Anda di halaman 1dari 381

DIKTAT KULIAH

KAPITA SELEKTA
SISTEM REPRODUKSI
EDISI 4

Editor
Dr. Oeij Anindita Adhika, dr., MKes.
Sijani Prahastuti, dr., MKes.
Laella K Liana, dr. Sp. PA, MKes.

i
KATA SAMBUTAN

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa dan Pengasih, sumber segala ilmu dan
pengetahuan, atas berkat-Nya Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha dapat terus
menerbitkan buku-buku Materi Pengetahuan, Ketrampilan Klinik, dan Penuntun Praktikum
yang diperuntukkan khusus bagi mahasiswa FK UK Maranatha. Buku-buku tersebut ditulis
dan disusun oleh para Staf Pendidikan FK UKM, untuk itu kami Pimpinan sangat menghargai
dan mengucapkan banyak terima kasih kepada semua kontributor dan editor.
Semoga buku-buku ajar ini dapat dimanfaatkan dalam menunjang dan meningkatkan
pengetahuan para peserta didik menuju terciptanya dokter yang profesional dan kompeten
(Five Star Doctor). Namun tentunya tidaklah cukup jika hanya mengandalkan buku-buku ajar
ini saja, para peserta didik tetap harus melengkapi dari sumber lain dan terus mengikuti
perkembangan pengetahuan kedokteran yang melaju pesat.
Akhir kata, Pimpinan dan seluruh Pendidik Fakultas Kedokteran mengucapkan selamat
belajar. Tuhan memberkati.

“Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi


orang bodoh menghina hikmat dan didikan”
(Amsal 1:7)

Studio est Orare


Integrity, Care, and Excellence (ICE)

Bandung, Maret 2020


Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha

Lusiana Darsono, dr., MKes.

ii
KATA SAMBUTAN

Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahaesa atas diterbitkannya buku penunjang pembelajaran
di Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha yang merujuk pada Kerangka
Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI). Dalam penerapan KKNI, Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha menggunakan metode pembelajaran Problem Based Learning
(PBL).
Melalui sistem pembelajaran PBL, mahasiswa dituntut aktif, mandiri, dan belajar sepanjang
hayat. Metode-metode pembelajaran diarahkan untuk memancing keingintahuan, memotivasi
mahasiswa untuk belajar secara mandiri, melatih untuk berpikir kritis yang berguna baik pada
saat berkuliah maupun ketika sudah terjun di masyarakat sebagai dokter. Pembelajaran ini akan
berhasil apabila mahasiswa aktif dalam mencari materi pengetahuan dari berbagai sumber yang
dapat dipercaya dan dengan demikian melalui pembelajaran mandiri mahasiswa akan lebih
mengingat apa yang telah mereka pelajari sekaligus menguasai keahlian untuk belajar.
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha menerbitkan panduan belajar berupa
buku dengan maksud menjembatani tujuan pembelajaran dengan materi dunia kedokteran yang
sangat banyak, dinamis, dan kompleks. Tidak ada buku yang dapat menjelaskan kompleksitas
dan pengembangannya, hanya seorang pembelajar yang dapat menjawab tantangan ini di masa
depan. Isi buku ini hanya mencakup panduan umum dari materi yang harus dipelajari oleh
mahasiswa secara individual. Mahasiswa wajib mencari sumber pustaka lain untuk menambah
wawasan ilmu pengetahuan mereka. Melalui buku ini diharapkan mahasiswa dapat lebih
terarah dan termotivasi untuk mempelajari lebih dalam lagi berbagai topik baik materi
pengetahuan, praktikum, dan ketrampilan klinik.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan buku ini.

Bandung, Maret 2020


Ketua MEU Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Maranatha

July Ivone, dr., MKK, MPd.Ked.

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Mahaesa, berkat kasih dan bimbingan-
Nya maka buku ini dapat disusun dan diterbitkan. Buku ini diterbitkan sebagai salah satu
pegangan bagi peserta didik dalam menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas
Kristen Maranatha, dengan materi yang telah disesuaikan dengan standar kompetensi sebagai
dokter layanan primer.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para mahasiswa Fakultas Kedokteran dalam
mempersiapkan diri untuk melayani pasien nyata kelak. Pada kesempatan ini, kami
mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
penyusunan buku ini. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan
buku ini, sehingga kami mengharapkan masukan-masukan untuk perbaikan di kemudian hari.

Editor

iv
DAFTAR KONTRIBUTOR

Adrian Suhendra, dr., Sp. PK, MKes.


Dr. Aloysius Suryawan, dr., Sp. OG, KFM
Cindra Paskaria, dr., MKM
Dani, dr., MKes.
Dr. Diana Krisanti Jasaputra, dr., MKes.
Djaja Rusmana, dr., MSi.
Eduard P Simamora, dr., Sp. BA
Fenny, dr., Sp. PK, MKes.
Ghita Sariwidyantry, dr., MKes.
Dr. Hana Ratnawati, dr., MKes.
Heddy Herdiman, dr., MKes.
Jo Suherman, dr., MSi, AIF
Justin Ginting, dr., Sp. R
Laella K Liana, dr., Sp. PA, MKes.
Lisawati Sadeli, dr., MKes.
Dr. Oeij Anindita Adhika, dr., MKes.
Penny Setyawati Martioso, dr., Sp. PK, MKes.
Rimonta F Gunanegara, dr., Sp. OG, MPd. Ked.
Dr. Rita Tjokropranoto, dr., MSc.
Sri Nadya J Saanin, dr., MKes.
Dr. Sugiarto Puradisastra, dr., MKes.
Prof. Dr. Susy Tjahjani, dr., MKes.
Teresa Lucretia, dr., MKes.
Triswaty Winata, dr., MKes.

v
DAFTAR ISI

KATA SAMBUTAN ................................................................................................................ii

KATA PENGANTAR............................................................................................................. iv

DAFTAR KONTRIBUTOR ................................................................................................... v

DAFTAR ISI............................................................................................................................ vi

ANATOMI
SYSTEMATA GENITALIA ....................................................................................... 1

ANATOMI FETOMATERNAL............................................................................... 51

BIOKIMIA
HORMON REPRODUKSI ....................................................................................... 65

FARMAKOLOGI
OKSITOSIK DAN TOKOLITIK............................................................................. 74

KONTRASEPSI HORMONAL ............................................................................... 79

FISIOLOGI
FAAL SISTEM REPRODUKSI WANITA ............................................................. 88

FAAL SISTIM REPRODUKSI LAKI-LAKI ......................................................... 98

FAAL KEHAMILAN DAN LAKTASI ................................................................. 106

HISTOLOGI
SISTEM REPRODUKSI WANITA ....................................................................... 113

SISTEM GENITAL LAKI-LAKI .......................................................................... 139

ILMU BEDAH
TUMOR MAMMAE ............................................................................................... 153

ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


KESEHATAN IBU DAN ANAK (KIA) ................................................................. 172

STATISTIK VITAL ................................................................................................ 179

MIKROBIOLOGI
RUBELLA, HERPESVIRUS, CYTOMEGALOVIRUS, DAN VARICELLA .. 184

VAGINAL DISCHARGE ABNORMAL (FLUOR ALBUS)................................. 196

vi
OBSTETRI GINEKOLOGI
KEHAMILAN NORMAL ....................................................................................... 208

PENYULIT KEHAMILAN .................................................................................... 216

PERSALINAN NORMAL ...................................................................................... 226

DISTOSIA ................................................................................................................ 235

GINEKOLOGI......................................................................................................... 242

PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL DAN KANKER GINEKOLOGIS ... 246

PARASITOLOGI
TOXOPLASMA ....................................................................................................... 251

TRICHOMONIASIS ............................................................................................... 259

PATOLOGI ANATOMI
ASPEK PATOLOGI ANATOMI TRAKTUS GENITALIS WANITA ............. 265

PATOLOGI SISTEM REPRODUKSI LAKI-LAKI ........................................... 270

PATOLOGI KLINIK
ANALISIS SPERMA ............................................................................................... 282

PENYULIT MASA KEHAMILAN (1) .................................................................. 299

PERBEDAAN GAMBARAN SEKRET VAGINA AKIBAT INFEKSI


GARDNERELLA VAGINALIS, CANDIDA ALBICANS, DAN TRICHOMONAS
VAGINALIS .............................................................................................................. 305

PENYULIT MASA KEHAMILAN (2) .................................................................. 308

PEMERIKSAAN HORMONAL PADA PASANGAN INFERTIL .................... 325

ANALISIS FUNGSI TIROID WANITA HAMIL DAN NEONATUS ............... 336

RADIOLOGI
HISTEROSALPINGOGRAFI................................................................................ 346

USG KISTA OVARIUM ......................................................................................... 355

USG MYOMA UTERI ............................................................................................ 361

USG SEMINOMA TESTIS .................................................................................... 368

vii
ANATOMI

SYSTEMATA GENITALIA
Oeij Anindita Adhika

Pelvis (L. basin) adalah bagian truncus inferoposterior terhadap abdomen, serta merupakan
area transisi antara truncus dan membrum inferius. Cavitas pelvis merupakan bagian inferior
dari cavitas abdominis et pelvis. Pelvis dikelilingi oleh cingulum pelvicum, yakni bagian dari
skeleton appendiculare membri inferioris.
Pelvis dibagi menjadi pelvis major dan pelvis minor. Pelvis major atau cavitas pelvis palsu
dikelilingi oleh cingulum pelvicum superior. Pelvis major ditempati oleh viscera abdomen
inferior. Pelvis minor atau cavitas pelvis sebenarnya dikelilingi oleh cingulum pelvicum
inferior. Di luar, pelvis ditutupi oleh dinding abdomen anterolateralis di anterior, regio glutealis
di posterolateralis, dan perineum di inferior.
Perineum adalah area permukaan truncus yang terdapat di antara regio femoris dan nates,
membentang dari os coccygis hingga pubis; juga merupakan compartimentum dangkal yang
terletak profundus (superior) terhadap area tersebut tapi inferior terhadap diaphragma pelvis.
Perineum meliputi anus dan genitalia externa: penis dan scrotum pada laki-laki serta vulva pada
perempuan.

CINGULUM PELVICUM
Cingulum pelvicum menghubungkan columna vertebralis dengan dua femur. Fungsi utama
cingulum pelvicum adalah:
• Menopang berat tubuh bagian atas ketika duduk dan berdiri.
• Mentransfer berat dari skeleton axiale ke skeleton appendiculare inferius untuk berdiri dan
berjalan.
• Menyediakan perlekatan untuk otot locomotion dan postur serta otot dinding abdomen,
menahan tenaga yang dihasilkan oleh aksinya.
Sebagai akibatnya, cingulum pelvicum kuat dan rigid jika dibandingkan cingulum pectorale.
Fungsi lain cingulum pelvicum adalah:
• Mewadahi dan melindungi viscera pelvis (bagian inferior tractus urinarius dan organa
genitalia interna) dan viscera abdomen inferior (intestinum), serta mengijinkan pasase
bagian terminalisnya (dan, pada perempuan, fetus) via perineum.
• Menyokong viscera abdomen, viscera pelvis, dan uterus gravida.
• Menyediakan perlekatan untuk badan erektil genitalia externa.
• Menyediakan perlekatan bagi musculi dan membranae yang membantu fungsi yang
disebutkan di atas dengan membentuk diaphragma pelvis dan mengisi celah yang terdapat
di atau sekitarnya.

Ossa dan Fitur Cingulum Pelvicum


Pada individu matur, cingulum pelvicum dibentuk oleh tiga tulang:
• Os coxae kanan dan os coxae kiri: tulang besar, iregular, masing-masing berkembang dari
fusi 3 tulang, yaitu ilium, ischium, dan pubis.
• Os sacrum yang dibentuk oleh fusi 5 vertebrae sacrales.

1
ANATOMI

Pada anak-anak, os coxae terdiri dari 3 tulang terpisah yang disatukan oleh cartilago
triradiata di acetabulum, yakni depresi seperti cup di permukaan lateralis os coxae yang
bersendian dengan caput femoris. Setelah pubertas, ilium, ischium, dan pubis berfusi
membentuk os coxae. Kedua os coxae bersendian di anterior pada symphysis pubica dan di
posterior dengan os sacrum pada articulatio sacroiliaca.
Ilium adalah bagian superior berbentuk kipas dari os coxae. Ala ossis ilii merepresentasikan
kipas yang mengembang, dan corpus ossis ilii merepresentasikan pegangan kipas. Pada aspek
externus, corpus ossis ilii ikut membentuk acetabulum. Crista iliaca adalah tepi melengkung
yang mengikuti kontur ala ossis ilii di antara spina iliaca anterior superior dan spina iliaca
posterior superior. Permukaan konkaf anteromedialis ala ossis ilii membentuk fossa iliaca. Ke
posterior, facies sacropelvica ossis ilii membentuk facies auricularis ossis ilii dan tuberositas
iliaca untuk junctura synovialis dan syndesmosis dengan os sacrum.
Ischium mempunyai corpus ossis ischii dan ramus ossis ischii. Corpus ossis ischii ikut
membentuk acetabulum, dan ramus ossis ischii ikut membentuk foramen obturatum. Tonjolan
posteroinferior yang besar dari ischium dinamakan tuber ischiadicum. Tonjolan kecil yang
mengarah posteromedialis di dekat junctio ramus dan corpus disebut spina ischiadica.
Lekukan konkaf antara spina ischiadica dan tuber ischiadicum disebut incisura ischiadica
minor. Lekukan yang lebih besar, incisura ischiadica major terletak superior terhadap spina
ischiadica dan merupakan bagian dari ilium.
Pubis merupakan tulang bersudut, disusun oleh ramus superior ossis pubis yang ikut
membentuk acetabulum, dan ramus inferior ossis pubis yang ikut membentuk foramen
obturatum. Penebalan pada bagian anterior corpus ossis pubis disebut crista pubica, yang
berakhir di lateralis sebagai tonjolan yang disebut tuberculum pubicum. Bagian lateralis
ramus superior ossis pubis mempunyai tonjolan yang disebut pecten ossis pubis (pectineal
line).
Pelvis dibagi menjadi pelvis major (false) dan pelvis minor (true) oleh bidang miring
apertura pelvis superior (pelvic inlet). Tepi tulang yang mengelilingi dan membatasi apertura
pelvis superior disebut pelvic brim yang dibentuk oleh:
• Promontorium ossis sacri dan ala ossis sacri.
• Linea terminalis kanan dan kiri yang terdiri dari:
– Linea arcuata pada permukaan internus ilium.
– Pecten ossis pubis dan crista pubica membentuk tepi superior ramus superior ossis
pubis dan corpus ossis pubis.

Arcus pubicus dibentuk oleh ramus ischiopubicus kedua sisi. Kedua rami bertemu di
symphysis pubica, tepi inferiornya membatasi angulus subpubicus. Besar angulus subpubicus
ditentukan oleh jarak antara tuber ischiadicum kanan dan tuber ischiadicum kiri.
Apertura pelvis inferior (pelvic outlet) dibatasi oleh:
• Arcus pubicus di anterior.
• Tuber ischiadicum di lateralis.
• Tepi inferior ligamentum sacrotuberale (berjalan di antara os coccygis dan tuber
ischiadicum) di posterolateralis.
• Ujung os coccygis di posterior.

2
ANATOMI

Pelvis major adalah bagian dari pelvis:


• Superior terhadap apertura pelvis superior.
• Dibatasi oleh ala ossis ilii di posterolateralis dan aspek anterosuperior vertebra S1 di
posterior.
• Ditempati oleh viscera abdomen (ileum dan colon sigmoideum).

Pelvis minor adalah bagian dari pelvis:


• Di antara apertura pelvis superior dan apertura pelvis inferior.
• Dibatasi permukaan pelvis dari os coxae, facies pelvica ossis sacri, dan permukaan pelvis
dari os coccygis.
• Meliputi cavitas pelvis sebenarnya dan bagian profundus dari perineum, khususnya fossa
ischioanalis.
• Penting dari aspek obstetris dan ginekologis.
Permukaan superior konkaf dari diaphragma pelvis membentuk dasar cavitas pelvis.
Permukaan inferior konveks dari diaphragma pelvis membentuk atap perineum, yang dangkal
di centralis dan dalam di peripheralis. Bagian lateralisnya (fossa ischioanalis) meluas hingga
ke dalam pelvis minor. Istilah pelvis, pelvis minor, dan cavitas pelvis sering salah digunakan,
dianggap sebagai sinonim.

Orientasi Cingulum Pelvicum


Pada posisi anatomis, spina iliaca anterior superior kanan dan kiri serta aspek anterior
symphysis pubica terletak pada planum verticale yang sama. Apabila cingulum pelvicum pada
posisi ini dipandang dari anterior, ujung os coccygis tampak dekat dengan center apertura
pelvis superior; pubis dan symphysis pubica tampak lebih seperti menyusun dasar yang
menyokong berat daripada sebagai dinding anterior. Pada pandangan medius, promontorium
ossis sacri terletak superior langsung terhadap center apertura pelvis inferior (sisi corpus
perineale). Akibatnya, sumbu melengkung pelvis memotong sumbu cavitas abdominis pada
sudut obliqua.

Perbedaan Seksual Cingulum Pelvicum


Perbedaan antara skeleton laki-laki dan perempuan paling jelas pada cingulum pelvicum.
Cingulum pelvicum laki-laki dan perempuan berbeda dalam beberapa hal. Perbedaan tersebut
terutama berhubungan dengan otot yang lebih berat dan lebih besar pada sebagian besar laki-
laki dan adaptasi pelvis (terutama pelvis minor) pada perempuan untuk hamil. Perbedaan
seksual yang tampak pada kehamilan terkait arcus pubicus. Diameter cingulum pelvicum yang
lebih besar pada laki-laki tapi volume cavitas pelvis yang lebih besar didapatkan selama masa
infans, dengan perbedaan paling jelas berkembang mengikuti pubertas. Perubahan bentuk
pelvis berlanjut selama hidup.
Pelvis dibedakan menjadi 4 jenis berdasarkan bentuk apertura pelvis superior (Caldwell dan
Moloy):
• Gynecoid : oval membulat dan diameter transversa yang lebar; jenis perempuan normal.
• Android : jantung.
• Anthropoid: oval memanjang dengan diameter anteroposterior lebih besar dari diameter

3
ANATOMI

transversa.
• Platypelloid: ovoid, diameter transversa lebih panjang dari diameter anteroposterior.
Jenis pelvis android dan anthropoid paling umum pada laki-laki, jenis gynecoid dan android
pada perempuan kulit putih, jenis gynecoid dan anthropoid pada perempuan kulit hitam,
sedangkan platypelloid jarang pada kedua jenis kelamin. Pada perempuan, jenis yang paling
banyak dijumpai adalah gynecoid (50%) dan merupakan jenis yang paling baik untuk proses
persalinan. Perempuan dengan pelvis platypelloid atau android dapat mengalami kesulitan
melahirkan vaginal.
Apertura pelvis superior mempunyai tiga diameter yaitu diameter anteroposterior
(conjugata), diameter transversa, dan diameter obliqua. Conjugata vera (obstetrica) adalah
diameter anteroposterior dari promontorium ossis sacri hingga tepi posterosuperior symphysis
pubica. Conjugata vera merupakan jarak terpendek antara symphysis pubica dan promontorium
ossis sacri. Conjugata diagonalis adalah diameter anteroposterior dari tepi inferior symphysis
pubica sampai promontorium ossis sacri, merupakan diameter yang dapat dicapai dan diukur
melalui vagina. Pada pemeriksaan dalam, promontorium ossis sacri dipalpasi dengan jari
tengah, tangan yang lain menandai level tepi inferior symphysis pubica pada tangan yang
memeriksa. Setelah tangan yang memeriksa ditarik, jarak antara ujung jari telunjuk (1,5 cm
lebih pendek daripada jari tengah) dan tanda level tepi inferior symphysis pubica diukur untuk
menentukan conjugata vera, yang seharusnya 11,0 cm atau lebih besar.
Pada semua cingulum pelvicum, spina ischiadica menonjol saling berhadapan satu dengan
lain, dan distantia interspinosa antara keduanya merupakan bagian tersempit canalis pelvis
(pasase melalui apertura pelvis superior, pelvis minor, dan apertura pelvis inferior), melalui
mana kepala bayi harus lewat ketika lahir, tapi ini bukan jarak yang fixed. Pada pemeriksaan
pelvis, jika tuber ischiadicum terpisah cukup jauh untuk memungkinkan 3 jari memasuki
vagina bersisian, angulus subpubicus dianggap cukup lebar untuk memungkinkan pasase
kepala fetus cukup umur.
Diameter transversa melalui bagian yang paling lebar dari apertura pelvis superior.
Diameter obliqua mulai dari articulatio sacroiliaca hingga eminentia iliopubica.

Juncturae Cinguli Pelvici dan Ligamenta


Sendi utama pada cingulum pelvicum adalah articulatio sacroiliaca dan symphysis pubica.
Articulatio sacroiliaca menghubungkan skeleton axiale dan skeleton appendiculare inferius.
Articulatio lumbosacralis dan articulatio sacrococcygea, walaupun merupakan juncturae dari
skeleton axiale, berhubungan langsung dengan cingulum pelvicum. Ligamenta yang kuat
menyokong dan memperkuat juncturae tersebut.

ARTICULATIO SACROILIACA
Articulatio sacroiliaca adalah juncturae ganda, bagian anterior merupakan junctura
synovialis yang dibentuk oleh facies auricularis ossis sacri dan facies auricularis ossis ilii;
bagian posterior merupakan junctura fibrosa (syndesmosis) yang dibentuk oleh tuberositas
iliaca dan tuberositas ossis sacri. Berbeda dengan junctura synovialis lain, gerakan pada
articulatio sacroiliaca terbatas, karena fungsinya meneruskan berat badan ke os coxae.
Berat ditransfer dari skeleton axiale ke ilia melalui ligamenta sacroiliaca, kemudian ke
femur ketika berdiri dan ke tuber ischiadicum ketika duduk. Selama appositio yang erat

4
ANATOMI

dipertahankan pada facies articularis, articulatio sacroiliaca tetap stabil. Os sacrum digantung
di antara ilia dan melekat erat pada ilia oleh ligamentum sacroiliacum posterius dan
ligamentum sacroiliacum interosseum.
Ligamentum sacroiliacum anterius yang tipis merupakan bagian anterior membrana
fibrosa dari junctura synovialis. Ligamentum sacroiliacum interosseum (terletak di antara
tuberositas ossis sacri dan tuberositas iliaca dan menempati area ± 10 cm2) adalah struktur
utama yang terlibat dalam transfer berat badan atas dari skeleton axiale kepada kedua ilia dari
skeleton appendiculare.
Ligamentum sacroiliacum posterius adalah lanjutan externus posterior dari ligamentum
sacroiliacum interosseum. Karena serabut dari kedua ligamenta tersebut berjalan obliqua ke
atas dan keluar dari os sacrum, maka berat aksial yang mendorong os sacrum ke bawah akan
menarik ilia ke dalam (medialis), sehingga mengompresi os sacrum di antara kedua ilia,
mengunci permukaan iregular tapi kongruen dari articulatio sacroiliaca. Ligamentum
iliolumbale adalah ligamentum asesorius untuk mekanisme ini.
Di inferior, ligamentum sacroiliacum posterius bergabung dengan serabut yang berekstensi
dari tepi posterior ilium (di antara spina iliaca posterior superior dan spina iliaca posterior
inferior) dan basis os coccygis membentuk ligamentum sacrotuberale. Ligamentum
sacrotuberale berjalan dari posterior ilium dan lateralis os sacrum dan os coccygis menuju tuber
ischiadicum, mengubah incisura ischiadica menjadi foramen ischiadicum yang besar.
Ligamentum sacrospinale berjalan dari lateralis os sacrum dan os coccygis menuju spina
ischiadica membagi foramen ischiadicum menjadi foramen ischiadicum majus dan foramen
ischiadicum minus.
Gerakan pada articulatio sacroiliaca dibatasi oleh saling mengunci tulang yang bersendian
dan ligamenta sacroiliaca untuk mengurangi gerakan gliding dan rotatio. Rotatio dari bagian
superior os sacrum dicegah oleh ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale yang
menghubungkan ujung inferior os sacrum ke ischium, mencegah rotatio superior dan posterior.
Dengan sedikit gerakan ke atas dari ujung inferior os sacrum terhadap os coxae, resilien
diberikan kepada regio sacroiliaca ketika columna vertebralis menahan peningkatan tenaga
atau berat mendadak.

SYMPHYSIS PUBICA
Symphysis pubica terdiri dari discus interpubicus (cartilago fibrosa) dan ligamenta yang
mengelilingi dan menyatukan corpus ossis pubis di planum medianum. Discus interpubicus
lebih lebar pada perempuan. Ligamenta yang menghubungkan kedua pubis menebal di tepi
superior dan tepi inferior symphysis pubica membentuk ligamentum pubicum superius dan
ligamentum pubicum inferius (ligamentum arcuatum).
Ligamentum pubicum superius menghubungkan aspek superior corpus ossis pubis dan
discus interpubicus, memanjang ke lateralis hingga tuberculum pubicum. Ligamentum
pubicum inferius adalah serabut melengkung tebal yang menghubungkan aspek inferior sendi,
mengelilingi angulus subpubicus yang membentuk apex arcus pubicus. Serabut decussatio dari
perlekatan musculus rectus abdominis dan musculus obliquus externus juga memperkuat
symphysis pubica di anterior.

5
ANATOMI

ARTICULATIO LUMBOSACRALIS
Vertebra L5 dan vertebra S1 bersendian di anterior melalui symphysis intervertebralis
yang dibentuk oleh discus intervertebralis di antara kedua corpora vertebrae tersebut, dan di
posterior melalui dua articulationes zygapophysiales antar processus articularis vertebrae
tersebut. Facies articularis vertebra S1 menghadap posteromedialis, saling mengunci dengan
facies articularis inferior vertebra L5 yang menghadap anterolateralis, mencegah vertebra
lumbalis bergeser ke anterior bawah inclinatio pelvis. Sendi-sendi tersebut diperkuat oleh
ligamentum iliolumbale yang berekstensi dari processus transversus vertebra L5 ke ilium.

ARTICULATIO SACROCOCCYGEA
Articulatio sacrococcygea merupakan junctura cartilaginea sekunder dengan sebuah discus
intervertebralis. Cartilago fibrosa dan ligamenta menghubungkan apex ossis sacri dan basis
dari os coccygis. Ligamentum sacrococcygeum anterius dan ligamentum sacrococcygeum
posterius memperkuat sendi.

Tabel 1. Perbandingan Pelvis Laki-Laki dan Perempuan


Pelvis Laki-laki Perempuan
Struktur umum Tebal dan berat Tipis dan ringan
Pelvis major Dalam Dangkal
Pelvis minor Sempit dan dalam, mengecil Lebar dan dangkal, silindris
Apertura pelvis superior Heart-shaped, sempit Oval dan membulat; lebar
Apertura pelvis inferior Kecil Besar
Arcus pubicus dan angulus Sempit (<70°) Lebar (>80°)
subpubicus
Foramen obturatum Bulat Oval
Acetabulum Besar Kecil
Incisura ischiadica major Sempit (70°); V terbalik Hampir 90°

CAVITAS PELVIS
Cavitas abdominis et pelvis berekstensi ke superior ke dalam cavea thoracis dan ke inferior
ke dalam pelvis, dengan demikian bagian superior dan bagian inferiornya relatif terlindung.
Cavitas pelvis yang berbentuk tabung–ruang yang dibatasi di peripheralis oleh dinding pelvis
dan dasar (ossa, ligamenta, musculi)–adalah bagian inferoposterior cavitas abdominis et pelvis.
Cavitas pelvis berlanjut dengan cavitas abdominis di apertura pelvis superior tapi menyudut ke
posterior dari sini.
Cavitas pelvis berisi bagian terminalis ureter, vesica urinaria, rectum, organa genitalia, vasa
sanguinea, vasa lymphatici, dan nervi. Selain itu juga intestinum, terutama ileum, serta
appendix vermiformis, colon transversum, dan/atau colon sigmoideum.
Cavitas pelvis dibatasi di inferior oleh diaphragma pelvis (musculofascial), yang tergantung
di atas (tapi turun centralis ke level) apertura pelvis inferior, membentuk dasar pelvis yang
seperti mangkuk. Cavitas pelvis dibatasi di posterior oleh os coccygis dan os sacrum inferior,
dengan bagian superior os sacrum membentuk atap bagi separuh posterior cavitas.
Kedua corpora ossis pubis dan symphysis pubica yang menyatukannya, membentuk dinding
anteroinferior yang lebih dangkal (lebih pendek) daripada dinding posterosuperior yang
dibentuk oleh os sacrum dan os coccygis. Akibatnya, sumbu pelvis (garis di planum medianum

6
ANATOMI

yang dibentuk oleh titik tengah cavitas pelvis di tiap level) yang melengkung, berputar di
sekitar symphysis pubica. Bentuk melengkung sumbu serta disparitas kedalaman antara
dinding anterior dan dinding posterior cavitas pelvis merupakan faktor penting dalam
mekanisme pasase fetus melalui canalis pelvis.

Dinding dan Dasar Cavitas Pelvis


Cavitas pelvis mempunyai satu dinding anteroinferior, dua dinding lateralis, satu dinding
posterior, dan dasar.

DINDING PELVIS ANTEROINFERIOR


Dinding pelvis anteroinferior dibentuk terutama oleh corpora ossis pubis, rami ossis pubis
dan symphysis pubica. Dinding pelvis anteroinferior berpartisipasi dalam menyangga berat
vesica urinaria.

DINDING PELVIS LATERALIS


Dinding pelvis lateralis dibentuk oleh os coxae kanan dan os coxae kiri, termasuk foramen
obturatum yang ditutupi oleh membrana obturatoria. Perlekatan musculus obturatorius
internus menutupi dan membentuk sebagian besar dinding pelvis lateralis. Serabut obturatorius
internus berkonvergensi ke posterior, menjadi tendinosa, dan berputar tajam ke lateralis
berjalan dari pelvis minor melalui foramen ischiadicum minus untuk melekat ke trochanter
major femoris. Permukaan medialis otot ini ditutupi oleh fascia obturatoria yang menebal di
centralis sebagai arcus tendineus musculi levatoris ani dan menjadi perlekatan diaphragma
pelvis.

DINDING POSTERIOR (DINDING POSTEROLATERALIS DAN ATAP)


Pada posisi anatomis, dinding pelvis posterior terdiri dari dinding dan atap tulang di garis
tengah (dibentuk oleh os sacrum dan os coccygis) dan dinding posterolateralis yang dibentuk
oleh ligamenta yang berhubungan dengan articulatio sacroiliaca dan musculus piriformis.
Ligamenta tersebut meliputi ligamentum sacroiliacum anterius, ligamentum sacrospinale, dan
ligamentum sacrotuberale.
Musculus piriformis muncul dari os sacrum superior, lateralis terhadap foramina sacralia.
Musculus piriformis berjalan ke lateralis meninggalkan pelvis minor melalui foramen
ischiadicum majus untuk melekat pada tepi superior trochanter major femoris. Musculus
piriformis menempati sebagian besar foramen ischiadicum majus, membentuk dinding
posterolateralis cavitas pelvis. Profundus (anteromedialis) segera terhadap otot ini (sering
terbenam dalam otot ini) adalah nervi dari plexus sacralis. Celah di tepi inferior piriformis
memungkinkan pasase struktur neurovaskular di antara pelvis dan perineum dan membrum
inferius (regio glutealis).

DASAR PELVIS
Dasar pelvis dibentuk oleh diaphragma pelvis yang berbentuk mangkuk atau funnel, yang
terdiri dari musculus coccygeus dan musculus levator ani dan fasciae yang menutupi aspek
superior dan aspek inferior musculi tersebut. Diaphragma pelvis terletak dalam pelvis minor,

7
ANATOMI

memisahkan cavitas pelvis dari perineum, dengan demikian membentuk atap perineum.
Perlekatan diaphragma pelvis pada fascia obturatoria membagi musculus obturatorius
internus menjadi bagian pelvis di superior dan bagian perineal di inferior. Medialis terhadap
bagian pelvis obturatorius internus didapatkan nervus dan vasa obturatoria dan cabang lain vasa
iliaca interna.
Musculus coccygeus muncul dari aspek lateralis os sacrum inferior dan os coccygis, serabut
ototnya terletak dan melekat pada permukaan profundus ligamentum sacrospinale. Musculus
levator ani merupakan bagian diaphragma pelvis yang lebih besar dan lebih penting. Otot ini
melekat pada corpora ossis pubis di anterior, spina ischiadica di posterior, dan pada arcus
tendineus musculi levatoris ani di antara corpora ossis pubis dan spina ischiadica.
Diaphragma pelvis, dengan demikian teregang di antara dinding anterior, dinding lateralis
dan dinding posterior pelvis minor, seperti ranjang gantung, menutupi sebagian besar cingulum
pelvicum. Celah anterior di antara tepi medialis kedua musculus levator ani (di masing-masing
sisi)–hiatus urogenitalis–dilalui oleh urethra dan, pada perempuan, juga vagina.
Musculus levator ani terdiri dari tiga bagian, batasnya sering tidak jelas, tapi dibedakan
menurut perlekatan dan perjalanan serabutnya:
• Puborectalis: bagian medialis yang lebih tebal dan sempit, terdiri dari serabut otot yang
kontinu di antara aspek posterior corpora ossis pubis kanan dan kiri. Puborectalis
membentuk muscular sling (puborectal sling) yang berjalan posterior menuju junctio
anorectalis, membatasi hiatus urogenitalis. Bagian ini berperan penting dalam
mempertahankan fecal continence.
• Pubococcygeus: bagian intermedius yang lebih lebar tapi lebih tipis, yang muncul lateralis
terhadap puborectalis, dari aspek posterior corpus ossis pubis dan aspek anterior arcus
tendineus musculi levatoris ani. Berjalan ke posterior dalam bidang hampir horizontalis,
serabut lateralisnya melekat pada os coccygis, sedangkan serabut medialisnya bergabung
dengan yang dari otot kontralateral untuk membentuk raphe fibrosa atau tendinous plate,
bagian dari corpus (ligamentum) anococcygeum. Slips muskular yang lebih pendek dari
pubococcygeus berjalan medialis dan bercampur dengan fascia dari struktur di sekitar garis
tengah, dinamai sesuai dengan struktur di dekat terminasinya: pubovaginalis (perempuan),
puboprostaticus (laki-laki), puboperinealis, dan puboanalis.
• Iliococcygeus: bagian posterolateralis levator ani, yang muncul dari aspek posterior arcus
tendineus musculi levatoris ani dan spina ischiadica. Otot ini tipis dan sering kurang
berkembang (tampak lebih aponeurotik daripada muskular), dan bercampur dengan corpus
anococcygeum di posterior.

Levator ani membentuk dasar yang dinamik untuk menyokong viscera abdomen dan viscera
pelvis. Levator ani berkontraksi tonik hampir sepanjang waktu untuk menyokong viscera
abdomen dan viscera pelvis, serta membantu mempertahankan urinary continence dan fecal
continence. Levator ani berkontraksi aktif ketika ekspirasi paksa, batuk, bersin, muntah, dan
fiksasi truncus selama gerakan kuat membrum superius (contoh, ketika mengangkat objek
berat), primer untuk meningkatkan sokongan bagi viscera ketika tekanan intraabdominal
meningkat, dan sekunder mungkin berkontribusi terhadap tekanan yang meningkat (membantu
ekspulsi).

8
ANATOMI

Ditembus di centralis oleh canalis analis, levator ani berbentuk funnel, dengan puborectalis
berbentuk U bergelung mengelilingi “funnel spout”; kontraksi toniknya membengkokkan
anorectum ke anterior. Kontraksi aktif puborectalis (volunter) penting dalam mempertahankan
fecal continence segera setelah pengisian rectum atau selama peristalsis ketika rectum penuh
dan musculus sphincter (involunter) dihambat (relaksasi).
Levator ani harus berelaxatio untuk memungkinkan urinasi dan defekasi. Tekanan
intraabdominal yang meningkat untuk defekasi dihasilkan dari kontraksi diaphragma dan otot
dinding abdomen anterolateralis. Beraksi bersama, bagian-bagian levator ani mengelevatio
dasar pelvis setelah relaxatio dan turunnya diaphragma pelvis yang terjadi selama urinasi dan
defekasi.

Tabel 2. Otot Dinding dan Dasar Pelvis


Batas Musculus Perlekatan Perlekatan Persarafan Aksi Utama
Proximalis Distalis
Dinding Obturatorius Facies pelvica Trochanter Nervus Rotatio externa
lateralis internus dari ilium dan major femoris musculi femur; membantu
ischium; obturatorii mempertahankan
membrana interni (L5, caput femoris
obturatoria S1, S2) dalam acetabulum
Dinding Piriformis Facies pelvica Trochanter Rami Rotatio externa
posterosuperior dari segmenta major femoris anteriores femur; abductio
S2–S4; tepi S1 dan S2 femur; membantu
superior mempertahankan
incisura caput femoris
ischiadica dalam acetabulum
major dan
ligamentum
sacrotuberale
Dasar Coccygeus Spina Ujung inferior Cabang Membentuk
(ischiococcygeus) ischiadica os sacrum dan nervi bagian kecil
os coccygis spinales S4 diaphragma pelvis
dan S5 yang menyokong
viscera pelvis;
flexio os coccygis
Levator ani Corpus ossis Corpus Nervus Membentuk
(puborectalis, pubis; arcus perineale; os untuk bagian besar
pubococcygeus , tendineus coccygis; levator ani diaphragma pelvis
dan musculi ligamentum (cabang S4), yang membantu
iliococcygeus) levatoris ani anococcygeum; nervus menyokong
dinding glandula analis viscera pelvis dan
prostata atau (rectalis) menahan tekanan
vagina, rectum, inferior, dan intraabdominal
dan canalis plexus yang meningkat
analis coccygeus

PERITONEUM DAN CAVITAS PERITONEALIS DARI PELVIS


Peritoneum parietale yang memlapisi cavitas abdominis berlanjut ke inferior ke dalam
cavitas pelvis, tapi tidak mencapai dasar pelvis. Peritoneum parietale berefleksi pada viscera
pelvis dan terpisah dari dasar pelvis oleh viscera pelvis dan fascia pelvis yang
menyelubunginya. Viscera pelvis dilapisi tidak komplit oleh peritoneum, hanya permukaan
superior dan permukaan superolateralisnya yang ditutupi oleh peritoneum. Hanya tuba uterina
(kecuali ostia, yang mana terbuka) yang intraperitoneal dan digantung oleh mesenterium.

9
ANATOMI

Ovarium, walaupun tergantung dalam cavitas peritonealis oleh mesenterium, tidak diselubungi
oleh peritoneum, tapi oleh epithelium germinativum.
Lapisan areolar (fatty) longgar di antara fascia transversalis dan peritoneum parietale di
bagian inferior dinding abdomen anterior memungkinkan vesica urinaria berekspansi di antara
kedua lapisan tersebut ketika terdistensi oleh urine. Regio superior terhadap vesica urinaria
adalah satu-satunya sisi di mana peritoneum parietale tidak terikat erat terhadap struktur di
bawahnya. Sebagai akibatnya, level di mana peritoneum berefleksi ke permukaan superior,
menciptakan fossa supravesicalis, yang bervariasi bergantung pada kepenuhan vesica urinaria.
Ketika peritoneum berefleksi dari dinding abdominopelvis ke viscera pelvis dan fascia pelvis,
tercipta serangkaian plicae dan fossae.
Pada perempuan, peritoneum di atau dekat garis tengah mencapai tepi posterior permukaan
superior vesica urinaria, kemudian berefleksi ke aspek anterior uterus pada isthmus uteri;
dengan demikian tidak berhubungan dengan pars anterior fornices vaginae. Peritoneum
berjalan melintas fundus uteri dan menuruni seluruh aspek posterior uterus hingga dinding
vagina posterior sebelum berefleksi ke superior ke dinding anterior dari rectum inferior
(ampulla recti). “Kantung” yang terbentuk di antara uterus dan rectum disebut excavatio
rectouterina (pouch of Douglas; cul-de-sac of Douglas). Bagian medius excavatio
rectouterina sering dinyatakan sebagai ekstensi paling inferior dari cavitas peritonealis
perempuan, tapi sering kali ekstensi lateralis pada masing-masing sisi rectum, yakni fossae
pararectales lebih dalam.
Elevasi peritoneum, plica rectouterina yang dibentuk oleh ligamenta fascial di bawahnya,
menjadi batas lateralis fossae pararectales. Ketika peritoneum melintas dan menutupi uterus di
tengah cavitas pelvis, lapisan ganda peritoneum, ligamentum latum uteri, yang berekstensi
di antara uterus dan dinding pelvis lateralis kedua sisi, membentuk ‘partisi’ yang memisahkan
fossae paravesicales dari fossae pararectales di kedua sisi. Tuba uterina, ovarium, ligamentum
ovarii proprium, dan ligamentum teres uteri terbungkus dalam ligamentum latum uteri.
Pada laki-laki dan perempuan dengan histerektomi, peritoneum centrale turun sedikit
(hingga 2 cm) ke bawah permukaan posterior vesica urinaria, dan kemudian berefleksi ke
superior ke permukaan anterior rectum inferior, membentuk excavatio rectovesicalis.
Excavatio rectouterina lebih dalam (berekstensi lebih caudalis) daripada excavatio
rectovesicalis laki-laki.
Pada laki-laki, lipatan halus peritoneum, ureteric fold, dibentuk ketika peritoneum melintas
dan menutupi ureter dan ductus deferens di kedua sisi vesica urinaria posterior, memisahkan
fossae paravesicales dari fossae pararectales. Ureteric fold pada laki-laki ekuivalen dengan
ligamentum latum uteri. Posterior terhadap ureteric fold dan lateralis terhadap excavatio
rectovesicalis centralis, peritoneum sering turun caudalis cukup jauh untuk menutupi ujung
superior atau permukaan superior posterior glandula vesiculosa dan ampulla ductus deferentis.
Kecuali sisi tersebut (dan testis dalam tunica vaginalis, yang diturunkan dari peritoneum),
organa genitalia masculina interna tidak kontak dengan peritoneum.
Pada kedua jenis kelamin, ⅓ inferior rectum berada di bawah batas inferior peritoneum
(subperitoneal), ⅓ medius ditutupi peritoneum hanya permukaan anterior-nya, dan ⅓ superior
ditutupi permukaan anterior dan permukaan lateralis-nya. Rectosigmoid junction, dekat pelvic
brim, adalah intraperitoneal.

10
ANATOMI

Fascia Pelvis
Fascia pelvis adalah textus connectivus yang menempati ruang di antara peritoneum dengan
dinding dan dasar pelvis muskular yang tidak ditempati viscera pelvis. “Lapisan” ini adalah
lanjutan fascia endoabdominalis yang tipis yang terletak di antara dinding abdomen muskular
dan peritoneum di superior. Fascia pelvis biasanya dideskripsikan memiliki komponen
parietalis dan visceralis.

FASCIA PELVIS: PARIETALIS DAN VISCERALIS


Fascia pelvis parietalis (fascia endopelvina) adalah lapisan membranosa yang bervariasi
tebalnya yang melapisi aspek internus (profundus atau pelvica) otot yang membentuk dinding
dan dasar pelvis–musculus obturatorius internus, musculus piriformis, musculus coccygeus,
musculus levator ani, dan sebagian musculus sphincter urethrae. Bagian tertentu fascia pelvis
parietalis dinamakan sesuai dengan musculus yang dilapisinya (contoh, fascia obturatoria).
Lapisan ini berlanjut ke superior dengan fascia transversalis dan fascia iliopsoas.
Fascia pelvis visceralis meliputi fascia yang langsung menyelubungi organ pelvis,
membentuk tunica adventitia. Lapisan parietalis dan visceralis menjadi kontinu pada tempat
organ menembus dasar pelvis. Di sini fascia pelvis parietalis menebal, membentuk arcus
tendineus fasciae pelvis, pita bilateral yang berjalan dari pubis ke os sacrum sepanjang dasar
pelvis berdekatan dengan viscera. Bagian paling anterior dari arcus tendineus fasciae pelvis
(ligamentum puboprostaticum pada laki-laki; ligamentum pubovesicale pada perempuan)
menghubungkan glandula prostata dengan pubis pada laki-laki, atau fundus vesicae dengan
pubis pada perempuan. Bagian paling posterior dari arcus tendineus fasciae pelvis dinamakan
ligamentum sacrogenitale dari os sacrum di sekitar rectum untuk melekat di glandula prostata
pada laki-laki atau vagina pada perempuan. Pada perempuan, hubungan lateralis fascia pelvis
visceralis vagina dengan arcus tendineus fasciae pelvis disebut paracolpium. Paracolpium
menggantung vagina di antara arcus tendineus fasciae pelvis, membantu vagina dalam
menyangga berat fundus vesicae.

FASCIA ENDOPELVINA: LONGGAR DAN PADAT


Sering kali textus connectivus dalam jumlah besar yang berada di antara fascia pelvis
parietalis dan fascia pelvis visceralis, dianggap sebagai bagian fascia pelvis visceralis, tapi
kadang dilabel sebagai fascia pelvis parietalis. Mungkin lebih tepat untuk menganggapnya
sebagai fascia endopelvina extraperitonealis (subperitonealis), yang terletak berdekatan
dengan fascia pelvis parietalis dan fascia pelvis visceralis. Fascia endopelvina extraperitonealis
membentuk matriks jaringan ikat atau packing material untuk viscera pelvis. Bervariasi dalam
densitas dan isi. Sebagian berupa jaringan areolar (lemak) yang sangat longgar, dengan hanya
ada pembuluh darah dan pembuluh limf kecil. Pada diseksi atau bedah, jari dapat didorong ke
dalam jaringan longgar ini dengan mudah, menciptakan ruang dengan diseksi tumpul, sebagai
contoh, antara pubis dan vesica urinaria di anterior dan antara sacrum dan rectum di posterior.
Ruang potensial tersebut, terdiri dari lapisan jaringan lemak longgar, adalah spatium
retropubicum (atau prevesicale, berekstensi ke posterolateralis sebagai paravesicale) dan
spatium retrorectale (atau presacrale). Keberadaan textus connectivus laxus di sini
mengakomodasi ekspansi vesica urinaria dan ampulla recti ketika terisi.
Walaupun bagian-bagian dari fascia endopelvina tidak banyak berbeda dalam tampilannya,

11
ANATOMI

namun ada bagian dari fascia endopelvina yang mempunyai konsistensi yang lebih fibrosa,
mengandung banyak serabut kolagen dan serabut elastik, dan serabut otot halus yang tersebar.
Bagian ini sering digambarkan sebagai “kondensasi fascial” atau “ligamenta” pelvis. Pada
diseksi, jika jari-jari satu tangan dimasukkan ke dalam spatium retropubicum dan jari-jari dari
tangan yang lain ke dalam spatium retrorectale serta berusaha mempertemukan jari-jari kedua
tangan tersebut di sepanjang dinding pelvis lateralis, maka jari-jari tersebut tidak bertemu atau
tidak dapat berjalan dari satu spatium ke spatium lainnya. Jari-jari tersebut bertemu pada
hypogastric sheath, yang merupakan pita tebal kondensasi fascia pelvis. Hypogastric sheath
memisahkan kedua spatium dan memberikan pasase bagi semua vasa dan nervi yang berjalan
dari dinding pelvis lateralis ke viscera pelvis, bersama dengan ureter dan, pada laki-laki, ductus
deferens.
Hypogastric sheath berekstensi ke medialis dari dinding lateralis, sehingga hypogastric
sheath dibagi menjadi tiga laminae yang berjalan menuju atau antar organ pelvis,
menghantarkan struktur neurovaskular dan memberikan sokongan (disebut juga sebagai
ligamenta). Lamina yang paling anterior, ligamentum laterale vesicae, berjalan menuju vesica
urinaria, menghantarkan arteria dan vena vesicalis superior. Lamina paling posterior,
ligamentum recti laterale berjalan menuju rectum menghantarkan arteria dan vena rectalis
media.
Pada laki-laki, lamina media membentuk partisi fascial tipis, septum rectovesicale, antara
permukaan posterior vesica urinaria dan glandula prostata di anterior dan rectum di posterior.
Pada perempuan, lamina media lebih substansial daripada dua yang lain, berjalan medialis ke
cervix uteri dan vagina sebagai ligamentum cardinale (ligamentum transversum cervicis).
Pada bagian paling superior, di basis ligamentum latum uteri, arteria uterina berjalan ke
medialis menuju cervix sementara ureter berjalan inferior segera terhadapnya. Ureter berjalan
di kedua sisi cervix uteri menuju ke anterior ke vesica urinaria. Hubungan ini (“air berjalan di
bawah jembatan”) penting khususnya bagi ahli bedah. Ligamentum cardinale, dan bagaimana
cara uterus “beristirahat” di atas vesica urinaria, menyediakan sokongan pasif utama bagi
uterus. Musculi perinei memberikan sokongan dinamis bagi uterus dengan berkontraksi ketika
tekanan intraabdominal meningkat (bersin, batuk). Sokongan pasif dan dinamis menahan
kecenderungan “jatuh” atau didorong melalui tabung berongga vagina. Ligamentum cardinale
mempunyai cukup kandungan fibrosa untuk melabuhkan gelung lebar sutura ketika reparasi
bedah.
Selain fossa ischioanalis, didapatkan pelvirectal space yang merupakan ruang potensial
dalam jaringan ikat longgar ekstraperitoneal, superior terhadap diaphragma pelvis. Pelvirectal
space dibagi menjadi rectouterine space (perempuan) atau rectovesical space (laki-laki) dan
retrorectal space oleh ligamentum recti laterale yang merupakan lamina posterior dari
hypogastric sheath. Ligamentum tersebut menghubungkan rectum ke fascia pelvis parietalis di
level S2–S4. Arteria rectalis media dan plexus rectalis terbenam dalam ligamentum recti
laterale.

STRUKTUR NEUROVASKULAR PELVIS


ARTERIAE PELVIS
Pelvis disuplai oleh banyak arteriae, dengan anastomosis multipel, membentuk sirkulasi
kolateral yang ekstensif. Enam arteriae utama memasuki pelvis minor perempuan: arteria iliaca

12
ANATOMI

interna dan arteria ovarica yang berpasangan, arteria sacralis mediana dan arteria rectalis
superior yang tidak berpasangan. Karena arteria testicularis tidak memasuki pelvis minor,
hanya empat arteriae utama memasuki pelvis minor laki-laki.

ARTERIA ILIACA INTERNA


Arteria iliaca interna adalah arteria utama pelvis yang menyuplai hampir seluruh darah ke
viscera pelvis dan sebagian kecil ke struktur muskuloskeletal pelvis; arteria iliaca interna juga
menyuplai regio glutealis, regio femoris medialis, dan perineum.
Arteria iliaca interna, panjang ± 4 cm, mulai sebagai arteria iliaca communis yang ber-
bifurcatio menjadi arteria iliaca interna dan arteria iliaca externa setinggi discus intervertebralis
antara vertebra L5 dan vertebra S1. Ureter menyilang arteria iliaca communis atau cabang
terminalis-nya di atau distalis segera terhadap bifurcatio. Arteria iliaca interna dipisahkan dari
articulatio sacroiliaca oleh vena iliaca interna dan truncus lumbosacralis. Arteria iliaca interna
berjalan turun posteromedialis ke dalam pelvis minor, di sebelah medialis vena iliaca externa
dan nervus obturatorius, dan lateralis terhadap peritoneum.
Divisi Anterior dari Arteria Iliaca Interna. Walaupun umum ditemukan variasi, arteria
iliaca interna biasanya berakhir di tepi superior foramen ischiadicum majus dengan terbagi
menjadi divisi anterior dan divisi posterior. Cabang divisi anterior arteria iliaca interna meliputi
terutama visceralis (menyuplai vesica urinaria, rectum, dan organ reproduksi), tapi juga
meliputi cabang parietalis yang berjalan ke femur dan nates. Susunan cabang visceralis
bervariasi.
Arteria Umbilicalis. Sebelum lahir, arteriae umbilicales adalah lanjutan utama arteria iliaca
interna, melintas di sepanjang dinding pelvis lateralis dan kemudian menaiki dinding abdomen
anterior ke dan melalui anulus umbilicalis ke dalam funiculus umbilicalis.
Prenatal, arteria umbilicalis menghantarkan darah miskin oksigen dan nutrien ke placenta.
Ketika funiculus umbilicalis dipotong, bagian distalis tidak berfungsi dan menjadi teroklusi
distalis terhadap cabang-cabang yang menuju vesica urinaria. Pars occlusa arteria umbilicalis
menjadi ligamentum umbicale mediale. Ligamentum umbicale mediale menaikkan lipatan
peritoneum (plica umbilicalis medialis) pada permukaan dalam dinding abdomen anterior.
Postnatal, pars patens arteria umbilicalis berjalan anteroinferior di antara vesica urinaria dan
dinding pelvis lateralis.
Arteria Obturatoria. Asal arteria obturatoria bervariasi; biasanya muncul di dekat asal
arteria umbilicalis, di mana disilang oleh ureter. Arteria obturatoria berjalan anteroinferior pada
fascia obturatoria di dinding pelvis lateralis dan berjalan di antara nervus obturatorius dan vena
obturatoria.
Dalam pelvis, arteria obturatoria mempercabangkan cabang muskular, arteria nutricia ilii,
dan ramus pubicus. Ramus pubicus muncul segera sebelum arteria obturatoria meninggalkan
pelvis. Ramus pubicus berjalan naik pada permukaan pelvis dari pubis untuk beranastomosis
dengan sesamanya dari sisi berlawanan, dan ramus pubicus dari arteria epigastrica inferior,
cabang arteria iliaca externa.
Arteria obturatoria accessoria kadang (20%) muncul dari arteria epigastrica inferior dan
berjalan turun ke dalam pelvis sepanjang rute yang biasa dilalui ramus pubicus. Arteria
obturatoria accessoria berdistribusi ekstrapelvis untuk membrum inferius.
Arteria Vesicalis Inferior. Arteria vesicalis inferior didapatkan hanya pada laki-laki,

13
ANATOMI

digantikan oleh arteria vaginalis pada perempuan.


Arteria Uterina. Arteria uterina adalah cabang tambahan arteria iliaca interna pada
perempuan, biasanya muncul terpisah dan langsung dari arteria iliaca interna. Arteria uterina
dapat muncul dari arteria umbilicalis. Menurut perkembangannya, arteria uterina adalah
homolog arteria ductus deferentis pada laki-laki. Berjalan turun pada dinding pelvis lateralis,
anterior terhadap arteria iliaca interna, dan berjalan ke medialis untuk mencapai junctio uterus
dan vagina, di mana cervix uteri berprotrusi ke dalam vagina superior. Ketika berjalan ke
medialis, arteria uterina berjalan langsung superior terhadap ureter. Hubungan ureter terhadap
arteria uterina sering diingat sebagai “water (urine) passes under the bridge (arteria uterina).”
Mencapai sisi cervix uteri, arteria uterina terbagi menjadi ramus vaginalis yang berjalan turun
dan lebih kecil, yang menyuplai cervix uteri dan vagina, serta cabang ascendens yang lebih
besar dan berjalan di tepi lateralis uterus. Cabang ascendens terbagi dua menjadi ramus
ovaricus dan ramus tubarius yang beranastomosis dengan ramus ovaricus dan ramus tubarius
dari arteria ovarica.
Arteria Vaginalis. Arteria vaginalis adalah homolog arteria vesicalis inferior pada laki-
laki. Arteria vaginalis lebih sering muncul dari bagian permulaan arteria uterina daripada
muncul langsung dari divisi anterior. Arteria vaginalis menyuplai banyak cabang untuk
permukaan anterior dan permukaan posterior dari vagina.
Arteria Rectalis Media. Arteria rectalis media dapat muncul independen dari arteria iliaca
interna atau bersama dengan arteria vesicalis inferior atau arteria pudenda interna.
Arteria Pudenda Interna. Arteria pudenda interna, lebih besar pada laki-laki daripada
perempuan, berjalan inferolateralis, anterior terhadap musculus piriformis dan plexus sacralis.
Meninggalkan pelvis di antara musculus piriformis dan musculus coccygeus melalui bagian
inferior foramen ischiadicum majus. Arteria pudenda interna berjalan di sekitar aspek posterior
spina ischiadica atau ligamentum sacrospinale dan memasuki fossa ischioanalis melalui
foramen ischiadicum minus.
Arteria pudenda interna bersama vena pudenda interna dan cabang nervus pudendus
berjalan dalam canalis pudendalis pada dinding lateralis fossa ischioanalis. Ketika keluar dari
canalis pudendalis, medialis terhadap tuber ischiadicum, arteria pudenda interna terbagi
menjadi cabang terminalis-nya, arteria perinealis dan arteria dorsalis penis atau arteria dorsalis
clitoridis.
Arteria Glutea Inferior. Arteria glutea inferior adalah cabang terminalis divisi anterior
arteria iliaca interna yang lebih besar, tapi dapat juga muncul dari divisi posterior. Arteria
glutea inferior berjalan ke posterior di antara nervi sacrales (biasanya S2 dan S3), dan
meninggalkan pelvis melalui bagian inferior foramen ischiadicum majus, inferior terhadap
musculus piriformis. Menyuplai musculi dan cutis dari nates, dan permukaan posterior femur.
Divisi Posterior dari Arteria Iliaca Interna. Divisi posterior mempercabangkan 3 arteriae
parietal berikut:
• Arteria iliolumbalis: berjalan superolateralis dalam pola rekuren (berbelok tajam ke
belakang) ke fossa iliaca. Di fossa iliaca, arteria iliolumbalis terbagi menjadi ramus iliacus,
yang menyuplai musculus iliacus dan ilium, serta ramus lumbalis yang menyuplai musculus
psoas major dan musculus quadratus lumborum.
• Arteria sacralis lateralis: arteria sacralis lateralis superior dan arteria sacralis lateralis
inferior dapat muncul sebagai cabang independen atau melalui truncus bersama. Arteria

14
ANATOMI

sacralis lateralis berjalan ke medialis dan turun anterior terhadap rami anteriores sacrales,
mempercabangkan rami spinales, yang berjalan melalui foramina sacralia anteriora, dan
menyuplai meninges spinalis yang membungkus radices nervi sacrales. Beberapa
cabangnya berjalan dari canalis sacralis melalui foramina sacralia posteriora dan menyuplai
musculus erector spinae dan cutis yang menutupi os sacrum.
• Arteria glutea superior: cabang terbesar divisi posterior yang menyuplai musculi glutei
di nates.

ARTERIA OVARICA
Arteria ovarica muncul dari aorta abdominalis, inferior terhadap arteria renalis, tapi
superior terhadap arteria mesenterica inferior. Ketika berjalan ke inferior, arteria ovarica
melekat ke peritoneum parietale dan berjalan anterior terhadap ureter pada dinding abdomen
posterior, biasanya memberikan cabang untuknya. Ketika memasuki pelvis minor, arteria
ovarica menyilang pangkal vasa iliaca externa. Arteria ovarica kemudian berjalan medialis,
terbagi menjadi ramus ovaricus dan ramus tubarius, yang menyuplai ovarium dan tuba uterina.
Rami tersebut beranastomosis dengan cabang yang bersesuaian dari arteria uterina.

Tabel 3. Arteriae Pelvis


Arteria Asal Perjalanan Distribusi Anastomosis
Gonad Aorta Turun retroperitoneal;
Testicularis abdominalis Melintas canalis inguinalis Pars abdominalis Arteria
(laki-laki) dan memasuki scrotum ureteris, testis dan cremasterica,
epididymis arteria ductus
deferentis
Ovarica Menyilang pelvic brim, Pars abdominalis Arteria uterina via
(perempuan) turun dalam ligamentum ureteris dan/atau pars ramus tubarius dan
suspensorium ovarii pelvica ureteris, ramus ovaricus
ovarium, dan ujung
ampulla tubae uterinae
Rectalis Lanjutan Menyilang vasa iliaca Bagian superior rectum Arteria rectalis
superior arteria communis sinistra dan media; arteria
mesenterica turun dalam pelvis di antara rectalis inferior
inferior lapisan-lapisan mesocolon (arteria pudenda
sigmoideum interna)
Sacralis Aspek Turun mendekati garis Vertebrae lumbales Arteria sacralis
mediana posterior tengah di depan vertebrae inferior, os sacrum dan lateralis (via rami
aorta L4 dan L5, os sacrum, dan os coccygis sacrales mediales)
abdominalis os coccygis
Iliaca Arteria iliaca Berjalan medialis melintas Suplai darah utama
interna communis pelvic brim dan turun untuk organ pelvis,
dalam cavitas pelvis; sering musculi glutei, dan
membentuk divisi anterior perineum
dan divisi posterior
Divisi Arteria iliaca Berjalan anterior sepanjang Viscera pelvis, musculi
anterior interna dinding pelvis lateralis, femur medialis
arteria iliaca terbagi menjadi arteriae superior, dan perineum
interna untuk viscera, arteria
obturatio, dan arteria
pudenda interna
Umbilicalis Divisi Menjalani rute pelvis Aspek superior vesica Kadang pars patens
anterior pendek, mempercabangkan urinaria dan, pada proximalis arteria
arteria iliaca arteria vesicalis superior, beberapa laki-laki, umbilicalis)
interna kemudian berobliterasi, ductus deferens (via

15
ANATOMI
menjadi ligamentum arteria vesicalis
umbilicale mediale superior dan arteria
ductus deferentis)
Vesicalis (Pars patens Biasanya multipel; berjalan Aspek superior vesica Arteria vesicalis
Superior proximalis ke aspek superior vesica urinaria; pada beberapa inferior (laki-laki);
arteria urinaria laki-laki, ductus arteria vaginalis
umbilicalis) deferens (via arteria (perempuan)
ductus deferentis)
Obturator- Berjalan anteroinferior Musculi pelvis, arteria Arteria epigastrium
ia pada fascia obturatoria di nutricia ilium, caput inferior (via ramus
dinding pelvis lateralis, femoris, dan musculi pubicus); arteria
meninggalkan pelvis via compartimentum umbilicalis
canalis obturatorius femoris mediale
Vesicalis Berjalan subperitoneal di Aspek inferior vesica Arteria vesicalis
inferior ligamentum laterale urinaria laki-laki, pars superior
(laki-laki) vesicae, mempercabangkan pelvica ureteris;
arteria prostatica (laki-laki) glandula prostata, dan
dan kadang arteria ductus glandula vesiculosa;
deferentis kadang ductus deferens
Ductus (Arteria Berjalan subperitoneal ke Ductus deferens Arteria testicularis;
Deferentis vesicalis ductus deferens arteria cremasterica
(laki- superior/
laki) inferior)
Rami (Arteria Turun di aspek Glandula prostata dan Arteria perinealis
prostatici vesicalis posterolateralis glandula pars prostatica urethrae profunda (arteria
(laki-laki) inferior) prostata pudenda interna)
Uterina Berjalan anteromedialis di Uterus, ligamenta Arteria ovarica (via
(perempuan) basis ligamentum latum/ uteri, bagian medialis ramus tubarius dan
superior ligamentum tuba uterina dan ramus ovaricus);
cardinale, ovarium, dan vagina arteria vaginalis
mempercabangkan ramus superior
vaginalis, kemudian
menyilang ureter di
superior untuk mencapai
aspek lateralis cervix uteri
Vaginalis (Arteria Terbagi menjadi ramus Ramus vaginalis: Ramus vaginalis
(perempu- uterina) vaginalis dan ramus vagina bawah, bulbus arteria uterina,
an) vesicalis inferior, ramus vestibuli dan rectum arteria vesicalis
vaginalis turun pada yang berdekatan; superior
vagina, ramus vesicalis ramus vesicalis
inferior berjalan ke vesica inferior: fundus
urinaria vesicae
Pudenda Keluar dari pelvis via Arteria utama (Arteria
Interna bagian infrapiriformis perineum, meliputi umbilicalis; rami
foramen ichiadicun majus, musculi dan cutis prostatici arteria
memasuki perineum (fossa tigonum anale dan vesicalis inferior
ischioanalis) via foramen trigonum urogenitale, pada laki-laki)
ichiadicun minus, berjalan badan erektil
Divisi via canalis pudendalis ke
anterior trigonum urogenitale
Rectalis arteria iliaca Turun di pelvis ke bagian Bagian inferior rectum, Arteria rectalis
Media interna inferior rectum glandula vesiculosa, superior dan arteria
glandula prostata rectalis inferior
(vagina)
Glutea Keluar dari pelvis via Diaphragma pelvis Arteria profunda
Inferior bagian infrapiriformis (coccygeus dan levator femoris (via arteria
foramen ichiadicun majus ani), piriformis, circumflexa
quadratus femoris, femoris medialis
hamstrings paling dan arteria
superior, gluteus

16
ANATOMI
maximus dan nervus circumflexa
ischiadicus femoris lateralis)
Divisi Arteria iliaca Berjalan ke posterior dan Dinding pelvis dan
posterior interna memberikan cabang regio glutealis
arteria iliaca parietal
interna
Iliolumbalis Turun anterior terhadap Psoas major, iliacus Arteria circumflexa
articulatio sacroiliaca dan dan quadratus ilium dan arteria
posterior terhadap vasa lumborum; cauda lumbalis ke-4 (dan
iliaca communis dan psoas equina dalam canalis paling bawah)
major, terbagi menjadi vertebralis
ramus iliacus dan ramus
lumbalis
Sacralis Berjalan pada aspek Piriformis, struktur Arteria sacralis
lateralis Divisi anteromedialis piriformis dalam canalis sacralis, medialis (dari
(superior posterior untuk mengirim cabang ke erector spinae, dan arteria sacralis
dan arteria iliaca dalam foramina sacralia cutis yang mediana)
inferior) interna anteriora menutupinya
Glutea Berjalan di antara truncus Piriformis, ketiga Arteria sacralis
Superior lumbosacralis dan ramus musculi glutei, dan lateralis, arteria
anterior nervus spinalis S1 tensor fasciae latae glutea inferior,
untuk keluar dari pelvis via arteria pudenda
bagian suprapiriformis interna, arteria
foramen ichiadicun majus circumflexa
femoris profunda,
arteria circumflexa
femoris lateralis

ARTERIA SACRALIS MEDIANA


Arteria sacralis mediana adalah arteria kecil tidak berpasangan yang biasanya muncul dari
permukaan posterior aorta abdominalis, superior segera terhadap bifurcatio aortae, tapi dapat
juga muncul dari permukaan anteriornya. Arteria sacralis mediana berjalan ke anterior ke satu
atau dua terakhir corpora vertebrae lumbales, os sacrum, dan os coccygis; cabang terminalis-
nya berpartisipasi dalam serangkaian gelung anastomosis. Sebelum arteria sacralis mediana
memasuki pelvis minor, kadang mempercabangkan arteriae L5 yang berpasangan.
Ketika turun melewati os sacrum, arteria sacralis mediana memberikan cabang-cabang
parietal kecil (rami sacrales laterales) yang beranastomosis dengan arteria sacralis lateralis.
Arteria sacralis mediana juga memberikan cabang visceral kecil ke bagian posterior rectum,
yang beranastomosis dengan arteria rectalis superior dan arteria rectalis media. Arteria sacralis
mediana mewakili ujung caudalis aorta dorsalis embrionik, yang ukurannya mengecil ketika
eminentia caudalis yang seperti ekor menghilang.

ARTERIA RECTALIS SUPERIOR


Arteria rectalis superior adalah lanjutan langsung arteria mesenterica inferior. Arteria
rectalis superior menyilang vasa iliaca communis kiri dan menuruni mesocolon sigmoideum
menuju pelvis minor. Pada level vertebra S3, arteria rectalis superior terbagi menjadi dua
cabang yang menuruni kedua sisi rectum dan menyuplai rectum inferior hingga sphincter ani
internus.

VENAE PELVIS
Plexus venosus pelvis dibentuk oleh venae yang saling berhubungan mengelilingi viscera

17
ANATOMI

pelvis. Jejaring yang saling berkomunikasi tersebut penting secara klinis. Berbagai plexus
dalam pelvis minor (rectalis, vesicalis, prostaticus, uterinus, dan vaginalis) bersatu dan
dialirkan terutama oleh tributari dari vena iliaca interna, tapi beberapa mengalir melalui vena
rectalis superior ke vena mesenterica inferior dari sistem portae hepatis, atau melalui vena
sacralis lateralis ke plexus venosus vertebralis internus. Jalur tambahan minor bagi drainase
venosa pelvis minor meliputi vena sacralis mediana dan, pada perempuan, vena ovarica.
Vena iliaca interna terbentuk superior terhadap foramen ischiadicum majus dan terletak
posteroinferior terhadap arteria iliaca interna. Tributari vena iliaca interna lebih bervariasi
daripada cabang arteria iliaca interna dengan siapa mereka berbagi nama, mengalirkan dari
teritori yang sama dengan yang disuplai oleh arteria. Namun demikian, tidak ada vena yang
menemani arteria umbilicalis di antara pelvis dan umbilicus, dan vena iliolumbalis dari fossa
iliaca biasanya mengalir ke vena iliaca communis. Vena iliaca interna bergabung dengan vena
iliaca externa membentuk vena iliaca communis. Vena iliaca communis kanan dan kiri bersatu
di level vertebra L4 atau L5 membentuk vena cava inferior.
Vena glutea superior, vena comitans dari arteria glutea superior adalah tributari vena iliaca
interna yang terbesar, kecuali pada kehamilan, di mana vena uterina menjadi lebih besar. Vena
testicularis melintas pelvis major ketika berjalan dari anulus inguinalis profundus menuju
terminasinya di abdomen posterior, tapi biasanya tidak mendrainase struktur pelvis.
Vena sacralis lateralis beranastomosis dengan plexus venosus vertebralis internus,
menyediakan lintasan kolateral alternatif untuk mencapai vena cava inferior atau vena cava
superior. Vena sacralis lateralis juga dapat menjadi jalur metastasis kanker glandula prostata
atau kanker ovarium ke daerah vertebra atau cranium.

NODI LYMPHOIDEI PELVIS


Nodi lymphoidei yang menerima drainase lympha dari organ pelvis bervariasi dalam
jumlah, ukuran dan lokasi. Empat grup utama nodi terletak di atau berdekatan dengan pelvis,
dinamai seperti pembuluh darah dengan mana nodi lymphoidei tersebut berhubungan:
• Nodi iliaci externi: terletak di atas pelvic brim, sepanjang vasa iliaca externa. Nodi iliaci
externi menerima lympha terutama dari nodi inguinales, juga dari viscera pelvis, khususnya
bagian superior dari organ pelvis anterior hingga medius. Sementara kebanyakan drainase
lympha dari pelvis cenderung melalui rute yang paralel dengan drainase venosa, drainase
lympha ke nodi iliaci externi tidak. Nodi iliaci externi mengalir ke nodi iliaci communes.
• Nodi iliaci interni: berkelompok di sekitar divisi anterior dan divisi posterior arteria iliaca
interna dan pangkal arteria glutea. Nodi iliaci interni menerima lympha dari viscera pelvis
inferior, perineum profundus, dan regio glutealis serta mengalirkannya ke nodi iliaci
communes.
• Nodi sacrales: terletak di konkavitas os sacrum, dekat vasa sacralis mediana. Nodi sacrales
menerima lympha dari viscera pelvis posteroinferior dan mengalirkannya ke nodi iliaci
interni atau nodi iliaci communes.
• Nodi iliaci communes: terletak superior terhadap pelvic brim, sepanjang vasa iliaca
communis, dan menerima lympha dari ketiga grup di atas. Nodi iliaci communes memulai
rute umum untuk drainase dari pelvis yang kemudian berjalan ke nodi lumbales
(cavales/aortici). Drainase langsung ke nodi iliaci communes yang tidak konstan terjadi dari

18
ANATOMI

beberapa organ pelvis (contoh, dari collum vesicae dan vagina inferior).
Grup nodi minor tambahan (contoh, nodi pararectales) menempati textus connectivus
sepanjang cabang vasa iliaca interna.
Nodi lymphoidei pelvis dari grup utama dan grup minor saling terhubung, sehingga banyak
nodi dapat diangkat tanpa mengganggu drainase. Interkoneksi juga memungkinkan kanker
menyebar hampir ke seluruh arah, ke viscera pelvis atau viscera abdomen manapun. Drainase
lympha cenderung paralel terhadap drainase venosa (kecuali untuk yang ke nodi iliaci externi),
namun pola tersebut tidak cukup predictable untuk mengantisipasi progres metastasis dan
stadium kanker organ pelvis dibandingkan kanker mamma melalui nodi axillares.

NERVI PELVIS
Pelvis dipersarafi terutama oleh nervi sacrales, nervus coccygeus, dan pars pelvica divisio
autonomica. Musculus piriformis dan musculus coccygeus membentuk alas untuk plexus
sacralis dan plexus coccygeus. Rami anteriores nervi S2 dan S3 muncul di antara digitasi kedua
otot tersebut.

NERVUS OBTURATORIUS
Nervus obturatorius berasal dari rami anteriores nervi spinales L2–L4 dari plexus lumbalis
di abdomen (pelvis major) dan memasuki pelvis minor. Nervus obturatorius berjalan dalam
lemak ekstraperitoneal sepanjang dinding pelvis lateralis ke canalis obturatorius, bukaan di
membrana obturatoria. Di sini terbagi menjadi ramus anterior dan ramus posterior, yang
meninggalkan pelvis melalui canalis obturatorius dan menyuplai otot femoris medialis. Tidak
ada struktur pelvis yang disuplai oleh nervus obturatorius.

TRUNCUS LUMBOSACRALIS
Di atau superior segera terhadap pelvic brim, pars descendens nervus L4 bergabung dengan
ramus anterior nervus L5 membentuk truncus lumbosacralis. Truncus lumbosacralis berjalan
inferior, pada permukaan anterior ala ossis sacri, dan bergabung dengan plexus sacralis.

PLEXUS SACRALIS
Plexus sacralis terletak di dinding pelvis posterolateralis. Dua nervi utama yang berasal
dari plexus ini adalah nervus ischiadicus dan nervus pudendus, terletak externus terhadap fascia
pelvis parietalis. Hampir seluruh cabang plexus sacralis meninggalkan pelvis melalui foramen
ischiadicum majus.
Nervus ischiadicus adalah nervus terbesar dalam tubuh. Nervus ini terbentuk ketika rami
anteriores nervi spinales L4–S3 yang besar berkonvergensi pada permukaan anterior
piriformis. Ketika dibentuk, nervus ischiadicus berjalan melalui foramen ischiadicum majus,
biasanya inferior terhadap piriformis, memasuki regio glutealis. Nervus ischiadicus turun
sepanjang aspek posterior femur untuk menyuplai aspek posterior femur serta seluruh crus dan
pes.
Nervus pudendus adalah nervus utama perineum dan nervus sensorius utama genitalia
externa. Berjalan bersama arteria pudenda interna, meninggalkan pelvis melalui foramen
ischiadicum majus (infrapiriformis) di antara musculus piriformis dan musculus coccygeus.

19
ANATOMI

Nervus pudendus kemudian melengkung di sekitar spina ischiadica dan ligamentum


sacrospinale, dan memasuki perineum melalui foramen ischiadicum minus.
Nervus gluteus superior meninggalkan pelvis melalui foramen ischiadicum majus,
superior terhadap piriformis untuk menyuplai otot regio glutealis.
Nervus gluteus inferior meninggalkan pelvis melalui foramen ischiadicum majus, inferior
terhadap piriformis dan superficialis terhadap nervus ischiadicus, menemani arteria glutea
inferior. Keduanya memberikan beberapa cabang yang memasuki permukaan dalam musculus
gluteus maximus yang menutupinya.

PLEXUS COCCYGEUS
Plexus coccygeus adalah plexus nervosus kecil yang dibentuk oleh rami anteriores S4 dan
S5 dan nervus coccygeus; terletak pada permukaan pelvis musculus coccygeus dan menyuplai
otot ini, sebagian musculus levator ani, dan articulatio sacrococcygea. Nervus anococcygeus
berasal dari plexus ini, menembus coccygeus dan ligamentum anococcygeum untuk menyuplai
area kecil dari kulit antara ujung os coccygis dan anus.

NERVUS AUTONOMICUS PELVIS


Nervus autonomicus memasuki cavitas pelvis melalui 4 rute:
• Truncus sympathicus sacralis: terutama menyediakan persarafan simpatis bagi membrum
inferius.
• Plexus periarterialis: serabut postsinaptik simpatis dan vasomotor bagi arteria rectalis
superior, arteria ovarica, dan arteria iliaca interna serta cabang-cabang arteriae tersebut.

Tabel 4. Nervi Somatik Pelvis


Nervus Asal Distribusi
Ischiadicus L4, L5, Cabang artikular untuk articulatio coxae dan rami musculares
S1, S2, S3 untuk flexor genu di femur dan semua musculi di crus dan pes
Gluteus superior L4, L5, S1 Musculus gluteus medius dan musculus gluteus minimus
Musculi quadrati femoris L4, L5, S1 Musculus quadratus femoris dan musculus gemellus inferior
(dan gemellus inferior)
Gluteus inferior L5, S1, S2 Gluteus maximus
Musculi obturatorii interni L5, S1, S2 Musculus obturator internus dam musculus gemellus superior
(dan gemellus superior)
Nervus musculi piriformis S1, S2 Musculus piriformis
Cutaneus femoris posterior S2, S3 Cabang cutaneus untuk nates dan femur medialis paling atas dan
permukaan posterior femur
Cutaneus perforans S2, S3 Cabang cutaneus untuk bagian medialis nates
Pudendus S2, S3, S4 Struktur di perineum: sensoris untuk genitalia; rami musculares
untuk musculi perinei, sphincter urethrae externus, dan sphincter
ani externus
Splanchnici pelvici S2, S3, S4 Viscera pelvis via plexus hypogastricus inferior dan plexus
pelvicus
Nervi untuk levator ani dan S3, S4 Musculus levator ani dan musculus coccygeus
coccygeus

• Plexus hypogastricus: rute paling penting melalui mana serabut simpatis dihantarkan ke
viscera pelvis.

20
ANATOMI

• Nervi splanchnici pelvici: lintasan bagi persarafan parasimpatis viscera pelvis, colon
descendens, dan colon sigmoideum.
Truncus sympathicus sacralis adalah lanjutan inferior truncus sympathicus lumbalis.
Ukuran truncus sympathicus sacralis lebih kecil dari truncus sympathicus lumbalis dan
biasanya mempunyai 4 ganglia sympathica. Truncus sympathicus sacralis menuruni facies
pelvica ossis sacri medialis segera terhadap foramina sacralia dan berkonvergensi membentuk
ganglion impar di medianus yang kecil (coccygeal ganglion) anterior terhadap os coccygis.
Truncus sympathicus sacralis turun posterior terhadap rectum dalam jaringan ikat
ekstraperitoneal dan mengirim ramus communicans griseus ke ramus anterior nervus sacralis
dan nervus coccygeus. Truncus sympathicus sacralis mengirim cabang kecil ke arteria sacralis
mediana dan plexus hypogastricus inferior. Fungsi utama truncus sympathicus sacralis adalah
menyediakan serabut postsinaptik bagi plexus sacralis untuk persarafan simpatis (vasomotor,
pilomotor, dan sudomotor) membrum inferius.
Plexus periarterialis dari arteria ovarica, arteria rectalis superior, dan arteria iliaca interna
adalah rute minor melalui mana serabut simpatis memasuki pelvis. Fungsi utamanya adalah
vasomotor bagi arteria yang ditemaninya.
Plexus hypogastricus (superior dan inferior) adalah jejaring serabut saraf simpatis dan
serabut saraf aferen visceral. Bagian utama plexus hypogastricus superior adalah pemanjangan
plexus intermesentericus, yang terletak inferior terhadap bifurcatio aortae. Membawa serabut
yang dihantarkan ke dan dari plexus intermesentericus oleh nervi splanchnici L3 dan L4.
Plexus hypogastricus superior memasuki pelvis, terbagi menjadi nervus hypogastricus dextra
dan nervus hypogastricus sinistra, yang berjalan menuruni facies pelvica ossis sacri. Nervi
tersebut turun lateralis terhadap rectum dalam hypogastric sheath dan menyebar dalam model
seperti kipas ketika bergabung dengan nervi splanchnici pelvici untuk membentuk plexus
hypogastricus inferior kanan dan kiri.
Plexus hypogastricus inferior mengandung serabut simpatis dan serabut parasimpatis juga
serabut aferen visceral, yang berlanjut melalui hypogastric sheath ke viscera pelvis,
membentuk subplexus yang secara kolektif disebut plexus pelvicus. Pada laki-laki dan
perempuan, subplexus berhubungan dengan aspek lateralis rectum dan permukaan
inferolateralis vesica urinaria. Sebagai tambahan, subplexus pada laki-laki juga berhubungan
dengan glandula prostata dan glandula vesiculosa. Pada perempuan, subplexus juga
berhubungan dengan cervix uteri dan pars lateralis fornicis vaginae.
Nervi splanchnici pelvici muncul dalam pelvis dari rami anteriores nervi spinales S2–S4
dari plexus sacralis. Menghantarkan serabut parasimpatis presinaptik yang diturunkan dari
medulla spinalis segmenta S2–S4, yang menyusun sacral outflow sistem saraf parasimpatis
(craniosacral), dan serabut aferen visceral dari perikaryon ganglia spinalia dari nervi spinales
yang bersesuaian. Kontribusi terbesar biasanya dari nervus S3.
Plexus hypogastricus/pelvicus, yang menerima serabut simpatis via nervi splanchnici
lumbales dan serabut parasimpatis via nervi splanchnici pelvici, mempersarafi viscera pelvis.
Walaupun di tempat lain komponen simpatis menghasilkan vasomotion, di sini serabut simpatis
menginhibisi kontraksi peristaltik rectum, menstimulasi kontraksi organa genitalia interna
ketika orgasme, dan menghasilkan ejakulasi pada laki-laki.
Karena pelvis tidak meliputi area cutanea, serabut simpatis pelvis tidak menghasilkan fungsi
pilomotion atau vasomotion. Serabut parasimpatis yang didistribusikan dalam pelvis

21
ANATOMI

menstimulasi kontraksi rectum dan vesica urinaria untuk defekasi dan miksi. Serabut
parasimpatis dalam plexus prostaticus berpenetrasi ke dalam dasar pelvis untuk mencapai
badan erektil dari genitalia externa, menghasilkan erectio.

PERSARAFAN AFEREN VISCERAL PELVIS


Serabut aferen visceral berjalan bersama neurofibrae autonomicae, walaupun impuls
sensoris dihantarkan ke centralis, retrograd terhadap impuls eferen yang dihantarkan oleh
serabut otonom. Semua serabut aferen visceral yang menghantarkan sensasi refleksif
(informasi yang tidak mencapai kesadaran) berjalan bersama serabut parasimpatis. Dengan
demikian, dalam kaitannya dengan pelvis, serabut aferen visceral berjalan melalui plexus
pelvicus dan plexus hypogastricus inferior dan nervi splanchnici pelvici menuju ganglia
sensoria nervi spinalis S2–S4.
Jalur yang dilalui oleh serabut aferen visceral yang menghantarkan nyeri dari viscera pelvis,
berbeda dalam rute dan tujuan, bergantung pada lokasi viscus atau bagian viscus dari mana
nyeri berasal, apakah superior atau inferior terhadap garis nyeri pelvis (pelvic pain line).
Kecuali pada saluran cerna, garis nyeri pelvis bersesuaian dengan batas inferior peritoneum.
Viscera abdomen dan viscera pelvis intraperitoneal, atau aspek viscera yang kontak dengan
peritoneum, adalah superior terhadap garis nyeri; viscera pelvis subperitoneal atau bagian
viscera adalah inferior terhadap garis nyeri. Pada saluran cerna (intestinum crassum), garis
nyeri tidak berkorelasi dengan peritoneum; garis nyeri terbentuk di pertengahan colon
sigmoideum.
Serabut aferen visceral yang menghantarkan impuls nyeri dari viscera abdomen dan viscera
pelvis yang terletak superior terhadap garis nyeri mengikuti serabut simpatis retrograd, naik
melalui plexus hypogastricus/plexus aorticus, nervi splanchnici lumbales, truncus sympathicus
lumbalis, dan rami communicantes albus untuk mencapai perikaryon di ganglia sensoria nervi
spinalis thoracica inferior/lumbalis superior. Inferior terhadap garis nyeri, serabut aferen
visceral mengikuti serabut parasimpatis retrograd melalui plexus pelvicus, plexus
hypogastricus inferior dan nervi splanchnici pelvici untuk mencapai perikaryon di ganglia
sensoria nervi spinalis S2–S4.

VISCERA PELVIS
Viscera pelvis meliputi bagian distalis systema urinarium dan systema digestorium, dan
systema genitale. Walaupun berekstensi ke dalam cavitas pelvis, colon sigmoideum dan
sebagian intestinum tenue merupakan viscera abdomen, bukan viscera pelvis. Vesica urinaria
dan rectum–viscera pelvis sebenarnya–adalah lanjutan sistem yang ditemukan di abdomen.

ORGANA GENITALIA MASCULINA INTERNA


Organa genitalia masculina interna meliputi testis, epididymis, ductus deferens, glandula
vesiculosa, ductus ejaculatorius, glandula prostata, dan glandula bulbourethralis. Testis dan
epididymis dianggap organa genitalia interna berdasarkan posisi perkembangannya dan
homolog dengan ovarium.

TESTIS
Testis (orchis) adalah gonad laki-laki, kelenjar reproduktif ovoid berpasangan yang

22
ANATOMI

menghasilkan spermatozoa dan hormon laki-laki, terutama testosteron. Testis tergantung


dalam scrotum oleh funiculus spermaticus dengan testis kiri biasanya tergantung lebih inferior
daripada testis kanan.
Permukaan testis ditutupi oleh lamina visceralis tunicae vaginalis testis, kecuali bagian di
mana testis melekat ke epididymis dan funiculus spermaticus. Tunica vaginalis testis adalah
kantung peritoneum tertutup yang mengelilingi testis, yang merepresentasikan bagian distalis
processus vaginalis embrionik. Lamina visceralis tunicae vaginalis testis melapisi testis,
epididymis, dan bagian inferior ductus deferens. Recessus seperti celah dari tunica vaginalis,
sinus epididymidis, di antara corpus epididymidis dan permukaan posterolateralis testis.
Lamina parietalis tunicae vaginalis testis, berdekatan dengan fascia spermatica interna,
lebih ekstensif daripada lamina visceralis tunicae vaginalis testis dan berekstensi ke superior
untuk jarak yang pendek ke bagian distalis funiculus spermaticus. Sejumlah kecil cairan dalam
rongga tunica vaginalis memisahkan lamina visceralis dan lamina parietalis, memungkinkan
testis bergerak bebas dalam scrotum.
Testis mempunyai permukaan luar fibrosa padat, tunica albuginea, yang menebal menjadi
ridge pada aspek internus posterior sebagai mediastinum testis. Dari mediastinum tampak
septula testis yang berekstensi antar lobuli testis yang berisi tubuli seminiferi contorti
(panjang dan sangat bergelung), di mana sperma diproduksi. Tubuli seminiferi contorti
dihubungkan oleh tubuli seminiferi recti ke rete testis, yakni jejaring saluran dalam
mediastinum testis.
Arteria testicularis yang panjang muncul dari aspek anterolateralis aorta abdominalis,
inferior segera terhadap arteria renalis. Arteria testicularis berjalan retroperitoneal dengan arah
oblik, menyilang ureter dan bagian inferior arteria iliaca externa untuk mencapai anulus
inguinalis profundus. Arteria testicularis memasuki canalis inguinalis melalui anulus inguinalis
profundus, keluar melalui anulus inguinalis superficialis, dan memasuki funiculus spermaticus
untuk menyuplai testis. Arteria testicularis atau salah satu cabangnya beranastomosis dengan
arteria ductus deferentis.
Venae yang muncul dari testis dan epididymis membentuk plexus venosus pampiniformis,
jejaring 8–12 venae yang terletak anterior terhadap ductus deferens dan mengelilingi arteria
testicularis dalam funiculus spermaticus. Plexus pampiniformis, musculus cremaster, dan
musculus dartos membentuk sistem termoregulator yang mempertahankan testis pada
temperatur konstan. Venae dari plexus pampiniformis berkonvergensi di superior, membentuk
vena testicularis dextra, yang memasuki vena cava inferior, dan vena testicularis sinistra
yang memasuki vena renalis sinistra.
Aliran lympha testis mengikuti arteria/vena testicularis menuju nodi lumbales dextri, nodi
lumbales sinistri, dan nodi preaortici. Nervi autonomici untuk testis muncul dari plexus
nervosus testicularis pada arteria testicularis, yang berisi serabut parasimpatis vagal, serabut
aferen visceral, dan serabut simpatis dari medulla spinalis segmentum T10 (–T11).

EPIDIDYMIS
Epididymis adalah struktur memanjang pada permukaan posterior testis. Ductuli efferentes
testis menghantarkan sperma yang baru terbentuk ke epididymis dari rete testis. Epididymis
terbentuk dari gulungan kecil ductus epididymidis, yang sangat kompak sehingga tampak solid.
Ductus epididymidis mengecil dalam perjalanannya dari caput epididymidis di bagian superior

23
ANATOMI

testis ke cauda epididymidis. Di cauda epididymidis, ductus deferens dimulai sebagai lanjutan
ductus epididymidis. Sepanjang perjalanannya dalam ductus epididymidis, sperma disimpan
dan berlanjut matang. Epididymis terdiri dari:
• Caput epididymidis: bagian superior yang tersusun dari lobuli epididymidis yang dibentuk
oleh ujung bergelung 12–14 ductuli efferentes testis.
• Corpus epididymidis: bagian utama yang tersusun dari gulungan padat ductus
epididymidis.
• Cauda epididymidis: lanjutan mengecil dengan ductus deferens yang menghantarkan
sperma dari epididymis ke ductus ejaculatorius untuk ekspulsi melalui urethra ketika
ejakulasi.

DUCTUS DEFERENS
Ductus deferens merupakan lanjutan ductus epididymidis. Ductus deferens:
• Mempunyai dinding muskular yang relatif tebal dan lumen yang kecil, menjadikannya
keras seperti cord.
• Dimulai dari cauda epididymidis di extremitas inferior testis.
• Berjalan naik posterior terhadap testis, medialis terhadap epididymis.
• Merupakan komponen utama funiculus spermaticus.
• Menembus dinding abdomen anterior melalui canalis inguinalis.
• Menyilang vasa iliaca externa dan memasuki pelvis.
• Berjalan sepanjang dinding pelvis lateralis, di mana terletak externus terhadap peritoneum
parietale.
• Berakhir dengan bergabung dengan ductus excretorius glandulae vesiculosae membentuk
ductus ejaculatorius.
• Terbagi menjadi pars scrotalis ductus deferentis, pars funicularis ductus deferentis, pars
inguinalis ductus deferentis, dan pars pelvica ductus deferentis.

Pars pelvica ductus deferentis kontak langsung dengan peritoneum; tidak ada struktur yang
mengintervensi. Ductus deferens menyilang superior terhadap ureter di dekat sudut
posterolateralis vesica urinaria, berjalan di antara ureter dan peritoneum dari ureteric fold untuk
mencapai fundus vesicae. Posterior terhadap vesica urinaria, ductus deferens mula-mula
terletak superior terhadap glandula vesiculosa, kemudian turun medialis terhadap ureter dan
glandula vesiculosa. Di sini ductus deferens membesar membentuk ampulla ductus deferentis
sebelum terminasinya.
Suplai darah berasal dari arteria ductus deferentis yang kecil dan muncul dari arteria
vesicalis superior (kadang arteria vesicalis inferior), dan berakhir dengan beranastomosis
dengan arteria testicularis, posterior terhadap testis. Venae dari hampir seluruh bagian ductus
deferens mengalir ke vena testicularis, termasuk plexus pampiniformis distalis. Bagian
terminalis-nya mengalir ke plexus venosus prostaticus/vesicalis.

GLANDULA VESICULOSA
Glandula vesiculosa (glandula seminalis; vesicula seminalis) adalah struktur memanjang
(panjang ± 5 cm, kadang jauh lebih pendek) yang terletak di antara fundus vesicae dan rectum.

24
ANATOMI

Glandula vesiculosa terletak obliqua superior terhadap glandula prostata dan tidak menyimpan
sperma. Glandula vesiculosa menyekresikan cairan alkalis kental dengan fruktosa dan agen
koagulasi yang bercampur dengan sperma ketika berjalan ke ductus ejaculatorius dan urethra.
Ujung superior glandula vesiculosa ditutupi peritoneum dan terletak posterior terhadap ureter,
di mana peritoneum dari excavatio rectovesicalis memisahkannya dari rectum. Ujung
inferiornya berhubungan erat dengan rectum dan dipisahkan dari rectum hanya oleh septum
rectovesicale. Ductus excretorius glandulae vesiculosae bergabung dengan ductus deferens
membentuk ductus ejaculatorius.
Arteriae untuk glandula vesiculosa diturunkan dari arteria vesicalis inferior dan arteria
rectalis media. Venae berjalan bersama arteriae dan mempunyai nama yang sama.

DUCTUS EJACULATORIUS
Ductus ejaculatorius adalah tabung kecil tipis yang terbentuk dari penggabungan ductus
excretorius glandulae vesiculosae dengan ductus deferens. Ductus ejaculatorius (panjang ± 2,5
cm) muncul di dekat collum vesicae, ductus ejaculatorius kanan dan ductus ejaculatorius kiri
berjalan berdekatan ketika berjalan anteroinferior melalui bagian posterior glandula prostata
dan sepanjang sisi utriculus prostaticus. Ductus ejaculatorius berakhir di colliculus seminalis
sebagai celah di kedua sisi lubang utriculus prostaticus. Walaupun ductus ejaculatorius
menembus glandula prostata, sekret glandula prostata tidak bergabung dengan cairan semen;
ductus ejaculatorius berakhir di pars prostatica urethrae.
Suplai darah berasal dari arteria ductus deferentis. Venae dari ductus ejaculatorius bermuara
ke plexus venosus prostaticus dan plexus venosus vesicalis.

GLANDULA PROSTATA
Glandula prostata (panjang ± 3 cm, lebar ± 4 cm, tebal anteroposterior ± 2 cm) adalah
kelenjar asesoris terbesar pada sistem reproduksi laki-laki. Glandula prostata mengelilingi pars
prostatica urethrae. Bagian glandular menyusun ± ⅔ prostata, ⅓ lainnya adalah stroma
fibromuscularis.
Capsula prostatica padat dan neurovaskular, meliputi plexus venosus prostaticus dan plexus
nervosus prostaticus. Semuanya dilapisi oleh fascia pelvis visceralis, yang membentuk
prostatic sheath yang tipis di anterior, berlanjut ke anterolateralis dengan ligamentum
puboprostaticum, dan padat di posterior di mana bercampur dengan septum rectovesicale.
Glandula prostata mempunyai:
• Basis prostatae yang berhubungan erat dengan collum vesicae.
• Apex prostatae yang kontak dengan fascia pada aspek superior dari musculus sphincter
urethrae dan musculus transversus perinei profundus.
• Facies anterior prostatae muskular dengan arah serabut otot kebanyakan transversus
membentuk hemisphincter (rhabdosphincter) verticalis trough-like, yang merupakan
bagian dari sphincter urethrae. Facies anterior dipisahkan dari symphysis pubica oleh lemak
retroperitoneal dalam spatium retropubicum.
• Facies posterior prostatae yang berhubungan dengan ampulla recti.
• Facies inferolateralis prostatae yang berhubungan dengan musculus levator ani.
Walaupun tidak jelas secara anatomis, glandula prostata dibagi menjadi:

25
ANATOMI

• Isthmus prostatae (lobus anterior) terletak anterior terhadap urethra. Isthmus prostatae
adalah stroma fibromuscularis, serabut ototnya merupakan lanjutan superior musculus
sphincter urethrae externus ke collum vesicae, dan mengandung sedikit, jika ada, jaringan
glandular.
• Lobus prostatae dexter dan lobus prostatae sinister, dipisahkan di anterior oleh isthmus
dan di posterior oleh lekukan longitudinalis dangkal centralis. Masing-masing dibagi lagi
menjadi 4 lobulus yang ditentukan berdasarkan hubungannya terhadap urethra dan ductus
ejaculatorius, dan–walaupun kurang tampak–oleh susunan ductus dan textus connectivus:
(1) Lobulus inferoposterior yang terletak posterior terhadap urethra dan inferior
terhadap ductus ejaculatorius. Lobulus ini adalah aspek glandula prostata yang dapat
dipalpasi dengan pemeriksaan colok dubur.
(2) Lobulus inferolateralis langsung lateralis terhadap urethra, membentuk bagian
utama lobus prostatae dexter dan lobus prostatae sinister.
(3) Lobulus superomedialis, profundus terhadap lobulus inferoposterior, mengelilingi
ductus ejaculatorius ipsilateral.
(4) Lobulus anteromedialis, profundus terhadap lobulus inferolateralis, langsung
lateralis terhadap pars prostatica urethrae.
Lobus medius embrionik menurunkan (3) dan (4) di atas. Regio ini cenderung mengalami
hipertrofi yang diinduksi hormon pada usia lanjut, membentuk lobulus medius yang terletak di
antara urethra dan ductus ejaculatorius dan berhubungan erat dengan collum vesicae.
Pembesaran lobulus medius dianggap ikut bertanggung jawab untuk pembentukan uvula yang
menonjol ke dalam ostium urethrae internum.
Beberapa klinikus, khususnya urologis dan sonografer, membagi glandula prostata menjadi
zona peripheralis prostatae dan zona centralis prostatae. Zona centralis prostatae dapat
disetarakan dengan lobus medius.
McNeal membagi glandula prostata berdasarkan zona untuk memperjelas pengertian
mengenai struktur glandula prostata yang digunakan untuk kepentingan klinis. Glandula
prostata dibagi menjadi beberapa zona dengan mengunakan pars prostatica urethrae sebagai
acuan, masing-masing mempunyai ductuli prostatici sendiri. Zona tersebut adalah zona
peripheralis prostatae, zona centralis prostatae, zona transitionalis prostatae, dan zona
glandularum periurethralium.
Zona peripheralis, zona transitionalis, dan zona glandularum periurethralium mempunyai
gambaran histologis dan asal embriologis yang sama, yaitu dari sinus urogenitalis; sedangkan
zona centralis secara histologis berbeda dan berasal dari ductus Wolff. Zona peripheralis
merupakan 70% dari jaringan glandular prostata yang terletak di sekeliling urethra, distalis
terhadap verumontanum. Bagian ini merupakan bagian yang sering terkena carcinoma prostata.
Zona centralis merupakan 25% dari jaringan glandular yang terletak di sekitar ductus
ejaculatorius. Zona transitionalis merupakan 5–10% dari jaringan glandular yang terdiri dari
dua lobulus kecil pada masing-masing sisi urethra bagian proximalis. Bagian ini merupakan
asal dari terjadinya hipertrofi prostata benigna. Zona glandularum periurethralium menyusun
kurang dari 1% jaringan glandula prostata dan terletak di sekitar urethra bagian proximalis,
juga merupakan asal dari hipertrofi prostata benigna dan sering membentuk bagian yang
disebut lobus medius.
Ductuli prostatici (20–30) bermuara terutama di sinus prostaticus yang terletak pada kedua

26
ANATOMI

sisi colliculus seminalis. Cairan prostata menyusun ± 20% volume semen. Arteriae untuk
glandula prostata merupakan cabang arteria iliaca interna, terutama arteria vesicalis inferior,
juga arteria pudenda interna, dan arteria rectalis media. Venae bergabung membentuk plexus
di sekeliling sisi dan basis prostatae. Plexus venosus prostaticus ini terletak di antara capsula
prostatica dan prostatic sheath, mengalir ke vena iliaca interna. Plexus venosus prostaticus
berlanjut ke superior dengan plexus venosus vesicalis dan berkomunikasi di posterior dengan
plexus venosus vertebralis internus.

GLANDULA BULBOURETHRALIS
Glandula bulbourethralis (Cowper’s glands) sebesar pea berpasangan terletak
posterolateralis terhadap pars intermedia urethrae, sebagian besar terkubur dalam musculus
sphincter urethrae externus. Ductus glandulae bulbourethralis berjalan melalui membrana
perinei bersama pars intermedia urethrae dan bermuara ke pars spongiosa urethrae di dalam
bulbus penis.

Tabel 5. Bagian Urethra Masculina


Bagian Panjang Lokasi/Disposisi Fitur
Pars 0,5–1,5 Berekstensi hampir verticalis Dikelilingi oleh sphincter urethrae
intramuralis cm melalui collum vesicae internus; diameter dan panjang
(preprostatica) bervariasi, bergantung pada apakah
vesica urinaria terisi atau kosong
Pars prostatica 3,0–4,0 Turun melalui glandula prostata Bagian paling lebar dan paling dapat
cm anterior, membentuk kurva berdilatasi; ditandai oleh crista urethralis
konkaf ke anterior; dibatasi di dengan colliculus seminalis, di sisinya
anterior oleh bagian seperti ada sinus prostaticus ke mana ductuli
trough verticalis prostatici bermuara; ductus ejaculatorius
(rhabdosphincter) dari sphincter membuka ke colliculus seminalis,
urethrae externus dengan demikian tractus urinarius dan
tractus genitalis bergabung di bagian ini
Pars intermedia 1,0–1,5 Berjalan melalui spatium Bagian paling sempit dan paling kurang
(membranacea) cm profundum perinei, dikelilingi dapat berdilatasi (kecuali ostium urethrae
oleh serabut circularis sphincter externum)
urethrae externus; menembus
membrana perinei
Pars spongiosa −15 cm Berjalan melalui corpus Bagian paling panjang dan paling mobil;
spongiosum penis; pelebaran glandula bulbourethralis bermuara ke
pertama terjadi dalam bulbus dalam bagian bulbous; di distalis,
penis; melebar lagi di distalis glandulae urethrales bermuara ke dalam
sebagai fossa navicularis lacunae urethrales kecil yang memasuki
urethrae (di glans penis) lumen pars spongiosa

PERSARAFAN ORGANA GENITALIA MASCULINA INTERNA


Ductus deferens, glandula vesiculosa, ductus ejaculatorius, dan glandula prostata dipersarafi
berlimpah oleh serabut simpatis. Serabut simpatis presinaptik berasal dari perikaryon yang
berada dalam columna intermediolateralis medullae spinalis T12–L2 (atau L3). Serabut
simpatis presinaptik melintas ganglia paravertebralia dari truncus sympathicus untuk menjadi
komponen nervi splanchnici lumbales, plexus hypogastricus, dan plexus pelvicus.
Serabut parasimpatis presinaptik dari medulla spinalis segmenta S2 dan S3 berjalan dalam
nervi splanchnici pelvici, yang juga bergabung dengan plexus hypogastricus inferior/plexus
pelvicus. Sinaps dengan neuron simpatis postsinaptik dan neuron parasimpatis postsinaptik

27
ANATOMI

terjadi dalam plexus, en route ke atau dekat viscera pelvis. Sebagai bagian dari proses orgasme,
sistem simpatis menstimulasi kontraksi musculus sphincter urethrae internus untuk mencegah
ejakulasi retrograd. Secara simultan, juga menstimulasi kontraksi seperti peristaltik cepat
ductus deferens, kombinasi kontraksi dan sekresi dari glandula vesiculosa dan glandula
prostata yang menyediakan semen, dan tenaga dorong untuk mengeluarkan sperma selama
ejakulasi. Fungsi persarafan parasimpatis bagi organa genitalia tidak jelas. Meskipun demikian,
serabut parasimpatis dalam plexus nervosus prostaticus membentuk nervi cavernosi yang
menuju badan erektil penis yang bertanggung jawab untuk ereksi penis.

ORGANA GENITALIA FEMININA INTERNA


Organa genitalia feminina interna meliputi ovarium, tuba uterina, uterus, dan vagina.

OVARIUM
Ovarium adalah gonad perempuan dengan ukuran dan bentuk seperti almon di mana
oocytus berkembang. Ovarium juga kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon reproduksi.
Ovarium digantung oleh lipatan pendek peritoneum, mesovarium. Mesovarium merupakan
bagian dari ligamentum latum uteri.
Pada perempuan prepubertas, tunica albuginea ovarii yang menyusun permukaan ovarium
yang ditutupi oleh lapisan halus mesothelium ovarii atau epithelium germinativum, lapisan
tunggal sel kuboid yang berwarna keabuan, kontras dengan permukaan mengkilap
mesovarium. Setelah pubertas, epithelium germinativum mengalami parut dan distorsi karena
ruptura berulang folliculi ovarici dan pengeluaran oocytus selama ovulasi.
Vasa ovarica, vasa lymphatici dan nervi melintas pelvic brim, berjalan ke dan dari aspek
superolateralis ovarium dalam lipatan peritoneum, ligamentum suspensorium ovarii, yang
berlanjut dengan mesovarium. Di medialis dalam mesovarium, ligamentum ovarii proprium
mengikatkan ovarium pada uterus. Sebagai akibatnya, ovarium ditemukan di lateralis di antara
uterus dan dinding pelvis lateralis pada pemeriksaan manual atau USG. Ligamentum ovarii
proprium adalah vestigium bagian superior gubernaculum ovarii fetus. Ligamentum ovarii
proprium menghubungkan extremitas uterina ovarii dengan sudut lateralis uterus, inferior
segera terhadap masuknya tuba uterina. Karena ovarium digantung dalam cavitas peritonealis
dan permukaannya tidak ditutupi peritoneum, oocytus yang keluar ketika ovulasi masuk ke
dalam cavitas peritonealis, ditangkap fimbriae tubae uterinae, dibawa ke dalam ampulla tubae
uterinae, di mana mungkin terjadi fertilisasi.
Ovarium terletak pada dinding pelvis lateralis, posisinya dipengaruhi oleh perubahan pada
uterus, misalnya pada waktu hamil, ovarium akan tertarik ke atas. Ovarium terletak dalam fossa
ovarii yang mempunyai batas depan arteria umbilicalis yang terobliterasi dan batas belakang
arteria iliaca interna dan ureter.
Ovarium mempunyai axis longitudinalis yang hampir verticalis, mempunyai facies lateralis
ovarii dan facies medialis ovarii, extremitas tubaria ovarii dan extremitas uterina ovarii, serta
margo mesovaricus ovarii (anterior) dan margo liber ovarii (posterior). Facies medialis
sebagian besar tertutup oleh tuba uterina, sedangkan facies lateralis berhubungan dengan
peritoneum. Margo mesovaricus melekat pada mesovarium, di sini terdapat hilum ovarii yaitu
tempat masuk pembuluh darah dan saraf. Margo liber berhubungan dengan tuba uterina dan
ureter. Pada extremitas tubaria melekat ligamentum suspensorium ovarii, sedangkan pada

28
ANATOMI

extremitas uterina melekat ligamentum ovarii proprium.


Mesovarium menghubungkan bagian belakang ligamentum latum uteri dengan margo
mesovaricus. Ligamentum suspensorium ovarii berjalan ke atas menuju jaringan ikat yang
membungkus musculus psoas. Ligamentum ini berisi vasa ovarica dan plexus nervosus
ovaricus. Ligamentum ovarii proprium menghubungkan extremitas uterina dan corpus uteri di
bawah tempat masuknya tuba uterina.

TUBA UTERINA
Tuba uterina (salpinx) menghantarkan oocytus yang dikeluarkan tiap bulan dari ovarium
selama masa reproduksi, dari cavitas peritonealis periovarii ke cavitas uteri. Tuba uterina juga
merupakan tempat fertilisasi. Tuba berekstensi ke lateralis dari cornu uteri dan membuka ke
dalam cavitas peritonealis di dekat ovarium.
Tuba uterina (panjang ± 10 cm) terletak dalam mesosalpinx, membentuk tepi bebas
anterosuperior dari ligamentum latum uteri. Tuba uterina digambarkan berekstensi simetris
posterolateralis ke dinding pelvis lateralis, di mana melengkung anterior dan superior terhadap
ovarium di ligamentum latum uteri yang horizontalis. Kenyataannya, seperti yang terlihat pada
pemeriksaan USG, tuba uterina umumnya tersusun asimetris dengan satu atau yang lain sering
terletak superior bahkan posterior terhadap uterus.

Tuba uterina dapat dibagi menjadi empat bagian, dari lateralis ke medialis:
1. Infundibulum tubae uterinae: ujung distalis tuba berbentuk funnel yang membuka ke
dalam cavitas peritonealis melalui ostium abdominale tubae uterinae. Tonjolan seperti jari
dari infundibulum yang disebut fimbriae tubae uterinae, menyebar pada facies medialis
ovarii; satu yang besar, yaitu fimbria ovarica melekat ke kutub superior ovarium.
2. Ampulla tubae uterinae: bagian yang paling lebar dan paling panjang, yang dimulai di
ujung medialis infundibulum tubae uterinae; fertilisasi oocytus biasanya terjadi di ampulla.
3. Isthmus tubae uterinae: bagian tuba yang berdinding tebal yang memasuki cornu uteri.
4. Pars uterina tubariae: segmen intramuralis yang pendek yang melintas melalui dinding
uterus dan membuka melalui ostium uterinum tubae uterinae ke dalam cavitas uteri di cornu
uteri.

Suplai dan Drainase Venosa Ovarium dan Tuba Uterina. Arteria ovarica berasal dari
aorta abdominalis dan turun sepanjang dinding abdomen posterior. Di pelvic brim, menyilang
vasa iliaca externa dan memasuki ligamentum suspensorium ovarii, mendekati aspek lateralis
ovarium dan tuba uterina. Cabang ascendens arteria uterina berjalan sepanjang aspek lateralis
uterus untuk mendekati aspek medialis ovarium dan tuba uterina. Arteria ovarica dan arteria
uterina berakhir dengan ber-bifurcatio menjadi ramus ovaricus dan ramus tubarius yang
menyuplai ovarium dan tuba uterina dari ujung berlawanan dan saling beranastomosis,
menyediakan sirkulasi kolateral dari sumber abdominal dan sumber pelvis untuk kedua
struktur.
Venae dari ovarium membentuk plexus venosus dalam ligamentum latum uteri dekat
ovarium dan tuba uterina. Venae dari plexus bergabung membentuk satu vena ovarica yang
meninggalkan pelvis minor bersama arteria ovarica. Vena ovarica dextra naik memasuki vena
cava inferior; vena ovarica sinistra mengalir ke vena renalis sinistra. Venae dari tuba uterina

29
ANATOMI

mengalir ke dalam vena ovarica dan plexus venosus uterinus.


Persarafan Ovarium dan Tuba Uterina. Saraf yang menyuplai, sebagian berasal dari
plexus ovaricus, berjalan turun bersama vasa ovarica; sebagian lagi berasal dari plexus uterinus
(pelvicus). Ovarium dan tuba uterina adalah intraperitoneal dan superior terhadap garis nyeri
pelvis. Dengan demikian, serabut nyeri aferen visceral berjalan retrograd dengan serabut
simpatis dari plexus ovaricus dan nervi splanchnici lumbales menuju perikaryon ganglia
sensoria nervi spinalis T11–L1. Serabut refleks aferen visceral mengikuti retrograd serabut
parasimpatis melalui plexus uterinus, plexus hypogastricus inferior dan nervi splanchnici
pelvici menuju perikaryon ganglia sensoria nervi spinalis S2–S4.

UTERUS
Uterus adalah organ muskular berongga, berdinding tebal, berbentuk pear. Embryo dan
fetus berkembang dalam uterus. Dinding muskularnya beradaptasi terhadap pertumbuhan fetus
dan menyediakan tenaga untuk ekspulsinya pada persalinan. Uterus nongravid biasanya
terletak dalam pelvis minor, dengan corpus uteri terletak di atas vesica urinaria dan cervix uteri
di antara vesica urinaria dan rectum. Uterus merupakan struktur yang sangat dinamik, ukuran
dan proporsinya berubah sesuai dengan berbagai perubahan selama hidup.
Uterus dewasa biasanya anteversio (anterosuperior terhadap sumbu vagina) dan anteflexio
(flexio atau bengkok ke anterior terhadap cervix uteri, menciptakan sudut flexio), sehingga
terletak di atas vesica urinaria. Sebagai akibatnya, ketika vesica urinaria kosong, uterus terletak
pada bidang yang hampir transversus. Posisi uterus berubah dengan derajat kepenuhan vesica
urinaria dan rectum, dan usia kehamilan Walaupun ukuran uterus bervariasi, uterus nongravid
mempunyai panjang ± 7,5 cm, lebar ± 5 cm, tebal ± 2 cm, dan berat ± 90 gram. Uterus dibagi
menjadi dua bagian utama: corpus uteri dan cervix uteri.
Corpus uteri membentuk ⅔ superior, termasuk fundus uteri, yaitu bagian membulat yang
terletak superior terhadap ostium uterinum tubae uterinae. Corpus uteri terletak di antara
lapisan ligamentum latum uteri dan dapat digerakkan bebas. Corpus uteri mempunyai dua
permukaan: facies vesicalis (anterior) dan facies intestinalis (posterior). Corpus dibatasi dari
cervix oleh isthmus uteri, segmen yang relatif konstriktif, panjangnya ± 1 cm.
Cervix uteri adalah ⅓ inferior uterus yang relatif sempit, silindris, panjang ± 2,5 cm pada
perempuan dewasa nongravid. Cervix dibedakan menjadi portio supravaginalis cervicis di
antara isthmus uteri dan vagina, dan portio vaginalis cervicis, yang berprotrusi ke dalam
dinding vagina anterior paling superior. Portio vaginalis cervicis yang membulat mengelilingi
ostium uteri (external os of the uterus) dan dikelilingi oleh recessus sempit, fornix vaginae.
Portio supravaginalis cervicis dipisahkan dari vesica urinaria di anterior oleh textus
connectivus laxus dan dari rectum di posterior oleh excavatio rectouterina.
Cavitas uteri mempunyai panjang ± 6 cm dari ostium uteri ke dinding fundus uteri. Cornu
uteri adalah regio superolateralis, di mana tuba uterina masuk. Cavitas uteri berlanjut di
inferior sebagai canalis cervicis uteri. Canalis cervicis uteri bermula dari isthmus uteri yang
menyempit dalamnya, ostium anatomicum uteri internum, melalui portio supravaginalis
cervicis dan portio vaginalis cervicis, berkomunikasi dengan lumen vagina melalui ostium
uteri. Cavitas uteri (khususnya canalis cervicis uteri) bersama lumen vagina membentuk birth
canal.

30
ANATOMI

Dinding corpus uteri terdiri dari tiga lapisan:


• Perimetrium–tunica serosa–peritoneum yang disokong oleh lapisan tipis jaringan ikat.
• Myometrium–tunica muscularis–menjadi sangat terdistensi (lebih ekstensif tapi lebih
tipis) selama kehamilan. Cabang utama vasa dan nervi uterus berada dalam lapisan ini.
• Endometrium–tunica mucosa–melekat erat ke myometrium di bawahnya. Endometrium
terlibat aktif dalam siklus menstruasi, struktur berbeda pada tiap stadium siklus.
Jumlah jaringan otot di cervix lebih sedikit daripada di corpus uteri. Cervix uteri lebih fibrosa
dan disusun terutama oleh kolagen dengan sedikit otot halus dan elastin.

