Anda di halaman 1dari 12

Manajemen Perioperatif Ruptur Perineum Total

Roziana1, Iqbal Aryo Pravasta1

1) Department Obstetri Ginekologi, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

ABSTRAK
Ruptur perineum melibatkan segala jenis kerusakan pada alat genitalia wanita
selama persalinan yang dapat terjadi secara spontan atau iatrogenik (melalui
episiotomi atau persalinan dengan bantuan alat. Lebih dari 85% wanita yang
menjalani persalinan pervaginam akan menderita beberapa tingkat robekan
perineum, dengan 0,6–11% dari semua persalinan pervaginam mengakibatkan
robekan derajat tiga atau empat. Faktor resiko ruptur perineum dpat dibagi
menjadi 3 bagian yaitu faktor risiko ibu, janin, dan intrapartum. Penanganan
robekan perineum berbeda dan tergantung pada tingkat keparahan robekan.
Penanganan pada ruptur perineum total memerlukan anestesi umum atau
regional dengan tujuan terjadinya relaksasi sfingter ani secara maksimal dan
kontrol nyeri adekuat. Teknik yang digunakan dalam menangani ruptur
perineum yang berat adalah metode end-to-end dan overlapping
.Keywords: Ruptur Perineum Total, Metode End-To-End, Metode Overlapping

Correspondence author; Roziana. Department of Obstetrics and Gynecology.Faculty of Medicine


Universitas Syiah Kuala/dr. Zainoel Abidin General Hospital. Banda Aceh Email.
roziana@unsyiah.ac.id; and Iqbal Aryo Pravasta e-mail: ipravasta@yahoo.com

Pendahuluan

Trauma perineum adalah setiap cedera pada alat genitalia saat persalinan yang
terjadi secara spontan atau sengaja melalui insisi bedah (episiotomi). Selama
persalinan, sebagian besar trauma perineum berada pada dinding vagina posterior
yang meluas ke anus. 1

Trauma pada perineum dapat terjadi di bagian anterior dan posterior. Trauma
perineum anterior dapat terjadi pada labia, dinding vagina anterior, uretra dan klitoris,
dan biasanya berhubungan dengan tingkat morbiditas yang lebih ringan. Trauma
perineum posterior dapat terjadi cedera pada dinding vagina posterior, otot perineum
dan sfingter anal.1 Lebih dari 85% wanita yang melahirkan normal mengalami trauma

1
perineum, baik itu robekan perineum spontan, episiotomi atau keduanya. 2 . Ruptur
perineum yang berat terjadi meluas ke dalam atau melalui kompleks sfingter ani dan
disebut sebagai obstetric anal sphincter injuries (OASIS).3
Insiden ruptur spontan dan iatrogenik menurun pada kelahiran berikutnya, dari
90,4% wanita kelahiran pertama menjadi 68,8% untuk multipara yang melahirkan
normal.4 Ruptur perineum terjadi selama persalinan pervaginam spontan atau alat
bantu. Ruptur perineum lebih besar terjadi pada persalinan pervaginam pertama. 5
Faktor risiko terkait lainnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok - faktor risiko ibu,
janin dan intrapartum. Trauma perineum dapat menyebabkan masalah fisik,
fisiologis, sosial dan psikologis segera setelah lahir dan dalam jangka panjang.
Komplikasi tergantung pada derajat beratnya trauma dan efektivitas tatalaksana.
Tatalaksana komplikasi jangka pendek meliputi identifikasi cedera, tatalaksana
bedah yang baik dan pemulihan, pemberian analgesik pada periode awal postpartum
serta perawatan perineum.

Epidemiologi

Lebih dari 85% wanita yang menjalani persalinan pervaginam akan menderita
beberapa derajat ruptur perineum, dengan 0,6–11% dari semua persalinan pervaginam
mengakibatkan ruptur perineum derajat 3 atau 4.6 Selanjutnya, kejadian ruptur
perineum menurun dengan persalinan berikutnya, dari 90,4% pada nulipara menjadi
68,8% pada multipara yang menjalani persalinan pervaginam.8.9.10 Insiden ruptur
perineum derajat 3 dan 4 di Austrian Birth Registry masing-masing adalah 1,5% dan
0,1%. Sebaliknya, tinjauan sistematis pada tahun 2008 melaporkan 11% kejadian lesi
pada sfingter ani internal dan eksternal. 11 Gejala yang terkait dengan cedera ini adalah
inkontinensia anus berupa flatus dan feses cair atau padat serta gejala mendesak.
Frekuensi gejala ini meningkat seiring waktu setelah cedera lahir.12

