Anda di halaman 1dari 123

AN TATA LAKSANA

EPILEPSI
ang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta:

g dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi


aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
denda paling banyak Rpl00.000.000 (seratus juta rupiah).

ng dengan tanpa hak dan:/atau tanpa izin Pencipta atau


Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/
k Penggunaan Secar a Komersial dipidana dengan pidana
ma 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
(lima ratus juta rupiah).

ng dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau


Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta
aksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/
k Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana
ma 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
0(satu miliar rupiah).

ng memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat


n dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana
ma 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
(empat miliar rupiah).
KONTRIBUTOR

Aida Fithrie, dr., Sp.S(K) Herlina Suryawati, dr., Sp.S


Medan Semarang
Anak Agung Ayu Meidiary, dr., Dr. Herlyani Khosama, dr., Sp.S(K)
Sp.S(K) Manado
Denpasar
Karema Winifred, dr., Sp.S(K)
Dr. Anna MG Sinardja, dr., Sp.S(K) Manado
Denpasar
Dr. Kurnia Kusumastuti, dr., Sp.S(K)
Aris Catur Bintoro, dr., Sp.S(K) Surabaya
Semarang
Machlusil Husna, dr., Sp.S(K)
Dr. Astri Budikayanti, dr., Sp.S(K) Malang
Jakarta
Neimy Novitasari, dr., Sp.S
Atitya Fithri Khairani, dr., Sp.S, M.Sc Surabaya
Yogyakarta
Dr. Nova Dian Lestari, dr., Sp.S
Dr. Audry Devisanty Wuysang, dr., BandaAceh
Sp.S, M.Si
RR. Josephine Retno Widayanti, dr.,
Makasar
Sp.S
Christianus Rumantir, dr., Sp.S Jakarta
Pekanbaru
Sri Handayani, dr., Sp.S
Corry Novita Mahama, dr., Sp.S(K) Palembang
Manado
Dr. Suryani Gunadharma, dr.,
Dr. Diah Kurnia Mirawati, dr., Sp.S(K) Sp. S(K),M.Kes
Surakarta Bandung
Donny Hamid, dr., Sp.S(K) Dr. Susi Aulina, dr., SpS(K)
Jakarta Makasar
Dr. Endang Kustiowati, dr., Sp.S(K), Dr. Uni Gamayani, dr., Sp.S(K)
MSi.Med Bandung
Semarang
Wardah Rahmatul Islamiyah, dr.,
Dr. Fitri Octaviana, dr., Sp.S(K), MPd. Sp.S(K)
Ked Surabaya
Jakarta
Hendra Permana, dr., Sp.S, M.Biomed
Padang
PRAKATA
Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan
karunia-Nya maka akhirnya buku Pedoman Tata Laksana Epilepsi edisi keenam
2019 dapat diselesaikan oleh Kelompok Studi Epilepsi PP PERDOSSI.
Buku ini diharapkan menjadi pedoman bagi dokter spesialis saraf dalam
penatalaksanaan epilepsi. Perubahan yang cukup besar terdapat pada Bab 1,
tentang terminologi dan klasifikasi bangkitan epileptik menurut International
League Against Epilepsy (ILAE) 2017, menggantikan terminologi dan klasifikasi
bangkitan epileptik 1981 dan klasifikasi epilepsi ILAE 201Z Pada klasifikasi 2017
ini epilesi dibagi menjadi 3, yaitu epilepsi fokal, general, dan kombinasi fokal
dan general yang sebelumnya tidak terklasifikasikan. Status epileptikus juga
mengalami perubahan tata laksana disesuaikan durasi bangkitannya sesuai
Tl (5 menit) dan T2 (30 menit). Buku Pedoman Tata Laksana Epilepsi ini secara
garis besar sudah disesuaikan dengan kondisi maupun sarana prasarana yang
ada di Indonesia, misalnya beberapa obat anti-epilepsi yang memang belum
ada di Indonesia dan beberapa sarana penunjang yang belum merata dimiliki
oleh seluruh rumah sakit di Indonesia. Epilepsi sebagai salah satu penyakit
saraf pusat telah dan selalu mendapat perhatian luar biasa dari para ahli dan
hasilpenelitian tentang epilepsi, baik aspek biomolekuler, klinik, farmakologi,
reproduksi, komunitas, psikososial dan medikolegal, maupun epidemiologi
telah mengubah pendekatan tata laksana epilepsi secara mendasar.
Semoga kehadiran buku ini bermanfaat bagi para sejawat yang
berhubungan langsung dengan pelayanan dan pendidikan epilepsi dan
masyarakat pemerhati epilepsi.
Wabillahi taufik wal hidayah, Wassalamualaikum wr.wb.

Surabaya, Juni 2019


Kelompok Studi Epilepsi PP PERDOSSI
Ketua,

. ,,,,-

DR. Dr. Kurnia Kusumastuti, Sp.S(K)

vii
SAMBUTAN
KETUA UMUM PENGURUS PUSAT PERHIMPUNAN DOKTER
SPESIALIS SARAF INDONESIA (PP PERDOSSI)

Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Salam Sejahtera untuk Kita semua


Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang dengan
ridlo-Nya telah memberikan semangat dan tenaga kepada anggota Kelompok Studi
Epilepsi PP PERDOSSI, sehingga bisa menerbitkan Buku Pedoman Tata Laksana
Epilepsi edisi ke-6 tahun 2019. Dengan terbitnya buku ini, maka buku edisi sebelumnya
sebaiknya tidak digunakan kembali. Buku terbitan baru ini, diharapkan dapat tetap
menjadi rujukan bagi setiap Dokter Spesialis Neurologi, maupun peserta didik Program
Studi Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi, dalam tata laksana penanganan epilepsi.
Saat ini aspek medikolegal menjadi bagian penting dalam praktik kedokteran, sehingga
dibutuhkan suatu buku yang bisa menjadi pedoman dalam tata laksana pasien
epilepsi.
Penambahan referensi paling mutakhir yang komprehensif adalah syarat mutlak
dalam memperbarui (updating) suatu buku yang terbit sebelumnya. Dengan penambahan
referensi mutakhir dan beberapa perubahan mendasar lainnya, seperti: (1) perubahan
terminologi dan klasifikasi bangkitan epilepsi ILAE 2017 (menggantikan edisi tahun
1981); (2) klasifikasi epilepsi, ILAE 2017; dan (3) terapi farmakologis terkini, menjadikan
buku ini sebagai rujukan yang makin ideal dalam menangani berbagai aspek dari
epilepsi, baik aspek medis, sosial maupun medikolegal. Maka tidak berlebihan bila
buku baru ini dapat memperkaya visi ilmiah dan meningkatkan profesionalisme para
pembacanya.
Saya berharap Kelompok Studi Epilepsi dapat terns berkarya, dengan selalu
memperbarui buku Pedoman Tata Laksana Epilepsi secara periodik. Saya melihat
kemajuan besar pada Kelompok Studi Epilepsi yang berhasil mencantumkan hasil
penelitian epidemiologinya sebagai salah satu bahan rujukan. Saya berharap, di
kemudian hari penelitian-penelitian yang dilakukan Kelompok Studi Epilepsi
maupun anggotanya semakin berkembang, sehingga bis'.'1- dijadikan bahan rujukan dan
pertimbangan dalam menyelesaikan masalah epilepsi.
Akhirnya, saya mengucapkan selamat kepada Kelompok Studi Epilepsi yang telah
bersemangat untuk menerbitkan buku ini. Semoga usaha keras ini bisa menjadi amal
ibadah bagi semua yang terlibat dalam pembuatan dan penerbitan buku ini. Selamat
membaca dan terima kasih.

Wassalaamu'alaikum Wr. Wb.

Surabaya, 12 Juni 2019


PPPERDOSSI

Prof. Dr. dr. Moh. Hasan Machfoed, Sp.S(K), M.S


Ketua Umum
DAFTAR ISi

Kontributor v
Prakata vii
Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat Perdossi ix
Bab 1 Bangkitan Epileptik
Kurnia Kusumastuti, Wardah Rahmatul Islamiyah,
Rr. Josephine Retno Widayanti 1
Bab 2 Epilepsi
Endang Kustiowati, Diah Kurnia Mirawati, Machlusil Husna,
Suryani Gunadharma, Aris Catur Bintoro, Herlina Suryawati,
Neimy Novitasari, Susi Aulina, Atitya Khairani........................ 13
Bab 3 Sindrom Epilepsi
Suryani Gunadharma, Herlyani Khosama, Uni Gamayani,
Audry Devisanty Wuysang 59
Bab 4 Status Epileptikus
Fitri Octaviana, Aida Fithrie, Corry Novita Mahama,
Hendra Premana .... :.......................................................................... 83
Bab 5 Sudden UnexPected Death in
Epilepsy (SUDEP)
Hendra Permana, Aida Fithrie, Corry Novita Mahama,
Fitri Octaviana . .. .. .. .. .. . .. .. .. .. .. .. .. .. . .. . .. 99
Bab 6 Epilepsi Resistan Obat
Astri Budikayanti, Donny Hamid, Sri Handayani..................... 101
Bab 7 Aspek Psikososial dan Medikolegal Epilepsi
Anna Marita Geigel, Anak Agung Ayu Meidiary,
Winifred Karema, Nova Dian Lestari,
Christian us Rumantir .. . .. . . .. .. .. . . .. .. . .. .. . .. . .. .. 105
BAB 1

BANGKITAN EPILEPTIK
Kurnia Kusumastuti, Wardah Rahmatul Islamiyah,
RR. Josephine Retno Widayanti

PENDAHULUAN
Studi berbasis populasi menunjukkan bahwa sekitar 8-10% populasi akan
mengalami bangkitan dalam masa hidupnya. Hanya sekitar 2-3% yang akan
berlanjut menjadi epilepsi. Insiden epilepsi di seluruh dunia adalah 50,4 per
100.000 per tahun.1 Pasien dengan keluhan bangkitan perlu dievaluasi secara
sistematis. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI)mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di 15 kota
pada tahun 2013selama 6 bulan. Didapatkan 2.288pasien terdiri atas 487 kasus
baru dan 1.801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ± 16,9 tahun,
sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9%
pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter
umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak berobat. 2

DEFINISI
Bangkitan epileptik adalah terjadinya tanda/gejala yang bersifat sesaat akibat
aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak. 3

DIAGNOSIS
Langkah diagnosis:
1. menentukan bangkitan epileptik atau non-epileptik; dan
2. menentukan bangkitan dengan atau tanpa provokasi.

MENENTUKAN BANGKITAN EPILEPTIK ATAU NON-EPILEPTIK


Bangkitan non-epileptik adalah terjadinya tanda/gejala yang tidak diakibatkan
oleh aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.
Bangkitan non-epileptik pada dewasa:4'5
1. sinkop;
a. neurovasogenik
b. penyebab kardiak
2. serangan psikogenik;
a. bangkitan nonepileptik psikogenik
b. depersonalisasi/derealisasi
c. serangan panik
d. serangan hiperventilasi
3. breath holding attack (biru dan pucat);
4. gangguan jantung;
a. pemanjangan interval QT
b. adam stokes
c. sick sinus syndrome
d. Hypertrophic Obstructive Cardiomyopathy (HOCM)
e. abberant coronary artery origin
5. benign paroxysmal vertigo;
6. self service (masturbasi);
7. gangguan tidur (sleepwalking, night terror, nightmare, narcolepsy, cataplex);
8. gangguan gerak;
a. diskinesia paroksismal
b. mioklonus
c. hiperekpleksia
d. restless leg syndrome
9. transient ischaemic attack;
10. migraine;
11. transient global amnesia; dan
12. gangguan metabolik
a. hipo/hiperglikemi
b. gangguan elektrolit.

Bangkitan non-epileptik pada anak-anak:"


1. respons mengejutkan fisiologis (Physiological startle response);
2, benign neonatal sleep muocionus;
3. gemetar atau menggigil;
4. refluks gastro-esofagus ekstrim (Sindroma Sandifer);
5. posisi deserebrasi yang disebabkan karena herniasi tonsilar serebelum pada
hidrosefalus atau peningkatan tekanan intrakranial akut akibat meningitis/
ensefalitis;
6. spasme distonia pada palsi serebral spastik/diskinetik keempat ekstremitas
berat:
7. sindroma opsoklonus-mioklonus;
8. sindroma nyeri paroksismal ekstrem;
9. munchausen syndrome by proxy (gangguan mental yang ditandai seseorang
menciptakan gejala atau penyakit pada diri mereka atau anak mereka untuk

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


mendapat investigasi, penanganan, perhatian, simpati, dan kenyamanan
dari tenaga medis. Dalam beberapa hal, orang yang menderita sindrom
Mii.nchausen memiliki pengetahuan medis yang tinggi.); dan
10. "thought arrest" atau melamun.

Tabel 1. Perbedaan antara bangkitan epileptik dan sinkop.4'5'6

Gambaran klinis Bangkitan epileptik Sinkop/sinkop vasovagal


Faktor pencetus Kurang tidur, stimulasi Berdiri lama, suhu
fotik, hiperventilasi lingkungan panas, tempat
yang ramai, belum makan,
lingkungan yang tidak
nyaman, nyeri
Postur Berbagai postur Berdiri, jarang terjadi saat
jalan atau berlari
Pucat dan berkeringat Jarang Khas
Onset Mendadak Bertahap
Hilangnya penglihatan/ Mendadak Bertahap
pendengaran
Bagian lateral lidah tergigit Sering Jarang
Kejang menghentak Sering Jarang, kadang muncul
hanya beberapa detik
Inkontinensia Sering Jarang
Tidak sadar Menit Detik
Pemulihan Sering kali lambat Cepat bila pada posisi
su inasi
Mengantuk setelah serangan Sering Jarang
Aktivitas motorik Pola bangkitan khas Myoclonic jerk (durasi
(tonik, klonik, tonik- singkat, pemulihan cepat)
klonik) setelah sebelumnya pasien
kehilangan psotur
Gerakan lengan dan tungkai Jarang Sering (myclonus
tidak sinkon multifokal)
Opistotonus arc de cercle Sangat jarang Kadang-kadang (postur
decerebrate)
Refleks cahaya Seringkali menurun Normal
Luka cedera Sering Jarang
Serangan saat malam hari atau Sering Jarang
tidur

Bangkitan nonepileptik psikogenik (Psychogenic Non Epileptic Seizures - PNES)


banyak terjadi pada perempuan (80%) dengan rata-rata usia 31±15 tahun.
Mayoritas pasien PNES pengangguran dan 46% di antaranya didiagnosis
anxietas atau depresi.4,7,5

BANGKITAN EPILEPTIK
Tabel 2. Perbedaan bangkitan epileptik dan bangkitan nonepileptik psikogenik.r"

Bangkitan Bangkitan nonepileptik


epileptik psikogenik
Onset Mendadak Bertahap
Kesadaran baik Jarang Bervariasi
Posisi pelvis terangkat Jarang Sering
Gerakan anggota gerak Jarang Sering
tidak sinkron
Tubuh berguling Jarang Sering
Sianosis Dapat terjadi Jarang
Lidah tergigit Biasanya sisi lateral Ujunglidah
Durasi detik atau menit Sering memanjang hingga
beberapa menit
Lirikan mata (Gaze aversion) Jarang Sering
Berusaha kuat menahan Jarang Sering
gerakan ekstremitas pasif
atau membuka mata
Mengantuk pascaiktal Sering Jarang
Bisa diperintah Tidak bisa Dapat menuruti perintah
Abnormalitas EEG iktal Abnormal Normal
Lingkungan Bisa terjadi di mana Sering kali hanya muncul bila
pun situasi atau keberadaan orang
tertentu
Refleks cahaya Seringkali menurun Normal
Memburuk dengan Jarang Sering
antiepilepsi
Serangan di depan dokter Jarang Sering
Banyak keluhan fisik lain Jarang Sering
penyerta

Tabel 3. Diagnosis banding serangan panik dan ictal anxietas.4

Serangan panik Ansietas iktal


primer
Gambaran klinis
Kesadaran Sadarbaik Lama-lama terganggu
Durasi 5-10 menit 0,5-2 menit
Otomatisme Sangat jarang Seringkali berkembang menjadi
tipe bangkitan onset fokal
dengan gangguan kesadaran
Serangan saat malam hari Jarang (biasanya Bisa terjadi dan seringkali
saat pasien bangun) membuat pasien tiba-tiba
terbangun
Gejala subjektif

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Serangan panik Ansietas iktal
primer
Deja vu, halusinasi Sangat jarang >5%
Gejala depresi Sering Kadang-kadang
Berhubungan dengan Tidakada Tampak jelas perbedaan antara
kecemasan yang normal perbedaan subjektif kondisi normal dan ketakutan
antara ketakutan saat iktal
normaldan
serangan panik
Hasil pemeriksaan
EEG interiktal Biasanya normal Seringkali abnormal
EEGiktal Biasanya normal Abnormal
MRI kepala (fokus lobus Biasanya normal Seringkali abnormal
temporal)

