Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perdarahan postpartum menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di Indonesia. Peristiwa

dalam bidang kebidanan yang dapat menimbulkan perdarahan adalah gangguan pelepasan plasenta,

atonia uteri postpartum dan perlukaan jalan lahir. Perlukaan pada jalan lahir merupakan penyebab

kedua perdarahan setelah atonia uteri (Wiknjosastro, 2007). Perdarahan yang banyak dapat terjadi

karena ruptur perineum yang dialami selama proses melahirkan baik yang normal maupun dengan

tindakan (Oxorn, 2010).

Ruptur Perineum merupakan luka pada perineum yang diakibatkan oleh rusaknya jaringan

secara alamiah karena proses desakan kepala janin atau bahu saat proses persalinan. Bentuk ruptur

biasanya tidak teratur sehingga jaringan yang robek sulit dilakukan penjahitan (Hamilton, 2002

dalam Ai yeyeh dan Lia Yulinti, 2010). Persalinan dengan tindakan seperti ekstraksi forsep,

ekstraksi vakum, versi ekstraksi, kristeller (dorongan pada fundus uteri) dan episiotomi dapat

menyebabkan robekan jalan lahir.

Di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7 juta kasus ruptur Perineum pada ibu bersalin.

Angka ini diperkirakan mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, seiring dengan semakin tingginya bidan

yang tidak mengetahui asuhan kebidanan dengan baik (Hilmy, 2010).Hasil studi dari Pusat

Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Bandung, yang melakukan penelitian dari tahun 2009 –

2010 pada beberapa Propinsi di Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima ibu bersalin yang

mengalami ruptur Perineum akan meninggal dunia dengan persen (21,74 %).

Di Asia ruptur Perineum juga merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50

% dari kejadian ruptur Perineum didunia terjadi di Asia (Campion, 2009). Prevalensi ibu bersalin

yang mengalami ruptur Perineum di Indonesia pada golongan umur 25 –30 tahun yaitu 24 % sedang

pada ibu bersalin usia 32 –39 tahun sebesar 62%.

Laserasi perineum dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor maternal, faktor janin dan
1
faktor penolong. Faktor maternal meliputi umur ibu, partus presipitatus, mengejan terlalu kuat,

perineum yang rapuh dan oedem, paritas, kesempitan panggul dan Chepalo Pelvic Disproposional

(CPD), kelenturan vagina, varikosa pada pelvis maupun jaringan parut pada perineum dan vagina,

persalinan dengan tindakan seperti ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, versi ekstraksi dan

embriotomi.

Faktor janin meliputi kepala janin besar, berat bayi lahir, presentasi defleksi, letak sungsang dengan

after coming head, distosia bahu, kelainan kongenital. Faktor penolong meliputi cara memimpin

mengejan, cara berkomunikasi dengan ibu, ketrampilan menahan perineum pada saat ekspulsi

kepala, anjuran posisi meneran dan episiotomi. (Ibrahim, 1996; Mochtar, 1998; Winkjosastro,

2006).

Klasifikasi laserasi perineum berdasarkan derajat laserasi yaitu derajat I, derajat II, derajat

III dan derajat IV. Di halaman selanjutnya akan di bahas lebih mendetail bagaimana menjahit

robekan perineum.

2
BAB II

RUPTUR PERINEUM GRADE III DAN IV

2.1. Pengertian perineum

Perineum adalah daerah anatomi di panggul, adalah daerah yang terletak antara vulva dan

anus dengan panjang rata-rata 4 cm. daerah ini terletak di antara paha, dan merupakan bagian

paling rendah dari outlet panggul. Perineum dipisahkan dari rongga panggul superior oleh dasar

panggul. Wilayah ini mengandung struktur yang mendukung sistem urogenital dan

gastrointestinal - dan karena itu memainkan peran penting dalam fungsi seperti berkemih,

buang air besar, hubungan seksual dan melahirkan.

Gambar 2.1. Anatomi Perineum dan genitalia eksterna

Perineum yang lunak dan elastis serta cukup lebar umumnya tidak memberikan

kesukaran dalam kelahiran kepala janin. Perineum yang kaku dan tidak elastis akan

menghambat persalinan kala II dan dapat meningkatkan resiko terhadap janin, juga dapat

menyebabkan robekan perineum yang luas sampai tingkat III.

3
Gambar 2.2. Lokasi dari episiotomi yang dapat dilakukan saat proses persalinan

Perineum adalah lantai pelvis dan struktur sekitarnya yang menempati pintu bawah

panggul, di sebelah anterior dibatasi oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber

iskiadikum dan di sebalah posterior oleh os koksigeus. Perienum pada pria dibatasi oleh

skrotum dan anus, sedangkan wanita oleh vulva dan anus. Perineum merupakan daerah antara

tepi bawah vulva dengan tepi depan anus. Batas otot-otot diafragma (m.levator ani, m.

Coccygeus) dan diafragma urogenitalis (m.perinealis transversus profunda, m.constictor

uretrehta).

Perineum sendiri merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak di bawah

dasar panggul. Perineum memiliki batas-batas sebagai berikut:

a. Superior: Dasar panggul yang terdiri dari Musculus Levator dan Musculus Coccygeus.

b. Lateral: tulang dan ligament yang membentuk pintu bawah pinggul (exitus

pelvis): yakni dari depan kebelakang angulus subpubius, ramus ischiopubicus,

tuber ischiadicum, ligamentum Sacrotuberosum, os coccygis.

c. Inferior: kulit dan fascia (Oxorn, 2010).

