TIMOTHY M.POLUAN
18014101080
I. DEFINISI
Perdarahan Post Partum didefinisikan sebagai kehilangan darah lebih besar dari
atau sama dengan 500 ml setelah lahir pada persalinan pervaginam 1000 ml pada
persalinan section sesaria. Perdarahan yang terjadi dalam waktu 24 jam disebut
perdarahan post partum dinisedangkan perdarahan yang terjadi antara 24 jam hingga
12 minggu setelah lahir dianggap sebagai perdarahan post partum lanjutan. (1)
II. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan post partum (PPP) bertanggung jawab untuk sekitar 25% dari
kematian ibu di seluruh dunia (WHO, 2007), mencapai setinggi 60% di beberapa
negara. PPP juga bisa menjadi penyebab morbiditas berat jangka panjang, dan sekitar
12% dari wanita yang bertahan hidup PPP akan memiliki anemia berat.
Adapun data dari Dinas Kesehatan Kota Makassar tahun 2013, tercatat 4 kasus
kematian ibu maternal dari 24.576 kelahiran hidup yang disebabkan perdarahan post
partum. Sehingga Program EMAS atau Expanding Maternal and Neonatal Survival
merupakan program meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan guna menurunkan
AKI di Indonesia. (6, 7)
1
III. FAKTOR RISIKO
IV. ETIOLOGI
Etiologi dari perdarahan post partum dikenal dengan empat proses dasar.
Perdarahan akan terjadi jika uterus tidak dapat berkontraksi dengan baik. Produksi
faktor pembekuan ataupun trauma jalan lahir juga dapat menyebabkan kehilangan
darah dalam jumlah yang cukup besar jika tidak teridentifikasi dengan baik. Untuk
memudahkan dalam mengingat, proses-proses tersebut dikenal dengan 4T (Tonus,
Tissue, Trauma, dan Thrombin). (1 – 3)
a. Tonus
2
ganda, bayi makrosomia, polihidramnion, atau abnormalitas fetus (seperti
hydrocephalus), struktur uterus yang abnormal, atau kehamilan dengan tumor
uterus.
b. Tissue
Kontraksi dan retraksi uterus menyebabkan pelepasan dan ekspulsi dari
plasenta. Pelepasan dan ekspulsi yang sempurna melancarkan retraksi
berkelanjutan dan oklusi pembuluh darah optimal.
Retensi sebagian dari plasenta lebih umum jika plasenta telah
berkembang dengan lobus aksesori. Plasenta lebih umum bertahan pada
kehamilan preterm terutama di bawah usia kehamilan 24 minggu, dan
perdarahan signifikan dapat terjadi. Hal ini harus dipikirkan pada setiap
persalinan preterm, baik spontan maupun diinduksi. Bekuan darah juga dapat
menyebabkan distensi uterus dan mencegah kontraksi efektif.
c. Trauma
Luka pada traktus genitalia dapat terjadi spontan atau melalui manipulasi
untuk melahirkan bayi. Persalinan Caesar menghasilkan perdarahan dua kali
lebih banyak dibandingkan perdarahan melaui persalinan pervaginam.
3
Laserasi serviks paling umum berkaitan dengan persalinan dengan
forceps. Persalinan pervaginam dengan instrumen (forceps atau vacuum) tidak
boleh dilakukan sebelum serviks dilatasi penuh. Laserasi serviks mungkin
terjadi spontan. Eksplorasi manual ataupun intrumentasi dari uterus jarang
menghasilkan luka pada serviks. Laserasi dinding vagina paling umum terjadi
karena persalinan pervaginam operatif.
d. Trombosis
Pada periode post partum, gangguan sistem koagulasi dan platelet tidak
sering menghasilkan perdarahan berlebihan; ini menekankan efisiensi kontraksi
uterus dan retraksi dalam mencegah perdarahan. Deposisi fibri pada lokasi
plasenta dan membeku pada pembuluh darah memiliki peranan penting.
4
dalam kandungan, eklampsia, emboli cairan ketuban, dan sepsis. Terapi yang
dilakukan adalah dengan transfusi darah dan produknya seperti fresh frozen
plasma, trombosit, fibrinogen dan heparinisasi atau pemberian EACA (Epsilon
Amino Caproic Acid).
a. Atonia Uteri
Diagnosis atonia uteri ditegakkan bila setelah bayi dan plasenta lahir
ternyata perdarahan masih aktif dan banyak, bergumpal dan pada palpasi
didapatkan fundus uteri masih setinggi pusat atau lebih dengan kontraksi yang
buruk.
