Editor
Rudy Hidayat
Dyah Purnamasari Sulistianingsih
Evy Yunihastuti
Rudi Putranto
Andhika Rachman
Erni Juwita Nelwan
Pringgodigdo Nugroho
Arief Mansjoer
Juferdy Kurniawan
Noto Dwimartutie
Gurmeet Singh
Hasan
Pengurus Besar
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Kumpulan Naskah
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB PAPDI Tahun 2018
Susunan Panitia
Ketua : dr. Edy Rizal Wachyudi, SpPD, K-Ger, FINASIM
Wakil Ketua : Dr. dr. Sukamto Koesnoe, SpPD, K-AI, FINASIM
Sekretaris : dr. Adityo Susilo, SpPD, K-PTI, FINASIM
Bendahara : Dr. dr. Iris Rengganis, SpPD, K-AI, FINASIM
150 x 230 mm
ISBN 978-602-95359-8-3
Diterbitkan oleh:
Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia
Jl. Salemba I No. 22-D, Senen, Jakarta Pusat, Indonesia 10430
KONTRIBUTOR
Segala puji dan syukur kepada Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi,
yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga kita diberikan
kekuatan untuk kembali melaksanakan Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) PB
PAPDI serta kembali menyelesaikan buku makalah lengkap PIN.
Kami menyadari buku ini akan banyak kekurangan, masukan dari saran
Sejawat akan sangat bermanfaat bagi kami. Kepada para penulis yang telah
meluangkan waktunya memberikan makalah lengkap PIN XVI PB PAPDI serta
semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan buku ini, kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga buku ini dan seluruh materi PIN XVI PB PAPDI di Medan ini
bermanfaat bagi para Sejawat dalam menatalaksana pasien di tempat Sejawat
bekerja, karena pada akhirnya semua upaya kita ini adalah demi pasien yang
telah mempercayakan jiwa dan raganya pada kita. Selamat membaca.
Tim Editor
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kita masih diberikan nikmat sehat dan
dapat bertemu kembali pada Pertemuan Ilmiah Nasional (PIN) XVI PB PAPDI
di Medan, Sumatera Utara.
SIMPOSIUM
The Importance of Re-Biopsyin Progressive Disease
Non Small Cell Lung Carcinoma
Fauzar........................................................................................................................................ 1
Hipertensi Sekunder
Stella Palar............................................................................................................................... 189
Penatalaksanaan Osteoporosis
Faridin HP................................................................................................................................ 263
Demensia
Yudo Murti Mupangati....................................................................................................... 546
Alergi Obat
Deshinta Putri Mulya........................................................................................................... 590
Hemodialisis
Alwi Thamrin Nasution....................................................................................................... 653
Pendahuluan
Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru,
mencakup keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari
luar paru (metastasis tumor di paru). Kanker paru primer yaitu pertumbuhan
sel kanker yang tidak terkendali yang berasal dari epitel saluran nafas
(bronkus, bronkeolus dan alveoli).
IV 73,3 %, stadium IIIB 19,7 %, stadium IIIA 6,6 %, stadium IIB 0,4 %, tidak
didapatkan pasien kanker paru primer yang terdiagnosa dengan stadium IA,
IB, dan IIA. Dari data diatas didapatkan jenis sel kanker terbanyak adalah
adenokarsinoma dan waktu didiagnosa hampir 75% sudah stadium IV.2
Menurut Kawamura et al., yang melakukan penelitian pada 120 pasien NSCLC
progresif, lokasi perkembangan tumor terjadi pada 36 dengan efusi pleura, 57
dengan lesi primer/metastasis toraks, 26 dengan metastasis otak, 21 dengan
metastasis tulang, 15 dengan metastasis kelenjar getah bening, 7 dengan
metastasis hati dan 8 dengan lesi lainnya.Dari 120 pasien tersebut, 75 pasien
(63%) menjalani re-biopsi dengan karakteristik lokasi dan metode re-biopsi
yang tercantum pada tabel 1. Dengan 63% dari pasien NSCLC menyimpan
mutasi EGFR yang progresif setelah pengobatan EGFR-TKI menjalani re-
biopsi, dan sebagian besar sampel re-biopsi ini didiagnosis dengan keganasan.
Namun, sampel jaringan tersedia hanya kurang dari setengah pasien dan
mutasi T790M diidentifikasi tidak lebih dari 33% dari pasien yang menjalani
re-biopsi.3
Daftar Pustaka
1. Siegel RL, Miller KD, Jemal A. Cancer statistics 2017. CA Cancer J Clin. 2017; 67 :
7-30.
2. Fauzar, Amin Z, Pitoyo CZ, Shatri H. Characteristics and Predictive Factors of
Mortality in Hospitalized Primary Lung Cancer Patients in Cipto Mangunkusumo
Hospital Jakarta. Respirology. 2014; 19: Supplement 3.
3. Kawamura T, Kenmotsu H, Taira T, Omori S, Nakashima K, Wakuda K, et al.
Rebiopsy for patients with non-small-cell lung cancer after epidermal growth
factor receptor-tyrosine kinase inhibitor failure. Cancer Sci. 2016; 107 (7): 1001-
05.
4. Chouaid C, Dujon C, Pascal Do, Monnet I, Madroszyk A, Caer HL, et al. Feasibility and
clinical impact of re-biopsy in advanced non small-celllung cancer: A prospective
multicenter study in a real-world setting(GFPC study 12-01). Lung Cancer. 2014;
86: 170-73.
5. Jekunen, AP. Role of rebiopsy in relapsed non-small cell lung cancer for directing
oncology treatments. Journal of Oncology. 2015 ; 1-11
6. Hata A, Katakami N, Yoshioka H, Takeshita J, Tanaka K, Nanjo S, et al. Rebiopsy of
non–small cell lung cancer patients with acquired resistance to epidermal growth
factor receptor-tyrosine kinase inhibitor (comparison between T790M mutation-
positive and mutation-negative populations). Cancer. 2013 ; 4325-32.
7. Hata A, Katakami N, Nanjo S, Okuda C, Kaji R, Imai Y. Rebiopsy of histological
samples in pretreated non-small cell lung cancer: comparison among rebiopsy
procedures. In vivo. 2017 ; 31 : 475-79 .
8. Goag E.K, Lee JM, Chung KS, Kim SY, Leem AY, Song JH, et al. Usefulness of
bronchoscopic rebiopsy of non-small cell lung cancer with acquired resistance
to epidermal growth factor receptor-tyrosine kinase inhibitor. Journal of Cancer.
2018 ; 9 : 1113- 20
Pendahuluan
Populasi usia lanjut diperkirakan akan semakin meningkat di dunia.
Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa Indonesia termasuk
lima besar negara dengan jumlah penduduk usia lanjut (usila) terbanyak di
dunia, mencapai 18,1 juta jiwa atau 7,6 persen dari total penduduk. Badan
Pusat Statistik (2013) memproyeksikan, jumlah penduduk lanjut usia (≥
60 tahun) diperkirakan akan meningkat menjadi 27,1 juta jiwa pada tahun
2020, menjadi 33,7 juta jiwa pada tahun 2025 dan 48,2 juta jiwa tahun 2035.
Makin bertambah usia, makin besar kemungkinan seseorang mengalami
permasalahan fisik, jiwa, spiritual, ekonomi, dan sosial.2 Semakin bertambah
populasi penduduk usia lanjut semakin tinggi kemungkinan penduduk usia
lanjut yang “frail”.
Sindrom frailty, yang dikenal saat ini sebagai salah satu sindrom geriatri,
secara teoritis didefinisikan sebagai kondisi klinis dimana terjadi peningkatan
kerentanan akibat penurunan cadangan dan fungsi pada sistem fisiologis
serta penurunan daya tahan terhadap stressor sehingga terjadi penurunan
kemampuan sehari-hari akibat penuaan. Penilaian frailty dapat mewakili
penilaian usia biologis yang berguna dalam menetapkan status kesehatan
seseorang.3
Konsep Frailty
Pada proses penuaan terjadi banyak perubahan pada tubuh manusia.
Salah satu konsekuensi paling serius dari penuaan adalah penurunan progresif
pada massa dan kekuatan otot. Setelah usia 50-an, massa otot menurun 1-2%
setiap tahunnya. Dalam kondisi normal, kekuatan otot mencapai puncak pada
usia 20-30 tahun, akan menurun 1,5% antara usia 50-60 dan 3% sesudahnya.
Hal ini dikenal dengan sarkopenia.4
sedangkan serat otot tipe I tidak terlalu menurun. Hal ini mengakibatkan
penurunan kemampuan usila untuk melakukan kontraksi otot yang kuat dan
cepat dalam waktu singkat, karena serat otot tipe II memiliki aktivitas myosin-
ATPase tinggi namun sedikit mitokondria. Sarkopenia selain disebabkan oleh
faktor terkait usia, juga disebabkan faktor endokrin, asupan nutrisi yang tidak
adekuat, kaheksia, penyakit neurodegeneratif, otot yang tidak digunakan, dan
miostatin.4
Epidemiologi Frailty
Prevalensi frailty bervariasi tergantung pada sistem skor penilaian
yang digunakan. Menurut The Cardiovascular Health Study, frailty mencapai
7% pada usia lanjut berusia 65 tahun ke atas dan mencapai 30% pada usia
diatas 80 tahun. Penelitian Collard dkk (2012) dalam systematic review
melaporkan prevalensi 10,7% untuk frail dan 41,6% untuk pre-frail, dimana
perempuan lebih banyak mengalami frail dibandingkan laki-laki (9,6 vs 5,2%)
dan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Tidak jauh berbeda,
Moreira dkk (2013) melaporkan di Brazil didapatkan prevalensi frail
sebesar 9,1 %, 47,3% pre-frail dan 43,6% fit, dimana frail dipengaruhi oleh
peningkatan usia, rendahnya tingkat pendidikan, dan peningkatan jumlah
morbiditas. Berdasarkan penelitian Gale dkk (2014) melaporkan pada English
Longitudinal Study of Ageing (ELSA) prevalensi frail sebesar 14%, dimana
perempuan lebih banyak daripada laki-laki (16 vs 12%) serta peningkatan
seiring meningkatnya usia, 6,5% pada usia 60-69 tahun hingga 65% pada usia
diatas 90 tahun.16,17,18
Patofisiologi Frailty
Frailty ditandai dengan disregulasi multisistem, menyebabkan hilangnya
homeostasis dinamis, penurunan cadangan fisiologis, dan meningkatnya
kerentanan untuk morbiditas berikutnya dan mortalitas. Hal ini sering
dimanifestasikan oleh respon maladaptif terhadap stres, yang mengarah ke
lingkaran setan terhadap penurunan fungsional dan hasil kesehatan yang
merugikan lainnya. Beberapa penelitian dalam beberapa tahun terakhir,
menunjukkan beberapa proses patofisiologis penting multisistem pada
sindroma frailty, termasuk inflamasi kronis dan aktivasi imunitas, pada sistem
muskuloskeletal dan sistem endokrin. Inflamasi kronis dianggap kunci dari
mekanisme yang mendasari terjadi frailty secara langsung dan tidak langsung
(Gambar 1). Faktor risiko potensial termasuk faktor genetik, metabolik, stres
lingkungan dan gaya hidup, serta penyakit akut dan kronis. 24
Diagnosis Frailty
Terdapat berbagai sistem skor dalam mengevaluasi status sindrom
frailty, namun belum ada yang menjadi baku emas. Ada dua sistem utama
untuk mendefinisikan sindrom frailty berdasarkan konsep frailty, yaitu fenotip
(yaitu Cardiovascular Health Study (CHS) dan Study of Osteoporotic Fracture
(SOF)) dan indeks (yaitu Frailty Index 40 items, Frailty Index-Comprehensive
Geriatric Assessment (FI-CGA) dan Clinical Frailty Scale (CFS)). Setiap sistem
skor frailty ini mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam mengevaluasi
status frailty. Pendekatan fenotip (sistem penilaian CHS dan SOF) atau FI-CGA
lebih mudah untuk dilakukan dalam praktek sehari-hari. Namun, mengingat
perbedaan karakteristik usila di setiap lokasi geografis, juga ada variasi dalam
validitas dan reliabilitas metode diagnostik. 3
Cardiovascular Health Study merupakan salah satu sistim skor yang paling
sering digunakan. Sistem ini menunjukkan hubungan antara sekumpulan
kriteria frailty dan pengaruhnya terhadap luaran tertentu. Sistem skor ini
dilakukan oleh Fried dkk pada 5.317 laki-laki dan perempuan diatas 65
tahun. Frailty didefinisikan sebagai suatu sindroma klinis dengan kriteria:
penurunan berat badan (5 kg pada tahun sebelumnya), kelelahan, kekuatan
genggaman tangan, kecepatan berjalan lambat, dan aktivitas fisik yang rendah
(Tabel 2.1). Apabila memenuhi tiga dari lima kriteria dikatakan sebagai frail,
bila satu atau dua kriteria sebagai pre-frail, dan apabila tidak memenuhi
kelima kriteria sebagai fit. 3
Sistem skor CHS merupakan sistim skor yang menjadi dasar rujukan
pengembangan sistim skor penilaian sindroma frailty lainnya karena telah
divalidasi pada penelitian berskala besar. Selain itu, sistim skor ini memiliki
kemampuan untuk menapis status sindroma frailty dan melihat luaran klinis
pasca intervensi.3
Dampak Frailty
Frailty akan meningkatkan risiko luaran kesehatan yang buruk. Beberapa
penelitian telah mempelajari dampak dari frailty yaitu terjadi peningkatan
risiko jatuh, fraktur, gangguan aktivitas sehari-hari, keterbatasan mobilisasi
dan gangguan kognitif. Fang dkk (2012) membuktikan dari 3.257 usila
dengan frailty, 11,1% memiliki riwayat jatuh, 7% fraktur. Frailty berhubungan
dengan peningkatan risiko jatuh berulang (HR 1,54, 95% CI 1,34-1,76),
fraktur (HR 1,07, 95%, CI 0,94-1,22), dan mortalitas (HR 1,50, 95% CI 1,41-
1,60).(5) Penelitian Yamada dkk (2015) menunjukkan skrining frailty dapat
memprediksi ketergantungan pada usila, dimana pre-frail (hazard ratio [HR]
8,4 [5.0-14.2]) dan frail (HR 22,7 [13.3-38.8]).6,29
Kesimpulan
Angka kejadian frailty semakin meningkat dengan bertambahnya usia
harapan hidup. Sindrom frailty merupakan masalah besar pada populasi usia
lanjut, yang merupakan salah satu sindrom geriatri yang berhubungan erat
dengan peningkatan risilo luaran kesehatan yang buruk, antara lain disabilitas,
penurunan kualitas hidup dan peningkatan mortalitas. Meningkatnya frailty
memberikan beban terhadap pasien itu sendiri, keluarga/caregivernya,
masyarakat disekitarnya serta pemerintah. Frailty bersifat reversible,
berbagai intervensi dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi frail.
Tenaga kesehatan diharapkan memahami konsep sindrom frailty dan mampu
mengidentifikasi sindrom frailty pada pasien usia lanjut agar dapat melakukan
intervensi sedini mungkin.
Daftar Pustaka
1. US Department of Commerce. US Census Bureau Projection Show a Slower Growing,
Older, More Diverse Nation aHalf Century from now. United States Census Bureau;
2014; http://www.census.giv/newsroom/releases/archives/
2. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 25 Tahun 2016 tentang
Rencana Aksi Nasional Kesehatan Lanjut Usia Tahun 2016-2019
3. Fried L, Tangen C, Walston J, Newman A, Hirsch C, Gottdiener J, et al. Frailty in older
adults: evidence for a phenotype. J Gerontol. 2001; 56 (3): M146--56
4. Abiri B, Vafa M. Vitamin D and Sarcopenia. Adv Obes Weight Manag Control.
2017.
5. Laksmi P. Frailty syndrome: an emerging geriatric syndrome calling for its potential
intervention. Acta Med Indones-Indones J Intern Med. 2014. July; 46(3): 173--4
6. Fang X, Shi J, Song X, Minitski A, Tang Z, Wang C, et al. Frailty in relation to the risk
of falls, fractures and mortality in older Chinese adults: results from the Beijing
Longitudinal Study of Aging. J Nutr Health Aging. 2012 Oct; 16(10): 903--7
7. Vermeiren S, Vella-Azzopardi R, Beckwee D, Habbig AK , Scafoglieri A, Jansen B, et
al. Frailty and the prediction of negative health outcomes: a meta analysis. J Am
Med Dir Assoc. 2016; 17: 1163s1─17.
8. Chang S, Lin P. Frail phenotype and mortality prediction: A systematic review and
meta-analysis of prospective cohort studies. Int J Nurs Stud. 2015; 52:1362--74
9. Michel J, Cruz-Jentoft A, Cederholm T. Frailty, exercise and nutrition. Clin Geriatr
Med. 2015:1─13.
10. Clegg A, Young J, Iliffe S, Rikker M, Rockwood K. Frailty in elderly people. Lancet.
2013 Mar; 381(9901): 752─62.
11. Xue Q. The frailty syndrome: definition and natural history. Clin Geriatr Med. 2011
Feb; 27(1):1─5.
27. Goisser S, Guyonnet S, Volkert D. The role of nutrition in frailty: an overview. The
Journal of Frailty and Aging. 2016; 5(2): 74─9.
28. Fairhall N, Langron C, Sherrington C, Lord SR, Kurrle SE, et al. Treating frailty-a
practical guide. BMC Medicine 2011, 9:83
29. Yamada M, Arai H. Predictive value of frailty scores for healthy life expectancy in
community-dwelling older japanese adults. J Am Med Dir Assoc. 2015; 16: 1002.
e7─11.
30. Kojima G. Frailty as a predictor of hospitalization among community-dwelling
older people: a systematic review and meta-analysis. J Epidemio Comm Health.
2016; 70(7): 722─9.
31. Kulmala J, Nykanen I, Hartikainen S. Frailty as a predictor of all-cause mortality in
older men and women. Geriatr Gerontol Int. 2014; 14: 899─905.
Pendahuluan
Frailty/kerentaan secara konsep adalah suatu kondisi klinis pada usia
lanjut yang dikarakterisasi dengan peningkatan kerentanan yang diakibatkan
oleh penurunan kapasitas fisiologis dan penurunan fungsi sistem organ tubuh
yang menyebabkan ketidakmampuan untuk merespon terhadap stressor akut
dan mempertahankan homeostatis tubuh. Kondisi ini dikenal sebagai suatu
sindrom dan berkaitan dengan peningkatan risiko terjadinya penurunan status
fisik dan status fungsional, disabilitas, bahkan kematian. Berdasarkan konsep
tersebut, terdapat 2 definisi pengkajian model frailty yaitu berdasarkan fenotip
frailty dan berdasarkan indeks frailty atau model akumulasi defisit. Salah satu
kriteria diagnostik frailty berdasarkan fenotip yang dikenal luas yaitu kriteria
Linda Fried dari Cardiovascular Health Study (CHS). Berdasarkan kriteria
tersebut, seseorang dikatakan frailty bila terdapat 3 atau lebih dari 5 kriteria
yaitu adanya penurunan berat badan yang tidak diinginkan, penurunan
kekuatan otot, rasa lelah, penurunan kapasitas aktivitas fisik dan penurunan
kecepatan berjalan. Frailty sangat erat berhubungan dengan sarkopenia yaitu
kondisi dimana ditemukan adanya kehilangan massa otot dan penurunan
fungsi otot. Berbagai faktor etiologi seperti proses penuaan, pola hidup,
penyakit, serta faktor lingkungan berkaitan dengan patogenesis frailty. Nutrisi
merupakan faktor yang berkontribusi penting terhadap timbulnya frailty
dan sarkopenia. Pada usia lanjut sayangnya seringkali ditemukan kondisi
malnutrisi dimana yang umum dijumpai adalah nutrisi buruk/undernutrition
sehingga mempercepat timbulnya kondisi frail. Tatalaksana frailty antara lain
adalah dengan melakukan olahraga atau aktivitas fisik dan asupan nutrisi
yang adekuat. Dengan memertahankan atau memperbaiki nutrisi, diharapkan
tidak timbul kondisi frail pada usia lanjut. 1-4
yang ditemukan pada usia lanjut. Studi pada pasien usia lanjut rawat jalan
di Indonesia mendapatkan hasil bahwa pasien usia lanjut memiliki asupan
protein harian yang kurang dari kecukupan protein perhari yang dianjurkan. 5
Banyak hal yang menjadi penyebab malnutrisi pada usia lanjut. Adanya
penurunan fungsi organ pencernaan mengakibatkan timbulnya penurunan
nafsu makan (anoreksia). Penurunan fungsi organ antara lain gigi yang rentan
untuk tanggal, penurunan ekskresi kelenjar saliva, penurunan indra penghidu
untuk membedakan bau, penurunan kemampuan indera pengecap untuk
membedakan rasa, serta perlambatan pengosongan lambung. Selain itu juga
terdapat faktor lain seperti adanya pembatasan asupan makan, kondisi sosial
ekonomi sehingga mengurangi akses mendapatkan makanan yang bergizi,
terdapat penyakit akut, kondisi demensia ataupun psikiatri seperti depresi,
gangguan menelan, serta adanya ketergantungan terhadap orang lain akibat
keterbatasan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. 5
Gambar 1. Interaksi antar nutrisi dan faktor lain terhadap timbulnya frailty 2
Asupan Energi
Makanan yang dimakan dimetabolisme untuk menyediakan energi agar
sistem organ tubuh termasuk otot berfungsi sebagaimana mestinya. Bila
asupan tidak mencukupi kebutuhan tubuh, maka baik lemak maupun otot
akan dikatabolisme untuk menjadi sumber energi. Penurunan massa otot
pada usia lanjut yang timbul sejalan dengan proses penuaan akan makin
diperparah dengan penurunan massa otot akibat kurang asupan. Penurunan
massa otot akan menurunkan kekuatan otot dan menurunkan performa
fisik.6 Studi National Health and Nutrition Examination Survey III (NHANES
III) di Amerika pada 4731 usia lanjut mendapatkan bahwa asupan energi
harian ditemukan terendah pada usia lanjut yang frail, diikuti oleh pre-frail,
dan asupan energi tertinggi pada usia lanjut yang fit (masing-masing asupan
rerata kJ+ SE : 6648+130, 6966+79, 7280+84, p<0,01). 7 Studi Korea National
Health and Nutrition Examination Survey IV ( KNHANES IV) pada 940 laki-laki
dan 1324 perempuan usia lanjut menunjukkan juga adanya asupan energy
yang kurang pada partisipan dengan sarkopenia. 8
Protein
Usia lanjut seringkali kurang asupan protein dibandingkan usia dewasa
muda. Ketidakseimbangan antara asupan protein dan kebutuhan protein
dapat mengakibatkan gangguan kronik ketidakseimbangan antara sintesis
protein otot dan degradasi otot. Hasil akhirnya adalah kehilangan massa otot
skeletal dan kekuatan otot sehingga timbul sarkopenia dan frailty. 6
Bukan hanya asupan protein saja yang berperan, namun distribusi asupan
protein pada setiap kali makan juga patut diperhatikan. Studi menunjukkan
bahwa distribusi asupan protein lebih berperan dibandingkan asupan protein
keseluruhan semata. Pada studi tersebut didapatkan bahwa partisipan dengan
kondisi frail, pre-frail, dengan kelelahan ataupun kecepatan berjalan yang
rendah cenderung mengkonsumsi jumlah protein yang sedikit saat makan
pagi dan jumlah protein yang tinggi saat makan siang bila dibandingkan
dengan partisipan yang tidak frail. Penting untuk memperhatikan distribusi
dan nilai biologi asupan protein setiap makan (pagi, siang dan malam) dengan
protein yang memiliki nilai biologi tinggi untuk memaksimalkan sintesis
protein otot. Pada usia lanjut, terjadi penurunan respon stimulus anabolik
sehingga jumlah asam amino yang rendah tidak cukup untuk menstimulasi
sintesis protein otot. Asupan protein dengan nilai biologi tinggi sejumlah 20-
30 gram setiap makan menjadi penting bagi usia lanjut untuk meningkatkan
sintesis protein otot. 2
Creatin
Creatin merupakan asam organik yang disintesis endogen atau
dapat diperoleh dari asupan makanan. Dalam tubuh, creatin terutama
disimpan sebagai creatin bebas atau phosphocreatin dalam otot skeletal.
Phosphocreatine berubah menjadi ATP selama kontraksi otot dan
bekerja sebagai energi cadangan saat tubuh membutuhkan energi tinggi.
Suplementasi creatin monohidrat menunjukkan peningkatan total creatin dan
phosphocreatin dalam otot skeletal terutama pada individu dengan simpanan
creatin yang rendah. Pada atlet, asupan creatin sering digunakan untuk
meningkatkan kekuatan dan menurunkan kelelahan saat olahraga intensitas
tinggi. Creatin mungkin berperan sebagai suplementasi melawan sarkopenia,
namun studi belum dapat membuktikan kaitan pasti antara asupan creatin
atau defisiensi creatin dalam patogenesis sarkopenia atau frailty.6
Vitamin D
Defisiensi vitamin D dan kehilangan massa otot seringkali ditemukan
bersamaan dan memiliki luaran klinis yang sama seperti kelemahan, jatuh
dan frailty pada usia lanjut. Mekanisme bagaimana kekuatan dan fungsi otot
dipengaruhi oleh vitamin D belum diketahui pastinya, namun kemungkinan
dimediasi oleh reseptor vitamin D (VDR). VDR dan 1-alpha hyudroksilase
diekspresikan oleh jaringan otot. Jumlah VDR pada jaringan otot manusia
menurun sejalan dengan usia. Temuan penting adalah bahwa ekspresi
VDR dapat dipengaruhi oleh suplementasi vitamin D. Studi meta-analisis
menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang rendah ditemukan pada usia
lanjut yang frail. 11 Vitamin D ternyata diketahui juga memiliki peran potensial
sebagai anti inflamasi. Study pada usia lanjut mendapatkan bahwa terdapat
hubungan negatif antara konsentrasi kadar vitamin D tubuh dengan sitokin
proinflamasi IL-6. 12
Antioksidan
Pada usia lanjut ditemukan adanya inflamasi kronik. Stress oksidatif
yang timbul pada tubuh dikaitkan dengan sarkopenia dan frailty. Asupan
Pola Makan
Berkaitan dengan suplementasi satu zat gizi dalam pencegahan dan
tatalaksana frailty, dalam kenyataan sehari-hari seseorang tidak hanya
mengkonsumsi hanya satu jenis zat gizi saja namun mengkonsumsi makanan
yang mengandung berbagai zat gizi. Pola makan sehat yang banyak diteliti
adalah diet Mediteranian. Diet ini dikarakterisasi dengan komposisi makanan
tinggi nutrisi seperti buah dan sayur, wholemeal cereal, minyak zaitun (olive
oil) dan minyak ikan, serta rendah lemak jenuh. 4
Simpulan
Frailty merupakan kondisi akibat penurunan kumulatif fungsi sistem
fisiologis tubuh yang disebabkan oleh berbagai faktor. Nutrisi memegang
peranan penting terhadap terjadinya frailty termasuk sarkopenia. Peran
makronutrien dan mikronutrien serta pola diet secara keseluruhan tampaknya
turut berkontribusi terhadap kondisi frailty.
Daftar Pustaka
1. Chen X, Mao G, Leng SX. Frailty syndrome : an overview. Clin Interv Aging. 2014; 9:
433–441
2. Yannakoulia M, Ntanasi E, Anasitaou CA, Scarmeas. Frailty and nutrition:
from epidemiology and clinical evidence to potential mechanism. Metabolism
2017;68:64-76
3. Bonnefoy M, Berrut G, Lesourd B. Ferry M, Gilbert T, et al. Frailty and nutrition:
searching for evidence. J Nutr Health Aging 2015 ;19(3):250-7
4. Goisser S, Guyonnet S, Volkert D. The role of nutrition in frailty: an overview. J
Frailty Aging 2016;5(2):74-77
5. Perhimpunan Gerontologi medik Indonesia. Pedoman Nasional Asuhan Nutrisi
pada Orang Usia Lanjut dan Pasien Geriatri. 2017
6. Cruz-Jentoff AJ, Kiesswetter E, Drey M, Sieber CC. Nutrition, frailty and sarcopenia.
Aging Clin Exp Res 2017;29(1):43-48
7. Smith E, Winters-Stone KM, Loprinzi PD, Tang AM, Crespo CJ. Lower nutritional
status and higher food insufficiency in frail older US adults. Br J Nutr 2013;110:172-
78
8. Kim JE, Lee YH, Huh JH, Kang DR, Rhee Y, Lim SK. Early-stage chronic kidney
disease, insulin resistance, and osteoporosis as risk factors of sarcopenia in aged
population: the fourth Korea National Health and Nutrition Examination Survey
(KHNANES IV), 2008-2009. Osteoporos Int 2014;25:2189-98
Pendahuluan
Prevalensi infeksi virus hepatitis C (VHC) diperkirakan mencapai 177,5
juta orang di seluruh dunia, dimana sekitar 118,9 juta di antaranya memiliki
VHC-RNA positif (viremia). Benua Asia menyumbang hampir 70% dari seluruh
pasien infeksi VHC di seluruh dunia.1 Regio Asia Tenggara merupakan regio
tertinggi ketiga di Asia, setelah Asia Timur dan Asia Selatan, dengan jumlah
individu yang terinfeksi VHC kronik mencapai 654 juta.2 Berdasarkan data
Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi infeksi Hepatitis C di Indonesia
menggunakan pemeriksaan anti-VHC adalah 1%.3
(4) 80% populasi risiko tinggi melakukan pemeriksaan untuk deteksi dini
(5) 90% neonatus mendapatkan vaksinasi hepatitis B dalam waktu 24 jam
pertama kehidupan
(6) 80% pasien hepatitis dirujuk ke fasilitas kesehatan yang ditentukan
untuk menerima pelayanan kesehatan lanjutan.
Chain Reaction / RT-PCR. Kekurangan teknik tes cepat molekular ini adalah
tidak bisa dilakukannya pemeriksaan genotipe virus.
Kesimpulan
Obat anti virus golongan DAA yang menjanjikan kesembuhan tinggi
memberi harapan baru terkait eliminasi hepatitis C kronik di Indonesia. Agar
target eliminasi hepatitis C tahun 2030 dapat tercapai, terdapat beberapa
penghambat yang harus segera diatasi, yaitu deteksi kasus yang sangat
rendah, harga tes diagnostik yang mahal, ketersediaan dokter kompeten yang
kurang dan masalah akses terhadap obat DAA yang tidak tersebar merata di
seluruh wilayah Indonesia.
Daftar Pustaka
1. Petruzziello A, Marigliano S, Loquercio G, Cozzolino A, Cacciapuoti C. Global
epidemiology of hepatitis C virus infection: an up-date of the distribution and
circulation of hepatitis C virus genotypes. World J Gastroenterol. 2016;22(34):7824-
7840
2. Blach S, Zeuzem S, Manns M, Altraif I, Duberg AS, Muljono DH, et al. Global prevalence
and genotype distribution of hepatitis C virus infection in 2015: a modelling study.
Lancet Gastroenterol Hepatol. 2017;2:161-76.
3. Handayani S. Uji Serologi Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi dan
Penyakit Infeksi Pada Spesimen Biomedis Riskesdas 2013. Jakarta: Badan
Litbang Kesehatan Kementerian Kesehatan Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan. 2014.
4. World Heatlh Organization. Global Hepatitis Report 2017. France. 2017.
5. World Health Organization. Combating Hepatitis B and C to Reach Elimination by
2030. Switzerland. 2016.
6. World Health Organization Regional Office for South-East Asia. Regional Action
Plan for Viral Hepatitis in South-East Asia: 2016-2021. India. 2016.
7. Ministry of Health of The Republic of Indonesia. Strategic Planning Ministry of
Health 2015-2019. Jakarta. 2015.
Pendahuluan
Penyakit kardiovaskular (PKV) masih merupakan salah penyebab
kematian utama di Negara maju dan angka kejadiannya terus meningkat.1
Meskipun tatalaksana PKV dengan terapi medis dan terapi reperfusi dengan
intervensi koroner perkutan (percutaneous coronary intervention/PCI) terus
berkembang dan meningkatkan outcome pasien penyakit jantung koroner
(PJK), namun tingkat kekambuhan pasien pada pencegahan sekunder masih
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien pada pencegahan primer.1-3
Hasil penelitian REAL-CAD konsisten dengan hasil uji coba TNT (Treating to
New Targets), yang membandingkan atorvastatin 80 mg dengan atorvastatin
10 mg pada pasien dengan PJK stabil, yang menunjukkan bahwa terapi
statin dosis lebih tinggi berhubungan dengan risiko PKV yang lebih rendah.14
Besarnya pengurangan risiko relatif pada primary end point dalam penelitian
tersebut sebanding dengan yang terlihat pada penelitian di Eropa dan
Amerika Utara mengenai “more versus less statins”, yang menunjukkan terapi
statin yang lebih intensif bermanfaat pada pasien di Jepang.13-17
Kesimpulan
- Statin telah terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas PJK, baik
pada pencegahan primer maupun pencegahan sekunder.
- Statin intensitas tinggi menunjukkan proteksi terhadap rekurensi PJK
lebih baik dibandingkan dengan statin intensitas rendah.
- Penelitian REAL-CAD pada pasien PJK stabil pada populasi Asia (Jepang),
menunjukkan pitavastatin dosis tinggi (4 mg) mencegah rekurensi PJK
lebih baik dibandingkan dosis rendah (1 mg).
Daftar Pustaka
1. Matsuzaki M, Kita T, Mabuchi H, Matsuzawa Y, Nakaya N, Oikawa S, et al. Large
scale cohort study of the relationship between serum cholesterol concentration
and coronary events with low-dose simvastatin therapy in Japanese patients with
hypercholesterolemia. Circulation journal. 2002;66(12):1087-95.
2. Investigators JCADS. Current status of the background of patients with coronary
artery disease in Japan. Circulation Journal. 2006;70(10):1256-62.
3. Yokoyama M, Origasa H, Matsuzaki M, Matsuzawa Y, Saito Y, Ishikawa Y, et al. Effects
of eicosapentaenoic acid on major coronary events in hypercholesterolaemic
The Sixth Joint Task Force of the European Society of Cardiology and Other
Societies on Cardiovascular Disease Prevention in Clinical Practice (constituted
by representatives of 10 societies and by invited experts) Developed with the
special contribution of the European Association for Cardiovascular Prevention &
Rehabilitation (EACPR). Eur Heart J. 2016;37(29):2315-81.
27. Grundy SM, Cleeman JI, Merz CNB, Brewer HB, Clark LT, Hunninghake DB, et al.
Implications of recent clinical trials for the national cholesterol education program
adult treatment panel III guidelines. J Am Coll Cardiol. 2004;44(3):720-32.
28. Pedersen TR, Faergeman O, Kastelein JJ, Olsson AG, Tikkanen MJ, Holme I, et al.
High-dose atorvastatin vs usual-dose simvastatin for secondary prevention after
myocardial infarction: the IDEAL study: a randomized controlled trial. JAMA.
2005;294(19):2437-45.
29. Cannon CP, Steinberg BA, Murphy SA, Mega JL, Braunwald E. Meta-analysis of
cardiovascular outcomes trials comparing intensive versus moderate statin
therapy. J Am Coll Cardiol. 2006;48(3):438-45.
30. Josan K, Majumdar SR, McAlister FA. The efficacy and safety of intensive statin
therapy: a meta-analysis of randomized trials. Canadian Med Ass J. 2008;178(5):576-
84.
31. Kaneko H, Yajima J, Oikawa Y, Tanaka S, Fukamachi D, Suzuki S, et al. Recent
characteristics and outcomes of Japanese stable angina pectoris after percutaneous
coronary intervention. Intern Heart J. 2013;54(6):335-40.
32. Okazaki S, Yokoyama T, Miyauchi K, Shimada K, Kurata T, Sato H, et al. Early
statin treatment in patients with acute coronary syndrome: demonstration of
the beneficial effect on atherosclerotic lesions by serial volumetric intravascular
ultrasound analysis during half a year after coronary event: the ESTABLISH Study.
Circulation. 2004;110(9):1061-8.
33. Takayama T, Hiro T, Yamagishi M, Daida H, Hirayama A, Saito S, et al. Effect of
rosuvastatin on coronary atheroma in stable coronary artery disease. Circulation
Journal. 2009;73(11):2110-7.
34. Hiro T, Kimura T, Morimoto T, Miyauchi K, Nakagawa Y, Yamagishi M, et al. Effect of
intensive statin therapy on regression of coronary atherosclerosis in patients with
acute coronary syndrome: a multicenter randomized trial evaluated by volumetric
intravascular ultrasound using pitavastatin versus atorvastatin (JAPAN-ACS [Japan
assessment of pitavastatin and atorvastatin in acute coronary syndrome] study). J
Am Coll Cardiol. 2009;54(4):293-302.
35. Dohi T, Miyauchi K, Okazaki S, Yokoyama T, Yanagisawa N, Tamura H, et al. Plaque
regression determined by intravascular ultrasound predicts long-term outcomes
of patients with acute coronary syndrome. J Atherosclerosis and Thrombosis.
2011;18(3):231-9.
Pendahuluan
Atrial fibrilasi (atrial fibrillation/AF) merupakan aritmia yang paling
sering dijumpai dalam praktek sehari-hari,1 dan angka kejadiannya terus
meningkat sehingga dianggap sebagai epidemi yang sedang berkembang.1-4
terkait AF berakibat fatal),6, 12atau terkait dengan kecacatan yang lebih besar
daripada strok dengan penyebab yang lain.11, 13, 14
Gambar 1. Pencitraan strok kardioemboli pada arteri serebri media besar pada
pasien atrial fibrilasi (A) CT dan (B) MRI dari seorang pria 39 tahun yang mengalami
strok kardioemboli arteri serebri media besar.
Terdapat bukti yang kuat adanya peningkatan risiko pada pasien dengan
strok sebelumnya atau emboli sistemik, yaitu usia setidaknya 65 tahun,
mengalami gagal jantung dekompensata yang baru (terlepas dari fraksi
Salah satu model stratifikasi strok yang paling sering digunakan, yaitu
skor CHADS₂, diformulasikan berdasarkan penelitian AF dan pencegahan
strok pada skema AF. Skema ini diturunkan dari penelitian sebelumnya,
berdasarkan studi kohort pengobatan non-OAC, dan telah divalidasi dalam
studi kohort pada pasien AF rawat inap.26 CHADS₂ memiliki kepanjangan
Congestive Heart Failure, Hypertension, Age ≥ 75 years, Diabetes Mellitus and
prior Stroke or TIA. Riwayat strok dan TIA memiliki risiko tertinggi yaitu 2
poin dan 1 poin untuk faktor risiko lainnya.27
Tabel 1. Faktor Risiko Klinis Strok, Transient Ischaemic Attack, dan Emboli Sistemik
pada Skor CHA2DS2-VASc.33
Faktor lainnya juga meningkatkan risiko strok, tetapi tidak terdapat dalam
skor CHA₂DS₂VASc. Faktor seperti penurunan fungsi ginjal yang dilihat dari
GFR dan proteinuria,39 tingginya nilai fibrin, D-dimer, faktor von Willebrand,
troponin I dan NT-pro BNP40-42 dan beberapa temuan EKG dan ekokardiografi
seperti rendahnya kecepatan gelombang denyut, adanya kontras eko spontan,
atau trombus pada left atrial appendage (LAA), dilaporkan sebagai faktor
risiko yang berkaitan dengan meningkatnya risiko strok pada AF.43
Karena pasien AF memiliki angka masuk rawat yang tinggi dan stratifikasi
risiko bukan merupakan proses satu kali yang statis, pasien berisiko rendah
sebaiknya ditinjau ulang secara rutin untuk menentukan apakah tingkat
risikonya meningkat atau tidak.
Antagonis Vitamin K
Selama lebih dari tiga dekade, antagonis vitamin K (AVK) sudah menjadi
standar emas untuk pencegahan strok dan tromboemboli sistemik pada
pasien AF.44 Suatu metaanalisis9 dari 6 uji coba acak yang melibatkan 2900
pasien, membandingkan warfarin dengan plasebo atau kontrol, menunjukkan
insidens semua strok menurun sebanyak 64% (95%CI, 48%-72%) dengan
penurunan kematian bermakna (RR 26%,95% CI, 3-43%). Sebagai pencegahan
primer number needed to treat (NNT) dalam 1 tahun dalam mencegah strok
adalah 37; NNT untuk pencegahan sekunder adalah 12.9
Penentu kualitas dari OAC adalah perkiraan waktu yang digunakan dalam
rentang terapetik (TTR).44 Sebuah data nasional dari Swedia,47 pada pasien
dalam terapi warfarin untuk tromboprofilaksis, yang melibatkan 68.797
pasien AF dan didapatkan TTR yaitu 76,5%. Dengan kualitas OAC yang tinggi
tersebut, angka kejadian emboli sistemik di antara pasien adalah 1,54% dan
perdarahan mayor sebanyak 0,38%, dapat dibandingkan dengan fase ke III uji
coba non-vitamin K oral antikoagulan (NOAC).47 Secara umum, rata-rata TTR
individu berada di atas 70% dan dikategorikan sebagai keberhasilan terapi.44
diperlukannya monitoring rutin dan interaksi obat dan makanan yang minim
juga membuat obat tersebut menarik bagi klinisi dan pasien. (Tabel 2)42
Semua dosis NOAC yang diuji setidaknya tidak kalah (non inferior)
dibandingkan dengan warfarin dalam hal efikasi dan keselamatan primer dan
menunjukkan penurunan bermakna dalam risiko perdarahan intrakranial.33
Sebuah meta-analisis dari empat uji fase III (42.411 pasien dengan NOAC
vs 29.272 dengan warfarin), menunjukkan bahwa NOAC secara bermakna
mengurangi risiko strok (RR 0,81, 95% CI 0,73-0,91; p <0,0001), semua
penyebab kematian (RR 0,90, 95% CI 0,85-0,95; p = 0,0003) dan perdarahan
intrakranial (RR 0,48, 95% CI 0,39-0,59; p <0,0001) dibandingkan dengan
warfarin. Dosis rendah NOAC menunjukkan pengurangan setara dalam
primary end point dibandingkan dengan warfarin (1,03, 0,84–1,27; p = 0,74)
dan profil perdarahan yang lebih baik (RR 0,65, 95% CI 0,43–1,00; p = 0,05),
tetapi insiden strok iskemik yang lebih tinggi (RR 1.28, 95% CI 1.02–1.60; p
= 0,045). Dengan demikian, NOAC dosis rendah adalah pilihan untuk pasien
dengan risiko perdarahan yang tinggi.10
Tidak ada perbandingan langsung antara jenis NOAC yang berbeda dan
perbandingan tidak langsung berdasarkan pada uji coba fase III tidak cukup
andal karena perbedaan dalam karakteristik populasi yang direkrut; untuk
contoh, karakteristik demografi, komorbiditas, faktor risiko untuk strok
dan TTR.54 Penggunaan NOAC yang berbeda dalam berbagai subkelompok
pasien yang berpartisipasi dalam uji klinis adalah subyek dari beberapa
meta-analisis dan post hoc analisis. Hasil penelitian dan pengetahuan tentang
farmakodinamik dan farmakokinetik dari berbagai NOAC dapat membantu
dalam memandu resep NOAC dalam tantangan dalam berbagai skenario klinis
(Tabel 1).54
Secara keseluruhan, data real world konsisten dengan hasil yang didapat
dari percobaan fase III dari NOAC.56 Meskipun ada keterbatasan dari studi
observasional,59 data tersebut memberikan tambahan dukungan kepada
dokter untuk meresepkan NOAC sebagai lini pertama terapi antikoagulan
oral.
Penelitian lain yang melihat data real world pada populasi Asia (Korea)
dengan menggunakan edoxaban juga dikaitkan dengan penurunan risiko
strok iskemik, perdarahan mayor, dan kematian secara keseluruhan
dibandingkan dengan warfarin. Manfaat tersebut konsisten sepanjang
berbagai subkelompok risiko tinggi.60
Kesimpulan
- Terapi antikoagulan oral merupakan elemen penting dalam tatalaksana
pasien AF untuk mencegah kejadian strok karena tromboemboli.
- Tatalaksana antikoagulan oral pada kasus AF yang memenuhi kriteria
untuk diberikan berdasarkan stratifikasi risiko, dengan NOAC lebih
disukai daripada antagonis vitamin K.
Daftar Pustaka
1. Rahman F, Kwan GF, Benjamin EJ. Global epidemiology of atrial fibrillation. Nature
Rev Cardiol. 2014;11(11):639.
2. Patel NJ, Deshmukh A, Pant S, Singh V, Patel N, Arora S, et al. Trends of hospitalization
for atrial fibrillation in the United States, 2000 through 2010: implications for
healthcare planning. Circulation. 2014:CIRCULATIONAHA. 114.008201.
3. Chugh SS, Havmoeller R, Narayanan K, Singh D, Rienstra M, Benjamin EJ, et al.
Worldwide epidemiology of atrial fibrillation: a Global Burden of Disease 2010
Study. Circulation. 2013:CIRCULATIONAHA. 113.005119.
4. Schnabel RB, Yin X, Gona P, Larson MG, Beiser AS, McManus DD, et al. 50 year
trends in atrial fibrillation prevalence, incidence, risk factors, and mortality in the
Framingham Heart Study: a cohort study. The Lancet. 2015;386(9989):154-62.
5. McGrath ER, Kapral MK, Fang J, Eikelboom JW, O’conghaile A, Canavan M, et al.
Association of atrial fibrillation with mortality and disability after ischemic stroke.
Neurology. 2013;81(9):825-32.
6. Reiffel JA. Atrial fibrillation and stroke: epidemiology. Am J Med.
T2014;127(4):e15-e6.
7. Stewart S, Hart C, Hole D, McMurray J. Population prevalence, incidence, and
predictors of atrial fibrillation in the Renfrew/Paisley study. Heart. 2001;86(5):516-
21.
8. Otite FO, Khandelwal P, Chaturvedi S, Romano JG, Sacco RL, Malik AM. Increasing
atrial fibrillation prevalence in acute ischemic stroke and TIA. Neurology.
2016:10.1212.
9. Hart RG, Pearce LA, Aguilar MI. Meta-analysis: antithrombotic therapy to prevent
stroke in patients who have nonvalvular atrial fibrillation. Ann Intern Med.
2007;146(12):857-67.
10. Ruff CT, Giugliano RP, Braunwald E, Hoffman EB, Deenadayalu N, Ezekowitz MD, et
al. Comparison of the efficacy and safety of new oral anticoagulants with warfarin
24. Piccini JP, Simon DN, Steinberg BA, Thomas L, Allen LA, Fonarow GC, et al. Differences
in clinical and functional outcomes of atrial fibrillation in women and men: two-
year results from the ORBIT-AF registry. JAMA cardiology. 2016;1(3):282-91.
25. Chao T-F, Wang K-L, Liu C-J, Lin Y-J, Chang S-L, Lo L-W, et al. Age threshold for
increased stroke risk among patients with atrial fibrillation: a nationwide cohort
study from Taiwan. J Am Coll Cardiol. 2015;66(12):1339-47.
26. Gage BF, Waterman AD, Shannon W, Boechler M, Rich MW, Radford MJ. Validation
of clinical classification schemes for predicting stroke: results from the National
Registry of Atrial Fibrillation. JAMA. 2001;285(22):2864-70.
27. Gage BF, van Walraven C, Pearce L, Hart RG, Koudstaal PJ, Boode B, et al. Selecting
patients with atrial fibrillation for anticoagulation: stroke risk stratification in
patients taking aspirin. Circulation. 2004;110(16):2287-92.
28. Mikkelsen A, Lindhardsen J, Lip G, Gislason G, Torp‐Pedersen C, Olesen J. Female
sex as a risk factor for stroke in atrial fibrillation: a nationwide cohort study. J
Thrombosis Haemostasis. 2012;10(9):1745-51.
29. Friberg L, Benson L, Rosenqvist M, Lip GY. Assessment of female sex as a risk
factor in atrial fibrillation in Sweden: nationwide retrospective cohort study. BMJ.
2012;344:e3522.
30. Lip GY. The CHA 2 DS 2-VASc score for stroke risk stratification in patients with
atrial fibrillation: a brief history. Eur Heart J. 2015.
31. Lip GY, Nieuwlaat R, Pisters R, Lane DA, Crijns HJ. Refining clinical risk stratification
for predicting stroke and thromboembolism in atrial fibrillation using a novel
risk factor-based approach: the euro heart survey on atrial fibrillation. Chest.
2010;137(2):263-72.
32. Olesen JB, Lip GY, Hansen ML, Hansen PR, Tolstrup JS, Lindhardsen J, et al. Validation
of risk stratification schemes for predicting stroke and thromboembolism in
patients with atrial fibrillation: nationwide cohort study. BMJ. 2011;342:d124.
33. Kirchhof P, Benussi S, Kotecha D, Ahlsson A, Atar D, Casadei B, et al. 2016 ESC
Guidelines for the management of atrial fibrillation developed in collaboration
with EACTS. Eur Heart J. 2016;37(38):2893-962.
34. January CT, Wann LS, Alpert JS, Calkins H, Cigarroa JE, Conti JB, et al. 2014 AHA/
ACC/HRS guideline for the management of patients with atrial fibrillation: a
report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task
Force on Practice Guidelines and the Heart Rhythm Society. J Am Coll Cardiol.
2014;64(21):e1-e76.
35. Jones C, Pollit V, Fitzmaurice D, Cowan C. The management of atrial fibrillation:
summary of updated NICE guidance. BMJ. 2014;348:g3655.
36. Singer DE, Chang Y, Borowsky LH, Fang MC, Pomernacki NK, Udaltsova N, et al.
A new risk scheme to predict ischemic stroke and other thromboembolism in
atrial fibrillation: the ATRIA study stroke risk score. Journal of the American Heart
Association. 2013;2(3):e000250.
50. Connolly SJ, Ezekowitz MD, Yusuf S, Eikelboom J, Oldgren J, Parekh A, et al.
Dabigatran versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med.
2009;361(12):1139-51.
51. Patel MR, Mahaffey KW, Garg J, Pan G, Singer DE, Hacke W, et al. Rivaroxaban versus
warfarin in nonvalvular atrial fibrillation. N Engl J Med. 2011;365(10):883-91.
52. Giugliano RP, Ruff CT, Braunwald E, Murphy SA, Wiviott SD, Halperin JL, et
al. Edoxaban versus warfarin in patients with atrial fibrillation. N Engl J Med.
2013;369(22):2093-104.
53. Wang K-L, Lip GY, Lin S-J, Chiang C-E. Non–vitamin K antagonist oral anticoagulants
for stroke prevention in Asian patients with nonvalvular atrial fibrillation: Meta-
analysis. Stroke. 2015;46(9):2555-61.
54. Shields A, Lip GY. Choosing the right drug to fit the patient when selecting
oral anticoagulation for stroke prevention in atrial fibrillation. J Intern Med.
2015;278(1):1-18.
55. Hylek EM, Ko D, Cove CL. Gaps in translation from trials to practice: non-vitamin K
antagonist oral anticoagulants (NOACs) for stroke prevention in atrial fibrillation.
Thrombosis and Haemostasis. 2014;111(05):783-8.
56. Non-vitamin K. “Unreal world” or “real world” data in oral anticoagulant treatment
of atrial fibrillation. Thrombosis and Haemostasis. 2016;116(2016):587-9.
57. Villines TC, Schnee J, Fraeman K, Siu K, Reynolds MW, Collins J, et al. A comparison
of the safety and effectiveness of dabigatran and warfarin in non-valvular atrial
fibrillation patients in a large healthcare system. Thrombosis and Haemostasis.
2015;114(06):1290-8.
58. Camm AJ, Amarenco P, Haas S, Hess S, Kirchhof P, Kuhls S, et al. XANTUS: a real-
world, prospective, observational study of patients treated with rivaroxaban for
stroke prevention in atrial fibrillation. Eur Heart J. 2015;37(14):1145-53.
59. Potpara TS. Dabigatran in ‘real-world’clinical practice for stroke prevention in
patients with non-valvular atrial fibrillation. Thromb Haemost. 2015;114(6):1093-
8.
60. Lee SR, Choi EK, Han KD, Jung JH, Oh S, Lip GYH. Edoxaban in Asian Patients With
Atrial Fibrillation
Effectiveness and Safety. J Am Coll Cardiol 2018;72:838–53
Pendahuluan
Infeksi kulit dan Jaringan Lunak (Skin and Sof Tissue Infections/SSTIs)
dapat menimbulkan manifestasi klinis yang luas dan beragam, mulai dari
infeksi yang ringan hingga infeksi berat yang mengancam nyawa.1 Di Amerika
Serikat, kejadian SSTIs mencapai lebih dari 14 juta kasus tiap tahunnya, dengan
insidens tertinggi diperoleh pada kelompok usia 18-44 tahun.2 Berbagai
kendala yang muncul menimbulkan permasalahan dalam tatalaksananya.
Definisi
Infeksi kulit dan jaringan lunak didefinisikan sebagai suatu kondisi
supuratif yang ditimbulkan oleh invasi mikroba ke dalam epidermis dan
jaringan subkutan yang selanjutnya menimbulkan respons lokal maupun
sistemik pada tubuh pejamu. Sementara infeksi kulit dan jaringan lunak
komplikata meliputi infeksi pada jaringan lunak yang lebih dalam, dan/
atau membutuhkan intervensi pembedahan untuk tatalaksananya, dan/atau
adanya penyulit penyakit dasar seperti diabetes, obesitas, imunodefisiensi,
hingga insufisiensi aliran darah.3
Berbagai Kendala
Klasifikasi yang Bervariasi
Kendala pertama pada manajemen infeksi kulit dan jaringan lunak adalah
adanya perbedaan klasifikasi yang dijadikan acuan guna membantu klinisi
menentukan manajemen terbaik pada pasien. Meskipun demikian, hingga
saat ini belum ada satu klasifikasi standar dan baku yang dapat diterima
secara global.4
demikian, masalah waktu tumbuhnya kuman yang lama pada kultur tetap
menjadi isu yang harus diperhatikan.6,7
Angka positivitas kultur darah pada SSTIs hanya berkisar < 5%,
sementara kultur yang diambil menggunakan aspirasi jarum pada daerah
kulit yang meradang 5-40%, dan menggunakan teknik punch biopsy angka
tersebut berada pada 20-30%.7
Kendala Tatalaksana
Kesulitan dalam mendapatkan hasil kultur pada SSTI dan SSTI komplikata
menambah problematika dalam tatalaksananya, oleh karena pemilihan
antibiotika empirik tetap berdasarkan kepada data mikrobiologis. Munculnya
kuman yang bersifat multiresisten semakin menambah kompleksitas
masalah.5
Simpulan
Infeksi kulit dan jaringan lunak (Skin and Soft Tissue Infection/SSTI)
merupakan suatu kondisi yang kerap didapatkan pada praktek klinis sehari-
hari. Belum tersedianya satu klasifikasi yang dapat diterima secara luas
menimbulkan kendala dalam menyeragamkan justifikasi yang akan diambil
oleh klinisi terhadap kasus yang dihadapi. Kenyataan ini akhirnya berdampak
Daftar Pustaka
1. Macía-Rodríguez C, Alendre-Castro V, Vazquez-Ledo L, Novo-Veleiro I, Gonzalez-
Quintela A. Skin and soft-tissue infections: Factors associated with mortality and
re-admissions. Enferm Infecc Microbiol Clin. 2017;35(2):76–81
2. Ramakrishnan K, Salinas RC, Higuita NIA. Skin and soft tissue infections. AAFP
2015;92(6):424-483E.
3. White B, Seaton RA. Complicated skin and soft tissue infections: literature review
of evidence for and experience with daptomycin. Infection and Drug Resistance
2011:4 115–127.
4. Koerner R, Johnson AP. Changes in the classification and management of skin and
soft tissue infections. J Antimicrob Chemother 2011; 66: 232–234
.
5. Stevens DL, Bisno AL, Chambers HF, Dellinger EP, Goldstein EJC, Gorbach SL, et
al. Practice Guidelines for the Diagnosis
and Management of Skin and Soft Tissue
Infections: 2014 Update by the Infectious Diseases Society of America. Clinical
Infectious Diseases 2014;59(2):e10–52
6. Esposito S, Bassetti M, Concia E, De Simone G, De Rosa FG, Grossi A, et al.
Diagnosis and management of skin and soft-tissue infections (SSTI). A
literature review and consensus statement: an update. J Chemother 2017. DOI
10.1080/1120009X.2017.1311398
7. Esposito S, Bassetti M, Bonnet E, Bouza E, Chan M, De Simone G, et al. Hot topics
in the diagnosis and management of skin and soft-tissue infections. International J
Antimicrobial Agents 2016;48:19–26.
8. Dryden MS. Complicated skin and soft tissue infection. J Antimicrob Chemother
2010; 65 Suppl 3: iii35–44
9. Kujath P, Kujath C. Complicated skin, skin structure and soft tissue infections-are
we threatened by multi-resistant pathogens? Eur J Med Res 2010;15:544-553
10. Eisenstein BI. Treatment challenges in the management of complicated skin and
soft-tissue infections. Clin Microbiol Infect 2008; 14 (Suppl. 2): 17–25
Pendahuluan
Penelitian intervensi farmakologis dengan menggunakan statin, suatu
inhibitor HMG reductase yang menghambat sintesis kolesterol dihati, telah
membuktikan statin efektif dalam menurunkan risiko kejadian kardiovaskular,
baik pada pencegahan primer maupun sekunder. 1, 2
Uji klinis skala besar lain juga telah membuktikan manfaat terapi
kombinasi ezetimib-statin dalam menurunkan kejadian kardiovaskular pada
pasien penyakit ginjal kronik, dan juga mendapatkan efek yang sama pada
pasien diabetes.6
Gambar 1. Penurunan angka kejadian (events rate) untuk studi SEAS, SHARP (A) dan
IMPROVE-IT (B) dibandingkan dengan uji klinis statin.
Subskrip (tanda kotak) menunjukkan uji coba berikut: a: GISSI Prevenzione: Gruppo Italiano per lo Studio
della Sopravvivenza nell’Infarto Miocardico, b: ALLHAT-LLT: Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment
to Prevent Heart Attack Trial – Lipid Lowering Trial c: ALERT: Assessment of Lescol in Renal Transplantation,
d: LIPS: Lescol Intervention Prevention Study, e: AFCAPS / TexCAPS: Air Force/Texas Coronary Atherosclerosis
Prevention Study, f: CARE: Cholesterol and recurrent events, g: LIPID: Long-term Intervention with Pravastatin
in Ischemic Disease, h: PROSPER: PROspective Study of Pravastatin in the Elderly at Risk, i: ASCOT-LLA: Anglo-
Scandinavian Cardiac Outcomes Trial-Lipid Lowering Arm, j: WOSCOPS: West of Scotland Coronary Prevention
Study, k: Post CABG: Post-Coronary Artery Bypass Graft, l: CARDS: Collaborative Atorvastatin Diabetes Study, m:
HPS: Heart Protection Study, n: 4S: Scandinavian Simvastatin Survival Study. Dimodifikasi dengan izin dari1,5 .
Keterangan gambar:
A. Plot studi SEAS dengan aortic stenosis tertiles T1, T2, T3 (JET velocities
<2.8 m / s,> 2.8-3.3 m/s,> 3.3 m/s, masing-masing) dan studi SHARP dan
uji klinis statin untuk perubahan kadar kolesterol LDL versus manfaat
klinis.
B. Plot studi IMPROVE-IT untuk perubahan kadar kolesterol LDL versus
manfaat klinis. Data IMPROVE-IT yang diplot adalah rasio bahaya Cox
dari penurunan kejadian vaskular utama, didefinisikan sebagai kematian
kardiovaskular, infark miokard, strok atau revaskularisasi lebih dari
30 hari pasca randomisasi, membandingkan kelompok simvastatin/
ezetimib versus simvastatin/plasebo. Ukuran kotak sebanding dengan
jumlah end point dalam studi dibandingkan dengan studi lain yang diplot.
Daftar Pustaka
1. Unit ES. Efficacy and safety of cholesterol-lowering treatment: prospective meta-
analysis of data from 90 056 participants in 14 randomised trials of statins. Lancet.
2005;366(9493):1267-78.
2. Baigent C, Blackwell L, Emberson J, Holland L, Reith C, Bhala N, et al. Efficacy and
safety of more intensive lowering of LDL cholesterol: a meta-analysis of data from
170,000 participants in 26 randomised trials. Elsevier; 2010.
3. Park S-W. Intestinal and hepatic niemann-pick c1-like 1. Diabetes & metabolism
journal. 2013;37(4):240-8.
4. Sudhop T, Lütjohann D, Kodal A, Igel M, Tribble DL, Shah S, et al. Inhibition
of intestinal cholesterol absorption by ezetimibe in humans. Circulation.
2002;106(15):1943-8.
5. Cannon CP, Blazing MA, Giugliano RP, McCagg A, White JA, Theroux P, et al.
Ezetimibe added to statin therapy after acute coronary syndromes. N Engl J Med.
2015;372(25):2387-97.
6. Baigent C, Landray MJ, Reith C, Emberson J, Wheeler DC, Tomson C, et al. The
effects of lowering LDL cholesterol with simvastatin plus ezetimibe in patients
with chronic kidney disease (Study of Heart and Renal Protection): a randomised
placebo-controlled trial. The Lancet. 2011;377(9784):2181-92.
7. Toth PP, Catapano A, Tomassini JE, Tershakovec AM. Update on the efficacy and
safety of combination ezetimibe plus statin therapy. Clin Lipidol. 2010;5(5):655-
84.
8. Rossebø AB, Pedersen TR, Boman K, Brudi P, Chambers JB, Egstrup K, et al.
Intensive lipid lowering with simvastatin and ezetimibe in aortic stenosis. N Engl J
Med. 2008;359(13):1343-56.
9. Davidson MH, Armani A, McKenney JM, Jacobson TA. Safety considerations with
fibrate therapy. Am J Cardiol. 2007;99(6):S3-S18.
10. Holme I, Boman K, Brudi P, Egstrup K, Gohlke-Baerwolf C, Kesäniemi YA, et
al. Observed and predicted reduction of ischemic cardiovascular events in the
Simvastatin and Ezetimibe in Aortic Stenosis trial. Am J Cardiol. 2010;105(12):1802-
8.
11. Gerdts E, Rossebø AB, Pedersen TR, Boman K, Brudi P, Chambers JB, et al. Impact
of baseline severity of aortic valve stenosis on effect of intensive lipid lowering
therapy (from the SEAS study). Am J Cardiol. 2010;106(11):1634-9.
12. Blumenthal RS, Michos ED. The HALTS trial–halting atherosclerosis or halted too
early. N Engl J Med. 2009;361(22):2178-80.
13. Brown BG, Taylor AJ. Does ENHANCE diminish confidence in lowering LDL or in
ezetimibe? : Mass Medical Soc; 2008.
14. Drazen JM, Jarcho JA, Morrissey S, Curfman GD. Cholesterol lowering and ezetimibe.
Mass Medical Soc; 2008.
15. Kastelein JJ, Bots ML. Statin therapy with ezetimibe or niacin in high-risk patients.
Mass Medical Soc; 2009.
16. Toth PP, Maki KC. A Commentary on the implications of the ENHANCE (Ezetimibe
and Simvastatin in Hypercholesterolemia Enhances Atherosclerosis Regression)
Trial: Should ezetimibe move to the” Back of the Line” as a therapy for dyslipidemia?
J Clin Lipidol. 2008;2(5):313.
17. Blazing M, Guigliano R, Cannon C, Musliner T, Tershakovec A, White J, et al.
IMProved Reduction of Outcomes: Vytorin Efficacy International Trial: On-
treatment analysis. American Heart Association Scientific Sessions. 2014:15-9.
18. Murphy SA, Cannon CP, Blazing MA, Giugliano RP, White JA, Lokhnygina Y, et al.
Reduction in total cardiovascular events with ezetimibe/simvastatin post-acute
coronary syndrome: the IMPROVE-IT trial. J Am Coll Cardiol. 2016;67(4):353-61.
19. Giugliano RP, Cannon C, Blazing M, White J, Murphy S, Tershakovec A, et al. Baseline
LDL-C and clinical outcomes with addition of ezetimibe to statin in 18,144 patients
post ACS. J Am Coll Cardiol. 2015;65(10 Supplement):A4.
20. Bohula EA, Giugliano RP, Cannon CP, Zhou J, Murphy SA, White JA, et al. Achievement
of dual low-density lipoprotein cholesterol and high-sensitivity C-reactive protein
targets more frequent with the addition of ezetimibe to simvastatin and associated
with better outcomes in IMPROVE-IT. Circulation. 2015:CIRCULATIONAHA.
115.018381.
21. Blazing M, Giugliano R, Wiviott S, White J, Delemos J, McGuire D, et al., editors.
Muscle related complaints, serious adverse events vents and drug discontinuations
in 17,706 subjects randomized to simvastatin or ezetimibe/simvastatin in the
IMPROVE-IT study. Eur Heart J; 2015: Oxford Univ Press Great Clarendon St,
Oxford Ox2 6dp, England.
22. Toth PP, Catapano A, Farnier M, Foody J, Tomassini JE, Jensen E, et al. Ezetimibe
does not increase fasting glucose levels more than statins alone in non-diabetic,
hypercholesterolemic patients. Atherosclerosis. 2015;241(1):e216.
23. Peto R, Emberson J, Landray M, Baigent C, Collins R, Clare R, et al. Analyses of
cancer data from three ezetimibe trials. N Engl J Med. 2008;359(13):1357-66.
24. Giugliano R, Wiviott S, Fuchs C, Wagner A, Goessling W, White J, et al., editors.
Prospectivev evaluation of cancer in 18,144 patients randomized to ezetimibe
vs placebo: a prespecified analysis from the IMPROVE IT trial. Eur Heart J; 2015:
Oxford Univ Press Great Clarendon St, Oxford Ox2 6dp, England.
25. Giugliano R, Wiviott S, Blazing M, Murphy S, Zhou J, White J, et al., editors. Safety
and efficacy of long-term very low achieved LDL-C in the IMPROVE IT trial. Eur
Heart J; 2015: Oxford Univ Press Great Clarendon St, Oxford Ox2 6dp, England.
26. Tsujita K, Sugiyama S, Sumida H, Shimomura H, Yamashita T, Yamanaga K, et
al. Impact of dual lipid-lowering strategy with ezetimibe and atorvastatin on
coronary plaque regression in patients with percutaneous coronary intervention:
the multicenter randomized controlled PRECISE-IVUS trial. J Am Coll Cardiol
2015;66:495 – 507.
27. Catapano AA,
Graham I, De Backer G, Wiklund O, Chapman MJ, Drexel H, et al. 2016
ESC/EAS Guidelines for the Management of Dyslipidaemias The Task Force for the
Management of Dyslipidaemias of the European Society of Cardiology (ESC) and
European Atherosclerosis Society (EAS). Eur Heart J. 2016;37:2893–962
Pendahuluan
Selain mengakibatkan komplikasi pada mata, ginjal, saraf, dan jantung,
diabetes mellitus (DM) berdampak memperburuk komorbiditas dan
meningkatan risiko kanker, penyakit kejiwaan yang serius, penurunan
kognitif serta penyakit hati kronis. Diabetes juga terkait dengan faktor
risiko kardiovaskular (CV) seperti dislipidemia, hipertensi, hiperglikemia,
obesitas, dan peningkatan stres oksidatif. Penyakit CV merupakan penyebab
utama kematian pada pasien DM dengan angka mortalitas mencapai 50%
serta mengurangi rata-rata 12 tahun harapan hidup pasien berusia 60 tahun
dibandingkan dengan populasi umum (Schrenthaner et al., 2017).
0,49 – 0,77, p<0,001) dan kematian akibat semua penyebab dengan HR 0,68
(95% IK 0,57 – 0,82, p<0,001). Emfagliflozin menurunkan risiko perawatan
rumah sakit akibat gagal jantung dengan HR 0,65 (95% IK 0,50 – 0,85, p=0,002)
(Zinman et al., 2015). Luaran kendali glukosa darah antara empagliflozin
10 dan 25 mg dibandingkan plasebo memberi hasil tidak bermakna, tetapi
pada luaran primer terdapat perbedaan bermakna (p=0,01) sedangkan pada
kematian akibat cvd hasilnya tidak bermakna (p=0,51) (Zinman et al., 2015).
Simpulan
Perkembangan panduan terapi diabetes terbaru berfokus pada
komorbiditas dan komplikasi arterosklerosis, gagal jantung, dan gagal ginjal,
walaupun pertimbangan lain perlu diperhatikan, seperti risiko hipoglikemi,
biaya pengobatan, efikasi OAD, berat badan, dan efek samping OAD.
Daftar Pustaka
1. American Diabetes Association (ADA), 2014. Standards of medical care in diabetes
2014. Diabetes Care 37(1). Pp : 1 – 67.
2. American Diabetes Association (ADA), 2018. Standards of medical care in diabetes
2018. Diabetes Care 41(1). Pp : 1 – 150.
3. Davies JM, Alessio AD, Fradkin J, Kernan NW, Mathieu C, Mingrone G, Rossing P,
Tsapas A, Wesler JD, dan Buse BJ, 2018. Management of hyperglycaemia in type 2
diabetes, 2018. A consensus report by the American Diabetes Association (ADA)
and the European Association for the Study of Diabetes (EASD). Diabetologia. pp :
1 – 38.
4. Diabetes Canada, 2018. 2018 Clinical Practise – Quick reference guide. Diabetes.ca.
pp 1 – 10.
5. Inzuchi S, Zinman B, Wanner C, Ferrari R, Fitchett D, Hantel S, Esperado, Woerle HJ,
Broedi U, dan Johannsen, 2015. SGLT-2 inhibitor and cardiovascular risk : Proposed
pathway and review of ongoing outcome trials. Diabetes & Vascular Disease 12 (2).
Pp : 90 -100.
6. Schrenthaner G, Jarvis S, Lotan C, Wanner C, dan Wascher CT, 2017. Advances in the
management of cardiovascular risk for patients with type 2 diabetes : perpectives
from the academy for cardiovascular risk, outcomes and safety studies in type 2
diabetes. Therapeutic and Clinical Risk Management 13. Pp : 69 – 79.
7. Zinman B, Wanner C, Lachin J, Fitchett D, Bluhmki E, Hantel S, Mattheus M, Devins
T, Johansen O, Woele H, Broedl dan Inzucchi, 2015. Empagliflozin, Cardiovascular
Outcomes, and Mortality in Type 2 Diabetes. N Eng J Med 373 (22) 26. Pp : 2117 –
29.
Pendahuluan
Diabetes melitus (DM) tipe 2 dikaitkan dengan komplikasi penyakit
vaskular dan kematian dini. Berbagai uji klinis besar terhadap obat-obat
DM menunjukkan pengurangan yang menguntungkan dalam komplikasi
mikrovaskular, akan tetapi efeknya pada komplikasi makrovaskuler telah
menjadi kontroversi. Dalam beberapa tahun terakhir, Food and Drug
Administration (FDA) Amerika Serikat, badan yang bertanggung jawab untuk
mengevaluasi keamanan dan efektifitas obat-obatan di Amerika Serikat, telah
membutuhkan data dari percobaan prospektif yang besar untuk menilai
keamanan obat penurun glukosa baru pada hasil kardiovaskular.1
yang berfokus pada prevensi sekunder CVD juga telah selesai dipublikasikan.2
Pada makalah ini akan dibahas mengenai penelitian-penelitian CVOT dan
perbedaannya dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
Selain resistensi insulin di hati, otot dan jaringan adiposa, serta gangguan
produksi insulin oleh sel beta pankreas, terdapat beberapa jalur patofisiologi
lain yang berperan pada DM tipe 2 yaitu peningkatan glukagon oleh sel alfa
pankreas, penurunan efek hormon inkretin di saluran cerna, peningkatan
absorpsi glukosa di ginjal dan gangguan neurotransmiter di otak (gambar
1). Adanya beberapa jalur baru yang ditemukan pada patofisiologi DM tipe 2
membuka kesempatan pengobatan baru bagi penyandang DM tipe 2.3
Tatalaksana DM tipe 2
Tujuan utama penatalaksanaan DM tipe 2 adalah menurunkan risiko
komplikasi kronik dengan mengatasi hiperglikemia dan penyakit komorbid
yang menyertai. Setiap 1% penurunan rerata HbA1c menurunkan risiko
kematian, infark miokardium, dan komplikasi mikrovaskular sebanyak 21%,
14%, dan 37%.3 Kendali glikemik yang mendekati normal merupakan kunci
utama untuk mencegah awitan komplikasi jangka panjang. Namun pada
kenyataannya hanya 7-21% pasien yang berhasil mencapai target HbA1c.4
HbA1c 8,27% dan hanya 37,4% penyandang diabetes yang berhasil mencapai
target HbA1c < 7%. Studi IDMP merupakan studi dengan populasi pasien
DM terbesar di negara-negara berkembang yang dilakukan untuk menilai
tatalaksana terapeutik DM di 27 negara Asia, Amerika Latin, Timur Tengah,
dan Afrika.6 Sementara itu Studi DiabCare Asia 2008 juga melaporkan
sejumlah besar pasien DM di Indonesia tidak mencapai target HbA1c. Diantara
OHO, biguanid dan sulfonilurea (SU) merupakan OHO yang terbanyak dipakai
di Indonesia.8 Baik biguanid maupun SU merupakan OHO yang sudah lama
digunakan, mudah didapat di Indonesia, harga terjangkau, memiliki efek
penurunan HbA1c cukup bermakna (1-2%) sehingga masih banyak digunakan
dan efektif dalam penurunan glukosa darah.6
Beberapa golongan OHO yang ada di Indonesia saat ini adalah insulin
secretagogue (sulfonilurea, glinid), insulin sensitizer (biguanid, tiazolidindion),
penghambat absorpsi glukosa di saluran cerna (acarbose), penghambat
dipeptidyl peptidase IV/DPP-IV (sitagliptin, linagliptin, saxagliptin,
vildagliptin), dan penghambat sodium glucose co-transporter 2/ SGLT-2
(dapagliflozin). Sesuai dengan Konsensus Perkeni 2015, bila modifikasi gaya
hidup tidak dapat mencapai kendali glikemik yang optimal, diperlukan terapi
farmakologis untuk mencapai target HbA1c <7%. Pemilihan OHO hendaknya
disesuaikan dengan kebutuhan dan kepentingan penyandang DM yang bersifat
individual, dengan mempertimbangkan keamanan, efikasi, kepatuhan pasien,
ketersediaan obat, dan harga.6
Kesimpulan
Tatalaksana DM tipe 2 saat ini bersifat individual dengan target HbA1c
< 7% atau lebih longgar tergantung kondisi pasien. Obat-obat yang beredar
harus mempunyai hasil CVOT yang baik untuk bisa dipasarkan. Obat-obat
lama seperti SU, sampai saat ini masih merupakan salah satu OHO yang
paling banyak digunakan di Indonesia karena cukup efektif menurunkan
gula darah melalui efek stimulasi sekresi insulin dan harganya terjangkau.