4
Gambar 2.3. Struktur anatomi otot pada daerah perineum

Gambar 2.4. Perbedaan struktur perineum antara pria dan wanita

2.2. Robekan Jalan Lahir

Robekan jalan lahir adalah terpotongnya selaput lendir vagina, selaput dara, serviks,

portio, septum rektovaginalis akibat dari tekanan benda tumpul. Robekan jalan lahir selalu

memberikan perdarahan dalam jumlah bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari

jalan lahir selalu di evaluasi yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi,

sumber perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks dan robekan uterus, perdarahan

dapat dalam bentuk hematoma dan robekan jalan lahir dengan perdarahan yang bersifat arteri

atau pecahnya pembuluh darah vena. Untuk dapat menetapkan sumber perdarahan dapat
5
dilakukan dengan pemeriksaan dalam dan pemeriksaan speculum setelah sumber perdarahan

diketahui dengan pasti perdarahan dihentikan segera dengan menggunakan ligase atau

penyempitan pembuluh darah.

Banyak wanita mengalami robekan jalan lahir atau robekan perineum pada saat

melahirkan anak pertama. Pada sekitar separuh dari kasus-kasus tersebut, robekan ini amat

luas. Dan laserasi ini harus diperbaiki dengan cermat. Laserasi spontan pada vagina atau

perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika

bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Jalin kerjasama dengan ibu dan gunakan

perasat manual yang tepat dapat mengatur kecepatan kelahiran bayi dan mencegah terjadinya

laserasi. Kerjasama akan sangat bermanfaat saat kepala bayi pada diameter 5-6 cm membuka

vulva (Crowning) karena pengendalian kecepatan dan pengaturan diameter kepala saat

melewati introitus dan perineum mengurangi kemungkinan terjadinya robekan, bimbing ibu

untuk meneran dan beristirahat atau bernapas dengan cepat pada waktunya.

Wanita yang setelah melahirkan mengalami robekan pada vagina bagian dalam dengan

jahitan atau kerusakan perineum (daerah diantara vulva dan anus, yang terdiri dari kulit dan

otot.

6
Gambar 2.5. Otot yang terkena pada saat terjadi ruptur perineum

2.3. Ciri Khas Robekan Jalan Lahir

a. Kontraksi uterus kuat, uterus keras dan mengecil.

b. Perdarahan terjadi langsung setelah anak lahir, perdarahan ini terus menerus setelah massase

atau pemberian uterotonika langsung mengeras tapi perdarahan tidak berkurang. Dalam hal

apapun, robekan jalan lahir harus dapat diminimalkan karena tak jarang perdarahan terjadi

karena robekan dan ini menimbulkan akibat yang fatal seperti terjadinya syok (Rukiyah,2012).

c. Bila perdarahan berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan adanya retensi

7
plasenta maupun sisa plasenta, kemungkinan telah terjadi perlukaan jalan lahir (Taufan 2012).

2.4. Tanda – Tanda dan Gejala Robekan Jalan lahir

Bila perdarahan masih berlangsung meski kontraksi uterus baik dan tidak didapatkan

adanya retensi plasenta maupun adanya sisa plasenta, kemungkinan telah terjadi perlukaan

jalan lahir (Taufan Nungroho,2012). Tanda dan gejala robekan jalan lahir diantaranya adalah

perdarahan, darah segar yang mengalir setelah bayi lahir, uterus berkontraksi dengan baik, dan

plasenta normal. Gejala yang sering terjadi antara lain pucat, lemah, pasien dalam keadaan

menggigil.

2.5. Ruptur Perineum

Ruptur perineum adalah robeknya perineum pada saat jalan lahir. Berbeda dengan

episiotomy, robekan ini bersifatnya traumatik karena perineum tidak kuat menahan regangan

pada saat janin lewat(Siswosudarmo, Ova Emilia, 2008). Perineum meregang pada saat

persalinan kadang perlu dipotong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah

robekan (Sumara, dkk, 2002).

Ruptur Perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun iatrogenik

(episiotomi) Perineum yang dilakukan dengan episiotomi itu sendiri harus dilakukan atas

indikasi antara lain: bayi besar, perineum kaku, persalinan yang kelainan letak, persalinan

dengan menggunakan alat baik forceps maupun vacum. Karena apabila episiotomi itu tidak

dilakukan atas indikasi dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan indikasi di atas, maka

menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan pada daerah perineum yang lebih
8
berat. Sedangkan luka perineum itu sendiri akan mempunyai dampak tersendiri bagi ibu yaitu

gangguan ketidaknyamanan.

Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral, namun dapat juga bilateral. Perlukaan

pada diafragma urogenitalis dan muskulus levator ani, yang terjadi pada waktu persalinan

normal ataupun persalinan dengan alat, dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada

vagina, sehingga tidak kelihatan dari luar. Perlukaan demikian dapat melemahkan dasar

panggul, sehingga mudah terjadi prolapses genitalis.

Banyak wanita mengalami robekan perineum pada saat melahirkan anak pertama. Pada

sekitar separuh dari kasus- kasus tersebut, robekan ini amat luas, laserasi harus diperbaiki

dengan cermat.

2.6. Klasifikasi Ruptur Perineum

Robekan perineum ini di bagi menjadi empat, yaitu robekan derajat 1,2,3, dan 4.

Gambar 2.6. Klasifikasi ruptur perineum

9
2.6.1. Robekan derajat pertama

Robekan derajat pertama melitupi mukosa vagina, fourchetten dan kulit perineum

tepat dibawahnya (Oxorn, 2010). Robekan perineum yang melebihi derajat satu di jahit.

