Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN KASUS

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU

Disusun oleh :
dr. Arnold Christoper Siahaan

Pembimbing :
dr. Eka Putri, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


RSUD HASANUDDIN DAMRAH KOTA MANNA
BENGKULU SELATAN
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat dan
RahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU”.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing yaitu dr.
Eka Putri, Sp.OG yang telah membimbing dan mendidik penulis selama menjalani
program internsip di bagian Obstetri dan Ginekologi.

Laporan Kasus ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam memenuhi


program internsip di RSUD Hasanuddin Damrah, kota Manna, Bengkulu Selatan.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini dibuat jauh dari kesempurnaan, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini, semoga laporan kasus ini
bermanfaat bagi kita semua.

Kota Manna, 20 November 2018

Penulis

dr. Arnold Christoper Siahaan


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................... 2
2.1 Anatomi................................................................................................ 2
2.2 Kehamilan Ektopik Terganggu............................................................. 6
2.2.1. Definisi....................................................................................... 6
2.2.2. Epidemiologi............................................................................... 7
2.2.3. Etiologi dan Faktor Resiko......................................................... 7
2.2.4. Patofisiologi................................................................................ 9
2.2.5. Klasifikasi................................................................................... 11
2.2.6. Manifestasi Klinis....................................................................... 17
2.2.7. Diagnosa dan pemeriksaan klinis............................................... 18
2.2.8. Diagnosa Banding....................................................................... 23
2.2.9. Penatalaksanaan.......................................................................... 24
2.2.10. prognosis................................................................................... 29
BAB III LAPORAN KASUS..................................................................................... 30
BAB IV PEMBAHASAN.......................................................................................... 40
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................... 43
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 44
BAB I

PENDAHULUAN

Kehamilan ektopik adalah suatu komplikasi dalam kehamilan dimana ovum yang
sudah dibuahi berimplantasi di jaringan lain selain dinding uterus. Kebanyakan kehamilan
ektopik terjadi pada tuba falopii (sehingga disebut kehamilan tuba). Implantasi dapat juga
terjadi pada cervix, ovarium, dan abdomen. 1,2,3

Lebih dari 30 tahun, insidensi kehamilan ektopik telah meningkat secara dramatis di
negara – negara industri. Insidensi yang dilaporkan bervariasi antara 100 – 175 per 100.000
wanita berusia 15 – 44 tahun. Yang terpenting, pada kasus kehamilan ektopik tercatat 10%
kasus dari seluruh kasus kehamilan yang berhubungan dengan kematian. 3,4

Penyebab paling utama gangguan transportasi hasil konsepsi pada tuba adalah infeksi
alat genitalia interna, desakan dari luar tuba, operasi pada tuba falopii, kelainan kongenital
alat reproduksi interna, migrasi intraperitoneal spermatozoa ataupun ovum, dan kelambatan
implantasi. 5

Trias gejala dan tanda dari kehamilan ektopik adalah riwayat keterlambatan haid atau
amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal (60-80%), nyeri abdominal atau pelvik (95%).6

Operasi pada kehamilan ektopik terganggu segera dilakukan setelah diagnosis dapat
dipastikan. Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup
penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose. 7

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Genitalia terdiri dari alat atau organ eksternal dan internal, sebagian besar terletak
dalam rongga panggul. Genitalia eksternal (sampai vagina) berfungsi sebagai alat kopulasi.
Genitalia internal berfungsi untuk ovulasi, fertilisasi ovum, transportasi blastocyst,
implantasi, pertumbuhan fetus dan kelahiran. Fungsi sistem reproduksi wanita dikendalikan
atau dipengaruhi oleh hormon-hormon seperti gondaotropin atau steroid dari poros hormonal
thalamus-hipothalamus hipofisis-adrenal-ovarium. Selain itu terdapat organ atau sistem
ekstragonad atau ekstragenital yang juga dipengaruhi oleh siklus reproduksi seperti payudara,
kulit daerah tertentu, pigmen dan sebagainya.[2]

Mons veneris adalah lapisan lemak di bagian anterior symphisis os pubis. Pada masa
pubertas daerah ini mulai ditumbuhi rambut kemaluan

Labia mayora adalah lapisan lemak lanjutan mons pubis ke arah bawah dan belakang,
banyak mengandung pleksus vena. Homolog embriologik dengan skrotum pada pria.
Ligamentum rotundum uteri berakhir pada batas atas labia mayora. Di bagian bawah
perineum, labia mayora menyatu dan mebentuk kommisura posterior).

Labia minora adalah lipatan jaringan tipis di balik labia mayora, tidak mempunyai
folikel rambut, banyak terdapat pembuluh darah dan otot polos yang menyebabkannya dapat
mengembang, ujung serabut saraf yang menjadikan labia minora sangat sensitif dan banyak
mengandung glandula sebasea. Ke depan kedua labia minor bertemu dan membentuk di atas
klitoris preputium klitoridis dan di bawah klitoris frenulum klitoridis. Ke belakang kedua
labia minora bersatu dan membentuk fossa navikulare.

Klitoris tertutup oleh preputium klitoridis, dan terdiri atas glans klitoridis, korpus
klitoridis, dan dua krura yang menggangtungkan klitoris ke os pubis. Homolog embriologik
dengan penis pada pria. Terdapat juga reseptor androgen pada clitoris. Banyak pembuluh
darah dan ujung serabut saraf sehingga klitoris menjadi sangat sensitif.

Vestibulum adalah daerah dengan batas atas clitoris, batas bawah fourchet, batas
lateral labia minora. Berasal dari sinus urogenital. Pada vestibulum, terdapat enam muara
lubang (orificium) yaitu orificium urethrae externum, introitus vaginae, ductus glandulae
Bartholinii kanan-kiri dan duktus Skene kanan-kiri. Diantara fourchet dan vagina terdapat
fossa navicularis.

Introitus vagina terletak di bagian bawah vestibulum. Pada gadis (virgo) tertutup
lapisan tipis bermukosa yaitu selaput dara atau hymen, utuh tanpa robekan. Hymen normal
terdapat lubang kecil untuk aliran darah menstruasi, dapat berbentuk bulan sabit, bulat, oval,
cribiformis, septum atau fimbriae. Akibat coitus atau trauma lain, hymen dapat robek dan
bentuk lubang menjadi tidak beraturan dengan robekan (misalnya berbentuk fimbriae).
Bentuk himen postpartum disebut parous. Corrunculae myrtiformis adalah sisa-sisa selaput
dara yang robek yang tampak pada wanita pernah melahirkan. Hymen yang abnormal,
misalnya primer tidak berlubang (hymen imperforata) menutup total lubang vagina, dapat
menyebabkan darah menstruasi terkumpul di rongga genitalia interna.

Perineum Daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan anus, panjang rata-rata 4
cm. Batas otot-otot diafragma pelvis (m.levator ani, m.coccygeus) dan diafragma urogenitalis
(m.perinealis transversus profunda, m.constrictor urethra). Perineal body adalah raphe
median m.levator ani, antara anus dan vagina. Perineum meregang pada persalinan, kadang
perlu dipotong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah ruptur.[1,2]
Genitalia Interna Wanita

Vagina adalah rongga muskulomembranosa berbentuk tabung mulai dari tepi cervix
uteri di bagian kranial dorsal sampai ke vulva di bagian kaudal ventral. Daerah di sekitar
cervix disebut fornix, dibagi dalam 4 kuadran : fornix anterior, fornix posterior, dan fornix
lateral kanan dan kiri. Vagina memiliki dinding ventral dan dinding dorsal yang elastis.
Bentuk vagina sebelah dalam yang berlipat disebut rugae, yang memungkinkan vagina untuk
melebar saat persalinan. Vagina dilapisi epitel skuamosa berlapis yang berubah mengikuti
siklus haid. Fungsi vagina adalah untuk mengeluarkan ekskresi uterus pada saat haid, sebagai
jalan lahir dan untuk kopulasi (persetubuhan). Bagian atas vagina terbentuk dari duktus
Mulleri, bawah dari sinus urogenitalis. Batas dalam secara klinis yaitu fornices anterior,
posterior dan lateralis di sekitar cervix uteri. Titik Grayenbergh (G-spot), merupakan titik
daerah sensorik di sekitar 1/3 anterior dinding vagina, sangat sensitif terhadap stimulasi
orgasmus vaginal. Vagina mendapat darah dari: 1) arteria uterine yang memberikan darah ke
1/3 atas vagina; 2) arteria vesikalis inferior memberi darah ke vagina bagian 1/3 tengah; 3)
arteria hemoroidalis mediana dan arteria pudendus interna memberi darah ke bagian 1/3
bawah vagina. Getah bening yang berasal dari 2/3 bagian atas vagina akan melalui kelenjar
getah bening di daerah vasa iliaka dan 1/3 bagian bawah akan melalui kelenjar getah bening
di regio inguinalis.

