Anda di halaman 1dari 37

Referat I

PERBANDINGAN TEHNIK OVERLAP DENGAN END-TO-END


PADA REPARASI RUPTUR PERINEUM DERAJAT III DAN IV

Penyaji :
Dr. Aprian Ilhami

Pembimbing:
Dr. H.Amir Fauzi, SpOG (K)

Moderator:

Dr. H. Azhari, Sp.OG (K)

Penilai:

Prof. Dr. Mgs. H. Usman Said, SpOG (K)


Dr. H. Zaimursyaf Azis, SpOG (K)
Dr. H. M. Hatta Ansyori, Sp.OG (K)
Dr. Agustria Zainu Saleh, SpOG (K)
Dr. H. Nuswil Bernolian, SpOG (K) MARS

DEPARTEMEN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT Dr.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan pada Hari Selasa, 27 Maret 2018, 09.30 WIB
LEMBAR PENGESAHAN

PERBANDINGAN TEHNIK OVERLAP DENGAN END-TO-END


PADA REPARASI RUPTUR PERINEUM DERAJAT III DAN IV

Pembimbing Penyaji

Dr. H. Amir Fauzi, SpOG (K) Dr. Aprian Ilhami


NIP. 19610404198911001 NIM. 04052721722007

BAGIAN/DEPARTEMEN OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RS Dr. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
Dipresentasikan pada Hari Selasa, 27 Maret 2018, pukul 09.30 WIB

2
ii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………….. i


DAFTAR ISI ………………………………………………………..ii
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………. iii
DAFTAR RINGKASAN ………………………………………………. iv
I. PENDAHULUAN ………………………………………………..1

II.TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………………..3


A. Definisi Ruptur Perineum ………………………………………..6
B. Anatomi Perineum ………………………………………………..7
C. Etiologi Ruptur Perineum ………………………………………..10
D. Klasifikasi Ruptur Perineum ………………………………...10
E. Pencegahan Ruptur Perineum ………………………………...13
F. Tatalaksana Ruptur Perineum Grade III dan IV ………………...18
G. Perbandingan Tata Laksana Ruptur Perineum tehnik end-to-end
dengan Overlap………………….……..………………………….26
H. Endoanal Ultrasound sebagai Alat diagnostic defek pada otot
sfingter ani …………………………………….…………………….29
I. Defek Sfingter Ani dan Inkontinensia Fekal …………….…………31
J. Ringkasan ……………………………………………………….. 34
III. RUJUKAN ………………………………………………………...36

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Anatomi Perineum Wanita ………………………………………8


Gambar 2. Illustrasi Ruptur Perineum ………………………………………11
Gambar 3. Klasifikasi Ruptur Perineum ………………………………………12
Gambar 4. Trauma Jalan Lahir ………………………………………13
Gambar 5. Ilustrasi Jenis jenis Episiotomi ………………………………………15
Gambar 6. Anatomi otot perineal ………………………………………19
Gambar 7. Penjahitan tehnik end-to-end ………………………………………22
Gambar 8 Penjahitan tehnik overlap ………………………………………23
Gambar 9 Reparasi Ruptur Perineal Grade IV ………………………………24
Gambar 10 Benang yang digunakan untuk Reparasi Ruptur Perineum Grade III
dan IV ………………………………………………………25
Gambar 11 Endoanalsonografi ………………………………………………33

4
I. PENDAHULUAN

Perdarahan post partum menjadi penyebab utama 40% kematian ibu di


Indonesia. Perlukaan jalan lahir merupakan penyebab kedua perdarahan
setelah atonia uteri yang terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan
tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Persalinan seringkali
mengakibatkan perlukaan jalan lahir. Perlukaan jalan lahir yang dapat terjadi
selama proses persalinan dapat berupa robekan pada mukosa vagina hingga
perineum. Pada umumnya robekan vagina terjadi karena regangan jalan lahir
yang terjadi secara berlebihan dan tiba-tiba ketika janin dilahirkan. Untuk itu
segera setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan jalan lahir untuk
mengidentifikasi adanya suatu perlukaan.20
Menurut Steven, Seorang tokoh WHO, Pada tahun 2009 terjadi 2,7
juta kasus ruptur perineum pada ibu bersalin.6 Angka ini diperkirakan akan
mencapai 6,3 juta pada tahun 2050, Seiring dengan semakin tingginya tenaga
kesehatan yang tidak mengetahui tehnik persalinan dengan baik. Di Amerika,
26 juta ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum, 40% diantaranya
mengalami ruptur perineum karena kelalaian tenaga kesehatan.4,6
Penelitian di Rumah Sakit Benin Teaching, Kota Benin, Nigeria
mengemukakan bahwa prevalensi ruptur perineum < 46,6%, terlebih pada ibu
primigravida 90% mengalami ruptur perineum. Di Asia, ruptur perineum juga
merupakan masalah yang cukup banyak dalam masyarakat, 50% dari kejadian
ruptur perineum di dunia terjadi di Asia( Campion,2009 ),dan prevalensi ibu
bersalin mengalami ruptur perineum golongan umur 25 – 30 tahun adalah 24
% dan umur 32 – 39 tahun 65 %(Puslitbang Bandung 2009).
Episiotomi merupakan salah satu faktor yang mendukung terjadinya
trauma perineum, di Inggris > 85% wanita pernah mengalami trauma
perineum saat melahirkan.Angka rata-rata episiotomi di AS bervariasi antara

