Anda di halaman 1dari 47

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih merupakan masalah yang

menjadi prioritas di bidang kesehatan. Perdarahan postpartum menjadi

penyebab utama 40% kematian ibu di Indonesia. Peristiwa dalam bidang

kebidanan yang menimbulkan perdarahan adalah gangguan pelepasan

plasenta, atonia uteri dan perlukaan jalan lahir. Perlukaan pada jalan lahir

merupakan penyebab kedua perdarahan setelah atonia uteri, perdarahan yang

banyak terjadi karena ruptur perineum yang dialami selama proses melahirkan

baik yang normal maupun dengan tindakan (Wiknjosastro, 2016).

Persalinan adalah proses dimana bayi, plasenta dan selaput ketuban

keluar dari uterus ibu. Persalinan disebut normal apa bila prosesnya terjadi

pada usia cukup bulan (setelah 37 minggu) tanpa disertai adanya penyulit atau

tanpa bantuan atau kekuatan sendiri (Wahyu, 2017).

Persalinan juga merupakan proses yang sangat rentan terhadap

terjadinya komplikasi yang dapat membahayakan ibu maupun bayi dan

merupakan salah satu penyebab kematian ibu. Persalinan adalah suatu proses

pengeluaran hasil konsepsi berupa janin dan plasenta dari Rahim melalui

jalan lahir, pada periode pasca persalinan, sulit untuk menentukan terminologi

berdasarkan batasan kala persalinan yang terjadi dari kala I sampai kala IV.

Pada pasca persalinan dapat terjadi berbagai macam komplikasi seperti

1
perdarahan karena atonia uteri, retensio plasenta, dan rupture perineum

( Sigalingging, 2019).

Ruptur perineuma dalah robekan pada jalan lahir secara spontan, ruptur

perineum juga merupakan urutan kedua terjadinya AKI di Indonesia. Ruptur

perineum adalah terjadinya perlukaan (robek) pada otot perineum selama

proses persalinan kala II dan dapat berulang pada persalinan berikutnya.

Perlukaan pada perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bisa meluas

bila persalinan teralu cepat dan ukuran bayi yang semakin besar (Prawitasari

& dkk, 2015).

Pada tahun 2015 terjadi kasus ruptur perineum pada ibu bersalin yang

dimana terdapat 2,7 juta kasus ruptur perineum pada ibu bersalin di seluruh

dunia, dimana angka ini diperkirakan akan mencapai 6,3 juta pada tahun

2050. Di Amerika 26 juta ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum,

sedangkan di Asia ruptur perineum juga merupakan masalah yang cukup

banyak dalam masyarakat, 50% dari kejadian ruptur perineum di dunia terjadi

di Asia. Prevalensi ibu bersalin yang mengalami ruptur perineum di Indonesia

pada golongan umur 25-30 tahun yaitu 24%, sedangkan pada ibu bersalin usia

32-39 tahun sebesar 62% pada 3 minggu terakhir bulan juli 2016 kejadian

ruptur perineum di tempat penelitian sebanyak 80% dari 10 persalinan

(Risnawati,2016).

Setiap hari pada tahun 2017 sekitar 810 ibu di dunia meninggal dunia

akibat persalinan. 94 persen dari semua kematian ibu terjadi di negara

berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah. Menurut laporan World

2
Health Organization (WHO), penyebab langsung kematian ibu terjadi saat

dan pasca-melahirkan. 75 persen kasus kematian ibu diakibatkan oleh

perdarahan, infeksi, atau tekanan darah tinggi saat kehamilan

(https://lokadata.id, diakses tanggal 12 Juni 2021).

Di Indonesia, angka kematian ibu dari data tahun 2015 dari susenas

masih cukup tinggi dengan 305 per 100.000 penduduk dan angka kematian

bayi pada tahun 2017 sebesar 24 per 1.000 kelahiran hidup. Kesehatan ibu

dan anak sangat penting dan termasuk ke dalam salah satu faktor yang

mempengaruhi Sustainable Development Goals (SDGs). Pada tahun 2030,

dunia mendorong target penurunan angka kematian ibu harus di bawah 70 per

100.000 kelahiran hidup (https://nasional.kompas.com, diakses tanggal 12

Juni 2021).

Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) termasuk daftar wilayah provinsi

penyumbang angka kematian ibu dan bayi di Indonesia pada tahun 2017 yaitu

jumlah kematian ibu di tahun 2017 lalu mencapai 115 kasus, sedangkan

kematian bayi capai 1.059 kasus (Https://makassar.sindonews.com, diakses

tanggal 12 Juni 2021).

Ruptur perineum yang sering terjadi dalam persalinan terdiri dari berbagai

tingkatan antara lain ruptur perineum derajat satu yaitu mengenai mukosa

vagina dan jaringan ikat, tingkat dua mengenai kulit perineum dan otot

perineum, tingkat tiga mengenai sfingter ani dan tingkat 4 mengenai sampai

mukosa rectum. Ruptur yang luas lebih sering terjadi pada primipara ( 4% ),

3
berat badan lahir lebih 4 kg (2%), posisi oksipitoanterior (3%), kala dua yang

lama (4%) dan kelahiran dengan forceps (7%) (Liu, 2018).

Akibat langsung dari ruptur perineum adalah dapat terjadi perdarahan.

Kesalahan dalam menjahit akan menimbulkan inkontinensia alvi (proses

defekasi yang tidak dapat ditahan) karena sfingterani tidak terjahit dengan

sempurna, fistula rektovagina, introitusvagina menjadi longgar sehingga akan

menimbulkan keluhan dalam hubungan seksual (Manuaba, 2010).

Upaya yang dapat dilakukan dalam menurunkan kejadian ruptur

perineum antara lain dengan senam hamil dan pertolongan persalinan yang

aman. Senam hamil dapat dilakukan mulai kehamilan 28 minggu dapat

membantu untuk melenturkan otot perineum dan membantu proses

pernafasan sehingga diharapkan dapat mengurangi kejadian ruptur pada

perineum(Irawati, 2017)

Oleh karena itu ruptur perineum perlu mendapat perhatian yang serius,

baik dalam hal pengobatan maupun perawatan untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat serta mengurangi berbagai komplikasi yang dapat timbul bila

tidak ditangani dengan baik. Keterampilan melahirkan kepala janin sangat

menentukan sampai seberapa jauh dapat terjadi perlukaan pada perineum

(Sarwono, 2011).

Berdasarkan fenomena diatas tentang kejadian rupture perineum

merupakan salah satu penyebab tingginya Angka Kematiaan Ibu (AKI),

4
penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang Gambaran Kejadian

Ruptur Perineum menurut Umur dan paritas di BPM Gemaristy Tahun 2020.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan

masalah yaitu : Bagaimana Gambaran Kejadian Ruptur Perineum Manurut

Umur dan Paritas di BPM Gemaristy Tahun 2020 ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui Gambaran Kejadian Ruptur Perineum Menurut Umur

dan Paritas di BPM Gemaristy Tahun 2020.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya Gambaran Kejadian Ruptur Perineum Berdasarkan

Umur di BPM Gemaristy Tahun 2020.

b. Gambaran Kejadian Ruptur Perineum Berdasarkan Paritas di BPM

Gemaristy Tahun 2020.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan informasi yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi

peneliti lain dalam mengembangkan penelitian berkaitan dengan

masalah Rutur Perineum.

