PROSIDING SIMPOSIUM
Editor
Hery Djagat Purnomo
Djoko Handojo
Darmono S.S.
Masrifan Djamil
Budi Setiawan
PROSIDING SIMPOSIUM
ISBN : 978-602-0773-01-8
ii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Daftar Isi
iii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
iv
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
v
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
vi
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Kata Pengantar
vii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
viii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
ix
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
x
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xi
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xiii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xiv
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xv
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xvi
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Kontributor
xvii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xviii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xix
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xx
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xxi
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xxii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Moderator
xxiii
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xxiv
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xxv
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
xxvi
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Gatot Suharto
1
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Pada tahap inipun harus ada rekomendasi dari organisasi profesi yaitu Ikatan
Dokter Indonesia (IDI) setempat yang akan selalu mengingatkan tentang etika dan
akan dibekali dengan KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA (KODEKI) sebagai
pengingat dalam menjalankan profesi dokter. Tujuan utama kodeki ini adalah para
dokter tersebut dapat melaksanakan kewajiban moral dan etika dalam beberapa
hal yaitu kewajiban secara umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban terhadap
sejawat serta kewajiban terhadap dirinya sendiri.
SIP yang telah diperoleh tersebut akan berlaku selama siklus 5 tahunan dan
boleh diperpanjang 5 tahun berikutnya.Dalam masa tersebut tidak menutup
kemungkinan seorang dokter akan meningkatkan kompetensinya, sehingga Serkom
nya juga berubah sesuai kompetensi akhir missal menjadi spesialis klinis. Pada
proses peningkatan kompetensi ini juga terdapat persyaratan etika yang lebih lebih
mendalam.
III. Penawaran Jasa Profesional
Keberadaan profesi dokter di masyarakat luas apakah dapat dipandang sebagai
hasil produk Institusi Pendidikan? Jawabnya adalah ya. Produknya berbentuk apa?
Jawabnya adalah jasa, dan jasa ini bersifat intangable yang artinya tidak
tampak.Didalam hukum ekonomi secara umum, dengan hadirnya produk tentu
akan memerlukan pemasaran. Penawaran produk jasa professional dokter ini
penuh dengan hambatan terutama etika kedokteran. Secara umum suatu
penawaran produk (promosi) biasanya melalui 4P, yaitu place, product, promotion
and price. Secara etika prinsip 4 P ini tidak dapat dan tidak boleh dilakukan. Papan
plank tentang praktik dokter sudah baku, baik tentang warna, bentuk huruf serta
besar ukurannya, dan dicantumkan layanan yang sesuai dengan kompetensinya.
Jadi papan plank hanya berisi informasi tentang penawaran transaksi professional
dokter. Tentang produk, semua dokter lulusan baru di Indonesia telah melakukan
standarisasi lewat UKMPPD bagi dokter umum dan ujian kolegium bagi dokter
spesialis. Sedangkan promotion profesi dokter lewat media apapun dilarang secara
etik, dan hanya boleh secara mouth to mouth. Apa lagi promosi lewat price tentang
jasa profesi dokter sangat tabu.
2
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
IV. Kesimpulan
1. Seorang dokter telah diberikan bekal awal etika kedokteran sejak selesai
pendidikan dengan mengucapkan sumpah.
2. Profesi dokter selalu berhubungan dengan pasien atau keluarga sewaktu
menjalankan aktifitasnya yang kadang sangat erat dengan keputusan
etika.
3. Dalam menjaga dan meningkatkan kompetensinya seorang dokter perlu
dikawal dengan etika kedokteran berkelanjutan.
4. Penggunaan alat dan teknologi mutahir harus melalui uji akademik
sebelumnya.
3
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
4
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Arwedi Arwanto
5
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
6
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
7
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
8
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Multidiciplinary Team in
Cancer Management
Eko A Pangarsa
9
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
that have strongprimary care as their foundation have betterhealth outcomes and
reduced costs
The strengths of primary care are particularly evident in prevention and
diagnosis but also in shared follow-up, survivorship care and end of life care.
Important reasons for improved integration of primary and specialist care during
active cancer treatment include symptom control and management of toxicities to
avoid emergency department visits and hospital admissions, management of
patients with concurrent mental health problems and management of geriatric
patients with multimorbidity as well as addressing the specific needs of children
and adolescents with cancer. Patients and their families want reassurance,
convenience, continuity of care, quality of life and psycho-social dimensions which
are often lacking in hospital follow-up. Itneed Integration of care.
A number of elements are required to establish successful integration of care:
· Patient centricity
· Multidisciplinary/multiprofessional team based approach
· Pre-defined coordination of the total care process
· Clearly defined roles and responsibilities
· Good communication among all care providers
· Adequate education, clear guidelines/protocols on management/follow-
up care
· Rapid access back to secondary care
· Adequate IT systems
More work is needed to ascertain the most appropriate role for primary care
during cancer treatment. The expertise of specialists in secondary/tertiary care shall
remain an indispensable part of integrated cancer care. Roles and responsibilities
for all involved healthcare professionals must be clearly defined. We need
“multidisciplinary team and integrative care” in cancer, between primary care,
secondary/tertiary care, good referral system and good financial aspect.
10
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
References
Rubin G,BerensenA,CrawfordSm, et al.The expanding role of primary care in cancer
control.Lancet Oncol2015;16: 1231–72.
Kanavos P.The rising burden of cancer in the developing world.Annals of Oncology 2006;17
(Supplement 8): viii15–23.
Gunn J, Pirotta M.Recognising the role of primary care in cancer control.British Journal of
General Practice,2015 : 569-70.
11
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
12
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Renni Yuniati
Introduction
Competency of general practitioner in Indonesia is regulated in Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) made by Konsil Kedokteran Indonesia. It is
divided into several levels:
- Level 1: To know and explain
- Level 2:To diagnose and refer
- Level 3: To diagnose, give initial treatment, and refer
o 3A. Not emergency
o 3B. Emergency
- Level 4: To diagnose and give complete treatment independently.
o 4A. Competency is gained when doctor is graduated
o 4B. Proficiency is gained after internship or Continous Medical
Education
There are 79 diseases explained in SKDI related to integument system where
most of them is included in level 4A which means general practitioner should be
able to diagnose and treat independently in primary healthcare service.
Virus Infection
Verruca vulgaris is a disease characterized by painless lumps but it can also
be painful if appears on hand or sole of the feet. The most common site of this
disease is back, hand, and fingers. In children it often appears on neck and face.
Physical examination shows grey or brown or skin-like color papule or nodule with
sharp margin, squamous, verrucous or irregular, solitaire or grouped, with few
milimeters to 1 centimeter size. Histopathology evaluation shows papilomatosis,
acanthosis, hyperkeratosis, and rete ridge toward medial side. Non medicamentosa
therapy can be done by avoiding direct contact and maintaining good hygiene.
Medicamentosa therapy can be done by electric surgery, laser surgery, keratolytic,
13
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
caustic agent (25%-50% salicylic acid, 25% trichloroacetate), and intralesion therapy
(bleomisin and interferon).
Varicella is very common in primary healthcare setting. It starts with prodromal
symptoms such as fever, malaise, headache and then develops into skin eruption
with erythematous papule which turns into pustule and burst becoming crust. While
this process happens, another vesicle develops creating polymorphic description
for this disease. Main therapy of varicella is symptomatic therapy, but antivial agent
such as acyclovir can be given in certain indications.
Herpes simplex can happen in both man and woman. Type 1 herpes simplex
virus usually attacks children while type 2 herpes simplex virus usually happens in
second or third decade of life associated with increased sexual activity. It is
characterized by painful vesicle, errupted 7 or more days after exposure, and
sometimes also cause leukorrhea in woman. Tzanck test with Giemsa coloring
shows multinuclear datia cell with intranuclear inclusion body.
The course of morbili or measles is divided into 3 stages, prodromal stage for
4-5 days, erruption stage, and convalesence stage. Erruption stage is characterized
by the appearance koplik spot and rash starts fom the back of the ear and spreads
into face, trunk, arm, and leg. Symptomatic therapy and vitamin A is the main therapy
of morbili. Antibiotic can be given if secondary infection is present.
Bacterial infection
Furuncle is inflammaton in hair folicle and surrounding tissue usually caused
by Staphylococcus aureus infection. The term furunculosis is used when there are
more than one furuncle and carbuncle is used in grouped furuncle. Predilection of
furuncle is the ones that are moist and experience much friction such as axilla,
buttock, back, neck, and face. Physical examination shows cone-shaped
erythematous nodule with pustule and the center. Nodule will soften and forms
pus-filled abscess. This abscess then burst and forms fistule. Topical antibiotic
can be used for small lesion while systemic antibiotic is more effective for extended
lesion.
Erythrasma is usually found in axilla and groin. It can be asymptomatic, itchy,
or even accompanied with burning sensation. Physical examination shows
erythrosquamous lesion with red or brown fine scales depends on the skin color of
the patient. Tetracylcine, clindamycine, or 2% sodium fusidate can be used as
topical treatment, while drug of choice for systemic treatment is erytromycine 4 x
250 mg for 14 days.
Erysipelas is caused by Group A Streptococcus which infiltrates to skin layers
through microlesion. Predilection of erysipelas is face and feet, but can be found in
14
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
stomach, hand, and neck. Physical examination shows bright erytematous lesion
with sharp and elevated margin. It is painful and warm in palpation. Bulla with
seropurulent liquid can be found and in severe condition skin errotion can be seen.
Leprosy or morbus hansen is a chronic infection caused by Mycobacterium
leprae. Diagnosis of leprosy can be made if one of three cardinal sign is present:
(i) hypopigmentation or erythematous macule of plaque with loss of sensastion, (ii)
Peripheral nerve enlargement with or without nerve impairment (sensory/motoric/
autonom), (iii) Fast acid bacteria is found in slit skin smear. Leprosy usually doesn’t
appear on warmer parts of the body such as axilla, groin, and head.
Fungal infection
Pytiriasis versicolor is common in daily practice. It is characterized by itchy
hypopigmentation macule. Tinea can occur in head (tinea capitis), beard (tinea
barbae), face (tinea facialis), trunk (tinea corporis), hand (tinea manus), nail (tinea
unguium), groin (tinea cruris), and feet (tinea pedis). Generally, symptom of tinea is
itch in the lesion area and can be identified by the appearance of central healing.
Additional workout for tinea includes 20% KOH stainning, culture, or wood lamp.
Therapy for tinea is itraconazole, griseofulvin, or terbinafine.
Mucocutan candidiosis is usually found in skinfolds area and perianal. It is
erythematous macule with sharp margin, scaly, and wet. It is usually surrounded by
satellite lesion appears as vesicles or small pustules or bulla. Satellite lesion can
burst leaving an erosive area and can develop like the primary lesion. Nystatin,
amphotericine B, and azole group can be given as therapy.
Parasite infestation and insect bite
Itch caused by pediculosis capitis is a delayed hypersensitivity reaction and
usually appears 2-6 weeks after first exposure. An intense itch can cause scratch
followed by excoriation and secondary infection. Definite diagnosis is made when
at least one living louse is found at visual inspection. Visualisation can be done
with bright light, magnifying glass, and “lice brush”. Lice are usually found in the
back of the ear and in the back of the neck. Those who are proven to have lice
should be treated immediately. Those who live close to that person also should be
examined.
Insect bites cause itch, pain, redness, or swelling. Pathognomotic sign of
insect bite is urtica and papule appear simultaneously surrounded by erythematous
zone where punctum is found in the center of the lesion. Punctum can appear as
hemmorhagic or black crust. The principle of insect bite management is to reduce
systemic or local inflammation. Local inflammation can be reduced by washing the
bite area with water and soap. Acute angioedema should be treated soon as it can
15
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Reference
Chowdhury MMU, Katugampola RP, Fnlay AY. 2013. Dermatology at Glance. West Sussex.
Wiley-Blackwell.
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K. 2012. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine Eighth Edition. New York. McGraw Hill Medical.
Konsil Kedokteran Indonesia. 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta. Konsil
Kedokteran Indonesia
16
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
I. Pendahuluan
Dalam menghadapi meningkatnya prevalensi global diabetes mellitus tipe 2
(DMT-2), yang diperkirakan prevalensinya 9% tahun 2014, para dokter di pusat
pelayanan primer semakin bertanggung jawab atas keputusan melakukan inisiasi
terapi insulin pada pasien, yang sudah maksimal mendapatkan obat hipoglikemik
oral (OHO). Kenyataan saat ini menunjukkan bahwa kegagalan memulai terapi
insulin intensif menimbulkan inersia klinis (clinical inertia) di seluruh dunia. Pada
DMT-2, terapi insulin dapat digunakan untuk menambah terapi OHO atau sebagai
terapi pengganti OHO. Data dari National Health and Nutrition Examination Survey
menunjukkan bahwa persentase pasien DMT-2 khususnya di AS, dengan A1C >
9% mulai membaik/menurun, (13% menjadi 12,6%). Hampir sekitar 57% penderita
DMT-2, hanya menggunakan terapi OHO saja, sehingga penggunaan insulin
kombinasi dengan OHO perlu dipertimbangkan dengan menyesuaikan kondisi
klinik, sehingga tercapai glukosa darah optimal. (1)
17
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Terapi insulin memang berisiko hipoglikemia dan kenaikan berat badan. Terapi
insulin analog, sama efektifnya dengan insulin human dalam dalam menurunkan
kadar A1C namun risiko hipoglikemia lebih rendah, walaupun harganya lebih mahal.
Beberapa jenis insulin baru telah dikembangkan untuk mengurangi risiko
hipoglikemia. Setiap dokter harus mengobati DMT-2, dengan pendekatan individu,
dan memperhatikan banyak faktor, termasuk usia, harapan hidup, kondisi
komorbiditas, durasi diabetes, risiko hipoglikemia, biaya, motivasi pasien dan
kualitas hidup. Seperti diketahui bahwa DM-T2 adalah penyakit kronis progresif
yang ditandai dengan beberapa defek metabolisme glukosa, resistensi insulin
pada otot, hati, dan adiposit dan kegagalan sel â pancreas yang progresif.
Kegagalan sel â terus meningkat sekitar 4% per tahun. (4) Untuk menekan
insulin resisten, diberikan OHO golongan biguanid (Metformin). Metformin adalah
OHO yang dipakai paling awal sebagai monoterapi dan obat ini, dapat
dipertimbangkan kombinasi sesama OHO, pada pasien DMT-2 baru, bila kadar
HbA1C e” 9%. Metformin dapat dipertimbangkan kombinasi dengan insulin pada
pasien DMT-2 baru, bila gejala simptomatik dan atau dengan kadar HbA1C e”
10%. Beberapa pertimbangan penggunaan metformin yaitu antara lain: a) Efikasi,
b) risiko hipoglikemia, c) riwayat ASCVD, d) efek terhadap berat badan, e) efek
samping, f) efek terhadap ginjal, g)cara pemberian, h) analisis biaya, i) pilihan
pasien. (5)
18
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
19
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
20
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Insulin adalah terapi utama bagi diabetes tipe 1 (DMT-1). Umumnya, dosis
insulin awal didasarkan berat badan, mulai dari 0,4 hingga 1,0 unit /kg/hari dari
total insulin. Dosis standar sekitar 0,5 unit/kg/hari sebagai dosis awal yang stabil
secara metabolik. Kadangkala memerlukan dosis lebih tinggi saat KAD. (7)
Untuk dokter di pusat pelayanan tingkat pertama, secara umum
direkomendasikan sebagai berikut : (8)
1. Pemberian metformin sebagai monoterapi.
2. Pemberian kombinasi dengan SU pada DMT-2 yang tidak mencapai
kontrol glikemik dengan metformin saja.
3. Pemberian human insulin pada DMT-2, yang tidak mencapai kontrol
glikemik dengan metformin plus SU.
4. Pemberian dipeptidil peptidase-4 (DPP-4) inhibitor atau natrium-glukosa
cotransporter-2 (SGLT-2) inhibitor, atau tiazolidinedione (TZD) apabila
pasien tidak menghendaki insulin.
5. Pemberian insulin analog kerja panjang (misalnya glargine, detemir) ketika
pasien dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 mengalami hipoglikemia berat,
pada pemberian human insulin.
21
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
V. Simpulan
Sebagian besar DMT-2 hanya menggunakan terapi OHO saja. Pemberian
metformin sebagai monoterapi dapat kombinasi dengan SU pada DMT-2 yang
tidak mencapai kontrol glikemik. Terapi human insulin pada pasien yang tidak
mencapai kontrol glikemik dengan metformin dan SU. Pemberian OHO lainnya,
bila pasien tidak menghendaki insulin, walaupun lebih mahal. Terapi insulin analog
kerja panjang (glargine, detemir) dapt diberikan ketika pasien mengalami
hipoglikemia berat pada pemberian human insulin.
22
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Gastropati NSAID:
Tantangan Klinisi dari Faskes Primer Sampai Tersier
F Soemanto Padmomartono
Pendahuluan
Gastropati NSAID (disingkat GN) adalah gangguan/ kerusakan
gastroduodenal (GI) akibat efek samping obat anti-inflamasi non-steroid (NSAID).
GN merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, karena makin
banyak penderita GN yang berobat jalan atau rahat inap di rumah sakit, di mana
sebagian masuk dalam keadaan berat dan mengancam jiwa akibat komplikasi
GN. Hal ini dikarenakan makin banyak orang usia lanjut (manula) dengan
berbagai penyakit rematik dan komorbid lain, sehingga makin banyak pengguna
NSAID baik resep dokter, obat bebas, dan obat herbal/ jamu penghilang sakit.
Kesadaran masyarakat tentang efek sampjng NSAID masih rendah, dan usaha
pencegahan oleh dokter dan atau penderita kurang. Juga pada sebagian kasus
GN tanpa gejala atau tidak jelas, sehingga penderita jatuh pada keadaan berat
seperti perdarahan ulkus peptik (PU) yang dapat mengancam jiwa. GN merupakan
tantangan penting bagi para klinisi di semua lini pelayanan kesehatan, baik pada
faskes primer, sekunder dan tersier. Tujuan utama pengelolaan GN adalah
pencegahan GN yang efektif pada pengguna NSAID, dan pengobatan yang tepat
dan efektif untuk mencegah dan menurunkan komplikasi dan kematian akibat
GN. Diharapkan para klinisi dari faskes primer sampai tersier dapat menerapkan
usaha pencegahan dan pengobatan GN yang benar, disesuaikan dengan fasilitas
yang ada.
23
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
24
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
25
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
26
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
27
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
28
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Suyatmi Awizar
Pendahuluan
Enteropati adalah keadaan patologis yang disebabkan oleh berbagai macam
sebab. Disini akan dibicarakan kusus enteropati oleh karena obat Nonsteroidal
anti inflamatory Drug ( NSAIDs) Atau Enteropati NSAIDs. Telah diketahui dengan
baik bahwa NSAIDs berhubungan erat dengan komplikasi pada saluran cerna
terutama saluran cerna bagian atas (SCBA) atau Gastropati NSAIDs. Yang berupa
ulkus peptikum, perdarahan saluran cerna dan obstruksi. Saat ini perhatian banyak
ditujukan pada komplikasi NSAIDs pada saluran cerna bagian bawah atau
Enteropati NSAIDs. Diagnosis Enteropati NSAIDs tidak mudah karena
patofisiologinya belum jelas benar, gejala klinis sangat berfariasi. Alat penunjang
diagnosis laboratorium mahal dan tidak setiap laboratotium dapat mengerjakan.
Dengan ditemukannya capsule endoscopy (CE) dan double ballon endoscopy (DBE)
dapat membantu mengetahui kelainan anatomis secara visual pada yeyunum,
ileum dan kolon.1
Pada makalah ini akan dibicarakan tentang Enteropati NSAIDs meliputi,
epidemiologi, patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis, pencegahan dan
pengobatan. Sebagai pertimbangan untuk pengelolaan Enteropati NSAIDs.
29
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
30
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
cepat di gaster dan duodenum. Untuk mengurangi efek lokal , aspirin dibuat
enteric coated, hingga aspirin lepas lambat di usus halus. Aspirin akan terserap
lewat siklus entero hepatik. Aspirin masuk lagi ke usus terjadi efek lokal pada
usus terutama bagian bawah maka terjadilah Enteropati NSAIDs. Bila NSAID tak
masuk dalam siklus entero hepatik maka tak akan terjadi Enteropati NSAIDs.
Pada salah satu studi pasien diberikan aspirin enteric coated terjadi Enteropati
NSAIDs 56,3%. Sedangkan yang diberikan aspirin konvensional terjadi Enteropati
16,7%.5
Peranan bakteri intra intestinal. Lipopolisakarid bakteri Gram negatif
mengaktivasi Toll-like receptor 4 (TRL4). yang memacu respon inflamasi antara
lain aktivasi cytokine , TNF alfa, triggering NO, derivat dari indusible NO synthase,
dan aktifasi neutrofil. Menyebabkan injuri pada mukosa usus. Pemberian antibiotik
yang sensitif terhadap bakteri gram negatif efektif menurunkan terjadinya Enteropati
NSAIDs. Asam lambung dapat menekan bacteri, penekanan asam lambung yang
kronis dapat menyebabkan bakteria overgrowth dan menyebabkan eksaserbasi
Enteropati NSAIDs karena disbiosis. Sesuai hal tersebut probiotik dapat mengurangi
beratnya Enteropati NSAIDs. 8
Gambaran klinik
Gambaran klinik sangat berfariasi, umumnya sub klinis. Gambaran klinik
berupa :9
· Anemia defisiensi Fe karena perdarahan sedikit sedikit yang lama.
· Hipoproteinemi karena protein losing enteropathy..
· Indigesti, diare, constipasi.
· Sakit perut yang lokasinya tidak khas.
· Komplikasi yang berat : perdarahan masif, obstruksi dan perforasi , jarang
terjadi tetapi bisa mengancam jiwa.
· Diaphragm like stricture jarang terjadi, tetapi patognomonis untuk
Enteropati NSAIDs.
Diagnosis
· Pastikan penderita menggunakan NSID, terutama jangka panjang.
· Gambaran klinis tidak khas.
· Pemeriksaan laboratorium Darah rutin, protein, albumin.
31
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
32
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Peran rebamipide
Rebamipide adalah derivat quinolon yang mempunyai lebih dari 500 asam
amino. Mempunyai efek sitoprotektif pada mukosa gastro intestinal, dengan
meningkatkan produksi mukus dan meningkatkan prostaglandin. Juga sebagai
scavenger free radicals dan menekan aktivitas myeloperoksidase.