Ligamenta Uterus. Di externus, ligamentum ovarii proprium melekat pada uterus


posteroinferior terhadap junctio uterotubalis. Ligamentum teres uteri melekat anteroinferior
terhadap junctio ini. Kedua ligamenta ini adalah vestigium dari gubernaculum ovarii,
berhubungan dengan relokasi gonad dari posisi perkembangannya di dinding abdomen
posterior.
Ligamentum latum uteri adalah lapisan ganda peritoneum yang berekstensi dari kedua sisi
uterus ke dinding pelvis lateralis dan dasar pelvis. Ligamentum ini membantu mempertahankan
posisi uterus. Kedua lapisan ligamentum latum uteri kontinu satu dengan lain di tepi bebas
yang mengelilingi tuba uterina. Di lateralis, peritoneum dari ligamentum latum uteri
memanjang ke superior menutupi vasa sebagai ligamentum suspensorium ovarii. Di antara
kedua lapisan ligamentum latum uteri di kedua sisi uterus, ligamentum ovarii proprium terletak
posteroinferior dan ligamentum teres uteri terletak anteroinferior. Tuba uterina terletak di tepi
bebas anterosuperior ligamentum latum uteri, dalam mesenterium kecil yang disebut
mesosalpinx. Ovarium terletak dalam mesenterium kecil yang disebut mesovarium di aspek
posterior ligamentum latum uteri. Bagian terbesar ligamentum latum uteri, mesometrium,
terletak inferior terhadap mesosalpinx dan mesovarium, berperan sebagai mesenterium untuk
uterus sendiri.
Uterus adalah struktur padat yang terletak di center cavitas pelvis. Sokongan utama uterus
yang mempertahankan posisinya adalah pasif dan aktif. Sokongan aktif atau dinamik uterus
diberikan oleh diaphragma pelvis. Tonusnya ketika duduk dan berdiri, serta kontraksi aktifnya
ketika tekanan intraabdominal naik ditransmisikan melalui organ-organ pelvis di sekelilingnya
dan fascia endopelvina. Sokongan pasif uterus diperoleh dari posisi anterversio dan anteflexio
uterus di atas vesica urinaria. Ketika tekanan intraabdominal meningkat, uterus ditekan
terhadap vesica urinaria. Cervix uteri adalah bagian yang paling kurang mobil karena sokongan
pasif dari perlekatan kondensasi fascia endopelvina, yang dapat juga mengandung otot polos:
• Ligamentum cardinale (ligamentum transversum cervicis) berekstensi dari portio
supravaginalis cervicis dan pars lateralis fornicis vaginae ke dinding pelvis lateralis.
• Ligamentum rectouterinum (uterosacral ligament) berjalan ke superior dan sedikit
posterior dari kedua sisi cervix uteri ke pertengahan os sacrum; ligamentum ini dapat
dipalpasi pada pemeriksaan colok dubur.
Relasi Uterus. Peritoneum menutupi uterus di anterior dan superior, kecuali cervix uteri.
Peritoneum direfleksikan ke anterior dari uterus ke vesica urinaria serta ke posterior, menutupi
pars posterior fornicis vaginae ke rectum. Di anterior, corpus uteri dipisahkan dari vesica
urinaria oleh excavatio vesicouterina, di mana peritoneum direfleksikan dari uterus ke tepi

31
ANATOMI

posterior permukaan superior vesica urinaria. Di posterior, corpus uteri dan portio
supravaginalis cervicis dipisahkan dari colon sigmoideum oleh selapis peritoneum dan cavitas
peritonealis, dan dari rectum oleh excavatio rectouterina. Di lateralis, arteria uterina menyilang
ureter di superior, dekat cervix uteri.

Simpulan relasi uterus:


• Di anterior (di anteroinferior pada posisi anteversio): fossa supravesicalis, excavatio
vesicouterina, dan permukaan superior vesica urinaria. Portio supravaginalis cervicis
berhubungan dengan vesica urinaria dan dipisahkan oleh jaringan ikat fibrosa.
• Di posterior: excavatio rectouterina berisi gelung intestinum tenue dan permukaan anterior
rectum; hanya fascia pelvis visceralis yang menyatukan rectum dan uterus di sini menahan
tekanan intraabdominal yang naik.
• Di lateralis: ligamentum latum uteri di sisi corpus uteri dan ligamentum cardinale di sisi
cervix uteri dan vagina; di transisi antara kedua ligamenta, ureter berjalan ke anterior sedikit
superior terhadap pars lateralis fornicis vaginae dan inferior terhadap arteria uterina,
biasanya ± 2 cm lateralis terhadap portio supravaginalis cervicis.
Suplai Darah dan Drainase Venosa Uterus. Suplai darah uterus diturunkan terutama dari
arteria uterina, dengan suplai kolateral potensial dari arteria ovarica. Vena uterina memasuki
ligamentum latum uteri bersama arteria uterina dan membentuk plexus venosus uterinus di
tiap sisi cervix uteri. Vena dari plexus venosus uterinus mengalir ke vena iliaca interna.

VAGINA
Vagina adalah tabung muskulomembranosa yang dapat berdistensi (panjang 7–9 cm),
memanjang dari pertengahan cervix uteri ke ostium vaginae, bukaan di ujung inferior vagina.
Ostium vaginae, ostium urethrae externum, dan ductus dari glandula vestibularis major dan
glandula vestibularis minor bermuara di vestibulum vaginae, celah di antara labia minora.
Portio vaginalis cervicis terletak anterior di vagina superior.

Vagina:
• Berperan sebagai saluran untuk cairan menstrual.
• Membentuk bagian inferior birth canal.
• Merupakan organ untuk kopulasi.
• Berkomunikasi di superior dengan canalis cervicis uteri dan di inferior dengan vestibulum
vaginae.
Vagina biasanya kolaps. Ostium vaginae biasanya kolaps terhadap garis tengah sehingga
dinding lateralis kontak pada tiap sisi celah anteroposterior. Superior terhadap ostium vaginae,
dinding anterior dan dinding posterior kontak pada tiap sisi rongga potensial transversus,
berbentuk H pada potongan melintang, kecuali di ujung superior di mana cervix uteri
memisahkannya. Vagina terletak posterior terhadap vesica urinaria dan urethra, urethra
menonjol ke dalam dinding anterior inferiornya. Vagina terletak anterior terhadap rectum,
berjalan di antara tepi medialis levator ani (musculus puborectalis). Fornix vaginae, recessus
sekeliling cervix uteri mempunyai pars anterior fornicis vaginae, pars posterior fornicis

32
ANATOMI

vaginae, dan pars lateralis fornicis vaginae. Pars posterior fornicis vaginae merupakan bagian
yang paling dalam dan berhubungan dengan excavatio rectouterina.
Empat otot mengompresi vagina dan bekerja sebagai sphincter: pubovaginalis, sphincter
urethrae externus, sphincter urethrovaginalis, dan bulbospongiosus.
Vagina dihubungkan:
• di anterior ke fundus vesicae dan urethra;
• di lateralis ke levator ani, fascia pelvis visceralis dan ureter; dan
• di posterior (dari inferior ke superior) ke canalis analis, rectum dan excavatio rectouterina.

SUPLAI DARAH DAN DRAINASE VENOSA VAGINA


Arteriae yang menyuplai bagian superior vagina diturunkan dari arteria uterina. Arteriae
yang menyuplai bagian tengah dan bagian inferior vagina berasal dari arteria vaginalis dan
arteria pudenda interna.
Venae vagina membentuk plexus venosus vaginalis di sepanjang sisi vagina dan dalam
tunica mucosa vagina. Venae tersebut kontinu dengan plexus venosus uterinus sebagai plexus
venosus uterovaginalis dan mengalir ke vena iliaca interna melalui vena uterina. Plexus ini
juga berkomunikasi dengan plexus venosus vesicalis dan plexus venosus rectalis.

PERSARAFAN VAGINA DAN UTERUS


Hanya ⅕-¼ inferior vagina mempunyai persarafan somatik. Persarafan bagian ini berasal
dari nervus perinealis profundus–cabang nervus pudendus–yang juga menghantarkan serabut
simpatis dan serabut aferen visceral, tapi tidak ada serabut parasimpatis. Hanya bagian yang
dipersarafi somatik ini yang sensitif terhadap raba dan temperatur, walaupun demikian serabut
somatik dan serabut aferen visceral mempunyai perikaryon di ganglion sensorium nervi
spinalis yang sama (S2–S4).
Hampir seluruh vagina (¾−⅘ superior) adalah visceral dalam persarafan. Nervi untuk
bagian vagina ini dan uterus diturunkan dari plexus nervosus uterovaginalis, yang berjalan
bersama arteria uterina di junctio dasar ligamentum latum uteri dan bagian superior
ligamentum cardinale. Plexus nervosus uterovaginalis adalah salah satu plexus pelvicus yang
berekstensi ke viscera pelvis dari plexus hypogastricus inferior. Serabut simpatis, serabut
parasimpatis, dan serabut aferen visceral berjalan melalui plexus ini.
Persarafan simpatis berasal dari medulla spinalis segmenta thoracica inferior dan berjalan
melalui nervi splanchnici lumbales, plexus intermesentericus, plexus hypogastricus, dan plexus
pelvicus. Persarafan parasimpatis berasal dari medulla spinalis segmenta sacralia S2–S4 dan
berjalan melalui nervi splanchnici pelvici ke plexus hypogastricus inferior, plexus
uterovaginalis. Persarafan aferen visceral dari bagian superior (intraperitoneal; fundus uteri dan
corpus uteri) dan bagian inferior (subperitoneal; cervix uteri) uterus dan vagina berbeda dalam
lintasan dan tujuan. Serabut aferen visceral yang menghantarkan impuls nyeri dari fundus uteri
dan corpus uteri (superior terhadap garis nyeri pelvis) mengikuti saraf simpatis retrograd untuk
mencapai perikaryon di ganglia thoracica inferior dan ganglia lumbalia superior. Serabut aferen
visceral yang menghantarkan impuls nyeri dari cervix uteri dan vagina (inferior terhadap garis
nyeri pelvis) mengikuti saraf parasimpatis retrograd melalui plexus hypogastricus inferior,
plexus uterovaginalis, dan nervi splanchnici pelvici untuk mencapai perikaryon di ganglion

33
ANATOMI

sensorium nervi spinalis S2–S4. Dua rute berbeda yang diikuti oleh serabut aferen visceral
secara klinis signifikan dalam hal menawarkan ibu variasi jenis anestesi untuk persalinan.
Seluruh serabut aferen visceral dari uterus dan vagina tidak berkaitan dengan nyeri (yang
menghantarkan sensasi yang tidak disadari) mengikuti rute kedua.

DRAINASE LYMPHA VISCERA PELVIS


Untuk bagian utama, vasa lymphatici pelvis mengikuti sistem vena, yang mana mengikuti
tributari vena iliaca interna ke nodi iliaci interni, langsung atau melalui nodi sacrales. Meskipun
demikian, struktur yang terletak superior di bagian anterior pelvis mengalir ke nodi iliaci
externi, jalur yang tidak paralel dengan drainase venae. Lympha dari nodi iliaci interni dan nodi
iliaci externi melalui nodi iliaci communes dan nodi lumbales, mengalir melalui truncus
lumbalis ke cisterna chyli.

DRAINASE LYMPHA VISCERA PELVIS MASCULINA


Vasa lymphatici dari ductus deferens, ductus ejaculatorius, dan bagian inferior glandula
vesiculosa mengalir ke nodi iliaci externi. Vasa lymphatici dari bagian superior glandula
vesiculosa dan glandula prostata berakhir terutama di nodi iliaci interni, beberapa di nodi
sacrales.

DRAINASE LYMPHA VISCERA PELVIS FEMININA


Vasa lymphatici dari ovarium, bergabung dengan vasa dari tuba uterina dan hampir seluruh
vasa dari fundus uteri mengikuti vena ovarica ketika berjalan naik menuju nodi lumbales dextri
dan nodi lumbales sinistri.
Vasa lymphatici dari uterus mengalirkan dalam banyak arah, mengikuti pembuluh darah
yang menyuplai uterus juga ligamenta yang melekat pada uterus:
• Kebanyakan vasa lymphatici dari fundus uteri dan corpus uteri superior berjalan di
sepanjang vasa ovarica menuju nodi lumbales; tapi beberapa pembuluh dari fundus uteri,
terutama yang berada di dekat masuknya tuba uterina dan perlekatan ligamentum teres
uteri, berjalan di sepanjang ligamentum teres uteri menuju nodi inguinales superficiales.
• Vasa dari hampir seluruh corpus uteri dan beberapa dari cervix uteri berjalan dalam
ligamentum latum uteri menuju nodi iliaci externi.
• Vasa dari cervix uteri berjalan di sepanjang vasa uterina, di dalam ligamentum cardinale,
ke nodi iliaci interni, dan sepanjang ligamentum rectouterinum ke nodi sacrales.

Vasa lymphatici dari bagian vagina mengalirkan sebagai berikut:


• Bagian superior: ke nodi iliaci interni dan nodi iliaci externi.
• Bagian medius: ke nodi iliaci interni.
• Bagian inferior: ke nodi sacrales dan nodi iliaci communes.
• Ostium vaginae: ke nodi ingunales superficiales.

34
ANATOMI
Tabel 6. Drainase Lympha Struktur Pelvis dan Perineum
Grup Nodi Lymphoidei Struktur Tipikal yang Mendrainase Ke Grup Nodi Lymphoidei
Lumbales Perempuan: Gonad dan struktur terkait; nodi Perempuan: ovarium; tuba uterina
sepanjang iliaci communes (kecuali isthmus tubae uterina dan pars
vasa ovarica uterina tubariae); fundus uteri
Laki-laki: Laki-laki: urethra; testis; epididymis
sepanjang
vasa
testicularis
Mesenterici inferiores Rectum paling superior; colon sigmoideum; colon descendens; nodi
pararectales
Iliaci communes Nodi iliaci externi dan nodi iliaci interni
Iliaci interni Struktur pelvis inferior; struktur Perempuan: basis vesica urinaria; pars
perineum profundus; nodi sacrales pelvica ureteris inferior; canalis analis
(di atas linea pectinata); rectum inferior;
vagina medius dan atas; cervix uteri;
corpus uteri
Laki-laki: pars prostatica urethrae;
glandula prostata; basis vesica urinaria;
pars pelvica ureteris inferior; glandula
vesiculosa inferior; badan cavernosa;
canalis analis (di atas linea pectinata);
rectum inferior
Iliaci externi Struktur pelvis anterosuperior; nodi Perempuan: vesica urinaria superior;
inguinales profundi pars pelvica ureteris superior; vagina
atas; cervix uteri; corpus uteri bawah
Laki-laki: vesica urinaria superior; pars
pelvica ureteris superior; glandula
vesiculosa atas; pars pelvica ductus
deferentis; pars intermedia urethrae;
pars spongiosa urethrae (sekunder)
Inguinales superficiales Membrum inferius; drainase Perempuan: uterus superolateralis
superficialis kuadran truncus (dekat perlekatan ligamentum teres
inferolateralis, termasuk dinding uteri); cutis perineum termasuk vulva;
abdomen anterior inferior terhadap ostium vaginae (inferior terhadap
umbilicus, regio glutealis, dan hymen); preputium clitoridis; cutis
struktur perineum superficialis perianal; canalis analis inferior terhadap
linea pectinata
Laki-laki: cutis perineum termasuk cutis
dan preputium penis; scrotum; cutis
perianal; canalis analis inferior terhadap
linea pectinata
Inguinales profundi Glans clitoridis/penis; nodi Perempuan: glans clitoridis
inguinales superficiales
Laki-laki: glans penis; pars spongiosa
urethrae distalis
Sacrales Struktur pelvis posteroinferior: rectum inferior; vagina inferior
Pararectales Rectum superior

PERINEUM
Perineum adalah compartimentum tubuh yang dangkal, yang dibatasi oleh apertura pelvis
inferior dan dipisahkan dari cavitas pelvis oleh fascia inferior diaphragmatis pelvis. Pada posisi
anatomis, permukaan perineum–regio perinealis–adalah regio sempit di antara bagian
proximalis femur; meskipun demikian, jika membrum inferius diabductiokan, area berbentuk
belah ketupat berekstensi dari mons pubis di anterior pada perempuan, permukaan medialis
(dalam) femur di lateralis, serta sulcus glutealis dan ujung superior crena analis di posterior.

35
ANATOMI

Struktur osseofibrosa yang menandai batas perineum adalah:


• Symphysis pubica di anterior.
• Ramus ischiopubicus di anterolateralis.
• Tuber ischiadicum di lateralis.
• Ligamentum sacrotuberale di posterolateralis.
• Os sacrum bagian paling inferior dan os coccygis di posterior.

Garis transversus yang menghubungkan ujung anterior tuber ischiadicum kiri dan tuber
ischiadicum kanan membagi perineum menjadi dua segitiga, bidang oblik yang saling potong
di garis transversus. Trigonum anale (regio analis) terletak posterior terhadap garis ini.
Canalis analis dan lubangnya, anus, menyusun fitur profundus dan superficialis trigonum,
terletak centralis dikelilingi corpus adiposum fossae ischioanalis. Trigonum urogenitale
anterior terhadap garis ini. Kontras dengan trigonum anale yang terbuka, trigonum urogenitale
“ditutup” oleh fascia profunda yang tipis dan kuat, membrana perinei, yang teregang di antara
kedua arcus pubicus, menutupi bagian anterior apertura pelvis inferior. Membrana perinei
mengisi hiatus urogenitalis di diaphragma pelvis, tapi ditembus urethrae (pada laki-laki dan
perempuan), dan vagina pada perempuan. Membrana perinei dan rami ischiopubici menjadi
dasar untuk badan erektil genitalia externa–penis dan scrotum pada laki-laki, dan pudendum
atau vulva pada perempuan–yang merupakan fitur superficialis trigonum urogenitale.
Titik tengah garis yang menghubungkan tuber ischiadicum kanan dan tuber ischiadicum kiri
adalah titik pusat perineum. Titik pusat ini merupakan lokasi corpus perineale, yang
merupakan massa iregular, bervariasi dalam ukuran dan konsistensi, dan mengandung serabut
kolagen dan serabut elastik, otot skeletal dan otot polos. Corpus perineale terletak profundus
terhadap cutis, dengan relatif sedikit tela subcutanea, posterior terhadap vestibulum vaginae
atau bulbus penis serta anterior terhadap anus dan canalis analis.

Corpus perineale adalah sisi konvergensi dan saling jalin serabut beberapa otot, meliputi:
• Bulbospongiosus.
• Sphincter ani externus.
• Transversus perinei superficialis dan transversus perinei profundus.
• Berkas otot polos dan volunter dari sphincter urethrae externus, levator ani, dan lapisan otot
dinding rectum.
Di anterior, corpus perineale bercampur dengan tepi posterior membrana perinei dan di
superior dengan septum rectovesicale atau septum rectovaginale.

FASCIAE DAN SPATIA DARI REGIO UROGENITALIS


FASCIAE PERINEI
Fascia perinei terdiri dari lapisan superficialis dan lapisan profundus. Tela subcutanea
perinei seperti pada dinding abdomen anterior inferior, terdiri dari lapisan lemak (superficialis)
dan stratum membranosum (profundus) yang disebut fascia perinei superficialis (Colles’
fascia).
Pada perempuan, lapisan lemak tela subcutanea perinei menyusun substansi labia majora
dan mons pubis, dan berlanjut di anterior dan superior dengan lapisan lemak dari tela

36
ANATOMI

subcutanea abdominis (Camper’s fascia). Pada laki-laki, lapisan lemak tela subcutanea sangat
jauh berkurang di trigonum urogenitale, di penis dan scrotum digantikan oleh musculus dartos
(otot polos). Musculus dartos berlanjut di antara penis/scrotum dan femur dengan lapisan lemak
dari tela subcutanea abdominis. Pada laki-laki dan perempuan, lapisan lemak dari tela
subcutanea perinei berlanjut ke posterior dengan corpus adiposum fossae ischioanalis di regio
analis.
Fascia perinei tidak berekstensi ke trigonum anale; di posterior melekat ke tepi posterior
membrana perinei dan corpus perineale. Di lateralis, melekat ke fascia lata aspek paling
superior medialis femur. Pada laki-laki, di anterior fascia perinei berlanjut dengan fascia
dartos dari penis dan scrotum; di kedua sisi dan anterior terhadap scrotum, fascia perinei
menjadi kontinu dengan stratum membranosum dari tela subcutanea abdominis. Pada
perempuan, fascia perinei berjalan superior terhadap lapisan lemak yang membentuk labia
majora dan menjadi kontinu dengan stratum membranosum (Scarpa’s fascia) dari tela
subcutanea abdominis.
Lapisan profundus fascia perinei (Gallaudet’s fascia) membungkus musculus
ischiocavernosus, musculus bulbospongiosus, dan musculus transversus perinei superficialis.
Melekat di lateralis ke rami ischiopubici. Di anterior, berfusi dengan ligamentum suspensorium
penis dan berlanjut dengan fascia profunda yang menutupi musculus obliquus externus
abdominis dan vagina musculi recti abdominis. Pada perempuan lapisan profundus fascia
perinei berfusi dengan ligamentum suspensorium clitoridis dan, seperti pada laki-laki, dengan
fascia profunda dari abdomen.

SPATIUM SUPERFICIALE PERINEI


Spatium superficiale perinei atau compartimentum superficiale perinei (superficial perineal
pouch) adalah ruang potensial di antara fascia perinei dan membrana perinei, dibatasi di
lateralis oleh rami ischiopubici.

Pada laki-laki, spatium superficiale perinei mengandung:


• Radix penis (bulbus penis dan crura penis) dan otot yang berhubungan (ischiocavernosus
dan bulbospongiosus).
• Bagian proximalis pars spongiosa urethrae.
• Musculus transversus perinei superficialis.
• Cabang perinealis profunda dari vasa pudenda interna dan nervus pudendus.
Pada perempuan, spatium superficiale perinei mengandung:
• Clitoris dan otot yang berhubungan (ischiocavernosus).
• Bulbus vestibuli dan otot yang mengelilinginya (bulbospongiosus).
• Glandula vestibularis major.
• Musculus transversus perinei superficialis.
• Vasa dan nervi terkait (cabang perinealis profunda dari vasa pudenda interna dan nervus
pudendus).

SPATIUM PROFUNDUM PERINEI


Spatium profundum perinei atau saccus profundus perinei (deep perineal pouch) dibatasi di

37
ANATOMI

inferior oleh membrana perinei, di superior oleh fascia inferior diaphragmatis pelvis, dan di
lateralis oleh bagian inferior fascia obturatoria (menutupi musculus obturatorius internus).
Spatium profundum perinei juga mencakup recessus anterior fossae ischionalis yang berisi
lemak. Batas superior di regio hiatus urogenitalis tidak jelas.

Pada laki-laki dan perempuan, spatium profundum perinei berisi:


• Bagian urethra, di centralis.
• Bagian inferior musculus sphincter urethrae externus, di atas centrum membrana perinei,
mengelilingi urethra.
• Ekstensi anterior dari corpus adiposum fossae ischioanalis.

Pada laki-laki, spatium profundum perinei berisi:


• Pars intermedia urethrae, bagian paling sempit urethra laki-laki.
• Musculus transversus perinei profundus, superior segera terhadap membrana perinei (pada
permukaan superior), berjalan transversalis di sepanjang aspek posterior.
• Glandula bulbourethralis, terkubur dalam otot perinei profundus.
• Struktur neurovaskular dorsalis penis.

Pada perempuan, spatium profundum perinei berisi:


• Bagian proximalis urethra.
• Massa otot polos sebagai ganti musculus transversus perinei profundus pada tepi posterior
membrana perinei, berhubungan dengan corpus perineale.
• Struktur neurovaskular dorsalis clitoridis.

Konsep Lampau tentang Spatium Profundum Perinei dan Sphincter Urethrae


Externus. Secara tradisional, diaphragma urogenitalis yang trilaminar dan triangular,
dideskripsikan sebagai struktur yang menyusun spatium profundum perinei. Walaupun
deskripsi klasik dapat dibenarkan ketika memandang hanya aspek superficialis struktur yang
menempati spatium profundum perinei, konsep lama tentang diaphragma dua dimensi datar
adalah tidak benar. Berdasarkan konsep ini, “diaphragma urogenitalis” trilaminar terdiri dari
membrana perinei (fascia inferior diaphragmatis urogenitalis) di inferior, fascia superior
diaphragmatis urogenitalis di superior, dan otot perinei profundus di antaranya. Spatium
profundum perinei adalah ruang di antara kedua membrana fascial, ditempati oleh lembaran
muskular datar yang terdiri dari sphincter urethrae yang seperti cakram anterior terhadap atau
di dalam musculus transversus perinei profundus yang ekual dua dimensional dan berorientasi
transversalis. Pada laki-laki, glandula bulbourethralis juga dianggap sebagai isinya. Hanya
deskripsi mengenai membrana perinei dan musculus transversus perinei profundus laki-laki
(dengan glandulae di dalamnya) yang terbukti.
Konsep Baru tentang Spatium Profundum Perinei dan Musculus Sphincter Urethrae
Externus. Pada perempuan, tepi posterior membrana perinei ditempati oleh massa otot polos
sebagai ganti musculus transversus perinei profundus. Superior segera terhadap separuh
posterior membrana perinei, pada laki-laki didapatkan musculus transversus perinei profundus
yang datar, seperti lembaran, memberikan sokongan dinamis bagi viscera pelvis. Sementara

38
ANATOMI

itu, musculus sphincter urethrae bukanlah struktur planar, datar, dan “fascia superior” adalah
fascia intrinsik musculus sphincter urethrae externus. Pandangan sekarang menganggap bahwa
fascia inferior diaphragmatis pelvis merupakan batas superior spatium profundum perinei.
Pada kedua pandangan, membrana perinei merupakan batas inferior spatium profundum
perinei yang memisahkannya dari spatium superficiale perinei. Membrana perinei dan corpus
perineale memberikan sokongan pasif bagi viscera pelvis.
Musculus sphincter urethrae externus pada laki-laki lebih seperti tabung daripada cakram.
Pada laki-laki, hanya bagian inferior yang mengelilingi (true sphincter) pars intermedia
urethrae inferior terhadap glandula prostata. Bagian yang lebih besar seperti tabung berekstensi
verticalis ke collum vesicae sebagai bagian isthmus prostatae, menggantikan jaringan glandular
dan membungkus pars prostatica urethrae di anterior dan anterolateralis. Tampaknya,
primordium muskular dibentuk mengelilingi urethra sebelum perkembangan glandula prostata.
Ketika glandula prostata berkembang dari glandulae urethrales, otot posterior dan
posterolateralis atrofi, atau digantikan oleh glandula prostata. Apakah bagian otot ini
mengompresi atau mendilatasikan pars prostatica urethrae masih kontroversi.
Pada perempuan, sphincter urethrae externus lebih berfungsi sebagai “sphincter urogenital”.
Di sini juga sebagian membentuk sphincter anular sejati mengelilingi urethra, dengan beberapa
tambahan: bagian superior, berekstensi ke collum vesicae; subdivisi digambarkan sebagai
berekstensi inferolateralis ke ramus ossis ischii (musculus compressor urethrae); dan bagian
seperti band, yang melingkari vagina dan urethra (musculus sphincter urethrovaginalis). Pada
laki-laki dan perempuan, muskulatur digambarkan berorientasi tegak lurus terhadap membrana
perinei, bukan pada bidang paralel terhadapnya.

FITUR TRIGONUM ANALE


FOSSA ISCHIOANALIS
Fossa ischioanalis (dulu disebut fossa ischiorectalis) di kedua sisi canalis analis adalah
ruang besar berbentuk wedge, dibatasi fascia, di antara cutis regio analis dan diaphragma
pelvis. Apex dari fossa terletak di superior di mana musculus levator ani muncul dari fascia
obturatoria. Fossa ischioanalis lebar di inferior, sempit di superior, diisi lemak dan textus
connectivus laxus. Kedua fossa ischioanalis berkomunikasi melalui deep postanal space di atas
ligamentum anococcygeum (massa fibrosa yang terletak antara canalis analis dan ujung os
coccygis). Fossa ischioanalis dibatasi:
• Di lateralis oleh ischium dan bagian inferior obturatorius internus yang ditutupi fascia
obturatoria.
• Di medialis oleh musculus sphincter ani externus, dengan dinding medialis superior atau
atap dibentuk oleh levator ani ketika turun bercampur dengan sphincter; kedua struktur
mengelilingi canalis analis.
• Di posterior oleh ligamentum sacrotuberale dan musculus gluteus maximus.
• Di anterior oleh corpus ossis pubis, inferior terhadap origo puborectalis. Bagian fossa ini,
yang berekstensi ke dalam trigonum urogenitale superior terhadap membrana perinei (dan
otot pada permukaan superiornya), dikenal sebagai recessus anterior fossae ischioanalis.
Fossa ischioanalis diisi corpus adiposum fossae ischioanalis, yang menyokong canalis analis
dan memungkinkan turunnya dan ekspansi canalis analis selama pasase faeces. Corpus

39
ANATOMI

adiposum fossae ischioanalis dilalui oleh pita fibrosa padat, juga struktur neurovaskular,
meliputi vasa dan nervi rectalis/analis inferior, dan 2 nervi cutanei, ramus perforans S2 dan S3,
dan ramus perinealis dari nervus S4.

CANALIS PUDENDALIS DAN BERKAS NEUROVASKULARNYA


Canalis pudendalis (Alcock’s canal) adalah lintasan horizontalis dalam fascia obturatoria
yang menutupi aspek medialis musculus obturatorius internus dan membatasi dinding lateralis
fossa ischioanalis. Arteria dan vena pudenda interna, nervus pudendus, dan nervus musculi
obturatorii interni memasuki canalis pudendalis di incisura ischiadica minor, inferior terhadap
spina ischiadica. Vasa pudenda interna dan nervus pudendus menyuplai dan mendrainase darah
serta mempersarafi hampir seluruh perineum.
Ketika memasuki canalis, arteria pudenda interna dan nervus pudendus mempercabangkan
arteria rectalis inferior dan nervus rectalis inferior, yang berjalan medialis untuk menyuplai
sphincter ani externus dan cutis perianal. Di ujung distalis (anterior) canalis pudendalis, arteria
dan nervus ber-bifurcatio, mempercabangkan nervus dan arteria perinealis, yang terdistribusi
hampir seluruhnya di spatium superficiale perinei (inferior terhadap membrana perinei); serta
arteria dan nervus dorsalis penis/clitoridis yang berjalan dalam spatium profundum perinei
(superior terhadap membrana perinei). Ketika arteria dan nervus dorsalis penis/clitoridis
mencapai dorsum penis/clitoridis, nervus berjalan distalis pada sisi lateralis lanjutan arteria
pudenda interna untuk bersama-sama menuju glans penis atau glans clitoridis.
Nervus perinealis mempunyai dua cabang: nervus perinealis superficialis yang
mempercabangkan nervi (cutanei) scrotales/labiales posteriores, dan nervus perinealis
profundus yang menyuplai otot di spatium profundum perinei dan spatium superficiale perinei,
kulit vestibulum vaginae, dan mukosa bagian paling inferior vagina. Nervus rectalis inferior
berkomunikasi dengan nervi scrotales/labiales posteriores dan nervus perinealis. Nervus
dorsalis penis/clitoridis adalah nervus sensorius utama untuk organ laki-laki atau perempuan,
terutama glans di ujung distalis.

TRIGONUM UROGENITALE MASCULINUM


Trigonum urogenitale masculinum meliputi genitalia masculina externa dan musculi perinei.
Organa genitalia masculina externa meliputi urethra distalis, scrotum, dan penis.

URETHRA MASCULINA DISTALIS


Urethra masculina dibagi menjadi 4 bagian: pars intramuralis (preprostatica), pars prostatica,
pars intermedia (membranacea), dan pars spongiosa.
Pars intermedia urethrae mulai di apex glandula prostatae dan melintasi spatium
profundum perinei, dikelilingi oleh sphincter urethrae externus. Pars intermedia urethrae
menembus membrana perinei, berakhir ketika urethra memasuki bulbus penis. Posterolateralis
terhadap pars intermedia urethrae didapatkan glandula bulbourethralis dan ductus glandulae
bulbourethralis, yang membuka ke dalam bagian proximalis pars spongiosa urethrae.
Pars spongiosa urethrae mulai di ujung distalis pars intermedia urethrae dan berakhir di
ostium urethrae externum, yang sedikit lebih sempit dari bagian lain urethra. Lumen pars
spongiosa urethrae berdiameter ± 5 mm, tapi melebar dalam bulbus penis membentuk fossa

40
ANATOMI
Tabel 7. Arteriae Perineum
Arteria Asal Perjalanan Distribusi di Perineum
Pudenda interna Divisi Meninggalkan pelvis melalui Arteria utama perineum dan
anterior foramen ischiadicum majus; organa genitalia externa
arteria iliaca melengkung sekitar spina
interna ischiadica untuk memasuki
perineum melalui foramen
ischiadicum minus; memasuki
canalis pudendalis
Rectalis inferior Dipercabangkan di pintu masuk Canalis analis inferior terhadap
canalis pudendalis; melintas linea pectinata; sphincter ani,
Arteria fossa ischioanalis ke canalis cutis perianal
pudenda analis
Perinealis interna Dipercabangkan dalam canalis Menyuplai musculi perinei yang
pudendalis; berjalan ke spatium superficialis dan
superficiale perinei scrotum/vestibulum vaginae
Scrotales/labiales Berjalan dalam fascia Cutis scrotum atau labia majora
posteriores superficialis scrotum/labia dan labia minora
Cabang majora posterior
Arteria bulbi terminalis Menembus membrana perinei Menyuplai bulbus penis
penis/vestibuli arteria untuk mencapai bulbus penis (termasuk bulbar urethra) dan
perinealis atau vestibulum vaginae glandula bulbourethralis atau
bulbus vestibuli dan glandula
vestibularis major
Arteria profunda Menembus membrana perinei Menyuplai hampir seluruh
penis/clitoridis untuk memasuki crura jaringan erektil corpora
penis/clitoridis; cabang-cabang cavernosa penis/clitoridis via
Cabang berjalan ke proximalis dan arteriae helicinae
terminalis distalis
Arteria dorsalis arteria Berjalan ke spatium profundum Spatium profundum perinei;
penis/clitoridis pudenda perinei; menembus membrana cutis penis; fascia
interna perinei dan melintas ligamentum penis/clitoridis; corpus
suspensorium penis/clitoridis spongiosum penis distalis,
untuk berjalan pada dorsum termasuk pars spongiosa
penis/clitoridis ke glans urethrae; glans penis/clitoridis
Pudenda externa, Arteria Berjalan medialis dari femur Aspek anterior scrotum dan cutis
ramus superficialis femoralis untuk mencapai aspek anterior radix penis; mons pubis dan
dan ramus profunda trigonum urogenitale aspek anterior labia

intrabulbaris, dan dalam glans penis membentuk fossa navicularis urethrae. Di tiap sisi,
didapatkan ductus glandulae bulbourethralis yang membuka ke dalam bagian proximalis pars
spongiosa urethrae; lubang ductus sangat kecil. Di sini juga banyak bukaan kecil dari ductus
glandulae urethrales yang menyekresikan mucus ke dalam pars spongiosa urethrae.
Suplai Darah Urethra Masculina Distalis. Suplai pars intermedia urethrae dan pars
spongiosa urethrae dari cabang arteria dorsalis penis.
Drainase Venosa dan Lympha Urethra Masculina Distalis. Venae menemani arteriae
dan bernama sama. Vasa lymphatici dari pars intermedia urethrae mengalir terutama ke nodi
iliaci interni, sementara kebanyakan vasa dari pars spongiosa urethrae berjalan ke nodi
inguinales profundi, sedikit lympha mengalir ke nodi iliaci externi.
Persarafan Urethra Masculina Distalis. Persarafan pars intermedia urethrae sama seperti
pars prostatica urethrae: persarafan otonom (eferen) via plexus nervosus prostaticus, yang
muncul dari plexus hypogastricus inferior. Persarafan simpatis dari medulla spinalis level
lumbalis via nervi splanchnici lumbales, dan persarafan parasimpatis dari level sacralis via
nervi splanchnici pelvici. Serabut aferen visceral mengikuti serabut parasimpatis retrograd ke

41
ANATOMI

ganglia sensoria nervi spinalis sacrales. Nervus dorsalis penis, cabang nervus pudendus,
memberikan persarafan somatik pars spongiosa urethrae.

SCROTUM
Scrotum adalah kantung fibromuskular cutanea untuk testis dan struktur terkait. Scrotum
berada posteroinferior terhadap penis dan inferior terhadap symphysis pubica. Pembentukan
scrotum embrionik bilateral ditunjukkan oleh raphe scroti yang berlanjut pada permukaan
ventralis penis dengan raphe penis, dan di posterior di sepanjang linea mediana perineum
dengan raphe perinei. Di internus, profundus terhadap raphe scroti, scrotum terbagi menjadi
dua compartimenta, oleh perpanjangan fascia dartos, yakni septum scroti.
Scrotum terdiri dari dua lapisan: kulit berpigmentasi tinggi dan fascia dartos, yaitu lapisan
fascial bebas lemak termasuk serabut otot polos (musculus dartos) yang bertanggung jawab
atas tampilan keriput scrotum. Karena musculus dartos melekat ke kulit, kontraksinya
menyebabkan scrotum berkerut ketika dingin, mempertebal lapisan kulit seraya mengurangi
area permukaan scrotum dan membantu musculus cremaster mempertahankan testis lebih
dekat tubuh, semuanya untuk mengurangi kehilangan panas. Fascia dartos berlanjut ke anterior
dengan stratum membranosum (Scarpa’s fascia) dari tela subcutanea abdominis dan ke
posterior dengan fascia perinei (Colles’ fascia).
Suplai Darah Scrotum. Arteria scrotalis anterior, cabang terminalis arteria pudenda
externa (dari arteria femoralis), menyuplai aspek anterior scrotum. Arteria scrotalis
posterior, cabang terminalis arteria perinealis superficialis (cabang arteria pudenda interna),
menyuplai aspek posterior. Scrotum juga menerima cabang dari arteria cremasterica (cabang
arteria epigastrica inferior).
Drainase Venosa dan Lympha Scrotum. Venae scrotum berjalan bersama arteriae
scrotum dan bernama sama tapi mengalir terutama ke vena pudenda externa. Vasa lymphatici
dari scrotum menuju nodi inguinales superficiales.
Persarafan Scrotum. Aspek anterior scrotum disuplai oleh derivat plexus lumbalis: nervus
scrotalis anterior, yang diturunkan dari nervus ilioinguinalis, dan ramus genitalis dari nervus
genitofemoralis. Aspek posterior scrotum disuplai oleh derivat plexus sacralis: nervus
scrotalis posterior, cabang nervus perinealis superficialis (dari nervus pudendus), dan ramus
perinealis dari nervus cutaneus femoris posterior. Serabut simpatis yang dihantarkan oleh nervi
tersebut membantu termoregulasi testis, menstimulasi kontraksi musculus dartos (otot polos)
sebagai respon terhadap dingin atau menstimulasi glandula sudorifera scrotum sembari
menginhibisi kontraksi musculus dartos sebagai respon terhadap panas berlebihan.

PENIS
Penis adalah organ kopulasi laki-laki dan, membawa urethra yang merupakan saluran keluar
bersama urine dan semen. Penis terdiri dari radix penis, corpus penis dan glans penis. Penis
disusun oleh tiga badan kavernosa jaringan erektil berbentuk silindris: sepasang corpora
cavernosa di dorsalis dan sebuah corpus spongiosum di ventralis. Pada posisi anatomis, penis
tegak; ketika flaccid, dorsum penis mengarah ke anterior. Corpora cavernosa mempunyai
penutup luar fibrosa atau capsula, yaitu tunica albuginea corporum cavernosorum; corpus
spongiosum mempunyai tunica albuginea corporis spongiosi. Superficialis terhadap penutup
luar adalah fascia penis (Buck’s fascia), lanjutan fascia perinei profunda dan membentuk

42
ANATOMI

penutup membranosa yang kuat untuk corpora cavernosa dan corpus spongiosum, mengikatnya
bersama. Corpus spongiosum berisi pars spongiosa urethrae. Corpora cavernosa bersatu pada
planum medianum, kecuali di posterior di mana berpisah membentuk crus penis. Di dalam,
jaringan cavernosa corpora terpisah oleh septum penis.
Radix penis merupakan bagian yang melekat, terdiri dari crura, bulbus penis, musculus
ischiocavernosus dan musculus bulbospongiosus. Radix penis bertempat dalam spatium
superficiale perinei, di antara membrana perinei di superior dan fascia perinei profunda di
inferior. Crura dan bulbus penis terdiri dari jaringan erektil. Tiap crus penis melekat pada
bagian inferior dari permukaan internus ramus ossis ischii, anterior terhadap tuber ischiadicum.
Bagian posterior yang membesar dari bulbus penis ditembus di superior oleh urethra, yang
melanjutkan dari pars intermedia urethrae. Bulbus penis terletak di antara kedua crura dan
melekat pada permukaan bawah membrana perinei. Permukaan bawah dan lateralis bulbus
penis ditutupi musculus bulbospongiosus.
Corpus penis merupakan bagian bebas yang bergantung pada symphysis pubica. Kecuali
sedikit serabut bulbospongiosus di dekat radix penis dan ischiocavernosus yang membungkus
crura, corpus penis tidak mempunyai otot.
Penis terdiri dari cutis tipis, textus connectivus, vasa sanguinei dan vasa lymphatici, fascia,
corpora cavernosa, dan corpus spongiosum yang berisi pars spongiosa urethrae. Di distalis,
corpus spongiosum berekstensi membentuk glans penis. Tepi glans penis dekat akhir corpora
cavernosa menonjol membentuk corona glandis. Collum glandis memisahkan glans penis
dari corpus penis. Bukaan pars spongiosa urethrae berbentuk celah, ostium urethrae externum
berada dekat ujung glans penis.
Cutis penis tipis, berwarna relatif lebih gelap dibandingkan kulit sekitarnya, dan
dihubungkan dengan tunica albuginea oleh textus connectivus laxus. Pada collum glandis, cutis
dan fascia penis memanjang sebagai lapisan ganda cutis, preputium penis yang menutupi
glans penis. Frenulum preputii adalah lipatan mediana yang berjalan dari lapisan profundus
preputium ke facies urethralis glans penis.
Ligamentum suspensorium penis adalah kondensasi fascia profunda yang muncul dari
permukaan anterior symphysis pubica. Ligamentum berjalan ke inferior dan splits membentuk
sling yang melekat ke fascia penis pada junctio radix penis dengan corpus penis.
Ligamentum fundiforme penis adalah massa iregular atau kondensasi serabut kolagen
dan serabut elastik dari tela subcutanea yang berjalan turun di garis tengah linea alba anterior
terhadap symphysis pubica. Ligamentum splits mengelilingi penis dan kemudian bersatu dan
bercampur di inferior dengan fascia dartos membentuk septum scroti. Serabut ligamentum
fundiforme penis relatif panjang dan longgar dan terletak superficialis (anterior) terhadap
ligamentum suspensorium penis.

Suplai Darah Penis. Penis disuplai terutama oleh cabang arteria pudenda interna:
• Arteria dorsalis penis berjalan di kedua sisi vena dorsalis penis di lekukan dorsalis antar
corpora cavernosa, menyuplai jaringan fibrosa sekeliling corpora cavernosa, corpus
spongiosum dan pars spongiosa urethrae, dan kulit penis.
• Arteria profunda penis menembus crura di proximalis dan berjalan distalis dekat pusat
corpora cavernosa, menyuplai jaringan erektil struktur ini.

43
ANATOMI

• Arteria bulbi penis menyuplai bagian posterior corpus spongiosum dan urethra di
dalamnya, juga glandula bulbourethralis.
Sebagai tambahan, arteria pudenda externa superficialis dan arteria pudenda externa
profunda menyuplai kulit penis, beranastomosis dengan cabang arteria pudenda interna.
Arteria profunda penis adalah pembuluh utama yang menyuplai cavernae corporum
cavernosorum dan, dengan demikian, terlibat dalam ereksi penis. Arteria profunda penis
memberikan banyak cabang yang membuka langsung ke dalam cavernae. Ketika penis flasid,
arteriae tersebut bergelung, meretriksi aliran darah; arteriae tersebut dinamakan arteriae
helicinae.
Drainase Venosa Penis. Darah dari cavernae dialirkan oleh plexus venosus yang bergabung
dengan vena dorsalis profunda penis di fascia profunda. Vena dorsalis profunda penis
berjalan di antara laminae ligamentum suspensorium penis, inferior terhadap ligamentum
pubicum inferius dan anterior terhadap membrana perinei, memasuki pelvis untuk bermuara
ke dalam plexus venosus prostaticus. Darah dari cutis dan tela subcutanea penis mengalir ke
dalam vena dorsalis superficialis penis yang mengalir ke dalam vena pudenda externa
superficialis. Sedikit darah mengalir ke vena pudenda interna.
Persarafan Penis. Nervi diturunkan dari medulla spinalis segmenta S2–S4 dan ganglia
spinalia, berjalan melalui nervi splanchnici pelvici dan nervus pudendus, berturutan. Persarafan
sensoris dan simpatis disediakan terutama oleh nervus dorsalis penis, cabang terminalis nervus
pudendus, yang muncul dalam canalis pudendalis dan berjalan ke anterior ke dalam spatium
profundum perinei. Kemudian berjalan ke dorsum penis, di mana berjalan lateralis terhadap
arteria dorsalis penis. Nervus dorsalis penis menyuplai cutis dan glans penis. Penis disuplai
berlimpah oleh berbagai jenis akhiran saraf, khususnya glans penis. Cabang nervus
ilioinguinalis menyuplai kulit di radix penis. Nervi cavernosi penis menghantarkan serabut
parasimpatis independen dari plexus nervosus prostaticus, mempersarafi arteriae helicinae.

DRAINASE LYMPHA PERINEUM MASCULINUM


Lympha dari kulit semua bagian perineum, termasuk kulit tidak berambut inferior terhadap
linea pectinata (anorectum), kecuali glans penis, mengalir ke nodi inguinales superficiales.
Lympha dari testis mengikuti rute yang independen terhadap drainase scrotum, sepanjang vena
testicularis ke bagian intermesenteric nodi lumbales (cavales/aortici) dan nodi preaortici.
Drainase lympha dari bagian proximalis urethra, pars intermedia urethrae dan badan kavernosa
mengalir ke dalam nodi iliaci interni, sedangkan kebanyakan vasa lymphatici dari pars
spongiosa urethrae dan glans penis berjalan menuju nodi inguinales profundi, dan beberapa
berjalan ke nodi inguinales externi.

MUSCULI PERINEI MASCULINA


Musculi perinei yang superficialis, berlokasi di spatium superficiale perinei, meliputi
transversus perinei superficialis, bulbospongiosus, dan ischiocavernosus.
Musculus transversus perinei superficialis dan musculus bulbospongiosus bersama
dengan musculus sphincter ani externus melekat centralis ke corpus perineale. Musculi tersebut
melintas apertura pelvis inferior saling potong, menyokong corpus perineale untuk membantu
diaphragma pelvis menyokong viscera pelvis. Kontraksi simultan musculi perinei yang

44
ANATOMI

superficialis (dan musculus transversus perinei profundus) selama ereksi penis membentuk
dasar yang lebih kokoh untuk penis.
Musculus bulbospongiosus membentuk konstriktor yang mengompresi bulbus penis dan
corpus spongiosum, sehingga membantu mengosongkan pars spongiosa urethrae dari urine
residual dan/atau semen. Serabut anterior bulbospongiosus melingkari bagian paling
proximalis corpus penis, juga membantu ereksi dengan meningkatkan tekanan terhadap
jaringan erektil dalam radix penis. Pada waktu bersamaan, juga mengompresi vena dorsalis
profunda penis, mencegah drainase venosa dari cavernae dan membantu mempromosikan
pembesaran dan turgiditas penis.
Musculus ischiocavernosus mengelilingi crura di radix penis. Otot ini memaksa darah dari
cavernae dalam crura mengalir ke dalam bagian distalis corpora cavernosa, yang meningkatkan
turgiditas penis selama ereksi. Kontraksi musculus ischiocavernosus juga mengompresi
tributari vena dorsalis profunda penis yang meninggalkan crus penis, sehingga merestriksi
aliran venosa dari penis dan membantu mempertahankan ereksi.

TRIGONUM UROGENITALE FEMININUM


Trigonum urogenitale femininum meliputi organa genitalia feminina externa, musculi perinei
dan canalis analis.

ORGANA GENITALIA FEMININA EXTERNA


Organa genitalia feminina externa meliputi mons pubis, labia majora (menutupi rima
pudendi), labia minora (menutupi vestibulum vaginae), clitoris, bulbus vestibuli, glandula
vestibularis major dan glandula vestibularis minor. Istilah pudendum femininum/vulva
meliputi semua bagian tersebut; istilah pudendum femininum umum digunakan secara klinis.
Vulva berperan:
• Sebagai sensoris dan jaringan erektil untuk sexual arousal dan sexual intercourse.
• Mengarahkan aliran urine.
• Mencegah masuknya materi asing ke dalam tractus urogenitalis.

Mons Pubis. Mons pubis adalah tonjolan lemak membulat anterior terhadap symphysis
pubica, tuberculum pubicum dan ramus superior ossis pubis. Tonjolan tersebut dibentuk oleh
massa lemak tela subcutanea. Jumlah lemak meningkat pada pubertas dan menurun setelah
menopause. Permukaan mons pubis kontinu dengan dinding abdomen anterior. Setelah
pubertas, mons pubis ditutupi rambut pubik (pubes) yang kasar.
Labia Majora. Labia majora adalah lipatan kulit prominen yang secara tidak langsung
melindungi clitoris, ostium urethrae externum, dan ostium vaginae. Labium majus pudendi
diisi dengan “digital process” seperti jari dari textus connectivus laxus yang mengandung otot
polos, dan ujung ligamentum teres uteri. Labium majus pudendi berjalan inferoposterior dari
mons pubis menuju anus.
Labia majora terletak di kedua sisi dari depresi centralis (celah dangkal ketika femur
diadductiokan), rima pudendi, dalam mana labia minora dan vestibulum vaginae berada. Pada
perempuan dewasa, aspek externus labia majora ditutupi kulit berpigmen yang mengandung
banyak glandula sebacea dan pubes. Aspek internusnya halus, pink dan tidak berambut.

45
ANATOMI
Tabel 8. Musculi Perinei
Musculus Asal Perjalanan dan Persarafan Aksi Utama
Distribusi
Sphincter Cutis dan fascia Berjalan sekitar aspek Nervus analis Konstriksi canalis analis
ani externus sekeliling anus; lateralis canalis analis, (rectalis) inferior selama peristalsis,
os coccygis via berinsertio ke dalam (cabang nervus menahan defecatio;
ligamentum corpus perineale pudendus [S2– menyokong dan
anococcygeum S4]) mengfiksasi corpus
perineale dan dasar pelvis
Laki-laki: raphe Laki-laki: mengelilingi Laki-laki: menyokong dan
mediana pada aspek lateralis bulbus mengfiksasi corpus
permukaan penis dan bagian perineale/dasar pelvis;
ventralis bulbus paling proximalis mengompresi bulbus
penis; corpus corpus penis, penis untuk mengeluarkan
perineale berinsertio ke dalam tetesan terakhir
membrana perinei, urine/semen; membantu
aspek dorsalis corpus ereksi dengan
spongiosum dan Ramus mengompresi aliran
corpora cavernosa, muscularis keluar via vena perinei
fascia dari bulbus penis (profundus) profunda dan dengan
Bulbo-
nervus perinealis mendorong darah dari
spongiosus
(cabang nervus bulbus penis ke dalam
pudendus [S2– corpus penis
Perempuan: Perempuan: berjalan di S4]) Perempuan: menyokong
corpus perineale kedua sisi vagina dan memfiksasi corpus
bawah, menutupi perineale/dasar pelvis;
bulbus vestibuli dan “sphincter” vagina;
glandula vestibularis membantu dalam ereksi
major; berinsertio ke clitoris (dan mungkin
dalam arcus pubicus bulbus vestibuli);
dan fascia dari corpora mengompresi glandula
cavernosa clitoridis vestibularis major
Ischio- Mencengkeram crus Mempertahankan ereksi
cavernosus penis/clitoridis, penis/clitoris dengan
berinsertio ke aspek mengompresi aliran
inferior dan medialis keluar venae dan
crus dan ke membrana mendorong darah dari
perinei medialis radix penis/clitoridis ke
terhadap crus Ramus dalam corpus
Permukaan muscularis penis/clitoridis
Transversus internus ramus Berjalan sepanjang (profundus) Menyokong dan
perinei ischiopubicus aspek inferior tepi nervus perinealis memfiksasi corpus
superficialis dan tuber posterior membrana (cabang nervus perineale/dasar pelvis
ischiadicum perinei ke corpus pudendus [S2– untuk menyokong viscera
perineale S4]) abdomen dan viscera
Transversus Berjalan sepanjang pelvis dan menahan
perinei aspek superior tepi tekanan intraabdominal
profundus posterior membrana yang meningkat
perinei ke corpus
perineale dan sphincter
ani externus
Sphincter (hanya bagian Mengelilingi urethra Nervus dorsalis Mengompresi urethra
urethrae compressor superior terhadap penis/clitoridis, untuk mempertahankan
externus urethra) membrana perinei; (cabang urinary continence; pada
pada laki-laki, juga terminalis nervus permpuan, bagian
menaiki aspek anterior pudendus (S2– sphincter urethrovaginalis
glandula prostata; pada S4) juga mengompresi vagina
perempuan, beberapa
serabut juga
membungkus vagina
(sphincter
urethrovaginalis)

46
ANATOMI

Labia majora menebal di anterior di mana bertemu membentuk commissura labiorum


anterior. Di posterior pada perempuan nullipara, labia majora bertemu membentuk
commissura labiorum posterior yang menutupi corpus perineale dan merupakan batas
posterior vulva. Commissura labiorum posterior biasanya menghilang setelah persalinan
vaginal pertama.
Labia Minora. Labia minora adalah lipatan kulit yang bebas lemak dan tidak berambut
yang membulat. Labia minora tertutup dalam rima pudendi, serta mengelilingi segera dan
menutupi vestibulum vaginae, ke mana ostium urethrae externum dan ostium vaginae
membuka. Labia minora mempunyai inti jaringan ikat spongiosa yang mengandung jaringan
erektil pada dasarnya dan banyak vasa kecil. Di anterior, labia minora membentuk 2 laminae.
Lamina medialis kedua sisi bersatu sebagai frenulum clitoridis. Lamina lateralis bersatu
anterior terhadap (atau sering anterior dan inferior terhadap, sehingga overlapping dan tidak
jelas) glans clitoridis, membentuk preputium clitoridis. Pada perempuan muda, khususnya
perawan, labia minora dihubungkan di posterior oleh lipatan transversus kecil, frenulum
labiorum pudendi (fourchette). Meskipun permukaan internus labium minus pudendi disusun
oleh kulit tipis lembab, labium minus pudendi berwarna pink seperti membrana mucosa dan
mengandung banyak glandula sebacea dan akhiran saraf sensoris.
Clitoris. Clitoris adalah organ erektil yang berlokasi di mana labia minora bertemu di
anterior. Clitoris terdiri dari radix clitoridis dan corpus clitoridis yang kecil dan silindris,
yang disusun oleh 2 crura, 2 corpora cavernosa clitoridis dan glans clitoridis. Crura melekat
pada ramus inferior ossis pubis dan membrana perinei, profundus terhadap labia. Corpus
clitoridis ditutupi oleh preputium. Panjang corpus clitoridis dan glans clitoridis ± 2 cm dan
diameter <1 cm.
Berbeda dengan penis, clitoris tidak berhubungan fungsional dengan urethra atau miksi.
Fungsinya sebagai organ sexual arousal. Clitoris sangat sensitif dan membesar pada stimulasi
taktil. Glans clitoridis merupakan bagian clitoris yang paling banyak persarafannya dan
disuplai secara kerap dengan akhiran sensoris. Ligamentum suspensorium clitoridis
melekatkan clitoris pada symphysis pubica.
Vestibulum Vaginae. Vestibulum vaginae adalah ruang yang dikelilingi labia minora ke
mana ostium urethrae externum, ostium vaginae, dan ductus dari glandula vestibularis major
dan glandula vestibularis minor membuka. Ostium urethrae externum terletak 2–3 cm
posteroinferior terhadap glans clitoridis dan anterior terhadap ostium vaginae. Pada kedua sisi
ostium urethrae externum didapatkan muara dari ductus glandulae paraurethrales. Muara
ductus glandula vestibularis major berada di aspek medialis labia minora atas, pada posisi jam
5 dan 7 terhadap ostium vaginae pada posisi lithotomi.
Ukuran dan tampilan ostium vaginae bervariasi bergantung pada kondisi hymen, lipatan
membrana mucosa anular tipis, yang menutupi sebagian atau seluruh ostium vaginae. Setelah
ruptur, tampak sisa hymen, carunculae hymenales. Carunculae hymenales membatasi vagina
dari vestibulum. Fungsi fisiologis hymen belum diketahui. Hymen dianggap sebagai vestigium
perkembangan, tapi kondisinya (dan kondisi frenulum labiorum pudendum) dapat digunakan
sebagai bukti penting pada kasus child abuse dan perkosaan.
Bulbus Vestibuli. Bulbus vestibuli adalah massa jaringan erektil memanjang yang
berpasangan, panjang ± 3 cm. Bulbus vestibuli terletak sepanjang kedua sisi ostium vaginae,
superior atau profundus terhadap (tidak di dalam) labia minora, inferior segera terhadap

47
ANATOMI

membrana perinei. Bulbus vestibuli dilapisi di inferior dan di lateralis oleh musculus
bulbospongiosus. Bulbus vestibuli homolog dengan bulbus penis.
Glandulae Vestibulares. Glandula vestibularis major (Bartholin’s gland) berdiameter ±
0,5 cm, berlokasi di spatium superficiale perinei. Glandula vestibularis major terletak pada
kedua sisi vestibulum vaginae, posterolateralis terhadap ostium vaginae dan inferior terhadap
membrana perinei. Glandula vestibularis major berbentuk bulat atau oval dan sebagian
tumpang tindih di posterior dengan bulbus vestibuli. Seperti bulbus vestibuli, sebagian
glandula ini dilapisi musculus bulbospongiosus. Ductus dari glandula ini berjalan profundus
terhadap bulbus vestibuli dan bermuara ke dalam vestibulum pada kedua sisi ostium vaginae.
Glandula vestibularis major menyekresikan mucus ke dalam vestibulum selama sexual
arousal. Glandula vestibularis minor adalah glandula kecil pada kedua sisi vestibulum vaginae
yang bermuara ke dalamnya di antara ostium urethrae externum dan ostium vaginae. Glandula
ini menyekresikan mucus yang melembabkan labia dan vestibulum vaginae.
Suplai Darah dan Drainase Venosa Vulva. Suplai darah berlimpah untuk vulva berasal
dari arteria pudenda externa dan arteria pudenda interna. Arteria pudenda interna menyuplai
hampir seluruh cutis, genitalia externa, dan musculi perinei. Arteriae untuk labia dan clitoris
merupakan cabang arteria pudenda interna.
Venae dari labia adalah tributari vena pudenda interna dan venae comitantes dari arteria
pudenda interna. Venous engorgement selama fase excitement respon seksual mengakibatkan
peningkatan ukuran dan konsistensi clitoris, bulbus vestibuli, dan vestibulum vaginae.
Persarafan Vulva. Aspek anterior vulva (mons pubis, labia anterior) disuplai oleh derivat
plexus lumbalis: nervi labiales anteriores yang berasal dari nervus ilioinguinalis dan ramus
genitalis nervus genitofemoralis.
Aspek posterior vulva dipersarafi oleh derivat plexus sacralis: rami perineales nervus
cutanei femoris posterioris di lateralis dan nervus pudendus di centralis. Nervus pudendus
adalah nervus utama bagi perineum. Nervi labiales posteriores (cabang superficialis
terminalis nervus perinealis) mempersarafi labia. Rami profundi dan rami musculares dari
nervus perinealis menyuplai ostium vaginae dan musculi perinei yang superficialis. Nervus
dorsalis clitoridis mempersarafi musculi perinei yang profundus dan sensasi clitoris.
Bulbus vestibuli dan badan erektil clitoris menerima serabut parasimpatis melalui nervi
cavernosi dari plexus nervosus uterovaginalis. Stimulasi parasimpatis menghasilkan sekresi
vagina yang meningkat, ereksi clitoris, dan pembesaran jaringan erektil dalam bulbus vestibuli.

ALIRAN LYMPHA PERINEUM FEMININUM


Vulva mengandung banyak plexus lymphaticus. Lympha dari cutis perineum, termasuk
anoderm inferior terhadap linea pectinata (anorectum) dan vagina paling inferior, ostium
vaginae dan vestibulum vaginae mengalir ke nodi inguinales superficiales. Lympha dari
clitoris, bulbus vestibuli, dan labia minora anterior mengalir ke nodi inguinales profundi atau
langsung ke nodi iliaci interni, dan lympha dari urethra mengalir ke nodi iliaci interni atau nodi
sacrales.

MUSCULI PERINEI FEMININA


Musculi perinei yang superficialis meliputi musculus transversus perinei superficialis,
musculus ischiocavernosus dan musculus bulbospongiosus.

48
ANATOMI
Tabel 9. Nervi Perineum
Nervus Asal Perjalanan Distribusi
Nervi labiales Bagian Dipercabangkan sebagai Pada perempuan, sensoris untuk
anteriores terminalis nervus ilioinguinal keluar dari anulus mons pubis dan bagian anterior
(perempuan); ilioinguinalis inguinalia superficialis labium majus pudendi; pada
nervi scrotales (L1) laki-laki, sensoris untuk regio
anteriores pubica, cutis penis proximalis,
aspek anterior scrotum, dan
femur yang berdekatan
Ramus genitalis Nervus Muncul melalui atau dekat Pada perempuan, sensoris untuk
nervus genitofemoralis anulus inguinalia superficialis labia majora anterior; pada laki-
genitofemoralis (L1 dan L2) laki, motorik untuk musculus
cremaster, sensoris untuk aspek
anterior scrotum, dan femur
yang berdekatan
Rami perineales Nervus cutaneus Dipercabangkan profundus Sensoris untuk perineum
nervus cutaneus femoris posterior terhadap tepi inferior gluteus lateralis (labia majora pada
femoris posterior (S1–S3) maximus; berjalan medialis perempuan, scrotum pada laki-
melintas ligamentum laki), sulcus genitofemoralis,
sacrotuberale untuk paralel dan femur medialis paling
terhadap ramus ischiopubicus superior; mungkin tumpang
tindih dengan bagian lateralis
perineum yang disuplai oleh
nervus pudendus
Nervi clunium Nervus cutaneus Dipercabangkan profundus Cutis regio glutealis (nates)
inferiores femoris posterior terhadap dan muncul dari tepi inferior dan inferolateralis–
(S1–S3) inferior gluteus maximus, sulcus glutealis dan area
berjalan naik dalam tela superior terhadapnya
subcutanea
Nervus pudendus Plexus sacralis Keluar dari pelvis via bagian Motorik untuk musculi perinei
(S2–S4) (rami anteriores infrapiriformis foramen dan sensoris untuk mayoritas
S2–S4) ischiadicum majus; berjalan regio perinealis via cabang-
posterior terhadap ligamentum cabangnya, nervus rectalis
sacrospinale; memasuki inferior dan nervus perinealis,
perineum melalui foramen dan nervus dorsalis
ischiadicum minus; segera clitoridis/penis
terbagi menjadi rami ketika
memasuki canalis pudendalis
Nervus analis Nervus pudendus Berjalan medialis dari area Sphincter ani externus;
(rectalis) inferior (S3–S4) spina ischiadica (pintu masuk berpartisipasi dalam persarafan
ke canalis pudendalis), bagian inferior dan paling
melewati corpus adiposum medialis levator ani
fossae ischioanalis (puborectalis); sensoris untuk
canalis analis inferior terhadap
linea pectinata dan cutis
circumanal
Nervus perinealis Nervus pudendus Dipercabangkan dekat pintu Terbagi menjadi ramus
masuk canalis pudendalis, superficialis dan ramus
paralel terhadap nervus induk profundus, nervi labiales
sampai ujung canalis, posteriores atau nervi scrotales
kemudian berjalan medialis posteriores dan nervus
perinealis profundus
Nervi labiales Dipercabangkan dalam ujung Pada perempuan, labia minora
posteriores anterior (terminalis) canalis dan semua kecuali labia majora
(perempuan); pudendalis, berjalan medialis anterior; pada laki-laki, aspek
nervi scrotales dan superficialis posterior scrotum
posteriores (lelaki)
Nervus perinealis Cabang Dipercabangkan dalam ujung Motorik untuk musculi spatium
profundus terminalis anterior (terminalis) canalis superficiale perinei
profundus nervus pudendalis, berjalan medialis (ischiocavernosus,
perinealis kemudian profundus dalam bulbospongiosus dan
spatium superficiale perinei transversus perinei
superficialis); pada perempuan,
sensoris untuk vestibulum
vaginae dan bagian inferior
vagina

49
ANATOMI
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. 8th Edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer. 2018.
2. FCAT. Terminologia Anatomica, International Anatomical Terminology. Stuttgart: Thieme. 1998.

50
ANATOMI

ANATOMI FETOMATERNAL
Heddy Herdiman

Plasenta (placenta) dan selaput ketuban (membranae fetales) memisahkan janin dari
endometrium, yang merupakan membran mukosa lapisan dalam dari uterus. Pertukaran
substansi seperti oksigen dan zat-zat nutrisi, terjadi antara aliran darah ibu dan janin melalui
plasenta. Pembuluh darah di tali pusat menghubungkan sirkulasi plasenta dengan sirkulasi
janin. Membranae fetales definitivae terdiri dari amnion, chorion, amniochorion, decidua, dan
placenta.

PLACENTA
Plasenta adalah organ yang merupakan tempat pertukaran nutrisi dan gas antara ibu dan
janin. Plasenta merupakan organ fetomaternal dan memiliki dua komponen:
• Pars fetalis yang berkembang dari kantong korion (chorionic sac).
• Pars maternalis yang berasal dari endometrium.
Plasenta dan tali pusat (funiculus umbilicalis) membentuk sistem transpor substansi-
substansi yang mengalir pada sirkulasi ibu dan janin. Nutrisi dan oksigen mengalir dari aliran
darah ibu melalui plasenta ke aliran darah janin, dan sisa metabolisme dan karbondioksida
mengalir dari aliran darah janin melalui plasenta ke pembuluh darah ibu. Plasenta dan selaput
ketuban memberikan fungsi sebagai berikut: proteksi, nutrisi, respirasi, ekskresi, dan produksi
hormon. Segera setelah lahir, plasenta dan selaput ketuban akan dikeluarkan dari uterus.

Decidua
Istilah decidua menunjukkan endometrium pada masa kehamilan, yang merupakan lapisan
endometrium fungsional pada perempuan hamil yang akan terpisah dari uterus setelah
persalinan. Berikut adalah tiga bagian decidua yang dinamakan berdasarkan relasinya terhadap
lokasi implantasi:
• Decidua basalis, yaitu decidua yang terletak profundus terhadap jaringan konsepsi yang
membentuk pars maternalis dari plasenta.
• Decidua capsularis, yang merupakan decidua yang terletak pada bagian superficialis dari
jaringan konsepsi.
• Decidua parietalis, yang merupakan decidua pada bagian endometrium lainnya.
Sebagai respon terhadap kadar progesteron dalam darah ibu, sel-sel jaringan ikat pada
decidua mengalami pembesaran membentuk sel-sel desidua yang lebih pucat (cellulae
deciduales). Sel-sel ini membesar seiring akumulasi glikogen dan lemak pada sitoplasmanya.
Perubahan seluler dan vaskuler yang terjadi di endometrium seiring implantasi blastocystis
akan memicu reaksi desidua (reactio decidualis). Banyak sel-sel desidua mengalami
degenerasi di dekat kantong korion pada bagian yang banyak terdapat syncytiotrophoblastus.
Sel desidua bersama aliran darah dan sekret dari uterus menyediakan nutrisi untuk embrio.
Cellulae deciduales diduga memberikan proteksi jaringan maternal dalam melawan invasi
tidak terkontrol dari syncytiotrophoblastus dan sel-sel ini juga terlibat dalam produksi hormon.

51
ANATOMI

Lapisan decidua ini dapat dikenali dengan jelas pada pemeriksaan ultrasonografi dan
merupakan tanda awal dari kehamilan.

Perkembangan Plasenta
Perkembangan plasenta ditandai proliferasi cepat dari trophoblastus dan perkembangan
kantong korion dan villi choriales. Pada akhir minggu ketiga, struktur anatomis yang
diperlukan untuk pertukaran fisiologis antara ibu dan janin telah terbentuk. Anyaman
pembuluh darah yang kompleks terbentuk pada plasenta pada akhir minggu keempat, yang
memfasilitasi pertukaran gas, nutrisi, dan produk-produk sisa metabolisme antara ibu dan janin.
Villi choriales melingkupi seluruh kantong korion (vesicula chorionica) sampai pada awal
minggu kedelapan. Seiring pertumbuhan kantong korion, villi yang terdapat pada decidua
capsularis akan terkompresi sehingga bagian decidua ini akan mengalami penurunan suplai
darah. Villi pada bagian ini akan mengalami degenerasi dan membentuk suatu area yang relatif
avaskular yang disebut chorion laeve (smooth chorion). Seiring hilangnya villi pada bagian ini,
villi yang terdapat pada decidua basalis mengalami proliferasi termasuk pembentukan cabang
villi yang sangat banyak dan mengalami pelebaran. Bagian yang seperti semak dari kantong
korion ini disebut chorion frondosum (villous chorion). Gen homeobox (HLX dan DLX3) yang
diekspresikan pada trophoblastus dan pembuluh darah membantu meregulasi perkembangan
plasenta.

Fetomaternal Junction
Pars fetalis placentae (chorion frondosum) melekat pada pars maternalis placentae
(decidua basalis) melalui testa trophoblastica (cytotrophoblastics shell), yang merupakan
lapisan terluar dari trophoblastus pada permukaan pars maternalis placentae. Villi choriales
melekat secara kuat pada decidua basalis melalui testa trophoblastica dan menambatkan
kantong korion dengan decidua basalis melalui vilus ancorans. Pembuluh darah arteria dan
venae pada endometrium berjalan melalui celah-celah testa trophoblastica dan bermuara ke
spatium intervillosum (intervillous space).
Bentuk plasenta ditentukan oleh bentuk area persisten dari villi choriales. Biasanya plasenta
berbentuk seperti diskus yang sirkuler. Villi choriales akan menginvasi decidua basalis selama
pembentukan plasenta, sehingga spatium intervillosum melebar akibat jaringan desidua yang
terkikis. Erosi ini menghasilkan beberapa area desidua berbentuk baji (septa placentae) yang
menonjol ke arah lamina chorionica. Septa placentae membagi pars fetalis placentae menjadi
area konveks yang ireguler yang disebut cotyledo (lobulus; kotiledon). Setiap cotyledo terdiri
dari dua atau lebih villus peduncularis (stem villi) dan cabang-cabangnya.
Decidua capsularis yang melapisi kantong korion, membentuk kapsul pada bagian luar
kantong korion. Seiring dengan pembesaran jaringan konsepsi, decidua capsularis mengalami
penonjolan ke dalam cavitas uteri dan mengalami penipisan. Pada akhirnya, bagian dari
decidua capsularis akan berkontak dan berfusi dengan decidua parietalis, mengurangi ukuran
cavitas uteri. Pada hari ke-22–24, terjadi penurunan aliran darah ke decidua capsularis dan
pada akhirnya mengalami degenerasi dan menghilang.

Spatium Intervillosum
Ruangan ini terisi oleh darah maternal, yang berasal dari lacunae trophoblasticae yang

52
ANATOMI

berkembang pada syncytiotrophoblastus selama minggu kedua. Ruangan ini dipisahkan


menjadi beberapa kompartemen oleh septa placentae, namun tetap terdapat hubungan bebas
antar kompartemen karena septa placentae tidak mencapai lamina chorionica. Darah maternal
mengisi spatium intervillosum dari arteriae spirales pada decidua basalis. Darah yang berada
di sini akan mengalir ke venae yang berada di endometrium yang juga menembus testa
trophoblastica. Sejumlah cabang villi choriales, secara kontinu akan dibasahi oleh darah
maternal yang bersirkulasi melalui spatium intervillosum. Darah di ruangan ini membawa
oksigen dan nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Darah dalam
spatium intervillosum juga mengandung produk sisa-sisa metabolisme janin, seperti karbon
dioksida, garam, dan produk metabolisme protein.

Gambar 1. Perkembangan Plasenta dan Selaput Ketuban

53
ANATOMI

Gambar 2. Kantong Korion dengan Janin Usia 13 minggu

AMNIOCHORION
Kantong amnion melebar lebih cepat dibandingkan dengan kantong korion. Sebagai
akibatnya, amnion dan chorion laeve akan segera berfusi membentuk amniochorionic
membrane (amniochorion). Membran ini berfusi dengan decidua capsularis, dan setelah
decidua capsularis menghilang, akan melekat ke decidua parietalis. Amniochoriotic
membrane ini akan mengalami ruptur selama proses persalinan. Ruptur prematur dari selaput
ini merupakan peristiwa yang sering terjadi pada persalinan prematur. Ketika amniochorionic
membrane mengalami ruptur, cairan amnion (liquor amnioticus) mengalir melalui cervix uteri
dan vagina.

SIRKULASI PLASENTA
Banyak cabang villi choriales plasenta menyediakan permukaan luar di mana berbagai zat
bertukar melalui sawar plasenta yang sangat tipis antara darah janin dan darah maternal.

Sirkulasi Fetoplasenta
Darah yang miskin oksigen akan meninggalkan janin dan berjalan melalui arteriae
umbilicales. Pada perlekatan tali pusat dengan plasenta, arteri ini akan mengalami percabangan
pada lempeng korion (lamina chorionica) sebelum memasuki villi choriales. Pembuluh darah
ini membentuk rete arteriocapillarovenosum (arteriocapillary venous system) di dalam villi
choriales, yang membawa darah fetal menjadi sangat dekat dengan darah maternal. Sistem ini
menyediakan area permukaan yang sangat luas untuk pertukaran produk gas dan metabolisme
antara darah janin dan maternal. Secara normal, tidak ada percampuran antara darah janin dan
darah maternal. Darah yang kaya akan oksigen pada kapiler villi choriales akan memasuki
venae dan bergabung menjadi vena umbilicalis. Pembuluh darah yang besar ini akan membawa
darah kaya oksigen ke tubuh janin.

Sirkulasi Maternal-Plasenta
Darah maternal memasuki spatium intervillosum melalui 80–100 arteriae spirales pada
endometrium di decidua basalis. Darah yang masuk diperkirakan memiliki tekanan yang lebih
tinggi dibandingkan tekanan di spatium intervillosum, sehingga darah memancar ke arah

54
ANATOMI

lempeng korion. Seiring dengan penurunan tekanan, darah mengalir secara perlahan di sekitar
cabang-cabang villi choriales, dan menyebabkan pertukaran produk gas dan metabolisme
dengan darah janin. Darah pada akhirnya akan kembali melalui venae endometrium dan
memasuki sirkulasi maternal. Penurunan sirkulasi uteroplasenta akan menyebabkan hipoksia
janin dan intrauterine growth restriction (IUGR). Spatium intervillosum pada plasenta yang
matur mengandung sekitar 150 ml darah yang mengalir setiap tiga sampai empat kali per menit.

Gambar 3. Ilustrasi potongan melintang plasenta yang menunjukkan relasi villi choriales dengan decidua
basalis, sirkulasi fetal plasenta, dan sirkulasi maternal plasenta.

Sawar Plasenta
Sawar plasenta terdiri dari jaringan di luar janin yang memisahkan darah maternal dan darah
janin. Sampai sekitar 20 minggu, sawar plasenta terdiri dari empat lapis: syncytiotrophoblastus,
cytotrophoblastus, textus connectivus compactus, dan endothelium continuum. Setelah minggu
ke 20, perubahan mikroskopis terjadi pada cabang-cabang villi choriales yang menyebabkan
penipisan cytotrophoblastus. Selanjutnya, cytotrophoblastus menghilang, dan meninggalkan
lapisan tipis syncytiotrophoblastus. Pada akhirnya, sawar plasenta hanya terdiri dari tiga
lapisan saja. Pada beberapa tempat, sawar plasenta menjadi sangat tipis. Pada tempat ini,
syncytiotrophoblastus berkontak langsung dengan endothelium membentuk vasculosyncytial
placental membrane.
Hanya beberapa zat, baik endogen maupun eksogen, yang tidak mampu menembus sawar
plasenta. Oleh karena itu, sawar berperan sebagai sawar yang sejati hanya ketika molekul atau
suatu organisme memiliki ukuran, konfigurasi, dan muatan listrik tertentu. Kebanyakan obat-
obatan dan substansi lain pada plasma maternal dapat menembus sawar plasenta dan ditemukan
di plasma janin. Selama trimester ketiga, sejumlah nuclei syncytiotrophoblastus dari villi
choriales mengalami agregasi membentuk syncytial knots (nodi syncytiales). Nodi ini dapat
lepas dan dibawa dari spatium intervillosum ke sirkulasi maternal. Nodi ini dapat menyumbat
kapiler paru ibu, yang mana akan dihancurkan oleh enzim lokal. Ketika mendekati akhir

55
ANATOMI

kehamilan, materi fibrin (substantia fibrinoidea) akan terbentuk pada permukaan villi
choriales.

Gambar 4. Ilustrasi Villus Primarius dengan Cabang-cabangnya dan Sawar Plasenta

PLASENTA DAN SELAPUT JANIN SETELAH LAHIR


Plasenta biasanya memiliki bentuk seperti diskus (lempengan), dengan diameter 15–20 cm dan
tebal 2–3 cm. Tepi plasenta berhubungan dengan bagian kantong amnion dan korion yang
mengalami ruptur.

Variasi Bentuk Plasenta (Formae Placentae)


Seiring perkembangan plasenta, villi choriales biasanya tetap ada pada bagian chorion
frondosum yang berkontak dengan decidua basalis. JIka villi choriales berada di tempat lain,
beberapa variasi bentuk plasenta dapat terjadi seperti placenta accessoria (placenta
succenturiata).
Pemeriksaan plasenta saat prenatal dengan pemeriksaan USG, atau postnatal secara
makroskopis maupun studi mikroskopis, dapat memberikan informasi klinik pada penyebab
disfungsi plasenta, IUGR, fetal distress, dan kematian janin, termasuk juga penyakit pada
neonatus. Pemeriksaan plasenta postnatal juga dapat menentukan apakah plasenta yang
dikeluarkan utuh. Retensi kotiledon atau placenta accessoria di uterus dapat menyebabkan
pendarahan post partum.

Permukaan Maternal Plasenta


Penampakan yang seperti bebatuan (cobblestone appearance) pada permukaan maternal
plasenta disebabkan oleh kotiledon yang dipisahkan alur-alur yang sebelumnya terisi oleh
septa placentae.

56
ANATOMI

Permukaan Fetal Plasenta


Tali pusat biasanya melekat di dekat bagian tengah permukaan fetal plasenta, dan epitelnya
akan kontinu dengan amnion yang berdekatan dengan lempeng korion plasenta, memberikan
gambaran permukaan fetal dengan tekstur yang halus. Pembuluh darah pada lempeng korion
yang menyebar secara radial ke dan dari tali pusat tampak terlihat melalui selaput amnion yang
transparan. Arteriae umbilicales dan vena umbilicalis bercabang-cabang pada permukaan fetal
plasenta, membentuk chorionic vessels yang memasuki villi choriales.

Gambar 5. Permukaan maternal (A) dan permukaan fetal (B) plasenta. Relasi antara
chorion laeve dan amnion (C), dan tali pusat yang terletak marginal dari plasenta (D).

TALI PUSAT (FUNICULUS UMBILICALIS)


Perlekatan tali pusat ke plasenta biasanya di dekat bagian tengah permukaan fetal plasenta,
namun juga dapat melekat pada berbagai lokasi. Tali pusat biasanya memiliki diameter 1–2 cm
dan panjang 30–90 cm. Pemeriksaan USG Doppler dapat digunakan untuk diagnosis
abnormalitas posisi dan struktural dari tali pusat.
Tali pusat yang panjang memiliki kecenderungan untuk mengalami prolaps melalui cervix
uteri atau melilit janin. Pengenalan prolaps tali pusat sangatlah penting karena selama

57
ANATOMI

persalinan tali pusat dapat terkompresi antara presentasi bagian tubuh bayi dengan tulang pelvis
ibu, menyebabkan anoksia janin. Jika defisiensi oksigen terjadi lebih dari 5 menit, maka otak
janin dapat mengalami kerusakan.
Tali pusat biasanya memiliki dua arteriae dan satu vena yang dikelilingi oleh textus
mucoideus connectivus (Wharton jelly). Karena pembuluh darah tali pusat lebih panjang
daripada tali pusat, lilitan dan belokan tali pusat adalah suatu hal yang mungkin terjadi. Tali
pusat berkali-kali membentuk lengkungan dan menyebabkan lilitan palsu (false knots) yang
tidak signifikan. Namun begitu, pada sekitar 1% kehamilan terjadi lilitan tali pusat yang
sebenarnya (true knots) pada tali pusat. Lilitan ini dapat semakin kencang dan menyebabkan
kematian janin akibat anoksia. Pada kebanyakan kasus, lilitan yang terbentuk selama
persalinan adalah sebagai akibat janin yang melewati lengkungan tali pusat. Lengkungan
sederhana tali pusat di sekitar janin kadang terjadi. Pada sekitar satu per lima dari seluruh
persalinan, tali pusat melengkung secara longgar di sekitar leher tanpa menimbulkan risiko
pada janin.

AMNION DAN CAIRAN AMNION (LIQUOR AMNIOTICUS)


Amnion membentuk kantong yang berisi cairan amnion yang mengelilingi embrio/janin.
Secara kasat mata, seluruh cairan amnion terdiri dari air, termasuk sebenarnya materi-materi
yang tidak larut seperti sel epitel janin yang terkelupas. Cairan amnion mengandung sekitar
bagian yang sama dari garam organik dan anorganik yang terlarut di dalamnya. Setengah dari
materi organik terdiri dari protein dan sisanya terdiri dari karbohidrat, lemak, enzim, hormon,
dan pigmen.
Seiring dengan pertambahan usia kehamilan komposisi cairan amnion berubah akibat
penambahan urin janin. Karena urin janin memasuki cairan amnion, sistem enzim janin, asam
amino, hormon, dan substansi lain dapat diperiksa melalui pemeriksaan cairan amnion dengan
teknik amniocentesis. Studi sel pada cairan amnion juga dapat mendeteksi abnormalitas
kromosom.

Fungsi Cairan Amnion


Embrio melayang dengan bebas di dalam rongga amnion (cavitas amniotica). Cairan
amnion memiliki fungsi kritis pada perkembangan embrio dan janin:
• Pertumbuhan eksternal embrio.
• Berperan sebagai sawar terhadap infeksi.
• Perkembangan paru janin.
• Mencegah penempelan amnion dengan embrio.
• Menjadi bantalan bagi embrio terhadap benturan dengan mendistribusikan impak yang
diterima oleh ibu.
• Membantu mengontrol temperatur embrio dengan memelihara temperatur relatif konstan.
• Memfasilitasi janin untuk bergerak lebih bebas, sehingga membantu perkembangan otot
khususnya ekstremitas.
• Membantu memelihara homeostasis cairan dan elektrolit.

58
ANATOMI

VESICULA UMBILICALIS (SACCUS VITELLINUS)


Vesicula umbilicalis dapat diamati melalui USG pada minggu ketiga. Pada hari ke-32,
vesicula umbilicalis mengalami pembesaran. Pada minggu ke-10, vesicula umbilicalis akan
mengalami penciutan membentuk sisa berbentuk seperti buah pir dengan ukuran diameter
sekitar 5 cm. Pada minggu ke-20, vesicula umbilicalis menjadi sangat kecil.

Gambar 6. Ilustrasi yang menunjukkan bagaimana amnion membesar, menutup cavitas chorionica, dan
melingkupi funiculus umbilicalis. Perhatikan bagian dari vesicula umbilicalis yang terhubung dengan
embrio sebagai primordial gut. Pembentukan pars fetalis plasenta dan degenerasi villi choriales juga
ditunjukkan pada gambar di atas. A. Minggu ketiga. B. Minggu keempat. C. Minggu kesepuluh. D. Minggu
keduapuluh.

Fungsi vesicula umbilicalis


• Memiliki peranan dalam transfer nutrisi ke embrio selama minggu kedua dan ketiga
sebelum sirkulasi uteroplasenta terbentuk dengan baik.
• Sel-sel darah pertama kali berkembang pada mesoderma extraembyonicum yang melapisi
dinding vesicula umbilicalis pada awal minggu ketiga, dan berlanjut untuk berkembang di
sana sampai aktivitas hematopoiesis terjadi di hepar selama minggu keenam.
• Selama minggu keempat, bagian dorsal vesicula umbilicalis bergabung dengan embrio
sebagai primordial gut. Endoderma vesiculae umbilicalis, yang berasal dari epiblastus,
berkembang menjadi epitel trachea, bronchi, pulmones, dan saluran cerna.
• Sel-sel germinal primordia (cellula germinalis praecursoria) yang terdapat pada lapisan
endoderma vesiculae umbilicalis tampak pada minggu ketiga dan selanjutnya akan
bermigrasi ke gonad yang sedang berkembang. Sel-sel ini akan berdiferensiasi menjadi
spermatogonia dan oogonia.

59
ANATOMI

ALLANTOIS
Allantois sebenarnya bersifat nonfungsional pada embrio manusia; namun hadir untuk tiga
alasan berikut:
• Pembentukan sel darah terjadi pada dinding allantois selama perkembangan embrio pada
minggu ketiga dan keempat.
• Pembuluh darah di allantois akan berkembang menjadi vena umbilicalis dan arteriae
umbilicales.
• Bagian intraembrionik dari allantois akan berjalan dari umbilicus ke vesica urinaria,
dimana allantois ini akan berlanjut. Seiring dengan pelebaran vesica urinaria, allantois
akan mengalami involusi untuk membentuk saluran yang tebal (urachus). Setelah lahir,
urachus akan menjadi jaringan ikat ligamentum umbilicale medianum yang memanjang
dari apex vesicae urinaria ke umbilicus.

Gambar 7. Ilustrasi Perkembangan dan Nasib dari Allantois

SIRKULASI EMBRIO
Pada embrio manusia 3-4 minggu, sistem kardiovaskular terdiri dari satu cor tubulare yang
mempunyai otot yang mampu berkontraksi dan tiga sistem sirkulasi:
• Intraembryonic systemic circulation (aorta ascendens dan aorta dorsalis, arteriae arcuum
pharyngeorum, dan arcus aortae, venae praecardinales dan venae postcardinales).
• Extraembryonic vitelline circulation (arteriae dan venae vitellinae/omphalomesentericae).
• Placental circulation (arteriae dan venae umbilicales).
Darah miskin oksigen dari keenam vena besar (dua venae vitellinae, dua venae umbilicales,
dan dua venae cardinales communes) mengalir ke sinus venosus. Selanjutnya darah memasuki
cor tubulare dan kemudian memasuki aorta dorsalis yang berpasangan untuk memasuki
sirkulasi sistemik, saccus vitellinus, atau plasenta.

60
ANATOMI

SIRKULASI DARAH SEBELUM DAN SESUDAH LAHIR


Peredaran Darah Sebelum Lahir
Karakteristik peredaran darah sebelum lahir adalah:
• Hampir tidak ada aliran darah paru.
• Pertukaran gas terjadi dalam plasenta.
• Fetus mendapatkan O2 dan nutrisi melalui plasenta.
• Pirau kanan ke kiri pada jantung.
Paru fetus yang belum mengembang tidak dialiri udara dan hampir tidak dialiri darah.
Pertukaran gas O2 dan CO2 berlangsung di plasenta. Darah dari plasenta bagian fetus yang kaya
akan oksigen dan nutrisi mencapai organ fetus melalui vena umbilicalis. Di dekat hepar, vena
umbilicalis bermuara ke vena cava inferior melalui ductus venosus (Arantius duct). Disana
terjadi percampuran darah kaya oksigen (dari vena umbilicalis) dan miskin oksigen (dari vena
cava inferior). Pada saat bersamaan, vena umbilicalis meneruskan aliran darah yang kaya
nutrisi ke vena portae hepatis melalui anastomosis vena yang lain dan dibawa ke hepar untuk
dimetabolisme.
Aliran darah dari jantung didominasi oleh pirau kanan-kiri. Dari kedua venae cavae, darah
mengalir ke atrium dextrum. Melalui foramen ovale yang terbuka darah dari vena cava inferior
diteruskan ke atrium sinistrum. Sementara itu darah dari vena cava superior melalui
ventriculus dexter masuk ke dalam truncus pulmonalis. Dari sini darah tidak diteruskan ke paru
yang belum terbuka, melainkan melalui ductus arteriosus (Botallo duct) menuju aorta
kemudian pembuluh darah tepi. Melalui arteriae umbilicales, darah mengalir kembali ke
plasenta. Karena paru hampir tidak dialiri darah, tidak ada darah yang melalui venae
pulmonales menuju atrium sinistrum.

Peredaran Darah Setelah Lahir


Pada saat lahir, pertukaran gas dan hemodinamika berubah total. Karakteristik peredaran
darah setelah lahir adalah:
• Tidak ada lagi peredaran darah plasenta.
• Pernapasan paru dengan pertukaran gas di paru.
• Penutupan pirau kanan ke kiri dan semua anastomosis janin.
Ketika pernapasan dimulai, paru akan mengembang dan dialiri udara sehingga mengambil
alih fungsi pertukaran gas. Tahanan vaskular di pembuluh paru menurun drastis ketika paru
mengembang. Karena tekanan di dalam atrium dextrum mengalami penurunan dan kini
tekanan di dalam atrium sinistrum lebih tinggi maka foramen ovale akan tertutup. Ductus
arteriosus juga akan tertutup, mula-mula hanya secara fungsional karena kontraksi otot polos,
namun selanjutnya akan tertutup secara permanen dan menjadi ligamentum arteriosum
(Botallo ligament). Ventriculus dexter memompa darah melalui arteriae pulmonales menuju
paru yang sudah berkembang. Darah dari ventriculus sinister mencapai seluruh bagian tubuh
melalui aorta, dan mengalir kembali ke atrium dexter melalui venae cavae, dan kini
hemodinamika jantung telah terbagi menjadi sirkulasi sistemik dan sirkulasi pulmonal. Setelah
vena umbilicalis tidak lagi teraliri darah, ductus venosus akan mengalami penutupan karena
tidak ada lagi aliran darah yang menuju ke vena cava inferior dan selanjutnya ductus venosus
akan berubah menjadi ligamentum venosum (Arantius ligament), dan biasanya seluruh vena

61
ANATOMI

umbilicalis akan menebal menjadi ligamentum teres hepatis. Arteriae umbilicales tetap terbuka
hanya di bagian proximalis saja (pars patens), sedangkan pada bagian distalnya (pars occlusa)
akan tertutup dan menjadi ligamentum umbilicale mediale di kedua sisi.

Gambar 8. Sirkulasi Fetus dan Bayi Setelah Lahir

PERUBAHAN ANATOMIS DARI UTERUS


Uterus mungkin dapat dianggap sebagai struktur yang paling dinamis dalam anatomi organ
manusia. Pada saat lahir, uterus bayi relatif besar dan memiliki proporsi seperti pada orang
dewasa dengan rasio corpus:cervix uteri = 2:1 yang disebabkan pengaruh homon dari ibu.
Beberapa minggu setelah dilahirkan, dimensi uterus anak mulai terbentuk. Corpus dan cervix
uteri memiliki rasio sekitar 1:1, dengan diameter cervix lebih besar dibandingkan diameter
corpus uteri. Karena masih kecilnya cavitas pelvis bayi, uterus mencapai cavitas abdominis.
Cervix uteri masih relatif besar dengan proporsi 50% dari uterus selama masa kanak-kanak.
Selama masa pubertas, uterus khususnya corpus uteri tumbuh dengan cepat. Pada saat masa
postpubertas, premenopause, dan saat tidak hamil, corpus uteri berbentuk seperti buah pir;
dengan dua per tiga superior dari uterus terletak di cavitas pelvis. Selama fase kehidupan,
uterus setiap bulan mengalami perubahan ukuran, berat, dan densitas sebagai pengaruh dari
siklus menstruasi.
Selama trimester pertama, uterus bergerak ke luar dari cavitas pelvis, dan pada minggu ke-
20 mencapai setinggi umbilicus. Pada minggu 28–30, uterus mencapai epigastrium.
Peningkatan ukuran uterus disebabkan hipertrofi dan proliferasi serabut otot polos.
Setelah kehamilan 9 bulan, uterus gravida akan melebar untuk mengakomodasi janin,
menjadi lebih besar dan berdinding tipis. Pada akhir kehamilan, janin “turun” seiring kepala
memasuki pelvis minor. Pada usia kehamilan 9 bulan posisi fundus uteri akan turun di bawah
titik tertingginya, posisi fundus uteri akan melewati arcus costalis dan mengisi hampir seluruh
cavitas abdominis et pelvis.
Segera setelah persalinan, uterus yang besar akan berkontraksi dan dindingnya menebal
kembali disertai edema, namun ukurannya mengecil dengan cepat. Uterus gravida multipara

62
ANATOMI

memiliki corpus yang besar dan biasanya memanjang sampai cavitas abdominis bagian bawah,
dan seringkali menyebabkan sedikit protrusi pada dinding abdomen bagian bawah.
Pada masa menopause (46–52 tahun) uterus mengecil. Saat memasuki masa
postmenopause, uterus mengalami involusi dan regresi menjadi ukuran yang lebih kecil seperti
pada masa kanak-kanak. Seluruh tahapan ini menggambarkan perubahan anatomi uterus pada
tahapan usia tertentu dan status reproduksi perempuan.

Gambar 9. Ilustrasi Potongan Sagital pada Perempuan Tidak Hamil (A),


Hamil 20 Minggu (B), dan Hamil 30 Minggu (C).

Gambar 10. Perubahan Ukuran dan Perbandingan Ukuran Antara


Corpus dan Cervix Uteri pada Periode Tertentu

63
ANATOMI

DAFTAR PUSTAKA
1. Moore KL, Persaud TVN, Torchia MG. The Developing Human: Clinically Oriented
Embryology. 11th Edition. Philadelphia: Elsevier. 2020.
2. Rowan-Hull A. Textbook of Clinical Embryology. 1st Edition. Cambridge University Press:
New York. 2013.
3. Carlson BM. Human Embryology and Developmental Biology. 6th Edition. Philadelphia:
Elsevier. 2019.
4. Cochard LR. Netter’s Atlas of Human Embryology. Updated ed. Philadelphia: Saunders.
2012.
5. Sadler TW. Langman’s Medical Embryology. 14th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer.
2019.
6. FIPAT. Terminologia Embryologica, International Anatomical Terminology. Stuttgart-
New York: Thieme. 2013.
7. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Clinically Oriented Anatomy. 8th Edition. Philadelphia:
Wolters Kluwer. 2018.
8. Schunke M, Schulte E, Schumacher U. Prometheus Atlas Anatomi Manusia: Organ Dalam.
Edisi 3. Jakarta: EGC. 2013.
9. Standring S. Gray’s Anatomy: The Anatomical Basis of Clinical Practice. 41th Edition.
Philadelphia: Elsevier Mosby. 2015.

64
BIOKIMIA

HORMON REPRODUKSI
R Ghita S

Hormon adalah zat kimia yang dihasilkan oleh kelenjar endokrin yang disekresikan ke
dalam peredaran darah dan mempengaruhi organ tertentu (organ target). Hormon disekresikan
oleh kelenjar atau sel yang spesifik dan berperan sebagai chemical messenger atau signal
molecule. Hormon dapat disintesis dari berbagai macam struktur kimia dengan variasi sangat
luas. Sebagai contoh, molekul steroid (derivat kolesterol) merupakan prekursor dari hormon
reproduksi. Kadar hormon yang bersirkulasi dalam darah sangat rendah, yaitu 10-12–10-7 mol/L,
namun keberadaannya sangat penting. Hal ini berkaitan dengan fungsinya dalam proses
pertumbuhan, perkembangan, reproduksi, metabolisme, dan lain-lain.
Hormon steroid dapat menjadi molekul prekursor bagi jenis hormon yang lain:

Progesteron Testosteron

•Glukokortikoid •Biosintesis
•Mineralokortikoid estradiol
•Testosteron •Dihidrotestosteron
•Estrogren (DHT)

Proses reproduksi terutama diatur oleh:


- Hormon (pria: testosteron; wanita: estrogen dan progestin)
- Organ reproduksi (gonad: testis dan ovarium)

Kelenjar yang Menghasilkan Hormon Reproduksi


Di dalam tubuh terdapat kelenjar-kelenjar endokrin yang menghasilkan hormon reproduksi,
yaitu: hipofisis anterior, gonad (ovarium, testis), dan korteks adrenal. Selain itu, plasenta juga
menghasilkan hormon HCG.

1. Hipofisis
Lobus anterior hipofisis menyekresikan hormon gonadotropin yang terdiri atas:
- FSH (follicle stimulating hormone): mempengaruhi ovarium yang sedang berkembang,
merangsang folikel menyekresikan estrogen.
- LH (luteinizing hormone): bersama FSH berfungsi mematangkan folikel dan ovum,
merangsang terjadinya ovulasi.

2. Korteks adrenal
Hormon-hormon reproduksi disebut juga hormon adrenal kortikosteroid.
Adrenal steroidogenesis:
Di korteks adrenal terdapat tiga kelas major hormon steroid, yaitu mineralokortikoid,
glukokortikoid, dan androgen. Androgen primer di adrenal meliputi dehidroepiandrosteron,
androstenedione, dan testosteron.
Hormon reproduksi berada di sitoplasma bergabung dengan protein reseptor spesifik.
Hormon ini terikat secara kompetitif membentuk kompleks hormon-reseptor. Kompleks

65
BIOKIMIA

hormon-reseptor berperan sebagai pengatur pembentukan protein dan enzim sistem reproduksi.
Molekul prekursornya adalah kolesterol. Kolesterol ini selanjutnya mengalami esterifikasi dan
disimpan di sitoplasma dalam bentuk butiran-butiran kecil lipid.
ACTH akan memberikan rangsang terhadap korteks adrenal untuk mengaktifkan enzim
esterase. Esterase yang aktif akan mengesterifikasi kolesterol bebas menjadi bentuk yang lebih
kecil sehingga dapat masuk ke dalam mitokondria. Proses ini disebut StAR (ACTH-dependent
steroidogenic acute regulatory). Kolesterol yang telah masuk ke dalam mitokondria akan
diubah menjadi pregnenolone oleh enzim P450scc (P450 side chain cleavage).
Sintesis androgen adrenal: androgen terdiri dari dehidroepiandrosteron (DHEA) dan
androstenedion. Sumber androgen berasal dari sel-sel zona retikularis. Pengatur androgen
adalah ACTH. Fungsi utama androgen adalah membantu membentuk karakteristik atau sifat
sekunder pria.
Dehidroepiandrosteron (DHEA) dan androstenedion dibentuk di gonad dan adrenal.
Adrenal merupakan sumber utama DHEA (pria dan wanita). Wanita memiliki sedikit DHEA,
sehingga DHEA yang disintesis sebagai prazat estrogen jumlahnya lebih sedikit daripada pria.
- Prekursor androgen yang diproduksi di korteks adrenal adalah DHEA
(dehidroepiandrosteron).
- Sebagian kecil dari fraksi 17-hidroksipregnenolon mengalami oxidative fission dan
kehilangan 2 rantai sampingnya akibat dari aktivitas enzim 17, 20 lyase.
- Enzim lyase bekerja mengkatalisis ikatan 17α-hidroksilasi. Sejumlah kecil androstenedion
dibentuk di adrenal berkat aktivitas lyase pada 17α-hidroksiprogesteron.
- Androstenedion mengalami reduksi pada rantai C17 sehingga berubah menjadi testosteron
adrenal. Jumlah testosteron adrenal hanya sedikit karena produksi testosteron terutama
terjadi di testis.

Gambar 1. Jalur Biosintesis Steroid Adrenal di Korteks Adrenal

66
BIOKIMIA

Gambar 2. Sintesis Steroid di Korteks Adrenal

3. Gonad
Selain hormon steroid, terdapat pula hormon gonadotropin yang mekanisme kerjanya
dipengaruhi oleh poros hipotalamus–hipofisis. Secara struktural, gonadotropin merupakan
golongan glikoprotein, meliputi TSH, LH, FSH, dan hCG di korteks adrenal.

Testis
Testis berfungsi untuk memproduksi hormon testosteron dan estrogen serta spermatozoa.
Terdapat 3 jenis sel pada testis, yaitu:
- Spermatogonia (tubulus seminiferus).
- Sel Leydig (sel interstitialis) yang menghasilkan testosteron sebagai respon terhadap LH.
- Sel Sertoli: membentuk membran basalis tubulus seminiferus.

Testicular Steroidogenesis
Hormon steroid gonad disintesis di jaringan interstitial (sel Leydig). Sama seperti hormon
steroid pada adrenal, prekursor hormon ini adalah kolesterol. Proses konversi kolesterol
menjadi pregnenolone dilakukan oleh LH. Sedangkan pada adrenal, konversi ini dilakukan oleh
ACTH.
Pada konversi pregnenolone menjadi testosterone, didapatkan 5 enzim yang berperan:

67
BIOKIMIA

- 3β-hidroksisteroid dehidrogenase (3β-OHSD) yang berada dalam kompleks bersama


dengan
- ∆5,4-isomerase.
- 17α hidroksilase
- 17,20-lyase
- 17β hidroksisteroid dehidrogenase (3β-OHSD) single act.

Gambar 3. Konversi Pregnenolone menjadi Testosteron

Konversi pregnenolone menjadi testosteron paling banyak terjadi di testis melalui jalur
dehidroepiandrosteron (∆5). Testosteron yang terbentuk ada yang mengalami konversi kembali
menjadi dihidrotestosteron (DHT) melalui reduksi cincin A oleh enzim 5α-reduktase.
Sebanyak 50–100 µg DHT dibentuk di testis, sebagian besar berasal dari perifer.
Testis juga memproduksi hormon E2 (17-estradiol) namun dalam jumlah yang sangat
sedikit. Meski demikian keberadaan hormon tersebut sangat bermakna. E2 yang sedikit ini
sebagian besar dihasilkan melalui reaksi aromatisasi perifer hormon testosteron dan
androstenedion.

68
BIOKIMIA

Peningkatan kadar hormon E2 di dalam plasma dan perubahan abnormal pada ratio E2 bebas
terhadap testosteron berkaitan dengan gejala pada beberapa keadaan seperti ginekomastia,
pubertas, dan post pubertas.

Metabolisme Testosteron
Terdapat 2 lintasan metabolisme testosteron:
1. Oksidasi posisi 17: proses ini terjadi pada banyak jaringan termasuk hepar. Hasil
metabolisme jalur ini adalah 17-ketosteroid yang umumnya bersifat inaktif.
2. Reduksi ikatan rangkap cincin A dan gugus keton: proses ini kurang efisien dibandingkan
proses sebelumnya. Jalur ini terjadi hanya di organ target. Sekalipun merupakan proses
yang tidak efisien tapi hasil metabolit dari jalur ini adalah DHT (dihidrotestosteron) yang
merupakan metabolit poten.
Metabolit lain yang terbentuk dari hasil metabolisme testosteron adalah estradiol.

Gambar 4. Metabolisme Testosteron


Dihidrotestosteron
Dihidrotestosterom (DHT) merupakan produk metabolit dari testosteron. Hormon ini adalah
bentuk aktif dari testosteron. DHT dijumpai dalam banyak struktur seperti vesikula seminalis,
prostat, genitalia eksterna, dan pada sebagian daerah kulit. Kandungan DHT dalam plasma pria
dewasa sekitar 1/10 dari total testosteron. Proses metabolisme testosteron menjadi DHT
dikatalisis oleh enzim 5α-reduktase dengan energi yang berasal dari NADPH.

Spermatogenesis

Gambar 5. Poros Hipotalamus-Hipofisis Anterior-Testis dan Spermatogenesis

69
BIOKIMIA

Pembentukan sperma diawali dengan disekresikannya GnRH oleh hipotalamus. GnRH akan
merangsang hipofisis anterior untuk menyekresikan FSH dan LH. FSH merangsang sel Sertoli
di testis untuk memulai proses spermatogenesis, sedangkan LH merangsang sel Leydig untuk
menghasilkan testosteron. Testosteron yang terbentuk memberikan positive feedback terhadap
proses spermatogenesis sekaligus negative feedback terhadap hipofisis anterior dan
hipotalamus agar tidak lagi menyekresikan GnRH, FSH, dan LH.
Negative feedback juga dilakukan oleh sel Sertoli terhadap hipofisis anterior saat proses
spermatogenesis telah selesai dengan cara dikeluarkannya inhibin.

Ovarium
Ovarian Steroidogenesis
Ovarium berfungsi memproduksi hormon seks wanita, estrogen dan progestin. Progesteron
merupakan prekursor dari semua hormon steroid. Progesteron diproduksi dan disekresikan oleh
corpus luteum sebagai bentuk end product. Selain itu ovarium juga merupakan tempat untuk
pembentukan sel telur/ovum.
Estrogen mempunyai cincin asam amino aromatik, terdiri dari struktur estradiol (paling
aktif), estron dan estriol (tidak aktif) yang akan meningkat pada saat kehamilan (estriol juga
disintesis oleh plasenta). Estrogen dapat disintesis dalam testis, ovarium, adrenal, dan plasenta.
Prekursornya berupa testosteron dan androstenedion. Estrogen termasuk famili hormon yang
disintesis di berbagai organ. Bentuk estrogen primer yang berasal dari ovarium adalah 17β-
estradiol.
Secara umum, jalur dan lokasi subseluler dari enzim-enzim yang terlibat pada tahap awal
sintesis estradiol, sama dengan proses sintesis androgen. Estrogen dibentuk dari proses
aromatisasi androgen dengan cara yang sangat kompleks. Proses ini melibatkan 3 langkah
hidroksilasi, masing-masing membutuhkan oksigen dan NADPH sebagai sumber energi.
Enzim yang berperan dalam proses aromatisasi ini adalah kompleks enzim aromatase termasuk
enzim P450 monooksigenase.

Gambar 6. Biosintesis Estradiol

70
BIOKIMIA

Sumber-sumber estrogen:
- Testosterone  estradiol
- Androstenedion  reaksi aromatisasi  estron
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti sumber dari berbagai macam steroid seluler
yang menjadi prekursor estrogen. Diperkirakan terdapat 2 jenis sel yang terlibat dalam
ketersediaan steroid ini dan sintesisnya menjadi estrogen. Sel theca, merupakan sumber dari
androstenedion dan testosteron. Androstenedion sendiri adalah hormon androgen utama yang
dihasilkan oleh ovarium. Kedua hormon tersebut dapat disintesis menjadi estrogen dalam
bentuk estron dan estradiol dengan bantuan enzim aromatase yang berada dalam sel granulosa.
Estrogen paling banyak dibentuk melalui proses aromatisasi perifer androgen. Sebanyak
80% estradiol yang terdapat pada pria didapatkan dari proses aromatisasi perifer testosteron.
Pada wanita hamil, 50% estradiol yang di produksi selama proses kehamilan berasal dari proses
aromatisasi androgen adrenal. Pada wanita yang telah menopause, sumber utama estrogennya
berada dalam bentuk estron yang dibentuk dari androstenedion.
Aktivitas enzim aromatase ini dapat ditemui di beberapa jaringan seperti jaringan adiposa,
hepar, dan kulit. Peningkatan aktivitas enzim ini dapat menyebabkan sintesis estrogen
meningkat, yang biasa disebut estrogenisasi. Keadaan ini bisa menjadi penanda bagi beberapa
kelainan seperti sirosis hepar, hipertiroid, penuaan, dan obesitas.

Metabolisme Estrogen dan Progestin


Secara aktif metabolisme hormon estrogen dan progestin terjadi di hepar. Pada proses
metabolisme ini estrogen dalam bentuk estradiol dan estron akan diubah menjadi bentuk estriol.
Ketiga bentuk ini sebetulnya merupakan substrat untuk enzim hepatik. Hormon-hormon steroid
yang terkonjugasi mudah larut dalam air sehingga mudah diekskresikan ke dalam getah
empedu, feses, dan urin.

Fungsi Utama Hormon Ovarium


Mematangkan dan mempertahankan sistem reproduksi wanita:
- Mematangkan sel-sel benih primordial.
- Mengembangkan jaringan yang memungkinkan untuk terjadinya implantasi blastosit.
- Mengatur waktu/siklus hormonal untuk ovulasi.
- Membentuk lingkungan yang diperlukan untuk mempertahankan kehamilan.
- Mempengaruhi regulasi hormonal untuk proses persalinan dan persiapan laktasi.

1. Estrogen
- Merangsang perkembangan jaringan reproduksi.
- Proliferasi dan diferensiasi epitel vagina.
- Proliferasi endometrium, hipertrofi kelenjar endometrium.
- Proliferasi ductus di mammae.
- Dilatasi pembuluh darah, menyebarkan panas.
- Estradiol: memberikan efek anabolik terhadap tulang dan cartilago sehingga
merangsang proses pertumbuhan.

71
BIOKIMIA

2. Progestin
- Mengurangi efek proliferatif hormon estrogen terhadap epitel vagina.
- Melanjutkan fase proliferatif endometrium menuju fase sekretorik.
- Mempersiapkan dan menjaga endometrium untuk proses implantasi.
- Merangsang perkembangan kelenjar mammae.
- Menurunkan aliran darah perifer sehingga menghambat tubuh kehilangan panas. Hal
ini menyebabkan suhu tubuh meningkat sebanyak 0,5°C pada fase luteal dan menjadi
salah satu indikator ovulasi.
Estrogen dan progestin memiliki fungsi yang seringkali bertentangan, namun perlu diingat
bahwa estrogen merangsang produksi reseptor progesterone, sehingga progesteron
membutuhkan estrogen supaya dapat berfungsi.

Siklus Menstruasi
Ovulasi terjadi pada ± hari ke-14 siklus menstruasi. Folikel de Graaf dan folikel sekunder
terus menyekresikan estrogen, sehingga kadar estrogen naik. Naiknya kadar estrogen
menyebabkan negative feedback terhadap FSH dan LH yg disekresikan hipofisis anterior.
Sel lutein teka menyusun ± 20% populasi sel. Sel ini terletak di daerah perifer corpus
luteum. Sel lutein teka mampu menyekresikan progesteron, estrogen, dan androgen.
Progesteron dan estrogen akan menghambat LH dan FSH sehingga perkembangan folikel baru
dan ovulasi sekunder tidak terjadi.

Gambar 7. Siklus Menstruasi

Bila seorang wanita tidak mengalami kehamilan, maka LH tidak ada dan corpus luteum
dipertahankan hanya selama ± 14 hari. Corpus luteum akan berdegenerasi dan menjadi corpus
luteum menstruasi. Bila seorang wanita hamil, maka HCG akan disekresikan oleh plasenta dan

72
BIOKIMIA

corpus luteum akan dipertahankan selama ± 3 bulan. Corpus luteum kehamilan berukuran
besar, dengan diameter ± 5 cm, dan menyekresikan hormon. Setelah kehamilan mencapai usia
± 4 bulan, plasenta mulai menyekresikan relaxin yang digunakan untuk melebarkan bukaan
pelvis saat partus.

Gambar 8. Regulasi Hormon Pada Kehamilan.

Pada saat seorang wanita hamil, maka hormon-hormon dalam tubuhnya beregulasi
sedemikian rupa untuk mempersiapkan proses persalinan juga laktasi. Proses perkembangan
kelenjar mammae untuk persiapan laktasi dirangsang oleh estradiol dan progesteron.
Selanjutnya produksi susu dirangsang oleh prolaktin. Kadar prolaktin mulai meningkat pada
masa kehamilan, yang semula <2 ng/dL dapat mencapai >200 ng/dL. Pada masa kehamilan
lebih lanjut, kadar progesteron yang tinggi akan menghambat produksi dan sekresi ASI. Pada
masa persalinan, progesteron akan turun drastis begitu juga prolaktin. Setelah proses persalinan
selesai, hormon yang bertanggung jawab terhadap sekresi ASI adalah oksitosin yang
dilepaskan saat bayi menghisap puting, sehingga sel mioepitel berkontraksi dan menyebabkan
ASI disekresikan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Berg JM, Tymoczko JL, Stryer L. Biochemistry. 6th Edition. New York: WH Freeman and
Company. 2007. 211.
2. Growth Hormone Test: MedlinePlus Medical Encyclopedia. US National Library of
Medicine. U.S. National Library of Medicine, n.d. Web. 29 Oct. 2012.
<http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003706.htm>
3. "Chemical Classes of Hormones." News Medical. News Medical, n.d. Web. 20 Nov. 2012.
<http://www.news-medical.net/health/Chemical-Classes-Of-Hormones.aspx>
4. Christensen A, et al. Hormonal Regulation of Female Reproduction. US National Library
of Medicine. HHS Public Access. Horm Metab Res. 587-591. July 2012.
<https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3647363/>

73
FARMAKOLOGI

OKSITOSIK DAN TOKOLITIK


Sugiarto Puradisastra

Miometrium merupakan organ muskular yang mulai berkontraksi spontan dan teratur sejak
masa pubertas. Kontraksi uterus paling nyata pada kehamilan terutama pada kehamilan aterm
dan memegang peranan penting dalam persalinan. Proses fisiologis persalinan memerlukan
interaksi kompleks antara hormon, saraf, dan kontraksi otot polos uterus.
Selama 2 trimester pertama kehamilan uterus relatif dalam keadaan tenang akibat pengaruh
progesteron sistemik pada otot uterus. Kontraksi miometrium meningkat secara progresif
setelah dimulainya persalinan karena peran oksitosin yang dibentuk hipotalamus dan
prostaglandin yang berasal dari desidua. Pada trimester terakhir, otot polos uterus menjadi lebih
mudah tereksitasi sehingga terlihat kontraksi otot ringan (kontraksi Braxton-Hicks) yang makin
lama makin menguat dan sering, sehingga sering dianggap sebagai tanda dimulainya persalinan
yang dinamakan false labor. Hal ini terjadi karena:
1. Bertambahnya reseptor oksitosin dalam uterus yang menyebabkan peningkatan respon otot
terhadap oksitosin.
2. Bertambahnya reseptor adrenergik-α dan angiotensin miometrium.
3. Kemungkinan faktor fetus berperan memulai persalinan.

Oksitosik adalah obat yang merangsang kontraksi uterus. Banyak obat yang
memperlihatkan efek oksitosik, tetapi hanya beberapa saja yang cukup selektif dan berguna
dalam praktek kebidanan. Obat tersebut adalah oksitosin, alkaloid ergot, dan beberapa
prostaglandin semisintetik.

STIMULAN UTERUS
OKSITOSIN
Oksitosin (Pitocin, Syntocinon) merupakan peptida dengan 8 asam amino siklik yang
disintesis dalam nukleus paraventrikuler hipotalamus dan disalurkan serta disimpan di hipofisis
posterior. Waktu paruh oksitosin sekitar 15 menit dan diinaktivasi di ginjal dan di hepar.
Oksitosin merupakan drug of choice untuk menginduksi persalinan pada kehamilan aterm,
sering dikombinasikan dengan amniotomi dengan 80% keberhasilan kelahiran per vaginam
pada gangguan persalinan. Indikasi lain adalah setelah abortus inkomplit pada kehamilan lebih
dari 20 minggu, mencegah dan mengendalikan perdarahan postpartum, menginduksi abortus
(dosis tinggi) dan oxytocin challenge test (menilai respon frekuensi denyut jantung fetus
terhadap rangsangan kontraksi uterus pada kehamilan dengan risiko (hipertensi, DM,
preeklamsia).
Bahaya pemberian oksitosin adalah ruptura uteri, reaksi anafilaksis dan reaksi alergi lain,
intoksikasi air, dan dapat terjadi kematian ibu. Pada fetus menyebabkan fetal adverse reaction
seperti insufisiensi uteroplasenta persisten, sinus bradikardia, kontraksi ventrikel prematur,
aritmia lain, dan kematian fetus. Pemberian dapat dilakukan secara IV, IM, dan nasal spray.

