Anda di halaman 1dari 19

BAB 2 PEMBAHASAN

A. ANATOMI PERINEUM

Perineum yang dalam bahasa Yunani disebut Perineos adalah daerah a

ntara kedua belah paha, yang pada wanita dibatasi oleh vulva dan

anus, dengan simpisis pubis di bagian anterior, tuber ishiadikum

dibagian lateral dan os koksigeus dibagian posterior.

Perineum terdiri dari otot dan fasia urogenitalis serta diafragma

pelvis. Perineum merupakan bagian yang sangat penting dalam

kebutuhan fisiologis,

tidak hanya berperan atau menjadi bagian penting dari proses persalinan, tetap

i juga diperlukan untuk mengontrol proses buang air besar dan buang

air kecil, menjaga aktivitas peristaltic agar tetap normal (dengan

menjaga tekanan intra abdomen) dan fungsi seksual yang sehat setelah

bersalin. Anatomi organ perineum dapat dilihat dibawah ini:

Sedangkan anatomi vulva dapat dilihat pada gambar berikut ini :


B. LASERASI PERINEUM

Irianto (2014) menyatakan, laserasi perineum merupakan robekan

yang terjadi saat bayi lahir baik secara spontan maupun dengan menggunakan

alat-alat tindakan. Robekan ini pada umumnya terjadi pada garis tengah dan

bisa menjadi luas apabila kepala janin terlalu cepat keluar. Perlukaan yang

terjadi akibat robekan jaringan antara vulva dan anus yang terjadi baik secara

spontan maupun dengan tindakan.

Laserasi sering terjadi saat melahirkan dan dapat mengenai perineum,

labia, vagina, dan leher rahim. Kebanyakan laserasi akan sembuh tanpa

komplikasi jangka panjang, namun laserasi yang parah dapat menyebabkan

nyeri berkepanjangan, disfungsi seksual, dan rasa malu. Laserasi yang parah

perlu diidentifikasi dan diperbaiki dengan benar pada saat persalinan.

Kegiatan ini mengulas pencegahan, evaluasi dan perbaikan laserasi perineum

yang dapat terjadi saat persalinan.

Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik

secara spontan maupun dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan

terjadi hampir pada semua primipara (Prawirohardjo, 2009). Pada dasarnya,


robekan perineum dapat dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar

panggul dilalui kepala janin terlalu cepat (Wiknjosastro, 2005).

1). Klasifikasi Laserasi perineum

1. Ruptur Perineum Spontan

Menurut Cunningham, et al. (2010), laserasi (ruptur) perineum dapat

diklasifikasikan menjadi:

a) Derajat 1

Pada ruptur perineum derajat 1 akan mengenai fourchette, kulit perineum,

dan membran mukosa vagina, tetapi tidak mengenai fasia dan otot.

b) Derajat 2

Pada ruptur perineum derajat 2 mengenai kulit dan membran mukosa,

fasia dan otot-otot perineum, tetapi tidak mengenai sphincter ani.

c) Derajat 3

1. Derajat 3a: 50% spinchter ani externa

2. Derajat 3b: >50% spinchter ani externa

3. Derajat 3c: spincter ani externa & interna 16

d) Derajat 4

Pada ruptur perineum derajat 4, meluas sampai ke mukosa rektum

sehingga lumen rektum. Pada derajat ini, robekan di daerah uretra yang

dapat menimbulkan perdarahan hebat mungkin terjadi. Menurut Chapman

(2006), robekan mengenai kulit, otot dan melebar sampai sphincter ani

dan mukosa rektum.


2. Ruptur Perineum Disengaja (Episiotomi)

Episiotomi adalah insisi bedah yang dibuat di perineum untuk

memudahkan proses kelahiran (Norwitz & Schorge, 2008). Pada

persalinan spontan sering terjadi robekan perineum yang merupakan luka

dengan pinggir yang tidak teratur. Hal ini akan menghambat

penyembuhan sesudah luka dijahit. Oleh karena itu, dan juga untuk

melancarkan jalannya persalinan, dapat dilakukan insisi pada perineum

saat kepala janin tampak dari luar dan mulai meregangkan perineum.