Penelitian Niwa et al dengan memakai CE pada orang sehat yang diberi
diclofenac 7 hari ditambah rebamipide dibandingkan dengan tambahan plasebo ,
didapat enteropati NSAID pada tambahan rebamipide 20%, dan tambahan plasebo
80%.10 Walaupun pada penelitian lain: group diclofenac + PPI + rebamipide
dibanding dengan group diclofenac + PPI + plasebo , diberikan selama 14 hari,
Hasilnya tidak berbeda bermakna.11 Masih diperlukan penelitian lebih lanjut yang
lebih luas untuk klarifikasi hal tersebut.
Ringkasan
Bagaimana sebagai dokter di lini pertama mengenali penderita enteropati
NSAID.
· Anamnesa yang cermat dari gambaran klinik yang tidak khas, terutama
keluhan perut.
· Pastikan betul bahwa pasien menggunakan NSAID terutama yang cukup
lama.
· Pemeriksaan fisik yang cermat dan akurat. Bila didapat kemungkinan
anemia dicari penyebabnya. Bila penyebab anemia tak jelas, cari
defisiensi Fe atau tidak .
Cari tanda tanda hipo protein / hipo albumin secara fisik.
Setelah enteropati NSAIDs dikenali akan direfer atau dikelola ?
Enteropati NSAIDs yang perlu direfer:
· Enteropati NSAIDs yang komplikasinya berat: perdarahan saluran cerna,
obstruksi, perforasi.
· Anemia berat Hb kurang dari 6gr% yang memerlukan tranfusi darah.
· Hipoprotein / hipoanbumin berat yang memerlukan tambahan albumin
secara infus.
· Penderita yang harus tetap mendapatkan NSAID, terutama yang umur
tua agar dikelola dulu oleh spesialis yang berkompeten, bila mungkin
dikembalikan ke lini pertama.
33
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
· Terutama penderita peserta BPJS , bila obat obat tidak tersedia di fornas.
Enteropati NSAIDs yang harus dikelola di lini pertama : yang tidak termasuk
kriteria diatas.
Kesimpulan
Enteropati NSAIDs mungkin frekuwensi dan komplikasinya sama dengan
gastropati NSAIDs. Gambaran klinis tidak spesifik dan umumnya subklinis.
Mekanisme patofisiologinya belum jelas benar dan multifaktorial. Modalitas
diagnosis dengan C E dan DBE menjadi lebih jelas dan lebih mudah dibanding
modalitas terdahulu.Pendekatan terapi dan pencegahan difokuskan pada komponen
inflamasi . Rebamipid salah satu obat yang potensial yang dapat diberikan untuk
pencegahan maupun pengobatan enteropati NSAIDs. Agar terapi dan pencegahan
enteropati NSAIDs berhasil baik masih diperlukan penelitian lebih lanjut dan lebih
luas lagi.
Daftar Pustaka
1 . Sung J S, Choong K N, Sun G L et al . Nonsteroidal anti- inflammatory drug- induced
enteropathy. Review .Internal research 2017 Agustus 28: 1-10.
2. Lanas A , Gracia- Rodrigeuez L.A, Polo –Tomas M et al . Time trends and impact of upper
and lower gastrointestinal bleeding and perforation in clinical practice. Am J Gastroenterol
2009;104:1633-1641.
3. Maiden I, ThjodleifssonB,Theodors A et al A quantitative analysis of NSAID-induced small
bowel pathology by capsule enteroscopy Gastroenterology 2005; 128:1172-1178.
4. Goldstein R, Eisen GM,Lewis B, et alVideo capsule endoscopy to prospectively asses
small bowel injury with celecoxib , naproxsen plus omeprasol,and placebo.Clin
Gastroenterol Hepatol 2005 ; 3:133-141.
5. Endo H ,Hosono K,Inamori M , et al Charateristics of small bowel injury in symptomatic
chronic low –dose aspirin users the experience of two medical centres in capsule
endoscopy. J Gastroenterl 2009;44:544-549.
6. BjarnasonI, Hailliar J, Mat.Pherson A J , Russell AS. Side effects of nonsteroidal anti-
inflamatory drugs on the smalland large intestine in human. Gastroenterology
1999;194:1832-1847.
7. Wallace JA, NSAID gastropathy and enteropathy distinct pathogenesis likely necessitates
distinct prevention strategies Br J Pharacol 2012;165:67-74
8. Endo H, Higurashi T, Hosono K , et al Efficacy of Lactobacillus casei treatment on small
bowel injury in chronic low-dose aspirin users a pilot randomized controlled study. J
Gastroenterol 2011;46:894-905.
34
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
9. Lim YJ, Yang CH. Non- steroidal anty- inflammatory drug – induced small intestinal injury.
World J Gastroenterol 2012;45:412-419.
10. Niwa Y, Nakamura M, Ohmiya N et al. Efficacy of rebamipide for diclofenac induced small-
intestinal mucosal injuries in healthy subjects : a prospective, randomized, double-blinded,
placebo controlled, cross-over study. J Gastroenterol 2008;13:270-276.
11. Fujimori S, Takahashi Y, Gudis K, et al. Rebamipide has the potential to reduce the intensity
of NSAID-induced small intestinal injury : a double blind, randomized, controlled trial
evaluated by capsule endoscopy. J Gastroenterol 2011;46:57-64.
35
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
36
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Introduction
Overactive bladder (OAB) is a common and bothersome symptom complex,
which significantly affects patients’ quality of life. Approximately 400 million people
worldwide suffer with symptoms of urgency and frequency (dry OAB) and a
proportion will have associated urgency incontinence (wet OAB). The prevalence
of OAB increases with age with approximately 30–40% of the population over 75
being affected [Irwin et al. 2006]. The International Continence Society defines the
OAB syndrome as urinary urgency, usually with frequency and nocturia with or
without urgency urinary incontinence [Abrams et al. 2009]. NICE guidelines [NICE,
2013] provide a structured approach to managing patients with incontinence and
as part of these recommendations a treatment ladder for those patients with OAB
syndrome. Taking a history allows differentiation between incontinence that is
urgency, stress or mixed urgency/stress. All patients should have a bladder diary
to complete in addition to a symptom scoring and quality of life questionnaire.
Urine dipstick testing and flow tests make up part of the initial assessment with
urodynamics being reserved for those who have failed conservative therapy
including drug treatment. Initial management is bladder training, weight loss and
fluid management. The next step in the ladder is antimuscarinic treatment starting
at the lowest dose initially and titrating according to the patient’s response and
side effects. NICE also supports the use of intra-vesical botulinum toxin injections
and neurostimulation for management of refractory OAB before considering
surgical intervention such as augmentation cystoplasty. Antimuscarinics are a
well-established treatment for OAB and have been shown to reduce the
bothersome symptoms of urgency, frequency and incontinence. However, their
use is often restricted by limited efficacy and intolerable adverse events.
Approximately 50% of patients discontinue treatment at 3 months [Wagg et al.
2012]. Common side effects are dry eyes, dry mouth, blurred vision and
constipation.
Anticholinergic burden
Anticholinergic medications, as a treatment for OAB, have been utilized
effectively for many years. They have provided successful treatment for many OAB
37
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
38
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
long-term data is needed to further assess these risks, however there is certainly
enough evidence emerging that these risks should become part of a discussion
with the patient prior to considering starting anticholinergic medication for an OAB,
particularly in the presence of other anticholinergic medication and other alternative
medication such as mirabegron should be considered.
Pharmacology of mirabegron
The beta-adrenoceptors are distributed in adipose tissue, heart, vascular
systems and the bladder. Studies in the pathophysiology of OAB have demonstrated
three subtypes of beta-adrenoceptors in the detrusor muscle and urothelium. The
â3 sub-type was identified in 1989 and is the predominate adrenoceptor in the
bladder and direct stimulation is responsible for mediating detrusor relaxation in
humans and can increase bladder capacity. At a molecular level the â3 adrenoceptor
activation leads to opening of big conductance calcium activated potassium channels
or activation of adenylyl cyclase with subsequent formation of cyclic adenosine
monophosphate. The development of a â3 adrenoceptor agonist to cause detrusor
relaxation is a further weapon in the armamentarium of both primary care physicians
and specialist urologists, geriatricians and urogynaecologists. Two types of
contraction have been observed in the human detrusor muscle: voiding and
spontaneous involuntary contractions (IDCs) during bladder filling. Preclinical and
clinical studies showed â3 adrenoceptor agonists have no significant negative
effect on the voiding contraction therefore limiting the risk of urinary retention [Michel
et al. 2011]. â3 adrenoceptor agonists have shown a pronounced effect on
spontaneous contractile activity in the detrusor muscle in vitro therefore reducing
the bladder tone and afferent input which is related to the storage symptoms of the
OAB syndrome [Andersson et al. 2013].
Mirabegron is the first â3 adrenoceptor agonist to be approved for the treatment
of OAB symptoms and is the first in a new class of therapy for OAB symptoms for
over 30 years. It is licensed in Japan, USA, Europe and Canada. The dose
recommendation varies from country to country with a starting dose of 25 mg in the
USA and Canada increasing to 50 mg whereas the UK and Japan use a starting
dose of 50 mg reducing it in patients with renal or hepatic impairment. Mirabegron
has a particular affinity for â3 adrenoceptors and improves the storage capacity of
the bladder with little effect on the contractile ability of the bladder. It is rapidly
absorbed after oral
administration, has a tmax of 3–4 hours, half-life of 40 hours and a bioavailability
of 35% at the 50 mg dose. It circulates in plasma in its unchanged form, as
glucuronic acid conjugates and other inactive metabolites. Mirabegron is highly
39
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Mirabegron has been studied extensively in the last few years within the context
of phase II and III trials. The trials had standard inclusion criteria enrolling men and
women over the age of 18 years of age with OAB symptoms for >3 months.
The initial BLOSSOM study [Chapple et al. 2013a] was a phase IIA proof of
concept study. A total of 314 patients with OAB symptoms were included of whom
262 were randomized into four groups: placebo, mirabegron 100 mg bd, mirabegron
150 mg bd or tolterodine 4 mg qds for a 4-week treatment. The primary endpoint
was efficacy and the primary efficacy endpoint was a change in number of
micturitions per 24 hours from baseline to 4 weeks. The two mirabegron groups
showed significant improvements versus placebo (“2.19 and “2.21, respectively).
The mean voided volume dose dependently increased in the mirabegron groups
and the change attained significance in the mirabegron 150 mg group. An increase
in heart rate of 5 beats per minute (bpm) was noted but was not associated with
clinically significant increase in adverse events. The drug appeared to be safe and
well tolerated.
Chapple and colleagues carried out the phase IIB trial (DRAGON). This was a
dose ranging study with extended release once-daily dose of mirabegron 25 mg,
100 mg, 150 mg, 200 mg or placebo or tolterodine 4 mg extended release (ER) for
a 12-week period. A total of 928 patients were randomized. The primary endpoint
was to evaluate the dose–response relationship for efficacy in terms of mean
number of micturitions per 24 hours. Secondary endpoints included change in
volume voided per micturition, mean number of urgency urinary incontinence and
urgency episodes per 24 hours, severity of urgency, nocturia and quality of life
measures. Baseline to end of treatment micturition frequency decreased in a dose-
dependent fashion and were statistically significant for mirabegron 50 mg, 150 mg
and 200 mg versus placebo. The mean volume voided per micturition increased in
a dose-dependent fashion and the increases were significant for doses of above
50 mg. There was a statistically significant improvement with mirabegron versus
40
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
placebo for most secondary endpoints including quality of life variables. Adverse
events and discontinuation rates were similar to placebo in all groups [Chapple et
al. 2013b].
There have been a number of phase III trials assessing efficacy and safety of
mirabegron [Herschorn et al. 2013; Khullar et al. 2013a; Nitti et al. 2013a;
Yamaguchi et al. 2014]. The four largest studies included patients >18 years of
age who had OAB symptoms >3 months. They each had a 3-day diary to show
they had more than eight micturitions in 24 hours and more than three urgency
episodes with or without incontinence (or one episode of urgency or more than
one episode of urgency incontinence in 24 hours in the Yamaguchi study).
Exclusion criteria were the presence of stress incontinence, mixed incontinence
or total urine volume >3000 ml in 24 hours. They were randomized, parallel-
group, placebo-controlled, double-blind multicentre studies with a 2-week placebo
run-in period. SCORPIO included tolterodine 4 mg ER and compared this with
placebo but no direct comparison was made between tolterodine and mirabegron.
Likewise, the Yamaguchi study included tolterodine but did not directly perform
statistical analysis comparing tolterodine and mirabegron. Follow-up visits were
at baseline, and weeks 4, 8 and 12. Primary and secondary efficacy endpoints
and treatment emergent adverse events, including serious cardiac events, were
recorded. Lab assessments, vital signs, ECG and post-void residual volumes
were measured at each visit. An adverse event of hypertension was recorded if
systolic blood pressure (SBP) was higher than 140 mmHg or diastolic blood
pressure (DBP) was above 90 mmHg, or both, on two consecutive visits, in
patients who were not hyper-tensive at baseline [Table 1].
41
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
42
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
In the ARIES trial, both mirabegron treatment groups were associated with
significantly greater reduction from baseline to final visit versus placebo in mean
number of incontinence episodes and micturitions per 24 hours. There was a
significant increase in volume voided in both mirabegron groups. Of the secondary
endpoints, there was also a significant improvement with both mirabegron groups
versus placebo in number of incontinence, urgency and nocturia episodes. Both
mirabegron groups showed improvements at week 4 and maintained it at week 12
[Table 2].
In the SCORPIO trial the primary comparison was between placebo and
mirabegron with a secondary comparison between placebo and tolterodine [Table
3]. There was a statistically significant decrease in number of incontinence episodes
and micturitions per 24 hours in both mirabegron groups compared with placebo.
Efficacy was assessed using either full set analysis (FAS) or patients with at least
one episode of incontinence at baseline (FAS-I).
43
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Key secondary efficacy endpoints included mean volume voided per micturition
and percent of responders with greater than 50% decrease from baseline in mean
number of incontinence episodes per 24 hours and percentage of responders with
no incontinence at final visit.
Results showed statistically significantly improved baseline to final visit in
mean numbers of incontinence episodes and micturition seen in mirabegron 50
mg and 100 mg versus placebo which was seen from week 4 and maintained over
time. Mirabegron 50 mg showed statistically significant improvement from baseline
versus placebo to final visit in urgency incontinence episodes in 24 hours, urgency
episodes in 24 hours, and mean level of urgency. Tolterodine showed non-statistical
improvement in urgency incontinence episodes, but showed statistical
improvements in mean volume voided and urgency episodes in 24 hours. All active
treatments achieved statistically significant differences in mean volume voided per
micturition. Mirabegron 50 mg showed a statistically significant improvement from
baseline to final visit in number of episodes of urgency. All three active treatments
demonstrated statistically significant improvement from baseline to final visit
compared with placebo on patient quality of life questionnaire reporting. A post hoc
analysis of this data separately analysing the patients who had not had previous
antimuscarinic treatment and those that had showed similar improvements in
endpoints in patients with OAB who were treatment naïve and those who had
previously stopped other antimuscarinic therapy [Khullar et al. 2013b].
44
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
In the CAPRICORN trial, both mirabegron groups Tolerability is important in the treatment of a
demonstrated statistically significant chronic
improvements for coprimary endpoints condition and this study showed low
versus placebo. incidence of side effects in mirabegron
group versus placebo.
Incontinence was reduced by approximately Only one patient with pre-existing cardiovascular
50% in the mirabegron groups versus placebo. disease received mirabegron and had no
Mirabegron 50 mg was effective at week 4 adverse events.
with a significant reduction in episodes of Mirabegron was well tolerated in the
incontinence and this was maintained CAPRICORN study with the incidence of TEAEs
at week 12. The 25 mg dose had a in both mira begron groups similar to that
numerically smaller effect versus 50 mg of placebo. Most TEAEs were mild or moderate.
for the mean level of urgency and number The severe adverse event occurrence was
of urgency episodes [Table 4]. higher in the placebo group.
In the Yamaguchi study tolterodine was used The ARIES safety assessment also revealed
as an active comparator but without testing similar frequency of TEAEs between the
for non-inferiority of efficacy and safety mirabegron and placebo groups [table 7].
[Table 5]. Less than 2% in all groups had dry mouth.
Mirabegron was associated with a significantly There were no TEAEs of QTc prolongation,
greater reduction from baseline to final visit in ventricular tachycardia or ventricular
number of micturitions per 24 hours versus fibrillation. Cardiac arrhythmias (tachycardia,
placebo. atrial fibrillation) were reported in 0.9%
Secondary endpoints showed significant of the placebo group, 2% of the mirabegron
improvement in the mirabegron group versus 50 mg group and 2.3% mirabegron of the
placebo in reduction in number of urgency 100 mg group. Hypertension TEAEs were
and incontinence episodes. reported in 7.1%, 7.5% and 6.2% of the
All the primary and secondary efficacy endpoints placebo, mirabegron 50 mg and mirabegron
showed improvement with mirabegron versus 100 mg groups. There were no serious
placebo at week 4 of the study. Seven out of hypertension TEAEs
the nine quality-of-life domains improved with reported. A small increase in pulse rate was
mirabegron compared with placebo. observed versus placebo (up to 2.6 bpm
Each phase III study reported treatment- in the mirabegron 100 mg group). The
related adverse events. difference in post-void residual volume was
The majority of treatment emergent adverse comparable across all three groups. No
45
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
events (TEAEs) were mild in severity in the patient had more than 300 ml residual. The
Yamaguchi study [table 6]. There were no number of patients who discontinued due to
treatment-related serious adverse events. adverse events were 3.7% in the placebo
The incidence of cardiovascular-related group, 4.1% in the 50 mg mirabegron group
adverse events (tachycardia, palpitations, and 4.4% in the 100 mg mirabegron group.
increased heart rate, increased blood The SCORPIO trial again showed the
pressure and ECGs) was similar to placebo. incidence of TEAES was similar across
There was a slight increase in mean pulse the placebo, mirabegron (50 and 100 mg)
rate (2 bpm) for the mirabegron group at and tolterodine groups [table 8].
4 weeks but this did not increase with time. Dry mouth was significantly higher in the toltero
The pulse rate returned to normal after dine group. The incidence of cardiovascular-
treatment was stopped. related events was monitored with
hypertension-related
TEAEs found to be higher in the placebo and tolterodine group than the
mirabegron groups. The small dose-dependent rise in pulse rate, compared with
placebo, in the mirabegron groups was found to be similar compared with the
tolterodine group. Mean changes in blood pressure from baseline was less than
1.5 mmHg for both diastolic and systolic measurements.
Chapple and colleagues [Chapple et al. 2013c] carried out a phase III
randomized double-blind active controlled study to assess safety and efficacy of
mirabegron in OAB over a 12-month period (TAURUS) [table 9 and 10]. The primary
objective was to assess safety and tolerability of 12-month treatment with once-
daily 50 or 100 mg mirabegron in parallel with tolterodine. Patients with frequency
of more than eight times in 24 hours and three or more episodes of urgency were
randomized to mirabegron 50/100 mg or 4 mg tolterodine. Patients completed
bladder diaries at baseline, and months 1, 3, 6, 9 and 12 and recorded morning
and afternoon blood pressure and pulse rate. The primary endpoint safety variable
was incidence of TEAEs. Each patient was examined and had bloods, vital signs
and ECG carried out at each visit.
Efficacy endpoints were secondary and were changes from baseline at months
1, 2, 6, 9 and 12 recorded in a bladder diary of key OAB symptoms. In addition, two
responder analyses based on incontinence were included: responders were defined
as those with greater than 50% decrease from baseline in number of incontinence
episodes, or those with zero incontinence episodes at final visit. A total of 2444
patients with similar baseline demographics were randomized.
Common TEAEs included hypertension, dry mouth, constipation and headache.
The incidence was similar across all groups with the exception of dry mouth being
higher in the tolterodine group. The incidence of cardiovascular arrhythmias was
46
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
higher in the tolterodine group. There was a small increase from baseline to final
visit of SBP and DBP in the mirabegron groups. The increase in pulse rate was
small and similar in the mirabegron 100 mg and tolterodine groups.
There were no safety concerns during or at the end of the study across the
treatment groups.
The safety profile was found to be similar to that of the earlier 12-week studies.
They also noted the improvements in efficacy found at month 1 was sustained
throughout the 12-month follow up.
Chapple and colleagues [Chapple et al. 2015] used pooled data from
SCORPIO, ARIES, CAPRICORN to examine the efficacy of mirabegron for treatment
of OAB by severity of incontinence at baseline. The effect of once-daily mirabegron
50 mg was compared with placebo for frequency of micturition, urgency episodes
and volume voided per micturition in the subgroup who were incontinent at baseline.
They also compared the effect on these variables stratified by the severity of the
incontinence (at least two episodes a day and at least four episodes a day). There
were 878 patients in the placebo group and 862 patients in the mirabegron group.
Mirabegron resulted in statistically significant improvements in domains of mean
number of incontinence episodes, mean number of micturitions, mean number of
urgency episodes and mean volume voided compared with placebo and this
treatment effect was increased in the group with the more significant incontinence
at baseline.
Given the prevalence of OAB in an aging population with other comorbidities,
the potential cardiovascular effects of stimulating the β3 adrenoceptors needs
considering. A recent systemic literature review was performed on the cardiovascular
effects of β3 adrenoceptor agonists [Rosa et al. 2016]. Data from the placebo and
mirabegron arms of SCORPIO, ARIES, CAPRICORN and TAURUS were pooled
and cardiovascular events of interest noted. These included hypertension, QT
prolongation and cardiac arrhythmias. Hypertension was the most commonly
reported TEAE occurring in 8.7% of the pooled mirabegron group versus 8.5% of
47
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
the placebo group. The mean change in SBP and DBP was less than 1 mmHg
from baseline to week 12. Patients with poorly controlled hyper-tension, arrhythmias
or cardiac heart failure were excluded from the studies so data is lacking on this
group and blood pressure and pulse should be monitored after commencing
mirabegron.
AE, adverse event; PVR, post-void residual volume; SAE, serious adverse event;
TEAE, treatment-emergent adverse event.
Table 8. SCORPIO safety results.
Mirabegron Mirabegron Placebo Tolterodine
50 mg 100 mg
Dry mouth 2.8% 2.8% 2.6% 10.1%
Hypertension 5.9% 5.4% 7.7% 8.1%
Pulse rate increases versus Am +0.8 Am +1.6
placebo Pm +0.7 Pm +2.0
Both groups similar to
tolterodine versus placebo
Number of patients with 1 2 1
notable shift in PVR >300 ml
Discontinuing due to TEAE 4.9% 3.2% 2.6% 4.4%
PVR, post-void residual volume; TEAE, treatment-emergent adverse event.
