BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hiperbilirubinemia
2.1.1 Definisi
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh
pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin indirek yang
kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan
berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90 (Blackburn, 2007). Pada orang
dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >2 mg/dl (>17µmol/L)
(86µmol/L) (Mishra dkk., 2007). Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis
mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total (Abdellatief dkk., 2012).
2.1.2 Klasifikasi
Terdapat dua jenis ikterus, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patologis :
Ikterus fisiologi adalah tidak mempunyai dasar patologi atau tidak mempunyai
potensi menjadi kernikterus. Biasanya timbul pada hari ke dua dan ke tiga. Kadar
bilirubin serum total 6-8 mg/dL, bahkan hingga 12 mg/dL pada bayi cukup bulan,
masih dianggap fisiologis (Mishra dkk., 2007). Penurunan kadar bilirubin total
akan terjadi secara cepat dalam 2-3 hari, kemudian diikuti penurunan lambat
sebesar 1 mg/dL selama 1- 2 minggu. Pada bayi kurang bulan kadar bilirubin
serum total 10-12 mg/dL, bahkan dapat meningkat hingga 15 mg/dL dengan tanpa
adanya gangguan pada metabolism bilirubin (Mishra dkk., 2007). Kadar bilirubin
total yang aman untuk bayi kurang bulan sangat bergantung pada usia kehamilan.
serum total meningkat > 0,5 mg/dL/jam. Ikterus biasanya bertahan setelah 8 hari
pada bayi cukup bulan dan 14 hari pada bayi kurang bulan. Keadaan klinis bayi
tidak baik seperti muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang
cepat, suhu tubuh yang tidak stabil, apnea (Martin dan Cloherty, 2004).
2.1.3 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat
disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, penyebab ikterus neonatarum
dapat dibagi:
Pada ikterus patologis terjadi oleh karena hemolisis yang meningkat seperti
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar (Mishra dkk., 2007).
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya
terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain
2.1.4 Patofisiologi
dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin indirek, indirek)
(Maisels, 2006).
Bilirubin dalam plasma diikat oleh albumin sehingga dapat larut dalam air.
Zat ini kemudian beredar dalam tubuh dan melewati lobulus hati. Hepatosit
McDonagh, 2008).
direabsorsi dari usus melalui jalur enterohepatik dan darah porta membawanya
empedu untuk kembali dialirkan ke usus, tetapi sebagian dibawa oleh sirkulasi
sistemik ke ginjal, tempat zat ini diekskresikan sebagai senyawa larut air bersama
dalam jumlah normal. Tanpa adanya kerusakan hati, obstruksi saluran ekskresi
2.1.5 Diagnosis
Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonatus secara klinis, mudah
dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer (Szabo dkk., 2001).
Lokasi penentuan derajat kuning berdasarkan Kramer dapat dlihat pada Gambar
2.2.
Gambar 2.2 Hubungan antara derajat ikterus di kulit dan perkiraan kadar
bilirubin serum (Szabo dkk., 2001)
tulangnya menonjol seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau
penyebab ikterus antara lain adalah golongan darah dan Coombs test, darah
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung
usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga harus diukur
terhadap usia neonatus >95% menurut Normogram Bhutani pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3 Kadar serum bilirubin terhadap usia neonatus menurut Normogram
Bhutani (American Academy of Pediatrics, 2004)
2.1.6 Komplikasi
Kadar bilirubin indirek yang sangat tinggi dapat menembus sawar otak dan
sel-sel otak, hal ini dapat menyebabkan terjadinya disfungsi saraf bahkan
saraf ini masih belum jelas. Bilirubin ensefalopati adalah manifestasi klinis yang
timbul akibat efek toksik bilirubin pada sistem saraf pusat yaitu basal ganglia dan
pada beberapa nuklei batang otak (Lauer dan Nancy, 2011). Kern ikterus adalah
beberapa daerah di otak terutama di ganglia basalis, pons dan serebelum. Akut
c. Fase Lanjut: ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan
Manifestasi klinis kernikterus: pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang
selamat biasanya menderita gejala sisa berupa bentuk athetoid cerebral palsy
yang berat, gangguan pendengaran, paralisis upward gaze dan displasia dental-
intensif dilakukan apabila kadar bilirubin total berada di atas garis kelompok
risiko sesuai dengan usia kehamilan. Faktor risiko termasuk isoimmune hemolytic
disease, defesiensi G6PD, asfiksia, letargi, suhu tubuh yang tidak stabil, sepsis,
2011). Metabolisme bilirubin selama fototerapi dapat dilihat pada Gambar 2.5
Ketika bilirubin menyerap sinar maka terjadi dua reaksi yaitu perubahan 4Z,
dapat berubah kembali menjadi bilirubin di dalam saluran cerna (jauh dari
2011).
