Anda di halaman 1dari 24

MANAJEMEN PERIOPERATIF RUPTUR PERINEUM

TOTAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani


Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh

Oleh :
dr. Iqbal Aryo Pravasta

Pembimbing
Dr. Roziana, Sp.O.G,Subsp.Urogin

BAGIAN/SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT


KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH
KUALA/RSUD DR ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T. yang telah
menciptakan manusia dengan akal dan budi serta berkat rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas dengan judul ”Manajemen Perioperatif
Ruptur Perineum Total”.

”Shalawat beriringkan salam penulis sampaikan kepada Rasulullah nabi


Muhammad SAW, atas semangat perjuangan dan pengorbanan bagi ummatnya.
Penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah memberi arahan dan dan masukan dalam
menyelesaikan tugas ini. Penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan. Saran dan kritik dari penulisan tugas ini akan penulis terima
dengan tangan terbuka, semoga dapat menjadi bahan pembelajaran dan bekal di
masa mendatang.

Banda Aceh, 27 November


2022
P
enulis,

dr. Iqbal Aryo Pravasta

2
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR..................................................................................................
DAFTAR ISI................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1.1 Latar Belakang................................................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................
2.1 Anatomi Perineum .........................................................................................
2.2 Epidemiologi...................................................................................................
2.3 Faktor Risiko...................................................................................................
2.4 Klasifikasi Ruptur Perineum...........................................................................
2.5 Pencegahan Ruptur Perineum………..…….…….………………………5
2.6 Diagnosa………………………..………………………………………..7
2.7 Prinsip Tatalaksana…………...………………………………………….8
BAB III KESIMPULAN………………………………………………………..14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

3
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1: Anatomi Perineum……………………………………………………...2
Gambar 2.2:Teknik Tumpang Tindih……………………………….……………..10
Gambar 2.3: Pasca Metode Tumpang Tindih……………………………………….10
Gambar 2.4: End-to-end Teknik………………………………………………11
Gambar 2.5 : Pasca End-to-end……………………………………………….11

4
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Faktor Resiko Ruptur Perineum…………………………………….4
Tabel 2.2 Derajat Ruptur Perineum………...……………………….…………5
Tabel 2.3 Tatalaksana Ruptur Perineum Berdasarkan Derajat Keparahan……8

5
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perineum wanita adalah struktur berbentuk berlian yang terletak di bawah


diafragma panggul, antara simfisis pubis dan os coccyges. Perineum dibagi
menjadi segitiga urogenital anterior dan segitiga anal posterior. Trauma perineum
adalah setiap cedera pada alat kelamin saat persalinan yang terjadi secara spontan
atau sengaja melalui sayatan bedah (episiotomi). Selama persalinan, sebagian
besar trauma perineum berada pada dinding vagina posterior yang meluas ke anus.
Trauma pada perineum dapat terjadi di bagian anterior dan posterior.
Trauma perineum anterior dapat terjadi pada labia, dinding vagina anterior, uretra
dan klitoris, dan biasanya berhubungan dengan tingkat morbiditas yang lebih
ringan. Trauma perineum posterior dapat terjadi cedera pada dinding vagina
posterior, otot perineum dan sfingter anal.1 Lebih dari 85% wanita yang
melahirkan normal mengalami trauma perineum, baik itu robekan perineum
spontan, episiotomi atau keduanya.2 Trauma genital yang disebabkan oleh
robekan atau episiotomi selama persalinan normal diklasifikasikan menjadi empat
derajat.3 .Kerusakan perineum yang parah adalah yang meluas ke dalam atau
melalui kompleks sfingter ani dan disebut sebagai obstetric anal sphincter
injuries (OASIS).
Insiden robekan spontan dan iatrogenik menurun pada kelahiran
berikutnya, dari 90,4% wanita kelahiran pertama menjadi 68,8% untuk multipara
yang melahirkan normal.4 Trauma perineum terjadi selama persalinan pervaginam
spontan atau dibantu dan biasanya lebih besar pada persalinan pervaginam
pertama.5 Faktor risiko terkait lainnya dapat dibagi menjadi tiga kelompok - faktor
risiko ibu, janin dan intrapartum. Trauma perineum dapat menyebabkan masalah
fisik, fisiologis, sosial dan psikologis segera setelah lahir dan dalam jangka
panjang. Komplikasi tergantung pada tingkat keparahan trauma dan keefektifan
pengobatannya. Perawatan komplikasi jangka pendek meliputi identifikasi cedera,
perawatan bedah yang baik dan pemulihan, pemberian analgesik pada periode
awal postpartum serta perawatan perineum.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Perineum