Faktor Risiko

Faktor resiko dapat dibagi dalam subkelompok berikut yaitu faktor risiko ibu,
janin, dan intrapartum yang dapat dilihat pada tabel berikut:13

2
\

Gambar 1. Faktor Risiko Ruptur Perineum

Berdasarkan meta-analisis data dari 22 penelitian (651.934 wanita di antaranya


15.366 (2,4%) mengalami laserasi berat), faktor risiko terbesar untuk terjadinya
OASIS termasuk persalinan dengan forsep, persalinan dengan bantuan vakum,
midline episiotomy dan berat janin.14 Midline episiotomy dikombinasikan dengan
forceps secara substansial meningkatkan risiko rupture perineum derajat 3 dan 4. 14
Risiko trauma sfingter ani dengan persalinan operatif dan episiotomi meningkat pada
wanita primigravida dan multigravida.15
Berdasarkan data meta-analisis yang sama, faktor risiko lain terjadinya OASIS
termasuk primiparitas, etnis Asia, induksi persalinan, augmentasi persalinan, anestesi
epidural dan posisi oksiput posterior.16 Usia ibu, durasi kehamilan, indeks massa
tubuh, dan durasi kala II persalinan tidak berbeda secara signifikan antara wanita yang
mengalami OASIS dan wanita yang tidak mengalami OASIS.17 Faktor keluarga juga
dapat mempengaruhi wanita untuk terjadinya OASIS. Analisis Medical Birth Registry
of Norway menunjukkan risiko OASIS meningkat jika ibu atau saudara wanita
tersebut mengalami OASIS selama persalinan.18

Klasifikasi Ruptur Perineum

Klasifikasi ruptur perineum terdiri dari 4 derajat yang dijelaskan dalam tabel
berikut yaitu : 18,19

3
Gambar 2. Klasifikasi Ruptur Perineum

Pencegahan Ruptur Perineum


Episiotomi
Episiotomi dianggap sebagai metode untuk mengurangi angka kejadian secara
memadai pada ruptur perineum yang berat penting untuk mengeksplorasi 'tindakan
profilaksis' ini secara lebih rinci. Tujuan episiotomi adalah untuk meningkatkan
diameter vagina untuk memudahkan kelahiran kepala janin dan idealnya mencegah
robekan pada vagina.19 Berbagai jenis episiotomi dapat digunakan, tergantung pada
kondisi : midline, midline yang dimodifikasi, mediolateral, berbentuk huruf 'J', lateral,
lateral radikal, dan anterior.20
Episiotomi mediolateral telah ditemukan untuk menurunkan kejadian
obstetric anal sphincter injuries (OASIS) pada persalinan pervaginam spontan dan
teknik ini sering digunakan di negara Australia. Jenis episiotomi yang lebih umum
dilakukan di Amerika Serikat adalah midline (mediana), yang dimulai jarak 3 mm
dari garis tengah di fourchette posterior dan meluas ke bawah antara 0 o dan 25o
bidang sagital. Di Eropa, episiotomi mediolateral lebih sering dilakukan, dimulai
dalam jarak 3 mm dari garis tengah di fourchette posterior dan diarahkan secara
lateral dengan sudut minimal 60o dari garis tengah menuju tuberositas ischial.20 Jika
episiotomi diindikasikan, teknik mediolateral direkomendasikan. Sudut episiotomi
jauh dari garis tengah telah terbukti penting dalam mengurangi kejadian OASIS.
Penelitian lain, bagaimanapun, telah menemukan bahwa episiotomi tidak
melindungi terhadap laserasi perineum yang parah dan sebenarnya dapat
meningkatkan risiko robekan perineum derajat tiga dan empat pada wanita
multipara.21 Hal ini berpotensi karena kesulitan dalam memperkirakan sudut
episiotomi dengan benar pada pasien, karena terjadi distensi perineum akibat kepala
janin.22 Meskipun jenis episiotomi lain telah dijelaskan, namun lebih jarang
digunakan. Data saat ini dan pendapat klinis menunjukkan bahwa tidak ada cukup
kriteria berbasis bukti objektif untuk merekomendasikan episiotomi, terutama

