Disusun oleh :
dr. Arnold Christoper Siahaan
Pembimbing :
dr. Eka Putri, Sp.OG
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas Berkat dan
RahmatNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
“KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU”.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dokter pembimbing yaitu dr.
Eka Putri, Sp.OG yang telah membimbing dan mendidik penulis selama menjalani
program internsip di bagian Obstetri dan Ginekologi.
Akhir kata penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini, semoga laporan kasus ini
bermanfaat bagi kita semua.
Penulis
PENDAHULUAN
Kehamilan ektopik adalah suatu komplikasi dalam kehamilan dimana ovum yang
sudah dibuahi berimplantasi di jaringan lain selain dinding uterus. Kebanyakan kehamilan
ektopik terjadi pada tuba falopii (sehingga disebut kehamilan tuba). Implantasi dapat juga
terjadi pada cervix, ovarium, dan abdomen. 1,2,3
Lebih dari 30 tahun, insidensi kehamilan ektopik telah meningkat secara dramatis di
negara – negara industri. Insidensi yang dilaporkan bervariasi antara 100 – 175 per 100.000
wanita berusia 15 – 44 tahun. Yang terpenting, pada kasus kehamilan ektopik tercatat 10%
kasus dari seluruh kasus kehamilan yang berhubungan dengan kematian. 3,4
Penyebab paling utama gangguan transportasi hasil konsepsi pada tuba adalah infeksi
alat genitalia interna, desakan dari luar tuba, operasi pada tuba falopii, kelainan kongenital
alat reproduksi interna, migrasi intraperitoneal spermatozoa ataupun ovum, dan kelambatan
implantasi. 5
Trias gejala dan tanda dari kehamilan ektopik adalah riwayat keterlambatan haid atau
amenorrhea yang diikuti perdarahan abnormal (60-80%), nyeri abdominal atau pelvik (95%).6
Operasi pada kehamilan ektopik terganggu segera dilakukan setelah diagnosis dapat
dipastikan. Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup
penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose. 7
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Genitalia terdiri dari alat atau organ eksternal dan internal, sebagian besar terletak
dalam rongga panggul. Genitalia eksternal (sampai vagina) berfungsi sebagai alat kopulasi.
Genitalia internal berfungsi untuk ovulasi, fertilisasi ovum, transportasi blastocyst,
implantasi, pertumbuhan fetus dan kelahiran. Fungsi sistem reproduksi wanita dikendalikan
atau dipengaruhi oleh hormon-hormon seperti gondaotropin atau steroid dari poros hormonal
thalamus-hipothalamus hipofisis-adrenal-ovarium. Selain itu terdapat organ atau sistem
ekstragonad atau ekstragenital yang juga dipengaruhi oleh siklus reproduksi seperti payudara,
kulit daerah tertentu, pigmen dan sebagainya.[2]
Mons veneris adalah lapisan lemak di bagian anterior symphisis os pubis. Pada masa
pubertas daerah ini mulai ditumbuhi rambut kemaluan
Labia mayora adalah lapisan lemak lanjutan mons pubis ke arah bawah dan belakang,
banyak mengandung pleksus vena. Homolog embriologik dengan skrotum pada pria.
Ligamentum rotundum uteri berakhir pada batas atas labia mayora. Di bagian bawah
perineum, labia mayora menyatu dan mebentuk kommisura posterior).
Labia minora adalah lipatan jaringan tipis di balik labia mayora, tidak mempunyai
folikel rambut, banyak terdapat pembuluh darah dan otot polos yang menyebabkannya dapat
mengembang, ujung serabut saraf yang menjadikan labia minora sangat sensitif dan banyak
mengandung glandula sebasea. Ke depan kedua labia minor bertemu dan membentuk di atas
klitoris preputium klitoridis dan di bawah klitoris frenulum klitoridis. Ke belakang kedua
labia minora bersatu dan membentuk fossa navikulare.
Klitoris tertutup oleh preputium klitoridis, dan terdiri atas glans klitoridis, korpus
klitoridis, dan dua krura yang menggangtungkan klitoris ke os pubis. Homolog embriologik
dengan penis pada pria. Terdapat juga reseptor androgen pada clitoris. Banyak pembuluh
darah dan ujung serabut saraf sehingga klitoris menjadi sangat sensitif.
Vestibulum adalah daerah dengan batas atas clitoris, batas bawah fourchet, batas
lateral labia minora. Berasal dari sinus urogenital. Pada vestibulum, terdapat enam muara
lubang (orificium) yaitu orificium urethrae externum, introitus vaginae, ductus glandulae
Bartholinii kanan-kiri dan duktus Skene kanan-kiri. Diantara fourchet dan vagina terdapat
fossa navicularis.
Introitus vagina terletak di bagian bawah vestibulum. Pada gadis (virgo) tertutup
lapisan tipis bermukosa yaitu selaput dara atau hymen, utuh tanpa robekan. Hymen normal
terdapat lubang kecil untuk aliran darah menstruasi, dapat berbentuk bulan sabit, bulat, oval,
cribiformis, septum atau fimbriae. Akibat coitus atau trauma lain, hymen dapat robek dan
bentuk lubang menjadi tidak beraturan dengan robekan (misalnya berbentuk fimbriae).
