Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Persalinan

1. Pengertian Persalinan

Persalinan adalah proses pembukaan dan menipisnya serviks dan janin

turun kedalam jalan lahir. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses

pengeluran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir

spontan dengan presentasi belakang kepala, tanpa komplikasi baik ibu maupun

janin. Persalinan spontan dengan tenaga ibu, persalinan buatan dengan bantuan,

persalinan anjuran bila persalinan terjadi tidak dengan sendirinya tetapi melalui

pacuan persalinan dikatakan normal bila tidak ada penyulit (Holmes, 2018).

2. Tahapan Persalinan

Tahapan Persalinan terdiri atas kala I (kala pembukaan), kala II (kala

pengeluaran janin), kala III (pelepasan plasenta), dan kala IV (kala

pengawasan/observasi/pemulihan) (Sondakh, 2013).

a. Kala I (Kala Pembukaan)

Kala I mulai dari saat persalinan mulai (pembukaan nol) sampai

pembukaan lengkap (10 cm). Proses ini terbagi dalam 2 fase, yaitu:

1) Fase Laten; berlangsung selama 8 jam, serviks membuka sampai 3 cm.

2) Fase Aktif; berlangsung selama 7 jam, serviks membuka dari 4 cm sampai

dengan 10 cm, kontraksi lebih kuat dan sering (Sondakh , 2013).


6

b. Kala II (Kala Pengeluaran Janin)

Gejala utama kala II adalah sebagai berikut:

1) His semakin kuat, dengan interval 2 sampai 3 menit, dengan durasi 50

sampai 100 detik.

2) Menjelang akhir kala I, ketuban pecah yang ditandai dengan pengeluaran

cairan secara mendadak.

3) Ketuban pecah pada pembukaan mendekati lengkap diikuti keinginan

mengejan akibat tertekannya pleksus Frankenhauser.

4) Kedua kekuatan his mengejan lebih mendorong kepala bayi

5) Kepala lahir seluruhnya dan diikuti oleh putar paksi luar, yaitu

penyesuaian kepala pada punggung

6) Setelah putar paksi luar berlangsung, maka persalinan bayi ditolong

7) Lamanya kala II untuk primigravida 1,5-2 jam dan multigravida 1,5-1 jam

c. Kala III (Pelepasan Plasenta)

Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya plasenta, yang

berlangsung tidak lebih dari 30 menit. Proses lepasnya plasenta dapat

diperkirakan dengan mempertahankan tanda-tanda dibawah ini:

1) Uterus menjadi bundar

2) Uterus terdorong ke atas karena plasenta dilepas ke segmen bawah rahim

3) Tali pusat bertambah panjang

4) Terjadi semburan darah tiba-tiba

Cara menahan plasenta adalah menggunakan teknik dorsokranial (Sondakh,

2013).
7

d. Kala IV (Kala Pengawasan/Observasi/Pemulihan)

Kala IV dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam postpartum. Kala

ini terutama bertujuan untuk melakukan observasi karena perdarahan postpartum

paling sering terjadi 2 jam pertama. Darah yang keluar selama perdarahan harus

ditakar sebaik-baiknya. Kehilangan darah pada persalinan biasanya disebabkan

oleh luka pada saat pelepasan plasenta dan robekan pada serviks dan perineum.

Rata-rata jumlah perdarahan yang dikatan normal adalah 250 cc, biasanya 100-

300 cc.

Jika lebih dari 500 cc, maka sudah dianggap abnormal, dengan demikian

harus dicari penyebabnya (Sondakh, 2013).

B. Laserasi Perineum

1. Pengertian

Laserasi perineum dapat terjadi spontan, maupun sebagai akibat

dilakukannya episiotomi. Episiotomi rutin tidak disarankan dilakukan pada setiap

pertolongan persalinan, karena tidak terbukti mampu mencegah terjadinya

disfungsi dasar panggul, bila dibandingkan laserasi spontan maupun tanpa laserasi

perineum. Laserasi perineum, baik spontan maupun episiotomi merupakan faktor

yang mencederai perineum. Keadaan ini dapat berkontribusi pada terjadinya

inkontinensia fekal, dispareunia, maupun keluhan disfungsi dasar panggul yang

lain. Episiotomi mediana disebutkan berkaitan langsung dengan risiko terjadinya

laserasi perineum total, maupun keluhan inkontinensia fekal (Nurjasmi, 2016).

Derajat laserasi perineum terbanyak pada hasil penelitian adalah laserasi

derajat 2, yaitu laserasi sampai dengan otot-otot perineum. Meskipun


8

persentasenya jauh lebih kecil (1,9%), laserasi perineum derajat 3 masih terjadi.

Data yang didapatkan bahwa laserasi perineum tidak hanya terjadi pada primipara

namun juga pada multipara, dengan berat bayi yang bervariasi. Tidak disebutkan

derajat laserasi secara lebih rinci, sehingga tidak diketahui sejauh mana

keterlibatan otot sfingter ani eksterna maupun internal. Rincian laserasi perineum

derajat 3 diperlukan terkait penjahitan yang dilakukan, serta tata laksana lain yang

mengikutinya.

Tabel 1
Karakteristik Perinium

Variabel Frekuensi Presentase %


Robekan Derajat I 221 13,9,
Robekan Derajat II 914 57,3
Robekan Derajat II 31 1,9
Episotomi 35 2,2
Utuh 394 24

Sebanyak 40,3% adalah kasus laserasi primipara, sedangkan 59,7% terjadi

pada multipara, dengan jumlah subjek multipara yang lebih besar dari primipara.