Uterus adalah suatu organ muskular berbentuk seperti buah pir dan memiliki ukuran
sebesar telur ayam yang mempunyai rongga, dilapisi peritoneum (serosa). Dindingnya terdiri
atas otot-otot polos. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio. Terdiri
dari fundus, corpus dan serviks uteri. Dalam hal klinik, tinggi fundus dapat diraba untuk
menunjukkan umur kehamilan. Fungsi utama corpus uteri saat masa kehamilan adalah
sebagai tempat janin berkembang. Lapisan dari dinding uterus (dari dalam ke luar); 1)
endometrium di korpus uteri dan endoserviks uteri; 2) otot-otot polos; dan 3) lapisan serosa,
yakni peritoneum viserale.

Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan memiliki arti penting dalam siklus
haid. Lapisan otot di sebelah dalam berbentuk sirkuler dan di sebelah luar berbentuk
longitudinal, diantaranya terdapat lapisan otot oblik (bentuk anyaman) yang paling penting
pada persalinan. Uterus ini sebenarnya terapung dalam rongga pelvis dengan jaringan ikat
dan ligament yang menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Ligamenta yang
memfiksasi uterus adalah:

1. Ligamentum kardinale merupakan ligamentum yang terpenting dan mencegah supaya


uterus tidak turun.
2. Ligamentum sakro-uterinum adalah ligamentum yang menahan supaya uterus tidak
banyak bergerak.
3. Ligamentum rotundum adalah ligamentum yang menahan uterus dalam keadaan
antefleksi.
4. Ligamentum latum tidak memiliki banyak arti dalam memfiksasi uterus.
5. Ligamentum infundibulo-pelvikum adalah ligamentum yang menahan tuba Fallopii.
Selain itu terdapat ligamentum ovarii proprium yang menahan ovarium.

Uterus diberi darah oleh arteria uterina dan a. ovarika. Inervasi uterus terdiri terutama atas
saraf simpatik, tetapi untuk sebagian juga atas sistem parasimpatik dan serebrospinal. Kedua
sistem simpatik dan parasimpatik ini bekerja secara antagonis: simpatik menimbulkan
kontraksi dan vasokontriksi dan yang parasimpatik menimbulkan vasodilatasi dan mencegah
kontraksi. Selama kehamilan berfungsi sebagai tempat implatansi, retensi dan nutrisi
konseptus. Pada saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus dan pembukaan
serviks uterus, isi konsepsi dikeluarkan.

Tuba falloppii berfungsi sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai cavum
uteri. Embriologik uterus dan tuba berasal dari ductus Mulleri. Sepasang tuba kiri-kanan
memiliki panjang 8-14 cm. Dinding tuba terdiri tiga lapisan: serosa, muskular (longitudinal
dan sirkular) serta mukosa dengan epitel bersilia. Terdiri atas pars interstitialis yang terdapat
di dinding uterus, pars isthmica merupakan bagian medial tuba yang sempit seluruhnya, pars
ampularis berbentuk saluran agak lebar dan merupakan tempat konsepsi terjadi, serta pars
infundibulum bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunya fimbria,
masing masing bagian memiliki karakteristik silia dan ketebalan dinding yang berbeda-beda.
Fimbria berfungsi “menangkap” ovum yang keluar saat ovulasi dari permukaan ovarium, dan
membawanya ke dalam tuba. Mesosalping merupakan jaringan penyangga tuba.

Ovarium merupakan organ endokrin berbentuk oval, terletak di dalam rongga


peritoneum, sepasang kiri-kanan. Dilapisi mesovarium, sebagai jaringan ikat dan jalan
pembuluh darah dan saraf. Terdiri dari korteks di sebelah luar dan medula di sebelah dalam.
Ovarium berfungsi dalam pembentukan dan pematangan folikel menjadi ovum (dari sel epitel
germinal primordial di lapisan terluar epital ovarium di korteks), ovulasi (pengeluaran ovum),
sintesis dan sekresi hormon-hormon steroid (estrogen oleh teka interna folikel, progesteron
oleh korpus luteum pascaovulasi). Berhubungan dengan pars infundibulum tuba Falopii
melalui perlekatan fimbriae. Fimbriae “menangkap” ovum yang dilepaskan pada saat ovulasi.
Ovarium terfiksasi oleh ligamentum ovarii proprium, ligamentum infundibulopelvicum dan
jaringan ikat mesovarium. Vaskularisasi dari cabang aorta abdominalis inferior terhadap
arteri renalis.

2.2. Kehamilan Ektopik Terganggu


2.2.1. DEFINISI

Kehamilan ektopik adalah suatu komplikasi dalam kehamilan dimana ovum yang
sudah dibuahi berimplantasi di jaringan lain selain dinding uterus. Pada konsepsi yang
normal, ovum dibuahi oleh sperma pada tuba falopii kemudain ovum yang sudah dbuahi
tersebut akan bergerak sepanjang tuba menuju uterus sekitar 3 – 4 hari kemudian.
Kebanyakan kehamilan ektopik terjadi pada tuba falopii (sehingga disebut kehamilan
tuba). Kehamilan tuba dapat terjadi dikarenakan tuba falopii terhalang atau rusak dan
tidak dapat dilewati oleh embrio.

Implantasi dapat juga terjadi pada cervix, ovarium, dan abdomen. Fetus
memproduksi suatu enzim yang memungkinkannya untuk berimplantasi pada berbagai
macam jaringan, dan apabila fetus berimplantasi di tempat lain selain uterus maka dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan karena usaha dari fetus itu sendiri untuk mendapatkan
suplai darah yang cukup. 1, 2, 3
2.2.2. EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 30 tahun, insidensi kehamilan ektopik telah meningkat secara dramatis
di negara – negara industri. Insidensi yang dilaporkan bervariasi antara 100 – 175 per
100.000 wanita berusia 15 – 44 tahun. Di Inggris, insidensi kehamilan ektopik bertambah
dari 9,6 kasus per 1000 kehamilan (1991 – 1993) menjadi 11 kasus per kasus 1000
kehamilan (2000 – 2002). Peningkatan insidensi kehamilan ektopik bisa jadi merupakan
cerminan dari meningkatnya kasus pada populasi penduduk ataupun bisa juga karena
adanya pengembangan dari tes diagnosa yang lebih sensitif. Angka kejadian kehamilan
ektopik pada wanita usia 35 - 44 tahun tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
usia 15 – 24 tahun. 8

Pada tahun 1992, di Amerika Serikat kejadian kehamilan ektopik sekitar 108.000,
hampir 2% dari seluruh kehamilan. Yang terpenting, pada kasus kehamilan ektopik
tercatat 10% kasus dari seluruh kasus kehamilan yang berhubungan dengan kematian.

Insidensi kehamilan ektopik untuk wanita kulit berwarna lebih tinggi dalam setiap
kategori umur dibandingkan dengan wanita berkulit putih. Sekitar 2 % dari kehamilan
merupakan kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik merupakan salah satu faktor penyebab
kematian ibu, sekitar 9 % dan merupakan penyebab kematian terbanyak pada trimester
pertama. 3,4

2.2.3. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Bila nidasi terjadi diluar kavum uteri atau di luar kavum uteri atau di luar
endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium menjadi
penyebab kehamilan ektopik. Faktor-faktor tersebut adalah (Prawirohardjo, 2010):

a. Faktor tuba

- Adanya peradangan atau infeksi pada tuba menyebabkan lumen tuba


menyempit dan buntu.

- Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang berkelok-
kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan
baik. Juga pada keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba dapat merupakan
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
- Faktor tuba yang lain adalah adanya kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat kongenital.

- Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapat
menjadi etiologi kehamilan ektopik.

b. Faktor abnormalitas dari zigot

Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka
zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian
terhenti dan tumbuh di saluran tuba.

c. Faktor ovarium

Bila ovarium memproduksi ovum dan ditangkap oleh tuba yang


kontralateral, dapat membutuhkan proses khusus dan waktu yang lebih
panjang sehingga kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik lebih besar.

d. Faktor hormonal

Pada akseptor, pil KB yang hanya mengandung progesteron dapat


mengakibatkan pergerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.

e. Faktor lain

Termasuk di sini antara lain adalah pemakaian IUD dimana proses


peradangan yang dapat timbul pada endosalping dapat menyebabkan
terjadinya kehamilan ektopik. Faktor umur penderita yang sudah menua dan
faktor perokok juga sering dihubungkan dengan terjadinya kehamilan ektopik.
Tabel 1. Faktor resiko kehamilan ektopik ((Decherney &Nathan, 2003).