5
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah kepustakaan yang

dapat bermanfaat dalam meningkatkan wawasan terkait ruptur

perineum.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Bidan Praktik, penelitian ini bermanfaat sebagai sumber

informasi dan dapat digunakan sebagai acuan dalam menanggulangi

masalah kejadian ruptur uteri .

b. Bagi penulis, penelitian ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan

dan wawasan dalam penerapan ilmu kebidanan yang didapat selama

menempuh perkuliahan.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Persalinan

1. Pengertian Persalinan

Persalinan adalah di mana bayi, placenta dan selaput ketuban

keluar dari rahim ibu. Persalinan dianggap normal jika prosesnya terjadi

pada usia kehamilan cukup bulan (setelah 37-42 minggu) tanpa disertai

adanya penyulit. Sedangkan persalinan normal adalah serangkaian

kejadian yang berakhir dengan pengeluaran bayi yang cukup bulan,

disusul dengan pengeluaran placenta dan selaput janin dari tubuh bayi

(Depkes, 2017).

Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran janin

yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan

dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam 18 jam,

tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin (Saifuddin, dkk,

2011).

Persalinan dan kelahiran merupakan kejadian fisiologis yang normal

dalam kehidupan. Beberapa istilah yang berkaitan dengan persalinan

adalah sebagai berikut:

7
a. Persalinan adalah proses membuka dan menipisnya serviks, dan janin

turun ke jalan lahir.

b. Kelahiran adalah proses dimana janin dan ketuban di dorong keluar

melalui jalan lahir. Dengan demikian persalinan adalah rangkaian

peristiwa mulai dari kenceng-kenceng teratur sampai dikeluarkannya

produk konsepsi (janin, plasenta, ketuban dan cairan ketuban) dari

uterus ke dunia luar melalui jalan lahir atau melalui jalan lain dengan

bantuan atau dengan kekuatan sendiri.

c. Persalinan dan kelahiran normal adalah proses pengeluaran yang

terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan

dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung dalam waktu

18-24 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin.

(Sumarah, dkk, 2019).

2. Jenis Persalinan

Ada beberapa istilah pada masalah partus, yaitu:

a. Menurut cara persalinan:

1) Partus biasa (normal), disebut juga partus spontan, adalah

proses lahirnya bayi pada LBK dengan tenaga ibu sendiri,

tanpa bantuan alat-alat serta tidak melukai ibu danbayi yang

umumnya berlangsung kurang dari 24 jam.

2) Partus luar biasa (abnormal) adalah persalinan pervaginam

dengan bantuan alat-alat atau melalui dinding perut dengan

operasi sectio caesarea.

8
b. Menurut tua (umur) kehamilan:

1) Abortus (keguguran) adalah terhentinya kehamilan sebelum

janin dapat hidup (viable) – berat janin di bawah 1000 g – tua

kehamilan di bawah 28 minggu.

2) Partus prematurus adalah persalinan dari hasil konsepsi pada

kehamilan 28-36 minggu, janin dapat hidup tetapi prematur,

berat janin antara 1.000-2.500 gram.

3) Partus maturus atau a term (cukup bulan) adalah partus pada

kehamilan 37-40 minggu, janin matur, berat badan di atas

2.500 gram

4) Partus postmaturus (serotinus) adalah persalinan yang terjadi 2

minggu atau lebih dari waktu partus yang ditaksir, janin

disebut post matur.

5) Partus presipatatus adalah partus yang berlangsung cepat,

mungkin di kamar mandi, di atas beca dan sebagainya.

6) Partus percobaan adalah suatu penilaian kemajuan persalinan

untuk memperoleh bukti tentang ada atau tidaknya disproporsi

sefalopelvik.

3. Pembagian Persalinan

Syaifuddin, dkk (2019) menjelaskan bahwa persalinan dibagi

dalam 4 kala, yaitu:

a. Kala I dimulai dari saat persalinan dimulai sampai pembukaan

lengkap (10 cm). proses ini terbagi dalam 2 fase, fase laten (8

9
jam) serviks membuka sampai 3 cm dan fase aktif (7 jam)

servik membuka dari 3 sampai 10 cm.

b. Kala II dimulai dari pembukaan lengkap (10 cm) sampai bayi

lahir. Proses ini biasanya berlangsung 2 jam pada primi dan 1

jam pada multi.

c. Kala III dimulai segera setelah bayi lahir sampai lahirnya

plasenta yang berlangsung tidak lebih dari 30 menit.

d. Kala IV dimulai dari saat lahirnya plasenta sampai 2 jam

pertama postpartum.

4. Sebab-sebab Mulainya Persalinan

Sebab bagaimana terjadinya persalinan belum diketahui dengan

pasti, sehingga menimbulkan beberapa teori yang berkaitan dengan

mulainya kekuatan his. Beberapa teori yang memungkinkan

terjadinya persalinan yaitu:

a. Teori keregangan

Otot rahim mempunyai kemampuan meregang dalam batas

tertentu. Setelah melewati batas waktu tersebut terjadi kontraksi

sehingga persalinan dapat mulai. Keadaan uterus yang terus

membesar dan menjadi tegang mengakibatkan iskemia otot-otot

uterus. Hal ini mungkin merupakan faktor yang dapat mengganggu

siskulasi uteroplasenter sehingga plasenta mengalami degenerasi.

Pada kehamilan ganda seringkali terjadi kontraksi setelah

keregangan tertentu, sehingga menimbulkan proses persalinan.

10
b. Teori penurunan progesterone

Proses penuaan plasenta terjadi mulai umur kehamilan 28

minggu, dimana terjadi penimbunan jaringan ikat, pembuluh

darah mengalami penyempitan dan buntu. Villi koriales

mengalami perubahan-perubahan dan produksi progesterone

mengalami penurunan sehingga otot rahim lebih sensitive

terhadap oksitosin. Akibatnya otot rahim mulai berkontraksi

setelah tercapai tingkat penurunan progesterone tertentu.

c. Teori oksitosin internal

Oksitosin dikeluarkan oleh kelenjar hipofise parst posterior.

Perubahan keseimbangan estrogen dan progesteron dapat

mengubah sensitivitas otot rahim, sehingga sering terjadi

kontraksi braxton hick. Menurunnya konsentrasi progesteron

akibat tuanya kehamilan maka oksitosin dapat meningkatkan

aktivitas, sehingga persalinan dimulai.

d. Teori prostaglandin

Konsentrasi prostaglandin meningkat sejak umur kehamilan

15 minggu, yang dikeluarkan oleh desidua. Pemberian

prostaglandin pada saat hamil dapat menimbulkan kontraksi otot

rahim sehingga terjadi persalinan. Prostaglandin dianggap dapat

merupakan pemicu terjadinya persalinan.

11
e. Teori hipotalamus-pituitari dan landula suprarenalis

Teori ini menunjukkan pada kehamilan dengan anensefalus

sering terjadi keterlambatan persalinan karena tidak terbentuk

hipotalamus.

f. Teori berkurangnya nutrisi

Berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan oleh Hippokrates

untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka

hasil konsepsi akan segera dikeluarkan.

