Anda di halaman 1dari 38

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Persalinan sering mengakibatkan perlukaan jalan lahir. Luka-luka biasanya ringan, tetapi kadang-kadang terjadi juga luka luas dan berbahaya. Setelah persalinan harus dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Luka yang luas bisa menyebabkan perdarahan pasca persalinan yaitu perdarahan lebih dari 500-600 ml dalam masa 24 jam setelah anak lahir. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus di evaluasi, yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi sumber perdarahan yang berasal dari perineum, vagina dan robekan uterus (ruptura uteri). Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya robekan jalan lahir, di antarnya adalah persalinan dengan distosia bahu, partus presipitatus, perluasan episiotomi, multiparitas, dan lain-lain. Perdarahan karena robekan jalan lahir banyak di jumpai pada pertolongan persalinan oleh dukun karena tanpa di jahit. Perawat di harapkan melaksanakan pertolongan persalinan secara legalitas di tengah masyarakat melalui layanan kesehatan. Perawat dengan pengetahuan medisnya di harapkan bisa mengarahkan pertolongan persalinan dengan resiko rendah. Pertolongan persalinan resiko rendah mempunyai komplikasi ringan sehingga dapat menimbulkan perdarahan pun akan semakin berkurang.

Tujuan Penulisan 1.1.1 Tujuan umum Diharapkan mahasiswa mampu melaksanakan asuhan keperawatan pada ibu bersalin dengan penyulit Laserasi (robekan) jalan lahir.

1.1.2 Tujuan khusus 1. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian data pada ibu bersalin dengan penyulit robekan jalan lahir 2. Mahasiswa mampu melalakukan analisa data untuk menentukan diagnosa pada ibu bersalin dengan penyulit robekan jalan lahir 3. Mahasiswa mampu mengidentifikasi diagnosa potensial pada ibu bersalin dengan penyulit robekan jalan lahir 4. Mahasiswa mampu mengidentifikasi kebutuhan segera pada ibu bersalin dengan penyulit robekan jalan lahir 5. Mahasiswa mampu menyusun rencana askep berdasarkan diagnosa pada ibu bersalin dengan penyulit robekan jalan lahir 6. Mahasiswa mampu melaksanakan askep sesuai rencana yang dibuat pada ibu bersalin dengan penyulit robekan jalan lahir 7. Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil askep yang telah dilaksanakan pada ibu bersalin dengan penyulit robekan jalan lahir

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Konsep Dasar Robekan Jalan Lahir 2.1.1 Pengertian a. Robekan adalah terputusnya kontinyuitas jaringan. (Kamus Lengkap Kedokteran : 109) b. Jalan lahir terdiri atas jalan lahir bagia keras dan jalan lahir bagian lunak yang harus di lewati oleh janin dalam proses persalinan pervaginam. (Ilmu Bedah Kebidanan : 1) c. Robekan jalan lahir adalah robekan yang selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang bervariasi banyaknya yang berasal dari perineum, vagina serviks, dan uterus. (Ilmu kebidanan, penyakit kandungan, & KB untuk pendidikan bidan : 308) d. Laserasi perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan (Mochtar, 1998).

2.1.2 Klasifikasi 2.1.2.1 Perineum a. Pengertian Perineum adalah bagian terendah badan yaitu sabuah garis yang menyambung kedua tuberositas iskhil, membaginya menjadi daerah depan garis ini yaitusegitiga urogenital dan belakangnya ialah segitiga anal. (anatomi fisiologi , evelyn : 256) Perineum adalah jaringan antara vestibulum vulva dan anus dan panjang kira-kira 4 cm (Maimunah, 2005). Sedangkan menurut kamus Dorland perineum adalah daerah antara kedua belah paha, antara vulva dan anus. Perineum terletak antara vulva dan anus, panjangnya rata-rata 4 cm (Saifuddin, 2007). Laserasi perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan

(Mochtar, 1998).

a. Etiologi 1. Secara umum a. Kepala janin terlalu cepat lahir b. Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya c. Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut d. Pada persalinan dengan distosia bahu 2. Faktor maternal a. Partus presipitatus yang tidak dikendalikan dan tidak di tolong Tetania uteri adalah his yang terlampau kuat dan terlalu sering sehingga tidak ada relaksasi rahim. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya partus presipitatus yang dapat menyebabkan persalinan di atas kendaraan, di kamar mandi, dan tidak sempat dilakukan

pertolongan. Akibatnya terjadilah luka-luka jalan lahir yang luas pada serviks, vagina dan perineum, dan pada bayi dapat terjadi perdarahan intrakranial. Pada presipitatus tidak banyak yang dapat dilakukan karena janin lahir tiba-tiba dan cepat (Mochtar, 1998). Laserasi spontan pada vagina atau perineum dapat terjadi saat kepala dan bahu dilahirkan. Kejadian laserasi akan meningkat jika bayi dilahirkan terlalu cepat dan tidak terkendali (JNPK-KR, 2007). Akibat dari partus presipitatus antara lain terjadinya robekan

perineum bahkan robekan serviks yang dapat mengakibatkan perdarahan pasca persalinan, cedera kepala bayi dan depresi bayi (Stenchever & Sorensen, 1995, Saifuddin, 2008). b. Pasien tidak mampu berenti mengejan atau Mengejan terlalu kuat Pada saat persalinan diperlukan tenaga/power dari ibu bentuk dorongan meneran. Dorongan meneran tersebut muncul bersamaan dengan munculnya his atau kontraksi rahim. His yang bagus dapat memebuka jalan lahir dengan cepat, namun hal ini

dipengaruhi cara ibu mengejan, artinya jika hisnya bagus tetapi ibu menerannya tidak kuat maka tidak akan terjadi pembukaan jalan lahir. Sedangkan jika ibu mengejan terlalu kuat saat melahirkan kepala

yang merupakan diameter terbesar janin maka akan menyebabkan laserasi perineum. Bila kepala telah mulai lahir, ibu diminta mengejan karena

bernafas panjang, untuk menghindarkan tenaga

sinciput, muka dan dagu yang mempunyai ukuran panjang akan mempengaruhi perineum. Kepala lahir hendaknya pada akhir

kontraksi agar kekuatan tidak terlalu kuat (Ibrahim, 1996). c. Partus di selesaikan secara tergesa-gesa dengan dorongan fundus yang berlebihan d. Edema dan kerapuhan pada perineum Pada proses persalinan jika terjadi oedema pada perineum maka perlu dihindarkan persalinan pervaginam karena dapat dipastikan akan terjadi laserasi perineum (Manuaba, 1998). e. Perluasan perineum f. Primipara Bila kepala janin telah sampai didasar panggul, vulva mulai membuka. Rambut kepala janin mulai tampak. Perineum dan anus tampak mulai teregang. Perineum mulai lebih tinggi, sedangkan anus mulai membuka. Anus yang pada mulanya berbentuk bulat, kemudian berbentuk D. Yang tampak dalam anus adalah dinding depan rektum. Perineum bila tidak ditahan, akan robek (= perinei), terutama pada ruptura

