Anda di halaman 1dari 127

MODUL KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN NEUROLOGI

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2021
MODUL KEPANITERAAN KLINIK
NEUROLOGI

TIM PENYUSUN/PENULIS

Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S (K) dr. Dedi Sutia, Sp. N (K) FINA

Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp. S (K) dr. Restu Susanti, Sp. S (K) M.Biomed

dr. Syarif Indra, Sp. S (K) dr. Fanny Adhy Putri, Sp. N

dr. Hendra Permana, Sp. S (K) dr. Reno Bestari, Sp. N

Edisi 2021
Modul Kepaniteran Klinik
Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Editor :
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)
dr. Fanny Adhy Putri, Sp.N
dr. Reno Bestari, Sp.N
Dr. dr. Efrida, Sp.PK (K), M.Kes
dr. Taufik Hidayat, MSc, Sp.F.M, MSc
Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F.M (K)
dr. Denada Florencia Leona
dr. Atika Indah Sari
dr. Westi Permata Wati

Kontributor :
Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S(K)
Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S(K)
dr. Syarif Indra, Sp.S(K)
dr. Hendra Permana, Sp.S(K)
dr. Dedi Sutia, Sp.N(K) FINA
dr. Restu Susanti, Sp.S(K) M. Biomed
dr. Fanny Adhy Putri, Sp.N
dr. Reno Bestari, Sp.N
Daftar Isi

Daftar Isi …………………………………………………………………………… i


Kata Pengantar …………………………………………………………………….. ii
Informasi Umum Modul …………………………………………………………… 1
Karakteristik Mahasiswa …………………………………………………………… 2
Capaian Pembelajaran ……………………………………………………………… 2
Pre Assessment …………………………………………………………………….. 16
Pokok Bahasan / Materi Penyakit
Penyakit neurovaskular….…………………………………………………… 16
Infeksi sistem saraf pusat…...………………………………………………... 30
Epilepsi…....………………………………………………………………..… 40
Nyeri Kepala Primer………..………………………………………………… 54
Low Back Pain…….…….……………………………………………………. 68
Penyakit saraf tepi.…………………………………………………………… 79
Gangguan sistem vestibular.…………………………………………………. 94
Penyakit neurodegeneratif……………………………………………………. 100
Metode Pengajaran dan Aktivitas Pembelajaran …………………………………. 110
Sumber Daya ……………………………………………………………………… 111
Evaluasi Pembelajaran ……………………………………………………………. 114
Lampiran ………………………………………………………………………….. 115

i
Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dimana dengan berkat dan rahmatNya kita
dapat merangkum keilmuan di bidang Neurologi dalam bentuk modul Kepaniteraan
Klinik Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil
Padang.
Modul ini merupakan panduan pembelajaran dan acuan dalam kepaniteraan
klinik yang dilakukan mahasiswa program pendidikan profesi dokter (P3D) saat
melakukan kegiatan praktek klinik di bagian Neurologi. Modul ini juga dapat menjadi
pegangan bagi mahasiswa P3D dan staf pengajar dalam melakukan kegiatan praktek
klinik, sehingga terdapat keseragaman dan keteraturan dalam melakukan kegiatan dan
juga penilaian saat melakukan praktek klinik di bagian Neurologi.
Ucapan terima kasih kepada semua staf pengajar Bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang yang telah memberikan
sumbangan pemikiran dalam pembuatan modul ini. Kami menyadari bahwa modul ini
masih jauh dari sempurna, karena itu saran, masukan dan kritik yang membangun sangat
kami harapkan untuk perbaikan dan kesempurnaan modul ini. Semoga kita dapat
mendidik dokter Indonesia menjadi dokter yang mempunyai kompetensi sesuai dengan
Standar Kompetensi Dokter Indonesia.

Padang, April 2021

Bagian Neurologi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Ketua,

Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)


NIP. 196407081991032001

ii
MODUL KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN NEUROLOGI

NOMOR MODUL : 09UN16.2/MEU/MODUL/2021


1. Informasi Umum Modul
DESKRIPSI BAGIAN:
Ketua Bagian : Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S (K)
Sekretaris Bagian : dr. Hendra Permana, Sp.S (K)
Koordinator Pendidikan : dr. Reno Bestari, Sp. N
Lama kepaniteraan klinik : 4,5 minggu
SKS : 2,5

Sub Bagian Neurologi :


1. Sub bagian Stroke dan pembuluh darah :
- dr. Syarif Indra, Sp.S (K)
- dr. Dedi Sutia, Sp.N(K) FINA
2. Sub bagian Movement disorder:
- Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S(K)
3. Sub bagian Epilepsi :
- dr. Hendra Permana, Sp.S(K)
4. Sub bagian Nyeri :
- Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S(K)
5. Sub bagian Nyeri kepala:
- dr. Restu Susanti, Sp.S(K) M. Biomed
6. Sub bagian Neuroinfeksi:
- dr. Fanny Adhy Putri, Sp.N
7. Sub bagian Neuroonkologi :
- dr. Reno Bestari, Sp.N
8. Sub bagian Neurobehaviour:
- Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp.S(K)
9. Sub bagian Neurointervensi :
- dr. Dedi Sutia, Sp.N(K) FINA

1
10. Sub bagian Neuropediatri :
- dr. Restu Susanti, Sp.S(K) M. Biomed
11. Sub bagian Sleep disorder :
- dr. Hendra Permana, Sp.S(K)
12. Sub bagian Neurofisiologi – Saraf Tepi :
- dr. Fanny Adhy Putri, Sp.N
13. Sub bagian Neurogeriatri :
- Prof. Dr. dr. Darwin Amir, Sp.S(K)
14. Sub bagian Neurotrauma :
- dr. Reno Bestari, Sp.N
15. Sub bagian Neurootologi/Vertigo :
- dr. Syarif Indra, Sp.N (K)

2. Karakteristik Mahasiswa
Mahasiswa yang dapat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Neurologi
adalah mahasiswa yang sudah menyelesaikan pendidikan S1 Kedokteran
yang telah mengikuti PPGD dan LOI.

3. Capaian Pembelajaran
1. Capaian Pembelajaran Lulusan
CPL - Sikap dan Tata Nilai:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu
menunjukkan sikap religious (S1);
2. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan
tugas berdasarkan agama, moral, dan etika (S2);
3. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan kemajuan
peradaban berdasarkan Pancasila (S3);
4. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah
air, memiliki nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada
negara dan bangsa (S4);
5. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan
kepercayaan, serta pendapat atau temuan orisinal orang lain
(S5);
6. Bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian
terhadap masyarakat dan lingkungan (S6);
7. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara (S7);

2
8. Menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik (S8);
9. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di
bidang keahliannya secara mandiri (S9); dan
10. Menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan
kewirausahaan (S10).

CPL - Keterampilan Umum:


1. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan
inovatif dalam konteks pengembangan atau implementasi
ilmu pengetahuan dan teknologi yang memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan bidang
keahliannya (KU1);

2. Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur


(KU2);

3. Mampu mengkaji implikasi pengembangan atau implementasi


ilmu pengetahuan teknologi yang memperhatikan dan
menerapkan nilai humaniora sesuai dengan keahliannya
berdasarkan kaidah, tata cara dan etika ilmiah dalam rangka
menghasilkan solusi, gagasan, desain atau kritik seni,
menyusun deskripsi saintifik hasil kajiannya dalam bentuk
skripsi atau laporan tugas akhir, dan mengunggahnya dalam
laman perguruan tinggi (KU3);

4. Menyusun deskripsi saintifik hasil kajian tersebut di atas


dalam bentuk skripsi atau laporan tugas akhir, dan
mengunggahnya dalam laman perguruan tinggi (KU4);

5. Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks


penyelesaian masalah di bidang keahliannya, berdasarkan
hasil analisis informasi dan data (KU5);

6. Mampu memelihara dan mengembangkan jaringan kerja


dengan pembimbing, kolega, sejawat baik di dalam maupun
di luar lembaganya (KU6);

7. Mampu bertanggungjawab atas pencapaian hasil kerja


kelompok dan melakukan supervisi dan evaluasi terhadap
penyelesaian pekerjaan yang ditugaskan kepada pekerja yang
berada di bawah tanggungjawabnya (KU7);

8. Mampu melakukan proses evaluasi diri terhadap kelompok


kerja yang berada di bawah tanggung jawabnya, dan mampu
mengelola pembelajaran secara mandiri (KU8); dan

3
9. Mampu mendokumentasikan, menyimpan, mengamankan,
dan menemukan kembali data untuk menjamin kesahihan dan
mencegah plagiasi (KU9).

CPL - Pengetahuan:
1. Mampu menguasai konsep dan teori pengetahuan dasar ilmu
dan teknologi biomedis (Anatomi, Histologi, Fisiologi dan
Biokimia) serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis
secara holistik dan penatalaksanaan pasien secara
komprehensif sebagai dokter di layanan primer dengan
pendekatan kedokteran keluarga(P1)

2. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu paraklinik medis


(Patologi Anatomi, Patologi Klinik, Parasitologi,
Mikrobiologi, Farmakologi, dan Ilmu gizi) serta aplikasinya
dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan
penatalaksanaan pasien secara komprehensif sebagai dokter di
layanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga (P2)

3. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu klinik medis (Ilmu


Penyakit Dalam, Ilmu Kesehatan Anak, Ilmu Bedah, Ilmu
Obstetri Gynecology, Ilmu Penyakit Mata, Ilmu Penyakit
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher, Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin, Pulmonologi dan Ilmu
Kedokteran Respirasi, Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh
Darah, Neurologi, Psikiatri, Ilmu Kesehatan Gigi dan Mulut,
Ilmu Anastesi dan Terapi intensif, Ilmu Rehabilitasi Medik,
Ilmu Radiologi, serta Ilmu Forensik dan Medikolegal) serta
aplikasinya dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan
penatalaksanaan pasien secara komprehensif sebagai dokter di
layanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga (P3)

4. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kesehatan Keluarga


dan Komunitas serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis
secara holistik dan penatalaksanaan pasien secara
komprehensif sebagai dokter di layanan primer dengan
pendekatan kedokteran keluarga (P4)

5. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kesehatan


Masyarakat serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis
secara holistik, penatalaksanaan pasien secara komprehensif,
dan pengelolaan program kesehatan masyarakat sebagai
dokter di layanan primer dengan pendekatan kedokteran

4
keluarga (P5).

6. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Komunikasi,


Bioetik dan Etika kedokteran serta aplikasinya dalam
penegakkan diagnosis secara holistik dan penatalaksanaan
pasien secara komprehensif sebagai dokter di layanan primer
dengan pendekatan kedokteran keluarga (P6)

7. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kepemimpinan dan


Managemen yang efektif serta aplikasinya dalam pengelolaan
program dan organisasi kesehatan masyarakat serta fasilitas
kesehatan (P7)

8. Mampu menguasai konsep dan teori metodologi, pelaksanaan


dan pengolahan data penelitian, penulisan dan publikasi hasil
penelitian ilmiah (P8)

9. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu kewirausahaan


dalam bidang pelayanan kesehatan (P9).

CPL - Keterampilan Khusus:


1. Kemampuan melaksanakan praktik kedokteran yang
profesional sesuai dengan nilai dan prinsip ke-Tuhan-an,
moral luhur, etika, disiplin, hukum, sosial budaya dan agama
dalam konteks lokal, regional dan global dalam mengelola
masalah kesehatan individu, keluarga, komunitas dan
masyarakat (KK1).

2. Kemampuan melakukan praktik kedokteran dengan


melakukan refleksi diri, menyadari keterbatasan, mengatasi
masalah personal, dan meningkatkan pengetahuan secara
berkesinambungan, serta menghasilkan karya inovatif dalam
rangka menyelesaikan masalah kesehatan individu, keluarga,
komunitas dan masyarakat demi keselamatan pasien (KK2).

3. Kemampuan berkolaborasi dan bekerja sama dengan sejawat


seprofesi, interprofesi kesehatan dan profesi lain dalam
pengelolaan masalah kesehatan dengan menerapkan nilai,
etika, peran dan tanggung jawab, pengelolaan masalah secara
efektif dan kemampuan mengembangkan pengelolaan
kesehatan berdasarkan berbagai kajian pengembangan
kerjasama dan kolaborasi (KK3).

4. Mampu mengaplikasikan prinsip keselamatan pasien dan


prinsip upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada
individu, keluarga, komunitas dan masyarakat (KK4).

5
5. Kapasitas untuk memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam
rangka melakukan perubahan terhadap fenomena kedokteran
dan kesehatan melalui tindakan kedokteran dan intervensi
kesehatan pada individu, keluarga, komunitas dan masyarakat
untuk kesejahteraan dan keselamatan manusia, serta kemajuan
ilmu dalam bidang kedokteran dan kesehatan yang
memperhatikan kajian inter/multidisiplin, inovatif dan teruji
(KK5).

6. Kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi,


menggunakan, mendiseminasikan dan menghasilkan materi
menggunakan teknologi informasi dan perangkat digital
secara efektif dalam pengembangan profesi dan keilmuan
untuk berkomunikasi, berekspresi, berkolaborasi dan advokasi
(KK6).

7. Kemampuan mengelola masalah kesehatan individu,


keluarga, komunitas dan masyarakat secara komprehensif,
holistik, terpadu dan berkesinambungan menggunakan
sumber daya secara efektif dalam konteks pelayanan
kesehatan primer (KK7).

8. Kemampuan melakukan prosedur klinis yang berkaitan


dengan masalah kesehatan dengan menerapkan prinsip
keselamatan pasien, keselamatan diri sendiri, dan keselamatan
orang lain (KK8).

9. Kemampuan membangun hubungan, menggali informasi,


menerima dan bertukar informasi, bernegoisasi dan persuasi
secara verbal dan nonverbal serta menunjukkan empati
kepada pasien dari semua usia, anggota keluarga, masyarakat
dan sejawat, dalam tatanan keragaman budaya lokal, regional
dan global (KK9).

2. Capaian Mata kuliah

Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan


Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik
penyakit, dan mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan
informasi lebih lanjut mengenai penyakit tersebut, selanjutnya
menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit
tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan

6
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan
awal, dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter
mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien
selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa
atau mencegah keparahan dan/ atau kecacatan pada pasien. Lulusan
dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan
pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah
kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan
secara mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/
atau Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)
Dengan demikian didalam Daftar Penyakit ini level kompetensi tertinggi
adalah 4A
Untuk capaian mata kuliah, diharapkan :
- Mahasiswa mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang dan
memberikan usulan terapi awal pada keadaan yang bukan gawat
darurat. Mahasiswa mampu menentukan rujukan yang paling tepat
bagi penanganan pasien selanjutnya (dalam konteks penilaian
mahasiswa) pada penyakit Neuropati jepitan, Demensia dan Penyakit
Parkinson.
- Mahasiswa mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan penunjang dan
memberikan terapi awal pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan
pada pasien (dalam konteks penilaian mahasiswa). Mahasiswa

7
mampu menentukan usulan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya pada penyakit neurovaskular, status
epileptikus dan infeksi sistem saraf pusat.
- Mahasiswa mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan penunjang, serta
mengusulkan penatalaksanaan penyakit atau melakukan
penatalaksanaan penyakit secara mandiri sesuai tugas klinik yang
dipercayakan (entrustable professional activity) pada saat pendidikan
dan pada saat penilaian kemampuan pada nyeri kepala primer, Bell‟s
palsy dan vertigo.

Tabel 1. Deskripsi penyakit Neurologi berdasarkan tingkat kompetensi


(SKDI, 2019)
No Daftar Penyakit TingkatKemampuan
Genetik & Kongenital
1 Spina bifida 2
2 Fenil ketonuria 1
3 Hidrosefalus kongenital 2
Gangguan Neurologik Pediatrik
4 Duchene muscular dystrophy 2
5 Kejang demam 4A
6 Kejang pada neonatus 3B
7 Cerebral palsy 2
Infeksi
8 Infeksi sitomegalovirus 3B
9 Meningitis 3B
10 Ensefalitis 3B
11 Malaria serebral 3B
12 Tetanus 3B
13 Vertigo sentral 3A
14 Neuritis vestibularis 3A
15 Tetanus neonatorum 3B
16 Toxoplasmosis serebral 2
17 Abses otak 2
18 HIV AIDS tanpa komplikasi 4A
19 HIV AIDS tanpa komplikasi pada anak 3A
20 AIDS dengan komplikasi 3A
21 Hidrosefalus 2
22 Poliomielitis 3B

8
23 Rabies 3A
24 Spondilitis TB 3B
Tumor Sistem Saraf Pusat
25 Tumor otak primer 2
26 Tumor otak sekunder 2
Penurunan Kesadaran
No Daftar Penyakit TingkatKemampuan
27 Ensefalopati 3B
28 Koma 3B
29 Mati batang otak 2
Sakit Kepala
30 Tension headache 4A
31 Migren 4A
32 Arteritis kranial 1
33 Neuralgia trigeminal 3A
34 Cluster headache 3A
Penyakit Neurovaskuler
35 TIA 3B
36 Infark serebral 3B
37 Hematom intraserebral 3B
38 Perdarahan subarachnoid 3B
39 Ensefalopati hipertensi 3B
Lesi Saraf Kranial dan Batang Otak
40 Bells’ palsy 4A
41 Lesi batang otak 2
Gangguan Sistem Vestibular
42 Meniere's disease 3A
Vertigo (Benign paroxysmal positional
43 4A
vertigo)
44 Cerebral palsy 2
Defisit Memori
45 Demensia 3A
46 Penyakit Alzheimer 2
47 Tics facialis 3A
48 Myelitis 2
49 Fraktur Basis Krani 3B
Gangguan Pergerakan
50 Parkinson 3A
51 Gangguan pergerakan lainnya 1
Epilepsi dan Kejang lainnya
52 Kejang 3B

9
53 Epilepsi 3A
54 Epilepsi Rujuk Balik 4A
55 Status epilepticus 3B
Penyakit Demielinisasi
No Daftar Penyakit TingkatKemampuan
56 Sklerosis multipel 2
Penyakit pada Tulang Belakang dan
Sumsum Tulang Belakang
57 Amyotrophic lateral sclerosis (ALS) 2
58 Complete spinal transection 3B
59 Sindroma kauda equina 2
60 Neurogenic bladder 3B
61 Siringomielia 1
62 Mielopati 2
63 Dorsal root syndrome 2
64 Acute medulla compression 3B
65 Radicular syndrome 3A
66 Hernia nucleus pulposus (HNP) 3A
Trauma
67 Hematom/ perdarahan epidural 3B
68 Hematom/ perdarahan subdural 3B
69 Trauma Medula Spinalis 3B
Nyeri
70 Reffered pain 3A
71 Nyeri neuropatik 3A
Penyakit Neuromuskuler dan Neuropati
72 Sindroma Horner 2
73 Carpal tunnel syndrome 3A
74 Tarsal tunnel syndrome 3A
75 Neuropati 3A
76 Peroneal palsy 3A
77 Guillain Barre syndrome 3B
78 Miastenia gravis 3B
79 Polimiositis 1
Neurofibromatosis (Von Recklaing Hausen
80 2
disease)
Gangguan Neurobehaviour
81 Amnesia paska trauma 3A
Gangguan Kognitif Ringan (Mild
82 3A
Cognitive Impairment-MCI)
83 Demensia 2

10
Gangguan Tidur
84 Insomnia 3B

Tabel 2. Daftar kompetensi keterampilan klinis (SKDI, 2019)

Tingkat
No Keterampilan
Keterampilan
PEMERIKSAAN FISIK
Fungsi Saraf Kranial
1 Pemeriksaan indra penghidu 4A
2 Inspeksi lebar celah palpebral 4A
3 Inspeksi pupil (ukuran dan bentuk) 4A
4 Reaksi pupil terhadap cahaya 4A
5 Reaksi pupil terhadap obyek dekat 4A
6 Penilaian gerakan bola mata 4A
7 Penilaian diplopia 4A
8 Penilaian nystagmus 4A
9 Refleks kornea 4A
10 Pemeriksaan funduskopi 4A
11 Penilaian kesimetrisan wajah 4A
12 Penilaian kekuatan otot temporal dan masseter 4A
13 Penilaian sensasi wajah 4A
14 Penilaian pergerakan wajah 4A
15 Penilaian indra pengecapan 4A
Penilaian indra pendengaran (lateralisasi, konduksi
16 4A
udara dan tulang)
17 Penilaian kemampuan menelan 4A
18 Inspeksi palatum 4A
19 Pemeriksaan refleks Gag 3
20 Penilaian otot sternomastoid dan trapezius 4A
21 Inspeksi lidah saat istirahat 4A
Inspeksi lidah untuk penilaian sistem motorik (misalnya
22 4A
dengan dijulurkan keluar)
Sistem Motorik
4A
23 Inspeksi: postur, habitus, gerakan involunter

24 Penilaian tonus otot 4A


25 Penilaian kekuatan otot 4A
26 Penilaian trofi otot 4A
27 Tes Fukuda 4A

11
28 Tes past-pointing 4A
Koordinasi
29 Inspeksi cara berjalan (gait) 4A
Tingkat
No Keterampilan
Keterampilan
30 Shallow knee bend 4A
31 Tes Romberg 4A
32 Tes Romberg dipertajam 4A
33 Tes telunjuk hidung 4A
34 Tes tumit lutut 4A
35 Tes untuk disdiadokinesis 4A
Sistem Sensorik
36 Penilaian sensasi nyeri 4A
37 Penilaian sensasi suhu 4A
38 Penilaian sensasi raba halus 4A
39 Penilaian rasa posisi (proprioseptif) 4A
40 Penilaian sensasi diskriminatif (misal stereognosis) 4A
41 Penilaian diskriminasi 2 titik 4A
42 Penilaian sensasi getar 4A
Fungsi Luhur
Penilaian tingkat kesadaran dengan skala koma Glasgow
43 4A
(GCS)
44 Penilaian orientasi 4A
Penilaian kemampuan berbicara dan berbahasa,
45 4A
termasuk penilaian afasia
46 Penilaian apraksia 2
47 Penilaian agnosia 2
48 Penilaian kemampuan belajar baru 2
49 Penilaian daya ingat/ memori 4A
50 Penilaian konsentrasi 4A
Refleks Fisiologis, Patologis, dan Primitif
Refleks tendon (bisep, trisep, pergelangan, platela,
51 4A
tumit)
52 Refleks abdominal 4A
53 Refleks kremaster 4A
54 Refleks anal 4A
55 Refleks menghisap/ rooting reflex 4A
56 Refleks menggengam palmar/ grasp reflex 4A
57 Refleks glabella 4A
58 Refleks palmomental 4A
59 Refleks Hoffmann-Tromner 4A

12
60 Snout reflex
4A

Tingkat
No Keterampilan
Keterampilan
61 Respon plantar (termasuk grup Babinski) 4A
Tulang Belakang
62 Mendeteksi nyeri diakibatkan tekanan vertical 4A
63 Penilaian fleksi lumbal 4A
Pemeriksaan Fisik Lainnya
64 Deteksi kaku kuduk 4A
65 Penilaian fontanel 4A
66 Tanda Patrick dan kontra-Patrick 4A
67 Tanda Chvostek 4A
68 Tanda Lasegue 4A
69 Tanda Kernigue 4A
70 Tanda Brudzinski I dan II 4A
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
71 Permintaan dan interpretasi X-Ray tengkorak 4A
72 Permintaan dan interpretasi X-Ray tulang belakang 4A
73 CT-Scan otak dan interpretasinya 2
74 EEG dan interpretasinya 2
75 EMG, EMNG dan iterpretasinya 2
76 Electronystagmography (ENG) 1
77 Magnetic Resonance Imaging (MRI) sistem saraf 1
78 PET, SPECT sistem saraf 1
79 Angiography 1
80 Duplex-scan pembuluh darah 1
81 Punksi lumbal 2
Keterampilan TERAPEUTIK
82 Therapeutic spinal tap 2

Dari 82 keterampilan klinis di bagian Neurologi, hampir 90% diantaranya


dengan kompetensi 4, yang mana menjadi keterampilan klinis yang wajib
dikuasai dan dilakukan secara mandiri oleh mahasiswa.

13
Tabel 3. Tingkat keterampilan klinis (SKDI, 2019)
Kriteria Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4
Mampu
melakukan
secara mandiri
Tingkat Mampu melakukan di bawah
Keterampilan supervisi
Klinis
Memahami clinical reasoning dan problem solving
keterampilan
Mengetahui teori keterampilan
Melakukan
pada pasien
Berlatih dengan alat peraga atau
Metode
pasien tersandar
Pembelajaran
Observasi langsung, demonstrasi
Perkuliahan, diskusi, penugasan, belajar mandiri

Objective Workbased
Penyelesaian
Structured Assessment
Metode Ujian tulis kasus secara
Clinical seperti mini-
Penilaian tertulis dan/atau
Examination Cex, portfolio,
lisan (oral test)
(OSCE) logbook, dsb

3. Sub Capaian Mata Kuliah

- Mahasiswa memiliki pengetahuan medis mengenai penyakit di bidang


Neurologi
- Mahasiswa mampu melakukan anamnesis yang lengkap dan terstruktur
terkait penyakit di bidang Neurologi
- Mahasiswa mampu menjelaskan etiologi, patogenesis dan patofisiologi
penyakit Neurologi
- Mahasiswa mampu menjelaskan gambaran klinis dan diagnosis serta
penatalaksanaan awal dan atau komprehensif penyakit Neurologi
- Mahasiswa mampu berkomunikasi, memberikan informasi dan edukasi
terkait penyakit Neurologi

14
4. Pre Assessment
Mahasiswa wajib mengikuti pre assessment / pretest berupa MCQ dan
essay neuroanatomi untuk mengetahui prior knowledge yang dimiliki oleh
mahasiswa saat memulai kepaniteraan klinik di bagian Neurologi.