Hal ini dapat dilakukan sebelum plasaenta lahir, tetapi apabila ada kemungkinan

plasenta harus dikeluarkan secara manual, lebih baik tindakan itu ditunda sampai

menunggu palasenta lahir. Dengan penderita berbaring secara litotomi dilakukan

pembersihan luka dengan cairan anti septik dan luas robekan ditentukan dengan

seksama (Sumarah, 2009).

2.6.2. Robekan derajat kedua

Laserasi derajat dua merupakan luka robekan yang paling dalam. Luka ini

terutama mengenai garis tengah dan melebar sampai corpus perineum. Acapkali

musculus perineus transverses turut terobek dan robekan dapat turun tapi tidak

mencapai spinter recti. Biasanya robekan meluas keatas disepanjang mukosa vagina dan

jaringan submukosa. Keadaan ini menimbulkan luka laserasi yang berbentuk segitiga

ganda dengan dasar pada fourchette, salah satu apexpada vagina dan apex lainnya

didekat rectum (Oxorn,2010). Pada robekan perineum derajat dua, setelah diberi

anastesi lokal otot-otot difragma urogenetalis dihubungkan digaris tengah jahitan dan

kemudian luka pada vagina dan kulit perineum ditutup dengan mengikutsertakan

jaringan.

2.6.3. Robekan derajat ketiga

Robekan derajat ketiga meluas sampai corpus perineum, musculus transverses

perineus dan spinter recti. Pada robekan partialis derajat ketiga yang robek hanyalah

spinter recti; pada robekan yang total, spinter recti terpotong dan laserasi meluas hingga

dinding anterior rectum dengan jarak yang bervariasi. Sebagaian penulis lebih senang

menyebutkan keadaan ini sebagai robekan derajat keempat (Oxorn,2010). Menjahit

robekan perineum derajat tiga harus dilakukan dengan teliti, mula-mula dinding depan

10
rectum yang robek dijahit, kemudian fasia prarektal ditutup, dan muskulus sfingter ani

eksternus yang robek dijahit. Selanjutnya dilakukan penutupan robekan seperti pada

robekan perineum derajat kedua. Untuk mendapatkan hasil yang baik pada robekan

perineum total perlu diadakan penanganan pasca pembedahan yang sempurna

(Sumarah,2009).

2.6.4. Robekan derajat keempat

Robekan yang terjadi dari mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot

perineum, otot spinkter ani externa, dinding rectum anterior (Sumarah, 2009). Semua

robekan derajat ketiga dan keempat harus diperbaiki diruang bedah dengan anastesi

regional atau umum secara adekuat untuk mencapai relaksasi sfingter. Ada argument

yang baik bahwa robekan derajat ketiga dan keempat, khususnya jika rumit, hanya

boleh diperbaiki oleh profesional berpengalaman seperti ahli bedah kolorektum, dan

harus ditindak-lanjuti hingga 12 bulan setelah kelahiran.

Tujuan penanganan ruptur perineum dan robekan vagina adalah merapatkan

kembali jaringan yang terpotong dan menghasilkan hemostatis. Pada rata- rata kasus,

beberapa jahitan terputus lewat mukosa vagina, fourchette dan kulit perineum sudah

memadai. Jika perdarahannya banyak dilakukan penjahitan angka 8. Jahitan ini kurang

disimpul secara longgar paling baik bagi kulit karena jahitan ini kurang menimbulkan

tegangan dan lebih menyenangkan bagi pasien.

Robekan perineum harus dijahit. Hal ini dapat dilakukan sebelum placenta lahir,

tetapi apabila ada kemungkinan placenta harus dikeluarkan secara manual, lebih baik

tindakan itu ditunda sampai menunggu plasenta lahir. Dengan penderita berbaring

secara lithotomi dilakukan pembersihan luka dengan cairan antiseptik dan luas robekan

ditentukan secara seksama.

2.7. Faktor-faktor terjadinya ruptur perineum

11
Ruptur perineum disebabkan oleh faktor yang mencakup paritas, jarak kelahiran, berat

badan lahir, dan riwayat persalinan yang mencakup ekstraksi cuman, ekstraksi vakum dan

episiotomi.

2.7.1. Paritas

Persalinan adalah anak yang dilahirkan seorang ibu. Jumlah anak yang dilahirkan

berpengaruh terhadap kesehatan ibu. Menurut Notoadmojo, dikatakan bahwa terdapat

kecenderungan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih baik dari yang berparitas

tinggi. Paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan grandemultipara

(Prawirohardjo, 2009).

a. Primipara adalah seorang wanita yang melahirkan bayi hidup untuk pertama kalinya.

b. Multipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi viable beberapa kali (sampai 5

kali).

c. Grandemultipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6 kali atau lebih, hidup

ataupun mati (Mochtar, 2012).

Robekan perineum terjadi hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga

terjadi pada persalinan berikutnya (Soepardiman,2009). Pada ibu dengan paritas satu atau

ibu primipara memiliki resiko lebih besar untuk mengalamirobekan perineum daripada

ibu dengan paritas lebih dari satu. Hal ini dikarenakan karena jalan lahir yang pernah

dilalui oleh kepala bayi sehingga otot – otat perineum belum meregang.