Gliklazid merupakan SU yang aman digunakan untuk risiko kardiovaskular
berdasarkan penelitian ADVANCE. Selain target glikemik kita juga harus
memperhatikan obat-obat DM yang tidak berisiko terhadap kardiovaskular.
Daftar Pustaka
1. Bailey AV, Day C. Glucose-lowering drugs and cardiovascular risk: how recent
outcome trials have informed practice. The Pharmaceutical Journal 2018;4.
2. Schnell O, Standl E, Catrinoiu D, Genovese S, Lalic N, Lalic K, et al. Report from
the 3rd Outcome Trial (CVOT) Summit of the Diabetes & Cardiovascular Disease
(D&CVD) EASD Study Group. Cardiovasc Diabetol (2018) 17:30.
3. DeFronzo RA. From the triumvirate to the opminous octet: a new paradigm for the
treatment of type 2 diabetes mellitus. Diabetes. 2009;58:773-95.
4. Nathan DM, Buse JB, Davidson MB et al. Medical management of hypergkycemia
in type 2 diabetes mellitus: a consensus algoritm for initiation and adjustmant of
therapy. A consensus statement from the American Diabetes Association and the
European Association for the Study of Diabetes. Diabetologia 2009;52: 17-30.
5. Stratton IM, Adler AI, Neil HA, Ma hews DR, et al. Association of glycaemia with
macrovascular and microvascular complications of type 2 diabetes (UKPDS 35):
prospective observational study. BMJ. 2000;321:405-12.
6. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). Konsensus penatalaksanaan
diabetes mellitus. Jakarta, Indonesia: PERKENI;2015.
7. American Diabetes Mellitus. Standards Of Medical Care
In Diabetes. Diabetes Care
2018;41:S1-150.
8. Mohanty B. Lower Cardiovascular Risk with Diabetic Drugs: A Paradigm Shift from
Glucocentricity to Cardio Protectiveness. Diabetes Case Rep 2017;2:2.
9. Cefalu WT, Kaul S, Gerstein HC, Holman RR, Zinman B, Skyler JS, et al. Cardiovascular
Outcomes Trials in Type 2 Diabetes: Where Do We Go From Here? Re!ections From
a Diabetes Care Editors’ Expert Forum. Diabetes Care 2018;1(1);14:1-19.
Pendahuluan
Multidrug resistant TB (MDR-TB) atau resistensi obat ganda saat ini
menjadi masalah kesehatan utama di dunia dan menjadi rintangan terhadap
program TB nasional yang efektif. Di kebanyakan negara, kasus MDR-TB
makin meningkat akan tetapi penatalaksanaan seringkali tidak adekuat. Tahun
2011, WHO memperkirakan terdapat 500.000 kasus TB MDR/ tahun (dunia)
dengan angka kematian 150.000. Menurut WHO Global TB Programme 2015,
Indonesia menempati urutan kedua di antara 30 negara dengan beban TB
yang tinggi, dengan insidensi 1.000.000 kasus TB per tahun atau mencapai
10,3% kasus TB global. Secara global, untuk Indonesia WHO tahun 2011
menggunakan angka 2% untuk kasus baru dan 12% untuk kasus pengobatan
ulang untuk memperkirakan kasus TB MDR.
Tabel 1. Causes
Tabel 1. CausesofofInadequate antituberculosis
Inadequate antituberculosis treatment
treatment
lebih dari satu obat namun tidak appropriate akan menimbulkan seleksi
mutan resistensi obat.6 .
Gambar 2. Mechanisms of development of drug-resistant tuberculosis
Definisi
TB resisten Obat adalah keadaan dimana kuman M. tuberculosis sudah
tidak dapat lagi dibunuh dengan obat anti TB (OAT).
Tata Laksana TB RO
Prinsip:
• Semua pasien yang sudah terbukti sebagai TB RO, yaitu pasien TB RR,TB
MDR, TB pre XDR maupun TB XDR berdasarkan pemeriksaan uji kepekaan
M.Tb baik dengan TCM TB maupun metode biakan konvensional dapat
mengakses pengobatan TB RO yang baku dan bermutu.
• Paduan OAT untuk pasien TB RO terdiri dari paduan OAT standar dan
paduan OAT individual.
• Paduan OAT standar diperuntukkan bagi pasien TB RR dan TB MDR di
Fasyankes Rujukan TB-RO dan Fasyankes TB-RO
•
Berdasarkan durasi pengobatan, Paduan OAT standar dibedakan
menjadi:
o Paduan OAT standar jangka pendek (9-11 bulan)
o Paduan OAT standar konvensional (20-26 bulan)
• Paduan OAT individual diperuntukkan bagi pasien TB pre-XDR dan TB
XDR; Paduan individual merupakan kombinasi OAT lini pertama, lini
kedua dan OAT jenis baru
• Tata laksana TB-RO memakai paduan individual dilaksanakan di
Fasyankes Rujukan TB-RO; Durasi pengobatan menggunakan OAT
individual untuk pasien TB pre-XDR dan TB XDR minimal 24 bulan
• Paduan OAT standar dapat disesuaikan bila terjadi perubahan hasil uji
kepekaan MTb menjadi paduan individual yang ditetapkan oleh dokter
terlatih di Fasyankes Rujukan TB RO
• Paduan individual juga diberikan untuk pasien yang memerlukan OAT
jenis baru karena efek samping berat terhadap OAT lini kedua golongan
fluorokuinolon (grup A) atau OAT suntik lini kedua (grup B) sehingga
dikhawatirkan mengurangi efikasi paduan OAT yang diberikan
Paduan OAT TB RO terdiri dari paduan OAT standar jangka pendek dan paduan
OAT individual.
Rekomendasi WHO 2016, harus terdiri dari sekurangnya 5 (lima) jenis OAT
pada tahap awal, yaitu:
• Pirazinamid + 4 (empat) OAT inti lini kedua yang terbukti masih efektif
atau belum pernah digunakan, yaitu:
- salah satu OAT dari grup A (golongan flurokuinolon)
- salah satu OAT dari grup B ( golongan OAT suntik lini kedua)
- 2 OAT dari grup C (golongan OAT oral lini kedua)
• Apabila belum terpenuhi 5 obat, maka OAT grup D2/ D3 bisa ditambahkan
• Isoniazid dosis tinggi dan atau Etambutol ditambahkan
Dosis Obat
catatan
• Intoleransi Z tidak boleh mendapatkan paduan jangka pendek
• Intoleransi/resistan terhadap E, paduan jangka pendek diberikan tanpa
Etambutol
• Kapreomisin dapat menggantikan kanamisin apabila muncul efek
samping di dalam masa pengobatan (BUKAN karena terdapat resistansi)
• Jadwal:
Minggu ke- Dosis harian Frekuensi per minggu
Minggu 0-2 400 mg (1x4 tab) 6 hari per minggu
Minggu 3-24 200 mg (1x2 tab) 3 kali per minggu dengan jarak pemberian minimal 48 jam
Daftar Pustaka
1. Sharma SK, Mohan A. Review Article. Multidrug-resistant tuberculosis. Indian J
Med Res 2004; 120:354-376
2. MDR/XDR-TB WHO 2010
3. MDR-TB Guideline 2011
4. Caminero JA, Best drug treatment MDR/XDR, Lancet 2010
5. Caminero JA, Comprehensive Course on Clinical Management of Drug Resistant
Tuberculosis, 2011
6. Sarabjit Chada, Comprehensive Course on Clinical Management of Drug Resistant
Tuberculosis, 2011
7. Bahan Pelatihan TB. PERPARI Indonesia. 2017
Pendahuluan
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium Tuberculosis. Secara umum menyerang paru tetapi bisa juga
eksta paru. Transmisi TB terjadi bila seorang sakit TB paru memproduksi
percik renik (airbone) ke udara. Percik renik tersebut bisa diproduksi saat
batuk, bersin, berbicara atau menyanyi. Kemudian terhirup oleh orang sehat.
Secara keseluruhan, proporsi TB relatif kecil 5-15% dari perkiraan 2-3 miiliar
orang yang terinfeksi TB berkembang menjadi TB aktif. Tetapi probabilitas
menjadi TB aktif meningkat pada populasi HIV. Pada tahun 2020 diharapkan
terjadi penurunan jumlah kematian akibat TB sebesar 35% dan penurunan
angka insidensi TB sebesar 20% dibanding tahun 2015 (WHO, 2016).
Tatalaksana Farmakoterapi
Terdapat 2 regimen untuk TB RO, yaitu paduan pengobatan jangka
pendek (a shorter MDR TB regimen) dan paduan standar konvensional/
individual (Conventional MDR TB regimen).
Terdiri dari fase intensif dan fase lanjutan. Fase intensif diberikan 4 bulan
(diperpanjang sampai 6 bulan bila tidak didapatkan konversi dari sputum
BTA). Paduan obat fase intensif yaitu gatifloksasin (atau moksifloksasin),
kanamisin, protionamid (atau etionamid), klofazimin, isoniasid dosis tinggi,
pirazinamid dan etambutol. Kemudaian diikuti fase lanjutan selama 5
bulan. Paduan obat fase lanjutan yaitu gatifloksasin (atau moksifloksasin),
klofazimin, etambutol dan pirazinamid (WHO, 2016b).
Keterangan:
*) Pemeriksaan BTA dilakukan setiap bulan dengan mengumpulkan 1 (satu) dahak pagi.
Pada bulan ke-4, ke-5, ke-6 dan akhir pengobatan dilakukan pemeriksaan BTA dari dua (2) dahak pagi
berurutan. Pada tahap lanjutan, pemeriksaan BTA dan biakan dilakukan setiap 2 bulan (pada bulan ke 5, 7,
dan 9 atau bulan ke-7, 9, dan 11)
**) Uji kepekaan untuk OAT lini kedua akan diulang bila hasil BTA positif pada bulan ke-6 atau terjadi reversi
BTA atau kultur pada fase lanjutan.
***) Pemeriksaan dapat diulang sesuai indikasi (bila diperlukan)
+) Pemeriksan EKG dilakukan pada baseline, hari ke-2, hari ke-7, dan bulan ke-1 pengobatan dan sesuai
indikasi; dilakukan di rumah sakit rujukan
++) Tes penglihatan yang dilakukan ialah tes buta warna dan lapang pandang sederhana
Hasil akhir pengobatan (Kemenkes, 2017)
1. Sembuh
- Pasien menyelesaikan pengobatan sesuai durasi pengobatan yang
ditetapkan, dan
- Pemeriksaan BTA pada akhir pengobatan (bulan ke-9 atau 11)
hasilnya negatif, dan
lima (5) obat yang masih efektif selama fase intensif, termasuk pirazinamid
dan empat (4) obat antituberkulosis lini 2. Satu (1) obat dipilih dari grup A,
satu (1) obat dipilih dari grup B, dan sedikitnya dua (2) obat dipilih dari grup
C. Bila jumlah minimum belum dapat tercapai maka dapat digunakan obat di
grup D2 dan D3. Pada pasien dengan TB TB RR atau TB MDR, direkomndasikan
untuk penambahan isoniazid dosis tinggi dan atau etambutol dan dihentikan
bila terbukti obat tersebut tidak efektif (misal resisten) (WHO, 2016b). Saat
menentukan paduan regimen perlu mempertimbangkan antara manfaat dan
efek samping yang mungkin terjadi pada pasien (WHO, 2016b).
Grup C. OAT lini 2 yang lain. Obat-obat yang digunakan yaitu Etionamid
(Eto) atau protionamid (Pto), sikloserin (Cs), linezolid (Lnz) atau terizidon,
dan klofazimin (Cfz). Etionamid digunakan secara bergantian dengan
prothionamid. Linezolid digunakan secara bergantian dengan terizidone).
Digunakan untuk memcapai jumlah minimal 5 obat yang efektif.
revesibel setelah obat dihentikan. Beberapa kasus diberikan dalam dosis lebih
kecil (dosis reguler 600 mg per 24 jam menjadi 300 mg per 24 jam). Linezolid
dapat digunakan untuk (1), TB MDR dengan resistensi tambahan, (2), XDR TB
(3), sabagai substitusi jika intoleransi terhadap obat inti. Klofazimin berperan
untuk memberikan efek sterilisasi bila pirazinamid tidak efektif. Efek samping
klofazimin yaitu hiperpigmentasi, prolonged QTc, sehingga perlu berhati-hati
bia diberikan bersama OAT lain yang mempunyai efek samping sama (WHO,
2016b).
Grup D. Obat-obat dalam grup ini tidak termasuk komponen inti dalam
paduan regimen.Terdiri dari grup D1, D2 dan D3.
Grup D1. Terdiri dari pirazinamid, etambutol dan isoniasid dosis tinggi.
Obat-obat tersebut biasanya ditambahkan dalam paduan regimen kecuali
bila didapatkan adanya bukti resistensi. Pirazinamid dapat meningkatkan
keberhasilan. Bila pirazinamid tidak dapat digunakan maka dapat digunakan
obat dari grup C dan D untuk mencapai 5 obat yang efektif. Isoniazid dosis
tinggi dapat meningkatkan keberhasilan terapi dan dapat ditoleransi secara
baik pada asien dewasa dan anak. Tidak terdapat peningkatan efek samping
hepatotoksisitas pada pasien yang menerima isoniazid dosis tinggi. Apabila
terbukti resiten INH (berhubungan dengan mutasi di area promoter gen INHA)
dengan MIC rendah maka isoniazid dosis tinggi masih bisa dipakai. Tetapi
proses mutasi tersebut berhubungan resistensi etionamid. Sehingga perlu
dipertimbangkan untuk mengganti regimen etionamid. Belum ada secara
signifikan yang menunjukkan etambutol dapat meningkatkan keberhasilan
terapi. Efek samping etambutol adalah neuritis optik (WHO, 2016b).
Grup D2. Grup 2 terdiri dari 2 obat baru, yaitu bedaquillin (Bdq) dan
delamanid (Dlm). Bedaquillin hanya direkomendasikan unatuk pasien usia
lebih dari 18 tahun. Perhatian khusus bila diberikan pada pasien usia lebih 65
tahun dan HIV seropositif. Bedaquillin dapat diberikan pada pasien TB MDR
yang tidak dapat menerima fluorokuinolon atau SLI (pada kondisi resisten,
berhubungan dengan efek samping intoleransi, kontraindikasi atau obat tidak
tersedia). Tidak direkomendasikan untuk TB XDR (Xtensive Drug Resistant )
(WHO, 2013). Delamanid dapat diberikan pada pasien usia lebih dari 18 tahun
TB MDR paru dan pasien dengan HIV seropositif. Perhatian khusus bila Dlm
diberikan pada pasien usia lebih dari 65 tahun atau pasien dengan diabetes
melitus, gangguan hepar, gangguan renal, alkoholisme dan ketergantungan
obat. Delamanid dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima
fluokuinolon atau SLI. Tidak direkomendasikan untuk TB XDR (WHOa, 2014).
Grup D3. Grup D3 terdiri dari para aminosalisilic acid (PAS), karbapenem
(imipenem-cilastatin-Ipx dan meropenem-Mpx), klavulanat dan tioasetazon.
Obat-obat ini dipakai bila paduan regimen tidak memenuhi 5 obat efektif pada
fase intensif.
Durasi terapi terdiri dari durasi fase intensif dan durasi total terapi. Fase
intensif yaitu 8 bulan, durasi terapi dapat disesuaikan dengan respon terapi.
Durasi total terapi yaitu 20 bulan, durasi total dapat disesuaikan dengan
respon terapi (WHOb, 2014).
1. Sembuh
- Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman
pengobatan TB MDR tanpa bukti terdapat kegagalan, dan
- Hasil biakan selama tahap lanjutan menunjukkan hasil negatif
minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan antar
biakan minimal 30 hari
2. Pengobatan lengkap
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan
TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal.
3. Meninggal
Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB
MDR.
4. Gagal
Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan
pengobatan TB MDR secara permanen terhadap 2 (dua) atau lebih OAT
MDR, yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah ini
yaitu:
Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014, Petunjuk Teknis Manajemen
Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat, Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017, Petunjuk Teknis Pengobatan
Pasien TB Resisten Obat Dengan Paduan Jangka Pendek DI Fasyankes TB Resisten
Obat, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jendral Pencegahan
Dan Pengendalian Penyakit.
3. WHO, 2013, Bedaquilline in the Treatment of Multidrug-Resistant Tuberculosis –
Interim Policy Guidance, www.who.int
4. WHI, 2014, The Use of Delamanid in the Treatment of Multidrug-Resistant
Tuberculosis – Interim Policy Guidance, ww.who.int
5. WHO, 2014b, Companion Handbook-To the WHO Guidelines for The Programathic
Management of Drug-Resistant Tuberculosis, http://apps.who.int/iris/bitstre
am/10665/75146/1/9789241548441_eng.pdf
6. WHO, 2015, Implementing Tuberculosis Diagnostics- Policy Framework, www.
who.int.
7. WHO, 2016a, Global Tuberculosis Report, http://www.who.int.
8. WHO, 2016b, WHO Treatment Guidelines for Drug Resistant Tuberculosis-2016
Update, www.who.int/tb/areas-of-work/drug-resistant-tb/treatment/resources/
PENDAHULUAN
Hipertensi portal (HP) adalah sindrom klinis yang ditandai dengan
peningkatan tekanan vena portal dan konsekuensi yang ditimbulkannya.
Etiologi utama timbulnya HP yaitu sirosis hati. Sistem portal merupakan
semua sistem vena yang mengalirkan darah menuju ke hati yang berasal dari
saluran cerna, di rongga abdomen, limpa, dan kandung empedu. Penyatuan
dari vena mesenterika superior dan vena lienalis membentuk vena portal.
Tinggi rendahnya tekanan portal ditentukan oleh interaksi antara aliran portal
dan hambatan dari tekanan vaskuler.1,2 HP terjadi bila terdapat peningkatan
hepatic venous pressure gradient (HVPG) di atas nilai normal 5 mmHg (mild
portal hypertension/mild PH). Sedangkan peningkatan > 10 mmHg disebut
clinically significant portal hypertension (CSPH).3,4
GEJALA KLINIS
Seperti telah diketahui, manifestasi HP terutama adalah perdarahan
hematemesis dan/atau melena. Bila kedua konidsi ini tidak ditangani
dengan cepat dan benar, dapat berakibat fatal. Varises yang pernah berdarah
cenderung untuk berdarah kembali dan kemungkinan meninggal pada
saat terjadinya perdarahan sebesar 30-35%. Komplikasi lain dari HP bisa
berupa asites, peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal, sindrom
hepatopulmonal, dan ensefalopati hepatik.6,7
PATOFISIOLOGI
Terdapat 2 faktor utama terjadinya HP:
1. Peningkatanan resistensi intrahepatik terhadap aliran darah portal
akibat adanya perubahan struktur hati atau fibrosis.
2. Peningkatan aliran darah splanknik akibat vasodilatasi pada splanchnic
vascular bed.6,8,9
Sirkulasi Intrahepatik
Kerusakan struktural masif akibat fibrosis dan vasokonstriksi pembuluh
darah intrahepatik menyebabkan resistensi sirkulasi intrahepatik. Hal ini
menjadi penyebab primer HP pada sirosis. Faktor-faktor penyebabnya antara
lain:
Sirkulasi Ekstrahepatik
a. Pembentukan pembuluh darah kolateral
Peningkatan tekanan portal menimbulkan pembuluh darah kolateral
portosistemik, yang terbentuk dari pembuluh darah yang sudah ada
sebelumnya ataupun melalui angiogenesis. Hal ini dapat menyebabkan
komplikasi serius, seperti perdarahan varises dan EH.8
b. Vasodilatasi arteri pada sirkulasi splanknik dan sistemik
Peningkatan tekanan portal diikuti peningkatan NO. Ketika tekanan
portal terus naik, maka vasodilatasi berkembang di arteri sirkulasi
splanknik kemudian berlanjut ke arteri sirkulasi sistemik. Hal ini memicu
terjadinya sirkulasi hiperdinamik yang ditandai dengan vasodilatasi
perifer dan splanknik, berkurangnya mean arterial pressure (MAP), dan
meningkatnya curah jantung (cardiac output, CO).8
DIAGNOSIS
Diagnosis pasti adanya HP berdasarkan adanya CSPH. Pengukuran HVPG
melalui kateterisasi vena hepatika memberikan hasil yang ekuivalen dengan
tekanan portal/portal pressure (PP), namun pemeriksaan ini bersifat invasif
sehingga kurang bisa dipakai untuk pelayanan sehari-hari. Dengan demikian
TERAPI
Tujuan terapi HP adalah untuk menurunkan tekanan portal atau
menghilangkan varises. Pada HP subklinis, terapi bertujuan menghindari CSPH
karena telah diketahui bahwa CSPH dapat meningkatkan risiko terjadinya
dekompensata.5 Tatalaksana HP meliputi terapi etiologi, farmakologi, dan
nonfarmakologi yang bisa dilihat pada Gambar 1.4
TERAPI ETIOLOGI
Terapi etiologi dari sirosis misalnya terapi antivirus pada hepatitis
C dan hepatitis B, penghentian pemakaian alkohol pada sirosis alkoholik,
imunosupresan pada penyakit hati autoimun, atau suplemen besi pada
hemokromatosis. Terapi ini dapat memperbaiki perjalanan penyakit, fibrosis,
dan mencegah atau menghambat terjadinya HP. Pada SK akibat virus yang
membaik, HVPG akan menurun secara signifikan.4,5,12
TERAPI FARMAKOLOGI
Golongan obat yang sering digunakan dalam praktek klinis
Sebagian besar obat-obatan yang digunakan dalam praktek klinis
adalah vasokonstriktor pembuluh darah splanknik, yang bekerja dengan
menurunkan aliran darah splanknik dan sirkulasi hiperkinetik.5
a. Derivat vasopresin (Terlipressin)
Terlipressin adalah analog sintetik long-acting vasopressin yang memiliki
efek vasokonstriksi sirkulasi splanknik. Obat ini diberikan injeksi
intravena (IV) 2 mg/4 jam selama 24-48 jam, kemudian dilanjutkan
dengan 1 mg/4 jam selama 2-5 hari. Terlipressin belum mendapat
persetujuan untuk digunakan di Amerika Serikat.1,5
b. Somatostatin
Somatostatin adalah peptida yang disekresikan oleh sel neuroendokrin.
Somatostatin menginduksi vasokonstriksi splanknik sehingga
mengurangi tekanan portal. Waktu paruhnya pendek, diberikan secara
infus 250-500 mg/jam, setelah bolus 250 mg, selama 2-5 hari.5,12
c. Analog somatostatin
Telah dikembangkan analog long-acting dari somatostatin, antara lain
octreotide dan vapreotide. Obat-obat ini mempunyai waktu paruh yang
lebih lama dari somatostatin, namun memiliki efek jangka pendek. Obat
ini diberikan secara infus 50 μg/jam (opsional setelah bolus 50 μg IV atau
subkutan) selama 5 hari.1,5
d. Nonselective β-Blockers (NSBB) tunggal maupun kombinasi
Obat NSBB merupakan antagonis reseptor adrenergik β-1 dan β-2,
yang bisa menurunkan tekanan portal dengan mengurangi aliran
darah portal-kolateral. NSBB menyebabkan vasokonstriktor splanknik
dan bisa menginduksi penurunan CO, contohnya propranolol.5,12 Obat
oral ini dosisnya dimulai dengan 10-20 mg dua kali sehari, kemudian
ditingkatkan hingga dosis maksimal yang dapat ditoleransi (membuat
tekanan sistolik arteri > 100 mmHg dan detak jantung > 50 kali/menit).5
Obat NSBB lainnya yaitu nadolol. Obat ini menginduksi penurunan CO
dan vasokontriksi splanknik. Obat diberikan secara oral, satu kali sehari
dimulai 20 mg, kemudian ditingkatkan dosisnya setiap 2-3 hari sekali
hingga dosis maksimal yang dapat ditoleransi. Keberhasilan terapi pada
sirosis dapat dinilai ketika HVPG berkurang hingga < 12 mmHg atau ≥
20% dari nilai sebelum terapi.5
Efek NSBB pada tekanan portal dapat ditingkatkan bila dikombinasi
dengan obat yang meningkatkan tonus vaskular hati, yaitu isosorbid-5-
116 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Penatalaksanaan Hipertensi Portal
Tabel 1. Stadium HP, manifestasi klinis, dan tujuan terapi pada sirosis4
Stadium Penyakit Sirosis Kompensata (SK) Sirosis Dekompensata (SD)
HVPG < 10 mmHg ≥ 10 mm Hg (CSPH) ≥ 12 mmHg
Varises Tidak ada Tidak ada Ada Ada
Komplikasi HP Tidak ada Tidak ada Tidak ada PV Akut PV sebelumnya tanpa PV sebelumnya
komplikasi dengan komplikasi
Tujuan Terapi Pencegahan Pencegahan Pencegahan Mengontrol Mencegah dekompesata Mencegah
CSPH dekompesata dekompesata perdarahan, mencegah lebih lanjut (perdarahan dekompesasi
(perdarahan perdarahan kembali selanjutnya) dan lebih lanjut dan
pertama kali) dan kematian komplikasi lain kematian/ OLT*
KESIMPULAN
Definisi HP adalah peningkatan HVPG diatas nilai normal sebesar 5
mmHg (mild PH) dan CSPH lebih dari 10 mmHg. Konsekuensi yang harus
diwaspadai adalah terbentuknya varises di esofagus dan lambung serta
terjadinya perdarahan akibat pecahnya varises. Tujuan dari terapi terhadap
pasien dengan HP adalah untuk menurunkan tekanan portal, sedangkan
tujuan terapi yaitu untuk mencegah CSPH, dekompensata, perdarahan
pertama, perdarahan berulang, dekompensata lebih lanjut dengan komplikasi
lain, dan kematian.
Daftar Pustaka
1. Miñano C, Garcia-Tsao G. Clinical pharmacology of portal hypertension.
Gastroenterol Clin North Am 2010; 39(3): 681-95.
2. Waspodo A. Hipertensi portal. Dalam: Sulaiman A, Akbar A, Lesmana LA, dkk
[Editor]. Buku ajar ilmu penyakit hati. Edisi I Revisi. Jakarta: Sagung Seto; 2012. p.
359-70.
3. Bari K, Garcia-Tsao G. Treatment of portal hypertension. World J Gastroenterol
2012; 18(11): 1166-75.
4. Garcia-Tsao G, Abraldes JG, Berzigotti A, et al. Portal hypertensive bleeding in
cirtrhosis: Risk stratification, diagnosis, and mangement: 2016 practice guidance
by the American Association for the Study of Liver Diseases. Hepatology 2017;
65(1): 210-335.
5. Berzigotti A, Bosch J.. Pharmacologic management of portal hypertension. Clin
Liver Dis 2014; 18(2): 303-17.
6. Garcia-Pagán JC, Gracia-Sancho J, Bosch J. Functional aspects on the pathophysiology
of portal hypertension in cirrhosis. J Hepatol 2012; 57(2): 458-61.
7. Kusumobroto HO. Sirosis hati. Dalam: Tjokroprawir A, Setiawan PB, Effendi C, dkk
[Editor]. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi II. Surabaya: Airlangga University
Press (AUP); 2015. p. 292-8.
8. Iwakiri Y. Pathophysiology of portal hypertension. Clin Liver Dis 2014; 18(2): 281-
91.
9. Nurdjanah S. Sirosis hati. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, dkk [Editor]. Buku
ajar ilmu penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014. p. 1978-83.
10. Bosch J, Abraldes JG, Berzigotti A, et al. 2008. Portal hypertension and
gastrointestinal bleeding. Semin Liver Dis 2008; 28(1): 3-25.
11. Cahyono JBSB. Manajemen hipertensi portal. Dalam: Tatalaksana klinis di bidang
gastro dan hepatologi. Jakarta: Sagung Seto; 2014. p. 442-54.
12. Garbuzenko DV. Contemporary concepts of the medical therapy of portal
hypertension under liver cirrhosis. World J Gastroenterol 2015; 21(20): 6117-26.
Pendahuluan
Depresi merupakan gangguan mood yang ditandai dengan rendahnya
suasana hati disertai ada atau tidaknya anhedonia (hilangnya minat melakukan
aktivitas sehari-hari yang menyenangkan, seperti hobi, atau kerja). Hal ini
disertai dengan gejala somatik lain, gangguan kognitif, dan gejala perilaku.
Terdapat keluhan kehilangan energi, perubahan berat badan yang signifikan,
insomnia atau hipersomnia, agitasi, sulit berkonsentrasi, perasaan tidak
berharga, dan rasa putus asa.
Dukungan sosial ini terdiri dari empat komponen, yaitu jaringan sosial
dapat dinilai dengan mengidentifikasi individu di sekitar penderita, interaksi
DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis terjadinya depresi pada penderita, diperlukan
ketrampilan dan pengalaman yang tidak mudah, mengingat tumpang tindihnya
keluhan penyakit dengan gejala depresi. Oleh karena itu penggunaan berbagai
instrument berupa kuesioner menjadi sangat penting dan mestinya menjadi
sarana penunjang yang selalu di gunakan dalam menghadapi penderita
terutama kasus-kasus yang diketahui prevalensi depresi cukup tinggi.
dibandingkan pada pasien PGK dengan terapi konservatif dan pada kelompok
yang menjalani hemodialisis mempunyai kecenderungan lebih tinggi berada
pada batas ambang depresi sedang hingga berat.
Aksis 2.
Menyatakan tentang gangguan kepribadian jika ditemukan dan derajat
beratnya gangguan tersebut
Aksis 3.
Menyatakan tentang gangguan penyakit fisik, seperti dispepsia, hipertensi
dan sebagainya.
Aksis 4.
Menyatakan tentang stresor psikososial dan derajat beratnya sepertin, konflik
dengan pasangan, kemalangan, dan kehilangan seseorang yang dicintai
Aksis 5,
Menyatakan keadaan sosio kultural, berisi kemampuan fungsi adaptasi yang
tertinggi yang dimiliki penderita yang ditentukan dalam satu tahun terakhir
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan depresi sama halnya dengan gangguan psikosomatik
lainnya haruslah memakai konsep bio-psiko-sosio-kultural. Dalam
tatalaksana gangguan psikosomatik/ depresi seorang dokter juga harus bisa
mempelajari kemungkinan penyebab terjadinya gangguan tersebut akibat
trauma psikologis dari masa kecil dan trauma lainnya yang mempengaruhi
kemampuan adaptasi dan psikologis penderita secara umum. Karena trauma
psikologis dimasa lalu terbukti meningkatkan kerapuhan seseorang terhadap
masalah yang dihadapinya saat ini sehingga memudahkan seseorang
untuk mengalami gangguan psikosomatik/depresi. Dengan memberikan
penanganan yang menyeluruh tersebut akan meningkatkan pemahaman
penderita akan konsep gangguan psikosomatik/ depresi yang dialaminya dan
akan menghasilkan pengobatan yang lebih hemat biaya dan lebih efektif.
Non Medikamentosa
Pada gangguan mood/ depresi penanganan non medikamentosa
memegang peranan yang sangat penting, berupa:
1. Terapi suportif.
Penderita dengan penyakit yang dialaminya, perlu diberi dukungan
semangat dan perhatian yang besar baik terhadap keluhan yang
disampaikan maupun yang didapatkan dalam pemeriksaan. Kadangkala
hanya dengan mendengarkan keluhan saja, penderita sudah merasakan
kenyamanan dan merasa lega sehingga keluhan yang dirasanya bisa jauh
berkurang. Ventilasi, suatu terapi yang mudah di awal pertemuan dapat
membuka peluang dokter untuk memulai psikoterapi suportif berbasis
inti masalah yang terungkap saat ventilasi di lakukan.
2. Reassurance dan penjelasan yang meyakinkan.
Meyakinkan pasien dan memberikan keterangan tentang epidemiologi,
patofisiologi serta gejala yang umum dialami penderita sangatlah
penting. Keputusan pasien untuk menemui dokter tentunya dipengaruhi
oleh derajat dan jenis keluhan yang dirasakan, ketakutan akan penyakit
yang serius dan faktor psikososial yang menyertai keluhan. Dokter harus
bisa meyakinkan pasien bahwa gejala yang dirasakan sudah umum
terjadi dan tidak akan membahayakan jiwa. Perhatian penuh dan empati
dokter dalam menanggapi keluhan yang disampaikan pasien, akan
sangat besar pengaruhnya terhadap hubungan dan komunikasi yang baik
antara dokter dan pasien. Dengan terbangunnya komunikasi yang baik,
kepercayaan penderita akan muncul dan akan membantu pasien dalam
melatih mekanisme adaptasi/ coping terhadap gejala penyakit yang
dialami oleh pasien.
3. Faktor presipitasi
Mengoreksi faktor presipitasi yang memicu terdapatnya depresi dapat
menjadi salah satu bagian dari penatalaksanaan kasus ini. Sebagai contoh
adalah menghindari faktor diet yang bisa menimbulkan rasa kembung,
konstipasi, berdebar-debar dll.
4. Terapi perilaku.
Pengobatan psikologi dan terapi perilaku seperti perilaku kognitif
(cognitive behavioral therapy), hipnosis, dan psikoterapi merupakan
pengobatan yang aman, efektif dan bertahan lama. Ada banyak keuntungan
yang diperlihatkan bila menangani depresi dengan terapi psikologis dan
terapi perilaku, satu penelitian multisenter memperlihatkan peningkatan
efektifitas terapi 70% dibandingkan dengan terapi medikamentosa saja.
126 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Diagnosis dan Manajemen Depresi di Bidang Penyakit Dalam
Dan hal yang terpenting dari manfaat terapi ini adalah terhindarnya
penderita dari adiksi obat –obatan tranquilizer, manfaat terapi terasa
setelah periode pengobatan selesai. Karena perbaikan pola pikir dan
mekanisme adaptasi, tidak ditemukan efek samping seperti penggunaan
obat-obatan dan sangat mengurangi biaya pengobatan. Terapi perilaku
mampu meningkatkan motivasi dan mempertahankan pengobatan,
efektif untuk modifikasi perilaku cemas, dan memperbaiki mekanisme
coping yang akan meningkatkan kepatuhan dalam menggunakan obat
psikofarmaka.
5. Terapi Supportif keluarga
Penderita dengan depresi membutuhkan dukungan dari dokter saja,
akan tetapi juga membutuhkan dukungan dari anggota keluarga
terdekat. Dukungan keluarga tidak saja dalam memudahkan penderita
menemui dokternya akan tetapi juga pengertian keluarga akan adanya
beban emosional yang dialami, dan berempati akan keluhan yang
disampaikan penderita. Dukungan keluarga akan memperkuat semnagat
penderita untuk sembuh dari depresi dan bersahabat dengan nyeri yang
dialaminya.
6. Imagery:
Imagery adalah teknik menggunakan imajinasi seseorang untuk membuat
gambar mental atau situasi. Imagery dapat dianggap sebagai lamunan
yang disengaja yang menggunakan semua indra,sentuhan, pendengaran,
penciuman, dan rasa. Beberapa orang percaya bahwa imagery adalah
suatu bentuk self-hypnosis. Imagery dapat membantu menjadi rileks,
menghilangkan kebosanan, mengurangi kecemasan, dan membantu
tidur.
7. Pengalihan Fokus perhatian
Teknik mengalihkan fokus nyeri kepada aktifitas lain ini mudah
disampaikan , namun awalnya akan sulit bagi penderita. Dengan
mengajarkan mengalihkan fokus perhatian, penderita tidak akan fokus
pada satu keluhan nyeri saja, namun akan sibuk atau asyik dengan
aktifitas lain, sehingga fokus nyeri berganti dengan fokus aktifitas
baru sehingga penderita lebih tenang dan bisa menikmati aktifitas lain
tersebut.
Medikamentosa
Penanganan gangguan psikosomatik tidak dapat dilakukan tanpa
pemberian medikamentosa. Obat-obatan yang diberikan tidak hanya
psikofarmaka akan tetapi juga pemberian obat-obat simptomatik, sesuai
dengan keluhan yang disampaikan oleh penderita. Pada beberapa kasus
yang terdapat kegawatan, pengobatan somatic harus didahulukan. Sering
pada penyakit psikosomatik yang lama, proses somatic lebih lanjut sehingga
penanganan somatic akan lebih memberikan hasil.
Penutup
Diagnosis dan tata laksana depresi dibidang penyakit dalam sudah
semestinya mendapat perhatian yang tinggi dari para klnisi, karena diakui
dapat mempengaruhi perjalanan penyakit dan tata laksana penyakit dasar
yang dialami penderita. Penanganan yang holistik dan komprehensif dengan
menggunakan pendekatan psikosomatik dapat diandalkan dalam menangani
Daftar Pustaka
1. Robinson MJ, Edward SE, Iyengar S, Bymaster F, Clark M et al. Depression and pain.
Frontiers in Bioscience. 2009;14:5031-51.
2. Genhardt S, Lautenbacher S. Pain in depressive disorders. Mental Health and Pain.
2014: 99-108.
3. Duarte PS, Miyazaki MC, Blay SL, et al. (2009) Cognitive-behavioral group therapy
is an effective treatment for major depression in hemo-dialysis patients. Kidney
International 76: 414–421
4. Rosenthal Asher D, Ver Halen N and Cukor D (2012) Depression and non-adherence
predict mortality in hemodialysis treated end-stage renal disease patients.
Hemodialysis International 16: 387–393.
5. Andreade S, Sesso W. Impact of chronic kidney disease on quality of life, lung
function, and functional capacity. 3. Rio de Janiero : s.n., 2014, Vol. 90, pp. 580-586.
6. R Thomas, Acharya S, Shukla S. Prevalence of depression among patients with
chronic kidney disease. India. 2014. 9: 19-22
7. Fioranelli M, Bottaccioli AG, Bottaccioli F, Bianchi M, Rovesti M, Roccia
MG. Stress and inflammation in coronary artery disease; A review
psychoneuroendocrineimmunology-based.Front Immunol. 2018 Sep 6;9:2031.
Pendahuluan
Penyakit muskuloskeletal merupakan penyebab terbesar nyeri kronis di
pelayanan kesehatan primer. Penyakit reumatik yang sering menyebabkan
nyeri kronik adalah osteoartritis (OA), inflammatory arthritis, chronic regional
back pain atau LBP dan fibromialgia. Studi neuroimaging menunjukkan bahwa
proses nyeri kronik yang terjadi melibatkan proses aktivasi neurotransmitter
di susunan saraf pusat dan aktivasi nosiseptor di jaringan perifer karena
adanya aktivasi leukosit yang melepaskan sitokin dan merangsang perubahan
arachidonic acid menjadi prostaglandin. Sehingga proses inflamasi juga
secara langsung dan tidak langsung akan berpeluang menjadi nyeri kronik.
The International Association for the study of pain mendefinisikan nyeri
sebagai pengalaman sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan kerusakan jaringan atau berpotensial menyebabkan
kerusakan jaringan. Pendeteksian penyebab nyeri harus dilakukan dengan
cermat, selain itu penatalaksanaan nyeri kronik harus dilakukan dengan baik
karena bebas nyeri adalah hak asasi setiap manusia. Penatalaksaan nyeri
yang tepat akan memotong jalur nyeri agar tidak menjadi nyeri kronis. Nyeri
kronis dapat menjadi beban bagi pasien, keluarga, masyarakat dan bahkan
negara.1,2,3
Profil Obat Obatan Anti Nyeri dalam Tata Laksana Nyeri Kronik
Asetaminofen (Paracetamol)
Asetaminofen merupakan obat anti nyeri dengan toksisitas yang rendah
apabila digunakan dengan dosis dibawah 2000 mg perhari. Asetaminofen
merupakan obat nyeri yang masih banyak digunakan untuk kasus nyeri
kronik reumatik Penulis lain menyarankan kombinasi parasetamol dengan
golongan opioid lemah merupakan pilihan yang baik untuk terapi nyeri kronik,
sehingga pemakaian asetaminofen dosis tinggi dapat dihindari. Mekanisme
kerja asetaminofen sebagai anti nyeri memiliki efek terhadap inflamasi
neurogenic melalui enzim COX 1 dan COX 2 diotak. Selain itu komponen dari
asetaminofen dapat menghambat reuptake endogen cannabinoid di otak dan
spinal cord. Efek ini yang menerangkan fungsi asetaminofen secara sentral
sebagai analgesik dan anti piretik. Efek asetaminofen terhadap inhibisi enzym
COX1 dan COX2 di perifer tidak hanya memberikan efek anti inflamasi namun
juga menurunkan cairan efusi sinovial sendi lutut setara dengan NSAID dosis
standar walaupun bukti ilmiah masih bersifat lemah.4,8,10
Opioid
Opioid ditetapkan cukup efektif sebagai anti nyeri pada kasus nyeri
akut, namun sejumlah opioid akan meningkatkan resiko overdosis dan
penyalahgunaan dalam peresepan. Untuk itu CDC menerbitkan guideline
pemakaian opioid khususnya untuk terapi nyeri kronik. Karena sebagian
besar laporan clinical trial hanya memaparkan pemakaian selama kurang
lebih 6 minggu. CDC menyarankan opioid sebagai terapi nyeri kronik jangka
panjang menggunakan kombinasi antara opioid dengan non opioid serta
Kesimpulan
Nyeri kronik menjadi bagian terpenting dari sebagian besar penyakit
reumatik. Didapatkan keterbatasan dalam mengidentifikasi nyeri dalam
praktek sehari hari, khususnya mekanisme nyeri yang bersifat sentral.
Diperlukan bukti untuk menyusun strategi baik dalam perawatan maupun
dalam uji klinik yang mengukur nyeri sebagai tujuan pengobatan. Terapi
yang berdasarkan pendekatan mekanisme nyeri secara sentral akan
merubah tatalaksana penyakit dengan nyeri kronik. Beberapa obat yang
bekerja secara sentral seperti tricyclics, serotonin-norepinephrine, reuptake
Daftar Pustaka
1. Bertolini, A., Ferrari, A., Ottani, A., Guerzoni, S.,Tacchi, R. and Leone, S. (2006)
Paracetamol: new vistas of an old drug. CNS Drug Rev 12: 250_275.
2. Bjordal, J.M., Ljunggren, A.E., Klovning, A. And Slordal, L. (2004) Non-steroidal anti-
inflammatory, including cyclo-oxygenase-2 inhibitors, in osteoarthritic knee pain:
meta-analysis of randomised placebo controlled trials. BMJ 329: 1317.
3. Brand, C.A. (2008) The role of self-management in designing care for people with
osteoarthritis of the hip and knee. Med J Aust 189(10 Suppl): S25_S28.
4. Brandt, K.D., Mazzuca, S.A. and Buckwalter, K.A. (2006) Acetaminophen, like
conventional NSAIDs, may reduce synovitis in osteoarthritic knees. Rheumatology
45: 1389_1394.
5. Campbell, F.A., Tramer, M.R., Carroll, D., Reynolds, D.J., Moore, R.A. and McQuay, H.J.
(2001)Are cannabinoids an effective and safe treatment option in the management
of pain? A qualitative systematic review. BMJ 323: 13_16.
6. Cepeda, M.S., Camargo, F., Zea, C. and Valencia, L.(2007) Tramadol for osteoarthritis:
a systematic review and metaanalysis. J Rheumatol 34: 543_555.
7. Chan, H.N., Fam, J. and Ng, B.Y. (2009) Use of antidepressants in the treatment of
chronic pain. Ann Acad Med Singapore 38: 974_979.
8. Chandrasekharan, N.V., Dai, H., Roos, K.L., Evanson, N.K., Tomsik, J., Elton, T.S. et al.
(2002 )COX-3, a cyclooxygenase-1 variant inhibited by acetaminophenand other
analgesic/antipyretic drugs:cloning, structure, and expression. Proc Natl Acad Sci.
U S A 99: 13926_13931.
9. John J. Cush, Peter e. Lipsky (2013) . Approach to Articular and Muskuloskeletal
Disorder. In :Harrison Rheuamtology. Third Edition. Editors Antony et Fauci et al,
Mc Graw Hill Philadelpia, pp 125- 156
10. Wanwye, WR ( 2010 ). Nonspecific low back pain: evaluation and treatment tips.
The Journal of family practice ; 59 (8): 445–8.
11. Curtis W. Slipman, Larry H. Cho (2008 ). Interventional spine : an algorithmic
approach. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier. 2008;p. 13.
12. Siegfried Mense, Robert D. Gerwin (2010 ). Muscle pain : diagnosis and treatment
(Online-Ausg. ed.). Heidelberg: Springer.; p. 4.
13. Bannwarth B, Blotman F, Roué-Le Lay K. (2009 ). ‘Fibromyalgia syndrome in the
general population of France: a prevalence study’. Joint Bone Spine 76:184.
14. Bellato E, Marini E, Castoldi F, Barbasetti N, Mattei L, Bonasia E, Blonna D (2012
). Fibromyalgia Syndrome: Etiology, Pathogenesis, Diagnosis and Treatment’. Pain
Res Treat ID 426130:2-17
15. Amor B, Dougados M, Mijiyawa ( 1990 ).Criteria of the classification of
spondylarthropathies. Rev Rhum Mal Osteoartic . ; 57 : 85 – 9
Abstrak
Dukungan nutrisi pada pasien kanker dapat mengurangi gangguan
nutrisi dengan melakukan skrining pada setiap pasien yang datang kontrol.
Asesmen nutrisi dapat dimulai dengan melakukan registrasi status diet
pasien dengan menggunakan data antropometrik (lingkaran otot lengan
atas, lipatan kulit triceps), pemeriksaan prediktor biokimia (albumin, jumlah
total limfosit, transferin, hematokrit/hemoglobin, keseimbangan nitrogen),
pengkajian gizi fisik (keadaan umum, tinggi dan berat badan, tingkat energi,
tingkat afektif, tingkat mental, sistem seluruh tubuh) dan riwayat diet dan
obat-obatan pasien sehingga dapat ditentukan status gizi pasien dan dapat
dilakukan intervensi. Pada pasien kanker terjadi perubahan imunitas baik
seluler maupun humoral, perubahan metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak, dan disregulasi sitokin. Permasalahan mencakup perubahan yang
aktual atau potensial terjadi pada gizi dan mungkin berhubngan dengan
gejala (misal, mual serta muntah), proses penyakit (misal, obstruksi), terapi
(misal, kemoterapi, dan perubahan keseimbangan cairan serta elektrolit.
Dalam merencanakan perawatan medikal, dokter, pasien dan keluarganya
secara bersama-sama mengembangkan rencana yang bersifat individual dan
berdasarkan tujuan untuk mengembangkan rencana asuhan gizi yang tepat
dengan segera berdasarkan hasil penilaian untuk mencegah kehilangan masa
tubuh tanpa lemak (lean body mass) dan simpanan lemak. Tujuan intervensi
untuk mempertahankan atau memulihkan simpanan protein di dalam
tubuh,sehingga keseimbangan nitrogen yang positif dapat ditingkatkan.
Pendahuluan
Masalah gizi dapat menjadi masalah penting bagi penderita kanker
selama penderita tersebut menjalani asuhan yang berkesinambungan
mulai dari penegakan diagnosis, kemudian pelaksanaan terapi sampai
penyembuhan penyakit, pengendalian dan tindakan paliatifnya. Disamping
defisiensi mikronutrien, kekurangan kalori-protein secara bermakna akan
Nutrisi yang adekuat merupakan faktor essensial bagi sistem imun yang
kompeten untuk mempertahankan arsitektur dan integritas organ-organ,
kekebalan seperti kelenjar timus, limpa, serta kelenjar getah bening (limfe).
Pada malnutrisi yang kronis terdapat kelainan yang bermakna pada imunitas
seluler, antara lain berupa:
1. Penurunan jumlah limfosit T
2. Penurunan aktifitas sel natural kiler dan produksi interleukin-2
3. Penurunan/perlambatan respons hipersensitivitas terhadap antigen
yang dikenal (daya ingat)
4. Penurunan fungsi sel B (penurunan jumlah imunoglobulin yang
disekresikan, penurunan aktivitas komplemen)
5. Perubahan produksi/aktivitas sitokin dan respons sel T yang berkurang
terhadap keadaan ini.
6. Penurunan kemampuan sel-sel neutrofil untuk memfagositosis dan
membunuh bakteri.
Selain itu, vitamin A, C, E, B6 dan B12 disamping mineral seng, tembaga dan
selenium merupakan miktonutrien yang penting untuk menghasilkan fungsi
kekebalan yang efektif. Kekurangan kalori-protein jelas akan menimbulkan
keadaan imunodefisiensi.
Status gizi pada pasien kanker dapat memperkirakan toleransi serta respons
pasien terhadap terapi, dan berkaitan dengan lama kelangsungan hidup
(survival duration) pasien. Costa dkk pada penelitiannya menunjukkan bahwa
penderita kanker paru yang berat badannya tidak menurun mempunyai
kelangsungan hidup yang lebih lama secara bermakna dibandingkan penderita
yang berat badannya menurun. De Wys dkk secara retrospektif meneliti
3047 orang pasien yang menderita 11 jenis tumor serta terdaftar dalam 12
protokol kelompok ECOG (Eastern Cooperative Oncology Group) yang berbeda
dan menemukan bahwa pada 9 protokol, pasien-pasien yang erat badannya
turun memperlihatkan lama kelangsungan hidup yang secara bermakna lebih
pendek. Smale dkk meneliti 159 orang pasien yang menjalani pembedahan
kanker dan menemukan bahwa 66% pasien yang diketahui dengan keadaan
malnutrisi serta berisiko untuk mengalami komplikasi pasca bedah ternyata
diidentifikasi dengan komplikasi yang berat jika dibandingkan 8% pasien
yang diklasifikasikan dengan alat pengkajian yang sahih sebagai kelompok
berisiko rendah.
Lebih dari 40% pasien onkologi berkembang menjadi malnutrisi pada saat
terapi. Pasien yang malnutrisi ini memerlukan biaya yang lebih tinggi untuk
kehidupannya, mempengaruhi respon terapi, mempunyai risiko lebih tinggi
untuk terjadinya toksisitas obat, dan meningkatkan kejadian morbiditas dan
mortalitas dibandingkan dengan pasien dengan status nutrisi yang normal.
Lebih kurang 20% pasien onkologi meninggal akibat komplikasi dari nutrisi
dari pada diagnosis primernya.
serta asam folat, dan gangguan keseimbangan cairan serta elektrolit. Defisiensi
yang lain tergantung jenis kankernya, misalnya pada kanker kaput pankreas
sering terjadi sumbatan pada duktus koledokus sehingga terjadi penurunan
sekresi enzim-enzim pencernaan yang akan mengubah penyerapan protein
dan lemak.
Penyebab Primer
Langsung
- Keadaan hipermetabolik
- Abnormalitas metabolisme
- Disregulasi sitokin
- Lain-lain ( malabsorbsi)
Tidak Langsung
- Gejala yang berhubungan dengan keganasan atau infeksi oportunistik (misalnya,
diare/muntah, anorexia)
- Gejala yang berhubungan dengan respon terhadap penyakit (misalnya, depresi,
kelelahan)
Secara Sistemik
Pada kanker terjadi gangguan dalam metabolisme karbohidrat, protein
dan lemak akan menyebabkan peningkatan pemakaian energi tubuh,
kebutuhan glukosa meningkat karena diperlukan sel tubuh noramal dan
sel kanker, akibatnya glukosa diambil dari sumber bukan karbohidrat atau
glukoneogenesis seperti asam laktat dan asam amino. Protein yang ada
dalam otot dimobilisasi secara berlebihan sehingga terjadi kakeksia. Pasien
malnutrisi mengalami penurunan kemampuan daya imun dimana fungsi sel
beta dan sel T limfosit menurun akibatnya penyakitnya bertambah berat.
Metabolisme lemak dipengaruhi individu dengan kanker, penyimpan lemak
dalam asam lemak dan jaringan adiposa dimobilisasi dan masuk ke dalam
aliran darah untuk digunakan sebagai bahan bakar energi. Banyaknya tubuh
kehilangan lemak menunjukkan progresifnya penyakit kanker. Defisiensi
vitamin pada pasien kanker sering terjadi, seperti vitamin A pada pasien
kanker paru, thiamin dan vitamin C pada kanker ganas dan zat besi karena
diet yang tidak adekwat atau terjadinya malabsorbsi.akibat langsung dan
tidak langsung dari kanker. Hiperkalsemia akan menyebabkan pengaruh pada
konsentrasi yang mengarah ke poliuri dan pengeluaran cairan. Hiperurisemia,
hiperfosfatemia dan hiperkalemia sebagai akibat pembebasan elektrolit dari
sel yang rusak hal ini terjadi pada pasien leukemia dan limfoma.
Secara Lokal
Adanya kanker pada kepala dan leher, esofagus dan otsk menimbulkan
masalah untuk menelan, mngunyah dan membuka mulut sehingga makanan
menjadi sulit untuk masuk. Kanker pada gaster dan usus halus mempengaruhi
proses pencernaan karena adanya nyeri, distensi abdomen dan gangguan
absorbsi makanan. Adanya fistula di anus akibat nekrosis jaringan dari tumor
saluran pencernaan menyebabkan elektrolit tidak seimbang.
Terapi Radiasi
Terapi radiasi dapat mempengaruhi jaringan yang normal di sekitar
lokasi yang diobati. Radiasi pada kanker kepala dan leher mempengaruhi
kelenjar ludah, mukosa mulut dan terkadang tulang. Adanya pembengkakan
dan inflamasi menimbulkan ketidaknyamanan sehingga mempengaruhi
pemasukan nutrisi, perubahan rasa, xerostomia, nyeri dan sulit menelan
menurunkan pemasukan nutrisi. Radiasi terhadap saluran pencernaan
menimbulkan mual, muntah, diare, dan distensi gastrik.
Kemoterapi
Kemoterapi mempengaruhi status nutrisi pasien, Defisiensi nutrisi
terjadi akibat meningkatnya anoreksia, stomatitis, perubahan rasa, mual dan
muntah. Gejala berat dan pengaruhnya pada status nutrisi bermacam-macam
dari masing-masing pasien kanker.
Asesmen Nutrisi
Pengkajian nutrisi memberikan data dasar individu terhadap tingginya
risiko dan adanya respon terhadap pengobatan atau interfensi diet, disamping
itu dengan pengkajian menghindari kemungkinan adanya masalah nutrisi.
Riwayat Gizi
Riwayat gizi mengkaji tiga hal: faktor risiko untuk terjadinya malnutrisi,
penyakit serta keberadaan gejala, dan masalah psikososial yang mencakup
pengetahuan tentang gizi.
Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik mencakup pemeriksaan fisik disamping pemeriksaan
laboratorium yang dapat mengungkapkan bukti adanya kekurangan kalori
protein.
• Pemeriksaan Antropometrik:
- Lingkaran otot lengan atas (LOLA): (nilai standar=29,3 mm untuk laki-laki dan 28,5
untuk wanita) <90% nilai standar, yaitu <26,3 mm untuk laki-laki dan <25,7 mm
untuk wanita
- Lingkaran kulit triceps: (nilai standar = 12,5 mm untuk pria, 16,5 mm untuk wanita)
<90% dari nilai standar, misal <11,3 mm untuk laki-laki dan <14,9 mm untuk
wanita.
• Pemeriksaan laboratorium:
• Albumin serum
Intervensi Nutrisi
Konseling nutrisi dengan melakukan registrasi diet berhubungan dengan
perbaikan kualitas hidup dan parameter nutrisi, serta berhasil memberikan
intervensi nutrisi oral bagi pasien-pasien onkologi. Reasesme secara kontinyu,
tatalaksana farmakologik, dan konseling nutrisi dapat meenghindari biaya
penunjang nutrisi yang tinggi.
Daftar Pustaka
1. Ellion I, Molseed LL, McCallum PD, Grant B, eds. The Clinical Guide to Oncology
Nutrition. 2nd ed. Oncology Nutrition Dietetic Practice Group. Chicago II; American
Dietetic Association;2006.
2. Mueller CM, The A.S.P.E.N. Adult Nutrition Support Core Curiculum. 2nd ed.
American Society for Parenteral and Enteral Nutrition; 2012.
3. Johnson G, Salle A, Lorimer G, et al. Cancer Cahexia measured and predicted resting
energy expenditures for nutritional needs evaluation. Nutrition. 2008;24:443-450.
4. Dobbin MG. Medial Nutrition Therapy in Abraham J, Gulley JL, Allegra CJ eds. The
Bethesda Handbook of Clinical Oncology. 4rd ed.Lippincott Williams & Wilkins, a
Wolters Kluwer business.2014:518-527.
5. Arends J, et al, ESPEN guidelines on nutrition in cancer patients, Clinical Nutrition
(2016), http://dx.doi.org/10.1016/j.clnu.2016.07.015.
6. Wilkes, Gail M. Buku saku gizi pada kanker dan infeksi HIV;alih bahasa, Andry
Hartono; editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Jakarta:EGC, 2000.
7. Donaldson MS. Review Nutrition and Cancer: A review of the evidence for an
anti-cancer diet. Nutrition Journal 2004,3:19, http://www nutritionj.com/
content/3/1/19.
8. Arends J, Bachmann P, Baracos V, et al. ASPEN guidelines on nutrition in cancer
patients. Clin Nutr.2017;36(1):11-48.
Gangguan Respirasi
Gangguan respirasi merupakan salah satu kondisi yang paling umum
ditemukan di rumah sakit, baik di instalasi gawat darurat (IGD), ruang rawat
umum, maupun khusus. Adanya kebutuhan untuk menggunakan alat bantu
napas merupakan indikasi yang paling umum untuk perawatan di ruang
intensive care unit (ICU). Penggunaan alat bantu napas bertujuan untuk:
mengurangi sesak nafas, meringankan usaha napas, memperbaiki oksigenasi,
dan meningkatkan pembersihan karbon dioksida (CO2).
Gagal Napas
Gagal napas didefinisikan sebagai kondisi di mana pertukaran gas yang terjadi
tidak adekuat sesuai kebutuhan metabolik. Adapun kriteria gagal napas
sebagai berikut:
• PaO2 <8.0 kPa (60 mmHg)
• PaCO2 >6.0 kPa (45 mmHg)
• Laju napas >35x/menit
• Volume tidal <5 ml/kg
• Kapasitas paru <15 ml/kg
Bantuan Ventilasi
Terdapat dua jenis bantuan ventilasi, yaitu invasive (menggunakan
instrumen melalui mulut atau kulit) dan non-invasive (menggunakan
instrumen yang tidak menembus organ). Instrumen yang termasuk ke
dalam invasive ventilator support yaitu endotracheal tube dan trakeostomi,
sedangkan instrument non-invasive ventilator support meliputi: nasal mask,
full-face mask, total face mask, dan helmet mask
Ventilasi Mekanik
Terdapat beberapa jenis ventilasi mekanik:
• Negative airway pressure: kotak tertutup mengelilingi dada pasien atau
whole-body box dengan tekanan internal yang diturunkan. Tulang-tulang
iga tertarik ke dalam, terjadi penurunan tekanan intratorak, dan udara
akan tertarik ke dalam mulut
• Positive airway pressure: dada dikembangkan di bawah tekanan positif,
terdiri dari bilevel positive airway pressure (BiPAP), proportional-assist
ventilation (PAV), continuous positive airway pressure (CPAP)
Asma
Pada asma, indikasi untuk perawatan ICU yaitu:
• Peak expiratory flow rate (PEFR) atau oksigenasi yang semakin menurun
dan tidak respon dengan terapi
• Hiperkarbia
• Asidosis yang memburuk
• Usaha napas yang tidak adekuat
• Penurunan kesadaran, koma, henti napas
• Perawatan yang tidak tersedia di tempat lain
• Diperlukannya akses arterial untuk pengambilan analisis gas darah
berkala
PPOK
Langkah-langkah ventilatory support yang dilakukan pada kondisi PPOK yaitu:
• Pemberian oksigen via venturi mask
• Nebulisasi dengan salbutamol 5 mg dan ipratropium bromide 0.5 mg
• Pemberian prednisolone oral 30 mg selama 7-14 hari
• Pemberian antibiotik jika ada kemungkinan infeksi
• Pertimbangkan untuk pemberian beta-agonis IV
Daftar Pustaka
1. Intensive Care Foundation. Handbook of Mechanical Ventilation: A user’s guide.
2015. Intensive Care Society: London. ISBN 978-0-9555897-1-3
2. Hanafie A. Indication and Initial Settings for Mechanical Ventilation. In: Pitoyo CW,
editor. Proceedings of the 5th Jakarta International Chest and Critical Care Internal
Medicine; 2017.
3. Brochard L. Mechanical ventilation: invasive versus noninvasive. Eur Respir J.
2003; 22(47): 31-7
4. Tobin M. Advances in mechanical ventilation. N Engl J Med. 2001; 344: 1986-96
Jenis Ventilator
Ada 2 jenis ventilator:
1. Ventilator tekanan negatif (Negative Pressure Ventilation)
2. Ventilator tekanan positif (Positive Pressure Ventilation)
Alarm-settings
Alarm yang memantau fungsi ventilator penting untuk menjamin
keamanan dan keefektifan ventilasi mekanik. Dipasang alarm untuk
menetapkan batas tertinggi dan terendah yang diinginkan. Alarm-alarm
tersebut meliputi Vt ekspirasi, volume semenit ekspirasi, pemberian FiO2,
frekuensi pernapasan dan tekanan jalan napas.
Visual-display
Tekanan jalan napas, frekuensi pernapasan, volume ekpirasi, dan rasio
inspirasi/ekpirasi (EE) adalah nilai-nilai yang ditampilkan pada visual-
display ventilator. Kadang ditampilkan berupa kurva baik itu aliran udara
(flow), tekanan maupun menit volume.
paru dari volume tidal, tekanan dan konsentrasi oksigen yang terlalu
besar. Pada keadaan ini, target saturasi oksigen dapat diturunkan sampai
85% saat faktor-faktor yang berperan pada penyaluran oksigen sedang
dioptimalkan.
e. Tekanan positif akhir ekspirasi (Postive end-expiratory pressure/PEEP)
Sesuai dengan namanya, PEEP berfungsi untuk mempertahankan tekanan
positif jalan napas pada tingkatan tertentu selama fase ekspirasi. PEEP
dibedakan dari tekanan positif jalan napas kontinyu (continuous positive
airway pressure/ CPAP) berdasarkan saat digunakannya. PEEP hanya
digunakan pada fase ekspirasi, sementara CPAP berlangsung selama
siklus respirasi.
Penggunaan PEEP selama ventilasi mekanik memiliki manfaaat yang
banyak. Pada gagal napas hipoksemia akut, PEEP meningkatkan tekanan
alveolar rata-rata, meningkatkan area re-ekspansi atelektasis dan dapat
mendorong cairan dari ruang alveolar menuju interstisial sehingga
memungkinkan alveoli yang sebelumnya tertutup atau terendam cairan,
untuk berperan serta dalam pertukaran gas. Pada edema kardiopulmonal,
PEEP dapat mengurangi preload dan afterload ventrikel kiri sehingga
memperbaiki kinerja jantung.
Penggunaan PEEP yang terlalu tinggi akan meningkatkan risiko
barotrauma, disamping itu juga akan menurunkan kardiak output.
Sehingga harus hati hati penggunaaan PEEP pada pasien yang
hemodinamik belum stabil.
Daftar Pustaka
1. Cairo, JM.
Pilbeam’s mechanical ventilation: physiological and clinical applications
Sixth edition. Elsevier.2016
2. Marino PL. Principles of mechanical ventilation. In: Marino PL, ed. The Icu Book. 3rd
ed. New York: Lippincott Williams and Wilkins,Inc.; 2007, 457- 511.
3. Pietropaoli AP. Approach to mechanical ventilation. In:Apostolakos MJ, Papadakos
PJ, eds. The Intensive Care Manual. Singapore: Mc Graw-Hill; 2001, 81-6.
4. Robert JE. Basic Ventilatory Management. In: Chulay Marianne, Burns Suzanne M.
AACN Essential of Critical Care Nursing. USA: The McGraw-Hill Companies.2006.p.
Pendahuluan
Pengunaan Ultrasonografi (USG) dalam bidang Ilmu penyakit Dalam
pada masa sekarang sudah dianggap sama dengan penggunaan alat stetoskop
pada pemeriksaan fisik, baik dalam kondisi rawat jalan maupun rawat
inap. Disamping mempercepat proses diagnosis dan terapi pada pasien,
penggunaan USG di bidang Penyakit Dalam juga dianggap dapat menghemat
biaya perawatan pasien di rumah sakit.1
Telah lama diketahui bahwa salah satu kekurangan pemeriksaan USG adalah
pemeriksaan yang sangat operator dependent.6
Gambar 3. Daerah pemeriksaan USG Tiroid yang sering luput karena kesalahan
probe technic6
Hasil pemeriksaan USG tiroid biasanya akan memberikan informasi
sebagai berikut6:
A. Tiroid secara umum
- Lokasi (Tipikal, Dystopia, Ectopia)
- Dimensi dan volume
- Margin (regular/irregular)
- Permukaan (typical, lobed)
- Echodensity (normal, meningkat, menurun)
- Pembuluh darah parenkim tiroid
Akhir dari prosedur ini adalah ketika semua unit konseptual ablasi
dari target nodul, baik bersifat benign maupun malignant, sudah berubah
menjadi zona transien hiperechoic. Porsi kecil sisa nodul kemungkinan
masih ada dan tidak terobati pada beberapa pasien dengan alasan
berikut: 1) Area nodul tiroid kemungkinan berada sangat dekat dengan
struktur penting seperti nervus laringeus rekuren, trakea, esophagus, 2)
Ukuran nodul terlalu besar untuk prosedur ablasi komplit dalam satu
sesi, 3). Ekstensi intratorakal pada nodul tiroid yaitu nodul yang terletak
terlalu jauh dan dalam tidak terlihat dari panduan USG.10
Gambar 5. Konfigurasi serat multiple ellipsoid, cocok untuk bentuk elips pada
nodul tiroid benign. Jarum dimasukkan sepanjang aksis nodul kranio-kaudal
pada jarak sekitar 10 mm. Dua hingga empat serat dapat secara simultan
dimasukkan, dengan kemampuan mengablasi 40-45 lebar dan 18-22 mm
tebalnya mm.13,14
Gambar 6. Gambaran Realtime Metode HIFU sebagai terapi termal nodul tiroid15
Kesimpulan
Dalam bidang thyroidology, pemamfaatan USG juga telah mengalami
kemajuan yang sangat pesat, baik dalam bidang diagnostik maupun
pemanfaatan USG dalam bidang terapi minimal invasif dengan tuntunan USG.
Penggunaan USG dalam diagnostik kelainan tiroid sangat popular dibanding
modalitas imaging lainnya dikarenakan penggunaannya aman, tidak merusak
jaringan tubuh, murah, tidak membutuhkan persiapan khusus hingga tidak
membutuhkan penghentian terapi atau pengobatan yang telah digunakan
oleh pasien.3
Daftar Pustaka
1. Testa Americo, Francesco Andrea, Giannuzi R, et.al. Economic analysis of bedside
ultrasonography (US) implementation in an Internal medicine department.in
Internal and Emergency medicine; Desember 2015;10;8:1015-1024.
2. Focused Ultrasound Foundation. Focused ultrasound is a platform technology
that has the potential to transform the treatment of variety of medical conditions.
Overview; 2018. (https://www.fusfondation.org/disease-and-condition/
endocrine/thyroid-nodules)
3. Parkkunam J, Thiagarajan B. Ultrasound in Thyroid Disorder. In Otolaryngology
online journal; 2015;5. (https://www.researchgate.net/publication/282859797)
4. Baig FN, Liu SYW, Yip SP,et.al. Update on Ultrasound Diagnosis for Thyroid Cancer.
in Hong Kong J Radiol.2018;21:82-93.
5. Eun Ju Ha, Jung Hwan Baek, Jeong Hyun Lee. Ultrasonography-Based
Thyroidal and Perithyroidal Anatomy and Its Clinical Significance.in Korean J
Radiol;2015;16(4):749-66.
6. Choi SH, Kim EK, Kim SJ, et.al. Thyroid Ultrasonography : Pifalls and Techniques. In
Korean J Radiol; 2014;15(2):267-76.
7. Kharchenko VP, Kotlyrov PM, Mogutov MS,et.al. Diagnosing Thyroid Pathology
with Radiological Methods. In Ultrasound Diagnostic of Thyroid Disease. Springer,
Berlin;2010; 1-18. DOI.10.1007/978-3-642-12387_1
8. Valvaci R, Frasoldati A. Ultrasound percutaneous ethanol injection therapy in
thyroid cystic nodules. Endocr Pract 2004;10:269-75.
9. Jang SW, Baek JH, Kim JK et al. How to manage the patients with unsatisfactory
results after ethanol ablation for thyroid nodules: role of radiofrequency ablation.
Eur J Radiol; 2012;81(5) :905-10.
10. Lee JH, Kim YS, Lee D, Choi H, Yoo H, Baek JH. Radio- frequency ablation (RFA) of
benign thyroid nodules in patients with incompletely resolved clinical problems
after ethanol ablation (EA). World J Surg ; 2010; 34:1488–93.
11. Ha EJ, Baek JH, Lee JH. The efficacy and complications of radiofrequency ablation of
thyroid nodules. Curr Opin Endocrinol Diabetes Obes 2011; 18:310–14.
12. Jeong WK, Baek JH, Rhim H et al. Radiofrequency ablation of benign thyroid nodules:
safety and imaging follow-up in 236 patients. Eur Radiol 2008; 18:1244–50.
Latar Belakang
Inisiasi insulin dini pada diabetes tipe 2, diberikan setelah 3 – 6 bulan
pemberian obat anti diabetes (OAD) dosis maksimal tidak memberikan hasil
standar (Leal, 2008). Fenomena pancreatic starling curve mendukung teori
perlunya inisiasi terapi insulin pada diabetes tipe 2. Dalam perjalanan diabetes
tipe 2 terjadi perubahan kadar glukosa, sensitivitas insulin dan sekresi insulin
dalam 3 – 6 tahun sebelum terdiagnosis dan penurunan kapasitas sel beta
hingga 12 tahun sebelum terdiagnosis diabetes (DeFronzo et al., 2013 ;
Hanefeld, 2014).
Insulin Detemir
Pada detemir rantai des treonin B30 dihilangkan kemudian rantai asam
lemak miristik ditambahkan ke Lysin di B29 (Tribaldi, 2014).
Insulin Glargine
Pada Glargine 2 residu arginin ditambahkan pada rantai B31 dan B32,
serta asparagin di A21 diganti dengan glisin (Tribaldi, 2014).
Saat ini telah diproduksi gargine 300 untuk memenuhi standar kebutuhan
insulin basal yang lebih efektif. Perbedaan glargine 100 dengan 300 adalah
dosis pemberian tereduksi hingga 2/3, yang memberi keuntungan pada
kenyaman volume dosis subkutan pasien. Glargine 300 mempunyai absorsi
lebih baik dan pelepasan dosis secara gradual dan lebih lambat sehingga lebih
stabil, serta rasio PK/PD pada galgine 300 lebih stabil, durasi lebih lama, dan
aksi lebih dari 24 jam (Pettus et al., 2016).
Biosimilar Medis
Biosimilar medis adalah suatu produk biologi medis yang dibentuk
menyerupai bentuk biologi medis original, melalui rekayasa protein/ DNA.
Pengertian biosimilar berbeda dengan generik. Biosmiliar bukan merupakan
sederhana, tetapi pada komponen molekul komplek, dengan kode biologi yang
berbeda dengan original. Pada produk insulin biosimilar, dilakukan beberapa
validasi terhadap fungsi produk biosimilar tersebut dengan menggunakan
studi glucose clamp, variabilitas antara batch dan jaminan mutu biosimilar,
munculnya reaksi antibodi insulin, dan regulasi dari badan pengawas obat
setempat (Heinemann et al., 2014).
Insulin Premix
Alternatif pemberian insulin selain prandial adalah dengan insulin
premix. Dosis awal sesuai dosis terakhir insulin basal yang dibagi dalam 2
pemberian yaitu sebelum makan pagi dan malam. Perbandingan dosis pagi
dan malam diberikan 66% : 33% atau 50% : 50%. Peningkatan dosis diberikan
seperti kenaikan insulin prandial ( Riddle et al., 2018).
Simpulan
Insulin basal merupakan pilihan awal pada terapi insulin dengan
keunggulan mempunyai efikasi yang sama dengan prandial tetapi mempunyai
kemanan lebih baik. Insulin basal yang mempunyai profil efikasi dan
keamanan yang terbaik adalah glargine. Penambahan insulin prandial atau
premix diberikan sesuai kebutuhan pasien untuk mencapai kontrol gula
darah.
Daftar Pustaka
1. DeFronzo R, Eldor R dan Abdul-Ghani, 2013. Pathophysiologic Approach to therapy
in Patients with Newly Diagnosed Type 2 Diabetes. Diabetes Care 36 (2). Pp: S127
– 39.
2. Hanefeld, 2014. Use of Insulin in type 2 diabetes : What we learned from recent
clinical trials on the benefit of early insulin initiation. Elsevier manson, Diabetes &
Metabolism 40 (20). Pp : 391 – 9.
3. Heinemann L dan Hompesch M, 2014. Biosimilar Insulin : Basic Considerations.
Journal of Diabetes Science and Technology 8 (1). Pp : 6 – 13.
4. Lovre D dan Fonseca V, 2014. Benefits of timely basal insulin control in patients
with type 2 diabetes. Journal of Diabetes and Its Complication 29. Pp : 295 – 301.
5. Lucidi P, Porcellati F, Rossetti P, Candeloro P, Cioli P, Marzotti S, Andreoli A, Fede
R, Bolli G, dan Fanelli C, 2011. Pharmacodynamics of Therapeutic Doses of Basal
Insulins NPH, Glargine, and Detemir After 1 Week of Daily Administration at
Bedtime in Type 2 Diabetic Subjects. Diabetes care 34. Pp : 1312 – 14.
6. Meneghini L, Atkin SL, Gough S, Raz I, Blonde L, Shestakova M, Bain S, Johansen T,
Begtrup K, dan Birkeland K, 2013. Diabetes Care 36. Pp: 858 – 64.
7. Nasrallah S dan Reynolds R, 2012. Insulin Degludec, The New Generation Basal
Insulin or Just another Basal Insulin?. Endocrinology and Diabetes 5. Pp : 31 – 7.
8. Pettus J, Cavaiola SJ, Tamborlane WV, dan Edelman S, 2016. The Past, present, and
future of basal insulins. Diabetes Metab Res Rev 32 (6). Pp : 478 – 96.
9. Riddle CM, Bakris G, Blonde, Boulton A et al., 2018. American diabetes association
: Standards of medical care in diabetes 2018. Diabetes Care 41 (s1). Pp : 1 – 150.
