TIMOTHY M. POLUAN
18014101080
1. Anatomi Perineum
Perineum yang dalam bahasa Yunani disebut Perineos adalah daerah antara kedua belah paha,
yang pada wanita dibatasi oleh vulva dan anus, dengan simpisis pubis di bagian anterior, tuber
ishiadikum dibagian lateral dan os koksigeus dibagian posterior.1
Perineum terdiri dari otot dan fasia urogenitalis serta diafragma pelvis. Perineum merupakan
bagian yang sangat penting dalam kebutuhan fisiologis, tidak hanya berperan atau menjadi
bagian penting dari proses persalinan, tetapi juga diperlukan untuk mengontrol proses buang air
besar dan buang air kecil, menjaga aktivitas peristaltic agar tetap normal (dengan menjaga
tekanan intra abdomen) dan fungsi seksual yang sehat setelah bersalin. Anatomi organ perineum
dapat dilihat dibawah ini:2
Cedera perineum adalah robekan yang terjadi pada saat bayi lahir baik secara spontan maupun
dengan menggunakan alat atau tindakan. Robekan perineum umumnya terjadi pada garis tengah
dan bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat.
Ruptur perineum sering terjadi pada seorang nulipara yakni memiliki risiko lebih besar untuk
mengalami ruptur perineum daripada ibu dengan paritas lebih dari satu. Hal ini dikarenakan
karena jalan lahir yang belum pernah dilalui oleh kepala bayi sehingga otot-otot perineum belum
meregang. Selain itu ras juga berhubungan dengan robekan perineum. Wanita Asia dilaporkan
cenderung lebih tinggi prevalensi robekan perineum dibandingkan dengan wanita kulit hitam.
Tindakan operatif vagina saat persalinan seperti vakum dan forsep, panjang perineum, bayi yang
besar dan diameter kepala bayi juga berisiko terhadap robekan perineum.5-7
Senada dengan informasi diatas, Hirayama juga melaporkan bahwa terdapat hubungan antara ras
dengan kejadian rupture perineum derajat ketiga dan keempat. Prevalensinya juga sangat
bervariasi. Robekan perineum dejajat III dan IV di China, Kamboja dan India mulai dari 0,1%,
sementara itu di Filiina mulai dari 15%. di Jepang dari laporan persalinan diluar fasilitas
kesehatan, prevalensi robekan perineum derajat III dan IV sebesar 1,4% sedangkan di Uganda
sebesar 0,1%. Faktor nulipara, tindakan forcep dan vakum ekstraksi, berat bayi yang besar
merupakan faktor yang signifikan terhadap terjadinya robekan perineum.8
Williams dan Chames (2006) dari studi mereka yang dilakukan di Michigan menginformasikan
bahwa kala dua yang lama (>1 jam), tindakan operatif saat persalinan (vakum dan forsep (OR
3,6 IK 95% 1,8-7,3), episiotomy mediolateral (OR 6,9 IK 95% 2,6-18,7) berhubungan dengan
robekan perineum. Sementara itu persalinan pervaginam sebelumnya merupakan faktor protektif
terhadap laserase perineum (OR 6,36 IK 95% 2,18-18,57). 9 Faktor Protektif lain terhadap
kejadian robekan perineum adalah BMI diatas rata-rata. Hal ini disebabkan karena adanya ekstra
lemak pada bagian perineum wanita dengan berat badan berlebih/obesitas sehingga melindungi
dari robekan perineum saat persalinan.10
Selain faktor tersebut diatas, table berikut ini memaparkan tentang faktor risiko terjadinya
robekan perineum.
Review dari Cochrane menyebutkan bahwa tindakan episiotomy secara liberal atau tanpa
indikasi tidak dapat menurunkan insiden robekan sfingter anus dan berhubungan dengan
meningkatnya trauma perineum. Carroli dan Belizan juga melaporkan bahwa tindakan operatif
vakum ekstraksi lebih sedikit menimbulkan robekan sfingter dibanding tindakan forsep dengan
perbandingan 1:18 persalinan.11, 12
Dari Studi Randomized Control Trial (RCT) dengan besar sampel 5001 ibu serta studi
longitudinal /cohort pada 6463 ibu, studi metaanalisis melaporkan bahwa episiotomi yang tidak
rutin/restricted lebih sedikit mengalami trauma persalinan (RR 0,87 IK 0,83-0,91) tetapi lebih
banyak trauma anterior (RR 1,75 IK 1,52 – 2,01).2
Beberapa studi juga melaporkan bahwa secara keseluruhan dengan tidak dilakukannya
episiotomi secara rutin akan lebih banyak menghasilkan persalinan dengan perineum yang utuh,
berkurangnya nyeri perineum, lebih cepat kembalinya pola aktivitas seksual dan self esteem yang
tinggi, dan sebaliknya lebih banyak robekan sfingcter anus pada penggunaan episiotomi rutin,
namun tidak mempunyai hubungan yang signifikan terhadap fungsi seksual pada 3 bulan
pertama dan fungsi kandung kemih dalam 3 tahun mendatang.2
Rekomendasi dari NICE adalah episiotomi yang rutin juga tidak dianjurkan pada partus spontan
dan seharusnya dilakukan hanya dengan indikasi sebagai contoh misalnya pada bayi besar,
perinem yang kaku atau perineum yang pendek. Episiotomi jenis mediolateral lebih dianjurkan,
dimulai pada bagian belakang fourchette pada sudut 45-60 derajat.13
Dibawah ini adalah rangkuman dari beberapa studi yang telah di publis terkait pencegahan
robekan perineum antara lain:2
1. Tidak dilakukannya episiotomi (adanya pembukaan serviks secara alami sejak usia
gestasi 36 minggu) secara signifikan meningkatkan angka persalinan pada ibu nulipara
dengan perineum yang utuh.