2.7.2. Jarak kelahiran

Jarak kelahiran adalah rentang waktu antara kelahiran anak sekarang dengan

kelahiran anak sebelumnya. Jarak kelahiran kurang dari dua tahun tergolong resiko tinggi

karena dapat menimbulkan komplikasi pada persalinan. Jarak kelahiran 2-3 tahun

merupakan jarak kelahiran yang lebih aman bagi ibu dan janin. Begitu juga dengan

keadaan jalan lahir yang mungkin pada persalinan terdahulu mengalami robekan

12
perineumderajat tiga dan empat, sehingga proses pemulihanbelum sempurna dan robekan

perineum dapat terjadi (Depkes dalam Rosdiana, 2013). Menurut pendapat ambarwati

jarak kehamilan sebaiknya lebih dari 2 tahun. Jarak kahamilan yang terlalu dekat

menyebabkan ibu punya kembali kondisi sebelumnya (Ambarawati dalam Rifida, 2012).

2.7.3. Partus presipitatus

Partus presipitatus adalah persalinan yang terlalu cepat yakni kurang dari 3 jam.

Sehingga sering petugas belum siap untuk menolong persalinan dan ibu mengejan kuat

dan tidak terkotrol, kepala janin terjadi defleksi terlalu cepat. Keadaan ini memperbesar

kemungkinan terjadinya ruptur perineum (Mochtar,1998). Laserasi spontan pada vagina

atau perineum dapat terjadi saat kepala dan

bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu

cepat dan tidak terkendali. Partus presipitatus dapat menyebabkan terjadinya ruptur

perineum bahkan robekan serviks yang dapat mengakibatkan perdarahan pascapersalinan

(Saifuddin, 2008).

2.7.4. Partus lama

Partus lama adalah bila persalinan berlangsung lebih dari 24 jam pada

primigravida dan 18 jam bagi multigravida (Oxorn,2010). Parus lama dapat menimbulkan

bahaya baik bagi ibu maupun janin, beratnya cidera makin meningkat dengan semakin

lamanya proses persalinan seperti meningkatnya insiden atonia uteri, laserasi, dan

perdarahan lainnya yang merupakan penyebab utama kematian ibu (Oxorn,1996).

2.7.5. Berat badan bayi

Menurut Winkjosastro berat badan lahir pada janin yang berat badannya melebihi

4000 gram akan menimbulkan kesukaran persalinan, apabila dijumpai pada kepala yang

besar atau kepala yang lebih keras dapat menyebabkan ruptur perineum (Kutipan Gea,

2013).

Menurut Sylviati (2008), barat badan lahir dapat diklasifikasikan menjadi:

13
a. Bayi besar adalah bayi dengan berat lebih dari 4000 gram

b. Bayi berat lahir cukup yaitu bayi dengan lahir lebih dari 2500 – 4000 gram.

c. Bayi berat lahir dengan adalah bayi dengan berat lahir dibawah 2500 gram.

Berat badan janin dapat mengakibatkan terjadinya ruptur perineum apabila berat

badan janin diatas 3500 gram, karena resiko trauma partus melalui vagina seperti distosia

bahu dan kerusakan jaringan lunak pada ibu. Perkiraan berat janin tergantung pada

pemeriksaan klinik atau ultrasonografi dokter atau bidan. Pada masa kehamilan,

hendaknya terlebih dahulu mengukur tafsiran berat badan janin (Chalik,2009).

2.8. Etiologi ruptur perineum

Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana:

a) Kepala janin lahir terlalu cepat;

b) Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya;

c) Sebelumya pada perineum terdapat banyak jaringan parut;

d) Pada persalianan dengan distosia bahu (Prawiharjo, 2011);

e) Presentasi defleksi (dahi,muka);

f) Primipara;

g) Letak sungsang;

h) Pada obstetri dan embriotomi: ekstraksi vakum, ekstraksi forsep, dan embriotomi

(Mochtar,2005)

Robekan perineum berkaitan dengan kelahiran primipara, kala dua persalinan yang

lama, arcus pubis yang sempit, posisi kepala yang kurang fleksi dan oksipital posterior,

14
presipitasi persalinan,bayi besar (lebih dari 4000 g), distosia bahu, kelahiran pervaginam

dengan bantuan misalnya forceps tetapi lebih sedikit dengan ventiouse (David,2008).

2.8. Pencegahan terjadinya ruptur perineum

2.8.1. Sebelum partus

Berlatih latihan Kegel sebelumnya untuk memperkuat dasar panggul Anda,

minum vitamin prenatal, makan diet seimbang, berolahraga secara teratur, dan menjaga

kesehatan secara keseluruhan.

2.8.2. Saat partus

Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat bayi dilahirkan,

terutama saat kelahiran kepala dan bahu. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi

dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali. Janin bekerjasama dengan ibu selama

persalinan dan gunakan manuver tangan yang tepat untuk mengendalikan kelahiran bayi

serta membantu mencegah terjadinya laserasi. Kerjasama ini dibutuhkan terutama saat

kepala bayi dengan diameter 5-6 cm telah membuka vulva (crowning). Kelahiran kepala

yang terkendali dan perlahan memberikan waktu pada jaringan vagina dan perineum

untuk melakukan penyesuaian dan akan mengurangi kemungkinan terjadinya robekan.

Saat kepala mendorong vulva dengan diameter 5-6 cm bimbing ibu untuk meneran dan

berhenti untuk beristirahat atau bernapas dengan cepat. Menggunakan pelumas saat tiba

saatnya untuk mendorong menjaga perineum Anda hangat, seperti dengan handuk

15
hangat, untuk meningkatkan aliran darah dan melembutkan otot-otot dasar panggul.