Namun demikian, bila kita melihat dalam kelompok primipara itu sendiri, maka

laserasi perineum terjadi pada 85,05% persalinan. Ini adalah angka yang cukup

berbagai laporan penelitian. Hal ini dapat terjadi karena jaringan yang belum

pernah teregang sebelumnya, mengakibatkan elastisitas kurang baik, dan mudah

robek pada persalinan (Cunningham, 2013)

2. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Terjadinya Laserasi Perineum

Menurut Siti Istiana (2020) Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya

laserasi perineum yaitu :


9

a. Faktor Ibu

1) Paritas

Paritas adalah keadaan wanita berkaitan dengan jumlah anak yang

dilahirkan. Paritas mempunyai pengaruh terhadap kejadian laserasi perineum. Ibu

dengan paritas satu atau ibu primipara memiliki resiko lebih besar untuk

mengalami robekan perineum dari pada ibu dengan paritas lebih dari satu. Jalan

lahir yang belum pernah dilalui oleh kepala bayi sehingga otot-otot perineum

belum meregang. Ibu-ibu yang mempunyai anak <3 (paritas rendah) dapat

dikategorikan pemeriksaan kehamilan dengan kategori baik. Hal ini dikarenakan

ibu paritas rendah lebih mempunyai keinginan yang besar untuk memeriksakan

kehamilannya, karena bagi ibu paritas rendah kehamilannya ini merupakan

sesuatau yang sangat diharapkan. Menurut penelitian terdahulu yang di lakukan

oleh Elisa yang berjudul Hubungan Paritas Dengan Terjdinya Laserasi Perineum

Spontan Pada Persalinan Normal, dengan hasil peneliti menunjukkan dari 373 ibu

primipara sebagian besar mengalami laserasi perineum spontan 84,9%, dan dari

229 paritas multipara lebih dari setengahnya mengalami laserasi perineum

spontan 62,4%, sedangkan pada grandemultipara sebagian besar tidak mengalami

laserasi perineum spontan 94,4%. Menurut asumsi penelitian bahwa angka

kejadian laserasi perenium spontan terjadi apabila semakin tinggi paritas ibu atau

jumlah anak yang dilahirkan ibu, maka semakin rendah resiko terjadinya laserasi

perineum pada saat persalinan. Hal ini dapat disebabkan salah satunya karena

belum adanya pengalaman ibu dalam bersalin,berat badan lahir bayi dan juga

dapat disebabkan karena keadaan perineum pada primipara belum pernah


10

mengalami peregangan atau kaku sehingga mempunyai resiko tinggi terhadap

terjadinya laserasi perineum (Istiana, 2020).

2) Usia

Usia adalah dihitung berdasarkan tahun kelahiran yaitu lamanya hidup

sejak lahir. Remaja wanita merupakan populasi resiko tinggi terhadap komplikasi

kehamilan, penyulit ini terjadi karena pada remaja biasanya masih tumbuh dan

berkembang, sehingga memiliki kebutuhan kalori yang lebih besar dari wanita

yang lebih tua. Sehingga akibatnya, mortalitas, perinatal, dan mobilitas meternal

sangat tinggi pada remaja wanita hamil dibanding dengan wanita dalam usia 20-

an. Hal ini sejalan dengan teori menjelaskan bahwa laserasi perineum merupakan

laserasi yang terjadi sewaktu persalinan dan disebabkan oleh beberapa faktor

antara lain posisi persalinan, cara meneran, pimpinan persalinan dan berat badan

bayi baru lahir. Terjadinya laserasi perineum disebabkan oleh faktor ibu sendiri

(myang mencakup paritas, jarak kelahiran, dan berat badan lahir), riwayat

persalinan yang mencakup ekstraksi cunam, ekstraksi vakum dan episiotomi. Alat-

alat reproduksi sudah matang dan ibu sudah siap menghadapi persalinan, terjadi

kesiapan dalam hal mempelajari sesuatu atau dalam menyesuaikan dengan

keadaan tertentu, misalnya menghadapi persalinan. Umur <20 tahun, organ-organ

reproduksi belum berfungsi dengan sempurnasehingga bila terjadi kehamilan dan

persalinan akan lebih mudah mengalami komplikasi. Selain itu, kekuatan otot

perineum dan otot perut belum bekerja secara optimal sehingga sering terjadi

persalinan lama atau macet yang memerlukan tindakan, seperti bedah besar

(Istiana, 2020).
11

b. Faktor Janin

1) Faktor Berat Badan Bayi Dengan Laserasi Perineum Pada Persalinan

Normal

Berat badan janin dapat mengakibatkan terjadinya laserasi perineum yaitu

pada berat badan janin diatas 4000 gr. Semakin besar badan bayi yang dilahirkan

akan meningkatkan resiko terjadinya laserasi perineum karena perineum tidak

cukup kuat untuk menahan regangan kepala bayi dengan berat badan bayi yang

besar, sehingga pada proses kelahiran bayi dengan berat badan bayi lahir yang

besar sering terjadi laserasi. Berat badan janin dapat mengakibatkan terjadinya

laserasi perineum yaitu berat badan janin lebih dari 3500 gr, karena resiko trauma

partus melalui vagina seperti distosia bahu, dan kerusakan jaringan lunak pada

ibu. Perkiraan janin bergantung pada pemeriksaan, pada masa kehamilan

hendaknya terlebih dahulu mengukur tafsiran berat badan janin (Widayanti,

2014).