primigravida.Perineum ditahan dengan

tangan kanan, sebaiknya dengan kain kasa steril (Saifuddin, 2007). Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya (Saifuddin, 2007). g. Kesempitan pintu bawah panggul Pintu bawah panggul tidak merupakan bidang yang datar, tetapi terdiri atas segi tiga depan dan segi tiga belakang yang mempunyai dasar yang sama, yakni distansia tuberum. Apabila

ukuran yang terakhir ini lebih kecil daripada biasa, maka sudut arcus pubis mengecil (kurang dari 800). Agar supaya dalam hal ini kepala janin dapat lahir, diperlukan ruangan yang lebih besar pada bagian

belakang pintu bawah panggul. Dengan diameter sagitalis posterior yang cukup panjang persalinan pervaginam dapat dilaksanakan, walaupun dengan perlukaan luas pada perineum (Saifuddin, 2007). h. Varises Vulva Wanita hamil sering mengeluh tentang pelebaran pembuluh darah, yang terjadi pada tungkai, vagina, vulva, dan terjadi wasir. Selain kelihatan kurang baik, pelebaran pembuluh darah ini dapat merupakan sumber perdarahan potensial pada waktu hamil maupun saat

persalinan. Kesulitan yang mungkin dijumpai adalah saat persalinan dengan varises vulva yang besar sehingga saat episiotomi dapat terjadi perdarahan (Manuaba, 1998). i. Kelenturan jalan lahir Perineum, walaupun bukan alat kelamin, namun selalu terlibat dalam proses persalinan. Apabila perineum cukup lunak dan elastis, maka lahirnya kepala tidak mengalami kesukaran. Biasanya

perineum robek dan paling sering terjadi ruptura perinei tingkat II dan tingkat III (Saifuddin, 2007). Perineum yang kaku menghambat persalinan kala II yang meningkatkan risiko kematian bagi janin, dan menyebabkan kerusakan-kerusakan jalan lahir yang luas.

Keadaan demikian dapat dijumpai pada primigravida yang umumnya lebih dari 35 tahun, yang lazim disebut primi tua (Saifuddin, 2007). Jalan lahir akan lentur pada perempuan yang rajin berolahraga atau rajin bersenggama. Olahraga renang dianjurkan karena dapat melenturkan jalan lahir dan otot-otot sekitarnya (Sinsin, 2008). Senam kegel yang dilakukan pada saat hamil memiliki manfaat yaitu dapat membuat elastisitas perineum (Nursalam, 2010). Selain itu dapat memudahkan kelahiran bayi tanpa banya merobek jalan lahir (tanpa atau sedikit jahitan) (Widianti & Proverawati, 2010). 3. Faktor janin a. Janin yang besar

Janin besar adalah bila berat badan melebihi dari 4000 gram. Persalinan dengan berat badan janin besar dapat menyebabkan terjadinya laserasi perineum (Mochtar, 1998). Berat badan janin

dapat mempengaruhi persalinan dan laserasi perineum. Bayi yang mempunyai berat badan yang besar dapat menimbulkan penyulit dalam persalinan diantaranya adalah partus lama, partus macet dan distosia bahu (Jones, 2001). Sebelum bersalin hendaknya ibu diperiksa Tinggi Fundus Uteri agar dapat diketahui Tafsiran Berat Badan Janin dan dapat diantisipasi adanya persalinan patologis yang disebabkan bayi besar seperti ruptura uteri, ruptura jalan lahir, partus lama,distosia bahu, dan kematian janin akibat cedera persalinan (Saifuddin, 2007). b. Posisi kepala bayi yang normal c. Kelahiran bokong atau peresentasi bokong Presentasi bokong atau letak sungsang adalah janin yang letaknya memanjang (membujur) dalam rahim, kepala berada di fundus dan bokong di bawah (Mochtar, 1998). Persalinan dengan penyulit seperti sungsang merupakan indikasi untuk melakukan episiotomi (Saifuddin, 2007). d. Ekstraksi forsep yang sukar e. Distosia bahu Distosia bahu adalah suatu keadaan yang memerlukan tambahan manuver obstetrik karena jika dilakukan dengan tarikan biasa kearah belakang pada kepala bayi tidak berhasil untuk melahirkan bayi (Cunningham, 2005). Persalinan dengan distosia bahu sering terjadi kerusakan pada traktus genitalis bawah seperti laserasi perineum (Jones, 2001). f. Presentasi defleksi Presentasi defleksi yang dimaksud dalam hal ini adalah presentasi puncak kepala dan presentasi dahi. Presentasi puncak kepala bagian terbawah adalah puncak kepala, pada pemeriksaan dalam teraba

Ubun-ubun Besar (UUB) yang paling rendah, dan UUB sudah berputar ke depan. Menurut statistik hal ini terjadi pada 1% dari seluruh persalinan. Komplikasi yang terjadi pada ibu adalah partus yang lama atau robekan jalan lahir yang lebih luas (Mochtar, 1998). Presentasi dahi adalah posisi kepala antara fleksi dan defleksi, dahi berada pada posisi terendah dan tetap paling depan. Pada penempatan dahi, biasanya dengan sendirinya akan berubah menjadi letak muka atau letak belakang kepala. Mekanisme persalinan kepala memasuki panggul biasanya dengan dahi melintang, atau miring. Pada waktu putaran paksi, dahi memutar ke depan. Maxilla (fossa canina) sebagai hipomoklion berada di bawah simpisis, kemudian terjadi fleksi untuk melahirkan belakang kepala melewati perineum, lalu defleksi, maka lahirlah mulut, dagu di bawah simpisis. Hal ini mengakibatkan partus menjadi lama dan lebih sulit, bisa terjadi robekan yang berat dan ruptura uteri (Mochtar, 1998). g. Kelainan kongenital seperti Hidrosefalus Hidrosefalus adalah penimbunan cairan serebrospinal dalam ventrikel otak sehingga kepala janin menjadi besar serta ubun-ubun menjadi lebar. Jumlah cairan bisa mencapai 1,5 liter bahkan ada yang sampai 5 liter. Sering dijumpai kelainan seperti spinabifida dan cacat bawaan lain pada janin (Mochtar, 1998). Persalinan dilakukan dengan persalinan kelainan hidrosefalus dianjurkan untuk adanya

perabdominan

untuk menghindari

cedera jalan lahir beserta cedera pada janin (Jones, 2001). (Ilmu kebidanan, patologi & fis. Persalinan : 451-452) 4. Faktor Penolong Persalinan 1) Cara memimpin mengejan dan dorongan pada fundus uteri Peran dari penolong persalinan adalah mengantisipasi dan menangani komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu dan janin. Dalam hal ini