4
penggunaan rutin episiotomi, dan bahwa penilaian klinis tetap merupakan panduan
terbaik untuk penggunaan prosedur ini.23
Episiotomi dikatikan dengan potensi terjadinya penurunan dari fungsi otot
dasar panggul. Episiotomi memiliki indikasi mutlak dan relatif. Berikut ini
merupakan indikasi mutlak dan relatif dari episiotomi.24
Indikasi mutlak:
 Permasalahan denyut jantung janin

Indikasi relatif:
 Perineum yang kaku , dimana otot yang kaku dapat menyebabkan
pemanjangan kala II persalinan
 Mencegah rupture perineum yang berat
 Mengurangi upaya ibu saat meneran, khususnya penyakit jantung berat,
epilepsy atau hipertensi
 Episiotomi dapat dipertimbangkan pada distosia bahu jika dokter merasa hal
itu akan mengurangi trauma pada ibu
The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and
Gynecologists (RANZCOG) tidak menganjurkan penggunaan episiotomi secara
rutin, dan menyarankan agar episiotomi hanya disarankan pada keadaan berikut:25
 Kemungkinan besar rupture perineum derajat 3 atau 4
 Distosia jaringan lunak
 Syarat untuk mempercepat persalinan janin
 Kebutuhan untuk memfasilitasi persalinan pervaginam

Teknik Lain
Teknik lain yang digunakan yang juga telah digunakan sebagai pencegahan
untuk robekan perineum yang berat. Dalam ulasan Cochrane 2017.25 menunjukkan
beberapa teknik perineum termasuk kompres hangat, pijatan perineum, posisi tangan
di perineum dan manuver Ritgen. Ternyata, hanya kompres hangat dan pijatan
perineum yang menunjukkan efek positif dalam mengurangi robekan perineum
derajat tiga dan empat.26 Posisi tangan pada perineum dan manuver Ritgen
menunjukkan tidak ada penurunan kejadian robekan derajat tiga dan empat.

Prinsip Tatalaksana Ruptur Perineum

5
Penanganan ruptur perineum tergantung pada derajat ruptur perineum.
Terlepas dari beratnya ruptur, prinsip berikut harus diterapkan selama perbaikan
yaitu : 27
 Perbaikan harus diselesaikan oleh dokter yang berpengalaman, idealnya yang
terlatih dalam kebidanan
 Pencahayaan yang baik, idealnya prosedur harus dilakukan di ruang operasi
dengan pasien dalam litotomi.
 Menggunakan anestesi yang memadai
 Setiap lapisan harus diperbaiki untuk mengembalikan fungsinya
 Perbaikan harus dilakukan dalam arah cephalocaudal
 Menggunakan benang jahitan resorbable

Penanganan Operatif pada Ruptur Perineum

Persiapan Operasi
Penanganan pada ruptur perineum total memerlukan anestesi umum atau
regional agar sfingter ani relaksasi secara maksimal dan kontrol nyeri adekuat.
Prosedur harus dilakukan dalam kondisi aseptik di ruang operasi dan menyertakan
seorang spesialis dengan pengalaman yang cukup. Tindakan bedah harus dilakukan
secepatnya.28 Selama proses informed consent, wanita tersebut harus diberi tahu
bahwa derajat ruptur perineum mungkin tidak diketahui sampai dia dinilai dengan
anestesi yang memadai.
Antibiotik profilaksis pra operasi (misalnya, sefalosporin generasi kedua) harus
diberikan. Metronidazol 500 mg intravena juga dapat diberikan. Untuk pasien dengan
hipersensitivitas berat terhadap penisilin maka gunakan Klindamisin 600 mg
intravena. Pemeriksaan rektal harus dilakukan setelah perbaikan untuk memastikan
bahwa jahitan tidak sengaja dimasukkan melalui mukosa anorektal.29 Bahan jahitan
yang digunakan Polyglactin 3-0 (Vicryl atau Polysorb) untuk memperbaiki mukosa
anorektal karena dapat menyebabkan iritasi dan ketidaknyamanan yang lebih sedikit
daripada jahitan Polydioxanone (PDS).30 Untuk perbaikan otot sfingter ani eksternal
dan atau sfingter ani internal, gunakan jahitan monofilamen seperti PDS 3-0 atau
Polyglactin.31