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan penyakit paling umum yang bisa dijumpai saat
kunjungan pasien ke klinik, dan lebih dari 90% pasien hipertensi merupakan
hipertensi primer.1 Hipertensi sekunder, yang terjadi pada 5-10% pasien
hipertensi, merupakan tipe hipertensi yang memiliki penyebab dasar yang
bisa dikoreksi. Hipertensi sekunder biasanya disertai dengan gejala-gejala
yang khas (flushing dan berkeringat banyak pada kasus feokromositoma),
kelainan pada pemeriksaan fisik (bruit pada auskultasi abdomen yang
biasa ditemukan pada stenosis arteri renalis) dan kelainan pemeriksaan
laboratorium (hipokalemia pada aldosteronisme primer).2,3
Kendala yang sering ditemui oleh klinisi adalah tidak mudah untuk
mencurigai hipertensi sekunder walaupun terdapat gambaran klinik yang
menunjukkan penyebab yang spesifik. Salah satu kendala yang sering terjadi
adalah walaupun kadang sudah diberikan terapi yang tepat atau bahkan
dihilangkan penyebab sekundernya, tekanan darah (TD) jarang bisa kembali
ke normal setelah dilakukan pemantauan jangka panjang. Hal ini menunjukkan
bahwa beberapa pasien dengan hipertensi sekunder juga mempunyai
hipertensi esensial secara bersamaan atau telah terjadi remodeling vaskuler
ireversibel. Oleh karena itu, pada pasien dengan penyebab hipertensi yang
potensial reversibel, deteksi dan terapi dini sangat penting.3
ETIOLOGI
Sekitar 5-10% pasien hipertensi memiliki penyebab sekunder. Hal ini
dapat terjadi pada segala usia mulai anak-anak, dewasa muda, hingga usia
lanjut. Prevalensi hipertensi sekunder cukup tinggi terutama pada pasien
hipertensi dengan awitan dini, hipertensi emergensi, dan hipertensi resisten.1,2
Obstructive sleep apnea (OSA) adalah penyebab paling sering dari hipertensi
sekunder (Tabel 1). Dari sistem endokrin, aldosteronisme primer yang paling
sering menyebabkan hipertensi sekunder, diikuti oleh penyakit tiroid (hipo
atau hipertiroid), hiperkortisolisme (Cushing) dan feokromositoma.2 (Tabel
1)
Tabel 1. Penyebab paling sering hipertensi sekunder2
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Skrining pada pasien dengan hipertensi tidak dilakukan kepada seluruh
pasien. Skrining ini dilakukan dengan sangat selektif mengingat biaya yang
mahal. Berikut adalah karakteristik pasien yang bisa dilakukan evaluasi lebih
lanjut mengenai penyebab sekunder yang mendasari hipertensi.5
• Onset hipertensi < 30 tahun tanpa riwayat keluarga.
• Usia > 55 tahun dengan hipertensi kasus baru
• Bruit abdominal yang bisa ditemukan dengan auskultasi
• Perburukan kontrol TD yang terjadi secara tiba-tiba
• Hipertensi resisten
• Gagal ginjal dengan sedimen urin yang abnormal atau proteinuria
• Pasien dengan hipertensi berat > 180/90 atau hipertensi emergensi
• Gangguan ginjal akut yang terjadi setelah pemberian ACE-i atau ARB.
• Non-dipping atau reverse dipping malam hari ketika monitoring TD
ambulatorik
• Terdapat kerusakan target organ ( hipertrofi ventrikel kiri, retinopati
hipertensi)
• Terdapat gejala khas – seperti hipokalemia dan hipertensi pada
aldosteronisme primer, dan flushing, hipertensi, dan palpitasi pada
feokromositoma
• Penyakit aterosklerosis seperti penyakit jantung coroner (PJK), penyakit
vaskuler perifer, dan flash pulmonary edema sugestif stenosis arteri
renalis4
Evaluasi awal melalui anamnesa dan pemeriksaan fisik pada pasien dengan
hipertensi, penting dilakukan untuk mengidentifikasi keluhan klinis secara
umum yang mengarah pada hipertensi sekunder.2
*ACE-i: angiotensin converting enzyme inhibitor; ACTH: adrenocorticotropic hormone; ARB: angiotensin receptor
blocker; CT: computed tomography; TDS: tekanan darah sistolik; USG: ultrasonografi
Keadaan ini biasa terjadi pada laki-laki atau wanita yang sudah
menopause.8 Gejala yang sering dialami pada pasien OSA yaitu tidur pada siang
hari yang berlebihan, mendengkur, sakit kepala pada pagi hari, kurangnya
konsentrasi, dan iritabilitas. Gambaran klinik yang khas adalah obesitas,
leher besar, dan makroglosia. TD malam hari (non-dipping) dan siang hari
meningkat. Pasien sering menunjukkan takikardi yang signifikan dan/atau
bradikardi selama malam hari, mungkin disebabkan peningkatan aktivitas
saraf simpatis dan peningkatan tonus vagal. Pasien dengan kecurigaan tinggi
terhadap OSA perlu dinilai dengan polisomnografi. 10
Hipertensi biasa terjadi pada tahap awal dari penyakit ginjal ketika sudah
mulai terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).17 Strategi terapi harus
ditentukan berdasarkan komplikasi PGK yaitu modifikasi gaya hidup seperti
restriksi garam, pemeliharaan berat badan yang tepat, menghentikan rokok
dan restriksi asupan protein sesuai penurunan fungsi ginjal. Pengobatan
hipertensi pada pasien PGK harus mempertimbangkan sifat dasar penyakit
ginjal. Terapi obat antihipertensi diberikan sebagai tambahan bila TD masih
melebihi target. Pasien dengan nefropati diabetes atau penyakit ginjal
nondiabetes proteinurik mendapat manfaat dari pengobatan dengan
angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin II receptor
blocker (ARB) pada target TD < 130/80mmHg. Target TD pada pasien PGK
oleh penyebab lainnya adalah < 140/90 mmHg.15,18
kontralateral telah diangkat atau ginjal tunggal karena sering terjadi risiko
progresivitas cepat disfungsi ginjal atau penurunan TD yang berlebihan.
Bila menggunakan ACE-I atau ARB, perlu dimulai dengan dosis rendah
dan dosis perlu disesuaikan dengan memperhatikan penurunan TD yang
berlebihan, hiperkalemia, dan fungsi ginjal.22 Menurut beberapa penelitian,
ACE-I berkontribusi pada perubahan prognosis dan fungsi ginjal baik pada
kelompok kombinasi terapi obat antihipertensi maupun percutaneous
transluminal renal angioplasty (PTRA) dibanding dengan obat antihipertensi
lainnya. Namun, satu penelitian menunjukkan bahwa penggunaan obat ini
meningkatkan risiko gangguan ginjal akut.22,23
Aldosteronisme Primer
Aldosteronisme primer (AP) atau hyperaldosteronism atau Sindroma
Conn terdiri dari beberapa sindrom dengan manifestasi berupa hipertensi
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 199
Stella Palar
Petunjuk klinik AP tidak terlalu spesifik dan hanya kira-kira 40% pasien
AP mengalami hiperkalemia.2 Gambaran klinik lainnya adalah hipertensi
resisten, serta pasien jarang memiliki gejala walaupun pada hipokalemia
berat dapat menyebabkan kelemahan otot, kram, kelelahan dan poliuria.
Bila tes konfirmasi positif, perlu dilakukan pencitraan dengan CT Scan atau
MRI abdomen untuk menentukan lokalisasi dan identifikasi subtipe. Terdapat
tiga subtipe, yaitu aldosterone-producing adenoma (APA) dan idiopathic
hyperaldosteronism (IHA) dan karsinoma adrenal. Bila ukuran kelenjar > 4
cm, maka curiga adanya karsinoma adrenal. Sulit untuk menentukan APA
atau IHA, tes infus salin merupakan tes spesifik untuk mengkonfirmasi (atau
menyingkirkan) AP, namun tidak dapat membedakan antara APA dan IHA,
maka dilakukan pemberian infus ACTH 50 mcg/jam secara berkelanjutan
ketika pengukuran kadar aldosteron di vena adrenal. Diperiksa juga kadar
kortisol untuk memastikan darah berasal dari vena adrenal. Bila kadar
aldosteron berbeda > 4 kali, maka di sisi tersebut terdapat APA, sedang bila
kadar aldosteron pada kedua sisi sama, maka IHA.29,30
Cushing’s Syndrome
Sindrom Cushing endogen disebabkan oleh peningkatan produksi
kortisol oleh adrenal. Penyebab terbanyak adalah hiperplasia adrenal bilateral
oleh karena hipersekresi ACTH oleh hipofisis atau produksi ACTH oleh
tumor non-endokrin. Penyebab eksogen karena penggunaan glukokortikoid
jangka lama. Sindrom Cushing dapat menyebabkan hipertensi melalui
efek mineralkortikoid dari kelebihan glukokortikoid. Hiperkortisolisme
menyebabkan penumpukan jaringan adiposa pada tempat-tempat tertentu:
di wajah (moon face), daerah antara kedua tulang belikat (buffalo hump) dan
mesenterik (bentuk tubuh yang khas yaitu obesitas sentral); facial plethora,
hirsutisme, amenorea, dan purple striae. Hipertensi sering terjadi pada sekitar
80% pasien Cushing.31 Pemeriksaan skrining dilakukan melalui tes supresi
deksametason 1 mg pada waktu tidur dengan pengukuran kadar plasma
kortisol pada pagi berikutnya. Kadar kortisol plasma > 140 nmol/L dan kadar
kortisol bebas urine > 275 nmol /dl (100 μg/dl) adalah sugestif sindrom
Cushing. Diagnosis definitif ditetapkan bila gagal menurunkan ekskresi
kortisol urine menjadi < 80 mmol/dl (30 μg/dl) atau kadar kortisol plasma <
140 nmol/L (5ug/dl) setelah supresi deksametason dosis rendah standar (0,5
mg setiap 6 jam selama 48 jam). Sekali diagnosis ditegakkan, pemeriksaan
dilanjutkan untuk menentukan etiologi. Kadar ACTH plasma dapat digunakan
untuk membedakan penyebab sindrom Cushing, dengan respon ekskresi
kortisol terhadap deksametason dosis tinggi (2 mg setiap 6 jam selama
48 jam).32,33Terapi pilihan pertama untuk adenoma adrenal, penyakit
Cushing dan tumor yang memproduksi ACTH ektopik adalah berturut-turut
Coarctation Aorta
Koartasio aorta adalah penyakit kongenital berupa penyempitan
lumen aorta. Paling sering terjadi pada distal arteri subklavia kiri. Petunjuk
diagnostik meliputi penurunan nadi ektremitas bawah (femoral) dengan
hipertensi ektremitas atas, sesak saat aktivitas dan foto toraks menunjukkan
lekukan pada tulang iga (berasal dari pelebaran pembuluh darah kolateral)
dan dilatasi aorta di atas dan di bawah penyempitan (disebut dengan
tanda/bentuk “3”). Ekokardiografi adalah pilihan untuk metode skrining.
Alternatifnya CT atau MRI dapat juga dilakukan.34Indikasi terapi pembedahan
untuk menghilangkan stenosis atau angiografi yang menggunakan kateter
balon ditujukan pada anak dan dilaporkan memberikan luaran yang lebih
baik pada awal terapi. Hipertensi berulang pascaoperasi terjadi pada ~ 33%
pasien dan pada kasus ini terapi antihipertensi harus dilakukan sesuai dengan
kondisi pasien. Dari beberapa penelitian menyarankan bahwa tidak hanya
peningkatan TD saat istirahat namun juga pada ambulatory blood pressure
monitoring (ABPM) atau saat pembebanan latihan adalah faktor prognostik
untuk hipertensi berulang pada fase kronik pascaoperasi.34
Disfungsi Tiroid
Hipotiroid dapat menyebabkan penurunan cardiac output (CO) dengan
kompensasi peningkatan tonus vaskuler, menyebabkan peningkatan lebih
nyata pada TD diastolik daripada TD sistolik. Sebaliknya hipertiroidisme
dapat menginduksi peningkatan CO dan kompensasi penurunan tonus
vaskuler yang menyebabkan peningkatan lebih besar pada TD sistolik. Kadar
hormon TSH adalah tes skrining diagnostik untuk gangguan tiroid. Hipertiroid
diterapi dengan pemberian obat antitiroid. Untuk terapi hipotiroid, diberikan
levotiroksin.2,20
Feokromositoma
Gambaran klinik disebabkan oleh peningkatan paroksismal katekolamin
plasma dan ditandai dengan “5 P”: paroxysmal hypertension; palpitation;
perspiration (berkeringat); pallor (pucat); pounding headache (sakit kepala
berdenyut).
KESIMPULAN
Hipertensi sekunder adalah hipertensi dengan penyebab dasar yang
secara potensial dapat dikoreksi. Prevalensi dan etiologi hipertensi sekunder
adalah bervariasi berdasarkan kelompok umur. Etiologi paling sering untuk
hipertensi sekunder adalah OSA, hipertensi parenkim ginjal, aldosteronisme
primer, dan hipertensi renovaskular. Hipertensi sekunder biasanya adalah
hipertensi resisten dimana target TD sulit dicapai dengan terapi standard.
Namun, TD dapat secara efektif diturunkan dengan mengidentifikasi etiologi
dan mengobati kondisi pasien. Karena itu penting untuk mencurigai hipertensi
sekunder dan menegakkan diagnosis secara tepat.
Daftar Pustaka
1. Puar THK, Mok Y, Debajyoti R, et al. Secondary hypertension in adults. Singapore
Med J 2016; 57(5): 228-32.
2. Rimoldi SF, Scherrer U, Messerli FH. Secondary arterial hypertension: When, who,
and how to screen? Eur Heart J 2014; 35(19): 1245-54.
21. Messerli FH, Bangalore S, Makani H, et al. Flash pulmonary oedema and bilateral
renal artery stenosis: The Pickering syndrome. Eur Heart J 2011; 32: 2231–5.
22. Hackam DG, Spence JD, Garg AX, et al. Role of renin–angiotensin system blockade in
atherosclerotic renal artery stenosis and renovascular hypertension. Hypertension
2007; 50(6): 998–1003.
23. Hackam DG, Duong-Hua ML, Mamdani M, et al. Angiotensin inhibition in
renovascular disease: A population-based cohort study. Am Heart J 2008; 156(3):
549–55.
24. Alhadad A, Mattiasson I, Ivancev K, et al. Revascularisation of renal artery stenosis
caused by fibromuscular dysplasia: Effects on blood pressure during 7-year follow-
up are influenced by duration of hypertension and branch artery stenosis. J Hum
Hypertens 2005; 19(10): 761–7.
25. Hirsch AT, Haskal CZJ, Hertzer NR, et al. ACC/AHA 2005 practice guidelines for the
management of patients with peripheral arterial disease (lower extremity, renal,
mesenteric, and abdominal aortic). Circulation 2006; 113: e463–e654.
26. Rossi GP, Bernini G, Caliumi C, et al. A prospective study of the prevalence of
primary aldosteronism in 1,125 hypertensive patients. J Am Coll Cardiol 2006;
48(11): 2293–300.
27. Primary aldosteronism. In: Venkata C, Ram S. Hypertension: A clinical guide. Boca
Raton: CRC Press; 2014. p. 103-10.
28. Funder JW, Carey RM, Fardella C, et al. Case detection, diagnosis, and treatment
of patients with primary aldosteronism: An endocrine society clinical practice
guideline. J Clin Endocrinol Metab 2008; 93(9): 3266–81.
29. Rossi GP, Belfiore A, Bernini G, et al. Prospective evaluation of the saline infusion
test for excluding primary aldosteronism due to aldosterone producing adenoma. J
Hypertens 2007; 25(7): 1433–42.
30. Mulatero P, Milan A, Fallo F, et al. Comparison of confirmatory tests for the diagnosis
of primary aldosteronism. J Clin Endocrinol Metab 2006; 91(7): 2618–23.
31. Grossman E, Messerli FH. Secondary hypertension: Interfering substances. J Clin
Hypertens (Greenwich) 2008; 10(7): 556-66.
32. Tsuiki M, Tanabe A, Takagi S, et al. Cardiovascular risks and their long-term clinical
outcome in patients with subclinical Cushing’s syndrome. Endocr J 2008; 55:
737–45Findling JW, Raff H, Aron DC. The low-dose dexamethasone suppression
test: A reevaluation in patients with Cushing’s syndrome. J Clin Endocrinol Metab
2004; 89(3): 1222–6.
33. Torok RD, Campbell MJ, Fleming GA, et al. Coarctation of the aorta: Management
from infancy to adulthood. World J Cardiol 2015; 7(11): 765-75.
34. Young WF Jr. Adrenal causes of hypertension: Pheochromocytoma and primary
aldosteronism. Rev Endocr Metab Disord 2007; 8(4): 309–20.
Pendahuluan
Sindrom delirium akut atau delirium merupakan sindrom neuropsikiatri
serius yang sering dijumpai pada usia lanjut. Delirium dikenal dengan istilah
yang beragam seperti acute confusional state, acute cerebral insufficiency, acute
brain syndrome, organic brain syndrome, dan toxic/metabolic encephalopathy.1
Epidemiologi
Prevalensi dan insiden delirium bervariasi tergantung dari karakteristik
pasien, seting klinis dan sensitivitas metode deteksi. Angka kejadian delirium
tertinggi pada pasien usia lanjut yang dirawat inap. Prevalensi delirium
di ruang rawat umum dan ruang rawat geriatri berkisar 18-35%. Delirium
terjadi pada 15-53% pasien usia lanjut pasca pembedahan dan insiden
delirium tertinggi didapatkan di ruang rawat intensif hingga mencapai 87%.
3,4
Meskipun prevalensinya di komunitas hanya 1-2%, namun prevalensinya
ditemukan meningkat sejalan dengan usia hingga 14% pada usia lebih dari
85 tahun. Sekitar 10-30% pasien usia lanjut yang datang ke gawat darurat,
delirium merupakan gejala yang seringkali menunjukkan suatu kondisi dasar
yang mengancam nyawa. Angka mortalitas pasien rawat inap dengan delirium
berkisar 22-76%, sedangkan angka mortalitas 1 tahunnya berkisar 35-40%. 3
Etiologi
Etiologi delirium seringkali multifaktorial melibatkan hubungan
kompleks antara faktor predisposisi dan faktor presipitasi pada pasien.
Gambar 1 menunjukkan hubungan tersebut. Seorang individu dapat timbul
delirium walaupun oleh faktor presipitasi/pencetus yang ringan apabila
memiliki faktor predisposisi yang berat dan multipel, sebaliknya seorang
individu dapat timbul delirium walaupun tidak memiliki atau hanya memiliki
faktor predisposisi yang sedikit/ringan apabila dicetuskan oleh faktor
presipitasi/pencetus yang berat atau banyak. Sebagai contoh adalah pada
pasien dengan kerentanan yang tinggi seperti menderita demensia, memiliki
penyakit yang berat serta adanya gangguan pendengaran atau penglihatan
dapat timbul delirium walaupun dicetuskan oleh faktor presipitasi yang
ringan seperti minum obat tidur.5
Tabel 2. Obat –obatan yang dapat mencetuskan sindrom delirium akut 3,5,6
Sedatif / hipnotik
• Benzodiazepine (terutama flurazepam, diazepam)
• Barbiturate
• Obat tidur (difenhidramin, chloral hydrate)
Narkotika (terutama meperidin)
Antikolinergik
• Antihistamin (difenhidramin, hydroxyzine)
• Antispasmodic (belladonna, Lamotil)
• Antidepresan heterosiklik (amitriptilin, imipramine, doxepin)
• Neuroleptic (chlorpromazine, haloperidol, thioridozine)
Inkontinensia (oxybutynin, hyoscyamine)
• Atropine /skopolamin
Kardiak
• Digitalis glikosida
• Antiaritmia (kuinidin, prokainamid, lidokain)
• Antihipertensi (beta bloker, metildopa)
Steroid
Relaksan otot
Gastrointestinal
• Antagonis H2 (simetidin, ranitidine, famotidine, nizatidin)
• Proton pump inhibitor
• Metoclopramide
• Herbal (valerian root, St. John’s Wort, kava kava)
Patofisiologi
Patofisiologi delirium belum sepenuhnya diketahui pasti. Karena
melibatkan etiologi yang multifaktorial maka patofisiologi dipikirkan dapat
melalui berbagai mekanisme. Hipotesis yang ada pun saling bersinggungan satu
dengan yang lain yaitu hipotesis penuaan neuron, hipotesis neuroinflamasi,
hipotesis stress oksidatif, hipotesis disregulasi ritme sirkadian, dan hipotesis
neurotransmiter. 4
meningkat dalam striatum dan tetap stabil dalam batang otak. Hipoksia juga
menyebabkan penurunan sintesis dan pelepasan asetilkolin terutama di pusat
kolinergik otak depan. Penurunan oksigen di otak dan suplai glukosa serta
defisiensi kofactor enzim seperti tiamin menyebabkan produksi asetilkolin
terganggu sehingga timbul delirium. 4
Diagnosis
Diagnosis delirium adalah secara klinis dan berdasarkan pengamatan
langsung pasien. Delirium seringkali tidak dikenali oleh dokter maupun
perawat dikarenakan beberapa hal seperti kondisi delirium yang fluktuatif,
tumpang tindih dengan demensia, kurangnya pengkajian kognitif secara
formal, ketidaktahuan konsekuensinya secara klinis, dan ketidaktahuan
bahwa diagnosis delirium itu penting. 10
Gangguan mental dapat terjadi pada kondisi medis lain selain delirium
sehingga perlu untuk menyingkirkan diagnosis bandingnya. Diagnosis
banding delirium dapat dilihat pada tabel 3.
Simpulan
Delirium merupakan kondisi emergensi yang seyogyanya diketahui
sejak dini. Faktor predisposisi dan faktor pencetus timbulnya delirium harus
diidentifikasi dan ditatalaksana untuk mencegah timbulnya delirium maupun
mencegah perburukan delirium lebih lanjut.
Daftar Pustaka
1. Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults : diagnosis, prevention
and treatment. Nat Rev Neurol. 2009 ;5(4):210-20
2. Mattoo SK, Grover S, Gupta N. Delirium in general practice. Indian J Med Res
2010;131:387-98
3. Inouye SK. Delirium in older persons. N Engl J Med 2006;354:1157-65
4. Maldonado JR. Delirium pathophysiology: An updated hypothesis of the etiology of
acute brain failure. Int J Geriatr Psychiatry. 2017;1–30.
5. Inouye SK, Fearing MA, Marcantonio ER. Delirium. In : Halter JB, Ouslande JG, Tinetti
ME, Studenski S, et al. editors. Hazzard’s Geriatric Medicine and Gerontology. 6th ed.
Mc Graw Hill Co. 2017. P. 647-58
6. Confusion : delirium and dementia. In: Kane RL. Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B,
editors. Essentials of clinical geriatrics. 6th ed. 2009. Mc Graw Hill co. p. 145-173
7. Ahmed S, Leurent B, Sampson EL. Risk factors for incident delirium among older
people in acute hospital medical units : a systematic review and meta-analysis. Age
and Ageing 2014;43:326-33
8. Wang Y, Shen X. Postoperative delirium in the elderly: the potential
neuropathogenesis. Aging Clin Exp Res 2018 Jul 26. doi: 10.1007/s40520-018-
1008-8
Pendahuluan
Sindrom delirium adalah kondisi yang sering dijumpai pada pasien
geriatri di rumah sakit. Gejala dan tanda tidak khas, sehingga sindrom ini
sering tidak terdiagnosis saat pasien masih berada di rumah maupun saat
pasien berada di rumah sakit. Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan
utama, dapat terjadi saat pasien dirawat hari pertama dengan menunjukkan
gejala fluktuatif.
Tatalaksana
Pencegahan
Pada beberapa kasus terjadi perburukan prognosis sehingga jalan yang
terbaik adalah mencegah terjadinya delirium. Pencegahan dibagi menjadi dua,
yaitu pencegahan primer yang bertujuan untuk mencegah delirium berulang,
sedangkan pencegahan sekunder bertujuan untuk penanganan proaktif
dengan melakukan penapisan faktor risiko oleh tim geriatri terpadu.
Terapi Farmakologik
Penatalaksanaan delirium tentunya tidak terpisah dari penyebabnya.
Identifikasi penyakit yang mendasari serta pengobatannya secara tepat
perlu dilakukan. Pasien dengan gangguan medis umum yang disertai dengan
delirium akan menjalani masa tinggal rumah sakit yang lebih lama daripada
yang tidak mengalami delirium. Delirium sendiri dapat menimbulkan
komplikasi lain yang banyak terjadi pada pasien geriatri seperti jatuh dan
infeksi. Pasien dengan delirium juga biasanya lebih membutuhkan perawatan
di institusi.
baik kesadarannya atau sudah mampu menelan obat oral maka haloperidol
dapat diberikan per oral dengan dosis terbagi 2-3 kali perhari sampai kondisi
deliriumnya teratasi.
Dosis awal olanzapin adalah 5 mg per oral setiap hari, setelah satu
minggu, dosis dapat ditingkatkan menjadi 10 mg sehari dan dititrasi menjadi
20mg sehari. Quetiapin diberikan 25 mg per oral dua kali sehari yang dapat
ditingkatkan menjadi 25-50mg per dosis tiap 2 sampai 3 hari sampai tercapai
target 300-400 mg perhari yang terbagi dalam 2-3 dosis. Risperidon diberikan
1-2 mg per oral pada malam hari dan secara gradual ditingkatkan 1 mg tiap
2-3 harus sampai dosis efektif tercapai (4-6 mg per oral). Quetiapin adalah
obat antipsikotik baru yang paling menimbulkan sedasi dan paling aplikatif
dalam pengobatan delirium yang agitasi.31
Prognosis
Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut, ada beberapa
kasus dengan gejala dan tanda yang menetap sampai 12 bulan. Prognosis
sindrom delirium akut berhubungan dengan mortalitas, gangguan kognitif
pasca delirium, status fungsional dan gejala sisa.
Kesimpulan
Delirium merupakan suatu kondisi neuropsikiatrik yang seringkali
dialami oleh pasien geriatri. Gejala klinis yang utama adalah perubahan
kesadaran yang disertai dengan penurunan fungsi kognitif yang terjadi secara
akut dan fluktuatif. Sindrom delirium bersifat reversibel, tetapi penyembuhan
terjadi secara bertahap mulai beberapa hari, tetapi ada yang sampai 12 bulan.
Daftar Pustaka
1. Lorenzl S, Ingo F, and Soheyl N. Acute Confusional States in the Elderly-Diagnosis
and Treatment. Deutsches Ärzteblatt International | Dtsch Arztebl Int 2012;
109(21): 391–400.
2. Popeo D.M. Delirium in Older adults. Mt Sinai J Med. 2011 July ; 78(4): 571–582.
3. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of mental
Disorders. 4th Ed, text rev.. American Psychiatric Association; Washington DC:
2000.
4. Fong TG, Tulebaev SR, Inouye SK. Delirium in elderly adults: diagnosis, prevention
and treatment. Nat Rev Neurol. 2009; 5:210–220.
5. McCusker J, Cole M, Abrahamowicz M, Primeau F, Belzile E. Delirium predicts
12-month mortality. Arch Intern Med. 2002;162(4):457-463.
6. Witlox J, Eurelings LSM, de Jonghe JFM, Kalisvaart KJ, Eikelenboom P, van
Gool WA. Delirium in elderly patients and the risk of postdischarge mortality,
institutionalization and dementia. JAMA. 2010; 304(4):443–451.
7. Inouye SK. Delirium in older patient. N Eng J Med 2006,;354:1157-65.
8. Miller M. Evaluation and Management of Delirium in Hospitalized Older Patients.
Am Fam Physician. 2008;78(11):1265-1270.
9. Han JH, Schnelle JF, Ely EW. The relationship between a chief complaint of “altered
mental status” and delirium in older emergency department patients. Acad Emerg
Med. 2014 Aug;21(8):937-40.
10. Delirium: diagnosis. Prevention and Management. National Institute of Health and
Clinical Excellence, NICE Guideline 103. July 2010.
11. Tropea J, Slee J, Brand CA, Gray L, Snell T. Clinical practice guidelines for the
management of delirium in older people in Australia. Australia J Ageing 2008;27:50-
6.
12. Hshieh TT, Fong TG, Marcantonio ER, Inouye SK. Cholinergic deficiency hypothesis
in delirium: a synthesis of current evidence. J. Gerontol. A Biol. Sci. Med. Sci. 2008;
63:764–772.
PENDAHULUAN
Insomnia didefinisikan sebagai suatu ketidakpuasan pada kuantitas
atau kualitas tidur, dan dihubungkan dengan kesulitan memulai tidur atau
mempertahankan tidur, serta bangun tidur dini hari dengan kesulitan untuk
tidur kembali. Insomnia merupakan masalah utama di USA. Diperkirakan
antara 40 – 70 juta penduduk USA mengalami insomnia. Berdasarkan
perkiraan tersebut, 2 kali lipat penduduk Amerika menderita insomnia
dibandingkan depresi. Tetapi prevalensi sebenarnya dari insomnia tidak
diketahui, oleh karena tidak terdiagnosis maka otomatis tidak ditatalaksana
sebagaimana mestinya.
FISIOLOGIS TIDUR
Tidur dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan bawah sadar saat
individu tersebut dapat dibangunkan dengan pemberian rangsang sensorik
atau dengan rangsangan lainnya. Rerata dewasa sehat membutuhkan waktu
tujuh setengah jam untuk tidur setiap malam. Setiap individu mempunyai
kebutuhan atau jumlah tidur yang berbeda tergantung umur, jenis kelamin,
beban kerja sehari-hari dan lain-lain.
jantung dan frekuensi pernafasan serta temperatur yang lebih nyata. Dalam
jenjang tidur tersebut relatif sulit dibangunkan.
Jenjang Tidur REM. Ditandai dengan rekaman EEG yang hampir sama
dengan jenjang tidur 1 NREM. Mencakup 20-25% selama proses tidur
berlangsung. Ditandai dengan adanya gerakan bola mata yang cepat ke arah
horizontal dan vertikal. Berlangsung pada tingkat jenjang 1-2 NREM selama
siklus tidur. Makin menjelang dini hari jenjang 3-4 NREM makin berkurang
lamanya dan jenjang tidur REM makin banyak. Jenjang tidur REM dianggap
penting untuk pelepasan stres dan ketegangan yang terjadi sehari-hari,
dikaitkan dengan terjadinya mimpi-mimpi yang sebagian besar terjadi saat
tidur REM. Juga terjadi proses penguatan (reinforced) pembelajaran dan
memori.
PATOFISIOLOGI INSOMNIA
Secara konsep, patofisiologi insomnia umumnya dianggap gangguan
hyperarousal antara malam dan siang hari, sebagai akibat dari peningkatan
aktivasi somatik, kortikal dan kognitif. Sehingga konsekuensinya
menyebabkan insomnia dan diekspresikan pada tingkat psikologis terhadap
kognitif dan emosional serta fisiologis. Individu dengan insomnia seringkali
merasa khawatir yang berlebihan, fikiran yang cepat dan mudah teralih
perhatian karena rangsangan. Hyperarousal dimanifestasikan secara fisiologis
pada penderita insomnia dengan peningkatan metabolik tubuh, peningkatan
kortisol, ambilan glukosa di otak selama keadaan bangun dan tidur, dan
peningkatan tekanan darah serta peningkatan frekuensi elektroencefalografi
selama tidur.
DIAGNOSIS INSOMNIA
Insomnia didefinisikan sebagai suatu ketidakpuasan pada kuantitas
atau kualitas tidur, dan dihubungkan dengan kesulitan memulai tidur atau
menjaga tidur dan bangun tidur lebih pagi dengan kesulitan untuk tidur lagi.
Terdapat tiga kriteria terpisah yang sering digunakan untuk menegakkan
insomnia, yaitu The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM), The International Classification of Sleep Disorders (ICSD), dan The ICD-
10 Classification of Mental and Behavioural Disorder.
Pada saat ini berdasarkan DSM-5 dan ICSD-3, menetapkan hal kriteria
yang sama untuk menetapkan diagnosis gangguan insomnia. Suatu insomnia
didiagnosis ketika pasien ditemukan kriteria: (1) Gejala pada malam hari
sulit memulai tidur dan/atau mempertahankan tidur, bangun terlalu pagi
dan tidak mampu tidur kembali; (2) Gejala distres/hendaya bermakna
keesokan harinya dalam kehidupan sosial, pekerjaan, pendidikan, akademik,
perilaku, atau fungsi penting lainnya; (3) Gejala terjadi paling tidak 3 malam
selama satu minggu untuk minimal terjadinya selama 3 bulan terakhir; (4)
Gejala menetap walaupun kesempatan/peluang tidur sebenarnya ada; (5)
Insomnia tidak dijelaskan dengan keluhan tidur lainnya (seperti narkolepsi,
gangguan tidur dengan kesulitan bernafas, gangguan tidur irama sirkadian
dan parasomnia; (6) Insomnia tidak disebabkan karena efek fisiologis suatu
zat (misalnya penyalahgunaan obat).
kesulitan tidur dan terbangun tidur dini hari selama kurun waktu 3 malam
selama 1 minggu, dan gejala menetap paling tidak selama 3 bulan. Hal ini
dihubungkan dengan berbagai macam gangguan.
MANAGEMENT INSOMNIA
Tujuan tatalaksana insomnia adalah memperbaiki tidur dan
menghilangkan distres atau disfungsi yang diakibatkan oleh gangguan
tersebut. Insomnia dapat ditatalaksana dengan terapi psikologis, terapi
farmakologis, atau kombinasi keduanya.
A. TERAPI NON-FARMAKOLOGI
Pilihan terapi psikologis adalah Cognitive Behavioural Therapy
for Insomnia (CBT-I); multicomponent behavioral therapy atau Brief
Behavioral Therapy (BBT) untuk insomnia; dan intervensi lainnya, seperti
kontrol stimulus, strategi relaksasi, dan restriksi tidur. American College
of Physicians (ACP) merekomendasikan pada seluruh pasien dewasa
yang mengalami gangguan insomnia untuk diberikan terapi utama, yaitu
CBT-I sebagai terapi awal.
Sleep Hygiene
Sleep Hygiene merupakan salah satu komponen terapi perilaku untuk
insomnia. Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah
cara hidup dan lingkungan penderita dalam rangka meningkatkan
kualitas tidur penderita itu sendiri. Hindari mengkonsumsi alkohol,
kafein dan produk nikotin sebelum tidur, meminimumkan suasana bising,
pencahayaan yang terlalu terang, suhu ruangan yang terlalu dingin atau
panas. Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik. Hindari
makanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur, menggunakan
bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita. Penderita diminta
menghindari latihan fisik yang berat.
Restriksi Tidur
Terapi ini disebut juga pembatasan tidur. Membatasi waktu ditempat
tidur, sehingga dapat membantu mengkonsolidasi tidur. Pasien dipaksa
untuk bangun pada waktu yang ditentukan, walaupun pasien masih
merasa mengantuk. Hal ini dapat membantu tidur pasien yang lebih baik
pada malam berikutnya karena kurang tidur pada malam sebelumnya.
Terapi Relaksasi
B. TERAPI FARMAKOLOGI
American College of Physicians (ACP) merekomendasikan jika
dilakukan tatalaksana secara farmakoterapi dianjurkan dengan
pendekatan pemakaian obat jangka pendek, juga termasuk diskusi
tentang manfaat, kerugian dan biaya akibat pemakaian obat-obatan
tersebut. Hal tersebut diputuskan setelah terapi pada pasien dewasa
dengan gangguan insomnia kronik dilakukan CBT-I tidak berhasil.
SIMPULAN
Insomnia merupakan gangguan yang sering dijumpai diklinik fasilitas
kesehatan dan menghabiskan biaya tinggi yang dihubungkan dengan efek
bermakna jangka panjang pada fungsi fisik, psikologis dan pekerjaan. Untuk
meminimalisir dampak sosial dari insomnia dan bebannya, maka para klinisi
harus memperbaiki sistem pelayanan kesehatan, keluarga dan pasien, serta
memperbaiki penetapan diagnosis dan tatalaksana insomnia terkait juga
dengan kondisi medis.
Daftar Pustaka
1. Doghramji K. The epidemiology and diagnosis of Insomnia. Am J Manag Care
2006;12:214-20
2. Pigeon WR. Diagnosis, prevalence, pathways, consequences and treatment of
insomnia. Indian J Med Res 2010;131:321-32
3. Levenson JC, Kay DB, Buysse. The pathophysiology of insomnia. CHEST
2015;147(4):1179-92
4. Shatri H. Insomnia akut dan kronik. Naskah Lenkap Pertemuan Ilmiah Tahunan
Penyakit Dalam. 2017
5. Marin CM. Benca R. Chronic insomnia. Lancet 2012;379:1129-41
6. Ng CL. The relationships between insomnia and depression. J Family Med
Community Health 2015;2(1):1027
7. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders. 5th ed. Arlington, VA: American Psychiatric Publishing. 2013
8. Seow LS, Verma SK, Mok YM, Kumar S, Chang S, Satghare P et al. Evaluating DSM-5
insomnia disorder and the treatment of sleep problems in a psychiatric population.
J Clin Sleep Med 2018;14(2):237-44
9. Satela MJ. International classification of sleep-disorders-third edition. Highlights
and modifications. CHEST 2014;164(5):1387-94
10. Winkelman JW. Insomnia disorder. N Engl J Med 2015;373-1437-44
11. Macedo PJO, Neves GSML, Poyares DLR, Gomes MM. Insomnia current diagnosis:
an appraisal. Revista Brasileira de Neurologia 2015;51:62-68
12. Malan L, Diamini N. Clinical practice guidelines for insomnia disorder. S Afr Fam
Prac 2017;59(3):45-51
13. Hajak G, Petuchova M, Lakoma M. Days out-of role associated with insomnia
and comorbid conditions in the American Insomnia Survey. Biol Psychiatry
2011;70:1063-73
14. Pinto LR, Alves RC, Caixeta E, Fontenelle JA, Bacellar A, Poyares D et al. New guidelines
for diagnosis and treatment of insomnia. Arq Neuropsiquatr 2010;68(4):666-675.
15. Wilson SJ, Nutt DJ, Argyropoulos SV, Baldwin DS, Bateson AN, Britton TC et al.
British Association for Psychopharmacology consensus statement on evidence-
based treatment of insomnia, parasomnias and circadian rhythm disorders. Journal
of Psychopharmacology 2010;24(11):1577-1600
16. Ramar K, Olson EJ. Management of common sleep disorders. Am Fam Physicians
2013;88(4):231-38
17. Ramakrishnan K, Scheid DC. Treatment options for insomnia. Am Fam Physician
2007;76:517-26
18. Qaseem A, Kansagara D, Forciea MA, Cooke M, Denberg TD. Management of chronic
insomnia disorder in adults: a clinical practice guideline from the American College
of Physicians. Ann Intern Med 2016;165:125-33
Pendahuluan
Tidur merupakan salah satu kebutuhan dan bagian yang sangat penting dari
siklus hidup dan kelangsungan hidup manusia.
Pada saat bangun tubuh menjadi segar dan dapat melakukan aktifitas kembali,
maka tidur dianggap berfungsi untuk konservasi dan restorasi tubuh, untuk
memulihkan fungsi berbagai sistem organ yang ada dalarn tubuh serta perbaikan
homeostasis. Disini nampak bahwa tidur merupakan suatu kebutuhan, tidak
hanya pemulihan kondisi fisik tetapi juga keadaan psikik seseorang.
berat yang berakibat buruk pada kualitas hidup seseorang. Lebih lanjut dapat
meningkatkan rnorbiditas dan mortalitas akibat berbagai sebab seperti kecelakan
kerja, kecelakaan lalu lintas, penyakit kardiovaskular dan lain sebagainya.
Sampai saat ini masih banyak gangguan tidur yang belum mendapat
pengobatan yang baikdan memadai, dari beberapa studi dilaporkan bahwa lebih
dari 50% belum mendapat terapi yang tepat, oleh karena para klinisi masih kurang
perhatian terutama dalam pencarian penyebab dan pemilihan obat yang tepat.
Pada sleep apnea tidur seseorang sering terganggu sampai dengan terbangun.
Bila hal ini terjadi berulang maka akan mengakibatkan kantuk pada siang hari,
gangguan kognitif dengan segala akibatnya. Pendekatan diagnosis dapat dilakukan
dengan cara anamnesis terhadap patner yang biasanya dapat menceritakan dengan
baik saat pasien tidur dengan mendekur (snoring) dan adanya episode henti
nafas serta kegelisahan yang terjadi saat tidur.
Semuanya harus ditentukan atas dasar gambaran dan perjalanan klinisnya yang
relefan sehingga dapat menjelaskan psikofisiologi ataupun patofisiologinya untuk
kepentingan serta pertimbangan pengobatan.
Penatalaksanaan gangguan tidur sekunder yang berhubungan dengan kondisi
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 243
Hamzah Shatri, Annisa Puspitasari N.
Obat psikotropik atau hipnotik menjadi pilihan terakhir dan harus hati-
hati sehubungan dengan penggunaan obat psikotropik secara umum, juga
berkaitan dengan kondisi medik organik apakah obat psikotropik tersebut
diperbolehkan serta akibat efek obat hipnotik yang berkepanjangan.
Terapi Farmakologi
Pemberian obat psikotropik-hipnotik sebaiknya setelah melakukan
pengobatan terhadap penyakit dasar organik atau somatik yang mendasarinya
dan intervensi psikis baik psikoterpi suportif ataupun terapi kognitif-perilaku.
Pemberian psikotropik khsusnya hipnotik harus hati – hati oleh karena
bukan untuk menyembuhkan gangguan tidur seperti insomnia tetapi untuk
memperbaiki tidur. Untuk menyembuhkan gangguan tidur adalah dengan
megobati kondisi psikis dan somatik yang mendasarinya.
Secara umum obat hipnotik diberikan tidak lebih dari satu bulan, lebih
baik bila diberikan kurang dari 2 minggu. Jelaskan pada pasien bila digunakan
dalam waktu lama dapat menimbulkan resiko halusinasi, ketergantungan,
sindroma lepas obat.
Mekanisme kerja kedua obat ini dicirikan oleh efek benzodiazepin dan
agonis reseptor benzodiazepin pada reseptor benzodiazepin (kompleks
reseptor GABA-A benzodiazepin). Komplek reseptor ini adalah ligand-
gated ion channel. Benzodizepin berikatan dengan hyperjunction subunit
alfa dan gamma pada reseptor ini, membentuk konfigurasi tipe 1 dan tipe 2.
Konfigurasi tipe 1 merepresentasikan 40% reseptor GABA-A dan ditemukan
pada sebagian besar area otak, termasuk hipokampus dan interneuron
kortikal. Sedangkan konfigurasi tipe 2 lebih banyak ditemukan pada neuron
motorik medula spinalis dan hippocampal parental neurons. Benzodiazepin
hipnotik berikatan pada kedua tipe reseptor, sedangkan agen yang lebih baru
seperti zolpidem dan zalepon berikatan lebih speisfik pada reseptor tipe 1.
Obat antidepresan lain yang bersifat non sedative antara lain selective
noradrenaline reuptake inhibitor (SNRI) dan inhibitor monoamin oksidase.
Adapun jenis , cara kerja dan efek samping antidepresan pada jenjang tidur
perlu juga menjadi pertimbangan dalam pengobatan (Tabel 5)
Daftar Pustaka:
1. Chokroverty S. Overview of sleep & sleep disorders.Indian J Med Res 131, 2010:126-
40
2. Dragioti E, Levin LA,Bernfort LL,Larsson B,Gerdle B. Insomnia severity and its
relationship with demographics, pain features, anxiety, and depression in older
adults with and without pain: cross -sectional population -based results from
the PainS65+cohort. 2017; Ann Gen Psychiatry 16:15. DOI 10.1186/s12991-017-
0137-3.
3. Misra AK,Sharma PK.Pharmacotherapy of Insomnia and Current Updates. ournal of
The Association of Physicians of India. 2017;. 65.:43-7l
4. Qaseem A, Kansagara D, Forciea MA, Cooke M, Denberg TD, Barry MJ, et al.
Management of chronic insomnia disorder in adults: A clinical practice guideline
from the
5. Riemann D, Nissen C. Sleep and Psychotropic Drugs. The Oxford Handbook of Sleep
and Sleep Disorders. 2012.
6. Sateia MJ, International classification of Sleep Disorders-Third Edition .Highlights
and Modifications. Chest;2014;164(5) :1387-94.
7. Sateia MJ, Buysse DJ, Krystal AD, Neubauer DN, Heald JL. Clinical practice
guideline for the pharmacologic treatment of chronic insomnia in adults: an
American Academy of Sleep Medicine clinical practice guideline. J Clin Sleep Med.
2017;13(2):307–49.
8. Shatri H. Pendekatan Diagnosis Gangguan Tidur Pasien Psikosomatik. Siang Klinik
Penyakit Dalam FKUI/RSCM.2000.
9. Shatri H. Insomnia; Definisi, klasifikasi, dan diagnosis. Pertemuan Ilmiah Nasional
Psikosomatik. Padang ; 2016.
10. Wilt TJ, MacDonald R, Brasure M, Olson CM, Carlyle M, Fuchs E, et al. Pharmacologic
treatment of insomnia disorder: An evidence report for a clinical practice guideline
by the American college of physicians. Ann Intern Med. 2016;165(2):103–12.
11. Winkelman JW . Insomnia Disorder, N Engl J Med 2015; 373:1437-44.
PENDAHULUAN
Menurut WHO 1990 osteoporosis (OP) didefinisikan sebagai gangguan
skeletal sistemik yang ditandai dengan rendahnya massa tulang dan terjadinya
deteriorasi mikroarsitektur jaringan tulang yang mengakibatkan rapuhnya
tulang sehingga meningkatkan risiko fraktur. OP terjadi pada sekitar separuh
wanita yang berusia di atas 60 tahun, dan sepertiga dari lansia laki-laki.
Dikatakan 20% dari seluruh populasi Western menderita OP dan terjadi 4
juta fraktur OP baru setiap tahun di Eropa. Fraktur OP dikatakan juga menjadi
masalah besar di Asia dan Amerika Selatan. WHO menyebutkan bahwa OP
merupakan penyakit ke-2 yang menimbulkan problem di dunia setelah
penyakit kardiovaskuler. Sayangnya banyak pasien OP tidak terdiagnosis
secara cepat dan bila sudah terdiagnosis, seringkali tidak mendapatkan
terapi yang adekuat. OP merupakan silent disease, tidak akan dikeluhkan
pasien sampai terjadi fraktur. Fraktur yang terjadi bisanya akibat trauma
minimal atau pada beberapa kasus tidak ada trauma sama sekali. Fraktur
dapat menimbulkan beban yang berat secara medis maupun sosial. OP dapat
dicegah, didiagnosis, dan diterapi sebelum terjadi fraktur.1,2,3
Saat ini tehnik DXA merupakan tehnik yang dianggap sebagai gold standard
dalam mendiagnosis OP, paling banyak digunakan, dengan pemeriksaan yang
cepat (1-2 menit), hasil yang cukup akurat, dan rendah radiasi (1-6 μSv). 9
Klasifikasi T score
Normal -1 atau lebih besar
Osteopenia Antara -1 dan -2,5
Osteoporosis -2,5 atau kurang
Osteoporosis berat -2,5 atau kurang dengan fraktur fragilitas.
Prinsip pengukuran BMD untuk wanita pre-menopause dan pria < 50 tahun 8:
- Menggunakan Z-score (bukan T-score)
- Z-score £ 2.0 didefinisikan sebagai “below expected range for age”, dan >
-2.0 disebut “within the expected range for age”.
- Tidak bisa mendiagnosis OP pada pria < 50 tahun hanya berdasar BMD
saja.
- Kriteria diagnosis WHO dapat diterapkan pada wanita transisi menuju
menopause.
- Z-score bersifat spesifik untuk populasi tertentu, karena itu etnis pasien
harus diperhitungkan.
Pada umumnya BMD perlu diulang setelah 1 tahun inisiasi terapi. Bila
efek terapi telah tercapai interval dapat diperpanjang. Pada terdapat kondisi
hilangnya massa tulang yang cepat (misal pada terapi steroid), diperlukan
ulangan BMD dengan interval lebih cepat. Pada BMD serial yang dibandingkan
adalah BMD-nya (satuan g/cm2), bukan T-score nya. Pada tiap alat BMD pada
umumnya didapatkan data LSC (Least significant change) untuk menilai
BMD serial, tapi secara umum LSC untuk spine adalah 3-4%, dan untuk total
proksimal femur 4-5%. 8
Komponen yang harus diisi dalam FRAX adalah: umur, jenis kelamin,
berat badan, tinggi badan, fraktur sebelumnya, riwayat fraktur hip orang tua,
merokok, penggunaan steroid, adanya artritis reumatoid (RA), OP sekunder,
dan konsumsi alkohol ³ 3 unit/hari. Terakhir dibutuhkan data BMD femoral
neck dalam g/cm2 beserta merk alat DXA. Bila BMD tidak tersedia, kita tetap
dapat menghitung risiko fraktur dengan FRAX. Penyebab OP sekunder dapat
dilihat pada Tabel 6 berikut: 10
Bila probabilitas fraktur mayor ³ 20% atau fraktur hip ³ 3%, maka
pasien termasuk memiliki risiko tinggi sehingga diperlukan terapi anti-
osteoporosis.12
KESIMPULAN
OP merupakan penyakit yang menimbulkan problem terbanyak ke-2 di
dunia setelah penyakit kardiovaskuler. Banyak pasien OP tidak terdiagnosis
secara cepat dan bila sudah terdiagnosis, sering tidak mendapat terapi adekuat.
Fraktur OP dapat menimbulkan beban berat secara medis maupun sosial. OP
dapat dicegah, didiagnosis, dan diterapi sebelum terjadi fraktur. Pengukuran
BMD dengan DXA merupakan baku emas untuk diagnosis OP. BMD juga dapat
digunakan untuk memonitor hasil terapi. Pada kondisi tertentu dimana DXA
tidak tersedia, FRAX dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan
terjadinya fraktur OP mayor atau fraktur hip dalam 10 tahun mendatang.
Daftar Pustaka
1. Bartl R, Frisch B. Pathogenesis of osteoporosis. In: Bartl R, Frisch B, Bartl C. (eds.).
Osteoporosis, diagnosis, preventon, and therapy. 2nd ed. Springer-Verlag. Berlin
2009:29-37.
2. Hamdy RC, Baim S, Broy SB, et al. Algorithm for the management of osteoporosis.
Southern Medical Journal 2010; 103:1009-14.
3. Brandi ML, Piscitelli P. Epidemiology of osteoporosis and fragility fractures. In:
Guglielmi G (ed.). Osteoporosis and bone densitometry measurement. Springer.
Berlin 2013: 1-4.
4. Golob AL, Laya MB. Osteoporosis: screening, prevention, and management. Med
Clin Nam 2015;99:587-606.
5. Khosla S. Pathogenesis of osteoporosis. Transl Endokrinol Metab 2010;1:55-86.
6. National Osteoporosis Foundation. Clinical guide to prevention and treatment of
osteoporosis. Washington, April 2014.
7. National Osteoporosis Guideline Group 2017: Clinical guideline for the prevention
and treatment of osteoporosis. www.shef.ac.uk/NOGG.
8. The International Society for Clinical Densitometry, June 2015. http://www.iscd.
org/documents/2015/06/2015-iscd-adult-official-positions.pdf/
9. Adams JE. Dual-energy X-ray absorptiometry. In: Guglielmi G (ed.). Osteoporosis
and bone densitometry measurement. Springer. Berlin 2013: 101-17.
10. Kanis JA, Hans D, Cooper C, et al. Interpretation and use of FRAX in clinical practice.
Osteoporos Int 2011; 22:2395-411.
11. Ploof SM, Wuertzer S, Lenchik L. The use of FRAX in DXA interpretation. In:
Guglielmi G (ed.). Osteoporosis and bone densitometry measurement. Springer.
Berlin 2013: 87-98.
12. Esmaeilzadeh S, Cesme F, Oral A, et al. The utility of DXA, calcaneal quantitative
ultrasound, and FRAX for the identification of women with distal forearm or hip
fractures: A pilot study. Endocrine Research 2016; 41:248-60.
1. Non Farmakologi
Edukasi dan Pencegahan
Edukasi yang bertujuan untuk pencegahan OP, dimaksudkan untuk
memberikan pengetahuan kepada pasien melakukan hal-hal yang
berpengaruh positif terhadap tulang. Supaya tulang menjadi lebih kuat,
disebut juga sebagai bone saving (menabung tulang). Semakin tinggi
puncak massa tulang peak bone mass, maka akan mengakibatkan tulang
tidak mudah terjadi OP. Demikian juga bagi pasien-pasien yang telah
didiagnosis dengan OP, edukasi bertujuan agar supaya OP tidak berlanjut
menjadi patah tulang, ataupun mencegah terjadinya patah tulang baru.
Osteoporosis dapat menyerang siapa saja, termasuk individu-individu
yang yang sangat hati-hati dengan gaya hidupnya, mereka makan dengan
benar, berolahraga secara teratur, tidak merokok, tidak mengkonsumsi
alkohol atau hanya dengan jumlah yang sedikit dan tidak memiliki
penyakit, kondisi atau menggunakan obat yang mungkin merupakan
predisposisi osteoporosis. Pasien osteoporosis yang gaya hidup mereka
tidak menentu harus konseling tentang semua kegiatan mereka dalam
kehidupan sehari-hari agar memungkinkan untuk memperlambat
perkembangan keropos tulang. Pasien dengan patah tulang belakang
sangat membutuhkan petunjuk khusus mengenai perubahan dalam
aktivitas hidup sehari-hari, seperti belajar membungkuk, mengangkat
dan sebagainya sehingga tidak menambah stres dan ketegangan pada
tulang belakang. Saran serupa juga harus diberikan kepada mereka
dengan massa tulang yang sangat rendah tetapi belum ada fraktur. Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam melakukan edukasi dan pencegahan,
sebagai berikut:
1. Anjurkan penderita untuk melakukan aktifitas fisik yang teratur
untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan keseimbangan sistem
neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko
terjatuh. Berbagai latihan yang dapat dilakukan meliputi berjalan
30-60 menit per hari, bersepeda maupun berenang.
2. Jaga asupan kalsium 1000-1500 mg/hari, baik melalui makanan
sehari-hari maupun suplementasi, atau sesuai kebutuhan kalsium.
3. Hindari merokok dan minum alkohol.
4. Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testesteron
pada laki-laki dan menopause awal pada perempuan.
5. Hindari berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan
osteoporosis.
6. Hindari mengangkat beban yang berat pada penderita osteoporosis.
7. Hindari berbagai kondisi-kondisi di dalam rumah yang dapat
mengakibatkan penderita terjatuh, seperti lantai licin, lampu kamar
dan kamar mandi yang remang – remang, hindari penggunaan obat-
obat sedative.
8. Berikan vitamin D untuk mencegah defisiensi vitamin D, terutama
pada orang yang kurang terpapar sinar matahari. Berikan vitamin
D 400 IU/hari atau 800 IU/hari pada orang tua harus diberikan.
Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 12,5(OH) D harus
2
dipertimbangkan.
9. Hindari peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal dengan membatasi
asupan natrium sampai 3 gram/hari untuk meningkatkan resorpsi
kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium > 300 mg/hari,
berikan diuretik tiazid dosis rendah (HCT 25 mg/hari).
10. Pada penderita yang memerlukan glukokortikoid, usahakan
pemberian glokokortikoid pada dosis serendah mungkin dan
sesingkat mungkin.
2. Farmakologi
Secara teoritis osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat
kerja osteoklas dan atau meningkatkan kerja osteoblas. Akan tetapi saat
ini obat-obat yang beredar pada umumnya bersifat anti resorpsi. Yang
termasuk obat anti resorpsi misalnya: estrogen, kalsitonin, bisfosfonat.
Sedangkan Kalsium dan Vitamin D tidak mempunyai efek anti resorpsi
maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi
meneralisasi osteoid setelah proses pembentukan tulang oleh sel
osteoblas.
Bisfosfonat
Bisfosfonat merupakan obat yang relatif baru yang digunakan untuk
pengobatan osteoporosis, baik sebagai pengobatan alternatif setelah
terapi pengganti hormonal pada osteoporosis pada wanita, maupun
untuk pengobatan osteoporosis pada laki-laki dan osteoporosis akibat
steroid. Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam
fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon.
Mekanisme Kerja
Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan
cara berikatan pada permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas
dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal dibawah
osteoklas. Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi
aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi
osteoklas yang matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada
permukaan tulang dan apoptosis osteoklas. Bisfosfonat juga memiliki
efek tak langsung terhadap osteoklas dengan cara merangsang
osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas
dan menurunkan kadar stimulator osteoklas. Beberapa penelitian
juga mendapatkan bahwa bisfosfonat dapat meningkatkan jumlah dan
diferensiasi osteoblas. Dengan mengurangi aktifitas osteoklas, maka
pemberian bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif
pada unit remodeling tulang
4. Zoledronat, bisfosfonst terkuat yang ada saat ini. Sediaan yang ada
adalah sediaan intravena yang harus diberikan per drip selama 15
menit untuk dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis cukup
diberikan 5 mg setahun sekali, sedangkan untuk pengobatan
hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan 4 mg per drip setiap
3-4 minggu sekali tergantung responnya. Kontra indikasi pemberian
zoledronat adalah hipokalsemia, ibu hamil dan menyusui.
Raloksifen
Raloksifen golongan preparat anti estrogen yang mempunyai
efek seperti estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan
perangsangan terhadap endometrium dan payudara. Golongan
Raloksifen yang disebut juga selective estrogen receptor modulators
(SERM). Golongan ini bekerja pada reseptor estrogen-β sehingga tidak
menyebabkan perdarahan dan kejadian keganasan payudara. Mekanisme
kerja Raloksifen terhadap tulang diduga melibatkan TGF3 yang dihasilkan
oleh osteoblas yang berfungsi menghambat diferensiasi sel osteoklas.
Estrogen
Mekanisme estrogen sebagai anti resorpsi, mempengaruhi aktivitas
sel osteoblas maupun sel osteoklas, telah dibicarakan diatas. Pemberian
terapi estrogen dalam pencegahan dan pengobatan osteoporosis dikenal
sebagai Terapi Sulih Hormon (TSH). Estrogen sangat baik diabsorbsi
melalui kulit, mukosa vagina, dan saluran cerna. Efek samping estrogen
meliputi nyeri payudara (mastalgia), retensi cairan, peningkatan
berat badan, tromboemboli, dan pada pemakaian jangka panjang
dapat meningkatkan risiko kanker payudara. Kontraindikasi absolut
penggunaan estrogen adalah : kanker payudara, kanker endometrium,
hiperplasi endometrium, perdarahan uterus disfungsional, hipertensi,
penyakit tromboemboli, karsinoma ovarium, dan penyakit hati yang
berat. Di beberapa negara, saat ini TSH hanya direkomendasikan untuk
gejala klimakterium dengan dosis sekecilnya dan waktu sesingkatnya.
Kalsitonin
Kalsitonin obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk
pengobatan penyakit-penyakit yang meningkatkan resorpsi tulang. Dosis
yang dianjurkan untuk pemberian intra nasal adalah 200 IU pre hari.
Kadar puncak dalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit
dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Efek samping kalsitonin
berupa kemerahan dan nyeri pada tempat injeksi serta rhinorrhea
(dengan kalsitonin nasal spray).
Strontium ranelate
Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis kerja ganda, yaitu
meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Dosis
strontium ranelat adalah 2 mg/hari yang dilarutkan dalam air dan
diberikan pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makan atau
2 jam setelah makan. Efek samping strontium ranelat adalah dispepsia
dan diare. Strontium ranelate harus diberikan secara hati-hati pada
pasien dengan riwayat tromboemboli vena.
Vitamin D
Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus.
Lebih dari 90% vitamin D disintesis dalam tubuh, prekursornya ada
di bawah kulit oleh paparan sinar ultraviolet. Vitamin D dapat berupa
alfacalcidol (25 OH vitamin D3) dan calcitriol (1,25 (OH) Vitamin D3),
2
kedua dapat digunakan untuk pengobatan osteoporosis. Kadar vitamin
D dalam darah diukur dengan cara mengukur kadar 25 OH vitamin D3.
Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg
kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mampu menurunkan fraktur
non spinal sampai 50% (Dawson-Hughes, 1997). Pada pemberian vitamin
D dosis tinggi (50.000 IU) dapat berkembang menjadi hiperkalsiuria dan
hiperkalsemia.
Kalsitriol
Saat ini kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama
pengobatan osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol diindikasikan
bila terdapat hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah
hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun gagal
ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah
0,25µg, 1-2 kali per hari.
Kalsium
Kalsium sebagai mono terapi ternyata tidak cukup untuk mencegah
fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium terbaik adalah
kalsium karbonat, karena mengandung kalsium elemental 400 mg/
gram, disusul kalsium fosfat yang mengandung kalsium elemental 230
mg/gram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemental 211 mg/
gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemental 130 mg/gram
dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemental 90 mg/gram.
Pemberian kalsium dapat meningkatkan risiko hiperkalsiuria dan batu
ginjal.
Tabel 2. Kebutuhan asupan kalsium
Umur Jumlah Kalsium*
9 – 18 tahun 1.300 mg
Wanita menyusui
9 – 50 tahun 1.000 mg
> 50 tahun 1.200 mg
*kalsium dapat dinaikkan sampai 2.500 mg per hari
Fitoestrogen
Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas estrogenik. Ada
banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavin
dan lignans. Isoflavon yang berefek estrogenik antara lain genistein,
daidzein dan glikosidanya yang banyak ditemukan pada golongan
kacang-kacangan (Leguminosae) seperti soy bean dan red clover.
Fitoestrogen terdapat banyak dalam kacang kedelai, daun semanggi.
Sampai saat ini belum ada uji klinis bahwa fitoestrogen dapat mencegah
maupun mengobati osteoporosis (Alekel, 2000; Potter 1998). Dosis
efektif isoflavon 20-60 mg/hari, dengan lama terapi 6 sampai 24 bulan.
Seperti obat osteoporosis yang lain dianjurkan pemberiannya bersama
kalsium dan vitamin D.
Hormon paratiroid
Pemberian hormon paratiroid (PTH) secara intermitten dapat
menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoblas, sehingga
terjadi peningkatan massa tulang dan perbaikan mikroarsitektur tulang.
Teriparatide terbukti menurunkan risiko fraktur vertebra dan non
vertebra. Dosis yang direkomendasikan adalah 20µg/hari subkutan
selama 18-24 bulan. Kontra indikasi teriparatide adalah hiperkalsemia,
penyakit tulang metabolik selain osteoporosis primer, misalnya
hiperparatiroid dan penyakit paget, peningkatan alkali fosfatase yang
tidak diketahui penyebabnya atau pasien yang mendapat terapi radiasi.
Pembedahan
Pembedahan pada pasien osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur,
terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip yang harus diperhatikan
pada terapi bedah penderita osteoporosis adalah:
1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan
tindakan bedah, sebaiknya segera dlakukan. Sehingga dapat
menghindari imobilisasi lama dan komplikasi fraktur yang lebih
lanjut.
2. Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil,
sehingga mobilisasi penderita dapat dilakukan sedini mungkin.
3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan pada penderita yang
menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi kalus menjadi
sempurna.
RINGKASAN
Osteoporosis merupakan satu penyakit metabolik tulang sistemik yang
ditandai oleh menurunnya densitas massa tulang, oleh karena berkurangnya
matriks dan mineral tulang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur
dari jaringan tulang, sehingga terjadi kecenderungan tulang mudah patah.
Berdasarkan kriteria WHO, osteoporosis adalah nilai BMD berada pada 2,5
standart deviasi (SD) atau di bawah nilai rata-rata dewasa muda yang sehat
(T score < -2,5 SD).
Daftar Pustaka
1. Reid IR, Brown JP, Burckhardt P et al. Intravenous zoledronic acid in Postmenopausal
women with low bone mineral density. N Eng J Med 2002;346(9):653-61.
2. Leong GM, Center JR, Henderson K, Eisman JA. Glucocorticoid-Induced
Osteoporosis: Basic Pathological Mecganism, Clinical Features, and Management
in the New Millenium. Dalam: Marcus R. Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis 2nd
ed. Vol 2. Academic Press: A Harcourt Science and Technology Company, San Diego
2001:169-94.
3. Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam, Jilid II, Edisi
IV, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta, 2006; 1259-73.
4. PEROSI. Panduan diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis. Pengurus Besar
Perhimpunan Osteoporosis Indonesia. 2010.
5. Setiyohadi B. Diagnosis dan penatalaksanaan osteoporosis. Dalam: Kumpulan
makalah temu ilmiah reumatologi 2009; 117-24.
6. Fuleihan GE, Baddoura R, Awada H, et al. Lebanese guidelines for osteoporosis
assessment and treatment. Beirut, Lebanon. 2002.
7. Raef H, Al-Bugami M, Balharith S, et al. Updated recommendations for the diagnosis
and management of osteoporosis: a local perspective. Ann Saudi Med [Epub ahead
of print] [cited 2011 Mar 18]. Available from: http://www. saudiannals.net/
preprintarticle.asp?id=77502
8. Ackerman KE, and Meryl S. LeBoff MS. Chapter 13: Osteoporosis: Prevention
and treatment. In: Arnold A. editor. Disease of bone and mineral metabolisme.
Updated November 2008. Available from: http://www.endotext.org/parathyroid/
parathyroid13/parathyroidframe13.htm.
9. Setiyohadi B. Peran osteoblas pada remodeling tulang. Dalam: Kumpulan makalah
temu ilmiah reumatologi 2010; 32-7.
10. National Osteoporosis Foundation. Clinician’s guide to prevention and treatment
of osteoporosis. Washington, DC: National Osteoporosis Foundation; 2010.
11. Hofbauer LC, Khosla S, Dunstan CR, et al. Estrogen stimulate gene expression and
protein production of osteoprotegerin in human osteoblastic cell. Endocrinology
1999;140 (9) : 4367-8.
12. National Osteoporosis Guideline Group. Osteoporosis clinical guideline for
prevention and treatment. Executive summary. Updated July 2010.
13. Kansra U. Osteoporosis, medical management. J. Indian Academy of Clin Med 2002;
3(2): 128-40.
14. Adler RA. Glucocorticoid-induced Osteoporosis : Short-term and Long-term
Management. Coemr 2018; 2 : 1-10.
15. Schechter DC, Mervine CK. Current concepts in the management of osteoporosis. J
of American Geriatrics Society 2018.
Haerani Rasyid
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
Indikasi
Nutrisi enteral (NE) selalu merupakan pilihan terbaik dibandingkan NP
dilihat dari segi harga dan risiko efek samping/komplikasi. Nutrisi parenteral
total dapat digunakan hanya pada kondisi saluran cerna yang tidak fungsional
atau kontraindikasi terhadap jalur enteral pasien yang memerlukan dukungan
nutrisi. Kontraindikasi absolut pemberian NE adalah: (Matarese et al, 2014;
Brown et al, 2014; Singer, 2014):
• Obstruksi saluran cerna total
• Muntah, aspirasi dan peningkatan residu gaster (> 500 ml/ 6 jam)
Akses
Ada 2 jalur akses pemberian NP yaitu jalur peripheral parenteral nutrition
(PPN) dan central parenteral nutrition (CPN). Jalur PPN tidak dapat dilalui
dengan larutan parenteral hipertonik karena dapat menyebabkan kolapsnya
vena kecil, serta pemberian hanya untuk jangka waktu pendek yaitu < 14 hari
serta memenuhi hanya sebagian dari kebutuhan pasien. Untuk PPN, larutan
NP tidak boleh melebihi 800-900 mOsm/kg untuk mencegah tromboflebitis.
Istilah PPN mengacu kepada pemberian larutan yang mengandung zat gizi
ke dalam vena di lengan atau dorsal tangan. (Nelms et al, 2011). Jalur CPN
umumnya dilakukan melalui vena subklavia dengan penggunaan dapat
dalam jangka panjang (> 30 hari) (Katsilambros et al, 2010). Rute NP akan
menentukan lama terapi, kebutuhan zat gizi, target terapi nutrisi, keparahan
penyakit dan status hidrasi. (Matarese et al, 2014)
Target Energi
Beberapa strategi baru tentang jumlah makronutrien yang dikemukakan
untuk pasien penyakit kritis yaitu permissive underfeeding, hypocaloric high-
protein feeding dan supplemental PN. Permissive underfeeding (75% dari
kebutuhan basal), umumnya digunakan pada pasien penyakit kritis, dengan
memberikan energi lebih sedikit dari yang diperkirakan untuk mencegah
komplikasi seperti hiperglikemia dan gangguan elektrolit. Hypocaloric high-
protein feeding, yang diteliti pada pasien obes dengan penyakit kritis ternyata
dapat menurunkan masa tinggal di rumah sakit, gagal organ dan hiperglikemi.
Suplemental NP, diindikasikan pemberian dini (1-7 hari setelah perawatan
intensif) digunakan saat NE tidak memungkinkan atau tidak cukup untuk
memenuhi target kalori. (Derenski et al, 2016)
Protein
Pada penyakit kritis terjadi balans nitrogen negatif selama periode
katabolik meskipun terdapat peningkatan asupan kalori dan protein. Asupan
asam amino dan protein efektifitasnya terbatas pada sintesis protein karena
terjadinya resistensi anabolik berat yang berhubungan dengan stress katabolik
pada pasien penyakit kritis sehingga terkadang harus diberikan agen anabolik
untuk menghadapi mekanisme katabolik. Asam amino, terutama asam amino
esensial, menentukan tingkat sintesis protein otot. Penggunaan asam amino
tunggal (seperti leusin) atau grup asam amino (misalnya BCAA) tidak efektif
karena untuk meningkatkan sintesis protein dibutuhkan semua jenis asam
amino esensial. (Wolfe, 2018)
Lemak
Asam lemak merupakan bagian dari integritas struktural membran sel
dan mempengaruhi jalur signal sel seperti apoptosis, inflamasi dan respon
imun yang dimediasi oleh sel. Dibagi berdasarkan panjang rantai hidrokarbon,
jumlah ikatan rangkap dan lokasi ikatan rangkap tersebut, asam lemak
merupakan calorie-dense form dari energi. (Derenski, 2016)
Kadar asam linoleat yang tinggi dalam lemak yang berbahan dasar
kedelai menghasilkan efek pro-inflamasi dan imunosupresi, terutama jika
diberikan dengan dosis tinggi dan laju infus yang cepat. Dosis maksimum
untuk mencegah efek di hepar termasuk steatosis, kolestasis dan/atau
parenteral nutrition related liver disease (PNALD), adalah 1 gram lipid/kg/
hari. Namun sudah ada beberapa sediaan emulsi lipid yang mengandung
kombinasi MCT, olive oil dan fish oil. Emulsi lipid sebaiknya tidak diberikan
pada pasien pankreatitis yang diinduksi oleh hipertrigliseridemia atau pasien
dengan kadar trigliserida > 400 mg/dL. (Matarese et al, 2014)
Karbohidrat
Glukosa memiliki protein-sparing effect yaitu dengan menurunkan
pemecahan otot skeletal untuk menyediakan asam amino untuk
gluconeogenesis, namun pada penyakit kritis hal ini tidak terjadi karena
keterbatasan kemampuan karbohidrat eksogen untuk menghambat
glukoneogenesis. (Mundi et al, 2017) Pada penyakit kritis, terjadinya resistensi
insulin adalah penyebab mengapa pemberian NP terutama yang mengandung
glukosa lebih mudah meningkatkan kadar gula darah yang dapat berakibat
komplikasi infeksi, disfungsi organ dan kematian. (Singer et ql. 2009)
Ketika tingkat oksidasi glukosa melebihi batas maka dapat terjadi sintesis
lemak dan pembentukan CO2 yang berlebihan sehingga dapat menyebabkan
retensi CO2 pada pasien dengan gangguan pernafasan. Selain itu dapat
juga terjadi deposisi lemak di hepar. (Matarese et al, 2014) Strategi untuk
menghindari hiperglikemi pada pasien penyakit kritis adalah membatasi laju
infusan dextrose ≤ 4 mg/kg/menit atau 6 gr/kg/hari. Dan pada tahap awal
pemberian NP, laju infusan dextrose dimulai dengan 2 mg/kg/menit atau
150 gr/hari samapai kadar gula darah terkontrol. Setelah kadar gula darah
kontrol tercapai (140-180 mg/dL), laju infusan dextrose dapat ditingkatkan
sesuai kebutuhan pasien. Cara lain untuk penanganan hiperglikemia adalah
pemberian insulin subkutan atau IV continuous insulin infusion. Selain itu
dapat juga diberikan penambahan langsung insulin dalam sediaan NP, yang
harus digaris bawahi bahwa insulin yang sesuai dengan preparat NP hanyalah
insulin reguler.
Tabel 3. Kebutuhan elektrolit harian selama pemberian NP. (Matarese et al, 2014)
Memulai NP secara cepat (terutama dengan pemberian dextrose > 150-
250 gr atau 1 liter NP dengan kandungan dextrose 15-25%/hari), akan
terjadi peningkatan sekresi insulin yang akan meningkatkan ambilan
seluler dari elektrolit yang menyebabkan penurunan kadar elektrolit
serum yang ekstrim. Peningkatan metabolism karbohidrat akan
meningkatkan penggunaan tiamin dan akan mencetuskan tanda dan
gejala defisiensi tiamin. Peningkatan insulin akan menyebabkan retensi
cairan dan natrium oleh ginjal. Pergeseran elektrolit yang berat ini dapat
menyebabkan fatique, letargi, kelemahan otot, edema, disfungsi kardiak
dan kematian. Selain itu disfungsi neuromuskular dapat juga terjadi
akibat deplesi tiamin. Penururnan risiko refeeding syndrome dapat
diminimalisir dengan pemberian awal NP dengan kandungan dextrose
yang rendah dalam beberapa hari (dimulai dengan 50% dari dosis target
dan ditingkatkan dalam 2-3 hari), pemberian thiamin 100 mg/hari dan
dengan monitoring ketat kadar fosfor, kaliu,, magnesium, glukosa dan
status hidrasi. (Brown et al, 2014; Derenski et al, 2016)
d. Komplikasi Gastrointestinal
Tidak menggunakan jalur enteral juga berhubungan dengan atrofi
mukosa, peningkatan permeabilitas, penurunan sistim imun, dan
menyebabkan peningkatan pertumbuhan bakteri anaerob usus sehingga
dapat meneyababkan sepsis. (Derenski et al, 2016)
Monitoring
Untuk mencegah komplikasi, maka monitoring beberapa parameter
harus dilakukan dengan lebih ketat pada pasien penyakit kritis.
