Anda di halaman 1dari 24

PERDARAHAN POST PARTUM

TIMOTHY M.POLUAN

18014101080

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSRAT

I. DEFINISI

Perdarahan Post Partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih besar dari
atau sama dengan 500 ml setelah lahir pada persalinan pervaginam 1000 ml pada
persalinan section sesaria. Perdarahan yang terjadi dalam waktu 24 jam disebut
perdarahan post partum dinisedangkan perdarahan yang terjadi antara 24 jam hingga
12 minggu setelah lahir dianggap sebagai perdarahan post partum lanjutan. (1)

II. EPIDEMIOLOGI

Perdarahan post partum (PPP) bertanggung jawab untuk sekitar 25% dari
kematian ibu di seluruh dunia (WHO, 2007), mencapai setinggi 60% di beberapa
negara. PPP juga bisa menjadi penyebab morbiditas berat jangka panjang, dan sekitar
12% dari wanita yang bertahan hidup PPP akan memiliki anemia berat.

Berdasarkan data Survei Demografis dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun


2012 yang diterbitkan tahun 2013, angka kematian ibu (AKI) yakni 359/100. 000
kelahiran hidup dibandingkan data SDKI tahun 2007, angka kematian ibu di
Indonesia masih sebesar 228/100. 000 kelahiran hidup, dimana hal tersebut masih
cukup jauh dari target MDG sebesar 102/100. 000 kelahiran hidup. Adapun
penyebab utama kematian pada ibu adalah perdarahan (50% persen kasus). (5, 6)

Adapun data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar tahun 2013, tercatat 4 kasus
kematian ibu maternal dari 24.576 kelahiran hidup yang disebabkan perdarahan post
partum. Sehingga Program EMAS atau Expanding Maternal and Neonatal Survival
merupakan program meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan guna menurunkan
AKI di Indonesia. (6, 7)

1
III. FAKTOR RISIKO

Riwayat perdarahan post partum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor


risiko paling besar untuk terjadinya perdarahan post partum sehingga segala upaya
harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain
yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan terjadinya perdarahan post
partum:(1 - 4, 8)
1. Kehamilan ganda
2. Bayi makrosomia
3. Polihidramnion
4. Abnormalitas fetus (hydrocephalus)
5. Persalinan yang memanjang
6. Penggunaan obat-obatan (anestesi halogen, nitrat, nsaid, magnesium sulfat, beta-
simpatomimetik, dan nifedipin)
7. Persalinan traumatis
8. Persalinan dengan induksi
9. Persalinan pervaginam dengan riwayat persalinan abdominal sebelumnya.

IV. ETIOLOGI

Etiologi dari perdarahan post partum dikenal dengan empat proses dasar.
Perdarahan akan terjadi jika uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik. Produksi
faktor pembekuan ataupun trauma jalan lahir juga dapat menyebabkan kehilangan
darah dalam jumlah yang cukup besar jika tidak teridentifikasi dengan baik. Untuk
memudahkan dalam mengingat, proses-proses tersebut dikenal dengan 4T (Tonus,
Tissue, Trauma, dan Thrombin). (1 – 3)

a. Tonus

Kegagalan kontraksi (hipotensi atau atonia uteri) otot miometrium dapat


menyebabkan perdarahan yang banyak dan cepat sampai syok hipovolemik.
Overdistensi dari uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor risiko
mayor untuk atoni. Overdistensi dari uterus dapat disebabkan oleh kehamilan

2
ganda, bayi makrosomia, polihidramnion, atau abnormalitas fetus (seperti
hydrocephalus), struktur uterus yang abnormal, atau kehamilan dengan tumor
uterus.