5
20 – 70%, hal tersebut tergantung unit pelayanannya.Di Belanda berkisar 8%,
Inggris 14%, dan 99% di negara Eropa Timur. Tetapi hanya sekitar 1,7 – 12%
(2,9 – 19% pada primipara) yang mengalami ruptur perineum tingkat 3 dan 4.2
Menurut data di RS Dr Wahidin Sudirohusodo Makassar selama tahun
2003.Indonesia sangat minim pengetahuan tentang pemberian asuhan
kebidanan pada ibu hamil maupun ibu bersalin. Data ini didukung juga oleh
penemuan data dari Depkes RI yang mengatakan bahwa sebanyak 250 bidan
PNS yang didata beberapa kota di Pulau Jawa tidak mengetahui dengan benar
cara memberikan asuhan kebidanan yang benar dan tepat bagi ibu bersalin dan
ibu hamil 17,20
Ruptur Perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun
episiotomi. Perineum yang dilakukan dengan episiotomi itu sendiri harus
dilakukan atas indikasi. Karena apabila episiotomi itu tidak dilakukan atas
indikasi dalam keadaan yang tidak perlu dilakukan dengan indikasi di atas,
maka menyebabkan peningkatan kejadian dan beratnya kerusakan pada
daerah perineum yang lebih berat. Sedangkan luka perineum itu sendiri akan
mempunyai dampak tersendiri bagi ibu yaitu gangguan ketidaknyamanan
seperti nyeri perineal,dispareuni,dan inkontinensia anal pada fungsi defekasi
yang berdampak pada kualitas hidup ibu .1,2

6
II. RUPTUR PERINEUM
A. DEFINISI RUPTUR PERINEUM

Pengertian Ruptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara


paksa, (Dorland, 1994)18.Perineum adalah bagian yang terletak antara vulva
dan anus panjangnya rata-rata 4 cm2. Perineum merupakan ruang berbentuk
jajaran genjang yang terletak di bawah dasar panggul. Batas superior yaitu
dasar panggul yang terdiri dari musculus levator ani dan musculus coccygeus.
Batas lateral tulang dan ligamentum yang membentuk pintu bawah panggul,
yaitu depan ke belakang angulus pubicus, ramus ischiopubicus, tuber
ischiadicum, ligamentum .Ruptur perineum adalah robekan pada kulit dan
otot yang terjadi pada saat persalinan19
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak
jarang juga pada persalinan berikutnya.Robekan ini dapat dihindarkan atau
dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala
janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan
terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan
dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar
panggul karena diregangkan terlalu lama12.
Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa menjadi
luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil
daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari
pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang
lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak
dilahirkan dengan pembedahan vaginal.15,17

B. ANATOMI PERINEUM
Menurut Richard S Snell, Perineum adalah wilayah pelvic outlet
diujung diafragma pelvic (levator ani). Batasannya dibentuk oleh pubic rami
di depan ligament sacro tuberos di belakang. Pelvic outletnya dibagi oleh
7
garis melintang yang menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke
dalam segitiga urogenital dan sebuah segitiga belakang anal.19

Gambar 1. Anatomi perineum wanita


Dikutip dari F Netter15

1. Segitiga urogenital
Otot-otot diwilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial
(dangkal) dan dalam bergantung pada membran perineal. Bagian
bulbospongiosus, perineal melintang dangkal dan otot ischiocavernosus
terletak dalam bagian terpisah yang superfisial. Otot bulbospongiosus
melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa
clitoridis. Di bagian belakang, sebagian serabutnya mungkin menyatu dengan
otot contralateral superfisial transverse perineal (otot yang melintang
contralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus (sfingter).19
8
Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan
bagian duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput
dara pada persimpangan duapertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah
labia minora.17,19
Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan
belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital
berbentuk tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu kehadirannya tidak
diakui oleh sebagian ahli. Dibagian yang sama terletak juga otot cincin
external uretra.19
2. Segitiga anal
Wilayah ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorectal.19
3. Badan perineal
Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara
vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut
segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit
perineal antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam bagian
perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal
melintang dan otot cincin anus bagian luar.19
Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot pubo
rectalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis
antara otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli
kesehatan ibu dan anak, istilah perineum merujuk sebagian besar pada
wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus.19
4. Anatomi anorektum
Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus
gastrointestinalis dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum.
Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak dibawah persambungan anorektal
yang dibentuk oleh otot puborectalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga bagian (
subcutaneus / bawah kulit ), superfisial (permukaan) dan bagian profunda

9
(dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborectalis. Cincin otot
anus bagian dalam merupakan lanjutan menebalnya otot halus yang
melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin otot anus oleh otot
penyambung yang membujur rektum19.

C. ETIOLOGI RUPTUR PERINEUM


Persalinan seringkali menyebabkan perlukaan pada jalan lahir.
Perlukaan pada jalan lahir tersebut terjadi pada : Dasar panggul/perineum,
vulva dan vagina, servik uteri, uterus sedangkan ruptur pada perineum spontan
disebabkan oleh : Perineum kaku, kepala janin terlalu cepat melewati dasar
panggul, bayi besar, lebar perineum, paritas.
Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana :
1.Kepala janin terlalu cepat lahir
2.Persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya
3.Sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut
4.Pada persalinan dengan distosia bahu
5.Partus pervaginam dengan tindakan.

D. KLASIFIKASI RUPTUR PERINEUM


1. Ruptur Perineum Spontan
Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu
tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja.Luka ini terjadi pada
saat persalinan dan biasanya tidak teratur.17
2. Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau
perobekan pada perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada
perineum untuk memperbesar saluran keluar vagina.17,20

10
Gambar 2. Klasifikasi Ruptur Perineum
Dikutip dari Sultan AH12

Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan :


1. Tingkat I : Robekan hanya terjadi pada selaput lender vagina dengan atau
tanpa mengenai kulit perineum sedikit17,20
2. Tingkat II: Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selama mengenai
selaput lendir vagina juga mengenai muskulus perinei transversalis, tapi
tidak mengenai sfingter ani17,20
3. Tingkat III: Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai
mengenai otot-otot sfingter ani.17,20
a. Tingkat III a.
Robekan < 50 % ketebalan sfingter ani 2
b. Tingkat III b.
Robekan > 50% ketebalan sfinter ani 2
c. Tingkat III c.
Robekan hingga sfingter ani interna 2
4. Tingkat IV Robekan hingga epitel anus 2