Swiss SPN trial memberikan NP pada hari keempat masuk ICU pada
pasien yang menerima < 60% target EN dan diperkirakan tinggal di ICU > 5
hari sedangkan pada grup kontrol NP ditunda sampai hari ke 9. Penelitian
ini menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dari segi infeksi, LOS di ICU,
durasi penggunaan ventilator, dan tingkat mortalitas. Sehingga disimpulkan
bahwa pemberian dosis rendah NP antara hari 4 sampai 8 tidak memberikan
kerugian maupun keuntungan pada pasien. (Gunst et al, 2015)
Hal yang perlu diperhatikan bahwa seleksi pasien (status gizi, penyakit
dasar), komposisi NP, dan target energi berbeda sehingga mungkin dapat
memberikan hasil yang berbeda dengan situasi yang berbeda. Beberapa
pertimbangan jenis pasien yang harus diperhatikan dalam pemberian NP baik
total maupun suplementasi adalah pasien yang mempunyai kontraindikasi
kuat dan lama terhadap EN, pasien dengan malnutrisi berat dan pasien dengan
penyakit dasar dengan tingkat katabolisme yang besar. Evaluasi pasien dengan
malnutrisi pada pasien penyakit kritis membutuhkan parameter nutrisi
seperti NUTRIC score. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah penurunan
berat dan asupan oral sebelum masuk ICU, lama rawat inap sebelum masuk
ICU, BMI < 18.5 kg/m2, fat free mass dapat menjadi faktor risiko luaran klinis
yang buruk. Penentuan “Nutrition risk” dapat membantu menentukan arah
terapi nutrisi. (Patel et al, 2018)
Suplementasi NP dapat diberikan pada pasien dengan risiko nutrisi tinggi jika
tidak bisa memenuhi > 60% target energy dan protein dengan EN dalam 3
hari. Sedangkan untuk pasien lain, suplementasi NP dapat diberikan jika tidak
bisa memenuhi target > 60% setelah 7 hari. ESPEN juga merekomendasikan
bahwa pada semua pasien yang kontraindikasi atau tidak toleransi terhadap
EN selama 3 hari, harus menerima NP dalam 24-48 jam pertama. Penundaan NP
dapat meningkatan risiko balans energi negatif, infeksi dan lama penggunaan
ventilator mekanik. (Sioson et al, 2018). Beberapa peneliti memberikan
pendekatan pragmatik untuk waktu inisiasi dan indikasi pemberian PN adalah
(Blaser et al, 2017):
1. Periode puasa harus dibatasi maksimun 3-4 hari setelah masuk ICU
2. Intentional underfeeding sebaiknya tidak diterapkan lebih dari 4 hari
3. Jika EN tidak mencapai 60% kebutuhan kalori pada hari ke 4, maka
suplementasi NP harus dipertimbangkan
Gambar 5. Algoritma pemberian nutrisi pada pasien penyakit kritis untuk mencegah
inderfeeding (Singer, 2014)
Daftar Pustaka
1. Brown, Rex O et al. 2014. Parenteral Nutrition in Modern Nutrition in Health and
Disease 11th ed. Chapter 84. Philadelphia : Wolter Kluwer/ Lippinncott Williams&
Wilkins
2. Blaser, Annika Reintam dan Berger, Mette M. 2017. Early or Late Feeding after
ICU Admission?. Nutrients:9:1278
18. Singer, Pierre et al. 2009. ESPEN Guidelines on Parenteral Nutrition: Intensive
care. Clinical Nutrition 28;387–400
19. Singer, Pierre. 2014. More than Choosing the Route : Enteral and parenteral
nutrition; Nutrional Support in ICU patients. Modul 18.2. ESPEN LLL Programme.
20. Stein J et al. 2009. Amino acids – Guidelines on parenteral nutrition. GMS German
Medical Science Vol 7.
21. Sobotka, Lubos and Camilo, Maria E. 2009. Basic in Clinical Nutrition : Metabolic
complications of parenteral nutrition. Vol 4;120-22
22. Weijs, Peter J.M et al. 2012. Optimal protein and energy nutrition decreases
mortality in mechanically ventilated, Critically Ill Patients: A Prospective
Observational Cohort Study. JPEN:36;1
23. Weijs, Peter J.M et al. 2016. Experimental and outcome-based approaches
to protein requirements in the Intensive Care Unit. ASPEN. Volume 32 Suppl
1;77S-85S
24. Wolve, Robert R. 2018. The 2017 Sir David P Cuthbertson lecture. Amino Acids
and muscle protein metabolism in Critical Care. Clin Nut 37;1093-100
25. Ziegler, Thomas R. 2009. Parenteral nutrition in the critically Ill Patient. N Engl J
Med:36;1088-97.
adrenal ini diinisiasi oleh jalur persarafan aferen dari jaringan yang sakit /
terluka.
Selain terdapatnya kejadian resistensi insulin pada yang menyeluruh pada sel
tubuh pasien yang sakit kritis, laju bersihan glukosa (ambilan glukosa oleh sel
dibagi kadar glukosa serum) juga sebaliknya dapat meningkat pada pasien
yang sakit kritis. Hal ini bisa jadi karena terdapatnya ambilan glukosa oleh
jaringan yang tidak membutuhkan insulin dan jaringan yang sakit sendiri.
Hal ini terbukti dengan peningkatan ambilan glukosa pada jaringan yang
mengalami luka bakar. Akan tetapi peningkatan ambilan glukosa tidaklah
bermakna peningkatan oksidasi glukosa, terutama bila terdapat hipoksia.
Peningkatan laju bersihan glukosa sendiri pada dasarnya dapat terjadi pada
orang sehat yang tidur tapi dengan makan yang berlebihan.
Pada sakit kritis laju lipolisis yang ditunjukkan oleh peningkatan gliserol,
tampak lebih besar dari laju oksidasi lemak secara keseluruhan. Hal ini
menunjukkan oksidasi asam lemak terutama terjadi hanya pada area yang
mengalami lipolisis. Oksidasi lemak pada pasien sakit kritis merupakan
kontributor utama energi pada perlukaan. TNF-α tampaknya mempercepat laju
lipolisis dengan meningkatkan lipase di jaringan adipose dan meningkatkan
hipertriglisedemia dengan menghambat lipoprotein lipase. TNF-α juga
menurunkan sintesis apolipoprotein A-1, dimana apolipoprotein ini protektif
terhadap endotoksin dan sepsis. IL-6 juga diketahui meningkatkan asam
lemak dan keton darah.5
KESIMPULAN
Perubahan metabolism pada keadaan sakit kritis seringkali memperburuk
keadaan klinis bahkan berbahaya. Akan tetapi perubahan ini tampaknya
justru ditujukan untuk upaya penyelamatan hidup atau perbaikan kesehatan
tubuh. Oleh sebab itu tatalaksana perubahan tersebut perlu dilakukan dengan
hti-hati sehingga tidak justru memperparah keadaan.
Daftar Pustaka
1. Tardalaki T, Sparaki AM, Briassoulis G. Alterations in metabolic patterns in critically
ill patients – is there need of action ? Eur J Clin Nutr 2017; 71: 431-3.
2. Preiser J-C, van Zanten ARH, Berger MM, Bioh G, Casper MP, Doig GS, et al. Metabolic
and nutritional support af critically ill patients : consensus and controversies. Crit
care
3. Cuthbertson DP. The disturbance of metabolism produced by bony and non bony
injury, wwith notes on certain abnormal conditions of bone. Biochem J 1930.
24:1244-63.
4. Cannon WB. The wisdom of the body. New York. WW Norton. 1967 :
5. Bessey PQ, Watters JM, Aoki TT, et al. Combined hormonal infusion simulates the
metabolic reponse to injury. Ann Surg 1984; 200: 264-81.
6. Van der Poll T, Romijn JA. Endert E. Tumor necrosis factor mimics the metabolic
response to acute infection in healthy humans. Am J Physiol 1991. 261:E457-65.
7. Vrees MD, Albine JE. Metabolic response to illness and its mediators. In: Rombeau
JL, Rolandeli RH (eds) Clinical Nutrition Parenteral Nutrition. WB Saunders 2001:
21-34.
8. Carre JE, Orban J-C, Re L, Felsmann K, Iffert W, Bauer M, et al. Survival in critical
illness is associated with early activation of mithochondrial biogenesis. Am J Respir
Crit Care Med 2010; 182: 745-51.
9. Kinney JM. Duke JH, Long CL. Tissue fuel and wight loss after injury. J Clin Pathol
1970.23 (Suppl 4): 65-72.
10. Long CL, Schaffel N, Geiger JW. Metabolic response to illness. Estimation of energy
and protein needs from indirect calorimetry and nitrogen balance. JPEN J Parenter
Enteral Nutr 1979;3:452-6.
11. Kinney JM, Furst P, Elwyn DH, Carpentler YA. The intensive care patient. In : Kinney
JM, Jeejeebbhoy KN, Hill GL, Owen OE (eds). Nutrition and Metabolism in patient
care. Philadelphia, WB Saunders 1988: 656-71.
12. James JH, Fang CH, Schrantz SJ. Linkage of aerobic glucolysis to sodium-potassium
transport in rat skeletal muscle. J Clin Invest 1996; 98:2388-97.
Pendahuluan
Hipofisis dikenal sebagai master of gland karena kemampuan hipofisis
dalam mempengaruhi atau mengontrol aktivitas kelenjar endokrin lain.
Kelenjar hipofisis merupakan kelenjar kecil dengan diameter kira-kira 1 cm
dan beratnya 0,5-1 gram yang terletak di sela tursika, rongga tulang basis
otak, dan dihubungkan dengan hipotalamus oleh tangkai hipofisis atau
hipofisial. Kelenjar hipofisis terdiri dari lobus anterior (adenohipofisis) dan
lobus posterior (neurohipofisis).
Hampir semua sekresi kelenjar hipofisis diatur baik oleh hormon atau
sinyal saraf yang berasal dari hipotalamus. Sekresi kelenjar hipofisis posterior
diatur oleh sinyal saraf yang berasal dari hipotalamus dan berakhir di
hipofisis posterior. Sebaliknya, sekresi kelenjar hipofisis anterior diatur oleh
hormon yang disebut hormon pelepas hipotalamus dan hormon penghambat
hipotalamus yang disekresikan ke dalam hipotalamus sendiri dan selanjutnya
dijalarkan ke hipofisis anterior melalui pembuluh darah kecil yang disebut
pembuluh darah porta hipotalamus – hipofisis. Di dalam kelenjar hipofisis
anterior, hormon pelepas dan hormon penghambat ini bekerja terhadap sel
kelenjar dan mengatur sekresi kelenjar tersebut.
Gambar 1. Pengaturan sekresi hormon hipofisis anterior oleh tiga tingkatan kontrol.
Hasil akhir dari tiga tingkatan ini adalah sinyal sekresi dari enam hormon
trofik hipofisis ke intraseluler yang terkontrol — ACTH, GH, PRL, TSH, FSH,
dan LH. Kontrol temporal dan kuantitatif sekresi hormon hipofisis sangat
penting untuk integrasi sistem fisiologis hormonal perifer, seperti pada siklus
menstruasi, yang bergantung pada kontrol hormon yang kompleks dan tepat.
Selain itu, anabolisme protein adalah ciri khas dari GH yaitu mengurangi
sintesis dan ekskresi urea. Namun, GH juga merangsang penyerapan
asam amino menjadi protein in vitro.
Pengaturan umpan balik oleh hormon tiroid pada TRH dan TSH
dijabarkan melalui kontrol sistem parakrin yang rumit. Efek hormon
tiroid dimediasi oleh reseptor hormon tiroid (TR), yang terdiri dari dua
isoform utama, TRα dan TRβ. TRα adalah isoform TR yang bertanggung
jawab untuk regulasi umpan balik negatif dimediasi T3 oleh neuron TRH
hipofisiotropik.
Kesimpulan
Telah diuraikan mekanisme kerja hormon-hormon yang dihasilkan oleh
kelenjar hipofisis dan mekanisme aksis hipotalamus-hipofisis.
Daftar Pustaka
1. Arnason BG, Berkovich R, Catania A, Lisak RP, Zaidi M. Mechanisms of action of
adrenocorticotropic hormone and other melanocortins relevant to the clinical
management of patients with multiple sclerosis. Mult Scler. 2013;19(2):130-6.
2. Brooks CL. Molecular mechanisms of prolactin and its receptor. Endocrine Reviews.
2012;33(4):504-25.
3. Chia DJ. Mechanisms of growth hormone-mediated gene regulation. Molecular
Endocrinology. 2014;28(7):1012-25.
4. Hall J. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology, 13th edition. Philadelphia:
Elsevier; 2016.
5. Hull KL, Harvey S. Growth hormone and reproduction: a review of endocrine and
autocrine/paracrine interactions. International Journal of Endocrinology. 2014.
6. Li C, Wang W. Molecular mechanisms of antidiuretic effect of oxytocin. J Am Soc
Nephrol. 2008;19(2):225-32.
7. Melmed S, Polonsky K, Larsen P, Kronenberg H. Williams Textbook of Endocrinology,
13th edition. Philadelphia: Elsevier; 2011.
8. Ricetti L, Yvinec R, Klett D, Gallay N, Combarnous Y, Reiter E, Simoni M, et al. Human
luteinizing hormone and chorionic gonadotropin display biased agonism at the LH
and LH/CG receptors. Scientific Reports. 2017;7(940).
9. Sarapura VD, Gordon DF, Samuels MH. Thyroid-stimulating hormone in The
Pituitary, third edition London: Elsevier; 2011: 167-204.
Pendahuluan
Endokrinologi merupakan studi tentang komunikasi antar messenger
molecules di intra dan ekstrasellular seperti hormon. Hormon mempunyai
sifat yang luas dalam hal komposisi, transport, metabolism dan mekanisme
kerja 1, 2.
Tes Glukagon
Indikasi: pemeriksaan cadangan GH dan ACTH/kortisol dan kontraindikasi
jika terdapat hipoglikemia akibat penggunaan insulin. Respon kortisol
adekwat jika terdapat peningkatan lebih dari 6 mcg/L7.
Diabetes Insipidus
Pemeriksaan Adrenal
Short Synacthen Test
Indikasi untuk mendiagnosa hipoadrenalism sebagai tes skrening.
Interpretasi: ACTH >200 ng/l didiagnosa primary adrenal failure, sedangkan
ACTH <10 ng/l diagnosa secondary adrenal failure10.
Diabetes
Test toleransi Glukosa
Indikasi: kecurigaan terhadap diabetes mellitus, dengan menggunakan 75
gram glukosa oral sebagai tes toleransi.
Interpretasi:
Glukosa Plasma (mmol/l) Fasting 2 hrs after glucose load
Diabetes mellitus ≥ 7.0 ≥ 11.1
Gangguan toleransi glukosa >7.8 – 11.0
Gangguan glukosa puasa >6.1 – 7.0
Normal =6.1 =7.8 12
Daftar Pustaka
1. Stoka A M. Review Phylogeny and evolution of chemical communication: An
endocrine approach. Journal of Molecular Endocrinology 1999;22:207-25.
2. Csaba G & Nemeth G. Effect of hormones and their precursors on Protozoa. The
selective responsiveness of Tetrahymena. Comparative Biochemistry and Physiology
65B 1980;387–90.
3. Hall R, Sachdev Y, Evered DC. Present role of dynamic tests of thyroid function. J
Clin Pathol 1975 Mar;28(3):248-50.
Pendahuluan
Infeksi virus Hepatitis B (HBV) masih merupakan masalah kesehatan
global dengan perubahan epidemiologi karena berbagai faktor termasuk
vaksinasi dan migrasi. Semua pasien dengan infeksi HBV kronis berisiko
menjadi sirosis dan hepatocellular carcinoma (HCC), tergantung pada faktor
host dan virusnya1.
Secara global diperkirakan 240 juta orang terkena infeksi chronic hepatitis
B (CHB) dengan prevalensi yang bervariasi menurut geografi, dimana Asia dan
Afrika merupakan tempat dengan prevalensi yang tinggi. Di Amerika Serikat
survey National Health and Nutrition Examination (1999-2008) mendapatkan
sekitar 704.000 orang dewasa dengan CHB, dan perkiraan penderita CHB di
Amerika Serikat sekitar 2,2 juta jiwa. Secara umum kematian akibat sirosis
dan kanker hati berkisar 310.000-340.000 jiwa pertahun. Untuk mengurangi
morbiditas dan mortalitas CHB di Amerika Serikat dan di dunia, perlu
dilakukan skrining, mencegah infeksi baru melalui vaksinasi, dan monitor
serta mengobati orang-orang yang berisiko untuk terjadinya komplikasi dari
CHB, termasuk surveillance terhadap HCC2.
Pasien karier HBsAg inaktif mempunyai enzim hati yang normal, dan
HBeAg negatif dengan atau tanpa anti-HBe positif. Umumnya ditemukan
kadar HBV DNA rendah. Dari biopsi hati ditemukan dengan inflamasi ringan
dan minimal fibrosis3.
tidak terdeteksi sampai >2.000.000 IU/ml . Oleh karena itu monitoring serial
sangatlah penting dilakukan2.
Pada umumnya pasien dengan hepatitis B inaktif memiliki nilai HBV DNA
<2.000 IU/ml dan mereka yang imunaktif memiliki HBV DNA >20.000 IU/ml,
dan biasanya pada HBeAg negatif nilainya lebih rendah dari HBeAg positif2.
Nilai ALT serum dan HBV DNA sama halnya dengan fibrosis hati,
merupakan prediktor penting untuk memutuskan kapan memulai pengobatan
dan menilai respon pengobatan. Oleh karena itu pemeriksaan serial ALT dan
HBV DNA sangatlah dibutuhkan2.
Indikasi Terapi
Indikasi pengobatan baik pada HBeAg positif maupun negatif berdasarkan
pada kombinasi dari nilai HBV DNA, ALT, dan beratnya penyakit hati yang
ditentukan berdasarkan gambaran histologi hati1,2,5,6.
Batasan nilai ALT dinegara kita ditentukan berdasarkan batas atas nilai
normal/ upper limit normal (ULN), bukan nilai absolut, mengingat tidak
semua laboratorium di Indonesia menggunakan reagen yang sama, disamping
nilai ini juga dipengaruhi oleh suhu pemeriksaan6.
elastography ≥8 kPa, atau skor APRI ≥1,5, terlepas dari hasil penunjang yang
lainnya6.
Gambar 1. Indikasi terapi pada pasien Hepatitis B kronik dengan HBeAg positif non
sirosis6
Gambar 2. Indikasi terapi pasien Hepatitis B kronis dengan HBeAg non sirosis6.
Kesimpulan
- HBsAg merupakan penanda serologi untuk infeksi HBV
- Menetapnya HBsAg selama lebih dari 6 bulan menunjukkan terjadinya
infeksi kronis dari HBV
- Kadar HBV DNA serum merupakan komponen yang sangat penting dalam
mengevaluasi dan menilai efikasi pengobatan dengan antiviral
- Nilai ALT serum, HBV DNA dan fibrosis hati, merupakan prediktor
penting untuk memutuskan kapan memulai pengobatan dan menilai
respon pengobatan
- Secara umum terapi dimulai jika ditemukan inflamasi sedang-berat
atau fibrosis signifikan (skor METAVIR ≥F2 atau liver stiffness (transient
elastography) ≥8 kPa
Daftar Pustaka
1. European Association for the Study of the Liver. EASL 2017 Clinical Practice
Guidelines on the management of hepatitis B virus infection. Journal of Hepatology
2017;67:370–398
2. Terrault NA, Lok ASF, McMahon BJ, Mi Chang K,Hwang JP, et al. Update on
Prevention, Diagnosis, and Treatment of Chronic Hepatitis B: AASLD 2018 Hepatitis
B Guidance. HEPATOLOGY 2018;67(4):1560-1599
3. Valsamakis A*Molecular Testing in the Diagnosis and Management of Chronic
Hepatitis B. CLINICAL MICROBIOLOGY REVIEWS, 2007, p. 426–439
4. Song JE, Kim DY. Diagnosis of hepatitis B. Ann Transl Med 2016;4(18):338p1-6
5. Sarin SK, Kumar M, Lau GK, Abbas Z, Chan HLY et al. Asian-Pacific clinical practice
guidelines on the management of hepatitis B: a 2015 update. Hepatol Int 2016;10:1-
98
6. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Hepatitis di Indonesia 2017:1-78
ABSTRAK
Acute kidney injury (AKI) merupakan suatu komplikasi yang serius
dan sering dijumpai pada pasien dengan sakit kritis. Sampai saat ini angka
kematian masih tinggi meskipun sudah banyak perkembangan tatalaksana
dengan teknik terapi pengganti ginjal (TPG). Kemungkinan penyebab
tingginya mortalitas adalah pasien AKI yang dirawat di intensive care unit (ICU)
cenderung lebih tua dan lemah. Faktor patofisiologi yang berhubungan dengan
AKI juga dicurigai adalah adanya kegagalan organ lain yang mengindikasikan
bahwa AKI sering menjadi bagian dari sindroma kegagalan multiorgan.
Tatalaksana pasien dengan AKI pada prinsipnya adalah suportif. Terapi
pengganti ginjal diindikasikan pada pasien dengan cedera ginjal berat dan saat
ini sudah banyak modalitasnya seperti hemodialisis intermiten, Continuous
Renal Replacement Therapy (CRRT), dan terapi hibrid seperti Sustained Low-
Efficiency Dialysis (SLED). Tulisan ini akan mencoba mengemukakan waktu
optimal, jenis modalitas yang sesuai, dan strategi menentukan dosis terapi
pengganti ginjal disertai simulasi kasus sesuai dengan pedoman yang ada
termasuk panduan dari Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO)
2012.
PENDAHULUAN
Acute kidney injury (AKI) merupakan salah satu kondisi sakit kritis
yang menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas. Pasien-
pasien sakit kritis dan dirawat di ruang rawat intensif (ICU) kondisi klinisnya
sangat bervariasi serta kondisi kliniknya dapat berubah sewaktu-waktu.
Tahapan penyakit dapat berganti dalam waktu cepat dan kondisi ini sering
menimbulkan berbagai gangguan multiorgan termasuk AKI. Menurut Jorres,
322 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Inisiasi Terapi Pengganti Ginjal pada Acute Kidney Injury
dkk (2011), sekitar 50-70% gangguan multiorgan akan melibatkan juga ginjal
dan memerlukan terapi pengganti ginjal (TPG)
TUJUAN TPG
Menurut Bellomo dan Ronco (1998) tujuan TPG pada AKI adalah renal
support yang mencakup:
a. Untuk mempertahankan keseimbangan homeostasis cairan dan elektrolit,
asam basa, dan zat terlarut seperti toksin uremia dan sebagainya.
b. Mencegah perburukan fungsi ginjal (dan organ lain) lebih lanjut.
c. Membantu mempercepat proses penyembuhan penyakit dan pemulihan
fungsi ginjal dan fungsi organ lain yang terganggu.
e. Memungkinkan dilakukan tindakan pengobatan yang banyak
memerlukan cairan misalnya: resusitasi cairan, pemberian nutrisi, obat-
obatan, dan lain-lain.
Kasus: laki-laki 50 tahun dengan riwayat diabetes dan PGK (kreatinin serum awal
2,0 mg/dL) masuk rumah sakit dengan urosepsis. Kreatinin serum saat masuk rumah
sakit 2,3 mg/dL dan meningkat menjadi 2,6 mg/dL di hari berikutnya. Pasien telah
mendapat cairan 4 L secara intravena selama 24 jam terakhir dan produksi urine
meningkat dari 10 menjadi 20 cc/jam. Pada pemeriksaan fisik tekanan darah 95/65
mmHg, denyut nadi 72 x/menit, saturasi oksigen 96% dengan oksigen nasal cannula 2
L/menit. Pemeriksaan paru dalam batas normal, edema perifer 2+.
Ketika diputuskan untuk memulai (Inisiasi) TPG pada pasien AKI ada
beberapa hal penting untuk ditetapkan terlebih dahulu:
• Kapan harus memulai
• Apa pilihan modalitas TPG yang dipilih
• Bagaimana dosis
• Kapan saat menghentikannya
Luaran tersebut antara lain lama waktu perawatan di ICU dan di rumah
sakit, perbaikan fungsi ginjal, serta ketergantungan terhadap TPG antara
kelompok early TPG dan late TPG. Studi ini melaporkan juga bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan antara durasi TPG pada kelompok early
TPG dibandingkan dengan kelompok late TPG, begitu juga dengan waktu
pemulihan ginjal dan penggunaan ventilasi mekanik.
KDIGO 2012 sendiri menyatakan saat optimal untuk memulai TPG yaitu:
• Awali TPG segera ketika terjadi perubahan dalam keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam-basa yang mengancam jiwa. (Tidak Dinilai)
• Pertimbangkan konteks klinis yang lebih luas, yaitu kondisi yang
dapat dimodifikasi dengan TPG dan uji tes laboratorium - daripada
urea nitrogen darah tunggal (BUN) dan ambang kreatinin saja - ketika
membuat keputusan untuk memulai TPG. (Tidak Dinilai)
Lanjutan kasus: Dua hari kemudian pasien tetap oligurik walaupun diberikan
furosemid. Kreatinin serum meningkat hingga 5,5 mg/dL. Tekanan darah 105/75
mmHg. Ia mengalami edema perifer (3+) dan saturasi oksigen 91% dengan oksigen
5 L/menit nasal kanul. Anda berencana untuk memberikan terapi pengganti ginjal.
Pertanyaan: Yang mana dari pernyataan di bawah ini yang merupakan pernyataan
paling tepat untuk situasi di atas?
a) Mengingat adanya sepsis, TPG dengan CRRT lebih baik dibandingkan HD
intermiten
b) Jika CRRT dipilih, dosis yang diberikan harusnya antara 35 – 40 mL/kg/jam
c) CRRT dan hemodialisis memiliki hasil klinis yang serupa
d) TPG dapat ditunda hingga pasien menunjukkan tanda uremia jelas
yang lebih baik untuk zat dengan berat molekul besar dan menengah
dibandingkan dengan terapi difusif (yaitu, HD), tidak ada penelitian yang jelas
menunjukkan hasil klinis yang lebih baik dengan tipe tertentu dari zat terlarut
yang dibersihkan atau solute transport (seperti terlihat pada Tabel 3)
Luaran utama CRRT dan IHD yang telah terbukti adalah kelangsungan
hidup pasien dan pemulihan fungsi ginjal yang lebih baik. Meskipun ada
kekurangan bukti pada masalah ini, data saat ini menunjukkan bahwa
330 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Inisiasi Terapi Pengganti Ginjal pada Acute Kidney Injury
kelangsungan hidup pasien dan pemulihan fungsi ginjal serupa untuk CRRT
dan IHD. Data tidak mendukung keunggulan mode khusus TPG pada pasien
dengan AKI, sehingga bagi kebanyakan pasien pemilihan modalitas harus
dilakukan sesuai dengan keahlian lokal dan ketersediaan staf dan peralatan.
Faktor lain mungkin berlaku pada pasien tertentu. Misalnya, untuk pasien
dengan cedera otak akut atau gagal hati fulminan, CRRT berhubungan dengan
perfusi serebral yang lebih baik.
DOSIS TPG
Dosis TPG setara dengan dosis terapi yang dinormalisasi yang diberikan
kepada pasien. Di masa lalu, TPG diberikan secara luas dengan dosis di bawah
standar yang seharusnya. Akan tetapi, sejak adanya studi oleh Kelompok
Vicenza (2000), dosis 35 ml/kgBB/jam telah digunakan secara luas, dengan
tren untuk meningkatkan dosis pada pasien sepsis. Dua studi multisenter
besar oleh Renal dan ATN menunjukkan bahwa peningkatan intensitas
TPG tidak berhubungan dengan perbaikan luaran. Sebagai konsekuensi,
direkomendasikan dosis normal sekarang adalah dalam rentang 20-30 ml/
Satu nilai fungsi ginjal yang merupakan saat yang tepat untuk
menghentikan renal support masih belum jelas. Pada Studi ATN, renal support
KESIMPULAN
Acute kidey injury (AKI) masih merupakan salah satu kondisi sakit kritis
yang menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Daftar Pustaka
1. Ronco R, Ricci L, De Backer D, et al. Renal replacement therapy in acute kidney
injury: Controversy and consensus. Crit Care 2015; 19: 146.
2. Moore PK, Hsu RK, Liu KD. Management of acute kidney injury: Core curriculum
2018. Am J Kidney Dis 2018; 72(1): 136-48.
3. Lin LY, Chen YC, Fang JT, et al. Renal replacement therapy in acute kidney injury.
Acta Nephrologica 2013; 27(2): 63-9.Roesly RMA. Terapi pengganti ginjal akut
(acute renal replacement therapy). Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et al
[Editor]. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2014.
p. 2212-28.
4. Roesly, RMA. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut (“acute kidney
injury”). Edisi kedua. Bandung: Pusat Penerbitan Ilmiah Bagian Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr Hasan Sadikin; 2011.
5. Harty J. Prevention and management of acute kidney injury. Ulster Med J 2014;
83(3): 149-57.
6. Kidney Disease Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO Clinical practice
guideline for acute kidney injury. Kidney Int Suppl 2012; 2: 1–138.
7. Romagnali S, Ricci Z. When to start a renal replacement therapy in acute kidney
injury (AKI) patients: Many irons in the fire. 2016.
8. Yang XM, Tu GW, Zheng JL, Shen B, Ma GG, et al. A comparison of early versus
late initiation of renal replacement therapy for acute kidney injury in critically
ill Patients: An updated systematic review and meta-analysis of randomized
controlled trials. BMC Nephrology 2017; 18: 264.
10. Zarbock A, Kellum JA, Schmidt C, et al. Effect of early versus delayed initiation of
renal replacement therapy on mortality in critically ill patients with acute kidney
injury: The ELAIN randomized clinical trial. JAMA 2016; 315: 2190-9.
PENDAHULUAN
Manajemen perioperatif pada pasien Diabetes Melitus (DM) harus
dilakukan secara hati-hati karena kompleksitas dari penyakit dan tingginya
risiko berbagai komplikasi seperti risiko infeksi dan kardiovaskular. Kunci
penting manajemen perioperatif adalah kendali glukosa darah, dan hal ini
nantinya sangat berkaitan dengan prosedur operasi, anestesi, serta berbagai
faktor paskaoperasi lain seperti risiko sepsis, perubahan jadwal makan,
gangguan asupan makan, atau emesis. Berbagai strategi telah digunakan
namun belum ada panduan yang secara jelas dapat menurunkan morbiditas,
mortalitas atau lama rawat inap di RS.
EVALUASI PREOPERATIF
Evaluasi preoperatif pada pasien DM terutama dikaitkan dengan
cardiopulmonary risk assessement. Hal penting lain yang harus diketahui
adalah:
• Tipe diabetes, mengingat DM tipe 1 lebih berisiko mengalami ketoasidosis
diabetikum
Bila tidak ada data kadar HbA1c dalam 3 bulan terakhir, maka harus
dilakukan pemeriksaan kadar HbA1c untuk menentukan kendali glukosa
darah dan perlu tidaknya dilakukan pengaturan dosis obat-obatan. Kadar
HbA1c yang tinggi berkaitan dengan meningkatnya komplikasi pasca operasi
seperti infeksi, infark miokard bahkan kematian.
Tidak ada rekomendasi pasti kadar glukosa darah yang harus dicapai
sebelum pembedahan. American Diabetes Association (ADA) menyebutkan
bahwa target glukosa darah untuk pasien perioperatif adalah 80-180 mg/
dL. Sedangkan beberapa rekomendasi menyebutkan untuk pasien rawat inap
dengan kondisi tidak kritis diharapkan dapat mencapai target glukosa darah
100-180 mg/dL, sedangkan untuk pasien kondisi kritis targetnya adalah 140-
180 mg/dL. Target glukosa darah yang terlalu rendah tidak mengurangi risiko
komplikasi infeksi, kardiovaskular ataupun mortalitas namun meningkatkan
risiko hipoglikemia.
FASE PERIOPERATIF/INTRAOPERATIF
Saat pasien dirawat inap untuk persiapan operasi maka kendali glukosa
darah diharapkan dapat mencapai target dengan berbagai modalitas obat
penurun glukosa darah. Semua pasien DM seharusnya diprioritaskan
mendapatkan jadwal operasi yang paling awal karena pertimbangan lamanya
waktu berpuasa.
SAAT OPERASI
HARI SEBELUM
INSULIN INSULIN KONTINYU
OPERASI PAGI HARI SORE HARI
INTRAVENA/VRIII
Sehari sekali Kurangi dosis 20% Cek GD saat masuk RS Cek GD saat masuk RS Lanjutkan dengan
(malam) dosis 80% dari
biasanya
Sehari sekali Kurangi dosis 20% • Kurangi dosis 20% • Kurangi dosis 20% Lanjutkan dengan
(pagi) • Cek GD saat masuk RS • Cek GD saat masuk dosis 80% dari
RS biasanya
Dua kali sehari Tidak ada • Berikan ½ dosis • Berikan ½ dosis Dihentikan sampai
(Mixed insulin) perubahan dosis insulin pagi hari insulin pagi hari pasien bisa makan
• Cek GD saat masuk RS • Cek GD saat masuk minum secara
• Dosis insulin malam RS normal
hari tidak berubah • Dosis insulin malam
hari tidak berubah
SAAT OPERASI
HARI SEBELUM
INSULIN INSULIN KONTINYU
OPERASI PAGI HARI SORE HARI
INTRAVENA/VRIII
3,4, atau 5 kali Tidak ada • Regimen basal bolus • Berikan dosis insulin Dihentikan sampai
injeksi insulin perubahan : tunda pemberian pagi seperti biasa. pasien bisa makan
dosis insulin sebelum • Tunda pemberian minum secara
makan pagi dan insulin sebelum normal
siang. makan siang.
• Bila insulin basal • Cek GD saat masuk
diberikan pagi hari, RS.
maka dosis dikurangi
20%.
• Premixed insulin pagi
hari diberikan ½ dosis
dan tunda pemberian
insulin sebelum
makan siang.
• Cek GD saat masuk
RS.
(Dikutip dari Management of adults with diabetes undergoing surgery and elective procedures: Improving
standards. JBDS-IP 2016)
SAAT OPERASI
HARI SEBELUM
OBAT
OPERASI INSULIN KONTINYU INTRAVENA/
PAGI HARI SORE HARI
VRIII
GLP-1 ANALOGUE Berikan seperti biasa Berikan seperti biasa Berikan seperti biasa Berikan seperti biasa
SGLT-2 INHIBITOR Berikan seperti biasa Tunda pemberian saat hari Tunda pemberian saat hari Tunda pemberian sampai pasien dapat
pembedahan pembedahan makan minum secara normal.
(Dikutip dari Management of adults with diabetes undergoing surgery and elective procedures: Improving
standards. JBDS-IP 2016)
RINGKASAN
Pembedahan dan anestesi akan mempengaruhi kendali glukosa darah
akibat efek metabolik dan stres neuroendokrin. Manajemen perioperatif yang
optimal, yang dimulai dari evaluasi preoperatif, perioperatif/intraoperatif,
Daftar Pustaka
1. Aldam P, Levy N, Hal GM. Perioperative management of diabetic patients: new
controversies. British Journal of Anaesthesia 2014;113 (6): 906–9
2. Dhatariyaa K , Levyb N , Hall GM. The impact of glycaemic variability on the surgical
patient. Anesthesia and medical disease 2016;26(3):431-43
3. Dobyns JB. Perioperative Insulin Management. World Federation of Societies of
Anaesthesiologist 2016. 1-16
4. Joint British Diabetes Societies. Management of adults with diabetes undergoing
surgery and elective
5. Khan NA, Ghali WA, Cagliero E. Perioperative management of blood glucose
in adults with diabetes mellitus. https://www.uptodate.com/contents/
perioperative-management-of-blood-glucose-in-adults-with-diabetes-
mellitus?search=perioperative%20diabetes%20management&source=search_re
sult&selectedTitle=1~150&usage_type=default&display_rank=1. Diakses 19
September 2018.
6. Malcolm J, Halperin I, Miller DB, Moore S, Nerenberg KA, Woo V, Yu CH. In-
Hospital Management of Diabetes : Diabetes Canada Clinical Practice Guidelines
Expert Committee. Can J Diabetes 2018; 42: S115–S123
7. Marks JB. Perioperative Management of Diabetes. Am Fam Physician 2003;67:93-
100
8. procedures: Improving standards Revised March 2016. https://www.diabetes.
org.uk/resources-s3/2017-09/Surgical%20guideline%202015%20-%20
summary%20FINAL%20amended%20Mar%202016.pdf. Diakses 19 September
2018.
9. SudhakaranS, Surani SR. Guidelines for Perioperative Management of the Diabetic
Patient. Surgery Research and Practice 2015, 1-8
PENDAHULUAN
Hipertiroidisme adalah kondisi akibat hormon tiroid yang diproduksi
berlebihan di dalam tubuh. Diagnosis hipertiroidisme akan dikonfirmasi
dengan pemeriksaan laboratorium yang mengukur jumlah hormon tiroid
dan thyroid stimulating hormone (TSH) dalam darah. Di Republik Indonesia,
prevalensi hipertiroidisme mencapai 6,9% (data terakhir Riset Kesehatan
Dasar Indonesia yang dilakukan pada tahun 2007 dengan tingkat cut off TSH
<0,55 mIU/ L).1 Di Amerika Serikat, prevalensi hipertiroidisme sekitar 1,2%,
sedangkan prevalensi hipertiroidisme di Eropa sekitar 0,8%.2 Pembedahan
adalah salah satu tindakan yang cukup sering dialami pasien dengan
hipertiroidisme. Perioperatif adalah masa sebelum, sepanjang dan sesudah
operasi. Perawatan perioperatif sebagian besar dilakukan di rumah sakit, di
pusat bedah yang dekat dengan rumah sakit, di pusat operasi mandiri atau
penyedia perawatan medis. Masa perawatan perioperatif digunakan untuk
membuat pasien secara fisik dan mental siap untuk prosedur operasi dan
setelah perawatan bedah. Dalam kasus operasi darurat, fase ini dapat menjadi
pendek dan bahkan tidak disadari oleh pasien, sedangkan pada operasi elektif
fase ini dapat relatif panjang. Tindakan operasi pada hipertiroidisme berisiko
memicu krisis tiroid yang ditandai dengan takikardia, confusio, demam,
keluhan gastrointestinal, dan berpotensi menyebabkan kolaps kardiovaskular.
Persiapan perioperatif sangat diperlukan pada pasien dengan hipertiroidisme
dimana kadar hormon tiroid sebelum intervensi bedah harus sudah normal
(eutiroid) bila memungkinkan, namun apabila tindakan bedah dilakukan
dalam kondisi darurat maka stabilitas hemodinamik harus dimaksimalkan
untuk mencegah dekompensasi. 3,4
DEFINISI HIPERTIROIDISME
Hormon tiroid memainkan peran penting dalam banyak proses
metabolisme tubuh sehingga pada hipertiroidisme terjadi peningkatan
termogenesis jaringan, laju metabolisme basal, menurunkan kadar kolesterol
serum dan resistensi vaskular sistemik. Komplikasi hipertiroidisme yang tidak
Calcium channel blockers harus digunakan pada pasien yang tidak dapat
mentoleransi β-blocker. Obat-obat ini harus dititrasi untuk mencapai denyut
jantung di bawah 80 kali per menit. Baik reserpin dan guanetidin dapat
dipertimbangkan untuk pasien yang memiliki kontraindikasi β-blocker dan
calcium channel blocker karena mereka menurunkan aktivitas simpatik.9,10
Ada rekomendasi kuat lain yang dibuat oleh ATA dalam pedoman
persiapan tiroidektomi. Pedoman menyarankan suplementasi kalsium
oral, vitamin D, atau keduanya sebelum operasi untuk mengurangi risiko
hipokalsemia pasca operasi karena cedera paratiroid atau peningkatan bone
turnover. Meta-analisis mengenai faktor risiko untuk hipokalsemia post-
KESIMPULAN
Hipertiroidisme berpotensi menimbulkan komplikasi pada prosedur
pembedahan dan pemulihan pasca operasi. Pengenalan, diagnosis, dan
optimalisasi kondisi hipertiroidisme pada pasien yang akan menjalani
pembedahan merupakan persiapan perioperatif yang penting
Daftar Pustaka
1. The Indonesian Society of Endocrinology. Indonesian Clinical Practice Guidelines
for Hyperthyroidism. Journal of the ASEAN Federation of Endocrine Societies, [S.l.],
vol. 27, no. 1, p. 34, may 2014. ISSN 2308-118X.
2. Taylor PN, Albrecht D, Scholz A, Gutierrez-Buey G, Lazarus JH, Dayan CM, Okosieme
OE. Global epidemiology of hyperthyroidism and hypothyroidism. Nature Reviews
Endocrinology. 2018 Mar 23.
3. Ross DS, Burch HB, Cooper DS, Greenlee MC, Laurberg P, Maia AL, Rivkees SA,
Samuels M, Sosa JA, Stan MN, Walter MA. 2016 American Thyroid Association
guidelines for diagnosis and management of hyperthyroidism and other causes of
thyrotoxicosis. Thyroid. 2016 Oct 1;26(10):1343-421.
4. Palace MR. Perioperative Management of Thyroid Dysfunction. Health services
insights. 2017 Feb 17;10:1178632916689677.
5. Kohl BA, Schwartz S. Surgery in the patient with endocrine dysfunction. Med Clin
North Am 2009; 93:1031-1047.
6. Langley RW, Burch HB. Perioperative management of the thyrotoxic patient.
Endocrinol Metab Clin North Am 2003; 32:519-534.
7. Vita R, Lapa D, Trimarchi F, Benvenga S. Stress triggers the onset and the recurrences
of hyperthyroidism in patients with Graves’ disease. Endocrine 2015;48(1):254-
263.
8. Effraimidis G, Tijssen JG, Brosschot JF, Wiersinga WM. Involvement of stress
in the pathogenesis of autoimmune thyroid disease: a prospective study.
Psychoneuroendocrinology 2012; 37(8):1191-1198.
9. Auer J, Scheibner P, Mische T, et al. Subclinical hyperthyroidism as a risk factor for
atrial fibrillation. Am Heart J. 2001;142:838–842.
10. Wolff J, Chaikoff IL. The inhibitory action of excessive iodide upon the synthesis
of diiodotyrosine and of thyroxine in the thyroid gland of the normal rat.
Endocrinology. 1948;43:174–179
11. Burch HB, Wartofsky L. Life-threatening thyrotoxicosis. Thyroid storm. Endocrinol
Metab Clin North Am. 1993;22:263–277.
Segera setelah terjadi pajanan, tahap awal yang harus dilakukan adalah
penilaian jenis paparan dan kebutuhan PPP. Status HIV sumber paparan perlu
diketahui, jika memang berasal dari pasien HIV positif, informasi riwayat
pengobatan ARV dan kepatuhannya juga diperlukan untuk pertimbangan jenis
ARV PPP. PPP tidak diberikan jika orang yang berisiko terpapar sebenarnya
HIV positif, sumber pajanannya HIV negatif, atau terpapar cairan tubuh
dengan risiko yang rendah, seperti air mata, air liur yang tidak terdapat darah,
urin, dan keringat. Karena tatalaksana paparan terhadap HIV merupakan
350 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Profilaksis Pasca Paparan HIV pada Petugas Kesehatan
bagian dari tata laksana paparan terhadap penyakit menular melalui darah
lainnya, segera setelah paparan petugas yang terpapar seharusnya diperiksa
anti-HIV, HBsAg, anti-HBs dan anti-HCV untuk menilai status HIV, VHB dan
VHC sebelum kejadian. Bersamaan dengan proses di atas, dilakukan konseling
dan dukungan pada petugas kesehatan, terutama mengenai risiko tertular,
keuntungan dan risiko PPP, serta konseling kepatuhan jika diputuskan
pemberian ARV.5 Efektivitas PPP sangat tergantung dari kepatuhan
penggunanya. Tingkat penyelesaian PPP pada petugas kesehatan menurut
meta-analisis dari Ford, dkk.6 ternyata hanya 56,2% (IK 95% 44,6-67,8%).
Pilihan paduan ARV yang digunakan untuk PPP diduga juga berpengaruh
pada kepatuhan dan tingkat penyelesaian ARV tersebut. Diperlukan pilihan
paduan ARV yang lebih dapat ditoleransi, sederhana, dan sejalan dengan
penggunaan ARV untuk terapi pada ODHA. Pilihan paduan nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI) untuk PPP saat ini adalah tenofovir (TDF) +
lamivudin (3TC) [atau emtricitabin (FTC)] berdasarkan data berikut ini. Dua
uji klinis acak pada ODHA yang mendapat ARV lini pertama, kombinasi TDF
+ 3TC (atau FTC) lebih jarang menyebabkan penghentian terapi akibat efek
samping dibandingkan dengan kombinasi AZT + 3TC (RR 0,61; IK 95% 0,51-
0,72).7,8
Paduan regimen PPP yang dianjurkan sebagai pilihan pertama saat ini
adalah kombinasi tenofovir (TDF) + lamivudin/emtricitabin (3TC/FTC) +
lopinavir/ritonavir (LPV/r). Pilihan lain yang digunakan dapat dilihat pada
tabel berikut.5
Setelah 28-30 hari, terapi ARV dapat dihentikan. Namun, jika petugas
kesehatan yg terpapar ternyata terinfeksi hepatitis B, perlu dilakukan
Daftar Pustaka
1. Ford N, Kenneth HM. World health organization guideline on postexposure
prophylaxis for hiv: recommendation for a public health approach. Clin Infect Dis
2015;60: S161–4.
2. David TK, David KH, Kimberly AS, Walid H, Vasavi T, Laura WC et al.
Updated US Public Health Service Guidelines for the Management of Occupational
Exposures to Human Immunodeficiency Virus and Recommendations for
Postexposure Prophylaxis. Infect Control Hosp Epidemiol. 2013; 34: 1-48
3. Tsai CC, Follis KE, Sabo A, Beck TW, Grant RF, Bischofberger N, dkk. Prevention
of SIV infection in macaques by (R)-9-(2-phosphonylmethoxypropyl)adenine.
Science. 1995;270:1197–9.
4. Black RJ. Animal studies of prophylaxis. Am J Med. 1997;102:39–44.
5. World Health Organization (WHO). Consolidated guidelines on the use of
antiretroviral drugs for treating and preventing HIV infection recommendations
for public health approach. Geneva, 2016.
6. Ford N, Irvine C, Shubber Z, Baggaley R, Beanland R, Vitoria M et al. Adherence to
HIV postexposure prophylaxis: a systematic review and meta-analysis. AIDS 2014;
28: 2721–7.
7. Center for Disease Control. Serious adverse events attributed to nevirapine
regimens for postexposure prophylaxis after HIV exposures-worldwide, 1997-
2000. Morb Mortal Wkly Rep 2001; 49. https://www.cdc.gov/mmwr/pdf/wk/
mm4951.pdf.
8. Patel SM, Johnson S, Belknap SM, Chan J, Sha BE, Bennett C. Serious adverse
cutaneous and hepatic toxicities associated with nevirapine use by non-HIV-
infected individuals. J Acquir Immune Defic Syndr 2004; 35: 120–5.
9. Nuesch R, Ananworanich J, Srasuebkul P, Chetchotisakd P, Prasithsirikul W,
Klinbuayam W et al. Interruptions of tenofovir/emtricitabine-based antiretroviral
therapy in patients with HIV/hepatitis B virus co-infection. AIDS 2008; 22: 152–4.
10. Dore GJ, Soriano V, Rockstroh J, Kupfer B, Tedaldi E, Peters L et al. Frequent
hepatitis B virus rebound among HIV-hepatitis B virus-coinfected patients
following antiretroviral therapy interruption. AIDS 2010; 24: 857–65.
11. David TK, David KH, Kimberly AS, Walid H, Vasavi T, Laura WC et al. Updated US
Public Health Service Guidelines for the Management of Occupational Exposures
to Human Immunodeficiency Virus and Recommendations for Postexposure
Prophylaxis. Infect Control Hosp Epidemiol. 2013; 34: 1-48
ABSTRAK
Gagal jantung adalah sindrom klinis yang ditandai dengan gejala khas
seperti sesak nafas, kaki bengkak, dan mudah lelah yang diikuti tanda
peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah basal paru dan edema
perifer yang disebabkan oleh kelainan struktural dan/atau fungsional, yang
berakibat penurunan curah jantung (cardiac output) dan/atau peningkatan
tekanan intrakardiak saat istirahat atau aktivitas.
Gagal jantung dapat dibedakan atas gagal jantung akut dan gagal
jantung kronis. Gagal jantung akut mempunyai gejala dan tanda perburukan
yang mendadak dari gagal jantung sehingga sangat mengancam jiwa dan
membutuhkan tata laksana yang cepat. Sedangkan gagal jantung kronis
merupakan keadaan abnormalitas jantung baik struktur maupun fungsional
yang pada awalnya asimptomatik kemudian berlanjut dengan timbulnya
gejala yang tipikal.
PENDAHULUAN
Prevalensi gagal jantung cendrung meningkat terutama pada usia tua
dengan angka morbiditas dan mortalitas yang masih tinggi baik di negara
maju maupun di negara sedang berkembang.
Gagal jantung dapat akut ataupun kronis. Gagal jantung akut dapat
ditandai dengan onset gagal jantung yang baru tanpa adanya kelainan jantung
sebelumnya atau gagal jantung kronis yang memburuk secara bertahap
sampai mencapai puncak gejala menjadi acute decompensated heart failure
(ADHF) atau biasa disebut dengan acute and chronic heart failure. ADHF
merupakan salah satu penyebab tersering pasien dating ke unit gawat darurat
dan membutuhkan perawatan segera.
DIAGNOSIS
Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda gagal jantung menurut ESC 2016.
Berikut adalah algoritma penegakan diagnosis gagal jantung pada setting non
akut menurut ESC 2016.
Gambar 1. Algoritma penegakan diagnosis gagal jantung pada setting non akut
menurut ESC 2016.
Diuretik memperbaiki gejala, jika ada, oleh karena itu memperbaiki gejala
dan tanda gagal jantung. Bukti bahwa beta bloker dan MRAs memperbaiki
gejala sangat kurang. Terdapat inkonsistensi data untuk perubahan gejala
pada pasien dengan tata laksana ARB (hanya candesartan yang terdapat
perbaikan dalam NYHA class) dan ACEis.
dari gagal jantung akut antara lain adalah disfungsi miokard akut (iskemia,
inflamasi atau toksik), insufisiensi katup akut atau tamponade perikard.
Dekompensasi dari gagal jantung kronik dapat etrjadi tanpa pencetus yang
jelas, tetapi seringnya karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti infeksi,
hipertensi tidak terkontrol, gangguan irama jantung, dan ketidakpatuhan
terapi. Terdapat beberapa klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan kriteria
berbeda. Yang paling bermanfaat adalah klasifikasi berdasarkan klinis saat
pasien datang ke rumah sakit, sehingga dapat di identifikasi pasien dengan
risiko tinggi sehingga tata laksana yang tepat dapat dilakukan.
jantung), Kelas II (gagal jantung dengan ronki dan gallop), Kelas III (dengan
edema paru akut yang jelas) dan Kelas IV (syok kardiogenik, hipotensi dan
tanda-tanda vasokonstriksi perifer seperti oliguria, sianosis dan diaforesis).
Foto toraks berguna untuk menilai kongesti paru, efusi pleura, edama
alveolar dan kardiomegali yang merupakan temuan spesifik untuk gagal
jantung akut. EKG biasanya untuk mencari kelainan jantung yang mendasari
serta temuan factor pencetus seperti AF rapid dan infark miokard akut.
Pemeriksaan Laboratorium
Natriutretik peptide, harus diperiksa pada pasien dengan sesak nafas
akut yang dicurigai sebagai gagal jantung yang datang ke IGD. Namun
peningkatan kadar NP tidak selalu mengonfirmasi diagnosis gagal jantung
akut. Pemeriksaan lain yang harus diperiksa antara lain adalah troponin,
ureum, kreatinin, elektrolit, fungsi hepar, kadar gula darah, dan pemeriksaan
darah rutin. D-Dimer diperiksakan jika dijumpai kecurigaan emboli paru
akut. Pemeriksaan analisis gas darah tidak diperlukan kecuali pada pasien
dengan gangguan oksigenasi yang sulit dinilai dengan pulse oximetry. Namun
pemeriksaan analisis gas darah dapat berguna saat diperlukan nilai tekanan
oksigen dan karbondioksida diperlukan.
TATA LAKSANA
Gagal jantung akut merupakan kondisi mengancam nyawa sehingga penegakan
diagnosis harus cepat dilakukan sehingga tatalaksana dapat diberikan secara
tepat.
Terapi Farmakologi;
- Diuretik merupakan terapi utama pada pasien gagal jantung akut
dengan tanda overload cairan dan kongesti. Diuretik meningkatkan
garam renal dan eksresi air serta memiliki efek vasodilatasi. Pada
Tabel 7. Obat inotropik dan vasipresor yang digunakan pada gagal jantung akut
Tabel 8. Obat vasodilator intravena yang digunakan pada gagal jantung akut
Daftar Pustaka
1. Ponikowski P, Voors AA, Anker SD, Bueno H, Cleland JGF, Coats AJS, et al; ESC
Scientific Document Group. 2016 ESC Guidelines for the diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure: The Task Force for the diagnosis and treatment
of acute and chronic heart failure of the European Society of Cardiology (ESC)
Developed with the special contribution of the Heart Failure Association (HFA) of
the ESC. Eur Heart J. 2016 Jul 14;37(27):2129-200.
Pendahuluan
Wanita hamil adalah salah satu dari kelompok pasien berisiko tinggi
bila terkena demam berdarah dengue (DBD) (1). Penelitian membuktikan
bahwa DBD pada kehamilan berakibat pada meningkatnya efek buruk
pada janin seperti abortus, kelahiran aterm, bayi berat badan lahir rendah,
kematian janin dan transmisi vertikal (1,2). Kehamilan pada DBD juga berakibat
meningkatnya risiko perdarahan, edema paru, efusi pleura, asites, gangguan
fungsi hati sampai terjadinya hepatitis fulminan (1). Penelitian di Brasil
mendapatkan ibu hamil dengan DBD mengalami risiko menjadi DBD berat
3,4 kali lipat serta fatalitas 7,4 kali dibandingkan dengan ibu tidak hamil (3).
Oleh karena itu, pasien hamil yang menderita DBD harus dirawat inap dan
mendapat perhatian yang lebih serius serta persipan yang lengkap untuk
menghadapi segala kemungkinan buruk agar dapat mengurangi morbiditas
dan mortalitas.
Perdarahan setelah persalinan juga lebih tinggi pada ibu hamil dengan
DBD, jadi perlu dipertimbangkan pemberian oxytosin. Pemberian tokolitik
juga perlu dipertimbangkan untuk menunda kelahiran beberapa hari agar
kadar trombosit pasien sudah meningkat kembali pada saat persalinan. (4)
Perhatian khusus harus dilakukan pada pasien hamil dengan DBD berat.
Laporan dari Mexico mendapatkan kejadian yang serius pada ibu hamil
dengan DBD berat. Dari 13 ibu hamil dengan DBD berat, 5 mengalami gawat
janin sehingga harus dilakukan seksio sesaria emergensi, 2 kasus mengalami
pre eklamsia, 1 mengalami eklamsia, 4 kasus mengalami perdarahan. Lima
diantaranya meninggal dunia. Sementara itu, ibu hamil dengan DBD tidak
berat tidak mengalami kematian, distress janin maupun gangguan pada
neonatus. (5)
Kesimpulan
Kehamilan pada DBD berakibat meningkatnya resiko perdarahan, edema
paru, effusi pleura, asites, gangguan fungsi hati sampai terjadinya hepatitis
fulminant.
Daftar Pustaka
1. Prasad J. Release of the National Guidelines for Clinical Management of Dengue
Fever, 2016 India.
2. Paxiao E, Teixiera MG,Costa M, Rodrigues L. Dengue during pregnancy and adverse
fetal outcomes : a systemetic review and meta analysis. Lancet 16, 2016 ; 857-865
3. Machado CR, Machado ES, Rohlof RD et.al. Is Pregnancy Associated with Severe
Dengue? A Review of Data from the Rio de Janerio Surveillance Information System.
Journal pntd, May 2013.
4. Kinjawdekar S, Gupte S, Singh S et.al. Dengue in Pregnancy : management protocols.
Consensus group meeting at Hotel Tunga. August 2014.
5. Williams MC, Raga E, Baak MB, Kiem S, Blitvich BJ. Maternal, Fetal, and Neonatal
Outcomes in Pregnant Dengue Patients in Mexico.BioMed Research International,
Vol 2018.
6. Chaithongwongwatthana S. Dengue in Pregnancy. SAJ Trop Med Public Health. Vol
18 (Supplement) 2017.
7. Kanth RK, Kumar P, Makroo RN, Raina V. Role of pPlateled ransfusion in the
Management of Dengue Patients in a Tertiary Care Hospital. Asian Journal of
Transfusion Science, vol 1, no 1. 2007; 4-7
8. Kementerian Kesehatan Malaysia. Management of Dengue Infection in Adults.
2015
9. Pandit S, Kinjawadekar S, Gupte S. Dengue in Pregnancy : Manajement Protocols.
Consensus Group Meeting. August 2014.
10. Ralapanawa, Kuralatne. Current Management of Dengue in Adults: A Revieu. IMJM
Vol 14 No 1, June 2015.
ABSTRAK
Pasien sakit kritis dengan gagal napas mempunyai kapasitas cadangan
fungsi organ yang terbatas, sehingga tindakan pemindahan/transport kadang
dapat membahayakan pasien. Pemindahan pasien dalam keadaan tertentu
memang dibutuhkan. Pemindahan pasien dibutuhkan untuk kepentingan
diagnostik, tindakan (intrahospital) atau rujukan ke fasilitas yang lebih lengkap
pelayanannya maupun fasilitas pemeriksaan penunjangnya (interhospital).
Pemindahan pasien sakit kritis yang memerlukan bantuan ventilasi mekanik
membutuhkan perhatian khusus, oleh karena perburukan gangguan napas
dan komplikasi akibat keadaan tersebut dapat mengancam jiwa. Bantuan
ventilasi mekanik dengan ventilator transport lebih dianjurkan dibandingkan
dengan bantuan ventilasi manual, oleh karena risiko perburukan gangguan
napas dan dampak sistemiknya lebih sering terjadi pada pasien yang
mendapat bantuan ventilasi secara manual. Perencanaan dan persiapan yang
baik dapat mengurangi kejadian komplikasi yang dapat terjadi selama proses
perpindahan pasien. Keberhasilan proses pemindahan pasien ditentukan oleh
anggota tim transport yang kompeten, peralatan yang memadai dan berfungsi
dengan baik, komunikasi anatara tim transport dengan tim di ruangan atau
rumah sakit yang dituju, serta monitoring yang baik selama pasien dalam
tanggung jawab tim transport pasien.
PENDAHULUAN
Pasien sakit kritis pada umumnya mempunyai kapasitas cadangan fungsi
organ yang minimal, bahkan kadang sudah tidak ada atau gagal fungsi organ.
Transport atau pemindahan pasien sakit kritis interhospital atau interhospital
untuk kepentingan menuju rumah sakit yang dituju, ruang rawat, ruang
diagnositik, ruang tindakan/operasi sering menjadi risiko perburukan, apabila
tidak dipersiapkan dan di antisipasi risiko tindakan yang dapat terjadi dengan
baik akan menimbulkan perburukan keadaan pasien. Perhatian khusus perlu
diberikan pada pasien dengan menggunakan ventilator selama pemindahan
dilakukan. Pasien dengan bantuan ventilasi mekanik tersebut harus terjamin
tetap berlangsung dengan baik, dilakukan monitoring maupun terapi yang
sama selama proses pemindahan.1-3
Ventilator Mekanik
Merupakan alat bantu napas yang menghantarkan oksigen dengan
tekanan positif. Tujuan utama pemberian bantuan ventilasi dengan ventilator
• Komplikasi kardiovaskular:
Komplikasi kardiovaskuler adalah komplikasi yang paling sering
terjadi pada pemindahan pasien interhospital maupun intrahospital,
• Komplikasi lainnya:
Komplikasi lainnya yang sering terjadi adalah hipotermi. Keadaan
ini biasanya akibat paparan dengan ruangan yang luas, suhu di
ruang pemeriksaan (biasanya ruang radiologi) yang rendah atau
perdarahan yang terus berlangsung pada kasus dengan perdarahan,
seperti kasus fraktur tulang yang tidak stabil.3,4
alat untuk monitoring dan peralatan untuk bantu hidup dicantumkan pada
tabel 2 dibawah ini.1-6
Tabel 2.
Peralatan untuk monitoring dan pemindahan pasien dengan ventilasi mekanik
Monitoring equipment
• ECG monitoring (rate and rhythm)
• Arterial blood pressure monitoring (invasive or noninvasive)
• Pulse oximetry
• Additional pressure monitoring (e.g., pulmonary artery, intracranial)
• Stethoscope
• End-tidal CO2 monitor
• Portable spirometer (if not integral to ventilator)
Support equipment
• Portable ventilator capable of providing required mode, tidal volume, and PEEP
• Airway maintenance (should include a difficult airway kit)
• Manual resuscitator and mask
• Oxygen supplies (one or two cylinders)
• Drug box (emergency drugs, patient-specific drugs, sedatives, IV fluids)
• Infusion pumps (battery-operated)
• Defibrillator (optional)
• Portable suction (optional)
Di kutip dari Branson RD, et al.3
Kesimpulan
Keberhasilan dan keamanan pemindahan pasien dengan bantuan
ventilasi mekanik membutuhkan komunikasi yang efektif, perencanaan
yang baik, anggota tim transport yang kompeten, peralatan yang memadai
dan berfungsi dengan baik, serta monitoring yang baik selama pasien dalam
tanggung jawab tim transport pasien.
Daftar Pustaka
1. Fanara B, Manzon C, Barbot D, et al. Recommendation for the intrahospital
transport of critically ill patients. Crit Care 2010; 14: R87.
2. Kulshrestha A, Singh J. Interhospital and intrahospital patients transfer: Recent
concept. Indian J Anesth. 2016; 60 (7): 451-57.
3. Branson RD, Mason PE, Johannigman JH. Transport of the ventilator supported
patient. In : Tobin MJ. Principles and practice of mechanical ventilator. 3rd. Mc Graw
Hill. New York 2012 : 669-74.
PENDAHULUAN
Pemeriksaan ultrasound muskuloskeletal (US MSK) telah digunakan
dalam diagnosis kelainan muskuloskeletal dan penyakit-penyakit reumatik
sejak 20 tahun yang lalu. Pemeriksaan ini mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan pemeriksaan lain seperti non-invasif, alat portabel, biaya tidak mahal,
tidak memberikan radiasi ion, dan pemeriksaan dapat diulang berkali-kali
yang memungkinkan bermanfaat untuk memonitor terapi. US MSK juga dapat
digunakan untuk penuntun tindakan aspirasi, biopsi dan terapi injeksi (Grassi
et al,1999). Hampir semua pemeriksaan US MSK dilakukan dengan grey scale
yaitu gambar dalam format hitam dan putih, dimana tiap titik putih merupakan
gelombang suara yang dipantulkan. Gelombang suara berjalan mirip dengan
gelombang cahaya oleh karena itu semakin padat materi seperti korteks
tulang, menjadi semakin reflektif sehingga tampak lebih putih pada layar.
Cairan adalah materi dalam tubuh yang bersifat paling tidak reflektif sehingga
tampak hitam pada layar, karena gelombang suara dapat menembusnya
(Backhaus et al,2001).
Posisi pasien untuk scan sendi lutut adalah posisi supine untuk scan
ventral dan lateral, posisi prone untuk scan dorsal. Posisi lutut dapat pada
Gambar 1. Scan suprapatelar sendi lutut transversal pada posisi fleksi maksimal
untuk menunjukkan sulcus intercondilar (Backhaus et al, 2001).
Gambar 2. Osteofit pada medial tibio-femoral sendi lutut (Jain dan Samuels, 2010).
Gambar 3. Robekan kartilago sendi pada osteoartritis lutut (Jain dan Samuels, 2010).
RINGKASAN
Pemeriksaan US MSK mempunyai peran yang penting dalam diagnosis
penyakit reumatik. Pemeriksaan tersebut mempunyai beberapa kelebihan
dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi biasa, yaitu tidak invasif,
tidak memberikan radiasi ion, biaya pemeriksaan lebih murah, alat yang
mudah dibawa (portabel), dan juga dapat memvisualisasikan jaringan lunak
sekitar sendi. Pada OA, pemeriksaan US MSK dapat mengidentifikasi osteofit,
penebalan sinovium, robekan kartilago artikuler, adanya efusi sendi minimal,
dan juga kelainan jaringan sekitar sendi seperti bursitis. Pada AR, pemeriksaan
US MSK dapat mengidentifikasi adanya sinovitis proliferatif dan erosi sendi
secara lebih dini dibandingkan pemeriksaan radiografi biasa. Untuk artritis
gout, pemeriksaan US MSK memberikan gambaran khas double contour sign
dan dapat membedakan tofus terhadap nodul lainnya.
Daftar Pustaka
1. Backhaus M, Burmester G-R, Gerber T, Grassi W, Machold K P, Swen W A, Wakefield
R J, Manger B. Guidelines for musculoskeletal ultrasound in Rheumatology. Ann
Rheum Dis 2001;60:641–649.
2. Grassi W, Lamanna G, Farina A, Cervini C. Synovitis of small joints: sonographic
guided diagnostic and therapeutic approach. Ann Rheum Dis 1999;58:595–7.
3. Jacobson JA. Fundamentals of muskuloskeletal ultrasound. Elsevier,
Philadelphia,2013.
4. Jain M, Samuels J. Musculoskeletal Ultrasound in the Diagnosis of Rheumatic
Disease. Bulletin of the NYU Hospital for Joint Diseases 2010;68(3):183-90.
5. Leeb BF, Stenzel I, Czembirek H, Smolen JS. Diagnostic use of office-based
ultrasound. Baker’s cyst of the right knee joint. Arthritis Rheum 1995;38:859–61.
6. Manger B, Kalden JR. Joint and connective tissue ultrasonography—a rheumatologic
bedside procedure? A German experience. Arthritis Rheum 1995;38:736–42.
Pendahuluan
Terapi antikoagulan digunakan pada berbagai macam kondisi klinik,
mulai dari pengobatan dan pencegahan tromboemboli vena pada pasien
bedah, pasien non bedah sampai dengan pencegahan stroke pada penderita
fibrilasi atrium non valvuler.
Klasifikasi
Secara garis besar, obat anti koagulan dibagi menjadi 2 golongan, yakni
antikoagulan parenteral dan anti koagulan oral.
1. Antikoagulan parenteral
a) UFH (Heparin)
b) LMWH (enoxaparin, nadroparin)
c) Fondaparinux.
2. Antikoagulan oral
a) Antagonis vitamin K (menghambat sintesis faktor II, VII, IX, dan X)
b) Inhibitor trombin (dabigatran)
c) Inhibitor faktor Xa (rivaroxaban, apixaban, edoxaban).
Heparin
Heparin tidak diabsorbsi di saluran cerna, mengalami metabolisme di
hati, dan di eksresikan melalui urine.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 393
Trinugroho Heri Fadjari
Enoxaparin
Diberikan secara subkutan. Bekerja dengan menghambat faktor IIa dan
Xa.
Dosis terapeutik 1 mg/kgBB setiap 12 jam atau 1.5 mg/kgBB stiap 24
jam.
Bila bersihan kreatinin <30cc/menit, dosis diturunkan menjadi 1 mg/
kgBB tiap 24 jam.
Tidak dianjurkan pada penderita dengan bersihan kreatinin <15 cc/
menit.
Setelah 2-3 hari pemberian harus dilakukan pemeriksaan trombosit
serial.
Fondaparinux
Diberikan secara subkutan. Menghambat faktor Xa dan pembentukan
trombin.
Dosis terapi 5 mg/hari untuk BB <50 kg; 7,5 mg/hari untuk BB <50-100
kg; dan 10 mg/hari untuk BB >100 kg. Dosis profilaksis TVD: 2,5 mg/hari.
Tidak boleh diberikan apabila bersihan kreatinin <30 mL/menit.
Antagonis vitamin K (Warfarin)
Menghambat sintesis faktor pembekuan yang tergantung vitamin K
(faktor II, VII, IX, X). Warfarin juga menurunkan kadar protein C dan
protein S.
Rivaroxaban
Rivaroxaban bekerja dengan inhibisi kompetitif secara langsung dan
spesifik terhadap faktor Xa. Rivaroxaban diabsorpsi secara optimal
melalui saluran cerna, kadar puncak dalam plasma dapat dicapai dalam
waktu 2 jam. Waktu paruh antara 6-8 jam pada orang dewasa dan
mencapai 12 jam pada orang tua. Rivaroxaban dimetabolisme di liver, di
ekskresi melalui ginjal sebanyak 33%, sementara 66% sisanya melalui
fekal-bilier.
Terapi: 15 mg 2 kali sehari per oral selama 3 minggu, dilanjutkan 20
mg per oral atau 15 mg/hari apabila CrCl 30-49 mL/menit (tidak boleh
diberikan jika CrCl < 30 mL/menit)5.
Dabigatran
Dabigatran adalah inhibitor trombin direk yang bersifat reversibel, secara
kompetitif mengikat tempat aktif trombin. Selanjutnya, dabigatran secara
tidak langsung mengaktifkan efek antitrombosit dengan mengurangi
dampak trombin pada peningkatan aktivasi dan agregasi trombosit.
Dabigatran etexilate mesylate adalah prodrug. Setelah pemberian per
oral, plasma non spesifik dan esterase hati menghidrolisis senyawa ini
menjadi antikoagulan dabigatran yang aktif. Dabigatran dieliminasi
melalui filtrasi ginjal, 80% dari dosis yang diekskresikan tidak berubah
dalam urin.
Dosis terapi 150 mg po 2 kali sehari, harus didahului oleh pemberian
antikoagulan parenteral 5-10 hari, tidak boleh diberikan pada pasien
dengan CrCl <30 mL/menit dan gangguan fungsi hati dengan kadar
transaminase >2 kali ULN.
Profilaksis stroke dan emboli sistemik: pada non valvular AF 150 mg po
2 kali sehari (CrCl>30 mL/menit), 75 mg po 2 kali sehari (CrCl 15-30 ml/
menit); pada usia >75 tahun dengan risiko perdarahan = 110 mg po 2
kali sehari; operasi panggul dan lutut = 220 mg po 1 kali perhari atau 150
mg 1 kali perhari jika usia >75 tahun.
Pada kondisi normal tidak memerlukan monitor1
Daftar Pustaka
1. Alquwaizani M, Buckley L, Adams C, Fanikos J.. Anticoagulants: a review of
the pharmacology, dosing, and complications. Curr Emerg and Hosp Med Rep.
2013;1:83-97.
2. Cushman M, Lim W, Zakai N. Clinical practice guide on antithrombotic drug dosing
and management of antithrombotic drug-associated bleeding complications in
adults. Am Soc Hematol. 2014;2:1-4.
3. Rahman ARA, Sathar J, Chee CC, Shintamoney E, Hassan HHC, Harunarashid H, et al.
Clinical practice guidelines prevention and treatment of venous thromboembolism.
Putrajaya: Ministry of Health Malaysia; 2013. p.7-124.
4. Streiff MB, Agnelli G, Connors JM, Crowther M, Eichinger S, Lopes R, et al. Guidance
for the treatment of deep vein thrombosis and pulmonary embolism. J Thromb
Thrombolysis. 2016;41:32-67.
5. Konstantinides SV, Torbicki A, Agnelli G, Danchin N, Fitzmaurice D, Galiè N, et
al. 2014 ESC guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary
embolism. Eur Heart J. 2014;35:3033-73.
6. Chan WS, Rey E, Kent NE, Corbett T, David M, Douglas MJ, et al. Venous
thromboembolism and antithrombotic therapy in pregnancy. J Obs Gynaecol Can.
2014;36:527-53.
7. Cuker A, Gimotty PA, Crowther MA, Warkentin TE. Predictive value of the 4Ts
scoring system for heparin-induced thrombocytopenia: a systematic review and
meta-analysis. Blood. 2012;120:4160-7.
8. Masotti L, Campanini M. Pharmacology of new oral anticoagulants: mechanism of
action, pharmacokinetics, pharmacodynamics. Ital J Med. 2013;7:1-7.
9. Michigan Anticoagulation Quality Improvement Initiative. Anticoagulation toolkit.
Ann Arbor: Michigan Anticoagulation Quality Improvement Initiative; 2017. 22
Pendahuluan
Hipoglikemia, salah satu komplikasi akut diabetes yang paling ditakuti,
terutama disebabkan penggunaan insulin dan golongan insulin secretagogues
(sulfonilurea dan glinid). Kejadian hipoglikemia sering menyebabkan keadaan
gawat darurat yang meningkatkan morbiditas berulang dan dapat menjadi
fatal. Studi yang dilakukan pada Diabetes Control and Complications Trial
(DCCT) dan U.K. Prospective Diabetes Study (UKPDS) pada beberapa dekade
lalu menunjukkan bahwa kontrol glikemik yang ketat dapat mengurangi
komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular.1,2 Meskipun demikian,
kontrol glikemik ketat dapat menimbulkan masalah hipoglikemia dalam
implementasinya.
Epidemiologi Hipoglikemia
Dalam studi InHypo-DM, hampir 2/3 (65,2 %) penyandang diabetes melitus
(DM) pernah mengalami setidaknya satu kali kejadian hipoglikemia per
tahun. Kejadian hipoglikemia berat dilaporkan terjadi pada 41,8 % responden
dengan rata-rata 2,5 kejadian per orang per tahun. Proporsi hipoglikemia
lebih tinggi pada DM tipe 1 dibandingkan DM tipe 2 (77 % vs 54%) dan lebih
sering dihubungkan dengan penggunaan insulin terutama insulin prandial.3,4
Penyebab Hipoglikemia
Beberapa penyebab hipoglikemia pada penyandang DM terlampir pada
tabel 1.
namun kejadian hipoglikemia pada nateglinid jauh lebih rendah dan mirip
dengan metformin.14
Pada pasien dewasa yang sadar, berorientasi baik, dapat menelan dengan
baik maka dapat diberikan setara 15-20 gram glukosa peroral. Pemberian
dapat diulang 3x tiap 15 menit bila glukosa darah belum mencapai normal.
Pemberian glukagon secara intramuskular dapat menjadi alternatif. Apabila
sudah pulih maka pasien dapat diberikan karbohidrat kerja panjang.16
Pada pasien dewasa yang tidak sadar, mengalami kejang, atau tidak
kooperatif, maka yang perlu dilakukan pertama kali adalah melakukan survei
primer pada pasien dan obat antidiabetes yang dicurigai atau insulin. Apabila
tersedia akses iv, maka berikan 25-75 ml 40% glukose (selama 15-20 menit).