Bentuk himen postpartum disebut parous. Corrunculae myrtiformis adalah sisa-sisa selaput
dara yang robek yang tampak pada wanita pernah melahirkan. Hymen yang abnormal,
misalnya primer tidak berlubang (hymen imperforata) menutup total lubang vagina, dapat
menyebabkan darah menstruasi terkumpul di rongga genitalia interna.
Perineum Daerah antara tepi bawah vulva dengan tepi depan anus, panjang rata-rata 4
cm. Batas otot-otot diafragma pelvis (m.levator ani, m.coccygeus) dan diafragma urogenitalis
(m.perinealis transversus profunda, m.constrictor urethra). Perineal body adalah raphe
median m.levator ani, antara anus dan vagina. Perineum meregang pada persalinan, kadang
perlu dipotong (episiotomi) untuk memperbesar jalan lahir dan mencegah ruptur.[1,2]
Genitalia Interna Wanita
Vagina adalah rongga muskulomembranosa berbentuk tabung mulai dari tepi cervix
uteri di bagian kranial dorsal sampai ke vulva di bagian kaudal ventral. Daerah di sekitar
cervix disebut fornix, dibagi dalam 4 kuadran : fornix anterior, fornix posterior, dan fornix
lateral kanan dan kiri. Vagina memiliki dinding ventral dan dinding dorsal yang elastis.
Bentuk vagina sebelah dalam yang berlipat disebut rugae, yang memungkinkan vagina untuk
melebar saat persalinan. Vagina dilapisi epitel skuamosa berlapis yang berubah mengikuti
siklus haid. Fungsi vagina adalah untuk mengeluarkan ekskresi uterus pada saat haid, sebagai
jalan lahir dan untuk kopulasi (persetubuhan). Bagian atas vagina terbentuk dari duktus
Mulleri, bawah dari sinus urogenitalis. Batas dalam secara klinis yaitu fornices anterior,
posterior dan lateralis di sekitar cervix uteri. Titik Grayenbergh (G-spot), merupakan titik
daerah sensorik di sekitar 1/3 anterior dinding vagina, sangat sensitif terhadap stimulasi
orgasmus vaginal. Vagina mendapat darah dari: 1) arteria uterine yang memberikan darah ke
1/3 atas vagina; 2) arteria vesikalis inferior memberi darah ke vagina bagian 1/3 tengah; 3)
arteria hemoroidalis mediana dan arteria pudendus interna memberi darah ke bagian 1/3
bawah vagina. Getah bening yang berasal dari 2/3 bagian atas vagina akan melalui kelenjar
getah bening di daerah vasa iliaka dan 1/3 bagian bawah akan melalui kelenjar getah bening
di regio inguinalis.
Uterus adalah suatu organ muskular berbentuk seperti buah pir dan memiliki ukuran
sebesar telur ayam yang mempunyai rongga, dilapisi peritoneum (serosa). Dindingnya terdiri
atas otot-otot polos. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah anteversiofleksio. Terdiri
dari fundus, corpus dan serviks uteri. Dalam hal klinik, tinggi fundus dapat diraba untuk
menunjukkan umur kehamilan. Fungsi utama corpus uteri saat masa kehamilan adalah
sebagai tempat janin berkembang. Lapisan dari dinding uterus (dari dalam ke luar); 1)
endometrium di korpus uteri dan endoserviks uteri; 2) otot-otot polos; dan 3) lapisan serosa,
yakni peritoneum viserale.
Endometrium melapisi seluruh kavum uteri dan memiliki arti penting dalam siklus
haid. Lapisan otot di sebelah dalam berbentuk sirkuler dan di sebelah luar berbentuk
longitudinal, diantaranya terdapat lapisan otot oblik (bentuk anyaman) yang paling penting
pada persalinan. Uterus ini sebenarnya terapung dalam rongga pelvis dengan jaringan ikat
dan ligament yang menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Ligamenta yang
memfiksasi uterus adalah:
Uterus diberi darah oleh arteria uterina dan a. ovarika. Inervasi uterus terdiri terutama atas
saraf simpatik, tetapi untuk sebagian juga atas sistem parasimpatik dan serebrospinal. Kedua
sistem simpatik dan parasimpatik ini bekerja secara antagonis: simpatik menimbulkan
kontraksi dan vasokontriksi dan yang parasimpatik menimbulkan vasodilatasi dan mencegah
kontraksi. Selama kehamilan berfungsi sebagai tempat implatansi, retensi dan nutrisi
konseptus. Pada saat persalinan dengan adanya kontraksi dinding uterus dan pembukaan
serviks uterus, isi konsepsi dikeluarkan.
Tuba falloppii berfungsi sebagai jalan transportasi ovum dari ovarium sampai cavum
uteri. Embriologik uterus dan tuba berasal dari ductus Mulleri. Sepasang tuba kiri-kanan
memiliki panjang 8-14 cm. Dinding tuba terdiri tiga lapisan: serosa, muskular (longitudinal
dan sirkular) serta mukosa dengan epitel bersilia. Terdiri atas pars interstitialis yang terdapat
di dinding uterus, pars isthmica merupakan bagian medial tuba yang sempit seluruhnya, pars
ampularis berbentuk saluran agak lebar dan merupakan tempat konsepsi terjadi, serta pars
infundibulum bagian ujung tuba yang terbuka ke arah abdomen dan mempunya fimbria,
masing masing bagian memiliki karakteristik silia dan ketebalan dinding yang berbeda-beda.