Kontraksi miometrium yang buruk dapat disebabkan oleh kelelahan


akibat persalinan lama atau persalinan presipitatus atau persalinan dengan
stimulasi. Hal ini juga dapat diakibatkan inhibisi dari kontraksi dengan obat-
obatan seperti anestesi halogen, nitrat, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik,
dan nifedipin. Data terakhir memberi petunjuk bahwa grande multipara bukan
merupakan faktor risiko independen pada perdarahan post partum.

b. Tissue
Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan pelepasan dan ekspulsi dari
plasenta. Pelepasan dan ekspulsi yang sempurna melancarkan retraksi
berkelanjutan dan oklusi pembuluh darah optimal.
Retensi sebagian dari plasenta lebih umum jika plasenta telah
berkembang dengan lobus aksesori. Plasenta lebih umum bertahan pada
kehamilan preterm terutama di bawah usia kehamilan 24 minggu, dan
perdarahan signifikan dapat terjadi. Hal ini harus dipikirkan pada setiap
persalinan preterm, baik spontan maupun diinduksi. Bekuan darah juga dapat
menyebabkan distensi uterus dan mencegah kontraksi efektif.
c. Trauma

Luka pada traktus genitalia dapat terjadi spontan atau melalui manipulasi
untuk melahirkan bayi. Persalinan Caesar menghasilkan perdarahan dua kali
lebih banyak dibandingkan perdarahan melaui persalinan pervaginam.

Trauma dapat terjadi pada persalinan lama terutama jika pasien


memiliki disproporsi sefalopelvik relatif maupun absolut. Trauma juga dapat
terjadi setelah dilakukan manipulasi intrauterin maupun extrauterin. Risiko
tertinggi adalah versi intera dan ekstrasi dari bayi kembar kedua, ruptur uterus
juga dapat terjadi karena versi eksterna. Trauma juga dapat terjadi akibat
percobaan melepas plasenta secara manual ataupun dengan instrumen.

3
Laserasi serviks paling umum berkaitan dengan persalinan dengan
forceps. Persalinan pervaginam dengan instrumen (forceps atau vacuum) tidak
boleh dilakukan sebelum serviks dilatasi penuh. Laserasi serviks mungkin
terjadi spontan. Eksplorasi manual ataupun intrumentasi dari uterus jarang
menghasilkan luka pada serviks. Laserasi dinding vagina paling umum terjadi
karena persalinan pervaginam operatif.

Trauma vagina dapat terjadi spontan maupun akibat episiotomi. Laserasi


spontan biasanya melibatkan fourchette posterior; namun trauma periuretral
dan region klitoris mungkin terjadi.

d. Trombosis

Pada periode post partum, gangguan sistem koagulasi dan platelet tidak
sering menghasilkan perdarahan berlebihan; ini menekankan efisiensi kontraksi
uterus dan retraksi dalam mencegah perdarahan. Deposisi fibri pada lokasi
plasenta dan membeku pada pembuluh darah memiliki peranan penting.

Trombositopenia mungkin berhubungan dengan penyakit yang telah ada


seperti; immune thrombocytopenic purpura, atau HELLP syndrome, plasenta
previa, disseminated intravascular coagulation (DIC) atau sepsis.

Perdarahan post partum karena gangguan pembekuan darah baru


dicurigai apabila penyebab lain dapat disingkirkan. Hal ini terutama apabila
didapatkan riwayat persalinan sebelumnya mengalami hal yang sama. Akan
ada tendensi mudah terjadi perdarahan setiap dilakukan penjahitan dan
perdarahan akan merembes atau timbul hematoma pada bekas jahitan, suntikan,
perdarahan dari gusi, rongga hidung dan lain-lain. Pada pemeriksaan penunjang
ditemukan hasil pemeriksaan faal homeostatis yang abnormal. Waktu
perdarahan dan waktu pembekuan memanjang, trombositopenia, terjadi
hipofibrinogenemia dan terdeteksi adanya FDP (Fibrin Degradation Product)
serta perpanjangan tes protrombin dan PTT (Partial Thromboplastin Time).
Predisposisi untuk terjadinya hal ini adalah solusio plasenta, kematian janin

4
dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti fresh frozen
plasma, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (Epsilon
Amino Caproic Acid).

V. DIAGNOSIS DAN TATA LAKSANA

Berikut merupakan penyebab dari perdarahan post partumyaitu atonia uteri,


(1, 2,
perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan pembekuan darah.
4, 8 – 10)

a. Atonia Uteri

Atonia merupakan penyebab perdaran post partum terbanyak (> 50%).