2) Faktor Presentasi Bayi Dengan Laserasi Perineum Pada Persalinan Normal

Menurut kamus kedokteran, presentasi adalah letak hubungan sumbu

memanjang janin dengan sumbu memanjang panggul ibu. Presentasi digunakan

untuk menentukan bagian yang ada dibagian bawah rahim yang dijumpai pada

palpasi atau pada pemeriksaan dalam. Macam-macam presentasi dapat dibedakan

menjadi presentasi muka, presentasi dahi, dan presentasi bokong.

a) Presentasi Muka

Presentasi muka atau presentasi dahi letak janin memanjang, sikap extensi

sempurna dengan diameter submento bregmatika sebesar 9,5 cm. Bagian

terendahnya adalah bagian antara glabella dan dagu, sedang pada presentasi dahi
12

bagian terendahnya antara glabella dan bregma . Sekitar 70% presentasi muka

adalah dengan dagu di depan dan 30% posisi dagu di belakang. Keadaan yang

menghambat masuknya kepala dalam sikap flexi dapat menjadi penyebab

presentasi muka. Presentasi muka menyebabkan persalinan lebih lama di banding

presentasi kepala dengan UUK (ubun-ubun kecil) di depan, karena muka

merupakan pembuka servik yang jelek dan sikap ekstensi kurang menguntungkan.

Penundaan terjadi di pintu atas panggul, tetapi setelah persalinan lebih maju

semuanya akan berjalan lancer. Ibu harus bekerja lebih keras, lebih merasakan

nyeri, dan menderita lebih banyak laserasi dari pada kedudukan normal. Karena

persalinan lebih lama dan rotasi yang sukar akan menyebabkan trauma pada ibu

maupun anaknya (Widayanti, 2014).

b) Presentasi Dahi

Presentasi dahi adalah sikap ekstensi sebagian (pertengahan), hal ini

berlawanan dengan presentasi muka yang ekstensinya sempurna. Bagian

terendahnya adalah daerah diantara margo orbitalis dengan bregma dengan

penunjuknya adalah dahi. Diameter bagian terendah adalah diameter

verticomentalis sebesar 13,5 cm, merupakan diameter antero posterior kepala

janin yang terpanjang (Widayanti, 2014).

Presentasi dahi primer yang terjadi sebelum persalinan mulai jarang

dijumpai, kebanyakan adalah sekunder yakni terjadi setelah persalinan dimulai.

Bersifat sementara dan kemudian kepala fleksi menjadi presentasi belakang

kepala atau ekstensi menjadi presentasi muka. Laserasi perineum tidak dapat

dihindari dan dapat meluas atas sampa fornices vagina atau rektu, karena besarnya

diameter yang harus melewati PBP (Pintu Bawah Panggul).


13

c) Presentasi Bokong

Presentasi bokong memiliki letak memanjang dengan kelainan dalam

polaritas. Panggul janin merupakan kutub bawah dengan penunjuknnya adalah

sacrum. Berdasarkan posisi janin, presentasi bokong dapat dibedakan menjadi

empat macam yaitu presentasi bokong sempurna, presentasi bokong kaki, dan

presentasi bokong lutut (Widayanti, 2014).

Kesulitan pada persalinan bokong adalah terdapat peningkatan resiko

maternal. Manipulasi secara manual pada jalan lahir akan meningkatkan resiko

infeksi pada ibu. Berbagai perasat intra uteri, khususnya dengan segmen bawah

uterus yang sudah tipis, atau persalinan setelah coming head lewat servik yang

belum berdilatasi lengkap, dapat mengakibatkan robekan uteri, laserasi serviks,

ataupun keduanya. Tindakan manipulasi tersebut dapat pula menyebabkan

robekan perineum yang lebih dalam (Widayanti, 2014).

c. Faktor Persalinan

1) Vakum ekstrasi

Vakum ekstrasi adalah suatu tindakan bantuan persalinan, janin dilahirkan

dengan ekstrasi menggunakan tekanan negatif dengan alat vakum yang dipasang

di kepalanya. Waktu yang diperlukan untuk pemasangan cup sampai dapat ditarik

relative lebih lama daripada forsep (lebih dari 10menit). Cara ini tidak dapat

dipakai untuk melahirkan anak dengan fetal distress (gawat janin). Komplikasi

yang dapat terjadi pada ibu adalah laserasi pada serviks uteri dan laserasi pada

vagina dan laserasi perineum (Fatimah, 2019).


14

2) Ekstrasi Cunam/Forsep

Estraksi cunam/forsep adalah suatu persalinan buatan, janin dilahirkan

dengan cunam yang dipasang dikepala janin (Mansjoer, 2002). Komplikasi yang

dapat terjadi karena tindakan ekstraksi forsep antara lain ruptur uteri, robekan

portio, vagina, ruptur perineum, syok, perdarahan postpartum, pecahnya varises

vagina (Fatimah, 2019).

3) Embriotomi

Embriotomi adalah prosedur penyelesaian persalinan dengan jalan

melakukan pengurangan volume atau merubah struktur organ tertentu pada bayi

dengan tujuan untuk member peluang yang lebih besar untuk melahirkan

keseluruhan tubuh bayi tersebut. Persalinan macet dengan anak mati merupakan

indikasi dari embriotomi. Komplikasi yang terjadi antara lain perlukaan vagina,

perlukaan vulva, ruptur perineum yang luas bila perforator meleset karena tidak

ditekan tegak lurus pada kepala janin atau karena tulang yang terlepas saat sendok

tidak dipasang pada muka janin, serta cedera saluran kemih, atonia uteri dan

infeksi (Fatimah, 2019).

4) Persalinan Presipiatatus

Persalinan presipitatus adalah persalinan yang berlangsung sengat cepat,

berlangsung kurang dari 3 jam, dapat disebabkan oleh abnormalitas kontraksi

uterus dan rahim yang terlalu kuat, atau pada keadaan yang sangat jarang

dijumpai, tidak ada rasa nyeri pada saat his sehingga ibu tidak menyadari adanya

proses persalinan yang sangat kuat. Sehingga menolong persalinan dan ibu

mengejan kuat tidak terkontrol, kepala janin terjadi defleksi yang terlalu cepat.