6
Gambar 3. Tatalaksana Ruptur Perineum

Tindakan Bedah
Tindakan operatif meliputi : 32

 Anestesi yang memadai


 Pemeriksaan dibawah pengaruh anestesi untuk memastikan klasifikasi yang
tepat dari cedera perineum
 Perbaiki robekan serviks dan vagina sebelum menangani perineum, kerjakan
dari atas ke bawah
 Ruptur perineum derajat 4 : perbaikan mukosa anorektal dengan jahitan 3-0
resorbable. Mukosa anorektal yang rupture harus diperbaiki dengan jahitan
baik menggunakan teknik continuous atau interrupted.
 Identifikasi tepi sfingter ani eksterna dan pegang dengan klem Allis.

Dekatkan sfingter ani eksternal dengan matras end-to-end atau mode overlapping
dengan jahitan matras atraumatik—sebaiknya dengan jahitan 2-0.33 Perbaikan dengan
overlapping hanya dapat dilakukan jika seluruh ketebalan dan panjang sfingter
eksternal mengalami ruptur. Dalam kasus otot sfingter eksternal yang ruptur, pilihan
metode end-to-end tergantung pada kebijaksanaan ahli bedah.33,34

7
.

Gambar 4. Metode Overlapping

Gambar 5. Metode End-To-End


 Perbaiki perineum berlapis-lapis dan pastikan bahwa semua jahitan yang dapat
diserap tertutup secara memadai oleh otot-otot perineum di atasnya. Jika tidak
tertutup, ujung jahitan dapat bermigrasi dan menyebabkan ketidaknyamanan
pada pasien. 34
 Setelah perbaikan, pemeriksaan rektal harus dilakukan untuk memastikan tidak
ada luka tambahan yang mungkin terlewatkan dan jahitan tidak dimasukkan
secara tidak sengaja ke dalam mukosa anorektal. Jika jahitan ditemukan, lebih
aman untuk melepasnya untuk meminimalkan risiko fistula anorektal-vagina.34
 Dokumentasi rinci tentang cedera perineum harus dibuat, termasuk laporan
pembedahan.

Masa Nifas

 Antibiotik

Para ahli merekomendasikan antibiotik pasca operasi, tetapi ini tidak


didasarkan pada studi klinis.

8
 Obat Pencahar
Pemberian laktulosa oral mengurangi nyeri saat buang air besar pertama. Nyeri
pasca operasi, tingkat infeksi luka, kontinensia, dan dispareunia tidak dipengaruhi
oleh penggunaan obat pencahar. Selain itu, laktulosa direkomendasikan untuk
meminimalkan tekanan mekanis pada proses penyembuhan. Pemeriksaan rektal pada
masa nifas harus dihindari jika penyembuhan tampak baik.34

Follow-Up
Kunjungan tindak lanjut harus dijadwalkan 6-12 minggu setelah operasi.
Frekuensi kejadian inkontinensia flatus adalah 50%, gejala urgensi 26%,
inkontinensia feses cair 8%, dan inkontinensia feses padat 4% pada tindak lanjut awal
wanita setelah ruptur perineum berat.35 Pemeriksaan tindak lanjut awal harus
mencakup hal-hal berikut:
 Ada atau tidaknya gejala inkontinensia anal
 Inspeksi perineum
 Pemeriksaan dan palpasi dari vaginal dan rektal
 Rencana Fisioterapi untuk melatih otot dasar panggul
 Diskusi tentang persalinan yang akan datang dan cara persalinan

Persalinan pervaginam setelah ruptur perineum derajat 3 atau 4 meningkatkan


risiko inkontinensia fekal persisten jangka pendek, tetapi peningkatan risiko ini tidak
terlihat dalam studi dengan tindak lanjut ≥ 5 tahun. Operasi sesar elektif harus
ditawarkan kepada semua wanita dalam kehamilan setelah ruptur perineum derajat 3
atau 4, khususnya pasien dengan:36
 Inkontinensia fekal persisten
 Fungsi sfingter menurun
 Janin makrosomia

Episiotomi harus digunakan secara terbatas pada pasien dengan persalinan


pervaginam pada kehamilan setelah robekan perineum tingkat 3 atau 4.35,36

Kesimpulan
Penanganan ruptur perineum tergantung pada derajat rupture. Penanganan pada
ruptur perineum total memerlukan anestesi umum atau regional dengan tujuan

9
tercapainya relaksasi sfingter ani secara maksimal dan kontrol nyeri adekuat. Prosedur
harus dilakukan dalam kondisi aseptik di ruang operasi dan menyertakan seorang
spesialis yang berpengalaman. Teknik yang digunakan dalam menangani ruptur
perineum yang parah adalah secara end-to-end dan teknik overlapping. Episiotomi
harus digunakan secara terbatas pada pasien dengan persalinan pervaginam pada
kehamilan setelah ruptur perineum derajat tiga atau empat.