KLASIFIKASI TIPE BANGKITAN

~~~~R_o_c_a_l_O_n_s_e_t~~~~I ~I ~~G_e_n_e_r_a_l_O_n_s_e_t~~I ~I ~~Ll_n_kn~ow~n_O~n_se_t~~

Aware Impaired Motor Motor


Awareness Tonic clonic Tonic-clonic
Clonic Epileptic spasm
Tonic Non-motor
Motor A tonic Behavior arrest
Myoclonic
Automatism
Myoclonic-tonic-
A tonic* clonic Unclasssified
Clonic Myoclonic-atonic
Epileptic spasm* Epileptic spasm
Hyperkinetic Non-motor (absence)
Myoclonic Typical
Tonic Atypical
Non-motor Myoclonic
Autonomic Eyelid myoclonia
Behavior arrest
Cognitive
Emotional
Sensory

Focal to bilateral tonic clonic

Gambar 1. Klasifikasi tipe bangkitan ILAE 2017 (versi lengkap).


*Derajat awareness urnurnnya tidak disebutkan dengan spesifik.8

BANGKITAN EPILEPTIK
Tabel 4. Keterangan terminologi pada klasifikasi tipe bangkitan.8

TinP Banakitan KPtPran{ran


Focal onsetlfokalBerasal dari jaringan (network) yang terbatas dalam satu hemisfer.
Sumbernya bisa terlokalisasi dengan jelas atau tersebar ke
sekelilingnya.
General onset/ Berasal dari suatu titik lokasi yang menyebar dengan cepat ke
umum kedua hemisfer.
Aware Menyadari diri dan lingkungannya.
Motor Melibatkan otot dalam berbagai bentuk gerakan dapat berupa
peningkatan kontraksi otot (positif) atau berkurangnya kontraksi
(ne atif).
Automatism Aktivitas motorik yang terkoordinasi, sering menyerupai gerak
volunter. Biasanya muncul dengan gangguan kesadaran sehingga
setelahnya pasien tidak ingat.
A tonic Hilang atau berkurangnya tonus otot mendadak tanpa adanya
mioklonik atau tonik sebelumnya. Berlangsung 1-2 detik,
melibatkan kepala, tubuh, rahang, atau ekstremitas atas dan
bawah.
Clonic Gerak menghentak-hentak (jerking), simetris atau asimetris,
berulang secara regular.
Epileptic Spasm Gerakan mendadak berupa fleksi, ekstensi, atau gabungan
ekstensi dan fleksi otot proksimal dan otot batang tubuh (truncal).
Durasi bangkitan lebih lama dari bangkitan mioklonik, namun
lebih singkat dari bangkitan tonik. Epileptic spasm sering muncul
berkelompok (cluster). Meskipun infantile spasm merupakan bentuk
yang paling dikenal, namun spasm dapat muncul di segala usia.
Myoclonic Gerakan involunter tiba-tiba, singkat (<100 milidetik) berupa
kontraksi otot tunggal atau multipel pada anggota gerak
proksimal, distal, atau aksial. Durasi mioklonus lebih singkat
dari klonus, serta kurang ritmis dibandingkan klonus.
Tonic Peningkatan kontraksi otot yang berlangsung beberapa detik
samoai beberaoa menit.
Tonic-clonic Bangkitan berurutan berupa bangkitan tonik diikuti bangkitan
klonik.
Myoclonic-tonic- Bangkitan mioklonik diikuti dengan bangkitan tonik-klonik, Tipe
clonic bangkitan ini umum ditemui pada juvenile myoclonic epilepsy.
Myoclonic-atonic Bangkitan mioklonik diikuti dengan bangkitan atonik.
Nonmotor Tipe bangkitan fokal atau general tanpa disertai aktivitas motorik
v,mg menonjol.
Autonomic Perubahan sistem saraf otonom yang melibatkan kardiovaskular,
pupil, gastrointestinal, sudomotor, vasomotor, dan
termoregulasi.
Behavior arrest Henti aktivitas sesaat, freezing, imobilisasi.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Tipe Bangkitan Keterangan
Cognitive Berhubungan dengan proses berpikir dan fungsi kortikal, seperti
bahasa, persepsi spasial, memori, dan praksis.
Emotional Emosi sebagai tanda awal yang menonjol, seperti rasa takut,
suka cita spontan atau euforia, tertawa (gelastic), atau menangis
(dacr stic).
Sensory Persepsi rasa yang tidak disebabkan oleh adanya stimulus
eksternal.
Typical absence Terhentinya aktivitas yang sedang dilakukan secara mendadak,
tatapan kosong, dapat disertai deviasi mata ke atas. Biasanya
pasien tidak berespons saat diajak bicara. Durasi bangkitan
beberapa detik sampai setengah menit dengan pemulihan yang
sangat cepat. EEG akan menunjukkan gelombang epileptiform
general saat terjadi bangkitan.
Atypical absence Bangkitan menyerupai typical absence namun onset dan
terhentinya bangkitan kurang mendadak.
Eyelid myoclonia Jerking pada kelopak mata dengan frekuensi minimal 3 kali per
detik. Umumnya mata melirik ke atas, biasanya berlangsung <10
detik, seringkali dicetuskan dengan menutup mata.
Focal to bilateral Bangkitan dengan awitan fokal, aware ataupun impaired awareness,
tonic clonic motor atau pun nonmotor, berkembang menjadi aktivitas tonik-
seizure klonik bilateral.

MENENTUKAN BANGKITAN EPILEPTIK DENGAN PROVOKASI ATAU


TANPA PROVOKASI
Setelah ditegakkan diagnosis bangkitan epileptik, proses evaluasi selanjutnya
adalah menentukan apakah terdapat provokasi bangkitan.9

Bangkitan Epileptik dengan Provokasi (ProvokedSeizure)


Bangkitan ini terjadi pada saat/dalam waktu yang berdekatan dengan gangguan
(episode) akut. Istilah tersebut sering disamakan dengan reactive seizure, situation-
related seizure, atau bangkitan simtomatik akut (acute symptomatic seizure).10'11-

Tabel 5. Nilai titik potong (cut off point) untuk terjadinya bangkitan simtomatik akut
pada gangguan metabolik.12

Parameter biokimia Nilai


Glukosa serum <36mg/dL (2mM) atau >450mg/dL berhubungan
dengan ketoasidosis (karena diabetes maupun
bukan)
Natrium serum <115mg/dL(<5mM)
Kalsium serum <5mg/dL (<1,2 mM)

BANGKITAN EPILEPTIK
Parameterbiokimia Nilai
Magnesium serum <0,8mg/dL (<0,3mM)
Urea nitrogen (BUN) >lOOmg/dL(>35,7mM)
Kreatinin >lOrng/dL (>884µM)

Tabel 6. Jangka waktu terjadinya bangkitan simtomatik akut pada beberapa


penyakit.12

Penyebab Keterangan
Penyakit serebrovaskuler, hipoksia Dalam waktu 7 hari awitan
serebral
Cedera kepala, pembedahan Dalam waktu 7 hari awitan
intrakranial
Infeksi Intrakranial Dalam waktu 7 hari, sesuai klinis dan hasil
laboratorium
Multipel Sklerosis Dalam waktu 7 hari dari relaps
Metabolik Sampel darah dalam waktu 24 jam dari kejang
Alkohol Dalam waktu 7-48 jam setelah minum alkohol
terakhir

Bangkitan Epileptik Tanpa Provokasi (UnprovokedSeizure)


Bangkitan epileptik tanpa provokasi adalah bangkitan yang terjadi tanpa adanya
gangguan/episode akut klinis yang berpotensi menimbulkan bangkitan, atau
terjadi lebih dari perkiraan interval waktu untuk timbulnya suatu bangkitan.12
Klasifikasi bangkitan ini: (1) bangkitan tanpa penyebab yang nyata; (2) bangkitan
karena penyakit dahulu (remote-symptomatic seizure), yaitu bangkitan yang
berkaitan dengan lesi otak yang telah ada sebelumnya atau berkaitan dengan
penyakit sistem saraf pusat (SSP) yang kronik progresif.13-

Bangkitan Refleks
Bangkitan refleks adalah bangkitan yang muncul segera (dalam detik atau
menit) sebagai respons atas suatu stimulus spesifik.14 Meskipun bangkitan
refleks muncul dengan provokasi, kecenderungan berulangnya bangkitan
akibat stimulus spesifik tersebut bersifat terns menerus sehingga memenuhi
definisi epilepsi. 3,15
Stimulus dapat berupa stimulus eksternal atau internal (aktivitas pasien
sendiri) seperti stimulus visual, taktil, proprioseptif, dan audiogenik. Bangkitan
dapat terjadi dalam hitungan detik setelah terpapar stimulus.l+" Bangkitan
refleks memiliki beberapa subtipe menurut karakteristik stimulusnya (Tabel 7).15
Pemicu bangkitan pada bangkitan refleks antara lain: cahaya, musik, stimulus

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


somatosensori atau proprioseptif, membaca, mandi air panas, makan, dan
berpikir.

Tabel 7. Subtipe bangkitan refleks atau Reflex Epilepsy.15

Tipe bangkitan Tipe bangkitan Sindrom epilepsi atau


refleks kondisi yang berkaitan
Photosensitivity - Absence, myoclonia - GGE (terutama JME)
-GTCS -IPOE
- Fokal (terutama oksipital) - PME
-DS
Jarang pada lesi yang
dida at
Musicogenic Biasanya bangkitan lobus Epilepsi dengan lesi
temporal epileptogenik. Juga
didapatkan pada pasien
dengan ADTLE
Reading Jerk pada rahang yang Dianggap sebagai varian
dapat berkembang menjadi GGE; didapatkan pada
GTCS jika membaca pasien dengan JME
tetap dilanjutkan. Jarang:
bangkitan fokal, dengan
aleksia dan disfasia dengan
derajat yang bervariasi
Eating Bangkitan fokal dengan/ Biasanya epilepsi dengan
tanpa gangguan kesadaran lesi epileptogenik
Hot water/bathing Bangkitan fokal Tidak ada
Bangkitan yang Aura sensoris diikuti Pasien dengan MCD dan lesi
dipicu stimulus bangkitan sensoris Jacksonian kortikal post sentral.
somatosensoris dengan manifestasi motoris
tonik. Bangkitan dapat
menjadi bilateral.
Bangkitan yang dipicu Bangkitan myoclonic, Lesi otak yang didapat,
stimulus proprioseptif somatomotor, atau hiperglikemia non-ketotik,
somatosensorial. Dapat ensefalopati difus akut
terjadi bangkitan fokal
menjadi bilateral.
Bangkitan yang dipicu Bangkitan fokal Biasanya dengan lesi yang
orgasme didapat
Bangkitan yang dipicu Myoclonia, absence, GTCS GGE
oleh aktivitas berpikir
atau praksis
ADTLE, autosomal dominant temporal lobe epilepsy; DS, Dravet syndrome; GGE, genetic generalized
epilepsies; GTCS, generalized tonic-clonic seizures; IPOE, idiopathicphotosensitive occipital lobe epilepsy;
JME, juvenile myoclonic epilepsy; MCD, malformations of cortical development; PME, progressive
myoclonus epilepsies.

BANGKITAN EPILEPTIK
PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA BANGKITAN

1. Pencitraan.
2. Laboratorium (pemeriksaan darah rutin tes fungsi ginjal, tes fungsi hepar,
kadar gula, kadar albumin, elektrolit untuk menyingkirkan bangkitan
simtomatik akut, prolaktin).
3. Analisa cairan serebrospinal (pada kasus yang dicurigai infeksi SSP).
4. Elektroensefalografi (EEG)dengan video.
5. Elektrokardiografi.

TATA LAKSANA BANGKITAN


Berikut ini penanganan pada bangkitan epileptik.
1. Menjaga jalan napas pasien dan mencegah adanya cedera kepala atau bagian
tubuh lain akibat gerakan pasien saat bangkitan. Pasien diposisikan miring
lateral recumbent.17
2. Pada pasien dewasa, dalam 5 menit pertama berikan diazepam IV,
midazolam IM, lorazepam IV*.
3. Phenobarbital IV (level A) (dosis lihat pada Bab Status Epileptikus).
4. Pada pasien anak:
a. berikan diazepam IV, atau lorazepam · IV*: efektif menghentikan
bangkitan minimal dalam 5 menit (LevelA) (dosis lihat pada Bab Status
Epileptikus); dan
b. diazepam rektal (level B).18
5. Pada pasien dengan eklamsia berikan Magnesium Sulfat (MgS04) 4 mg
intravena selama 10 menit atau MgSO4 4 mg intra-muskuler pada masing-
masing gluteus kanan dan kiri.19
Keterangan (*) belum tersedia di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
1 Gavvala JR, Schuele SU. New-Onset Seizure in Adults and Adolescents: A Review.
JAMA, 2016 Dec 27;316(24):2657-2668.
2 Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi, 5th ed. K. Kusumastuti, S. Gunadharmaand E. Kustiowati,
Editor. Surabaya: Airlangga University Press; 2014.
3 Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, Bogacz A, Cross JH, Elger CE, Engel J Jr,
i=.rwcn-ron T °J:;ran,-,h TA r:'hrn-n
..L "-J.LIJE:,..L'--.1.L L..lt .J.. .1.'-,....l.1.'-...LL )..I.:,._/ '-'.J.J .LL.I.I. l\Jf l-:i"ac~rwtfo-,.
.l.Y.J../ .J.. .L'•..-U''-A.'--1.1..J...L"'-.1.
nr
J...../...__,/
Tao R l\Jf,::,l-hor-n rzv«
.L.J'--''-.- L.Jf .LV..1.UL.1.1.'-,.1..11. '-I
l\lf,-,.cho 1../LJf
Y Y/ .LV.i.VIJ.1.L'-,
C::T

Per. A practical clinical definition of epilepsy. Epilepsia, 2014 Apr;55(4):475-482.


4 Malmgren K, Teuber M, Appleton R. Differential Diagnosis of Epilepsy. In:
r ~I:-, 3rd I~d.. UK·
Blackwell Publishing; 2012. pp. 55-56.
5 Riela A. Management of seizures. Critical Care Clinics, 1989 Oct;5(4):863--879.

PEDOMAN TATA LAKSANA EP!LEPS!


6 Cook M. Differential Diagnosis of Epilepsy. In:Shorvon S, Perucca E, Engel J Jr, Editors.
The Treatment of Epilepsy. 4th Ed. UK: Blackwell Publishing; 2016. pp. 24-36.
7 Perez D, Lafrance W. Nonepileptic Seizures: An Updated Review. CNS Spectr.
2016 Jun;21(3):239-246.
8 Fisher R, Cross H, D'Souza C, French JA, Haut S, Higurashi N, Hirsch E, Jansen F,
Lagae L, Moshe S, Peltola J, Perez ER, Scheffer I, Schulze-Bonhage A, Somerville
E, Sperling M, Yacubian E, Zuberi S. Instruction manual for the ILAE 2017
operational classification of seizure types. Epilepsia. 2017;58(4):531-542,.
9 Nowacki TA, Jirsch JD. Evaluation of the first seizure patient: Key points in the
history and physical examination. Seizure. 2017 Jul;49:54-63.
10 Gunawardane N, Fields M. Acute Symptomatic Seizures and Provoked Seizures:
to Treat or Not to Treat?. Curr Treat Options Neurol. 2018 Aug;20(10):41.
11 Kind C, Newton C, Kariuki S. Prevalence, risk factors, and neurobehavioral
comorbidities of epilepsy in Kenyan children. Epilepsia Open. 2017 Aug
19;2(4):388-399.
12 Beghi E, Carpio A, Forsgren L, Hesdorffer D, Malmgren K, Sander J, Tomson
T, Hauser W. Recommendation for a definition of acute symptomatic seizure.
Epilepsia. 2010 Apr;51(4):671-5.
13 Krumholz A, Wiebe S, Gronseth GS, Gloss DS, Sanchez AM, Kabir AA, Liferidge
AT, Martello JP, Kanner AM, Shinnar S, Hopp JL, French JA. Evidence-based
guideline: Management of an unprovoked first seizure in adults. Report of the
Guideline Development Subcommittee of the American Academy of Neurology
and the American Epilepsy Society. Neurology. 2015 Apr 21;84(16):1705-1713.
14 Lin K, Guaranha M and Wolf P. Reflex epileptic mechanisms in ictogenesis
and therapeutic consequences. Expert Review of Neurotherapeutics. 2016
May;16(5):573-85.
15 Okudan ZV and Ozkara C. Reflex epilepsy: triggers and management strategies.
Neuropsychiatric Disease and Treatment. 2018 Jan 18;14:327-337.
16 Wolf P. Reflex epileptic mechanisms in humans: Lessons about natural ictogenesis.
Epilepsy Behav. 2017 Jun;71(Pt B):118-123.
17 Iowa Department of Public Health (US) & Bereau of Emergency and Trauma
Services. 2018 Adult and Pediatric Statewide EMS Treatment Protocols [Internet].
Iowa: Iowa Departement of Public Health (US);March 2018. Available from: https://
idph.iowa.gov/Portals/l/userfiles/179/2018%20Protocols%20FINAL-TOC%20
update.pd£.
18 Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, Bare M, Bleck
T, Dodson W, Garrity L, Jagoda A, Lowenstein D, Pellock J, Riviello J, Sloan E,
Treiman D. Evidence-Based Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus
in Children and Adults: Report of the Guideline Committee of the American
Epilepsy Society. Epilepsy Curr. 2016 Jan-Feb;16(1):48-61.
19 Silverman E, Sporer K, Lemieux J, Brown J, Koenig K, Gausche-Hill M, Rudnick
E, Salvucci A, Gilbert G. Prehospital Care for the Adult and Pediatric Seizure
Patient: Current Evidence-based Recommendations. West J Emerg Med. 2017
Apr;18(3):419-436.

BANGKITAN EPILEPTIK
EPILEPSI

Endang Kustiowati, Diah Kurnia Mirawati, Machlusil Husna,
BAB2

Suryani Gunadharma, Aris Catur Bintoro, Herlina Suryawati,


Neimy Novitasari, Susi Aulina, Atitya Khairani

PENDAHULUAN
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang di
seluruh dunia.1 Di negara-negara maju, kejadian epilepsi tahunan diperkirakan
sekitar 50 per 100.000penduduk dan prevalensinya diperkirakan sekitar 700
per 100.000penduduk. Di negara berkembang, jumlahnya diperkirakan lebih
tinggi.1 Insiden epilepsi umumnya tinggi pada kelompok usia kanak-kanak dan
lanjut usia, cenderung lebih tinggi pada pria daripada wanita.2
Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia
(POKDI Epilepsi PERDOSSI)mengadakan penelitian pada 18 rumah sakit di
15 kota pada tahun 2013 selama 6 bulan. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas
487 kasus baru dan 1801 kasus lama. Rerata usia kasus baru adalah 25,06 ±
16,9 tahun. Sedangkan rerata usia pada kasus lama adalah 29,2 ± 16,5 tahun.
Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali ke dokter spesialis saraf, 6,8%
berobat ke dokter umum, sedangkan sisanya berobat ke dukun dan tidak
berobat.3

DEFINISl4
Definisi Konseptual
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecenderungan terns
menerus untuk menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial. Definisi ini mensyaratkan
terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik.

Definsi Operasional
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu kondisi/
gejala sebagai berikut:
1. minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks
dengan jarak waktu antar bangkitan pertama clan kedua lebih dari 24
jam;
2. satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan
kemungkinan terjadinya bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan
sama dengan bila terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau bangkitan
refleks; clan
3. sudah ditegakkan diagnosis sindrom epilepsi (oleh dokter yang
kompeten).

Epilepsi dianggap dapat diatasi (resolved) pada individu dengan sindrom


epilepsi tergantung usia tetapi sudah melewati batas usia tertentu ATAUmereka
yang tetap bebas bangkitan selama 10 tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi
(OAE)selama 5 tahun terakhir.

KLASIFIKASl5
Klasifikasi Epilepsi yang baru adalah klasifikasi bertingkat, yang dirancang
untuk memenuhi klasifikasi epilepsi dalam lingkungan klinis yang berbeda.
Tingkat klasifikasi akan tergantung pada dokter yang membuat diagnosis.
Jika memungkinkan, diagnosis pada ketiga level harus dicari dengan etiologi
epilepsi masing-masing.

Gambar 2. Kerangka kerja klasifikasi epilepsi.5

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


1. Tipe bangkitan
Langkah awal kerangka klasifikasi epilepsi adalah menentukan tipe
bangkitan. Klasifikasi tipe bangkitan sudah diterangkan di Bab 1.
2. Tipe Epilepsi
Diasumsikan bahwa pasien sudah memiliki diagnosis epilepsi berdasarkan
definisi 2014. Terdapat kategori barn pada tipe epilepsi, yaitu gabungan
epilepsi umum dan fokal di samping epilepsi umum dan epilepsi fokal.
Terdapat juga kategori "tidak diketahui". Banyak epilepsi terdiri dari
beberapa tipe bangkitan. Untuk diagnosis epilepsi umum, biasanya
ditunjang dengan aktivitas epileptiform umum pada EEG. Pasien dengan
epilepsi umum dapat memiliki berbagai tipe bangkitan termasuk absans,
mioklonik, atonik, tonik, dan bangkitan tonik-klonik. Diagnosis epilepsi
umum dibuat atas dasar klinis, didukung oleh temuan khas aktivitas
epileptiform.
Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta bangkitan
yang melibatkan satu hemisfer otak. EEG interiktal biasanya menunjukkan
adanya aktivitas epileptiform fokal, diagnosis dibuat berdasarkan klinis,
didukung oleh temuan EEG.
Terdapat kelompok barn epilepsi gabungan umum dan fokal, karena ada
pasien yang memiliki bangkitan umum dan fokal. Diagnosis dibuat atas
dasar klinis, didukung oleh temuan EEG.EEGinteriktal dapat menunjukkan
aktivitas epileptiform umum dan fokal, tetapi aktivitas epileptiform tidak
diperlukan untuk diagnosis. Contoh di mana kedua tipe bangkitan terjadi
adalah sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut.
Tipe Epilepsi juga dapat menjadi akhir diagnosis jika dokter tidak dapat
membuat diagnosis Sindrom Epilepsi. Contoh: seorang anak atau orang
dewasa dengan epilepsi lobus temporal nonlesional yang memiliki epilepsi
fokal tanpa etiologi yang diketahui; seorang anak berusia 5 tahun yang
mengalami bangkitan umum tonik-klonik dan gelombang spike umum
pada EEG yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam suatu sindrom
epilepsi yang diketahui tetapi memiliki diagnosis yang jelas dari epilepsi
umum; atau pada seorang wanita berusia 20 tahun dengan bangkitan fokal
dengan gangguan kesadaran, dan bangkitan absans dengan focal discharges
dan generalized spike wave pada rekaman EEG dan MRI normal, yang karena
itu akan memiliki diagnosis gabungan epilepsi umum dan fokal.
Istilah "tidak diketahui" digunakan untuk menunjukkan di mana pasien
memiliki epilepsi tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah tipe epilepsi
fokal atau umum karena informasi yang tidak cukup tersedia. Mungkin
tidak ada akses pemeriksaan EEG, atau EEG yang kurang inforrnatif (hasil
normal). Jika tipe bangkitan tidak diketahui, maka tipe epilepsi mungkin
tidak diketahui.

EPILEPSI ._
3. Sindrom Epilepsi
Lihat bab 3 Sindrom Epilepsi.
4. Etiologi
Saat pasien datang dengan serangan epilepsi pertama, dokter harus
menentukan etiologi epilepsi pasien. Seringkali investigasi pertama
yang dilakukan melibatkan neuroimaging, idealnya MRI jika tersedia. Ini
memungkinkan dokter untuk memutuskan apakah ada etiologi struktural.
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, dan
imun, serta kelompok yang tidak diketahui.

ETIOLOGl5
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetik, infeksi, metabolik, dan imun,
serta kelompok yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke
dalam lebih dari satu kategori etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan
mungkin tergantung pada keadaan pasien.
1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pada pemeriksaan pencitraan
yang dikaitkan dengan pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara
lain stroke, trauma, infeksi; atau yang berkaitan dengan genetik seperti
malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi lesi struktural memerlukan
pemeriksaan MRI dengan menggunakan protokol spesifik epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga di mana
bangkitan merupakan gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh:
Childhood Absence Epilepsy atau Juvenile Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosistiserkosis,
tuberkulosis, HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sklerosis subakut,
toksoplasmosis serebral, dan infeksi kongenital seperti virus Zika dan
virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki korelasi struktural.
4. Metabolik: identifikasi penyebab metabolik sangat penting sehubungan
dengan terapi spesifik dan pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang
berhubungan dengan reaksi autoimun; contoh: epilepsi pada multiple
sklerosis.
6. Tidak dikctahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya
berdasarkan usia awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. 5
1. Tentukan tipe bangkitan (lihat Bab 1).
2. Tentukan tipe epilepsi.
3. Tentukan sindrom epilepsi (lihat Bab 3).
Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakan diagnosis epilepsi
adalah sebagai berikut:3
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal
terkait di bawah ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama, dan pasca-bangkitan
1) Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitif, dan lain-
lain.
2) Selama bangkitan/iktal
a) Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
b) Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisme,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, dan lain-lain. Akan lebih baik bila keluarga dapat
diminta menirukan gerakan bangkitan atau merekam video
saat bangkitan.
• Apakah terdapat lebih dari satu tipe bangkitan?
• Apakah terdapat perubahan tipe dari bangkitan
sebelumnya?
• Waktu terjadi bangkitan: saat tidur, saat terjaga, bermain
video game, berkemih, atau sewaktu-waktu.
3) Pasca-bangkitan/post-ictaZ: bingung, langsung sadar, nyeri kepala,
tidur, gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan (paralisis
Todd).
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stres psikologis,
alkohol.
c. Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antar bangkitan, awareness antar bangkitan.

EPILEPSI
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya:
1) jenis, dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
2) kadar OAE dalam plasma.
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang menjadi
penyebab serta komorbiditas.
£. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat pre-natal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan
neonatal/kejang demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pemeriksaan fisik umum untuk mencari tanda-tanda misalnya:
a. trauma kepala,
b. tanda-tarida infeksi,
c. kelainan kongenital,
d. kecanduan alkohol atau napza,
e. kelainan pada kulit (neurooculocutaneus), dan
f. tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis
Untuk mcncari tanda-tanda defisit neurologis fokal atau difus yang
dapat berhubungan dengan bangkitan, seperti paralisis Todd, gangguan
kesadaran pasca-iktal, afasia pasca-iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG):
1) membantu menunjang diagnosis;
2) membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom epilepsi;
3) membantu menentukan prognosis;
4) membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE;dan
5) membantu menentukan penghentian OAE.
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenik diotak.
1) CT scan kepala pada kasus kejang pertama kali pada usia dewasa,
lebih ditujukan untuk kasus kegawatdaruratan.
2) MRI (minimal 1,5 Tesla).
3) Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan).
4) Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT).
5) Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS).
6) USG Doppler (pada neonatus).
c. Pemeriksaan laboratorium

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


1)Pemeriksaan hematologis:
a) hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit,
elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar
gula darah, fungsi hati (SGOT/SGPT),ureum, kreatinin, dan
albumin.
Dilakukan pada:
a) awal pengobatan untuk pemilihan OAE;
b) dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek
samping OAE; dan
c) rutin diulang setiap tahun sekali untuk memonitor efek samping
OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
2) Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
Dilakukan bila bangkitan belum terkontrol meskipun OAE sudah
mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan
pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi
misalnya:
1) pungsi lumbal, dan
2) EKG.

TERAPI OAE PADA EPILEPSI


Tujuan Terapi
Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan pasien epilepsi dapat hidup
senormal mungkin dan tercapainya kualitas hidup optimal. Harapannya adalah
"bebas bangkitan, tanpa efek samping" OAE (ESO).

PRINSIP TERAPI FARMAKOLOGI


Tidak ada satupun OAE yang ideal untuk semua pasien. Prinsip umum terapi
farmakologi dapat dilihat pada Gambar 3.

EPILEPSI
Konfirmasi diagnosis dan
klasifikasi

lndikasi Terapi?

Ya

Pilih OAE yang paling tepat, mulai dengan


dosis efekrif terendah

~ Beba~angkitan j~ Bangkitan tidak terkontrol? Efek samping O.A.E tidak dapa0 I


ditoleransi/diosinkratik
tanpa efek1
samping OAE
.._----~-------'
iYa
Naikkan dosis OAE Ya

secara teratur.
Evaluasi Bangkitan tidak I Ya J
ulang apakah terkontrol? __J
perlu Ya
melanjutkan
Kepatuhan pasien?
tempi sctclah
Diagnosis tepat?
be bas
bangkitan 3-5 iYa
tahun
Ganti atau. tambahan OAE~1---------------~
L yang sesuai . __r---i
t
Bangkitan tidak terkontrol meskipun telah
diberikan dua OAE yang adekuat?
Ya

Pertimbangkan terapi lain


tennasuk pembedahan
epilepsi atau OAE alternatif

Gambar 3. Algoritme tata laksana epilepsi.v"

TERAPI OAE PADA EPILEPSI DEWASA


Memulai Terapl OAE8
1. OAE diberikan bila:
a. diagnosis epilepsi sudah dipastikan; dan
b. pasien dan/atau keluarganya setuju dan sudah menerima penjelasan
tentang tujuan pengobatan, potensi efek samping terapi, interaksi obat,
kepatuhan, teratogenisitas, dan mengemudi.
2. Terapi OAE

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


a. Pada umumnya terapi OAE tidak diberikan pada bangkitan tanpa
provokasi yang pertama.
b. Terapi direkomendasikan bila kemungkinan kekambuhan tinggi,
yaitu:9-11
1) dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG (Level A);
2) pada pemeriksaan CT-scan atau MRI otak dijumpai lesi yang
berkorelasi dengan bangkitan; misalnya meningioma, neoplasma
otak, AVM, abses otak, ensefalitis herpes (Level B);
3) pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah
pada adanya kerusakan otak;
4) terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang
tua);
5) riwayat bangkitan simtomatik;
6) terdapat sindrom epilepsi yang berisiko kekambuhan tinggi seperti
JME (Juvenile Myoclonic Epilepsy);
7) riwayat trauma kepala terutama yang disertai penurunan kesadaran,
stroke, infeksi SSP (Level A); dan
8) bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Cara Pemberian OAE8•12


1. Terapi dimulai dengan monoterapi sesuai dengan jenis bangkitan dan
sindrom epilepsi dengan mempertimbangkan biaya.
2. Pemberian OAE dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan bertahap,
sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping.
3. Bila pada pemberian OAE pertama timbul efek samping yang tidak dapat
ditoleransi, berikan OAE lini pertama yang lain.
4. BilaOAE pertama dapat ditoleransi tapi tidak efektif, pertimbangkan hal-hal
berikut sebelum mengganti OAE:
a. apakah diagnosis epilepsi sudah benar;
b. apakah pasien patuh meminum OAE;
c. apakah pemilihan OAE sudah sesuai dengan tipe bangkitan dan
sindrom;
d. apakah ada kondisi yang mendasari; dan
e. apakah ada penggunaan alkohol dan obat-obatan yang lain.
Bila faktor tersebut sudah disingkirkan, naikkan dosis OAEpertama sampai
dosis maksimal yang bisa ditoleransi pasien
5. OAE pertama diganti jika:
a. OAE pertama tidak efektif walaupun sudah mencapai dosis maksimal;
dan
b. muncul efek samping atau alergi.

EPILEPSI
6. Cara penggantian dan penambahan OAE:
a. bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama
diturunkan bertahap (tapering off);
b. bila terjadi bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua
OAE tetap diberikan dengan dosis terakhir yang bisa mengontrol
bangkitan;
c. penambahan OAE ketiga baru dilakukan bila terdapat respons dengan
OAE kedua, tetapi respons tetap sub optimal walaupun penggunaan
kedua OAE pertama sudah maksimal; dan
d. kombinasi OAE hams memiliki mekanisme kerja yang berbeda.
7. Efek samping OAE perlu diperhatikan (Tabel 11), demikian pula halnya
dengan profil farmakologis tiap OAE (Tabel 12) dan interaksi farmakokinetik
antar-OAE (Tabel 13). Risiko efek samping OAE berkisar 7-13%, sebagian
besar ringan dan reversibel.
8. Strategi untuk mencegah efek samping+'
a. Pilih OAE yang paling cocok untuk karakteristik pasien.
b. Gunakan titrasi dengan dosis terkecil dan rumatan terkecil mengacu
pada sindrom epilepsi dan karakteristik pasien.

Pemeriksaan Kadar Obat Dalam Plasma


1. Pemeriksaan kadar obat dalam plasma dilakukan bila:8
a. bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif;
b. diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan,
penyakit hati, penyakit ginjal, gangguan absorbsi OAE);
c. diduga pasien tidak patuh pada pengobatan;
d. bila dicurigai ada toksisitas obat, terutama pada pasien yang mendapat
politerapi;
e. setelah penggantian dosis/regimen OAE; dan
f. untuk melihat interaksi antar OAE atau obat lain.

Jenis Obat Anti Epiiepsi dan Mekanisme Kerjanya


Pemilihan OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis bangkitan, jenis
sindrom epilepsi, efek samping OAE yang mungkin terjadi, profil farmakologis,
dan interaksi antara OAE.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Tabel 8. Pilihan OAE pada dewasa berdasar tipe bangkitan14,1s-

Tipe bangkitan Level A Level B Level C Level D

Dewasa dengan CBZ, LEV, VPA GBP, LTG, OXC, CZP,PRM


bangkitan :earsial PHT,ZNS PB, TPM, VGB
Anakdengan oxc CBZ, PB, PHT, CLB, CZP,
bangkitan :earsial TPM, VPA, VGB LTG,ZNS
Usia tua dengan GBP, LTG CBZ TPM, VPA
bangkitan :earsial
Dewasa dengan CBZ, LTG, OXC, GBP, LEV, VGB
bangkitan umum PB, PHT, TPM,
tonik klonik VPA
Anakdengan CBZ, PB, PHT, oxc
bangkitan umum TPM, VPA
tonik klonik
Anakdengan ESM, VPA LTG
bangkitan lena/absan
CBZ : carbamazepine, CLB : clobazam, CZP : clonazepam, ESM : ethosuximide, GBP
: gabapentin, LTG : lamotrigine, LEV : levetiracetam, OXC : oxcarbazepine, PHT :
phenytoin, PB : phenobarbital, STM : sulthiam, TPM : topiramate, VGB : vigabatrin, ,
VPA : valproic acid,ZNS : zonisamide.

Tabel 9. Rekomendasi penggunaan OAE generasi baru monoterapi pada orang


dewasa dengan epilepsi onset bam.15

Level Rekomendasi
Level B Penggunaan LTG hams dipertimbangkan untuk mengurangi
frekuensi bangkitan.
Levels B dan Level Penggunaan LTG hams dipertimbangkan (Level B) dan
c penggunaan GBP dapat dipertimbangkan (Level C) untuk
mengurangi frekuensi bangkitan pada pasien berusia ~60
tahun.
Level C Penggunaan LEV dapat dianggap mengurangi frekuensi
bangkitan.
Level C Penggunaan ZNS dapat dianggap mengurangi frekuensi
bangkitan.
Level C Penggunaan VGB tampaknya kurang efektif dibandingkan
penggunaan carbamazepine (CBZ) immediate-releasedan mungkin
tidak dianjurkan; lebih lanjut, profil toksisitas menghalangi
:eenggunaan VGB sebagai tera:ei lini :eertama.
Level C Penggunaan PGB 150 mg/hari mungkin kurang efektif
dibandingkan :eenggunaan LTG 100 mg/hari.
Level U Bukti tidak cukup untuk mempertimbangkan GBP, OXC, atau
TPM.

EPILEPSI
Level Rekomendasi
Level U Bukti tidak cukup untuk mempertimbangkan TPM sebagai
ganti fenitoin dalam pengobatan segera epilepsi onset baru
atau berulang, bangkitan motorik tonik-klonik yang tidak
terklasifikasi, atau epilepsi umum motorik tonik klonik.
Level U Data kurang mendukung penggunaan AED generasi ketiga,
CLB, FBM, atau VGB dalam mengobati epilepsi onset baru.
Level U Data kurang untuk mendukung penggunaan AED baru dalam
mengobati bangkitan motorik tonik klonik tidak terklasifikasi.

Tabel 10. Dosis OAE untuk orang dewasa.8,16

OAE DOS IS DOS IS JUMLAH TITRASIOAE


AWAL(mg/ RUMATAN DOSISPER
hari) (mg/hari) HARi
Carbamazepine 400-600 400-1600 2-3X Mulai 100/200mg/hr i
, ____ ,. __1- --- rn
~uuLuK Yo \.....1, sampai target dlm 1-4
2X) minggu
Phenytoin 200-300 200-400 1-2X Mulai 100 mg/hr t
sampai target dlm 3-7
hari
Valproic acid 400-500 500-2500 2-3X Mulai 500 mg/hr r bila
(untukygCR perlu setelah 7 hari
1-2X)
Phenobarbital 50-100 30-200 1-2x Mulai 30-50 mg malam
hari i bila perlu setelah
10-15 hari
Primidon 62,5 500-1000 2-3x Mulai 62,5 mg malam
hari, naikkan bertahap
Clonazepam 1 4 1-2x Mulai 0,25 mg/hr
malam hari, i 0,25 mg/
hrtiap minggu
Clobazam 10 20-40 1-2X Mulai 5-10 mg/hr
malam hari, bila perlu
i 5mg/hr tiap minggu
sampaimencapai40
m /hr
Oxcarbazepine 300-600 600-2400 2-3X Mulai 300 mg/hr t 300
mg/minggu sampai
tar et
Levetiracetam 500 1000-3000 2x Mulai 500/ 1000 mg/hr
T bila perlu setelah 2
min u

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


OAE DOS IS DO SIS JUMLAH TITRASIOAE
AWAL(mg/ RUMATAN DOSISPER
hari) (mg/hari) HARi
Topiramate 100 100-400 1-2x Mulai 25 mg/hr i 25-50
mg/hr tiar 2 minggu
Gabapentine 900-1800 900-3600 2-3x Mulai 300-900 mg/hr
i sampai target dalam
5-10 hr
Lamotrigine 50-100 50-200 1-2x Mulai 25 mg/hr selama
2 minggu i sampai
50 mg/hr selama 2
minggu, i 50mg/2
minggu
Zonisamid 50 200-600 2x Mulai 200-400 mg/hr t
samrai 1-2 minggu
Pregabalin 100-150 150-600 2-3x Mulai dosis 100-150
mg/hari, naikkan
bertahar
Eslikarbasepin 400 800-1200 lx Mulai 400 mg/hr 1-2
minggu, i 400 mg/hr
tiar 2 minggu
Lacosamide 100 200-400 2x Mulai 2x50 mg/hr
selama 1 minggu, i
100 mg/hr tiap minggu
sampai target
Per am panel 2 4-8, maks 12 1-2x Mulai 2 mg, i 2 mg
tiar 2 minggu/lebih
Retigabin 300 600-1200 3x Mulai 300mg/hr, i 150
mg/hr tiap minggu
sampai mencapai dosis
yang diinginkan
Rufinamid 200 400-1800 2x Mulai 200 mg/hr, t
400mg/hr tiap 2 hari
sampai mencapai dosis
rumatan
Stiripentol 50 mg/kg/ 4g 2-3x Mulai dosis awal dan
hr (maksimum) tingkatkan bertahar

EPILEPSI ..-
OAE DOS IS DOS IS JUMLAH TITRASIOAE
AWAL(mg/ RUMATAN DOSISPER
hari) (mg/hari) HARi
Tiagabin 4-5 mg/hr 15-32 mg/ 2-4x Mulai 4-5 mg/hr, 1' 4-5
hr(30- mg/hr tiap minggu
56mg/
hruntuk
pasien
dengan
komedikasi
induktor
enzim)
Vigabatrin 500-1000 1000-3000 2x Mulai dosis awal
tingkatkan bertahap
CR: controlled release. Waktu paruh tertera di atas adalah pada penyandang yang tidak
menggunakan enzyme inducers.

Tabel 11. Efek samping OAE.8

OAE Efek samping terkait dosis Efek samping idiosinkrasi


Karbamasepin Diplopia, Dizzines, * Morbilliform rash
Nyeri kepala, Mual,
Diskinesia, Drowsiness, Agranulositosis, Anemia aplastik,