Kemudian ulang pemeriksaan glukosa darah 15 menit kemudian, bila masih
dibawah 70 mg/dL maka pemberian glukosa perlu diulang.16
Ketika glukosa darah sudah lebih dari 70 mg/dL dan pasien sudah pulih
maka pasien dapat diberikan karbohidrat kerja panjang. Apabila pasien tidak
dapat menelan atau puasa maka dapat diberikan glukosa 10% 100 cc/jam.
Catat seluruh kejadian dan lakukan pemantauan gula darah rutin selama 24
sampai 48 jam pertama (tergantung lama kerja obat penyebab hipoglikemia).16
Prediksi Hipoglikemia
Untuk mencegah hipoglikemia, perlu memperhatikan individu yang
berisiko mengalami hipoglikemia. Faktor penyebab tersering hipoglikemia
adalah pola makan yang tidak teratur atau sering melewatkan makan,
kontrol glikemik buruk, durasi diabetes yang lama, dan adanya komorbid
lain. Olahraga, alkohol, dan gagal ginjal kronis merupakan faktor lain yang
berpengaruh terhadap hipoglikemia.10
glukagon dan respons stres lainnya terjadi dan diperburuk oleh terapi seperti
sulfonilurea yang mempertahankan kadar insulin intrapankreatik selama
hipoglikemia.10
Kesimpulan
Hipoglikemia memiliki dampak pada peningkatan komorbiditas
dan mortalitas pada penyandang diabetes. Metabolisme tubuh memiliki
mekanisme pertahanan terhadap kejadian hipoglikemia melalui penurunan
sekresi insulin dan peningkatan hormon glukagon. Skrining faktor risiko
hipoglikemia, penetapan target kendali glikemik secara individual, serta
pemilihan jenis farmakologis yang sesuai merupakan strategi pencegahan
hipoglikemia yang baik.
Daftar Pustaka
1. Dockery DW, Pope CA, Xu X, Spengler JD, Ware JH, Fay ME, et al. The effect
of intensive treatment of diabetes on the development and progression of
long term complication in insulin dependent diabetes mellitus. N Engl J Med.
1993;329(24):1753–9.
2. Group UPDS (UKPDS). Blood-glucose control with sulphonylureas or insulin
compared with conventional treatment and risk of complications in patients with
type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet [Internet]. 1998;352(9131):837–53. Available
from: http://discovery.ucl.ac.uk/1310755/
3. Ratzki-Leewing A, Harris SB, Mequanint S, Reichert SM, Brown JB, Black JE, et al.
Real-world crude incidence of hypoglycemia in adults with diabetes: Results of the
InHypo-DM Study, Canada. BMJ Open Diab Res Care. 2018;6:1–9.
4. Wexler DJ, Meigs JB, Cagliero E, Nathan DM, Grant RW. Prevalence of hyper-
and hypoglycemia among inpatients with diabetes: A national survey of 44 U.S.
hospitals. Diabetes Care. 2007;30(2):367–9.
5. Khunti K, Davies M, Majeed A, Thorsted BL, Wolden ML, Paul SK. Hypoglycemia
and Risk of Cardiovascular Disease and All-Cause Mortality in Insulin-Treated
People With Type 1 and Type 2 Diabetes: A Cohort Study. Diabetes Care [Internet].
2015;38(2):316–22. Available from: http://care.diabetesjournals.org/lookup/
doi/10.2337/dc14-0920
6. Heller SR, Frier BM, Hersløv ML, Gundgaard J, Gough SCL. Severe hypoglycaemia in
adults with insulin-treated diabetes: Impact on healthcare resources. Diabet Med.
2016;33(4):471–7.
7. Davis RE, Morrissey M, Peters JR, Wittrup-Jensen K, Kennedy-Martin T, Currie CJ.
Impact of hypoglycaemia on quality of life and productivity in type 1 and type 2
diabetes. Curr Med Res Opin [Internet]. 2005;21(9):1477–83. Available from:
http://www.tandfonline.com/doi/full/10.1185/030079905X61929
8. LA L, Yale J, Chiasson J, SB H, Kleinstiver P, Sauriol L. Assessment of the impact
of fear of hypoglycemic episodes on glycemic and hypoglycemia management.
Can J Diabetes [Internet]. 2005;29(3):186–192 7p. Available from: http://search.
ebscohost.com/login.aspx?direct=true&db=c8h&AN=106468507&%5Cnlang
=ja&site=ehost-live
9. Brod M, Christensen T, Thomsen TL, Bushnell DM. The impact of non-severe
hypoglycemic events on work productivity and diabetes management. Value
Heal [Internet]. 2011;14(5):665–71. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.
jval.2011.02.001
10. Lingvay I. Hypoglycemia in type 2 diabetes-consequences and risk assessment.
US Endocrinol [Internet]. 2011;7(2):95–102. Available from: http://www.scopus.
com/inward/record.url?eid=2-s2.0-84868251850&partnerID=40&md5=0a7f2a8
5bbbd232bf5b13cfe725b7901
11.
Kittah NE, Vella A. Pathogenesis and management of hypoglycemia. Eur J
Endocrinol. 2017;177(1):R37–47.
12. Soelistijo SA, Novida H, Rudijanto A, Soewondo P, Suastika K, Manaf A, et al.
Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia 2015.
PB. Perkeni; 2015.
13. Riddle MC, Bakris G, Blonde L, Boulton AJM, D ’alessio D, De Groot M, et al.
Introduction: Standards of Medical Care in Diabetes—2018. Diabetes Care [Internet].
2018;41(Supplement 1):S1–2. Available from: http://care.diabetesjournals.org/
lookup/doi/10.2337/dc18-Sint01
14. Leonard CE, Han X, Brensinger CM, Bilker WB, Cardillo S, Flory JH, et al. Comparative
risk of serious hypoglycemia with oral antidiabetic monotherapy: A retrospective
cohort study. Pharmacoepidemiol Drug Saf. 2018;27(1):9–18.
15. Nauck MA. Update on developments with SGLT2 inhibitors in the management of
type 2 diabetes. Drug Des Devel Ther. 2014;8:1335–51.
16. National Health Service. The Hospital Management of Hypoglycaemia in Adults
with Diabetes Mellitus. 2010;(March):1–28. Available from: www.diabetes.nhs.uk
Pendahuluan
Diabetes melitus tipe 2 (DMT2) merupakan faktor risiko mayor dalam
progresivitas komplikasi mikrovaskular (retinopati, nefropati, dan neuropati)
dan makrovaskular (penyakit jantung koroner, serebrovaskular, dan
pembuluh darah perifer). Studi United Kingdom Prospective Diabetes (UKPDS)
menunjukkan bahwa setiap 1% penurunan hemoglobin terglikasi (HbA1c)
berhubungan dengan pengurangan 37% risiko komplikasi mikrovaskular dan
21% risiko komplikasi terkait-diabetes atau kematian. Konsensus American
Diabetes Association (ADA) dan the European Association for the Study of
Diabetes (EASD) merekomendasikan target HbA1c <7% dalam penanganan
diabetes, tetapi sebagian besar pasien gagal memenuhinya; hingga saat ini,
belum dijumpai agen penurun glukosa darah yang ideal secara farmakologis.
Data National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) dari tahun
2003-2006 menunjukkan hanya 57,1% pasien diabetes dewasa yang mencapai
target HbA1c <7%; 45,5% memiliki tekanan darah <130/80 mmHg; 46,5%
memiliki kolesterol LDL <100 mg/dL; dan hanya 12,2% pasien diabetes yang
mencapai ketiga target tersebut.
Suatu kelas obat yang terbaru, yang dikenal dengan inhibitor sodium
glucose co transporter (SGLTs) non-selektif telah dievaluasi dalam uji klinis acak
terkontrol (RCTs). Phlorizin, yang diisolasi dari pohon apel pada tahun 1835,
merupakan inhibitor alamiah SGLT1 dan SGLT2, dan pernah digunakan untuk
penanganan diabetes sebelum era insulin. Inhibisi baik SGLT1 dan SGLT2 oleh
phlorizin merupakan mekanisme penting meningkatkan pembuangan glukosa
dan energi pasien diabetes. SGLT2 merupakan sistem transpor predominan
dalam reabsorpsi glukosa dari filtrasi glomerulus sehingga penghambatan
spesifik SGLT2 merupakan dasar strategi penanganan hiperglikemia pada
diabetes.
SGLT2 inhibitor
SGLT2 inhibitors adalah kelas obat baru yang mengatasi hiperglikemia
dengan mengurangi reabsorpsi glukosa ginjal, meningkatkan ekskresi glukosa
urin, dan akibatnya mengurangi level glukosa serum. SGLT2 inhibitors bekerja
tanpa bergantung dengan insulin, baik secara sekresi maupun sensitivitas,
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 413
Yulianto Kusnadi
yang membuat golongan obat ini termasuk dalam golongan terapi baru dan
berpotensi sebagai terapi komplementer untuk terapi diabetes terkini.
Ringkasan
SGLT2 inhibitors dapat digunakan pada pasien DMT2 yang gagal
mencapai target HbA1c dengan monoterapi metformin dan perubahan pola
hidup. Penggunaan SGLT2 inhibitors dapat dicoba pada pasien yang mungkin
memerlukan bantuan untuk menurunkan berat badan dan kemungkinan
perbaikan dalam tekanan darah. Agen ini dapat dicoba sebagai tambahan
pada metformin, atau dalam penurunan berat badan, atau dapat digunakan
setelah gagal terapi dengan GLP-1. Agen ini sebaiknya tidak digunakan pada
pasien dengan gagal ginjal, pada pasien dengan peningkatan risiko infeksi
kandidiasis, atau pada pasien yang berisiko hipotensi.
Daftar Pustaka
1. Nathan D, Davidson M, Ferrannini E, Holman R. Medical management of
hyperglycemia in type 2 diabetes: A consensus algorithm for the initition and
adjustment of therapy: A consensus statement of the American Diabetes association
and European Association for the Study of Diabetes. Diabetes Care 2009;32(1):
193-203.
2. Chao EC. SGLT2 inhibitors: A new mechanism for glycemic control. Clin Diabetes.
2014; 32(1): 4-11.
3. Idris I, Donnelly R. Sodium glucose co-transporter 2 inhibitors: An emerging new
class of oral antidiabetic drug. Diabetes, Obesity and Metabolism 2009; 11: 79-88.
4. Musso G, Gambino R, Cassader M, Pagano G. A novel approach to control
hyperglycemia in type 2 diabetes: Sodium glucose co-transporter (SGLT) inhibitors.
Systemic review and metaanalysis of randomized trials. Annals of Medicine 2011;
1-19.
5. DeFronzo R. Overview of newer agents: where treatment is going. Am J Med. 2010:
38-48.
6. DeFronzo R, Eldor R, Abdul G. Pathophysiologic approach to therapy in patient
with newly diagnosed type 2 diabetes. Diabetes Care 2013;36: 127-138.
7. Gerich JE. Physiology of glucose homeostasis. Diabetes Obes Metab 2000;(2):345–
50.
8. Gallo LA, Wright EM, Vallon V. Probing SGLT2 as a therapeutic target for diabetes:
basic physiology and consequences. Diab Vasc Dis Res. 2015;12(2):78–89.
9. DeFronzo RA. From the triumvirate to the ominous octet: a new paradigm for the
treatment of type 2 diabetes mellitus. Diabetes. 2009;(58):773–95.
10. Tabatabai NM, Sharma M, Blumenthal SS. Enhanced expressions of sodium-glucose
co-transporters in the kidneys of diabetic Zucker rats. Diabetes Res Clin Pract.
2009;(83):27–30.
Pendahuluan
Pentingnya pemberian vaksin pada orang dewasa merupakan hal
yang harus dikembangkan terus agar dapat mencapai kesehatan secara
menyeluruh. Di Indonesia sudah ada berbagai jenis vaksin yang dapat
mencegah berbagai macam penyakit yang menular. Beberapa vaksin dapat
diberikan secara bersamaan pada satu waktu. Bila dua vaksin hidup akan
diberikan secara terpisah, sebaiknya pemberian pertama dan kedua berjarak
lebih dari 28 hari. Apabila pemberian vaksin hidup seperti MMR, varicella
zoster, dan yellow fever dilakukan kurang dari 28 hari, pemberian kedua perlu
diulang. Namun terdapat pengecualian, pemberian vaksin yellow fever dapat
dilakukan kurang dari empat minggu setelah pemberian vaksin campak.
6. Zoster
• Berikan 1 dosis vaksin Zoster kepada semua individu berusia 50
tahun ke atas; dengan atau tanpa episode Zoster sebelumnya.
• Vaksin Zoster merupakan vaksin hidup.
11. Hepatitis A
• Vaksin ini dianjurkan untuk semua individu.
• Perhatian khusus harus diberikan kepada pelancong dan
penjamah makanan (food handler)
12. Hepatitis B
• Vaksinasi semua orang dewasa tanpa terkecuali; dianjurkan untuk
memeriksa HbsAg terlebih dahulu.
• Perhatian khusus harus diberikan kepada kelompok risiko tinggi:
tenaga kesehatan, pengguna Narkoba, orang dengan partner
seksual multiple, kondisi imunokompromais, pasien dengan
gangguan hati kronik dan pasien dengan gangguan ginjal kronik
termasuk yang sedang hemodialisis.
• Khusus pada individu imunokompromais atau pasien hemodialisis,
berikan vaksin 2 dosis (2 x 20µg/ml) setiap kali penyuntikan pada
bulan 0, 1, 2 dan 6.
• Pada individu imunokompeten, tidak ada rekomendasi untuk
memberikan dosis penguat (booster).
• Pada individu imunokompromais, pemeriksaan titer antibodi anti-
Hbs pasca vaksinasi dilakukan secara berkala (booster diberikan
bila titer ≤10 mIU/mL)
• Perlu diingat terdapat fenomena responder dan nonresponder.
• Pada individu imunokompeten, pemeriksaan titer antibodi anti-
Hbs pasca vaksinasi dilakukan pada 1 - 3 bulan setelah vaksinasi
terakhir (protektif bila titer ≥ 10 mIU/mL). Pemeriksaan yang
dilakukan lebih dari 6 bulan pasca- vaksinasi kurang memiliki
manfaat dan dapat menimbulkan kesalahan interpretasi.
18. Rabies
• Vaksin diberikan sebagai post-exposure prophylaxis.
Vaksin tersedia di Rumah Sakit dan Puskesmas yang sudah
ditunjuk sebagai Rabies Center / Pusat Layanan Gigitan Hewan
Tersangka Rabies.
Kesimpulan
Beberapa penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi masih
menyebabkan kejadian morbiditas dan mortalitas yang tinggi pada usia lanjut.
Vaksinasi sebagai upaya pencegahan penyakit infeksi yang paling efektif
untuk meningkatkan mutu kesehatan masyarakat. Vaksin yang digunakan
saat ini umumnya dapat ditoleransi dengan baik dan efektif.
Daftar Pustaka
1. Imunisasi Dewasa. Modul Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, 2001.
2. Ada G. The Immunology of Vaccination. Dalam : Plotkin SA, Orenstein WA (Eds).
Vaccines. Third Edition. Philadelphia : WB. Saunders Company; 1999. p. 28-71.
3. Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunisasi, dalam : Imunologi Dasar Edisi ke-12 :
Balai Penerbit FKUI; 2018:467-527
4. Prevention of pneumococcal disease : Recommendations of the Advisory
Communitte on Immunization Practices (ACIP). MMWR Morb Mortal Wkly Rep
1997;46(RR-81):1-24.
PENDAHULUAN
Patofisiologi krisis hipertensi sampai saat ini masih belum jelas. Krisis
hipertensi merupakan salah satu kedaruratan medik utama pada pasien
hipertensi. Krisis hipertensi dapat menyebabkan kerusakan organ target
secara akut dan progresif yang akhirnya dapat meningkatkan angka kematian
akibat hipertensi.1
PATOFISIOLOGI
Hipertensi berat akut dapat berkembang secara de novo atau
merupakan komplikasi dari hipertensi esensial atau sekunder. Mekanisme
pasti hipertensi krisis belum diketahui dengan pasti, namun awitan akut
kemungkinan disebabkan oleh faktor pencetus yang tumpang-tindih dengan
hipertensi sebelumnya. Hipotesis yang banyak diterima tentang patofisiologi
FAKTOR RISIKO
Faktor risiko terjadinya krisis hipertensi antara lain:
1. Penderita hipertensi yang tidak minum obat atau minum obat tidak
teratur
2. Kehamilan
3. Penggunaan narkoba, psikotropika, dan zat aditif (NAPZA)
4. Penderita dengan rangsangan simpatis yang tinggi seperti pada pasien
luka bakar berat, feokromositoma, penyakit kolagen, penyakit vaskuler,
atautrauma kepala.
5. Penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.1
KLASIFIKASI
Krisis hipertensi dapat diklasifikasikan menjadi:
1. Hipertensi Emergensi
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah
berat mencapai 180/120 mmHg yang berhubungan dengan kerusakan
organ target yang progresif seperti perubahan neurologis, ensefalopati
hipertensi, infark serebral, pendarahan intrakranial, gagal jantung kiri
akut, edema paru akut, pecahnya aorta, gagal ginjal, dan eklampsia. 3,4,5
Hipertensi emergensi ini memerlukan penurunan tekanan darah secepat
mungkin (dalam menit sampai 2 jam) untuk mencegah atau membatasi
terjadinya kerusakan organ target. (3,4)
Hipertensi maligna ditandai dengan kerusakan organ secara iskemik
(retina, ginjal, jantung, dan otak). Walaupun frekuensinya sangat
rendah, namun jumlah absolut kasus baru tidak berubah dalam 40
tahun. Usia harapan hidup dalam 5 tahun semakin meningkat yang
mungkin disebabkan oleh diagnosis dini dan keberadaan beberapa obat
antihipertensi baru5. Hipertensi maligna ditandai dengan adanya edema
papil (retinopati hipertensi KW-4) sedangkan accelerated-malignant
hypertension bila terdapat eksudat dan perdarahan (retinopati hipertensi
KW-3).4
2. Hipertensi Urgensi
Hipertensi urgensi adalah hipertensi berat, tetapi tidak disertai
kerusakan organ target. Kondisi ini berhubungan dengan putusnya atau
pengurangan pengobatan dan adanya ansietas. Penurunan tekanan
darah diharapkan terjadi dalam kurun waktu 24 – 48 jam dengan cara
reinstitusi dan intensifikasi pengobatan hipertensi dan antiansietas.3,5
DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan cepat dan tepat baik di luar
maupun setelah tiba di rumah sakit.
1. Anamnesis, dilakukan secara cermat yang meliputi riwayat hiperetensi,
jenis obat antihipertensi dan kepatuhan konsumsi obat antihipertensi.
Kemudian juga dianamnesis kemungkinan terjadi gangguan kerusakan
organ target seperti kardio-serebro-reno-vaskuler dan organ lain.
2. Pemeriksaan fisik, dilakukan sesuai dengan kecurigaan organ target
yang terkena berdasarkan anamnesis yang didapat. Pengukuran tekanan
darah dilakukan secara benar dan berulang di kedua lengan. Kemudian
dilakukan palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas, auskultasi untuk
mendengar adanya bruit di pembuluh darah besar, bising jantung, dan
ronki paru. Di samping itu dilakukan pemeriksaan neurologis umum dan
pemeriksaan funduskopi.
3. Pemeriksaan penunjang, berupa pemeriksaan laboratorium (rutin,
ureum, kreatinin, glukosa darah, dan elektrolit), elektrokardiografi
(EKG), dan foto rontgen dada. Bila ada indikasi dapat dilanjutkan dengan
computed tomography (CT) scan kepala, ekokardiogram, dan pemeriksaan
ultrasonografi (USG).1
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan krisis hipertensi sebaiknya dilakukan di rumah sakit,
namun dapat dilakukan di tempat pelayanan primer sebagai pelayanan
tekanan darah yang diharapkan adalah tidak lebih dari 25% dalam dua jam.
Setelah itu mencapai 160/100 mmHg dalam 2-6 jam. Penurunan tekanan
darah tiba-tiba dapat menyebabkan iskemia renal, serebral, dan koroner.3
2. Hipertensi urgensi
Hipertensi urgensi dapat diterapi dengan obat antihipertensi oral yang
memiliki awitan cepat. Pilihan terapi meliputi diuretik loop, penyekat
beta, penghambat enzim konversi-angiotensin (EKA), agonis alfa-2, dan
antagonis kalsium.3 Target tekanan darah adalah sekitar 160/110 mmHg.
Yang terpenting adalah jangan sampai tekanan arterial rata-rata (MAP,
mean arterial pressure) turun lebih dari 25% dalam 24 jam.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 429
Zulkhair Ali
PENUTUP
1. Patofisiologi hipertensi krisis belum jelas. Krisis hipertensi diawali dengan
peningkatan tiba-tiba resistensi vaskuler perifer, yang kemungkinan
erat hubungannya dengan vasokonstriktor humoral, yang menyebabkan
terjdinya injury vaskuler, iskemia jaringan, dan overproduksi renin-
angiotensin.
2. Krisis hipertensi adalah keadaan gawat darurat hipertensi yang
mengancam jiwa sehingga memerlukan penanganan intensif, cepat, dan
tepat di rumah sakit.
3. Obat parenteral merupakan pilihan utama karena bisa bereaksi cepat,
terukur, bias dititrasi dan aman, sedangkan obat oral dapat diberikan
pada hipertensi urgensi.
Daftar Pustaka
1. Perhimpunan Hipertensi Indonesia (InaSH). Ringkasan eksekutif krisis hipertensi.
2009.
2. Singh M. Hypertensive crisis-pathophysiology, initial evaluation, and management.
JICC 2011; 1(1): 36-9.
3. The sixth report of the Joint National Committee On Prevention, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Arch Intern Med 1997; 157(21):
2413-46.
4. Kaplan NM. Hypertensive crises. In: Kaplan’s clinical hypertension. 8th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p. 339-54.
5. The Task Force for the management of arterial hypertension of the European
Society of Hypertension (ESH) and the European Society of Cardiology (ESC).
2013 ESH/ESC guidelines for the management of arterial hypertension. Eur Heart
J 2013; 34: 2159-219.
6. 1999 World Health Organization-International Society of Hypertension guidelines
for the management of hypertension. J Hipertens 1999; 17(2): 151-83.
7. Vaidya CK, Ouellette JR. Hypertensive urgency and emergency. Hosp Physician
2007; 3: 43-50.
8. Tepel M, Zidek W. Hypertensive crisis: Pathophysiology, treatment and handling of
complications. Kidney Int 1998, 64: S2-5.
9. Hypertension: Guideline for hypertensive emergency treatment. In: University
Health Network. Cardiovascular pharmacotherapy handbook. 2015. Available from
https://pie.med.utoronto.ca/CVmanual/CVManual_content/assets/2013pdfs/
Hypertension/Guideline%20for%20Hypertensive%20Emergency%20T
PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan penyakit yang sering ditemui. Di Amerika Serikat
30% dari seluruh populasi yang berumur lebih dari 20 tahun menderita
hipertensi (Marik & Varon, 2007). Meskipun manajemen hipertensi sudah
berkembang pesat, prevalensi hipertensi emergensi masih 25% dari total
kasus hipertensi yang datang di UGD di Amerika Utara (Zampaglione et al.,
1996).
DIAGNOSIS
Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik merupakan kunci yang sangat
penting dalam diagnosis krisis hipertensi dan sangat membantu menentukan
strategi manajemen. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain seperti
elektrokardiogram (EKG) dan ronsen toraks penting untuk menentukan
kerusakan organ target (Vaidya dan Ouellette, 2007).
Riwayat Penyakit
Informasi mengenai riwayat penyakit termasuk ada tidaknya hipertensi
sebelumnya, rerata tekanan darah, adanya kerusakan organ sebelumnya
termasuk adanya kerusakan ginjal atau serebrovaskular. Obat-obatan
yang dikonsumsi khususnya antihipertensi dan kepatuhan minum obat.
penggunaan simpatomimetik, NSAID (Nonsteroidal Anti Inflammatory Drugs),
obat herbal, seta penyalah gunaan obat seperti kokain, methamphetamin dan
ephedrin juga perlu ditanyakan. Pada pasien yang mengkonsumsi obat anti
hipertensi seperti B bloker dan agen simpatolitik sentral perlu ditanyakan
kapan terakhir mengkonsumsi, sebab penghentian mendadak obat-obatan ini
dapat memicu hipertensi rebound (Vaidya dan Ouellette, 2007).
Anamnesis terhadap gejala-gejala yang berhubungan dengan kerusakan
target organ seperti nyeri dada (infark atau iskemik miokardial, diseksi aorta),
sesak nafas (edema pulmonum akut sekunder yang berhubungan dengan
disfungsi ventrikel kiri), nyeri punggung (diseksi aorta), gejala neurologi
seperti nyeri kepala atau pandangan kabur. Untuk gejala neurologi harus
dicermati apakah disebabkan oleh perdarahan intraserebral/ subarachnoid,
atau hipertensi ensefalopati. Hipertensi ensefalopati merupakan sindrom
otak organik akut atau delirium yang disebabkan oleh edema serebri, karena
hilangnya kemampuan autoregulasi vaskular serebral akibat peningkatan
tekanan darah yang sangat tinggi. Gejala diawali dengan nyeri kepala hebat
disertai mual dan muntah diikuti dengan penurunan status mental dan/ atau
kejang (Vaidya dan Ouellette, 2007).
Pemeriksaan Fisik
Tekanan darah harus diukur pada kedua lengan, adanya perbedaan
tekanan darah sistolik >20 mmHg antara kedua lengan harus kita pikirkan
kemungkinan diseksi aorta. Tambahan pengukuran tekanan darah juga harus
dilakukan pada posisi supinasi dan berdiri. Hal ini bertujuan untuk mengukur
status volume, karena pada pasien hipertensi emergensi kemungkinan bisa
terjadi penurunan volume intravaskuler dikarenakan pressure natriuresis.
Pemeriksaan kepala dan leher harus melibatkan pemeriksaan funduskopi
komplit, dan dinilai adakah perubahan retina karena hipertensi (kelasifikasi
Keith-Wagener-Barker). Retinopati adalah salah satu tanda penting pada
hipertensi emergensi (Vaidya dan Ouellette, 2007). Gambaran arteri retina
seperti cooper wire atau silver wire disertai arteriospasme, edema retina
dengan eksudat didaerah makula dan papil edema (Grade 4 Keith Wagener
Barker) (Vaidya dan Ouellette, 2007).
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin dengan apusan darah tepi untuk mengetahui
adanya schistocyte (untuk melihat anemia hemolitik mikroangiopati) harus
dilakukan. Serum elektrolit, BUN (Blood Ureum Nitrogen) dan kreatinin
diperiksa untuk melihat kerusakan renal. Alkalosis metabolik, hipokalemi
sebaiknya dilihat sebagai akibat dari penurunan volume darah dan
hiperaldosteron sekunder. Selanjutnya pemeriksaan evaluasi harus tetap
dilakukan seperti pemeriksaan serum kreatiin dan dibandingkan dengan
MANAJEMEN/ PENGELOLAAN
Tujuan awal terapi pada krisis hipertensi adalah untuk menurunkan
tekanan darah diastolik secara cepat hingga mencapai 100-105 mmHg; nilai
ini harus dicapai dalam 2-6 jam, dengan penurunan awal tekanan darah
maksimalnya tidak melebihi 25% dari tekanan darah sebelumnya (Kaplan,
2006; Vaughan dan Delanty, 2000). Kontrol tekanan darah pada tingkat ini
memungkinkan penyembuhan lesi vaskular yang mengalami nekrotisasi
secara bertahap. Terapi hipertensi yang lebih agresif tidak diperlukan dan
justru dapat menurunkan tekanan darah dibawah wilayah autoregulasi,
sehingga berpeluang menyebabkan kejadian iskemik (seperti stroke atau
penyakit koroner) (Ledingham dan Rajagopalan,1979; Haas et al.,1983).
perbaikan penyakit vaskular dan perfusi ginjal (selama 1-3 bulan) (Woods
dan Blythe, 1967). Terapi antihipertensi tidak boleh dihentikan pada kondisi
tersebut kecuali terjadi penurunan tekanan darah yang berlebihan. Meski
demikian, penggantian obat-obatan diindikasikan jika terjadi penurunan
fungsi ginjal temporer yang berhubungan dengan terapi inhibitor ACE atau
penghambat reseptor angiotensin II, yang dapat mengganggu autoregulasi
ginjal dan menyebabkan gagal ginjal akut pada pasien dengan stenosis arteri
renal bilateral (Vaidya dan Ouellette, 2007).
Nitrogliserin
Nitrogliserin juga diberikan melalui infus intravena dan memiliki
aksi kerja serta farmakokinetik yang sama dengan Nitroprusid, dengan
pengecualian bahwa obat ini memiliki efek venodilatasi yang lebih besar
dibanding dilatasi arteriol. Obat ini kemungkinan paling berguna pada pasien
dengan penyakit koroner yang simtomatik, dan pada pasien dengan hipertensi
pasca pintas koroner. Dosis awal untuk nitrogliserin adalah 5 mcg/menit,
yang dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan hingga dosis maksimum 100 mcg/
menit. Onset kerjanya adalah 2-5 menit, sedangkan durasi kerjanya adalah
5-10 menit. Sakit kepala (akibat vasodilatasi langsung) dan takikardi (akibat
adanya aktivasi simpatis secara refleks) merupakan efek samping primernya.
Penggunaan obat ini tidak menyebabkan akumulasi sianida (Kaplan, 2006).
2. Nikardipin
Nikardipin adalah penghambat kanal kalsium dihidropiridin (seperti
nifedipine) yang dapat diberikan dalam bentuk infus intravena. Pada
pemberian intravena onsetnya antara 5 sampai 10 menit. Dosis tidak
tergantung berat badan, diberikan mulai dosis 5 mg perjam, dinaikkan
2,5 mg tiap 5 menit dan dosis maksimal 15 mg/ jam. Efek samping berupa
takikardi dan plebitis. Pengalaman awal saat menggunakan nicardipine
lebih disukai jika dibandingkan dengan nitroprusid (Neutel et al., 1994).
3. Diltiazem
Pemberian intravena onsetnya 1-3 menit, dosis dimulai secara bolus
0,25-0,35 mg/kg BB, kemudian diberikan secara kontinyu mulai 5mg/
jam. Dosis dinaikkan tiap 5 menit sampai dosis maksimum 20 mg/jam.
Efek samping obat yang dapat terjadi adalah bradikardi (Marik dan
Rivera, 2011).
4. Fenoldopam
Fenoldopam adalah agonis reseptor dopamin -1, dan tidak seperti agen
antihipertensi parenteral lainnya, obat ini dapat mempertahankan atau
meningkatkan perfusi ginjal dan secara simultan menurunkan tekanan
darah (Murphy et al., 2001). Obat ini dapat mempertahankan sebagian
besar efikasinya selama 48 jam dengan pemberian infus konstan, tanpa
menghasilkan efek hipertensi rebound ketika dihentikan. Fenoldopam
dapat dengan aman digunakan pada seluruh keadaan hipertensi
emergensi, dan secara khusus menguntungkan pada pasien dengan
insufisiensi ginjal. Setelah pemberian dosis awal sebesar 0.1 mcg/kg/
menit, dosis kemudian dititrasi dengan interval 15 menit, bergantung
5. Labetalol
Labetalol adalah penghambat beta - dan alfa- adrenergik. Onset kerjanya
yang cepat (5 menit atau kurang) membuatnya berguna dalam terapi
hipertensi emergensi. Labetalol aman digunakan pada pasien dengn
penyakit koroner aktif, karena obat ini tidak meningkatkan denyut
jantung (Kaplan et al., 2013). Labetalol sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan asma, penyakit paru obatruktif kronis, gagal
jantung, bradikardia, atau blok jantung yang berat. Labetalol tidak
boleh digunakan tanpa penyekat alfa yang adekuat sebelumnya, pada
pasien dengan kondisi hiperadrenergik, seperti pada pasien dengan
feokromositoma, atau overdosis metamfetamin, karena aktivitas alfa
adrenergik yang tidak dihambat secara sempurna dan tidak terhalangi,
dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah lebih tinggi apabila
blokade beta tidak berlangsung secara komplit (Kaplan et al., 2013).
Labetalol dapat diberikan dalam bentuk bolus atau infus intravena. Dosis
awal bolus adalah 20 mg, dilanjutkan dengan 20-80 mg setiap 10 menit,
hingga mencapai dosisi total 300 mg. kecepatan infus adalah 0.5-2 mg/
menit (Kaplan et al., 2013).
6. Esmolol
Esmolol, suatu penghambat reseptor beta yang relatif kardioselektif.
Dimetabolisir dengan cepat oleh esterase dalam darah dan memiliki
waktu paruh dan durasi aksi total yang singkat (9 menit dan sekitar
30 menit). Efeknya bekerja hampir seketika setelah pemberian, dan
diketahui memiliki kegunaan khususnya selama anestesi untuk mencegah
kekacauan hemodinamik paska intubasi (Kaplan et al., 2013).
7. Hydralazine
Hidralazine adalah vasodilator arteriola langsung dengan sedikit atau
tanpa efek terhadap sirkulasi vena. Karena itu, tindakan pencegahan
diperlukan pada pasien dengan penyakit koroner atau diseksi aorta, dan
penghambat beta harus diberikan secara bersamaan untuk meminimalisir
stimulasi refleks simpatis. Respon hipotensif terhadap hidralazine lebih
sulit untuk diprediksi dibanding dengan efek yang ditampilkan oleh agen
parenteral lainnya dan penggunaannya saat ini utamanya dibatasi pada
8. Enalaprilat
Enalaprilat adalah preparat intravena bentuk aktif inhibitor ACE enalapril.
Respon terhadap enalaprilat bervariasi dan tidak dapat diprediksi, suatu
cerminan akan volume plasma dan aktivitas renin plasma yang bervariasi
pada pasien dengan hipertensi emergensi (Hirschl et al., 1995). Sebagai
contoh, pasien hipovolemik dengan aktivitas plasma renin yang tinggi
mungkin memberikan respon hipotensif yang berlebihan. Inhibitor ACE
dikontraindikasikan pada kondisi kehamilan. Dosis awal yang biasa
digunakan adalah 1.25 mg, sebanyak 5 mg dapat diberikan setiap 6 jam
sesuai kebutuhan (Hirschl et al., 1995). Onset kerjanya dimulai dalam 15
menit setelah pemberian, namun efek puncaknya mungkin tidak terlihat
hingga setelah 4 jam. Durasi kerjanya bervariasi, mulai dari 12 hingga 24
jam (Kaplan et al., 2013).
9. Phentolamine
Phentolamine adalah penghambat alfa adrenergik, kegunaan yang
terbatas untuk terapi hipertensi berat akibat peningkatan aktivitas
katekolamin. Contohnya meliputi feokromositoma dan konsumsi
tiramin pada pasien yang mendapat terapi inhibitor monoamin oksidase.
Phentolamine diberikan dalam bentuk bolus intravena. Dosis biasanya
adalah 5-10 mg setiap 5-15 menit sesuai kebutuhan (Kaplan et al., 2013).
PROGNOSIS
Meskipun telah mendapat terapi antihipertensi yang efektif, sebagian besar
pasien dengan hipertensi maligna tetap mengalami kerusakan vaskular
kronik maupun akut sedang sampai berat, dan secara kontinyu berisiko
untuk mengidap penyakit koroner, serebrovaskuler, dan penyakit ginjal.
Besarnya masalah ini diilustrasikan dalam suatu penelitian retrospektif yang
mengevaluasi luaran renal pada 169 pasien dengan hipertensi maligna (Lip et
al., 1997). Dibandingan dengan nilai saat ditemukan pertama kali meski telah
mendapat terapi antihipertensi yang adekuat, konsentrasi kreatinin serum
meningkat pada 57% pasien pada rerata waktu follow up selama 53 bulan.
KESIMPULAN
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai hipertensi berat yang
dihubungkan dengan kerusakan organ akhir akut. Penurunan tekanan darah
secara cepat namun hati-hati diindikasikan pada kondisi hipertensi emergensi.
Pilihan obat-obatan parenteral meliputi nitroprusside, nitroglycerin,
penghambat kanal kalsium, fenoldopam, labetalol, esmolol, hidralazine,
enalaprilat, dan phentolamine, diberikan sesuai dengan kondisi organ target
hipertensi emergensi. Respon hipotensif yang berlebihan dapat menyebabkan
komplikasi iskemik. Pemberian obat secara sublingual efeknya tidak dapat
diprediksi sehingga dapat menurunkan tekanan darah sangat cepat. Hal ini
justru mengganggu autoregulasi dan dapat memperberat kerusakan organ
target sehingga tidak digunakan untuk penatalaksanaan krisis hipertensi.
Daftar Pustaka
1. Abraham T, Adams F, Fonarow C. 2005. In-hospital mortality in pa- tients with
acute decompensated herat failure requiring intravenous vasoactive medications:
an analysis from the Acute Decompensated Heart Failure National Registry
(ADHERE). J Am Coll Cardiol. 2005;46:57-64.
2. Angelats E, Baur E,. 2010. Hypertension, hypertensive crisis, and hypertensive
emergency: approaches to emergency department care. Emergencias 2010; 22:
209-219
3. Archer L, Huang J, Hampl V, et al. 1994. Nitric oxide and cGMP cause vasorelaxation
by activation of a charybdotoxin-sensitive K channel by cGMP-dependent protein
kinase. Proc Natl Acad Sci U S A. 91:7583.
4. Aronson S, Dyke C, Stierer K, et al. 2008. The ECLIPSE trials: comparative studies
of clevidipine to nitroglycerin, sodium nitroprusside, and nicardipine for acute
hypertension treatment in cardiac surgery patients. Anesth Analg. 107:1110.
5. Belfort A, Anthony J, Saade R, Allen J. 2003. Nimodipine Study Group. A comparison
of magnesium sulfate and nimodipine for the prevention of eclampsia. N Engl J Med.
2003;348:304–311.
Pendahuluan
Perawatan paliatif didefinisikan sebagai suatu upaya dalam meningkatkan
kualitas hidup pasien dan keluarganya yang sedang menghadapi penyakit
yang mengancam nyawa. Upaya ini dilakukan melalui indentifikasi maupun
tatalaksana dini, baik untuk nyeri ataupun hal lain yang dapat meningkatkan
penderitaan pada pasien, baik dari segi fisik, psikologis, sosial, maupun
spiritual. Perawatan paliatif melibatkan suatu tim multidisiplin yang bertujuan
untuk mendukung pasien menjalani kualitas hidupnya seoptimal mungkin
hingga pasien meninggal. Survey WHO melaporkan bahwa mayoritas pasien
yang memerlukan perawatan paliatif adalah pasien-pasien dengan penyakit
kronik seperti penyakit jantung, keganasan, penyakit pernapasan, serta HIV
AIDS.1
Dyspnoe
Dyspneu berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari ‘dys’ yang berarti
sulit dan ‘pneuma’ yang berarti napas sehingga dyspneu diartikan sebagai
kesulitan bernapas. Dyspneu menurut American Thoracic Society (ATS)
diartikan sebagai pengalaman subyektif ketidaknyamanan dalam bernapas
yang terdiri dari berbagai sensasi yang bervariasi dalam intensitas. Dyspneu
dapat timbul secara konstan maupun episodik. Pada beberapa kasus (80%)
dapat terjadi dyspneu insidental (breakthrough dyspnea) pada beberapa
pasien yang dimana dyspneu dapat memberat pada saat bebas gejala dalam
hitungan detik atau jam, secara umum, episode dyspneu insidental ini terjadi
sebanyak 5-6 kali per hari dan berlangsung selama kurang dari 5 menit.7
Etiologi Dyspnoe
Dyspneu dapat ditemukan sebagai suatu komponen dari perjalanan
penyakit atau tahap akhir berbagai etiologi yang dapat menyebabkan
mortalitas. Prevalensi dyspneu berat pada pasien terminal dilaporkan
sebanyak 65% pada gagal jantung, 70% pada kanker paru, dan 90% pada
PPOK, namun juga bisa ditemukan pada pasien demensia, usia lanjut, dan HIV.
Dyspneu seringkali dirasakan sebagai kondisi kronik yang dapat memperberat
proses kematian yang mampu menurunkan kualitas hidup, keadaan psikologis,
dan fungsi sosial pasien. Oleh karena itu, dyspneu merupakan salah satu
target intervensi utama dalam tatalaksana paliatif. Dyspneu meliputi empat
faktor utama yaitu fisik, psikologis, sosial, dan spiritual yang disebut sebagai
dyspneu total, oleh sebab itu diperlukan tatalaksana multidisiplin dalam
pelayanan paliatif. Dyspneu merupakan gejala yang sering dijumpai dan tidak
menyenangkan bagi pasien karena dapat bersifat progresif dan seringkali
membuat dilema dalam pengambilan keputusan. 8,9,10,11,12,13
Penggunaan opioid
Opium didapatkan dari tanaman candu Papaver somniferum dan Papaver
album yang mengandung lebih dari 20 jenis alkaloid. Salah satu alkaloid
adalah morfin dengan konsentrasi sekitar 10%, contoh lainnya seperti ,
kodein, tebain, papaverin. Opioid adalah senyawa alami, semisintetik, atau
sintetik yang bekerja pada reseptor opioid dan menghasilkan efek analgesi
tanpa kehilangan sensasi rabaan, propioseptik ataupun kesadaran. Semua
opioid bekerja dengan berikatan pada reseptor opioid di sistem saraf pusat
Mekanisme kerja opioid dalam dyspneu terfokus pada sistem saraf pusat,
yaitu:1
1. Menurunkan kebutuhan metabolisme dan ventilasi.
2. Menurunkan sensitivitas meduler terhadap hiperkarbia atau hipoksia.
3. Menumpulkan respons meduler terhadap hiperkarbia atau hipoksia.
4. Perubahan neurotransmisi pada pusat pernapasan meduler.
5. Sedasi kortikal (menurunkan kesadaran untuk bernapas).
6. Analgesia - mengurangi nyeri yang merangsang pernapasan.
7. Efek ansiolitik.
8. Menumpulkan transmisi aferen dari mekanoreseptor paru ke sistem
saraf pusat (SSP).
9. Vasodilatasi (meningkatkan fungsi jantung).
Pada akhir abad ke-19, opioid telah digunakan untuk mengatasi sesak
pada pasien asma, pneumotoraks, emfisema, dan PPOK. Penggunaan opioid
terutama morfin selama ini diberikan pada pasien dyspneu refrakter meskipun
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 449
Rudi Putranto, Fachrull
sampai saat ini masih terdapat keraguan dengan pertimbangan efek depresi
pernapasan pada penggunaan opioid. Akan tetapi, studi dari Currow dkk tahun
2011 menunjukan bahwa pemberian opioid secara bijak tidak menimbulkan
depresi pernapasan. Kemudian oleh Cohcrane pada tahun 2002 menunjukkan
bahwa opioid oral dan parenteral terbukti dapat memperbaiki dyspneu pada
pasien terminal. Akan tetapi, penggunaan opioid nebulisasi, seperti Inhalasi
fentanil sitrat, masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.19,20 Secara global
penggunaan opioid dianjurkan pada derajat sedang – berat dan refrakter
(gambar 2).
Kesimpulan
Dyspneu merupakan salah satu masalah yang dialami oleh pasien paliatif,
dan dapat menurunkan kualitas hidup pasien. Dyspneu bisa ditatalaksana
sesuai dengan penyakit penyebabnya dan perlu dibedakan dengan klinis
lainnya. Tatalaksana yang dapat diberikan bisa berupa nonfarmakologis
dan farmakologis. Opioid merupakan salah satu pemilihan yang dapat
diberikan meskipun masih banyak keraguan dalam prakteknya sehari-
hari (dikhawatirkan dapat menyebabkan depresi pernafasan), namun
kekhawatiran tersebut dapat dihindari dengan menggunakan dosis yang
tepat dan perlunya pemantauan yang ketat. Dalam beberapa studi, mampu
membuktikan bahwa opioid dapat mengurangi dyspneu, namun tetap hal ini
perlu dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut.
Daftar Pustaka
1. Putranto R, Ambarwati R. Peran Opioid dalam tatalaksana dispnea pada pasien
paliatif. CHEST. 2016; Aptil-June: Vol 3: 2.
2. Levy MH, Smith T, Alvarez-Perez A, Back A, Baker JN, Block S, et al. Palliative care,
version 2. JNCCN. 2015.
3. Luce JM, Luce JA. Perspectives on care at the close of life. Management of dyspnea
in patients with far-advanced lung disease: “once I lose it, it’s kind of hard to catch
it.” JAMA. 2001; 285(10): 1331-7.
4. Goodridge D, Lawson J, Rocker G, Marciniuk D, Rennie D. Factors associated with
opioid dispensation for patients with COPD and lung cancer in the last year of life:
a retrospective analysis. Int J Chron Obstruct Pulmon Dis. 2010; 5: 99-105.
5. Dewoto HR. analgetik opioid dan antagonis. Dalam: Gunawan SG, Setiabudi R,
Nafrialdi, Editor. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
2007. hal. 210-29
6. Jennings AL, Davies AN, Higgins JP, Gibbs JS, Broadley KE. A systematic review of
the use of opioids in the management of dyspnoea. Thorax. 2002; 57(11): 939-44.
7. Kamal AH, Maguire JM, Wheeler JL, Currow DC, Abernethy AP. Dyspnea review for
the palliative care professional: assessment, burdens, and etiologies. J Palliat Med.
2011; 14 (10): 1167-72.
8. Clemens KE, Klaschik E. Symptomatic therapy of dyspnea with strong opioids and
its effect on ventilation in palliative care patients. J Pain Symptom Manage. 2007;
33(4): 473-81.
9. Abernethy AP, McDonald CF, Frith PA, Clark K, Herndon JE 2nd, Marcello J, et al.
Effect of palliative oxygen versus room air in relief of breathlessness in patients
with refractory dyspnoea: a double-blind, randomised controlled trial. Lancet.
2010; 376 (9743): 784-93.
10. Booth S, Moosavi SH, Higginson IJ. The etiology and management of intractable
breathlessness in patients with advanced cancer: a systematic review of
pharmacological therapy. Nat Clin Pract Oncol. 2008; 5(2): 90-100.
11. Rocker G. Palliation of dyspnea. Chron Respir Dis. 2012; 9(1): 49-50.
12. Gallagher R. Killing the symptom without killing the patient. Can Fam Physician.
2010; 56(6): 544-6.
13. Mahler DA, Selecky PA, Harrod CG, Benditt JO, Carrieri-Kohlman V, Curtis JR, et al.
American College of Chest Physicians consensus statement on the management of
dyspnea in patients with advanced lung or heart disease. Chest. 2010; 137(3): 674-
91.
14. Jensen D, Alsuhail A, Viola R, Dudgeon DJ, Webb KA, O’Donnell DE. Inhaled fentanyl
citrate improves exercise endurance during high-intensity constant work rate
cycle exercise in chronic obstructive pulmonary disease. J Pain Symptom Manage.
2012;43(4):706-19.
15. Kloke M, Cherny N. Treatment of dyspnoea in advanced cancer patients : ESMO
clinical practice guidelines. Annals of Oncology. 2015; 26 : v169-173.
16. Schumacher MA, Basbaum AI, Naide RK. Opioids Agonists & aAntagonists. Dalam:
Katzung BG, Trevor AJ, penyunting. Basic & Clinical Pharmacology.Ed 13. New
York: McGraw Hill; 2015. 30. Li RM. Opioid. Dalam: Whalen K, Finkel R, Panavelli
TA, penyunting. Lippincott Illustrated Reviews: Pharmacology. Edisi ke-6.
Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. hal. 191-204.
17. Yaksh TL, Wallace MS. Opioids, Analgesia, and Pain Management. Dalam:
Brunton LL, Chabner BA, Knollman BC, penyunting. Goodman & Gilman’s The
Pharmacological Basis of Therapeutics.Ed 12. New York: Mc Graw Hill; 2011. 32.
Zebraski SE, Kochenash SM, Raffa RB. Lung opioid receptors: pharmacology and
possible target for nebulized morphine in dyspnea. Life Sci 2000; 66:2221.
18. Currow DC, McDonald C, Oaten S, Kenny B, Allcroft P, Frith P, et al. Once-daily
opioids for chronic dyspnea: a dose increment and pharmacovigilance study.J Pain
Symptom Manage. 2011; 42(3):388-99.
19. Jennings AL, Davies AN, Higgins JP, Gibbs JS, Broadley KE. A systematic review of
the use of opioids in the management of dyspnoea. Thorax. 2002; 57(11): 939-44.
20. Kamal AH, Maguire JM, Wheeler JL, Currow DC,,Abernethy AP. Dyspnea Review for
the Palliative Care Professional: Treatment Goals and Therapeutic Options. Journal
of Palliative Medicine
2012 ;15 :
106-114.
Pendahuluan
Perawatan paliatif masih relatif sering dianggap sebagai metode
perawatan modern, namun saat ini sudah mulai dirasakan sebagai suatu
perawatan yang esensial.1 Kebutuhan perawatan paliatif saat ini semakin
besar dan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah insiden kanker
dan penyakit-penyakit komplikasi yang sulit tertangani seperti HIV/AIDS,
gagal jantung kongestif, penyakit serebrovaskuler, penyakit neurodegeneratif,
penyakit saluran nafas kronik, Multi drug resistant tuberculosis dan penyakit-
penyakit geriatrik, namun menurut sejarah awalnya mencatat bahwa
perawatan paliatif difokuskan untuk pasien-pasien kanker.1,2,3
Kata paliatif berasal dari kata palliative dalam bahasa inggris yang berasal
dari bahasa latin yaitu “ pallium” yang artinya menutupi atau menyembuhkan.
Perawatan paliatif ditujukan untuk menutupi atau menyembunyikan keluhan
pasien dan memberikan kenyamanan ketika tujuan penatalaksanaan tidak
mungkin disembuhkan.4
Perawatan paliatif merupakan perawatan terintegrasi yang digunakan
sebagai pendekatan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan
keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa dengan cara
meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan dukungan
fisik,psikososial dan spiritual yang dimulai sejak ditegakkannya diagnose
hingga akhir kehidupan pasien.5 Tujuan perawatan paliatif adalah melindungi
atau mengatasi keluhan dan memaksimalkan kualitas hidup individu dan
dukungan pada anggota keluarganya.6
Penilaian nyeri berupa onset; lokasi; durasi; sifat; intensitas; hal yang
dapat memperberat dan meringankan nyeri, pengobatan yang sudah dicoba
di masa lalu; gangguan tidur, mood dan aktivitas yang disebabkan nyeri. Jika
pasien tidak dapat menggambarkan riwayat nyerinya, contoh pada pasien
ICU, maka penilaian nyeri dapat dilakukan dengan skala nyeri nonverbal,
anamnesis keluarga, ataupun perubahan tanda-tanda fisiologis tubuh, seperti
peningkatan denyut jantung, tekanan darah ataupun frekuensi napas. Alat
yang dapat digunakan untuk menilai nyeri pasien antara lain: Visual analog
Scale, The Pain Behavior Scale and the Critical-Care Pain Observation (untuk
pasien ICU), FACES Pain Scale, Wong-Baker FACES Pain Rating Scale.9
Patofisiologi Nyeri
Terdapat 3 tipe nyeri, yaitu: 10
1. Nyeri somatik: nyeri yang disebabkan oleh cedera pada kulit, jaringan
lunak, sendi, dan tulang.
2. Nyeri Viseral: Nyeri visceral disebabkan oleh kompresi, obstruksi,
infiltrasi, iskemi, peregangan ataupun peradangan organ viseral.
3. Nyeri Neuropatik: Nyeri neuropatik disebabkan oleh cedera pada saraf
perifer ataupun sistem saraf pusat.
Secara fisiologi mekanisme timbulnya nyeri didasari oleh proses multipel
yaitu nosisepsi, sensitisasi perifer, perubahan fenotip, sensitisasi sentral,
eksitabilitas ektopik, reorganisasi struktural, dan penurunan inhibisi. Antara
stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif nyeri terdapat empat
proses tersendiri: tranduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.4,8
• Transduksi
Transduksi adalah peristiwa perubahan stimulus nyeri menjadi sinyal
nyeri yang terjadi di reseptor nyeri. Stimuli yang datang di reseptor
mengubah permeabilitas membran reseptor terhadap berbagai ion
terutama Na+.
Reseptor mengubah berbagai stimulasi menjadi impuls listrik yang
mampu menimbulkan potensial aksi di akson untuk dijalarkan ke medula
spinalis4.
• Transmisi
Lintasan Perifer
Transmisi merupakan proses penghantaran sinyal nyeri dari reseptor
sistem saraf tepi menuju medula spinalis kemudian melalui jalur tertentu
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 455
Wika Hanida Lubis
akhirnya sampai ke otak. Pada saraf tepi sinyal nyeri dihantarkan oleh
serabut saraf C, A-delta, dan pada keadaan tertentu serabut A-beta dapat
ikut terlibat. Serabut C peka terhadap rangsang mekanikal, thermal, dan
kimiawi, yang nantinya akan menyebabkan rasa nyeri yang dirasakan
tumpul, berdenyut, sakit, terbakar, atau kesemutan.
Serabut A-delta, yang mempunyai lapisan, myelin menghantarkan nyeri
lebih cepat dari serabut C. Serabut A-delta lebih sensitif terhadap rangsang
mekanikal dengan intensitas tinggi, dan dapat juga menghantarkan
rangsang panas, dingin, atau rangsang lainnya. Sensasi yang dihantarkan
dirasakan seperti menikam, menusuk, dan tajam. Onset yang dihantarkan
lebih cepat, durasinya lebih pendek, lokasi yang dirasakan jelas, dan
tidak berhubungan dengan respon emosi. Sensasi nyeri yang dijalarkan
serabut A-delta biasanya tidak dapat dihambat dengan obat golongan
opiat.
Lintasan pusat
Serabut saraf A-delta maupun C bersinaps secara langsung maupun
melalui interneuron di lapisan superfisial kornu posterior medula
spinalis (substansia gelatinosa). Beberapa serabut A-delta bersinaps pada
lapisan yang lebih dalam, dimana serabut A-beta berakhir. Interneuron
dalam kornu posterior dikenal sebagai Transmission cells atau sel T. Sel
T membuat sambungan lokal di medula spinalis, baik dengan neuron
eferen sebagai bagian dari refleks apinal, maupun dengan neuron aferen
yang berlanjut ke level yang lebih tinggi.
Impuls nosiseptif yang masuk ke kornu dorsalis kemudian dilanjutkan
ke otak oleh neuron proyeksi. Terdapat beberapa jalur utama informasi
nosiseptif menuju otak traktus spinotalamikus, traktus spinoretikular,
traktus spinomesenfalik, traktus spinoservikalis. 4
• Modulasi dan Kontrol Nyeri
Beberapa mekanisme yang menerangkan mengenai modulasi dan
kontrol nyeri diantaranya adalah teori gate control, opiad endogen,
inhibisi segmental di kornu posterior, dan mekanisme kontrol sentral
psikologikal.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa jalur
umum antara rasa nyeri dan depresi dapat dikaitkan dengan dua
neurotransmiter serotonin (5-HT) dan norepinefrin (NE). Transmisi nyeri
terjadi melalui jalur ascending (excitatory) dan descending (inhibitory)
melibatkan NE dan 5-HT. Neuron serotoninergik berasal dari batang
otak dan diproyeksikan pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), termasuk
proyeksi desending ke sumsum tulang belakang yang mengakibatkan
supresi input sensorik, juga diproyeksikan ke daerah otak termasuk
korteks frontal (mediasi mood), hipotalamus (mediasi nafsu makan dan
tidur), dan amigdala (memediasi rasa cemas dan respon rasa takut).
Stres kronis dapat mengakibatkan deplesi serotonin pusat. Penurunan
pelepasan serotonin presinaptik dan peningkatan kompensasi up-
regulation 5-HT yaitu serotonin neuron postsinaptik telah ditemukan
pada pasien dengan depresi. Penelitian terbatas juga menunjukkan
bahwa nyeri dapat meningkatkan turnover serotonin.3,8,9
• Persepsi
Nyeri merupakan suatu pengalaman yang kompleks, melibatkan
sensori dan afektif. Korteks area somatosensori primer dan sekunder
berkaitan dengan aspek sensori dan diskriminasi nosisepsi, sedangkan
area limbik berkaitan dengan afektif motivasi. Area kortek cingulate
anterior memainkan peran dalam emosi dan aversive (penolakan) dalam
respon terhadap nyeri. Pengaruh korteks inilah yang menjelaskan peran
modulasi bahwa memori dan pembelajaran sangat berpengaruh dalam
persepsi nyeri.
Patofisiologi Nyeri dapat dilihat pada gambar berikut:
• Tahap 1
Tahap 1 digunakan untuk penatalaksanaan nyeri skala ringan (score 1-3) .
Tahap ini menggunakan obat-obatan golongan acetaminophen (Tylenol),
Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs), dan aspirin, serta dapat
dikombinasikan dengan analgesic adjuvant. Tahap ini diharapkan dapat
menurunkan skala nyeri dan meminimalkan teapi nyeri yang lebih
agresif. Tabel 1. Menunjukkan NSAID yang umum digunakan pada nyeri
skala ringan.15
• Tahap 2
Tahap 2 digunakan untuk penalaksanaan nyeri skala sedang (score 4-6).
Tahap 2 menggunakan obat-obatan pada tahap 1 yang dikombinasikan
dengan opioid kerja pendek (short-acting opioid) dosis rendah atau
golongan nonopioid dengan memperhatikan kemungkinan hipersensitif
terhadap opioid, dan penggunaan opioid pertama kali, kelaian fungsi
ginjal dan hati sehingga perlu pemeriksaan fungsi ginjal dan hati sebelum
penggunaan obat-obat ini.10
• Tahap 3
Tahap 3 digunakan untuk penatalaksanaan nyeri skala berat (VAS 7-10).
Tahap 3 ini menggunakan obat-obatan eskalasi anti nyeri dan opioid kerja
panjang (longer-acting opioid) ditambah dengan golongan nonopiod.
• Tahap 4
Tahap ini digunakan untuk penatalaksanaan nyeri berat yang tidak
terkontrol atau biasa disebut dengan krisis nyeri, yang biasanya dialami
oleh pasien-pasien dengan fase akhir kehidupan. Tahap ini merupakan
tindakan intervensional, blocks (somatic, sympathetic), spinal medication,
spinal cords stimulation, bahkan surgical.
Penutup
Perawatan paliatif masih relatif sering dianggap sebagai metode
perawatan modern, namun saat ini sudah mulai dirasakan sebagai suatu
perawatan yang esensial. Keluhan nyeri merupakan keluhan yang sering
dirasakan oleh pasien paliatif. Dewasa ini telah banyak dikembangkan
penatalaksanaan nyeri berdasarkan kebutuhan perawatan paliatif.
Daftar Pustaka
1. Worldwide palliative care Alliance. Global Atlas of palliative care at the end of life.
WHO. 2014.
2. Kelley A.S and Morrison R.S. Palliative care for the seriously Ill. New England
Journal of Medicine. 2015;373: 747-755.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Nasional Program Paliatif
kanker. 2015.
4. Greater Manchester Strategic Clinical Network. Pain and Symptom Control
Guideline. 2015.
5. Worldwide Hospice Palliative Care Alliance. Palliative care and the global goal for
health. WHO.2016
6. Harazneh L, Ayed A and Fashafsheh I. Knowledge of palliative care among bachelor
nursing student. Journal of Health, Medicine and Njursing.2015;18:25-32.
7. Macleod R, McAllum and Swire T. Pain Management in Palliative Care. Hammond
Care.2014.
Penyakit arteri perifer (PAP) adalah semua penyakit yang terjadi pada
pembuluh darah diluar sistim koroner, dan dimulai aorta asenden sapai ke
arteri perifer di keempat ekstremitas, organ viseral, arteri karotis dan serebral
dapat menjadi lokasi terjadinya PAP. Namun dalam praktek sehari-hari secara
klinis PAP merujuk pada gangguan arteri yang memperdarahi ekstremitas
yang sering melibatkan arteri femoralis dan popliteal pada ekstremitas bawah,
sementara pada ekstremitas atas paling sering terjadi pada brakiosefalik atau
subklavia.
Gambar 1. Gambaran PAD yang terjadi pada ekstremitas bawah di mana terjadi
stenosis atau oklusi pada pembuluh arteri perifer akibat ateroskerosis
PATOFISIOLOGI
PAP merupakan proses sistemik yang disebabkan oleh karena adanya
aterosklerosis, penyakit degeneratif, kelainan displasia, inflamasi vaskular
(arteritis), trombosis in situ, dan tromboemboli. Dari sekian proses
patofisiologi yang mungkin terjadi, penyebab utama PAP yang paling banyak
adalah aterosklerosis
Gambar 2. Evolusi perubahan dinding arteri dan pembentukan plak pada hipotesis
response-to-injury: 1. disfungsi endotel; 2. hipertrofi sel otot polos vaskular; 3.
migrasi dan proliferasi sel-sel otot polos vascular; 4. elaborasi matriks; 5. adhesi
molekul-molekul dan migrasi monosit; 6. pengambilan low-density lipoprotein (LDL)
and pembentukan sel-sel busa (foam cells); 7. pembentukan trombus; 8. angiogenesis
dan neovaskularisasi.
Presentasi klinis klasik ALI ini biasa disebut dengan 6 P yaitu: Pain,
Pallor, Pulselessness, Paresthesia, Paralysis, dan Poikilotermia.
DIAGNOSIS PAP
Diagnosis klinis PAP tergantung pada anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan pembuluh darah secara noninvasif dan invasif. Penilaian
PAP perlu dimulai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk dapat
mengidentifikasi faktor risiko, adanya klaudikasio intermiten, nyeri saat
istirahat, dan atau adanya suatu gangguan fungsi
1. Anamnesis
Pemeriksaan riwayat yang seksama pada umumnya dapat
membedakan IC dari penyebab non-vaskular yang dapat menyerupai
IC. Hal lain yang juga perlu untuk diperhatikan adalah tanda dan
gejala aterosklerosis di pembuluh darah yang lain seperti koroner,
serebrovaskular dan renal. Gejala klaudikasio intermiten, luka yang
lambat sembuh merupakan dan ischemic rest pain. Gejala terakhir adalah
tanda CLI yang mengkhawatirkan dan sering muncul di malam hari
saat suplai darah ke kaki dipengaruhi oleh gravitasi dan meningkatnya
kebutuhan metabolisme yang disebabkan oleh suhu yang hangat. Hal ini
hampir selalu dialami di bagian paling distal dari tungkai seperti sensasi
mati rasa (kebas) atau sensasi terbakar. Penderita sering tidur dengan
tungkai yang sakit menggantung di sisi tempat tidur, atau di kursi dengan
tujuan untuk memperbaiki suplai darah
TATALAKSANA PAP
Penatalaksanaan PAP sama dengan penanganan kelainan vaskuler
pada umumnya seperti pada sindroma koroner, yang meliputi terapi non-
farmakologi, farmakologi dan terapi invasive.
TERAPI SUPPORTIF
Terapi suportif seperti perawatan kaki dengan menjaga tetap bersih dan
lembab dengan memberikan krim pelembab, memakai sandal dan sepatu
yang ukurannya pas dari bahan sintetis yang berventilasi, hindari penggunaan
bebat plastik karena mengurangi aliran darah ke kulit.
TERAPI FARMAKOLOGI
1. Antiplatelet. Terapi antiplatelet dengan aspirin (75-325 mg per hari) atau
clopidogrel (75 mg per hari) direkomendasikan pada pasien PAD yang
simptomatik. Pada pasien PAD (ABI ≤0,90) yang tidak memiliki gejala,
antiplatelet masih dapat diberikan untuk menurunkan risiko MI, stroke
kematian akibat vaskular.
2. Antikoagulan. Manfaat penggunaan antikoagulan untuk mempertahankan
patensi setelah bypass, dan tidak direkomendasikan untuk menurunkan
risiko kejadian MI pada pasien dengan PAD.
3.
Cilostazol. Cilostazol merupakan terapi yang efektif untuk memperbaiki
gejala dan meningkatkan jarak dalam berjalan pada pasien dengan
claudication
REVASKULARISASI
Revaskularisasi dapat dilakukan sebagi pilihan tata laksana bagi pasien
dengan claudication yang tidak memiliki respons adekuat terhadap GDMT
(guideline-directed management and therapy). Prosedur endovaskular
merupakan pilihan revaskularisasi yang efektif terhadap pasien dengan
klaudikasio dan secara hemodinamik mengalami penyakit oklusi aortoiliaca
yang signifikan. Prosedur endovaskular juga dapat menjadi pilihan
revaskularisasi terhadap pasien dengan klaudikasio dan secara hemodinamik
mengalami penyakit femoropopliteal yang signifikan. Revaskularisasi juga
dapat dilakukan dengan bypass
Daftar Pustaka
1. Abdulhannan P, Russell DA, Homer-Vanniasinkam S. Peripheral arterial disease: a
literature review. British Medical Bulletin. 2012; 104:21-39.
2. Kullo IJ, Rooke TW. Peripheral artery disease. N Engl J Med. 2016; 374:861-71.
3. American Heart Association. Management of patients with perhiperal artery
disease. Dallas; 2011
4. Goodney PP. Patient clinical evaluation. Ed JL, Cronenwett KW, Johnston. 8th ed.
Philadelphia: Elsevier Saunders; 2014.p.202-13.
5. 2017 ESC Guidelines on the Diagnosis and Treatment of Peripheral Arterial
Diseases, in collaboration with the European Society for Vascular Surgery (ESVS).
European Heart Journal (2017) 00, 1–60
PENDAHULUAN
Penyakit arteri perifer merupakan salah satu dari manifestasi dari
aterosklerosis. PAD terjadi pada 12% populasi dewasa dan meningkat hingga
20% pada lansia. Manifestasi yang paling berat dari PAD adalah Critical limb
Ischemia (CLI), CLI terjadi akibat adanya restriksi aliran darah arteri sehingga
perfusi ke kapiler tidak adekuat. Seperi yang dijabarkan beberapa studi,
beberapa pasien PAD dengan gejala dapat berkembang menjadi CLI, namun
berdasarkan data yang didapatkan dari studi lain, didapatkan bahwa pasien
PAD asimtomatik juga berpotensi menjadi CLI.1-4 Pertumbuhan kapiler yang
dikenal sebagai arteriogenesis merupakan suatu mekanisme kompensasi
dalam mengurangi efek dari berkurangnya aliran darah, namun pada pasien
CLI, mekanisme ini tidak efektif. Perfusi yang tidak adekuat pada kulit dan
jaringan sekitar, menyebabkan terjadinya disfungsi endotel, inflamasi
kronik, dan kerusakan otot.5-8 Efek dari reaksi tersebut adalah terjadinya
nyeri saat istirahat, luka yang tidak sembuh, dan gangrene. Sekitar 20-25%
pasien dengan CLI diamputasi, 50-60% menjalani rekonstruksi vascular
(pembedahan/endovascular), dan 25% diterapi secara medis. Pasien PAD
dengan maupun tanpa gejala memiliki risiko morbiditas dan mortalitas akibat
kejadian kardiovaskular seperti infark miokard dan stroke yang lebih tinggi
dari orang normal. Ankle-brachial index (ABI) ≤0.90 diasosiasikan dengan
lebih dari dua kali lipat terjadinya kejadian koroner akut. dalam 10 tahun.
Sedangkan dalam 5 tahun, 20% dari pasien dengan klaudikasio intermiten
menunjukan angka mortalitas kardiovaskular sebesar 10-15%.
DIAGNOSIS PAD
PAD disebabkan oleh atheroma (deposit lemak) pada dinding arteri
yang memicu terjadinya insufisiensi aliran darah ke otot dan jaringan. Pasien
dengan PAD tidak selalu disertai dengan gejala tetapi juga dapat asimtomatis.
Pada pelayanan primer, 30-60% pasien PAD melaporkan tidak adanya gejala
pada kaki dan 45-50% melaporkan gejala yang hilang timbul yaitu klaudikasio
intermiten yang ditandai dengan nyeri pada kaki dan lemah saat berjalan dan
akan mereda saat istirahat. Gejala ini merupakan gejala yang paling sering
Pendekatan Diagnosis
Anamnesis
- Gaya hidup
- Pola makan
- Penilaian kemampuan berjalan dan aktivitas fisik
- kuesioner tentang penilaian status fungsional juga dapat dilakukan untuk
menilai luaran klinis
Pemeriksaan Klinis
- Pemeriksaan denyut nadi perifer (femoral/popliteal/foot)
- Palpasi abdomen untuk mengetahui aneurisma
Denyut nadi kaki yang baik tidak menyingkirkan PAD dan pasien dengan
riwayat klaudikasio memerlukan penelusuran lebih jauh. Pertanyaan spesifik
pada pasien dengan klaudikasio dapat digunakan untuk menentukan status
kesehatannya. (King’s College questionnaire).9
Iskemi kronik
Tabel 2. Klasifikasi
Fontaine Classification Rutherford Classification
Stage Clinical Description Grade Category Clinical Description
I Asymptomatic 0 0 Asymptomatic
IIa Mild claudication I 1 Mild claudication
IIb Moderate-to-severe I 2 Moderate claudication
claudication I 3 Severe claudication
III Rest pain II 4 Rest pain
IV Ulceration or gangrene III 5 Minor tissue loss ulceration or gang
IV 6
saraf. Kulit seperti berlilin, kulit menjadi putih merupakan tanda dari spasme
dan dapat dilihat ada arteriola yang mengalir ke kulit. Sianosis pada kulit yang
tidak berubah warna jika ditekan menandakan trombosis kapiler pada daerah
subkutis dan terjadi nekrosis kulit.
PEMERIKSAAN NON-INVASIF
Selain anamnesis dan pemeriksaan fisik, untuk mendiagnosis PAD
diperlukan pemeriksaan objektif. Pemeriksaan ultrasonografi doppler
dengan menghitung ankle brachial index (ABI) sangat berguna untuk
mengetahui adanya penyakit arteri perifer pada ekstremitas. Seringkali PAP
tidak disertai keluhan klasik klaudikasio. Hal tersebut bisa terjadi karena
penyempitan terbentuk perlahan-lahan dan sudah terbentuk kolateral dan
untuk mengetahuinya diperlukan pemeriksaan sistem vaskular perifer,
pengukuran tekanan darah segmental (pada setiap ekstremitas), diperiksa
ultrasonografi doppler vaskular dan diperiksa ABI pada setiap pasien yang
berisiko PAP. Selain itu juga dapat diperiksa rekaman volume nadi secara
digital, oksimetri transkutan, stress test dengan menggunakan treadmill, dan
tes hiperemia reaktif. Jika pada pemeriksaan tersebut ditemukan tanda PAD,
aliran atau volume darah akan berkurang ke kaki, sehingga gambaran velocity
doppler menjadi mendatar, dari duplex ultrasonografi dapat ditemukan lesi
penyempitan pada arteri atau graft bypass. Pemeriksaan non-invasif lain yang
bisa dilakukan pada penyakit arteri perifer adalah
Toe Pressure
Terdapat sedikit kalsifikasi pada toe arteries dan toe/brachial index yang
dapat dinilai pada pasien dengan sklerosis medial. Teknik ini tidak sesuai
untuk penanganan primer.13 Hal ini sangat membantu pasien dengan ABI
yang meningkat abnormal, seperti pada diabetes pada penanganan sekunder.
Treadmill Testing
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan pada penanganan primer karena
memerlukan alat resusitasi. Pemeriksaan ini berguna pada pasien yang
memiliki hasil ABI dan klinis yang tidak sesuai, yaitu dengan mengetahui
jarak maksimum saat berjalan.
Near-Infrared Spectroscopy
Terbukti dapat mendeteksi PAD selama exercise, dan tidak terbukti dapat
mendeteksi PAD pada saat istirahat. Tidak dianjurkan pada penanganan
primer.
Bila CAVI kurang dari 8,0 dapat dikatakan normal, bila kurang dari 9 tetapi
lebih atau sama dengan 8 maka tergolong kategori borderline, sedangkan bila
CAVI lebih atau sama dengan 9 dapat dikatakan aterosklerosis. Hubungan
antara CAVI dengan faktor risiko aterosklerosis termasuk dislipidemi telah
diteliti pada beberapa studi. Salah satu studi menyimpulkan bahwa CAVI score
secara signifikan berhubungan dengan LDL pada pasien angina. CAVI score
juga ditemukan secara signifikan meningkat dengan hiperkolesterolemia dan
hipertrigliseridemia pada pria (usia 30-69 tahun) dan wanita (usia 40-75
tahun) dalam perbandingan terhadap individu yang tidak mempunyai faktor
risiko
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan laboratorium mengevaluasi kondisi hidrasi, kadar
oksigen darah, fungsi ginjal, fungsi jantung dan kerusakan otot. Dilakukan
pemeriksaan foto toraks untuk melihat kardiomegali, hematokrit untuk
melihat polisitemia, analisa urine untuk melihat protein dan pigmen untuk
melihat mioglobin di urin. Creatinine phosphokinase untuk menilai nekrosis
otot. Elektrokardiografi untuk menilai aritmia atau kemungkinan infark lama.
Ekokardiografi 2 dimensi untuk menilai ukuran ruang jantung, fraksi ejeksi,
kelainan katup, evaluasi gerak dinding ventrikel, mencari trombus atau tumor,
defek septum atrial. Ultrasonografi abdomen untuk mencari aneurisma aorta
abdominal. Arteriografi dapat mengetahui dengan jelas tempat sumbatan dan
penyempitan.
PENATALAKSANAAN PAD
Macam-macam terapi terdiri dari terapi suportif, farmakologis,
intervensi non operasi, dan operasi. Terapi suportif meliputi perawatan
kaki dengan menjaga tetap bersih dan lembab dengan memberikan krim
pelembab. Lesi kulit atau ulkus harus segera diobati pada semua pasien
diabetes dengan penyakit arteri perifer (class of recommendation I; level of
evidence B). Hindari penggunaan bebat elastik karena mengurangi aliran
darah ke kulit. Pengobatan terhadap semua faktor yang dapat menyebabkan
aterosklerosis harus diberikan. Guideline yang dikeluarkan European Society
of Cardiology tahun 2017 juga merekomendasikan seluruh pasien penderita
PAD untuk berhenti merokok, merubah gaya hidup berupa pola makan sehat
serta aktifitas fisik yang adekuat, serta mengontrol hipertensi.
