TOTAL
Oleh :
dr. Iqbal Aryo Pravasta
Pembimbing
Dr. Roziana, Sp.O.G,Subsp.Urogin
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi serta berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas dengan judul ”Manajemen Perioperatif
Ruptur Perineum Total”.
2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1.1 Latar Belakang................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
2.1 Anatomi Perineum .........................................................................................
2.2 Epidemiologi...................................................................................................
2.3 Faktor Risiko...................................................................................................
2.4 Klasifikasi Ruptur Perineum...........................................................................
2.5 Pencegahan Ruptur Perineum………..…….…….………………………5
2.6 Diagnosa………………………..………………………………………..7
2.7 Prinsip Tatalaksana…………...………………………………………….8
BAB III KESIMPULAN………………………………………………………..14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................
3
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1: Anatomi Perineum……………………………………………………...2
Gambar 2.2:Teknik Tumpang Tindih……………………………….……………..10
Gambar 2.3: Pasca Metode Tumpang Tindih……………………………………….10
Gambar 2.4: End-to-end Teknik………………………………………………11
Gambar 2.5 : Pasca End-to-end……………………………………………….11
4
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Faktor Resiko Ruptur Perineum…………………………………….4
Tabel 2.2 Derajat Ruptur Perineum………...……………………….…………5
Tabel 2.3 Tatalaksana Ruptur Perineum Berdasarkan Derajat Keparahan……8
5
BAB I
PENDAHULUAN
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Perineum adalah struktur berbentuk berlian, dibatasi oleh simfisis pubis di
anterior dan tulang coccyges di posterior.7 Trauma perineum melibatkan segala
jenis kerusakan pada alat kelamin wanita selama persalinan, yang dapat terjadi
secara spontan atau iatrogenik (melalui episiotomi atau persalinan dengan bantuan
alat).8 Trauma perineum anterior dapat mengenai dinding anterior vagina, uretra,
klitoris dan labia. Trauma perineum posterior dapat mempengaruhi dinding vagina
posterior, otot perineum, badan perineum, sfingter anus eksternal dan internal, dan
saluran anus. Selama persalinan, sebagian besar robekan perineum terjadi di
sepanjang dinding posterior vagina, memanjang ke arah anus. Kerusakan
perineum yang parah adalah yang meluas ke dalam atau melalui kompleks sfingter
ani dan disebut sebagai obstetric anal sphincter injuries (OASIS).
2.2 Epidemiologi
Lebih dari 85% wanita yang menjalani persalinan pervaginam akan
menderita beberapa tingkat robekan perineum, dengan 0,6–11% dari semua
persalinan pervaginam mengakibatkan robekan derajat tiga atau empat.9
Selanjutnya, kejadian robekan perineum menurun dengan kelahiran berikutnya,
dari 90,4% pada wanita nulipara menjadi 68,8% pada wanita multipara yang
menjalani persalinan pervaginam.10 Insiden robekan perineum derajat 3 dan 4 di
Austrian Birth Registry masing-masing adalah 1,5% dan 0,1%. Sebaliknya,
tinjauan sistematis pada tahun 2008 melaporkan 11% kejadian lesi pada sfingter
ani internal dan eksternal.11 Gejala yang terkait dengan cedera ini adalah
inkontinensia anus berupa flatus dan feses cair atau padat serta gejala mendesak.
Frekuensi gejala ini meningkat seiring waktu setelah cedera lahir.12
2.3 Faktor Risiko
Meskipun ada risiko tinggi untuk trauma perineum setelah kelahiran
pervaginam, sangat penting untuk mencatat faktor risiko yang berkontribusi
terhadap robekan perineum yang parah (derajat ketiga dan keempat). Faktor resiko
dapat dipisahkan ke dalam subkelompok berikut: faktor risiko ibu, janin, dan
intrapartum yang dapat dilihat pada tabel berikut
8
Tabel 2.1: Faktor Risiko Ruptur Perineum13
2.3.1 Faktor Risiko Cedera Sfingter Anal
Berdasarkan meta-analisis data dari 22 penelitian (651.934 wanita di
antaranya 15.366 [2,4%] mengalami laserasi parah), faktor risiko terkuat untuk
OASIS termasuk persalinan forsep, persalinan dengan bantuan vakum, midline
episiotomy dan berat janin.14 Midline episiotomy dikombinasikan dengan forceps
secara substansial meningkatkan risiko rupture derajat tiga dan derajat empat.