48
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
synthesis of the literature to compare the clinical efficacy and safety of the
most widely used pharmacological agents used to treat OAB and more specifically
to estimate the efficacy and safety of mirabegron compared with other
antimuscarinics [Maman et al. 2014]. The review considered all randomized
controlled trials studying the efficacy or safety of pharmacological agents used to
treat OAB and included darifenacin, fesoterodine, oxybutinin, solifenacin, tolterodine,
trospium and mirabegron. A Bayesian mixed treatment comparison was conducted
to estimate the relative efficacy and safety of mirabegron versus other OAB agents.
They included 44 trials with a total of 27,309 patients. A total of 26 studies examined
micturition frequency and found the effect of mirabegron was not significantly different
to other OAB agents. Solifenacin 10 mg was more effective; it had 100% probability
for being more effective in reducing the number of micturitions in 24 hours. A total of
17 trials examined improvement in number of daily incontinence episodes; again,
mirabegron was not significantly better than other agents. A total of 18 studies
combined found mirabegron was significantly less efficacious than solifenacin 10
mg in terms of urgency urinary incontinence and did not differ from other
antimuscarinics. All 44 studies reported on dry mouth with mirabegron having a
similar dry mouth incidence to placebo. All other antimuscarinics had significantly
higher rates of dry mouth compared with mirabegron. Mirabegron had a similar
incidence of constipation to placebo, compared with the other antimuscarinics which
had a significantly higher incidence.
One randomized double blind phase IIIb noninferiority study enrolled 1887
patients who had failed antimuscarinic therapy and randomized them to solifenacin
5 mg or mirabegron 50 mg for 12 weeks [Batista et al. 2015]. The primary efficacy
49
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
50
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Efficacy in combination
Management of OAB symptoms in the future may involve utilizing combinations
of medications. There are emerging trials that have been investigating the
combination of an anticholinergic and a â3 agonist. The first of these was the
SYMPHONY study: a phase II study investigating use of mirabegron in various
doses in combi-nation with solifenacin. This study showed greater improvements
in mean voided volume, frequency and urgency with combination therapy as
opposed to monotherapy with solifenacin [Abrams et al. 2015]. More recently a
phase IV study has been published from a Japanese group (the MILAI study),
looking at mirabegron as add-on therapy to solifenacin in patients with OAB
symptoms that have not been controlled just by solifenacin [Yamaguchi et al. 2015].
Short-term results (16 weeks) were presented, showing that adding 25 mg of
mirabegron to patients already taking either 2.5 or 5 mg of solifenacin, with an
option to increase to 50 mg mirabegron at 8 weeks, led to significant improvements
in efficacy but with an increased side-effect profile. This was contradicted in a
paper by Kosilov and colleagues investigating the use of short-term combination
therapy of solifenacin and mirabegron in older male and female patients with an
OAB [Kosilov et al. 2015]. The paper states that combination therapy for 6 weeks
was the most effective management for urgency incontinence and urinary
OAB often coexists in men with voiding symptoms secondary to benign prostatic
obstruction. There are only two papers investigating this combination. The first
study was an open-label randomized two-arm, two-sequence study to investigate
the safety profiles of dual therapy with both medications, in particular assessment
of cardiovascular side effects [van Gelderenvan et al. 2014]. There were no clinically
relevant cardio-vascular side effects noted. The second study investigated the
combination of mirabegron with tamsulosin in male patients with mixed OAB and
voiding lower urinary tract symptoms [Ichihara et al. 2015]. This was a randomized
multicentre Japanese study of 96 men, which showed a significant improvement in
urgency, urgency incontinence and nocturia with combination therapy as compared
with monotherapy. These two studies show the safety of using mirabegron as add-
on therapy in combination with tamsulosin in male patients with benign prostatic
obstruction.
The future
Future developments and research in the arena of OAB treatment will include
other types of β3 agonist. Two other â3 agonists have been reported in the literature:
solabegron and ritobegron. Solabegron has been investigated in a phase II trial
and has shown good results [Ohlstein et al. 2012], whilst ritobegron has not yet
been reported in human trials but has been shown to exhibit potent and selective
β3 agonist activity in monkeys [Maruyama et al. 2012].
51
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Conclusions
Mirabegron is the first â3 adrenoceptor agonist licensed for use in the treatment
of OAB. It is a safe, effective and well-tolerated new class of drug. The tolerability
profile of mirabegron offers potential to improve patients’ adherence with treatment
for OAB as dry mouth is often the rea-son cited for stopping antimuscarinic treatment.
The incidence of dry mouth with mirabegron is similar to placebo in all trials. It has
consistently demonstrated its efficacy and tolerability in phase
III randomized controlled trials. It has shown statistically significant
improvements in the mean number of incontinence episodes per 24 hours and
micturitions per 24 hours when compared with placebo. Secondary endpoints
showed significant improvements with mirabegron versus placebo in voided volume
and urgency-related outcomes. These improvements are generally significant at
week 4 after starting treatment and are maintained at 12 months. There is a lack of
head-to-head comparison between mirabegron and other anticholinergic drugs.
Future studies should compare directly, and as urgency is one of the most
bothersome symptoms of OAB, studies using this as a primary endpoint would be
clinically relevant. Long-term data is also needed to see whether the initially promise
of mirabegron’s efficacy and tolerability is maintained beyond 12 months.
Funding
The author(s) received no financial support for the research, authorship, and/
or publication of this article.
52
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
References
Abrams, P., Artibani, W., Cardozo, L., Dmochowski, R., Van Kerrebroeck, P., Sand, P. et al.
(2009) Reviewing the ICS 2002 terminology report: the ongoing debate. Neurourol Urodyn
28: 287.
Abrams, P., Kelleher, C., Staskin, D., Rechberger, T., Kay, R., Martina, R. et al. (2015) Combination
treatment with mirabegron and solifenacin in patients with overactive bladder: efficacy
and safety results from a randomised, double-blind, dose-ranging, phase 2 study
(SYMPHONY). Eur Urol 67: 577–588.
Andersson, K., Martin, N. and Nitti, V. (2013) Selective beta(3)-adrenoceptor agonists for the
treatment of overactive bladder. J Urol 190: 1173–1180.
Batista, J., Kolbl, H., Herschorn, S., Rechberger, T., Cambronero, J., Halaska, M. et al. (2015)
The efficacy and safety of mirabegron compared with solifenacin in overactive bladder
patients dissatisfied with previous antimuscarinic treatment due to lack of efficacy:
results of a noninferiority, randomized, phase IIIb trial. Ther Adv Urol 7: 167–179.
Carriere, I., Fourrier-Reglat, A., Dartigues, J., Rouaud, O., Pasquier, F., Ritchie, K. et al. (2009)
Drugs with anticholinergic properties, cognitive decline, and dementia in an elderly general
population: the 3-City Study. Arch Intern Med 169: 1317–1324.
Chapple, C., Amarenco, G., Lopez Aramburu, M., Everaert, K., Liehne, J., Lucas, M. et al.
(2013a) A proof-of-concept study: mirabegron, a new therapy for overactive bladder.
Neurourol Urodyn 32: 1116–1122.
Chapple, C., Dvorak, V., Radziszewski, P., Van Kerrebroeck, P., Wyndaele, J., Bosman, B. et
al. (2013b) A phase II dose-ranging study of mirabegron in patients with overactive
bladder. Int Urogynecol J 24: 1447– 1458.
Chapple, C., Kaplan, S., Mitcheson, D., Klecka, J., Cummings, J., Drogendijk, T. et al. (2013c)
Randomized double-blind, active-controlled phase 3 study to assess 12-month safety
and efficacy of mirabegron, a beta(3)-adrenoceptor agonist, in overactive bladder. Eur
Urol 63: 296–305.
Chapple, C., Khullar, V., Nitti, V., Frankel, J., Herschorn, S., Kaper, M. et al. (2015) Efficacy of
the beta3-adrenoceptor agonist mirabegron for the treatment of overactive bladder by
severity of incontinence at baseline: a post hoc analysis of pooled data from three
randomised phase 3 trials. Eur Urol 67: 11–14.
Gray, S., Anderson, M., Dublin, S., Hanlon, J., Hubbard, R., Walker, R. et al. (2015) Cumulative
use of strong anticholinergics and incident dementia: a prospective cohort study. JAMA
Intern Med 175: 401–407.
Herschorn, S., Barkin, J., Castro-Diaz, D., Frankel, J., Espuna-Pons, M., Gousse, A. et al.
(2013) A phase III, randomized, double-blind, parallel-group, placebo-controlled, multicentre
study to assess
53
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
the efficacy and safety of the beta(3) adrenoceptor agonist, mirabegron, in patients with
symptoms of overactive bladder. Urology 82: 313–320.
Ichihara, K., Masumori, N., Fukuta, F., Tsukamoto, T., Iwasawa, A. and Tanaka, Y. (2015) A
randomized controlled study of the efficacy of tamsulosin monotherapy and its combination
with mirabegron for overactive bladder induced by benign prostatic obstruction. J Urol
193: 921–926.
Irwin, D., Milsom, I., Hunskaar, S., Reilly, K., Kopp, Z., Herschorn, S. et al. (2006) Population-
based survey of urinary incontinence, overactive bladder, and other lower urinary tract
symptoms in five countries: results of the EPIC Study. Eur Urol 50: 1306-1314; discussion
1314– 1305.
Jessen, F., Kaduszkiewicz, H., Daerr, M., Bickel, H., Pentzek, M., Riedel-Heller, S. et al. (2010)
Anticholinergic drug use and risk for dementia: target for dementia prevention. Eur Arch
Psychiatry Clin Neurosci 260(Suppl. 2): S111–S115.
Khullar, V., Amarenco, G., Angulo, J., Cambronero, J., Hoye, K., Milsom, I. et al. (2013a)
Efficacy and tolerability of mirabegron, a beta(3)-adrenoceptor agonist, in patients with
overactive bladder: results from a randomised European–Australian phase 3 trial. Eur
Urol 63: 283–295.
Khullar, V., Cambronero, J., Angulo, J., Wooning, M., Blauwet, M., Dorrepaal, C. et al. (2013b)
Efficacy of mirabegron in patients with and without prior antimuscarinic therapy for
overactive bladder: a post hoc analysis of a randomized European–Australian phase 3
trial. BMC Urol 13: 45.
Kosilov, K., Loparev, S., Ivanovskaya, M. and Kosilova, L. (2015) A randomized, controlled trial
of effectiveness and safety of management of OAB symptoms in elderly men and
women with standard-dosed combination of solifenacin and mirabegron. Arch Gerontol
Geriatr 61: 212–216.
Lucas, M., Bedretdinova, D., Berghmans, L., Bosch, J., Burkhard, F., Cruz, F. et al. (2015) EAU
guidelines - Urinary Incontinence.
Maman, K., Aballea, S., Nazir, J., Desroziers, K., Neine, M., Siddiqui, E. et al. (2014) Comparative
efficacy and safety of medical treatments for the management of overactive bladder: a
systematic literature review and mixed treatment comparison. Eur Urol 65: 755–765.
Maruyama, I., Tatemichi, S., Goi, Y., Maruyama, K., Hoyano, Y., Yamazaki, Y. et al. (2012)
Effects of ritobegron (KUC-7483), a novel selective beta3-adrenoceptor agonist, on
bladder function in cynomolgus monkey. J Pharmacol Exp Ther 342: 163– 168.
Michel, M., Ochodnicky, P., Homma, Y. and Igawa, Y. (2011) â-adrenoceptor agonist effects in
experimental models of bladder dysfunction. Pharmacol Ther 131: 40–49.
Mulsant, B., Pollock, B., Kirshner, M., Shen, C., Dodge, H. and Ganguli, M. (2003) Serum
anticholinergic activity in a community-based sample of older adults: relationship with
cognitive performance. Arch Gen Psychiatry 60: 198–203.
54
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Myint, P., Fox, C., Kwok, C., Luben, R., Wareham, N. and Khaw, K. (2015) Total anticholinergic
burden and risk of mortality and cardiovascular disease over 10 years in 21,636 middle-
aged and older men and women of Epic-Norfolk prospective population study. Age
Ageing 44: 219–225.
NICE (2010) Male lower urinary tract symptoms.
NICE (2013) Urinary Incontinence in Women. London:NICE.
Nitti, V., Auerbach, S., Martin, N., Calhoun, A., Lee, M. and Herschorn, S. (2013a) Results of
a randomized phase III trial of mirabegron in patients with overactive bladder. J Urol 189:
1388–1395.
Nitti, V., Rosenberg, S., Mitcheson, D., He, W., Fakhoury, A. and Martin, N. (2013b) Urodynamics
and safety of the beta(3)-adrenoceptor agonist mirabegron in males with lower urinary
tract symptoms and bladder outlet obstruction. J Urol 190: 1320–1327.
Ohlstein, E., von Keitz, A. and Michel, M. (2012) A multicenter, double-blind, randomized,
placebo-controlled trial of the beta3-adrenoceptor agonist solabegron for overactive
bladder. Eur Urol 62: 834– 840.
Otsuki, H., Kosaka, T., Nakamura, K., Mishima, J., Kuwahara, Y. and Tsukamoto, T. (2013)
Beta3-adrenoceptor agonist mirabegron is effective for overactive bladder that is
unresponsive to antimuscarinic treatment or is related to benign prostatic hyperplasia in
men. Int Urol Nephrol 45: 53–60.
Rosa, G., Ferrero, S., Nitti, V., Wagg, A., Saleem, T. and Chapple, C. (2016) Cardiovascular
safety of beta3-adrenoceptor agonists for the treatment of patients with overactive
bladder syndrome. Eur Urol 69: 311–323.
Rossanese, M., Novara, G., Challacombe, B., Iannetti, A., Dasgupta, P. and Ficarra, V. (2015)
Critical analysis of phase II and III randomised control trials (RCTs) evaluating efficacy
and tolerability of a beta(3)-adrenoceptor agonist (mirabegron) for overactive bladder
(OAB). BJU Int 115: 32–40.
Shah, R., Janos, A., Kline, J., Yu, L., Leurgans, S., Wilson, R. et al. (2013) Cognitive decline in
older persons initiating anticholinergic medications. PLoS One 8: e64111.
van Gelderenvan Gelderen, M., Tretter, R., Meijer, J., Dorrepaal, C., Gangaram-Panday, S.,
Brooks, A. et al. (2014) Absence of clinically relevant cardiovascular interaction upon
add-on of mirabegronor tamsulosin to an established tamsulosin or mirabegron treatment
in healthy middle-aged to elderly men. Int J Clin Pharmacol Ther 52: 693–701.
Wagg, A., Compion, G., Fahey, A. and Siddiqui, E. (2012) Persistence with prescribed
antimuscarinic therapy for overactive bladder: a UK experience. BJU Int 110: 1767–
1774.
Wagg, A., Nitti, V., Kelleher, C., Castro-Diaz, D., Siddiqui, E. and Berner, T. (2016) Oral
pharmacotherapy for overactive bladder in older patients: mirabegron as a potential
alternative to antimuscarinics. Curr Med Res Opin 32: 621–638.
55
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Yamaguchi, O., Kakizaki, H., Homma, Y., Igawa, Y., Takeda, M., Nishizawa, O. et al. (2015)
Safety and efficacy of mirabegron as ‘add-on’ therapy in patients with overactive bladder
treated with solifenacin: a post-marketing, open-label study in Japan (Milai Study). BJU
Int 116: 612–622.
Yamaguchi, O., Marui, E., Kakizaki, H., Homma, Y., Igawa, Y., Takeda, M. et al. (2014) Phase
III, randomised, double-blind, placebo-controlled study of the beta3-adrenoceptor agonist
mirabegron, 50 mg once daily, in Japanese patients with overactive bladder. BJU Int 113:
951–960.
56
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Lisyani BS
57
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
58
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
antigen (auto Ag) mikrosom kelenjar tiroid yang utama, terlibat dalam sintesis
hormon tiroid. Anti TPO Ab dijumpai pada hampir semua penderita tiroidis
Hashimoto dan idiopathic myxedema, serta > 75-85% penderita penyakit Graves.
TgAb dijumpai pada 90% penderita tiroidis Hashimoto dan 50% penyakit Graves.
Tiroglobulin merupakan komponen utama dari koloid. Hampir semua penderita
dengan anti TPO Ab positif, anti Tg Ab juga positif. Kadang2 dijumpai hubungan
yang kuat antara penyakit Graves dengan tiroidis Hashimoto. Auto Ab lain mungkin
timbul terhadap T3/T4 yang dapat mempengaruhi pengukuran hormon tsb.
Pada keganasan tiroid dapat dideteksi petanda tumor nonspesifik yaitu
tiroglobulin (Tg), calcitonin (CT) ,dan carcinoembryonic antigen (CEA) dengan kadar
yang meningkat.. Panel ketiga macam petanda tumor meningkatkan sensitivitas
dan spesifisitas untuk menunjang diagnosis. Petanda tumor ini lebih bermanfaat
untuk memantau keberhasilan terapi, tindakan atau kekambuhan. Biomarker
molekuler genetik untuk keganasan tiroid ialah mutant RET proto-oncogene (mutant
RAS dan mutant BRAF genes). Didapat keadaan gene rearrangement pada
keganasan tiroid yaitu RET /PTC/rearrangement dan paired box B/ peroxisome
proliferato ractivated receptor g (PAXb/PPARy) fusion genes.
Pengetahuan laboratorik diperlukan untuk dapat melakukan interpretasi serta
aplikasi klinik hasil pemeriksaan laboratorium terhadap penyakit tiroid dengan benar.
Kata kunci : TSH, fT4, auto Ab, petanda tumor.
59
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
60
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Agung Prasetyo
Pendahuuan
Hepatitis adalah inflamasi jaringan hati. Adanya inflamasi pada hati dicirikan
dengan adanya sel inflamasi pada jaringan hati. Hepatitis memiliki spektrum
presentasi yang luas yang berkisar dari tanpa gejala sampai gagal hati berat.
Sedangkan bentuk hepatitis dapat akut maupun kronik. Hepatitis dikatan akut ketika
berakhir kurang dari 6 bulan dan kronik jika menetap lebih lama.
Definisi
Terdapat definisi dan istilah pada hepatitis akut ini. Secara klinis hepatitis
ditandai dengan peningkatan enzyme hati yang menunjukkan hepatosit menjadi
rusak atau dirusak. Dan secara definisi akut maka dalam hal ini menyangkut
penyakit yang < 6 bulan sudah terselesaikan.
61
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
62
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Patogenesis
Perlu diketahui bahwa pada hepatitis akut yang disebabkan oleh virus terdapat
infeksi asimtomatik ( tanpa gejala) kira-kira 10 sampai 30 kali lebih sering daripada
yang bergejala. Ini paling sering diketahui dengan peningkatan tes biokimia hati
bersama dengan penanda serologi infeksi virus pada individu yang dievaluasi
untuk keluhan konstitusional nonspesifik. Periode inkubasi hepatitis bervariasi
dengan virus individu, dan gejala prodromal umum tetapi cukup bervariasi pada
masing-masing pasien.
Secara umum perjalanan hepatitis virus akut mengikuti tiga fase:
- Fase prodromal awal (gejala sebelumnya) menyangkut gejala non-spesifik
dan mirip flu yang sering terjadi pada infeksi virus akut. Ini termasuk
kelelahan, mual, muntah, nafsu makan yang buruk, nyeri sendi, dan sakit
kepala. Demam, ketika terjadi, paling sering terjadi pada kasus hepatitis
A dan E. Akhir dari fase ini, orang-orang dapat mengalami gejala-gejala
spesifik hati, termasuk choluria (urin gelap) dan kotoran berwarna pucat.
- Menguningnya kulit dan sklera mata setelah prodrome sekitar 1-2 minggu
dan dapat berlangsung hingga 4 minggu. Gejala non-spesifik yang terlihat
pada prodromal biasanya hilang pada saat ini, tetapi orang akan
mengalami pembesaran hati dan nyeri perut kanan atas atau
ketidaknyamanan. 10-20% orang akan mengalami limpa yang membesar,
sementara beberapa orang akan mengalami penurunan berat badan yang
tidak delas sebabnya
- Fase pemulihan ditandai dengan resolusi gejala klinis hepatitis dengan
peningkatan yang persisten pada nilai-nilai laboratorium hati dan
kemungkinan hati membesar. Semua kasus hepatitis A dan E diperkirakan
sembuh sepenuhnya setelah 1-2 bulan. Sebagian besar kasus hepatitis
B juga sembuh sendiri dan akan sembuh dalam 3-4 bulan. Sedikit kasus
hepatitis C akan sembuh sepenuhnya.
Sedangkan baik hepatitis yang diinduksi obat dan hepatitis autoimun dapat
muncul sangat mirip dengan hepatitis virus akut, dengan sedikit variasi dalam
gejala tergantung pada penyebabnya. Kasus hepatitis yang diinduksi obat dapat
bermanifestasi dengan tanda-tanda sistemik dari reaksi alergi termasuk ruam,
demam, serositis (peradangan selaput yang melapisi organ tertentu), eosinofil
yang meningkat (sejenis sel darah putih), dan penekanan aktivitas sumsum
tulang.
63
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
64
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Gagal hati akut ( acute liver failure yaitu adanya ensefalopaty dalam 2-4
minggu), 3. Subcute liver falure ( adanya gagal hati dalam 5-8 minggu).
Tetapi dikatakan walaupun terjadi gagal hati hiperakut sekitar 30-40 %
akan selamat, walaupun dari berbagai sumber dikatakan pada tipe akut
apalagi yang tipe subakut prognosisnya lebih buruk ( survival 10-20% ) .
Dalam hal ini faktor resiko yang tinggi adalah diabetes mellitus dan
overweight. Sedangkan penyebab yang sering adalah hepatitis virus primer
dan pada beberapa tenpat hepatitis virus sekunder terutama bila ada
faktor komorbiditas lain misalnya sedang hamil, ketergantungan obat.
Sedangkan penyebab yang lebih sedkit adalah karena obat-obatan
misalnya karena parasetamol misalnya dalam usaha bunuh diri.
Dalam konteks praktek, ALF mengacu pada sindrom yang spesifik dan
langka, ditandai oleh kelainan akut tes darah hati pada seseorang tanpa
penyakit hati kronis yang mendasari. Proses penyakit dikaitkan dengan
perkembangan koagulopati dengan penyebab dari hati, berlainan dengan
gangguan koagulasi yang terlihat pada sepsis, dan tingkat kesadaran
yang berubah secara klinis akibat ensefalopati hepatikum ( HE). Kondisi
pasien yang terjadi koagulopati, tetapi tidak memiliki perubahan ke tingkat
kesadaran mereka didefinisikan sebagai cedera hati akut/’acute liver injury’
(ALI). Dengan demikian, istilah ALF digunakan untuk menggambarkan
pasien yang mengembangkan koagulopati dan perubahan kesadaran.