1. Terapi farmakologi
Seperti terlihat pada algoritme di atas terdapat 2 aspek yang perlu
diperhatikan dalam manajemen PAD, yaitu terapi terkait risiko kejadian
kardiovaskular serta terapi untuk gejala lokal. Terapi farmakologis
dengan tujuan menurunkan risiko kardiovaskular yang dapat diberikan:
- Statin
Terapi dengan statin direkomendasikan untuk mencapai target LDL
<70 mg/dL atau penurunan sebanyak ≥50% bila tinggi LDL semula
adalah 70-135 mg/dL.35
- Obat-obatan anti hipertensi
Target tekanan darah yang direkomendasikan adalah 140/90 mmHG
untuk penderita PAD tanpa DM, dan tekanan diastolik ≤85 mmHg
untuk pasien dengan DM. Diuretik, beta-blocker, kalsium antagonis,
2. Exercise Therapy
Pada pasien klaudikasio intermiten dianjurkan untuk melakukan
exercise therapy. Dua meta analisis 29,30 dan lima trial kontrol yang
diambil secara acak melaporkan bahwa exercise therapy terbukti
cukup berperan.31-34 Terjadi peningkatan dari toleransi exercise sekitar
60%-337% setelah periode 3-6 bulan melakukan exercise. Exercise
direkomendasikan sebagai tata laksana awal pada pasien dengan
klaudikasio intermiten yang harus diawasi dan minimal dilakukan
selama 30-45 menit per sesi, 3 kali seminggu selama minimal 21 minggu
(class of recommendation I, Level of Evidence: A).26
3. Intervensi Vaskular
Intervensi vaskular pada klaudikasio yang stabil jarang dilakukan.
Terdapat beberapa kondisi klinis yang perlu dipertimbangkan untuk
dilakukan intervensi.
METODE ENDOVASKULAR
Metode endovascular telah banyak dikembangkan mengingat lebih
rendahnya mortalitas dan morbiditas pada penggunaan metode endovascular
bila dibandingkan dengan bedah vascular. Banyak institusi pengobatan
yang menempatkan terapi endovascular sebagai pilihan pertama terapi
revaskularisasi kasus penyakit penyakit arteri perifer. Pemilihan terapi
revaskularisasi didasarkan pada penelaahan masing-masing kasus dalam hal
kecocokan anatomi, komorbiditas, sarana fasilitas kesehatan dan preferensi
pasien. Kelemahan metode endovascular ini adalah ketahanan jangka
panjangnya bila dibandingkan dengan metode bedah vaskular. Patensi setelah
terapi endovascular terbaik adalah pada lesi-lesi arteri iliaka komunis dan
tingkat patensi semakin menurun pada arteri yang semakin distal. Tingkat
patensi juga berbanding terbalik dengan panjang lesi, lesi multipel dan difus,
kualitas arteri run-off yang buruk dan penyakit komorbid yang ada terutama
diabetes mellitus dan gagal ginjal.
Gambar 3. Gambar 4.
PAP pada tungkai bawah PAP pada tungkai bawah post PTA
Arteri Vertebralis
Revaskularisasi pada stenosis arteri vertebralis tidak direkomendasikan
(Class of recommendation III; level of evidence C).
Arteri Mesenterika
Diagnostik
o iskemi mesenterika akut: CT-angiografi urgent direkomendasikan (class
of recommendation I; level of evidence C).
o iskemi mesenterika kronik: pemeriksaan ultrasonografi duplex
direkomendasikan sebagai pemeriksaan lini pertama (class of
recommendation I; level of evidence C).
o Arteriografi : pasien suspek iskemi mesenterika non-oklusif yang
kondisinya tidak membaik dengan cepat setelah diterapi sesuai
penyebabnya (class of recommendation I; Level of Evidence: B)
Indikasi revaskularisasi
o Iskemi mesenterika kronik multivessel yang memiliki gejala (class of
recommendation I; level of evidence C).
o Iskemi akut akibat obstruksi arteri : intervensi perkutan (transcatheter
lytic therapy, balloon angioplasty, dan stenting) dapat dilakukan pada
beberapa pasien meskipun masih tetap membutuhkan laparotomi. (class
of recommendation II, level of evidence C)
o Pasien iskemi mesenterika kronik multivessel yang memiliki gejala, tidak
dianjurkan untuk menunda revaskularisasi untuk memperbaiki status
nutrisi (class of recommendation III; level of evidence C)
Indikasi pembedahan
o Iskemi mesenterika akut (laparotomi, revaskularisasi dengan
embolektomi, reseksi pars nekrotik, penilaian viabilitas setelah
revaskularisasi 24-48 jam) (class of recommendation I, level of evidence
B)
o Iskemi mesenterika kronik (endarterektomi atau bypass (class of
recommendation I, level of evidence B)
Arteri Renalis
Diagnostik
• Ultrasonografi duplex (lini pertama), CT-angiografi (eGFR>60mL/menit)
dan MR-angiografi (eGFR >30mL/menit) direkomendasikan sebagai
modalitas pencitraan untuk penegakan diagnosis penyakit arteri renalis
(class of recommendation I; level of evidence B).
Target terapi
• menormalkan tekanan darah
• mempertahankan fungsi ginjal
• menurunkan risiko kejadian kardiovaskular dan angka kematian
Terapi
• Farmakoterapi
o ACEIs/ARBs direkomendasikan untuk terapi hipertensi yang
berhubungan dengan stenosis arteri renalis unilateral (Class of
recommendation I; level of evidence B).
o Calcium channel blocker, beta-blocker, dan diuretik
direkomendasikan pada untuk terapi hipertensi yang berkaitan
dengan penyakit arteri renalis (Class of recommendation I; level of
evidence C).
• Revaskularisasi endovaskular
Indikasi revaskularisasi:
- Stenosis asimtomatik
- revaskulariasi perkutan dapat dipertimbangkan untuk terapi pada
pasien tanpa gejala yang mengalami stenosis bilateral atau ginjal
yang viabilitasnya baik dengan stenosis arteri renalis yang signifikan
secara hemodinamik (class of recommendation IIb; level of evidence
C).
- Stenosis arteri renalis yang signifikan secara hemodinamik dan
berulang, gagal jantung kongestif yang tidak dapat dijelaskan, atau
edem pulmo (class of recommendation I; level of evidence B)
- Intervensi dengan kateter
- Pemasangan stent renal diindikasikan untuk lesi aterosklerotik
ostial pada stenosis arteri renalis yang memenuhi kriteria klinis
untuk intervensi (class of recommendation I, level of evidence B).
• Surgical
Indikasi rekonstruksi pembedahan vaskular
- Pasien dengan stenosis arteri renalis dengan displasia fibromusukular
yang memiliki indikasi klinis untuk dilakukan intervensi (same as
for PTA), khsususnya pada daerah yang kompleks seperti arteri
segmental dan arteri yang mengalami makroaneurisma. (class of
recommendation I, Level of Evidence: B)
- stenosis arteri renalis akibat aterosklerosis
Aneurisma Aorta
Tata laksana aneurisma aorta secara umum dibagi menjadi 2 yaitu:
• Secara konservatif (kontrol faktor risiko):
- Mengontrol tekanan darah (target tekanan darah <140/90 mmHg)
- Berhenti merokok
- Optimalisasi profil lemak (LDL<100 mg/dl)
• Tindakan invasif: Tindakan invasif dilakukan dengan mempertimbangkan
kondisi kelayakan pasien secara klinis dan kesesuaiannya secara anatomis
dengan melakukan perencanaan sebelum tindakan serta evaluasi klinis
preoperatif.
- Open surgical
- Endovascular Aortic Repair (EVAR)
- Hybrid surgical dan EVAR
Daftar Pustaka
1. Dormandy J, Heeck L, Vig S. The natural history of claudication: risk to life and limb.
Semin Vasc Surg. 1999 Jun;12(2):123-37.
2. Muluk SC, Muluk VS, Kelley ME, Whittle JC, Tierney JA, Webster MW, et al. Outcome
events in patients with claudication: a 15-year study in 2777 patients. J Vasc Surg.
2001 Feb;33(2):251-7; discussion 257-8.
3. Dormandy JA, Charbonnel B, Eckland DJ, Erdmann E, Massi-Benedetti M, Moules IK,
et al. Secondary prevention of macrovascular events in patients with type 2 diabetes
in the PROactive Study (PROspective pioglitAzone Clinical Trial In macroVascular
Events): a randomised controlled trial. Lancet. 2005 Oct 08;366(9493):1279-89.
4. Nehler M, Peyton B. Is revascularization and limb salvage always the treatment for
critical limb ischemia? J Cardiovasc Surg (Torino). 2004;45(3):177-84.
5. Varu V, Hogg M, Kibbe M. Critical limb ischemia; J Vasc Surg. 2010;51:230-41.
6. Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA, Nehler MR, Harris KA, Fowkes FG, et al on
behalf of the TASC II Working Group. Inter-Society Consensus for the Management
of Peripheral Arterial Disease (TASC II). Eur J Vasc Endovasc Surg. 2007;33 Suppl
1:S1-75.
7. Pipinos I, Judge A, Selsby J, Zhu Z, Swanson S, Nella A, et al. The myopathy of
peripheral arterial occlusive disease: Part 1. Functional and histomorphological
changes and evidence for mitochondrial dysfunction. Vasc Endovascular Surg.
2008;41(6):481-9.
8. Pipinos I, Judge A, Selsby J, Zhu Z, Swanson S, Nella A, et al. The myopathy of
peripheral arterial occlusive disease: Part 2.Oxidative stress, neuropathy, and shift
in muscle fiber type. Vasc Endovascular Surg. 2008;42(2):101-12.
9. Morgan MB, Crayford T, Murrin B, Fraser SC. Developing the Vascular Quality of
Life Questionnaire: a new disease-specific quality of life measure for use in lower
limb ischemia. J Vasc Surg. 2001;33(4):679-87.
10. Aboyans V, Lacroix P, Preux PM, Vergnenegre A, Ferrieres J, Laskar M. Variability
of ankle-arm index in general population according to its mode of calculation. Int
Angiol 2002;21(3):237-43.
11. Jeelani NU, Braithwaite BD, Tomlin C, MacSweeney ST. Variation of method for
measurement of brachial artery pressure significantly affects ankle-brachial
pressure index values. Eur J Vasc Endovasc Surg. 2000;20(1):25-8.
12. Z heng ZJ, Sharrett AR, Chambless LE , Rosamond WD, Nieto FJ, Sheps DS, et al.
Associations of ankle-brachial index with clinical coronary heart disease, stroke
and preclinical carotid and popliteal atherosclerosis: the Atherosclerosis Risk in
Communities (ARIC) Study. Atherosclerosis. 1997;131(1):115-25.
13. M ackaay AJ, Beks PJ, Dur AH, Bischoff M, Scholma J, Heine RJ, et al. Is toe pressure a
better parameter of peripheral vascular integrity than ankle pressure? Comparison
of diabetic with nondiabetic subjects in Dutch epidemiological study. J Vasc
Technol. 1995;19(1):5-9.
14. Cecelja M, Chowienczyk P. Dissociation of aortic pulse wave velocity with risk
factors for cardiovascular disease other than hypertension: a systematic review.
Hypertension. 2009;54(6):1328–1336.
15. van Popele NM, Grobbee DE, Bots ML, et al. Association between arterial stiffness
and atherosclerosis: the Rotterdam Study. Stroke. 2001; 32(2):454–460.
16. Yasmin, McEniery CM, O’Shaughnessy KM, et al. Variation in the human matrix
metalloproteinase-9 gene is associated with arterial stiffness in healthy individuals.
Arterioscler Thromb Vasc Biol. 2006; 26(8):1799–1805.
17. O’Rourke MF, Hashimoto J. Mechanical factors in arterial aging: a clinical
perspective. J Am Coll Cardiol. 2007;50(1):1–13.
Pendahuluan
Atrial fibrilasi (AF) merupakan salah satu aritmia yang angka kejadiannya
terus meningkat dan dikaitkan dengan peningkatan risiko terjadinya strok dan
mortalitas.1, 2 Risiko terjadinya strok meningkat 5 x lebih besar,3 tanpa melihat
pola waktu terjadinya AF apakah paroksismal, persisten atau permanen.4-7
Dabigatran
Dalam studi RE-LY, pemberian dabigatran 150 mg dua kali sehari dikaitkan
dengan tingkat PSCM yang lebih tinggi dibandingkan dengan warfarin [risiko
relatif (RR) 1,50], namun risiko PSCM dengan dabigatran 110 mg dua kali
sehari sebanding dengan warfarin (RR 1,10).11 Peningkatan risiko relatif
PSCM pada dabigatran hanya terlihat pada pasien yang berusia ≥75 tahun15
dan berhubungan dengan perdarahan saluran cerna bawah.15
Rivaroxaban
Pada studi ROCKET AF, pasien yang menerima rivaroxaban 20 mg satu
kali sehari menunjukkan adanya peningkatan risiko PSCM secara bermakna
dibandingkan warfarin (3.2 vs. 2.2%; P <0,001),13 tetapi keduanya sama-
sama memiliki insidensi perdarahan gastrointestinal yang mengancam jiwa
dan fatal.25 Pada ROCKET AF, risiko PSCM lebih besar pada penggunaan
rivaroxaban dibandingkan dengan warfarin pada pasien berusia ≥75 tahun.26
Interaksi antara usia dan risiko PSCM dikonfirmasi dalam penelitian kohort
Apixaban
Uji coba ARISTOTLE menunjukkan tingkat PSCM yang sebanding antara
apixaban 5 mg dua kali sehari dan warfarin (HR 0,89).12
Edoxaban
Studi ENGAGE AF menunjukkan peningkatan risiko dengan edoxaban
dosis tinggi (60 mg setiap hari) vs warfarin (HR 1,23), dengan HR yang
sebanding untuk perdarahan saluran cerna atas dan bawah. Di sisi lain,
edoxaban dengan dosis rendah (30 mg setiap hari) dikaitkan dengan
penurunan risiko PSCM (HR 0,67).14
Daftar Pustaka
1. Go AS, Hylek EM, Phillips KA, Chang Y, Henault LE, Selby JV, et al. Prevalence of
diagnosed atrial fibrillation in adults: national implications for rhythm management
and stroke prevention: the AnTicoagulation and Risk Factors in Atrial Fibrillation
(ATRIA) Study. JAMA. 2001;285(18):2370-5.
27. Piccini JP, Garg J, Patel MR, Lokhnygina Y, Goodman SG, Becker RC, et al. Management
of major bleeding events in patients treated with rivaroxaban vs. warfarin: results
from the ROCKET AF trial. Eur Heart J. 2014;35(28):1873-80.
28. Hori M, Matsumoto M, Tanahashi N, Momomura S-i, Uchiyama S, Goto S, et al.
Rivaroxaban vs. warfarin in Japanese patients with atrial fibrillation. Circulation
Journal. 2012;76(9):2104-11.
29. Laliberté F, Cloutier M, Nelson WW, Coleman CI, Pilon D, Olson WH, et al. Real-world
comparative effectiveness and safety of rivaroxaban and warfarin in nonvalvular
atrial fibrillation patients. Current Med Res and opinin. 2014;30(7):1317-25.
30. Dans AL, Connolly SJ, Wallentin L, Yang S, Nakamya J, Brueckmann M, et al.
Concomitant use of antiplatelet therapy with dabigatran or warfarin in the
Randomized Evaluation of Long-Term Anticoagulation Therapy (RE-LY) trial.
Circulation. 2013;127(5):634-40.
31. Friedman KB, Kolb JM, Desai J, Wallentin LC, Ezekowitz M, Yusuf S, et al. Mo1999
How Often Does Major Gastrointestinal Bleeding in Patients Receiving Warfarin
or Dabigatran Uncover Cancer? The US Experience From the RELY Trial.
Gastroenterology. 2015;148(4):S-764.
32. Clemens A, Strack A, Noack H, Konstantinides S, Brueckmann M, Lip GY. Anticoagulant-
related gastrointestinal bleeding—could this facilitate early detection of benign or
malignant gastrointestinal lesions? Ann Med. 2014;46(8):672-8.
33. Piccini JP, Stevens SR, Chang Y, Singer DE, Lokhnygina Y, Go AS, et al. Renal
dysfunction as a predictor of stroke and systemic embolism in patients with
nonvalvular atrial fibrillation: validation of the R2CHADS2 index in the ROCKET AF
and ATRIA study cohorts. Circulation. 2012:CIRCULATIONAHA. 112.107128.
34. Eikelboom JW, Connolly SJ, Gao P, Paolasso E, De Caterina R, Husted S, et al. Stroke
risk and efficacy of apixaban in atrial fibrillation patients with moderate chronic
kidney disease. J Stroke Cerebrovasc Dis. 2012;21(6):429-35.
35. Fox KA, Piccini JP, Wojdyla D, Becker RC, Halperin JL, Nessel CC, et al. Prevention
of stroke and systemic embolism with rivaroxaban compared with warfarin in
patients with non-valvular atrial fibrillation and moderate renal impairment. Eur
Heart J. 2011;32(19):2387-94.
36. Hijazi Z, Hohnloser SH, Oldgren J, Andersson U, Connolly SJ, Eikelboom JW, et al.
Efficacy and safety of dabigatran compared with warfarin in relation to baseline
renal function in patients with atrial fibrillation: a RE-LY (Randomized Evaluation of
Long-term Anticoagulation Therapy) trial analysis. Circulation. 2014;129(9):961-
70.
37. Hohnloser SH, Hijazi Z, Thomas L, Alexander JH, Amerena J, Hanna M, et al.
Efficacy of apixaban when compared with warfarin in relation to renal function
in patients with atrial fibrillation: insights from the ARISTOTLE trial. Eur Heart J.
2012;33(22):2821-30.
Pendahuluan
Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu sarana diagnostik untuk
pemeriksaan alat-alat tubuh yang bersifat non invasif, aman tanpa efek
samping, dapat dilakukan dengan cepat dan relatif dapat tersedia di ruang
mana saja di unit pelayanan medik (termasuk ambulan), dan data yang
diperoleh memiliki nilai diagnostik yang tinggi. Penggunaan USG yang baik
untuk toraks bahkan dapat diibaratkan sebagai stetoskop bergambar. Karena
kelebihan tersebut USG dapat digunakan dalam keadaan darurat serta
memandu tindakan intervensi di bidang respirasi dan toraks. Bedside Lung
Ultrasound in Emergency (BLUE)-Protokol adalah adalah suatu aplikasi untuk
mendiagnosis segera penyebab gagal napas akut yang bisa dilakukan secara
bedside dalam waktu yang cepat dengan ketepatan diagnostik 90-100%,
memungkinkan USG dipakai sebagai bedside gold standar.1,2
b. Perambatan Gelombang
Perambatan gelombang (wave propagation) menjelaskan
transmisi dan penyebaran gelombang ultrasound ke berbagai
jaringan yang berbeda. Perbedaan pada cara interaksi ultrasound
dengan jaringan akan menentukan desain alat USG, mempengaruhi
interpretasi gambarnya dan menyebabkan keterbatasan dalam
penggunaan metode tersebut. Gelombang ultrasound merambat
sebagai gelombang longitudinal dalam jaringan lunak. Molekulnya
bergetar dan saling menyalurkan energi sehingga energi ultrasound
merambat di seluruh tubuh. 1,3
c. Atenuasi
Jaringan dalam tubuh menyerap dan menghamburkan
gelombang ultrasound dengan berbagai cara yang berbeda. Frekuensi
yang lebih tinggi akan mudah diserap dan dihamburkan (atenuasi)
dibandingkan frekuensi yang lebih rendah. Jadi, untuk mencapai
jaringan yang lebih dalam, kita harus menggunakan frekuensi yang
lebih rendah karena kecil kemungkinannya gelombang ultrasound
tersebut mengalami penyimpangan ketika melintasi struktur yang
menyelangi (gambar 5).1,3
Selain gambaran diatas pada USG paru normal juga akan kelihatan
lung sliding pada pleural line yang merupakan pergerakan dari pleura
parietal dan pleura visceral waktu inspirasi dan ekspirasi. Lung sliding
hanya akan terlihat pada real time USG, tidak pada frozen image. Lung
sliding pada USG dengan M-mode dibawah dari plueral line (kepala panah
Gambar 6. Gambaran USG paru normal (bat sign, A-line, pleural line) 2
b. Sindrom Alveolar
Sindrom alveolar merupakan aplikasi diagnostik ultrasonografi yang
telah lama digunakan. Gambaran USG sindrom alveolar meliputi
konsolidasi alveolar dan atelektasis, kelainan ini biasanya terletak
Anterior Konsolidasi
Ini menggemakan area di bawah pleura. Peri-lesional B-line dan
comets jauh ke dalam garis tepi mudah ditemukan. Batas dari
konsolidasi paru tidak jelas.
Gambar 8. Konsolidasi paru bagian depan dengan pinggir yang tidak jelas5
Tissue-like sign
Ketika paru dipenuhi cairan, paru menyerupai hati pada saat USG
dan menjadi hepatisisasi. Konsolidasi luas akan memungkinkan garis
pleura yang berseberangan terlihat (kedalaman 8–11 cm) dengan
mediastinum dengan aorta atau IVC yang terlihat. Konsolidasi berat
sering disertai dengan efusi pleura. Tissue-like sign ini biasanya
terjadi pada translobular lung consolidation.5,6
Shred sign
Jika konsolidasi tidak terlalu luas, dan persentase udara lebih besar,
tampak bagian yang seolah-olah bukan merupakan bagian paru
(echo poor areas). Area ini akan dibatasi oleh paru yang mengandung
udara yang diidentifikasi dengan sliding dan comets. Perbatasan
paru konsolidasi dan aerasi tidak jelas. Tanda ini kemungkinan
besar pneumonia. Shred sign ini terjadi pada non translobular lung
consolidation (panah hitam pada gambar 10).4,5
c. Pneumotoraks
Ultrasound paru hampir sama baiknya dengan CT untuk
menyingkirkan adanya pneumotoraks, hanya diperlukan waktu
kurang dari satu menit untuk melakukan pemeriksaan ini. Ciri-ciri
pneumotoraks adalah hilangnya lung sliding, tidak adanya B lines,
tidak adanya gerakan paru dan adanya lung point. Udara akan
menumpuk di anterior pada pasien terlentang. Menempatkan probe
Daftar Pustaka
1. Palmer PES. Panduan Pemeriksaan Diagnostik USG, Jakarta : EGC; 2002: 3-16
2. Lichtenstein DA. BLUE-Protocol and FALLS-Protocol Two Applications of Lung
Ultrasound in the Critically Ill, CHEST. 2015; 147(6): 1659-70
3. Azwar Boer, Ultrasonografi, Radiologi Diagnostik, Jakarta : Gaya Baru; 2005: 453-
66.
4. Lichtenstein DA. Novel approaches to ultrasonography of the lung and pleural
space: where are we now?. Breathe. 2017; 13: 100–11.
5. Miller A. Practical approach to lung ultrasound. British Journal of Anaesthesia.
2016; 16(2): 39-45
6. Lichtenstein DA. Lung ultrasound in the critically ill. Annals of Intensive Care.
2014; 4: 1-12
7. Lichtenstein DA, Gilbert AM. Relevance of Lung Ultrasound in the Diagnosis of
Acute Respiratory Failure, The BLUE Protocol. CHEST. 2008; 134: 117–25
8. Lichtenstein DA, Gilbert AM. The BLUE-points: Three standardized points used
in the BLUE-protocol for ultrasound assessment of the lung in acute respiratory
failure. Crit Ultrasound J. 2011; 3: 109-10
Pendahuluan
Ultrasonografi sangat bermanfaat untuk pemeriksaan radiologi paru
dan pleura karena bersifat real-time dengan kemampuan pencitraan yang
multiplanar. Selain itu karena bersifat portable USG sangat penting untuk
pemeriksaan pasien-pasien di emergensi dan di ICU. Kelebihan lain adalah
karena pemeriksaan USG tidak mempunyai efek radiasi yang merugikan
sehingga aman digunakan untuk semua pasien. Pemeriksaan USG secara
transtorakal dapat mengevaluasi kelainan pada parenkim paru perifer, pleura
dan dinding dada. Visualisasi parenkim paru dan pleura dilakukan dengan
melakukan sken sepanjang sela iga saat pernapasan biasa dan saat menahan
napas untuk melihat lesi secara lebih rinci. Pemeriksaan USG toraks dapat
juga digunakan untuk menuntun tindakan yang bersifat invasif misalnya
pungsi pleura, biopsi transtorakal dan pemasangan chest tube.1,2
Efusi Pleura
Pemeriksaan USG pada efusi pleura bermanfaat untuk menganalisis
kemungkinan jenis efusi pleura tersebut baik yang terlokalisir maupun
yang difus. Untuk mendeteksi adanya efusi pleura minimal pemeriksaan
USG lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan foto posisi lateral
dekubitus. Selain untuk mendeteksi adanya efusi USG dapat juga digunakan
untuk memperkirakan jumlah cairan efusi tersebut. Secara sonografi adanya
efusi pleura akan tampak berupa bayangan yang anechoic homogen diantara
pleura parietal dan pleura viseral (echo-free zone sepparating the visceral and
parietal pleura) (Gambar 1). Bayangan ini dapat berubah bentuk akibat gerak
pernapasan (echo-free zone displaying a change during breathing), dan paru
yang berada dalam cairan efusi tersebut akan mengalami kolaps (atelektasis)
sehingga tampak berupa struktur yang menyerupai lidah (tongue-like
structure). Gambaran sonografi lain yang bisa didapatkan pada efusi pleura
adalah adanya partikel echogenic yang bergerak/melayang-layang, adanya
bayangan septa yang bergerak-gerak serta adanya jaringan paru yang
bergerak dalam cairan. Pada efusi yang terjadi akibat inflamasi dapat terjadi
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. Efusi pleura dengan 4 macam tampilan gambar
Penebalan Pleura
Lesi padat pada pleura bisa terjadi akibat bermacam-macam etiologi dan
secara sonografi gambaran yang didapat bisa bersifat difus (diffus pleural
thickening akibat fibrotoraks (pleural peel), focal (focal pleural thickening)
akibat inflamasi atau fibrosis (pleural plaque) dan dapat juga berupa gambaran
massa di pleura yang bisa disebabkan oleh tumor jinak, mesotelioma dan
metastasis pada pleura.
Gambar 4. Pleural plaqe yang terjadi akibat adanya penebalan pleura viseral
Tumor pleura. Tumor jinak pleura sangat jarang dan secara sonografi
tampak sebagai massa yang berbatas tegas dengan echogenicity yang
bervariasi (bergantung dari kandungan lemaknya) pada pleura parietal atau
viseral. Tumor metastasis pada pleura akan memberikan gambaran polypoid
pleural nodules atau irreguler sheet-like pleural thickening dan seringkali
disertai dengan efusi pleura yang masif (Gambar 5).
Gambar 5. Tumor pleura dengan gambaran polypoid pleural nodules (a) dan
penebalan pleura yang irreguler (b). Pp : Pleura parietal, T : Tumor, PE : Pleural
effusion.
Tumor Paru
Tumor paru perifer dapat dideteksi dengan USG asalkan tumor tersebut
menempel dengan pleura (Gambar 7). Tumor-tumor ini seringkali tampak
hypoechoic dengan posterior acoustic enhancement disertai atelektasis
parenkim paru yang berkaitan sehingga memberikan gambaran fluid
bronchograms.1
Gambar 7. Tumor paru perifer yang tidak menempel pada pleura (atas), tidak
terdeteksi dengan USG, dan tumor yang menempel pada pleura (bawah) sehingga
dapat dideteksi dengan USG
Gambar 8. Tumor paru perifer yang belum meluas ke pleura parietal (a) dan yang
sudah meluas hingga mencapai pleura parietal (b). Pp : Pleura parietal, Pv : Pleura
viseral, T : Tumor.
Abses Paru
Abses paru yang berbatasan dengan pleura akan tampak sebagai lesi
hypoechoic dimana batas dindingnya bisa tegas ataupun irregular. Bagian
sentral abses seringkali tampak anechoic, namun dapat juga memperlihatkan
adanya septasi internal echoes (Gambar 9). Abses paru dengan air-fluid level
akan tampak lebih inhomogen.1
Gambar 9. Abses paru dengan gambaran hypoechoic centre dan dinding yang
irregular.
A : Abses, L : Lung.
diagnosis, pemasangan chest tube, biopsi pleura dan biopsi tumor paru yang
letaknya superfisial. Penggunaan USG akan meningkatkan keberhasilan
tindakan dan meminimalkan efek samping. Untuk keperluan tindakan invasif
tersebut telah tersedia reusable probe yang dapat digunakan untuk menuntun
tindakan biopsi. Namun demikian banyak klinisi yang berpengalaman lebih
menyukai tehnik freehand dalam melakukan tindakan invasif tersebut.1-3,7
Beberapa tindakan invasif yang dapat dilakukan dengan tuntunan USG adalah
biopsi dinding dada, aspirasi cairan efusi, insersi chest tube, biopsi pleura
tertutup, transthoracal needle aspiration (TTNA) dan transthoracal biopsies
(TTB).
Cara cepat untuk mengukur jumlah cairan efusi adalah dengan mengukur
jarak horizontal dari bagian diafragma yang paling kranial pada garis mid-
aksilaris ke segmen paru terdekat (Gambar 11). Jarak yang didapat (dalam
cm) kemudian dikalikan 20 untuk mendapatkan kira-kira jumlah cairan
(dalam ml). Diperlukan ketelitian untuk menghindari kesalahan dalam
Gambar 11. Pengukuran jumlah cairan efusi dengan mengukur jarak horizontal
dari bagian diafragma yang paling kranial pada garis mid-aksilaris ke segmen paru
terdekat
Kesimpulan
Pemeriksaan USG paru mempunyai peranan yang sangat penting dalam
tatalaksana pasien dengan penyakit paru dan pleura. Kelebihan pemeriksaan
USG ini adalah antara lain karena tidak mengakibatkan efek radiasi, praktis dan
dapat mendeteksi kelainan pleura/paru secara lebih cepat. Penggunaan USG
di bidang pulmonolgi sangat membantu dalam menuntun berbagai tindakan
invasif sehingga dapat meningkatkan keberhasilan dalam mendiagnosis dan
tatalaksana pasien serta menurunkan kemungkinan terjadinya komplikasi.
Keterbatasan USG antara lain karena kurang dapat digunakan untuk kelainan-
kelainan di mediastinum serta hasil pemeriksaannya bersifat operator-
dependent.1,2
Daftar Pustaka
1. Islam S, Tonn H. Thoracic Ultrasound Overview. In: Bolliger CT, Herth FJF, Mayo
PH, Miyazawa T, Beamis JF, editors. Clinical Chest Ultrasound. Sidney: KARGER;
2009. p. 11-20.
2. Anantham D, Ernst A. Ultrasonogrphy. In: Mason RJ, Broaddus VC, Martin TR,
King TE, Schraufnagel DE, Murray JF, Nadel JA, editors. Textbook of Respiratory
Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 445-60.
3. Mathis G, Sparchez Z, Volpicelli G. Chest Sonography. In: Dietrich CF, ed. EFSUMB -
European Course Book. Italy: EFSUMB; 2010. p. 2-21.
4. Havelock T, Teoh R, Laws D, Gleeson F. Pleural procedures and thoracic ultrasound:
British Thoracic Society pleural diseass guideline 2010. Thorax. 2010;65:ii72-ii74.
5. Heffner JE, Klein JS, Hampson C. Diagnostic Utility and Clinical Application of
Imaging for Pleural Space Infections. Chest. 2010;137:467-9.
6. Fraser RS, Colman N, Muller N, Pare PD. Method of Radiologic Investigation.
Synopsis of Diseases of the Chest. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2005. p. 97-109.
7. Hansell DM, Lynch DA, Mc Adam HP, Bankier AA. Pleura and pleural disosers.
Imaging of Diseases of the Chest. China: Mosby Elsevier; 2010. p. 1003-17.
8. Diacon AH, Theron JH, Bolliger CT. Transthoracic ultrasound for the pulmonologist.
Curr Opin Pulm Med. 2005;11:307-12.
9. Feller D, Kopman. Ultrasound-Guided Thoracentesis. Chest. 2006;129:1709-1714.
10. Millington SJ, Koenig S. Better With Ultrasound. Pleural Procedures in Critically Ill
Patients. Chest. 2018; 153: 224-32.
Pendahuluan
Pankreatitis akut (PA) merupakan proses inflamasi pada pankreas yang
dapat menyebabkan kerusakan lokal, sindrom respons inflamasi sistemik
dan kegagalan organ. PA adalah gangguan gastrointestinal yang sering terjadi
berkaitan dengan keparahan, kesakitan dan meningkatnya biaya sistem
pelayanan kesehatan.1
Etiologi
Penyebab terbanyak PA tetap batu kandung empedu dan alkohol
(ditemukan bersama pada 80% kasus), selebihnya karena reaksi obat,
keganasan pankreas solid maupun kistik, dan hipertrigliseridemia.1
Manifestasi Klinis
Pasien dengan pankreatitis sering mengeluhkan nyeri abdomen yang
tiba-tiba pada kuadran kiri atas, regio periumbilikal, dan atau epigastrium,
meskipun pada beberapa kasus PA tidak terasa nyeri. Pada awalnya, nyeri
memberat setelah makan atau minum, khususnya makanan berlemak, dan
menjadi konstan tipikal seterusnya. Nyeri dapat dijalarkan melewati abdomen
dan menuju dada atau punggng belakang bagian tengah, yang sering disertai
dengan mual dan muntah, bisa memburuk dalam posisi supinasi.2,6
Temuan pada pemeriksaan fisik bisa normal atau demam yang nyata,
hipotensi, takikardi, takipnea, atau diaforesis. Pemeriksaan abdomen
didapatkan nyeri tekan khas pada palpasi, guarding dan kemungkinan tanda
iritasi peritoneal, distensi atau kekakuan. Bising usus menurun, ikterus bisa
terjadi. Pada kasus yang berat, pasien bisa mengalami penurunan status
mental. Secara keseluruhan, anamnesis dan pemeriksaan fisik memiliki
akurasi moderat, terutama bila ada temuan abnormal (positive likelihood
ratio = 3,2; negative likelihood ratio = 0,8). Dua temuan pemeriksaan fisik
yang berkaitan dengan pankreatitis adalah Cullen sign (ekimosis dan edema
di sekitar umbilikus) dan Grey Turner sign (ekimosis di punggung).6
Patogenesis
Berbagai faktor etiologi dapat menyebabkan PA, sehingga terdapat
rangkaian kejadian patofisiologi yang terjadi. Kejadian ini didasarkan pada
aktivasi enzim di dalam pankreas yang kemudian mengakibatkan autodigesti
organ.2
fase akut seperti protein reaktif C (CRP). Migrasi dan aktivasi lekosit dapat
merepresentasikan faktor penyebab mayor terjadinya komplikasi lokal dan
sistemik.4,10
Diagnosis
Penegakan diagnosis didasarkan sekurangnya 2 gejala dan tanda berikut
ini : nyeri perut yang khas, data analisa biokimia (kadar amilase atau lipase
lebih dari 3 kali batas atas angka normal), dan atau data cross sectional
pencitraan radiologi. Manifestasi PA dapat dikategorikan ringan, moderat-
berat dan berat berdasarkan Klasifikasi Atlanta yang direvisi. Sebagian
besar kasus bersifat ringan (80%) dengan hanya perubahan interstisial pada
pankreas tanpa komplikasi lokal atau sistemik. Kategori sedang ditandai
dengan komplikasi lokal atau sistemik bersifat transien atau kegagalan
organ (kurang dari 48 jam) dan PA berat mengalami kegagalan organ
persisten. Pankreatitis nekrotikan ditandai dengan adanya nekrosis pankreas
/ peripankreas, dan ditemukan pada kasus PA derajat moderat atau berat.
Terdapat 2 fase PA yang saling tumpang tindih yaitu fase awal dan fase lanjut.
Fase awal terjadi dalam 2 minggu pertama setelah onset penyakit, sedangkan
fase lambat bisa berakhir beberapa minggu sampai bulan setelahnya.1
Daftar Pustaka
1. Seth D. Crockett, Sachin Wani, Timothy B. Gardner, Yngve Falck-Ytter, Alan N.
Barkun. AGA Institute Guideline on Initial Management of Acute Pancreatitis.
Gastroenterology 2018;1096-1101
2. Nurman A. Pankreatitis akut. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI 2014.
Hal. 1852-60
3. Whitcomb DC. Acute pancreatitis. N Engl J Med. 2006;354(20):2142-2150
4. Yadav D, Lowenfels AB. Trends in the epidemiology of the first attackof acute
pancreatitis. Pancreas. 2006;33(4):323-330
5. Toouli, Brooke-Smith M, Bassi C, et al. Guidelines for the management of acute
pancreatitis. J Gastroenterol Hepatol. 2002;17:515-539
6. Quinlan JD. Acute Pancreatitis, Am Fam Physician. 2014;90(9):632-639
7. Shah AP, Mourad MM, Bramhall SR. Acute pancreatitis: current perspectives on
diagnosis and management. J Inflammation Research. 2018:11 77-85
8. Venneman NG, van Brummelen SE, van Berge-Henegouwen P, van Erpecum
KJ. Microlithiasis; an important cause of “idiopathic” acute pancreatitis? Ann
Hepatol.2003;2(1):30-35
9. Wang GJ, Gao CF, Wei D, Wang C, Ding SQ. Acute pancreatitis: etiology and common
pathogenesis. World J Gastroenterol. 2009;15(12):1427-1430
10. Sakorafas GH, Tsiotou AG, Etiology and pathogenesis of acute pancreatitis:current
concepts. J Clin Gastroenterol . 2000;30(4):343-356
11. Neoptolemos JP, Kemppainen EA, Mayer JM, et al. Early prediction of severity in
acute pancreatitis by urinary trypsinogen activation peptide: a multicentre study.
Lancet. 2000;355(9219):1955-1960.
12. Tenner S, Baillie J, Dewitt J, Vege SS. American College of Gastroenterology
guideline: management of acute pancreatitis [published correction appears in Am
J Gastroenterol, 2014;109(2):302]. Am J Gastroenterol. 2013; 108(9):1400-1415.
13. American College of Radiology. ACR appropriateness criteria. Acute pancreatitis.
http://www.acr.org/~/media/ACR/Documents/APPCriteria/Diagnostic/
AcutePancreatitis.pdf. Accessed September 24, 2018.
14. Jeffrey RB Jr. Sonography in acute pancreatitis. Radiol Clin North Am. 1989;27(1):5-
17.
15. Bollen TL, Singh VK, Maurer R, et al. A comparative evaluation of radiologic and
clinical scoring systems in the early prediction of severity in acute pancreatitis. Am
J Gastroenterol. 2012;107(4):612-619.
16. Banks PA, Bollen TL, Dervenis C, et al.; Acute Pancreatitis Classification Working
Group. Classification of acute pancreatitis—2012: revision of the Atlanta
classification and definitions by international consensus. Gut. 2013;62(1):102-111.
17. Banks PA, Freeman ML; Practice Parameters Committee of the American College
of Gastroenterology. Practice guidelines in acute pancreatitis. Am J Gastroenterol.
2006;101(10):2379-2400.
Resusitasi
Gambaran klinis pasien pankreatitis akut bervariasi mulai nyeri perut
ringan hingga syok sistemik. Banyak pasien pankreatitis akut membutuhkan
resusitasi yang signifikan. Pemberian cairan yang adekuat Penggantian cairan
agresif awal diperlukan karena pasien ini berpotensi terjadinya hipovolemik,
dapat karena muntah, asupan oral yang buruk, diaphoresis, dan edema.
Pasien dengan tanda-tanda syok perlu bolus cairan agresif dan dapat
dikombinasi dengan obat vasopresif. Pankreatitis menyebabkan edema
pankreas dan efek mikroangiopati yang menyebabkan penurunan aliran
darah ke sel pankreas sehingga mengakibatkan kematian sel dan pelepasan
enzim pankreas yang tidak terkontrol. Hal ini pada akhirnya menyebabkan
peningkatan inflamasi, permeabilitas vaskular dan edema dengan perfusi
pankreas yang memburuk. Pemulihan volume intravaskular dan perfusi
sangat penting untuk membantu mencegah perburukan.
vasopresif bila hemodinamik tidak stabil dan syok berlanjut. Parameter lain
yang perlu dimonitor adalah tekanan vena sentral (CVP), tekanan baji arteri
paru (PAWP), saturasi vena campuran (SvO2), kadar laktat, dan output urin
per jam.
Antibiotika
Antibiotik harus diberikan kepada pasien pankreatitis akut dengan
infeksi aktif. Hal ini termasuk kolangitis, infeksi saluran kemih, pneumonia,
infeksi terkait kateter, bakteremia, dan, nekrosis pankreas yang terinfeksi.
Nutrisi
Selama ini pasien pankreatitis akut harus puasakan, alasannya
agar pankreas dapat “beristirahat” karena pemberian makanan enteral
dapat memperburuk inflamasi pankreas. Berdasarkan itu, banyak pasien
pankreatitis akut diberikan total nutrisi parenteral (TPN) untuk menghindari
Pada pankreatitis ringan (pasien tanpa SIRS atau perlu masuk ICU),
pemberian makanan enteral harus segera dimulai. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa pasien dapat mulai dengan aman diberikan diet padat
rendah lemak. Memulai diet padat secara dini akan meningkatkan asupan
kalori dan memperpendek masa inap di rumah sakit.
Gambar 1. Algoritma manajemen pankreatitis akut akibat batu empedu dengan atau
tanpa obstruksi jaundice
Pembedahan
Penatalakasanaan pankreatitis nekrosis dengan nekrosektomi pancreas,
untuk saat n ini sudah ditinggalkan karena morbiditas dan mortalitas yang
tinggi. Karena sebenarnya banyak dari pasien ini sembuh tanpa operasi.
Pembedahan baru dilakukan bila nekrosis pankreas yang terinfeksi atau
komplikasi lain seperti obstruksi saluran lambung atau obstruksi saluran
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 543
Masrul Lubis
Kesimpulan
Penatalaksanaan pankreatitis akut terus berkembang. Segala sesuatu
dari diagnosis hingga pengobatan penyakit ini telah berubah secara signifikan
selama 20 tahun terakhir. Pencitraan radiografi, khususnya CT scan, tidak
lagi dianggap diperlukan untuk diagnosis dan CT scan berikutnya tidak lagi
digunakan untuk memantau perkembangan proses penyakit. Pencitraan
radiografi diindikasikan bila diagnosis pankreatitis atau nekrosis pankreas
yang terinfeksi diragukan.
ERCP rutin tidak diperlukan tetapi harus segera dilakukan jika ada
kolangitis, jika tanda-tanda obstruksi bilier tidak berkurang atau pada pasien
dengan pankreatitis bilier yang berisiko dilakukan tindakan bedah.
Daftar Pustaka
1. DeCosta DW, Boerma D, van Santvort HC, et al. Stages multidisciplinary step-up
management for necrotizing pancreatitis. Br J Surg. 2014;101: e65-e79.
2. Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, et al. Surviving sepsis campaign: interna- tional
guidelines for management of severe sepsis and septic shock, 2012. Crit Care Med.
2013;41:580-637.
3. Poropat G, Giljaca V, Hauser G, Stimac D. Enteral nutrition formulations for acute
pancreatitis. Cochrane Database Syst Rev. 2015;(3):CD010605.
4. Tse F, Yuan F. Early routine endoscopic retrograde cholangiopancreatography
strategy versus early conservative management strategy in acute gallstone
pancreatitis. Cochrane Database Syst Rev. 2012;(5):CD009779.
5. Villatoro E, Mulla M, Larvin M. Antibiotic therapy for prophylaxis against
infection of pancreatic necrosis in acute pancreatitis. Cochrane Database Syst Rev.
2010;(12):CD002941.
Diagnosis
Dokter telah mengunakan istilah demensia sebagai penurunan fungsi
pada kognitif yang menganggu aktivitas sehari-hari. Kriteria untuk diagnosis
ini termasuk gangguan memori ditambah satu atau lebih dari hal-hal sebagai
berikut yaitu: aphasia, apraxia, agnosia, atau gangguan fungsi eksekutif.
Kriteria diagnosis demensia berdasarkan beberapa kriteria adalah sebagai
berikut1:
- Kriteria Diagnosis untuk demensia berdasarkan DSM 5 (Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder 5) adalah :
A. Adanya bukti penurunan kognitif dari performa sebelumnya pada
satu atau lebih domain kognitif (atensi komplek, fungsi eksekutif,
belajar dan memori, bahasa, persepsi motor atau kognitif sosial)
berdasarkan:
1. Keprihatinan individu, pemberi informasi yang terpelajar, atau
klinisi bahwa ada penurunan fungsi kognitif yang signifikan ;
dan
2. Gangguan performa kognitif mendasar yang didokumentasikan
oleh tes neuropsikologikal standar, atau tidak didapatkannya
kajian klinis yang terukur lainnya.
B. Defisit kognitif menimbulkan gangguan kemandirian aktivitas sehari-
hari (contoh : perlunya bantuan pada aktivitas harian instrument
yang komplek seperti membayar tagihan atau pengelolaan obat)
C. Defisit kognitif tidak terjadi khususnya pada konteks delirium
D. Defisit kognitif tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan
mental yang lain ( gangguan depresi mayor, schizophrenia).1
Deteksi Dini
Deteksi dini pada pasien-pasien dengan risiko tinggi untuk terjadi
demensia atau yang dilaporkan adanya gangguan memori dengan
menggunakan alat yang terstandar dan tervalidasi sangat direkomendasikan.6
a. Mini Mental State Examination (MMSE)
MMSE terdiri atas 30 pertanyaan yang menanyakan tentang orientasi,
ingatan segera, ingatan jangka pendek, konsentrasi/kalkulasi, bahasa
dan visuospasial.6,7 MMSE memiliki spesifisitas 99% dan sensitivitas
82%
Score baik > 26 : baik
Score 24-26 : MCI (mild cognitive impairment)
Score < 24 : konsisten demensia
Gangguan kognitif ringan : 18-24
Gangguan kognitif sedang : 10-17
Gangguan kognitif berat : < 9
b. Montreal Cognitive Assesmen (MOCA)
MOCA merupakan instrumen lain yang dapat digunakan untuk menilai
gangguan kognitif yang terdiri dari 30 poin pertanyaan . Tes ini
menanyakan tentang memori, orientasi, fungsi visuospasial, konsentrasi,
kalkulasi, atensi, abstraksi, bahasa dan fungsi eksekutif. 6 Tes ini dapat
diunduh secara gratis pada www.mocatest.org. Nilai dibawah 26
menunjukkan adanya gangguan.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 549
Yudo Murti Mupangati
c. Mini-Cog
Tes ini terdiri dari CDT (Clock Drawing Tes) dan pengulangan 3 kata.6,7
Tes ini adalah deteksi dini yang cocok dilakukan pada pasien di layanan
kesehatan tingkat pertama. Pada tes ini klinisi akan meminta penderita
untuk mengingat 3 benda yang tidak saling berhubungan (contoh : pisang,
matahari dan kursi). Selanjutnya penderita diminta untuk menggambar
jam, dengan mengatakan: “gambarlah lingkaran besar, tulis dengan
angka-angka yang ada di jam, dan gambar jarum panjang dan jarum
pendeknya yang menunjukkan pukul 8:20”. Pasien diberikan waktu
selama 3 menit untuk menggambar jam, dan instruksi dapat diulang bila
diperlukan. Sesudah 3 menit berlalu, pasien diminta untuk mengatakan
3 benda yang tadi diminta untuk mengingat. Nilai dari Mini-Cog adalah
1 poin untuk tiap jawaban benda yang benar (nilai dari 0-3) dan 2 poin
untuk gambar jam yang benar. Abnormalitas gambar jam mendapatkan
nilai 0 poin. 2,6,7
Patofisiologi Demensia
Pada tingkat anatomi, dementia Alzheimer ditandai oleh atrofi baik
struktur kortek dan subkortikal, yang dilihat secara jelas pada hippocampus
dan kortek temporal. Pada pemeriksaan histologi menampakkan akumulasi
plak amiloid di ekstraseluler dan kekusutan neurofibriler yang menarik
mediator-mediator inflamasi dan menghalangi penghantaran dari
neurotransmitter sepanjang akson. Defisiensi neurotransmitter asetilkolin
dan norepinephrine juga dipikirkan bertanggungjawab pada terjadinya
demensia pada Penyakit Alzheimer.8
Daftar Pustaka
1. Budson AE, Solomon PR. Memory loss, Alzheimer’s disease, and dementia a
practical guide for clinicians. Edinburg:Elsevier, 2016
2. Camicioli R, Rockwood K. Dementia Diagnosis. In Fillit HM, Rockwood K, Woodhouse
K. Textbook of geriatric medicine and gerontology 7th ed. USA: Saunders Elsevier,
2010: 385-91.
3. Stern SDC, Cifu AS, Altkorn D. Symptom to diagnosis an evidence-based guide 2nd
ed. New York: Mc Graw Hill, 2010 : 169-80
4. Peterson R, Radford J. Alzheimer diasease and other dementias. In: Daroff RB,
Jankovic J, Mazziotta JC, Pomeroy SL, eds. Bradley’s neurology in clinical practice
7th edition. London: Elsevier,2016
5. Bayer A. Presentation and clinical management of Dementia 7th ed. In: Fillit HM,
Rockwood K, Woodhouse K,eds. Philadelphia : Elsevier Saunders, 2010
6. Sink KM, Yafee K. Cognitive impairment & Dementia. In : Williams BA, Chang A,eds.
Current diagnosis & treatment 2nd ed. New York : Mc Graw Hill, 2014:123-134
7. McGee S. Mental status examination, In: McGee S. Evidence-base physical diagnosis
4th ed. Philadelphia: Elsevier, 2018 : 39-44.
8. Jagoda A, Okuda H. Delirium and dementia. In: Adams JG, Barton ED, Collings JL,
DeBlinox PMK, Gisandi MA, Nack E, eds. Philadelphia : Elsivier, 2013: 905-911
9. The dementias hope through research. NIH National institutes of health national
institutes of neurological disorder and stroke national institutes on aging . Available
at www. Nia.nih.gov
10. Feldman HH, eds. Atlas of Alzheimer’s disease. USA, Informa health care , 2007:33
PENDAHULUAN
Status asam basa tubuh diregulasi secara hati-hati untuk menjaga pH
arteri antara 7,35-7,45 dan pH interseluler antara 7,0-7,3. Regulasi asam basa
ini terjadi oleh mediasi produksi dari metabolit asam yang terus-menerus dan
dicapai melalui sistem buffer baik intra maupun ekstraseluler. Keseimbangan
asam basa dan pengaturan pH mempunyai peranan yang penting baik dalam
fisiologi, metabolisme sel, dan fungsi sel. Pentingnya regulasi asam basa ini
terbukti dengan adanya berbagai macam gangguan fisiologi yang terjadi
apabila pH plasma tinggi ataupun rendah.1
Sistem buffer utama dalam tubuh ada empat pasang. Sietem buffer ini
yang membantu memelihara agar pH darah tetap konstan. Selain sistem buffer
asam kabonat – bikarbonat di atas, ada tiga sistem lain sebagai berikut:5,6
- Sistem buffer fosfat monosodium – disodium (Na2HPO4, dan NaH2PO4)
- Sistem buffer oksihemoglobin – hemoglobin dalam eritrosit (HbO2- dan
HHb)
- Sistem buffer protein (Pr- dan HPr)
- Keracunan aspirin.
- Keracunan asetaminofen.
Evaluasi
Pemeriksaan elektrolit darah, penghitungan anion gap, dan riwayat
penyakit yang teliti serta pemeriksaan fisik seringkali cukup untuk
menegakkan penyebab asidosis metabolik dan mengantarkan pada terapi
yang tepat. Namun pada pasien yang mengalami komplikasi, evaluasi asidosis
metabolik biasanya membutuhkan pemeriksaan – pemeriksaan sebagai
berikut:4,5,9Pengukuran pH dan pCO2 arteri.
- Menentukan adanya kompensasi sistem respirasi secara tepat.
- Menentukan anion gap untuk mengidentifikasi penyebab asidosis
dan penghitungan rasio delta anion gap/delta HCO3 pada pasien yang
mengalami peningkatan anion gap.
terhadap albumin) karena lebih sederhana dan adekuat pada sebagian besar
kasus gangguan keseimbangan asam basa.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan asidosis metabolik bervariasi tergantung pada penyakit
dasarnya. Setelah kita mengidentifikasi penyakit dasarnya, selanjutnya kita
mengklasifikan apakah asidosis metabolik yang terjadi merupakan suatu
asidosis metabolik akut ataukah kronis.
ALKALOSIS METABOLIK
Alkalosis metabolik adalah suatu proses terjadinya peningkatan primer
bikarbonat dalam arteri. Akibat peningkatan ini, rasio PCO2 dan kadar HCO3
dalam arteri berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki rasio ini dilakukan
oleh paru dengan menurunkan ventilasi (hipoventilasi) sehingga PCO2
meningkat dalam arteri dan meningkatnya konsentrasi HCO3 dalam urine.
Kompensasi respiratorik terhadap alkalosis metabolik akan meningkatkan
PCO2 sebanyak 0,7 mmHg (0,09 kPa) setiap peningkatan 1 mEq/L konsentrasi
HCO3 serum. Pada kasus alkalosis metabolik berat PCO2 arteri umumnya tidak
meningkat di atas 55 mmHg (7,3 kPa).5
ekskresi bikarbonat yang normal. Tiga faktor utama yang memainkan peran
adalah deplesi klorida, sekresi aldosteron yang abnormal, dan hipokalemia.13
Daftar Pustaka
1. Palmer F, Alpern J. Normal acid – base balance. In: Floege J, Johnson J, Feehally J.
eds. Comprehensive clinical nephrology. 4th edition. Missouri: Elsevier Saunders;
2010. p. 149-54.
2. Palmer F, Alpern J. Metabolic acidosis. In: Floege J, Johnson J, Feehally J. eds.
Comprehensive clinical nephrology. 4th edition. Missouri: Elsevier Saunders; 2010.
p. 155-66.
3. Hamm L, Nakhoul N, Smith H. Acid – base homeostasis. Clin J Am Soc Nephrol 2015;
12: 2232-42.Emmet M, Szerlip H. Approach to the adult with metabolic acidosis.
UpToDate. 30 June 2017.
4. Emmet M, Palmer F. Simple and mixed acid – base disorders. UpToDate. 18 October
2016.
5. Emmet M. The delta anion gap/delta HCO3 ratio in patients with a high anion gap
metabolic acidosis. UpToDate. 2 November 2016.
6. Khadra A. Disorder of acid base status. In: Kieslingg, et al eds. Pediatric nephrology
in ICU. Berlin: Springer-Verlag; 2009. p. 19-32.
7. Kovesdy C. Pathogenesis, consequences, and treatment of metabolic acidosis in
chronic kidney disease. UpToDate. 5 July 2016.
8. Metabolic acidosis of CKD: An update. Am J Kidney Dis 2016;67(2): 307-17.
9. Chen W, Abamowitz K. Treatment of metabolic acidosis in patients with CKD. Am J
Kidney Dis 2014; 63(2): 311-7.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 569
Wachid Putranto
10. Yaqoob M. Treatment of acidosis in CKD. Clin J Am Soc Nephrol 2013; 8: 342-3.
11. Kovesdy P. Metabolic acidosis and kidney disease: Does bicarbonate therapy
slow the progression of CKD? Nephrol Dial Transplant 2012; 27: 3056-62.Segal A,
Gennari J. Metabolic Alkalosis. In: Floege J, Johnson J, Feehally J. eds. Comprehensive
clinical nephrology. 4th edition. Missouri: Elsevier Saunders; 2010. p. 160-169.
12. Fencl V, Jabor A, Kazda A, et al. Diagnosis of metabolic acid-base disturbances in
critically ill patients. Am J Respir Crit Care Med 2000; 162: 2246-51.
13. Luke RG, Galla JH. It is chloride depletion alkalosis, not contraction alkalosis. J Am
Soc Nephrol 2012; 23: 204-7.
14. Yi JH, Han SW, Song JS, et al. Metabolic alkalosis from unsuspected ingestion: Use of
urine ph and anion gap. Am J Kidney Dis 2012; 59(4): 577-81.
15. Thye WK. Acid-base balance. In: Clinical Nephrology. Singapore: Singapore
University Press. 1998. p. 197-202.
Pendahuluan
Kalsium dan vitamin D merupakan dua unsur yang tidak dapat
dipisahkan. Kalsium mempunyai peran penting dalam proses-proses biologis.
Kalsium merupakan unsur penting dari membran sel, mempengaruhi
permeabilitas dan sifat-sifat listrik, misalnya, penurunan kadar kalsium
ekstraselular akan meningkatkan permeabilitas dan eksitabilitas (kepekaan)
membran sel tersebut. Kalsium juga mempunyai pengaruh terhadap aktivitas
neuromuskular. Penurunan kadar kalsium akan meningkatkan kepekaan
jaringan saraf dan dapat merangsang kontraksi otot.
tulang per hari (sekitar 250-500 mg) dengan kecepatan yang relatif tinggi,
yang dimediasi oleh osteoblas dan osteoklas. Selain itu, 0,5-1% kalsium tulang
secara bebas dapat bertukar tempat dari tulang ke cairan ekstra selular untuk
menjaga homeostasis di dalam darah.
Hiperkalsemia
Banyak keadaan dapat menyebabkan hiperkalsemia, tapi kelebihan PTH
merupakan penyebab paling utama. Produksi PTH yang berlebihan dapat
terjadi akibat hiperparatiroidisme primer atau sekresi peptida yang mirip
PTH oleh keganasan nonparatiroid. Selain itu, hiperkalsemia juga dapat
dikaitkan dengan hiperparatiroidisme tersier yang ditemukan pada penyakit
ginjal kronik.
Hipokalsemia
Hipokalsemia sering disebabkan terangkatnya keempat kelenjar
paratiroid pada pembedahan tiroid atau akibat destruksi autoimun kelenjar
paratiroid. Manifestasi klinis hipokalsemia adalah kram, tetani, serangan
kejang, gangguan mental dan lesi ektodermal. Tetani dapat ditandai dengan
spasme otot involuntar. Tetani dapat menyerang otot ekstremitas atas dan
bawah, sehingga terjadi spasme karpopedal, parestesia dan kadang-kadang
stridor laringeal.
Defisiensi Vitamin D
Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang dibutuhkan untuk berbagai
proses metabolisme di dalam tubuh. Dalam metabolisme kalsium dan tulang,
fungsi utama 1,25(OH)2D3, metabolit aktif vitamin D, adalah mengontrol
absorpsi kalsium dan fosfat usus agar dapat mempertahankan konsentrasi
kalsium darah sehingga mineralisasi tulang tetap terpelihara. Defisiensi
vitamin D akan berpengaruh pada homeostasis ini.
instabilitas postural dan membuat usia lanjut mudah jatuh. Belakangan ini
diketahui pula bahwa vitamin D berhubungan dengan berbagai penyakit
seperti penyakit asma, diabetes melitus, hipertensi, artritis reumatoid,
keganasan kolon, payudara, prostat, dan sebagainya meskipun sebagian studi
melaporkan hasil yang kontroversial.
Daftar Pustaka
1. Bringhurst FR, Demay MB, Kronenberg HM. Hormones and disorders of mineral
metabolism. Dalam: Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, Kronenberg HM. Williams
Textbook of Endocrinology. 12th ed. Saunders Elsevier, Philadelphia, 2011. 1237-
304.
2. Bouillon R. Vitamin D: from photosynthesis, metabolism, and action to clinical
applications. Dalam: Jameson JL, De Groot LJ. Endocrinology adult and pediatric.
6th. Saunders Elsevier, Philadelphia, 2010: 1089-109.
3. Thakker RV, BringhurstFR, Juppner H. Calcium regulation, calcium homeostasis,
and genetic disorders of calcium metabolism. Dalam: Jameson JL, De Groot LJ.
Endocrinology adult and pediatric. 6th. Saunders Elsevier, Philadelphia, 2010:
1136-59.
PENDAHULUAN
Komponen mineral tulang rangka yang utama adalah kalsium dan fosfat.
Adanya perubahan dalam produksi kalsium dan fosfat pada sirkulasi dapat
menyebabkan terjadinya defek mineralisasi pada tulang rangka. Vitamin D
memegang peran utama dalam memelihara konsentrasi baik kalsium maupun
fosfat. Vitamin D (D2 atau D3) diperoleh dari paparan matahari pada kulit
juga bisa di dapat dari bahan makanan (Holick FM, 1997).
KALSIUM
Kalsium per-oral akan diabsorbsi dari usus dengan 2 cara: secara
pasif dan melalui vitamin D mediated transport active. Keduanya menjadi
kurang efisien dengan berjalannya usia. Efisiensi absorbsi kalsium menurun
dengan adanya insufisiensi vitamin D. Kadar 25-hydroxyvitamine (OH) D
serum cenderung menurun secara bertahap dengan bertambahnya usia.
Selain itu kemampuan kulit untuk mensintesa vitamin D juga berkurang .
Demikian juga absorbsi di usus menjadi kurang efisien. Perubahan ini juga
disertai dengan berkurangnya paparan terhadap sinar matahari karena
aktifitas fisik yang berkurang. Adanya kadar kalsium yang rendah akan
merangsang sekresi hormon paratiroid (PTH) untuk meningkatkan produksi
1,25-dihydroxyvitamin D, sehingga menyebabkan hiperparatiroid sekunder.
PTH adalah hormon utama untuk mempertahankan homeostasis kalsium dan
mengatur remodeling tulang. Kadar PTH yang tinggi mencetuskan gangguan
metabolisme tulang menyebabkan resorpsi tulang, kehilangan tulang dan
melepaskan ion kalsium ke darah. Bila terjadi kenaikan resorpsi tulang, risiko
fraktur meningkat (Boonen, 2008).
Kalsium dikeluarkan dari dalam tubuh melalui urine dan faeces, dan juga
melalui kulit, rambut dan kuku. Pada orang dewasa, pengeluaran kalsium
melalui urine paling sedikit sampai 140 mg/hari, sedang pengeluaran melalui
kulit, rambut dan kuku sekitar 40-80 mg/hari. Kebutuhan kalsium berbeda
antar golongan umur, status fisiologis dan kultur. Janin dan bayi baru lahir
membutuhkan tambahan kalsium untuk pertumbuhan rangka tulang sebesar
VITAMIN D
Vitamin D3 diproduksi di kulit dari 7-dehidrokolesterol oleh radiasi
ultraviolet (UV) yang memecah cincin B untuk membentuk pre-D3. Pre D3
mengalami isomerisasi menjadi D3 atau dengan melanjutkan irradiasi akan
terbentuk tachysterol dan lumisterol. D3 selanjutnya akan dikeluarkan
dari tulang, dan berikatan dengan vitamin D binding proteine (DBP). Liver
dan jaringan lain akan memetabolisme vitamin D menjadi 25(OH)D yang
merupakan bentuk sirkulating dari vitamin D, oleh beberapa enzym seperti
CY (Cytochrome)P 27A1 (mitokondrial) dan CYP2R1 (microsomal). 25(OH)
D kemudian akan dimetabolisme menjadi 1,25-dihydroxyvitamin D pada
tubulus proksimal ginjal oleh enzim CYP27B1, meskipun sel-sel lain seperti
keratinosit epidermal, kelenjar paratiroid, epitel intestinal, makrofag, dan
berbagai macam sel tulang dan kondrosit mengandung enzim ini (Bikle,
2012).
tanpa memerlukan puasa dan bisa diambil kapan saja dan cukup untuk
mengukur kadar 25-hydroxyvitamin D (level 2 EBM). Kalsitriol sirkulasi
(1α, 25-dihydroxyvitamin D3 atau 1,25-dihydroxycholecalciferol) adalah
hormon vitamin D yang mengatur absrobsi kalsium dan fosfat pada usus,
tetapi bukan indikator yang tepat untuk status vitamin D secara klinis, kecuali
pada penderita dengan abnormalitas sintesis kalsitriol (sarkoidosis) atau
gangguan metabolisme fosfat dan vitamin D yang jarang terjadi (level 4 EBM,
grade D recommendation) (Hanley,2010).
KLASIFIKASI OSTEOPOROSIS
1. OSTEOPOROSIS PRIMER: dapat terjadi pada tiap kelompok umur.
Dihubungkan dengan faktor risiko, meliputi merokok, aktivitas, pubertas
tertunda, berat badan rendah, alcohol, ras kulit putih/ asia, riwayat
keluarga, postur tubuh,dan asupan kalsium yang rendah (Sozen, 2017)
Kriteria WHO tidak berlaku untuk wanita muda. Nilai Z-score kurang dari
-2 pada vertebra lumbalis atau femur mengindikasikan nilai BMD di bawah
normal. Pada wanita pre menopause, diagnosis osteoporosis tidak hanya
berdasarkan parameter densitometri, melainkan juga mempertimbangkan
adanya faktor risiko lain dan riwayat fraktur fragilitas dan penyakit atau
kehilangan tulang yang diinduksi obat (Martinez-Morillo dkk., 2012).
GEJALA OSTEOPOROSIS
Osteoporosis merupakan “silent thief”, yang sulit untuk dikenali tanda dan
gejalanya sebelum terjadinya fraktur. Fraktur pada osteoporosis bisa terjadi
secara spontan, bahkan hanya dengan dipicu trauma minimal. Fraktur yang
disebabkan osteoporosis dapat menyebabkan disabilitas dan meningkatkan
mortalitas. Gejala klinis tersebut berbeda, tergantung lokasi terjadinya
fraktur.
Metaanalisis
Metaanalisis yang dilakukan pada beberapa artikel yaitu pada Cochrane
Bone, Joint and Muscle Trauma group Specialised Register, the Cohrane Central
Register of Controlled Trial (The Cochrane Library 2007, issue 3), MEDLINE,
EMBASE, CINAHL. Seleksi dilakukan pada Randomised atau quasi – randomized
trial yang membandingkan vitamin D atau komponen terkait saja atau dengan
kalsium terhadap placebo, tanpa intervensi atau kalsium saja dengan outcome
fraktur pada lansia. Koleksi dan analisis data dilakukan oleh 2 penulis secara
independen. Didapatkan 54 trial dengan kesimpulan utama:
Daftar Pustaka
1. Adler RA, Hochberg MC (2003). Suggested Guidelines for Evaluation and Treatment
of Glucocorticoid-Induced Osteoporosis for the Department of Veterans Affairs.
Arch Intern Med 163, 2619-2624.
2. Avenell A, Gillespie W, Gillespie L, O’Connell D (2009). Vitamin D and vitamin
D analogues for preventing fractures associated with involutional and post-
menopausal osteoporosis (Review). In: The Cochrane Collaboration. John Wiley &
Sons , LTd, pp 1-87.
3. Bhatia V, Dietary calcium intake – a critical reappraisal. Indian J Med Res 127,
March 2008:269-273.
4. Bikle D (2012). Vitamin D and Bone. Curr Osteoporosis Rep 10(2), 151-159.
5. Boonen S (2008). Calcium, vitamin D and its metabolites in osteoporosis. In: 17
th
IOF Advanced Training Course on Osteoporosis. Eds: Delmas P, International
Osteoporosis Foundation , pp 187-194.
6. Hanley D, Cranney A, Jones G, Whiting S, Leslie W et al (2010). Vitamin D in adult
health and disease: a review and guideline statement from osteoporosis Canada.
CMAJ 182 (12), E 610-E 618.
7. Holick FM (2011). Osteomalacia and Rickets. In: Metabolic Bone Disease. Eds
Hochberg, Elsevier, Phlidelphia :pp 1997-2005
Pendahuluan
Efek Samping obat terdapat pada 3-6% pasien yang datang ke rumah
sakit, dan bisa muncul pada 10-15% pasien yang dirawat. Keadaaan ini
menyebabkan peningkatan mobiditas, memanjangnya waktu rawat dan
meningkatnya resiko kematian. Efek samping obat didefinisikan oleh WHO
sebagai respon yang tidak diinginkan akibat dari pemberian obat pada dosis
normal1. Ada dua tipe efek samping obat yang diketahui, yaitu tipe A adalah
suatu efek samping obat yang sudah diprediksi akan muncul dan tergantung
dengan jumlah dosis yang diberikan. Efek Samping obat tipe A ini terdapat
pada sekitar 80% kasus efek samping obat. Efek samping obat tipe B adalah
suatu efek samping obat yang timbul tanpa bisa diprediksi sebelumnya, tidak
berhubungan dengan dosis pemberian dan dijumpai pada 15-20% kasus efek
samping obat. Kejadian alergi obat termasuk dalam reaksi efek samping obat
tipe B.
Nomenklatur:
- Adverse drug reaction (ADR): Efek yang tidak dimaksudkan dalam
pengobatan selain gagal terapi, efek akibat over dose atau kelalaian cara
pemberian obat. ADR dibagi menjadi dua yaitu efek yang diprediksi dan
efek yang tidak diprediksi. Efek yang tidak diprediksi dalam hal ini dibagi
menjadi drug intolerance, drug idiosyncrasy, drug allergy, dan reaksi
pseudoallergy.
- Anafilaksis: adalah reaksi sistemik yang muncul setelah orang yang
tersensitasi terekspose oleh allergen.
Patofisiologi
Reaksi Alergi didasarkan pada tipe reaksi hipersensitifitas Coombs dan
Gell. Pada reaksi tipe I antigen akan berikatan dengan Ig E spesifik yang telah
terbentuk sebelumnya yang kemudian berikatan dengan reseptor membran
dari sel mast atau basofil. Ikatan ini menyebabkan pelepasan secara cepat
mediator-mediator inflamasi dan vasoaktif, mengakibatkan terjadinya
vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, hipersekresi glandular,
spasme otot polos serta infiltrasi jaringan oleh eosinofil. Reaksi tipe I
misalnya terdapat pada rhinitis alergi, asma, eczema atopic, reaksi anafilaksis
atau alergi obat. Reaksi tipe II atau cytotoxic reaction diakibatkan Ig G dalam
sirkulasi berikatan dengan komponen antigen, hapten, sel atau reseptor pada
permukaan jaringan . Ikatan ini akan mengaktivasi makrofag, NK cell, atau
komplemen untuk melakukan fungsi fagositosis. Reaksi tipe II bisa ditemukan
pada beberapa kasus alergi obat misalnya alergi penisilin atau suatu urtikaria
kronis. Reaksi tipe III atau immune complex reaction terjadi akibat ikatan Ig
G dengan antigen soluble. Ikatan ini akan menempel pada dinding pembuluh
darah atau jaringan mengakibatkan migrasi sel polimorfonuklear dan
komplemen. Enzim proteolytic lisosomal serta faktor permeabilitas akan
dilepaskan sehingga menimbulkan terjadinya suatu inflamasi akut. Reaksi ini
dapat dijumpai pada serum sickness dan reaksi arthus. Reaksi tipe IV atau
cellular mediated/delayed type hypersensitivity. Didasarkan oleh ikatan sel T
yang tersensitisasi dengan antigen spesifik. Dibagi menjadi empat berdasarkan
rekruitmen dan aktivasi dari makrofag (IV A), eosinofil (IVB), CD4/CD8 (IV C)
dan neutrofil (IV D). Reaksi tipe IV ini mendasari timbulnya delayed cutaneus
eruption (maculopapular exanthema) yang berhubungan dengan penggunaan
antibiotika (amoxicillin dan sulfonamide), acute generalized exanthematous
pustulosis dan reaksi penolakan jaringan 4.
Selain reaksi imunitas yang mendasari, alergi obat juga didasarkan pada
teori antigenicity obat. Ada tiga konsep yang menerangkan hal ini yaitu konsep
hapten, konsep Prohapten, dan konsep p-I (pharmacological Interaction with
immune receptor). Konsep Hapten didasarkan pada ikatan antara bagian aktif
obat dengan protein sehingga terbentuk hapten-carrier complex (misalnya
komponen penisilin yang berikan dengan albumin) ikatan ini mengakibtkan
terbentuknya neoantigen yang akan dikenali oleh sistem imun (hapten-spesifik
immunoglobulin pada sel B dan sel T). Konsep prohapten adalah bagian obat
yang tidak aktif yang dimetabolisme menjadi bentuk aktif berikatan dengan
Diagnosis
Pada kasus alergi obat, anamnesis dengan seksama harus dikerjakan.
Anamnesis meliputi riwayat penggunaan obat sebelumnya atau akhir-akhir
ini yang diduga menjadi penyebab alergi yang timbul. Ada atau tidaknya
reaksi toksik atau alergi sebelumnya, jika ada perlu ditanyakan berapa waktu
yang diperlukan antara paparan hingga timbulnya reaksi, seperti apa reaksi
yang ditimbukan, dan apakah reaksi yang ditimbulkan bersifat sistemik atau
hanya terbatas di kulit saja.
Presentasi di kulit merupakan hal yang sering dijumpai pada reaksi alergi,
sehingga pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada ditemukannya kelainan
dikulit karena hal ini penting dalam menentukan penyebab, reaksi imun yang
mendasari, tes diagnostik yang akan dipilih dan pengelolaan selanjutnya
Tata Laksana
Avoidance
Seperti halnya kasus alergi yang lain, maka menghindari faktor
pencetus penyebab alergi adalah langkah yang tepat. Karena itu dalam hal
menghadapi alergi obat, anamnesis yang menyeluruh terhadap riwayat
pengobatan sebelumnya dan ada tidaknya reaksi tidak menyenangkan setelah
mengkonsumsi obat tersebut perlu dicatat dengan baik agar klinisi mampu
memilihkan obat yang tepat dengan resiko yang kecil.
Medikamentosa:
Bilamana menemukan kejadian alergi obat, Beberapa medika mentosa
mungkin dibutuhkan, obat – obat yang dapat digunakan antara lain :
- Anti histamin
- Kortikosteroid
- Adrenalin
Daftar Pustaka
1. 1. World Health Organization. International drug monitoring: the role of national
centres. World Health Organ Tech Rep Ser. 1972;498:1–25.
2. Johansson SG, Bieber T, Dahl R, Friedmann PS, Lanier BQ, Lockey RF, Motala C,
Ortega Martell JA, Platts-Mills TA, Ring J, Thien F, Van Cauwenberge P, Williams
HC. Revised nomenclature for allergy for global use: report of the nomenclature
review committee of the World Allergy Organization, October 2003. J Allergy Clin
Immunol. 2004;113:832–6
3. Johansson SG, Bieber T, Dahl R, Friedmann PS, Lanier BQ, Lockey RF, Motala C,
Ortega Martell JA, Platts-Mills TA, Ring J, Thien F, Van Cauwenberge P, Williams
HC. Revised nomenclature for allergy for global use: report of the nomenclature
review committee of the World Allergy Organization, October 2003. J Allergy Clin
Immunol. 2004;113:832–6.
4. Janeway CA Jr, Travers P, Walport M, et al. Immunobiology : The Immune System in
Health and Disease 7th edition. New York: Garland Science 2001
5. Wuillemin, N., Adam, J., Fontana, S., Krahenbuhl, S., Pichler, W.J. and Yerly, D.
(2013) HLA Haplotype Determines Hapten or P-I T Cell Reactivity to Flucloxacillin.