Sumber sinar yang paling efektif untuk mendegradasi bilrubin adalah sinar
dengan panjang gelombang 400 – 520 nm, dengan gelombang terbaik 460
paling baik dan paling maksimal diserap oleh bilirubin. Sinar biru, hijau
dan turkois (antara biru dan hijau) merupakan sinar yang paling efektif.
Intensitas sinar yang dimaksud adalah jumlah photon yang disalurkan per
McDonagh, 2008).
Intensitas cahaya berbanding lurus dengan jarak antara bayi dan sinar,
semakin dekat jarak antara bayi dan sinar semakin tinggi intensitas sinar
yang didapat. Jarak yang dianggap cukup aman adalah sekitar 15-20 cm
Semakin luas area permukaan tubuh yang terpapar sinar maka makin
yang dihasilkan. Selain sumber sinar konvensional yang digunakan, saat ini telah
ada sumber sinar Light-Emitting Diodes (LED), fiberoptic, sinar halogen, dan
panas yang dihasilkan, lebih hemat dan bertahan lebih lama (Vreman dkk., 2004).
Penurunan kadar bilirubin yang paling cepat terjadi pada 4-6 jam pertama
menurunkan kadar bilirubin hingga 22% dalam 24 jam pertama. Pada fototerapi
ganda (menggunakan 2 alat) penurunan kadar bilirubin hingga 29% dalam 24 jam
pertama. Sedangkan pada fototerapi intensif kadar bilirubin harus turun 1-2
mg/dL (17-34 µmol/L) dalam 4-6 jam pertama dan 5 mgdL dalam 24 jam pertama
(Stokowski, 2011).
Pada bayi yang diberikan Air Susu Ibu (ASI) penurunan kadar bilirubin lebih
lambat jika dibandingkan bayi yang diberikan susu formula, sekitar 2-3 mg/dL per
meningkat, keadaan ini disebut rebound bilirubin, namun kondisi ini biasanya
hanya rata-rata 1 mg/dL sehingga bayi setelah fototerapi tidak perlu menunggu
ketidakseimbangan antara kadar oksidan dan antioksidan, dalam hal ini kadar
oksidan atau radikal bebas lebih tinggi dibandingkan dengan antioksidan (Block
Radikal bebas mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan,
disekitarnya (Yoshikawa dan Naito, 2002). Secara garis besar ada dua mekanisme
pembentukan radikal bebas yaitu melalui reaksi transfer elektron dan reaksi
transfer energi. Salah satu contoh radikal bebas yang terjadi melalui transfer
elektron dapat dilihat pada perubahan oksigen (O2) menjadi air (H2O) (Knuppel
dkk., 2012).