Keadaan ini akan memperbesar kemungkinan laserasi perineum. Laserasi spontan


15

pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian

laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali

(Fatimah, 2019).

d. Faktor Penolong Persalinan

Penolong persalinan adalah seseorang yang mampu berwenang dalam

memberikan asuhan persalinan. Pimpinan persalinan yang salah merupakan salah

satu penyebab terjadinya laserasi perineum, sehingga sangat diperlukan kerjasama

dengan ibu dan penggunaan perasat manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi

kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi untuk mencegah laserasi.

3. Tingkatan Ruptur Perineum

Berdasarkan kedalaman atau panjangnya robekan, laserasi perineum dapat

digolongkan menjadi 4 tingkat, yaitu:

a. Laserasi perineum tingkat 1

Laserasi perineum tingkat 1 merupakan tipe laserasi yang tergolong kecil

dan paling ringan. Tingkat ini, bagian yang robek adalah kulit di sekitar

permukaan mulut vagina atau kulit perineum. Ruptur perineum tingkat 1 biasanya

tidak memerlukan jahitan dan bisa sembuh dalam waktu sekitar 1 minggu. Meski

laserasi tergolong ringan, kondisi ini dapat menyebabkan sedikit rasa nyeri atau

perih ketika buang air kecil, duduk, batuk, bersin, atau berhubungan seksual

(Sondakh, 2013).

b. Laserasi perineum tingkat 2

Laserasi perineum tingkat 2, bagian yang robek adalah kulit dan otot-otot

perineum di bagian dalam vagina. Kondisi ini perlu ditangani dengan jahitan dan

membutuhkan waktu sekitar beberapa minggu untuk sembuh sama seperti ruptur
16

perineum tipe 1, robekan tipe ini juga akan menimbulkan rasa tidak nyaman saat

melakukan aktivitas tertentu (Sondakh, 2013).

c. Laserasi perineum tingkat 3

Laserasi perineum tingkat 3 terjadi ketika robekan terjadi pada kulit dan

otot vagina, perineum, hingga anus. Kondisi ini perlu mendapatkan penanganan

dokter karena bisa menyebabkan perdarahan yang berat (Sondakh, 2013).

d. Laserasi perineum tingkat 4

Laserasi perineum tingkat 4 adalah tingkatan ruptur perineum yang paling

berat. Kondisi ini terjadi ketika robekan sudah mencapai anus dan rektum atau

bahkan usus besar. Kondisi ini perlu ditangani dengan operasi (Sondakh, 2013).

Gambar 1
Tingkatan Laserasi Perineum

4. Penatalaksanaan Laserasi Perineum

Penatalaksanaan laserasi perineum dilakukan berdasarkan derajat

keparahan ruptur, untuk derajat 1 dan 2, umumnya tergantung dari penilaian

dokter dan juga keputusan pasien. Ruptur perineum derajat 3 dan 4 umumnya

dilakukan penjahitan dengan mengikuti beberapa prinsip (siapa yang melakukan

tindakan, persiapan tindakan, cara perbaikan ruptur, serta jenis alat dan bahan

yang digunakan dalam tata laksana). Adapun tata laksana tambahan lainnya dapat

berupa non medikamentosa seperti ice pack dan berendam di air hangat, ataupun
17

dengan medikamentosa seperti antibiotik, analgesik serta laksatif (Chandra,

2018).

a. Prinsip Tata Laksana Ruptur Perineum

Terlepas dari derajat ruptur, beberapa prinsip yang harus diikuti dalam tata

laksana laserasi perineum antara lain :

1) Perbaikan laserasi dilakukan oleh klinisi yang ahli, jika memungkinkan oleh

dokter spesialis kandungan

2) Pencahayaan pada saat perbaikan laserasi harus adekuat, jika memungkinkan

dilakukan di kamar operasi dengan pasien dalam posisi litotomi

3) Anestesi diberikan secara adekuat

4) Masing-masing lapisan yang robek diperbaiki satu-persatu agar fungsi

kembali normal

5) Perbaikan dilakukan dari bagian arah atas ke bawah (sefalokaudal) agar

bagian superior tidak terestriksi

6) Perbaikan menggunakan benang yang dapat diserap (absorbable) dengan knot

masing-masing lapisan ditanam di dalam untuk mengurangi risiko dispareunia

dan ketidaknyamanan vagina setelah pemulihan (Chandra, 2018).

b. Penjahitan Laserasi Ruptur Perineum

Penjahitan laserasi derajat 1 atau 2 tergantung pada penilaian dari dokter

dan juga pasien, namun yang umumnya perlu dilakukan penjahitan adalah pada

laserasi derajat 3 dan 4. Pencahayaan harus baik dan jika memungkinkan tindakan

dilakukan di kamar operasi dengan anestesi regional atau umum. Jika terjadi

perdarahan, vaginal pack dapat digunakan. Penjahitan tidak sebaiknya dilakukan

dengan metode figure of eight karena dapat menyebabkan iskemia jaringan.


18

Mukosa anorektal yang robek dijahit dengan metode simple interrupted atau

continuous. Jika terjadi ruptur sfingter, maka penjahitan dilakukan menggunakan

metode simple interrupted atau matras, lalu penjahitan dilakukan secara terpisah

(masing-masing lapisan) (Chandra, 2018).

c. Tata Laksana Nonmedikamentosa

Tata laksana nonmedikamentosa yang dapat dilakukan untuk mengurangi

nyeri pasca penjahitan laserasi, umumnya dapat menggunakan ice pack, gel pads

dingin, berendam dengan air dingin atau menggunakan lubrikasi ketika kembali

melakukan aktivitas seksual.

d. Tata Laksana Medikamentosa

Tata laksana medikamentosa bertujuan sebagai terapi suportif, berupa

pemberian antibiotik pasca penjahitan robekan, serta pemberian obat analgesik.