Netropenia, Hiponatremia, Hepatotoksisitas, Fotosensitivitas
Hipokalsemia, Diskinesia Stevens-Johnson syndrome, DRESS
orofasial, Aritmia jantung, (drug-related rash with eosinophilia
gangguan kognitif, and systemic symptom), TEN (toxic
hepatotoksik, gangguan epidermal necrolysis) , Lupus-like
metabolisme tulang syndrome, Trombositopenia,
Pseudolymphoma, Teratogen
Klobasam Gangguan kognitif, Ruam (rash)
inkoordinasi, astenia, Blood dyscrasia
gangguan mood dan
perilaku, hipotonia,
hipersalivasi, bronchorrhoea,
peningkatan berat badan
Klonasepam Fatigue, sedasi, gangguan Ruam (rash)
kognitif, astenia, gangguan Blood dyscrasia
mood dan perilaku,
hipotonia, hipersalivasi,
hipotonia

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


OAE Efek samping terkait dosis Efek samping idiosinkrasi
Etosuksimid Mual, anoreksia, muntah, Ruam (rash), Erythema multiforme,
agitasi, drowsiness, nyeri Stevens-Johnson syndrome, Lupus-like
kepala, letargi, diplopia, syndrome, agranulositosis, anemia
nyerikepala, dizziness, aplastik
cegukan, gangguan tidur,
gangguan perilaku, reaksi
psikosis akut
Gabapentin Somnolens, dizziness, ataksia, Reaksi hipersensitivitas (sangat
fatigue diplopia, paraestesia, jarang)
amnesia, mual, muntah,
peningkatan berat badan,
edema kaki non-pitting
Lamotrigin Mengantuk, diplopia, nyeri Ruam (rash), Stevens-Johnson
kepala, Syndrome, Toxic epidermal necrolysis,
ataksia, insomnia, mual, gangguan fungsi hati, anemia
muntah, astenia aplastik, pansitopenia, kegagalan
multi organ
Fenobarbital Sedasi, ataksia, dizziness, *Ruam maculopapular
insomnia, hiperaktivitas (Maculopapular rash)
(terutama anak), perubahan
mood (terutama depresi), Eksfoliasi, SJS, TEN, (jarang)
agresif, gangguan kognitif, Presipitasi SLE dan profiria
impotensi, penurunan intermiten akut
libido, defisiensi folat,
defisiensi vitamin K dan
vitamin D, osteomalasia,
Dupuytren contracture,frozen
shoulder
Fenitoin Ataksia, dizziness, letargi, Blood dyscrasias, Lupus-like
sedasi, nyeri kepala, syndrome, Penurunan IgA serum,
disfungsi kognitif, Pseudolimfoma, Neuropati perifer,
diskinesia, ensefalopati akut, Stevens-Johnson syndrome
hiperplasia gusi, defisiensi Dupuytren's contracture,
folat, anemia megaloblastik, Hepatotoksisitas, Teratogenik
defisiensi vitamin K,
penurunan imunoglobulin,
depresi, hirsutisme,
jerawat, neuropati perifer,
osteomalasia, hipokalsemia,
penurunan libido,
perubahan jaringan ikat,
miopati, efek teratogenik

EPILEPSI
OAE Efek samping terkait dosis Efek samping idiosinkrasi
Prim idon Sedasi, ataksia, dizziness, Rash, Agranulocytosis,
insomnia, hiperaktif Thrombocytopenia, Lupus-like
(anak), perubahan mood, syndrome, Teratogenicity
terutama depresi, agresifitas,
disfungsi kognitif,
impotensi, penurunan
libido, defisiensi folat,
defisiensi vitamin K dan
vitamin D, osteomalasia,
Dupuytren coniraciure, frozen
shoulder
Asam valproat Tremor, sedasi, astenia, Ensefalopati, induksi SLE
gejala ekstra piramidal,
mual, muntah,
hiperamonemia,
peningkatan berat badan,
sindroma polikistik
ovarium, kerontokan
rambut, gangguan platelet
dan koagulasi, hepatotoksik,
pankreatitis, efek
teratogenik
Tiagabin Dizziness, astenia, gelisah,
tremor, gangguan atensi/
konsentrasi, depresi,
gangguan bahasa,
peningkatan bangkitan
(absan dan mioklonik),
status epileptikus non
konvulsif
Topiramat Dizziness, ataksia, nyeri
kepala, parestesia, tremor,
somnolen, gangguan
kognitif, confusion, agitasi,
amnesia, depresi, emosi
labil, mual, diare, diplopia,
penurunan berat badan,
batu ginjal

PEDOMAN TATA l.AJ<SANA EPILEPSI


OAE Efek samping terkait dosis Efek samping idiosinkrasi
Vigabatrin Penyempitan lapang Abnormalitas MRI, Ensefalopati akut
pandang (ireversibel),
peningkatan berat badan,
sedasi, fatigue, dizziness,
pandangan kabur, diplopia,
nistagmus, ataksia,
parestesia, amnesia, depresi,
psikosis, agresif, confusion,
stupor, insomnia, hiperaktif,
agitasi, hipo/hipertonia,
peningkatan bangkitan
mioklonik clan bangkitan
general lain, gejala
gastrointestinal (anak)
Levetirasetam Somnolens, astenia, dizziness, Ruam clan reaksi hipersensitivitas
ataksia, infeksi, gelisah, (jarang)
iritabel, gangguan perilaku
clan psikiatrik
Okskarbasepin Diplopia, dizziness, ataksia, Ruam, SJS, DRESS,TEN, blood
somnolens, nyeri kepala, dyscrasia (lebih jarang dibanding
fatigue, hiponatermia, karbamasepin)
gangguan saluran cerna
Pregabalin Dizziness, Drowsiness, Ataxia,
peningkatan berat badan,
gangguan visual, sulit
konsentrasi, tremor, edema
erifer
Per am panel Somnolens, dizziness, fatigue,
mual, jatuh, iritabel, agresif,
peningkatan berat badan
Zonisamid Somnolens, dizziness, ataksia, Ruam kulit,
nyeri kepala, gangguan Blood dyscrasias
atensi, konsentrasi, dan
memori, agitasi, iritabel,
diplopia, confusion, depresi,
mual, anoreksia, penurunan
berat badan, batu ginjal,
hipertermia, oligohidrosis

EPILEPS/ ......
I

1-~
i

0
('(')

1.1") 0
00 ('(') 0

0 0
1.1") r:()
I
1.1")
0
,......

II)
0\
A

·s~..
Q)
tr:

s
(<j

I (<j
!,..a
1~
I~

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPS!


0
0 ,......
0
Lt')

0
Lt')

s
<I.I

(/) ll)

'a !U
·;:::;- E
'a .s
rJ}
rJ}
!U <I.I
~~
<I.I
lo.

::E ~Cl:! Cl:!>


ll) lo.

~ ,.0
ll)

= (/)
oO""" -
f s
i,.J

=t~
!U

~]~
0
'f
0
0
~
('(') ,......
0

= -~= s !U

-e
!U
~ !U ~
~
~ ~0"" p,.
(/)

Lt')
N 0

~
~
N
c;-i
!U
E-< :: ~
0

= >,
Si ~~ ~ ""!U
....
e~ .a
<:I)
<:I) e Lt')
~

0 0 0
°'/\ \0
v ,......
0

.5 ~
~ ~ ll) E
ECl:! 0.. C':l
[fl
((J
o
::9 ..0
Cl:!
u
~ ll)
0 ~5

EPILEPSI
,......
0

I
0
00

U") U")
U") 0 U")

0
,......
C()

U") 0
O"\ ,......
0
/\I

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


0
0 0
('/") ......

cu
iii
""
~
6 c c
'a
{/)
!'CS
·;:::;- ~ell 2.-~.::!
'iii a
!'CS cu
~~
cu ;§ .2 "i:::t"".::!
~
,.s c "i:::t""""
1-s
...c: ie .::,..,

bO ....
= {/) ~
=cu .....t -€3-eo
~ ~ 0
~
~ ~ 0
......

= "a'=.>
!'CS

-
!'CS 6 ~
;=: ~0""
iU !'CS ~
{/)

i:i.. 0
°' 0

~
,..... i 0 0
E--< ~!'CS 0
Cf) ......

....
Zl= ~':::t~ .:::':::t ""!'CS
;::-,

s ><
""" """ e
U)
U)
0
00
t-!..
6'
~
!'CS
!'CS
i N
-r
~ ~
-
"St<

;;!2_
0

.... ;E
{/)

{/)

,e :s
0
.!S
·;;
{/)
..0
-e >
!'CS
0
;§ 0
0
......
0
0
...... 0
°'

tu
,.Q
0 c

·2
Q)
I J:.ls

EPILEPSI
0
(<")
If)
N
0
N
If)
v

v
If)

N
o~
2lo~

0
00
0
(<")
°'
o-,

0 0 0
0
\0
If)
00 z 0
.......
0
.......

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPS/


Lt)
v

Lt)
00 ,......
0

0
0 Lt)

~
Lt)
N

Lt)
"7
,......
0

<o
N

-c?-
0
,......
0

EPILEPS/
Tabel 13. Interaksi farmakokinetik antar OAE.8,17,18

OAE OAE PERT AMA

-
CBZ CLB CZP ESL-a ESM FBM GBP LCM LTG LEV oxc
CBZ Al CLB-lJ, CZP ESq ESM-lJ, FBM.U- LCM t LTG.U- LEVt oxci
DMCLB .(),
1r
---------- - ---···------·-·---------·--··---

CLB CBZt NA NA NA NA NA oxci


CBZ-
--------------··· ···----·--------- -- - -

-
CBZ-
--------------- - - -·- ----- ------------- -

- - --
CZP NA NA NA NA NA NA
-------··-------·------------ -----·--·----·---------------
ESL-a +--'> NA NA NA NA LTGt NCCP
-- --- - - ------··- ----------·-----------··-----
ESM NA NA NA NA NA NA NA
------·-···--------·-··--------------·------ -- -------·----·------~----
FBM CBZJ CLB.J.1- CZPj ? NA NA LTGj
CBZ- DMCLB
Ej 1r
GBP NA
---------------------------·-----------------
NA NA FBMi

-
NA
- - NA
n.oxci
-
LCM NA NA NA NA f-~
--- -------- --------------------·---·------ -------·------------
LTG CZPJ----------------------·----- NA LEVJ
u;v NA NA
-------·--·---··-----·-·-·---·-·-·-·-··---·-----·---··--···--·-·-·-- --·-·--··---------
oxc NCCP NA

-
CBZJ -----·--
-- --- -- - - -- --·----····-----
LTGJ LEVJ
oxcr
-
PMP CLBJ_ NA NA LTGJ_
---- ------···--·----··-------

PB CBZ!i CLB1r CZP!i ESM!i LCMJ LTGIJ. LEV! H-


-------·-·-·-
DTvlCLB -- - -----·--------
oxci
PHT CBW CLBJJ CZPJJ ESLJ ESM!i FBMU LCM! LTGJJ. LEV! H-
DMCLB oxci
----------------·-·-·· __ 11 -·-·· ------- ---·--··-·---
PGB
PRM
---·-------·-----···--
CBW
---------------· -
NA
---··------·------·-·-·----·--· .. ·--··-----· -----··--·· --·-·-··-'"---
NA
--
CZPJJ

?
NA NA
-- ---···--·-·--·-·-··------
ESM.U-
-- ---·---··----·
NA
? NA
NA
? LTGJJ.
-- NA
?
RFN* CBZJ NA NA NA NA NA NA LTG! NA NA
-----·----··---------·-·--------------------- -
STP* CBZ1l' CLB11 ESMi ? NA NA ? NA ?
DMCLB

- -
--------·---··----------·····-- ---
ff
------·-·--·-·-·--·---·--- -- --·--·--·-------·---------- ----
TGB NA NA NA NA NA NA NA NA
--------- ----·-------·-------·---
TPM ESLt NA NA f-~
-----·-·--------··-·--·-·-·---·--···· ----·-------·--·-------
VPA CBZ- VPA ESMH FBMi LTG1l'
....

-
-··-------------·---·--- ·----

VGB CBZi NA NA NA NA NA NA NA
---·--------------·--·--
ZNS NA ? NA NA NA ?

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


CBZ = carbamazepine; CBZ-E = carbamazepine-10,11-epoxide (metabolit aktif CBZ);
CLB = clobazam; CZP = clonazepam; DMCLB = N-desmethylclobazam (metabolit aktif
CLB); ESLa = eslicarbazepine acetate; ESL = eslicarbazepine (metabolit aktif ESLa); ESM =
ethosuximide; FBM = felbamate; GBP = gabapentin; H-OXC = 10-hydroxy-oxcarbazepine
(metabolit aktif OXC); LCM= lacosamide; LEV= levetiracetam; LTG = lamotrigine;
OXC = oxcarbazepine; PB = phenobarbital; PHT = phenytoin; PGB = pregabalin; PRM
= primidone; RFN = rufinamide; STP = stiripentol; TGB = tiagabnie; TPM = topiramate;
VPA = valproic acid; VGB = vigabatrin; ZNS = zonisamide. AI= autoinduction; NA= none
anticipated; NCCP = not commonly co-prescribed.
- = Tidak ada perubahan
J = penurunan kadar plasma minor (atau inkonsisten)
i = peningkatan kadar plasma minor (atau inkonsisten)
.U. = Penurunan kadar plasma bermakna
1l' = peningkatan kadar plasma bermakna
* = Kadar obat bebas (aktif secara farmakologis) dapat meningkat
** = efek metabolit aktif H-OXC tidak diketahui
? = tidak diketahui, atau mungkin terjadi interaksi.

TERAPI OAE PADA EPILEPSI ANAK


Prinsip Dasar 19
1. Definisi first unprovoked seizure pada anak adalah satu bangkitan atau
beberapa bangkitan (yang muncul dalam 24 jam), pada pasien berusia lebih
dari 1 bulan tanpa ada riwayat bangkitan tanpa provokasi sebelumnya.1
2. Risiko bangkitan berulang makin meningkat setelahfirst unprovoked seizure
pada kondisi berikut.
a. Etiologi : remote symptomatic
b. EEG : EEG abnormal, terutama gelombang
epileptiform
c. Tidur : bangkitan terjadi saat tidur
d. Klasifikasi bangkitan : fokal
e. Riwayat keluarga : riwayat keluarga epilepsi (+).
3. Secara umum, hindari memulai terapi pada anak dengan bangkitan yang
hanya muncul sekali. Mulai penghentian OAE pada anak yang telah bebas
bangkitan 2 tahun atau lebih. Keputusan memulai terapi harus melibatkan
dokter dan keluarga pasien.

EPILEPSI _._
Tabel 14. Dosis OAE pada anak.12,19,20

OAE Dosis (mg/kg/hr) Pemberian


Karbamasepin 20-30 2-3x
Etosuksimid 20-30 2-3x
Fenitoin 4-10 1-2x
Fenobarbital 3-5 (<5th) 1-2x
2-3 (> 5th)
Asam valproat_ 15-40 2x
Lamotrigin 2-10 2x
Levetiracetam 20-60 2x
Okskarbasepin 30-50 2-3x

Topiramat 2-10 2x
Klobasam 0,5-1 (maks 30 mg/hr) 1-2x
Klonasepam Awal: 1-3x
0,01-0,03 (< 30 kg)
0,5 mg/hr (> 30 kg)
Maks: 0,1
Peramranel (> 12 th) 8-12 lx
Zonisamid 4-12 1-2x

Tabel 15. Pilihan OAE berdasarkan sindroma epilepsi.21

Sindroma OAE lini 1 OAE tambahan OAEyang HindariOAE


Epilepsi dapat berikut (dapat
dipertimbang memperburuk
kanpada bangkitan)
tertiary_ care
CAE/sindrom ETX, LTG, ETX, LTG, VPA CLB, CLZ, LEV, CBZ, GBP, OXC,
absans lain VPA TPM,ZNS PHT, PGB, TGB,
VGB
JAE/sindrome ETX, LTG, ETX, LTG, VPA CLB, CLZ, LEV, CBZ, GBP, OXC,
absans lain VPA TPM,ZNS PHT, PGB, TGB,
VGB
JME LTG, LEV, LTG, LEV, VPA, CLB, CLZ, ZNS CBZ, GBP, OXC,
VPA, TPM TPM PHT, PGB, TGB,
VGB
Epilepsy with CBZ, LTG, CLB, LTG, LEV,
GTConly OXC, VPA VPA, TPM
(GTCSA)
IGE LTG, VPA, LTG, LEV, VPA, CLB, CLZ, ZNS CBZ, GBP, OXC,
TPM TPM PHT,PGB

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Sindroma OAE lini 1 OAE tambahan OAEyang HindariOAE
Epilepsi dapat berikut (dapat
dipertimbang memperburuk
kanpada bangkitan)
tertiary care
IS +/- Tuberous Bila disebabkan oleh TS berikan VGB (pilihan pertama)/steroid
Sclerosis (pilihan kedua). Bila bukan disebabkan oleh TS berikan steroid
(pilihan pertama)/VGB (pilihan kedua)
Steroid (predison/tetracosactidea)
BECTs CBZ, LTG, CBZ, CLB, GBP, Eslicarb, LAC,
LEV, OXC, LTG, LEV, OXC, PHB, PHT,
VPA VPA, TPM PGB, TGB,
VGB,ZNS
Panayitopoulos CBZ, LTG, CBZ,CLB,GBP, Eslicarb, LAC,
syndrome LEV, OXC, LTG, LEV, OXC, PHB,PHT,
VPA VPA, TPM PGB, TGB,
VGB,ZNS
Late-onset CBZ, LTG, CBZ, CLB, GBP, Eslicarb, T .AC,
childhood LEV,OXC, LTG, LEV, OXC, PHB,PHT,
occipital epilepsy VPA VPA, TPM PGB, TGB,
(Gastaut type) VGB,ZNS
Dravet syndrome VPA, TPM CLB, Stiripentol CBZ, GBP, LTG,
OXC, PHT, PGB,
TGB, VGB
Lennox-Gas taut VPA LTG FLB, RUF, TPM CBZ, GBP, OXC,
syndrome PGB, TGB, VGB
Continuous Steroid, LEV,
spike&wave CLB, VPA, TPM
during slow sleep LTG, ETX CBZ,OXC,VGB
Landau-Kleffner Steroid, LTG, VPA
syndrome Diet ketogenik
Myoclonic VPA, LEV LTG, CBZ,OXC
astatic epilepsy TPM
(Doose)
Dew as a Level A: CBZ,LEV, PHT, ZNS
dengan LevelB:VPA
bangkitan Level C: GBP, LTG, OXC,
parsial (TLE, PB, TPM, VGB
FLE, PLE, OLE) Level D: CZP, PRM
CBZ : carbamazepine, CLB : clobazam, CZP : clonazepam, Eslicarb : eslicarbazepine, ESM:
ethosuximide, FLB : felbamate, GBP : gabapentin, LAC : lacosamide, LTG : lamotrigine,
LEV : levetiracetam, OXC : oxcarbazepine, PB : phenobarbital, PHT : phenytoin, PGB :
pregabalin, RUF : rufinamide, STM : sulthiam, TPM : topiramate, VGB : vigabatrin, ,

EPILEPSI
VPA : valproic acid, ZNS: zonisamide. FLE : Frontal Lobe Epilepsy, GTCSA : Generalized
Tonic Clonic Seizure on Awakening I Generalized Tonic Clonic Seizure - Alone, OLE :
Occipital Lobe Epilesy, PLE: Parietal Lobe Epilepsy, TLE: Temporal Lobe Epilepsy

PENGHENTIAN OAE
Pada dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah
3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada
60% pasien. Dalam hal penghentian OAE maka ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan. s,22
Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai
berikut.8'22
1. Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal.
2. Penghentian OAE disetujui oleh pasien atau keluarganya.
3. l-l:::1r11c;;: rl1bk11k'.":::1n bertahap, ')t:;o/o dari rlnc;;:1c;;: c;;:pn,11b
CPl':::IT:::I CPtiap h11bn rl:::ibm

jangka waktu 3-6 bulan, dapat lebih lambat untuk pasien dengan politerapi
dosis tinggi atau yang mendapat barbiturat/benzodiazepine.
4. Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.
Kekambuhan setelah penghentian OAE akan meningkat pada keadaaan sebagai
berikut.8
1. Usia tua.
2. Epilepsi "simtomatik".
3. Gambaran EEG yang abnormal.
4. Bangkitan yang sulit terkontrol dengan OAE.
5. Jenis sindrom: epilepsi fokal kriptogenik/simtomatik, epilepsi mioklonik
pada anak, dan JME.
6. Penggunaan lebih dari satu OAE.
7. Gangguan belajar.
Bila bangkitan timbul kembali maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum
pengurangan dosis OAE), kemudian di evaluasi kembali.7,23

EPILEPSI PADA LANJUT USIA


Pendahuluan
Pada pasien lanjut usia (lansia), diagnosis epilepsi lebih sulit karena bangkitan
muncul tidak khas. Karakteristik bangkitan berupa pandangan kosong atau
gangguan kesadaran, bangkitan saat tidur, sehingga pada awalnya sering
tidak dicurigai sebagai epilepsi.3 Etiologi pada epilepsi awitan lansia biasanya
simptomatik, terdapat fokus epileptogenik pada EEG dan pencitraan otak. 24

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


PENATALAKSANAAN EPILEPSI PADA LANSIA

Pengobatan epilepsi pada lansia lebih rumit karena sering terdapat komorbiditas,
komedikasi, dan meningkatnya kejadian efek samping akibat OAE. Pilihan OAE
pada lansia dengan bangkitan fokal.14
1. Gabapentin, Lamotrigin (Level A);
2. Karbamazepin (Level C); dan
3. Topiramat, Valproat (Level D).
Pemilihan obat anti epilepsi spektrum luas dapat dipertimbangkan pada epilepsi
umum atau tipe campuran. 25

Tabel 16. Efek samping OAE yang meningkat pada lansia.26-36

No Efek sam~ing OAE yang dihindari OAE yang direkomendasikan


1 Gangguan fenobarbital, pirimadon, oxcarbazepine, levetiracetam,
kognitif benzodiazepin, fenitoin dan gabapentin dan lamotrigine
to:eiramat
2 Osteoporosis fenobarbital, fenitoin atau
karbamaze:eine, val:eroat
3 Peningkatan valproat, karbamazepine, lamotrigin, levetiracetam, dan
beratbadan gabapentin, dan oxcarbazepine
:eregabalin. 3,9,rn,u
4 Penurunan topiramat1 lamotrigin, levetiracetam, dan
beratbadan oxcarbaze:eine

Lansia dengan epilepsi memiliki angka kematian 2-3 kali lebih tinggi daripada
populasi umum. Penatalaksanaan yang tepat memiliki prognosis yang baik,
dengan do sis OAE yang lebih rendah. 37

KOMORBIDITAS EPILEPSI
Komorbiditas pada epilepsi merupakan gangguan atau penyakit lain yang
dapat mendahului, bersamaan atau mengikuti diagnosis epilepsi. Komorbiditas
penting diperhatikan karena akan memengaruhi prognosis, kualitas hidup, dan
pemilihan OAE. Komorbiditas lebih sering dijumpai pada perempuan serta
pad a rentang usia 40-60 tahun. 38-41 Komorbiditas pada epilepsi secara umum
meliputi gangguan medis, psikiatrik serta kognitif.38,39A2A

Epilepsi dengan gangguan kardiovaskular4


2

1. Pemberian fenitoin untuk penatalaksanaan bangkitan epilepsi fase akut


merupakan kontra indikasi pada pasien gangguan jantung berat serta AV
blok derajat 2 dan 3.

EPILEPSI
2. Benzodiazepine dapat digunakan dengan monitoring fungsi respirasi.

Epilepsi dengan Gangguan Muskuloskeletal


39·43

1. Gangguan densitas tulang erat kaitannya dengan penggunaan OAE jangka


panjang terutama OAE enzyme-inducer seperti fenitoin, karbamazepin, dan
fenobarbital, usia tua, serta menopause.

Epilepsi dengan Gangguan Traktus Respiratorik


42

1. Penggunaan OAE golongan barbiturate dan benzodiazepine harus


dihindari karena berpotensi menginduksi depresi napas. Pada anak-anak,
benzodiazepine juga berpotensi rneningkatkan sekresi bronchial.
2. OAE enzyme-inducer mengurangi konsentrasi teofilin, sebaliknya teofilin
menurunkan kadar karbamazepin dan fenitoin.

Epilepsi dengan Gangguan Hepar39·42•44,45


1. Benzodiazepine juga dapat memicu ensefalopati hepatikum, maka hanya
dapat digunakan apabila benar-benar diperlukan dan dengan dosis lebih
rendah.-
2. Diperlukan kewaspadaan pada penggunaan fenitoin karena berpotensi
menimbulkan intoksikasi akibat peningkatan fraksi bebas fenitoin.

Epilepsi dengan Gangguan Renal39•42•45,46


1. Levetiracetam* tidak direkomendasikan.
2. Setelah hemodialysis, kadar obat akan menurun, sehingga diperlukan
penambahan dosis.
3. Topiramat dan zonisamid tidak boleh digunakan pada pasien yang terdapat
nefrolitiasis atau kecenderungan terjadi nefrolitiasis.

Epilepsi dengan Gangguan Tiroid42


1. OAE enzyme-inducer dapat menurunkan kadar tiroksin total dan bebas.
Valproate dapat meningkatkan hormone tiroksin (TSH),namun reversibel.
Oxkarbazepin dan topiramat dapat menurunkan hormone tiroid.
2. Penggunaan non-enzyme-inducer lebih aman pada pasien gangguan
tiroid.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Tabel 17. Pilihan OAE pada epilepsi dengan komorbiditas.42

OAE Gangguan hepar Gangguan renal Penyakit jantung Penyakit paru


Fenitoin ± + ± +
Karbamazepin ± + ± ±
Val:eroate + + +
Fenobarbital + ± ± ±
Klobazam ± + ± +
Levetiracetam + ± + +
Lamotrigine ± + +
To:eiramat + + +
Oxkarbaze:ein + ± ± +
Klonazepam ± + ± +
Gaba:eentin + ± ± +
Pregabalin + ± ± +

Keterangan:
+ : aman digunakan
- : dihindari I kontra indikasi
± : perlu kewaspadaan

Epilepsi dengan Obesitas39•42


1. Beberapa OAE berkaitan dengan peningkatan berat badan, seperti
karbamazepin, klobazam, gabapentin, pregabalin dan valproate),sedangkan
topiramat dan zonisamid menyebabkan penurunan berat badan.

Epilepsi dengan lnfeksi39·42


1. Pemberian OAE enzyme-inducer pada pasien neurosistisirkosis dapat
menyebabkan pengurangan konsentrasi prazikuantel dan albendazol
sebanyak 50%.
2. Pada kasus tuberculosis, penggunaan isoniazid menghambat metabolism
karbamazepin, fenitoin dan valproate, sehingga dapat menyebabkan
toksisitas. Sebaliknya rifampicin mengurangi konsentrasi plasma
karbamazepin, fenitoin, valproate, lamotrigine, dan fenobarbital.
3. Pada kasus HIV, yang mengonsumsi obat antiretroviral, OAE yang paling
tepat adalah levetiracetam, pregabalin, dan topiramat.

Epilepsi dengan Stroke39•42•47


1. Gunakan obat anti epilepsi generasi baru yang tidak berinteraksi dengan
antiplatelet dan antikoagulan.

EPILEPSI
Epilepsi dengan Migren39•42•48•49
1. Valproate dan topiramat telah disetujui sebagai terapi preventif migren.
Gabapentin, karbamazepin, oxkarbazepin dan zonisamid juga dapat
digunakan sebagai terapi preventif migrain.

Epilepsi dengan Depresi dan Gangguan Mood39•42•43•50


1. Beberapa OAE, yaitu fenobarbital, topiramat, vigabatrin*, tiagabin*,
gabapentin, levetiracetam dan zonisamid mempunyai efek negative
terhadap mood.
2. Faktor risiko untuk terjadi depresi yang diinduksi OAE adalah riwayat

titrasi terlalu cepat, dan politerapi.


3. Sebelum memberikan obat anti depresan, perlu dipastikan apakah baru saja
dilakukan penghentian OAE yang mempunyai efek mood-stabilizing seperti
karbamazepin, lamotrigine atau valproate.
4. SSRI merupakan pilihan untuk pasien yang mengalami depresi.
5. Antidepresan golongan trisiklik tidak direkomendasikan sebagai obat lini
pertama karena kemungkinan drug interaction dan beberapa efek samping
yang merugikan.
6. Rekomendasi penatalaksanaan depresi pada epilepsi.
a. Tahap 1: monoterapi dengan obat golongan SSRIatau cognitive behavioral
therapy.
b. Tahap 2: apabila tahap 1 tidak efektif, diberikan penggantian obat
antidepresan dengan obat lain yang direkomendasikan (golongan SSRI
lain, venlafaxine, atau mirtazapine).
c. Tahap 3: apabila respons tidak komplet, diganti dengan golongan SSRI
lain, antidepresan trisiklik, venlafaxine, mirtazapine atau golongan
MAO.
d. Tahap 4: apabila respons tidak komplet, diberikan terapi kombinasi
antidepresan trisiklik dengan SSRI atau antidepresan trisiklik dengan
venlafaxine, atau antidepresan trisiklik dengan mirtazapine, atau
venlafaxine dengan mirtazapine.

Epilepsi dengan Ansietas39•42,43,so


1. Terapi yang direkomendasikan untuk ansietas pada pasien adalah golongan
SSRI seperti paroxetine dan escitaloprarn.
2. Terapi nonfarmakologik juga dapat digunakan, seperti konseling keluarga,
psikoterapi suportif terapi dalam dan cognitive behavioral
i:'<'~!.U.<.a,1.;.,•CH'>F

therapy.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Epilepsi dengan Psikosis39·42·43,so
1. Risiko psikosis pada epilepsi adalah kecil dan bervariasi tergantung dari
sindrom, derajat berat dan frekuensi bangkitan epileptik.
2. Obat antipsikotik merupakan terapi utama, namun perlu dicatat bahwa
antipsikotik golongan lama mempunyai risiko besar untuk eksaserbasi
bangkitan epileptik.

Tabel 18. Terapi OAE pada depresi, ansietas, dan psikosis.

Terapi Anti Epileptik Terapi Psikiatrik


Rekomendasi Dihindari Rekomendasi Dihindari
Depresi CBZ, GBP, LTG, PB, PHT, PRM,
Citalopram, Amoxapin,
axe, PGB,VPA TGB,TPM escitalopram, maprotilin,
sertraline, bupropion
trazodone,
venlafaxin
Ansietas BZD, GBP, PGB, VPA LEV BZD,SSRI
Psikosis LTG,OXC,VPA ESM, LEV, TPM Olanzapine, Chlorpromazine,
quetiapine, cloz apine
risperidon

Epilepsi dengan Attention Deficit HyperactivityDisorder


{ADHD)39,43,s1

1. Pemberian OAE dapat menyebabkan beberapa gejala inti dari ADHD,


seperti hiperaktifitas, agresif, dan distractibility. Topiramat, fenobarbital,
benzodiazepine, tiagabin dan zonisamid mempunyai efek negatif terhadap
atensi.
2. ADHD dapat mendahului terjadinya bangkitan epileptik.
3. Terapi perilaku harus selalu merupakan pilihan pertama terutama untuk
anak kurang dari 8 tahun.
4. Bila bangkitan epileptik telah terkontrol, pemberian obat stimulan
(metilfenidat) dapat mengurangi gejala ADHD.

Epilepsi dengan Gangguan Mental39·43


1. Insiden epilepsi pada pasien dengan gangguan mental lebih tinggi
dibandingkan pada populasi umum.
2. Pasien dengan gangguan mental pada umumnya lebih rentan terhadap
efek samping OAE. Oleh karena itu sebisa mungkin diberikan OAE
monoterapi.

EPILEPS/
3. OAE dengan efek sedasi atau berpotensi memengaruhi fungsi kognitif,
seperti benzodiazepine, karbamazepin, fenobarbital, fenitoin, pirimidon,
dan topiramat sebaiknya dihindari untuk penggunaan jangka panjang.
4. Sebaiknya digunakan OAEyang pengaruh ke fungsi kognitif ringan, seperti
gabapentin, levetiracetam, lamotrigine, oxkarbazepin, dan valproate.
5. Pasien yang mengalami gangguan behavior berat, sebaiknya menghindari
penggunaan levetiracetam, topiramat, dan zonisamid.

Epilepsi dengan Demensia39•43•52


1. Dibandingkan dengan populasi umum, pasien epilepsi lanjut usia berisiko
lebih tinggi untuk menderita penyakit Alzheimer, setidaknya 1 tahun
setelah terdiagnosis epilepsi.
2. Beberapa obat demensia dapat menyebabkan bangkitan epileptik.

EPILEP51 PADA PERl:MPUAN

Epilepsi pada perempuan memperlihatkan hal yang unik terkait dengan


intcraksi antara hormon endokrin dan mekanisme epilepsi. Kedua hal tersebut
saling memengaruhi, di mana hormon endokrin berpengaruh terhadap epilepsi,
demikian pula sebaliknya. 53
Berdasarkan perubahan fisiologik yang terjadi pada perempuan, akan
dibahas:
1. epilepsi pada pubertas;
2. epilepsi pada menstruasi (epilepsi katamenial);
3. epilepsi pada kehamilan;
4. epilepsi pada persalinan;
5. epilepsi pada menyusui;
6. epilepsi pada penggunaan kontrasepsi; dan
7. epilepsi pada menopause.

EPILEPSI PADA PUBERTAS


Beberapa jenis bangkitan epilepsi terjadi pertama kali pada saat pubertas,
sementara jenis epilepsi yang lain membaik, di mana hal ini kemungkinan
terkait dengan perubahan hormonal yang terjadi saat pubertas. 53,54
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) pada masa pubertas harus
memperhatikan efek OAE terhadap gangguan reproduksi, seperti gangguan
menstruasi, sindroma polikistik ovarium, gangguan fertilitas, dan gangguan
seksualitas. 55

PEDOMAN TATA tAKSANA EPILEPSJ


EPILEPSI PADA MENSTRUASI (EPILEPSI KATAMENIAL)
Definisi epilepsi katamenial adalah peningkatan bangkitan epilepsi dua kali
lebih sering pada saat perimenstrual, dibanding rata-rata frekuensi bangkitan
epilepsi harian.4 Catatan harian tentang bangkitan epilepsi dan siklus menstruasi
serta pengukuran suhu tubuh basal harian dapat digunakan untuk diagnosis
epilepsi katamenial. 56,57

Terapi Epilepsi Katamenial


Sampai saat ini belum ada terapi yang spesifik. Beberapa terapi yang mungkin
bisa membantu mengurangi frekuensi bangkitan epilepsi-:
1. Tambahkan OAE yang bekerja cepat seperti klobazam. Oasis klobazam
20-30 mg/hari diberikan 10 hari selama periode menstruasi;58,59
2. asetazolamid, dosis 250-500 mg per hari, diberikan pada 5 - 7 hari sebelum
dan selama menstrurasi;57,6o dan
3. terapi hormon menggunakan progesterone, metabolit progesteron dan
antagonis estrogen. 57

EPILEPSI PADA KEHAMILAN


Kehamilan berkaitan dengan peningkatan kadar estrogen dan progesteron
yang bermakna serta perubahan metabolisme hormon dan obat anti epilepsi.
Kedua hal tersebut akan memengaruhi frekuensi bangkitan.53 Epilepsi pada
kehamilan dapat menyebabkan komplikasi maternal dan fetal/neonatal.
Komplikasi maternal yang dapat terjadi, yaitu perdarahan pervaginam, aborsi
spontan, preeklampsia, persalinan lama, 59 bangkitan berulang (hipoksia), status
epileptikus, bangkitan saat persalinan, hipertensi kehamilan, persalianan
preterm, dan sudden unexplained death in epilepsy (SUDEP).53 Komplikasi pada
fetal/neonatal yang bisa terjadi adalah keguguran (2 kali lebih sering dari
normal), kelainan kongenital (2-3 kali lebih sering dari normal), hipoksia, berat
badan lahir rendah, kelahiran prematur, IQ rendah, dan perilaku abnormal. 61

Teratogenitas
Tidak ada OAE yang dianggap pasti aman pada kehamilan. Malformasi
kongenital mayor meningkat 2-3 kali pada bayi dari ibu yang mendapatkan
obat anti epilepsi monoterapi, lebih tinggi lagi bila menggunakan asam valproat
serta politerapi. 62 Direkomendasikan pemberian asam folat pad a perempuan
yang merencanakan kehamilan dan pada saat hamil terutama pada trimester
pertama dengan dosis 1-Smgper hari untuk mencegah defek neural tube. 56,60,61,63-
65 Pemberian asam folat perikonsepsional juga berhubungan positif dengan IQ
anak yang lahir dari perempuan menggunakan obat anti epilepsi.66 Beberapa

EPILEPSI
obat anti epilepsi generasi kedua dengan risiko teratogenitas yang relatif kecil
adalah lamotrigin, leviteracetam, oxcarbazepin, dan topiramat. 56,63

Tata Laksana Sebelum Kehamilan


1. Berikan penyuluhan kepada setiap perempuan yang menggunakan OAE
dalam masa reproduksi tentang berbagai risiko dan keuntungan akibat
penggunaan OAE terhadap kehamilan dan janin. 63,64
2. OAE diberikan dalam dosis optimal sebelum konsepsi (bila memungkinkan
periksa kadar obat dalam darah sebagai basis pengukuran). 64,67
3. Bila memungkinkan ganti ke OAE yang kurang teratogenik, dan dosis
efektif harus tercapai sekuranz-kurangnva 6 bulan sebelum konsepsi.64,67
4. Hindari penggunaan OAE politerapi, 56,64 ,.
5. Apabila memungkinkan, hindari penggunaan asam valproat. Apabila
terpaksa digunakan, berikan dosis terkecil (kurang dari 750 mg) dan
gunakan bentuk lepas lambat.56

Tata Laksana Saat Hamil


1. Bila mengalami bebas bangkitan minimal 9 bulan sebelum kehamilan,
kemungkinan besar (84-92%) akan tetap bebas bangkitan selama
kehamilannya. 65
2. Jenis OAE yang sedang digunakan jangan diganti bila tujuannya hanya
untuk mengurangi risiko teratogenik. 56,67
3. Pada pengguna asam valproat atau OAE politerapi dianjurkan untuk
dilakukan:67
a. pemeriksaan kadar alfa-fetoproteinserum dan asetilkolinesterasedalam
cairan amnion (pada minggu14-16kehamilan); dan
b. pemeriksaan ultrasonografi (pada minggu 16-20kehamilan).
Apabila terdapat abnormalitas pada pemeriksaan di atas, merupakan bahan
pertimbangan untuk tidak meneruskan kehamilan-
4. Kadar OAE diperiksa awal trimester dan pada bulan terakhir
kehamilan. 63,67
5. Dosis OAE dapat dinaikkan apabila kadar OAE turun di bawah kadar OAE
sebelum kehamilan, atau sesuai kebutuhan klinik. 56,67

Persalinan pada Penyandang Epilepsi56·64·65


1. Sebaiknya dilakukan di klinik atau rumah sakit dengan fasilitas untuk
perawatan intensif untuk ibu dan neonatus.
2. Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam dengan persalinan
tanpa nyeri dengan epidural analgesia.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


3. Selama persalinan, OAE hams tetap diberikan.
4. Kejang saat persalinan dihentikan dengan menggunakan diazepam 10 mg
i.v, atau fenitoin 15-20mg/kg bolus iv diikuti dosis rumatan.
5. Vitamin K 1 mg intramuskular diberikan pada neonatus saat dilahirkan
oleh ibu yang menggunakan OAt penginduksi-enzim untuk mengurangi
risiko terjadinya perdarahan.

Tata Laksana Setelah Persalinan56·63·64


1. Biladosis OAE dinaikkan selama kehamilan, maka turunkan kembali secara
bertahap sampai ke dosis sebelum kehamilan untuk menghindari toksisitas.
Kadar OAE perlu dipantau sampai minggu ke 8 pasca persalinan.
2. Perlu diberikan penyuluhan kemungkinan kekambuhan bangkitan akibat
kurang tidur dan kelelahan karena merawat bayi, sehingga diperlukan
pendampingan.
3. Merawat bayi sebaiknya dilakukan di lantai untuk menghindari bayi
terjatuh di saat ibu mengalami kekambuhan.

EPILEPSI PADA MENYUSUl64·65


1. Semua OAE terdapat pada air susu ibu (ASI) walaupun dalam proporsi yang
berbeda-beda.
2. OAEyang relatif aman untuk menyusui adalah fenitoin, asam valproat, dan
karbamasepin. OAE dengan profil keamanan sedang meliputi lamotrigin,
okskarbasepin, levetiracetam, topiramat, gabapentin, pregabaalin, vigabatrin,
dan tiagabine. OAE dengan kemungkinan berisiko saat menyusui adalah
fenobarbital, primidon, benzodiazepine, etosuksimid, zonisamid, dan
felbamat.

PENGGUNAAN KONTRASEPSI PADA EPILEPSl56·64·65,68


1. Dianjurkan menggunakan kontrasepsi non hormonal.
2. Penggunaan suntikan (Depa Provera) dilaporkan dapat mengurangi
bangkitan, terutama pada perempuan dengan bangkitan katamenial.
Pemberian suntikan ini dianjurkan untuk diulangi setiap 10 minggu dari
yang biasanya setiap 12 minggu.

EPILEPSI
Tabel 19. Dampak OAE terhadap kontrasepsi hormonal.56,68

Terbukti Ada kemungkinan Tidak berdampak pada


mengurangi efek mengurangi kontrasepsi berdasarkan
proteksi kontrasepsi penelitian
o Fenitoin o Topiramat (400mg/ o Gabapentin
o Fenobarbital hari, kombinasi dengan o Pregabalin
o Karbamazepin valproat) o Valproat
o Primidon o Lamotrigin o Ethosuximid"
o Oxkarbazepin o Lacosamid
o Levetiracetam (<lOOOmg/hari)
o Zonisamid
o Topiramat <200mg

EPILEPSI PADA MENOPAUSE


1. Terjadi peningkatan kekambuhan pada saat perimenopause akibat
peningkatan rasio estradiol terhadap progesteron, terutama pada awal
perimenopause. Setelah menopause, ketika kadar estradiol dan progesteron
menjadi rendah dan stabil, pasien epilepsi melaporkan penurunan
bangkitan, terutama yang mengalami epilepsi katamenial.53,56,69
2. Dianjurkan menggunakan OAEnon induksi enzim (zonisamid, lamotrigin,
gabapentin, levetiracetam dan pregabalin) karena tidak memengaruhi
metabolisme kalsium dan tidak menekan produksi bentuk vitamin D aktif
yang akan meningkatkan risiko gangguan pada tulang seperti osteoporosis,
osteopeni, osteomalasia, dan fraktur. 56
3. Pasien yang menggunakan terapi sulih hormon (hormone replacement therapy)
kemungkinan akan terjadi peningkatan frekuensi bangkitan. 56

BEDAH EPILEPSI
Pendahuluan
Bedah epilepsi dilakukan bila penyakit epilepsi sudah mengalami resistan
terhadap obat.3 Tujuan tindakan bedah epilepsi adalah tercapainya bebas
bangkitan atau menurunkan frekuensi dengan efek samping minimal/" Hingga
saat ini tindakan bedah epilepsi masih jarang dikerjakan di Indonesia.

IN DI KASI
Bedah epilepsi diindikasikan pada kasus epilepsi yang berpotensi akan
membaik dengan tindakan bedah (remediable), seperti."

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


1. sklerosis hipokampus;
2. ganglioglioma, dysembrioplastic neuroepithelial tumor (DNET), cavernous
angioma, displasia kortek;
3. ensefalitis Rasmussen, hemimegalensefali, Sturge weber; dan
4. sindrom Lennox Gestaut.-

KONTRA INDIKASl72
Kontra indikasi absolut:
1. latar belakang penyakit degeneratif atau gangguan metabolik;
2. kelainan neurologi progresif; dan
3. sindrom epilepsi benigna.
Kontra indikasi relatif:
1. tidak patuh minum OAE;
2. psikosis interiktal;
3. IQ kurang dari 70; dan
4. zona epileptogenik bilateral atau difus.

SELEKSI PASIEN
Evaluasi umum:
1. tentukan zona epileptogenik;
2. jelaskan tentang tujuan operasi;
3. tentukan jenis tindakan operasi;
4. jelaskan hasil akhir yang akan dicapai; dan
5. jelaskan konsekuensi operasi.
Evaluasi khusus:
1. tentukan ada/tidak lesi intra kranial; dan
2. tentukan keadaan klinik dan tumbuh kembang penyandang.

Tabel 20. Zona epileptogenik ditegakkan berdasarkan integrasi 5 zona.70,73

ZONA DEFINISI PEMERIKSAAN


Zona Iritatif Area di kortek yang EEG non invasif dan invasif
menimbulkan gelombang spike (interiktal)
interiktal
Zona Onset iktal Area di kortek di mana EEG invasif dan non invasif
bangkitan dimulai (mencakup (iktal)
area propagasi)
Lesi Struktur otak abnormal yang Pencitraan otak dan
Epileptogenik secara langsung menyebabkan histopatologi
bangkitan

CPI LEPS/
ZONA DEFINISI PEMERIKSAAN
Zona Simtomatik Area otak yang menimbulkan Anamnesis dan observasi
gejala klinis klinis bangkitan (behavior)
Zona Defisit Disfungsi area kortek non Pemeriksaan fisik neurologi,
fungsional epileptik neuropsikologi, EEG , PET,
SPECT

Tim yang terlibat dalam bedah epilepsi adalah spesialis neurologi, spesialis
bedah saraf, spesialis radiologi, spesialis psikiatri, ahli psikologi, dan subspesialis
neurofisiologi. 74

I Tidak I ~
1
~~~L-e_s_i-pa_d_a~~l~__,1.---~~~~~~~~~~~~

