Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN PERSALINAN ANASTESI PERINIUM

DI RSUD dr. ABDUL RIVAI BERAU

Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Pendidikan Profesi Bidan

DISUSUN OLEH :
AGUS ISTIKHAROH
NIM.22082001

PROGRAM STUDI PROFESI BIDAN


INSTITUT TEKNOLOGI KESEHATAN DAN SAINS
WIYATA HUSADA SAMARINDA
2023

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Persalinan sering kali menyebabkan robekan perineum baik pada primigr
avida maupun multigravida dengan perineum yang kaku. Seringkali robekan perin
eum terjadi sewaktu melahirkan dan penaganannya merupakan masalah kebidanan.
Robekan pada perineum ini bisa terjadi secara spontan dan bisa juga terjadi karen
a dilakukannya episiotomi dalam upaya melebarkan jalan lahir. Tingkat/derajat ro
bekan perineum ada 4 tingkatan/derajat. Beberapa cedera jaringan penyokong bai
k cedera akut maupun kronis akan menimbulkan masalah pada genekologi dikemu
dian hari jika dilakukan perawatan yang kurang benar dan penggunaan bahan yan
g kurang tepat. Kerusakan pada jaringan penyokong biasanya akan segera terlihat
dan diperbaiki pada saat setelah persalinan.(Herawati, 2017)
Royal College of Obstricians and Gynaecologists (RCOG) menurut Chap
man, tahun 2016 mengatakan bahwa kelahiran di Inggris Raya 80% terjadi Rob
ekan perineum sebagian besar tergolong derajat dua, yang bervariasi dari robeka
n kecil dan berbatas tegas sampe robekan yang panjang atau rumit. Tiga bulan pe
rtama post partum hampir 23% ibu mengeluhkan dispareunia, 19% mengeluhkan
inkontinensia urine dan 3-10% mengeluhkan inkontinensia alvi. Ibu post partum
mengalami robekan derajat tiga atau empat sebanyak 0,5- 2,5%, dengan resiko ke
kambuhan 4,5% pada kelahiran per vagina berikutnya. Teori tersebut sejalan den
gan penelitian yang dilakukan oleh Mohamed dan (Nagger., 2018) menemukan b
ahwa periode post partum adalah periode selama wanita menyusui, sedangkan se
cara fisik dan psikologis yaitu post partum. (Chapman, 2018)
Nyeri perineum sebagai manifestasi dari luka bekas penjahitan yang dirasa
kan pasien akibat rupture perineum pada kala pengeluaran. Robekan perineum terj
adi pada hampir semua persalinan pervaginam baik itu robekan yang disengaja de
ngan episiotomi maupun robekan secara spontan akibat dari persalinan, robekan p
erineum ada yang perlu tindakan penjahitan ada yang tidak perlu.Dari jahitan peri
neum tadi pasti menimbulkan rasa nyeri (Chapman, 2018)
Penjahitan robekan perineum dengan anastesi merupakan salah satu progra
m asuhan sayang ibu, yang bertujuan untuk mengurangi rasa sakit yang dialami ib
u selama proses penjahitan luka jalan lahir (Mochtar, 2018) Penjahitan perineum
merupakan upaya untuk memperbaiki fungsi organ reproduksi ibu yang mengalam