Insisi tersebut dilakukan pada garis tengah (episiotomi medialis) atau ke

jurusan lateral (episiotomi mediolateralis) (Wiknjosastro, 2008). Perlu

diketahui bahwa episiotomi medial dan mediolateral dengan sudut 60

derajat akan sangat berkaitan dengan OASI (Obstetric Anal Spinchter

Injury). Studi 17 menyatakan bahwa dokter dan bidan pada umumnya

tidak bisa menempatkan sudut yang aman dan benar, oleh sebab itu lah

dalam melakukan episiotomi harus dilakukan dengan hati-hati (Freeman,

et al., 2014). Sedangkan penelitian lain menyatakan bahwa tidak ada

manfaat yang signifikan dari prosedur episiotomi. Faktanya, episiotomi

akan menyebabkan morbiditas dibandingkan persalinan tanpa episiotomi.


Hal ini ditunjukkan dalam bentuk nyeri dan dispareunia yang signifikan

pada kelompok penelitian (Islam, et al., 2013).

Indikasi dilakukan episiotomi adalah sebagai persiapan persalinan

operatif dimana hal ini biasanya dilakukan untuk mempermudah kelahiran

dengan komplikasi distosia bahu. Tujuan episiotomi adalah untuk

mengurangi komplikasi trauma dasar panggul saat kelahiran, yang

mencakup perdarahan, infeksi, prolaps genital, dan inkontinensia akibat

OASI. Meskipun demikian kadang tak terlihat manfaat ibu yang menjalani

proses episiotomi (Norwitz & Schorge, 2008).

a) Episiotomi medialis

Episiotomi jenis ini sering digunakan di Amerika Serikat. Tipe ini

akan dilakukan insisi garis tengah vertikal dari fourchette posterior

sampai ke rektum. 18 Namun, tipe ini berhubungan dengan

meningkatnya trauma perineum parah dengan perluasan derajat 3 dan

4 (Norwitz & Schorge, 2008).

b) Episiotomi Mediolateral
Lebih sering digunakan di Inggris. Tipe episiotomi ini adalah

pengirisan pada posisi 45 derajat terhadap fourchette posterior pada

satu sisi. Insisi semacam ini akan mencegah terjadinya trauma

perineum yang parah (Norwitz & Schorge, 2008).

c) Episiotomi lateralis

Sayatan disini dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira jam 3 atau

9 menurut arah jarum jam. Jenis episiotomi ini sekarang tidak

dilakukan lagi, oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka

sayatan dapat melebar ke arah dimana terdapat pembuluh darah

pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang

banyak. Selain itu jaringan parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa

nyeri yang mengganggu penderita (Rusda, 2004).

d) Insisi Schuchardt

Jenis ini merupakan variasi dari episiotomi mediolateralis, tetapi

sayatannya melengkung ke 19 arah bawah lateral, melingkari rektum,

serta sayatannya lebih lebar (Rusda, 2004).

2). Faktor Penyebab Laserasi Perineum

Luka perineum dapat diikuti pada setiap persalinan pervaginam, tetapi

terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan risiko ruptur derajat 3

sampai 4, diantaranya adalah nullipara, proses persalinan kala II, posisi

persisten oksiput posterior, ras Asia dan penggunaan anestesi lokal. Berikut

adalah faktor yang mempengaruhi:

1) Paritas
Adalah jumlah janin dengan berat badan lebih dari 500 gram yang pernah

dilahirkan hidup maupun mati bila berat badan tidak diketahui maka

dipakai umur kehamilan lebih dari 24 minggu. Robekan perineum hampir

terjadi pada semua persalinan pertama (primipara) dan tidak jarang pada

persalinan berikutnya (multipara).

2) Berat lahir bayi

Semakin besar berat bayi yang dilahirkan meningkatkan risiko terjadinya

ruptur perineum. Bayi besar adalah bayi yang begitu lahir memiliki berat

lebih dari 4000 gram. Hal ini terjadi karena semakin besar berat badan

bayi yang dilahirkan akan meningkatkan risiko terjadinya ruptur perineum

karena perineum tidak cukup kuat menahan regangan kepala bayi dengan

berat badan bayi yang besar, sehingga pada proses kelahiran bayi dengan

16 berat badan bayi lahir yang besar sering terjadi ruptur perineum.

