OBSTETRI II/MFM I
Program Pendidikan Dokter Spesialis I
Obstetri dan Ginekologi
Disusun oleh:
dr. I Made Pariartha
Pembimbing :
dr. Diannisa Ikarumi Enisar Sangun, SpOG
Ditetapkan Oleh :
Panduan Praktik Direktur Utama,
Klinis
1. Wewanti PPK ini dibuat sebagai panduan bagi petugas medis yang bekerja di
kamar bersalin dalam melakukan episiotomi
PPK ini berlaku sejak tanggal diterbitkan hingga revisi berikutnya
PPK ini berisi latar belakang teori, langkah-langkah sistematis dalam
melakukan episiotomi, alat dan bahan yang diperlukan dan
perkembangan terkini berdasarkan terkini berbasis bukti terhadap
tindakan ini.
3. Indikasi Mencegah ruptur perineum derajat tinggi (ruptur derajat 3 dan derajat 4)1
Memperlebar jalan lahir saat akan dilakukan tindakan assisted vaginal
delivery (dengan vakum ekstraksi maupun forceps)1
Membantu mempercepat proses persalinan pada kondisi-kondisi bayi
perlu dikeluarkan dengan cepat: distosia bahu, fetal/maternal
compromises, persalinan bokong1
6. Tinjauan Studi Episitomi merupakan insisi bedah pada perineum yang dilakukan untuk
memperlebar pembukaan vagina untuk memfasilitasi kelahiran bayi.
Merupakan salah satu prosedur yang paling umum dilakukan pada
wanita. Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1742.
Episiotomi pertama kali direkomendasikan untuk memfasilitasi
kelengkapan pada kala II persalinan dan untuk menurunkan trauma
maternal dan neonatal dan morbiditas yang berkaitan dengan kelahiran.
Keuntungan jangka pendeknya adalah lebih mudah untuk diperbaiki
dibandingkan dengan laserasi yang terjadi secara spontan, menurunkan
nyeri pasca salin dan menurunkan angka kejadian ruptur perineum
derajat tinggi (derajat 3 dan 4)
Kemampuan untuk menyediakan data berbasis bukti untuk memberikan
rekomendasi tentang indikasi dan teknik episiotomi masih terbatas
karena terbatasnya data-data dengan kualitas penelitian yang tinggi.
indikasi dan prosedur lebih banyak berdasarkan opini klinis dan
anekdot. Data yang terbaik tersedia dari episiotomy berfokus pada
prosedur episiotomi rutin atau terbatas.
Ulasan dari Cochrane dari literatur tentang episiotomi mendapatkan
kebanyakan penelitian mempunyai kualitas yang rendah sehingga tidak
bisa dimasukkan ke dalam analisis. Ulasan ini menunjukkan bahwa
episiotomi tidak menurunkan angka inkontinensia urine, nyeri atau
disfungsi seksual dan meningkatkan terjadinya laserasi perineum,
penjahitan dan komplikasi dari luka. Sebagai tambahan, episiotomi
tidak mempunyai keuntungan terhadap neonatus.
Episiotomi medial berkaitan dengan tingginya kejadian rupture spincter
ani dan rektum dibandingkan dengan episiotomi mediolateral dan
merekomendasikan penggunaan episiotomi yang terbatas pada praktis
2.3.4
klinis (Rekomendasi derajat A) . Episiotomi rutin juga tidak
mencegah terjadinya kerusakan pada pelvic floor yang menimbulkan
inkontinensia dan episiotomi mediolateral lebih dianjurkan
dibandingkan episiotomi medial ketika ada indikasi dilakukan
episiotomi (Rekomendasi derajat B)
8. Tata cara Menjelaskan kepada pasien dan atau keluarga mengenai prosedur dan
risiko tindakan dan selanjutnya menandatangani formulir persetujuan
tindakan operasi (informed consent)
Menyiapkan alat dan bahan
Teknik mediolateral lebih direkomendasikan, dengan perhatian untuk
memastikan sudut insisi adalah 600 dari garis tengah saat perineum
terdistensi (derajat rekomendasi: C). Insisi ini untuk menghindari
spincter ani eksternal (menghindari insidensi luka episiotomi meluas
menjadi ruptur derajat 3 dan 4 dibandingkan dengan insisi medial) dan
kelenjar Bartolini
12. Daftar pustaka 1. Mid Essex Hospital Services. Management of Episiotomy. June
2013.