Risiko trauma sfingter ani dengan persalinan operatif dan episiotomi meningkat
pada wanita primigravida dan wanita multigravida.15
Berdasarkan data meta-analisis yang sama, faktor risiko lain untuk OASIS
termasuk primiparitas, etnis Asia, induksi persalinan, augmentasi persalinan,
anestesi epidural dan posisi oksiput posterior. Usia ibu, durasi kehamilan, indeks
massa tubuh, dan durasi kala dua persalinan tidak berbeda secara signifikan antara
wanita yang menderita OASIS dan wanita yang tidak.16 Faktor keluarga juga dapat
mempengaruhi wanita untuk OASIS. Dalam analisis Medical Birth Registry of
Norway, risiko OASIS meningkat jika ibu atau saudara perempuan wanita
tersebut mengalami OASIS selama persalinan.17
2.4 Klasifikasi Ruptur Perineum
Keparahan dari ruptur perineum terdiri dari 4 derajat yang dijelaskan dalam
tabel berikut:
9
Tabel 2.2: Derajat Ruptur Perineum10
Robekan perineum mayor didefinisikan sebagai cedera perineum otot
sfingter ani (Obstetric anal sphincter injury, OASIS).18
Robekan perineum derajat 3: cedera sfingter anus, epitel anorektal utuh.
Robekan perineum derajat 4: cedera sfingter, epitel anorektal robek
Subklasifikasi robekan perineum derajat 3 yaitu
3a: kurang dari 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna robek
3b: robekan lebih dari 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
3c: baik otot sfingter anus eksternal dan internal robek
2.5 Pencegahan Ruptur Perineum
2.5.1 Episiotomi
Episiotomi dianggap sebagai metode untuk mengurangi angka kejadian
secara memadai pada robekan perineum yang parah, penting untuk
mengeksplorasi 'tindakan profilaksis' ini secara lebih rinci. Tujuan episiotomi
adalah untuk meningkatkan diameter vagina untuk memudahkan perjalanan
kepala janin dan, idealnya, mencegah robekan vagina.19 Berbagai jenis sayatan
episiotomi dapat digunakan, tergantung pada situasinya: midline, midline yang
dimodifikasi, mediolateral, berbentuk huruf 'J', lateral, lateral radikal, dan
anterior.20
Episiotomi mediolateral telah ditemukan untuk menurunkan kejadian
obstetric anal sphincter injuries (OASI) pada persalinan pervaginam spontan dan
teknik ini sering digunakan di negara Australia. Jenis episiotomi yang lebih umum
10
dilakukan di Amerika Serikat adalah midline (median), yang dimulai jarak 3 mm
dari garis tengah di fourchette posterior dan meluas ke bawah antara 0 derajat dan
25 derajat bidang sagital. Di Eropa, episiotomi mediolateral lebih sering
dilakukan, dimulai dalam jarak 3 mm dari garis tengah di fourchette posterior dan
diarahkan secara lateral dengan sudut minimal 60 derajat dari garis tengah menuju
tuberositas ischial.20 Jika episiotomi diindikasikan, teknik mediolateral
direkomendasikan. Sudut episiotomi jauh dari garis tengah telah terbukti penting
dalam mengurangi kejadian OASIS. Penelitian lain, bagaimanapun, telah
menemukan bahwa episiotomi tidak melindungi terhadap laserasi perineum yang
parah dan sebenarnya dapat meningkatkan risiko robekan perineum derajat tiga
dan empat pada wanita multipara.21 Hal ini berpotensi karena kesulitan dalam
memperkirakan sudut episiotomi dengan benar pada pasien, karena terjadi distensi
perineum akibat kepala janin.22 Meskipun jenis episiotomi lain telah dijelaskan,
namun lebih jarang digunakan. Data saat ini dan pendapat klinis menunjukkan
bahwa tidak ada cukup kriteria berbasis bukti objektif untuk merekomendasikan
episiotomi, terutama penggunaan rutin episiotomi, dan bahwa penilaian klinis
tetap merupakan panduan terbaik untuk penggunaan prosedur ini.23
Episiotomi dikatikan dengan potensi terjadinya penurunan dari fungsi otot
dasar panggul. Episiotomi memiliki indikasi mutlak dan relatif. Berikut ini
merupakan indikasi mutlak dan relative dari episiotomi.