I MRI I 1
Fkstra Temporal Mesia] Temporal Mesial

1
Berbatasan dengan
kortek elokuen (fMRI)

Sesuaidengan
Semiologi bangkitan,
EEG dan
N europsikiatri/

1
psikologi kortek
elokuen

Sesuai PET &


SPECT

EEG invasif Reseksi

Gambar 4. Bagan evaluasi diagnostik pada bedah epilepsi.75

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


76•78
JENIS TINDAKAN OPERASI
1. Reseksi
a. Mengangkat fokus epileptik fokal: lobektomi temporal anterior atau
amigdala hipokampektomi selektif (epilepsi lobus temporal).
b. Mengangkat jaringan luas: hemisferektomi (sindrom Rassmusen,
sindrom Sturge weber).
2. Paliatif
a. Diskoneksi, yaitu memutus jaras penyebaran bangkitan, digunakan
pada prosedur: korpus kalosotomi (bangkitan drop attack), transeksi
multipel sub pial (epilepsi Landau Kleffner).
b. Stimulasi: untuk menurunkan eksitabilitas otak (vagal nerve stimulation/
VNS, deep brain stimulation/DBS).

KOMPLIKASI
Komplikasi medis dan neurologi:79
1. Minor (gejala menghilang dalam 3 bulan):
a. kebocoran LCS, infeksi, aseptik meningitis, DVT, emboli paru,
pneumonia, hematom intrakranial, gangguan metabolik.
2. Mayor (gejala menghilang lebih dari 3 bulan):
a. hidrosefalus, abses intra kranial;
b. pada pasien anak dan reseksi ekstra temporal sering terjadi: gangguan
lapang pandang (13%), hemianopia (2%), dan afasia (4%).
Komplikasi neuropsikologi dan psikiatri:
1. Lobektomi Temporal anterior-"
a. Gangguan memori verbal pada reseksi sisi kiri sebesar 44% dan sisi
kanan20%.
b. Gangguan memori visuospasial (20%).
c. Gangguan penamaan (34%) pada sisikiri.
d. Fluensi verbal dapat meningkat (27%).
2. Gangguan distimik interiktal (18%), psikosis (1%).81

LUARAN
Bebas bangkitan 57% terdapat pada reseksi daerah neokortikal, 70%pada reseksi
temporal anteromesial. 82
Luaran pos operasi epilepsi berdasar klasifikasi ILAE:70
1. kelas 1 : bebas bangkitan, tanpa aura;
2. kelas 2 : hanya aura;
3. kelas 3 : 1-3 hari bangkitan dalam setahun, dengan/tanpa aura;

EPILEPSI
4. kelas 4 : 4 hari bangkitan dalam setahun sampai penurunan 50% hari
bangkitan yang biasanya terjadi, dengan/tanpa aura;
5. kelas 5 : penurunan kurang dari 50% hari bangkitan yang biasanya terjadi
sampai peningkatan 100%,dengan/tanpa aura; dan
6. kelas 6 : peningkatan lebih dari 100% hari bangkitan yang biasanya terjadi,
dengan/tanpa aura.

DAFTAR PUSTAKA
1. Abramovici S, Bagic A. Epidemiology of epilepsy. In: Aminoff MJ, Boller F, Swaab
DF, editors. Handbook of clinical neurology. 2nd ed. Amsterdam: Elsevier; 2016. p.
159-71.
2. Fiest KM, Sauro KM, Wiebe S, Patten SB, Dykeman J, Pringsheim T, et al. Prevalence
and Incidence of Epilepsy: A Systematic Review and Meta-analysis of International
Studies. Neurology. 2017January;88(3):296-303.
3. Kusumastuti K, Gunadharma S KE, editor. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok
Studi Epilepsi PREDOSSI. Surabaya: Airlangga University Press; 2014.
4. Fisher R, Acevedo C, Al AA et. ILAE official report: a practical clinical definition of
epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):475-82.
5. Scheffer I, Berkovic S, Capovilla G, Connolly M, French J, Guilhoto L, et al. ILAE
classification of the epilepsies - Position paper of the ILAE Commission for
Classification and Terminology. Epilepsia. 2017;58(4):512-21.
6. Perucca P, Scheffer LE KM. The management of epilepsy in children and adults.
Med J Aust. 2018;208(5):226-33.
7. Schmidt D, Sillanpaa M. Stopping epilepsy treatment in seizure remission - Good
or bad or both? Seizure. 2017;44:157-61.
8. Shorvon S, Perucca E, Engel J, editors. The Treatment of Epilepsy. 4th ed. West
Sussex: John Wiley & Sons; 2016.
9. National Institute for Health and Clinical Excellence (UK). The epilepsies: the
diagnosis and management of the epilepsies in adults and children in primary and
secondary care. Clin Guidel 137. 2012.
10. Kwan P, Schachter SC BM. Drug-resistant epilepsy. N Engl J Med.
2011;365(10):912-26.
11. Ghaffarpour M, Ghelichnia HA, Harrichian MH, Ghabaee M, Saber Tehrani MM,
Bahrami P. Strategies of Starting and Stopping Antiepileptic Drugs in Patients With
Seizure or Epilepsy; a Comprehensive Review. Arch Neurosci. 2014;2(1):l-8.
12. Perucca P., Scheffer I.E KM. The management of epilepsy in children and adults.
MJA. 2018;5:226-32.
13. Krumholz A, Wiebe S, Gronseth G, Gloss D, Sanchez A. Evidence-based guideline:
management of an unprovoked first seizure in adults. Am Acad Neurol.
2015;84(April):1705-13.
14. Glauser T, Ben-Menachem E, Bourgeois B, Cnaan A, Guerreiro C, K??lvi??inen
R, et al. Updated ILAE evidence review of antiepileptic drug efficacy and
effectiveness as initial monotherapy for epileptic seizures and syndromes. Epilepsia.
2013;54(3):551-63.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


15. Kanner A, Ashman E, Gloss D, Harden C, Bourgeois B, Bautista J. Practice guideline
update summary - Efficacy and tolerability of the new antiepileptic drugs I -
Treatment of new-onset epilepsy. Am Acad Neurol. 2018;91:74-81.
16. PN P, BFD B, editors. The Epilepsy Prescriber's Guide to Antiepileptic Drug.
Camgridge: Cambridge University Press; 2010.
17. Hanaya R, Arita K. The New Antiepileptic Drugs: Their Neuropharmacology and
Clinical Indications. Neurol Med Chir (Tokyo). 2016;56(5):205-20.
18. Johannessen Landmark C, Patsalos PN. Drug interactions involving the new second-
and third-generation antiepileptic drugs. Expert Rev Neurother. 2010;10(1):119-40.
19. Pellock J, Nordli D, Sankar R, Wheless J, editors. Pellock's Pediatric Epilepsy.
Diagnosis and Therapy. 4th ed. Demos; 2017.
20. Rosati A, De Masi S, Guerini R. Antiepileptic Drug Treatment in Children with
Epilepsy. CNS Drugs. 2015;29:847-63.
21. NICE. Epilepsies : diagnosis and management. 2012;(January 2012).
22. Hixson J. Stopping Antiepileptic Drugs - When and Why. Curr Treat Options Neurol.
2010;12:134-442.
23. Schachter S. Determining when to stop antiepileptic drug treatment. Curr Opin
Neurol. 2017;20:000-000.
24. Lawn N, Kelly A, Dunne J, Lee J, Wesseldine A. First seizure in the older patient-
clinical features and prognosis. Epilepsy Res. 2013;107(1-2):109-14.
25. Panayitopoulos C. A Clinical Guide to Epileptic Syndromes and Their Treatment.
Revised 2n. Panayitopoulos C, editor. Springer Healthcare; 2010. 173-200p.
26. Ensrud K, Walczak T, Blackwell T. Antiepileptic drug use increases rates of bone
loss in older women- a prospective study. Neurology. 2004;62:2051-7.
27. DeToledo J, Toledo C, DeCerce J. Changes in body weight with chronic, high-dose
gabapentin therapy. Ther Drug Monit. 1997;19:394-6.
28. Poza J. Management of epilepsy in the elderly. Neuropsychiatr Dis Treat.
2007;3(6):723-8.
29. Easter D, O'Bryan C, Verity C. Weight gain with valproate or carbamazepine-a
reapprisal. Seizure. 1997;6:121-5.
30. Biton V. Effect of antiepileptic drugs on bodyweight: Overview and clinical
implications for the treatment of epilepsy. CNS Drugs. 2003;17(11):781-91.
31. Arroyo S, Anhut H, Kugler A, Asdf. International Study Group. Pregabalin add-on
treatment- a randomized, double-blind, placebo-controlled, dose-response study in
adults with partial seizures. Epilepsia. 2004;45:20-7.
32. Ben-Menachem E. Mechanism of action of vigabatrin : correcting misperceptions.
Acta Neurol Scand. 2011;124(192):5-15.
33. Devinsky 0, Vuong A, Hammer A. Stable weight during lamotri- gina therapy- a
review of 32 studies. Neurology. 2000;54:973-5.
34. Gidal B, Sheth R, Magnus L. Levetiracetam does not alter body weight- analysis of
randomized, controlled clinical trials. Epilepsy Res. 2003;56:121-6.
35. Birnbaum A, Hardie N, Leppik I, Asdf, Asdf. Variability of total phenytoin serum
concentrations within elderly nursing home residents. Neurology. 2003;60:555-9.
36. Reife R, Pledger G, Wu S. Topiramate as add-on therapy- pooled analysis of
randomized controlled trials in adults. Epilepsia. 2000;41(Suppl:S66-71).