Alat kelamin bagian luar wanita terdiri dari mons pubis, labia majora, labia
minora, klitoris, ruang depan vagina, dan badan perineum, yang semuanya dapat
rusak saat melahirkan. Badan perineum adalah tempat robekan yang paling
umum. Badan perineum adalah massa jaringan ikat padat yang mencakup otot
superficial dan profunda membran perineum, termasuk otot perineum transversal
dan otot bulbocavernosus. Di bawah perineum terdapat kompleks sfingter anal.
Kompleks ini meliputi sfingter internal dan eksternal, yang mengelilingi anus
bagian distal. Sfingter anal eksternal terdiri dari otot rangka. Sfingter anal
eksternal bekerja secara voluenter dan memberikan tekanan pada saluran anus.
Penebalan distal lapisan otot polos secara melingkar pada dinding anus
membentuk sfingter ani interna. Sfingter eksternal tumpang tindih dengan sfingter
internal distal dengan jarak 1-2 cm, seluruh kompleks sfingter ani meluas ke
saluran anus dengan jarak sekitar 4 cm.6

Gambar 2.1: Anatomi Perineum

7
Perineum adalah struktur berbentuk berlian, dibatasi oleh simfisis pubis di
anterior dan tulang coccyges di posterior.7 Trauma perineum melibatkan segala
jenis kerusakan pada alat kelamin wanita selama persalinan, yang dapat terjadi
secara spontan atau iatrogenik (melalui episiotomi atau persalinan dengan bantuan
alat).8 Trauma perineum anterior dapat mengenai dinding anterior vagina, uretra,
klitoris dan labia. Trauma perineum posterior dapat mempengaruhi dinding vagina
posterior, otot perineum, badan perineum, sfingter anus eksternal dan internal, dan
saluran anus. Selama persalinan, sebagian besar robekan perineum terjadi di
sepanjang dinding posterior vagina, memanjang ke arah anus. Kerusakan
perineum yang parah adalah yang meluas ke dalam atau melalui kompleks sfingter
ani dan disebut sebagai obstetric anal sphincter injuries (OASIS).
2.2 Epidemiologi
Lebih dari 85% wanita yang menjalani persalinan pervaginam akan
menderita beberapa tingkat robekan perineum, dengan 0,6–11% dari semua
persalinan pervaginam mengakibatkan robekan derajat tiga atau empat.9
Selanjutnya, kejadian robekan perineum menurun dengan kelahiran berikutnya,
dari 90,4% pada wanita nulipara menjadi 68,8% pada wanita multipara yang
menjalani persalinan pervaginam.10 Insiden robekan perineum derajat 3 dan 4 di
Austrian Birth Registry masing-masing adalah 1,5% dan 0,1%. Sebaliknya,
tinjauan sistematis pada tahun 2008 melaporkan 11% kejadian lesi pada sfingter
ani internal dan eksternal.11 Gejala yang terkait dengan cedera ini adalah
inkontinensia anus berupa flatus dan feses cair atau padat serta gejala mendesak.
Frekuensi gejala ini meningkat seiring waktu setelah cedera lahir.12
2.3 Faktor Risiko
Meskipun ada risiko tinggi untuk trauma perineum setelah kelahiran
pervaginam, sangat penting untuk mencatat faktor risiko yang berkontribusi
terhadap robekan perineum yang parah (derajat ketiga dan keempat). Faktor resiko
dapat dipisahkan ke dalam subkelompok berikut: faktor risiko ibu, janin, dan
intrapartum yang dapat dilihat pada tabel berikut