Gambar 2.7 Perubahan oksigen (O2) menjadi air (H2O) (Knuppel dkk, 2012)
(O2-), hydrogen peroxide (H2O2), hydroxyl radical (HO-). Bentuk perantara ini
photosensitization. Sensitizer (S) akan menyerap energi dari radiasi atau sinar dan
S + hv à S*
S* + O2 à 1O2
Beberapa contoh sensitizer adalah methylene blue, rose bengal, acridine orange,
chlorophylls, dan lain-lain. Oksigen singlet ini dalam perjalanannya dapat berubah
menjadi bentuk triplet yang lebih reaktif (Gathwala dan Sharma, 2000).
vitamin E, vitamin C, DNA, asam lemak tak jenuh pada membran, kolesterol, dan
beberapa asam lemak lainnya. Reaktifitas kimia oksigen singlet bersifat spesifik,
dapat dilihat pada Gambar 2.8. Apabila terjadi interaksi antara asam lemak tak
jenuh (RH) dengan oksigen singlet maka akan terbentuk hidroperoksida lipid
ikatan rangkap (yang juga penting dalam proses oksidasi asam lemak) (Kunwar
Secara fisiologis, ROS pada kadar yang rendah memiliki peran dalam
metabolisme di dalam tubuh. Reactive oxygen species berperan pada ekspersi gen,
melalui proses oksidasinya memiliki efek pada aktivasi faktor transkripsi seperti
pada ekspresi gen dan pertumbuhan sel. Selain itu ROS juga berperan dalam
species juga berperan dalam sistem imun, yaitu pada proliferasi sel T melalui
aktivasi NF-kB, aktivasi makrofag dan neutrofil yang berperan pada proses
Secara garis besar ROS akan bereaksi dengan lipid, protein dan DNA
berbasis basa dan gula, radikal asam lemak, dan jenis radikal lainnya. Produk
radikal ini bila bereaksi dengan oksigen akan menghasilkan radikal peroxyl, yang
berkontribusi pada kerusakan oksidatif. Bila ROS bereaksi dengan membran lipid
ide, isoprotan, dan hidrokarbon. Akibat adanya peroksidasi lipid akan terjadi
(Sodergren, 2000).
tersier, degradasi proteolitik dan fragmentasi. Rantai samping dari semua asam
amino dari protein, khususnya di triptofan, sistein dan residu metionin rentan
terhadap oksidasi oleh ROS. Produk oksidasi protein biasanya berupa karbonil
seperti aldehida dan keton (Gathwala dan Sharma, 2000; Sodergren, 2000).
modifikasi basa DNA, putusnya untai DNA tunggal dan ganda, hilangnya purin,
kerusakan gula deoksiribosa dan kerusakan pada sistem perbaikan DNA. Radikal
OH adalah salah satu induser potensi kerusakan DNA. Tidak semua ROS dapat
menyebabkan kerusakan DNA dan radikal OH ini salah satu yang dapat
dasar. Radikal bebas juga dapat menyerang bagian gula, yang dapat menghasilkan
gula radikal peroksil dan menginduksi putusnya untaian DNA. Kerusakan DNA
yang menyebabkan stres oksidatif dalam sel. Oleh karena itu, sel-sel telah
Antioksidan adalah zat yang ada pada konsentrasi rendah dan secara
dapat menyumbangkan elektron mereka sendiri untuk ROS dan dengan demikian
menetralkan efek buruk yang dapat terjadi nantinya . Secara umum, antioksidan
dalam tubuh dapat bekerja pada tiga tingkatan yang berbeda, yaitu: (a)
perbaikan molekul target yang rusak misalnya glutathione (Monroy dan Mejia,
2013).