Faktor Resiko Resiko

Resiko Tinggi

Riwayat kehamilan 8,3


ektopik

Bedah korektif tuba 21,0

Sterilisasi tuba 9,3

Paparan Diethylstilbestrol 5,6


pada uterus

Pengguanaan IUD 4,2-45,0

Faktor Sedang

Infertilitas 2,5-21

Riwayat infeksi genital 2,5-3,7

Pasangan seksual yang 2,1


lebih dari satu

Faktor ringan

Merokok 2,3-2,5

Douching vaginal 1,1-3,1

Berhubungan pertama kali 1,6


<18 tahun

2.2.4. PATOFISIOLOGI

Adanya abnormalitas pada morfologi tuba ataupun pada fungsinya dapat


menyebabkan adanya kehamilan ektopik. Pada kehamilan yang normal, ovum dibuahi pada
tuba falopii kemudian bergerak menuju uterus. Sangat diyakini bahwa yang paling berperan
menyebabkan kehamilan ektopik adalah rusaknya mukosa tuba, yang dapat menghalangi
jalannya embrio karena adanya jaringan parut. Kemungkinan yang lain adalah defek kecil
pada mukosa menarik embrio untuk berimplantasi ditempat tersebut. Hal lain yang dapat
menyebabkan kehamilan ektopik adalah disfungsi aktifitas otot polos tuba. 8

Karena tuba kekurangan lapisan submukosa, ovum yang telah dibuahi cenderung
tertanam pada epitelium dan zigot diam pada dinding muskular dari tuba. Pada permukaan
zigot terdapat kapsul trofoblas yang secara cepat berproliferasi yang menginvasi dinding
muskular dari tuba. Pada saat yang sama, pembuluh darah maternal membuka dan darah
mengalir pada daerah sekitar trofoblas atau diantara trofoblas dan jaringan tambahan.
Dinding tuba yang berhubungan dengan zigot hanya bisa memberikan tahanan ringan
terhadap invasi trofoblas, yang secepatnya tertanam didalamnya. Embrio atau fetus pada
kehamilan ektopik biasanya tidak ditemukan ataupun terhambat pertumbuhannya.4

Isi konsepsi yang berimplantasi melakukan penetrasi terhadap lamina propria dan pars
muskularis dinding tuba. Kerusakan tuba lebih lanjut disebabkan oleh pertumbuhan invasif
jaringan trofoblas. Karena trofoblas menginvasi pembuluh darah dinding tuba, terjadi
hubungan sirkulasi yang memungkinkan jaringan konsepsi bertumbuh.

Pada suatu saat, kebutuhan embrio di dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai
darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat hal ini :

1. kemungkinan terbentuknya jaringan mola berisi darah di dalam tuba, karena aliran
darah di sekitar chorion menumpuk, menyebabkan distensi tuba, dan mengakibatkan
ruptur intralumen kantung gestasi di dalam lumen tuba.
2. kemungkinan "tubal abortion", lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal
(fimbria) dan ke rongga abdomen.
3. kemungkinan reabsorpsi jaringan konsepsi oleh dinding tuba sebagai akibat pelepasan
dari suplai darah tuba.
4. kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat erosi
villi chorialis atau distensi berlebihan tuba - keadaan ini yang umum disebut
kehamilan ektopik terganggu / kehamilan ektopik dengan ruptur tuba. 9
Secara umum, estrogen menstimulasi aktifitas mioelektris dari tuba dan progesteron
memiliki efek untuk menghambat. Perubahan rasio estrogen / progesteron mungkin
mempengaruhi motilitas tuba. Tingginya tingkat estrogen mungkin menyebabkan spasme
tuba, yang akan mengahalangi transportasi embrio menuju cavum uteri. Sebaliknya, pada
penggunaan oral kontrasepsi progesteron dapat menyebabkan tuba relaksasi yang
mengakibatkan retensi ovum pada tuba. 8

2.2.5. KLASIFIKASI
A. Kehamilan Tuba

Tuba tidak memiliki lapisan submukosa maka ovum yang telah dibuahi segera
menembus epitel, dan zigot akhirnya berada di dekat atau di dalam otot. Trofoblas yang
cepat berproliferasi dapat menginvasi muskularis sekitar, tetapi separuh dari kehamilan
ektopik ampula tetap berada di lumen tuba dengan lapisan otot tidak terkena pada 85
persen kasus. Mudigah atau janin pada kehamilan ektopik sering tidak ada atau tidak
berkembang (Cunningham, 2012).

Walaupun kehamilan terjadi di luar rahim, rahim membesar juga karena hipertropi
dari otot-ototnya disebabkan pengaruh hormon-hormon yang dihasilkan trofoblas, begitu
pula endometriumnya berubah menyadi desidua vera (Decherney &Nathan, 2003).
Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau
mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan bentuk berikut ini:

 Hasil konsepsi mati dini dan direasorbsi


Pada implantasi secara kolumnar, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi kurang dan dengan mudah terjadi resorbsi total. Dalam keadaan ini
penderita tidak mengeluh apa-apa, hanya haidnya terlambat untuk beberapa hari
(Prawihardjo, 2010).
 Abortus ke dalam lumen tuba
Frekuensi abortus tuba sebagian bergantung pada tempat implantasi. Abortus
sering terjadi pada kehamilan ampula, sementara ruptur merupakan hasil akhir
yang bisanya terjadi pada kehamilan ismus. Akibat perdarahaa, hubungan plasenta
dan membran dan dinding tuba semakin terganggu. Jika pemisahan plasenta
lengkap maka semua produk konsepsi dapat dikeluarkan melalui ujung berfimbria
ke dalam rongga peritoneum. Pada tahap ini, perdarahan mungkin berhenti dan
gejala akhirnya mereda. Perdarahan biasanya tetap terjadi selama produk berada
di tuba uterina. Darah secara perlahan menetes dari fimbria tuba ke dalam rongga
peritoneum dan biasanya berkumpul di cul-de-sac rektouterus. Jika ujung tuba
yang berfimbria tersebut tersumbat, tuba uterine dapat secara perlahan teregang
oleh darah, membentuk hematosalpings (Cunningham, 2012).
Abortus tuba (Widjanarko, 2009)
 Ruptur Tuba
Produk konsepsi yang menginvasi dan membesar dapat menyebabkan ruptur
tuba uterina atau tempat lain. Sebagai patokan, jika terjadi ruptur tuba pada
beberapa minggu pertama yakni 6-8 minggu, biasanya kehamilan terletak di
bagian ismus tuba. Apabila ruptur tuba pada minggu ke 8-12, kehamilan baisanya
terletak di bagian pars ampularis, dan 12-16 minggu biasanya pada ruptur
kehamilan interstisial. Jika ovum yang telah dibuahi tertanam jauh ke dalam
bagian interstisium, maka ruptur biasanya spontan, tetapi kadang terjadi setelah
koitus atau pemeriksaan bimanual. Biasanya timbul gejala dan sering dijumpai
tanda-tanda hipovolemia (Cunningham, 2012; Decherney &Nathan, 2003).

Gambar Ruptur kehamilan tuba ampula dini (Cunningham, 2012).


Faktor utama yang menyebabkan ruptur adalah penembusan vili korialis ke dalam
lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Dalam hal ini akan terjadi perdarahan dalam
rongga perut, kadang-kadang sedikit, kadang-kadang banyak, sampai menimbulkan syok
dan kematian. Bila pseudokapsularis ikut pecah, maka terjadi pula perdarahan dalam
lumen tuba. Darah dapat mengalir ke dalam rongga perut melalui ostium tuba abdominal
(Prawihardjo, 2010).

Gambar Perjalanan lanjut ruptur tuba (Widjanarko, 2009)