5. Pokok Bahasan / Materi Penyakit-Penyakit


5.1 Penyakit neurovaskular
Subtopik : Stroke Hemoragik
Level Kompetensi : 3B
Perdarahan Intraserebral
Definisi
Perdarahan intraserebral adalah keadaan hilangnya sebagian atau seluruh fungsi
neurologis (defisit neurologik fokal atau global) yang terjadi secara mendadak
akibat terdapatnya sejumlah darah di parenkim otak atau di sistem ventrikel dan
bukan disebabkan trauma1.

Epidemiologi
Perdarahan intraserebral merupakan salah satu masalah kesehatan mayor di
dunia, dan kejadiannya dilaporkan 10-27% dari semua kejadian stroke.
Perdarahan intraserebral merupakan penyebab stroke terbanyak ketiga setelah
emboli dan trombosis.2

Etiologi
Penyebab tersering perdarahan intraserebral adalah hipertensi arteri. Peningkatan
tekanan darah merusak dinding pembuluh darah arteri yang kecil, menciptakan
mikroaneurisma yang dapat ruptur spontan. Lokasi predileksi untuk perdarahan
hipertensif intraserebral adalah ganglia basalis, thalamus, nuclei serebeli, dan
pons. Selain hipertensi, penyebab lain adalah malformasi arteriovenosus,
aneurisma, penyakit vascular yang meliputi vasculitis dan angiopati amyloid,
kevernoma, dan obstruksi aliran vena.2,3

Patofisiologi
Perdarahan intraserebral umumnya didahului oleh kerusakan dinding pembuluh
darah kecil di otak akibat hipertensi. Hipertensi kronik dapat menyebabkan
15
terbentuknya aneurisma pada pembuluh darah kecil di otak. Proses turbulensi
aliran darah mengakibatkan terbentuknya nekrosis fibrinoid, yaitu nekrosis
sel/jaringan dengan akumulasi matriks fibrin. Terjadi pula herniasi dinding
arteriol dan rupture tunika intima, sehingga terbentuk mikroaneurisma yang
disebut Charchot-Bouchard. Mikroaneurisma ini dapat pecah seketika saat
tekanan darah arteri meningkat mendadak.2,6
Pada kondisi normal, otak mempunyai sistem autoregulasi pembuluh darah
serebral untuk mempertahankan aliran darah ke otak. Jika tekanan darah sistemik
meningkat, sistem ini bekerja melakukan vasokonstriksi pembuluh darah
serebral. Sebaliknya, bila tekanan darah menurun akan terjadi vasodilatasi
pembuluh darah serebral. Pada kasus hipertensi, tekanan darah meningkat cukup
tinggi selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun. Hal ini dapat mengakibatkan
terjadinya proses hialinisasi pada dinding pembuluh darah sehingga pembuluh
darah akan kehilangan elastisitasnya. Kondisi ini berbahaya karena pembuluh
darah serebral tidak lagi bisa menyesuaikan diri dengan fluktuasi tekanan darah
sistemik, kenaikan tekanan darah secara mendadak akan dapat menyebabkan
pecahnya pembuluh darah.6
Darah yang keluar akan terakumulasi dan membentuk bekuan darah (hematom)
di parenkim otak. Volume hematom tersebut akan bertambah sehingga
memberikan efek desak ruang, menekan parenkim otak, serta menyebabkan
peningkatan TIK. Hal ini akan memperburuk kondisi klinis pasien yang
umumnya berlangsung dalam 24-48 jam onset, akibat perdarahan yang terus
berlangsung dengan edema di sekitarnya, serta efek desak ruang hematom yang
mengganggu metabolisme dan alirah darah.6

Gejala klinis
 Anamnesis:
Perjalanan klinis dapat berkembang dari defisit neurologis fokal hingga gejala
peningkatan TIK berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan muntah,
serta perburukan defisit neurologis seiring dengan perluasan lesi perdarahan
yang memberikan efek desak ruang. Manifestasi perdarahan intraserebral
menunjukkan gejala peningkatan tekanan intrakranial (sakit kepala, muntah,
kesadaran menurun) dan gejala penekanan parenkim otak (gejala tegantung
daerah otak yang tertekan/terdorong oleh bekuan darah).4 Perdarahan ganglia
16
basalis dengan kerusakan kapsula interna biasanya menyebabkan hemiparesis
kontralateral berat, sedangkan perdarahan pons menimbulkan tanda-tanda
batang otak.3
Nyeri kepala berkaitan dengan lokasi dan luas perdarahan, yaitu pada stroke
hemoragik di daerah lobaris, serebelum, dan lokasi yang berdekatan dengan
struktur permukaan meningen. Pada perdarahan kecil di parenkim yang tidak
memiliki serabut nyeri, tidak terdapat nyeri kepala saat fase awal perdarahan.
Namun seiring perluasan hematom yang menyebabkan peningkatan TIK dan
efek desak ruang, keluhan nyeri baru muncul yang biasanya disertai muntah
dan penurunan kesadaran. Penurunan kesadaran terjadi pada stroke hemoragik
yang besar atau berlokasi di batang otak. Hal ini disebabkan efek desak ruang
dan peningkatan TIK serta keterlibatan struktur reticulating activating system
(RAS) di batang otak. Muntah juga akibat peningkatan TIK atau kerusakan
lokal di ventrikel keempat, biasanya ada perdarahan sirkulasi posterior.
Kejang merupakan gejala yang dikaitkan dengan lokasi perdarahan. Lokasi
yang bersifat epileptogenik antara lain perdarahan lobar, gray white matter
junction di korteks serebri, dan putamen.6

 Pemeriksaan Fisik (Neurologis dan Umum)4


- GCS
- Kelumpuhan saraf kranial
- Kelemahan motorik
- Defisit sensorik
- Gangguan otonom
- Gangguan neurobehavior
- Penggunaan sistem skor bila tidak terdapat fasilitas pencitraan otak yang
dapat membedakan secara jelas patologi penyebab stroke. Sistem skoring
yang dapat digunakan adalah algoritma stroke Gajah Mada, skor stroke
Djunaedi, dan skor stroke Siriraj. Skor stroke Siriraj merupakan sistem
penskoran yang sering digunakan untuk membedakan stroke iskemik atau
perdarahan.
(2,5 x kesadaran) + (2 x vomitus) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x tekanan
diastolik) – (3 x ateroma) – 12
Interpretasi :
17
Skor <1 = stroke iskemik
Skor >1 = perdarahan intraserebral
Skor 0 = meragukan

Pemeriksaan penunjang4
- CT Scan kepala/MRI Brain
- CT/MR Angiografi Brain
- EKG
- Doppler Carotis
- Transcranial Doppler
- Laboratorium
- Rontgen torax
- Urinalisa
- DSA serebral

Dasar diagnosis
- Defisit neurologis fokal atau global yang muncul secara tiba-tiba, dapat
disertai tanda peningkatan tekanan intrakranial dan dibuktikan dengan
adanya
lesi perdarahan pada pemeriksaan neuroimaging otak (CT-Scan atau
MRI).4

Tatalaksana
Tatalaksana Umum1,4,5
- Satabilisasi jalan nafas dan pernafasan
- Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
- Pengendalian tekanan intracranial
o mannitol 0,25-0,5 gr/kgBB selama>20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target osmolaritas ≤ 310 mOsm
o furosemide 1 mg/kgBB jika diperlukan
- Pengendalian kejang : diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dilanjutkan fenitoin loading dose 15-20 mg/kgBB bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit

18
- Analgetik dan antipiretik jika diperlukan : asetaminofen 500-650 mg bila
suhu lebih dari 38 o
- Gastroprotektor jika diperlukan
- Manajemen nutrisi
- Pencegahan DVT dan emboli paru

Tatalaksana Spesifik1,4,5:
- Koreksi koagulopati
- Manajemen hipertensi, pasien dengan TD sistolik 150-220 mmHg tanpa
kontraindikasi antihipertensi, penurunan tekanan darah sistolik hingga
140 mmHg dinyatakan aman, anti hipertensi yang bisa diberikan;
o Nicardipin 5 mg/jam sebagai dosis awal, lalu dinaikkan 2,5 mg/jam
setiap 5-15 menit sampai efek yang diinginkan. Dosis maksimum 15
mg/jam
o ARB, Ace inhibitor, beta blocker, diuretik
- Manajemen gula darah (insulin, antidiabetik oral)
- Pencegahan (manajemen faktor risiko)
- Neuroprotektor
- Perawatan di unit stroke
- Neurorestorasi/neurorehabilitasi

Tindakan Operatif1,4,5:
- Pada sebagian besar pasien dengan perdarahan intrakranial, kegunaan
tindakan operasi masih belum pasti.
- Pasien dengan perdarahan serebral yang mengalami perburukan
neurologis, atau yang terdapat kompresi batang otak, dan atau
hidrosefalus akibat obstruksi ventirkel sebaiknya menjalani operasi
evakuasi bekuan darah secepatnnya. Tatalaksana awal pada pasien
tersebut dengan drainase ventrikuler saja tanpa evakuasi bekuan darah
tidak direkomendasikan.
- Pada pasien dengan bekuan darah di lobus > 30 ml dan terdapat di 1 cm
dari permukaan, evakuasi perdarahan intrakranial supratentorial dengan
kraniotomi standar dapat dipertimbangkan.

19
- Efektivitas evakuasi sumbatan secara invasif minimal menggunakan baik
aspirasi streotaktik maupun endoskopik dengan atau tanpa penggunaan
trombolitik masih belum pasti dalam tahap penelitian.
- Saat ini tidak terdapat bukti mengindikasikan pengangkatan segera dari
perdarahan intrakranial supratentorial untuk meningkatakan keluaran
fungsional atau angka kematian, kraniotomi segera dapat merugikan
karena dapat meningkatkan faktor resiko perdarahan berulang.

Edukasi4
Modifikasi Faktor resiko:
- Kurangi rokok
- Kendalikan hipertensi
- Lifestyle modifications

Perdarahan Subarachnoid
Definisi
Perdarahan subarachnoid merupakan kegawatdaruratan yang ditandai oleh nyeri
kepala yang sangat hebat yang muncul akut/tiba-tiba akibat perdarahan di ruang
subarachnoid.4

Etiologi
Penyebab tersering perdarahan subarachnoid spontan adalah rupture aneurisma
sakular, dengan masuknya darah ke dalam ruang subarachnoid, diikuti
perdarahan perimesensefalik nonaneurisma, dan sisanya akibat kondisi
lainnya.2,3,6

Patofisiologi
Perdarahan subarachnoid disebabkan oleh berbagai etiologi sehingga mekanisme
terjadinya perdarahan juga berbeda-beda. Aneurisma pembuluh darah didapat
selama perjalanan hidup, terutama pada decade kedua. Pada kasus tertentu
terdapat penyebab yang mendasarinya seperti trauma, infeksi, atau penyakit
jaringan penunjang. Penyebab aneurisma tumbuh tidak diketahui pasti, meskipun
terdapat berbagai faktor risiko ataupun kondisi predisposisi. Aneurisma lebih

20
sering muncul di intrakranial dibandingkan ekstrakranial karena dinding arteri
intracranial lebih tipis. Hal tersebut disebabkan tunika media yang menipis dan
hilangnya lamina elastika eksterna yang dibuktikan pada pemeriksaan
mikroskopik. Dinding aneurisma hanya terjadi dari lapisan intima dan adventisia
serta jaringan fibrohialin interposed dengan jumlah bervariasi. Tekanan pulsasi
tinggi maksimal di titik percabangan di proksimal arteri sekitar sirkulus willisi.
Oleh karena itu, lokasi percabangan arteri biasanya di basis kranii, baik di
sirkulus Willisi ataupun di dekat titik percabangan, merupakan lokasi utama dari
pembentukan aneurisma aterosklerosis. Titik ruptur aneurisma biasanya di kubah
lesi. Penyebab ruptur masih belum banyak diketahui, yang paling rasional adalah
peningkatan mendadak tekanan darah.6

Gejala klinis
 Anamnesis4
- Gejala peningkatan tekanan intrakranial dapat berupa : sakit kepala,
muntah-muntah, sampai kesadaran menurun.
- Gejala rangsang meningeal : sakit kepala, kaku leher, silau, sampai
kesadaran menurun

 Pemeriksaan Fisik3,4,6
- Iritasi meninges oleh darah subarachnoid menyebabkan kaku kuduk.
- Kesadaran dapat terganggu segera atau dalam beberapa jam pertama.
- Perdarahan subhialoid pada pemeriksaan funduskopi.
- Peningkatan tekanan darah.
- Kelumpuhan saraf kranial dan tanda neurologis fokal dapat timbul,
tergantung lokasi dan luas perdarahan.

Pemeriksaan Penunjang4

- CT scan + CT angiografi
- EKG
- Doppler Carotis
- Transcranial Doppler serial
- Laboratorium

21
- Rontgen thorax
- Urinalisis
- Lumbal Pungsi jika diperlukan
- DSA serebral

Dasar diagnosis
Nyeri kepala yang sangat hebat, muncul akut/tiba-tiba, disertai kaku kuduk,
dengan atau tanpa defisit neurologis lain, dan pada CT Scan Otak didapatkan
gambaran hiperdens di ruang subarachnoid.4

Tatalaksana
Tatalaksana Umum1,4,5
- Satabilisasi jalan nafas dan pernafasan
- Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
- Pengendalian tekanan intracranial (manitol jika diperlukan)
- Pengendalian kejang
- Analgetik dan antipiretik jika diperlukan
- Gastroprotektor jika diperlukan
- Manajemen nutrisi
- Pencegahan DVT dan emboli paru

Tatalaksana Spesifik1,4,5

- Manajemen hipertensi (nicardipin, ARB, Ace inhibitor, calcium


antagonist, beta blocker, diuretik)
- Manajemen gula darah (insulin, antidiabetik oral)
- Pencegahan perdarahan ulang (vitamin K, antifibrinolitik)
- Pencegahan vasospasme (nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV
pada hari ke 3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari.
Pemakaian nimodipin oral terbukti memperbaiki defisit neurologi yang
ditimbulkan oleh vasospasme)
- Neuroprotektor
- Perawatan di unit stroke
- Neurorestorasi/neurorehabilitasi

22
Tindakan Operatif

- Operasi Clipping atau endovaskuler coiling sangat direkomendasikan


untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA.
- Walaupun operasi yang dilakukan segera akan mengurangi risiko
perdarahan ulang setelah PSA, banyak penelitian yang meperlihatkan
bahwasecara keseluruhan hasil akhir tidak berbeda dengan operasi yang
ditunda. Operasi segera (early dan ultra early) dianjurkan pada pasien
dengan derajat yang lebih baik serta lokasi aneurisma yangtidak rumit.
Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau yang ditunda
direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus. Rujukan dini ke
pusat spesialis sangat dianjurkan. Penanganan dan pengobatan pasien
aneurisma lebih awal diajurkan untuk sebagian besar kasus
- Pasien aneurisma yang ruptur tindakan endovaskuler berupa coilling and
clipping ditentukan tim bedah saraf dan dokter endovaskuler. Tindakan
endovaskuler coiling lebih bermanfaat
- Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai risiko yang tinggi
untuk perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit
dianjurkan kapan saja bila memungkinkan.

Edukasi4
- Mengendalikan faktor risiko
- Pencegahan rekurensi

Referensi
- Kementrian Kesehatan Repuplik Indonesia. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tatalaksana Stroke 2019.27-37.
- Ropper, A.H. and Samuels, M.A. Adams and Victor‟s Principles of
Neurology Tenth Edition. Mc Graw Hill Medical. 2014. 837-853
- Baehr, M and Frotscher, M ; alih bahasa, Dimanti, A, Setaidi, A.
Diagnosis Topik Neurologi Duus. Jakarta; EGC. 2016. 383-390.
- Perdossi, Panduan Praktik Klinis Neurologi 2016. 154-159.

23
- Perdossi, Guideline Stroke 2011. 79-87.
- Aninditha, T, Wiratman, W. Buku Ajar Neurologi. Jakarta ; Departemen
Neurologi FKUI. 2017. 514-525.

Subtopik : Stroke infark


Level kompetensi : 3B
Definisi
Stroke adalah manifestasi klinis akut akibat disfungsi neurologis pada otak,
medulla spinalis, dan retina baik sebagian atau menyeluruh yang menetap selama
24 jam atau menimbulkan kematian akibat gangguan pembuluh darah. Stroke
yang disebabkan oleh infark (dibuktikan melalui pemeriksaan radiologi, patologi,
atau bukti lain yang menunjukkan iskemi otak, medulla spinalis, atau retina)
disebut stroke iskemik.1

Etiologi10

 Aterotrombotik (kebanyakan 30% dari stroke iskemik emboli dari


percabangan arteri karotis)
 Kardioemboli (25-35% dari stroke iskemik, sebagian besar karena
fibrilasi atrium [AF])
 Oklusi pembuluh darah kecil (25% dari stroke iskemik, mengarah ke
infark lacunar)
 Penyebab pasti lainnya
 Penyebab yang tidak dapat ditentukan

Epidemiologi

WHO memperkirkan ada 15 juta kasus stroke setiap tahun. Dari jumlah tersebut
5 juta meninggal karena stroke, dan 5 juta akan hidup dengan disabilitas jangka
panjang. Meski secara keseluruhan kejadian stroke diperkirakan akan meningkat
dengan populasi yang menua, angka kematian pada pasien stroke telah menurun
dengan kemajuan dalam pengobatan akut dan perawatan suportif. Karena
kelangsungan hidup yang lebih baik setelah stroke, diperkirakan ada 4.700.000
penderita stroke yang tinggal di Amerika Serikat; 30 sampai 50% dari mereka

24
tidak berfungsi kembali. Stroke berulang sering terjadi pada populasi ini. Pada
penderita stroke usia 40 sampai 69, 15% laki-laki dan 17% wanita diharapkan
mengalami stroke berulang dalam 5 tahun. Untuk penderita stroke pada usia 70
atau lebih, angka tersebut stroke berulang meningkat menjadi 23% untuk pria
dan 27% untuk wanita.5

Patofisiologi

Stroke iskemik akut terjadi akibat oklusi vaskular akibat penyakit tromboemboli.
Iskemia menyebabkan hipoksia sel dan penipisan adenosin trifosfat (ATP) di
dalam sel. Tanpa ATP, tidak ada lagi energi untuk mempertahankan gradien
ionik melintasi membran sel dan depolarisasi sel. Masuknya ion natrium dan
kalsium dan aliran pasif air ke dalam sel menyebabkan edema sitotoksik.6,7,8

Anamnesis1,4 :

a. Gangguan global berupa gangguan kesadaran


b. Gangguan fokal yang muncul mendadak, dapat berupa :
 Kelumpuhan sesisi/kedua sisi, kelumpuhan satu extremitas,
kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata, kelumpuhan otot-otot
untuk proses menelan, bicara dan sebagainya
 Gangguan fungsi keseimbangan
 Gangguan fungsi penghidu
 Gangguan fungsi penglihatan
 Gangguan fungsi pendengaran
 Gangguan fungsi Somatik Sensoris
 Gangguan Neurobehavioral yang meliputi :
- Gangguan atensi
- Gangguan memori
- Gangguan bicara verbal
- Gangguan mengerti pembicaraan
- Gangguan pengenalan ruang
- Gangguan fungsi kognitif lain

25
Pemeriksaan Fisik3
a. Penurunan GCS
b. Kelumpuhan saraf kranial
c. Kelemahan motorik
d. Defisit sensorik
e. Gangguan otonom
f. Gangguan neurobehavior

Gejala klinis2
Gejala karakteristik dari berbagai wilayah arteri adalah:
a. Serebri media - hilangnya kekuatan dan sensasi kontralateral di
wajah, lengan, dan kaki. Afasia jika disisi dominan, abaikan jika tidak
dominan.
b. Serebri anterior - hilangnya kekuatan dan sensasi kontralateral di kaki
dan lengan pada tingkat yang lebih rendah.
c. Serebri posterior - Defisit bidang visual serebral-kontralateral
posterior. Mungkin kebingungan dan afasia jika disisi dominan.
d. Penetrating (Sindrom Lacunar) - kelemahan atau sensorik
kontralateral kehilangan (biasanya tidak keduanya) di wajah, lengan,
dan tungkai. Tidak ada afasia, pengabaian, atau kehilangan
penglihatan. ataksia, disartria.
e. Vertebral (atau cerebellar inferior posterior) - ataksia, disartria,
disfagia, hilangnya sensorik ipsilateral pada wajah, dan sensorik
kontralateral kehilangan di bawah leher.
f. Basilar - berbagai kombinasi ataksia tungkai, disartria, disfagia,
kelemahan wajah dan tungkai dan kehilangan sensorik (bilateral),
pupil asimetri, pandangan diskonjugasi, kehilangan bidang visual,
menurun respon.

Pemeriksaan penunjang2
a. CT otak non-kontras atau MRI otak
b. Gula darah

26
c. Elektrolit serum / tes fungsi ginjal / hati
d. EKG dan pemantauan jantung
e. Hitung darah lengkap, termasuk jumlah trombosit

Dasar diagnosis3
Ditetapkan dari anamnesis dan pemeriksaan neurologis dimana didapatkan
gejala-gejala yang sesuai dengan waktu perjalanan penyakitnya dan gejala serta
tanda yang sesuai dengan daerah pendarahan pembuluh darah otak tertentu

Tatalaksana1,9
a. Tatalaksana Umum
 Stabilisasi jalan nafas dan pernapasan
 Stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid)
 Pengendalian peningkatan tekanan intrakranial
 Penanganan transformasi hemoragik
 Analgetik dan antipiterik, jika diperlukan
 Gastroprotektor, jika diperlukan
 Manajemen nutrisi
 Pencegahan DVT dan emboli paru : heparin atau LMWH

b. Tatalaksana Spesifik
 Trombolisis intravena : alteplase dosis 0.6-0.9 mg/kgBB, pada stroke
iskemik onset <6 jam
 Manajemen hipertensi (Nicardipin, ARB, ACE-Inhibitor, Calcium
Antagonist, Beta blocker, Diuretik)
 Manajemen gula darah (insulin, anti diabetik oral)
 Pengendalian tekanan intrakranial (manitol jika diperlukan)
 Pengendalian kejang (terapi anti kejang jika diperlukan)
 Pencegahan stroke sekunder (antiplatelet :aspirin, clopidogrel,
cilostazol atau antikoagulan : warfarin, dabigatran, rivaroxaban)
 Neroprotektor (citicholin, piracetam, pentoxyfiline, DLBS 1033)
 Perawatan di Unit Stroke
 Neurorestorasi / Neurorehabilitasi

27
c. Tindakan Intervensi/Operatif
 Terapi endovascular : trombektomi mekanik, pada stroke iskemik
dengan oklusi karotis interna atau pembuluh darah intrakranial, onset
<8 jam
 Carotid Endartersctomy (CEA), sesuai indikasi
 Carotid Artery Stenting (CAS), sesuai indikasi
 Stenting pembuluh darah intracranial, sesuai indikasi

Edukasi1
a. Modifikasi faktor resiko
b. Kurangi merokok
c. Perbaiki gaya hidup sehat
d. Kendalikan hipertensi, diabetes dan dislipidemia.

Komplikasi:
a. Stress ulcer
b. Disfagia
c. Pneumonia
d. Kejang
e. Vasospasme
f. Deep vein thrombosis
g. Ulcus decubitus
h. Urinary tract infection
i. Hiponatremia
j. Sepsis

Referensi :
1. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana Stroke. Kementrian
Kesehatan Repuplik Indonesia, 2019.
2. Grotta, J., Ramadan, A., Denny, M. and Savitz, S., 2020. Acute stroke care.
3rd ed. united kingdom: TJ International Ltd, Padstow Cornwall, p.3.
3. Caplan, D., 2016. Caplans stroke - a clinical approach. 5th ed. united
kingdom: Clays, St Ives plc, pp.71-73, 55-56.
4. Guideline Stroke. PERDOSSI. Jakarta, 2011.

28
5. Bernard, B. and Andrew, M., 2016. Hemorrhagic and Ischemic Stroke.
united kingdom, pp.3-4.
6. Donnan GA, Fisher M, Macleod M, Davis SM. Stroke. Lancet. 2008.
371(9624):1612-23.
7. Dirnagl U, Iadecola C, Moskowitz MA. Pathobiology of ischaemic stroke:
an integrated view. Trends Neurosci. 1999 Sep. 22(9):391-7.
8. Yuan J, Yankner BA. Apoptosis in the nervous system. Nature. 2000.
407(6805):802-9.
9. Panduan Praktik Klinis Neurologi PERDOSSI 2016
10. Brainin, M. and Heiss, W., n.d. Textbook of stroke medicine. 3rd ed. united
kingdom, pp.38-47.
11. Al R, Misbach J, Harris S. Stroke Komplikasi Medis dan Tatalaksana.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.

5.2 Infeksi sistem saraf pusat


Sub topik : Meningitis Bakterialis
Level kompetensi : 3B
Definisi
Meningitis bakterialis akut adalah infeksi meningitis yang terjadi dalam
waktu kurang dari 3 hari dan umumnya disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini
sering juga disebut sebagai meningitis bakterialis atau meningitis purulenta.1

Epidemiologi

Kasus MB terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara dengan empat


musim, MB lebih banyak terjadi di musim dingin dan awal musim semi. MB
lebih banyak terjadi pada pria. Insiden MB adalah 2-6/100.000 per tahun dengan
puncak kejadian pada kelompok bayi, remaja, dan lansia. Tingkat insiden
tahunan (per 100.000) MB sesuai patogennya adalah sebagai berikut:
Streptococcus pneumonia, 1,1; Neisseria meningitidis, 0,6; Streptococcus, 0,3;
Listeria monocytogenes, 0,2; dan Haemophilus infl uenza, 0,2.2

Etiologi1

- Neisseria meningitidis
- Sterptokokus pneumonia
- Hemophylus influenza
- Streptococcus grup B
- Listeria monocytogenes

29
Patofisiologi

Kuman masuk ke dalam SSP secara hematogen atau langsung menyebar


dari infeksi di nasofaring, atau perluasan infeksi dari struktur intracranial
misalnya sinusitis atau infeksi telinga tengah. Infeksi yang ada menyebabkan
selaput meningen meradang dan membengkak, dan proses inflamasi yang ada
merangsang reseptor nyeri sehingga menimbulkan gejala nyeri dan kaku kuduk.3

Gejala klinis

Anamnesis: demam tinggi, menggigil, sakit kepala, fotofobia, mialgia. Pada


keadaan lebih lanjut dapat timbul kejang, perubahan status mental sampai
penurunan kesadaran hemiparesis dan lainnya.1,3
Pemeriksaan fisik1,2
• Tanda-tanda rangsang meningeal
• Papiledema biasanya tampak beberapa jam setelah onset
• Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis: kelumpuhan otot
okuler, kelemahan wajah dan penurunan pendengaran
• Gejala lain: infeksi ekstrakranial misalnya sinusitis, otitis media, mastoiditis,
pneumonia, infeksi saluran kemih, arthritis (N. Meningitidis).