Selain itu, pasien dapat diberikan laksatif atau pelunak feses.

e. Antibiotik

Antibiotik spektrum luas dapat diberikan untuk mengurangi risiko infeksi

dan dehisensi luka. Antibiotik diberikan segera setelah tindakan penjahitan

dilakukan. Tidak ada pedomen mengenai antibiotik yang sebaiknya diberikan,

namun dapat disesuaikan dengan pola resistensi pada populasi lokal.

f. Analgesik

Obat analgesik diberikan untuk mengurangi nyeri pasca penjahitan,

umumnya yang digunakan adalah paracetamol.

g. Laksatif atau Pelunak Feses


19

Laksatif dan pelunak feses digunakan untuk mencegah dehisensi luka yang

disebabkan oleh disrupsi luka akibat feses yang terlalu keras. Pelunak feses seperti

laktulosa dianjurkan untuk diberikan selama 10 hari (Chandra, 2018).


20

5. Teknik-Teknik Penjahitan Perineum

a. Simple Interupted Suture (Jahitan Terputus/Satu-Satu)

Teknik penjahitan ini dapat dilakukan pada semua luka, dan apabila tidak

ada teknik penjahitan lain yang memungkinkan untuk diterapkan. Terbanyak

digunakan karena sederhana dan mudah. Tiap jahitan disimpul sendiri. Cara

jahitan terputus dibuat dengan jarak kira-kira 1 cm antar jahitan. Keuntungan

jahitan ini adalah bila benang putus, hanya satu tempat yang terbuka, dan bila

terjadi infeksi luka, cukup dibuka jahitan di tempat yan terinfeksi. Akan tetapi,

dibutuhkan waktu lebih lama untuk mengerjakannya.

Teknik jahitan terputus sederhana dilakukan sebagai berikut:

1) Jarum ditusukkan jauh dari kulit sisi luka, melintasi luka dan kulit sisi lainnya,

kemudian keluar pada kulit tepi yang jauh, sisi yang kedua.

2) Jarum kemudian ditusukkan kembali pada tepi kulit sisi kedua secara tipis,

menyeberangi luka dan dikeluarkan kembali pada tepi dekat kulit sisi yang

pertama

3) Dibuat simpul dan benang diikat.

b. Running Suture/ Simple Continous Suture (Jahitan Jelujur)

Jahitan jelujur menempatkan simpul hanya pada ujung-ujung jahitan, jadi

hanya dua simpul. Apabila salah satu simpul terbuka, maka jahitan akan terbuka

seluruhnya. Jahitan ini sangat sederhana, sama dengan kita menjelujur baju.

Biasanya menghasilkan hasil kosmetik yang baik, tidak disarankan

penggunaannya pada jaringan ikat yang longgar, dan sebaiknya tidak dipakai

untuk menjahit kulit.


21

Teknik jahitan jelujur dilakukan sebagai berikut :

1) Diawali dengan menempatkan simpul 1 cm di atas puncak luka yang terikat

tetapi tidak dipotong.

2) Serangkaian jahitan sederhana ditempatkan berturut-turut tanpamengikat atau

memotong bahan jahitan setelah melalui satu simpul.

3) Spasi jahitan dan ketegangan harus merata, sepanjang garis jahitan

4) Setelah selesai pada ujung luka, maka dilakukan pengikatan pada simpul

terakhir pada akhir garis jahitan.

5) Simpul diikat di antara ujung ekor dari benang yang keluar dari luka/

penempatan jahitan terakhir.

c. Running Locked Suture (Jahitan Pengunci/Jelujur Terkunci/ Feston)

Jahitan jelujur terkunci merupakan variasi jahitan jelujur biasa, dikenal

sebagai stitch bisbol karena penampilan akhir dari garis jahitan berjalan terkunci.

Teknik ini biasa digunakan untuk menutup peritoneum. Teknik jahitan ini dikunci

bukan disimpul, dengan simpul pertama dan terakhir dari jahitan jelujur terkunci

adalah terikat. Cara melakukan penjahitan dengan teknik ini hampir sama dengan

teknik jahitan jelujur, bedanya pada jahitan jelujur terkunci dilakukan dengan

mengaitkan benang pada jahitan sebelumnya, sebelum beralih ke tusukan

berikutnya

d. Subcuticuler Continuous Suture (Subkutis)

Jahitan subkutis dilakukan untuk luka pada daerah yang memerlukan

kosmetik, untuk menyatukan jaringan dermis/kulit. Teknik ini tidak dapat

diterapkan untuk jaringan luka dengan tegangan besar.


22

Teknik ini benang ditempatkan bersembunyi di bawah jaringan dermis

sehingga yang terlihat hanya bagian kedua ujung benang yang terletak di dekat

kedua ujung luka. Hasil akhir pada teknik ini berupa satu garis saja.

Teknik ini dilakukan sebagai berikut:

1) Tusukkan jarum pada kulit sekitar 1-2 cm dari ujung luka keluar di daerah

dermis kulit salah satu dari tepi luka.

2) Benang kemudian dilewatkan pada jaringan dermis kulit sisi yang lain, secara

bergantian terus menerus sampai pada ujung luka yang lain, untuk kemudian

dikeluarkan pada kulit 1-2 cm dari ujung luka yang lain.

3) Dengan demikian maka benang berjalan menyusuri kulit pada kedua sisi

secara parallel di sepanjang luka tersebut.

Gambar 2
Teknik Penjahitan
23

a) Cara Penjahitan Laserasi Perineum

Apabila dijumpai laserasi perineum dilakukan penjahitan luka dengan baik

lapis demi lapis, dengan memperhatikan jangan ada laserasi yang terbuka ke arah

vagina yang biasanya dapat dimasuki oleh bekuan darah yang akan menyebabkan

luka lama sembuh.

