Anda di halaman 1dari 6

Laporan Pendahuluan Partus Lama

A. Definisi
Partus lama adalah persalinan yang berlangsung lebih lama dari 24 jam
digolongkan sebagai persalinan lama, namun demikian kalau kemajuan
persalinan tidak terjadi secara memadai selama periode itu situasi tersebut harus
segera dinilai permasalahnnya harus dikenali dan diatasi sebelum batas waktu 24
jam tercapai sebagian besar partus lama menunjukan pemanjangan apapun yang
menjadi penyebabnya cerviks gagal membuka penuh dalam jangka waktu yang
layak (Oxorn,2010).

B. Etiologi
1. Kelainan Tenaga (Power)
Kelainan Tenaga menyebabkan penyulit pada jalan lahir yang lazim terdapat
pada setiap persalinan dengan tenaga yang kurang dari ibu bersalin, sehingga
persalinan mengalami hambatan atau kemacetan.

2. Kelainan Janin (Passanger)


Persalinan dapat mengalami gangguan atau kemacetan karena kelainan dalam
letak atau bentuk janin. ibu yang mengalami malposisi saat bersalin beresiko
lebih besar mengalami partus lama. ibu yang memiliki tafsiran janin besar
lebih berisiko mengalami kejadian partus lama dibandingkan ibu yang tidak
memiliki tafsiran janin besar.

3. Kelainan Jalan Lahir (Passage)


Kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi kemajuan
persalinan yang menyebabkan kemacetan.

C. Patofisiologi
Pada kasus partus lama yaitu terjadi partus yang terjadi lebih dari 24 jam atau kala II
yang lebih dari 2 jam. Dimana hal ini bisa terjadi karena ibu mengalami kelelahan
saat mengejan untuk mengeluarkan bayi bisa disebabkan bayi/janin memiliki berat
yang berlebih, sehingga ibu mengalami kesulitan untuk mengejan. Bisa juga
disebabkan karena kelainan dalam ukuran atau bentuk jalan lahir bisa menghalangi
kemajuan persalinan yang menyebabkan kemacetan. Hal ini jika tidak ditangani
dengan tepat dan cepat maka akan mengancam keselamatan ibu maupun bayi/janin
dan juga dapat menyebabkan kelainan pada bayi.

D. Komplikasi
1. Ruptur Uteri
Bila membran amnion pecah dan cairan amnion mengalir keluar, janin akan
didorong ke segmen bawah rahim melalui kontraksi. Bila kontraksi
berlanjut, segmen bawa rahim menjadi meregang sehingga menjadi berbahaya
karena menipis dan menjadi lebih mudah ruptur. Ruptur uteri lebih sering terjadi
pada multipara terutama jika uterus telah melemah karena jaringan parut
atau riwayat secsio secarea. Kejadian ruptur juga dapat menyebabkan
perdarahan persalinan yang berakibat fatal jika tidak segera ditangani.
2. Pembentukan Fistula
Jika kepala janin terhambat cukup lama dalam pelvis, maka sebagian kandung
kemih, serviks, vagina dan rektum terperangkap diantara kepala janin dan tulang
– tulang pelvis dan mendapatkan tekanan yang berlebihan. Hal ini
mengakibatkan kerusakan sirkulasi oksigenasi pada jaringan – jaringan ini
menjadi tidak adekuat sehingga terjadi nekrosis dalam beberapa hari dan
menimbulkan munculnya fistula. Fistula dapat berupa vesiko-vaginal
(diantara kandung kemih dan vagina), vesiko – servikal (diantara kandung
kemih dan serviks), dan rekto – vaginal (berada diantara rektum dan vagina),
yang dapat menyebabkan terjadinya kebocoran urin atau veses dalam vagina
3. Sepsis Puerperalis
Infeksi merupakan bahaya serius bagi ibu dan bayi pada kasus – kasus
persalinan lama terutama karena selaput ketuban pecah dini.
4. Cedera otot-otot dasar panggul
Saat kelahiran bayi, dasar panggul mendapat tekanan langsung dari kepala
janin serta tekanan kebawah akibat upaya mengejan ibu. Gaya ini
meregangkan dan melebarkan dasar panggul sehingga terjadi perubahan
fungsional dan anatomic otot saraf dan jaringan ikat yang akan menimbulkan
inkontinensia urin dan prolaps organ panggul.
5. Kematian janin
Bila persalinan macet atau persalinan lama dibiarkan lebih lama maka akan
mengakibatkan kematian janin yang disebabkan karena tekanan berlebihan
pada plasenta dan korda umbilicus. Janin yang mati itu akan melunak
akibat pembusukan sehingga dapat menyebabkan terjadinya koagulasi
intravaskuler diseminata (KID). Hal ini dapat mengakibatkan perdarahan,
syok dan kematian pada maternal.