The Journal of Immunology, 190, 4956-4964. https://doi.org/10.4049/
jimmunol.1202949.
6. Al-Sanouri, B., Maslamani, Y. and Sanouri, I. (2018) A Practical Approach to
Demystifying Drug Allergy in the Intensive Care Unit. A Review Article. Open
Journal of Internal Medicine , 8, 64-83. https://doi.org/10.4236/ojim.2018.81008
7. Rueff F, Bergmann KC, Brockow K et al. Hauttests zur Diagnostik von allergischen
Soforttypreaktionen. Allergo J 2010;19:402–15
8. Brockow K, Romano A, Blanca M et al. General considerations for skin test
procedures in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002;57:45–51
9. Brockow K, Romano A, Blanca M et al. General considerations for skin test procedures
in the diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002;57:45–51Brockow K,
Romano A, Blanca M et al. General considerations for skin test procedures in the
diagnosis of drug hypersensitivity. Allergy 2002;57:45–51
Gambar 1. Anatomi jantung terdiri dari pembuluh darah besar, ruang jantung, dan
katub-katub jantung.
Gambar 2. Anatomi pembuluh darah koroner terdiri dari pembuluh darah Left
anterior desenden (LAD), left circumflex (LCX) dan Right coronary ascenden (RCA) yang
memberi nutrisi dan oksigen ke miokard.
PR ST
segment segment T
P
U
S
.12 - .20 <.10 .35 - .45
sec sec sec
PR QRS QT
interval width interval
Sel otot jantung yang mendapat stimulus dari luar, akan menjawab
dengan timbulnya potensial aksi, yang disertai dengan kontraksi, dan
kemudian repolarisasi yang disertai dengan relaksasi. Potensial aksi dari
satu sel otot jantung akan diteruskan kea rah sekitarnya, sehingga sel-sel otot
jantung di sekitarnya akan mengalami juga proses eksitasi, kontraksi, dan
relaksasi. Penjalaran peristiwa listrik ini disebut konduksi. Berbeda dengan
sel-sel jantung biasa, dalam jantung terdapat kumpulan sel-sel jantung yang
memiliki sifat menimbulkan potensial aksi sendiri tanpa adanya stimulus dari
luar, hal ini yang disebut sifat automatisasi.
- Cabang berkas.
- Berkas his bercabang menjadi dua bagian ke arah distal menjadi
cabang berkas his kanan dan cabang berkas his kiri. Cabang berkas kiri
memberikan cabang-cabang ke ventrikel kiri, sedangkan cabang berkas
kanan bercabang ke arah ventrikel kanan.
- Fasikel.
- Cabang berkas kiri bercabang menjadi dua bagian, yaitu fasikel kiri
anterior dan fasikel kiri posterior
- Serabut purkinje.
- Bagian akhir dari sistem konduksi yang berupa anyaman-anyaman halus
dan berhubungan dengan sel otot jantung.
ABNORMALITAS ATRIUM
Kriteria EKG untuk abrnormalitas atrium kanan:
1. P tinggi dan lancip di II, III,aVF: tinggi ≥ 2.5 mm dan interval ≥ 0.11 detik
2. Defleksi awal di V1 ≥ 1.5 mm. Bentuk gelombang P disebut P pulmonal.
ABNORMALITAS VENTRIKEL
Kriteria EKG untuk Hipertrofi ventrikel kiri
1. Kriteria Voltase: Voltase ventrikel kiri meninggi
- R atau S di sandapan ekstremitas ≥ 20 mm, atau S di kompleks
ventrikel kanan ≥ 25 mm atau R di kompleks ventrikel kiri ≥ 25 mm,
atau S di ventrikel kanan + R di ventrikel kiri ≥ 35 mm
- Depresi ST dan inversi T di V5,V6 (kompleks ventrikel kiri)
- Abnormalitas atrium kiri
- Kriteria voltase: S di V1, V2 dalam dan R di V5, V6 tinggi
- Waktu aktivasi ventrikel memanjang di V5, V6
Kriteria EKG untuk Blok Cabang Berkas Kanan atau Right Bundle Branch Block
(RBBB)
- Interval QRS memanjang ≥ 0.10 detik
- S yang lebar di I dan V6
- R’ yang lebar di V1
Kriteria EKG untuk Blok Cabang Berkas Kiri atau Left Bundle Branch Block
(LBBB)
- Interval QRS melebar ≥ 0.10 detik
- Gelombang R yang lebar, sering berlekuk di I, V5 dan V6
- rS atau QS di V1
SINDROM PRE-EKSITASI
Sindrom pre-eksitasi ialah suatu sindrom EKG dimana ventrikel mengalami
depolarisasi lebih awal dari biasa. Hal ini disebabkan karena adanya jalur-
jalur lain disebabkan karena adanya jalur-jalur pada sistem konduksi. Jalur-
jalur ini disebut jalur-jalur aksesori
Daftar Pustaka
1. Pratanu S, Yamin M, Harun S. Elektrokardiografi. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. 1(VI). Ed: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, SImadibrata M, Setiyohadi B, Syam
AF. Interna Publishing.2014: 295-307
2. Shades B. Pocket’s ECG. Quick Information Guide. 2008
3. Jones SA. ECG Notes. Interpretation and Management Guide. 2016
4. Ferry DR. ECG in 10 days. 2013
PENDAHULUAN
Elektrokardiografi merupakan instrumen kesehatan yang dapat
digunakan untuk mengetahui berbagai kelainan jantung baik gangguan
aktivitas listrik maupun gangguan pada organ jantung itu sendiri. Jantung yang
normal memiliki irama yang reguler dan memberikan gambaran gelombang
yang serupa pada elektrokardiogram. Apabila irama yang muncul memiliki
irama yang irreguler maupun memiliki penyimpangan pada gambaran
EKGnya maka hal ini disebut aritmia.
ARITMIA
Pengertian
Aritmia adalah gangguan irama jantung atau penyimpangan dari irama
normal (sinus rhythm) yang ditandai dengan kondisi denyut yang tidak teratur,
gangguan kecepatan denyut jantung atau gangguan konduksi. Irama sinus
(sinus rhythm) irama yang denyutnya bersumber pada nodus SA. Sehingga
pengertian aritmia secara gamblang adalah irama jantung yang bukan irama
sinus.
Klasifikasi Aritmia
1. Aritmia berasal dari nodus SA
Aritmia yang berasal dari nodus SA adalah semua gangguan irama
yang pemicu dominannya adalah nodus SA.
b. Sinus Bardikardi
c. Sinus Arrest
d. Blok Sinoatrial
e. Sinus Aritmia
i. Wolff-Parkinson-White (WPW)
c. Junctional Tachycardia
Gambar 35. VT tipe polimorfik. Pada gambar di atas, durasi lebar >0,12
detik dan morfologi QRS tidak sama.
f. Torsade de Pointes
h. Asistol
− Hyperacute T waves
Bila lebar dan tingginya asimetris menandakan suatu iskemik atau
bagian awal dari Elevasi segmen ST (STEMI) dan kadang-kadang
bisa disertai oleh gelombang Q dan Elevasi segmen ST (Gambar 6.4)
− Inverted T waves
Adanya inversi gelombang T dapat disebabkan hal-hal berikut ini:
- Variasi normal pada remaja (usia muda)
- Iskemik
- Blok cabang berkas (LBBB dan RBBB)
- Hipertropi ventrikel (RVH dan LVH)
- Emboli paru
- Kardiomiopati hipertropi
- Perdarahan intra kranial atau peningkatan tekanan intra
kranial.
− Biphasic T waves
Pada iskemik didapat gelombang T naik kemudian turun.
− Flattened T waves
Gambar T datar bisa didapatkan pada iskemik dan hipokalemia.
Yang membedakan pada hipokalemia disertai gelombang U yang
menonjol. (Gambar 6.7)
2. Depresi Segmen ST
Kriteria depresi segmen ST pada iskemik miokardial:
− Depresi ≥ 1 mm
− Minimal 2 sadapan atau lebih
− Muncul pada 2 atau lebih yang diikuti kompleks QRS secara berturut-
turut.
− Variasi gelombang dapat berupa depresi J point dengan depresi
segmen ST tipe upsloping, tipe horizontal sloping dan tipe down
sloping. Pada depresi segmen ST tipe horizontal sloping dan tipe
down sloping merupakan indikasi kuat adanya iskemik miokard,
sedangkan tipe upsloping tidak spesifik pada iskemik miokard
Pengertian Infark
Infark miokard akut (IMA) merupakan kelanjutan dari iskemik yang tidak
teratasi. Pada EKG didapat gambaran elevasi segmen ST ≥ 1 mm (1 kotak kecil)
dari garis isoelektrik pada sadapan ekstremitas dan elevasi segmen ST ≥ 2 mm
(2 kotak kecil) daris garis isolektrik pada sadapan precordial. (Gambar 6.9)
Gambar 47. Bentuk gelombang infark. Pada gambar A, gelombang EKG normal dengan
segmen ST berada pada garis isoelektrik, gambar B, elevasi segmen ST dari garis
isolektrik yang merupakan tipikal suatu infark.
- Recent STEMI
Tandanya Elevasi segmen ST dengan terbentuk gelombang Q. Infark
jenis ini menandakan proses infark telah berlangsung. Mulai terjadi
nekrosis pada otot jantung. (Gambar 6.12)
Gambar 53. STEMI Inferior. Tampak elevasi segmen ST di II, III, aVF
Kelainan gambar EKG juga dapat terlihat dalam kondisi iskemik dalam
sindrom koroner akut. Dengan melihat adanya abnormalitas segmen ST,
inversi gelombang T dan Q patologis pada gambaran EKG maka kita sudah
dapat menduga terjadi sindrom koroner akut pada seseorang. Untuk itu,
mengingat banyaknya variasi dari aritmia jantung dan sindrom koroner akut,
maka didalam melakukan pembacaan EKG harus dilakukan secara seksama
dan teliti. Apabila terdapat kesalahan pada pembacaan EKG tersebut maka
630 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Elektrokardiogram Aritmia Jantung dan Sindrom Koroner Akut
Daftar Pustaka
1. Mirvis DM and Goldberger AL. Electrocardiography. In: Bonow, RO. Braunwald’s
heart disease: a textbook of cardiovascular medicine 10th ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier; 2015. p.114-54.
2. Fischer DB, and Lilly LS. The electrocardiogram. In: Lilly, LS. Pathophysiology of
heart disease. 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2011. p.47-111.
6. Derr P, McEvoy M, Tardiff J. Emergency & critical care pocket guide ACLS. 8th ed..
United States of America: Jones and Bartlett Learning; 2014.
7. Prust MJ, Stevenson WG, Strichartz GR, et al. 2011. Mechanisms of cardiac
arrhythmias. In: Lilly, LS. Pathophysiology of heart disease 6th ed. Philadelphia:
Wolters Kluwer; 2011. p.268-86.
8. Thygesen K, Alpert JS, Jaffe AS, et al. Fourth universal definition of myocardial
infarction. Eur Heart J. 2018;100: 1-33.
9. Scirica, BM. and Morrow, DA. ST-elevation myocardial infarction; pathology,
pathophysiology, and clinical features. In: Bonow, RO. Braunwald’s heart disease: a
textbook of cardiovascular medicine. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015.
p.1068-94.
10. Wilder J, Sabatine MS, Lilly, LS. Acute coronary syndromes. In: Lilly, Leonard S.
Pathophysiology of heart disease 6th ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2011. p.162-
91.
11. Jones, SA. ECG Notes: interpretation and management guide. Philadelphia: Davis
Company; 2005.
Akses vena merupakan alat yang hampir rutin dipasang pada pasien
yang dirawat di rumah sakit terutama pada pasien kritis di unit gawat darurat
dan unit perawatan intensif. Berdasarkan letak anatominya, vena dibedakan
menjadi vena perifer dan vena sentral. Pada fase awal suatu kondisi gawat
darurat, akses perifer menjadi pilihan utama. Pada fase selanjutnya akses
vena sentral dapat dilakukan sesuai indikasi. Keterampilan pemasangan
akses vena perifer telah menjadi bagian dari kompetensi dokter dan perawat.
Berikut ini akan diuraikan pemasangan akses vena perifer dan sentral dari
aspek anatomi, indikasi dan kontraindikasi, serta aplikasi penggunaannya
Gambar 1. Vena perifer di lengan bawah dan tangan yang sering digunakan adalah
vena metakarpal, vena dorsalis manus, vena sefalika, vena basilika.
Pemasangan akses vena perifer tidak hanya di vena distal dari tangan. Akses
vena sentral dapat dilakukan [ada vena jugularis eksterna atau di kaki.
Pemasangan akses di kaki dihindari karena risiko infeksi meningkat dan
sirkulasi vena di kaki tidak sebaik vena di tangan.
Gambar 2. Anatomi vena jugularis interna kanan dan vena jugularis eksterna
kanan (Farrow, 2009)
Gambar 3. Anatomi vena jugularis interna dan vena subklavia yang membentuk
vena brakhiosefalik (kanan) menuju vena kava superior (Standring, 2016)
Standring S. Gray’s anatomi: the anatomical basis of clinical practice. 41st ed.
London: Elsevier; 2016.
2. Vena subklavia
Vena subklavia merupakan kelanjutan dari vena aksilaris. Vena
subklavia kiri juga mendapat aliran dari duktus torasikus. Vena subklavia
bersama vena jugularis interna membentuk vena brakhiosefalik menuju
vena kava superior.
3. Vena femoralis
Vena femoralis yang merupakan kelanjutan dari vena poplitea, pada
area inguinalis umumnya berada di sisi medial dari arteri femoralis.
Akses vena sentral dapat digunakan untuk diagnostik, terapi, atau keduanya.
Berikut ini beberapa penggunaan akses vena sentral yang perlu diketahui
1. Pemantauan hemodinamik. Pada pengelolaan pasien syok, perlu
diketahui status hemodinamik pasien untuk menentukan penyebab
syok dan menjadi dasar terapi dan pemantauannya. Syok sirkulasi
dapat disebabkan penurunan preload, penurunan kontraktilitas, dan
penurunan afterload. Pada parameter hemodinamik, tekanan vena
sentral dapat diukur menggunakan kateter vena sentral. Tekanan arteri
pulmonal dengan menggunakan kateter arteri pulmonal (kateter Swan
Ganz). Curah jantung (cardiac output) dapat diukur dengan teknik
termodilusi dengan menggunakan kateter arteri pulmonal juga.
2. Hemodialisis. Pada pasien yang menjalani hemodialisis, pilihan akses
pemasangan kateter lumen ganda adalah di vena jugularis interna kanan,
pilihan selanjutnya vena femoralis, vena jugularis interna kiri, vena
subklavia.
3. Ultrasonografi. Teknologi pencitraan ultrasonografi akan sangat
membantu sebelum, saat, dan setelah pemasangan. Sebelum pemasangan
operator dapat mengidentifikasi vena yang akan menjadi akses dalam
hal anatomi normal, ukuran diameter, kedalaman dari atas kulit, arah
pembuluh vena, posisi vena terhadap arteri, dan identifikasi trombus.
Saat pemasangan, operator dapat melihat real-time ujung jarum dan
wire saat dimasukkan ke dalam pembuluh vena. Setelah pemasangan,
operator dapat mengevaluasi letak kateter di dalam pembuluh vena.
Daftar Pustaka
1. Webb S, Mijovski G. Chapter 5: arterial and venous catheter insertion. In: Falter F,
ed. Bedside procedure in the ICU. London: Springer; 2012.p.49-65.
2. Chantler J. Chapter 2: Applied anatomy of the central veins. Hamilton H, Bodenham
A, eds. Central venous catheterization. West Sussex: Wiley-Blackwell; 2009.p.14-
33.
3. Kellum JA, Lameire N, Aspelin P, Barsoum R, Burdmann EA, Goldstein SL, et al.
KDIGO Clinical Practice Guideline for Acute Kidney Injury. Kidney International.
2012; 2: 89-115.
4. Standring S. Gray’s anatomi: the anatomical basis of clinical practice. 41st ed.
London: Elsevier; 2016.p. 442-74.
PENDAHULUAN
Insersi kateter intravena adalah tindakan menempatkan kateter kedalam
pembuluh darah untuk memberikan akses vena. Akses vena baik perifer
maupun sentral merupakan andalan pada pengobatan modern. Kanulasi pada
vena perifer merupakan prosedur yang dikerjakan oleh beragam profesional
bidang kesehatan, baik dokter, perawat maupun teknisi medis. Prosedur
ini telah menjadi keterampilan yang penting untuk dikuasai oleh setiap
profesional kesehatan. Sedangkan kanulasi vena sentral merupakan prosedur
yang umumnya hanya dikerjakan oleh dokter. Meskipun prosedurnya
tampak sederhana pada saat dilakukan oleh seseorang yang sudah terlatih,
keterampilan ini sebenarnya cukup sulit, yang membutuhkan latihan yang
cukup untuk menjadi sempurna apalagi pada kondisi tertentu dengan adanya
penyulit yang menantang.
Table 1. Ringkasan Poin yang Harus Dipertimbangkan Saat Memilih Akses Vena
Akses Periferal
Sifat infus Lama Terapi Alat
• pH antara 5 dan 9 < 1 minggu Kateter periferal IV jangka
• Osmolaritas < 600 mOsm/L pendek
• Konsentrasi dekstrosa akhir < 10% 1-8 minggu Kateter Midline
• Isotonik > 4 minggu Pertimbankan PICC atau
• Obat noniritan, nonvesikan sentral non-tunel
Akses Sentral
Sifat Infus Lama Terapi Alat
• pH < 5 dan > 9 4-12 minggu PICC atau sentral non-tunel
• Osmolaritas > 600 mOsm/L
• Konsentrasi dekstrosa akhir > 10%
• Hipotonik/hipertonik Jangka lama > 12 minggu PICC atau sentral tunel akses
• Obat iritan atau vesikan vaskuler port implan
• Kemoterapi kontinyu
IV, intravenous; PICC, peripherally inserted central catheter.
Persiapan Alat
Kumpulkan perlengkapan, terdiri atas: kit CVC, gaun steril, sarung tangan
steril, penutup probe ultrasound steril (bila menggunakan US), kap, masker,
saline flushes, dan dressing khusus atau antibiotik. Umumnya kit CVC yang
dipasarkan terdiri atas CVC, kawat panduan j-tip, dilator, pisau bedah, jarum
introducer, lidokain 1%, spuit 3 dan 5 mL, beberapa jarum kecil (biasanya
20, 22, dan 23 gauge), benang, CVC clamp, dressing, kasa, penutup, dan
klorheksidin. Isi dari kit tersebut dikemas dalam baki steril yang dibungkus
dengan penutup steril.
Prosedur Tindakan
1. Cek semua peralatan sebelum mulai tindakan
2. Pasien posisi trendelenberg, untuk memberikan pembesaran maksimal
pembuluh darah vena target dan mencegah emboli udara.
3. Tandai lokasi insersi berdasar anatomical landmark atau identifikasi
struktur vaskular dengan menggunakan ultrasound
4. Lakukan desinfeksi area insersi dengan klorheksidin
5. Tutup dengan duk steril
6. Anestesi lokal pada tempat insersi dengan lidokain 1%.
7. Insersi dengan introducing nedle (direkomendasikan dengan panduan
US)
8. Lakukan aspirasi untuk memastikan darah vena dan menilai kelancaran.
Darah vena berwarna gelap dan tidak mendorong spuit
9. Masukkan guide wire melalui introducing nedle secara lembut sekitar 10
hingga 20 sentimeter atau setengah dari panjang wire.
10. Incisi kulit pada exit site dengan pisau scalpel lurus
11. Pelebaran akses dengan dilator
12. Kateter dimasukkan melalui guide wire
13. Guide wire dicabut, lakukan aspirasi kateter lalu kunci dengan heparin
untuk mencegah kateter buntu
14. Fiksasi kateter dan tutup exit site dengan kassa steril
Tabel 2. Distribusi frekuensi insersi kateter vena sentral antara vena jugular internal
dan vena subklavia
Internal jugular vein Subclavian vein (n=18),
Variables
(n=71), frequency (%) frequency (%)
Correct placed CVC tips (carina level) 53 (74.7) 9 (50)
Malpositioned CVC tips 21 (29.6) 9 (50)
Right atrium 12 (16.9) 7 (38.9)
Above carina 8 (11.3) 1 (5.6)
Retrograde into right internal jugular 0 1 (5.6)
vein Into right brachiocephalic trunk 1 (1.4) 0
Complications 13 (18.3) 6 (33.3)
Carotid artery puncture 7 (9.9) 1 (5.6)
Failure to insert 5 (7) 4 (22.2)
Arrhythmias 4 (5.6) 1 (5.6)
Pneumothorax 0 4 (22.2)
Hematoma 2 (2.8) 0
Jika kateter temporer dipakai dalam waktu yang lama, dapat terjadi
erosi pembuluh darah yang progresif dan menyebabkan perforasi.
Kondisi ini terkait dengan panjang dan kekakuan relatif kateter. Posisi
kateter yang tidak tepat atau migrasi ujung kateter keluar dari vena kava
superior proksimal meningkatkan risiko kejadian ini. Kondisi ini dapat
menyebabkan hemothoraks atau perforasi atrial dan tamponade jantung.
2. TROMBOSIS
Secara umum, masalah blood flow yang terjadi pada awal insersi
umumnya adalah terkait dengan posisi kateter, sedangkan yang terjadinya
lambat terkait dengan trombosis. Trombosis merupakan masalah yang
sering dijumpai pada kateter HD baik yang temporer maupun yang
dengan cuff-tunnel. Trombosis terkait kateter dapat digolongkan menjadi
2, yaitu ekstrinsik dan intrinsik.
Trombosis Ekstrinsik
a. Trombosis Vena sentral.
Adanya kateter dalam vena sentral dapat mempresipitasi timbulnya
trombosis. Menurut Trerotola, trombosis vena sentral jarang yang
simptomatik. Diagnosis terutama berdasar pada gambaran klinik pada
pasien. Didapatkan pembengkakan pada ekstremitas ipsilateral, lunak
dan nyeri. Pilihan terapi antara lain pemberian trombolisis, heparin
atau pencabutan dan penggantian kateter dan antikoagulan. Bila akses
vaskuler sangat terbatas, kateter dapat tetap dipertahankan dengan
pemberian antikoagulan sistemik dan diawasi secara ketat.
b. Trombus Mural.
Ini adalah trombus yang menempel pada dinding pembuluh darah atau
atrium pada titik kontak dengan ujung kateter. Hal ini diduga karena
pergerakan ujung kateter menyebabkan kerusakan dengan akibat
terbentuknya trombus. Ujung kateter seringkali menempel pada trombus
ini, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi fungsi kateter. Sebagian
besar trombus ini tidak dikenali kecuali kalau terdapat malfungsi kateter
dan dilakukan evaluasi angiografi. Terapi dengan pencabutan kateter
dan antikoagulan selama 3 bulan. Trombus mural yang besar berisiko
untuk emboli jika kateter dicabut, sehingga kadang diperlukan terapi
trombolitik.
c. Trombus Atrial.
Trombus intra-atrial besar terkait dengan kateter dialisis jarang
dijumpai. Kondisi ini kemungkinan merupakan varian trombus mural.
Diagnosis dengan angiografi atau dengan ekokardiografi. Terapi dengan
pencabutan kateter, antikoagulan dan follow-up dengan ekokardiografi.
Trombosis Intrinsik
a. Trombus Intraluminal.
Yaitu trombosis yang terbentuk dalam lumen kateter. Kondisi ini terjadi
sebagai akibat volume heparin dalam lumen kateter yang tidak adekuat,
tidak adanya heparin dalam kateter antar dialisis atau adanya darah
dalam kateter. Pemberian urokinase biasanya dapat mengatasi masalah
ini. DOQI merekomendasikan 2 teknik pemberian urokinase. Salah satu
teknik dengan pemberian urokinase (1 ml/5000 u) dalam volume yang
cukup untuk mengisi kateter diikuti dengan aspirasi dalam 20 menit.
Teknik lain mirip diatas tetapi menggunakan penyuntikan sedikit-sedikit
salin setiap interval 5 sampai 10 menit untuk memajukan urokinase
dalam ujung kateter. Pada kateter HD, heparin 1 ml/5000 u atau 1
ml/10.000 u harus dimasukkan dalam kateter pada setiap akhir HD.
Kateter harus diisi sesuai kapasitasnya, yang tertera pada setiap lumen.
b. Trombus Ujung Kateter.
Banyak kateter mempunyai lubang-lubang sisi pada ujung arterial.
Sayangnya, bagian dari kateter dari lubang sisi sampai ujung kateter
tidak menahan heparin sehingga dapat terbentuk trombus. Trombus
ujung dapat menyumbat atau dapat bertindak sebagai katup bola.
Tindakan pencegahan umum digunakan untuk menghindari trombosis
intraluminal yang sebagian besar akibat adanya lubang-lubang sisi.
Pembilasan paksa sebelum dan sesudah dialisis tidak banyak membantu
dalam membersihkan trombus ujung kateter. Memasukkan urokinase
biasanya dapat mengatasi trombosis ini.
c. Trombus Fibrin Sheath.
Trombus ini terbentuk sebagai mekanisme alami tubuh terhadap benda
asing. Pengertian fibrin sheath adalah selongsong fibrin yang melingkupi
kateter mulai dari titik dimana ia masuk ke pembuluh darah. Selubung
ini hanya melekat secara longgar pada kateter. Pembentukan fibrin
sheath umumnya menyebabkan disfungsi kateter dalam minggu atau
bulan setelah insersi kateter, tetapi dapat juga terjadi dini dalam 48 jam.
Trombus jenis ini adalah paling sulit diatasi. Modalitas terapi meliputi
stripping fibrin sheath, infus trombolitik dan penggantian kateter.
Daftar Pustaka
1. Adekola, O.O., Irurhe, N.K., Raji, V.A., Desalu, I. Central venous catheter insertion in
critical illness: Techniques and complications. JOURNAL OF CLINICAL SCIENCES,
2018, 15, (2):96-101.
2. Athirakul K, Schwab SJ, Conlon P. Adequacy of hemodialysis with cuffed central
vein catheters. Nephrol Dial Transplant 1998; 13: 745-49.
3. Bowdle A. Vascular complications of central venous catheter placement: evidence-
based methods for prevention and treatment. J Cardiothorac Vasc Anesth 2014;
28:358.
4. Brass P, Hellmich M, Kolodziej L, Schick G, Smith AF. Ultrasound guidance versus
anatomical landmarks for internal jugular vein catheterization. Cochrane Database
of Systematic Reviews 2015, Issue 1.
5. Cimochowski GE, Worley E, Rutherford WE, Sartain J, Blondin J, Harter H. Superiority
of the internal jugular over the subclavian access for temporary dialysis. Nephron
1990; 54:154–61.
6. Crain MR, Mewissen MW, Ostrowski GJ, Paz-Fumagalli R, Beres RA, Wertz RA.
Fibrin sleeve stripping for salvage of failing hemodialysis catheters: technique and
initial results. Radiology 1996; 198: 41–44.
7. Fan PY. Acute vascular access: new advances. Adv Renal Replace Ther 1994; 1:90-
98
24. Tonkin JL, Campbell G, Golding L, Hamblin M, Hunter S, Jaggia A. Atrial thrombosis:
a near fatal complication of a Portacath. J Vasc Access. 2008;9:148-51.
25. Trerotola SO, Johnson MS, Shah H, et al. Tunneled hemodialysis catheters: use of a
silver-coated catheter for prevention of infection—a randomized study. Radiology
1998; 207:491–96.
26. Trerotola SO. Hemodialysis Catheter Placement and Management. Radiology 2000;
215:651–58.
27. Tripathi M, Dubey PK, Ambesh SP. Direction of the J-tip of the guidewire, in
seldinger technique, is a significant factor in misplacement of subclavian vein
catheter: a randomized, controlled study. Anesth Analg 2005; 100:21.
ABSTRAK
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) masih merupakan masalah besar dalam
kesehatan dan berhubungan dengan tinginya angka morbiditas, mortalitas,
menurunkan kualitas hidup dan meningkatkan biaya kesehatan. Penderia
PGK tahap akhir akan memerlukan terapi pengganti ginjal (TPG) berupa
hemodialisis, peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Teknik terapi hemodialisis terus berkembang yang
bertujuan untuk menurunkan angka morbiditas, mortalitas, dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. Hemodialisis (HD) masih merupakan terapi pengganti
ginjal utama di samping peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal di
sebagian besar negara di dunia. Terdapat lebih dari 2 juta pasien yang saat ini
menjalani HD di seluruh dunia. Menurut data Indonesian Renal Registry (IRR)
prevalensi PGK cukup tinggi, mencapai 89% dari seluruh pasien hemodialisis
di Indonesia tahun 2015. Pasien baru HD pada tahun 2015 meningkat menjadi
21.050 dari jumlah 17.193 pada tahun 2014. Sementara itu, pasien aktif
hemodialisis meningkat menjadi 30.554 orang dari jumlah 11.689 pada tahun
2014.
PENDAHULUAN
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu proses patofisiologis dengan
etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang
progresif, dan pada umumnya berakhir dengan penyakit ginjal tahap akhir
(PGTA). Selanjutnya, penyakit ginjal tahap akhir adalah suatu keadaan klinis
yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang bersifat ireversibel, yang
pada akhirnya akan memerlukan terapi pengganti ginjal, berupa dialisis atau
transplantasi ginjal. Penyakit ginjal kronik didefenisikan sebagai
1. Terjadinya kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa penurunan laju
filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate, GFR) yang ditandai dengan
salah satu atau lebih
- Gambaran patologi ginjal yang abnormal atau
INISIASI DIALISIS
Penyakit ginjal kronik stadium 5 dibagi menjadi stadium 5 belum
dialisis dan stadium 5 dialisis. Inisiasi dialisis dilakukan berdasarkan gejala/
tanda klinik dan hasil pemeriksaan laboratorium yang berhubungan dengan
uremia. Adapun indikasi dilakukan inisiasi dialisis berdasarkan Konsensus
Dialisis oleh Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) tahun 2003,
semua pasien dengan GFR < 15 ml/menit dapat mulai menjalani hemodialisis,
namun dalam pelaksanaan klinis pedoman yang dapat dipakai adalah:
1. GFR < 10 ml/menit dengan gejala uremia atau malnutrisi
2. GFR < 5 ml/menit walaupun tanpa gejala klinis
3. Pada kondisi tertentu terdapat komplikasi akut seperti edema paru,
hiperkalemia, atau asidosis metabolik berulang.
654 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Hemodialisis
Studi Initiation of Dialysis Early and Late (IDEAL) membagi pasien atas
2 kelompok saat dimulainya dialisis, yaitu early initiation dengan GFR 10-15
ml/mnt dan late initiation dengan GFR 5-7 ml/mnt. Hasil pada studi tersebut
menunjukkan pasien yang dimulai dialisis baik early maupun late tidak
berbeda bermakna dalam hal angka harapan hidup, risiko kardiovaskuler,
infeksi, dan komplikasi dialisis.
HEMODIALISIS
Hemodialisis (HD) masih merupakan terapi pengganti ginjal utama
disamping peritoneal dialisis dan transplantasi ginjal di sebagian besar
negara di dunia. Terdapat lebih dari 2 juta pasien yang saat ini menjalani HD di
seluruh dunia. Menurut data Indonesian Renal Registry (IRR), prevalensi PGK
cukup tinggi, mencapai 89% dari seluruh pasien hemodialisis di indonesia
tahun 2015. Pasien baru HD pada tahun 2015 meningkat menjadi 21.050
dari jumlah 17.193 pada tahun 2014. Sementara itu, pasien aktif hemodialisis
meningkat menjadi 30.554 orang dari jumlah 11.689 pada tahun 2014.1.2.3
KOMPONEN HEMODIALISIS
Mesin Hemodialisis9.10
Pada mesin dialisis terdapat beberapa bagian antara lain:
- Blood pump (Qb) yaitu pompa yang mengalirkan darah ke dalam dialiser
- Dialysate pump (Qd) yaitu pompa yang mengalirkan dialisat ke dalam
dialiser
- Heparin pump, yaitu pompa heparin (antikoagulan)
- Arterial pressure monitor, mengukur tekanan penghisapan arteri
- Venous pressure monitor, mengukur tekanan alir balik darah/vena
- Air detector clamp, untuk deteksi udara
- Blood leak detector, deteksi kebocoran dialiser
- Conductivity monitor, monitor osmolaritas dialisat, ditentukan oleh
muatan listrik elektrolit dalam dialisat
- Pengaturan temperatur mesin
Sirkuit Dialisat
- Dialisat
- Dialysate tubing
- Water treatment system
- Reverse osmosis (RO)
Komposisi Dialisat
Natrium
- Standar kadar natrium dialisat sama dengan kadar natrium dalam darah
- Penggunaan kadar natrium tinggi atau sodium modelling digunakan pada
pasien yang cenderung mengalami hipotensi intradialitik
Kalium
- Konsentrasi kalium dialisat berkisar 1-3 mEq/L
- Penggunaan kadar natrium yang rendah pada kondisi hiperkalemia,
harus hati-hati karena terdapat risiko kematian akibat penyakit jantung
secara tiba-tiba
Buffer
Asetat (jarang digunakan)
- Lebih stabil dan pertumbuhan bakteri lebih rendah
- Berhubungan dengan ketidakstabilan kardiovaskuler dan hipotensi
karena asetat lambat berkonversi menjadi bikarbonat
- Penumpukan asetat dapat menyebabkan mual, muntah, sakit kepala,
kelelahan, menurunkan kontraktilitas otot jantung, dilatasi pembuluh
darah perifer, dan hipoxemia arteri
Bikarbonat (standar cairan dialisat)
- Konsentrasi bikarbonat dialisat berkisar 30-35 mEq/L
- Meningkatkan pertumbuhan kuman
Kalsium
- Kadar kalsium standar dalam dialisat berkisar 2,5-3,0 mEq/L digunakan
untuk mencegah hiperkalsemia intradialisis
- Konsentrasi kalsium dalam dialisat juga mempengaruhi kestabilan
tekanan darah selama HD
Klorida
- Anion utama dalam dialisat
- Kadar klorida berguna untuk mempertahankan kenetralan muatan listrik
dalam dialisat
Glukosa
- Konsentrasi optimal glukosa di dalam dialisat berkisar 100-200 mg/dl
- Konsentrasi glukosa tinggi > 200 mg/dl meningkatkan risiko
hiperosmolaritas, hiperglikemia dan, hiponatremia paska dialisis
- Dialisat tanpa glukosa atau kehilangan glukosa 25-30 gr melalui dialiser
dapat menyebabkan hipoglikemia pasca-dialisis
Water treatment system
Reverse osmosis (RO)
- Deionisasi (menggunakan resin)
- Carbon absorptions (menyerap cloramin, dua carbon absorption
dihubungkan secara serial)
- Proses pembersihan air lain
• Softeners (bentuk deionisasi)
• Filter (mengontrol kontaminasi mikrobiologi)
- Penampungan dan pendistribusian air
Sirkulasi Darah
- Arteri dan venous blood line
- Arteri dan venous needle
- Pasien
• Arteriovenous fistulae
• Arteriovenous graft
• Kateter vena sentral (temporer dan permanen)
Antikoagulan
Interaksi antara plasma darah dengan membran dialisis merangsang
terjadinya proses pembekuan pada membran dialiser. Proses pembekuan
darah dipengaruhi oleh:
- Komposisi membran dialiser
- Muatan listrik dan luas permukaan membrane dialiser
- Kecepatan aliran darah
- Gradien ultrafiltrasi (ultrafiltration gradient, UFG)
- Kondisi pasien
Dosis heparin
- Dosis awal 50-100 U/kgBB, umumnya 2500 U
- Diberikan tiap jam 1000 – 2000 U, umumnya 1000 U
- Dihentikan 1 jam sebelum selesai HD
Temperatur
- Temperatur dialisat secara umum dipertahankan 36,5-380C pada inlet
dialiser
- Temperatur dialisat yang rendah dapat menurunkan risiko hipotensi,
meningkatkan kontraktilitas jantung, meningktkan oksigenasi,
meningkatkan tonus vena dan menurunkan aktivasi komplemen selama
dialisis
KESIMPULAN
Hemodialisis merupakan tindakan terapi pengganti ginjal yang paling
bayak dilakukan. Indikasi hemodialisis pada penderita penyakit ginjal kronik
stadium 5 dalam praktek klinis umumnya dilakukan berdasarkan gejala dan
tanda yang berhubungan dengan sindom uremikum.
Daftar Pustaka
1. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk
[Editor]. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna Publishing; 2006.
p. 1035-40.
2. Levey AS, de Jong PE, Coresh J, et al. The definition, classification and prognosis
of chronic kidney disease: A KDIGO Controversies Conference report. Kidney Int
2011; 80(1): 17-28.
3. Ojo A. Addressing the global burden of chronic kidney disease through clinical and
translational research. Clin Climatol Assoc 2014: 125: 229-43.
4. Indonesian Renal Registry. Annual report of Indonesian Renal Registry. 2015. p.
21-4.
5. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Prevalence of chronic kidney
disease and associated risk factors – United States, 1999-2004. MMWR Morb Mortal
Wkly Rep 2007; 56(8): 161-5.
6. Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Konsensus dialisis. 2003.
7. Collins J, Cooper B, Branley P, et al. Outcomes of patients with planned initiation of
hemodialysis in the IDEAL trial. Contrib Nephrol 2011; 171: 1–9.
8. National Kidney Foundation. KDOQI clinical practice guideline for hemodialysis
adequacy: 2015 update. Am J Kidney di 2015; 66(5): 884-930.
9. Ikizler AT, Schulman G. Hemodialysis: Techniques and prescription. Am J Kidney
Dis 2005; 46(5): 976-81.
10. Brunelli S. The dialysis prescription. In: Nissenson A, Fine R. Handbook of dialysis
therapy. 5th edition. Philadelphia: Elsevier; 2017. p. 106-12.
Memahami tujuan uji latih jantung memungkinkan para penguji tes untuk
menentukan metodologi yang sesuai dan untuk memilih titik akhir tes yang
memaksimalkan uji keselamatan dan memperoleh informasi diagnostik dan
prognostik yang dibutuhkan. Selama beberapa dekade, uji latih telah semakin
difokuskan di penilaian risiko kardiovaskular, tidak hanya deteksi sumbatan
koroner. Pada akhirnya, perbaikan klinis menjadi lebih baik merupakan
tujuan utama dari uji latih. (Kligfield, 2006)
JENIS LATIHAN
Latihan melibatkan aktivitas otot yang memiliki kedua mekanis (dinamis,
statis) dan metabolik (aerobik, anaerobik). Latihan dinamik (isotonik), yang
menyebabkan pergerakan dari anggota tubuh, juga diklasifikasikan sebagai
konsentris (pemendekan serat otot, yang merupakan gerakan otot yang paling
sering) atau eksentrik (pemanjangan dari serat otot, yang terjadi ketika beban
yang diturunkan melawan gravitasi). Latihan statis (isometrik) adalah latihan
yang dilakukan tanpa pergerakan anggota gerak tubuh. Klasifikasi metabolik
lebih mengarah kepada ketersediaan oksigen untuk proses kontraksi,
termasuk aerobik ( dengan oksigen) atau proses anaerob (tanpa oksigen).
Kebanyakan latihan melibatkan keduanya kontraksi dinamis dan statis, serta
aerobik dan metabolisme anaerobik, dan tergantung pada kontribusi masing-
masing, respon fisiologis dapat berbeda secara signifikan . Saat ini prosedur
uji latih memiliki komponen yang lebih dominan pada ketahanan dinamis-
aerobik. (Fletcher, 2013)
terjadi variabilitas yang tinggi di antara subjek dengan usia yang sama (±
12 denyut per menit [bpm]). Dengan demikian, penerapan pencapaian 85%
dari MHR yang diprediski berdasarkan usia untuk menentukan usaha yang
diperlukan selama tes latihan,latihan menjadi terbatas dan tidak boleh
digunakan secara terpisah sebagai kriteria akhir. (Pinkstaff, 2010).
2. Usia
Nilai maksimum V̇O2 maks terjadi di usia antara 15 dan 30 tahun
dan menurun secara progresif seiring bertambahnya usia. Pada usia 60
tahun, nilai rata-rata V̇O2 maks pada pria adalah sekitar dua pertiga dari
usia 20 tahun. Penurunan longitudinal pada puncak V̇O2 maks diamati
pada masing-masing 6 dekade pada kedua jenis kelamin; Namun, tingkat
penurunan ini akan meningkat dari 3% menjadi 6% per 10 tahun pada
individu di usia 20-an dan pada usia 30-an mencapai hingga >20% per 10
tahun pada individu di usia 70-an dan seterusnya. (Fletcher, 2013)
3. Jenis Kelamin
Wanita memiliki nilai V̇O2 maks yang lebih rendah daripada pria.
Rendah nya nilai V̇O2 maks pada wanita dikaitkan dengan massa otot
yang lebih kecil, hemoglobin dan volume darah yang lebih rendah, dan
volume stroke yang relatif lebih kecil daripada pria. Tingkat penurunan
untuk setiap dekade terjadi lebih besar pada pria dibandingkan pada
wanita dari dekade keempat dan seterusnya. (Fletcher, 2001; Fleg, 2005;
Gulati; 2005).
b. Kontraindikasi relatif
• Diketahui adanya stenosis arteri koroner utama kiri
obstruktif
• Stenosis aorta sedang dan berat dengan hubungan yang
tidak pasti terhadap gejala
• Takiaritmia dengan laju ventrikel yang tidak terkontrol
• Blok jantung lanjut atau total
• Kardiomiopati hipertrofik obstruktif dengan gradien
istirahat yang berat
• Stroke baru atau serangan iskemik transien
• Gangguan jiwa dengan keterbatasan untuk bekerja sama
• Hipertensi saat posisi istirahat dengan tekanan darah
sistolik atau diastolic > 200/110 mmHg
• Kondisi medis yang tidak terkoreksi, seperti anemia yang
signifikan, ketidakseimbangan elektrolit yang esensial, dan
hipertiroidisme.
B. Persiapan Subjek
Persiapan tes latihan fisik mencakup hal-hal berikut:
• Tujuan dilakukannya tes harus jelas sebelumnya untuk
memaksimalkan nilai diagnostik dan untuk memastikan keamanan.
Jika indikasi tes tidak jelas, perlu menghubungi perujuk terkait
untuk informasi lebih lanjut.
• Subjek atau pasien tidak boleh makan selama 3 jam sebelum tes.
Obat-obatan rutin boleh diminum dengan sedikit air. Pasien harus
memakai pakaian yang nyaman dan memakai sepatu atau sepatu
yang nyaman untuk berjalan.
• Subjek atau pasien harus menerima penjelasan rinci tentang
prosedur pengujian dan tujuan tes, termasuk sifat latihan yang
progresif, gejala dan tanda titik akhir, dan komplikasi yang mungkin
terjadi.
• Ketika tes latihan fisik dilakukan untuk diagnosis iskemia, perlu
disediakan obat-obatan rutin karena beberapa obat (terutama
β-blocker) dapat melemahkan respons HR dan tekanan darah saat
latihan fisik. Jika tidak terjadi iskemia, nilai diagnostik tes untuk
mendeteksi CAD menjadi terbatas. Tidak ada pedoman baku untuk
tapering atau mempertahankan pengobatan, tetapi waktu 24 jam
atau lebih dapat diperlukan untuk sediaan lepas lambat (sustained-
release), dan pasien harus diinstruksikan untuk melanjutkan
pengobatan jika terjadi fenomena rebound. Banyak hasil evaluasi
tes latihan fisik dilakukan ketika pasien menggunakan obat-obatan
biasa, yang harus dicatat untuk dihubungkan dengan temuan tes.
• Anamnesis dan pemeriksaan fisik perlu dilakukan untuk
menyingkirkan kontraindikasi tes dan untuk mendeteksi tanda-
tanda klinis yang penting, seperti murmur jantung, gallop, mengi,
atau ronkhi. Subjek dengan riwayat perburukan angina tidak
stabil atau gagal jantung dekompensata tidak boleh menjalani tes
latihan sampai kondisi mereka stabil. Saat pemeriksaan fisik perlu
dilakukan skrining penyakit jantung valvular atau kongenital, dan
bila ditemukan respons hemodinamik yang abnormal saat latihan
pada pasien seperti ini, maka mungkin perlu dilakukan terminasi
dini. (Fletcher, 2013)
oleh posisi elektroda dan bukan pada perubahan posisi. (Pahlm, 2005;
Farrel, 2008; Madias,2006).
C. Protokol Latihan
Protokol untuk uji latihan klinis umumnya meliputi periode
pemanasan awal (pada beban kerja rendah), diikuti oleh latihan
bertahap yang progresif dengan beban yang meningkat dan interval
waktu yang memadai di setiap tingkat, dan periode pemulihan pasca-
upaya maksimum (lagi-lagi pada beban kerja rendah). Beberapa protokol
treadmill yang berbeda secara umum digunakan dan dapat dilihat secara
rinci pada Gambar 2. (ACSM,2000; ACSM 2009)
Protokol uji harus dipilih sesuai dengan tujuan pengujian dan masing-
masing pasien. Keuntungan dari protokol Bruce standar yaitu digunakan
dalam banyak penelitian yang diterbitkan dan pencapaian kesetimbangan
(ekuilibrium) akhir tahap. Kerugiannya adalah peningkatan interstage
yang besar dalam beban kerja antara tahap-tahap yang dapat membuat
estimasi V̇O2 maks kurang akurat. Beberapa subjek, terutama mereka
yang sudah lanjut usia, obesitas, atau memiliki kesulitan berjalan, dipaksa
untuk berhenti latihan fisik sebelum waktunya karena ketidaknyamanan
muskuloskeletal atau ketidakmampuan untuk mentolerir peningkatan
beban kerja yang tinggi. Tahap awal nol atau setengah (1,7 mph pada 0%
dan 5% nilai) dapat digunakan untuk subjek dengan kapasitas latihan
Gambar 3. Hubungan latihan beban kerja (VO2 dan METs) pada protokol Bruce
dan protokol treadmill lainnya serta ergometri sepeda statis. Pada penyelesaian
tahap 4 dari protokol bruce (4,2 mph pada tingkat 16%) mendekati 1500 kpm
/ menit pada sepeda. Kelas fungsional yang dipakai NYHA, kpm (kilopond
meters), MPH (miles per hour) dan %GR (percent grade).
1. Indikasi absolut
• ST-segment elevation (> 1.0 mm) di Lead tanpa adanya
• Gelombang Q sebelumnya karena riwayat MI (selain aVR, aVL,
• dan V1)
• Penurunan tekanan darah sistolik > 10 mmHg, meskipun
peningkatan beban kerja, dan bersamaan dengan adanya bukti
lain
• Iskemia
• Angina sedang berat
• Adanya gejala CCS (misalnya, ataksia, pusing, pingsan)
• Tanda-tanda perfusi yang buruk (sianosis atau pucat)
• Takikardia ventrikel (VT) yang berkelanjutan atau aritmia
lainnya, termasuk atrioventrikular (AV) blok derajat 2 atau 3,
yang mengganggu cardiac output selama latihan.
• Kesulitan teknis dalam pemantauan EKG atau tekanan darah
sistolik.
• Pasien yang meminta untuk berhenti
2. Indikasi relatif
• Perpindahan ST yang bermakna (horizontal atau downsloping
dari > 2 mm, diukur 60-80 ms setelah titik J [akhirKompleks
QRS]) pada pasien dengan dugaan iskemia
• Penurunan tekanan darah sistolik > 10 mmHg (terus-menerus
di bawah batas bawah) meskipun peningkatan beban kerja,
dengan tidak adanya bukti lain iskemia
• Nyeri dada yang meningkat
• Kelelahan, sesak nafas, mengi, keram pada kaki, atau klaudikasio
• Aritmia selain VT berkelanjutan, termasuk multifokal
ectopy, ventricular triplets, takikardia supraventrikular,
dan bradiaritmia yang memiliki potensi untuk menjadi lebih
kompleks dan mengganggu stabilitas hemodinamik
Daftar Pustaka
1. Alexopoulos D, Christodoulou J, Toulgaridis T, Sitafidis G, Manias O, Hahalis G, et
al. Repolarization abnormalities with prolonged hyperventilation in apparently
healthy subjects: incidence, mechanisms and affecting factors. Eur Heart J.
1996;17:1432–37.
2. American College of Sports Medicine, Franklin BA, Whaley MH, Howley ET, Balady
GJ. ACSM’s guidelines for exercise testing and prescription. 6th ed. Baltimore:
Lippincott Williams & Wilkins; 2000.
3. American College of Sports Medicine. ACSM’s guidelines for exercise testing and
prescription. 8th ed. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2009.
4. ATS Committee on Proficiency Standards for Clinical Pulmonary Function
Laboratories. ATS statement: guidelines for the six-minute walk test. Am J Respir
Crit Care Med. 2002;166:111–7.
5. Balady GJ, Arena R, Sietsema K, Myers J, Coke L, Fletcher GF, et al; on behalf of
the American Heart Association Exercise, Cardiac Rehabilitation, and Prevention
Committee of the Council on Clinical Cardiology; Council on Epidemiology and
Prevention; Council on Peripheral Vascular Disease; and Interdisciplinary Council
on Quality of Care and Outcomes Research. Clinician’s guide to cardiopulmonary
exercise testing in adults: a scientific statement from the American Heart
Association. Circulation. 2010;122:191–225.
6. Balady GJ, Weiner DA, McCabe CH, Ryan TJ. Value of arm exercise testing in
detecting coronary artery disease. Am J Cardiol. 1985;55:37–9.
7. Bittner V. Six-minute walk test in patients with cardiac dysfunction. Cardiologia.
1997;42:897–902.
8. Bittner V, Weiner DH, Yusuf S, Rogers WJ, McIntyre KM, Bangdiwala SI, et al.
Prediction of mortality and morbidity with a 6-minute walk test in patients with
left ventricular dysfunction. SOLVD Investigators. JAMA. 1993;270:1702–1707.
10. Cheng YJ, Lauer MS, Earnest CP, Church TS, Kampert JB, Gibbons LW, et al. Heart
rate recovery following maximal exercise testing as a predictor of cardiovascular
disease and all-cause mortality in men with diabetes. Diabetes Care. 2003;26:2052–
7.
11. Du H, Newton PJ, Salamonson Y, Carrieri-Kohlman VL, Davidson PM. A review of
the six-minute walk test: its implication as a self-administered assessment tool. Eur
J Cardiovasc Nurs. 2009;8:2–8.
12. Farrell RM, Syed A, Syed A, Gutterman DD. Effects of limb electrode placement on
the 12- and 16-lead electrocardiogram. J Electrocardiol. 2008;41:536–45.
13. Fleg JL, Morrell CH, Bos AG, Brant LJ, Talbot LA, Wright JG, et al. Accelerated
longitudinal decline of aerobic capacity in healthy older adults. Circulation.
2005;112:674–82.
14. Fletcher GF, Balady GJ, Ades PA, Kligfield P, Arena R, Balady GJ, et al. Exercise
standards for testing and training: a scientific statement from the American heart
association from the American Heart Association. Circulation. 2013; 128: 873-934.
15. Fletcher GF, Balady GJ, Amsterdam EA, Chaitman B, Eckel R, Fleg J, et al. Exercise
standards for testing and training: a statement for healthcare professionals from
the American Heart Association. Circulation. 2001;104:1694–740.
16. Franklin BA. Exercise testing, training and arm ergometry. Sports Med. 1985;2:100–
19.
17. Gibbons RJ. Abnormal heart-rate recovery after exercise. Lancet. 2002;359:1536–
7.
18. Gibbons RJ, Balady GJ, Bricker JT, Chaitman BR, Fletcher GF, Froelicher VF, et al.
ACC/AHA 2002 guideline update for exercise testing: summary article: a report
of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on
Practice Guidelines (Committee to Update the 1997 Exercise Testing Guidelines).
Circulation. 2002;106:1883–92.
19. Gulati M, Black HR, Shaw LJ, Arnsdorf MF, Merz CN, Lauer MS, et al. The prognostic
value of a nomogram for exercise capacity in women. N Engl J Med. 2005;353:468–
75.
20. Gulati M, Shaw LJ, Thisted RA, Black HR, Bairey Merz CN, et al. Heart rate response
to exercise stress testing in asymptomatic women: the st. James women take heart
project. Circulation. 2010;122:130–7.
21. Kaminsky LA, Whaley MH. Evaluation of a new standardized ramp protocol: the
BSU/Bruce Ramp protocol. J Cardiopulm Rehabil. 1998;18:438–44.
22. Kligfield P, Lauer MS. Exercise electrocardiogram testing: beyond the ST segment.
Circulation. 2006;114:2070–82.
23. Lauer M, Froelicher ES, Williams M, Kligfield P. Exercise testing in asymptomatic
adults: a statement for professionals from the American Heart Association Council
on Clinical Cardiology, Subcommittee on Exercise, Cardiac Rehabilitation, and
Prevention. Circulation. 2005;112:771–6.
24. Lipinski MJ, Vetrovec GW, Froelicher VF. Importance of the first two minutes of
heart rate recovery after exercise treadmill testing in predicting mortality and the
presence of coronary artery disease in men. Am J Cardiol. 2004;93:445–9.
25. Madias JE. Comparability of the standing and supine standard electrocardiograms
and standing sitting and supine stress electrocardiograms. J Electrocardiol.
2006;39:142–9.
26. McArdle WD, Katch FI, Katch VL. Exercise physiology: nutrition, energy, and human
performance. Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
27. McHenry PL, Cogan OJ, Elliott WC, Knoebel SB. False positive ECG response to
exercise secondary to hyperventilation: cineangiographic correlation. Am Heart J.
1970;79:683–7.
28. Myers J, Arena R, Franklin B, Pina I, Kraus WE, McInnis K, Balady GJ; on behalf
of the American Heart Association Committee on Exercise, Cardiac Rehabilitation,
and Prevention of the Council on Clinical Cardiology, the Council on Nutrition,
Physical Activity, and Metabolism, and the Council on Cardiovascular Nursing.
Recommendations for clinical exercise laboratories: a scientific statement from the
American Heart Association. Circulation. 2009;119:3144–61.
29. Myers J, Bellin D. Ramp exercise protocols for clinical and cardiopulmonary
exercise testing. Sports Med. 2000;30:23–9.
30. Nishime EO, Cole CR, Blackstone EH, Pashkow FJ, Lauer MS. Heart rate recovery
and treadmill exercise score as predictors of mortality in patients referred for
exercise ECG. JAMA. 2000;284:1392–8.
31. Okin PM, Ameisen O, Kligfield P. A modified treadmill exercise protocol for
computer-assisted analysis of the ST segment/heart rate slope: methods and
reproducibility. J Electrocardiol. 1986;19:311–8.
32. Pahlm O, Haisty WK Jr, Edenbrandt L, Wagner NB, Sevilla DC, Selvester RH, et al.
Evaluation of changes in standard electrocardiographic QRS waveforms recorded
from activity-compatible proximal limb lead positions. Am J Cardiol. 1992;69:253–
257.
33. Pinkstaff S, Peberdy MA, Kontos MC, Finucane S, Arena R. Quantifying exertion level
during exercise stress testing using percentage of agepredicted maximal heart rate,
rate pressure product, and perceived exertion. Mayo Clin Proc. 2010;85:1095–100.
34. Radi B, Arso IA, Sarvasti D, Tadjoedin Y, Tjahjono CT. Pedoman Uji Latih Jantung:
Prosedur dan Interpretasi. Jakarta: PERKI; 2016.
35. Ranadive SM, Fahs CA, Yan H, Rossow LM, Agiovlasitis S, Agliovlastis S, et al.
Heart rate recovery following maximal arm and legergometry. Clin Auton Res.
2011;21:117–20.
36. Rhodes J, Ubeda Tikkanen A, Jenkins KJ. Exercise testing and training in children
with congenital heart disease. Circulation. 2010;122:1957–67.
37. Syme AN, Blanchard BE, Guidry MA, Taylor AW, Vanheest JL, Hasson S, et al. Peak
systolic blood pressure on a graded maximal exercise test and the blood pressure
response to an acute bout of submaximal exercise. Am J Cardiol. 2006;98:938–43.
38. Tanaka H, Monahan KD, Seals DR. Age-predicted maximal heart rate revisited. J Am
Coll Cardiol. 2001;37:153–6.
39. Thompson PD. Exercise prescription and proscription for patients with coronary
artery disease. Circulation. 2005;112:2354–63.
Hal lain yang juga harus dipahami adalah indikasi dari tindakan tersebut.
Secara garis besar tujuan injeksi intra-artikuler ada dua yaitu diagnostik dan
terapeutik. Injeksi intra-artikuler untuk tujuan diagnostik dilakukan dengan
menyuntikkan kontras pada tindakan artrografi, atau artrosentesis (aspirasi
cairan sendi) saja untuk kemudian dilakukan analisa cairan sendi dengan/
tanpa kultur kuman spesifik/non-spesifik sesuai indikasi. Beberapa keadaan
yang bisa didiagnosis dari hasil analisa cairan sendi dan kultur adalah artritis
karena timbunan kristal (kristal MSU, CPPD, kalsium), hemartrosis, inflamasi
dan artritis septik. Sedangkan injeksi intra-artikuler untuk tujuan terapeutik
bisa berupa artrosentesis/aspirasi cairan sendi, dengan tujuan mengurangi
distensi celah sendi yang menimbulkan nyeri pada keadaan inflamasi pada RA
atau OA; atau melakukan evakuasi timbunan kristal sehingga dapat mengurangi
inflamasi; atau evakuasi serial pada artritis septik untuk mengurangi destruksi
sendi. Tujuan yang lain adalah injeksi kortikosteroid intraartikuler, dengan
tujuan mengontrol inflamasi steril pada sendi, menghilangkan nyeri inflamasi
dengan cepat, dan membantu terapi fisik pada kontraktur sendi; serta injeksi
asam hialuronat intraartikuler, sebagai viskosuplemen pada kasus OA.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 681
Rudy Hidayat
Bahan dan alat yang diperlukan antara lain spuit dan jarus suntik yang
sesuai kebutuhan (ukuran sendi), povidon iodine, alkohol, sarung tangan, spi-
dol marker, plester/band aid, klem (kadang-kadang), emergency kid, dan obat
yang diperlukan sesuai indikasi (lidokaiun, steroid, hialuronan). Prosedur
tindakan secara umum meliputi inform concent, pasien dipersiapkan dengan
posisi duduk atau terlentang (tergantung tehnik yang akan dilakukan),
berikan tanda/marka anatomis pada lokasi injeksi, tindakan antiseptik den-
gan povidone iodine dan alkohol, diberikan anastesi lokal jika diperlukan,
dengan no touch tehnique, masukkan jarum ke tanda yang sudah disiapkan
dengan arah jarum sesuai celah sendi yang dituju. Tindakan selanjutnya ter-
gantung indikasi apakah hanya melakukan aspirasi cairan sendi saja, atau me-
lakukan injeksi obat tertentu, atau kedua-duanya. Selesai tindakan sementara
dilakukan penekanan pada daerah yang telah diinjeksi dengan kasa steril, dan
tutup bekas suntikan dengan band aid/plester
Pendekatan anterior/infrapatela :
• Lebih jarang dilakukan
• Terutama pada lutut yang tidak bisa extensi
• Posisi tungkai fleksi 90o dengan telapak kaki mendatar di permukaan
tempat tidur
• Titik penyuntikan di lateral atau medial ligamentum patellae, dan di
bawah tulang patella
Daftar Pustaka
1. Anderson BC. Guide to Arthrocentesis and Soft Tissue Injection. Elsevier Saunders.
Philadelphia,2005.p.125-35
2. Canoso JJ. Therapeutic Injection of Joints and Soft Tissues. Dalam : Klippel JH (Ed.),
Primer on the rheumatic Diseases. 13th ed., Arthritis Foundation, Atlanta, GA, 2008,
hal 628-33
3. Moore GF. Arthrocentesis Technique and Intraarticular Therapy, Dalam : Koopman
WJ et al (Eds.) Arthritis and allied conditions - A textbook of Rheumatology. 14th
ed., Williams & Wilkins, Baltimore, 2001, hal 848-59
4. Saunders S, Longworth S. Injection Techniques in Orthopaedics and Sports
Medicine. 3rd ed., Elsevier Limited, 2006.p.3-15
5. Sumariyono. Artrosentesis dan Analisa Cairan Sendi. Dalam : Sudoyo AW (Ed.),
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, Jakarta, 2009, hal 2456-61
6. Wise CM. Arthrocentesis and Injection of Joints and Soft Tissue. Dalam : Kelley WN
et al (Eds.) Textbook of Rheumatology. 8th ed., WB Saunders Co, Philadelphia, 2009,
hal 721-39
Catatan: Materi ini telah diterbitkan dalam buku proseding PIN PAPDI 2013
Pendahuluan
Antiretroviral(ARV) telah lama digunakan untuk pengobatan infeksi HIV
dimana ARV menekan replikasi virus sehingga jumlah virus menurun dalam
darah. Pemberian ARV 6 bulan dapat menurunkan jumlah virus HIV <500
kopi/ml sebanyak 53-83%(1). Bila jumlah virus didalam darah menurun
akan menyebabkan jumlah virus didalam cairan semen,vagina dan rektal
juga menurun(2). Pada penelitian HTPN 052 dimana penelitian dilakukan pada
heterosexual dengan pasangan serodiskordan yang kebanyakan partisipant
melakukan hubungan sex pervaginam didapatkan penurunan penularan HIV
sebanyak 96%(3). Pada saat ini beberapa negara merekomendasikan pemberian
obat ARV segera setelah dianosis infeksi HIV ditegakkan(Test and Threat)
seperti USA(4). Di Indonesia sendiri terjadi perubahan pedoman pemberian
ARV dari tahun ketahun.Pada tahun 2011 indikasi pemberian ARV bila kadar
CD4< 350 sel/mm3 pada pasien stadium 1 dan 2, stadium klinis 3 dan 4 tanpa
melihat kadar CD4 serta pada ibu hamil,hepatitis B kronik aktif dan koinfeksi
TB(5). Pedoman tahun 2014 pemberian ARV di indikasikan pada ODHA
stadium klinis 3 dan 4 atau jumlah CD4< 350 se/mm3, antiretroviral diberikan
kepada semua populasi kunci dan kelompok khusus dengan HIV positif(6).
Dalam rangka pencapaian eliminasi HIV pada tahun 2030 saat ini pedoman
pemberian ARV diindikasikan pada semua pasien HIV positif. Pemberian
ARV secara dini selain sangat bermanfaat untuk mencegah penularan juga
menurunkan angka kematian, angka kesakitan yang berhubungan dengan
AIDS maupun non AIDS(7).
Tes HIV(7)
Saat ini istilah Konseling dan Tes HIV digantikan oleh Layanan Tes HIV
mencakup layanan HIV yang lengkap yaitu tes atas inisiasi petugas, jejaring
dengan layanan perawatan, hasil tes yang benar, konseling, jaminan kualitas.
Tes HIV tidak lagi “ditawarkan” tetapi dimintakan secara rutin kepada:
1. Semua pasien yang datang ke fasyankes didaerah dengan situasi epidemi
HIV meluas (generalized) seperti Papua dan Papua Barat.
4. Gangguan pernafasan
< Batuk lebih dari satu bulan
< Sesak nafas
< Tuberkulosis
< Pneumonia berulang
< Sinusitis kronis atau berulang
5. Gejala neurologi
< Nyeri kepala yang semakin parah
(terus menerus dan tidak jelas penyebabnya)
< Kejang demam
< Menurunnya fungsi kognitif
Obat ARV segera dberikan, dapat diberikan pada hari yang sama saat
diagnosis HIV ditegakkan sampai satu minggu bila pasien sudah siap dan
tidak ada kontra indikasi.
Paduan alternatif
• AZT + 3TC + NVP
• AZT + 3TC + EFV
• TDF + 3TC (atau FTC) + NVP
• AZT + 3TC + *EFV400
• TDF + 3TC (atau FTC) + *EFV400
*Belum direkomendasikan pada pengguna rifampisin dan ibu hamil
Rilpivirin (RPV) adalah obat alternatif pada ODHA yang tidak dapat
mentoleransi EFV dan NVP. Namun, RPV sebaiknya tidak digunakan pada
688 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Pedoman Antiretroviral (ARV) Terbaru
ODHA dengan CD4 < 200 sel/mm3 atau viral load banyak > 100.000 kopi/mL
karena efektivitasnya lebih rendah pada kondisi tersebut.
Paduan ARV pada remaja (usia 10-19 tahun)
TDF+3TC (atau FTC)+EFV
Paduan ARV pada anak (usia 3-10 tahun)
AZT+3TC+EFV
Paduan ARV pada anak (usia < 3 tahun)
(ABC atau AZT)+3TC+LPV/r
Daftar Pustaka
1. May MT, Sterne JA, Costagliola D, Sabin CA, Phylips AN, Justice AC et al. 2006.
HiV treament response and prognosis in Europe and North America in the first
decade of highly active antiretroviral therapy: a colaborative analysis. Lancet
5;368(9534):451-8
2. Baeten JM, Kahle E, Lingappa JR, Coombs RW, Moretlwe SD, Joloba SN et al. 2011.
Genital HIV-1 RNA Quantity Predicts risk of Heterosexual HIV_1 transmission. Sci
Transl Med;3:77ra29
3. Cohen MS, Chen YQ, Mc Cauley M, Gamble T, Hosseinipour MC, Kumarasamy N et al.
2011. Prevention of HIV -1 Infection with Early Antiretroviral Therapy. New Engl
Journal;365:493-505
4. Gunthard HF, Saaag MS, Benson CA, Del Rio C, Eron JJ, Gallant JE et al. 2016.
Antiretroviral drugs for Treatment and Prevention of HIV Infection in
Adults. Recommendation of the International Antiviral Society-USA Panel.
JAMA;316(2):191-210
5. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada
orang dewasa dan remaja.Jakarta: Kementerian Kesehatan RI 2012
6. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang
Pedoman Pengobatan Antiretroviral.Kementerian Kesehatan 2015
7. Surat Edaran Nomor HK.02.02/l/1564/2018 tentang Penatalaksanaan Orang
dengan HIV AIDS( ODHA ) untuk Eliminasi HIV AIDS Tahun 2030
Pendahuluan
Sejak tahun 1987 sampai dengan Maret 2016, kasus Human
Immunodefeiciency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV-AIDS)
tersebar di 407 dari 507 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Jumlah
kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai Maret 2017 adalah 242.699.
Pada tahun 2017 dilaporkan 10.376 kasus. Jumlah kumulatif AIDS dari tahun
1987 adalah 87.453 orang.1
Dewasa Terapi antiretroviral harus diberikan kepada semua ODHA tanpa melihat stadium
klinis dan nilai CD4 (sangat direkomendasikan, kualitas bukti sedang).
Terapi antiretroviral harus dimulai pada semua ODHA yang hamil dan menyusui,
tanpa memandang stadium klinis WHO dan nilai CD4 dan dilanjutkan seumur hidup
(sangat direkomendasikan, kualitas bukti sedang).
Pada ODHA dengan tuberkulosis (TB), pengobatan TB dimulai terlebih dahulu,
kemudian dilanjutkan dengan pengobatan antiretroviral sesegera mungkin dalam 8
minggu pertama pengobatan TB (sangat direkomendasikan, kualitas bukti tinggi).
ODHA dengan TB yang dalam keadaan imunosupresi berat (CD4 <50 sel/mm3)
harus mendapat terapi antiretroviral dalam 2 minggu pertama pengobatan TB
(rekomendasi sesuai kondisi, kualitas bukti rendah)
Pada saat eliminasi di ginjal juga dapat terjadi interaksi obat. Sebagai
contoh, DTG dapat menurunkan klirens metformin di ginjal melalui
penghambatan transporter kation organik di sel tubular ginjal.4
paling banyak pada pasien HIV adalah kotrimoksasol. Selain itu dapat pula
disebabkan oleh obat antiretroviral serta obat pencegahan atau terapi infeksi
oportunistik seperti obat anituberkulosis dan obat toksoplasmosis.6
Diagnosis dan tata laksana hipersensitivitas obat pada pasien HIV tidak
mudah karena obat yang diminum beragam dan tidak selalu obat terakhir
yang diberikan merupakan obat penyebab. Selain itu, penghentian obat dalam
waktu lama juga bisa berdampak negatif bagi kondisi pasien. Pengentian obat
antiretroviral dengan waktu paruh yang berbeda dengan cara yang tidak
tepat juga dapat menyebabkan resistansi obat.6
Daftar Pustaka
1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Laporan perkembangan HIV-AIDS
& Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) triwulan I tahun 2017. 24 Mei 2017
[diakses tanggal 24 Agustus 2018]. Tersedia di: http://siha.depkes.go.id/portal/
files_upload/Laporan _HIV_AIDS_TW_1_2017_rev.pdf
2. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia nomor 87 tahun 2014 tentang pedoman pengobatan antiretroviral.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2014. h. 1-105
3. Djauzi S, Yunihastuti E, Indriatmi W, Kosasih A, Kaswandani N, Estiasari R, et al.
Draft Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran HIV, 2018
4. US Department of Health and Human Services. Drug-Drug Interactions. 17 Oktober
2017. [diakses tanggal 1 Oktober 2018]. Tersedia di: https://aidsinfo.nih.gov/
guidelines/html/1/adult-and-adolescent-arv/367/overview
5. Sunpath H, Winternheimer P, Cohen S, Tennant I, Chelin N, Gandhi RT, et al. Double
dose lopinavir-ritonavir in combination with rifampicin-based anti-tuberculosis
treatment in South Africa. Int J Tuber Lung Dis. 2014; 18:689-93.
6. Yunihastuti E, Widhani A, Karjadi TH. Drug hypersensitivity in human
immunodeficiency virus-infected patient: challenging diagnosis and management.
Asia Pac Allergy. 2014; 4:54-67
7. Casper C, Crane H, Menon M, Money D. HIV/AIDS comorbidities: Impact on cancer,
noncommunicable diseases, and reproductive health. In: Holmes KK, Bertozzi
S, Bloom BR, editors. Major infectious diseases, 3rd edition. Washington DC: The
International Bank for Reconstruction and Development. The World Bank; 2017.
doi: 10.1596/978-1-4648-0524-0/ch3
8. Torres HA, Mulanovich V. Management of HIV infection in patients with cancer
receiving chemotherapy. Clin Infect Dis. 2014;59:106–14
9. Sgadari C, Monini P, Barillari G, Ensoli B. Use of HIV protease inhibitors to block
Kaposi’s sarcoma and tumour growth. Lancet Oncol. 2003;4:537-47.
10. Rockstroh JK. Treatment of chronic hepatitis C virus infection in the HIV-infected
patient. 8 September 2017. [diakses tanggal 3 Oktober 2018]. Tersedia di:https://
www.uptodate.com
Pendahuluan
Nodul tiroid merupakan sebuah lesi diskrit di dalam kelenjar tiroid yang
secara radiologis berbeda dengan jaringan parenkim tiroid lainnya.(1) Nodul
tiroid merupakan salah satu penyakit yang cukup sering dijumpai. Sekitar
5% wanita dan 1% pria yang tinggal di daerah-daerah dengan kadar yodium
cukup rendah di berbagai belahan dunia diketahui memiliki nodul tiroid yang
dapat dipalpasi. Angka tersebut menjadi lebih tinggi apabila pemeriksaan
ultrasonografi (USG) resolusi tinggi dilakukan. Sekitar 19-68% dari populasi
yang diseleksi secara acak diketahui memiliki nodul tiroid setelah dilakukan
pemeriksaan USG resolusi tinggi, dengan frekuensi tinggi pada populasi
wanita dan lanjut usia.(1)
Kanker tiroid mencakup sekitar 7-15% dari seluruh kasus nodul tiroid.
Sekitar 90% dari kasus kanker tiroid termasuk dalam kategori differentiated
thyroid cancer (DTC) yang mencakup kanker papiler dan folikuler. Insidensi
kasus kanker tiroid terus meningkat setiap tahunnya di Amerika Serikat. Pada
tahun 2009, penemuan kasus kanker tiroid baru mencapai 37.200 kasus.
Angka tersebut melonjak menjadi 63.000 penemuan kasus pada tahun 2014.
(1)
riwayat kanker tiroid pada keluarga, usia pubertas, dan riwayat penyakit
tiroid.(2)
Pemeriksaan fisik dimulai dengan inspeksi kelenjar tiroid yang mencakup
ukuran, bentuk, mobilitas, dan ada atau tidaknya nodularitas. Adanya jaringan
parut pada superior dari sternal notch yang biasa diketahui sebagai necklace
scar menandakan adanya operasi tiroid atau paratiroid. Dari pemeriksaan
palpasi, dapat dinilai simetrisitas, ukuran, atau adanya massa pada kedua
lobus tiroid.(2)
Pada pasien dengan nodul tiroid, hasil pemeriksaan TSH yang normal
tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium lainnya, namun lebih kepada
pemeriksaan ultrasonografi atau kemungkinan dengan FNA (fine needle
aspiration) untuk mengetahui nodul lebih lanjut. Apabila nilai TSH awal
meningkat atau menurun, pemeriksaan FT4 dapat membantu. Nilai FT4
yang berada diatas atau dibawah kisaran normal menandakan adanya
kelainan kelenjar tiroid yang jelas, sedangkan nilai FT4 yang normal
menunjukkan bahwa terdapat kelainan subklinis. Pemeriksaan TPOAb perlu
dipertimbangkan apabila dicurigai terdapat penyakit autoimun. Pemeriksaan
kalsitonin (Ct) dapat mendeteksi adanya MTC (medullary thyroid carcinoma).