Pemeriksaan penunjang :3
- Diagnosa pasti dengan pemeriksaan CSS, melalui punksi lumbal (dimana
ditemukan leukosit PMN dan jumlah sel 1.000-10.000/mm
- Pemeriksaan darah: kultur darah, darah lengkap , kimia darah (gula darah
sewaktu, fungsi ginjal: ureum/kreatinin, fungsi hati: SGOT&SGPT) dan
elektrolit darah
- Foto polos paru
- Brain CT-Scan dengan kontras atau MRI dengan kontras atas indikasi

Diagnosis1

Kriteria diagnosis:
- Gejala dan tanda klinis meningitis
- Parameter LCS abnormal : predominansi PMN, rasio glukosa LCS: darah
<0,4

30
- Didapatkannya bakteri penyebab di dalam LCS secara mikroskopis
dan/hasil kultur positif
Dengan atau tanpa:
- Riwayat infeksi slauran nafas atas yang baru
- Riwayat faktor predisposisi seperti pneumonia , sinuisitis, otitis media,
gangguan imunologi, alkoholisme dan DM

Diagnosis banding1,3

- Meningitis TB
- Meningitis virus

Tatalaksana3,4

- Perawatan umum :
o Monitoring tanda vital
o Monitoring intake/output, mencegah dehidrasi, hiponatremi,
hipokalemi dan oedem otak
o Nutrisi yang cukup
o Posisi mencegah dekubitus
- Perawatan khusus :
o Antibiotik parenteral 10-14 hari
o Terapi empiris:
 Ceftriaxon 2 gram/12 jam IV atau cefotaxim 2gr/6 jam
IVAmpicilin 200-300 mg/kg BB/hari, interval 6 jam
 Alergi penisilin: kloramfenikol 25 mg/kgbb/6 jam IV
o Terapi definitif: sesuai hasil kultur
 Cefotaxim 2gr/6 IV atau Ceftriaxone 2gr/12 jam
 Amoxicillin 2 gr/4 jam
o Adjuvan: Dexamethason 10 mg/6 jam IV

Komplikasi :3

- Kejang
- Vaskulitis
- Sepsis berat

31
- Hidrosefalus
- Empiema subdural
- Abses otak
- Trombosis sinus

Prognosis
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal
memiliki tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang
bertahan hidup, terdapat sekuel defisit neurologik seperti gangguan pendengaran
dan defisit neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis
buruk adalah pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan
kesadaran, jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus.
Gangguan fungsi kognitif terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan
dari MB.2

Edukasi

 Edukasi mengenai penyebab, alur penularan dan perjalanan penyakit


 Edukasi mengenai tindakan lumbal pungsi yang perlu dilakukan untuk
menegakan diagnosis
 Edukasi mengenai tatalaksana, pemberian antibiotik selama 10-14 hari
 Edukasi mengenai komplikasi yang dapat timbul dan prognosis yang
buruk jika tidak diobati

Referensi :

 Ganiem, A R. 2011. Meningitis Bakterialis Akut. Infeksi pada Sistem Saraf.


Kelompok Studi Neuroinfeksi, PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University
Press; hal 1-10.
 Meisadona G, Soebroto A D, Estiasari R. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis Bakterialis. CDK Journal. CDK-224/ vol. 42 no. 1; hal 15-19
 Satiti, S. 2019. Meningitis Bakterial. Modul Neuroinfeksi. Kelompok Studi
Neuroinfeksi, PERDOSSI. Malang: UB Press; hal 294-313.
 Beek, D, et al. 2016. ESCMID guideline: diagnosis and treatment of acute
bacterial meningitis. Clin Microbiol Infect ; 22: S37–S62

32
Sub Topik : Meningitis Tuberkulosa
Level kompetensi : 3B

Definisi
Meningitis tuberkulosis adalah reaksi peradangan yang mengenai selaput
otak yang disebabkan oleh kuman mikobakterium tuberkulosa.1

Epidemiologi
Diperkirakan kurang lebih 1,7 milyar orang atau sepertiga penduduk
dunia terinfeksi oleh Micobacterium tuberculosa. Pada tahun 1997 jumlah
seluruh kasus baru TB di dunia adalah 7,96 juta (berkisar antara 6,3 juta sampai
11,1 juta orang) dan diperkirakan 1,87 juta orang meninggal akibat TB. Negara
Indonesia menduduki peringkat ketiga dari 22 negara dengan insidensi kasus TB
tertinggi di dunia.2

Etiologi
Mycobacterium tuberculosis1,2

Patogenesis
Kuman Mycobacterium tuberculosis masuk melalui droplet penderita TB
paru aktif. Bakteri masuk paru-paru, mencapai alveolus, terjadi fagositosis oleh
makrofag kemudian membentuk fokus Gohn, pada fase bakteremia kuman
menyebar ke seluruh tubuh kemudian menetap terutama di daerah dengan kadar
oksigen tinggi, missal otak. Kuman yang bersifat dorman akan diam di dalam
otak dalam bentuk fokus Rich yang jika mengalami rupture ke ruang subaraknoid
akan menyebabkan proses inflamasi difus yang disebut meningitis.3

Gejala klinis

Anamnesis2
Gambaran klinis meningitis tuberkulosis memperlihatkan gejala yang
bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan malaise
anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental,
penurunan kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VII, VIII),
hemiparese.

33
Pemeriksaan fisik1,3
• Tanda-tanda rangsang meningeal
•Funduskopi kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid, dan edema papil
menandakan adanya peningkatan tekanan intrakranial
• Gejala neurologis fokal berupa gangguan saraf kranialis: kelumpuhan otot
okuler, kelemahan wajah dan penurunan pendengaran
• Gejala lain: infeksi TB paru

Pemeriksaan penunjang:
 Pemeriksaan LCS2
o warna : jernih atau opalescent/xantokrom
o tekanan : tekanan CSS akan meningkat secara bermakna berkisar antara
40-75% pada anak-anak dan 50% pada dewasa.
o glukosa : penurunan kadar glukosa dan peningkatan kadar protein.
Dikatakan kadar glukosa 30-45 mg/dl atau kurang dari 50% kadar
glukosa darah, dapat pula lebih rendah sampai kurang dari 10 mg/dl.
o protein : akan meningkat mencapai 150-200mg%.
o sel : pleositosis yang moderat karakteristik pada meningitis TB, pada 90-
100% kasus terdapat lebih dari 5 sel darah putih per mm3 cairan
serebrospinalis, umumnya mencapai 300/mm3.
o mikroorganisme : 10-25% yang dapat menunjukkan preparat apus yang
positif
 Pemeriksaan darah rutin kimia, elektrolit.
 Pemeriksaan sputum BTA (+)
 Foto polos paru
 Brain CT-Scan dengan kontras atau MRI dengan kontras atas indikasi

Diagnosis2,3
1. Kriteria diagnosis menurut Ogawa
A. Kategori Definite : bila kultur mycobakterium tuberculosa dari css positif
atau diagnosis meningitis tuberkulosa ditegakkan melalui otopsi atau
terdapat keduanya.

34
B. Kategori Probable :
a. Bila gambaran CSS pleositosis,
b. Kultur bakteri lain atau jamur negatif dan disertai salah satu dari :
- Uji tuberkulin positif
- Terdapat tuberkulosis diluar SSP atau mempunyai riwayat TB
aktif sebelumnya.
- Glucosa CSS kurang dari 40 mg/dl d. Kadar protein CSS lebih
dari 60 mg/dl
2. Marais Score4
Definite TBM : Ditemukan basil tahan asam pada LCS, kultur CSF
positif M. tuberculosis,
Probable TBM : Skor total ≥12 jika terdapat neuroimaging ( total skor ≥10
jika tidak terdapat imaging)
Possibel TBM : Skor total 6-11 jika terdaapt neuroimaging ( total skor 6-
9 jika tidak terdapat imaging)
Not TBM : tegakan diagnosis lain

35
Tabel 4. Skor Marais5

3. Thwait’s diagnostic scoring5


Dimana dari hasil intrepretasinya dapat membedakan antara meningitis TB
atau bakterialis. Bila hasil skoring ≤ 4 maka dapat ditegakkan diagnosis
meningitis TB. Sebaliknya hasil scoring > 4 ditegakkan diagnosis meningitis
bakterial.

Tabel 5. Thwait‟s Diagnostic Scoring4

36
Stadium Klinis :
Grade I : sadar penuh dan tidak ada defisit fokal
Grade II : Inatensi, bingung, letargi, dan defisit neurologi fokal
Grade III : Stupor atau koma, konvulsi,dan defisit neurologis berat

Diagnosis Banding
 Meningitis Bakterial
 Meningitis virus

Tata laksana2,3
Perawatan umum :
1. Dirawat di ruang perawatan intensif
2. Memenuhi kebutuhan cairan penderita
3. Memenuhi kebutuhan gizi
4. Posisi penderita
5. Perawatan kandung kemih dan defekasi
Perawatan khusus (kombinasi obat anti tuberkulostatika/ OAT)
o INH 5-10mg/kg BB/hari
o Pyrazinamida 25-35 mg/kg BB/hari
o Rifampisin 10-15 mg/kg BB/hari
o Etambutol 20-30 mg/ kg BB/hari
o Streptomisin 25-30 mg/kg BB/hari
- Kortikosteroid : dexametason 0,3mg/kg BB/hari IV pada grade I dan
dexametason 0,4mg/kg BB/hari atau metilprednisolon 4x125 mg iv tapp off
per minggu pada TB grade II dan III. Dilanjutkan dexametason oral total
3mg/hari, tapering off per minggu
- Vitamin B6 (Piridoksin) 2x5mg per oral

Komplikasi3
 Hidrosefalus
 Kelumpuhan saraf kranial
 Epilepsi
 SIADH

37
Prognosis
Prognosis meningitis tuberkulosis ditentukan oleh stadiumnya, makin
lanjut stadiumnya prognosa makin jelek. Anak dibawah 3 tahun dan dewasa
diatas 40 tahun mempunyai prognosis yang jelek.1

Edukasi
 Edukasi mengenai penyebab, alur penularan dan perjalanan penyakit
 Edukasi mengenai tindakan lumbal pungsi yang perlu dilakukan untuk
menegakan diagnosis
 Edukasi mengenai tatalaksana berupa pemberian obat antituberkulosis
selama minimal 9 bulan
 Edukasi mengenai komplikasi yang dapat timbul dan prognosis yang
buruk jika tidak diobati

Perbandingan Hasil LCS3


Tabel 6. Hasil LCS3

Referensi :
1. Frida, M. 2011. Meningitis Tuberkulosis. Infeksi pada Sistem Saraf.
Kelompok Studi Neuroinfeksi, PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University
Press; hal 13-9.
2. Kiking R. 2011. Aspek Klinis dan Penatalaksanaan Meningitis Tuberkulosa.
Neurona ;28(2):1-8.
3. Ganiem, A R. Dian, S. 2019. Meningitis Tuberkulosis. Modul Neuroinfeksi.
Kelompok Studi Neuroinfeksi, PERDOSSI. Malang: UB Press; hal 66-85.
4. Wang, T., Feng, G.-D., Pang, Y., Yang, Y.-N., Dai, W., Zhang, L., … Zhao,
G. (2016). Sub-optimal Specificity of Modified Ziehl-Neelsen Staining for

38
Quick Identification of Tuberculous Meningitis. Frontiers in Microbiology,
7. doi:10.3389/fmicb.2016.02096
5. Zhang, Y., Lin, S., Shao, L., Zhang, W., & Weng, X. (2014). Validation of
Thwaites’ Diagnostic Scoring System for the Differential Diagnosis of
Tuberculous Meningitis and Bacterial Meningitis. Japanese Journal of
Infectious Diseases, 67(6), 428–431. doi:10.7883/yoken.67.428

5.3 Epilepsi
Sub Topik : Epilepsi Generalisata
Level kompetensi : 3A
Definisi Konseptual
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecendurungan terus-
menerus untuk menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis dan sosial. Definisi ini menysratkan terjadinya
minimal 1 kali bangkitan epileptik1.

Definisi Operasional
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu
kondisi/gejala sebagai berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam;
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan
refleks; dan
3. Sudah ditegakkan sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten).

Epilepsi dianggap dapat diatasi (resolved) pada individu dengan sindrom epilepsi
tergantung usia, tetapi sudah melewati batas usia tertentu ATAU mereka yang
tetap bebas bangkitan selama 10 tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi (OAE)
selama 5 tahun terakhir1.

Epidemiologi
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang
diseluruh dunia. Di negara maju, kejadian epilepsi tahunan diperkirakan sekitar

39
50 per 100.000 penduduk dan prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per
100.000 penduduk. Di negara berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih tinggi.
Insiden epilepsi umumnya tinggi pada kelompok usia kanak-kanak dan lanjut
usia, cenderung lebih tinggi pria dibanding wanita2.

Etiologi
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, imun
serta kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke
dalam lebih dari satu kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan
mungkin bergantung pada keadaan pasien3.
1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pemeriksaan pencitraan yang
dikaitkan dengan pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara
lain: stroke, trauma, infeksi atau yang berkaitan dengan genetic seperti
malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural
memerlukan pemeriksaan MRI dengan menggunakan protocol spesifik
epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga dimana
bangkitan merupakan gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh:
Chilhood Absence Epilepsy atau Juvenile Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosisteserkosis,
tuberculosis, HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sclerosis subakut,
toksoplasmosis serebral dan infeksi kongenital seperti virus Zika dan
virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki pola struktural.
4. Metabolik: identifikasi metabolik sangat penting sehubungan dengan
terapi spesifik dan pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang
berhubungan dengan reaksi auti imun, contoh: epilepsi pada multiple
sklerosis.
6. Tidak diketahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya
berdasarkan usia awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.

Patofisiologi
Secara normal aktifitas otak terjadi karena perpindahan sinyal dari satu neuron ke
neuron yang lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron
40
denan dendrit neuron yang lain melalui sinaps. Sinaps merupakan area yang
penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi neurotransmitter yang berada di
dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan neurotransmitter saling
mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion di dalam
dan di luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta
keluar masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktifitas tersebut
akan menyebabkan terjadinya depolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitatorik
dan inhibisi pada sel neuron. Potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron
yang berada di korteks yang kemudian diteruskan oleh aksan, sementara sel
interneuron berfungsi sebagai inhibisi4-5.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktifitas otak adalah Natrium (Na+),
Kalium (K+), Kalsium (Ca+), Magnesium (Mg2+) dan Klorida (Cl-).
Neurotransmitter utama pada proses eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan
dengan reseptornya yaitu N-metil-D-aspartat (NMDA) dan non-NMDA ( -
amino-3-dyhydroxy-5-methyl-4-isoxasole-propionic acid/ AMPA dan kainat).
Sementara pada proses inhibisi, neurotransmitter utama adalah -asam
aminobutirik (GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya GABA A dan
GABAB. GABA merupakan neurotransmitter yang disintesis dari glutamate oleh
enzim glutamic acid decarboxylase (GAD) dengan bantuan piridoksin (vitamin
B6) di terminal presinaps4.
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi
sekresi glutamate ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan reseptor non-
NMDA dan Na+ akan masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya depolarisasi
cepat. Apabila depolarisasi mencapai ambang potensial 10-20 mV, maka Mg+
yang menduduki reseptor NMDA yang sudah berikatan dengan glutamate dan
ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan ke celah sinaps, sehingga Na+ akan masuk ke
dalam sel diikuti Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan memperpanjang potensial
eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat. Setelah Na+ mencapai ambang
batas depolarisasi, K+ akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai
repolarisasi4.
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong pelepasan
neurotransmitter GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptor
GABAA pascasinaps dan mencetuskan potensial inhibisi, Cl- akan masuk ke

41
dalam sel dan menurunkan ambang potensial membrane sel sampai kembali ke
ambang istirahat pada -70 V yang disebut sebagai hiperpolarisasi. Reseptor
GABAB di presinaps berperan memperpanjang potensial inhibisi. Hasil akhir
potensial yang dihasilkan merupakan sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi
yang dipengaruhi jarak dan waktu4.
Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat membrane sel terhiperpolarisasi
dibawah ambang istirahatnya, disebut sebagai after hyperpolaritation (AHP).
AHP terjadi sebagai hasil dari keseimbangan antara Ca2+ di dalam sel dan K+ di
luar sel. Pada masa ini sel neuron mengalami fase refrakter dan tidak dapat
terstimuli, sampai terjadi pertukaran Ca2+ ke luar sel dan K+ ke dalam sel melalui
kanal yang tidak dipengaruhi oleh gradien voltase. Keseimbangan ion didalam
dan luar sel dikembalikan oleh pompa Na+-K+ dengan bantuan adenosin
triphosphate (ATP). Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan
eksitasi dan inhibisi dengan berperan sebagai spons yang berfungsi untuk
„menghisap‟ K+ dan glutamat yang berlebihan di celah sinaps untuk kemudian
disintesis dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps4.
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan
hipereksitabilitas yang pada akhirnya akan menyababkan bangkitan epileptik.

Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-
langkah dalam penegakkan diagnosis epilepsi adalah sebagai berikut5:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal
terkait dibawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pasca-bangkitan
i. Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan
terjadinya bangkitan, misalnya perubahan perilaku,
perasaan lapar, berkeringat, hipotermi, mengantuk,
menjadi sensitif dan lain-lain.
ii. Selama bangkitan/iktal:

42
 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada
awal bangkitan?
 Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi
mata, gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi,
automatisme, gerakan pada salah satu atau kedua
lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan
lain-lain. Akan lebih baik bila keluarga dapat
diminta menirukan gerakan bangkitan atau
merekam video saat bangkitan.
iii. Pasca bangkitan/post-iktal: bingung, langsung sadar, nyeri
kepala, tidur, gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan
(paralisis Todd).
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress
psikologis, alkohol.
c. Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan,
interval terpanjang antar bangkitan, awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya:
i. Jenis dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
ii. Kadar OAE dalam plasma.
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang
menjadi penyebab serta komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat prenatal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis untuk mencari tanda-tanda,
misalnya:
a. Trauma kepala,
b. Tanda infeksi,
c. Kelainan kongenital,
d. Kecanduan alkohol atau NAPZA,
e. Kelainan pada kulit, dan
f. Tanda-tanda keganasan.

43
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit
neurologis fokal atau difus yang dapat berhubungan dengan
bangkitan. Seperti paralisis Todd, gangguan kesadaran pasca-
iktal, afasia pasca-iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG):
i. Membantu menunjang diagnosis;
ii. Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom
epilepsi;
iii. Membantu menentukan prognosis;
iv. Membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE; dan
v. Membantu penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenic diotak.
i. CT-Scan kepala pada kasus kejang pertama kali pada usia
dewasa, lebih ditujukkan untuk kasus kegawatdaruratan.
ii. MRI (minimal 1,5 Tesla)
iii. Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)
iv. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
v. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
vi. USG Doppler (pada neonatus)
c. Pemeriksaan laboratorium
i. Pemeriksaan hematologis:
 Hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit,
trombosit, elektrolit (natrium, kalium, kalsium,
magnesium), kadar gula darah, fungsi hati
(SGPT/SGOT), ureum, kreatinin dan albumin.
Dilakukan pada:
 Awal pengobatan untuk pemilihan OAE;
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk
mendeteksi efek samping OAE; dan
 Rutin diulang setiap setahun sekali untuk
memonitor efek saping OAE, atau bila timbul
gejala klinis akibat efek samping OAE.

44
ii. Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
 Dilakukan bila bangkita belum terkontrol
meskipun OAE sudah mencapai dosis terapi
maksimal atau untuk memonitor kepatuhan pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi,
misalnya:
i. Pungsi lumbal, dan
ii. EKG

Tipe Epilepsi5
 Terdapat kategori baru pada tipe epilepsi, yaitu gabungan epilepsi umum
dan fokal disamping epilepsi umum dan epilepsi fokal. Terdapat juga
kategori “tidak diketahui”. Banyak epilepsi terdiri dari beberapa tipe
bangkitan. Untuk diagnosis epilepsi umum, biasanya ditunjang dengan
aktifitas epileptiform umum pada EEG. Pasien dengan epilepsi umum
dapat memiliki berbagai tipe bangkitan termasuk absans, mioklonik,
atonik, tonik dan bangkitan tonik-klonik. Diagnosis epilepsi umum dibuat
atas dasar klinis, didukung oleh temuan khas aktifitas epileptiform.
 Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta
bangkitan yang melibatkan satu hemisfer otak. EEG interiktal biasanya
menunjukkan adanya aktifitas epileptiform fokal, diagnosis dibuat
berdasarkan klinis, didukung oleh temuan EEG.
 Terdapat kelompok baru epilepsi gabungan umum dan fokal, karena ada
pasien yang memiliki bangkitan umum dan fokal. Diagnosis dibuat atas
dasar klinis, didukung oleh temuan EEG. EEG interiktal dapat
menunjukkan aktifitas epileptiform umum dan fokal, tetapi aktifitas
epileptiform tidak diperlukan untuk diagnosis. Contoh dimana kedua tipe
bangkitan terjadi adalah sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut.
 Tipe epilepsi juga dapat menjadi akhir diagnosis jika dokter tidak dapat
membuat Sindrom Epilepsi. Contoh: seorang anak atau orang dewasa
dengan epilepsi lobus temporal nonlesional yang memiliki epilepsi fokal
tanpa etiologi yang diketahui; seorang anak berusia 5 tahun yang
mengalami bangkitan umum tonik-klonik dan gelombang spike umum

45
pada EEG yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam suatu sindrom
epilepsi yang diketahui tetapi memiliki diagnosis yang jelas dari epilepsi
umum; atau seorang wanita berusia 20 tahun dengan bangkitan fokal
dengan gangguan kesadaran dan bangkitan absans dengan focal
discharges dan generalized spike wave pada rekaman EEG dan MRI
normal, yang karena itu akan memiliki diagnosis gabungan epilepsi
umum dan fokal.
 Istilah “tidak diketahui” digunakan untuk menunjukkan dimana pasien
memiliki epilepsy tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah tipe
epilepsi fokal atau umum karena informasi yang tidak cukup tersedia.
Mungkin tidak ada akses pemeriksaan EEG atau EEF yang kurang
informatif (hasil normal). Jika tipe bangkitan tidak diketahui, maka tipe
epilepsy mungkin tidak diketahui.

Diagnosis Banding5
1. Sinkop
2. Bangkitan Non Epileptik Psikogenik
3. Aritmia Jantung
4. Sindroma hiperventilasi atau serangan panik

Tatalaksana
1. Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom
epilepsi). Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis
bangkitan, jenis sindrom Epilepsi, efek samping OAE yang mungkin
terjadi, profil farmakologis dan interaksi antara OAE. Obat yang
digunakan adalah5:
a. Fenitoin 4-6 mg/kgBB bid
b. Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBB bid
c. Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
d. Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
e. Lamotrigin 100-400 mg bid
f. Oxcarbazepin 300-900 mg bid
g. Zonisamid 100-300 mg tid
h. Clonazepam 2-8 mg bid
46
i. Clobazam 10-30 mg tid
j. Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid
k. Gabapentin 300-900mg tid
l. Pregabalin 150-600mg b/tid

Tabel 7. Spektrum Efektivitas OAE6

Generasi OAE Spektrum Keterangan


Efektifitas

Pertama Asam Valproat Semua

Bisa memicu bangkitan


Benzodiazepin Semua
tonik pada LGS

Fenobarbital Sebagian besar Tidak efektif pada absans

Primidon Sebagian besar Tidak efektif pada absans

Fokal dan tonik- Bisa memicu/memperberat


Carbamazepine
klonik umum absans dan mioklonik

Fokal dan tonik- Bisa memicu/memperberat


Phenitoin
klonik umum absans dan mioklonik

Ethosuximide Absans

Kedua Bisa memicu/memperberat


mioklonik. Efektifitas
Lamotrigine Sebagian besar terbaik: fokal, tonik-klonik
umum dan absans, dan drop
attacks terkait LGS.
Tidak jelas efektifitas
terhadap tonik dan atonik.
Levitiracetam Sebagian besar Efektifitas terbaik: fokal,
tonik-klonik umum dan
mioklonik.
Tidak jelas efektifitas
terhadap absans. Efektifitas
Topiramate Sebagian besar terbaik: fokal, tonik-klonik
umum dan drop attacks
terkait LGS.

Zonisamide Sebagian besar Efektifitas terbaik: fokal.