EPILEPSI
37. Brodie M, Kwan P. Epilepsi in elderly people. BMJ. 2005;331:1217-21.
38. Gaitatzis A, Carrol K, Majeed A, Sander J. The Epidemiology of the Comorbidity of
Epilepsy in the General Population. Epilepsia. 2004;45(12):1613-22.
39. Seidenberg M, Pusipher D, Hermann B. Association of epilepsy and comorbid
conditions. Futur Neural. 2009;4(5):663-8.
40. Keezer M, Sisodiya S, Sander J. Comorbidities of epilepsy- current concepts and
future perspectives. Lancet Neurol. 2016;15:106-15.
41. Ottman R, Lipton R, Ettinger A, Cramer J, Reed M, Morrison A, et al. Comorbidities
of epilepsy- Results from the Epilepsy Comorbidities and Health (EPIC) survey.
Epilepsia. 2011;52(2):308-15.
42. Ruiz-Gimenez J, Sanchez-Alvarez J, Canadillas-Hidalgo F, Serrano-Castro P.
Antiepileptic treatment in patients with epilepsy and other comorbidities. Seizure.
?01n;1 q.17~-R?.
43. Sirven J. Management of Epilepsy Comorbidities. Cantin (Minneap Minn).
2016;22(1):191-203.
44. Vidaurre J, Gedela S, Yarosz S. Antiepileptic Drugs and Liver Disease. Pediatr
Neurol. 2017;77:23-36.
45. DeLacerda G. Treating Seizures in Renal and Hepatic Failure. J Epilepsy Clin
Neurophysiol. 2008;14 (Suppl:46-50).
46. Diaz A, Deliz B, Benbadis S. The use of newer antiepileptic drugs in patients with
renal failure. Expert Rev Neurother. 2012;12(1):99-105.
47. Zhao Y, Li X, Zhang K, Tong T, Cui R. The Progress of Epilepsy after Stroke. Curr
Neuropharmacol. 2018;16:71-8.
48. Cianchetti C, Pruna D, Ledda M. Epileptic seizures and headache/migraine: A
review of types of association and terminology. Seizure. 2013;22(9):679-85.
49. Kim D. Headache and Epilepsy. J Epilepsy Res. 2017;7(1):7-15.
50. Kanner A. Psychiatric comorbidities in new onset epilepsy- Should they be always
investigated? Seizure. 2017;49:79-82.
51. Wei S, Lee W. Comorbidity of childhood epilepsy. J Formos Med Assoc.
2015;114:1031-8.
52. Subota A, Pham T, Jette N, Sauro K, Lorenzetti D, Holroyd-Leduc J. The association
between dementia and epilepsy- A systematic review and meta-analysis. Epilepsia.
2017;58(6):962-72.
53. Harden CL. Interaction between epilepsy and endocrine hormones: Effect on the
lifelong health of epileptic women. Vol. 3, Advanced Studies in Medicine. 2003.
54. Wheless J, Kim H. Adolescent seizures and epilepsy syndromes. Epilepsia.
2002;43:33-52.
55. Appleton R, Neville B. Teenagers with epilepsy. Arch Dis Child. 1998;81:76-9.
56. Weil S, Deppe C, Noachtar S. The treatment of women with epilepsy. Dtcsh Arztebl
Int. 2010;107(45):787-93.
57. Verrotti A, D'Egidio C, Agostinelli S, Verrotti C, Pavone P. Diagnosis and management
of catamenial seizures - a review. Int J Women's Heal. 2012;4:535-41.
58. Feely M, Gibson J. Intermittent clobazam for catamenial epilepsy - tolerance avoided.
J Neurol Neurosurg Psychiatry. 1984;47:1279-82.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


59. Camfield P, Camfield C. Benzodiazepines used primarily for chronic treatment
(clobazam, clonazepam, clorazepate and nitrazepam). In: Shorvon S, Perucca E, J E,
editors. The treatment of Epilepsy. 3rd ed. West Sussex: Wlley-Blackwell; 2008. p.
421-30.
60. Morel M. Epilepsy in women. Am Fam Physician. 2002;66:1489-94.
61. Harg L, Sibai B. Seizure in pregnancy- Epilepsy, eclampsia, and stroke. Semin
Perinatol. 2013;37:207-224.
62. Mawer G, Briggs M, Bakerb G, Bromleyb R, Coylea H, Eatockb J. Pregnancy with
epilepsy- obstetric and neonatal outcome of a controlled study. Seizure. 2010;19(2).
63. Reimers A, Brodtkorb E. Second-generation antiepileptic drugs and pregnancy- a
guide for clinicians. Expert Rev Neurother. 2012;12(6):707-17.
64. Crawford P. Best Practice Guidelines for the Management of Women with Epilepsy.
Epilepsia. 2005;46 (Suppll):17-24.
65. Harden CL, Pennell PB, Koppel BS, Hovinga CA, Gidal B, Meador KJ, et al.
Management issues for women with epilepsy-Focus on pregnancy (an evidence-
based review): III. Vitamin K, folic acid, blood levels, and breast-feeding. Epilepsia.
2009;50(5):1247-55.
66. Meador KJ, Baker GA, Brown N, Kohen MJ. Fetal antiepileptic drug exposure and
cognitive outcomes at age 6 years (NEAD study) : a prospective observational study.
Lancet Neurol. 2013;12(3):244-52.
67. Kimford Jay Meador.Women and Epilepsy.AAN 2007.pdf.
68. Reddy D. Clinical pharmacokinetic interactions between antiepileptic drugs and
hormonal contraceptives. Expert Rev Clin Phramacol. 2010;3(2):183-92.
69. Harden C, Frye C. Hormone changes in epilepsy. In: Engel J, Pedley TA, Aicardi J,
Moshe SL, Dichter MA, Perucca E, editors. Epilepsy A Comprehensive Textbook.
2nd ed. Philadephia; 2008. p. 2037-41.
70. Engel J. Engel J. Overview of surgical treatment for epilepsy. In Shorvon S, Perucca
E, Engel J, Moshe S. The treatment of epilepsy. 3rd ed. Wiley-Blackwell.2009. p.
709-22.
71. Engel J, Cascino GD, Shields WD. Engel J, Cascino GD, Shield WD. Surgically
remediable syndrome. In Engel J, Pedley TA Epilepsy a comprehensive text book.
2nd ed. William & Wilkins. Philadelphia 2008.168-1761-69.
72. Duchowny MS, Harvey AS, Sperling MR, Williamson PD. Indications and criteria
for surgical intervention. In: Engel J, Pedley TA, Aicardi J, Moshe SL, Dichter MA,
Perucca E, editors. Epilepsy A Comprehensive Textbook. 2nd ed. Philadelphia; 2008.
p.1751-9.
73. Ryvlin P, Rheima S. Epilepsy surgery - eligibility criteria and presurgical evaluation.
Dialogues Clin Neurosci. 2008;10(1):91-103.
74. Walker M, Fish D. Pre-operative evaluation and outcome of surgical treatment of
epilepsy. In: Rugg-Gunn F, Stapley H, editors. Epilepsy 2017 from bench to bedside
ILAE British Chapter. 16th ed. West Sussex: ILAE British Chapter; 2017. p. 503-6.
75. Noachtar S, Borggrate I, Remi J. When to consider epilepsy surgery and what
surgical procedure? In: Scaechter S, editor. Evidence-based management of epilepsy.
Malta; 2011. p. 33-53.

EPILEPSI
76. JL Cross. Presurgical evaluation and outcome of epilepsy surgery. In: Rugg-Gunn F,
Stapley H, editors. Epilepsy 2017 from bench to bedside ILAE British Chapter. 16th
ed. West Sussex: ILAE British Chapter; 2017. p. 507-13.
77. McEvoy A, Harkness W. Methods of epilepsy surgery. In: Rugg-Gunn F, Stapley H,
editors. Epilepsy 2017 from bench to bedside ILAE British Chapter. 16th ed. West
Sussex; 2017. p. 515-20.
78. Baltuch G, Villemure J, editors. Operative technique in epilepsy surgery. 2009th ed.
New York: Thieme Medical Publisher; 2009.
79. Hader W, Tellez-Zenteno J, Metcalfe A, Hernandez-Ronquillo L, Wiebe S, Kwon C,
et al. Complication of epilepsy surgery- systematic review of focal surgical resection
and invasive EEG monitoring. Epilepsia. 2013;54(5):840-7.
80. Sherman E, Wiebe S, Fay-McClymont T, Tellez-Zenteno J, Metclafe A, Hernandez-
Ronquillo T ., Pt al. Neuropsychological rmtrornoc: ::iftor epilepsy c:11rgory · systematic
review and pooled estimates. Epilepsia. 2011;52(5):857-69.
81. Macrodimitris S, Sherman E, Forde S, Tellez-Zenteno J, Metcalfe A, Hernandez-
Ronqquillo L, et al. Psiciatric outcomes of epilepsy surgery - systematic review.
Epilepsia, 2011;52(5):880-90.
82. Engel J, McDermott M, Wiebe S, Langfitt J, Stern J, Dewar S. Early surgical therapy
for drug resistance temporal lobe epielsy- randomiesed trial. JAMA. 2012;307(9):922-
30.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


BAB3

SINDROM EPILEPSI
Suryani Gunadharma, Herlyani Khosama, Uni Gamayani, Audry
Devisanty Wuysang

DEFINISI
Sindrom epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda yang mencakup
tipe bangkitan, gambaran EEG dan pencitraan otak. Umumnya berhubungan
dengan usia awitan, usia remisi, pemicu bangkitan, variasi diurnal, bahkan
prognosis. Komorbiditas, seperti gangguan intelektual dan gangguan psikiatri
dapat menyertai sindrom epilepsi.1

KLASIFIKASl2
Klasifikasi terbaru untuk sindrom epilepsi sampai saat ini belum ada, sehingga
dalam buku pedoman dan tata laksana ini masih digunakan klasifikasi ILAE
tahun 1989 untuk sindrom epilepsi.
1. Fokal
a. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
1) Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal
(childhood epilepsy with centrotemporal spikes)
2) Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah
oksipital
3) Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
b. Simtomatik
1) Epilepsi parsial kontinua yang kronik progresif pada anak-anak
(Kojenikow's Syndrome)
2) Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan
(kurang tidur, alkohol, obat obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi,
stimulasi fungsi kortikal tinggi, membaca)
3) Epilepsi lobus temporal
4) Epilepsi lobus frontal
5) Epilepsi lobus parietal
6) Epilepsi lobus oksipital
c. Kriptogenik
2. Epilepsi Umum
a. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
1) Epilepsi neonatus familial benigna
2) Epilepsi neonatus benigna
3) Epilepsi mioklonik benigna pada bayi (Benign Myoclonic Epilepsy in
Infancy)
4) Epilepsi lena pada anak (Childhood Absence Epilepsy)
5) Epilepsi lena pada remaja (Juvenile Absence Epilepsy)
6) Epilepsi mioklonik pada remaja (Juvenile Myoclonic Epilepsy)
7) Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
8) Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu di
atas
9) Epilepsi tonik klonik yang dipresipitasi dengan aktivasi yang
spesifik
b. Kriptogenik atau simtomatik (berurutan sesuai dengan peningkatan
usia)
1) Sindrom West (spasme infantil dan spasme salam)
2) Sindrom Lennox-Gastaut
3) Epilepsi mioklonik astatik
4) Epilepsi mioklonik lena
c. Simtomatik
1) Etiologi non spesifik
a) Ensefalopati mioklonik dini
b) Ensefalopati pada infantil dini dengan burst supression
c) Epilepsi simptomatik umum lainnya yang tidak termasuk di
atas
2) Sindrom spesifik
3) Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
3. Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
a. Bangkitan umum dan fokal
1) Bangkitan neonatal
2) Epilepsi mioklonik berat pada bayi
3) Eplepsi dengan gelombang paku kontinyu selama tidur dalam
4) Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
5) Epilepsi yang tidak termasuk dalam klasifikasi di atas
b. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus
a. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
1) Kejang demam
2) Bangkitan kejang/ status epileptikus yang timbul hanya sckali
(isolated)

PEOOiVIAN TATA LAKSJ.\NA Ef'ILEPSI


3) Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolik
akut, atau toksis, alkohol, obat-obatan, Eklamsia, hiperglikemi non
ketotik
4) Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi refleks)

EPILEPSI BENIGNA DENGAN GELOMBANG PAKU DI


SENTROTEMPORAL 3•4•5
Benign Childhood Epilepsy with Centrotemporal Spikes (BECTS) atau dikenal
dengan Benign Rolandic Epilepsy (BRE) merupakan epilepsi fokal, paling sering
ditemukan pada anak usia awitan 1-14 tahun (75%pada usia 7-10 tahun). Laki-
laki lima kali lebih sering dari perempuan.

Etiologi
Berhubungan dengan kromosom 15ql4, diturunkan secara autosomal
dominan.

Manifestasi klinis
1. Durasi bangkitan 30-60 detik, terutama saat tidur. Frekuensi bangkitan
rendah.
2. Manifestasi klinis
a. Bangkitan motor orofasial: kontraksi tonik atau klonik pada wajah
ipsilateral dengan predileksi komisura labial (kontralateral dari
gelombang paku sentrotemporal), dapat disertai keterlibatan kelopak
mata ipsilateral. Bisa juga terdapat kontraksi pada rahang, suara serak,
keluar air liur, dan henti bicara. Bila bangkitan berlangsung >30menit,
dapat menjadi bangkitan tonik klonik bilateral.
b. Bangkitan somatosensori: kesemutan unilateral atau parestesi lidah,
bibir, gusi dan bagian dalam pipi.

Gambaran EEG
1. Interiktal: terdapat benign epileptiform discharges of childhood (BEDC)unilateral
atau bilateral pada daerah rolandik, amplitudo maksimal pada C3/C4 dan
midtemporal (T3/T4). Terdapat tangensial dipole anterior posterior yang klasik
dengan bagian anterior yang berpolaritas positif. Temuan tipikal ini dapat
hanya terlihat saat tidur.
2. Iktal: gelombang paku ritmik yang monomorfik di daerah sentrotemporal
unilateral atau bilateral.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

SJNDROfvl EPILEPSI
Prognosis
Baik, remisi biasanya terjadi sekitar usia 15-16 tahun. Tidak terdapat bukti bahwa
pada penderita yang tidak diobati mempunyai prognosis jangka panjang yang
buruk. Namun terdapat laporan pemberian karbamazepin dan lamotrigin dapat
memperparah bangkitan pada sebagian kecil penderita BECTS. Terapi dapat
dihentikan setelah 1-3 tahun bangkitan terakhir, atau setelah usia remisi.

EPILEPSI LOBUS OKSIPITAL IDIOPATIK TIPE


PANAYIOTOPOLOUS3•4·s,&,7
1. Usia awitan: 1-14 tahun (puncaknya 4-5 tahun) pada anak yang normal.
2. Angka kejadian pada laki-laki sama dengan perempuan.
3. Pada 2/3 kasus bangkitan terjadi saat tidur.

Manifestasi klinis
1. Bentuk bangkitan: Gejala otonom: mual, pucat, berkeringat. Anak menjadi
rewel, deviasi mata ke lateral, gangguan kesadaran, pada 25% kasus
berkembang menjadi bangkitan hemiklonik.

Gambaran EEG
1. Interiktal: Irama dasar normal. Gelombang paku multifokal dengan
amplitudo tinggi pada kedua hemisfer, hilang dengan buka mata (fixation off
phenomenon), muncul saat tidur. Umumnya (2/3 kasus) ditemukan gelombang
paku oksipital. Pada 1/3 kasus tidak ditemukan gelombang paku di lobus
oksipital, bahkan gambaran EEG dapat normal.
2. Iktal: Awitan berupa gelombang teta atau delta yang ritmik bercampur
gelombang paku dengan amplitudo rendah unilateral di daerah posterior,
dapat juga di daerah anterior.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

Prognosis
Baik, dapat remisi penuh.

EPILEPSI LOBUS OKSIPITAL IDIOPATIK TIPE GASTAUT3•4•5•6•7


Usia awitan: 3-16 tahun (puncaknya 8 tahun).

Manifestasi klinik
l. Bangkitan berlangsung singkat, terutama siang hari.
2. Gejala visual berupa halusinasi visual elementer seperti melihat cahaya,
ilusi atau kebutaan parsial atau total.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


3. Deviasi mata dan nyeri di mata unilateral, kelopak mata menutup atau
berkedip, hilang kontak, hemiparesis, hemikonvulsi, dapat menjadi tonik
klonik bilateral. Pada 1/3-1/2kasus terdapat nyeri kepala pascaiktal.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Gelombang paku multifokal dengan
amplitudo tinggi pada kedua hemisfer, hilang dengan buka mata (fixation off
phenomenon), muncul saat tidur. Umumnya (2/3 kasus) ditemukan gelombang
paku oksipital. Pada 1/3 kasus tidak ditemukan gelombang paku di lobus
oksipital, bahkan gambaran EEG dapat normal.
2. Iktal: saat halusinasi visual terdapat gelombang dengan frekuensi cepat dan
gelombang paku dengan amplitudo meningkat diikuti frekuensi berkurang
tanpa perlambatan pasca-iktal, dapat pula berupa perlambatan umum. Saat
terjadi bangkitan tampak gelombang paku ombak (spike-wave complex), semi
periodik.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

Prognosis
Umumnya baik, walaupun kadang sulit dikontrol.

3•4•5•6
EPILEPSI PRIMER SAAT MEMBACA (READING EPILEPSY)
Epilepsi refleks dengan bangkitan yang dipicu oleh kegiatan membaca. Usia
awitan 10-30tahun

Etiologi
Sebagian besar berhubungan dengan genetik, namun beberapa kasus terdapat
lesi struktural terutama di area frontal.

Manifestasi Klinis
Bangkitan mioklonik (paling sering), bangkitan fokal dengan manifestasi aleksia
atau disleksia, bangkitan lena, bangkitan umum tonik klonik atau bangkitan
yang lain.

EEG
1. Interiktal: Irama dasar normal. Gelombang paku (spike) bilateral terutama
di hemisfer kiri, dapat pula normal.
2. Iktal: Tergantung bentuk bangkitan, dapat berupa gelombang paku,
gelombang tajam, kompleks paku ornbak (spike-wave complex), terutama
hemisfer dominan, atau perlambatan delta di daerah posterior temporal
kiri. Bangkitan biasanya timbul 3-19 menit pada saat membaca.

SINDROM EPILEPSI _._


Tata Laksana
Tidak ada pedoman yang jelas untuk tatalaksana bangkitan.

7
EPILEPSI LOBUS TEMPORAL MESIAL (ELTM) 3,4,5,5,
Bentuk epilepsi fokal tersering pada dewasa, umunmya berhubungan dengan
riwayat kejang demam kompleks. Terdapat jeda waktu antara kejang demam
dengan awitan epilepsi pada masa pubertas dan sklerosis hipokampus.

Manifestasi Klinis
1. Bangkitan fokal, jarang berkembang menjadi bangkitan tonik klonik
bilateral.
2. Bentuk aura yang sering terjadi adalah perasaan mual, aura epigastrik, aura
psikis misalnya deja-vu, dan keadaan seperti bermimpi, diikuti 'bengong'
dan otomatisme. Kadang disertai gejala otonom berupa muntah. Bangkitan
berlangsung 30 detik sampai 2 menit. Keadaan pascaiktal ditandai dengan
disorientasi waktu dan tempat, gangguan berbahasa bila yang terkena
lobus dominan, batuk, dan mengusap hidung dengan tangan ipsilateral
lesi. 8angkitan terjadi terutama saat pasien bangun.

Etiologi
Tersering adalah sklerosis hipokampus. Penyebab lain displasia, tumor,
malformasi vaskuler, meningitis dan encephalitis.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Terdapat gelombang paku atau tajam,
perlambatan pada bagian anterior dan medial lobus temporal terutama
saat tidur non REM dengan amplitudo maksimal pada Tl/T2, dan atau
perlambatan interrniten ritmik dengan frekuensi delta di daerah temporal
(TemporalIntermittent Ryhtmic Delta Activity!TIRDA).
2. Iktal: perlambatan ritmik 5-6 Hz di daerah temporal bagian anterior dan
medial (maksimal di F7/F8 dan T3/T4)disertai peningkatan dan penurunan
amplitudo (kresendo dan dekresendo).

Penanganan
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

Prognosis
Umumnya resisten terhadap OAE, tetapi dapat berespons baik dengan
operasi.

PEOOMAN TATA LAKSANA EP/LEPSI


EPILEPSI LOBUS TEMPORAL LATERAL (ELTL) 3•4•5
Insiden lebih jarang dibandingkan ELTM.

Manifestasi Klinis
Bangkitan fokal clan jarang menjadi bilateral. Aura dapat berupa halusinasi
atau ilusi auditorik, keadaan seperti bermimpi. Gangguan berbahasa (bangkitan
afasik) dapat timbul bila serangan terjadi pada lobus dominan. Aura dapat
diikuti dengan episode 'bengong', clan bangkitan kloriik kontralateral,
berkembang menjadi bangkitan tonik klonik bilateral. Bangkitan bisa juga
berupa kedutan wajah atau menyeringai clan otomatisme non-oral. ELTLlebih
sering terjadi saat tidur.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Gelombang paku, paku ombak maksimum
di daerah T3/T4 clan T5/T6,polyspike. Gambaran TIRDA jarang ditemukan.
2. Iktal: perlambatan 2-5 Hz (lebih lambat, lebih iregular clan kurang ritmik
dibandingkan ELTM). Gelombang tajam semi periodik kresendo saat
awitan bangkitan muncul lebih sering clan lebih cepat menyebar ke bilateral
dibandingkan dengan ELTM.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

EPILEPSI LOBUS FRONTAL (ELF) 3,4,5,5,7

Bentuk tersering kedua setelah epilepsi lobus temporal.

Manifestasi Klinik
Bentuk bangkitan motorik muncul pada saat awal bangkitan berupa posisi
distonik kontralateral diikuti bangkitan tonik klonik. Kesadaran dapat tidak
terganggu terutama jika bangkitan berlangsung cepat. Aura tidak spesifik.
Bangkitan lebih singkat dibandingkan ELT, clan terjadi saat tidur tanpa keadaan
postiktal. Pada sepertiga kasus terdapat lesi struktural seperti tumor low grade,
displasia kortikal, malformasi vaskuler, trauma, clan genetik.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Dapat ditemukan perlambatan teta atau delta
di daerah frontal, ipsilateral terhadap awitan bangkitan, gelombang paku
di daerah frontal atau frontopolar.
2. Iktal: umumnya lebih menyebar mengenai lobus frontal, parietal, clan
posterior temporal. Gelombang cepat fokal dan ritmik pada dorsolateral
lobus frontalis.

S/NDROM EPILEPSI
Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

EPILEPSI LOBUS PARIETAL (ELP) 3,4,5,5,7,a

Etiologi
Tumor, gliosis, malformasi, lesi vaskuler, dan infark otak.

Manifestasi Klinis
Sulit terdiagnosis karena jarang disertai bangkitan klinis. Gangguan kesadaran
jarang terjadi, kecuali jika menyebar ke lobus temporal. Bangkitan somatosensori
berupa gangguan sensorik kontralateral, seperti kesemutaan, baal, rasa ditusuk-
tusuk, perasaan menjalar atau sengatan listrik terutama pada daerah wajah
dan lengan. Bentuk bangkitan tersering kedua adalah nyeri seperti ditikam
atau nyeri tumpul.

Gambaran EEG
1. Interiktal: dapat normal, atau menunjukan perlambatan, gelombang paku,
gelombang tajam, polyspike, gelombang cepat, perlambatan delta atau teta di
lobus parietal. Perubahan ini menyeluruh saat tidur non REM dan menjadi
fokal pada tidur REM.
2. Iktal: penurunan amplitudo menyeluruh diikuti aktivitas cepat menyeluruh
dengan frekuensi yang berkurang dan peningkatan amplitudo pada daerah
sentral.

Penanganan
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

EPILEPSI LOBUS OKSIPITAL 3•4•5•6•8

Etiologi
Pada % kasus berupa tumor, malformasi, trauma, iskemi, penyakit mitokondrial,
sindrom Sturge-Weber.

Manifestasi Klinik
Bangkitan umumnya berlangsung singkat. Halusinasi visual elementary
kontralateral fokus epileptik, terutama sensasi cahaya atau warna. Gerakan
okuloklonik, berkedip-kedip, dan nistagmus. Deviasi mata ke arah lapang
pandang yang terdapat halusinasi visual disertai deviasi kepala ipsilateral. Dapat
disertai gangguan visus, seperti skotoma, hemianopsia atau amourosis fugax
dan hilangnya kesadaran pada saat bangkitan. Dapat menyebar menjadi tonik

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


klonik bilateral. Gejala otonomik: mual, pucat, berkeringat. Gejala pascaiktal
dapat berupa kebutaan dan migren.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Dapat ditemukan perlambatan unilateral
di daerah posterior. Umumnya (2/3 kasus) ditemukan gelombang paku
oksipital. Gelombang paku multifokal dengan amplitudo tinggi pada kedua
hemisfer, hilang saat membuka mata, muncul saat tidur.
2. Iktal: awitan dari bagian posterior unilateral, umumnya menyebar sampai
ke lobus parietal dan temporal bagian posterior.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

EPILEPSI NEONATUS FAMILIAL BENIGNA3•4•5•9•10


Dikenal sebagai benignfamilial neonatal seizures atau benignfamilial neonatal epilepsy
(BFNE).Usia awitan: pada hari ke-2 atau ke-3 kelahiran (pada neonatus yang
lahir cukup bulan). Riwayat prenatal dan perinatal yang abnormal dan ada
riwayat bangkitan neonatus pada keluarga. Diagnosis ditegakkan dengan
mengeksklusi etiologi lain.

Etiologi
Diturunkan secara genetik otosomal dominan.

Manifestasi Klinis
1. Bangkitan dimulai dengan bangkitan tonik, deviasi kepala atau mata,
menatap, apnea, dan gangguan otonom. Berkembang menjadi gerakan
klonik unilateral atau bilateral. Durasi bangkitan singkat dan frekuensi
sangat sering, hingga 30 kali per hari.
2. Keadaan pascaiktal cukup singkat.
3. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan otak normal.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal, terdapat gelombang epileptiform atau non-
epileptiform fokal/multifokal.
2. Iktal: gambaran flattening difus bilateral 5-20 detik pada fase tonik atau
apneu, kemudian menjadi asimetris, diikuti gelombang lambat fokal atau
bilateral dengan amplitudo tinggi. Kemudian diikuti oleh gelombang tajam
pada daerah frontal, temporal atau sentral.

Tata Laksana
Biasanya terjadi remisi, sehingga tidak perlu terapi khusus.

SINDROM EPILEPS/
Prognosis
Remisi pada usia sekitar 4-6 bulan, dengan/tanpa pengobatan.

EPILEPSI MIOKLONIK PADA BAYI (EARLY MYOCLONIC EILEPSY!


EME3,4,s,12,13,14,1s,16

Jarang terjadi, prevalensi 1-2% pada kejang dengan usia awitan kurang dari
3 tahun. Laki-laki lebih banyak dari perempuan. Riwayat kehamilan dan
kelahiran normal. Terdapat riwayat keluarga dengan kejang demam pada 30%
pasien,

Manifestasi Klinis
'I
L
rp:
.upe
l L~'----
LJctllb1'llcUl
t,
llctHyct
---~-Ll---~L
11uvJ<.1u1u1,
-~-----L-L
::>U.Ll:,1'ctt
{'I,.., ..l-L~L\ L---1 ----1 ..J: --L-
\.l-"" ueuJ<.J, ruzuu.nuuuui:5, lHctLct J<.e
L-

atas, kontraksi ekstremitas atas dan diafragma saat usia awitan (6 bulan
sampai 3 tahun), dapat terjadi secara spontan maupun bila diaktivasi dengan
stimulasi fotik, suara atau sentuhan.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Saat tidur tampak gelombang paku
menyeluruh dan polyspike dengan atau tanpa diikuti kejang mioklonik.
Dapat diprovokasi dengan stimulasi fotik, suara dan sentuhan (10%).
2. Iktal: kejang mioklonik disertai gelombang paku ombak menyeluruh atau
polyspike selama 1-3 detik.

Tata Laksana
Tidak ada

Prognosis
Dapat terjadi remisi.

EPILEPSI LENA PADA ANAK {CHILDHOOD ABSENCE EPILEPSY/


CAE)3,4,s,11

Terjadi pada anak dengan tumbuh kembang normal. Usia awitan: 4-10 tahun
dengan puncak 5-7 tahun. Perempuan lebih sering dari laki-laki. Dapat terjadi
bangkitan umum tonik klonik di kemudian hari.

Manifestasi Klinik
1. Bangkitan: terhentinva aktivitas volunter tiba-tiba, hilangnya kesadaran/
respons, pandangan kosong, bengong, atau mata ke atas dan berkedip-
kedip.
2. Otomatisme dapat ditemukan pada bangkitan yang lebih dari 16 detik.
3. Gerakan klonik bilateral pada mata dan wajah, kepala menoleh, perubahan
otonom, dapat terjadi pen.urun_an. tonus otot.

PEDOMAN TlffA LA!<SANA EPILEPS!


4. Bangkitan umumnya dicetuskan oleh hiperventilasi dan dihentikan dengan
stimulasi auditorik tiba-tiba (memanggil nama anak atau tepuk tangan).
5. Tidak ada gejala pascaiktal.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Dapat ditemukan OIRDA(Occipital Intermittent
Rhythmic Delta Activity), gelombang kompleks paku ombak menyeluruh
3-3,5Hz (3Hz SWC),predominan pada daerah fronto-sentral, dengan awitan
bilateral sinkron. Pada tidur NREM stadium 2-3 dapat terlihat komponen
polyspike. Fragmentasi fokal dapat terlihat terutama saat tidur.
2. Iktal: gelombang kompleks paku ombak 3-4 Hz atau lebih cepat, dapat
asimetris atau asinkron 500 milidetik - 2 detik, kadang dengan komponen
polyspike (>3 spike), terutama saat awitan bangkitan. Bila terdapat komponen
tonik atau atonik akan tampak gelombang polyspikes atau flattening.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

Prognosis
1. Umumnya terjadi remisi saat memasuki usia awal remaja.
2. Bila terdapat bangkitan umum tonik klonik pada awal perjalanan penyakit
menunjukkan prognosis buruk.

EPILEPSI LENA PADA REMAJA (JUVENILE ABSENCE EPILEPSY!


JAE)3,4,s,17

Usia awitan 8 tahun sampai dewasa muda, puncak 8-13 tahun. Insidensi laki-
laki sama dengan perempuan.