Atonia uteri merupakan kegagalan serabut-serabut otot miometrium uterus
untuk berkontraksi dan memendek. Hal ini merupakan penyebab perdarahan
post partum yang paling penting dan biasa terjadi segera setelah bayi lahir
hingga 4 jam setelah persalinan. Atonia uteri dapat menyebabkan perdarahan
hebat dan dapat mengarah pada terjadinya syok hipovolemik. (1 – 3, 8, 10)

Overdistensi uterus, baik absolut maupun relatif, merupakan faktor resiko


mayor terjadinya atonia uteri. Lemahnya kontraksi miometrium merupakan
akibat dari kelelahan karena persalinan lama atau persalinan dengan tenaga
besar, terutama bila mendapatkan stimulasi. Hal ini dapat pula terjadi sebagai
akibat dari inhibisi kontraksi yang disebabkan oleh obat-obat anestesi, nitrat,
obat-obat antiinflamasi nonsteroid, magnesium sulfat, beta-simpatomimetik dan
nifedipin. (1, 2)

Diagnosis atonia uteri ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir
ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang
buruk.

Penanganan atoni uteri adalah dengan melakukan pemijatan uterus,


melahirkan plasenta, dan memberi uterotonik untuk meningkatkan kontraksi

5
uterus sehingga perdarahan dapat berhenti. Jika perdarahan tidak berhenti,
dilakukan kompresi bimanual atau tampon kondom untuk menghentikan
perdarahan.

Obat-obat Uterotonik

Uterotonik digunakan untuk meningkatkan kontraksi uterus agar


proses setelah persalinan dapat terjadi sebagaimana mestinya. Tiga kelas
dari uterotonik yang digunakan antara lain oksitosin, ergot alkaloid, dan
prostaglandin. (1 – 3, 8 – 12)

Kompresi Bimanual Interna

Uterus ditekan di antara telapak tangan pada dinding abdomen dan


tinju tangan dalam vagina untuk menjepit pembuluh darah di dalam
miometrium (sebagai pengganti mekanisme kontraksi). Perhatikan
perdarahan yang terjadi, pertahankan kondisi ini bila perdarahan berkurang
atau berhenti, tunggu hingga uterus berkontraksi kembali. Apabila
perdarahan tetap terjadi, dapat dilakukan kompresi bimanual eksterna. (1,2,10)

Gambar 5. Kompresi bimanual pada uterus(1)

Kompresi Bimanual Eksterna

Tekan uterus melalui dinding abdomen dengan jalan saling


mendekatkan kedua belah telapak tangan yang melingkupi uterus. Bila

6
perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus
dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi aorta
abdominalis. (1, 2,10)

Gambar 6. Kompresi Bimanual eksterna pada uterus(1)

Kompresi Aorta Abdominalis

Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus,
tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi. (1,2, 12)

Gambar 7. Kompresi aorta abdominalis(9)

7
Tampon Kondom

Tampon kondom merupakan suatu alat yang efektif untuk mengontrol


perdarahan post partum. Pada saat perdarahan post partum tidak berespon
pada farmakologik, tampon kondom merupakan prosedur yang dapat
menyelamatkan jiwa. Kondom kateter sederhana, murah, beraksi segera,
dan menjaga bentuk alami dari uterus. (13)

Selain itu, tampon kondom juga membantu dalam mengambil


keputusan intervensi operasi dan yang lebih penting, juga memberikan
waktu sampai operasi dapat dilakukan. (13)

Cara pemasangan tampon kondom adalah secara aseptik, kondom


yang telah diikatkan pada kateter dimasukkan kedalam cavum uteri,
kondom diisi dengan cairan garam fisiologis sebnyak 350-500 cc sesuai
kebutuhan. Dilakukan observasi perdarahan dan pengisian kondom
dihentikan ketika perdarahan sudah berkurang, untuk menjaga kondom agar
tetap di cavum uteri dipasang tampon kasa gulung di vagina. Kondom
kateter dilepas 24-48 jam kemudian, pada kasus dengan perdarahan berat
kondom dapat dipertahankan lebih lama. (2, 11)