47
Fokal dan tonik- Bisa memicu/memperberat
Oxcarbazepine
klonik umum absans dan mioklonik

Fokal dan tonik-


Perampanel
klonik umum

Fokal dan spasme


Vigabatrin
infantile

Fokal dan drop


Rufinamide
attacks (LGS)

Fokal dan drop


Felbamate
attacks (LGS)

Bisa memicu/memperberat
Elisacarba-zepine Fokal
absans dan miklonik

Lacosamide Fokal

Bisa memicu/memperberat
Pregabalin Fokal
miklonik

Bisa memicu/memperberat
Gabapentine Fokal
miklonik

Bisa memicu/memperberat
Tiagabine Fokal
absans dan miklonik

Briviracetam Fokal

Bangkitan terkait Efektifitas terbaik: fokal


Everolimus
TSC terkait TSC

Hanya untuk kombinasi


dengan clobazam dan asam
Stiripentol Bangkitan terkait DS
valproate terhadap bangkitan
tonik-klonik DS

Bisa memicu/memperberat
Elisacarba-zepine Fokal
absans dan miklonik

2. Terapi Non Farmakologis


a. Fisioterapi
b. Psikoterapi
c. Behavior Cognitive Therapy

48
Edukasi5
1. Edukasi mengenai minum obat secara teratur.
2. Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus.
3. Edukasi kontrol ulang secara teratur.
4. Edukasi epilepsi pada kehamilan.

Prognosis5
1. Ad vitam : dubia ad bonam.
2. Ad Sanationam : dubia ad bonam.
3. Ad Fungsionam : dubia ad bonam.

Referensi
1. Fisher R, Acevedo C, et al. ILAE official report: a practical clinical
definition of epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):475-82.
2. Abramovici S, Bagic A. Epidemiology of epilepsy. In: Aminoff MJ,
Boller F, Swaab DF, editors. Handbook of clinical neurology, 2nd ed.
Amsterdam: Elsevier;2016. p.159-71.
3. Scheffer I, Berkovic S, Capovilla G, Conolly M, French J, Guilhoto L, et
al. ILAE definition of epilepsies – Position paper of the ILAE
Commision for Classification and Terminology. Epilepsia.
2017;58(4):512-21.
4. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit
Kedokteran Indonesia; 2017.
5. Kusumastuti K, Gunadharma S KE, editor. Pedoman Tatalaksana
Epilepsi. Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga
University Press; 2019.
6. Gamayani U, Thursina C, editor. Buku Ajar Neurologi Anak. Kelompok
Studi Neuro Anak PERDOSSI. Bandung: Unpad Press; 2019.

Subtopik : Status epileptikus


Level kompetensi : 3B
Definisi
International League Against Epilepsy (ILAE) menentukan definisi operasional
Status Epileptikus berdasarkan dua dimensi waktu, yaitu1:
1. Durasi dan waktu kemungkinan bangkitan epileptik menjadi
berkepanjangan atau terus-menerus.

49
2. Durasi dan waktu bangkitan epileptik menyebabkan konsekuensi jangka
panjang (kerusakan dan kematian neuronal, perubahan jaringan koneksi
neuronal dan defisit fungsional).
Dimensi waktu pertama merupakan batasan waktu untuk memulai protocol
tatalaksana Status Epileptikus. Defisini Status Epileptikus konvulsif tonik klonik
adalah bangkitan epileptik yang berlangsung secara terus menerus selama
minimal 30 menit atau berulang tanpa pulihnya kesadaran di antara bangkitan.
Batasan waktu atau durasi 30 menit tersebut merupakan batasan waktu dimensi
kedua, yaitu saat terjadi kerusakan neuronal. Tetapi batasan waktu atau durasi
bangkitan epileptik tonik klonik minimal 5 menit digunakan sebagai dasar untuk
memulai tatalaksana status epileptikus sehingga tidak terjadi berkepanjangan.
Bangkitan epileptik tonik klonik kemungkinan tidak akan berhenti spontan
apabila telah terjadi selama 5 menit1.

Epidemiologi
Insiden status epileptikus episode pertama mencapai 42 kasus per 100.000
penduduk pertahunnya dengan rasio yang hampir sama pada laki-laki dan
perempuan. Berdasarkan National Health Discharge Survey (NHDS) insidens ini
bersifat bimodal, yaitu lebih tinggi pada usia dekade pertama dan setelah usia 60
tahun. Di Amerika Serikat insidensnya berkisar antara 6,2 – 18,3 per 100.000
populasi1.

Etiologi1
1. Proses Akut
a. Gangguan metabolic: gangguan elektrolit, hipoglikemia dan
gangguan ginjal.
b. Sepsis.
c. Infeksi susunan saraf pusat: meningitis, ensefalitis dan abses.
d. Stroke: stroke iskemik, perdarahan intraserebral, perdarahan
subaraknoid dan trombosis sinus serebral.
e. Trauma kepala dengan atau tanpa hematom epidural atau
subdural.
f. Obat-obatan:
i. Intoksikasi obat atau alkohol.
50
ii. Withdrawl obat golonan opioid, benzodiazepine,
barbiturate atau alkohol.
g. Hipoksia.
h. Ensefalopati hipertensif, sindrom ensefalopati posterior reversible
i. Ensefalopati autoimun
2. Proses Kronik
a. Epilepsi: penghentian atau penurunan obat anti epilepsi.
b. Penyalahgunaan alkohol kronik
c. Gangguan susunan saraf pusat lampau (misalnya pasca stroke,
pascaensefalitis)
d. Gangguan metabolism bawaan pada anak.
3. Proses progresif
a. Tumor susunan saraf pusat.

Patofisiologi
Pada umumnya bangkitan epileptik dapat berhenti spontan. Namun semakin lama
durasi suatu bangkitan epileptik, maka semakin kecil kemungkinan akan berhenti
spontan. Pada detik-detik pertama terjadinya bangkitan epileptik terjadi
fosforilasi protein, pembukaan dan penutupan kanal ion, serta pelepasan
neurotransmitter. Kemudian pada tahap kedua, pada beberapa detik hingga
menit, terjadi penurunan subunit reseptor gamma-amminobutyric acid (GABA)
serta peningkatan reseptor eksitatorik N-methyl-D-aspartat (NMDA). Reseptor
GABA dipermukaan akan membentuk cekungan yang dilapisi clathrin kemudian
menjadi vesikel yang dilapisi clahtrin sehingga tidak dapat dijangkau oleh
neurotransmitter: vesikel tersebut berubah menjadi endosome dan akan
dihancurkan oleh lisosom. Penelitian imunohistokimia menunjukkan subunit
NR1 reseptor NMDA bermigrasi dari subsinaps ke permukaan sinaps. Pada
stadium berikutnya pada beberapa menit hingga jam, terjadi peningkatan
substansi P eksitatorik dan penurunan penggantian neuropeptide Y yang bersifat
inhibitorik. Pada stadium keempat, pada beberapa hari hingga minggu, akan
terjadi perubahan genetic dan epigenetic berupa perubahan ekspresi gen, metilasi
DNA dan regulasi RNA mikro. Hal tersebut mendasari perubahan dari suatu
bangkitan epileptik tunggal menjadi keadaan status epileptikus1-3.

51
Pemeriksaan penunjang
EEG dan laboratorium2.

Dasar diagnosis
Anamnesa, pemeriksaan fisik dan EEG2.

Tatalaksana4-5
1. Penatalaksanaan umum
a. Memperbaiki fungsi kardiorespiratorik
b. Memperbaiki jalan nafas
c. Pemberian oksigen
d. Resusitasi
2. Penatalaksanaan khusus
a. Diazepam 10 – 20 mg IV (kecepatan pemberian < 2,5 mg/menit)
dapat diulang 15 menit kemudian. Bila kejang berlangsung terus,
setelah pemberian diazepam pertama beri fenitoin IV 15 – 18 mg/
kgbb dengan kecepatan pemberian 50 mg/menit. Bila kejang tetap
tidak teratasi selama 30 – 60 menit, transfer ke ICU
b. Dapat di beri propofol (2mg/ kgbb bolus IV) atau thiopentonic
100 – 250 mg bolus IV, pemberian 20 menit dilanjutkan dengan
bolus 50 mg tiap 2 – 3 menit sampai 12 – 24 jam kejang berakhir,
lakukan tappering off

Komplikasi5
 Disfungsi kardiorespiratorik
 Hipertermia
 Gangguan metabolic
 Kematian neuron

Referensi :
1. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen
Neurologi Fakultas Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit
Kedokteran Indonesia; 2017.
2. Pedoman Tatalaksana Epilepsi, PERDOSSI, 2019.

52
3. ILAE Treatment Guideline:Evidence-based Analysis of Antiepileptic
Drug Efficacy and Effectiveness as Initial Monotherapy for Epileptic
Seizures and Syndromes.
4. Epilepsy Syndrome, Mary Ann Werz, Saunders Elsevier, 2010
5. Wyllies Teratment of Epilepsy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins &
Williams, 2011psy, Elaine Wyllies, Lippincott Wilkins & Williams, 2011

5.4 Nyeri kepala primer


Level kompetensi : 4A
Definisi

Nyeri kepala primer merupakan nyeri kepala yang dialami oleh seseorang
tanpa adanya kelainan yang mendasarinya, empat kelompok besar nyeri kepala
primer berdasarkan Klasifikasi Internasional Nyeri Kepala yang dibuat oleh
International Headache Society (IHS) adalah nyeri kepala tipe tegang (tension-
type headache), migrain, nyeri kepala klaster dan sefalgia trigeminal-otonomik,
serta nyeri kepala primer lainnya.1,2

a. Migrain
Epidemiologi

Migrain merupakan salah satu jenis nyeri kepala yang paling sering
ditemui dengan beban penyakit yang berat.2 Berdasarkan studi dari Global
Burden of Disesase tahun 2016, prevalensi migrain mencapai 1,04 milyar jiwa
seluruh dunia dan 84,39 juta jiwa di Asia Tenggara. Untuk data prevalensi di
Indonesia sendiri jumlahnya mencapai 33,1 juta jiwa. Prevalensi migraine lebih
banyak pada wanita dibandingkan laki-laki, dengan angka 18,9% (18,1-9,7) pada
wanita dan 9,8% (9,4-10,2) pada pria secara global.3
Migrain memiliki derajat disabilitas yang lebih tinggi dibandingkan
Tension Type Headache (TTH) Migrain menyebabkan 45,1 juta (29-62,8, UI
95%) years of life with disability (YLDs) secara global, sementara TTH hanya
7,2 juta (4,6-10,5 UI 95%) YLDs. Kedua nyeri kepala memiliki derajat disabilitas
tertinggi pada wanita usia 15-49 tahun dengan migrain menyebabkan 20,3 juta
(12,9-28,8 95% UI %) YLDs sedangkan TTH menyebabkan 7,2 juta (4,6-10,5 UI
95%) YLDs secara global. Sementara di Indonesia migrain menyebabkan sekitar
1,3 juta (0,8 – 1,9, UI 95%) YLDs pada penderita penyakit ini.3

53
Berdasarkan hasil penelitian terpusat berbasis rumah sakit pada 5 rumah
sakit di Indonesia, didapatkan prevelensi penderita nyeri kepala sebagai berikut:
Migrain tanpa aura 10%, Migrain dengan aura 1,8%, Episodic Tension type
Headache 31%, Chronic Tension Type Headache (CTTH) 24%, Cluster
Headache 0,5%, Mixed Headache 14%. Penelitian berbasis populasi
menggunakan kriteria Internasional Headache Society untuk Migrain dan
Tension Type Headache (TTH), juga penelitian Headache in General dimana
Chronic Daily Headache juga disertakan.4

Patofisiologi
Nyeri kepala secara umum, dan khususnya migrain dan cluster headache,
lebih dipahami sekarang daripada 4 milenium terakhir. Serangan biasanya
muncul sebagai serangan sakit kepala berdenyut unilateral sedang hingga berat
yang berlangsung 4 hingga 72 jam; namun, komponen nyeri kepala dari migrain
hanya mewakili satu aspek gangguan yang tunggal, walaupun sangat
melumpuhkan. Serangan biasanya dimulai dengan gejala karakteristik pertanda
(ditandai kelelahan, fotofobia, sulit berkonsentrasi, dan kekakuan leher) yang
sangat prediktif terhadap terjadinya sakit kepala, mungkin termasuk gejala aura
(20% -30% kasus), dan berhubungan dengan mual dan perubahan sensoris
multi-modalitas yang ditandai sensitifitas terhadap sentuhan (alodinia), cahaya
(fotofobia), suara ( fonofobia), dan bau (osmofobia). Selain itu, mungkin juga
ada keterlibatan system otonom yang cukup besar, termasuk lakrimasi,
memerahnya mata, dan wajah memerah selama serangan migraine. 5

54
Gambar 1. Patofisiologi Migrain5
Pada migraine input sensorik perifer disampaikan melalui aferen
trigeminal pada trigeminal ganglion (TG) ke trigeminocervical complex (TCC)
yang mewakili saluran utama untuk pemrosesan nyeri trigeminal antara sistem
saraf perifer dan pusat. Neuron proyeksi kemudian naik ke traktus
trigeminothalamikus, bersinaps dengan neuron penghubung di talamokortikal
pada beberapa inti talamus. Dalam perjalanan ke talamus, proyeksi kolateral juga
menargetkan beberapa inti, termasuk rostral ventromedial medulla (RVM), locus
coeruleus (LC), periaqueductal gray (PAG) dan hipotalamus. Neuron
penghubung talamokortikal kemudian menyampaikan informasi sensorik ke
beberapa daerah kortikal (A). Jaringan pemrosesan nyeri trigeminal ini menerima
input modulasi menurun pada beberapa level. Pada tingkat TCC, proyeksi
langsung dari berbagai daerah kortikal dan proyeksi tidak langsung melalui
hipotalamus, PAG, RVM, dan LC memberikan efek modulasi potensial pada
neuronal firing (B). TCC menerima input sensor perifer dari aferen primer yang
menginervasi struktur intrakranial dan ekstrakranial dari ketiga dermatom kepala
(mandibular [V3], maxillary [V2], dan ophthalmic [V1]) serta input konvergen
dari dura posterior dan dermatom serviks (C). Selain proyeksi trigeminothalamik
dari TCC, terdapat refleks trigeminal otonom antara aferen sensorik trigeminal
dan nukleus saliva superior yang mengatur aliran parasimpatis ke wajah melalui
ganglion sphenopalatine (SPG). Garis putus-putus mewakili saluran potensial

55
antara jalur trigeminal dan parasimpatis dari refleks trigeminal otonom (D) yang
masih harus diteliti lebih lanjut.5
Salah satu aspek yang paling penting dari patofisiologi migrain adalah
sifat genetik dari kelainan tersebut. Jelas dari praktik klinis bahwa banyak pasien
memiliki kerabat tingkat pertama yang juga menderita migrain. Transmisi
migrain dari orangtua ke anak-anak telah dilaporkan pada abad ketujuh belas,
dan banyak penelitian yang diterbitkan telah melaporkan riwayat keluarga yang
positif.5

Gejala Klinis-Klasifikasi1,2
Migrain

1. Migrain tanpa aura


 Deskripsi: Nyeri kepala berulang dengan manifestasi serangan selama 4-
72 jam. Karakteristik nyeri kepala unilateral, berdenyut, intensitas sedang
atau berat, bertambah berat dengan aktivitas fisik yang rutin dan diikuti
dengan mual dan atau fotofobia dan fonofobia.
 Kriteria diagnostik:
a. Sekurang-kurangnya terjadi lima serangan memenuhi yang
memenuhi kriteria B – D
b. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4-72 jam (tidak diobati
atau tidak berhasil diobati)
c. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik
berikut:
1. Lokasi unilateral
2. Kualitas berdenyut
3. Intensitas nyeri sedang atau berat
4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita
menghindari aktifitas fisik rutin (seperti berjalan atau naik tangga)
d. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini:
1. Mual dan atau muntah
2. Fotofobia dan fonofobia
Tidak memenuhi kriteria diagnostik ICHD-3 yang lain

56
2. Migrain dengan aura
 Deskripsi: Serangan berulang, berlangsung dalam beberapa menit,
unilateral, aura visual , sensorik yang reversibel, atau gejala sistem saraf
pusat lainnya yang biasanya berjalan secara perlahan dan diikuti dengan
nyeri kepala dan gejala penyerta migrain lainnya.
 Kriteria diagnostik:
a. Sekurang – kurangnya terjadi dua serangan memenuhi yang memenuhi
kriteria B – D
b. Disertai satu atau lebih gejala aura secara reversibel:
1. Visual
2. Sensoris
3. Bicara dan / atau bahasa
4. Motorik
5. Batang otak
6. Retina
c. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara empat karakteristik
berikut:
1. Minimal satu gejala aura muncul secara bertahap ≥ 5menit,
dan/atau dua atau lebih gejala terjadi
2. Setiap gejala aura berlangsung 5 – 60 menit
3. Minimal satu gejala aura terjadi secara unilateral
4. Aura disertai atau diikuti nyeri kepala dalam 60 menit
d. Tidak memenuhi kriteria diagnostik ICHD-3 yang lain

3. Migrain Kronik
 Deskripsi: Nyeri kepala terjadi 15 hari atau lebih perbulan selama lebih
dari 3 bulan dengan gejala migrain berlangsung minimal 8 hari per bulan.
 Kriteria diagnostik:
a. Nyeri kepala (seperti tension type dan /atau seperti migrain dalam ≥ 15
hari per bulan selama > 3 bulan dan memenuhi kriteria B dan C
b. Terjadi pada pasien sekurang-kurangnya 5 serangan yang memenuhi
kriteria B-D untuk migrain tanpa aura dan /atau kriteria B dan C untuk
migrain dengan aura.

57
c. Selama ≥ 8 hari per bulan berlangsung > 3 bulan, memenuhi kriteria :
1. Kriteria C dan D untuk migrain tanpa aura
2. Kriteria B dan C untuk migrain dengan aura
3. Migrain diyakini pasien saat pasien membaik dengan triptan atau
golongan ergot
4. Aura disertai atau diikuti nyeri kepala dalam 60 menit
d. Tidak memenuhi kriteria diagnostik ICHD-3 yang lain

Tatalaksana1,2
Terapi akut migrain:
o Lini Pertama: ibuprofen 400 mg po, asetaminofen 1000 mg po
o Lini Kedua: sumatriptan 100 mg po, sumatriptan 5 mg subkutan
o Antiemetik: domperidone 10 mg po, metoclopramide 10 mg po
o Analgesik kombinasi dosis tetap dengan kodein jika diperlukan, tidak
disarankan untuk penggunaan rutin.

Terapi profilaksis:
1. Lini pertama: propranolol 2 x 20 mg po target dosis 40-120 mg 2 kali sehari,
amitriptilin 1 x 10 mg (malam hari) target dosis 10-100 mg , nortriptilin 1 x
10 mg (malam hari) target dosis 10-100 mg po
2. Lini kedua: topiramat 1 x 25 mg target dosis 50 mg dua kali/hari, gabapentin
300 mg/hari target dosis 1200-1800 mg/hari dibagi 3 dosis

Edukasi1,2

1. Modifikasi gaya hidup untuk mengurangi kekambuhan nyeri kepala


2. Pasien mengenali faktor pencetus nyeri kepala
3. Implementasi tatalaksana stres dan latihan fisik untuk mengurangi nyeri
kepala

b. Tension Type Headache (TTH)


Epidemiologi:
Tension Type Headache (TTH) merupakan salah satu jenis nyeri kepala
yang paling sering ditemui dengan beban penyakit yang berat. Berdasarkan studi

58
dari Global Burden of Disesase tahun 2016, TTH memiliki prevalensi tertinggi
yang mencapai 1,89 milyar jiwa seluruh dunia dan 176,72 juta jiwa di Asia
Tenggara. Untuk data prevalensi di Indonesia sendiri jumlahnya mencapai 71,3
juta jiwa. TTH menyebabkan 7,2 juta (4,6-10,5 UI 95%) YLDs dan 7,2 juta (4,6-
10,5 UI 95%) YLDs secara global.3

Patofisiologi:
Pada Tension Type Headache (TTH), abnormalitas pada sistem
nosiseptif perifer dan sentral dikombinasikan dengan faktor lingkungan,
emosional, dan genetik berperan patofisiologi nyeri kepala. Diduga pada bentuk
yang episodik, mekanisme perifer lebih dominan, sedangkan pada tipe kronik,
disamping mekanisme perifer, telah terjadi sensitisasi sentral.6
Chronic Tension Type Headache (CTTH) dikaitkan dengan Trigger
points (TrPs) aktif yang terletak pada otot-otot yang dipersarafi oleh segmen C1-
C3 (trapezius atas, trapezius atas, suboksipital, sternokleidomastoid) dan oleh
saraf trigeminal (temporalis, masseter, ekstraokular). Teori yang mendasari
terjadinya CTTH adalah proses sensitisasi sentral karena input nosiseptif perifer
yang berkepanjangan dari jaringan otot. Trigger points aktif menginduksi tingkat
mediator kimia (bradikinin, CGRP, substansi P, TNFα, interleukin-1-b, serotonin
atau norepinefrin), tidak hanya pada lokasi nyeri tetapi juga nyeri alih di daerah
yang jauh (referred pain).7,8
Pada kondisi normal nyeri miofasial dimediasi oleh serabut tipis
bermielin (Aδ) dan serabut C tidak bermielin, dan serabut bermielin yang tebal
(Aα dan Aß) normalnya memediasi sensasi yang tidak berbahaya. Sedangkan
pada keadaan abnormal, seperti stimulus mekanik, iskemia dan mediator kimia
dapat mengeksitasi dan mensensitisasi serabut Ad dan serabut C, dan oleh
karenanya memiliki peran dalam peningkatan nyeri tekan pada TTH.8
Input nosiseptor yang berkepanjangan dari jaringan miofasial perikranial
akan menyebabkan terjadinya sensitisasi sentral pada neuron-neuron orde kedua
dan ketiga (kornu dorsalis medula spinalis pada level servikal atas dan
trigeminal, serta talamus dan korteks somatosensorik). Penderita dengan TTH
kronik hipersensitif terhadap berbagai stimulus intrasefalik dan ekstrasefalik,
tidak terbatas pada lokasi yang mengalami gejala. Hal ini merupakan petunjuk

59
kuat terjadinya proses sensitisasi sentral, karena kalau pada sensitisasi perifer
keadaan hipersensitif terbatas pada lokasi tertentu.7

Gejala Klinis-Klasifikasi:1,2
a. Tension Type Headache (TTH) Episodik Infrekuen
 Deskripsi: Episode nyeri kepala yang jarang, bilateral, menekan atau
mengikat dan intensitas ringan sampai sedang, berlangsung menit sampai
hari. Rasa sakitnya tidak memburuk dengan aktivitas fisik rutin dan tidak
berkaitan dengan mual, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin ada.
 Kriteria diagnostik:
a. Sekurang – kurangnya terjadi 10 episode nyeri kepala dengan rata-rata
< 1 hari per bulan ( < 12 hari per tahun) dan memenuhi kriteria B-D
b. Berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
c. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara empat karakteristik
berikut:
1. Lokasi bilateral
2. Kualitasnya menekan atau mengikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan sampai sedang
4. Tidak bertambah berat oleh aktivitas fisik seperti berjalan atau
naik tangga
d. Tidak didapatkan :
1. Mual atau muntah
2. Lebih dari satu keluhan fotofobia atau fonofobia
e. Tidak memenuhi kriteria diagnostik ICHD-3 yang lain

2. Tension Type Headache Episodik Frekuen


 Deskripsi: Episode nyeri kepala yang sering, bilateral, menekan atau
mengikat dan intensitas ringan sampai sedang, berlangsung menit sampai
hari. Rasa sakitnya tidak memburuk dengan aktivitas fisik rutin dan tidak
berkaitan dengan mual, tetapi fotofobia atau fonofobia mungkin ada.
 Kriteria Diagnostik:

60
a. Sekurang – kurangnya terjadi 10 episode nyeri kepala dalam 1-14
hari per bulan selama > 3 bulan (≥ 12 dan < 180 hari per tahun) dan
memenuhi kriteria B-D
b. Berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
c. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara empat
karakteristik berikut:
1. Lokasi bilateral
2. Kualitasnya menekan atau mengikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan sampai sedang
4. Tidak bertambah berat oleh aktivitas fisik seperti berjalan atau
naik tangga
d. Tidak didapatkan:
1. Mual atau muntah
2. Lebih dari satu keluhan fotofobia atau fonofobia
e. Tidak memenuhi kriteria diagnostik ICHD-3 yang lain

3. Tension Type Headache Kronik


 Deskripsi: Sebuah gangguan berkembang dari nyeri kepala tipe tegang
(TTH) episodik frekuen dengan harian atau sangat sering nyeri kepala
episodik, bilateral, kualitas menekan atau mengikat dan intensitas sedang
sampai berat, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari, atau terus-
menerus. Nyeri kepala tidak memberat dengan aktivitas fisik rutin, tetapi
mungkin terdapat dengan mual, fotofobia atau fonofobia ringan.
 Kriteria diagnostik:
b. Sekurang – kurangnya terjadi ≥15 hari per bulan berlangsung
selama > 3 bulan (≥180 hari per tahun) dan memenuhi kriteria B-D
c. Berlangsung beberapa jam atau secara terus-menerus
d. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara empat
karakteristik berikut:
1. Lokasi bilateral
2. Kualitasnya menekan atau mengikat (tidak berdenyut)
3. Intensitas ringan sampai sedang

61
4. Tidak bertambah berat oleh aktivitas fisik rutin seperti berjalan
atau naik tangga
e. Tidak didapatkan:
1. Mual yang sedang atau berat maupun muntah
2. Lebih dari satu: fotofobia, fonofobia, atau mual yang ringan
f. Tidak memenuhi kriteria diagnosis ICHD-3 yang lain

Tatalaksana1,2
Tension Type Headache Akut
Farmakologis
Pada tension type headache (TTH) akut, obat yang dapat digunakan adalah :
1. Analgesik, pilihannya adalah: aspirin 1000 mg/hari, asetaminofen 1000
mg/hari, NSAID (naproxen 660-750 mg/hari, ketoprofen 25-50 mg/hari,
ibuprofen 800 mg/hari, diklofenak 50-100 mg/hari. Pemberian analgesic
dalam waktu lama dapat menyebabkan iritasi gastrointestinal, penyakit
ginjal, hepar, gangguan fungsi platelet
2. Kafein 65 mg
3. Kombinasi: 325 mg aspirin, asetaminofen 65-200 mg kafein.