Manifestasi Klinik
1. Terdapat hilangnya kewaspadaan (impaired awareness), otornatisme, yang
dicetuskan oleh hiperventilasi. Frekuensi bangkitan lebih jarang dari CAE
dan biasanya sporadik. Pada kebanyakan kasus terdapat bangkitan tonik
klonik. Pada 15% kasus terdapat bangkitan mioklonik.
2. Awal perjalanan penyakit, bangkitan pertama dapat berupa bangkitan tonik
klonik bilateral. Bangkitan mioklonik jarang terjadi.

Gambaran EEG
1. Interiktal: Irama dasar normal.
Pada saat bangun: gelombang paku ombak umum, muncul saat HV seperti
pada CAE. Dapat terlihat komponen polyspike (>3 spike).
Pada tidur NREM stadium 1-2 cetusan menjadi lebih sering dan singkat
dengan komponen polyspike.

SINDROM EPILEPSI
Pada tidur NREM stadium 3 tampak kompleks gelombang paku ombak
menyeluruh yang menghilang pada tidur REM.
2. Iktal: Gelombang paku ombak menyeluruh 3-3,SHz, dengan durasi sampai
30 detik. Bila terjadi bangkitan umum tonik klonik, maka tampak pola ritme
cepat menyeluruh (generalized fast rhythm). Gambaran iktal pada bangkitan
mioklonik sama seperti JME.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

Prognosis
Bukan merupakan kelainan yang dapat sembuh sendiri, tetapi pada kebanyakan
pasien, dapat terkontrol dengan OAE yang tepat.

EPILEPSI MIOKLONIK PADA REMAJA {JUVENILE MYOCLONIC


EP!LEPSY/Jl'..'~E}3•4•5•17
Usia awitan 10-20 tahun.

Etiologi
Kelainan genetik, mutasi gen GABRAl pada reseptor GABA-A, gen yang
mengkode kanal natrium, kanal klorida.

Manifestasi Klinis
l. Bangkitan ditandai dengan sentakan yang tiba-tiba dan singkat, terutama
pada pundak dan lengan atas. Sering terjadi saat bangun tidur, dan dapat
merupakan satu-satunya bentuk bangkitan. Bangkitan tonik klonik umum
ditemukan pada 1/3 kasus.
2. Bangkitan yang terjadi bukan saat bangun tidur dapat dicetuskan
oleh: gerakan (praxis-induced), stimulasi fotik, membaca atau aktivitas
linguistik.
3. Segera setelah bangkitan mioklonik, dapat diikuti bangkitan umum tonik
klonik atau bangkitan mioklonik klaster.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Rekaman saat bangun menunjukkan
gelombang polyspike-wave menyeluruh dengan amplitudo maksimal pada
anterior. Saat tidur dalam (deep sleep) cetusan menyeluruh menjadi lebih
sering dan singkat, dengan pertambahan jumlah gelombang paku.
2. Iktal: saat bangkitan mioklonik berupa polyspike-wave dengan amplitudo
tinggi menyeluruh, singkat, simetrik atau asimetrik.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

Prognosis
Tidak ada remisi spontan, tapi berespons pada OAE yang tepat.

EPILEPSI DENGAN BANGKITAN UMUM TONIK-KLONIK PADA


SAAT TERJAGA (IDIOPATHIC GENERALIZED EPILEPSY WITH GTCS
ON AWAKENING I EPILEPSY WITH GENERALIZED TONIC CLONIC
SEIZURE -ALONE/ GTCS-A) 3•5
Usia awitan puncak pada dekade ke-2.

Manifestasi Klinis
Bangkitan tonik klonik umum terjadi 1-2 jam setelah bangun tidur.Frekuensi
bangkitan jarang.

EEG
1. Interiktal: irama dasar normal. Saat bangun berupa gelombang paku
atau polyspike-wave menyeluruh seperti pada JAE, durasi 3-4 detik, dapat
diaktivasi oleh hiperventilasi. Photo Paroxysmal Response (PPR)dapat terjadi
pada 25-30% kasus.
2. Iktal: aktivitas cepat beramplitudo rendah menyeluruh didahului oleh
gelombang paku ombak 3-4Hz.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

Prognosis
Sindrom ini tidak dapat sembuh sendiri, namun bangkitan terkontrol baik
denganOAE.

SINDROM WEST3•18•19
Merupakan salah satu bentuk epilepsi ensefalopati. Insidensi 2-5/10.000 kelahiran
hidup, merupakan jenis epilepsi tersering pada bayi dengan usia awitan: 3 -12
bulan.

Manifestasi Klinik
1. Trias: spasme epileptik terutama saat bangun tidur, keterlambatan
perkembangan, dan gambaran EEG hypsarrhytmia.
2. Bangkitan dapat berbentuk fokal, asimetrik atau unilateral.
3. Dapat disertai sindrom neurokutaneus.

SINDROM EPILEPS/
Etiologi
1. Gangguan struktural, metabolik, kromosom, genetik (gen ARX, COLS,
SPTANl, STXBPl).
Gambaran EEG
1. Interiktal: pola hypsarrhytmia.
2. Iktal: spasm disertai gelombang tajam ampitudo tinggi atau gelombang
lambat menyeluruh atau gelombang lambat diikuti dengan aktivitas cepat
dengan amplitudo rendah dan penurunan ampitudo secara menyeluruh
(burst suppression liked pattern atau electrodecrementalpattern).
Tata Laksana
Pemberian ACTH (level ' B).
,,, 75U/m
. 2 2x/hari
. selama 2 minazu.
vv , kemudian

diturunkan bertahap 30,15dan 10U/m2 pada pagi hari masing-masing 3 hari,


kemudian 10u/m2 setiap pagi pada 6 hari berikutnya. Regimen lain dosis rendah
20U/m2 sekali sehari. Regimen ACTH dosis rendah dipertimbangkan debagai
alternative dosis tinggi (Level B)
Dapat juga diberikan Vigabatrin 50mg/kg/hr dibagi 2 dosis dan dinaikkan
25-SOmg/kg/hr tiap 3 hari sampai dosis maksimal 150mg/Kg terutama pada
tuberosklerosis; atau Predinisiolon lOmg 4x/hari selama 2 minggu (dosis
naikkan 20mg, 3x/hari bila dalam 1 minggu terapi belum ada perbaikan, dosis
diturunkan bertahap dalam 2 minggu. (Steroid oral untuk spasm jangka
pendek sesuai level C)
Disamping itu pembeiran diet ketogenik dapat mengurangi bangkitan. Pada
kasus-kasus tertentu diperlukan tindakan operasi.

SINDROM LENNOX-GESTAUT3•20
Merupakan epilepsi ensefalopati, dapat merupakan kelanjutan sindrom
Ohtahara dan sindrom West. Usia awitan antara 3-10 tahun, dengan puncak
usia 3-5 tahun, biasanya sebelum usia 8 tahun. Ditemukan pada 2-4%epilepsi
anak, laki-laki lebih sering dari perempuan.

Etiologi
1. Pada 70-75%terdapat lesi struktural berupa displasia kortikal fokal,subcortical
band heteropia, polimikrogiria perisylvian; phakomatoses (tuberous sklerosis
kompleks, hypomelanosis of Ito), meningitis atau ensefalitis, ensefalopati
hipoksik iskemik, dan epilepsi genetik. Sebesar 25-30% tidak diketahui.

Manifestasi Klinik
1. Diagnosis berdasarkan trias:
a. bentuk bangkitan bermacam-macam, dapat berupa campuran bangkitan
fokal dan umum tetapi harus ada bangkitan tonik dan bangkitan lena
atipikal;
PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI
b. gangguan kognitif; dan
c. gambaran interiktal tipikal pada EEG.
2. Status epileptikus dapat terjadi pada sekitar 60% kasus, berupa hilangnya
kesadaran dengan gambaran EEGkompleks gelombang paku ombak lambat
(slow spike wave complex/SSWC) yang kontinu.
Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar umumnya lambat dan ireguler. Terdapat gelombang
paku fokal atau multifokal, paku ombak, polyspike, gelombang lambat dan l
bursts aktivitas cepat yang fokal. Kompleks gelombang paku ombak lambat
1,5-2,SHz(SSWC) sinkron dengan amplitudo tinggi maksimal pada daerah
frontal beberapa detik sampai menit.
2. Iktal: bangkitan tonik menunjukkan gelombang paku ritmik bilateral cepat
(fast bilateral rhythmic spike discharges) berfrekuensi 15-25Hz. Amplitudo pada
awitan rendah, kemudian meningkat, terutama pada daerah anterior dan
vertex. Terdapat pendataran difus (flattening) atau SSWC beramplitudo
tinggi dapat mendahului gelombang paku ritmik bilateral yang cepat.
Bangkitan lena atipikal menunjukkan gelombang SSWC 1,5-2,SHz yang
ireguler, difus, beramplitudo tinggi, simetris atau kurang simetris terutama
pada daerah frontal.

Prognosis: buruk.
Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

EPILEPSY WITH MYOCLONIC-ATONIC SEIZURES (EMAS)/ DOOSE


SYNDROME I EPILEPSY WITH MYO-ATONIC SEIZURES3
Ditemukan pada 1-2% epilepsi anak. Usia awitan 2-4 tahun, puncak awitan usia
3 tahun. Laki-laki banding perempuan 2:1.

Etiologi: genetik.
Manifestasi Klinis
Kriteria diagnosis:
1. perkembangan normal sampai awitan epilepsi;
2. awitan mioklonik, mioklonik astatik atau astatik antara usia 7 bulan sampai
6 tahun; dan
3. gelombang paku menyeluruh atau polyspike and wave pada EEG.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal pada saat awal awitan, terdapat diffuse theta
rhythm 4-7 Hz pada daerah sentroparietal (central theta waves). Gelombang

S/NDROM EPILEPSI
paku ombak menyeluruh 2-3 Hz, maksimal pada daerah frontosentral.
Terdapat gelombang paku atau polyspikes fokal atau multifokal.
2. Iktal: pada bangkitan mioklonik, mioklonik-atonik atau atonik dapat terlihat
gelombang paku ombak menyeluruh 2-4 Hz yang bilateral sinkron.

Tata Laksana
1. Pemilihan OAE lihat Tabel 15.
2. Pada awal, sering resistan terhadap OAE, sehingga kadang dibutuhkan
tambahan ACTH dan diet ketogenik.

Prognosis
1. Sebesar 40% pasien mengalami remisi dalam 6 bulan, 63% dalam 1 tahun,
dan 89% dalam 3 tahun.
2. Terdapat kemunduran kognitif.

EPILEPSI MIOKLONIK LENA (EML)JEPILEPSY WITH MYOCLONIC


ABSENCES (EMA)3
Sekitar 1% dari keseluruhan epilepsi pada anak. Usia awitan antara 1-12 tahun,
rerata sekitar usia 7 tahun, lebih sering pada anak laki-laki (70%).

Etiologi
1. Sekitar 25% genetik, terdapat irnaturitas atau kerusakan otak perinatal.

Manifestasi Klinik
1. Mynrlnnir (MA), ?/1 kr1~11~ cL:1pr1t cHj11mpr1i hPnh1k bangkitan fain
ahc;PnrP
sebelum terdiagnosis MA, seperti bangkitan lena tipikal, bangkitan tonik
klonik umum.
2. Tipe bangkitan yang dapat terjadi setelah awitan MA adalah bangkitan
tonik klonik umum (45%kasus), status lena, dan lena tipikal.

Gambaran EEG
1.J.. Interiktal: irama dasar normal. Saat bangun gelombang paku ombak
menyeluruh pada 1/3kasus. Saat tidur, polyspike, dapat juga berupa kompleks
gelombang paku ombak regular 3-4Hz, dapat menjadi fragmentasi.
2. Iktal: ditandai kompleks gelombang paku ombak 3Hz yang ritmik, bilateral
sinkron, simetris atau awitannya regional, seperti pada CAE. Perekaman
dengan poligrafi pada otot Deltoid menunjukkan pola mioklonik ritmik
yang bilateral dengan frekuensi sesuai cetusan gelombang paku ombak,
biasanya setelah 1 detik setelah awitan cetusan pada EEG.

Tata Laksana
Pemilihan OAE pada prinsipnya mirip CAE/JAE/JME.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


SINDROM ENSEFALOPATI MIOKLONIK DINI/ EARLY MYOCLONIC
ENCEPHALOPATHY (EME)3•10,11,21
Usia awitan segera setelah lahir, tersering dalam 10 hari pertama.

Etiologi
1. Kelainan metabolisme familial (seperti ketergantungan piridoksin,
hiperglikemia non-ketotik, asidemia propiamida, defisiensi faktor-faktor
molibdenum, defisiensi faktor sulfit oksidase, defisiensi sulfit oksidase,
penyakit Menkes, dan sindrom Zellweger).

Manifestasi Klinik
1. Bangkitan mioklonik aksial atau segmental. Frekuensi bangkitan
bervariasi.
2. Bangkitan fokal ditandai dengan adanya bangkitan motorik disertai deviasi
mata, atau hemikonvulsi.
3. Bangkitan otonom seperti flushing dan apnea.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar normal pada awal awitan. Pola burst-suppresion
yang berlangsung sekitar 2-5 detik, terjadi saat tidur; burst lebih pendek
dibandingkan Sindrom Ohtahara.
2. Iktal
a. Spasme tonik: desinkronisasi dengan atau tanpa aktivitas cepat yang
jelas.
b. Mioklonus aksial/ekstremitas: pola burst suppresion disertai gelombang
paku dan polyspike dalam bentuk burst.
c. Bangkitan fokal: terdapat gelombang paku atau tajam fokal.

Tata Laksana
Tidak ada pedoman yang jelas untuk tata laksana bangkitan dan tidak ada
terapi yang efektif.

Prognosis
Resistan terhadap pengobatan, terjadinya retardasi psikomotor berat, dan usia
harapan hidup yang terbatas. Lima puluh persen pasien EME akan meninggal
sebelum usia 1 tahun dan sisanya akan mengalami status vegetatif.

SINDROM OHTAHARA/ EARLY-INFANTILE EPILEPTIC


ENCEPHALOPATHY WITH SUPPRESSION-BURST PATTERN3•11•22
Bangkitan dimulai segera setelah lahir, tersering dalam 10 hari pertama. Sering
berevolusi menjadi Sindrom West (WS)atau epilepsi multifokal.

SINDROM EPILEPSI
Etiologi
1. Lesi otak struktural bawaan atau didapat (hemimegalencephaly liseencephaiv. 1

polymicrogyria, sindrom Aicardi, displasia dentato-olivaro, dan gangguan migrasi


neuronal).
2. Genetik: mutasi gen ARX, transporter glutamate mitokondria, SLC25A22,
STXBPl, dan SCN2A.

Manifestasi Klinis
1. Bangkitan yang paling khas adalah spasme epileptik dan bangkitan
tonik.
2. Bangkitan fokal berupa deviasi mata atau hemikonvulsi.
3_ R::ino-k1t::in <uhtl»
-----o-·------ ---- --- rllc;;:prt::11 fpnornPn::i
------ ---- ------------- otonorn
- -------- .:;:pnprt1
--.r -- -- Jfl11c.hi11a
···-····o ibn
-·--· :::innP:::i
-.r-·--·
4. Lama bangkitan 1-10 detik, frekuensi 10-300 kali atau 10-20 klaster dalam
24jam.

Gambaran EEG
1. Interiktal: irama dasar abnormal. Burst suppresion sekitar 2-5 detik, sampai
18 detik. Pola burst suppresion dapat berkembang menjadi pola hypsarrhytmia
pada usia 3-6 bulan.
2. Iktal: sama dengan EME.

Tata Laksana
1. Asam valproat, fenobarbiton, vigabatrin, benzodiazepine, zonisamide, dan
diet ketogenik menunjukkan efektivitas yang terbatas.
2. Penanganan gangguan mefaholisme.
3. Pada malformasi otak, operasi mungkin efektif.

SINDROM DRAVET/SEVERE MYOCLONIC EPILEPSY OF INFANCY


(SM El)3,23,24

Termasuk dalam epilepsi ensefalopati. Usia awitan tahun pertama kehidupan


- 15 bulan. Anak lahir normal dengan riwayat kehamilan maupun persalinan
normal. GEFS+ terdapat pada 30-50% kasus.

Etiologi
Kelainan genetik: mutasi gen SCNlA clan PCHD19.

Manifestasi klinik
1. Sekitar 60% bangkitan pertama diprovokasi oleh peningkatan suhu tubuh/
lingkungan, kelelahan, dan stimulasi fotik pada yang fotosensitif.
2. Pada usia 1-4 tahun, didahului bangkitan Iokal clan gangguan
kewaspadaan, disertai pucat, otomatisme oral, deviasi kepala clan

PEDOMAN TATA LAl<SANA f:PiLEPS!


mata. Dapat terjadi bangkitan lena, mioklonik, dan status epileptikus non-
konvulsif.
3. Regresi perkembangan dapat terjadi terutama pada anak dengan status
epileptikus.

Gambaran EEG
Abnormalitas EEG tidak spesifik.
1. Interiktal
a. Tahun pertama: normal.
b. Tahun kedua: tampak abnormalitas umum, fokal dan multifokal,
gelombang tajam, paku atau polyspike, simetris atau asimetris terutama
di frontal dan sentral, dapat juga di temporal dan oksipital.
c. Fotosensitif dapat terlihat pada semua usia.
2. Iktal
a. Bangkitan mioklonik: gelombang paku atau polyspike menyeluruh 1-3
detik, dengan amplitudo tinggi di sentral dan parietal.
b. Bangkitan lena atipikal: gelombang paku ombak lambat 2-3,5 Hz
menyeluruh, durasi 3-10 detik.
c. Bangkitan fokal: polyspike bercampur aktivitas teta daerah temporal-
patieto-oksipital pada satu hemisfer.

Pencitraan otak: normal saat awitan, sekitar 10%ditemukan atrofi umum atau
skerosis hipokampus.

Tata Laksana
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.
Prognosis: buruk

ENSEFALOPATI DENGAN STATUS EPILEPTIKUS ELEKTRIKAL SAAT


TIDUR DALAM I ELECTRICAL STATUS EPILEPTICUS DURING SLOW
SLEEP (ESES) I CONTINUOUS SPIKE AND WAVES DURING SLEEP
(CSWS)3,s,2s

Merupakan epilepsi ensefalopati dengan manifestasi bangkitan yang bervariasi,


disertai gangguan kognitif motorik dan perilaku. Awitan bervariasi dari
usia 2-12 tahun, dengan usia puncak 4-5 tahun. Terminologi ESESatau CSWS
merujuk pada gambaran EEG saja.

Etiologi
1. Genetik.
2. Terdapat struktur otak abnormal seperti neuronal migration disorders,
hidrosefalus, dan kelainan talamus.

SINDROM EPILEPSI
Manifestasi Klinis
L Bangkitan klinis dapat terjadi sebelum timbul ESES,
2. Berdasarkan pola bangkitan, dibagi 3 kelompok:
a. bangkitan motorik umum: jarang, terjadi saat tidur;
b. bangkitan motorik fokal unilateral atau tonik klonik bilateral: terutama
saat tidur; dan
c. bangkitan Iena saat bangun, menyerupai lena tipikal dan terjadi saat
awitan ESES. Bangkitan lena atipikal: sering berhubungan dengan
mioklonus negatif atau komponen atonik yang menyebabkan pasien
tiba-tiba terjatuh.
3. Manifestasi ensefalopati berupa gangguan atau perburukan neuropsikologis,
gangguan perilaku, dan gangguan kemampuan motor.

Gambaran EEG
Inter iktal: irama dasar saat bangun dapat normal atau abnormal.
Rekaman bangun: gelombang paku ombak fokal atau multifokal, bercampur
dengan gelombang paku ombak difus. Latar belakang asimetris, polyspike
atau gelombang paku cepat yang repetitif. Topografi dapat unilateral atau
menyeluruh.
Rekaman tidur (iktal): gambaran tipikal berupa gelombang paku ombak lambat
yang kontinu, umumnya 1,5-2,SHz, selama tidur stadium NREM, regional
pada daerah frontal, centrotemporal, clan multiregional. Saat tidur REM aktivitas
paroksismal menjadi fragmentasi dan kurang kontinu, sementara cetusan fokal
menjadi lebih jelas.

Prognosis
Setengah pasien terdapat gangguan kognitif dan perilaku yang menetap.

Penanganan
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

SINDROM LANDAU-KLEFFNER (LKS)3•5•25


Epilepsi dengan afasia atau agnosis auditorik, terjadi pada anak yang sebelumnya
normal.
Usia awitan 2-8 tahun. Merupakan spektrum dari ESES.

Etiologi
Ditemukan lesi otak kongenital atau didapat.

Manifestasi Klinik
l. Pada 60% kasus gejala pertama adalah '"''"'u._,,., ... H dan sisanya afasia yang

PEDOMAN TATA LJ\KSAN.AEPILEPS!


disebabkan verbal atau auditory agnosia, dengan awitan yang subakut,
selanjutnya diikuti oleh reduksi bicara spontan yang cepat, terutama
perseverasi, parafasia, kesalahan fonologik dan stereotipik verbal. Afasia
sering remisi dan eksaserbasi.
2. Bangkitan epileptik terjadi pada 70-80% kasus biasanya saat tidur. Berupa
motorik minor halus (mengedip dan deviasi mata singkat), bangkitan parsial
sederhana, lena atipikal, bangkitan motor unilateral, jarang terjadi bangkitan
bilateral tonik klonik dan bangkitan fokal dengan gangguan kesadaran.

Gambaran EEG
1. Interiktal: rekaman bangun: gelombang paku repetitif beramplitudo tinggi
dengan topografi yang bervariasi, morfologi menyerupai gelombang paku
rolandik (BECTS).Cetusan unilateral sering terlihat pada awal perjalanan
LKS, biasanya pada daerah temporal (>50%) atau pada daerah parietooksipital
(30%). Gelombang paku ombak menyeluruh. Rekaman tidur: gelombang
epileptiform fokal pada daerah posterior temporal unilateral.
2. Iktal: gelombang paku fokal dengan frekuensi tinggi, pada saat status
epileptikus.
3. Dalam perjalanan LKS, gambaran EEG dapat berupa pola ESES.

Prognosis
Bereaksi baik dengan OAE. Bangkitan akan hilang sekitar usia 15 tahun, namun
sering terjadi defisiensi berbahasa yang menetap.

Penanganan
Pemilihan OAE lihat Tabel 15.

SINDROM EPILEPSI
DAFTAR PUSTAKA
1. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French, J, et al. ILAE classification
of the epilepsies: Position paper of the ILAE Commission for Classification and
Terminology. Epilepsia. 2017;58(4):512-21.
2. Commission on Classification and Terminology of the International Leage Against
Epilepsy. Proposal for Revised Classification of Epilepsies and Epileptic Syndrome.
Epilepsia, 1989;30(4):389-99.
3. Koutroumanidis M, Arzimanoglou A, Caraballo R, Goyal S, Kaminska A, Laoprasert,
et al. The role of EEG in the diagnosis and classification of the epilepsies (Part 2),
Epileptic Disord 2017;19(4):385-437.
4. Koutroumanidis M, Panayiotopoulos C. Benign childhood seizure susceptibility
syndromes in Gunn FJR, Stapley HB editor. Epilepsy 2017: from bench to bedside:
a practical guide to epilepsy. 16 ed. Lecture notes in sixteenth epilepsy teaching
weekend 2017 23-24 Sept; International Leaque Against Epilepsy (British Chapter).;
University of Oxford Mathematical Institute. 2017.p.119-67.
5. Pearl PL. Epilepsy syndromes in Childhood. Continum 2018;24(1 Child
neurology):186-209.
6. Koutroumanidis M, Arzimanoglou A , Caraballo R , Goyal S , Kaminska A,
Laoprasert P, dkk. The role of EEG in the diagnosis and classification of the epilepsy
syndromes: a tool for clinical practice by the ILAE Neurophysiology Task Force (Part
1). Epileptic Disord 2017;19(3):233-98.
7. Crespel A, Celisse P,. Bureau M, Genton P. Atlas of Electroencephalography vol 2.
The Epilepsied EEG and Epileptic Syndromes. Paris: John Libbey Eurotext;2006, p
3-6.
8. Duncan JS. Occipital and parietal lobe epilepsies in Gunn FJR, Stapley HB editor.
Epilepsy 2017: from bench to bedside: a practical guide to epilepsy. 16 ed. Lecture
notes in sixteenth epilepsy teaching weekend 2017 23-24 Sept; International Leaque
Against Epilepsy (British Chapter); University of Oxford Mathematical Institute.
2017. p.189-192.
9. Plouin P. Benign familial neonatal seizures and benign idiopathic neonatal seizures.
In: Epilepsy: a comprehensive textbook, second edition. USA: Lippincott's William
and Wilkins; 2008. p. 2289.
10. Panayiotopoulus CP. Neonatal epileptic seizures and neonatal epileptic syndromes.
In: Panayiotopoulus CP,. editor. A clinical guide to epileptic syndromes and their
treatment. United Kingdom: Springer; 2010. p. 248-54
11. Appleton RE, McLellan A. Investigation of seizures in infants. In: Epilepsy 2017 from
bench to bedside: a practical guide to epilepsy. 16 ed. International Leaque Against
Epilepsy (British Chapter). 2017 23-24 Sept; University of Oxford Mathematical
Institute. 2017.p.277-83.
12. Panayiotopoulos CP. The Epilepsies, Seizures, Syndrome and Management. UK:
Bladon Medical Publishing;2005. p.130-3
13. Caraballo R, Flesler, Pasteris, Avaria, Fortini S, Vilte C. Myoclonic epilepsy in
infancy: An electroclinical study and long-term follow-up of 38 patients. Epilepsia.
2013;54(9):1605-12.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


14. Guerrini R, Mari F, Dravet C. Idiopathic myoclonic epilepsies in infancy and early
childhood. In Bureau M, Genton P, Dravet C, Delgado-Escueta A, Tassinari CA,
Thomas P, Wolf P (Eds) Epileptic syndromes in infancy, childhood and adolescence.
5th ed. Paris:John Libbey Eurotext; 2012. p.157-73.
15. Caraballo R, Capovilla G, Vigevano F, Beccaria F, Specchio N, Fejerman N. The
spectrum of benign myoclonus of early infancy: clinical and neurophysiological
features in 102 Patients. Epilepsia. 2009;50:1176-83.
16. Gaily E, Lommi M, Lapatto R, Lehesjoki AE. Incidence and outcome of epilepsy
syndromes with onset in the first year of life: A retrospective population-based
study Epilepsia. 2016;57(10):1594-601.
17. Koutroumanidis M. Idiopathic Generalized Epilepsy. in Gunn FJR, Stapley HB
editor. Epilepsy 2017: from bench to bedside: a practical guide to epilepsy. 16 ed.
Lecture notes in sixteenth epilepsy teaching weekend 2017 23-24 Sept; International
Leaque Against Epilepsy (British Chapter).; University of Oxford Mathematical
Institute. 2017.p.149-67.
18. Kelley SA. Knupp KG. Infantile Spasm-Have We Made Progress. Curr Neurol
Neurosci Rep. 2018;18:27.
19. Eija Gaily, Markus Lommi, Risto Lapatto, Anna-Elina Lehesjoki. Incidence and
outcome of epilepsy syndromes with onset in the first year of life: A retrospective
population-based study. Epilepsia 2016;57(10):1594-601.
20. Ferrier CD. Severe paediatric epilepsy syndromes. In Gunn FJR, Stapley HB editor.
Epilepsy 2017: from bench to bedside: a practical guide to epilepsy. 16 ed. Lecture
notes in sixteenth epilepsy teaching weekend 2017 23-24 Sept; International Leaque
Against Epilepsy (British Chapter); University of Oxford Mathematical Institute.
2017.p. 93-114.
21. Kamate M, Mahantshetti N, Chetal V. Early Myoclonic Encephalopathy. Indian
Pediatrics. 2009;46:3.
22. Beal JC, Cherian K, Moshe SL. Early-Onset Epileptic Encephalopathies: Ohtahara
Syndrome and Early Myoclonic Encephalopathy. Pediatric Neurol. 2012 Nov;47(5):317-
23.
23. Connolly MB. Dravet syndrome: diagnosis and long-term course. Can J Neurol Sci.
2016;43(Suppl 3):53-58.
24. Gataullina S, Dulac 0. From genotype to phenotype in Dravet disease. Seizure.
2017;44:58-64.
25. Doose H. EEG in Childhood Epilepsy. Initial Presentation and Long-term Follow
-up. France: John Libbey Eurotext; 2003. p.210-227

SINDROM EPILEPSI ._
STATUS EPILEPTIKUS

Fitri Octaviana, Aida Fithrie, Corry Novita Mahama, Hendra Premana
BAB4

PENDAHULUAN
Status epileptikus (SE) merupakan kedaruratan neurologik yang berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Insidensi tahunan secara
keseluruhan mencapai 41 per 100.000populasi.1 Angka kejadian SE mencapai
puncak pada usia muda (<10 tahun) dan lanjut usia (>50 tahun).2

DEFINISI DAN KLASIFIKASI


Definisi
Status epileptikus (SE) didefinisikan sebagai bangkitan epileptik yang
memanjang atau berulang sesuai durasi bangkitan yang dapat dilihat pada
Tabel 21.3

Tabel 21. Definisi operasional t1 dan t2 pada status epilepticus. 3

Tipe SE Titik waktu t1 Titik waktu t2


SE tonik klonik 5 menit 30 menit
SE fokal dengan gangguan kesadaran 10 menit >60 menit
SE lena (absence) 10-15 menit Tidak diketahui
Catatan: Titik t1 adalah waktu saat tata laksana emergensi SE hams dimulai, titik t2
adalah waktu saat konsekuensi jangka panjang (kematian, cedera maupun perubahan
jaringan pada neuron) dapat terjadi.