Fimbria berfungsi “menangkap” ovum yang keluar saat ovulasi dari permukaan ovarium, dan
membawanya ke dalam tuba. Mesosalping merupakan jaringan penyangga tuba.
Kehamilan ektopik adalah suatu komplikasi dalam kehamilan dimana ovum yang
sudah dibuahi berimplantasi di jaringan lain selain dinding uterus. Pada konsepsi yang
normal, ovum dibuahi oleh sperma pada tuba falopii kemudain ovum yang sudah dbuahi
tersebut akan bergerak sepanjang tuba menuju uterus sekitar 3 – 4 hari kemudian.
Kebanyakan kehamilan ektopik terjadi pada tuba falopii (sehingga disebut kehamilan
tuba). Kehamilan tuba dapat terjadi dikarenakan tuba falopii terhalang atau rusak dan
tidak dapat dilewati oleh embrio.
Implantasi dapat juga terjadi pada cervix, ovarium, dan abdomen. Fetus
memproduksi suatu enzim yang memungkinkannya untuk berimplantasi pada berbagai
macam jaringan, dan apabila fetus berimplantasi di tempat lain selain uterus maka dapat
mengakibatkan kerusakan jaringan karena usaha dari fetus itu sendiri untuk mendapatkan
suplai darah yang cukup. 1, 2, 3
2.2.2. EPIDEMIOLOGI
Lebih dari 30 tahun, insidensi kehamilan ektopik telah meningkat secara dramatis
di negara – negara industri. Insidensi yang dilaporkan bervariasi antara 100 – 175 per
100.000 wanita berusia 15 – 44 tahun. Di Inggris, insidensi kehamilan ektopik bertambah
dari 9,6 kasus per 1000 kehamilan (1991 – 1993) menjadi 11 kasus per kasus 1000
kehamilan (2000 – 2002). Peningkatan insidensi kehamilan ektopik bisa jadi merupakan
cerminan dari meningkatnya kasus pada populasi penduduk ataupun bisa juga karena
adanya pengembangan dari tes diagnosa yang lebih sensitif. Angka kejadian kehamilan
ektopik pada wanita usia 35 - 44 tahun tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
usia 15 – 24 tahun. 8
Pada tahun 1992, di Amerika Serikat kejadian kehamilan ektopik sekitar 108.000,
hampir 2% dari seluruh kehamilan. Yang terpenting, pada kasus kehamilan ektopik
tercatat 10% kasus dari seluruh kasus kehamilan yang berhubungan dengan kematian.
Insidensi kehamilan ektopik untuk wanita kulit berwarna lebih tinggi dalam setiap
kategori umur dibandingkan dengan wanita berkulit putih. Sekitar 2 % dari kehamilan
merupakan kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik merupakan salah satu faktor penyebab
kematian ibu, sekitar 9 % dan merupakan penyebab kematian terbanyak pada trimester
pertama. 3,4
Bila nidasi terjadi diluar kavum uteri atau di luar kavum uteri atau di luar
endometrium, maka terjadilah kehamilan ektopik. Dengan demikian, faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya hambatan dalam nidasi embrio ke endometrium menjadi
penyebab kehamilan ektopik. Faktor-faktor tersebut adalah (Prawirohardjo, 2010):
a. Faktor tuba
- Keadaan uterus yang mengalami hipoplasia dan saluran tuba yang berkelok-
kelok panjang dapat menyebabkan fungsi silia tuba tidak berfungsi dengan
baik. Juga pada keadaan pasca operasi rekanalisasi tuba dapat merupakan
predisposisi terjadinya kehamilan ektopik.
- Faktor tuba yang lain adalah adanya kelainan endometriosis tuba atau
divertikel saluran tuba yang bersifat kongenital.
- Adanya tumor di sekitar saluran tuba, misalnya mioma uteri atau tumor
ovarium yang menyebabkan perubahan bentuk dan patensi tuba, juga dapat
menjadi etiologi kehamilan ektopik.
Apabila tumbuh terlalu cepat atau tumbuh dengan ukuran besar, maka
zigot akan tersendat dalam perjalanan pada saat melalui tuba, kemudian
terhenti dan tumbuh di saluran tuba.
c. Faktor ovarium
d. Faktor hormonal
e. Faktor lain
Resiko Tinggi
Faktor Sedang
Infertilitas 2,5-21
Faktor ringan
Merokok 2,3-2,5
2.2.4. PATOFISIOLOGI
Karena tuba kekurangan lapisan submukosa, ovum yang telah dibuahi cenderung
tertanam pada epitelium dan zigot diam pada dinding muskular dari tuba. Pada permukaan
zigot terdapat kapsul trofoblas yang secara cepat berproliferasi yang menginvasi dinding
muskular dari tuba. Pada saat yang sama, pembuluh darah maternal membuka dan darah
mengalir pada daerah sekitar trofoblas atau diantara trofoblas dan jaringan tambahan.