1
i rupture pada saat melahirkan. Cukup banyak faktor yang mempengaruhi penyem
buhan luka perineum di antaranya mobilisasi dini, vulva hygiene, luas luka, umur,
vaskularisasi, stressor dan juga nutrisi. Luka dikatakan sembuh jika dalam 1 ming
gu kondisi luka kering, menutup dan tidak ada tanda- tanda infeksi (Mochtar, 201
8)
Akan tetapi menurut Saifudin (2017) dalam Penelitian Herdini dan Indar
wati pada tahun 2018, pemberian anastesi juga dapat menimbulkan kerusakan sist
em imun yang berakibat terjadi penurunan ketahanan tubuh sehingga akan terjadi
pemanjangan penyembuhan luka 2-3 hari dari pada tanpa anestesi Fase penyembu
han secara ideal merupakan proses penyembuhan luka dalam memulihkan seperti
jaringan semula, bila tidak memungkinkan maka akan terbentuk jaringan parut. Pe
nggunaan bahan yang tepat dalam perawatan luka perineum merupakan tehnik ya
ng benar, karena jika penggunaan bahan yang kurang tepat dapat menyebabkan lu
ka sulit sembuh atau penyembuhan lama dan menimbulkan infeksi (Suwandi, 201
6). Penyembuhan luka jahitan perineum ditandai dengan tidak adanya infeksi sepe
rti kalor (panas), rubor (kemerahan), tumor (pembengkakan), dolor (nyeri) dan fun
gsi onela (terganggunya fungsi). Penyembuhan luka jahitan secara normal akan ter
jadi pada hari kelima hingga hari ketujuh dan bisa juga lebih cepat dalam waktu 5
hari yang ditandai dengan luka kering, tidak adanya kemerahan, pembengkakan, j
aringan menyatu dan tidak nyeri ketika untuk duduk dan berjalan (Uliyah, 2018).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Mampu memberikan dan melaksanakan asuhan kebidanan persalinan deng


an Anastesi Perinium serta mendokumentasikannya

2. Tujuan Khusus

a. Melakukan pengkajian data subjektif dan obyektif

b. Melakukan asuhan kebidanan sesuai rencana yang telah disusun

c. Melakukan evaluasi terhadap asuhan yang telah diberikan

d. Melakukan pendokumentasian hasil asuhan

C. Manfaat

Penulisan laporan pendahuluan ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantar

2
anya :

1. Bagi Pelayanan Kesehatan

Agar dapat dijadikan bahan rujukan dalam penentuan standar pelayanan m


emandikan bayi

2. Bagi Penulis

Dapat dijadikan sumber informasi dan sebagai bahan rujukan sebagai peny
empurnaan laporan pendahuluan memandikan bayi

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Asuhan kebidanan masa nifas adalah penatalaksanaan asuhan yang diberikan
pada pasien mulai dari saat setelah lahirnya bayi sampai dengan kembalinya tubuh da
lam keadaaan seperti sebelum hamil atau mendekati keadaan sebelum hamil. Periode
masa nifas (puerperium) adalah periode waktu selama 6-8 minggu setelah persalinan.
Proses ini dimulai setelah selesainya persalinan dan berakhir setelah alat-alat reprodu
ksi kembali seperti keadaan sebelum hamil/tidak hamil sebagai akibat dari adanya per
ubahan fisiologi dan psikologi karena proses persalinan (Saleha, 2018).
Perawatan perineum adalah pemenuhan kebutuhan untuk menyehatkan
daerah antar paha yang dibatasi vulva dan anus pada ibu yang dalam masaanta
ra kelahiran plasenta sampai dengan kembalinya organ genetik seperti pada w
aktu sebelum hamil. Menjaga kebersihan pada masa nifas untuk menghindari i
nfeksi, baik pada luka jahitan atau kulit (Anggraeni, 2017)
Prinsip tindakan episiotomi adalah pencegahan kerusakan yang lebih hebat p
ada jaringan lunak akibat daya regang yang melebihi kapasitas adaptasi atau elastisita
s jaringan tersebut. Oleh sebab itu, pertimbangan untuk melakukan episiotomi harus
mengacu pada pertimbangan klinik yang tepat dan tehnik yang paling sesuai dengan k
ondisi yang sedang dihadapi. (Rusda 2017)
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ke
tika dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan ras
a sakit, dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kon
disi optimal bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2016). Anestesi merupa
kan tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan tidak nyama
n (Mangku, 2018) .