Dari total 14 kasus yang diteliti, tampon kondom bekerja pada semua
kasus dengan perkiraan kehilangan darah 1,2-1,3 liter. Peserta pada studi
yang dilakukan berada pada usiarata-rata dan perdarahan berhenti pada
semua kasus dalam 15 menit dengan penggunaan tampon kondom. Pada
laporan kasus dilaporkan bahwa angka keberhasilan (tidak perlu dilakukan
histerektomi atau prosedur invasif lainnya) adalah 71-100%. (12, 13)

Gambar 8. Tampon kondom (2)

8
Prosedur Jahitan B-lynch
Metode B-lynch merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
mengatasi atonia uteri. Benang catgut no. 2 digunakan untuk melakukan
kompresi dinding uterus anterior dan posterior bersamaan. Beberapa
modifikasi dari B-lynch telah digambarkan. Indikasinya bervariasi untuk
aplikasinya dan akan memengaruhi tingkat keberhasilan. (1, 2)

Ada beberapa komplikasi yang jarang terjadi seperti nekrosis iskemik


uterus disertai peritonitis. Pada banyak kasus, kehamilan selanjutnya tidak
dianjurkan jika telah dilakukan penjahitan. Beberapa wanita juga telah
dialporkan memiliki defek dinding uterus. Komplikasi jangka panjang yang
lain adalah sinekia cavum uterus yang dapat berkembang pada 20 hingga
50% wanita setelah 3 bulan.

Gambar 9. B-lynch suture(11)

Ligasi Arteri Uteri atau Arteri Iliaca Interna (Hipogastrik)

Laparotomi dilakukan bila uterus tetap lembek dan perdarahan yang


terjadi tetap > 200 mL/jam. Tujuan laparotomi adalah meligasi arteri uterina
atau hipogastrik. (2, 8)

Ligasi arteri uteri merupakan prosedur yang sederhana dan secara


efektif dapat mengontrol perdarahan uterus. Arteri uteri rata-rata 90%
menyuplai darah ke uterus, sehingga ligasi pada arteri memungkinkan
untuk menghentikan perdarahan. (2)

9
Ligasi arteri iliaca interna secara efektif dapat mengurangi perdarahan
yang bersumber dari laserasi traktus genitalia dengan mengurangi tekanan
nadi pada sirkulasi pembuluh darah pelvis. Sebuah studi mengindikasikan
bahwa tekanan nadi berkurang 77% dengan ligasi unilateral dan 85%
dengan ligasi bilateral. (2)

Embolisasi Arteri Uteri/ Arteri Illiaca Interna

Teknik embolisasi angiografi dilakukan jika histerektomi dan ligasi


arteri hipogastrik gagal untuk menghentikan perdarahan, embolisasi dari
cabang pudendal kiri internal vagina menunjukkan penghentian cepat dan
stabilisasi dari pasien. Kekurangan dari teknik ini adalah prosedur
dilakukan dalam 1-2 jam dan fasilitas serta keahlian untuk melakukan
prosedur ini tidak terdapat di setiap rumah sakit. Teknik ini sangat
bermanfaat, terutama pada pasien dengan perdarahan yang stabil. (1,2,8, 11)

Histerektomi

Histerektomi adalah langkah terakhir. Histerektomi merupakan


metode definitif untuk mengontrol perdarahan post partum. Prosedur ini
tidak diragukan lagi untuk tujuan penyelamatan hidup pasien. (1, 2)

Insiden dari histerektomi peripartum adalah 7-13 per 10.000


kelahiran, dan lebih tinggi setelah seksio sesaria daripada kelahiran
pervanginam. (2)

Gambar 10. Histerektomi(1)

10
Penanganan Atonia Uteri

Masase fundus uteri segera setelah


plasenta lahir (maksimal 15 detik)

Uterus berkontraksi Ya
Evaluasi rutin
tidak
 Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban
 Kompresi Bimanual Interna (KBI)  maksimal 5 menit

tidak  Pertahankan KBI selama 1-2 mnt


Ya  Keluarkan tangan secara hati-hati
Uterus berkontraksi
 Lakukan pengawasan kala IV

 Ajarkan keluarga melakukan Kompresi Bimanual Eksterna (KBE)