2.9. Meminimalkan derajat ruptur perineum

Menurut buku acuan persalinan normal, kerja sama dengan ibu dan penggunaan perasat

manual yang tepat dapat mengatur ekspulsi kepala, bahu, seluruh tubuh bayi untuk mencegah

laserasi atau meminimalkan robekan pada perineum.

Cara-cara yang dianjurkan untuk meminimalkan terjadinya robekan  perineum

diantaranya adalah:

a.       Saat kepala membuka vulva (5-6 cm) penolong meletakkan kain bersih dan kering yang

dilipat sepertiga dibawah bokong ibu dan menyiapkan kain atau handuk bersih diatas

perut ibu, untuk mengeringkan bayi segera setelah lahir.

b.      Melindungi perineum dengan satu tangan dengan kain yang bersih dan kering, ibu jari

pada salah satu perineum dan empat jari tangan pada sisi yang lain dibelakang kepala

bayi.

c.      Menahan kepala bayi agar posisi kepala tetap fleksi pada saat keluar secara bertahap

melalui introitus dan perineum.

d.      Melindungi perineum dan mengendalikan lahirnya kepala, bahu, dan seluruh tubuh bayi

secara bertahap dengan hati-hati dapat mengurangi regangan berlebihan (robekan) pada

vagina dan perineum.

Melindungi perineum dan mengendalikan keluarnya kepala bayi dengan hati-hati dapat

mengurangi robekan pada vagina dan perineum.

2.9. Episiotomi

Episiotomi adalah insisi pada perineum untuk memperbesar mulut vagina.

2.9.1 Indikasi episiotomi

a)      Faktor Ibu

16
1)     Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak ditolong (sebab  paling

sering).

2)     Pasien tidak mampu berhenti mengejan.

3)     Partus diselesaikan secara tergesa- gesa dengan dorongan fundus yang

berlebihan.

4)      Edema dan kerapuhan pada perineum.

5)      Varikositas vulva yang melemahkan jaringan perineum.

6)      Arcus pubis sempit dengan pintu bawah panggul yang sempit pula sehingga

menekan kepala bayi kearah posterior.

7)      Perluasan episiotomi.

b)     Faktor bayi

1)      Bayi yang besar.

2)      Posisi kepala yang abnormal, misalnya presentasi muka dan occipitoposterior.

3)      Kelahiran bokong.

4)      Ekstaksi forceps yang sukar.

5)      Distosia bahu.

6)      Anomaly kongenital, seperti hydrocephalus.

Jenis episiotomi ditentukan berdasarkan tempat dan arah insisi antara lain :

a)       Episiotomi garis medial

Paling sering dilakukan. Episiotomi ini efektif, mudah diperbaiki, dan biasanya

nyeri yang timbul lebih ringan. Kadang-kadang dapat terjadi perluasan melalui sfingter

rectum (laserasi derajat ketiga) atau bahkan ke kanal ani (laserasi derajat keempat).

b)       Episiotomi mediolateral

Dilakukan pada persalinan dengan tindakan jika ada kemungkinan terjadi perluasan

kearah posterior. Meskipun dengan demikian robekan derajat empat dapat dihindari,

17
tetapi robekan derajat tiga dapat terjadi. Selain itu, Jika dibandingkan dengan episiotomi

medial, kehilangan darah akan lebih banyak dan perbaikan lebih sulit serta lebih nyeri.

Gambar 2.7. Contoh cara melakukan episiotomi mediolateral

2.10. Laserasi

a) Laserasi perineum (robekan perineum)

Robekan pada perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tidak jarang

juga pada persalinan berikutnya, namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan

jalan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat.

Robekan perineum dapat di bagi 4 tingkat :

(1)   Tingkat 1 : Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vagina dengan atau tanpa

mengenai kulit perineum.

(2)   Tingkat 2 : Robekan mengenai selaput lendir vagina dan otot perinel transversalis,

tetapi tidak mengenai otot sfringter ani.

(3)   Tingkat 3 : Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfringter ani.

(4)   Tingkat 4 : Robekan mengenai perineum sampai dengan otot sfringter ani dan mukosa

rectum

18
Gambar 2.8. Derajat ruptur perineum

b)      Laserasi vagina

c)      Laserasi serviks (cedera serviks).

2.11. Perawatan Luka Jahitan Perineum

a.      Pengertian perawatan luka perineum

Perawatan adalah proses pemenuhan kebutuhan dasar manusia (biologis,

psikologis, sosial dan spiritual) dalam rentang sakit sampai dengan sehat. Perineum

adalah daerah antara kedua belah paha yang dibatasi oleh vulva dan anus. Jadi

perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk menyehatkan daerah antara

paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masa antara kelahiran plasenta

sampai dengan kembalinya organ genetik seperti pada waktu sebelum hamil.

b.      Gangguan integritas kulit pada proses persalinan

c.      Tujuan perawatan luka perineum

1)     Untuk mencegah terjadinya infeksi di daerah vulva, perineum, maupun di dalam

uterus

2)     Untuk penyembuhan luka perineum (jahitan perineum)

3)     Untuk kebersihan perineum dan vulva

4)     Untuk mencegah infeksi seperti diuraikan diatas bahwa saat persalinan vulva

merupakan pintu gerbang masuknya kuman-kuman. Bila daerah vulva dan perineum
19
tidak bersih, mudah terjadi infeksi pada jahitan perineum saluran vagina dan uterus.

d.      Waktu perawatan luka perineum

1)      Saat mandi.

Pada saat mandi, ibu post partum pasti melepas pembalut, setelah terbuka maka ada

kemungkinan terjadi kontaminasi bakteri pada cairan yang tertampung pada pembalut,

untuk itu maka perlu dilakukan penggantian pembalut, demikian pula pada perineum

ibu, untuk itu diperlukan pembersihan perineum.

