Anda di halaman 1dari 21

Referat

RUPTUR PERINEUM DAN NIFAS

Oleh:
dr. Chika Aulia Husna
Peserta PPDS OBGIN

Pembimbing:
dr. Puja Agung Antonius, SpOG. Subsp. Onk.

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS (PPDS)


OBSTETRI GINEKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERISTAS ANDALAS
RSUP DR M DJAMIL PADANG
2023

1
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS RSUP M. DJAMIL PADANG

LEMBAR PENGESAHAN

Nama : dr. Chika Aulia Husna


Semester :I

Telah menyelesaikan Referat dengan judul: Ruptur Perineum dan Nifas

Padang, 28 April 2023


Mengetahui/menyetujui Peserta PPDS
Pembimbing Obstetri & Ginekologi

dr. Puja Agung Antonius, SpOG. Subsp. Onk. dr. Chika Aulia Husna

Mengetahui
KPS PPDS OBGIN FK UNAND
RS Dr. M. DJAMIL PADANG

Dr. dr. Bobby Indra Utama, Sp. OG, Subsp-Urogin (K)

2
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS
OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ANDALAS RSUP M. DJAMIL PADANG

Lembar Penilaian Peserta PPDS Obstetri & Ginekologi I FK. Unand / RSUP Dr. M.
Djamil Padang

Nama : dr. Chika Aulia Husna


Semester :I
Materi : Ruptur Perineum dan Nifas

NO. KRITERIA PENILAIAN NILAI KETERANGAN

1 Pengetahuan

2 Ketrampilan

3 Attitude
Note:

Padang, April 2023


Staf Penilai

dr. Puja Agung Antonius, SpOG. Subsp. Onk.

3
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ruptur perineum adalah suatu kejadian yang sering diamati pada saat proses
persalinan pervaginam. Hal ini bisa terjadi karena adanya trauma spontan atau
akibat tindakan episiotomi.1 Ruptur perineum merupakan salah satu kondisi
terjadinya robekan pada jalan lahir. Salah satu penyebab utama perdarahan pasca
persalinan adalah robekan jalan lahir. Robekan pada jalan lahir dapat bervariasi
tergantung dari penyebab terjadinya trauma pada daerah jalan lahir. Trauma bisa
menyebabkan robekan pada daerah perineum, vagina, dan serviks. Trauma juga
bisa terjadi akibat tindakan selama persalinan seperti tindakan episiotomi.2,3

Robekan jalan lahir yang terjadi bisa ringan (lecet, laserasi), luka episiotomi,
robekan perineum spontan derajat I sampai IV, robekan pada dinding vagina,
forniks uteri, serviks, daerah sekitar klitoris dan uretra, dan bahkan yang terberat
ruptur uteri. Ruptur perineum dapat terjadi karena adanya ruptur spontan maupun
tindakan episiotomi perineum yang dilakukan. Episiotomi harus dilakukan atas
beberapa indikasi, antara lain bayi besar, partus prematurus, perineum kaku,
persalinan dengan kelainan letak, persalinan dengan menggunakan alat bantu baik
forceps, maupun vakum. Apabila episiotomi tidak dilakukan atas indikasi yang
tepat, maka dapat menyebabkan peningkatan angka kejadian dan derajat kerusakan
pada daerah perineum. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan angka kesakitan
pasca persalinan 2,3

Periode pascapersalinan merupakan masa transisi yang kritis bagi ibu,


bayi dan keluarganya secara fisiologis, emosional dan sosial. Rendahnya kualitas
pelayanan kesehatan juga menyebabkan rendahnya keberhasilan promosi
kesehatan dan deteksi dini serta penatalaksanaan yang adekuat terhadap masalah
dan penyakit yang timbul pada masa pascapersalinan. Pasca persalinan dikenal
dnegan masa nifas. Masa nifas dimulai sejak 1 jam setelah plasenta lahir sampai
dengan enam minggu (42 hari) setelahnya. Pelayanan pascapersalinan harus
dilaksanakan pada masa itu untuk memenuhi kebutuhan ibu dan bayi, berupa
upaya pencegahan, deteksi dini dan pengobatan komplikasi dan penyakit yang
4
mungkin terjadi, serta penyelenggaraan pelayanan pemberian ASI, cara
menjarangkan kehamilan, imunisasi, dan nutrisi bagi ibu.12

1.2 Rumusan Masalah


Makalah ini membahas tentang ruptur perineum dan nifas serta
tatalaksananya.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
ruptur perineum dan perawatan masa nifas.