 Keluarkan tangan (KBI) secara hati-hati
 Suntikan methyl ergometrin 0,2 mg i. m
 Pasang infus RL+20 IU oksitoksin, guyur
 Lakukan lagi KBI

Tidak
Ya
Uterus berkontraksi Pengawasan kala IV

 Rujuk siapkan laparotomi


 Lanjutkan pemberian infus RL +20 IU oksitosin minimal 500cc/jam hingga
mencapai tempat rujukan
 Selama perjalanan dapat dilakukan Kompresi Aorta Abdominalis atau Kompresi
Bimanual Eksternal

Ligasi arteri uteri dan atau


hipogastrika, metode B-Lynch
tetap

Perdarahan berhenti Pertahankan


uterus

Histerektomi

Bagan 1: Bagan penanganan atonia uteri(11,18)

11
b. Retensio Plasenta

Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga


atau lebih dari 30 menit setelah bayi lahir. Penyebab retensio ialah plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas namun belum
dilahirkan. Hampir sebagian besar gangguan pelepasan plasenta disebabkan
oleh gangguan kontraksi uterus. (1 – 3)

Gambar 11. Perlengketan dari Plasenta : Akreta, Inkreta, Perkreta (1)

Retensio plasenta dapat disebabkan oleh :(1, 2)


1) Plasenta adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta
sehingga menyebabkan kegagalan mekanisme separasi fisiologis.
2) Plasenta akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai
sebagian lapisan miometrium
3) Plasenta inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga melewati
lapisan miometrium
4) Plasenta perkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus
lapisan miometrium hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus

12
5) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri

Penanganan retensio plasenta : (2, 11)

a) Tentukan jenis retensio yang terjadi karena berkaitan dengan tindakan


yang akan diambil
b) Regangkan tali pusat dan minta pasien untuk mengedan. Bila ekspulsi
plasenta tidak terjadi, coba traksi terkontrol tali pusat.
c) Pasang infus oksitosin 20 IU dalam 500 mL NS/RL dengan 40 tetes per
menit. Bila perlu, kombinasikan dengan misoprostol 400 mg per rektal
(sebaiknya tidak menggunakan ergometrin karena kontraksi tonik yang
timbul dapat menyebabkan plasenta terperangkap dalam kavum uteri)
d) Bila traksi terkontrol gagal untuk melahirkan plasenta, lakukan manual
plasenta disertai pemberian analgetik dan sedatif secara hati-hati dan
halus untuk menghindari terjadinya perforasi dan perdarahan
e) Lakukan transfusi darah apabila diperlukan
f) Beri antibiotika profilaksis (ampisilin 2 g IV / oral + metronidazol 1 g
supositoria / oral)
g) Segera atasi bila terjadi komplikasi perdarahan hebat, infeksi, syok
neurogenik

13
Gambar12. Pengeluaran plasenta secara manual (manual placenta)(2,11)

c. Perlukaan Jalan Lahir

Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan oleh karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forceps, atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perienum totalis (sfingter ani
terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris
dan uretra dan bahkan yang terberat ruptur uteri. (6)

Untuk menemukan trauma pada daerah genitalia, maka pada setiap persalinan
hendaklah dilakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai
spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah merah segar
dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena ruptur uteri dapat diduga pada
persalinan macet.

1) Vagina dan Perineum


Laserasi vagina dan perineum diklasifikasikan dari derajat satu hingga empat (3)
Tingkat I Laserasi mencakup fourchette, kulit perineum, dan membran
mukosa vagina tapi tidak pada fascia dan otot.