Indikasi mutlak:
Apabila detak jantung janin mengalami masalah
Indikasi relatif:
Perineum yang kaku , dimana otot yang kaku dapat menyebabkan
pemanjangan kala 2
Mencegah trauma perineum yang parah
Mengurangi upaya ibu saat meneran, khususnya penyakit jantung berat,
epilepsy atau hipertensi
Episiotomi dapat dipertimbangkan pada distosia bahu jika dokter merasa
hal itu akan mengurangi trauma ibu
11
The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and
Gynecologists (RANZCOG) tidak menganjurkan penggunaan episiotomi secara
rutin, dan menyarankan agar episiotomi hanya disarankan pada keadaan berikut:24
kemungkinan besar robekan perineum derajat tiga atau empat
Distosia jaringan lunak
Syarat untuk mempercepat persalinan janin
Kebutuhan untuk memfasilitasi persalinan pervaginam
2.5.2 Teknik Lainnya
Ada banyak jenis teknik lain yang digunakan yang juga telah digunakan
sebagai tindakan profilaksis untuk robekan perineum yang parah. Dalam ulasan
Cochrane 2017.25 beberapa teknik perineum termasuk kompres hangat, pijatan
perineum, posisi tangan di perineum dan manuver Ritgen. Ternyata, hanya
kompres hangat dan pijatan perineum yang menunjukkan efek positif dalam
mengurangi robekan perineum derajat tiga dan empat. 25 Tangan pada perineum
dan manuver Ritgen menunjukkan tidak ada penurunan kejadian robekan derajat
tiga dan empat.25
Pijat perineum (antepartum atau selama kala dua persalinan) dimaksudkan
untuk mengurangi resistensi otot perineum dan mengurangi kemungkinan laserasi
saat persalinan. Dalam analisis empat percobaan (2.497 wanita) yang
membandingkan pijat perineum antenatal dengan kontrol tanpa pijat, pijat
perineum sejak usia kehamilan 34 minggu dan seterusnya dikaitkan dengan
pengurangan moderat pada trauma perineum yang memerlukan perbaikan dengan
jahitan serta penurunan episiotomi. 26 Pijat perineum selama kala dua persalinan
dapat membantu mengurangi laserasi derajat tiga dan empat. Meta-analisis data
dari dua studi (2.147 wanita) menemukan bahwa pijatan perineum selama kala
dua persalinan mengurangi robekan derajat tiga dan derajat empat. 25 Sebuah meta-
analisis dari dua penelitian (1.525 wanita) yang mengacak peserta untuk
melakukan kompres hangat pada perineum selama kala dua persalinan versus
tanpa kompres hangat menemukan bahwa penggunaan kompres secara signifikan
mengurangi laserasi derajat tiga dan empat. 25 Dalam percobaan acak baru-baru ini,
posisi persalinan lateral dengan penundaan mengejan dibandingkan dengan posisi
litotomi dan mengejan dengan dilatasi lengkap pada wanita dengan anestesi
12
epidural dan menemukan bahwa wanita dalam posisi lateral dengan penundaan
mengejan lebih mungkin melahirkan dengan perineum utuh.27
2.6 Diagnosa