Adanya ciri-ciri koagulopati, peningkatan transaminase serum, bilirubin
abnormal, dan tingkat kesadaran yang berubah dapat dilihat pada pasien
dengan berbagai proses penyakit sistemik. Oleh karena itu, jika tidak
ada keterlibatan primer hati, pasien ini harus dianggap memiliki cedera
hati sekunder dan bukan ALF; manajemen harus fokus pada pengobatan
proses penyakit yang mendasarinya.
2. Manifestasi ektrahepatik
Hepatitis akut virus A, B, C dapat menginduksi manifestai ekstrahepatik.
Pada hepatitis A: dapat terjadi gagal ginjal akut, anemia aplastic , arthralgia,
Guillain Barre Syndrome, pankreatitis, vasculitis. Pada hepatitis B: Dapat
menyebabkan penyebaran ’immune complexes’ ke organ lain seperti ke
ginjal yang dapat menyebabkan glomerulonephritis, polymyositis, Guillain
Barre Syndrome bahkan dapat menyebabkan aplastic anemia. Pada
hepatitis C lebih banyak terjadi ektrahepatic manifestasion karena
kemampuan menginduksi autoimun lebih tinggi, seperti agranulositosis,
aplastic anemia, glomerulosnefitis, tiroditis.
65
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
66
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Kesimpulan
1. Hepatitis akut adalah kasus peradangan dan datang dengan tanada -
tanda peningkatan enzim hati dengan tanda peradangan akut
2. harus disingkirkan kasus hepatitis akut on kronik liver disease,
dimanakasus ini adalah kasus penyakit hati kronik yang sedang
mengalami perburukan secara cepat, dimana kasus ini ditandai dengan
gambaran hepar kronik
67
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
68
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
69
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
70
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
pada baseline alanine aminotransferase (ALT), tingkat DNA HBV, genotipe virus,
varian genetik pejamu dan terutama dengan menerapkan aturan penghentian
pengobatan dini berdasarkan kinetika HBsAg.
Baru-baru ini, karena mekanisme kerja yang berbeda dari Peg-IFN dan NUCs,
strategi “penambahan-pada” atau “beralih ke” Peg-IFN pada pasien yang diobati
dengan NUCs untuk mempercepat penurunan HBsAg dan meningkatkan tingkat
seroclearance HBsAg, telah memberikan hasil yang menarik.
Studi penggunaan pegylated interferon di RS Kariadi (50 kasus) menunjukkan
respon virologik tercapai pada 55% (10/18) pasien HBK e-Ag negatif dan 61,1%
(11/18) pasien HBK eAg positif pada 12 minggu terapi, dan 73 % (eAg(-), 79,1 %
(eAg(+) pasien pada 48 minggu terapi. Penurunan nilai fibrosis 71 % pasien, 25%
pasien Dari F4 menjadi <F2, 37.5% F4 menjadi F2-F3. 39% pasien dari > F2
menjjadi normal (<F2). Prediktor tercapainya respon virologik adalah HBeAg postif
dam DNA< log 6. (p<0.005)
Referensi
1. Steven-Huy Han, and Tram T. Tran. Management of Chronic Hepatitis B: An Overview of
Practice Guidelines for Primary Care Providers. J Am Board Fam Med 2015;28:822– 837.
2. Mauro Viganò, Glenda Grossi,Alessandro Loglio, Pietro Lampertico. Treatment of hepatitis
B: Is there still a role for interferon? Liver International. 2018;38(Suppl. 1): 79–83
4. Yoshihiko Yano, Takako Utsumi, Maria Inge Lusida, Yoshitake Hayashi. Hepatitis B virus
infection in Indonesia.World J Gastroenterol 2015 October 14; 21(38): 10714-10720.
5. Hery Djagat Purnomo, Nunung alaydrus, Virological And Histological Response Of Peg-
Interferon In Chronic Hepatitis B Management (Preliminary Real Cases Study). Apasl
abstract, New Delhi 2018.
71
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
72
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Pendahuluan
Penyakit HIV-AIDS masih merupakan masalah di seluruh dunia, ada 35 juta
orang hidup dengan HIV-AIDS, dan di tahun 2017: 970.000 orang meninggal karena
infeksi HIV. Di Indonesia setiap tahun jumlah kasus HIV baru selalu meningkat.
Kasus HIV yang sudah terdiagnosis s/d Maret 2017: 242.699 dan 40.000 kasus
ditemukan setiap tahun. Sekitar 110 kasus setiap hari. Hal ini dimungkinan karena
pemeriksaan terhadap kasus yang diduga terinfeksi HIV lebih banyak dilakukan
oleh dokter di layanan kesehatan primer maupun sekunder. Penularan HIV terutama
terjadi pada minggu awal terinfeksi HIV. Oleh karena dokter di fasilitas kesehatan
dasar perlu lebih mengenali gejala awal infeksi HIV terutama di minggu ke 2-4
terinfeksi HIV, agar mendapatkan kasus baru yang masih dapat dikelola dengan
lebih baik. 1,2,3
Dokter di fasilitas kesehatan dasar perlu memikirkan adanya infeksi akut HIV
apabila menemukan kumpulan gejala infeksi mononukleosis. Tes diagnosis HIV
yang menggunakan antibodi seringkali menunjukkan hasil negatif di awal penularan
HIV, sebab antibodi HIV baru terbentuk di minggu ketiga sampai kedua belas
setelah penularan HIV. Hasil tes hiv positif tergantung respon imun individu dan
modalitas tes HIV yang digunakan. Selama fase akut infeksi HIV 40-90% pasien
menunjukkan gejala infeksi virus akut sebagaimana infeksi virus lainnya. 2,3
Infeksi akut HIV memiliki gejala: demam, limfadenopati, tenggorokan sakit,
rash, myalgia, dan sakit kepala. Sekitar 36% pasien infeksi akut HIV tidak
terdiagnosis di kunjungan pertama atau di awal pengobatan baik di poliklinik
maupun di unit gawat darurat. Diperlukan peningkatan modalitas testing HIV untuk
mendeteksi infeksi akut HIV agar mendapat pengobatan yang lebih dini. Segera
melakukan tes HIV sedini mungkin pada pasien yang tinggal di daerah endemis
HIV atau memiliki perilaku berisiko tertular HIV (lelaki seks dengan lelaki, wanita
pekerja seksual baik langsung maupun tidak langsung, dan pasangan pasien
HIV).2,3
73
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
74
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Terapi ARV
Guideline WHO 2017 merekomendasikan terapi ARV tanpa menunggu hasil
CD4 namun 20-25% pasien HIV yang memulai terapi ARV CD4 nya < 100 sel/
mm3. Dari pasien tersebut 10% meninggal dunia di tiga bulan pertama memulai
ARV. Penyebab utama kematian baik pada anak maupun dewasa relatif sama
yaitu: infeksi bacterial yang berat, TB Paru, dan infeksi Kriptokokkus. Guidline WHO
2017 merekomendasikan: atasi infeksi oportunistik terlebih dahulu seperti terapi
TB 2 minggu, terapi kriptokokkus meningitis sebelum memulai ARV. Disertai
penggunaan profilaksis trimethoprim kotrimoksasol pada CD4 < 200 sel/mm3 dan
profilaksis INH pada pasien HIV yang telah diskrining TB tapi tidak mendukung
terapi TB. 2,3,4,7,8
WHO 2017 yang diadopsi oleh Kementrian Kesehatan RI, Kebijakan Tes dan
Pengobatan pada semua ODHA (Test and Treat All), tidak lagi mendasarkan CD4
< 350 sel/ml untuk memulai pengobatan atau menunggu pasien dalam keadaan
klinis stadium 3 atau 4. Sebaiknya langsung diberikan obat ARV tanpa
mempertimbangkan jumah CD4 pada kelompok tertentu: ibu hamil dengan HIV,
Bayi atau anak dengan HIV, Pasien TB-HIV, Pasien hepatitis-HIV. 7,8
Pilihan pertama antiretroviral yang dianjurkan adalah Tenofovir-lamivudin-
efavirenz dalam satu tablet (fixed drug combination = FDC). Pilihan selanjutnya:
lamivudine-zidovudin-efavirenz atau lamivudine-zidovudin-nevirapin. Apabila muncul
gejala anemia akibat pemakaian zidovudine maka zidovudine digantikan Tenovofir.
Jika dengan nevirapine timbul efek samping alergi, maka nevirapine dapat diganti
efavirenz. Seandainya tetap muncul alergi dengan penggantian evafirenz maka dapat
digunakan Rilpivirine. 9,10
Untuk meningkatkan retensi (kepatuhan pengobatan dan mengikuti semua
program terapi) ODHA diperlukan peningkatan kualitas konseling saat pengobatan,
memperbaiki mekanisme pengawasan pengobatan di Pelayanan dasar ARV,
pelaporan Kohort pasien PDP (Perawatan Dukungan Pengobatan) secara teratur
dan melibatkan komunitas (Kelompok dukungan sebaya, Warga peduli AIDS) dalam
pengawasan pengobatan ARV. 7,8
Pemantauan tiap pasien yang sedang menjalani pengobatan antiretroviral
sangat penting untuk memastikan keberhasilan terapi dan meningkatkan kualitas
hidup pasien. Pedoman penggunaan obat antiretroviral untuk pengobatan dan
pencegahan infeeksi HIV oleh WHO 2016 merekomendasikan agar dilakukan
75
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Penutup
Semua fasilitas Pelayanan Kesehatan Dasar sebaiknya dapat melakukan
diagnosis dini infeksi HIV dan mengenali gejala AIDS. Jika telah menemukan hasil
pemeriksaan HIV positif dapat dikonsulkan ke Pelayanan Kesehatan yang
memberikan Perawatan Dukungan Pengobatan (PDP). Standar kompetensi Dokter
Umum dalam penanganan HIV tanpa komplikasi (infeksi HIV) adalah 4A. Semua
dokter umum diharapkan dapat memberikan pelayanan pengobatan Antiretroviral
(ARV) setelah mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.
Kepustakaan
1. World Health Organisation: HIV-AIDS key fact, 19 July 2018
2. Direktorat Jendral P2P Kementrian Kesehatan RI: Laporan HIV-AIDS, 2018
5. 2 WHO reminds national programmes to retest all newly diagnosed people with HIV.
WHO information note – 22 October 2014. Geneva: World Health Organization; 2014
(http://www.who.int/hiv/pub/vct/retest- newly-diagnosed-plhiv-full/en/, accessed 23
September 2015).
76
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
7. March 2014 Supplement to the 2013 Consolidated guidelines on the use of antiretroviral
drugs for treating and prevention HIV infection. Geneva; World Health Organization;
2014 (http://www.who.int/hiv/ pub/guidelines/arv2013/arvs2013upplement_march2014/
en/, accessed 16 October 2015).
8. WHO : Consolidated guideline on The use antiretroviral drugs for treating and preventing
HIV infection. Recommendation for public health approach. Second edition. 2016
9. WHO treatment and care: what is new in treatment monitoring: viral load and CD4
testing. Update 2017
10. FDA Approves New HIV Treatment for Patients Who Have Limited Treatment Options.
Date: March 6, 2018
77
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
78
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
MS Anam
Diagnosis
Pada prinsipnya manifestasi klinis dan patologi yang mengarah ke diagnosis
TB dapat dibedakan menjadi 4 hal berikut yaitu bukti infeksi TB/kontak dengan
pasien TB, gejala klinis yang khas, pemeriksaan penunjang, dan bukti bakteriologis
sebagai diagnosis pasti TB.
Berikut penjelasan 4 bukti temuan TB pada anak:
1. Bakteriologis, merupakan diagnosis pasti untuk TB dengan ditemukannya
kuman dari pemeriksaan kultur dahak atau spesimen lain, atau
pemeriksaan mikroskopis sputum/dahak atau spesimen lain, atau
pemeriksaan tes cepat molekuler (geneXpert)
2. Bukti infeksi, didapatkan dari salah satu kondisi berikut; adanya riwayat
kontak dengan penderita TB paru dewasa, tes tuberkulin positif, atau
pemeriksaan interferron gamma release assay (IGRA) positif
79
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
3. Manifestasi klinis khas, untuk TB yaitu berat badan tidak naik selama 1-
2 bulan, ATAU gizi kurang/buruk dengan tatalaksana nutrisi yang adekuat,
ATAU batuk kronik lebih dari 2 minggu terus menerus semakin lama
semakin berat yang tidak membaik dengan terapi asma atau antibiotik,
ATAU demam biasanya sub febris lebih dari 2 minggu yang tidak membaik
dengan terapi antibiotika, ATAU malaise atau anak sering mengeluh
lemah/letih lesu yang berlangsung secara kronik.
4. Radiologis, menunjukkan gambaran TB paru; pembesaran kelenjar limfe
hilus/para hiler, gambaran pneumonia/konsolidasi, bercak kesuraman,
milier, kavitas, kalsifikasi, fibrosis, efusi pleura
Diagnosis ditegakkan jika didapatkan minimal 3 dari 4 bukti. Jika belum cukup
mendapatkan 3 dari 4 bukti maka dilakukan observasi gejala klinis selama 2-4
minggu jika tetap tidak membaik setelah diobservasi dan dilakukan tatalaksana
adekuat selain TB maka pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut
(FKRTL).
Klasifikasi TB pada anak dapat dibedakan menurut lokasi infeksinya yaitu
TB Paru dan TB Ekstra Paru, sedangkan berdasarkan temuan mikrobiologis TB
pada anak dibedakan menjadi TB terkonfirmasi klinis dan TB terkonfirmasi
bakteriologis. Pembagian kategori TB tersebut diatas sangat penting untuk
diketahui karena pengobatan akan berbeda pada masing-masing klasifikasi. TB
terkonfirmasi bakteriologis pada anak memunyai konsekuensi yang penting yaitu
tingkat transmisi yang tinggi dan tatalaksana yang lebih kompleks. TB pada
kondisi ini berbeda dengan TB anak pada umumnya yang bersifat primer dan
jumlah kuman sedikit, sehingga pilihan obat akan berbeda. Berdasarkan
klasifikasi tersebut TB pada anak dapat berupa TB paru terkonfirmasi
bakteriologis, TB paru terkonfirmasi klinis, TB ekstra paru terkonfirmasi
bakteriologis dan TB ekstra paru terkonfirmasi klinis.
80
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Tatalaksana
Tatalaksana pengobatan TB pada anak tergantung dari klasifikasi TB. Pilihan
obat adalah kombinasi obat lini pertama selama 6-8 bulan sesuai klasifikasi. Dua
bulan pertama menggunakan regimen obat fase intensif (RHZ/RHZE) dan 4-6 bulan
berikutnya menggunakan regimen obat fase lanjutan (RH).
Regimen obat 2 RHZ/4 RH digunakan pada TB paru terkonfirmasi klinis,
sedangkan regimen 2 RHZE/4 RH digunakan pada TB paru terkonfirmasi
bakteriologis. Untuk TB ekstra paru regimen yang digunakan adalah 2 RHZE/6-10
RH tergantung lokasi infeksi.
81
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
82
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Daftar Pustaka
1. WHO. Global Report on Tuberculosis. 2017
2. WHO. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of tuberculosis
in children. Second edition. 2014
3. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2013
4. Kemenkes RI. Petunjuk Teknis Manjemen TB Anak. 2016
83
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
84
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Pendahuluan
Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang paling umum ditemukan
pada 1-18% dari seluruh populasi di berbagai negara. Asma dikarakteristikkan
dengan berbagai simptom, antara lain: mengi, sesak nafas, nafas cepat dan/atau
batuk dan berbagai keterbatasan dari aliran udara ekspirasi. Baik gejala maupun
keterbatasan aliran udara akan bervariasi seiring waktu dan intensitasnya. Variasi
ini sering dicetuskan oleh faktor-faktor seperti: olahraga, paparan allergen, dan
iritan, perubahan cuaca dan infeksi pernafasan karena virus.
Simptom dan keterbatasan aliran akan membaik setelah pemberian obat dan
dapat tidak kambuh dalam hitungan minggu atau bulan. Namun, pasien juga dapat
mengalami eksaserbasi serangan yang dapat mengancam nyawa dan memberikan
beban yang signifikan baik pada pasien maupun komunitas. Asma biasanya
dihubungkan dengan hiperesponsivitas jalan nafas terhadap stimulus direk maupun
indirek, dan dengan inflamasi jalan nafas yang kronik. Gambaran ini biasanya kan
bertahan, bahkan setelah gejala hilang atau fungsi paru normal dan dapat kembali
normal dengan pengobatan.
Diagnosis
Membuat diagnosis asma didasarkan pada penemuan simptom respiratori
yang khas, seperti mengi, sesak nafas (dyspnea), chest tightness, atau batuk dan
berbagai gejala keterbatasan jalan nafas. Penting memperhatikan pola gejala
karena simptom respiratori juga bisa disebabkan oleh kelainan akut atau kronis di
luar asma. Gejala khas asma dan bila ditemukan akan memperbesar kemungkinan
pasien menderita asma, antara lain: ditemukan lebih dari 1 simptom (mengi, nafas
pendek, batuk, chest tightness) yang memburuk pada malam atau dini hari dan
bervariasi seiring waktu dan intensitas, simptom juga dapat dicetuskan oleh infeksi
virus (flu), olahraga, paparan allergen, perubahan cuaca, saat tertawa, atau iritan,
sepert asap kendaraan bermotor, rokok, atau bau yang kuat.
Gejala- gejala yang bila ditemukan memperkecil kemungkinan asma, antara
lain: hanya ada batuk tanpa gejala pernafasan lainnya, adanya produksi dahak
yang kronis, nafas pendek-pendek berkaitan dengan pusing, kepala terasa melayang
85
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
atau parestesi perifer, nyeri dada, dyspnea akibat olahraga dengan inspirasi yang
berbunyi.
Pemeriksaan Fisik
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisik pasien biasanya
tidak ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak,
dapat terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau
yang terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada
pasien seperti dermatitis atopi atau rhinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda
alergi seperti allergic shiners atau geographic tongue.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran
napas akibat obstruksi, hipereaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau
adanya atopi pada pasien, antara lain: 1) Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus
uji reversibilitas dan untuk menilai variabilitas di mana pada fasilitas terbatas dapat
dilakukan pemeriksaan dengan peak flow meter, 2) Uji cukit kulit (skin prick test),
eosinophil total darah, pemeriksaan IgE spesifik, 3) Uji inflamasi saluran respiratori
: FeNO (fractional exhaled nitric oxide), eosinophil sputum, 4) Uji provokasi bronkus
dengan exercise, metakolin, atau larutan salin hipertonik.
86
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
visite untuk evaluasi follow up, edukasi untuk pengobatan dengan pengendali
asma, bahkan bila gejala jarang timbul, berikan pelatihan manajemen asma
mandiri (monitoring secara mandiri gejala dan atau PEF, rencana aksi asma
tertulis, dan pemeriksaan medis teratur) untuk mengontrol gejala dan
meminimalisir risiko eksaserbasi dan kebutuhan utilisasi fasilitas kesehatan
Langkah 5 : untuk asma dengan 1 atau lebih faktor risiko eksaserbasi, yang
dilakukan adalah: resepkan obat ICS tiap hari secara teratur, sediakan rencana
aksi asma tertulis, dan adakan pemeriksaan lebih sering dibanding pasien
risiko rendah, identifikasi faktor risiko yang dapat dimodifikasi seperti merokok,
fungsi paru, dan pertimbangkan strategi non farmakologis dan intervensi untuk
membantu mengontrol gejala dan mengurangi risiko (seperti saran untuk
berhenti merokok, latihan bernapas, strategi penghindaran)
Manajemen Awal Asma Eksaserbasi pada Anak < 5 Tahun
1. Oksigenasi dengan oksigen 24 % dengan masker biasanya 1 L/m untuk
menjaga saturasi tetap 94-98%
2. SABA: 2-6 puff salbutamol dengan spacer, atau 2,5 mg salbutamol dengan
nebulisasi, setiap 20 menit pada jam pertama lalu kaji tingkat keparahan,
jika gejala masih ada, berikan tambahan 2-3 puff per jam. Rujuk ke RS
bila dibutuhkan >10 puff dalam 3-4 jam
3. Kortikosteroid sistemik: diberikan dosis awal prednisolone oral 1-2 mg/
kg sampai dengan maksimal 20 mg untuk anak < 2 tahun, 30 mg untuk
anak 2-5 tahun
Pilihan tambahan setelah 1 jam terapi
4. Ipratropium bromida: diberikan untuk anak dengan eksaserbasi sedang
– berat, 2 puff ipratropium bromida 80 mcg (atau 250 mcg dengan
nebulisasi) setiap 20 menit untuk 1 jam saja
5. Magnesium sulfat: Dapat dipertimbangkan nebulisasi magnesium sulfat
(150 mg) 3 dosis dalam 1 jam pertama terapi untuk anak usia > 2 tahun
dengan eksaserbasi berat.
87
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
88
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Zulfikar Naftali
Abstrak
Bell’s palsy adalah paralisis perifer saraf fasialis akut, diduga etiologinya iskemi
vaskular atau infeksi herpes simpleks-tipe 1 di ganglion genikulatum. Insiden Bell’s
palsy 20 per 100.000 penduduk, 70 % diantaranya bisa sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Gejala Bell’s palsy antara lain perot, paralisis otot wajah, hilangnya
rasa pengecapan di lidah, ganguan lakrimasi, hiperakusis, dan Bell’phenomenon.
Pengelolaan pasien Bell’s palsy meliputi farmakologis dan non-farmakologis serta
dekompresi fasialis. Terapi farmakologis meliputi kombinasi prednisone/
prednisolone dengan acyclovir selama 10 hari (tapering off) pertama pasca
serangan virus. Terapi non-farmakologis antara lain rehabilitasi medis dan artificial
tears.
Dekompresi nervus fasialis bertujuan untuk mencegah meningkatnya derajat
paralisis nervus fasialis. Syarat dilakukan dekompresi fasialis antara lain : tidak
membaik dengan medikamentosa dalam 14 hari pertama, house barckman (HB)
grade V dan VI, terdapat penyempitan kanalis fasialis berdasarkan pemeriksaan
CT-Scan mastoid dan adanya degenerasi serabut saraf diatas 90 % berdasarkan
pemeriksaan ENoG. Teknik dekompresi nervus fasialis ada 2 yaitu transmastoid
approach dan middle fossa approach. Teknik transmastoid approach lebih dipilih
oleh karena segmen labirin nervus fasialis merupakan segmen tersempit di dalam
kanais fasialis dan teknik ini mempunyai risiko lebih kecil dibandingkan middle
fossa approach.