Tingkat II Mencakup laserasi dengan tambahan fascia dan otot dari badan
perineum tapi tidak sphincter ani. Robekan ini biasnya meluas ke
atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentuk
kerusakan triangula
Tingkat III Laserasi meluas lebih jauh mencakup otot sfingter ani
Tingkat IIIa Robekan < 50% sfingter ani eksterna
Tingkat IIIb Robekan > 50% sfingter ani eksterna
Tingkat IIIc Robekan juga meliputi sfingter ani interna
Tingkat IV Laserasi meluas melewati mukosa rectum menampakkan

14
lumennya

Gambar 13. Tingkat laserasi vagina dan perineum(1)

Penanganan ruptura perineum dan robekan dinding vagina

a) Lakukan eksplorasi untuk mengidentifikasi lokasi laserasi dan sumber


perdarahan
b) Lakukan irigasi pada tempat luka dan bubuhi larutan antiseptik
c) Jepit dengan ujung klem sumber perdarahan kemudian ikat dengan
benang yang dapat diserap
d) Lakukan penjahitan luka mulai dari bagian yang paling distal dari
operator
e) Khusus pada ruptura perineum komplit (hingga anus dan sebagian
rektum) dilakukan penjahitan lapis demi lapis dengan bantuan busi pada
rectum.

15
Gambar 14. Laserasi Perineum tingkat dua(1)

2.) Robekan Serviks

Robekan serviks sering ditemukan dengan inspeksi pada persalinan


pervagina. Kebanyakan berukuran kurang dari 0,5 cm dan tidak
membutuhkan perbaikan. Robekan serviks yang luas menimbulkan
perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi
perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan
uterus berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir khususnya
robekan serviks uteri. Dalam keadaan ini serviks harus diperiksa dengan
spekulum. (2)

Gambar 15. Jenis laserasi serviks(1)

Penangana robekan serviks (2,4,8–10)

a) Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang
terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan
oleh kepala bayi
b) Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi
perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan
kanan dari portio
c) Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga
perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan
tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari
ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan
dapat dijahit

16
d) Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi
fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan
e) Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda
infeksi
f) Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%,
berikan transfusi darah.

Gambar 16. Penjahitan pada laserasi serviks(2, 11)

3.) Ruptur Uteri

Ruptur uteri dapat bersifat primer dan sekunder. Ruptur spontan uterus
jarang terjadi. Faktor risiko yang bisa menyebabkan antara lain grande
multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan
dengan induksi oksitosin. Ruptur uteri sering terjadi akibat jaringan parut
seksio sesarea sebelumnya. (2)

d. Gangguan Pembekuan Darah

Abnormalitas dapat muncul sebelum persalinan atau didapat saat persalinan.


Trombositopenia dapat berhubungan dengan penyakit sebelumnya, seperti ITP
(Immune Trombositopenia Purpura) atau sindrom HELLP(Hemolysis, elevated liver
enzyme levels, and low platelet levels) sekunder, solusio plasenta, DIC

17
(Disseminated Intra Coagulation) atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja
terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya,
walaupun sering tak terdiagnosis. (1, 2, 8)

ITP dikenal juga sebagai primary immune thrombocytopenic purpura dan


autoimmune thrombocytopenic purpura, didefinisikan sebagai trombositopenia
terisolasi dengan sumsum tulang normal dan hilangnya penyebab lain dari
trombositopenia. ITP merupakan penurunan jumlah dari platelet yang beredar dengan
tidak adanya paparan toksik atau penyakit yang berhubungan dengan rendahnya
jumlah platelet

DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi
jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada
kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam,
serta pemanjangan waktu trombin. (1, 2, 8)

Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya
perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya
perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada
kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia. Ambil langkah spesifik untuk
menangani penyebab yang mendasari dan kelainan hemostatik. (1 – 3, 11)

Penanganan DIC identik dengan pasien yang mengalami koagulopati dilusional.


Restorasi dan penanganan volume sirkulasi dan penggantian produk darah bersifat
sangat esensial. Perlu saran dari ahli hematologi pada kasus transfusi masif dan
koagulopati. (2)

Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien
dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat.
Transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000–50.000/mm 3, jika
direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan
suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh
trombosit hanya 3-4 hari. (1-3, 11)

18
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII,
IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Bila ditemukan koagulopati, dan belum
terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai
secara empiris.(2)

Kriopresipitat, suatu sumber faktor-faktor pembekuan VIII, XII dan fibrinogen,


dipakai dalam penanganan hemofilia A, hipofibrinogenemia dan penyakit Von
Willebrand. Kuantitas faktor-faktor ini tidak dapat diprediksi untuk terjadinya suatu
pembekuan, serta bervariasi menurut keadaan klinis. (2)

e. Inversio Uteri

Inversio uteri adalah komplikasi post partum yang langka dan mengancam
jiwa. Inversio uterin biasanya terjadi akibat kegagalan pelepasan plasenta dari uterus.
Fundus uterus masuk ke dalam kavum endometrium dan mungkin turun hingga ke
serviks ataupun melewati serviks.