B. Indikasi

Indikasi episiotomi dapat berasal dari faktor ibu maupun faktor janin. Indi
kasi ibu antara lain adalah:
a. Primigravida umumnya
b. Perineum kaku dan riwayat robekan perineum pada persalinan yang lalu
c. Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan misalnya pada per

4
salinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum dan anak b
esar
d. Arkus pubis yang sempit
Indikasi janin antara lain adalah:
a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadin
ya trauma yang berlebihan pada kepala janin.
b. Bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti p
enyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas pada vulva
dan vagina.
c. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, letak defleksi, janin besar.
d. Pada keadaan dimana ada indikasi untuk mempersingkat kala II seperti p
ada gawat janin, tali pusat menumbung.
Kontra indikasi episiotomi antara lain adalah:
a. Bila persalinan tidak berlangsung pervaginam
b. Bila terdapat kondisi untuk terjadinya perdarahan yang banyak seperti pe
nyakit kelainan darah maupun terdapatnya varises yang luas pada vulva d
an vagina.

Gambar 1. Jenis episiotom (dikutip dari Benson)

C. Etiologi

Bila episiotomi dilakukan terlalu cepat, maka perdarahan yang timbul


dari luka episiotomi bisa terlalu banyak, sedangkan bila episiotomi dilakukan
terlalu lambat maka otot-otot dasar panggul sudah sangat teregang sehingga s
alah satu tujuan episiotomi itu sendiri tidak akan tercapai. Berdasarkan hal-ha
l tersebut diatas banyak penulis menganjurkan episiotomi dilakukan pada saat

5
kepala janin sudah terlihat dengan diameter 3 - 4 cm pada waktu his. Pada pe
nggunaan cunam beberapa penulis melakukan episiotomi setelah cunam terpa
sang tetapi sebelum traksi dilakukan, dengan alasan bahwa bila dilakukan seb
elum pemasangan, akan memperbanyak perdarahan serta memperbesar resiko
perluasan luka episiotomi yang tidak terkontrol selama pemasangan cunam.
Pada persalinan letak sungsang, episiotomi sebaiknya dilakukan sebelum bok
ong lahir, dengan demikian luasnya episiotomi dapat disesuaikan dengan keb
utuhan.

D. Patofisiologis

Tehnik penjahitan luka episiotomi sangat menentukan hasil penyembu


han luka episiotomi, bahkan lebih penting dari jenis episiotomi itu sendiri. Pe
njahitan biasanya dilakukan setelah plasenta lahir, kecuali bila timbul perdara
han yang banyak dari luka episiotomi maka dilakukan dahulu hemostasis de
ngan mengklem atau mengikat pembuluh darah yang terbuka.

Beberapa prinsip dalam penjahitan luka episiotomi yang harus diperh


atikan adalah sebgai berikut:
1. Penyingkapan luka episiotomi yang adekwat dengan penerangan yang
baik, sehingga restorasi anatomi luka dapat dilakukan dengan baik.
2. Hemostasis yang baik dan mencegah dead space.
3. Penggunaan benang jahitan yang mudah diabsorbsi.
4. Pencegahan penembusan kulit oleh jahitan dan mencegah tegangan y
ang
berlebihan.
5. Jumlah jahitan dan simpul jahitan diusahakan seminimal mungkin.
6. Hati-hati agar jahitan tidak menembus rektum.
7. Untuk mencegah kerusakan jaringan, sebaiknya dipakai jarum atraumatik.

E. Penatalaksanaan

Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama operasi, di


mulai lebih dari 100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884) seorang opthalmo
logist di Wina, mencatat kegunaan dari kokain suatu ester dari asam para ami
no benzoat (PABA), dalam menghasilkan anstesi korneal.