yang dikonsumsi untuk proses aerobik akan dikonversi menjadi superoksida anion
yang harus dikonversi menjadi molekul yang kurang reaktif (Monroy dan Mejia,
2013). Enzim utama yang mengatur proses ini adalah Superoksida Dismutase
Gambar 2.10 Pertahanan Antioksidan pada Manusia (Monroy dan Mejia, 2013)
terhadap ROS. Enzim ini hadir di hampir semua sel, dan mengkonversi •O2-
menjadi H2O2. Mitokondria dan SOD bakteri mengandung Mn, sementara SOD
sitosol adalah dimer yang mengandung Cu dan Zn. Sebagai H2O2 mungkin masih
bereaksi dengan ROS lainnya, maka perlu terdegradasi oleh salah satu dari dua
mengubahnya menjadi air dan molekul oksigen. Ada juga mekanisme antioksidan
biologis pada organisme. Ada dua jalur utama terjadinya photosensitization pada
hiperbilirubinemia yang mendapat fototerapi, yaitu Tipe I dan Tipe II seperti yang
Bilirubin dalam proses ini bersifat sebagai sensitizer. Bilirubin yang terpapar
oleh sinar fototerapi (hv) akan menyerap energi tersebut dan berubah menjadi
bentuk triplet (3bilirubin*). Bentuk triplet ini sangat berenergi. Pada tipe I,
maka 3bilirubin* akan mengambil elektron dari komponen tersebut. Proses ini
Jika terdapat oksigen (3O2), maka bilirubin - dapat mentransfer elektron yang baru
•
kembali ke bentuk dasar. Dengan demikian , dalam Tipe I reaksi perubahan kimia
terjadi dan produk baru terbentuk (misalnya X + dan O2 -). Pada reaksi tipe II
• •
3
bilirubin* langsung bereaksi dengan oksigen menghasilkan oksigen singlet (1O2).
Oksigen singlet ini dapat bereaksi dengan asam lemak tak jenuh dan
Proses oksidasi tersebut dapat terjadi lebih mudah pada membran sel darah
merah neonatus. Membran sel darah merah neonatus berbeda dengan orang
dewasa, baik secara komposisi biokemikal dan biofisikal (Bracii dan Buonocore,
sehingga semakin banyak pula oksigen singlet dan hidrogen peroksidase yang
tinggi dibandingkan dengan hemoglobin orang dewasa. Membran sel darah merah
acid (PUFA). Reaksi antara radikal bebas dan asam lemak tak jenuh inilah yang
antioksidan pada bayi kurang bulan kurang aktif jika dibandingkan dengan bayi
cukup bulan. Pada bayi kurang bulan dan bayi cukup bulan didapatkan adanya
plasenta. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ripalda dan Rudol tentang
korelasi positif dengan penambahan berat badan fetus dan umur kehamilan, pada
bayi kurang bulan kadarnya lebih rendah daripada bayi cukup bulan. Bila
2000).
Bilirubin ketika terikat dengan albumin mengurangi kadar asam linoleat dan
peroksi radikal akibat oksidasi secara in-vitro. Pada tekanan parsial rendah
oksigen, bilirubin adalah inhibitor peroksidasi lipid yang lebih baik daripada
vitamin E (Gathwala dan Sharma, 2000). Pada awal tahun 1950-an, bilirubin
dilaporkan memiliki efek melindungi terhadap oksidasi lipid seperti asam linoleat
dan vitamin A serta pada akhir 1980-an, efek antioksidan dari bilirubin melebihi
Stres oksidatif telah dicurigai sebagai penyebab berbagai penyakit pada neonatus
duktus arteriosus. Reaksi oksidatif ini juga diyakini memiliki peranan dalam
terjadinya berbagai penyakit alergi (asma, rinitis alergi, konjungtivitis) pada saat
berinteraksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel dan
garis besar proses peroksidasi lipid terjadi melalui tiga tahapan yaitu; tahap
inisiasi, tahap propagasi, dan tahap terminasi (Dotan dkk., 2004; El-Beltagi dan
1. Tahap Inisiasi
Reactive Oxygen Species (ROS) dalam bentuk oksigen singlet (1O2) dan OH •
2. Tahap Propagasi
Radikal lipid (L ) yang dihasilkan pada tahap inisiasi merupakan molekul yang
•
sangat tidak stabil, sehingga mudah bereaksi dengan oksigen menciptakan dan