Klasifikasi Status Epileptikus


3

Klasifikasi SE ditentukan berdasarkan:


1. semiologi,
2. etiologi,
3. gambaran EEG,dan
4. usia.
Semiologi
Klasifikasi SE berdasarkan:
1. ada atau tidaknya gejala motorik; dan
2. derajat gangguan kesadaran (secara kualitatif atau kuantitatif).
SE dengan gejala motorik yang jelas dan disertai gangguan kesadaran dapat
disebut sebagai status epileptikus konvulsivus (SEK), tanpa gejala motorik yang
jelas maka disebut sebagai status epileptikus non-konvulsivus (SENK).

Tabel 22. Klasifikasi SE berdasarkan semiologi.3

(A) Dengan gejala motorik yang jelas


A.l. SE konvulsivus (SEK, sinonim: SE tonik-klonik)
A.l.a. SE Konvulsivus umum
A.1.b. SE konsulvisus fokal berkembang menjadi SE konvulsivus bilateral
Al.c. SE konvulsivus yang tidak diketahui apakah fokal atau umum
A.2. SE mioklonik (bangkitan mioklonik dominan)
A.2.a. Disertai koma
A.2.b. Tanpa koma
A.3. SE Motorik fokal
A.3.a. Bangkitan motorik fokal berulang (Jacksonian)
A.3.b. Epilepsia parsialis kontinua (EPK)
A.3.c. Status adversive
A.3.d. Paresis iktal
A.4. SE tonik
A.5. SE hiperkinetik

B.1. SENK disertai koma


B.2. SENK tanpa koma
B.2.a. SE Umum
B.2.a.a. Status lena tipikal
B.2.a.b. Status lena atipikal
B.2.a.c. Status lena mioklonik-
B.2.b. SE Fokal
B.2.b.a. SE Tanpa gangguan kesadaran (aura kontinua, dengan gejala autonom,
scnsorik, visual, olfaktori, gustatori, emosi/psikis/experiential, gejala
auditorik)
B.2.b.b. SE afasik
B.2.b.c. SE dengan gangguan kesadaran
B.2.c. SE Tidak diketahui apakah fokal atau umum
B.2.c.a. SE autonomik

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Etiologi
Etiologi "diketahui" atau "simtomatik", dapat disebabkan oleh kelainan
struktural, gangguan metabolik, inflamatorik, infeksi, toksik, atau genetik.
Berdasarkan waktu perjalanan penyakit dapat dibagi menjadi akut, remote, dan
progresif.
Tidak ada etiologi "idiopatik" atau "genetik" pada SE. Pada sindrom epilepsi
akibat kelainan genetik atau idiopatik, penyebab SE dapat berupa metabolik
atau faktor intrinsik (misalnya kurang tidur); pemberian OAE yang tidak sesuai
dan penghentian OAE yang mendadak dapat mencetuskan SE pada sindrom
epilepsi tersebut.
Terminologi "tidak diketahui" atau "kriptogenik" digunakan jika etiologi SE
tidak dapat ditegakkan.

Tabel 23. Etiologi status epileptikus.3

(A) Diketahui (Simtomatik)


Al. Akut (misal: stroke, intoksikasi, malaria, ensefalitis, dll)
A.2. Remote (misal: pascatrauma, pascaensefalitis, pascastroke, dll)
A.3. Progresif (misal: tumor otak)
A.4. SE pada sindrom elektroklinis tertentu
(B) Tidak diketahui (kriptogenik)

Etiologi Status Epileptikus


SE bisa dialami orang dengan atau tanpa epilepsi, terutama pada pasien usia tua.
Etiologibersifat terkait-usia dan sangat memengaruhi prognosis dan mortalitas.
Secara umum, diagnosis etiologi pada SE dapat diklasifikasikan seperti yang
tertulis pada Tabel 23. Etiologi SE simtomatik dapat bermacam-macam, baik
berasal dari serebral maupun non-serebral seperti yang tertera pada Tabel 24.

Tabel 24. Etiologi simtomatik pada status epileptikus.v"

Sistem Etiologi
Serebral Kerusakan serebral hipoksik/metabolik
Infeksi: meningitis, ensefalitis, abses
Tumor intrakranial
Trombosis vena serebral
Penyakit serebrovaskular: Perdarahan dan infark
serebral
Pasca-prosedur operasi supratentorial
Trauma kepala
Displasia kortikal

STATUS EPILEPT/KUS
Si stem Etiologi
Kardiorespirasi dan otonom Hipotensi
Ensefalopati hipertensi
Posterior reversible encephalopathy syndrome (PRES)
Gagal jantung, taki/bradi-disritmia, henti jantung, syok
kardiogenik
Gagal napas
Gangguan frekuensi dan irama respirasi, apnea
Edema paru, hipertensi pulmonal, emboli, pneumonia
aspirasi
Hiperpireksia
Hipersekresi keringat, obstruksi trakeobronkial
Iskemia pt::rifer
Metabolik dan sistem Dehidrasi
Kelainan elektrolit (hiponatremia, hiperkalsemia)
Hipo/hiperglikemia
Gaga! ginjal akut (terutama nekrosis tubular akut)
Gaga! hati akut
Pankreatitis akut
Imunologi Ensefalitis paraneoplastik
Ensefalopati Hashimoto
Ensefalitis reseptor Anti-NMDi\. (N-methyl
D-aspartate)
Ensefalitis reseptor Anti-VGKC (voltage gated
K-channel)
Ensefalitis Rasmussen
Lupus cerebral
Penyakit Still onset dewasa
Ensefalitis terkait antibodi Anti-GAD (glutamic acid
decarboxylase)
Sindrom Goodpasture
Purpura trombositopenia trombotik
Ensefalitis limbik antibodi-negatif
Lain-lain Disseminated intravascular coagulopathy (DIC)/gagal
multiorgan
Rabdomiolisis; penyakit mitokondria
Sepsis
Terkait alkohol
Intoksikasi
Penghentian GAE mendadak atau kadar GAE rendah
dalam darah

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Etiologi Status Epileptikus Non-Konvulsivus
SENK Tanpa Koma Tipe Lena
1. Faktor OAE: penghentian OAE mendadak atau konsumsi OAE tidak teratur,
penggunaan OAE yang tidak sesuai (carbamazepine, fenitoin, tiagabine,
obat GABAergik lainnya).
2. Faktor lain: alkohol, deprivasi tidur, gangguan siklus tidur-bangun, stres,
kelelahan, demam, trauma kepala ringan, beberapa sindrom elektroklinis.

SENK disertai koma


Etiologi SENK disertai koma dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Korelasi Etiologi dan EEG pada SENK disertai koma.

Etiologi Pola EEG


Koma-GED Gangguan otak primer atau Continuous generalized spiking
sekunder difus (anoksik, Periodic spiking
toksik, metabolik, infeksi, Burst suppression pattern dengan berbagai
degeneratif) variasi
Lesi desak ruang dengan Gambaran periodik umum abnormal
kompresi batang otak lainnya
Epilepsi Gelombang trifasik bilateral
Koma-LED Lesi otak fokal Continuous focal spiking PLEDs dan
Jarang: abnormalitas Bi-PLEDs
difus (intoksikasi, koma Pola burst suppression unilateral
diabetikum) Gelombang trifasik unilateral
Epilepsi
Ket: GED: generalized epileptiform discharges; LED: lateralized epileptiform discharges; PLED:
periodic lateralized epileptiform discharges; Bi-PLEDS: bilateral periodic lateralized epileptiform
discharges

Etiologi SE pada Neonatus


Status epileptikus (SE) pada neonatus mempunyai etiologi yang berbeda, antara
lain:8
1. ensefalopati hipoksia-iskemia;
2. stroke iskemik;
3. perdarahan intraserebral;
4. trombosis vena serebral;
5. infeksi susunan saraf pusat;
6. gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesemia,
hipofosfatemia, hiperbilirubinemia;
7. withdrawal narkotik;
8. trauma;
9. malformasi otak;

STATUS EPILEPT/KUS
10. epilepsi neonatus (benign familial neonatal epilepsy, early myoclonic epileptic
encephalopathy); dan
11. gangguan metabolik inborn (genetik dan membutuhkan terapi diet
khusus).
Pyridoxine dependent epilepsy, folinic acid responsive seizures, hiperglikemia
non-ketotik, defisiensi oksidase sulfida, defisiensi kofaktor molybdenum,
defisiensi biotinidase, asiduria organik, penyakit Menkes, gangguan
peroxisomal, intoleransi fruktosa herediter, defisiensi fruktosa 1,6-difosfat,
defek siklus urea.

Gambaran EEG
Tidak ada gambaran elektroensefalografi (EEG) iktal yang spesifik pada SE.
EEG penting untuk menegakkan diagnosis SENK, karena gejala klinis biasanya
sangat minimal dan tidak spesifik.

Usia
Pembagian usia pada SE:3
1. neonatus (0 - 30 hari);
2. bayi (1 bulan - 2 tahun);
3. anak (>2 - 12 tahun);
4. dewasa muda dan dewasa (>12 tahun - 59 tahun); dan
5. lanjut usia (2 60 tahun).

SE pada kelompok usia tertentu dapat dilihat pada Tabel 26.

Tabel 26. SE pada sindrom elektroklinis tertentu tertentu berdasarkan usia?


SE pada sindrom epilepsi onset neonatus dan bayi
Status tonik (misal: sindrom Ohtahara, sindrom West)
Status mioklonus pada sindrom Dravet
Status fokal
SE febrile
SE pada anak dan dewasa muda
SE autonomik pada early-onset benign childhood occipital epilepsy (sindrom
Panayiotopoulos)
SENK pada sindrom epilepsi anak dan etiologi tertentu (misal: abnormalitas
kromosom Ring 20, sindrom Angelman, epilepsi bangkitan mioklonik-atonik,
ensefalopati myoklonik pada anak)
Status tonik pada sindrom Lennox-Castaut
Status myoklonik pada epilepsi myoklonus progresif
Electrical status epilepticus in slow wave sleep (ESES)
Status afasia pada sindrom Landau-Kleffner

PEDOMAN TATA LAKSANA EP!LEPSI


SE yang timbul terutama pada dewasa muda dan dewasa
Status myoclonus pada juvenile myoclonic epilepsy
Status lena pada juvenile absence epilepsy
Status myoclonus pada sindrom Down
SE yang timbul terutama pada lanjut usia
Status mioklonus pada penyakit Alzheimer
SENK pada penyakit Creutzfeldt-Jakob
Status lena de nova (atau relaps) pada lanjut usia

Status Epileptikus Non-Konvulsivus(SENK)


Definisi dan Klasifikasi
Status epileptikus non-konvulsivus (SENK) adalah perubahan perilaku dan/atau
mental yang berhubungan dengan cetusan epileptiform pada EEG.9 Klasifikasi
SENK dapat dilihat pada Tabel 22.

Status Epileptikus Refrakter


Definisi
Status epileptikus refrakter (SER) adalah status epileptikus yang terns
berlangsung setelah mendapatkan terapi inisial dengan OAE lini pertama
(diazepam) dan lini kedua (fenitoin).'"

Status Epileptikus Super Refrakter


Definisi
Status epileptikus super refrakter (SESR) adalah status epileptikus yang terns
berlangsung selama 24 jam atau lebih walau pun telah mendapatkan obat
anestesi atau muncul kembali setelah pasien lepas dari obat anestesi.'!

New Onset Refractory Status Epilepticus


New onset refractory status epilepticus (NORSE) adalah status epileptikus tanpa ada
etiologi yang jelas serta tanpa ada riwayat epilepsi sebelumnya dan berlangsung
selama lebih dari 24 jam walaupun telah mendapatkan terapi optimal.l"

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan awal dilakukan segera setelah pasien tiba di rumah sakit.
Pemeriksaan yang diperlukan sebagai berikut.1
1. Pemeriksaan laboratorium rutin: darah lengkap, elektrolit, fungsi hati,
glukosa, kadar obat anti epilepsi (pasien dengan riwayat epilepsi).

STATUS EP/LEPTIKUS
2. EEG:hams dilakukan segera pada SER, dan jika pasien tidak segera sadar
setelah mengalami bangkitan untuk mengetahui terjadinya SENK. EEG
digunakan untuk mendeteksi dan penatalaksanaan SE selanjutnya.
Kriteria EEG untuk mendiagnosis SE, termasuk:
a. bangkitan elektrografik berulang dan sering;
b. gelombang epileptiform fokal atau umum berulang dengan frekuensi
>3Hz; dan
c. gelombang epileptiform fokal atau umum berulang dengan
frekuensi < 3Hz dan berespons secara kilnis terhadap pemberian
benzodiazepine.
3. Pemeriksaan tambahan (lihat Tabel 27):
a. pemeriksaan untuk pasien dewasa muda dengan mioklonus, gangguan
intelektual, serta gejala dan tanda neurologis dan sistemik yang tidak
dapat dijelaskan; dan
b. pemeriksaan autoimun pada pasien SE yang diduga etiologi
autoimun.
4. Pungsi lumbal: pada pasien dengan demam dan perubahan status mental
mendadak, untuk menyingkirkan infeksi terutama ensefalitis herpes.
5. Pencitraan otak
a. CT scan kepala
b. MRiotak

Tabel 27. Pemeriksaan tambahan.1

Etiologi Pemeriksaan
Infeksi Serologi: kultur bakteri dan jamur: RPR - VDRL, HIV
CSS: hitung sel, protein, glukosa, kultur dan pewarnaan
bakteri dan jamur, VDRL, PCR untuk HSVl, HSV 2,
VZV, EBV, HIV, dan M. TBC
Pasien imunokompromis:
Serologi: IgG Kriptokokus, IgM dan IgG Histoplasma
Capsulatum, IgG Toksoplasma Gondii
Sputum: M. TBC
Serum dan CSS: IgG Toksoplasma
CSS: eosinofil, pewarnaan perak untuk jamur SSP, PCR
untuk virus JC*, CMV, Enterovirus, Influenza A/B,
Parvovirus*, Listeria Ab*, measles (rubeola)
Tinja: Adenovirus PCR dan Enterovirus PCR
Vaskuler CT-angiografi atau MR-angiografi dan MR venografi

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Etiologi Pemeriksaan
Autoimun/paraneoplastik - Serum dan CSS: Ab epilepsi autoimun dan
paraneoplastik
Serologi: ANA, ANCA, Ab antitiroid, anti-dsDNA,
LED, CRP
Neoplasma CT thoraks/abdomen/pelvis, USG skrotum, mammogram,
sitologi CSS, flow cytometry, dan MRI pelvis
Pilihan: biopsi sumsum tulang belakang, PET-CT seluruh
tubuh, marker kanker serum
Metabolik Rekomendasi: LDH dan ammonia
Dipertimbangkan: kadar vitamin Bl, 812, folat, CPK,
dan troponin, trigliserida serum, tes untuk gangguan
mitokondria (laktat, piruvat)
Toksikologi Rekomendasi: benzodiazepin, amfetamin, kokain, fentanil,
alkohol, ekstasi, logam berat, kanabinoid sintetik, dan
garammandi
Dipertimbangkan: overdosis opiat, LSD, heroin, PCP, dan
mariyuana
Genetik Konsultasi genetik, seruloplasmin, urine 24 jam tembaga
Catatan: *= belum ada di Indonesia; Ab: antibodi; RPR-VDRL:rapid plasma reagin venereal
disease research laboratory; virus JC: virus John Cunningham; ANA: anti-nuclear antibody;
ANCA: anti-neutrophil cytoplasmic antibody; anti-dsDNA: anti double stranded DNA;
CPK: creatin phospho kinase; PET-CT: positron emission tomography-CT; LSD: lysergic-acid
diethylamide; PCP: phencyclidine.

Diagnosis SENK ditegakkan berdasarkan data klinis dan EEG. Kriteria EEG
yang digunakan untuk menegakkan SENK adalah kriteria Salzburg modifikasi
(Tabel 28).

STATUS EPILEPTIKUS
Tabel 28. Kriteria Salzburg modifikasi untuk diagnosis SENK.12
EEG
Perubahan EEG memenuhi kriteria, jika :2: 10 detik
A. Pasien tanpa diketahui ensefalopati epileptik (minimal memenuhi 1 dari 3 kriteria
diagnosis NCSE):
1. Gelombang epileptiform > 2,5 Hz
2. Tipikal iktal spatiotemporal dengan
a. Gelombang epileptiform atau
b. Aktivitas ritmik (> 0,5 Hz)
3. Fenomena klinis iktal subtle
a. Gelombang epileptiform atau
b. Aktivitas ritmik (> 0,5 Hz)
4. Jika kriteria 1-3 tidak terpenuhi, namun ditemukan 1 dari gambaran berikut
dengan pemberian OAE yang sesuai:
a. Gelombang epileptiform : : : 2,5 Hz dengan fluktuasi atau
b. Aktivitas ritmik (> 0,5 Hz) dengan fluktuasi atau
c. Aktivitas ritmik (> 0,5 Hz) tanpa fluktuasi
B. Pasien dengan ensefalopati epileptik
Pasien memenuhi kriteria A ditambah dengan 1 dari hal berikut:
1. Peningkatan frekuensi dibandingkan irama dasar dengan mengamati keadaan
klinis
2. Perbaikan klinis dan gambaran EEG dengan OAE IV
Data Klinis:
Perubahan dari premorbid ke keadaan sakit dalam hitungan menit - jam
Pasien tidak perbaikan secara signifikan dalam hitungan menit - jam
Tidak ditemukan bukti dari perneriksaan irnejing otak yang dapat rnenjelaskan
gambaran EEG
Tidak terdapat gangguan metabolik atau toksikologi untuk menjelaskan gambaran
EEG

DIAGNOSIS BANDING13
1. SE Konvulsivus
a. Gangguan gerak (mioklonus, tremor, khorea, tic, distonia)
b. Kelainan struktural (posisi deserebrasi, dekortikasi)
c. Gangguan psikiatrik (pseudoseizure/konversi, psikosis akut)
2. SE Non-Konvulsivus
a. Gangguan yang berkaitan dengan keadaan pasca iktal
b. Ensefalopati akut (toksik, hipoglikemia, gagal organ, delirium berkaitan
dengan obat, alkohol atau infeksi)
c. Gangguan psikiatrik (katatonia, psikosis akut)
d. Gangguan tidur (narkolepsi, katapleksi, parasomnia)
e. Sinkop (jantung, refleks vagal, hipovolemia, toksisitas obat)

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


£. Penyakit vaskuler (stroke, TIA (transient ischaemic attack))
g. Trauma kepala (sopor, koma, amnesia)
h. Transient global amnesia

TATA LAKSANA
Sasaran utama penatalaksanaan adalah menghentikan segera aktivitas
bangkitan klinis dan elektrografik.
WAKTU

Stabilisasi pasien (ABCD-pemeriksaan neurologi) 0-5 menit


Catat durasi bangkitan, pantau tanda vital Fase stabilisasi
Mulai EKG monitoring
Pasang jalur IV
Periksa gula darah sewaktu (GDS), jika GDS <60mg/dL berikan Dextrose 40% IV
Periksa kadar elektrolit, hematologi, skrining toksikologi, kadar OAE dalam darah

Kejang masih berlanjut

Diazepam IV (0,15-0,2 mg/kgBB/dosis, kecepatan maks. Smg/menit, maks. 10 5-20 menit


mg/dosis, bisa diulang 1 kali, level A), ATAU SE Dini
Midazolam IM (10 mg untuk > 40Kg, 5 mg untuk 13-40 kg, dosis tunggal, Level
A),ATAU
Lorazepam IV (0,1 mg/kg/dosis, kecepatan maks. 2mg/menit, maks. 4
mg/dosis, bisa diulangl kali, level A)*
Jika tidak tersedia, pilih salah satu:
Fenobarbital IV (15 mg/kgBB, dosis tunggal, level A)
Diazepam rektal (0,2-0,5 mg/kgBB, maks. 20 mg, dosis tunggal, level U)

Kejang masih berlanjut

Pilih salah satu dari terapi lini kedua berikut (dosis tunggal): 20-40 menit
Fenitoin IV (15-18 mg/kgBB, kecepatan maks. 50 mg/menit, maks. 1500 SE Menetap
mg/dosis, dosis tunggal, level U)
Asam valproat oral (40 mg/kgBB, maks. 3000 mg, dosis tunggal, level B)
Levetiracetam loral (60 mg/kgBB, maks.4500 mg, dosis tunggal, level
Jika tidak tersedia, pilih satu dari pilihan berikut (jika belum diberikan):
Fenobarbital IV (15 mg/kgBB, dosis tunggal, level B)

Kejang masih berlanjut

Pilihan terapi antara lain: 40-60 menit


ulangi terapi lini kedua, atau SE Refrakter
berikan obat anestesi (thiopental, midazolam, pentobarbital, atau propofol)
dengan perawatan di ICU.
OAE lainnya:
a. Topiramat {Level C): dosis inisial 200-400mg melalui NGT/oral,
rumatan 300-1600mg/hari dibagi 2-4 dosis
b. Lacosamide (Level C): dosis inisial 200-400mg IV*
Selanjutnya Ii hat algoritma tatalaksana SER

Catatan: *= belum tersedia di Indonesia


Gambar 5. Algoritma Tata Laksana Status Epileptikus Konvulsivus.14

STATUS EPILEPTIKUS
A. SE Lena Tipikal9

Pilih salah satu:


Diazepam 10 mg IV
Lorazepam 4 mg IV*
I
Bangkitan berlanjut
I
Dapat diulang
Atau berikan salah satu:
Asam valproat IV 25-45 mg/kg {6 mg/kg per menit)*
Fenobarbital IV 20 mg/kg {50 mg/kg per men it), dengan observasi ketat

R, ca: P::arci::al Kompleks?

10 mg diazepam atau 4 mg lorazepam IV*


l
I Bangkitan berlanjut I
J,
Dapat diulang
atau
tambahkan salah satu:
fenitoin IV (15-18 mg/kg)
asam valproate IV 25-45 mg/kg*
J,
I bangkitan berlanjut I
J,
Qilih salah satu:
midazolam {0,2 mg/kg bolus, 0,1-0,4 mg/kgBB per jam IV drip),
propofol {2 mg/kg bolus, 5-10 mg/kgBBper jam IV drip),
thiopental (2-3 mg/kg mg bolus, 3-5 mg/kgBB per jam IV drip),
pentobarbital (10-20 mg/kg bolus, 1-3 mg/kgBB per jam IV drip)

Perawatan di ICU

Catatan: *= belum tersedia di Indonesia


Gambar 6. Algoritma Tata Laksana Status Epileptikus Non-Konvulsivus
A. SE Lena Tipikal; B. SE Parsial Kompleks

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


·a, c:
O CO
:§~w
a, .8 <t:1-~~~~+-~~~~---,
·u; c: 0
s~
....
.9
co
·- c:
C) :::, ·-0.-o"S
..Q E ~ 0
.Q ·5 a.> E
[j :5 I- 0
co c:
:::,
.s

ai
E
0
z

co
II)
.9
c: -
Q) co
E c,
co co
~ C)
:a
Q)
~ o
w
w
c: -
co
"O~
co
~C0 .E
..... c:I
O O
C) c:
c:
:~

STATUS EPILEPT/KUS
Status Epileptikus

ABCDE Tatalaksana gangguan metabolik:


Airway, Breathing, Circulation, Disability, Etiology Hipoglikemia, hipokalsemia, hypomagnesemia, hyponatremia
dan/atau
Lorazepam O,lmg/kgBB IV*

EEG (EEG-video kontinyu a tau EEG rutin selama 1 jam)


Neuroimejing (USG kepala bed-side, MRI otak)
Skrining sepsis Phenobarbital dos is loading 20-30mg/kg IV, ulangi 10-20mg/kg
Skrining metabolik Phenobarbital bolus sampai dosis kumulatif 40-60mg/kg atau
kadar obat dalam darah >40µg/ml. Jika kejang berhentl, lanjutkan
evaluasi, tambahkan dosis rumatan 4-6mg/kg/hari dalam 2 dosis
terbagi.
Tatalaksana simultan terhadap

Kejang berlanjut

Pilih salah satu dari 3 pilihan berikut:

Kejang berlanjut

Levetiracetam 20-40mg/kg IV bolus Fenitoin/fosfofenitoin 15-20mg/kg lnfus Lidokain (2mg/kg bolus, kemudian
(dapat diulang 20mg/kg) diikuti dengan IV untuk dosis loading diikuti 6mg/kg/jam setiap 12 jam). Durasi infus
dosis yang sama secara oral atau IV rumatan dosis 5-8mg/kg/hari maksimal 48 jam karena risiko aritmia.
untuk rumatan dalam 2-3 dosis terbagi. Hindari pada neonates dengan penyakit
jantung kongenital

Kejang berlanjut

1
Tambahkan vitamin dan evaluasi respons selama 2-3
1
Midazolam O,lSmg/kg IV bolus
hari: diikuti infus lµg/kg/menit setelah
B!ot!n 5-!0mg/hari per era! mengamankan airway dan
Pyridoxine IV lOOmg saat perekaman EEG (perhatikan tekanan darah.
apnea dan bradikardia) dan dapat diulang dengan
dosis total maksimum 400-SOOmg atau pyridoxine
oral 15-30mg/kg/hari dalam 3 dosis terbagi.
Asam folat 2,Smg IV atau 3-Smg/kg/hari dalam 3
dosis terbagi
Pyridoxal-5-phosphate (60mg/kg/hari dalam 3 dosis
terbagi).

Gambar 8. Algoritma Tata Laksana Status Epileptikus Neonatus.v"

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


PROGNOSIS
Prognosis luaran pasien SE dapat diprediksi dengan menggunakan sistem
skoring Status Epilepticus Severity Score (STESS).

Tabel 29. Status Epilepticus Severity Score (STESS).


Gambaran Klinis STE SS
Kesadaran Sadar atau somnolen/confused 0
Sopor atau Koma 1
Tipe bangkitan terparah Parsial sederhana, parsial kompleks, 0
(bila ada beberapa bentuk _l_en_a_,_m_y~o_k_l_o_n_ik _
bangkitan) Konvulsivus umum 1
SENK disertai koma 2
Usia <65 tahun 0
~ 65 tahun 2
Riwayat bangkitan Ia 0
sebelumnya Tidak atau tidak diketahui 1
Total 0-6
Interpretasi skor STESS:
1. skor 0-2 = prognosis baik, dan
2. skor 3-6 = prognosis buruk.

DAFTAR PUSTAKA
1. Marawar R, Basha M, Mahulikar A, Desai A, Suchdev K, Shah A. Updates in
Refractory Status Epilepticus. Crit Care Res Pract. 2018;2018:9768949.
2. Dham BS, Hunter K, Rincon F. The epidemiology of status epilepticus in the United
States. Neurocrit Care. 2014 Jun;20(3):476-83.
3. Trinka E, Cock H, Hesdorffer D, Rossetti AO, Scheffer IE, Shinnar S, et al. A
definition and classification of status epilepticus - Report of the ILAE Task Force
on Classification of Status Epilepticus. Epilepsia. 2015;56(10):1515-23.
4. Shorvon S. The management of status epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.
2001 Jun;70 Suppl 2:1122-27.
5. Trinka E, Hofler J, Zerbs A. Causes of status epilepticus. Epilepsia. 2012 Sep;53 Suppl
4:127-38.
6. Ziai WC, Kaplan PW. Seizures and status epilepticus in the intensive care unit.
Semin Neurol. 2008 Nov;28(5):668-81.
7. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, et al. Guidelines
for the evaluation and management of status epilepticus. Neurocrit Care. 2012
Aug;17(1):3-23.
8. Saini A, Vinayan K. Status Epilepticus in Neonates. Int J Epilepsy. 2018
Apr;05(01):002-8.