Daftar Pustaka
1. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, The Management of Third
and Fourth Degree Perineal Tears. RCOG Green Top Guidelines No 29.2007,
https:// www.rcog.org.uk/globalassets/documents/guidelines/gtg-29.pdf.
2. J. Frohlich, C. Kettle, Perineal care, BMJ Clin. Evid. (2015),
https://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC4356152/.
3. C. Kettle, P.M.S. O’Brien, RCOG Green-top Guideline, (2004) https://pdfs.
semanticscholar.org/2dbf/c8a6c67a6cdda634fc649c0c0180239fb7fe.pdf.
4. R. McCandlish, U. Bowler, H. van Asten, G. Berridge, C. Winter, L. Sames, J.
Garcia, R. Renfrew, D. Elbourne, A randomised controlled trial of care of the
perineum during second stage of normal labour, Obstet. Gynaecol. 105 (1998)
1262 1272 https://www.nc.
5. A.H. Sultan, M.A. Kamm, C.N. Hudson, J.M. Thomas, C.I. Bartram, et al.,
Perineal damage at delivery, Contemp. Rev. Obstet. Gynaecol. 6 (1994) 18–24,
https://doi. org/10.1056/NEJM199312233292601?url_ver=Z39.88- 2003&rfr_
id=ori:rid:crossref.org&rfr_dat=cr_.
6. Delancey JO, Toglia MR, Perucchini D. Internal and external anal sphincter
anatomy as it relates to midline obstetric lacerations. Obstet Gynecol
1997;90:924–7. (Level III) [PubMed] [Obstetrics & Gynecology].
7. Hossein-nezhad, A.; Holick, M.F. Vitamin D for health: A global perspective.
Mayo Clin. Proc. 2013, 88, 720–755. [CrossRef].
8. Frohlich J, Kettle C. Perineal care. BMJ Clin Evid 2015;2015.
9. Villot A, Deffieux X, Demoulin G, Rivain AL, Trichot C, Thubert T.
Management of third and fourth degree perineal tears: A systematic review. J
Gynecol Obstet Biol Reprod (Paris) 2015;44(9):802–11.
10. Smith LA, Price N, Simonite V, Burns EE. Incidence of and risk factors for
perineal trauma: A prospective observational study. BMC Pregnancy
Childbirth 2013;13:59.
11. Dudding TC, Vaizey CJ, Kamm MA (2008) Obstetric anal sphinc_ter injury:
incidence, risk factors, and management. Ann Surg 247 (2):224–237.
12. Nordenstam J, Altman D, Brismar S, Zetterström J (2009) Natural progression
of anal incontinence after childbirth. Int Urogynecol J Pelvic Floor Dysfunct
20(9):1029–1035.
13. A. Williams, D. Tincello, S. White, E.J. Adams, Z. Alfirevich, D.H. Richmond,
10
Risk scoring system for prediction of obstetric anal sphincter injury, BJOG 112
(8) (2005) 1066–1069, https://doi.org/10.1111/j.1471-0528.2005.00652.x.
14. Lewicky-Gaupp C, Fenner D (2011) Fecal incontinence related to pregnancy
and vaginal delivery. In: Basow DS (ed) UpToDate. UpToDate, Waltham, MA.
15. Kudish B, Blackwell S, Mcneeley SG, Bujold E, Kruger M, Hendrix SL, et al.
Operative vaginal delivery and midline episiotomy: a bad combination for the
perineum. Am J Obstet Gynecol 2006;195:749–54. (Level II-3) [PubMed].
16. Pergialiotis V, Vlachos D, Protopapas A, Pappa K, Vlachos G. Risk factors for
severe perineal lacerations during childbirth. Int J Gynaecol Obstet
2014;125:6–14. (Meta-Analysis) [PubMed].
17. Baghestan E, Irgens LM, Bordahl PE, Rasmussen S. Familial risk of obstetric
anal sphincter injuries: registry_based cohort study. BJOG 2013;120:831–7.
(Level II-3) [PubMed].
18. Cunningham F, Leveno K, Bloom S et al (eds) (2009) Williams obstetrics, 23rd
edn. McGraw-Hill, New York.
19. Ginath S, Elyashiv O, Weiner E, et al. The optimal angle of the mediolateral
episiotomy at crowning of the head during labor. Int Urogynecol J
2017;28(12):1795–99.
20. Kalis V, Laine K, de Leeuw JW, Ismail KM, Tincello DG. Classification of