1.4 Metode Penulisan


Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk pada
berbagai literatur.

5
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ruptur Perineum

2.1.1 Definisi
Ruptur merupakan robeknya jaringan secara paksa. Perineum adalah lantai
pelvis dan struktur yang berhubungan dengan pintu bawah panggul; bagian ini
dibatasi disebelah anterior oleh simfisis pubis, di sebelah lateral oleh tuber
ischiadikum, dan di sebelah posterior oleh os. coccygeus, dan dibagi ke dalam
segitiga urogenital anterior dan segitiga anal posterior.2,4,5
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang
juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dicegah dengan memastikan
kepala janin tidak terlalu cepat lahir. Namun, kepala janin yang akan lahir jangan
ditahan terlampau kuat dan lama karena dapat menyebabkan asfiksia dan
perdarahan dalam tengkorak janin, serta melemahkan otot-otot dan fassia pada
dasar panggul karena diregangkan terlalu lama.2,4,5

2.1.2 Epidemiologi
Insidensi laserasi pada perineum mencapai 0,25 hingga 6%, dimana terdapat
berbagai faktor risiko yang dapat memperberat laserasi pada perineum, seperti
episiotomi medialis, nullipara, kala II yang memanjang, persalinan yang diinduksi,
posisi oksipital posterior persisten, persalinan pervaginam dibantu, ras Asia, dan
berat bayi yang besar.3
Tingkat prevalensi laserasi perineum derajat ketiga dan keempat berkisar
antara 0,3-6% atau kira-kira 1,7% dari semua kelahiran (2,9% pada primipara).
Sebagian besar penelitian berfokus pada kejadian dan faktor risiko traumaperineum
yang lebih berat seperti mengenai termasuk sfingter anal. Penelitian sebelumnya
melaporkan lebih dari 80% wanita mengalami robekan perineum pada tingkat
tertentu selama persalinan, yang merupakan salah satu komplikasi paling umum
dari persalinan pervaginam, dan ini terkait dengan komplikasi jangka pendek dan
jangka panjang seperti nyeri persisten, dispareunia, dan gangguan saluran kemih,
dan juga inkontinensia anal.7

6
2.1.3 Klasifikasi Ruptur Perineum

1. Ruptur Perineum Spontan


Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan
tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan
biasanya tidak teratur. Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 derajat:
2,3,10,11

a. Derajat I
Perlukaan hanya terbatas pada mukosa vagina, kulit perineum, dan fourchette,
dan tidak mengenai fasia serta otot. Derajat ini termasuk laserasi periurethral, yang
dapat menyebabkan perdarahan besar.3

Gambar 2.2 Laserasi perineum derajat I3

b. Derajat II
Perlukaan yang lebih dalam dan bisa meluas ke vagina dengan melukai fasia
serta otot-otot perineal, namun tidak mengenai sfingter ani. Robekan dapat terjadi
di garis tengah, namun seringkali meluas ke satu atau kedua sisi vagina,
membentuk segitiga ireguler. 3

Gambar 2.3 Laserasi perineum derajat II3

7
c. Derajat III
Perlukaan lebih luas dan lebih dalam dari derajat II menyebabkan muskulus
sfingter ani eksterna terputus. Perlukaan perineum umumnya terjadi unilateral,
tetapi dapat juga bilateral. Perlukaan pada diafragma urogenitalis dan muskulus
levator ani yang terjadi pada waktu persalinan normal atau persalinan dengan alat,
dapat terjadi tanpa luka pada kulit perineum atau pada vagina, sehingga tidak
kelihatan dari luar dan mengakibatkan terbentuknya hematoma.3

Gambar 2.4 Laserasi perineum derajat III3

d. Derajat IV
Robekan pada perineum derajat III yang dapat meluas ke mukosa rektum
dan melibatkan sfingter ani eksterna dan interna. 2

Gambar 2.5 Laserasi perineum derajat IV3

8
2.1.4 Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi)
Episiotomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episton (regio pubis) dan tomy
(memotong). Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang
menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada
septum rektovaginal, otot-otot, dan fasia perineum dan kulit sebelah depan
perineum. Insisi dapat dilakukan di garis tengah, yang disebut sebagai episiotomi
mediana atau episiotomi yang dimulai di garis tengah lalu diarahkan ke lateral
menjauhi rektum, atau disebut sebagai episotomi mediolateral. 3,11,12
Episiotomi dapat menurunkan kejadian trauma perineal posterior, perbaikan
dengan bedah, dan komplikasi penyembuhan, serta trauma perineal anterior.
Episiotomi dapat dipertimbangkan atas beberapa indikasi, antara lain:3
 Distosia bahu
 Sungsang
 Janin makrosomia
 Persalinan pervaginam dibantu
 Posisi oksiput posterior persisten
 dan indikasi lain yang dapat menyebabkan rupture perineum apabila tidak
dilakukan episiotomi