74
FARMAKOLOGI

ALKALOID ERGOT: ERGONOVIN MALEAT DAN METIL ERGONOVIN MALEAT


Sumber alkaloid ergot adalah Caviceps purpurea, suatu jamur parasit pada gandum atau
beras. Alkaloid ergot dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan efek dan struktur kimia yang
membentuknya:
1. Alkaloid asam amino dengan prototipe ergotamin.
2. Derivat dehidro alkaloid asam amino dengan prototipe dihidroergotamin.
3. Alkaloid amin dengan prototipe ergonovin.

Farmakodinamik:
Uterus. Semua alkaloid ergot alam meningkatkan kontraksi uterus dengan nyata, sediaan ergot
alam yang paling kuat adalah ergonovin. Ergonovin (Ergotrat) dan metil ergonovin (Metergin)
bekerja merangsang otot polos uterus secara langsung dengan meningkatkan tonus otot dan
merangsang kecepatan dan kekuatan kontraksi, bahkan dapat menimbulkan kontraksi tetanik
yang dapat memperpendek stadium akhir persalinan dan mengurangi perdarahan postpartum.
Ergonovin juga merangsang kontraksi serviks. Kedua obat sering digunakan secara rutin untuk
mengeluarkan plasenta dan mengatasi atonia serta perdarahan postpartum dan postabortus.
Mekanisme kerja: Kedua obat tersebut merupakan agonis parsial pada reseptor adrenergik-α
dan beberapa reseptor serotonin dan dopamin, dan menghambat pelepasan endothelial derived
relaxing factor (NO).
Sistem kardiovaskular. Ergotamin dan alkaloid sejenis menimbulkan vasokonstriksi perifer
dan merusak endotel kapiler. Terhadap sistem kardiovaskular, ergotamin mempunyai efek
paling kuat. Alkaloid amin seperti ergonovin pada dosis terapi hanya menginduksi
vasokonstriksi/pengurangan aliran darah ke ekstremitas. Efek hambatan adrenergik-α lebih
ringan dari preparat ergot lain.

Farmakokinetik:
Absorbsi oral ergonovin cepat dan lengkap, mula kerja 5–15 menit, lama kerja 3 jam, dapat
diberikan secara IM atau IV. Metabolisme di hepar, ekskresi terutama melalui ginjal, dapat
ditemukan dalam ASI. Obat tidak boleh diberikan terlalu lama karena dapat terjadi keracunan
ergot (ergotisme) termasuk gangren pada bayi.

Efek samping:
Alkaloid ergot sangat toksik dan yang paling toksik adalah ergotamin, sedangkan ergonovin
seperempat kali toksisitas alkaloid asam amino. Berdasarkan hal ini maka ergonovin dan
turunannya telah menggantikan ergotamin sebagai oksitosik dengan efek samping antara lain
hipertensi, nyeri kepala, dapat kejang, mual, muntah, nyeri dada, kesulitan bernafas, dan kram
kaki. Keracunan akut terjadi pada percobaan menggugurkan kandungan dengan dosis besar.
Gejala yang ditemukan adalah mual, muntah, diare, gatal, kulit dingin, nadi lemah, bingung,
dan tidak sadar. Terapi ergotisme adalah penghentian obat dan terapi simtomatis yaitu
pemberian vasodilator kuat seperti natrium nitroprusid, atropin, atau fenotiazin untuk mual dan
muntah, serta penyuntikan kalsium glukonat untuk nyeri otot.

Indikasi: Sediaan ergot terutama digunakan dalam kebidanan sebagai oksitosik, dan untuk
mengobati migren.

75
FARMAKOLOGI

Kontra indikasi: abortus mengancam, alergi terhadap obat, angina pektoris, infark miokard,
kehamilan dan riwayat CVA, TIA atau hipertensi, serta penyakit pembuluh darah seperti
arteriosklerosis, tromboflebitis, dan penyakit Raynaud atau Buerger.

DINOPROSTON, CARBOPROST TROMETAMIN, DAN MISOPROSTOL


Dinoproston (Prostin E2) merupakan prostaglandin E2 alamiah sedangkan Carboprost
trometamin merupakan analog sintetik prostaglandin F2α. Kedua obat lebih efektif merangsang
kontraksi uterus pada trimester kedua dibandingkan oksitosin, yaitu pada kehamilan 12–20
minggu. Waktu rata-rata terjadinya aborsi setelah pemberian obat adalah 16 jam.
Dinoproston diabsorbsi lambat dari cairan amnion ke dalam sirkulasi sistemik, tetapi obat
dan metabolitnya mudah melewati plasenta dan terkonsentrasi di hepar fetus. Metabolisme
terutama dalam paru-paru dan hepar ibu, dengan waktu paruh di plasma kurang dari 1 menit,
sedangkan dalam cairan amnion 3–6 jam. Carboprost dimetabolisme dalam paru-paru dan
hepar ibu lebih lambat dan dieliminasi terutama melalui ginjal serta sedikit melalui feses.
Dinoproston juga merangsang pematangan pembukaan seviks sehingga digunakan sebagai
alternatif oksitosin untuk menginduksi persalinan. Preparat Dinoproston ditempatkan dalam
serviks atau forniks posterior. Carboprost sukses digunakan untuk mengendalikan perdarahan
postpartum sekunder karena atonia uteri yang tidak memberi respon terhadap oksitosin,
ergonovin, atau metil ergonovin.
Misoprostol (Cytotec) merupakan analog prostaglandin E1 yang telah digunakan untuk
terapi dan pencegahan ulkus peptikum, ternyata efektif untuk pematangan serviks dan induksi
persalinan seperti Dinoproston, tetapi lebih murah.

Efek samping: kebanyakan tidak berat, dapat terjadi mual, muntah, diare, demam, adanya sisa
plasenta, perdarahan banyak, tekanan darah diastol menurun, dan nyeri kepala. Pemberian
harus hati-hati bila terdapat asma, servisitis, vaginitis, hipertensi atau hipotensi, anemia,
ikterus, diabetes, atau epilepsi.

Kontraindikasi: acute pelvic inflammatory disease, alergi obat, dan gangguan ginjal, hepar,
atau kardiovaskuler. Obat juga potensial karsinogenik, dan tidak boleh diberikan bersama
oksitosin karena bahaya ruptura uteri.

RELAKSAN UTERUS
Persalinan sebelum waktunya atau premature labor (kurang dari 37 minggu) dapat terjadi
akibat ibu merokok, penyalahgunaan obat, tidak melakukan prenatal care, infeksi ketuban,
serviks longgar, dan persalinan preterm sebelumnya. Obat tokolitik atau relaksan uterus
digunakan untuk merelaksasikan otot uterus sementara waktu, bila pemanjangan kehidupan
intrauterin menguntungkan fetus atau memungkinkan pemberian obat seperti kortikosteroid
untuk merangsang produksi surfaktan paru-paru. Obat tokolitik lebih cenderung menghambat
persalinan pada kehamilan, terutama sebelum persalinan berlanjut. Obat golongan ini adalah
magnesium sulfat, alkohol, inhibitor prostaglandin, kalsium bloker, hidroksiprogesteron, dan
agonis adrenergik β2.
Efek samping yang dapat terjadi selama penggunaan tokolitik pada ibu adalah edem paru,
infark miokard, henti paru, henti jantung, dan kematian, sedangkan pada bayi adalah depresi

76
FARMAKOLOGI

pernafasan, perdarahan intraventrikuler, dan necrotizing enterocolitis.


Kontraindikasi absolut adalah fetal distres akut (kecuali selama resusitasi intrauterin),
korioamnionitis, eklamsia atau preeklamsia berat, fetal demise, janin cukup umur, dan
hemodinamik ibu tidak stabil.

ETANOL
Etanol menghambat pelepasan oksitosin dari hipofisis, tetapi sekarang tidak digunakan lagi.

AGONIS ADRENOSEPTOR-β2
Obat ini tidak selalu efektif, karena hanya dapat menghentikan persalinan preterm selama
48–72 jam. Pemberian kortikosteroid pada ibu selama penundaan persalinan menurunkan
insiden dan beratnya respiratory distress syndrome pada bayi, perdarahan intraventrikuler, dan
memperpanjang masa hidup bayi prematur. Tokolisis juga memungkinkan pengiriman ibu ke
rumah sakit dengan fasilitas yang lebih lengkap untuk bayi prematur.
Mekanisme kerja: pengikatan reseptor β2 akan merangsang adenilil siklase, sehingga cAMP
meningkat dan mengaktifkan protein kinase yang bergantung pada cAMP, sehingga kadar
kalsium intrasel menurun dan kontraksi berkurang.
Efek samping: palpitasi, tremor, mual, muntah, cemas, nyeri dada, nafas pendek,
hiperglikemia, hipokalemia, dan hipotensi. Efek samping berat: edem paru, insufisiensi
jantung, iskemia miokard, aritmia, dan kematian ibu.

TERBUTALIN
Terbutalin merupakan agonis adrenoseptor-β2 yang relatif spesifik dan sering digunakan untuk
mengatasi premature labor meskipun tidak dipasarkan untuk indikasi demikian. Obat ini
efektif pada kehamilan lebih dri 20 minggu dan kurang dari 33 minggu serta ketuban tidak
pecah atau persalinan belum terlalu lanjut. Obat ini hanya digunakan di rumah sakit dengan
fasilitas obstetrik yang baik, tidak boleh dikombinasikan dengan kortikosteroid karena
menyebabkan diabetes dan edem paru, dan dengan magnesium sulfat (kelainan jantung) atau
simpatomimetik lain.

MAGNESIUM SULFAT
Magnesium sulfat digunakan untuk mencegah konvulsi pada preeklamsia, dan meskipun
magnesium sulfat mempunyai beberapa efek samping pada jantung, tetapi lebih disukai
dibandingkan agonis adrenergik- β2 pada pasien penyakit jantung, diabetes, atau hipertiroid.
Mekanisme kerja:
1. Menghambat aksi potensial seluler sehingga menyebabkan eksitasi-kontraksi yang
uncoupling dalam sel miometrium.
2. Menurunkan ambilan kalsium dengan berkompetisi pada tempat pengikatan.
3. Mengaktifkan adenilil siklase (juga menurunkan kalsium intraselular).
4. Merangsang ATP-ase yang bergantung pada kalsium yang merangsang ambilan kalsium
oleh sarcoplasmic reticulum.
Kadar plasma yang harus dicapai agar inhibisi uterus efektif adalah minimal 5,5 mEq/L.
Efek samping: toksisitas magnesium dapat membahayakan, dimulai dengan hilangnya refleks
patella, kemudian depresi pernafasan diikuti paralisis atau henti nafas; pada dosis yang lebih

77
FARMAKOLOGI

tinggi dapat terjadi henti jantung. Efek samping lain adalah berkeringat, kulit hangat, flushing,
kekeringan mulut, mual, muntah, pusing, nistagmus, nyeri kepala, palpitasi, edem paru,
paralisis otot, hipotensi, dan depresi pada bayi.

OBAT LAIN
INDOMETASIN:
Menunda persalinan preterm, dengan menghambat PG menunda persalinan 24–48 jam. Hal
yang dicemaskan adalah penutupan ductus arteriosus yang sensitif pada kehamilan lebih dari
32 minggu. Efek samping adalah oligohidramnion, jangka panjang menyebabkan hipertensi
pulmonal, perdarahan intraventrikuler meningkat.

KALSIUM BLOKER: NIFEDIPIN


Obat tokolitik baru yang mengganggu masuknya Ca2+ ke dalam sel miometrium melalui
voltage dependent channels, sehingga menghambat kontraksi, tetapi perlu penelitian lebih
lanjut.

HIDROKSI PROGESTERON
Obat ini digunakan sebagai profilaksis pada kehamilan 12–37 minggu terutama ibu dengan
risiko tinggi melahirkan prematur (riwayat persalinan prematur atau abortus spontan).
Progesteron menjebabkan hiperpolarisasi membran sel otot, menurunkan konduksi impuls
dalam sel otot dan meningkatkan pengikatan kalsium ke dalam sarcoplasmic reticulum. Obat
ini berefek potensial teratogenik sehingga perlu penelitian lanjutan sebelum digunakan rutin
sebagai profilaksis.

OKSITOSIN ANTAGONIS: ATOSIBAN


Merupakan analog oksitosin.

DAFTAR PUSTAKA
1. Brancazio LR, Stitzel RE. Uterine Stimulants and Relaxants. Modern Pharmacology With Clinical
Application. 6th. Edition. 2005. 716–721.
2. Amir Syarif, Armen Muchtar. Oksitosik. Dalam: Sulistia Gan Gunawan eds. Farmakologi dan
Terapi. Edisi 5. Jakarta: Gaya Baru. 2007. 410–420.

78
FARMAKOLOGI

KONTRASEPSI HORMONAL
Diana Krisanti Jasaputra, Sugiarto Puradisastra

Pendahuluan
Kontrasepsi adalah cara-cara pencegahan konsepsi atau pencegahan kehamilan. Kontrasepsi
dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
1. Obat per oral
2. Suntikan
3. Implant subkutan
4. Alat dalam saluran reproduksi
5. Operasi: tubektomi, vasektomi.
6. Obat topikal intravaginal bersifat spermatisid.
Cara kontrasepsi yang menggunakan hormon adalah per oral, suntikan, dan implant
subkutan. Kontrasepsi oral adalah kontrasepsi yang paling banyak diresepkan di Amerika
Serikat. Kontrasepsi mulai diperkenalkan pada tahun 1960, digunakan untuk perencanaan
keluarga dan menghindarkan kehamilan yang tidak diinginkan.

Sejarah Kontrasepsi Hormonal


• Permulaan abad 20: Beard, Prenant, dan Loeb mempelajari mengenai sekresi corpus luteum
yang menghambat ovulasi selama kehamilan.
• Tahun 1927: Haberlandt melakukan percobaan menggunakan hewan coba tikus yang diberi
ekstrak ova dan plasenta per oral akan steril sementara (merupakan contoh kontrasepsi
oral).
• Tahun 1957: Pincus, Garcia, dan Rock mempelajari bahwa progesteron dan nor-19-
progestin menekan ovulasi.
• Tahun 1959: kontrasepsi oral untuk pertama kalinya digunakan, yaitu dengan preparat
mestranol dan noretinodrel.
• Tahun 1966: Grup Goldzieher menggunakan progestin untuk kontrasepsi suntikan kerja
lama.
• Tahun 1970: efek samping kontrasepsi mulai dilaporkan.
• Tahun 1980: kontrasepsi ternyata mempunyai keuntungan kesehatan yang lain.
• Tahun 1982: Kols et al. menggunakan low dose kontraseptif (bifasik dan trifasik).

Kontrasepsi hormonal yang diberikan pada dasarnya mempengaruhi siklus menstruasi


wanita normal. Skema pada Gambar 1 memperlihatkan kadar berbagai hormon yang berperan
pada siklus menstruasi. Estrogen endogen dalam tubuh manusia terdiri dari estradiol, estriol,
dan estron (biosintesis estrogen diperlihatkan pada Gambar 2). Estrogen alami dapat diubah
strukturnya menjadi estrogen sintetik yang aktif pada pemberian oral (contoh estrogen sintetik
dan semisintetik dapat dilihat pada Gambar 3). Progesteron merupakan hormon alami utama
dalam tubuh dengan efek progestogenik. Beberapa senyawa sintetik memiliki efek
progestogenik dan dikenal dengan nama derivat progestin (struktur kimia beberapa progestin
ditampilkan pada Gambar 4).

79
FARMAKOLOGI

Gambar 1. Siklus Menstruasi

Gambar 2. Biosintesis Estrogen

80
FARMAKOLOGI

Gambar 3. Estrogen Sintetik dan Semisintetik.

Gambar 4. Struktur Kimia Beberapa Progestin.

Preparat Kontrasepsi Hormonal


Kontrasepsi hormonal terdiri dari beberapa tipe formulasi: (1) kontrasepsi oral kombinasi,
(2) preparat sekuensial/berurutan, (3) kontrasepsi yang hanya mengandung progestin, dan (4)
kontrasepsi postkoital/pascasanggama/morning after pill.

81
FARMAKOLOGI

Kontrasepsi Oral Kombinasi


Preparat kombinasi merupakan kontrasepsi oral yang paling umum digunakan dan sangat
efektif (secara teoritis efektivitasnya 99,9% dan secara praktis 97–98%). Preparat kombinasi
mengandung estrogen dan progestin. Estrogen yang digunakan adalah etinilestradiol atau
mestranol. Progestin yang digunakan adalah norethindrone acetate, norgestrel, atau ethylnodiol
diacetate. Desogestrel, norgestimate dan gestodene adalah progestin generasi baru dengan
pengaruh androgenik yang lebih sedikit dibandingkan progestin lainnya. Progestin generasi
baru ini bila digunakan bersama dengan estrogen dalam kontrasepsi oral, efek sampingnya akan
lebih sedikit dibandingkan progestin lainnya.
Mekanisme kerja utamanya adalah menekan LH dan FSH pada pertengahan siklus dan
mennghambat ovulasi dan perkembangan folikel ovarium. Keuntungan dari preparat
kombinasi ini adalah rendahnya risiko penggunanya untuk terkena endometriosis,
tromboemboli, dan kanker ovarium.
Kontrasepsi oral kombinasi dapat monofasik yang digunakan selama 21 hari, estrogen dan
progestin yang digunakan sama secara terus-menerus, dengan 7 hari periode bebas pil.
Kontrasepsi oral jenis ini kadang diminum selama 28 hari dengan 7 pil inert. Pil tersebut
diminum pada hari pertama menstruasi, selanjutnya diminum tiap hari satu pil. Setelah
meminum pil terakhir yang mengandung obat, dua atau tiga hari kemudian akan mengalami
perdarahan putus obat (withdrawal bleeding).
Kontrasepsi oral kombinasi dapat pula bifasik dan trifasik, mengandung dua atau tiga deret
pil dengan kadar yang berbeda (Trinordiol, Triquilar). Preparat bifasik atau trifasik memiliki
dosis estrogen yang tetap dan dosis progestin yang bervariasi. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah ”breakthrough” atau pendarahan yang tidak teratur dan untuk menurunkan dosis
progestin yang sering menimbulkan efek samping kardiovaskuler. Kadar estrogen 20–50 μg,
rata-rata 30–35 μg (<35 μg). Kadar progestin <1 μg.

Tabel 1. Beberapa Kontrasepsi Hormonal yang ada di Indonesia


Derivat Progestin Derivat Estrogen Tambahan Nama Dagang
I. KONTRASEPSI ORAL
dl Norgestrel 0,5 mg Etinilestradiol 0,05 mg Eugynon
dl Norgestrel 0,5 mg Etinilestradiol 0,05 mg + 7 tablet inaktif Eugynon ED
l Norgestrel 0,15 mg Etinilestradiol 0,03 mg + 7 tablet laktosa Microgynon 30 ED
l Norgestrel 0,125 mg Etinilestradiol 0,05 mg + 7 tablet laktosa Microgynon 50 ED
l Norgestrel 0,25 mg Etinilestradiol 0,05 mg Neogynon
l Norgestrel 0,25 mg Etinilestradiol 0,05 mg + 7 tablet inert Neogynon ED
Etinodiol diasetat 1 mg Mestranol 0,05 mg + 7 tablet ferofumarat Agestin ED
25 mg
Linestrenol 1 mg Etinilestradiol 0,05 mg + 6 tablet laktosa Ovostat-28
Desogestrel 150 mg Etinilestradiol 0,035 mg Marvelon
II. SUNTIKAN
Medroksiprogesteron asetat 150 mg, diberikan setiap 12 minggu.
Noretisteron anantat 200 mg, diberikan setiap 8 minggu.
III. IMPLANTASI
Levonorgestrel 36 mg per tube silastik, implantasi SK 6 tube untuk 5 tahun.
3-Ketodesogestrel 68 mg-tube silastik tunggal, implantasi SK untuk 3 tahun.

82
FARMAKOLOGI

Preparat kombinasi yang mengandung mestranol dan noretinodrel tidak digunakan untuk
kontrasepsi tetapi digunakan untuk endometriosis dan hypermenorrhea.

Preparat Sekuensial
Preparat sekuensial/berurutan dikembangkan pada tahun 1965–1970, dengan pemberian
estrogen untuk 14–16 hari diikuti kombinasi estrogen dan progesteron selama 5–6 hari. Tipe
ini sudah jarang digunakan karena kurang efektif dan terjadi perubahan patologis pada
endometrium serta terjadi peningkatan insiden tumor endometrium.

Kontrasepsi yang Hanya Mengandung Progestin


Efektivitas kontrasepsi yang hanya mengandung progestin cukup baik, secara teoritis 99%,
dan secara praktis 96–97,5%. Preparat ini menghambat ovulasi, tetapi kurang konsisten
dibandingkan preparat kombinasi. Kontrasepsi hormonal per oral yang hanya mengandung
progestin adalah pil mini. Pil mini ini dapat memperbanyak mukus di daerah serviks sehingga
menjadi barrier sperma untuk masuk, namun preparat ini sering mengalami kegagalan. Contoh
preparat ini adalah Exluton® yang mengandung progestin dosis rendah. Progestin yang
digunakan adalah noretindron 350 μg atau norgestrel 75 μg.
Implantasi subkutan merupakan kontrasepsi yang hanya mengandung progestin, yaitu
Levonorgestrel 36 mg per tube silastik, implantasi SK 6 tube untuk 5 tahun (Norplant®), dan
3-ketodesogestrel 68 mg tube silastik tunggal, implantasi SK untuk 3 tahun.
Mekanisme preparat ini adalah ditanamnya 6 buah implant fleksibel berbentuk tube secara
subdermal yang mengandung progestin, levonorgestrel. Levonorgestrel mencegah ovulasi dan
menyebabkan menebalnya mukus servikal. Dosis awal hormon yang dilepaskan adalah 85
ng/dl, kemudian turun menjadi 50 ng/dl dalam 9 bulan. Dalam 18 bulan dosisnya mencapai
sekitar 35 ng/dl, selanjutnya turun menjadi sekitar 30 ng/dl. Efektivitas kontrasepsi ini dicapai
dalam 1 hari dan bertahan sampai 5 tahun.
Efek samping preparat implant ini adalah perdarahan yang tidak teratur, atresia folikular
yang terhambat, kehamilan ektopik, gangguan tromboemboli, efek samping kardiovaskuler.
Kontraindikasi penggunaan preparat ini adalah tromboplebitis atau tromboemboli aktif,
perdarahan yang abnormal dari genital, suspek hamil, penyakit liver atau tumor liver, dan
suspek kanker payudara.
Kontrasepsi yang hanya mengandung progestin juga dapat diberikan secara intramuskular
(IM), yaitu medroksiprogesteron asetat (MPA) 150 mg (Depo Provera®), diberikan setiap 12
minggu, dan noretisteron anantat 200 mg (Noristerat®), diberikan setiap 8 minggu.
Kontrasepsi yang diberikan secara IM dengan preparat kombinasi adalah Cyclofem®
mengandung 50 mg medroksiprogesteron Asetat (MPA) + 5 mg estradiol sipionat yang
diberikan tiap bulan.
Kontrasepsi yang hanya mengandung progestin dapat diberikan dengan alat intrauterin yang
mengandung progestasert yang melepaskan progesteron sedikit demi sedikit. Alat ini
digunakan selama satu tahun dan keberhasilannya 97–98%.

Kontrasepsi Postkoital/Pascasanggama/Morning After Pill


Kandungan preparat jenis ini bermacam-macam, antara lain:
1. Etinilestradiol 100 μg + norgestrel 1 mg (2 tablet dengan selang waktu 12 jam).

83
FARMAKOLOGI

2. Etinilestradiol 2,5 mg (2 dd 1 selama 5 hari).


3. Estrogen terkonjugasi 30 mg/hari selama 5 hari.
4. Estrone 5 mg (3 dd 1 selama 5 hari).
5. Dietilstilbestrol (DES) 25 mg. DES harus diminum dalam 72 jam pertama dan dilanjutkan
selama 5 hari (2 dd 1 sehari). Bila tidak berhasil, harus dipertimbangkan untuk aborsi
mengingat paparan DES dan estrogen dalam kandungan dapat mengakibatkan risiko kanker
vagina. DES adalah obat jenis ini yang pertama kali ditemukan dengan dosis yang cukup
besar sehingga efek sampingnya cukup banyak.
Etinilestradiol–norgestrel dosis rendah memberikan efek samping yang rendah pula.
Keberhasilannya mencapai 90–98% dengan syarat penggunaannya dalam waktu 72 jam setelah
sanggama. Mekanisme kerjanya adalah mengganggu transpor dalam tuba dan perkembangan
endometrium, sehingga tidak terjadi nidasi.

Mekanisme Kerja Kontrasepsi Hormonal


1. Menghambat ovulasi:
- Menekan FSH dan LH di pertengahan siklus.
- Mengurangi sekresi GnRH: progesteron.
2. Mengubah jumlah dan konsistensi mukus serviks, menjadi lebih kental dengan pengaruh
progesteron.
3. Menghambat kontraksi tuba falopii.
4. Mengganggu keseimbangan hormon, sehingga nidasi terhambat.

Farmakodinamik
Ovarium
Kontrasepsi hormonal menurunkan fungsi ovarium, mengganggu pertumbuhan folikel dan
korpus luteum, serta sekresi estrogen. Bila obat dihentikan, maka keadaan akan menjadi normal
kembali. Namun, hal ini membutuhkan waktu bergantung pada lamanya penggunaan.
Uterus
Penggunaan kontrasepsi hormonal jangka panjang akan mempengaruhi uterus dan
menimbulkan perubahan histologis yang bersifat reversibel. Perubahan histologis yang terjadi
pada endometrium dan miometrium berupa: (1) hipertrofi miometrium, (2) dilatasi sinusoid,
dan (3) edem yang merupakan efek growth promoting, dan (4) atrofi akibat pengaruh
progesteron.
Tuba
Perubahan aktivitas fisiologik tuba berupa: (1) pergerakan segmental, (2) aktivitas siliaris
endosalpinx, dan (3) sekresi kelenjar tuba.
Serviks
Mukus serviks dalam keadaan normal cair, jernih, dan jumlahnya banyak. Progestin akan
mempengaruhi mukus serviks menjadi kental, keruh, dan jumlahnya sedikit.
Kelenjar mamma
Preparat kontrasepsi hormonal berpengaruh pada besar kelenjar mamma dan kadang
menimbulkan nyeri tekan, bergantung pada jenis dan besarnya dosis. Preparat kombinasi
menghambat laktasi, sedangkan progestin hampir tidak mempengaruhi laktasi.

84
FARMAKOLOGI

Siklus Haid
Siklus haid dapat terganggu. Kontrasepsi dengan dosis estrogen yang rendah dan kontrasepsi
suntikan menimbulkan amenore atau spotting. Kontrasepsi suntikan pada tahun pertama
menimbulkan menstruasi yang irregular/spotting/perdarahan, dan pada akhir tahun pertama
timbul amenore.

Efek Kontrasepsi Hormonal terhadap Berbagai Organ


Hepar
Pengaruh kontrasepsi hormonal bersifat reversibel. Pengaruhnya berupa gangguan pada proses
biokimia dan fungsi fisiologik hepar. Gangguan fungsi hepar tersebut berupa (1) penurunan
sekresi empedu, (2) ekskresi bilirubin dan asam empedu serta metabolisme bromsulfphthalein
(BSP) menurun, dan (3) ikterus kolestatik. Gangguan ini terjadi pada penggunaan estrogen
dosis besar dan lama, apalagi bila sebelumnya telah ada penyakit pada organ hepar.
Metabolisme Karbohidrat
Baik estrogen maupun progestin berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat, namun
pengaruh progestin lebih besar dibandingkan estrogen. Pada tahun pertama, toleransi
karbohidrat menurun akibat pengaruh growth hormone, setelah satu tahun kadar growth
hormone menurun.
Metabolisme Lemak dan Protein
Gangguan metabolisme lemak akibat penggunaan kontrasepsi hormonal meningkatkan risiko
penyakit kardiovaskuler terutama pada perokok. Estrogen meningkatkan kadar kolesterol total,
HDL, LDL, dan trigliserida. Progestin (19-nortestosteron) menurunkan kadar kolesterol
terutama dosis tinggi.
Faktor Koagulasi Darah
Faktor koagulasi darah mengalami perubahan dengan penggunaan kontrasepsi hormonal.
Perubahannya berupa peningkatan protrombin, faktor VII, VIII, IX, dan X.

Efek Samping Kontrasepsi Hormonal


Efek samping kontrasepsi hormonal mempengaruhi organ kardiovaskular, sistem endokrin,
dan metabolisme, serta dapat menimbulkan keganasan. Efek samping tersebut antara lain:
1. Tromboemboli yang dapat mengenai pembuluh darah perifer, paru, dan koroner. Hal ini
terjadi akibat perubahan sistem darah oleh metabolisme lemak.
2. Penyakit kardiovaskular berupa miokard infark atau stroke. Risiko timbulnya efek samping
ini adalah pada perempuan dengan usia lebih 35 tahun, perokok, obesitas, DM, sickle cell
anemia, dan hiperlipidemia.
3. Hipertensi dapat terjadi pada pemberian dosis besar dan pada 4–5% pengguna kontrasepsi
hormonal. Hipertensi dapat ringan sampai berat, karena peningkatan renin dan perubahan
kardiodinamik.
4. Kontrasepsi hormonal mungkin berpengaruh terhadap ada tidaknya neoplasma. Insiden
kanker endometrium menurun dengan pemberian kontrasepsi hormonal, sedangkan kanker
serviks masih dipertanyakan, dan kanker payudara tidak meningkat. Kepustakaan lain
menyebutkan bahwa kontrasepsi hormonal berpengaruh terhadap timbulnya berbagai jenis
kanker, antara lain estrogen menyebabkan kanker payudara, uterus, testis, tulang, dan

85
FARMAKOLOGI

jaringan lainnya. DES menyebabkan kanker vagina dan serviks. Risiko kanker payudara
lebih besar pada perempuan berumur kurang dari 35 tahun.
5. Kontrasepsi hormonal dapat menimbulkan resistensi insulin; peningkatan dosis
mengakibatkan toleransi glukosa menurun.
6. Kontrasepsi hormonal dapat meningkatkan insiden batu empedu sekitar 2–3 kali.
7. Efek samping lain yang ringan dapat berupa mual, muntah, mastalgia, perdarahan antar
haid, sakit kepala, perubahan berat badan, edem, amenore, kloasma, akne, payudara terasa
keras, kenaikan berat badan, gangguan mata. Efek samping lain yang lebih berat: perubahan
psikis, seperti depresif/agresif, libido menurun, cepat tersinggung.
Efek samping tertentu dapat diatasi dengan beberapa cara, antara lain: perdarahan, mid-
cycle diatasi dengan peningkatan estrogen atau progestron. Perdarahan late-cycle diatasi
dengan peningkatan progesteron. Amenore diatasi dengan peningkatan estrogen atau
penurunan progesteron. Menorrhagia diatasi dengan peningkatan progesteron. Dismenore
diatasi dengan peningkatan progesteron. Kandidiasis rekuren diatasi dengan peningkatan
estrogen atau penurunan progesteron. Mual dan muntah diatasi dengan penurunan estrogen.
Irritabilitas, depresi, dan penurunan libido diatasi dengan penurunan progesteron. Akne diatasi
dengan peningkatan estrogen dan penurunan progesteron. Mastalgia/pembesaran mamae
diatasi dengan penurunan estrogen. Berat badan meningkat diatasi dengan penurunan
progesteron. Retensi cairan diatasi dengan penurunan estrogen.

Kontra Indikasi
Kontrasepsi hormonal dikontraindikasikan pada akseptor yang pernah tromboemboli,
tromboplebitis, apopleksi serebri/hipertensi berat, gangguan fungsi hati, anemia hemolitik
kronis, hiperlipidemia, perdarahan genital yang belum diketahui sebabnya, amenore, suspek
neoplasma, fibrocystic disease, memiliki riwayat kanker payudara atau tumor payudara, kanker
genital, depresi hebat, varises, hiperlipidemia, Hodgkin, migren, dan gagal jantung.
Pemberian kontrasepsi hormonal dapat memperberat diabetes mellitus, asma bronkiale, dan
dermatitis eksematosa, dan tidak dianjurkan pada perempuan usia <35 tahun. Penggunaan
derivat progestin dapat diberikan sampai berumur 40 tahun
Kontrasepsi oral dapat juga menyebabkan kelainan bawaan bila diminum pada trimester
pertama kehamilan.

KONTRASEPSI PRIA
Kontrasepsi pria masih dalam penyelidikan, antara lain
1. Anti androgen: siproteron asetat, yang merupakan androgen-receptor antagonist, yang
menekan sekresi gonadotropin
2. Sex hormon, yang menekan sekresi gonadotropin, dengan preparat kombinasi berupa
testosteron + progesteron, testosteron + estrogen (gonadotropin lebih kuat daripada
progesteron)
3. Gossypol diperoleh dari biji kapas, menurunkan jumlah dan motilitas sperma (pada
spermatogenesis); dapat menyebabkan hipokalemia, lemah, edem, dispnoe, neuritis, dan
paralisis
4. Agonis dan antagonis GnRH diberikan bersama testosteron, contohnya
leuprolid/gonadorelin

86
FARMAKOLOGI

Pemberian kontrasepsi pada pria menurunkan LH dan testosteron.

DAFTAR PUSTAKA
1. Suharti K. Estrogen, Antiestrogen, Progestin, dan Kontrasepsi Hormonal. Dalam: Sulistia G.
Ganiswarna ed. Farmakologi dan Terapi. Edisi 4. Jakarta: Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 1995.
2. Jacob LS. 1996. The National Medical Series for Independent Study “Pharmacology” .4th Edition.
Philadelphia: Williams & Wilkins. 1996.

87
FISIOLOGI

FAAL SISTEM REPRODUKSI WANITA


Jo Suherman

Faal sistem reproduksi wanita lebih kompleks daripada pria dan sifatnya siklik. Perubahan
siklik dalam ovarium menyebabkan perubahan siklik jaringan yang dipengaruhi hormon seks
dari ovarium khususnya terhadap endometrium (siklus menstruasi).

Gambar 1. Sistem Reproduksi Perempuan. (a) Pelvis pada potongan


sagital. (b) Tampak posterior dari organ reproduksi. (c) Tampak
perineal dari genitalia externa. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

OVARIUM
Ovarium sebagai organ reproduksi primer berfungsi menghasilkan ova dan menyekresikan
estrogen dan progesteron.

Oogenesis
Sel bakal ova dalam ovarium fetus disebut oogonia yang membelah terus sampai jumlahnya
mencapai 6–7 juta pada umur kehamilan 5 bulan. Selanjutnya oogonia menjadi oocyte primer
yang dikelilingi selapis sel granulosa membentuk folikel primordial. Oogonia yang tidak

88
FISIOLOGI

menjadi folikel primer akan mengalami apoptosis sehingga setelah lahir jumlah folikel
primordial hanya 2 juta; dan dari 2 juta hanya 400 folikel yang matang dan mengeluarkan
ovum, sisanya akan mengalami atresia dan menjadi jaringan ikat.
Pada saat pubertas sampai satu tahun setelahnya, folikel primordial yang berkembang akan
mengalami atresia dan tidak ada yang mengalami ovulasi, sehingga siklusnya disebut siklus
anovulatoar. Demikian juga pada saat menopause, semua folikel sudah diovulasikan atau
mengalami atresia sehingga kemampuan reproduksi berakhir.
Oocyte primer memiliki 46 kromosom. Setelah pubertas, sitoplasma oocyte primer
bertambah, sehingga ukurannya membesar. Selanjutnya oocyte primer mengalami meiosis
menjadi oocyte sekunder dan polar body I. Oocyte sekunder memiliki 23 kromosom. Polar
body I akan berdegenerasi dan bila tidak berdegenerasi akan mengalami meiosis kedua menjadi
2 buah polar body II. Sedangan oocyte sekunder akan mengalami meiosis kedua menjadi polar
body II dan ovum yang matang. Semua polar body II akan mengalami degenerasi.

Gambar 2. Oogenesis. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Siklus Ovarium
Siklus ovarium dikendalikan oleh gonadotropin (FSH dan LH) dari hipofisis anterior.
Ketiadaan gonodotropin menjadikan ovarium tidak aktif (masa sebelum pubertas). Pada umur
9–10 tahun kadar gonadotropin mulai meningkat sehingga pada umur 11–16 tahun mulai
terjadi siklus ovarium dan siklus menstruasi. Periode ini disebut pubertas dan menstruasi yang
pertama kali disebut menarche.
Kadar FSH dan LH berubah meningkat dan menurun secara siklik seperti yang tampak pada
Gambar 3. Perubahan kadar gonadotropin menyebabkan perubahan kadar estrogen dan
progesteron dan perubahan kadar estrogen dan progesteron menyebabkan perubahan saluran
reproduksi.
Siklus Ovarium terdiri dari dua fase:
1. Fase Folikular
2. Fase Luteal
Di antara fase folikular dan fase luteal terjadi ovulasi.

89
FISIOLOGI

Gambar 3. Perubahan Kadar FSH dan LH pada Siklus


Ovarium dan Siklus Menstruasi. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Fase Folikular
Pada fase ini terjadi perkembangan folikel yang dipengaruhi oleh FSH yang meningkat
kadarnya. Sel folikel menyekresikan estrogen. Estrogen yang kadarnya meningkat akan
menginhibisi sekresi FSH (negative feed back). Pembentukan antrum (rongga) dalam folikel
diinduksi oleh FSH. FSH dan estrogen menyebabkan proliferasi sel granulosa. Sel granulosa
menyekresikan zat berbentuk gel yang menutupi oocyte dan memisahkannya dengan jaringan
sel granulosa sekitarnya. Lapisan membran ini disebut zona pellucida. Sel granulosa di bagian
luar folikel akan berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk sel theca. Sel granulosa dan sel
theca berfungsi menyekresikan estrogen (estradiol, estron, dan estriol). Folikel yang mulai
matang membentuk antrum di antara sel-sel granulosa. Sebagian isi antrum adalah hasil
transudasi plasma dan sebagian lagi berasal dari sekret sel folikel. Saat estrogen mulai
dihasilkan oleh sel folikel, sebagian hormon ini akan memasuki peredaran darah dan
didistribusikan ke seluruh tubuh, sebagian lagi masuk ke dalam cairan antrum yang berfungsi
merangsang proliferasi sel granulosa sehingga folikel bertambah besar. Ukuran folikel
mencapai 12–16 mm mendekati saat ovulasi dari ukuran semula 1 mm.
Dalam waktu 14 hari, salah satu dari folikel akan berkembang lebih cepat dan menjadi

90
FISIOLOGI

matang (follicle de Graaf). Peningkatan kadar LH yang mendadak tinggi (LH surge)
menyebabkan terjadinya ovulasi pada pertengahan siklus dan hal-hal sebagai berikut:
1. Sintesis estrogen oleh sel folikel dihentikan.
2. Inisiasi meiosis oocyte dalam folikel yang berkembang menjadi follicle de Graaf.
3. Mencetuskan produksi prostaglandin, yang akan menginduksi ovulasi dengan
menyebabkan perubahan vaskular sehingga folikel cepat membengkak dan menginduksi
enzim yang mencerna dinding folikel sehingga terjadi ruptur dinding folikel yang sudah
lemah.
4. Menyebabkan diferensiasi sel folikel menjadi sel luteal.
Hormon-hormon yang terkait dengan fase folikular tampak dalam gambar di bawah ini.

Gambar 4. Hormon-hormon terkait Fase Folikular Siklus Ovarium.


Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Kadar estrogen yang rendah selama fase folikular menginhibisi hipotalamus dan sekresi
FSH oleh hipofisis anterior. Inhibin yang disekresikan oleh sel folikel juga menghambat sekresi
FSH sehingga tidak terjadi perkembangan folikel baru.

Fase Luteal
Fase ini terjadi setelah ovulasi akibat LH surge dan LH surge terjadi karena positive feed
back dari kadar estrogen tinggi yang dihasilkan oleh folikel yang matang pada saat hampir

91
FISIOLOGI

ovulasi. Estrogen kadar tinggi berefek langsung terhadap hipotalamus untuk menyekresikan
GnRH sehingga terjadi peningkatan sekresi FSH dan LH. Estrogen kadar tinggi menyebabkan
peningkatan sensitivitas sel yang menghasilkan LH terhadap GnRH. Akibatnya sekresi LH
lebih tinggi dari pada sekresi FSH. Hal ini juga akibat dari efek inhibin yang menghambat
sekresi FSH seperti yang tampak pada Gambar 5 di bawah ini (pengendalian LH surge saat
ovulasi).

Gambar 5. Hormon-hormon Terkait Fase Luteal Siklus Ovarium.


Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Ovulasi tidak terjadi apabila folikel yang berkembang tidak mencapai ukuran dan
kematangan yang cukup karena kadar estrogen yang dihasilkannya tidak cukup untuk
menginduksi terjadinya LH surge. LH surge hanya berlangsung 1–2 hari saja pada pertengahan
siklus sebelum ovulasi terjadi.
Folikel yang ruptur pada saat ovulasi berubah cepat menjadi corpus luteum di bawah
pengaruh LH. Sisa sel folikel akan kolaps ke dalam antrum yang berisi bekuan darah dan
selanjutnya mengalami transformasi menjadi sel lutein (proses luteinasi) dan terbentuklah
corpus luteum (corpus=badan, luteum= kuning). CL (corpus luteum) menimbun kolesterol,
bahan baku hormon steroid sehingga sitoplasmanya berwarna kuning. Pembuluh darah sekitar
CL/daerah theca menginvasi bagian tengah CL dan membawa sejumlah besar progesteron dan
sejumlah kecil estrogen dari CL masuk ke dalam peredaran darah.
Sekresi estrogen pada fase folikular diikuti sekresi progesteron pada fase luteal penting
untuk mempersiapkan uterus dalam proses implantasi ovum yang sudah dibuahi.
CL berfungsi penuh dalam 4 hari setelah ovulasi dan dalam 4 hari berikutnya ukurannya

92
FISIOLOGI

terus bertambah. Bila tidak terjadi fertilisasi ovum dan tidak terjadi implantasi maka CL akan
mengalami degenerasi dalam 14 hari setelah pembentukannya. Sel lutein akan degenerasi dan
difagositosis, suplai vaskular hilang dan jaringan ikat mengisi CL sehingga CL menjadi corpus
albicans. Dengan demikian fase luteal berakhir, dan satu siklus ovarium selesai. Selanjutnya
terjadi fase folikular lagi karena degenerasi CL menyebabkan kadar progesteron berkurang
banyak sehingga inhibisi progesteron terhadap hipotalamus dan sekresi gonadotropin hilang.
Hormon yang terlibat dalam feed back pada fase luteal tampak pada Gambar 6.

Gambar 6. Hormon yang Terlibat dalam Feed Back


Fase Luteal. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Bila fertilisasi dan implantasi terjadi, maka CL terus berkembang dan menghasilkan lebih
banyak estrogen dan progesteron. Pada keadaan ini, CL disebut sebagai CL gravidarum dan
berfungsi terus selama kehamilan sampai fungsinya diambil alih oleh plasenta.

Fungsi Estrogen
Efek terhadap genital:
1. Mempercepat pertumbuhan folikel ovarium.
2. Meningkatkan motilitas tuba uterina.
3. Uterus: endometrium bertambah tebal, kelenjar uterus memanjang (fase proliferatif) dan
kelenjar uterus bersekresi (fase sekresi).
4. Cervix: sekresi mukus jadi tipis dan lebih alkalis (fern like pattern) yang penting untuk
kelangsungan hidup dan transpor sperma ke dalam cavitas uteri.
5. Vagina: epitelnya mengalami kornifikasi.
6. Aliran darah uterus meningkat.

93
FISIOLOGI

7. Meningkatkan jumlah miometrium dan protein kontraktil. Miometrium jadi lebih aktif dan
mudah terangsang (lebih sensitif terhadap oxcytocin).

Efek terhadap ekstragenital:


• Pada mammae sewaktu pubertas
- Pembesaran mammae akibat penimbunan lemak, pertumbuhan sistem duktus, dan
perkembangan jaringan stromal.
- Pigmentasi areola mammae.
• Efek terhadap ciri-ciri seks sekunder:
- Konfigurasi tubuh menjadi khas karena terjadi penimbunan lemak pada mammae, paha,
dan bokong sehingga tampak pundak tidak lebar dan pinggul besar.
- Suara nada tinggi.
- Rambut kepala banyak, rambut tubuh sedikit, dan rambut pubis berbentuk female
escutcheon. Pertumbuhan rambut axilla dan pubis akibat efek androgen adrenal dan
ovarium.
• Efek pada kulit: lembut, halus, dan hangat (lebih vaskular).
• Efek pada pertumbuhan skeletal:
- Pada saat pubertas meningkatkan kecepatan pertumbuhan untuk beberapa tahun, tetapi
efek terhadap penutupan epifisis tulang lebih kuat daripada testosteron.
- Mencegah osteoporosis.
• Efek pada organ endokrin lainnya:
- Menurunkan sekresi FSH dan LH.
- Umpan balik positif terhadap LH sebelum ovulasi.
- Meningkatkan ukuran hipofisis.
• Efek pada tingkah laku:
Meningkatkan libido (efek langsung terhadap neuron tertentu di hipotalamus).
• Efek lain:
- Retensi air dan garam sehingga berat badan meningkat sebelum menstruasi, kadang
timbul premenstrual tension.
- Sekresi kelenjar sebacea lebih cair sehingga pembentukan komedo dan akne dihambat.
- Menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan aktivitas pembekuan darah.
- Menurunkan motilitas usus.

Fungsi Progesteron
1. Pada tuba Fallopii menyebabkan sekresi mukus untuk nutrisi ovum yang telah dibuahi.
2. Pada uterus:
• Pada fase sekretoris:
Endometrium membengkak karena peningkatan sitoplasma sel stroma akibat deposit
lipid dan glikogen dalam sel stroma dan terjadi sekresi kelenjar.
• Efek anti estrogenik:
- Menurunkan iritabilitas sel miometrium.
- Menurunkan sensitivitasnya terhadap oxytocin.
- Menurunkan aktivitas elektris spontan (meningkatkan potensial membran).

94
FISIOLOGI

- Menurunkan jumlah reseptor estrogen pada endometrium.


- Meningkatkan kecepatan konversi 17β-estradiol menjadi estrogen kurang aktif.
3. Pada cervix: mukosa cervix menjadi lebih tebal seperti lem untuk melindungi hasil
konsepsi terhadap infeksi dan mencegah masuknya sperma.
4. Pada vagina: menyekresikan mukus tebal, proliferasi epitel, dan diinfiltrasi oleh leukosit.
5. Pada mammae:
- Perkembangan lobulus dan alveoli mammae.
- Peningkatan cairan dalam jaringan subkutan.
6. Berefek termogenik, terjadi peningkatan suhu tubuh basal pada saat ovulasi dan kehamilan.
7. Merangsang respirasi sehingga PCO2 alveolar berkurang pada fase luteal dan kehamilan.
8. Berefek natriuresis (dosis besar).
9. Berefek katabolisme protein ringan untuk keperluan fetus.
10. Menghambat sekresi LH dan memperkuat efek inhibisi estrogen terhadap FSH sehingga
tidak terjadi perkembangan folikel baru.

Gambar 7. Biosintesa Progesteron dan Estrogen


dalam Ovarium. Dikutip dari: Constanzo, 2014.

95
FISIOLOGI

Siklus Menstruasi
Terjadi perubahan siklik dalam uterus sebagai respon terhadap hormon dari ovarium. Siklus
dalam uterus ini berlangsung rata-rata 28 hari, terdiri dari 3 fase:
1. Fase menstruasi
2. Fase proliferatif
3. Fase sekretori

Fase Menstruasi
Pada hari 1–5 dari siklus menstruasi terjadi perdarahan dan keluarnya jaringan mukosa dari
uterus pada wanita yang tidak hamil sebagai akibat perubahan kadar estrogen dan progesteron
dari ovarium. Tidak terjadinya fertilisasi dan implantasi mengakibatkan degenerasi CL
sehingga produksi progesteron dan estrogen sangat menurun, pada gilirannya endometrium
tidak dapat dipertahankan lagi. Terjadi involusi endometrium hingga tinggal 65%. Satu hari
sebelum menstruasi, vasokontriktor dari jaringan involusi menyebabkan vasospasme
pembuluh darah yang mensuplai endometrium. Tidak adanya stimulasi hormon dan
vasospasme menyebabkan iskemik jaringan endometrium dan nekrosis pembuluh darah dalam
stratum vasculare, akibatnya darah merembes di stratum vasculare sehingga daerah
hemorrhagi meluas dan memisahkan lapisan endometrium dari uterus. Dalam 48 jam setelah
onset menstruasi, semua lapisan endometrium bagian superfisial akan terlepas. Darah dan
jaringan tadi akan menginisiasi kontraksi uterus untuk mengeluarkan isinya.
Pada menstruasi normal, kira-kira 35 ml darah terutama dari arteri dan 35 ml cairan serous
akan ke luar. Darah yang keluar tidak beku karena adanya fibrinolisin. Bila darah yang keluar
banyak maka fibrinolsin tidak cukup untuk mencegah terjadinya bekuan darah.

Fase Proliferatif
Fase ini berlangsung dari hari ke-6 sampai hari ke-14. Postmenstruasi, tinggal selapis tipis
stroma endometrium pada bagian basal. Estrogen dari ovarium menyebabkan proliferasi cepat
sel epitel kelenjar dan sel stroma sehingga reepitelialisasi endometrium selesai dalam 3–7 hari.
Endometrium terus menebal sampai terjadi ovulasi (± 2–3 mm) akibat stimulasi estrogen dan
menjadi lebih vaskular.

Fase Sekretori
Berlangsung dari hari ke-15 sampai hari ke-28 di bawah pengaruh progesteron dari ovarium
Perubahan yang terjadi sebagai berikut:
1. Kelenjar endometrium jadi berkelok-kelok.
2. Terjadi oedema dan sekresi endometrium.
3. Sel stroma mengalami deposit lipid dan glikogen dalam sitoplasma.
4. Pembuluh darah berkelok-kelok sehingga suplai darah meningkat.
Tebal endometrium mencapai 4–6 mm, yang mana merupakan suatu kondisi yang baik untuk
implantasi. Estrogen menambah sedikit proliferasi selular.

Menopause
Menopause dimulai pada umur 40–50 tahun (premenopause), menstruasi menjadi tidak
teratur, ovulasi tidak terjadi. Estrogen berkurang banyak sehingga kadar FSH dan LH

96
FISIOLOGI

meningkat dan timbul gejala:


- ‘Hot flushes’ dan keringat malam (80–85% wanita).
- Perasaan sesak
- Mudah terangsang
- Lelah
- Ansietas, kadang gangguan psikis.
Gejala tersebut dominan pada lebih kurang 15% wanita. Premenopause dapat terjadi 10 tahun
sebelum menopause dengan siklus anovulatoar yang menyebabkan kadar estrogen dominan
dan tidak ada sekresi progesteron.
Menopause yang sebenarnya terjadi setelah ovarium tidak menyekresikan estrogen dan
progesteron sehingga menstruasi berhenti, mukosa vagina menjadi tipis dan kering. Ukuran
uterus dan vagina berkurang terutama pada wanita yang tidak aktif kegiatan seksualnya.
Osteoporosis umum ditemukan pada wanita menopause.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC. Text book of Medical Physiology. 8th Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
1991.
2. Sherwood L. Human Physiology from Cell to System, 4th Edition. Pacific Grove CA: Brooks/Cole.
2001.
3. Constanzo LS. Physiology. 5th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2014.

97
FISIOLOGI

FAAL SISTIM REPRODUKSI LAKI-LAKI


Jo Suherman

PENDAHULUAN
Sistem reproduksi tidak penting untuk kelangsungan hidup individu tetapi penting untuk
keturunan (kelangsungan spesies). Fungsi reproduksi normal bergantung pada hipotalamus–
hipofisis–organ reproduksi dan sel target dari hormon seks. Pembahasan hanya mencakup
fungsi seksual dasar dan reproduksi yang dikendalikan oleh sistem saraf dan hormonal, tidak
membahas tingkat laku seksual karena faktor psikologis maupun sosial.
Reproduksi terjadi karena bersatunya sel telur dan sperma, dan untuk perkembangan zygote
diperlukan lingkungan yang optimal dari uterus. Sel telur dan sperma dihasilkan oleh gonad
yaitu ovarium dan testis. Fungsi gonad selain memproduksi gamet, juga menghasilkan hormon
seks yang penting untuk terjadinya karakteristik seksual sekunder, fungsi normal dari tractus
reproduksi, proses partus, dan laktasi. Baik pada laki-laki maupun perempuan, fungsi gonad
dikendalikan oleh sumbu hipotalamus–hipofisis yang aktivitasnya bervariasi selama rentang
hidup.

Gambar 1. Sekresi GnRH. Dikutip dari: Constanzo, 2014.

Gonadotropin releasing hormone (GnRH) disekresikan oleh hipotalamus mulai umur


kehamilan 4 minggu, tapi levelnya tetap rendah sampai pubertas. Sekresi follicle stimulating
hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH) dari hipofisis anterior dimulai pada minggu
kehamilan 10–12. Seperti GnRH, kadar FSH dan LH tetap rendah sampai masa pubertas.
Selama masa kanak-kanak, level FSH relatif lebih tinggi daripada level LH.
Pada masa pubertas dan sepanjang masa reproduksi, terjadi perubahan pola sekresi, yaitu
sekresi GnRH, FSH, dan LH meningkat dan menjadi pulsatil. Kadar relatif FSH dan LH
terbalik, dengan kadar LH menjadi lebih tinggi dari kadar FSH. Akhirnya, pada masa penuaan,
tingkat sekresi gonadotropin meningkat lebih lanjut, dengan kadar FSH menjadi lebih tinggi
dari kadar LH, seperti saat pada masa kanak-kanak.

98
FISIOLOGI

Pada masa pubertas selain terjadi sekresi GnRH yang pulsatil, juga terjadi peningkatan
sensitivitas reseptor GnRH di hipofisis anterior dan up regulatory reseptornya sehingga
merangsang sekresi FSH dan LH yang selanjutnya merangsang sekresi hormon steroid
gonadal, testosteron, dan estradiol. Sekresi pulsatil GnRH dipengaruhi oleh perkembangan
sistem saraf pusat dan status nutrisional. Teori lain mengatakan bahwa melatonin berperan pada
onset pubertas. Kemungkinan melatonin menghambat sekresi GnRH. Kadar melatonin tinggi
pada masa kanak-kanak dan berkurang saat dewasa.

ANATOMI

Gambar 2. Sistem Reproduksi Laki-laki. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Testis
Testis berasal dari genital ridge yang berlokasi di bagian posterior abdomen dan akan turun
(descensus testis) pada umur kehamilan sekitar 7 bulan menuju scrotum melalui kanalis
inguinalis di bawah pengaruh testosteron dari testis. Sebanyak 98% bayi laki-laki mengalami
descensus testis sempurna.
Kelainan terkait descensus testis adalah:
1. Cryptorchidism (hidden testis): testis tidak turun ke tempatnya, tetap berada di rongga
abdomen atau dalam kanalis inguinalis.
2. Hernia inguinalis indirek
Temperatur testis dalam scrotum dipertahankan selalu di bawah temperatur tubuh (2–3°C)
untuk kelangsungan spermatogenesis oleh refleks yang mengatur kontraksi otot scrotum untuk
mendekatkan atau menjauhkan scrotum dari badan.

Fungsi testis:
1. Spermatogenesis, terjadi dalam tubulus seminiferus dan diatur oleh FSH.
2. Sekresi testosteron oleh sel Leydig.

99
FISIOLOGI

Gambar 3. Tubulus Seminiferus. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Epitel yang melapisi tubulus seminiferus terdiri dari 3 macam sel:


1. Spermatogonia yang berfungsi sebagai sel punca.
2. Spermatosit yang akan menjadi spermatozoa.
3. Sel sertoli yang mendukung spermatogenesis dengan menyediakan nutrient, blood-testis
barrier dan menyekresikan cairan ke lumen tubulus untuk membantu transpor sperma ke
epididymis.

Spermatogenesis
Spermatogenesis terjadi dalam tubulus seminiferus sepanjang 250 m. Di dalamnya terdapat
sel Sertoli (sustentacular cell) dan sel gamet dalam berbagai tingkat perkembangan–dari
spermatogonia (46 kromosom) sampai sperma (23 kromosom) yang matang.
Proses spermatogenesis terdiri dari (lihat Gambar 4):
1. Proliferasi mitotik, multiplikasi spermatogonia.
2. Meiosis, pengurangan jumlah kromoson diploid jadi haploid.
3. Packaging, transformasi spermatid jadi spermatozoa.

100
FISIOLOGI

Gambar 4. Spermatogenesis. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Sel Sertoli berfungsi untuk remodeling spermatid menjadi spermatozoa dan memberi nutrisi
sperma. Sel Sertoli menyekresikan androgen binding protein sehingga kadar testosteron sangat
tinggi dalam lumen tubulus seminiferus yang penting untuk pematangan sperma. Sel Sertoli
juga menyekresikan inhibin yang menghambat sekresi FSH bila produksi sperma sudah
berlebih.

Spermatozoa
Terdiri dari 4 bagian:
1. Kepala berisi nucleus dengan 23
kromosom.
2. Acrosom berisi enzim untuk penetrasi
ovum.
3. Midpiece berisi mitokondria sebagai
sumber energi (ATP) untuk gerakan
ekor.
4. Ekor untuk pergerakan sperma.

Gambar 5. Spermatozoa. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

101
FISIOLOGI

Testosteron
Hormon ini dihasilkan oleh sel Leydig (sel interstitial) atas rangsangan LH dari hipofisis
anterior. Aksis hipotalamus–hipofisis–testis tampak pada gambar berikut:

Gambar 6. Aksis Hipotalamus–Hipofisis–Testis.


Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Fungsi testosteron:
1. Perkembangan genital embrio dan descensus testis.
2. Kelangsungan spermatogenesis.
3. Maskulinisasi (secondary sexual characteristics).
4. Protein anabolik.
5. Meningkatkan libido.
6. Umpan balik negatif terhadap sekresi LH.

Biosintesis testosteron dalam testis tampak pada Gambar 7:

102
FISIOLOGI

Gambar 7. Biosintesis Testosteron dalam Testis.


Dikutip dari: Constanzo, 2014.

SALURAN REPRODUKSI
Struktur Fungsi
Testis Produksi spermatozoa, sekresi testosteron
Epididymis Pematangan akhir dan penyimpanan sperma
Vas deferens Transpor sperma ke ductus ejakulatori
Ductus ejaculatorius Mencampur sperma dengan sekret dari vesicula seminalis
membentuk semen
Urethra Saluran keluar urine dan semen
Vesicula seminalis Sekresinya membentuk 60% total volume semen (mukus,
asam amino, fruktosa, dan prostaglandin)

103
FISIOLOGI

Glandula prostata Sekretnya alkalis untuk menetralkan pH vagina, berisi clotting


enzyme dan fibrolysin
Glandula bulbourethralis Lubrikasi vagina sewaktu coitus dengan mukus
Penis Rangsangan seksual dan insersi sewaktu coitus

Sexual Intercourse
Aktivitas ini untuk mempertemukan sperma dengan ovum sehingga terjadi pembuahan.
Komponennya:
1. Ereksi: pembesaran dan pengerasan penis guna penetrasi.
2. Ejakulasi: pengeluaran semen dengan kuat ke dalam urethra dan keluar dari penis.

Siklus respon seksual terdiri dari:


1. Excitement phase: ereksi disertai vasokongesti testis.
2. Plateau phase: intensitas fase 1 bertambah, HR dan BP meningkat, tachypnoe, dan tonus
otot meningkat
3. Orgasmic phase: terjadi ejakulasi dan kepuasan fisik kuat.
4. Resolution phase: kembalinya sistem tubuh dan genital ke keadaan prearousal.

Ereksi
Pada saat tidak ada rangsangan seksual, penis dalam keadaan flasid dan tidak membesar
karena terjadi vasokonstriksi arteri yang mengisi jaringan erektil (tiga kolum jaringan ruang
vascular mirip spons sepanjang penis). Pada saat terjadi rangsangan taktil pada glans penis,
impuls dari pusat parasimpatis di medulla spinalis daerah sakral akan diteruskan melalui saraf
parasimpatis ke arteria dorsalis penis dan arteria profunda penis sehingga terjadi dilatasi dan
akan mengisi lacuna dalam penis yang pada gilirannya penis membesar dan mulai ereksi.
Pengisian dalam lacuna akan menekan pembuluh darah vena sehingga darah tidak keluar
dari penis dan penis makin besar dan keras. Ereksi ini akan berakhir bila terjadi ejakulasi yang
dikendalikan oleh sistem saraf simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi arteri dan
membukanya drainase venosa.

Ejakulasi
Sesaat sebelum ejakulasi, testis ditarik mendekati abdomen dan cairan semen dengan cepat
disalurkan ke ductus ejaculatorius. Ejakulasi terjadi dalam dua fase yaitu emission dan
expulsion. Impuls simpatetik menyebabkan kontraksi ritmik prostat, saluran reproduksi,
vesicula seminalis, berturut-turut. Kontraksi ini menyebabkan keluarnya cairan prostat,
kemudian sperma, dan terakhir cairan vesicula seminalis ke dalam urethra. Refleks ini disebut
emission. Pada saat ini sphinter urethrae internus berkontraksi sehingga sperma tidak dapat
masuk ke dalam vesica urinaria dan urine tidak bisa keluar dari vesica urinaria.
Pengisian urethra dengan sperma mencetuskan keluarnya impuls saraf menuju otot-otot
pada pangkal penis dengan interval waktu kontraksi ritmis 0,8 detik. Hal tersebut menyebabkan
tekanan dalam penis meningkat dan memaksa sperma disemburkan keluar urethra. Fase ini
disebut expulsion. Volume ejakulat 2–6 ml, rata-rata 2,75 ml dan berisi ± 180 juta spermatozoa

104
FISIOLOGI

(66 juta/ml). Disebut infertil, bila jumlahnya <20 juta/ml. Selain jumlah, bentuk dan motilitas
sperma juga menentukan fertilitas.

Gambar 8. Refleks Ereksi. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AC. Text book of Medical Physiology. 8th Edition. Philadelphia: W.B. Saunders Company.
1991.
2. Sherwood L. Human Physiology from Cell to System, 4th Edition. Pacific Grove CA: Brooks/Cole.
2001.
3. Constanzo LS. Physiology. 5th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2014.

105
FISIOLOGI

FAAL KEHAMILAN DAN LAKTASI


Jo Suherman

PERTEMUAN SPERMA DAN OVUM


Secara alamiah pertemuan sperma dan ovum dapat terjadi karena proses coitus atau sexual
intercourse. Pada saat laki-laki ejakulasi maka ± 180 juta spermatozoa akan ditampung dalam
vagina (100%) terutama pada fornix posterior. Selanjutnya, sperma yang motil akan bergerak
ke arah tuba fallopii dan setelah 1–3 menit, 3% sudah berada dalam kanalis servikalis. Setelah
10–20 menit yang mencapai uterus hanya 0,1% dan yang sampai di 1/3 bagian atas tuba hanya
0,001% (180.000) untuk membuahi ovum. Bila jumlah sperma per ejakulasi kurang dari 20
juta, berarti yang sampai tempat fertilisasi kurang dari 20 ribu, sehingga kemungkinan terjadi
pembuahan menjadi kecil.

Gambar 1. Pertemuan Sperma dan Ovum. Dikutip dari Sherwood, 2001.

Sperma lebih mudah melalui kanalis servikalis pada pertengahan siklus menstruasi saat
sebelum ovulasi, karena efek kadar estrogen yang tinggi akan menyebabkan mukus serviks
menjadi lebih encer tidak kental. Kanalis servikalis mudah dilalui selama 2–3 hari sekitar
ovulasi. Transportasi sperma di tuba difasilitasi oleh kontraksi otot polos tuba ke arah atas.
Untuk terjadinya fertilisasi, ovum membutuhkan banyak enzim yang terdapat dalam
acrosom pada kepala sperma untuk menghilangkan barrier ovum. Dibutuhkan banyak sperma
untuk terjadinya proses penetrasi corona radiata dan zona pellucida. Fertilin, suatu binding
protein pada membran plasma sperma akan berikatan dengan integrin ovum pada membran
plasma ovum, dan inti sperma masuk ke dalam ovum. Proses ini mencetuskan reaksi kimia
pada membran ovum sehingga tidak bisa ditembus oleh sperma lain. Penetrasi ini mencetuskan
pembelahan meiotik dari oocyte sekunder dan dalam 1 jam inti sperma dan inti ovum bersatu
dan mulai pembelahan zygote.
Fertilisasi ovum biasanya terjadi di pertengahan tuba atau ampula dalam 24 jam setelah
ovulasi. Zygote dalam bentuk morula berada dalam tuba 3–4 hari dan mendapatkan nutrien

106
FISIOLOGI

dari sekret tuba. Hari ke-4 masuk ke dalam cavitas uteri dalam bentuk blastocyst yang terdiri
dari ± 100 sel. Blastocyst terdiri dari bagian dalam massa sel, yang akan menjadi janin, dan
tepi luar sel yang disebut trofoblas. Trofoblas menginvasi endometrium dan membentuk suatu
menempel pada membran ibu. Jadi trofoblas berkontribusi terhadap plasenta bagian janin.
Pada titik implantasi, di bawah stimulasi progesteron, endometrium berdiferensiasi menjadi
lapisan khusus sel desidua yang pada akhirnya akan menyelimuti seluruh blastocyst. Sel
trofoblastik berproliferasi dan membentuk syncytiotrophoblast yang memungkinkan blastocyst
menembus jauh ke dalam endometrium.
Trofoblas yang akan menjadi plasenta, mulai mengeluarkan human chorionic gonadotropin
(HCG) sekitar 8 hari setelah ovulasi. Peranan HCG yang memiliki aktivitas biologis mirip LH
adalah kritis karena "menginformasikan" corpus luteum bahwa pembuahan telah terjadi.
Corpus luteum, di bawah arahan HCG, akan terus mensintesis progesteron dan estrogen yang
mempertahankan endometrium untuk implantasi. Dengan kata lain, HCG dari trofoblas
(plasenta) “menyelamatkan” corpus luteum dari regresi (tanpa pemupukan dan stimulasi oleh
HCG, corpus luteum akan mengalami regresi 12 hari setelah ovulasi, pada saat itu berhenti
memproduksi hormon steroid dan terjadi menstruasi).
Tingginya kadar estrogen dan progesteron juga menekan pengembangan kelompok
selanjutnya dari folikel ovarium. Produksi HCG meningkat secara dramatis selama minggu-
minggu pertama kehamilan. Tes kehamilan adalah berdasarkan ekskresi HCG dalam jumlah
besar dalam urin, yang bisa diukur. HCG terdeteksi dalam urine ibu 9 hari setelah ovulasi.
Produksi hormon kehamilan dan durasi kehamilan dihitung dari tanggal periode menstruasi
terakhir. Kehamilan berlangsung sekitar 40 minggu sejak hari pertama periode menstruasi
terakhir atau 38 minggu dari tanggal ovulasi terakhir. Kehamilan dibagi menjadi tiga trimester,
masing-masing sesuai dengan sekitar 13 minggu. Tingkat hormon selama kehamilan
digambarkan berikut:

Gambar 2. Hormon kehamilan. Minggu kehamilan


dihitung dari menstruasi terakhir. HCG, human
chorionic gonadotropin. Dikutip dari Costanzo, 2014.

107
FISIOLOGI

Trimester Pertama
HCG mulai diproduksi oleh trofoblas sekitar 8 hari setelah pembuahan. “Menyelamatkan”
corpus luteum dari regresi dan dengan fungsi seperti LH, merangsang corpus luteum
menghasilkan progesteron dan estrogen. Kadar HCG maksimal di sekitar minggu ke-9
kehamilan dan kemudian menurun. Meskipun HCG terus diproduksi selama masa kehamilan,
fungsinya di luar trimester pertama tidak jelas.

Trimester Kedua dan Ketiga


Plasenta mengambil alih fungsi corpus luteum. Jalurnya untuk sintesis progesteron dan
estrogen ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 3. Sintesis progesterone (A) dan estriol (B) selama kehamilan.


Progesteron disintesis seluruhnya oleh plasenta. Sintesis estriol
memerlukan plasenta, kelenjar adrenal janin, dan hati janin.
DHEA, dehydroepiandrosterone. Dikutip dari Constanzo, 2014.

Progesteron diproduksi oleh plasenta sebagai berikut: kolesterol memasuki plasenta dari
sirkulasi ibu. Di dalam plasenta, kolesterol dikonversi menjadi pregnenolone yang kemudian
dikonversi jadi progesteron.
Estriol, bentuk utama estrogen selama kehamilan, diproduksi melalui interaksi yang
terkoordinasi antara ibu, plasenta, dan janin. Pregnenolone yang terbentuk di plasenta dari
kolesterol Ibu akan memasuki sirkulasi janin dan dikonversi menjadi dehydroepiandrosterone-
sulfate (DHEA sulfate) di korteks adrenal janin. DHEA sulfate dihidroksilasi menjadi 16-OH
DHEA-sulfate di hati janin. 16-OH DHEA-sulfat kemudian menyeberang kembali ke plasenta,
di mana enzim sulfatase menghilangkan sulfat dan aromatase mengubahnya menjadi estriol.
Dan estriol masuk ke dalam sirkulasi ibu.

108
FISIOLOGI

Plasenta dan Fungsinya


Plasenta terbentuk di tempat implantasi, biasanya pada dinding posterior uterus. Fungsinya
sebagai sistem digestif, respiratorik, fungsi ginjal, dan endokrin sementara. Hormon-hormon
yang dihasilkan plasenta tampak pada tabel berikut:

Tabel 1. Hormon Plasenta

109
FISIOLOGI

MAMMAE dan LAKTASI


Perkembangan Mammae
• Estrogen berefek proliferasi ductus.
• Progesteron berefek pada perkembangan lobulus.
• Prolactin meningkat waktu hamil dan bersama estrogen dan progesteron menyebabkan
perkembangan maksimal lobuli-alveoli mammae dan pembentukan ASI.
• Oxytocin berefek kontraksi sel myoepitel sepanjang dinding ductus dan alveoli sehingga
terjadi ejeksi ASI. Oxytocin disekresikan oleh hipofisis posterior ketika bayi menyusu
merangsang papila mammae sehingga terjadi refleks suckling.

Gambar 4. Mamma. Dikutip dari Sherwood, 2001.

Suckling juga menyebabkan sekresi prolactin. Prolactin menyebabkan epitel alveoli mammae
menghasilkan ASI mengggantikan ASI yang sudah keluar saat ejeksi ASI. Pembentukan ASI
dipengaruhi oleh hormon prolactin dari hipofisis anterior.

110
FISIOLOGI

Gambar 5. Refleks Suckling. Dikutip dari: Sherwood, 2001.

Setelah partus kadar estrogen, progesterone, dan prolactin turun ke kadar basal tetapi kadar
prolactin meningkat kembali saat menyusui (suckling), seperti yang tampak pada Gambar 6 di
bawah ini:

Gambar 6. Kadar hormon setelah partus. Dikutip dari: Guyton dan Hall, 2011.

Ada 4 hormon lain yang mempengaruhi produksi ASI: kortisol, insulin, PTH, dan GH.
Hormon GH berperan penting dalam pembentukan ASI, yaitu meningkatkan pengambilan
nutrien dari darah oleh kelenjar mammae.
ASI terdiri dari air, trigliserida, laktosa, protein, vitamin, dan mineral kalsium dan fosfat.
Juga sel imun (limfosit B dan T, macrophag dan neutrofil), antibodi (IgA) untuk melindungi
bayi dari infeksi. Colostrum ASI yang keluar pada 5 hari pertama postpartum mengandung
lebih sedikit lemak dan laktosa tapi lebih banyak komponen imunoprotektif.

111
FISIOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
1. Guyton AL, Hall JE. Text book of Medical Physiology. 12th Edition. Philadelphia: WB Saunders
Elsevier. 2011.
2. Sherwood L. Human Physiology from cell to system. 4th Edition. Pacific Grove CA: Brooks/Cole.
2001.
3. Constanzo LS. Physiology. 5th Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2014.

112
HISTOLOGI

SISTEM REPRODUKSI WANITA


Hana Ratnawati

Sistem reproduksi wanita terdiri dari:


Organ reproduksi interna:
- Sepasang ovarium
- Sepasang tuba uterina Falopii
- Uterus
- Vagina

Organ genitalia externa:


- Clitoris
- Labia mayora
- Labia minora
- Vestibularis

Gambar 1. Diagram Skematis Sistem Reproduksi Wanita

Dalam perkembangannya, organ reproduksi tidak mencapai tahap sempurna sampai saat
hormon gonadotropik disekresikan oleh glandula pituitaria (hypophysis) sebagai tanda
dimulainya masa pubertas. Setelah itu banyak perubahan akan terjadi pada sistem reproduksi,
yaitu diferensiasi dari organ reproduksi dan terjadinya menarche (saat pertama kali seorang
wanita mendapatkan menstruasi, kurang lebih pada usia 13 tahun). Setelah menstruasi yang
pertama ini, maka dimulailah siklus menstruasi yang melibatkan banyak hormon, terjadi
perubahan secara histologis maupun psikologis. Menstruasi ini akan berulang setiap bulan (28–
35 hari) selama masa reproduksi, kecuali bila terjadi kehamilan. Ketika usia seorang wanita
mendekati akhir masa reproduksi, siklus menstruasinya menjadi tidak teratur dan terjadi
kemunduran fungsional. Terjadi perubahan hormonal dan neurologikal sebagai tanda
dimulainya menopause. Siklus menstruasipun berakhir, terjadi involusi dari organ reproduksi.

113
HISTOLOGI

Jadi sistem reproduksi pada wanita dipengaruhi secara kompleks oleh beberapa faktor, yaitu
sistem hormonal, neurologik, dan psikologik.
Meskipun glandula mammae tidak termasuk dalam sistem reproduksi wanita, tapi secara
fisiologis dan fungsional sangat berhubungan dengan sistem reproduksi, sebab itu akan
dibicarakan dalam bab ini.

Gambar 2. Sistem Reproduksi Wanita

OVARIUM
Terdapat sepasang ovarium yang terletak di rongga pelvis, berbentuk seperti buah almond,
panjang 3 cm, lebar 1,5–2 cm, dan tebalnya 1 cm. Ovarium berada dalam ligamen latum yang
tergantung oleh mesovarium yaitu suatu lipatan peritoneum. Epitel permukaan yang
membungkus ovarium adalah modifikasi dari peritoneum yang disebut epitel germinal yang
berbentuk selapis kuboid. Epitel ini dulu diduga yang memberi makanan pada oosit. Meskipun
sekarang diketahui bahwa itu tidak benar, tapi namanya tetap dipakai (epitel germinal). Tepat
di sebelah luar dari epitel ini adalah tunika albuginea, suatu lapisan yang miskin vaskularisasi,
berupa jaringan pengikat kolagen irregular, di mana serabut kolagen berjalan paralel di
permukaan ovarium.
Ovarium terdiri dari bagian cortex yang kaya akan sel dan bagian medulla yang kaya akan
vaskularisasi dan jaringan pengikat longgar. Ovarium diperdarahi oleh arteria ovarica yang
masuk melalui hilus ke dalam medulla, baru kemudian ke daerah cortex. Secara histologis batas
antara cortex dan medulla tidaklah jelas.

CORTEX OVARIUM
Terdiri dari anyaman jaringan pengikat sebagai stroma, bermacam-macam folikel dan sel
stroma yang mirip fibroblast. Folikel primordial yang terdapat di cortex ovarium berasal dari
sel benih di dalam yolk sac (saccus vitellinus primitivum), kemudian mengalami pembelahan
mitosis beberapa kali dan bermigrasi ke kelenjar gonad untuk menetap di cortex ovarium yang
sedang berkembang. Folikel ini akan melanjutkan mitosis sampai mendekati akhir bulan ke-5
fetus. Pada saat ini masing-masing ovarium terdiri dari ± 3 juta oogonia, tapi kebanyakan dari
oogonia ini akan mengalami atresia (mengalami degenerasi kemudian mati). Oogonia yang

114
HISTOLOGI

berhasil bertahan, meneruskan pembelahan mitosisnya menjadi oosit primer (Gambar 4). Sel-
sel ini masuk stadium profase dari meiosis I, kemudian memasuki masa istirahat. Oosit primer
tetap berada pada stadium ini sampai saat sebelum ovulasi/saat pubertas.
Pada waktu menarche seorang wanita mempunyai 400.000 folikel dan biasanya satu oosit
mengalami ovulasi tiap 28 hari selama 30–40 tahun, jadi ± 450 oosit yang mengalami ovulasi
selama periode ini. Folikel lainnya akan berdegenerasi dan mati.

Gambar 3. Ovarium

Folikel Ovarium
Folikel di ovarium terdiri dari oosit primer dan sel-sel folikel yang dikelilingi oleh jaringan
stroma. Ada 4 stadium perkembangan folikel:
1. Folikel primordial
Folikel primordial banyak didapat pada saat sebelum lahir. Folikel primordial terdiri dari
oosit primer yang dikelilingi oleh selapis sel folikular gepeng.
Oosit primer ada dalam stadium prophase dari meiosis I, stadium ini dipertahankan sejak
intrauterine sampai menjelang pubertas. Oosit primer adalah suatu sel sferis berdiameter
25 µm, mempunyai inti besar, eksentris, dan satu nukleolus. Nukleoplasmanya vesikular
karena adanya uncoiled chromosome, banyak mitokhondria, apparatus Golgi,
endoplasmik retikulum, tetapi ribosom hanya sedikit. Sel folikular gepeng mengelilingi
oosit primer dan dihubungkan satu dan lain melalui desmosome, dan dipisahkan dari sel
stroma oleh lamina basalis.

2. Folikel primer
Folikel primordial berkembang menjadi folikel primer yang diameternya 100–150 µm
dengan nukleus yang besar (disebut juga vesikula germinalis). Banyak didapatkan
kompleks Golgi, ribosom, mitokhondria yang tersebar di seluruh sel.
Sel folikel menjadi kuboid, bila hanya ada satu lapisan sel folikel kuboid maka disebut
folikel primer unilaminair. Bila sel folikel telah berproliferasi menjadi beberapa lapisan
(lebih dari 1 lapisan sel folikel) maka disebut folikel primer multilaminair, dan sel-sel
folikel yang lebih dari satu lapisan disebut sel granulosa.
Pada stadium folikel primer ini akan terbentuk suatu substansi aselular yang memisahkan
oosit dari sel folikel yaitu zona pellucida. Zona pellucida dibentuk oleh 3 macam
glikoprotein yaitu ZP1, ZP2 dan ZP3 yang disekresi oleh oosit. Microvilli dari oosit dan

115
HISTOLOGI

filopodia dari sel folikel akan menginvasi zona pellucida untuk saling berhubungan
dengan membentuk suatu gap junction.
Sel stroma di sekeliling folikel primer mulai membentuk suatu lapisan sel yang disebut
theca interna yang banyak mengandung vaskularisasi dan theca externa yang terdiri dari
jaringan pengikat fibrosa. Sel yang membentuk theca interna diduga memproduksi steroid.
Sitoplasmanya banyak mengandung tetesan lemak dan mempunyai banyak endoplasmik
retikulum halus, krista mitokhondria berbentuk tubular. Sel theca interna memproduksi
hormon seks pria yaitu hormon androstenedione, yang akan masuk ke dalam sel granulosa
dan diubah menjadi estradiol. Sel granulosa tetap dipisahkan dari sel theca interna oleh
lamina basalis.

3. Folikel sekunder
Folikel primer multilaminair terus berkembang dan bertambah besar sampai mencapai
diameter 200 µm. Proliferasi lanjut dari sel granulosa ini bergantung pada follicle
stimulating hormone (FSH) yang dihasilkan oleh sel basophil pars anterior hypophysis.
Suatu folikel besar akan terbentuk dengan beberapa lapis sel granulosa dan adanya cairan
yang tertimbun diantara sel-sel granulosa yaitu liquor folliculi. Cairan ini adalah suatu
eksudat dari plasma, mengandung glycoaminoglycans dan steroid yang terikat pada
protein yang dihasilkan oleh sel granulosa. Selanjutnya mengandung progesteron,
estradiol, inhibin, folliostatin, dan activin, yang meregulasi pengeluaran hormon
luteinizing hormone (LH) dan FSH. Sebagai tambahan, FSH menginduksi sel granulosa
untuk membentuk reseptor bagi LH, yang akan bersatu ke dalam plasmalemma. Begitu
liquor folliculi didapatkan dalam folikel primer multilaminair, maka disebut folikel
sekunder. Semakin banyak cairan diproduksi maka vakuola-vakuola akan bersatu
membentuk antrum folliculi.
Sel granulosa akan berkumpul di satu kutub, disebut sebagai cumulus oophorus, dan satu
lapis sel granulosa disekeliling oosit primer disebut corona radiata.
Pada akhir stadium ini, sel stroma menjadi besar, dan sel theca interna diinvasi oleh
kapiler-kapiler yang memberikan banyak makanan. Folikel yang mencapai tahap ini
banyak yang mengalami atresia, tetapi sel granulosanya tidak berdegenerasi dan mati,
malahan membentuk glandula interstitial yang menyekresikan sejumlah kecil androgen
sampai menopause. Hanya sedikit sel folikel sekunder yang tetap bertahan dan menjadi
matang.

4. Foliker Graaf
Sel granulosa melanjutkan proliferasinya dan terbentuk antrum folliculi yang lebih besar,
sehingga folikel Graaf dapat berdiameter 2,5 cm pada saat ovulasi. Folikel yang matang
ini tampak sebagai benda transparan yang terletak di permukaan ovarium dan besarnya
hampir sama dengan ovarium itu sendiri.
Sel-sel folikel yang menjadi dinding dari folikel itu disebut membrana granulosa.

116
HISTOLOGI

Ovulasi
Pada hari ke-14 dari siklus menstruasi, produksi estrogen meningkat karena diproduksi oleh
sel-sel di folikel Graaf maupun folikel sekunder dan menyebabkan estrogen dalam darah
meningkat, hal ini akan menyebabkan:
1. Negative feed back inhibition terhadap FSH (menghambat sekresi FSH) dari hypophysis
anterior.
2. Peningkatan LH yang tiba-tiba oleh sel basophil hypophysis anterior.

Gambar 4. Diagram Struktur Ovarium dan Perkembangan Folikel

Lonjakan LH menyebabkan sirkulasi darah ke ovarium meningkat, dan kapiler di theca


externa mulai kekurangan plasma, akibatnya terjadilah oedem. Bersamaan dengan terjadinya
oedem, histamin, prostaglandin, dan collagenase dilepaskan dari folikel Graaf.
Dapat dikatakan, peningkatan LH menyebabkan:
1. Oosit primer dari folikel Graaf menyelesaikan stadium pembelahan meiosisnya yang
pertama, dan menghasilkan pembentukan 2 anak sel yaitu oosit sekunder dan polar body I.
2. Oosit sekunder yang baru terbentuk masuk stadium pembelahan meiosis kedua dan berada
dalam stadium metaphase.
3. Oosit sekunder dan sel-sel folikelnya mengalami ovulasi.
4. Sisa sel dari folikel Graaf berubah menjadi corpus hemorrhagicum/corpus rubrum,
kemudian menjadi corpus luteum.

117
HISTOLOGI

Menjelang ovulasi, folikel Graaf akan mendekati permukaan/cortex superficial ovarium dan
menekan tunica albuginea di daerah tersebut sehingga mengalami iskemia. Daerah yang
avaskular dan menjadi pucat tersebut disebut stigma. Jaringan pengikat di daerah stigma
mengalami degenerasi, jaringannya menjadi sobek, terbentuk ruangan antara antrum folliculi
dengan cavum peritoneum di mana oosit akan dilepaskan (ovulasi). Ovulasi ini terjadi pada
hari ke-14 dari siklus menstruasi 28 hari.
Bagian distal tuba uterina, fimbriae, menangkap oosit dan meneruskannya ke infundibulum
kemudian ke ampulla tuba uterina tempat fertilisasi berlangsung. Bila tidak terjadi fertilisasi
maka dalam 24 jam oosit sekunder akan mengalami degenerasi kemudian difagositosis.

A B

C D

Gambar 5. Gambaran Histologi Perkembangan Folikel di Ovarium.


(A. Folikel primordial. B. Folikel primer unilaminer. C. Folikel primer multilaminar. D. Folikel Sekunder. E. Folikel Graaf)

118
HISTOLOGI

Corpus luteum
Setelah proses ovulasi, dengan dikeluarkannya oosit sekunder dan cairan folikuler maka
folikel menjadi kolaps, stratum granulosa dan lapisan theca interna melipat-lipat, sedangkan
lapisan theca externa tetap bentuknya. Pecah dan kolapsnya folikel disertai perdarahan,
sehingga terbentuk bekuan darah pada sisa folikel. Pada keadaan ini disebut Corpus
hemorrhagicum/corpus rubrum. Bekuan darah ini kemudian difagositosis dan daerah ini
diinvasi sel-sel stroma ovarium. Hormon LH juga menyebabkan terjadinya perubahan dari
corpus hemorrhagicum menjadi corpus luteum yang mempunyai fungsi seperti kelenjar
endokrin. Corpus luteum yang vaskuler ini dibentuk oleh sel granulosa lutein dan sel theca
lutein.
Sel granulosa lutein: sel ini berada di bagian tengah dari corpus luteum dan jumlahnya
kurang lebih 80 % dari keseluruhan sel di corpus luteum. Sel granulosa jadi bertambah besar,
diameter 30–50 μm dan sitoplasmanya mengandung pigmen lutein, sel tampak pucat, disebut
sebagai sel granulosa lutein. Sel ini mempunyai microvilli yang sangat panjang. Di dalam
sitoplasma tampak banyak granular endoplasmic halus maupun kasar, mitokhondria, kompleks
Golgi yang berkembang baik dan tetesan lipid tersebar di sitoplasma. Sel ini memproduksi
progesteron.
Sel theca lutein: terletak di perifer dari corpus luteum, kurang lebih 20% dari keseluruhan
populasi sel. Sel yang berwarna gelap ini, ukurannya kecil 15 μm, memproduksi progesteron,
sedikit estrogen dan androgen.
Progesteron dan estrogen yang disekresi oleh sel granulosa sel theca lutein, menghambat
sekresi LH dan FSH. Tidak adanya FSH menyebabkan tidak terjadinya pembentukan folikel
baru, sehingga menghambat terjadinya ovulasi. Tapi bila tidak terjadi fertilisasi, tidak adanya
LH menyebabkan degenerasi corpus luteum, membentuk corpus luteum menstruasi. Bila ada
kehamilan, hormon chorionic gonadotropin yang disekresi oleh placenta mempertahankan
corpus luteum sampai 3 bulan. Sekarang disebut sebagai corpus luteum gravidarum, yang
diameternya dapat mencapai 5 cm dan tetap menyekresikan hormon untuk mempertahankan
kehamilan.

Corpus albicans
Corpus luteum menstruasi diinvasi oleh fibroblast menjadi fibrotik, mengalami autolisis dan
difagositosis oleh makrofag, terbentuk jaringan pengikat fibrosa, disebut sebagai corpus
albicans, yang akhirnya akan diresorbsi. Sisa corpus albicans akan menjadi jaringan pengikat
di permukaan ovarium.

Atresia folikel
Ovarium mempunyai banyak sekali folikel dengan berbagai stadium. Kebanyakan folikel
mengalami degenerasi sebelum mencapai kematangan. Beberapa folikel menjadi matang
membentuk folikel Graaf, tetapi umumnya hanya ada satu oosit primer yang berkembang
menjadi oosit sekunder kemudian mengalami ovulasi. Folikel lainnya mengalami atresia, yang
kemudian akan difagositosis oleh makrofag. Kadang ada dua folikel yang matang dan
mengalami ovulasi, menyebabkan kehamilan kembar bila kedua oosit difertilisasi. Hanya 2%
dari seluruh folikel yang menjadi matang dan hanya 5–6% dari itu yang mengalami ovulasi.

119
HISTOLOGI

Jadi dari semua folikel di ovarium pada saat menarche, hanya 0,1% sampai 0,2% yang
berkembang menjadi matang dan mengalami ovulasi.

Gambar 6. Corpus Luteum, Corpus Albicans, dan Folikel Atresia

MEDULLA OVARIUM
Bagian tengah ovarium disebut medulla, terdiri dari fibroblast dan jaringan pengikat longgar
yang banyak serabut kolagen, juga mengandung serabut elastis. Medulla juga banyak
mengandung pembuluh darah, pembuluh lymph, dan serabut saraf. Medulla ovarium yang
belum mengalami menstruasi mempunyai sekelompok sel epithelioid yaitu sel interstitial yang
menyekresikan estrogen. Pada mamalia yang mempunyai banyak anak, ovariumnya banyak
mengandung sel interstitial dan sering disebut sebagai glandula interstitial. Pada manusia,
kebanyakan dari sel interstitial berinvolusi saat siklus menstruasi dan tidak begitu berfungsi.
Juga dapat ditemukan sel hilus di medulla ovarium. Sel ini mempunyai bentuk dan organella
yang sama seperti sel Leydig yang ada di testis. Sel ini menghasilkan androgen.

REGULASI HORMON DI OVARIUM


FSH dan LH berperan dalam maturasi/pematangan folikel dan ovulasi. Sekresi hormon
gonadotropik (FSH dan LH) yang dihasilkan oleh pars distalis hypophysis anterior, di bawah
pengawasan hypothalamus yaitu melalui gonadotropin-releasing hormone (Gn-RH) yang
diproduksi oleh neuron di hypothalamus. Perkembangan folikel primordial dan folikel primer
unilaminair tidak bergantung pada FSH, walaupun belum diketahui apa penyebabnya.
Sebaliknya, perkembangan folikel primer multilaminair menjadi folikel sekunder bergantung
pada FSH.
Ikatan antara GnRH dan reseptor pada sel-sel di pars distalis hypophysis menginduksi
pelepasan FSH dan menstimulasi sintesis FSH selanjutnya. Ikatan FSH dengan reseptor di sel
granulosa folikel primer multilaminair menstimulasi perkembangannya menjadi folikel

120
HISTOLOGI

sekunder. FSH juga menginduksi sel theca interna untuk memproduksi androgen, yang oleh
sel granulosa diubah menjadi estrogen. Sel granulosa folikel sekunder juga memproduksi
beberapa hormon lain yaitu inhibin, folliostatin, dan activin yang membantu meregulasi
pelepasan FSH.

Gambar 7. Hormon yang berperan pada


maturasi folikel dan ovulasi

Pada saat kadar estrogen dan hormon lainnya (inhibin, folliostatin, activin) dalam darah
meningkat, maka akan menstimulasi sekresi LH oleh sel-sel di pars anterior hypophysis. Bila
konsentrasi estrogen darah mencapai ambang tertentu, akan membatasi sekresi FSH dengan 2
jalan: (1) secara tidak langsung yaitu dengan mensupresi pelepasan GnRH dari hypothalamus
dan (2) secara langsung dengan menginhibisi pelepasan FSH dari hypophysis anterior. Pada
pertengahan siklus menstruasi, konsentrasi estrogen yang tinggi dalam darah menyebabkan
lonjakan pelepasan LH dari hypophysis. Peningkatan kadar LH yang tiba-tiba menstimulasi
oosit primer untuk menyelesaikan meiosis pertamanya, menjadi oosit sekunder, yang akan
memasuki meiosis II stadium metaphase. Meiosis II akan tetap berada dalam stadium
metaphase sampai saat fertilisasi.
Lonjakan LH ini juga merangsang proses ovulasi, di mana oosit sekunder dilepaskan dari
folikel yang telah matang. Sel granulosa dan theca interna sisa dari folikel Graaf, di mana
terdapat reseptor LH, akan diaktivasi oleh LH untuk membentuk corpus luteum. Sel granulosa
dan sel theca berubah menjadi sel granulosa lutein dan sel theca lutein. Kedua sel ini aktif
memproduksi progesteron, meskipun terutama diproduksi oleh sel granulosa lutein. Inhibin,
folliostatin, dan activin, sebagai feedback regulator dari pelepasan FSH, akan diteruskan
produksinya oleh corpus luteum. Bila fertilisasi dan implantasi tidak terjadi, aktivitas sekretori
dari corpus luteum akan berlangsung selama 14 hari, disebut sebagai corpus luteum
menstruasi. Bila fertilisasi terjadi, maka corpus luteum ukurannya meningkat dan dikenal
sebagai corpus luteum gravidarum yang akan melanjutkan fungsi sekresinya meskipun telah
terbentuk placenta.
Progesteron akan menstimulasi perkembangan endometrium uterus dan menghambat
produksi LH secara langsung maupun tidak langsung. Bila tidak terjadi kehamilan, LH akan

121
HISTOLOGI

menurun di bawah level yang dibutuhkan untuk mempertahankan corpus luteum, dan proses
degenerasi corpus luteum pun dimulai. Bila terjadi kehamilan, hormon chorionic gonadotropin
akan diproduksi oleh placenta sebagai feedback positive terhadap corpus luteum gravidarum.
Pada kehamilan 4 bulan, regulasi hormonal lebih banyak dilakukan oleh placenta. Hormon lain
yang diproduksi placenta yaitu relaxin, memfasilitasi proses kelahiran dengan cara
melembutkan cartilago fibrosa pada symphisis pubis untuk melebarkan jalan lahir.

Gambar 8. Diagram skematis interaksi hormonal antara


hypothalamus, hypophysis, dan sistem reproduksi wanita.

TUBA UTERINA FALOPII (OVIDUCT)


Terdapat dua buah, di kiri dan kanan uterus dengan panjang 12 cm, diameter ± 1 cm. Salah satu
ujungnya bermuara di uterus, sedangkan ujung lainnya terbuka ke dalam rongga peritoneum
dekat ovarium.
Oviduct dibagi menjadi 4 bagian:
1. Infundibulum, bagian tuba yang terbuka ke rongga peritoneum, dekat ovarium. Di
ujungnya terdapat fimbriae yang akan membantu oosit masuk ke dalam tuba saat ovulasi.
2. Ampulla, bagian tuba yang paling lebar dan mukosanya sangat berlipat-lipat. Di sini terjadi
fertilisasi.
3. Isthmus, bagian tuba yang paling sempit
4. Pars intramuralis/interstitial portion, bagian tuba yang bermuara ke dalam uterus.

122
HISTOLOGI

Struktur histologis:
Dinding tuba uterina terdiri dari 3 lapisan:
1. Mukosa
Pada mukosa tuba uterina terdapat banyak lipatan longitudinal dan yang paling banyak
lipatannya yaitu di bagian ampulla. Lipatan ini akan berkurang dan lebih kecil pada bagian
tuba ke arah uterus, sehingga pada pars intramuralis hanya berupa tonjolan-tonjolan kecil.
Mempunyai epitel selapis silindris dengan 2 macam sel, yaitu:
- Peg cells (tidak bercilia)
- ciliated cells (bercilia)
Peg cells tidak mempunyai cilia tapi bersifat sekretoris dengan menghasilkan suatu cairan
kental yang berfungsi nutritif dan membantu pergerakan sprematozoa ke arah oosit
sekunder. Sekret ini juga membantu proses pematangan spermatozoa sehingga dapat terjadi
fertilisasi dengan ovum. Ovum juga mendapat nutrisi dari sekret tersebut, demikian juga
zygot yang terbentuk akan mendapat nutrisi dari sekret ini.
Ciliated cells yaitu sel dengan kinocilia dan sebagian besar gerakan cilianya ke arah uterus
sehingga membantu pergerakan ovum yang telah difertilisasi ke arah uterus.
Lamina propria merupakan jaringan pengikat longgar yang mengandung fibroblast, mast
cell, sel lymphoid, serabut kolagen, dan serabut retikular.

Gambar 9. Bagian-bagian Tuba Falopii

2. Lamina muscularis
Lapisan otot terdiri dari 2 lapisan otot polos:
- Lapisan sebelah dalam berjalan circular.
- Lapisan sebelah luar berjalan longitudinal.
Semakin ke arah uterus, maka lapisan muscularis semakin tebal.
Tonus dan konstriksi lapisan otot ini dipengaruhi oleh rangsangan hormonal.

123
HISTOLOGI

3. Lapisan serosa
Terdiri dari epitel selapis gepeng. Jaringan pengikat di antara lapisan otot dan lapisan serosa
banyak mengandung pembuluh darah dan serabut saraf otonom.

Gambar 10. Peg cells dan Ciliated cells pada Tunika Mukosa Tuba Uterina

Gambar 11. Gambaran mikroskopis potongan melintang tuba uterina

Karena tuba uterina kaya akan vaskularisasi dan banyak pembuluh vena yang besar, maka
pada saat ovulasi lapisan otot berkontraksi, vena juga akan berkontraksi. Ini menyebabkan tuba
uterina menjadi tegang dan fimbriae menempel ke ovarium, untuk menangkap oosit yang
dilepaskan saat ovulasi.

UTERUS
Berbentuk seperti buah pear dan berlokasi di bagian tengah pelvis, panjang 7 cm, lebar 4
cm, dan tebal 2,5 cm. Dibagi atas 3 bagian, yaitu:
- Corpus, bagian yang paling besar di mana tuba uterina bermuara.
- Fundus, di bagian atas corpus yang berbentuk bulat.
- Cervix, bagian bawah corpus yang sempit dan membuka kearah vagina.

124
HISTOLOGI

CORPUS dan FUNDUS


Dinding uterus bagian corpus dan fundus mempunyai 3 lapisan yaitu endometrium,
myometrium, dan tunika adventitia atau serosa.

Endometrium
Merupakan lapisan mukosa uterus, terdiri dari epitel selapis silindris dan lamina propria.
Epitelnya terdiri dari 2 macam sel seperti di tuba uterina, yaitu sel yang mempunyai cilia dan
sel sekretori. Sedangkan di lamina propria banyak ditemukan glandula uterina yang berbentuk
tubular simpleks, juga dapat ditemukan jaringan pengikat kolagen irregular dengan bermacam-
macam sel berbentuk stelat, sel leukosit, makrofag, dan serabut retikuler. Morfologi dan
fisiologi endometrium dipengaruhi oleh berbagai macam hormon. Endometrium dibagi atas 2
daerah, yaitu
- Stratum fungsionale yang divaskularisasi oleh arteria spiralis yang berkelok-kelok
sehingga disebut juga coiled artery. Arteria spiralis membentuk arteriola, kemudian
anyaman kapiler di permukaan endometrium. Stratum fungsionale akan dilepaskan pada
saat menstruasi.
- Stratum basale yang divaskularisasi oleh arteria basalis yang berbentuk lurus dan
pendek. Lapisan ini penting untuk regenerasi endometrium setelah menstruasi.
Arteria basalis dan arteria spiralis berasal dari arteria arcuata yang terletak di perbatasan
myometrium dan endometrium.

Gambar 12. Vaskularisasi stratum fungsionale dan basale endometrium uterus

Myometrium
Merupakan lapisan otot polos yang tebal, terdiri dari 3 lapisan otot yang tidak berbatas tegas.
Lapisan yang paling luar dan paling dalam berjalan longitudinal, sedangkan lapisan yang di
tengah berjalan circular. Pada lapisan tengah terdapat pembuluh-pembuluh darah besar
sehingga disebut stratum vaskulare. Lapisan ini diperdarahi oleh arteria arcuata. Makin ke
arah cervix, sel-sel otot makin berkurang digantikan oleh jaringan pengikat fibrosa. Di cervix,
myometrium terdiri dari jaringan pengikat padat irregular yang banyak mengandung serabut
elastis dan hanya sedikit sel otot polos.

125
HISTOLOGI

Ukuran dan jumlah sel otot di myometrium dipengaruhi oleh kadar hormon estrogen. Pada
kehamilan sel otot akan bertambah banyak (hiperplasia) dan bertambah besar (hipertrofi),
karena produksi hormon estrogen meningkat. Sampai saat ini belum diketahui apakah
penambahan jumlah sel otot akibat pembelahan sel atau adanya diferensiasi dari sel lainnya
menjadi sel otot. Setelah menstruasi hormon estrogen berkurang, maka sel otot juga akan
mengecil, bahkan bila tidak ada estrogen maka sel otot myometrium akan mengalami atrofi.
Proses kontraksi uterus pada saat melahirkan disebabkan oleh faktor hormonal, yaitu:
1. Corticotropic hormone akan menyebabkan myometrium dan membran fetal memproduksi
prostaglandin.
2. Hypophysis akan menyekresikan hormon oxytocin.
3. Hormon prostaglandin dan oxytocin menstimulasi kontraksi uterus.
4. Setelah proses kelahiran, oxytocin tetap menstimulasi kontraksi uterus, untuk mencegah
terjadinya perdarahan dari tempat perlekatan placenta.

Tunika serosa atau adventitia.


Bagian anterior uterus ditutupi oleh tunika adventitia (jaringan pengikat tanpa sel epitel),
jadi daerah ini terletak retroperitoneal. Sedangkan bagian fundus dan posterior ditutupi oleh
tunika serosa, yang terdiri dari selapis sel epitel gepeng yang disebut mesotel dan anyaman
penyambung jarang yang tipis.

CERVIX
Cervix adalah bagian bawah uterus dan ada bagian yang menonjol ke dalam vagina, yaitu
portio vaginalis cervicis. Dinding cervix terdiri dari jaringan pengikat padat dengan serabut
kolagen dan serabut elastis dan hanya sedikit serabut otot.
Lapisan mukosanya merupakan epitel selapis silindris yang dapat menyekresikan mukus,
sedangkan di bagian portio vaginalis cervicis epitelnya berubah menjadi epitel berlapis
gepeng tidak berkeratin (seperti di vagina). Di daerah peralihan (transformation zone) inilah
awal mula terjadinya displasia dan dapat menjadi keganasan cervix.

Gambar 13. Transformation Zone pada Cervix

126
HISTOLOGI

Meskipun mukosa cervix berubah pada siklus mentruasi, tapi tidak dilepaskan saat
menstruasi. Di lamina propria terdapat glandula cervicalis. Pada pertengahan siklus
menstruasi, yaitu saat ovulasi, glandula cervicalis menyekresikan cairan serous yang akan
membantu spermatozoa masuk ke dalam uterus. Pada saat lainnya dan saat hamil, sekret
menjadi kental membentuk mucus plug pada orificium cervix untuk mencegah masuknya
mikroorganisme dan spermatozoa ke dalam uterus. Perubahan viskositas sekret glandula
cervicalis ini dipengaruhi oleh hormon progesteron.
Pada saat melahirkan, hormon luteal lainnya yaitu relaxin menyebabkan lisisnya kolagen
pada dinding cervix, sehingga cervix bisa berdilatasi.

SIKLUS MENSTRUASI.
Endometrium akan mengalami siklus perubahan struktural yaitu siklus mentruasi sebagai
akibat kerja hormon ovarium di bawah rangsangan pars distalis hypophysis dan di bawah
pengawasan hypothalamus. Lama siklus menstruasi berlainan, tetapi rata-rata 28 hari. Siklus
menstruasi dibagi menjadi 3 fase: fase menstruasi, fase proliferatif (follicular), dan fase
sekretori (luteal).

Fase menstruasi (hari ke-1–ke-4).


Menstruasi adalah pengeluaran stratum fungsionale endometrium yang dilepaskan dan
mengalami desquamasi, bercampur dengan darah dari arteria spiralis yang mengalami
kerusakan. Hal ini terjadi karena tidak terjadinya fertilisasi. Hari pertama fase menstruasi
adalah saat pertama darah keluar dari uterus, yang dapat berlangsung selama 3–4 hari. Dalam
keadaan normal darah yang keluar ± 35 ml, meskipun pada beberapa wanita dapat lebih dari
itu. Corpus luteum di ovarium hanya bertahan selama 14 hari, sehingga kadar progesteron dan
estrogen akan segera menurun.
Dua hari sebelum terjadi menstruasi, terjadi kemunduran endometrium yang disebabkan
oleh kadar hormon progesteron dan estrogen dalam darah mendadak menurun karena tidak
terjadi fertilisasi. Hal ini mengakibatkan matinya corpus luteum yang merupakan sumber kedua
hormon tersebut. Arteria spiralis di stratum fungsionale mengalami konstriksi, sehingga
stratum fungsionale kekurangan oksigen, glandula uterina mengerut dan terinvasi oleh leukosit,
terjadi iskemia dan akhirnya nekrosis stratum fungsionale. Beberapa saat kemudian terjadi
vasodilatasi arteria spiralis sehingga mengalami ruptur, terjadilah menstruasi.
Stratum basale tetap bertahan karena tetap mendapat vaskularisasi dari arteria basalis. Pada
hari ke-3 atau ke-4, sel di glandula uterina dan sel-sel stroma berproliferasi dan bermigrasi ke
arah permukaan sehingga terjadi reepitelisasi dan regenerasi stratum fungsionale yang telah
dilepaskan, berarti mulai masuk ke fase proliferasi.

Fase Proliferasi/Folikular/Estrogenik/Regenerasi (Hari ke-4–ke-14)


Pada awal fase proliferasi mukosa uterus menipis karena dilepaskannya stratum fungsionale
saat menstruasi. Selanjutnya terjadi reepitelisasi permukaan endometrium, regenerasi glandula
uterina, jaringan pengikat, dan arteri spiralis (disebut fase regenerasi).
Stratum fungsionale menjadi lebih tebal (2–3 mm), glandula uterina masih pendek dan lurus
tapi mulai menimbun glikogen. Sel-sel stroma dan sel di glandula uterina terus berproliferasi,

127
HISTOLOGI

hingga pada hari ke-14 stratum fungsionale telah terbentuk lengkap dengan epitel, glandula
uterina, sel-sel stroma, dan arteria spiralis.
Disebut fase folikular karena pada saat yang sama di ovarium sedang terjadi perkembangan
folikel ovarium. Fase ini dipengaruhi oleh estrogen, sehingga disebut juga fase estrogenik.

Fase Sekretori/Luteal/Progestational/Progravid (Hari ke-15–ke-28)


Fase ini dimulai setelah ovulasi dan dipengaruhi oleh hormon progesteron (fase
progestational). Endometrium menjadi makin tebal akibat oedem pada stroma, sel-sel stroma
menjadi makin besar dan pucat akibat penimbunan glikogen dan lipid. Perubahan pada sel
stroma ini disebut reaksi decidua. Bila terjadi kehamilan maka reaksi decidua akan terus
berlanjut. Pada glandula uterina juga terjadi penimbunan glikogen, butir-butir glikogen yang
tadinya terletak di basal sel akan memenuhi daerah apex sel. Butir-butir glikogen ini merupakan
sumber makanan bagi zygot. Perubahan diatas akan menyebabkan endometrium menjadi lebih
tebal (± 5 mm) dan glandula uterina berkelok-kelok dengan sel-sel kelenjar yang penuh dengan
glikogen, siap untuk menerima kehamilan (fase progravid). Disebut fase luteal karena di
ovarium sedang terjadi pembentukan corpus luteum. Bila tidak terjadi fertilisasi, corpus luteum
akan mati, hormon progesteron dan estrogen menurun, terjadi iskemia endometrium dan
selanjutnya masuk kembali ke fase menstruasi.

Gambar 14. Diagram korelasi perkembangan folikel di ovarium, faktor hormonal dan siklus
menstruasi di endometrium uterus

128
HISTOLOGI

Akibat perubahan hormonal, maka terjadi perubahan pada gambaran histologis endometrium
uterus, baik ketebalan nya, sel-sel stroma dan glandula uterina.

FERTILISASI, IMPLANTASI DAN PERKEMBANGAN PLACENTA


Fertilisasi
Setelah ovulasi, dengan bantuan cilia dari sel di mukosa tuba uterina dan kontraksi otot
polos tuba uterina, oosit akan tiba di pars ampullaris dimana akan bertemu dengan spermatozoa
yang juga telah melewati perjalanan panjang mulai dari vagina, cervix dan uterus dan tiba di
pars ampullaris tuba uterina. Selama perjalanan oosit akan mendapat nutrisi dari peg cells di
epitel mukosa tuba. Saat terjadi fertilisasi, corona radiata, dan zona pellucida masih
mengelilingi oosit sekunder. Suatu oligosakarida spesifik pada zona pellucida akan terikat pada
reseptor protein yang terdapat di bagian kepala spermatozoa, menstimulasi terjadinya reaksi
acrosoma. Reaksi ini menyebabkan fusi antara plasmalemma spermatozoa dengan oosit,
sehingga nukleus spermatozoa akan masuk ke dalam sitoplasma oosit.
Kontak antara spermatozoa dan oosit menyebabkan terjadinya reaksi cortical, yaitu
pelepasan sejumlah granula cortical yang terletak di sitoplasma oosit ke ruang perivitelline.
Enzym dari granula cortical ini dapat merusak reseptor spermatozoa yang ada di zona pellucida,
sehingga melindungi oosit dari masuknya spermatozoa lainnya.
Masuknya nukleus spermatozoa juga menstimulasi oosit sekunder untuk menyelesaikan
meiosis II, di mana akan dihasilkan dua buah haploid sel, yaitu ovum dan polar body II.
Nucleus dari ovum (female pronucleus) akan berfusi dengan nukleus dari spermatozoa (male
pronucleus), membentuk zygote yang kromosomnya diploid. Ini adalah akhir dari proses
fertilisasi. Waktu antara ovulasi dan fertilisasi ± 24 jam, bila dalam waktu ini tidak terjadi
fertilisasi, maka ovum akan berdegenerasi dan difagositosis oleh makrofag.

Implantasi
Setelah fertilisasi, zygot akan meneruskan perjalanannya ke uterus sambil melakukan
pembelahan secara mitosis sehingga terbentuk suatu kelompokan sel yang disebut morula.
Kemudian akan terbentuk rongga di tengah morula, saat ini disebut blastocyst. Di dalam rongga
ini tertimbun cairan dan kelompokan sel pada salah satu kutub. Sel yang terletak di perifer
disebut trophoblast dan sel yang di dalam blastocyst disebut embryoblast. Blastocyst tiba di
uterus ± hari ke-4 setelah fertilisasi. Pada stadium blastocyst, zona pellucida mulai menipis dan
akhirnya menghilang. Hal ini menyebabkan trophoblast mulai melakukan penetrasi ke dalam
endometrium, proses ini disebut implantasi. Tipe implantasi di sini adalah implantasi
interstitial.
Trophoblast dari blastocyst menstimulasi perubahan sel stroma endometrium yang
berbentuk stelat menjadi sel desidua yang lebih besar dan pucat, karena terdapat penimbunan
glikogen untuk memberi nutrisi kepada embryo. Embryoblast akan berkembang menjadi
embryo, sedangkan trophoblast akan membentuk placenta dan kantung amnion. Selanjutnya
trophoblast akan berproliferasi secara cepat dan berdiferensiasi menjadi 2 lapisan, yaitu:
- Syncytiotrophoblast, lapisan sel di sebelah luar, sel-selnya membentuk sinsitium sehingga
terlihat multinuklear, batas sel tidak jelas, sel lebih kecil dan inti hiperkromatik, tidak
bermitosis.

129
HISTOLOGI

- Cytotrophoblast, lapisan sel di sebelah dalam, sel lebih besar dan pucat, mononuklear,
aktif bermitosis.
Syncytiotrophoblast akan membentuk vakuola yang kemudian bersatu menjadi rongga-
rongga yang saling berhubungan disebut lacunae. Syncytiotrophoblast terus berpenetrasi ke
dalam endometrium, sehingga pada hari ke-11 setelah fertilisasi seluruh blastocyst telah
tertanam di dalam endometrium yang berada dalam fase sekretori.

Gambar 15. Diagram proses fertilisasi, pembentukan zygot,


perkembangan morula dan blastocyst, dan proses implantasi

Perkembangan Placenta
Syncytiotrophoblast mempunyai kemampuan litik sehingga vena dan arteria di
endometrium pecah dan darah masuk ke dalam lacunae. Darah dari ibu ini kaya akan nutrisi
untuk memberi makanan kepada embryo, selanjutnya akan terbentuk placenta sehingga terjadi
pemisahan antara darah ibu dan darah foetal. Placenta adalah suatu organ yang berasal dari 2
individu yang berbeda, jadi ada pars maternal dan pars foetalis.
Seperti telah disebutkan di atas, implantasi embryo menyebabkan terjadinya perubahan
pada sel stroma endometrium yang disebut reaksi decidua. Sel decidua berbentuk poligonal,
besar, dan pucat. Decidua dibagi atas:
- Decidua basalis yang terletak di antara embryo dan myometrium.
- Decidua kapsularis, terletak di antara embryo dan lumen uterus.

130
HISTOLOGI

- Decidua parietalis, merupakan sisa decidua lainnya.


Mula-mula embryo dikelilingi oleh decidua, kemudian di daerah decidua kapsularis sel-sel
trophoblast membentuk chorion yang permukaannya rata disebut chorion laeve. Daerah ini
akan mendapatkan vaskularisasi dari pembuluh darah maternal, dan di sinilah akan terbentuk
placenta, dikenal sebagai fetal portion of placenta (placenta pars foetalis).
Dalam pertumbuhan selanjutnya, dari sel-sel trophoblast yang menghadap decidua basalis
akan tumbuh tonjolan-tonjolan memanjang yang disebut villi choriales. Daerah ini disebut
chorion frondosum atau dikenal sebagai maternal portion of placenta (placenta pars
maternal). Mula-mula terbentuk villi primer, yaitu villi yang hanya terdiri dari
cytotrophoblast dan syncytiotrophoblast. Kemudian terbentuk jaringan mesenkim pada villi,
disebut villi sekunder yang terus tumbuh dan bercabang-cabang. Pembuluh darah mulai
terbentuk pada jaringan mesenkim villi sekunder. Villi yang telah mengandung kapiler disebut
villi tertier. Villi akan terus tumbuh dan bercabang-cabang terutama di daerah decidua basalis.
Di decidua basalis akan terbentuk ruangan besar yang disebut lacunae, yang akan dibagi
menjadi ruangan kecil oleh septum placenta yaitu tonjolan-tonjolan dari decidua basalis. Villi
choriales dapat berada bebas di lacunae yang berisi darah maternal (free villi) atau tertanam
dalam decidua basalis (anchoring villi). Di dalam villi terdapat darah foetal sedangkan di
bagian luar villi choriales adalah lacunae yang berisi darah maternal. Disini terjadi pertukaran
darah foetus dan darah maternal. Darah foetus dan darah ibu tidak bercampur, karena adanya
barrier placenta yaitu jaringan pemisah antara sirkulasi darah ibu dan sirkulasi darah foetus.