5. Faktor lain

Tekanan pada ganglion servikale dari pleksus frankenhauser yang

terletak di belakang serviks. Bila ganglion ini tertekan maka

kontraksi uterus dapat dibangkitkan (Sumarah, dkk, 2019).

a. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persalinan

3 faktor utama yang menentukan prognosis persalinan

(Sumarah, 2010 ; 23) yaitu :

1) Passage (Jalan Lahir)

Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang

padat, dasar panggul, vagina, dan introitus (lubang luar

vagina)

2) Passenger (janin dan plasenta)

12
Passenger atau janin bergerak sepanjang jalan lahir

merupakan akibat interaksi beberapa faktor, yakni ukuran

kepala janin, presentase, letak, sikap, dan posisi janin.

Karena plasenta juga harus melewati jalan lahir, maka ia

dianggap juga sebagai bagian dari passenger yang

menyertai janin.

3) Power (kekuatan)

Kekuatan terdiri dari kemampuan Ibu melakukan kontraksi

involunter dan volunteer secara bersamaan untuk

mengeluarkan janin dan plasenta dari uterus. Kontraksi

involunter disebut juga kekuatan primer menandai

dimulainya persalinan. Apabila serviks berdilatasi, usaha

volunteer dimulai untuk mendorong, yang disebut kekuatan

sekunder dimana kekuatan ini memperbesar kekuatan

kontraksi involunter.

b. Mekanisme persalinan normal

Pada minggu-minggu terakhir kehamilan, segmen bawah

rahim meluas untuk menerima kepala janin, terutama pada primi,

dan juga pada multi pada saat-saat partus lama. Hampir 96% janin

adalah letak kepala. Pada letak belakang kepala (LBK) dijumpai

pula:

1) a. Ubun-ubun kecil kiri depan = 58%

2) b. Ubun-ubun kecil kanan depan = 23%

13
3) c. Ubun-ubun kecil kiri belakang = 11%

4) Ubun-ubun kecil kanan belakang = 8%

Kapan lebih banyak letak kepala, dikemukakan 2 teori:

a. Teori akomodasi: Bentuk rahim memungkinkan bokong dan

ekstremitas yang volumenya besar berada di atas, dan kepala di

bawah di ruang yang lebih sempit.

b. Teori gravitasi: karena kepala relatif besar dan berat, maka akan

turun ke bawah. Karena his yang kuat, teratur dan sering, maka

kepala janin turun memasuki pintu atas panggul (engagment).

Karena menyesuaikan diri dengan jalan lahir, karena bertambah

menekuk ( fleksi maksimal), sehingga lingkaran kepala yanga

memasuki panggul, dengan ukuran terkecil.

c. Diameter suboccipito-bregmatika = 9,5 cm

d. Sirkumferensia suboccipito-bregmatika = 32 cm

(Mochtar R, 2012: 73).

Adapun gerakan-gerakan janin dalam persalinan gerakan kardinal

adalah sebagai berikut :

a. Engagement

b. Penurunan

c. Fleksi

d. Rotasi dalam

e. Ekstensi

f. Rotasi luar

14
g. Ekspulsi

2.1 Gambar Mekanisme Persalinan

a. Engangement

Engangement adalah peristiwa ketika diameter bipariental melewati

pintu atas panggul dengan sutura sagitalis melintang/ oblig di dalam

jalan lahir dan sedikit fleksi. Masuknya kepala akan mengalami

kesulitan bila saat masuk ke dalam panggul dengan sutura sagitalis

dalam antero posterior. Jika kepala masuk ke dalam pintu atas panggul

15
dengan sutura sagitalis melintang di jalan lahir, tulang pariental kanan

dan kiri sama tinggi, maka keadaan ini disebut Sinkitismus.

Kepala pada saat melewati pintu atas panggul dapat juga dalam

keadaan dimana sutura sagitalis lebih dekat ke promontorium atau

ke simpisis maka hal ini disebut Asinklitismus. Ada 2 macam

asinklitismus yaitu asinklitismus posterior dan anterior.

1) Asinklitismus posterior

Yaitu keadaan bila sutura sagitalis mendekati simpisis

dan tulang pariental belakang lebih rendah dari pada tulang

pariental depan. Terjadi karena tulang pariental depan tertahan

oleh simpisis pubis sedangkan tulang pariental belakang dapat

turun dengan mudah karena adanya lengkung sakrum yang

luas.

2) Asinklitismus anterior

Yaitu keadaan bila sutura sagitalis mendekati

promontorium dari tulang pariental depan lebih rendah dari

pada tulang pariental belakang.

Perubahan awal pada kepala janin dari asinklitismus

posterior ke dalam keadaan asinklitismus anterior

memudahkan mekanisme persalinan karena sesuai dengan

keadaan panggul dengan adanya lengkung sakrum.

Engangemen dan penurunan kepala terjadi secara simultan/

16
bersamaan, tetapi untuk kepentingan pembelajaran dibahas

secara terpisah.

b. Penurunan kepala

1) Dimulai sebelum onset persalinan / inpartu. Penurunan

kepala terjadi bersamaan dengan mekanisme lainya.

2) Kekuatan yang mendukung menurut Cuningham dalam buku

Obstetri William yang diterbitkan tahun 1995 dan ilmu

kebidanan Varney 2008 :

(1) Gerakan fleksi disebabkan karena janin terus didorong

maju tetapi kepala janin terhambat oleh serviks, dinding

panggul atau dasar Tekanan cairan amnion.

(2) Tekanan langsung fundus pada bokong.

(3) Kontraksi otot-otot abdomen.

(4) Ekstensi dan pelurusan badan janin atau tulang belakang

janin.

c. Fleksi

1) Panggul

2) Pada kepala janin, dengan adanya fleksi maka diameter

oksipitofrontalis 12 cm berubah menjadi

suboksipitobregmatika 9 cm.

3) Posisi dagu bergeser ke arah dada janin

4) Pada pemeriksaan dalam ubu-ubun kecil lebih jelas teraba

dari pada ubun-ubun besar.

17
d. Rotasi dalam

1) Rotasi dalam atau putar paksi dalam adalah pemutaran bagian

terendah janin dari posisi sebelumnya kearah depan sampai

bawah simpisis. Bila presentasi belakang kepala dimana

bagian terendah janin adalah ubun-ubun kecil maka ubun-

ubun kecil memutar kedepan sampai berada dibawah

simpisis. Gerakan ini adalah upaya kepala janin untuk

menyesuaikan dengan bentuk jalan lahir yaitu bentuk bidang

tengah dan pintu bawah panggul. Rotasi dalam terjadi

bersamaan dengan majunya kepala. Rotasi ini terjadi setelah

kepala melewati Hodge III (setinggi spina) atau setelah di

dasar panggul. Pada pemeriksaan dalam ubun-ubun kecil

mengarah ke jam 12.