Terapi profilaksis untuk pasien TTH:


Indikasi terapi profilaksis:
a. Terapi preventif direkomendasikan pada kasus disabilitas akibat nyeri kepala
4 hari/bulan atau tidak ada respons terhadap terapi simtomatis, bahkan bila
frekuensi nyeri kepalanya rendah.
b. Terapi dikatakan efektif bila mengurangi frekuensi serangan dan/atau derajat
keparahan minimal 50%.
c. Identifikasi faktor pencetus dan yang mengurangi nyeri kepala, jika
memungkinkan juga berperan dalam mengurangi frekuensi serangan. d.
Penyakit komorbid yang lain ikut menentukan pemilihan terapi (misal:
penggunaan amitriptilin dikontraindikasikan pada hipertrofi prostat dan
glaukoma).
d. Perhatian khusus terhadap adanya interaksi obat
e. Terapi preventif seharusnya berbasis obat tunggal yang dititrasi pada dosis

62
rendah yang efektif dan ditoleransi dengan baik
f. Pasien harus dilibatkan dalam pemilihan terapi dan sedapat mungkin
dianjurkan untuk tidak mengonsumsi obat dalam jumlah banyak (kepatuhan
minum obat berkebalikan dengan jumlah obat yang dikonsumsi).
g. Pasien harus diinformasikan mengenai bagaimana dan kapan obat
seharusnya diminum, efikasi dan efek sampingnya. Pasien disarankan untuk
mencatat serangan nyeri kepala pada diari nyeri kepala untuk mengetahui
frekuensi dan durasi nyeri kepala, gangguan fungsional, jumlah obat
simtomatis yang diminum, efikasi terapi prevensi dan efek samping yang
mungkin muncul.

Prinsip-prinsip pemilihan terapi profilaksis:


a. Obat berdasarkan efektivitas lini pertama, efek samping, dan komorbid
penderita.
b. Mulai dengan dosis rendah, dinaikkan sampai efektif atau tercapai dosis
maksimal.
c. Obat diberikan dalam jangka waktu seminggu/lebih. d. Dapat diganti dengan
obat lain bila obat pertama gagal.
d. Sedapat mungkin monoterapi.
Pilihan Terapi Profilaksis:
1. Lini pertama: amitriptilin 10 -100 mg po, nortriptilin 10-100 mg po
2. Lini kedua: venlafaxine 150 mg po, mirtazapine 30 mg po
3. Lini ketiga: clomipramine 75-150 mg po, maprotriline 75 mg

Terapi Non Farmakologis


1. Kontrol diet
2. Terapi fisik: latihan postur dan posisi, masase, ultrasound, kompres
panas/dingin, TENS (Trancutaneus Electrical Stimulation).
3. Hindari pemakaian harian obat analgesik, sedatif dan ergotamine
5. Terapi Perilaku

Edukasi1,2

1. Modifikasi gaya hidup untuk mengurangi kekambuhan nyeri kepala


63
2. Pasien mengenali faktor pencetus nyeri kepala
3. Implementasi tatalaksana stres dan latihan fisik untuk mengurangi nyeri
kepala

c. Cluster Headache
Epidemiologi
Prevalensi CH sangat jarang, hanya kurang dari 1 %. Penyakit ini lebih
banyak ditemukan pada lelaki dibandingkan perempuan, dengan rasio sekitar 6:1,
serta berusia lebih dari 30 tahun.9

Patofisiologi
Walaupun penyakit ini sudah lama dikenal sejak lama, tetapi patofisiologi
yang mendasari berbagai gejalanya hingga saat ini, masih belum bisa dimengerti
secara jelas. Untuk memudahkan pemahaman penyakit ini, maka dilakukan
pendekatan patofisiologis berdasarkan gejala yang dialami pasien, yaitu (1) nyeri
kepala; (2) gejala otonom ; dan (3) periodisitas yang stereotipik.9
Stimulus nyeri kepala disampaikan ke sistem saraf pusat melalui cabang
nosiseptif oftalmikus nervus trigeminus. Cabang saraf ini menginervasi struktur
intrakranial yang sensitif terhadap nyeri, seperti: duramater dan pembuluh darah
dural. Ketika saraf atau ganglion trigeminus teraktivasi, substansi P dan
calcitonin gene-related peptide (CGRP) akan dilepaskan. Pelepasan kedua jenis
neuropeptida trigeminovaskular ini merangsang inflamasi neurogenik dan
dilatasi pembuluh darah yang kemudian menimbulkan sensai nyeri kepala.9
Gejala otonom pada nyeri kepala ini merupakan indikasi adanya aktivasi
saraf parasimpatis. Saraf ini merupakan cabang dari neuron pertama nukleus
salivatorius superior dan memiliki hubungan fungsional dengan nuleus
trigeminus. Serabut saraf ini selanjutnya memanjang sejajar nervus fasialis dan
bersinaps di ganglion pterigoplatina. Saraf post ganglionik berfungsi sebagai
vasomotor dan sekretomotor pembuluh darah serebral, kelenjar lakrimal, dan
mukosa hidung. Hal lain yang juga memicu gejala otonom adalah perubahan
vaskular yang menginduksi gangguan akltivitas saraf simpatis. Muncul nya
gejala sindroma Horner (ptosis, miosis, injeksi konjungtiva) selama serangan
nyeri kepala klaster, mengindikasikan adanya pengaruh pleksus simpatis karotis,
terutama pleksus di sekitar arteri karotis interna segmen kavernosus.9

64
Sementara itu, periode serangan yang episodik diduga berhubungan dengan
adanya disfungsi aktivitas hipotalamus. Hal ini dibuktikan dengan abnormalitas
kadar hormone kelenjar hipofisis yang mengindikasiskan adanya perubahan
ritme sekretorik hipotalamus.9

Gambaran Klinis-Klasifikasi1,2
 Deskripsi: Serangan berat, nyeri yang ketat dan unilateral pada orbital,
supraorbital, temporal atau dalam bentuk kombinasi, berlangsung 15 –
180 menit dan terjadi mulai dari sekali setiap hari sampai delapan kali
sehari. Rasa sakit terkait dengan injeksi konjungtiva yang ipsilateral,
lakrimasi, hidung tersumbat, rhinorrhoea, dahi dan wajah berkeringat,
miosis, ptosis dan / atau edema kelopak mata, dan / atau dengan
kegelisahan.
 Kriteria diagnostik:
a. Sekurang-kurangnya terjadi lima serangan memenuhi yang
memenuhi kriteria B-D
b. Nyeri pada orbital, supraorbital dan / atau temporal yang berat atau
sangat berat secara unilateral berlangsung 15-180 menit (saat tidak
diobati)
c. Salah satu atau kedua hal berikut:
1. Sekurang - kurangnya satu dari gejala atau tanda-tanda berikut,
ipsilateral untuk:
a) Injeksi konjungtiva dan / atau lakrimasi
b) Hidung tersumbat dan / atau rhinorrhoea
c) Edema kelopak mata d) Dahi dan wajah berkeringat
e) Dahi dan kemerahan pada wajah
f) Sensasi penuh pada telinga
g) Miosis dan / atau ptosis
2. Rasa gelisah atau agitasi
d. Serangan memiliki frekuensi antara satu setiap lain hari dan delapan
per hari selama lebih dari setengah dari waktu ketika gangguan
tersebut aktif
e. Tidak berkaitan dengan diagnostik lain

65
Tatalaksana1,2
Terapi untuk serangan akut nyeri kepala klaster:
1. Inhalasi oksigen 100% 7 liter/menit selama 15 menit
2. Sumatriptran injeksi subkutan 3-6 mg akan mengurangi nyeri dalam waktu
15 menit, dapat diulang setelah 24 jam. KontraindikasiL penyakit jantung
iskemik, hipertensi tidak terkontrol. Efek samping: pusing, letih, parestesia
dan kelemahan di muka.
3. Zolmitriptan 5 mg atau 10 mg po
4. Ergotamine tartrate 1 mg tab sublingual  tiap 5 menit sampai 3 mg
perbaikan
5. DHE (Dihidroergotamin) 0.5-0.15 mg IV
6. Tetes hidung lidokain

Edukasi1,2

1. Faktor pasikologis tidak mempegaruhi perjalanan cluster headache


2. Penyesuain gaya hidup  tidak memberi respon
3. Harus dipertimbangkan: adakah lesi struktural yang mendasari
4. Pengobatan behavioral: terapi relaksasi, biofeedback, manajemen stres
5. Menghindari dan mengurangi asupan alkohol selama periode serangan
cluster headache

Referensi:
1. Kelompok Studi Nyeri Kepala, PERDOSSI. Konsensus Nasional V.
Diagnostik dan Penatalaksanaan Nyeri Kepala. 2018. Hal 1-60
2. Headache Classification Committee of the International Headache
Society (IHS). The International Classification of Headache Disorders,
3rd edition. Cephalalgia. 2018; 38:1-211.
3. Global Burden of Disease 2016 Headache Collaborator Group. Global,
regional, and national burden of migraine and tension-type headache,
1990–2016: a systematic analysis for the Global Burden of Disease Study
2016. Lancet Neurol 2018; 17: 954–76.
4. Sjahrir H. Patofisologi nyeri kepala. In: Nyeri kepala dan vertigo :
Yogyakarta : Pustaka Cendekia Pres ; 2008 .p. 1,2,16,50-72.
5. Goadsby, PJ, Holland PR. Patophysiology of Migraine :An Update.
Neurologic Clinics. 2019; 37(4), 651–671.doi:10.1016/j.ncl.2019.07.008
6. Fernandez-de-las Ce´sar and Jean Schoenen. Chronic tension-type
headache: What is new? Current opinion in neurology. 2009. 22(3):254-
61

66
7. Woolf Clifford J. Central sensitization: Implications for the diagnosis and
treatment of pain. Pain. 2011 March ; 152(3 Suppl): S2–15
8. Ashina Messoud and Pierangelo Geppetti. Pathophysiology of headaches
from molecular to man. Springer International Switzerland. 2015;1-8
9. Anindhita, T. dan Wiratman, W. Buku Ajar Neurologi, Departemen
Neurologi FKUI, Jakarta. 2017. Salemba Press: hal. 452-61; 514-25.

5.5 Low Back Pain (LBP)


Level Kompetensi : 3A
Definisi
LBP atau nyeri punggung bawah merupakan nyeri, ketegangan otot, atau
kekakuan yang dirasakan di daerah pungung bawah, dapat merupakan nyeri
lokal maupun nyeri radikuler atau keduanya. Nyeri ini dirasakan diantara sudut
iga terbawah dan didaerah lumbal atau lumbo-sakral dan sering disertai dengan
penjalaran nyeri kearah tungkai dan kaki.1

Epidemiologi
Nyeri tercatat sebagai keluhan yang paling banyak membawa pasien keluar
masuk untuk berobat ke Rumah Sakit, diperkirakan prevalensi LBP adalah lebih
dari 30% dari populasi dunia. Di Amerika Serikat, prevalensi LBP diperkirakan
antara 15-20% dan merupakan kasus nyeri yang menempati urutan kelima
membawa pasien untuk mencari pertolongan ke dokter. Di Indonesia walaupun
data epidemiologi mengenai LBP belum ada namun diperkirakan 40%
penduduk Jawa Tengah berusia antara 20-65 tahun pernah menderita LBP
dengan prevalensi pada laki-laki 18,2% dan perempuan 13,6%.2

Etiologi
Tabel 8. Etiologi LBP1
LBP Mekanik LBP Non-Mekanik Kelainan Viseral
Lumbal Strain Neoplasma Organ pelvis
Penyakit degeneratif Tumor metastasis Prostatitis
Spondilosis Multipel myeloma Endometriosis
Kerusakan sendi faset Limfoma, leukemia Penyakit inflamatorik
Hiperostosis skeletal Tumor medulla pelvis kronik
Idiopatik difus spinalis Kelainan ginjal

67
Spondilolisis Tumor retroperitoneal Nefrolitiasis
Spondilolistesis Infeksi Pyelonefritis
Herniasi diskus Osteomyelitis Abses sekitar ginjal
Stenosis spinalis Septic discitis Kelainan vaskuler
Osteoporosis dengan Abses Aneurisma aorta
fraktur epidural/paraspinal abdominialis
Kompresi Endokarditis Kelainan aortoiliaka
Fraktur Arthritis inflamatorik Penyakit
Kelainan kongenital Spondilitis ankilosing gastrointenstinal
Kifosis berat Sindroma Reiter Pankreatitis
Skoliosis berat Inflamatory bowel Kolesistitis
Paget’s disease disease Perforated bowel
Reumatika polimyalgia

Patogenesis
Nyeri pada LBP dapat terjadi akibat kerusakan jaringan saraf dan/atau non-saraf
pada punggung bawah. Jaringan non-saraf yang rusak seperti tulang vertebra,
kapsul sendi di apofisial, annulus fibrosus, otot dan ligamentum. Peregangan
(stretching), robekan (tearing) atau kontusio jaringan-jaringan tersebut dapat
terjadi akibat aktivitas seperti mengangkat beban berat, gerakan memutar tulang
belakang dan whiplash injury.

Mekanisme Perifer:1
a. Sensitisasi Nosiseptor
Setelah terjadi kerusakan/ trauma pada sistem saraf perifer, mediator inflamasi
akan dilepaskan oleh nosiseptor aferen primer yang rusak dan neuron simpatik
postganglioner (misalnya sel mast, limfosit). Mediator inflamasi tersebut antara
lain noradrenalin, bradikinin, histamin, prostaglandin, potasium, sitokin,
norepinefrin, neuropetida. Mediator inflamasi dan perubahan metabolik misalnya
iskemik jaringan, hipoksia, peningkatan glukosa darah, ketidakseimbangan
elektrolit dan asam basa dapat menimbulkan depolarisasi neuron sensorik
sehingga mencetuskan ectopic discharge dan mengeksaserbasi nyeri. Sensitisasi
perifer terjadi jika terdapat kerusakan pada saraf perifer. Selain terjadi sensitisasi
pada saraf perifer yang mengalami kerusakan, diberbagai tempat sepanjang

68
perjalanan saraf akan terbentuk pacemaker neuronal ektopik sehingga dapat
menyebabkan peningkatan densitas abnormalitas dan disfungsi sodium channel.

b. Ectopic discharge dan ephatic conduction


Bila terjadi kerusakan saraf, maka didapatkan suatu keadaan axotomy
(terputusnya akson bagian distal) sehingga ujung-ujung akson akan membentuk
tonjolan terminal akson (end bulb/neuroma) yang dapat merusak selubung
mielin. Ektopik pacemaker pada neuroma disebabkan karena sprouting axon
yang abnormal dan memiliki persarafan simpatetik. Pada neuroma terjadi
penumpukkan sodium channel disepanjang akson sehingga dapat memodulasi
sensitisasi adrenergik, katekolamin, prostanoid dan sitokin. Pada neuron normal,
ini tidak terjadi. Ada suatu keadaan yang dikenal dengan “crossed-after
discharge”. Pada keadaan ini penyebaran impuls eksitasi dari neuron aktif ke
neuron pasif lebih disebabkan karena mediator kimia terlarut. Impuls atau
aktivitas repetitif serabut aferen diperlukan untuk menimbulkan eksitasi neuron
yang berdekatan sehingga neuron pasif akan tereksitasi melalui fenomena “wind-
up”

c. Sprouting
Setelah terjadinya kerusakan saraf perifer maka dapat terjadi hubungan yang
abnormal antara sistem saraf simpatetik dan sistem saraf sensorik dan
meningkatkan sensitisasi katekolamin. Aktivitas simpatetik diyakini menginisiasi
terjadinya perjalanan impuls yang abnormal pada neuron sensorik sehingga
mencetuskan persepsi nyeri. Hal ini terjadi akibat peningkatan faktor neurotropik
dan sitokin yang disebabkan oleh degenerasi wallerian.

d. Perubahan ekspresi pada ion channel


Akumulasi channel Na+ pada neuroma akson sensorik yang rusak, dapat
menyebabkan ectopic discharge. Sodium channel bukanlah satu-satunya channel
yang mempengaruhi hiperekstibilitas neuronal. Calcium channel mempunyai
peranan dalam hiperekstibilitas neuronal sehingga mencetuskan hiperalgesia dan
alodinia

69
Gambar 2. Mekanisme sensitisasi perifer1
Mekanisme Sensitisasi Sentral :3,4,5
Rangsang noksius akan diterjemahkan oleh nosiseptor, yaitu sekelompok neuron
yang berperan untuk mengubah rangsang fisik atau kimia menjadi impuls listrik.
Impuls itu kemudian akan dihantarkan ke susunan saraf pusat yaitu medula
spinalis dan otak. Serabut saraf nosiseptor kebanyakan merupakan serabut saraf
kecil yaitu Aδ yang bermielin tipis dan C yang tidak bermielin. Serabut saraf Aδ
diaktivasi oleh rangsang suhu dan mekanik ambang tinggi (high treshold
mecanothermal). Sementara itu serabut saraf C diaktivasi oleh rangsang yang
sama tetapi dalam ambang yang lebih tinggi. Selain itu diketahui bahwa serabut
saraf C memiliki receptive field yang lebih kecil dibanding serabut saraf Aδ.
Serabut saraf C dikenal sebagai pemeran utama nosiseptor perifer terutama C
polimodal. Tidak seperti serabut saraf Aδ, serabut saraf C juga sensitif terhadap
rangsang kimiawi. Selain kedua jenis serabut saraf tadi, terdapat pula serabut Aβ,
yaitu serabut saraf yang berfungsi untuk menerima dan menghantarkan
rangsangan proprioseptif. Ujung akhir serabut saraf dan nosiseptor pada
umumnya berada di kolumna dorsalis medula spinalis atau pada nukleus
trigeminus pada batang otak (untuk nosiseptor kranialis). Serabut saraf Aδ dan C
berakhir pada lamina I dan II kornu dorsalis, sementara saraf Aβ berakhir pada

70
lamina III dan IV. Neuron yang menerima rangsangan (second order neuron)
pada kornu dorsalis terbagi-bagi ke dalam neuron yang menerima impuls dari
serabut saraf C, Aδ dan Aβ.

Nosiseptor juga dapat mengamplifikasi proses inflamasi lokal dengan


cara melepaskan mediator seperti substansia p dan Calcitonin Gene Related
Peptide (CGRP) yang selanjutnya memicu vasodilatasi. Hal ini akan berakibat
peningkatan aliran darah dan ekstravasasi plasma ke area jaringan yang
mengalami kerusakan yang memungkinkan sel-sel inflamasi untuk semakin
mudah mengeluarkan mediator-mediator inflamasinya. Setelah terjadi kerusakan
jaringan, peningkatan densitas dan proses posforilasi transduser dan aktivasi
reseptor TRPV1 (Transient Reseptor Potential Vaniloid 1) mengakibatkan
meningkatnya aktivitas kanal ion. Proses sensitisasi yang dimediasi oleh
campuran substansia-substansia tersebut (dikenal sebagai sensitizing soup)
kemudian dapat membangkitkan hiperalgesia primer maupun sekunder.
Hiperlgesia primer adalah meningkatnya sensasi nosisepsi pada area yang
mengalami kerusakan jaringan dan hiperalgesia sekunder adalah meningkatnya
sensasi nosisepsi di area sekitar jaringan yang mengalami kerusakan.

Reseptor NMDA adalah reseptor glutamat dan protein saluran ion yang
ditemukan di sel saraf. Reseptor NMDA adalah salah satu dari tiga jenis reseptor
glutamat. Reseptor lainnya adalah AMPA dan kainate. Pada awalnya glutamat
akan berikatan dengan reseptor AMPA dan kainite, aktivasi AMPA ini akan
menyebabkan aktivasi reseptor NMDA sebagai respon dari bangkitan impuls
yang terus menerus dari perifer, juga berperan dalam terjadinya proses
hiperalgesia primer dan sekunder. Hipereksitabilitas kornu dorsalis juga dapat
terjadi melalui serangkaian proses ekpresi gen yang akan menambah jumlah
reseptor nyeri pada nosiseptor perifer. Selain itu, serabut saraf Aβ yang secara
normal tidak berperan sebagai penghantar nyeri akan berubah fungsi menyerupai
serabut penghantar nyeri. Hal ini menjelaskan terjadinya alodinia mekanis pada
nyeri.

Sensitisasi sentral meningkat pada eksibilitas medulla spinalis. Hal ini


dapat menggambarkan mekanisme pada keadaan nyeri patologis setelah
kerusakan saraf dan mekanisme ini mirip dengan mekanisme memori melalui

71
long term potentiation. Stimulasi noksius berulang pada C-fiber dapat
menimbulkan letupan terus-menerus di sel kornu dorsalis akan menyebabkan
pelepasan asam amino eksitatorik yang dapat menimbulkan eksitasi neuron wide
dynamic range (WDR) melalui reseptor NMDA. Fenomena ini dikenal dengan
nama “wind-up”, yaitu terjadinya peningkatan secara progresif jumlah potensial
aksi yang dihasilkan per stimulus pada neuron kornu dorsalis. Episode berulang
melalui fenomena “wind-up” dapat mencetuskan proses long term potentiation
yang mencakup peningkatan efikasi transmisi sinaptik dalam jangka lama
melalui peranan aktivasi jalur NMDA. Baik proses “wind-up” ataupun long term
potentiation memegang peranan penting dalam proses sensitisasi sentral yang
mencetuskan suatu keadaan nyeri kronik.

Gambar 3. Mekanisme Sensitisasi Sentral1


Gejala Klinis 6,7,8,9
Pembagian klinis LBP untuk triage :
- LBP dengan tanda bahaya ( red flags) : neoplasma/karsinoma, infeksi,
fraktur vertebra, sindrom kauda ekuina
- LBP dengan kelainan neurologik berat
- LBP dengan sindroma radikuler
- LBP nonspesifik

72
Melalui Anamnesis:
- Mendapatkan data mengenai pemicu terjadinya LBP, seperti
membungkuk (bending), memutar (twisting), mengangkat beban (lifting),
atau bahkan hanya dengan bangun dari kondisi berbaring.
- Keluhan utama nyeri pada LBP dieksplorasi karakteristiknya lebih lanjut,
antara lain jenis dan lokasi, durasi (menetap/intermiten), intensitas
(ringa/sedang/berat), hubungan temporal (akut/kronik), serta faktor yang
memperberat atau meringankan nyeri.
- Anamnesis mengenai nyeri dapat menuntun kita mengetahui sumber
nyeri apakah bersumber dari struktur-struktur yang membentuk tulang
belakang seperti otot, ligamentum, sendi faset dan diskus intervertebralis
yang dapat beralih ke region paha bawah. Nyeri yang berkaitan dengan
sakroiliaka sering kali beralih ke paha bawah, tetapi juga dapat menjalar
ke bawah lutut. Adanya iritasi, benturan atau kompresi saraf lumbalis
akan menyebabkan nyeri yang lebih dirasakan pada tungkai dibandingkan
pada punggung bawah. Nyeri yang berasal dari radiks atau saraf spinal
L1-L3 akan beradiasi ke panggul dan/ atau paha bawah, sedangkan nyeri
yang berasal dari L4-S1 akan beradiasi di bawah lutut.
- Selain nyeri, keluhan lain yang dapat ditanyakan pada anamnesis ialah
rasa kaku, pegal, kesulitan bergerak.
- Evaluasi keluhan LBP baru pertama kali atau kambuh berulang penting
untuk diketahui. Setiap episode kambuh berulang biasanya memiliki
intensitas nyeri yang lebih berat disertai peningkatan gejala dari
sebelumnya,
- Tentukan jenis nyeri yang dialami oleh pasien dapat dikategorikan
menjadi nyeri nosiseptif atau nyeri neuropatik. Nyeri kronik lebih sering
nyeri neuropatik meskipun kepastian diagnostik harus ditentukan dengan
modalitas pemeriksaan yang lebih spesifik.
- Evaluasi ada/tidaknya tanda bahaya (red flags). Anamnesis yang perlu
diajukan antara lain adalah usia lebih dari 50 tahun, riwayat trauma,
riwayat keganasan, adanya penurunan berat badan tanpa penyebab yang
jelas, pemakaian obat-obatan imunosuppresan/ kortikosteroid sistemik,
penyalahgunaan obat/narkoba, riwayat demam dan infeksi saluran kemih.
73
- Anamnesis juga meliputi asesmen faktor risiko psikososial karena faktor
psikososial dan stress merupakan prediktor yang kuat yang dapat dipakai
untuk meramalkan kemungkinan risiko terjadinya LBP kronik (yellow
flags). Yellow Flags/ Bendera kuning adalah tanda-tanda yang dapat
menunjukkan kekambuhan nyeri punggung disamping defisit fungsional
serta absen dari pekerjaan. Berbeda dengan red flags yang menunjukkan
risiko fisik utama, yellow flags menunjukkan faktor risiko psikososial.
Yellow flags dapat dikaitkan dengan sikap dan keyakinan tentang rasa
sakit, emosi, dan perilaku.

Pemeriksaan Fisik:
Prinsip pemeriksaan LBP adalah look (inspeksi), feel (palpasi), move
(movement). Inspeksi mungkin menunjukkan adanya kelengkungan lateral tulang
belakang (skoliosis) atau penonjolan otot-otot paraspinal yang asimetris,
mengarah pada spasme otot. Nyeri punggung yang berasal dari organ visera
dapat dihasilkan saat palpasi abdomen (pankreatitis, aneurisma aorta abdominal)
atau perkusi pada costovertebral angle/ CVA (pielonefritis). Pemeriksa dapat
melakukan pemeriksaan move, dimana spasme otot-otot paraspinal sering
membatasi kemampuan untuk membungkuk ke depan dan mengurangi/
mendatarkan kelengkungan (lordosis) lumbal yang normal. Fleksi panggul tetap
normal pada pasien dengan gangguan vertebra lumbalis, tetapi fleksi lumbal
terbatas dan kadang-kadang nyeri. Menekuk ke samping ke sisi yang berlawanan
dari tulang belakang yang cedera dapat meregangkan jaringan yang terganggu,
memperparah nyeri dan membatasi gerakan. Hiperekstensi tulang belakang
(dengan pasien telungkup atau berdiri) menjadi terbatas jika terdapat kompresi
radiks, facet joints yang patologis, atau penyakit tulang belakang lainnya.

Pemeriksaan Neurologis:
Identifikasi adanya kelemahan fokal atau atrofi otot, perubahan refleks
fokal, berkurangnya sensasi pada tungkai, atau tanda-tanda cedera medula
spinalis serta uji untuk menentukan kelainan saraf. Nyeri panggul dapat
dicetuskan oleh rotasi internal dan eksternal pada panggul dengan lutut dan
panggul dalam posisi fleksi (Patrick’s sign) dan dengan mengetuk tumit dengan
tangan pemeriksa ketika kaki diekstensikan (heel percussion sign). Dengan
74
pasien dalam keadaan supinasi, fleksi panggul pasif pada kaki yang ekstensi akan
meregangkan radiks L5 dan S1 dan nervus skiatika (straight leg-raising
maneuver). Dorsofleksi kaki pasif selama maneuver akan menambah
keregangan. Tes straight leg rasing (SLR) positif jika maneuver ini mencetuskan
nyeri punggung atau tungkai yang biasanya dialami oleh pasien. Crossed SLR
sign positif bila fleksi pada salah satu tungkai mencetuskan nyeri yang biasa
dialami pada tungkai atau bokong yang berlawanan. Tanda ini kurang sensitive
tetapi lebih spesifik, untuk herniasi diskus disbanding dengan tanda SLR. Selain
itu, reverse straight leg raise test dikerjakan dalam posisi pasien tengkurap,
dilakukan ekstensi pada panggul dan fleksi lutut. Hasil positif ditandai dengan
nyeri yang menjalar ke anterior paha bawah, menunjukkan keterlibatan radiks
atau saraf spinal L3.

Pemeriksaan Penunjang9, 10
Pemeriksaan Laboratorium
Atas indikasi :
- Laju endap darah
- Darah perifer lengkap
- C- reaktif protein (CRP)
- Faktor rematoid
- Fosfatase alkali
- Kalsium, fosfor serum
- Urinanalisa
- Likuor serebrospinal

Pemeriksaan Neurofisiologi:
Atas indikasi, terutama pada kasus LBP dengan sindroma radikuler dan mungkin
LBP dengan tanda bahaya :
- Kecepatan hantar saraf (NCV) : MNCV dan SNCV
- Elektromiografi (EMG)
- Respon lambat : gelombang F dan reflek H
- Cetusan potensial somato-sensorik (SSEP)
- Cetusan potensial motorik (MEP)
Pemeriksaan Neuroradiologi:
75
- Foto polos : tidak rutin, terutama untuk menyingkirkan kelainan tulang
- Mielografi.
- Computer Tomography scan. (CT-scan)
- Mielogram – CTscan.
- Magnetic Resonance Imaging.(MRI)

Tatalaksana 9,10,11
Tujuan pengobatan LBP akut adalah untuk mengurangi nyeri,
mengembalikan pasien ke dalam aktivitas sehari-harinya, menurunkan hilangnya
wkatu kerja, dan mengembangkan strategi untuk mengatasi nyeri melalui
edukasi. Optimalisasi pengobatan nyeri akut dapat mencegah berkembang
menjadi kronik. Pada prinsipnya penatalaksanaan LBP dibagi menjad tiga tujuan,
yaitu pengobatan penyakit yag mendasarinya, tindakan operatif, dan terapi
konservatif.
1. Untuk LBP yang berasal dari organ abdomen serta bagian posterior
abdomen, LBP akibat metastasis spinal, pengobatan ditujukan pada
pengobatan penyakit yang mendasari tersebut.
2. Untuk LBP yang dapat disembuhkan dengan tindakan operatif, tentukan
indikasi dan keutungan serta kerugian tindakan operasi pada awal awitan
LBP atau setelah terapi konservatif yang diberikan lebih dulu.
3. Untuk LBP tanpa tindakan operatif:
a) Istirahat, pembatasan aktivitas fisik, penggunaan korset.
b) Terapi fisik: termoterapi, traksi
c) Terapi olahraga
d) Orthoses: sebagai imobilisasi tulang belakang serta mengkoreksi kifosis
dan skoliosis.
e) Terapi medikamentosa:
 Terapi kuratif dengan antibiotik atau antifungal, atau obat anti
tuberkulosis untuk kasus-kasus infeksi
 Terapi simptomatik dengan obat antiinflamasi (OAINS atau
asetaminofen), analgetik, pelemas otot berdasarkan keparahan nyeri
(diazepam, siklobenzaprin, tizanidin, metaksalon)
 Menghilangkan nyeri dengan blok lokal atau blok saraf ( injeksi
epidural ( steroid, lidokain, opioid ) pada sindroma radikuler)
76
f) Psikoterapi: konseling nyeri punggung bawah kronik dan nyeri
punggung bawah psikogenik
g) Panduan menjalankan aktivitas sehari-hari: panduan gaya hidup dan
kerja yang tidak baik yang dapat menimbulkan maupun memperberat
LBP, mengenal dan menanangani Yellow flags (faktor biopsikososial).

Daftar Pustaka
1. Suwondo BS, Lucas M S. Buku Ajar Nyeri. Indonesian Pain Society.
2017: 109-110.
2. Fayaz A, Croft P, Langford RM, Donaldson LJ, Jones GT. Prevalence of
chronic pain in the UK: A systematic review and meta-analysis of population
studies. BMJ Open. 2017;6(6).
3. Telles S, Reddy SK, Nagendra HR. Adams and Victor‟s Principles of
Neurology.2019; 53(2).
4. John W ER. Back And Neck Pain. In: HARISSON‟S Neurology In Clinical
Medicine. Third Edit. Mc Graw Hill Education Medical; 2013.
5. Christiansen S, Cohen SP. Chronic pain: Pathophysiology and mechanisms.
Essentials Interv Tech Manag Chronic Pain. Published online 2018:15-25.
doi:10.1007/978-3-319-60361-2.
6. Almeida DC, Kraychete DC. Low back pain – a diagnostic approach. Rev
Dor. 2017;18(2):173-177.
7. Chou R, Qaseem A, Snow V, et al. Diagnosis and treatment of low back
pain: A joint clinical practice guideline from the American College of
Physicians and the American Pain Society. Ann Intern Med.
2007;147(7):478-491.
8. Purwata T, Dkk. Pain Education : A Patient‟s Guide to Pain Management.
Pustaka Bangsa Press.2018.
9. Haris S, Wiratman W, Zairinal RA. Nyeri punggung bawah dalam Buku
Ajar Neurologi, Buku 2. Penerbit Kesokteran Indonesia. 2017; 622-639
10. Purwarata TE, Sadeli HA, Yudiyanta, Emril DR, Santoso WM, Tama WN.
Konsensus nasional penatalaksanaan nyeri. Ar-Ruzz Media. 2019.
11. Hauser SL. Harrison‟s Neurology in Clinical Medicine. United States of
America: The McGraw-Hill Companies. 2013; 23(3).454-487.

77
5.6 Penyakit saraf tepi
Subtopik : Sindroma Guillan Barre
Level kompetensi : 3B
Definisi :
Sindroma Guillain-Barre (SGB) merupakan suatu sindroma yang disebabkan
oleh proses autoimun terhadap saraf perifer akut dengan progresifitas cepat dan
didominasi oleh gejala polineuropati motorik. Sindrom Guiilain Barre adalah
penyakit dimana sistem kekebalan tubuh seseorang menyerang sistem saraf tepi
dan menyebabkan kelemahan otot, apabila parah dapat mengakibatkan
kelumpuhan, bahkan otot-otot pernapasan.1,3

Epidemiologi1:
- Mengenai semua usia
- Insidens : 0,75 - 2 % per 100.000 penduduk
- Meningkat seiring bertambahnya usia, lebih jarang ditemukan pada anak-
anak
- Lebih sering terjadi pada laki-laki dengan perbandingan 1,7 : 1 dengan
perempuan
- Biasanya didahului oleh suatu infeksi (saluran nafas atau gastrointestinal),
imunisasi, kehamilan atau pembedahan.

Topik1 : radik anterior dan posterior

Etiologi3 : penyakit autoimun

Patogenesis/Patofisiologi :
Gangliosida adalah target dari antibodi. Ikatan antibodi akan mengaktivasi
kerusakan mielin. Mielin diserang karena diduga memiliki lapisan
lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid. Pada infeksi bakteri
Campylobacter jejuni, bakteri ini mengandung protein membran yang
merupakan duplikatdari GM1 (prototipe gangliosid). Kerusakan akan terjadi
pada membran aksonal. Perubahan pada akson menyebabkan reaksi silang
antibodi ke bentuk GM1 sehingga akan muncul sinyal infeksi. Sistem imun
humoral terinisiasi, sel T merespon dengan infiltrasi sel limfosit ke spinal dan
sistem saraf perifer. Makrofag akan terbentuk di daerah yang rusak dan

78
menyebabkan demielinisasi serta hambatan dalam sistem konduksi impuls saraf.1
Varian SGB berserta gejala klinis dan patofisiologinya ditampilkan pada tabel
dibawah ini.

Tabel 9. Perbedaan masing-masing varian SGB2

Gejala klinis :
Rasa baal pada ujung jari kaki dan tangan (pola kaus kaki dan sarung tangan),
yang segera diikuti oleh kelemahan flaksid otot tungkai dan lengan yang terjadi
secara asendens dan relatif simetris. Gejala ini biasanya muncul 1-3 minggu
setelah mengalami infeksi, imunisasi ataupun pembedahan. Kelemahan
maksimal dalam 1 minggu pada kira-kira 50% kasus dan dalam 1 bulan pada
lebih dari 90% kasus. Pada kasus yang berat, bisa terjadi tetraplegia dan kesulitan
untuk bernafas, menelan atau bicara (karena kelemahan otot orofaring dan
pernafasan). 10% - 20% pasien memerlukan alat bantu nafas. Selain gejala
diatas, juga ditemukan berkurangnya atau menghilangnya reflek tendon. Pada
beberapa pasien ditemukan disfungsi sistem otonom.1,2,3

Pemeriksaan Penunjang1 :
 Adanya peninggian kadar protein pada cairan serebrospinal sementara
kadar sel normal (disosiasi sitoalbuminik).
 Penurunan kecepatan hantaran saraf (dengan Elektromiografi)

79
Dasar Diagnosis1,2 :
Anamnesis :
 Kelemahan ascenden dan simetris
 Anggota gerak bawah dulu baru menjalar ke atas
 Kelemahan akut dan progresif yang ditandai arefleksia
 Puncak defisit 4 minggu
 Pemulihan 2-4 minggu pasca onset
 Gangguan sensorik pada umumnya ringan
 Gangguan otonom dapat terjadi
 Gangguan saraf kranial
 Gangguan otot-otot nafas
Pemeriksaan fisik :
 Kelemahan saraf kranial (III, IV, VI, VII, IX, X)
 Kelemahan anggota gerak yang cenderung simetris dan asendens,
 Hiporefleksia atau arefleksia
 Tidak ada klonus atau refleks patologis.
Pemeriksaan penunjang :
Disosiasi sitoalbuminik pada cairan serebrospinal dan EMG terdapat penurunan
kecepatan hantaran saraf.

Diagnosis banding1 :
Polineuropati terutama karena defisiensi metabolik, Tetraparesis penyebab lain,
Hipokalemi, Miasthenia gravis

Komplikasi2 :
kelemahan otot-otot pernafasan dan otot menelan.

Tatalaksana2 :
 Tidak ada drug of choice
 Waspadai memburuknya perjalanan klinis dan gangguan pernafasan
 Bila ada gangguan pernafasan rawat ICU
 Roboransia saraf parenteral
 Perlu NGT bila kesulitan mengunyah / menelan

80
 Kortikosteroid masih kontroversial, bila terjadi paralisis otot berat maka
perlu kortikosteroid dosis tinggi
 Plasmafaresis beberapa pasien memberi manfaat yang besar terutama
kasus akut. Plasmafaresis 200 – 250 ml / kgBB dalam 4 – 6 x pemberian
selang waktu sehari, diganti cairan kombinasi garam + 5 % albumin
 Imunoglobulin intravena (konsensus ahli) : IVIG direkomendasikan
untuk terapi SGB. Dosis 0,4 g / kgBB / tiap hari untuk 5 hari berturut –
turut ternyata sama efektifnya dengan penggantian plasma. Konsensus
ahli merekomendasi IVIG sebagai pengobatan SGB

Prognosis2 :
Lebih dari 90% penyembuhannya sangat baik, tanpa meninggalkan defisit yang
bermakna, namun kira-kira 3 - 5 % berkembang menjadi kronik.
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam

Referensi :
1. Kelompok Studi Neurofisiologi dan Saraf Tepi PERDOSSI, Pedoman
Tatalaksana GBS, CIDP, MG, Imunoterapi edisi 1; 2018.
2. PERDOSSI, Buku Pedoman Standar Pelayanan Medis dan Standar
Prosedur Operasional Neurologi; 2008.
3. PERDOSSI, Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi; 2016.

Subtopik : Myasthenia Gravis


Level kompetensi : 3B
Definisi
Penyakit autoimun yang disebabkan oleh antibodi yang mengenai
reseptor asetilkolin di post sinap, sehingga menyebabkan berkurangnya
kemampuan otot untuk berdepolarisasi dengan gambaran klasik berupa
kelemahan yang fluktuatif pada otot-otot ekstra okuler, bulbar dan otot-
otot proksimal.1
Epidemiologi
Angka kejadian Miastenia Gravis adalah 8-10 kasus per satu juta
penduduk dengan prevalensi 150-250 kasus per 1 juta, dan merupakan

81
penyakit neuromuskular dengan frekuensi terbanyak. Puncak insiden
penyakit ini bersifat bimodal dengan puncak pertama dijumpai pada usia
20-40 tahun dengan perbandingan wanita dan pria 1:3, dan puncak kedua
pada usia diatas 50 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 3:2. 1,3

Etiologi
Autoimun
Patofisiologi
Pada Miastenia Gravis aktivasi komplemen oleh antibodi menyebabkan
hilangnya lekukan membran post sinaps sehingga menurunkan jumlah
reseptor asetilkolin. Antibodi berikatan dengan AchR sehingga
menghambat ikatan Ach-AchR. IgG dan komplemen menyebabkan
kerusakan membran sel otot sehingga menurunkan defisiensi transmisi
post sinaptik. Walaupun jumlah asetilkolin yang dilepaskan tetap, efek
post sinaptik tetap minimal karena berkurangnya jumlah dan tempat
ikatan AchR. Sebagai akibatnya, tidak selalu impuls saraf diikuti dengan
potensial aksi sel otot. Kelemahan otot disebabkan gangguan transmisi
neuromuskular akibat ikatan antibodi pada protein yang penting pada taut
neuromuskular. Antibodi dapat merusak, melakukan hambatan (blok)
atau mengubah jumlah reseptor asetilkolin (AchR) sehingga menurunkan
efek neurotransmitter asetilkolin. Secara molekular, disfungsi tersering
disebabkan gangguan reseptor asetilkolin (AchR) tipe nikotinik. Target
antibodi lain dalam prevalensi yang lebih rendah adalah protein Muscle
Specific Kinase (MuSK) dan LPR4. 1,2

Gejala klinis1,2
 Gejala klinis klasik ditandai dengan kelemahan atau kelelahan yang bersifat
fluktuatif, baik yang terisolasi hanya pada otot-otot okuler, bulbar, maupun
generalisata (MG general).
 Keluhan okuler berupa ptosis atau diplopia terjadi pada sekitar 85% kasus,
dan 80% diantaranya akan berkembang menjadi MG general, 2 tahun setelah
gejala awal muncul. Tipikal ptosis pada MG biasanya asimetris dan tidak
pernah disertai dengan gangguan pupil. Pasien mengeluhkan padangan ganda

82
atau kabur yang memburFsindroiuk pada sore hari dan membaik bila pasien
beristirahat atau menutup satu mata.
 Gejala bulbar terjadi 15% kasus. Pasien mengeluhksan cairan masuk ke
hidung saat sedang minum, kelelahan saat mengunyah makanan, dan suara
sengau. Fleksi leher lebih banyak dipengaruhi daripada ekstensi. Kelemahan
otot proksimal biasanya bersifat simetris.
 Miestenia Gravis gejala berat ditandai gejala, disfagia yang menyebabkan
ancaman proses menelan, dispnea dengan kapasitas vital paru < 50% normal,
head drop, serta kelemahan ekstremitas baik proksimal atau distal sehingga
menyebabkan terganggunya aktifitas fisik dasar ( Activities of Daily
Living/ADL) secara independen.

Tabel 9. Klasifikasi klinis MG berdasarkan kriteria MGFA1


Kelas Deskripsi

I Kelemahan motorik terbatas pada ocular

Memiliki kesulitan menutup mata

Kekuatan motorik lain normal

II Kelemahan motorik derajat ringan melibatkan otot lain selain ocular

Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan beberapa derajat

IIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya

IIb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya

III Kelemahan motorik derajat sedang melibatkan otot lain selain ocular

Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat1

IIIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya

IIIb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya

IV Kelemahan motorik derajat berat melibatkan otot lain selain ocular

Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas pada okular dengan berbagai derajat

Iva Kelemahan motorik lebih berat pada otot ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya

IVb Kelemahan motorik lebih berat pada otot orofaring, respiratorik, atau keduanya

V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa ventilasi mekanik, terkecuali dilakukan


paska operasi

Pemberian nutrisi enteral tanpa intubasi termasuk ke kelompok IVb

83
Pemeriksaan Penunjang 1,4
 Wartenberg Test
 Ice Packed Test
 Single Breath Counting Test
 Tes Prostigmin
 Tes Endrophonium Bromida (Tensilon)
 Tes Serologi (pemeriksaan Antibodi Reseptor – Anti Asetilkolin dan
pemeriksaan Antibodi Anti Muscle Spesific Kinase)
 Pemeriksaan Elektrodiagnostik (Repetitive Nerve Stimulation (RNS) dan
Single-Fiber Electromyography (SFEMG))
 Pencitraan (CT scan dan MRI Thorax)

Dasar Diagnosis1
Kombinasi dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan tes konfirmasi berupa
bediside diagnostic test, tes serologi, elektrofisiologi dan pencitraan.

Diagnosis banding 1
Lambert Eaton Myasthenic Syndrom

Komplikasi5
Krisis Miastenik dan Krisis Kolinergik
Tabel 10. Perbedaan Klinis Krisis Miastenik dan Krisis Kolinergik
Klinis Krisis miastenik Krisis kolinergik

Denyut jantung Takikardia Bradikardia

Otot Flaksid Flaksid dan fasikulasi

Pupil Normal atau midriasis Miosis

Kulit Pucat dan dingin Eritema dan hangat

Gastrointestinal Tidak ada perubahan Diare, kram perut

Sekresi kelenjar (bronchorrhea, Tidak ada perubahan Meningkat


salivasi, lakrimasi)

Uji Edrophonium Membaik Memburuk

84
1,2,3
Tatalaksana
- Piridostigmin dosis inisial 30-60 mg setiap 4 - 6 jam dan dapat dititrasi
sesuai dengan respon pasien.
- Kortikosteroid oral ( jika tidak respon dengan piridostigmin
- Intravenous Immunoglobulin (IVIG) atau Plasma Exchange ( Pada MG
Eksaserbasi dan Krisis Miastenik)
- Timektomi ( MG dengan Timoma)

Prognosis 1
- Mortalitas pada MG yang tidak diterapi 25-31%
- Pasien MG okuler dan MG dengan kelainan autoimun lainnya memiliki
angka kejadian relaps yang tinggi.

Edukasi 3:
 Perbanyak istirahat,
 Konsumsi makanan lunak,
 Tidak boleh lelah.

Referensi
1. Hakim M, Susanti L, Arimbawa IK, Kurniani N. Miastenia gravis, dalam :
Pedoman tatalaksana GBS, CIDP, MG, Imunoterapi. Jakarta. Penerbit
Kedokteran Indonesia. 2018 :41-65.
2. Saunders DB, Wolfe GI, Benatar M, Evoli A, Gilhus NE, Illa I, et al.
International Consensus Guidance for Management of Myasthenia Gravis.
Neurology. 2016; (87) :419-25.
3. Farmakidis C, Pasnoor M, Dimashkie M, Barohn RJ. Treatment of
Myasthenia Gravis. Neurol Clin. 2018; (36) :311-337.
4. PERDOSSI. Acuan Panduan Praktik Klinis Neurologi. 2016.
5. Wendell LC, Levine JM. Myasthenic Crisis. The Neurohospitalist. 2011:1(1);16-22.

Subtopik : Bell‟s Palsy


Level Kompetensi : 4A
Definisi
Bell’spalsy adalah paralisis fasialis idiopatik, merupakan penyebab tersering dari
paralisis fasialis unilateral. Bell’s palsy merupakan kejadian akut, unilateral,
paralisis saraf fasial type LMN (perifer), yang secara gradual mengalami
perbaikan pada 80-90% kasus.1

85
Etiologi
Penyebab Bell’s palsy tidak diketahui, diduga penyakit ini bentuk polineuritis
dengan kemungkinan virus, inflamasi, auto imun dan etiologi iskemik.
Peningkatan kejadian berimplikasi pada kemungkinan infeksi HSV type I dan
reaktivasi herpes zoster dari ganglia nervus kranialis.2

Epidemiologi
Bell’s palsy merupakan satu dari penyakit neurologis tersering yang melibatkan
saraf kranialis, dan penyebab tersering (60-75% dari kasus paralisis fasialis
unilateral akut) paralisis fasial di dunia. Bell’s palsy lebih sering ditemukan pada
usia dewasa, orang dengan DM, dan wanita hamil.4

Anatomi Nervus VII

Gambar 4. Percabangan Nervus VII4

86
Hasil Anamnesis (Subjective)3
Keluhan
Pasien datang dengan keluhan:
1. Paralisis otot fasialis atas dan bawah unilateral, dengan onset akut
(periode 48 jam)
2. Nyeri auricular posterior
3. Penurunan produksi air mata
4. Hiperakusis
5. Gangguan pengecapan
6. Otalgia
Gejala awal:
1. Kelumpuhan muskulus fasialis
2. Tidak mampu menutup mata
3. Nyeri tajam pada telinga dan mastoid (60%)
4. Perubahan pengecapan (57%)
5. Hiperakusis (30%)
6. Kesemutan pada dagu dan mulut
7. Epiphora
8. Nyeri ocular
9. Penglihatan kabur
Onset
Onset Bell’s palsy mendadak, dan gejala mencapai puncaknya kurang dari 48
jam. Gejala yang mendadak ini membuat pasien khawatir atau menakutkan
pasien, sering mereka berpikir terkena stroke atau terdapat tumor dan distorsi
wajah akan permanen. Karena kondisi ini terjadi secara mendadak dan cepat,
pasien sering datang langsung ke IGD. Kebanyakan pasien mencatat paresis
terjadi pada pagi hari. Kebanyakan kasus paresis mulai terjadi selama pasien
tidur.4

Faktor Risiko:3
1. Paparan angin (kehujanan, udara malam, AC)
2. Infeksi, terutama virus (HSV tipe 1)
3. Penyakit autoimun
4. Diabetes melitus
87
5. Hipertensi
6. Kehamilan
Hasil Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Sederhana
1
(Objective)
Pemeriksaan Fisik:
1. Kelemahan atau paralisis yang melibatkan saraf fasial (N VII) melibatkan
kelemahan wajah satu sisi (atas dan bawah). Pada lesi UMN (lesi supra
nuclear di atas nukleus pons), 1/3 wajah bagian atas tidak mengalami
kelumpuhan. Muskulus orbikularis, frontalis dan korrugator diinervasi
bilateral pada level batang otak. Inspeksi awal pasien memperlihatkan
lipatan datar pada dahi dan lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan.
2. Saat pasien diminta untuk tersenyum, akan terjadi distorsi dan lateralisasi
pada sisi berlawanan dengan kelumpuhan.
3. Pada saat pasien diminta untuk mengangkat alis, sisi dahi terlihat datar.
4. Pasien juga dapat melaporkan peningkatan salivasi pada sisi yang
lumpuh.
Jika paralisis melibatkan hanya wajah bagian bawah, penyebab sentral
harus dipikirkan (supranuklear). Jika pasien mengeluh kelumpuhan kontra lateral
atau diplopia berkaitan dengan kelumpuhan fasial kontralateral supranuklear,
stroke atau lesi intra serebral harus sangat dicurigai.1,2
Jika paralisis fasial onsetnya gradual, kelumpuhan pada sisi kontralateral,
atau ada riwayat trauma dan infeksi, penyebab lain dari paralisis fasial harus
sangat dipertimbangkan. Progresifitas paresis masih mungkin,namun biasanya
tidak memburuk pada hari ke 7 sampai 10. Progresifitas antara hari ke 7-10
dicurigai diagnosis yang berbeda. Pasien dengan kelumpuhan fasial bilateral
harus dievaluasi sebagai Sindroma Guillain-Barre, penyakit Lyme, dan
meningitis.1, 2
Manifestasi Okular Komplikasi okular awal:3
a. Lagophthalmos (ketidakmampuan untuk menutup mata total)
b. Corneal exposure
c. Restraksi keopak mata atas
d. Penurunan sekresi air mata
e. Hilangnya lipatan nasolabialis
f. Erosi kornea, infeksi dan ulserasi (jarang)
88
Manifestasi okular lanjut:3
1. Ringan: kontraktur pada otot fasial, melibatkan fisura palpebral.
2. Regenerasi aberan saraf fasialis dengan sinkinesis motorik.
3. Sinkinesis otonom (air mata buaya-tetes air mata saat mengunyah).
4. Dua pertiga pasien mengeluh masalah air mata. Hal ini terjadi karena
penurunan fungsi orbicularis okuli dalam mentransport air mata.
Nyeri auricular posterior. Separuh pasien dengan Bell’s palsy mengeluh
nyeri auricular posterior. Nyeri sering terjadi simultan dengan paresis, tapi nyeri
mendahului paresis 2-3 hari sekitar pada 25% pasien. Pasien perlu ditanyakan
apakah ada riwayat trauma, yang dapat diperhitungkan menyebabkan nyeri dan
paralisis fasial. Sepertiga pasien mengalami hiperakusis pada telinga ipsilateral
paralisis, sebagai akibat kelumpuhan sekunder otot stapedius.4
Gangguan pengecapan. Walaupun hanya sepertiga pasien melaporkan
gangguan pengecapan, sekitar 80% pasien menunjukkan penurunan rasa
pengecapan.
Kemungkinan pasien gagal mengenal penurunan rasa, karena sisi lidah yang lain
tidak mengalami gangguan. Penyembuhan awal pengecapan mengindikasikan
penyembuhan komplit.4

Pemeriksaan Penunjang: Darah lengkap, gula darah sewaktu, tes faal ginjal.3

Penegakan Diagnosis (Assessment)1


Diagnosis Klinis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik umum dan
neurologis (saraf kranialis, motorik, sensorik, serebelum). Bell’s palsy adalah
diagnosis eksklusi.
Gambaran klinis penyakit yang dapat membantu membedakan dengan penyebab
lain dari paralisis fasialis:
a. Onset yang mendadak dari paralisis fasial unilateral
b. Tidak adanya gejala dan tanda pada susunan saraf pusat, telinga, dan
penyakit cerebellopontin angle.
Jika terdapat kelumpuhan pada saraf kranial yang lain, kelumpuhan
motorik dan gangguan sensorik, maka penyakit neurologis lain harus dipikirkan
(misalnya: stroke, GBS, meningitis basilaris, tumor Cerebello Pontine Angle).
89
Gejala tumor biasanya kronik progresif. Tumor CPA dapat melibatkan
paralisis saraf VII, VIII, dan V. Pasien dengan paralisis progresif saraf VII lebih
lama dari 3 minggu harus dievaluasi sebagai neoplasma.

Klasifikasi1,2
Sistem grading ini dikembangkan oleh House and Brackmann dengan skala I
sampai VI.

a. Grade I adalah fungsi fasial normal.


b. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil
2. Sinkinesis ringan dapat terjadi
3. Simetris normal saat istirahat
4. Gerakan dahi sedikit sampai baik
5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha
6. Sedikit asimetris pada mulut dapat ditemukan
c. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
1. Asimetris kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal
2. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat
ditemukan
3. Simetris normal saat instirahat
4. Gerakan dahi sedikit sampai moderat
5. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha
6. Sedikit lemah pada gerakan mulut dengan usaha maksimal
d. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya
sebagai berikut:
1. Kelemahan dan asimetris jelas terlihat
2. Simetris normal saat istirahat
3. Tidak terdapat gerakan dahi
4. Mata tidak menutup sempurna
5. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal
e. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
1. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan
2. Asimetris juga terdapat pada saat instirahat

90
3. Tidak terdapat gerakan pada dahi
4. Mata tidak menutup sempurna
5. Gerakan mulut hanya sedikit
f. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
1. Asimetris luas
2. Tidak ada gerakan
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade III
dan IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil yang
buruk. Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang lain
disebut sebagai inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara anatomis
dan dapat disebut dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini seharusnya
dicatat pada rekam medik pasien saat pertama kali datang memeriksakan diri.3

Diagnosis Banding4
Penyakit-penyakit berikut dipertimbangkan sebagai diagnosis banding, yaitu:
1. Acoustic neuroma danlesi cerebellopontine angle
2. Otitis media akut atau kronik
3. Amiloidosis
4. Aneurisma A. vertebralis, A. basilaris, atau A. carotis
5. Sindroma autoimun
6. Botulismus
7. Karsinomatosis
8. Penyakit carotid dan stroke, termasuk fenomena emboli
9. Cholesteatoma telinga tengah
10. Malformasi congenital
11. Schwannoma N. Fasialis
12. Infeksi ganglion genikulatum

Rencana Penatalaksanaan Komprehensif (Plan)4, 5


Penatalaksanaan
Karena prognosis pasien dengan Bell’s palsy umumnya baik, pengobatan
masih kontroversi. Tujuan pengobatan adalah memperbaiki fungsi saraf VII
(saraf fasialis) dan menurunkan kerusakan saraf.Pengobatan dipertimbangkan
untuk pasien dalam 1-4 hari onset.
91
Hal penting yang perlu diperhatikan:
a. Pengobatan inisial
1. Steroid dan asiklovir (dengan prednison) mungkin efektif untuk
pengobatan Bell’s palsy (American Academy Neurology/AAN, 2011).
2. Steroid kemungkinan kuat efektif dan meningkatkan perbaikan fungsi
saraf kranial, jika diberikan pada onset awal (ANN, 2012).
3. Kortikosteroid (Prednison), dosis: 1 mg/kg atau 60 mg/day selama 6 hari,
diikuti penurunan bertahap total selama 10 hari.
4. Antiviral: asiklovir diberikan dengan dosis 400 mg oral 5 kali sehari
selama 10 hari. Jika virus varicella zoster dicurigai, dosis tinggi 800 mg
oral 5 kali/hari.
b. Lindungi mata
Perawatan mata: lubrikasi okular topikal (artifisial air mata pada siang
hari) dapat mencegah corneal exposure.
c. Fisioterapi atau akupunktur: dapat mempercepat perbaikan dan menurunkan
sequele.

Prognosis
Prognosis pada umumnya baik, kondisi terkendali dengan pengobatan
pemeliharaan. Kesembuhan terjadi dalam waktu 3 minggu pada 85% pasien.
Dapat meninggalkan gejala sisa (sekuale) berupa kelemahan fasial unilateral atau
kontralateral, sinkinesis, spasme hemifasialis, dan terkadang terjadi rekurensi,
sehingga perlu evaluasi dan rujukan lebih lanjut.3

Edukasi
1. Terapi fisik untuk mempercepat perbaikan dan mencegah kekambuhan
2. Selalu melindungi mata
3. Hindari stress dengan gaya hidup yang sehat
4. Menghindari alcohol, kafein, rokok dan stimultan lainnya

Daftar Pustaka
1. Rucker JC. Cranial Neuropathy. In Darrof RB et al (Eds). Bradley‟s
Neurology in Clinical Practice. Vol 1: Principles of Diagnosis and
Management. 7th ed. Elsevier, Philadelphia, 2016:1754-1757.

92
2. Gooch C, Fatimi T. Peripheral Neuropathy. In Brust JCM (Ed). Current
Diagnosis and Treatment in Neurology. McGraw Hill, New York,
2007:286-288.
3. Menkes RI. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan Primer. 2017.
4. Taylor DC, Keegan M. Bell‟s Palsy. Medscape. 2019
5. Bruce M. Bell‟s Palsy Empiric Therapy. Medscape. 2020

5.7 Gangguan sistem vestibular


Subtopik : Vertigo akut
Level kompetensi : 4A

Definisi:
Vertigo : Persepsi yang salah dari seseorang atau lingkungannya.
BPPV adalah penyebab tersering vertigo vestibular perifer

Berdasarkan gejalanya vertigo dibedakan menjadi :


1. Rasa berputar, disebut vertigo vestibular. Muncul akibat gangguan sistem
vestibular
2. Rasa goyang, melayang, mengambang, disebut vertigo non vestibular.
Muncul akibat gangguan pada sistem propioseptif atau visual.1

Berdarsarkan letak lesinya dikenal 2 jenis vertigo vestibular :


1. Vertigo vestibular sentral
Lesi di nukleus vestibularis batang otak, talamus sampai korteks serebri.
2. Vertigo vestibular perifer
Lesi di labirin dan nervus vestibularis2

Epidemiologi :
Benign Paroxysmal Positioning Vertigo (BPPV) merupakan penyebab tersering
vertigo vestibular perifer. Kejadian BPPV meningkat seiring bertambahnya usia.
Dari sebuah penelitian dikatakan populasi berusia 60 tahun, 7x lebih berisiko
terkena BPPV dibandingkan populasi berusia 18-39 tahun. Penelitian lain
menunjukan bahwa 9% populasi geriatri perkotaan mengalami BPPV. 1

93
Etiologi :
Vertigo dapat disebabkan oleh gangguan pada sistem vestibular atau non
vestibular (propioseptif atau visual). Vertigo vestibular dibedakan lagi menjadi
sentral dan perifer. Berikut beberapa penyebab vertigo vestibular sentral, perifer
dan non vestibular.1
 Vertigo vestibular perifer
o Benign Paroxysmal Positioning Vertigo (BPPV)
o Meniere‟s disease
o Neuritis vestibularis
o Oklusi arteri labirin
o Labirinitis
o Obat ototoksik
o Autoimun
o Tumor nervus VIII
 Vertigo vestibular sentral
o Migrain
o CVD
o Tumor
o Epilepsi
o Demielinisasi
o Degeneratif
 Vertigo non vestibular
o Polineuropati
o Mielopati
o Artrosis servikalis
o Trauma leher
o Presinkop
o Hipotensi ortostatik
o Hiperventilasi
o Tension type headace
o Hipoglikemi

94
Patogenesis3
Keseimbangan dipertahankan oleh Interaksi Fungsi
- Sistim Vestibularis
- Sistim Proproseptif
- Sistim Optikal
Sistim Vestibularis Terdiri dari :
- Labirin
- Nervus Vestibularis
- Traktus Vestibularis Sentralis
Labirin terletak dalam OS Petrosus
*Labirin membran berisi: sakulus, utrikulus dan kanalis semisirkularis
mengandung endolimfe
*Os Petrosa disebut labirin tulang berisi perilimfe
Pada sisi petrosa kanalis meluas ke
- Kanalis semisirkularis anterior tegak lurus
- Kanalis semisirkularis posterior sejajar
- Kanalis semisirkularis lateral horizontal
Terhadap aksis Os Petrosa
Tiga kanalis semisirkularis dihubungkan oleh sakulus dan utrikulus
 Ampula kanalis semisirkularis (proximal kanalis) berisi reseptor neuro
epitelial disebut krista
 Krista ini sensitif terhadap gerakan endolimfe dalam kanalis
semisirkularis
- Impuls yang dicetuskna oleh reseptor dalam labirin stimuli pada
arkus refleks yang mengatur sistim motorik ( mata, leher dan tubuh )
- Interaksi sistim ini memungkinkan keseimbangan dapat
dipertahankan, walau dalam posisi atau gerakan tubuh
bagaimanapun.
- Viskositas Endolimfe sangat dipengaruhi oleh perilimfe aliran darah
otak

95
Patofisiologi BPPV1
1. Teori Kupulolitiasis
Teori ini menjelaskan adanya suatu debris (otokonia) yang berisi
kalsium karbonat, yang terlepas dari makula urtikulus yang
berdegenerasi, kemudian menempel pada kupula kanalis
semisirkularis posterior yang terletak paling bawah. Penyebab
lepasnya debris dapat karena trauma, infeksi, osteopenia dan
osteoporosis.
2. Teori Kanalitiasis
Debris atau otokonia yang lepas, bergerak dalam kanalis
semisirkularis, kemudian menyebabkan endolimf bergerak,
menstimulasi ampula dalam kanal sehingga menyebabkan vertigo
dan nistagmus. Setiap kanal mempunyai karakteristik nistagmus
yang berbeda.
Gambaran Klinik1
Tabel 11. Perbedaan Vertigo vestibular vs non vestibular
Gejala Vestibular Non Vestibular
Sensasi pusing Berputar Melayang, goyang
Durasi Periodik Terus menerus
Gejala otonom (+) (-)
Gangguan pendengaran (+) (-)
Pencetus Perubahan posisi kepala Gerakan objek visual

Tabel 12. Vertigo vestibular sentral vs perifer


Gejala Perifer Sentral
Bangkitan Lebih mendadak Lebih lambat
Severitas Berat Ringan
Pengaruh gerakan kepala (++) (+/-)
Gejala otonom (++) (+)
Gangguan pendengaran (+) (-)
Tanda fokal neurologis (-) (+)

96
Anamnesa
Perlu digali mengenai deskripsi “pusing” yang dikeluhkan pasien dengan detail.
 Bentuk serangan : berputar, goyang atau melayang
 Sifat serangan : terus menerus, atau periodik, durasi
 Kualitas : berat atau ringan
 Faktor pencetus : perubahan posisi kepala, emosional, kebisingan
 Apakah disertai gejala otonom : mual, muntah, keringat dingan,
berat atau ringan

Pemeriksaan fisik
 Pemeriksaan fisik umum
 Pemeriksaan tekanan darah saat duduk dan berdiri untuk mendeteksi
hipertensi ortostatik ( perbedaan > 30 mm Hg)
 Pemeriksaan neurologis
o Kesadaran
o Nervus kranial : paresis nervus kranial III, IV, VI, V sensorik, VII,
VIII, IX, X, XI, XII dapat ditemukan pada vertigo sentral
o Motorik dan sensorik
o Keseimbangan : romberg, romberg dipertajam, tandem gait, fukuda
steping test, past pointing test
o Nistagmus2
o Manuver dix hallpike
Interpretasi :
o Normal
Tidak timbul vertigo atau nistagmus
o Abnormal
Timbul nistagmus posisional dengan ciri:
- Ada masa laten
- Durasi kurang dari 30 detik
- Disertai vertigo yang durasinya sama dengan nistagmus
- Vertigo yang semakin berkurang kualitasnya pada
pemeriksaan berikutnya (fatigue)1

97
Penunjang
Pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
Pemeriksaan brain CT scan, MRI kepala jika dicurigai lesi sentral2

Diagnostik
Memenuhi kriteria pada poin anamnesa dan pemeriksaan fisik

Tatalaksana
Tatalaksana BBPV
1. Edukasi
Edukasi bahwa penyakit tidak berat, untuk menenangkan kecemasan
pasien.1
2. Medikamentosa
o Anti histamin
o Dimenhidrinat 25-50 mg 4x sehari
o Difenhidramin 25 -50 mg 4x sehari
o Betahistin mesilat 12 mg 3x sehari
o Betahistin Hcl 8-24 mg 3x sehari
o Antagonis kalsium
o Cinnarizine 15-30 mg, 3x sehari2
3. Teapi non medikamentosa (BPPV kanal posterior)
o Manuver Epley
o Prosedur Semont
o Manuver Lampert Roll
o Brandt Daroff (latihan dirumah)1
4. Pembedahan
Pembedahan neurektomi atau cannal plugging dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan BBPV berkepanjangan dan
tidak sembuh dengan pengobatan konvensional. Namun tindakan
ini memiliki risiko tuli sensorineural sekitar 10% kasus.1
Prognosis
Kekambuhan BPPV setelah berhasil diterapi sekitar 40-50% dalam pengawasan
selama 5 tahun.1

98
Daftar Pustaka
1. Amar A, Suryamiharja A, Dewati E, Sitorus F, Nurimaba N, Sutarni S, et
al. Pedoman Tatalaksana Vertigo. 2012. Jakarta: Kelompok Studi Vertigo
PERDOSSI
2. Kurniawan M, Suharjati I, Pinzon RT. Acuan Panduan Praktik Klinis
Neurologi. 2016: Perrhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
3. Terry D, Fife, Benign Paroxysmal Positional Vertigo, Semin Neurol.
2009: 29: 500-508
4. Buki B, Tarnutzer AA. Vertigo and Dizziness. 2014. Oxford: Oxford
University Press

5.8 Penyakit Neurodegeneratif


Subtopik : Parkinson
Level Kompetensi : 3A

Definisi
Parkinson adalah suatu sindroma yang ditandai oleh tremor waktu istirahat,
rigiditas, bradikinesia dan hilangnya refleks postural akibt penurunan kadar
dopamine dengan berbagai macam sebab. Parkinson merupakan kelainan
gangguan gerak neurodegeneratif yang bersifat progresif.1,2

Etiologi
Penyebab utama dari kematian neuron dopaminergic pada parkinson sampai
sekarang masih belum jelas diketahui. Patologi utama adalah defiesiensi
neurotrasmiter dopamin di striatum akibat kematian neuron dopaminergik di
SNc.3

Epidemiologi
Paarkinson adalah satu penyakit neurodegeneratif yang paling banyak dialami
pada umur lanjut dan jarang dibawah 30 tahun. Biasanya mulai timbul pada usia
40-70 tahun dan mencapai puncak pada decade keenam. Penyakit ini lebih
banyak pada pria dengan rasio pria disbanding wanita 3:2.1,3

Patofisiologi4,5,6
Secara umum dapat dikatakan bahwa penyakit Parkinson terjadi karena
penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di pars kompakta substansia

99
nigra sebesar 40 – 50% yang disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik
(Lewybodies).
Lesi primer pada penyakit Parkinson adalah degenerasi sel saraf yang
mengandung neuromelanin di dalam batang otak, khususnya di substansia nigra
pars kompakta, yang menjadi terlihat pucat dengan mata telanjang.
Dalam kondisi normal (fisiologik), pelepasan dopamin dari ujung saraf
nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 (eksitatorik) dan reseptor D2
(inhibitorik) yang berada di dendrit output neuron striatum. Output striatum
disalurkan ke globus palidus segmen interna atau substansia nigra pars retikularis
lewat 2 jalur yaitu jalur direk reseptor D1 dan jalur indirek berkaitan dengan
reseptor D2. Maka bila masukan direk dan indirek seimbang, maka tidak ada
kelainan gerakan.
Pada penderita penyakit Parkinson, terjadi degenerasi kerusakan
substansia nigra pars kompakta dan saraf dopaminergik nigrostriatum sehingga
tidak ada rangsangan terhadap reseptor D1 maupun D2. Gejala Penyakit
Parkinson belum muncul sampai lebih dari 50% sel saraf dopaminergik rusak
dan dopamine berkurang 80%.
Reseptor D1 yang eksitatorik tidak terangsang sehingga jalur direk
dengan neurotransmitter GABA (inhibitorik) tidak teraktifasi. Reseptor D2 yang
inhibitorik tidak terangsang, sehingga jalur indirek dari putamen ke globus
palidus segmen eksterna yang GABAergik tidak ada yang menghambat sehingga
fungsi inhibitorik terhadap globus palidus segmen eksterna berlebihan. Fungsi
inhibisi dari saraf GABAergik dari globus palidus segmen ekstena ke nucleus
subtalamikus melemah dan kegiatan neuron nukleus subtalamikus meningkat
akibat inhibisi.
Terjadi peningkatan output nukleus subtalamikus ke globus palidus
segmen interna / substansia nigra pars retikularis melalui saraf glutaminergik
yang eksitatorik akibatnya terjadi peningkatan kegiatan neuron globus palidus /
substansia nigra. Keadaan ini diperhebat oleh lemahnya fungsi inhibitorik dari
jalur langsung, sehingga output ganglia basalis menjadi berlebihan kearah
talamus.
Saraf eferen dari globus palidus segmen interna ke talamus adalah GABA
ergik sehingga kegiatan talamus akan tertekan dan selanjutnya rangsangan dari

100
thalamus ke korteks lewat saraf glutamatergik akan menurun dan output korteks
motorik ke neuron motorik medulla spinalis melemah terjadi hipokinesia.

Gambar.5 : Skema teori ketidakseimbangan jalur langsung dan tidak langsung6


Keterangan Singkatan
D2 : Reseptor dopamin 2 bersifat inhibitorik
D1 : Reseptor dopamin 1 bersifat eksitatorik
SNc : Substansia nigra pars compacta
SNr : Substansia nigra pars retikulata
GPe : Globus palidus pars eksterna
GPi : Globus palidus pars interna
STN : Subthalamic nucleus
VL : Ventrolateral thalamus = thalamus

Klasifikasi2
1. Parkinsonisme idiopatik (primer)
 Penyakit parkinson
 Juvenile parkinsonisme
2. Parkinsonisme Simtomatik (sekunder)
 Drug induced
 Hemiatrofi-hemiparkinsonisme
 Hidrosefalus, hidrosefalus bertekanan normal

101
 Hipoksia
 Infeksi dan pasca infeksi
 Pasca ensefalitis (encephalitis letargika), slow virus
 Metabolic : disfungsi paratiroid
 Toksin : Mn,Mg, CO,MPTP, sianida
 Trauma kranioserebral
 Tumor otak
 Vaskuler : multiinfark serebal
 Siringomielia
3. Sindroma Parkinson plus
 Degenerasi ganglion kortikal basal
 Sindroma demensia
 Lytico-bodig
 Sindroma atrofi multi system
 Degenerasi striatonigral
 Sindroma Shy-drager
 Degenerasi olivopontoserebelar sporadic (OPCA)
 Penyakit motor neuron – parkinsonisme
 Atrofi palidus progresif
 Progressive supranuklear palsy

Gejala Klinis

Penyakit Parkinson merupakan penyakit yang dengan berbagai gejala


seperti gangguan motorik, non-motorik termasuk gangguan sensorik, disfungsi
otonom, gangguan neuropsikiatrik seperti kemurungan, kognitif, perilaku, serta
gangguan tidur. 7

a. Gangguan Motorik
Gejala kardinal penyakit Parkinson antara lain tremor, kekakuan (rigiditas),
bradikinesia/ akinesia dan instabilitas postur tubuh. Tremor yang dengan
frekuensi antara 4-6 Hz siklus/ menit merupakan tanda yang utama dari
penyakit Parkinson. Tremor ini dalam bentuk pronasio-supinasio yang sering
juga disebut sebagai pill-rolling. Tremor biasanya ditemukan pada bagian distal

102
dari ekstremitas unilateral. Dari sekitar 30% penderita Parkinson pada awalnya
tidak ditemukan tremor namun berkembang seiring perjalanan penyakit. 7
Rigiditas merupakan meningkatnya resistensi pada regangan pasif.
Resistensi ini hampir sama pada otot agonis dan antagonis dan biasanya hampir
menyeluruh. Bisa terjadi terus menerus ataupun intermitten, mirip dengan pipa
ataupun roda gigi, sehingga disebut juga cogwheel phenomenon. Rigiditas
merupakan salah satu bentuk dari peningkatan tonus dan pada awal penyakit
biasanya bersifat asimetris. Awalnya terjadi pada pergelangan tangan dan leher.
Patogenesis dari rigiditas bermacam-macam, antara lain abnormal long-latency
reflexes, kontraksi otot yang abnormal dan perubahan pada otot dan sendi.8

Bradikinesia dan akinesia yang diawali oleh gerakan menjadi lambat


dan memulai suatu gerakan menjadi sulit. Ekspresi muka atau gerakan mimik
wajah berkurang (muka topeng). Gerakan-gerakan otomatis yang terjadi tanpa
disadari waktu duduk juga menjadi sangat kurang. Bicara menjadi lambat dan
monoton dan volume suara berkurang (hypofonia). Gejala-gejala lain seperti
instabilitas postural sikap parkinsonisme yang khas, berjalan dengan langkah-
langkah kecil (festination/ march a petit pas), disartria serta mikrografia juga
sering ditemukan.2

b. Gangguan Non-Motorik
Walaupun gangguan motorik yang dipakai untuk menegakkan diagnosis
penyakit Parkinson, namun gangguan non motorik juga lazim dan penting
sebagai penentu untuk kualitas hidup bagi penderita penyakit Parkinson.
Memang sementara penyakit Parkinson dianggap mengeluhkan gejala-gejala
motorik tapi juga mengalami gejala non motorik yang secara signifikan
memperburuk kualitas hidup hanya saja sering tidak dikenal dengan cepat
sehingga tidak diobati pada banyak penderita. Gejala non motorik ini bisa saja
muncul segera sebelum gejala motor pertamanya terlihat nantinya. Prevalensi
gejala non motorik pada penderita penyakit Parkinson sulit untuk digambarkan
dengan tepat. Diperkirakan sekitar 16-70% dari penderita mengalami masalah
neuropsikiatri, seperti depresi, apatis, gangguan cemas dan psikosis. Defisit
kognitif terjadi setidaknya 20-40% dari penderita Parkinson. Gangguan tidur
terjadi lebih dari sepertiga penderita Parkinson. Gangguan otonom seperti

103
konstipasi, hipotensi ortostatik, disfungsi saluran kemih dan disfungsi seksual
dilaporkan dialami oleh lebih dari separuh penderita Parkinson yang berpengaruh
besar pada kualitas hidup.2

Anamnesis
Gejala awal Penyakit Parkinson sangat ringan dan perjalanan penyakitnya
berlangsung perlahan-lahan, sehingga sering terlepas dari perhatian. Biasanya
hanya mengeluhkan perasaan kurang sehat atau sedikit murung atau hanya
sedikit gemetar. Seiring waktu gejala menjadi lebih nyata sehingga pasien
berobat ke dokter dalam kondisi yang sedikit lebih parah.9
Anamnesis yang mengarahkan pada Penyakit Parkinson antara lain :
 Awitan keluhan atau gejala tidak diketahui dengan pasti
 Perjalanan gejala semakin memberat
 Gejala dimulai pada satu sisi anggota gerak, tetapi seiring waktu akan
mengenai kedua sisi atau batang tubuh.
 Jenis gejala yang mungkin timbul :
1. Merasakan tubuh kaku dan berat
2. Gerakan lebih kaku dan lambat
3. Tulisan tangan mengalami mengecil dan tidak terbaca
4. Ayunan lengan berkurang saat berjalan
5. Kaki diseret saat berjalan
6. Suara bicara pelan dan sulit dimengerti
7. Tangan atau kaki gemetar
8. Merasa goyah saat berdiri
9. Merasakan kurang bergairah
10. Berkurang fungsi penghidu / penciuman
11. Keluar air liur berlebihan
 Faktor yang memperingan gejala : istirahat, tidur, suasana tenang
 Faktor yag memperberat gejala : kecemasan, kurang istirahat
 Riwayat penggunaan obat antiparkinson dan respon terhadap pengobatan.
Ananmesis yang mengarahkan pada penyebab lain :
 Riwayat stroke
 Riwayat trauma kepala
 Riwayat infeksi otak

104
 Riwayat ada tumor otak
 Riwayat gangguan keseimbangan
 Riwayat mengkonsumsi obat-obat tertentu seperti obat anti muntah, obat
psikosis

Pemeriksaan fisik
a. Pengamatan saat pasien duduk :
 Tremor saat istirahat, terlihat di tangan atau tungkai bawah.
 Ekspresi wajah seperti topeng / face mask (kedipan mata dan ekspresi wajah
 Menjadi datar),
 Postur tubuh membungkuk,
 Tremor dapat ditemukan di anggota tubuh lain (meskipun relatif jarang)
misalnya kepala, rahang bawah, lidah, leher atau kaki
b. Pemeriksaan bradikinesia :
 Gerakan tangan mengepal-membuka-mengepal dan seterusnya berulang-
ulang, makin lama makin berkurang amplitudo dan kecepatannyanya
 Gerakan mempertemukan jari telunjuk-ibu jari (pada satu tangan) secara
berulang-ulang makin lama makin berkurang amplitudo dan
kecepatannyanya
 Tulisan tangan makin mengecil
 Kurang trampil melakukan gerakan motorik halus, seperti membuka kancing
baju
 Ketika berbicara suara makin lama makin halus, dan artikulasi mejadi tidak
jelas, kadang-kadang seperti gagap.
c. Pengamatan saat pasien berjalan :
 Kesulitan / tampak ragu-ragu saat mulai berjalan (hesitancy), berjalan
dengan kaki diseret (shuffling), jalan makin lama makin cepat (festination),
 Ayunan lengan berkurang baik pada 1 sisi anggota gerak maupun
dikeduanya.
d. Ditemukan rigiditas pada pemeriksaan tonus otot : gerakan secara pasief oleh
pemeriksa, dengan melakukan fleksi-ekstensi secara berurutan, maka akan
dirasakan tonus otot seperti „roda gigi‟. Biasanya dikerjakan di persendian siku
dan lengan.

105
e. Pemeriksaan instabilitas postural / tes retropulsi : pasien ditarik dari belakang
pada kedua bahunya untuk melihat apakah pasien tetap mampu mempertahankan
posisi tegak.
f. Pemeriksaan fisik lain untuk menemukan tanda negatif dari Penyakit
Parkinson:
 Pemeriksaan refleks patologis : refleks patologis negatif
 Pemeriksaan gerakan bola mata ke atas : gerakan okulomotor normal
 Pemeriksaan tekanan darah postural
 Pemeriksaan fungsi otonom, misalnya pengontrolan miksi –adakah
inkontinensia
 Pemeriksaan fungsi serebelum, misalnya ataksia saat berjalan
 Pemeriksaan fungsi kognitif yang muncul pada permulaan penyakit.

Derajat Klinis
Staging menurut Hoehn and Yahr.3
Stage 1 : Unilateral
Stage 2 : Bilateral
Stage 3 : Gangguan keseimbangan (postural instability), jarang jatuh
Satge 4 : gangguan keseimbangan lebih nyata, cenderung jatuh
Stage 5 : hanya terbaring tempat tidue, bergantung pada kursi roda

Diagnosis
Diagnosis penyakit Parkinson ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis, berupa
ditemukannya kumpulan gejala berupa tremor, bradikinesia, rigiditas dan
ketidakseimbangan postural.9

Kriteria diagnosis menurut Hughes


a. Possible :
Terdapat salah satu gejala utama :
1. Tremor istirahat
2. Rigiditas
3. Bradikinesia
4. Kegagalan reflek postural

106
b. Probable
Bila terdapat kombinasi dua gejala utama ( termasuk kegagalan refleks
postural) alternative lain : tremor istirahat asimetris, rigiditas asimetris, atau
bradikinesia asimetris sudah cukup
c. Definite
Bila terdapat kombinasi tiga dari empat gejala atau dua gejala dengan satu
gejala lain yang tidak simetris (tiga tanda cardinal)

Pemeriksaan Penunjang
Sejauh ini belum ada pemeriksaan penunjang yang dapat meemastikan penyakit
Parkinson, lebih banyak digunakan untuk menyingkirkan penyakit lain.
Pemeriksaan PET CT scan mendeteksi perubahan disubstansia nigra.3

Tatalaksana
Terapi simtomatik yang digunakan dalam tatalaksana penyakit Parkinson terbagi
menjadi terapi medikal (farmakologi dan non farmakologi) dan terapi operatif.3
Terapi farmakologi
d. Obat dopaminergik
 Levodopa : Madopar (levodopa + benserazide), stelevo
(levodopa + karbidopa + entakapon)
 Dopamin agonis : Pramipexole, Ropinerole, bromokriptin
 MAO-B Inhibitor : selegiline
 COMT Inhibitor : entakapon
 Amantadine : Symmretel
e. Obat Non dopaminergik
 Antikolinergik : trehexyphenydil
 Antihistamin : difenhidramin
 Neuroprotektor : Vit E, Vit C, coenzim Q 10
Terapi non farmakologi
Edukasi, fisioterapi, nutrisi, akupuntur medik
Terapi bedah
 Metode lama : palidotomi, talamotomi. Bisa menimbulkan
kerusakan permanen

107
 Metode baru : Deep Brain Stimulation (DBS), tidak
menimbulkan kerusakan permanen

Komplikasi3
Komplikasi motorik
1. Fluktuasi motorik
a. Wearing – off
Suatu keadaan dimana efek levodopa menjadi pendek
b. On-Off
Efek levodopa bisa naik (on), turun (off)
2. Diskinesia
Berupa gerakan-gerakan tak terkendali seperti :
a. Khorea
b. Distonia
Komplikasi non motoric
1. Gangguan Otonomik
Banyak liur, keringatan, hipotenmsi ortostatik, konstipasi, disfunsi seksual
2. Gangguan psikiatrik
Insomnia, halusinasi, depresi, demensia

Prognosis1
Sangat tergantung dari etiologic da nadanya Parkinson sekunder, gejala akan
berkurang jika penyakit primer diatasi. Pada Parkinson primer/idiopatik bersifat
progresif sesuai dengan tingkat hilangnya sel-sel pembentuk dopamine.

Daftar Pustaka
1. Sudomo A, Shahab A, Husni S, dkk. Buku panduan tatalaksana penyakit
Parkinson dan gangguan gerak lainnya, Desentara Utama. 2013 : 7-24
2. Dewati E, Tunjungsari D, Ariarini NNR. Penyakit Parkinson buku ajar
neurologi, kedokteran Indonesia. 2017: 109-135
3. Purba JS. Penyakit Parkinson patofisiologi dan penanggulangan tinjauan
seluler dan neurobiomolekuler, FKUI.2012
4. Husni A: Penyakit parkinson , patofisiologi, diagnosis dan wacana terapi
.Disampaikan pada Temu Ilmiah Nasional I dan konferensi kerja III
PERGEMI .Semarang , 2002
5. Joesoef AA. Patofisiologi dan managemen penyakit parkinson. Dalam:
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan V. FK. Unair , 2001 : 27 – 53

108
6. Olanow C.W, Tatton W.G. Etiology and pathogenesis of parkinson′s
disease . Annu. Rev. Neurosci.1999; 22: 123 – 44.
7. Jankovic J. Parkinson's disease: clinical features and diagnosis. Journal of
Neurology, Neurosurgery & Psychiatry. 2008;79(4):368-376.
8. Factor S. Parkinson's disease. New York: Demos; 2008.
9. Panduan Praktik Klinis Neurologi PERDOSSI 2016

6. Metode Pengajaran dan Aktivitas Pembelajaran


Pada bagian ini, mahasiswa akan melakukan kegiatan pembelajaran
berupa:
- CRS : Case Report Session
Dipilih 4 kasus per kelompok sesuai dengan kompetensi 3 dan 4
pada kasus rawat jalan dan rawat inap. Kasus ditampilkan secara
pleno dipimpin oleh preseptor
- CSS : Clinical Science Session
Dipilih 4 topik per kelompok sesuai dengan kompetensi 3 dan 4
dari literatur berupa jurnal, review artikel, guideline, atau bedah
buku. CSS ditampilkan secara pleno dipimpin oleh preseptor
- BST : Bed Side Teaching
Dilakukan minimal 2 kali perminggu di ruang rawat atau
poliklinik. Diskusi diruangan akan dipimpin oleh preseptor
- MTE : Meet The Expert
Berupa kuliah pakar / diskusi topik dengan judul yang dipilih
oleh preseptor.
- Jaga Malam: Kegiatan jaga malam di rawat inap dan IGD
- Diskusi : Kegiatan diskusi dengan preseptor
- Layanan Poliklinik : mahasiswa akan bergantian setiap harinya untuk
melakukan pelayanan atau pemeriksaan pasien di poliklinik ataupun
bangsal dibawah supervisi preseptor.
7. Sumber Daya
1. Jadwal Kegiatan :
Minggu I
Sabtu dan
Jam Senin Selasa Rabu Kamis Jumat
Minggu

Follow up Follow up Follow up Follow up


07.00-09.00 pasien pasien pasien pasien
bangsal bangsal bangsal bangsal

109
Penerimaan Jaga
Laporan jaga
09.00-09.30 oleh Ketua BST Ilmiah PPDS Ilmiah PPDS
PPDS
Bagian

Penerimaan & Kegiatan


Ilmiah Meet The
09.30-10.00 Orientasi oleh BST bangsal/
residen Expert
Kodik poliklinik
Pre
assessment Kegiatan
10.30-12.00 bangsal/ BST Diskusi BST
MCQ & essay
neuroanatomi poliklinik

12.00-13.00 ISTIRAHAT

Orientasi Kegiatan Kegiatan


13.00-16.00 ruang bangsal Diskusi bangsal/ bangsal/ Diskusi
dan poliklinik poliklinik poliklinik
16.00-07.00 Jaga Jaga Jaga Jaga Jaga Jaga

Minggu II
Sabtu dan
Jam Senin Selasa Rabu Kamis Jumat
Minggu

Follow up Follow up Follow up Follow up Follow up Jaga


07.30-09.00 pasien pasien pasien pasien pasien
bangsal bangsal bangsal bangsal bangsal

Kegiatan
Ilmiah Laporan jaga
09.00-10.30 bangsal/ Ilmiah PPDS Ilmiah PPDS
PPDS PPDS
poliklinik

Kegiatan
10.30-12.00 BST bangsal/ BST Diskusi BST
poliklinik

12.00-13.00 ISTIRAHAT

Kegiatan
Laporan Jaga
13.00-14.30 Diskusi Diskusi bangsal/ Diskusi
PPDS
poliklinik

Kegiatan Kegiatan Kegiatan


14.30-16.00 bangsal/ Diskusi Diskusi bangsal/ bangsal/
poliklinik poliklinik poliklinik

16.00-07.00 Jaga Jaga Jaga Jaga Jaga Jaga

Minggu III
Sabtu dan
Jam Senin Selasa Rabu Kamis Jumat
Minggu

07.30-09.00 Follow up Follow up Follow up Follow up Follow up Jaga


pasien pasien pasien pasien pasien

110
bangsal bangsal bangsal bangsal bangsal

Kegiatan
Ilmiah
09.00-10.30 bangsal/ Ilmiah PPDS CRS Ilmiah PPDS
PPDS
poliklinik

Kegiatan
10.30-12.00 BST bangsal/ BST Diskusi BST
poliklinik

12.00-13.00 ISTIRAHAT

Kegiatan
Meet The
13.00-14.30 Diskusi Diskusi bangsal/ CSS
Expert
poliklinik

Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan


14.30-16.00 bangsal/ bangsal/ Diskusi bangsal/ bangsal/
poliklinik poliklinik poliklinik poliklinik

16.00-07.00 Jaga Jaga Jaga Jaga Jaga Jaga

Minggu IV
Sabtu dan
Jam Senin Selasa Rabu Kamis Jumat
Minggu

Follow up Follow up Follow up Follow up Follow up Jaga


07.30-09.00 pasien pasien pasien pasien pasien
bangsal bangsal bangsal bangsal bangsal

Ilmiah
09.00-10.30 CRS Ilmiah PPDS CSS Ilmiah PPDS
PPDS

10.30-12.00 BST CSS BST Diskusi BST

12.00-13.00 ISTIRAHAT

Kegiatan Kegiatan Kegiatan


13.00-14.30 bangsal/ Diskusi bangsal/ bangsal/ CSS
poliklinik poliklinik poliklinik

Kegiatan Kegiatan
Meet The
14.30-16.00 Diskusi bangsal/ CSS bangsal/
Expert
poliklinik poliklinik

16.00-07.00 Jaga Jaga Jaga Jaga Jaga Jaga

Minggu V
Jam Senin Selasa Rabu

Follow up Follow up
07.30-09.00 pasien pasien
Ujian OSCE bangsal bangsal

09.00-10.30 Ujian MCQ Ilmiah PPDS

111
Persiapan
10.30-12.00 pelepasan dan
pindah stase

12.00-13.00 ISTIRAHAT

Kegiatan
13.00-14.30 bangsal/ Diskusi
poliklinik

Kegiatan
14.30-16.00 Diskusi bangsal/
poliklinik

16.00-07.00 Jaga Jaga

2. Sarana Pra Sarana :


Rumah sakit pendidikan utama : RSUP Dr. M. Djamil Padang
Rumah sakit jejaring : RS Achmad Moechtar Bukittinggi
RSUD M.A. Hanafiah Batusangkar.

3. Staf Pengajar/Preseptor :

- Dr. dr. Yuliarni Syafrita, Sp. S (K)


- dr. Syarif Indra, Sp.S (K)
- dr. Hendra Permana, Sp. N (K), M.Biomed
- dr. Dedi Sutia, Sp. N (K) FINA
- dr. Restu Susanti, Sp. N (K), M. Biomed
- dr. Fanny Adhy Putri, Sp. N
- dr. Reno Bestari, Sp. N

8. Evaluasi Pembelajaran
1. Pre assessment
Mahasiswa harus mengikuti pre test berupa MCQ dan essay
neuroanatomi
2. Rancangan Tugas dan Latihan
- Pengisian logbook
- Pembuatan CRS dan CSS
- Penilaian kegiatan bangsal dan poliklinik

112
- Pengisian status akademik di bagian Neurologi
- Jaga malam
3. Evaluasi Hasil Pembelajaran
- Metode evaluasi hasil pembelajaran pada modul ini berupa:
OSCE, MCQ.
4. Evaluasi Program Pendidikan
Evaluasi akhir merupakan gabungan dari komponen :
1. Ujian tulis
2. Ujian praktek klinik
3. Ujian lisan
4. Presentasi laporan kasus dan diskusi kasus
5. Responsi topik
6. Sikap sehari-hari
7. Disiplin terhadap peraturan, kehadiran sehari-hari dan tugas jaga.
Evaluasi akhir dilakukan pada minggu ke 5 (lima)
Bobot Penilaian oleh Preseptor (60%) terdiri dari :
a. BST : 30% (3 kali perminggu)
b. CRS : 20 % (1 kali pleno)
c. CSS : 10 % (1 kali pleno)
Bobot Penilaian Umum (40%) terdiri dari :
d. OSCE : 20 % (1 kali ujian)
e. Ujian Kasus : 20% (1 kali ujian)

Gradasi nilai : A : 80 – 100


A- : 75 – 80 KETERANGAN
B+ : 70 – 75
- Nilai minimal lulus adalah B-
B : 65 – 70 - Nilai C+, C dan C – mengulang selama ½
B- : 60 – 65 siklus ( 2 minggu 1 hari )
C+ : 55 – 60 - Nilai D dan E mengulang selama 1 siklus (
4 ½ minggu )
C : 50 – 55
D : 45 – 50
E : < 45
-

113
UMPAN BALIK DOKTER MUDA

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

Tidak Ragu-
No Umpan Balik Setuju
Setuju ragu
A. Evaluasi Umum
1 Penerimaan dokter muda diawal siklus tepat waktu sesuai jadwal
2 Dokter muda keluar dari siklus tepat waktu sesuai jadwal
Sarana dan prasarana untuk kegiatan kepaniteraan klinik sudah
3 mencukupi (ruang kuliah, audio visual, manekin simulasi, internet,
dll)
4 Sekretariat menjalankan tugasnya dengan baik
Ketua bagian / Koordinator Pendidikan menjelaskan tugas, hak, dan
5
kewajiban anda diawal siklus
Ketua bagian / Koordinator Pendidikan memberikan umpan balik
6
terhadap kegiatan kepaniteraan klinik diakhir siklus
7 Modul dan Logbook tersusun baik dan mudah dipahami
Modul dan Logbook menjelaskan sasaran pembelajaran dan target
8
pencapaian dengan jelas
9 Ruang dokter muda dan fasilitas toilet sudah memadai
Terdapat hubungan yang baik antara dokter muda dengan staf rumah
10
sakit, residen, dan staf pengajar
11 Waktu pelaksanaan siklus dirasakan sudah cukup
12 Metode pembelajaran memicu anda untuk berpartisipasi aktif
Secara umum kegiatan dalam siklus ini telah mencukupi untuk
13
memenuhi standar kompetensi yang harus dicapai
B. Evaluasi Preseptorship
14 Kegiatan BST dilakukan sesuai target (2-3 kali perminggu)
Kasus dalam kegiatan BST sesuai dengan standar kompetensi yang
15
diharapkan
Preseptor menjalankan tugasnya dalam membimbing dokter muda
16
dengan baik
BST dengan preseptor bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman
17
dokter muda dibidang Neurologi
CSS bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dokter muda
18
dibidang Neurologi
CRS bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dokter muda
19
dibidang Neurologi
20 MTE bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dokter muda

114
dibidang Neurologi
C. Evaluasi Kegiatan dalam siklus
21 Rotasi di bangsal Neurologi bermanfaat untuk dokter muda
22 Rotasi di poli Neurologi bermanfaat untuk dokter muda
23 Kegiatan Jaga malam bermanfaat untuk dokter muda
Beban kerja anda dalam siklus dapat ditangani dengan baik dan tidak
24
terasa berlebihan
D. Instrumen Evaluasi
Instrumen evaluasi yang digunakan diakhir siklus telah sesuai dengan
25
sasaran pembelajaran
26 Dokter Muda mendapatkan umpan balik setelah evaluasi
27 Instrumen evaluasi yang digunakan berkorelasi dengan UKMPPD
E. Umpan Balik Dokter Muda
30. Keunggulan dari siklus Neurologi :

31. Kekurangan dari siklus Neurologi :

32. Saran untuk perbaikan modul dimasa datang :

33. Tingkat kepuasan anda secara keseluruhan selama pelaksanaan modul ini (lingkari angka yang sesuai)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

115
Lampiran

DAFTAR TILIK PENILAIAN CASE REPORT SESSION


KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

Nama :
No. BP :
Topik :
Tanggal :
No Poin Penilaian Skor Bobot Nilai
1 2 3 4 5 (Skor x
Bobot)
1 Anamnesis 3
2 Pemeriksaan fisik 3
3 Interpretasi gejala dan tanda 1
4 Kemampuan diagnosis 1
5 Penatalaksanaan 1
6 Edukasi pasien 3
7 Diskusi dan mengemukakan
2
pendapat
8 Penampilan presentasi 1
Nilai Akhir
( Nilai /75 ) x 100% =
Komentar

Preseptor,

……………………………..

116
Panduan Daftar Tilik Case Report Session

Poin penilaian 1 2 3 4 5

Anamnesa Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
anamnesa 2 dari anamnesa 3-4 dari anamnesa secara anamnesa meliputi anamnesa secara
komponen berikut: komponen berikut: sistematik dan terarah, seluruh komponen sistematik dan terarah
3-4 dari komponen berikut: meliputi seluruh
- keluhan umum - keluhan umum
berikut: komponen berikut:
- RPS - RPS - keluhan umum
- RPD - RPD - keluhan umum - RPS - keluhan umum
- RPK - RPK - RPS - RPD - RPS
- ekonomi dan sosial - ekonomi dan sosial - RPD - RPK - RPD
Baik dilakukan secara Tetapi tidak dilakukan - RPK - ekonomi dan sosial - RPK
sistematis maupun secara sistematik dan - ekonomi dan sosial Tetapi tidak dilakukan - ekonomi dan sosial
tidak terarah secara sistematik dan
terarah

Pemeriksaan Melakukan Melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan


fisik pemeriksaan fisik pemeriksaan fisik pemeriksaan fisik 51- pemeriksaan fisik 51- pemeriksaan fisik
<50% dengan <50% tanpa 79% dengan 79% dengan tepat >80%
perbaikan perbaikan perbaikan
dengan perbaikan

Interpretasi Melakukan interpretasi Melakukan interpretasi Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
gejala dan gejala dan tanda gejala dan tanda interpretasi gejala dan interpretasi gejala dan interpretasi gejala dan
tanda <50% dengan <50% tanpa tanda 51-79% dengan tanda 51-79% tanda >80%
perbaikan perbaiakan perbaikan
dengan perbaikan

Kemampuan Hanaya mampu Mampu menentukan 2 Mampu menentukan 3 Mampu menentukan Mampu menentukan

117
diagnosis menentukan 1 dari 4 dari 4 komponen dari 4 komponen diagnosa dengan diagnosa dengan tepat
komponen diagnosa diagnosa berikut: diagnosa berikut: perbaikan seluruh tanpa perbaikan seluruh
berikut: komponen berikut: komponen berikut:
- diagnosa klinis - diagnosa klinis
- diagnosa klinis - diagnosa topik - diagnosa topik - diagnosa klinis - diagnosa klinis
- diagnosa topik - diagnosa etiologi - diagnosa etiologi - diagnosa topik - diagnosa topik
- diagnosa etiologi - diagnosa sekunder - diagnosa sekunder - diagnosa etiologi - diagnosa etiologi
- diagnosa sekunder - diagnosa sekunder - diagnosa sekunder

Penatalaksanaan Hanya mampu Hanya mampu Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan
melakukan melakukan penatalaksanaan terapi penatalaksanaan dengan penatalaksanaan tanpa
penatalaksanaan penatalaksanaan terpi umum, dan salah satu perbaikan yang meliputi perbaikan yang meliputi
terapi umum saja khusus saja komponen terapi komponen berikut: komponen berikut:
khusus baik itu
- Terapi umum - Terapi umum
medikamentosa saja
- Terapi khusus yang - Terapi khusus yang
atau
terdiri dari terdiri dari
nonmedikamentosa medikamentosa dan medikamentosa dan
saja. nonmedikamentosa. nonmedikamentosa.

Edukasi pasien Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan Mampu melakukan edukasi Mampu melakukan
edukasi 1 poin dari edukasi 2 poin dari edukasi 3-4 poin dari 5 poin dari komponen edukasi seluruh
komponen berikut: komponen berikut: komponen berikut: berikut: komponen berikut:
- Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit - Diagnosa penyakit
- Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko - Faktor resiko
- Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi - Komplikasi
- Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial - Fungsi sosial
- Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan - Upaya pencegahan

118
- Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi - Situasi emergensi
Diskusi dan Hanya memenuhi 1 Hanya memenuhi 2 dari Mampu berdiskusi dan
mengemukaka dari kriteria berikut: kriteria berikut: mengemukakan
n pendapat pendapat dengan
- Bahasa yang sopan - Bahasa yang sopan
kriteria berikut:
- Alur berfikir yang - Alur berfikir yang
rasional rasional - Bahasa yang sopan
- Didukung oleh - Didukung oleh - Alur berfikir yang
sumber bacaan yang sumber bacaan yang rasional
valid. valid. - Didukung oleh sumber
bacaan yang valid.

119
DAFTAR TILIK PENILAIAN JOURNAL READING
KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

Nama :
No. BP :
Topik :
Tanggal :
No Poin Penilaian Skor
1 2 3 4 5
1 Translasi
2 Penguasaan Materi
3 Penguasaan Metode Penelitian
4 Kemampuan diskusi dan
mengemukakan pendapat
5 Penampilan presentasi

TOTAL

Nilai akhir = Total x 100% = ………….


30
Komentar:

Preseptor,

……………………………….

120
DAFTAR TILIK PENILAIAN AFEKTIF
DOKTER MUDA KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI

Nama :
No. BP :
Periode :

No Subject Skor
0 1 2
1 Ketepatan Kehadiran
2 Kelengkapan atribut
a. Seragam sesuai ketentuan fakultas
( Tanda Pengenal, Kaus Kaki)
b. Peralatan Pemeriksaan neurologi
( Stetoskop, termometer, palu
refleks, penlight)
3 Kemampuan komunikasi efektif (
Pengenalan diri, empati, inform consent
sebelum melakukan pemeriksaan,
kemampuan penyampaian „breaking the
bad news‟)
4 Kelengkapan persyaratan ujian
(Buku log, status ujian, buku rajin)
TOTAL

( Total x 100%= )
10

121
Nb:

1. Ketepatan Kehadiran
a. 0 : Keterlambatan lebih dari 10 menit
b. 1 : Keterlambatan 5 menit
c. 2 : Hadir tepat waktu
2. Kelengkapan Atribut
a. 0 : Tidak ada sama sekali
b. 1 : Tidak lengkap
c. 2 : Atribut lengkap
3. Kemampuan komunikasi efektif
a. 0 : Tidak dapat berkomunikasi efektif
b. 1 : Tidak dapat berkomunikasi efektif secara lengkap
c. 2 : Dapat berkomunikasi efektif
4. Kelengkapan Persyaratan Ujian
a. 0 : Tidak ada sama sekali
b. 1 : Tidak lengkap
c. 2 : Lengkap

Preseptor,

……………………………….

122

Anda mungkin juga menyukai