Berdasarkan pihak ibu dan pihak janin, indikasi episiotomi terbagi atas: 8
1) Indikasi janin
a. Sewaktu melahirkan janin prematur. Tujuannya untuk mencegah terjadinya
trauma yang berlebihan pada kepala janin.
b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam,
ekstraksi vakum, dan janin besar.
2) Indikasi ibu.
Indikasi episiotomi dilakukan apabila terjadi peregangan perineum yang
berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan perineum, terutama pada
primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum,
dan anak besar.

Namun, episiotomi sebaiknya tidak rutin dilakukan. Pada suatu penelitian,


ditemukan tindakan episiotomi rutin dapat meningkatkan risiko inkontinensia alvi
lebih tinggi tiga kali lipat serta inkontinensia flatus dua kali lipat dibandingkan
persalinan dengan laserasi spontan.3,8,12
9
Selain itu, episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan13:
a. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma
b. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin
dibandingkan dengan tanpa episiotomi.
c. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum
d. Meningkatnya resiko infeksi.

Teknik Episiotomi
Sebelum episiotomi, analgetik dapat menggunakan analgetik epidural saat
persalinan, blokade nervus pudendus bilateral, atau dengan infiltrasi lidokain 1%.
Apabila dilakukan terlalu cepat, perdarahan akibat episiotomi akan cukup besar
selama interval antara insisi dan saat persalinan. Namun, apabila dilakukan
terlambat, laserasi tidak dapat dicegah. Episiotomi sebaiknya dilakukan saat kepala
sudah terlihat saat kontraksi dengan diameter kepala mencapai 4 cm, seperti
mahkota.3,13

Gambar 2.6 Teknik Episiotomi8

Episiotomi medialis
1) Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai
batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah cara
anestesi infiltrasi antara lain dengan procaine 1-2%; atau larutan lidonest 1-
10
2%; atau larutan xylocaine 1-2%. Setelah pemberian anestesi, jari menyusup
antara kepala dan perineum. Kemudian insisi dimulai pada arah jam 6 pada
introitus vagina dan diarahkan ke posterior. Panjang insisi sekitar 2 sampai 3
cm tergantung panjang perineal dan derajat ketebalan perineum. Insisi yang
dilakukan disesuaikan dengan jenis persalinan yang akan dilakukan, namun
harus dihentikan sebelum mencapai sfingter ani eksterna. Bila kurang lebar
disambung ke lateral (episiotomi medio lateralis). 2,12

Gambar 2.7 Teknik Episiotomi Medialis3

2) Perineum digunting mulai dari ujung paling bawah introitus vagina menuju
anus melalui kulit, selaput lender vagina, fasia dan otot perineum. 8
3) Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan
kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan
beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima
jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus (interupted suture)
atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit
otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut chromic, sedang untuk kulit
perineum dipakai benang sutera.8
 Otot perineum kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
 Pinggir fasia kiri dan kanan dijahit dan dirapatkan.
 Selaput lendir vagina dan kulit perineum dijahit dengan benang sutera.

11
Gambar 2.8 Teknik menjahit luka episiotomi medialis8

Episiotomi mediolateralis
4) Pada teknik ini, gunting episiotomi diposisikan pada arah jam 7 atau jam 5,
kemudian insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju ke
arah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan
atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya.
Panjang insisi kira-kira 4 cm.2,12

Gambar 2.9 Penjahitan Episiotomi Mediolateral3

12
5) Teknik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan
teknik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa
sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya harus simetris.8
a. Menjahit jaringan otot-otot dengan jahitan terputus-putus
b. Benang jahitan pada otot ditarik
c. Selaput lendir vagina dijahit
d. Jahitan otot-otot diikatkan
e. Fasia dijahit
f. Penutupan fasia selesai
g. Kulit dijahit

Episiotomi lateralis8
1) Pada teknik ini insisi dilakukan ke arah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3
atau 9 menurut arah jarum jam.
2) Teknik ini sekarang tidak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan
komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh
darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang
banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang
mengganggu penderita.