2) Sebab sebab adanya putar paksi dalam yaitu:

(1) Bagian terendah kepala adalah bagian belakang kepala

pada letak fleksi

(2) Bagian belakang kepala mencari tahanan yang paling

sedikit yang disebelah depan atas yaitu hiatus genitalis

antara muskulus levator ani kiri dan kanan

e. Ekstensi

1) Gerakan ekstensi merupakan gerakan dimana oksiput

berhimpit langsung pada margo inferior simpisis pubis.

18
2) Penyebab dikarenakan sumbu jalan lahir pada pintu bawah

panggul mengarah kedepan dan keatas, sehingga kepala

menyesuaikan dengan cara ekstensi agar dapat melaluinya.

Pada saat kepala janin mencapai dasar panggul tidak

langsung terekstensi, akan tetapi terus didorong ke bawah

sehingga mendesak ke jaringan perineum. Pada saat itu ada 2

gaya yang mempengaruhi yaitu :

(1) Gaya dorong dari fundus uteri ke arah belakang

(2) Tahanan dasar panggul dan simpisis kearah depan

Hasil kerja dari 2 gaya tersebut mendorong ke vulva dan

terjadilah ekstensi.

Gerakakan ekstensi ini mengakibatkan bertambahnya

penegangan pada perinium dan introitus vagina. Ubun-ubun kecil

semakin banyak terlihat dan sebagai hypomochlion atau pusat

pergerakan maka berangsur-angsur lahirlah ubun-ubun kecil, ubun-

ubun besar, dahi, mata, hidung, mulut, dan dagu. Pada saat kepala

sudah lahir seluruhnya, dagu bayi berada diatas anus ibu.

f. Rotasi luar

Terjadinya gerakan rotasi luar atau putar paksi luar

dipengaruhi oleh faktor-faktor panggul, sama seperti pada rotasi

dalam :

1) Merupakan gerakan memutar ubun-ubun kecil ke arah

punggung janin, bagian belakang kepala berhadapan dengan

19
tuber iskhiadikum kanan atau kiri, sedangkan muka muka

janin menghadap salah satu paha ibu. Bila ubun-ubun kecil

pada mulanya di sebelah kiri maka ubun-ubun kecil akan

berputar kearah kiri, bila pada mulanya ubun-ubun kecil

disebelah kanan muka ubun-ubun kecil berputar ke kanan.

2) Gerakan rotasi luar atau putar paksi luar ini menjadikan

diameter biakromial janin searah dengan diameter

anteposterior pintu bawah panggul, dimana salah satu bahu di

anterior di belakang simpisis dan bahu yang satunya di

bagian posterior di belakang perinium.

3) Sutura sagitalis kembali melintang

g. Ekspulsi

Setelah terjadinya rotasi luar, bahu depan berfungsi sebagai

hypomochlion untuk kelahiran bahu belakang. Kemudian setelah

kedua bahu lahir disusul lahirlah trochanter depan dan belakang

sampai lahir janin seluruhnya. Gerakan kelahiran bahu depan, bahu

belakang, badan seluruhnya (Sumarah, dkk, 2019)

B. Tinjauan Tentang Ruptur Perineum

1. Pengertian Perineum

Perineum adalah daerah yang terletak antara vulva dan anus yang

juga berperan dalam persalinan. Perineum yang lunak dan elastis serta

cukup lebar umumnya tidak memberikan kesukaran dalam kelahiran

20
kepala janin. Perineum yang kaku dan tidak elastis akan menghambat

persalinan kala II dan dapat meningkatkan resiko terhadap janin, juga

dapat menyebabkan robekan perineum yang luas sampai tingkat III

(Manuaba, 2010).

Perineum adalah daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan

anus. Batas otot-otot diafragma (m.levator ani, m. Coccygeus) dan

diafragma urogenitalis (m.perinealis transversus profunda, m.constictor

uretrehta) (Sumarah, 2009: 49).

Perineum merupakan ruang berbentuk jajaran genjang yang terletak

di bawah dasar panggul. Perineum memiliki batas-batas sebagai berikut:

a. Superior: dasar panggul yang terdiri dari m. Levator ani dan m.

Coccygeus

b. Lateral: tulang dan ligamenta yang membentuk pintu bawah panggul

(exitus pelvis) yakni dari depan ke belakang angulus subpubicus,

ramus ischiopubicus, tuber ischiadicum, ligasecrotuberosom, os

coccygis.

c. Inferior : kulit dan fascia

(Oxorn & Forte, 2011)

2. Pengertian Ruptur Perineum

Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum

sewaktu persalinan. Episiotomi adalah ruptura perinei yang artifisialis

(Oxorn & Forte, 2011).

21
Ruptur perineum adalah perlukaan jalan lahir. Robekan perineum

terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada

persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi

dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin

dengan cepat (Wiknjosastro, dkk, 2016).

3. Derajat Ruptur Perineum

Menurut Wiknjosastro, (2016) mengungkapkan bahwa apabila hanya

kulit perineum dan mukosa vagina yang robek dinamakan robekan

perineum tingkat satu. Pada robekan tingkat dua dinding belakang vagina

dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis

pada garis tengah terluka; dan pada robekan tingkat tiga atau robekan total

muskulus sfingter ani eksternum ikt ikut terputus dan kadang-kadang

dinding depan rektum ikut robek pula. Jarang sekali terjadi robekan yang

mulai pada dinding belakang vagina di atas introitus vagina dan anak

dilahirkan melalui robekan itu, sedangkan (dengan meninggalkan)

perineum sebelah depan tetap utuh (robekan perineum sentral).

Sumarah, dkk (2012) menjelaskan bahwa robekan perineum terjadi

pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada

persalinan berikutnya. Namun hal ini dapat dihindarkan atau dikurangi

22
dengan jalan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin

dengan cepat. Robekan perineum dibagi dalam 4 derajat, yaitu:

1. Derajat I: Mukosa vagina, fauchette psoterior, kulit perineum

2. Derajat II: mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot

perineum

3. Derajat III: mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot

perineum, otot spinter ani eksterna.

4. Derajat IV: mukosa vagina, fauchette posterior, kulit perineum, otot

perineum, otot spinter ani eksterna, dinding rektum anterior.

Gambar 2.1. Derajat ruptur perineum


JNPK-KR (2017)

4. Penyebab Ruptur Peineum

Hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya ruptur perineum adalah

sebagai berikut: Partus presipitatus, kepala janin besar dan janin besar,

pada presentasi defleksi (dahi, muka), pada primigravida (para), pada letak

sunsang dan after coming head, pimpinan persalinan yang salah. Pada

23
obstetri operatif pervaginam: ekstrasi vakum, ekstraksi forsep, versi dan

ekstraksi serta embriotomi. (Sujiyatini, dkk, 2011).

Persalinan normal bisa mengakibatkan terjadinya kasus ruptur

perineum pada ibu primipara maupun multipara. Lapisan mukosa dan kulit

perineum pada seorang ibu primipara mudah terjadi ruptur yang bisa

menimbulkan perdarahan pervaginam (Wiknjosastro, 2016).

Faktor-faktor yang mempengaruhi rupur perineum antara lain paritas,

berat badan bayi baru lahir, posisi ibu bersalin, cara meneran dan

pimpinan persalinan (Waspodo, 2013).