Bila pada abortus dalam tuba ostium tersumbat, ruptur sekunder dapat terjadi. Dalam
hal ini dinding tuba, yang telah menipis oleh invasi trofoblas pecah, karena tekanan dara
dalam tuba. Kadang-kadang ruptur terjadi di arah ligamentum itu. Jika janin hidup terus,
terdapat kehamilan intraligamenter (Prawihardjo, 2010).
Pada ruptur ke rongga perut seluruh janin dapat keluar dari tuba, tetapi bila robekan
tuba kecil, perdarahan terjadi tanpa hasil konsepsi dikeluarkan dari tuba. Perdarahan dapat
berlangsung terus sehingga penderita akan cepat jatuh dalam keadaan anemia atau syok
oleh karena hemoragia. Darah tertampung pada rongga perut akan mengalir ke kavut
douglasi yang makin lama makin banyak dan akhirnya dapat memenuhi rongga abdomen.
Bila penderita tidak dioperasi dan tidak meninggal karena perdarahan, nasib janin
bergantung pada kerusakan yang diderita dan tuanya kehamilan. Bila janin mati dan masih
kecil, dapat diresorbsi seluruhnya, bila besar, dapat diubah menjadi litopedion
(Prawihardjo, 2010).
Janin yang dikeluarkan dari tuba dengan masih diselubungi oleh kantong amnion dan
dengan pasenta masih utuh, kemungkinan tumbuh terus dalam rongga perut, sehingga
akan terjadi kehamilan abdominal sekunder. Untuk mencukupi kebutuhan makanan janin,
plasenta dari tuba akan meluaskan implantasinya ke jaringan sekitarnya, misalnya ke
sebagian uterus, ligamentum latum, dasar panggul, dan usus (Prawihardjo, 2010).
Kehamilan tuba dapat berupa kehamila tubo-uterina yaitu kehamilan yang asalnya
dari interstisial tetapi kemudian tumbuh ke dalam cavum uteri. Dapat juga berupa tubo-
abdominal, yaitu kehamilan yang asalnya dari ujung tuba dan kemudian tumbuh ke dalam
cavum peritoneal. Kemudian kehamilan tuboovarial yaitu kehamilan yang asalnya dari
ovarium atau tuba, tetapi kemudian kantongnya terdiri dari jaringan tuba maupun ovarium
(Cunningham, 2005).
B. Kehamilan Abdomen
Kehamilan abdominal merupakan salah satu varian dari kehamilan ektopik yang
jarang dijumpai tetapi mengancam jiwa. Hal tersebut terjadi bila kantong kehamilan
berimplantasi di luar uterus, ovarium dan tuba Fallopi. Kehamilan abdominal dapat dibagi
menjadi dua, yaitu kehamilan abdominal primer dan kehamilan abdominal sekunder.
Kehamilan abdominal primer lebih jarang terjadi dibanding yang sekunder, diagnosisnya
harus memenuhi kriteria, yaitu: tuba Fallopi dan ovarium dalam keadaan normal, tidak
adanya fistula dari uterus yang ruptur, perlekatan hasil konsepsi hanya pada peritoneum.
Kehamilan abdominal sekunder terjadi bila plasenta dari kehamilan di tuba, kornu dan
uterus meluas dan melekat pada jaringan serosa sekitarnya (Kun, et al, 2007)
Secara khas kehamilan abdominal berawal dari kehamilan ektopik lainnya, yang
menyebar keluar dari tuba dan melekat pada jaringan di sekitarnya, tetapi dapat juga
terjadi akibat ruptur bekas insisi seksio Caesaria (Sepilian, 2007).
Untuk mendiagnosis kehamilan abdominal bukanlah hal yang mudah. Langkah
pertama untuk mendiagnosis adalah dengan anamnesa, pada kehamilan abdominal primer
bila ditemukan gejala nyeri atau kram pada abdomen dan perdarahan vagina kita harus
curiga, sayangnya tidak semua perempuan menunjukkan gejala yang khas seperti itu. 6
Pada kasus ini, penderita datang karena rasa nyeri pada abdomen, tetapi tidak mengalami
perdarahan pervaginam. Pada kehamilan abdominal sekunder tanda yang harus kita
curigai adalah nyeri perut yang berulang, mual muntah yang terjadi pada trimester kedua
dan ketiga, gerakan janin yang menimbulkan rasa sakit pada ibu, bagian janin mudah
diraba dan presentasi janin yang tidak normal (Kun, et al, 2007).
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan serum dan urin
HCG. Pemeriksaan kadar HCG serial dapat membedakan kehamilan ektopik dengan
kehamilan intrauterin normal. Pada usia kehamilan 6-7 minggu, kadar HCG serum
meningkat dua kali lipat pada kehamilan intrauterin normal. Peningkatan ≤ 66% dijumpai
pada 85% kehamilan yang non viable. Bila pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan
kavum uteri yang kosong, haltersebut menandakan adanya kehamilan ektopik. Tetapi
pemeriksaan serial tersebut tidak memberi keuntungan klinis karena memperlambat
penegakkan diagnosis, berakibat tingginya komplikasi yang dapat terjadi. Pemeriksaan
kadar serum progesteron juga dapat membedakan kehamilan intrauterin normal dan
kehamilan yang abnormal, kadar serum progesteron yang terlalu tinggi atau terlalu rendah
curiga adanya kehamilan ektopik. Dari sebuah studi yang besar, kadar progesterone
>25ng/ml menyingkirkan diagnosis kehamilan ektopik dengan sensitifitas 97,4%. Kadar
progesteron ≤ 5ng/ml menyingkirkan kehamilan intrauterin normal dengan sensitivitas
100%. Progesteron juga bermanfaat untuk menentukan prognosis, bila kadarnya
<10ng/ml dan kadar HCG <1500 IU/ml menandakan resolusi spontan dari kehamilan
ektopik. Bila dikombinasi dengan pemeriksaan HCG, untuk konfirmasi adanya kantong
kehamilan intrauterine, kelemahan USG abdomen pada kehamilan awal sulit untuk
memvisualisasi adanya kantong kehamilan, tetapi dengan adanya USG pervaginam, yang
memiliki resolusi yang lebih tinggi sehingga kehamilan intrauterine sudah dapat terlihat
24 hari pascaovulasi atau 38 hari setelah menstruasi terakhir, dimana satu minggu lebih
awal dari USG abdominal (Kun, et al, 2007).
Prosedur diagnostik lain yang dapat menyingkirkan diagnosa kehamilan ektopik
adalah dilatasi dan kuretase, prosedur ini hanya dapat dilakukan bila kehamilan tidak lagi
diinginkan. Setelah pemeriksaan kadar HCG dan progesteron ditemukan hasil yang
abnormal, dilakukan kuretase, bila terdapat villi pada jaringan yang diambil menandakan
adanya kehamilan intrauterine yang tidak viable, bila tidak terdapat villi menandakan
adanya kehamilan ektopik (Kun, et al, 2007).
C. Kehamilan Ovarium
Kehamilan ovarial primer sangat jarang terjadi. Diagnosis kehamilan tersebut
ditegakkan atas dasar 4 kriteria dari Spiegelberg, yakni (Prawihardjo, 2010):
- Tuba pada sisi kehamilan harus normal
- Kantong janin harus berlokasi pada ovarium
- Kantong janin dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum ovary proprium
- Jaringan ovarium yang nyata harus ditemukan dalam dinding kantong janin
Diagnosis yang pasti diperoleh bila kantong janin kecil dikelilingi oleh jaringan
ovarium dengan trofoblas memasuki alat tersebut. Pada kehamilan ovarial biasanya terjadi
ruptur pada kehamilan muda dengan akibat perdarahan dalam perut. Hasil konsepsi dapat
pula mengalami kematian sebelumnya sehingga tidak terjadi rupture, ditemukan benjolan
dengan berbagai ukuran yang terdiri atas ovarium yang mengandung darah, vili korialis dan
mungkin juga selaput mudigah (Prawihardjo, 2010)
D. Kehamilan Serviks
Kehamilan servikal juga sangat jarang terjadi. Bila ovum berimplantasi dalam kavum
servikalis, maka akan terjadi perdarahan tanpa nyeri pada kehamilan muda. Jika
kehamilan berlangsung terus, serviks membesar dengan ostium uteri eksternum terbuka
sebagian. Kehamilan servikal jarang melampaui 12 minggu dan biasanya diakhiri secara
operatif oleh karena perdarahan. Pengeluaran hasil konsepsi pervaginam dapat
menyebabkan banyak perdarahan, sehingga untuk menghentikan perdarahan diperlukan
histerektomi totalis (Prawihardjo, 2010)
Rubin (1911) mengajukan kriteria kehamilan servikal sebagai berikut (Prawihardo,
2010):
- Kelenjar serviks harus ditemukan di seberang tempat implantasi plasenta
- Tempat implantasi plasenta harus di bawah arteria uterine atau di bawah
peritoneum visceral uterus.
- Janin/mudigah tidak boleh terdapat di daerah korpus uterus
- Implantasi plasenta di serviks harus kuat
Paalman dan Mc ellin (1959) membuat kriteria klinik sebagai berikut (Prawihardjo,
2010):
- Ostium uteri internum tertutup
- Ostium uteri eksternum terbuka sebagian
- Seluruh hasil konsepsi terletak dalam endoservik
- Perdarahan uterus setelah fase amenore tanpa disertai rasa nyeri
- Serviks lunak, membesar, dapat lebih besar dari fundus uteri, sehingga
terbentuk hour-glass uterus

2.2.6. MANIFESTASI KLINIS


Trias gejala dan tanda dari kehamilan ektopik adalah riwayat keterlambatan haid atau
amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal (60-80%), nyeri abdominal atau pelvik (95%).
Biasanya kehamilan ektopik baru dapat ditegakkan pada usia kehamilan 6 – 8 minggu saat
timbulnya gejala tersebut di atas. Gejala lain yang muncul biasanya sama seperti gejala pada
kehamilan muda, seperti mual, rasa penuh pada payudara, lemah, nyeri bahu, dan
dispareunia. Selain itu pada pemeriksaan fisik didapatkan pelvic tenderness, pembesaran
uterus dan massa adneksa.3
1. Nyeri
Nyeri dirasakan biasanya pada perut bagian bawah, yang disebabkan karena distensi
tuba. Nyeri abdomen dapat disertai hemoperitoneum, nyeri pleuritik atau nyeri bahu
yang disebabkan karena iritasi diafragma 3.