11
Gambar 3. Klasifikasi Ruptur Perineum
Dikutip dari William Obstetric 24th edition21

12
E. PENCEGAHAN RUPTUR PERINEAL

1. Head Control
Memperlambat pengeluaran kepala dengan memberi instruksi kepada
ibu tidak untuk meneran ketika melahirkan kepala,hanya dengan
menggunakan daya ekpulsif uterus saja,dapat menurunkan insiden rupture
perineal 50 – 70%( Study Norway)5,6
2. Perineal Support
Cochrane review dengan mengontrol ekspulsi kepala dengan satu
tangan memegang kepala dan tangan yang lain menahan perineum
terbukti mencegah rupture perineum. Cochrane review menunjukkan
dengan kompres hangat pada perineum terbukti mengurangi angka
kejadian ruptur perineum 5,6
3 Instrumental Delivery
Jika harus melahirkan dengan instrumental maka kelahiran dengan
vakum lebih sedikit traumatik dibanding forcep.hampir seluruh data
mendukung episiotomi mediolateral sebelum persalinan menggunakan
alat,pelepasan sendok forceps sebelum diameter kepala terbesar keluar
juga dapat mengurangi cedera perineal 5,6

Gambar 4 Ilustrasi robekan perineal pada jalan lahir


Dikutip dari F. Netter

13
RUPTURE PERINEUM YANG DISENGAJA ( EPISIOTOMI )
Definisi Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang
menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan
pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah
depan perineum.7,12
Di masa lalu, dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin
yang tujuannya adalah untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum,
membuat tepi luka rata sehingga mudah dilakukan penjahitan (reparasi),
mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi tetapi hal tersebut
ternyata tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup (Enkin et al,
2000; Wooley, 1995). Tetapi sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa
episiotomi tidak boleh dilakukan karena ada indikasi tertentu untuk
melakukan episiotomi (misalnya, persalinan dengan ekstraksi cunam, distosia
bahu, rigiditas perineum, dsb). Para penolong persalinan harus cermat
membaca kata rutin pada episiotomi karena hal itulah yang tidak dianjurkan,
bukan episiotominya.7,17
Episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan :
1. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma
2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi
rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi.
3. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum
4. Meningkatnya resiko infeksi.
Indikasi untuk melakukan episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun
pihak janin.20
1. Indikasi janin.
a.Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah
terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin.

b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan


cunam, ekstraksi vakum, dan janin besar.5,21
14
2. Indikasi ibu
Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga
ditakuti akan terjadi robekan perineum, umpama pada primipara,
persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan
anak besar.20

Namun indikasi sekarang yang digunakan untuk melakukan episiotomi


telah banyak berubah. Indikasi untuk melakukan episiotomi untuk
mempercepat kelahiran bayi bila didapatkan :
1. Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan.
2. Penyulit kelahiran pervaginam ( sungsang, distosia bahu, ekstraksi cunam
(forcep) atau ekstraksi vakum )
3. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan
persalinan15

Gambar 5.jenis jenis episiotomi


Dikutip dari William obstetric 24th edition21

15
TEKNIK EPISIOTOMI
1. Episiotomi medialis
a. Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina
sampai batas atas otot-otot sfingter ani.
Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain
dengan larutan procaine 1%-2%; atau larutan lidonest 1%-2%; atau
larutan xylocaine 1%-2%. Setelh pemberian anestesi dilakukan insisi
dengan mempergunakan gunting yang tajam dimulai dari bagian
terbwah introitus vagina menuju anus, tetapi sampai tidak memotong
pinggir atas sfingter ani, jingga kepala dapat dilahirkan. Bila kurang
lebar disambung ke lateral (episiotomi mediolateralis).
b. Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri
dan kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit
dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan
empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus
(interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang
yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut
chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera.6,20

2. Episiotomi mediolateralis

a. Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina
menuju kearah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan
kearah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang
melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm.
b. Tekhnik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama
dengan tekhnik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan
sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya
harus simetris.

16
3. Episiotomi lateralis

a. Pada tekhnik ini insisi dilakukan kearah lateral mulai dari kira-kira
pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam.
b. Tekhnik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak
menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana
terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat
menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi
dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita.17,21

17
F. PENATALAKSANAAN RUPTUR PERINEUM DERAJAT 3 & 4
Sebanyak 85% dari perempuan yang melahirkan pervaginam akan
mengalami trauma pada perineum dan 3-12% akan mengenai otot sfingter ani.
Robekan pada otot sfingter ani akan menyebabkan gangguan pada otot-otot
dasar panggul di kemudian hari2,17
Perineum yang kita kenal sehari-hari adalah badan perineum yaitu
daerah diantara vagina dan anus yang terbentuk dari gabungan otot-otot
membrana perineal yaitu otot bulbo kavernosus, otot tranversus
perinealis superfisialis dan profundus, disertai otot pubo rektalis yang
merupakan bagian dari otot levator ani dan otot sfingter ani eksterna. Daerah
ini mendapat suplai darah dari cabang-cabang arteri pudenda interna dan
mendapatkan persarafan sensoris dan motoris dari nervus pudendus.2,17
Pada wanita normal panjang badan perineum ini sekitar 3-5 cm, dan
akan berkurang pada kondisi prolaps organ pelvik yang lanjut atau pada
keadaan terjadinya robekan perineum pasca persalinan yang tidak dikelola
dengan baik.20
Pada kondisi terjadinya trauma perineum yang besar yang
menyebabkan robeknya atau disrupsi otot-otot yang membentuk perineum
terutama levator ani dan sfingter ani maka akan terjadi gangguan defekasi
berupa inkontinensia fekal yang derajat beratnya bervariasi. Selain itu dapat
pula terjadi gangguan seksual, keputihan dan infeksi saluran kemih yang
berulang.
Pada setiap persalinan terutama persalinan yang beresiko terjadi
robekan perineum yang berat seperti persalinan dengan bantuan alat (ekstraksi
vacuum dan forceps), oksiput posterior, distosia bahu, bayi besar, dan
episiotomi mediana, kita harus waspada akan terjadinya robekan perineum
derajat III-IV. Oleh karena itu pasca persalinan harus dinilai benar
robekan perineum yang terjadi. Tindakan colok dubur dan pemaparan yang
baik sangat membantu untuk mendiagnosis derajat robekan perineum yang