Inversio uteri biasanya diikuti dengan primiparitas, penggunaan oksitosin,


makroskomia atau insersi plasenta pada fundus.

Penanganan dari inversion uteri adalah resusitasi cairan, debridemen


endometrium, dan reduksi manual uterus ke dalam kavum abdomen dengan manuver
Johnson

Gambar 17. Derajat inversi uterine (1)

19
f. Penatalaksanaan pada Komplikasi

Syok merupakan komplikasi paling sering dari perdarahan post partum.


Pasien dengan perdarahan post partum memiliki 2 komponen utama penanganan:
(1) resusitasi dan penanganan perdarahan obstetrik serta kemungkinan syok
hipovolemik, dan (2) identifikasi dan penanganan penyebab perdarahan.
Keberhasilan terapi PPP tergantung dari penanganan 2 komponen tersebut secara
simultan dan sistematis. (1-3, 8, 11)

Diagnosis perdarahan post partum ditegakkan dengan mengamati jumlah


perdarahan dan keadaan klinis pasien. Jumlah darah yang hilang dan derajat
kesadaran pasien serta tanda-tanda vital pasien terus dipantau. Setelah diagnosis
ditegakkan, segera meminta pertolongan tenaga medis lain. (1, 2, 11)

Posisi kaki yang ditinggikan (lebih tinggi dari pada dada pasien) dapat
meningkatkan aliran darah balik vena. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan
akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena
pada wanita dengan resiko perdarahan post partum dan dipertimbangkan jalur
kedua pada pasien dengan risiko sangat tinggi. (2)

Gambar 18. Posisi Trendelenburg pada pasien syok

20
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar
memalui intravena perifer. Normal salin (NS) merupakan cairan yang cocok
pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan
sebagian besar obat dan transfusi darah. Risiko terjadinya asidosis
hiperkloremik sangat rendah dalam hubungannya dengan perdarahan post
partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat
dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat. (2)

Perlu diingat bahwa kehilangan I L darah perlu penggantian 4-5 L


kristaloid, sebagian besar cairan infus tidak tertahan di ruang intravaskuler, dan
bergeser ke ruang interstisial. Kehilangan darah yang banyak, biasanya
membutuhkan penambahan transfusi sel darah merah. (1, 2)

Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2. 000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat. PRC digunakan
dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. (1, 2)

VI. PENCEGAHAN

Bukti dan penelitian menunjukkan bahwa penanganan aktif pada


persalinan kala III dapat menurunkan insidensi dan tingkat keparahan
perdarahan post partum. Penanganan aktif merupakan kombinasi dari hal-hal
berikut:(1, 3, 8, 11)

1) Pemberian uterotonik (dianjurkan oksitosin) segera setelah bayi dilahirkan.


2) Penjepitan dan pemotongan tali pusat dengan cepat dan tepat.
3) Penarikan tali pusat terkendali ketika uterus berkontraksi dengan baik.

Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang


berisiko terjadi perdarahan sangat penting. Tindakan pencegahan tidak saja
dilakukan sewaktu bersalin namun sejak ibu hamil dengan melakukan
“antenatal care” yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat

21
perdarahan post partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di
rumah sakit dapat dilakukan pemeriksaan keadaan fisik, keadaan umum, kadar
Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah sambil mengawasi
persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan. (2,8,11)

Anemia dalam kehamilan harus diobati karena perdarahan dalam batas


batas normal dapat membahayakan penderita menderita anemia. Kadar
fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam
uterus, dan solutio plasenta. (2,8,11)

Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum
plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk
mencegah perdarahan pascapersalinan. 10 IU oksitosin diberikan intramuskular
segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah
plasenta lahir, hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-
kadang pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi
(1 – 3,
kepala menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir.
8, 11)