Dinding tuba yang berhubungan dengan zigot hanya bisa memberikan tahanan ringan
terhadap invasi trofoblas, yang secepatnya tertanam didalamnya. Embrio atau fetus pada
kehamilan ektopik biasanya tidak ditemukan ataupun terhambat pertumbuhannya.4
Isi konsepsi yang berimplantasi melakukan penetrasi terhadap lamina propria dan pars
muskularis dinding tuba. Kerusakan tuba lebih lanjut disebabkan oleh pertumbuhan invasif
jaringan trofoblas. Karena trofoblas menginvasi pembuluh darah dinding tuba, terjadi
hubungan sirkulasi yang memungkinkan jaringan konsepsi bertumbuh.
Pada suatu saat, kebutuhan embrio di dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai
darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada beberapa kemungkinan akibat hal ini :
1. kemungkinan terbentuknya jaringan mola berisi darah di dalam tuba, karena aliran
darah di sekitar chorion menumpuk, menyebabkan distensi tuba, dan mengakibatkan
ruptur intralumen kantung gestasi di dalam lumen tuba.
2. kemungkinan "tubal abortion", lepas dan keluarnya darah dan jaringan ke ujung distal
(fimbria) dan ke rongga abdomen.
3. kemungkinan reabsorpsi jaringan konsepsi oleh dinding tuba sebagai akibat pelepasan
dari suplai darah tuba.
4. kemungkinan ruptur dinding tuba ke dalam rongga peritoneum, sebagai akibat erosi
villi chorialis atau distensi berlebihan tuba - keadaan ini yang umum disebut
kehamilan ektopik terganggu / kehamilan ektopik dengan ruptur tuba. 9
Secara umum, estrogen menstimulasi aktifitas mioelektris dari tuba dan progesteron
memiliki efek untuk menghambat. Perubahan rasio estrogen / progesteron mungkin
mempengaruhi motilitas tuba. Tingginya tingkat estrogen mungkin menyebabkan spasme
tuba, yang akan mengahalangi transportasi embrio menuju cavum uteri. Sebaliknya, pada
penggunaan oral kontrasepsi progesteron dapat menyebabkan tuba relaksasi yang
mengakibatkan retensi ovum pada tuba. 8
2.2.5. KLASIFIKASI
A. Kehamilan Tuba
Tuba tidak memiliki lapisan submukosa maka ovum yang telah dibuahi segera
menembus epitel, dan zigot akhirnya berada di dekat atau di dalam otot. Trofoblas yang
cepat berproliferasi dapat menginvasi muskularis sekitar, tetapi separuh dari kehamilan
ektopik ampula tetap berada di lumen tuba dengan lapisan otot tidak terkena pada 85
persen kasus. Mudigah atau janin pada kehamilan ektopik sering tidak ada atau tidak
berkembang (Cunningham, 2012).
Walaupun kehamilan terjadi di luar rahim, rahim membesar juga karena hipertropi
dari otot-ototnya disebabkan pengaruh hormon-hormon yang dihasilkan trofoblas, begitu
pula endometriumnya berubah menyadi desidua vera (Decherney &Nathan, 2003).
Karena tuba bukan merupakan suatu media yang baik untuk pertumbuhan embrio atau
mudigah, maka pertumbuhan dapat mengalami beberapa perubahan bentuk berikut ini:
2. Perdarahan abnormal
Kebanyakan wanita dengan kehamilan ektopik mengalami amenorrhea, dan hanya
seperempat saja yang tidak mengalami amenorrhea 4. Amenorrhea yang terjadi,
diikuti dengan perdarahan yang berupa perdarahan berwarna coklat gelap, dapat
terjadi intermitten ataupun kontinyu 1.
3. Perubahan uterus
Uterus mungkin dapat terdorong ke salah satu sisi karena massa ektopik atau karena
ligamen yang terisi oleh darah. Pada 25 % wanita, uterus membesar sesuai dengan
stimulasi hormon selama kehamilan. Ditemukannya desidua uterus tanpa trofoblas
dapat merupakan tanda kehamilan ektopik namun tidak absolut. 4
4. Massa Adneksa
Terabanya massa adneksa dilaporkan pada 40% kasus. 3
Massa biasanya teraba
dengan konsistensi lunak dan disertai nyeri. 4
2. Aborsi threatened
Perdarahan lebh hebat, nyeri lebih terlokalisasi pada perut tengah bawah.
Ditemukannya kista korpus luteum dapat membingungkan dalam menentukan
diagnosis.
3. Appendisitis
Tidak didapatkan amenorrhea ataupun perdarahan pervaginam. Nyeri pada kuadran
kanan bawah abdomen cenderung menetap, dengan disertai demam, dan gejala
gastrointestinal. Hasil tes kehamilan negatif.
4. Torsi Ovarii
Biasanya nyeri hilang timbul, tetapi dapat enetap apabila asupan vaskuler terpenuhi.