2)      Setelah buang air kecil.

Pada saat buang air kecil, pada saat buang air kecil kemungkinan besar terjadi

kontaminasi air seni pada rektum akibatnya dapat memicu pertumbuhan bakteri pada

perineum untuk itu diperlukan pembersihan perineum.

3)      Setelah buang air besar.

Pada saat buang air besar, diperlukan pembersihan sisa-sisa kotoran disekitar anus,

untuk mencegah terjadinya kontaminasi bakteri dari anus ke perineum yang letaknya

bersebelahan maka diperlukan proses pembersihan anus dan perineum secara

keseluruhan.

Mempersiapkan penjahitan :

a. Bantu ibu mengambil posisi litotomi sehingga bokongnya berada di tepi tempat tidur meja.

b. Tempatkan handuk atau kain bersih di bawah bokong ibu.

c. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehinnga perineum padat dilihat jelas.

d. Gunakan teknik aseptik pada saatmemeriksa robekanatau episiotomi, memberikan anastesi

lokal dan menjahit luka.

e. Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir.

f. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau yang steril.

g. Dengan menggunakan aseptik, persiapkan peralatan dan bahan – bahan disinfeksi tingkat

20
tinggi untuk penjahitan.

h. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah dilihat dan

panjahitan tanpa kesulitan.

i. Gunakan kain/kasa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka vulva, vagina dan

perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau bekuan darah yang ada sambil menilai

dalam luasnya luka.

j. Periksa vagina, servik dan perineum secara lengkap, pastikan bahwa laserasi/ sayatan

perineum hanya merupakan derajat satu atau lebih jauh untuk memeriksa bahwa tidak

terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam

anus dengan hati –hati dan angkat jari tersebut perlahan –lahan untuk mengidentifikasi

sfinter ani. Raba tonus atau ketegangan sfinger. Jika sfingter terluka, ibu mengalami

laserasi derajat tiga atau empat dan harus segera dirujuk. Ibu juga dirujuk jika mengalami

laserasi serviks.

k. Ganti sarung tangan sengan sarungtangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril yang baru

setelah melakukan pemeriksaaan rektum.

l. Berikan anastesi lokal.

m. Siapkan jarum (pilih jarum yang batangnya bulat, tidak pipih) dan benang. Gunakan

benang kronik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat lentur, kuat, tahan lama dan paling

sedikit menimbulkan reaksi jaringan.Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut

90 derajat, jepit dan jepit jarum tersebut.(APN 2017)

2.12. Penanganan ruptur perineum

Menurut Nugroho (2012) ada beberapa langka untuk menangani ruptur perineum.

a. Sebelum merepair luka episiotomylaserasi jalan lahir harus diekpose/ditampilkan dengan

jelas, bila diperlukan dapat menggunakan bantuan speculum sims.

b. Identifikasi apakah terdapat laserasi serviks, jika harus direpair terlebih dahulu.

21
c. Masukkan tampon atau kassa kepuncak vagina untuk menahan perdarahan dari dalam

uterus untuk sementara sehingga luka episiotomi tampak jelas.

d. Masukkan jari ke II dan III dalam vagina dan regangkan untuk dinding vagina untuk

mengekpose batas atas (ujung) luka.

e. Jahitan dimulai 1 cm prosimal puncak luka, luka dinding vagina dijahit kearah distal hingga

batas commissura posterior.

f. Rekontruksi diafragma urogenital (otot perineum) dengan cromic catgut 2-0.

g. Jahitan diteruskan dengan penjahitan perineum.

Menurut Oxorn (2010) ada beberapa langkah menangani ruptur perineum

1) Robekan derajat pertama

Robekan ini kecil dan diperbaiki sesederhana mungkin. Tujuannya adalah

merapatkan kembali jaringan yang terpotong dan menghasilkan hemostatis. Pada rata-rata

kasus beberapa jahitan terputus lewat mukosa vagina, fourchette dan kulit perineum sudah

memadai. Jika perdarahannya banyak dapat digunakan jahitan angka-8, jahitan karena

jahitan ini kurang menimbulkan tegangan dan lebih menyenagkan bagi pasiennya.

2) Robekan derajat kedua

lapis demi lapis: a) Jahitan terputus, menerus ataupun jahitan simpul digunakan

untuk merapatkan tepi mukosa vagina dan submukosanya; b) Otot-otot yang dalam corpus

perineum dijahit menjadi satu dengan terputus; c) Jahitan subcutis bersambung atau jahitan

terputus, yang disimpulkan secara longgar menyatukan kedua tepi kulit

3) Robekan derajat ketiga yang total diperbaiki lapis demi lapis:

a. Dinding anterior rectum diperbaiki dengan jahitan memakai chromic catgut halus 3-0

atau 4-0 yang menyatu dengan jarum. Mulai pada apex, jahitan terputus dilakukan pada

submukosa sehingga tunica serosa,musculusdan submukosa rectum tertutup rapat.

b. Garis perbaiki ulang dengan merapatkanfascia perirectal dan fascia septum

22
rectovaginalis. Digunakan jahitan menurus atau jahitan terputus.

c. Pinggir robekan spincter recti (yang telah mengerut) diidentifikasi dijepit dengan forceps

allis dan dirapatkan dengan jahitan terputus atau jahitan berbentuk angka- 8 sebanyak

dua buah.

d. Mukosa vagina kemudian diperbaiki seperti pada episotomi garis tengah, dengan jahitan

menerus atauterputus.

e. Musculus perineus dijahit menjadi satu dengan jahitan terputus.

f. Kedua tepi kulit dijahit menjadi satu dengan jahitan subculus menerus atau jahitan

terputus yang disimpulkan secara longgar. Perbaikan pada robekan partial.