5. Penanganan Ruptur Perineum

Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan

cara melakukan penjahitan luka lapis demi lapis, dan memperhatikan

jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah vagina yang biasanya

dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak

baiknya penyembuhan luka. Selain itu dapat dilakukan dengan cara

memberikan antibiotik yang cukup. Prinsip yang harus diperhatikan dalam

menangani ruptur perineum adalah :

1. Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir,

segera memeriksa perdarahan tersebut berasal dari retensio plasenta

atau plasenta lahir tidak lengkap.

24
2. Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat

dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada jalan

lahir, selanjutnya dilakukan penjahitan. Prinsip melakukan jahitan

pada robekan perineum :

a. Reparasi mula-mula dari titik pangkal robekan sebelah

dalam/proksimal ke arah luar/distal. Jahitan dilakukan lapis demi

lapis, dari lapis dalam kemudian lapis luar.

b. Robekan perineum tingkat I : tidak perlu dijahit jika tidak ada

perdarahan dan aposisi luka baik, namun jika terjadi perdarahan

segera dijahit dengan menggunakan benang catgut secara jelujur

atau dengan cara angka delapan.

c. Robekan perineum tingkat II : untuk laserasi derajat I atau II jika

ditemukan robekan tidak rata atau bergerigi harus diratakan

terlebih dahulu sebelum dilakukan penjahitan. Pertama otot dijahit

dengan catgut kemudian selaput lendir. Vagina dijahit dengan

catgut secara terputus-putus atau jelujur. Penjahitan mukosa vagina

dimulai dari puncak robekan. Kulit perineum dijahit dengan

benang catgut secara jelujur.

d. Robekan perineum tingkat III : penjahitan yang pertama pada

dinding depan rektum yang robek, kemudian fasia perirektal dan

fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik sehingga

bertemu kembali.

25
e. Robekan perineum tingkat IV : ujung-ujung otot sfingter ani yang

terpisah karena robekan diklem dengan klem pean lurus, kemudian

dijahit antara 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali.

Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit

robekan perineum tingkat I.

C. Tinjauan Umum Tentang Variabel Yang Di Teliti

1. Umur Ibu

a. Pengertian

Istilah usia diartikan dengan lamanya keberadaan seseorang diukur

dalam satuan waktu di pandang dari segi kronologik, individu normal

yang memperlihatkan derajat perkembangan anatomis dan fisiologik

sama (Nuswantari, 2012:13).

Umur adalah lamanya seseorang hidup, umur berkembang sejalan

dengan perkembangan biologis alat-alat tubuh manusia. Umur 20 – 30

adalah periode paling aman untuk kehamilan dan persalinan. Resiko

kehamilan dan persalinan maupun pasca persalinan yang tinggi termasuk

perdarahan postpartum. Kebanyakan terjadi pada wanita hamil dan

melahirkan di bawah umur 20 tahun dan di atas 30 tahun. Kematian

maternal pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun

ternyata 2 – 5 kali tinggi dari pada kematian maternal yang terjadi pada

usia 20 – 30 tahun. Kematian maternal meningkat kembali sesudah usia

30 – 35 tahun (Wiknjosastro H., 2010: 23).

26
Usia adalah lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau

diadakan) (Hoetomo, 2005). Sedangkan usia ibu hamil adalah usia ibu

yang diperoleh melalui pengisian kuesioner. Penyebab kematian

maternal dari faktor reproduksi diantaranya adalah maternal age/usia

ibu. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia aman untuk

kehamilan dan persalinan adalah 20-30 tahun. Kematian maternal

pada wanita hamil dan melahirkan pada usia di bawah 20 tahun

ternyata 2 sampai 5 kali lebih tinggi dari pada kematian maternal yang

terjadi pada usia 20 sampai 29 tahun. Kematian maternal meningkat

kembali sesudah usia 30 sampai 35 tahun (Sarwono, 2008). Usia

seorang wanita pada saat hamil sebaiknya tidak terlalu muda dan tidak

terlalu tua. Umur yang kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,

berisiko tinggi untuk melahirkan. Kesiapan seorang perempuan untuk

hamil harus siap fisik, emosi, psikologi, sosial dan ekonomi

(Ruswana, 2006:27).

b. Usia ibu kurang dari 20 tahun

Remaja adalah individu antara umur 10-19 tahun. Penyebab

utama kematian pada perempuan berumur 15-19 tahun adalah

komplikasi kehamilan, persalinan, dan komplikasi keguguran.

Kehamilan dini mungkin akan menyebabkan para remaja muda yang

sudah menikah merupakan keharusan sosial (karena mereka diharapkan

untuk membuktikan kesuburan mereka), tetapi remaja tetap menghadapi

risiko-risiko kesehatan sehubungan dengan kehamilan dini dengan tidak

27
memandang status perkawinan mereka. Kehamilan yang terjadi pada

sebelum remaja berkembang secara penuh, juga dapat memberikan

risiko bermakna pada bayi termasuk cedera pada saat persalinan, berat

badan lahir rendah, dan kemungkinan bertahan hidup yang lebih rendah

untuk bayi tersebut. Wanita hamil kurang dari 20 tahun dapat

merugikan kesehatan ibu maupun pertumbuhan dan perkembangan

janin karena belum matangnya alat reproduksi untuk hamil. Penyulit

pada kehamilan remaja (<20 tahun) lebih tinggi dibandingkan

kurunwaktu reproduksi sehat antara 20-30 tahun. Keadaan tersebut akan

makin menyulitkan bila ditambah dengan tekanan (stress) psikologi,

sosial, ekonomi, sehingga memudahkan terjadinya keguguran

(Manuaba 2010:125), menambahkan bahwa kehamilan remaja dengan

usia di bawah 20 tahun mempunyai risiko:

1) Sering mengalami anemia.

2) Gangguan tumbuh kembang janin.

3) Keguguran, prematuritas, atau BBLR.

4) Gangguan persalinan.

5) Preeklampsi.

6) Perdarahan antepartum.

Para remaja yang hamil di negara-negara berkembang seringkali

mencari cara untuk melakukan aborsi. Di negara-negara di mana aborsi

adalah ilegal atau dibatasi oleh ketentuan usia, para remaja ini mungkin

akan mencari penolong ilegal yang mungkin tidak terampil atau berpraktik

28
di bawah kondisi-kondisi yang tidak bersih. Aborsi yang tidak aman

menempati proporsi tinggi dalam kematian ibu di antara para remaja.

c. Usia ibu lebih dari 35 tahun

Risiko keguguran spontan tampak meningkat dengan

bertambahnya usia terutama setelah usia 30 tahun, baik kromosom janin

itu normal atau tidak, wanita dengan usia lebih tua, lebih besar

kemungkinan keguguran baik janinnya normal atau abnormal. Semakin

lanjut usia wanita, semakin tipis cadangan telur yang ada, indung telur

juga semakin kurang peka terhadap rangsangan gonadotropin. Makin

lanjut usia wanita, maka risiko terjadi abortus, makin meningkat karena

menurunnya kualitas sel telur atau ovum dan meningkatnya risiko kejadian

kelainan kromosom (Samsulhadi, 2008:74).

Pada gravida tua terjadi abnormalitas kromosom janin sebagai salah

satu faktor etiologi abortus (Friedman, 2012:45).