E. Penanganan Partus Lama


Dalam menghadapi persalinan lama dengan penyebab apapun, keadaan ibu
yang bersangkutan harus diawasi dengan seksama. Tekanan darah diukur setiap
empat jam, bahkan pemeriksaan perlu dilakukan lebih sering apabila ada gejala
preeklampsia. Denyut jantung janin dicatat setiap setengah jam dalam kala I dan
lebih sering dalam kala II. Kemungkinan dehidrasi dan asidosis harus mendapat
perhatian sepenuhnya. Karena persalinan lama selalu ada kemungkinan untuk
melakukan tindakan narcosis. Ibu hendaknya tidak diberi makanan biasa namun
diberikan dalam bentuk cairan. Sebaiknya diberikan infuse larutan glukosa 5%
dan larutas NaCl isotonik secara intravena berganti – ganti. Untuk mengurangi
rasa nyeri dapat ddiberikan petidin 50 mg yang dapat di ulangi, pada permulaan
kala I dapat diberikan 10 mg morfin. Pemeriksaan dalam mengandung bahaya
infeksi. Apabila persalinan berlangsung 24 jam tanpa kemajuan berarti maka perlu
diadakan penilaian seksama tentang keadaan. Apabila ketuban sudah pecah maka,
keputusan untuk menyelesaikan persalinan tidak boleh ditunda terlalu lama
berhubung mengantisipasi bahaya infeksi. Sebaiknya dalam 24 jam setelah
ketuban pecah sudah dapat diambil keputusan apakah perlu dilakukan seksio sesarea
dalam waktu singkat atau persalinan dapat dibiarkan berlangsung terus.
F. Pemeriksaan penunjang
1. Tes Laborat (warna, konsentrasi, bau dan pH nya.)
2. USG
3. CTG
G. Askep Teori
1. Data objektif
Data yang di dapat dari klien sebagai suatu pendapat terhadap situasi dan
kejadian informasi tersebut tidak di dapat dari perawat secara indefendent
tetapi melalui interkasi dan komunikasi riwayat keperawatan termasuk
persepsi klien, perasaan dan ide tentang status kesehatan misalnya nyeri,
lemah, frustasi, mual, ketakutan dan cemas.
2. Data subjektif
Data hasil observasi atau pengukuran dari satus kesehatan klien dapat diperoleh
menggunakan panca indera (lihat, dengar, cium, raba) selama pemeriksaan
fisik misalnya frekuensi nadi, pernafasan, tekanan darah, oedema, berat badan
dan tingkat kesadaran.
3. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera (NANDA, 2011)
Tujuan: Nyeri berkurang sampai dengan hilang.
Kriteria Hasil: Pasien mengatakan nyeri berkurang, ekspresi wajah pasien
tampak tenang.
Intervensi:
1) Kaji karakteristik nyeri, tingkat skala nyeri.
2) Monitor tanda-tanda vital.
3) Berikan posisi yang nyaman.
4) Ajarkan teknik relaksasi.
5) Beritahu penyebab nyeri
6) Beri obat analgesik.
b. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif (NANDA, 2011)
Tujuan: Agar luka tidak infeksi.
Kriteria Hasil: Luka kering dan bersih tanpa ada tanda dan gejala infeksi.
Intervensi:
1) Kaji peningkatan suhu, nadi, respirasi sebagai tanda infeksi.
2) Observasi insisi terhadap tanda infeksi: kemerahan, nyeri tekan, bengkak
pada sisi insisi, peningkatan suhu tubuh.
3) Ganti balutan luka.
4) Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
5) Kaji fundus uteri dan pengeluaran lochea.
6) Kolaborasi dalam pemberian antibiotik.
c. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan
makanan tidak adekuat (Carpenito, 2007)
Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil: Pasien menunjukkan pola makan atau perilaku untuk
mempertahankan berat badan yang tepat.
Intervensi:
1) Pantau masukan makanan setiap hari. 2) Timbang berat badan setiap hari.