Gambar 16. Pertumbuhan embryo dan pembentukan placenta

Pada kehamilan muda barrier placenta terdiri dari:


- Syncytiotrophoblast
- Cytotrophoblast
- Jaringan pengikat di dalam villus choriales
- Endotel kapiler darah foetus
Pada villi terjadi pertukaran zat antara darah foetus dan darah ibu. Beberapa substansi
seperti air, oksigen, elektrolit, karbohidrat, lipid, protein, hormon, vitamin, obat, dan antibodi
(terutama IgG) akan dipindahkan dari darah ibu ke darah foetus. Sedangkan dari darah foetus

131
HISTOLOGI

ke darah ibu dipindahkan CO2, air, dan sisa-sisa metabolisme. Tetapi kebanyakan
makromolekul tidak dapat menembusnya.
Pada akhir kehamilan, cytotrophoblast tidak lagi kontinu dan kapiler-kapiler villi letaknya
dekat ke permukaan, maka dapat terjadi sedikit pertukaran sel-sel darah antara ibu dan darah
foetus.
Placenta tidak hanya sebagai tempat pertukaran zat antara ibu dan embryo tetapi juga
berperan sebagai kelenjar endokrin yang menyekresikan bermacam hormon terutama sel-sel
syncytiotrophoblastnya. Hormon yang dihasilkannya adalah human chorionic gonadotropin,
chorionic thyrotropin, progesteron, estrogen, dan chorionic somatomammotropin /
lactogen placenta yang merangsang pertumbuhan dan laktasi. Sel stroma jaringan pengikat
pada decidua juga mensintesis prolactin dan prostaglandin.

Sirkulasi Darah Placenta.


Darah dari foetus akan mencapai placenta melalui 2 arteria umbilicalis dan percabangannya
di dalam villi dan akan kembali ke foetus melalui 1 vena umbilicalis. Sedangkan darah maternal
masuk ke dalam ruang interviller melalui arteria spiralis dan akan kembali ke sirkulasi darah
ibu melalui beberapa vena. Kontraksi myometrium dan gerakan nadi foetus akan membantu
sirkulasi darah pada placenta.

Struktur Histologis Placenta


Dalam sediaan histologis placenta, tampak:
• Pada permukaan atas, tampak amnion yang merupakan epitel selapis gepeng/selapis
kuboid dengan inti yang hiperkromatis.
• Di bawahnya terdapat chorion, merupakan jaringan pengikat fibrosa dengan sedikit sel
gepeng di antara serabut kolagen dan serabut elastis.
• Di bawahnya lagi terdapat decidua kapsularis yang berupa jaringan pengikat fibrosa padat
dengan sel-sel desidua di antaranya.
• Selanjutnya tampak villi choriales yang terpotong dalam berbagai kemungkinan
potongan/penampang.
• Lapisan syncytiotrophoblast (lapisan paling luar villi choriales): terlihat gelap dengan
banyak inti kecil tersebar tidak beraturan. Sel ini mempunyai microvilli dan dalam
sitoplasmanya banyak mengandung tetes-tetes lipid. Di luar villi (menempel pada villi)
sering terlihat pengelompokan syncytiotrophoblast yang disebut syncytial knot, yang
sering terlepas dan terdapat bebas di dalam ruangan interviller dan disebut pulau-pulau
proliferasi.
• Lapisan cytotrophoblast (lapisan disebelah dalam syncytiotrophoblast) disebut juga
lapisan Langhans, yang terdiri dari sel-sel yang besar dan pucat dengan nukleus yang
relatif besar. Sitoplasmanya mengandung vakuola dan glikogen, tetapi tidak mengandung
lipid. Lapisan ini mulai menghilang pada pertengahan trimester II kehamilan, sehingga
pada akhir kehamilan hanya terlihat sedikit kelompokan cytotrophoblast.
• Dalam tiap villus terdapat kapiler darah foetal dengan endotelnya yang terletak dalam
jaringan pengikat mesenkim. Pada stem villus (villus utama) dapat ditemukan cabang
arteria/vena umbilicalis.

132
HISTOLOGI

Gambar 17. Diagram Sirkulasi Darah Placenta

• Sel Hofbauer: suatu sel yang bentuknya besar dengan nukleus yang besar, diduga
makrofag, terdapat di jaringan pengikat mesenkim villus.
• Giant cell: sel syncytiotrophoblast yang berpenetrasi ke dalam decidua basalis. Tampak sel
besar dan multinuklei.
• Septum placenta: yaitu tonjolan pada decidua basalis yang membagi placenta menjadi
lobulus atau cotyledon.
• Hafzotte: villi yang terus memanjang sehingga menempel pada decidua basalis atau
septum placenta.
• Fibrinoid: suatu substansi berwarna eosinofilik, homogen dan biasanya terdapat pada
tempat perlekatan villi di decidua basalis/septum placenta. Fibrinoid ini dapat merupakan
petunjuk umur placenta, karena jumlahnya akan bertambah banyak dengan bertambahnya
umur placenta. Fibrinoid ini juga diduga sebagai barrier nonantigenik terhadap reaksi

133
HISTOLOGI

immunitas yang berpengaruh terhadap foetus. Jadi fibrinoid dapat melindungi foetus dari
transplantation immunity.

Ruang interviller

syncytiotrophoblast

cytotrophoblast

Jaringan pengikat

Gambar 18. Mikroskopis villi choriales (atas); sel Hofbauer di dalam villus (bawah).

VAGINA
Vagina terdiri dari jaringan fibromuskular yang panjangnya 8–9 cm, terletak di antara cervix
dan vestibularis genitalia externa. Dibagi atas 3 lapisan: mukosa, muskularis, dan adventitia.

Lapisan Mukosa
Mempunyai epitel berlapis gepeng tidak berkeratin, meskipun beberapa sel superficial ada
yang mengandung keratohyalin. Pada epitelnya juga terdapat sel Langerhans yang diduga
berperan bila ada antigen yang masuk, bekerja sama dengan limfosit T dari nodus limfatikus.
Sel epitel distimulasi oleh estrogen untuk mensintesa dan menimbun glikogen dalam jumlah
besar yang akan dikeluarkan dari sel ke dalam lumen vagina. Glikogen ini oleh bakteri yang
secara normal ada di dalam vagina akan diubah menjadi asam laktat yang menyebabkan pH
vagina menjadi asam, terutama pada pertengahan siklus menstruasi. Suasana asam/pH rendah
ini merupakan proteksi terhadap tumbuhnya bakteri patogen.
Lamina propria merupakan jaringan pengikat fibroelastis yang kaya akan vaskularisasi, juga
banyak terdapat limfosit dan netrofil yang berperan dalam proses imunitas. Meskipun vagina
tidak mempunyai kelenjar, tetapi terdapat sekret vagina yang berasal dari transudat lamina
propria dan sekret dari kelenjar cervix.
Lamina muskularis terdiri dari otot polos yang berjalan longitudinal di lapisan luar dan
circular di dekat lumen vagina. Pada lumen vagina yang menuju keluar terdapat sphincter
vagina yang dibentuk oleh otot skelet.

134
HISTOLOGI

Tunica adventitia dibentuk oleh jaringan pengikat padat yang banyak mengandung serabut
elastis. Juga kaya akan vaskularisasi dan serabut saraf yang berasal dari nervi splanchnici
pelvici.

GENITALIA EXTERNA
Genitalia externa terdiri dari labia majora, labia minora, vestibule dan clitoris.
Labia majora adalah 2 buah lipatan kulit yang banyak mengandung jaringan lemak dan
lapisan otot polos yang tipis, juga banyak terdapat glandula sebacea. Struktur yang homolog
dengan labia majora pada genitalia pria adalah scrotum.

Labia minora, terletak di sebelah medial dari labia majora, homolog dengan permukaan
urethral penis pada pria. Merupakan lipatan kulit dengan epitel berlapis gepeng berkeratin tipis
dan mengandung melanin. Tidak terdapat jaringan lemak, tetapi terdapat jaringan pengikat
longgar dengan anyaman serabut elastis. Banyak glandula sebacea, pembuluh darah, dan
akhiran saraf.
Celah di antara kedua labia minora disebut vestibulum, yaitu suatu rongga yang menerima
sekret dari glandula Bartholini (sepasang kelenjar yang menghasilkan mukus) dan glandula
vestibularis minor. Pada vestibulum juga terdapat orificium urethra dan vagina. Di dalam
orificium vagina terdapat lapisan epitel dan jaringan fibrovaskular disebut hymen.

Clitoris terletak di antara labia minora superior, di mana di bagian atas bersatu membentuk
prepusium diatas glandula clitoris. Clitoris homolog dengan bagian dorsal penis. Clitoris
dibentuk oleh epitel berlapis gepeng yang banyak mengandung pembuluh darah dan akhiran
saraf, corpusculum Meissneri dan corpusculum Vater Pacini.

GLANDULA MAMMAE.
Glandula mammae pada anak wanita maupun pria sama strukturnya sampai saat pubertas.
Oleh pengaruh hormon estrogen dan progesteron dari ovarium dan juga prolactin dari
hypophysis anterior akan merangsang perkembangan lobulus dan ductus terminal dari glandula
mammae anak wanita. Untuk perkembangan ductus di glandula mammae diperlukan
glucocorticoid yang akan diaktivasi oleh somatotropin. Jaringan ikat dan jaringan lemakpun
bertambah banyak sehingga glandula mammae membesar (ciri kelamin sekunder), tetapi belum
terjadi perkembangan pars sekretoris. Perkembangan penuh terjadi pada usia 20 tahun dan akan
terjadi perubahan sedikit sesuai dengan siklus menstruasi. Pada saat kehamilan dan menyusui
terdapat perbedaan struktur glandula mammae, disebut glandula mammae masa aktif. Pada usia
sekitar 40 tahun, pars sekretori, ductus dan jaringan pengikat mulai mengalami atrophi yang
akan berlangsung terus sampai masa menopause.
Glandula mammae adalah suatu kelenjar tubuloalveolar kompleks yang terdiri dari 15–25
lobus, dan tiap lobus dipisahkan oleh jaringan pengikat padat kolagen dan jaringan lemak.
Setiap lobus mempunyai saluran keluar sendiri melalui ductus lactiferus, yang bermuara di
papilla mammae. Sebelum mencapai papilla mammae, terdapat pelebaran ductus lactiferus,
disebut sinus lactiferus. Kemudian sinus lactiferus akan menyempit lagi sebelum mencapai
papilla mammae.

135
HISTOLOGI

Struktur histologis glandula mammae berbeda bergantung pada umur dan keadaan
fungsionalnya.

Gambar 19. Glandula mammae masa istirahat (inaktif) dan masa aktif.

Glandula mammae pada masa istirahat. (Resting/nonsecreting mammary gland).


Pars sekretori (alveoli) belum berkembang, hanya terdapat sistem saluran saja yang dimulai
dari ductus intralobularis, ductus interlobularis, ductus lactiferus, sinus lactiferus yang
bermuara di papilla mammae. Ductus intralobularis dan interlobularis dibatasi oleh epitel
selapis silindris, sedangkan ductus lactiferus dan sinus lactiferus dibatasi oleh epitel berlapis
kuboid, ductus lactiferus yang dekat papilla mamme dibatasi epitel berlapis gepeng berkeratin.
Di antara sel epitel dan lamina basalis terdapat sel myoepitel yang akan membantu
mengeluarkan sekret dari ductus. Di antara ductus terdapat jaringan pengikat dan jaringan
lemak.

Glandula mammae masa aktif (lactating/active mammary glands)


Glandula mammae diaktivasi karena terjadinya lonjakan estrogen dan progesteron pada saat
kehamilan. Pada ujung-ujung saluran mulai tumbuh alveoli sekretoris, juga terjadi hipertrofi

136
HISTOLOGI

parenkhim kelenjar dan alveoli mulai penuh dengan colostrum sehingga glandula mammae
pada saat kehamilan ukurannya lebih besar. Pada umur kehamilan 5 bulan, lobulus telah penuh
berisi alveoli, sehingga jaringan pengikat intralobularis terdesak oleh alveoli. Beberapa hari
setelah melahirkan, dimana kadar estrogen dan progesteron mulai menurun, hypophysis mulai
mensekresi prolaktin yang akan mengaktivasi pembentukan ASI untuk menggantikan
colostrum.

Gambar 20. Gambaran Histologi Glandula Mammae Istirahat (kiri) dan Masa Aktif (kanan)
Gambar kanan: 1. Alveolus; 2. Sekret; 3. Sel Myoepitel.

Alveolus mempunyai epitel selapis silindris atau kuboid yang dikelilingi oleh sel-sel
myoepitel. Di dalam sitoplasma sel sekretori/sel alveolus ini banyak terdapat granular
endoplasmik retikulum, mitokhondria, kompleks Golgi, tetes-tetes lipid dan vakuola yang
berisi casein (protein susu) dan laktosa. Sekret dari alveoli terdiri dari lipid dan protein. Lipid
dikeluarkan dari dalam sel secara apokrin, sedangkan protein dikeluarkan secara merokrin.

Gambqr 21. Glandula mammae inaktif, glandula mammae aktif dan


cara sekresi protein dan lipid

Areola dan Papilla Mammae


Kulit di sekeliling papilla mammae mengandung banyak pigmen disebut areola mammae.
Dibawah areola mammae terdapat kelenjar keringat, glandula sebacea dan modifikasi kelenjar
sudorifera yang bersifat apokrin yaitu glandula areolaris Montgomery. Di tengah areola
mammae terdapat papilla mammae, suatu jaringan pengikat padat kolagen dengan banyak

137
HISTOLOGI

serabut elastis juga terdapat serabut otot polos yang ditutupi oleh epitel berlapis gepeng
berkeratin. Pada saat kehamilan areola mammae dan papilla mammae lebih banyak
mengandung pigmen sehingga warnanya lebih gelap.

Sekresi Glandula Mammae


Ketika placenta telah keluar, maka hypophise anterior akan mensekresi prolactin yang
dapat menstimulasi produksi air susu. Dua sampai tiga hari sebelum melahirkan, akan disekresi
colostrum yang kaya akan protein, vitamin A, sodium dan chloride, juga mengandung limfosit
dan monosit, mineral, lactalbumin, dan antibodi (IgA) untuk memberi nutrisi dan melindungi
bayi yang baru lahir.
Air susu biasanya diproduksi pada hari ke 4 setelah partus. Air susu banyak mengandung
mineral, elektrolit, karbohidrat (termasuk laktosa), immunoglobulin (terutama IgA), protein
(termasuk casein), dan lipid. Produksi air susu mula-mula distimulasi oleh prolaktin. Sekali
terinisiasi, maka akan terus diproduksi. Bersamaan dengan produksi prolactin, maka pars
posterior hypophise akan mensekresi oxytocin yang menstimulasi milk ejection reflex (refleks
pengeluaran air susu) dengan cara menginduksi kontraksi sel myoepitel yang ada disekeliling
alveoli dan ductus.

Hal-hal yang mempengaruhi laktasi:


1. Hormonal
Hormon estrogen merangsang pertumbuhan ductus lactiferus dan percabangannya.
Hormon progesteron merangsang pertumbuhan pars sekretoris glandula mammae.
Hormon lactogen placenta dan prolactin bertanggung jawab terhadap sekresi air susu,
sedangkan untuk mempertahankan laktasi perlu insulin dan hormon thyroid.
Growth hormon dan adrenal glucocorticoids mempengaruhi pertumbuhan glandula
mammae.
2. Physical
Hisapan bayi pada papilla mammae merangsang reseptor taktil yang mengakibatkan
pengeluaran hormon oxytocin. Hormon ini merangsang sel myoepitel untuk berkontraksi
membantu pengeluaran air susu
3. Psikis
Faktor kejiwaan sangat mempengaruhi laktasi. Keadaan stres membuat produksi air susu
terhenti

DAFTAR PUSTAKA
1. Eroschenko VP. di’Fiores Atlas of Histology. 10th Edition. Baltimore: Lippincott Williams
& Wilkins. 2005.
2. Gartner LP, Hiatt JL. Color Textbook of Histology. 2nd Edition. Philadelphia: Saunders.
2001.
3. Gartner LP, Hiatt JL. Color Atlas of Histology. 4th Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins. 2006.
4. Junquiera LC, Carneiro J. Basic Histology. 10th Edition. New York: Lange. 2003.
5. Young B, Health JW. Wheather’s Functional Histology. 4th Edition. Edinburg: Churchill
Livingstone. 2002

138
HISTOLOGI

SISTEM GENITAL LAKI-LAKI


Teresa Lucretia

Sistem genital laki-laki terdiri atas:


a. Dua buah testis yang terdapat dalam skrotum.
Testis merupakan kelenjar endokrin dan eksokrin. Sebagai kelenjar eksokrin, testis
berperan dalam pembentukan, sintesis, dan penyimpanan spermatozoa. Sementara sebagai
kelenjar endokrin, testis berfungsi dalam pelepasan hormon testosteron.
b. Sistem duktus intratestikular dan ekstratestikular
c. Glandula asesoris
Terdapat 3 buah glandula asesoris, yaitu sepasang vesicula seminalis, glandula prostat, dan
2 buah glandula bulbouretralis Cowperi. Kelenjar-kelenjar ini akan membentuk struktur
nonseluler dari semen yang berfungsi sebagai nutrisi spermatozoa dan membantu
mengalirkan ke ductus ekskretorius.
d. Penis
Penis memiliki 2 fungsi, yaitu menyalurkan semen (spermatozoanya sendiri terdapat di
glandula asesoris) ke alat reproduksi wanita saat kopulasi dan sebagai penyalur urin dari
kandung kemih.

Gambar 1. Struktur Anatomi Genitalia Laki-laki (potongan sagital).

A. TESTIS
Pada laki-laki dewasa, testis berbentuk oval berukuran 4 x 2–3 x 3 cm, dan terletak dalam
kantung skrotum di luar batang tubuh. Pada masa embrio, testis terletak retroperitoneal di
dinding posterior abdomen, kemudian turun ke skrotum bersama sebagian peritoneum. Proses
ini disebut descensus testis yang dipengaruhi oleh hormon testosteron.
Berturut-turut dari luar ke dalam skrotum dapat dikenali lapisan-lapisan sebagai berikut:
a. Tunika vaginalis

139
HISTOLOGI

Merupakan bagian peritoneum yang terbawa pada proses descensus testis. Terdiri dari dua
lapisan: lapisan parietal yang melapisi bagian dalam skrotum dan lapisan viseral yang
melapisi permukaan tunika albuginea bagian anterior dan lateral testis. Di antara kedua
lapisan ini terdapat rongga serosa yang memungkinkan terjadinya pergerakan dalam
skrotum.
b. Tunika albuginea
Merupakan pembungkus luar/kapsul testis, yang tersusun dari jaringan ikat kolagen padat
yang iregular. Lapisan ini menjorok ke dalam testis membentuk septum yang tidak lengkap,
dan membagi testis menjadi ± 250 lobulus berbentuk piramid yang saling beranastomosis.
c. Tunika vaskulosa
Merupakan lapisan paling dalam, tersusun dari jaringan ikat longgar dan membentuk
kapsula vaskuler dari testis. Lapisan ini menebal dibagian posterior membentuk
mediastinum testis.

Gambar 2. Potongan Testis. 1. Septum, 2. Tubulus seminiferus, 3. Jaringan interstitial,


4. Tubulus rectus, 5. Tubulus/duktus efferens, 6. Rete testis.

Dalam tiap lobulus testis terdapat tubulus seminiferus, suatu saluran yang amat berkelok-
kelok, yang dikelilingi oleh jaringan ikat longgar (jaringan interstitial) yang kaya akan
perdarahan dan persarafan yang berasal dari tunica vaskulosa. Pada jaringan interstitial inilah
ditemukan sel interstitial Leydig, suatu sel endokrin yang mensintesis hormon testosteron.
Proses spermatogenesis terjadi pada epitel seminiferus dari tubulus seminiferus.
Selanjutnya, sel-sel sperma yang terbentuk akan memasuki saluran yang lurus dan pendek
(tubulus rektus), kemudian memasuki rete testis, yaitu sistem saluran seperti labirin yang
berada di mediastinum testis. Setelah melewati 10 sampai 20 tubuli pendek, sel sperma
memasuki duktus efferens, lalu ke duktus epididimis.

140
HISTOLOGI

Suplai Vaskular
Testis diperdarahi oleh arteri testikularis. Arteri, vena, dan ductus deferens akan membentuk
spermatic cord yang berasal dari cavum abdominalis dan melalui kanalis inguinalis masuk ke
dalam skrotum. Setelah menembus capsula testis, arteri testikularis akan bercabang
memperdarahi daerah intratestikular. Kapiler-kapiler dalam testis akan bersatu menjadi pleksus
pampiniformis yang mengelilingi arteri testikularis. Darah dalam pleksus pampiniformis
suhunya lebih rendah daripada arteri testikularis, dan berperan dalam pengaturan suhu testis
agar tetap pada suhu sekitar 35°C sehingga spermatozoa dapat berkembang dengan normal.

Tubulus Seminiferus
Merupakan suatu saluran berukuran 30–70 cm dan berdiameter 150–250µm, berperan dalam
pembentukan spermatozoa. Dinding tubulus dari luar ke dalam terdiri dari 3 lapisan:
a. Tunika propria
Terdiri dari jaringan pengikat longgar dengan fibroblast. Pada binatang, dapat ditemukan
sel myoid yang bersifat kontraktil pada lapisan terdalam dan melekat pada lamina basalis.
b. Lamina basalis
Terletak di antara tunika propria dan epitel seminiferus.
c. Epitel seminiferus (epitel germinal)
Terdiri dari lapisan-lapisan sel spermatogenik dan sel Sertoli (sel penyokong).

Gambar 3. Skematis Lapisan Dinding Tubulus Seminiferus

Proses Spermatogenesis
Merupakan proses pertumbuhan/perkembangan spermatogonium menjadi spermatozoa.
Proses ini dipengaruhi hormon testosteron dan dapat dibagi menjadi 3 fase, yaitu:
1. Fase spermatogonia
Merupakan proses mitosis spermatogonium secara terus menerus. Dengan pewarnaan HE,
dapat dibedakan 3 jenis sel spermatogonium berdasarkan perbedaan warna inti sel, yaitu:
• Spermatogonium tipe A dengan inti gelap (Ad): inti sel bulat, tampak sangat basofilik,
dengan kromatin granuler halus. Sel ini akan terus bermitosis dalam jangka waktu
tertentu, sehingga bersifat seperti sel punca (stem cell).

141
HISTOLOGI

• Spermatogonium tipe A dengan inti pucat (Ap): inti sel bulat, tampak kurang basofilik,
dengan kromatin granuler halus. Sel ini akan bermitosis menjadi 2 sel anak beberapa
kali, sampai berdiferensiasi menjadi tahap selanjutnya.
• Spermatogonium tipe B: merupakan tahap akhir mitosis Spermatogonium Ap yang
telah terdiferensiasi. Inti sel tampak bulat dengan kromatin padat.

Gambar 4. Sediaan Testis dengan Pewarnaan HE (perbesaran objektif 10x).

Gambar 5. Sediaan Testis dengan Pewarnaan HE (perbesaran objektif 40x).

2. Fase spermatosit (meiosis)


Merupakan proses mitosis spermatogonium tipe B menjadi spermatosit primer (I), dengan
jumlah kromosom diploid.

142
HISTOLOGI

Meiosis I  proses perubahan spermatosit primer (I) menjadi spermatosit sekunder (II),
dengan jumlah kromosom haploid.
Meiosis II  proses perubahan spermatosit sekunder (II) menjadi spermatid dengan jumlah
kromosom haploid.
3. Fase spermatid (spermiogenesis)
Merupakan proses diferensiasi spermatid (bertransformasi) menjadi spermatozoa.
Perubahan utama yang terjadi adalah pemipihan inti sel, pembentukan akrosom (cap di
bagian caput), pembentukan flagela (ekor), penyusunan mitokondria (tengah), dan
pelepasan sitoplasma yang tidak diperlukan.

Pada manusia, proses perubahan dari spermatogonium menjadi spermatozoa membutuhkan


waktu ± 74 hari. Proses pematangan spermatozoa yang terjadi pada duktus ekstratestikularis
berlangsung selama ± 12 hari. Proses ini berlangsung secara kontinu sehingga setiap hari akan
diproduksi sekitar 300 juta spermatozoa pada laki-laki dewasa yang sehat.

Gambar 6. Diagram Proses Spermatogenesis

Sel-sel Spermatogenik
Pada pengamatan sediaan tubulus seminiferus di bawah mikroskop cahaya, sel-sel dalam
proses spermatogenesis dapat dikenali dengan baik. Perubahan yang tampak pada sel-sel

143
HISTOLOGI

tersebut adalah perubahan ukuran, morfologi, nukleus, dan letak/posisi sel tersebut dalam
lumen tubulus seminiferus.
a. Spermatogonium
Merupakan sel yang bulat, kecil, dengan inti bulat basofilik. Sel ini terletak tepat di atas
lamina basalis, dalam ruangan basalis.
b. Spermatosit I
Merupakan sel germinal yang paling besar, terletak lebih ke arah lumen dibandingkan
spermatogonium. Tampak sel bulat besar, inti bulat dengan gambaran kromatin kasar
seperti benang kusut. Sering tampak dalam stadium prophase dari Meiosis I.
c. Spermatosit II
Terletak lebih dekat ke lumen daripada spermatosit I. Ukuran sel kira-kira setengah dari
spermatosit I. Spermatosit II jarang ditemukan, karena setelah terbentuk langsung masuk
ke meiosis II (prosesnya cepat sekali).
d. Spermatid
Terletak sangat dekat ke lumen. Ukuran sel kecil, inti tampak heterokromatik gelap.
e. Spermatozoa
Terdapat di dalam lumen, dengan ekor mengarah ke lumen.

Gambar 7. Diagram Posisi Sel Spermatogenik pada Tubulus Seminiferus

Struktur Spermatozoa
Spermatozoa matur memiliki panjang ± 60–65µm. Struktur spermatozoa adalah sebagai
berikut:
1. Bagian Kepala
Bentuknya hampir datar, berukuran sekitar 4,5 x 3 x 1 µm. Pada bagian anterior dapat
ditemukan akrosom, yang mengandung enzim neuramidase, hyaluronidase, asam fosfatase,

144
HISTOLOGI

aryl sulfatase, dan acrosin. Enzim ini berperan pada reaksi akrosomal yang menyebabkan
sperma dapat menembus zona pellucida. Reaksi akrosomal akan memulai proses fertilisasi,
dan mencegah sperma lain memasuki ovum.
2. Bagian Ekor
Merupakan bagian yang paling panjang dan dapat dibagi menjadi 4 bagian, yaitu:
a. Bagian leher (neck): bagian ini berhubungan langsung dengan bagian kepala, berukuran
sekitar 5µm, dan tersusun oleh sentriol.
b. Bagian tengah (middle piece): berukuran sekitar 7µm, terletak di antara bagian leher
dan bagian utama. Di daerah ini tersusun mitokondria yang menjadi sumber energi
untuk pergerakan ekor.
c. Bagian utama (principal piece): merupakan bagian terpanjang, berukuran sekitar 40–
50 µm. Terdiri dari komponen serabut kasar.
d. Bagian ujung (end piece): bagian akhir dari ekor, berukuran sekitar 5µm.

Gambar 8. Diagram Proses Spermiogenesis

Gambar 9. Diagram Struktur Spermatozoa Matur

Sel Sertoli
Bentuk sel Sertoli adalah piramid bercabang, letaknya mulai dari lamina basalis ke arah
permukaan lumen dari tubulus seminiferus. Mempunyai lipatan-lipatan sitoplasma dalam yang
meliputi sel-sel spermatogenik yang sedang bertumbuh. Nukleus tampak besar, pucat,
berbentuk ovoid, terletak di basal sel, dan mempunyai nukleolus. Sitoplasma mengandung
retikulum endoplasma halus, retikulum endoplasma kasar, kompleks Golgi, mitokhondria, dan

145
HISTOLOGI

pada sitoplasma bagian basal dapat ditemukan badan inklusi berupa kristal Charcot-Bottcher
(fungsi belum diketahui). Bagian tepi sel akan saling bertautan dengan sel-sel sekitarnya
melalui zona occludens, yang akan membagi tubulus seminiferus menjadi ruangan basalis dan
ruangan adluminal (dekat lumen).

Fungsi:
1. Penyokong bagi sel spermatogenik yang saling berhubungan melalui jembatan sitoplasma.
2. Pertukaran nutrisi dan zat sisa metabolik untuk spermatozoa yang sedang berkembang.
3. Proteksi dari serangan autoimun oleh imunoglobulin dalam darah. Zona occludens sel
Sertoli dan lamina basalis akan membentuk sawar darah-testis (blood-testis barrier).
4. Fagositosis sisa-sisa residu pada waktu pematangan spermatozoa.
5. Sintesis androgen binding protein (ABP) yang akan meningkatkan konsentrasi hormon
testosteron sehingga mencapai kadar yang sesuai untuk digunakan pada proses
spermatogenesis. Sebagai sel endokrin, sel Sertoli juga dapat menghasilkan hormon inhibin
yang akan memberikan umpan balik negatif terhadap pelepasan FSH

Gambar 10. Skematis Sel Sertoli

Gambar 11. Sel Interstitial Leydig

146
HISTOLOGI

Sel Interstitial Leydig


Daerah interstitial antar tubulus seminiferus diisi oleh struktur jaringan ikat longgar, seperti
fibroblas, sistim limfatik, dan sistim pembuluh darah. Pada masa pubertas, di daerah ini dapat
ditemukan sel penghasil hormon testosteron, yaitu sel interstitial Leydig. Bentuk sel polihedral,
berdiameter sekitar 15 µm, dengan 1 buah nukleus bulat yang terletak sentral, sitoplasma
eosinofilik, ditemukan banyak droplet lipid dan kristal Reinke. Pelepasan hormon testosteron
dari sel Leydig dipengaruhi oleh luteinizing hormone (LH) yang dikenal dengan nama lain
interstitial cell-stimulating hormone (ICSH)

B. SISTEM DUKTUS INTRATESTIKULAR DAN EKSTRATESTIKULAR

1. Sistem Duktus Intratestikular


Duktus ini terletak di dalam testis, menghubungkan tubulus seminiferus dengan epididimis.
Terbagi menjadi:
a. Tubulus rectus (straight tubule): merupakan saluran pendek yang menghubungkan
tubulus seminiferus dengan rete testis. Dibatasi oleh sel Sertoli pada bagian awal yang
berdekatan dengan tubulu seminiferus, dan dibatasi oleh selapis kuboid dengan microvilli
pada bagian yang berdekatan dengan rete testis.
b. Rete testis: terdiri atas saluran-saluran yang saling berhubungan seperti labirin, dibatasi
oleh selapis kuboid atau silindris pendek, terletak di mediastinum testis.

Gambar 12. Tubulus Rektus dan Rete Testis pada Mediastinum Testis

2. Sistem Duktus Ekstratestikular


a. Duktus efferen
Merupakan saluran pendek, terdapat sekitar 10–20 buah yang menghubungkan rete
testis dan menembus tunika albuginea menuju duktus epididimis. Duktus ini dilapisi
oleh epitel selapis dengan dua jenis sel, yaitu sel kuboid tanpa silia, dan sel silindris
bersilia (kinosilia, sifat motil). Sel kuboid akan mengabsorbsi cairan hasil sekresi

147
HISTOLOGI

tubulus seminiferus, sedangkan sel silindris bersilia akan menggerakkan spermatozoa


menuju ke epididimis. Adanya dua jenis sel tersebut menyebabkan gambaran lumen
yang bergelombang/tidak rata. Di bagian luar epitel dapat ditemukan lapisan otot polos
tipis.

b. Duktus epididimis
Merupakan saluran tipis, panjang, dan berkelok-kelok, dengan ukuran sekitar 4–6 m.
Epididimis dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu caput (muara dari duktus efferen),
corpus (tempat modifikasi terakhir dari spermatozoa), dan cauda (tempat penyimpanan
sperma sebelum diejakulasikan).
Lumen duktus epididimis dilapisi oleh epitel silindris bertingkat bersilia yang terdiri
dari sel basal yang pendek dan sel prinsipal yang lebih tinggi. Sel basal berbentuk
piramid sampai polihedral, mungkin berfungsi sebagai stem cells. Sementara itu, di
bagian apikal sel prinsipal dapat ditemukan stereosilia yang bersifat nonmotil. Pada
bagian luarnya dapat ditemukan lapisan tipis otot polos tersusun sirkuler.

Gambar 13. Duktus Efferen Gambar 14. Duktus Epididimis

c. Duktus defferen (vas defferen)


Merupakan saluran dengan lapisan otot yang tebal dan lumen yang kecil dan ireguler
yang menyalurkan spermatozoa dari duktus epididimis ke duktus ejakulatorius. Saluran
ini dilapisi oleh epitel silindris bertingkat yang mirip duktus epididimis. Di sebelah
luarnya terdiri atas 3 lapis otot yang berjalan longitudinal–sirkuler–longitudinal.
Diameter duktus dekat ujung membesar membentuk ampulla dengan lipatan-lipatan
mukosa yang tinggi. Vesikula seminalis akan bermuara di bagian ampulla distal ductus
deferen.

d. Duktus ejakulatorius
Merupakan saluran yang pendek dan lurus, dilapisi oleh epitel selapis silindris,
menembus prostat pada daerah yang disebut colliculus seminalis, tonjolan pada dinding
posterior uretra pars prostatika.

148
HISTOLOGI

Gambar 15. Duktus Defferen

e. Uretra
Merupakan saluran urogenital. Pada dindingnya terdapat glandula mukosa yang kecil,
disebut glandula Littre. Uretra pada laki-laki terdiri dari tiga bagian:
▪ Uretra pars prostatika, merupakan bagian proksimal uretra dengan epitel
transitionil, dikelilingi glandula prostat. Merupakan tempat muara glandula prostat
dan duktus ejakulatorius.
▪ Uretra pars membranosa, merupakan bagian yang paling pendek, dikelilingi oleh
otot skelet dari diaphragma urogenitalis yang serabutnya membentuk spingter
eksterna yang bersifat disadari/volunter. Dilapisi epitel bertingkat silindris, dan
dapat ditemukan glandula bulbouretralis.
▪ Urethra pars spongiosa, merupakan bagian yang melalui korpus spongiosum uretra.
Dilapisi oleh epitel bertingkat silindris. Semakin ke arah distal, lumen uretra makin
melebar membentuk fossa navicularis, dan epitelnya berubah menjadi berlapis
gepeng tidak berkeratin.

C. KELENJAR ASESORIS

1. Kelenjar Vesikulosa (vesicula seminalis)


Kelenjar ini menghasilkan cairan kental berwarna kekuningan yang kaya akan fruktosa dan
merupakan 70% volume dari semen. Terletak pada dinding posterior vesica urinaria, paralel
dengan ampulla duktus defferen. Mukosa kelenjar ini sangat berlipat-lipat, membentuk
lipatan primer dan sekunder. Lumennya dibatasi oleh epitel silindris bertingkat. Di sebelah
luar mukosa, terdapat jaringan ikat fibroelastis dan 2 lapis otot polos yang tersusun sirkuler
(bagian dalam) dan longitudinal (di sebelah luar). Lapisan terluar berupa jaringan ikat
fibroelastis halus dan sangat tipis.

149
HISTOLOGI

Gambar 16. Kelenjar Vesikulosa/Vesikula Seminalis

2. Kelenjar Prostat
Merupakan kelenjar asesoris terbesar, yang terletak mengelilingi uretra tepat di bagian
bawah dari vesika urinaria. Kelenjar ini terbagi menjadi 3 zona di sekitar uretra, yaitu zona
transisional (sekitar 5% dari total jaringan prostat), zona sentral (sekitar 25% dari total
jaringan prostat), dan zona perifer (sekitar 70% dari total jaringan prostat). Kapsulanya
terdiri dari jaringan ikat fibroelastik padat ireguler yang akan membentuk septum dan
membagi kelenjar menjadi lobuli.

Gambar 17. Pembagian Zona Pada Kelenjar Prostat

Kelenjar prostat terbentuk dari 30–50 kelenjar tubuloalveolar bercabang. Tiap alveolus
dilapisi oleh epitel silindris bertingkat, dengan stroma fibromuskuler pada bagian luarnya.
Pada lumennya dapat ditemukan corpora amylacea, yaitu endapan dari materi sekretorik
yang terkalsifikasi. Sekret yang dihasilkan oleh kelenjar ini bersifat serosa, kaya akan
lemak, enzim proteolitik, asam fosfatase, fibrinolisin, dan asam sitrat. Proses sintesis dan
pelepasannya dipengaruhi oleh hormon dihidrotestosteron. Gangguan pada kelenjar prostat
biasanya terjadi pada pria usia 50–80 tahun.

150
HISTOLOGI

Gambar 18. Sediaan Kelenjar Prostat dengan Pewarnaan HE


G = glandula/kelenjar; S = septum/stroma; E = epitel kelenjar; LP = lamina propria;
M = stroma fibromuskuler; CA = corpora amylacea

3. Kelenjar Bulbouretra (Glandula Cowperi)


Terdapat sepasang, berdiameter 3–5 mm, terletak pada diaphragma urogenital, tepat
sebelum uretra pars membranosa. Merupakan kelenjar tubuloalveoler bercabang, mirip
kelenjar mukosa pada umumnya. Alveoli kelenjar merupakan epitel selapis kuboid sampai
selapis silindris pendek. Sekret yang dihasilkan berfungsi untuk melubrikasi uretra dan
menetralisir sifat asam dari sisa urine.

Gambar 19. Sediaan Kelenjar Bulbouretra dengan pewarnaan HE

151
HISTOLOGI

D. PENIS
Terdiri atas 3 buah jaringan erektil yang diliputi lapisan fibroelastik tebal (tunika albuginea),
terdiri dari 2 buah corpora cavernosa pada bagian dorsal (tunika albuginea tidak kontinu), dan
1 buah corpus spongiosum pada bagian ventral (terdapat uretra pars spongiosa). Bangunan ini
berakhir di daerah glands penis di mana di bagian ujungnya merupakan muara dari uretra yang
berbentuk celah vertikal. Jaringan erektil pada penis terbentuk dari banyak ruang (sinus) dalam
berbagai bentuk, yang dipisahkan oleh trabekula (terbentuk dari jaringan ikat dan otot polos).
Trabekula pada corpus spongiosum lebih banyak mengandung serabut elastis, namun lebih
sedikit mengandung otot polos bila dibandingkan trabekula pada corpora cavernosa.
Sinus pada ketiga jaringan erektil ini menerima darah dari arteriae helicinae, yang
merupakan cabang dari arteria profunda penis. Pada bagian dorsal dari penis, dapat ditemukan
arteri dorsalis penis beserta venanya.
Penis mendapatkan persarafan parasimpatis (segmen medulla spinalis S2–S4) dan simpatis
(segmen medulla spinalis T12–L2). Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan terjadinya
ereksi, sedangkan perangsangan saraf simpatis mengembalikan penis ke fase flaccid.
Bagian luar dari ketiga jaringan erektil ini diselubungi oleh jaringan ikat longgar yang
mengandung banyak akhiran saraf, pembuluh limfatik, dan pada bagian terluarnya diliputi oleh
kulit tipis.

Gambar 20. Skematis dan Sediaan Penis Pewarnaan HE

DAFTAR PUSTAKA
1. Mescher AL. The Male Reproductive System. Junquiera’s Basic Histology. USA:
McGraw-Hill Education. 2018. 439–58
2. Ross MH, Pawlina W. Male Reproductive System. Histology a Text and Atlas.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. 2016. 790–819.

152
ILMU BEDAH

TUMOR MAMMAE
Eduard P Simamora

ALIRAN LIMF MAMMAE


Kelenjar getah bening dari regio mammae terdapat dalam kelompok inkonstan yang
bervariasi. Seringnya pembagian menurut Haagensen.

Gambar 1. Kelenjar getah bening aksila dan mamma menurut klasifikasi dari Haagensen (kiri). Aliran
limfatik mamma (kanan).1

Klasifikasi utama Haagensen adalah axillaris dan thoracica (mammaria) interna.


1. Drainase Axillaris
• Grup 1: external mammary nodes, juga dikenal sebagai anterior pectoral nodes, terletak
di sepanjang batas lateral musculus pectoralis minor, di bawah musculus pectoralis
major. Di sepanjang sisi medial dari aksila mengikuti aliran arteria thoracica lateralis
pada dinding dada, mulai dari iga 2–6. Di bawah areola terdapat perluasan jaringan
pembuluh limfatik, dinamakan plexus subareolaris (subareolar plexus of Sappey).
• Grup 2: scapular nodes, terletak di atas pembuluh darah subscapular. Pembuluh limf
dari KGB ini saling berhubungan dengan pembuluh limf intercostal.
• Grup 3: central nodes merupakan kelompok kelenjar getah bening yang terbesar.
Kelompok ini paling mudah dipalpasi di aksila karena ukurannya yang besar. Ketika
membesar, dapat menekan nervus intercostobrachialis, cabang cutaneus lateralis dari
nervus thoracicus T2 atau T3, dapat timbul nyeri.
• Grup 4: interpectoral nodes (Rotter's nodes), terletak di antara musculus pectoralis
major dan musculus pectoralis minor, sering terdapat tunggal. Kelompok KGB terkecil
dari KGB aksila dan kadang tidak dapat ditemukan walaupun musculus pectoralis
major diangkat.
• Grup 5: axillary vein nodes, merupakan kelompok KGB terbesar kedua di aksila.
Terletak di permukaan ventral dan kaudal dari bagian lateral vena axillaris.

153
ILMU BEDAH

• Grup 6: subclavicular nodes, terletak pada permukaan ventral dan kaudal dari bagian
medial vena axillaris.

Gambar 2. Aliran Limf Mamma. Aliran limf langsung dari kulit ditunjukkan oleh tanda panah pada mamma
kanan dan sisi medial mamma kiri. 1. Plexus subareolaris, mendrainase areola, papilla, dan sebagian parenkim. 2.
Anterior pectoral nodes. 3. Central axillary nodes. 4. Interpectoral nodes (dapat mem-bypass central axillary
nodes). 5. Apical, infraclavicular nodes. 6. Retrosternal nodes.

2. Drainase Thoracica (Mammaria) Interna


Pembuluh-pembuluh limf timbul dari tepi medial mammae pada fascia pectoralis. KGB ini
juga menerima trunkus limfatikus dari kulit mamma kontralateral, hati, diafragma, rectus
sheath, bagian atas musculus rectus abdominis. KGB berjumlah 4-5 di setiap sisinya, kecil,
dan biasanya berada dalam lemak dan jaringan ikat dari ruang interkostal. Saluran ini
bermuara ke ductus thoracicus atau ductus lymphaticus dexter. Rute ke vena axillaris lebih
pendek daripada rute aksila.1

Dalam staging, bila ditemukan metastasis ke KGB supraclavicular, cervical, atau mammaria
interna kontralateral dianggap telah bermetastasis jauh (M1). KGB regional meliputi:
I. KGB aksila (ipsilateral): interpectoral (Rotter's) nodes dan KGB di sepanjang vena
axillaris dan bagian-bagiannya yang dapat dibagi menjadi beberapa tingkat:
a. Level I (low axillary): KGB lateral dari tepi lateral musculus pectoralis minor.
b. Level II (midaxillary): KGB di antara tepi medial dan tepi lateral musculus pectoralis
minor dan KGB interpectoral (Rotter’s).
c. Level III (apical axillary): KGB medial dari tepi medial musculus pectoralis minor
termasuk subclavicular, infraclavicular, atau apical.
Catatan: KGB intramammary disandikan sebagai KGB aksila.
II. Mammaria interna (ipsilateral): KGB di ruang intercostal di sepanjang tepi sternum dalam
fascia endothoracica.

154
ILMU BEDAH

Gambar 3. Kelompok kelenjar getah bening aksila. Level I meliputi beberapa kelenjar getah bening yang terletak
lateral dari musculus pectoralis minor. Level II meliputi beberapa kelenjar getah bening yang terletak di bawah
musculus pectoralis minor. Level III meliputi beberapa kelenjar getah bening yang terletak medial terhadap musculus
pectoralis minor. 1

PERSARAFAN MAMMAE
Mammae dipersarafi oleh nervi intercostales 2–6, dengan cabang-cabangnya melewati
permukaan kelenjar. Dua rami mammarii dari nervus cutaneus lateralis keempat juga
mempersarafi papilla mammae.

Gambar 4. Saraf perifer penting yang ditemukan pada mastectomy.

ETIOLOGI (FAKTOR RISIKO)


Etiologi pasti dari kanker payudara masih belum jelas. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa wanita dengan faktor risiko tertentu lebih sering untuk berkembang menjadi kanker
payudara dibandingkan yang tidak memiliki beberapa faktor risiko tersebut.2 Beberapa faktor
risiko tersebut :3,4
III. Umur
kemungkinan untuk menderita kanker payudara semakin meningkat seiring bertambahnya
umur seorang wanita. Angka kejadian kanker payudara rata-rata pada wanita usia 45 tahun
ke atas. Kanker jarang timbul sebelum menopause. Kanker dapat didiagnosis pada wanita
premenopause atau sebelum usia 35 tahun, tetapi kankernya cenderung lebih agresif,

155
ILMU BEDAH

derajat tumor yang lebih tinggi, dan stadiumnya lebih lanjut, sehingga survival rates-nya
lebih rendah.
IV. Riwayat kanker payudara
Wanita dengan riwayat pernah menderita kanker pada satu payudara mempunyai risiko
untuk menderita kanker pada payudara lainnya.
V. Riwayat keluarga
Risiko untuk menjadi kanker lebih tinggi pada wanita yang ibunya atau saudara perempuan
kandungnya menderita kanker payudara. Risiko lebih tinggi jika anggota keluarganya
menderita kanker payudara sebelum usia 40 tahun. Risiko juga meningkat bila terdapat
kerabat/saudara (baik dari keluarga ayah atau ibu) yang menderita kanker payudara.
VI. Perubahan payudara tertentu
Beberapa wanita mempunyai sel-sel dari jaringan payudara yang terlihat abnormal pada
pemeriksaan mikroskopik. Risiko kanker akan meningkat bila memiliki tipe-tipe sel
abnormal tertentu, seperti atypical hyperplasia dan lobular carcinoma in situ [LCIS].
VII. Perubahan genetik
Perubahan beberapa gen tertentu akan meningkatkan risiko terjadinya kanker payudara,
antara lain BRCA-1, BRCA-2, dan beberapa gen lainnya. BRC-1 dan BRCA-2 termasuk
gen supresor tumor. Secara umum, gen BRCA-1 berhubungan dengan invasive ductal
carcinoma, poorly differentiated, dan tidak mempunyai reseptor hormon. Sedangkan
BRCA-2 berhubungan dengan invasive ductal carcinoma yang lebih well differentiated dan
mengekspresikan reseptor hormon. Wanita yang memiliki gen BRCA-1 dan BRCA-2 yang
abnormal akan mempunyai risiko kanker payudara 40–85%. Wanita dengan gen BRCA-1
yang abnormal cenderung untuk berkembang menjadi kanker payudara pada usia yang
lebih dini.
VIII. Riwayat reproduksi dan menstruasi
Meningkatnya paparan estrogen berhubungan dengan peningkatan risiko untuk
berkembangnya kanker payudara, sedangkan berkurangnya paparan justru memberikan
efek protektif. Beberapa faktor yang meningkatkan jumlah siklus menstruasi seperti
menarche dini (sebelum usia 12 tahun), nuliparitas, dan menopause yang terlambat (di atas
55 tahun) berhubungan juga dengan peningkatan risiko kanker. Diferensiasi akhir dari
epitel payudara yang terjadi pada akhir kehamilan akan memberi efek protektif, sehingga
semakin tua umur seorang wanita melahirkan anak pertamanya, risiko kanker meningkat.
Wanita yang mendapatkan menopausal hormone therapy memakai estrogen, atau
mengonsumsi estrogen ditambah progestin setelah menopause juga meningkatkan risiko
kanker.
IX. Ras
Kanker payudara lebih sering terdiagnosis pada wanita kulit putih, dibandingkan wanita
Latin Amerika, Asia, or Afrika. Insiden lebih tinggi pada wanita yang tinggal di daerah
industrialisasi.
X. Wanita yang mendapat terapi radiasi pada daerah dada
Wanita yang mendapat terapi radiasi di daerah dada (termasuk payudara) sebelum usia 30
tahun, risiko untuk berkembangnya kanker payudara akan meningkat di kemudian hari.
Pada suatu penelitian wanita muda dengan Hodgkin's lymphoma yang mendapat terapi
radiasi mempunyai risiko kanker payudara 75 kali lebih besar dibandingkan subjek kontrol.

156
ILMU BEDAH

XI. Kepadatan jaringan payudara


Jaringan payudara dapat padat ataupun berlemak. Wanita yang pemeriksaan
mammogramnya menunjukkan jaringan payudara yang lebih padat, risiko menderita
kanker payudaranya meningkat.
XII. Overweight atau obese setelah menopause
Kemungkinan untuk mendapatkan kanker payudara setelah menopause meningkat pada
wanita yang overweight atau obese, karena sumber estrogen utama pada wanita
postmenopause berasal dari konversi androstenedione menjadi estrone yang berasal dari
jaringan lemak, dengan kata lain obesitas berhubungan dengan peningkatan paparan
estrogen jangka panjang.
XIII. Kurangnya aktivitas fisik
Wanita yang aktivitas fisik sepanjang hidupnya kurang, risiko untuk menjadi kanker
payudara meningkat. Aktivitas fisik membantu mengurangi peningkatan berat badan dan
obesitas.
XIV. Diet
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa wanita yang sering minum alkohol mempunyai
risiko kanker payudara yang lebih besar, karena alkohol akan meningkatkan kadar estriol
serum. Sering mengonsumsi banyak makan berlemak dalam jangka panjang akan
meningkatkan kadar estrogen serum, sehingga akan meningkatkan risiko kanker.

INSIDENSI2

Tabel 1. Persentase Insiden Dari Kanker Payudara Herediter, Familial, Dan Sporadik
Sporadic breast cancer 65–75%
Familial breast cancer 20–30%
Hereditary breast cancer 5–10%
BRCA-1a 45%
BRCA-2 35%
p53 (Li-Fraumeni syndrome) 1%
STK11/LKB1 (Peutz-Jeghers syndrome) <1%
PTEN (Cowden disease) <1%
MSH2/MLH1 (Muir-Torre syndrome) <1%
ATM (Ataxia-telangiectasia) <1%
Unknown 20%
a
Affected gene

157
ILMU BEDAH

KLASIFIKASI KANKER PAYUDARA INVASIF


Klasifikasi kanker payudara invasif menurut Foote dan Stewart:6
I. Paget’s disease dari papilla mammaria
Paget’s disease dari papilla mammaria pertama kali dikemukakan pada tahun 1974. Sering
muncul sebagai erupsi eksim kronik dari papilla mammaria, dapat berupa lesi bertangkai,
ulserasi, atau halus. Paget's disease biasanya berhubungan dengan DCIS (ductal carcinoma
in situ) yang luas dan mungkin berhubungan dengan kanker invasif. Biopsi papilla
mammaria akan menunjukkan suatu populasi sel yang identik (gambaran atau perubahan
pagetoid). Patognomonis dari kanker ini adalah terdapatnya sel besar pucat dan bervakuola
(Paget's cells) dalam deretan epitel. Terapi pembedahan untuk Paget's disease meliputi
lumpectomy, mastectomy, atau modified radical mastectomy, bergantung pada penyebaran
tumor dan adanya kanker invasif.

II. Invasive ductal carcinoma


a. Adenocarcinoma with productive fibrosis (scirrhous, simplex, NST) (80%)
Kanker ini ditemukan sekitar 80% dari kanker payudara dan pada 60% kasus kanker ini
mengadakan metastasis (baik mikro maupun makroskopik) ke KGB aksila. Kanker ini
biasanya terdapat pada wanita perimenopause atau postmenopause dekade kelima sampai
keenam, sebagai massa soliter dan keras. Batasnya kurang tegas dan pada potongan
melintang, tampak permukaannya membentuk konfigurasi bintang di bagian tengah dengan
garis berwarna putih kapur atau kuning menyebar ke sekeliling jaringan payudara. Sel-sel
kanker sering berkumpul dalam kelompok kecil, dengan gambaran histologi yang
bervariasi.

b. Medullary carcinoma
Medullary carcinoma adalah tipe khusus dari kanker payudara, berkisar 4% dari seluruh
kanker payudara yang invasif dan merupakan kanker payudara herediter yang berhubungan
dengan BRCA-1. Peningkatan ukuran yang cepat dapat terjadi sekunder terhadap nekrosis
dan perdarahan. 20% kasus ditemukan bilateral. Karakteristik mikroskopik dari medullary
carcinoma berupa (1) infiltrat limforetikular yang padat terutama terdiri dari limfosit dan
plasma, (2) inti pleomorfik besar yang berdiferensiasi buruk dan mitosis aktif, dan (3) pola
pertumbuhan seperti rantai, dengan minimal atau tidak ada diferensiasi duktus atau
alveolar. Sekitar 50% kanker ini berhubungan dengan DCIS dengan karakteristik
terdapatnya kanker perifer dan kurang dari 10% menunjukkan reseptor hormon. Wanita
dengan kanker ini mempunyai 5 year survival rate yang lebih baik dibandingkan NST atau
invasive lobular carcinoma.

c. Mucinous (colloid) carcinoma


Mucinous carcinoma (colloid carcinoma) merupakan tipe khusus lain dari kanker
payudara, sekitar 2% dari semua kanker payudara yang invasif; biasanya muncul sebagai
massa tumor yang besar dan ditemukan pada wanita yang lebih tua. Karena komponen
musinnya, sel-sel kanker ini dapat tidak terlihat pada pemeriksaan mikroskopik.

158
ILMU BEDAH

d. Papillary carcinoma
Papillary carcinoma merupakan tipe khusus dari kanker payudara dan merupakan sekitar
2% dari semua kanker payudara yang invasif. Biasanya ditemukan pada wanita dekade
ketujuh dan sering menyerang wanita non-kulit putih. Ukurannya kecil dan jarang
mencapai diameter 3 cm. McDivitt et al. menunjukkan frekuensi metastasis ke KGB aksila
yang rendah dengan 5 year survival rate dan 10 year survival rate mirip mucinous dan
tubular carcinoma.

e. Tubular carcinoma
Tubular carcinoma merupakan tipe khusus lain dari kanker payudara dan merupakan
sekitar 2% dari semua kanker payudara yang invasif. Biasanya ditemukan pada wanita
perimenopause dan pada periode awal menopause. Long-term survival mendekati 100%.

III. Invasive lobular carcinoma


Invasive lobular carcinoma sekitar 10% dari kanker payudara. Gambaran histopatologi
meliputi sel-sel kecil dengan inti yang bulat, nucleoli tidak jelas, dan sedikit sitoplasma.
Pewarnaan khusus dapat mengkonfirmasi adanya musin dalam sitoplasma, yang dapat
menggantikan inti (signet-ring cell carcinoma). Seringnya multifokal, multisentrik, dan
bilateral. Karena pertumbuhannya tersembunyi, sering sulit untuk dideteksi.

IV. Kanker yang jarang (adenoid cystic, squamous cell, apocrine)

Tabel 2. Distribusi Lokasi Tumor Menurut Histologisnya Pada Semua Pasien1


Location Lobular (%) Ductal (%) Kombinasi (%)
Nipple 2,2 1,7 1,9
Central 6,0 5,3 6,1
Upper inner 7,3 9,2 8,3
Lower inner 3,8 4,7 3,9
Upper outer 37,0 36,9 37,1
Lower outer 5,8 6,4 5,7
Axillary tail 0,8 0,8 0,6
Overlapping* 18,6 18,2 19,9
NOS (not otherwise specified) 18,6 16,8 16,5
*Lesions overlap between two quadrants within the breast.

159
ILMU BEDAH

STAGING 6

Tabel 3. TNM Staging System untuk Breast Cancer


Tumor Primer (T)
TX Tumor primer tidak dapat dinilai
T0 Tidak ada bukti terdapat tumor primer
Tis Carcinoma in situ
Tis (DCIS) Ductal carcinoma in situ
Tis (LCIS) Lobular carcinoma in situ
Tis Paget's disease dari papilla mammaria tanpa tumor (Catatan: Paget's disease yang
(Paget's) berhubungan dengan tumor diklasifikasikan menurut ukuran tumor)
T1 Tumor ≤2 cm
T1mic Microinvasion ≤0,1 cm
T1a Tumor >0,1 cm tetapi tidak lebih dari 0,5 cm
T1b Tumor >0,5 cm tetapi tidak lebih dari 1 cm
T1c Tumor >1 tetapi tidak lebih dari 2 cm
T2 Tumor >2 cm tetapi tidak lebih dari 5 cm
T3 Tumor >5 cm
T4 Tumor ukuran berapapun dengan perluasan langsung ke dinding dada atau kulit,
seperti yang diuraikan di bawah ini:
T4a Perluasan ke dinding dada, tidak melibatkan otot pectoralis.
T4b Edema (termasuk peau d'orange), atau ulserasi kulit payudara, atau ada nodul
satelit terbatas di kulit payudara yang sama
T4c Kriteria T4a dan T4b
T4d Inflammatory carcinoma
Kelenjar Getah Bening–Klinis (N)
NX KGB regional tidak dapat dinilai (misalnya sebelumnya telah diangkat)
N0 Tidak ada metastasis ke KGB regional
N1 Metastasis ke KGB aksila ipsilateral tetapi dapat digerakkan
N2 Metastasis KGB aksila ipsilateral tetapi tidak dapat digerakkan atau terfiksasi,
atau tampak secara klinis ke KGB mammaria interna ipsilateral tetapi secara klinis
tidak terbukti terdapat metastasis ke KGB aksila ipsilateral
N2a Metastasis ke KGB aksila ipsilateral dengan KGB saling melekat atau melekat ke
struktur lain di sekitarnya
N2b Metastasis hanya tampak secara klinis ke KGB mammaria interna ipsilateral dan
tidak terbukti secara klinis terdapat metastasis ke KGB aksila ipsilateral

160
ILMU BEDAH

N3 Metastasis ke KGB infraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa keterlibatan KGB


aksila, atau secara klinis ke KGB mammaria interna ipsilateral tetapi secara klinis
terbukti terdapat metastasis ke KGB aksila ipsilateral; atau metastasis ke KGB
supraklavikula ipsilateral dengan atau tanpa keterlibatan KGB infraklavikula atau
aksila ipsilateral
N3a Metastasis ke KGB infraklavikula ipsilateral
N3b Metastasis ke KGB mammaria interna dan aksila
N3c Metastasis ke KGB supraklavikula ipsilateral
Kelenjar Getah Bening Regional–Patologi Anatomi (pN)
pNX KGB regional tidak dapat dinilai (sebelumnya telah diangkat atau tidak dilakukan
pemeriksaan patologi)
pN0b Secara histologis tidak terdapat metastasis ke KGB, tidak ada pemeriksaan
tambahan untuk isolated tumor cells (Catatan: isolated tumor cells (ITC) diartikan
sebagai sekelompok tumor kecil yang tidak lebih dari 0,2 mm, biasanya dideteksi
hanya dengan immunohistochemical (IHC) atau metode molekuler

pN0(i–) Tidak ada metastasis ke KGB regional secara histologis, IHC (-)
pN0(i+) Tidak ada metastasis ke KGB regional secara histologis, IHC (+), IHC cluster
tidak lebih dari 0,2 mm
pN0(mol–) Tidak ada metastasis ke KGB regional secara histologis, pemeriksaan
molekuler (-) (RT-PCR)
pN0(mol+) Tidak ada metastasis ke KGB regional secara histologis, pemeriksaan
molekuler (+) (RT-PCR)
pN1 Metastasis ke 1–3 KGB aksila, dan/atau KGB mammaria interna terdeteksi secara
mikroskopis melalui diseksi sentinel KGB, secara klinis tidak tampak
pN1mi Micrometastasis (>0,2 mm, <2,0 mm)
pN1a Metastasis ke 1–3 KGB aksila
pN1b Metastasis ke KGB mammaria interna terdeteksi secara mikroskopis melalui
diseksi sentinel KGB, secara klinis tidak tampak
pN1c Metastasis ke 1–3 KGB aksila dan ke KGB mammaria interna terdeteksi secara
mikroskopis melalui diseksi sentinel KGB, secara klinis tidak tampak (jika
berhubungan dengan >3 (+) KGB aksila, KGB mammaria interna diklasifikasikan
sebagai pN3b)
pN2 Metastasis ke 4–9 KGB aksila, atau tampak secara klinis ke KGB mammaria
interna tetapi secara klinis tidak terbukti terdapat metastasis ke KGB aksila
pN2a Metastasis ke 4–9 KGB aksila (sedikitnya 1 tumor >2 mm)
pN2b tampak secara klinis ke KGB internal mammary tetapi secara klinis tidak terbukti
terdapat metastasis ke KGB aksilla
pN3 Metastasis ke 10 KGB aksila, atau KGB infraklavikula, atau secara klinis ke KGB
mammaria interna ipsilateral dan terdapat 1 atau lebih metastasis ke KGB aksila
atau >3 metastasis ke KGB aksila tetapi secara klinis metastasis mikroskopik (-) ke
KGB mammaria interna; atau ke KGB supraklavikular ipsilateral

161
ILMU BEDAH

pN3a Metastasis ke ≥10 KGB aksila (minimal satu tumor >2 mm), atau metastasis ke
KGB infraklavikula
pN3b Secara klinis metastasis ke KGB mammaria interna ipsilateral dan terdapat ≥1
atau lebih metastasis ke KGB aksila atau >3 metastasis ke KGB aksila dan dalam
KGB mammaria interna dengan kelainan mikroskopis yang terdeteksi melalui
diseksi KGB sentinel, tidak tampak secara klinis
pN3c Metastasis ke KGB supraklavikular ipsilateral
Metastasis Jauh (M)
MX Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Tampak secara klinis didefinisikan sebagai dapat dideteksi melalui alat pencitraan atau dengan pemeriksaan
klinis atau kelainan patologis terlihat jelas.
Tidak tampak secara klinis berarti tidak terlihat melalui alat pencitraan (kecuali dengan lymphoscintigraphy)
atau dengan pemeriksaan klinis.
Klasifikasi berdasarkan diseksi KGB aksila dengan atau tanpa diseksi sentinel dari KGB. Klasifikasi semata-
mata berdasarkan diseksi sentinel KGB tanpa diseksi KGB aksila yang selanjutnya direncanakan untuk
“sentinel node”, seperti pN-(l+) (sn).
RT-PCR = reverse transcriptase polymerase chain reaction.
Sumber: Modified with permission from American Joint Committee on Cancer: AJCC Cancer Staging
Manual. 6th Edition. New York: Springer. 2002. 227–228.

A B
Gambar 5. Ductal Carcinoma in situ (A). Sel-sel kanker menyebar keluar dari ductus, menginvasi jaringan
sekitar dalam mamma (B).

Tabel 4. TNM Stage Groupings


Stage 0 Tis N0 M0
Stage I T1a N0 M0
Stage IIA T0 N1 M0
a
T1 N1 M0
T2 N0 M0
Stage IIB T2 N1 M0
T3 N0 M0
Stage IIIA T0 N2 M0
a
T1 N2 M0

162
ILMU BEDAH

T2 N2 M0
T3 N1 M0
T3 N2 M0
Stage IIIB T4 N0 M0
T4 N1 M0
T4 N2 M0
Stage IIIC Any T N3 M0
Stage IV Any T Any N M1
a
T1 termasuk T1 mic.
Sumber: Modified with permission from American Joint Committee on Cancer: AJCC Cancer Staging Manual,
6th Edition. New York: Springer. 2002. p 228.

DIAGNOSIS
Gejala
Gejala yang yang paling sering meliputi:3
1. Penderita merasakan adanya perubahan pada payudara atau pada puting susunya.
2. Benjolan atau penebalan dalam atau sekitar payudara atau di daerah ketiak.
3. Puting susu terasa mengeras.
4. Penderita melihat perubahan pada payudara atau pada puting susunya.
5. Perubahan ukuran maupun bentuk dari payudara.
6. Puting susu tertarik ke dalam payudara.
7. Kulit payudara, areola, atau puting bersisik, merah, atau bengkak. Kulit mungkin berkerut-
kerut seperti kulit jeruk.
8. Keluarnya sekret atau cairan dari puting susu.

Pada awal kanker payudara, penderita biasanya tidak merasakan nyeri. Jika sel kanker telah
menyebar, sel kanker dapat ditemukan di kelenjar limf yang berada di sekitar payudara. Sel
kanker juga dapat menyebar ke berbagai bagian tubuh lain, paling sering ke tulang, hati, paru,
dan otak.4
Pada 33% kasus kanker payudara, penderita menemukan benjolan pada payudaranya. Tanda
dan gejala lain dari kanker payudara yang jarang ditemukan meliputi pembesaran atau
asimetrisnya payudara, perubahan pada puting susu dapat berupa retraksi atau keluar sekret,
ulserasi atau eritema kulit payudara, massa di ketiak, ketidaknyamanan muskuloskeletal. Pada
50% wanita dengan kanker payudara tidak ditemukan gejala apapun. Nyeri pada payudara
biasanya berhubungan dengan kelainan yang bersifat jinak.6

Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Inspeksi bentuk, ukuran, dan simetris dari kedua payudara, apakah terdapat edema (peau
d’orange), retraksi kulit atau puting susu, dan eritema.6

163
ILMU BEDAH

2. Palpasi
Dilakukan palpasi pada payudara apakah terdapat massa, termasuk palpasi kelenjar limf di
aksila, supraklavikula, dan parasternal. Setiap massa yang teraba atau suatu limfadenopati,
harus dinilai lokasinya, ukurannya, konsistensinya, bentuk, mobilitas atau fiksasinya.6

Pemeriksaan Penunjang
1. Mammografi
Mammografi merupakan pemeriksaan yang paling dapat diandalkan untuk mendeteksi
kanker payudara sebelum benjolan atau massa dapat dipalpasi. Karsinoma yang tumbuh
lambat dapat diidentifikasi dengan mammografi setidaknya 2 tahun sebelum mencapai
ukuran yang dapat dideteksi melalui palpasi.6
Mammografi telah digunakan di Amerika Utara sejak tahun 1960 dan teknik ini terus
dimodifikasi dan diimprovisasi untuk meningkatkan kualitas gambarnya. Mammografi
konvensional menyalurkan dosis radiasi sebesar 0,1 sentigray (cGy) setiap penggunaannya.
Sebagai perbandingan, foto X-ray toraks menyalurkan 25% dari dosis radiasi mammografi.
Mammografi dapat digunakan baik sebagai skrining maupun diagnostik. Mammografi
mempunyai 2 jenis gambaran, yaitu kraniokaudal (CC) dan oblik mediolateral (MLO).
MLO memberikan gambaran jaringan mammae yang lebih luas, termasuk kuadran lateral
atas dan axillary tail of Spence. Dibandingkan MLO, CC memberikan visualisasi yang
lebih baik pada aspek medial dan memungkinkan kompresi payudara yang lebih besar.
Radiologis yang berpengalaman dapat mendeteksi karsinoma payudara dengan tingkat

164
ILMU BEDAH

false-positive sebesar 10% dan false-negative sebesar 7%. Gambaran mammografi yang
spesifik untuk karsinoma mammae antara lain: massa padat dengan atau tanpa gambaran
seperti bintang (stellate), penebalan asimetris jaringan mammae dan kumpulan
mikrokalsifikasi. Gambaran mikrokalsifikasi ini merupakan tanda penting karsinoma pada
wanita muda, yang mungkin merupakan satu-satunya kelainan mammografi yang ada.
Mammografi lebih akurat daripada pemeriksaan klinis untuk deteksi karsinoma mammae
stadium awal, dengan tingkat akurasi sebesar 90%. Protokol saat ini berdasarkan National
Cancer Center Network (NCCN) menyarankan bahwa setiap wanita di atas 20 tahun harus
melakukan pemeriksaan payudara setiap 3 tahun. Pada usia di atas 40 tahun, pemeriksaan
payudara dilakukan setiap tahun disertai pemeriksaan mammografi. Penelitian screening
mammography menunjukkan bahwa didapatkan reduksi sebesar 40% terhadap karsinoma
mammae stadium II, III, dan IV pada populasi yang melakukan skrining dengan
mammografi.7

2. Ultrasonografi (USG)
USG merupakan pemeriksaan penunjang yang penting untuk membantu hasil mammografi
yang tidak jelas atau meragukan, digunakan untuk menentukan baik massa yang kistik
maupun massa yang padat. Pada pemeriksaan dengan USG, kista mammae mempunyai
gambaran batas yang tegas dengan batas yang halus dan daerah bebas echo di bagian
tengahnya. Massa payudara jinak biasanya menunjukkan kontur yang halus, berbentuk oval
atau bulat, echo yang lemah di bagian sentral dengan batas yang tegas. Dinding karsinoma
mammae biasanya tidak beraturan, tetapi dapat juga berbatas tegas dengan peningkatan
akustik. USG juga digunakan untuk mengarahkan fine-needle aspiration biopsy (FNAB),
core-needle biopsy, dan lokalisasi jarum pada lesi payudara. USG merupakan pemeriksaan
yang praktis dan sangat dapat diterima oleh pasien tetapi tidak dapat mendeteksi lesi dengan
diameter ≤1 cm.6

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)


Sebagai alat diagnostik tambahan terhadap kelainan yang didapatkan pada mammografi,
MRI dapat mendeteksi lesi payudara lain. Tetapi, jika pada pemeriksaan klinis dan
mammografi tidak didapatkan kelainan, maka kemungkinan untuk mendiagnosis
karsinoma mammae sangat kecil.6
MRI sangat sensitif tetapi tidak spesifik dan tidak seharusnya digunakan untuk skrining.
Sebagai contoh, MRI berguna dalam membedakan karsinoma mammae yang rekuren atau
jaringan parut. MRI juga bermanfaat dalam memeriksa mamma kontralateral pada wanita
dengan karsinoma payudara, menentukan penyebaran dari karsinoma terutama karsinoma
lobuler atau menentukan respon terhadap kemoterapi neoadjuvan.7

4. Biopsi
Fine-needle aspiration biopsy (FNAB) yang dilanjutkan pemeriksaan sitologi merupakan
cara praktis dan lebih murah daripada biopsi eksisional, dengan risiko yang rendah. Teknik
ini memerlukan patologis yang ahli dalam mendiagnosis sitologi dari karsinoma mammae
dan juga dalam masalah pengambilan sampel, karena lesi yang dalam mungkin terlewatkan.
Insidensi false-positive dalam diagnosis adalah sangat rendah, sekitar 1–2% dan tingkat

165
ILMU BEDAH

false-negative sebesar 10%. Kebanyakan klinisi yang berpengalaman tidak akan


menghiraukan massa dominan yang mencurigakan jika hasil sitologi FNA adalah negatif,
kecuali secara klinis, pencitraan, dan pemeriksaan sitologi semuanya menunjukkan hasil
negatif.
Large-needle (core-needle) biopsy mengambil bagian sentral atau inti jaringan dengan
jarum yang besar. Alat biopsi genggam membuat large-core needle biopsy dari massa yang
dapat dipalpasi menjadi mudah dilakukan di klinik dan cost-effective dengan anestesi
lokal.7
Open biopsy dengan anestesi lokal sebagai prosedur awal sebelum memutuskan tindakan
definitif merupakan cara diagnosis yang paling dapat dipercaya. FNAB atau core-needle
biopsy, ketika hasilnya positif, memberikan hasil yang cepat dengan biaya dan risiko yang
rendah, tetapi ketika hasilnya negatif maka harus dilanjutkan dengan open biopsy. Open
biopsy dapat berupa biopsi insisional atau biopsi eksisional. Pada biopsi insisional
mengambil sebagian massa payudara yang dicurigai, dilakukan bila tidak tersedia core-
needle biopsy atau massa tersebut hanya menunjukkan gambaran DCIS saja atau klinis
curiga suatu inflammatory carcinoma tetapi tidak tersedia core-needle biopsy. Pada biopsi
eksisional, seluruh massa payudara diambil.2,7

5. Biomarker
Biomarker karsinoma mammae terdiri dari beberapa jenis. Biomarker sebagai salah satu
faktor yang meningkatkan risiko karsinoma mammae. Biomarker ini mewakili gangguan
biologik pada jaringan yang terjadi antara inisiasi dan perkembangan karsinoma.
Biomarker ini digunakan sebagai hasil akhir dalam penelitian kemopreventif jangka pendek
dan termasuk perubahan histologis, indeks dari proliferasi, dan gangguan genetik yang
mengarah pada karsinoma.
Nilai prognostik dan prediktif dari biomarker untuk karsinoma mammae antara lain: (1)
petanda proliferasi seperti proliferating cell nuclear antigen (PNCA), BrUdr dan Ki-67; (2)
petanda apoptosis seperti bcl-2 dan rasio bax:bcl-2; (3) petanda angiogenesis seperti
vascular endothelial growth factor (VEGF) dan indeks angiogenesis; (4) growth factors
dan growth factor receptors seperti human epidermal growth receptor (HER)-2/neu dan
epidermal growth factor receptor (EGFr); dan (5) p53.6

Skrining
Rekomendasi untuk deteksi kanker payudara dini menurut American Cancer Society:4
1. Wanita berumur ≥40 tahun harus melakukan screening mammogram secara terus-menerus
selama mereka dalam keadaan sehat, dianjurkan setiap tahun.
2. Wanita berumur 20–30 tahun harus melakukan pemeriksaan klinis payudara (termasuk
mammogram) sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan periodik oleh dokter, dianjurkan
setiap 3 tahun.
3. Setiap wanita dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan payudara sendiri mulai umur 20
tahun, dan melakukan konsultasi ke dokter bila menemukan kelainan.
4. Wanita yang berisiko tinggi (>20%) harus melakukan pemeriksaan MRI dan mammogram
setiap tahun.

166
ILMU BEDAH

5. Wanita yang berisiko sedang (15-20%) harus melakukan mammogram setiap tahun, dan
berkonsultasi ke dokter apakah perlu disertai pemeriksaan MRI atau tidak.
6. Wanita yang risiko rendah (<15%) tidak perlu pemeriksaan MRI periodik tiap tahun.
7. Wanita termasuk berisiko tinggi bila:
- Mempunyai mutasi gen dari BRCA-1 atau BRCA-2.
- Mempunyai kerabat dekat tingkat pertama (orang tua, kakak-adik) yang memiliki
mutasi gen dari BRCA-1 atau BRCA-2 tetapi belum pernah melakukan pemeriksaan
genetik.
- Mempunyai risiko kanker ≥20–25% menurut penilaian faktor risiko terutama
berdasarkan riwayat keluarga.
- Pernah mendapat radioterapi pada dinding dada saat umur 10–30 tahun.
- Menderita Li-Fraumeni syndrome, Cowden syndrome, atau Bannayan-Riley-
Ruvalcaba syndrome, atau ada kerabat dekat tingkat pertama menderita salah satu
sindrom ini.
8. Wanita dengan risiko sedang bila:
- Mempunyai risiko kanker 15–20% menurut penilaian faktor risiko terutama
berdasarkan riwayat keluarga.
- Mempunyai riwayat kanker pada satu payudara, ductal carcinoma in situ (DCIS),
lobular carcinoma in situ (LCIS), atypical ductal hyperplasia (ADH), atau atypical
lobular hyperplasia (ALH).
- Mempunyai kepadatan yang tidak merata atau berlebihan yang terlihat pada
pemeriksaan mammogram.

Tabel 5. Penilaian Risiko Kanker Payudara6


Faktor Risiko Risiko Relatif
Usia menarche (tahun)
>14 1,00
12–13 1,10
<12 1,21
Umur (tahun)
Pasien tanpa saudara yg menderita kanker
<20 1,00
20–24 1,24
25–29 or nullipara 1,55
≥ 30 1,93
Pasien dengan saudara dekat tingkat satu yg menderita kanker
<20 1,00
20–24 2,64
25–29 or nullipara 2,76
≥ 30 2,83

167
ILMU BEDAH

Pasien dengan saudara dekat tingkat dua yg menderita kanker


<20 6,80
20–24 5,78
25–29 or nullipara 4,91
≥30 4,17
Breast biopsies (n)
Pasien berumur < 50 tahun saat konseling
0 1,00
1 1,70
2 2,88
Pasien berumur 50 tahun saat konseling
0 1,00
1 1,27
2 1,62
Atypical hyperplasia
No biopsies 1,00
At least 1 biopsy, no atypical hyperplasia 0,93
No atypical hyperplasia, hyperplasia status unknown for at least 1 1,00
biopsy
Atypical hyperplasia in at least 1 biopsy 1,82

PENATALAKSANAAN
Terapi dapat bersifat kuratif atau paliatif. Terapi kuratif dianjurkan untuk stadium I, II, dan III.
Pasien dengan tumor lokal lanjut (T3, T4) dan bahkan inflammatory carcinoma mungkin dapat
disembuhkan dengan terapi multimodalitas, tetapi kebanyakan hanya bersifat paliatif. Terapi
paliatif diberikan pada pasien dengan stadium IV dan untuk pasien dengan metastasis jauh atau
untuk karsinoma lokal yang tidak dapat direseksi.7

Terapi Bedah
1. Mastektomi partial (breast conservation)
Tindakan konservatif terhadap jaringan payudara terdiri dari reseksi tumor primer hingga
batas jaringan payudara normal, radioterapi dan pemeriksaan status KGB (kelenjar getah
bening) aksila. Reseksi tumor payudara primer disebut juga sebagai reseksi segmental,
lumpectomy, mastektomi partial dan tylectomy. Tindakan konservatif, saat ini merupakan
terapi standar untuk wanita dengan karsinoma mammae invasif stadium I atau II. Wanita
dengan DCIS hanya memerlukan reseksi tumor primer dan radioterapi adjuvan. Ketika
lumpectomy dilakukan, insisi dengan garis lengkung konsentrik pada nipple-areola
complex dibuat pada kulit di atas karsinoma mammae. Jaringan karsinoma diangkat dengan
diliputi oleh jaringan mammae normal yang adekuat sejauh 2 mm dari tepi yang bebas dari

168
ILMU BEDAH

jaringan tumor. Dilakukan juga permintaan atas status reseptor hormonal dan ekspresi
HER-2/neu kepada patologis.
Setelah penutupan luka payudara, dilakukan diseksi KGB aksila ipsilateral untuk penentuan
stadium dan mengetahui penyebaran regional. Saat ini, sentinel node biopsy merupakan
prosedur staging yang dipilih pada aksila yang tidak ditemukan adanya pembesaran KGB.
Ketika sentinel node biopsy menunjukkan hasil negatif, diseksi KGB aksila tidak
dilakukan.7

2. Modified Radical Mastectomy


Modified radical mastectomy mempertahankan baik musculus pectoralis major dan
musculus pectoralis minor, dengan pengangkatan KGB aksila level I dan II tetapi tidak
level III. Modifikasi Patey mengangkat musculus pectoralis minor dan diseksi KGB aksila
level III. Batasan anatomis pada modified radical mastectomy adalah batas anterior
musculus latissimus dorsi pada bagian lateral, garis tengah sternum pada bagian medial,
bagian inferiornya 2–3 cm dari lipatan infra-mammae dan bagian superiornya musculus
subclavius.
Seroma di bawah kulit dan di aksila merupakan komplikasi tersering dari mastektomi dan
diseksi KGB aksila, sekitar 30% dari semua kasus. Pemasangan closed-system suction
drainage mengurangi insiden dari komplikasi ini. Kateter dipertahankan hingga cairan
drainase kurang dari 30 ml/hari. Infeksi luka jarang terjadi setelah mastektomi dan
kebanyakan terjadi sekunder terhadap nekrosis skin-flap. Pendarahan sedang dan hebat
jarang terjadi setelah mastektomi dan sebaiknya dilakukan eksplorasi dini luka untuk
mengontrol pendarahan dan memasang ulang closed-system suction drainage. Insiden
lymphedema fungsional setelah modified radical mastectomy sekitar 10%. Diseksi KGB
aksila ekstensif, terapi radiasi, adanya KGB patologis, dan obesitas merupakan faktor-
faktor predisposisi.6

Terapi Medikamentosa (non-pembedahan)


1. Radioterapi
Terapi radiasi dapat digunakan untuk semua stadium karsinoma mammae. Untuk wanita
dengan DCIS, setelah dilakukan lumpectomy, radiasi adjuvan diberikan untuk mengurangi
risiko rekurensi lokal, juga dilakukan untuk stadium I, IIa, atau IIb setelah lumpectomy.
Radiasi juga diberikan pada kasus risiko/kecurigaan metastasis yang tinggi.
Pada karsinoma mammae lanjut (Stadium IIIa atau IIIb), di mana resiko rekurensi dan
metastasis yang tinggi, maka setelah tindakan pembedahan dilanjutkan terapi radiasi
adjuvan.6

2. Kemoterapi
a. Kemoterapi adjuvan
Kemoterapi adjuvan memberikan hasil yang minimal pada karsinoma mammae tanpa
pembesaran KGB dengan tumor berukuran kurang dari 0,5 cm dan tidak dianjurkan.
Jika ukuran tumor 0,6 sampai 1 cm tanpa pembesaran KGB dan dengan risiko rekurensi
tinggi, maka kemoterapi dapat diberikan. Faktor prognostik yang tidak menguntungkan
termasuk invasi pembuluh darah atau limf, tingkat kelainan histologis yang tinggi,

169
ILMU BEDAH

overekspresi HER-2/neu dan status reseptor hormonal yang negatif sehingga


direkomendasikan untuk diberikan kemoterapi adjuvan.
Contoh regimen kemoterapi yang digunakan antara lain siklofosfamid, doxorubisin, 5-
fluorourasil, dan methotrexate.
Untuk wanita dengan karsinoma mammae yang reseptor hormonalnya negatif dan lebih
besar dari 1 cm, kemoterapi adjuvan cocok untuk diberikan. Rekomendasi pengobatan
saat ini, berdasarkan NSABP B-15, untuk stadium IIIa yang operabel adalah modified
radical mastectomy diikuti kemoterapi adjuvan dengan doxorubisin diikuti terapi
radiasi.6
b. Neoadjuvant chemotherapy
Kemoterapi neoadjuvan merupakan kemoterapi inisial yang diberikan sebelum
dilakukan tindakan pembedahan, di mana dilakukan apabila tumor terlalu besar untuk
dilakukan lumpectomy.
Rekomendasi saat ini untuk karsinoma mammae stadium lanjut adalah kemoterapi
neoadjuvan dengan regimen adriamycin diikuti mastektomi atau lumpectomy dengan
diseksi KGB aksila bila diperlukan, diikuti kemoterapi adjuvan, dilanjutkan dengan
terapi radiasi. Untuk Stadium IIIa inoperabel dan IIIb, kemoterapi neoadjuvan
digunakan untuk menurunkan beban atau ukuran tumor tersebut, sehingga
memungkinkan untuk dilanjutkan modified radical mastectomy, diikuti kemoterapi dan
radioterapi.6

3. Terapi Anti-estrogen
Dalam sitosol sel karsinoma mammae terdapat protein spesifik berupa reseptor hormonal
yaitu reseptor estrogen dan progesteron. Reseptor hormon ini ditemukan pada lebih dari
90% karsinoma duktal dan lobular invasif yang masih berdiferensiasi baik.
Setelah berikatan dengan reseptor estrogen dalam sitosol, tamoxifen menghambat
pengambilan estrogen pada jaringan payudara. Respon klinis terhadap anti-estrogen sekitar
60% pada wanita dengan karsinoma mammae dengan reseptor hormon yang positif, tetapi
lebih rendah yaitu sekitar 10% pada reseptor hormonal yang negatif. Kelebihan tamoxifen
dari kemoterapi adalah tidak adanya toksisitas yang berat. Nyeri tulang, hot flushes, mual,
muntah, dan retensi cairan dapat terjadi pada pengunaan tamoxifen. Resiko jangka panjang
pengunaan tamoxifen adalah karsinoma endometrium. Terapi dengan tamoxifen dihentikan
setelah 5 tahun. Beberapa ahli onkologi merekomendasikan tamoxifen untuk ditambahkan
pada terapi neoadjuvan pada karsinoma mammae stadium lanjut terutama pada reseptor
hormonal yang positif. Untuk semua wanita dengan karsinoma mammae stadium IV, anti-
estrogen (tamoxifen) dipilih sebagai terapi awal.6

4. Terapi antibodi anti-HER2/neu


Penentuan ekspresi HER-2/neu pada semua karsinoma mammae yang baru didiagnosis,
saat ini direkomendasikan. Hal ini digunakan untuk tujuan prognostik pada pasien tanpa
pembesaran KGB, untuk membantu pemilihan kemoterapi adjuvan karena dengan regimen
adriamycin menberikan respon yang lebih baik pada karsinoma mammae dengan
overekspresi HER-2/neu. Pasien dengan overekspresi Her-2/neu mungkin dapat diobati
dengan trastuzumab yang ditambahkan pada kemoterapi adjuvan.

170
ILMU BEDAH

PROGNOSIS
Pada tahun 1983–1987, survival rates untuk wanita yang didiagnosis karsinoma mammae telah
dikalkulasi berdasarkan pengamatan, epidemiologi dan hasil akhir program data, didapatkan
bahwa angka 5-year survival untuk stadium I adalah 94%; stadium IIa, 85%; IIb 70%, pada
stadium IIIa sekitar 52%; IIIb, 48%; dan untuk stasium IV adalah 18%.6

DAFTAR PUSTAKA
1. Velanovich. Breast. In: Skandalakis surgical anatomy. Chapter 3. McGraw Hill.Co. 2004. From:
eBook.
2. Mary. Clinical management. In: Breast cancer A guide to Detection and Multidiciplinary Therapy,
Torosian, ed. New Jersey: Humana Press. 2001. From: eBook.
3. http://www.cancer.gov/cancertopics/wyntk/breast/page4)
4. ACS. Breast Cancer early detection.
http://www.cancer.org/docroot/CRI/content/CRI_2_6x_Breast_Cancer_Early_Detection.asp?sitea
rea Bland. 2007.
5. http://www.emedicinehealth.com/breast_cancer/page2em.htm#Breast%20Cancer%20Cause
s)
6. The Breast. In: Schwartz’s Surgey, Bunardi FC. 8th Edition. The McGraw-Hill Companies. Chapter
16. From: eBook.
7. CMDT. 2008. From: eBook.

171
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

KESEHATAN IBU DAN ANAK (KIA)


Dani

A. Pengertian Program Kesehatan Ibu Dan Anak


Kesehatan Ibu dan Anak adalah upaya di bidang kesehatan yang menyangkut pelayanan dan
pemeliharaan ibu hamil, ibu bersalin, ibu menyusui, bayi dan anak balita serta anak prasekolah.
Pemberdayaan masyarakat di bidang KIA merupakan upaya memfasilitasi masyarakat untuk
membangun sistem kesiagaan masyarakat dalam upaya mengatasi situasi gawat darurat dari
aspek nonklinis terkait kehamilan dan persalinan.

B. Tujuan program kesehatan ibu dan anak:


1. Tujuan Umum
Tujuan program kesehatan ibu dan anak adalah tercapainya kemampuan hidup sehat
melalui peningkatan derajat kesehatan yang optimal bagi ibu dan keluarganya, serta
meningkatnya derajat kesehatan anak untuk menjamin proses tumbuh kembang optimal
yang merupakan landasan bagi peningkatan kualitas manusia seutuhnya.
2. TujuanKhusus
a. Meningkatnya kemampuan ibu (pengetahuan, sikap, dan perilaku) dalam mengatasi
kesehatan diri dan keluarganya menggunakan teknologi tepat guna dalam upaya
pembinaan kesehatan keluarga, Dasa Wisma, penyelenggaraan Posyandu, dan
sebagainya.
b. Meningkatnya upaya pembinaan kesehatan balita dan anak prasekolah secara mandiri
di dalam lingkungan keluarga, Dasa Wisma, Posyandu dan Karang Balita, serta di
sekolah TK.
c. Meningkatnya jangkauan pelayanan kesehatan bayi, anak balita, ibu hamil, ibu
bersalin, ibu nifas, dan ibu menyusui.
d. Meningkatnya mutu pelayanan kesehatan bagi ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, ibu
menyusui, bayi, dan anak balita.
e. Meningkatnya kemampuan dan peran serta masyarakat, keluarga dan seluruh
anggotanya untuk mengatasi masalah kesehatan ibu, balita, anak prasekolah, terutama
melalui peningkatan peran ibu dalam keluarganya.

Kesehatan Ibu Hamil


• Pemeriksaan kehamilan
Pemeriksaan kehamilan paling sedikit 4 kali selama kehamilan yaitu 1 kali pada usia
kandungan sebelum 3 bulan, 1 kali pada usia kandungan 4–6 bulan, 2 kali pada usia
kandungan 7–9 bulan. Pelayanan pemeriksaan yang dilakukan berupa program 10 T yaitu:
1. Pengukuran Tinggi badan cukup satu kali. Bila tinggi badan < 145 cm, maka faktor
risiko panggul sempit, kemungkinan sulit melahirkan secara normal. Penimbangan
berat badan setiap kali periksa, sejak bulan ke-4 pertambahan BB paling sedikit 1
kg/bulan.
2. Pengukuran Tekanan darah (tensi). Tekanan darah normal 120/80 mmHg. Bila tekanan

172
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

darah lebih besar atau sama dengan 140/90 mmHg, ada faktor risiko hipertensi dalam
kehamilan.
3. Pengukuran Lingkar Lengan ATas (LILA). Bila <23,5 cm menunjukkan ibu hamil
menderita Kurang Energi Kronis (Ibu hamil KEK) dan berisiko melahirkan Bayi Berat
Lahir Rendah (BBLR)
4. Pengukuran Tinggi rahim. Pengukuran tinggi rahim berguna untuk melihat
pertumbuhan janin apakah sesuai dengan usia kehamilan.
5. Penentuan leTak janin (presentasi janin) dan penghitungan denyut jantung janin.
Apabila trimester III bagian bawah janin bukan kepala atau kepala belum masuk
panggul, kemungkinan ada kelainan letak atau ada masalah lain. Bila denyut jantung
janin kurang dari 120 kali/menit atau lebih dari 160 kali/menit menunjukkan ada tanda
GAWAT JANIN, SEGERA RUJUK.
6. Penentuan status Imunisasi Tetanus Toksoid (TT). Petugas untuk selanjutnya bilamana
diperlukan mendapatkan suntikan tetanus toksoid sesuai anjuran petugas kesehatan
untuk mencegah tetanus pada Ibu dan Bayi.

Tabel 1. Rentang Waktu Pemberian Imunisasi TT dan Lama Perlindungannya

7. Pemberian Tablet tambah darah. Ibu hamil sejak awal kehamilan minum 1 tablet
tambah darah setiap hari minimal selama 90 hari. Tablet tambah darah diminum pada
malam hari untuk mengurangi rasa mual.
8. Tes laboratorium. Tes golongan darah, untuk mempersiapkan donor bagi ibu hamil bila
diperlukan. Tes hemoglobin, untuk mengetahui apakah ibu kekurangan darah (anemia).
Tes pemeriksaan urine. Tes pemeriksaan darah lainnya, seperti HIV dan sifilis,
sementara pemeriksaan malaria dilakukan di daerah endemis.
9. Konseling atau Temu Wicara. Tenaga kesehatan memberi penjelasan mengenai
perawatan kehamilan, pencegahan kelainan bawaan, persalinan dan inisiasi menyusu
dini (IMD), nifas, perawatan bayi baru lahir, ASI eksklusif, Keluarga Berencana, dan
imunisasi pada bayi. Penjelasan ini diberikan secara bertahap pada saat kunjungan ibu
hamil.
10. Tata laksana atau mendapatkan pengobatan. Jika ibu mempunyai masalah kesehatan
pada saat hamil.

• Perawatan sehari-hari
Untuk perawatan sehari-hari ibu hamil dilakukan:
1. Makan beragam makanan secara proporsional dengan pola gizi seimbang dan 1 porsi

173
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

lebih banyak daripada sebelum hamil.


2. Istirahat yang cukup. Tidur malam paling sedikit 6–7 jam dan usahakan siangnya
tidur/berbaring 1–2 jam. Posisi tidur sebaiknya miring ke kanan. Pada daerah endemis
malaria gunakan kelambu berinsektisida. Bersama dengan suami lakukan rangsangan
(stimulasi) pada janin dengan sering mengelus-elus perut ibu dan ajak janin bicara sejak
usia kandungan 4 bulan.
3. Menjaga kebersihan diri.
- Cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir sebelum makan, setelah buang
air besar dan buang air kecil.
- Menyikat gigi secara benar dan teratur minimal setelah sarapan dan sebelum tidur.
- Mandi 2 kali sehari.
- Bersihkan payudara dan daerah kemaluan.
- Ganti pakaian dan pakaian dalam setiap hari.
- Periksakan gigi ke fasilitas kesehatan pada saat periksa kehamilan.
- Cuci rambut minimal 2 sampai 3 kali dalam seminggu
4. Boleh melakukan hubungan suami istri selama hamil. Tanyakan ke petugas kesehatan
cara yang aman.
5. Aktivitas fisik. Ibu hamil yang sehat dapat melakukan aktivitas fisik sehari-hari dengan
memperhatikan kondisi ibu dan keamanan janin yang dikandungnya. Suami membantu
istrinya yang sedang hamil untuk melakukan pekerjaan sehari-hari. Ibu hamil juga
dapar mengikuti senam ibu hamil sesuai dengan anjuran petugas kesehatan.

• Hindari paparan asap rokok dan hindari merokok, melakukan pekerjaan yang berat,
minuman berakohol dan bersoda, jamu-jamuan, tidur terlentang lebih dari 10 menit selama
hamil tua, jangan minum obat sembarangan tanpa resep dari dokter, dan hindari stres
berlebihan.

• Tanda bahaya kehamilan. Bila terjadi tanda-tanda berikut bawalah ibu hamil ke fasilitas
kesehatan:
- Muntah terus dan tidak mau makan.
- Demam tinggi.
- Bengkak kaki, tangan dan wajah, atau sakit kepala disertai kejang.
- Janin dirasakan kurang bergerak dibandingkan sebelumnya.
- Pendarahan pada hamil muda dan hamil tua.
- Air ketuban keluar sebelum waktunya.
- Atau masalah lain, seperti:
 Demam, menggigil, berkeringat. Bila berada di daerah malaria menunjukkan
adanya gejala penyakit malaria.
 Terasa sakit saat kencing atau keluar keputihan atau gatal-gatal di daerah kemaluan.
 Batuk lama (lebih dari 2 minggu).
 Jantung berdebar-debar atau nyeri di dada.
 Diare berulang.
 Sulit tidur dan cemas berlebihan.

174
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

Ibu Bersalin
Pada persalinan ibu juga dapat menunjukkan tanda bahaya seperti pendarahan lewat jalan
lahir, tali pusar atau tangan bayi keluar dari jalan lahir, ibu mengalami kejang, ibu tidak kuat
mengejan, air ketuban keruh dan bau, ibu gelisah atau mengalami kesakitan yang hebat.
Perawatan dan pertolongan persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan. Pemberian penjelasan
tanda awal persalinan.

Ibu Nifas
Perawatan pada ibu di masa nifas:
Pelayanan kesehatan ibu nifas oleh bidan dan dokter dilaksanakan minimal 3 kali yaitu:
1. Pertama: 6 jam–3 hari setelah melahirkan.
2. Kedua: hari ke 4–28 hari setelah melahirkan.
3. Ketiga: hari ke 29–42 hari setelah melahirkan.

Pelayanan yang dilakukan pada ibu nifas meliputi:


1. Menanyakan kondisi ibu nifas secara umum.
2. Pengukuran tekanan darah, suhu tubuh, pernapasan, dan nadi.
3. Pemeriksaan lokhia dan perdarahan.
4. Pemeriksaan kondisi jalan lahir dan tanda infeksi.
5. Pemeriksaan kontraksi rahim dan tinggi fundus uteri.
6. Pemeriksaan payudara dan anjuran pemberian ASI eksklusif.
7. Pemberian kapsul vitamin A.
8. Pelayanan kontrasepsi pascapersalinan.
9. Konseling
10. Tatalaksana pada ibu nifas sakit atau ibu nifas dengan komplikasi.
11. Memberikan nasihat yaitu:
a. Makan makanan yang beraneka ragam yang mengandung karbohidrat, protein hewani,
protein nabati, sayur, dan buah-buahan.
b. Kebutuhan air minum pada ibu menyusui pada 6 bulan pertama adalah 14 gelas sehari
dan pada 6 bulan kedua adalah 12 gelas sehari
c. Menjaga kebersihan diri, termasuk kebersihan daerah kemaluan, ganti pembalut
sesering mungkin.
d. Istirahat cukup, saat bayi tidur ibu istirahat.
e. Bagi ibu yang melahirkan dengan cara operasi caesar maka harus menjaga kebersihan
luka bekas operasi.
f. Cara menyusui yang benar dan hanya memberi ASI saja selama 6 bulan.
g. Perawatan bayi yang benar.
h. Jangan membiarkan bayi menangis terlalu lama, karena akan membuat bayi stress.
i. Lakukan stimulasi komunikasi dengan bayi sedini mungkin bersama suami dan
keluarga.
j. Untuk berkonsultasi kepada tenaga kesehatan untuk pelayanan KB setelah persalinan.

Hindari membuang ASI yang pertama keluar (kolostrum) karena sangat berguna untuk
kekebalan tubuh anak, membersihkan payudara dengan alkohol atau povidone iodine atau obat

175
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

merah atau sabun karena bisa terminum oleh bayi, mengikat perut terlalu kencang,
menempelkan daun-daunan pada kemaluan karena dapat menyebabkan infeksi.

Pelayanan Kesehatan Pada Anak


Pengertian
Pembangunan yang pada hakekatnya adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,
dan tidak hanya bertujuan untuk memajukan kehidupan lahiriah saja, atau untuk mengisi
kepuasan batiniah, melainkan juga untuk menciptakan keselarasan, keserasian, dan
keseimbangan antara keduanya. Dalam rangka pembangunan jangka panjang IT, 25 tahun
(1993–2018), Pembinaan dan Pengembangan Anak Indonesia (PPAI) perlu diberikan perhatian
khusus, karena sasaran utama pembangunan jangka panjang kedua mengandung arahan dan
kebijaksanaan untuk memulai melaksanakan upaya pembangunan manusia Indonesia, suatu
usaha yang perlu dimulai sedini mungkin, yaitu dari masa anak-anak.
Anak balita (bawah lima tahun) merupakan kelompok tersendiri yang dalam perkembangan
dan pertumbuhannya memerlukan perhatian yang lebih khusus. Bila perkembangan dan
pertumbuhan pada masa balita ini mengalami gangguan, hal ini akan berakibat terganggunya
persiapan terhadap pembentukan anak yang berkualitas. Untuk mencapai hal di atas, maka
tujuan pembinaan kesejahteraan anak adalah dengan menjamin kebutuhan dasar anak secara
wajar, yang mencakup segi-segi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, dan
perlindungan terhadap hak anak yang menjadi haknya (hak anak). Di samping itu diperlukan
juga suatu lingkungan hidup yang menguntungkan untuk proses tumbuh kembang anak. Bayi
baru lahir normal (BBLN) adalah bayi baru lahir dengan usia kehamilan atau masa gestasi yang
dinyatakan cukup bulan (aterm) yaitu 36–40 minggu.
Menurut Saifuddin, bayi baru lahir adalah bayi yang baru lahir selama satu jam pertama
kelahiran. Menurut Depkes RI, bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan umur
kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan berat lahir 2500–4000 gram. Menurut M. Sholeh
Kosim, bayi baru lahir normal adalah bayi dengan berat lahir 2500–4000 gram, cukup bulan,
lahir langsung menangis, dan tidak ada kelainan kongenital (cacat bawaan) yang berat.

Pelayanan Kesehatan Pada Bayi


Pengertian Pelayanan Kesehatan Pada Bayi
Pelayanan kesehatan bayi adalah pelayanan kesehatan sesuai standar yang diberikan oleh
tenaga kesehatan kepada bayi sedikitnya 4 kali, selama periode 29 hari sampai dengan 11 bulan
setelah lahir.
Pelaksanaan pelayanan kesehatan bayi:
1. Kunjungan bayi satu kali pada umur 29 hari–2 bulan.
2. Kunjungan bayi satu kali pada umur 3–5 bulan.
3. Kunjungan bayi satu kali pada umur 6–8 bulan.
4. Kunjungan bayi satu kali pada umur 9–11 bulan.

Kunjungan bayi bertujuan untuk meningkatkan akses bayi terhadap pelayanan kesehatan
dasar, mengetahui sedini mungkin bila terdapat kelainan pada bayi sehingga cepat mendapat
pertolongan, pemeliharaan kesehatan dan pencegahan penyakit melalui pemantauan
pertumbuhan, imunisasi, serta peningkatan kualitas hidup bayi dengan stimulus tumbuh

176
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

kembang. Dengan demikian, hak anak mendapatkan pelayanan kesehatan terpenuhi.


Tenaga kesehatan yang dapat memberikan pelayanan kesehatan bayi adalah dokter spesialis
anak, dokter, bidan, dan perawat. Pelayanan kesehatan tersebut meliputi:
• Pemberian imunisasi dasar lengkap (BCG, Polio 1, 2, 3, 4, DPT/HB 1, 2, 3, Campak)
sebelum bayi berusia 1 tahun.
• Stimulasi deteksi intervensi dini tumbuh kembang bayi (SDIDTK).
• Pemberian vitamin A 100.000 IU (6–11 bulan).
• Konseling ASI ekskulusif, pemberian makanan pendamping ASI, tanda-tanda sakit dan
perawatan kesehatan bayi di rumah menggunakan Buku KIA
• Penanganan dan rujukan kasus bila diperlukan.

Bayi baru lahir/neonatus (0–28 hari)


• Tanda bayi baru lahir sehat:
- Bayi lahir langsung menangis
- Tubuh bayi kemerahan
- Bayi bergerak aktif
- Berat lahir 2500 sampai 4000 gram
- Bayi menyusu dari payudara ibu dengan kuat
• Pelayanan kesehatan bayi baru lahir oleh bidan/perawat/dokter dilaksanakan minimal 3
kali, yaitu pertama pada 6 jam–48 jam setelah lahir, kedua pada hari ke-3–7 setelah lahir,
ketiga pada hari ke-8–28 setelah lahir.
• Jika ditemukan 1 (satu) atau lebih tanda bahaya di bawah ini, bayi segera dibawa ke fasilitas
kesehatan.
- Tidak mau menyusu.
- Kejang-kejang.
- Lemah.
- Sesak nafas ( ≥60 kali/menit), tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
- Bayi merintih atau menangis terus-menerus.
- Tali pusar kemerahan sampai dinding perut, berbau atau bernanah.
- Demam/panas tinggi.
- Mata bayi bernanah.
- Diare/buang air besar cair lebih dari 3 kali sehari.
- Kulit dan mata bayi kuning.
- Tinja bayi saat buang air besar berwarna pucat.

Anak (29 hari–7 tahun)


Tanda anak sehat:
• Berat badan naik sesuai garis pertumbuhan, mengikuti pita hijau di KMS atau naik ke pita
warna di atasnya.
• Anak bertambah tinggi.
• Kemampuan bertambah sesuai umur.
• Jarang sakit.

177
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

Tumbuh kembang anak tidak sesuai bila:


• Berat badan tidak naik/berat badan turun/berat badan naik berlebihan.
• Tinggi anak tidak sesuai dengan umurnya.
• Perkembangan anak tidak sesuai umurnya.

Pantau pertumbuhan dan perkembangannya, dengan cara:


• Timbang berat badannya tiap bulan di Posyandu dan fasilitas kesehatan lainnya, di Pos
PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini), minta kader mencatat di KMS yang ada di buku KIA.
• Bawa anak ke tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, atau Pos Pengembangan Anak Usia
Dini Holistik Integratif (Pos PAUD HI) untuk mendapatkan pelayanan Stimulasi Deteksi
dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang (SDIDTK).
- Umur 3 bulan.
- 2 tahun setiap 3 bulan.
- Umur 2-6 tahun setiap 6 bulan.
• Ajak anak bermain dan bercakap-cakap.
• Stimulasi perkembangan anak sesuai umurnya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. 2016.
2. Konsep dan Strategi Promosi Kesehatan dalam http://promkes.kemkes.go.id Diunduh 1
Oktober 2019.
3. Keputusan Menteri Kesehatan No. 585/MENKES/SK/V/2007 dalam http://depkes.go.id
Diunduh 1 Oktober 2019.

178
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

STATISTIK VITAL
Cindra Paskaria

Statistik vital bermula dari registrasi gerejawi tentang perkawinan, pembaptisan, dan
kremasi (Shyrock dan Sieget, 1976). Registrasi ini kemudian dikembangkan untuk masyarakat
di luar gereja sebagai registrasi wajib untuk kelahiran, perkawinan, kematian, dan lain-lain.
PBB dalam UN Handbook of Vital Statistic Methods mendefinisikan statistik vital sebagai
suatu kegiatan pencatatan mengenai kelahiran hidup, kelahiran mati, kematian, perkawinan,
perceraian, dan adopsi. Istilah “vital” digunakan karena pencatatan ini berfokus pada kejadian
sejak seseorang lahir dan menjadi anggota suatu komunitas sampai meninggal, serta semua
perubahan status yang dialami pada waktu di antara keduanya.

FERTILITAS
Fertilitas (kelahiran) merupakan salah satu komponen pertumbuhan penduduk yang bersifat
menambah jumlah penduduk. Fertilitas adalah kemampuan menghasilkan keturunan yang
dikaitkan dengan kesuburan perempuan atau disebut juga fekunditas, akan tetapi dalam
perkembangan ilmu demografi, fertilitas lebih diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata
(bayi lahir hidup) dari seorang perempuan atau sekelompok perempuan. Sementara itu, istilah
fekunditas digunakan untuk menunjukkan kemampuan fisik seorang perempuan untuk
melahirkan anak. Perempuan yang tidak dapat melahirkan anak dikatakan mandul
(infecund/infertile).
Dalam analisis fertilitas dikenal beberapa konsep tentang kelahiran, yaitu lahir hidup, lahir
mati, dan abortus. Berikut ini adalah definisi menurut WHO:
1. Lahir hidup (live birth) adalah kelahiran seorang bayi tanpa memperhitungkan lamanya
dalam kandungan, di mana si bayi menunjukkan tanda-tanda kehidupan pada saat
dilahirkan (bernapas, ada denyut jantung, ada denyut tali pusat, dan gerakan otot).
2. Lahir mati (still birth) adalah kelahiran seorang bayi dari kandungan yang sudah berumur
paling sedikit 28 minggu tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan pada saat dilahirkan.
3. Abortus adalah peristiwa kematian bayi dalam kandungan dengan umur kehamilan kurang
dari 28 minggu. Ada dua macam abortus yaitu abortus disengaja (induced abortion) dan
abortus tidak disengaja (spontaneous abortion).

Ukuran-ukuran Dasar Fertilitas


A. Angka Kelahiran Kasar (Crude Birth Rate [CBR])
Angka kelahiran kasar adalah banyaknya kelahiran dalam satu tahun tertentu per seribu
penduduk pada pertengahan tahun yang sama.

B
CBR = xk
P

di mana: B: jumlah kelahiran selama 1 tahun


P: jumlah penduduk pada pertengahan tahun

179
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

k: konstanta, biasanya 1000

B. Angka Fertilitas Umum (General Fertility Rate [GFR])


Angka fertilitas umum adalah banyaknya kelahiran pada suatu tahun per seribu penduduk
perempuan berumur 15–49 tahun pada pertengahan tahun yang sama.

B
GFR = f xk
P 15-49

di mana: B : banyaknya kelahiran selama 1 tahun


f
P 15-49 : banyaknya penduduk perempuan umur 15–49 tahun pada
pertengahan tahun
k : konstanta, biasanya 1000

C. Angka Kelahiran Menurut Umur (Age Specific Fertility Rate – ASFR)


Angka kelahiran menurut umur adalah banyaknya kelahiran dari perempuan pada suatu
kelompok umur pada suatu tahun tertentu per seribu perempuan pada kelompok umur dan
pertengahan tahun yang sama.

bi
ASFR = xk
Pf i

di mana: bi : jumlah kelahiran dari perempuan pada kelompok umur i pada tahun
tertentu
Pf i : jumlah penduduk perempuan pada kelompok umur i pada pertengahan
tahun yang sama
i : kelompok umur (i=1 untuk kelompok umur 15–19 tahun, i=2 untuk 20
–24 tahun, …, i=7 untuk 45–49 tahun)
k : konstanta, biasanya 1000

D. Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate – TFR)


Angka fertilitas total adalah jumlah anak rata-rata yang akan dilahirkan oleh seorang
perempuan sampai akhir masa reproduksinya apabila perempuan tersebut mengikuti pola
fertilitas pada saat TFR dihitung.

7
TFR = 5 ∑ ASFRi
i=1

di mana: ASFRi : angka kelahiran untuk perempuan pada kelompok umur i


i=1 : kelompok umur 20-24 tahun, …, dan i=7 untuk kelompok umur 45–49
tahun
5 : interval kelompok umur (5 tahun)

180
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

MORBIDITAS
Morbiditas dalam arti sempit dimaksudkan sebagai peristiwa sakit atau kesakitan. Dalam
arti luas, morbiditas mempunyai pengertian yang jauh lebih kompleks, tidak saja terbatas pada
statistik atau ukuran tentang peristiwa-peristiwa tersebut, tetapi juga faktor yang
mempengaruhinya, seperti faktor sosial, ekonomi, dan budaya.
Pengukuran morbiditas jauh lebih sulit dibandingkan dengan pengukuran mortalitas.
Kesulitan ini dikarenakan masalah definisi dan klasifikasi. Tidak seperti halnya peristiwa
mortalitas, peristiwa morbiditas dalam hal ini penyakit, perlu disangkutkan dengan jenis
penyakit dan lama sakit. Di samping itu, keadaan sakit lebih bersifat subjektif daripada objektif.
Dalam morbiditas dikenal beberapa ukuran penting, di antaranya adalah insiden, prevalensi,
dan attack rate.
A. Insiden
Insiden suatu penyakit didefinisikan sebagai jumlah kasus baru suatu penyakit selama suatu
kurun waktu tertentu. Angka insiden merupakan insiden per penduduk berisiko atau
population at risk.
B. Prevalensi
Prevalensi titik suatu penyakit menyatakan jumlah penduduk yang sakit pada titik waktu
tertentu, tanpa memperhitungkan kapan kasus penyakit itu telah dimulai. Angka prevalensi
titik adalah rasio antara prevalensi dengan penduduk atau jumlah orang berisiko pada titik
waktu tertentu.
C. Attack Rate
Risiko terhadap suatu penyakit pada suatu penduduk mungkin saja terbatas pada periode
waktu pendek. Hal ini dapat terjadi karena faktor etiologi penyakit hanya muncul sebentar,
yaitu hanya selama epidemi atau risiko penyakit hanya terdapat pada kelompok penduduk
tertentu.

MORTALITAS
Mortalitas diartikan sebagai kematian yang terjadi pada anggota penduduk. Berbeda halnya
dengan penyakit dan kesakitan, yang dapat menimpa manusia lebih dari satu kali, mortalitas
hanya dialami sekali dalam hidup seseorang. Meskipun demikian, seiring dengan semakin
majunya ilmu kedokteran, terkadang sulit untuk membedakan keadaan mati dan hidup secara
klinik. Beberapa ukuran dasar mortalitas yang banyak digunakan antara lain adalah sebagai
berikut:
A. Angka Kematian Kasar (Crude Death Rate – CDR)
CDR adalah jumlah kematian per 1000 penduduk pada tahun tertentu. Secara matematis,
rumus menghitung CDR adalah sebagai berikut:

D
CDR = xk
P

di mana: D : jumlah kematian pada tahun tertentu


P : jumlah penduduk pada pertengahan tahun tertentu
K : konstanta, biasanya 1000

181
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

B. Angka Kematian Menurut Umur (Age Specific Death Rate – ASDR)


Angka kematian menurut umur adalah jumlah kematian yang terjadi pada kelompok umur
tertentu per 1000 penduduk kelompok umur tersebut pada tahun tertentu.

Di
ASDR = xk
Pi

di mana: Di : jumlah kematian orang-orang pada kelompok umur i pada tahun


tertentu
Pi : jumlah penduduk pada kelompok umur i pada pertengahan tahun yang
sama
i : kelompok umur (i=1 untuk kelompok umur 0-4 tahun, i=2 untuk 5–9
tahun, dan seterusnya)
k : konstanta, biasanya 1000

C. Angka Kematian Bayi (Infant Mortality Rate – IMR)


IMR adalah jumlah kematian bayi usia di bawah 1 tahun (0–11 bulan) per 1.000 kelahiran
hidup dalam tahun tertentu.

Do
IMR = xk
B

di mana: D0 : jumlah kematian bayi berusia di bawah 1 tahun pada tahun tertentu
B : jumlah kelahiran hidup pada tahun tertentu
k : konstanta, biasanya 1000

D. Angka Kematian Maternal (Maternal Mortality Rate – MMR)


MMR adalah jumlah kematian perempuan yang disebabkan oleh komplikasi kehamilan dan
kelahiran anak per 100.000 kelahiran hidup pada tahun tertentu.

Jumlah kematian maternal


MMR = xk
Jumlah kelahiran hidup

E. Case Fatality Rate (CFR)


CFR yaitu banyaknya kematian penderita selama satu periode karena penyakit tertentu per
jumlah penderita penyakit tersebut yang mempunyai risiko mati pada periode yang sama,
misalnya:

Jumlah kematian karena kanker


CFR = xk
Jumlah penderita kanker

182
ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

MIGRASI
Migrasi merupakan salah satu dari tiga faktor dasar yang mempengaruhi pertumbuhan
penduduk, selain kelahiran dan kematian. Migrasi adalah perpindahan penduduk dengan tujuan
untuk menetap dari suatu tempat ke tempat lain melampaui batas politik/negara ataupun batas
administratif.
Ada beberapa bentuk perpindahan tempat (mobilitas), antara lain sebagai berikut:
1. Perpindahan tempat yang bersifat rutin, misalnya orang yang pulang balik kerja (recurrent
movement).
2. Perpindahan tempat yang tidak permanen dan bersifat sementara, seperti perpindahan
tinggal bagi pekerja musiman.
3. Perpindahan tempat tinggal dengan tujuan menetap dan tidak kembali ke tempat semula
(non-recurrent movement).
Untuk memudahkan studi dan analisis tentang migrasi, dikenal beberapa pengertian yang
sangat berguna untuk pengukuran :
A. Migrasi masuk (immigration) adalah masuknya penduduk ke suatu daerah tempat tujuan.
B. Migrasi keluar (outmigration) adalah perpindahan penduduk keluar dari suatu daerah asal.
C. Migrasi neto (netmigration) merupakan selisih antara jumlah migrasi masuk dan migrasi
keluar. Apabila migrasi masuk lebih besar daripada migrasi keluar, maka disebut migrasi
neto positif, sedangkan jika migrasi keluar lebih besar daripada migrasi masuk, maka
disebut migrasi neto negatif.
D. Migrasi bruto (gross migration) adalah jumlah migrasi masuk dan migrasi keluar.
E. Migrasi semasa hidup (life time migration) adalah migrasi yang terjadi antara saat lahir dan
saat sensus atau survei.