2. American College of Obstetrics and Gynecology. Episiotomy.
ACOG Practice Bulletin #71. Obstet Gynecol. 2006. 107:957-62.
3. Practice Bulletin No. 165: Prevention and Management of Obstetric
Lacerations at Vaginal Delivery. Obstet Gynecol. 2016 Jul. 128
(1):e1-e15. [Medline]. [Full Text].
4. Haelle T. ACOG: New Recommendations on Obstetric
Lacerations. Medscape Medical News. Available at
http://www.medscape.com/viewarticle/865296. June 24, 2016;
Diakses: 6 September, 2016.
5. Royal College of Obstetrics and Gynecology. Green-top Guideline
No.29: Management of Third-and Fourth Degree of Perineal
Tears. June 2015
6. Cunningham F.G. et al; Obstetrics: Mechanisms of Normal Labor,
24 th ed. Int ed. USA, McGraw Hill. 2005 pg 409
Ditetapkan Oleh :
Panduan Praktik Direktur Utama,
Klinis
Dr. Mochammad Syafak Hanung, Sp.A
NIP. 196010091986101002
13. Wewanti PPK ini dibuat sebagai panduan untuk manajemen robekan jalan lahir
dalam berbagai tingkatan
Tingkat penyembuhan robekan jalan lahir bervariasi antar pasien dan
dipengaruhi oleh berbagai faktor
Jenis benang yang digunakan, teknik penjahitan dan keterampilan
operator merupakan tiga faktor utama yang mempengaruhi luaran
(outcome) dari penjahitan robekan jalan lahir
PPK ini berlaku sejak tanggal diterbitkan hingga revisi berikutnya
PPK ini berisi latar belakang teori, langkah-langkah sistematis dalam
manajemen robekan jalan lahir, alat dan bahan yang diperlukan dan
perkembangan terkini terhadap manajemen ini
14. Pengertian Robekan jalan lahir didefinisikan sebagai luka yang tejadi pada labia,
vagina, uretra, klitoris, otot-otot perineum atau spincter ani sampai
dengan mukosa ani.
Robekan jalan lahir anterior didefiniskan sebagai trauma yang
mengenai labia, anterior vagina, uretra atau klitoris. Robekan jalan
lahir posterior didefiniskan sebagai luka pada dinding posterior vagina,
otot-otot perineum atau spincter ani dan termasuk disrupsi pada epitel
(mukosa) ani.
Kejadian ini dapat terjadi secara spontan saat persalinan vaginal,
disebabkan oleh trauma selama persalinan dengan bantuan alat
(assisted delivery) atau melalui insisi bedah (episiotomy)
Robekan jalan lahir mempunyai pengaruh yang buruk terhadap
kesehatan wanita jangka pendek dan jangka panjang. Proses perbaikan
yang tidak benar, kegagalan untuk mengenali tingkat luasnya trauma
dan pemberian anti nyeri yang kurang adekuat selama proses
penjahitan dapat menimbulkan masalah fisik, psikologis dan
emosional pada pasien
Perineorafi adalah suatu cara untuk menyatukan kembali jaringan
tubuh (dalam hal perineum) dan mencegah kehilangan darah yang tidak
perlu (memastikan hemostatis) dan mempertahankan integritas dasar
panggul ibu.