proses tergantung dari kemampuan penolong dalam menghadapi proses persalinan (Sujiyatmi, dkk., 2011) 2) Ketrampilan menahan perineum pada saat ekspulsi kepala Mencegah laserasi yaitu dengan kerjasama yang baik antara penolong terutama saat kepala crowning ( pembukaan 5-6 cm di vulva) serta

kelahiran kepala yang terkendali dan perlahan memberikan waktu pada vagina dan perineum untuk mengadakan penyesuaian untuk mengurangi robekan (Hidayat & Sujiyatini, 2010). Saat kepala janin sampai di dasar panggul, vulva mulai terbuka, rambut kepala kelihatan. Setiap his kepala lebih maju, anus terbuka, perineum meregang. Penolong harus menahan perineum dengan tangan kanan beralaskan kain kasa atau kain doek steril, supaya tidak terjadi robekan perineum (Mochtar, 1998). 3) Anjuran posisi meneran Penolong persalinan harus memfasilitasi ibu dalam memilih sendiri posisi meneran dan menjelaskan alternatif-alternatif posisi meneran bila posisi yang dipilih ibu tidak efektif (Sumarah, Widyastuti & Wiyati, 2009). Adapun macam-macam posisi meneran adalah : a) Duduk atau setengah duduk Dengan posisi ini penolong persalinan lebih leluasa dalam

membentu kelahiran kepala janin serta lebih leluasa untuk dapat memperhatikan perineum. b) Merangkak Posisi merangkak sangat cocok untuk persalinan dengan rasa sakit pada punggung, mempermudah janin dalam melakukan rotasi serta peregangan pada perineum berkurang. c) Jongkok atau berdiri Posisi jongkok atau berdidi memudahkan penurunan kepala janin, memperluas panggul sebesar dua puluh delapan persen lebih besar pada pintu bawah panggul, memperkuat dorongan meneran.

Namun posisi ini beresiko terjadinya laserasi (perlukaan jalan lahir).

d) Berbaring miring kekiri Posisi berbaring miring kekiri dapat mengurangi penekanan pada vena cava inferior sehingga dapat mengurangi kemungkinan

terjadinya hipoksia, karena suplay oksigen tidak terganggu, dapat memberi suasana rileks bagi ibu yang mengalami kecapekan dan dapat mencegah terjadinya laserasi / robekan jalan lahir. e) Hindari posisi terlentang Pada posisi terlentang dapat menyebabkan : 1) Hipotensi dapat beresiko terjadinya syok dan berkurangnya suplay oksigen dalam sirkulasi uteroplacenta sehingga dapat menyebabkan hipoksia bagi janin. 2) Rasa nyeri yang bertambah. 3) Kemajuan persalinan bertambah lama. 4) Ibu mengalami gangguan untuk bernafas. 5) Buang air kecil terganggu. 6) Mobilisasi ibu kurang bebas. 7) Ibu kurang semangat. 8) Resiko laserasi jalan lahir bertambah. 9) Dapat mengakibatkan kerusakan pada syaraf kaki dan punggung

b. Episiotomi Penyembuhan luka pada perineum akan lebih sempurna bila pinggirnya lurus dan otot-otot mudah dijahit. Pada persalinan spontan sering terjadi robekan perineum yang merupakan luka dengan pinggir yang tidak teratur. Hal ini akan menghambat penyembuhan perineum sesudah luka dijahit. Oleh karena itu, dan juga untuk melancarkan jalannya persalinan, dapat dilakukan insisi pada perineum pada saat kepala janin tampak dari luar dan mulai

meregangkan perineum (Saifuddin, 2007). Tindakan episiotomi pada masa lalu dilakukan secara rutin terutama pada primipara. Tindakan ini bertujuan untuk mencegah trauma pada kepala janin,

mencegah kerusakan pada sfingter ani serta lebih mudah untuk menjahitnya. Kenyataannya tindakan episiotomi dapat menyebabkan peningkatan jumlah kehilangan darah ibu, bertambah dalam luka perineum, meningkatkan

kerusakan pada spinter ani dan peningkatan rasa nyeri pada hari pertama postpartum (Sumarah, Widyastuti & Wiyati, 2009). a) Indikasi episiotomi Menurut Sumarah, Widyastuti & Wiyati, 2009, indikasi episiotomi adalah : 1) 2) Gawat janin. Persalinan pervaginam dengan penyulit, misalnya presentasi bokong, distosia bahu, akan dilakukan ekstraksi forcep, ekstraksi vacum. 3) 4) 5) 6) Jaringan parut pada perineum ataupun pada vagina. Perineum kaku dan pendek. Adanya ruptur yang membakat pada perineum. Prematur untuk mengurangi tekanan pada kepala janin.

Dianjurkan untuk melakukan episiotomi pada pada primigravida atau pada wanita dengan perineum yang kaku. Episiotomi ini dilakukan bila perineum telah menipis dan kepala janin tidak masuk kembali kedalam vagina (Saifuddin, 2007). Episiotomi dilakukan bila perineum sudah menipis dan kepala janin tidak masuk lagi dalam vagina, yaitu dengan jalan mengiris atau menggunting perineum. Ada tiga arah irisan diantaranya medialis, medio-lateralis dan lateralis. Tujuan episiotomi adalah supaya tidak terjadi robekan perineum yang tidak teratur (Mochtar, 1998). Derajat Laserasi perineum Laserasi diklasifikasikan berdasarkan luasnya robekan, yaitu sebagai berikut : a. Derajat I : luasnya robekan hanya sampai mukosa vagina, komisura posterior tanpa mengenai kulit perineum. Tidak perlu dijahit jika tidak ada perdarahan dan posisi luka baik.

b. Derajat II : robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum dan otot perineum. Jahit menggunakan teknik penjahitan laserasi perineum. c. Derajat III : robekan yang terjadi mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot perineum hingga otot sfingter ani. d. Derajat IV : robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai mukosa vagina, komisura posterior, kulit perineum, otot sfingter ani sampai ke dinding depan rektum. Penolong asuhan persalinan normal tidak dibekali keterampilan untuk reparasi rujukan (Siswosudarmo & Emilia, 2008, JNPK-KR, 2008). laserasi perineum derajat tiga atau empat. Segera rujuk ke fasilitas