Dapat dijumpai peningkatan AL dan masssa adneksa yang dapat teraba. Hasil tes
kehamilan negatif. Lain – lain, misalnya perdarahan uterus disfungsional (biasanya
tidak nyeri dan perdarahan lebih hebat dibanding dengan kehamilan ektopik), kista
korpus luteum yang menetap, penggunaan IUD, gastroenteritis, atau infeksi traktus
urinarius.4
2.2.9. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kehamilan ektopik tergantung pada beberapa hal, antara lain lokasi
kehamilan dan tampilan klinis. Sebagai contoh, penatalaksanaan kehamilan tuba berbeda dari
penatalaksanaan kehamilan abdominal. Selain itu, perlu dibedakan pula penatalaksanaan
kehamilan ektopik yang belum terganggu dari kehamilan ektopik terganggu. Tentunya
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu berbeda dengan
penatalaksanaan pasien dengan kehamilan ektopik terganggu yang menyebabkan syok.
Seorang pasien yang terdiagnosis dengan kehamilan tuba dan masih dalam kondisi
baik dan tenang, memiliki 3 pilihan, yaitu penatalaksanaan ekspektasi (expectant
management), penatalaksanaan medis dan penatalaksanaan bedah (2005).
a. Penatalaksanaan Ekspektasi
Penatalaksanaan ekspektasi didasarkan pada fakta bahwa sekitar 75% pasien
pada kehamilan ektopik akan mengalami penurunan kadar β-hCG. Penurunan kadar
β-hCG diobservasi ketat dengan penatalaksanaan ekspektasi, kehamilan ektopik dini
dengan kadar stabil atau cenderung turun. Oleh sebab itu, tidak semua pasien dengan
kehamilan ektopik dapat menjalani penatalaksanaan seperti ini. Penatalaksanaan
ekspektasi dibatasi pada keadaan-keadaan berikut: 1) kehamilan ektopik dengan kadar
β-hCG yang menurun, 2) kehamilan tuba, 3) tidak ada perdarahan intraabdominal atau
ruptur, dan 4) diameter massa ektopik tidak melebihi 3.5 cm. Sumber lain
menyebutkan bahwa kadar β-hCG awal harus kurang dari 1000 mIU/mL, dan
diameter massa ektopik tidak melebihi 3.0 cm. Dikatakan bahwa penatalaksanaan
ekspektasi ini efektif pada 47-82% kehamilan tuba (Lozeau, 2005).
b. Penatalaksanaan Medis
Pada penatalaksanaan medis digunakan zat-zat yang dapat merusak integritas
jaringan dan sel hasil konsepsi. Kandidat-kandidat penerima tatalaksana medis harus
memiliki syarat-syarat berikut ini: keadaan hemodinamik yang stabil, bebas nyeri
perut bawah, tidak ada aktivitas jantung janin, tidak ada cairan bebas dalam rongga
abdomen dan kavum Douglas, harus teratur menjalani terapi, harus menggunakan
kontrasepsi yang efektif selama 3-4 bulan pascaterapi, tidak memiliki penyakit-
penyakit penyerta, sedang tidak menyusui, tidak ada kehamilan intrauterin yang
koeksis, memiliki fungsi ginjal, hepar dan profil darah yang normal, serta tidak
memiliki kontraindikasi terhadap pemberian methotrexate. Berikut ini akan dibahas
beberapa metode terminasi kehamilan ektopik secara medis (Lozeau, 2005).
Methotrexate
Methotrexate adalah obat sitotoksik yang sering digunakan untuk
terapi keganasan, termasuk penyakit trofoblastik ganas. Pada penyakit
trofoblastik, methotrexate akan merusak sel-sel trofoblas, dan bila
diberikan pada pasien dengan kehamilan ektopik, methotrexate diharapkan
dapat merusak sel-sel trofoblas sehingga menyebabkan terminasi
kehamilan tersebut. Seperti halnya dengan penatalaksanaan medis untuk
kehamilan ektopik pada umumnya, kandidat-kandidat untuk terapi
methotrexate harus stabil secara hemodinamis dengan fungsi ginjal, hepar
dan profil darah yang normal.
Harus diketahui pula bahwa terapi methotrexate maupun medis secara
umum mempunyai angka kegagalan sebesar 5-10%, dan angka kegagalan
meningkat pada usia gestasi di atas 6 minggu atau bila massa hasil
konsepsi berdiameter lebih dari 4 cm. Pasien harus diinformasikan bahwa
bila terjadi kegagalan terapi medis, pengulangan terapi diperlukan, dan
pasien harus dipersiapkan untuk kemungkinan menjalani pembedahan.
Selain itu, tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu harus selalu
diwaspadai. Bila hal tersebut terjadi, pasien harus sesegera mungkin
menjalani pembedahan. Senggama dan konsumsi asam folat juga dilarang.
Tentunya methotrexate menyebabkan beberapa efek samping yang
harus diantisipasi, antara lain gangguan fungsi hepar, stomatitis,
gastroenteritis dan depresi sumsum tulang. Beberapa prediktor
keberhasilan terapi dengan methotrexate yang disebutkan dalam literatur
antara lain kadar -hCG, progesteron, aktivitas jantung janin, ukuran massa
hasil konsepsi dan ada/tidaknya cairan bebas dalam rongga peritoneum.
Namun disebutkan dalam sumber lain bahwa hanya kadar -hCG-lah yang
bermakna secara statistik. Untuk memantau keberhasilan terapi,
pemeriksaan -hCG serial dibutuhkan.