17. Rekomendasi Penggunaan dari benang sintetik yang dapat diserap (polyglicolic acid
dan polyglactin 910) untuk penjahitan robekan jalan lahir terkait
dengan nyeri perineal, pengguanaan analgesic, dehisensi dan
panjahitan ulang yang lebih rendah tetapi meningkatkan kemungkinan
pelepasan jahitan jika dibandingkan dengan cutgut1 (Derajat
Rekomendasi: A)
Praktik untuk tidak menjahit robekan jalan lahir derajat 1 dan derajat 2
berkaitan dengan tingkat penyembuhan luka yang lebih lama dan tidak
memberikan perbedaan yang signifikan dalam kenyamanan jangka
pendek1 (Derajat rekomendasi: A)
Penggunaan teknik jahitan jelujur tidak terkunci untuk mendekatkan
masing-masing lapisan (jaringan vagina, otot-otot perineum dan kulit)
terkait dengan nyeri jangka pendek yang lebih rendah dibandingkan
dengan metode interrupted1(Derajat rekomendasi: A).
Penggunaan jahitan subkutikular kontinyu untuk menutup kulit
perineal terkait dengan nyeri jangka pendek yang lebih rendah
dibandingkan dengan teknik jahitan transkutan interrupted1 (Derajat
Rekomendasi: A)
Penggunaan prosedur dua lapis pada penjahitan perineum, saat kulit
diaposisi namun tidak dijahit terkait dengan adanya peningkatan
terjadinya gap pada luka sampai 10 hari pasca melahirkan namun lebih
sedikit menimbulkan dispareunia dalam 3 bulan pasca salin
dibandingkan dengan teknik tiga lapis yang melibatkan penjahitan
kulit1(Derajat Rekomendasi: A)
18. Tinjauan Studi Hampir lebih dari 85% dari wanita yang melahirkan melalui vaginal
akan mengalami berbagai derajat robekan jalan lahir dan 60-70% akan
memerlukan penjahitan. Faktor-faktor maternal yang terkait dengan
perluasan trauma selama melahirkan adalah etnis, umur, tipe dan jenis
jaringan dan status nutrisi sebelum kehamilan. Faktor-faktor yang
lainnya adalah: primipara, berat janin lebih dari 4000 gram, kala 2
lama, persalinan dengan menggunakan alat, posisi oksipitoposterior
dan partus presipitatus1.
Data metanalisis dari enam penelitian RCT menunjukkan bahwa
pembatasan episiotomi hanya pada indikasi spesifik dari meternal dan
fetal, dibandingkan dengan episiotomi rutin selama persalinan terkait
dengan kejadian trauma robekan jalan lahir posterior yang lebih
rendah, lebih sedikit memerlukan penjahitan dan komplikasi
penyembuhan yang lebih rendah. Kejadian robekan jalan lahir anterior
sedikit meningkat namun ini berkaitan dengan morbiditas yang lebih
sedikit. Penerapan kebijakan pembatasan tindakan episiotomi akan
menurunkan morbiditas ibu dan biaya yang digunakan dalam
penggunaan benang jahit1.
Dalam penelitian observasional, episiotomi mediolateral secara kuat
berkaitan dengan penurunan kejadian kerusakan spincter ani1.
Morbiditas yang terkait dengan persalinan dapat mempengaruhi
kesehatan fisik, psikologis dan sosial baik pada periode pasca salin
jangka panjang maupun jangka pendek. Nyeri perineum dapat
mempengaruhi proses menyusui, kehidupan keluarga dan seksual.
Dyspareunia superfisial juga dapat timbul sampai tiga bulan pasca
salin. Kejadian inkontinesia urin dan alvi juga dapat muncul.
Komplikasi tergantung pada luasnya trauma dan efektivitas manajemen
yang dilakukan1.
Jenis benang yang digunakan, teknik penjahitan dan keterampilan
operator merupakan tiga faktor utama yang mempengaruhi luaran
(outcome) dari penjahitan robekan jalan lahir1.
24. Daftar Pustaka 1. Royal College of Obstetricians and Gynecologist. RCOG Guideline
No.23: Methods and Materials Used in Perineal Repair; Revised June
2004.
2. Leeman, L., Spearman, M. & Rogers, R. Repair of Obstetric Perineal
Lacerations. Diunduh dari American Family Physician website at
www.aafp.org/afp pada 2 September 2016 jam 18.00.