Tingkat robekan perineum A. Tingkat I : Robekan hanya terjadi pada selaput lendir vaginadengan

atau tanpa mengenai kulit perineum sedikit. B. Tingkat II : Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu mengenai selaput

lendir vagina dan muskulus perinea trasvesalis tapi tidak mengenai sfingter ani C. Tingkat III : Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai

mengenai otot-otot sfingter ani D. Tingkat IV : Robekan meluas keseluruh kulit perineum membran

mukosa vagina, senrum tendineum perinei, sfingter ani dan mukosa rektum. (Ilmu Bedah Kebidanan :175)

c. Patofisiologi

Perineum kaku Kepala janin terlalu cepat lahir

Kesalahan memimpin Persalinan

Regangan Perineum Robekan Perineum

Tingkat I Pada selaput Lendir vagina

Tingkat II Pada selaput lendir vagina

Tingkat III Robekan sampai dengan otot sfingter ani

Tingkat VI Robekan sampai dengan otot sfingter ani + mukosa

(tanpa mengenal otot perinea Kulit perineum) trans versalis

d. Penanganan Persiapan alat Wadah DTT ber isi : sarung tangan, pemegang jarum, jarum jahit Cairan antiseptik (alkohol, betadin)

Anastesi : lidokain 1%

Persiapan pasien Ibu posisi litotomi, pasang kain bersih di bawah bokong, atur lampu kearah vulva atau perineum bersihkan dengan cairan antiseptik Persiapan petugas Lepas perhiasan dan cuci tangan, pakai sarung tangan DTT untuk memasukkan lidokain 1% kedalam spuit kemudian pakai sarung tangan lain e. Perawatan pasca persalinan a) Apabila terjadi robekan tingkat IV berikan antibiotik profilaksis dosis tunggal : 1) Ampicilin 500 mg/oral 2) DHN metronidazol 500 mg/oral b) Observasi tanda-tanda infeksi c) Jangan lakukan pemeriksaan rectal atau enema 2 mgg d) Berikan pelembut feses selama 1 mg/oral Teknik menjahit robekan perineum A. Tingkat I : a. Dapat di lakukan hanya menggunakan cutgut yang di jahitkan secara jelujur (continous sutare) atau dengan cara angka delapan (figure of eight) B. Tingkat II : a. Jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata adalah bergerigi maka pinggir yang bergerigi harus di rapikan lebih dulu b. Pinggir robekan kanan, kiri masing-masing di klem kemudian di gunting dan di lakukan penjahitan c. Mula-mula otot dijahit catgut, selaput lendir vagina di jahit dengan catgut secara terputus atau jelujur d. Penjahitan selaput lendir vagina di mulai dari puncak robekan e. Terakhir kulit perineum di jahit dengan benang sutera secara terputus

C. Tingkat III : a. Dinding depan rektum yang robek di jahit dulu b. Fasia perifektal dan fasia septm rekto vaginal di jahit dengan catgut kromik sehingga bertemu kembali c. Ujung-ujung otot sfingter ani yang terpisah di klem dengan klemplen lurus kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik d. Robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat II 2.1.2.2 Vagina a. Pengertian Vagina adalah saluran potensial yang terbentang dari vulva ke uterus yang berjalan ke atas dan ke belakang sejajar dengan pintu masuk pelvis dan dikelilingi serta di topang oleh otot-otot dasar pelvis. Vagina adalah tabung berotot yang dilapisi membran dari jenis epitelium bergaris yang khusus, di aliri pembuluh darah dan serabut saraf secara berlimpah. b. Klasifikasi robekan jalan lahir pada vagina Kolporeksi a. Pengertian Kolporeksi adalah suatu keadaan di mana terjadi robekan di pada vagina baian atas sehingga sebagian serviks uteri dan vagina terlepas yang dapat memanjang atau melintang. b. Etiologi 1. Pada persalinan dengan EPD sehingga terjadi regangan segmen

bahwa uttrus dengan servix uteri tidak terjepit antara kepala janin dan tulang panggul. 2. Trauma sewaktu mengeluarkan placenta manual 3. Pada saat coitus yang kasar di sertai kekerasan 4. Kesalahan dalam memasukkan tangan oleh penolong ke dalam uterus.

c. Komplikasi 1. Perdarahan terjadi jika robekan lebar, dalam, dan lebih mengenai pembuluh darah 2. Infeksi, jika robekan tidak ditangani dengan semestinya bahkan dapat timbul septikemi. Robekan dinding vagina a. Pengertian Robekan dinding vagina adalah robekan pada dinding vagina yang mengenai pembuluh darah. b. Etiologi 1. Melahirkan janin dengan cunam 2. Ekstraksi bokong 3. Ekstraksi vakum 4. Reposisi presentasi kepala janin misal letak oksipito posterior 5. Akibat lepasnya tulang simfisis pubis (Simfisiolisis) c. Komplikasi 1. Perdarahan terjadi jika robekan lebar, dalam, dan lebih mengenai pembuluh darah 2. Infeksi, jika robekan tidak ditangani dengan semestinya bahkan dapat timbul septikemi. d. Penanganan 1. robekan kecil superfisial tidak perlu penanganan khusus 2. robekan lebar dan dalam, lakukan penjahitan secara teratur putusputus atau jelujur 3. pada puncak vagina sesuai dengan kolporeksi yang penanganan sesuai dengan ruptur uteri. Perlukaan vagina a. Etiologi 1. akibat persalinan karena luka pada vulva

2. robekan pembuluh darah vena di bawah kulit alat kelamin luar dan selaput lendir vagina b. Jenis perlukaaan vagina 1. Robekan vulva Sering dijumpai pada waktu persalinan yang terlihat pada robekan kecil pada labium minus, vestibulum atau bagian belakang vulva, luka robekan dijahit dengan cara cutgut secara terputus adalah jelujur. 2. Hematoma vulva Karena robeknya pembulih vena yang ada dibawah pembuluh kulit alat kelamin luar dan selaput lendir vagina, terjadi pada kala

pengeluaran. Diagnosa tidak terlalu sulit karena hematoma, terlibat dibagian yang lembek, membengkok dan disertai nyeri tekan. (Ilmu Bedah Kebidanan : 177-178) c. Komplikasi 1. Perdarahan terjadi jika robekan lebar, dalam, dan lebih mengenai pembuluh darah 2. Infeksi, jika robekan tidak ditangani dengan semestinya bahkan dapat timbul septikemi. d. Penanganan 1. hematoma kecil tidak perlu tindakan operatif cukup dilakukan pengompresan daerah tersebut 2. jika ada tanda-tanda anemia, syok lakukan pengosongan 3. jahitan di buka kembali atau lakukan sayatan sepanjang bagian hematoma dan keluarkan jika ada bekuan 4. jika ada sumber perdarahan, ikat pembuluh darah vena atau arteri yang terputus 5. rongga diisi dengan kasa steril sampai padat 6. luka sayatan dijahit secara terputus-putus atau jelujur 7. pakailah drain