Mempersiapkan penjahitan

(1) Memposisikan ibu posisi litotomi dengan bokong berada di tepi tempat tidur

(2) Tempatkan handuk atau kain bersih dibawah bokong ibu

(3) Tempatkan lampu sehingga perineum bisa dilihat dengan jelas

(4) Gunakan teknik aseptik atau memeriksa robekan atau episiotomi, berikan

anastesi lokal dan menjahit luka

(5) Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir

(6) Pakai sarung tangan DTT atau steril

(7) Persiapkan peralatan dan bahan DTT untuk penjahitan

(8) Duduk dengan posisi santi dan nyaman

(9) Gunankan kain/kassa DTT atau bersih untuk menyeka vulva, vagina dan

perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah sambil menilai dalam dan

luasnya luka

(10) Periksa vagina, serviks dan perineum secara lengkap. Pastikan bahwa laserasi

hanya derajat satu atau dua. Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam

anus dengan hati-hati dan angkat jari tersebut perlahan untuk

mengidentifikasi sfingter ani. Raba tonus dan ketegangan sfingter. (jika

sfingter terbuka, ibu mengalami laserasi derajat III dan harus segera dirujuk)

(11) Ganti sarung tangan dengan sarung tangan DTT atau steril yang baru
24

(12) Berikan anastesi local

(13) Siapkan jarum dan benang. Gunakan benang kromik 2-0 atau 3-0

(14) Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit jarum

Menjahit laserasi pada perineum

(1) Cuci tangan dan gunakan sarung tangan DTT maupun steril.

(2) Pastikan bahwa peralatan dan bahan-bahan yang digunakan untuk melakukan

penjahitan sudah di desinfeksi tingkat tinggi atau steril

(3) Setelah memberikan anastesi lokal atau memastikan bahwa daerah tersebut

sudah di anastesi, telusuri dengan hati – hati menggunakan satu jari untuk

secara jelas menentukan batas– batas luka. Nilai kedalaman luka dan lapisan

jaringan mana yang terluka

(4) Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm diatas ujung laserasi di bagian dalam

vagina. Setelah membuat tusukan pertama, buat ikatan dan potong pendek

benang yang lebih pendek dari ikatan.

(5) Tutup mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke arah cincin

hymen

(6) Tepat sebelum cincin himen, mukosa jarum ke dalam mukosa vagina lalu ke

bawah cincin himen sampai jarum ada dibawah laserasi. Periksa bagian antara

jarum di perineum dan bagian atas laserasi. Perhatikan seberapa dekat jarum

ke puncak luka.

(7) Teruskan ke arah bawah tetapi tetap ada luka, menggunakan jahitan jelujur,

hingga mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan bahwa jarak setiap jahitan

sama dan otot yang terluka telah dijahit. Jika laserasi meluas ke dalam otot,
25

mungkin perlu untuk melakukan satu atau dua lapis jahitan putus–putus untuk

menghentikan perdarahan dan atau mendekatkan jaringan.

(8) Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan teruskan

penjahitan menggunakan jahitan jelujur untuk menutup lapisan subkutikuler.

Jahitan ini akan menjadi jahitan lapis kedua. Periksa lubang bekas jarum tetap

terbuka berukuran 0,5 cm atau kurang. Luka ini akan menutup dengan

sendirinya saat penyembuhan luka.

(9) Tusukkan jarum dari laserasi perineum ke dalam vagina. Jarum harus keluar

dari belakang cincin himen.

(10) Ikat benang dengan membuat simpul didalam vagina. Potong ujung benang

dan sisakan sekitar 1,5 cm. Jika ujung benang dipotong terlalu pendek, simpul

akan longgar dan laserasi akan membuka.

(11) Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan bahwa tidak

ada kasa atau peralatan yang tertinggal didalam.

(12) Dengan lembut masukkan jari paling kecil ke dalam anus. Raba apakah ada

jahitan pada rektum. Jika ada jahitan yang teraba, ulangi pemgueeriksaan

rektum enam minggu pasca persalinan. Jika penyembuhan belum sempurna

(misalkan jika ada fistula rektovaginal atau ibu melaporkan inkontinensia alvi

atau feses), ibu segera dirujuk.

(13) Cuci daerah genital dengan lembut dengan sabundan air desinfeksi tingkat

tinggi, kemudian keringkan. Bantu ibu mencari posisi yang nyaman.

(14) Nasehati ibu untuk :

(a) Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering

(b) Hindari penggunaan obat – obatan tradisional


26

(c) Cuci perineum dengan sabun dan air bersih yang mengalir tiga sampai

empat kali sehari kembali dalam seminggu untuk memeriksa

penyembuhan luka (Chandra, 2018).

6. Upaya Pencegahan Rupture Perineum Dengan Pijat Perineum

a. Pengertian

Pijat perineum adalah salah satu cara yang paling kuno dan paling pasti

untuk meningkatkan kesehatan, aliran darah elastisitas, dan relaksasi otot-otot

dasar panggul. Pijat perineum, yaitu (meregangkan jaringan bagian dalam dari

bawah vagina) mengajarkan bagaimana memberi respons terhadap tekanan pada

vagina dengan merelaksasi dasar panggul (latihan bermanfaat untuk pelahiran).

Pijat perineum akan membantu melunakkan jaringan perineum , sehingga jaringan

tersebut akan membuka tanpa resistensi saat persalinan, untuk mempermudah

lewatnya bayi. Pijat perineum selama masa kehamilan dapat melindungi fungsi

perineum. Pijat ini sangat aman dan tidak berbahaya. Pijat perineum selalu dapat

meminimalisi laserasi perineum, juga dapat meningkatkan aliran darah,

melunakkan jaringan di sekitar perineum ibu dan membuat elastis semua otot

yang berkaitan di sekitar perineum ibu dan membuat elastis semua otot yang

berkaitan dengan proses persalinan termasuk kulit vagina. Semua otot-otot itu

menjadi elastis, ibu tidak perlu mengejan terlalu keras cukup pelan-pelan saja

bahkan bila prosesnya lancer laserasi pada perineum tidak terjadi dan vagina tidak

perlu dijahit (Fatimah, 2019).