6
Penerimaan anastesi lokal sangat cepat dan anastesi lokal yang baru segera
muncul mengikuti ditemukannya kokain.Anastesi injeksi yang pertama adala
h ester lain dari PABA yaitu Procaine yang disintesa oleh Einhorn pada tahun
1905. Obat ini terbukti tidak bersifat addiksi dan jauh kurang toksik dibandin
g kokain. Ester-ester lain telah dibuat termasuk Benzocaine, Dibucaine, Tetra
caine dan Chloroprocaine, dan semuanya terbukti sedikit toksisitasnya, tetapi
kadang-kadang menunjukkan sensitisasi dan reaksi alergi. Penelitian untuk an
astesi lokal terus berlangsung sehingga banyak obat-obat dengan berbagai ke
untungan dapat digunakan pada saat ini.

Perineum merupakan bagian permukaan dari pintu bawah panggul, terleta


k antara vulva dan anus. Perineum terdiri dari otot dan fascia urogenitalis sert
a diafragma pelvis. Diafragma urogenitalis terletak menyilang arkus pubis dia
tas fascia superfisialis perinei dan terdiri dari otot-otot transversus perinealis
profunda. Diafragma pelvis dibentuk oleh otot-otot koksigis dan levator ani y
ang terdiri dari 3 otot penting yaitu: m.puborektalis, m.pubokoksigis, dan m.il
iokoksigis. Susunan otot tersebut merupakan penyangga dari struktur pelvis,
diantaranya lewat urethra, vagina dan rektum. Perineum berbatas sebagai beri
kut:
1. Ligamentum arkuata dibagian depan tengah.
2. Arkus iskiopubik dan tuber iskii dibagian lateral depan.
3. Ligamentum sakrotuberosum dibagian lateral belakang.
4. Tulang koksigis dibagian belakang tengah.
Daerah perineum terdiri dari 2 bagian, yaitu:
1. Regio anal disebelah belakang. Disini terdapat m. sfingter ani eksterna
yang melingkari anus.
2. Regio urogenitalis Disini terdapat m. bulbokavernosus,
m. transversus perinealis superfisialis dan m. iskiokavernosus.

Perineal body merupakan struktur perineum yang terdiri dari tendon dan seb
agai tempat bertemunya serabut-serabut otot tersebut diatas.Persyarafan peri
neum berasal dari segmen sakral 2,3,4 dari sumsum tulang belakang (spinal
cord) yang bergabung membentuk nervus pudendus. Syaraf ini meninggalk
an pelvis melalui foramen sciatic mayor dan melalui lateral ligamentum sak

7
rospinosum, kembali memasuki pelvis melalui foramen sciatic minor dan k
emudian lewat sepanjang dinding samping fossa iliorektal dalam suatu r
uang fasial yang disebut kanalis Alcock. Begitu memasuki kanalis Alcock,
n. pudendus terbagi menjadi 3 bagian / cabang utama, yaitu: n. hemorrhoidal
is inferior diregio anal, n. perinealis yang juga membagi diri menjadi n. labia
lis posterior dan n. perinealis profunda ke bagian anterior dari dasar pelvis d
an diafragma urogenital; dan cabang ketiga adalah n. dorsalis klitoris.

Perdarahan ke perineum sama dengan perjalanan syaraf yaitu berasal


dari arteri pudenda interna yang juga melalui kanalis Alcock dan terbagi me
njadi a. hemorrhoidalis inferior, a. perinealis dan a. dorsalis klitoris.

Gambar 2. Persyarafan perineum (dikutip dari Bonica)

Sifat umum anasyesi lokal Secara kimiawi anestesi lokal digolongkan


atas 2 senyawa :
1. Ester
2. Amide
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab pada de
gradasi dan aktivasi dalam tubuh gugus tersebut akan dihidrolisis oleh plasm
a cholinesterase, dengan demikian golongan ester umumnya kurang stabil dan
mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan amide.