Perbaikanpada robekan partial derajat ketiga serupa denganperbaikan pada robekan

total, kecuali dinding rectum masih utuh dan perbaikan dimulai dengan menerapkan

kembali kedua ujung sphincter recti terobek (Oxorn,2010).

2.13. Pengobatan Robekan Jalan Lahir

Pengobatan yang dapat dilakukan untuk robekan jalan lahir adalah dengan memberikan

uterotonika setelah lahirnya plasenta, obat ini tidak boleh diberikan sebelum bayi lahir.

Manfaat dari pemberian obat ini adalah untuk mengurangi terjadinya perdarahan pada kala III

dan mempercepat lahirnya plasenta. Perawatan luka perineum pada ibu setelah melahirkan

berguna untuk mengurangi rasa ketidaknyamanan, menjaga kebersihan, mencegah infeksi dan

mempercepat penyembuhan luka. Perawatan perineum umumnya bersamaan dengan

perawatan vulva. Hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a) Mencegah kontaminasi dengan

rectum; b) Menangani dengan lembut jaringan luka; c) Menbersihkan darah yang menjadi

sumber infeksi dan bau (Saifuddin,2001).

2.14. Komplikasi

Resiko komplikasi yang mungkin terjadi jika ruptur perineum tidak segera diatasi, yaitu:

23
a. Perdarahan

Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan dalam waktu

satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penataksanaan yang cermat selama kala satu

dan kala empat persalinan sangat penting. Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara

memantau tanda vital, mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah

perdarahan lanjutan dan menilai tonus otot (Depkes, 2006).

b. Fistula

Fistula dapat terjadi tanda diketahui penyebabnya karena perlukaan pada vagina

menembus kandung kencing atau rectum. Jika kandung kencing luka, maka air kencing

akan segera keluar melalui vagina. Fistula dapat menekan kandung kencing atau rektum

yang lama antara janin dan panggul,sehingga terjadi iskemia (Depkes, 2006)

c. Hematoma

Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena adanya

penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai dengan rasa nyeri pada

perineum dan vulva berwarna biru dan merah. Hematoma dibagian pelvis bisa terjadi

dalam vulva perineum dan fosa iskiorektalis. Biasanya karena trauma perineum tetapi bisa

juga dengan varikositas vulva yang timbul bersamaan dengan gejala peningkatan nyeri.

Kesalahan yang menyebabkan diagnosis tidak diketahui dan memungkinkan banyak darah

yang hilang. Dalamwaktu yang singkat, adanya pembengkakan biru yang tegang pada

salah satu sisi introitus di daerah ruptur perineum (Martius, 1997).

d. Infeksi

Infeksi pada masanifas adalah peradangan di sekitar alat genitalia pada kala nifas.

Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya kuman ke dalam tubuh sehingga

menimbulkan infeksi. Dengan ketentuan meningkat suhu tubuh melebihi 38., tanpa

menghitung pireksia nifas. Setiap wanita yang mengalami pireksia nifas harus

diperhatikan, diisolasi, dan dilakukan inspeksi pada traktus genetalis untuk mencari

24
laserasi, robekan atau luka episiotomi (Liwellyin, 2001).

Robekan jalan lahir selalu meyebabkan perdarahan yang berasal dari perineum,

vagina, serviks, dan robekan uterus (ruptur uteri). Penanganan yang dapat dilakukan

dalamhal ini adalah dengan melakukan evaluasi terhadap sumber dan jumlah perdarahan.

Jenis robekan perineum adalah mulai dari tingkatan ringan sampai dengan robekan yang

terjadi pada seluruh perineum yaitu mulai dari derajat satu sampai dengan derajat empat.

Ruptur perineum dapat diketahui dari tanda dan gejala yang muncul serta penyebab

terjadinya. Dengan diketahuinya tanda dan gejala terjadinya rupture perineum, maka

tindakan dan penanganan selanjutnya dapat dilakukan.

Kaitan yang ditemukan dalam penulisan ini adalah penyebab terjadinya ruptur

perineum, hal-hal yang dapat dilakukan serta tanda dan gejala yang terlihat serta upaya

lanjutan yang berkaitan dengan penanganannya.

2.15. Cara perawatan luka perineum

Perawatan perineum dapat mengurangi kemungkinan terjadinya infeksi dengan cara

menjaga kebersihan perineum. Caranya sebagai berikut:

1)      Persiapan :

a)      Siapkan air hangat

b)      Sabun dan washlap

c)      Handuk kering dan bersih

d)     Pembalut ganti yang secukupnya

e)      Celana dalam yang bersih

2)      Cara merawatnya :

a)      Lepas semua pembalut dan cebok dari arah depan ke belakang.

b)     Washlap dibasahi dan buat busa sabun lalu gosokkan perlahan washlap yang sudah

ada busa sabun tersebut ke seluruh lokasi luka jahitan. Jangan takut dengan rasa

25
nyeri, bila tidak dibersihkan dengan benar maka darah kotor akan menempel pada

luka jahittan dan menjadi tempat kuman berkembang biak.

c)      Bilas dengan air hangat dan ulangi sekali lagi sampai yakin bahwa luka benar-

benar bersih. Bila perlu lihat dengan cermin kecil.

d)     Setelah luka bersih boleh berendam dalam air hangat dengan menggunakan tempat

rendam khusus. Atau bila tidak bisa melakukan perendaman dengan air hangat

cukup di siram dengan air hangat.

e)      Kenakan pembalut baru yang bersih dan nyaman serta celana dalam yang bersih

dari bahan katun. Jangan mengenakan celana dalam yang bisa menimbulkan

reaksi alergi.

f)       Segera mengganti pembalut jika terasa darah penuh, semakin bersih luka jahitan

maka akan semakin cepat sembuh dan kering.

g)      Konsumsi makanan bergizi dan berprotein tinggi agar luka jahitan cepat sembuh.