Pemeriksaan awal setelah lahir harus dilakukan dengan hati-hati dan dapat
dilakukan segera setelah lahir. Perineum harus selalu dinilai secara menyeluruh
setelah persalinan pervaginam untuk menentukan adanya laserasi. Pemeriksaan ini
harus mencakup pemeriksaan colok dubur untuk menilai apakah ada cedera pada
sfingter ani eksternal atau internal jika diduga ada robekan otot perineum.28 Dari
sini, dokter kandungan dapat memutuskan apakah diperlukan penanganan
konservatif atau bedah. Jika ada kesulitan dalam mendiagnosis trauma perineum
selama masa nifas, pemeriksaan ultrasonografi pada perineum telah terbukti
menjadi alat diagnostik yang efektif.29
2.7 Prinsip Tatalaksana Ruptur Perineum
Penanganan robekan perineum berbeda tergantung pada tingkat keparahan
robekan. Terlepas dari parahnya robekan, prinsip berikut harus diterapkan selama
perbaikan yaitu:
Perbaikan harus diselesaikan oleh dokter yang berpengalaman, idealnya
yang terlatih dalam kebidanan
Pencahayaan yang baik, idealnya prosedur harus dilakukan di ruang
operasi dengan pasien dalam litotomi.
Menggunakan anestesi yang memadai
Setiap lapisan harus diperbaiki untuk mengembalikan fungsinya
Perbaikan harus dilakukan dalam arah cephalocaudal
Menggunakan benang jahitan resorbable
13
Tabel 2.3 Tatalaksana Ruptur Perineum berdasarkan keparahan
14
Pemeriksaan dibawah pengaruh anestesi untuk memastikan klasifikasi
yang tepat dari cedera perineum
Perbaiki robekan serviks dan vagina sebelum menangani perineum,
kerjakan dari atas ke bawah
Robekan perineum derajat 4: perbaikan mukosa anorektal dengan jahitan
3-0 yang dapat diserap31 Mukosa anorektal yang robek harus diperbaiki
dengan jahitan baik menggunakan teknik continuous atau teknik
interrupted.
Identifikasi tepi sfingter ani eksterna dan pegang dengan klem Allis.
Dekatkan sfingter ani eksternal dengan matras end-to-end atau mode
tumpang tindih dengan jahitan matras atraumatik—sebaiknya dengan
jahitan 2-0. Perbaikan tumpang tindih hanya dapat dilakukan jika seluruh
ketebalan dan panjang sfingter eksternal robek. Dalam kasus otot sfingter
eksternal yang benar-benar robek, pilihan metode (ujung ke ujung atau
tumpang tindih) diserahkan kepada kebijaksanaan ahli bedah.32
15
Gambar 2.3 Pasca Tindakan metode tumpeng tindih
Berikut ini merupakan ilustrasi gambar teknik penjahitan ruptur perineum
secara end-to-end method
16
Gambar 2.5: Pasca Tindakan End-to-end
17
tidak dipengaruhi oleh penggunaan obat pencahar Selain itu, laktulosa
direkomendasikan untuk meminimalkan tekanan mekanis pada proses
penyembuhan. Pemeriksaan colok dubur pada masa nifas harus dihindari jika
penyembuhan tampak baik.34
2.7.1.4 Follow-up
Kunjungan tindak lanjut harus dijadwalkan 6-12 minggu setelah operasi.