2.1.5 Teknik Menjahit Robekan Perineum


1. Derajat I
Penjahitan robekan perineum derajat I dapat dilakukan hanya dengan
memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara
angka delapan (figure of eight). 10

2. Derajat II
Laserasi derajat II melibatkan fasia dan otot (muskulus perinei transversalis)
dari badan perineum tapi tidak mengenai sfingter anus. Robekan ini biasanya
melebar ke atas pada salah satu atau kedua sisi vagina, membentu luka segitiga
yang ireguler. Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II atau
III, jika dijumpai pinggir robekan yang tidak rata atau bergerigi, maka pinggir

13
yang bergerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu. Pinggir robekan sebelah
kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu, kemudian digunting. Setelah
pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Awalnya otot dijahit
dengan catgut. Kemudian selaput lendir vagina dijahit dengan catgut secara
interuptus atau kontinu. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak
robekan. Terakhir kulit perineum dijahit dengan benang secara interuptus.8

Gambar 2.10 Teknik menjahit robekan perineum derajat II. 8

3. Derajat III
Laserasi derajat III meluas melewati kulit, membran mukosa, dan badan
perineum, dan melibatkan sfingter anus. Mula-mula dinding depan rektum yang
robek dijahit. Kemudian fasia perirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit
dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujung-ujung otot sfingter ani
yang terpisah oleh karena robekan diklem dengan klem Pean lurus, kemudian
dijahit dengan 2-3 jahitan catgut kromik sehingga bertemu kembali. Selanjutnya
robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum derajat II.8

Gambar 2.11 Teknik menjahit robekan perineum derajat III8

14
4. Derajat IV
Teknik yang digunakan untuk menjahit laserasi deajat IV melibatkan sfingter
ani dan mukosa rektal. Teknik pertama dan yang lebih disarankan adalah teknik
end-to-end dan teknik kedua, yaitu teknik overlapping. Teknik end-to-end
dilakukan dengan meperkirakan jarak antara robekan tepi mukosa rektum dengan
jahitan pada otot rektal sejauh 0,5 cm. Benang yang dapat digunakan adalah 2-0
atau 3-0 chromic gut. Lapisan otot kemudian ditutup dengan sfingter ani interne.
Kemudian akhir dari jahitan di sfingter ani eksterna diisolasi, dan ditutup secara
end-to-end dengan 3-4 jahitan terputus-putus. 3

Gambar 2.12 Teknik menjahit “end-to-end” robekan perineum derajat IV3

2.1.6 Prognosis
Kebanyakan pasien dengan episiotomi atau robekan akan sembuh dengan
sangat baik, dengan menghilangnya nyeri 6 minggu setelah persalinan dan bekas
luka yang minimal. Namun dapat terjadi inkontinensia feses dalam jangka pendek
maupun jangka panjang pada 10% pasien dengan ruptur perineum tingkat IV,
walaupun sudah dilakukan penanganan dengan baik. Jika tidak ada komplikasi,
tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam jangka waktu lama.3,11,12

15
2.2 Masa nifas

2.2.1 Perubahan Anatomi dan Fisiologi Masa Nifas


Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya placenta
sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu.13
Tahapan yang terjadi pada masa nifas adalah sebagai berikut:14
a) Periode immediate postpartum: Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan
24 jam. Pada masa ini sering terdapat banyak masalah, misalnya perdarahan
karena atonia uteri. Oleh karena itu, bidan dengan teratur harus melakukan
pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lokia, tekanan darah, dan suhu.
b) Periode early postpartum (24 jam-1 minggu): Pada fase ini petugas kesehatan
memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan, lokia
tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan cairan,
serta ibu dapat menyusui dengan baik.
c) Periode late postpartum (1 minggu-5 minggu): Pada periode ini petugas
kesehatan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta konseling
KB.