Sebagian besar wanita yang berusia di atas 35 tahun mengalami kehamilan

yang sehat dan dapat melahirkan bayi yang sehat pula. Tetapi beberapa

penelitian menyatakan semakin matang usia ibu dihadapkan pada

kemungkinan terjadinya beberapa risiko tertentu, termasuk risiko

kehamilan. Para tenaga ahli kesehatan sekarang membantu para wanita

hamil yang berusia 30 dan 40an tahun untuk menuju ke kehamilan yang

lebih aman. Ada beberapa teori mengenai risiko kehamilan di usia 35

tahun atau lebih, di antaranya:

29
1) Wanita pada umumnya memiliki beberapa penurunan dalam hal

kesuburan mulai pada awal usia 30 tahun. Hal ini belum tentu berarti

pada wanita yang berusia 30 tahunan atau lebih memerlukan waktu

lebih lama untuk hamil dibandingkan wanita yang lebih muda usianya.

Pengaruh usia terhadap penurunan tingkat kesuburan mungkin saja

memang ada hubungan, misalnya mengenai berkurangnya frekuensi

ovulasi atau mengarah ke masalah seperti adanya penyakit

endometriosis, yang menghambat uterus untuk menangkap sel telur

melalui tuba fallopii yang berpengaruh terhadap proses konsepsi.

2) Masalah kesehatan yang kemungkinan dapat terjadi dan berakibat

terhadap kehamilan di atas 35 tahun adalah munculnya masalah

kesehatan yang kronis. Usia berapa pun seorang wanita harus

mengkonsultasikan diri mengenai kesehatannya ke dokter sebelum

berencana untuk hamil. Kunjungan rutin ke dokter sebelum masa

kehamilan dapat membantu memastikan apakah seorang wanita

berada dalam kondisi fisik yang baik dan memungkinkan sebelum

terjadi kehamilan. Kontrol ini merupakan cara yang tepat untuk

membicarakan apa saja yang perlu diperhatikan baik pada istri

maupun suami termasuk mengenai kehamilan. Kunjungan ini menjadi

sangat penting jika seorang wanita memiliki masalah kesehatan yang

kronis, seperti menderita penyakit diabetes mellitus atau tekanan

darah tinggi. Kondisi ini, merupakan penyebab penting yang biasanya

terjadi pada wanita hamil berusia 30-40an tahun dibandingkan pada

30
wanita yang lebih muda, karena dapat membahayakan kehamilan dan

pertumbuhan bayinya. Pengawasan kesehatan dengan baik dan

penggunaan obat-obatan yang tepat mulai dilakukan sebelum

kehamilan dan dilanjutkan selama kehamilan dapat mengurangi risiko

kehamilan di usia lebih dari 35 tahun, dan pada sebagian besar kasus

dapat menghasilkan kehamilan yang sehat.

Para peneliti mengatakan wanita di atas 35 tahun dua kali lebih rawan

dibandingkan wanita berusia 20 tahun untuk menderita tekanan darah

tinggi dan diabetes pada saat pertama kali kehamilan. Wanita yang

hamil pertama kali pada usia di atas 40 tahun memiliki kemungkinan

sebanyak 60% menderita takanan darah tinggi dan 4 kali lebih rawan

terkena penyakit diabetes selama kehamilan dibandingkan wanita

yang berusia 20 tahun pada penelitian serupa di University of

California pada tahun 1999. Hal ini membuat pemikiran sangatlah

penting ibu yang berusia 35 tahun ke atas mendapatkan perawatan

selama kehamilan lebih dini dan lebih teratur. Dengan diagnosis awal

dan terapi yang tepat, kelainan-kelainan tersebut tidak menyebabkan

risiko besar baik terhadap ibu maupun bayinya.

3) Risiko terhadap bayi yang lahir pada ibu yang berusia di atas 35 tahun

meningkat, yaitu bisa berupa kelainan kromosom pada anak. Kelainan

yang paling banyak muncul berupa kelainan Down Syndrome, yaitu

sebuah kelainan kombinasi dari retardasi mental dan abnormalitas

bentuk fisik yang disebabkan oleh kelainan kromosom.

31
4) Risiko lainnya terjadi keguguran pada ibu hamil berusia 35 tahun atau

lebih. Kemungkinan kejadian pada wanita di usia 35 tahun ke atas

lebih banyak dibandingkan pada wanita muda. Pada penelitian tahun

2000 ditemukan 9% pada kehamilan wanita usia 20-24 tahun. Namun

risiko meningkat menjadi 20% pada usia 35-39 tahun dan 50% pada

wanita usia 42 tahun. Peningkatan insiden pada kasus abnormalitas

kromosom bisa sama kemungkinannya seperti risiko keguguran.Yang

bisa dilakukan untuk mengurangi risiko tersebut sebaiknya wanita

berusia 30 atau 40 tahun yang merencanakan untuk hamil harus

konsultasikan diri dulu ke dokter. Bagaimanapun, berikan konsentrasi

penuh mengenai kehamilan di atas usia 35 tahun, diantaranya:

a) Rencanakan kehamilan dengan konsultasi ke dokter sebelum pasti

untuk kehamilan tersebut. Kondisi kesehatan, obat-obatan dan

imunisasi dapat diketahui melalui langkah ini.

b) Konsumsi multivitamin yang mengandung 400 mikrogram asam

folat setiap hari sebelum hamil dan selama bulan pertama

kehamilan untuk membantu mencegah gangguan pada saluran tuba.

c) Konsumsi makanan-makanan yang bernutrisi secara bervariasi,

termasuk makanan yang mengandung asam folat, seperti sereal,

produk dari padi, sayuran hijau daun, buah jeruk, dan kacang-

kacangan.

32
d) Mulai kehamilan pada berat badan yang normal atau sehat (tidak

terlalu kurus atau terlalu gemuk). Berhenti minum ahim sebelum

dan selama kehamilan.

e) Jangan gunakan obat-obatan, kecuali obat anjuran dari dokter yang

mengetahui bahwa si ibu sedang hamil (Saleh, 2010:220).

2. Paritas

a. Pengertian Paritas

Paritas adalah jumlah melahirkan anak baik hidup ataupun

mati, tetapi bukan abortus, tanpa melihat jumlah anaknya. Dengan

demikian, kelahiran kembar hanya dihitung sebagai satu kali paritas

(Stedman, 2013:34).

Sedangkan menurut Manuaba (2010:129), paritas adalah

wanita yang pernah melahirkan bayi aterm.

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dipunyai oleh

seorang wanita (BKKBN, 2016). Menurut Prawirohardjo (2010:334),

paritas dapat dibedakan menjadi primipara, multipara dan

grandemultipara.

b. Klasifikasi Paritas
1) Primipara
Primipara adalah seorang ibu yang pernah melahirkan bayi hidup
untuk pertama kali. (Prawirohardjo, 2010).
2) Multipara
Multipara adalah wanita yang telah melahirkan seorang anak lebih

dari satu kali (Prawirohardjo, 2010).

33
Multipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi ahim (hidup)

beberapa kali (Manuaba, 2010).