PERKAWINAN DAN PERCERAIAN


Lama (durasi) masa subur yang dijalani sepasang suami istri dalam status perkawinan
mempengaruhi tingkat fertilitas pasangan tersebut. Oleh karena itu, peristiwa perkawinan
pertama, cerai, pisah, menjadi janda, rujuk, atau menikah kedua kali dan seterusnya merupakan
aspek penting dalam statistik vital. Dalam hal ini, usia kawin pertama menjadi penting karena
menandakan saat di mana seseorang memasuki masa reproduksi untuk yang pertama kali.
Selain dapat mempengaruhi jumlah penduduk melalui kelahiran, perkawinan dapat
mengubah komposisi penduduk, yakni perubahan status perkawinan itu sendiri. Status
perkawinan merupakan suatu karakteristik demografi yang mencakup aspek sosial, ekonomi,
biologis, hokum, dan agama.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membedakan status perkawinan dalam lima kategori,
yaitu belum kawin, kawin, cerai, janda dan duda. Dalam sensus atau survei, Badan Pusat
Statistik Indonesia mengkategorikan status perkawinan dalam empat golongan sebagai berikut:
1. Belum kawin.
2. Kawin adalah mereka yang kawin secara hukum (adat, negara, dan agama).
3. Cerai adalah mereka yang bercerai dari suami/istri dan belum melakukan perkawinan
ulang.
4. Janda atau duda adalah mereka yang suami atau istrinya meninggal dan belum melakukan
perkawinan ulang.

183
MIKROBIOLOGI

RUBELLA, HERPESVIRUS, CYTOMEGALOVIRUS, DAN


VARICELLA
Djaja Rusmana

TORCH adalah singkatan dari Toxoplasma, Others, Rubella, Cytomegalovirus dan


Herpesvirus. Pada bagian ini akan dibahas mengenai rubella, herpesvirus, cytomegalovirus dan
varicella. Keempat virus tersebut dapat menyebabkan kelainan kongenital. Kelainan kongenital
merupakan kelainan struktural atau fungsional yang terjadi selama intrauterin yang dapat
disebabkan oleh salah satu atau gabungan dari faktor genetik, infeksi (TORCH), nutrisi, atau
lingkungan (misalnya obat, alkohol, dan rokok).
Karakteristik keempat virus di atas adalah mempunyai envelop dan mempunyai sifat tidak
tahan panas, infektivitas virus berkurang dengan pemanasan pada 50–60°C selama 30 menit
atau pada penyimpanan lama pada suhu -90°C, sensitif terhadap eter, envelop dirusak oleh
detergen nonionik seperti nonidet P40 dan detergen anionik seperti sodium dodecyl sulfate.

RUBELLA VIRUS (GERMAN MEASLES)


Penyakit
Virus ini menyebabkan rubella dan sindrom rubella kongenital.

Karakteristik
Virus ini merupakan anggota famili Togaviridae, genus Rubivirus. Genom virus terdiri dari
seuntai single stranded RNA (positive strand RNA), nukleokapsid icosahedral, tidak memiliki
polimerase dan memiliki envelop. Tonjolan pada permukaan virus mengandung hemaglutinin.
Rubella mempunyai 3 protein struktural utama yaitu E1, E2, dan C. E1 dan E2 merupakan
protein envelop, sedangkan protein C merupakan core/nukleoprotein. Antibodi terhadap
hemaglutinin (E1) dapat menetralisasi infeksi. Virus ini mempunyai satu tipe antigen. Hospes
alami manusia.

Gambar 1. Morfologi Togaviridae

Siklus Replikasi
Replikasi virus ini belum diketahui, sehingga dipakai model replikasi togavirus lain. Tahap
pertama adalah penempelan, penetrasi sel hospes, kemudian di dalam sitoplasma mengalami
uncoating. Selanjutnya, genom ditranslasikan menjadi protein struktural dan nonstruktural
yang salah satunya adalah RNA-dependent RNA polymerase yang berfungsi mereplikasikan
genom dengan membuat templat minus strand kemudian membuat plus strand progeny. Proses
replikasi dan perakitan terjadi di sitoplasma. Envelop didapat dari membran luar hospes.

184
MIKROBIOLOGI

Transmisi
Penularan melalui droplet respirasi dan transplasental dari ibu ke janin.

Patogenesis dan Imunitas


Replikasi awal terjadi di nasofaring dan kelenjar getah bening lokal, setelah 5–7 hari terjadi
viremia ke organ dan akhirnya ke kulit. Penyebab rash kemungkinan disebabkan antigen-
antibody vasculitis. Infeksi alami menimbulkan kekebalan seumur hidup. Antibodi dapat
melewati plasenta dan memberikan perlindungan pada bayi baru lahir selama 4–6 bulan.
Antibodi muncul dalam serum ketika rash menghilang dan antibodi meningkat cepat dalam 1–
3 minggu kemudian. Antibodi awal terdiri dari terutama IgM, yang biasanya jarang menetap
lebih dari 6 minggu. IgG menetap selama bertahun-tahun.

Gambar 2. Perjalanan Alami Infeksi Rubella

Gejala Klinis
A. Postnatal Rubella (Rubella)
Masa inkubasi 14–21 hari. Pada 25% kasus, infeksi primer berupa infeksi subklinis. Gejala
prodromal berupa panas badan, malaise diikuti maculopapular rash yang timbul di wajah
dan menyebar ke perifer termasuk ekstremitas. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
posterior auricular, dan suboccipital lymphadenopathy. Rash berlangsung 3 hari. Pada
wanita dewasa dapat terjadi artralgia dan poliartritis transien yang disebabkan oleh
kompleks imun. Komplikasi lain yang jarang terjadi adalah trombositopenik purpura dan
ensefalitis.

B. Congenital Rubella Syndrome


Virus ini bersifat teratogen. Jika wanita hamil yang tidak imun terinfeksi pada trimester
pertama, khususnya bulan pertama, dapat terjadi malformasi kongenital akibat viremia dan
infeksi fetus. Virus tidak sitolitik, efek patologi infeksi kongenital karena necrotizing
vasculitis. Bukti mitotic arrest dan defek kromosom menyebabkan jumlah sel berkurang
dan hipoplasia. Infeksi pada bulan pertama gestasi menyebabkan abnormalitas pada 50%

185
MIKROBIOLOGI

kasus, pada bulan kedua menyebabkan abnormalitas pada 20% kasus, sedangkan pada
bulan ketiga pada 4% kasus. Cacat lahir jarang terjadi jika infeksi berlangsung pada
kehamilan setelah minggu ke-18. Malformasi dapat terjadi khususnya pada jantung (patent
ductus arteriosus, pulmonary/aortic stenosis, ventricular/atrial septal defect), mata
(katarak, glaukoma, korioretinitis), otak (tuli sensoris, retardasi mental); juga dapat terjadi
failure to thrive, anemia, trombositopenia purpura, sampai meningoensefalitis. Infeksi
pada ibu hamil dapat menyebabkan kematian janin dan abortus spontan.
Beberapa bayi yang terinfeksi in utero dapat mengeksresikan virus selama berbulan-bulan
setelah lahir dan dapat menularkan pada wanita hamil lain. Bayi yang terinfeksi kongenital
mempunyai titer IgM yang tinggi dan titer IgG yang menetap lama setelah antibodi ibu
turun.

Gambar 3. Respon imun rubella kongenital setelah ibu terinfeksi pada trimester
pertama.

Diagnosis Laboratorium
A. Isolasi dan identifikasi virus:
Sumber isolasi virus terbaik adalah apus nasofaring dan apus tenggorok yang diambil 3–4
hari setelah gejala muncul, sumber isolasi lain: darah, urin, dan cairan serobrospinal. Virus
rubella dapat tumbuh pada kultur sel (kera/BSC-1, Vero, kelinci/RK-13SIRC, dan primary
Africant green monkey kidney), tetapi sulit terlihat cytopathic effect (CPE). Identifikasi
virus berdasarkan kemampuan menginterferensi echovirus. Jika spesimen pasien yang
mengandung virus rubella ditanam pada kultur sel dan disuperinfeksikan dengan echovirus,
maka CPE tidak timbul tidak timbul. Identifikasi cepat dapat menggunakan shell vials,
dimana antigen virus dapat dideteksi dengan imunofluoresen dalam waktu 3–4 hari setelah
inokulasi.

186
MIKROBIOLOGI

B. Serologi
Diagnosis dapat dibuat dengan mengamati kenaikan titer antibodi 4x atau lebih antara fase
akut dan fase konvalesens (HI/ELISA) atau memeriksa IgM dalam serum fase akut. Pada
wanita hamil yang terpajan virus rubella, keberadaan IgM menunjukkan infeksi baru,
sedangkan titer IgG 1:8 atau lebih menunjukkan kekebalan dan dapat memberikan proteksi
terhadap fetus. Infeksi fetus dapat dideteksi dengan menemukan virus pada pemeriksaan
cairan amnion dengan amniosentesis atau memeriksa IgM pada bayi.

Pengobatan
Tidak ada terapi antivirus.

Pencegahan
Imunisasi dengan live attenuated vaccine (strain RA27/3). Vaksin ini efektif dan kekebalan
berlangsung lama, minimal 10 tahun. Efek samping berupa artralgia ringan pada beberapa
wanita. Indikasi pemberian: anak 15 bulan dan wanita dewasa tidak hamil dan sebaiknya
menggunakan KB minimal 3 bulan ke depan. Cara pemberian suntikan melalui subkutan.
Karena mengandung virus hidup, vaksin rubella merupakan kontraindikasi bagi pasien
imunokompromis dan wanita hamil. Vaksin rubella dapat melewati plasenta dan menginfeksi
fetus, tidak teratogenik tetapi dapat menyebabkan infeksi asimptomatik.
Serum imunglobulin dapat diberikan pada wanita hamil trimester pertama yang terpajan
virus rubella. Pemberian imunoglobulin harus diberikan sebelum viremia agar dapat
memberikan proteksi. Pemberian imunoglobulin juga mengganggu interpretasi tes serologi.

HERPESVIRUS
Herpesvirus (HV) merupakan patogen pada manusia. HV yang biasa menginfeksi manusia
adalah herpes simplex virus tipe 1 dan 2, varicella-zoster virus, cytomegalovirus, Epstein-Barr
virus dan human herpesvirus 6 (menyebabkan roseola infantum), 7 dan 8 (Kaposi’s sarcoma-
assosiated herpesvirus). Pada blok ini hanya dibicarakan herpesvirus, cytomegalovirus, dan
varicella.
Morfologi semua herpes virus tidak dapat dibedakan dengan mikroskop elektron, ukuran
diameter 120–200 nm, memiliki core icosahedral yang dikelilingi oleh envelop. Genom berupa
linear double-stranded DNA. Virion tidak mempunyai polimerase. Replikasi di nukleus,
membentuk intranuclear inclusions, dan merupakan satu-satunya virus yang mendapat envelop
dari membran nukleus dengan cara budding.
Herpes virus menyebabkan infeksi laten, di mana mikroba tidak terdeteksi selama periode
laten karena di bawah kontrol imunitas selular. Pada infeksi laten, penyakit akut diikuti periode
asimtomatik di mana virus dalam keadaan laten (tidak bereplikasi). Jika pasien terpajan agen
pencetus atau dalam keadaan imunosupresi, dapat terjadi reaktivasi dan penyakit kambuh. Pada
infeksi laten, setelah HSV menginfeksi neuron, latency assosiated transcript (LAT) disintesis.
RNA regulator ini akan mensupresi replikasi virus.

187
MIKROBIOLOGI

Gambar 4. Morfologi Herpesvirus

Herpesvirus tipe 1, 2, dan VZV menyebabkan vesicular rash pada infeksi primer dan
reaktivasi. Sedangkan cytomegalovirus dan EBV tidak menyebabkan vesicular rash. Famili
herpesvirus dibagi menjadi 3 kategori berdasarkan tipe sel yang paling sering terinfeksi dan
tempat latensi. Alpha herpesvirus terdiri dari HSV-1, HSV-2, dan VZV menginfeksi sel epitel
dan menyebabkan infeksi laten di neuron. Beta herpesvirus terdiri dari cytomegalovirus dan
HHV-6 menginfeksi dan menjadi laten di berbagai jaringan. Gamma herpesvirus terdiri dari
EBV dan HHV-8 menginfeksi dan menjadi laten di sel limfoid.
Beberapa herpesvirus diduga menyebabkan kanker pada manusia, misalnya EBV
dihubungkan dengan Burkitt lymphoma dan karsinoma nasofaring. HHV 8 menyebabkan
sarkoma Kaposi.

HERPES SIMPLEX VIRUS


HSV-1 dan HSV-2 dibedakan berdasarkan sifat antigenitas dan lokasi lesi. Lokasi lesi yang
disebabkan HSV-1 biasanya di atas pinggang, sedangkan HSV-2 di bawah pinggang.

Penyakit
HSV-1 menyebabkan gingivostomatitis, herpes labialis, keratoconjunctivitis, dan ensefalitis.
HSV-2 menyebabkan genital herpes, neonatal herpes, dan meningitis aseptik.

Karakteristik
Morfologi dan struktur genom kedua virus sulit dibedakan. Kedua virus dibedakan dengan
analisis enzim restriksi DNA virus dan menggunakan antibodi monoklonal spesifik. Hospes
alaminya adalah manusia. Protein permukaan glikoprotein D (gD) merupakan induktor poten
antibodi netralisasi, gC merupakan C3b binding protein, gG dapat digunakan untuk
membedakan antigen HSV-1 dan HSV-2 (gG-1 dan gG-2).

Siklus Replikasi
HSV-1 menempel pada reseptor untuk heparan sulfate dan nectin. Setelah penetrasi ke
dalam sel melalui fusi dengan membran sel, virion mengalami uncoating, melepaskan protein
tegumen (VP16) dan nukleokapsid, kemudian genom dan tegumen memasuki nukleus, genom
DNA mengubah konfigurasi dari linier menjadi sirkuler.

188
MIKROBIOLOGI

Ekspresi genom virus diregulasi secara ketat oleh VP16 yang membentuk kompleks dengan
faktor transkripsi sel. Kompleks ini akan mengaktifkan transkripsi immediate-early genes oleh
RNA polimerase hospes, menghasilkan protein alfa yang akan mengaktifkan early genes, yang
mana salah satu protein yang dihasilkannya adalah DNA polimerase dan thymidine kinase
untuk replikasi DNA. Ketika proses replikasi DNA dimulai, sintesis early protein berhenti,
selanjutnya late genes akan membentuk komponen struktural virus di dalam sitoplasma.
Perakitan virion terjadi di nukleus. Dua early protein, yaitu thymidin kinase dan DNA
polimerase merupakan target obat antiviral seperti acyclovir. Siklus replikasi HSV sekitar 18
jam.

Transmisi
HSV menginfeksi sel epitel dan menjadi laten di neuron. HSV-1 ditularkan melalui saliva,
sedangkan HSV-2 melalui kontak seksual, sehingga infeksi HSV-1 terutama mengenai muka
dan HSV-2 menyerang area genital. HSV-1 dapat juga menyerang genital dan HSV-2
menyerang rongga mulut. Meskipun transmisi paling sering pada saat lesi aktif, penyebaran
saat asimtomatik dapat terjadi.

Patogenesis dan Imunitas


HSV menyebabkan infeksi sitolisis, perubahan patologi disebabkan oleh nekrosis dan
inflamasi. Replikasi virus di kulit dan membran mukosa di tempat terjadinya infeksi, kemudian
naik ke local nerve endings dan ditranspor ke ganglion dengan cara retrograde flow axonal
dan menjadi laten di sel ganglion sensoris. Pada umumnya HSV-1 menjadi laten di ganglion
trigeminal dan HSV-2 di ganglion sakral dan lumbal.
Selama infeksi laten, DNA virus lebih banyak berlokasi di sitoplasma dibandingkan
terintegrasi dalam DNA hospes. Virus menjadi aktif jika ada induktor seperti terkena sinar
matahari, stres, panas, trauma, dan perubahan hormonal di mana virus menuruni neuron dan
bereplikasi di kulit menyebabkan lesi di kulit. Lesi kulit berupa vesikel yang berisi virus dan
sel. Jika vesikel pecah dapat menular ke orang lain. Imunitas selular penting dalam membatasi
herpesvirus.

Gejala Klinis
HSV-1 dapat menyebabkan:
1. Gingivostomatitis
2. Herpes labialis
3. Keratokonjungtivitis
4. Ensefalitis
5. Herpetic whitlow
6. Pneumonia, esofagitis pada pasien imunokompromis.
7. Neonatal herpes

HSV-2 dapat menyebabkan:


1. Genital herpes, ditandai lesi vesikel yang nyeri pada genital dan anus. Lesi lebih berat dan
lama pada infeksi primer dibandingkan rekurensi. Infeksi primer ditandai panas dan
pembesaran KGB inguinal. Infeksi asimtomatik dapat terjadi pada pria (di prostat dan

189
MIKROBIOLOGI

uretra) dan wanita (di serviks) dan dapat menjadi sumber penularan bagi individu lain
termasuk neonatus yang mendapatkan infeksi saat lahir.
2. Neonatal herpes, infeksi HSV pada bayi baru lahir bisa didapatkan saat in utero, selama
proses kelahiran, atau setelah lahir. Sebanyak 75% kasus HSV didapatkan selama proses
melahirkan melalui kontak dengan lesi herpes baik terdapat lesi ataupun tidak. Infeksi
herpes neonatal hampir selalu bergejala. Walaupun dapat menyebabkan infeksi neonatal
tapi tidak menyebabkan kelainan kongenital yang berarti.
Neonatal herpes dibagi menjadi 3 kategori:
a. Penyakit diseminasi yang melibatkan banyak organ, termasuk SSP.
b. Ensefalitis dengan atau tanpa lesi kulit.
c. Lesi terlokalisir pad kulit, mata, dan mulut.
Meningitis aseptik biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri dengan sedikit sequelae.

Diagnosis Laboratorium
A. Isolasi virus:
Kultur sel merupakan pemeriksaan laboratorium standar. Bahan pemeriksaan: lesi herpes,
throat washing, faeces, atau cerebrospinal fluid. Efek sitopatik terjadi dalam waktu 1–3
hari, kemudian virus dapat dideteksi dengan fluorescent antibody staining atau deteksi
glikoprotein menggunakan ELISA. Diagnosis cepat menggunakan Tzank smear, di mana
sel dari dasar vesikel diwarnai dengan Giemsa dan akan tampak multinucleated giant cells.
Diagnosis neonatal herpes biasanya dengan kultur virus atau PCR.

Gambar 5. Cytopathic effect yang diinduksi oleh Herpesvirus

190
MIKROBIOLOGI

Gambar 6. Pewarnaan Tzank menunjukkan multinucleated giant cells (tanda panah


tebal, pink) dan Tzank cell (tanda panah tipis, merah) pada infeksi herpes (a). Tzank
cell dengan netrofil pada impetigo bulosa (b).

B. Serologi:
Tes serologi, misalnya tes netralisasi dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi primer,
tetapi untuk infeksi rekuren kurang bermanfaat karena kebanyakan orang dewasa memiliki
antibodi dan jarang menyebabkan kenaikan titer antibodi.

Pengobatan
Pilihan terapi:
Acyclovir, valacyclovir, dan famciclovir. Pemberian obat ini dapat memperpendek lama lesi
dan mengurangi penyebaran virus. Selain itu, pada infeksi primer dapat digunakan untuk
mensupresi rekurensi. Obat di atas tidak dapat mencegah rekurensi dan tidak berefek pada
keadaan laten.

Pencegahan
• Vaksin sedang dikembangkan.
• Menghindari kontak dengan lesi
• Operasi caesar direkomendasikan untuk wanita yang mempunyai lesi genital atau kultur
positif saat mau melahirkan.

VARICELLA-ZOSTER VIRUS
Penyakit menular yang disebabkan oleh varicella-zoster virus (VZV), biasanya menyerang
anak-anak ditandai dengan erupsi vesikel generalisata pada kulit dan membran mukosa. VZV
menyebabkan varicella dan zoster, varicella merupakan infeksi primer, sedangkan zoster
merupakan bentuk rekuren.Virus ini dapat menyebabkan kelainan kongenital berupa varicella
embryopathy (VE) atau varicella of the newborn (VON).

Karakteristik
Struktur dan morfologi VZV identik dengan virus herpes lain tapi secara antigenik berbeda.
Manusia merupakan hospes alami.

191
MIKROBIOLOGI

Transmisi
Transmisi melalui droplet respirasi dan kontak langsung dengan lesi. Varicella sangat menular
pada anak-anak. Virus VZV pada lesi vesikel zoster dapat ditransmisikan, biasanya melalui
kontak langsung, pada anak kemudian menyebabkan varicella.
Rute transmisi pada kelainan kongenital:
1. Antenatal (in utero)
Infeksi ibu primer, manifestasi berupa VE, insidensi selama kehamilan 1–5/1000
kehamilan. VE terjadi pada 2,2% fetus yang terinfeksi dalam 20 minggu pertama
kehamilan.
2. Perinatal
Berupa VON. Jika ibu terkena penyakit ini 5–21 hari sebelum melahirkan, penyakit akan
timbul dalam 4 hari pertama dengan prognosis baik karena masih ada IgG dari ibu, jika ibu
terkena varicella 5 hari sebelum melahirkan sampai 2 hari setelah melahirkan, penyakit
biasanya timbul antara 5–10 hari dengan gejala ringan sampai
berat dan angka kematian neonatus mencapai 30%.
3. Postnatal
Gejala seperti dewasa. Penularan melalui pernafasan/respirasi.

Patogenesis
Masa inkubasi 14–21 hari pada anak-anak dan dewasa, 9-15 hari pada neonatal. VZV
menginfeksi mukosa saluran nafas kemudian menyebar melalui darah ke kulit dan membentuk
vesikel. Setelah sembuh virus menjadi laten di ganglion dorsalis. Pada sel terinfeksi laten, DNA
VZV berada di nukleus dan tidak terintegrasi ke dalam DNA sel. Pada keadaan imunitas selular
menurun atau ada trauma lokal, virus mengalami reaktivasi dan menyebabkan herpes zoster
berupa vesikel sesuai dermatom kulit dan terasa nyeri. Imunitas berlangsung seumur hidup.

Gejala Klinis
• Varicella
Setelah masa inkubasi 14–21 hari, timbul demam dan malaise diikuti papulovesikuler
berkelompok di batang tubuh kemudian menyebar ke kepala dan ekstremitas. Rash mulai
dari papula, vesikel, dan krusta, semua stadium dapat muncul pada saat yang sama disertai
rasa gatal terutama saat ada vesikel. Gejala klinis varicella pada anak lebih ringan
dibandingkan dewasa. Komplikasi: pneumonia dan ensefalitis. Reye’s syndrome (ditandai
ensefalitis dan degenerasi hati) dapat terjadi jika diobati dengan aspirin.
• Zoster
Penyakit ini biasanya menyerang pasien imunokompromis seperti karena sakit, terapi, atau
usia tua. Gejala khas timbul vesikel berkelompok sesuai saraf sensoris dan nyeri.
• Varicella embryopathy
1. Manifestasi pada SSP: mikrosefali, paralisis, gangguan psikomotor, dan kejang.
2. Manifestasi pada mata: katarak, korioretinitis, Horner’s syndrome, microphthalmia,
nystagmus.
3. Manifestasi pada muskuloskeletal: parut pada kulit, atrofi tungkai, jari rudimenter.

192
MIKROBIOLOGI

• Varicella of the newborn


Gejala klinik: poor feeding, panas, malaise, morbiliform rash, rash vesikuler.

Diagnosis Laboratorium
• Diagnosis dapat dibuat dari gejala klinik. Diagnosis presumtif menggunakan Tzank smear
akan tampak multinucleated giant cells mirip seperti HSV. Diagnosis definitif dibuat
dengan kultur sel dan serologi. Peningkatan titer antibodi dapat digunakan untuk
mendiagnosis varicella tetapi kurang berguna untuk zoster karena sudah terbentuk antibodi.
• Serologi: IgM spesifik VZV.
• PCR dan in situ hibridisasi jika bahan pemeriksaan dari jaringan.

Terapi
Varicella-zoster immune globulin diberikan sesegera mungkin (dalam waktu 3 hari setelah
kontak).

Pencegahan
Vaksin dari virus hidup yang dilemahkan.

CYTOMEGALOVIRUS (CMV)
Penyakit
Virus ini menyebabkan infeksi generalisata pada neonatus karena terinfeksi saat intrauterin
atau terinfeksi pada awal postnatal (cytomegalic inclusion disease). CMV merupakan
penyebab tersering kelainan kongenital di Amerika. Virus ini juga menyebabkan pneumonia
pada pasien imunokompromis dan mononukleosis heterofil negatif pada pasien
imunokompeten.

Karakteristik
Morfologi CMV dengan herpesvirus identik, tetapi secara antigenik berbeda. Disebut
cytomegalo karena pada kultur sel membentuk giant cells. Satu serotipe. CMV sangat spesies
spesifik dan cell type-spesific, sehingga usaha untuk menginfeksi hewan coba selalu gagal.
CMV hanya dapat bereplikasi secara in vitro pada kultur sel fibroblast manusia. Hospes alami
manusia, strain CMV pada hewan tidak dapat menginfeksi manusia. Glikoprotein permukaan
sel virus dapat berikatan tidak spesifik dengan Fc imunoglobulin, sehingga dapat memberikan
proteksi sel terinfeksi terhadap respon imun hospes.

Siklus Replikasi
Siklus replikasi mirip dengan HSV. Satu sifat unik replikasi CMV adalah immediate early
protein dibawa oleh virus bukan dibuat di sel terinfeksi. Panjang siklus replikasi lebih dari 70
jam.

Transmisi dan Epidemiologi


Virus ini terdapat dalam semen dan sekret serviks. Pada awal kehidupan virus ini
ditransmisikan melalui plasenta, jalan lahir, sering melalui air susu, tetapi biasanya berupa

193
MIKROBIOLOGI

infeksi subklinis. Pada anak-anak, penularan paling sering melalui saliva, setelah masa anak
transmisi melalui hubungan seksual. Dapat ditularkan melalui transfusi darah dan transplantasi
organ. Lebih dari 80% dewasa memiliki antibodi terhadap virus ini.

Patogenesis dan Imunitas


Cytomegalic inclusion disease (CID)
Merupakan infeksi kongenital, ditandai keterlibatan sistem SSP dan sistem
retikuloendotelial. infeksi pada janin terjadi intrauterin secara transplasental, transmisi terjadi
terutama pada infeksi primer dibandingkan infeksi rekuren.
Infeksi perinatal, terjadi secara intrapartum melalui jalan lahir (20–50%), melalui ASI (40–
60%) atau melalui trasfusi produk darah, melalui urin atau saliva. Infeksi postnatal melalui
hubungan seksual, transfusi darah, atau transplantasi organ.
Infeksi fetus menyebabkan CID, yang ditandai oleh multinucleated giant cells dengan
inklusi intranuklear. Infeksi fetus terutama pada infeksi primer karena antibodi belum terbentuk
sehingga tidak dapat menetralisasi virus. Virus bisa menyerang banyak organ. Kelainan
kongenital lebih sering jika fetus terinfeksi pada trimester pertama dibandingkan
trimester lain, di mana pada trimester ini terjadi perkembangan organ dan kematian sel
prekursor yang menyebabkan kelainan kongenital.
Infeksi pada anak dan dewasa biasanya asimtomatik, kecuali pada pasien imunokompromis.
CMV mengalami infeksi laten pada lekosit dan dapat terjadi reaktivasi jika imunitas selular
menurun. Mekanisme evasi imun: di dalam sel terinfeksi, perakitan kompleks peptida virus-
MHC tidak stabil, dan CMV juga mengkode mikro RNA yang dapat berikatan dan mencegah
translasi protein MHC kelas I sehingga antigen virus tidak dapat dipresentasikan ke permukaan
sel sehingga aktivitas sitotoksik oleh sel T tidak terjadi. CMV dapat menetap di ginjal bertahun-
tahun. Reaktivasi virus laten di sel serviks dapat menginfeksi bayi yang akan lahir.

Gejala Klinik
• 20% bayi terinfeksi dengan CMV selama gestasi bermanifestasi sebagai CID seperti
mikrosefali, kejang, tuli, ikterus, purpura, dan hepatomegali. CID merupakan salah satu
penyebab utama retardasi mental di Amerika.
• Pada dewasa imunokompeten, menyebabkan mononukleosis yang ditandai panas, letargi,
dan tampakabnormal limfosit pada apus darah tepi.
• Pada pasien AIDS, CMV sering menginfeksi saluran cerna dan menyebabkan diare
persisten/intraktabel, juga menyebabkan retinitis.

Diagnosis Laboratorium
• Kultur menggunakan shell vials dengan kombinasi antibodi imunoflurosen dapat
mendeteksi virus dalam waktu 72 jam. Isolasi virus menggunakan human fibroblast,
perubahan sitologi akan tampak dalam waktu 2–3 minggu. Pemeriksaan histologi akan
tampak inclusion bodies intranuklear dan berbentuk owl’s eye.

194
MIKROBIOLOGI

Gambar 7. Inklusi Intranukleus Cytomegalovirus (Owl’s Eye)


• PCR
• Serologi

Pengobatan
Ganciclovir cukup efektif pada pengobatan retinitis, kolitis, dan pneumonia pada pasien
imunokompromis termasuk AIDS. Target antivirus adalah DNA polimerase virus, pUL54
(misalnya foscarnet). Fosforilasi ganciclovir oleh protein kinase CMV, yaitu pUL97 diperlukan
untuk aktivitas antivirus dengan cara difosforilasi. Obat lain untuk retinitis adalah
valganciclovir, foscarnet, cidofovir, fomivirsen.

Pencegahan
• Vaksin CMV sedang dikembangkan. Ganciclovir dapat mensupresi retinitis progresif pada
pasien AIDS.
• Isolasi bayi dengan CID.
• Transfusi darah dan transplantasi organ harus dari donor dengan anti-CMV negatif.
• Imun globulin dosis tinggi (CytoGam) digunakan untuk mencegah penyebaran infeksi
CMV pada organ transplantasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Levinson W. Review of medical microbiology & Immunology. NewYork: Lange Medical Book.
2010.
2. Mims C, Nash A, Stephen J. MIMS’ Pathogenesis of infectious disease. Sandiego: Academic Press.
3. Yaeen A, Ahmad QM, Farhana A, Shah P, Hassan I. Diagnostic value of Tzanck smear in various
erosive, vesicular, and bullous skin lesions. Indian Dermatol Online J. 2015 Nov-Dec;6(6):381-6.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/?term=Yaeen%20A%5BAuthor%5D&cauthor=true&caut
hor_uid=26751561
4. Maldonado YA, Shetty AK. Etiologic agents of infectious diseases. In: Principles and Practice of
Pediatric Infectious diseases. 2012. https://www.sciencedirect.com/topics/biochemistry-genetics-
and-molecular-biology/rubella-virus
5. Gupta M, Shorman M. Cytomegalovirus. StatPearls Publishing. 2019.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459185/?report=reader#_NBK459185_pubdet_

195
MIKROBIOLOGI

VAGINAL DISCHARGE ABNORMAL (FLUOR ALBUS)


Triswaty Winata

EKOSISTEM VAGINA NORMAL


Keseimbangan ekosistem vagina bergantung pada Lactobacillus spp. yaitu mikroflora
fakultatif dalam vagina normal, berbentuk batang Gram positif dengan ukuran 5–15 µm,
bahkan ada yang berbentuk filamen. Lactobacillus memproduksi asam laktat dari metabolisme
glukosa sehingga dapat mempertahankan pH vagina menjadi asam (pH <4,5/3,8–4,5). Glukosa
hasil metabolisme dari glikogen epitel sel vagina, dideposit atas pengaruh estrogen. Mikrobiota
Lactobacillus ada dalam sistem genitalia infans perempuan beberapa minggu setelah lahir,
pertumbuhan populasi ini akibat masuknya hormon estrogen maternal ke dalam darah fetal.
Estrogen mengakibatkan akumulasi glikogen pada sel epitel (cell lining) vagina. Efek
fisiologik dari estrogen yang kemudian makin menurun, menyebabkan mikrobiota lain
(anaerob obligat) tumbuh dan suasana dalam vagina menjadi netral sampai menjelang pubertas.
Pada wanita umur reproduksi kadar estrogen meningkat lagi, sehingga terjadi dominansi
Lactobacillus dan suasana vagina menjadi asam. Lactobacillus memproduksi hidrogen
peroksida (H2O2) dan bacteriocin yang bersifat toksik terhadap bakteri lain, tapi Lactobacillus
tidak menghasilkan katalase.
Gangguan ekosistem pada wanita dewasa dapat terjadi karena peningkatan glikogen pada
kehamilan dan penggunaan kontrasepsi oral atau eliminasi mikrobiota normal akibat
pemakaian antibiotika spektrum luas. Hal ini mengakibatkan overgrowth patogen oportunistik
atau anaerob yang disebabkan menurunnya mikrobiota kompetitif sehingga terjadi infeksi
vagina yaitu vaginitis atau vulvovaginitis yang ditandai vaginal discharge yang abnormal.
Penyebab vaginal discharge abnormal tersering adalah:
- Bacterial vaginosis: penyebab vaginal discharge abnormal yang paling sering (40–50%).
Akibat overgrowth organisme anaerob: Gardnerella vaginalis, Mycoplasma hominis,
Ureaplasma urealyticus, Prevotella sp., Mobiluncus sp., Porphyromonas sp., Bacteriodes
sp., Peptostreptococcus sp., Atopobium vaginae.
- Vulvovaginal candidiasis (20–25%) disebabkan oleh infeksi oleh Candida sp. (Candida
albicans).
- Trichomoniasis (15–20%) disebabkan oleh Trichomonas vaginalis.

VAGINOSIS
Kelainan yang termasuk dalam vaginosis adalah:
1. Bacterial vaginosis
2. Cytolytic vaginosis
3. Lactobacillosis/Leptothrix
Cytolytic vaginosis = Döderlein cytolysis = Lactobacillus overgrowth syndrome, terjadi
overgrowth dari Lactobacillus komensal, Lactobacillus dengan ukuran 5–15 µm dalam jumlah
yang banyak.
Lactobacillosis: overgrowth Lactobacillus dengan ukuran panjang/filamentous (40–75 µm).

196
MIKROBIOLOGI

BACTERIAL VAGINOSIS
= Polymicrobial clinical syndrome
Suatu kumpulan gejala klinik akibat perubahan flora vagina, penurunan jumlah Lactobacillus
dan terjadinya overgrowth Gardnerella vaginalis dan mikrobiota residen anaerob dalam
vagina, yang ditandai: vaginal discharge (duh tubuh) encer, homogen, berbusa, berwarna putih
keabuan, dan berbau amis (fishy amine odor) perimenstrual atau postkoital.

Faktor predisposisi:
- Multiple sex partner
- Douching
- Merokok
- Jumlah Lactobacillus dalam vagina menurun atau tidak ada.
Terjadi pada wanita umur reproduktif, biasanya asimptomatik (50%).
Kepentingan diagnosis BV adalah karena berhubungan dengan kehamilan, pelvic inflammatory
disease (PID), chorioamnionitis, dan endometritis.

Gambar 1. Flour Albus pada BV dan Mikroskopik Clue Cells.

Gardnerella vaginalis
Gardner dan Dukes 1955
- Flora normal vagina, penyebab infeksi vagina paling sering; menyebabkan nonspesific,
non-inflammatory vaginosis.
- Fakultatif anaerob
Bentuk: batang pleomorfik, 1,5–2,5 x 0,5 µm, non-motil, tidak membentuk spora, tidak
memiliki simpai.
Bakteri ini memiliki struktur dinding sel Gram positif yang berbeda, dinding sel yang tipis
menyebabkan pada perwarnaan Gram, bakteri ini termasuk golongan Gram variabel, dinding
sel mengandung peptidoglikan tipis, tidak memiliki lipopolisakarida. Mikroskopik tampak
Gram negatif, dapat pula tampak ungu (Gram +)
Faktor virulensi:
- Toksin: Gadnerella vaginalis haemolysin (Gvh)
- Enzim: sialidase/neuraminidase dan proline aminopeptidase

197
MIKROBIOLOGI

Patogenesis dan Patofisiologis


Akibat menurunnya jumlah Lactobacillus sp.–penghasil H2O2–, suasana vagina menjadi
basa (>4,5). Hal ini mengakibatkan overgrowth Gardnerella vaginalis dan organisme residen
anaerob dalam vagina. Organisme anaerob menghasilkan enzim proteolitik yang memecah
peptida vagina, mentransformasi asam amino menjadi amine yang malodorous (fishy odor).
Overgrowth dari organisme ini juga menyebabkan peningkatan transudasi vagina dan
eksfoliasi sel epitel sehingga terjadi flour albus. Meningkatnya pH juga memfasilitasi
perlekatan G. vaginalis pada sel epitel yang terlepas (exfoliating epithelial cells), sehingga
terjadi clue cells.
Toksin hemolisin (Gvh) dengan efek sitolitik, mengakibatkan terjadinya hemolisis,
kerusakan leukosit dan sel epitel, juga deskuamasi/eksfoliasi sel epitel. Gvh juga menginhibisi
kemotaksis leukosit. Enzim sialidase merusak musin sehingga menurunkan proteksi mukosa
dan meningkatkan adesi bakteri. Kadar sialidase yang meningkat juga menyebabkan aktivitas
IgA anti-Gvh menurun. Keadaan ini mengakibatkan reaksi inflamasi pada infeksi oleh G.
vaginalis tidak tejadi.

Diagnosis
1. Saline wet mount preparation/pap smear: “clue cells”, tidak ada leukosit, Lactobacillus
sedikit/ tidak ada.
2. Odour test = “Whiff test”: sekret vagina ditetesi KOH 10%  fishy odor  amine (+) pada
pH alkalis.
3. Preparat Gram
4. Tes biokimia: G. vaginalis mengfermentasi glukosa, maltosa, sukrosa, tapi tidak
mengfermentasi manitol.
5. Kultur: β-hemolisis pada human blood bilayer-tween (HBT) agar.
6. Commercial diagnostic test:
• Affirm VP III test: automated DNA probe assay untuk mendeteksi G. vaginalis (nucleic
acid hybridization).
• OSOM BV Blue system: chromogenic diagnostic test based  deteksi enzim sialidase
dalam sekret vagina.
• FemExam G. vaginalis PIP (Proline Imino-Peptidase) Activity: test card untuk deteksi
aktivitas enzim proline- iminopeptidase kuman anaerob (G. vaginalis).
• FemExam pH & amines test card: deteksi pH sekret vagina (pH ≥4,7) dan
trimethylamine dalam sampel vaginal discharge.
• Quantitative polymerase chain reaction (PCR)–based assays: molecular quantification
G. vaginalis and Atopobium vaginae.
• Fluorescence in situ hybridization (FISH): identifikasi biofilm desquamated vaginal
epithelial cells dalam sedimen urine.
7. Tes sensitivitas dengan metronidazole (50 µg disk)  terjadi zona inhibisi.

Metode Diagnosis Bacterial Vaginosis


1. Amsel’s Criteria
- Clue cells (+) pada vaginal smear dengan pewarnaan Gram.

198
MIKROBIOLOGI

- pH sekret vagina >4,5.


- Whiff test (+): Potassium hydroxide (KOH) preparation  fishy odor.
- Vaginal discharge: homogen, putih sampai abu, berbusa, tidak kental, adherent.

2. Nugent’s Criteria = Nugent’s scoring system

Organism morphotype per high power field


Lactobacillus Gardnerella/Bacteroides Mobiluncus
Score (parallel-sided Gram (tiny, Gram variable (curved, Gram
positive rods) coccobacilli and rounded, negative rods)
pleomorphic)
0 >30 0 0
1 5–30 <1 1–5
2 1–4 1–4 >5
3 <1 5–30
4 0 >30
Score ≥7  bacterial vaginosis infection.

3. Spiegel’s Criteria
Sediaan Gram:
Score 3–4 +: Lactobacillus + dengan atau tanpa Gardnerella  normal.
Score 0–2 +: Lactobacillus –, mixed flora Gram (+) dan Gram (–)  BV.

4. Kultur
Isolasi G. vaginalis dari spesimen saluran genital pada medium selektif human blood
bilayer tween agar (HBT), inkubasi pada suhu 35°C dalam karbondioksida (CO2) 5–10%.
Positif: koloni kecil abu-abu, opaque dikelilingi oleh zona β-hemolisis.

Candida albicans
Candida albicans termasuk golongan yeast (ragi), yaitu fungi uniseluler. Bentuk organisme
ini bulat atau bulat lonjong yang dinamakan blastokonidia/blastospora/yeast-like cells.
Reproduksi aseksual dengan formasi blastokonidia atau budding.
Candida adalah inhabitan normal pada jaringan epitel basah/lembab pada manusia, dengan
demikian merupakan organisme komensal normal dari membrana mukosa vagina, mulut, dan
traktus gastrointestinal.
Infeksi pertama Candida albicans terjadi pada waktu dilahirkan, dari jalan lahir ibu masuk
ke tubuh bayi melalui kontak kulit (kandidiasis kulit), tertelan (oral thrush), atau masuk ke
dalam usus yang kemudian hidup menetap sebagai saprobe; dapat pula kontak tidak langsung
melalui tangan atau alat.

Taksonomi Candida (Lodder, 1970):


Phyllum : Fungi imperfecti atau Deuteromycota
Kelas : Blastomycetes
Ordo : Cryptococcales
Famili : Cryptococcaceae

199
MIKROBIOLOGI

Subfamili : Candidoidea
Genus : Candida

Spesies pada manusia adalah Candida albicans, C. glabrata, C. stellatoidea, C. tropicalis,


C. pseudotropicalis, C. krusei, C. guilliermondii, C. parapsilosis. Candida adalah jamur
oportunistik, infeksi bersifat endogen.
Penyakit yang disebabkannya disebut candidiasis (candidosis), infeksi bersifat akut atau
kronik, kelainannya dapat superfisialis/localized disease yaitu pada kulit, kuku, permukaan
mukosa (mulut, vagina, esofagus, intestinal, dan cabang bronchial) atau sistemik.

Morfologi dan Sifat Umum


Candida adalah jamur dimorfik.
Bentuk sel ragi/yeast (sel khamir) yaitu blastospora yang bermultiplikasi dengan tunas. Sel ragi
mempunyai tiga proses morfogenetik yang berbeda yaitu: formasi blastospora, pseudohifa,
dan hifa.

Gambar 2. Multiplikasi Tunas Gambar 3. Hifa Semu (Pseudohyphae)

Gambar 4. Hifa Sejati (True Hyphae)

Hifa sejati dibentuk dengan cepat bila dirangsang oleh serum pada suhu 37°C selama 90 menit
= germ tube (dari bentuk blastospora akan keluar tonjolan yang memanjang).

Gambar 5. Germ Tube

200
MIKROBIOLOGI

Formasi Blastospora
Terjadi pada media yang mengandung glukosa (sumber karbon) dengan pH asam dan suhu
<35°C.

Formasi Pseudohifa
Dibentuk dari tunas seperti pada blastokonidia, hanya sel anakan tidak dilepaskan dari
induknya, tunas terus memanjang menyerupai sel-sel hifa. Pseudohifa dapat dibedakan dari
hifa sejati dengan melihat adanya penyempitan pada tiap septum.

Formasi Hifa (Cylindrical Outgrowth)


• Stadium pertama  “germ tube” yang berbeda dengan formasi pseudohifa, karena pada
“germ tube” tidak ada septum di antara blastokonidia dan outgrowth.
• Formasi hifa pada umumnya dibentuk pada media dengan pH >6,5 dengan sumber karbon
dari nonfermentable berberat molekul tinggi pada suhu 37°C.

Dua kriteria morfologi yang paling dapat dipercaya untuk diagnosis Candida albicans:
- Formasi germ tube.
- Formasi khlamidospora.

Biakan
Pada media padat, agar Sabouraud, suhu 25°C, 24–48 jam, Candida membentuk koloni
seperti ragi (yeast-like colony). Koloni bulat menonjol, opaque, permukaan halus, licin, putih
kekuningan. Setelah satu bulan, warna koloni menjadi krem, licin atau berkerut, bagian tepi
koloni ada hifa semu sebagai benang masuk ke dalam dasar medium.
Mikroskopis dari koloni pada agar Sabouraud atau malt agar, tampak blastokonidia bentuk
bulat, bulat lonjong/lonjong, ukuran 2–5 x 3–6 µm sampai 2–5,5 x 5–28 µm, bertunas tunggal
atau multipel.

Struktur Antigen Candida


Berdasarkan struktur dinding sel mannan, C. albicans dibagi menjadi 3 serotipe yaitu: A, B,
dan C. Pembagian biotipe berdasarkan:
- Perbedaan antigen.
- Biokimia (enzim).
- Resistensi/sensitivitas terhadap faktor-faktor tertentu.
- DNA

Strutur Dinding Sel


• Karbohiodrat: komponen terbanyak dari dinding sel (80–90%) terdiri atas:
- Mannan atau polimer mannose yang berikatan kovalen dengan protein membentuk
glikoprotein (= mannoprotein).
- β-glucans yaitu polimer glucose mengandung β-1,3 dan β-1,6.
- Chitin yaitu homopolimer dari N-acetyl-D-glucosamine (GlcNAc) mengandung ikatan
β-1,4.

201
MIKROBIOLOGI

• Protein (6–25%)
• Lipid (1–7%)
Lapisan paling luar: fimbriae, cluster of receptor-like molecules.

PATOGENESIS
Faktor virulensi:
- Phenotypic switching: transisi yeast ke bentuk miselium, resisten terhadap fagositosis.
- Dimorfik
- Toksin yang dapat menghambat aktivitas fagositosis atau menekan sistem imun.
- Mempunyai komponen mannan (glikoprotein).
- Faktor adesi: mengadakan adesi ke sel mukosa traktus gastrointestinal, vagina, mukosa
bukal, sel endotel vaskular, dan matrik fibrin-platelet; bentuk germ lebih adesif.
- Menghasilkan enzim protease/secreted aspartic proteinases (Saps), enzim candida
proteolitik.
- Mengaktifkan komplemen jalur alternatif.

Faktor Predisposisi untuk Candidiasis


- Keadaan tubuh yang lemah atau keadaan umum yang buruk  bayi baru lahir (terutama
prematur), orang tua renta, penderita penyakit menahun.
- Gizi yang rendah.
- Penyakit tertentu (leukemia, keganasan, diabetes mellitus, endokrinopati, hipotiroid,
timoma, hipogamaglobulinemia).
- Sindrom defisiensi imun (AIDS).
- Kehamilan dan keadaan menyerupai hamil.
- Rangsangan setempat pada kulit  seperti air, keringat, urine, saliva.
- Obat atau tindakan untuk menolong seorang penderita: obat antibiotika jangka panjang,
kortikosteroid, sitostatik, gigi tiruan, kateter, infus realimentasi intravena, operasi, dan
radiasi.
- Menurunnya Lactobacillus ( penghasil H2O2, asam laktat, dan bacteriocin ) memudahkan
Candida albicans melakukan penetrasi terhadap epitel vagina.

Candida dapat masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau mukosa yang rusak karena:
- Trauma
- Gangguan hormonal
- Tindakan bedah, pemasangan kateter atau hiperalimentasi yang menyebabkan candida akan
melekat pada endotel, kolonisasi sehingga terjadi iatrogenic candidemia dan candiduria.
C. albicans sudah ada di dalam tubuh penderita (terutama usus) dalam bentuk blastokonidia
(Y= yeast = bentuk ragi) sebagai saproba dan bentuk hifa/pseudohifa (M) sebagai bentuk
parasit patogen yang bersifat invasive.

Imunitas dan Faktor Inang


Imunitas terhadap C. albicans: nonspesifik, humoral, dan seluler.

202
MIKROBIOLOGI

Komponen serum (opsonin, komplemen, dan transferin) menghambat kehidupan candida


langsung/tidak langsung.
Peran sitokin, sel dendritik.
Antibodi spesifik terhadap antigen glikoprotein Candida.
Imunitas seluler: melibatkan neutrofil yang dapat membunuh candida intrasel dengan
mekanisme oksidatif dan non-oksidatif.
Makrofaga juga sebagai candidasidal.

Gambar 6. Hubungan Candida albicans dengan Flora Gram positif

Kelainan pada jaringan yang disebabkan oleh infeksi Candida:


- Peradangan, abses kecil, atau granuloma.
- Sistemik: organ dalam seperti usus, ginjal tampak abses kecil dan ulkus, granuloma pada
dinding pembuluh darah atau miokardium.

Vulvovaginal Candidiasis
Inflamasi dari mukosa vagina yang penyebabnya 80–90% adalah C. albicans (10%
disebabkan C. glabrata) dengan keluhan gatal di perivaginal/vulva, abnormal vaginal
discharge yaitu putih krem kental curd-like atau “cheesy” appearance, kadang ”watery
secretion”, vulva eritemateus, edema, dan satellite lesions. Penderita juga mengeluh burning
sensation waktu buang air kecil dan dyspareunia. Vulvovaginal candidiasis sering terjadi pada

203
MIKROBIOLOGI

wanita hamil, pengguna antibiotika spektrum luas, diabetes mellitus, sexually activity, dan
kontrasepsi oral.

Patofisiologi
Vulvovaginal candidiasis terjadi karena defek sistem imun dan timbulnya gejala berhubungan
dengan respons agresif dari sel-sel polimorfonuklear. Hormon reproduksi, estrogen dan
progresteron juga berperan dalam imunitas vagina, kadar estrogen yang tinggi menyebabkan
sekresi antibodi IgG dan IgA ke dalam cairan vagina menurun. Estradiol menghambat
macrophage chemotactic protein 1 (MCP-1), sehingga terjadi akumulasi makrofag dalam
vagina, estrogen juga menyebabkan epitel vagina mudah dimasuki C. albicans. Sel yeast
mempunyai reseptor sitoplasmik untuk hormon reproduksi wanita.

Gambar 7. Vulvovaginal Candidiasis Gambar 8. Balanitis

Recurrent vulvovaginal candidiasis: vulvovaginitis yang berulang 3 kali atau lebih dalam satu
tahun, umumnya berhubungan dengan strain Candida yang sama dengan infeksi pertama.

Balanitis: infeksi Candida yang terjadi pada genital laki-laki.

Diagnosis laboratorik:
Bahan pemeriksaan berupa usap vagina.
• Pemeriksaan mikroskopik:
- Sediaan basah dengan KOH 10%.
- Pewarnaan Gram
Tampak blastospora berdinding tipis, pseudohifa, dan hifa.
• Biakan:
- Pada media padat (Sabouraud dextrose agar), suhu kamar (25–30°C) selama 3 hari,
akan tampak koloni putih kekuningan, menonjol, licin, yang makin lama menjadi
keriput, bau ragi khas.
- Pembentukan khlamidospora pada corn-meal agar + tween 80 (1%).
- Germ-tube test: biakan murni diberikan serum, inkubasi 37°C, 1½–2 jam.

204
MIKROBIOLOGI

- Determinasi cara Wald: biakan murni ditanam tipis pada permukaan medium eosin
metilen biru (EMB), masukkan ke dalam tabung dengan CO2 tinggi (sungkup lilin)
suhu 37°C, 24–48 jam  koloni spidery growth (kaki laba-laba/pohon cemara).

Gambar 9. Candida albicans, Pseudohyphae, Blastospora, Chlamydospora.

• Tes biokimiawi dengan uji fermentasi dan uji asimilasi.


• Uji serologi: complement fixation test, tes aglutinasi, double immune diffusion test, indirect
hemagglutination test, fluorescent antibody test, counter immune electrophoresis.
• PCR

Pengobatan:
- Antifungal topikal: nystatin, clotrimazole/azole agent suppositoria.
- Antifungal sistemik: itrakonazol, flukonazol, ketoconazol.

Miscellaneous Penyebab Vaginitis


Group A or group B Streptococcus
 inflammatory vaginitis  streptococcal vaginitis
- pH vagina >4,2.
- Leukosit banyak.
- Parabasal dan basal vaginal cells +.
- Paucity superficial squamous cells.
- Honey-colored pus-like vaginal discharge.

Group B Streptococcus = Streptococcus agalactiae = beta-Streptococcus


 penyebab infeksi postpartum dan sepsis neonatal.

205
MIKROBIOLOGI

Morfologi: kokus Gram positif, bentuk bulat/ovoid, ukuran <2 µm, susunan rantai atau
berpasangan non-motil, non-spore-forming, katalase-negatif.
Pada LAD: koloni jernih abu dengan zona beta hemolisis sempit.
Faktor virulensi: polisakarida kapsular.
Flora normal: intestinal, vagina, dan area rektum.
Gejala:
- Risiko tinggi infeksi Streptococcus group B pada bayi baru lahir dan periode postpartum.
- Persalinan atau membran ruptur <37 minggu.
- Ruptur membran 18 jam sebelum persalinan.
- Demam saat persalinan.
- ISK waktu kehamilan.

Mycoplasma hominis

Ureaplasma urealyticum
Strain Mycoplasma lebih tipis  dinamakan T-strains (tiny strains).
Sering berhubungan dengan non-gonococcal urethritis.
Mempunyai kemampuan metabolisme urea.

Patogenesis
• Adherence factors
- Patogen ekstraselular yang melekat pada permukaan sel epitel.
- Adherence protein i (M. pneumoniae )168 kD protein  P1 Adhesin.
- Mengikat sialic acid pada sel epitel.
• Toxic metabolic products: hidrogen peroksida and superoksida.
 oxidized host lipids (+) dari jaringan terinfeksi.
 Mycoplasma menghambat katalase sel host konsentrasi peroksida tinggi.

206
MIKROBIOLOGI

Terapi
DOC:
- Tetracycline
- Erythromycin.
-
DAFTAR PUSTAKA
1. Forbes BA, Sahm DF, Weissfeld AS. Bailey & Scott’s Diagnosis Microbiology. 12th
Edition. St Louis: Mosby Inc. 2007.
2. Kwon-Chung KJ, Benett JE. Medical Mycology. Pennsylvania: Lea & Febiger. 1992.
3. Morales DK, Hogan DA. 2010. Candida albicans Interactions with Bacteria in the Context
of Human Health and Disease. Department of Microbiology and Immunology, Dartmouth
Medical School, Hanover, New Hampshire, United States of America. 2010.
4. Murray PR, Rosenthal KS, Pfaller M.A.. Medical Microbiology. 4th Edition. St.Louis:
Mosby A Harcourt Health sciences Company. 2002.
5. Richardson MD, Warnock DW. Fungal Infection. Diagnosis and Management. Blackwell
Scientific publication, USA. 1994.
6. Roman L. Innate and adaptive Immunity in Candida albicans Infections and Saprophytism.
Journal of Leukocyte Biology. 2000;68:175–9.
7. Sobel JD. Bacterial Vaginosis. Wolters Kluwer Health. Up To Date Inc. 2014.
www.uptodate.com
8. Tortora GJ, Funke BR, Case CL. Microbiology an introduction. 11th Edition, Addison
Wesley Longman Inc USA. 2013.

207
OBSTETRI GINEKOLOGI

KEHAMILAN NORMAL
Aloysius Suryawan

Fertilisasi, Nidasi, dan Plasentasi


Kehamilan terjadi bila ada pertemuan antara sel mani (spermatozoa) dan sel telur (ovum)
yang terjadi pada saat ovulasi. Setelah pertemuan antara ovum dan spermatozoa yang terjadi
di ampulla tuba falopii maka sel telur disebut zygote, yaitu ovum yang telah dibuahi oleh
spermatozoa.
Ovum dan spermatozoa hanya memiliki separuh dari jumlah kromosom sel biasa, setelah
fertilisasi, zygote memiliki 46 buah kromosom, 23 buah dari spermatozoa dan 23 buah dari
ovum, sehingga zygote yang menentukan sifat makhluk hidup memiliki sebagian sifat dari
ayah dan sebagian dari ibu. Selanjutnya terjadi pembelahan beberapa kali hingga membentuk
2 buah sel, 4, 8, 16, 32, dan seterusnya, yang membentuk kelompok sel menyerupai buah
murbei yang disebut morula, dan dalam waktu 3 hari kelompok sel ini akan berjalan ke cavum
uteri. Di dalam morula akan terbentuk rongga yang terletak eksentris sehingga morula terbagi
menjadi trofoblast, yaitu sel-sel yang terletak di sebelah luar, dan nodus embrionale yang kelak
membentuk bayi, di bagian dalam. Pada tingkat ini telur disebut blastocyst. Pada tingkat
blastocyst, telur menanamkan diri ke dalam endometrium yang disebut nidasi pada hari ke-6
setelah fertilisasi. Nidasi biasanya terjadi pada dinding depan atau belakang di daerah fundus
uteri.
Hormon-hormon yang dikeluarkan oleh trofoblast akan menyebabkan endometrium tumbuh
menebal, sel-sel dan kelenjarnya membesar, dan pembuluh darahnya melebar. Endometrium
yang berubah karena pengaruh kehamilan disebut desidua. Dalam desidua ini telur akan
membesar, dan makin menonjol ke dalam cavum uteri. Pada tingkat nidasi trofoblast
menghasilkan hormon human chorionic gonadotropin yang berfungsi menghasilkan
progesteron. Produksinya akan terus meningkat sampai sekitar 60 hari kehamilan, kemudian
turun lagi sampai plasenta dapat membuat cukup progesteron sendiri.
Trofoblast mempunyai sifat menghancurkan desidua, termasuk spiral arteries dan venae di
dalamnya. Akibatnya terbentuk ruangan yang terisi oleh perdarahan dari pembuluh darah yang
ikut dihancurkan. Pertumbuhan ini berjalan terus, sehingga timbul ruangan intervillair di mana
villi koriales seolah-olah terapung di antara ruangan-ruangan tersebut sampai terbentuk
plasenta. Sebagian dari villi koriales tetap melekat pada desidua dan membentuk septa plasenta,
sebagai bagian maternal plasenta.
Septa plasenta membagi plasenta dalam 15 sampai 20 maternal cotyledon. Pada plasenta
aterm diperkirakan terdapat 200 foetal cotyledon. Dari setiap cabang villi koriales terdapat
sistem vena serta arteri yang menuju vena umbilicalis dan arteria umbilicalis. Darah janin
menuju plasenta melalui 2 arteria umbilicalis dan dari plasenta ke janin melalui vena
umbilicalis.
Darah ibu dan darah janin dipisahkan oleh Nitabuch’s layer serta dinding pembuluh darah
janin dan lapisan korion, sehingga tidak terjadi percampuran darah antara janin dan ibu. Sel
desidua yang tidak dapat dihancurkan oleh trofoblast sebagian membentuk lapisan fibrinoid

208
OBSTETRI GINEKOLOGI

yang disebut Nitabuch’s layer. Plasenta akan terlepas dari endometrium pada Nitabuch’s layer
saat persalinan.

Plasenta dan Cairan Amnion


Plasenta sangat penting bagi kehidupan dan pertumbuhan janin. Plasenta berfungsi sebagai
tempat pertukaran zat, yaitu sebagai usus yang mengambil makanan, sebagai paru yang
mengeluarkan CO2 dan mengambil O2, dan sebagai sebagai ginjal yang mengeluarkan racun.
Plasenta mengeluarkan hormon steroid (estrogen dan progesteron), protein hormon (HCG,
HPL, HCT, HCCT), releasing hormone (TSH-RH, LH-RH, FSH-RH). Plasenta juga
menghasilkan oxytocinase, pregnancy specific protein, dan heat stabile alkaline phosphatase.
Plasenta pun berfungsi sebagai barier mekanis fisis terhadap kuman yang terdapat dalam darah
ibu ke janin, dan barier kimiawi terhadap zat-zat yang berasal dari ibu.

Gambar 1. Skematik Aliran Darah dalam Plasenta Manusia

Faal cairan amnion (air ketuban) memungkinkan anak bergerak dan tumbuh dengan bebas
ke segala jurusan, juga sebagai bantalan untuk melindungi anak, mempertahankan suhu yang
stabil bagi anak, pada waktu persalinan akan membuka cervix dengan mendorong selaput janin
ke ostium uteri.

PERTUMBUHAN JANIN
Umur janin dihitung dari saat fertilisasi atau sekurang-kurangnya dari saat ovulasi. Dalam
prakteknya, umur kehamilan dihitung dari haid yang terakhir. Sesuai tingkat pertumbuhannya,
umur kehamilan dapat dilihat pada Tabel 1.

Fisiologi Janin
• Pernapasan
Pusat pernapasan pada janin dipengaruhi oleh konsentrasi O2 dan CO2 dalam tubuh janin. Bila
saturasi O2 menurun, maka pusat pernapasan menjadi sensitif terhadap rangsangan CO2.
Keadaan ini dipengaruhi oleh sirkulasi uteroplasenta. Pada permukaan paru yang telah matur
ditemukan lipoprotein yang berfungsi untuk mengurangi tahanan pada permukaan alveoli dan
memudahkan paru untuk berkembang pada tarikan napas pertama oleh janin. Pengembangan
paru ini disebabkan oleh adanya tekanan negatif dalam dada, yaitu sebesar ± 40 cmH2O yang

209
OBSTETRI GINEKOLOGI

disebabkan oleh tekanan paru waktu lahir, sewaktu bayi menarik napas pertama kali. Ketika
partus, uterus berkontraksi, darah dalam sirkulasi uteroplasenta seolah-olah diperas ke dalam
vena umbilicalis dan sirkulasi janin, sehingga jantung janin terutama serambi kanan berdilatasi
dan apabila diperhatikan bunyi jantung janin segera setelah kontraksi uterus hilang akan
terdengar melambat. Keadaan ini adalah fisiologis dan dikenal sebagai refleks Marey.

Tabel 1. Karakteristik Fetus Berdasarkan Umur Kehamilan


Panjang fetus
Umur kehamilan (dari puncak
Ciri-ciri
(dalam minggu sesudah HPHT) kepala ke ujung
sakrum)
Organogenesis
8 minggu 2,5 cm Hidung, kuping, jari-jari mulai dibentuk.
Kepala membungkuk ke dada.

12 minggu 9 cm Daun kuping lebih jelas, kelopak mata masih


melekat, leher mulai dibentuk, genitalia eksterna
sudah mulai terbentuk, tapi belum
berdiferensiasi
Masa fetal
16 minggu 16–18 cm Genitalia eksterna sudah terbentuk dan dapat
dikenali, kulit merah tipis sekali.
20 minggu 25 cm Kulit lebih tebal, opak dengan rambut halus
(lanugo).
24 minggu 30–32 cm Kelopak mata terpisah, alis dan bulu mata ada,
kulit keriput.

Masa perinatal
28 minggu 35 cm Berat 1000 gram

• Sirkulasi
Pada janin masih terdapat fungsi foramen ovale, ductus arteriosus Botalii, arteria umbilicalis
dan ductus venosus (ligament of Arantius).

Gambar 2. Sirkulasi Fetal

210
OBSTETRI GINEKOLOGI

Ketika janin lahir, bayi mengisap udara dan menangis kuat, sehingga paru akan berkembang.
Tekanan dalam paru mengecil dan darah terisap ke dalam paru-paru, sehingga ductus arteriosus
(Botallo’s duct) tidak berfungsi lagi. Demikian pula, tekanan dalam atrium kiri meningkat,
sehingga foramen ovale akan menutup. Dengan dipotong dan diikatnya tali pusat, arteria
umbilicalis dan ductus venosus akan mengalami obliterasi.

• Traktus Urinarius
Glomerulus ginjal mulai dibentuk dalam cortex renalis janin umur 8 minggu. Ginjal janin mulai
berfungsi pada umur kehamilan 3 bulan. Air kencing yang dikeluarkan oleh ginjal janin itu
amat hipotonik dan berisi sedikit sekali elektrolit. Pada bayi berumur 3 hari, ginjal tidak
dipengaruhi oleh pemberian air dan setelah 5 hari, ginjal bayi cukup bulan maupun prematur
dapat dipengaruhi oleh pemberian air seperti pada orang dewasa.

PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGI PADA WANITA HAMIL


Uterus dan Cervix Uteri
Uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama di bawah pengaruh estrogen dan
progesteron yang kadarnya meningkat. Pembesaran ini disebabkan oleh hipertrofi otot polos
uterus dan serabut kolagen yang menjadi higroskopik. Berat uterus nongravida normal ± 30
gram dan pada akhir kehamilan (40 minggu) berat uterus menjadi 1000 gram dengan panjang
± 20 cm dan tebal dinding ± 2,5 cm.
Hipertrofi isthmus pada triwulan pertama membuat isthmus menjadi panjang dan lebih
lunak. Hal ini dikenal sebagai tanda Hegar. Pada triwulan terakhir isthmus lebih nyata menjadi
bagian corpus uteri dan berkembang menjadi segmen bawah uterus. Pada kehamilan tua karena
kontraksi otot bagian atas uterus, segmen bawah uterus menjadi lebih lebar dan tipis, tampak
batas yang nyata antara bagian atas yang lebih tebal dan segmen bawah yang lebih tipis. Batas
ini dikenal sebagai lingkaran retraksi fisiologik.
Cervix uteri pada kehamilan mengalami perubahan karena hormon estrogen meningkat;
hipervaskularisasi akan mengakibatkan konsentrasi cervix menjadi lunak. Pada akhir
kehamilan cervix menjadi lunak sekali dan portio menjadi pendek. Cervix yang demikian
disebut cervix yang matang.

Gambar 3. Uterus dalam Berbagai Keadaan.

211
OBSTETRI GINEKOLOGI

Vagina dan Vulva


Adanya hipervaskularisasi mengakibatkan vagina dan vulva tampak lebih merah, agak
kebiruan (livide). Tanda ini disebut tanda Chadwick. Getah dalam vagina biasanya bertambah
dalam kehamilan den reaksinya asam (pH 3,5–6,0).

Ovarium
Corpus luteum graviditatis masih terbentuk pada awal kehamilan sampai terbentuk plasenta
(kehamilan 16 minggu), kemudian mengecil dan fungsinya untuk menyekresikan progesteron
dan estrogen diambil alih oleh plasenta.

Mammae
Mammae akan tegang dan membesar akibat hormon somatomammotropin, estrogen, dan
progesteron, tetapi belum mengeluarkan air susu. Estrogen menimbulkan hipertrofi sistem
saluran, progesteron menambah sel asinus pada mammae, sedangkan somatomammotropin
mempengaruhi pertumbuhan sel asinus dan menimbulkan perubahan dalam sel, sehingga
terjadi pembuatan kasein, laktaalbumin, dan laktoglobulin.
Pada kehamilan >12 minggu, dari puting susu dapat keluar cairan berwarna putih agak
jernih, disebut kolostrum. Sesudah partus, kolostrum ini agak kental dan warnanya agak
kuning. Selain itu, dengan dilahirkannya plasenta, pengaruh progesteron, estrogen, dan
somatomammotropin terhadap hipotalamus hilang sehingga prolaktin disekresikan dan laktasi
dapat terjadi.

Sirkulasi Darah
Volume darah ibu dalam kehamilan bertambah secara fisiologik dengan adanya pencairan
darah yang disebut hidramia. Eritropoesis dalam kehamilan juga meningkat untuk memenuhi
keperluan transpor O2 yang dibutuhkan dalam kehamilan. Jumlah lekosit meningkat sampai
10.000/ml dan produksi trombosit pun meningkat.

Kulit Dinding Perut


Pada kehamilan lanjut pada primigravida sering timbul garis-garis memanjang atau serong
pada kulit dinding perut yang disebut striae gravidarum dengan warna membiru, sehingga
disebut striae lividae. Pada multigravida dapat dijumpai garis-garis putih yang disebut striae
albicans.

Diagnosis Kehamilan
Pada perempuan hamil terdapat beberapa tanda atau gejala, antara lain:
1. Amenorea, penting diketahui HPHT untuk menentukan umur kehamilan dan perkiraan
persalinan.
2. Nausea dan emesis.
3. Mengidam.
4. Pingsan.
5. Mammae menjadi tegang dan membesar, karena pengaruh estrogen dan progesteron.
6. Anoreksia.
7. Sering kencing, karena penekanan vesica urinaria oleh uterus yang membesar.

212
OBSTETRI GINEKOLOGI

8. Obstipasi, karena tonus otot menurun akibat pengaruh hormon steroid.


9. Pigmentasi kulit: chloasma gravidarum, hiperpigmentasi linea alba, dan hiperpigmentasi
aerola mammae.
10. Epulis adalah hipertropi papilla ginggiva.
11. Varises.
12. Tanda Hegar
13. Tanda Chadwick
14. Tanda Piskacek
15. Tanda Braxton-Hicks
16. Suhu basal, antara 37,2–37,8°C.
17. Cara khas dengan menentukan adanya hormon human chorionic gonadotropin dalam air
kencing pertama pagi hari.

Tes kehamilan meliputi reaksi Galli Mainini, reaksi Friedman, reaksi Aschheim-Zondek,
dan reaksi imunologi.
Tanda pasti kehamilan dengan meraba dan mengenali bagian-bagian janin, mencatat, dan
mendengar bunyi jantung janin, merasakan gerakan janin dan balotemen, pemeriksaan rontgen
tampak kerangka janin, USG mengetahui ukuran kantong janin, panjang janin, dan diameter
biparietalis.

Pemeriksaan Kehamilan
Pemeriksaan Kebidanan (status obstetrikus)
Dalam menentukan kehamilan secara klinis dapat dilakukan pemeriksaan yang terdiri dari
inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Pada inspeksi dilihat adanya chloasma gravidarum, bentuk
buah dada, pigmentasi puting susu, adanya kolostrum, perut membesar ke depan atau ke
samping, pigmentasi linea alba, pergerakan anak atau kontraksi rahim, adanya striae
gravidarum, dan tanda Chadwick.
Pada palpasi diperiksa besarnya rahim untuk menentukan umur kehamilan dan menentukan
letak anak dalam rahim. Pemeriksaan Leopold terdiri dari 4 bagian yaitu:
A. Leopold I
Untuk menentukan umur kehamilan dan bagian apa yang terdapat dalam fundus. Caranya
yaitu dengan membengkokkan kaki pasien pada lutut dan lipat paha, pemeriksa berdiri di
sebelah kanan pasien dan melihat ke arah muka pasien. Kemudian rahim dibawa ke tengah,
menentukan tinggi fundus uteri untuk menentukan umur kehamilan, dan bagian apa dari
anak yang terdapat dalam fundus. Sifat kepala adalah keras, bundar, dan melenting. Sifat
bokong adalah lunak, kurang bundar, kurang melenting. Pada letak lintang fundus uteri
kosong.
B. Leopold II
Untuk menentukan letak punggung anak dan bagian kecil anak. Caranya kedua tangan
pindah ke samping, tentukan di mana punggung anak yang memberi tahanan terbesar.
C. Leopold III
Untuk menentukan bagian apa yang terdapat di bagian bawah dan apakah bagian bawah
anak sudah terpegang pintu atas panggul. Caranya dengan satu tangan tentukan bagian
bawah dan coba goyangkan.

213
OBSTETRI GINEKOLOGI

D. Leopold IV
Untuk menentukan sampai seberapa jauh bagian bawah melewati pintu atas panggul.
Caranya, posisi pemeriksa melihat ke arah kaki pasien, dan kedua tangan menentukan
bagian bawah, dan apakah bagian bawah sudah masuk pintu atas panggul.

Gambar 4. Pemeriksaan Leopold

Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan dalam atau toucher untuk meraba uterus. Pada
pemeriksaan dalam, perubahan yang terjadi pada kehamilan muda adalah ditemukannya tanda
Chadwick yaitu membirunya selaput lendir dan vulva, portio lunak, corpus uteri membesar dan
lunak, tanda Hegar yaitu isthmus uteri sedemikian lunaknya seolah-olah corpus uteri tidak
berhubungan dengan cervix, tanda Braxton Hicks yaitu kontraksi pada kehamilan muda, tanda
Piskacek yaitu fundus uteri teraba tidak rata karena uterus lebih cepat tumbuhnya di daerah
implantasi, dan balotemen janin yang teraba pada bulan 5 ke atas.
Pemeriksaan auskultasi menggunakan stetoskop monoaural atau dengan doptone. Pada
pemeriksaan anak dengan stetoskop, didengar bunyi jantung anak, bising tali pusat, dan
gerakan anak; dari ibu didengar bising rahim, bunyi aorta, dan bising usus.
Terdengarnya bunyi jantung anak merupakan tanda pasti kehamilan dan diketahui bahwa
anak hidup. Letak bunyi jantung anak untuk mengetahui presentasio anak, positio anak, sikap
anak, dan adanya anak kembar. Dari sifat bunyi jantung anak dapat diketahui keadaan anak.

214
OBSTETRI GINEKOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD. Williams
Obstetrics. 23rd Edition. New York: RD McGraw Hill. 2010.
2. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2002.

215
OBSTETRI GINEKOLOGI

PENYULIT KEHAMILAN
Aloysius Suryawan

1. PENYULIT KARENA PENYAKIT DAN KELAINAN ALAT KANDUNGAN


a. Penyakit Vulva, Vagina, dan Cervix
• Varices
Terjadi di sekitar vulva, menimbulkan rasa berat dan nyeri. Kadang pecah pada kala
pengeluaran karena mengejan atau karena tersinggung oleh bagian depan.
Pengobatan:
- Disuntik obat-obatan ke dalam vena agar vena menutup.
- Perdarahan dapat dihentikan dengan meninggikan bokong dan dengan
tamponade.

• Condyloma
Di sekitar vulva dan dalam vagina.
- Condyloma lata: kutil yang datar puncaknya, tanda khas dari lues, dan banyak
mengandung Treponema pallidum.
- Condyloma acuminata: kutil yang runcing, timbul sebagai akibat fluor albus
yang banyak, sebaiknya diekstirpasi karena merupakan sarang infeksi.

• Pintu vagina yang lemah


Pada kehamilan, dinding depan atau dinding belakang vagina dapat menonjol ke
luar vulva, menyebabkan sakit pinggang dan perasaan turun. Istirahat rebah akan
mengurangi keluhan.

• Tumor vagina
Biasanya berupa kista dari saluran Gartner atau Muller. Dapat diekstirpasi atau
dipungsi.

• Karsinoma cervix
Menimbulkan fluor berbau busuk dan bercampur darah. Perdarahan kontak yaitu
perdarahan karena sentuhan (setelah koitus atau BAB) dan sering timbul rasa gatal
pada kemaluan luar. Pada toucher, teraba tukak atau tumor cervix yang rapuh dan
mudah berdarah. Dibuat eksisi percobaan untuk diagnosis pasti pada inspekulo.
Diagnosa dini dengan pemerikaan Papanicolaou.
Pengobatan:
- Hamil muda diberi penyinaran. Karena penyinaran terjadi abortus, namun bila
tidak terjadi abortus, dalam 4 minggu anak dikeluarkan dengan histerektomi
abdominal karena anak akan cacat.
- Hamil besar, anak dapat hidup di dunia luar, anak dilahirkan SC. Persalinan per
vaginam tidak dianjurkan karena cervix sukar berdilatasi dan kemungkinan
perdarahan. Penyinaran dilakukan 1–2 minggu setelah SC.

216
OBSTETRI GINEKOLOGI

b. Kelainan Pertumbuhan Rahim


Organ kandungan terjadi dari saluran Muller kanan dan kiri yang pada ujungnya
bersatu, membentuk vagina bagian atas dan uterus. Bagian yang tetap terpisah menjadi
tuba. Gangguan pertumbuhan saluran Muller menimbulkan aplasia atau hipoplasi,
sedangkan gangguan penyatuan menimbukan kelainan alat kandungan.
• Uterus duplex
Salah satu uterus hamil, uterus lainnya ikut membesar. Karena lapisan otot kurang
tebal, terjadi kelemahan His dan ruptura uteri. Uterus satunya yang ikut membesar
dapat menghalangi jalan lahir.

• Uterus bicornis
Sering letak sungsang dan tidak dapat diversi. Mungkin terjadi abortus dan
prematur. Pembukaan dapat terganggu oleh cervix satunya, cornu yang kosong ikut
membesar dan dapat menghalangi jalan lahir. Mungkin terjadi inertia uteri dan
ruptura uteri.

• Uterus subseptus
Menyebabkan letak lintang yang tidak dapat diversi. Kalau plasenta melekat pada
septum maka plasenta bersifat accreta. Dapat menjadi sebab abortus habitualis.

• Uterus arcuatus: menyebabkan letak lintang

• Uterus bicornis dengan cornu rudimater


Dapat terjadi kehamilan ektopik pada cornu yng rudimenter. Kehamilan ini terjadi
dengan migrasi externa. Biasanya terjadi ruptur setelah bulan ke-3. Cornu yang
rudimenter sebaiknya diekstirpasi.

c. Kelainan Letak Rahim


• Retroflexio uteri
Sering pada perempuan Indonesia dan dianggap tidak patologis. Kalau terjadi
kehamilan mungkin terjadi:
- Retrofleksi terkoreksi spontan.
- Terjadi abortus.
- Terjadi inkarserasi membesar terus di rongga panggul kecil: retroflexio uteri
gravidi incarcerata. Incarcerata baru terjadi antara minggu ke-13–ke-17 karena
rahim yang membesar terjepit dalam rongga panggul kecil.
Gejala:
- Retensio urine sampai incontinentia paradoxa.
- Menyebabkan infeksi, ruptur kandung kencing sampai peritonitis.
- Tekanan pada struktur di sekitarnya menimbukan rasa nyeri, tenesmus ani, dan
obstipasi.
- Karena kurang ruangan terjadi abortus.
Pengobatan:

217
OBSTETRI GINEKOLOGI

- Sampai kehamilan minggu ke-12 tidak perlu dihiraukan karena akan


memperbaiki letak sendiri. Pasien boleh dianjurkan posisi lutut pada malam hari
dan pagi hari selama 10 menit, sehingga uterus dapat jatuh ke depan. Bila pada
minggu ke-12 masih retroflexio maka diusahakan reposisi tangan. Bila setelah
beberapa hari uterus jatuh ke belakang lagi, maka setelah reposisi dipasang
pessarium Hodge. Pessarium diangkat setelah umur kehamilan mencapai 18
minggu.
- Kalau sudah terjadi inkarserata, pasien diopname.
- Dipasang dower kateter dan kandung kencing dikosongkan supaya tidak terjadi
perdarahan ex vacuo. Kemudian diusahakan reposisi dari luar namun kalau
tidak berhasil harus dilakukan reposisi operatif.

• Prolapsus Uteri
Bila hamil maka uterus yang membesar ke luar dari rongga kecil dan terus tumbuh
di dalam rongga perut. Kalau uterus naik maka cervix ikut tertarik ke atas hingga
prolaps tidak tampak lagi atau berkurang. Bila uterus tidak keluar dari rongga
panggul maka terjadi inkarserata menimbulkan abortus. Bila ada prolaps dalam
kehamilan, uterus ditahan dengan pessarium sampai bulan ke-4, kalau pessarium
terus jatuh karena dasar panggul emah maka pasien harus istirahat rebah sampai
bulan ke-4.

• Elongatio colli (cervix yang panjang), menyulitkan kehamilan namun tidak


mengganggu persalinan.

• Myoma Uteri
Tumor jinak dari otot rahim. Pengaruh myoma:
- Mengurangi kemungkinan kehamilan karena endometrium kurang baik.
- Kemungkinan abortus lebih besar.
- Kadang sangat besar hingga menekan struktur di sekitarnya.
- Menimbulkan kelainan letak.
- Plasenta previa dan plasenta akreta.
- Menimbulkan inertia uteri.
- Bila letaknya didekat cervix, menghalangi jalan lahir.
Pengaruh kehamilan pada myoma, pada masa postpartum dapat terjadi degenerasi
merah, infeksi, dan nekrosis dari myoma.
Pengobatan:
Secara konservatif karena enukleasi myoma dapat menimbulkan perdarahan dan
abortus. Operasi dilakukan bila ada penyulit atau myoma sangat membesar. Bila
menghalangi jalan lahir dilakukan SC dan kalau perlu disusul histerektomi, tapi
kalau dilakukan enukleasi ditunda sampai sesudah masa nifas.

• Cystoma ovarii
Efeknya terhadap kehamilan:

218
OBSTETRI GINEKOLOGI

- Abortus
- Terjadi torsi dari tumor.
- Menimbulkan kelainan letak.
- Menghalangi jalan lahir.
Diagnosis mudah pada hamil muda, namun sulit pada hamil besar, kadang baru
diketahui setelah persalinan. Mengingat penyulit dan kemungkinan keguguran,
sebaiknya dioperasi walau pasien hamil. Operasi ditunda hingga bulan ke-4 karena
kemungkinan terjadi abortus akibat corpus luteum graviditatis ikut terangkat.
Sebelum dan sesudah operasi, ibu diberi progesteron 25 mg/hari IM untuk
memperkecil kemungkinan abortus.
Kalau baru ditemukan pada hamil tua, operasi ditunda sampai sesudah persalinan
karena luka operasi mengganggu kekuatan mengejan.
Kalau tumor menghalangi jalan lahir dilakukan SC dan pengangkatan tumor
sekaligus; bila keadaan tidak memungkinkan, kista dapat dipungsi untuk
menghindari ruptura uteri.

2. PENYAKIT INFEKSI DALAM KEHAMILAN

Bila timbul penyakit infeksi pada perempuan hamil, pikirkan:


• Apakah kehamilan mempengaruhi perjalanan penyakit infeksi tersebut (misal:
bertambah berat).
• Apakah penyakit infeksi tersebut mempengaruhi kehamilan (misal: menimbulkan
abortus).

A. Penyakit Infeksi Akut


• Dapat menimbulkan abortus, partus immaturus atau partus praematurus.
• Penyebab janin mati adalah suhu tinggi, toksin atau kumannya sendiri, dan kadang karena
perdarahan dalam desidua (misalnya typhus dan cholera).
• Rubella, cytomegalo, herpes, dan toxoplasma teratogenik cacat bawaan.
• Persalinan: daya tahan ibu turun karena kehilangan darah dan keluar tenaga  tunda
persalinan dengan tirah baring dan progesteron.
• Penyakit infeksi akut lainnya adalah cacar, campak, kolera, typhus, pneumonia yang dapat
menyebabkan abortus, partus immatur atau prematur.
• Pilek biasa: dapat menyebabkan infeksi puerpuralis. ISPA juga merupakan kontraindikasi
narkose umum.
• Erisipelas: dapat menyebabkan sepsis.
• Gonorrhea: pada perempuan terdapat pada urethra, cervix, dan kelenjar Bartholin.
o Gejala:
- Kencing sakit, air kencing bernanah.
- Fluor albus bernanah yang banyak, dapat menimbulkan condyloma acuminata.
o Gonorrhea tidak mempengaruhi kehamilan, tapi pada persalinan dan nifas
menimbulkan penyulit:

219
OBSTETRI GINEKOLOGI

-Menyebabkan endometritis dan salpingitis. Salpingitis dapat menyebabkan


kemandulan atau kehamilan ektopik.
- Menyebabkan conjunctivitis gonorrhea pada anak bila gonococcus masuk ke
dalam mata.
o Diagnosa: pemeriksaan sekret uretra dan vulva.
o Pengobatan:
- Penicillin 1 juta IU/hari selama 6–7 hari.
- Resisten/alergi penicillin: kloramfenikol 1 g/hari IV atau IM selama 3 hari, atau
teramycin selama 5 hari.

• Malaria  dapat menyebabkan abortus dan partus prematurus

B. Penyakit Infeksi Yang Menahun


• TB Paru
- TB tidak berpengaruh terhadap kehamilan. Perempuan hamil dengan TB paru
sebaiknya diopname 3 bulan sebelum dan 3 bulan sesudah persalinan.
- Prinsip pengobatan: istirahat, makan baik, udara bersih, obat anti-TB (streptomycin,
INH, PAS).
- Pada TB aktif anak tidak disatukan dengan ibunya setelah persalinan.
- Anak tidak disusukan kepada ibunya walaupun tidak aktif lagi.
- Anak diberikan vaksin BCG (baru memberikan efek 6–8 minggu  anak harus
diasingkan selama ini).

• Syphilis
o Kehamilan tidak berpengaruh terhadap syphilis.
o Sebaliknya syphilis sangat berpengaruh terhadap kehamilan  penyebab kematian
anak, partus immaturus, partus prematurus, kematian anak dalam rahim, anak lahir
dengan lues kongenital.
o Diagnosis:
 Tanda lues pada anak: hati dan limpa membesar, osteochondritis luetica,
pemfigus luetica, rhinitis hemoragika, anemia.
 Tanda lues pada ibu: afek primer, condyloma lata.
 Reaksi serologis (+): Kahn, Meinicke, WR, VDRL.
 Tanda-tanda anak menderita syphilis:
- Titer WR dalam darah anak lebih tinggi daripada darah ibu.
- Titer naik dalam bulan-bulan pertama kehamilan.
- Reaksi (+) setelah 3 bulan.
- Adanya tanda osteochondritis atau periostitis pada rontgen.
- Adanya Spirochaeta pallida (Treponema pallidum) dalam preparat yang
dibuat dari kelainan kulit anak.
o Terapi: Procain penicillin 4,8–6 juta IU
cara pemberian:
- 4,8 juta IU : I. 8 x 2 cc tiap 2 hari

220
OBSTETRI GINEKOLOGI

II. 6 cc–6 cc–4 cc tiap 3 hari


- 6 juta IU : I. 10 x 2 cc tiap 2 hari
II. 8 cc–4 cc–4 cc–4 cc tiap 3 hari

• Lymphopatia Venereum (lymphogranuloma inguinale)


- Merupakan penyakit kelamin
- Dapat menimbulkan pengisutan jaringan hingga terjadi striktur, juga vagina kadang
menyempit sehingga persalinan harus dengan sectio caesarea.
- Pengobatan dengan aureomycin.

3. PENYULIT KEHAMILAN KARENA PENYAKIT ORGAN

A. Penyakit Jantung
Banyak disebabkan oleh rheuma (90%) dan biasanya stenosis mitral, dapat pula kelainan
kongenital dan penyakit otot jantung. Penyakit jantung pada perempuan hamil masih
merupakan penyebab kematian yang penting. Sulit didiagnosis, secara sederhana biasanya
diketahui bila sudah ada dekompensasi (sesak nafas, sianosis, kelainan nadi, edema, asites,
palpitasi). Dapat pula berdasarkan ditemukannya bising sistolik atau diastolik yang kuat,
pembesaran jantung pada foto thorax, dan aritmia.

Dibagi menjadi 4 golongan:


I. Tidak perlu membatasi kegiatan.
II. Perlu membatasi sedikit, bila melakukan pekerjaan sehari-hari terasa lelah, berdebar,
sesak nafas, atau angina pektoris.
III. Harus membatasi kegiatan, merasa capai, sesak bila bekerja sedikit saja.
IV. Gejala timbul saat istirahat.

Hal-hal yang mempengaruhi prognosis:


- Umur pasien.
- Anamnesis penyakit (bila sudah ada riwayat dekompensasi, prognosis kurang baik).
- Fibrilasi jantung.

Penyakit jantung yang berat dapat menyebabkan partus prematurus ataupun kematian
intrauterine akibat janin kekurangan O2, kehamilan sendiri juga menambah beban jantung
sehingga golongan I dan II dapat berkembang menjadi III atau IV.

Pengobatan
Penderita diusahakan membatasi penambahan berat badan agar tidak berlebih, anemia diatasi
secepatnya, hindari timbulnya preeklamsi karena dapat memperberat beban jantung.
Golongan I dan II biasanya dapat melalui persalinan dengan selamat. Jika kala II terlalu lama,
posisi baik dan kepala sudah di dasar panggul, maka dapat ditolong dengan forceps.
Hal-hal yang harus diperhatikan:
1. Cukup istirahat (10 jam malam, ½ jam setiap makan), lakukan pekerjaan ringan saja.
2. Hindari infeksi (terutama ISPA), jauhkan diri dari penderita pilek atau sakit kerongkongan.

221
OBSTETRI GINEKOLOGI

3. Tanda dini dekompensasi (batuk, Rh basah, sesak, batuk darah) harus diperhatikan.
4. Pasien dianjurkan masuk RS 2 minggu sebelum persalinan untuk istirahat.

Pimpinan Persalinan
Berikan antibiotika selama persalinan dan nifas untuk menghindari infeksi. Saat persalinan,
kepala dan dada ditinggikan. Nadi dan pernafasan dicatat tiap ½ jam pada kala I dan tiap 10
menit pada kala II (nadi >115 x/menit dan nafas >28 x/menit harus dilaporkan). Jika terjadi
dekompensasi maka diberikan morfin dan digitalis. Jika kepala sudah sampai dasar panggul
dapat dilakukan ekstraksi forcipal dengan anestesi lokal.
Sesudah persalinan sebaiknya dipasang gurita untuk mencegah kolaps postpartum. Semua
pasien dengan penyakit jantung harus tirah baring selama 2 minggu dalam nifas dan diberikan
antibiotika untuk mencegah endokarditis. Dianjurkan pula menggunakan kontrasepsi.
Golongan III: sebaiknya tidak hamil, jika hamil, sebaiknya tetap dirawat selama kehamilan,
persalinan, dan nifas di bawah pengawasan dokter Spesialis Penyakit Dalam dan dokter
Spesialis Obstetri Ginekologi. Persalinan hendaknya per vaginam. Sebagian dipertimbangkan
untuk abortus theurapeuticus, sterilisasi harus dianjurkan.
Golongan IV: tidak diperbolehkan hamil, jika hamil, persalinan yang terbaik adalah per
vaginam.

B. Penyakit Hati dan Usus


Hepatitis infectiosa
Disebabkan oleh virus dengan perantaraan makanan atau minuman yang terkontaminasi,
atau melalui transfusi darah atau suntikan plasma atau serum yang mengandung virus.
Gejala awal adalah panas badan, anoreksia, perasaan lelah, sakit kepala, mual dan muntah,
kencing tua warnanya, kemudian timbul ikterus. Pada mual dan muntah perlu diingat
kemungkinan hepatitis, tidak hanya karena kehamilan. Pada perempuan hamil dapat
menyebabkan abortus dan partus prematurus. Perdarahan pascapersalinan mungkin banyak dan
setelah partus kadang timbul atrofi hati kuning akut yang membawa kematian.
Terapi ialah hospitalisasi, istirahat rebah, dan diit yang baik. Kadang diberikan
kortikosteroid. Untuk mencegah perdarahan postpartum sering diberikan vitamin K.

Appendicitis acuta
Gejala sama dengan di luar kehamilan, hanya titik nyeri berpindah ke atas dengan lanjutnya
kehamilan sebab appendix terdesak ke atas oleh rahim yang membesar. Serangan biasanya
terjadi pada triwulan I dan II.
Appendicitis harus segera dioperasi, walaupun pasien hamil, sebab jika dibiarkan dapat
timbul ruptur appendix disusul dengan peritonitis yang sangat berbahaya. Untuk memperkecil
kemungkinan abortus dan partus praematurus sebelum dan sesudah operasi, diberikan
progesteron.

C. Kelainan Endokrin
Diabetes Mellitus
Sebelum insulin ditemukan, perempuan dengan diabetes kebanyakan mandul, bahkan
menderita amenore. Sejak insulin ditemukan, infertilitas pada diabetes turun dari 95% menjadi

222
OBSTETRI GINEKOLOGI

2%.
Penyebab kemandulan belum jelas, mungkin akibat gangguan keseimbangan homonal atau
kekurangan gizi. Diabetes biasanya ditemukan pada perempuan yang agak lanjut umurnya.
Adanya glukosa dalam urine harus mendorong kita untuk melakukan pemeriksaan diabetes,
walau kadang reduksi yang positif dalam urine perempuan hamil disebabkan oleh laktosuri
(adanya laktosa dalam urine) atau karena glukosuri renal, di mana ambang ginjal untuk glukosa
turun, sehingga ada glukosuria walaupun kadar glukosa dalam darah normal. Laktosuri dapat
timbul dalam 6 minggu terakhir dari kehamilan dan dalam masa nifas.

Diagnosis:
Perempuan dengan riwayat keluarga diabetes, gemuk, bayi-bayi berat, bayi dengan kelainan
kongenital, hidramnion, gestosis, dan abortus, harus dicurigai kemungkinan menderita
diabetes. Ditanyakan mengenai polidipsi, polifagi, poliuri, dan pruritus vulvae. Diagnosis
biasanya dibuat dengan glucose tolerance test secara oral atau intravena. Kadar glukosa darah
puasa 130 mg% dianggap sebagai bukti kuat adanya diabetes.

Pengaruh kehamilan pada diabetes:


Diabetes dalam kehamilan lebih sukar dikontrol sebab toleransi glukosa berubah-ubah, kadang
diperlukan insulin lebih banyak, kadang lebih sedikit, juga lebih mudah timbul asidosis.

Pengaruh diabetes pada kehamilan:


Bergantung pada kontrol diabetes, walaupun diobati, diabetes tetap meningkatkan kematian
perinatal. Pengaruhnya adalah:
- Kemungkinan gestosis 4 kali lebih besar.
- Infeksi lebih mudah terjadi (pyelitis, pyelonefritis).
- Kemungkinan abortus dan partus prematurus sedikit lebih besar.
- Bayi sering besar, diduga akibat hormon pertumbuhan berlebih atau faktor genetik.
Walaupun anak besar, secara fungsional bersifat prematur sehingga digunakan istilah
”foetus dysmaturus”. Bayi harus dirawat sebagai anak prematur.
- Anak sering mati intrauterine terutama sesudah 35 minggu, diduga akibat hipoglikemia.
- Setelah lahir, anak sering mengalami hipoglikemia dan hipoksia.
- Hidramnion sering terjadi, yang mana kematian intrauterine meningkat hingga 35%.
- Kelainan kongenital lebih sering ditemukan.
- Perdarahan postpartum lebih besar kemungkinannya.
- Laktasi kadang kurang.

Prognosis
Jika dulu kematian ibu berkisar 50%, kini berkisar 0,4–2%. Sebaliknya angka kematian anak
tetap tinggi yaitu 10–20%. Prognosis anak dipengaruhi oleh beratnya diabetes, lamanya ibu
menderita diabetes, kelainan pembuluh darah dan adanya penyulit kehamilan.
Penyebab kematian anak:
a. Kelainan metabolik: asidosis, koma, hipoglikemi.
b. Penyakit kehamilan: gestosis, hidramnion.
c. Kelainan pertumbuhan janin.

223
OBSTETRI GINEKOLOGI

Selain kematian, morbiditas anak juga lebih tinggi, kelainan kongenital lebih sering terjadi,
anak dapat keturunan diabetes, kelainan neurologis dan psikologis.

Pengobatan
Kerjasama dengan ahli penyakit dalam merupakan syarat mutlak untuk keselamatan ibu dan
anak. Tujuan yang terpenting adalah pengawasan dan pengendalian diabetes, juga harus
diperiksa keadaan pembuluh darah (pemeriksaan fundus oculi) dan faal ginjal. Penting juga
pengawasan paru-paru karena pada diabetes lebih mudah terjadi aktivasi dari penyakit paru
(TB).
a) Segera setelah diagnosis dibuat, pasien dirawat di RS untuk penilaian, pengawasan, dan
menentukan pengobatannya.
b) Pada bulan ke-7 kehamilan, pasien sebaiknya diopname lagi untuk beberapa hari karena
pada saat ini sering terjadi perubahan toleransi.
c) Pada kehamilan 34 minggu, pasien dirawat lagi di RS untuk persiapan persalinan.
Apakah persalinan anjuran dilaksanakan dengan induksi atau dengan SC bergantung pada
keadaan cervix dan turunnya kepala. Indikasi SC:
- Adanya gestosis.
- Anak yang sangat besar.
- Primi tua.
- Adanya kelahiran mati pada anamnesis.

D. Penyakit Darah
Penyebab anemia pada ibu hamil antara lain: perdarahan, penyakit darah, penyakit menahun
seperti TB, malaria kronik, ankilostomiasis, atau karena kekurangan zat gizi, seperti
kekurangan besi, protein, dan vitamin. Pengobatan disesuaikan dengan penyebab. Anemia pada
kehamilan paling sering disebabkan oleh defisiensi besi yang merupakan 95% penyebab
anemia pada perempuan hamil. Pengukuran Hb dilakukan 3 bulan sekali. Nilai normal Hb
adalah 12–15 g%. Seseorang dikatakan anemia bila pada keadaan tidak hamil Hb <12 g% dan
pada keadaan hamil Hb <10 g%.
Anemia karena defisiensi besi: cadangan besi pada perempuan berkurang terutama ketika
haid, dan pada perempuan hamil cadangan akan berkurang lagi malahan habis karena
kebutuhan janin akan besi sangat besar. Selain itu, bertambahnya volume darah juga
menurunkan kadar Hb.
Profilaksis: semua perempuan hamil harus diberikan garam besi ekstra termasuk dalam 4–
5 bulan terakhir.
Pengobatan: sedapat mungkin garam besi diberikan per os. Garam ferro lebih baik daripada
garam ferri karena lebih mudah diserap oleh usus; contoh: sulfas ferrous 3 x 200 mg. Suntikan
intramuskular hanya diberikan kalau:
- Obat tidak masuk per os (muntah).
- Tidak diabsorpsi (mencret).
- Persalinan sudah dekat.
Dengan preparat interferon kebutuhan ibu akan besi dapat diberikan dalam satu dosis secara
infus. Kalau anemia sangat berat dan persalinan sudah dekat sekali perlu dipertimbangkan
transfusi darah, bahkan packed cells.

224
OBSTETRI GINEKOLOGI

E. Penyakit Saluran Kemih


Nefritis Acuta
Nefritis acuta dapat terjadi sesudah infeksi akut seperti tonsilitis atau sebagai akibat keracunan
timah, air raksa, atau arsen.
Gejala:
Hematuri, oliguri sampai anuri, proteinuri, oedema, dan hipertensi. Dalam sedimen terdapat
silinder. Hematuri dipakai untuk membedakan nefritis dari preeklamsi karena pada preeklamsi,
hematuri tidak ada atau ringan sekali. Terapi seperti kasus di luar kehamilan.

Cystitis
Terjadi terutama pada nifas. Penyebabnya adalah trauma kandung kemih karena persalinan,
kurang sensitifnya kandung kemih sehingga terdapat urine sisa, semuanya memudahkan
infeksi.
Gejala: nyeri berkemih, sering berkemih, nyeri di atas symphysis pubica, dan terkadang ada
demam.
Terapi: mencegah trauma kandung kemih, menghindarkan urine sisa dengan kateterisasi setiap
8 jam atau dengan pemasangan kateter menetap dan pemberian antibiotika.

Pyelitis
Pyelitis (radang pyelum) disebabkan oleh basil coli, biasanya bilateral tapi bila unilateral
biasanya sebelah kanan. Sering terjadi pada trimester terakhir kehamilan. Gejalanya berupa
nyeri pinggang biasanya kanan, panas tinggi, dan dalam urine terdapat leukosit yang
berkelompok.
Di samping bentuk akut, ada juga bentuk subakut atau afebril dengan gejala satu-satunya
adalah nyeri pinggang, maka nyeri pinggang pada kehamilan tidak boleh diremehkan. Keadaan
yang memudahkan terjadinya infeksi adalah bendungan urine karena atoni ureter. Penjalaran
basil coli dari usus besar melalui pembuluh limf ke pyelum.
Bendungan dan atoni ureter dalam kehamilan mungkin disebabkan oleh progesteron,
obstipasi atau tekanan uterus yang membesar pada ureter. Kadang infeksi pyelum meluas ke
jaringan ginjal hingga terjadi pyelonefritis. Pengaruh pyelonefritis terhadap kehamilan:
- Mengakibatkan gestosis (5%).
- Membahayakan janin karena dapat terjadi infeksi coli di plasenta, kerusakan karena toksin
atau gestosis (insufisiensi plasenta atau hipoksemia).
- Dapat terjadi partus prematurus karena demam yang tinggi.
Pyelonefritis yang kronis menyebabkan ginjal kisut.
Terapi: sulfadiazin, gantrisin, furadantin, atau kloramfenikol baik sekali untuk pengobatan
pyelitis. Pasien dinasihatkan untuk banyak minum agar urine banyak; supaya tidak ada
bendungan dalam rongga panggul, buang air besar harus teratur. Posisi tidur kadang
menyamping, posisi yang dianjurkan adalah pada sisi yang sehat untuk memudahkan drainase
ginjal yang sakit.

225
OBSTETRI GINEKOLOGI

PERSALINAN NORMAL
Aloysius Suryawan

Definisi
Partus adalah proses pengeluaran hasil konsepsi yang dapat hidup dari dalam uterus melalui
vagina ke dunia luar. Partus immaturus adalah partus dengan umur kehamilan kurang dari 28
minggu lebih dari 20 minggu dengan berat janin 500–1000 gram. Partus prematurus adalah
partus dari hasil konsepsi yang dapat hidup tetapi belum aterm (cukup bulan). Berat janin
1000–2500 gram atau umur kehamilan 28–36 minggu. Partus postmaturus atau serotinus
adalah partus yang terjadi 2 minggu atau lebih dari waktu partus yang diperkirakan.
Gravida adalah perempuan yang sedang hamil. Primigravida adalah perempuan yang hamil
untuk pertama kali. Para adalah perempuan yang pernah melahirkan bayi yang dapat hidup
(viable). Nullipara adalah perempuan yang belum pernah melahirkan bayi yang viable untuk
pertama kali. Primipara adalah perempuan yang pernah melahirkan bayi yang viable untuk
pertama kali. Multipara adalah perempuan yang telah melahirkan bayi yang viable lebih dari
satu kali. Grandemultipara adalah seorang perempuan yang telah melahirkan bayi yang viable
lima kali atau lebih.
Abortus adalah penghentian kehamilan sebelum janin viable, berat janin di bawah 500 gram,
atau umur kehamilan kurang dari 20 minggu. In partu adalah dalam keadaan persalinan. Partus
biasa atau partus normal atau partus spontan adalah bayi lahir dengan presentasi belakang
kepala tanpa memakai alat-alat atau pertolongan istimewa serta tidak melukai ibu dan bayi,
dan umumnya berlangsung dalam waktu kurang dari 24 jam. Partus luar biasa atau partus
abnormal ialah bila bayi dilahirkan per vaginam dengan cunam, atau ekstraktor vakum, versi
dan ekstraksi, dekapitasi, embriotomi, dan sebagainya.

Inisiasi Persalinan
Penyebab terjadinya partus sampai kini masih merupakan teori-teori yang kompleks. Faktor
humoral, pengaruh prostaglandin, struktur uterus, sirkulasi uterus, pengaruh saraf dan nutrisi
disebut sebagai faktor-faktor yang mengakibatkan dimulainya partus. Perubahan-perubahan
dalam biokimia dan biofisika telah banyak mengungkapkan inisiasi dan proses partus, antara

Gambar 1. Inisiasi dan Onset Persalinan

226
OBSTETRI GINEKOLOGI

lain penurunan kadar hormon estrogen dan progesteron. Seperti diketahui progesteron
merupakan penenang bagi otot uterus. Menurunnya kadar kedua hormon ini terjadi kira-kira
1–2 minggu sebelum partus dimulai. Kadar prostaglandin dalam kehamilan meningkat mulai
dari minggu ke-15 hingga aterm, terlebih sewaktu partus.
Seperti telah dikemukakan, “plasenta menjadi tua” seiring bertambahnya umur kehamilan.
Vili koriales mengalami perubahan, sehingga kadar estrogen dan progesteron menurun.
Keadaan uterus yang terus membesar dan menjadi tegang mengakibatkan iskemia otot uterus.
Hal ini mungkin merupakan faktor yang dapat mengganggu sirkulasi uteroplasenta sehingga
plasenta mengalami degenerasi. Teori berkurangnya nutrisi pada janin dikemukakan oleh
Hippocrates untuk pertama kalinya. Bila nutrisi pada janin berkurang maka hasil konsepsi akan
segera dikeluarkan. Faktor lain yang dikemukakan ialah tekanan pada ganglion servikale dari
pleksus Frankenhauser yang terletak di belakang serviks. Bila ganglion ini tertekan, kontraksi
uterus dapat dibangkitkan. Uraian tersebut di atas adalah hanya sebagian dari banyak faktor
kompleks sehingga his dapat dibangkitkan.
Selanjutnya dengan berbagai tindakan, persalinan dapat dimulai (induction of labor): (1)
merangsang pleksus Frankenhauser dengan memasukkan beberapa gagang laminari ke dalam
kanalis servikalis, (2) pemecahan ketuban, (3) penyuntikan oksitosin (sebaiknya melalui infus
intravena), pemakaian prostaglandin, dan sebagainya. Hal yang harus diperhatikan ketika
hendak melakukan induksi persalinan adalah bahwa serviks sudah matang (serviks sudah
pendek dan lembek) dan kanalis servikalis terbuka untuk satu jari. Skor Bishop dipakai untuk
menilai serviks, bila skor Bishop lebih dari 8, induksi persalinan kemungkinan besar akan
berhasil.

Proses Persalinan Normal


Partus dibagi menjadi 4 kala. Pada kala I, serviks membuka sampai terjadi pembukaan 10
cm. Kala I dinamakan pula kala pembukaan. Kala II disebut pula kala pengeluaran, oleh karena
berkat kekuatan his dan kekuatan mengedan janin didorong ke luar sampai lahir. Pada kala III
atau kala uri plasenta terlepas dari dinding uterus dan dilahirkan. Kala IV mulai dari lahirnya
plasenta dan lamanya 1 jam. Dalam kala itu diamati, apakah terjadi perdarahan postpartum.

Gambar 2. Grafik Pembukaan Serviks

227
OBSTETRI GINEKOLOGI

Pada tahun 1988, World Health Organization (WHO) menerbitkan sebuah buku petunjuk
berjudul “The Partograf: A Managerial Tool for Prevention of Prolonged Labour”, berisi
tentang partograf model WHO yang telah diujicobakan di beberapa negara dan dibuat secara
sederhana berdasarkan penelitian dari semua karya partograf yang telah dipublikasikan, dan
berdasarkan prinsip-prinsip berikut:
- Fase aktif persalinan dimulai pada pembukaan >4 cm.
- Fase laten persalinan harus berlangsung <8 jam.
- Pada fase aktif, kecepatan pembukaan tidak boleh lebih lambat dari 1 cm/jam.
- Tidak melakukan pemeriksaan dalam yang terlalu sering (sebaiknya setiap 4 jam).
- Menggunakan partograf yang sudah ada garis waspada dan garis tindakannya.
Partograf yang biasa digunakan di negara berkembang tersebut, mengalami modifikasi
pada tahun 1994 sebagai usaha untuk memperoleh penanganan obstetri yang lebih
optimal. Modifikasi partograf terlihat dengan tidak dicantumkannya fase laten pada
grafik pencatatan, tetapi langsung pencatatan fase aktif persalinan yang dimulai pada
pembukaan 4 cm. Pencatatan fase laten dilakukan pada lembar data antenatal dan setiap
pencatatan diharapkan menggunakan tinta berwarna hitam.

Tabel 1. Modifikasi Partograf Cara Lama dan Cara Baru (WHO)

Partograf WHO
Partograf adalah alat pencatatan persalinan, untuk menilai keadaan ibu, janin dan seluruh
proses persalinan. Partograf digunakan untuk mendeteksi jika ada penyimpangan/masalah dari
persalinan, sehingga menjadi partus abnormal dan memerlukan tindakan bantuan lain untuk
menyelesaikan persalinan.
Partograf merupakan lembaran form dengan berbagai grafik dan kode yang
menggambarkan berbagai parameter untuk menilai kemajuan persalinan. Gambaran partograf
dinyatakan dengan garis tiap parameter (vertikal) terhadap garis perjalanan waktu (horisontal).
Partograf dirancang untuk dipakai di berbagai tingkat pelayanan kebidanan dengan berbagai

228
OBSTETRI GINEKOLOGI

fungsi yang berbeda. Di Puskesmas fungsi utamanya adalah memberikan peringatan awal
bahwa persalinan akan berlangsung lama, sehingga harus segera dirujuk ke rumah sakit
(fungsi garis waspada). Sedangkan di rumah sakit, bergesernya grafik pembukaan ke
sebelah kanan garis waspada mengingatkan penolong untuk meningkatkan kewaspadaan, dan
bila melewati garis tindakan harus segera melakukan tindakan.

Gambar 3. Lembar Partograf

229
OBSTETRI GINEKOLOGI

Kala I
Klinis partus dinyatakan dimulai jika timbul his dan perempuan tersebut mengeluarkan
lendir yang bersemu darah (bloody show). Lendir yang bersemu darah ini berasal dari lendir
canalis servikalis karena serviks mulai mebuka atau mendatar, sedangkan darahnya berasal dari
pecahnya kapiler yang berada disekitar kanalis servikalis akibat pergeseran-pergeseran ketika
serviks membuka.
Proses membukanya serviks sebagai akibat his dibagi dalam 2 fase:
1. Fase laten: berlangsung selama 8 jam. Pembukaan berlangsung sangat lambat sampai
mencapai ukuran diameter 3 cm.
2. Fase aktif: dibedakan menjadi 3 fase lagi, yakni:
a. Fase akselerasi: dalam waktu 2 jam pembukaan 3 cm tadi menjadi 4 cm.
b. Fase dilatasi maksimal: dalam waktu 2 jam pembukaan berlangsung sangat cepat, dari
4 cm menjadi 9 cm.
c. Fase deselerasi: pembukaan menjadi lambat kembali, dalam waktu 2 jam pembukaan
dari 9 cm menjadi lengkap.
Fase-fase tersebut dijumpai pada primigravida. Pada multigravida pun terjadi demikian,
akan tetapi fase laten, fase aktif, dan fase deselerasi berlangsung lebih pendek. Mekanisme
membukanya serviks berbeda antara primigravida dan multigravida. Pada primigravida, ostium
uteri internum akan membuka lebih dahulu, sehingga serviks akan mendatar dan menipis;
kemudian baru ostium externum membuka. Pada multigravida, ostium uteri internum sedikit
terbuka. Pembukaan ostium uteri internum dan externum serta penipisan serviks berlangsung
bersamaan.
Ketuban akan pecah spontan ketika pembukaan hampir atau telah lengkap. Tidak jarang
ketuban harus dipecahkan ketika pembukaan hampir lengkap atau telah lengkap. Bila ketuban
telah pecah sebelum mencapai pembukaan 5 cm, disebut ketuban pecah dini.
Kala I berakhir apabila pembukaan serviks uteri telah lengkap. Pada primigravida kala I
berlangsung kira-kira 13 jam, sedangkan pada multipara berlangsung kira-kira 7 jam.

Gambar 4. Pembukaan Lengkap Serviks Uteri

230
OBSTETRI GINEKOLOGI

Kala II
Pada kala II, his menjadi lebih kuat dan lebih cepat, kira-kira 2–3 menit sekali. Karena
biasanya kepala janin sudah masuk dalam rongga panggul, maka pada his dirasakan tekanan
pada otot-otot dasar panggul, yang mana secara reflektoris menimbulkan dorongan untuk
mengedan. Perempuan juga merasakan tekanan pada rektum dan dorongan buang air besar.
Selanjutnya, perineum mulai menonjol dan menjadi lebar dengan anus membuka. Labia
mulai membuka dan tidak lama kemudian kepala janin tampak pada vulva waktu his. Bila dasar
panggul sudah lebih berelaksasi, kepala janin tidak masuk lagi di luar his, dan dengan his dan
kekuatan mengedan maksimal kepala janin dilahirkan dengan suboksiput di bawah simfisis dan
dahi, muka, dan dagu melewati perineum. Setelah istirahat sebentar, his mulai lagi untuk
mengeluarkan badan dan anggota gerak bayi. Para primigravida, kala II berlangsung rata-rata
1,5 jam dan pada multipara rata-rata 0,5 jam.

Kala III
Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas pusat. Beberapa
menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari dindingnya. Biasanya
plasenta lepas dalam 6–15 menit setelah bayi lahir dan keluar spontan atau dengan tekanan
pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta disertai pengeluaran darah.

Gambar 4. Kala II

Gambar 5. Kala III

Kala IV
Kala ini dianggap perlu untuk mengamati apakah ada perdarahan postpartum.

231
OBSTETRI GINEKOLOGI

Mekanisme Persalinan Normal


Hampir 96% janin berada dalam uterus dengan presentasi kepala dan pada presentasi kepala
ini ditemukan ± 58% ubun kecil terletak di kiri depan, ± 23% di kanan depan, ± 11% di kanan
belakang, dan ± 8% di kiri belakang. Keadaan ini mungkin disebabkan oleh terisinya ruang di
sebelah kiri belakang oleh kolon sigmoid dan rektum.
Menjadi pertanyaan mengapa presentasi kepala merupakan presentasi yang terbanyak.
Keadaan ini mungkin disebabkan kepala relatif lebih besar dan berat. Mungkin pula bentuk
uterus sedemikian rupa, sehingga volume bokong dan ekstremitas yang lebih besar berada di
atas, di ruangan yang lebih luas, sedangkan kepala berada di bawah, di ruangan yang lebih
sempit. Ini dikenal sebagai teori akomodasi. Dalam mempelajari mekanisme partus ini,
imaginasi stereometrik kepala janin dan ruang panggul harus benar-benar dipahami.
Seperti telah dijelaskan terdahulu, 3 faktor penting yang memegang peranan pada persalinan
adalah (1) kekuatan yang ada pada ibu seperti kekuatan his dan kekuatan mengedan, (2)
keadaan jalan lahir, dan (3) janinnya sendiri. His adalah salah satu kekuatan pada ibu yang
menyebabkan serviks membuka dan mendorong janin ke bawah. Pada presentasi kepala, bila
his sudah cukup kuat, kepala akan turun dan mulai masuk ke dalam rongga panggul.
Masuknya kepala melintasi pintu atas panggul dapat dalam keadaan sinklitismus, bila arah
sumbu kepala janin tegak lurus dengan bidang pintu atas panggul. Dapat pula kepala masuk
dalam keadaan asinklitismus, yaitu arah sumbu kepala janin miring dengan bidang pintu atas
panggul. Asinklitismus anterior menurut Naegele adalah apabila arah sumbu kepala membuat
sudut lancip ke depan dengan pintu atas panggul. Dapat pula asinklitismus posterior menurut
Litzman, yang mana sebaliknya dari asinklitismus anterior.
Mekanisme turunnya kepala dengan asinklitismus anterior lebih menguntungkan daripada
asinklitismus posterior karena ruangan pelvis di daerah posterior lebih luas dibandingkan
ruangan pevis di anterior. Asinklitismus menjadi masalah penting apabila daya akomodasi
panggul agak terbatas. Akibatnya sumbu kepala janin yang eksentrik atau tidak simetris,
dengan sumbu lebih mendekati suboksiput, maka tahanan oleh jaringan di bawahnya terhadap
kepala yang akan turun, menyebabkan kepala mengadakan fleksi dalam rongga panggul
menurut hukum Koppel: a x b = c x d. Pergeseran di titik B lebih besar daripada di titik A.
Dengan fleksi kepala janin memasuki ruang panggul dengan ukuran yang paling kecil, yakni
diameter suboksipitobregmatikus (9,5 cm) dan sirkumferensia suboksipitobregmatikus (32
cm). Sampai di dasar panggul, kepala janin berada dalam keadaan fleksi maksimal. Kepala
yang sedang turun menemui diafragma pelvis yang berjalan dari belakang atas ke bawah depan.
Kombinasi elastisitas diafragma pelvis dan tekanan intrauterine yang disebabkan oleh his yang
beruang-ulang akan mengakibatkan kepala mengadakan rotasi, disebut pula putaran paksi
dalam. Ketika kepala mengadakan rotasi, ubun kecil akan berputar ke arah depan, sehingga di
dasar panggul ubun kecil berada di bawah simfisis. Sesudah kepala janin sampai di dasar
panggul dan ubun kecil di bawah simfisis, maka dengan suboksiput sebagai hipomoklion,
kepala mengadakan gerakan defleksi untuk dapat dilahirkan.
Pada tiap his, vulva lebih membuka dan kepala janin makin tampak. Perineum menjadi
makin lebar dan tipis, anus membuka dinding rektum. Dengan kekuatan his dan kekuatan
mengedan, berturut-turut tampak bregma, dahi, muka, dan akhirnya dagu. Sesudah kepala
lahir, kepala segera mengadakan rotasi, yang disebut putaran paksi luar.