3) Dorong pasien untuk makan diit tinggi kalori kaya nutrien.
4) Beri makan dalam porsi kecil sering.
5) Kolaborasi dalam pemberian diet.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik (Carpenito, 2007)
Tujuan: Aktivitas kembali sesuai dengan kemampuan pasien.
Kriteria Hasil: Pasien bisa beraktivitas seperti biasa.
Intervensi:
1) Bantu pasien memenuhi kebutuhan sehari-hari seminimal mungkin.
2) Beri posisi yang nyaman.
3) Bantu pasien dalam ambulasi diri.
4) Anjurkan pasien menghemat energi, hindari kegiatan yang melelahkan.
5) Jelaskan pentingnya mobilisasi diri.
e. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang perawatan
diri dan bayi (Carpenito, 2007)
Tujuan: Pengetahuan pasien bertambah.
Kriteria Hasil: Pasien mampu mengungkapkan pemahaman tentang
perawatan pasca caesarea.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien.
2) Beri penjelasan tentang perawatan diri dan bayinya.
3) Jelaskan perawatan insisi dan jaga kebersihan diri.
4) Demonstrasikan cara perawatan diri dan bayi.
5) Perlunya perawatan payudara dan ekspresi manual bila menyusui.
6) Jelaskan pentingnya ASI bagi bayi.
3. Hasil Evaluasi
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera: luka post op SC Hasil evaluasi
didapatkan data subjektif: pasien mengatakan nyeri pada luka post op SC
berkurang, P: nyeri karena ada luka jahitan post op SC, Q: nyeri seperti
ditusuk-tusuk jarum, R: nyeri pada daerah luka jahitan post op SC, S: skala
nyeri 3, T: nyeri bila menggerakkan anggota badan Data objektif: terdapat
luka jahitan post op SC sepanjang ± 14 cm, vertikal dan tertutup verban,
keadaan sekitar luka kemerahan, dan pasien tampak meringis bila perutnya
terasa sakit. Data tersebut menunjukkan tujuan dan kriteria hasil belum
mencapai hasil yang diharapkan, sehingga intervensi dilanjutkan kembali.
Mengkaji karakteristik skala nyeri (P, Q, R, S, T), mengkaji TTV,
menganjurkan nafas dalam jika nyeri muncul, memberikan posisi yang nyaman,
menciptakan lingkungan senyaman mungkin, dan kolaborasi dengan dokter
dalam pemberian analgetik.
2. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan prosedur invasif: adanya luka post
op SC, adanya prosedur invasif pembedahan, pemasangan kateter dan infus.
Hasil evaluasi didapatkan data subjektif: pasien mengatakan kateter sudah
dilepas tadi pagi. Data objektif: terdapat luka jahitan post op SC, keadaan
sekitar luka kemerahan, terpasang infus RL 20 tpm, TTV: TD: 110/70 mmHg,
N: 70x/menit, S: 36o C. Data tersebut menunjukkan tujuan dan kriteria hasil
belum mencapai hasil yang diharapkan, sehingga intervensi dilanjutkan
kembali. Mengobservasi tanda dan gejala infeksi, melakukan perawatan luka
dengan teknik aseptik dan antiseptik, mengajarkan teknik aseptik dan
antiseptik pada pasien dan keluarga, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian antibiotik.
3. Risiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan
makanan tidak adekuat. Hasil evaluasi didapatkan data subjektif: pasien
mengatakan sudah nafsu makan. Data objektif: pasien menghabiskan 1 porsi
makan diit dari RS, BB pasien 47 kg, TB 152 cm, konjungtiva an anemis, badan
tidak lemas lagi, dan tidak ada alergi makanan. Data tersebut menunjukkan
tujuan dan kriteria hasil telah mencapai hasil yang diharapkan, sehingga
intervensi tidak perlu dilanjutkan kembali.

Anda mungkin juga menyukai