18
terjadi. Sultan dan kawan-kawan melaporkan terjadinya defek pada sfingter
ani eksterna maupun interna berkisar 15-44% pada evaluasi USG endoanal
pasien-pasien pasca perbaikan rupture perineum derajat III dan IV. Salah satu
kemungkinan penyebabnya adalah diagnosis substandar dalam penentuan
derajat robekan sebelum perbaikan.

Gambar 6. Anatomi otot perineal


Dikutip dari Atlas Frank Netter

Derajat robekan perineum akut pasca persalinan menurut Sultan dibagi


menjadi 4 derajat12, yaitu :
1. Derajat I : robekan hanya mengenai mukosa vagina dan kulit perineum
2. Derajat II : robek an yang lebih dalam mencapai otot-otot perineum
tetapi tidak melibatkan otot-otot sfingter ani.
3. Derajat III : robekan sudah melibatkan otot sfingter ani, dibagi menjadi

19
3 sub grup, yaitu :
III a : robekan mengenai < 50% ketebalan otot sfingter
ani eksterna.
III b : robekan mengenai > 50% ketebalan otot sfingter
ani ekstema
III c : robekan sampai mengenai otot sfingter ani
interna
4. Derajat IV : robekan sampai ke mukosa anus
Button hole tear : Sfingter intak namun mukosa anus terkena

Gambar Klasifikasi Ruptur Perineum

Diambil dari buku A.H. Sultan

Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan cara


melakukan penjahitan luka lapis demi lapis, dan memperhatikan jangan
sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah vagina yang biasanya dapat
20
dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak baiknya
penyembuhan luka. Selain itu dapat dilakukan dengan cara memberikan
antibiotik yang cukup (Moctar, 1998). Prinsip yang harus diperhatikan dalam
menangani ruptur perineum adalah :
a. Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir,
segera memeriksa perdarahan tersebut berasal dari retensio plasenta
atau plasenta lahir tidak lengkap.
b. Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat
dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada jalan
lahir, selanjutnya dilakukan penjahitan.
c. Reparasi mula-mula dari titik pangkal robekan sebelah
dalam/proksimal ke arah luar/distal. Jahitan dilakukan lapis demi lapis,
dari lapis dalam kemudian lapis luar.
d. Robekan perineum tingkat III : penjahitan yang pertama pada dinding
depan rektum yang robek,Otot Sfingter Ekstena dan interna segera
diidentifikasi dan dijahit dengan teknik end-to-end atau overlap dengan
PGA 3.0 atau PDS 3.0. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum
rektovaginal dijahit sehingga bertemu kembali.
e. Robekan perineum tingkat IV : ujung-ujung otot sfingter ani yang
terpisah karena robekan diklem dengan klem pean lurus, kemudian
dijahit antara 2-3 jahitan dengan PDS(polydiaxonone) 3.0 sehingga
bertemu kembali. Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti
menjahit robekan perineum tingkat I.
f. Jahit secepat mungkin untuk mengurangi risiko perdarahan dan infeksi.
g. Periksa peralatan dan hitung kassa sebelum dan sesudah tindakan.
h. Beri penerangan/lampu yang baik untuk identifikasi dan melihat
jaringan yang terlibat.

21
i. Trauma yang sulit lebih baik dilakukan oleh operator yang lebih
berpengalaman dalam anestesi umum maupun regional di kamar
operasi , dan pasang kateter urin 24 jam pasca tindakan
j. Lakukan penjahitan sesuai anatomi awal untuk mendapatkan hasil
kosmetik yang baik.
k. Lakukan pemeriksaan rektal touche setelah penjahitan selesai untuk
memastikan tidak ada materi benang yang tidak sengaja masuk pada
mukosa rektum.
l. Setelah selesai melakukan repair, informasikan pada pasien mengenai
luka dan perluasannya, diskusikan tentang penghilang nyeri, diet,
hygiene dan pentingnya latihan untuk mendukung pelvis.

Gambar 7a
Ilustrasi dari penjahitan end to end yang salah
Dikutip dari farrell et al1

Gambar 7b
Ilustrasi dari penjahitan end to end
Dikutip dari farrell et al11

22
TEHNIK REPARASI OVERLAP DAN END-TO-END
1.Pasien dalam keadaan litotomi dan dilakukan dalam kondisi aseptik2,3,7
2.Ujung robekan otot sfingter diidentifikasi dan dijepit dengan pinset (Allis
tissue forceps ) 2,3,7
3.Pada salah satu ujung otot sfingter jahitan dimulai dari 1,5 cm dan dari
salah satu tepi yang lain 0,5 cm menggunakan benang polydioxanone
sulphate 3/0 (Ethicon)
4.Otot kemudian diregangkan dan di mobilisasi ditarik hingga tumpang
tindih
5.Pada tehnik aproksimasi end-to-end masing masing ujung dari oto sfingter
yang terpotong secara terputus atau dengan tehnik figure of 82,3

Gambar 8
Ilustrasi diagramatik untuk mendemonstrasikan teknik reparasi overlap dari sfingter anal
external pada salah satu ujung otot sfingter jahitan dimulai dari 1,5 cm dan dari salah satu tepi
yang lain 0,5 cm menggunakan benang polydioxanone sulphate 3/0 (Ethicon )
Dikutip dari Farrel et al1