Kelebihan berat badan dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya ibu

menderita diabetes mellitus, ibu yang memiliki riwayat melahirkan bayi

besar, faktor genetik, dan pengaruh kecukupan gizi. Berat bayi lahir

normal adalah sekitar 2500 sampai 4000 gram.

3) Cara mengejan

Kelahiran kepala harus dilakukan cara-cara yang telah direncanakan untuk

memungkinkan lahirnya kepala dengan pelanpelan. Lahirnya kepala

dengan pelan-pelan dan sedikit demi sedikit mengurangi terjadinya

laserasi. Penolong harus mencegah terjadinya pengeluaran kepala yang

tiba-tiba oleh karena ini akan mengakibatkan laserasi yang hebat dan tidak
teratur, bahkan dapat meluas sampai sphincter ani dan rektum. Pimpinan

mengejan yang benar sangat penting, dua kekuatan yang bertanggung

jawab untuk lahirnya bayi adalah kontraksi uterus dan kekuatan mengejan.

4) Elastisitas perineum

Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat persalinan kala II

dan dapat meningkatkan resiko terhadap janin. Juga menyebabkan

robekan perineum yang luas sampai tingkat 3. Hal ini sering ditemui pada

primigravida berumur diatas 35 tahun. 17

5) Umur ibu<20 tahun dan >35 tahun

Pada umur <20 tahun, organ-organ reproduksi belum berfungsi dengan

sempurna, sehingga bila terjadi kehamilan dan persalinan akan lebih

mudah mengalami komplikasi. Selain itu, kekuatan otot-otot perineum

danotot-otot perut belum bekerja secara optimal, sehingga sering terjadi

persalinan lama atau macet yang memerlukan tindakan. Faktor resiko

untuk persalinan sulit pada ibu yang belum pernah melahirkan pada

kelompok umur ibu dibawah 20 tahun dan pada kelompok umur di atas 35

tahun adalah 3 kali lebih tinggi dari kelompok umur reproduksi sehat (20-

35 tahun) (Mustika & Suryani, 2010).

Tabel Faktor Risiko Terjadinya Robekan Perineum saat


Persalinan
FAKTOR RISIKO RASIO GANJIL
Nuliparitas (primigraviditas) 3–4
Tubuh perineum pendek 8
Penyampaian instrumental, secara
keseluruhan 3
Persalinan dengan bantuan forceps 3–7
Pengiriman dengan bantuan vakum 3
Forceps vs vakum 2.88
Forceps dengan episiotomi garis tengah 25
Persalinan kala dua lama (>1 jam) 1,5–4
Analgesia epidural 1,5–3
Faktor bayi intrapartum:
Berat lahir lebih dari 4 kg 2
Posisi oksipitoposterior yang persisten 2–3
Episiotomi, mediolateral 1.4
Episiotomi, garis tengah 3–5
Robekan sfingter anal sebelumnya 4
Beberapa hal berikut menjadi penyebab terjadinya laserasi perineum, antara

lain :

a. Faktor janin, meliputi :

1) Bayi besar (lebih dari 4000 gram)

2) Posisi kepala oksipital posterior

3) Distosia bahu

b. Faktor ibu, meliputi :

1) Kala dua persalinan yang lama


2) Presipitasi persalinan

3) Arkus subpubis yang sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula

4) Paritas (Liu, 2010).

3) Tanda dan Gejala Laserasi Perineum

Adapun tanda dan gejala terjadinya laserasi perineum, sebagai berikut

a. Darah segar yang mengalir segera setelah bayi lahir

b. Kontraksi rahim baik

c. Plasenta lahir lengkap

d. Wajah pucat dan lemah (Sukarni K & ZH, 2013).