Berdasarkan beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa pijat

perineum adalah cara melatih dan meregangkan jaringan perineum agar lebih

lunak untuk mempermudah persalinan. Beberapa penelitian memaparkan bahwa


27

memijat perineum lima hingga tujuh kali seminggu selama kehamilan ke lima

atau enam minggu terakhir, dapat menghindari episotomi atau laserasi. Dampak

dari terjadinga laserasi perineum atau laserasi jalan lahir adalah infeksi. Namun,

jika ibu memiliki vaginitis, luka herpes genital atau masalah vagina lainnya,

sebaiknya menunggu sampai penyakit tersebut sembuh sebelum melakukan pijat

perineum, karena hal ini dapat memperburuk kondisi penyakit (Fatimah, 2019).

b. Manfaat Pijat Perineum

Manfaat pijat perineum adalah membantu melunakkan jaringan perineum,

sehingga jaringa tersebut akan membuka tanpa resistansi saat persalinan dan akan

mempermudak lewatnya bayi. Pemijatan perineum ini memungkingkan untuk

melahirkan bayi dengan perineum tetap utuh.

Pijat perineum mempunyai berbagi manfaat yang bertujuan untuk

mengurangi risiko kejadian trauma di saat melahirkan. Berikut ini beberapa

manfaat perineum:

1) Menstimulasi aliran darah ke pereium yang akan membantu mempercepat

proses penyembuhan setelah melahirkan.

2) Membantu ibu lebih santai saat pemeriksaan vagina (vaginal touch)

3) Membantu menyiapkan mental seorang ibu akan tekanan dan regangan

perineum di saat kepala bayi akan keluar.

4) Menghindarkan kejadian episotomi atau robeknya perineum di kala

melahirkan dengan meningkatkan elastistisitas perineum

5) Pemijatan perineum juga akan mengurangi robekan perineum, mengurangi

episotomi, dan menguarngi pengunaan alat bantu persalinan lainnya


28

6) Ibu tidak perlu mengejan terlalu cukup pelan-pelan saja bahkan bila prosesnya

;ancar robekan pada perineum tidak terjadi dan vagina tidak perlu dijahit

(Fatimah, 2019).

c. Waktu Pemijatan Perineum

Pijat perineum tidak disarankan bagi ibu hamil yang terinfeksi herpes aktif

di daerah vagina, infeksi jamur, atau infeksi menular yang dapat menyebar dengan

kontak langsung dan memperparah penyebaran infeksi. Pijat perineum dapat

dilakukan sendiri oleh ibu dengan bantuan cermin, atau bisa juga dibantu oleh

suami. Pijat perineum bahkan bisa dilakukan olej petugas kesehatan saat klien

melakukan ANC (Ante Natal Care)/Perawatan pada masa kehamilan. Pilihlah

waktu khusus untuk melakukan pijat perineum. Selain itu, sebelum memijat

daerah peka ini, tangan harus dicuci bersih dan kuku dipotong. Pemijatan

perineum sebaiknya dimulai. Ibu bisa memulai pemijatan di daerah perineum,

area di antara vagina, dan anus. Pijatan pada perineum ini dapat meningkatkan

kemampuan meregang di area ini, sehingga kemungkinan ibu mengalami

episotomi (sayatan pada pintu vagina untuk mempermudah keluarnya bayi)

maupun laserasi akibat persalinan jadi lebih kecil. Pijat perineum ini memang

belum selalu terbukti meningkatkan fleksibilitas otot di area ini. Tetapi banyak ibu

merasakan perubahan daya regang daerah perineumnya setelah satu, hingga dua

minggu pemijatansan beberapa penelitian menunjukkan hasil yang positif

terhadap pengaruh pemijatan perineum (Fatimah, 2019).


29

C. Manajemen Asuhan Kebidanan Menurut Varney

Menurut Tajmiyati (2016) ada 7 langkah varney yaitu :

1. Langkah I: Pengumpulan Data Dasar

Langkah ini kita harus mengumpulkan semua informasi yang akurat dan

lengkap dari semua sumber yang berkaitan dengan kondisi klien, untuk

memperoleh data dapat dilakukan dengan cara:

a. Anamnesa

b. Pemeriksaan fisik sesuai dengan kebutuhan dan pemeriksaan tanda-tanda

vital

c. Pemeriksaan khusus

d. Pemeriksaan penunjang

Bila klien mengalami komplikasi yang perlu dikonsultasikan kepada

dokter dalam penatalaksanaan maka kita perlu melakukan konsultasi atau

kolaborasi dengan dokter. Tahap ini merupakan langkah awal yang akan

menentukan langkah berikutnya, sehingga kelengkapan data sesuai dengan kasus

yang dihadapi akan menentukan proses interpretasi yang benar atau tidak dalam

tahap selanjutnya, sehingga kita harus melakukan pendekatan yang komprehensif

meliputi data subjektif, objektif dan hasil pemeriksaan sehingga dapat

menggambarkan kondisi / masukan klien yang sebenarnya dan valid. Setelah itu,

kita perlu melakukan pengkajian ulang data yang sudah dikumpulkan apakah

sudah tepat, lengkap dan akurat ataukah belum.