23
Pada Ruptur Perineum Grade IV Repair mukosa rektum dengan
jahitan satu-satu atau continues, dengan benang (poliglaktin) tidak menembus
mukosa rektum untuk mencegah fistula. ,3,7

Gambar 9
Reparasi ruptur perineal Grade IV

Dilakukan identifikasi otot sfingter ani eksterna dan interna, dan


jahitan dengan benang yang lebih kuat (PDS 2.0)

PERAWATAN PASCA PENJAHITAN DERAJAT III & IV


1. Pasang Foley Catheter menetap minimal 1 x 24 jam karena nyeri
perineum dan periuretra yang bengkak dapat menimbulkan retensio urine
2. Pemberian Analgetik adekuat (nonsteroid anti inflamatory à ibuprofen)
3. Kompres es dapat digunakan untuk mengurangi edema dan nyeri
postpartum
PERAWATAN PASCA PENJAHITAN
1. Pemberian antibiotik spektrum luas (Cefuroxim 1,5gr) dan metronidazol à
evidence level IV
a. Antibiotik untuk cegah infeksi yang resiko tinggi inkontinensia fekal da
fistula rektovaginal
b. Metronidazol untuk melindungi kontaminasi kuman anaerob dari anus
24
2. Pemberian Laksatif atau Pencahar selama 10-14 hari evidence level IV
a. Gunanya untuk mencegah terjadinya konstipasi sehingga terlepasnya
jahitan
3. Program rehabilitasi otot dasar panggul dilakukan setelah 3 hari pasca
penjahitan (individual sesuai rekomendasi fisioterapis)
4. evaluasi setelah 3 bulan pasca melahirkan (apakah perlu pengobatan
lanjutan/perbaikan sfingter)
5. Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB
kembali normal
6. Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah seperti infeksi atau
kontrol BAB yang sulit —–segera kontrol
7. Penjelasan pada pasien dan tidak dipulangkan sebelum aktivitas BAB
kembali normal. Penjelasan detail tentang trauma dan bila ada masalah
seperti infeksi atau kontrol BAB yang sulit disarankan segera kontrol
ke bagian uroginekologis.

Gambar 10
Benang yang digunakan untuk Reparasi Ruptur Perineum Grade III dan IV

25
G. PERBANDINGAN TATA LAKSANA RUPTUR PERINEUM TEHNIK
END-TO-END DENGAN OVERLAP
Cedera sfingter ani sebagaimana telah dijelaskan diatas berkaitan
langsung dengan morbiditas tinggi terutama inkontinensia anal yang bisa
berdampak langsung pada aspek sosial ekonomi individu atau pasien. Banyak
dari wanita tidak mencari pengobatan karena inkontinensia anal dianggap tabu
dan memalukan 1
(Cochrane Pregnancy Child Birth Trials) dimana semua RCT ini
membandingkan teknik perbaikan sfingter ani eksternal dengan teknik end-to-
end dengan teknik over lap.
Enam studi (Farel 2012, Fernando 2006, Fitz patrick 2000, Garcia
2005, Rygh 2010, William 2006 ) melibatkan 558 wanita untuk di review
secara detail yang mana terdapat variasi hasil pengukuran pada enam studi
ini, Fitzpatrick 2000 pada penelitiannya menilai sekumpulan inkontinensial
fekal dan USG Endoanal untuk menilai adanya kelainan pada anatomi
anorektal yang berhubungan dengan inkontinensial fekal selama 3 bulan
setelah melahirkan. Hasil penelitian dari Fernando 2006 menilai gejala dari
inkontinensia fekal setelah 1 tahun dan juga menilai fekal urgensi, nyeri
perineal,dispareuni dan kualitas hidup selama 3, 6 , 12 bulan. Penilaian
inkontinensia fekal selama 6 minggu, 3 bulan dan 6 bulan dengan USG
endoanal ditemukan kemajuan/ perbaikan dari gejala inkontinensia anal. Hasil
penelitian dari Wiiliam 2006 menilai morbiditas yang berkaitan dengan jenis
benang yang digunakan selama 6 minggu, Gejala intestinal selama 3,6 dan 12
bulan dengan kuesioner yang valid. Rygh 2010 penelitiannya mengenai
kebocoran tinja cair setelah satu minggu atau lebih sampai 12 bulan, disini
juga dinilai inkontinensia flatus selama seminggu atau lebih dan kerusakan
sfingter ani setelah 12 bulan. Farrel 2012 meneliti tentang inkontinensia fekal
selama 6 bulan, kualitas hidup dan kerusakan sfingter ani setelah 6 bulan.
26
Hasil penelitian Garcia 2005 melaporkan tentang inkontinensial vekal
berdasarkan skor inkontinensia fekal.1,4,6
Semua hasil penelitian diatas membandingkan tekhnik reparasi dari
otot sfingter anal secara end-to-end dan overlap dan reparasi ini dilakukan
segera setelah cedera sfingter anal obstetrik. Fitz patrick 2000 melakukan
penilaian selama 3 bulan, Farrel 2012 melakukan penilaian selama 6,12,24
dan 36 bulan sedangkan Fernando 2006, Rygh 2010, Wiiliam 2006 melakukan
12 bulan follow up dan Garcia 2005 dalam rentang 4 minggu sampai 9 bulan.
Sebagai tambahan Wiliam 2006 membandingkan dua komponen
benang jahit (PDS dan PGA 2.0) untuk reparasi sfingter ani eksternal . Fitz
patrick 2000 menggunakan benang jahit monofilamen kerja panjang(long
acting) untuk mereparasi sfingter ani eksternal dan untuk mereparasi kulit dan
otot-otot perineal digunakan benang dekson 2.0. Farrel 2012 menggunakan
benang PGA 3.0 untuk menjahit sfingter ani eksternal dan internal. Fernando
2006 dan Rygh 2010 menggunakan PDS 3.0 untuk perbaikan otot sfingter ani
eksternal dan internal dan PGA 2.0 untuk otot perineal epitel vagina dan kulit
perineal. Garcia 2005 melakukan overlap menggunakan PDS 2.0 dan end to
end menggunakan PGA 2.0. 1,4,6
Semua studi diatas melibatkan seluruh wanita dengan robekan parsial
atau komplit yang berarti melibatkan ruptur perineal dengan grade IIIb, IIIc
dan IV. Pada semua studi diatas reparasi perineal dilakukan dibawah anastesi
regional atau umum, didalam ruangan operasi dengan kondisi aseptik dan
antibiotik profilaksis dan reparasi ini dilakukan oleh klinisi yang sudah
terlatih. Setelah dilakukan tindakan preparat seperti pelunak tinja (lakutulosa)
diberikan 10 hari setelahnya untuk mengurangi tekanan pada perineum. Dua
studi Fernando 2006 dan Fitz patrick 2000 menggunakan kuesioner dan score
wexner modifikasi untuk menilai inkontinensial anal untuk assesmen
subjektif. Sebagai tambahan Fernando 2006, Rygh 2010,Farel 2012,
menggunakan score quality of life minneapolis, score ini memiliki rentang