8. tampon dapat dibiarkan selama 24 jam 9. pasien diberi koagulasi + antibiotik sebagai profilaksis dan berikan ruborasia Fistula Vesikovaginal a. Pengertian Fistula adalah hubungan abnormal antara dua organ atau lebih (bagian depan) b. Etiologi 1. Trauma, menggunakan alat-alat (perforator, kait dekapitasi, cunam) 2. Persalinan lama 3. Robekan cervix yang menjalar ke vagina bagian atas 4. Pada SC (vesika urinaria dan ureter dapat terpotong atau robek) c. Penanganan 1. Yang disebabkan oleh trauma Pasang kateter tetap dalam vesika urinaria Jika ditemukan air kencing menetes kedalam vagina segera lakukan penjahitan luka yang terjadi lapis demi lapis (selaput lendir otot-otot dinding vesika urinaria dinding depan vagina) 2. Kateter dapat dibiarkan selama beberapa waktu

Yang disebabkan oleh lepasnya jaringan nekrosis Gejala kelihatan setelah 3-10 hari post partum dan sering pada fistula yang kecil Pasang kateter tetap (untuk drainase vesika urinaria) selama beberapa minggu sehingga dapat menutup sendiri Jika pada fistula yan besar dapt dilukukan setelah 3-6 bulan PP

Fistula Rectovaginal a. Pengertian Fistula recovaginal adalah lubang antara rectum dan vagina b. Etiologi

1. ketidakbeerhasilan perbaikan pada laserasi laserasi derajat ketiga 2. ketidaksembuhan dari penjahitan (Ilmu bedah kebidanan : 175-182) c. Penanganan Perbaikan operatif (Ilmu Bedah Kebidanan : 177-182) 2.1.2.3 Cervix a. Pengertian Cervix adalah leher rahim atau sesuatu yang berhubungan dengan leher. (Kamus Kedokteran :51) b. Etiologi Robekan servix dapat terjadi pada : 1. Partus presipitatus 2. Trauma karena pemakaian alat-alat operasi (cunam, perforator, vakum ekstraktor) 3. Melahirkan kepala janin pada letak sungsang secara paksa karena pembukaan servix belum lengkap 4. Partus lama c. Diagnosa robekan cervix Perdarahan PP pada uterus yang berkontraksi baik harus memaksa kita untuk memeriksa servix inspekulo. Sebagai profilaksis sebaiknya semua persalinan buatan yang sulit menjadi indikasi untuk memeriksakan inspekulo. d. Komplikasi 1. perdarahan 2. syok 3. inkompetensi servix atau infertilitas sekunder e. Penanganan menjahit robekan servix

1. Pertama-tama pinggir robekan sebelah kiri dan kanan di jepit dengan klem sehingga perdarahan menjadi berkurang atau berhenti 2. Kemudian sevix di tarik sedikit, sehingga lebih jelaskelihatan dari luar 3. Jika pinggir robekan bergerigi, sebaiknya sebelum di jahit pinggir tersebut diratakan dulu dengan jalan menggunting pinggir yang bergerigi tersebut. 4. Setelah itu robeka dijahit dengan cutgut cromik, jahitan dimulai dari ujung robekan dengan cara jahitan terputus-putus atau jahitan angka delapan 5. Pada robekan yang dalam, jahitan harus di lakukan lapis demi lapis. Ini dilanjutkan untuk menghindari terjadinya hematoma dalam rongga di bawah jahitan 2.1.2.4 Ruptura Uteri a. Pengertian Ruptura uteri adalah distrupsi dinding uterus yang merupakan salah satu kedaruratan obstetri. (Kedaruratan obsttrik : 169) Ruptura uteri adalh robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat dilampaui daya regang miometrium. (Pely. Kesh maternal neonatal : 169) b. Faktor predisposisi 1. Multiparitas atau grandemulti 2. Pemakaian oksitosin persalinan yang tidak tepat 3. Kelainan letak dan implantasi plasenta 4. Kelainan bentuk uterus 5. Hidramnion c. Gejala ruptur uteri 1. Sewaktu konsentrasi yang kuat, pasien tiba-tiba merasa nyeri yang mengiris di perut bagian bawah 2. SBR nyeri sekali kalau di palpasi 3. HIS berhenti 4. Ada perdarahan pervagina, walaupun biasanya tidakbanyak 5. Bagian-bagian anak mudah diraba, kalau anak masuk ke dalam rongga perut 6. Kadang-kadang disamping anak teraba tumor ialah rahim yang telah mengecil

7. Pada toucher ternyata bagian depan mudah di tolak ke atas malahan kadangkadang tidak teraba lagi karena masuk ke dalam rongga perut 8. Biasanya pasien jatuh dalam shock 9. Kalau ruptura sudah lama terjadi maka seluruh perut nyei dan gembung 10. Adanya kencing berdarah dapat membantu kita menentukan diagnosa kalau gejala-gejala kurang jelas d. Etiologi 1. Parut uterus (SC, Miometrium, reaksi kornua, abortus sebelumnya) 2. Trauma Kelahiran operatif (versi, ekstraksi bokong, forsep) Perangsangan oksitosin yang berlebihan Kecelakaan mobil

3. Ruptura spontan uterus yang tidak berpaut (kontraksi uterus persisten pada kasus obstruksi pelvis) Disproporsi chepalo pelvic Malperentasi janin Anomali janin (hidrosefalus) Multiparitas tanpa penyebab lain Lelomioma uteri

4. Faktor-faktor lain Placenta akreta atau perkreta Kehamilan kornua Penyakit trofoblasik invasif

e. Diagnosa banding ruptur uteri 1. Solusio placenta 2. Placenta previa 3. Ruptura uteri f. Klasifikasi ruptura uteri 1. Menurut waktu terjadinya a. Ruptura uteri gravidarum Terjadinya sewaktu hamil dan berlokasi pada korpus

b. Ruptura uteri durate partum Terjadinya waktu melahirkan anak dan berlokasi pada SBR. 2. Menurut lokasinya a. Korpus uteri Terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami dan operasi (SC) yang kolporal atau miomektomi b. SBR Terjadi pada partus yang sulit dan lama yatu tambah merenggang dan tipis dan akhirnya ruptur uteri. c. Servix uteri Terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau versi dan ekstraksi pada pembukaan lengkap. d. Kolpoporeksis kolporeksi Robekan diantara servix dan vagina. 3. Menurut robeknya peritoneum a. Kompleta Robekan pada dinding uterus peritoneum (parametrium) sehingga terdapat hubungan antara rongga perut dan uterus. b. Inkompleta Robekan pada otot rahim tapi peritonium tidak ikut robek. 4. Menurut etiologinya a. Ruptura uteri spontan Karena dinding rahim yang lemak atau cacat Misal : Bekas SC, miomektomi, perforasi saat kuretase, histerorafia, pelepasan plasenta manual Karena peregangan yang luar biasa dari rahim