radikal lipid peroksil (LOO ). Radikal lipid peroksil ini juga merupakan
•
molekul yang tidak stabil. Apabila bereaksi dengan asam lemak bebas lainnya
maka akan kembali membentuk hidroperosida lipid (LOOH). Siklus ini akan
3. Tahap Terminasi
menghasilkan molekul radikal yang lain, itulah sebabnya mengapa proses ini
disebut mekanisme reaksi berantai. Reaksi radikal berhenti ketika dua radikal
bereaksi dan menghasilkan spesies non-radikal. Hal ini terjadi hanya jika
reaksi antara dua radikal cukup tinggi. Organisme hidup memiliki molekuk
adalah produk peroksidasi lipid, terutama asam lemak tak jenuh, yang
atau, jika berasal asam lemaknya berasal dari asam arakidonat, menjadi
isoprostanes, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.13. Semua produk yang
berasal dari degradasi dan dekomposisi ini dapat digunakan dalam menilai stres
Gambar 2.13 Alur Pembentukan Produk Peroksidasi Lipid (Dotan dkk., 2004)
Hingga saat ini, MDA maupun Isoprostan telah ditemukan hampir di seluruh
berbagai organ, cairan amnion, cairan perikardial dan cairan seminal. Namun
plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling
2.6 Malondialdehid
lipid yang berupa aldehid reaktif, dan merupakan salah satu dari banyak spesies
elektrofil reaktif yang menyebabkan stres toksik pada sel, dan membentuk produk
protein kovalen yang dikenal dengan sebutan advance lipoxidation end products
berasal dari peroksidasi asam lemak tak jenuh. Bila dibandingkan dengan HNE
kadar MDA dalam cairan tubuh mencapai 10 kali jika dibandingkan dengan HNE
dipelajari dari peroksidasi asam lemak tak jenuh. Sejak tahun 1960 beberapa
metoda telah dikembangkan untuk menilai molekul ini untuk mengukur tingkat
Analisis MDA merupakan analisis radikal bebas secara tidak langsung dan
merupakan analisis yang cukup mudah untuk menentukan jumlah radikal bebas
yang terbentuk. Analisis radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan,
karena radikal ini sangat tidak stabil dan cenderung untuk merebut elektron
senyawa lain agar lebih stabil. Reaksi ini berlangsung sangat cepat sehingga
pengukurannya sangat sulit bila dalam bentuk senyawa radikal bebas (Delrio dkk.,
dengan berat molekul rendah (berat formula = 72,07), rantai pendek, dan bersifat
volatil asam lemah (pKa = 4,46). Hingga saat ini, MDA telah ditemukan hampir di
seluruh cairan biologis, termasuk pada plasma, urin, cairan persendian, cairan
pelbagai organ, cairan amnion, cairan perikardial dan cairan seminal. Namun
plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum digunakan karena paling
mudah didapatkan dan paling tidak invasif. Data yang tersedia hingga saat ini juga
menunjukkan pengukuran kadar MDA baik dari plasma maupun urin memberikan
hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stres oksidatif (Jetawattana, 2005).
Salah satu metoda yang pertama dan masih yang paling banyak digunakan
untuk mendeteksi MDA adalah bahwa dikembangkan oleh Yagi, yaitu reaksi
antara darah lipid dan endapan protein pada suhu 95OC dalam kondisi asam.
substances’’ (TBARS) bukannya MDA. Pada proses ini MDA melakukan reaksi
panjang gelombang 532 nm. Inilah yang merupakan dasar analisis metode dengan
beberapa alasan, yaitu: (1) Pembentukan MDA meningkat sesuai dengan stres
oksidatif, (2) kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode yang
telah tersedia, (3) bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi, (4)
pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi oleh
kandungan lemak dalam diet, (5) merupakan produk spesifik dari peroksidasi
lemak, (6) terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan tubuh