27
dari 0-24, dimana score 0 berarti tidak adanya inkontinensia dan 24
mengindikasikan inkontinensia ani komplit. Kuesioner ini diberikan setelah 3
bulan, 6 bulan dan 12 bulan. 1,4,6
Hasil dari intervensi 6 studi diatas yang melibatkan 588 wanita,
Fernando 2006 melaporkan insiden dari inkontinensia fekal pada 3,6,12
bulan, sedangkan Farrel 2012 melaporkan pada 6,12,24,36 bulan, Rygh 2010
melaporkan inkontinensia fekal pada 12 bulan. Garcia 2005 melaporkan
inkontinensia fekal pada 3 bulan berdasarkan skor inkontinensia fekal. Fitz
patrick 2000 melaporkan inkontinensia fekal pada 3 bulan. 4,6
Jadi sesuai dari hasil penelitian diatas inkontinensial fekal mulai bisa
dideteksi setelah 6 minggu dari refarasi ruptur perineal dan menunjukkan
kondisi morbiditas yang berbeda dan harus dievaluasi pada 3,6,12,24,36 bulan
setelahnya. 1,4,6
Kesimpulan ada 6 studi RCT membandingkan reparasi segera ruptur
perineal dengan teknik end-to-end dan teknik overlap. Dimana 2 teknik ini
membandingkan pada 6 minggu, 3,6,12 bulan setelah reparasi dan dari 6 studi
ini menunjukkan secara statistik insiden inkontinensia yang lebih rendah pada
teknik overlap dibanding teknik end-to-end. Disini juga perlu dijelaskan
bahwa perlu dilakukan grup penelitian yang bersamaan secara multi senter
dengan karakteristik penelitian yang sama untuk mengurangi bias dan hasil
yang valid kedepannya dan dari penelitian ini didapatkan bahwa penjahitan
segera ruptur perineal secara overlap menguragi resiko inkontinensia anal
setelah 12 bulan reparasi dari ruptur perineal dan dari temua-temuan ini bisa
disimpulkan bahwa teknik overlap lebih dipilih untuk reparasi ruptur
perineum grade III dan IV dibanding teknik end-to-end. 1,4,6

28
H. ENDOANAL ULTRASOUND SEBAGAI ALAT DIAGNOSTIK DEFEK
PADA OTOT SFINGTER ANI
Ruptur dan robekan dari springter ani dapat berakibat inkontinensia
fekal walaupun telah dilakukan reparasi ruptur perineal. Manometri anal dulu
digunakan untuk mengevaluasi fungsi sfingter ani tetapi tidaklah memuaskan
karena tidak dapat menampakkan gambaran morfologi anatomi dari otot
springter ani pada pasien-pasien yang mengalami robekan perineal setelah
melahirkan. Otot sfingter ani eksternal maupun internal dapat divisualisasikan
dengan anal endosonograpi (Law PJ et al), yang dapat digunakan untuk
mendemonstrasikan defek sfingterik pada pasien-pasien inkontinesial vekal
dan pada penelitian (M.B Nielson,C.Hauge et al) membuktikan bahwa anal
endosonografi dapat menampilkan abnormalitas-abnormalitas sfingterik pada
pasien-pasien setelah reparasi ruptur sfingter anal dan dengan anal
endosonograpi juga otot sfingter ani eksternal dan internal dan otot
puborektalis bisa dengan jelas ditampakkan. Tebal sfingter ani yang abnormal
dapat diukur dengan endoprobe yang berputar dengan tampilan gambar
transversal.23
Otot sfingter ani dapat ditampilkan secara multiplane imaging. Alat
endosonografi adalah sonografic scaner dengan kekuatan 7MHz multiplane
endoprobe scaner diameter 23mm. Bidang scan dapat diubah dari transversal
ke longitudinal dengan menggunakan tuas yang ada pada gagang
probe.masing-masing kuadran diperiksa terpisah gambaran transversal
didapatkan secara perlahan dengan menarik probe. Balon yang berisi air
diletakkan diujung dari probe dan gambaran longitudinal dari rektum bagian
bawah dan kanalis analis didapatkan dengan memutarkan probe. Ketebalan
dari muskulus ekternal dan internal ani diukur dengan bidang transversal pada
jam 3 dan jam 6 ditengah tengah dari kanalis analis dengan posisi yang sama
dan pada bidang longitudinal panjang sfingter eksternal langsung bisa diukur
untuk mendapatkan lokasi batas atas dari sfingter anal probe dimasukkan