Misal : Panggul sempit, kelainan bentuk panggul, janin besar, DM, hidrops feralis, post maturitas, dan grandemulti. b. Ruptura violenta (traumatika) Karena : Estraksi forsep, versi dan ekstraksi, embriotomi, versi braxton hicks, sindrom tolakah, manual placenta, kuretase, espresi kristeller atau crede. 5. Menurut gejala klinis a. Ruptura iminens (membakat, mengancam) b. Ruptura uteri (sebenarnya) g. Profilaksis Ruptura Uteri 1. CPD Anjurkan bersalin di rumah sakit

2. Malposisi kepala Coba lakukan preposisi Pikirkan SC primer saat inpartu

3. Mal presentasi Letak lintang / presentasi bahu / letak bokong / presentasi rangkap

4. Hidrosefalus 5. Rigid cervik 6. Tetania uteri 7. Tumor jalan lahir 8. Bekas SC Anjurkan persalinan di rumah sakit Jika kepala cukup turun lakukan ekstraksi forceps

9. Uterus cacat, karena miomektomi, manual uri, anjurkan bersalin di rumah sakit 10. Ruptura uteri Rujuk

h. Penanganan Ruptura Uteri 1. Mengatasi syok

2. Perbaiki KU penderita dengan pemberian infus dan sebagaimana 3. Kardiotonika, antibiotika dan sebagainya 4. Jika sudah mulai membaik lakukan laparatomi dengan tindakan jenis operasi Histerektomi (total dan subtotal) Histerorafia (tepi luka di eksidir dijahit) Konservatif (dengan temporade dan antibiotaka yang cukup)

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU POSTPARTUM DENGAN RISIKO TINGGI LASERASI JALAN LAHIR

I.

PENGKAJIAN a. Identitas klien Nama, usia, tanggal lahir, tanggal pengkajian, tanggal pelahiran, berat badan bayi, usia gestasi bayi, jenis kelamin bayi, kehamilan : Gravida Cukup Bulan Kurang Bulan Aborsi Anak yang Hidup b. Domain 1 : promosi kesehatan Data subjektif : Perencanaan pulang Tanggal pulang yang diperkirakan Medikasi yang dilanjutkan saat dirumah Rencana untuk bantuan dirumah Situasi rumah (individu yang bersedia membantu) Sumber financial (missal cuti hamil) Data objektif : Tanda-tanda vital (suhu, nadi, pernapasan, TD) c. Domain 2 : Nutrisi Data sunjektif : Asupan Makanan / cairan saat ini Mual / muntah Permintaan untuk makanan khusus Data objektif : Berat badan pada akhir kehamilan Berat badan saat ini Turgor kulit Kelembapan membrane mukosa Cairan IV d. Domain 3 : Eliminasi System berkemih

Data subjektif : Berkemih dalam waktu 6 jam setelah pelahiran ( ya / tidak ) Waktu berkemih terakhir Sering berkemih atau panas saat berkemih Data objektif : Kandung kemih dapat diplapasi ( ya / tidak ) Penampilan urine Jumlah Berkemih yang banyak ( ya / tidak ) System gastrointestinal Data subjektif : Waktu defekasi terakhir Waktu defekasi pertama setelah kelahiran Data objektif : Bising usus Hemoroid Adanya episiotomy atau laserasi perineum (jelaskan derajatnya) System integument Data subjektif : Menggigil ( ya / tidak ) Data objektif : Warna kulit dan suhu Diaphoresis Penampilan episiotomy Penampilan putting dan payudara (jika menyusui) System pulmonal Data objektif : Pernapasan (frekuensi, kedalaman, kualitas) e. Domain 4 : aktivitas / istirahat Tidur / istirahat Data subjektif :

Jumlah tidur/istirahat sebelum persalinanpernyataan merasa relaks atau lelah / mengantuk Rencana pengaturan istirahat setelah kembali ke rumah Data objektif : Status mental, keterjagaan Durasi persalinan Aktivitas/latihan fisik Data subjektif : Melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri atau dengan bantuan Rencana untuk (pemahaman mengenai) latihan fisik guna memulihkan tonus otot abdomen dan perineum Data objektif Melakukan ambulasi secara mandiri / dengan bantuan Keseimbangan energy Data subjektif : Melaporkan bertenaga atau letih Merencanakan pengasuhan anak dan perawatan rumah Data objektif : Respons terhadap aktivitas (missal sesak napas, nadi meningkat) Respons kardiovaskuler Data objektif : Jumlah kehilangan darah selama kelahiran TD Nadi Pernapasan Ekstremitas (pengisian ulang kapiler, warna, suhu) Edema (pergelangan kaki/tungkai, tangan, periorbital,sacrum) Warna kulit, membrane mukosa, dan bantalan kuku (pucat, sianosis) f. Domain 5 : Persepsi / kognisi Data subjektif : Pingsan

Orientasi terhadap waktu, tempat, dan individu Kabas atau kesemutan pada ekstremitas Data objektif : Reflek tendon Jumlah pergerakan lengan dan tungkai g. Domain 6 : persepsi diri Data subjektif : Perasaan tidak berdaya atau putus asa Ungkapan kesepian Pernyataan tidak melakukan persalinan dan kelahiran dengan baik Perasaan yang diungkapkan mengenai kemampuan atau tubuh (positif / negative ) Mengungkapkan tentang persalinan dan kelahiran, bagaimana persalinan dan kelahiran tersebut sama / berbeda dengan harapan ibu Data objektif : Tingkat keterlibatan dalam pengambilan keputusan tentang asuhan diri dan bayi Reaksi emosi (interaksi dengan staf, menangis) h. Domain 7 : hubungan peran Peran pemberi asuhan Data subjektif : Hubungan dengan ayah bayi Indikasi verbal pelekatan (missal memanggil bayi dengan nama) Data objektif : Frekuensi kunjungan ayah bayi Frekuensi kunjungan / telepon dari individu pendukung lain Interaksi yang diobservasi antara klien dan ayah bayi Perilaku pelekatan yang diobservasi (ibu-bayi, ayah-bayi) Perilaku pemberi asuhan yang diobservasi terhadap bayi (missal mengganti popok) Hubungan keluarga Data subjektif Sifat keterlibatan individu pendukung dan individu terdekat (missal kunjungan, kartu ucapan)