4) Dampak Laserasi Perineum

Terjadinya laserasi perineum dapat menimbulkan beberapa dampak

yang, antara lain :

a. Pada 10% ibu merasa nyeri dan tidak nyaman, akan berakhir 3-18 bulan

setelah pelahiran

b. Sebanyak 20% ibu akan mengalami dispareuni superfisial (nyeri pada

daerah genital bagian luar saat berhubungan intim) sekitar 3 bulan

c. Sebanyak 3-10% ibu melaporkan mengalami inkontinensia usus,

biasanya mengalami masalah flatus

d. Sebanyak 20% ibu mengalami inkontinensia urine


e. Kerusakan spingter anal terjadi pada 36% setelah pelahiran per vaginam

(Liu, 2010).

f. Jika tidak segera ditangani dapat menyebabkan perdarahan dan bisa

mengalami syok hipovolemik akibat perdarahan. Menilai kehilangan

darah yaitu dengan cara memantau tanda vital, mengevaluasi asal

perdarahan (Sumarah dkk., 2009).

g. Infeksi pasca persalinan juga berisiko terjadi sebab luka tidak segera

menyatu sehingga timbul jaringan parut selain itu, laserasi perineum dapat

dengan mudah terkontaminasi feses terutama derajat 3 dan 4 karena

lokasinya dekat dengan anus (Mochtar, 2013).

5) Komplikasi

Resiko komplikasi yang mungkin terjadi jika ruptur perineum tidak

segera diatasi, yaitu :

1) Perdarahan

Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan

dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan

yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting.

2) Fistula

Fistula dapat terjadi tanpa diketahui penyebabnya karena perlukaan pada

vagina menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing

luka, maka air kencing akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat

menekan kandung kencing dan rectum yang lama antara kepala janin dan

panggul, sehingga terjadi iskemia.


3) Hematoma

Hematoma dapat terjadi akibat trauma pada persalinan karena adanya

penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan

rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah. Hematoma

dibagian pelvis bisa terjadi dalam vulva perineum dan fosa iskiorektalis.

Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa juga dengan varikositas

vulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri. Kesalahan

yang menyebabkan diagnosis tidak diketahui dan memungkinkan banyak

darah yang hilang. Dalam waktu yang singkat, adanya pembengkakan biru

yang tegang pada salah satu sisi introitus didaerah ruptur perineum.

4) Infeksi

Infeksi pada masa nifas adalah peradangan disekitar alat genetalia pada

kala nifas. Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman

ke dalam tubuh sehingga menimbulkan infeksi.

5) Kematian ibu post partum

Penanganan komplikasi yang lambat dapat menyebabkan terjadinya

kematian pada ibu post partum mengingat kondisi fisik ibu post partum

masih lemah.

C. MANAJEMEN PENANGANAN LASERASI PERINEUM

Periksa terlebih dahulu keadaan laserasi secara keseluruhan untuk

mengetahui tingkat keparahan laserasi, kemudian dilakukan teknik penjahitan

laserasi perineum disesuaikan dengan derajat laserasinya. Tindakan yang

dilakukan untuk menangani laserasi perineum, sebagai berikut :


a. Laserasi derajat satu

Jika laserasi terjadi di bagian permukaan perineum dan tidak

mengakibatkan perdarahan seperti pada derajat satu, laserasi dapat

dibiarkan, dengan tetap mempertahankan luka dalam keadaan bersih (Liu,

2010).

b. Laserasi derajat dua, tiga dan empat Pada laserasi derajat dua, tiga dan

empat dilakukan tindakan penjahitan. Tujuan penjahitan robekan

perineum adalah untuk menyatukan kembali jaringan tubuh dan mencegah

kehilangan darah yang tidak perlu.

Penjahitan Laserasi Perineum Derajat Dua, Tiga dan Empat

Langkah Klinik

1) Alat dan bahan

a) Wadah DTT berisi sarung tangan, klem, pinset, pemegang jarum,

gunting, jarum jahit, benang jahit kromik atau catgut no 2/0 atau 3/0, kasa

steril, prinset, jarum suntik 10 ml, kasa bersih

b) Povidon-iodin

c) Lidokain

d) Handuk atau kain bersih

e) Lampu sorot.