episiotomy: Towards a standardisation of terminology. BJOG
2012;119(5):522–26.
21. Shmueli A, Gabbay Benziv R, Hiersch L, et al. Episiotomy – Risk factors and
outcomes. J Matern Fetal Neonatal Med 2017;30(3):251–56.
22. Kapoor DS, Thakar R, Sultan AH. Obstetric anal sphincter injuries: Review of
anatomical factors and modifiable second stage interventions. Int Urogynecol J
2015;26(12):1725–34.
23. Hartmann K, Viswanathan M, Palmieri R, Gartlehner G, Thorp J Jr, Lohr KN.
Outcomes of routine episiotomy: a systematic review. JAMA 2005;293:2141–
8. (Level III) [PubMed].
24. The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and
Gynaecologists. Provision of routine intrapartum care in the absence of
pregnancy complications. East Melbourne, Vic: RANZCOG, 2017.
25. Aasheim V, Nilsen ABV, Reinar LM, Lukasse M. Perineal techniques during
the second stage of labour for reducing perineal trauma. Cochrane Database
Syst Rev 2017;6:CD006672.
26. Beckmann MM, Stock OM. Antenatal perineal massage for reducing perineal
trauma. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 4. Art. No.:
CD005123. DOI: 10.1002/14651858.CD005123.pub3. (Meta-Analysis)
[PubMed].
27. Walker C, Rodriguez T, Herranz A, Espinosa JA, Sanchez E, Espuna-Pons M.
Alternative model of birth to reduce the risk of assisted vaginal delivery and
perineal trauma. Int Urogynecol J 2012;23:1249–56. (Level I).
28. Aigmueller T, Umek W, Elenskaia K, et al. Guidelines for the management of
third and fourth degree perineal tears after vaginal birth from the Austrian
11
Urogynecology Working Group. Int Urogynecol J 2013;24(4):553–58.
29. Faltin DL, Boulvain M, Floris LA, Irion O. Diagnosis of anal sphincter tears to
prevent fecal incontinence: A randomized controlled trial. Obstet Gynecol
2005;106(1):6–13.
30. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Green-top guideline No.
29: The management of third and fourth degree perineal tears: RCOG. 2015.
Availablefrom:https://www.rcog.org.uk/globalassets/documents/guidelines/gtg-
29.pdf.
31. Briel JW de Boer LM, Hop WCJ, Schouten WR (1998) Clinical outcome of
anterior overlapping external anal sphincter repair with internal anal sphincter
imbrication. Dis Colon Rectum 41:209–214.
32. Farrell SA, Flowerdew G, Gilmour D, Turnbull GK, Schmidt MH, Baskett TF,
Fanning CA (2012) Overlapping compared with end_to-end repair of complete
third-degree or fourth-degree obstetric tears: three-year follow-up of a
randomized controlled trial. Obstet. Available from:
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/431
33. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (Guideline No. 29, Clinical
green top guidelines: management of third-and fourth_degree perineal tears
following vaginal delivery—March 2007. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.alit.2016.11.001
34. Mahony R, Behan M, O’Herlihy C, O’Connell PR (2004) Random_ized,
clinical trial of bowel confinement versus laxative use after primary repair of a
third-degree obstetric anal sphincter tear. Dis Colon Rectum 47(1):12–17.
35. Fernando RJ, Sultan AH et al (2006) Repair techniques for obstet_ric anal
sphincter injuries: a randomised controlled trial. Obstet Gynecol
107(6):12611268.Availablefrom:http://dx.doi.org/10.1016/j.alit.2016.11.001
36. Size EH (2005) Anal incontinence among women with one versus two
complete third-degree perineal lacerations. Int J Gynaecol Obstet 90:213.

12

Anda mungkin juga menyukai