjaga hygiene daerah perineum dan sekitarnya
4. Kontrol kembali ke dokter ahli kebidanan

4.8 Komplikasi
Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah perbaikan luka
pada episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka pendek yang paling utama adalah
hematoma dan infeksi, sedangkan komplikasi jangka panjang adalah inkontinensia feses dan
nyeri perineum persisten. 2 Hematoma sering terjadi setelah penggunaan forsep dan biasanya
disertai dengan nyeri atau tekanan pada rektum. Dapat pula terjadi retensi urin. Pada keadaan
yang jarang, jika kehilangan darah karena hematoma cukup banyak, maka pasien dapat
mengalami syok hipovolemik. Pada pemeriksaan fisis terlihat pembengkakan perineum atau
vagina yang unilateral dan massa yang dapat dipalpasi pada pemeriksaan bimanual. Infeksi
pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan akan disertai dengan keluhan nyeri
dan sekret yang berbau. Dapat pula disertai demam. Namun biasanya sulit membedakan
antara nyeri post partum yang normal dengan nyeri akibat infeksi.

4.9 Prognosis
Mayoritas pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan sangat baik,
dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas luka yang minimal.
Namun ada kemungkinan terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek maupun jangka
panjang pada pasien dengan ruptur perineum tingkat IV, walaupun sudah dilakukan
penanganan dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwono Prawirohardjo. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka


Sarwono Prawirohardjo. 2016
2. Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, dkk. Obstetri Williams. Ed 23. Vol 1.
Jakarta : EGC. 2013
3. Buku Acuan Nasional. Pelayanan Kesehatan aternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2014
4. Hannerty KP. Ilustrasi Obstetri.Ed 7.Churchill Livingstone Elsevier.2015
5. Mochtar Rustam. SInopsis Obstetri. Ed 3. Jilid 1. Penerbit buku
kedokteran EGC.Jakarta.2011
6. Fakultas Kedokteran UNPAD. Obstetri Fisiologi. Ilmu Kesehatan Produksi.
Edisi 2. Jakarta : EGC. 2013
7. Mochtar Rustam. Sinopsis Obstetri. Ed 2 . Jilid 1. EGC. Jakarta 2013
8. Jaringan Nasional Pelatihan Klinik- Kesehatan Reproduksi Depkes RI.
Buku Panduan Peserta Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. 2015

Anda mungkin juga menyukai