5
uterus sehingga perdarahan dapat berhenti. Jika perdarahan tidak berhenti,
dilakukan kompresi bimanual atau tampon kondom untuk menghentikan
perdarahan.
Obat-obat Uterotonik
6
perdarahan berkurang, kompresi diteruskan, pertahankan hingga uterus
dapat kembali berkontraksi. Bila belum berhasil dilakukan kompresi aorta
abdominalis. (1, 2,10)
Raba arteri femoralis dengan ujung jari tangan kiri, pertahankan posisi
tersebut, genggam tangan kanan kemudian tekankan pada daerah umbilikus,
tegak lurus dengan sumbu badan, hingga mencapai kolumna vertebralis.
Lihat hasil kompresi dengan memperhatikan perdarahan yang terjadi. (1,2, 12)
7
Tampon Kondom
Dari total 14 kasus yang diteliti, tampon kondom bekerja pada semua
kasus dengan perkiraan kehilangan darah 1,2-1,3 liter. Peserta pada studi
yang dilakukan berada pada usiarata-rata dan perdarahan berhenti pada
semua kasus dalam 15 menit dengan penggunaan tampon kondom. Pada
laporan kasus dilaporkan bahwa angka keberhasilan (tidak perlu dilakukan
histerektomi atau prosedur invasif lainnya) adalah 71-100%. (12, 13)
8
Prosedur Jahitan B-lynch
Metode B-lynch merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
mengatasi atonia uteri. Benang catgut no. 2 digunakan untuk melakukan
kompresi dinding uterus anterior dan posterior bersamaan. Beberapa
modifikasi dari B-lynch telah digambarkan. Indikasinya bervariasi untuk
aplikasinya dan akan memengaruhi tingkat keberhasilan. (1, 2)
9
Ligasi arteri iliaca interna secara efektif dapat mengurangi perdarahan
yang bersumber dari laserasi traktus genitalia dengan mengurangi tekanan
nadi pada sirkulasi pembuluh darah pelvis. Sebuah studi mengindikasikan
bahwa tekanan nadi berkurang 77% dengan ligasi unilateral dan 85%
dengan ligasi bilateral. (2)
Histerektomi
10
Penanganan Atonia Uteri
Uterus berkontraksi Ya
Evaluasi rutin
tidak
Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selaput ketuban
Kompresi Bimanual Interna (KBI) maksimal 5 menit
Tidak
Ya
Uterus berkontraksi Pengawasan kala IV
Histerektomi
11
b. Retensio Plasenta
12
5) Plasenta inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri,
disebabkan oleh konstriksi ostium uteri
13
Gambar12. Pengeluaran plasenta secara manual (manual placenta)(2,11)
Pada umumnya robekan jalan lahir terjadi pada persalinan dengan trauma.
Pertolongan persalinan yang semakin manipulatif dan traumatik akan memudahkan
robekan jalan lahir dan oleh karena itu dihindarkan memimpin persalinan pada saat
pembukaan serviks belum lengkap. Robekan jalan lahir biasanya akibat episiotomi,
robekan spontan perineum, trauma forceps, atau vakum ekstraksi, atau karena versi
ekstraksi. Robekan yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi, robekan
perineum spontan derajat ringan sampai ruptur perienum totalis (sfingter ani
terputus), robekan pada dinding vagina, forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris
dan uretra dan bahkan yang terberat ruptur uteri. (6)
Untuk menemukan trauma pada daerah genitalia, maka pada setiap persalinan
hendaklah dilakukan inspeksi pada vulva, vagina, dan serviks dengan memakai
spekulum untuk mencari sumber perdarahan dengan ciri warna darah merah segar
dan pulsatif sesuai denyut nadi. Perdarahan karena ruptur uteri dapat diduga pada
persalinan macet.