Mekanisme kerja Anestesi lokal mencegah pembentukan dan konduksi i


mpuls syaraf. Tempat kerjanya terutama pada membran sel, efeknya pada a
ksoplasma hanya sedikit saja. Sebagaimana diketahui, potensial aksi syaraf
terjadi karena adanya peningkatan sesaat (sekilas) pada permeabilitas memb
ran terhadap ion Na+ akibat depolarisasi ringan pada membran. Proses inila
h yang dihambat anestesi lokal. Ini terjadi akibat adanya interaksi langsun

8
g antara zat anestesi lokal dengan kanal Na+ yang peka terhadap perubaha
n voltase muatan listrik (voltase sensitive Na+ channels). Dengan bertambahn
ya efek anestesi lokal di dalam syaraf, maka ambang rangsang membran aka
n meningkat secara bertahap, kecepatan peningkatan potensial aksi menurun,
konduksi impuls melambat dan factor pengaman (safety factor) konduksi sya
raf juga berkurang. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan kemung
kinan menjalarnya potensial aksi, dan dengan demikian mengakibatkan kega
galan konduksi syaraf.
Kerja anestesi lokal juga dipengaruhi :
1. pka :
Obat anestesi lokal yang mempunyai pka mendekati PH fisiologis mis: 7,4
akan mempunyai konsentrasi basa nonionisasi yang tinggi dan akan mudah
menembus membran sel syaraf sehingga “ onset of action “ akan lebih cepa
t.
2. Lipid Solubility :
Kemampuan obat anastesi lokal untuk menembus lingkungan hydrophobic
sehingga makin mudah larut dalam lemak, maka “duration of action” sema
kin panjang.
3. Protein Binding :
Obat anastesi lokal yang berikatan dengan plasma protein (1-acid glyco
protein), maka “duration of action” obat anastesi lokal menjadi lebih panj
ang.
Oleh karena itu sangat hati-hati pada pasien dengan plasma protein
yang rendah, dan obat akan bebas dalam sirkulasi darah sehingga akan tim
bul efek toksik pada pasien. Obat anastesi disuntikkan disekitar daerah op
erasi dengan cara infiltrasi. Pada episiotomi, infiltrasi obat anastesi harus
mengenai mukosa vagina dan kulit perineum.

Tehnik anastesi dapat dilihat pada gambar

9
Gambar 3. Tehnik anastesi infiltrasi lokal pada episiotomi.

(Dikutip dari Bonica)

Komplikasi anastesi lokal Menurut De Jong respons yang tidak enak /


tidak dapat dikendalikan dari anastesi lokal sering disebut “reaksi”
yang dibagi terpisah dalam 2 kategori, yaitu: 🢫 reaksi sistemik dan
reaksi lokal.
Reaksi sistemik terjadi jika obat menyebar dalam darah dan memu
ngkinkannya mencapai organ-organ yang jauh. Efek sistemik yang diseba
bkan oleh zat anastesi lokal paling banyak melibatkan susunan syaraf
pusat (SSP) dan sistem kardiovaskuler.
Pada umumnya SSP lebih sensitif terhadap anastesi lokal daripa
da kardiovaskuler . Oleh karena itu manifestasi pada SSP cenderung terjadi
lebih cepat. Reaksi sistemik tergantung dari dosis, sehingga makin tinggi
konsentrasi obat anastesi lokal dalam darah, makin jelas responsnya.
Oleh karena itu tindakan untuk menurunkan kadar anastesi lokal dalam d
arah (seperti penggunaan gabungan dengan dosis kecil suatu vasoko
nstriktor untuk mengurangi absorbsi) dapat mengurangi reaksi sistemi
k.
Epinefrin mengurangi kecepatan absorbsi anastesi lokal sehingga
akan mengurangi juga toksisitas sistemiknya.
Dalam klinik, larutan suntik anastesi lokal biasanya mengandung
epinefrin (1 dalam 200.000 bagian), norepinefrin (1 dalam 100.000 bagia