3) Multigravida adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih

(Varney, 2017).

a) Grandemultipara

b) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang

anak atau lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam

kehamilan dan persalinan (Manuaba, 2010).

c) Grandemultipara adalah wanita yang pernah melahirkan bayi 6

kali atau lebih hidup atau mati (Rustam, 2018).

d) Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang

anak atau lebih (Varney, 2017).

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

1. Kejadian Ruptur Perineum

Ruptur perineum adalah robekan yang terjadi pada perineum

sewaktu persalinan..

34
Dalam penelitian ini kita akan mengetahui gambaran umum

kejadian ruptur perineum menurut umur ibu dan paritas di BPM

Gemaristy.

2. Umur

Umur adalah waktu hidup (sejak dilahirkan) sampai pada saat

dilakukan pengkajian. Dalam kurun reproduksi sehat dikenal bahwa usia

yang aman untuk kehamilan dan persalinan adalah 20 – 35 tahun. Pada ibu

yang patut diwaspadai untuk timbulnya komplikasi adalah ibu dengan usia

lebih dari 35 tahun dan di bawah 20 tahun. Umur ibu pada saat hamil

merupakan salah satu resiko kehamilan dan persalinan maupun

postpartum yaitu perdarahan.

b. Paritas

Paritas adalah jumlah melahirkan anak baik hidup ataupun mati, tetapi

bukan abortus, tanpa melihat jumlah anaknya. Dengan demikian,

kelahiran kembar hanya dihitung sebagai satu kali paritas

B. Pola Pikir Variabel yang Diteliti

Variabel Independen Variabel dependen

Umur

Paritas
Kejadian
Ruptur
Perineum

35
Pendidikan

Berat Badan BBL

Keterangan :

: Variabel yang diteliti

: Variabel tidak diteliti

C. Defenisi Operasional Variabel dan Kriteria Objektif

NO Variabel Defenisi Operasional Kriteria Alat Ukur


1 Umur Umur adalah waktu a. Fase menunda kelahiran: Lembar
hidup (sejak umur <20 tahun pengumpulan
dilahirkan) sampai b. Fase menjarangkan data
pada saat dilakukan kehamilan: umur 20-35
tahun
pengkajian
c. Fase mengakhiri
kelamilan: umur >35

36
tahun

2 Paritas Paritas adalah jumlah a. Primipara apabila baru Lembar


melahirkan anak baik pertama kali melahirkan pengumpulan
hidup ataupun mati, b. multipara apabila jumlah data
tetapi bukan abortus. paritasnya 2 -4 kali
c. Grandemultipara apabila
paritas ≥ 5 kali

3. Ruptur Ruptur perineum 1. Tingkat I: Mukosa Lembar


Perineum adalah robekan yang vagina,fauchette posterior, pengumpulan
terjadi pada kulit perineum data
perineum sewaktu 2. Tingkat II:mukosa
persalinan. vagina,fauchette
posterior,kulit perineum,
otot perineum
3. Tingkat III: mukosa
vagina,fauchette
posterior, kulit perineum,
otot perineum, otot
spinter ani eksterna.
4. Tingkat IV: mukosa
vagina,fauchette
posterior, kulit
perineum,otot
perineum,otot spinter ani
eksterna,dinding rektum
anterior.

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang

bertujuan untuk memperoleh gambaran kejadian Ruptur Perineum Menurut

37
Umur dan Paritas di BPM Gemaristy dengan memperlihatkan efek positif dan

efek negativ dan beberapa faktor yang dianggap factor resiko variabel

dependent di identifikasikan secara bersamaan, tentang berbagai aspek yang

berkaitan dengan kejadian tersebut.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah semua ibu bersalin yang berada di BPM Gemaristy

sebanyak 205 orang pada tahun 2020

2. Sampel

Sampel yang diambil dalam penelitian ini ibu yang mengalami ruptur

perineum di BPM Gemaristy sebanyak 148 orang pada tahun 2020

3. Besar sampel

Sesuai dengan jenis penelitian maka besar sampel diambil secara

keseluruhan untuk kejadian ruptur perineum tahun 2020.

C. Tehnik Pengumpulan Data

Pengambilan sampel diambil secara Total Sampling yakni semua ibu

yang mengalami ruptur perineum di BPM Gemaristy Tahun 2020

D. Analisa Data

Data dianalisa dengan menggunakan persentase berdasarkan rumus :

f
P= x 100 %
N

Keterangan :

P = Persentase yang di cari

38
f = Frekuensi

N = Jumlah

Sumber : Eko Budiarto dalam Hasna M Noor 2008 hal, 94

E. Lokasi Penelitian

Penelitian ini di laksanakan di BPM Gemaristy Kabupaten Toraja Utara.

F. Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 7 hari mulai tanggal 12 sampai 17 April 2021.

BAB V

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan deskriptif yang digunakan

dalam penelitian ini untuk mengetahui gambaran kejadian ruptur perineum

menurut umur ibu dan paritas di BPM Gemaristy.

39
1. Distribusi frekuensi Ruptur Perineum di BPM Gemaristy

Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi Ruptur Perineum


Di BPM Gemaristy
Tahun 2020

Persentase
Tingkatan Ruptur Frekuensi
(%)

Tingkat I 62 41.90
Tingkat II 57 38.51
Tingkat III 29 19.59
Tinkat IV 0 0

Total 148 100


Sumber : Data Sekunder BPM Gemaristy Tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.1 tersebut di atas terlihat bahwa dari 148

Kejadian Ruptur Perineum, yang ruptur tingkat I sebanyak 62 orang

41.90%), Tingkat II 57 orang (38.51%), Tingkat III 29 orang (19.59%)

2. Distribusi frekuensi kejadian Ruptur Perineum menurut umur ibu.

Tabel 5.2 : Distribusi Frekuensi Kejadian Ruptur Perineum


Berdasarkan Umur Ibu
di BPM Gemaristy Tahun 2020

Kejadian Ruptur Perineum


Umur Frekuensi Persentase (%)
< 20 tahun 13 68.79
20-35 tahun 124 83.78

40
11 7.43
> 35 tahun
Total 148 100
Sumber : Data Sekunder BPM Gemaristy Tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.2 diatas terlihat bahwa dari 148 persalinan yang

ruptur perineum pada kelompok usia fase menunda kehamilan (<20 tahun)

terdapat 13 orang (68.79%), pada fase mengatur kehamilan (20-35 tahun)

terdapat 124 orang (83.78%) dan pada fase mengakhiri kehamilan (>35

tahun) terdapat 11 orang (7.43 %).

3. Distribusi frekuensi Kejadian Ruptur Perineum berdasarkan Paritas

Tabel 5.3 : Distribusi Frekuensi Kejadian


Ruptur PerineumBerdasarkan Paritas
di BPM Gemaristy Tahun 2020

Kejadian Ruptur Perineum


Paritas Frekuensi Persentase (%)
Primipara ( 1) 57 38.51
Multipara (2-4) 89 60.14

2 1.35
Grandemultipara (≥5)
Total 148 100
Sumber : Data Sekunder BPM Gemaristy Tahun 2020

Berdasarkan tabel 5.3 diatas terlihat bahwa dari 148 Kejadan Ruptur

Perineum, pada kelompok primipara adalah 57 (38.51), pada kelompok

multipara adalah 89 orang (60.14%) dan pada kelompok grandemultipara

adalah 2 orang (1.35%).