Tingkat II Mencakup laserasi dengan tambahan fascia dan otot dari badan
perineum tapi tidak sphincter ani. Robekan ini biasnya meluas ke
atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentuk
kerusakan triangula
Tingkat III Laserasi meluas lebih jauh mencakup otot sfingter ani
Tingkat IIIa Robekan < 50% sfingter ani eksterna
Tingkat IIIb Robekan > 50% sfingter ani eksterna
Tingkat IIIc Robekan juga meliputi sfingter ani interna
Tingkat IV Laserasi meluas melewati mukosa rectum menampakkan
14
lumennya
15
Gambar 14. Laserasi Perineum tingkat dua(1)
a) Robekan serviks sering terjadi pada sisi lateral karena serviks yang
terjulur akan mengalami robekan pada posisi spina isiadika tertekan
oleh kepala bayi
b) Bila kontraksi uterus baik, plasenta lahir lengkap, tetapi terjadi
perdarahan banyak maka segera lihat bagian lateral bawah kiri dan
kanan dari portio
c) Jepitkan klem ovarium pada kedua sisi portio yang robek sehingga
perdarahan dapat segera dihentikan. Jika setelah eksplorasi lanjutan
tidak dijumpai robekan lain, lakukan penjahitan. Jahitan dimulai dari
ujung atas robekan kemudian ke arah luar sehingga semua robekan
dapat dijahit
16
d) Setelah tindakan, periksa tanda vital pasien, kontraksi uterus, tinggi
fundus uteri dan perdarahan pasca tindakan
e) Beri antibiotika profilaksis, kecuali bila jelas ditemui tanda-tanda
infeksi
f) Bila terdapat defisit cairan, lakukan restorasi dan bila kadar Hb < 8 g%,
berikan transfusi darah.
Ruptur uteri dapat bersifat primer dan sekunder. Ruptur spontan uterus
jarang terjadi. Faktor risiko yang bisa menyebabkan antara lain grande
multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan
dengan induksi oksitosin. Ruptur uteri sering terjadi akibat jaringan parut
seksio sesarea sebelumnya. (2)
17
(Disseminated Intra Coagulation) atau sepsis. Abnormalitas platelet dapat saja
terjadi, tetapi hal ini jarang. Sebagian besar merupakan penyakit sebelumnya,
walaupun sering tak terdiagnosis. (1, 2, 8)
DIC juga dapat berkembang dari syok yang ditunjukkan oleh hipoperfusi
jaringan, yang menyebabkan kerusakan dan pelepasan tromboplastin jaringan. Pada
kasus ini terdapat peningkatan kadar D-dimer dan penurunan fibrinogen yang tajam,
serta pemanjangan waktu trombin. (1, 2, 8)
Jika tes koagulasi darah menunjukkan hasil abnormal dari onset terjadinya
perdarahan post partum, perlu dipertimbangkan penyebab yang mendasari terjadinya
perdarahan post partum, seperti solutio plasenta, sindroma HELLP, fatty liver pada
kehamilan, IUFD, emboli air ketuban dan septikemia. Ambil langkah spesifik untuk
menangani penyebab yang mendasari dan kelainan hemostatik. (1 – 3, 11)
Konsentrat trombosit yang diturunkan dari darah donor digunakan pada pasien
dengan trombositopenia kecuali bila terdapat penghancuran trombosit dengan cepat.
Transfusi trombosit diindakasikan bila hitung trombosit 10.000–50.000/mm 3, jika
direncanakan suatu tindakan operasi, perdarahan aktif atau diperkirakan diperlukan
suatu transfusi yang masif. Transfusi ulang mungkin dibutuhkan karena masa paruh
trombosit hanya 3-4 hari. (1-3, 11)
18
Plasma segar yang dibekukan adalah sumber faktor-faktor pembekuan V, VII,
IX, X dan fibrinogen yang paling baik. Bila ditemukan koagulopati, dan belum
terdapat pemeriksaan laboratorium, plasma segar yang dibekukan harus dipakai
secara empiris.(2)
e. Inversio Uteri
Inversio uteri adalah komplikasi post partum yang langka dan mengancam
jiwa. Inversio uterin biasanya terjadi akibat kegagalan pelepasan plasenta dari uterus.
Fundus uterus masuk ke dalam kavum endometrium dan mungkin turun hingga ke
serviks ataupun melewati serviks.