8
Tabel 2.1: Faktor Risiko Ruptur Perineum13
2.3.1 Faktor Risiko Cedera Sfingter Anal
Berdasarkan meta-analisis data dari 22 penelitian (651.934 wanita di
antaranya 15.366 [2,4%] mengalami laserasi parah), faktor risiko terkuat untuk
OASIS termasuk persalinan forsep, persalinan dengan bantuan vakum, midline
episiotomy dan berat janin.14 Midline episiotomy dikombinasikan dengan forceps
secara substansial meningkatkan risiko rupture derajat tiga dan derajat empat.
Risiko trauma sfingter ani dengan persalinan operatif dan episiotomi meningkat
pada wanita primigravida dan wanita multigravida.15
Berdasarkan data meta-analisis yang sama, faktor risiko lain untuk OASIS
termasuk primiparitas, etnis Asia, induksi persalinan, augmentasi persalinan,
anestesi epidural dan posisi oksiput posterior. Usia ibu, durasi kehamilan, indeks
massa tubuh, dan durasi kala dua persalinan tidak berbeda secara signifikan antara
wanita yang menderita OASIS dan wanita yang tidak.16 Faktor keluarga juga dapat
mempengaruhi wanita untuk OASIS. Dalam analisis Medical Birth Registry of
Norway, risiko OASIS meningkat jika ibu atau saudara perempuan wanita
tersebut mengalami OASIS selama persalinan.17
2.4 Klasifikasi Ruptur Perineum
Keparahan dari ruptur perineum terdiri dari 4 derajat yang dijelaskan dalam
tabel berikut:

9
Tabel 2.2: Derajat Ruptur Perineum10
Robekan perineum mayor didefinisikan sebagai cedera perineum otot
sfingter ani (Obstetric anal sphincter injury, OASIS).18
 Robekan perineum derajat 3: cedera sfingter anus, epitel anorektal utuh.
 Robekan perineum derajat 4: cedera sfingter, epitel anorektal robek
Subklasifikasi robekan perineum derajat 3 yaitu
 3a: kurang dari 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna robek
 3b: robekan lebih dari 50% ketebalan otot sfingter ani eksterna
 3c: baik otot sfingter anus eksternal dan internal robek
2.5 Pencegahan Ruptur Perineum
2.5.1 Episiotomi
Episiotomi dianggap sebagai metode untuk mengurangi angka kejadian
secara memadai pada robekan perineum yang parah, penting untuk
mengeksplorasi 'tindakan profilaksis' ini secara lebih rinci. Tujuan episiotomi
adalah untuk meningkatkan diameter vagina untuk memudahkan perjalanan
kepala janin dan, idealnya, mencegah robekan vagina.19 Berbagai jenis sayatan
episiotomi dapat digunakan, tergantung pada situasinya: midline, midline yang
dimodifikasi, mediolateral, berbentuk huruf 'J', lateral, lateral radikal, dan
anterior.20
Episiotomi mediolateral telah ditemukan untuk menurunkan kejadian
obstetric anal sphincter injuries (OASI) pada persalinan pervaginam spontan dan
teknik ini sering digunakan di negara Australia. Jenis episiotomi yang lebih umum

10
dilakukan di Amerika Serikat adalah midline (median), yang dimulai jarak 3 mm
dari garis tengah di fourchette posterior dan meluas ke bawah antara 0 derajat dan
25 derajat bidang sagital. Di Eropa, episiotomi mediolateral lebih sering
dilakukan, dimulai dalam jarak 3 mm dari garis tengah di fourchette posterior dan
diarahkan secara lateral dengan sudut minimal 60 derajat dari garis tengah menuju
tuberositas ischial.20 Jika episiotomi diindikasikan, teknik mediolateral
direkomendasikan. Sudut episiotomi jauh dari garis tengah telah terbukti penting
dalam mengurangi kejadian OASIS. Penelitian lain, bagaimanapun, telah
menemukan bahwa episiotomi tidak melindungi terhadap laserasi perineum yang
parah dan sebenarnya dapat meningkatkan risiko robekan perineum derajat tiga
dan empat pada wanita multipara.21 Hal ini berpotensi karena kesulitan dalam
memperkirakan sudut episiotomi dengan benar pada pasien, karena terjadi distensi
perineum akibat kepala janin.22 Meskipun jenis episiotomi lain telah dijelaskan,
namun lebih jarang digunakan. Data saat ini dan pendapat klinis menunjukkan
bahwa tidak ada cukup kriteria berbasis bukti objektif untuk merekomendasikan
episiotomi, terutama penggunaan rutin episiotomi, dan bahwa penilaian klinis
tetap merupakan panduan terbaik untuk penggunaan prosedur ini.23
Episiotomi dikatikan dengan potensi terjadinya penurunan dari fungsi otot
dasar panggul. Episiotomi memiliki indikasi mutlak dan relatif. Berikut ini
merupakan indikasi mutlak dan relative dari episiotomi.
Indikasi mutlak:
 Apabila detak jantung janin mengalami masalah
Indikasi relatif:
 Perineum yang kaku , dimana otot yang kaku dapat menyebabkan
pemanjangan kala 2
 Mencegah trauma perineum yang parah
 Mengurangi upaya ibu saat meneran, khususnya penyakit jantung berat,
epilepsy atau hipertensi
 Episiotomi dapat dipertimbangkan pada distosia bahu jika dokter merasa
hal itu akan mengurangi trauma ibu