Angka keberhasilan dekompresi fasialis bervariasi tergantung dari jarak waktu
pelaksanaan tindakan tersebut dengan onset serangannya. Angka keberhasilan
dekompresi fasialis berturut-turut sebagai berikut: 14 hari ( 91%,), 30 hari ( 90%)
dan 60 hari (38,1%).
Kata kunci : Bell’s palsy, dekompresi fasialis,
89
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
90
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Abstrak
Kejang merupakan salah satu penyebab tersering seseorang dibawa ke
rumah sakit. Hal ini karena kejang merupakan kondisi darurat medik yang perlu
mendapatkan pengobatan segera karena dampak yang timbul dapat mengganggu
kehidupan sel-sel neuron di otak.
Dokter umum sebagai pelaksana layanan pengobatan primer memiliki
kompetensi tingkat 3B berdasar SKDI KKI tahun 2012. Untuk itu dokter umum
harus mampu melakukan diagnosis klinis yang tepat, terapi pendahuluan kegawat-
daruratan medik segera, serta memberi rujukan ke layanan lanjutan yang benar.
Kejang / bangkitan epileptik ditandai dengan adanya gejala / tanda yang bersifat
sesaat akibat aktifitas neuronal di otak yang abnormal dan berlebihan. Semiologi
yang ditunjukkan bervariasi dapat berupa gangguan kesadaran, gerakan motorik,
sensorik, emosi, perilaku atau persepsi tergantung pada area otak yang mengalami
gangguan. Sedangkan kejang / bangkitan non epileptik terjadi karena berbagai
sebab seperti gangguan psikiatri, sinkop, spasme otot, dan kardio vaskular.
Kejang / bangkitan Epileptik dapat digolongkan menjadi 2 yaitu bangkitan yang
muncul dengan provokasi (simtomatik) dan tanpa profokasi. Bangkitan provokasi
muncul bersamaan atau berdekatan waktunya dengan terjadinya kelainan di otak
akut akibat gangguan metabolik, toksik, infeksi, stroke, trauma kepala dan inflamasi.
Bangkitan tanpa provokasi terjadinya bangkitan yang tidak dipicu oleh kelainan
otak akibat gangguan tersebut diatas.
Epilepsi sebagai penyebab utama bangkitan diklasifikasikan oleh ILAE tahun
2017 berdasarkan onset kemunculannya menjadi onset fokal, general dan tidak
diketahui. Onset fokal bisa disertai atau tanpa gangguan kesadaran, serta dapat
hanya fokal saja atau berkembang menjadi bilateral. Bentuk klinis bangkitan motorik
dapat berupa tonik, klonik, tonik klonik, myoklonik, atonik, spasme. Bentuk bangkitan
non motorik berupa otonom, behavioral terhenti, kognitif, dll.
Untuk membedakan bangkitan tersebut pada kelompok epilepsi atau non,
perlu diketahui bentuk klinis saat bangkitan berlangsung dan pemeriksaan
diagnostik penunjang EEG. Adanya bangkitan yang muncul berulang dengan bentuk
stereotipik sama dan dapat disaksikan oleh dokter saat iktal, maka diagnosis
91
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
epilepsi dapat ditegakkan meskipun hasil pemeriksaan EEG 30 menit saat itu
dinyatakan normal. Pemeriksaan EEG dapat membantu diagnosis epilepsi pada
rekaman yang dilakukan berulang atau berlangsung lebih lama (longterm
monitoring), sehingga meningkatkan kemungkinan munculnya bangkitan saat
rekaman. Kadang pada kasus epilepsi yang membandel (intractable) untuk tindak
lanjut dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti MRI yang dapat membantu
mengetahui penyebab epilepsi.
Pengobatan segera dengan pemberian injeksi diazepam untuk memutus kejang
perlu dilakukan meskipun terjadi di sarana layanan primer. Bila tidak memungkinkan
pemberian dapat melalui jalur rektal. Setelah kondisi pasien stabil maka rujukan
ke sarana layanan rumah sakit lebih tinggi dapat dilakukan.
Pengobatan epilepsi segera diberikan bila diagnosis telah dapat dipastikan,
yang umumnya dilakukan oleh seorang dokter spesialis neurologi. Pemilihan obat
anti epilepsi didasarkan pada pertimbangan jenis bangkitan, usia, ketersediaan,
serta ketaatan minum obat. Untuk keberhasilan pengobatan sangat dibutuhkan
peran serta aktif dari keluarga yang mendampingi dan keberlanjutan pengobatan
rutin secara teratur hingga waktu yang ditentukan.
92
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Pendahuluan
Untuk pasien dengan gejala saluran pernafasan, penyakit infeksi dan penyakit
non-pulmonal harus dapat dibedakan dengan penyakit saluran pernafasan kronik.
Pada pasien dengan penyakit saluran pernafasan kronik, diagnosis banding yang
perlu dipertimbangkan umumnya akan berbeda-beda berdasarkan usia, dimana
anak dan dewasa muda memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengalami
penyakit asma, sementara dewasa berusia lebih dari 40 tahun lebih sering
menunjukkan adanya PPOK, dan umumnya akan makin sulit untuk membedakan
antara penyakit asma dan PPOK.1
Banyak pasien dengan gejala penyakit saluran pernafasan kronik yang
menunjukkan gambaran klinis dari asma dan PPOK di waktu yang bersamaan.
Kondisi semacam ini umumnya dikenal sebagai asthma-COPD overlap syndrome
(ACOS). Asthma-COPD overlap bukan merupakan satu jenis penyakit saja, namun
merupakan suatu sindroma yang meliputi adanya berbagai bentuk (fenotipe)
penyakit saluran pernafasan yang berbeda, dimana masing-masing dapat
disebabkan oleh berbagai mekanisme yang berbeda-beda pula.1
Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dari asma dan PPOK di waktu
yang bersamaan umumnya akan lebih sering mengalami eksaserbasi,2,3 memiliki
kualitas hidup yang lebih buruk,2,4 penurunan fungsi paru yang lebih cepat dan
memiliki angka mortalitas lebih tinggi,3 serta akan menghabiskan sumber daya
pelayanan kesehatan yang jauh lebih besar2,5 dibandingkan pasien dengan asma
atau PPOK saja.
Adanya kasus asma dan PPOK yang terdiagnosis oleh dokter di waktu yang
bersamaan telah dilaporkan pada sekitar 15 sampai 20% pasien dengan penyakit
saluran pernafasan kronik.1 Sementara itu, penelitian epidemiologi melaporkan
bahwa angka prevalensi ACOS pada pasien dengan penyakit saluran pernafasan
kronik umumnya berkisar antara 15 sampai 55%, bergantung pada definisi yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis asma dan PPOK serta populasi yang
diteliti, dan prevalensi ini nampak bervariasi menurut jenis kelamin dan usia.6–8
93
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Definisi
Asma
Asma merupakan suatu penyakit heterogen, yang biasanya ditandai oleh adanya
inflamasi kronik di saluran pernafasan. Penyakit ini secara klinis dapat didiagnosis
berdasarkan adanya riwayat gejala saluran pernafasan seperti mengi, sesak nafas,
dada terasa sakit/sempit dan batuk yang frekuensi dan intensitasnya nampak
bervariasi dari waktu ke waktu, disertai dengan adanya keterbatasan aliran udara
ekspirasi yang berbeda-beda. [GINA 2018]9
PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan jenis penyakit yang sering ditemui,
dapat dicegah dan dapat disembuhkan, yang umumnya ditandai oleh adanya gejala
saluran pernafasan dan keterbatasan aliran udara pernafasan persisten akibat
kelainan saluran pernafasan dan/atau alveolar yang disebabkan oleh paparan
terhadap partikel atau gas yang bersifat noksius atau toksik dalam jumlah besar.
[GOLD 2018]10
94
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
95
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
96
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
97
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
98
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
99
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Langkah 3: Spirometri1
Pemeriksaan spirometri dianggap penting pada pasien yang dicurigai
mengalami penyakit saluran pernafasan kronik untuk membuktikan adanya
keterbatasan aliran udara pernafasan kronik, meskipun umumnya kurang
bermanfaat untuk membedakan antara asma dengan keterbatasan aliran udara
pernafasan menetap, PPOK, maupun ACOS. Pemeriksaan spirometri dilakukan
pada kunjungan pertama atau kedua, dan bila memungkinkan sebaiknya dilakukan
sebelum dan sesudah percobaan pemberian terapi. Obat yang dikonsumsi
sebelum pemeriksaan dapat mempengaruhi hasil yang diperoleh.
Pemeriksaan arus puncak ekspirasi (PEF) tidak dapat digunakan sebagai
pengganti spirometri, namun umumnya dapat membantu menegakkan diagnosis
asma dengan menunjukkan adanya variabilitas kondisi saluran pernafasan bila
dilakukan berulang pada meter yang sama selama jangka waktu 1–2 minggu.
Meskipun demikian, haisl PEF normal tidak dapat digunakan untuk menyingkitkan
diagnosis banding asma maupun PPOK.
100
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
101
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
102
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
103
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Tabel 4. Pemeriksaan khusus yang dapat digunakan untuk membedakan antara asma dan
PPOK1
Jenis pemeriksaan Asma PPOK
DLCO Normal atau sedikit meningkat Sering mengalami penurunan
Gas darah arteri Normal saat tidak terjadi eksaserbasi Pada PPOK berat, dapat nampak
abnormal saat tidak terjadi
eksaserbasi
Hiper-responsivitas Tidak bermanfaat sebagai pemeriksaan tunggal untuk membedakan antara
saluran pernafasan asma dan PPOK. Nilai yang lebih tinggi mendukung diagnosis asma.
(AHR)
CT scan resolusi Biasanya normal; dapat Air trapping atau emfisema; dapat
tinggi menunjukkan gambaran air menunjukkan penebalan dinding
trapping dan penebalan dinding bronkus dan gambaran hipertensi
saluran pernafasan pulmonal
Pemeriksaan atopi Tidak diperlukan untuk diagnosis; Mengikuti prevalensi sesuai
(sIgE dan/atau tes dapat meningkatkan probabilitas kondisi; tidak dapat menyingkirkan
tusuk kulit) adanya diagnosis asma kemungkinan adanya PPOK
FENO FENO >50ppb berhubungan dengan Biasanya normal. Rendah pada
adanya inflamasi eosinofilik perokok aktif
di saluran pernafasan
Eosinofilia darah Mendukung diagnosis inflamasi Dapat ditemui pada PPOK, termasuk
eosinofilik di saluran pernafasan saat terjadi eksaserbasi
Sel inflamasi Peranannya dalam menyingkirkan diagnosis banding belum dibuktikan pada
pada sputum penelitian yang melibatkan populasi berukuran besar
104
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Daftar Pustaka
1. Global Initiative for Asthma. Global Strategy for Asthma Management and Prevention,
2018. Available from: www.ginasthma.org
2. Alshabanat A, Zafari Z, Albanyan O, Dairi M, FitzGerald JM. Asthma and COPD Overlap
Syndrome (ACOS): A Systematic Review and Meta Analysis. PLoS One
2015;10:e0136065.
3. Gibson PG, Simpson JL. The overlap syndrome of asthma and COPD: what are its
features and how important is it? Thorax 2009;64:728-35.
4. Kauppi P, Kupiainen H, Lindqvist A, Tammilehto L, Kilpelainen M, Kinnula VL, Haahtela T,
et al. Overlap syndrome of asthma and COPD predicts low quality of life. J Asthma
2011;48:279-85.
5. Andersen H, Lampela P, Nevanlinna A, Saynajakangas O, Keistinen T. High hospital
burden in overlap syndrome of asthma and COPD. Clin Respir J 2013;7:342-6.
6. Marsh SE, Travers J, Weatherall M, Williams MV, Aldington S, Shirtcliffe PM, Hansell AL,
et al. Proportional classifications of COPD phenotypes. Thorax 2008;63:761-7.
7. Kauppi P, Kupiainen H, Lindqvist A, Tammilehto L, Kilpelainen M, Kinnula VL, Haahtela T,
et al. Overlap syndrome of asthma and COPD predicts low quality of life. J Asthma
2011;48:279-85.
8. Weatherall M, Travers J, Shirtcliffe PM, Marsh SE, Williams MV, Nowitz MR, Aldington S,
et al. Distinct clinical phenotypes of airways disease defined by cluster analysis. Eur
Respir J 2009;34:812-8.
9. Global Initiative for Asthma. Global strategy for asthma management and prevention.
Updated 2018. Vancouver, USA GINA; 2018.
10. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). Global Strategy for
Diagnosis, Management and Prevention of COPD Vancouver, USA 2018.
11. Van Schayck CP, Loozen JM, Wagena E, Akkermans RP, Wesseling GJ. Detecting patients
at a high risk of developing chronic obstructive pulmonary disease in general practice:
cross sectional case finding study. BMJ 2002;324:1370.
12. Gershon AS, Campitelli MA, Croxford R, et al. Combination long-acting â-agonists and
inhaled corticosteroids compared with long-acting â-agonists alone in older adults with
chronic obstructive pulmonary disease. JAMA 2014;312:1114-21.
105
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
106
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Thomas Handoyo
1. Epidemiologi
Community Acquired Pneumonia (selanjutnya disebut sebagai CAP)
merupakan penyakit yang banyak diderita dan dapat berdampak serius. Kejadiannya
tinggi berkisar 2-12 kasus tiap 1000 orang pertahun dan dapat mengakibatkan
kematian pada penderitanya meskipun telah tersedia berbagai macam antibiotika
generasi baru dan vaksin yang efektif. 1,2
Di Amerika Serikat, pneumonia merupakan penyebab kematian ke-6, dan
merupakan penyebab kematian nomor 1 untuk penyakit infeksi.1 Kejadian CAP
yang membutuhkan perawatan rumah sakit diperkirakan 258 orang tiap 100.000
populasi dan 962 orang tiap 100.000 orang berusia lebih dari 65 tahun. Walaupun
kematian berkisar 2-30 % diantara pasien, pada berbagai macam penelitian rata-
ratanya adalah 14 % .3
2. Diagnosis
CAP didefinisikan sebagai infeksi akut parenkim paru yang berkaitan dengan
setidaknya beberapa gejala infeksi akut, bersamaan dengan adanya infiltrat akut pada
x foto dada atau temuan auskultasi yang konsisten dengan pneumonia (seperti
perubahan suara nafas dan / atau ronki yang terlokalisir) pada pasien yang tidak ada
riwayat perawatan rumah sakit atau perawatan fasilitas RS jangka panjang dalam
kurun waktu lebih dari 14 hari sebelum mulai timbulnya gejala. Gejala infeksi saluran
nafas bawah akut termasuk beberapa gejala berikut ini (pada beberapa studi setidaknya
2): demam atau hipotermia, menggigil, berkeringat, batuk dengan atau tanpa produksi
sputum, atau adanya perubahan warna sputum pada pasien dengan batuk kronik,
nyeri dada, atau sesak nafas. Beberapa pasien juga menunjukkan gejala non spesifik
seperti lemah, mialgia, nyeri abdomen, anoreksia dan nyeri kepala.3
Dalam melakukan pengkajian diagnosis pneumonia termasuk menentukan
kelainan anatomik / patologik jaringan parenkim paru mana yang terkena, kelainan
klinik (akut, kronik, kronik eksaserbasi akut) dan tingkat beratnya penyakit,
menentukan etiologi kuman penyebab, dan menentukan antibiotik mana yang harus
diberikan pada penderita, maka ada beberapa macam klasifikasi pneumonia yang
perlu diketahui :
107
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
108
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
109
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
110
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Adanya
• Penurunan Kesadaran
• Urea > 7 mmol/l
• RR >= 30 kali/menit
• Sistolik < 90 mmHg atau Diastolik <=60 mmHg
• Usia >= 65 tahun
Skor
CURB-65
111
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
5. Pengobatan
Manajemen awal CAP tergantung pada derajat keparahan penyakitnya; kondisi
medis yang mendasari dan faktor risiko, seperti merokok dan kemampuan patuh
pada rencana pengobatan.
Pemberian empirik terapi CAP sesuai panduan sebagai berikut:
112
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
113
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Daftar Pustaka
1. American Thoracic Society Board of Directors. Guidelines for the Management of Adult
with Community-Acquired Pneumonia. Am J Respir Crit Care Med. 2001; 163: 1730-1754.
2. Valencia M, Badia JR, Cavalcanti M, Ferrer M, Agusti C, Angrill J, Garcia E, Mensa J,
Niederman MS, Torres A. Pneumonia Severity Index Class V Patients With Community-
Acquired Pneumonia: Characteristic, Outcomes, and Value of Severity Scores. Chest
2007;132:515-522
3. Bartlett JG, Dowell SF, Mandell LA, File Jr TM, Musher DM, Fine MJ. Practice Guidelines
for the Mangement of Community-Acquired Pneumonia in Adult. Clinical Infectious disease.
2000; 31: 347-382.
4. Rahmatullah P. Pengelolaan Pneumoni Komunitas. Dalam : Padmomartono FM, Suharti C,
Gasem MH. Editors. Pertemuan Ilmiah Tahunan VI PAPDI Cabang Semarang. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang. 2002: 47-58.
5. Suryanto A. Guideline on The Management of Severe Community Acquired Pneumonia
and Hospital Acquired Pneumonia. Dalam: Rahmatullah P, Gasem H, Suntoko B, Purwoko
Y. Naskah Lengkap Chest and Critical Care in Internal Medicine The Second National
Scientific Meeting of Perpari and The Tenth National Congress of Perpari. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang. 2008: 69-80.
6. Niederman MS. Pneumonia, Including Community-Acquired Pneumonia and Nosocomial
Pneumonia. In Crapo JD, Glassroth J, Karlinsky, King Jr. TE, editors. Baum’s Textbook of
Pulmonary Disease. Seventh Ed. Lippincot Williams and Wilkins. 2004; 22: 425-453.
7. Lam J, Chu CM. Management of Community Acquired Pneumonia. Medical Bulletin. 2008;
Vol 13, No12.
8. Lim WS, van der Eerden MM, Laing R, Boersma WG, Karalus N, Town GI, Lewis SA,
Macfarlane JT. Defining Community Acquired Pneumonia Severity on Presentation to
hospital: an International Derivation and Validation Study.Thorax. 2003: 58;377-382.
9. Bartlett JG, Breiman RF, Mandell La, File Jr TM. Community-Acquired Pneumonia in Adult:
Guidelines for Management. Clinical Infectious Disease. 1998; 26: 811-838.
10. Schouten JA, Prins JM, Bonten MJ, Degener J, Janknegt RE, Hollander JMR, Jonkers RE,
Wijnands WJ, Verheij TJ, Sachs APE, Kullberg BJ. Revised SWAB Guidelines for
Antimicrobial Therapy of Community-Acquired Pneumonia. 2005; Vol 63; No 8: 323-333.
11. Macfarlane J, Douglas G, Finch R, Holmes B, Honeybourne D, et all. BTS Guidelines For
The Management of Community Acquired Pneumonia In Adults-2004 Update. 2004; 1-22.
12. Mendell LA, Wunderink RG, Anzueto A, Bartlett JG, Campbell GD, Dean NC, Dowell SF, et
all. Infectious Disease Society of America / American Thoracic Society Consensus
Guidelines on the Management of Community-Acquired Pneumonia in Adults. Clinical
Infectious Disease. 2007 ; 44: 527-572.
114
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
13. Bartlett JG. Empyema. Dalam : Gorbach SL, Bartlett JG, Blacklow NR. Infectious Disease.
Philadelphia: W.B. Sauders Company. 1992 ; 67 : 521-525.
14. Light RB. Pneumonia. Dalam : Hall JB, Schmidt GA, Wood LDH. Principles of Critical Care.
McGraw-Hill. Second Edition. 1998; 47: 827-841.
115
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
116
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
I. Pendahuluan
Menurut survey NHANES tahun 2013–2014, sekitar 70% penduduk dewasa di
USA mengidap obesitas dan overweight. (1) Sebuah studi belah lintang di Bali,
melibatkan 1840 subjek, usia 13-100 tahun dengan rasio pria/wanita 972/868, di
tujuh desa di seluruh pulau Bali, ditemukan prevalensi obesitas sentral yaitu 35%
(laki-laki/wanita: 27,5/43,4 %); sindrom metabolik 18,2% (laki-laki/wanita: 16,6/20,0%).
(2) Risiko yang diakibatkan oleh obesitas antara lain hipertensi, dislipidemia,
diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung koroner, stroke, penyakit empedu,
osteoarthritis, sleep apnea, penyakit saluran pernafasan, penyakit endometrium,
kanker payudara, kanker prostat dan kanker usus besar. Oleh karena obesitas
merupakan penyakit kronik maka asesmen harus dilakukan secara terstruktur untuk
menekan angka kesakitan dan kematian. (3)(4) Risiko terjadi DMT2 dan PJI pada
obesitas pada populasi Asia bila BMI 22-25 kg/m2, pada populasi non-Asia bila BMI
26-31 kg/m2. Wanita hamil obesitas berisiko tinggi secara obstetrik, sehingga wanita
hamil dengan obesitas dianjurkan menurunkan berat badannya. (3)
117
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
d. Sleep apnea
Identifikasi faktor lain terkait obesitas antara lain :
a. Kelainan ginekologik
b. Osteoartrosis
c. Batu empedu dan komplikasinya
d. Stres inkontinensia. (5)
Identifikasi risiko terjadi Penyakit Jantung Koroner yang terkait obesitas, perlu
segera dikendalikan pada penderita tersebut di bawah ini antara lain :
a. Merokok
b. Kadar LDL meningkat
c. Kadar HDL menurun
d. Riwayat keluarga PJK usia muda
e. Hipertensi
f. Kadar glukosa puasa terganggu
g. PJK usia muda
h. Laki-laki usia 45 tahun, wanita usia 55 tahun pasca menopause. (6)
118
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
119
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
120
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
121
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
122
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Orlistat
Syarat diberikan bila :
1. BMI 28 kg/m2 atau lebih dengan faktor risiko terkait atau BMI 30 kg/m2
atau lebih.
2. Lanjutkan terapi orlistat setelah 3 bulan hanya jika orang tersebut telah
kehilangan setidaknya 5% dari berat badan awal mereka sejak memulai
perawatan obat. Bila dengan DMT2, diperhatikan penyakit komorbid
lainnya.