29
kedalam rektum dan direktrasi sampai sfingter eksternal tampak dibidang
transversal. Bidang scan kemudian diubah lagi ke posisi longitudinal dan
probe diretraksi lebih jauh sampai batas bawah dari sfingter internal terlihat
dan otot sfingter terlihat berjarak dekat dengan probe menunjukkan bagian
bawah dari bagian bawah otot tersebut. Dengan endosonografi anal ini otot
sfingter ani internal terlihat dengan hypoechoic band sedangkan otot sfingter
ani eksternal terlihat lebih luas dan hyperechogenic band diluar dari sfingter
eksterna23

Gambar 10
Defek sfingter ani dengan gambaran endoanal sonografi

30
I. DEFEK SFINGTER ANI DAN INKONTINENSIA ANAL
Menurut definisi WHO (Michael Probst 2012) adalah
ketidakmampuan untuk mengontrol buang air besar dan penyebab
inkontinensia fekal bisa terjadi karena22 :
1. Sensorik (kehilangan sensasi selama BAB biasanya bekas operasi)
2. Otot (defek sfingter)
3. Neurogenik (kausa sentral)
4. Gangguan fungsi reservoir (gangguan radang saluran cerna)
5. Fungsional (pemakaian obat-obatan tertentu)
Inkontinensia fekal terjadi 4 : 1 antara pria dan wanita, angka
Pada wanita tinggi karena trauma pada saat melahirkan.Riwayat penyakit
terdahulu dalam hal ini pada ruptur perineal dapat membandingkan
kemungkinan- kemungkinan penyebab robekan perinium dari sebab-sebab
yang lainnya, adapun alat bantu diagnostik untuk mendeteksi fekal
inkontinensia antara lain :
1. Endoskopi
Endoskopi adalah salah satu prosedur diagnostik untuk melihat
kelainan pada anal dan rektum terutama rektoskopi yang digunakan untuk
mengidentifikasi penyebab organik misalnya tumor atau inflamasi.22
2. Manometri
Pada kondisi- kondisi tertentu karakteristik tekanan organ sfingter
diukur dalam kondisi statis dan dinamis dan monometri perfusi biasanya
dilakukan dengan bantuan kateter yang dilubangi, dengan cara ini
patofisiologi dapat diperiksa dan dengan mudah dapat diulangi lagi
apabila ada hasil yang meragukan akan tetapi ini bukanlah standar untuk
menegakkan suatu inkontinesial vekal, manometri hanya berguna untuk
memonitor perawatan pada inkontinesia fekal.22

31
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Dengan gambaran MRI kita dapat memprediksikan secara gambaran
anatomi struktural yang menyebabkan kepentingan inkontinesia fekal22
4. Anal endoskopik ultrasound
Anal endoskopik ultrasound sangat memungkinkan untuk
menggambarkan anatomi otot sfingter ani secara detail. Defek muskular
dapat ditampilkan dengan alat ini dengan resolusi yang tinggi
menggunakan probe ultrasound yang dimasukkan secara transanal
(frekuensi 6,5 – 10MHz). Alat ini sekarang menjadi standar emas untuk
pemeriksaan morfologi dari defek sfingter anal yang merupakan faktor
penyebab inkontinensia fekal.22
Pengobatan inkontinensia fekal dalam hal ini yang disebabkan oleh
defek pada sfingter ani setelah reparasi ruptur perineal dapat dilakukan
dengan berbagai cara dalam bidang obstetri dan ginekologi meliputi :
1. Fisioterapi khusus
Tehnik fisioterapi ini dilakukan dibawah pengawasan spesialis
fisioterapi yang di khususkan untuk menagani masalh inkontinensia fekal.
Fokus utama dalam fisioterapi yang dimaksudkan meliputi, stabilitasi otot-
otot rongga velvis dan otot-otot sfingter. Penilaian dilakukan secara bertahap
dengan melihat dosis fisioterapi yang optimal dibandingkan efek yang
diharapkan. Program latihan ini bisa juga lakukan dirumah dan dievaluasi
oleh fisioterapi secara berkala22.
2. Elektrostimulasi
Elektrostimulasi akan mengembalikan serat-serat otot springter ani
secara bertahap pada penelitian (hoskercody dan norton) dengan
menggunakan elektroterapi dengan frekuensi 40-50Hz selama 5 detik
menunjukkan hasil yang memuaskan bila digabung dengan fisioterapi khusus
seperti yang disebutkan diatas22.

32
3. Pembedahan sfingter
Rekonstruksi dari sfingter ani dilakukan apabila ada kerusakan yang
disebabkan oleh trauma melahirkan yang dilakukan oleh dokter kebidanan,
apabila operasi rekonstruksi ini berhasil dilakukan sesuai dengan standar akan
berdampak dalam penurunan kasus inkontinensia fekal akibat defek sfingter
ani karena reparasi yang salah. Dari gambaran diatas sangatlah
memungkinkan untuk menentukan atau memvisualisasikan gambaran defek
sfingter ani pada pasca persalinan dengan ruptur perinium yang telah di
reparasi untuk menilai kemungkinan untuk menginvestigasi kemungkinan
inkontinensia fekal dari gambaran defek sfingter ani tadi1,22.