2) Persiapan

a) Atur posisi ibu menjadi posisi litotomi (berbaring terlentang dengan

kaki terangkat dan dipisah) dan arahkan cahaya lampu sorot pada daerah

yang benar
b) Letakkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu

c) Pastikan lengan atau tangan penolong tidak memakai perhiasan, cuci

tangan dengan sabun dan air mengalir

d) Atur posisi penolong sehingga dapat bekerja dengan leluasa dan aman

e) Pakai sarung tanganf) Ambil jarum suntik 10 ml dengan tangan yang

bersarung tangan, isi jarum suntik dengan Lidokain dan letakkan ke dalam

wadah DTT

g) Gunakan kasa bersih, basuh vulva dan perineum dengan larutan

Povidon-iodin dengan gerakkan satu arah dari vulva ke perineum. Tunggu

selama kurang lebih 2 menit sebelum menyuntikkan Lidokain (Anastesi

lokal).

3) Anastesi Lokal

a) Beritahu ibu akan disuntik yang akan terasa nyeri dan menyengat

b) Tusukkan jarum suntik pada ujung robekan perineum, masukkan jarum

suntik secara subkutan sepanjang tepi luka

c) Lakukan aspirasi untuk memastikan tidak ada darah yang terhisap. Bila

ada darah,tarik jarum sedikit dan kembali masukkan. Ulangi melakukan

aspirasi. Anastesi yang masuk ke pembuluh darah dapat menyebabkan

detak jantung yang tidak teratur.

d) Suntikkan anastesi sambil menarik jarum suntik pada tepi luka daerah

perineum

e) Tanpa menarik jarum suntik ke luar dari luka, arahkan jarum sepanjang

tepi luka pada mukosa vagina, lakukan aspirasi dan suntikkan anastesi
sambil menarik jarum suntik. Bila robekan luas dan dalam, anastesi daerah

bagian dalam robekan, alur suntikkan anastesi akan berbentuk seperti

kipas (tepi perineum, dalam luka dan mukosa vagina).

f) Tunggu 1-2 menit sebelum melakukan penjahitan untuk mendapatkan

hasil optimal dari anastesi lokal.

Penjahitan Laserasi Perineum Derajat Dua

1) Telusur luka menggunakan jari tangan dan tentukan secara jelas batas

luka. Lakukan jahitan pertama kira-kira 1 cm di atas ujung luka di dalam

vagina. Ikat dan potong salah satu ujung dari benang dengan menyisakan

benang kurang lebih 0,5 cm

2) Jahitlah mukosa vagina dengan menggunakan jahitan jelujur dengan

jerat ke bawah sampai lingkaran sisa himen (selaput tipis yang

mengelilingi lingkaran vagina)

3) Kemudian tusukkan jarum menembus mukosa vagina di depan himen

(selaput tipis yang mengelilingi lingkaran vagina) dan keluarkan pada sisi

dalam luka perineum

4) Lanjutkan jahitan jelujur dengan jerat pada lapisan subkutis dan otot

sampai ke ujung luar luka (pastikan setiap jahitan memiliki ukuran yang

sama dan lapisan otot tertutup dengan baik)

5) Setelah mencapai ujung luka, balikkan arah jarum ke lumen vagina dan

mulailah merapatkan kulit perineum dengan jahitan subkutikuler


6) Bila telah mencapai lingkaran himen (selaput tipis yang mengelilingi

lingkaran vagina), tembuskan jarum ke luar mukosa vagina pada sisi yang

berlawanan dari tusukan terakhir subkutikuler

7) Tahan benang (sepanjang 2 cm) dengan klem, kemudian tusukkan

kembali jarum pada mukosa vagina dengan jarak 2 mm dari tempat

keluarnya benang dan silangkan ke sisi berlawanan hingga menembus

mukosa pada sisi berlawanan

8) Ikat benang yang dikeluarkan dengan benang pada klem dengan simpul

kunci

9) Lakukan kontrol jahitan dengan pemeriksaan colok dubur

10) Tutup jahitan luka dengan kasa yang dibubuhi cairan antiseptik.

Penjahitan Laserasi Perineum Derajat tiga

1) Lakukan inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan

2) Jika ada perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum, pasang

tampon atau kasa ke dalam vagina 3

3) Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci pemegang

jarum

4) Pasang benang jahit (kromik no. 2/0) pada mata jarum

5) Tentukan dengan jelas batas laserasi perineum

6) Ujung otot spingter ani yang terpisah oleh laserasi diklem

menggunakan pean lurus

7) Kemudian tautkan ujung otot spingter ani dengan melakukan 2-3

jahitan angka 8 sehingga bertemu kembali


8) Selanjutnya dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti melakukan

jahitan pada laserasi perineum derajat dua.