11
The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and
Gynecologists (RANZCOG) tidak menganjurkan penggunaan episiotomi secara
rutin, dan menyarankan agar episiotomi hanya disarankan pada keadaan berikut:24
 kemungkinan besar robekan perineum derajat tiga atau empat
 Distosia jaringan lunak
 Syarat untuk mempercepat persalinan janin
 Kebutuhan untuk memfasilitasi persalinan pervaginam
2.5.2 Teknik Lainnya
Ada banyak jenis teknik lain yang digunakan yang juga telah digunakan
sebagai tindakan profilaksis untuk robekan perineum yang parah. Dalam ulasan
Cochrane 2017.25 beberapa teknik perineum termasuk kompres hangat, pijatan
perineum, posisi tangan di perineum dan manuver Ritgen. Ternyata, hanya
kompres hangat dan pijatan perineum yang menunjukkan efek positif dalam
mengurangi robekan perineum derajat tiga dan empat. 25 Tangan pada perineum
dan manuver Ritgen menunjukkan tidak ada penurunan kejadian robekan derajat
tiga dan empat.25
Pijat perineum (antepartum atau selama kala dua persalinan) dimaksudkan
untuk mengurangi resistensi otot perineum dan mengurangi kemungkinan laserasi
saat persalinan. Dalam analisis empat percobaan (2.497 wanita) yang
membandingkan pijat perineum antenatal dengan kontrol tanpa pijat, pijat
perineum sejak usia kehamilan 34 minggu dan seterusnya dikaitkan dengan
pengurangan moderat pada trauma perineum yang memerlukan perbaikan dengan
jahitan serta penurunan episiotomi. 26 Pijat perineum selama kala dua persalinan
dapat membantu mengurangi laserasi derajat tiga dan empat. Meta-analisis data
dari dua studi (2.147 wanita) menemukan bahwa pijatan perineum selama kala
dua persalinan mengurangi robekan derajat tiga dan derajat empat. 25 Sebuah meta-
analisis dari dua penelitian (1.525 wanita) yang mengacak peserta untuk
melakukan kompres hangat pada perineum selama kala dua persalinan versus
tanpa kompres hangat menemukan bahwa penggunaan kompres secara signifikan
mengurangi laserasi derajat tiga dan empat. 25 Dalam percobaan acak baru-baru ini,
posisi persalinan lateral dengan penundaan mengejan dibandingkan dengan posisi
litotomi dan mengejan dengan dilatasi lengkap pada wanita dengan anestesi

12
epidural dan menemukan bahwa wanita dalam posisi lateral dengan penundaan
mengejan lebih mungkin melahirkan dengan perineum utuh.27