33
J. RINGKASAN
Kejadian ruptur perineum di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7
juta ibu bersalin mengalami ruptur perineum, angka ini diperkirakan akan
meningkat 6,3 juta pada tahun 2050 seiring dengan makin tingginya bidan
yang tidak melaksanakan asuhan kebidanan dengan baik. Hasil penelitian
Puslitbang Bandung pada tahun 2009 sampai 2010 pada beberapa Provinsi di
Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima ibu bersalin yang mengalami
ruptur perineum akan meninggal dunia. Prevalensi ruptur perineum terjadi
pada usia 25 sampai 30 tahun sebesar 24 % dan usia 32 sampai 39 tahun
sebanyak 62%.
Ruptur perineum merupakan robekan yang terjadi sewaktu persalinan
dan disebabkan oleh beberapa faktor antara lain posisi persalinan, cara
meneran, pimpinan persalinan, berat badan bayi baru lahir dan keadaan
perineum.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis dan dengan pemeriksaan
penunjang endoanal ultrasonografi. Dalam identifikasi cedera sfingter
anal,Otot sfingter ani dapat ditampilkan secara multiplane imaging. Alat
endosonografi adalah sonografic scaner dengan kekuatan 7MHz multiplane
endoprobe scanner diameter 23mm.
Penatalaksanaan awal pada ruptur perineum adalah untuk menyatukan
kembali jaringan tubuh(reparasi ruptur perineal) dan menjaga homeostasis
tubuh dengan cara mencegah kehilangan darah dan mencegah komplikasi
tersering yaitu inkontinensia anal yang berdampak pada kualitas hidup dan
aspek sosioekonomi pasien
(Cochrane Pregnancy Child Birth Trials) dimana semua RCT ini
membandingkan teknik perbaikan sfingter ani eksternal dengan teknik end-to-
end dengan teknik over lap.

34
Penelitian ini didapatkan bahwa penjahitan segera ruptur perineum
secara overlap menguragi resiko inkontinensia anal setelah 12 bulan reparasi
dari ruptur perineal dan dari temuan -temuan ini bisa disimpulkan bahwa
teknik overlap lebih dipilih untuk reparasi ruptur perineum grade III dan IV
dibanding teknik end-to-end.

35
RUJUKAN
1. Farrell SA, Allen V, Baskett TF. Anal incontinence in primiparas. J Obstet Gyna
ecol Can 2001;23:321–6.
2. Sultan AH, Kamm MA, Hudson CN, Bartram CI. Thirddegree obstetric
anal sphincter tears: risk factors and outcomeof primary repair. BMJ 1994;308:887–91.
3. Sultan AH, Monga AK, Kumar D, Stanton SL. Primary repairof obstetric anal sphincter rupture usi
ng the overlap technique.Br J Obstet Gynaecol 1999;106:318–23.
4. Fitzpatrick M, Behan M,O’Connell PR,O’Herlihy C.randomized clinicaltrial comparing pri
mary overlap withapproximation repair third degree obstetric tears. Am JObstet Gynecol 200
0;183:1220–4.
5. Williams A, Adams EJ, Tincello DG, Alfirevic Z, WalkinshawSA, Richmond DH. How to re
pair an anal sphincter injuryafter vaginal delivery: results of a randomized controlled trial.BJOG
2006;113:201–7.
6. Fernando RJ, Sultan AH, Kettle C, Radley S, Jones P, O’BrienPM. Repair techni
ques for obstetrical anal sphincter injuries: arandomized controlled trial. ObsteGynecol 2006;1
07:1261–8.
7. Fernando R, Sultan AH, Kettle C, Thakar R, Radley S.Methods of repair of obstetric
anal sphincter injury. TheCochrane Database of Systematic Reviews 2006, Issue 3. Art.No.: CD
002866. DOI: 10.1002/14651858.CD002866.pub2.
8. O’Brien PC, Fleming TR. A multiple testing procedure forclinical trials. Bio
metrics 1979;35:549–56.
9. Nielsen MB, Hauge C, Rasmussen OO, Pedersen JF, Christiansen J. Anal end
sonographic findings in the followup ofprimarily sutured sphincteric ruptures. Br J Surg 1992
;79:104–6.
10. Rockwood TH, Church JM, Fleshman JW, Kane RL, Mavrantonis C, Thorson A
G, et al. Fecal Incontinence QualityofLifeScale: quality of life instrument for patients with fecal inc
onti-nence. Dis Colon Rectum 2000;43:9–16.
11. Cockell SJ, OatesJohnson T, Gilmour DT, Vallis TM, Turnbull GK. Postpartum flatal and F
ecal Incontinence Quality-of-Life Scale: a disease and population-
specific measure. QualHealth Res 2003;13:1132–44.
12. Sultan AH, Stanton SL. Occult obstetric trauma and anal
incontinence. Eur J Gastroenterol Hepatol 1997;9:423–7.
13. Snooks SJ, Henry MM, Swash M. Faecal incontinence due toexternal anal sphinct
division in childbirth is associated withdamage to innervation of the pelvic floor musculature:
adouble pathology. Br J Obstet Gynaecol 1985;92:824–8.
14. Jorge JM, Wexner SD. Etiology and management of fecalincontinence. Dis
Colon Rectum 1993;36:77–97.
15. Mahony R, Behan M, Daly L, Kirwan C, O’Herlihy C,O’Connell PR. Internal anal sphi
ncter defect influences continence outcome following obstetricalanal sphincter injury.
16. Saifudin, Abdul Bari. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawiohardjo.edisi 4. Jakarta
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.2008
17. Wiknjosastro, Hanifa. Ilmu kandungan.Edisi 2.Jakarta.Yayasan Bina Sarwono Prawirohardjo.
2005
18. Kamus kedokteran Dorlan. Jakarta .EGC. 1994
19. Snell, Richard S. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran. Edisi 6. Jakarta. EGC. 2000
20. Wiknjosastro , Hanifa. Ilmu Bedah Kebidanan. Edisi Pertama. Jakarta. Yayasan Bina Sarwono
Prawirohardjo.2007
21. Cunningham FG et al. William Obstetrics. 22nd . New York. McGraw-Hill.2005
22. Michael Probst, Helen Pages, Jürgen F. Riemann, Axel Eickhoff,Franz Raulf, Gerd Kolbert Fecal
Incontinence. Deutsches Ärzteblatt International | Dtsch Arztebl Int 2010; 107(34–35): 596–601
23. M.B. Nielsen, C.Hauge et al anal endosonographic findings in the follow up of primarily sutured
sphincteric Rupture .butterworth ; Heinemann Ltd 0007 - 1323
36
37

Anda mungkin juga menyukai