232
OBSTETRI GINEKOLOGI

Putaran paksi luar adalah gerakan kembali ke posisi sebelum putaran paksi dalam terjadi,
untuk menyesuaikan kedudukan kepala dengan punggung anak. Bahu melintasi pintu atas
panggul dalam keadaan miring. Dalam rongga panggul bahu akan menyesuaikan diri dengan
bentuk panggul yang dilaluinya, sehingga di dasar panggul, apabila kepala telah dilahirkan,
bahu akan berada dalam posisi depan belakang. Selanjutnya dilahirkan bahu depan terlebih
dahulu, kemudian bahu belakang. Demikian pula, dilahirkan trokanter depan terlebih dahulu,
baru kemudian trokanter belakang. Kemudian, bayi lahir seluruhnya.
Bila mekanisme partus fisiologik ini dipahami dengan sungguh, maka apabila terjadi hal-
hal yang menyimpang, koreksi secara manual dapat segera dilakukan jika memungkinkan,
sehingga tindakan operasi tidak perlu dilakukan.
Apabila bayi telah lahir, segera bersihkan jalan napas. Tali pusat dijepit di antara 2 cunam
pada jarak 5 dan 10 cm; kemudian digunting di antara kedua cunam tersebut, lalu diikat.
Tunggul tali pusat diberi antiseptika. Umumnya bila telah lahir lengkap, bayi akan segera
menarik napas dan menangis.
Resusitasi dengan jalan membersihkan dan mengisap lendir pada jalan napas harus segera
dikerjakan. Cairan dalam lambung hendaknya diisap untuk mencegahnya masuk ke dalam paru
ketika bayi muntah dan muntahnya terisap masuk ke parunya.
Setelah bayi lahir, uterus mengecil. Partus berada dalam kala III (kala uri). Walaupun bayi
telah lahir, kala uri ini tidak kalah penting dari kala I dan II. Kematian ibu karena perdarahan
pada kala uri tidak jarang terjadi sebab pimpinan kala III kurang cermat dikerjakan. Segera
setelah bayi lahir, his mempunyai amplitudo yang kira-kira sama tingginya hanya frekuensinya
berkurang. Akibat his ini, uterus akan mengecil, sehingga perlekatan plasenta dengan dinding
uterus akan terlepas. Terlepasnya plasenta dari dinding uterus dapat dimulai dari: (1) tengah
(sentral menurut Schultze), (2) pinggir (marginal menurut Mathews-Duncan), dan (3)
kombinasi 1 dan 2; yang terbanyak adalah dimulai dari sentral menurut Schultze. Umumnya
kala III berlangsung 6–15 menit. Tinggi fundus uteri setelah kala III kira-kira 2 jari di bawah
pusat.

Gambar 7. Tipe Pelepasan Plasenta. (a) metode Schultze


(b) metode Mathews-Duncan

233
OBSTETRI GINEKOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
1. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD. Williams
Obstetrics. Edisi ke-23RD. McGraw Hill, New York, 2010.
2. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2002.
3. Anthonius Budi Marjono. Partograf. Januari 2007.
http://www.geocities.com/Yosemite/Rapids/1744/index.html. Diunduh 20 Juni 2007.
4. Sumapraja S. Partograf WHO. Jakarta.1993
5. Kala Satu Persalinan, Dalam: Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan.
2004;2:18-37.
6. Syamsuddin KA. Partograf. Dalam: Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi Perdana, Hariadi
R., Penyunting. Surabaya: Himpunan Kedokteran Fetomaternal Perkumpulan Obstetri dan
Ginekologi Indonesia. 2004. 870-905.

234
OBSTETRI GINEKOLOGI

DISTOSIA
Rimonta F Gunanegara

PENDAHULUAN
Distosia adalah persalinan yang memanjang, persalinan sulit, persalinan tidak normal, dan
persalinan macet. Distosia merupakan kebalikan dari eutocia yaitu persalinan spontan normal.
Diagnosis distosia didapatkan ketika terjadi pemanjangan kala I atau kala II (Gambar 1).

Gambar 1. Stage dan Fase Persalinan

WHO memperkirakan 303.000 kematian ibu terjadi di seluruh dunia pada tahun 2015, dan
99% terjadi di negara-negara dengan pendapatan per kapita rendah. Persalinan macet
memberikan kontribusi 2,8% terhadap kematian ibu di seluruh dunia.1,2 Pada tahun 2010,
diperkirakan 3,1 juta bayi meninggal pada periode neonatal, dan 23% sebagai akibat
komplikasi intrapartum.3

PERSALINAN DISTOSIA
Distosia (dystocia) berarti persalinan sulit, berasal dari kata “dys” (Yunani)–merupakan
kombinasi makna yang menandakan sulit, nyeri, buruk, keadaan kacau abnormal–dan
“tokos”(Yunani) yang berarti melahirkan. Lawan kata dystocia adalah eutocia
(eutokia/eutokos) yang berarti melahirkan normal.1 Distosia secara harafiah berarti persalinan
sulit yang ditandai proses persalinan abnormal yang lama.2
Penyebab distosia dapat dibagi menjadi 3 golongan besar yaitu:
1. Distosia karena kekuatan yang mendorong anak tidak memadai, yaitu:
• Kelainan his, merupakan penyebab terpenting dan tersering pada distosia.
• Kekuatan mengejan kurang kuat.
2. Distosia karena kelainan letak janin atau kelainan fisik janin.
3. Distosia karena kelainan pada jalan lahir, baik bagian keras maupun bagian lunak.
Distosia pada fase aktif persalinan dibagi menjadi 2 permasalahan: kelainan pembukaan
protraksi, yaitu dilatasi serviks yang lebih lambat daripada normal dan kelainan pembukaan
secara arrest, yaitu kemajuan pembukaan terhenti dalam perkiraan waktu. Berdasarkan studi
oleh Friedman, definisi dari fase aktif protraksi dengan 95% terjadi dilatasi serviks kurang dari
1,2 cm/jam pada nulipara, dan kurang dari 1,5 cm pada wanita multipara. Definisi fase aktif
arrest ketika tidak ada pembukaan atau perubahan serviks dalam 2 jam atau lebih dengan
adanya kontraksi adekuat dari uterus (Tabel 1). Batas waktu ini sudah menjadi paradigma untuk
manajemen persalinan lebih dari setengah abad.

235
OBSTETRI GINEKOLOGI
Tabel 1. Definisi Distosia Fase Aktif Kala I

Definisi untuk distosia pada kala II atau persalinan kala II memanjang yang sudah secara
luas digunakan adalah batasan waktu 2–3 jam untuk nulipara dan 1–2 jam untuk multipara.
Terlambat mengejan masih berhubungan dengan pendeknya durasi pada mengejan dan
peningkatan persalinan per vaginam spontan berbanding dengan segera mengejan. Menurut
rekomendasi Swedia, tambahan oksitosin sangat direkomendasikan jika tidak terjadi fase
penurunan kepala pada gerakan kardinal pada 1 jam hingga 30 menit ke fase ekspulsif.3

Pencegahan dan Penatalaksanaan Persalinan Distosia


Partogram digunakan untuk menilai proses dari persalinan dan juga memberikan informasi
mengenai keadaan ibu dan janin selama masa parturien. Semula partogram diimplementasikan
untuk mencegah persalinan memanjang atau persalinan macet, untuk meningkatkan persalinan
yang aman bagi ibu dan bayi terutama di negara berkembang. Friedman memperkenalkan
partograf sebagai alat untuk memantau persalinan.4 Garis waspada akan menyusun dan
merepresentasikan perubahan rerata dilatasi serviks paling lambat 10% pada nulipara saat fase
aktif untuk menyesuaikan pembukaan serviks 1 cm setiap jam.5 Garis tindakan biasa dilakukan
ketika sudah terjadi dua hingga empat jam setelah melewati garis waspada yang menandakan
persalinan lama.
Dalam penelitian oleh WHO, penggunaan partogram dapat mendeteksi dini terjadinya
persalinan distosia.6 Menurut Cochrane review pada 2014, penggunaan partogram
menghasilkan perbedaan signifikan pada angka tindakan operasi sesar, persalinan per vaginam
dengan alat, hingga skor APGAR bayi <7 selama 5 menit pertama.

Patofisiologi
Penyebab distosia adalah empat “P”:
(1) Power, kekuatan ekspulsif uterus yang abnormal. Kontraksi rahim mungkin hipotonik,
kontraksi selaras tetapi tekanan selama kontraksi tidak cukup kuat; atau hipertonik, tonus
dasar yang meningkat atau kontraksi yang kacau bertujuan untuk menipiskan dan
melebarkan serviks. Kemungkinan usaha ibu selama mendorong janin bisa juga tidak
efektif.
(2) Passenger: kelainan presentasi, posisi, atau perkembangan janin. Hal ini termasuk
makrosomia, kelainan posisi, dan malformasi kongenital.
(3) Passage: bisa disebabkan masalah pelvis dan kelainan jaringan lunak pada saluran
reproduksi. Abnormalitas tulang panggul dapat memicu panggul yang mengecil.

236
OBSTETRI GINEKOLOGI

(4) Psikis: keadaan psikologis ibu juga memiliki pengaruh.

Distosia karena kekuatan yang mendorong anak tidak memadai:


• Kelainan his: baik tidaknya his dapat dinilai dari:
1. Kemajuan persalinan
2. Frekuensi, kekuatan, dan lamanya his.
3. Besarnya caput succendaneum
Kemajuan persalinan dinilai dari kemajuan serviks, kemajuan turunnya bagian terendah
janin, dan bila janin sudah sampai di bidang Hodge III atau lebih rendah dinilai dari ada
tidaknya putaran paksi dalam.
Penilaian kekuatan his dapat dinilai dari pemeriksaan fisik, yakni nilai secara manual sifat-
sifat his dengan palpasi atau bantuan CTG (cardiotocography).
His dikatakan kurang kuat jika:
1. Terlalu lemah yang dinilai dengan palpasi pada puncak his.
2. Terlalu pendek yang dinilai dari lamanya kontraksi.
3. Terlalu jarang yang dipantau dari waktu sela antara 2 his.
Menurut WHO (The Partograph WHO, 1988), his dinyatakan memadai bila terdapat his
yang kuat sekurang-kurangnya 3 kali dalam kurun waktu 10 menit dan masing-masing
lamanya >40 detik. Interval his yang terlampau pendek dan/atau lamanya >50 detik dapat
membahayakan kesejahteraan janin. His yang terjadi tanpa masa istirahat disebut tetania
uteri.

• Inertia uteri adalah pemanjangan fase laten atau fase aktif atau kedua-duanya dari kala
pembukaan. Penyebabnya adalah penggunaan analgetika yang terlalu cepat, kesempitan
panggul, letak defleksi, kelainan posisi, regangan dinding rahim (hidramnion, kehamilan
ganda), dan perasaan takut dari ibu.
Pembagian yang berlaku sekarang adalah:
1. Inertia uteri hipotonus (kontraksi terkoordinasi, tetapi lemah).
2. Inertia uteri hipertonis (kontraksi tidak terkoordinasi).
Penyulit:
1. Inertia uteri dapat menyebabkan kematian atau kesakitan.
2. Kemungkinan infeksi bertambah dan juga meningkatnya kematian perinatal.
3. Kehabisan tenaga ibu dan dehidrasi, tanda-tandanya denyut nadi naik, suhu
meninggi, asetonuria, nafas cepat, meteorismus, dan turgor berkurang.
Terapi:
1. Inertia uteri hipotonis: pitosin drip, observasi.
2. Inertia uteri hipertonis: petidin 50 mg atau tokolitik.

Distosia karena kelainan presentasi, posisi, atau kelainan janin:


• Kelainan posisi
Penyebab tidak terjadinya putaran paksi ialah panggul antropoid, panggul android,
kesempitan bidang tengah panggul, KPSW, fleksi kepala kurang, dan inertia uteri.

237
OBSTETRI GINEKOLOGI

Terapi: umumnya dapat lahir spontan, namun bila ada indikasi, dapat dipilih antara
ekstraksi vakum atau forceps.

• Kelainan presentasi, meliputi presentasi muka, presentasi dahi, dan presentasi puncak
kepala. Mekanisme persalinan pada presentasi muka: pada awal persalinan, defleksi ringan
saja. Akan tetapi, dengan turunnya kepala, defleksi bertambah hingga dagu menjadi bagian
yang terendah. Hal ini disebabkan jarak dari foramen magnum ke belakang lebih besar
daripada jarak dari foramen magnum ke dagu. Diameter submentobregmatika melalui jalan
lahir. Karena dagu merupakan bagian yang terendah, dagulah yang paling dulu mengalami
rintangan dari otot-otot dasar panggul hingga memutar ke depan ke arah simfisis. Putaran
paksi baru terjadi di dasar panggul. Dalam vulva, mulut tampak lebih dahulu. Kepala lahir
dengan gerakan fleksi dan tulang lidah menjadi hipomoklion, berturut-turut lahirlah
hidung, mata, dahi, ubun-ubun besar, dan akhirnya tulang belakang kepala. Vulva diregang
oleh diameter submento-oksipitalis. Kaput suksedaneum terbentuk di daerah mulut hingga
muka anak moncong.

Gambar 2. Kelainan Presentasi Kepala

Mekanisme persalinan pada presentasi dahi adalah yang terburuk di antara letak kepala.
Pada letak dahi, ukuran terbesar kepala yaitu diameter mento-oksipitalis akan melalui jalan
lahir (13,5 cm). Oleh karena itu, pada anak yang cukup besar kepala tidak dapat masuk ke
dalam pintu atas panggul. Pada anak yang agak kecil, kepala dapat masuk. Namun, dengan
mulase yang kuat, kemudian terjadi putaran paksi sehingga dahi memutar ke depan ke arah
simfisis. Dahi paling dahulu tampak pada vulva dan tulang rahang atas menjadi
hipomoklion. Dengan fleksi, lahirlah ubun-ubun besar dan belakang kepala. Setelah
belakang kepala lahir dengan gerakan defleksi, berturut-turut lahir mulut dan dagu. Vulva
diregang oleh diameter maksila-oksipitalis. Kaput suksendaneum terjadi pada dahi.

• Letak sungsang adalah letak memanjang dengan bokong sebagai bagian yang terendah
(presentasi bokong). Angka kejadian mencapai ± 3% dari kehamilan. Dibagi menjadi letak
bokong murni (Frank breech), letak bokong kaki (complete breech), letak lutut, dan letak
kaki (incomplete breech presentation).

• Letak lintang, pada letak lintang sumbu panjang anak tegak lurus atau hampir tegak lurus
terhadap sumbu panjang ibu. Pada letak ini, bahu menjadi bagian terendah yang disebut
presentasi bahu atau presentasi akromion. Jika punggung terdapat di sebelah depan disebut

238
OBSTETRI GINEKOLOGI

dorsoanterior dan jika di belakang disebut dorsoposterior. Penyebab terpenting adalah


dinding perut yang kendur seperti pada multiparitas, kesempitan panggul, plasenta previa,
prematuritas, kelainan bentuk rahim seperti uterus arkuatus, mioma uteri, kehamilan ganda

Gambar 3. Letak kepala, letak bokong, dan letak lintang

Faktor Risiko
Faktor risiko distosia adalah kehamilan cukup bulan dan lewat bulan. Distosia lebih sering
terjadi pada perempuan yang belum pernah melahirkan dibandingkan perempuan yang pernah
melahirkan.7-10 Oleh karena itu, perempuan yang belum pernah mengalami persalinan per
vaginam sebelumnya, memiliki peningkatan risiko distosia dibandingkan perempuan yang
sudah pernah melahirkan per vaginam.7,11 Kegagalan kemajuan persalinan pada kala I dan kala
II yang memanjang yang mengarah ke tindakan sesar, sangat mungkin terjadi pada perempuan
nulipara.12,13 Nuliparitas juga dihubungkan dengan peningkatan risiko akibat berhentinya fase
mengedan/mendorong pada kala II.14,15
Usia ibu yang sudah lanjut juga berhubungan dengan distosia persalinan.12,16,17 Satu
penelitian menemukan bahwa perempuan nulipara yang lebih tua memiliki durasi yang lebih
lama dan tingkat distosia yang lebih tinggi pada kala I dan kala II, dibandingkan perempuan
yang lebih muda. Tidak ada hubungan antara kala I dan usia ibu setelah penyesuaian pada
perempuan yang sudah pernah melahirkan. Namun, peningkatan risiko kala II yang memanjang
lebih terlihat pada perempuan yang melahirkan di usia yang lebih tua.9

Karakteristik Janin
Ibu dari bayi makrosomal (berat lahir >4000 g atau >4.500 g) mengalami peningkatan
persalinan memanjang dan risiko distosia.7,21,22 Berat lahir >4000 g berhubungan dengan durasi
persalinan kala I, lebih besar 95% dibandingkan bayi dengan berat badan normal. Selain itu,
risiko kegagalan untuk kemajuan kala I yang mengarah ke operasi sesar meningkat. Tingkat
dan risiko persalinan kala II yang berkepanjangan sangat berhubungan dengan berat lahir
>4000 g.13,23,24

Kala I dan Kala II


Durasi kala II berhubungan dengan durasi kala I, terlepas dari potensi perancu. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa 16% perempuan memiliki durasi kala I lebih besar daripada kala II,

239
OBSTETRI GINEKOLOGI

dibandingkan dengan 4% dalam persalinan dengan kala I kurang dari persentil ke-95.25 Hasil
ini didukung oleh penelitian lain dengan peningkatan risiko 2,5 kali lipat.26 Dalam sebuah
penelitian yang membandingkan risiko persalinan kala I dengan kala II yang tidak maju,
perempuan dengan persalinan kala I yang memanjang memiliki risiko yang lebih tinggi.27,28

Cara Persalinan
Distosia adalah indikasi paling umum untuk operasi sesar primer. Banyaknya operasi sesar
berulang merupakan hasil dari operasi sesar sebelumnya seperti distosia, maka persalinan yang
lama menyebabkan banyaknya operasi caesar.29-31 Peningkatan tingkat operasi sesar darurat di
Swedia selama beberapa dekade terakhir, sebagian disebabkan oleh distosia.32-34

DAFTAR PUSTAKA
1. Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 28th Edition. Saunders. 1994.
2. Cunningham FG. Williams Obstetrics. 24th Edition. McGraw-Hill Education. 2014.
3. National Board of Health and Welfare. Indication for augmentation with oxytocin during active labour. In
Swedish: Indikation för värkstimulering med oxytocin under aktiv förlossning. Rapport från
samarbetsprojektet Nationella Medicinska Indikationer. 2011 [cited May 16:th, 2016]; Available from:
Philpott RH. Graphic records in labour. Br Med J. 1972 Oct 21;4(5833):163–6.
4. Philpott RH, Castle WM. Cervicographs in the management of labour in primigravidae. The alert line for
detecting abnormal labour. The Journal of obstetrics and gynaecology of the British Commonwealth. 1972
Jul;79(7):592-8.
5. World Health Organization Maternal Health and Safe Motherhood Programme. World Health Organization
partograph in management of labour. Lancet. 1994 Jun 4;343(8910):1399–404.
6. Selin L, Wallin G, Berg M. Dystocia in labour - risk factors, management, and outcome: a retrospective
observational study in a Swedish setting. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica. 2008;87(2):216–21.
7. Nystedt A, Hildingsson I. Diverse definitions of prolonged labour and its consequences with sometimes
subsequent inappropriate treatment. BMC pregnancy and childbirth. 2014;14:233.
8. Greenberg MB, Cheng YW, Sullivan M, Norton ME, Hopkins LM, Caughey AB. Does length of labor vary
by maternal age? American journal of obstetrics and gynecology. 2007 Oct;197(4):428 e1-7.
9. Zhu BP, Grigorescu V, Le T, Lin M, Copeland G, Barone M, et al. Labor dystocia and its association with
interpregnancy interval. American journal of obstetrics and gynecology. 2006 Jul;195(1):121-8.
10. Henry DE, Cheng YW, Shaffer BL, Kaimal AJ, Bianco K, Caughey AB. Perinatal outcomes in the setting of
active phase arrest of labor. Obstetrics and gynecology. 2008 Nov;112(5):1109-15.
11. Sheiner E, Levy A, Feinstein U, Hallak M, Mazor M. Risk factors and outcome of failure to progress during
the first stage of labor: a population-based study. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica. 2002
Mar;81(3):222-6.
12. Feinstein U, Sheiner E, Levy A, Hallak M, Mazor M. Risk factors for arrest of descent during the second
stage of labor. International journal of gynaecology and obstetrics: the official organ of the International
Federation of Gynaecology and Obstetrics. 2002 Apr;77(1):7-14.
13. Leushuis E, Tromp M, Ravelli AC, van Huis AM, Mol BW, Visser GH, et al. Indicators for intervention
during the expulsive second-stage arrest of labour. BJOG. 2009 Dec;116(13):1773-81.
14. Arulkumaran S, Koh CH, Ingemarsson I, Ratnam SS. Augmentation of labour-- mode of delivery related to
cervimetric progress. The Australian & New Zealand journal of obstetrics & gynaecology. 1987
Nov;27(4):304-8.
15. Treacy A, Robson M, O'Herlihy C. Dystocia increases with advancing maternal age. American journal of
obstetrics and gynecology. 2006 Sep;195(3):760-3.
16. Kjaergaard H, Dykes AK, Ottesen B, Olsen J. Risk indicators for dystocia in low-risk nulliparous women: a
study on lifestyle and anthropometrical factors. Journal of obstetrics and gynaecology : the journal of the
Institute of Obstetrics and Gynaecology. 2010 Jan;30(1):25-9.
17. Schiessl B, Janni W, Jundt K, Rammel G, Peschers U, Kainer F. Obstetrical parameters influencing the
duration of the second stage of labor. European journal of obstetrics, gynecology, and reproductive biology.
2005 Jan 10;118(1):17-20.
18. Friedman EA, Sachtleben MR. Relation of Maternal Age to the Course of Labor. American journal of

240
OBSTETRI GINEKOLOGI
obstetrics and gynecology. 1965 Apr 1;91:915-24. 69
19. Zaki MN, Hibbard JU, Kominiarek MA. Contemporary labor patterns and maternal age. Obstetrics and
gynecology. 2013 Nov;122(5):1018-24.
20. Kjaergaard H, Olsen J, Ottesen B, Dykes AK. Incidence and outcomes of dystocia in the active phase of labor
in term nulliparous women with spontaneous labor onset. Acta obstetricia et gynecologica Scandinavica.
2009;88(4):402-7.
21. Turner MJ, Rasmussen MJ, Turner JE, Boylan PC, MacDonald D, Stronge JM. The influence of birth weight
on labor in nulliparas. Obstetrics and gynecology. 1990 Aug;76(2):159-63.
22. Bleich AT, Alexander JM, McIntire DD, Leveno KJ. An analysis of secondstage labor beyond 3 hours in
nulliparous women. American journal of perinatology. 2012 Oct;29(9):717-22.
23. Zhang J, Landy HJ, Branch DW, Burkman R, Haberman S, Gregory KD, et al. Contemporary patterns of
spontaneous labor with normal neonatal outcomes. Obstetrics and gynecology. 2010 Dec;116(6):1281-7.
24. Nelson DB, McIntire DD, Leveno KJ. Relationship of the length of the first stage of labor to the length of the
second stage. Obstetrics and gynecology. 2013 Jul;122(1):27-32.
25. Harper LM, Caughey AB, Roehl KA, Odibo AO, Cahill AG. Defining an abnormal first stage of labor based
on maternal and neonatal outcomes. American journal of obstetrics and gynecology. 2014 Jun;210(6):536 e1-
7.
26. Sheiner E, Levy A, Feinstein U, Hershkovitz R, Hallak M, Mazor M. Obstetric risk factors for failure to
progress in the first versus the second stage of labor. The journal of maternal-fetal & neonatal medicine: the
official journal of the European Association of Perinatal Medicine, the Federation of Asia and Oceania
Perinatal Societies, the International Society of Perinatal Obstet. 2002 Jun;11(6):409-13.
27. Lemos A, Amorim MM, Dornelas de Andrade A, de Souza AI, Cabral Filho JE, Correia JB. Pushing/bearing
down methods for the second stage of labour. The Cochrane database of systematic reviews.
2015;10:CD009124.
28. Barber EL, Lundsberg LS, Belanger K, Pettker CM, Funai EF, Illuzzi JL. Indications contributing to the
increasing cesarean delivery rate. Obstetrics and gynecology. 2011 Jul;118(1):29-38.
29. American College of Obstetrics Gynecology Committee on Practice B-O. ACOG Practice Bulletin Number
49, December 2003: Dystocia and augmentation of labor. Obstetrics and gynecology. 2003 Dec;102(6):1445-
54.
30. Gifford DS, Morton SC, Fiske M, Keesey J, Keeler E, Kahn KL. Lack of progress in labor as a reason for
cesarean. Obstetrics and gynecology. 2000 Apr;95(4):589-95.
31. Florica M, Stephansson O, Nordstrom L. Indications associated with increased cesarean section rates in a
Swedish hospital. International journal of gynaecology and obstetrics: the official organ of the International
Federation of Gynaecology and Obstetrics. 2006 Feb;92(2):181-5.
32. Rouse DJ, Owen J, Hauth JC. Active-phase labor arrest: oxytocin augmentation for at least 4 hours. Obstetrics
and gynecology. 1999 Mar;93(3):323-8.
33. Rouse DJ, Owen J, Savage KG, Hauth JC. Active phase labor arrest: revisiting the 2-hour minimum.
Obstetrics and gynecology. 2001 Oct;98(4):550-4.

241
OBSTETRI GINEKOLOGI

GINEKOLOGI
Rimonta F Gunanegara

PENDAHULUAN
Ginekologi adalah ilmu yang mempelajari fisiologi dan patologi organ reproduksi di luar
kehamilan. Topik yang dibahas dalam ginekologi adalah kelainan menstruasi, bentuk dan
posisi uterus yang abnormal, infeksi traktus genitalia, tumor traktus genitalia, fistula genitalia,
dan infertiltas.
Seorang dokter yang bekerja di fasilitas pelayanan kesehatan primer harus mampu
mendiagnosis dan merencanakan penatalaksanaan berbagai penyakit. Setelah masalah
teridentifikasi, dokter akan melakukan konsultasi dengan pasien untuk menentukan cara
terbaik penatalaksanaan masalah medis berdasarkan pengalaman dan fasilitas kesehatan yang
tersedia.1-6

RIWAYAT KESEHATAN
Selama kunjungan pasien akan dilakukan anamnesis yang komprehensif, pasien akan
ditanya mengenai penyakit yang baru dialami maupun penyakit yang pernah dialami dulu.
Untuk membantu evaluasi, riwayat medis, sosial, dan riwayat operasi harus diperoleh,
termasuk riwayat obstetrik dan ginekologi.
Topik ginekologi biasanya mencakup kontrasepsi yang dipakai saat ini maupun
sebelumnya, hasil tes PMS (penyakit menular seksual) sebelumnya, skrining kanker serviks,
atau tes ginekologi lainnya, riwayat seksual, dan riwayat menstuasi. Pertanyaan obstetrik
mencakup persalinan, abortus, dan komplikasi.
Daftar obat yang sedang dikonsumsi termasuk obat resep, obat bebas, maupun obat herbal.
Riwayat operasi dan indikasinya serta komplikasi. Riwayat sosial, mencakup merokok,
penyalahgunaan narkoba, atau alkohol. Skrining kekerasan seksual, depresi, dan cara
penyelesaiannya.
Riwayat keluarga dapat membantu untuk mengidentifikasi perempuan yang berisiko
penyakit genetik atau multifaktor seperti diabetes maupun penyakit jantung. Pada keluarga
dengan kanker payudara, ovarium, kolon, evaluasi genetik dapat diindikasikan. Selain itu
riwayat keluarga mengenai tromboemboli dapat dicek terutama sebelum operasi atau
pemberian hormon. Untuk orang dewasa, pemeriksaan fisik lengkap harus dilakukan. Banyak
perempuan yang datang ke dokter kandungan dengan keluhan nyeri payudara atau panggul.1-
4,6-8

PEMERIKSAAN FISIK
• Pemeriksaan payudara
Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) adalah pemeriksaan payudara yang dilakukan oleh
pasien sendiri untuk mendeteksi adanya kelainan. The American College of Obstetricians and
Gynecologists (2014) dan The American Cancer Society (2014) merekomendasikan kesadaran
pemeriksaan payudara sendiri sebagai skrining. Sebaliknya pemeriksaan payudara klinis
dilakukan oleh seorang profesi kesehatan dan dapat mengidentifikasi sebagian kecil keganasan

242
OBSTETRI GINEKOLOGI

payudara yang tidak terdeteksi dengan mamografi. The American College of Obstetricians and
Gynecologists (2014) merekomendasikan pemeriksaan payudara klinis setiap 1–3 tahun pada
usia 20–39 tahun. Pada usia 40 tahun pemeriksaan payudara klinis dilakukan setiap tahun.
Selama pemeriksaan payudara klinis seorang perempuan duduk di sebelah meja dengan posisi
kedua tangan berada di pinggul dan fleksi musculus pectoralis, kemudian posisi satu tangan di
bawah kepala. Kulit payudara diperiksakan terhadap adanya eritema, retraksi puting, sejajar
atau tidak, dan adanya oedem yang disebut peau d’orange. Payudara dan aksila juga diperiksa
kesimetrisan dan konturnya. Dilakukan juga pemeriksaan KGB aksila, supraklavikula, dan
infaklavikula yang dapat diperiksa dalam posisi pasien duduk kemudian lengannya diangkat
dibantu oleh pemeriksa. Aksila dibatasi oleh musculus pectoralis major di bagian anterior dan
musculus latissimus dorsi di bagian posterior. KGB terdeteksi ketika tangan pemeriksa berada
di puncak aksila dan menekan ke arah dinding dada lateral. Metastasis kanker payudara ke
KGB biasanya mengenai KGB yang terdapat pada bagian tengah posterior terhadap musculus
pectoralis major. Setelah pemeriksaan palpasi payudara, dilanjutkan pemeriksaan dengan
posisi terlentang dan satu lengan berada di atas kepala untuk meregangkan jaringan sekitar
payudara. Pemeriksaan meliputi jaringan payudara yang dibatasi oleh klavikula, sternum,
inframammary fold, dan linea axillaris media. Pemeriksaan dilakukan secara pentagonal dan
linier. Menggunakan jari dengan gerakan melingkar dan berputar. Pada setiap titik palpasi
jaringan dinilai secara superfisial dan dalam. Pada pemeriksaan payudara klinis, pemencetan
puting tidak perlu dilakukan bila sudah dinyatakan oleh pasien. Jika ditemukan payudara yang
abnormal segera dicatat dan digambarkan lokasinya, payudara kanan atau kiri, posisi jam, jarak
dari areola, dan ukurannya. Selama pemeriksaan, kepada pasien diberikan edukasi bahwa
adanya massa pada aksila atau payudara, nyeri payudara, cairan yang keluar dari puting, inversi
puting, perubahan kulit payudara, kesejajaran, ulserasi, oedem, dan kemerahan harus
dievaluasi. Diberitahukan bahwa pemeriksaan payudara sendiri dilakukan seminggu setelah
menstruasi.1,2,6,8

• Pemeriksaan panggul
Kelenjar getah bening inguinalis dan inspeksi perineum.
Metode pemeriksaan ini dengan cara inspeksi perineum sampai mons pubis, genitocrural fold
di lateral sampai ke anus. Palpasi pada kelenjar bartholin dan kelenjar paraurethral. Namun
dalam beberapa kasus, gejala dan asimetris pada daerah ini akan menentukan evaluasi.1,9,10

• Pemeriksaan spekulum
Spekulum tersedia dari yang berbahan plastik maupun logam, masing-masing dalam berbagai
ukuran untuk mengakomodasi panjang dan kelainan vagina. Sebelum dimasukkan ke dalam
vagina, spekulum dapat dihangatkan dengan air mengalir atau dengan lampu. Selain itu,
pemberian pelumas dapat menambah kenyamanan pemasangan spekulum. Jika pelumasan
dilakukan, gel dioleskan ke seluruh bagian spekulum. Ketika spekulum dibuka, ektoserviks
akan teridentifikasi. Dinding dan serviks vagina diperiksakan terhadap adanya massa, ulserasi,
atau cairan.

243
OBSTETRI GINEKOLOGI

• Pemeriksaan bimanual
Pemeriksaan bimanual dilakukan setelah pemeriksaan spekulum, dilakukan penilaian ukuran
uterus dan adnexa, mobilitasnya juga dinilai dari pemeriksaan bimanual. Pada perempuan
dengan histerektomi total dan adnexectomy, pemeriksaan bimanual tetap dapat dilakukan untuk
melihat adanya kelainan panggul. Pada pemeriksaan, dengan memakai sarung tangan, jari
telunjuk dan jari tengah masuk kedalam vagina sampai ke serviks. Setelah serviks teraba,
orientasi rahim dapat dinilai dengan menyapukan jari telunjuk ke arah dalam, menuju
permukaan ventral serviks. Pada rahim dengan posisi anterversi, isthmus uteri teraba di arah
atas, sementara pada posisi retroversi, vesica urinaria pun dapat dipalpasi. Namun, pada posisi
rahim retroversi, jika jari meraba pada bagian dorsal serviks, isthmus teraba pada bagian
bawah. Jika posisi uterus retrofleksi, pemeriksa dapat meneruskan perabaan ke bagian
belakang menuju fundus uteri, kemudian menyamping untuk memeriksa ukuran uterus dan ada
tidaknya rasa nyeri.
Untuk menentukan ukuran uterus pada posisi anteversi, jari pemeriksa diletakkan di bawah
serviks, dan tekanan ke arah atas dari jari pemeriksa akan mengayunkan fundus ke arah dinding
abdomen anterior. Untuk memeriksa adneksa, pemeriksa disarankan menggunakan dua jari
yang digunakan untuk memeriksa vagina untuk mengangkat adneksa dari cul-de-sac atau fossa
Waldeyer menuju dinding abdomen anterior. Adneksa akan teraba di antara kedua jari dan
tangan pemeriksa yang berada di luar tubuh pasien yang menekan abdomen bagian bawah.
Untuk uterus berukuran normal, tangan yang berada di abdomen sebaiknya diletakkan di atas
ligamentum inguinale.1,4,7,9

• Pemeriksaan rektovaginal
Keputusan untuk melakukan pemeriksaan rektovaginal bervariasi antar klinisi. Beragam
alasan untuk melakukan pemeriksaan ini termasuk nyeri pelvik, adanya masa pelvis, gejala
yang meliputi bagian rektal, atau risiko adanya kanker kolon. Pemeriksa sebaiknya mengganti
sarung tangan saat berpindah dari pemeriksaan bimanual ke pemeriksaan rektovaginal untuk
menghindari kemungkinan kontaminasi rektum oleh patogen dari vagina. Begitu pula, jika
pemeriksaan darah samar fekal dilakukan bersamaan, sarung tangan pemeriksa harus diganti
setelah pemeriksaan bimanual selesai untuk meminimalkan hasil false positive. Langkah
pertama pada pemeriksaan rektovaginal adalah sebagai berikut: pemeriksa memasukkan jari
telunjuk ke dalam vagina dan jari tengah ke dalam rektum. Kedua jari ini digerakkan
mendekati satu sama lain dengan pola gerakan menggunting (scissoring) untuk memeriksa
septum rektovaginal atau adanya perlukaan atau peritoneal studding. Setelah itu, pemeriksa
mengeluarkan jari telunjuk, dan jari tengah meraba rektum dengan gerakan sirkuler untuk
memeriksa ada/tidaknya masa. Sampel yang didapatkan dari pemeriksaan pada bagian ini
dapat digunakan untuk pemeriksaan darah samar fekal, jika dibutuhkan. Sebagaimana akan
dibahas nanti, pemeriksaan darah samar tunggal ini bukan merupakan pemeriksaan
penyaringan (screening) kanker kolorektal yang adekuat.1,7,9

KONSELING PREKONSEPSIONAL
Tujuan konseling prekonsepsional adalah perencanaan tiap kehamilan agar tercapai luaran
maternal dan fetal terbaik.1,15-17

244
OBSTETRI GINEKOLOGI

DAFTAR PUSTAKA
1. Hoffman B, Schorge J, Bradshaw K, Halvorson L, Schaffer JMMC. Williams Gynecology.
3rd Edition. McGraw-Hill Education. 2016.
2. American College of Obstetricians and Gynecologists. Breast cancer screening. 2011.
Practice B.
3. American Cancer Society. Breast cancer prevention and early detection. 2014. Available
from: http://www.cancer.org/acs/groups/cid/documents/webcontent/003165-pdf.pdf
4. American College of Obstetricians and Gynecologists. Well-woman visit. 2012.
(Committee Opinion No. 534).
5. Centers for Disease Control and Prevention. Sexually transmitted diseases treatment
guidelines. 2014.
6. National Cancer Institute. Breast Cancer Screening (PDQ®). Available from:
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/screening/breast/healthprofessional/page1
7. American College of Obstetricians and Gynecologists. Guidelines or Women’s Health Care
4th Edition. 2014.
8. US Preventive Services task Force. Screening for breast cancer. 2009. Available from:
http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/Page/topic/recommendation-
summary/breast-cancer-screening
9. American College of Obstetricians and Gynecologists. The initial reproductive health visit.
2014. (Committee Opinion No. 598).
10. Qaseem A, Humphrey LL, Harris R, et al. Screening pelvic examination in adult women:
a clinical practice guideline rom the American College of Physicians. Ann Intern Med.
2014;161:67.
11. US Preventive Services task Force. Screening for genital herpes. 2005. Available from:
http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/uspstf05/herpes/Herpesrs.htm
12. US Preventive Services task Force. Screening for hepatitis B virus infection. 2014.
Available from:
http://www.uspreventiveservicestaskforce.org/Page/topic/recommendation-
summary/hepatitis-b-virus-infection-screening-2014
13. US Preventive Services task Force. Screening for syphilis infection. 2004;
14. Griffith WF, Stuart GS, Gluck KL, Heartwell SF. Vaginal speculum lubrication and its
effects on cervical cytology and microbiology. Contraception. 2005.
15. American College of Obstetricians and Gynecologists: The importance of preconception
care in the continuum of women’s health care. 2005. (Committee Opinion No. 313).
16. Jack BW, Atrash H, Coonrod DV, et al. The clinical content of preconception care: an
overview and preparation of this supplement. Am J Obstet Gynecol. 2008.
17. Kim DK, Bridges CB, Harriman HK, et al. Advisory Committee on Immunization Practices
recommended immunization schedule or adults aged 19 years or older. 2015.

245
OBSTETRI GINEKOLOGI

PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL DAN


KANKER GINEKOLOGIS
Rimonta F Gunanegara

PERDARAHAN UTERUS ABNORMAL


Perdarahan uterus abnormal (PUA) dapat menunjukkan beberapa pola dan istilah deskriptif
telah diperbaharui untuk menstandarkan tata nama.1 Penelitian terbaru yang merupakan
kontribusi dari para klinisi dan ilmuwan internasional dari 6 benua dan 17 negara telah
menyarankan suatu sistem baru untuk klasifikasi PUA.2
Sistem terbaru telah disetujui oleh dewan eksekutif FIGO sebagai sistem klasifikasi FIGO,
yang mana terdapat 9 kategori yang disusun menjadi PALM-COEIN: polyp, adenomyosis,
leiomyoma, malignancy and hyperplasia, coagulopathy, ovulatory dysfunction, endometrial,
iatrogenic, dan not yet classified.
Secara umum, komponen dari kelompok PALM adalah entitas yang dapat diukur secara
visual dengan imaging dan/atau pemeriksaan histopatologi, sedangkan kelompok COEIN
adalah kelompok yang tidak dapat diukur menggunakan imaging atau pemeriksaan
histopatologi.
PUA berkaitan dengan penggunaan steroid gonadal eksogenus, alat intrauterine, atau agen
lokal dan sistemik yang termasuk dalam iatrogenic. Kategori “not yet classified” dibuat untuk
mengakomodasi hal-hal yang jarang ditemukan atau tidak mudah dijelaskan. Kelompok
“malignancy and hyperplasia” ditujukan untuk lesi malignan dan lesi premalignan (seperti
hiperplasia endometrium atipikal, kanker endometrium, dan leiomyosarcoma), dikategorikan
seperti itu dalam kategori yang utama, namun selanjutnya menggunakan klasifikasi dan sistem
staging yang ada dari WHO dan FIGO.2

KANKER SERVIKS
Kanker serviks adalah kanker ginekologis yang paling sering pada perempuan di dunia.
Sebagian besar kanker ini diawali dengan infeksi human papillomavirus (HPV). Pada stadium
awal kanker ini asimptomatik dan diagnosis biasanya ditegakkan dengan evaluasi histologis
dengan biopsi atau saat kolposkopi. Pencegahan biasanya dilakukan dengan mengidentifikasi
dan mengobati perempuan dengan high grade dysplasia.1
Insiden kanker serviks berada pada peringkat ke-4 dari semua keganasan pada perempuan.2
Insiden yang lebih tinggi ditemukan di negara berkembang dan berkontribusi dalam 85% kasus
yang terdeteksi tiap tahunnya.3 Umur pada penderita kanker serviks muncul lebih awal dari
keganasan ginekologis lainnya, dengan rata-rata umur 49 tahun.4
HPV adalah etiologi primer walaupun faktor penyebab penyakit menular seksual lainnya,
seperti virus herpes simplex 2 (HSV2) juga menjadi faktor penyebab bersama HPV. HPV
serotipe 16 lebih sering ditemukan pada kanker sel skuamosa sedangkan HPV serotipe 18
sering ditemukan pada adenokarsinoma.
Merokok, baik aktif maupun pasif, dapat meningkatkan risiko kanker serviks. Perempuan
yang masih ataupun bekas perokok memiliki peningkatan insiden lesi squamous intraepitel
derajat tinggi sebesar dua hingga tiga kali dibandingkan perempuan yang tidak merokok.

246
OBSTETRI GINEKOLOGI

Perokok pasif juga meningkatkan risiko kanker. Mekanisme yang mendasari proses ini masih
belum jelas, namun diduga merokok dapat mengubah ekspresi onkoprotein virus pada sel di
mana HPV tidak tergabung pada genom inang (host).
Paritas juga memiliki peranan dalam perkembangan kanker serviks. Perempuan
multigravida dengan tujuh kehamilan aterm memiliki risiko empat kali lebih besar terkena
kanker serviks dibandingkan nullipara.
Faktor risiko lainnya adalah penggunaan obat kontrasepsi oral jangka panjang. Pada
perempuan yang terdeteksi positif DNA HPD dan menggunakan obat kontrasepsi oral, tingkat
kanker serviks meningkat hingga empat kali lipat.
Aktivitas seksual pun ditengarai terlibat dalam patofisiologi kanker serviks, mengingat
penyebaran HPV yang melalui kontak seksual. Wanita yang memiliki partner seksual lebih
dari enam memiliki risiko lebih tinggi mengidap kanker serviks. Sexarche (usia pertama kontak
seksual) sebelum usia 20 tahun juga meningkatkan risiko kanker serviks.
Perempuan dengan sistem kekebalan tubuh terganggu (immunosuppressed) juga memiliki
risiko yang lebih tinggi, karena kanker serviks adalah salah satu gangguan yang menandai
adanya AIDS. Pada umumnya rasio insiden (incidence ratio) pada perempuan dengan sistem
kekebalan tubuh terganggu adalah 5,82.
Proses pembentukan tumor pada perempuan dengan infeksi HPV dapat berkembang
menjadi lesi displastik yang bersifat preinvasive; dan dari squamocolumnar junction dapat
berkembang menjadi squamous cell carcinoma. Infeksi oleh HPV dapat lebih cepat
menginduksi replikasi dari protein E1 dan E2 yang membuat virus dapat bereplikasi di dalam
sel servikal, di mana protein-protein ini dapat mengacu pada perubahan sitologik yang disebut
“low-grade squamous intraepithelial lesion (LSIL)” pada pap smear. Amplifikasi dari replikasi
virus dan transformasi lainnya bisa menyertai proses tersebut. Gen virus E6 dan E7 ikut terlibat.
Gen E7 berikatan dengan protein rb (retinoblastoma) tumor supresor, di samping itu gen E6
berikatan dengan protein p53 tumor supressor. Proses ikatan ini menyebabkan degradasi pada
protein-protein supresor tumor dan ada kaitannya dengan proliferasi dan imortalisasi dari sel
servikal.1
Gejala klinis pada kanker umumnya asimptomatik, namun bisa ditemukan duh vagina yang
cair dan berwarna karena darah. Perdarahan intermitten dari vagina setelah koitus. Saat
keganasan meluas, perdarahan akan menjadi intens, dan terkadang perdarahan menjadi tidak
terkontrol. Pada pemeriksaan fisik kebanyakan perempuan yang mengalami kanker ini secara
umum hasilnya normal. Pada pemeriksaan dengan spekulum, sekilas serviks terlihat normal
jika keganasan bersifat mikroinvasif. Kelainan yang terlihat dapat meberikan gambaran yang
bervariasi. Pertumbuhan lesi bisa berupa eksofitik atau endofitik; suatu massa polypoid,
jaringan papil-papil, atau barrel-shaped cervix (serviks berbentuk seperti tong/barrel). Pada
pemeriksaan bimanual, pembesaran uterus akibat invasi tumor dapat dipalpasi. Hematometra
atau pyometra dapat terjadi jika didapatkan obstruksi akibat tumor primer serviks.
Limfadenopati inguinal menandakan penyebaran tumor yang sudah mencapai inguinal.1

KANKER ENDOMETRIUM
Diagnosis dini dari kanker endometrium hampir seluruhnya bergantung pada kecepatan
deteksi dan evaluasi terhadap perdarahan ireguler vagina. Pada perempuan premenopause,
didapatkan indeks yang tinggi pada kasus dugaan atau riwayat menstruasi memanjang, berat,

247
OBSTETRI GINEKOLOGI

atau spotting di antara periode menstruasi, karena kebanyakan kelainan tumor jinak lainnya
memberikan gambaran peningkatan gejala yang serupa. Perdarahan pada postmenopause
mengarah pada kemungkinan 5–10% untuk diagnosis karsinoma endometrium.5
Sangat disayangkan, beberapa pasien tidak mencari pertolongan medis meskipun
perdarahan ireguler dan berat sudah berlangsung dalam hitungan bulan bahkan tahun. Rasa
nyeri dan tekanan pada pelvis mencerminkan adanya pembesaran uterus atau penyebaran
tumor ekstrauterine.6

KANKER OVARIUM
Dewasa ini tumor ovarium menempati peringkat ke-9 keganasan pada perempuan. Setiap
tahun di seluruh dunia, lebih dari 225.000 perempuan didiagnosis menderita kanker ini, dengan
140.000 perempuan meninggal dunia akibat penyakit ini. Karsinoma epitel ditemukan pada
90–95% dari seluruh kasus, termasuk tumor yang berpotensi rendah menjadi ganas. Kurang
lebih satuperempat pasien berada dalam stadium I dan memiliki tingkat kelangsungan hidup
jangka panjang yang baik. Akan tetapi, tidak ada uji skrining yang efektif untuk kanker
ovarium dan kasus dengan gejala dini hanya sedikit yang dapat ditemukan, sehingga pada
akhirnya, duapertiga pasien sudah berada dalam stadium lanjut saat terdiagnosis.7
Banyak faktor seperti faktor reproduktif, lingkungan, dan risiko genetik berkaitan dengan
kanker ovarium. Faktor paling penting adalah adanya riwayat kanker payudara atau ovarium
dalam keluarga, dan kurang lebih 10% pasien kanker ovarium memiliki faktor risiko genetik,
dan 90% sisanya memiliki ikatan genetik yang tidak teridentifikasi, kebanyakan risikonya
berkaitan dengan pola siklus ovulasi yang tidak terganggu selama usia reproduktif. Stimulasi
berulang terhadap epitel permukaan ovarium untuk sementara ini merupakan hipotesis untuk
terjadinya perubahan yang mengarah pada keganasan.7
Nullipara berkaitan dengan ovulasi berulang yang periodenya panjang, dan pasien yang
tidak memiliki anak berisiko dua kali lipat mengalami kanker ovarium. Di antara nullipara,
perempuan dengan riwayat infertilitas memiliki risiko yang bahkan lebih tinggi. Walaupun
alasan di balik ini masih belum jelas, diduga lebih cenderung dikarenakan faktor pada ovarium
dibandingkan efek iatrogenik dari obat-obatan yang menginduksi ovulasi. Sebagai contoh,
perempuan infertil yang diterapi sehingga sukses melahirkan anak tidak memiliki peningkatan
risiko mengalami kanker ovarium.7
Menstruasi dini dan menopause yang terlambat juga merupakan faktor risiko. Sebaliknya,
menyusui mempunyai efek protektif, mungkin karena amenorrhea yang berkepanjangan.
Penggunaan jangka panjang kontrasepsi oral kombinasi untuk menghambat terjadinya ovulasi
juga diduga berkaitan dapat mengurangi risiko kanker ovarium hingga 50%. Sebaliknya, terapi
hormon setelah menopause akan meningkatkan risiko.7
Usia merupakan risiko selanjutnya. Secara umum insiden kanker ovarium meningkat seiring
bertambahnya usia hingga pertengahan usia 70-an, kemudian menurun sedikit pada perempuan
usia di atas 80 tahun. Proses penuaan memungkinkan perpanjangan periode akumulasi
perubahan genetik yang terjadi secara acak di dalam epitel permukaan ovarium. Perempuan di
Amerika Utara, Eropa Utara, atau negara industri barat lainnya memiliki risiko mengalami
kanker ovarium yang lebih tinggi. Secara menyeluruh di seluruh dunia, insidennya sangat
beragam, namun negara-negara berkembang dan Jepang memiliki tingkat yang paling rendah.7

248
OBSTETRI GINEKOLOGI

KANKER VULVA
Kanker vulva berawal di dalam sel-sel dari vulva. Tumor yang ganas merupakan
sekelompok sel kanker yang dapat tumbuh hingga mendestruksi jaringan di sekitarnya, juga
dapat bermetastasis ke bagian tubuh lainnya.
Kanker vulva hanya meliputi sekitar 4% dari seluruh keganasan ginekologis. Kebanyakan
kanker vulva didiagnosis dalam stadium dini (stadium I dan II). Kanker vulva stadium lanjut
ditemukan terutama pada perempuan dengan usia lebih tua, mungkin disebabkan hambatan
klinis dan perilaku sehingga diagnosis menjadi terlambat. Kurang lebih 90% kasus kanker
vulva adalah jenis squamous cell carcinoma. Melanoma maligna adalah jenis ke-2 yang paling
sering, tapi subtipe histologis yang langka dapat pula ditemukan. Biopsi dari lesi abnormal
vulva sangat penting untuk diagnosis kanker sejak dini.8
Usia merupakan faktor penting dan positif berhubungan dengan kanker ini. Kurang dari
20% perempuan yang terkena berusia kurang dari 50 tahun, dan lebih dari setengah kasus
ditemukan pada perempuan berusia di atas 70 tahun. Tingkat kelangsungan hidup juga berbeda
bergantung pada usia. Kumar et al. (2009) menggambarkan hazard ratio yang mendekati 4
atau kematian lebih banyak terjadi pada perempuan berusia di atas 50 tahun dibandingkan usia
yang lebih muda. Patologi kanker vulva dapat dibagi menjadi dua berdasarkan profil usia.
Kejadian pada perempuan berusia lebih muda (<55 tahun) cenderung memiliki profil risiko
yang sama dengan kanker anogenital lainnya. Kanker ini biasanya secara histologis
didefinisikan sebagai basaloid atau warty dan berkaitan dengan infeksi HPV pada 50% kasus.
Sebaliknya, pada perempuan berusia lebih tua, khususnya yang bukan perokok dan tanpa
riwayat penyakit menular seksual, jenis kankernya sebagian besar secara histologis berupa
keratinisasi, dan HPV DNA ditemukan hanya pada 15% kasus.8
Infeksi HPV dengan serotipe berisiko tinggi adalah faktor risiko selanjutnya. Secara
dominan ditemukan adalah serotipe 16, walaupun HPV serotipe 18, 31, 33, dan 45 juga pernah
dilaporkan. Meskipun infeksi HPV bersangkutan dengan banyak kanker vulva, korelasi yang
lebih kuat didapatkan pada infeksi HPV yang disertai lesi vulva preinvasif. Secara spesifik,
HPV DNA dideteksi pada 50–70% lesi invasif tapi terdeteksi lebih banyak (>90%) pada lesi
neoplasia vulva intraepitel. HPV menjadi kontributor kuat jika dikombinasikan dengan faktor
lain seperti merokok atau infkesi herpes simplex virus (HSV). Wanita perokok dan memiliki
riwayat kutil genital akibat HPV memiliki risiko terkena kanker vulva lebih tinggi
dibandingkan perempuan tanpa faktor-faktor ini.8
Infeksi HSV juga berkaitan dengan kanker vulva dalam beberapa studi. Seperti yang telah
disebutkan, asosiasi faktor risiko akan lebih menonjol ketika dipasangkan dengan risiko
lainnya seperti merokok. Dengan demikian, hubungan sebab akibat antara HSV saja dan kanker
vulva tidak dianggap suatu yang konklusif.8
Kondisi imunosupresif kronis dapat meningkatkan risiko terjadinya kanker vulva. Tingkat
terjadinya kanker vulva juga meningkat pada pasien HIV. Penjelasan yang mungkin untuk hal
tersebut adalah adanya kaitan antara HIV dengan serotipe HPV berisiko tinggi. Namun, kanker
vulva belum dipertimbangkan sebagai bagian dari AIDS. Akibat dari keterkaitan maka di
anjurkan agar seluruh pasien perempuan dengan kelainan imunitas menjalani inspeksi vulva
menyeluruh dan, jika terindikasi, pemeriksaan vulvoscopy dan biopsi.8
Pada perempuan dengan kanker vulva umumnya ditemukan gejala pruritus dan lesinya
terlihat jelas. Namun, rasa nyeri, perdarahan, ulserasi, atau massa pada inguinal bisa ditemukan

249
OBSTETRI GINEKOLOGI

atau tidak. Bisa juga merupakan keluhan dari penyakit lain. Manifestasi klinis dapat bertahan
dalam hitungan minggu atau bulan sebelum terdiagnosis, karena pasien merasa malu atau
mungkin tidak menyadari signifikansi dari gejalanya.8

DAFTAR PUSTAKA
1. Hoffman, Schorge, Bradshaw. Williams Gynecology. 3rd Edition. New York: Mc-Graw Hill. 2015.
Pg. 2657–670.
2. Malcolm G, Munro AB, Hilary O.D. Critchley C, Michael S, Broder D, et al. FIGO Working Group
on Menstrual Disorders. FIGO classification system (PALM-COEIN) for causes of abnormal
uterine bleeding in nongravid women of reproductive age. International Journal of Gynecology and
Obstetrics. 2011.
3. World Health Organization. GLOBOCAN 2012: Estimated Cancer Incidence, Mortality and
Prevalence Worldwide in 2012. Available at: http://globocan.iarc.r. Accessed January 27, 2015.
4. Torre LA, Bray F, Siegel RL, et al. Global cancer statistics, 2012. CA Cancer J Clin. 2015;65:87.
5. Howlader N, Noone AM, Krapcho M, et al: SEER Cancer Statistics Review, 1975-2011, National
Cancer Institute. 2014. Available at: http://seer.cancer. gov/csr/1975_2011/. Accessed April 12,
2015
6. Hoffman, Schorge, Bradshaw. Williams Gynecology. 3rd Edition. 2016. New York: Mc-Graw Hill.
Pg. 202,204-207,708,713-714,735-755.
7. Gynecologic Oncology University of Colorado. Available at:
https://cancer.coloradowomenshealth.com/non-cancerous/ovarian-tumors/index.html
8. Canadian Cancer Society. Vulvar Cancer. Available at: https://www.cancer.ca/en/cancer-
information/cancer-type/vulvar/vulvar-cancer/?region=on (Diakses pada 15 Agustus 2019)

250
PARASITOLOGI

TOXOPLASMA
Susy Tjahjani

Toxoplasma termasuk kelas Sporozoa yang merupakan Protozoa (hewan bersel satu) yang
tidak mempunyai alat gerak. Sporozoa adalah Protozoa yang mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut:
• Mempunyai cara perkembangbiakan baik secara aseksual ( skizogoni, yaitu pembelahan
multipel yang menghasilkan skizon yang berisi merozoit) maupun secara seksual
(sporogoni).
• Tidak mempunyai alat gerak.
• Hidup intraseluler.

Sporozoa sendiri dibagi menjadi 2:


• Coccidia: perkembangan seksual dan aseksualnya bisa terjadi pada 1 hospes (siklus hidup
bisa lengkap terjadi pada 1 hospes). Contohnya adalah Toxoplasma, Isospora, Eimeria,
dan Crytosporidium.
• Haemosporidia: perkembangan seksual dan aseksualnya masing-masing terjadi pada
hospes yang berbeda (supaya terjadi siklus hidup yang lengkap dibutuhkan dua hospes yang
berbeda): ada hospes definitif (tempat terjadinya perkembangbiakan seksual) dan ada
hospes perantara (tempat terjadinya perkembangbiakan aseksual). Contohnya adalah:
Plasmodium, Babesia, dan Sarcocystis.

Sporozoa juga dapat dibagi 2 berdasarkan tempat hidupnya:


Sporozoa darah/jaringan: Toxoplasma, Plasmodium, Babesia, Sarcocystis.
Sporozoa usus: Isospora, Eimeria, Cryptosporidium.

Siklus hidup sporozoa secara umum:


Pada skizogoni: dimulai dengan masuknya sporozoit ke dalam tubuh hospes  trofozoit
(dalam sel hospes) skizon (trofozoit yang membelah menjadi banyak dalam sel hospes
melalui skizogoni ini) berisi banyak merozoit sel inang pecah dan merozoit keluar sel
memasuki sel hospes yang baru trofozoit mikrogametosit (bakal sel kelamin jantan),
makrogametosit (bakal sel kelamin betina)  mulailah sporogoni. Mikrogametosit berubah
menjadi mikrogamet (sel kelamin jantan), makrogametosit berubah menjadi makrogamet (sel
kelamin betina). Mikrogamet bergabung dengan makrogamet menjadi zigot  zigot memiliki
dinding tebal menjadi ookista  ookista mengandung sporozoit ookista pecah dan sporozoit
keluar. Sporozoit ini selanjutnya masuk kembali ke dalam sel hospes.

TOXOPLASMA GONDII

Toxoplasma gondii dapat menyebabkan toxoplasmosis. Toxoplasma gondii merupakan parasit


intraseluler yang hidup dalam sel tubuh yang berinti. Parasit ini berbentuk bulan sabit
dengan salah satu ujung lebih tumpul, inti sel berada dekat ujung yang tumpul.

251
PARASITOLOGI

Toxon=melengkung, plasma=bentuk.
Ukuran ookista: 9 x 13 µm
Ukuran takhizoit: 2–4 x 6–7 µm
Toxoplasma gondii dapat menginfeksi anjing, kucing, domba, babi, tikus, burung, manusia,
dan berbagai jenis Mammalia dan Aves, tetapi yang dapat berperan sebagai hospes definitif
hanyalah kucing (di dalam tubuhnya dapat terjadi perkembangbiakan secara seksual dan
aseksual).

Epidemiologi Toxoplasmosis
Pada keadaan kering, insiden toxoplasmosis akan berkurang. Pada keadaan di mana populasi
kucing/hospes perantara bertambah, insiden toxoplasmosis akan meningkat. Banyak sekali
penduduk yang pernah terserang toxoplasmosis, tapi tidak menyadarinya, bahkan di daerah
yang bersuhu panas dengan kelembaban yang tinggi dan merupakan dataran rendah, persentasi
penduduk yang pernah mengidap toxoplasmosis mencapai 95% (CDC, 2015).

Perkembangan dalam tubuh kucing:


Bentuk infektif:
Transmisi peroral:
• Kistozoit/bradizoit (sel parasit dalam kista jaringan),
• Ookista matang dan
• Endozoit/takhizoit.
Transmisi transplasental:
• Endozoit/takhizoit

Bila tertelan, bentuk infektif akan masuk ke dalam sel epitel usus. Pada mulanya terjadi
perkembangbiakan secara aseksual menghasilkan merozoit, kemudian sel epitel usus pecah dan
merozoit akan menginfeksi sel epitel usus lainnya dan memulai lagi perkembangbiakan secara
aseksual. Setelah 5 kali siklus, sebagian merozoit berubah bentuk menjadi gametosit  gamet
 zygote  mengeluarkan sekret menjadi ookista setelah matang mengandung 2 sporokista
dan masing-masing sporokista mengandung 4 sporozoit. Ookista yang dikeluarkan melalui
tinja belum matang dan akan mengalami pematangan di tanah sekitar 1–4 hari. Setelah matang,
ookista dapat menginfeksi inang yang lain.
Perkembangan stadium intestinal ini dapat bersama dengan stadium ekstra-intestinal.
Perkembangan stadium ekstra-intestinal dimulai dengan masuknya merozoit dari sel epitel usus
ke dalam saluran limfe dan pembuluh darah. Pada fase ekstraintestinal, dapat terjadi stadium
kista jaringan (berisi bradizoit/kistozoit) dan pseudokista selain stadium trofozoit/endozoit.

Penularan pada manusia:


1. Carnivorism melalui kista jaringan yang mengandung kistozoit yang termakan.
2. Fecal-oral dengan tertelannya ookista.
3. Transplacental melalui stadium takhizoit
4. Kissing (?)
5. Darah perifer dari penderita yang bergejala masuk ke dalam tubuh hospes lain.

252
PARASITOLOGI

6. Transplantasi jantung dari donor yang sakit (jantung mengandung kista).


Pada manusia yang tertular dengan cara carnivorism dan fecal-oral, perkembangan selanjutnya
dari parasit ini sama seperti pada kucing yaitu mengalami stadium intestinal dan ekstra-
intestinal, hanya pada manusia tidak terjadi perkembangbiakan secara seksual sehingga dalam
tinja manusia tidak mungkin dapat ditemukan stadium ookista.
Stadium takizoit = stadium endozoit yang berproliferasi.
Stadium bradizoit = stadium kistozoit yang berproliferasi.

Gambar 1. Siklus Hidup Toxoplasma gondii (Frenkel dan Fishback, 2000)

Gambar 2. Gambaran Skematik Takhizoit (kiri) dan Bradizoit (kanan).

253
PARASITOLOGI

Patogenesis :
Toxoplasma masuk ke dalam sel hospes dengan cara yang cukup kompleks yang di antaranya
melibatkan:
• Organel (roptri, mikronema) di ujung parasit yang tidak terlindung oleh inner membrane
complex. Protein MIC3 (dihasilkan oleh mikronema) membantu perlekatan sel inang
dengan parasit, protein MIC2 membantu pergerakan sistem aktin-miosin parasit yang
memudahkan masuknya parasit ke dalam sel inang.
• Terjadi aktivasi enzim fosfolipase A2 dalam parasit oleh MAP kinase dengan bantuan Ca2+
yang akan melisiskan dinding sel parasit.
Roptri berperan dalam pembentukan vakuola parasitoforous dalam sel inang tempat
Toxoplasma berdomisili dan granula padat (dense granule) berperan dalam memudahkan
transpor nutrisi dari sel inang ke dalam sel parasit. Akan terjadi nekrosis inflamatorik pada sel
inang yang diserang.

Fase enterik (yang disebabkan oleh perkembangan parasit dalam sel epitel usus ):
- Pada hewan : menyebabkan enteritis
- Pada manusia : asimptomatis
Dari usus, parasit ini dapat masuk ke dalam saluran limfe sehingga takhizoit memasuki
kelenjar limfe regional dan terjadilah limfadenopati.
Dari usus parasit ini juga dapat masuk ke dalam pembuluh darah sehingga sampai ke paru,
hati, dan organ lainnya, terjadilah hepatitis dan lain-lain.
Antibodi terbentuk setelah 1–2 minggu, jadi bersamaan dengan timbulnya lesi dengan gejala,
sebagian parasit di luar sel dirusak dalam aliran darah.

Empat mekanisme patogenesis:


1. Nekrosis karena infeksi
2. Delayed hypersensitivity
3. Reaksi antigen-antibodi
4. Infark

Hal yang terutama mempengaruhi patogenesis toxoplasmosis dalam tubuh manusia adalah
sistem imun penderita, selain faktor genetik penderita, virulensi parasit, dan besarnya inokulum
(Munoz et al., 2011). Strain Toxoplasma gondii (strain I, strain II, strain III) berpengaruh
terhadap kejadian toxoplasmosis kongenital seperti terjadinya korioretinitis, prematuritas, dan
beratnya kelainan kongenital (Roldan, 2014).

Infeksi akut
Terjadi multiplikasi takhizoit di dalam sel-sel yang bernukleus tiap 5–12 jam. Setelah
mengandung 16–32 parasit, sel akan pecah, parasit kemudian masuk ke dalam sel berikutnya
sehingga terjadilah nekrosis fokal (destruksi sel yang nyata terjadi sebelum terbentuk antibodi
yang cukup).
Pada otopsi ditemukan:
- Pneumonia interstitial
- Hepatitis fokal

254
PARASITOLOGI

- Miokarditis
- Miositis
- Ensefalitis
Dengan kekebalan yang meningkat terjadilah infeksi kronik.

Infeksi kronik
Pada infeksi kronik, ditemukan kista jaringan yang berisi stadium kistozoit (di otak, retina, otot
skelet, otot jantung). Suatu saat kistozoit dapat berproliferasi (menjadi stadium bradizoit),
kistanya dapat pecah, sehingga bradizoit ke luar. Kalau daya tahan (imunitas) penderita baik
akan timbul reaksi alergi yang berupa nekrosis jaringan dan inflamasi kronik. Apabila hal ini
terjadi pada penderita dengan imunosupresi maka akan terjadi proliferasi baru dari takhizoit,
terjadilah rekrudesensi.

Infeksi kongenital
Ada 2 jenis:
1. Tipe dengan lesi generalisata yang menonjol.
2. Tipe dengan lesi pada susunan saraf pusat yang menonjol.
Pada tipe satu ditemukan pneumonia, hepatitis, dan miokarditis yang sangat berat. Ditemukan
reaksi inflamasi mononuklear dan takhizoit di tepi lesi. Semua ini akan menghilang dan
meninggalkan fibrosis, kecuali pada otak (tipe 2), terjadi ensefalitis  akumulasi antigen
Toxoplasma pada ventrikel lateral dan ventrikel III  terjadi reaksi antigen-antibodi 
vaskulitis, trombosis nekrosis karena infark pada jaringan periventrikuler.
Transmisi secara transplasental pada manusia yang imunokompeten biasanya terjadi hanya satu
kali karena setelah infeksi pertama, penderita akan memiliki imunitas dan menderita infeksi
kronik.

Toxoplasmosis Akuisita Akut


Pada penderita didapatkan demam, nyeri kepala, limfadenopati terutama di leher (pada
perempuan lebih sering daripada laki-laki), myalgia, rash, arthralgia, dan hepatitis.
Pada pemeriksaan laboratorik didapatkan:
- Leukosit normal/sedikit menurun, limfositosis, monositosis.
- Hematokrit normal  anemia.
- Pada pemeriksaan patologis kelenjar getah bening: hiperplasia retikuler.
- Transaminase sedikit meningkat.
- IgG (Imunoglobulin G) atau respon antibodi lambat dan IgM (Imunoglobulin M) atau
respon antibodi dini; keduanya meningkat.

Toxoplasmosis Neonatal
Banyak didapatkan kelainan pada susunan saraf pusat dengan gejala: retinokhoroiditis,
hipotermia, konvulsi, anemia, hidrosefalus, mikrosefalus, splenomegali, hepatomegali, dan
limfadenopati. Kemudian akan menyebabkan retardasi mental, spastisitas, gangguan
penglihatan, dan tuli.
Semakin muda usia kehamilan pada waktu infeksi akut terjadi, semakin rendah kejadian
transmisi transplasental terhadap janin yang dikandungnya, tetapi kelainan kongenital yang

255
PARASITOLOGI

ditimbulkannya semakin berat. Sebaliknya, semakin tua usia kehamilan pada waktu infeksi
akut terjadi, transmisi transplasental semakin mudah terjadi, tetapi kelainan kongenital yang
ditimbulkannya semakin ringan (Montoya dan Remington, 2008; Roldan, 2004).

Toxoplasmosis Okuler
Terdapat retinokhoroiditis:
- Unilateral
- Tidak nyeri
- Disertai eksudat pada cairan vitreus.
Menyebabkan penglihatan jadi kabur.
Penyakit ini merupakan penyakit self limited tetapi sering rekuren.
Penyakit (penglihatan) akan lebih jelek apabila menderita limfoma atau setelah mendapat terapi
kortikosteroid.
Kalau penyakit ini progresif akan menyebabkan kebutaan disertai glaukoma.
Pada pemeriksaan ditemukan:
- Edema retina, nervus opticus
- Iridosiklitis
- Stadium akhir menjadi panuveitis

Toxoplasmosis pada Penderita Imunodefisiensi


Terdapat 2 bentuk:
1. Recrudescent chronic infection
Sering menyebabkan ensefalitis.
Gejala menyerupai tumor/abses serebri.
Relapsnya infeksi kronik karena adanya penyakit AIDS, pemberian kortikosteroid,
cyclophosphamide.
2. Severe primary infection.
Gejala menyerupai recrudescent chronic infection , hanya jauh lebih berat.
Terjadi pada penderita dengan leukemia, limfoma, AIDS, penderita yang mendapat obat-
obatan immunosupresif.

Diagnosis toxoplasmosis
1. Identifikasi parasit
2. Isolasi parasit (inokulasi pada hewan).
3. Serologis
• Toxo-IgM
Muncul pada minggu pertama setelah infeksi, mencapai puncaknya setelah 1–2 bulan,
kemudian menurun setelah 4 bulan, tapi pada beberapa orang (± 5%) antibodi ini tetap
terdeteksi sampai lebih dari 1 tahun setelah infeksi primer.
Kalau pada neonatus ditemukan IgM (+), maka neonatus tersebut menderita
toxoplasmosis karena IgM ini tidak dapat menembus barier plasenta (IgM ini bukan
berasal dari ibunya melainkan hasil produksi janin).
• Toxo-IgA
Diproduksi pada akhir bulan pertama setelah infeksi. Toxo-IgA dan Toxo-IgM

256
PARASITOLOGI

meningkat secara paralel dan mencapai puncaknya setelah 2–3 bulan dan akan
menghilang sebelum penurunan IgM.
• Toxo-IgG
Muncul beberapa minggu setelah IgM, mencapai puncaknya setelah 6 bulan, bertahan
dalam titer tinggi sampai beberapa tahun, kemudian perlahan-lahan turun dan dapat
menetap dalam kadar rendah seumur hidup.
Keadaan yang menyulitkan sering terjadi di mana pada seorang yang asimtomatis,
kadar Toxo-IgG stabil, kadar Toxo-IgM (+); dalam keadaan ini diperlukan pemeriksaan
Toxo-IgA walaupun masa deteksinya pendek.
• Anti-Toxoplasma IgG avidity
Pada permulaan, aviditas rendah (antigen banyak), makin lama aviditas meningkat
(antigen makin sedikit).

Macam-macam tes serologis:


- Tes warna Sabin dan Feldman (Sabin and Feldman dye test)  membutuhkan
parasit hidup.
- Tes zat anti fluoresen: menentukan IgM.
- Tes hemaglutinasi tidak langsung: menentukan IgG  lama.
4. PCR: yang diamplifikasi adalah gen P 30 atau B1 atau gen ribosom.

Pengobatan
Toxoplasmosis akuta dengan limfadenitis baik pada dewasa maupun anak-anak yang
imunokompeten biasanya tidak membutuhkan terapi obat anti-Toxoplasma karena akan
sembuh sendiri dari toxoplasmosis akuta menjadi toxoplasmosis kronik kecuali kalau gejalanya
berat atau persisten.
1. Pirimetamin + Sulfonamid + Folinic acid
Dosis pirimetamin : dewasa 3 hari pertama 75 mg/hari, kemudian 25 mg/hari
anak-anak 1 mg/kgBB/hari
Dosis sulfonamid : dewasa 4 x 500 mg/hari
anak-anak 25–35 mg/kg BB, 4 kali sehari
Dosis Folinic Acid : dewasa 3–10 mg/hari
anak-anak 1 mg/hari
(untuk mencegah timbulnya efek samping depresi sumsum
tulang)
Obat diberikan sampai terbentuknya antibodi yang dapat mengontrol infeksi kronik.
2. Spiramisin
Dosis : dewasa 4 x 500–750 mg/hari
anak-anak 50–100 mg/kg BB, 2 kali sehari
3. Spiramisin + Sulfonamid
4. Kortikosteroid untuk reaksi peradangan, penggunaannya harus hati-hati karena sering
menyebabkan penyebaran sistemik. Penderita yang serologis (+) dan akan mendapatkan
imunosupresan harus diberi anti-Toxoplasma dulu.
5. Klindamisin dapat digunakan untuk membunuh Toxoplasma, tetapi obat ini tidak dapat
masuk ke dalam sistem saraf pusat.

257
PARASITOLOGI

DAFTAR PUSTAKA
1. CDC. Parasites-Toxoplasmosis. 2015.
http://www.cdc.gov/parasites/toxoplasmosis/epi.html Diunduh 15 Juni 2015.
2. Frenkel JK, Fishback JLToxoplasmosis. In Strickland GT: Hunter’s Tropical Medicine and
Emerging Infectioius Diseases. 8th Edition. Saunders. 2000.
3. Lindsay DS. https://www.researchgate.net/publication/ 13715029 _Structures_of_
Toxoplasma_gondii_ Tachyzoites_Bradyzoit es_and_Sporozoites_and_Biology_and
_Development_of_Tissue_Cysts/figures?lo=1. Diunduh 2 Oktober 2019.
4. Montoya JG, Reminton Js. Management of Toxoplasma gondii Infection during Pregnancy.
Clin Infect Dis. 2008;47:554–66.
5. Munoz M, Liesenfeld O, Heimesaat MM. Immunology of Toxoplasma gondii. Immunol
Rev. 2011;240(1):269–85.
6. Roldan MM, Heimesaat MM, Liesenfeld O. Toxoplasmosis. In Farrar J, Hotez PJ,
Junghanss T, Kang G, Lallo D, White NJ (Editors). Manson’s Tropical Diseases. 23rd
Edition. Elseviers Saunders. 2014. 652–663.
7. Susy Tjahjani. Toxoplasmosis. Penyakit Parasit yang Ditularkan melalui Makanan dan
Minuman. Cetakan ke-1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2017.

258
PARASITOLOGI

TRICHOMONIASIS
Rita Tjokropranoto

Definisi
Trichomoniasis adalah penyakit infeksi menular seksual yang disebabkan oleh protozoa
Trichomonas vaginalis, ditularkan melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus
urogenitalis bagian bawah pada perempuan maupun laki-laki, namun pada laki-laki peranannya
sebagai penyebab penyakit masih diragukan. Trichomoniasis merupakan infeksi saluran
urogenital yang dapat bersifat akut maupun kronis.

Habitat
Vagina merupakan tempat infeksi paling sering pada perempuan, sedangkan uretra (saluran
kemih) merupakan tempat infeksi paling sering pada laki-laki.

Epidemiologi
Angka kejadian adalah 170 juta kasus per tahun. Di Amerika diperkirakan kasus baru infeksi
Trichomonas vaginalis sekitar 8 juta dalam setahun. Infeksi Trichomonas vaginalis
menginfeksi perempuan berusia 16–49 tahun. Parasit ini lebih sering menyerang perempuan,
namun laki-laki dapat terinfeksi dan menularkan kepada pasangannya lewat kontak seksual.

Taksonomi
• Subkingdom : Protozoa
 Phylum : Sarcomastigophora/Zoomastigina
 Subphylum : Mastigophora
 Class : Parabasalia
 Ordo : Trichomonadida
 Famili : Trichomonadidae
 Genus : Trichomonas
 Spesies : Trichomonas vaginalis (Donne,1836)

Morfologi
• Trichomonas vaginalis hanya memiliki stadium trophozoit, tidak membentuk stadium
kista.
 Trophozoit bentuk oval/bulat, ukuran: panjang 10 µm, lebar 7 µm.
• Trophozoit memiliki 4 buah flagela bebas dan 1 buah flagel yang melekat pada bagian
tubuh trophozoit melalui membrana undulans, yang mana merupakan alat gerak trophozoit
sehingga gerakannya berputar.
• Terdapat 1 buah inti bulat, di bagian anterior trophozoit.
• 1 buah axostyle menonjol keluar pada bagian posterior trophozoit.
• 1 buah parabasal body yang berbentuk V
• Sitoplasma bervakuola, berisi bakteri dan eritrosit.
• Sitostoma kurang jelas

259
PARASITOLOGI

• Perkembangbiakan secara belah pasang longitudinal.

Gambar 1. Morfologi Trichomonas vaginalis

Siklus Hidup
Manusia merupakan hospes utama transmisi penularan Trichomonas vaginalis. Transmisi
penularan trophozoit melalui hubungan seksual. Habitat Trichomonas vaginalis pada
perempuan adalah epitel vagina. Parasit ini menginfeksi epitel skuamous tractus genital.

Gambar 2. Siklus Hidup Trichomonas vaginalis

260
PARASITOLOGI

Patogenesis
Faktor yang berperan dalam patogenesis adalah:
• Interaksi parasit dengan hospes utama:
- Pada masa pubertas, flora bakteri vagina berubah, pH vagina menjadi >4,5.
- Estrogen meningkatkan sekresi mukus vagina, sehingga suasana vagina menjadi asam.
- Flora normal vagina yaitu Lactobacillus acidophilus memberikan suasana asam vagina
berkisar pH 4–4,5. Valandkhani, 2004 menunjukkan bahwa Lactobacillus acidophilus
meningkatkan daya adhesi Trichomonas vaginalis terhadap epitel vagina, namun
keadaan ini hanya terjadi pada fase initial, selanjutnya parasit ini tidak dapat tumbuh
dengan baik bila terdapat konsentrasi tinggi Lactobacillus acidophilus.
- Kadar besi yang tinggi menyebabkan jumlah adhesin Trichomonas vaginalis
meningkat. (Lehker et al., 1991).
• Cysteine proteinase
- Adhesin pada parasit Trichomonas vaginalis dilindungi oleh suatu protein yaitu
cysteine proteinases (CPs), terdapat 23 CPs, protein ini berperan dalam virulensi, antara
lain sitotoksisitas, hemolisis, respon imun, dan cytoadherence, juga mendegradasi
permukaan immunogen parasit.
- Dasar molekuler adhesion T. vaginalis memiliki 4 antigen permukaan yang melekat
pada sel epitel vagina.
- Adhesion berperan dalam patogenesis Trichomoniasis. Adhesion T. vaginalis pada sel
epitel target pada manusia diidentifikasi sebagai molekul adhesi (Ad) yang terletak pada
permukaan parasit.
- Kontak T. vaginalis dengan sel target mamalia mengakibatkan upregulated Ad dan
bentuk parasit menjadi flattened; hal ini penting agar dapat melekat pada sel hospes.
- Cysteine proteinase dibutuhkan terkait Ad mediated adhesion parasit terhadap sel
hospes.

Cytoadherence
Cytoadherence merupakan salah satu langkah penting untuk kolonisasi dan pertahanan
suatu patogen parasit Trichomonas terhadap proses infeksi, T. vaginalis harus dapat mengatasi
sekret vagina yang konstan keluar. Parasit ini harus dapat bertahan hidup terhadap reaksi yang
tidak diinginkan dari lingkungan hospes, bertahan terhadap anti-trichomonal immunoglobulin
yang dapat melarutkan trichomonas protein, selain itu Trichomonas harus bertahan terhadap
nutrisi yang terbatas untuk terjadinya pertumbuhan yang optimal dan bermultiplikasi.
Cytodherence Trichomonas bergantung pada waktu, suhu, dan pH, tapi tidak bergantung
pada virulensi. Molekul yang berperan dalam adhesi T. vaginalis pada epitel vagina adalah
adhesins dan cystein.

Adhesins
Adhesins merupakan protein permukaan yang melekat pada membrana Trichomonas.
Adhesins disintesis oleh T. vaginalis, terdapat 4 tipe adhesion proteins (APs). Adhesins
berinteraksi sebagai mediator perlekatan parasit dengan sel epitel vagina (vaginal epithelia
cells [VECs]) melalui ligand-receptor-type. Setelah terjadi ikatan dengan VECs, sel tubuh

261
PARASITOLOGI

Trichomonas vaginalis menjadi panjang, membentuk struktur menyerupai pseudopod pada


tempat perlekatan parasit pada reseptor.
Trichomonas vaginalis memiliki beberapa cysteine proteinase (CPs) yang berperan dalam
virulensi, seperti sitotoksisitas, evasi respon imun, CP berperan sebagai faktor litik (lytic factor
[LF]) pada hemolisis eritrosit, cytoadherence, dan mendegradasi IgG dan IgA sel hospes.
Selama pengenalan dan pembentukan ikatan antara T. vaginalis dan sel hospes,
diidentifikasi terdapat 3 buah transduksi signal Trichomonas vaginalis, yaitu:
• Transformasi morfologi dan reproduksi tuan rumah definitif.
• Perbedaan signal dihubungkan dengan perubahan bentuk parasit yang menstimulasi parasit
yang telah melekat untuk melakukan sintesis adhesins.
• VEC mengawali prosesnya dengan merekrut parasit Trichomonas vaginalis yang lain untuk
menginfeksi sel hospes.

Cell-Detaching Factor
CDF berperan dalam patogenesis Trichomonas vaginalis, hal ini ditemukan CDF memiliki
aktifitas optimum pada pH 5,0–8,5 dan tidak aktif pada pH <4,5.

Evasi Sistem Imun


Trichomonas vaginalis menghindari sistem komplemen. Resistensi terhadap komplemen
bergantung pada konsentrasi tinggi zat besi. CPs mendegradasi C3 pada permukaan parasit,
keadaan ini memfasilitasi parasit untuk menghindari complement-mediated destruction.

GAMBARAN KLINIS PADA PEREMPUAN


Gambaran klinis trichomoniasis pada perempuan bukan merupakan parameter diagnostik
yang dapat dipercaya. Masa tunas sulit dipastikan, tetapi diperkirakan berkisar 3–28 hari. Pada
perempuan, keluhan maupun gejala sering tidak ditemukan sama sekali. Bila ada keluhan
biasanya berupa duh tubuh vaginal yang banyak dan berbau. Dari data yang dikumpulkan oleh
Wolner-Hanssen (1989) dan Rein (1989), ternyata hanya 50–75% penderita yang mengeluhkan
duh tubuh vagina, sehingga pernyataan bahwa trichomoniasis pada perempuan harus selalu
disertai duh tubuh vagina merupakan hal yang tidak benar.
Duh tubuh yang klasik berwarna kehijauan dan berbusa, keadaan ini hanya ditemukan pada
10–30% penderita. Duh tubuh yang banyak sering menimbulkan keluhan gatal dan perih pada
vulva serta kulit sekitarnya. Keluhan lain yang mungkin terjadi adalah dispareunia, perdarahan
pascakoitus, dan perdarahan intermenstrual.
Pada pemeriksaan fisik terhadap penderita dengan gejala vaginitis akut, tampak edema dan
eritema pada labium yang terasa nyeri, sedangkan pada vulva dan paha bagian atas kadang
ditemukan abses-abses kecil dan maserasi yang disebabkan oleh fermentasi proteolitik oleh
duh tubuh. Pemasangan spekulum sering sulit dan dirasakan sakit. Pada serviks tampak
gambaran yang dianggap khas untuk trichomoniasis, yaitu strawberry cervix. Menurut Fouts
et al., hal ini hanya ditemukan pada 2% kasus trichomoniasis.
Kadang reaksi radang sangat minimal sehingga duh tubuh sangat minimal pula, bahkan
dapat tidak tampak sama sekali. Polakisuria dan disuria biasanya merupakan keluhan pertama
pada infeksi traktus urinarius bagian bawah yang simptomatik. Dua puluh lima persen

262
PARASITOLOGI

penderita mengalami infeksi pada uretra. Pada keadaan ini, saluran kelenjar Skene dapat
terkena pula, yang mana pada perabaan akan terasa mengeras dan bila ditekan akan
mengeluarkan pus. Bartholinitis merupakan komplikasi yang jarang terjadi; kasus yang
dilaporkan mungkin sebenarnya disebabkan oleh bakteri.

GAMBARAN KLINIS PADA LAKI-LAKI


Seperti pada perempuan, spektrum klinik trichomoniasis pada laki-laki sangat luas, mulai
dari tanpa gejala sampai dengan uretritis yang hebat dan komplikasi prostatitis. Masa inkubasi
biasanya tidak melebihi 10 hari. Gambaran klinis dapat dibagi sebagai berikut:
• Pembawa kuman asimtomatik
Meskipun T. vaginalis dapat ditemukan dalam uretra, urin, dan cairan prostat laki-laki yang
melakukan kontak seksual dengan perempuan yang menderita trichomoniasis, namun
hanya 10–50% penderita yang menunjukkan adanya keluhan dan gejala infeksi.
• Simtomatik
- Gambaran klinis akut
Gambaran klinis akut merupakan keadaan yang jarang terjadi. Harkness (1950) serta
Fisher dan Morton (1969) mengemukakan bahwa uretritis, prostatitis, dan epididimitis
dapat merupakan manifestasi trichomoniasis pada laki-laki, akan tetapi peranannya
masih disangsikan apakah keadaan tersebut sebenarnya disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis atau Ureaplasma urealyticum.
- Gambaran klinik ringan
Sebagian besar trichomoniasis simtomatik menunjukkan gejala uretritis ringan yang
gambaran klinisnya sulit dibedakan dari uretritis non-gonore (UNG) yang disebabkan
oleh sebab lain. Hanya pada 50–60% kasus simtomatik didapatkan duh tubuh uretra,
sepertiga kasus menunjukkan duh tubuh purulen, sepertiga lainnya masing-masing
mukopurulen dan mukoid. Duh tubuh biasanya keluar secara intermiten, sedang disuria
dan perasaan gatal pada uretra, masing-masing hanya dikeluhkan oleh kurang dari
seperempat kasus. Uretritis oleh karena Trichomonas vaginalis pada umumnya bersifat
self limiting disease. Balanopostitis dapat pula terjadi dan lebih sering pada laki-laki
yang tidak disunat dan kurang memperhatikan kebersihan diri. Keadaan ini ditandai
erosi yang nyeri pada glans dan preputium, kadang disertai duh tubuh purulen, terutama
bila disertai infeksi sekunder.

DIAGNOSIS
Variasi gambaran klinis trichomoniasis sangat luas, di samping itu berbagai kuman
penyebab IMS dapat pula menimbulkan keluhan serta gejala yang sama, sehingga diagnosis
yang hanya berdasarkan gambaran klinis tidak dapat dipercaya. Meskipun berbagai keluhan
dan gejala dapat mengarahkan pada diagnosis trichomoniasis, baik pada laki-laki maupun
perempuan, namun hal tersebut tidak cukup untuk membuat suatu diagnosis.
Diagnosis trichomoniasis ditegakkan setelah ditemukan Trichomonas vaginalis pada
sediaan langsung (sediaan basah) atau pada biakan duh tubuh penderita.
Diagnosis pada laki-laki lebih sulit, karena infeksi ditandai oleh jumlah kuman yang lebih
sedikit dibandingkan perempuan. Uretritis non-gonore yang disebabkan oleh Trichomonas

263
PARASITOLOGI

vaginalis tidak dapat dibedakan secara klinis dari UNG oleh penyebab lain.
Respon terhadap pengobatan dapat menunjang diagnosis. Uretritis non-gonore yang gagal
diobati dengan regimen yang efektif terhadap Chlamydia trachomatis dan Ureaplasma
urealyticum, namun responsif terhadap pengobatan dengan metronidazol, menunjang diagnosis
trichomoniasis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Cara pengambilan spesimen
Pada perempuan, spesimen berupa apusan forniks posterior dan forniks anterior yang
diambil dengan lidi kapas atau sengkelit steril. Spekulum yang dipakai hendaknya tidak
memakai pelumas. Pada laki-laki, spesimen diambil dengan mengerok (scraping) dinding
uretra secara hati-hati menggunakan sengkelit steril. Pengambilan spesimen sebaiknya
dilakukan sebelum berkemih pertama.
Dikemukakan bahwa hasil positif pada pemeriksaan sediaan basah pada perempuan berkisar
40–80% sedangkan biakan berkisar 95%. Biakan lebih sensitif 10–15% daripada sediaan basah.
Berdasarkan hal tersebut, biakan masih tetap merupakan pemeriksaan yang dianjurkan untuk
menunjang diagnosis trichomoniasis. Sangat disayangkan bahwa sampai saat ini masih sangat
jarang laboratorium di Indonesia yang dapat melaksanakan biakan T. vaginalis.

Tes imunofluoresen
Teknik ELISA, immunofluorescent antibody, latex agglutination merupakan teknik
pemeriksaan yang peka dengan sensitivitas lebih dari 90% namun teknik tersebut masih dalam
tahap penelitian.

PENGOBATAN
Pengobatan trichomoniasis harus diberikan kepada penderita yang menunjukkan gejala
maupun yang tidak. Regimen yang dianjurkan untuk pengobatan adalah:
- Metronidazol 2 gram oral dosis tunggal, atau
- Tinidazol 2 gram oral dosis tunggal
Regimen alternatif adalah: Metronidazol 2 x 500 mg oral selama 7 hari

Pengobatan mitra seksual


Mitra seksual harus diobati sesuai dengan regimen penderita. Dosis yang dianjurkan untuk
mitra seksual laki-laki adalah dosis terbagi selama 7 hari. Efektivitas dosis tunggal belum
banyak diteliti. Latief melaporkan 40% kegagalan pengobatan pada laki-laki dengan dosis
tunggal.

264
PATOLOGI ANATOMI

ASPEK PATOLOGI ANATOMI TRAKTUS GENITALIS


WANITA
Sri Nadya J Saanin

Traktus genitalis wanita terdiri dari vulva, vagina, uterus, cervix, tuba falopii, dan ovarium.
Berbagai kelainan secara klinis maupun patologis sering ditemukan seperti komplikasi
kehamilan, inflamasi, tumor, dan akibat induksi hormonal. Organ ini sering mengalami infeksi
dari ringan sampai berat yang berakibat infertilitas maupun sepsis intraabdomen berat seperti
pada pelvic inflammatory disease (PID).

1. INFEKSI, INFLAMASI, DAN PENYAKIT NON-NEOPLASTIK

INFEKSI TRAKTUS GENITALIS WANITA


Infeksi pada traktus genitalis wanita dapat disebabkan oleh berbagai organisme, seperti
candidiasis dan trichomoniasis yang sering menimbulkan keluhan rasa tidak nyaman tetapi
tidak meninggalkan gejala sisa yang serius. Infeksi lain seperti infeksi gonorrhea dan
chlamydia merupakan penyebab utama infertilitas. Infeksi mycoplasma dapat mengakibatkan
aborsi spontan. Virus terutama human papilloma virus (HPV) berperan dalam perkembangan
keganasan vulva dan cervix.
Kebanyakan penularan terjadi secara transmisi seksual, seperti trichomoniasis, gonorrhea,
granuloma inguinale, lymphogranuloma venereum, syphilis, herpes, dan HPV.

Infeksi Traktus Genitalia Wanita Bagian Bawah (Vulva, Vagina, dan Cervix)
Herpes simplex, sering mengenai wanita muda, ditularkan secara seksual. Salah satu
penyebab tersering adalah virus Herpes simplex tipe 2 (HSV-2). Lesi timbul 3–7 hari setelah
hubungan seksual, yang mana terdiri dari papul-papul berwarna merah dan nyeri di vulva.
Selanjutnya papul-papul akan berubah menjadi vesikel-vesikel yang bergabung membentuk
ulkus. Vesikel dan ulkus mengandung partikel-partikel virus. Lesi sembuh spontan dalam 1–3
minggu, tetapi infeksi laten terjadi di ganglia saraf regional.
Candida, infeksi oleh organisme ini sering terjadi dan 10% wanita diduga menjadi karier
dari fungi vulvovaginal. Kelainan ini berhubungan dengan diabetes mellitus, kontrasepsi oral,
dan kehamilan. Lesi moniliasis berwarna putih, kecil, gatal, dan disertai leukorrhea. Diagnosis
ditegakkan dengan ditemukannya organisme pada lesi.
Trichomonas vaginalis, merupakan protozoa berukuran besar, ovoid, dan berflagel.
Organisme dapat di temukan pada discharge vaginal. Keluhan penderita yaitu pruritus, dysuria,
dyspareunia. Mukosa vagina dan cervix berwarna merah cerah (strawberry cervix). Gambaran
histologis: reaksi inflamasi terbatas pada mukosa dan lamina propria yang berdekatan.

Infeksi Traktus Genitalis Wanita Bagian Bawah dan Bagian Atas


Pelvic Inflamatory Disease (PID)
Kelainan ini sering terjadi dan ditandai oleh nyeri pelvis, kekakuan adnexa, demam, dan
leukorea akibat infeksi dari satu atau lebih kelompok organisme gonococcus, chlamydia, dan

265
PATOLOGI ANATOMI

bakteri enterik. Penyebab PID tersering adalah gonococcus dan dapat mengakibatkan
komplikasi berat. Infeksi berawal pada kelenjar Bartholin dan kelenjar vestibular lainnya atau
kelenjar periurethral. Keterlibatan cervix cukup sering dan biasanya asimtomatik. Selanjutnya
infeksi menjalar ke proksimal, ke tuba dan tuboovarial.
Morfologi: 2–7 hari setelah inokulasi organisme gonococccus, khas pada penyakit ini,
timbul reaksi supuratif akut dengan inflamasi luas pada mukosa dan submukosa dibawahnya.
Infeksi bakteri non-gonococcal biasanya akibat terminasi kehamilan, dilatasi dan kuretase
uterus serta tindakan operasi lainnya pada traktus genitalia yang menyebabkan penyebaran ke
proksimal melalui saluran limfatik dan vena lebih sering daripada melalui permukaan mukosa.
Komplikasi PID antara lain peritonitis, obstruksi intestinal akibat adhesi antara usus halus
dan organ pelvis. Bakteriemia dapat mengakibatkan endokaditis, meningitis, dan artritis
supuratif. Infertilitas dapat terjadi akibat PID kronis.

ENDOMETRITIS
Endometritis dapat akut maupun kronis. Berhubungan dengan PID, penggunaan alat
kontrasepsi intrauterin, penderita tuberkulosis.

LICHEN SCLEROSUS
Inflamasi kronis terutama kulit vulva. Lesi berbentuk plak putih atau papula yang meluas dan
kemudian bergabung. Bila mengenai seluruh vulva, labia atrofi dan kaku, orifisium vagina
menyempit. Kelainan ini meningkatkan risiko untuk terjadinya karsinoma sel skuamosa.

ENDOMETRIOSIS
Pada endometriosis ditemukan kelenjar dan stroma endometrial pada berbagai organ di luar
uterus seperti ovarium, tuba falopii, ligamentum uterosacralis, cavum Douglas, dan cervix.
Endometriosis dapat juga terjadi di peritoneum dan organ jauh seperti paru.
Mekanisme bagaimana jaringan endometrium dapat berada di luar uterus belum diketahui
dengan pasti. Beberapa teori berkenaan dengan hal tersebut: pertama, teori regurgitasi, aliran
balik menstruasi melalui tuba falopii dan implantasi jaringan; kedua, teori metaplasia,
diferensiasi endometrial dari epitel coelom; ketiga, penyebaran secara vaskular dan limfatik.
Fokus endometriotik menunjukkan aktivitas proliferasi dan sekresi, sebagai respon terhadap
estrogen dan progesteron, seperti yang terjadi pada jaringan normal. Endometriosis pada
ovarium berhubungan dengan adenocarcinoma sel clear. Adanya kelenjar dan stroma
endometrium pada miometrium dinamakan adenomyosis

POLYP
Polyp adalah proliferasi jinak dari epitel, kelenjar, dan stroma. Dapat timbul pada endocervix,
endometrium, dan dapat mengakibatkan perdarahan pervaginam yang abnormal. Polyp
endometrium sering terjadi setelah menopause dan insidensi meningkat pada penderita
karsinoma payudara dengan terapi tamoxifen.

KISTA OVARIUM
Jenis kista ovarium yang paling sering ditemukan adalah kista folikuler dan kista luteum. Kista
folikuler multipel bilateral berhubungan dengan pembesaran ovarium, menstruasi yang tidak

266
PATOLOGI ANATOMI

teratur, hirsutisme, obesitas, dan infertilitas; merupakan gambaran penyakit ovarium polikistik.

2. DYSPLASIA DAN NEOPLASIA

DYSPLASIA
Dysplasia adalah pertumbuhan yang tidak normal. Epitel yang mengalami dysplasia
menunjukkan perubahan morfologi menjadi sel-sel neoplastik, tetapi tidak tampak adanya
invasi ke jaringan sekitar. Perubahan neoplastik meliputi: peningkatan rasio inti–sitoplasma,
pleomorphism inti (ukuran dan bentuk), hyperchromasi inti, mitosis abnormal, pertumbuhan
sel berlebihan, dan pematangan sel abnormal.
Dysplasia traktus genitalis wanita bagian bawah:
- Vulva intraepithelial neoplasia (VIN)
- Vaginal intraepithelial neoplasia (VaIN)
- Cervical intraepithelial neoplasia (CIN)
- Cervical glandular intraepithelial neoplasia (CGIN)
- Hyperplasia endometrium yang atipikal
Neoplasia intraepitelial sel skuamosa vulva, vagina, dan cervix (VIN, VaIN, CIN) dibagi
menjadi tingkat I, II, dan III sesuai dengan beratnya tingkat perubahan displastik. Misalnya
pada CIN I tampak dysplasia gradasi rendah dengan perubahan seluler terbatas pada sepertiga
bawah epitel skuamosa. Pada CIN III (dysplasia gradasi tinggi atau carcinoma in situ) seluruh
lapisan abnormal, menunjukkan gambaran sel-sel ganas. Di sini membran basalis utuh
sehingga tidak ada penyebaran lokal ataupun metastasis jauh.
Hyperplasia endometrium menunjukkan proliferasi abnormal, terjadi sebagai respon
terhadap stimulasi estrogen.
- Hyperplasia simplex : proliferasi difus dari kelenjar dan stroma endometrium.
- Hyperplasia complex : proliferasi fokal kelenjar, tanpa atypical sitologis.
- Hyperplasia atipik : proliferasi kelenjar dan sel atipik yang berdesakan (biasanya
fokal).
Hanya hiperplasia atipik yang berisiko tinggi untuk perubahan premaligna. Bila kelebihan
estrogen dinetralisir, misalnya dengan pemberian progesteron, maka hyperplasia akan
mengalami regresi.

NEOPLASIA
• Vulva
Kanker vulva jarang ditemukan, terbanyak berjenis carcinoma sel squamosa. Biasanya
terjadi pada wanita tua, tapi ada kecenderungan peningkatan insidensi pada wanita muda.
Prognosis berhubungan erat dengan penyebaran, khususnya ke kelenjar getah bening
inguinal dan pelvis.
Melanoma maligna mempunyai prognosis yang buruk, namun kelainan ini jarang terjadi.
Penyakit Paget extramamaria terjadi pada vulva dan regio anogenital. Di sini terjadi
proliferasi sel adenocarcinoma intraepidermal. Secara klinis tampak tumor berbatas tegas,
berkerak, dan lesi berwarna merah.

267
PATOLOGI ANATOMI

• Vagina
Bentuk neoplasma ganas pada vagina jarang ditemukan. Pada bayi dapat ditemukan
rhabdomyosarcoma.
Adenocarsinoma sel clear pada vagina wanita muda berhubungan dengan penggunaan
diethylstilbestrol semasa kehidupan intrauterin.
Carcinoma cell squamosa merupakan tumor tersering pada usia dewasa, biasanya tipe yang
berdiferensiasi baik.

• Cervix
Lebih dari 90% keganasan pada cervix merupakan carcinoma sel skuamosa. HPV berperan
pada carcinogenesis. Kanker cervix berawal dari perbatasan epitel sel skuamosa ectocervix
dan sel columnar endocervix.
Staging cancer cervix menurut FIGO (International Federation of Gynecology and
Obstetrics):
- Stage 0 : carcinoma in situ.
- Stage I–IA: carcinoma in situ dengan invasi mikro ke stroma cervix.
- Stage IB : carcinoma invasif yang masih terbatas pada cervix.
- Stage II : penyebaran di luar cervix uteri, tapi belum mengenai dinding pelvis
atau belum mencapai sepertiga bawah vagina
- Stage III : keterlibatan dinding pelvis atau sepertiga bawah vagina
- Stage IV : meluas di luar pelvis atau keterlibatan kandung kemih atau mukosa
rectum

• Endometrium
Adenocarcinoma endometrium merupakan tumor invasif tersering pada traktus genitalis
wanita. Carcinoma ini sering terjadi pada usia 55 sampai 65 tahun dan jarang di bawah 40
tahun. Faktor risiko meliputi obesitas, diabetes, hipertensi, dan infertilitas. Tipe lainnya
adalah adenoacanthoma dan carcinoma adenosquamosa.

• Myometrium
Leiomyoma (tumor jinak otot polos) atau disebut juga fibroid merupakan tumor tersering
pada organ genital wanita. Tumor ini distimulasi oleh estrogen, meningkat cepat pada
kehamilan dan dapat mengalami atrofi setelah menopause. Tumor ini dapat mengakibatkan
nyeri pelvis, pendarahan, simtom urinaria, infertilitas, atau komplikasi kehamilan.

• Ovarium
Kebanyakan tumor ovarium bersifat jinak. Namun tumor ganas ovarium merupakan
penyebab kematian yang tinggi. Tumor dapat berasal dari (1) epitel permukaan, seperti
tumor serous, mucinous, dan endometrioid; (2) berasal dari sel germinal seperti teratoma,
dysgerminoma, dan choriocarcinoma; (3) berasal dari stroma sex cord: tumor sel
granulosa–theca; atau (4) metastasis dari organ lain. Pada orang dewasa kebanyakan
berasal dari epitel permukaan, sedangkan pada anak-anak kebanyakan berasal dari sel
germinal.

268
PATOLOGI ANATOMI

3. KELAINAN KEHAMILAN

• Kehamilan ektopik
Implantasi terjadi di luar uterus, ditemukan 1 dari 150 kehamilan. Lokasi tersering pada
tuba. Faktor predisposisi kelainan ini antara lain infeksi dan operasi tuba sebelumnya.
Kehamilan tuba biasanya mengalami ruptur pada trimester pertama dengan perdarahan
intraperitoneal. Kehamilan ectopik juga berhubungan dengan risiko tinggi dari mola
hydatidosa.

• Aborsi spontan
Aborsi spontan dapat terjadi sebagai akibat dari:
- Abnormalitas kromosom.
- Abnormalitas kongenital.
- Malformasi uterus dan plasenta, dan abnormalitas meliputi fibroid dan inkompetensi
servikal
- Infeksi: toxoplasma, lysteria, mycoplasma, dan penyakit virus.

• Preeklamsi
Preeklamsi ditandai oleh proteinuria, hipertensi, dan edema pada akhir kehamilan. Kelainan
ini berhubungan dengan usia ibu yang sangat muda, kehamilan ganda, diabetes, hipertensi
kronik, dan riwayat preeklamsi pada kehamilan sebelumnya.

• Mola hydatidosa
Mola hydatidosa terdiri dari vili korialis yang abnormal. Vili membesar dan edema,
sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas yang berlebihan. Ada dua bentuk, yaitu mola partial dan
mola komplit. Keduanya mengandung kariotip yang abnormal. Pada mola komplit semua
bahan genetik berasal dari kromosom paternal (46XX). Mola partial mempunyai triploidi,
yaitu adanya ekstra dari kromosom paternal (69XXY). Ada variasi geografis dalam
insidensi, di mana populasi Asia lebih tinggi daripada populasi Eropa atau Amerika
Selatan. Risiko meningkat pada usia di atas 50 tahun.

• Choriocarcinoma
Choriocarcinoma merupakan tumor ganas trofoblas. Kelainan ini dapat berasal dari mola
hydatidosa, aborsi, kehamilan normal, atau kehamilan ektopik. Keganasan trofoblas tidak
membentuk struktur vili korialis. kelainan ini dapat menyebar luas tetapi sangat responsif
terhadap kemoterapi.

269
PATOLOGI ANATOMI

PATOLOGI SISTEM REPRODUKSI LAKI-LAKI


Laella K Liana

Patologi sistem reproduksi laki-laki terbagi atas kelainan-kelainan yang terdapat pada organ:
1. PENIS
2. SKROTUM, TESTIS, dan EPIDIDIMIS
3. PROSTAT

1. PENIS
1.1 KELAINAN KONGENITAL
Kelainan kongenital penis dapat berupa gangguan pembentukan: absence, hipoplasia,
hiperplasia, duplikasi, dan aberasi dalam ukuran dan bentuk.

1.1.1 Hypospadia dan Epispadia


Malformasi dari urethral groove dan urethral canal menyebabkan letak orificium urethrae
externum abnormal, bisa pada bagian ventral penis (hypospadia) atau dorsal penis (epispadia).
Kelainan ini seringkali ditemukan bersama-sama dengan undescensus testis dan malformasi
traktus urinarius. Hypospadia lebih sering didapatkan, dengan insidensi 1 dari setiap 300
kelahiran bayi laki-laki hidup. Kelainan kongenital ini memiliki arti klinis yng penting, karena
seringkali konstriksi pada orificium urethrae externum yang abnormal menyebabkan obstruksi
pada traktus urinarius dan hal ini meningkatkan resiko timbulnya infeksi traktus urinarius yang
ascending. Apabila orificium urethrae externum terletak dekat pada basis penis, ejakulasi
normal dan proses inseminasi akan terhambat sehingga menyebabkan sterilitas pada laki-laki.

1.1.2 Phimosis
Pada phimosis, orificium pada preputium terlalu kecil sehingga menimbulkan gangguan
retraksi (preputium tidak dapat melakukan retraksi ke arah glans penis). Etiologinya bisa
karena anomali perkembangan atau infeksi berulang yang menimbulkan jaringan parut
berbentuk cincin pada preputium (preputial ring). Phimosis memiliki arti yang penting karena
berhubungan dengan akumulasi sekret di bawah preputium, yang pada akhirnya dapat
menimbulkan infeksi sekunder dan carcinoma. Apabila preputium phimosis secara paksa
diretraksikan ke arah glans penis, maka akan terlihat jelas konstriksi dan pembengkakan yang
disebut paraphimosis. Keadaan ini sangat menyakitkan, menyebabkan konstriksi urethra, dan
menimbulkan retensi urine akut.

1.2 INFLAMASI
Inflamasi penis hampir selalu melibatkan glans penis dan preputium, dan secara garis besar
terbagi atas infeksi spesifik dan nonspesifik.
Infeksi spesifik disebabkan oleh syphilis, gonorrhea, chancroid, granuloma inguinale,
lymphopathia venerea, dan herpes genitalis.
Infeksi nonspesifik pada glans penis (balanitis) dan infeksi pada preputium (posthitis) dapat
disebabkan oleh Candida albicans, bakteri anaerob, Gardnerella, dan bakteri pyogen.

270
PATOLOGI ANATOMI

Kebanyakan kasus balanoposthitis sebagai akibat hygiene yang buruk pada laki-laki yang
tidak disirkumsisi, di mana akumulasi deskuamasi sel-sel epitel, keringat, dan debris yang
dikenal sebagai smegma menjadi iritan lokal. Infeksi yang persisten akan menimbulkan
jaringan parut yang berlanjut menjadi phimosis.

1.3 TUMOR
Sekitar 95% neoplasma pada penis berasal dari epitel skuamosa. Tumor yang paling sering
ditemukan adalah condyloma acuminata dan carcinoma.

1.3.1 Condyloma Acuminata


Condyloma acuminata merupakan tumor jinak yang disebabkan oleh HPV (Human
Papillomavirus) tipe 6 dan 11. Condyloma acuminata merupakan sexually transmitted disease
(STD) dan dapat timbul pada permukaan mukokutaneus yang lembab pada organ genitalia
perempuan.
Makroskopis: condyloma acuminata dapat timbul pada genitalia externa atau daerah
perineal. Pada penis, lesi muncul di sulcus coronarius dan pada permukaan dalam preputium.
Lesi berupa benjolan single/multiple, sessile/pedunculated, papiler, merah, dengan diameter 1
mm sampai beberapa mm.
Mikroskopis: tampak epitel hiperkeratosis, akantosis, dan koilositosis bentuk bercabang-
cabang, villous, dan papilifer. Di bawahnya tampak stroma jaringan ikat dan membrana basalis
yang intak. Condyloma acuminata seringkali rekuren, tetapi tidak berubah menjadi carcinoma
invasif.

1.3.2 Carcinoma
Kebanyakan kasus carcinoma muncul pada usia lebih dari 40 tahun dan tidak pernah
disirkumsisi. Beberapa faktor yang mempengaruhi patogenesis, termasuk higiene yang buruk
(paparan/eksposur smegma yang mengandung bahan karsinogen), merokok, dan infeksi human
papilomavirus terutama tipe 16 dan 18.
Squamous cell carcinoma pada penis terbagi atas 2 bagian, yaitu squamous cell carcinoma
in situ dan invasive squamous cell carcinoma.

1.3.2.1 Squamous Cell Carcinoma In situ of The Penis


Carcinoma in situ berupa high grade squamous intraepithelial neoplasia, yaitu tumor ganas
epitel skuamosa yang terbatas hanya pada epitel saja, tanpa invasi lokal dan tidak bermetatasis.
Pada genitalia laki-laki externa, gambaran mikroskopis dari carcinoma in situ disebut dengan
istilah Bowen disease dan Bowenoid papulosis.

1.3.2.1.1 Bowen Disease


Bowen disease timbul pada daerah genital laki-laki atau perempuan, terutama mengenai usia
di atas 35 tahun. Pada laki-laki, lokasinya terbatas pada kulit corpus penis dan skrotum.
Makroskopis berupa ulkus soliter, menebal, warna abu-abu putih dengan ulserasi yang dalam.
Ulkus yang timbul pada glans penis atau preputium berwarna merah, single/multiple, dan
secara klinis disebut sebagai Erythroplasia of Queyrat. Mikroskopis tampak proliferasi
epidermis dengan displasia sel, mitosis atipikal, dan inti hiperkromatis.

271
PATOLOGI ANATOMI

Batas dermis-epidermis jelas, dibatasi oleh membrana basalis yang intak. Sekitar 10% kasus
Bowen disease akan bertransformasi menjadi carcinoma skuamosa infiltratif.

1.3.2.1.2 Bowenoid Papulosis


Bowenoid papulosis muncul pada usia muda, seringkali berupa lesi papular multipel,
berwarna merah kecoklatan. Mikroskopis tidak dapat dibedakan dari Bowen disease, hanya
pada Bowen papulosis tidak pernah menjadi carcinoma invasif dan pada kebanyakan kasus
dapat sembuh secara spontan.

1.3.2.2 Invasive Squamous Cell Carcinoma


Carcinoma sel skuamosa penis merupakan keganasan yang jarang ditemukan. Terdapat
korelasi antara sirkumsisi dan angka kejadian carcinoma penis. Carcinoma jarang didapatkan
pada laki-laki yang disirkumsisi, misalnya pada orang Yahudi atau yang beragama Islam.
Sirkumsisi diasosiasikan dengan higiene yang lebih baik, sehingga eksposur terhadap
karsinogen yang mungkin terdapat pada smegma sangat sedikit. Resiko timbulnya carcinoma
penis meningkat pada orang yang merokok, yang mana rokok berfungsi sebagai karsinogen.
Carcinoma ini biasanya mengenai usia 40–70 tahun.
Makroskopis terdapat 2 gambaran utama, yaitu lesi papilari atau lesi datar. Lesi papilari
menyerupai Condyloma acuminata dan berbentuk seperti bunga kol.
Lesi datar tampak sebagai penebalan permukaan mukosa yang berwarna keabuan.
Mikroskopis kedua lesi tersebut memberikan gambaran berupa carcinoma sel skuamosa
dengan diferensiasi yang bermacam-macam. Pada lesi datar, seringkali didapatkan tipe
keratinizing squamous cell carcinoma. Pada lesi papilari, seringkali berupa verrucous
carcinoma, non-HPV-related squamous cell carcinoma.
Pada gambaran klinis, carcinoma sel skuamosa penis berupa lesi yang invasif lokal, tumbuh
lambat, dan biasanya telah ada selama kurang lebih 1 tahun sebelum dibawa ke dokter. Lesi
carcinoma tidak nyeri sampai mengalami infeksi sekunder dan kadang berdarah. Metastasis ke
kelenjar getah bening inguinal dan iliaca dapat ditemukan pada stadium awal.
Prognosisnya bergantung pada stadium tumor. Five year survival rate pada carcinoma yang
tidak bermetastasis ke KGB adalah 66%, sedangkan 5 year survival rate pada carcinoma yang
bermetastasis ke KGB adalah 27%.

2. SKROTUM, TESTIS, dan EPIDIDIMIS


Kelainan patologis pada testis dan epididimis sangat berlainan. Kelainan pada testis
terutama berupa tumor, sedangkan kelainan pada epididimis yang terutama adalah infeksi.
Akan tetapi karena letak anatominya yang berdekatan, kelainan pada testis mudah menyebar
ke epididimis dan demikian pula sebaliknya.
Beberapa kelainan inflamasi dapat mengenai kulit skrotum, termasuk infeksi jamur ataupun
dermatosis sistemik seperti psoriasis.

2.1 KELAINAN KONGENITAL


Kelainan kongenital yang tersering adalah undescensus testis/cryptorchidism. Kelainan
kongenital lainnya seperti kelainan anomali, tidak terbentuknya 1 testis, fusi dari
testis/synorchism atau terbentuknya kista dalam testis yang sangat jarang ditemukan.

272
PATOLOGI ANATOMI

2.1.1 Cryptorchidism
Cryptorchidism atau yang lebih dikenal sebagai undescensus testis, ditemukan pada 1%
anak laki-laki yang berumur lebih dari 1 tahun. Pada kelainan ini terjadi kegagalan komplit
ataupun inkomplit dari testis intraabdominal untuk turun ke dalam kantung skrotum. Pada
beberapa kasus cryptorchidism disertai dengan hypospadia. Cryptorchidism biasanya
unilateral, tapi pada 25% kasus ditemukan cryptorchidism bilateral. Apabila cryptorchidism
tidak dikoreksi, maka akan terjadi infertilitas.
Perubahan histologis dari testis yang malposisi terjadi dalam usia 2 tahun pertama. Sel-sel
germinal berhenti berkembang ditandai dengan hialinisasi dan penebalan membran basalis
tubulus spermaticus. Tubulus spermaticus menjadi jaringan ikat hialin dan mengalami atrofi
yang progresif sehingga testis mengecil dan konsistensinya menjadi keras karena fibrosis. Pada
testis kontralateral yang normal, sel-sel germinalnya juga turut berhenti berkembang karena
faktor hormonal yang mendasarinya. Cryptorchidism bilateral menyebabkan infertilitas dan
cryptorchidism yang tidak dikoreksi juga dapat menyebabkan infertilitas karena pada testis
kontralateral yang normal, sel-sel germinalnya juga turut berhenti berkembang.
Cryptorchidism juga meningkatkan risiko terjadinya kanker testis.
Undescensus testis memiliki faktor resiko yang lebih besar untuk menjadi carcinoma testis
apabila dibandingkan dengan descensus testis. Selama tahun pertama, mayoritas undescensus
testis akan turun secara spontan. Pada kasus undescensus testis, koreksi secara operasi
sebaiknya dilakukan pada usia 18 bulan, untuk menurunkan kemungkinan terjadinya atrofi
testis, infertilitas, dan kanker testis.