Tindakan pembedahan (Operasi Bariatrik) (11)
Rekomendasi untuk operasi bariatric mungkin dipertimbangkan untuk orang
dewasa dengan BMI >35 kg/m2 dan diabetes tipe 2, terutama jika diabetes
atau komorbiditas yang terkait sulit dikontrol dengan terapi farmakologi dan
123
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
IV. Simpulan
Risiko yang diakibatkan oleh obesitas antara lain hipertensi, dislipidemia,
diabetes mellitus tipe 2, penyakit jantung koroner, stroke. Obesitas merupakan
penyakit kronik maka asesmen harus dilakukan secara terstruktur untuk menekan
angka kesakitan dan kematian. Langkah utama adalah pengaturan menu seimbang
tinggi serat, rendah kalori, dan diupayakan menghindari makanan dengan
karbohidrat tinggi. Langkah kedua adalah melakukan aktivitas fisik untuk peningkatan
pengeluaran energi. Penurunan berat badan sedang (3-5% dari berat badan awal)
paling ideal dan mampu menekan risiko terjadi diabetes. Peran obat anti obesitas,
hanya membantu pasien agar tetap mempertahankan target penurunan berat
badannya.
V. Daftar Pustaka
1. Obesity Update 2017. 2017;
2. Suastika K. Prevalence of Obesity , Metabolic Syndrome, Impaired Fasting Glycemia,
and. 2011;(March 2015).
3. Pathways N, Pathways N, Pathway N. Obesity management in adults. 2018;(May):1–12.
4. Hospital T. Pre-mixed Rapid-acting Insulin 50 / 50 Analogue Twice Daily is Useful Not Only
for Controlling Post-prandial Blood Glucose , But Also for Stabilizing the Diurnal Variation
of Blood Glucose Levels/ : Switching from Pre-mixed Insulin. 2010;674–80.
5. Bello F, Bakari AG. Hypothyroidism in adults/ : A review and recent advances in
management. 2012;3(November):57–69.
6. Of S, Carediabetes M. STANDARDS OF MEDICAL CARE IN DIABETES-2018.
2018;41(January).
7. Practice E. AACE / ACE Guidelines AMERICAN ASSOCIATION OF CLINICAL
ENDOCRINOLOGISTS AND AMERICAN COLLEGE OF ENDOCRINOLOGY CLINICAL
PRACTICE GUIDELINES FOR COMPREHENSIVE MEDICAL CARE OF PATIENTS WITH
OBESITY – EXECUTIVE SUMMARY. 2016;
8. Franz MJ. Weight Management: Obesity to Diabetes. 2017;(4):149–53.
9. Seshiah V, Kalra S, Balaji V, Balaji M. Insulin aspart for the treatment of Type 2 diabetes.
2015;5:127–34.
124
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
10. Guideline CP, Health M. Identification, Evaluation, and Treatment of Overweight and Obesity
in Adults Clinical Practice Guideline Prevalence of Self-Reported Obesity Among U.S.
Adults by State and The International Classification of Underweight, Overweight and
Obesity. 2016;
11. Ahead L. 6. Obesity Management for the Treatment of Type 2 Diabetes. 2016;39
(January):47–51.
125
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
126
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Abstrak
Apa yang seharusnya dipertimbangkan oleh Fakultas Kedokteran (FK) dalam
mempersiapkan dokter umum yang berkualitas dan siap bekerja di layanan primer,
dan bagaimana menyelenggarakan pendidikan untuk mencapainya?
Banyak hal yang harus dipertimbangkan, antara lain sbb:
1. Input:
Tentu saja bila menginginkan dokter yang berkualitas maka inputnya juga
harus berkualitas pula. Sudah menjadi rahasia umum bahwa menjadi
dokter adalah impian banyak pihak, tidak hanya calon mahasiswa tetapi
juga orang tua bahkan kakek / nenek calon mahasiswa. Bagi FK hal ini
seharusnya merupakan keuntungan, karena akan memiliki banyak
kesempatan untuk bisa memilih. Meskipun demikian, yang utama adalah
kesadaran dari mahasiswa bahwa untuk menjadi dokter yang berkualitas
artinya harus berusaha untuk memberikan layanan kesehatan yang terbaik
serta mampu beradaptasi dengan cepat terhadap masalah dan membuat
keputusan yang tepat dan tidak gegabah.
2. Kurikulum yang fleksibel
Kurikulum harus didesain berdasarkan kebutuhan yang riil pada saat ini
maupun 5-10 tahun mendatang. Oleh karena itu kurikulum harus didesain
dengan melibatkan masukan-masukan dari berbagai stakeholder,
termasuk: pengguna (kemenkes, RS, puskesmas, pasien), organisasi
profesi, dokter umum, dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dll.
Indonesia juga memiliki Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
yang disusun dengan mengacu World Federation of Medical Education
(WFME) dan juga berdasarkan hasil penelitian, serta dengan
memperhatikan masukan dari berbagai stakeholder di Indonesia.
127
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
128
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
129
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
130
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Djoko Widyarto JS
A. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28 H menyebutkan bahwa setiap
warga Negara Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan
juga berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya
secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Selanjutnya di dalam pasal 34
disebutkan bahwa Negara mengembangkan sistim jaminan social bagi seluruh
rakyat dan bertanggung jawab atas fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
pelayanan umum.
Sebagai tindak lanjut dari amanah tersebut telah diundangkan UU No. 40
tahun 2004 tentang Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang di dalamnya termaktub
Program Jaminan Sosial Nasional. UU ini juga mengamanahkan bahwa
pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial harus dibentuk dengan UU.
Maka lahirlah UU No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS) yang mengatur lebih lanjut tentang fungsi, tugas, wewenang, hak dan
kewajiban BPJS .
Sesuai dengan UU SJSN ps. 18, Program Jaminan Sosial Nasional meliputi
5 (lima) Program Jaminan Sosial yaitu jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan
kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan jaminan kematian. Sebagaimana
disebutkan di dalam UU SJSN ps.19 ayat (2) tujuan dari Jaminan Kesehatan
adalah menjamin agar peserta memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan
dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) telah dimulai sejak 1 Januari
2014 dan diharapkan nanti pada 2019 seluruh rakyat Indonesia telah menjadi
peserta program JKN. Selama hampir 5 (lima) tahun perjalanan JKN di Indonesia
banyak dinamika yang terjadi dilapangan, tidak hanya masalah terbatasnya dana
yang tersedia tetapi juga masalah regulasi yang dirasa terlalu banyak dan sering
berganti-ganti dan bahkan sering terjadi disharmoni diantara regulasi dalam
pelayanan kesehatan.
131
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
132
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
133
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
134
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
135
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
136
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
137
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
pada tingkat kompetensi 4. Disamping itu juga ada ketidak sesuai tingkat
kemampuan yang ada di Keputusan Menteri Kesehatan No. 514 tahun 2014 dengan
tingkat kemampuan yang ada di SKDI.
Dan masih banyak lagi disharmoni perundangan di bidang kesehatan yang
ada saat ini.
· Persepsi yang tidak benar tentang Tenaga Medis bukan sebagai Tenaga
Kesehatan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82 tahun 2015 atas JR UU No. 36
tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan sering dipahami secara tidak benar
oleh sebagian masyarakat termasuk tenaga medis sendiri, seolah-olah
tenaga medis bukan bagian dari tenaga kesehatan. Dalam amar putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut disebutkan bahwa:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;
2. Menyatakan pasal 11 ayat (1) huruf a UU No. 36 tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara RI tahun 2014 No. 298,
Tambahan Lembaran Negara RI 5607) bertentangan dengan UUD
1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
3. Menyatakan pasal 11 ayat (2) UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara RI tahun 2014 No. 298, Tambahan
Lembaran Negara RI 5607) bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
4. Menyatakan pasal 90 UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara RI tahun 2014 No. 298, Tambahan
Lembaran Negara RI 5607) bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
5. Menyatakan pasal 94 UU No. 36 tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan (Lembaran Negara RI tahun 2014 No. 298, Tambahan
Lembaran Negara RI 5607) bertentangan dengan UUD 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat;
6. Menolak permohonan para Pemohon untuk selain dan selebihnya;
7. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara RI
sebagaimana mestinya.
Amar putusan butir nomor 2 dan 3 diatas itulah yang diinterpretasikan bahwa
tenaga medis bukan bagian dari tenaga kesehatan. Padahal kalau dicermati betul
dalam pertimbangan Mahkamah jelas disebutkan bahwa tenaga medis adalah
138
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
bagian dari tenaga kesehatan, namun karena kekhususannya tenaga medis tidak
diatur dalam UU Tenaga Kesehatan melainkan diatur dalam UU Praktik Kedokteran.
Disamping itu UU Tenaga Kesehatan ini dinilai melampaui kewenangan yang
diperintahkan oleh UU Kesehatan ps. 27 dalam mengatur Tenaga Kesehatan.
Kesimpulan
1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara baku diatur dalam UU No. 12 th
2011.
2. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang tidak memenuhi persyaratan sebagai
Peraturan Perundang-undangan tidak bisa diundangkan oleh Kementerian Hukum dan
HAM.
3. Kompleksitas Peraturan Perundang-undangan di bidang kesehatan dipengaruhi banyak
faktor.
4. Perlu dibangun komunikasi yang efektif antar semua stake holders dalam membangun
sinerji untuk keberhasilan Program JKN.
139
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
140
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Charles Limantoro
Abstrak
Di seluruh dunia, hipertensi adalah salah satu faktor risiko penyakit kardiovaskular
yang paling penting, yang dapat dimodifikasi. Hipertensi yang terjadi dalam jangka
waktu lama akhirnya akan mengarah ke klinis gagal jantung (HF), dan, kebanyakan
pasien HF memiliki riwayat hipertensi. Sebaliknya, tidak adanya hipertensi di usia
pertengahan dikaitkan dengan risiko yang lebih rendah untuk kejadian HF di
sepanjang sisa hidup. Pada hipertensi kronik, remodelling jantung terhadap
pressure overload yang berlebihan terdiri dari disfungsi diastolik dan hipertrofi
konsentris ventrikel kiri. Ketika pressure overload menetap, disfungsi diastolik akan
makin berkembang, pengisian ventrikel kiri yang konsentris akan berkurang, dan
akhirnya terjadi HF dengan fraksi ejeksi yang terjaga. Disfungsi diastolik dan HF
dengan fraksi ejeksi yang terjaga merupakan komplikasi pada jantung yang paling
umum terjadi pada pasien hipertensi. Penyakit jantung hipertensi tahap akhir
merupakan akibat dari volume dan pressure overload yang berlebihan, berupa
dilated cardiomyopathy dengan disfungsi diastolik dan fraksi ejeksi yang rendah.
Decapitated hypertension (“Hipertensi yang terhenti”) adalah istilah yang digunakan
untuk menggambarkan penurunan tekanan darah akibat penurunan fungsi pompa
pada HF. Gagal ginjal progresif, komplikasi lainnya dari hipertensi kronis, akan
menimbulkan sindrom kardiorenal (HF dan gagal ginjal). Sebagian kelas obat anti
hipertensi bila digunakan sebagai terapi awal akan memperlambat transisi dari
hipertensi untuk terjadinya HF, meskipun tidak semua dari mereka memiliki efikasi
yang sama. Pengobatan yang realistis dan terjangkau dimulai pada tahun 1960
dengan diuretik oral diikuti oleh β-blocker, agen penghambat kanal kalsium α-
blocker dan kemudian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) dan
angiotensin-receptor blocker (ARB). Semua telah terbukti mengurangi tekanan darah
dan konsekuensi kardiovaskular. Agen penghambat β-adrenergik, direkomendasikan
sebagai pengobatan lini pertama untuk pasien hipertensi dengan penyakit jantung
struktural, serta untuk angina dan gagal jantung. Nebivolol adalah β-blocker masa
kerja panjang, selektif β1, generasi ketiga, yang menyebabkan vasodilatasi langsung
melalui stimulasi oksida nitrit yang endothelium-dependent. Aksi vasodilatasi
nebivolol dapat menghasilkan efek klinis dengan beberapa sifat yang berbeda.
Perbedaan dari β-blocker lain mungkin termasuk peningkatan fungsi endotel,
peningkatan aliran pada arteri, terjaganya toleransi latihan, dan perbaikan
141
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
142
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
143
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
- Periksa nadi, tekanan darah dan suhu. Apakah ada tanda-tanda syok?
- Pemeriksaan abdomen, jika ada tanda-tada nyeri peritoneal unilateral
mengarah pada kehamilan ektopik
- Pemeriksaan pelvis, nilai ukuran uterus, serviks (apakah serviks
terbuka?), apakah ada penyebab lain dari perdarahan.
b. Perdarahan pada kehamilan normal, disebut juga abortus iminens
Jika denyut jantung janin masih ada, 97% kemungkinan kehamilan masih
bertahan. Komplikasi perdarahan diantaranya hematoma subkhorion
yang berkaitan dengan peningkatan resiko ketuban pecah dini dan IUGR,
sehingga harus dirujuk ke dokter spesialis sedini mungkin
c. Abortus
Abortus terjadi pada 1:5 kehamilan, 80% diantaranya terjadi pada usia
kehamilan kurang dari 12 minggu. Faktor resikonya diantaranya usia ibu
hamil, indeks masa tubuh >29 kg/m2, merokok dan konsumsi alkohol
berlebihan. Penyebab abortus diantaranya abnormalitas janin (50%),
abnormalitas uterus (seperti fibroid, polip, serviks inkompeten), kelainan
sistemik (seperti kelainan ginjal, automimun dll), obat-obatan (seperti
obat sitotoksik), abnormalitas pembuluh darah plasenta.
d. Kehamilan ektopik
Yaitu telur yang terfertilisasi menempel di luar dinding rahim, 95% terjadi
pada tuba falopii. Insidensi 1:100 kehamilan dan meningkat karena infeksi
Chlamydia dan infeksi panggul.
Pada anamnesis terdapat gejala nyeri abdomen (97%) unilateral atau
bilateral mendahului perdarahan, nyeri dapat menjalar sampai bahu, nyeri
meningkat saat BAB dan BAK. Gejala lain yaitu amenorrhoea dan
perdarahan pervaginam irregular, darah tampak seperti “prune juice” tapi
dapat juga darah segar namun tidak banyak.
Pemeriksaan fisik : gejala syok (15-20%), nyeri abdomen dengan atau
tanpa defans muskuler (71%), pada pemeriksaan pelvik tampak uterus
membesar, masa adneksa, dan atau nyeri goyang serviks
e. Perdarahan antepartum
Yaitu perdarahan pada kehamilan usia >24 minggu. Penyebabnya secara
garis besar berasal dari uterus dan traktus genital bawah. Penyebab
perdarahan dari uterus diantaranya abrupsi, plasenta previa, vasa praevia,
144
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
145
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
146
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
f. Ruptur uterus
Gejala : nyeri bervariasi, biasanya berat, nyeri perut bawah menetap
dengan atau tanpa perdarahan pervaginam yang banyak, syok, fetal
distress pada bayi. Jika terjadi saat persalinan, gejala dapat menghilang
dengan atau tanpa berhentinya kontraksi.
g. Prolaps tali pusat
Tali pusat turun sebelum bagian terbawah dari janin melewati mulut rahim.
Apabila bagian bawah janin menekan tali pusat, dapat menghambat aliran
darah umbilicus, sehingga menyebabkan hipoksia janin dan distress
janin.
Faktor resiko : Malpresentation, cephalon-pelvic disproportion, hamil
kembar, ketuban pecah dini, polihidramnion, tumor pelvis
h. Distosia bahu
Dapat terjadi ketika bahu depan berada di atas simfisis pubis setelah
kepala lahir dan menghalangi lahirnya bagian tubuh yang lain.
Tanda : kala 1 dan 2 memanjang, “head bobbing” atau “turtle sign”
Daftar Pustaka
1. Simon C, O’Reilly K, Proctor R, Bucksmaster. Emergencies in primary care. New York :
Oxford University Press. 2007. 181-201.
2. Doumouchtsis SK, Arulkumaran S. Emergencies in obstetrics and gynaecology. 2nd edition.
New York: Oxford University Press. 2016.
147
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
148
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Puguh Riyanto
Abstrak
Kulit indah dan sehat merupakan dambaan semua orang. Namun keinginan
memiliki kulit indah ada rintangannya juga. Faktor lingkungan yang buruk dapat
merusak kesehatan kulit, tentu saja selain faktor alami yaitu pertambahan usia.
Kulit indah dan sehat sejalan dengan kebiasaan perawatan kulit yang tepat dan
alami setiap hari. Kulit merupakan organ terbesar pada tubuh manusia dengan
lapisan terluarnya yang dinamakan epidermis. Epidermis adalah bagian berperan
penting dalam melindungi kulit dari faktor-faktor perusak di luar tubuh. Di balik
epidermis terdapat lapisan dermis yang disebut juga sebagai lapisan tengah kulit.
Di dalam jaringan epidermis sendiri terdapat tiga sel pendukung, antara lain: Sel
keratinocyte, memproduksi protein keratin menjadi bagian utama dari epidermis.
Sel melanocyte, memproduksi pigmen kulit atau disebut melanin. Sel Langerhans,
mencegah benda asing memasuki kulit. Sedangkan di lapisan dermis, ada protein
kolagen dan elastin yang memberi struktur dan membantu kelenturan kulit sehingga
terlihat sehat. Kulit mengalami regenerasi tiap 28 hari. Meski begitu, sepanjang
hidup manusia, kondisi kulit akan berubah secara konstan menjadi lebih baik atau
lebih buruk tergantung kepada berbagai faktor. Karena itu, sangat penting untuk
mempertahankan kesehatan dan vitalitas organ pelindung ini dengan melakukan
perawatan kulit secara rutin
Kata Kunci : perawatan kulit, kulit indah dan cantik
149
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Pendahuluan
Kulit manusia meliputi tipe I-VI, Kulit tipe II dan III masih resiko tinggi, sedangkan
pada orang yang berkulit gelap yaitu tipe IV, V dan VI resiko berkurang. Sebagian
besar orang Indonesia menikmati karunia Sang Pencipta karena umumnya memiliki
kulit tipe IV –V. Adapun mereka yang tinggal di daerah berhawa dingin, resiko
photodamage lebih tinggi. Itu karena mereka terkdena paparan sinar matahari
tanpa merasa panas, sehinggga dosis paparan lebih tinggi dibanding orang yang
tingggal di daerah tropis. Berbagai modalitas perawatan kulit seperti perawatan
mengunakan kream, perawatan dengan anti oksidan, facial, mikrodermabrasi, peel,
laser dan lain-lain.1
150
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
pembersih lembut yang tidak mengandung deterjen dan pewangi. Utamakan juga
pembersih wajah yang berbahan alami. Gunakan produk pelembap. Bukan hanya
bagi pemilik kulit kering, tapi gunakan produk ini juga bagi Anda yang berkulit
berminyak. Selalu pakai tabir surya tiap hari meski tidak sering beraktivitas di luar
ruangan.1,3 Pada kenyataannya, langkah perawatan inilah yang terpenting untuk
melindungi kulit. Pilih tabir surya dengan kandungan bahan alami dan mengandung
SPF minimal 15 atau 30 untuk melindungi kulit dari sinar UV A dan UV B. Konsumsi
makanan yang sehat dan hindari stres berkepanjangan. Untuk mendapatkan
perlindungan yang lebih efektif, pilihlah produk losion yang sesuai dengan jenis
kulit. Misalnya untuk mengatasi kulit berminyak, gunakan produk perawatan kulit
yang khusus bertujuan mengurangi kadar minyak pada kulit agar terhindar dari
masalah jerawat. Namun apa pun jenis kulit kita, ahli kulit sehat menyatakan kulit
indah dan bersinar merupakan hasil dari kebiasaan sehat dan perawatan kulit
yang alami dan sederhana.3,4
Kesimpulan
Skin aging meupakan kerusakan kulit yang paling banyak disebabkan oleh
paparan ultra violet. Perawatan kulit yang benar dapat mencegah kerusakan kulit.
Referensi:
1. Coleman WP, Brody HJ, Roeningk RK, Roeningk HH. Skin Care. Dalam: Roeningk RK,
Roeningk HH, Ratz JL, penyunting. Roeningk’s dermatology surgery. Edisi ke-3. New
York. Informa healthcare. 2007:763-73.
2. Roeningk RK, Yoon K, Roeningk KK. Superficial and medium-depth facial chemical peels.
Dalam: Baran R, Maibach HI, penyunting. Textbook of cosmetic dermatology. Edisi ke-4.
London. 2000: 641-7.
3. Tanzi EL, Alster TS. Ablative lasers, chemical peels, and dermabrasion. Dalam: Goldsmith
LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, dkk., penyunting. Fitzpatrick dermatology in general
medicine. Edisi ke-8. New York: McGraw-Hill; 2012. Hlm. 3021-31.
4. Rubin MG.Skin Care. Dalam: Rubin MG, penyunting. Manual of chemical peels: superficial
and medium depth. Philadelphia: Lippincott Company. 1995. Hlm. 110-29.
151
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
152
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Sri Ellyani
153
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
with humectant ingredients. Their main limitations include odor, potential allergenicity,
and the greasy feel associated with most occlusives.
The last type of moisturizers are humectants, that consist of hygroscopic
substances which help the stratum corneum to absorb water by attracting water
from dermis and a humid environment into the epidermis. Although humectants
may draw water from the environment to help hydrate the skin, in low-humidity
conditions they may absorb water from the deeper epidermis and dermis resulting
in increased skin dryness. For this reason, they are more effective when combined
with occlusives. Humectants draw water into the skin, causing a slight swelling of
the stratum corneum that gives the perception of smoother skin with fewer wrinkles.
Examples of commonly used humectants include glycerin, sorbitol, sodium
hyaluronate, urea, propylene glycol, alpha hydroxyl acids, and sugars.
The right time and methods for moisturizers application hold the key to optimal
benefits. The more commonly used occlusive oils should be applied on moistened
skin by prior showering or sponge bath. After rubbing moisturizer in both palms, it
should be lightly applied along hair follicles direction. To prevent oil folliculitis from
vigorous rubbing, application methods should be carefully explained to the patient.
Moisturizer distribution depends on the vehicle. Thick ointments are more evenly
distributed compared to lower viscosity formulations and more volatile ingredients.
Transfer of active ingredients to surrounding surfaces is easier for creams and
ointments than lotions and tinctures.
After application, ingredients may stay on the surface, absorbed into the skin,
metabolized or disappear from the body by evaporation, sloughing off or by contact
with other materials. After 8 hours, only 50% moisturizer remained on the skin
surface. Therefore, depending on dryness severity, recommended application
frequency varies between 1 and 3 times daily. The efficacy of moisturizers depends
largely on proper selection and compliance to continuously use it.