Kekhawatiran tentang hubungan keluarga Siapa yang bersedia membantu stelah pulang Data objektif : Individu yang paling sering disebut Interaksi yang diobservasi dengan anggota keluarga Performa peran Data subjektif : Rencana untuk menyusui bayi (ASI, susu botol ) Kepuasan dalam menyusui pertama kali Data objektif : Pemeriksan payudara / putting Observasi teknik menyusu bayi i. Domain 8 : seksualitas Data subjektif : Kekhawatiran seksual (missal kapan kembali melakukan hubungan seksual) Kekhawatiran pasangan Jenis alat kontrasespsi yang direncanakan setelah pulang Data objektif : Masalah/komplikasi intrapartum (preeklamsia, hemoragi, persalinan lama, transfuse darah) Pemeriksaan perineum (edema, ekimosis, episiotomy, kaserasi) Lokia (warna, jumlah, adanya bekuan) Fundus uterus (lunak/keras, posisi) Payudara (lunak,keras,bengkak,timbul kolostrum,kondisi putting) j. Domain 9 : koping / toleransi stress Data subjektif : Persepsi koping selama persalinan dan kelahiran Kekhawatiran mengenai koping saat pulang Data onjektif Mood/afek Manifestasi fisiologi ansietas

k. Domain 10 : prinsip hidup Data subjektif : Permintaan untuk menemui oenasehat spiritual Data objektif : Kesulitan pengambilan keputusan penting yang diobservasi l. Domain 11 : keamanan / perlindungan Data subjektif : Laporan penganiayaan secara verbal atau fisik Pernyataan maksud / keinginan untuk mnyakiti diri sendiri Riwayat termoregulasi Data objektif : Waktu atau pecah ketuban Suhu Bau lokia Penampilan episiotomy Observasi perawatan perineum dan teknik mencuci tangan Status nutrisi m. Domain 12 : kenyamanan Data subjektif : Nyeri (lokasi, frekuensi, derajat, durasi) Factor pencetus Tindakan untuk mengurangi Gejala terkait ketidaknyamanan (missal gatal) Mual (frekuensi, factor pencetus) Data objektif : Manifestasi klinis (missal meringis, berhati-hati) Respons emosi n. Domain 13 : pertumbuhan / perkembangan Petambahan sesuai usia dalam ukuran fisik, system organ, dan atau pencapaian penanda perkembangan.

II.

DIAGNOSA YANG MUNGKIN MUNCUL 1. risiko cedera maternal.d laserasi atau memar perineum atau servikal 2. Komplikasi potensial persalinan / pelahiran presipitatus : (1) ruptur uterus maternal ; emboli cairan amnion ; laserasi perineum, vagina, dan serviks; (2) hipoksia / anoksia janin; hemoragi intracranial 3. komplikasi potensial postpartum : trauma perineum dan / atau jalan lahir (mis., hematoma, laserasi dan memar) 4. komplikasi potensial : hemoragi pascapartum ( atonia uterus, retensi fragmen plasenta, laserasi jalan lahir, DIC) 5. nyeri perineum (postpartum)

III.

INTERVENSI Diagnosis keperawatan : risiko cedera maternal.d laserasi atau memar perineum atau servikal Tujuan : Intergasi Jaringan : Kulit dan Membra Mukosa (1101): Keutuhan struktur dan fungsi fisiologis normal pada kulit dan membra mukosa. Kriteria Hasil : Tidak ada laserasi perineum dan servik Tidak ada ketegangan otot Tidak jatuh

Intervensi tindakan keperawatan : 1. Palpasi kandungan kemih yang penuh dan lakukkan kateterisasi jika diperlukan. 2. Tindakan kolaborasi : Bantu dengan episitomi jika diperlukan 3. Dorong ibu untuk bernapas cepat atau menghembuskan perlahan melalui bibir yang dikerutkan ketika bayi Crowning 4. Ulang intruksi pada setiap kontraksi uterus.

5. Bantu pengaturan posisi. Dorong klien untuk melemaskan oto perineum dan menggunakan otot abdomen untuk mengejan. Letakan ibu dalam posisi tegak lurus untuk mengejan, dan dalam posisi Sims kiri untuk melahirkan, jika memungkinkan 6. Saat mengatur posisi Litotomi pada ibu (kemungkinan merupakan posisi melahirkan yang paling sering digunakan di Amerika Serikat), berikan alas pada sanggurdi dan letakan kedua kaki secara serentak pada sanggurdi. Pastikan betis disangga dan tidak ada tekanan pada bagian poplitel. Jika memakai tempat tidur untuk melahirkan dengan penyangga kaki, sanggurdi tidak digunkan. 7. Pastikan bahwa sanggurdi mempunyai tinggi yang sama jika menggunakan posisi litotomi. Diagnosis keperawatan : Komplikasi potensial persalinan / pelahiran presipitatus : (1) ruptur uterus maternal ; emboli cairan amnion ; laserasi perineum, vagina, dan serviks; (2) hipoksia / anoksia janin; hemoragi intrakranial PENGKAJIAN FOKUS 1. Tanyakan apakah klien mengikuti kelas persiapan kelahiran, atau apa persiapan lain yang telah dilakukan. 2. Tentukan posisi janin ( perasa tleopold ). 3. Lakukan pemeriksaan vagina untuk menentukan dilatasi dan penipisan serviks. 4. Observasi adanya penonjolan perineum, crowning, distensi rectum dan pengeluaran feses, serta peningkatan rabas vagina. 5. Setelah crowning, periksa apakah kantong amnion masih utuh. 6. Setelah kepala janin lahir, masukkan jari kebelakang kepala untuk memeriksa adanya tali pusat. 7. Setelah pengeluaran plasenta, periksa apakah plasenta utuh. Selanjutnya, plasenta diperiksa oleh pemberi asuhan primer. 8. Setelah kelahiran, kaji kekerasan uterus dan jumlah perdarahan per vagina. Masase fundus jika diperlukan untuk mencegah hemoragi. 9. Inspeksi perineum terhadap kemungkinan laserasi.

TINDAKAN KEPERAWATAN PREVENTIF 1. Jika memungkinkan, minta ibu untuk tetap miring. 2. Berikan oksigen pada ibu selama persalinan. 3. Berikan cairan IV sesuai prosedur. 4. Hentikan oksitosin jika sedang diberikan. 5. Bila masih tersedia waktu, berikan obat tokolitik sesuai program atau prosedur. 6. Saat kepala bayi tampak, minta ibu untuk bernapas pendek dan cepat serta berusaha untuk tidak mengejan. 7. Jika masih tersedia waktu, masukkan jari telunjuk kedalam vagina dan ibu jari diluar, serta masase (tekan) perineum dengan lembut. 8. Berikan tekanan ringan pada kepala bayi dengan satu tangan sementara menyangga perineum dengan tangan lain; memudahkan kepala lahir di antara kontraksi uterus. Saat kepala lahir, lakukan traksi keatas dengan lembut untuk melahirkan bahu. 9. Lakukan pengisapan pada mulut, tenggorokan, dan saluran hidung bayi segera setelah kepala lahir. Ulangi prosedur ketika seluruh tubuh telah lahir. 10. Gendong bayi dengan hati hati, untuk mencegah terjatuh. 11. Keringkan dan bungkus atau selimuti bayi secepatnya. 12. Jika bayi telah stabil, letakkan bayi di atas abdomen ibu, dengan mempertahankan kepala bayi sedikit lebih rendah dari tubuhnya. 13. Jangan menarik tali pusat sebagai upaya untuk mengeluarkan plasenta. 14. Letakkan satu tangan di atas simfisis pubis dan tahan dengan lembut, traksi tali pusat kebawah; instruksikan ibu untuk mengejan. 15. Potong tali pusat dengan gunting steril dan jepit dengan penjepit steril jika tersedia. Pasang penjepit sekitar 5 cm dari abdomen bayi. 16. Letakkan bayi pada payudara sesegera mungkin. 17. Bersihkan perineum dan area di bawah bokong ibu. 18. Jika terdapat laserasi perineum, tekan alas perineum yang bersih ke perineum dan instruksikan ibu untuk menekan paha bersamaan.