Pada hari-hari pertama setelahdimulainya pemberian methotrexate, 65-
75% pasien akan mengalami nyeri abdomenyang diakibatkan pemisahan
hasil konsepsi dari tempat implantasinya (separation pain), dan hematoma
yang meregangkan dinding tuba. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgetik
nonsteroidal. Pada hari-hari pertama pula massa hasil konsepsi akan
tampak membesar pada pencitraan ultrasonografi akibat edema dan
hematoma, sehingga jangan dianggap sebagai kegagalan terapi. Kadar -
hCG umumnya tidak berhasil terdeteksi lagi dalam 14-21 hari setelah
pemberian methotrexate. Setelah terapi β-hCG masih perlu diawasi setiap
minggunya hingga kadarnya dibawah 5 mIU/mL (Bader, 2005).
Methotrexate dapat diberikan dalam dosis tunggal maupun dosis
multipel. Dosis tunggal yang diberikan adalah 50 mg/m2 (intramuskular),
sedangkan dosis multipel yang diberikan adalah sebesar 1 mg/kg
(intramuskular) pada hari pertama, ke-3, 5, dan hari ke-7. Pada terapi
dengan dosis multipel leukovorin ditambahkan ke dalam regimen
pengobatan dengan dosis 0.1 mg/kg (intramuskular), dan diberikan pada
hari ke-2, 4, 6 dan 8. Terapi methotrexate dosis multipel tampaknya
memberikan efek negatif pada patensi tuba dibandingkan dengan terapi
methotrexate dosis tunggal 9. Methotrexate dapat pula diberikan melalui
injeksi per laparoskopi tepat ke dalam massa hasil konsepsi. Terapi
methotrexate dosis tunggal adalah modalitas terapeutik paling ekonomis
untuk kehamilan ektopik yang belum terganggu (Lozeau, 2005).
Actinomycin
Neary dan Rose melaporkan bahwa pemberian actinomycin intravena
selama 5 hari berhasil menterminasi kehamilan ektopik pada pasien-pasien
dengan kegagalan terapi methotrexate sebelumnya (Lozeau, 2005).
Larutan Glukosa Hiperosmolar
Injeksi larutan glukosa hiperosmolar per laparoskopi juga merupakan
alternatif terapi medis kehamilan tuba yang belum terganggu. Yeko dan
kawan-kawan melaporkan keberhasilan injeksi larutan glukosa
hiperosmolar dalam menterminasi kehamilan tuba. Namun pada umumnya
injeksi methotrexate tetap lebih unggul. Selain itu, angka kegagalan
dengan terapi injeksi larutan glukosa tersebut cukup tinggi, sehingga
alternatif ini jarang digunakan (Lozeau, 2005).
c. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan bedah dapat dikerjakan pada pasien-pasien dengan kehamilan
tuba yang belum terganggu maupun yang sudah terganggu. Tentu saja pada kehamilan
ektopik terganggu, pembedahan harus dilakukan secepat mungkin. Pada dasarnya ada
2 macam pembedahan untuk menterminasi kehamilan tuba, yaitu pembedahan
konservatif, di mana integritas tuba dipertahankan, dan pembedahan radikal, di mana
salpingektomi dilakukan. Pembedahan konservatif mencakup 2 teknik yang kita kenal
sebagai salpingostomi dan salpingotomi. Selain itu, macam-macam pembedahan
tersebut di atas dapat dilakukan melalui laparotomi maupun laparoskopi. Namun bila
pasien jatuh ke dalam syok atau tidak stabil, maka tidak ada tempat bagi pembedahan
per laparoskopi (Lozeau, 2005).
1. Salpingostomi
Salpingostomi adalah suatu prosedur untuk mengangkat hasil konsepsi yang
berdiameter kurang dari 2 cm dan berlokasi di sepertiga distal tuba fallopii. Pada
prosedur ini dibuat insisi linear sepanjang 10-15 mm pada tuba tepat di atas hasil
konsepsi, di perbatasan antimesenterik. Setelah insisi hasil konsepsi segera
terekspos dan kemudian dikeluarkan dengan hati-hati. Perdarahan yang terjadi
umumnya sedikit dan dapat dikendalikan dengan elektrokauter. Insisi kemudian
dibiarkan terbuka (tidak dijahit kembali) untuk sembuh per sekundam. Prosedur
ini dapat dilakukan dengan laparotomi maupun laparoskopi.
Metode per laparoskopi saat ini menjadi gold standard untuk kehamilan tuba
yang belum terganggu. Sebuah penelitian di Israel membandingkan salpingostomi
per laparoskopi dengan injeksi methotrexate per laparoskopi. Durasi pembedahan
pada grup salpingostomi lebih lama daripada durasi pembedahan pada grup
methotrexate, namun grup salpingostomi menjalani masa rawat inap yang lebih
singkat dan insidens aktivitas trofoblastik persisten pada grup ini lebih rendah.
Meskipun demikian angka keberhasilan terminasi kehamilan tuba dan angka
kehamilan intrauterine setelah kehamilan tuba pada kedua grup tidak berbeda
secara bermakna (Lozeau, 2005).
2. Salpingotomi
Pada dasarnya prosedur ini sama dengan salpingostomi, kecuali bahwa pada
salpingotomi insisi dijahit kembali. Beberapa literatur menyebutkan bahwa tidak
ada perbedaan bermakna dalam hal prognosis, patensi dan perlekatan tuba
pascaoperatif antara salpingostomi dan salpingotomi (Lozeau, 2005).