2.2 INFLAMASI
Inflamasi lebih sering timbul pada epididimis daripada testis. Gonorrhea dan tuberkulosis
seringkali mengenai epididimis, sedangkan syphilis mengenai testis pada stadium awal.

2.2.1 Epididimitis dan Orchitis Nonspesifik


Epididimitis dan orchitis nonspesifik seringkali pada awalnya berupa infeksi pada traktus
urinarius seperti cystitis, urethritis, dan genitoprostatitis, yang kemudian menyebar melalui vas
deferens atau pembuluh limfatik spermatic cord menuju epididimis dan testis.
Etiologi epididimitis sangatlah bervariasi sesuai dengan usia. Walaupun epididimitis sangat
jarang timbul pada anak-anak, tetapi epididimitis pada anak berhubungan dengan kelainan
kongenital traktus genitourinarius dan infeksi oleh bakteri batang Gram negatif. Pada laki-laki
muda <35 tahun, penyebab terseringnya adalah Chlamydia trachomatis dan Neisseria
gonorrhoeae, yang merupakan sexually transmitted pathogens. Pada laki-laki >35 tahun,
penyebab terseringnya adalah Escherichia coli dan Pseudomonas.
Mikroskopis tampak gambaran inflamasi yang ditandai kongesti, edema, infiltrasi netrofil,
makrofag, dan limfosit. Pada stadium awal, infeksi terbatas pada jaringan ikat interstitial, akan
tetapi pada stadium lanjut dapat mengenai tubulus dan membentuk abses sampai nekrosis di
seluruh epididimis. Apabila epididimis telah terinfeksi, maka biasanya testis pun terinfeksi,
disertai pembentukan jaringan parut yang pada akhirnya menyebabkan sterilitas.

273
PATOLOGI ANATOMI

2.2.2 Epididimitis dan orchitis spesifik


2.2.2.1 Gonorrhea
Infeksi gonococcal yang tidak mendapat terapi yang adekuat akan menyebabkan infeksi
yang berlanjut dari bagian posterior urethra ke vesicula seminalis dan epididimis.
Perubahan mikroskopis yang terjadi pada proses inflamasi gonorrhea serupa dengan
inflamasi nonspesifik yaitu membentuk abses di epididimis yang menyebabkan kerusakan
epididimis. Pada kasus yang tidak diterapi, infeksi akan menyebar ke testis dan menyebabkan
orchitis suppurativa.

2.2.2.2 Mumps
Mumps merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus sistemik yang mengenai anak-anak
usia sekolah. Pada anak-anak, jarang sekali mumps disertai orchitis. Akan tetapi pada laki-laki
postpubertas, dilaporkan 20% kasus mumps disertai orchitis akut yang timbul 1 minggu setelah
pembengkakan kelenjar parotis.
Orchitis yang timbul setelah infeksi mumps memberikan gambaran pembengkakan testis
yang edematous, kongesti, dengan sebukan sel-sel radang limfosit dan sel-sel plasma. Pada
infeksi yang berat, akan timbul nekrosis, atrofi tubulus, fibrosis, dan sterilitas.

2.2.2.3 Tuberkulosis
Infeksi tuberkulosis pada epididimis biasanya didahului oleh infeksi tuberkulosis tractus
genitalia, seperti tuberculous prostatitis dan seminal vesiculitis. Infeksi tuberkulosis pada
epididimis dapat menyebar ke testis.

2.2.2.4 Syphilis
Pada syphilis kongenital ataupun syphilis yang didapat, awalnya infeksi muncul pada testis.
Pada beberapa kasus, orchitis bahkan tidak disertai epididimitis. Gambaran mikroskopis reaksi
infeksi syphilis memperlihatkan gumma atau inflamasi interstitial difus yang ditandai edema,
infiltrasi sel plasma dan limfosit yang disertai endarteritis obliteratif.

2.3 GANGGUAN VASKULAR


2.3.1 Torsio Testis
Torsio testis adalah terputarnya spermatic cord sehingga supplai arteri dan vena pada testis
terhenti. Ada 2 tipe torsio testis, yaitu: torsio testis neonatal dan torsio testis dewasa.
Torsio testis neonatal muncul in utero atau segera sesudah lahir, tidak berhubungan dengan
kelainanan anatomis.
Torsio testis dewasa muncul pada usia muda dengan gejala nyeri pada testis secara tiba-tiba,
berhubungan dengan kelainan anatomis kongenital bilateral yang disebut bell clapper
abnormality (lokasi testis tidak normal di kantung skrotum, sehingga meningkatkan mobilitas).
Torsio testis merupakan kasus emergensi urologi. Apabila putaran yang terjadi pada spermatic
cord dapat dikoreksi secara manual 6 jam setelah onset torsio dengan operasi, maka
kemungkinan besar testis akan kembali normal. Pada testis kontralateral yang tidak mengalami
torsio pun dilakukan orchiopexy (secara operatif difiksasi ke skrotum) untuk mencegah
terjadinya torsio berulang.
Gambaran mikroskopis sangat bergantung pada lamanya torsio berlangsung. Perubahan

274
PATOLOGI ANATOMI

morfologis yang terjadi dapat berupa kongesti sampai ekstravasasi darah ke jaringan interstitial
testis dan epididimis. Infark hemorrhagik dapat timbul pada seluruh testis. Pada stadium lanjut,
testis membesar dan berubah menjadi kantung jaringan hemorrhagik dan nekrotik.

2.4 TUMOR
Tumor testis terbagi atas 2 kategori, yaitu:
1. Germ Cell Tumor
Sekitar 95% tumor testis berasal dari germ cell, berupa tumor ganas yang sangat agresif,
tumbuh cepat dengan daerah penyebaran yang luas. Seringkali muncul pada laki-laki,
dengan usia 25–34 tahun. Germ cell tumor terbagi atas seminoma dan nonseminomatous
tumor.
2. Non-germ Cell Tumor
Non-germ cell tumor (sex cord-stromal tumor) kebanyakan berupa tumor jinak.

Klasifikasi patologi tumor testis:


1. Germ cell tumor
1.1 Seminoma
1.2 Spermatocytic tumor
1.3 Embryonal carcinoma
1.4 Yolk sac (endodermal sinus) tumor
1.5 Choriocarcinoma
1.6 Teratoma
1.7 Mixed tumor
2. Sex cord-stromal tumor
2.1 Leydig cell tumor
2.2 Sertoli cell tumor

2.4.1 Germ Cell Tumor


2.4.1.1 Seminoma
Seminoma klasik/tipikal merupakan tumor germinal tersering (50%) dan memberikan
gambaran mikroskopis yang uniform. Insidensi tersering pada usia sekitar 30 tahun. Tumor
identik seminoma yang timbul pada ovarium disebut sebagai dysgerminoma.
Makroskopis: testis membesar hingga 10x dari ukuran testis normal, warna homogen, putih
keabuan, dengan daerah perdarahan dan nekrosis.
Mikroskopis: tampak sel-sel uniform, berukuran besar dan bulat dengan batas antar sel jelas,
sitoplasma cerah, inti di tengah, dan terlihat 1–2 anak inti.

2.4.1.2 Spermatocytic Tumor


Spermatocytic tumor merupakan tumor yang berbeda dengan seminoma klasik/tipikal
dalam gambaran histopatologi ataupun gejala klinisnya. Spermatocytic tumor jarang
ditemukan, hanya sekitar 1–2% dari seluruh tumor testis dan insidensinya adalah usia >50
tahun. Spermatocytic seminoma tumbuh lambat dan jarang bermetastasis sehingga
prognosisnya baik.
Makroskopis: testis membesar, cenderung lebih besar daripada seminoma klasik, warna

275
PATOLOGI ANATOMI

abu-abu pucat, lunak, kadang ditemukan kista mukoid.


Mikroskopis: tampak 3 jenis populasi sel yang terdiri dari sel berukuran kecil (6–8 µm)
yang menyerupai spermatosit sekunder, sel berukuran sedang (15–18 µm) yang paling banyak
ditemukan, inti bulat, sitoplasma eosinofil, dan sel berukuran besar/giant cell (50–100 µm).

2.4.1.3 Embryonal Carcinoma


Embryonal carcinoma paling sering mengenai usia 20–30 tahun dan bersifat lebih agresif
daripada seminoma.
Makroskopis: ukuran tumor lebih kecil dari seminoma, berbatas tidak tegas dengan daerah-
daerah perdarahan dan nekrosis.
Mikroskopis: tampak gambaran pertumbuhan sel dengan pola alveolar/tubular/papiler. Sel
berukuran besar, inti hiperkromatis, anak inti jelas, sitoplasma basofilik.

2.4.1.4 Yolk Sac Tumor


Nama lainnya adalah infantile embryonal carcinoma atau endodermal sinus tumor. Yolk sac
tumor merupakan tumor testis tersering pada bayi dan anak-anak <3 tahun. Yolk sac tumor
memiliki prognosis yang sangat baik.
Makroskopis: tumor tidak berkapsul, homogen, warna kekuningan, mengandung mucin.
Mikroskopis: tampak sel-sel kuboid dan sel-sel yang memanjang membentuk gambaran
seperti pita (retikular). Kadang-kadang ditemukan juga sel-sel yang membentuk struktur solid
atau papiler, dan ditemukan eosinophilic hyaline globules. Pada 50% tumor, struktur Schiller-
Duval bodies yang menyerupai glomerulus primitif dapat terlihat.

2.4.1.5 Choriocarcinoma
Choriocarcinoma merupakan tumor testis yang bersifat ganas, terdiri atas sel-sel
cytotrophoblast dan syncytiotrophoblast. Choriocarcinoma dapat timbul pada jaringan
plasenta, ovarium, abdomen, dan mediastinum.
Makroskopis: biasanya berupa lesi berukuran kecil <5 cm dan tidak ditemukan pembesaran
testis. Seringkali didapatkan perdarahan dan nekrosis.
Mikroskopis: didapatkan dua tipe sel, yaitu: cytotrophoblast dan syncytiotrophoblast.
Cytotrophoblast berupa sel poligonal dengan batas antar sel jelas, sitoplasma jernih, inti
uniform. Syncytiotrophoblast berukuran besar dengan inti hiperkromatik, irreguler, dan
sitoplasma eosinofil.

2.4.1.6 Teratoma
Teratoma merupakan tumor kompleks yang memiliki gambaran seluler bervariasi atau
komponen organoid yang menyerupai derivat normalnya dari 1–2 lapisan germinal. Teratoma
dapat timbul pada semua usia, terutama pada bayi dan anak-anak.
Makroskopis: teratoma biasanya berukuran besar dengan diameter 5–10 cm. Karena terdiri
atas bermacam-macam jaringan, maka gambaran makroskopisnya sangat bervariasi, berupa
area solid, tulang rawan, atau area kistik.
Mikroskopis: teratoma terdiri dari sel-sel yang heterogen atau struktur organoid seperti
jaringan saraf, pulau-pulau kartilago, epitel skuamosa, kelenjar tiroid, epitel bronkial, epitel
usus, ataupun jaringan otak yang tersebar dalam stroma jaringan ikat. Elemen-elemen tersebut

276
PATOLOGI ANATOMI

dapat berupa jaringan mature (menyerupai jaringan pada dewasa) atau immature (menyerupai
gambaran histologis jaringan fetal atau embryonal).

2.4.2 Sex Cord-stromal Tumor


2.4.2.1 Leydig (Interstitial) Cell Tumor
Leydig cell tumor berasal dari stroma, berhubungan dengan hormon androgen atau
kombinasi hormon androgen dan estrogen, serta kortikosteroid. Leydig cell tumor dapat
mengenai semua usia, tetapi yang tersering adalah usia 20–60 tahun. Gejala klinis tersering
berupa pembengkakan testis dan gynecomastia. Sekitar 10% tumor dewasa bersifat invasif dan
bermetastasis, tetapi sebagian besar tumor bersifat jinak.
Makroskopis: nodul berukuran <5 cm, kuning kecoklatan, homogen.
Mikroskopis: sel berukuran besar, berbentuk bulat atau poligonal dengan sitoplasma
bergranular eosinofil dan inti bulat di bagian sentral. Sitoplasma mengandung granula lipid,
vakuola, pigmen lipofuscin, dan batang kristaloid Reinke (pada 25% tumor).

2.4.2.2 Sertoli Cell Tumor


Sertoli cell tumor (androblastoma) berasal dari sex cord, terdiri atas sel-sel Sertoli dan
sedikit komponen sel granulosa. Kebanyakan tumor bersifat jinak, akan tetapi 10% tumor
bersifat ganas.
Makroskopis: nodul homogen warna abu-abu putih atau kekuningan.
Mikroskopis: sel-sel tumor tersusun membentuk trabekula menyerupai tubulus seminiferus
imatur.

LESI PADA TUNICA VAGINALIS


Tunica vaginalis merupakan kantung yang dilapisi jaringan serosa, sebelah proksimal testis
dan epididimis.
Hydrocele: akumulasi cairan serous sebagai akibat dari infeksi atau tumor, seringkali timbul
secara spontan, tanpa adanya penyebab. Pembesaran kantung skrotum seringkali diduga
pembesaran prostat. Dengan transiluminasi, dapat terlihat testis yang opaque dikelilingi
bayangan yang translusen jernih.
Hematocele: adanya darah pada tunica vaginalis. Hematocele sangat jarang terjadi, kecuali
setelah trauma langsung terhadap testis atau torsio testis.
Chylocele: akumulasi cairan limf pada tunica vaginalis, ditemukan pada pasien elephantiasis
dengan obstruksi limfatik yang berat dan menyeluruh.
Spermatocele: akumulasi cairan semen pada efferent duct yang berdilatasi atau ductus di rete
testis yang berupa kista berukuran kecil.
Varicocele: dilatasi vena pada spermatic cord. Varicocele dapat asimptomatik, tapi kadang
dapat menyebabkan infertilitas sehingga harus dikoreksi dengan operasi.

3. PROSTAT
3.1 INFLAMASI
Prostatitis dapat dibagi atas beberapa kategori:
1. Prostatitis bakterial akut (2–5% kasus)
2. Prostatitis bakterial kronik (2–5% kasus)

277
PATOLOGI ANATOMI

3. Chronic pelvic pain syndrome (90–95% kasus)

Prostatitis bakterial akut dan kronik biasanya disebabkan oleh bakteri E. coli, atau bakteri
batang Gram negatif lainnya. Organisme tersebut dapat mencapai prostat karena refluks urine
dari urethra posterior atau dari vesica urinaria ke intraprostatik. Kadang-kadang prostatitis
dapat timbul setelah operasi dengan manipulasi terhadap urethra atau prostat, seperti
kateterisasi, cystoscopy, dilatasi urethra, atau reseksi prostat. Gejala klinis prostatitis akut
berupa panas badan dan dysuria. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kultur urine dan
pemeriksaan klinis.
Prostatitis bakterial kronis sulit untuk dididagnosis dan diterapi. Gejala klinisnya dapat
asimptomatik atau berupa low back pain, dysuria, dan rasa nyeri di daerah perineal atau
suprapubik. Gambaran klinis yang paling sering terjadi adalah infeksi traktus urinarius
berulang (cystitis, urethrtitis) yang disebabkan oleh organisme yang sama. Kebanyakan
antibiotika tidak dapat berpenetrasi ke dalam prostat sehingga bakteri tetap aman di dalam
parenkim dan terus menginfeksi traktus urinarius. Diagnosis prostatitis bakterial kronis
ditegakkan apabila sekret prostat menunjukkan leukositosis dan kultur bakterinya positif.
Bakteri penyebab prostatitis bakterial kronis sama dengan bakteri penyebab prostatitis bakterial
akut.
Chronic pelvic pain syndrome memberikan gejala klinik berupa nyeri kronik terlokalisasi
pada perineum, suprapubik, dan penis. Rasa nyeri pada saat atau sesudah ejakulasi merupakan
gejala yang sering ditemukan. Etiologinya tidak diketahui secara pasti dan sulit untuk diterapi.
Makroskopis: prostatitis akut memberikan gambaran berupa abses yang berukuran kecil
sampai besar, dengan area nekrosis, edema difus, dan kongesti pada prostat.
Mikroskopis: prostatitis kronis memberikan gambaran berupa reaksi inflamasi yang
ditandai dengan agregasi limfosit, sel plasma, neutrofil, dan makrofag.
Pada laki-laki dengan prostatitis akut atau kronis, operasi ataupun biopsi jarang dilakukan,
karena biasanya hanya diterapi dengan obat-obatan saja. Bahkan, biopsi pada pasien dengan
prostatitis akut merupakan kontraindikasi, karena dapat menyebabkan sepsis.

Prostatitis Granulomatosa
Prostatitis granulomatosa disebabkan oleh bakteri yang spesifik. Di Amerika Serikat,
penyebab terseringnya berhubungan dengan terapi Bacillus Calmette-Guerin (BCG) pada
carcinoma vesica urinaria superfisial. Prostatitis tuberkulosis merupakan kasus yang jarang
didapatkan di Amerika Serikat ataupun Eropa. Prostatitis granulomatosa yang disebabkan oleh
jamur hanya didapatkan pada pasien immunocompromised.

3.2 TUMOR
3.2.1 Benign Prostatic Hyperplasia
Benign Prostatic Hyperplasia (BPH), merupakan kelainan yang seringkali timbul pada laki-
laki yang berumur lebih dari 40 tahun, dengan angka insidensi yang meningkat sesuai dengan
bertambahnya usia, sehingga mencapai 90% pada usia di atas 80 tahun. Mikroskopis
memberikan gambaran hiperplasia stroma dan sel-sel epitel prostat sehingga membentuk nodul
yang besar dan khas pada regio periurethral prostat. Apabila berukuran sangat besar, nodul

278
PATOLOGI ANATOMI

akan menekan dan menyebabkan penyempitan pada canalis urethra sehingga menimbulkan
obstruksi partial atau komplit pada urethra.
Etiologi hiperplasia prostat berhubungan dengan hormon androgen. Kastrasi prepubertas
mencegah terjadinya BPH. Dihidrotestosteron (DHT), metabolit dari testosteron, merupakan
mediator pertumbuhan prostat. DHT disintesis dalam prostat dari testosterone yang bersirkulasi
dengan perantaraan enzim 5α-reduktase tipe 2. Enzim tersebut berlokasi di sel stroma,
sehingga sel stroma merupakan tempat utama sintesis DHT. Setelah disintesis, DHT berfungsi
autokrin dalam sel stroma dan parakrin dengan berdifusi ke sel epitel terdekat. Kemudian DHT
berikatan dengan reseptor androgen pada inti dan memberikan sinyal transkripsi growth factor
yang bersifat mitogenic terhadap sel epitel dan sel stroma.
Pada gambaran makroskopis tampak prostat membesar dengan berat 60–100 gram. BPH
dimulai dari zona transisional di bagian dalam prostat, dengan nodul awal terdiri dari sel-sel
stroma, dan nodul selanjutnya terdiri dari sel-sel epitel. Pada potongan melintang, nodul prostat
sangat bervariasi dalam konsistensi maupun warna. Pada nodul dengan proliferasi epitel
kelenjar, warnanya merah muda-kuning dengan konsistensi lunak, dan didapatkan cairan
prostat yang berwarna putih seperti susu. Pada nodul dengan proliferasi jaringan fibromuskular,
warnanya putih keabuan dan berbatas tidak tegas dengan jaringan sekitarnya.
Mikroskopis: tampak nodul prostat dengan proliferasi glandular dan proliferasi jaringan
fibrous/muskular. Proliferasi glandular ditandai oleh kelenjar yang berdilatasi kistik kecil
sampai besar, dilapisi oleh 2 lapis sel epitel. Sebelah dalam berupa sel kolumner, dan sebelah
luar berupa epitel kuboid atau gepeng, dilapisi membrana basalis yang intak.
Gejala klinis BPH diakibatkan oleh kompresi urethra sehingga pasien sulit untuk
mengeluarkan urinenya. Retensi urine dalam vesica urinaria menyebabkan distensi dan
hipertrofi vesica urinaria, infeksi pada urine, yang selanjutnya menjadi cystitis dan infeksi
ginjal. Pasien mengalami frequency, nocturia, kesulitan dalam memulai dan menghentikan
aliran urine, overflow dribbling, dan dysuria. Pada kebanyakan kasus terjadi retensi urine akut
yang tidak diketahui sebabnya dan menetap sampai dilakukan kateterisasi emergensi.
BPH ringan dapat diterapi tanpa obat-obatan ataupun operasi, dengan cara menurunkan
intake cairan terutama sebelum tidur dan menghentikan intake alkohol dan kafein. Terapi obat-
obatan yang tersering digunakan adalah β-blockers, yang berfungsi mengurangi tonus otot
polos prostat melalui inhibisi reseptor α-adrenergic reseptor. Obat yang lain berupa 5α-
reduktase inhibitor yang dapat menghambat DHT sehingga volume prostat mengecil dan
mengurangi obstruksi prostat. Terapi operasi berupa transurethral resection (TURP) sangat
efektif untuk mengurangi gejala klinik dan merupakan first line therapy untuk retensi urine
yang berulang. Terapi yang lainnya dapat berupa high-intensity focused ultrasound, laser
therapy, hyperthermia, transurethral electrovaporization, intraurethral stents, transurethral
needle ablation using radiofrequency.

3.2.2 CARCINOMA PROSTAT


Adenocarcinoma prostat merupakan carcinoma tersering yang didapatkan pada laki-laki.
Pada kebanyakan kasus, carcinoma prostat ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
postmortem atau operasi prostat yang dilakukan untuk tujuan lain, seperti BPH.
Carcinoma prostat merupakan penyakit yang mengenai laki-laki berumur >50 tahun. Angka
insidensi carcinoma prostat meningkat sesuai dengan bertambahnya usia.

279
PATOLOGI ANATOMI

Etiologi carcinoma prostat belum diketahui secara pasti. Ada pun faktor risiko yang diduga
berperan adalah hormon androgen, herediter, dan faktor lingkungan. Seperti pada BPH,
hormon androgen diduga memiliki peranan penting pada patogenesis carcinoma prostat, sebab
tindakan orchiectomy mengakibatkan inhibisi sel-sel tumor.
Pada gambaran makroskopis, carcinoma prostat timbul pada zona perifer (70–80%),
terutama pada bagian posterior, sehingga sering teraba pada pemeriksaan rektal. Pada irisan
melintang, carcinoma prostat sulit dibedakan dengan BPH. Biasanya carcinoma prostat
berwarna kuning keabuan, konsistensinya keras, dan berpasir.
Pada gambaran mikroskopis, kebanyakan lesi carcinoma prostat memperlihatkan gambaran
kelenjar yang berukuran lebih kecil daripada normal dan dibatasi selapis epitel kuboid.
Kelenjar-kelenjarnya tampak crowded. Sitoplasma sel-sel tumor jernih, inti besar, terlihat satu
atau lebih nukleoli.
Pada sekitar 80% kasus jaringan prostat yang diangkat dengan diagnosis carcinoma
memperlihatkan gambaran mikroskopis intermediate di antara jaringan normal dan carcinoma
invasif, yang disebut sebagai prostatic intraepithelial neoplasia (PIN).
Grading carcinoma prostat yang paling umum dikenal adalah sistem Gleason. Menurut
sistem Gleason, secara mikroskopis carcinoma prostat dibagi atas 5 golongan berdasarkan
gambaran kelenjar dan derajat differensiasinya, yaitu:
1. Grade 1/very well differentiated : kelenjar tunggal, uniform, bulat terpisah,
tersusun memadat, dengan batas tepi tumor
yang jelas.
2. Grade 2/well differentiated : kelenjar tunggal, terpisah, tersusun lebih
longgar, tepi tumor agak ireguler.
3. Grade 3/moderate differentiated : kelenjar tunggal, terpisah, saling berjauhan,
sangat bervariasi, cribiform dan papilifer,
infiltratif.
4. Grade 4/poorly differentiated : kelenjar tersusun dengan tepi tidak beraturan,
terdiri dari kelenjar-kelenjar yang bersatu/fusi
dan infiltratif.
5. Grade 5/very poorly differentiated : tidak ada gambaran glanduler dengan sel-sel
tumor menginfiltrasi stroma jaringan ikat.
Massa tumor berbentuk solid, disertai dengan
nekrosis sentral.
Gleason score 2–4 : Well differentiated carcinoma
Gleason score 5–6 : Intermediate grade carcinoma
Gleason score 7 : Moderate – poorly differentiated carcinoma
Gleason score 8–10 : High Grade carcinoma
Karena kebanyakan tumor memiliki gambaran lebih dari 1 macam, maka ditetapkan grading
primer untuk pola dominan, dan grading sekunder untuk pola subdominan. Kemudian kedua
angka grading primer dan sekunder dijumlahkan untuk mendapatkan Gleason score. Misalnya,
carcinoma dengan gambaran dominan grade 3 dan subdominan grade 4 menghasilkan Gleason
score 7.
Mayoritas carcinoma yang dapat diterapi dan terdeteksi dengan biopsi jarum mempunyai
Gleason score 5–7. Carcinoma dengan Gleason score 8–10 biasanya tidak dapat disembuhkan.

280
PATOLOGI ANATOMI

Grading bersama dengan staging sangat penting untuk memprediksi prognosis carcinoma
prostat.
Staging dari adenocarcinoma prostat diperlukan untuk menentukan prognosis dan
pengelolaan selanjutnya. Staging yang paling sering digunakan adalah sistem TNM (Primary
Tumor, Regional Lymph Node, Distant Metastasis).
Metastasis carcinoma prostat biasanya berupa invasi lokal ke vesikula seminalis dan dasar
vesica urinaria, hematogen ke tulang (vertebra lumbal, femur proksimal, pelvis, vertebra
thoracal, costa) dan viscera, limfogen ke nodus lymphaticus obturatorius, perivesikal,
hipogastric, illiaca, presacral, dan paraaortal.
Carcinoma prostat pada stadium awal biasanya asimptomatik. Adenocarcinoma prostat
seringkali didiagnosis secara insidentil, yaitu pada saat pemeriksaan patologi anatomi setelah
dilakukan prostatectomy dengan diagnosis klinis BPH ataupun pada saat otopsi.
Carcinoma prostat stadium awal biasanya asimptomatik, karena carcinoma prostat timbul
pada zona perifer yang letaknya jauh dari urethra. Gejala klinis pada carcinoma prostat stadium
lanjut berupa gangguan saluran kemih, seperti kesulitan dalam memulai dan menghentikan
aliran urine, dysuria, frequency, dan hematuria. Beberapa pasien datang dengan keluhan nyeri
punggung karena metastasis vertebra.
Pemeriksaan laboratorium yang penting untuk carcinoma prostat adalah PSA (Prostate-
specific antigen). PSA digunakan untuk diagnosis dan pemeriksaan serialnya berguna untuk
menilai respon terhadap terapi. PSA dihasilkan oleh epitel prostat dan disekresikan melalui
semen. Pada keadaan normal, serum PSA <4 ng/ml. Apabila dikombinasikan dengan
pemeriksaan rektal dan transrectal ultrasonography, maka PSA sangat berguna untuk
mendeteksi carcinoma stadium awal. Tetapi serum PSA sendiri tidak dapat digunakan untuk
mendeteksi carcinoma stadium awal.
Terapi carcinoma prostat dapat berupa operasi radical prostatectomy, radioterapi, dan terapi
hormonal. Terapi alternatif untuk carcinoma prostat yang terlokalisir adalah external beam
radiotherapy atau interstitial radiotherapy.
Prognosis carcinoma prostat setelah radical prostatectomy bergantung pada stadium,
surgical margins dan Gleason grading.
Angka 10 years survival rate pada adenocarcinoma prostat low grade: 95%. Sedangkan
angka 5 years survival rate pada adenocarcinoma prostat high grade: 50%. Pada kasus
adenocarcinoma prostat high grade dengan metastasis, survival rate nya adalah 2–3 tahun.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Robbins and Cotran Pathologic Basis of Disease. 7th Edition.
Philadelphia: Elsevier Saunders. 2005. P 1034–1056.
2. Robbins S L, Cotran RS, Kumar V., Pathologic Basis of disease. 5th Edition. Philadelphia: WB
Saunders Co. 1994. P 755–766.
3. Damjanov I. Pathology secrets. Philadelphia: Hanley & Belfus Inc. 2002. P 360–361.
4. Rosai J. Ackerman’s Surgical Pathology. 8th Edition. Missouri: Mosby Year Book Inc. 1996. P
1229–1244.
5. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins Basic Pathology. 10th Edition. Elsevier. 2008.

281
PATOLOGI KLINIK

ANALISIS SPERMA
Fenny

PENDAHULUAN
Analisis sperma/semen/cairan mani/seminal fluid bertujuan untuk meneliti segala unsur-
unsur sperma, biasanya dilakukan pada penyelidikan infertilitas pada perkawinan yang mandul.
Karena caranya sederhana, tes ini dilakukan sebelum dilakukan pemeriksaan pada perempuan
yang lebih kompleks dan mahal. Ternyata sekarang kelainan pada laki-laki pada masalah
infertilitas diperkirakan meliputi 40%.
Pada pemeriksaan infertilitas, selain analisis sperma, yang penting juga harus dilakukan
pemeriksaan kesehatan umum dari kedua pasangan laki-laki dan perempuan, meliputi riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik umum. Kalau diperlukan, juga pemeriksaan tiroid, adrenal, fungsi
hipofisis dan pada laki-laki dilakukan biopsi testis.
Bila diperoleh hasil yang abnormal, sebaiknya analisis sperma diulangi sekali atau lebih,
dengan interval ± 2 minggu.
Selain pada penelitian infertilitas, analisis sperma juga dapat dilakukan pada:
- Penelitian forensik: pemeriksaan sekret vagina atau bercak pada pakaian apakah
mengandung sperma pada kasus dugaan terjadinya perkosaan.
- Mengevaluasi keberhasilan vasektomi.
- Pada kasus penolakan paternitas dengan alasan sterilitas.

FISIOLOGI CAIRAN SPERMA


Sperma adalah zat setengah cair atau setengah kental, yang terdiri dari dua bagian, yaitu
plasma sperma dan spermatozoa. Plasma sperma dihasilkan oleh prostat, vesikula seminalis,
epididimis, kelenjar Cowper, dan kelenjar Littre. Spermatozoa dihasilkan oleh aktivitas tubuli
seminiferus.
Fungsi dari plasma sperma yaitu sebagai medium nutrisi dengan volume dan tekanan
osmotik yang cocok untuk membawa spermatozoa melalui endocervical mucus, juga
menyebabkan pergerakan spermatozoa lebih aktif.
Komponen dari sperma dibentuk dari:
1. Testis: spermatozoa
Spermatozoa, volumenya kurang dari 5% dari seluruh volume sperma, merupakan tipe sel
yang dapat dinilai dalam sperma yang normal. Spermatozoa disimpan dalam jumlah besar
dalam ampulla dari vas deferens sampai dikeluarkan pada proses ejakulasi. Spermatozoa
disimpan dalam ampulla secara metabolik inaktif karena suasana asam dan suplai oksigen
yang kurang. Dalam tempat ini spermatozoa dapat hidup sampai satu bulan.
2. Vesikula seminalis
Kurang lebih 60% dari volume sperma diperoleh dari vesikula seminalis. Cairan ini kental,
netral atau sedikit alkalis, sering berwarna kuning karena mengandung banyak flavin, yang
menyebabkan sperma berfluoresensi dengan sinar ultra violet. Vesikula seminalis
merupakan sumber tingginya kadar fruktosa dalam sperma, yang berfungsi untuk nutrisi
dan metabolisme spermatozoa. Spermatozoa belum motil sebelum terpapar cairan vesikula

282
PATOLOGI KLINIK

seminalis. Vesikula seminalis juga penting menghasilkan suatu substrat yang menyebabkan
koagulasi dari sperma sesudah ejakulasi.
3. Prostat
Cairan prostat merupakan 20–30% dari volume sperma. Cairan ini seperti susu, sedikit
asam, pH sekitar 6,5 karena kadar tinggi dari asam sitrat, yang merupakan anion terbanyak
dalam cairan prostat. Sekret prostat juga kaya akan enzim proteolitik dan acid phosphatase.
Enzim proteolitik penting untuk koagulasi dan likuefaksi dari sperma. Acid phosphatase
dapat memecah phosphorylcholine, tetapi hal ini belum jelas.
4. Epididymis, vas deferens, bulbourethral glands (Cowper’s glands) dan urethral glands
(glands of Littre)
Kurang lebih 10–15% dari volume sperma dihasilkan oleh organ-organ ini dan hanya
sedikit diketahui kejelasannya secara biokimiawi.

FRAKSI-FRAKSI DARI SPERMA


Ditinjau dari proses keluarnya, sperma dapat terdiri dari beberapa fraksi (Schirren, 1972),
yaitu:
• Fraksi praejakulasi adalah bagian sperma yang berasal dari sekresi kelenjar Cowper dan
kelenjar Littre. Fraksi ini tidak mengandung spermatozoa dan tidak bersifat mukoid. Bagian
ini adalah cairan yang kadang-kadang telah keluar kalau gairah sex sudah meningkat, tetapi
belum orgasmus.
• Fraksi I adalah bagian sperma yang berasal dari sekresi prostat dan kadang-kadang
mengandung spermatozoa, bersifat sebagai cairan mukus.
• Fraksi II merupakan komponen utama ejakulat, sebagian besar berasal dari cairan prostat,
mengandung komponen gelatinous (kental) dan mengandung banyak spermatozoa.
• Fraksi III, hampir semuanya terdiri dari sekret mukoid yang dihasilkan pada proses
pengosongan dari vesikula seminalis, bersifat gelatinous dan berisi spermatozoa, yang
biasanya non-motil.
Semua fraksi ini berkontribusi untuk memproduksi sperma yang normal.

Pada ejakulat segar terdapat dua macam bagian sperma, yaitu:


a. Bagian gelatinous: bagian yang kental, berasal dari vesikula seminalis.
b. Bagian cair: berasal dari prostat, terdapat enzim yang mampu mengencerkan (liquefying
enzymes) bagian yang kental, sehingga pada suatu saat sperma akan mengalami
pengenceran total setelah dibiarkan di suhu ruangan.

PEMERIKSAAN PARAMETER SPERMA


Arti Parameter Sperma
Sperma mempunyai bagian-bagian, sifat-sifat, dan keadaan-keadaan tertentu. Semua unsur
itu menyusun sifat-sifat dan keadaan khas sperma. Semua bagian dan keadaan maupun sifat
sperma itu merupakan parameter sperma. Parameter sperma dapat berupa parameter sperma
dasar (biologis) dan parameter biokimia sperma.
Parameter sperma dasar diperiksa pada pemeriksaan rutin sebagai dasar umum untuk
mendiagnosis keadaan andrologis, merupakan pemeriksaan yang mudah dilakukan dan tidak

283
PATOLOGI KLINIK

memerlukan alat-alat serta pengetahuan yang rumit, meliputi: volume, warna, bau, pH,
viskositas, waktu liquefaksi sperma, spermatozoa (jumlah, motilitas, morfologi), sel-sel muda
spermatozoa, lekosit, sel lepas dari traktus reproduksi laki-laki, kristal-kristal sperma,
aglutinasi spermatozoa serta bentuk-bentuk lain yang nampak dalam mikroskop.
Parameter biokimia dilakukan pada keadaan tertentu dan atas permintaan dokter yang
bersangkutan untuk diagnosis lebih lanjut, misalnya kadar fruktosa, acid fosfatase, dan lain-
lain.

A. PEMERIKSAAN MAKROSKOPIS

• Volume Sperma
Volume sperma diukur dalam satuan ml (mililiter) dengan memakai gelas ukur yang
berskala 0,1 ml. Waktu menuangkan sperma ke dalam gelas ukur, sekaligus dilihat apakah
sperma mengandung koagulum atau tidak, dan dapat dilihat warna dari sperma. Pengukuran
volume sperma dilakukan dengan menuliskan angka jumlah volume dengan satu angka di
belakang koma, misalnya volume sperma: 1,6 m atau 4,9 ml.
- normal: antara 2–5 ml
- jika kurang dari 1 ml disebut hipospermia, hal ini berhubungan dengan
infertilitas/gangguan fungsi organ penghasil cairan sperma/ incomplete specimen
collection
- jika lebih dari 5 mL disebut hiperspermia, hal ini dapat disebabkan periods of extended
abstinence

• pH Sperma
pH sperma diukur dengan kertas indikator waktu sperma masih segar dan sudah mengalami
likuefaksi sempurna. Kalau diperiksa lama sesudah ejakulasi, pH akan berubah karena
terjadinya perubahan proses biokimiawi di dalam sperma. Sebelum mencelupkan kertas
indikator ke dalam sperma atau meneteskan sampel sperma ke kertas indikator, sperma
harus diaduk rata, sebab sperma merupakam campuran berbagai sekret kelenjar asesori
kelamin laki-laki yang berbeda-beda derajat keasamannya. Sekret vesikula seminalis
bersifat basa, sedangkan sekret prostat bersifat asam. Kemudian kertas indikator
dibandingkan dengan warna standar, paling lama 10 menit setelah kertas indikator ditetesi
sperma.
- Normal : 6,8–7,8 (7,2–8,0)
- Abnormal : pH meningkat  mengindikasikan adanya infeksi traktus reproduksi.
pH menurun  berhubungan dengan peningkatan cairan prostat.

• Warna Sperma
Warna sperma diperiksa dengan mata telanjamg. Untuk mendapatkan warna yang
sebenarnya, sampel sperma dalam wadah atau gelas ukur, diamati dengan latar belakang
warna putih. Warna sperma normal bervariasi dari translusen (putih kanji) sampai putih
keabu-abuan atau putih kekuning-kuningan. Warna sperma abnormal:
- kemerahan (hemospermia)  berhubungan dengan peningkatan eritrosit.

284
PATOLOGI KLINIK

- putih susu (leucospermia)  berhubungan dengan peningkatan lekosit/infeksi.


- kuning  dapat terkontaminasi urine (urine toksik terhadap spermatozoa sehingga
mempengaruhi evaluasi motilitas spermatozoa)atau dapat disebabkan prolonged-
abstinence

• Bau Sperma
Bau sperma itu langu (bahasa Jawa), ada yang mengatakan seperti bunga akasia/ musty
odor (pengap), orang Barat mengatakan bau sperma seperti “chesnut flower” atau “flower
of the charob tree”. Bau sperma yang khas ini disebabkan oleh adanya spermin yang
dihasilkan oleh kelenjar prostat. Bau sperma yang tidak khas harus dicatat, misalnya: amis,
pesing, berbau obat-obatan tertentu. Sperma yang berbau amis menunjukkan adanya
infeksi pada traktus urogenitalis atau kelenjar-kelenjar asesori genitalia laki-laki.

• Koagulum Sperma
Sperma yang baru diejakulasikan terdiri dari dua bagian: bagian pertama berupa cairan
encer, bagian kedua berupa bahan kental: koagulum, seperti kanji. Adanya koagulum
menandakan bahwa vesikula seminalis yang menghasilkannya berfungsi dengan baik. Bila
tidak ada koagulum menunjukkan kemungkinan terdapat gangguan pada vesikula
seminalis, misalnya infeksi.

• Likuefaksi Sperma
Likuefaksi sperma adalah proses mencairnya bagian sperma yang kental, karena
mengalami perubahan sehingga menjadi encer beberapa saat setelah ejakulasi. Pada
keadaan normal, likuefaksi sperma terjadi pada waktu 5–20 menit setelah ejakulasi. Bila
terjadi kelambatan proses likuefaksi, mungkin terdapat abnormalitas sperma. Apabila
likuefaksi ≥20 menit, disebut likuefaksi tidak sempurna; likuefaksi >60 menit disebut
likuefaksi lama. Proses likuefaksi sperma dipengaruhi oleh sistim enzim, baik yang
disekresi oleh vesikula seminalis maupun prostat. Analisis sperma tidak dapat dilakukan
sampai terjadi proses likuefaksi dan spesimen dapat diaduk.

• Viskositas Sperma
Viskositas atau kekentalan sperma diukur setelah sperma mengalami likuefaksi lengkap
sebab kalau tidak demikian, tidak mencerminkan kekentalan sperma. Viskositas sperma
erat hubungannya dengan likuefaksi dan adanya koagulum, sebab kalau masih ada
koagulum, berarti kekentalan belum merata.
Pengukuran viskositas sperma ada dua macam:
1. Dengan batang gelas
Viskositas sperma ditentukan dengan mengukur (kira-kira) panjangnya rentangan
lendir sperma yang terangkat dengan batang gelas. Dengan cara ini viskositas tidak
diukur dengan angka, tetapi dengan istilah: kental, sedang, dan encer. Penentuan
dengan cara ini kurang tepat, sebab tidak menggunakan satuan.
2. Memakai viskometer
Dengan memakai viskometer, viskositas sperma diukur secara cepat dan sederhana.
Salah satu viskometer yang biasa dipakai ialah pipet dari Eliasson, dengan cara:

285
PATOLOGI KLINIK

Sperma yang telah mengalami likuefaksi lengkap yang biasanya terjadi 15–20 menit
setelah ejakulasi, dihisap dengan pipet Eliasson sampai angka 0,1. Pipet dipegang
dalam posisi tegak lurus, dengan ujung atas disumbat dengan ibu jari tangan kanan.
Tangan kiri memegang stopwatch. Pada waktu jari yang menekan ujung viskometer
dilepaskan, stopwatch ditekan. Kemudian diperhatikan ujung lain dari pipet. Bila telah
terdapat setetes sperma yang lepas dari ujung itu, maka stopwatch dihentikan jalannya.
Waktu yang diperlukan untuk meneteskan sperma setelah ujung yang lain dilepaskan
dari jari merupakan viskositas sperma, di mana dengan alat ini viskositas sperma
berkisar sekitar 2 detik pada keadaan normal.

B. PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS

Motilitas Spermatozoa
a. Mekanisme Motilitas
Spermatozoa bergerak supaya dapat sampai pada alat reproduksi perempuan untuk
pembuahan. Energi untuk motilitas bersumber pada bagian tengah spermatozoa, di mana
terdapat mitochondria yang memecah bahan-bahan tertentu untuk mengeluarkan energi.
Bagian tengah dapat diibaratkan sebagai generator. Energi dari bagian tengah disalurkan
ke distal, yaitu ke ekor yang kemudian bergerak. Jadi ekor dapat diibaratkan sebagai
kemudi, juga sebagai pendorong spermatozoa. Energi yang keluar menyebabkan dua
macam gerakan. Pertama gerakan bergelombang ke ujung ekor. Gerakan kedua bersifat
sirkular. Energi yang ke ujung ekor itu tidak lurus ke belakang, tetapi arahnya melingkari
batang tubuh bagian tengah, terus ke ujung ekor. Resultante dari dua gerakan tersebut
menyebabkan seluruh tubuh spermatozoa, mulai dari kepala sampai ekor, bergerak
melingkari sumbunya dan ke depan. Hal ini menyebabkan gerak lurus ke depan, aktif
lincah, dengan irama getar ekor yang teratur. Irama getar ekor spermatozoa normal manusia
ialah 15x/detik.
Jadi dapat dibayangkan bahwa hanya spermatozoa yang normal saja yang dapat bergerak
normal pula. Bila bentuk kepala spermatozoa tidak normal, misalnya bentuk terato, maka
arah gerakan tak mungkin lurus ke depan, sebab bentuk bagian depan abnormal itu tidak
ideal untuk melakukan gerakan lurus. Demikian pula bila terdapat bagian tengah yang
bengkok, bagian ekor yang melingkar, bagian kepala yang masih tertempel oleh sisa
sitoplasma (imatur), kesemuanya mengakibatkan terganggunya gerak lurus ke depan dan
lincah.

b. Macam Motilitas Spermatozoa


Berdasarkan mekanisme motilitas tersebut dapat dibedakan dua macam motilitas
spermatozoa, yaitu:
1. Spermatozoa motilitas baik: spermatozoa bergerak lurus ke depan, lincah, cepat dengan
gerak ekor yang berirama.
2. Spermatozoa motilitas kurang baik: semua motilitas spermatozoa, kecuali yang disebut
spermatozoa motilitas baik, dianggap spermatozoa dengan motilitas kurang baik.
Motilitas spermatozoa juga dapat diklasifikasikan sebagai:
Grade 4: gerak lurus cepat.

286
PATOLOGI KLINIK

Grade 3: gerak lurus lambat, beberapa bergerak ke lateral.


Grade 2: gerak maju lambat, perlu diperhatikan pergerakan ke lateral.
Grade 1: tidak ada pergerakan maju (bergerak di tempat).
Grade 0: tidak ada pergerakan.
 Motilitas normal apabila ditemukan >50% dengan grade >2, pemeriksaan dilakukan
dalam 1 jam setelah ejakulasi.

c. Pemeriksaan Motilitas Spermatozoa


Pemeriksaan motilitas sperma dilakukan dengan meneteskan setetes sperma pada gelas
obyek. Tetesan diusahakan sama besarnya untuk setiap pemeriksaan. Bila tetesan tidak
sama besarnya, pengamatan spermatozoa secara persentase dan kuantitatif akan berbeda.
Sperma yang diteteskan pada kaca obyek, kemudian ditutup dengan gelas penutup.
Sebelum diteteskan, sperma terlebih dahulu diaduk rata, sehingga homogen. Motilitas
sperma biasanya dilihat setelah terjadi likuefaksi lengkap. Pemeriksaan harus segera
dilakukan setelah gelas obyek ditempelkan, bila terlalu lama dibiarkan, akan terjadi
perbedaan dalam motilitas sperma. Mula-mula diperiksa dengan pembesaran obyektif 10x,
kemudian diganti dengan obyektif 40x.

d. Penilaian Motilitas Spermatozoa


Penilaian motilitas spermatozoa dilakukan sebagai berikut:
• Spermatozoa dengan motilitas baik, yaitu gerak cepat lurus ke depan, lincah, aktif (%)
• Spermatozoa dengan motilitas kurang baik, yaitu gerak apapun kecuali spermatozoa
dengan motilitas baik (%).
• Spermatozoa yang tidak motil (%).

e. Berkurangnya Derajat Motilitas


Spermatozoa akan berkurang motilitasnya bila:
1. Dibiarkan setelah ejakulasi (“in vitro”).
2. Setelah sperma berada di dalam traktus genitalis perempuan (“in vivo”).
Keadaan motilitas spermatozoa “in vitro” dengan “in vivo” tentu sedikit berbeda. Dengan
mempelajari motilitas spermatozoa “in vitro”, kita dapat memperkirakan keadaan “in
vivo”. Dengan pedoman ini, dapat diteliti bagaimana motilitas spermatozoa dengan
berjalannya waktu, yaitu dengan cara mengukur motilitas pada beberapa saat setelah
ejakulasi: 30 menit, 60 menit, 120 menit, dan seterusnya. Dengan memeriksa motilitas
berurutan ini dapat diperkirakan bagaimana stamina spermatozoa yang diperiksa.
Pemeriksaan motilitas berurutan sampai 2–3 jam setelah ejakulasi dimaksudkan untuk
mengetahui derajat penurunan motilitas spermatozoa, sebab pada keadaan normal,
kemunduran motilitas terjadi kira-kira 10–20% dalam waktu 2–3 jam. Bila dalam waktu
tersebut turunnya motilitas lebih dari 20%, berarti daya tahan motilitas spermatozoa itu
berkurang. Dalam melaksanakan pemeriksaan motilitas berurutan ini, temperatur
laboratorium harus dijaga konstan, sebab perbedaan suhu juga berpengaruh terhadap
motilitas spermatozoa. Di laboratorium andrologi pengukuran motilitas spermatozoa
dilakukan sekali yaitu setelah terjadi likuefaksi sempurna, kecuali bila dokter pengirim

287
PATOLOGI KLINIK

pasien menghendaki pemeriksaan motilitas berurutan.

Vitalitas Spermatozoa
Vitalitas spermatozoa adalah pemeriksaan untuk membedakan spermatozoa yang hidup
tetapi tidak bergerak dengan spermatozoa yang mati. Spermatozoa yang tidak bergerak belum
tentu mati, hal ini dapat disebabkan oleh lingkungan yang tidak cocok. Bila suatu saat
lingkungannya baik, maka spermatozoa tersebut akan bergerak lagi.
Pemeriksaan vitalitas spermatozoa dengan pengecatan vital (vital staining) yaitu untuk
memastikan diagnosis necrozoospermia. Cara ini dapat memastikan apakah spermatozoa yang
tidak motil itu hidup atau mati. Metode pemeriksaan pengecatan vital ialah sebagai berikut:
Satu tetes sperma diletakkan di atas gelas obyek yang bersih, kemudian ditambahkan lagi satu
tetes larutan Eosin-Y 0,5% atau Eosin Bluish 0,5% dalam akua destilata, kemudian diaduk rata.
Setelah itu dibuat sediaan hapus, dibiarkan kering di udara. Setelah kering, sediaan dilihat di
bawah mikroskop dengan pembesaran 400–600 kali, dihitung 100–200 spermatozoa.
Spermatozoa yang hidup (viable) tidak berwarna, dengan latar belakang kemerahan,
sedangkan spermatozoa yang mati berwarna merah. Hasilnya dinyatakan dalam persentase
(%). Spermatozoa mati berwarna kemerahan karena dinding spermatozoa rusak, zat warna
masuk ke dalam sel-sel berwarna merah. Spermatozoa hidup tetap tak berwarna, karena
dinding sel masih utuh, tak dapat ditembus zat warna. Untuk membuat pengecatan vitalitas
yang baik, zat warna harus baru, jangan terlalu kental, dan jangan banyak endapan.

Jumlah Spermatozoa
Untuk menghitung jumlah spermatozoa digunakan:
1. Hemositometer: pipet lekosit dan pipet eritrosit, kamar hitung.
2. Larutan pengencer, terdiri dari campuran: 5 gram NaHCO3, 1 ml formalin 35%, 5 ml larutan
jenuh Gentian Violet di dalam air atau Safranin O atau Eosin-Y, akuades ad sampai 100
ml. Larutan pengencer ini juga bertindak sebagai spermisida yang mematikan spermatozoa,
sehingga spermatozoa yang terdapat di dalam kamar hitung lebih cermat dihitungnya.

Jumlah spermatozoa dihitung menurut beberapa cara:


1. Jumlah spermatozoa per ml ejakulat.
2. Jumlah spermatozoa per volume ejakulat.
Cara yang umum dipakai adalah jumlah spermatozoa per ml ejakulat, bila dikehendaki
penghitungan untuk seluruh ejakulat, tinggal mengalikan dengan volume ejakulat.

Menghitung jumlah spermatozoa dilakukan dalam dua tahap:


a. Menghitung secara perkiraan, berapa jumlah spermatozoa per lapangan pandang.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan ketika memeriksa motilitas spermatozoa.
b. Menghitung jumlah spermatozoa per ml ejakulat, ditentukan sebagai berikut:
- Sperma yang telah diaduk homogen dihisap dengan pipet lekosit sampai tanda 0.5, bila
jumlah spermatozoa per lapang pandang lebih besar dari 50 buah. Bila spermatozoa per
lapang pandang berjumlah lebih kecil dari 50 buah, sperma dihisap sampai tanda 1.0
pada pipa lekosit.

288
PATOLOGI KLINIK

- Pipet yang telah berisi sperma kemudian diencerkan dengan larutan pengencer sampai
pada tanda 11. (di atas bagian pipet yang bulat). Setelah itu pipet dikocok rata.
- Sebelum menghitung spermatozoa, terlebih dahulu beberapa tetes campuran sperma
dibuang agar yang terhitung nanti adalah bagian yang benar-benar mengandung
spermatozoa yang homogen.
- Campuran sperma dengan pengencer dimasukkan ke dalam kotak-kotak kamar hitung
(counting chamber) baik dari Neubauer maupun dari Thoma Zeiss, yang sebelumnya
telah dipersiapkan terlebih dahulu. Dihitung di bawah mikroskop jumlah spermatozoa
pada 16 kotak. Penghitungan dilakukan dengan pembesaran 450 kali.
- Hasil penghitungan dikalikan 200.000 bila sperma yang dihisap hanya sampai 0.5
(pengenceran 20 kali). Hasil perhitungan dikalikan 100.000 bila sperma yang dihisap
sampai tanda 1.0 (pengenceran 10 kali). Hasil yang diperoleh menunjukkan jumlah
spermatozoa per ml ejakulat (dalam juta).

Morfologi Spermatozoa
Pemeriksaan morfologi spermatozoa ditujukan untuk melihat bentuk-bentuk spermatozoa.
Seperti diketahui spermatozoa mempunyai bermacam-macam bentuk. Dengan pemeriksaan ini
diketahui berapa banyak bentuk spermatozoa normal dan abnormal. Agar memperoleh hasil
yang baik pemeriksaan morfologi spermatozoa dilakukan dengan pengecatan khusus. Terdapat
berbagai macam pengecatan untuk memeriksa morfologi spermatozoa.
Pemeriksaan morfologi spermatozoa dilakukan menurut beberapa tahap sebagai berikut :
1. Dibuat sediaan hapus pada gelas obyek yang bersih dan kering, sediaan dibiarkan kering di
udara atau dipanaskan secukupnya.
2. Sediaan diwarnai dengan Giemsa/Hematoksilin Meyer/O Steeno/Fast Green/Wright/
Bryan/Leishman dan Papanicolou.
Setelah sediaan dikeringkan, diperiksa morfologi spermatozoa di bawah mikroskop dengan
minyak emersi dan pembesaran 1000 atau 1500 kali. Dihitung 100–200 spermatozoa,
kemudian morfologi ditentukan dalam %.

Spermatozoa Normal
Spermatozoa yang normal pada umumnya mempunyai kepala berbentuk oval, regular,
dengan bagian tengah utuh dan ekor tak melingkar dengan panjang paling tidak 45 µ; panjang
kepala: 3–5 µ; lebar kepala: 2–3 µ.
Sperma dengan kepala yang hampir oval dengan tidak ada iregularitas yang kasar juga
dimasukkan dalam kelompok ini, agar jangan dikelompokkan ke dalam lain-lain ukuran
(misalnya yang berkepala sedikit berbentuk pear).
Akrosom kalau nampak berwarna pink (jingga). Kepala tercat violet dengan bayangan lebih
gelap di daerah akrosom daripada bagian tengah. Ekor tercat abu-abu sampai violet. Kepala
membulat pada kaitan dengan bagian tengah, pada semua kepala yang masuk kategori oval.

Spermatozoa abnormal
Spermatozoa disebut abnormal, bilamana terdapat satu atau lebih dari bagian spermatozoa
yang abnormal. Jadi meskipun kepala spermatozoa oval, tetapi kalau bagian tengah menebal

289
PATOLOGI KLINIK

maka spermatozoa itu adalah abnormal. Demikian juga seterusnya.


Berbagai macam abnormalitas spermatozoa:
• Abnormalitas kepala
- Kepala oval besar (bentuk makro), yang termasuk kategori ini adalah spermatozoa
dengan ketentuan spermatozoa normal, tetapi ukuran kepala spermatozoa lebih besar
yaitu: panjang kepala >5 µ; lebar kepala >3 µ.
- Kepala oval kecil (bentuk mikro), yang termasuk kategori ini adalah spermatozoa
dengan ketentuan spermatozoa normal, tetapi ukuran kepala spermatozoa lebih kecil,
yaitu: panjang kepala <3 µ; lebar kepala <2 µ.
- Kepala pipih (tapering head = bentuk lepto), yang termasuk dalam kategori ini adalah
spermatozoa dengan perbandingan ukuran lebar lebih pendek daripada panjangnya.
Kepala spermatozoa kelompok ini berbentuk “cerutu” dengan kedua sisinya sejajar
yang kemudian dapat bertemu pada satu titik atau tidak pada bagian tengah.
Akrosomnya dapat berujung lancip atau tidak. Ukuran yang lazim adalah panjang
kepala >7 µ, lebar kepala >3 µ.
- Kepala berbentuk pir (piriform head), spermatozoa dalam kategori ini adalah bagian
yang kepalanya nyata atau bahkan lebih menyolok berbentuk sebagai “tetesan air
mata”, tidak usah memandang ukurannya. Tetesan air mata itu bagian runcingnya
berhubungan dengan bagian tengah spermatozoa.
- Kepala dua (duplicated head), spermatozoa yang termasuk kategori ini mempunyai dua
kepala.
- Kepala berbentuk amorfous (bentuk terato), spermatozoa dalam kelompok ini
dikatakan oleh MacLeod sebagai mempunyai kelainan struktur yang aneh (bizzare)
pada kepalanya yang tak mungkin dikelompokkan dalam kategori manapun. Banyak
sekali variasi yang mungkin terjadi pada bentuk iregular, termasuk kepala seperti
terpilin (twisted), terdapat cekungan konkaf pada sisinya, kepala berbentuk dumb-bell,
serta bentuk kelereng yang tercat amat gelap tanpa nampak adanya akrosom.
• Abnormalitas bagian tengah
Spermatozoa dengan bagian tengah abnormal yaitu:
- Bagian tengah tebal: bila ukuran bagian tengah >2 µ.
- Bagian tengah patah.
- Tak mempunyai bagian tengah.
• Abnormalitas ekor
Spermatozoa yang termasuk kelompok ini ialah yang mempunyai:
- Ekor amat melingkar.
- Ekor patah yang meninggalkan sisanya setidak-tidaknya separuh dari ekor normal.
- Ekor lebih dari satu.
Ekor sebagai tali terpilin (kinked tail) tidak termasuk dalam kategori ini.
• Spermatozoa imatur (droplet sitoplasma) adalah spermatozoa yang mengandung sisa
sitoplasma (cytoplasmic droplet = residual body) paling tidak besarnya separuh dari ukuran
kepala dan masih terikat, baik pada kepala, bagian tengah, maupun pada ekor spermatozoa.

290
PATOLOGI KLINIK

MORPHOLOGY

- PREPARE THE SMEAR


- STAIN WITH : GIEMSA, FUCHSIN. ETC
- + 200 SP EXAMINE 200X
TAIL HEAD
3-6µm
50 - 70 µ m
NECK
ABNORMAL :

IMMATURE SPERMATOZON
(SPERMATID)
PIN HEAD

GIANT HEAD

ACUTE TAPERING FORM

AMORPHOUS FORM

DOUBLE HEAD

DOUBLE TAIL

CONSTRICTED HEAD

NOTES : TAIL ON ALL FORMS ARE DISPROPORTIONAL SHORT

Gambar 1. Morfologi Spermatozoa Abnormal

Menentukan persentase morfologi spermatozoa:


Untuk menghitung persentase macam-macam morfologi spermatozoa dilakukan
pemeriksaan dengan membedakan bentuk spermatozoa abnormal dan normal. Perinciannya
sebagai berikut:
- Bentuk spermatozoa normal (%).
- Bentuk spermatozoa abnormal (%): abnormalitas kepala, abnormalitas bagian tengah,
abnormalitas ekor.
Untuk maksud tersebut diperiksa 200 spermatozoa.
Contoh: (lihat Tabel 1 di bawah)

Tabel 1. Penghitungan Persentase Macam-macam Morfologi Spermatozoa


Nomor Macam Spermatozoa Jumlah Persentase Macam Spermatozoa
Normal IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII
1 57%
IIII IIII IIII II
Abnormal IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII
2 43%
III
3 Macam kepala
IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII IIII
3.1 Normo 63 buah
IIII IIII IIII IIII III
3.2 Makro IIII IIII IIII 15 buah
3.3 Mikro IIII 5 buah
3.4 Lepto IIII IIII IIII 15 buah
3.5 Piri - -
3.6 Dobel - -
3.7 Terato II 2 buah
4 Abnormalitas leher IIII IIII 10 buah
5 Abnormalitas ekor IIII IIII III 13 buah
6 Spermatozoa imatur IIII II 7 buah

Spermatozoa normal : 57%


Spermatozoa abnormal : 43%

291
PATOLOGI KLINIK

Dari 43% spermatozoa abnormal ditemukan:


• Abnormal kepala : 37 buah
• Abnormalitas bagian tengah : 10 buah
• Abnormalitas ekor : 13 buah
• Cytoplasmic droplet : 7 buah

Abnormalitas bagian-bagian spermatozoa tak dapat dikemukakan dalam persen sebab


terdapat kemugkinan bahwa satu spermatozoa mempunyai abnormalitas lebih dari satu.
Misalnya satu spermatozoa dengan kepala abnormal, leher, abnormal dan ekornya pun
abnormal.
Untuk keperluan praktis, sebenarnya cukup kalau ditentukan morfologi spermatozoa normal
dan abnormal. Sebab menurut penelitian beberapa ahli, hanya spermatozoa normal saja yang
mampu mengadakan fertilisasi. Sedang bentuk spermatozoa abnormal tak dapat mengadakan
fertilisasi.
Tetapi untuk kegunaan keahlian andrologi, maka penentuan bentuk-bentuk lain perlu sekali,
sebab bentuk abnormal tertentu dapat menunjukkan letak kelainan andrologi. Dengan
mengetahui letak kelainan diharapkan terapi ke arah perbaikan bentuk morfologi dapat
dilaksanakan. Dengan bertambahnya bentuk spermatozoa normal, diharapkan akan terjadi
kehamilan, bilamana kedaan fertilitas istri dalam batas normal pula.

Lekosit dalam Sperma


Selain spermatozoa, dalam sperma juga terdapat apa yang dinamakan “rundzellen” (round
cell = sel bundar) yang terdiri dari lekosit dan sel-sel spermiogenesis. Untuk penelitian lebih
lanjut perlu dibedakan antara sel spermiogenesis dan lekosit. Hal itu dilakukan karena lekosit
dapat memberikan “pencemaran” terhadap sperma. Dalam keadaan biasa di dalam sperma
terdapat juga lekosit. Jumlah lekosit dalam beberapa keadaan normal dapat meningkat,
misalnya setelah koitus, tetapi peningkatan yang melebihi batas normal menunjukkan adanya
infeksi. Jumlah lekosit yang melebihi batas normal memengaruhi gambaran spermiogram,
maka perlu dilakukan penghitungan lekosit pada sperma. Bila pada pemeriksaan sperma,
terdapat rundzellen lebih dari 10 per lapang pandang, maka harus dibedakan apakah rundzellen
itu lekosit atau sel spermiogenesis. Jika jumlah lekosit lebih dari 1000/mm3 disebut ada
pencemaran/infeksi pada traktus genitalis dan/atau kelenjar asesori.

Aglutinasi Spermatozoa
Aglutinasi spermatozoa adalah penggumpalan atau perlekatan antara satu spermatozoa
dengan (beberapa) spermatozoa yang lain. Pada analisis sperma rutin, proses aglutinasi
spermatozoa dapat mengungkapkan berbagai abnormalitas, di antaranya berkaitan dengan
masalah imunologi dan infeksi.
Aglutinasi spermatozoa dapat disebabkan oleh faktor imunologis dan non-imunologis. Cara
untuk membedakan keduanya adalah dengan mengukur titer antibodi yang terdapat pada
pasangan suami-istri, namun untuk informasi pendahuluan proses aglutinasi spermatozoa dapat
pula digunakan. Beberapa cara yang dapat digunakan adalah:
• Satu tetes sperma diberi garam fisiologis. Kalau terjadi aglutinasi sejati, spermatozoa akan

292
PATOLOGI KLINIK

tetap melekat satu dengan yang lain. Kalau dengan penambahan garam fisiologis,
spermatozoa terlepas satu dengan lain, maka aglutinasi tersebut adalah aglutinasi palsu.
• Cara lain adalah yang dikemukakan oleh Hellinga (1976). Setetes sperma segar, setelah
likuefaksi total, diletakkan pada gelas obyek, kemudian ditutup dengan gelas penutup.
Sediaan dibiarkan, tidak disentuh sedikitpun, selama paling tidak satu jam. Pada sperma
penderita tertentu akan terjadi penggumpalan satu dengan yang lain.

Cara penggumpalan spermatozoa tersebut bermacam-macam:


a. Aglutinasi ekor dengan ekor: tail-to-tail aglutination (TT).
Pada keadaan ini ujung atau bagian ekor yang lebih proksimal bersentuhan/berlekatan satu
dengan yang lain, sedangkan kepalanya bebas bergerak.
b. Aglutinasi kepala dengan kepala: head-to-head agglutination (HH).
Pada keadaan ini kepala spermatozoa saling berlekatan/bergerombol, sedangkan ekornya
bebas.
c. Aglutinasi kepala dengan ekor: head-to-tail agglutination (HT).
Pada keadaan ini kepala satu spermatozoa atau lebih berlekatan dengan ekor sebuah
spermatozoa atau lebih.
d. Spermatozoa saling bergerombol atau melekat pada suatu sel muda spermatozoa, epitel,
atau benda-benda lain pada sperma.
e. Aglutinasi rantai: string agglutination.
Spermatozoa dapat menggerombol seperti benang pada pinggir daerah sperma tertentu.
Keadaan a., b., dan c. adalah aglutinasi sejati yang diperkirakan ada hubungannya dengan
proses imunologis; sedangkan keadaan d. dan e. tidak ada hubungannya dengan poses
imunologis. Aglutinasi pada keadaan d. dinamakan aglutinasi palsu.

Gambar 2. Beberapa Macam Aglutinasi Spermatozoa. A. Aglutinasi kepala-kepala.


B. Aglutinasi ekor-ekor. C. Aglutinasi kepala-ekor.

Benda-Benda Khusus Sperma


Selain spermatozoa dan spermatozoa muda, di dalam sperma terdapat benda-benda khusus
lainnya. Benda-benda itu berasal dari saluran genitalis atau kelenjar asesori, atau benda-benda
lain baik benda hidup maupun benda mati.

293
PATOLOGI KLINIK

• Benda-benda mati
- Sel epitel
Biasanya merupakan sel epitel pipih, yang berasal dari lepasan sel pada saluran
urogenitalis. Sel pada traktus urogenitalis memang mudah lepas, apalagi kalau terjadi
proses peradangan. Pada pemeriksaan sperma segar sel ini telah tampak, namun lebih
jelas kalau diamati pada waktu memeriksa morfologi spermatozoa. Jumlahnya
dinyatakan per lapang pandang. Untuk dokter andrologi, hal ini merupakan tambahan
diagnostik untuk suatu keradangan.
- Kristal-kristal
Sebagaimana dalam urine, sperma pun mengandung kristal-kristal tertentu. Kristal-
kristal ini berasal dari kelenjar-kelenjar asesori. Bentuknya bermacam-macam
bergantung pada zatnya. Kristal yang banyak dijumpai dalam sperma adalah fosfat,
urat, dan sitrat. Pada pemeriksaan dinyatakan dengan ada atau tidak ada (+/-).
- Lemak
Lemak dalam sperma berasal dari kelenjar prostat, berbentuk bundar jernih. Benda ini
tak banyak artinya dalam klinis. Pada pemeriksaan dinyatakan sebagai +/-.
- Benda prostat (prostate bodies)
Berasal dari prostat, berbentuk bundar tepinya tidak rata, dan tidak berinti. Pada
pemeriksaan dinyatakan sebagai +/-.

• Benda-benda hidup
- Bakteri
Bakteri ini berasal dari infeksi traktus urogenitalis, bentuknya tampak tak jelas.
- Protozoa
Infeksi traktus urogenitalis oleh protozoa sering terjadi, misalnya trikhomonas lebih
sering mengenai perempuan daripada laki-laki. Trikhomonas yang terdapat dalam
saluran urogenotalis laki-laki biasanya lebih kecil daripada di traktus urogenitalis
perempuan. Trikhomonas juga terdapat dalam sperma yang diperoleh dengan koitus
interuptus. Protozoa yang lain adalah amoeba atau Chlamydia trachomatis.
- Jamur (yeast)
Dapat dijumpai pada pasien dengan dermatitis di daerah genital atau perineum.

C. PARAMETER BIOKIMIA

Kadar Fruktosa
Fruktosa merupakan karbohidrat yang terdapat dalam sperma, berasal dari vesikula
seminalis dan kadarnya mempunyai korelasi positif dengan kadar testoteron dalam tubuh.
Kadar fruktosa dalam sperma selain dipengaruhi oleh kadar testoteron dalam tubuh, juga
dipengaruhi oleh proses yang terjadi dalam vesikula seminalis dan ductus ejaculatorius.
Hipoplasia dan proses peradangan vesikula seminalis dan penyumbatan partial ductus
ejaculatorius mengakibatkan kadar fruktosa menurun. Pada penyumbatan total ductus
ejaculatorius, kadar fruktosa dalam sperma menjadi nol.

294
PATOLOGI KLINIK

Penetapan kadar fruktosa dalam sperma menggunakan reaksi Selivanoff sebagai dasar, di
mana fruktosa bereaksi dengan resorcinol dengan menyusun warna merah. Kadar fruktosa
dalam sperma normal berkisar 120–450 mg/dl.

INTERPRETASI HASIL ANALISIS SPERMA


Interpretasi hasil analisis sperma saat ini didasarkan atas 3 parameter pokok, yaitu:
1. Jumlah spermatozoa (juta/ml).
2. Persentase (%) motilitas spermatozoa yang geraknya baik.
3. Persentase (%) morfologi spermatozoa normal.

Tabel 2. Interpretasi Hasil Analisis Sperma


Jumlah Spermatozoa
Nomor Nomenklatur Motilitas (%) Morfologi (%)
(juta/ml)
1 Normozoospermia ≥20 ≥50 ≥50
2 Oligozoospermia <20 ≥50 ≥50
3 Ektrim Oligozoospermia <5 ≥50 ≥50
4 Astenozoospermia ≥20 <50 ≥50
5 Teratozoospermia ≥20 ≥50 <50
6 Oligoastenozoospermia <20 <50 ≥50
7 Oligoastenoteratozoospermia <20 <50 <50
8 Oligoteratozoospermia <20 ≥50 <50
9 Astenoteratozoospermia ≥20 <50 <50
10 Polizoospermia ≥250 ≥50 ≥50
Bilamana tak dijumpai spermatozoa dari pemeriksaan sedimen
11 Azoospermia
sentrifugasi sperma, yang lebih dari satu kali.
Bilamana semua spermatozoa tidak ada yang hidup. Dinyatakan
12 Nekrozoospermia
dalam pengecatan vital.
Bilamana ditemukan spermatozoa yang tersembunyi yaitu bila
13 Kriptozoospermia
ditemukan dalam sedimen sentrifugasi sperma.
Bila tak ada sperma yang keluar, meskipun pasien merasa telah
14 Aspermia
mengeluarkan ejakulat.

TATACARA PEMERIKSAAN ANALISIS SPERMA


1. Persiapan
Pasien tidak boleh mengalami ejakulasi baik melalui aktivitas seksual, masturbasi, ataupun
pengeluaran sperma pada saat mimpi (night pollution/mimpi basah) dalam waktu 3–5 hari
sebelum pemeriksaan karena akan memengaruhi kuantitas dan kualitas sperma. Lebih lama
dari ini tidak dianjurkan, karena kualitas semen terutama motilitas spermatozoa akan
menurun. Sampel yang terbaik diambil di klinik dokter atau ruang khusus di laboratorium
melalui masturbasi. Sampel dapat diperoleh dari rumah pasien melalui coitus interuptus
atau masturbasi dan segera dikirim ke laboratorium, cara ini dapat diterima walaupun
kurang memuaskan.

2. Pelaksanaan Pemeriksaan
a. Persiapkan wadah untuk penampungan sperma.
- Sebaiknya wadah terbuat dari gelas dan bermulut lebar.
- Jangan menggunakan wadah yang terbuat dari logam atau plastik atau karet karena
bahan-bahan tersebut dapat merusak atau bereaksi dengan sperma.

295
PATOLOGI KLINIK

b. Cara pengeluaran sperma :


- Masturbasi merupakan cara terbaik, walaupun kadang membuat pasien merasa
kurang nyaman dan ejakulasi tidak sempurna. Dalam melakukan masturbasi tidak
diperkenankan memakai bahan-bahan pembantu seperti sabun, krim, minyak, dan
lain-lain.
- Coitus interuptus (sanggama terputus), yaitu melakukan sanggama seperti biasa
tetapi menjelang ejakulasi, penis dikeluarkan dari liang sanggama dan sperma
ditampung dalam wadah yang telah disiapkan. Cara ini ada beberapa kerugian, yaitu
sperma akan bercampur dengan cairan vagina, penampungan kurang lengkap, dan
bila terlambat mengeluarkan penis dari liang sanggama akan terjadi salah
penafsiran volume sperma, karena sebagian sperma sudah masuk ke dalam vagina.

Bila melakukan penampungan sperma di rumah, harus dicatat jam berapa sperma ditampung
dan segera dibawa ke laboratorium, karena pemeriksaan sperma harus segera dilakukan paling
lambat 1 jam setelah sperma dikeluarkan.
Harus diingat pula bahwa sperma merupakan reservoir potensial untuk virus HIV, virus
hepatitis, dan lain-lain, sehingga pada waktu melakukan analisis sperma harus mengikuti
standard precautions.

296
PATOLOGI KLINIK

297
PATOLOGI KLINIK

DAFTAR PUSTAKA
1. Bauer JD et. al. Methods in Semen Analysis, Pregnancy Test and Placental Hormones,
Clinical Laboratory Methods. 8th Edition. Mosby Company. 1974.
2. Gandasoebrata R. Penuntun Laboratorium Klinik. Cetakan kedelapan. Jakarta: PT Dian
Rakyat. 1995. 171–175.
3. Henry JB, Todd, Stanford, Davidsohn. 1979. Clinical Diagnosis and management by
Laboratory Methods. 16th Edition. Philadelphia: WB Saunders Company. 1979. 712–719.
4. Soehadi K., Arsyad KM. Analisis Sperma. Surabaya: Airlangga University Press. 1982.
5. Sonnenwirth AC, Jarett L. Gradwohl’s Clinical Laboratory Methods and Diagnosis. 8th
Edition. St. Louis: The C.V. Mosby Company. 1980. 501–502.
6. Eroschenko VP. diFiore’s Atlas of Histology. 10th Edition. Baltimore: Lippincott Williams
& Wilkins. 2005. 350.
7. Strasinger SK. 2004. Urinalysis and Body Fluids. 4th Edition. FA Davis Company. 2004.
170–176.

298
PATOLOGI KLINIK

PENYULIT MASA KEHAMILAN (1)


Penny Setyawati Martioso

Penyulit kehamilan dapat timbul pada awal kehamilan maupun akhir kehamilan, yaitu pada
trimester I–II atau trimester III, bahkan saat menjelang proses kelahiran. Penyulit kehamilan
trimester I–II yang umum dijumpai adalah ”recurrent early pregnancy loss”, yaitu berakhirnya
buah kehamilan atau abortus yang terjadi secara berulang, ≥3x, sebelum bayi cukup umur untuk
dilahirkan, yaitu usia kehamilan <15–20 minggu. Faktor penyebab abortus antara lain:
1. Genetik (25%)
2. Anatomik (10%), yaitu akibat:
- Congenital uterine malformation
- Submucous fibroid
- Cervical incompetence
- Severe intra-uterine synechiae
3. Endokrin (5%):
- DM tidak terkontrol*
- Thyroid disease
- Polycystic ovarial syndrome (PCOS)
4. Autoimun (10%), yaitu:
- Systemic lupus erythematosus (SLE).
- Sindrom anti fosfolipid (APS)
5. Trauma, dapat berupa trauma mekanik atau kimia (obat, alkohol, merokok).
6. Infeksi:
- Infeksi TORCH
- Infeksi saluran kemih (ISK)
- Infeksi menular seksual (IMS)

Penyulit kehamilan trimester III dapat mengakibatkan still birth atau kematian perinatal
akibat infeksi hingga sepsis, antara lain akibat ketuban pecah dini (KPD; premature rupture of
the membrane [PROM]) misalnya akibat vaginosis bakterialis; partus terlantar (prolonged
labour); dan preeklamsia atau eklamsia dan komplikasinya yaitu HELLP syndrome.

Tabel 1. Klasifikasi Infeksi Pada Kehamilan


Klasifikasi Waktu Infeksi Mekanisme Infeksi
Kongenital In utero Transplasental TORCH
Kontak dengan: IMS, virus Herpes atau Papilloma
Perinatal Saat persalinan - Sekret genital Ibu dengan ISK, vaginitis, amnionitis,
- Darah hepatitis B atau C, dan HIV
Kontak melalui ASI - HIV
Neonatal Setelah lahir
atau nosokomial - Infeksi di RS

299
PATOLOGI KLINIK

PEMERIKSAAN SEKRET VAGINA

Leucorrhea atau keputihan adalah gejala peradangan vagina yang disebut vaginitis.
Vaginitis sering diakibatkan oleh infeksi bakteri Gardnerella vaginalis, jamur Candida spp.,
dan parasit Trichomonas vaginalis. Gardnerella vaginalis merupakan salah satu bakteri Gram
negatif yang sering mengakibatkan bacterial vaginosis (vaginosis bakterialis). Vaginosis
bakterialis adalah kelainan yang ditandai oleh peningkatan jumlah dan perubahan bau dari
sekret vagina akibat penurunan jumlah bakteri Lactobacillus spp. dan peningkatan jumlah
bakteri Gardnerella vaginalis, Mobiluncus spp., Prevotella bivia, Peptostreptococcus spp.
serta Mycoplasma hominis.
Gardner dan Dukes mengusulkan kriteria penegakan diagnosis vaginosis bakterialis yang
dipublikasikan sebagai ”Amsel's Diagnostic Criteria for Bacterial Vaginosis” yang
menyatakan bahwa diagnosis bacterial vaginosis dapat ditegakkan bila ditemukan 3 dari 4
kriteria sebagai berikut:
• Perubahan sekret vagina menjadi jernih putih keabuan, banyak, dan agak berbusa.
• Amine atau fishy odor pada tes KOH dan dikatakan “whiff test” + (positif).
• Clue cells >20% pada pemeriksaan mikroskopik sediaan Gram sekret vagina.
• pH vagina >4,5 di mana didapatkan ”Nitrazine Test” + (positif).

Gardnerella vaginalis

Gardnerella vaginalis

Clue cell Mobiluncus spp.

Keterangan gambar:
Morfologi bakteri fakultatif anaerob Gardnerella vaginalis adalah batang Gram negatif variabel merupakan
bakteri yang berperan pada infeksi vaginosis bakterialis selain Mobiluncus spp.

Diagnosis vaginosis bakterialis dapat ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan sediaan


apus sekret vagina menggunakan pewarnaan Spiegel, yaitu modifikasi pewarnaan Gram
dengan mengganti pulasan tanding (counter stain) safranin dengan basic fuchsin, tujuannya
untuk meningkatkan ketajaman warna bakteri Gram negatif. Interpretasi pemeriksaan sediaan
apus vagina dengan pewarnaan Spiegel untuk penegakan diagnosis vaginosis bakterialis
ditetapkan berdasarkan Nugent numerical scoring system, yaitu dengan membandingkan
jumlah bakteri abnormal pada apus sekret vagina yaitu Gardnerella spp. dan Mobiluncus
dengan Lactobacillus, flora normal vagina.
Syarat penggunaan Nugent numerical scoring system:

300
PATOLOGI KLINIK

• Sampel harus adekuat, bila tidak ditemukan epitel pada preparat Gram sekret vagina berarti
sampel tidak adekuat maka Nugent scoring tidak dapat digunakan.
• Nugent numerical scoring system hanya berlaku bagi perempuan berumur >12 tahun dan
<55 tahun.
• Teknik pewarnaan menggunakan modifikasi Gram yaitu pewarnaan Spiegel.

Tabel 1. Skor berdasarkan Nugent Numerical Scoring System


Skor Akhir
A B C
(A + B + C)
Morfologi Lactobacillus Gardnerella & Prevotella spp. Mobiluncus (curved gram var. rods)
 Batang Gram (+)  Batang Gram (–)  Gram (–) batang bengkok
Skor
4+ 0 0 0
3+ 1+ 1+ atau 2+ 1
2+ 2+ 3+ atau 4+ 2
1+ 3+ 0 3
0 4+ 0 4
Sistem skoring berdasarkan jumlah kuman per lapang pandang besar (1000 x)
1+ <1/lpb
2+ 1–4/lpb
3+ 5–30/lpb
4+ >30/lpb
• Skor akhir  hasil penjumlahan skor dari ketiga kolom yaitu A + B + C
• Bila jumlah skor:
0–3: pulasan Gram menunjukkan flora vagina normal
4–6:
- Clue cells tidak ditemukan atau <20%  bukan vaginosis bakterialis
Perubahan flora normal (masa transisi?)  perlu EVALUASI ulang
- Clue cells ≥20%  mengarah pada vaginosis bakterialis
≥7 : konsisten dengan vaginosis bakterialis

PELAPORAN HASIL PEMERIKSAAN SEKRET VAGINA

PEWARNAAN GRAM
Lekosit :
Epitel :
Morfotipe Lactobacillus :
Morfotipe Gardnerella :
Morfotipe Mobiluncus :
Clue cells :
Spora/Yeast :
Diplococcus Gram (-) intra/ekstra seluler :
Skor berdasarkan kriteria Nugent :
Interpretasi :

301
PATOLOGI KLINIK

Gambaran Mikroskopik Sediaan Apus Sekret Vagina:

BV+ M
Gardnella

Mobilincus

Lactobacillus

22
39

Pewarnaan Spiegel Sediaan Wet mount

Prosedur pengambilan sekret vagina dan lokasi sampling untuk identifikasi:


• Pasien berbaring telentang dengan posisi lithotomy

posisi lithotomy

• Melakukan tindakan asepsis sekitar area vagina menggunakan kasa steril dan larutan NaCl
fisiologis dengan arah dari symphysis pubica ke arah anal menggunakan 3 buah kasa yang
berbeda dengan sekali swab untuk masing-masing, yaitu sisi kanan dan sisi kiri genitalia,
lalu bagian tengah genitalia untuk membersihkan area ostium vaginae.
• Melakukan pemasangan spekulum vagina secara lege artis.

302
PATOLOGI KLINIK

• Melakukan pengambilan sampel sekret vagina menggunakan kapas lidi steril pada lokasi
sesuai jenis mikroba yang akan diidentifikasi seperti tampak pada gambar sebagai berikut:

• Pengambilan sekret vagina untuk kultur bakteri anaerob diambil dari bagian belakang
fornix posterior, misalnya untuk kultur N. gonorrheae dan Chlamydia, sedangkan untuk
identifikasi bakteri guna penegakan diagnosis vaginosis bakterialis, trichomoniasis, atau
candidiasis vulvovaginalis, sampel sekret vagina bisa diambil dari canalis vaginae.
• Selanjutnya sampel sekret vagina dibuat sediaan apus sekret vagina dengan:
- Pewarnaan Gram untuk identifikasi bakteri atau yeast cell.
- Pewarnaan Spiegel untuk Nugent numerical scoring system.
- Preparat KOH untuk identifikasi fungi (jamur).
- Preparat NaCl wet mount untuk identifikasi chlamydia/trichomonas
• Sampel sekret vagina dapat diinokulasikan pada Amies transport medium kemudian
dimasukkan ke dalam candle jar untuk menciptakan suasana anaerob. Sampel harus segera
dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk dikultur. Sampel untuk kultur bakteri aerob
dapat diinokulasikan pada media agar darah untuk bakteri Gram positif dan media Mc
Conkey untuk bakteri Gram negatif.

Lampiran:
- Tabel Perbedaan Gambaran Hasil Pemeriksaan Sekret Vagina akibat Infeksi Gardnella
vaginalis, Candida albicans, dan Trichomonas Vaginalis.
- Algoritma Pendekatan Diagnosis Leucorrhea.

303
PATOLOGI KLINIK

DAFTAR PUSTAKA
1. Spiegel CA, Amsel R, Holmes KK. Diagnosis of bacterial vaginosis by direct gram stain of vaginal
fluid. J Clin Microbiol. 1983;18(1):170–7.
2. Nugent RP, Krohn MA, Hillier SL. Reliability of diagnosing bacterial vaginosis is improved by a
standardized method of gram stain interpretation. J Clin Microbiol. 1991;29(2):297–301.
3. Spiegel CA. Bacterial vaginosis: changes in laboratory practice. Clin Microbiol Newsletter.
1999;21:33–7.
4. CCQLM Microbiology Working Group. Guideline for Laboratory Processing and Interpretation of
Vaginal Specimens in Diagnosis of Bacterial Vaginosis. Canadian Coalition for Quality in
Laboratory Medicine. Microbiology Working Group. 2004:1–3.
5. Ida Parwati. Diagnostik Mikroskopik: Kuantifikasi Plasan Gram pada Sekret Vagina. Diagnostic
Microbiology Update. Bandung: Departemen Patologi Klinik, Universitas Padjadjaran-RS Hasan
Sadikin Bandung. 2012.

304
PATOLOGI KLINIK

PERBEDAAN GAMBARAN SEKRET VAGINA AKIBAT INFEKSI GARDNERELLA VAGINALIS, CANDIDA


ALBICANS, DAN TRICHOMONAS VAGINALIS

Keputihan/Leukore Normal Gardnerella vaginalis Candida albicans Trichomonas Vaginalis


Keluhan umum tidak berbau Bau anyir, jumlah banyak, gatal Rasa tidak nyaman kadang disertai Sekret vagina (+) dan gatal,
nyeri saat kencing, jumlah sekret 50% pasien tak bergejala
banyak, gatal
Gambaran sekret Jernih–putih, tidak gatal, Warna putih susu keabuan, Putih bergumpal seperti susu Berbusa, warna keabuan/kuning-
jumlah: sedikit–sedang Homogen, lengket, sekret tipis, pecah, jumlah banyak, tebal, hijau, berbau tidak sedap
Berbau anyir seperti ikan berbau
Cara pengambilan Kulit dan mukosa sekitar uretra, vagina, Lokasi pengambilan BP:
sekret vagina dan dan perineum dibersihkan menggunakan
lokasi sampling NaCl fisiologis dengan arah dari simfisis
pubis ke perineum, setiap sisi dengan
kasa steril baru, lalu terakhir bagian
tengah genital eksterna dengan kasa
steril baru dan NaCl 0,9% dengan arah
sama, lalu dipasang cocor bebek.

Gambaran mukosa Normal, tidak ada tanda radang Normal, tidak ada tanda radang Mukosa vagina kemerahan disertai Mukosa serviks tampak bintik
vagina dan sekret (mukosa merah dan bengkak) pembengkakan petechiae
vagina pada saat
pengambilan BP

“strawberry cervix”
305
PATOLOGI KLINIK

Keputihan/Leukore Normal Gardnerella vaginalis Candida albicans Trichomonas vaginalis


Gambaran Sediaan
Apus Sekret Vagina

Preparat Gram Preparat Gram Preparat KOH Saline wet mount

pH vagina
>4,5 >4,5
3,8–4,2 Umumnya <4,5
Nitrazine test (+) Nitrazin test (+)

”Whiff” test  KOH Negatif Positf Negatif Sering Positif


NaCl wet mount Clue cells >20% Pseudohifa/Spora (+) Protozoa motil berflagel
Lactobacilli
Leukosit 0–beberapa leukosit beberapa leukosit banyak
Catatan: persentase clue cells dihitung berdasarkan rerata jumlah clue cells dibagi jumlah epitel normal dikalikan 100%

306
PATOLOGI KLINIK

ALGORITMA EVALUASI LEUCORRHEA

307
PATOLOGI KLINIK

PENYULIT MASA KEHAMILAN (2)


Penny Setyawati Martioso

Pemeriksaan laboratorium untuk identifikasi risiko penyulit kehamilan sebaiknya sudah


dilaksanakan sebelum melangsungkan pernikahan, yaitu Skrining Pramarital. Pemeriksaan
skrining untuk identifikasi adanya risiko penyakit yang dapat diturunkan akan lebih baik bila
dilakukan lebih dini lagi, yaitu pada masa awal pubertas seperti skrining risiko timbulnya
thalassemia. Prevalensi thalassemia di Indonesia belum terdata baik seperti anemia defisiensi
zat besi, sehingga angka morbiditas dan mortalitas akibat thalassemia di Indonesia masih tinggi
dan menjadi masalah kesehatan yang membutuhkan biaya tinggi.
Skrining pramarital dapat dilakukan untuk mendeteksi infeksi TORCH, risiko penyakit
thalassemia atau Down syndrome, dan penyakit atau infeksi yang dapat menjadi penyulit
kehamilan yaitu seperti yang tertera pada bagan berikut:

Pemeriksaan laboratorium rutin pada masa kehamilan trimester pertama:


• Complete blood count (CBC).
• Pemeriksaan golongan darah dan rhesus (Rh).
• Skrining infeksi Hepatitis B: HBsAg dan AntiHBsAg.
• Skrining infeksi TORCH (<18 minggu):
− Antibodi IgM dan IgG anti-Toxoplasma gondii.

308
PATOLOGI KLINIK

− Antibodi terhadap infeksi sifilis: VDRL dan TPHA.


− Antibodi terhadap HIV (atas persetujuan pasien).
− Antibodi IgM dan IgG anti-Rubella.
− Antibodi IgM dan IgG anti-Cytomegalovirus (CMV).
− Antibodi IgM dan IgG anti-Herpes simplex (HSV) 1 dan 2.
Bila pada pemeriksaan awal hasilnya nonreaktif tetapi terdapat kecurigaan terinfeksi, maka
pemeriksaan diulang pada masa kehamilan 15–20 minggu.
• Pemeriksaan urinalisis lengkap, bila perlu disertai kultur urine.
• Pemeriksaan OGTT (oral glucose tolerance test) untuk skrining gestational diabetes
mellitus (GDM) pada kehamilan 28 minggu, dilakukan 3 kali pemeriksaan glukosa darah
dari sampel plasma NaF pada keadaan puasa, 1 jam dan 2 jam pascapembebanan 75 gram
glukosa. Kriteria diagnosis GDM, bila hasil kadar glukosa darah (GD):
− Puasa ≥95 mg/dl
− 1 jam OGTT ≥180 mg/dl
− 2 jam OGTT ≥155 mg/dl
Bila hanya periksa 2J.OGTT, diagnosis GDM GD-2J.OGTT ≥155mg/dl.
• Pemeriksaan fungsi ginjal: asam urat, ureum atau BUN, dan kreatinin.
• Pemeriksaan kultur sekret vagina: deteksi infeksi Streptokokus grup B pada usia kehamilan
36 minggu untuk deteksi risiko penyebab KPD.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM INFEKSI TORCH

Infeksi TORCH adalah infeksi yang disebabkan oleh Toxoplasma gondii, penyakit-penyakit
akibat infeksi lainnya (hepatitis B, sifilis, Coxsackie virus, Epstein-Barr virus, Varicella-Zoster
virus dan lain-lain.), Rubella virus, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes simplex virus (HSV).
Infeksi TORCH pada anak-anak dan dewasa yang imunokompeten biasanya tanpa gejala atau
gejala ringan, sedangkan pada janin dan orang dewasa yang imunokompromis dapat berakibat
fatal.
Transmisi TORCH dari ibu ke janin yang dikandungnya dapat terjadi pada fase akut infeksi
selama masa kehamilan. Transmisi semakin meningkat dengan meningkatnya umur kehamilan,
dan transmisi tertinggi adalah pada masa trimester ketiga. Sebaliknya insidensi kecacatan janin
menurun seiring dengan bertambahnya usia kehamilan, kecacatan janin tertinggi terjadi pada
kehamilan trimester pertama.
Diagnosis infeksi TORCH umumnya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan penunjang
laboratorium imunoserologis untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik atau antigen dalam
serum penderita tersangka.
Pemeriksaan untuk mengidentifikasi parasit atau virus yang terdapat dalam darah atau
cairan tubuh penderita imunokompromis dapat menentukan adanya infeksi aktif, sedangkan
deteksi patogen dalam jaringan hanya menentukan adanya infeksi saja. Pada penderita
imunokompeten, pemeriksaan imunoserologis deteksi antibodi spesifik dan aviditas antibodi
IgG dapat digunakan untuk membedakan infeksi primer akut baru dari infeksi laten atau infeksi
masa lampau dan infeksi sekunder atau reaktivasi.

309
PATOLOGI KLINIK

ETIOLOGI, TRANSMISI dan PATOGENESIS INFEKSI TORCH

TOKSOPLASMOSIS
Toksoplasmosis disebabkan oleh Toxoplasma gondii, suatu protozoa intraseluler obligat
yang dapat ditemukan di mana-mana dan dapat menginfeksi baik manusia maupun binatang.
Penularan toksoplasma terutama melalui mulut, karena menelan makanan yang terkontaminasi
oocyt (mengandung sprozoite) atau tissue cyst (mengandung bradyzoite) atau transplasental.

Gambar 1. Siklus Hidup Toxoplasma gondii

Penularan toksoplasmosis juga dapat melalui darah transfusi atau transplantasi organ.
Oocyst dan tissue cyst tertelan bersama makanan yang terkontaminasi. Pada proses pencernaan,
sporozoite dan bradyzoite akan dilepaskan dari kistanya, masuk ke dalam sel epitel traktus
gastrointestinal. Parasit akan berubah menjadi tachyzoite dan menyebar secara hematogen ke
dalam organ tubuh, yaitu otak, paru, hati, dan mata. Selama respons imun penderita dalam
keadaan baik, maka parasit akan menetap dalam jaringan, sebaliknya jika respons imun
penderita menurun maka parasit akan teraktivasi dan menimbulkan rekurensi penyakit.

INFEKSIS RUBELLA (GERMAN MEASLES).


Infeksi oleh Rubella virus dikenal sebagai German measles. Rubella virus adalah anggota
genus Rubivirus dari famili Togaviridae. Virus Rubella labil dan mudah diinaktivasi pada
kondisi lingkungan, seperti suhu lebih dari 20°C, sinar ultraviolet, dan pengeringan.
Infeksi virus Rubella ditularkan melalui droplet infection yang berasal dari traktus
respiratorius. Mula-mula virus Rubella berkembang dalam sel epitel traktus respiratorius, yaitu
pada nasofaring dan kelenjar limfe setempat. Virus Rubella dapat ditemukan pada nasofaring

310
PATOLOGI KLINIK

1–3 minggu sebelum onset penyakitnya. Virus akan menyebar secara hematogen ke organ
tubuh dan kulit. Viremia berlangsung dalam waktu yang sangat singkat, yaitu sebelum atau
bersamaan dengan timbulnya ruam.

INFEKSI CYTOMEGALOVIRUS.
Infeksi Cytomegalovirus (CMV) dapat ditularkan melalui berbagai cara. Penularan pada
fetus dapat terjadi transplasental, penularan pada bayi dapat melalui air susu ibu, penularan
pada anak-anak dapat melalui air liur, penularan pada orang dewasa dapat melalui hubungan
seksual, transfusi darah, atau transplantasi organ.
Masuknya CMV ke dalam sel ditandai dengan ditemukannya sel datia berinti banyak
dengan benda inklusi intraseluler. CMV akan menetap di dalam leukosit dan ginjal yang akan
mengalami reaktivasi kembali bila respons imun penderita menurun.

INFEKSI HERPES SIMPLEX VIRUS.


Infeksi Herpes simplex virus (HSV) adalah infeksi oleh virus yang merupakan anggota
famili Human Herpesvirus. HSV berdasarkan antigenitas dan lokasi lesi dibedakan menjadi 2
yaitu HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV tipe 2 (HSV-2). Lokasi lesi infeksi HSV-1 biasanya di
daerah orofaring dan mata, sedangkan HSV-2 di genital. Infeksi HSV-1 terutama ditularkan
melalui air liur sedangkan HSV-2 melalui hubungan seksual, sehingga infeksi HSV-1 terjadi
terutama pada daerah wajah sedangkan infeksi HSV-2 pada daerah genital.
Penularan pada fetus dan bayi terutama karena kontak langsung dengan sekret lesi ketika
melalui jalan lahir. HSV akan berkembang biak pada jaringan kulit dan membran mukosa
tempat infeksi, lalu bermigrasi ke neuron, dan menetap dalam ganglion saraf. Pada umumnya
HSV-1 menetap di ganglia trigeminal, sedangkan HSV-2 di ganglia lumbalis dan ganglia
sakralis. HSV dapat mengalami reaktivasi kembali bila terjadi perubahan hormonal, trauma,
stres, dan febris.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM TORCH DAN INTERPRETASI HASIL


Infeksi TORCH umumnya asimptomatik atau disertai gejala klinik yang tidak khas,
sehingga untuk menegakkan diagnosis diperlukan pemeriksaan penunjang laboratorium.
Identifikasi etiologi infeksi TORCH ada beberapa cara, yaitu deteksi parasit atau virus dan
pemeriksaan imunoserologi.

Deteksi Parasit atau Virus Penyebab Infeksi TORCH


Parasit dan virus penyebab TORCH dapat diisolasi dari jaringan terinfeksi, darah, atau
cairan tubuh. Identifikasi Toxoplasma gondii dapat menggunakan sediaan langsung yang
diwarnai dengan Giemsa, hematoksilin-eosin, Immunological specific staining atau dibiakkan
dulu pada kultur jaringan.
Toxoplasma gondii, CMV, dan HSV dalam fase laten dapat menetap dalam jaringan
selama beberapa tahun, sehingga deteksi parasit atau virus dalam jaringan hanya
menunjukkan adanya infeksi. Sedangkan deteksi parasit atau virus dalam darah atau
cairan tubuh menunjukkan infeksi primer akut atau reaktivasi serta dapat digunakan untuk
diagnosis pasti terutama pada neonatus dan penderita imunokompromis. Tidak

311
PATOLOGI KLINIK

ditemukannya parasit atau virus dalam jaringan, darah, atau cairan tubuh, tidak dapat
menyingkirkan adanya infeksi toksoplasmosis, CMV, atau HSV karena distribusinya dalam
jaringan tidak merata, sedangkan jumlah virus dalam darah dan cairan tubuh hanya sedikit.
Virus Rubella pada German masles, isolasi virus dapat dilakukan dari bahan pemeriksaan
darah pada saat viremia yaitu 1 minggu sebelum timbulnya rash/ruam dan dari apus
tenggorok yang diambil 1–2 minggu setelah timbul ruam. Deteksi virus Rubella dalam darah
atau sediaan apus tenggorok memastikan adanya infeksi akut German measles. Deteksi parasit
atau virus dengan metode pewarnaan langsung atau kultur cukup spesifik tetapi kurang
sensitif dan perlu waktu lama.

hari

Gambar 2. Respon imun dan isolasi virus pada infeksi Rubella akut (Herrmann, 1985)

Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction


Polymerase chain reaction (PCR) adalah metode deteksi parasit/virus yang sangat sensitif
dengan menggandakan parasit/virus melalui proses amplifikasi yang terdiri dari 3 tahap:
1. Denaturasi DNA, yaitu penguraian DNA rantai ganda menjadi rantai tunggal.
2. Annealing primer, yaitu proses penempelan DNA yang akan diperbanyak pada cetakannya
atau template.
3. Polimerase, yaitu reaksi pemanjangan untuk membentuk komplemen dengan urutan basa
yang sesuai kemudian membentuk untai DNA yang lengkap (pembentukan complementary
DNA).

Pemeriksaan Imunoserologi untuk Deteksi Antibodi TORCH.


Pemeriksaan imunoserologi adalah pemeriksaan yang bertujuan untuk mendeteksi antibodi
spesifik atau antigen dalam serum atau cairan tubuh. Metode pemeriksaan ini banyak
digunakan untuk identifikasi infeksi TORCH karena pemeriksaannya relatif cepat dan mudah.
Imunoglobulin M (IgM) spesifik pada infeksi TORCH primer akan meningkat lebih dulu,
disusul munculnya IgG spesifik. IgM spesifik akan mencapai puncak pada infeksi akut, lalu
menurun dan menghilang. IgG spesifik akan menetap dalam serum penderita, bila terdapat
infeksi sekunder atau reaktivasi maka IgG spesifik akan segera meningkat, sedangkan IgM
hanya sedikit meningkat.

312
PATOLOGI KLINIK

Deteksi antibodi spesifik, baik total, IgM, atau IgG dapat digunakan untuk menentukan
apakah infeksi primer akut, infeksi masa lampau, atau infeksi laten, serta infeksi sekunder atau
reaktivasi. Pada infeksi primer akut ditemukan serokonversi Ig total, IgM, atau IgG dari

Gambar 3. Respon Imun dan Antigenemia pada Toksoplasmosis (Davidson, 2012)

negatif menjadi positif, atau dijumpai peningkatan IgM tanpa IgG, atau peningkatan Ig
total atau IgG sebesar 2–4 kali pada sepasang serum yang diperiksa dengan interval 1–2
minggu. Pada infeksi masa lampau atau laten akan dijumpai IgG tanpa IgM, sedangkan
pada infeksi sekunder atau reaktivasi akan dijumpai titer IgG yang sangat tinggi dengan
atau tanpa IgM.

Gambar 4. Respon Imun dan Aviditas IgG pada Toksoplasmosis

Peningkatan IgA spesifik pada infeksi TORCH seiring dengan peningkatan IgM, IgA
mencapai puncak setelah IgM spesifik mencapai puncak, kemudian akan menurun seperti yang

313
PATOLOGI KLINIK

tampak pada gambar di atas. Bila ditemukan IgA bersama IgM, keadaan ini menunjukkan
infeksi primer akut; sebaliknya bila ditemukan IgM tanpa IgA, infeksi primer akut tidak
dapat disingkirkan.
IgA lebih sering dideteksi pada penderita infeksi TORCH kongenital daripada IgM
spesifik. Adanya IgG dalam serum janin tidak dapat digunakan untuk menentukan infeksi
kongenital, karena IgG dari ibu dapat melalui barier plasenta masuk ke dalam sirkulasi darah
janin, sedangkan IgM dan IgA tidak dapat menembus barier plasenta. Jadi adanya antibodi IgM
atau IgA spesifik dalam serum janin merupakan penanda infeksi kongenital. Antibodi IgM
spesifik tidak selalu ditemukan dalam serum janin karena pembentukan IgM janin tertekan
oleh IgG spesifik yang berasal dari ibu. Diagnosis infeksi TORCH kongenital dapat
ditegakkan bila dalam serum janin ditemukan antibodi spesifik IgM atau IgA dengan IgG,
peningkatan IgG pada pemeriksaan ulang 1–2 bulan kemudian.

Gambar 5. Skema Pemeriksaan Serologi TORCH pada Neonatus

Pemeriksaan IgM spesifik pada beberapa kasus tidak selalu dapat digunakan untuk
menentukan infeksi primer akut karena pada beberapa kasus, IgM dapat menetap lama
dalam darah, sehingga diupayakan pemeriksaan alternatif lain, yaitu pemeriksaan aviditas IgG.
Pemeriksaan aviditas IgG adalah pemeriksaan untuk mengukur kekuatan ikatan antara
antibodi dan antigen yang sesuai. Aviditas antibodi akan meningkat seiring dengan waktu
pascapaparan antigen, semakin lama infeksi maka aviditas semakin tinggi (Gambar 3).
Pemeriksaan aviditas IgG pada penderita imunokompeten: aviditas IgG rendah
menunjukkan terdapat infeksi primer akut, sedangkan aviditas IgG menengah atau tinggi
menunjukkan infeksi laten atau reaktivasi dan dapat digunakan untuk menyingkirkan
infeksi primer akut. Hasil aviditas IgG rendah pada penderita imunokompromis yang
mendapatkan terapi antibiotika tidak memastikan infeksi primer akut, sedangkan bila
aviditas IgG menengah atau tinggi dapat menyingkirkan infeksi primer akut. Terapi
antibiotika dapat menghambat replikasi antigen sehingga antigen yang ada relatif sedikit
dan pembentukan antibodi spesifik tidak optimal. Infeksi TORCH primer pada ibu hamil
penting diketahui mengingat risiko janin menderita infeksi kongenital dan komplikasinya,
maka pemeriksaan aviditas IgG pada ibu hamil mempunyai arti penting.

314
PATOLOGI KLINIK

Hasil pemeriksaan aviditas IgG rendah menunjukkan infeksi terjadi <4 bulan lalu,
aviditas IgG menengah berarti infeksi terjadi sekitar 4–6 bulan lalu, dan aviditas IgG tinggi
menunjukkan infeksi terjadi >6 bulan yang lalu.
Risiko transmisi infeksi TORCH pada janin dari ibu hamil dengan seropositif (reaktif)
sebelum konsepsi lebih kecil daripada ibu hamil dengan TORCH seronegatif (non-reaktif).
Hal ini menunjukkan bahwa infeksi yang terjadi sebelum konsepsi bersifat protektif
terhadap infeksi kongenital, maka pada ibu hamil dengan seropositif sebelum konsepsi tidak

Gambar 6. Skema Pemeriksaan Serologi TORCH pada Perempuan Hamil

diperlukan pemeriksaan aviditas IgG kecuali bila dijumpai gejala klinik yang menunjukkan
kemungkinan adanya reaktivasi infeksi TORCH.
Pada ibu hamil yang seronegatif sebelum hamil, pemeriksaan IgG dan IgM harus
dilakukan. Bila terjadi serokonversi menjadi seropositif, maka merupakan penanda infeksi
primer akut. Pada ibu hamil yang status antibodinya belum diketahui, harus diperiksa
antibodi spesifik IgG dan IgM. Bila didapatkan hasil pemeriksaan IgM reaktif dan IgG
non-reaktif, artinya terdapat infeksi primer akut, maka harus dilakukan pemeriksaan
aviditas IgG untuk menentukan apakah terjadi infeksi primer akut atau infeksi laten/reaktivasi.
Bila hasil pemeriksaan aviditas IgG tinggi berarti saat tersebut sudah aman untuk kehamilan.

Pemeriksaan Imunoserologi untuk Deteksi Antigen TORCH


Pemeriksaan untuk deteksi antigen solubel toksoplasma yang beredar dalam sirkulasi
darah, baik dalam bentuk bebas maupun yang membentuk kompleks imun dengan antibodi.
Antigen-antigen tersebut dapat dideteksi dalam serum selama infeksi aktif, baik pada infeksi
primer maupun reaktivasi. Jadi adanya antigen menunjukkan bahwa infeksinya aktif.
Durasi antigen berada dalam sirkulasi darah relatif sangat singkat, sehingga apabila
tidak ditemukan antigen dalam serum tidak dapat menyingkirkan adanya infeksi aktif.
Pemeriksaan antigen sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada penderita
imunokompromis.

315
PATOLOGI KLINIK

Diagnosis Prenatal Infeksi Cytomegalovirus Kongenital.


Infeksi cytomegalovirus (CMV) pada janin merupakan infeksi virus intrauterin yang
paling sering terjadi dan dapat mengakibatkan kelainan kongenital berupa tuli saraf, anemia,
trombositopenia, gangguan perkembangan motorik, mikrosefali, hidrosefalus, dan lahir mati.
Risiko infeksi CMV kongenital begitu berat, maka diperlukan sarana penegakan infeksi CMV
secara dini.
Penegakan diagnosis infeksi CMV prenatal sangat penting pada kehamilan yang berisiko
terjadinya transmisi CMV dari ibu ke janin dalam kandungannya. Diagnosis infeksi CMV
kongenital prenatal dapat ditegakkan dengan pemeriksaan imunoserologi antibodi spesifik
CMV dengan bahan pemeriksaan cairan amnion tetapi pemeriksaan ini bersifat invasif dan
berisiko maka tidak rutin dilakukan.
Pemeriksaan skrining infeksi CMV pada ibu hamil secara imunoserologi dapat digunakan
untuk menentukan perlu tidaknya pemeriksaan prenatal terhadap adanya infeksi CMV
kongenital pada janin. Deteksi antibodi spesifik CMV telah dikembangkan, sehingga kita dapat
memprediksi apakah infeksi CMV pada ibu hamil adalah infeksi primer, reaktivasi atau infeksi
rekuren. Jadi status imunoserologi ibu hamil sangat penting untuk dipahami karena
menentukan tindakan selanjutnya.
Infeksi CMV kongenital dapat berupa infeksi primer atau nonprimer. Infeksi nonprimer
adalah infeksi rekuren endogen atau reinfeksi eksogen. Infeksi primer CMV lebih berpengaruh
pada janin karena tidak terdapat imunitas protektif seperti pada infeksi rekuren dan reinfeksi,
sehingga pada infeksi rekuren dan reinfeksi manifestasinya tidak berat.
Imunitas pada infeksi CMV tidak memberikan proteksi sepenuhnya, sehingga masih
mungkin terjadi reinfeksi terhadap varian CMV yang berbeda. Sebagian infeksi CMV biasanya
asimtomatik, yang mana sering tidak terdeteksi; kalaupun ada gejala, biasanya tidak spesifik,
seperti demam, sakit kepala, mialgia, sakit tenggorokan, dan keletihan, maka sering tidak
terdiagnosis.
Pemeriksaan imunoserologi infeksi CMV saat ini telah dikembangkan dan telah rutin
dilakukan pada ibu hamil trimester pertama. Metode pemeriksaan yang umum digunakan
adalah enzyme immuno assay (ELISA) baik secara manual atau automatik untuk mendeteksi
IgM spesifik terhadap CMV. IgM anti CMV merupakan indikator infeksi aktif CMV tetapi
tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut adalah infeksi primer, reaktivasi, atau
reinfeksi maka dikembangkan pemeriksaan aviditas IgG anti-CMV.
Prinsip pemeriksaan aviditas IgG anti CMV adalah mengukur berkurangnya titer IgG
anti-CMV, bila pada pemeriksaan tersebut ditambahkan suatu zat yang menyebabkan
denaturasi seperti urea maka ikatan IgG anti-CMV akan terganggu. Interpretasi uji
aviditas IgG anti-CMV ditentukan berdasarkan nilai indeks aviditas (Avidity Index [AI])
IgG anti-CMV, yaitu perbandingan antara absorbansi IgG anti-CMV yang dicuci dengan
urea dan absorbansi IgG anti-CMV tanpa pencucian dengan urea. AI IgG anti-CMV rendah
(<30%) menunjukkan ada infeksi akut, AI tinggi (>70%) menunjukkan pernah infeksi
CMV, sedangkan bila AI 30–70% maka harus hati-hati dalam interpretasi dan perlu melihat
status IgM anti-CMV. Lazzarotto et al. menganjurkan untuk dilakukan pemeriksaan aviditas

316
PATOLOGI KLINIK

IgG anti-CMV bila IgM anti-CMV positif pada usia kehamilan <18 minggu karena telah
terbukti bahwa aviditas IgG anti-CMV rendah hingga minggu ke-18 pascainfeksi.
Landini dan Lazzarotto mengajukan suatu algoritme pemeriksaan infeksi CMV pada
perempuan hamil. Perempuan hamil dikelompokkan menjadi 3 berdasarkan status serologi
CMV, yaitu seropositif sebelum konsepsi, seronegatif sebelum konsepsi, dan status
serologi CMV tidak diketahui sebelum konsepsi. Pemeriksaan serologi deteksi infeksi
CMV primer yang dianjurkan untuk masing-masing kelompok berbeda.
Perempuan dengan seropositif CMV sebelum konsepsi dianggap mempunyai proteksi
terhadap terjadinya infeksi CMV kongenital yang berat. Antibodi terhadap CMV pada wanita
tersebut mampu mengatasi terjadinya reaktivasi maupun reinfeksi. Secara internasional telah
disepakati bahwa perempuan seropositif CMV sebelum konsepsi tidak perlu pemeriksaan
lanjutan infeksi CMV, kecuali bila ada kelainan klinis seperti hasil USG menunjukkan
kondisi janin abnormal.

Diagnosis infeksi CMV pada perempuan


hamil berdasarkan status serologi
sebelum konsepsi

Seropositif Seronegatif Tidak diketahui

Pemeriksaan IgG CMV pada usia


kehamilan bulan ke-2 dan ke-4

Tak perlu pemeriksaan lain kecuali bila Pemeriksaan IgG dan IgM CMV
ada gambaran klinis tertentu pada usia kehamilan bulan ke-2 dan ke-4

Hasil positif (serokonversi) IgM-CMV positif

Infeksi maternal primer Aviditas IgG CMV

Tipe infeksi

Primer Rekuren Tak jelas

Gambar 7. Skema Diagnosis Imunoserologi Infeksi CMV pada Perempuan Hamil


(Landini dan Lazzarotto, 1999)

317
PATOLOGI KLINIK

Perempuan dengan seronegatif CMV sebelum konsepsi, dalam waktu 6 bulan sebelum
konsepsi dianggap rentan terhadap infeksi CMV primer, maka perlu dilakukan pemeriksaan
IgG anti-CMV minimal 2 kali, yaitu pada bulan ke-2 dan ke-4 masa kehamilan. Bila tetap
seronegatif maka pemeriksaan serologi tidak perlu dilanjutkan. Bila terjadi serokonversi
positif berarti terdapat infeksi CMV primer, maka penderita dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan prenatal untuk identifikasi risiko infeksi CMV kongenital.
Pada perempuan yang tidak tahu status serologi CMV sebelum kehamilan/konsepsi
diperlukan pemeriksaan uji saring infeksi CMV dan paling tepat adalah upaya deteksi IgM
anti CMV. Bila IgM anti CMV positif maka perlu dilanjutkan dengan pemeriksaan aviditas
IgG anti-CMV untuk membedakan apakah infeksi primer, reaktivasi, atau reinfeksi. Bila
aviditas rendah mengindikasikan adanya infeksi primer dalam beberapa minggu pertama
kehamilan yaitu 18–20 minggu maka pasien dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
prenatal terhadap infeksi CMV kongenital sebelum minggu ke-18 yang bertujuan untuk
mengetahui apakah terjadi transmisi CMV ke janin. Infeksi CMV pada ibu hamil, 70%
tidak mengakibatkan kelainan kongenital pada janin. Jadi kehamilan cukup aman untuk
dilanjutkan dan tidak perlu terminasi kehamilan.
Pemeriksaan prenatal untuk deteksi infeksi CMV kongenital menggunakan
sampel/bahan pemeriksaan (BP) cairan amnion karena epitel tubulus ginjal janin merupakan
tempat utama replikasi CMV, maka CMV akan diekskresikan bersama urine oleh janin dan
berada dalam cairan amnion. Saat yang tepat untuk pengambilan sampel adalah pada usia
kehamilan 21–23 minggu, hal ini telah terbukti yaitu hasil pemeriksaan sampel cairan amnion
pada kehamilan <21 minggu akan memberikan hasil negatif palsu karena diuresis janin baru
sempurna antara minggu ke-20–21 kehamilan. Selain alasan tersebut, perlu diketahui bahwa
transmisi CMV ke janin hingga dapat dideteksi dalam cairan amnion janin perlu waktu 6–9
minggu pasca infeksi CMV primer pada ibu.
Deteksi CMV dari cairan amnion dapat dilakukan dengan isolasi virus dari kultur virus atau
dengan tehnik polymerase chain reaction (PCR) untuk amplifikasi DNA virus. Isolasi virus
CMV mempunyai spesifisitas 100% tetapi sensitivitasnya hanya 50%, sedangkan pemeriksaan
PCR CMV mempunyai sensitivitas 100% dan spesifitas 83%. Isolasi virus lebih bermakna
daripada PCR karena dapat memberikan gambaran keadaan infeksius virus, tetapi perlu diingat
bahwa hasil isolasi negatif tidak memastikan tidak terjadi infeksi intrauterin dan hasil PCR
CMV positif tidak memastikan infeksi intrauterin.
Transmisi CMV intrauterin tidak selalu menyebabkan kelainan pada janin, maka
dikembangkan pemeriksaan PCR CMV kuantitatif untuk mengetahui viral load untuk
memprediksi risiko terjadinya gangguan pada janin. Selain pemeriksaan PCR CMV kuantitatif,
pemeriksaan ultrasonografi (USG) walaupun tidak spesifik untuk infeksi CMV tetapi dapat
membantu menemukan adanya kelainan pada janin.
Landini dan Lazzorotto mengusulkan penanganan diagnosis prenatal CMV kongenital
seperti pada algoritme sebagai berikut:

318
PATOLOGI KLINIK

Diagnosis Prenatal infeksi CMV


pada Janin

PCR DNA-CMV Cairan Amnion


pada Usia Kehamilan 21–23 minggu

Hasil Positif

PCR Kuantitatif

Risiko pada Janin

Rendah Tinggi
Gambar 8. Skema Diagnosis Prenatal Infeksi CMV pada Janin

Herpes Simplex Virus (HSV)


Herpes adalah infeksi pada mukosa/kulit oleh Herpes simplex virus (HSV). Virus ini adalah
virus DNA famili Human Herpesviridae dan merupakan patogen umum pada manusia yang
bersifat kosmopolitan. Ada 7 serotipe Herpes hominus yaitu HSV-1, HSV-2, Varicella-
Zoster Virus (VZH), CMV, EBV, Herpes humanis virus 6 dan 7 (HHV-6 dan HHV-7). Genom
DNA HSV adalah DNA linier dengan BM 100x106 Dalton yang menyandi 70 produk gen.
Struktur genomik subtipe HSV-1 mirip dengan HSV-2 dengan derajat homologi sikuens
sebesar 50%. Perbedaan HSV-1 dengan HSV-2 adalah pada struktur glikoprotein peptidanya
(glikoprotein G) yaitu g G1 dan g G2.
Sharlitt pada tahun 1940 mendapatkan ada 2 jenis HSV yang serologik, biologik,
fisikokimia sukar dibedakan. Infeksi HSV berdasarkan antigenitasnya (imunologis) dan
gejala klinis dibedakan menjadi dua, yaitu:
• HSV tipe 1 (HSV-1) yang merupakan etiologi umum herpes labialis dengan transmisi
infeksi melalui saliva atau kontak langsung isi vesikel dari penderita infeksi aktif.
• HSV tipe 2 (HSV-2) yang merupakan etiologi umum herpes genitalis dengan transmisi
pada kelompok dewasa melalui hubungan seksual dan risiko penularan transvaginal sebesar
40%. Neonatus dapat tertular infeksi HSV-2 akibat kontak lesi aktif dari ibu ketika melalui
jalan lahir yaitu saat peripartum sebesar 85–90%. Penularan infeksi HSV-2 intrauterine
jarang secara transplasental yaitu hanya sebesar 5% dan 5% dapat terjadi pascapersalinan
melalui kontak dengan tangan perawat.