STATUS EPILEPTIKUS
9. Meierkord H, Holtkamp M. Non-convulsive status epilepticus in adults: clinical
forms and treatment. Lancet Neural. 2007 Apr;6(4):329-39.
10. Khawaja AM, DeWolfe JL, Miller DW, Szaflarski JP. New-onset refractory status
epilepticus (NORSE) - The potential role for immunotherapy. Epilepsy Behav.
2015 Jun;47:17-23.
11. Dubey D, Kalita J, Misra UK. Status epilepticus: Refractory and super-refractory.
Neural India. 2017;65(Supplement):Sl2-7.
12. Leitinger M, Beniczky S, Rohracher A, Gardella E, Kalss G, Qerama E, et al. Salzburg
Consensus Criteria for Non-Convulsive Status Epilepticus - approach to clinical
application. Epilepsy Behav. 2015 Aug;49:158-63.
13. Lawson T, Yeager S. Status Epilepticus in Adults: A Review of Diagnosis and
Treatment. Crit Care Nurse. 2016 Apr;36(2):62-73.
14. Kinney M, Craig J. Grand Rounds: An Update on Convulsive Status Epilepticus.
Ulster Med J. 2015 May;84(2):88-93.
15. Glauser T, Shinnar S, Gloss D, Alldredge B, Arya R, Bainbridge J, et al. Evidence-Based
Guideline: Treatment of Convulsive Status Epilepticus in Children and Adults:
Report of the Guideline Committee of the American Epilepsy Society. Epilepsy
Curr. 2016 Feb;16(1):48-61.
16. Slaughter LA, Patel AD, Slaughter JL. Pharmacological treatment of neonatal seizures:
a systemic review. J Child Neural. 2013;28(3):351-64.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


BABS

SUDDEN UNEXPECTED DEATH IN EPILEPSY (SUDEP)


Hendra Permana,Aida Fithrie, Corry Novita Mahama, Fitri Octaviana

PENDAHULUAN
Sudden unexpected death in epilepsy (SUDEP) menjadi penyebab kematian
terkait epilepsi yang utama, dan membutuhkan perhatian bagi penderita dan
keluarganya. Pada pasien epilepsi refrakter kronik, insiden SUDEP mencapai
10-15% dari seluruh kematian.v+'

DEFINISI DAN KLASIFIKASI

Definisi dan klasifikasi SUDEP terdapat dalam Tabel 30.

Tabel 30. Definisi dan klasifikasi SUDEP.4

Kriteria
1. Korban menderita epilepsi.
2. Korban meninggal secara tak terduga di mana sebelumnya dalam keadaan sehat.
3. Kematian terjadi "tiba-tiba" (dalam beberapa menit).
4. Kematian terjadi saat aktivitas normal (misal, di atau sekitar tempat tidur, di rumah,
di tempat kerja) dan dalam kondisi stabil.
5. Penyebab kematian medis yang jelas tidak ditemukan.
6. Kematian tidak secara langsung disebabkan oleh bangkitan atau status
epileptikus.
7. Pemeriksaan post-mortem tidak menunjukkan adanya etiologi struktural atau
toksikologik.

Definite SUDEP Memenuhi semua kriteria di atas


Probable SUDEP Memenuhi semua kriteria di atas tanpa pemeriksaan post-mortem

Possible SUDEP SUDEP tidak dapat dikesampingkan, tetapi tidak cukup bukti
mengenai keadaan, dan tidak ada laporan post-mortem yang
tersedia
Unlikely/Not Semua kriteria di atas tidak ada, dan penyebab lain sudah
SUDEP diketahui.
FAKTOR RISIKO

Faktor risiko SUDEP dapat dilihat pada Tabel 31.

Tabel 31. Faktor Risiko SUDEP.4,5

Faktor risiko langsung SUDEP -----------------


Ban~itan umum tonik klonik yang sudah terjadi lebih dari 2 tahun
_Usiaonset~~si_<_J_6_t_.a_h_u_n _
Resisten terh~_p!,ngobatan, tidak pernah remisi selama 5 tahun
_ D~rasi ~Ei!_epsi lebih dar__i_l_S_t_a_h_u_n _
Faktor risiko tidak langsung SUDEP yang berhubungan dengan kontrol
. bangkitan
Konsumsi alkohol yang berlebihan
Ketidakpatuhan terhad__a_..p_p._en-'g'""g~u_n_a_a_n_O_>A_E _
Kurang tidur atau pola tidur t_i_d_a_k_t_e_ra_t_u_r _
Perubahan obat antie_,__,_
_ ile si _
PENCEGAHAN SUDEP
Salah satu langkah pencegahan utama dalam mencegah terjadinya SUDEP
adalah dengan mengontrol bangkitan umum tonik klonik. Terapi farmakologik
harus diberikan seoptimal mungkin, dengan memilih obat yang sesuai dengan
tipe bangkitan, optimalisasi dosis, dan menilai kepatuhan pasien terhadap
pengobatan.6 Tindakan bedah epilepsi yang sukses juga dapat menurunkan
risiko SUDEP.

DAFTAR PUSTAKA
1. Surges R, Thijs RD, Tan HL, Sander JW. Sudden unexpected death in epilepsy: risk
factors and potential pathomechanisms. Nat Rev Neurol. 2009;5:492-504.
2. Tomson T, Surges R, Delamont R, Haywood S, Hesdorffer DC. Who to target in
sudden unexpected death in epilepsy prevention and how? Risk factors, biomarkers,
and intervention study designs. Epilepsia. 2016;57(Suppl.1):4-16.
3. Shorvon S, Tomson T. Sudden unexpected death in epilepsy. Lancet 2011;378:2028-
2038.
4. Ryvlin P, Tomson T, Devinsky 0. Prevention of sudden unexpected death in epilepsy.
Eur Neurol Rev. 2018;13(2):72-77.
5. Manolis TA, Manolis AA, Melita H, Manolis AS. Sudden unexpected death in
epilepsy: The neuro-cardio-respiratory connection. Seizure: Eur J Epilepsy.
2019;64:65-73.
6. Tomson T, Sveinsson 0. Sudden unexpected death in epilepsy (SUDEP): An overview.
Epilepsi. 2013;19(3):91-96.

PEDOMAN TATA LAKS.ANA EPILEPS!


EPILEPSI RESISTAN OBAT
Astri Budikayanti, Donny Hamid, Sri Handayani
• BAB6

PENDAHULUAN
Sepertiga dari populasi penderita epilepsi diperkirakan akan menjadi resistan
terhadap obat anti epilepsi.1 Hampir 20% pasien epilepsi dengan bangkitan
umum dan lebih dari 60% pasien epilepsi bangkitan fokal akan berkembang
menjadi epilepsi resistan obat sepanjang hidupnya.2
Penyebab resistan diperkirakan multifaktorial. Selain ketidakpatuhan minum
obat, ketepatan pemilihan obat, dan interaksi obat, variasi respons individu
terhadap terapi, tipe bangkitan, sindrom epilepsi dan etiologi. Usia onset, durasi
antara bangkitan epileptik pertama dengan pengobatan, respons terhadap OAE
pertama, serta durasi epilepsi juga turut meningkatkan risiko epilepsi resistan
obat.3

DEFINISI
Kegagalan pengobatan epilepsi yang adekuat menggunakan dua atau lebih OAE
yang sesuai, baik sebagai monoterapi maupun politerapi.4

FAKTOR RISIKO EPILEPSI RESISTAN OBAT


1. Respons yang buruk terhadap pengobatan pertama.
2. Bangkitan yang tidak terkontrol dalam jangka waktu yang lama.
3. Riwayat status epileptikus.
4. Gangguan kognitif dan retardasi mental.
5. Gambaran EEG tertentu, seperti aktivitas epileptiform multifokal.
6. Onset bangkitan pada usia dini.
7. Memiliki lebih dari satu tipe bangkitan.
8. Memiliki riwayat penyakit otak atau kelainan struktur otak tertentu
(misalnya displasia kortikal).2A,5,6
PENEGAKAN DIAGNOSIS

Sebelum resistansi obat ditegakkan, perlu dilakukan evaluasi


(lihat Gambar l):2,3,5
1. bangkitan yang terjadi adalah benar bangkitan epileptik, bukan merupakan
bangkitan non epileptik misalnya bangkitan psikogenik non epileptik;
2. pilihan OAE sesuai tipe bangkitan dan sindrom epilepsi;
3. interaksi OAE dengan obat penyakit lain;
4. efek samping OAE, misalnya gangguan metabolik yang merupakan akibat
dari efek samping OAE menyebabkan timbulnya bangkitan epileptik atau
reaksi paradoks OAE, yaitu politerapi dan kadar toksik OAE justru dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi bangkitan;7,8,9
5. kepatuhan minum obat; dan
6. gaya hidup dan faktor psikologis pasien.
Bila semua evaluasi telah dilakukan dan tetap tidak tercapai bebas bangkitan,
maka diagnosis epilepsi resistan obat dapat ditegakkan.

Pseudo-resistan ditegakkan bila bebas bangkitan belum tercapai karena tata


laksana belum tepat dan sesuai. 5

ETIOLOGl10
Penyebab tersering epilepsi resistan obat antara lain adalah:
1. sklerosis hippokampus,
2. displasia kortikal,
3. ensefalomalasia, dan
4. polimorfisme genetik.

TATA LAKSANA
1. Farmakologis.
a. Politerapi menitikberatkan pada sinergisme mekanisme kerja obat,
interaksi antar obat dan efek samping (lihat Tabel 32).
b. Pada sklerosis hipokampus, kombinasi pilihan pada karbamazepine
dan klobazam.'!

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


Tabel 32. Pilihan OAE yang tersedia di Indonesia pada epilepsi resistan obat berdasarkan
pedoman American Academy of Neurology dan American Epilepsy Society
2018.12

OAE Monoterapi Ajuvan Ajuvan untuk Ajuvan Ajuvan untuk


untuk untuk bangkitan untukLGS bangkitan umum
bangkitan bangkitan fokalpada pada dewasa
fokal pada fokalpada anak
dewasa dewasa
Pregabalin A A
Clobazam c B B
Perameanel A
Oxcarbazeeine c B
Toeiramate B
Levetiracetam B B B
Lamogtrigine B
Zonisamide B

Ket: A=level A evidence-basedmedicine, B= level B evidence-basedmedicine

2. Non farmakologis
a. Bedah Epilepsi (sudah dibahas di Bab 2)
b. Diet ketogenik
1) Indikasi: anak usia 2-15 tahun.13
2) Kontraindikasi: mempunyai komorbid dan gangguan metabolik.13
c. Stimulasi nervus vagus3,15
1) Indikasi: epilepsi fokal yang berusia 12 tahun ke atas yang tidak
dapat dilakukan operasi epilepsi.
2) Komplikasi sementara: suara serak, batuk, perubahan suara,
parestesi.
d. Deep brain stimulation3,15
1) Indikasi: epilepsi fokal resistan obat untuk 18 tahun ke atas.
2) Komplikasi saat pemasangan: perdarahan, infeksi. Komplikasi
sementara depresi, gangguan memori dan parestesi.
e. Terapi perilaku14
Modifikasi gaya hidup untuk menurunkan stres dan meningkatkan
kepatuhan pengobatan.

EPILEPS/ RES/STAN OBAT ~


DAFTAR PUSTAKA

1. Chen Z, Brodie MJ, Liew D, Kwan P. Treatment outcome in patients with


newly diagnosed epilepsy treated with established and new antiepileptic
drugs a 30-year longitudinal cohort study. JAMA Neurol. 2017.
2. Pati S, Alexopoulos AV. Pharmacoresistant epilepsy: from pathogenesis to
current and emerging therapies. Cleve Clin J Med. 2010;77: 457-67.
3. Nair D. Management of drug resistant epilepsy. Continuum (Minneap Minn)
2016; 22(1): 157-172.
4. Kwan P, Arzimanoglou A, Berg AT, Brodie MJ, Hauser WA, Mathern G,
et al. Definition of drug resistant epilepsy: consensus proposal by the ad
hoc task force of the ILAE commission on therapeutic strategies. Epilepsia.
2010:51;1069-77.
5. Kwan P et al. Drug resistant epilepsy. N Engl J Med 2011; 365: 919-926.
6. French JA. Refractory Epilepsy: Clinical overview. Epilepsia 2007; 48 (Suppl 1): 3-7.
7. Dash D, Aggarwal V, Joshi R, Padma MV, Tripathi M. Effect of reduction of
antiepileptic drugs in patient with drug-refractory epilepsy. Seizure. 2015;27:25-9.
8. Sander JW, Rugg-Gunn FJ. Overview of established antiepileptic drugs. In Epilepsy
2017: from bench to bedside 16th ed. Rugg-Gun FJ, St.:iplPy HR Po. Internationa l
League Againts Epilepsy. 2017:319-36.
9. Appleton RE, Cross JH. Drug treatment of paediatric epilepsy. In Epilepsy 2017: from
bench to bedside 16th ed. Rugg-Gun FJ, Stapley HB ed. International League Againts
Epilepsy. 2017:345-58.
10. Dalic L, Cook MJ. Managing drug-resistant epilepsy: challenges and solutions.
Neupsychiatr Dis Treat. 2016;12:2605-16.
11. Montenegro Mi~1, Ferreira CM Cendes F, Li AM:, Guerreiro CM. Clobazam as add-
1

on therapy for temporal lobe epilepsy and hippocampal sclerosis. Can J Neurol Sci.
2005;32:93-6.
12. Kanner AM, Ashman E, Gloss D, Harden C, Bourgeois B, Bautista JF, ct al. Practice
guideline update summary: efficacy and tolerability of the new antiepileptic drug
II: treatment-resistant epilepsy. Neurology. 2018;91:82-90.
13. Kossoff EH, Al-Macki N, Cervenka MC, Kim HD, Liao J, Megaw K, et al. What are
the minimum requirement for ketogenic diet services in resource-limited regions?
Recommendations from the international league against epilepsy task force for
dietary therapy. Epilepsia. 2015;56:1137-42.
14. Leeman-Markowski BA, Schachter SC. Cognitive and behavioral intervention in
epilepsy. Curr Neurol Neurosci Rep. 2017;17:42.
15. Engel J. What can we do for people with drug-resistant epilepsy?. Neurology.
2016;87:2483-89.

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPS/


ASPEK PSIKOSOSIALDAN MEDIKOLEGALEPILEPSI

Anna Marita Geigel, Anak Agung Ayu Meidiary, Winifred Karema, Nova
BAB7

Dian Lestari, Christianus Rumantir

PENDAHULUAN
Masalah psikososial clan meclikolegal pada pasien epilepsi dapat timbul
akibat bangkitan epileptik, pemakaian OAE, dan stigma masyarakat. Hal
ini berclampak pada berkurangnya kualitas hidup antara lain pekerjaan,
hobi, olahraga, pernikahan clan berkenclara terutama pada mereka yang
mengalami kelainan atau gangguan neurologis.! 2

ASPEK PSIKOSOSIAL DAN MEDIKOLEGAL TERKAIT EPILEPSI


1. Stigma dan kualitas hidup
Stigma adalah gambaran perbedaan pada seorang manusia dan devaluasi
nilai oleh masyarakat akibat perbed a an terse but. 3
Timbulnya stigma pada pasien epilepsi dapat disebabkan oleh adanya:" 2, 4, 5
a. kekeliruan/persepsi masyarakat terhadap penyakit epilepsi: kutukan,
keturunan, kerasukan, menular;
b. kekeliruan perlakuan keluarga terhadap pasien epilepsi: over-proteksi,
penolakan, dimanjakan;
c. kekeliruan perlakuan masyarakat terhadap pasien epilepsi: penolakan,
direndahkan, diisolasi;
d. keterbatasan pasien epilepsi akibat penyakitnya;-
e. pembatasan melakukan berbagai aktivitas olahraga dan seni;
f. berat dan sering kambuhnya bangkitan serta kronisitas penyakit; dan
g. adanya komorbiditas.
2. Masalah dalam pekerjaan
Diskriminasi mendapatkan pekerjaan, dalam menjalankan pekerjaan
merupakan masalah besar bagi pasien epilepsi, yang menyebabkan pasien
epilepsi menyembunyikan kondisinya. 61 7, 8
3. Hobi, Olahraga, dan Traveling
a. Beberapa hobi dan olahraga dapat memicu bangkitan pada pasien
epilepsi, Epilepsi dengan fotosensitivitas dapat dipicu oleh kilatan
cahaya saat menonton TV atau bermain komputer. Perasaan gembira
atau bising berlebihan dapat memicu bangkitan.f tn 11
b. Pasien epilepsi yang harus melakukan perjalanan dengan pesawat
udara dalam jarak tempuh yang jauh, melewati zona waktu, durasi
penerbangan yang lama tidak secara nyata menyebabkan terjadinya
bangkitan epileptik. Pasien dengan riwayat bangkitan terkait
penerbangan dan frekuensi bangkitan yang relatif tinggi memiliki
risiko yang tinggi untuk terjadinya bangkitan.12
4. Pernikahan
Pasien epilepsi dapat menikah dan memiliki keturunan namun, pernikahan
lebih rendah dari populasi umum, sedangkan angka-angka perceraian
cenderung lebih tinggi.12,13 Bangkitan yang tidak terkontrol merupakan
penyebab pasangan merasa pasien epilepsi cenderung tidak mandiri dan
sangat ketergantungan.P
5. Aspek medikolegal
a. Mengemudi
Kecelakaan saat mengemudi dapat terjadi akibat bangkitan epilepsi,
efek samping OAE dan stres perjalanan jauh.14115 Belum ada regulasi
tentang pembuatan surat izin mengemudi di Indonesia.
b. Surat keterangan dokter spesialis neurologi untuk pasien epilepsi
Beberapa jenis pekerjaan membutuhkan surat keterangan dari dokter
spesialis neurologi yang menyatakan bahwa pasien epilepsi fit untuk
menjalankan pekerjaan tersebut.13 Namun di Indonesia belum ada
regulasinya.
Surat tersebut ditujukan untuk: a) pekerjaan yang membahayakan
diri pasien epilepsi, dan b) aktivitas yang membahayakan diri pasien
epilepsi dan/atau orang lain.13

STRATEGI PEMECAHAN MASALAH PSIKOSOSIAL DAN


MEDIKOLEGAL
1. Stigma dan kualitas hidup
Untuk menghapus stigma dan meningkatkan kualitas hidup pasien epilepsi
maka dapat dilakukan penyuluhan.
a. Menyebarluaskan informasi yang benar mengenai epilepsi ke
masyarakat, sehingga dapat menghapus mitos.
b. Pasien epilepsi membutuhkan orang lain selain keluarga sebagai
pendamping dan penyuluh dalam berbagai hal yang berkaitan dengan
proses adaptasi terhadap dampak medis dan sosial dari epilepsi.
c. Perlu adanya penyebarluasan pengetahuan mengenai epilepsi bagi
orang tua, anggota keluarga, calon suami atau istri, dan terutama

PEDOMAN TATA LAKSANA EPILEPSI


lingkungan terkait seperti guru dan murid, tempat kerja, POLRI,
· asuransi, pemerintah serta masyarakat umumnya.
d. Yang perlu diperhatikan adalah penjelasan bahwa epilepsi ini tidak
menular, dapat dikontrol, dapat menikah, hamil dan menyusui, serta
merencanakan keluarga berencana.
e. Menjelaskan pengaruh epilepsi dan efek OAE pada ibu dan anak dan
berbagai jenis bangkitan yang dapat terjadi pada pasien epilepsi dan
apa yang dilakukan saat terjadi bangkitan.
f. Penyebarluasan informasi dengan cara, membuat tulisan di berbagai
media cetak dan elektronik, film cerita pendek, seminar awam,
kunjungan ke sekolah.16
g. Pasien epilepsi hams diberi kesempatan untuk bersosialisasi dan
menikmati pergaulan. Rasa malu, cemas, depresi, rendah diri, kurang
percaya diri, perasaan membawa aib dalam keluarga membuat pasien
mengisolasi diri dari pergaulan. Pemberdayaan pasien dapat melalui
organisasi PERPEI (Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia
dan YEI (Yayasan Epilepsi Indonesia).16
2. Pekerjaan
Pilihan pekerjaan menjadi penting dalam hubungannya dengan perbaikan
kualitas hidup pasien epilepsi.
Prinsip pemilihan pekerjaan:
a. sesuai dengan jenis, frekuensi, dan waktu timbul bangkitan;
b. risiko pekerjaan minimal dengan jadwal kerja teratur, tidak bekerja
sendiri dan di bawah pengawasan;
c. lingkungan kerja harus dapat memberikan pertolongan awal saat
bangkitan;
d. perusahaan disarankan menyediakan tempat tinggal yang berdekatan
dengan tempat kerja; dan
e. komunikasi yang baik diperlukan antara atasan dengan dokter yang
merawat.17
3. Hobi, olahraga, dan traveling
a. Olahraga dilakukan di lapangan/gedung olahraga, hindari olahraga
yang dilakukan di jalan umum. Pengawasan khusus untuk beberapa
jenis olahraga.
b. Pada prinsipnya pasien epilepsi boleh melakukan traveling dengan
pesawat udara dengan syarat bangkita hams terkontrol dan mempunyai
riwayat bangkitan yang dicetuskan dengan penerbangan.12
4. Pernikahan
a. Bangkitan yang terkontrol merupakan faktor yang penting untuk
menghindari terjadinya perceraian.l"

ASPEK PSIKOSOSIAL DAN MEDIKOLEGAL EPILEPSI


5. Aspek medikolegal
a. MPno-Pm11c1i
- ·~-- -o---------
1) Disarankan untuk tidak mengemudi atau rnembatasi mengemudi
saat tapering off atau menghentikan obat.15
2) Bila dokter akan menghentikan OAE, ada risiko bangkitan berulang;
disarankan untuk berhenti mengemudi selama minimal 6 bulan
setelah penghentian obat.19
3) l\Jfpc::k'ipnn t1()k'fPr dapat memberikan pendapat h::ih\AT::I SPSP()l"::ing
mampu mengemudikan kendaraan secara aman, keputusan akhir
ada di tangan kepolisian.i'v'"
b. Surat keterangan dokter spesialis neurologi untuk pasien epilepsi.
Perlu ada regulasi dari pemerintah kepada dinas terkait. Peranan Pokdi
Epilepsi PERDOSSI, Departemen Kesehatan, Tim Penguji Kesehatan
Rumah Sakit dalam pembuatan surat keterangan dokter spesialis
neurologi konsultan epilepsi/spesialis neurologi yang menjadi penengah
antara pasien epilepsi dan pemberi pekerjaan dalam hal mendapat kerja,
pemutusan hubungan kerja dan masalah di lingkungan pekerjaan.
Dalam pembuatan surat keterangan bekerja atau tidak bisa bekerja bagi
pasien epilepsi:
1) dibutuhkan pendapat dokter spesialis neurologi konsultan epilepsi/
spesialis neurologi;
2) penjelasan kondisi pasien epilepsi: sudah berapa lama tidak ada
bangkitan, terkontrol atau tidak dengan OAE, kemampuan apa saja
y::ing rlap::it rlibb1k::in rl::in tirl::ik rl::ip::it rlil::ik11k::in, r::it::it::in r11tinit::ic::
berobat untuk digunakan oleh para profesional;
3) dilengkapi keadaan klinis neurologis disertai hasil pemeriksaan
EEG, pencitraan otak, neuropsikologi, laboratorium, dan catatan
harian (diary) epilepsi; dan
4) disertai catatan rekam medik dan hasil edukasi tertulis.i'" 20

Dukungan pemerintah dibutuhkan dalam hal hukum dan aturan


perundang-undangan untuk perlindungan terhadap pasien epilepsi.
Indonesia memiliki UU nomor 8 tahun 2016 tentang pasien disabilitas
yang mendefinisikan disabilitas sebagai setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektua], mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh
clan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
Undang-undang ini tidak secara spesifik menyebutkan epilepsi. namun
dalam Perda Provinsi Bali nomor 2015 menyebutkan epilepsi
22
dalam ruane linzkun
{..J {.J t.

PEDOMAN TATA l.Al<SANA EP!LEPS!


Masalah medikolegal dalam pekerjaan pada pasien epilepsi yang dapat
terjadi seperti:
1) diberhentikan dari pekerjaan karena mendapat bangkitan sewaktu
bekerja dan bagaimana mendapat hak pesangon;
2) diberhentikan dari pekerjaan karena ketahuan mengonsumsi OAE,
baik dari laporan dokter perusahan atau tagihan perusahan;
3) diberhentikan dari pekerjaan karena mengonsumsi OAE yang
diindikasikan untuk penyakit lain seperti nyeri atau penanganan
paska herpes; dan
4) diberhentikan dari pekerjaan karena mengelola mesin yang
berbahaya meskipun bangkitan sudah terkontrol.i'" l7, 23

DAFTAR PUSTAKA
1. Austin JK, de Boer HM, Shafer PO. Disruption in social functioning and services
facilitating adjustment for the child and adult. In: Engel J Jr, Pedley TA. Epilepsi:
a comphrehensive texbook. 2nd ed. Vol 3. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 2008.
2. Jerome Engel, Jr., M.D., AMA's Science News Department at 312-464-2410,the AAN
Press Room at 415-978-3521 or email kstone@aan.com.
3. Positive Psychosocial Variables and Outcome. Variables in Persons with Epilepsy. J.
Pais-Ribeirol and R. F. Meneses2. Management of Epilepsy - Research, Results and
Treatment. www.intechopen.com.
4. Betts Tim. Managing the person with epilepsi. In: Dam. M(ed). Practical approach
to epilepsi. Pergamon Press, Inc. 1991. P.137-160.
5. Devinsky OA. Guide to understanding and living with epilepsi. Philadelphia: FA
Davis Company 1994; p.3-5,201-216,290-294.
6. Woa M, Lima K, Choob W, Tan C. Employability in people with epilepsy: A
systematic review. Epilepsy Research. 2015; 116. 67-78.
7. C Harden, A Kossay, S Vera and B Nikolov. Reactions to Epilepsy in the Workplace'
(2004);45. Epilepsia: 1134.
8. John EC, Annika W, Torbjijrn T. Factors associated with the employment problems
of people with established epilepsy. In Seizure 1998; 7: 299-303.
9. Anonimus. 2017b. Your epilepsy- now and next: A guide for young people. Available:
https://www.epilepsysociety.org.uk/sports-and-spare-time#.XCNxblwzbIV [Accessed
December 2018].
10. Anonimus. 2017a. Leisure: Living a full and active life. Available: https://www.
epilepsysociety.org.uk/sports-and-spare-time#.XCNxblwzbIV [Accessed December
2018].
11. Capovilla, G., Kaufman, K. R., Perucca, E., Moshce, S. L. & Arida, R. M. Epilepsy,
seizures, physical exercise, and sports: A report from the ILAE Task Force on Sports
and Epilepsy. Epilepsia. 2016;57:6-12.
12. Trevorrow T. Air Travel and Seizure frequency for individual with epilepsy. Seizure.
2006 Jul;15(5):320-27.

ASPEK PS/KOSOSIAL DAN MEDIKOLEGAL EPILEPSI ~


13. Beran RG. Epilepsy and Law. J. Epilepsy and Behaviour. 2008 May;12(4):645-51.
14. Epilepsy and driving. Available: https://en.wikipedia.org/wiki/Epilepsy _and_driving
[Accesse Desember 2018].
15. Beran RG. Legal aspects of epilepsy. Seizure 2002;11:211-216 .
. 16. Pokdi Epilepsi PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi. Edisi ke 5. 2014. Hal 73-
84.
17. Drwilner.org: An Excerpt from Epilepsy. Job Accommodation Network: Employees
with Epiliepsy or Seizure Disorders. 1990; Answers: Seizures and Work.
18. Krumholz A, MD. Driving issues in Epilepsy: past, present, and future. Epilepsy
Currents, 2009 March/April;9(2):31-35.
19. Brown S, Bird J. Continuing professional development. Medico-legal aspects of
epilepsy. Seizure. 2001 January;lO(l):68-74.
20. Thorbecke R, Fraser R. The coOprehensive CD-RO:tv!on epilepsy: the range Of needs
and services. In: Engel J Jr., Pedley TA, eds. Vocational rehabilitation.1999; Chapter
210.
21. Undang - undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Pasien Disabilitas.
Pengarusutamaan Gender Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
15 Januari 2019. http://pug-pupr.pu.go.id/_uploads/PP/UU.%20No.%208%20Th.%20
2016.pdf.
22. Dewi A. Aspek Yuridis Perlindungan Hukum dan Pemenuhan Hak Pasien
Disabilitas. Pandecta. 2018;13:50-62.
23. Wyllie's. Employment and the person with Epilepsy. In treatment of epilepsy.
Principles and practice. Fifth Ed. 2008; Chapter 94.

PEDOMAN TATALAKSANA EPILEPSI

Anda mungkin juga menyukai