19
f. Penatalaksanaan pada Komplikasi
Posisi kaki yang ditinggikan (lebih tinggi dari pada dada pasien) dapat
meningkatkan aliran darah balik vena. Perlu dilakukan pemberian oksigen dan
akses intravena. Selama persalinan perlu dipasang paling tidak 1 jalur intravena
pada wanita dengan resiko perdarahan post partum dan dipertimbangkan jalur
kedua pada pasien dengan risiko sangat tinggi. (2)
20
Berikan resusitasi dengan cairan kristaloid dalam volume yang besar
memalui intravena perifer. Normal salin (NS) merupakan cairan yang cocok
pada saat persalinan karena biaya yang ringan dan kompatibilitasnya dengan
sebagian besar obat dan transfusi darah. Risiko terjadinya asidosis
hiperkloremik sangat rendah dalam hubungannya dengan perdarahan post
partum. Bila dibutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak (>10 L), dapat
dipertimbangkan pengunaan cairan Ringer Laktat. (2)
Transfusi darah perlu diberikan bila perdarahan masih terus berlanjut dan
diperkirakan akan melebihi 2. 000 mL atau keadaan klinis pasien menunjukkan
tanda-tanda syok walaupun telah dilakukan resusitasi cepat. PRC digunakan
dengan komponen darah lain dan diberikan jika terdapat indikasi. (1, 2)
VI. PENCEGAHAN
21
perdarahan post partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di
rumah sakit dapat dilakukan pemeriksaan keadaan fisik, keadaan umum, kadar
Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah sambil mengawasi
persalinan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan. (2,8,11)
Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum
plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk
mencegah perdarahan pascapersalinan. 10 IU oksitosin diberikan intramuskular
segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah
plasenta lahir, hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-
kadang pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi
(1 – 3,
kepala menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir.
8, 11)
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom
KD. Obstetrical Hemorrhage. In: Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL,
Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD, editor. Williams Obstetrics. Edisi 24.
USA: The McGraw-Hill Companies; 2014. p. 780-822
2. Smith J. Post partum Hemorrhage. [online]. 2014. [updated 23 September
2014; cited 27 Januari 2016]; Available from:http://emedicine. medscape. com
3. Anderson J, Etches D. Prevention and Management of Post partum
Hemorrhage. Am Fam Physician. 2007 Mar 15;75(6). p. 875-881
4. Pitkin J, Peattie AB, Magowan BA. Post partum Haemorrhage And
Abnormalities Of The Third Stage Of Labour. Edinburgh: Chruchill
Livingstone; 2003. p. 60-61
5. Kompasiana. Angka Kematian Ibu di Indonesia Masih Jauh dari Target MDGs
2015. 2014 [updated 9 November 2014; cited 27 Januari 2015]; Available
from: http://kesehatan. kompasiana. com/medis/2014/11/09/angka-kematian-
ibu-di-indonesia-masih-jauh-dari-target-mdgs-2015-690475. html
6. Pusat Data Perhimpunan RS seluruh Indonesia. Enam Provinsi Jadi Sasaran
Penurunan Angka Kematian Ibu dan Anak. 2012 [updated 14 Mei 2012; cited
27 Januari 2016]; Available from: http://www. pdpersi. co. id/content/news.
php?mid=5&catid=23&nid=802
7. Kemnterian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi Kesehatan Ibu. In:
Indonesia KKR, editor. Jakarta: Infodatin; 2014. Available from: http://www.
depkes. go. id/download. php?file=download/pusdatin/infodatin/infodatin-ibu.
pdf
8. Aghajanian P, dkk. Post partum Hemorrhage & the Abnormal Puerperium. In:
DeCherney AH, Nathan L, Goodwin TM, Laufer N, editors. Current Diagnosis
& Treatment Obstetrics & Gynecology. USA: The McGraw-Hill Companies;
2006. p. 31. 1-14
9. POPPPI. Prevention of Post partum Hemorrhages: Implementing Active
Managaement of the Third Stage of Labor (AMTSL): A Reference Manual for
Health Care Providers. Seattle: PATH; 2007. p. 8-9, 12, 19, 53-62
23
10. WHO. WHO Recommendations for the Prevention and Treatment of Post
partum Haemorrhages. 2012; Available from: http://apps. who.
int/iris/bitstream/10665/75411/1/9789241548502_eng. pdf
11. Paterson S, Brown S. Obstetrics Emergencies. In: Edmonds DK, editor.
Dewhurst’s Textbook of Obstetrics & Gynaecology. Edisi 7. USA: Blackwell
Publishing; 2007. p. 149-54
12. WHO. WHO Guidelines for the Management of Post partum Haemorrhage and
retained placenta. 2009; Available from: http://whqlibdoc. who.
int/publications/2009/9789241598514_eng. pdf
13. Thapa K, Malla B, Pandey S, Amatya S. Intrauterine Condom Tamponade in
Management of Post Partum Haemorrhage. J Nepal Health Res Counc. 2010
8(16). p. 19-22
14. Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian Obstetri
dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Makassar. 2008
15. Diemert A, Ortmeyer G, Hollwitz B, Lotz M, Somville T, Glosemeyer P, Diehl
W, Hecher K. The combination of intrauterine ballon tamponade and the B-
lynch procedure for the treatment of severe post partum hemorrhage. Am J
Obstet Gynecol. 2012. 65. e1-4
24