Herpes genitalis adalah penyakit infeksi menular seksual (IMS) yang terutama diakibatkan
infeksi HSV-2 dan ditandai munculnya lesi lepuhan berupa vesikel bergerombol berisi cairan
pada kulit atau mukosa berwarna kemerahan (eritem) di daerah genital. Sinonim Herpes
genitalis/progenitalis adalah fever blister, cold sore, herpes febrilis.

319
PATOLOGI KLINIK

Herpes labialis atau Herpetic Whitlow adalah penyakit infeksi menular terutama akibat
infeksi HSV-1 yang ditandai munculnya lesi lepuhan berupa vesikel bergerombol berisi cairan
pada kulit/mukosa berwarna kemerahan (eritem) di area bibir atau sekitar mulut. Transmisi
infeksi akibat kontak tangan perawat/dokter gigi. Risiko infeksi HSV pada kedua gender adalah
sama besar.
Infeksi herpes umumnya rekuren karena virus herpes setelah berkembang biak di jaringan
kulit dan membran mukosa tempat infeksi akan bermigrasi ke neuron dan menetap dalam
ganglion saraf. HSV-1 akan menetap di ganglia trigeminal, sedangkan HSV-2 pada ganglia
lumbalis dan sakralis. Infeksi HSV dapat reaktivasi bila terdapat perubahan hormonal, trauma,
stres, atau febris. Infeksi HSV dibedakan antara infeksi primer, laten, dan rekuren.
Ibu hamil, apabila sedang atau pernah mengidap herpes genital maka wajib berkonsultasi
dengan dokter–karena HSV dapat menular dari ibu kepada bayi selama proses persalinan,
terutama bila sedang infeksi aktif–untuk mendiskusikan rencana melahirkan bayi secara
operasi Caesar. Infeksi HSV dapat menyebabkan komplikasi berbahaya bagi bayi yaitu
meningitis atau ensefalitis. Diagnosis herpes dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan beberapa pemeriksaan laboratorium.

Pemeriksaan Laboratorium Penunjang Diagnosis Infeksi HSV


• Tes Tzank yaitu pemeriksaan laboratorium paling sederhana untuk identifikasi
multinucleated giant cell dengan intranuclear inclusions dengan pewarnaan Giemsa atau
Wright menggunakan sampel cairan yang berasal dari dasar vesikel.
• Kultur jaringan adalah pemeriksaan gold standard diagnosis HSV yaitu untuk melihat
cytopathic effect setelah sampel diinokulasikan selama 1–3 hari pada media kultur. Hasil
kultur kemudian diidentifikasi dengan fluorescent-antibody staining dengan metode
imunofluoresensi (IFA) atau dilakukan identifikasi glikoprotein spesifik dengan metode
ELISA.
• Metode imunoperoksidasi penunjang diagnosis infeksi HSV.
• Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi antigen (Ag) HSV.
• Pemeriksaan Imunoserologi untuk deteksi serotipe virus dalam sampel serum, yaitu:
− IgM dan IgG anti-HSV1.
− IgM dan IgG anti-HSV2.

ANTIPHOSPHOLIPID ANTIBODY SYNDROME (APS)

Antiphospholipid antibody syndrome (APS) adalah salah satu jenis penyakit autoimun yang
khas, ditandai oleh adanya antiphospholipid antibodies, seperti lupus anticoagulant (LA),
anticardiolipin antibodies (ACA), dan anti-β2-glycoprotein 1 antibodies. Manifestasi klinik
APS sangat bervariasi, antara lain trombosis dalam pembuluh darah vena, arteri, dan/atau
mikrovaskular sebagai penyebab komplikasi kehamilan. Patofisiologi APS adalah akibat
trombosis, tetapi banyak faktor lain yang turut berperan dalam patofisiologi APS, antara lain
aktivasi komplemen yang juga memegang peranan penting. Penyulit kehamilan yang terjadi
akibat APS adalah recurrent early pregnancy loss, still birth, dan penyulit kehamilan

320
PATOLOGI KLINIK

preeklamsi, kelahiran prematur, atau fetal growth restriction yang berkaitan dengan
insufisiensi plasenta.
Antiphospholipid antibody syndrome adalah suatu kelainan autoimun yang berbeda dengan
systemic lupus erythematosus (SLE) dan penyakit jaringan ikat lainnya. Penegakan diagnosis
APS berdasarkan konsensus Sapporo 1998:
• Temuan pada pemeriksaan klinik:
1. Insidensi trombosis arterial atau vena yang mengakibatkan gangguan sirkulasi ke
jaringan. Trombosis dapat dideteksi dengan pemeriksaan magnetic resonance imaging
(MRI) dan pada pemeriksaan histopatologi tidak ditemukan tanda peradangan vaskuler.
2. Morbiditas kehamilan, yang mana ditandai ibu hamil pernah mengalami:
− Kematian janin pada usia kehamilan >10 minggu lebih dari 1 kali, dan pada
pemeriksaan USG tidak ditemukan kelainan morfologi janin.
− Persalinan prematur pada gravida >34 minggu, preeklamsi, atau perkembangan
janin terhambat.
− Abortus spontan pada gravida <10 minggu berturutan >3 kali bukan karena kelainan
anatomi/hormonal/kromosom.
• Temuan pada pemeriksaan laboratorium:
1. Hasil pemeriksaan IgM atau IgG antikardiolipin reaktif sedang atau tinggi dalam selang
waktu 6 minggu.
2. IgM atau IgG anti β2GP 1 reaktif sedang atau tinggi selang waktu 6 minggu.
3. Antikoagulan lupus reaktif >2 kali pada pemeriksaan selang waktu 6 minggu.

Antibodi antikardiolipin adalah suatu jenis autoantibodi yang dapat ditemukan pada
penderita autoimun seperti SLE. Ditemukannya ACA bersama dengan lupus antikoagulan
dalam serum penderita, berguna untuk menegakkan diagnosis APS. Peningkatan kadar ACA
dalam serum penderita menyebabkan terjadinya trombosis vena dan arteri. Ibu hamil dengan
APS berisiko untuk terjadinya preeklamsi, bayi lahir prematur, mengalami trombosis atau
gawat janin. Pengukuran ACA akan terganggu bila pada bahan pemeriksaan terdapat
rheumatoid factor, dan hasil ACA akan reaktif tinggi palsu pada penderita seropositif sifilis.

Indikasi pemeriksaan ACA:


1. Trombosis vena/arteri yang etiologinya tidak diketahui.
2. Aborsi berulang pada kehamilan trimester I.
3. Trombositopenia <100.000/mm3.
4. Stroke dan/atau infark jantung pada usia muda.
5. Penyakit-penyakit jaringan ikat (connective tissue diseases).
6. Migrain dan sakit kepala yang etiologinya tidak diketahui.
7. Hipertensi pulmoner.
8. Sebelum pemakaian kontrasepsi oral.

321
PATOLOGI KLINIK

PEMERIKSAAN LABORATORIUM SKRINING DAN PENUNJANG DIAGNOSIS


PREEKLAMSI–EKLAMSI DAN SINDROM HELLP

Preeklamsi–eklamsi adalah salah satu penyulit kehamilan penyebab kematian ibu hamil
dan/atau bayi dalam kandungan. Penyembuhan kasus ini dapat tercapai dengan pengakhiran
kehamilan yang sering berakibat kelahiran prematur dengan berbagai penyulit. Insidensi
preeklamsi–eklamsi ± 3–10% kehamilan, angka mortalitas ibu mencapai 1 per 3 kematian pada
kasus yang berat, sedangkan mortalitas bayi perinatal dapat mencapai 20–30%. Eklamsi di
Indonesia merupakan salah satu penyebab kematian utama bumil, selain perdarahan dan
infeksi.
Diagnosis preeklamsi menurut The Pre-eclampsia Community Guideline (PRECOG) yang
direkomendasikan oleh The National Institute for Clinical Excellence (NICE) ditegakkan bila
seorang perempuan hamil menunjukkan trias gejala, yaitu hipertensi baru ≥140/90 mmHg;
proteinuria terukur: proteinuria urine sewaktu ≥1+ (± 100 mg/dl) atau proteinuria kuantitatif
urine 24 jam ≥300 mg/l atau rasio protein:kreatinin ≥3; dengan atau tanpa edem pada kehamilan
≥20 minggu (pada akhir trimester 2 dan awal trimester 3) yang dikonfirmasi dengan hilangnya
gejala setelah bayi dilahirkan.Sedangkan diagnosis eklamsi ditegakkan bila sudah didapatkan
kejang. Preeklamsi juga dapat dijumpai pada kehamilan <20 minggu dan tidak mutlak harus
disertai edem.
The American College of Obstetricians and Gynecologists (ACOG) pada bulan November
2013 menetapkan kriteria untuk penegakan diagnosis preeklamsi (PE) berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan fisik, serta ditunjang dengan ditemukannya proteinuria terukur pada
urinalisis. Anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mencari manifestasi klinik PE yaitu gejala,
faktor risiko, riwayat dan tanda-tanda PE.
Deteksi dini PE dapat dilakukan secara komprehensif melalui pemeriksaan kehamilan saat
kunjungan asuhan antenatal, bila ditemukan gejala dan tanda-tanda PE ringan maka kunjungan
ANC perlu dilakukan lebih sering dengan mengacu pada panduan NICE yaitu memantau
tekanan darah dan dipstick-test urine sejak usia kehamilan ≥20 minggu, secundipara perlu
kunjungan tambahan pada kehamilan 41 minggu, sedangkan nullipara pada usia kehamilan 25
dan 31 minggu. Bila dijumpai gejala risiko PE seperti peningkatan berat badan ≥1 kg dalam
seminggu.

Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium skrining PE dan pemantauan komplikasi PE yaitu Sindrom
HELLP, antara lain:
• Urinalisis
Hasil urinalisis dapat menunjang diagnosis PE bila dijumpai proteinuria dalam sampel urin
sewaktu menggunakan metode dipstick-test:
− Proteinuria ≥1+ (± 100 mg/dl) atau
− Proteinuria kuantitatif urine 24 jam metode Esbach ≥300 mg/l atau
− Rasio protein:kreatinin ≥3

322
PATOLOGI KLINIK

• Pemeriksaan hematologi
− Hematologi rutin untuk memantau penurunan kadar hemoglobin (Hb) penanda
anemia hemolitik; peningkatan hematokrit (Ht) penanda terjadi hemokonsentrasi;
leukositosis dijumpai pada HELLPs. Dom A. Terrone et al. dari University of
Missisippi Medical Center, USA melaporkan bahwa hitung leukosit pada HELLPs
lebih tinggi daripada PE berat tanpa sindrom HELLP, maka disimpulkan pada HELLPs
terjadi proses inflamasi; trombositopenia adalah penanda awal HELLPs.
Trombositopenia pada HELLPs dapat mencapai 6000/μl darah yang terjadi beberapa
minggu sebelum gejala klinis timbul. HELLPs umumnya terjadi pada kehamilan 27–
36 minggu, walaupun dapat terjadi pada saat pascasalin. Ikterus dapat terjadi pada 5%
kasus.
− Morfologi sediaan apus darah tepi untuk memantau anemia hemolitik.
− Hemostasis untuk mengetahui gangguan koagulasi darah yaitu penurunan kadar
fibrinogen disertai trombositopenia dan D-dimer untuk deteksi peningkatan kadar
fibrin degradation products (FDP) yang merupakan penanda disseminated
intravascular coagulation (DIC); Peningkatan INR karena masa protrombin (PT)
memanjang merupakan kontra indikasi tindakan anaestesi regional, masa
tromboplastin atau activated partial thromboplastin time (aPTT), agregasi
trombosit.
− Parameter terkait faktor-faktor trombofilia yaitu defisiensi faktor V Leiden
heterozigot, activated protein C resistance (APC), homosisteinemia, dan sindrom
antibodi antifosfolipid (APS), resistensi insulin, dan stres oksidatif (NO).
Hiperhomosistein dianggap sebagai salah satu faktor risiko PE. Herrmann et al. dari
University Hospital Saarland, Jerman menemukan peningkatan sistationin (metabolit
homosistein) secara bermakna pada pasien PE dan HELLPs, serta adanya korelasi kuat
antara sistationin dan vitamin B6 yang mengaktifkan proses transulfurasi, di mana
vitamin B6 sangat teraktivasi karena adanya stres oksidatif sehingga kebutuhan vitamin
B6 meningkat.
• Pemeriksaan Kimia Klinik
− Glukosa darah puasa-2Jpp bila perlu OGTT untuk deteksi GDM yaitu risiko PE.
− Fungsi hepar yaitu pemeriksaan enzim transaminase hepar yaitu SGPT (ALT) dan
SGOT (AST), bermakna bila meningkat hingga ≥2 kali nilai rujukan normal.
Peningkatan SGPT dan SGOT pada PE dapat mencapai 4–10 kali nilai rujukan normal,
sedangkan pada HELLPs dapat mencapai hingga 80 kali rujukan normal. Pemeriksaan
kadar albumin serum untuk deteksi hipoalbuminemia.
− Fungsi ginjal yaitu bila kadar kreatinin serum >1,1 mg/dl atau >2 kali rujukan normal
tanpa adanya penyakit ginjal lain, ureum atau BUN, dan asam urat. Bila terdapat
komplikasi penurunan fingsi ginjal maka perlu diusulkan pemeriksaan klirens
kreatinin dan/atau penentuan eGFR atau cystatin-C.
− Elektrolit Na, K, Cl, Ca, fosfor organik, Mg.
− Lain-lain: laktat dehidrogenase (LDH) dan haptoglobin (hemoglobin bebas).

323
PATOLOGI KLINIK

• Pemeriksaan Imunoserologi
Pemeriksaan beberapa biomarker PE, seperti soluble fms-like tyrosine kinase 1 (sFlt1),
placental growth factor (PlGF), dan thrombus precursor protein (TpP (TM)) telah diteliti
dan dinyatakan dapat memprediksi PE. Penderita PE umumnya mengalami peningkatan
kadar sFlt1. Penurunan kadar PlGF terjadi pada masa gestasi 10–11 minggu dan sangat
rendah pada 5 minggu sebelum terjadi PE. Peningkatan kadar VEGF adalah penanda
awal PE, tetapi bila kadar <30 pg/ml belum dapat terdeteksi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adler SP. Screening for cytomegalovirus during pregnancy. Infectious Diseases in Obstetrics and
Gynecology. 2011:1–9.
2. Fayyaz H, Rafi J. TORCH screening in polyhydramnios: an observational study. Journal of
Maternal-Fetal and Neonatal Medicine. 2012;25:1069–72.
3. Halawa S, McDermott L, Donati M, Denbow M. TORCH screening in pregnancy. Where are we
now? An audit of use in a tertiary level centre. Pp 309-12|Published online: 29 Jan 2014
https://doi.org/10.3109/01443615.2013.872609
4. Sauerbrei A. Herpes Genitalis: Diagnosis, Treatment, and Prevention. Geburtshilfe und
Frauenheilkunde. 2016;76(12): 1310–7.
5. Gris JC et al. Comparative incidence of a first thrombotic event in purely obstetric antiphospholipid
syndrome with pregnancy loss: the NOH-APS observational study. Blood. 2012;119:2624–32.
6. Schreiber K, Sciascia S, de Groot PG, et al. Antiphospholipid syndrome. Nature Reviews Disease
Primers. 2018;4:17103.
7. Marzuki Suryaatmadja. Diagnosis Laboratorium Pre-Eklampsia–Eklampsia. Dalam: Marzuki
Suryaatmadja (editor), Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik. 2006. Jakarta: Univ.
Indonesia.
8. Strasinger SK, Di Lorenso MS. Urinalysis and Body Fluids, 4th edition. Philadelphia: F.A. Davis
Company. 2001.
9. Wallach J. In: MA Williamson, LM Snyder (Eds.), Wallach’s Interpretation of Diagnostic Tests.
10th Edition. Philadelphia: Wolters Kluwer/Lippincot Williams & Wilkins. 2014.
10. POGI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan tatalaksana Pre-Eklamsia. Jakarta:
Himpunan Kedokteran Feto Maternal, POGI. 2016.

324
PATOLOGI KLINIK

PEMERIKSAAN HORMONAL PADA PASANGAN INFERTIL


Adrian Suhendra

Pendahuluan
Pada kesempatan ini, pemeriksaan laboratorium sistem reproduksi yang akan dibahas
dibatasi hanya untuk tujuan skrining, penegakan diagnosis, atau pemantauan hasil terapi di
bidang obstetri dan ginekologi yang umum atau yang sering diusulkan oleh praktisi/klinisi di
bidang ilmu kedokteran khususnya dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi.
Pemeriksaan laboratorium penunjang di bidang obsteri dan ginekologi yang sering
diusulkan oleh praktisi/klinisi di bidang ilmu kedokteran antara lain:
1. Pemeriksaan untuk memastikan adanya konsepsi buah kehamilan yaitu deteksi β-human
chorionic gonadotropin (β-HCG). Selain ditemukan pada kehamilan, β-HCG juga
ditemukan dalam kadar yang sangat tinggi pada penyakit trofoblas seperti mola hydatidosa
dan choriocarcinoma.
2. Pemeriksaan untuk deteksi risiko infeksi prenatal, yaitu infeksi TORCH.
3. Pemeriksaan hormonal untuk memantau kesuburan pasutri yaitu hormon prolaktin,
estradiol, progesteron, testosteron, luteinizing hormone (LH), follicle stimulating hormone
(FSH), serta analisis sperma dan antibodi sperma.
4. Pemeriksaan untuk identifikasi penyebab gagalnya konsepsi buah kehamilan sehingga
menyebabkan aborsi diduga akibat penyakit autoimun, maka saat ini banyak diusulkan
pemeriksaan Anticardiolipin Antibody (ACA).
5. Pemeriksaan fungsi tiroid pada wanita hamil dan neonatus.
6. Pemeriksaan tumor marker (penanda adanya keganasan) di bidang ginekologi, antara lain
carcinoma embryonic antigen (CEA), cancer antigen 125 (CA 125), CA 72-4, CA 15-3,
mucin-like carcinoma-associated antigen (MCA) dan squamous cell carcinoma antigen
(SCC Antigen).
7. Pemeriksaan untuk memantau proses osteoporosis dengan penanda biokimiawi tulang
antara lain:
• Penanda pembentukan tulang: osteocalcin, alkaline phosphatase (ALP), procollagen I
peptides, pl carboxy terminal propeptide (PICP), dan pl N-terminal propeptide (PINP).
Pengukuran semua penanda pembentukan tulang tersebut dengan bahan pemeriksaan
(BP) serum.
• Penanda resorpsi tulang: β-CrossLaps (β-CTX), deoxypyridinoline (DPD), collagen I
N-terminal telopeptide (INTP/NTX), collagen I C-terminal telopeptide (ICTP/CTX).
Pengukuran semua penanda resorpsi tulang tersebut diukur dengan BP urine, kecuali
β-CrossLaps (β-CTX) dengan BP serum.

Beberapa panel pemeriksaan laboratorium di bidang obstetri dan ginekologi adalah:


• Panel amenorrhea: LH, FSH, prolaktin, estradiol.
• Panel awal kehamilan: hematologi rutin, urinalisis rutin, golongan darah ABO dan Rhesus
factor, glukosa darah puasa dan 2jPP, HBsAg, VDRL, IgG dan IgM Anti
Toxoplasma/Rubella/CMV/HSV 1/HSV 2.

325
PATOLOGI KLINIK

• Panel infeksi TORCH: Anti-Toxoplasma IgG dan IgM, Anti-Rubella IgG dan IgM, Anti-
CMV IgG dan IgM, Anti HSV 1 IgG dan IgM, Anti HSV 2 IgG dan IgM.
• Panel penanda tumor serviks: SCC, Pap smear.
• Panel penanda tumor ovarium: CEA, CA 125, CA 72-4.
• Panel penanda tumor payudara: CEA, CA 15-3, MCA.
• Panel kesuburan laki-laki: LH, FSH, prolaktin, testosteron, analisis sperma, fruktosa,
antibodi sperma
• Panel osteoporosis: osteocalcin dan/atau alkaline phosphatase (ALP) dengan β-CrossLaps
(β-CTX) atau deoxypyridinoline.

PEMERIKSAAN HORMONAL PADA PASANGAN INFERTIL

Infertilitas adalah keadaan di mana pasangan suami istri tidak mengalami kehamilan setelah
melakukan berbagai upaya kehamilan selama 1 tahun. Infertilitas ditemukan pada 10–15%
pasangan usia reproduktif dan kelainan hormonal merupakan penyebab terbanyak anovulasi,
yaitu sekitar 20–25%. Pemeriksaan hormonal dapat mengungkapkan penyebab infertilitas,
tetapi harus diingat bahwa untuk mendapatkan informasi yang akurat diperlukan pemahaman
tentang pola sekresi hormonal di dalam tubuh manusia untuk menentukan kapan saat
pengambilan bahan pemeriksaan yang tepat sesuai dengan tujuan pemeriksaan. Bila saat
pengambilan BP tidak adekuat maka akan berdampak pada penatalaksanaan klinik selanjutnya.

A. Pemeriksaan Hormon Gonadotropin

Gonadotropin adalah hormon yang dihasilkan oleh hipofisis anterior, terdiri dari follicle
stimulating hormone (FSH) dan luteinizing hormone (LH). Hormon gonadotropin diperlukan
untuk menstimulasi sel gonad pada proses folikulogenesis dan spermatogenesis, sehingga
dihasilkan sel ovum dan sperma yang matur.

• Luteinizing Hormone
Luteinizing hormone adalah hormon glikoprotein yang mempunyai berat molekul 28.000
dalton. LH dan FSH disekresikan oleh sel-sel gonadotropin yang terdapat dalam hipofisis
(pituitary gland), sebagai respon terhadap sekresi gonadotropin releasing hormone (GnRH)
dari hipotalamus.
Penetapan kadar LH penting untuk meramalkan saat ovulasi, evaluasi infertilitas, dan
diagnosis gangguan gonad atau pituitary. Peningkatan kadar LH mengawali terjadinya ovulasi
dan pada kasus tertentu di mana perlu diketahui kapan periode fertilitas optimal–untuk
menentukan waktu yang tepat untuk coitus atau inseminasi buatan–maka pemeriksaan kadar
LH perlu dilakukan tiap hari untuk memperkirakan saat terjadinya ovulasi.
Pola sekresi gonadotropin, khususnya LH bersifat pulsatil (berdenyut), di mana pada wanita
pulsasi sekresi dipengaruhi oleh siklus menstruasi; pada masa proliferasi awal–tengah sekitar
90 menit/denyut, menjadi 60 menit/denyut pada masa periovulasi dan memanjang setiap 120–
270 menit pada masa luteal. Pada masa usia reproduktif, kadar LH dan FSH serum normal

326
PATOLOGI KLINIK

berkisar 4–15 mIU/ml, kecuali pada masa periovulasi terjadi lonjakan kadar LH serum (LH
surge) 4–6 kali dan kadar FSH serum sebesar 2–3 kali. LH surge terjadi selama 8–16 jam, dan
memicu ovulasi folikel de-Graff dalam waktu 36–40 jam.

Indikasi pemeriksaan kadar LH:


1. Gagal gonad, yaitu salah satu penyebab infertilitas. Pada penderita dijumpai peningkatan
kadar LH dan FSH, disertai kadar steroid yang rendah. Gangguan infertilitas pada
pasangan:
- Pria yang mengalami gangguan produksi sperma, yaitu oligospermia ringan–berat
hingga azospermia.
- Wanita yang dicurigai mengalami gangguan folikulogenesis dan proses ovulasi. Kadar
LH yang tinggi akan menyebabkan ”gangguan pola menstruasi ”(amenorrhoe
primer/sekunder, oligomenorrhoe), menopause, polycystic ovarian syndrome, atau
hipergonadotropik hipogonadisme.
2. Wanita yang telah menopause atau ovorektomi, di mana kadar estrogen menurun. Kadar
estrogen yang rendah akan menyebabkan peningkatan LH dan FSH.
3. Orang dewasa dengan defisiensi gonadotropin biasanya merupakan indikasi dini untuk
perkembangan panhipopituitarism. Pada penderita tersebut ditemukan kadar LH, FSH, dan
steroid yang rendah. Sebaliknya pada penderita tumor di hipotalamus atau hipofisis yang
menyekresikan gonadotropin akan ditemukan kadar LH dan FSH yang meningkat.

Nilai rujukan LH:


o Pria : 0,8–7,6 mIU/ml
o Wanita (ovulating female) :
- Follicular phase : 1,1–11,6 mIU/ml
- Midcycle : 17–77 mIU/ml
- Luteal phase : ≤14,7 mIU/ml
- Perimenstrual ± 8 days : ≤12,0 mIU/ml
- Post-menopausal : 11,3–39,8 mIU/ml
- Oral contraceptive : ≤8,0 mIU/ml

Catatan: kadar LH dapat meningkat palsu akibat terjadinya cross-reactivity dengan β-hCG,
ditemukan pada penderita dengan kadar β-hCG tinggi (wanita hamil, penyakit trofoblastik, dan
kanker testis). Sekresi LH bersifat pulsatile, sehingga hasilnya berfluktuasi dalam 1 hari.

• Follicle Stimulating Hormone


Follicle stimulating hormone (FSH) adalah hormon pada wanita dewasa yang bekerja
menstimulasi perkembangan folikel ovarium. Kadar FSH yang bersirkulasi selama siklus
menstruasi adalah bervariasi, hal tersebut dikarenakan respon FSH terhadap estradiol dan
progesteron.
FSH dan LH bekerja mengatur pertumbuhan dan aktivitas reproduksi kelenjar gonad. FSH
bekerja menunjang pertumbuhan folikel di ovarium. Baik FSH maupun LH disekresikan secara
pulsatile dengan fluktuasi di atas nilai normal.

327
PATOLOGI KLINIK

Indikasi pemeriksaan kadar FSH yaitu untuk mengetahui adanya:


1. Disfungsi feed-back sumbu hipotalamus-hipofisis, akan menunjukkan kadar FSH yang
abnormal.
2. Panhipopituitarism akibat defisiensi FSH pada orang dewasa, akan disertai kadar LH dan
steroid rendah.

Nilai rujukan FSH:


o Pria : 0,8–7,6 mIU/ml
Pria usia 12,8–17,3 tahun : 2,6–11,0 mIU/ml
o Wanita (ovulating female) :
- Follicular phase : 2,8–11,3 mIU/ml
- Follicular phase days 2–3 : 3,0–14,4 mIU/ml
- Midcycle : 5,8–21 mIU/ml
- Luteal phase : 1,2–9,0 mIU/ml
- Oral contraceptive : ≤4,9 mIU/ml
- Post-menopausal : 21,7–153 mIU/ml
- Post-menopausal (ERT) : 9,7–111 mIU/ml
- Wanita usia 11,8–18,6 tahun : 1,0–9,2 mIU/ml

Catatan:
1. Pola rasio LH/FSH yang meningkat >3 pada fase folikular dengan kadar LH basal >10
mIU/ml ditemukan pada penyakit/sindrom ovarium polikistik.
2. Kadar FSH yang meningkat hingga 10–35 mIU/ml ditemukan pada sindrom ovarium
resisten dan masa perimenopause, yang menunjukkan rendahnya cadangan folikel yang
sehat di ovarium.
3. Kadar FSH yang rendah <4 mIU/ml pada fase menstruasi hari ke-1–ke-3 menunjukkan
bahwa cadangan sel-sel primodial folikel yang sehat cukup.
4. Secara praktis indikasi pemeriksaan LH dan FSH adalah pada keadaan di mana pada
pemeriksaan ditemukan perkembangan folikel yang tidak adekuat pada masa periovulasi,
baik pada siklus yang spontan maupun siklus induksi ovulasi (misalnya pada pemberian
klomifen sitrat); sedangkan pada siklus hiperstimulasi terkontrol (misalnya pada program
fertilisasi in vitro) pemeriksaan LH dan FSH dilakukan pada masa menstruasi untuk
mengetahui cadangan folikel ovarium (ovarial reserve) sebagai indikator prediksi respon
pengobatan.
5. Pemeriksaan gonadotropin (LH dan FSH) sebaiknya dilakukan pada masa proliferasi
tengah yaitu hari ke-7–ke-10 menstruasi pada siklus menstrusi spontan ataupun siklus
menstruasi akibat stimulasi progestin (tes progestin pada keadaan amenorrhoe
primer/sekunder).
6. Bahan pemeriksaan LH surge dapat mengunakan serum, urine, atau saliva yang diambil
pada masa periovulasi (saat ukuran sel folikel >18 mm pada pemeriksaan USG) yang
dilakukan setiap 8 jam untuk mengenal kemampuan endogen dalam inisiasi proses ovulasi
spontan.

328
PATOLOGI KLINIK

B. Pemeriksaan Hormon Prolaktin

Prolaktin adalah hormon polipeptida yang disekresikan oleh sel-sel yang terdapat dalam
hipofisis anterior, mempunyai berat molekul 22.800 dalton. Fungsi utama prolaktin adalah
menstimulasi dan mempertahankan laktasi.
Hiperprolaktinemia diketahui merupakan salah satu penyebab infertilitas dan gangguan
gonad baik pada wanita maupun pria. Prolaktin dapat menghambat sekresi steroid ovarium dan
berinterferensi dengan pematangan oosit dan spermatozoa, juga terhadap sekresi LH dan FSH.
Kadar prolaktin serum normal pada pria <15 ng/ml dan wanita <20 ng/ml. Peningkatan kadar
prolaktin akan menekan sintesis hormon gonadotropin sehingga terjadi kegagalan stimulasi sel
gonad yaitu folikel ovarium dan testis, sehingga terjadi gangguan pematangan folikel dan
proses ovulasi, terjadi oligomenorrhoe sampai amenorrhoe. Sementara itu, pada pria akan
menyebabkan kegagalan produksi sel sperma dengan manifestasi klinik oligospermia.
Sekresi prolaktin dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:
• Faktor-faktor yang meningkatkan sekresi prolaktin:
Kehamilan, stimulasi payudara, stres, coitus, hipotiroidism, adenoma hipofisis, pemberian
preparat estrogen, progesteron, androgen, beberapa obat psikotropik dan antihipertensi,
therapy replacement hormone (TRH).
• Faktor-faktor yang menurunkan sekresi prolaktin:
Pemberian preparat L-dopa dan bromokriptin.

Indikasi pemeriksaan prolaktin:


1. Identifikasi penyebab disfungsi hipofisis, peningkatan kadar prolaktin merupakan bukti
kuantitatif pertama dari disfungsi hipofisis. Hiperprolaktinemia ditemukan pada 15–25%
wanita infertil dan 80–90% wanita infertil dengan galactorrhoe.
2. Evaluasi dan pengelolaan penderita gangguan pola haid yaitu amenorrhoe dan
oligomenorrhoe di mana pemeriksaan USG menunjukkan perkembangan folikel tidak
adekuat melalui pemeriksaan kadar prolaktin serum.
3. Dugaan adanya adenoma hipofisis pada sella turcica dengan hiperprolaktinemia bila
ditemukan siklus oligomenorrhoe atau amenorrhoe sekunder disertai galactorrhoe,
gangguan penglihatan (diplopia) dan lapang pandang, umumnya ditemukan
hiperprolaktinemia >200 ng/ml walaupun pada mikroadenoma ditemukan kadar prolaktin
yang lebih rendah yaitu 50–200 ng/ml.
4. Pemeriksaan kadar prolaktin pada awal kehamilan trimester pertama (sampai usia
kehamilan 12 minggu) dapat digunakan untuk mengetahui gambaran prognosis kehamilan.

Bahan pemeriksaan: serum pagi pertama (pukul 08.00–10.00).


Nilai rujukan prolaktin:
o Usia 1-7 hari : 30-495 ng/ml
o Pria : 2,5-17 ng/ml
Pria usia 0,1-0,5 tahun : 4-65 ng/ml
Pria usia 0,6-9 tahun : 0,6–29 ng/ml
o Wanita : 1,9-25 ng/ml

329
PATOLOGI KLINIK

Wanita usia 0,1–0,5 tahun : 1–140 ng/ml


Wanita usia 0,6–9 tahun : 2–43 ng/ml

Catatan:
- Pemeriksaan hormon prolaktin dapat dilakukan setiap saat selama siklus menstruasi.
- Sintesis dan sekresi hormon prolaktin tidak dipengaruhi oleh kadar estradiol dan progestin.
- Pengambilan bahan pemeriksaan prolaktin dilakukan dalam keadaan pasien relaks, karena
sekresi prolaktin dapat meningkat pada keadaan stres.

C. Pemeriksaan Hormon Estradiol

Estradiol adalah hormon steroid yang mempunyai berat molekul 272,3 dalton. Estradiol
yang terdapat dalam sirkulasi darah terutama dalam bentuk yang terikat dengan protein.
Estradiol merupakan estrogen alami yang paling penting, terutama dihasilkan oleh sel teka dan
sel granulosa folikel de Graff pada fase proliferasi dan sel luteal ovarium sepanjang fase
sekresi. Pola sintesis estradiol sepanjang daur menstruasi normal memberikan gambaran
bifasik dengan puncak yang menunjukkan sintesis dan sekresi estradiol selama 24 jam sebelum
terjadinya ovulasi (hari ke-13–ke-14 pada siklus menstruasi 28 hari) serta pada fase midluteal
(hari ke-20–ke-22 pada siklus menstruasi 28 hari). Satu folikel sehat dengan diameter 18–28
mm pada pemeriksaan USG pada masa praovulasi menunjukkan setara dengan kadar estradiol
sekitar 50–200 ρg/ml. Kadar estradiol yang tidak berada dalam rentang normal, yaitu 50–200
ρg/ml, menandakan adanya gangguan kualitas oosit atau adanya kista folikel. Saat memasuki
fase proliferasi tengah–akhir, terjadi peningkatan pembentukan (sintesis) estradiol per hari,
pada folikel yang sehat mencapai sekitar 150% dari hari sebelumnya, sehingga kurva produksi
estradiol praovulasi dapat digunakan untuk menggambarkan kualitas folikel dan oosit.
Estradiol juga dihasilkan oleh plasenta, adrenal, dan corpus luteum; pada pria dihasilkan
oleh testis dalam jumlah kecil. Estradiol dihasilkan oleh seorang wanita mulai saat memasuki
usia menarche, yang merupakan refleksi fungsi ovarium sepanjang usia wanita hingga
memasuki masa menopause. Selama masa kehamilan, plasenta merupakan sumber utama
estrogen. Saat menopause, sekresi estrogen dari ovarium akan menurun dengan berbagai
kecepatan.
Indikasi pemeriksaan estradiol:
1. Memantau adekuasi perkembangan folikel pada masa periovulasi pada pengobatan induksi
ovulasi atau hiperstimulasi terkontrol pada program fertilisasi in vitro untuk memprediksi
kualitas oosit pascaterapi dan untuk menentukan saat yang tepat untuk inseminasi sperma
atau pengambilan ovum (ovum pick-up) pada proses program bayi tabung.
2. Evaluasi variasi disfungsi menstrual seperti pada pubertas dini atau pubertas yang terlambat
pada wanita, amenorrhoe primer/sekunder dan menopause. Kadar estradiol yang rendah
ditemukan pada wanita perimenstruasi, amenorrhoe primer/sekunder dengan
hipogonadotropism, atau penggunaan obat-obatan yang mempunyai efek supresi terhadap
gonadotropin, misalnya GnRH agonis selama terapi endometriosis, atau pada wanita yang
tidak menunjukkan tanda feminisasi saat memasuki usia menopause dan postmenopause.
3. Bila terdapat ketidaksesuaian antara perkembangan folikel ovarium untuk mencapai

330
PATOLOGI KLINIK

diameter praovulasi dengan ketebalan endometrium. Perkembangan folikel yang adekuat


dengan ketebalan endometrium <5 mm menunjukkan kadar estradiol yang rendah dan
rendahnya kemampuan endometrium pada masa jendela implantasi yang dapat
mengakibatkan menurunnya kemampuan untuk nidasi embrio.
4. Kadar estradiol meningkat pada kasus tumor yang menyekresikan estradiol.
5. Kasus infertilitas, pengukuran estradiol serum berguna untuk memantau induksi ovulasi
setelah terapi dengan clomiphen citrate, GnRH atau gonadotropin eksogen.

Bahan pemeriksaan: serum.


Nilai rujukan estradiol:
o Pria dewasa : ≤56 ρg/ml
o Wanita dewasa:
Untreated post-menopausal : ≤30 ρg/ml
Treated post-menopausal : ≤93 ρg/ml
Follicular phase : ≤160 ρg/ml
Follicular phase days 2–3 : ≤84 ρg/ml
Periovulatory ± 3 hari : 34–400 ρg/ml
Luteal phase : 27–246 ρg/ml
Oral contraceptive : ≤102 ρg/ml

Catatan: waktu yang tepat untuk pemeriksaan hormon estradiol adalah pada pertengahan masa
proliferasi yaitu pada hari 7–10 mentruasi untuk mengetahui gambaran perkembangan folikel,
atau pada masa praovulasi untuk mengetahui gambaran kualitas oosit praovulasi.

D. Pemeriksaan Hormon Progesteron

Progesteron adalah hormon yang diproduksi oleh koteks adrenal, ovarium, dan unit
fetoplasental. Sekresi progesteron oleh corpus luteum diatur oleh LH. Kadar maksimum
progesteron dicapai pada hari ke-5–ke-8 setelah ovulasi dan bila tidak ada implantasi janin
akan menurun kembali sampai mencapai kadar fase folikuler sekitar 4 hari sebelum menstruasi.
Bila terjadi implantasi janin, maka kadar progesteron akan tetap meningkat secara progresif
selama kehamilan. Sumber utama progesteron selama kehamilan adalah plasenta.
Peran utama progesteron adalah mempersiapkan uterus untuk terjadinya implantasi janin
dan mempertahankan kehamilan. Peran progesteron lainnya yaitu bersama prolaktin
mempersiapkan laktasi.

Indikasi pemeriksaan progesteron:


1. Pengukuran kadar progesteron, secara klinis digunakan untuk menentukan saat terjadinya
ovulasi, memperkirakan kelainan fase luteal dan mengontrol efektivitas induksi ovulasi.
2. Memantau terapi pengganti dan evaluasi penderita yang mempunyai risiko abortus spontan
pada kehamilan dini.

Bahan pemeriksaan: serum.

331
PATOLOGI KLINIK

Nilai rujukan progesteron:


o Pria : 0,8–7,6 ρg/ml
o Wanita:
Follicular phase : ≤1,13 ρg/ml
Mid-follicular phase days 5–11 : ≤0,98 ρg/ml
Midcycle : 0,48–1,72 ρg/ml
Luteal phase : 0,95–21,0 ρg/ml
Midluteal phase days 7–8 : 6,0–24,0 ρg/ml
Post-menopausal : ≤1,0 ρg/ml
Oral contraceptive : 0,34–0,92 ρg/ml
o Wanita hamil trimester I : 9,3–33,2 ρg/ml
trimester II : 29,5–50 ρg/ml
trimester III : 83,1–160 ρg/ml

E. Pemeriksaan Hormon Androgen

Hormon androgen pada wanita usia reproduktif dihasilkan ovarium, kelenjar suprarenal,
dan sel-sel lemak di jaringan perifer misalnya lemak subkutan terutama pada wanita yang obes.
Dahulu produksi androgen diukur melalui pengukuran kadar metabolit androgen yaitu 17-
ketosteroid yang diekskresikan melalui urine. Saat ini, aktivitas hormon androgen dapat diukur
melalui pemeriksaan kadar testosteron dan dehidro-epi-androsteron sulfat (DHEAS).
Kadar testosteron serum wanita usia reproduktif ± 20–50 ng/dl. Peningkatan kadar
testosteron merefleksikan peningkatan kadar androgen ovarium; sedangkan peningkatan kadar
androstenedion ovarium dan adrenal akan meningkatkan kadar testosteron serum. Sementara
itu, peningkatan kadar DHEAS hanya menggambarkan peningkatan kadar androgen adrenal.
Pemeriksaan kadar hormon testosteron sebaiknya disertai pengukuran kadar sex hormone
binding globulin (SHBG) serum, karena diperlukan untuk menentukan strategi pengobatan
yang akan diberikan kepada pasien yang bersangkutan.

• Testosteron
Testosteron merupakan hormon androgen yang penting dan steroid anabolik alami yang
paling penting pada kedua jenis gender. Testosteron terutama diproduksi oleh gonad, dan
sebagian kecil merupakan hasil konversi dari prazat adrenokortikal. Androgen yang
bersirkulasi dalam darah seorang wanita berasal dari ovarium, kelenjar adrenal, dan hasil
konversi prazat. Sekitar 50–70% testosteron serum berasal dari hasil konversi androstenedion.
Androstenedion terutama berasal dari ovarium dan kelenjar adrenal, hanya sekitar 10% yang
berasal dari hasil konversi di perifer.
Indikasi pemeriksaan testosteron:
1. Wanita infertil dengan siklus anovulatorik, seperti pada poly-cystic ovarial syndrome
(PCOS), terutama bila ditemukan gejala klinik androgenisasi seperti banyak akne,
hirsutisme, dan alopesia. Peningkatan kadar testosteron ditemukan pada wanita infertil
dengan PCOS dan obesitas yang mengalami resistensi insulin, dengan kadar testosteron
100 ng/dl.

332
PATOLOGI KLINIK

2. Mengetahui gambaran fungsi testis dalam spermatogenesis pasangan suami pada evaluasi
infertilitas.
3. Menyingkirkan faktor psikogenik yang berperan pada disfungsi ereksi atau gangguan
ereksi pada pasangan infertil dengan penurunan libido.
4. Evaluasi penyebab polycystic ovaries (Stein-Leventhal syndrome), tumor ovarium, tumor
adrenal, dan hiperplasia adrenal. Peningkatan kadar testosteron pada wanita merupakan
salah satu etiologi kelainan tersebut. Peningkatan kadar testosteron hingga 200 ng/dl,
mungkin disebabkan oleh tumor ovarium yang memproduksi androgen (androgens
producing tumor).
5. Virilisasi, peningkatan produksi testosteron endogen dan pemberian preparat hormon
androgen yang berlebihan akan menyebabkan virilisasi pada wanita.

Bahan pemeriksaan: serum.


Nilai rujukan testosteron:
• Pria usia 20–49 tahun : 270–1734 ng/dl
Pria usia >50 tahun : 212–755 ng/dl
• Wanita:
- Ovulating : 63–120 ρg/dl
- Post-menopausal : 49–113 ng/dl
- Oral contraceptive : 54–71 ng/dl

CATATAN:
Pemeriksaan hormon androgen dapat diperiksa setiap saat, dan tidak dipengaruhi oleh pola
menstruasi.

Diagnosis etiologi penyebab infertilitas pada seseorang, apakah karena gangguan anatomis
atau fisiologi sistem reproduksi dapat ditentukan melalui evaluasi hasil pemeriksaan beberapa
hormon reproduksi.
Saat ini dikenal 2 panel pemeriksaan infertilitas, yaitu:
1. Panel amenorrhea : LH, FSH, prolaktin, dan estradiol.
2. Panel kesuburan pria: LH, FSH, prolaktin, testosteron, analisis sperma, fruktosa, antibodi
sperma.
Kelainan/gangguan fungsi sistem reproduksi dapat ditelusuri melalui pengukuran kadar
beberapa hormon reproduksi.

F. Pemeriksaan Hormon Insulin

Pengaruh hormon insulin pada wanita infertil telah banyak diamati dan dipelajari. Hormon
insulin berpengaruh meningkatkan proliferasi sel-sel teka dan meningkatkan sintesis hormon
testosteron yang banyak dijumpai pada wanita poly-cystic ovarial syndrome (PCOS) dengan
obesitas. Pada penderita PCOS dengan obesitas ditemukan resistensi insulin, hal ini
ditunjukkan oleh rasio glukosa darah puasa dibagi kadar insulin puasa yang menurun karena
pada pasien PCOS dengan obesitas ditemukan kadar insulin puasa yang relatif meningkat.

333
PATOLOGI KLINIK

Wanita PCOS umumnya memiliki indeks kuantitatif sensitivitas insulin <0,335.


Indikasi pemeriksaan hormon insulin untuk menentukan indeks sensitivitas insulin ataupun
rasio glukosa/insulin pada wanita PCOS dengan siklus anovulasi dan mengalami obesitas. Pada
keadaan ini, pemberian medikamentosa untuk induksi ovulasi tidak akan memberikan manfaat,
dan di sisi lain intervensi pembedahan untuk reseksi baji ovarium atau laparoscopic ovarian
drilling tidak menunjukkan hasil yang lebih baik daripada pemberian insulin sensitizer.
Pemeriksaan insulin dapat dilakukan setiap saat pada siklus menstruasi dan dianjurkan
persiapan pasien sebelum pemeriksaan yaitu puasa 8–10 jam. Bahan pemeriksaan kadar insulin
dan glukosa darah diambil pada waktu bersamaan.

G. Beta-Human Chorionic Gonadotropin

Beta-human chorionic gonadotropin (β-hCG) adalah hormon glikoprotein yang


mempunyai berat molekul 36.700 dalton, terdiri dari 2 subunit yaitu alfa dan beta. Hormon ini
diproduksi oleh plasenta normal setelah konsepsi/implantasi embrio dan dapat dideteksi dalam
serum dan urine ibu hamil. Kadar β-HCG akan meningkat hingga akhir bulan ke-3 kehamilan
kemudian menurun kembali.
Nidasi embrio pada endometrium akan diikuti oleh penetrasi jonjot vili korialis sehingga
hormon β-hCG ditemukan dalam serum wanita hamil. Dengan demikian, β-hCG baru dapat
dideteksi setelah terjadi implantasi dan penetrasi embrio ke dalam endometrium, yaitu kira-
kira 10 hari pascaovulasi atau hari ke-24 siklus menstruasi atau 3 hari setelah transfer embrio
fase blastosis pada program fertilisasi in vitro di mana ditemukan kadar β-hCG >10 mIU/ml,
yang dikenal sebagai kehamilan biokimia (biochemical pregnancy).
Pemeriksaan kadar β-hCG pada triwulan pertama dapat menggambarkan prognosis
kehamilan, seperti cacat bawaan sindrom Down atau kehamilan ektopik. Pemeriksaan β-hCG
dalam urine baru dapat dipantau menggunakan pemeriksaan β-hCG urine dengan sensitivitas
25U pada hari ke-28–ke-30 siklus menstruasi.
Indikasi pemeriksaan β-hCG, yaitu pada:
• Pemeriksaan β-hCG serum pada siklus fertilisasi in vitro untuk mengetahui keberhasilan
implantasi dalam program fertilisasi in vitro, sehingga dapat dilakukan terapi suplementasi
hormonal, mengingat angka kejadian abortus dini (early miscarriage rate) cukup tinggi,
yaitu sekitar 15-20%.
• Choriocarcinoma (mola hydatidosa), pemeriksaan β-HCG mempunyai beberapa
kepentingan untuk menentukan:
1. Diagnosis, kadar β-HCG penderita mempunyai korelasi dengan volume tumor.
2. Prognosis, kadar β-HCG tinggi menunjukkan prognosis buruk.
3. Follow up therapy, pemeriksaan untuk pemantauan dilakukan selama terapi. Kadar β-
HCG berkorelasi dengan respon klinik pengobatan. Kinetika β-HCG yang berkurang
merupakan penanda adanya aktivitas sitotoksik obat.
• Kanker testis, pemeriksaan β-HCG mempunyai beberapa kepentingan, yaitu:
1. Pemeriksaan β-HCG dikombinasikan dengan pemeriksaan alfa feto protein (AFP) dan
dilakukan berulang, sebelum dan sesudah terapi operatif kanker testis.
- β-HCG positif pada 28% kasus seminomatous germ cell tumor.

334
PATOLOGI KLINIK

- β-HCG positif pada 60% kasus non-seminomatous germ cell tumor.


2. Menentukan prognosis penderita kanker testis. Kadar β-HCG preoperatif tinggi
menunjukkan prognosis buruk. Kadar ALP dan β-HCG yang tinggi meningkatkan
mortalitas 13 kali.
3. Pemeriksaan β-HCG untuk follow up therapy:
- Pascaoperasi, bila hasilnya negatif berarti pengangkatan tumor sempurna.
- Penyakit, bila dalam rentang waktu 3 bulan pascaterapi hasil pemeriksaan β-HCG
positif atau meningkat >50%, berarti terdapat kekambuhan atau adanya metastasis.

Bahan pemeriksaan: serum, plasma, dan urine.


Waktu pemeriksaan hCG: sekitar 10 hari pascaovulasi atau 3 hari pascatransfer embrio.
Nilai rujukan β-HCG: <4 mIU/ml
- Kehamilan minggu ke-2 : 115–4.703 mIU/ml
- Kehamilan minggu ke-3 : 162–10.112 mIU/ml
- Kehamilan minggu ke-4 : 1.163–39.825 mIU/ml
- Kehamilan minggu ke-5–ke-8 : 4.170–239.701 mIU/ml
- Kehamilan minggu ke-9–ke-12 : 23.871–168.933 mIU/ml
- Kehamilan minggu ke-13–k-16 : 12.986–110.479 mIU/ml
- Kehamilan minggu ke-17–ke-20 : 6.277–81.807 mIU/ml
- Kehamilan minggu ke-21–ke-25 : 8.972–136.792 mIU/ml
- Kehamilan trimester ke-3 : 3.772–128.677 mIU/ml

335
PATOLOGI KLINIK

ANALISIS FUNGSI TIROID WANITA HAMIL DAN


NEONATUS
Penny Setyawati Martioso, Lisawati Sadeli

Gangguan tiroid merupakan penyakit endokrin kedua terbanyak setelah diabetes


mellitus. Wanita mempunyai risiko 5–10 kali lebih sering mengalami gangguan fungsi
kelenjar tiroid daripada pria, dan gangguan kelenjar tiroid dapat dijumpai pada 0,5–2%
kehamilan. Kelainan fungsi tiroid yang banyak ditemukan pada kehamilan adalah hipotiroid
dengan insidensi 0,06–0,09%, sedangkan hipertiroid pada kehamilan ± 0,05%. Pada wanita
hamil sering dijumpai gestational transient thyrotoxicosis, physiological goiter, Graves
disease, dan Hashimoto’s thyroiditis.
Kehamilan merupakan perubahan fisiologis yang berorientasi pada kebutuhan energi janin,
maka fungsi tiroid ibu akan menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan kehamilan.
Kelenjar tiroid berfungsi memproduksi hormon metabolik energi. Pada wanita hamil secara
fisiologis terjadi perubahan hormonal dan kebutuhan metabolik yang menyebabkan perubahan
fungsi kelenjar tiroid. Pada kehamilan produksi hormon tiroid dapat meningkat 30–100% untuk
memenuhi kebutuhan janin. Perubahan fungsi tiroid pada wanita hamil, yaitu peningkatan
kadar hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) baik yang bentuk bebas maupun
terikat yaitu thyroid binding globulin (TBG), serta penurunan thyroid stimulating hormone
(TSH). Perubahan ini dapat ditemukan pada ± 20% wanita hamil eutiroid.
Hormon tiroksin ibu sangat penting untuk perkembangan sistem neuroserebral dan
kelangsungan hidup janin selama dalam kandungan, terutama pada trimester pertama.
Peningkatan hormon tiroid ibu pada kehamilan merupakan mekanisme proteksi alamiah
terhadap janin, karena kelenjar tiroid janin belum dapat mensintesis hormon tiroid hingga
usia 10–11 minggu kehamilan. Gangguan fungsi tiroid ibu pada kehamilan trimester
pertama dapat mengganggu kelangsungan hidup dan perkembangan sistem
neuroserebral janin.

• Perubahan Fisiologi Kehamilan yang Berpengaruh terhadap Fungsi Tiroid Wanita


Hamil.
Pada awal kehamilan ditemukan peningkatan klirens yodium di ginjal (renal iodine
clearance) karena peningkatan aliran darah ke ginjal dan fungsi filtrasi glomerulus sehingga
kadar yodium plasma menurun. Akibat kekurangan yodium, maka sebagai kompensasi
kelenjar tiroid menyekresikan yodium sehingga dapat menimbulkan masalah pada ibu hamil
karena relatif kekurangan yodium dan mungkin dapat mengalami hipertrofi kelenjar tiroid.
Kebutuhan yodium pada kehamilan meningkat, maka perlu asupan tinggi yodium untuk
mempertahankan fungsi kelenjar tiroid yang normal, terutama pada kehamilan trimester
pertama. WHO menganjurkan tambahan asupan yodium untuk ibu-ibu hamil sebanyak
200 µg/hari agar kebutuhan yodium ibu hamil terpenuhi.
Pada awal kehamilan terjadi peningkatan kadar hormon human chorionic
gonadotropin (hCG). Hormon hCG adalah salah satu faktor yang menstimulasi aktivitas
kelenjar tiroid. Hormon hCG pada kehamilan meningkat dengan cepat terutama pada 10

336
PATOLOGI KLINIK

minggu pertama (peningkatannya sekitar 30–100%), di mana pada periode ini fungsi tiroid
mengalami penurunan sesaat tetapi masih dalam batas normal, kemudian akan meningkat
terus hingga usia kehamilan 39 minggu kemudian menurun kembali. Hal tersebut terjadi
karena hormon hCG mempunyai struktur mirip thyroid stimulating hormone (TSH) dan
mempunyai kemampuan sama untuk menstimulasi reseptor TSH untuk mengikat
yodium dan c-AMP, kemudian meningkatkan kadar triodothyronine (T3).

Gambar 1. Kadar Thyroid Binding Globulin (TBG)


Berdasarkan Minggu Kehamilan

Gambar 2. Perubahan Kadar Thyroid Stimulating Hormone (TSH) dan


human Chorionic Gonadotropin (hCG) Berdasarkan Minggu Kehamilan

Perubahan kadar hormon tiroid pada kehamilan sangat bervariasi, sehingga sulit untuk
menentukan nilai rujukan normalnya. Pada hiperemesis gravidarum dan mola hidatidosa
dapat dijumpai hipertiroid. Hipotiroid sering ditemukan pada pasien yang mengalami
infertilitas. Keadaan fungsi tiroid normal selama masa kehamilan sangat penting bagi ibu dan
perkembangan janin. Pada akhir trimester pertama terjadi sedikit peningkatan kadar FT4 dan
FT3, serta penurunan TSH.
Pada kehamilan juga didapatkan peningkatan tiroglobulin atau thyroid binding globulin
(TBG). Walaupun tiroglobulin tidak mempunyai aktivitas hormonal tetapi dapat
menggambarkan aktivitas kelenjar tiroid, di mana kadar tiroglobulin akan terus meningkat
hingga kehamilan aterm. TBG merupakan pembawa (carrier) utama hormon tiroid, karena
mempunyai afinitas terkuat sebagai pembawa T3 dan T4. TBG disintesis oleh hepatosit dan

337
PATOLOGI KLINIK

produksinya distimulasi oleh estrogen. Pada kehamilan terjadi peningkatan kadar


estrogen, sehingga kadar TBG dapat meningkat 2–3 kali. Peningkatan hormon tiroid
akibat peningkatan kadar TBG dan deiodinase dari plasenta. Deiodinase akan
mengakibatkan perubahan T4 menjadi T3 dan kemudian menjadi T2 (diiodothyrosine). Peneliti
lain menemukan bahwa kadar hormon bebas (free T) pada keadaan hamil aterm lebih rendah
daripada tidak hamil (78% wanita tidak hamil mempunyai kadar free T dalam batas normal),
demikian pula pada neonatus. Pembawa hormon tiroid lainnya adalah transthyretin, albumin
dan prealbumin.

Tabel 1. Faktor yang Mempengaruhi Fungsi Tiroid Pada Kehamilan


Perubahan Fisiologis Pengaruh Terhadap Hormon Tiroid
Kliren yodium meningkat − Kadar yodium plasma menurun
− Kebutuhan yodium meningkat
Yodium plasma menurun T4 menurun dan TSH meningkat pada ibu hamil
defisiensi yodium
hCG meningkat FT4/FT3 meningkat dan TSH menurun (akhir
trimester I)
Estrogen meningkat  asam sialat TBG meningkat (2 minggu I, menetap sampai akhir
meningkat  uptake menurun kehamilan)
TBG meningkat karena klirens yodium T4 dan T3 total meningkat
menurun
Volume plasma meningkat Cadangan T4 dan T3 meningkat

 Pemeriksaan Fungsi Tiroid pada Kehamilan


Pemeriksaan laboratorium untuk menilai fungsi tiroid meliputi uji status tiroid yaitu kadar
T4 dan T3 total atau bebas; uji poros hipotalamus-hipofisis-tiroid yaitu TSH dan TSH releasing
hormone (TRH) serta uji etiologi gangguan tiroid yaitu antibodi antitiroid seperti
antitiroglobulin (ATA), antitiroid mikrosomal (AMA), dan antireseptor TSH (TRAB).
Pemeriksaan T4 dan T3 total ditujukan untuk mengukur kadar T4 dan T3, baik yang
terikat oleh protein pengikat seperti globulin (TBG), transthyretin, albumin atau prealbumin
(TBPA), dan yang bebas. Sebagian besar T4 dan T3 terikat pada TBG sehingga kadar T4 dan
T3 sangat dipengaruhi oleh kadar protein pengikat.
Estrogen dan penyakit hati akut akan meningkatkan kadar protein pengikat, sehingga
mengakibatkan peningkatan kadar T4 dan T3 total. Pada kehamilan terjadi peningkatan kadar
T4 dan T3 total akibat peningkatan kadar TBG, maka pada kehamilan pengukuran kadar
T4 dan T3 total tidak dapat digunakan untuk menilai fungsi tiroid. Sebaliknya androgen,
steroid, dan penyakit hati berat mengakibatkan kadar protein pengikat menurun sehingga kadar
T4 dan T3 total juga menurun.
Pemeriksaan kadar T4 dan T3 bebas hanya mengukur hormon yang bebas yaitu
hormon tiroid biologik aktif. Kadar T4 bebas hanya 0,05% dari T4 total, sedang kadar T3
bebas adalah 0,5% dari T3 total. Pemeriksaan kadar T4 dan T3 bebas merupakan pemeriksaan
untuk menilai status tiroid yang paling dapat dipercaya. Selain itu kadar T4 dan T3 bebas
tidak dipengaruhi oleh kadar protein pengikat, sehingga dapat digunakan untuk menilai
fungsi tiroid pada wanita hamil.
Pemeriksaan fungsi tiroid pada wanita hamil sangat penting karena kelainan tiroid dapat

338
PATOLOGI KLINIK

mempengaruhi kehamilan. Kelainan fungsi tiroid pada kehamilan baik hipertiroid atau
hipotiroid dapat dievaluasi berdasarkan gejala klinik dan hasil pemeriksaan fungsi tiroid yaitu
TSH sensitif (TSHs) dan free T. TSHs merupakan pemeriksaan penyaring untuk menentukan
adanya kelainan fungsi tiroid pada wanita hamil. Peningkatan kadar TSHs akan
meningkatkan risiko kematian janin dan gangguan perkembangan neurointelektual
janin. Pada waktu melakukan penilaian pemeriksaan fungsi tiroid harus mempertimbangkan
perubahan fungsi tiroid fisiologis dalam kehamilan.

Algoritma Evaluasi Gangguan Fungsi Kelenjar Tiroid pada Wanita Hamil

Pemeriksaan Kadar TSHs dan FT4

TSHs normal: 0,01–0,1 mU/L TSHs ↓ <0,01 mU/L TSHs ↑ >0,1 mU/L

FT4 normal (N): 0,9–1,9 ng/dL FT4 ↓ atau N


FT4 ↑ FT4 N FT4 ↓

Eutiroid Hipotiroid
primer
atau Hipertiroid Hipertiroid Hipotiroid
Eutiroid + NTI subklinis sekunder
TSHs ↑
TRAB
TRH Stimulation Test

FT3 ↑
Etiologi  Autoimun ?

Hipertiroid TSHs tetap Kadar TSHs ↑ s/d N


FT3 atau tapi sering terlambat
mencapai kadar
N: 3,5–6,1 ng/dL sedikit ↑ puncak

Ulang pemeriksaan Pituitary Hypothalamic


2–3 minggu lagi Hypothyoidism Hypothyoidism

Pemeriksaan TSH adalah pemeriksaan untuk mengukur kadar TSH dalam serum. Sekresi
TSH di bawah pengaruh kontrol negatif T4 dan T3 serum serta kontrol positif TRH. Bila poros
hipotalamus-hipofisis utuh, maka kadar TSH secara tidak langsung menggambarkan status
hormon tiroid. Kadar T4 dan T3 yang tinggi akan menekan kadar TSH, biasanya hingga <0,1
mU/L, sehingga digunakan sebagai uji saring untuk menentukan adanya hipertiroid. Derajat
penurunan TSH menggambarkan beratnya hipertiroid, maka perlu dilakukan pemeriksaan
kadar T4 bebas (free T4 = FT4) pada penderita dengan TSH rendah. Penurunan kadar TSH
juga dapat dijumpai pada penderita eutiroid dengan non-thyroidal illness (NTI), pemberian
obat seperti dopamin, somatostatin, dan glukokortikoid. TSH dengan sensitivitas fungsional
<0,01 mU/L yang dikenal sebagai TSH sensitif (TSHs) sehingga dapat membedakan penderita

339
PATOLOGI KLINIK

hipertiroid yaitu TSHs <0,01 mU/L dari penderita eutiroid dengan NTI yaitu TSHs 0,01–0,1
mU/L. TSHs juga digunakan untuk pengontrolan/pemantauan penderita yang mendapatkan
terapi hormon tiroid. Bila kadar TSHs tinggi berarti pengobatan kurang adekuat, sebaliknya
kadar TSHs yang rendah menunjukkan pengobatan berlebihan. Sebelum melakukan
pengobatan hormon tiroid, hasil TSHs abnormal harus dinilai bersamaan dengan hasil
pemeriksaan kadar T4 bebas (free T4 = FT4) karena hormon tiroid lebih cepat berubah
dibandingkan kadar TSHs.
Pemeriksaan TSH sensitif (TSHs) merupakan indikator status fungsi tiroid yang paling
dapat dipercaya terutama pada kehamilan trimester kedua dan ketiga. Pada penderita yang
dicurigai menderita kelainan fungsi tiroid, pemeriksaan skrining awal yang dilakukan adalah
pemeriksaan kadar TSHs. Bila kadar TSHs rendah menandakan adanya hipertiroid, maka
dilanjutkan dengan pemeriksaan T4 bebas (FT4) untuk menentukan beratnya hipertiroid.
Bila FT4 tinggi, berarti hipertiroid, maka pertimbangkan untuk pemeriksaan TRAB untuk
menentukan etiologi hipertiroid. Bila FT4 rendah menunjukkan kemungkinan hipotiroid
sekunder, maka dilakukan pemeriksaan untuk menilai kemungkinan adanya insufisiensi
hipofisis. Bila FT4 normal mungkin ada hipertiroid subklinis, maka selanjutnya diperiksa kadar
T3 bebas (FT3) untuk memastikan adanya hipertiroid karena FT3 adalah yang paling dulu
meningkat pada hipertiroid atau untuk mengetahui adanya T3 tirotoksikosis.
Kadar TSHs tinggi menunjukkan adanya hipotiroid, maka dilanjutkan dengan pemeriksaan
FT4. Kadar FT4 rendah memastikan adanya hipotiroid, sedangkan kadar FT4 tinggi
menunjukkan adanya hipotiroid sekunder maka dilakukan penilaian kemungkinan adanya
kelainan hipofisis. Bila kadar FT4 normal, berarti mungkin hipotiroid subklinis maka lakukan
pemeriksaan ulangan setelah 2–4 minggu.
Kadar TSHs normal menunjukkan kemungkinan eutiroid, dan dilakukan pemeriksaan ulang
setelah 2–4 minggu atau lakukan pemeriksaan FT4 untuk menentukan adanya kelainan pada
hipofisis atau hipotalamus. Bila kadar TSHs menurun pada kehamilan trimester pertama, maka
harus dipikirkan adanya efek stimulasi kelenjar tiroid oleh hCG yang mengakibatkan
peningkatan hormon tiroid. Bila dicurigai ada kelainan fungsi tiroid maka dilakukan
pemeriksaan ulang TSHs setelah 2–4 minggu.
Pemeriksaan antibodi antitiroid seperti antitiroglobulin (ATA), antitiroid mikrosomal
(AMA), dan anti-reseptor TSH (TRAB)/thyroid stimulating immunoglobulin (TSI) berperan
dalam menentukan adanya proses autoimun pada kelainan tiroid. Antitiroid mikrosomal
(AMA) diperiksa menggunakan antitiroid peroksidase sehingga dikenal sebagai thyroid
peroxidase antibodies atau antitiroid peroksidase (anti-TPO). Pada penderita Hashimoto
thyroiditis didapatkan kadar Anti-TPO dan ATA yang meningkat. Anti-TPO dapat
digunakan untuk meramalkan apakah penderita hipotiroid subklinis akan menjadi
hipotiroid. Kadar ATA yang tinggi juga ditemukan pada penderita nodular goiter dan
pemeriksaan kadar ATA berguna sebagai pemantau pengobatan yodium pada penderita
goiter endemik. Pada Graves’s disease ditemukan peningkatan kadar TRAB/TSI. TRAB
dapat melalui plasenta (transplasental) masuk ke dalam peredaran darah janin selama masa
kehamilan, yang merupakan faktor risiko timbulnya kelainan pada kelenjar tiroid janin.
Insiden hipertiroidi pada kehamilan relatif jarang, kira-kira hanya 0,2%. Ibu hamil
dengan hipertiroid, umumnya sebelum hamil sudah menunjukkan gejala hipertiroid. Etiologi
hipertiroid pada kehamilan adalah penyakit Grave (90%), tiroiditis subakut, goiter toksik

340
PATOLOGI KLINIK

multinoduler, adenoma toksik, tirotoksikosis-TSH dependent, pemberian T3-T4,


hipertiroid karena terapi yodium, hiperemesis gravidarum, dan mola hidatidosa. Bila
hipertiroid tidak diobati maka dapat menyebabkan abortus, lahir preterm, atau menyebabkan
kematian janin.
Diagnosis hipertiroid pada wanita hamil sulit karena wanita hamil juga menunjukkan gejala
banyak berkeringat, palpitasi, takhikardia, dan emosional. Pada beberapa kasus dapat dijumpai
eksoftalmus, lemah otot, goiter, penurunan berat badan, dan ptosis. Penegakan diagnosis
gangguan fungsi tiroid memerlukan pemeriksaan laboratorium penunjang fungsi tiroid.
Pemeriksaan T3 dan T4 tidak menunjukkan arti yang bermakna, karena pada kehamilan
T3 dan T4 secara fisiologis akan meningkat. Pemeriksaan uji saring gangguan fungsi
tiroid yang bermakna pada wanita hamil adalah free T (FT) dan TSHs, selain itu juga dapat
ditemukan leukopenia, hiperkalsemia, peningkatan alkali fosfatase, dan kadang ditemukan
peningkatan enzim fungsi hati. Antibodi Peroksidase Tiroid atau disebut TPO (Thyroid
Peroxidase Antibody) ditemukan meningkat pada penderita penyakit Graves (90%),
terutama bila diduga akibat penyakit autoimun, sehingga TPO dapat digunakan sebagai salah
satu penanda. Penanda penyakit Graves lain adalah TRAB (Thyroid Hormone Receptor
Antibody) ditemukan pada 80% penderita, sehingga kita dapat membedakan hipertiroid akibat
penyakit Graves atau bukan khususnya pada kehamilan. Bila keadaan hipertiroid klinis sangat
parah dan tak dapat diobati maka perlu pertimbang untuk terminasi kehamilan. Keadaan
hipertiroid spesifik pada kehamilan yaitu hiperemesis dan mola hidatidosa.
Hiperemesis ditandai muntah yang sering, sehingga berat badan turun, takhikardia, dan
perubahan biokimia tubuh yang berupa kelainan elektrolit, asetonuria, dan kelainan fungsi
hepar. Hiperemesis diduga akibat adanya mutasi reseptor tirotropin, sehingga sensitivitas
reseptor terhadap hCG meningkat. Penatalaksanaan hiperemesis adalah istirahat, cukup
minum, anti-emetik, diet rendah lemak, dan hindari makanan yang merangsang lambung. Bila
vomitus teratasi maka fungsi tiroid akan menurun dan keadaan hipertiroid dapat
teratasi.
Penyakit trofoblas seperti mola hidatidosa dapat memicu timbulnya hipertiroid akibat
kadar hCG yang tinggi (dapat mencapai 100 kali nilai rujukan normal). Hipertiroid pada
kehamilan, secara klinis sering tidak dikenali karena tidak ada atau hanya sedikit pembesaran
kelenjar tiroid dan tidak ada eksoftalmus. Hasil pemeriksaan uji saring hipertiroid pada
kehamilan biasanya dijumpai peningkatan hormon T3 dan/atau T4, serta adanya penurunan
kadar TSH.
Hipotiroid amat jarang ditemukan pada kehamilan, insidensinya hanya 0,3%, karena
pasien hipotiroid umumnya infertil. Penyebab hipotiroid antara lain Hashimoto, tumor,
defisiensi hormon tiroid, atau pascatiroidektomi. Pernah dilaporkan, hipotiroid ditemukan
pada pasien preeklamsi, solusio plasenta, dan pertumbuhan janin yang terhambat.
Diagnosis hipotiroid primer ditegakkan dengan bantuan pemeriksaan laboratorium yaitu
kadar free T rendah dan kadar TSHs tinggi. Hasil pemeriksaan laboratorium penderita
hipotiroid menunjukkan peningkatan kadar TSHs dengan atau tanpa penurunan kadar
FT4. Pada awal kehamilan terjadi peningkatan ekskresi yodium melalui urine dan kebutuhan
yodium selama masa kehamilan meningkat, maka asupan yodium yang cukup pada masa
tersebut sangatlah penting untuk mempertahankan fungsi tiroid normal. Bila asupan yodium

341
PATOLOGI KLINIK

kurang maka akan menyebabkan penurunan kadar FT4 dan FT3 disertai peningkatan
kadar TSHs.
Hipotiroid dapat dijumpai pada postpartum (TPP), yang diduga berhubungan dengan
kondisi antepartum. Bila pasien 1–3 bulan postpartum terlihat lemas, emosional, depresi,
dan palpitasi, maka perlu dicurigai kemungkinan adanya tiroiditis postpartum (TPP) dan
gejalanya dapat menetap 8–9 bulan.

Deteksi Dini Hipotiroid pada Wanita Hamil Menggunakan Anti-TPO


Diagnosis hipotiroid pada wanita hamil berdasarkan manifestasi klinik sangatlah sulit
ditegakkan. Pemeriksaan laboratorium seperti TSH dan thyroid peroxidase antibodies (anti-
TPO) sangatlah penting untuk menilai status tiroid ibu hamil. Pemeriksaan TSH merupakan
pemeriksaan uji saring hipotiroid, sedangkan pemeriksaan anti-TPO digunakan untuk
menentukan risiko terjadinya hipotiroid pada ibu hamil.
Totter et al. (1957) serta Roitt dan Doniach (1958) menemukan autoantibodi terhadap
antigen mikrosomal antibodi (AMA) pada penderita tiroiditis Hashimoto. Sebagian besar
AMA dapat mengenali TPO. TPO adalah suatu enzim glikoprotein dengan berat molekul 107
kD. TPO merupakan antigen utama mikrosomal tiroid yang terlibat dalam sintesis
hormon tiroid. TPO mengkatalisis yodinisasi tirosin dan penggabungan 2 residu
diyodotirosin dengan tiroglobulin untuk membentuk tirosin. TPO mempunyai 7 epitop
terutama pada bagian katalitiknya.
Anti-TPO adalah antibodi terhadap TPO yang bersifat poliklonal dengan imunoglobulin
utama yaitu IgG. Anti-TPO dapat mengikat komplemen sehingga memegang peranan
penting dalam kerusakan sel tiroid; menghambat aktivitas enzim TPO dalam sintesis
hormon tiroid sehingga terjadi penurunan kadar T4 dan T3. Kadar T4 dan T3 yang rendah
mengakibatkan umpan balik negatif terhadap hipofisis sehingga terjadi peningkatan kadar
TSH.
Anti-TPO sering ditemukan pada penderita penyakit autoimun seperti SLE, rematoid
artritis, dan autoimmune thyroid disease (AITD). Anti-TPO yang rendah dapat dijumpai pada
20% orang normal, terutama wanita di atas usia 50 tahun. Anti-TPO dapat dijumpai pada ±
10% wanita hamil. Kadar Anti-TPO menunjukkan korelasi negatif dengan umur
kehamilan. Anti-TPO timbul pada awal kehamilan, jadi saat yang tepat untuk
pemeriksaan anti-TPO adalah pada usia kehamilan 15-18 minggu. Selama kehamilan kadar
anti-TPO menurun dan pada akhir kehamilan tidak dapat dideteksi lagi, dan akan meningkat
lagi setelah melahirkan. Prevalensi anti-TPO positif berhubungan dengan peningkatan
kadar TSH. Anti-TPO lebih banyak ditemukan pada wanita dengan kadar TSH
meningkat daripada yang eutiroid. National Academic of Clinical Biochemistry (NACB)
menganjurkan nilai rujukan TSH yang lebih sempit yaitu 0,4–2,5 µIU/ml yang lebih
menggambarkan status tiroid normal. Anti-TPO positif lebih banyak ditemukan pada
wanita dengan kadar TSH >2,5 µIU/ml dibandingkan dengan kadar TSH <2,5 µIU/ml.
Anti-TPO positif pada wanita hamil berhubungan dengan kelainan baik ibu maupun
janin. Anti-TPO positif pada kehamilan trimester pertama merupakan faktor risiko abortus
spontan pada wanita eutiroid dengan anti-TPO positif, demikian pula risiko bayi lahir
dengan penurunan IQ dan gangguan perkembangan psikomotor anak. Anti-TPO dapat

342
PATOLOGI KLINIK

dijumpai pada sebagian besar penderita postpartum thyroiditis (PPT). Setengah dari 10%
wanita hamil dengan anti-TPO positif akan menderita PPT.

Algoritma Deteksi Dini Hipotiroid pada Wanita Hamil Menggunakan Anti-TPO dan
TSHs.

Anti-TPO dan TSHs

Anti-TPO (1–2)
Anti-TPO (+)
TSHs Normal

Normal TSHs <2 µIU/mL TSHs 2–4 µIU/mL TSHs >4µIU/mL

Cek TSHs pada: FT4 FT4


* kehamilan 6 bulan Normal – ↓ Normal – ↓
* postpartum

* Pertimbangkan terapi Terapi


* Cek TSH postpartum

Pemeriksaan Uji Saring Hipotiroid Kongenital


Hipotiroid kongenital (HK) adalah suatu kondisi di mana bayi mengalami kekurangan
atau bahkan tubuhnya tidak dapat membentuk hormon tiroid sejak lahir. Penyakit ini dapat
disebabkan perkembangan kelenjar tiroid janin yang abnormal atau akibat lokasi kelenjar tiroid
yang abnormal (ektopik), pengaruh pengobatan antitiroid atau yodium. Penyakit gangguan
fungsi tiroid bawaan tersebut dapat sembuh total bila diterapi secara dini. Bayi yang lahir dari
ibu yang menderita hipotiroid mempunyai risiko menderita HK, bila terlambat diterapi secara
dini maka dapat menyebabkan retardasi mental dan fisik berat untuk sepanjang hidupnya. Hal
ini merupakan beban bagi keluarga dan negara. Maka sejak 40 tahun yang lalu telah banyak
negara yang melakukan pemeriksaan uji saring HK secara dini melalui pemeriksaan
laboratorium sarana penunjang diagnosis HK yaitu TSH dan T4 atau TSH saja. Pemeriksaan
uji saring untuk deteksi dini HK hanya dapat dilaksanakan melalui pemeriksaan laboratorium
karena secara klinis penyakit ini tidak dapat didiagnosis tepat pada waktunya.
Pemeriksaan uji saring HK terhadap bayi baru lahir telah dilaksanakan di Indonesia sejak
tahun 2000 dengan bantuan International Atomic Energy Agency (IAEA), UNDP, dan
Departemen Kesehatan RI, yaitu di Bandung dan Jakarta. Pada tahun 2005 telah ditemukan 17
kasus dari 76.000 bayi yang diperiksa, telah diobati dan sehat hingga saat ini. Jadi diperkirakan
terdapat 4 kasus HK dari 1143 kelahiran bayi di Indonesia. Kendala yang dihadapi dan

343
PATOLOGI KLINIK

mengancam program ini adalah dukungan dana yang tidak stabil, karena program ini sifatnya
nonprofit.

Pemeriksaan TSH Neonatal dan Interpretasi Hasil Pemeriksaan


Metode pemeriksaan TSH yaitu menggunakan cara radioimmunoassay (RIA) dan ELISA,
menggunakan sampel darah yang diperoleh dari umbilical cord atau darah kapiler yang diambil
dengan cara heel-prick yaitu tusukan pada tumit. Cara pengambilan sampel yang terbaik adalah
dengan heel-prick dan sebaiknya diambil pada hari ke-3–ke-5 setelah lahir untuk
menghindarkan adanya TSH surge, akibat bayi mengalami stres. Tetes darah yang diperoleh
ditempelkan pada kertas saring Schleicher & Schuell #903TM. Setelah darah dibiarkan
mengering selama 4 jam, dikirimkan per pos dalam amplop surat yang bersih dan kering.
Program pemeriksaan uji saring HK di Amerika Serikat menggunakan pemeriksaan T4 dan
TSH, sedangkan di Eropa, Jepang, dan Asia umumnya hanya pemeriksaan TSH saja.
Interpretasi hasil pemeriksaan uji saring pemeriksaan hipotiroid kongenital, bila didapatkan:
 T4 rendah dan TSH tinggi, maka hasil tersebut diklasifikasikan sebagai “presumptive
primary hypothyroidism”, lalu hasil kesimpulan tersebut diinformasikan kepada dokter
yang menangani penderita per telepon atau melalui surat. Informasi ini juga diberikan
kepada bagian follow up penderita untuk dimasukkan dalam catatan follow up.
 T4 rendah dan TSH normal, maka perlu pemeriksaan ulang untuk konfirmasi. Bila hasil
pemeriksaan ulang tetap sama, maka hasil tersebut diklasifikasikan sebagai “presumptive
non-primary hypothyroidism”. Setelah dicatat, hasil pemeriksaan tersebut diinformasikan
kepada dokter yang menangani.

Bayi dengan hipotiroidisme primer umumnya memiliki kadar TSH >80 µIU/ml.
Beberapa kondisi Hipotiroid non-primer berhubungan dengan kadar T4 yang rendah,
misalnya pada Hipotiroidisme sekunder, TBG rendah, obat-obat maternal (lithium, iodides),
prematuritas, penyakit berat, idiophatic transient hypothyroidism, dan maternal thyroiditis.
Sebagian besar kelainan biasanya bersifat sementara. Frekuensi hipotiroidisme sekunder
diperkirakan 1 : 60.000 dan sebagian besar akibat kelainan hipofisis atau hipotalamus. Nilai T4
yang rendah dengan TSH normal atau sedikit meningkat ditemukan pada bayi low birth weight
dan akan menjadi normal kembali setelah status nutrisinya diperbaiki.
Program ini juga menyediakan fasilitas pencarian khusus untuk penderita yang diduga
positif berdasarkan hasil pemeriksaan TSH, serta fasilitas terapi dan bimbingan khusus bagi
orang tua penderita.
Terapi yang diberikan kepada penderita HK adalah L-thyroxine. Terapi umumnya diberikan
selama/seumur hidup. Selama penderita mendapat pengobatan, perkembangan mental dan
fisiknya akan normal.

344
PATOLOGI KLINIK
DAFTAR PUSTAKA
1. Farida Oesman. Analisis Fungsi Tiroid pada Kehamilan. Dalam: Marzuki Suryaatmadja (editor).
Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2005. Jakarta: Universitas Indonesia. 2005.
2. Farida Oesman. Diagnosis Dini Hipotiroid pada Wanita Hamil dengan Pemeriksaan Anti-TPO.
Dalam: Marzuki Suryaatmadja (editor), Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2006.
Jakarta: Universitas Indonesia. 2006.
3. Frans Sardi Satyawirawan. Penapisan Hipotiroid Kongenital. Dalam: Marzuki Suryaatmadja
(editor). Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2005. Jakarta: Universitas Indonesia. 2005.
4. Gharib H et al. Subclinical thyroid dysfunction: a joint statement on management of clinical
endocrinologist, the American Association and Endocrine Society. J of Clinical Endocrinology &
Metabolism. 2005;90:581–5.
5. Julianto Witjaksono. 2006. Pemeriksaan Hormonal pada Pasangan Infertil. Dalam: Marzuki
Suryaatmadja (editor), Pendidikan Berkesinambungan Patologi Klinik 2006. Jakarta: Univiversitas
Indonesia. 2006.

345
RADIOLOGI

HISTEROSALPINGOGRAFI
Justin Ginting

Definisi
Histerosalpingografi (HSG) bertujuan untuk memperlihatkan uterus dan tuba uterina dari
sistem reproduksi wanita. Pemeriksaan ini menggunakan media kontras untuk melihat bentuk
dan kontur kavum uteri serta patensi tuba uterina. HSG dapat bersifat terapeutik.1

Anatomi dan Fisiologi


Uterus dan tuba uterina merupakan organ yang perlu diberi perhatian khusus pada
pemeriksaan HSG.1
Uterus terletak sentral di dalam pelvis wanita, berbentuk buah pir, berongga dengan dinding
muskular. Uterus berbatasan dengan rektosigmoid di posterior dan vesika urinaria di anterior.
Posisi uterus antefleksi (melipat ke depan) atau retrofleksi (melipat ke belakang). Uterus dibagi
menjadi fundus, korpus, isthmus, dan serviks. Uterus terdiri dari endometrium (lapisan paling
dalam), miometrium (lapisan tengah), dan serosa (lapisan paling luar), serta dilapisi
peritoneum.1
Tuba uterina berhubungan dengan kavum uteri pada superolateral, di antara fundus dan
korpus uteri (kornu). Tuba uterina memiliki panjang 10–12cm dan diameter 1–4 mm. Tuba
uterina dibagi menjadi 4 bagian: interstitial (bagian paling proksimal), isthmus (bagian yang
menyempit), ampula tuba uterina (melebar di distal), fimbria (bagian paling distal,
berhubungan dengan ovarium).1

Gambar 1. Organ Genitalia Superior Wanita.3

Indikasi
− Penilaian infertilitas wanita
− Polip
− Fibroid uterina
− Adhesi intrauterina
− Fistula
− Aborsi berulang
− Penilaian patensi tuba uterina setelah ligasi tuba atau rekonstruksi

346
RADIOLOGI

Kontraindikasi
− Kehamilan
− Pelvic inflammatory disease (PID)
− Perdarahan aktif
− Terpasang IUD

Persiapan
− Persiapkan lembar informed consent dan berikan penjelasan kepada pasien mengenai
prosedur yang akan dilakukan serta komplikasi yang dapat terjadi.
− Pasien dipastikan tidak sedang hamil (hari ke-9–10 setelah hari pertama haid).
− Pasien dilarang berhubungan seksual (suami-isteri) selama waktu tersebut.
− Pakaian dan perhiasan berbahan metal harus ditanggalkan. Pasien diminta mengenakan
gaun dari rumah sakit.
− Pemeriksaan lebih optimal jika saluran pencernaan bersih dari udara dan feses, maka pasien
dapat diberikan laksatif seperti persiapan colon in loop jika diperlukan.
− Vesica urinaria diusahakan dalam keadaan kosong sesaat sebelum pemeriksaan agar tidak
terjadi pendorongan yang berlebih terhadap uterus dan tuba uterina.1
− Meja pemeriksaan harus memungkinkan pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg
dengan posisi litotomi.
− Peralatan yang perlu disiapkan: spekulum vagina, basin, kasa steril, cawan steril, duk steril,
forsep steril, tenakulum steril, spuit 10 cc, jarum ukuran 16–18, tuba ekstensi, jeli lubrikan,
sarung tangan steril, cairan antiseptik, kateter HSG dan media kontras.1
− Dua jenis media kontras berbasis yodium dapat digunakan, yang larut lemak (oil-based)
dan larut air (water-soluble). Kebanyakan media kontras yang digunakan pada saat ini
adalah media kontras yang larut air karena mudah diabsorbsi dan tidak meninggalkan
residu pada saluran reproduksi. Media kontras yang larut lemak lebih dapat ditolerir oleh
pasien dan sangat opak, namun memiliki absorbsi yang lambat dan dapat bertahan dalam
tubuh untuk waktu yang lama. Jumlah media kontras yang diinjeksikan ± 5 cc untuk
mengisi kavum uteri dan ± 5 cc lagi untuk meperlihatkan patensi tuba uterina.1

Prosedur
− Foto polos diambil sebelum prosedur dimulai.
− Pasien diposisikan berbaring supine dengan posisi litotomi.
− Jika penyangga kaki tidak tersedia, pasien menekukkan lututnya dan meletakkan kakinya
pada tepi meja pemeriksaan.
− Duk steril diletakkan pada perut pasien.
− Spekulum dengan teknik aseptik dimasukkan ke dalam vagina, berikan lubrikan pada
spekulum.
− Dinding vagina dan serviks dibersihkan dengan larutan antiseptik.
− Kateter HSG kemudian dimasukkan ke kanal serviks.
− Balon kateter kemudian dikembungkan untuk mengoklusi serviks, sehingga mencegah
media kontras keluar dari kavum uteri pada saat injeksi.

347
RADIOLOGI

− Tenakulum dapat digunakan untuk membantu insersi dan fiksasi kateter.


− Setelah kateter HSG terpasang, spekulum dan tenakulum dapat dilepas
− Pasien diposisikan sedikit Tredelenburg agar membantu aliran media kontras ke kavum
uteri.
− Spuit yang telah diisi media kontras dipasangkan pada kateter HSG.
− Dengan fluoroskopi, media kontras diinjeksikan sedikit demi sedikit (setiap 1 cc
difluoroskopi).
− Jika tuba uterina paten (terbuka), maka media kontras akan mengalir dari bagian distal tuba
uterina ke kavum peritoneum
− Selama injeksi kontras, dapat diambil beberapa spot film dan pada saat terjadi spil, juga
diambil spot film, dan foto post voiding.
− Posisi pengambilan foto adalah posisi AP, namun posisi LPO atau RPO dapat diambil jika
diperlukan.

Ekspertise
Nilai besar, bentuk, dan posisi dari kavum uteri. Patensi, diameter dan bentuk dari tuba uterina
juga dinilai. Patensi tuba uterina dinilai dari media kontras yang mengalir dan spill (tumpah)
ke kavum peritoneum.

Gambar 2. Posisi Uterus Pada Foto Pelvis.4

Gambar 3. Ekstravasasi Media Kontras pada


Myometrium dan Vena Uterina.4

348
RADIOLOGI

Gambar 4. Histerosalpingogram.5

Gambar 5. Normal Histerosalpingogram.6

Kelainan
Beberapa kelainan yang dapat terlihat melalui HSG diantaranya:
1. Kelainan bentuk uterus

Gambar 6. Bicornis bicollis.10

349
RADIOLOGI

Gambar 7. Bifid.10

Gambar 8. Unicornuate.10

2. HYDROSALPINX

Gambar 9. Hydrosalpinx Sinistra.7

350
RADIOLOGI

Gambar 10. Right Tubal Block and Hydrosalpinx.7

Gambar 11. Bilateral Tubal Block and Hydrosalpinx.7

3. Obstruksi

GAMBAR 12. HYSTEROSALPINGOGRAPHY: COMPLETE OBSTRUCTION OF THE CERVIX,


UTERINE VASCULAR DIFFUSION OF THE CONTRAST MEDIUM.8

351
RADIOLOGI

Gambar 13. HSG showing bilateral tubal


blockage resulting in hydrosalpinx.9
4. Tumor

Gambar 14. Fibroid submucosa (filling defect).10

Gambar 15. Polipoid endometrium (multiple filling defect).10

352
RADIOLOGI

Gambar 16. Pembesaran Uterus (tipe adenomiosis) dengan


gambaran multiple diverticular-like.10

5. Inflamasi

Gambar 17. Salpingitis (mukosa irregular pada tuba fallopi kiri).10

Komplikasi
− Alergi zat kontras
− Perforasi
− Infeksi
− Perdarahan ringan (spotting) biasanya berlangsung kurang dari 24 jam.
− Kram, jika berat bisa sampai syok (reaksi vagal).
− Intravasasi media kontras.
− Potensi radiasi pada kehamilan.

353
RADIOLOGI
DAFTAR PUSTAKA
1. Bontrager KL, Lampignano JP. Textbook of radiographic positioning and related anatomy. 6th
Edition. Philadelphia: Elsevier Mosby; 2005. 759–61.
2. Simpson WL, Beitia LG, Mester J. Hysterosalpingography–a reemerging study. Radiographics.
2006;26:419–31.
3. Standring S. Gray’s Anatomy. 40th Edition. London: Elsevier. 2008. 2367.
4. STEWARD RG. HYSTEROSALPINGOGRAM TECHNIQUE. 2016.
HTTPS://EMEDICINE.MEDSCAPE.COM/ARTICLE/2111999-TECHNIQUE. DIUNDUH 30
SEPTEMBER 2019.
5. Bell D. Hysterosalpingogram. https://radiopaedia.org/articles/hysterosalpingogram. Diunduh 1
Oktober 2019.
6. Radiology Consultants of Little Rock. 2019. https://www.radconlittlerock.com/#MeetOurTeam.
Diunduh 1 Oktober, 2019.
7. Bell D. Hydrosalpinx. https://radiopaedia.org/articles/hydrosalpinx. Diunduh 3 Oktober 2019.
8. Panayotidis C, Weyers S, et al. Intrauterine adhesions (IUA): has there been progress in
understanding and treatment over the last 20 years? 2008.
https://www.researchgate.net/publication/225801894_Intrauterine_adhesions_IUA_Has_there_be
en_progress_in_understanding_and_treatment_over_the_last_20_years. Diunduh 3 Oktober, 2019.
9. Aziz MU, Anwar S, et al. Hysterosalpingographic evaluation of primary and secondary infertility.
2015.
https://www.researchgate.net/publication/283190160_Hysterosalpingographic_evaluation_of_pri
mary_and_secondary_infertility. 3 Oktober, 2019.
10. Sutton David. Textbook of Radiology and Imaging Volume 2. Edisi 10. London: Elsevier. 2005.
1087–1089.

354
RADIOLOGI

USG KISTA OVARIUM


Justin Ginting

Anatomi
Ovarium berada di kedua sisi uterus, di dinding pelvis lateral. Ovarium berwarna putih dan
dikelilingi jaringan fibrosa. Ukuran normal dari ovarium pada wanita usia reproduktif adalah
4 x 2x 3 cm. Setelah menopause, ukuran ovarium mengecil menjadi 2 x 1,5 x 0,5 cm.1

Gambar 1. Organ Genitalia Superior Wanita.1

Definisi
Kista ovarium merupakan sebuah kantung berisi bahan cair/semi cair yang tumbuh di dalam
ovarium. Kebanyakan kista ovarium merupakan lesi yang benign.2

Gambar 2. Kista Ovarium Kanan Multilokular, diameter 24 cm.2

Manifestasi klinik
Kebanyakan kista ovarium asimtomatik, kista biasanya ditemukan tidak sengaja saat
pemeriksaan rutin USG atau pemeriksaan pelvis. Gejala lain yang dapat muncul di antaranya:2
- Nyeri/rasa tidak nyaman pada abdomen bagian bawah.
- Nyeri hebat jika terjadi torsi/ruptur: nyeri pelvis unilateral, tajam, tiba- tiba, dan terjadi
setelah trauma, olahraga, atau coitus.
- Perubahan gerakan usus: konstipasi.
- Perubahan menstruasi, menarche lebih awal
- Rasa penuh pada abdomen.

355
RADIOLOGI

Patologi
Fungsi ovarium yang abnormal dapat menyebabkan penimbunan folikel yang terbentuk
tidak sempurna di dalam ovarium. Folikel gagal mengalami pematangan dan gagal melepaskan
sel telur sehingga terbentuk kista di dalam ovarium.7
Struktur kistik kecil yang ditemukan pada ovarium biasanya merupakan folikel ovarium
yang normal, kecuali jika:3
- Ditemukan pada prepubertas.
- Ditemukan pada postmenopausal.
- Kehamilan.
- Rata-rata diameter >3 cm.
Kista ovarium berdasarkan tipenya dapat dibagi menjadi:3
a. Kista fisiologis: diameter ≤3cm
- Folikel ovarium
- Corpus luteum
b. Kista fungsional: dapat memproduksi hormon.
- Kista ovarium folikular: estrogen, >3 cm.
- Kista corpus luteum: progesteron.
- Kista theca lutein: gestational trophoblastic disease.
- Komplikasi:
• Hemorrhagic ovarian cyst
• Pembesaran
• Ruptur
• Torsio kista
c. Kista nonfungsional
- Endometrioma
- Adenoma
d. Tipe kista lainnya:
- Kista ovarium besar multipel: akibat stimulasi berlebihan
- Kista postmenopause
- Polikistik ovarium
- Torsio ovarium
- Kista ovarium neoplasma

Gambaran Radiografi
Ultrasonografi umumnya menjadi pemeriksaan imaging pertama untuk menilai lesi pada
ovarium.3 Gambaran ovarium normal adalah sebagai berikut:

356
RADIOLOGI

Gambar 3. USG transvaginal menunjukkan gambaran ovarium normal


dengan folikel pada wanita usia reproduktif.4

Gambaran kista folikel ovarium adalah sebagai berikut:3


- Anekoik
- Intraovarium
- Dinding tidak terlihat.
- Terjadi peningkatan akustik di posterior.
- Terlihat far wall.
- Kista dapat membesar sampai mengaburkan gambaran ovarium.
-

Gambar 4. USG transvaginal menunjukkan gambaran kista ovarium


fungsional yang berbatas tegas, dinding tipis, anekoik, dan
terdapat sebagian kecil ovarium. 4

357
RADIOLOGI

Gambar 5. USG transabdominal menunjukkan gambaran


kista ovarium kanan multilokular, diameter 24 cm.3

Gambar 6. Simple Cyst.5

Gambar 7. Simple Cyst.6

358
RADIOLOGI

Gambar 8. Hemorrhagic Ovarian Cyst.3

Gambar 9. Hemorrhagic Cyst.6

Gambar 10. Dermoid Cyst.5

359
RADIOLOGI

Gambar 11. Polycystic Ovary.8

DAFTAR PUSTAKA
1. Standring S. Gray’s Anatomy, 40th Edition . London: Elsevier. 2008. p 2367.
2. GRABOSCH, SM. OVARIAN CYST.
HTTPS://EMEDICINE.MEDSCAPE.COM/ARTICLE/255865-OVERVIEW#A3. 2018.
DIUNDUH 30 SEPTEMBER 2019.
3. KNIPE H, REFAEY M, ET AL. OVARIAN CYST.
HTTPS://RADIOPAEDIA.ORG/ARTICLES/OVARIAN -CYST-2. 2019. DIUNDUH 30
SEPTEMBER 2019.
4. Brant WE, Helms CA. Fundamentals of Diagnostic Radiology. Philadelphia: Lippincott Williams
and Wilki. 2012. P 890–895.
5. Ross E, Fortin C. Ovarian cyst.
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/womens-health/ovarian-
cysts/. 2016. Diunduh 30 September 2019.
6. Veldhuis W, Smithuis R. Diagnostic Work up of Ovarian Cysts.
http://www.radiologyassistant.nl/en/p4d85aa9a92bbb/diagnostic-work-up-of-ovarian-cysts.html
2011. Diunduh 30 September 2019.
7. Prasetya D, Astuti D, et al. 2015. Kista Ovarium.
https://www.academia.edu/16698594/LP_KISTA_OVARIUM_fix, 2015. Diunduh 3 Oktober
2019.
8. Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging Volume 2. 10th Edition. London: Elsevier. 2005. hlm.
1073.

360
RADIOLOGI

USG MYOMA UTERI


Justin Ginting

1. DEFINISI
Leiomyoma uteri, dapat disebut fibroid uteri, merupakan tumor jinak yang asalnya dari
myometrium dan merupakan neoplasma uterus jinak padat yang paling sering ditemukan.
Biasanya ditemukan secara tidak disengaja pada pemeriksaan foto.1

2. EPIDEMIOLOGI
Terjadi pada 25% wanita usia reproduktif dan biasa terjadi di populasi Afrika. Fibroid
berespon terhadap hormon (distimulasi oleh estrogen). Penyakit ini jarang terjadi pada
wanita prepubertas, biasanya fibroid ini membesar selama kehamilan dan berinvolusi
dengan terjadinya menopause.1

3. ANATOMI DAN FISIOLOGI


Uterus merupakan organ yang terletak sentral di dalam pelvis wanita. Uterus berbentuk
buah pir, berongga dengan dinding muskular. Uterus berbatasan dengan rektosigmoid di
posterior dan berbatasan dengan vesica urinaria di anterior. Posisi uterus dapat antefleksi
(melipat ke depan) atau retrofleksi (melipat ke belakang). Uterus dibagi menjadi fundus,
korpus, isthmus, dan serviks. Fundus merupakan bagian yang bulat dan paling superior dari
uterus. Korpus merupakan bagian sentral dari uterus, sementara bagian yang menyempit di
inferiornya adalah isthmus. Bagian uterus yang paling inferior setelah isthmus adalah
serviks.2
Uterus terdiri dari endometrium yang merupakan lapisan yang paling dalam. Endometrium
menjalani proses siklik sesuai siklus menstruasi. Myometrium lapisan di tengah yang terdiri
dari otot polos dan merupakan bagian terbesar dari uterus. Lapisan paling luar adalah serosa
yang dilapisi peritoneum dan membentuk kapsul di sekitar uterus.2

Gambar 1. Anatomi Uterus.3

361
RADIOLOGI

4. MANIFESTASI KLINIS
Penyakit ini biasanya asimptomatik dan ditemukan secara tidak disengaja. Tanda dan gejala
yang berhubungan dengan fibroid adalah:1
• Perdarahan vagina yang abnormal.
• Nyeri
• Infertilitas
• Terdapat masa yang dapat teraba.

5. PATOLOGI
Leiomyoma adalah tumor monoklonal yang jinak yang sebagian besar terdiri dari sel otot
polos dengan jumlah jaringan ikat fibrosa yang bervariasi. Leiomyoma biasanya multipel
(-85%), dan tercakup secara signifikan dalam hal ukuran. Fibroid mempunyai beberapa
lokasi di dalam uterus atau eksternal terhadap uterus:1
• Intra-uterine
− Intramural leiomyoma: paling sering
− Subserosal leiomyoma
− Submucosal leiomyoma: paling jarang (10–15%)
• Extra-uterine
− Broad ligament leiomyoma
− Cervical leiomyoma
− Parasitic leiomyoma
• Diffuse uterine leiomyomatosis
Subserosal fibroid dapat berpedunkulasi dan sebagian besar merupakan extra-uterine, yang
menyerupai massa adnexa. Fibroid manapun dapat mengalami atrofi, perdarahan internal,
fibrosis, dan kalsifikasi.1
Fibroid juga dapat mengalami beberapa tipe degenerasi:1
• Degenerasi hyaline: hyalinisasi fokal atau general, merupakan tipe degenerasi yang
paling sering terjadi (–60% kasus).
• Degenerasi kistik: –5%.
• Degenerasi myxoid: umumnya dianggap tidak biasa terjadi, walaupun dilaporkan
terjadi hingga 50% kasus oleh beberapa peneliti.
• Degenerasi merah/carneous: akibat infark perdarahan yang dapat terjadi terutama
selama kehamilan, dapat memperlihatkan gejala nyeri abdomen akut.

362
RADIOLOGI

Gambar 2. USG Intramural Leiomyoma.4

Gambar 3. USG Subserosal Leiomyoma.5

Gambar 4. USG Submucosal Leiomyoma.6

363
RADIOLOGI

Gambar 5. USG Broad Ligament Leiomyoma.7

Gambar 6. USG Paracervical Leiomyoma.8

Gambar 7. USG (A) dan CT (B) Parasitic Leiomyoma.9

364
RADIOLOGI

Gambar 8. USG Diffuse Uterine Leiomyomatosis.10

6. BERDASARKAN GAMBARAN HISTOLOGI


• Uterine lipoleiomyoma
• Myxoid uterine leiomyoma1

7. GAMBARAN USG
USG digunakan untuk mendiagnosis adanya fibroid dan memantau pertumbuhan fibroid:1
• Uncomplicated leiomyoma biasanya hypoechoic, namun dapat isoechoic, atau bahkan
hyperechoic dibandingkan myometrium normal.
• Kalsifikasi terlihat sebagai focus echogenic dengan bayangan.
• Area kistik dari nekrosis atau degenerasi dapat terlihat.
• Venetian blind artifact dapat terlihat tetapi tepi bayangan +/-, bayangan posterior yang
padat dari kalsifikasi dapat juga terlihat.

Gambar 9. USG Uterus Normal Potongan Koronal.11

365
RADIOLOGI

Gambar 10. USG Uterus Normal Potongan Sagital 11

8. KOMPLIKASI
• Invasi kanal vena sekitar yang menyebabkan terjadinya leiomyomatosis intravena
(jarang).
• Mengalami degenerasi keganasan menjadi leiomyosarcoma (jarang; 0,1–0,5%).
• Pada kasus yang sangat jarang, lesi dapat bermetastasis tanpa transformasi keganasan:
leiomyoma metastasis benign.
• Fibroid dapat bertorsi, menimbulkan nyeri pelvis akut.
• Kehamilan dapat menyebabkan pertumbuhan fibroid dalam 30% kasus.1

DAFTAR PUSTAKA
1. Radiopaedia. Uterine Leiomyoma. https://radiopaedia.org/articles/uterine-leiomyoma.
2015. Diunduh 26 September 2019.
2. Soetikno R. Prosedur Pemeriksaan Radiologi Gastrointestinal dan Urogenital. Bandung:
PT Refika Aditama. 2014. p 115–116.
3. Lumen. The Female Reproductive System. https://courses.lumenlearning.com/boundless-
ap/chapter/the-female-reproductive-system/. 2018. Diunduh 26 September 2019.
4. Wrona W, Stepniak A, Czuczwar P. The Role of Levonogestrel Intrauterine Systems in
The Treatment of Symptomatic Fibroids. Menopause Review. 2017;16(4):130.
5. Radiopaedia. Subserosal Leiomyoma of The Uterus.
https://radiopaedia.org/articles/subserosal-leiomyoma-of-the-uterus. 2019. Diunduh 3
Oktober 2019.
6. UCSF Department of Obstetrics, Gynecology, and Reproductive Sciences. Fibroids
Diagnosis. https://fibroidcenter.ucsf.edu/fibroid-diagnosis-how-do-i-know-i-have-
fibroids. 2019. Diunduh 3 Oktober 2019.

366
RADIOLOGI

7. Radiopaedia. Broad Ligament Leiomyoma. https://radiopaedia.org/articles/broad-


ligament-leiomyoma?lang=us. 2019. Diunduh 3 Oktober 2019.
8. Radiopaedia. Paracervical Leiomyoma. https://radiopaedia.org/cases/paracervical-
leiomyoma. 2019. Diunduh 3 Oktober 2019.
9. Huang PS, Chang WC, Huang SC. Iatrogenic Parasitic Myoma: A case report and review
of the literature. Taiwanese Journal of Obstetrics & Gynecology. 2014;53(2014):392–6.
10. Semantic Scholar. Diffuse Uterine Leiomyomatosis in A Child.
https://www.semanticscholar.org/paper/Diffuse-uterine-leiomyomatosis-in-a-child-
PaiColetti/b43f4a266012dbfda1189f26485dc1bedb4b9235. 2011. Diunduh 3 Oktober
2019.
11. The Ultrasound of Life. Interactive Fetal Ultrasound and MRI.
http://www.fetalultrasound.com/online/text/3-137.HTM. Diunduh 26 September 2019.

367
RADIOLOGI

USG SEMINOMA TESTIS


Justin Ginting

Anatomi dan Fisiologi Testis


Testis berjumlah 2 dengan bentuk ovoid, pipih, tebal ± 2,5 cm, berwarna putih, terletak di
dalam cavum skroti. Testis terletak ekstra-abdominal atau di luar perut, testis berada dalam
kantung scrotum kanan dan kiri. Pada umumnya testis sebelah kiri terletak lebih rendah
dibandingkan sebelah kanan. Ukuran testis rata-rata 4 x 3 x 2,5 cm, dengan berat ± 32 gram.
Morfologi testis: terdapat 2 permukaan datar disebut facies lateralis dan facies medialis serta 2
kutub atau polus, yaitu polus superior dan polus inferior. Testis dibungkus oleh tunica vaginalis
pars parietalis, tunica vaginalis pars visceralis, tunica albuginea, dan tunica vasculosa. Testis
memiliki lobulus yang dipisahkan oleh septum testis yang dibentuk oleh penebalan tunica
albuginea. Setiap lobus pada testis terdiri dari tubulus seminiferus dan interstitial testis.1
Nutrisi testis disuplai terutama oleh arteria testicularis yang merupakan cabang dari aorta
abdominalis. Cabang-cabang arteria testicularis beranastomosis dengan arteria ductus
deferentis. Drainase vena dari testis dan epididimis dimulai dari plexus pampiniformis yang
akan membentuk vena testicularis. Vena testicularis kanan masuk ke vena cava inferior
sedangkan yang kiri akan bergabung dengan vena renalis kiri. Drainase limfe mengikuti
pembuluh darah testikularis yang berada di dalam spermatic cord menuju ke nodus limfatikus
di daerah lateral aorta atau lumbal dan pre-aortic lumbal dua. Testis dipersarafi oleh plexus
testicularis yang berisi serabut parasimpatis yang berasal dari nervus vagus, serabut afferent
visceral dan serabut simpatis yang berasal dari medulla spinalis segmen torakal.1

Gambar 1. Testis dan Organ Sekitarnya.1

Definisi
Seminoma testis merupakan tumor testis yang paling sering dan mewakili 45% dari semua
tumor testis primer.2

Epidemiologi
Tumor germ cell testis mewakili 1–2% dari semua keganasan pria berusia di atas 65 tahun.

368
RADIOLOGI

Sekitar 50% dari semua tumor germ cell testis tipe tersering adalah seminoma.2

Faktor Risiko
- Undesensus testis merupakan faktor risiko major terjadinya tumor germ cell testis.
- Riwayat tumor testis kontralateral sebelumnya.
- Riwayat keluarga yang mempunyai tumor germ cell.
- Mikrolithiasis testis.
- Faktor infeksi: HIV, mumps, orchitis.
- Riwayat trauma testis.
- Riwayat transplantasi akibat imunosupresi. 2

Patofisiologi
Seminoma testis berasal dari epitel germinal tubulus seminiferus. Penyakit ini merupakan
hasil dari proliferasi spermatogenesis yang imatur. Proses maturasi sel gonosit yang tertahan
terus-menerus dan peningkatan instabilitas genomik berperan dalam terjadinya keganasan.
Transisi dari lesi prekursor ke kanker invasif berhubungan dengan mutasi di lengan kromosom
12, isochromosome i (12p), melibatkan KRAS2 dan NANOG (pseudogenes). Mekanisme
pastinya tidak diketahui, namun terdapat peningkatan frekuensi isozymes 7, 15, 19 dan X.3

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tersering pada seminoma testis adalah massa yang tidak nyeri di testis,
namun laporan menunjukkan bahwa sekitar 45% mengeluhkan nyeri pada testis. Tumor
bilateral jarang ditemukan (2%) dan biasanya selalu tidak sama jenis tumornya. Nyeri
pinggang, nyeri perut, atau massa di abdomen bisa ditemukan pada 25% pasien yang sudah
mengalami metastasis nodus retroperitoneal. Manifestasi dengan metastasis jauh atau
ekstranodal jarang ditemukan (5%).2

Patologi
Seminoma pada umumnya terbagi menjadi 3 klasifikasi histologis: 2
- Klasik: 85% ditemukan mitosis yang tidak sering, terdapat large cells.
- Anaplastik: 10%, >3 gambaran mitosis per lapang pandang besar.
- Spermatocytic: 5%, untuk pasien yang tua di atas 60 tahun. Jarang bermetastasis.

Radiografi
Ultrasound
USG merupakan pemeriksaan penunjang lini pertama bila pasien datang dengan keluhan
abnormalitas testis. Gambaran yang ditemukan berupa: 2
- Massa homogen intratestikular dengan gambaran hypoechoic bila dibandingkan dengan
jaringan testis normal.
- Massa biasanya berbentuk bulat dan jelas tanpa adanya invasi ke jaringan lokal sekitarnya
(hanya terbatas sampai tunica albuginea, jarang menyebar ke struktur paratestikular).
- Terdapat aliran darah internal pada imaging doppler.
- Regio kistik dan kalsifikasi jarang ditemukan pada tumor testis non-seminoma.
- Seminoma besar memiliki gambaran heterogen.

369
RADIOLOGI

Gambar 2. Testis Kanan dan Kiri Transversal. Testis kiri membesar, kanan normal.2

Gambar 3. Ukuran testis kiri membesar (7,02 cm x 3,69 cm).2

Gambar 4. USG Testis, tampak aliran darah internal pada doppler.2

CT-Scan
CT-Scan abdomen dan pelvis penting untuk melihat metastasis, menentukan staging
seminoma primer dan juga untuk diagnosis bila massa tidak diketahui dengan jelas. Metastasis
ke nodus limfatikus para-aorta di dekat pembuluh darah renal merupakan penyebaran tersering
yang dikaitkan dengan drainase limfatik pada masa embriologis. Metastasis pada nodul
biasanya besar, densitas homogen, dan cenderung untuk menutupi pembuluh darah sekitar.

370
RADIOLOGI

Metastasis ke daerah inguinal atau nodus limfatikus daerah iliaka terjadi akibat penyebaran
dari skrotum yang artinya terdapat penyebaran tumor lokal melebihi tunica vaginalis.
Metastasis visceral dapat ditemukan pada 5% pasien dengan lokasi di saluran napas, liver,
tulang, dan otak. CT Scan pada dada hanya dilakukan bila ada indikasi penyebaran ke nodus
para-aorta atau terdapat abnormalitas foto thorax.2

Gambar 5. Potongan axial pada CT scan. Testis kiri membesar.2

MRI
Biasanya muncul sebagai tumor multinodular yang membentuk intensitas gelombang yang
uniform.

Gambar 6. MRI, terdapat nodul hipodens di testis kiri.2

Pengobatan Nuklir
FDG-PET kurang sensitif untuk melihat staging dibandingkan CT scan. Hanya digunakan
untuk pengobatan seminoma untuk melihat aktivitas metabolik dengan limfadenopati residual
atau metastasis ekstranodal.2

Penatalaksanaan dan Prognosis


Tatalaksana yang dilakukan berupa operasi untuk mengangkat tumor primer (orchiektomi).
Radioterapi dilakukan pada nodus regional bila terdapat gangguan lokal (stage I) atau
metastasis para-aorta terbatas (non-bulky stage II). Kemoterapi dapat dilakukan bila terdapat
bulky lymphoma para-aorta atau metastasis jauh. Empat siklus dari bleomisin, etoposide, dan
cisplatin merupakan terapi standar.2

371
RADIOLOGI

Prognosis cukup baik untuk semua stadium dengan tingkat kesembuhan lebih dari 90%.
Para penderita mempunyai risiko untuk terjadi kanker semasa hidupnya seperti kanker testis di
testis yang masih tersisa, mesotelioma dan kanker paru, usus besar, kandung kemih, pankreas,
dan abdomen.2

Diagnosis Banding
Diagnosis banding utama massa testis pada dewasa muda adalah non-seminomatous germ
cell tumor (NGCT). Biasanya muncul gambaran yang lebih heterogen, disertai gambaran kistik
dan kalsifikasi. Limfadenopati pada NGCT bisa terjadi lebih heterogen.2
Limfoma testis merupakan diagnosis utama untuk dipertimbangkkan juga ketika terdapat
limfadenopati para-aorta atau lesi testis bilateral.2

DAFTAR PUSTAKA
1. Adelati, Siera, Achmad Zulfa Juniarto, Ika Pawitra Miranti. Histopatologi
Spermatogenesis Testis Tikus Wistar Diabetes Melitus. Diss. Diponegoro University.
2016.
2. Light DE, Leslie SW. Testicular Seminoma. [Updated 2019 Jun 15]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448137.
3. Dixon Andrew. “Testicular seminoma: Radiology Reference Article.” Radiopaedia Blog
RSS. https://radiopaedia.org/articles/testicular-seminoma-1

372
373

Anda mungkin juga menyukai