Penjahitan Laserasi Perineum Derajat Empat

1) Lakukan inspeksi vagina dan perineum untuk melihat robekan

2) Jika ada perdarahan yang terlihat menutupi luka perineum, pasang

tampon atau kasa ke dalam vagina

3) Pasang jarum jahit pada pemegang jarum kemudian kunci pemegang

jarum

4) Pasang benang jahit (kromik no. 2/0) pada mata jarum

5) Tentukan dengan jelas batas laserasi perineum

6) Mula-mula dinding depan rektum yang robek dijahit dengan jahitan

jelujur menggunakan catgut kromik no. 2/0

7) Jahit fasia perirectal dengan menggunakan benang yang sama, sehingga

bertemu

kembali

8) Jahit fasia septum rektovaginal dengan menggunakan benang yang

sama, sehingga bertemu kembali

9) Ujung otot spingter ani yang terpisah karena robekan diklem dengan

menggunakan pean lurus

10) Kemudian tautkan ujung otot spingter ani dengan melakukan jahitan

2-3 jahitan angka 8 sehingga bertemu kembali

11) Selanjutnya dilakukan jahitan lapis demi lapis seperti melakukan

jahitan pada laserasi perineum derajat dua.(Waspodo, 2010)


D. PERAWATAN LUKA PERINEUM

Tujuan perawatan perineum adalah mencegah terjadinya infeksi

sehubungan dengan penyembuhan jaringan atau pencegahan terjadinya infeksi

pada saluran reproduksi yang terjadi dalam 28 hari setelah kelahiran anak atau

aborsi (Cunningham, 2013). Waktu perawatan perineum adalah :

1). Saat mandi Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut,

setelah terbuka maka ada kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada

cairan yang tertampung pada pembalut, untuk itu maka perlu dilakukan

penggantian pembalut, demikian pula pada perineum ibu, untuk itu diperlukan

pembersihan perineum.

2). Setelah buang air kecil Pada saat buang air kecil, pada saat buang air kecil

kemungkinan besar terjadi kontaminasi air seni padarektum akibatnya dapat

memicu pertumbuhan bakteri pada perineum untuk itu diperlukan

pembersihan perineum.

3). Setelah buang air besar. Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan

sisa-sisa kotoran disekitar anus, untuk mencegah terjadinya kontaminasi

bakteri dari anus ke perineum yang letaknya bersebelahan maka diperlukan

proses pembersihan anus dan perineum secara keseluruhan (Bahiyatun, 2016).

Penatalaksanaan perawatan perineum meliputi:

1). Persiapan

a). Ibu Pos Partum Perawatan perineum sebaiknya dilakukan di kamar mandi

dengan posisi ibu jongkok jika ibu telah mampu atau berdiri dengan posisi

kaki terbuka.
b). Alat dan bahan Alat yang digunakan adalah botol, baskom dan gayung

atau shower air hangat dan handuk bersih. Sedangkan bahan yang digunakan

adalah air hangat, pembalut nifas baru dan antiseptik

2). Penatalaksanaan

Perawatan khusus perineal bagi wanita setelah melahirkan anak mengurangi

rasa ketidaknyamanan, kebersihan, mencegah infeksi, dan meningkatkan

penyembuhan dengan prosedur pelaksanaan adalah sebagai berikut:

a). Mencuci tangannya

b). Memastikan semua peralatan dan bahan lengkap

c). Buang pembalut yang telah penuh dengan gerakan ke bawah mengarah ke

rectum dan letakkan pembalut tersebut ke dalam kantung plastik.

d). Berkemih dan BAB ke toilet

e). Semprotkan ke seluruh perineum dengan air

f). Keringkan perineum dengan menggunakan tissue dari depan ke belakang.

g). Pasang pembalut dari depan ke belakang.

h). Cuci kembali tangan

3. Evaluasi

Parameter yang digunakan dalam evaluasi hasil perawatan adalah:

a). Perineum tidak lembab

b). Posisi pembalut tepat

c). Ibu merasa nyaman (bahiyatun 2016).

Anda mungkin juga menyukai