B. Pembahasan

41
Setelah melakukan penelitian mengenai dari 148 Kejadian Ruptur

Perineum, yang ruptur tingkat I sebanyak 62 orang 41.90%), Tingkat II 57

orang (38.51%), Tingkat III 29 orang (19.59%).

Hal Untuk lebih jelasnya maka terperinci hasil penelitian tersebut dapat

dibahas berdasarkan variabel sebagai berikut:

1. Umur

Setelah melakukan penelitian dari 148 persalinan yang ruptur

perineum pada kelompok usia fase menunda kehamilan (<20 tahun)

terdapat 13 orang (68.79%), pada fase mengatur kehamilan (20-35 tahun)

terdapat 124 orang (83.78%) dan pada fase mengakhiri kehamilan (>35

tahun) terdapat 11 orang (7.43 %).

Umur merupakan hal yang sangat berperan dalam penentuan untuk

menggunakan alat kontrasepsi karena pada fase-fase tertentu dari umur

menentukan tingkat reproduksi seseorang. Umur yang terbaik bagi seorang

wanita adalah antara 20-30 tahun karena pada masa inilah alat-alat

reproduksi wanita sudah siap dan cukup matang untuk mengandung dan

melahirkan anak. Menurut Mochtar, meskipun umur ibu normal pada saat

kehamilan dan persalinan yaitu umur 20-35 tahun dapat terjadi robekan

perineum apabila ibu tidak berolahraga dan rajin bersenggama. Kelenturan

jalan lahir dapat berkurang apabila calon ibu kurang berolahraga atau

genetalianya sering terkena infeksi. Infeksi akan mempengaruhi jaringan

ikat dan otot dibagian bawah dan membuat kelenturannya hilang (karena

infeksi membuat jalan lahir menjadi kaku).

42
Menurut asumsi peneliti Kejadian ruptur perineum dapat terjadi pada

semua ibu bersalin apa bila ibu bersalin tidak rajin olah raga dan

bersenggama. Hal ini juga dipengaruhi oleh perineum yang sempit dan

elastisitas perineum, sehingga akan mudah terjadinya robekan jalan lahir,

oleh karena itu bayi yang mempunyai lingkar kepala maksimal tidak dapat

melewatinya sehingga dapat menyebabkan ruptur perineum

2. Paritas

Dari 148 Kejadan Ruptur Perineum, pada kelompok primipara

adalah 57 (38.51), pada kelompok multipara adalah 89 orang (60.14%)

dan pada kelompok grandemultipara adalah 2 orang (1.35%).

Hasil penelitian ini sejalan dengan teori yang di kemukakan oleh

mochtar (1998) yang menyatakan bahwa dengan perineum yang masih

utuh pada primipara akan mudah terjadi robekan perineum. Paritas

primipara dan multipara merupakan paritas dengan resiko terjadinya

rupture perineum spontan yang lebih besar di bandingkan dengan paritas

grandemultipara.

Menurut Asumsi peneliti bahwa ibu bersalin yang berparitas

multipara rentan juga mengalami ruptur perineum di karenakan pada

persalinan yang jarak kelahirannya < 2 tahun, sehingga alat-alat reproduksi

belum pulih dan belum siap untuk menjalani proses persalinan kembali

dan menyebabkan daerah perineum mudah sekali ruptur. Begitu juga

dengan berat badan bayi yang dilahirkan ibu Lebih besar dari pada berat

badan bayi sebelumnya

43
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

44
Dengan berpedoman pada hasil penelitian yang penulis lakukan, maka

ini menjadi sebuah indikator untuk mengetahui dan melihat gambaran

kejadian ruptur perineum di BPM Gemaristy, maka dapat disimpulkan bahwa

1. Dari 148 Kejadian Ruptur Perineum, yang ruptur tingkat I sebanyak 62

orang 41.90%), Tingkat II 57 orang (38.51%), Tingkat III 29 orang

(19.59%)).

2. Dari 148 persalinan yang ruptur perineum pada kelompok usia fase

menunda kehamilan (<20 tahun) terdapat 13 orang (68.79%), pada fase

mengatur kehamilan (20-35 tahun) terdapat 124 orang (83.78%) dan pada

fase mengakhiri kehamilan (>35 tahun) terdapat 11 orang (7.43 %).

3. Dari 148 Kejadan Ruptur Perineum, pada kelompok primipara adalah 57

(38.51), pada kelompok multipara adalah 89 orang (60.14%) dan pada

kelompok grandemultipara adalah 2 orang (1.35%).

C. Saran

1. Bagi tempat penelitian untuk rutin melakukan edukasi seperti penapisan

kepada ibu bersalin terutama dalam proses persalinan baik dalam Asuhan

Sayang Ibu , memimpin persalinan dan melakukan pengeluaran kepala

bayi agar tetap di pertahankan perineum ibu bersalin untuk tidak terjadi

ruptur perineum

2. Bagi petugas kesehatan untuk meningkatkan kualitas dalam memberikan

konseling dan penyuluhan tentang pentingnya melakukan senam hamil

dari usia kehamilan 28 inggu, sehingga kejadian ruptur perineum pada

45
persalinan normal bisa diminimalisir.

3. Bagi ibu bersalin untuk rajin membersihkan daerah luka ruptur perineum

dan menganjurkan ibu untuk mengomsumsi makanan yang banyak

mengandung protein agar proses pemulihan ruptur perineum cepat pulih

DAFTAR PUSTAKA

46
DepKes RI, 2017 Asuhan Persalinan Normal, Jaringan Nasional Pelatihan
Klini ,Kesehatan Reproduksi : Jakarta

Hendarson. 2016. Buku Ajar Konsep Kebidanan. Jakarta: EGC

Manuaba, dkk. 2016. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, dan KB. Jakarta:
EGC

Notoatmodjo, 2013. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta:Rineka Cipta

Oxorn, H. 2012 Ilmu Kebidanan Patologi dan Fisiologi Persalinan. Yogyakarta:


Andi

Prawitasari,Eka, dkk. yakarta. Jurnal Kebidanan DIII2015. Penyebab Terjadinya


Ruptur Perineum Persalinan Normal. Yog

Prawirohardjo, 2011.Ilmu Kebidanan. Yogyakarta:YBPMP

Risnawati,I.2017. Pengaruh Anemia dan Pendarahan Postpartum terhadap


perubahan tekanan darah pada ibu post partum. Yogyakarta:Urecool

Saifuddin, 2011 .Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan


Neonatal. Jakarta:YBPMP

Sumarah, Y N, Widyastuti, Y, Wiyanti, N. 2019. Asuhan Kebidanan Pada Ibu


Bersalin. Yogyakarta: Fitramaya

Sujayantini,. 2011. Perawatan Masa Nifas. Yogyakarta : Fitramaya

Varney, 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta:EGC

Wiknjosastro. H. 2016 Ilmu Kebidanan Edisi 3 Cetakan 8, Jakarta: Yayasan Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo

47

Anda mungkin juga menyukai