2.6 Diagnosa
Pemeriksaan awal setelah lahir harus dilakukan dengan hati-hati dan dapat
dilakukan segera setelah lahir. Perineum harus selalu dinilai secara menyeluruh
setelah persalinan pervaginam untuk menentukan adanya laserasi. Pemeriksaan ini
harus mencakup pemeriksaan  colok dubur untuk menilai apakah ada cedera pada
sfingter ani eksternal atau internal jika diduga ada robekan otot perineum.28 Dari
sini, dokter kandungan dapat memutuskan apakah diperlukan penanganan
konservatif atau bedah. Jika ada kesulitan dalam mendiagnosis trauma perineum
selama masa nifas, pemeriksaan ultrasonografi pada perineum telah terbukti
menjadi alat diagnostik yang efektif.29
2.7 Prinsip Tatalaksana Ruptur Perineum
Penanganan robekan perineum berbeda tergantung pada tingkat keparahan
robekan. Terlepas dari parahnya robekan, prinsip berikut harus diterapkan selama
perbaikan yaitu:
 Perbaikan harus diselesaikan oleh dokter yang berpengalaman, idealnya
yang terlatih dalam kebidanan
 Pencahayaan yang baik, idealnya prosedur harus dilakukan di ruang
operasi dengan pasien dalam litotomi.
 Menggunakan anestesi yang memadai
 Setiap lapisan harus diperbaiki untuk mengembalikan fungsinya
 Perbaikan harus dilakukan dalam arah cephalocaudal
 Menggunakan benang jahitan resorbable

13
Tabel 2.3 Tatalaksana Ruptur Perineum berdasarkan keparahan

2.7.1 Penanganan Operatif pada Ruptur Perineum


2.7.1.1 Persiapan Operasi
Penanganan pada ruptur perineum total memerlukan anestesi umum atau
regional agar sfingter ani relaksasi secara maksimum dan kontrol nyeri adekuat.
Prosedur harus dilakukan dalam kondisi aseptik di ruang operasi dan menyertakan
seorang spesialis dengan pengalaman yang cukup. Perbaikan bedah harus
dilakukan secepatnya.12 Selama proses informed consent, wanita tersebut harus
diberi tahu bahwa tingkat trauma perineum/analnya mungkin tidak diketahui
sampai dia dinilai dengan anestesi yang memadai.
Antibiotik profilaksis pra operasi (misalnya, sefalosporin generasi kedua)
harus diberikan. Metronidazol 500 mg intravena juga dapat diberikan dan Jangan
memberikan dosis intravena tambahan setelah prosedur selesai. Untuk pasien
dengan hipersensitivitas berat terhadap penisilin maka gunakan Klindamisin 600
mg intravena. Pemeriksaan rektal harus dilakukan setelah perbaikan untuk
memastikan bahwa jahitan tidak sengaja dimasukkan melalui mukosa anorektal .
Bahan jahitan yang digunakan 3-0 polyglactin (Vicryl atau Polysorb) untuk
memperbaiki mukosa anorektal karena dapat menyebabkan iritasi dan
ketidaknyamanan yang lebih sedikit daripada jahitan polydioxanone (PDS).30
Untuk perbaikan otot EAS dan/atau IAS, gunakan jahitan monofilamen seperti
PDS 3-0 atau poliglaktin.
2.7.1.2 Tindakan Bedah
 Anestesi yang memadai

14
 Pemeriksaan dibawah pengaruh anestesi untuk memastikan klasifikasi
yang tepat dari cedera perineum
 Perbaiki robekan serviks dan vagina sebelum menangani perineum,
kerjakan dari atas ke bawah
 Robekan perineum derajat 4: perbaikan mukosa anorektal dengan jahitan
3-0 yang dapat diserap31 Mukosa anorektal yang robek harus diperbaiki
dengan jahitan baik menggunakan teknik continuous atau teknik
interrupted.
 Identifikasi tepi sfingter ani eksterna dan pegang dengan klem Allis.
 Dekatkan sfingter ani eksternal dengan matras end-to-end atau mode
tumpang tindih dengan jahitan matras atraumatik—sebaiknya dengan
jahitan 2-0. Perbaikan tumpang tindih hanya dapat dilakukan jika seluruh
ketebalan dan panjang sfingter eksternal robek. Dalam kasus otot sfingter
eksternal yang benar-benar robek, pilihan metode (ujung ke ujung atau
tumpang tindih) diserahkan kepada kebijaksanaan ahli bedah.32

Gambar 2.2 Metode Tumpang Tindih (Overlapping)


Berikut ini merupakan hasil akhir dari perbaikan ruptur perineum setelah
menggunakan metode tumpeng tindih atau overlapping method.