3. Salpingektomi
Reseksi tuba dapat dikerjakan baik pada kehamilan tuba yang belum maupun
yang sudah terganggu, dan dapat dilakukan melalui laparotomi maupun
laparoskopi. Salpingektomi diindikasikan pada keadaan-keadaan berikut ini: 1)
kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu), 2) pasien tidak menginginkan
fertilitas pascaoperatif, 3) terjadi kegagalan sterilisasi, 4) telah dilakukan
rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya, 5) pasien meminta dilakukan
sterilisasi, 6) perdarahan berlanjut pascasalpingotomi, 7) kehamilan tuba berulang,
8) kehamilan heterotopik, dan 9) massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Reseksi massa hasil konsepsi dan anastomosis tuba kadang-kadang dilakukan
pada kehamilan pars ismika yang belum terganggu. Metode ini lebih dipilih
daripada salpingostomi, sebab salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut
dan penyempitan lumen pars ismika yang sebenarnya sudah sempit. Pada
kehamilan pars interstitialis, sering kali dilakukan pula histerektomi untuk
menghentikan perdarahan masif yang terjadi. Pada salpingektomi, bagian tuba
antara uterus dan massa hasil konsepsi diklem, digunting, dan kemudian sisanya
(stump) diikat dengan jahitan ligasi. Arteria tuboovarika diligasi, sedangkan
arteria uteroovarika dipertahankan. Tuba yang direseksi dipisahkan dari
mesosalping (Lozeau, 2005).
4. Evakuasi Fimbrae dan Fimbraektomi
Bila terjadi kehamilan di fimbrae, massa hasil konsepsi dapat dievakuasi dari
fimbrae tanpa melakukan fimbraektomi. Dengan menyemburkan cairan di bawah
tekanan dengan alat aquadisektor atau spuit, massa hasil konsepsi dapat terdorong
dan lepas dari implantasinya. Fimbraektomi dikerjakan bila massa hasil konsepsi
berdiameter cukup besar sehingga tidak dapat diekspulsi dengan cairan bertekanan
(Lozeau, 2005).
2.2.10. PROGNOSIS
1. Bagi kehamilan berikutnya
Umumnya penyebab kehamilan ektopik (misalnya penyempitan tuba atau pasca
penyakit radang panggul) bersifat bilateral. Sehingga setelah pernah mengalami
kehamilan ektopik pada tuba satu sisi, kemungkinan pasien akan mengalami
kehamilan ektopik lagi pada tuba sisi yang lain.
2. Bagi ibu
Bila diagnosis cepat ditegakkan umumnya prognosis baik, terutama bila cukup
penyediaan darah dan fasilitas operasi serta narkose. 7
BAB III
LAPORAN KASUS
3.5. Diagnosis
Epigastric pain e.c non cardiac/cardiac + muntah profuse + susp. ISK + susp. Anemia
3.7. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad malam
Ad sanactionam : dubia ad malam
3.8. Follow Up
a. 16 – 11 -2018 (pukul 21.30), Rawat alih ke Penyakit Dalam :
S : mual-mual setelah minum obat dari igd
O :
- Td; 80/60 mmhg; Hr: 62x/menit
- URINALISA
KETERANGAN HASIL NILAI NORMAL
WARNA KUNING KUNING MUDA
KEJERNIHAN Keruh Jernih
PROTEIN Negatif Negatif
GLUKOSA Negatif Negatif
BILIRUBIN Negatif Negatif
UROBILINOGEN Negatif Negatif
Ph 6,0 4,8 – 7,8
BERAT JENIS 1.030 g/mL 1.015 – 1.025
NITRIT Negatif Negatif
KETON Negatif Negatif
BLOOD Negatif Negatif
LEUKOSIT Negatif Negatif
Mikroskopik (sedimen)
Leukosit 4-6 0 – 4/LPB
Eritrosit 2-4 0 – 1/LPB
Sel epitel (+) post banyak Beberapa/ 5 – 15/LPB
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif 0/LPB
- Urinalisa
KETERANGAN HASIL NILAI NORMAL
WARNA KUNING KUNING MUDA
KEJERNIHAN Keruh Jernih
PROTEIN Negatif Negatif
GLUKOSA Negatif Negatif
BILIRUBIN Negatif Negatif
UROBILINOGEN Negatif Negatif
Ph 6,0 4,8 – 7,8
BERAT JENIS 1.030 g/mL 1.015 – 1.025
NITRIT Negatif Negatif
KETON Negatif Negatif
BLOOD Negatif Negatif
LEUKOSIT Negatif Negatif
Mikroskopik (sedimen)
Leukosit 4–6 0 – 4/LPB
Eritrosit 2–4 0 – 1/LPB
Sel epitel (+) post banyak Beberapa/ 5 – 15/LPB
Silinder Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Negatif 0/LPB
- Test Kehamilan
o PP Test (+)
- Ahli Rawat ke bagian Obgyn
- Transfusi WB 1 kolf
- Rencanakan USG
- Ivfd 2 jalur 40 gtt/menit (makro)
Gambar. USG 2
Gambar. USG 3
Gambar. USG 4
A : Kehamilan Ektopik Terganggu + anemia berat
P :
- Laparotomi Eksplorasi
o Laporan Operasi : Ruptur Tuba Fallopi pars ampularis sinistra
kemudian dilakukan Salpingektomi Sinistra
- Inj. Cefotaxime 1 gr
- Rencana transfusi PRC 5 kolf
Dari hasil beberapa gejala dan pemriksaan fisik didapatkan hasil yang mengarah ke
kehamilan ektopik terganggu. Untuk memastikan diagnosis KET, maka pada pasien
dilakukan pemeriksaan USG. Temuan ultrasonografi pada kehamilan ektopik mencakup
adanya komplek massa (campuran padat dan kista), terutama di adneksa, cairan bebas di
kavum Douglasi, dan tidak adanya kantung kehamilan di dalam uterus pada ultrasonografi
transvaginal, khususnya jika kadar -hCG lebih dari 1000 hingga 2000 mU/mL. Diagnosis
pasti kehamilan ektopik secara USG hanya bisa ditegakkan bila terlihat kantong gestasi berisi
mudigah/janin hidup yang terletak di luar kavum uteri. Namun, gambaran ini hanya dijumpai
pada 3-10% kasus. Diagnosis juga dapat ditegakkan apabila pada ultrasonografi memberi
gambaran tidak adanya kantung kehamilan di dalam uterus dengan syarat kadar hCG lebih
dari 2.500 IU..