2. Perdarahan abnormal
Kebanyakan wanita dengan kehamilan ektopik mengalami amenorrhea, dan hanya
seperempat saja yang tidak mengalami amenorrhea 4. Amenorrhea yang terjadi,
diikuti dengan perdarahan yang berupa perdarahan berwarna coklat gelap, dapat
terjadi intermitten ataupun kontinyu 1.

3. Perubahan uterus
Uterus mungkin dapat terdorong ke salah satu sisi karena massa ektopik atau karena
ligamen yang terisi oleh darah. Pada 25 % wanita, uterus membesar sesuai dengan
stimulasi hormon selama kehamilan. Ditemukannya desidua uterus tanpa trofoblas
dapat merupakan tanda kehamilan ektopik namun tidak absolut. 4

4. Massa Adneksa
Terabanya massa adneksa dilaporkan pada 40% kasus. 3
Massa biasanya teraba
dengan konsistensi lunak dan disertai nyeri. 4

2.2.7. DIAGNOSA DAN PEMERIKSAAN KLINIS


Kesukaran membuat diagnosis yang pasti pada kehamilan ektopik belum terganggu
demikian besarnya sehingga sebagian besar penderita mengalami abortus tuba atau ruptur
ruba sebelum keadaan menjadi jelas. Alat bantu diagnostik yang dapat digunakan ialah
ultrasonografi (USG), laparoskopi atau kuldoskopi (Prawihardjo, 2010).
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada jenis mendadak tidak banyak mengalami
kesukaran, tetapi pada jenis menahun atau atipik bisa sulit sekali. Untuk mempertajam
diagnosis, maka pada tiap perempuan dalam masa reproduksi dengan keluhan nyeri peru
bagian bawah atau kelainan haid, kemungkinan kehamilan ektopik harus difikirkan. Dari
hasil anamnesis didapatkan haid biasanya terlambat untuk beberapa waktu dan kadang-
kadang terdapat gejala subjektif kehamilan muda. Nyeri perut bagian bawah, perdarahan
pervaginam terjadi setelah nyeri perut bagian bawah (Prawihardjo, 2010).
Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan baik difus maupun lokal
serta adanya nyeri goyang. Pada palpasi di temukan adanya massa adneksa unilateral, dan
perubahan uterus dimana uterus teraba lembut dan ukurannya meningkat (Decherney
&Nathan, 2003).
Dalam penegakkan diagnosis kehamilan ektopik, diperlukan pula pemeriksaan
penunjang, yaitu:
a. Laboratorium
- Hemogram
Pemeriksaan hemoglobin dan jumlah sel darah merah berguna dalam
menegakkan diagnosis kehamilan ektopik terganggu, terutama bila ada tanda-
tanda perdarahan dalam rongga perut. Bila ada penurunan hemoglobin dan
hematokrit dapat mendukung diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Pada
kasus tidak mendadak biasanya ditemukan anemia, tetapi harus diingat bahwa
penurunan hemoglobin baru terlihat setelah 24 jam. Perhitungan leukosit
secara berturut menunjukkan adanya perdarahan bila leukosit meningkat
(leukositosis) dengan derajat bervariasi hingga 30.000/µl. Untuk membedakan
kehamilan ektopik dari infeksi pelvik dapat diperhatikan jumlah leukosit.
Jumlah leukosit yang lebih dari 20.000 biasanya menunjukkan infeksi pelvic
(Prawihardjo, 2010).
- Human Chorionic Gonadotropin (β-hCG)
β-hCG penting untuk mendiagnosis ada tidaknya kehamilan. Cara yang
paling mudah ialah dengan melakukan pemeriksaan konsentrasi hormon β
human chorionic gonadotropin (β-hCG) dalam urin atau serum. Hormon ini
dapat dideteksi paling awal pada satu minggu sebelum tanggal menstruasi
berikutnya. Konsentrasi serum yang sudah dapat dideteksi ialah 5 IU/L,
sedangkan pada urin ialah 20–50 IU/L. Tes kehamilan negatif tidak
menyingkirkan kemungkinan kehamilan ektopik terganggu karena kematian
hasil konsepsi dan degenerasi trofoblas menyebabkan human chorionic
gonadotropin menurun dan menyebabkan tes negatif. Tes kehamilan positif
juga tidak dapat mengidentifikasi lokasi kantung gestasional. Meskipun
demikian, wanita dengan kehamilan ektopik cenderung memiliki level β-hCG
yang rendah dibandingkan kehamilan intrauterine
b. Kuldosintesis
Kuldosentesis ialah suatu cara pemeriksaan untuk mengetahui apakah
terdapat darah dalam kavum Douglas. Cara ini sangat berguna untuk membuat
diagnosis kehamilan ektopik terganggu. Teknik kuldosentesis yaitu
(Prawihardjo, 2010):
 Penderita dibaringkan dalam posisi litotomi.
 Vulva dan vagina dibersihkan dengan antiseptic
 Spekulum dipasang dan bibir belakang porsio dijepit dengan
tenakulum, kemudian dilakukan traksi ke depan sehingga
forniks posterior ditampakkan
 Jarum spinal no.18 ditusukkan ke dalam kavum douglas dan
dengan semprit 10 ml dilakukan pengisapan.

Gambar 4. Teknik kuldosintesis ((Decherney &Nathan, 2003)


Hasil positif bila dikeluarkan darah berwarna coklat sampai hitam yang
tidak membeku atau berupa bekuan-bekuan kecil.
Hasil negatif bila cairan yang dihisap berupa :
 Cairan jernih yang mungkin berasal dari cairan peritoneum normal
atau kista ovarium yang pecah.
 Nanah yang mungkin berasal dari penyakit radang pelvis atau radang
appendiks yang pecah (nanah harus dikultur).
 Darah segar berwarna merah yang dalam beberapa menit akan
membeku, darah ini berasal dari arteri atau vena yang tertusuk.
c. Pemeriksaan USG
Dari beberapa penelitian melaporkan trans vaginal sonografi lebih
superior dibandingkan dengan trans abdominal lsonografi. Trans vagina
lsonografi seharusnya dilakukan pada semua pasien dengan kecurigaan
kehamilan ektopik, khususnya jika dengan trans abdominal sonografi tidak
dapat mendiagnosis. Dari satu penelitian, melaporkan sensitivitas dan
spesifitas transabdominal sonografi dalam mendiagnosis adanya kehamilan
ektopik adalah 82 % dan 92 %. Sedangkan penelitian lain yang mencari
akurasi dari transvaginal sonografi dalam mendeteksi kehamilan ektopik,
mendapatkan hasil sensitivitas dan spesifitas adalah 90, 9 % dan 99 %
(Condous et al, 2005).
Gambaran USG kehamilan ektopik sangat bervariasi, tergantung pada
usia kehamilan, ada tidaknya gangguan kehamilan (ruptur, abortus), serta
banyak dan lamanya perdarahan intra abdomen. Diagnosis pasti kehamilan
ektopik secara USG hanya bisa ditegakkan bila terlihat kantong gestasi berisi
mudigah atau janin yang letaknya di luar kavum uteri, namun sayangnya
gambaran ini hanya bisa dijumpai pada 5-10 % kasus (Rachimhadhi, 2005).
Morfologi kehamilan ektopik dapat diklasifikasikan kedalam 5
kategori: kantong gestasional dengan embrio hidup, kantong dengan embrio
namun tidak ada denyut jantung janin, kantong berisi yolk sac, kantong
gestasional kosong dan pembengkakan tuba padat. Tiga tipe morfologi yang
pertama sangat spesifik untuk mendiagnosis kehamilan ektopik
Gambaran lain dari USG yang mengarah ke kehamilan ektopik adalah
(Rachimhadhi, 2005):
 Pseudogestational sac
Sebagian besar kehamilan ektopik tidak memberikan
gambaran yang spesifik. Uterus mungkin besarnya normal atau
mengalami sedikit pembesaran yang tidak sesuai dengan usia
kehamilan. Endometrium menebal echogenik sebagai akibat
reaksi desidua. Cavum uteri sering berisi cairan eksudat yang
diproduksi oleh sel-sel desidua, yang pada pemeriksaan terlihat
sebagai cincin anechoic yang disebut kantong gestasi palsu (
pseudogestational sac ). Berbeda dengan kantong gestasi yang
sebenarnya, kantong gestasi palsu letaknya simetris di cavum
uteri dan tidak menunjukkan struktur ganda.
 Massa adnexa
Seringkali dijumpai massa di daerah adnexa, yang
gambarannya sangat bervariasi. Bisa terlihat kantong gestasi
yang masih utuh dan berisi mudigah, mungkin hanya berupa
massa echogenik dengan batas ireguler, atau pun massa
kompleks yang terdiri dari bagian echogenik dan anechoic.
Gambaran massa yang tidak spesifik ini mungkin sulit
dibedakan dari gambaran yang disebabkan oleh peradangan
adneksa, tumor ovarium atau pun massa endometrium.
 Cairan bebas intraabdominal
Adanya cairan bebas intraabdominal adalah salah satu
karakter yang meningkatkan kemungkinan terjadiny
akehamilan ektopik. Cairanbebas echogenik harus menjadi
perhatian karena ini mengindikasikan adanya hemoperitoneum,
berbeda dengan cairan fisiologis pelvis yang anechoic karena
ovulasi.Deteksi cairan bebas echogenik dilaporkandalam 28 %
sampai 56 % pasien dengan kehamilan ektopik. Kadang-kadang
hemoperitoneum bisa terlihat seperti kumpulan cairan
anechoic. Tidak ada ketentuan berapa jumlah cairan yang harus
dipenuhi dalam menegakkan diagnosis, tetapi semakin banyak
jumlah cairan, kemungkinan terjadinya kehamilan ektopik
semakin besar. Walaupun, kadang-kadang cairan peritoneal
dalam jumlah kecil bisa terjadi pada kehamilan normal yang
berasal dari corpus luteum yang normal.
 Tubal ring
Ini adalah struktur kistik berdinding tebal di adneksa,
tidak tergantung pada ovarium dan uterus, dan ini menunjukkan
prediksi yang tinggi untuk terjadinya kehamilan ektopik. Ini
kadang-kadang mirip dengan kista korpus luteum jika ovarium
tidak tervisualisasi dengan baik. Kista korpus luteum
dindingnya lebih tipis dan kurang echogenik dibandingkan
dengan endometrium, dan kista berisi cairan lebih jernih. Jika
dikelilingi oleh cairan bebas, ini kadang-kadang mirip dengan
kista ovarium hemoragik. Pada banyak kasus, sonografi bersifat
tidak diagnostic dan penatalaksanaan selanjutnya didasarkan
pada pemeriksaan kadar β-hCG. β -hCG dan ultrasonografi
saling melengkapi dalam mendeteksi kehamilan ektopik dan
sebagai deteksi awal. Kantong intaruterus harus terlihat dengan
USG Transvaginal ketika β -hCG hampir 1000 mlU/ml dan
dengan USG Transabdominal mendekati 1 minggu kemudian,
ketika β -hCG 1800-3600 mlU/ml. Ketika rongga uterus
kosong dan titer β -hCG diatas ambang ini, kehamilan ektopik
mungkin sekali terjadi. Adanya massa adneksa dengan uterus
kosong meningkatkan kecurigaan terhadap kehamilan ektopik
(Decherney &Nathan, 2003).
d. Laparoskopi
Laparoskopi hanya digunakan sebagai alat bantu diagnostik terakhir
untuk kehamilan ektopik apabila hasil penilaian prosedur diagnostik yang lain
meragukan. Melalui prosedur laparoskopik, alat kandungan bagian dalam
dapat dinilai. Secara sistematis dinilai keadaan uterus, ovarium, tuba, kavum
Douglas dan ligamentum latum. Adanya darah dalam rongga pelvis
mempersulit visualisasi alat kandungan tetapi hal ini menjadi indikasi untuk
dilakukan laparotomi (Prawihadjo, 2010).
Gambar. Salah satu alogaritma yang dianjurkan untuk evaluasi seorang wanita yang dicurigai
mengalami kehamilan ektopik (Cunningham, 2012).