15
Gambar 2.3 Pasca Tindakan metode tumpeng tindih
Berikut ini merupakan ilustrasi gambar teknik penjahitan ruptur perineum
secara end-to-end method

Gambar 2.4 : End-to-end Technique


Berikut ini merupakan hasil akhir dari perbaikan ruptur perineum secara
End-to-end method

16
Gambar 2.5: Pasca Tindakan End-to-end

 Perbaiki perineum berlapis-lapis dan pastikan bahwa semua jahitan yang


dapat diserap tertutup secara memadai oleh otot-otot perineum di atasnya.
Jika tidak, ujung jahitan dapat bermigrasi dan menyebabkan
ketidaknyamanan pada pasien
 Setelah perbaikan, pemeriksaan rektal harus dilakukan untuk memastikan
tidak ada luka tambahan yang mungkin terlewatkan dan jahitan tidak
dimasukkan secara tidak sengaja ke dalam mukosa anorektal. Jika jahitan
ditemukan, lebih aman untuk melepasnya untuk meminimalkan risiko
fistula anorektal-vagina.
 Dokumentasi rinci tentang cedera perineum harus dibuat, termasuk laporan
bedah.
2.7.1.3 Masa Nifas
 Antibiotik
Para ahli merekomendasikan antibiotik pasca operasi, tetapi ini tidak
didasarkan pada studi klinis.33
 Obat Pencahar
Pemberian laktulosa oral mengurangi rasa sakit saat buang air besar
pertama. Nyeri pasca operasi, tingkat infeksi luka, kontinensia, dan dispareunia

17
tidak dipengaruhi oleh penggunaan obat pencahar Selain itu, laktulosa
direkomendasikan untuk meminimalkan tekanan mekanis pada proses
penyembuhan. Pemeriksaan colok dubur pada masa nifas harus dihindari jika
penyembuhan tampak baik.34
2.7.1.4 Follow-up
Kunjungan tindak lanjut harus dijadwalkan 6-12 minggu setelah operasi.
Frekuensi kejadian inkontinensia flatus adalah 50%, gejala urgensi 26%,
inkontinensia feses cair 8%, dan inkontinensia feses padat 4% pada tindak lanjut
awal wanita setelah trauma perineum berat.35 Pemeriksaan tindak lanjut awal
harus mencakup hal-hal berikut:
 Ada atau tidaknya gejala inkontinensia anal
 Inspeksi perineum
 Pemeriksaan dan palpasi dari vaginal dan rektal
 Rencana Fisioterapi untuk melatih otot dasar panggul
 Diskusi tentang kelahiran yang akan datang dan cara persalinan
Kelahiran pervaginam setelah robekan perineum derajat 3 atau 4
meningkatkan risiko jangka pendek inkontinensia fekal persisten, tetapi
peningkatan risiko ini tidak terlihat dalam studi dengan tindak lanjut 5 tahun atau
lebih.36 Operasi caesar elektif harus ditawarkan kepada semua wanita dalam
kehamilan setelah robekan perineum derajat 3 atau 4, khususnya pasien dengan:
 Inkontinensia fekal persisten
 Fungsi sfingter menurun
 Janin Makrosomia
Episiotomi harus digunakan secara terbatas pada pasien dengan persalinan
pervaginam pada kehamilan setelah robekan perineum tingkat 3 atau 4.14

18
BAB III
KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari referat ini diantaranya:

 Penanganan robekan perineum berbeda dan tergantung pada tingkat


keparahan robekan.

 Penanganan pada ruptur perineum total memerlukan anestesi umum atau


regional agar sfingter ani relaksasi secara maksimum dan kontrol nyeri
adekuat.

 Prosedur harus dilakukan dalam kondisi aseptik di ruang operasi dan


menyertakan seorang spesialis yang berpengalaman.

 Teknik yang digunakan dalam menangani ruptur perineum yang parah


adalah secara end-to-end dan teknik tumpang tindih/overlapping

19
 Episiotomi harus digunakan secara terbatas pada pasien dengan persalinan
pervaginam pada kehamilan setelah robekan perineum tingkat 3 atau 4

DAFTAR PUSTAKA

1. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists, The Management of


Third and Fourth Degree Perineal Tears. RCOG Green Top Guidelines No
29.2007, https:// www.rcog.org.uk/globalassets/documents/guidelines/gtg-
29.pdf.