Makanan berprotein ini bisa diperoleh dari telur, ikan, ayam dan daging, tahu,

tempe. Jangan pantang makanan, ibu boleh makan semua makanan kecuali  bila

ada riwayat alergi.

h)      Luka tidak perlu dikompres obat antiseptik cair tanpa seizin dokter atau bidan.

3)      Lamanya jahitan mengering

Luka jahitan rata-rata akan kering dan baik dalam waktu kurang dari satu minggu.

Bila keluar darah kotor bau busuk dari jalan lahir, ibu panas, dan luka jahitan bengkak

kemerahan terasa sangat nyeri atau luka jahitan bernanah.

Ada beberapa catatan yang perlu diketahui:

a)      Luka jahitan terasa sedikit nyeri

Jangan cemas, rasa nyeri ini akibat terputusnya jaringan syaraf dan jaringan otot,

namun semakin sering di gerakkan maka nyeri akan berkurang. Bila ibu hanya

26
berbaring terus menerus dan takut bergerak karena nyeri akan menghambat proses

penyembuhan. Sirkulasi darah pada luka menjadi tidak lancar.

b)      Luka terlihat sedikit bengkak dan merah

Pada proses penyembuhan luka tubuh secara alami akan memproduksi zat – zat

yang merupakan reaksi perlawanan terhadap kuman. Sehingga dalam proses

penyembuhan luka kadang terjadi sedikit pembengkakan dan kemerahan. Asalkan luka

bersih ibu tak perlu cemas. Bengkak dan merah ini bersifat sementara.

Beberapa keluarga masih ada yang menganjurkan untuk mengurangi minum air

putih agar jahitan cepat kering. Hal ini sama sekali tidak dibenarkan. Justru ibu harus

minum yang banyak, minimal 8 gelas sehari untuk memperlancar buang air kecil,

mengganti cairan tubuh yang hilang dan memperlancar proses pengeluaran ASI.

27
Daftar Pustaka

Ambarwati, F.R.,Nasution, N. (2012). Buku pintar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Yogyakarta:
Cakrawala Ilmu.

Campion. 2009. Ruptur Perineum. http://www.stikesharapanmama.blogspot.com/2011/05/ruptur-


perineum

Chalik, T.M.A. (2009). Perdarahan pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan, Dalam: Ilmu

David. 2008: Manual persalinan. Jakarta: EGC.

Departemen Kesehatan. 2006. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta : Depkes RI

Hamilton. 2002. Masa Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo

Hilmy. 2010. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Ruptur Perineum. http/www.ruptur


perineum.com

Ibrahim, C S., 1996. Perawatan Kebidanan Jilid II. Jakarta: Bhatara Niaga Medika.

Junizaf dan Soepardiman. 2009. Kehamilan. http:// Junizaf dan Soepardiman,.com

Kebidanan, Edisi 4, Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, Hlm 495-502

Kutipan Gea 2013

Liwellyin, William. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Widya Medika.

Martius, Gerhard, Bedah Kebidanan ,Jakarta : EGC. 1997

Mochtar Rustam, 2005, Sinopsis Obstetri, Jakarta: EGC

Mochtar, R. 2012. Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi: Jilid I. Jakarta: EGC.

Mochtar, R., 1998. Sinopsis Obstetri. Jilid I. Jakarta: EGC.

Neonatal. Jakarta. : Yayasan Bina Pustaka Sarwono.

Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Oxorn, H. Forte., William, R. 1996. Ilmu Kebidanan: Fisiologi dan Patologi Persalinan. Jakarta:
Yayasan Essentia Medika

Oxorn, Harry, Et Al. 2010. Ilmu Kebidanan Patologi & Fisiologi Persalinan. Yogyakarta; Yayasan
Essentia Medica

28
Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan, Jakarta ; Bina Pustaka.

Rosdiana, 2013. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya ruptur perineum pada ibu bersalin
normal di PONED Darul Imarah Aceh Besar. Karya Tulis Ilmiah, STIKES U’Budiyah Banda
Aceh, Aceh.

Rukiyah, Ai Yeyeh & Lia Yulianti. 2010. Asuhan Kebidanan IV (Patologi Kebidanan). Jakarta:
Trans Info Media

Saifuddin. 2002. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta: EGC.

Siswosudarmo, Risanto & Emilia, Ova. 2008. Obstetri Fisiologi. Yogyakarta: Pustaka Cendikia
Press: 224.

Sumarah. 2008. Perawatan Ibu Bersalin. Yogyakarta: Fitramaya

Sumarah, Widyastuti & Wiyati. 2009. Perawatan Ibu Bersalin (Asuhan Kebidanan pada Ibu
Bersalin). Jakarta: Fitramaya.

Sylviati M, 2008. Klasifikasi Bayi Menurut Berat Lahir dan Masa Gestasi. In: Sholeh Kosim, dkk.
Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 11-30

Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayaan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo; 2007.

29

Anda mungkin juga menyukai