2.2.8. DIAGNOSA BANDING


1. Salpingitis
Gejalanya serupa tetapi pada hasil laboratorium, tes kehamilan terbukti negatif,
adanya peningkatan AL dan juga adanya peningkatan suhu.

2. Aborsi threatened
Perdarahan lebh hebat, nyeri lebih terlokalisasi pada perut tengah bawah.
Ditemukannya kista korpus luteum dapat membingungkan dalam menentukan
diagnosis.

3. Appendisitis
Tidak didapatkan amenorrhea ataupun perdarahan pervaginam. Nyeri pada kuadran
kanan bawah abdomen cenderung menetap, dengan disertai demam, dan gejala
gastrointestinal. Hasil tes kehamilan negatif.

4. Torsi Ovarii
Biasanya nyeri hilang timbul, tetapi dapat enetap apabila asupan vaskuler terpenuhi.
Dapat dijumpai peningkatan AL dan masssa adneksa yang dapat teraba. Hasil tes
kehamilan negatif. Lain – lain, misalnya perdarahan uterus disfungsional (biasanya
tidak nyeri dan perdarahan lebih hebat dibanding dengan kehamilan ektopik), kista
korpus luteum yang menetap, penggunaan IUD, gastroenteritis, atau infeksi traktus
urinarius.4

2.2.9. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi
kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari
penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan
kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi
baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant
management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah (2005).
a. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien
pada kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar β-hCG. Penurunan kadar
β-hCG diobservasi ketat dengan penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini
dengan kadar stabil atau cenderung turun. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan
kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan
ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan ektopik dengan kadar
β-hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak ada perdarahan intraabdominal atau
ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber lain
menyebutkan bahwa kadar β-hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL, dan
diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan
ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba (Lozeau, 2005).
b. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas
jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus
memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri
perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga
abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan
kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-
penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang
koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak
memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas
beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis (Lozeau, 2005).
 Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk
terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit
trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila
diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan
dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi
kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk
kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi
methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar
dan profil darah yang normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara
umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan
meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil
konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa
bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan
pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan.
Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu
diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin
menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang.
Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang
harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis,
gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor
keberhasilan terapi dengan methotrexate yang disebutkan dalam literatur
antara lain kadar -hCG, progesteron, aktivitas jantung janin, ukuran massa
hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum.
Namun disebutkan dalam sumber lain bahwa hanya kadar -hCG-lah yang
bermakna secara statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi,
pemeriksaan -hCG serial dibutuhkan.
Pada hari-hari pertama setelahdimulainya pemberian methotrexate, 65-
75% pasien akan mengalami nyeri abdomenyang diakibatkan pemisahan
hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma
yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik
nonsteroidal. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan
tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan
hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. Kadar -
hCG umumnya tidak berhasil terdeteksi lagi dalam 14-21 hari setelah
pemberian methotrexate. Setelah terapi β-hCG masih perlu diawasi setiap
minggunya hingga kadarnya dibawah 5 mIU/mL (Bader, 2005).
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis
multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular),
sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg
(intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi
dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen
pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada
hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya
memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi
methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui
injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis
untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu (Lozeau, 2005).

 Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena
selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien
dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya (Lozeau, 2005).
 Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan
alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan
kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa
hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya
injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan
dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga
alternatif ini jarang digunakan (Lozeau, 2005).

c. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan
tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan
ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada
2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan
konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana
salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal
sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan
tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila
pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan
per laparoskopi (Lozeau, 2005).
1. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada
prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil
konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera
terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi
umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian
dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur
ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi.
Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba
yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi
per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan
pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup
methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih
singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah.
Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka
kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda
secara bermakna (Lozeau, 2005).
2. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada
salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak
ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba
pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi (Lozeau, 2005).
3. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun
yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun
laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1)
kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan
fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan
rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan
sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang,
8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan
pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih
daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut
dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada
kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk
menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba
antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya
(stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan
arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari
mesosalping (Lozeau, 2005).
4. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari
fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah
tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong
dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi
berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan
(Lozeau, 2005).

2.2.10. PROGNOSIS
1. Bagi kehamilan berikutnya
Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca
penyakit radang panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami
kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami
kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang lain.

2. Bagi ibu
Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup
penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose. 7
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN


Nama : Ny. Repisi
Usia : 30 tahun
Alamat : Jl. Rimbo besar
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Status : Menikah
Tanggal masuk RS : 16 – 11 – 2018, pukul 20.20

3.2. ANAMNESA ( IGD )


1) Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri ulu hati
2) Riwayat Perjalan Penyakit
Pasien datang ke IGD RSUD Hasanuddin Damrah dengan keluhan nyeri ulu hati.
Hal ini sudah dirasakan pasien sejak ± 1 minggu yang lalu.
Selama 1 minggu terakhir pasien juga merasakan mual muntah yang disertai rasa
lemas saat melakukan aktifitas. Keluhan nyeri dada disangkal pasien. BAK dan
BAB tidak mengalami perubahan hanya nafsu makan yang berkurang.
3) Keluhan Penyakit Terdahulu dan Obat - obatan
Riwayat penyakit terdahulu :
DM (-)
HT (-)
Riwayat minum jamu – jamuan (-)
4) Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit yang sama dalam keluarga.
5) Riwayat Sosio – Ekonomi
Pasien adalah seorang ibu rumah tangga
Suami adalah seorang pegawai
3.3. Pemeriksaan Fisik (IGD)
Keadaan umum : Tampak sakit, lemah
Kesadaran : Compos mentis ( E : 4, V : 5, M : 6, GCS : 15 )
Vital Sign dan Keadaan Umum
TD : 70/40 mmhg Rr : 28x/menit
Hr : 66x/ menit Temp : 37,1oC
Pemeriksaan Fisik
Kepala : Dalam batas normal
Mata : conjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-)
Tht : Dalam batas normal
Leher : Dalam batas normal
Dada : jantung : bunyi jantung I & II reguler, murmur (-)
: Paru : vesikuler, Rh (-), Wheezing (-)
Abdomen : bising usus (+), nyeri epigastric (+), nyeri suprapubik (+)
Punggung : Dalam batas normal
Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas : Dalam batas normal

3.4. Pemeriksaan Penunjang (IGD)


I. Pemeriksaan laboratorium
Hematologi (16-11-2018) pukul 20.30 WIB
Hb : 9,6 g/dl (11 - 17 g/dl)
WBC : 10,3 K/uL (4 - 12 K/uL)
PLT : 489 K/uL (150 – 400 K/uL)
Hct : 28 % (35,0-55,0)

Kimia Klinik (16-11-2018)


HbsAg : Tdp
Anti-HIV : Tdp

3.5. Diagnosis
Epigastric pain e.c non cardiac/cardiac + muntah profuse + susp. ISK + susp. Anemia

3.6. Tatalaksana (IGD)


 IVFD RL 20 gtt/menit
 Inj. Ranitidin 1 amp/12 jam
 Inj. Ondansentron 1amp/ 12jam
 Inj. Metoclorpramide 1amp/ 8 jam
 Inj. Metamizole 1 amp/8 jam
 Sukralfat syr 3x1cc
 Konsul penyakit dalam

3.7. Prognosis
 Ad vitam : dubia ad bonam
 Ad functionam : dubia ad malam
 Ad sanactionam : dubia ad malam

3.8. Follow Up
a. 16 – 11 -2018 (pukul 21.30), Rawat alih ke Penyakit Dalam :
S : mual-mual setelah minum obat dari igd
O :
- Td; 80/60 mmhg; Hr: 62x/menit
- URINALISA
KETERANGAN HASIL NILAI NORMAL
WARNA KUNING KUNING MUDA
KEJERNIHAN Keruh Jernih
PROTEIN Negatif Negatif
GLUKOSA Negatif Negatif
BILIRUBIN Negatif Negatif
UROBILINOGEN Negatif Negatif
Ph 6,0 4,8 – 7,8
BERAT JENIS 1.030 g/mL 1.015 – 1.025
NITRIT Negatif Negatif
KETON Negatif Negatif
BLOOD Negatif Negatif
LEUKOSIT Negatif Negatif
Mikroskopik (sedimen)
Leukosit 4-6 0 – 4/LPB
Eritrosit 2-4 0 – 1/LPB
Sel epitel (+) post banyak Beberapa/ 5 – 15/LPB
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif 0/LPB

A : Syok anafilaktif, vertigo


P :
- O2 4 L
- IVFD 2 jalur
- Inj. Epinefrin 0,3 cc
- Inj. Dexametason 1 amp/12 jam
- Ctm 2x4mg

b. 16 – 11 – 2018 ( pukul 22.00), Bangsal Penyakit Dalam


S : Nyeri seluruh lapang perut, demam (+), muntah (+)
O :
- TD: 100/60mmhg
- HR : 110x/menit
- RR : 22x/menit
- Temp : 38oC
A :
- Susp. Akut Abdomen ec?
- Vomitus Profuse
P :
- Konsul Penyakit Dalam
- Drip KCL 1 Fls dalam NS 20 gtt/menit ( Jalur I )
- Inj. Cefotaxime / 8 jam
- Inj. Metamizole 1 amp/ 8jam
- Inj. Esomax / 24 jam
- Inj.Ranitidin ( Stop)
- Ekg ulang
- Cek PP test

c. 17 – 11 – 2018 (pukul 01.00), Bangsal Penyakit Dalam


Laporan hasil lab :
- Darah rutin
Keterangan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 5,7 gr/dl L : 13-17 ; P : 12-16
Hitung jenis Leukosit
Basofil 0 0–1
Eosinofil 0 2–4
Stab 0 2 -5
Segmen 72 51 – 67
Limfosit 21 20 – 35
Monosit 7 4–8

- Urinalisa
KETERANGAN HASIL NILAI NORMAL
WARNA KUNING KUNING MUDA
KEJERNIHAN Keruh Jernih
PROTEIN Negatif Negatif
GLUKOSA Negatif Negatif
BILIRUBIN Negatif Negatif
UROBILINOGEN Negatif Negatif
Ph 6,0 4,8 – 7,8
BERAT JENIS 1.030 g/mL 1.015 – 1.025
NITRIT Negatif Negatif
KETON Negatif Negatif
BLOOD Negatif Negatif
LEUKOSIT Negatif Negatif
Mikroskopik (sedimen)
Leukosit 4–6 0 – 4/LPB
Eritrosit 2–4 0 – 1/LPB
Sel epitel (+) post banyak Beberapa/ 5 – 15/LPB
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif 0/LPB

- Test Kehamilan
o PP Test (+)
- Ahli Rawat ke bagian Obgyn
- Transfusi WB 1 kolf
- Rencanakan USG
- Ivfd 2 jalur 40 gtt/menit (makro)

d. 17 – 11 – 2018, Rawat alih ke bagian Obsgyn


S : nyeri perut mendadak, haid terakhir Juli 2018
O :
- Sensorium : CM
- TD : 100/70mmhg Rr : 24x/menit
Hr : 120x/menit Temp : 36,5oC
- Konjungtiva anemis (+/+)
- Pemeriksaan Luar :
o Abdomen tegang
o Nyeri tekan lepas (+)
- VT :
o Portio lunak, posisi anterior, OUE tertutup
o Fluxus (+), darah tidak aktif
o Nyeri goyang portio (+)
o Ap kanan & kiri tegang
o Cavum douglas menonjol (+)
- USG :
o Uterus AF, endometrial line (+)
o Cairan bebas intraperitoneal (+)
o Massa kompleks di adneksa kiri dengan hematokel di cavum douglas
Gambar. USG 1

Gambar. USG 2

Gambar. USG 3
Gambar. USG 4
A : Kehamilan Ektopik Terganggu + anemia berat
P :
- Laparotomi Eksplorasi
o Laporan Operasi : Ruptur Tuba Fallopi pars ampularis sinistra
kemudian dilakukan Salpingektomi Sinistra
- Inj. Cefotaxime 1 gr
- Rencana transfusi PRC 5 kolf

e. 17 – 11 – 2018, ( pukul 06.30 wib) Bangsal Kebidanan


S : lemah
O :
- Sens : CM
- TD : 90/60 mmhg
- HR : 90x/menit
- RR : 22x/menit
- Temp : afebris
- Abdomen lemas
A : post salpingektomi sinistra e.c KET dengan Anemia Berat
P :
- IVFD RL + 1amp ketorolac 30 gtt/ menit
- Inj. Cefotaxime 1 gr/ 12 jam
- Pronalgess supp 2/ 12jam
- Transfusi PRC sampai Hb > 8 gr/dl
- Cek Hb post operasi
- Diet lunak setelah bising usus (+) dan ps sadar penuh.

f. 17 – 11 – 2018 (pukul 09.00), bangsal Kebidanan


S : lemah
O :
- Sens : CM
- TD : 110/70 mmhg
- HR : 80x/menit
- RR : 20x/menit
- Temp : 36,4 c
- Abdomen lemas, bising usus (-)
- Hb post operasi :
Keterangan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 6,3 gr/dl L : 13-17 ; P : 12-16

A : post salpingektomi sinistra e.c KET dengan Anemia Berat


P :
- IVFD RL + 1amp ketorolac 30 gtt/ menit
- Inj. Cefotaxime 1 gr/ 12 jam
- Pronalgess supp 2/ 12jam
- Transfusi PRC 4kolf sampai Hb > 8 gr/dl
- Diet lunak setelah bising usus (+) dan ps sadar penuh

g. 18 – 11 – 2018 (pukul 08.35), bangsal Kebidanan


S : lemas
O :
- Sens : CM
- TD : 100/70 mmhg
- HR : 80x/menit
- RR : 20x/menit
- Temp : 36,4 c
- Abdomen lemas, bising usus (-)
- Pemeriksaan Hb :
Keterangan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 9,0 gr/dl L : 13-17 ; P : 12-16

A : post salpingektomi sinistra e.c KET dengan Anemia


P :
- IVFD RL 20 gtt/ menit
- Clindamycin 3x300mg
- Meloxicam 2x7,5mg
- Neurodex 1x1
- Transfusi PRC 2 kolf lagi sampai Hb > 8 gr/dl
- Diet lunak

h. 19 – 11 – 2018 (pukul 08.30), bangsal Kebidanan


S : saat ini tidak ada
O :
- Sens : CM
- TD : 110/70 mmhg
- HR : 80x/menit
- RR : 24x/menit
- Temp : 36,4 c
- Abdomen lemas, bising usus (-)
- Pemeriksaan Hb :
Keterangan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 9,4 gr/dl L : 13-17 ; P : 12-16

A : post salpingektomi sinistra e.c KET dengan Anemia


P :
- Clindamycin 2x300mg
- Asam mefenamat 3x500mg
- Kontrol ulang 7 hari
BAB IV
PEMBAHASAN

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang beresiko mengalami


kehamilan ektopik terganggu (KET) baik itu dari faktor tuba, abnormalitas dari zigot, faktor
ovarium, faktor hormonal dan faktor lain seperti penggunaan kontrasepsi IUD. Pada pasien
ini faktor resiko pasien adalah faktor hormonal. Faktor hormonal berkaitan dengan
penggunaan kontrasepsi hormonal. Pasien pada kasus ini menggunakan kontrasepsi hormonal
berupa suntikan 3 bulan. Kontrasepsi jenis ini merupakan kontrasepsi yang hanya
mengandung hormone progesteron dimana kontrasepsi yang hanya mengandung progesteron
dapat mengakibatkan pergerakan tuba melambat. Apabila terjadi pembuahan dapat
menyebabkan terjadinya kehamilan ektopik.
Diagnosis kehamilan ektopik terganggu (KET) ditegakkan dengan melihat tanda dan
gejala pada pasien serta pemeriksaan penunjang yang dilakukan. Pertama-tama pada tanda
dan gejala yang ada pada pasien. Pasien mengeluhkan nyeri hebat yang pada awalnya diperut
bagian kanan, kemudian rasa sakit menjadi menyeluruh di seluruh perut bagian bawah. Sakit
seperti ditusuk-tusuk, muncul secara tiba-tiba tanpa pencetus dan semakin lama dirasakan
semakin berat sehingga pasien merasa kesakitan saat perutnya dipegang. Nyeri juga diikuti
dengan rasa sesak. Pada ruptur, nyeri dapat timbul di mana saja di abdomen. Nyeri perut
terjadi secara tiba-tiba dan intensitasnya disertai dengan perdarahan yang menyebabkan
penderita pingsan dan masuk ke dalam syok. Rasa nyeri mula-mula terdapat pada satu sisi,
tetapi, setalah darah masuk ke dalam rongga perut, rasa nyeri menjalar ke bagian tengah atau
ke seluruh perut bawah. Darah dalam rongga perut dapat merangsang diafragma, sehingga
menyebabkan nyeri bahu.
Pada anamnesis, informasi lain yang yang mendukung terjadinya KET antara lain
perdarahan pervaginam berwarna merah kehitaman disertai nyeri perut bagian bawah. Pada
pemeriksaan fisik, informasi yang mendukung antara lain tanda rangsangan peritoneum
seperti nyeri tekan, nyeri lepas dan nyeri ketok pada abdomen yang positif, forniks posterior
yang menonjol dan nyeri pada penekanan serta nyeri pada pergerakan serviks uterus. Hasil
pemeriksaan kehamilan positif membuktikan adanya kehamilan pada pasien.

Gejala KET Abortus Kista Ovarium Infesi Pelvis


Amenorrhea + + - +
Perdarahan
+ Banyak - +
vaginal sedikit
Perdarahan
abdominal + - - -
banyak
Demam - + + -
Massa pelvis - + - -
Uterus sedikit
+ Membesar - -
membesar
Nyeri hebat + - + +/-
Anemia + +/- - -
Leukositosis
+ - - -
<20.000
PP test (+) + + - -
Sifting Dulnes + - - -

Dari hasil beberapa gejala dan pemriksaan fisik didapatkan hasil yang mengarah ke
kehamilan ektopik terganggu. Untuk memastikan diagnosis KET, maka pada pasien
dilakukan pemeriksaan USG. Temuan ultrasonografi pada kehamilan ektopik mencakup
adanya komplek massa (campuran padat dan kista), terutama di adneksa, cairan bebas di
kavum Douglasi, dan tidak adanya kantung kehamilan di dalam uterus pada ultrasonografi
transvaginal, khususnya jika kadar -hCG lebih dari 1000 hingga 2000 mU/mL. Diagnosis
pasti kehamilan ektopik secara USG hanya bisa ditegakkan bila terlihat kantong gestasi berisi
mudigah/janin hidup yang terletak di luar kavum uteri. Namun, gambaran ini hanya dijumpai
pada 3-10% kasus. Diagnosis juga dapat ditegakkan apabila pada ultrasonografi memberi
gambaran tidak adanya kantung kehamilan di dalam uterus dengan syarat kadar hCG lebih
dari 2.500 IU..
Penanganan awal pasien pada kasus ditujukan untuk menstabilkan hemodinamik
pasien. Ketika pasien datang, hasil pemeriksaan fisik memberi gambaran ancaman gangguan
hemodinamik, dibuktikan dengan peningkatan denyut nadi serta denyut nadi yang teraba
lemah, dan tekanan darah yang rendah. Dengan melihat adanya ancaman gangguan
hemodinamik serta adanya kecurigaan terjadinya perdarahan aktif di intra abdominal,
dikhawatirkan pasien akan jatuh pada kondisi syok hemoragik yang disebabkan perdarahan
aktif. Oleh karena itu, dilakukan pemberian cairan intravena pada dua jalur dengan cairan RL
dengan tetesan cepat (guyur) untuk memenuwhi volume intravaskular menggantikan
kehilangan darah hingga kondisi hemodinamik menjadi stabil, ditandai dengan perbaikan dari
denyut nadi. Selain itu karena Hb pasien hanya 5,7 g/dl maka, pemasangan infuse dua jalur
juga berfungsi untuk memasaukkan transfusi.
Dalam penanganan kasus ini, untuk menghindari kondisi pasien yang akan jatuh pada
kondisi syok, dilakukan tindakan operasi laparatomi segera. Salpingektomi merupakan
tindakan untuk mengangkat tuba pada sisi yang mengalami KET. Indikasi dari salpingektomi
antara lain sebagai berikut:
1. kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),
2. pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,
3. terjadi kegagalan sterilisasi,
4. telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya,
5. pasien meminta dilakukan sterilisasi,
6. perdarahan berlanjut pasca salpingotomi,
7. kehamilan tuba berulang,
8. kehamilan heterotopik, dan
9. massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Mengingat telah terjadinya KET pada pasien ditambah faktor penggunaan suntikan KB,
maka tidak menutup kemungkinan terjadinya KET pada kehamilan selanjutnya. Untuk itu
disarankan kepada pasien agar menggunakan kontrasepsi pil, dimana kontrasepsi pil tidak
hanya mengandung hormone progesterone, tetapi juga mengandung hormone estrogen.
Setelah selesai opereasi, pada pasien ditambah trasfusi sebanya 4 kolf untuk
menggantikan darah yang sudah keluar. Kemudian keesokan harinya di cek Hb ulang dan
didapatkan Hb pasien sudah meningkat menjadi 9,4 gr/dl sehingga sudah tidak perlu
ditambah trasnfusi darah kembali.
BAB V
KESIMPULAN

1. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada pasien didasarkan pada gejala dan tanda
pada pasien yakni perdarahan pervaginam serta nyeri abdomen akibat rangsangan
peritoneum dan didukung dari hasil tes kehamilan, dan pemeriksaan ultrasonografi
abdomen.
2. Hanya faktor hormonal yang dapat menjelaskan terjadinya KET pada pasien.
3. Penanganan KET pada pasien meliputi perbaikan hemodinamik, salpingektomi sinistra.
Penanganan tersebut sesuai dengan prinsip penatalaksanaan KET
DAFTAR PUSTAKA

Boston University. Female Genital Anatomy. [updated: Nov 26, 2002]. Available at:
http://www.bumc.bu.edu/sexualmedicine/physicianinformation/female-genital-anatomy/.
Accessed on May 6, 2013.

Cuningham, M. G., et al. 2005. Williams Obstetrics. Edisi 22. McGraw Hill
Company. New York. Hal: 253 – 63

Manuaba IBG. Pengantar Kuliah Obstetric. Jakarta: EGC; 2007. p. 716

Moechtar R. Sinopsis Obstetri, Obstetri Fisiologis dan Obstetri Patologi 2 nd ed.


Jakarta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 1998.

Rustam. Sinopsis Obstetri, Jilid 1. Jakarta: EGC; 1998. p. 226-95

Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro H, editors. Ilmu Kebidanan, 3rd ed.


Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. p. 31-44, 323-38.

Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro H, editors. Ilmu Kebidanan, 8th ed.


Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010. p. 487

Wiknjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T, editors. Ilmu Bedah Kebidanan, 8 th

ed. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2010. p. 200-203, 204-5.

Winknjosastro, H. Ilmu Kandungan. Jakarta: Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;


2009. p. 72-5

WebMD. Ectopic Pregnancy. [Updated: May 21 2009]. Avalaible at


http://www.webmd.com/baby/tc/ectopic-pregnancy-topic-overview?page=2 Accessed on 8
May 2013.

Anda mungkin juga menyukai