Dengan tekanan pada fundus uteri, plasenta dapat dikeluarkan dengan


segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian
ergometrin setelah bahu bayi lahir adalah terjadinya jepitan (trapping) terhadap
bayi kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada
perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal yang harus segera
dilakukan, yaitu menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi
akibat perdarahan. Tetapi apabila plasenta sudah lahir, perlu ditentukan apakah
penyebab perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir. (2,11)

Pencegahan dan penatalaksanaan dari perdarahan post partum sangat


penting dalam asuhan kehamilan. Seorang klinisi harus dapat menentukan
faktor risiko, mengetahui langkah-langkah pencegahan, dan mempelajari
teknik-teknik dari penatalaksanaan perdarahan post partum sebaik mungkin.
(2,11)

22
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. Obstetrical Hemorrhage. In: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL,
Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD, editor. Williams Obstetrics. Edisi 24.
USA: The McGraw-Hill Companies; 2014. p. 780-822
2. Smith J. Post partum Hemorrhage. [online]. 2014. [updated 23 September
2014; cited 27 Januari 2016]; Available from:http://emedicine. medscape. com
3. Anderson J, Etches D. Prevention and Management of Post partum
Hemorrhage. Am Fam Physician. 2007 Mar 15;75(6). p. 875-881
4. Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Post partum Haemorrhage And
Abnormalities Of The Third Stage Of Labour. Edinburgh: Chruchill
Livingstone; 2003. p. 60-61
5. Kompasiana. Angka Kematian Ibu di Indonesia Masih Jauh dari Target MDGs
2015. 2014 [updated 9 November 2014; cited 27 Januari 2015]; Available
from: http://kesehatan. kompasiana. com/medis/2014/11/09/angka-kematian-
ibu-di-indonesia-masih-jauh-dari-target-mdgs-2015-690475. html
6. Pusat Data Perhimpunan RS seluruh Indonesia. Enam Provinsi Jadi Sasaran
Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak. 2012 [updated 14 Mei 2012; cited
27 Januari 2016]; Available from: http://www. pdpersi. co. id/content/news.
php?mid=5&catid=23&nid=802
7. Kemnterian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Kesehatan Ibu. In:
Indonesia KKR, editor. Jakarta: Infodatin; 2014. Available from: http://www.
depkes. go. id/download. php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-ibu.
pdf
8. Aghajanian P, dkk. Post partum Hemorrhage & the Abnormal Puerperium. In:
DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, editors. Current Diagnosis
& Treatment Obstetrics & Gynecology. USA: The McGraw-Hill Companies;
2006. p. 31. 1-14
9. POPPPI. Prevention of Post partum Hemorrhages: Implementing Active
Managaement of the Third Stage of Labor (AMTSL): A Reference Manual for
Health Care Providers. Seattle: PATH; 2007. p. 8-9, 12, 19, 53-62

23
10. WHO. WHO Recommendations for the Prevention and Treatment of Post
partum Haemorrhages. 2012; Available from: http://apps. who.
int/iris/bitstream/10665/75411/1/9789241548502_eng. pdf
11. Paterson S, Brown S. Obstetrics Emergencies. In: Edmonds DK, editor.
Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Edisi 7. USA: Blackwell
Publishing; 2007. p. 149-54
12. WHO. WHO Guidelines for the Management of Post partum Haemorrhage and
retained placenta. 2009; Available from: http://whqlibdoc. who.
int/publications/2009/9789241598514_eng. pdf
13. Thapa K, Malla B, Pandey S, Amatya S. Intrauterine Condom Tamponade in
Management of Post Partum Haemorrhage. J Nepal Health Res Counc. 2010
8(16). p. 19-22
14. Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar. 2008
15. Diemert A, Ortmeyer G, Hollwitz B, Lotz M, Somville T, Glosemeyer P, Diehl
W, Hecher K. The combination of intrauterine ballon tamponade and the B-
lynch procedure for the treatment of severe post partum hemorrhage. Am J
Obstet Gynecol. 2012. 65. e1-4

24

Anda mungkin juga menyukai