2. Pada tahun 2001 – studi kohor prospektif yang dipublis di Jerman melaporkan bahwa
terjadi penurunan tindakan episiotomi sebesar 50% pada 50 ibu nulipara, lebih sedikit
yang mengalami robekan perineum (2% vs 4%), dan kala II yang lebih pendek (mean 29
vs 54 minutes)
3. Studi di Melbourne, Australia melaporkan bahwa dari 48 ibu nulipara terjadi penurunan
penggunaan episiotomi (26% vs 34%), lebih banyak persalinan dengan perineum yang
utuh (46% vs 17%), kala II yang lebih pendek (mean 61 vs 81 menit), dan tidak ada efek
pada apgar bayi dengan penggunaan instrument (episiotomi) saat persalinan
4. Studi observasional dalam skala besar di United Stated (US) melaporkan bahwa kompres
panas pada nulipara dapat mereduksi kebutuhan akan intervensi episiotomi dan multipara
(borderline), dapat mereduksi robekan perineum spontan pada kedua kelompok baik pada
nulipara maupun multipara, tetapi belum dikonfirmasi dengan studi yang lebih tinggi
(RCT)
5. Studi RCT pada 185 ibu yang menggunakan lignocaine spray menginformasikan bahwa
tidak ada perbedaan efek nyeri perineum pada kedua kelompok, tetapi lebih sedikit yang
mengalami dispareunia dan lebih sedikit yang mengalami robekan perineum pada derajat
kedua (RR 0,63 IK 95% 0,42-0,93) pada kelompok ibu yang menggunakan lignocaine
spray. Namun demikian, NICE tetap menganjurkan sebaiknya tidak menggunakan
lignocain spray.
1. Derajat I : robekan hana sebatas fourchette, Hymen, labia, kulit dan mukosa vagina.
2. Derajat II: termasuk otot vagina dan perineum, otot bulbokavernosus, dan otot perineum
transversal serta pada beberapa kasus pada pubokoksigeus
3. Derajat III: sfingter anus dan septum rektovaginal
4. Derajat IV: meluas sampai ke mukosa rektal, sfingter anus eksternal dan internal.
5. Teknik penjahitan
Teknik penjahitan robekan perineum disesuaikan dengan derajat laserasinya. Bagi bidan
tentunya harus menyesuaikan dengan wewenang bidan yang diatur dalam Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1464 Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan
Praktik Bidan, pada pasal 10 ayat 3 butir (b) yaitu hanya luka jalan lahir derajat I dan II.17
Prinsip penjahitan luka perineum dilakukan setelah memeriksan keadaan robekan secara
keseluruhan. Jika robekan terjadi pada derajat III dan IV, segera siapkan tindakan rujukan,
sebelumnya dilakukan tindakan penghentian perdarahan pada robekan tingkat jika terjadi. Untuk
mendiagnosa berapa derajat robekan dan melakukan penjahitan memerlukan pencahayaan yang
cukup.16
Penggunaan benang jika dibandingkan antara catgut atau chromic, menggunakan benang
polyglactil (vicryl) akan lebih mudah menyerap dan mengurangi nyeri perineum setelah
penjahitan.18
Dalam tulisan ini akan memuat cara penjahitan luka perineum derajat I hingga derajat IV tetapi
lebih ditekankan pada derajat I dan II. Robekan derajat pertama biasanya tidak memerlukan
jahitan, tetapi harus dilihat juga apakah meluas dan terus berdarah. Penggunaan anestesi
diperlukan agar dapat mengurangi nyeri agar ibu bisa tenang sehingga operator dapat
memperbaiki kerusakan secara maksimal. Berikut ini adalah tahapan penjahitan robekan
perineum derajat I dan II.4, 16, 19, 20
Otot pada badan perineum diidentifikasi, dapat dilihat pada gambar 6 berikut ini.
Jika robekan memisahkan fascia retrovaginal dari badan perineum, sambungkan fascia
dengan dua jahitan vertikal secara terputus dengan benang vicryl, dapat dilihat pada
gambar 8 berkut ini.
Meskipun belum banyak referensi yang memberikan informasi tentang perawatan perineum
setelah perbaikan robekan karena persalinan, dibawah ini adalah perawatan perineum yang dapat
dilakuan ibu antara lain: