Anda di halaman 1dari 94

MODUL KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2021
MODUL KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

Tim Penyusun

Prof. Dr. Darfioes Basir, SpA(K) DR. Dr Rinang Mariko, SpA(K)


Dr. Firman Arbi, SpA(K) Dr. Eny Yantri, SpA(K)
Dr. Yorva Sayoeti, SpA(K) Dr. Amirah Zatil Izzah, SpA(K)
Dr. Iskandar Syarif, SpA(K) Dr. Nice Rachmawati Masnadi, SpA(K)
Dr. Gustina Lubis, SpA(K) Dr. Rahmi Lestari, SpA(K)
Dr. Aumas Pabuti, SpA(K) MARS Dr. Asrawati, M.Biomed SpA(K)
DR. Dr. Eva Chundrayetti, SpA(K) Dr. Indra Ihsan, SpA(K) M.Biomed
DR. Dr. Mayetti SpA(K), IBCLC Dr. Anggia Perdana Harmen, SpA
Dr. Eka Agustia Rini, SpA(K) Dr. Fitrisia Amelin, SpA M.Biomed
Dr. Rusdi, SpA(K)
Dr. Khairunnisa, SpA
Dr. Didik Hariyanto, SpA(K)
Dr. Ade Nofendra, SpA
DR. Dr. Yusri Dianne Jurnalis, SpA(K)
Dr. Riri Dwipinta Sari, SpA, M.Biomed
DR. Dr. Finny Fitry Yani, SpA(K)

Edisi 2021
Modul Kepaniteran Klinik Penyakit Kardiovaskular
Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Editor :
Dr. dr. Efrida, Sp.PK (K), M.Kes
Dr.dr. Rika Susanti, Sp.F.M (K)
dr. Taufik Hidayat, MSc, Sp.F.M, MSc
dr. Ade Nofendra, Sp.A
dr. Denada Florencia Leona
dr. Westi Permata Wati
dr. Atika Indah Sari

Kontributor :

Prof. Dr. Darfioes Basir, SpA(K) DR. Dr Rinang Mariko, SpA(K)


Dr. Firman Arbi, SpA(K) Dr. Eny Yantri, SpA(K)
Dr. Yorva Sayoeti, SpA(K) Dr. Amirah Zatil Izzah, SpA(K)
Dr. Iskandar Syarif, SpA(K) Dr. Nice Rachmawati Masnadi, SpA(K)
Dr. Gustina Lubis, SpA(K) Dr. Rahmi Lestari, SpA(K)
Dr. Aumas Pabuti, SpA(K) MARS Dr. Asrawati, M.Biomed SpA(K)
DR. Dr. Eva Chundrayetti, SpA(K) Dr. Indra Ihsan, SpA(K) M.Biomed
DR. Dr. Mayetti SpA(K), IBCLC Dr. Anggia Perdana Harmen, SpA
Dr. Eka Agustia Rini, SpA(K) Dr. Fitrisia Amelin, SpA M.Biomed
Dr. Rusdi, SpA(K)
Dr. Khairunnisa, SpA
Dr. Didik Hariyanto, SpA(K)
Dr. Ade Nofendra, SpA
DR. Dr. Yusri Dianne Jurnalis, SpA(K)
Dr. Riri Dwipinta Sari, SpA, M.Biomed
DR. Dr. Finny Fitry Yani, SpA(K)

i
Daftar Isi

Daftar Isi …………………………………………………………………………… ii


Kata Pengantar …………………………………………………………………….. ii
Informasi Umum Modul …………………………………………………………… 1
Karakteristik Mahasiswa …………………………………………………………… 2
Capaian Pembelajaran ……………………………………………………………… 2
Pre Assessment …………………………………………………………………….. 16
Pokok Bahasan / Materi Penyakit ………………………………………………… 16
Metode Pengajaran dan Aktivitas Pembelajaran …………………………………. 77
Sumber Daya ……………………………………………………………………… 78
Evaluasi Pembelajaran ……………………………………………………………. 81
Lampiran ………………………………………………………………………….. 86

ii
Kata pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT, dimana dengan berkat dan rahmatNya kita dapat merangkum
keilmuan di bidang Neurologi dalam bentuk modul Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Modul ini merupakan panduan pembelajaran dan acuan dalam kepaniteraan klinik yang
dilakukan mahasiswa program pendidikan profesi dokter (P3D) saat melakukan kegiatan praktek klinik
di bagian Ilmu Kesehatan Anak. Modul ini juga dapat menjadi pegangan bagi mahasiswa P3D dan staf
pengajar dalam melakukan kegiatan praktek klinik, sehingga terdapat keseragaman dan keteraturan
dalam melakukan kegiatan dan juga penilaian saat melakukan praktek klinik di bagian Ilmu Kesehatan
Anak
Ucapan terima kasih kepada semua staf pengajar Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas/RSUP Dr. M. Djamil Padang yang telah memberikan sumbangan
pemikiran dalam pembuatan modul ini. Kami menyadari bahwa modul ini masih jauh dari sempurna,
karena itu saran, masukan dan kritik yang membangun sangat kami harapkan untuk perbaikan dan
kesempurnaan modul ini. Semoga kita dapat mendidik dokter Indonesia menjadi dokter yang mempunyai
kompetensi sesuai dengan Standar Kompetensi Dokter Indonesia.

Padang, April 2021

Bagian Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Ketua,

Dr. Rusdi, Sp.A(K)


NIP. 19604061990011002

ii
MODUL
(KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK)

NOMOR MODUL : 11/UN16.2/MEU/MODUL/2021


1. Informasi Umum Modul
DESKRIPSI BAGIAN :
Ketua Bagian : Dr Rusdi SpA(K)
Koordinator Pendidikan : Dr Rahmi Lestari SpA(K)
Sub Bagian :

Infeksi DR. Dr Rinang Mariko, SpA(K)


Neurologi Dr. Iskandar Syarif, SpA(K)
Dr. Rahmi Lestari, SpA(K)
Nutrisi Penyakit Dr. Gustina Lubis, SpA(K)
Metabolik Dr. Nice Rachmawati Masnadi, SpA(K)
Emergensi dan DR. Dr. Mayetti SpA(K), IBCLC
rawat intensif Dr. Indra Ihsan, SpA(K) M.Biomed
anak
Gastrohepatologi Dr. Yorva Sayoeti, SpA(K)
DR. Dr. Yusri Dianne Jurnalis, SpA(K)
Kardiologi Anak Dr. Didik Hariyanto, SpA(K)
Neonatologi Dr. Eny Yantri, SpA(K)
Dr. Anggia Perdana Harmen, SpA
Dr. Devi Novriyanti, SpA
Alergi Dr. Rusdi, SpA(K)
Imunologi Dr. Riri Dwipinta Sari, SpA, M.Biomed
Hematoonkologi Dr. Firman Arbi, SpA(K)
Dr. Amirah Zatil Izzah, SpA(K)
Dr. Ade Nofendra, SpA
Respirologi Prof. Dr. Darfioes Basir, SpA(K)
DR. Dr. Finny Fitry Yani, SpA(K)

1
Nefrologi Dr. Aumas Pabuti, SpA(K) MARS
Dr. Fitrisia Amelin, SpA , M.Biomed
Endokrinologi Dr. Eka Agustia Rini, SpA(K)
Dr. Khairunnisa, SpA
Tumbuh DR. Dr. Eva Chundrayetti, SpA(K)
Kembang Dr. Asrawati, M.Biomed SpA(K)
Pediatri Sosial

LAMA KEPANITERAAN KLINIK : 9 minggu


SKS : 5 SKS

2. Karakteristik Mahasiswa
Mahasiswa yang dapat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian ilmu Kesehatan anak
adalah mahasiswa yang sudah sarjana kedokteran dan mengikuti PPGD & LOI.

3. Capaian Pembelajaran
1. Capaian Pembelajaran Lulusan
CPL - Sikap dan Tata Nilai:
1. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan mampu menunjukkan sikap
religious (S1);
2. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam menjalankan tugas berdasarkan
agama, moral, dan etika (S2);
3. Berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan kemajuan peradaban berdasarkan Pancasila (S3);
4. Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta tanah air, memiliki
nasionalisme serta rasa tanggungjawab pada negara dan bangsa (S4);
5. Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan, agama, dan kepercayaan,
serta pendapat atau temuan orisinal orang lain (S5);
6. Bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian terhadap
masyarakat dan lingkungan (S6);
7. Taat hukum dan disiplin dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara
(S7);
8. Menginternalisasi nilai, norma, dan etika akademik (S8);
9. Menunjukkan sikap bertanggungjawab atas pekerjaan di bidang keahliannya
secara mandiri (S9); dan

2
10. Menginternalisasi semangat kemandirian, kejuangan, dan kewirausahaan
(S10).

CPL - Keterampilan Umum:


1. Mampu menerapkan pemikiran logis, kritis, sistematis, dan inovatif dalam
konteks pengembangan atau implementasi ilmu pengetahuan dan teknologi
yang memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora yang sesuai dengan
bidang keahliannya (KU1);

2. Mampu menunjukkan kinerja mandiri, bermutu, dan terukur (KU2);

3. Mampu mengkaji implikasi pengembangan atau implementasi ilmu


pengetahuan teknologi yang memperhatikan dan menerapkan nilai
humaniora sesuai dengan keahliannya berdasarkan kaidah, tata cara dan etika
ilmiah dalam rangka menghasilkan solusi, gagasan, desain atau kritik seni,
menyusun deskripsi saintifik hasil kajiannya dalam bentuk skripsi atau
laporan tugas akhir, dan mengunggahnya dalam laman perguruan tinggi
(KU3);

4. Menyusun deskripsi saintifik hasil kajian tersebut di atas dalam bentuk


skripsi atau laporan tugas akhir, dan mengunggahnya dalam laman perguruan
tinggi (KU4);

5. Mampu mengambil keputusan secara tepat dalam konteks penyelesaian


masalah di bidang keahliannya, berdasarkan hasil analisis informasi dan data
(KU5);

6. Mampu memelihara dan mengembangkan jaringan kerja dengan


pembimbing, kolega, sejawat baik di dalam maupun di luar lembaganya
(KU6);

7. Mampu bertanggungjawab atas pencapaian hasil kerja kelompok dan


melakukan supervisi dan evaluasi terhadap penyelesaian pekerjaan yang
ditugaskan kepada pekerja yang berada di bawah tanggungjawabnya (KU7);

8. Mampu melakukan proses evaluasi diri terhadap kelompok kerja yang berada
di bawah tanggung jawabnya, dan mampu mengelola pembelajaran secara
mandiri (KU8); dan

9. Mampu mendokumentasikan, menyimpan, mengamankan, dan menemukan


kembali data untuk menjamin kesahihan dan mencegah plagiasi (KU9).

3
CPL - Pengetahuan:
1. Mampu menguasai konsep dan teori pengetahuan dasar ilmu dan teknologi
biomedis (Anatomi, Histologi, Fisiologi dan Biokimia) serta aplikasinya
dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan penatalaksanaan pasien
secara komprehensif sebagai dokter di layanan primer dengan pendekatan
kedokteran keluarga(P1)

2. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu paraklinik medis (Patologi


Anatomi, Patologi Klinik, Parasitologi, Mikrobiologi, Farmakologi, dan Ilmu
gizi) serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan
penatalaksanaan pasien secara komprehensif sebagai dokter di layanan
primer dengan pendekatan kedokteran keluarga (P2)

3. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu klinik medis ilmu Kesehatan anak
serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan
penatalaksanaan pasien secara komprehensif sebagai dokter di layanan
primer dengan pendekatan kedokteran keluarga (P3)

4. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kesehatan Keluarga dan


Komunitas serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan
penatalaksanaan pasien secara komprehensif sebagai dokter di layanan
primer dengan pendekatan kedokteran keluarga (P4)

5. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kesehatan Masyarakat serta


aplikasinya dalam penegakkan diagnosis secara holistik, penatalaksanaan
pasien secara komprehensif, dan pengelolaan program kesehatan masyarakat
sebagai dokter di layanan primer dengan pendekatan kedokteran keluarga
(P5).

6. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Komunikasi, Bioetik dan Etika
kedokteran serta aplikasinya dalam penegakkan diagnosis secara holistik dan
penatalaksanaan pasien secara komprehensif sebagai dokter di layanan
primer dengan pendekatan kedokteran keluarga (P6)

7. Mampu menguasai konsep dan teori Ilmu Kepemimpinan dan Managemen


yang efektif serta aplikasinya dalam pengelolaan program dan organisasi
kesehatan masyarakat serta fasilitas kesehatan (P7)

8. Mampu menguasai konsep dan teori metodologi, pelaksanaan dan


pengolahan data penelitian, penulisan dan publikasi hasil penelitian ilmiah
(P8)

9. Mampu menguasai konsep dan teori ilmu kewirausahaan dalam bidang


4
pelayanan kesehatan (P9).

CPL - Keterampilan Khusus:


1. Kemampuan melaksanakan praktik kedokteran yang profesional sesuai
dengan nilai dan prinsip ke-Tuhan-an, moral luhur, etika, disiplin, hukum,
sosial budaya dan agama dalam konteks lokal, regional dan global dalam
mengelola masalah kesehatan individu, keluarga, komunitas dan masyarakat
(KK1).

2. Kemampuan melakukan praktik kedokteran dengan melakukan refleksi diri,


menyadari keterbatasan, mengatasi masalah personal, dan meningkatkan
pengetahuan secara berkesinambungan, serta menghasilkan karya inovatif
dalam rangka menyelesaikan masalah kesehatan individu, keluarga,
komunitas dan masyarakat demi keselamatan pasien (KK2).

3. Kemampuan berkolaborasi dan bekerja sama dengan sejawat seprofesi,


interprofesi kesehatan dan profesi lain dalam pengelolaan masalah kesehatan
dengan menerapkan nilai, etika, peran dan tanggung jawab, pengelolaan
masalah secara efektif dan kemampuan mengembangkan pengelolaan
kesehatan berdasarkan berbagai kajian pengembangan kerjasama dan
kolaborasi (KK3).

4. Mampu mengaplikasikan prinsip keselamatan pasien dan prinsip upaya


peningkatan kualitas pelayanan kesehatan pada individu, keluarga,
komunitas dan masyarakat (KK4).

5. Kapasitas untuk memanfaatkan pengetahuan ilmiah dalam rangka melakukan


perubahan terhadap fenomena kedokteran dan kesehatan melalui tindakan
kedokteran dan intervensi kesehatan pada individu, keluarga, komunitas dan
masyarakat untuk kesejahteraan dan keselamatan manusia, serta kemajuan
ilmu dalam bidang kedokteran dan kesehatan yang memperhatikan kajian
inter/multidisiplin, inovatif dan teruji (KK5).

6. Kemampuan untuk menemukan, mengevaluasi, menggunakan,


mendiseminasikan dan menghasilkan materi menggunakan teknologi
informasi dan perangkat digital secara efektif dalam pengembangan profesi
dan keilmuan untuk berkomunikasi, berekspresi, berkolaborasi dan advokasi
(KK6).

7. Kemampuan mengelola masalah kesehatan individu, keluarga, komunitas


dan masyarakat secara komprehensif, holistik, terpadu dan
berkesinambungan menggunakan sumber daya secara efektif dalam konteks
pelayanan kesehatan primer (KK7).

5
8. Kemampuan melakukan prosedur klinis yang berkaitan dengan masalah
kesehatan dengan menerapkan prinsip keselamatan pasien, keselamatan diri
sendiri, dan keselamatan orang lain (KK8).

9. Kemampuan membangun hubungan, menggali informasi, menerima dan


bertukar informasi, bernegoisasi dan persuasi secara verbal dan nonverbal
serta menunjukkan empati kepada pasien dari semua usia, anggota keluarga,
masyarakat dan sejawat, dalam tatanan keragaman budaya lokal, regional dan
global (KK9).

2. Capaian Mata kuliah


Mahasiswa mampu mendiagnosis dan menatalaksana kasus penyakit yang
ada di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan


Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan
mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut
mengenai penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi
pasien. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan
merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/ atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri
dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
6
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/ atau
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)

Dengan demikian didalam Daftar Penyakit ini level kompetensi tertinggi adalah 4A

DAFTAR KOMPETENSI KETERAMPILAN KLINIS SESUAI SKDI 2012


No. Modul Pencapaian Daftar Penyakit Level Kompetensi
1. Infeksi Tropis Demam dengue, DHF 4A
Demam tifoid 4A
Tetanus 4A
Faringitis 4A
Tonsilitis 4A
Malaria 4A
Morbili tanpa komplikasi 4A
Varisela tanpa komplikasi 4A
Herpes simpleks tanpa komplikasi 4A
Impetigo 4A
Furunkel, karbunkel 4A
Kandidiasis mulut 4A
Parotitis 4A
Askariasis 4A
Penyakit cacing tambang 4A
Filariasis 4A
Limfadenitis 3B
Dengue shock syndrome 3B
Malaria serebral 3B
Tetanus neonatorum 3B
Rabies 3B
Difteri 3B
Abses peritonsillar 3A
Toksoplasmosis 3A
2. Neonatologi Infeksi pada umbilikus 4A
Pneumonia 4A

7
Infeksi saluran kemih 4A
Hipoglikemia ringan 4A
Meningitis 3B
Tetanus neonatorum 3B
Bakteremia, sepsis 3B
Hipoksia janin 3B
Syok 3B
Hipoglikemia berat 3B
Acute respiratory ditress syndrome 3B
(ARDS)
Janin tumbuh lambat 3A
Bayi post matur 3A
Hernia umbilikalis 3A
Pneumothorax 3A
Kelainan jantung kongenital 2
Sumbing pada bibir dan palatum 2
Micrognatia dan macrognatia 2
Atresia esofagus 2
Akhalasia 2
Malrotasi traktus gastrointestinal 2
Fistula umbilical, omphalocele- 2
gastroschisis
Stenosis pilorik 2
Atresia bilier 2
Penyakit Hirsprung 2
Spina Bifida 2
Infeksi Cytomegalovirus 2
Hidrosefalus kongenital 2
Retinopati prematuritas 2
Hernia (diafragmatika, hiatus) 2
Janin tumbuh lambat 2
Enterokolitis nekrotikans (NEC) 1
3. Emergensi Rawat Reaksi anafilaktik 4A
Intensif Anak

8
Pneumonia, bronkopneumonia 4A
Keracunan makanan 4A
Syok (septic, hipovolemik, kardiogenik) 3B
Dengue Shock Syndrome (DSS) 3B
Cardiorespiratory arrest 3B
Sepsis 3B
Meningitis 3B
Ensefalitis 3B
Malaria serebral 3B
Ensefalopati hipertensi 3B
Status epilepticus 3B
Perdarahan gastrointestinal 3B
Ketoasidosis diabetikum 3B
Krisis adrenal 3B
Acute Respiratory Distress Syndrome 3B
(ARDS)
Status asmatikus 3B
Efusi pleura massif 3B
Edema paru 3B
Gagal jantung akut 3B
Takikardia supraventrikel/ventrikel 3B
Intusepsi atau invaginasi 3B
Pneumothorax 3A
Ileus 2
Gagal hepar 2
DIC 2
Nutrisi dan Penyakit Malnutrisi energy protein 4A
Metabolik
Obesitas 4A
Defisiensi vitamin 4A
Defisiensi mineral 4A
Sindrom metabolic 3B
Respirologi Pneumonia, bronkopneumonia 4A
Tuberkulosis paru tanpa komplikasi 4A

9
Asma bronkial 4A
Pertusis 4A
Influenza 4A
Sklofuroderma 4A
Acute Respiratory Distress Syndrome 3B
(ARDS)
SARS 3B
Flu burung 3B
Status asmatikus 3B
Aspirasi 3B
Bronkiolitis 3B
Pneumonia aspirasi 3B
Efusi pleura massif 3B
Edema paru 3B
Pseudo croup acute epiglottitis 3A
Bronkiektasis 3A
Tuberkulosis dengan HIV 3A
Spondilitis TB 3A
Pneumothorax 3A
Abses paru 3A
Hipertropi adenoid 2
Trakeitis 2
Benda asing 2
MDR TB 2
Efusi pleura 2
Atelektasis 2
Obstructive Sleep Apneu 1
Neurologi Kejang demam 4A
Kejang 3B
Status epilepticus 3B
Meningitis 3B
Ensefalitis 3B
Koma 3B
Ensefalopati 3B

10
Ensefalopati hipertensi 3B
Poliomielitis 3B
Rabies 3B
Guillain Barre Syndrome 3B
Epilepsy 3A
Spondilitis TB 3A
Hidrosefalus 2
Spina bifida 2
Tumor sekunder SSP 2
Abses otak 2
Mati batang otak 2
Cerebral palsy 2
Duschene Muscular Distrophy (DMD) 1
Poliomiositis 1
GastroHepatologi

Hemato-onkologi Anemia defisiensi besi 4A


Anemia hemolitik 3A
Leukemia akut, kronik 2
Anemia aplastic 2
Hemoglobinopati/thalasemia 3A
Kardiologi Gagal jantung akut 3B
Syok kardiogenik 3B
Tatikardia;supraventrikuler, ventrikuler 3B
Demam rematik 3A
Penyakit jantung rematik 2
Kelainan jantung kongenital (VSD, 2
ASD, PDA, ToF)
Radang pada dinding jantung 2
(endocarditis, miokarditis,
pericarditis)
Kardiomiopati 2
Nefrologi Infeksi saluran kemih 4A
Pielonefritis tanpa komplikasi 4A

11
Fimosis 4A
Parafimosis 4A
Hipertensi esensial 4A
Ensefalopati hipertensi 3B
Glomerulonefritis akut 3A
Glomerulonefritis kronis 3A
Hipertensi sekunder 3A
Batu saluran kemih 3A
Sindrom nefrotik 2
Acute kidney injury 2
Penyakit ginjal kronik 2
Nekrosis tubular akut 2
Ginjal polikistik 2
Hipospadia 2
Epispadia 2
Ginjal tapal kuda 1
Endokrinologi Diabetes mellitus tipe 1 4A
Diabetes mellitus tipe 2 4A
Hipoglikemia ringan 4A
Obesitas 4A
Ketoasidosis diabetikum 3B
Hiperglikemia hyperosmolar 3B
Tirotoksikosis 3B
Cushing disease 3B
Krisis adrenal 3B
Sindrom metabolic 3B
Hipoparatiroid 3A
Testis tidak turun/kriptokismus 2
Tiroiditis 2
Pubertas prekoks 2
Hipogonadisme 2
Osteogenesis imperfekta 1
Ricketsia, osteomalasia 1
Akondroplasia 1

12
Hipoglikemia berat 1
Diabetes insipidus 1
Akromegali, gigantisme 1
Defisiensi hormone pertumbuhan 1
Addison disease 1
Alergi Imunologi Reaksi anafilaktik 4A
Urtikaria akut 4A
HIV/AIDS tanpa komplikasi 4A
Alergi makanan 4A
Rhinitis alergika 4A
Angioedema 3B
Toksik epidermal necrolysis 3B
Sindrom Steven Johnson 3B
Urtikaria kronis 3A
Lupus eritematosus sistemik 3A
AIDS dengan komplikasi 3A
Juvenille Chronic Arthritis 2
Henoch-Schonlein purpura 2
Eritema multiforme 2
Imunodefisiensi 2
Tumbuh kembang dan Retardasi mental 3A
Pediatri Sosial
Gangguan perkembangan pervasive 2
Gangguan pemusatan perhatian dan 2
hiperaktif (termasuk autism)
Gangguan tingkah laku 2
Cerebral palsy 2
Gangguan identitas gender 2
Functional encorporesis 2
Functional enuresis 2

13
TINGKAT KETERAMPILAN KLINIS
Kriteria Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4
Mampu
melakukan
secara mandiri

Tingkat Mampu melakukan di bawah


Keterampilan supervisi
Klinis
Memahami clinical reasoning dan problem solving
keterampilan

Mengetahui teori keterampilan


Melakukan
pada pasien
Berlatih dengan alat peraga atau
Metode pasien tersandar
Pembelajaran
Observasi langsung, demonstrasi

Perkuliahan, diskusi, penugasan, belajar mandiri

Workbased
Penyelesaian Objective
Assessment
Metode kasus secara Structured Clinical
Ujian tulis seperti mini-
Penilaian tertulis dan/atau Examination
Cex, logbook,
lisan (oral test) (OSCE)
dsb

Tingkat kemampuan 1 (Knows): Mengetahui dan menjelaskan

Lulusan dokter mampu menguasai pengetahuan teoritis termasuk aspek biomedik dan
psikososial keterampilan tersebut sehingga dapat menjelaskan kepada pasien/ klien dan
keluarganya, teman sejawat, serta profesi lainnya tentang prinsip, indikasi, dan
komplikasi yang mungkin timbul. Keterampilan ini dapat dicapai mahasiswa melalui
perkuliahan, diskusi, penugasan, dan belajar mandiri, sedangkan penilaiannya dapat
menggunakan ujian tulis.

Tingkat kemampuan 2 (Knows how): Pernah melihat atau didemonstrasikan

Lulusan dokter menguasai pengetahuan teoritis dari keterampilan ini dengan penekanan
pada clinical reasoning dan problem solving serta berkesempatan untuk melihat dan

14
mengamati keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan langsung
pada pasien/ masyarakat. Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 2 dengan
menggunakan ujian tulis pilihan berganda atau penyelesaian kasus secara tertulis dan/
atau lisan (oral test)

Tingkat kemampuan 3 (Shows): Pernah melakukan atau pernah menerapkan di bawah


supervisi

Lulusan dokter menguasai pengetahuan teori keterampilan ini termasuk latarbelakang


biomedik dan dampak psikososial keterampilan tersebut, berkesempatan untuk melihat
dan mengamati keterampilan tersebut dalam bentuk demonstrasi atau pelaksanaan
langsung pada pasien/ masyarakat, serta berlatih keterampilan tersebut pada alat peraga
dan/ atau standardized patient. Pengujian keterampilan tingkat kemampuan 3 dengan
menggunakan Objective Structured Clinical Examination (OSCE)

Tingkat kemampuan 4 (Does): Mampu melakukan secara mandiri

Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan menguasai


seluruh teori, prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan, komplikasi dan
pengendalian komplikasi. Selain pernah melakukannya di bawah supervisi, pengujian
keterampilan tingkat kemampuan 4 dengan menggunakan Workbased Assessment
seperti mini-CEX, logbook, dsb.

4A. Keterampilan yang dicapai pada saat lulus dokter

4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/ atau
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (PKB)

3. Sub Capaian Mata Kuliah


 Melakukan anamnesis terhadap pasien/keluarga pasien dengan
menerapkan prinsip komunikasi efektif dan rasa empat
 Melakukan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis penyakit
yang ada di Ilmu Kesehatan Anak
 Melakukan perencanaan,menginterpretasi dan mengaplikasikan hasil
pemeriksaan penunjang pada penyakit yang ada di Ilmu Kesehatan Anak
 Menegakkan diagnosis dan diagnosis banding penyakit kardiovaskular
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

15
 Melakukan penatalaksanaan yang komprehensif terhadap penyakit yang
ada di Ilmu Kesehatan Anak sesuai dengan level kompetensi sebagai
dokter layanan primer
 Menerapkan prinsip EBM dan patient safety dalam melakukan
kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak.
 Menerapkan ilmu-ilmu biomedik sebagai dasar Ilmu kedokteran klinik
dalam memahami dan menjelaskan aspek epidemiologi, etiologi,
patogenesis, patofisiologi dan manifestasi klinis untuk pengelolaan
penyakit yang ada di Ilmu Kesehatan Anak
 Membangkitkan kemampuan penalaran klinis di Ilmu Kesehatan Anak
 Melakukan pencatatan dan dokumentasi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang, diagnosis dan penatalaksanaan pada form
Medical Record
 Membuat resep yang rasional untuk penyakit ilmu Kesehatan anak dan
sistem respirasi
4. Pre Assessment
Dilakukan pre assessment berupa pre-test MCQ kepada dokter muda pada saat masuk
siklus Ilmu Kesehatan Anak berdasarkan prior knowledge saat preklinik.

5. Pokok Bahasan / Materi Penyakit-Penyakit

5.1 Anemia Defisiensi Besi


Definisi
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang disebabkan karena kurangnya zat besi yang
diperlukan untuk sintesis hemoglobin.

Epidemiologi
Berdasarkan Survai Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 prevalensi ADB pada bayi
0-6 bulan, bayi 6-12 bulan, dan anak balita berturut-turut sebesar 61,3%, 64,8% dan 48,1%.
Penelitian kohort terhadap 211 bayi berusia 0 bulan selama 6 bulan dan 12 bulan didapatkan
insidens ADB sebesar 40,8% dan 47,4%.
Pada usia balita, prevalens tertinggi ADB umumnya terjadi pada tahun kedua kehidupan
akibat rendahnya asupan besi dalam makanan dan pertumbuhan yang cepat pada tahun pertama.
Angka kejadian ADB lebih tinggi pada usia bayi, terutama pada bayi prematur (sekitar 25-85%)
dan bayi yang mengkonsumsi ASI secara eksklusif tanpa suplementasi.
16
Etiologi/faktor risiko
Terdapat beberapa penyebab/faktor risiko terjadinya defisiensi besi pada anak,yaitu:

1. Faktor perinatal: defisiensi besi pada ibu, perdarahan fetomaternal, prematuritas.


2. Faktor asupan makanan: asupan besi kurang akibat jenis makanan yang miskin besi.
3. Faktor penyerapan makanan: gangguan absorbsi besi di saluran cerna, seperti akibat
konsumsi antasida, makanan yang mengandung tanin, phytat, dan metal.
4. Faktor peningkatan kebutuhan: seperti pada periode pertumbuhan cepat (bayi, remaja),
infeksi kronis, atau infeksi akut berulang
5. Faktor kehilangan darah: seperti pada menstruasi, infeksi parasit, divertikulum Meckel
Metabolisme Besi
Besi merupakan mineral yang penting dalam pembentukan sel darah merah. Di dalam tubuh,
besi sebanyak 60% berada di dalam molekul hemoglobin sel darah merah, 25% berada di dalam
cadangan besi, dan 15% terdapat pada mioglobin dan berbagai enzim untuk metabolism
oksidatif.

Gambar 1: Metabolisme besi

Besi yang masuk ke tubuh akan diabsorbsi di saluran cerna terutama di duodenum. Terdapat dua
jenis besi yang terdapat dalam makanan. Pertama adalah dalam bentuk besi non-heme,

17
merupakan besi yang terbanyak dalam makanan, yakni mencapai 90. Besi non heme merupakan
kompleks senyawa besi inorganik (Fe3+ ) yang harus diubah dulu menjadi bentuk yang dpt
diserap (Fe2+) oleh pengaruh asam lambung, vit C dan asam amino. Jumlah besi yang diabsorbsi
tubuh sangat bervariasi, dipengaruhi oleh jenis makanan yang dikonsumsi dan status besi tubuh.
Jenis makanan seperti vitamin C dan besi heme akan meningkatkan absorbsi, namun makan
yang kaya akan serat, kalsium, tanin (di dalam teh dan kopi), kuning telur, oksalat, pitat, pospat,
dan polifenol, obat (antasid, tetrasiklin dan kolestiramin) akan menghambat absorbsi jenis besi
ini.
Besi Heme (± 10% dari makanan), merupakan jenis besi yang terdapat di dalam molekul heme
dari hemoglobin dan myoglobin. Besi jenis ini dapat langsung diserap oleh usus. (Gambar 1)
Jumlah besi di dalam tubuh manusia pada keadaan normal berada dalam keadaan “steady
state”. Besi yang berada di dalam tubuh seseorang, akan digunakan kembali atau disimpan di
dalam cadangan besi dalam bentuk ferritin dan hemosiderin. (Gambar 2)

Gambar 2: Penggunaan besi di dalam tubuh

Patofisiologi
Anemia defisiensi besi merupakan tahap akhir dari defisiensi besi. Tiga tahap defisiensi besi
adalah :
18
1. Tahap pertama (Deplesi Besi)
 Penurunan cadangan besi tanpa penurunan kadar besi serum
 Hb (N), MCV (N), saturasi transferin (N), besi serum (N), ferritin serum (), besi SST
()
2. Tahap kedua (Defisiensi Besi)
 Besi serum rendah, tetapi kadar Hb Normal
 Hb (N), MCV (N), TIBC (), serum ferritin (), saturasi transferin (), besi serum ( ),
besi SST (-)
3. Tahap ketiga (Anemia Defisiensi besi)
 Kadar Hb darah turun di bawah nilai normal
 Hb (), MCV (), TIBC (), serum ferritin (), saturasi transferin (), besi SST (-)

Gambaran Klinis
Gejala biasanya terjadi bila kadar Hb <7 g/dl. Anak datang dengan pucat yang kadang-kadang
tidak terlihat oleh keluarga yang berinteraksi setiap hari dengan anak dan baru terlihat oleh
orang lain yang jarang bertemu dengan anak. Anak mudah lelah, lemas, tidak ada nafsu makan,
daya tahan tubuh terhadap infeksi menurun, serta gangguan perilaku dan prestasi belajar.
Kelainan fisik selain pucat seperti koilonikia, glositis, stomatitis angularis, jarang ditemukan
pada anak.

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan meliputi :
1. Pemeriksaan darah perifer lengkap: Hb, leukosit, trombosit, pemeriksaan indeks eritrosit,
retikulosit, gambaran darah tepi,
2. Pemeriksaan status besi (Fe serum, TIBC, saturasi transferin, feritin)
3. Pemeriksaan feses: untuk melihat adanya infestasi cacing dan adanya perdarahan saluran
cerna (tes darah samar)

Diagnosis dan Diagnosis banding


Diagnosis ADB ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan laboratorium.
Diagnosis anemia defisiensi besi berdasarkan kriteria WHO :
1. Kadar Hb kurang dari normal sesuai usia
19
2. Konsentrasi Hb eritrosit rata-rata <31% (N: 32-35%)
3. Kadar Fe serum <50 Ug/dl (N : 80-180 Ug/dl)
4. Saturasi transferin < 15% (N : 20-50%)
Kriteria ini harus dipenuhi paling sedikit kriteria nomor 1,3, dan 4.
Pemeriksaan definitif untuk diagnosis anemia defisiensi besi adalah pemeriksaan kadar feritin
serum. Nilai feritin serum < 12 ng/mL memastikan diagnosis. Namun hati-hati pada keadaan
infeksi atau inflamasi, nilai feritin bisa memberikan hasil negatif palsu karena feritin merupakan
suatu reaktan fase akut.

Pada sarana terbatas, diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan:


- Anemia tanpa perdarahan
- Tidak ada organomegali
- Gambaran darah tepi eritrosit: mikrositik hipokrom, anisositosis, sel pensil (cigar cell)
- Respon terhadap pemberian suplementasi besi

Tata laksana Awal dan lanjutan


Prinsip tata laksana adalah mengatasi dan mengobati faktor penyebab serta pemberian preparat
besi.
1. Pemberian preparat besi
a. Peroral
Besi elemental 4-6 mg/kgBB/hari. Preparat yang tersedia berupa ferous glukonat,
fumarat, suksinat. Yang sering dipakai adalah ferous sulfat. Garam ferous sulfat
mengandung besi elemental sebesar 20%. Absorpsi besi terbaik adalah pada asat lambung
kosong, diantara waktu makan, namun untuk mengurangi efek samping pada saluran
cerna, besi elemental dapat diberikan pada saat makan atapun setelah makan. Obat
diberikan dalam dosis 2-3 kali sehari. Preparat besi harus terus diberikan selama 2
bulan setelah anemia teratasi.
b. Parenteral
Preparat yang sering dipakai adalah dekstran besi. Larutan ini mengandung 50 mg
besi/ml. Dosis besi (mg) : BB (kg) x kadar Hb yang diinginkan (gr/dl) x 2,5. Preparat besi
parenteral dapat menyebabkan limfadenopati regional dan rasa nyeri.

20
2. Transfusi darah
Transfusi darah hanya diberikan pada anemia yang sangat berat atau disertai infeksi yang
dapat mempengaruhi respons terapi. Secara umum diberikan pada penderita dengan Hb< 6
gr/dl, dalam bentuk PRC. Pada anak dengan penyakit yang berat dapat diberikan dengan
kadar Hb lebih tinggi.

Komplikasi
1. Berkaitan dengan anemia :
 Letih, lemah, lesu
 Kemampuan fisik turun
 Gagal jantung
2. Gangguan kognitif, tingkah laku, dan motorik pada bayi dan anak
3. Imunitas turun

Prognosis
Prognosis baik jika penyebab anemia hanya kekurangan besi saja dan diketahui penyebabnya,
serta dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya akan
membaik dengan pemberian preparat besi.
Pencegahan
Para dokter memegang peranan penting dalam mencegah terjadinya defisiensi besi pada bayi
dan anak. Pencegahan primer berupa konseling pada kunjungan rutin untuk memastikan intake
besi yang adekuat, serta pencegahan sekunder meliputi skrining rutin, diagnosis yang cepat, dan
pengobatan defisiensi besi yang tepat.
1. Primer
- Mempertahankan pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
- Tidak memberikan susu sapi sebelum berusia 1 tahun
- Memberikan makanan/sereal tambahan yang difortifikasi besi
- Pemberian vitamin C seperti jeruk, apel saat waktu makan dan minum preparat besi
untuk meningkatkan absorbsi besi serta menghindari bahan yang menghambat absorbsi
besi seperti teh, fosfat dan phytat saat makan.
21
- Memberikan suplementasi besi: Rekomendasi Satgas ADB-IDAI 2011:
Usia (tahun) Dosis besi elemental Lama pemberian

Bayi*: BBLR (<2500 g) 3 mg/kgBB/hari


Usia 1 bulan sampai 2 tahun
Cukup bulan 2 mg/kgBB/hari
Usia 4 bulan sampai 2 tahun

2 – 5 tahun (balita) 1 mg/kgBB/hari 2x/minggu selama 3 bulan


berturut-turut setiap tahun

5 – 12 tahun (usia sekolah) 1 mg/kgbb/hari 2x/minggu selama 3 bulan


berturut-turut setiap tahun

12 – 18 tahun (remaja) 60 mg/hari# 2x/minggu selama 3 bulan


berturut-turut setiap tahun
Ket,: * Dosis maksimum untuk bayi 15 mg/hari, dosis tunggal

# Khusus remaja perempuan ditambah 400µg asam folat

2. Sekunder
- Skrining ADB dilakukan dengan pemeriksaan Hb atau Ht. Waktu yang tepat masih
kontroversial. American Academy of Pediatric (AAP) menganjurkan antara 9-12 bulan,
6 bulan kemudian dan usia 24 bulan. Pada daerah risiko tinggi dilakukan tiap tahun sejak
usia 1 tahun sampai 5 tahun.

5.2 Kejang Demam


Definisi

Kejang demam merupakan bangkitan kejang yang terjadi pada anak berumur 6 bulan sampai
5 tahun yang mengalami kenaikan suhu tubuh (> 38 0C, dengan metode pengukuran suhu
apapun) yang tidak disebabkan proses intracranial.
Kejang demam sederhana adalah kejang demam yang berlangsung kurang dari 15
menit, bersifat umum serta tidak berulang dalam 24 jam. Kejang demam sederhana
merupakan 80% diantara seluruh kejang demam. Sebagian besar kejang demam berlangsung
< 5 menit dan berhenti sendiri.

Kejang demam disebut kompleks jika berlangsung lebih dari 15 menit, bersifat fokal
atau parsial 1 sisi, atau kejang umum yang didahului kejang fokal dan berulang atau > 1 kali
dalam 24 jam. Kejang berulang merupakan kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari dan
diantara 2 bangkitan kejang anak sadar.

Epidemiologi

22
Kejang demam merupakan kelainan neurologis yang terjadi pada 2%-5% populasi anak
berusia 6 bulan sampai 5 tahun. Kejang demam dua kali lebih dari sering terjadi anak laki-
laki dibandingkan dengan anak perempuan.

Etioogi/Faktor risiko

Terdapat interaksi 3 faktor sebagai penyebab kejang demam yaitu :


1. Imaturitas otak dan termoregulator.
2. Lahir premature
3. Intrauterine growth retardation
4. Sering terjadi pada anak usia < 3 tahun
5. Demam, dimana kebutuhan oksigen meningkat
6. Riwayat kejang demam pada keluarga
7. Predisposisi genetik : > 7 lokus kromosom (poligenik, autosomal dominan)
8. Risiko kejang demam meningkat beberapa hari setelah pemberian vaksin, seperti
vaksin DPT, Hib
9. Defisiensi mikronutrien seperti defisiensi zat besi, zinc, vitamin B12m asam folat,
kalsium, magnesium

Patogenesis

Sel neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam (lipid) dan
permukaan luar (ion). Dalam keadaan normal, membrane sel dapat dilalui dengan mudah
oleh ion kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida. Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan ion natrium rendah
sedangkan diluar sel neuron terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion
didalam dan diluar sel maka terdapat perbedaan potensial membran dari sel neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K
ATP-ase yang terdapat dipermukaan sel. Keseimbangan potensial membraneini dapat diubah
oleh adanya perubahan konsentrasi ion diruang ekstraseluler, rangsangan yang datang
mendadak, dan perubahan patofisiologi dari membran sendiri.
Demam merupakan gejala yang paling sering pada anak dengan penyebab berupa
infeksi dan non infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi, dalam hal ini adalah
infeksi saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna pada anak-anak. Pada keadaan
demam kenaikan suhu 10C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10%-15% dan
kebutuhan oksigen akan meningkat 20%.
Sirkulasi otak pada anak usia 3 tahun mencapai 65% dari seluruh tubuh,
dibandingkan pada orang dewasa yag hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu
dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membrane sel neuron dan dalam waktu singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion natrium melalui membrane tersebut, dengan akibat
terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian besarnya sehingga dapat

23
meluas ke seluruh sel maupun ke sel tetangganya melalui bantuan neurotransmitter dan
terjadilah kejang.
Manifestasi Klinis
Umunya kejang muncul pada hari pertama demam. Kejang secara umum muncul saat suhu
tubuh ≥39 0C. Umumnya kejang demam berlangsung singkat, kejang rerata berlangsung
selama 4 menit, berupa serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral. Seringkali kejang
berhenti sendiri. Setelah kejang berhenti anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak,
tetapi setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa defisit
neurologis. Kejang dapat diikuti oleh hemiparesis sementara (hemiparesis Todd) yang
berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Kejang unilateral yang lama dapat diikuti
oleh hemiparesis yang menetap. Bangkitan kejang yang berlangsung lama lebih sering
terjadi pada kejang demam yang pertama.
Diagnosis
Anamnesis
- Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran, lama kejang
- Suhu sebelum/saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval, keadaan anak pasca
kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf pusat (gejala Infeski
saluran napas akut/ISPA, infeksi saluran kemih/ISK, otitis media akut/OMA, dll)
- Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam keluarga,
- Singkirkan penyebab kejang yang lain (misalnya diare/muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan hipoksemia,
asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemia)

Pemeriksaan fisik
- Kesadaran: apakah terdapat penurunan kesadaran, Suhu tubuh: apakah terdapat
demam
- Tanda rangsang meningeal : Kaku kuduk, Bruzinski I dan II, Kernique
- Pemeriksaan nervus cranial
- Tanda peningkatan tekanan intrakranial : ubun ubun besar (UUB) membonjol , papil
edema
- Tanda infeksi di luar SSP : ISPA, OMA, ISK, dll
- Pemeriksaan neurologi: tonus, motorik, reflex fisiologis, reflex patologis.
Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi untuk mencari penyebab
demam atau kejang. Pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan secara rutin pada
kejang demam, namun dapat dikerjakan untuk menevaluasi sumber infeksi yang
menjadi penyebab demam. Pemeriksaan dapat meliputi darah perifer lengkap,
gula darah, elektrolit, urinalisis dan biakan darah, urin atau feses.
- Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan/menyingkirkan

24
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil seringkali sulit untuk menegakkan atau
menyingkirkan diagnosis meningitis karena manifestasi klinisnya tidak jelas. Jika
yakin bukan meningitis secara klinis tidak perlu dilakukan pungsi lumbal. Pungsi
lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami
kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik.
- Pungsi lumbal dianjurkan pada :
o Terdapat tanda dan gejala ransang meningeal
o Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik klinis
o Dapat dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapatkan antibiotik (antibiotik dapat mengaburkan
tanda dan gejala meningitis)
- Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) tidak direkomendasikan pada kejang
demam. EEG masih dapat dilakukan pada kejang demam yang tidak khas,
misalnya : kejang demam kompleks pada anak berusia lebih dari 6 tahun atau
kejang demam fokal.
- Pencitraan (CT-Scan atau MRI kepala) dilakukan hanya jika ada indikasi,
misalnya : Kelainan neurologi fokal yang menetap, misalnya hemioaresis atau
paresis nervus kranialis
- Terdapat tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun, muntah
berulang, UUB membonjol, paresis nervus VI, edema papil).

Tatalaksana

Medikamentosa

Pengobatan medikamentosa saat kejang dapat dilihat pada algoritme tatalaksana kejang.

25
Saat ini lebih diutamakan pengobatan profilaksis intermiten pada saat demam berupa :
- Antipiretik
Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali dapat diberikan 4-6 jam atau ibuprofen 5-10
mg/kgBB/kali, 3-4 kali sehari.
- Anti konvulsan
Antikonvulsan dapat diberikan secara intermiten atau rumatan.
Pemberian antikonvulsan intermiten
Antikonvulsan intermiten merupakan pemberian antikonvulsan yang diberikan hanya
pada saat demam. Pemberian pada kejang demam dengan faktor resiko:
- Kelainan neurologi berat, misalnya palsi serebral
- Berulang 4 kali atau lebih dalam 1 tahun
- Usia < 6 bulan
- Kejang terjadi pada suhu tubuh < 39 0C
- Pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat
Obat yang dapat diberikan adalah diazepam oral 0,3mg/kg/kali per oral atau rektal
0,5mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan < 12 kg dan 10mg untuk berat badan ≥ 12 kg) 3
kali per hari. Dosis maksimum diazepam 7,5mg/kali. Pemberian selama 48 jam pertama
demam.
Pemberian antikonvulsan rumat
Pemberian antikonvulsan rumat hanya pada kasus selektif dan jangka pendek.
Pengobatan rumat hanya diberikan pada kondisi:
- Kejang fokal, kejang fokal yang menjadi umum
- Kejang lama > 15 menit
- Kelainan neurologi yang nyata sebelum/sesudah kejang : hemiparesis, palsi
serebral, hidrosefalus.
Obat untuk pengobatan rumat : fenobarbital atau asam valproat efektif dalam menurunkan
risiko berulangnya kejang. Obat pilihan adalah asam valproat. Fenobarbital (dosis 3-4
mg/kgBB/hari dibagi 1-2 dosis) atau asam valproat (dosis 15-40 mg/kgBB/hari dibagi 2
dosis). Pemberian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan
kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Pengobatan diberikan selama 1 tahun. Penghentian
tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan pada saat anak tidak demam.
Prognosis
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah :

26
- Riwayat kejang demam dalam keluarga
- Usia kurang dari 12 bulan
- Suhu tubuh < 39 0C saat kejang
- Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang
- Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks
Jika seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah
80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang
demam hanya 10%- 15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada
tahun pertama.
Faktor risiko terjadinya epilepsi adalah :
- Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam pertama.
- Kejang demam kompleks
- Riwayat epielpsi pada orang tua atau saudara kandung
- Kejang demam sederhana yang berulang 4 episode atau lebih dalam satu tahun
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4%-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut meningkatkan kemungkinan
epilepsi menjadi 10%-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak dapat dicegah denagn
pemberian obat rumat pada kejang demam.

Referensi

1. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, dkk. Rekomendasi penatalaksanaan kejang


demam. UKK Neurologi IDAI.2016

2. Ismael S, Pusponegoro HD, Widodo DP, dkk. Rekomendasi penatalaksanaan status


epileptikus. UKK Neurologi IDAI.2016
3. Shinnar S, Febrile seizures. Pediatric neurology principles and practice. Editor
: Kenneth F. Swaiman.5 th edition. 2012
4. Mikati MA, Seizure in Childhood.Nelson textbook of pediatrics. Editor :
Kliegman, 19th edition. 2011
5. Leung AK, Hon KL, Leung TN. Febrile seizures: an overview. Drugs in context.
2018; 7
6. Natsume J, et al. New Guidelines for management of febrile seizures in Japan.
Elsevier. 2016
7. Taslim S. Soetomenggolo. Kejang demam. Buku ajar neurologi. Editor:
Soetomenggalp TS, Ismael S. Tahun 1999

27
5.3 Demam Tifoid

Definisi
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di Indonesia yang disebabkan oleh
infeksi sistemik Salmonella typhi.
Epidemiologi
Prevalens 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun, kejadian meningkat
setelah umur 5 tahun.

Etiologi dan patofisiologi


Sembilan puluh enam persen (96%) kasus demam tifoid disebabkan S. typhi, sisanya
disebabkan oleh S. paratyphi. Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati
lambung kuman mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga
mencapai folikel limfoid usus halus (plaque Peyeri). Kuman ikut aliran limfe
mesenterial ke dalam sirkulasi darah (bakteremia primer) mencapai jaringan RES
(hepar,lien,sumsum tulang untuk bermultiplikasi). Setelah mengalami bakteremia
sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra
intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari.

Diagnosis

Anamnesis

- Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi
- Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri
perut, diare atau konstipasi, muntah, perut kembung
- Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus

Pemeriksaan fisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah
kotor dan bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai
daripada splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.

Pemeriksaan penunjang
Darah tepi perifer:
- Anemia, pada umumnya terjadi karena karena supresi sumsum tulang, defisiensi Fe,
atau perdarahan usus
- Leukopenia, namun jarang kurang dari 3000/ul

28
- Limfositosis relative
- Trombositopenia, terutama pada demam tifoid berat

Pemeriksaan serologi:
- Serologi Widal: kenaikan titer S. typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4 kali titer fase
akut ke fase konvalesens
- Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
Pemeriksaan biakan Salmonela:
- Biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari perjalanan penyakit
- Biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4
Pemeriksaan radiologik:
- Foto toraks, apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia
- Foto abdomen, apabila diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus
atau perdarahan saluran cerna.
- Pada perforasi usus tampak:
Distribusi udara tak merata
Airfluid level
Bayangan radiolusen di daerah hepar
Udara bebas pada abdomen
Tata laksana
- Antibiotik
- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4
dosis selama 10-14 hari
- Amoksisilin 100 mg/kgbb/hari, oral atau intravena, selama 10 hari
- Kotrimoksasol 6 mg/kgbb/hari, oral, selama 10 hari
- Seftriakson 80 mg/kgbb/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari, selama 5
hari
- Sefiksim 10 mg/kgbb/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari
- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran
Deksametason1-3mg/kgbb/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran membaik
Suportif
- Demam tifoid ringan dapat dirawat di rumah
- Tirah baring
- Isolasi memadai
- Kebutuhan cairan dan kalori dicukupi
Indikasi rawat
29
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.
- Cairan dan kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan cairan dan
kalori diberikan melalui sonde lambung
- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan dengan
kadar natrium rendah
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik
- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan O2
- Pelihara keadaan nutrisi
- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit
- Antipiretik, diberikan apabila demam > 39°C, kecuali pada pasien dengan riwayat
kejang demam dapat diberikan lebih awal
- Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi
usus
Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori cukup
Pemantauan
Terapi
- Evaluasi demam dengan memonitor suhu.Apabila pada hari ke-4-5 setelah pengobatan
demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah komplikasi, sumber
infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau kemungkinan salah menegakkan
diagnosis.
- Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.

Penyulit
- Intraintestinal: perforasi usus atau perdarahan saluran cerna: suhu menurun, nyeri
abdomen, muntah, nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun sampai menghilang,
defance musculare positif, dan pekak hati menghilang.
- Ekstraintestinal: tifoid ensefalopati, hepatitis tifosa, meningitis, pneumonia, syok septik,
pielonefritis, endokarditis, osteomielitis, dll.

REFERENSI
1.Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari H. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis.Jakarta. Edisi kedua : 2010. 338-57

30
5.4 Hiperbilirubinemia (Ikterus Neonatorum)

Pendahuluan
Icterus, jaundice, atau “sakit kuning” adalah warna kuning pada sklera mata, mukosa dan
kulit oleh karena peningkatan kadar bilirubin dalam darah (hiperbilirubinemia) yang
selanjutnya menyebabkan peningkatan bilirubin dalam cairan luar sel (extracelluler fluid).
Istilah jaundice berasal dari bahasa prancis jaune yang artinya kuning, dan warna kuning
tersebut adalah merupakan gejala dari suatu penyakit primer yang masih harus ditetapkan
diagnosisnya setelah dilakukan serangkaian pemeriksaan yang diperlukan.

Dalam keadaan normal kadar bilirubin dalam darah tidak melebihi 1 mg/dL
(17umol/L) dan bila kadar bilirubin melebihi 1,8 mg/dL (30 umol/L) akan menimbulkan
ikterus. Warna kkuning meliputi kulit wajah / kepala menunjukkan bahwa kadar bilirubin
dalam serum adalah 5 mg/dL, bila telah mencapai pertengahan abdomen adalah 15 mg/dL,
dan bila warna kuning telah mencapai telapak kaki maka kadarnya adalah 20
mg/dL.ikterus perlu dibedakan dengan warna kuning yang tedapat pada hanya pada
kulit, telapak tangan dan kaki serta tidak pada sklera adalah disebabkan oleh karena
karotenemia dan keadaan ini disebut pseudoikterus yang tidak bersifat patologik.

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena yang paling sering ditemukan


pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan yang kembali dirawat dalam
mingggu pertama kehidupan disebabkan oleh karena keadaan ini.2 Kadar bilirubin pada
semua neonatus, cukup bulan ataupun kurang bulan, akan mengalami peningkatan pada
beberapa hari pertama kelahiran. 3 Walaupun sebagian besar hiperbilirubinemia
merupakan kondisi yang tidak berbahaya, tapi pada kadar yang sangat tinggi bisa merusak
susunan syaraf pusat. Walaupun demikian, penelitian terakhir menemukan bahwa bilirubin
bukan zat yang sama sekali tidak berguna. Bilirubin adalah antioksidan yang kuat dan juga
suatu peroxyl-scavenger, yang mungkin melindungi neonatus dari toksisitas oksigen di hari
pertama.

Definisi
Ikterik neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebihan.
Ikterus secara klinis akan ulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubn darah 5-7
mg/dL.

Etiologi
Ikterik neonatorum disebabkan oleh karena akumulasi pigmen bilirubin (4Z,15 Z bilirubin
IX alpha) yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Isomer bilirubin ini berasal
dari degradasi heme yang merupakan komponen hemoglobin mamalia.

Epidemiologi
31
Enam puluh lima persen neonatus menjadi kuning dengan kadar bilirubin total (total
serum bilirubin/TSB) lebih dari 6 mg/dL. Lebih kurang 8-10% neonatus mengalami hiper-
bilirubinemia eksesif (TSB > 17 mg/dL) dan pada 1-2% neonatus, kadar TSB mencapai
lebih dari 20 mg/dL. Kadar bilirubin yang ekstrim tinggi dan potensial berbahaya, jarang
ditemukan. Pada 1 dari 700 neonatus, kadar bilirubin meningkat sampai > 25 mg/dL, dan
hanya 1 dari 10.000 yang mempunyai TSB > 30 mg/dL. Kadar bilirubin terlalu tinggi
bisa menimbulkan kern-ikterik yang ditandai dengan kerusakan pada ganglia basal dan
batang otak. Kernikterik timbul bila terjadi deposit bilirubin tidak terkonjugasi pada basal
ganglia dan jarang terjadi pada neonatus cukup bulan kecuali konsentrasi bilirubin tidak
terkonjugasi > 25 mg/dL. Bayi dengan berat badan lahir sangat rendah dan sangat
prematur mempunyai risiko kernikterus pada kadar bilirubin tidak terkonjugasi yang lebih
rendah.

Patogenesis
Untuk dapat memahami patogenesi ikterik neonatum maka harus dipahami terlebih dahulu
metabolisme bilirubin sebagai kunci utama penyebab ikterik neonatorum. Metabolisme
terbentuknya bilirubin yaitu diawali dengan membran eritrosit atau sel darah merah
(SDM) yang menjadi rapuh dan kemudian pecah, disebut hemolisis. Hemolisis terjadi
secara fisiologik bila SDM telah mencapai umur 100-120 hari. Bila sebelum umur
tersebut SDM pecah maka hemolisis adalah bersifat patologi yaitu disebabkan oleh
penyakit tertentu.

Proses hemolisis tersebut terjadi di sistem retikuloendotelial, kemudian isi sel


termasuk hemoglobin (Hb) berada disirkulasi. Makrofag memfagositosis Hb dan
memecahnya menjadi heme dan globin. Globin merupakan protein dan mengalami
degradasi menjadi asam amino yang tidak mempunyai kaitan dengan ikterus, sedangkan
heme mengalami reaksi oksidasi atau katalis oleh enzim mikrosom oksigenase, maka
heme menghasilkan biliverdin (pigmen berwarna hijau), zat besi dan karbondioksida.
Fase beikutnya ialah bililverdin mengalami reaksi reduktasi oleh enzim sitosolik reduktasi
sehingga biliverdin menjadi pigmen tetrapirol berwarna kuning disebut bilirubin. Bilirubin
fase ini adalah unconjugated, free, atau indirect (rekasi Van den bergh tidak langsung),
bersifat tidak larut dalam air dan berada dijaringan lemak.
Selain berasal dari SDM (80%) bilirubin juga ada yang berasal dari sumber
hme yang lain (20%) yaitu dari mioglobin otot dan sitokrom. Bilirubin tidak terkonjugasi
berikatan dengan protein albumin serum lalu beredar dan tiba di hepar kemudian
mengalami konjugasi dengan asam glukuronik oleh enzim transferase UDP-glukuronil
membentuk bilirubin diglukuronik atau conjugated bilirubin yang disebut juga sebagai
bilirubin direk (reaksi van den Bergh langsung) dengan sifat larut dalam air.

Bilirubin konjugasi diekskresi dari hepar ke duktus biliaris menjadi bagian dari
empedu, kemudian bakterik usus merubahnya menjadi urobilinogen yang kemudian diubah
lebih lanjut menjadi sterkobilinogen lalu menjadi sterkobilin yang dikeluarkan bersama
32
tinja. Sebagian urobilinogen diserap kembali oleh usus masuk sirkulasi sampai diginjal
kemudian mengalami oksidasi dan ekskresinya melalui urin dalam bentuk urobilin.
Sterkobilin dan urobilin memberi warna masing-masing pada tinja dan urin.

Patofisologi
Ikterus bersifat fisiologik hanya terdapat pada bayi, tetapi ikterus pada bayi tidak
selalu bersifat fisiologik, jadi mungkin saja ikterik tersebut adalah patologik. Yang
memenuhi sarat sebagai ikterus fisiologik ialah bila ikterus timbul pada bayi berumur 2-3 /
3-4 hari (bayi cukup/kurang bulan) dan ikterus hilang pada umur 4-5 / 7-9 hari (bayi cukup
/ kurang bulan), kadar tertingggi bilirubin indirek ialah 10-12 mg/dL pada bayi cukup
bulan dan 15 mg/dL pada bayi kurang bulan, masing – masing tercapai pada umur 2-3 hari
dan 6-8 hari, dengan rerata peningkatan < 5 mg/dL/hari.
Sifat – sifat ikterus yang tidak sesuai dengan batasan tersebut adalah tergolong
sebagai ikterus patologik dan dapat dijumpai pada berbagai penyakit. Mekanisme
terjadinya ikterus tersebut adlah bervariasi sesuai dengan jenis penyakitnya masing-
masing, yaitu berupa hemolisis, enzim hepar yang belum cukup mampu merubah bilirubin
indirek menjadi bilirubin direk, defisiensi enzim, kerusakan sel hepar ileh karena infeksi,
intoksikasi obat atau bahan kimia, keracunan, hambatan aliran disaluran intrahepatal dan
ekstrahepatik oleh batu atau atresia biliaris.
Ikterus neonatorum pada minggu pertama kehidupan dapat terjadi akibat
meningkatknya prioduksi bilirubin akibat proses turn over sel darah merah yanng cepat dan
pendeknya usia sel darah merah. Disamping itu, ikterus juga dapat terjadi akibat
menurunnya ekskresi bilirubin akibat redahnya ambilan serta konjugasi dihati, dan
peningkatan sirkulasi enterohepatik. Ekskresi bilirubin mengalami perbaikan setelah usia 1
minggu.

Penyebab Hiperbilirubinemia Neonatal


Hiperbilirubinemia dapat disebabkan proses fisiologis atau patologis atau juga akibat
kedua- duanya.Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI dan
bayi kurang bulan. Hal ini disebabkan beberapa faktor antara lain frekuensi menyusui
tuang tidak adekuat, hambatan ekskresi bilirubin hepatik dan reabsorbsi bilirubin di usus
halus.
Hiperbilirubinemia bisa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
A. Hiperbilirubinemia Indirek (Unconjugated).
Ini merupakan sebagian besar hiperbilirubinemia yang terjadi pada neonatus,
didefinisikan sebagai kadar bilirubin indirek > 10 mg/dL. Hiperbilirubinemia indirek
disebabkan oleh berbagai hal yang menyebabkan peningkatan produksi bilirubin (
seperti proses hemolitik, policytemia, perdarahan dll), gangguan pada proses
transportasi, gangguan konjugasi di hati, serta peningkatan sirkulasi enterohepatik.

33
Beberapa faktor juga berperan dalam hiperbilirubinemia indirek, seperti perbedaan ras,
prematuritas, serta pemberian ASI (breast feeding dan breast-milk jaundice). Tidak
semua hiperbilirubinemia indirek ini patologis, sebagian besar justru bersifat fisiologis
dan menghilang sendiri setelah usia 1 minggu.
B. Hiperbilirubinemia Direk (Conjugated).
Didefinisikan sebagai kadar bilirubin direk lebih dari 1,5-2 mg/dL atau > 10-20% TSB.
Hal ini merupakan tanda kerusakan hepatobilier, berupa gangguan pada pengeluaran
bilirubin direk dari hati (kolestasis), karena berbagai sebab dari dalam dan luar hati
seperti infeksi atau gangguan pada saluran bilier. Hiperbilirubinemia direk terjadi
pada sebagian kecil neonatus dan tidak pernah fisiologis.

Ikterik Fisiologis dan Ikterik Patologis pada Neonatus


A. Ikterik Fisiologis
Terdapat beberapa faktor yang menimbulkan ikterik pada neonatus, diantaranya
aktifitas UDPGT rendah, sel darah merah lebih banyak, intestinal flora belum ada,
motilitas usus rendah dan peningkatan siklus enterohepatik. Motilitas usus yang
lambat, menyebabkan stasis bilirubin direk di dalam usus, sedangkan β-glucoronidase
yang terdapat di mukosa usus akan melepaskan ikatan pada molekul glucoronide dan
merubah kembali bilirubin menjadi indirek untuk kemudian diserap lagi ke dalam
darah (siklus entero-hepatik).
Essensial untuk diagnosis dan tampilan klinis ikterik fisiologis antara lain:
- Kuning terlihat setelah usia 24 jam.
- Peningkatan TSB < 5 mg/dL per hari.
- Kadar puncak bilirubin ditemukan pada hari ke 3-5, dengan TSB tidak melebihi 15
mg/dL
- Ikterik menghilang setelah 1 minggu pada bayi cukup bulan dan 2 minggu pada
bayi kurang bulan.
B. Ikterik patologis
Skema berikut memperlihatkan berbagai masalah yang mungkin menyebabkan
peningkatan kadar bilirubin pada neonatus.

Evaluasi dan tatalaksana


Saat ini pada umumnya bayi telah dipulangkan pada usia 24-48 jam (terutama pada partus
spontan), pada saat ikterik fisiologis mencapai puncaknya dan sebelum ASI mencukupi.
Hal ini menyebabkan peningkatan bilirubin bisa terjadi di rumah, tidak terpantau oleh
tenaga kesehatan. Berikut ini adalah rekomendasi dari AAP untuk mencegah terjadinya
hiperbilirubinemia berat pada bayi dengan gestasi >35 minggu:

34
a. Dukung dan sukseskan pemberian ASI. Rekomendasi : Dokter harus
menyarankan supaya ibu menyusui bayinya minimal 8-12 kali per-hari selama
beberapa hari pertama.
b. Siapkan protokol di ruang rawat neonatus untuk identifikasi dan evaluasi
hiperbilirubinemia. Berikut adalah protokol dari American Academy of Pediatrics.
c. Periksa kadar bilirubin total (TSB) atau kadar bilirubin transkutaneus pada
neonatus yang mengalami kuning dalam 24 jam pertama.
d. Pahami bahwa perkiraan visual derajat kuning pada bayi potensial salah, terutama
pada bayi yang berkulit gelap.
e. Interpretasikan kadar bilirubin yang didapatkan dengan umur bayi dalam jam (lihat
gambar 1)
f. Pahami bahwa pada bayi dengan gestasi di bawah 38 minggu, terutama yang
diberikan ASI eksklusif, mempunyai risiko lebih tinggi terhadap
hiperbilirubinemia sehingga membutuhkan pengamatan yang lebih ketat.
g. Lakukan penilaian sistematik terhadap semua bayi yang akan dipulangkan
terhadap risiko hiperbilirubinemia berat.
h. Terangkan kepada orangtua secara verbal dan tertulis informasi tentang kuning
pada bayi baru lahir.
i. Siapkan follow up yang sesuai dengan waktu bayi dipulangkan dan penilaian
risiko pada bayi tersebut.
j. Tatalaksana neonatus dengan terapi sinar atau transfusi tukar, sesuai dengan
indikasi

35
Gambar 1 : Pembagian risiko hiperbilirubinemia pada bayi sehat > 35 minggu
berdasarkan umur dalam jam. Zona risiko tinggi berada di persentil 95, zona
intermediate di persentil 75 dan risiko rendah di persentil 40. (Dari Bhutani VK, Johnson
L, Sivieri EM: Predictive ability of a predischarge hour-specific serum bilirubin for
subsequent significant hyperbilirubinemia in

Kesimpulan
Enam puluh persen bayi cukup bulan akan mengalami hiperbilirubinemia. Beberapa
faktor yang menimbulkan ikterik pada neonatus, diantaranya aktifitas UDPGT rendah,
sel darah merah lebih banyak, intestinal flora belum ada, motilitas usus rendah dan
peningkatan siklus enterohepatik. Walaupun sebagian besar hiperbilirubinemia merupakan
kondisi yang tidak berbahaya, tapi pada kadar yang sangat tinggi bisa merusak susunan
syaraf pusat.

Terdapat dua jenis hiperbilirubinemia, indirek dan direk. Terbanyak pada


neonatus adalah hiperbilirubinemia indirek.

Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium dan dianjurkan untuk


pemeriksaan transcutaneous bilirubinometry (TcB) yang non-invasif. Penatalaksanaan
yang diberikan antara lain terapi sinar dan transfusi tukar sesuai dengan panduan, serta
beberapa farmakoterapi.

Referensi
1. Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Sarosa GI,
Usman A, penyunting. Buku ajar neonatologi edisi pertama. Jakarta. Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2008. Pp:148-69.
2. American Academy of Pediatrics Subcommittee on Hyperbilirubinemia: Management
of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks of gestation. Pediatrics
2004;114:297–
316.
3. Gomella TL. Hyperbilirubinemia. In: Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG.
Neonatology: Management, procedures, On-call problems, diseases and drugs. 7th
ed. United States. McGraw- Hill Education. 2013. Pp.392-408.
4. Subcomittee on Hyperbilirubinemia. Management of Hyperbilirubinemia in the
newborn infant 35 or more weeks of Gestation : Clinical practice guideline.
Pediatrics.2004;114;297

36
5.5 Syok Anafilaksis

Definisi
Secara harafiah, anafilaktik berasal dari kata ana = bertentangan/ berlawanan/ lawannya;
phylaxis = perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi
(prophylaxis) justru merusak jaringan, dengan kata lain bertentangan dari pada melindungi
(anti-phylaxis = anaphylaxis). Istilah ini pertama kali digunakan oleh Richet dan Portier
pada tahun 1902 untuk menerangkan terjadinya renjatan yang disusul dengan kematian
pada anjing yang disuntik ekstrak tentacle bintang laut, saat suntikan ini diulangi 2-3
minggu kemudian, anjing tersebut bukannya kebal (terlindungi) namun sakit dan
meninggal.

Anafilaksis merupakan keadaan suatu rekasi hipersensitivitas sistemik yang berat


yang mengancam kehidupan. Gejala anafilaksis timbul segera setelah penderita terpajan oleh
alergen atau faktor pencetus lainnya. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi
disebut sebagai reaksi anafilaksis. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik
dinamakan reaksi anafilaktoid. Karena baik gejala yang timbul mau pun pengobatannya
tidak dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis.

Etiologi
Penyebab anafilaksis sangat beragam, diantaranya adalah antibiotik, ekstrak allergen, zat
diagnostik, bisa (venom), produk darah, anestetikum local, enzim, hormone, dan lain-lain.
Tabel dibawah ini menjelaskan penyebab anafilaksis berdasarkan ada atau tidaknya reaksi
imunologik, yaitu:
Tabel 1 etiologi syok anafilaktik

37
Manifestasi klinis
Secara klinis gejala anafilaksis dapat berupa reaksi lokal dan reaksi sistemik. Reaksi lokal
terdiri dari urtikaria dan angioedem pada daerah yang kontak dengan antigen penyebab.
Reaksi lokal dapat berat tapi jarang menyebabkan hal fatal. Reaksi sistemik terjadi
pada organ target seperti traktus respiratorius, sistem kardiovaskular, traktus
gastrointestinal, dan kulit. Reaksi ini biasanya terjadi dalam waktu 30 menit setelah kontak
dengan penyebab.

Manifestasi klinik syok Anafilaksis masih dibagi dalam derajat berat ringannya, yaitu
sebagai berikut:
a. Ringan
Reaksi sistemik ringan diawali dengan gejala rasa gatal dan panas di bagian peerifer
tubuh, biasanya disertai perasaan penuh dalam mulut dan tenggorokan. Gejala
permulaan ini dapat disertai hidung tersumbat, pembengkakan periorbita dan dapat
juga disertai keluarnya air mata dan bersin. Gejala ini biasanya timbul 2 jam setelah
kontak dengan antigen penyebab.
b. Sedang
Gejala reaksi sistemik sedang sama dengan gejala yang timbul pada reaksi sistemik
ringan namun pada reaksi sistemik sedang juga tedapat bronkospasme dan atau edema
jalan nafas, dispneu, batuk, mengi, dapat juga terjadi angioedem, urtikaria umum,
mual, dan muntah. Penderita biasanya mengeluhkan rasa gatal dan panas di seluruh
tubuh.
c. Berat
Timbul mendadak dengan masa awitan yang cepat. Gejala yang timbul awalnya
seperti reaksi sitemik ringan dan sedang, kemudian dalam beberapa menit timbul
bronkospasme yang hebat dan edema laring, stridor, dispneu, sianosis, dan kadangkala
terjadi henti nafas. Dapat terjadi kejang umum karena perangsangan sistem saraf pusat
atau karena terjadinya hipoksia. Kolaps kardiovaskular menyebabkan hipotensi, aritmia
jantung, syok, dan koma.

Tatalaksana Syok Anafilaktik


Upaya penatalaksanaan syok anafilaktik dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu :
1. Posisikan pasien
Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari kepala
untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung dan
menaikkan tekanan darah. Posisi terlentang dengan kaki lebih tinggi mungkin membantu,
kecuali pada kondisi terlarang, misalnya dispnea atau emesis. Konsultasi dini dengan
anestesi sangatlah dianjurkan.
38
2. Penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru,
yaitu:
A. Airway (membuka jalan napas)

Jalan napas harus dijaga tetap bebas dan dipastikan tidak ada sumbatan sama sekali.
Untuk penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh
ke belakang menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan ekstensi kepala,
penarikan mandibula ke anterior, dan membuka mulut. Pada syok anafilaktik yang
disertai udem laring, dapat terjadi obstruksi jalan napas total atau parsial.
Pertimbangkan intubasi elektif awal untuk pasien dengan suara serak yang signifikan
dan edema lingual atau orofaringeal. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi,
atau trakeotomi. Pada pasien pediatri, intubasi mungkin secara teknis sulit,
menambah juga beratnya edema. Oleh karena itu, intubasi dengan sedasi dapat
dibenarkan.
B. Breathing support
Pasien harus ditempatkan pada monitor kardiopulmonari terus menerus, termasuk
oksimetri. Jika jalan napas sudah memadai, oksigen harus diberikan melalui
masker wajah nonrebreather dengan dosis 12 sampai 15 L / menit pada awalnya,
kemudian dikurangi sesuai dengan kebutuhan.
C. Circulation support
Cairan kristaloid harus diberikan lebih awal, sebelum pemberian obat anafilaktik.
Pada pasien anak, sebuah bolus cepat 20 ml / kg harus diberikan dan diulang
seperlunya, sedangkan pada dewasa dapat diberikan 500-1000 ml. Pemberian cairan
akan meningkatkan tekanan darah dan curah jantung serta mengatasi asidosis
laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan koloid tetap merupakan
perdebatan didasarkan atas keuntungan dan kerugian mengingat terjadinya
peningkatan permeabilitas atau kebocoran kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan
larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3–4 kali dari perkiraan kekurangan
volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan terdapat
kehilangan cairan 20–40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan
volume plasma. Tetapi, perlu dipikirkan juga bahwa larutan koloid plasma protein
atau dextran juga bisa melepaskan histamin.
3. Pemberian epinefrin
Administrasi langsung dengan dosis epinefrin yang memadai sangat penting untuk
mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien. Meskipun epinefrin memiliki indeks
terapeutik yang sempit (rasio risiko-manfaat), epinefrin mempunyai efek a1, b1, b2
agonis yang penting dalam membalikan gejala anafilaksis. Efek agonis a1 penting
39
terhadap resistensi pembuluh darah perifer meningkat, yaitu dengan menciptakan
vasokonstriksi dan mengurangi edema mukosa. Peningkatan inotropi dan kronotropi
merupakan efek agonis b1. Stimulasi dari reseptor b2 menyebabkan bronkodilatasi
dan penurunan pelepasan mediator sel mast dan basofil.
Epinefrin konsentrasi 1:1000 digunakan untuk pemberian secara intramuskular
dengan dosis 0,01 mg / kg (0,01 ml / kg), dengan dosis maksimum 0,3 mg sekitar (0,3
ml). Jika dosis awal tidak efektif, mungkin harus diulang pada interval 5 hingga 15
menit. Solusi 1:1000 tidak diindikasikan untuk penggunaan intravena.
Jika hipotensi berlanjut, meskipun diberikan epinefrin, resusitasi cairan agresif,
maka epinefrin intravena harus diberikan. Pemberiannya adalah dengan solusi
epinefrin 1:10.000 dengan dosis 0,01 mg / kg (0,1 ml / kg), dengan dosis maksimal 1
mg. Infus epinefrin terus menerus mungkin diperlukan untuk mempertahankan tekanan
darah. Jika hipotensi tetap tidak teratasi, vasopresin atau vasopressor potensial lainnya
(agonis a1) mungkin lebih efektif.
4. Obat tambahan
Pilihan kedua dari epinefrin atau terapi tambahan diantaranya adalah termasuk
antihistamin H1 dan H2 dan kortikosteroid. Adalah penting untuk menyadari bahwa
antihistamin memiliki onset yang lambat dan tidak dapat memblokir peristiwa yang
terjadi setelah pengikatan reseptor histamin. Administrasi antihistamin H1 dan H2
dalam kombinasi telah dilaporkan lebih efektif dalam memperbaiki beberapa
manifestasi anafilaksis daripada antihistamin H1 saja. Diphenhydramine, antihistamin
H1 generasi pertama, dapat diberikan parenteral dan paling sering digunakan dalam
pengelolaan anafilaksis

Gambar 1 Algoritma penanganan syok anafilaktik

40
Follow up
Sebuah periode pengamatan diindikasikan bagi semua pasien yang mengalami reaksi
anafilaksis. Reaksi laten dapat terjadi pada 20% pasien dan jarang dapat terjadi pada 72 jam
akhir setelah reaksi awal. Lamanya waktu untuk observasi harus didasarkan pada keparahan
dari reaksi awal, kecukupan pengawasan, ketahanan pasien, dan kemudahan akses ke
perawatan medis. Banyak penulis menyarankan waktu pengamatan dari 6 sampai 8 jam,
namun waktu pengamatan hingga 24 jam dapat dibenarkan untuk beberapa pasien.

Referensi
1. Hari kushartono, Antonius pudijadi. Syok.Buku ajar pediatric gawat darurat
IDAI.2015
2. Oscar Rachman, Myrna soepriyadi, Budi setiabudiman. Anafilaksis. Buku ajar alergi
imunologi IDAI. 2008

5.6 Infeksi Virus Dengue


Definisi
Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh Virus Dengue yang ditransmisikan oleh
nyamuk sebagai vektornya dengan karekteristik penyakit diantaranya seperti demam, sakit
kepala, nyeri otot dan sendi, adanya rash atau petechiae. Beberapa infeksi dapat
menyebabkan demam berdarah dengue (DBD) yang secara cepat dapat menyebabkan
penderita jatuh ke dalam syok, yang disebut sebagai dengue shock syndrome ( DSS ).

Epidemiologi
Istilah haemorrhagic fever di Asia Tenggara pertama kali digunakan di Filipina pada tahun
1953. Di Indonesia DBD pertama kali dicurigai di Surabaya pada tahun 1968, tetapi
konfirmasi virulogis baru diperoleh tahun 1970. Di Jakarta kasus pertama dilaporkan pada
tahun 1969. Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor, tingkat
penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi meteorologis

Etiologi
Virus Dengue termasuk grup B arthropord borne virus (Arbovirus) dan sekarang dikenal
sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Keempat serotipe virus ini mempunyai hubungan yang erat
secara antigenik. Infeksi dengan salah satu serotipe akan menimbulkan antibodi seumur

41
hidup terhadap serotipe yang bersangkutan tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotipe
lain

Patofisiologi
Virus Dengue masuk ke dalam tubuh melalui gigitan nyamuk dan infeksi pertama kali
mungkin memberi gejala sebagai demam dengue. Reaksi tubuh memberikan reaksi yang
berbeda ketika seseorang mendapat infeksi yang berulang dengan serotipe Virus Dengue
yang berbeda. Hal ini merupakan dasar teori yang disebut the secondary heterologous
infection atau the sequential infection hypothesis. Infeksi virus yang berulang atau re-infeksi
ini akan menyebabkan suatu reaksi anamnestik antibodi, sehingga menimbulkan kompleks
antigen-antibodi (kompleks virus-antibodi) dengan konsentrasi tinggi. Terdapatnya kompleks
virus-antibodi di dalam sirkulasi darah mengakibatkan hal sebagai berikut
1. Kompleks virus-antibodi mengaktivasi sistem komplemen, yang berakibat dilepaskannya
anafilatoksin C3a dan C5a. C5a menyebabkan meningginya permeabilitas dinding
pembuluh darah dan meyebabkan plasma keluar melalui dinding tersebut (plasma
leakege), suatu keadaan yang berperan pada terjadinya syok. Telah terbukti bahwa pada
DSS, kadar C3a dan C5a menurun masing-masing sebanyak 33% dan 89% . Meningginya
nilai hematokrit pada kasus syok diduga akibat kebocoran plasma melaui kapiler yang
rusak ke daerah ekstravaskular seperti rongga pleura, peritonium atau pericardium.

2. Timbulnya agregasi trombosit yang melepaskan ADP akan mengalami metamorfosis.


Trombosit yang mengalami kerusakan metamorfosis ini akan dimusnahkan oleh sistem
retikuloendotelial dengan akibat trombositopenia hebat dan perdarahan. Pada keadaan
terjadinya agregasi, trombosit akan melepaskan amin vasoaktif yang bersifat meninggikan
permeabilitas kapiler dan melepaskan trombosit faktor 3 yang merangsang koagulasi
intravascular.
3. Terjadinya aktivasi faktor Hageman (faktor XII) dengan akibat terjadinya pembekuan
intravaskular yang luas (DIC). Dalam proses aktivasi ini, plasminogen akan menjadi
plasmin yang berperan dalam pembentukan anafilatoksin dan pengahancuran fibrin
menjadi fibrin degradation product. Di samping itu aktivasi ini juga merangsang sistem
kinin yang berperan dalam proses meningginya permeabilitas dinding kapiler

Kriteria diagnostik :
WHO (1997) memberikan pedoman untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue
secara dini, yaitu :
Klinis :
1. Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2 sampai 7 hari
2. Manifestasi perdarahan termasuk sekurangnya uji torniquet positif dan salah satu
bentuk perdarahan lain ( petechiae, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi )
hematemesis dan atau melena
42
3. Pembesaran hati (hepatomegali)
4. Syok yang ditandai nadi kecil dan cepat, tekanan nadi menurun
Laboratorium :
Adanya trombositopenia (100.000/mm3 atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat
dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih dibandingkan dengan nilai hematokrit
sebelum sakit atau pada fase konvalesens.
Ditemukannya 2 atau 3 dari gejala klinis di atas disertai trombositopenia dan
hemokonsentrasi cukup untuk membuat diagnosis klinis demam berdarah dengue.
Sedangkan untuk menentukan berat-ringannya derajat penyakit demam berdarah
dengue, WHO membaginya dalam 4 derajat :
Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan
adalah uji torniquet positif.
Derajat II : derajat I disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
Derajat III : ditemukannya kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi
menurun (< 20 mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan pasien gelisah.
Derajat IV : syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak terukur
Pemeriksaan penunjang
Laboratorium
- Darah perifer, kadar hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit,
peningktan limfosit plasma biru (peningkatan 15% menunjang diagnosis DBD)
- Uji serologis : pemeriksaan IgG dan IgM anti dengue

Pemeriksaan Radiologis
- Pemeriksaan foto dada : dilakukan atas indikasi (1) dalam keadaan klinis ragu-
ragu, (2) pemantauan klinis, sebagai pedoman pemberian cairan
- USG : efusi pleura, ascites, kelainan dinding vesica felea dan vesica urinaria

Penatalaksanaan
Terapi infeksi virus dengue dibagi menjadi :
DBD tanpa syok (derajat I dan II)
- Antipiretik

43
- Mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan
perdarahan
- Cairan intravena diperlukan apabila :
(1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi, dehidrasi
yang dapat mempercepat terjadinya syok
(2) Nilai Ht cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala
DBD disertai Syok ( Sindrom Syok Dengue, derajat III dan IV)
Penggantian volume plasma segera, cairan intravena larutan RL 10-20ml/kgBB secara bolus
diberikan dalam waktu 30 menit. Apabila syok belum teratasi tetap berikan RL 20ml/kgBB
ditambah koloid 20- 30ml/kgBB/jam tidak melebihi 30 ml/kgbb/jam. Apabila setelah
pemberian kedua cairan tresebut syok belum teratasi sedangkan kadar Ht menurun diduga
terjadi perdarahan maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dan kadar Ht
Pemberian cairan 10 ml/kgBB/jam tetap diberikan 1-4 jam paska syok. Volume
cairan diturunkan menjadi 7ml/kgBB, selanjutnya 5ml/kgBB, dan 3ml/kgBb apabila tanda
vital dan diuresis baik. Cairan intravena dapat dihentikan apabila Ht telah turun, jumlah urin 1
ml/kgbb/jam atau lebih merupakan keadaan sirkulasi membaik

Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah dan cross-matching harus dilakukan pada setiap pasien syok,
terutama pad syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Transfusi darah diberikan pada
keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Penurunan hematokrit tanpa parbaikan klinis
walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi merupakan tanda perdarahan. Pemberian
darah segar adalah untuk meningkat konsentrasi sel darah merah. Plasma segar atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan DIC yang menimbulkan perdarahan masif.
Pemeriksaan hematologi seperti PT, PTT dan FDP berguna untuk menentukan berat-
ringannya DIC.

Pemantauan
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur untuk
menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada pemantauan adalah :

 Nadi, tekanan darah, respirasi dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau
lebih sering sampai syok teratasi.
 Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sampai klinis pasien stabil.
 Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan mengenai jenis cairan,
jumlah dan tetesan, untuk mementukan apakah cairan sudah mencukupi.
 Jumlah dan frekuensi diuresis (normal diuresis 2-3 ml/kgbb/jam).

44
Pasien dapat dipulangkan apabila :
Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Nafsu makan membaik
Tampak perbaikan klinis
Hematokrit stabil
Tiga hari setelah syok teratasi
Jumlah trombosit >50.000/mm3
Tidak dijumpai distress pernafasan

Referensi
1. Soedarmo SP, Garna H, Hadinegoro SR, Satari H. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis.Jakarta. Edisi kedua : 2010. 155-81

2. Hadinegoro SR, Moedjito I, Chairulfatah A. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana


Infeksi Virus Dengue pada Anak. Jakarta. Edisi 1 : 2014.

5.7 Hipertensi
Definisi
Batasan hipertensi menurut The Fourth Report on the Diagnosis, Evaluation, and
Treatment of High

Blood Pressure in Children and Adolescent adalah sebagai berikut :1


Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari
persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada pengukuran se-
banyak 3 kali atau lebih
Prehipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik antara
persentil ke-90 dan 95. Pada kelompok ini harus diperhatikan secara teliti adanya faktor
risiko seperti obesitas. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa kelompok ini
memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi hipertensi pada masa dewasa
dibanding-kan dengan anak yang normotensi.
Anak remaja dengan nilai tekanan darah di atas 120/80 mmHg harus dianggap suatu
prehipertensi. Seorang anak dengan nilai tekanan darah di atas persentil ke-95 pada
saat diperiksa di tempat praktik atau rumah sakit, tetapi menunjukkan nilai yang
normal saat diukur di luar praktik atau rumah sakit, disebut dengan white-coat
hypertension. Kelompok ini memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan
yang mengalami hipertensi menetap untuk menderita hipertensi atau penyakit
kardiovaskular di kemudian hari.

45
Hipertensi emergensi adalah hipertensi berat disertai komplikasi yang mengancam jiwa,
seperti ensefalopati (kejang, stroke, defisit
2
fokal), payah jantung akut, edema paru,
aneurisma aorta, atau gagal ginjal akut.

3
Pada Tabel 1 diperlihatkan klasifikasi hipertensi anak di atas usia 1 tahun dan remaja.
Sedangkan nilai tekanan darah berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan
diperlihatkan pada lampiran 1, 2 dan 3.
4
Tabel 1 Klasifikasi Hipertensi pada Anak Usia 1 tahun atau Lebih dan Usia Remaja

Klasifikasi Tekanan Darah Normal Batasan Sistolik dan diastolik kurang dari
persentil ke-90
Prehipertensi Sistolik atau diastolik lebih besar atau
sama dengan presentil ke-90 tetapi lebih
kecil dari persentil ke-95
Hipertensi Sistolik atau diastolik lebih besar atau
sama dengan persentil ke-95
Hipertensi tingkat 1 Sistolik dan diastolik antara presentil ke-95
dan 99 ditambah 5 mmHg
Hipertensi tingkat 2 Sistolik atau diastolik di atas persentil
ke-99 ditambah 5 mmHg

Epidemiologi
Prevalensi dan distribusi hipertensi pada anak sulit digambarkan karena beragamnya
variasi penelitian dalam hal definisi dan teknik pengukuran tekanan darah yang sesuai
dengan standard menurut The Second Task Force Report tahun 1987. Dewasa ini, hampir
15% anak-anak yang berusia antara 6 dan 19 tahun termasuk overweight dibandingkan
hanya 5% pada 30 tahun yang lalu . Seperti diketahui prevalensi hipertensi meningkat
dengan meningkatnya body mass index maka wajarlah apabila prevalensi hipertensi pada
remaja juga meningkat pada akhir-akhir ini. Hal tersebut berarti bahwa akhir- akhir ini
5
prevalensi hipertensi esensial semakin meningkat pada anak-anak terutama pada remaja.

46
Gambar 1. Prevalensi hipertensi menurut persentil indeks masa tubuh5

Etiologi/ Faktor risiko


Hipertensi dapat oleh karena primer (esensial), atau sekunder oleh karena gangguan
medik lain. Umumnya sebagian besar hipertensi pada anak-anak adalah sekunder.
Namun, anak-anak dengan hipertensi esensial akhir-akhir ini cenderung meningkat.
Walaupun demikian penting untuk melakukan eksplorasi penyebab sekunder pada anak-
anak, terutama pada anak-anak yang relatif sangat muda dan pada hipertensi berat.6

Hipertensi esensial
Meskipun penyebab dan mekanisme terjadinya hipertensi esensial belum diketahui
dengan pasti, banyak faktor risiko yang telah diidentifikasi. Berat badan merupakan salah
satu faktor risiko yang kuat, yaitu sekitar 30% anak-anak remaja obese ternyata menderita
hhipertensi. Diet dan exercise, tak tergantung berat badan, juga merupakan faktor risiko
terjadinya hipertensi. Terutama diet tinggi garam dan rendah buah segar, sayur, dan kalsium,
bersamaan dangan gaya hidup yang kurang bergerak, merupakan faktor risiko tekanan darah
tinggi pada dewasa. Suku dan etnik juga berpengaruh dalam hipertensi. Sebagian besar
orang Amerika-Afrika yang tinggal di Amerika Serikat menderita hipertensi
dibandingkan dengan kulit putih, Hispanik, dan penduduk asli Amerika. Beberapa
faktor risiko lain yang ditengarai berperan kuat dalam terjadinya hipertensi esensial antara
6
lain stres dan faktor genetik.

Patogenesis dan Patofisiologi


Faktor yang menentukan tekanan darah adalah cardiac output dan tahanan vaskular perifer.
(tabel 2). Kelainan kelainan yang meningkatkan cardiac output dan tahanan vaskular perifer
akan meningkatkan tekanan darah. Cardiac output dan tahanan vaskular perifer dapat
meningkat secara sendiri-sendiri melalui berbagai mekanisme, tetapi juga dapat terjadi
interaksi diantara keduanya. Sebagai contoh, bila penyebab awalnya mengakibatkan

47
peningkatan cardiac-output, terjadi pula kompensasi peningkatan tahanan vakuler
perifer. Bahkan ketika penyebab awalnya telah menghilang dan cardiac output
kembali normal, tekanan darah masih tetap tinggi karena tahanan vaskular perifer
tetap meningkat. Cardiac output ditentukan oleh stroke volume dan heart rate, meskipun
sebagian besar mekanisme terjadinya hipertensi persisten disebabkan oleh kenaikan
stroke volume dan hanya sedikit sekali karena kenaikan heart rate. Kenaikan stroke volume
biasanya disebabkan oleh meningkatnya volume intravaskuler, baik oleh karena retensi
cairan, atau fluid shift ke dalam ruang intravaskular. Retensi garam berperan besar
meningkatkan cairan intravaskular yang berasal dari intake yang berlebih-lebihan,
peningkatan resorpsi garam dalam tubular ginjal, yang sering dijumpai pada keadaan
aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (gambar 2) dan hiperinsulinemia. Peningkatan
tonus simpatis meningkatkan cardiac output melalui stimulasi pelepasan renin, juga
dengan jalan meningkatkan kontraktilitas jantung dan heart rate. Perubahan tahanan
vaskular perifer dapat berasal dari kelainan fungsional maupun struktural. Peningkatan
angiotensin II, aktivitas simpatis, endothelins (prostaglandin H2; PGH2), penurunan
endothelial relaxation factors (mis. nitric oxide), dan kelainan genetik dalam vascular cell
receptors, kesemuanya meningkatkan kontraktilitas otot polos vaskular, sehingga
meningkatkan tahanan vaskular perifer. Juga diduga bahwa asam urat yang telah diketahui
meningkat pada anak-anak dengan hipertensi, mungkin juga berperan dalam
6
patogenesis dalam perubahan arteriol renal seperti yang terlihat pada hipertensi esensial.
Tabel 2. Patofisiologi hipertensi5
INCREASED CARDIAC OUTPUT INCREASED PERIPHERAL VASCULAR
RESISTANCE
Increased intravascular volume Increased vascular contractility
Salt intake Angiotensin II
Sympathetic activity
Renal sodium resorption
Endothelin[PgH2 )
Increasedrenin/aIdosterone
Endothelial relaxation factors (NO)
Insulin
Structural changes:
Sympathetic tone
Endothelial dysfunction
Increased contractility: Intimal fibrosis
Atherosclerosis
Sympathetic tone

Blood Pressure = Cardiac output x Total peripheral vascular resistance


Cardiac output = Stroke volume x Heart rate

48
Manifestasi Klinis
Sebagian besar pasien hipertensi esensial didiagnosis secara kebetulan pada saat dilakukan
pemeriksaan fisik rutin disekolah atau pada saat pemeriksaan oleh dokter karena keluhan
yang lain. Sebagian besar pasien tidak menunjukkan gejala klinik, tetapi sebagian lainnya
mengeluhkan gejala- gejala sakit kepala, pusing, lemah, atau gejala-gejala kardiovaskular.
Pasien dengan penyebab sekunder biasanya sering menunjukkan gejala yang berhubungan
dengan penyakit penyebabnya (misal hematuria pada glomerulonefritis atau rasa panas dan
penurunan berat badan pada hipertiroidisme) yang lebih menonjol dibandingkan gejala
hipertensinya. 6

Hipertensi krisis
Diluar klasifikasi hipertensi tersebut diatas terdapat suatu keadaan yang disebut
hipertensi krisis, yaitu apabila tekanan darah sistolik atau diastolik berada 50% di atas
tekanan darah 95 persentil. Pada anak di atas 6 tahun secara praktis dipakai kriteria tekanan
darah sistolik > 180 mmHg atau tekanan darah diastolik > 120 mmHg, atau meskipun
tekanan darah < 180/120 tetapi disertai gejala ensefalopati, dekompensi jantung atau
edema papil pada mata.7

Hipertensi krisis dapat terjadi baik pada hipertensi akut misalnya pada glomerulonefritis akut
pasca streptokokus atau pada hipertensi kronik. Hipertensi krisis memerlukan penurunan
tekanan darah yang cepat untuk mencegah kerusakan organ target. Hipertensi krisis
dibagi menjadi 2 yaitu:8
1. Hipertensi emergensi
2. Hipertensi urgensi
Definisi hipertensi emergensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik atau diastolik yang
telah atau dalam proses mengalami kerusakan organ target yaitu otak, jantung, ginjal atau
mata. Oleh karena itu harus diturunkan dalam beberapa menit atau jam. Pada hipertensi
urgensi dapat diturunkan lebih perlahan yaitu beberapa hari. Hipertensi urgensi sewaktu-
waktu dapat progresif menjadi hipertensi emergensi, karena itu harus diturunkan dalam 12-
24 jam.9

Diagnosis
Setelah hipertensi dapat didiagnosis, maka perlu dilakukan anamnesis dan pemeriksaan
fisis secara teliti agar dapat dideteksi adanya penyebab dasar serta kerusakan organ target.
Informasi yang didapat secara akurat melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis dapat
menghindarkan pemeriksaan laboratorium dan radiologis yang tidak perlu dan mahal.6
Evaluasi adanya hipertensi tergantung pada usia anak, beratnya tingkat hipertensi, adanya
kerusakan organ target, dan faktor-faktor risiko jangka panjang yang bersifat individual.11

Evaluasi Awal

49
Evaluasi awal adanya hipertensi dapat dilakukan oleh seorang dokter anak (general
pediatrician). Anamnesis terhadap pasien dan keluarganya serta pemeriksaan fisis harus
diikuti dengan pemeriksaan urin rutin dan kimia dasar (Tabel 2). USG abdomen merupakan
alat diagnostik yang tidak invasif tetapi sangat bermanfaat dalam mengevaluasi ukuran
ginjal, deteksi tumor adrenal dan ginjal, penyakit ginjal kistik, batu ginjal, dilatasi system
saluran kemih, ureterokel, dan penebalan dinding vesika urinaria. 12

Evaluasi Tambahan
Tidak jarang diperlukan evaluasi tambahan untuk membedakan hipertensi primer dan
sekunder (lihat Tabel 2). Anak dengan riwayat infeksi saluran kencing harus dilakukan
pemeriksaan dimercapto succinic acid (DMSA). Teknik ini lebih sensitif dibandingkan
pielografi intravena (PIV), kurang radiatif dan merupakan baku emas untuk mendiagnosis
adanya parut ginjal. Sidik diethylenetriaminepentacetic acid (DTPA) dapat dilakukan untuk
melihat adanya uropati obstruktif. Mictiocystourethrography (MCU) dianjurkan dilakukan
pada anak di bawah usia dua tahun dengan riwayat infeksi saluran kencing untuk
mendiagnosis derajat refluks vesikoureter, serta merencanakan pengobatan jangka panjang
terhadap penyakit tersebut.13
Kadar hormon dan pemeriksaan urin 24 jam dapat diperiksa oleh semua dokter, tetapi
pemeriksaan khusus seperti angiografi ginjal harus dilakukan di rumah sakit khusus dengan
fasilitas lengkap. Jika diagnosis penyebab hipertensi mengarah ke penyakit renovaskular,
maka dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan angiografi. Teknik pemeriksaan ini
bersifat invasif. Teknik lain yang sifatnya kurang invasif adalah magnetic resonance
angiography.14

Hipertrofi ventrikel kiri juga sering didapatkan pada anak yang mengalami hipertensi. 15
Ekokardiografi merupakan teknik yang noninvasif, mudah dilakukan, dan lebih sensitif
dibandingkan elektrokardiografi, sehingga teknik ini dapat dikerjakan sebagai pemeriksaan
awal pada semua anak yang mengalami hipertensi. Teknik ini dapat diulang secara berkala.15
Tabel 2 Evaluasi yang Harus Dilakukan pada Anak yang Menderita4

Setelah diagnosis hipertensi pada anak ditegakkan, maka pengobatan yang diberikan
kepada pasien harus dilakukan secara menyeluruh dengan mempertimbangkan
pengaruhnya terhadap masa depan anak tersebut.4

50
Tatalaksana
Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek maupun
panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Upaya mengurangi
tekanan darah saja tidak cukup untuk mencapai tujuan ini. Selain menurunkan tekanan
darah dan meredakan gejala klinis, juga harus diperhatikan faktor-faktor lain seperti
kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas, hiperlipidemia, kebiasaan merokok, dan
intoleransi glukosa. 3,16,

Pada umumnya ahli nefrologi anak sepakat bahwa pengobatan hipertensi ditujukan
terhadap anak yang menunjukkan peningkatan tekanan darah di atas persentil ke-99 yang
menetap. Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di
bawah persentil ke-95 berdasarkan usia dan tinggi badan anak. Berbagai penelitian
menunjukkan bahwa pengobatan yang dilakukan secara tepat sejak awal pada anak yang
menderita hipertensi ringan-sedang akan menurunkan risiko terjadinya stroke dan penyakit
jantung koroner di kemudian hari.16 -18

Pengobatan hipertensi pada anak dibagi ke dalam 2 golongan besar, yaitu non-
farmakologis dan farmakologis yang tergantung pada usia anak, tingkat hipertensi dan
respons terhadap pengobatan. 3, 7,16-19

Pengobatan Non-Farmakologis: Mengubah Gaya Hidup


Anak dan remaja yang mengalami prehipertensi atau hipertensi tingkat 1 dianjurkan untuk
mengubah gaya hidupnya. Pada tahap awal anak remaja yang menderita hipertensi primer
paling baik diobati dengan cara non-farmakologis.3
Pengobatan tahap awal hipertensi pada anak mencakup penurunan berat badan, diet
rendah lemak dan garam, olahraga secara teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan
minum alkohol. Seorang anak yang tidak kooperatif dan tetap tidak dapat mengubah gaya
hidupnya perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan obat anti hipertensi.3,20,21

Penurunan berat badan terbukti efektif mengobati hipertensi pada anak yang mengalami
obesitas. Dalam upaya menurunkan berat badan anak ini, sangat penting untuk mengatur
kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi. Banyaknya makanan yang dikonsumsi
secara langsung akan memengaruhi berat badan dan massa tubuh, sehingga juga akan
memengaruhi tekanan darah. Hindarilah mengkonsumsi makanan ringan di antara waktu
makan yang pokok. Demikian juga makanan ringan yang mengandung banyak lemak atau
terlampau manis sebaiknya dikurangi. Buatlah pola makan teratur dengan kandungan gizi
seimbang dan lebih diutamakan untuk banyak mengkonsumsi buah dan sayuran.7,17,19
Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang mendapat ASI eksklusif
memiliki risiko yang lebih rendah untuk mengalami obesitas dan hipertensi dibandingkan
dengan anak yang mendapat susu formula. Diet rendah garam yang dianjurkan adalah 1,2
g/hari pada anak usia 4-8 tahun dan 1,5 g/hari pada anak yang lebih besar.1

55
Diet rendah garam yang dikombinasikan dengan buah dan sayuran, serta diet rendah
lemak menunjukkan hasil yang baik untuk menurunkan tekanan darah pada anak. Asupan
makanan mengandung kalium dan kalsium juga merupakan salah satu upaya untuk
menurunkan tekanan darah. Olahraga secara teratur merupakan cara yang sangat baik dalam
upaya menurunkan berat badan dan tekanan darah sistolik maupun diastolik. Olahraga teratur
akan menurunkan tekanan darah dengan cara meningkatkan aliran darah, mengurangi berat
badan dan kadar kolesterol dalam darah, serta stres.7,17,19

Pengobatan farmakologis:
Pada saat memilih jenis obat yang akan diberikan kepada anak yang menderita hipertensi,
harus dimengerti tentang mekanisme yang mendasari terjadinya penyakit hipertensi
tersebut. Perlu ditekankan bahwa tidak ada satupun obat antihipertensi yang lebih superior
dibandingkan dengan jenis yang lain dalam hal efektivitasnya untuk mengobati hipertensi
pada anak.7

Menurut the National High Blood Pressure Education Program (NHBEP) Working
Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents obat yang diberikan sebagai
antihipertensi harus mengikuti aturan berjenjang (step-up), dimulai dengan satu macam
obat pada dosis terendah, kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai efek
terapoitik, atau munculnya efek samping, atau bila dosis maksimal telah tercapai. Kemudian
obat kedua boleh diberikan, tetapi dianjurkan menggunakan obat yang memiliki mekanisme
kerja yang berbeda.17

Di bawah ini dicantumkan beberapa keadaan hipertensi pada anak yang merupakan
indikasi dimulainya pemberian obat antihipertensi:22
1. Hipertensi simtomatik
2. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan proteinuria
3. Hipertensi sekunder
4. Diabetes melitus
5. Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan gaya
hidup
6. Hipertensi tingkat 2.
Pemilihan obat yang pertama kali diberikan sangat tergantung dari pengetahuan dan
kebijakan dokter. Golongan diuretik dan β-blocker merupakan obat yang dianggap aman dan
efektif untuk diberikan kepada anak. Golongan obat lain yang perlu dipertimbangkan untuk
diberikan kepada anak hipertensi bila ada penyakit penyerta adalah penghambat ACE
(angiotensin converting enzyme) pada anak yang menderita diabetes melitus atau terdapat
proteinuria, serta β-adrenergic atau penghambat calcium-channel pada anak-anak yang
mengalami migrain. Selain itu pemilihan obat antihipertensi juga tergantung dari
penyebabnya, misalnya pada glomerulonefritis akut pascastreptokokus pemberian diuretik
merupakan pilihan utama, karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan oleh retensi natrium

56
dan air. Golongan penghambat ACE dan reseptor angiotensin semakin banyak digunakan
karena memiliki keuntungan mengurangi proteinuria. 22,23
Penggunaan obat penghambat ACE harus hati-hati pada anak yang mengalami
penurunan fungsi ginjal. Meskipun kaptopril saat ini telah digunakan secara luas pada
anak yang menderita hipertensi, tetapi saat ini banyak pula dokter yang menggunakan obat
penghambat ACE yang baru, yaitu enalapril. Obat ini memiliki masa kerja yang panjang,
sehingga dapat diberikan dengan interval yang lebih panjang dibandingkan dengan kaptopril.
19,20,22,23

Obat yang memiliki mekanisme kerja hampir serupa dengan penghambat ACE adalah
penghambat reseptor angiotensin II (AII receptor blockers). Obat ini lebih selektif dalam
mekanisme kerjanya dan memiliki efek samping yang lebih sedikit (misalnya terhadap
timbulnya batuk) dibandingkan dengan golongan penghambat ACE. 19,20,22,23

Pada Tabel 3 diperlihatkan klasifikasi obat hipertensi berdasarkan mekanisme kerjanya


serta dosis obat anti hipertensi oral yang digunakan pada anak. 4

Prognosis
Penderita hipotiroidisme kongenital yang mendapat pengobatan adekuat, dapat tumbuh secara
normal. Bila pengobatan dimulai pada usia 4-6 minggu, diharapkan IQ tidak berbeda dengan
populasi kontrol. Meskipun secara umum tidak didapatkan kelainan mental, akan tetapi ada
beberapa segi yang kurang pada anak ini. Pada kasus-kasus berat dan yang tidak mendapat
terapi adekuat, selama 2 tahun pertama kehidupannya, akan mengalami kelainan perkembangan
intelektual dan neurologisnya.4

57
58
59
Secara skematis langkah-langkah pendekatan farmakologis pada anak dengan hipertensi terlihat pada
gambar 1

Gambar 3. Langkah-langkah pendekatan pengobatan hipertensi pada anak4


Pada anak dengan hipertensi kronis atau yang kurang terkontrol, masalah pengobatan menjadi
lebih rumit. Beberapa anak dengan keadaan tersebut seringkali memerlukan obat
antihipertensi kombinasi untuk memantau kenaikan tekanan darah. Prinsip dasarpengobatan
anti hipertensi kombinasi adalah menggunakan obat-obatan dengan tempatdan mekanisme
kerja yang berbeda. Pemilihan obat juga harus sesederhana mungkin, yaitu dengan
menggunakan obat dengan masa kerja panjang, sehingga obat cukup diberikan satu atau dua
kali sehari.18,23

Lama pengobatan yang tepat pada anak dan remaja hipertensi tidak diketahui dengan
pasti. Beberapa keadaan memerlukan pengobatan jangka panjang, sedangkan keadaan yang
lain dapat membaik dalam waktu singkat. Oleh karena itu, bila tekanan darah terkontrol dan
tidak terdapat kerusakan organ, maka obat dapat diturunkan secara bertahap, kemudian
dihentikan dengan pengawasan yang ketat setelah penyebabnya diperbaiki. Tekanan darah
harus dipantau secara ketat dan berkala karena banyak penderita akan kembali mengalami
hipertensi di masa yang akan datang.14,18

60
Pada Tabel 5 dibawah ini diperlihatkan petunjuk untuk menurunkan secara
bertahap pengobatan hipertensi bila tekanan darah telah terkontrol.: 4

Pada anak dengan penyakit ginjal kronik, penanganan hipertensi memiliki tujuan untuk
sedapat mungkin mempertahankan fungsi ginjal, berupaya menurunkan tekanan darah ke
dalam batas normal, serta mengurangi risiko morbiditas. Penggunaan obat penghambat ACE
pada penderita penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati, karena dapat
menurunkan fungsi ginjal

Pencegahan
Upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi pada anak harus mencakup pencegahan
primer, sekunder, maupun tersier. Pencegahan primer hipertensi harus dilihat sebagai bagian
dari pencegahan terhadap penyakit lain seperti penyakit kardiovaskular dan stroke yang
merupakan penyebab utama kematian pada orang dewasa. Penting pula diperhatikan faktor-
faktor risiko untuk terjadinya penyakit kardiovaskular seperti obesitas, kadar kolesterol darah
yang meningkat, diet tinggi garam, gaya hidup yang salah, serta penggunaan rokok dan
alkohol. Sejak usia sekolah, sebaiknya dilakukan pencegahan terhadap hipertensi primer
dengan cara mengurangi asupan natrium dan melakukan olah raga teratur.9,19,20,23

Konsumsi natrium perlu diimbangi dengan kalium. Rasio konsumsi natrium dan
kalium yang dianjurkan adalah 1:1. Sumber kalium yang baik adalah buah-buahan seperti
pisang dan jeruk. Secara alami, banyak bahan pangan yang memiliki kandungan kalium
dengan rasio lebih tinggi dibandingkan dengan natrium. Rasio tersebut kemudian menjadi
terbalik akibat proses pengolahan yang banyak menambahkan garam ke dalamnya. Sebagai
contoh, rasio kalium terhadap natrium pada tomat segar adalah 100:1, menjadi 10:6 pada
makanan kaleng dan 1:28 pada saus tomat. Contoh lain adalah rasio kalium terhadap natrium
pada kentang bakar 100:1, menjadi 10:9 pada keripik dan 1:1,7 pada salad kentang.
Memberikan ASI eksklusif pada bayi merupakan cara penting untuk mengurangi faktor risiko
terjadinya hipertensi.4

Pencegahan sekunder dilakukan bila anak sudah menderita hipertensi untuk mencegah
terjadinya komplikasi seperti infark miokard, stroke, gagal ginjal atau kelainan organ target.
Pencegahan ini meliputi modifikasi gaya hidup menjadi lebih benar, seperti menurunkan
61
berat badan, olahraga secara teratur, diet rendah lemak dan garam, menghentikan kebiasaan
merokok atau minum alkohol.10,20

Olah raga yang baik pada anak yang menderita hipertensi sebagai bagian dari
pencegahan sekunder merupakan kombinasi dari jenis aerobik dan statik. Olah raga yang
bersifat kompetitif diperbolehkan pada anak dengan prehipertensi, hipertensi stadium 1
dan 2 yang terkontrol, tanpa disertai gejala atau kerusakan organ target. Selain itu secara
umum olahraga yang teratur akan membuat badan kita sehat dan terasa nyaman. Olahraga
teratur sering dikaitkan juga dengan pelepasan zat yang disebut endorphins, yang membuat
perasaan menjadi lebih nyaman dan santai. Asupan makanan mengandung kalsium dapat
dilakukan sebagai pengobatan alternatif untuk mengatasi hipertensi. Kadar kalsium yang
tinggi dalam darah akan menurunkan kadar natrium.21,23,24 Apabila komplikasi sudah
terjadi, misalnya stroke dan retinopati, maka upaya rehabilitatif dan promotif yang
merupakan bagian dari pencegahan tersier dapat dilakukan untuk mencegah kematian dan
mempertahankan fungsi organ yang terkena seefektif mungkin4

Referensi
1. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood
Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation,
and treatment of high blood pressure in children and adolescent. Pediatrics.
2004;114:555-76
2. Sinaiko AR. Current concepts: hypertension in children. N Engl J Med. 1996; 335:
1968-73.
3. Luma GB, Spiotta RT. Hypertention in children and adolescent.Am Fam
Physician.2006; 73:1158-68
4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Konsensus tatalaksana Hipertensi pada anak.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011.
5. McNiece KL, Portman RJ, 2007. Hypertension: Epidemiology and evaluation. In: Kher
KK, Schnaper HW, Makker SP, eds. Clinical Pediatric Nephrology. London: Informa
Healthcare; 461-80.
6. Brady T, Siberry GK, Solomon B. Pediatric Hypertension. A review of proper screening,
diagnosis, evaluation, and treatment. Diunduh dari:
www.contemporarypediatrics.com
7. Feld LG, Corey H. Hypertension in childhood. Pediatr Rev.2007;28:283-98.
8. Fivush B, Neu A, Furth S. Acute hypertensive crises in children: emergencies and
urgencies. Curr Opin Pediatr. 1997;9:233-6
9. Tumbull F. Blood pressure lowering treatment trialistr collaboration. Effects of different
blood pressure-lowering regiment on major cardiovascular events: results of
prospectively-designed overviews of randomized trials. Lancet. 2003;362:1527-35.

62
10. BrewerED. Evaluation of hypertension. Dalam Barratt TM, Avner ED, Harmon
WE(penyunting). Pediatric nephrology. Edisi ke-5.Baltimore: Lippincott Williams and
Wilkins. 2004:h.1179-94
11. Muntmer P, He J, Cutler JA, Wildman RP,Whelton PK. Trends in blood pressure among
children and adolescents.JAMA. 2004;291:2107-13.
12. Mahoney LT, Clarke WR, Burn TL, Lauer RM. Childhood predictors of high blood pressure.
Am J Hypertens. 1991; 4: 608-10S.
13. Freedman DS, Dietz WH, Srinivasan SR, Berenson GS. The relation of overweight to
cardiovascular risk factors among children and adolescents: The Bogalusa Heart
Study.Pediatrics. 1999;103:1175-82.National High Blood Pressure Education Program
14. Working Group on High Blood Pressure in Children and Adolescents. The fourth report on
the diagnosis, evaluation, and treatment of high blood pressure in children and adolescent.
Pediatrics. 2004;114:555-76.
15. The Sixth Report of Joint National Committee on Prevention Detection, Evaluation and
Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med. 1997; 157:2413-46.
16. Seeman T. Management of arterial hypertension. Dalam Cochat P (penyunting). European
society for pediatric nephrology handbook.Lyon.2002:h.312-5.
17. Bernstein D.Diseases of the peripheral vascular system. Dalam Behrman RE, Kliegman
RM,Jenson HB (penyunting). Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia:
International edition.2004:h.1591-8
18. Gulati S. Childhood hypertension. Indian Pediatrics 2006;43:326-33.
19. Vogt BA, Davis ID. Treatment of hypertension. Dalam Barratt TM, Avner ED, Harmon WE
(penyunting). Pediatric nephrology. Edisi ke-5.Baltimore: Lippincott Williams and
Wilkins.2004:h.1199-1216.
20. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam Webb N, Postlethwaite R
(penyunting). Clinical pediatric nephrology. Edisi ke-3. Oxford: Oxford University
Press.2003:h.152-61
21. Heart support Australia. Duggan K (penyunting).Princeton healthworks blood pressure.
Sydney: Princeton Publishing Pty limited
22. Sorof JM, Lai D, Turner J, Poffenberg T, Portman PJ. Overweight, ethnicity and the
prevalence of hypertension in school-aged children. Pediatrics. 2004;113:475-82.
23. Whitworth JA. Progression of renal failure-the role of hypertension. Ann Acad Med
Singapore. 2005;34:8-15.

63
5.8 Keracunan pada Anak

Definisi
Keracunan adalah masuknya zat racun ke dalam tubuh melalui saluran pencernaan,
inhalasi atau kontak langsung yang menimbulkan tanda dan gejala klinis yang khas. Pada
dasarnya semua zat kimia dapat menimbulkan keracunan tergantung pada jumlah dan cara
masuknya ke dalam tubuh.

Epidemiologi
Lebih dari separuh keracunan terjadi pada anak dibawah 6 tahun, dimana 38 % terjadi pada
anak dibawah 3 tahun. Insiden keracunan tertinggi terjadi pada usia 1 – 3 tahun. Pada
remaja,keracunan terjadi sering disebabkan kesengajaan menelan zat racun untuk
mencelakakan diri sendiri atau oranglain. Insiden keracunan lebih tinggi dan fatal di negara
berkembang dari pada negara maju.
Tabel 1. Angka keracunan per 100.000 anak usia < 20 tahun

Etiologi dan manifestasi klinis


Zat tersering penyebab keracunan pada anak usia prasekolah adalah zat-zat yang biasa
terdapat di rumah tangga, seperti obat analgetik, obat batuk pilek, obat kulit, zat pembersih,
sabun dan deterjen, dan tumbuh-tumbuhan.
Zat racun yang paling berbahaya di rumah tangga:
a. Obat-obatan, berbahaya apabila anak mengkonsumsi obat yang salah dan dalam
jumlah yang banyak.
b. Tablet besi. Anak yang mengkonsumsi tablet besi dapat mengalami diare
berdarah dalam beberapa jam setelah konsumsi.
c. Produk pembersih seperti pembersih toilet, pembersih karat dan pembersih
oven dapat menyebabkan luka bakar.
d. Cat kuku dan pembersihnya dapat mengakibatkan terjadinya keracunan sianida
bila ditelan. Beberapa produk cat kuku akan menyebabkan luka bakar pada
kulit dan mulut anak yang mencoba meminumnya.
e. Hidrokarbon. Produk yang termasuk golongan hidrokarbon sangat banyak, antara
lain gasolin, kerosin, minyak lampu, minyak motor, cat kilat furniture, and thinner.
Jika anak mencoba meminumnya, akan sangat mudah tersedak dan
menyebabkan cairan masuk ke paru-paru. Jika sudah masuk ke paru-paru, terjadi

64
inflamasi (seperti pneumonia). Hidrocarbon adalah salah satu penyebab utama
keracunan pada anak.
f. Pestisida. Sebagian besar pestisida dapat diabsorpsi melalui kulit dan
inhalasi, beberapa diantaranya berefek pada system saraf dan kesulitan bernafas.
g. Cairan pembersih kaca dan antifreeze menyebabkan kebutaan dan kematian jika
tertelan. Anti freeze dapat menyebabkan gagal ginjal.
h. Jamur liar dapat menyebabkan keracunan jika dimakan. Hanya ahli di bidang
tanaman jamur yang dapat membedakan jamur beracun atau tidak.
i. Alkohol yang dikonsumsi anak dapat mengakibatkan kejang, koma bahkan
kematian

Diagnosis keracunan:
 Curigai keracunan pada anak sehat yang mendadak sakit dan tidak dapat dijelaskan
penyebabnya.
 Diagnosis didasarkan pada anamnesis dari anak atau pengasuh, pemeriksaan klinis dan
hasil investigasi.
 Carilah informasi tentang bahan penyebab keracunan, jumlah racun yang terpajan dan
waktu pajanan ke dalam tubuh secara lengkap.
 Cobalah untuk mengenali bahan racun dengan melihat kemasannya. Pastikan juga tidak
ada anak lain yang terpajan.
 Periksalah tanda terbakar di dalam atau sekitar mulut, atau apakah ada stridor (kerusakan
laring) yang menunjukkan racun bersifat korosif.

Tatalaksana:
Penatalaksanaan didasarkan pada 4 prinsip dasar
1. Menetapkan penanganan suportif (ABC’s)
2. Mencegah atau meminimalisir penyerapan
3. Meningkatan pengeluaran
4. Mencari antidote

1. Menetapkan penanganan suportif (ABC’s)


a. Tatalaksana awal difokuskan pada penilaian jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi
(stabilisasi keadaan darurat). Depresi Sistem Saraf Pusat (SSP) merupakan gejala yang
umum, dan dapat berbahaya untuk jalan nafas, terjadi gagal nafas dan aspirasi.
b. Periksa glukosa darah pada pasien dengan perubahan kesadaran atau letargi, tertelan obat
yang menyebabkan hipoglikemia, alkohol dengan gejala hipoglikemia: dingin, kulit
lembab/basah, perubahan kesadaran dengan atau tanpa penurunan glukosa darah (<80
mg/dl atau 4,4 mmol/L
c. Diuresis, muntah dan diare dapat menyebabkan dehidrasi dan syok. Mungkin diperlukan
resusitasi cairan agresif dan pemberian inotropik seperti dopamin dan dobutamin.
d. Monitor fungsi ginjal dan hepar.

65
2. Mencegah atau meminimalisir penyerapan
Pemberian antidotum spesifik. Pada kecurigaan terhadap racun penyebab, adakalanya
pemberian antidotum tidak hanya sebagai terapi awal tetapi juga dapat membantu

Prinsip penatalaksanaan terhadap racun yang tertelan


Tatalaksana:
 Terapi spesifik toksin atau suportif yang sesuai dapat dimulai. Dekontaminasi lambung
seperti pemberian activated charcoal dan bilas lambung tidak secara rutin
direkomendasikan serta dilakukan dalam 1 jam setelah tertelan. Arang aktif diberikan
peroral dengan atau tanpa pipa nasogastrik dengan dosis untuk anak sampai umur 1 tahun
1 g/kg, 1 - 12 tahun 25 - 50 g dan remaja 25 - 100 g. Larutkan arang aktif dengan 8 - 10
kali air, misalnya 5 g ke dalam 40 ml air. Jika mungkin, berikan sekaligus, jika sulit (anak
tidak suka), dapat diberikan secara bertahap. Efektifitas arang aktif bergantung pada isi
lambung (lambung kosong lebih efektif).
 Periksa anak apakah ada tanda kegawatan dan periksa gula darah. Koreksi hipoglikemia
dengan pemberian bolus dekstrosa 10% IV 5 ml/kg.
 Identifikasi bahan racun dan keluarkan bahan tersebut sesegera mungkin, sangat efektif
jika dilakukan sesegera mungkin setelah terjadinya keracunan, idealnya 1 jam pertama.
Jika anak tertelan minyak tanah, premium atau bahan lain yang mengandung
premium/minyak tanah/solar (pestisida pertanian berbahan pelarut minyak tanah) atau jika
mulut dan tenggorokan mengalami luka bakar (misalnya karena bahan pemutih,
pembersih toilet atau asam kuat dari aki), jangan rangsang muntah tetapi beri minum air.
 Jangan gunakan garam sebagai emetik karena bisa berakibat fatal.

Dekontaminasi lambung (menghilangkan racun dari lambung), efektif bila dilakukan sebelum
masa pengosongan lambung terlewati (1-2 jam, termasuk penuh atau tidaknya lambung).
Dekontaminasi lambung tidak menjamin semua bahan racun yang masuk bisa dikeluarkan, oleh
karena itu tindakan dekontaminasi lambung tidak rutin dilakukan pada kasus keracunan. Bilas
lambung dilakukan pada keracunan yang terjadi < 1 jam dan mengancam nyawa. Bilas lambung
tidak boleh dilakukan pada keracunan bahan korosif atau hidrokarbon. Pastikan tersedia mesin
pengisap untuk membersihkan muntahan di rongga mulut. Tempatkan anak dengan posisi miring
ke kiri dengan kepala lebih rendah. Ukur panjang pipa nasogastrik yang akan dimasukkan.
Masukkan pipa nasogastrik ukuran 24-28 F melalui mulut ke dalam lambung. Lakukan bilasan
dengan 10 ml/kgBB garam normal hangat. Jumlah cairan yang diberikan harus sama dengan yang
dikeluarkan, tindakan bilas lambung dilakukan sampai cairan bilasan yang keluar jernih.
Kontra indikasi dekontaminasi lambung:
1. Keracunan bahan korosif atau senyawa hidrokarbon (minyak tanah, dll) karena
mempunyai risiko terjadi gejala keracunan yang lebih serius
2. Penurunan kesadaran (bila jalan napas tidak terlindungi)

BEBERAPA ZAT RACUN YANG SERING TERMAKAN ANAK

Senyawa Hidrokarbon: minyak tanah, terpentin, premium


Keracunan yang terbanyak pada anak ±50%. Usia terbanyak <5 tahun tersering 1-2 tahun. Jumlah
yang tertelan sukar diduga (ukuran yang dijelaskan orang tua bermacam-macam).
66
Tanda dan gejala klinis:
Pernafasan: batuk, edema paru, pneumonitis, pneumonia.
Saraf pusat: letargi, semikoma, koma (gejala ensefalopati).
Pencernaan: mual, kembung, sakit perut.
Demam.

Tatalaksana:
Jangan rangsang anak untuk muntah atau memberikan arang aktif. Tindakan perangsangan
muntah dapat menyebabkan aspirasi pneumonia (edema paru dan pneumonia lipoid) yang
dapat mengakibatkan sesak napas dan hipoksia.
Pengobatan suportif untuk hipoksia adalah perbaikan ventilasi, mencegah dan mengurangi
sumbatan jalan nafas serta memberikan oksigen tambahan; karena hidrokarbon ternyata
masuk tubuh secara inhalasi dan menimbulkan kerusakan paru.1
Pencegahan yaitu kesadaran orang tua bahwa hidrokarbon harus disimpan rapi pada tempat
yang jauh dari jangkauan anak.

Senyawa Organofosfat dan Karbamat: Organofosfat (OP): malathion, parathion, TEPP,


mevinphos (Phosdrin); Karbamat: metiokarbamat, karbaril
Bahan tersebut diserap melalui kulit, tertelan atau terhirup. Anak mungkin akan mengalami
muntah, diare, penglihatan kabur, atau lemah. Gejala yang timbul akibat dari aktivasi
parasimpatik: hipersalivasi, berkeringat, lakrimasi, bradikardi, miosis, kejang, lemah otot,
twitching, hingga paralisis dan inkontinensia urin, edema paru, depresi napas.

Tatalaksana:
Singkirkan racun dengan irigasi mata atau mencuci kulit (jika ada pada mata atau kulit).
Berikan arang aktif jika tertelan sebelum 1 jam.
Jangan rangsang muntah karena kebanyakan pestisida bahan pelarutnya berasal dari
hidrokarbon
Pada keracunan berat dimana arang aktif tidak dapat diberikan, pertimbangkan aspirasi
lambung dengan pipa nasogastrik.
Jika anak menunjukkan gejala hiperaktivasi parasimpatik, berikan atropin 15 – 50
mcg/kgBB atau melalui infus selama 15 menit. Tujuan pemberian atropin mengurangi
sekresi bronkial dengan menghindari toksisitas atropin. Auskultasi dada untuk
mendengarkan adanya tanda sekresi pada saluran napas dan pantau frekuensi napas, denyut
jantung dan skala koma (jika diperlukan). Ulangi dosis atropin setiap 15 menit sampai
tidak ada tanda sekresi pada saluran napas, denyut nadi dan frekuensi napas kembali
normal.
Periksa hipoksemia dengan pulse oximetry, karena pemberian atropin dapat menyebabkan
gangguan irama jantung (aritmia ventrikular) pada anak dengan hipoksemia. Berikan
oksigen jika SO2 < 90%
Jika otot melemah, berikan pralidoksim (cholinesterase reactivator) 25–50 mg/kg
dilarutkan dengan 15 ml air diberikan melalui infus selama >30 menit, diulangi 1-2 kali,
atau diikuti dengan infus 10 - 20 mg/kgBB/jam.

67
Keracunan Singkong
Keracunan terjadi akibat singkong mengandung glikosida sianogenik linamarin (C10H17O6N)
yang terdapat pada lapisan luar. Zat ini terdiri dari glukosa, aseton dan asam sianida (HCN).
Pasien mula-mula merasa panas pada perut, mual, pusing, sesak dan lemah. Pernafasan menjadi
cepat dengan inspirasi yang pendek dan bau nafas serta muntahan yang khas (bau bitter almond).
Rasa sesak disusul pingsan, kejang yang akhirnya lemas, berkeringat, mata menonjol dengan
pupil melebar tanpa reaksi. Busa pada mulut tercampur warmna darah dan warna kulit merah bata
dan sianosis tidak tampak. Dengan uji Guinard, pada singkong terlihat perubahan warna asam
pikrat kuning menjadi kemerahan dalam waktu 15 menit - 3 jam.

Tatalaksana:
 Eliminasi racun dengan jalan muntah atau bilas lambung.
 Pemberian antidotum yaitu Na-tiosulfat 10% IV 0,5 ml/kgBB/kali diberikan perlahan.
 Pemberian oksigen dengan tekanan tinggi (hyperbaric/CPAP) sebagai antidotum dimana
enzim feri sitokrom oksidase dengan sianida bersifat kompetitif dengan oksigen.

Keracunan Botulisme
Toksin botulinum adalah neurotoksin (eksotoksin) yang dikeluarkan oleh Cl. botulinum. Kuman
anaerob ini tumbuh dalam media minyak, daging ikan yang tidak sempurna diproses atau
diawetkan dan dijual dalam kaleng. Toksin ini menyebabkan hambatan impuls saraf pada motor
endplate dan mengakibatkan kelumpuhan. Gejala klinis berupa kelainan pada mata, kelumpuhan
otot mata, kelumpuhan nervi kranialis secara simetris, disfagia/disartria, kelumpuhan menyeluruh
termasuk kelumpuhan otot pernafasan, muntah hebat terjadi pada permulaan penyakit.

Tatalaksana:
 Eliminasi racun dengan jalan bilas lambung, obat pencahar.
 Bila depresi nafas memberat, perlu pernafasan mekanik buatan sampai tanda vital
membaik kembali.
 Antidotum adalah antitoksin botulisme IV 10 - 50 ml setelah tes kulit.
 Kuinidin hidroklorida untuk melawan blokade neuromuskular dengan dosis 15 - 35
mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.

Pencegahan
1. Pindahkan zat racun dari lingkungan sekitar.
2. Ganti zat racun dengan yang zat yang memiliki toksisitas yang lebih rendah.
3. Mengurangi toksisitas zat dengan mengemasnya dalam konsentrasi atau dosis non letal.
4. Mendirikan pusat kontrol keracunan pada triage keracunan.

Referensi
1. Enny Harliani alwi. Tatalaksana keracunan. Buku ajar pediatric gawat darurat IDAI. 2015

68
5.9 Malnutrisi Energi dan Metabolik

Pendahuluan
Malnutrisi masih merupakan masalah kesehatan utama di Negara sedang berkembang, dan
melatarbelakangi ( underlying factor ) lebih dari 50% kematian balita. Gizi buruk akut atau
Malnutrisi Akut Berat (MAB) adalah keadaan dimana seorang anak tampak sangat kurus,
ditandai dengan BB/PB < -3SD dari median WHO child growth standard, atau didapatkan edema
nutrisional dan pada anak umur 5-59 bulan Lingkar Lengan Atas (LLA) <110 mm.

Diagnosis MAB
Diagnosis berdasarkan kriteria:
1. Terlihat sangat kurus
2. Edema nutrisional
3. BB/TB <-3SD
4. LILA < 115mm

WHO dan Unicef menggunakan cut-off BB/PB<-3SD median standard rujukan WHO ( WHO
child growth standard) atau WHO/NCHS, dengan alasan : (1) anak di bawah cut off tersebut
mempunyai risiko lebih tinggi dibanding anak yang berada diatasnya; (2) jika anak tersebut
mendapat terapi diet, akan mengalami peningkatan BB yang lebih cepat, sehingga akan
mempercepat penyembuhan; (3) tidak ada risiko atau pengaruh negative pemberian terapi makan
pada kelompok anak ini.
Lingkar Lengan Atas
Lingkar Lengan Atas (LILA) merupakan indicator nutrisi yang paling unggul untuk seleksi kasus
penderita gizi buruk dibandingkan antropometri lain, seperti BB/U, PB/U,BB/PB. Kelebihan
LILA dibanding yang lainnya:
1. Sederhana, dapat dilaksanakan sekalipun oleh petugas non-kesehatan atau relawan yang
dilatih menggunakan LILA sebagai alat deteksi malnutrisi.
2. Penerimaan, anak yang diukur BB dan PB lebih sering menunjangkan reaksi penolakan
pengukuran di banding anak yang di ukur LILA nya.
3. Biaya, pengukuran BB dan PB atau TB memerlukan alat yang perlu dilakukan kaliberasi
secara berkala. Penggunakan pita LILA hanya memerlukan biaya sedikit dengan ketelitian
tinggi dan mudah didistribusikan ke daerah terpencil.
4. Ketepatan dan akurasi
5. Sensitivitas, spesifisitas dan nilai prediksi. LILA mempunyai nilai predictor terbaik
terhadap kejadian kematian dalam beberapa bulan mendatang pada anak malnutrisi,
dibandingkan dengan BB/U apalagi dengan BB/PB, LILA juga mempunyai nilai sensitivitas
dan spesifitas tinggi.

Marasmus dan Kwashiorkor


Marasmus dan kwashiorkor adalah hasil akhir dari tingkat keparahan penderita gizi buruk.
Marasmus ditandai dengan tubuh yang sangat kurus dengan berbagai tanda ikutannya, sedangkan
kwashiorkor ditandai dengan edema,diawali edema pada punggung kaki (+) yang dapat menyebar
keseluruh tubuh (+++).

69
Tatalaksana malnutrisi akut berat
WHO membagi malnutrisi menjadi 2 kategori yaitu : severe acute malnutrition (MAB)dan
moderate acute malnutrition. Tatalaksana penderita MAB dibagi 2 yaitu dengan komplikasi yang
harus dirawat dirumah sakit atau puskesmas dan MAB tanpa komplikasi yang tidak perlu dirawat
inap.

10 langkah utama dalam menangani gizi buruk:


1. Atasi/cegah hipoglikemia
2. Atasi/cegah hipotermia
3. Atasi/cegah dehidrasi
4. Koreksi ketidakseimbangan elektrolit
5. Atasi/cegah infeksi
6. Koreksi defisiensi mikronutrien
7. Memulai pemberian makan
8. Mengupayakan tumbuh kejar
9. Memberikan stimulasi sensoris dan dukungan emosional
10. Mempersiapkan untuk tindak lanjut pasca perbaikan

5.10 Alergi Susu Sapi


Definisi
Suatu reaksi yg tdk diinginkan yg diperantarai secara imunologis terhadap protein susu
sapi.Biasanya dikaitkan denganreaksi hipersensitifitas tipe I, yang diperantarai oleh IgE.
Walaupun demikian ASSdapat diakibatkan oleh reaksiimunologis yang tidak diperantarai oleh
IgE ataupun gabunganproses keduanya.

70
Alergen pada susu sapi :
Protein susu sapi merupakan allergen tersering pada berbagai reaksi hipersensitifitas pada anak.
Susu sapi mengandung lebih kurang 20 komponen yng dapat merangsang produksi antibody pada
manusia. Didapatkan 2 fraksi protein pada susu sapi
a. Fraksi Kasein.
Kasein merupakan fraksi yang dominan, lebih kurang 76-86% dari total protein susu sapi.
Fraksi ini enjadikan susu sapi lebih kental, dan dapat di presipitasi dengan asam pada pH
4,6. Terdiri dari 5 kasein dasar: α, αδ, β, κ,γ.

b. Fraksi Whey
Beberapa protein dari fraasi whey ini ( albumin serum bovin, γ-globulin bovin, α-
laktalalbumin ) akan mengalami denaturasi akibat pemanasan.

Klasifikasi
Alergi susu sapi dapat dibagi atas
 IgE Mediated, yaitu ASS yang diperantarai oleh IgE
 Non-IgE Mediated, yaitu ASS yang tidak diperantarai oleh IgE, tetapi diperantarai oleh
IgG dan IgM.
Pada umumnya pembahasan kasus ASS terutama berhubungan dengan IgE Mediated.

Patofisiologi
Terjadinya ASS didasari oleh reaksi hipersensitifitas tipe I. Alergen ( protein susu sapi )
mensensitisasi terbentuknya IgE. IgE yang terbentuk terutama akan menempati reseptor epsilon I
yang ada di sel mast dan basophil. Paparan berikutnya oleh allergen akan menimbulkan
degranulasi sel mast, yang pada akhirnya mengeluarkan berbagai mediator seperti histamin,
Eosninophil Chemotacting Factor ( ECF), Platelete Chemotacting Factor (PAF), dll. Lepasnya
mediator ini akan menimbulkan berbagai gejala klinis diseluruh tubuh.

Manifestasi klinis
Manifestasi ASS dapat terjadi diberbagai system pada tubuh, tetapi umunya system yang
dominan dikenali adalah kulit, saluran nafas, dan saluran cerna. Pada umumnya gejala terlihat
jelas setalah 1 bulan terpapar alergen ( 68%), tetapi dapat juga terjadi setelah 3 hari paparan (
28% ). Gejala berupa:
 Kulit: urtikaria, kemerahan, pruritus, dermatitis atopik.
 Saluran nafas: batuk berulang, hidung tersumbat, asma, rhinitis.
 Saluran cerna: muntah, kolik, konstipasi, diare, buang air berdarah.
Pada keadaan yang berat dapat terjadi gejala sistemik yang menimbulkan syok anafilaktik. ( baca
modul syok anafilaktik ).

Diagnosis.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis yang cermat dan teliti serta dibantu
oleh pemeriksaan penunjang. Anamnesis yang baik menunjukan adanya keterkaitan antara
berulangnya paparan susu sapi dengan munculnya gejala dan muncul pada rentang waktu yang
sesuai. Munculan klinis sesuai dengan gambarannya. Pemeriksaan penunjang yang dapat
dilakukan adalah pemeriksaan IgE dan atau uji tusuk kulit dengan allergen ( skin prick test ). Cara

71
terbaik pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan dengan eliminasi dan provokasi makanan (
susu sapi ), tetapi cara ini sulit untuk diterapkan.

Penatalaksanaan
Bila diagnosis ASS sudah ditegakkan maka susu sapi harus dihindarkan sampai munculnya
toleransi pada anak tersebut. Eliminasi direncanakan selama periode 6 – 18 bulan dengan evaluasi
berkala setiap 6 bulan. Bila pada evaluasi berkala sudah terjadi toleransi, maka dapat diberikan
susu sapi formula standar. Pada kondisi klinis yang ringan sampai dengan sedang dapat diberikan
susu sapi terhidrolisis sempurna ( extensive hydrolysis formula ) sedangkan pada keadaan yang
berat diberikan susu formula ber basis asam amino. Penatalaksanaan gejala lainnya disesuaikan
dengan symptom yang muncul, seperti pemberian antihistamin atau penanganan syok anafilaktik

Pencegahan
Pencegahan pada ASS dibagi atas 3 tahapan

a. Pencegahan primer.
Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Dimulai semenjak masa prenatal seperti hindari paparan
asap rokok, dll. ASI merupakan makan terbaik pada masa bayi, bila bayi memerlukan susu
formula pada fase ini berikansusu formula terhidrolisis sebagaian ( partially hydrolysis formula ).

b.Pencegahan sekunder.
Dilakukan pada keadaan bayi yang sudah tersensitisasi yang dibuktikan dengan adanya IgE,
tetapi belum menimbulkan gejala alergi. Pada situasi seperti ini diberikan susu formula
terhidrolisis sempurna. Bila pada kondisi tertentu susu seperti ini sulit didapat dapat dicoba
sebagai pengganti susu berbasis soya. Tindakan ini juga disertai dengan penghindaran paparan
terhadap asap rokok, debu rumah, dll. Tindakan lain seperti pemberian imunomudulator juga
dapat dilakukan.

c.Pencegahan tersier.
Tujuan pencegahan pada periode ini adalah mencegah kambuhnya gejala ASS yang sudah terjadi.
Pencegahan pada fase ini tetap diiringi dengan pencegahan primer dan sekunder. Obat atau
tindakan pencegahan yang dapat diberikan antara lain setirizin, imunomodulator, imunoterapi,
dll.

Referensi
1. Buku ajar alergi imunlogi Ilmu Kesehatan Anak, PP IDAI. 2010
2. Rekomendasi IDAI tentang Alergi Susu Sapi., 2010

5.11 Retardasi Mental

Definisi
American Association on Mental Deficiency (AAMD) membuat definisi retardasi mental yang
kemudian direvisi oleh Rick Heber (1961) sebagai suatu penurunan fungsi intelektual secara
menyeluruh yang terjadi pada masa perkembangan dan dihubungkan dengan gangguan adaptasi
sosial. Ada 3 hal penting yang merupakan kata kunci dalam definisi ini yaitu penurunan fungsi
intelektual, adaptasi sosial, dan masa perkembangan.
Menurut Manual on Terminology and Classfication in Mental Retardation Grossman merevisi
retardasi mental adalah penurunan fungsi intelektual yang menyeluruh secara bermakna dan
72
secara langsung menyebabkan gangguan adaptasi sosial, dan bermanifestasi selama masa
perkembangan.

Klasifikasi
Berdasarkan The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, WHO, Geneva
tahun 1994 retardasi mental dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
• Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50-69
• Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49
• Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20-34
• Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20

Retardasi mental ringan


Retardasi mental ringan dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dididik (educable). Anak
mengalami gangguan berbahasa tetapi masih mampu menguasainya untuk keperluan bicara
sehari-hari dan untuk wawancara klinik. Umumnya mereka juga mampu mengurus diri sendiri
secara independen (makan, mencuci, memakai baju, mengontrol saluran cerna dan kandung
kemih), meskipun tingkat perkembangannya sedikit lebih lambat dari ukuran normal. Kesulitan
utama biasanya terlihat pada pekerjaan akademik sekolah, dan banyak yang bermasalah dalam
membaca dan menulis.

Retardasi mental sedang


Retardasi mental sedang dikategorikan sebagai retardasi mental dapat dilatih (trainable). Pada
kelompok ini anak mengalami keterlambatan perkembangan pemahaman dan penggunaan
bahasa, serta pencapaian akhirnya terbatas. Pencapaian kemampuan mengurus diri sendiri dan
ketrampilan motor juga mengalami keterlambatan, dan beberapa diantaranya membutuhkan
pengawasan sepanjang hidupnya.

Retardasi mental berat


Kelompok retardasi mental berat ini hampir sama dengan retardasi mental sedang dalam hal
gambaran klinis, penyebab organik, dan keadaan-keadaan yang terkait. Perbedaan utama adalah
pada retardasi mental berat ini biasanya mengalami kerusakan motor yang bermakna atau adanya
defisit neurologis

Retardasi mental sangat berat


Retardasi mental sangat berat berarti secara praktis anak sangat terbatas kemampuannya dalam
mengerti dan menuruti permintaan atau instruksi. Umumnya anak sangat terbatas dalam hal
mobilitas, dan hanya mampu pada bentuk komunikasi nonverbal yang sangat elementer.

Etiologi
Terjadinya retardasi mental tidak dapat dipisahkan dari tumbuh kembang seorang anak. Seperti
diketahui faktor penentu tumbuh kembang seorang anak pada garis besarnya adalah faktor
genetik/heredokonstitusional yang menentukan sifat bawaan anak tersebut dan faktor lingkungan.
Kebutuhan dasar anak untuk tumbuh kembang ini secara garis besar dapat digolongkan menjadi 3
golongan, yaitu:

• Kebutuhan fisis-biomedis (asuh)


73
Pangan (gizi, merupakan kebutuhan paling penting),perawatan kesehatan dasar (Imunisasi, ASI,
penimbangan bayi secara teratur, pengobatan sederhana, dan lain lain), papan (pemukiman yang
layak),higiene, sanitasi,sandang,kesegaran jasmani, rekreasi

• Kebutuhan emosi/kasih sayang (asih).


Pada tahuntahun pertama kehidupan hubungan yang erat, mesra dan selaras antara ibu dan anak
merupakan syarat mutlak untuk menjamin suatu proses tumbuh kembang yang selaras, baik
fisis, mental maupun sosial.

• Kebutuhan akan stimulasi mental (asah).


Stimulasi mental ini membantu perkembangan mental psikososial (kecerdasan, ketrampilan,
kemandirian,kreativitas, kepribadian, moral-etika dan sebagainya).

Ditinjau dari penyebab secara langsung dapat digolongkan atas penyebab biologis dan
psikososial. Penyebab biologis atau sering disebut retardasi mental tipe klinis mempunyai ciri-ciri
berupa umumnya merupakan retardasi mental sedang sampai sangat berat,tampak sejak lahir atau
usia dini,secara fisis tampak berkelainan/aneh,mempunyai latar belakang biomedis baik pranatal,
perinatal maupun postnatal,tidak berhubungan dengan kelas social.Penyebab psikososial atau
sering disebut tipe sosiokultural mempunyai ciri-ciri biasanya merupakan retardasi mental
ringan,diketahui pada usia sekolah,tidak terdapat kelainan fisis maupun laboratorium,mempunyai
latar belakang kekurangan stimulasi mental (asah),ada hubungan dengan kelas social.

Etiologi retardasi mental tipe klinis atau biologikal dapat dibagi dalam :
 Penyebab prenatal: Kelainan kromosom,kelainan genetik /herediter,gangguan
metabolik, Sindrom dismorfik,Infeksi intrauterine,Intoksikasi
 Penyebab perinatal : prematuritas, Asfiksia, Kernikterus,,Hipoglikemia,Meningitis,
Hidrosefalus, Perdarahan intraventrikular
 Penyebab postnatal : Infeksi (meningitis, ensefalitis),Trauma,Kejang lama, Intoksikasi
(timah hitam, merkuri).
Penyebab Prenatal
Kelainan kromosom
Kelainan kromosom penyebab retardasi mental yang terbanyak adalah sindrom Down. Sindrom
Down merupakan 10-32% dari penderita retardasi mental. Diperkirakan insidens dari sindrom
Down antara 1-1,7 per 1000 kelahiran hidup pertahun. Risiko timbulnya sindrom Down berkaitan
dengan umur ibu saat melahirkan. Ibu yang berumur 20-25 tahun saat melahirkan mempunyai
risiko 1:2000, sedangkan ibu yang berumur 45 tahun mempunyai risiko 1:30 untuk timbulnya
sindrom Down. Analisis kromosom pada sindrom Down 95% menunjukkan trisomi –21,
sedangkan 5% sisanya merupakan mosaik dan translokasi . Kelainan kromosom lain yang
bermanifestasi sebagai retardasi mental adalah trisomi-18 atau sindrom Edward, dan trisomi-13
atau sindrom Patau, sindrom Cri-du chat, sindrom Klinefelter, dan sindrom Turner. Kelainan
kromosom-X yang cukup sering menimbulkan retardasi mental adalah Fragile-X syndrome, yang
merupakan kelainan kromosom-X pada band q27. Kelainan ini merupakan X-linked, dibawa oleh
ibu. Penampilan klinis yang khas pada kelainan ini adalah dahi yang tinggi, rahang bawah yang
besar, telinga panjang, dan pembesaran testis. Diperkirakan prevalens retardasi mental yang
disebabkan fragile-X syndrome pada populasi anak usia sekolah adalah 1 : 2610 pada laki-laki,
dan 1: 4221 pada perempuan.

Kelainan metabolik
74
Kelainan metabolik yang sering menimbulkan retardasi mental adalah Phenylketonuria (PKU),
yaitu suatu gangguan metabolik dimana tubuh tidak mampu mengubah asam amino fenilalanin
menjadi tirosin karena defisiensi enzim hidroksilase. Penderita retardasi mental pada PKU 66,7%
tergolong retardasi mental berat dan 33,3% retardasi mental sedang. Galaktosemia adalah suatu
gangguan metabolism karbohidrat disebabkan karena tubuh tidak mampu menggunakan galaktosa
yang dimakan. Penyakit Tay-Sachs atau infantile amaurotic idiocy adalah suatu gangguan
metabolisme lemak, dimana tubuh tidak bisa mengubah zat-zat pralipid menjadi lipid yang
diperlukan oleh sel-sel otak. Manifestasi klinis adalah nistagmus, atrofi nervus optikus, kebutaan,
dan retardasi mental sangat berat.Hipotiroid kongenital adalah defisiensi hormon tiroid bawaan
yang disebabkan oleh berbagai faktor (agenesis kelenjar tiroid, defek pada sekresi TSH atau TRH,
defek pada produksi hormon tiroid). Defisiensi yodium secara bermakna dapat menyebabkan
retardasi mental baik di negara sedang berkembang maupun di negara maju. Diperkirakan 600
juta sampai 1 milyar penduduk dunia mempunyai risiko defisiensi yodium, terutama di negara
sedang berkembang. Penelitian WHO1 mendapatkan 710 juta penduduk Asia, 227 juta Afrika, 60
juta Amerika Latin, dan 20-30 juta Kelainan ini timbul bila asupan yodium ibu hamil kurang dari
20 ug ( normal 80-150 ug) per hari.

Infeksi
Infeksi rubela pada ibu hamil triwulan pertama dapat menimbulkan anomali pada janin yang
dikandungnya. Risiko timbulnya kelainan pada janin berkurang bila infeksi timbul pada triwulan
kedua dan ketiga. Infeksi cytomegalovirus tidak menimbulkan gejala pada ibu hamil tetapi dapat
memberi dampak serius pada janin yang dikandungnya. Manifestasi klinis antara lain
hidrosefalus, kalsifikasi serebral, gangguan motorik, dan retardasi mental.

Intoksikasi
Fetal alcohol syndrome (FAS) merupakan suatu sindrom yang diakibatkan intoksikasi alkohol
pada janin karena ibu hamil yang minum minuman yang mengandung alkohol, terutama pada
triwulan pertama.

Penyebab Perinatal
Penelitian pada 73 bayi prematur dengan berat lahir 1000 g atau kurang menunjukkan IQ yang
bervariasi antara 59-142, dengan IQ rata-rata 94. Keadaan fisis anak-anak tersebut baik, kecuali
beberapa yang mempunyai kelainan neurologis, dan gangguan mata. Asfiksia, hipoglikemia,
perdarahan intraventrikular, kernikterus, meningitis dapat menimbulkan kerusakan otak yang
ireversibel, dan merupakan penyebab timbulnya retardasi mental.

Penyebab Postnatal
Faktor-faktor postnatal seperti infeksi, trauma,malnutrisi, intoksikasi, kejang dapat menyebabkan
kerusakan otak yang pada akhirnya menimbulkan retardasi mental.

Etiologi pada Kelompok Sosio–Kultural


Proses psikososial dalam keluarga dapat merupakan salah satu penyebab retardasi mental.
Sebenarnya bermacammacam sebab dapat bersatu untuk menimbulkan retardasi mental.

Diagnosis
Diagnosis retardasi mental tidak hanya didasarkan atas tes intelegensia saja, melainkan juga dari
riwayat penyakit, laporan dari orangtua, laporan dari sekolah, pemeriksaan fisis, laboratorium,

75
pemeriksaan penunjang. Yang perlu dinilai tidak hanya intelegensia saja melainkan juga adaptasi
sosialnya. Dari anamnesis dapat diketahui beberapa faktor risiko terjadinya retardasi mental.
Pemeriksaan fisis pada anak retardasi mental biasanya lebih sulit dibandingkan pada anak normal,
karena anak retardasi mental kurang kooperatif. Selain pemeriksaan fisis secara umum (adanya
tanda-tanda dismorfik dari sindrom-sindrom tertentu) perlu dilakukan pemeriksaan neurologis,
serta penilaian tingkat perkembangan. Pada anak yang berumur diatas 3 tahun dilakukan tes
intelegensia. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG) kepala dapat membantu menilai adanya
kalsifikasi serebral, perdarahan intra kranial pada bayi dengan ubun-ubun masih terbuka.
Pemeriksaan laboratorium dilakukan atas indikasi, pemeriksaan ferriklorida dan asam amino
urine dapat dilakukan sebagai screening PKU. Pemeriksaan analisis kromosom dilakukan bila
dicurigai adanya kelainan kromosom yang mendasari retardasi mental tersebut. Beberapa
pemeriksaan penunjang lain dapat dilakukan untuk membantu seperti pemeriksaan BERA, CT-
Scan, dan MRI. Kesulitan yang dihadapi adalah kalau penderita masih dibawah umur 2-3 tahun,
karena kebanyakan tes psikologis ditujukan pada anak yang lebih besar.Pada bayi dapat dinilai
perkembangan motorik halus maupun kasar, serta perkembangan bicara dan bahasa. Biasanya
penderita retardasi mental juga mengalami keterlambatan motor dan bahasa.
Tatalaksana
Tatalaksana Medis
Obat-obat yang sering digunakan dalam pengobatan retardasi mental adalah terutama untuk
menekan gejala-gejala hiperkinetik. Metilfenidat (ritalin) dapat memperbaiki keseimbangan
emosi dan fungsi kognitif. Imipramin, dekstroamfetamin, klorpromazin, flufenazin, fluoksetin
kadang-kadang dipergunakan oleh psikiatri anak. Untuk menaikkan kemampuan belajar pada
umumnya diberikan tioridazin (melleril), metilfenidat, amfetamin, asam glutamat, gamma
aminobutyric acid (GABA).

Rumah Sakit/Panti Khusus


Penempatan di panti-panti khusus perlu dipertimbangkan atas dasar: kedudukan sosial keluarga,
sikap dan perasaan orangtua terhadap anak, derajat retardasi mental, pandangan orangtua
mengenai prognosis anak, fasilitas perawatan dalam masyarakat, dan fasilitas untuk pembimbing
orangtua dan sosialisasi anak.

Psikoterapi
Psikoterapi dapat diberikan kepada anak retardasi mental maupun kepada orangtua anak tersebut.
Walaupun tidak dapat menyembuhkan retardasi mental tetapi dengan psikoterapi dan obat-obatan
dapat diusahakan perubahan sikap, tingkah laku dan adaptasi sosialnya.

Konseling
Tujuan konseling dalam bidang retardasi mental ini adalah menentukan ada atau tidaknya
retardasi mental dan derajat retardasi mentalnya, evaluasi mengenai sistem kekeluargaan dan
pengaruh retardasi mental pada keluarga, kemungkinan penempatan di panti khusus, konseling
pranikah dan pranatal.

Pendidikan
Pendidikan yang penting disini bukan hanya asal sekolah, namun bagaimana mendapatkan
pendidikan yang cocok bagi anak yang terbelakang ini. Terdapat empat macam tipe pendidikan
untuk retardasi mental yaitu kelas khusus sebagai tambahan dari sekolah biasa,sekolah luar biasa
C,panti khusus,pusat latihan kerja (sheltered workshop)

76
Pencegahan
Pencegahan retardasi mental dapat primer (mencegah timbulnya retardasi mental), atau
sekunder (mengurangi manifestasi klinis retardasi mental). Sebab sebab retardasi mental
yang dapat dicegah antara lain infeksi, trauma, intoksikasi, komplikasi kehamilan,
gangguan metabolisme, kelainan genetik.

Referensi
1. Shonkoff JP. Mental Retardation. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB,
Stanton BF, penyunting. Nelson Textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia;
Saunders Elsevier: 2007. h. 125-9
2. Kastner W. Mental Retardation : Behavioral Probelms Palsy. Dalam Parker S,
Zuckerman B. Development and Behavioral Pediatric. 2nd ed. Philadelphia; Lippincott
2005. p 234-7
3. Coulter DL. Mental Retardation : Diagnostic Evaluations. Dalam Parker S, Zuckerman
B. Development and Behavioral Pediatric. 2nd ed. Philadelphia; Lippincott 2005. p
238-241
4. Williams J, Venning H. Physical disability. Dalam Polnay L. Community
Paediatrics.3rd ed. Edinburgh; Churcill 2003 pp503-6.
5. Falconbridge J. Counselling. Dalam Polnay L. Community Paediatrics.3rd ed.
Edinburgh; Churcill 2003 pp469-478

6. Metode Pengajaran dan Aktivitas Pembelajaran


Pada bagian ini, mahasiswa akan melakukan kegiatan pembelajaran berupa:
- CRS : Case Report Session
Dipilih 4 kasus per kelompok sesuai dengan kompetensi 3 dan 4 pada kasus
rawat jalan dan rawat inap. Kasus ditampilkan secara pleno dipimpin oleh
preseptor
- CSS : Clinical Science Session
Dipilih 1 topik untuk setiap kelompok sesuai dengan kompetensi 3 dan 4 dari
literatur berupa jurnal, review artikel, guideline, atau bedah buku. CSS
ditampilkan secara pleno dipimpin oleh preseptor
- BST : Bed Side Teaching
Dilakukan minimal 2 kali perminggu di ruang rawat, ruang perasat dan
poliklinik. Diskusi diruangan akan dipimpin oleh preseptor
- Journal reading : Dilakukan minimal 2 kali perminggu dengan kompetensi 3 dan 4 dari
jurnal original article.
- MTE : Meet The Expert
Berupa kuliah pakar / diskusi topik dengan judul dan narasumber yang ditetapkan
oleh Kodik

77
- Jaga Malam: Kegiatan jaga malam di rawat inap dan IGD
- Diskusi : Kegiatan diskusi dengan preseptor atau mentor

7. Sumber Daya
1. Jadwal Kegiatan
Jadwal Aktivitas Mingguan di Bagian Ilmu Kesehatan Anak

Jam Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu

07.00 Mengisi Mengisi Mengisi Mengisi Mengisi Dinas jaga


absen absen absen absen absen
(07.00-07.00 WIB
07.00- Visiste dan Visited an Visited an Visited an Visited an keesokan harinya)
08.00 follow up follow up follow follow up follow up
pasien pasien up pasien pasien pasien

08.00- Kegiatan Referat Kegiatan Laporan jaga Kegiatan


09.00 preceptor preceptor preceptor
(CRS/BST (CRS/BS (CRS/BST
09.00- Kegiatan Kegiatan
) T) )
12.00 preceptor preceptor
(CRS/BST (CRS/BST
) )

12.00- Istirahat Istirahat Istirahat Istirahat Istirahat


13.00

13.00- Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan


15.00 preceptor preceptor preceptor preceptor preceptor
(CRS/BST (CRS/BST (CRS/BS (CRS/BST (CRS/BST
) ) T) ) )

15.00- Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan


16.00 mentoring mentoring mentorin mentoring mentoring
g

16.00 Mengisi Mengisi Mengisi Mengisi Mengisi


absen absen absen absen absen

16.00- Dinas jaga Dinas jaga Dinas jaga Dinas jaga Dinas jaga
07.00

78
Jadwal Aktivitas Poliklinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Jam Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu

07.00 Mengisi Mengisi Mengisi Mengisi Mengisi Dinas


absen absen absen absen absen jaga

07.00- Sudah Sudah Sudah Sudah Sudah (07.00-


08.00 berada di berada di berada di berada di berada di 07.00 WIB
poliklinik poliklinik poliklini poliklinik poliklinik keesokan harinya)
k

08.00- Memeriksa Referat Memeriksa Laporan jaga Memeriksa


09.00 pasien, pasien, pasien,
melakukan melakuk melakukan
09.00- Memeriksa Memeriksa
pemeriksa an pemeriksa
12.00 pasien, pasien,
an KPSP, pemeriks an KPSP,
melakukan melakukan
imunisasi aan imunisasi
pemeriksa pemeriksa
KPSP,
an KPSP, an KPSP,
imunisas
imunisasi imunisasi
i

12.00- Istirahat Istirahat Istirahat Istirahat Istirahat


13.00

13.00- Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan


15.00 preceptor preceptor preceptor preceptor preceptor
(CRS/BST (CRS/BST (CRS/BS (CRS/BST (CRS/BST
) ) T) ) )

15.00- Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan Kegiatan


16.00 mentoring mentoring mentorin mentoring mentoring
g

16.00 Mengisi Mengisi Mengisi Mengisi Mengisi


absen absen absen absen absen

16.00- Dinas jaga Dinas jaga Dinas jaga Dinas jaga Dinas jaga
07.00

79
TOPIK MEET THE EXPERT :
No Hari Topik Nama
1 MTE1 Resusitasi Neonatus
Perawatan Rutin Bayi Baru Lahir
2 MTE2 Imunisasi Disesuaikan dengan
jadwal

3 MTE3 MTBS
4 MTE4 Resep
5 MTE5 Diagnosis TB dan Asma pada anak
6 MTE6 Syok anafilatik
7 MTE7 Anemia pada anak
8 MTE8 Manajemen laktasi
9 MTE9 BHD dan resusitasi cairan
10 MTE10 Jadwal pemberian makan dan catch up
growth

2. Sarana Pra Sarana : RS Pendidikan dan RS Jejaring


 Rumah Sakit Pendidikan Utama : RSUP dr. M. Djamil Padang
 RS Jejaring :
- RS Achmad Moechtar Bukittinggi
- RS Adnan WD Payakumbuh
- RS Harnafiah Batusangkar

3. Staf Pengajar (Preseptor, dsb)

Infeksi DR. Dr Rinang Mariko, SpA(K)


Neurologi Dr. Iskandar Syarif, SpA(K)
Dr. Rahmi Lestari, SpA(K)
Nutrisi Penyakit Dr. Gustina Lubis, SpA(K)
Metabolik Dr. Nice Rachmawati Masnadi, SpA(K)

80
Emergensi dan DR. Dr. Mayetti SpA(K), IBCLC
rawat intensif Dr. Indra Ihsan, SpA(K) M.Biomed
anak
Gastrohepatologi Dr. Yorva Sayoeti, SpA(K)
DR. Dr. Yusri Dianne Jurnalis, SpA(K)
Kardiologi Anak Dr. Didik Hariyanto, SpA(K)
Neonatologi Dr. Eny Yantri, SpA(K)
Dr. Anggia Perdana Harmen, SpA
Dr. Devi Novriyanti, SpA
Alergi Dr. Rusdi, SpA(K)
Imunologi Dr. Riri Dwipinta Sari, SpA, M.Biomed
Hematoonkologi Dr. Firman Arbi, SpA(K)
Dr. Amirah Zatil Izzah, SpA(K)
Dr. Ade Nofendra, SpA
Respirologi Prof. Dr. Darfioes Basir, SpA(K)
DR. Dr. Finny Fitry Yani, SpA(K)
Nefrologi Dr. Aumas Pabuti, SpA(K) MARS
Dr. Fitrisia Amelin, SpA(K)
Endokrinologi Dr. Eka Agustia Rini, SpA(K)
Dr. Khairunnisa, SpA
Tumbuh DR. Dr. Eva Chundrayetti, SpA(K)
Kembang Dr. Asrawati, M.Biomed SpA(K)
Pediatri Sosial

8. Evaluasi Pembelajaran
8.1. Rancangan Tugas dan Latihan
 Pengisian Logbook
 Pembuatan Case Report dan pembacaan jurnal
 Jaga Malam dan Laporan Jaga
 Pembuatan Status Bayangan

8.2
81
8.3 Evaluasi Hasil Pembelajaran
Evaluasi akhir merupakan gabungan dari komponen :

NO PENILAIAN BOBOT

1 Formatif
 Pre test
 Post test
 Mini Cex Persyaratan ujian sumatif
 Status bayangan
 Disiplin terhadap peraturan,
kehadiran sehari-hari dan tugas jaga

2 Sumatif
 OSCE (kognitif dan psikomotor) 30%

 MCQ

 Preseptor: BST, CSS, CSR, diskusi,


Profesional behavior 70%

Catatan:
1. Nilai formatif merupakan syarat untuk ujian sumatif
2. Mahasiswa yang belum memenuhi syarat formatif, masih boleh ujian sumatif tapi nilainya
BL
- Dalam 2 minggu bila mahasiswa tidak memenuhi persyaratan, nilai mahasiswa
menjadi D, dengan syarat dilaporkan oleh Kodik.
- Bila Kodik tidak melaporkan pada Fakultas, maka nilai mahasiswa menjadi B

82
8.4 Evaluasi Program Pendidikan

UMPAN BALIK DOKTER MUDA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

Tidak Ragu-
No Umpan Balik Setuju
Setuju ragu
A. Evaluasi Umum

1 Penerimaan dokter muda diawal siklus tepat waktu sesuai


jadwal
2 Dokter muda keluar dari siklus tepat waktu sesuai jadwal

Sarana dan prasarana untuk kegiatan kepaniteraan klinik sudah


3
mencukupi (ruang kuliah, audio visual, manekin simulasi,
internet, dll)
4 Sekretariat menjalankan tugasnya dengan baik

5 Ketua bagian / Koordinator Pendidikan menjelaskan tugas,


hak, dan kewajiban anda diawal siklus

6 Ketua bagian / Koordinator Pendidikan memberikan umpan


balik terhadap kegiatan kepaniteraan klinik diakhir siklus
7 Modul dan Logbook tersusun baik dan mudah dipahami

8 Modul dan Logbook menjelaskan sasaran pembelajaran dan


target pencapaian dengan jelas
9 Ruang dokter muda dan fasilitas toilet sudah memadai

10 Terdapat hubungan yang baik antara dokter muda dengan staf


rumah sakit, residen, dan staf pengajar
11 Waktu pelaksanaan siklus dirasakan sudah cukup

83
12 Metode pembelajaran memicu anda untuk berpartisipasi aktif

13 Secara umum kegiatan dalam siklus ini telah mencukupi untuk


memenuhi standar kompetensi yang harus dicapai

B. Evaluasi Preseptorship

14 Kegiatan BST dilakukan sesuai target (2-3 kali perminggu)

15 Kasus dalam kegiatan BST sesuai dengan standar kompetensi


yang diharapkan

16 Preseptor menjalankan tugasnya dalam membimbing dokter


muda dengan baik

17 BST dengan preseptor bermanfaat untuk meningkatkan


pemahaman dokter muda dibidang kardiologi

18 CSS bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dokter muda


dibidang kardiologi

19 CRS bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dokter


muda dibidang kardiologi

20 MTE bermanfaat untuk meningkatkan pemahaman dokter


muda dibidang kardiologi
C. Evaluasi Kegiatan dalam siklus

21 Rotasi di bangsal IKA bermanfaat untuk dokter muda

22 Rotasi di poli IKA bermanfaat untuk dokter muda

23 Kegiatan Jaga malam bermanfaat untuk dokter muda

24 Beban kerja anda dalam siklus dapat ditangani dengan baik


dan tidak terasa berlebihan

84
D. Instrumen Evaluasi

25 Instrumen evaluasi yang digunakan diakhir siklus telah sesuai


dengan sasaran pembelajaran
26 Dokter Muda mendapatkan umpan balik setelah evaluasi

27 Instrumen evaluasi yang digunakan berkorelasi dengan


UKMPPD
E. Umpan Balik Dokter Muda

30. Keunggulan dari siklus Ilmu Kesehatan Anak :

31. Kekurangan dari siklus Ilmu Kesehatan Anak:

32. Saran untuk perbaikan modul dimasa datang :

33. Tingkat kepuasan anda secara keseluruhan selama pelaksanaan modul ini (lingkari angka

yang sesuai)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

85
LAMPIRAN

Fom Penilaian BED SIDE TEACHING IKA

Tanggal :………………………………….
Diagnosis /Masalah Pasien :………………………………
Situasi Ruangan : a. Rawat Jalan b. Rawat Inap c.IGD\
Pasien a.Umur b. Jenis Kelamin c. Bari /Folow
Up :

Fokus a. Data b. Diagnosis c. Terapi


Presentan :

No Nama Dokter BP 1 2 3 4 5 6 7 Hasil Akhir


Muda
( Average 1 – 7)

Keterengan

1. Kemampuan Wawancara Medis : Riwayat Penyakit Pasien


2. Kemampuan Pemeriksaan Fisik : Pemeriksaan Fisik Diagnostik Pasien
3. Kualitas Humanistik/Profesionalisme : Profesionalisme pasien untuk
pelayanan Kesehatan
4. Keputusan Klinis dan Informasi Gathering : Fund of Knowledge dan dapat
dipresentasikan dan data sintesis sesuai dengan
persetujuan dan perencanaan
5. Konseling : Interpersonal dan Kemapuan
Komunikasi
6. Organisasi /Efisiensi : Sistematika Pengumpulan dan
Penyajian dari Riwayat Penyakit Pasien dan Pemeriksaan Fisik
7. Kompetensi Klinik Keseluruhan : Self Assessment : membaca ,Kritik
appraisal ,dan mengunakan teknologi informasi untuk
Kemampuan klinik /pelayaan kesehatan pasien
Mempelajari kesalahan dan belajar dari
kesalahan Partisipan

No Nama Dokter BP 1 2 3 4 5 6 7 Hasil Akhir


Muda
( Average 1 – 7)

86
4

Standar Nilai :
56 -59 60-63 64-65 66-71 72 -75 76-79 80-100
Kurang Sekali Kurang Cukup Baik Ba ik Sekali

*Nilai Batas Lulus ( NBL) : 66

87
Form Penilaian CASE REPORT SESSION IKA
Tanggal :.............................................................
Case : .............................................................
Presenter : ………………………………….............

Presentan :

No Nama Dokter Muda NPM 1 2 3 4 5 6 7 Hasil Akhir

( Average 1 – 7)

Item yang dievaluasi :

1. Kemapuan mempresentasikan ringkasan tinjauan kasus


2. Kemampuan Mengindentifikasi dan Mendikusikan elemen penting permasalahan pasien
3. Kemapuan Mengindentifikasikan dan mendiskusikan mekanisme poko yang terlibat
4. Kemampuan menghubungkan ,mengunakan ,danmengintegrasikan informasi ilmu dasar ke
dalam penjelasan menyeluruh dari permasalahan pokok
5. Kemampuan membedakan antara penyebab dan akibat kejadian permasalahan
6. Kemampuan untuk memverbalkan pengetahuan mereka selama pesentasi
7. Pengorganisasian dan kelengkapan semua analisis kritis mereka
8. Penampilan mahasiswa : Sistematika,sikap,dan komunikasi
9. Partisipan

No Nama Dokter NPM 1 2 3 4 5 6 7 Hasil Akhir


Muda
( Average 1 – 7)

Item yang dievaluasi :


1. Partisipasi selama diskusi
2. Kemapuan untuk menyebarkan pengetahuan mereka selama presentasi
3. Penampilan Mahasiswa : Sistematika ,Sikap,dan Komunikasi
4. Penampilan Mahasiswa : Sikap,dan Komunikasi

88
5. Kemampuan Mengitifikasikan dan Mendiskusikan Mendiskusikan mekanisme pokok yang
terlibat
Standar Nilai :
56 -59 60-63 64-65 66-71 72 -75 76-79 80-100
Kurang Kurang Cukup Baik Baik Sekali
Sekali
*Nilai
Batas Lulus ( NBL) : 66

89
JOURNAL READING
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER MUDA
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
Tanggal :.............................................................
Journal Reading : .............................................................

Presentan :

No Nama Dokter Muda NPM 1 2 3 4 5 6 7 8 Hasil Akhir

( Average
1 – 8)

Item yang dinilai :

1.
Kemampuan mempresentasikan ringkasan tinjauan kasus
2.
Kemampuan mengidentifikasi dan mendikusikan elemen penting permasalahan pasien
3.
Kemapuan mengidentifikasi dan mendiskusikan mekanisme pokok yang terlibat
4.
Kemampuan menghubungkan ,mengunakan ,dan mengitegrasikan informasi ilmu dasar ke
dalam penjelasan menyeluruh dari permasalahan pokok
5. Kemampuan membedakan antara penyebab dan akibat kejadian permasalahan
6. Kemampuan untuk memverbarkan pengetahuan mereka selama presentasi
7. Pengorganisasian dan kelengkapan semua analisis kritis mereka
Penampilan dokter muda : Sistematika

No Nama Dokter NPM 1 2 3 4 Hasil Akhir


Muda
( Average 1 – 4)

Item yang dinilai :

1. Partisipasi selama diskusi


2. Kemampuan mengidentifikasi dan mendiskusikan permasalahan pasien
3. Kemampuan menyampaikan alternatif pemecahan masalah pasien
4. Sikap dan Komunikasi dalam berdiskusi

90
Standar Nilai :

>85<100 >75 <80 >70< 75 >65<70 >65<70 >60<65 >55<60 >50<55 >45<50 <45
A A- B+ B B- C+ C C- D E

91
FORMULIR MINI-CEX (Mini Clinical Evaluation Exercise)

UNTUK UJIAN KOMPETENSI KLINIK ROTASI I

Penilai : ________________________ Tanggal : __________

Mahasiswa : __________________________

Problem pasien/diagnosis : __________________________________________________

Situasi Ruangan :  Rawat jalan  Rawat inap  IGD  Lain-lain

Pasien : Umur : ______________Jenis kelamin:____________  Baru  Follow up

Tingkat kerumitan :  Rendah  Sedang  Tinggi

Fokus :  Data gathering  Diagnosis  Terapi  Konseling

NILAI

85 -100 80 - <85 75-<80 70-<75 65-<70 60 -<65 55 - <60 50 - <55 40 <50 <40

A A- B+ B B- C+ C C- D E

NO Presentasi
Nilai % Nilai

1. 1. Salam 5
2. Memperkenalan Diri
3. Indetits Pasien
4. Cuci Tangan
1 Anamnesis 20

2 Pemeriksaan Fisik 20

3 Diagnosis 20

4 Planing / Mengelolah Pasien 10

92
5 Evidence 5

6 Kemampuan Konseling 5

7 Humonistik/Profesionalime 5

8 Kompetensi Keseluruhan 10

TOTAL

Keterangan : NBL = 70

CATATAN

1. Waktu mini-CEX : Observasi : ____menit. Memberikan umpan balik : ____ menit

2. Kepuasan penilai terhadap mini - CEX

a. Kurang sekali b. Kurang c. Cukup d. Baik e. Baik sekali

3. Kepuasan Dokter Muda terhadap mini-CEX

a. Kurang sekali b. Kurang c. Cukup d. Baik e. Baik sekali

Tanda tangan penilai Tanda tangan Pendamping

(______________________) (______________________)

93

Anda mungkin juga menyukai