2. J. Frohlich, C. Kettle, Perineal care, BMJ Clin. Evid. (2015),


https://www.ncbi.nlm. nih.gov/pmc/articles/PMC4356152/.

3. C. Kettle, P.M.S. O’Brien, RCOG Green-top Guideline, (2004) https://pdfs.


semanticscholar.org/2dbf/c8a6c67a6cdda634fc649c0c0180239fb7fe.pdf.

4. R. McCandlish, U. Bowler, H. van Asten, G. Berridge, C. Winter, L.


Sames, J. Garcia, R. Renfrew, D. Elbourne, A randomised controlled trial

20
of care of the perineum during second stage of normal labour, Obstet.
Gynaecol. 105 (1998) 1262 1272 https://www.nc.

5. A.H. Sultan, M.A. Kamm, C.N. Hudson, J.M. Thomas, C.I. Bartram, et al.,
Perineal damage at delivery, Contemp. Rev. Obstet. Gynaecol. 6 (1994)
18–24, https://doi. org/10.1056/NEJM199312233292601?url_ver=Z39.88-
2003&rfr_ id=ori:rid:crossref.org&rfr_dat=cr_.

6. Delancey JO, Toglia MR, Perucchini D. Internal and external anal


sphincter anatomy as it relates to midline obstetric lacerations. Obstet
Gynecol 1997;90:924–7. (Level III) [PubMed] [Obstetrics & Gynecology].

7. Hossein-nezhad, A.; Holick, M.F. Vitamin D for health: A global


perspective. Mayo Clin. Proc. 2013, 88, 720–755. [CrossRef].

8. Frohlich J, Kettle C. Perineal care. BMJ Clin Evid 2015;2015.

9. Villot A, Deffieux X, Demoulin G, Rivain AL, Trichot C, Thubert T.


Management of third and fourth degree perineal tears: A systematic review.
J Gynecol Obstet Biol Reprod (Paris) 2015;44(9):802–11.

10. Smith LA, Price N, Simonite V, Burns EE. Incidence of and risk factors for
perineal trauma: A prospective observational study. BMC Pregnancy
Childbirth 2013;13:59.

11. Dudding TC, Vaizey CJ, Kamm MA (2008) Obstetric anal sphinc_ter
injury: incidence, risk factors, and management. Ann Surg 247 (2):224–
237.

12. Nordenstam J, Altman D, Brismar S, Zetterström J (2009) Natural


progression of anal incontinence after childbirth. Int Urogynecol J Pelvic
Floor Dysfunct 20(9):1029–1035.

13. A. Williams, D. Tincello, S. White, E.J. Adams, Z. Alfirevich, D.H.


Richmond, Risk scoring system for prediction of obstetric anal sphincter
injury, BJOG 112 (8) (2005) 1066–1069, https://doi.org/10.1111/j.1471-
0528.2005.00652.x.

14. Lewicky-Gaupp C, Fenner D (2011) Fecal incontinence related to

21
pregnancy and vaginal delivery. In: Basow DS (ed) UpToDate. UpToDate,
Waltham, MA.

15. Kudish B, Blackwell S, Mcneeley SG, Bujold E, Kruger M, Hendrix SL, et


al. Operative vaginal delivery and midline episiotomy: a bad combination
for the perineum. Am J Obstet Gynecol 2006;195:749–54. (Level II-3)
[PubMed].

16. Pergialiotis V, Vlachos D, Protopapas A, Pappa K, Vlachos G. Risk factors


for severe perineal lacerations during childbirth. Int J Gynaecol Obstet
2014;125:6–14. (Meta-Analysis) [PubMed].

17. Baghestan E, Irgens LM, Bordahl PE, Rasmussen S. Familial risk of


obstetric anal sphincter injuries: registry_based cohort study. BJOG
2013;120:831–7. (Level II-3) [PubMed].

18. Cunningham F, Leveno K, Bloom S et al (eds) (2009) Williams obstetrics,


23rd edn. McGraw-Hill, New York.