2.2.2 Perawatan Masa Nifas


Seorang ibu yang baru bersalin membutuhkan perawatan selama masa nifas.
Asuhan pada ibu nifas yang diberikan oleh seorang bidan dilakukan selama kurun waktu 6
minggu. Hal ini dilandasi oleh kebijakan program nasional pada masa nifas, yaitu paling
sedikit 4 kali melakukan kunjungan pada masa nifas dengan tujuan :15
- Menilai kondisi kesehatan ibu dan bayi
- Melakukan pencegahan terhadap kemungkinan gangguan kesehatan ibu dan bayinya
- Mendekati adanya komplikasi atau masalah yang terjadi pada masa nifas
- Menangani komplikasi/masalah yang timbul dan mengganggu kesehatan ibu nifas serta
bayinya

Beberapa komponen esensial dalam asuhan kebidana pada ibu selama masa nifas
adalah sebagai berikut :15

1. Anjurkan ibu untuk melakukan control/kunjungan masa nifas setidaknya 4 kali, yaitu :
- 6-8 jam setelah persalinan (sebelum pulang)

16
- 6 hari setelah persalinan
- 2 minggu setelah persalinan
- 6 minggu setelah persalinan

Tabel 1.3 Asuhan selama kunjungan masa nifas


Kunjungan Waktu Asuhan
I 6-8 jam PP a. Mencegah perdarahan masa nifas karena
atonia uteri
b. Pemantauan keadaan umum ibu
c. Melakukan hubungan antara bayi dan ibu
(Bonding Attachment)
d. ASI eksklusif
II 6 hari PP a. Memastikan involusi uterus berjalan normal,
uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilicus, dan tidak ada tanda-tanda
perdarahan abnormal.
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi,
dan perdarahan abnormal
c. Memastikan ibu mendapat istirahat yang cukup
d. Memastikan ibu mendapat makanan yang
bergizi
e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan
tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit
III 2 minggu PP a. Memastikan involusi uterus berjalan normal,
uterus berkontraksi, fundus dibawah
umbilicus, dan tidak ada tanda-tanda
perdarahan abnormal.
b. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi,
dan perdarahan abnormal
c. Memastikan ibu mendapat istirahat yang cukup
d. Memastikan ibu mendapat makanan yang
bergizi
e. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan
tidak memperlihatkan tanda-tanda penyulit
IV 6 minggu PP a. Menanyakan pada ibu tentang penyulit-
penyulit yang ia alami
b. Memberikan konseling untuk KB secara dini,
imunisasi, senam nifas, dan tanda-tanda
bahaya yang dialami oleh ibu dan bayi

2. Periksa tekanan darah, perdarahan pervaginam, kondisi perineum, tanda infeksi,


kontaksi uterus, tinggi fundus, dan temperature secara rutin.
3. Nilai fungsi berkemih, fungsi cerna , penyembuhan luka, sakit kepala, rasa lelah dan
nyeri punggung.

17
4. Tanyakan ibu mengenai suasana emosinya, bagaimana dukungan yang didapatkannya
dari keluarga, pasangan, dan masyarakat untuk perawatan bayinya.
5. Tatalaksana dan rujuk ibu bila ditemukan masalah
6. Lengkapi vaksinasi tetanus toksoid bila diperlukan
7. Minta ibu segera menghubungi tenaga kesehatan bila menemukan salah satu tanda
berikut :
- Perdarahan berlebihan
- Sekret vagina berbau
- Demam
- Nyeri perut berat
- Kelelahan atau sesak nafas
- Bengkak di tangan, wajah, tungkai atau sakit kepala atau pandangan kabur
- Nyeri payudara, pembengkakan payudara, luka atau perdarahan pada putting

Hal-hal yang perlu diperhatihan selama nifas :15

a. Kebersihan diri
1) Membersihkan daerah vulva dari depan ke belakang setelah buang air kecil
atau besar dengan sabun dan air
2) Mengganti pembalut minimal dua kali sehari, atau sewaktu-waktu terasa
basah atau kotor dan tidak nyaman
3) Mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah membersihkan
daerah kelamin
4) Menghindari menyentuh daerah luka episiotomy atau laserasi
b. Istirahat
1) Beristirahat yang cukup, mengatur waktu istirahat pada saat bayi tidur,
karena terdapat kemungkinan ibu harus sering terbangun pada malam hari
karena menyusui
2) Melakukan rutinitas rumah tangga kembali secara bertahap
c. Latihan
Menjelaskan dan mengajarkan latihan untuk otot perut dan panggul
- Menarik otot perut bagian bawah sambil menarik napas dalam posisi tidur
terlentang dengan lengan disamping, tahan napas sampai hitungan 5, angkat
dagu ke dada, ulangi sebanyak 10 kali

18
- Berdiri dengan kedua tungkai dirapatkan. Tahan dan kencangkan otot pantat,
pinggul sampai hitungan 5, ulangi sebanyak 5 kali.