154
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Lewie Suryaatmadja
Pendahuluan
Penyakit kelamin atau Venereal disease yang awalnya mengacu pada syphilis,
chancroid & gonore sudah banyak dikenal di Indonesia. Venereal berasal dari
nama Dewi Venus merupakan dewi cinta pada jaman Romawi kuno. Kemudian
diperluas dengan Limfogranuloma venerum (LGV) & Donovania/ Granuloma
Inguinale (GI). Semakin majunya ilmu pengetahuan, istilah tersebut tidak lagi
digunakan lagi, dan dirubah menjadi Penyakit Menular Seksual (PMS) atau Sexually
Transmitted Disease (STD) karena dianggap penyakit yang ditularkan melalui
hubungan seksual. Akhir abad ke-20 dikenal juga dengan infeksi menular seksual
(Sexually Transmitted Infection/ STI) karena disebabkan patogen penyebab infeksi.
Beberapa penyakit IMS dimasukkan ke dalam beberapa subtipe penyakit lain,
misal : 1) Phthirus pubis&Sarcoptes scabiei (penyakit zoonosis); 2) Candida albicans
(penyakit jamur); 3)Virus Hepatitis A&B (penyakit infeksi virus).
Sekarang lebih dikenal dengan istilah Reproductive Transmitted Infection (RTI),
dimana terbagi menjadi 3 tipe yaitu: 1) Penyakit menular seksual (Sexually
Transmitted Disease/ STD) seperti infeksi chlamydia, gonorrhea, chancroid, dan
HIV; 2) Infeksi endogen, yang disebabkan pertumbuhan berlebihan dari organisme
normal pada wanita sehat, seperti vaginosis bakterial dan kandidiasis
vulvovaginalis; 3) Infeksi iatrogenik, yang dihubungkan dengan prosedur medis
yang tidak sesuai seperti aborsi yang tidak aman.
155
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Klasifikasi
Berbagai macam penyakit menular seksual diklasifikasikan mayor dan minor
sesuai transmisinya, yang ditularkan baik melalui hubungan seksual ataupun tidak.
Mayor (ditularkan melalui hubungan seksual): 1) Gonore; 2) Sifilis; 3) Ulkus mole;
4) Limfogranuloma venerum (LGV); 5) Granuloma inguinal (GI). Minor (tidak selalu
ditularkan melalui hubungan seksual): 1) Vaginosis bakterial (BV); 2) Kandidiasis
vulvovaginalis (KVV); 3) Kondiloma akuminata (KA); 4) Skabies; 5) Moluskum
kontagiosun; 6) HIV; 7) Pedikulosis pubis
Untuk negara-negara dan daerah-daerah yang tidak mempunyai fasilitas
kesehatan yang memadai dan untuk pengobatan tanpa ditunjang pemeriksaan
laboratorium maka dibuat Penatalaksanaan IMS berdasarkan Pendekatan Sindrom
(Syndromic Approach For STD)
Macam-macam Sindroma IMS adalah:
1. Sindroma duh tubuh uretra (Urethral discharge syndrome)
Contoh: Uretritis gonore, uretritis non spesifik
156
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
157
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
158
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
159
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
160
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
manusia. HSV tergolong dalam famili Herpes Virus, selain HSV yang juga termasuk
dalam golongan ini adalah Epstein Barr dan Varicella Zoster. Ada 2 tipe mayor
antigenik dimana HSV tipe 1 berhubungan dengan infeksi pada area wajah dan
HSV 2 berhubungan dengan infeksi pada genital.
Infeksi herpes genital dimulai bila sel epitel mukosa saluran hospes yang
rentan terpapar oleh virus yang ada dalam lesi atau sekret genital orang yang
terinfeksi. HSV menjadi inaktif, melekat pada sel epitel masuk dengan cara
meleburkan diri di dalam membran. Sekali masuk di dalam sel akan terjadi replikasi
menghasilkan banyak virion sehingga sel-selnya akan mati. Virus juga memasuki
ujung saraf sensoris yang mensyarafi saluran genital. Virion masuk dalam inti sel
neuron dan ganglia sensorik. Infeksi oleh virus herpes 1 atau 2 akan menginduksi
glikoprotein yang berhubungan pada permukaan sel-sel yng terinfeksi. Setelah
terjadi infeksi sistem imunitas selular dan humoral akan terangsang oleh
glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respon imun.
Penegakkan diagnosis pada pemeriksaan fisik didapatkan vesikel maupun
ulkus multipel berkelompok disertai rasa nyeri. Pemeriksaan laboratorium
didapatkan IgM dan IgG anti HSV-1 ataupun anti HSV-2.
4. Kondiloma akuminata
Kondiloma Akuminata (KA) merupakan penyakit infeksi menular seksual yang
dapat mengenai semua jenis kelamin dengan mayoritas rentang usia 22-25 tahun
dan disebabkan oleh infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Dimana HPV
merupakan virus DNA termasuk klasifikasi famili Papovaviridae, genus
Papillomavirus dan spesies human papillomavirus. Subtipe HPV yang paling sering
menyebabkan kutil anogenital adalah subtipe 6 dan 11.
Kondiloma akuminata pada umumnya asimptomatik, tetapi dapat menimbulkan
ketidaknyamanan karena gatal, lembab, perdarahan, dispareuni, rasa terbakar dan
dapat pula disertai discharge.57 Secara morfologi dapat berbentuk:
- Kondiloma akuminatum, bentuk klasik dari genital wart seperti bunga kol
yang menonjol
- Papula halus (smooth papullar form/sessile), papul kecil halus berwarna
seperti daging atau papul hiperpigmentasi yang mungkin bergabung
membentuk plakat.
- Papula keratotik atau seperti veruka vulgaris
- Veruka plana.
Pada pemeriksaan asam asetat didapatkan positif apabila perubahan warna
161
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
162
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
163
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Komplikasi
Potensi terjadinya komplikasi dari STD pada wanita, antara lain:
- Infertilitas
- Kehamilan ektopik
- Pelvic inflammatory disease (PID)
- Infeksi pada janin/ bayi baru lahir
- Disfungsi otak dan penyakit jantung
- Kanker serviks
- Peningkatan resiko transmisi HIV
164
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Tips :
1. Safe Sex
(ABC of STD) Abstinensia
Be faithful
Condom
2. Pengobatan sedini mungkin
Daftar Pustaka
1. Suwandani R. Pengetahuan dan sikap beresiko waria dengan kejadian infeksi menular
seksual (IMS) pada waria di Sidoarjo.
2. Patel DA, Burnett NM, Curtis KM. Reproductive tract infections. Departement of Health
and Human Services. 2003: 1-96.
3. Raisyifa, Mangguang MD, Reflita. Faktor-faktor yang berhubungan dengn tindakan
pencegahan infeksi menular seksual pada pekerja seks komersial di lokalisasi teleju
Pekanbaru. Jurnal kesh masyarakat. Volum 4, Nomor 1. 2010: 1-10.
4. Noviyani D. Perilaku seksual beresiko infeksi menular seksual (IMS) pada kelompok lesbi
di kota Semarang. Jurnal of Health Edu. 2017: 122-30.
5. Vann MR. Health risks of STDs for women. Women’s Health Awareness. 2011: 1.
6. Murtiastutik D, Widyantari S, Lumintang H. Infeksi Genital Non Spesifik. Dalam: Infeksi
Menular Seksual. Daili SF, Nilasari H, Makes WIB, Zubier F, Romawi R, Pudjiati SR, editor.
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia. 2017: 88-98.
7. Indriatmi W, Zubier F. Kondiloma akuminata. Dalam: Infeksi Menular Seksual. Daili SF,
Nilasari H, Makes WIB, Zubier F, Romawi R, Pudjiati SR, editor. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Indonesia. 2017: 177-85.
8. Sanchez MR. Syphilis. Dalam: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatrick’s Dermatology
in General Medicine, edisi ke 8. New york: Mc.Graw-Hill. 2012
9. Karp G, Schlaefer F, Jotkowitz A. Syphilis and HIV co-infection. Eur J Internal Med.2009.
10. Setyowatie L. Infeksi Human Papiloma Virus dengan Manifestasi Penyakit Kutil Anogenital
pada Pasien Human Immunodeficiency virus. 2017.
11. Murtiastutik D, Barakbah J, Lumintang H, Martoiharjo S. Infeksi Menular Seksual. Surabaya:
Universitas Erlangga Press. 2008.
12. Hook III EW, Handsfield HH. Gonococcal Infections in the Adult. Dalam : Holmes KK, Mardh
PA, Sparling Pf, editor. Sexually Transmitted Diseases. Edisi ke-3: New York. Mc Graw-
Hill; 1999: 45-66.
165
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
13. Daili SF. Gonore. Dalam: Daili SF, Makes WIB, Zubier F, Judanarso J. Penyakit Menular
Seksual. Edisi ke-5. Balai penerbit FK UI; 2005. H. 51-62.
14. Sparling PF. Biology of Neisseria gonorrhoeae. Dalam: Holmes KK, Mardh PA, Sparling
PF, editor. Sexually Transmitted Disease. Edisi ke-3: New York. McGraw-Hill; 1999: 433-
49.
15. Marques AR, Cohen JI. Herpes simplex. In: Fitzpatrick TB, Wolf KA, Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Paller AS. Leffel DJ. Dermatology in general medicine, 8th eds. New
York, Mc Grow Hill Inc. 2012: 2367-2382.
16. Murtiastutik D. Kandidiasis Vulvovaginalis. Dalam : Barakbah J, Lumintang H, Martodihardjo
S, editor. Infeksi Menular Seksual. Surabaya: Airlangga University Press, 2008. H.56-64
166
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Infeksi Hepatitis B kronik pada ibu hamil masih prevalen dan menjadi masalah
dengan tantangan yang khas. Lebih dari 50% dari 350 juta karier hepatitis B didunia
mendapatkan infeksi perinatal; pada ibu dengan HBe Ag positif risiko transmisi
setinggi 90%. Sebagian besar (>95%) infeksi yang didapat secara perinatal akan
menjadi infeksi hepatitis B kronik. Hepatitis B masih menjadi masalah dunia karena
angka kematian yang tinggi ( 600.000 individu per tahun meninggal) karena
berbagai komplikasi misalnya gagal hati akut, sirosis, dan KHS. Oleh karena itu
prevensi transmisi perinatal tetap merupakan target penting untuk eradikasi global
infeksi virus hepatitis B.
Transmisi perinatal berkontribusi sekitar 50% kasus infeksi hepatitis B di
dunia dan pada bayi 90% menjadi infeksi hepatitis kronik, merupakan sumber
utama peningkatan individu dengan infeksi kronik hepatitis B secara global.
Sirosis karena infeksi kronis VHB dihubungkan dengan peningkatan mortalitas
perinatal, hipertensi kehamilan, abruption, kelahiran premature dan hambatan
pertumbuhan fetus.
Skrining merupakan standar perinatal care untuk mengidentifikasi bayi yang
memerlukan imunoprofilaksis dengan vaksin VHB dan HBIG, terapi antiviral pada
wanita hamil dengan karier hepatitis yang masuk indikasi, dan konseling kontak.
AASLD dan asosiasi lain di dunia merekomendasikan bahwa semua wanita
hamil diskrining untuk adanya HBsAg selama trimester pertama atau kunjungan
prenatal pertama meskipun sudah ada riwayat tes dan vaksinasi sebelumnya.
Wanita hamil dengan HbsAg positif dirujuk untuk konseling dan pengelolaan medik
yang dianjurkan. Konseling lebih ditekankan lagi pada wanita hamil dengan HBV
DNA > 10 7 copi/cc karena risiko penularan ibu ke bayi lebih meningkat secara
signifikan. (50% vs 4%; odds ratio, 21.3; P <.006)
Vaksinasi aktif dan pasif direkomendasikan diberikan dalam waktu 12-24 jam
paska persalinan untuk setiap bayi baru lahir dari wanita hamil dengan infeksi
VHB. Diikuti dengan vaksinasi aktif sesuai jadwal 1, 5, 6 bulan berikutnya merupakan
protokol utama untuk mencegah transmisi infeksi perinatal VHB.
167
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
168
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Referensi
1. S.K.Sarin,M.Kumar, G.K.Lau, Z.Abbas, H.L.Y.Chan, C.J.Chen. Asian-Pacific clinical practice
guidelines on the management of hepatitis B: a 2015 update. Hepatol Int (2016) 10:1–98
DOI 10.1007/s12072-015-9675-4.
2. Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM); Jodie Dionne-Odom, Alan T. N. Tita, Neil S.
Silverman.Hepatitis B in pregnancy screening, treatment, and prevention of vertical
transmission. American Journal of Obstetrics & Gynecology JANUARY 2016. http://
dx.doi.org/10.1016/j.ajog.2015.09.100.
3. Tram T. Tran.Hepatitis B in Pregnancy. S314, Clinical Infectious Disease (CID)
2016;62(S4):S314–17
4. Teerha Piratvisuth, Guo Rong Han, Stanislas Pol, Yuhong Dong, Aldo Trylesinski.
Comprehensive review of telbivudine in pregnant women with chronic hepatitis B.World
J Hepatol 2016 March 28; 8(9): 452-460.
5. Kumaresan Yogeswaran and Scott K. Fung.Chronic hepatitis B in pregnancy: unique
challenges and opportunities.Korean J Hepatol 2011;17:1-8)
6. Wenjun Wang, Jingjing Wang, Shuangsuo Dang and Guihua Zhuang.Cost-effectiveness
of antiviral therapy during late pregnancy to prevent perinatal transmission of hepatitis B
virus. PeerJ, 2016. DOI 10.7717/peerj.1709
7. Chih-Lin Lin, Jia-Horng Kao. Prevention of mother-to-child transmission: the key of hepatitis
B virus elimination. Hepatology International (2018) 12:94–96.
8. Ariel Jaffe, Robert S. Brown. A Review of Antiviral Use for the Treatment of Chronic
Hepatitis B Virus Infection in Pregnant Women.Gastroenterology & Hepatology Volume
13, Issue 3 March 2017.
9. Teerha Piratvisuth, Guo Rong Han, Stanislas Pol, Yuhong Dong, Aldo Trylesinski.
Comprehensive review of telbivudine in pregnant women with chronic hepatitis B. World
J Hepatol 2016 March 28; 8(9): 452-460
10. Robert S. Brown, Brian J. McMahon,Anna S.F. Lok, John B. Wong, Ahmed T. Ahmed.
Antiviral Therapy in Chronic Hepatitis B Viral Infection During Pregnancy: A Systematic
Review and Meta-Analysis. HEPATOLOGY 2016;63:319-333
169
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
170
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Muyassaroh
Pendahuluan
Gangguan pendengaran akibat bising (GAPB) / (Noise-Induced Hearing Loss/
NIHL) adalah bentuk permanen dari ketulian yang muncul akibat paparan suara
yang keras/bising di suatu lingkungan kerja dalam jangka waktu yang lama dan
terus menerus.1 GPAB merupakan jenis tuli sensorineural dan umumnya terjadi
pada kedua telinga.2
Survey di Bali tahun 2015 pada 36 pekerja kayu dengan intensitas kebisingan
pekerja 94.0 – 103.4 dB didapatkan 10 orang mengalami gangguan pendengaran
mulai dari ringan sampai sangat berat. Usia berkisar dari 18 sampai 50 tahun dan
pengalaman kerja berkisar antara 1 sampai 12 tahun3. Penelitian di Kalimantan
Barat tahun 2012 diketahui kebisingan tertinggi di Apron Bandara Supadio adalah
86 dB dan dari 60 orang karyawan terdapat 28 (46%) mengalami gangguan
pendengaran 4.
Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil pemeriksaan
audiometri. Penatalaksanaan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun
pembedahan karena GPAB bersifat permanen/irreversibel, prognosis kurang baik.
Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan terjadinya ketulian.5
Tujuan penulisan ini adalah untuk mempelajari Diagnosis dan
penatalaksanaan gangguan pendengaran akibat bising sehingga dapat melakukan
pencegahan agar tidak terjadi ketulian permanen.
Patofisiologi
Sistem pendengaran adalah sebuah sistem yang kompleks. Sistem ini
bergantung pada beberapa sistem lain untuk menjalankan fungsinya dengan baik.
Fungsi pendengaran normal bergantung pada mekanisme mekanik pada telinga
tengah dan koklea, mikromekanik dan seluler dari organo corti, keseimbangan
kimiawi dan lingkungan bioelektris telinga dalam, dan sistem saraf pusat beserta
saraf penghubungnya yang bekerja dengan baik.6
Paparan bising akan menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural
sementara yang dapat pulih dalam 24 sampai 48 jam. Keadaan reversibel ini
171
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
172
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Tuli akibat bising merupakan tuli sensorineural yang bersifat menetap, bila
gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan
volume percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar/ ABD
(hearing aid). Apabila pendengaran sudah sedemikian buruk, sehingga dengan
memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan adekuat perlu dilakukan
psikoterapi agar dapat menerima keadaannya. Latihan pendengaran (auditory
training) agar dapat menggunakan sisa pendengaran dengan ABD secara efisien
dibantu dengan membaca ucapan bibir (lip reading), mimik dan gerakan anggota
badan, serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi.8
Pasien mendengar suaranya sendiri sangat lemah, sehingga rehabilitasi
suara juga diperlukan agar dapat mengendalikan volume, tinggi rendah dan irama
percakapan. Pada pasien yang telah mengalami tuli total bilateral dapat
dipertimbangkan untuk pemasangan implan koklea (cochlear implant).8,9
Ketulian akibat terpapar bising adalah jenis tuli saraf koklea yang sifatnya
menetap dan tidak dapat diobati secara medikamentosa maupun pembedahan,
maka prognosisnya kurang baik. Oleh sebab itu yang terpenting adalah pencegahan
terjadinya ketulian.8,9
173
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Daftar Pustaka
1. Thorne P. R. 2011. Noise Induced Hearing Loss, viewed 5 April 2012. http://
hazelarmstronglaw.co.nz/tag/hearing-loss/
2. Housley, G.D., Marcotti, W., Navaratham, D. and Yamoah, E.N. 2006. Hair cells beyond
the transducer. J Membran Biol, pp.89-118.
3. Ayu Luih Adnyani, Luh Made Indah Sri Handari Adiputra. Prevalensi Gangguan Fungsi
Pendengaran Akibat Kebisingan Lingkungan Kerja pada Pekerja Kayu di Desa Mas
Kecamatan Ubud Kabupaten Gianyar. Available at https://ojs.unud.ac.id/index.php/eum/
article/view/36438
4. Joneri, A, Pengaruh Faktor-Faktor Paparan Bising Mesin Pesawat Terbang Terhadap
Gangguan Kemampuan Pendengaran pada Karyawan yang Bekerja di Apron Bandara
Supadio Pontianak pada Bulan Januari 2011, Universitas Tanjungpur, Fakultas Kedokteran,
Pontianak, 2012.
5. Ballenger JJ. Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorokan, Kepala, dan Leher jilid dua. Edisi 13.
Jakarta : Binarupa Aksara ; 2003
6. Liza Salawati 2013. Noise-Induced Hearing Loss. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume
13 Nomor 1 April 2013
7. Agarwal G, Nagpure PS, Pal KS, Kaushal AK, Kumar M. Audiometric notching at 4 kHz:
Good screening test for assessment of early onset of occupational hearing loss. Indian
J Otol 2015;21:270 3.
8. Soetirto, I., Bashirudin, J., 2009. Tuli Akibat Bising (Noise Induced Hearing Loss). Dalam:
Soepardi, E.A., Iskandar, N., Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi ke Enam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
9. Collen G. Le Prell et al 2012. Noise – Induced Hearing Loss. Scientific Advances. 3rd ed.
New York : Springer,2012;57-81
174
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Kekerasan Tumpul
175
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Jenis luka akibat kekerasan tumpul yang kedua adalah luka memar yaitu luka
dimana yang mengalami kerusakan adalah jaringan subkutan sehingga pembuluh-
pembuluh darah (kapiler) rusak dan pecah sehingga darah meresap ke jaringan
sekitarnya. Di sini permukaan kulit tidak selalu mengalami kerusakan. Bagian tubuh
yang mudah mengalami luka memar adalah bagian yang mempunyai jaringan
lemak di bawahnya dan berkulit tipis. Luka memar tidak bisa dengan pasti
menunjukkan berat ringannnya kekerasan, juga tidak bisa meunjukkan jenis benda
penyebabnya. Orang yang mempunyai kelainan dalam proses pembekuan darah
lebih mudah mengalami luka memar yang cukup luas, walaupun penyebabnya
hanya kekerasan yang ringan, misalnya pada penderita haemophilia. Luka memar
dapat dibedakan dengan lebam mayat terutama dari tanda intravital dan lokasinya.
Umur luka memar dapat diperkirakan dari perubahan warnanya, akan tetapi umur
yang pasti dari luka memar sulit ditentukan.
Jenis luka akibat kekerasan tumpul yang ketiga adalah luka robek yaitu dimana
seluruh tebal kulit mengalami kerusakan dan juga jaringan bawah kulit. Sehingga
epidermis terkoyak, folikel rambut, kelenjar keringat dan sebacea juga mengalami
kerusakan. Pada umumnya kalau sembuh akan menimbulkan jaringan parut
(sikatrik). Luka robek mudah terjadi pada kulit dengan adanya tulang dibawahnya.
Karena kekerasan tumpul merupakan jenis cedera yang relatif sering
ditemukan, maka dokter harus dapat mengenali ciri khas luka akibat kekerasan
tumpul sehingga dapat membedakannya dari kekerasan lain. Dokter juga harus
dapat memperkirakan ada / tidaknya indikasi tindak pidana dari lokasi perlukaan
dan jenis luka yang dialami oleh korban.
Referensi
1. Apuranto, H., 2017. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal, edisi ketujuh.
Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga.
2. Enma, Z., Kristanto, E. & Siwu, J. F., 2018. Pola luka pada korban meninggal akibat
kekerasan tumpul yang diautopsi di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-
Desember 2014. Jurnal e-Clinic, VI(1), pp. 55-58.
3. KKI, 2012. Standar Kompetensi Dokter Indonesia. Jakarta: KKI.
176
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Visum et Repertum
Tuntas Dhanardhono
177
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
178
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
F. Soemanto Padmomartono
Pendahuluan
Pada masa kehamilan terjadi berbagai perubahan fisiologi pada ibu hamil
yang dapat menyebabkan keluhan/gangguan gastrointestinal bagian atas (UGI).
Gangguan UGI yang sering dijumpai pada ibu hamil adalah: mual, muntah, dan
dispepsia (MMD); refluks gastroesofageal (GERD), dan hiperemesis gravidarum
(HG). Pada sebagian besar ibu hamil keluhan MMD dan GERD biasanya ringan
dan sedang, dan dapat diatasi di pelayanan faskes 1. Pada gangguan GI yang
berat mungkin perlu pengelolaan di faskes II- III oleh dokter spesialis kebidanan-
kandungan (SpOG), spesialis penyakit dalam (SpPD), dan konsultan gastroentero-
hepatologi (SpPD-KGEH). Perlu diingat bahwa pengobatan pada ibu hamil selain
harus efektif juga harus aman bagi ibu dan bayi yang dikandung, agar dihindari
kemungkinan gangguan proses kehamilan, persalinan dan atau cacat janin.