10
n). Pada umumnya zat vasokonstriktor ini harus diberikan dalam kadar efe
ktif minimal.
Reaksi lokal:
1. Nyeri pada penyuntikan
2. Rasa terbakar
3. Anastesia persisten
4. Infeksi
5. Edema
6. Toksisitas loka

Beberapa faktor berpengaruh terhadap penyembuhan luka perineum ya


itu: usia, nutrisi, vaskularisasi, anestesi dengan adrenalin, perawatan luka, pen
yakit lain, infeksi, personal hygiene, kegemukan, obat-obatan, merokok dan st
ress. Faktor pemberian anestesi dengan adrenalin ini lebih dominan berpengar
uh terhadap penyembuhan luka perineum, hal ini sesuai pendapat bahwa anest
esi dengan tambahan adrenalin mempunyai efek vasokontriksi lokal, sehingga
memperpanjang kerja obat anestesi, karena adrenalin menyebabkan vasokontri
ksi sehingga aliran darah disekitar luka menjadi berkurang, dan penyerapan ob
at menjadi lambat. Penyerapan yang lambat akan menimbulkan oedem pada d
aerah sekitar suntikan yang menyebabkan penjahitan menjadi tidak sempurna,
sehingga dapat mempengaruhi lama penyembuhan luka oleh karena itu pengg
unaan jenis anestesi lokal juga harus diperhatikan dalam melakukan penjahitan,
bila menggunakan anestesi yang mengandung adrenalin akan berpengaruh pa
da penyembuhan luka.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka perineum ad


alah nutrisi. Nutrisi yang cukup kalori dan protein akan mempercepat penyem
buhan luka perineum. Hal ini sesuai pendapat bahwa ibu nifas harus mengkon
sumsi makanan yang bermutu tinggi, bergizi cukup kalori dan protein. Protein
diperlukan untuk pertumbuhan dan pengganti sel-sel yang rusak atau mati. Su
mber protein dapat diperoleh dari protein hewani dan protein nabati. Protein h
ewani antara lain telur, daging, ikan, udang kerang, susu dan keju. Sedangkan
protein nabati banyak terkandung dalam tahu, tempe, kacang-kacangan. Kuran
g mengkonsumsi makanan yang kaya protein dan kalori akan mengurangi pert

11
umbuhan dan penggantian sel-sel yang rusak, sehingga memperlambat penye
mbuhan luka perineum (Anggraini, 2017). Menurut hasil penelitian sesuai den
gan penelitian Rumini (2017) rata-rata lama penyembuhan luka perineum anta
ra kelompok yang diberi anestesi adalah 8,77 hari dibulatkan menjadi 9 hari, s
edangkan pada kelompok yang tidak dibei anestesi adalah 8,38 hari dibulatkan
menjadi 8 hari. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya kesesuaian anta
ra hasil yang diperoleh dengan teori yang dikemukakan pada tinjauan pustaka
bahwa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyembuhan luka perineum a
dalah pemberian anestesi dengan adrenalin, personal hygine, perawatan perine
um dan nutrisi yang baik.

F. Jenis-Jenis Anestesi

1. General Anesthesia/ anestesi umum Salah satu konsep pelayanan kesehatan


modern yang berkembang saat ini adalah bentuk pelayanan di bidang medis,
yang mempunyai kaitan erat dengan penggunaan peralatan dan pemanfaata
n teknologi dalam pelaksanaannya, seperti misalnya Anestesi, akan mengal
ammi perkembangan teknologi peralatan yang digunakan (Jatmiko, 2018).

2. General anestesi adalah keadaan fisiologis yang berubah ditandai dengan hi


langnya kesadaran reversible, analgesia dari seluruh tubuh, amnesia, dan be
berapa derajat relaksasi otot (Mikhail, 2017).

Ketidaksadaran tersebut yang memungkinkan rasa sakit taktertahanka


n. Selama anestesi, pasien tidak sadar tetapi tidak dalam keadaan tidur yang a
lami (Press, 2018).