d. Gizi
- Mengkonsumsi tambahan 500 kalori/hari
- Diet seimbang (cukup protein, mineral dan vitamin)
- Minum minimal 3 liter/hari
- Suplemen besi diminum setidaknya selama 3 bulan pascasalin, terutama di
daerah dengan prevalensi anemia tinggi
- Suplemen vitamin A sebanyak 1 kapsul 200.000 IU diminum segera setelah
persalinan dan 1 kapsul 200.000 IU diminum 24 jam kemudian
e. Menyusui dan merawat payudara
Jelaskan kepada ibu mengenai cara menyusui dan merawat payudara,
pentingnya ASI ekslusif dan mengenai tanda-tanda kecukupan ASI dan
manajemen laktasi.
f. Senggama
Senggaman aman dilakukan setelah darah tidak keluar dan ibu tidak merasa
nyeri ketika memasukkan jari ke dalam vagina. Keputusan tentang senggama
bergantung pada masing-masing pasangan yang bersangkutan.
g. Kontrasepsi dan KB
Jelaskan kepada ibu mengenai pentingnya kontrasepsi dan keluarga berencana
setelah bersalin.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Djaković I, Ejubović E, Bolanča I, Markuš-Sandrić M, Bečić D, Djaković


Ž, et al. Third and fourth degree perineal tear in four-year period at sestre
milosrdnice University hospital center, Zagreb, Croatia. Open Access
Maced J Med Sci. 2018;6(6):1067–71.
2. Bratakoesoema DS, Angsar MD. Perlukaan pada Alat-Alat Genital. In:
Anwar M, Baziad A, Prabowo RP, editors. Ilmu Kandungan. 3th ed.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014. p. 329–32.
3. Cunningham FG. Laceration And Episiotomy Repairs. In: Cunningham FG,
Loveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hoffman BL, Casey BM, et al., editors.
Williams Obstetrics. 25th ed. New York: McGraw-Hill Education; 2018. p.
531–3.
4. Mora-Hervás I, Sánchez E, Carmona F, Espuña-Pons M. Perineal trauma in
primiparous women with spontaneous vaginal delivery: Episiotomy or
second degree perineal tear? Int J Women’s Heal Reprod Sci.
2015;3(2):84–8.
5. Netter, F., Machado, C., Hansen, J., Benninger, B. and Brueckner, J., 2014.
Atlas of Human Anatomy. 6th ed. Philadelphia: Elsevier.
6. Cargill YM, MacKinnon CJ. No. 148-Guidelines for Operative Vaginal
Birth. J Obstet Gynaecol Canada. 2018;40(2):e74–80.
7. Xiao L, Shi L, Liu S, Luo Y, Tian J, Zhang L. A core outcome set for
clinical trials of first- and second-degree perineal tears prevention and
treatment: a study protocol for a systematic review and a Delphi survey.
Trials. 2021;22(1):1–7.
8. Albar E. Perawatan Luka Jalan Lahir. In: Winkosastro H, Saifuddin AB,
Rachimhadhi T, editors. Ilmu Bedah Kebidanan. 2th ed. Jakarta: PT Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2017. p. 170–80.
9. Gommesen D, Nohr EA, Drue HC, Qvist N, Rasch V. Obstetric perineal
tears: risk factors, wound infection and dehiscence: a prospective cohort
study. Arch Gynecol Obstet. 2019;300(1):67–77.
10. De Leeuw JW, Vierhout ME, Struijk PC, Hop WCJ, Wallenburg HCS.
Anal sphincter damage after vaginal delivery: Functional outcome and
risk factors for fecal incontinence. Acta Obstet Gynecol Scand.
2001;80(9):830–4.
11. Cornet A, Porta O, Piñeiro L, Ferriols E, Gich I, Calaf J. Management of
Obstetric Perineal Tears: Do Obstetrics and Gynaecology Residents
Receive Adequate Training? Results of an Anonymous Survey. Obstet
Gynecol Int. 2012;2012:1–7.
12. Thakar R, Sultan AH. Obstetric anal sphincter injury : 7 critical questions
about care.
13. Pernoll Mrtin L. 2008. Benson And Pernoll’s Handbook Of Obstetrics And
Gynecology Tenth Edtion..New York : Medical Publising Division
14. Cendika, D, dan Indrawati. 2010. Panduan Pintar Dan Hamil Melahirkan.
Jakarta, Wahyu Media

Ob&G Manag. 2008;20(02):56–68.


15. Wahyuningsih HR. Asuhan Kebidanan Nifas dan Menyusui.KEMENKES RI.
2018

Anda mungkin juga menyukai