Frekuensi kejadian inkontinensia flatus adalah 50%, gejala urgensi 26%,
inkontinensia feses cair 8%, dan inkontinensia feses padat 4% pada tindak lanjut
awal wanita setelah trauma perineum berat.35 Pemeriksaan tindak lanjut awal
harus mencakup hal-hal berikut:
Ada atau tidaknya gejala inkontinensia anal
Inspeksi perineum
Pemeriksaan dan palpasi dari vaginal dan rektal
Rencana Fisioterapi untuk melatih otot dasar panggul
Diskusi tentang kelahiran yang akan datang dan cara persalinan
Kelahiran pervaginam setelah robekan perineum derajat 3 atau 4
meningkatkan risiko jangka pendek inkontinensia fekal persisten, tetapi
peningkatan risiko ini tidak terlihat dalam studi dengan tindak lanjut 5 tahun atau
lebih.36 Operasi caesar elektif harus ditawarkan kepada semua wanita dalam
kehamilan setelah robekan perineum derajat 3 atau 4, khususnya pasien dengan:
Inkontinensia fekal persisten
Fungsi sfingter menurun
Janin Makrosomia
Episiotomi harus digunakan secara terbatas pada pasien dengan persalinan
pervaginam pada kehamilan setelah robekan perineum tingkat 3 atau 4.14
18
BAB III
KESIMPULAN
19
Episiotomi harus digunakan secara terbatas pada pasien dengan persalinan
pervaginam pada kehamilan setelah robekan perineum tingkat 3 atau 4
DAFTAR PUSTAKA
20
of care of the perineum during second stage of normal labour, Obstet.
Gynaecol. 105 (1998) 1262 1272 https://www.nc.
5. A.H. Sultan, M.A. Kamm, C.N. Hudson, J.M. Thomas, C.I. Bartram, et al.,
Perineal damage at delivery, Contemp. Rev. Obstet. Gynaecol. 6 (1994)
18–24, https://doi. org/10.1056/NEJM199312233292601?url_ver=Z39.88-
2003&rfr_ id=ori:rid:crossref.org&rfr_dat=cr_.
10. Smith LA, Price N, Simonite V, Burns EE. Incidence of and risk factors for
perineal trauma: A prospective observational study. BMC Pregnancy
Childbirth 2013;13:59.
11. Dudding TC, Vaizey CJ, Kamm MA (2008) Obstetric anal sphinc_ter
injury: incidence, risk factors, and management. Ann Surg 247 (2):224–
237.
21
pregnancy and vaginal delivery. In: Basow DS (ed) UpToDate. UpToDate,
Waltham, MA.
20. Kalis V, Laine K, de Leeuw JW, Ismail KM, Tincello DG. Classification of
episiotomy: Towards a standardisation of terminology. BJOG
2012;119(5):522–26.
22. Kapoor DS, Thakar R, Sultan AH. Obstetric anal sphincter injuries: Review
of anatomical factors and modifiable second stage interventions. Int
Urogynecol J 2015;26(12):1725–34.
24. The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and
22
Gynaecologists. Provision of routine intrapartum care in the absence of
pregnancy complications. East Melbourne, Vic: RANZCOG, 2017.
26. Beckmann MM, Stock OM. Antenatal perineal massage for reducing
perineal trauma. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 4.
Art. No.: CD005123. DOI: 10.1002/14651858.CD005123.pub3. (Meta-
Analysis) [PubMed].
29. Faltin DL, Boulvain M, Floris LA, Irion O. Diagnosis of anal sphincter
tears to prevent fecal incontinence: A randomized controlled trial. Obstet
Gynecol 2005;106(1):6–13.
31. Briel JW de Boer LM, Hop WCJ, Schouten WR (1998) Clinical outcome of
anterior overlapping external anal sphincter repair with internal anal
sphincter imbrication. Dis Colon Rectum 41:209–214.
32. Farrell SA, Flowerdew G, Gilmour D, Turnbull GK, Schmidt MH, Baskett
TF, Fanning CA (2012) Overlapping compared with end_to-end repair of
complete third-degree or fourth-degree obstetric tears: three-year follow-up
23
of a randomized controlled trial. Obstet. Available from:
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/431
35. Fernando RJ, Sultan AH et al (2006) Repair techniques for obstet_ric anal
sphincter injuries: a randomised controlled trial. Obstet Gynecol
107(6):12611268.Availablefrom:http://dx.doi.org/10.1016/j.alit.2016.11.00
1
36. Size EH (2005) Anal incontinence among women with one versus two
complete third-degree perineal lacerations. Int J Gynaecol Obstet 90:213.
24