1) Teknik general anestesi/ anestesi umuma)

a. Anestesi umum intravena

b. Anestesi umum inhalasi

2) Komplikasi general anestesi/ anestesi umum Komplikasi anestesi adalah pe


nyulit yang terjadi pada periode perioperative dapat dicetuskan oleh tinda
kan anestesi sendiri dan atau kondisi pasien. Penyulit dapat ditimbulkan
belakangan setelah pembedahan. Komplikasi anestesi dapat berakibat de
ngan kematian atau cacat menetap jika tidak dideteksi dan ditolong seger

12
a dengan tepat.

Keberhasilan dalam mengatasi komplikasi anestesi tergantung dari det


eksi gejala dini dan kecepatan dilakukan tindakan koreksi untuk mencegah ke
adaan yang lebih buruh (Brunner & Suddarth, 2018).

a. Parenteral

Reaksi yang merugikan dari obat-obat anestesi

parenteral meliputi : sakit pada tempat suntikan,thrombosis vena, geraka


n otot yang involunter, cegukan, hipotensi, hipertensi, hipoksia, dan delir
ium pasca pembedahan (Aitkenhead & Smith, 2017).

b. Inhalas Komplikasi anestesi umum inhalasi menyebabkan hipotensi, depres


i pernapasan, hipertensi, hiperkarbia, dan kerusakan hepar (Brunner & S
uddarth, 2018).

2. Anestesi regional Anestesi regional merupakan suatu metode yang lebih bersif
at sebagai analgetik karena menghilangkan nyeri dan pasien dapat tetap sada
r. Oleh sebab itu, teknik ini tidak memenuhi trias anestesi karena hanya men
ghilangkan persepsi nyeri saja. Jika diberi tambahan obat hipnotik atau seda
si, disebut sebagai balans anestesi sehingga masuk dalam triasanesthesia. Ha
nya regional yang diblok saja yang tidak merasakan sensasi nyeri (Pramono,
2018).

a. Teknik anestesi regionala)

a) Anestesi spinal

b) Anestesi epidural

c) Anestesi kaudal

d) Blokade perifer

b. Komplikasi anestesi regional Komplikasi anestesi spinal umumnya terkait


dengan adanya blockade saraf simpatis, yaitu hipotensi, bradikardi, mual, d
an muntah. Komplikasi lain dapat disebabkan trauma mekanis akibat penus
ukan jarum menggunakan jarum spinal dan keteter. Dapat terjadi anestesi y
ang kurang adekuat, nyeri punggung akibat robekan jaringan yang dilewati

13
jarum spinal, total spinal, hametom di tempat penyuntikan, post dural punct
ure headache (PDPH), meningitis, dan abses spidural.

BAB IV

PEMBAHASAN

Anestesi adalah suatu tindakan untuk menghilangkan kesadaran diserta

14
i hilangnya rasa sakit yang sifatnya sementara. Menurut Latief ( 2017) anestesi
lokal adalah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong na
trium pada dinding saraf secara sementara terhadap rangsang transmisi sepanja
ng saraf, jika digunakan pada saraf sentral atau perifir. Berdasarkan hasil penel
itian bahwa ibu bersalin yang diberikan anestesi sebanyak 7 responden (50,0
%), dan yang tidak diberi anestesi jahitan perineum sebanyak 7 responden (50,
0 %). Menurut JNPK-KR (2018) bidan harus memberikan anestesi lokal
pada setiap ibu yang memerlukan penjahitan laserasi atau episiotomi. Dengan
memberikan anestesi lokal berarti bidan telah memberikan asuhan sayang ibu.