179
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
180
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
181
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
atau tidur dengan tempat tidur bagian kepala pada kaki tempat tidur dinaikkan 10-
15 cm. Bila keluhan menetap, perlu diberikan terapi medik. Terapi medik lini pertama
adalah antasida, karena terbukti aman bagi ibu hamil dan janin. Antasida terpilih
untuk ibu hamil adalah yang berisi calsium atau magnesium, karena terbukti aman
untuk wanita hamil, dan hasil binatang coba tidak ada efek teratogenik. Antasida
yang mengandung bikarbonat atau aluminium perlu dihindari. Bikarbonat berisiko
alkalosis metabolik dan retensi cairan pada ibu hamil. Antasid berisi aluminium
dosis tinggi berpotensi menyebabkan retardasi mental bayi. Obat sucralfate juga
mengandung aluminium, tetapi cukup aman karena absorbsi minimal, dan tidak
terbukti tidak ada efek teratogenik. Obat GERD lini kedua adalah ‘H-2 receptor
antagonist (H2RA) dan penghambat pompa proton (PPI).(lihat tabel). Cimetidine
dan ranitidine terbukti aman bagi ibu hamil dan janin. Mengenai keamanan terapi
PPI pada ibu hamil, hasil meta-meta-análisis oleh Gill dkk. (2009) terbukti tidak
ada kenaikan risiko defek janin mayor. Juga studi cohort oleh Pasternak dkk. (2013)
terbukti bermakna PPI tidak meningkatkan risiko defek janin pada terapi PPI pada
ibu hamil trimester 1. Pada masa kini PPI dinyatakan cukup aman bagi ibu hamil,
dan dianjurkan sebagai terapi cadangan bila ibu hamil tidak respon dengan obat
terdahulu dan atau dengan komplikasi GERD.
182
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
mual muntah. Bila tidak respons perlu terapi obat anti-muntah (lihat tabel). Pada
penurunan BB berat dan malnutrisi perlu diberi nutrisi enteral melalui pipa
nasojejunal. Pada kasus berat yang mengancam jiwa perlu diberikaan nutrisi
parenteral.
183
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
184
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Darmono SS
185
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
186
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Overview Safemotherhood:
Dimanakah Peran Dokter Umum?
Kematian ibu merupakan kematian yang dapat dicegah dan merupakan salah
satu Indikator Pembangunan Manusia (IPM) yang mempunyai nilai dampak sosial
dan ekonomi, khususnya pada perkembangan anak dan keluarga di masyarakat.
Program safe motherhood initiative, yang diselenggarakan mulai tahun 1987 oleh
Interagency Working Group (International Planned Parenthood Federation,
Population Council, UNDP, UNFPA, UNICEF, WHO dan Bank Dunia) di dalam
mendukung kerjasama upaya penurunan kematian ibu dan peningkatan kesehatan
perempuan. Konsep safe motherhood terdiri dari 4 pilar yaitu keluarga berencana
(KB), persalinan yang bersih dan aman, asuhan antenatal dan pelayanan obstetri
esensial. Dalam perkembangannya pilar–pilar dalam safe motherhood mengalami
perkembangan menjadi 6 pilar penunjangnya yang terdiri dari keluarga berencana
(KB), asuhan antenatal (ANC), perawatan obstetri, perawatan pasca persalinan,
perawatan pasca keguguran dan pengendalian Infeksi Menular Seksual/HIV. Upaya
untuk mencapai hasil dari kegiatan Safe Motherhood adalah meningkatkan
ketrampilan tenaga yang terlatih di dalam Program Making Pregnancy Safer (MPS)
pada tahun 2004. Tiga pesan kunci untuk menjalankan program MPS tersebut
adalah setiap persalinan ditolong tenaga kesehatan terampil, setiap komplikasi
obstetri dan neonatal ditangani secara adekuat dan setiap wanita usia subur
mempunyai akses terhadap pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan dan
penanggulangan komplikasi keguguran tidak aman.
Selama 14 tahun sejak MPS berjalan dan pelaksanaan intensif untuk
menghasilkan tenaga persalinan yang terampil, Indonesia masih gagal di dalam
mencapai target MDGs 2015 dengan capaian AKI 305/100.000 KH dari target 102/
100.000 KH. Tempat kematian ibu di Indonesia terbanyak di fasilitas kesehatan
(59,27%), sedangkan di wilayah Jawa dan Bali mencapai 70,96% (SUPAS 2015).
Permasalahan model dari tiga terlambat penyebab kematian ibu yaitu terlambat
fase 1 di dalam mengambil keputusan di tingkat masyarakat, terlambat fase 2 di
dalam mencapai fasilitas kesehatan (permasalahan dalam transportasi dan
geografis), serta terlambat fase 3 di dalam memberikan pelayanan kesehatan. Di
wilayah Jawa, khususnya Jawa Tengah permasalahan terlambat fase 3
berkontribusi di dalam penyumbang kematian ibu, yang 73% kematian kasus dapat
187
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
dicegah dan terjebak pada dominasi penyebab kematian ibu yang sama yaitu
perdarahan dan infeksi. Systematic review mengenai kontribusi penyebab terjadinya
kematian fase 3 oleh Knight, tentang permasalahan pelayanan di rumah sakit
yang terjadi kematian ibu ketika pasien mencapai rumah sakit tepat waktu,
didapatkan hasil bahwa penyumbang kematian tersebut diantaranya adalah
kemampuan ketrampilan tenaga kesehatan (86%), logistik (65%), jumlah SDM
(60%); keterbatasan peralatan (51%) dan motivasi staf (44%).
Dokter umum merupakan aktor utama sebagai “champion” atau “driver” di
dalam intervensi penurunan kematian ibu yaitu di tingkat manajerial pengambil
kebijakan di pemerintahan dan di pelayanan kesehatan serta berfungsi sebagai
tenaga kesehatan di dalam menjalankan dan menerima rujukan kegawatdaruratan
obstetri yang pertama kali. Kurang optimalnya peranan dokter umum di dalam
penanganan rujukan awal dan penerimaan rujukan di rumah sakit menyebabkan
kontribusi 50% di dalam stabilisasi obstetri. Peranan dokter umum di dalam
partisipasi pelayanan Antenatal Care (ANC) juga kontribusinya sangat rendah yaitu
hanya 0,5% (SISKESNAS 2016). Bergesernya kasus kegawatdaruratan obstetri di
dalam penyebab kematian ibu tidak langsung menuntut peranan dokter umum
terlibat aktif di dalam pelayanan ANC, yang saat ini masih di dominasi oleh bidan
(82,4%).
Kunci dokter umum di dalam Safe Motherhood Program untuk penurunan
kematian ibu, sudah diupayakan di dalam pendidikan pre-service khususnya upaya
peningkatan ketrampilan klinik di dalam deteksi awal dan penanganan stabilisasi
kegawatdaruratan obstetri. Dokter umum sebagai leader di dalam pengambil
kebijakan kebijakan kesehatan ibu dan anak serta di fasilitas kesehatan harus
mampu menggarap potensi dan permasalahan spesifik di daerahnya, karena
potensi masalah di setiap daerah memerlukan kebijakan khusus sesuai wilayah
tersebut. Upaya optimal dokter umum di dalam percepatan penurunan kematian
ibu adalah salah satu penguatan strategi untuk pencapaian target penurunan
kematian ibu menjadi 70/100.000 KH dari Sustainable Development Goals (SDGs)
pada tahun 2030.
188
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Early Detection of
High Risk Pregnancy and When to Refer
Alini Hafiz
Angka kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia hingga kini masih jauh
dari target yang ditetapkan oleh WHO. Millennium Development Goals (MDGs)
menargetkan jika angka kematian ibu dan bayi baru lahir adalah 102/100.000
kelahiran. Hingga 2017 angka kematian ibu dan bayi baru lahir diindonesia masih
sekitar 259-305/100.000 kelahiran. Masih tingginya angka kematian ibu ini
mengaskan pentingnya deteksi dini kehamilan dengan risiko tinggi. Deteksi dini
kehamilan adalah kegiatan yang dilakukan untuk menemukan ibu hamil yang
mempunyai faktor risiko dan komplikasi kebidanan (Depkes RI, 2010). Deteksi dini
kehamilan adalah upaya dini yang dilakukan untuk mengatasi kejadian risiko tinggi
pada ibu hamil (Ikhsan, 2006). Kehamilan risiko tinggi adalah suatu keadaan di
mana kehamilan itu dapat berpengaruh buruk terhadap keadaan ibu atau
sebaliknya, penyakit ibu dapat berpengaruh buruk pada janinnya, atau keduanya
ini saling berpengaruh. Kehamilan risiko tinggi (high risk pregnancy) merupakan
ancaman (Saefudin, 2003). Ibu hamil yang mempunyai faktor risiko perlu mendapat
pengawasan yang lebih intensif dan perlu di bawa ketempat pelayanan kesehatan
sehingga risikonya dapat di kendalikan (manuaba, 1998). Untuk mengahadapi
kehamilan atau janin risiko tinggi harus diambil sikap proaktif, berencana dengan
upaya promotif dan preventif. Sikap tepat dan cepat mungkin dapat menyelamatkan
ibu dan janin.
Keadaan yang dapat meningkatkan risiko kematian ibu secara tidak langsung
disebut sebagai faktor risiko, semakin banyak faktor risiko yang ditemukan pada
kehamilan maka semakin tinggi pula risikonya. Komplikasi pada saat kehamilan
dapat dikategorikan dalam risiko kehamilan. Peringkat utama penyebab kematian
ibu masih perdarahan dan preeklampsia/eklampsi. Sedangkan infeksi menempati
urutan ketiga yang menyumbang kematian ibu. Kriteria Kehamilan Berisiko
Kehamilan berisiko terbagi menjadi tiga kriteria yang dituangkan dalam bentuk
angka atau skor. Skor yang digunakan adala skor Roedji Rochjati. Angka bulat
yang digunakan dalam penilaian yaitu 2, 4 dan 8 pada setiap variabel dan kemudian
189
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
dijumlahkan menjadi total skor akhir. Berdasarkan total skor kehamilan berisiko
dibedakan menjadi
a. Kehamilan Risiko Rendah (KRR)
Kehamilan risiko rendah dimana ibu seluruh ibu hamil berisiko terhadap
kehamilanya untuk ibu hamil dengan kehamilan risiko rendah jumlah
skor 2 yaitu tanpa adanya masalah atau faktor risiko. Persalinan dengan
kehamilan risiko rendah dalam dilakukan secara normal dengan keadaan
ibu dan bayi sehat, tidak dirujuk dan dapat ditolong oleh bidan.
b. Kehamilan Risiko Tinggi (KRT)
Kehamilan risiko tinggi dengan jumlah skor 6 - 10, adanya satu atau
lebih penyebab masalah pada kehamilan, baik dari pihak ibu maupun
bayi dalam kandungan yang memberi dampak kurang menguntungkan
baik bagi ibu atau calon bayi. Kategori KRT memiliki risiko kegawatan
tetapi tidak darurat.
c. Kehamilan Risko Sangat Tinggi (KRST)
Kehamilan risiko sangat tinggi (KRST) dengan jumlah skor >12. Ibu hamil
dengan dua atau lebih faktor risiko meningkat dan memerlukan ketepatan
waktu dalam melakukan tidakan rujukan serta pertolongan persalinan
yang memadai di Rumah Sakit ditangani oleh Dokter spesialis. Hasil
penelitian menunjukan bahwa KRST merupakan kelompok risiko
terbanyak penyebab kematian maternal.
Diperkirakan sekitar 15-20% ibu hamil akan mengalami komplikasi kebidanan.
Komplikasi dalam kehamilan dan persalinan tidak slalu dapat diduga sebelumnya,
oleh karenanya semua persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan agar
komplikasi agar segera dapat dideteksi dan ditangani.
Untuk meningkatkan cakupan dan kualitas penanganan komplikasi kebidanan
maka diperlukan adanya fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan
pelayanan obstetri emergensi secara berjenjang mulai dari bidan, puskesmas
mampu Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Dasar (PONED) sampai
Rumah sakit Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK) yang
siap selama 24 jam (Depkes RI, 2009).
190
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
191
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
192
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Gambaran Klinis
- Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh nyeri, kaku, gerakan berkurang, dan bengkak
pada sendi yang terkena yang diperburuk dengan aktivitas dan membaik
dengan istirahat. Nyeri saat istirahat atau malam hari menunjukkan
penyakit yang parah atau diagnosis lain. Kaku pagi biasanya kurang dari
30 menit. Nyeri sendi dan krepitus pada gerakan. Pembengkakan dapat
disebabkan deformitas tulang, seperti formasi osteofit, atau efusi yang
disebabkan oleh akumulasi cairan sinovial. Tidak ada gejala sistemik.
- Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan sendi yang terkena dengan gambaran klinis nyeri,
pembesaran tulang dan malalignment. Banyak kasus, pasien dengan
sendi bengkak dan hangat. Osteofit, yang menyebabkan permukaan sendi
irreguler, spasme otot periartikular, atau disuse kronik dapat menyebabkan
penurunan lingkup gerak sendi, nyeri dan deformitas.
193
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
- Pemeriksaan penunjang
Radiografi penting untuk konfirmasi diagnosis osteoartritis. Pada radiografi
dapat ditemukan penyempitan celah sendi asimetris, osteofit di margin
sendi, sklerosis kortikal, dan formasi kista subkondral.
Analisis cairan sendi membantu menyingkirkan penyakit deposit kristal, artritis
septik.
Kriteria diagnosis berdasarkan The American College of Rheumatology 2012
untuk Klasifikasi Osteoartritis pada Tangan, Panggul dan Lutut dapat dilihat pada
tabel berikut:
194
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Kriteria klasifikasi untuk Nyeri tangan, pegal, atau kekakuan dan setidaknya tiga dari hal
osteoartritis pada tangan berikut ini:
· pembesaran jaringan keras 2 atau lebih dari 10 sendi
terseleksi
· pembesaran jaringan keras 2 atau lebih sendi DIP
· lebih sedikit 3 pembengkakan sendi MCP
· deformitas setidaknya 1 dari 10 sendi terseleksi
Kriteria klasifikasi untuk Nyeri panggul, dan dua dari hal berikut
osteoartritis pada panggul · LED (Westergren)< 29 mm/ hr
· Gambaran radiografik Osteofit femoral dan acetabular
· Gambaran radiografi penyempitan celah sendi ( superior, axial,
dan/atau medial)
Kriteria klasifikasi untuk Klinis dan laboratorium
idiopatik osteoartritis Nyeri lutut ditambah setidaknya lima dari berikut (92% sensitif,
pada lutut 75% spesifik)
· Umur > 50 tahun
· Kekakuan < 30 menit
· Krepitasi
· Nyeri tulang
· Pelebaran tulang
· Tidak ada perabaan hangat
· ESR (Westergren) < 40mm/hr
· Rheumatoid Factor < 1:40
· Gejala cairan sendi dari osteoartritis ( jernih, kental, atau
hitungan sel darah putih < 2000/m3)
Klinis dan Radiografik
Nyeri lutut ditambah sedikiitnya satu dari berikut (91% senditif,
86% spesifik)
· Umur > 50 tahun
· Kekakuan < 30 menit
· Krepitasi ditambah osteofit
Klinis
Nyeri lutut ditambah sedikitnya tiga dari berikut ini ( 95% sensitif,
69% spesifik)
· Umur > 50 tahun
· Kekakuan < 30 menit
· Krepitasi
· Nyeri tulang
· Pelebaran tulang
· Tidak ada perabaan hangat
Keterangan:
DIP = Distal Interphalangeal,
ESR= Erytrocyte Sedimentation Rate,
MCP =,metacarpophalangeal
195
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
196
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Julian Dewantiningrum
197
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
198
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
- Kejang
- Nyeri dada
- Kesukaran untuk bernafas
- Jaundice
- Diare
- Perdarahan
- Mual dan muntah pada kehamilan
- Pengeluaran cairan pervaginam
- Nyeri dan bengkak pada tungkai bawah
- Sinkope
- Demam
- Gerak anak tidak ada
- Kematian janin intrauterin
- Kecurigaan pertumbuhan janin terhambat
· Intrapartum : Kala I
o Riwayat bedah sesar, presentasi bukan kepala
o Rujuk ke fasilitas yang mempunyai kemampuan untuk
melakukan bedah sesar
o Dampingi ibu ke tempat rujukan
o Persalinan prematur
o Berikan kortikosteroid untuk pematangan paru pada UK d” 34
minggu
o Segera rujuk ke fasilitas yang mampu menangani gawat darurat
obstetri dan BBL
o Dampingi ibu
o Ketuban pecah dengan adanya mekonium kental dengan atau tanpa
adanya fetal distress
o Baringkan ibu miring ke kiri dan anjurkan untuk nafas teratur
199
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
200
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
201
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
202
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
203
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
- Rujuk ibu
- Dampingi ibu ke tempat rujukan
· Tidak ada waktu untuk merujuk pada kala III
o Tanda-tanda syok yaitu adanya perdarahan setelah plasenta lahir >
500 cc pada persalinan pervaginam serta perdarahan post partum
dikarenakan atonia uteri
- Lakukan pengelolaan atonia uteri
204
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
205
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
206
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Latar belakang
Hidung merupakan bagian organ pernapasan yang berfungsi sebagai
penyaring dan pertahanan lini pertama terhadap partikel asing berbahaya seperti
debu, bahan kimia beracun, bakteri, dan virus .Hidung juga merupakan pengatur
udara inspirasi, membantu proses bicara(resonansi), sebagai indra penghidu dan
refleks nasal. Fungsi hidung yang paling penting adalah sebagai penyaring/filter.hal
ini harus diperhatikan dengan baik oleh masyarakat pekerja pabrik karena paparan/
pajanan debu dan partikel-partikel/substansi kimia yang terus menerus dan dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya Rinitis akibat kerja.
Klasifikasi
EAACI Task Force on Occupational Rhinitis 2009 membagi rinitis di lingkungan
kerja menjadi (1) rinitis akibat kerja: disebabkan oleh zat alergen atau iritan di
lingkungan kerja (2) eksaserbasi rinitis oleh pajanan lingkungan kerja: terjadi pada
pekerja yang sebelumnya sudah memiliki gejala rinitis
Diagnosis RAK
Berdasarkan Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, Faktor-faktor Predisposisi RAK
dan Genetik, Usia terbanyak pada decade 2-3, lama Kerja dan Riwayat Merokok.
Masyarakat pekerja pabrik harus meningkatkan pengetahuan tentang RAK dan
pemakaian Alat Pelindung Diri (APD) dengan benar.
207
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Simpulan
Pendidikan dan pengetahuan tentang RAK harus ditingkatkan sehingga dengan
demikian dapat meningkatkan kesadaran, kepedulian dan mengubah sikap perilaku
masyarakat pekerja pabrik dalam menaggulangi terjadinya RAK dan akibatnya.
208
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Lestariningsih
Abstract
Chronic kidney disease (CKD) is a worldwide underdiagnosed public health
problem with increasing incidence and prevalence that has high costs and poor
outcome. The number of patients on renal replacement therapy has doubled every
decade since 1980, and prevalence of CKD in the early stages is also markedly
increased. Unfortunately, CKD in its earliest stages is usually an asymptomatic
condition which progresses to its end stage over a period of several years and is
diagnosed late in its course. Therefore, strategies to reduce the incidence of end-
stage renal disease require effective methods of screening early in the disease
process. Intervention in the early stages of CKD seems to be more effective to
prevent or delay the progression of CKD. Moreover, reduced kidney function was
found to be an independent risk factor for cardiovascular events and/or all-cause
mortality. Therefore, early detection of CKD and treatment of its complications seems
to be important to improve outcome in cardiovascular diseases. However, the
screening methods most suitable to identify for further diagnosis individuals with
CKD remain to be settled. Albuminuria was used as a screening tool but by itself is
not sufficient. Garg et al. found that albuminuria and renal insufficiency measured
on a single occasion identified different segments of the population.
209
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
210
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Kidney Foundation and introduced widely after slight modification by the KDIGO
(Kidney Disease: Improving Global Outcomes) international community. The
treatment with angiotensin receptor blockers and angiotensin converting enzyme
inhibitors reduced albuminuria and TGF-beta result preventive progression CKD.
211
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
212
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
Association of Hyperuricemia
and Chronic Kidney Disease
Lestariningsih
Abstract
Asymptomatic hyperuricemia often is associated with hypertension, renal
dysfunction, and cardiovascular disease and provides prognostic information. Serum
uric acid level may reflect a decrease in renal blood flow and early hypertensive
nephrosclerosis. Recently, it was reappraised that hyperuricemia may be directly
pathogenic and is not simply a marker for other associated risk factors. Uric acid
level–decreasing drugs, such as allopurinol and losartan, may be useful for patients
with hypertension and hyperuricemia. However, whether chronic hyperuricemia by
itself contributes to renal damage is still debatable. The number of patients with
end-stage renal disease (ESRD) requiring long-term dialysis therapy is increasing
worldwide. Early detection and intervention may reduce or retard the progression of
chronic renal disease. A few epidemiological studies have investigated the
significance of hyperuricemia on risk for developing ESRD. We have shown the
significance of hyperuricemia on the early detection of renal failure in a cohort of
screened subjects. We performed multivariate Cox analysis to examine the
significance of baseline serum uric acid level on risk for developing ESRD in a
large screened cohort in Okinawa, Japan. We hypothesized that hyperuricemia is
an independent predictor of ESRD in a setting of mass screening. Febuxostat has
been used in patients with gout, and
in the Febuxostat/ Allopurinol Comparative Extension Long-term (EXCEL) Study,
use of febuxostat was shown to preserve kidney function. Greater continued
reductions in serum uric acid levels were reported to be associated with less
decline in kidney function (P , 0.001) by statistical modeling.
213
Simposium Pertemuan Ilmiah Tahunan IDI-PDUI-PDKI Wilayah Jawa Tengah 2018
The data indicated that for every 1-mg/ dL of long-term reduction in serum uric
acid level in persons with gout, 1.2 mL/ min/1.73 m2 of eGFR would be preserved.
In conclusion, this single-center, double-blind, randomized, parallel-group,
placebo-controlled study showed that febuxostat slowed the decline in eGFR in
individuals with CKD stages 3 and 4 and asymptomatic hyperuricemia compared
to placebo.
214