2. Langkah II: Interpretasi Data Dasar

Langkah ini kita akan melakukan identifikasi terhadap diagnosa atau

masalah berdasarkan interpretasi yang akurat atas data-data yang telah


30

dikumpulkan pada pengumpulan data dasar. Data dasar yang sudah dikumpulkan

diinterpretasikan sehingga dapat merumuskan diagnosa dan masalah yang

spesifik. Rumusan diagnosa dan masalah keduanya digunakan karena masalah

yang terjadi pada klien tidak dapat didefinisikan seperti diagnosa tetapi tetap

membutuhkan penanganan. Masalah sering berkaitan dengan hal-hal yang sedang

dialami wanita yang diidentifikasi oleh bidan sesuai dengan hasil pengkajian.

Masalah juga sering menyertai diagnosa. Diagnosa kebidanan adalah diagnosa

yang ditegakkan bidan dalam lingkup praktik kebidanan dan memenuhi standar

nomenklatur diagnosa kebidanan.

Standar nomenklatur diagnosa kebidanan adalah seperti di bawah ini:

a. Diakui dan telah disahkan oleh profesi

b. Berhubungan langsung dengan praktik kebidanan

c. Memiliki ciri khas kebidanan

d. Didukung oleh clinical judgement dalam praktik kebidanan

e. Dapat diselesaikan dengan pendekatan manajemen kebidanan

3. Langkah III: Mengidentifikasi Diagnosis atau Masalah Potensial

Langkah ini kita akan mengidentifikasi masalah potensial atau diagnosa

potensial berdasarkan diagnosa / masalah yang sudah diidentifikasi. Langkah ini

membutuhkan antisipasi, bila memungkinkan dapat dilakukan pencegahan.

Langkah ketiga ini bidan dituntut untuk mampu mengantisipasi masalah potensial

tidak hanya merumuskan masalah potensial yang akan terjadi tetapi juga

merumuskan tindakan antisipasi penanganan agar masalah atau diagnosa potesial

tidak terjadi.
31

4. Langkah IV: Mengidentifikasi Perlunya Tindakan Segera Oleh Bidan

/ Dokter

Langkah ini kita akan mengidentifikasi perlunya tindakan segera oleh

bidan / dokter dan, atau untuk dikonsultasikan atau ditangani bersama dengan

anggota tim kesehatan yang lain sesuai dengan kondisi klien. Langkah ini

mencerminkan kesinambungan dari proses penatalaksanaan kebidanan. Jadi,

penatalaksanaan bukan hanya selama asuhan primer periodik atau kunjungan

prenatal saja tetapi juga selama wanita tersebut bersama bidan terus-menerus.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa bidan dalam melakukan tindakan harus

sesuai dengan prioritas masalah / kebutuhan yang dihadapi kliennya. Setelah

bidan merumuskan tindakan yang perlu dilakukan untuk mengantisipasi diagnosa

/ masalah potensial pada langkah sebelumnya, bidan juga harus merumuskan

tindakan emergency / segera untuk ditangani baik ibu maupun bayinya. Rumusan

ini termasuk tindakan segera yang mampu dilakukan secara mandiri, kolaborasi

atau yang bersifat rujukan

5. Langkah V: Merencanakan Asuhan Secara Menyeluruh yang

Ditentukan Oleh Langkah Sebelumnya

Langkah ini kita harus merencanakan asuhan secara menyeluruh yang

ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan kelanjutan

penatalaksanaan terhadap masalah atau diagnosa yang telah teridentifikasi atau

diantisipasi pada langkah sebelumnya. Langkah ini informasi data yang tidak

lengkap dapat dilengkapi. Rencana asuhan yang menyeluruh tidak hanya meliputi

apa-apa yang sudah teridentifikasi dari kondisi klien atau dari masalah yang

berkaitan tetapi juga dari kerangka pedoman antisipasi terhadap wanita tersebut
32

seperti apa yang diperkirakan akan terjadi berikutnya, apakah dibutuhkan

penyuluhan konseling dan apakah perlu merujuk klien bila ada masalah-masalah

yang berkaitan dengan sosial ekonomi-kultural atau masalah psikologi. Setiap

rencana asuhan haruslah disetujui oleh kedua belah pihak, yaitu oleh bidan dan

klien agar dapat dilaksanakan dengan efektif karena klien juga akan melaksanakan

rencana tersebut. Semua keputusan yang dikembangkan dalam asuhan

menyeluruh ini harus rasional dan benar-benar valid berdasarkan pengetahuan dan

teori yang up to date serta sesuai dengan asumsi tentang apa yang akan dilakukan

klien.

6. Langkah VI: Rencana Asuhan Menyeluruh

Langkah ke enam ini rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah

diuraikan pada langkah ke lima dilaksanakan secara aman dan efisien.

Perencanaan ini dibuat dan dilaksanakan seluruhnya oleh bidan atau sebagian lagi

oleh klien atau anggota tim kesehatan lainnya. Walaupun bidan tidak

melakukannya sendiri, bidan tetap bertanggung jawab untuk mengarahkan

pelaksanaannya. Kondisi dimana bidan berkolaborasi dengan dokter untuk

menangani klien yang mengalami komplikasi, maka keterlibatan bidan dalam

penatalaksanaan asuhan bagi klien adalah tetap bertanggung jawab terhadap

terlaksananya rencana asuhan bersama yang menyeluruh tersebut. Pelaksanaan

yang efisien akan menyangkut waktu dan biaya serta meningkatkan mutu dan

asuhan klien.
33

7. Langkah VII: Evaluasi Keefektifan Asuhan

Langkah ini dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah

diberikan meliputi pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah

terpenuhi sesuai dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi di dalam

diagnosa dan masalah. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang

benar-benar efektif dalam pelaksanaannya. Langkah-langkah proses

penatalaksanaan umumnya merupakan pengkajian yang memperjelas proses

pemikiran yang mempengaruhi tindakan serta berorientasi pada proses klinis,

karena proses penatalaksanaan tersebut berlangsung di dalam situasi klinik, maka

dua langkah terakhir tergantung pada klien dan situasi klinik.

Anda mungkin juga menyukai