Penanganan awal pasien pada kasus ditujukan untuk menstabilkan hemodinamik
pasien. Ketika pasien datang, hasil pemeriksaan fisik memberi gambaran ancaman gangguan
hemodinamik, dibuktikan dengan peningkatan denyut nadi serta denyut nadi yang teraba
lemah, dan tekanan darah yang rendah. Dengan melihat adanya ancaman gangguan
hemodinamik serta adanya kecurigaan terjadinya perdarahan aktif di intra abdominal,
dikhawatirkan pasien akan jatuh pada kondisi syok hemoragik yang disebabkan perdarahan
aktif. Oleh karena itu, dilakukan pemberian cairan intravena pada dua jalur dengan cairan RL
dengan tetesan cepat (guyur) untuk memenuwhi volume intravaskular menggantikan
kehilangan darah hingga kondisi hemodinamik menjadi stabil, ditandai dengan perbaikan dari
denyut nadi. Selain itu karena Hb pasien hanya 5,7 g/dl maka, pemasangan infuse dua jalur
juga berfungsi untuk memasaukkan transfusi.
Dalam penanganan kasus ini, untuk menghindari kondisi pasien yang akan jatuh pada
kondisi syok, dilakukan tindakan operasi laparatomi segera. Salpingektomi merupakan
tindakan untuk mengangkat tuba pada sisi yang mengalami KET. Indikasi dari salpingektomi
antara lain sebagai berikut:
1. kehamilan ektopik mengalami ruptur (terganggu),
2. pasien tidak menginginkan fertilitas pascaoperatif,
3. terjadi kegagalan sterilisasi,
4. telah dilakukan rekonstruksi atau manipulasi tuba sebelumnya,
5. pasien meminta dilakukan sterilisasi,
6. perdarahan berlanjut pasca salpingotomi,
7. kehamilan tuba berulang,
8. kehamilan heterotopik, dan
9. massa gestasi berdiameter lebih dari 5 cm.
Mengingat telah terjadinya KET pada pasien ditambah faktor penggunaan suntikan KB,
maka tidak menutup kemungkinan terjadinya KET pada kehamilan selanjutnya. Untuk itu
disarankan kepada pasien agar menggunakan kontrasepsi pil, dimana kontrasepsi pil tidak
hanya mengandung hormone progesterone, tetapi juga mengandung hormone estrogen.
Setelah selesai opereasi, pada pasien ditambah trasfusi sebanya 4 kolf untuk
menggantikan darah yang sudah keluar. Kemudian keesokan harinya di cek Hb ulang dan
didapatkan Hb pasien sudah meningkat menjadi 9,4 gr/dl sehingga sudah tidak perlu
ditambah trasnfusi darah kembali.
BAB V
KESIMPULAN
1. Diagnosis kehamilan ektopik terganggu pada pasien didasarkan pada gejala dan tanda
pada pasien yakni perdarahan pervaginam serta nyeri abdomen akibat rangsangan
peritoneum dan didukung dari hasil tes kehamilan, dan pemeriksaan ultrasonografi
abdomen.
2. Hanya faktor hormonal yang dapat menjelaskan terjadinya KET pada pasien.
3. Penanganan KET pada pasien meliputi perbaikan hemodinamik, salpingektomi sinistra.
Penanganan tersebut sesuai dengan prinsip penatalaksanaan KET
DAFTAR PUSTAKA
Boston University. Female Genital Anatomy. [updated: Nov 26, 2002]. Available at:
http://www.bumc.bu.edu/sexualmedicine/physicianinformation/female-genital-anatomy/.
Accessed on May 6, 2013.
Cuningham, M. G., et al. 2005. Williams Obstetrics. Edisi 22. McGraw Hill
Company. New York. Hal: 253 – 63