Diagnosa keperawatan : komplikasi potensial postpartum : trauma perineum dan / atau jalan lahir (mis., hematoma, laserasi dan memar) PENGKAJIAN FOKUS 1. Tinjau catatan persalinan dan pelahiran terhadap adanya factor risiko (mis.,kelahiran dengan bantuan forsep, persalinan presipitatus, kala dua yang lama ). 2. Kaji perineum dan episiotomy setiap 15 menit untuk satu jam pertama; kemudian setiap 30 menit selama satu jam; lalu setiap jam ( atau sesuai dengan prosedur institusi ). 3. 4. 5. Kaji untuk tanda laserasi yang tidak membaik. Kaji nyeri perineum yang hebat atau tekanan yang kuat. Pantau nadi dan TD.

TINDAKAN KEPERAWATAN PREVENTIF Letakkan kompreses pada perineum, biarkan selama 15 menit hingga 20 menit dan angkat selama 15 hingga 30 menit, secara bergantian.

Diagnose keperawatan : komplikasi potensial postpartum : trauma perineum dan / atau jalan lahir (misal hematoma, laserasi, dan memar) Pengkajian focus : 1. Tinjau catatan persalinan dan pelahiran terhadap adanya factor risiko (misal persalinan presipitatus, kelahiran dengan bantuan forsep, kala dua lama) 2. Kaji perineum dan episiotomy setiap 15 menit untuk satu jam pertama, kemudian 30 menit selama satu jam, lalu setiap jam ( atau sesuai dengan prosedur institusi) 3. Kaji untuk tanda laserasi yang tidak membaik 4. Kaji nyeri perineum yang hebat atau tekanan yang kuat 5. Pantau nadi dan TD Tindakan keperawtan preventif : 1. Letakkan kompres es pada perineum, biarkan selama 15 hingga 20 menit dan angkat selama 15 30 menit, secara bergantian.

Diangnosa keperawatan : komplikasi potensial : hemoragi pascapartum ( atonia uterus, retensi fragmen plasenta, laserasi jalan lahir, DIC)

Pengkajian focus : 1. Kaji adanya perdarahan vagina yang tampak, dan hitung atau timbang pembalut. Satu gram pembalut sama dengan 1 ml darah yang hilang. 2. Periksa nadi, TD, dan tekanan nadi. 3. Periksa pernapasan. 4. Kaji pengisian iulang kapiler dan warna kulit serta membrane mukosa. 5. Pantau darah periksa lengkap (khususnya Hb dan Ht) 6. Observasi perdarahan dari lokasi IV atau gusi; ptekia; dan hematuria. 7. Kaji tingkat kesadaran Tindakan keperawatan preventif 1. Jelaskan gejala hemoragidan kapan memanggil penyedia layanan kesehatan atau segera pergi ke RS. 2. Berikan penggantian cairan IV, bila diperlukan. 3. Golongan darah dan kompabilitas darah, serta pastikan persediaan darah yang kompatibel untuk transfusi.

Diagnose keperawatan : nyeri perineum (postpartum) Tujuan dan kriteria evaluasi : a. Melakukan ambulasi secara adekuat setelah pemberian analgesia b. Mampu beristirahat dan tidur dengan cukup, tidak terganggu nyeri c. Bebas nyeri, yang dapat mengganggu pelekatan ibu-bayi Tindakan keperawatan : 1. Kaji kemampuan ibu untuk melakukan ambulasi dan melakukan tindakan perawatan diri. 2. Observasi interksi dengan bayi 3. Kolaborasi : berikan analgesia yang diprogramkan 4. laporkan kelahiran menggunakan instrument kepada perawat postpartum atau pada pada sif selanjutnya. 5. Berikan kompres es pada perineum selama 12 jam pertama setelah kelahiran 6. Setelah 12 jam pertama setelah kelahiran, gunkan kompres hangat dan basah, atau sitz bath.

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Laserasi perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum sewaktu persalinan (Mochtar, 1998). Robekan pada jalan lahir merupakan salah satu penyebab dari perdarahan post partum. Laserasi jalan lahir dapat dilakukan pada perineum, vagina, cervik, dan rupture uteri. Robekan pada jalan lahir sendiri dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah Kepala janin terlalu cepat lahir, persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya, sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut, pada persalinan dengan distosia bahu, dll. Dengan penatalaksanaan yang tepat dari penolong diharapkan bisa mengurangi terjadinya perdarahan yang bisa mengakibtkan kematian pada ibu.

3.2. Saran 1. Bagi Perawat Perawat lebih meningkatkan kualitas pelayanan sehingga dapt meminimalkan terjadinya robekan jalan lahir. 2. Bagi Pembaca Pembaca dapat mengerti dan memahami isi dari masalah ini bagi masyarakat umum. 3. Bagi Penulis Penulis dapat lebih mendalami tentang penyebab kematian maternal karena perdarahan yang disebabkan oleh robekan jalan lahir.

DAFTAR PUSTAKA

Green, Carol J. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan : maternal & bayi baru lahir. Jakarta : EGC. Mochtar, R. 1998. Sinopsis Obstetri. Jakarta : EGC. Syaifuddin. 1997. Kedaruratan Obsetri dan Ginekologi. Jakarta : ECG. Prawirohardjo, Sarwono. 2002. Ilmu Bedah Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka. http://www.scribd.com/doc/53815041/Jtptunimus-Gdl-Dwimayangp-5599-3-Bab2

ASUHAN KEPERAWATAN PADA IBU POSTPARTUM DENGAN RISIKO TINGGI LASERASI JALAN LAHIR Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Maternitas Dosen Pembimbing : Wiwi Kustio Priliana, SSIT, Spd, MPH

Disusun oleh : Desi indah nur budi yati Devi agustina Dina nurrahmawati Dwi wijayanti Eni ariyani Hendi yulianto Ika febri widiyani Ika sholikhatiningsih (2220111983) (2220111984) (2220111985) (2220111986) (2220111987) (2220111989) (2220111990) (2220111991)

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO YOGYAKARTA 2013

Anda mungkin juga menyukai