19. Ginath S, Elyashiv O, Weiner E, et al. The optimal angle of the


mediolateral episiotomy at crowning of the head during labor. Int
Urogynecol J 2017;28(12):1795–99.

20. Kalis V, Laine K, de Leeuw JW, Ismail KM, Tincello DG. Classification of
episiotomy: Towards a standardisation of terminology. BJOG
2012;119(5):522–26.

21. Shmueli A, Gabbay Benziv R, Hiersch L, et al. Episiotomy – Risk factors


and outcomes. J Matern Fetal Neonatal Med 2017;30(3):251–56.

22. Kapoor DS, Thakar R, Sultan AH. Obstetric anal sphincter injuries: Review
of anatomical factors and modifiable second stage interventions. Int
Urogynecol J 2015;26(12):1725–34.

23. Hartmann K, Viswanathan M, Palmieri R, Gartlehner G, Thorp J Jr, Lohr


KN. Outcomes of routine episiotomy: a systematic review. JAMA
2005;293:2141–8. (Level III) [PubMed].

24. The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and

22
Gynaecologists. Provision of routine intrapartum care in the absence of
pregnancy complications. East Melbourne, Vic: RANZCOG, 2017.

25. Aasheim V, Nilsen ABV, Reinar LM, Lukasse M. Perineal techniques


during the second stage of labour for reducing perineal trauma. Cochrane
Database Syst Rev 2017;6:CD006672.

26. Beckmann MM, Stock OM. Antenatal perineal massage for reducing
perineal trauma. Cochrane Database of Systematic Reviews 2013, Issue 4.
Art. No.: CD005123. DOI: 10.1002/14651858.CD005123.pub3. (Meta-
Analysis) [PubMed].

27. Walker C, Rodriguez T, Herranz A, Espinosa JA, Sanchez E, Espuna-Pons


M. Alternative model of birth to reduce the risk of assisted vaginal delivery
and perineal trauma. Int Urogynecol J 2012;23:1249–56. (Level I).

28. Aigmueller T, Umek W, Elenskaia K, et al. Guidelines for the management


of third and fourth degree perineal tears after vaginal birth from the
Austrian Urogynecology Working Group. Int Urogynecol J
2013;24(4):553–58.

29. Faltin DL, Boulvain M, Floris LA, Irion O. Diagnosis of anal sphincter
tears to prevent fecal incontinence: A randomized controlled trial. Obstet
Gynecol 2005;106(1):6–13.

30. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Green-top guideline


No. 29: The management of third and fourth degree perineal tears: RCOG.
2015.
Availablefrom:https://www.rcog.org.uk/globalassets/documents/guidelines/
gtg-29.pdf.

31. Briel JW de Boer LM, Hop WCJ, Schouten WR (1998) Clinical outcome of
anterior overlapping external anal sphincter repair with internal anal
sphincter imbrication. Dis Colon Rectum 41:209–214.

32. Farrell SA, Flowerdew G, Gilmour D, Turnbull GK, Schmidt MH, Baskett
TF, Fanning CA (2012) Overlapping compared with end_to-end repair of
complete third-degree or fourth-degree obstetric tears: three-year follow-up

23
of a randomized controlled trial. Obstet. Available from:
https://saripediatri.org/index.php/sari-pediatri/article/view/431

33. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (Guideline No. 29,


Clinical green top guidelines: management of third-and fourth_degree
perineal tears following vaginal delivery—March 2007. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.alit.2016.11.001

34. Mahony R, Behan M, O’Herlihy C, O’Connell PR (2004) Random_ized,


clinical trial of bowel confinement versus laxative use after primary repair
of a third-degree obstetric anal sphincter tear. Dis Colon Rectum 47(1):12–
17.

35. Fernando RJ, Sultan AH et al (2006) Repair techniques for obstet_ric anal
sphincter injuries: a randomised controlled trial. Obstet Gynecol
107(6):12611268.Availablefrom:http://dx.doi.org/10.1016/j.alit.2016.11.00
1

36. Size EH (2005) Anal incontinence among women with one versus two
complete third-degree perineal lacerations. Int J Gynaecol Obstet 90:213.

24

Anda mungkin juga menyukai