Menurut penelitian Rumini (2017) mengatakan bahwa dengan member


i anestesi lokal pada saat penjahitan perineum bidan akan bisa lebih leluasa me
lihat daerahdaerah yang memerlukan penjahitan. Tentu bidan akan lebih cepat
menjahit perlukaan menggunakan anestesi lokal dibandingkan ibu yang terus
bergerak kesakitan karena tidak diberi anestesi lokal.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Lama penyembuhan luka perineun dengan anastesi adalah 8-10 hari La

15
ma penyembuhan luka perineum tanpa anastesi adalah 5-6 hari. Menurut JNP
K-KR (2018) bidan harus memberikan anestesi lokal pada setiap ibu yang m
emerlukan penjahitan laserasi atau episiotomi. Dengan memberikan anestesi l
okal berarti bidan telah memberikan asuhan sayang ibu.

B. Saran

1. Bagi tempat praktek

supaya dapat lebih memperhatikan tentang pentingnya asuhan sayang ibu


di rumah, serta untuk masukan dalam menentukan kebijakan operasional
dan strategi yang efisien sebagai upaya menurunkan angka kesakitan dan
angka kematian ibu Nifas.

2. Bagi peneliti

Tenaga kesehatan hendaknya meningkatkan keterampilan terhadap ilmu


kebidanan khususnya dalam penganganan rupture perineum sehingga da
pat menurunkan resiko terjadinya infeksi masa nifas.

3. Bagi Institusi

Diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran dan referensi bagi kalang


an yang akan melakukan penelitian lebih lanjut dengan topik yang berhu
bungan dengan judul penelitian diatas.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraini. (2016). Hubungan Jenis Robekan dengan Lama Penyem


buhan Luka Perineum pada Ibu Nifas di BPM Mulyana Sari Amd.keb Yogy
akarta. Jurnal Mahasiswi STIKES Aisyiyah Yogyakarta.

16
Chapman, V. (2018). Asuhan Kebidanan Persalinan dan Kelahiran.
Jakarta:EGC.
Hidayat, A A. (2017). Metode Penelitian dan Teknik Analisis Data.
Salemba Medika. Jakarta Selatan
Herawati. (2017). Hubungan Perawatan Perineum dengan Kesemb
uhan Luka Perineum pada Ibu Nifas Hari Keenam di Bidan Praktik Swasta
Mojokerto Kedawung Sragen. Program Studi Kebidanan Fakultas Kedokte
ran Universitas Sebelas Maret Surakarta
Nagger. (2018). Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk Pe
rencanaan Keperawatan Pasien. Edisi:3. Jakarta : EGC.
Rahmawati. (2017). Pengaruh Kompres Dingin Terhadap Pengura
ngan Nyeri Luka Perineum Pada Ibu Nifas di BPS Siti Alfirdaus Kingking
Kabupaten Tuban. Jurnal Sain Med, 5(2), 43-46.
Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonata
l. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2001; 455–458 .
Albar, E. Perawatan Luka Jalan Lahir, Ilmu Bedah Kebidanan, Edit.
H. Wiknjosastro, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta, 2
018; 170-187.
Benson RC, Pernoll ML. Hand book of Obstetric & Gynaecology ,
Mc Graw-Hill, Inc, 9 th ed, 1994;362-372.
Cunningham FG, Mac Donald PC, Gan NF et al. Williams Obstet
rics, 20 th ed.Appleton and Lange, 1997; 342-345
Muhamad rusda. 2020. anastesi infiltrasi pada episotomi. Obstetri
ginekologi fakultas kedokteran usu. Sumatra . indonesia
SKRIPSI HERMAYANTI.pdf (unar.ac.id) dikases
tanggal 05 JUli 2023 jam 05.00 wita
Sarwono. (2016).. Asuhan Kebidanan Ibu Nifas.Yogy
akarta : Katahati
Wiknjosastro, Hanifa. (2017). Ilmu Kandungan. Yaya
san Bina Pustaka-SP:Jakarta
Sulistyawati, A. (2016). Buku Ajar Asuhan Kebidana
n pada Ibu Nifas. Yogyakarta:

17
18

Anda mungkin juga menyukai