(2)
Gambar 1. Nodul tiroid dengan kista Gambar 2. Nodul tiroid kistik koloid
sederhana
Gambar 9. Pola sonografi nodul tiroid dan risiko keganasan menurut ATA
Gambar 10. Penempatan jarum pada sebuah prosedur FNA nodul tiroid dengan
panduan ultrasonografi
Gambar 11. Algoritma evaluasi dan manajemen nodul tiroid berdasarkan pola
sonografi dan FNA
Nodul tiroid dengan hipertiroidism klinis atau subklinis umumnya
diterapi dengan Iodine atau pembedahan. Hal ini didasarkan berbagai faktor
termasuk usia pasien, komorbiditas, pilihan pasien, ukuran nodul, radioiodine
uptake, apakah hipertiroidism perlu dikoreksi secara cepat, riwayat operasi
sebelumnya, dan fasilitas kesehatan. Levotiroksin tidak lagi dianjurkan untuk
untuk nodul yang secara sitologi jinak.(2)
PTC dapat memiliki banyak sitoplasma granular dan eosinofilik seperti tall
cell, oncocytic, dan hobnail varian dari PTC. Kalsifikasi lamellar, yang disebut
psammoma bodies dapat ditemukan dan lebih sering pada kasus yang
menunjukkan classical papillary architecture.(2)
Gambar 13. Papillary thyroid carcinoma showing whorled clusters of follicular cells
Gambar 14. Clusters of follicular cells from papillary thyroid carcinoma showing several
nuclei pseudoinclusions
Definisi
T0 Tidak ada bukti tumor primer
T1a Tumor 1 cm, tanpa ekstensi ekstratiroid
T1b Tumor >1 cm namun cm pada dimensi terbesarnya, tanpa ekstensi ekstratiroid
T2 Tumor >2cm namun 4 cm pada dimensi terbesarnya, tanpa ekstensi ekstratiroid
T3 Tumor >4 cm pada dimensi terbesar, terbatas pada tiroid
Atau
Tumor dengan ukuran berapapun dengan ekstensi ekstratiroid minimal
(contohnya ekstensi hingga otot sternotiroid atau jaringan lunak peritiroidal)
T4a Tumor dengan ukuran berapapun dengan penyebaran melewati kapsul tiroid
yang menginvasi jaringan lunak subkutan, laring, trakea, esofagus, atau nervus
laringeal rekuren
T4b Tumor dengan ukuran berapapun yang menginvasi fasia prevertebra atau
mencapai arteri karotid atau pembuluh mediastinal
Definisi
N0 Tidak terdapat nodus metastasis
N1a Metastasis hingga level VI (nodus limfa pretrakea, paraktrakea, dan prelaringeal/
Delphian)
N1b Metastase pada nodus limfa servikal unilateral, bilateral, atau kontralateral (level
I,II, III, IV, atau V) atau retrofaringeal atau mediastinal superior (level VII)
M0 Tidak ada metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
Kesimpulan
Diagnosis dan terapi nodul tiroid sangat bergantung pada evaluasi
awal, kriteria klinis pengukuran TSH, ultrasonografi, dan FNA. Pembedahan
diperlukan jika ada kecurigaan kearah keganasan.
Daftar Pustaka
1. Haugen BR, Alexander EK, Bible KC, Doherty GM, Mandel SJ, Nikiforov YE, et al.
2015 American Thyroid Association Management Guidelines for Adult Patients
with Thyroid Nodules and Differentiated Thyroid Cancer. American Thyroid
Association. 2016;26(1):1-133.
2. Gharib H. Thyroid Nodules Diagnosis and Management. Poretsky L, editor: Humana
Press; 2018.
3. Pemayun TGD. Current Diagnosis and Management of Thyroid Nodules. Acta
Medica Indonesiana. 2016;48.
4. Gimm, Dralle H. Differentiated thyroid carcinoma. Surgical Treatmen: Evidence-
Based and Problem-Oriented
Abstrak
Obat-obatan dapat menginduksi terjadinya pendarahan melalui
efeknya yang mempengaruhi fungsi anti-platelet dan/atau anti koagulasi.
Antiplatelet, antikoagulan, trombolitik dan obat anti-inflamasi non-steroid
(OAINS) merupakan obat-obatan yang paling sering terlibat. Perdarahan
gastrointestinal merupakan efek samping yang paling sering terjadi yang
menyebabkan seseorang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
jiwa. Profilaksis dengan obat seperti inhibitor pompa proton mengurangi risiko
perdarahan gastrointestinal. Manajemen klinis perdarahan membutuhkan
penilaian yang teliti terhadap pasien, dengan cara stabilisasi hemodinamik,
penghentian obat yang mencetuskan, dan jika diperlukan memberikan obat
untuk menghentikan perdarahan dan terapi spesifik seperti terapi endoskopi
hemostatik.
Pendahuluan
Obat merupakan salah satu penyebab umum terjadinya gangguan
perdarahan. Pada beberapa kasus, obat penyebab perdarahan dapat secara
jelas diketahui seperti antikoagulan, namun pada beberapa kasus obat
penyebab perdarahan dapat tidak jelas. Pada pasien dalam perawatan di
rumah sakit, obat-obatan yang umum menyebabkan perdarahan antara lain
antiplatelet, OAINS, antikoagulan, trombolitik, dan steroid. Saat ini, terdapat
peningkatan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan perdarahan
seperti antiplatelet dan dan antitrombotik. Penggunaan obat-obatan tersebut
tanpa disertai monitoring yang adekuat, pada pasien dengan edukasi yang
kurang, serta kurangnya edukasi dokter terhadap pasien mengenai efek
samping obat menyebabkan meningkatnya insidensi perdarahan pada pasien-
pasien tersebut. Insidensi dapat terjadi lebih tinggi pada pasien sosioekonomi
rendah akibat rendahnya edukasi dan kurangnya akses terhadap pemeriksaan
laboratorium berkala.(1)
Manajemen Pre-Endoskopi
Skor Glasgow-Blatchford harus digunakan untuk memprediksi
luaran klinis semua pasien dengan PSMBA. Pasien dengan skor 0-1 jarang
membutuhkan intervensi klinis, dan dapat dilakukan terapi rawat jalan
dengan aman, dengan endoskopi elektif di lain waktu. Namun, skor tinggi
(seperti 10-12) berhubungan dengan meningkatnya kebutuhan intervensi
seperti transfusi dan endoskopi terapeutik.
Transfusi platelet tidak memiliki manfaat pada pasien dengan PSMBA yang
menggunakan antiplatelet. Agen antiplatelet seperti aspirin dan thienopyridine
(seperti clopidogrel), meningkat penggunaannya pada pasien dengan
kondisi kardiovaskular dan serebrovaskular sebagai pencegahan primer dan
sekunder. Aspirin dan thienopyridine menyebabkan blok ireversibel, dan
sekitar 8-10 hari, efeknya akan bertahan setelah penggunaannya dihentikan
pada pasien dengan PSMBA. Banyak praktisi kedokteran yang memberikan
transfusi platelet walaupun pasien memiliki nilai trombosit normal. Dengan
absennya perbaikan luaran klinis dengan penggunaan transfusi platelet, tidak
Manajemen Endoskopi
Pasien dengan syok hemodinamik dan tanda PSMBA harus dilakukan
urgent endocopy setelah resusitasi dan stabilisasi. Waktu dilakukannya
endoskopi pada pasien dengan PSMBA non-variseal masih menjadi
perdebatan. Konsensus sebelumnya merekomendasikan endoskopi intervensi
dilakukan dalam 24 jam sejak awitan perdarahan pada pasien risiko tinggi.
Direkomendasikan pada beberapa pasien tertentu, seperti pada pasien syok
hemodinamik atau tidak stabil, urgent endoscopy, dalam 12 jam setelah
admisi, dapat memberikan keuntungan untuk pasien setelah resusitasi awal
dan stabilisasi. Akan tetapi, tidak semua pasien dengan PSMBA non-variseal
perlu dilakukan urgent endoscopy.
Manajemen Post-Endoskopik
Sebagai tambahan terapi endoskopi, inhibitor pompa proton dosis
tinggi intra vena dapat mencegah pendarahan ulang. Penggunaan inhibitor
pompa proton dosis tinggi intravena telah menjadi standard praktik dalam
manajemen PSMBA. Ditekankan bahwa inhibitor pompa proton dosis tinggi
tersebut dapat mencegah perdarahan berulang, namun sebagai terapi
tambahan setelah terapi endoskopi hemostatik tercapai. Definisi dosis tinggi
inhibitor pompa proton setara dengan esomeprazol 8 mg/jam dipertahankan
selama 3 hari, sebagai periode risiko perdarahan rekuren tertinggi. Apabila
kondisi pasien tetap stabil, dosis standar inhibitor pompa proton oral dapat
diberikan setelahnya.
Pada pasien yang menerima agen dual antiplatelet, setidaknya salah satu
harus tetap diberikan pada kasus PSMBA. Antiplatelet yang paling sering
digunakan adalah ASA (aspirin), inhibitor siklooksigenase dan thienopyridine
yang terikat ke komponen P2Y12 reseptor adenosin difosfat. Setelah
menghentikan ASA, 7-9 hari dibutuhkan untuk mengembalikan kembali
fungsi platelet, sementara thienopyridine (seperti clopidogrel dan prasugrel),
membutuhkan durasi minimum 5-7 hari untuk mengembalikan fungsi
platelet. Penggunaan dual antiplatelet, biasanya ASA dengan thienopyridine,
dapat meningkatkan risiko PSMBA hingga 3x lipat dibandingkan dengan
penggunaan agen tunggal.8 Tidak direkomendasikan menghentikan kedua
obat karena waktu median terjadinya trombosis stent koroner dapat terjadi
dalam 7 hari apabila kedua obat dihentikan, dibandingkan dengan 122 hari
bila hanya clopidogrel yang dihentikan.9 Menyetarakan risiko dan keuntungan
penghentian agen antiplatelet, ASGE merekomendasikan penghentian semua
terapi antiplatelet setelah PCI dihindari dan ketika hanya satu antiplatelet
yang digunakan aspirin harus dilanjutkan karena memiliki risiko lebih rendah
terjadinya perdarahan berulang. Di lain pihak, pada pasien dengan risiko
tinggi trombosis, seperti dengan stent koroner drug-eluting, clopidogrel tidak
boleh dihentikan selama lebih dari 5 hari.(10)
Terapi endoskopi tidak boleh ditunda pada pasien dengan PSMBA serius.
Terapi DOAC dan warfarin harus ditunda pemberiannya pada pasien yang
sedang mengalami PSMBA non-variseal.(12) Food and Drug Administration
pada Oktober 2015 telah menyetujui penggunaan idarucizumab, sebuah
antibodi monoklonal poten melawan aksi dabigatran, untuk digunakan pasien
dengan perdarahan tidak terkontrol.
Daftar Pustaka
1. Rajinder Negi RK, Anupam Prashar, Brij Sharma, Sanjeev Asotra, Dilip Gupta.
Pattern of drug-induced bleeding in a tertiary care hospital. International Journal of
Research in Medical Sciences. 2017;5(4):1198-203.
2. Joseph JY Sung PCC, Francis K L Chan, James YW Lau, Khean-lee Goh, Lawrence
HY Ho, Hwoon-young Jung, Jose D Sollano, Takuji Gotoda,, Nageshwar Reddy RS,
Kentaro Sugano, Kai-chun Wu, Chun-Yin Wu, David J Bjorkman, Dennis M Jensen,
Ernst J Kuipers, Angel Lanas. Asia-Pacific working group consensus on non-variceal
upper gastrointestinal bleeding: an update 2018. British Medical Journal. 2018:1-
12.
3. Sung JJ, Tsoi KK, Ma TK, et al. Causes of mortality in patients with peptic ulcer bleeding:
a prospective cohort study of 10,428 cases. Am J Gastroenterol 2010;105:84–9.
4. Ohbuchi M, Noguchi K, Kawamura A, et al. Different effects of proton pump inhibitors
and famotidine on the clopidogrel metabolic activation by recombinant CYP2B6,
CYP2C19 and CYP3A4. Xenobiotica 2012;42:633–40.
5. Zvyaga T, Chang SY, Chen C, et al. Evaluation of six proton pump inhibitors as
inhibitors of various human cytochromes P450: focus on cytochrome P450 2C19.
Drug Metab Dispos 2012;40:1698–711.
6. Ogilvie BW, Yerino P, Kazmi F, et al. The proton pump inhibitor, omeprazole,
but not lansoprazole or pantoprazole, is a metabolism-dependent inhibitor of
CYP2C19: implications for coadministration with clopidogrel. Drug Metab Dispos
2011;39:2020–33.
7. Furuta T, Iwaki T, Umemura K. Influences of different proton pump inhibitors on
the anti-platelet function of clopidogrel in relation to CYP2C19 genotypes. Br J Clin
Pharmacol 2010;70:383–92.
8. Abraham NS, Hartman C, Richardson P, et al. Risk of lower and upper gastrointestinal
bleeding, transfusions, and hospitalizations with complex antithrombotic therapy in
elderly patients. Circulation 2013;128:1869–77.
9. Eisenberg MJ, Richard PR, Libersan D, et al. Safety of short-term discontinuation of
antiplatelet therapy in patients with drug-eluting stents. Circulation 2009;119:1634–
42.
10. Acosta RD, Abraham NS, Chandrasekhara V, et al. The management of antithrombotic
agents for patients undergoing GI endoscopy. Gastrointest Endosc 2016;83:3–16.
11. Shingina A, Barkun AN, Razzaghi A, et al. Systematic review: the presenting
international normalised ratio (INR) as a predictor of outcome in patients with upper
nonvariceal gastrointestinal bleeding. Aliment Pharmacol Ther 2011;33:1010–8.
12. Halvorsen S, Storey RF, Rocca B, et al. Management of antithrombotic therapy
after bleeding in patients with coronary artery disease and/or atrial fibrillation:
expert consensus paper of the European Society of Cardiology Working Group on
Thrombosis. Eur Heart J 2017;38:1455–62.
13. Gage BF, Waterman AD, Shannon W, et al. Validation of clinical classification schemes
for predicting stroke: results from the National Registry of Atrial Fibrillation. JAMA
2001;285:2864–70.
14. Lip GY, Frison L, Halperin JL, et al. Comparative validation of a novel risk score for
predicting bleeding risk in anticoagulated patients with atrial fibrillation: the HAS-
PENGANTAR
Populasi usia lanjut dari tahun ke tahun meningkat dengan pesat. WHO
(1989) memperkirakan bahwa Indonesia akan menjadi negara dengan jumlah
usia lanjut terbesar ke 6 di dunia pada tahun 2020. Populasi segmen umur
ini adalah heterogen oleh karena variasi intra dan inter individu dari proses
menua dan perbedaan pola hidup yang di jalaninya selama ini.1 Heterogenitas
segmen akhir kehidupan ini mencakup : status fungsional, morbiditas,
mortalitas, dan, “ support system “ nya. Secara klinis dapat dibedakan menjadi
usia lanjut (60 – 70 tahun) dan usia lanjut risiko tinggi ( ≥ 70 tahun) 2, usia
lanjut “ non frail“ (tidak renta) dan usia lanjut “frail”(renta) 3 .
Pada tulisan ini akan dibahas pelayanan rawat rumah pada pasien dengan
ketergantungan total dari aspek regulasi, tujuan dan jenis pelayanan yang
dilakukan serta pengalaman di Instalasi Paliatif, Home Care, dan Geriatri RSUP
Dr. Sardjito.
PEMBAHASAN
Konsep Rawat - Rumah dan Prospeknya
Wieland dkk (1991) mendefinisikan Rawat – Rumah secara konseptual
sebagai satu komponen dari pelayanan kesehatan komprehensif yang
memberikan pelayanan kesehatan kepada individu dan keluarganya di
rumah untuk upaya promosi kesehatan, mempertahankan dan memulihkan
status kesehatannya, atau meminimalkan efek penyakit dan keterbatasan.
Pelayanan kesehatan yang diberikan harus direncanakan, dikoordinasikan
dan dilaksanakan oleh institusi atau agensi yang meliputi: pelayanan
medik, tindakan keperawatan, perawatan gigi, fisioterapi, terapi bicara,
terapi okupasi, nutrisi, pelayanan laboratorium, alat bantu kesehatan.
Konsep ini berbeda dengan pelayanan kesehatan yang diberikan secara
individual baik oleh dokter, perawat dan fisioterapis berupa kunjungan
rumah.8 Penatalaksanaan pasien geriatri di rumah berdasarkan konsep di
atas sangat sesuai dengan karakteristik masalah kesehatan usia lanjut yang
sebagian besar sangat kompleks (Complex Medicine).9 Dalam situasi klinik
yang kompleks tersebut diperlukan pengetahuan, keputusan klinik, dan
ketrampilan pemecahan masalah medik yang baik. Keterlibatan berbagai
disiplin ilmu dan petugas kesehatan dalam program Rawat – Rumah tidak
dapat dihindari. Staf perawat dalam berbagai klasifikasi, fisioterapis, okupasi
terapis, ahli gizi, pekerja sosial, farmasis sebagai suatu tim bekerja dengan
pendekatan multidisiplin – interdisiplin.10 Peranan tenaga medis spesialis
adalah1“medical advisor” atau konsultan medik, sedangkan pelayanan medik
langsung dilakukan oleh dokter keluarga. Peran keluarga dan masyarakat juga
penting dalam memberikan dukungan untuk tercapainya tujuan perawatan
di rumah sesuai dengan kebutuhan masing–masing pasien.11 Perkembangan
program Rawat – Rumah ke depan ditentukan oleh perubahan demografi,
beban biaya pelayanan rumah sakit, dan kemajuan teknologi pelayanan
kesehatan di rumah. Indikator atau prediktornya yang rinci adalah sebagai
berikut11 :
1. Populasi usia lanjut yang meningkat secara konsisten dari tahun ke
tahun,
Mini Data Set – Home Care ini dikeluarkan oleh inter RAI Overview
Committee yang dilengkapi pula dengan Client Assessment Protocols
(CAPs) yang memberikan petunjuk umum untuk melakukan pengkajian
khusus terhadap problem tertentu misalnya yang berkaitan dengan
inkontinensia, jatuh, ulkus dekubitus, nyeri, depresi dan cemas, dan lain-
lain.
KESIMPULAN
Merawat pasien usia lanjut di rumah harus memenuhi syarat-syarat :
profesional, ada perencanaan perawatan, target penanganan, memenuhi
kaidah biaya-manfaat, perlu dilakukan oleh tim. Pedoman praktis yang
dilakukan meliputi: ketrampilan pengkajian komprehensif pasien yang
direncanakan Rawat – Rumah, membuat perencanaan perawatan yang
rasional, memberikan layanan yang terbukti efektif, evaluasi berkala,
memahami peran dokter dalam program Rawat – Rumah mencakup sebagai
edukator, komunikator dalam tim, konsultan medik, dan case manager.
Hampir 60% pasien geriatri yang di Rawat – Rumah menunjukkan tingkat
ketergantungan berat atau total.
Daftar Pustaka
1. WHO 1989 Health in the Elderly, Jeneva
2. Dep. Kes. RI 1999 Pedoman Pelayanan Kesehatan Usia Lnjut di Rumah Sakit Umum,
Jakarta
3. Old, J . L . & Woolley , D . 2014 Frailty dalam R . J . Ham, P.D. Sloane, G . A. Warshaw,
J . F . Potter & E. Flaherty ( eds ) : Ham’s PrimaryCare Geriatric . A Case – Based
Approach . 6th Ed. Elsevier pp 323 – 332
4. Martono , H. & Pramantara , D . P. 2006 Pelayanan Kesehatan, Sosial dan
Kesejahteraan pada Lanjut Usia dalam A. W . Sudoyo B. Setiyohadi I. Alwi, M
. Simadibrata, & S. Setiati ( eds ) : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III, Pusat
Penerbitan IPD FK UI pp 1443 – 1449
5. Hayashi, J . & Leff, B . 2014 Home Care dalam R . J . Ham. P. D . Sloane , G . A .
Warshaw, J.F Potter & E Fkaherty 9 eds ) : Ham’s Primary Care Geriatric . A Case _
Based Approach 6th . Ed . Elsivier pp 142 – 147
6. Dep. Sos 2003 pedoman Aksi Nasional untuk Kesejahteraan Lanjut Usia , Jakarta
7. Freedman, V . A ., Anykan , H . , Wolf , D. A . & Marcotte , J . E . 2004 Disability and
Home Care Dynamics Older Un mariiied Americanos J of Gerontology vol No 1 , 525-
538.
8. PERMENKES RI NOMOR 79 TAHUN 2014 Penyelenggaraan Pelayanan Geriatri di
Rumah Sakit KeMenKes RI.
9. Wieland, D., Ferrell, B.A. & Rubenstein, L.Z. 1991. Geriatric Home Health Care,
Conceptual and Demographic Consideration dalam B.A. Ferrell & L.Z. Rubenstein
(Eds) : Geriatric Home Care, W.B. Saunders Comp. Philadelphia, pp. 645 – 664.
10. Lavizzo – Mourey, R. Schwab, E.P., Raziano, D.B. & Forciea, M.A. 2004 The Art and
Practice of Geriatries dalam M.A. Forciea, E.P. Schwab, D.B. Raziano, R. Lavizzo
Mourey (Eds) : Geriatric Secrets 3rd Ed. Mosby, Philadelphia pp.1-6.
11. Shirotani, N. 1999. Trend and Scope of Home Care Therapy. Asian Med. J. 42(5) :
225-31
12. Rodebush, P.H., Waltrip, L.L. & Baker, G.D. 2001. Home Health Care, The Case
Manager’s Training Manual, pp. 201 – 216.
13. Thompson, L.G. 2004. Clear goals, Solid Evidence, Integrated System, Realistic Role,
//E:\Geriatry\www.longwoods.com.html
14. Day, H., Kinosian, B. & Yudin, J. 2004. Home Care dalam M.A. Forciea, E.P.
Schwab, D.B. Raziano, R. Lavizzo Mourey (Eds) : Geriatric Secrets 3rd Ed. Mosby,
Philadelphia pp. 293-298
15. Gallo, J.J. Fulmer, T:Paveza, G.J. & Reichel, W. 2000. Handbook of Geriatric Assesment
3rd Ed. An Aspen Publication, Maryland.
16. Morris, J.N. Bernabei, R., Ikegami, N. et al. 1996. RAI-Home Care Assestment Manual,
inter RAI Corp., Washington.
17. Boal, J. & Loengard, A.2007. Home Care dalam R.J. Ham P.D. Sloane, G.A. Warshaw,
M.A. Bernard, E. Flaherty (Eds): Primary Care Geriatries A Case – Based Approach 5th
Ed. Mosby Elsevier, Philadelphia pp 172-177
18. Keenan, J.M. & Hepburn, K.W. 1991. The Role of Physicians in Home Health Care
dalam B.A. Ferrell & L.Z. Rubenstein (Eds): Geriatric Home Care, W.B. Saunders
Comp. Philadelphia, pp 665-675.
19. Hayashi, J. & Leff , B . 2014 Home Care dalam R . J . Ham , P. D . Sloane, G.A. Warshaw,
J. F. Flaherty (Eds): Ham’s Primary Care Geriatric 6 th Ed. Elsevier , Philadelphia
pp.142 – 147
20. Laporan Tahunan Unit Home care RSUP Dr Sardjito 2014.
21. Landers, S., Madigan, E., Leff, B. et al. 2016 The Future of Home Health Care: A
Strategic Framework for Optimizing Value, Home Health Care Management &
Practice vol. 28 (4) : 262 - 278
Pendahuluan
Asites adalah komplikasi yang paling umum dari sirosis hati yang terjadi
pada lebih dari setengah pasien sirosis dalam sepuluh tahun setelah didiagnosis
sirosis. Onset asites menjadi penanda penting dalam perkembangan penyakit
hati, yang mengindikasikan angka kematian 50% dalam kurun waktu 25
tahun. Asites biasanya dapat dikontrol dengan baik dengan tingkat kepatuhan
tinggi pada diet rendah natrium dan terapi diuretik. Namun pada 10% pasien
sirosis dengan asites, terapi diuretik maksimal tidak efektif. Pada pasien
dengan asites refrakter, large volume paracentesis (LVP) berulang menjadi
andalan dalam manajemen asites kronis.1,2
Definisi
Asites didefinisikan sebagai akumulasi lebih dari 25 ml cairan dalam
rongga peritoneum. Menurut European Association for the Study of the Liver
(EASL,2010) 75 % asites disebabkan oleh sirosis (asites sirotik), tetapi etiologi
asites yang kurang umum lainnya (asites non sirotik) seperti keganasan, gagal
jantung kongestif, sindrom Budd Chiari, tuberkulosis dan pankreatitis harus
dipertimbangkan - terutama jika asites adalah gejala pertama yang muncul.
Istilah “asites” berasal dari bahasa Yunani “askos”, diterjemahkan dengan tas
atau koper. (2,3)
Etiologi
Asites sirotik adalah komplikasi yang paling sering terjadi pada sirosis.
Pengobatan lini pertama untuk asites sirotik adalah diet rendah natrium yang
dikombinasikan dengan terapi diuretik. Namun, pada stadium lanjut penyakit
ini, asites refrakter dapat terjadi pada beberapa pasien, sehingga terapi
medikamentosa menjadi tidak efektif. (1,5)
dan pankreas. Sedangkan asites non sirotik non malignan disebabkan oleh
penyakit jantung kongestif, sindrom nefrotik, pankreatitis, tuberkulosis dan
perforasi saluran cerna.(1,5)
Penjelasan klasik tentang retensi natrium dan air yang terjadi karena
‘‘underfill’’ atau ‘‘overfill’’ terlalu disederhanakan. Pasien dapat menunjukkan
gambaran ‘‘underfill ’atau‘ ‘overfill’ ’bergantung pada keparahan penyakit
hati. Salah satu peristiwa yang dianggap penting dalam patogenesis disfungsi
ginjal dan retensi natrium pada sirosis adalah perkembangan vasodilatasi
sistemik, yang menyebabkan penurunan volume darah arteri yang efektif dan
sirkulasi hiperdinamik. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk perubahan
pada fungsi vaskular tidak diketahui tetapi mungkin melibatkan peningkatan
sintesis vaskular oksida nitrat, prostasiklin, serta perubahan konsentrasi
plasma glukagon, substansi P, atau peptida terkait gen kalsitonin.(6)
dari tekanan onkotik rendah ke tekanan onkotik yang tinggi. Resorpsi dapat
terganggu jika ada obstruksi saluran limfatik subperitoneal. Obstruksi paling
sering akibat dari tumor atau infeksi. Penurunan kembalinya cairan limfatik
ke duktus torasikus juga menyebabkan penurunan volume darah yang efektif,
mengaktifkan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang akan meningkatkan
retensi sodium yang larut dalam air.(1,5)
Diagnosis
Evaluasi awal pasien dengan asites meliputi riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, USG perut, penilaian laboratorium fungsi hati, fungsi ginjal,
serum dan elektrolit urin, serta analisis cairan asites. The International Ascites
Club mengusulkan untuk pilihan pengobatan asites tanpa komplikasi dengan
klasifikasi asites berdasarkan kriteria kuantitatif (Tabel 1). Parasentesis
diagnostik dengan analisis cairan asites yang tepat sangat penting pada
semua kondisi asites untuk menyingkirkan penyebab asites selain sirosis
dan menyingkirkan peritonitis bakterial spontan (SBP) pada sirosis. Ketika
diagnosis sirosis tidak terbukti secara klinis, asites karena hipertensi portal
dapat dengan mudah dibedakan dari asites karena penyebab lain oleh Serum-
Ascites Albumin Gradient (SAAG). Jika SAAG lebih besar dari atau sama dengan
1,1 g/ dl (atau 11 g/ L), asites dianggap berasal dari hipertensi portal dengan
akurasi sekitar 97% . Total konsentrasi protein cairan asites harus diukur
untuk menilai risiko SBP karena pasien dengan konsentrasi protein lebih
rendah dari 15 g/L memiliki peningkatan risiko SBP. Hitung neutrofil harus
diperoleh untuk mengesampingkan keberadaan SBP, inokulasi cairan asites
sebanyak 10 ml ke dalam botol kultur darah harus dilakukan di samping
tempat tidur pada semua pasien. Tes lain, seperti amilase, sitologi, PCR dan
kultur untuk mikobakteria harus dilakukan hanya ketika diagnosis tidak
jelas atau jika ada kecurigaan klinis penyakit pankreas, keganasan, atau
tuberkulosis .(6,8)
pada pasien sirosis. Sekitar 30% dari pasien sirosis dengan asites hemoragik
disebabkan karena adanya karsinoma hepatoseluler yang mendasarinya.(6,8)
Secara konvensional, jenis asites dapat dibagi menjadi eksudat dan
transudat, di mana konsentrasi protein asites adalah > 25 g/L adalah eksudat
dan ≤ 25 g/L adalah transudat. Tujuan dari pembagian ini adalah untuk
membantu mengidentifikasi penyebab asites. Keganasan menyebabkan
ascites eksudat dan sirosis menyebabkan transudat. Tetapi pembagian
dengan cara ini sudah ditinggalkan karena penggunaan Serum asites-albumin
(SAAG) jauh lebih unggul dalam klasifikasi asites dengan akurasi 97%. (SAAG
= konsentrasi albumin serum dikurangi dengan konsentrasi albumin cairan
asites).(6)
Daftar Pustaka
1. Moore CM, Thiel DHV. Cirrhotic ascites review: Pathophysiology, diagnosis and
management. World J Hepatol; 2013;5(5):251-263.
2. Cavazzoni E, Bugiantella W, Graziosi L. Malignant ascites: pathophysiology and
treatment. Int J Cin Oncol; 2012;18;1-9.
3. Sola E, Graupera I, Gines P. From refractory ascites to dilutional hyponatreima and
hepatorenal syndrome: Current option for treatment. Curr Hepatology Rep: 2014.
4. EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous
bacterial peritonitis, and hepatorenal syndrome in cirrhosis, European Association
for the Study of the Liver. Journal of Hepatology 2010 vol. 53 j 397–417
5. Pericleous M. Sarnowski A. Moore A. The clinical management of abdominal ascites,
spontaneous bacterial peritonitis and hepatorenal syndrome: a review of current
guidelines and recommendations. Eur J Gastroenterol: 2016 :28(3).
6. K P Moore, G P Aithal. Guidelines on the management of ascites in cirrhosis. The UCL
Institute of Hepatology, Royal Free and University College Medical School.2006
7. Ge PS, Guarner C, Runyon BA, Ascites, in GI/Liver Secret plus fifth edition,
Elsevier;2015
8. Runyon BA,Management of Adult patients withnascites due cirhosis, update 2012,
p 61-62, AASLD 2012
Pendahuluan
Asites merupakan salah satu komplikasi yang umum ditemukan pada
penderita sirosis hati, selain ensefalopati hepatikum dan perdarahan akibat
ruptur varises esofagus. Sekitar 50-60% pasien sirosis hati kompensata
akan mengalami satu episode asites dalam 10 tahun. Asites pada pasien
sirosis hanya dapat muncul bila telah terjadi hipertensi porta. Pada makalah
ini, pembahasan akan lebih difokuskan pada manajemen asites baik non
farmakologis maupun farmakologis.
Restriksi Cairan
Restriksi cairan tidak dilakukan pada semua pasien sirosis dengan asites.
Hiponatremia kronik umum ditemukan pada pasien sirosis. Koreksi kondisi
ini secara cepat menggunakan cairan saline hipertonik akan menimbulkan
lebih banyak komplikasi dibanding hiponatremia itu sendiri. Restriksi cairan
hanya dilakukan bila kadar natrium dalam darah < 125 mmol/L.2
Manajemen Farmakologis
Diuretik
Retensi natrium ginjal pada pasien sirosis dengan asites terutama
disebabkan oleh peningkatan reabsorpsi natrium pada tubulus proksimal dan
distal dibandingkan dengan penurunan laju filtrasi. Peningkatan reabsorpsi
natrium pada tubulus distal berhubungan erat dengan hiperaldosteronisme.
Aldosterone bekerja dengan meningkatkan permeabilitas membran luminal
pada sel principal terhadap natrium dan aktivitas pompa Na/K-ATP ase pada
membran basolateral.1
Vaptans
Vaptan (antagonis reseptor vasopressin) dapat memperbaiki kadar
natrium serum pada pasien sirosis dengan asites. Namun, penggunaan vaptans
pada pasien sirosis dengan asites masih memerlukan studi lebih lanjut.2
Daftar Pustaka
1. EASL clinical practice guidelines on the management of ascites, spontaneous
bacterial peritonitis and hepatorenal syndrome in cirrhosis. J Hepatol. 2010;53:397-
417.
2. Runyon BA. Management of adult patients with ascites due to cirrhosis: update
2012. Hepatology. 2013.
PENDAHULUAN
Systemik lupus erythematosus (SLE) masih merupakan penyakit dengan
angka kematian yang cukup tinggi. Meskipun 5 thn setelah diagnosis 92%
pasien masih hidup, prognosis turun menjadi 82% setelah 10 tahun, 76% pada
15 tahun dan hanya 68% pada 20 tahun. Data didapat dari pusat-pusat lain
di AS dan Eropa. Studi yang dipublikasikan sekitar tahun 1980 menemukan
bahwa angka harapan hidup pasien sekitar 80% pada 5 tahun dan sekitar
60 setelah 10 tahun. Penelitian yang lebih baru telah menunjukkan bahwa
kelangsungan hidup 5 tahun mendekati 90-95% dan 70-85% pasien bertahan
10 tahun. Dalam beberapa penelitian, pasien dengan keterlibatan ginjal
memiliki prognosis yang lebih buruk daripada mereka yang tidak memiliki
penyakit ginjal. Namun angka kelangsungan hidup menunjukkan peningkatan
pada penderita dengan penyakit ginjal yang datang ke pusat kesehatan
Inggris antara tahun 1976 dan 1986 (kelangsungan hidup 81% untuk 10
tahun), dibandingkan dengan yang terjadi antara tahun 1963 dan 1975 (56%
10 tahun).
SLE atau lupus adalah penyakit yang mengenai sistim imun dan bersifat
sistemik. Seperti halnya penyakit autoimun lainnya, sistem imun akan merusak
sel-sel tubuh dan jaringan, melalui proses peradangan, Patogenesis yang
terjadi melalui reaksi hipersensitivitas tipe II dan tipe III, kompleks Antibodi
Antigen yang terbentuk akan mengendap dijaringan, yang mengaktifkan
TROMBOSITOPENIA
Trombositopenia sering terjadi pada SLE dan merupakan salah satu dari
kriteria klasifikasi untuk SLE. Dalam Hopkins Lupus Cohort, 21% penderita
SLE dengan trombositopenia.
Gejala pada pasien dengan AIHA biasanya akan timbul gejala anemia
termasuk lelah, dispneu saat beraktivitas. Dapat juga terjadi gejala tumpang
tindih antara manifestasi hematologi autoimun lainnya. Sebagai contoh,
pasien SLE dengan AIHA dan trombositopenia dapat terjadi pada Evans
syndrom, sehingga pasien dengan AIHA harus dimonitor apakah terjadi
trombositopenia atau tidak.
PENGOBATAN AIHA
Methylprednisolone intravena (1.000 mg setiap hari untuk 3 hari,
diberikan lebih dari 90 menit) diikuti oleh prednison oral dosis tinggi (1 mg
/ kg). Pemeliharaan azathioprine atau mycophenolate mofetil Danazol AIHA
refrakter mungkin membutuhkan rituximab atau splenektomi.
LEUKOPENIA
Leukopeni pada SLE merupakan bagian dari klasifikasi American College
of Rheumatology kriteria. Kebanyakan leukopenia pada SLE adalah limfopenia;
neutropenia pada SLE jarang terjadi. Evaluasi neutropenia pada SLE meliputi
pemeriksaan antibodi anti-neutrofil dan mencari penyebab karena toksisitas
obat (biasanya siklofosfamid atau obat imunosupresif lainnya). Rituximab
dapat menyebabkan neutropenia tipe lambat. Neutropenia pada SLE biasanya
bukan keadaan darurat; itu sering over-terapi. Selama jumlah neutrofil total di
atas 1.000 / mm, risiko infeksi kecil, dan tidak memerlukan pengobatan. Jika
pasien menjadi neutropenik karena siklofosfamid, atau karena imunosupresif
lainnya , maka siklofosfamid distop atau ditunda dan untuk meningkatkan
jumlah neutrofil diberikan Granulosit koloni stimulating faktor (GCSF) pada
pasien SLE flare (termasuk flare yang fatal). terutama neutropenik dengan
sepsis.
Pengobatan
Untuk mengurangi ‘badai sitokin’ dengan menggunakan metil IV
prednisolon untuk mengobati trombosis dengan menggunakan IV heparin.
Untuk menurunkan anti fosfolipid dengan menggunakan IV imunoglobulin
Terapi
Pertukaran plasma / plasmapheresis adalah pengobatan utama pada
TTP IV siklofosfamid dan rituximab juga Diberikan
TAMPONADE JANTUNG
Tamponade jantung jarang terjadi pada kasus LES, sekitar 22 % menurut
Hopkins Lupus Cohort. Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung
koroner 5-6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang
berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%. Serositis adalah
salah satu kriteria klasifikasi ACR dari SLE, tetapi tamponade jantung yang
jarang terjadi. Dan merupakan manifestasi klinis SLE.
MIOKARDITIS
LES dengan miokarditis jarang terjadi, yaitu hanya 14 %. Hal ini berkaitan
dengan miositis. Pasien LES dengan miokarditis sering muncul dengan gagal
jantung kongestif. Evaluasi yang dilakukan termasuk echocardiogram jantung
yang menunjukan gambaran hipokinesis, dan dan koroner arteriogram untuk
menyingkirkan aterosklerosis atau vaskulitis koroner. Biopsi ventrikel kanan
dapat menegaskan diagnosis miokarditis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis adanya sindrom seperti flu
atau mungkin asimtomatik. Pemeriksaan laboratorium dapat menunjukkan
leukositosis, eosinofilia, laju endap darah yang meningkat atau peningkatan
MB bond of creatine phosphokinose (CKMB). Peningkatan CKMB ditemukan
pada kurang lebih 10 persen pasien, namun pemeriksaan troponin lebih
sensitif untuk mendeteksi kerusakan miokard pada kecurigaan miokarditis.
Dapat dijumpai peningkatan titer virus kardiotrofik. Dibutuhkan peningkatan
empat kali lipat pada titer lgG setelah lebih dari 4-6 minggu untuk
mendokumentasikan infeksi akut. Peningkatan titer antibodi lgM mungkin
menunjukkan infeksi akut secara lebih spesifik dibandingkan dengan
peningkatan pada titer antibodi lgG. Sayangnya, peningkatan pada titer
antibodi hanya menangkap respons infeksi virus yang masih baru dan tidak
menunjukkan keberadaan miokarditis aktif. Dilaporkan kelainan pada hitung
limfosit T and B, namun tidak konsisten dan tidak dapat digunakan sebagai
penentu diagnostik. Tiga hal klinis yaitu infeksi viral sebelumnya, perikarditis,
dan kelainan laboratorium terkait yang digunakan untuk mendiagnosis
miokarditis karena coxsockie B dijumpai pada kurang dari 10 persen kasus
yang terbukti secara histologis.
Elektrokardiografi
EKG hampir selalu abnormal pada pasien miokarditis. Gambaran EKG
pada pasien miokarditis bervariasi mulai dari perubahan gelombang T dan
segmen ST yang tidak khas sampai elevasi segmen ST yang menyerupai infark
miokard akut. EKG paling sering menunjukkan sinus takikardia. Lebih khas
adalah perubahan gelombang ST-T. Dapat ditemukan perlambatan interval
QTc dan voltase rendah (low voltoge).lnterval QT yang memanjang >440
mdetik, aksis QRS abnormal dan denyut ektopik ventrikular dlkaitkan dengan
outcome klinis yang buruk.
Ekokardiografi
Tidak ada gambaran ekokardiografi yang spesifik untuk miokarditis.
Ekokardiografi dapat menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri pada
pasien dengan dimensi ventrikel kiri yang berukuran normal. Kelainan
gerakan dinding segmental mungkin ditemukan. Ketebalan dinding jantung
mungkin bertambah, terutama saat permulaanpenyakit, saat inflamasi
sedang hebat. Trombus ventrikel terdeteksi sekitar 15 persen. Gambaran
ekokardiografi pada miokarditis aktif dapat meniru restriktif, hipertropik,
atau kardiomiopati dilatasi.
HIPERTENSI PULMONAL
Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan arteri
pulmonalis (pulmonary arterial pressure, PAP) ≥25 mmHg pada saat istirahat
dinilai dengan kateterisasi jantung kanan. Angka ini telah digunakan pada
semua randomized controlled trial (RCT) dan registrasi pasien-pasien
hipertensi pulmonal. Pada keadaan normal, rata-rata PAP (mean pulmonary
arterial pressure, mPAP) adalah 14±3 mmHg dengan nilai batas atas 20 mmHg.
Nilai mPAP 21-24 mmHg memerlukan evaluasi lebih lanjut untuk menilai
adanya hipertensi pulmonal.19
Terapi
Pembedahan atau embolektomi agen trombolitik atau heparin jika
terdapat thrombus Metil prednisolon IV dan diikuti dengan oral prednisolon.
Hipertensi pulmonal kronis dapat diterapi dengan menggunakan
sildenafil,bosentan, dan IV prostasiklin
KOMPLIKASI GI PANKREATITIS
PANKREATITIS
Pankreatitis adalah manifestasi yang jarang dari LES, hanya 4%. Pasien
datang dengan nyeri perut, demam, dan gangguan elektrolit. Ini bisa berakibat
fatal, terutama pada pasien anak. Model multivariat menemukan bahwa
hipertrigliseridemia, psikosis, pleuritis, gastritis, dan anemia terkait dengan
riwayat pankreatitis.
Insufisiensi Adrenal
Insufisiensi adrenal dapat dikelompokkan menjadi 3 kategori besar:
1. Insufisiensi adrenal primer kronis, juga disebut penyakit Addison’s,
disebabkan kerusakan dari korteks adrenal. Penyebab tersering
adalah penyakit autoimun (sekitar 70-80%), tuberkulosis (20%),
perdarahan adrenal, metastase ke adrenal dan AIDS yang dikaitkan
dengan infeksi cytomegalo virus dan terapi ketokonazole.
apakah pasien kritis mengalami insufisiensi adrenal relative dan yang mana
harus menerima terapi pengganti, apa kriteria diagnosis untuk insufisiensi
adrenal secara umum dan terutama pada insufisiensi adrenal sekunder.
Terjadi penurunan kliren dari kortisol dari tubuh dan penurunan ikatan
kortisol pada transkortin, mengakibatkan peningkatan pada kadar kortisol
bebas pada penyakit yang akut. Sehingga, pada pasien dengan penyakit kritis
umumnya menunjukkan hiperkortisolaemia. Keuntungan dari peningkatan
kortisol adalah untuk mempertahankan volume intravaskular.
Pemeriksaan Laboratorium
Antibodi antiphospholipid (lupus antikoagulan, anticardiolipin, dan anti-
beta21-glikoprotein I), Echocardiogram jantung, Arteriogram.
Terapi
Jika vasospasme (Raynaud’s) : calcium channel blockers Vasodilator
seperti nitrat topikal. Prostacyclin intravena mungkin diperlukan.
Untuk mencegah dan mengobati trombosis, aspirin dosis rendah (81 mg)
dan heparin .
NEKROSIS KUTANEUS
Nekrosis kulit yang luas jarang terjadi pada SLE. Dapat terjadi pada
sindrom antiphospholipid, SLE vaskulitis, dan dapat diinduksi oleh warfarin
pada pasien yang Protein C defisien (karena warfarin dapat mengurangi
kadar Protein C dan Protein S).
Terapi
- Untuk sindrom Reynaud calcium channel blockers diberikan dan juga
nitrat topikal.
- Untuk trombosis dosis rendah aspirin (81mg) dan dosis terapeutik
heparin diberikan.
- Untuk vaskulitis metil prednisolon dilanjutkan dengan prednisolon oral
.untuk mencegah jaringan iskemik menjadi nekrosis. Nekrosis Kutaneus
Necrosiscandapat terjadi pada antifosfolipid sindroma.
- Evaluasi dilakukan pemeriksaan antibodi antifosfolipid dan biopsi pada
tepi jaringan nekrotik.
- Heparin diberikan jika nekrosis karena APS IV methylprednisolone
diikuti dengan oral prednisolon jika nekrosis disebabkan oleh SLE
dengan vaskulitis.
terjadi pada LN tipe proliferasi difus atau nefritis lupus membranous disertai
dengan keluhan Sakit kepala, pusing, gangguan penglihatan, dan tanda-tanda
dekompensasi jantung dan hipertensi. Gambaran hematologi berupa anemia,
peningkatan LED dan trombositosis. Pemeriksaan urin akan menunjukkan
proteinuria, leukosituria, hematuria dan sedimen urin. Kadar komplemen
rendah dan dsDNA meningkat.Gambaran histopatologis menurut WHO
berubah ke tingkat yang lebih tinggi dengan derajat aktivitas atau kronisitas.
Biopsi ginjal harus dipertimbangkan pada pasien dengan SLE yang memiliki
gambaran klinis atau laboratorium nefritis aktif (sedimen urin positif , sel
darah merah, albuminuria dengan protein urin 24 jam> 500mg) terutama
dengan episode pertama nefritis. Biopsi ginjal bermanfaat pada penderita
LN berulang, hasil histologis dapat menggambarkan aktivitas dan kronisitas
penyakit. Biopsi ginjal juga berguna dalam menentukan prognosis dan
rencana pengobatan.
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES = SLE = systemic lupus erythematosus)
merupakan penyakit autoimum sistemik ditandai dengan berbagai
autoantibodi, baik yang ditujukan terhadap komponen inti sel ataupun
terhadap komponen sitoplasma serta permukaan membran sel. Perjalanan
penyakit SLE berfluktuasi, mengalami eksaserbasi dan remisi. Secara global,
distribusi SLE hampir homogeny, kecuali pada daerah sub Sahara dan
Brazil prevalensi lebih kecil dari daerah lain. Insidens SLE bervariasi dari 2
sampai dengan 7,6 kasus/ 100.000 penduduk per tahun. Prevalensi tertinggi
ditemukan pada penduduk Karibia keturunan Afrika, diikuti oleh orang Asia.
Perbandingan antara perempuan dengan laki-laki adalah 9 : 1 dengan awitan
pada usia 15-55 tahun.1-3
PATOFISIOLOGI
Belum diketahui diketahui dengan pasti penyebab SLE. Ada beberapa
faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya SLE pada seseorang, antara lain
adalah:
1. Faktor Genetik
Adanya keterlibatan faktor genetik pada SLE pertama kali diduga
dengan adanya bukti bahwa saudara kembar monozigot pasien SLE
mempunyai kemungkinan untuk menderita SLE sebesar 24-69%,
sedangkan saudara kembar dizigot hanya mempunyai kemungkinan
menderita SLE sebesar 1-5%.4. Banyak penelitian yang sudah mencoba
mengidentifikasi kandidat gen yang berperan terhadap kejadian SLE,
akan tetapi belum memberikan hasil yang memuaskan. Dalam 5 tahun
terakhir dengan berkembangnya penggunaan teknologi Genome-Wide
Association Study (GWAS), telah ditemukan lebih dari 40 lokus gen yang
berkaitan dengan SLE. Gen ini bertanggung jawab terhadap pembentukan
protein yang berperan pada respons imun bawaan dan didapat, berperan
pada kompleks patogenesis SLE.5
Salah satu kromosom yang berkaitan erat dengan SLE adalah human
leukocyte antigen (HLA) terutama HLA kelas II yakni HLA-DRB1, DQA1
dan DQB1 serta komplemen (C1q, C2, or C4). Wakeland dkk.31 pada
penelitiannya terhadap mencit telah mengidentifikasi gen Sle 1, Sle 2
dan Sle 3 yang bertanggung jawab pada hilangnya toleransi imunologi
terhadap autoantigen nukleus, hipreaktivitas sel B dan sel T. Kelompok
gen Sle 1 tersebut identik dengan kelompok gen pada daerah 1q21–23
dan 1q41 kromosom 1 manusia yang dikaitkan dengan SLE.
2. Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang sering menyebabkan terjadinya SLE adalah
infeksi virus seperti Epstein-Barr virus (EBV), Cytomegalovirus, sinar
matahari, dll. Sinar matahari menyebabkan terjadinya peningkatan
apotosis pada sel keratinosit. Oleh karena pada pasien SLE juga terjadi
gangguan klirens, maka debris hasil apoptosis tersebut tidak dibersihkan
secara sempurna, sehingga akan mengaktivasi sel T dan sel B.5
5. Artritis:
Artritis non erosif yang terdapat pada dua atau lebih sendi perifer,
ditandai nyeri tekan, bengkak atau ada efusi.
6. Serositis:
a. Pleuritis: Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub
didengar dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura.
b. Perikarditis: Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial
friction rub atau terdapat bukti efusi perikardium.
7. Gangguan ginjal:
a. Proteinuria menetap > 500 mg perhari atau 3+ pada pemeriksaan
semikuantitatif.
b. Silinder selular: Terdapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin,
granuler, tubular atau campuran.
8. Gangguan neurologi:
a. Kejang yang disebabkan bukan oleh obat obat atau gangguan
metabolik (misal uremia, ketoasidosis atau gangguan elektrolit).
b. Psikosis yang disebabkan bukan oleh obat-obatan atau
gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis, atau
gangguan keseimbangan elektrolit).
9. Gangguan Hematologi:
a. Anemia hemolitik dengan retikulositosis, atau
b. Leukopenia: < 4000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau
lebih, atau
c. Limfopenia: < 1500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau lebih,
atau
d. Trombositopenia: < 100,000/mm3 bukan akrena obat obatan.
10. Gangguan imunologik:
a. Anti ds-DNA titer abnormal, atau
b. Terdapat antibodi terhadap antigen Sm, atau
c. Temuan positif terhadap antibodi anti fosfolipid didasarkan
pada:
1. Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal Ig G, atau
Ig M, atau
2. Pemeriksaan lupus antikoagulan positif.
3. Hasil pemeriksaan serologi positif palsu terhadap sifilis,
sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasikan
dengan pemeriksaan immobilisasi treponema pallidum
Serositis
• Typical pleurisy for more than 1 day
• Or pleural effusions
• Or pleural rub
• Typical pericardial pain
• Or pericardial effusion
• Or pericardial rub
• Or pericarditis by electrocardiography
Renal
• Urine protein-to-creatinine ratio (or 24-h urinary protein)
representing 500 mg protein/24 h
• Or red cell casts
Neurologic
• Seizures
• Psychosis
• Mononeuritis multiplex
• Myelitis
• Peripheral or cranial neuropathy
• Acute confusional state
Haemolytic anaemia
Leucopenia (<4000/mm3 at least once), Or lymphopenia (<1000/mm3) at
least once
Thrombocytopenia (<100,000/mm3) at least once
Immunologic criteria
• ANA
• Anti-dsDNA antibody
• Anti-Sm
Antiphospholipid antibody positivity as determined by any of the following:
• Positive test result for lupus anticoagulant
• False-positive test result for rapid plasma reagin
• Medium- or high-titre anticardiolipin antibody
• Positive test result for anti-b2-glycoprotein I
Low complement
Direct Coombs’ test in the absence of haemolytic anaemia
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan > kriteria (minimal 1 klinis dan 1 lab-
oratoris).
PENATALAKSANAAN
Dalam menatalaksana penderita SLE, perlu diketahui terlebih dahulu
tingkat aktivitas penyakitnya. Ada beberapa metoda yang digunakan untuk
menilai aktivitas penyakit SLE, seperti indeks SLEDAI, MEX-SLEDAI, BILAG,
dan lain lain. Berikut ini dapat dilihat indeks SLEDAI dan MEX-SLEDAI yang
sering digunakan untuk menilai aktivitas SLE.
Indeks SLEDAI.13
Kegiatan yang juga perlu diberikan pada penderita SLE adalah sebagai
berikut.15:
• Outdoor activities should be scheduled before 10 AM and after 4 PM.
• Up to 80% of ultraviolet (UV) rays penetrate cloud cover and can be
reflected from water, concrete, sand, snow, tile, and reflective glass in
buildings. Extra care is important at higher altitudes.
• Clothing is an excellent form of sun protection, especially loose-fitting,
lightweight dark clothing, sunglasses, and broad-brimmed hats.
• Protective clothing blocking UV-B light with a sun protection factor of 30
or higher is commercially available online. Sunblocks should be applied
15 to 30 minutes before sun exposure and can be applied liberally. UV-A
protection is also desirable. Sunscreens should not be applied to broken skin
or rashes.
• UV-B sunblocks with avobenzone and zinc oxide also blocks UV-A1 rays,
and titanium dioxide products are the best for very sensitive skin.
• Sunblocks are available as creams, lotions, gels, sprays, lotions, and sticks
and in waterproof and heat-resistant forms, as well as in lip and eyelid
formulations.
Obat obat yang digunakan untuk penderita SLE dapat dilihat pada tabel
berikut.16:
KELAINAN GINJAL
Sekitar 50-75% penderita SLE bila tidak ditatalaksana dengan baik
akan mengalami kelainan ginjal dan sekitar 10-201% akan jatuh pada gagal
ginjal tahap akhir. Klasifikasikasi lupus nefritis oleh International Society of
Nephrology/Renal Pathology Society 2003 (ISN/RPS) adalah sebagai berikut:
KELAINAN KULIT
Kelainan kulit pada SLE bervariasi mulai yang bersifat akut sampai
dengan yang kronik seperti tampak pada keadaan berikut:22
Untuk mencegah kelainan kulit bisa digunakan sun blok untuk melindungi
kulit dari paparan sinar matahari. Obat yang diberikan adalah hidroksi
kloroquin atau kloroquin. Obat lain yang diberikan adalah azatioprin, MMF
dan metotrexat. Pada keadaan terdapat fenomena Raynaud dapat diberikan
Ca antagonis, seperti nifedipin, juga dapat diberikan iloprost pada kasus yang
berat. Bila terdapat ganggren pada kulit atau jari tangan diberikan heparin
dan dilanjutkan dengan warfarin.22
Daftar Pustaka
1. Bertolaccini ML HG, Khamashta MA. Systemic Lupus Erythematosus. In: Shoenfeld
Y, Cervera R, Gershwin ME (ed):Diagnostic Criteria in Autoimmune Diseases,
Humana Press Los Angeles. 2008: 3-7.
2. Gordon C, Sam Lim S. Epidemiology of systemic lupus erythematosus. in : Gordon
C, Isenberg D (Ed) Sytemic lupus erythematosus. Oxford University Press, UK.
2016:23-44.
3. Shapira Y, Agmon-Levin N, Shoenfeld Y. Geoepidemiology of autoimmune
rheumatic diseases. Nat Rev Rheumatol. 2010;6(8):468-76
4. Merrill JT. Antibody and clinical features of the antiphospholipid syndrome as
criteria for systemic lupus erythematosus. Lupus. 2004;1:869-76.
5. Dias SS, Isenberg DA. Advances in systemic lupus erythematosus. Medicine.
2014;42(3):126-31.
6. Rahman A, Isenberg DA. Systemic Lupus Erythematosus. N Engl J Med.
2008;358:929-39.
7. Kaplan MJ. Apoptosis in systemic lupus erythematosus. Clinical Immunol.
2004;112: 210–8.
8. Wickman G, Julian L,Olson MF. How apoptotic cells aid in the removal of their own
cold dead bodies. Cell Death Diff. 2012; 19: 735–42.
9. Munoz LE, Gaipl US, Franz S, Sheriff A, Voll RE1, Kalden JR, Herrmann M. SLE—a
disease of clearance deficiency? Rheumatology. 2005;44:1101–7.
10. Hahn BH. Systemic Lupus Erythematosus. In: Kaper DL, Hauser SL, Jameson JL,
Fauci AS, Longo DL, Localzo J (Ed). Harrison’s Principle of Internal Medicine. 19th
ed, McGraw-Hill Education. New York 2015;2124-34.
11. Dubois
12. Petri M, Orbai AM, Alarcon GS, Gordon C, Merrill JT,Fortin PR, et al. Derivation and
Validation of the Systemic Lupus International Collaborating Clinics Classification
Criteria for Systemic Lupus Erythematosus. Arthritis Rheum. 2012;64(8): 2677–
86.
13. Lam GKW, Petri M. Assessment of systemic lupus erythematosus. Clin Exp
Rheumatol 2005; 23 (Suppl. 39): S120-32.
14.
Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia Untuk Diagnosis dan
Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. 2011
15. Wallace DJ. Management of nonrenal and non–central nervous system lupus.
In : Hochberg MC, Silan AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH (editors).
Rheumatology 6th ed. Elsevier, Philadelphia, 2015: 1099-1105
16. Gordon C, Amissah-Arthur MB, Gayed M, Brown S, Bruce IN, D’Cruz D, et al. The
British Society for Rheumatology guideline for the management of systemic lupus
erythematosus in adults. Rheumatology 2018;57:e1-45
17. Karpouzas G. Hematologic and Lymphoid Abnormalities in SLE. In: Wllace DJ,
Hann BH (Editor) DUBOI’S Lupus Erythematosus and Related Syndromes 8th ed.
Elsevier Sounders, Philadelphia. 2013:426-35.
18. Erkan D, Salmon JE, Lockshin MD. Anti-phospholipid Syndrome. In: Firestein G,
Budd RC, Gabriel SE, McInnes IB, O’Dell JL (editors) Kelley & Firestein’s Textbook
of Rheumatology, 10th Ed. Elsevier, Inc. Philadelphia 2017: 1389-98.
19. Ruiz-Irastorza G, Khamashta M. Cardiopulmonary Disease in SLE. In: Wllace DJ,
Hann BH (Editor) DUBOI’S Lupus Erythematosus and Related Syndromes 8th ed.
Elsevier Sounders, Philadelphia. 2013:352-61.
20.
Bertsias G, Fanouriakis A, Boumpas DT. Treatment of Systemic Lupus
Erythematosus. In: Firestein G, Budd RC, Gabriel SE, McInnes IB, O’Dell JL (editors)
Kelley & Firestein’s Textbook of Rheumatology, 10th Ed. Elsevier, Inc. Philadelphia
2017: 1385-85.
21. Hanly JG, Omisade A, Fisk JD. Treatment of neuropsychiatric lupus. In: : Hochberg
MC, Silan AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH (editors). Rheumatology 6th
ed. Elsevier, Philadelphia, 2015: 1107-10
22. Chong B, Werth VP. Skin Disease in Cutaneous Lupus Erythematosus. In: Wllace DJ,
Hann BH (Editor) DUBOI’S Lupus Erythematosus and Related Syndromes 8th ed.
Elsevier Sounders, Philadelphia. 2013: 319-30
PENDAHULUAN
Membahas infeksi toksoplasmosis, other (sifilis), rubella, cytomegalovirus
dan herpes simplex harus selalu memperhatikan faktor host/subyek yang
terkena. Apakah infeksi pada seorang ibu hamil, seorang dengan gangguan
imunitas (immunokompromais atau immunokompeten), seorang yang
akan melakukan transplantasi. Pendekatan diagnosis dan interpretasi serta
rencana penatalaksaan merupakan hal yang penting dipahami. Bahasan kali
ini akan memfokuskan telaah alur diagnostik infeksi TORCH pada wanita
hamil.
Toksoplasmosis
Infeksi ini terjadi akibat penularan ookista matur Toxoplasma gondii
pada air atau makanan yang tercemar feses hewan seperti kucing atau bila
kista yang dalam keadaan hidup termakan di daging yang tidak diolah secara
baik.
Sifilis
Penyakit ini termasuk dalam kelompok infeksi menular seksual.
Dilakukannya penapisan saat antenatal akan memberikan dampak positif
karena dapat dilakukan intervensi lebih awal. Infeksi yang disebabkan
Rubella
Infeksi ini merupakan infeksi yang secara umum bergejala ringan
dengan keluhan yang tidak khas, seringkali sulit didiagnosis secara klinis.
Keluhan berupa demam dengan kemerahan kulit yang difus, pungtata dan
782 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Algoritma Tata Laksana Infeksi Torch pada Kehamilan
Cytomegalovirus
Virus ini bila mengenai seseorang dapat menyebabkan infeksi laten
setelah paparan primer namun bisa teraktivasi melalui mekanisme shedding
viral. Merupakan penyebab kelainan kongenital yang paling sering dan
mengakibatkan gangguan pendengaran secara kongenital pada anak.
Penularan infeksi virus ini pada wanita dewasa terjadi melalui berbagai jalur
penularan seperti paparan dari lingkungan, di rumah tangga, kontak seksual,
tranfusi atau dari cairan tubuh lainnya.
Herpes Simpleks
Infeksi ini banyak ditemui pada wanita usia reproduktif dan termasuk
dalam kelompok infeksi menular seksual. Merupakan penyebab infeksi pada
neonatus yang serius. Virus yang termasuk dalam famili Herpesviridae ini
ditularkan melalui membran mukosa dan kulit yang ada lesinya, kemudian
virus masuk ke dalam struktur saraf dan menyebabkan infeksi secara laten.
Prevalensi infeksi herpes pada wanita hamil banyak berupa herpes genital.
Bila terjadi transmisi pada janin akan dapat menyebabkan abortus spontan,
pertumbuhan janin terganggu, kelahiran premature dan kelainan kongenital.
Apabila terjadi infeksi pada trimester akhir kehamilan maka risiko lebih
tinggi dibandingkan pada trimester awal. Penularan lebih banyak terjadi
pada saat persalinan dibandingkan saat kehamilan. Semua kasus dengan
kecurigaan infeksi virus herpes harus dipastikan melalui pemeriksaan virus
atau serologi.
Daftar Pustaka
1. Paquet C, Yudin MH. No. 285-Toxoplasmosis in Pregnancy: Prevention,
Screening, and Treatment. J Obstet Gynaecol Can.2018; 40:e687-e693. 10.1016/j.
jogc.2018.05.036.
2. Asrul Abdul Wahab, Umi Kalsom Ali, Marlyn Mohammad, Ezura Madiana Md.
Monoto, and M.M. Rahman. Syphilis in pregnancy. Pak J Med Sci. 2015; 31: 217–
219. 10.12669/pjms.311.5932
3. Rubella. June 2015. Retrieved from https://www.health.qld.gov.au/cdcg/index/
rubella#Manag.
4. Society for Maternal-Fetal Medicine (SMFM), Hughes BL, Gyamfi-Bannerman C.
Diagnosis and antenatal management of congenital cytomegalovirus infection. Am
J Obstet Gynecol. 2016 Jun; 214:B5-B11. 10.1016/j.ajog.2016.02.042.
5. Gianluca Straface, Alessia Selmin, Vincenzo Zanardo, Marco De Santis, Alfredo
Ercoli, and Giovanni Scambia. Herpes Simplex Virus Infection in Pregnancy. Infect
Dis Obstet Gynecol. 2012; 2012: 385697. 10.1155/2012/385697.
PENDAHULUAN
TORCH adalah akronim dari toxoplasmosis, Other (Parvovirus B19,
Varicella-Zoster virus infection, Syphilis, Hepatitis B), rubella virus,
cytomegalovirus infection dan herpes simplex virus infection. Kelompok
penyakit memegang peran penting terhadap terjadinya infeksi kongenital yang
serius selama kehamilan, dan dapat menyebabkan kerusakan atau anomali
lainnya pada janin. Pada orang dewasa, infeksi ini dapat berat, menyebabkan
morbiditas bahkan dapat menyebabkan kematian terutama pada pasien
imunokompromais oleh karena penyakit ini sering tidak terdiagnosis karena
gejala yang timbul akibat infeksi ini mirip dengan penyakit yang lain, sehingga
penanganannya pun menjadi terlambat. Pada tulisan kali ini akan dibahas
tatalaksana dan evaluasi infeksi CMV, HSV, dan toxoplasma.
Infeksi CMV pada manusia pertama kali dicatat oleh Ribbert pada tahun
1881, dan pada tahun 1920 Goodpasture dan Talbot mempostulasikan sel
yang bengkak atau cytomegalia jika sel terinfeksi virus ini2. Tahun 1960
Weller menamai dengan Cytomegalovirus. Nama “Cytomegalo” mengacu pada
ciri khas pembesaran sel yang terinfeksi virus, di dalam nukleusnya, dijumpai
inclusion bodies, dan membesar berbentuk menyerupai mata burung hantu
(owl’s eye) (gambar 1).
Masa inkubasi pada infeksi primer adalah 6-8 minggu, fase reaktivasi 5-6
minggu. Setelah infeksi virus akan tetap ada di organisme penjamu sepanjang
hidupnya. Reaktivasi dapat terjadi pada imunokompromais. Satu hingga dua
prosen bayi baru lahir terinfeksi CMV, 10-40% anak-anak terinfeksi, 50-90%
populasi dewasa seropositive CMV. Terdapat 3 puncak usia untuk infeksi CMV
didapat: infant dan awal anak anak, remaja muda dan usia reproduksi1.
Infeksi HCMV pada manusia dapat latent dan tidak produktif, produktif
tetapi asimtomatik dan produktif dan simtomatik. Respon imun termasuk
kematangan respon imun merupakan faktor utama untuk mengontrol virulensi
virus ini. Penyakit HCMV hanya terbatas pada penjamu imunocompromais,
kecuali untuk mononucleosis-like illness dapat berkembang pada beberapa
pasien, CMV sangat jarang menyebabkan penyakit pada imunokompeten1.
Risiko penyakit karena CMV adalah pasien imunokompromais sekunder
termasuk TOP (transplantasi organ padat) dan TST (transplantasi sumsum
tulang) dan AIDS maupun imunodefisiensi seluler atau kombinasi primer1.
Adapun faktor risiko terjadinya retinitis CMV pada pasien non HIV dapat
dilihat pada tabel dibawah ini
Tabel 1. Kondisi Pada Pasien Non HIV Yang Dikaitkan Dengan Retinitis CMV4
Alogaritma tatalaksana Retinitis CMV HIV negative dapat dilihat pada gambar
3 dibawah ini.
Terapi Sistemik5
• Gansiklovir intravena: induksi: 5 mg/kg BB 2 kali sehari selama 2 minggu,
rumatan 5 mg/kg bb sekali sehari. Dibutuhkan kateter vena sentral untuk
terapi infus
• Gansiklovir oral (untuk rumatan, hanya jika terapi induksi i.v. 2 minggu
dijalani secara komplet), 1 gram p.o. tiga kali sehari, sekarang ini
digantikan dengan valganciclovir.
• Valganciclovir valine ester (pro-drug) dari ganciclovir (kadar di dalam
serum setara dengan gansiklovir i.v.). Induksi 900 mg 2 kali sehari p.o.
selama 3 minggu. Rumatan: 900 mg sekali sehari p.o.
2. Ubah terapi dengan obat lain, misal dengan cidovofir, pada pasien yang
awalnya menggunakan gansiklovir gunakan gansiklovir implant
3. Kombinasi terapi (misal gansiklovir dengan foscarnet (lebih efektif
(recovery) imun dengan ART, tetapi lebih toksik).
4. Respon terapi jika interval relaps menjadi lebih panjang.
Gejala pneumonitis CMV adalah batuk non produktif, sesak nafas dan
demam, hemoptysis dan hipoksemi, pada klinis yang berat. Gejala ini dapat
bertahan 2-4 minggu. Gejala lain penurunan nafsu makan, kelelahan dan
malaise serta keringat malam berlebihan. Pada pemeriksaan fisik dapat
normal, ada ronki atau efusi pleura. Foto thoraks dapat menunjukkan
gambaran foto thoraks normal atau adanya infiltrat paru/efusi pleura. Jika
foto thoraks normal dapat dilakukan CT scan paru, dan untuk diagnosis
selanjutnya adalah dengan pemeriksaan sitologi dari BAL atau biopsi
transbronkial yang memberi gambaran Owl’s eye dan tidak ada pathogen lain
yang lebih mungkin menyebabkan pneumonitis3. Gejala CMV pada organ lain
dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Lanjutan Gejala CMV Pada Organ Organ Pada Pasien HIV3
diberikan pada pasien tersebut tanpa adanya bukti reaktivasi CMV. Terapi
preemptive merupakan inisiasi terapi antiviral ketika terdapat bukti adanya
reaktivasi CMV di dalam darah, yang ditandai adanya antigen CMV pp65, DNA
atau mRNA CMV. Pendekatan terapi ini sering digunakan pada pasien dengan
risiko sedang TST alogenik dan autolog. Batas nilai laboratorium untuk
memulai terapi berbeda pada setiap negara. Pasien yang didiagnosis adanya
organ target dari infeksi CMV, maka dosis terapi untuk CMV dianjurkan.
Sebagai terapi lini pertama, terapi gansiklovir intravena dengan dosis induksi
5 mg/kg setiap 12 jam selama 2-3 minggu diikuti dengan dosis rumatan 5 mg/
kg/rumatan. Durasi terapi tergantung pada keparahan penyakit dan resolusi
gejala dan tanda infeksi CMV. Terapi alternative lain dengan menggunakan
valgansiklovir dengan dosis induksi 900 mg dua kali sehari. Untuk pasien
yang tidak toleran terhadap gansiklovir atau valgansiklovir dapat diberikan
foscarnet dengan dosis 90 mg/kg setiap 12 jam. Untuk pasien yang intoleran
terhadap gansiklovir dan foscarnet dapat dipertimbangkan terapi lini 3 yaitu
cidofovir dan maribavir6. Terapi infeksi CMV dengan target organ, fase induksi
diberikan lebih lama yaitu 3-4 minggu7.
Untuk pasien TST yang refrakter terhadap terapi gansiklovir dapat dikelola
sesuai dengan alogaritma dibawah ini.
796 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Tata Laksana dan Evaluasi TORCH
Meski demikian HSV1 dan HSV2 dapat mengenai sistem syaraf pusat,
dan meski diterapi dengan asiklovir, infeksi ini sering berakibat fatal dan
dikaitkan dengan gejala sisa. Ensefalitis HSV biasanya akibat reaktivasi HSV1
laten yang menyerang melalui nervus kranialis trigeminalis atau olfactory
langsung ke jaringan cortex cerebri lobus frontalis atau temporalis. Replikasi
virus terjadi secara cepat dan menimbulkan lesi nekrosis dari struktur
otak. Ensefalitis HSV ini bersifat sporadik. Kurang lebih 5-10% dari infeksi
genital HSV2 primer dapat disertai meningitis akut yang bersifat sementara.
Kaku kuduk, nyeri kepala dan disgungsi otonom dengan retensi urine dapat
berkembang dalam beberapa hari setelah vesikel genital pertama. Iritasi
mningeal hespes menyebabkan pleositosis limfositik dan kenaikan ringan
protein cairan serebrospinal. Kebanyakan pasien sembuh tanpa gejala sisa
meski tidak diobati12.
Terapi HSV
Keputusan menerapi tidak dapat menunggu hasil uji serologis. Adapun
indikasi terapi asiklovir diantara pasien dengan infeksi herpes simpleks
terangkum pada tabel di bawah ini.
Tabel 5. Indikasi Terapi Asiklovir Diantara Pasien Dengan Infeksi Virus Herpes
Simpleks9
HSV1 dan HSV2 merupakan penyebab yang sering ditemukan pada lesi
mukokutan pasien dengan keganasan. Infeksi HSV ini pada kebanyakan kasus
merupakan reaktivasi dari latensi virus, sehingga terapi profilaksis antiviral
diberikan pada pasien dengan seropositive HSV14. Terapi asiklovir oral atau
intravena memberi keuntungan pada pasien imunokompromais. Profilaksis
asiklovir pada pasien imunokompromais terutama mereka yang mendapatkan
kemoterapi induksi atau transplantasi akan menurunkan angka infeksi
HSV simtomatis dari 70% menjadi 5-20%15. Famsiklovir dan valasiklovir
memberikan hasil yang serupa. Dosis per oral bervariasi dari 3x200 mg hingga
2x800 mg telah digunakan secara sukses. Profilaksis asiklovir p.o atau i.v.
menjadi standar perawatan pasien kanker dengan seropositif, selama periode
imunosupresi. Resipien allogenik TST yang mengalami rejeksi graft versus
host biasanya membutuhkan profilaksis HSV lebih lama. Asiklovir masih
merupakan terapi utama pada pasien imunokompromais. Pada pasien kanker
intravena asiklovir merupakan pilihan untuk manifestasi infeksi HSV yang
berat atau penyakit HSV viseral14. Diantara pasien TST dan pasien AIDS sering
terjadi resistensi terhadap asiklovir setelah terapi dibandingkan profilaksis.
Resisten terhadap asiklovir biasanya juga resisten terhadap famsiklovir atau
pensiklovir14.
Tabel 6. Rekomendasi Profilaksis dan Terapi infeksi HSV Pada Pasien Kanker14
dibedakan menjadi terapi untuk infeksi primer dan infeksi berulang. Infeksi
HSV rekuren diterapi baik pada saat serangan atau terapi supresi kontinyu15.
Terapi infeksi HSV primer dengan asiklovir oral atau injeksi, diberikan
selama 7-10 hari atau hingga lesi menjadi krusta semua. Pada proktitis HSV
mungkin diperlukan dosis yang lebih tinggi dan atau dosis diperpanjang.
Alternatif lainnya dengan menggunakan famsiklovir atau valasiklovir. Pada
pasien dengan manifestasi yang lebih berat atau tidak toleran dengan terapi
ral. Asiklovir intravena (5 mg/kg BB tiap 8 jam), selama 7-10 hari atau hingga
lesi semuanya berubah menjadi krusta, dan dapat diganti dengan asiklovir
oral untuk melengkapi terapi, ketika secara klinis membaik dan toleran
terhadap terapi oral15.
Tabel 7. Terapi Supresi Kronik Infeksi HSV Berulang Pada Pasien HIV15
Sedang untuk terapi infeksi HSV pada pasien HIV yang resisten terhadap
asiklovir dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Terapi Infeksi HSV Pada Pasien HIV Yang Resisten Terhadap Asiklovir15
Gambar 11. Monitoring Serologi Toxoplasma Dengan IgM Dan IgG Toxoplasma
Positive18
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 807
Rizka Humardewayanti Asdie
Gambar 12. Saran Alogaritma Untuk Serologi Toxoplasma Dengan IgM Toxoplasma
Negative Dan Ig G Toxoplasma Equivocal18
Toxoplasmosis Serebral
Toxoplasma memiliki afinitas pada sistem syaraf pusat (neurotropisme),
otak abu-abu dan otak putih (gray matter and white matter) memiliki target
organ utama untuk encystment parasit. Organ lain yang juga dapat terkena adalah
paru, retina dan jantung, sehingga dapat bermanifestasi sebagai penumonitis,
retinochoroidits dan myocarditis. Menariknya adalah infeksi ini dapat terjadi
sekunder akibat diseminasi reaktivasi infeksi primer. Toxoplasmosis serebral
dapat mengancam jiwa, ensefalitis necrotizing menyebabkan lesi multipel,
dengan predisposisi ganglia basalis, corticomedullar junction, regio white
matter dan periventrikuler. Meskipun lesi soliter dapat juga terlihat. Lesi
menggambarkan abses yang dikelilingi edema vasogenik dan efek massa.
Gambaran neuroimaging (CT dan MRI) secara tipikal menunjukkan adanya
lesi multiple ring-enhancemnt, kadang-kadang dengan fokal eccentral yang
disebut dengan “target sign”. Toxoplamosis serebral bersifat fulminan dan
fatal jika tidak dibati16.
10% pasien HIV dengan toxoplasma. Pada stadium lanjut pasien mungkin
seronegative. Sehingga tidak seperti pada pasien imunokompeten, pada pasien
imunokompromais seperti AIDS, serologi negative tidak menyingkirkan
kemungkinan toxoplasmosis terutama jika ada manifestasi klinis dan
radiologis. Lebih jauh lagi deteksi IgG antibody tidak dapat membedakan
reaktivasi infeksi kronik atau laten, kecuali adanya kenaikan titer. Jika
didapatkan kenaikan kadar IgG menggambarkan adanya reaktivasi infeksi
pada yang gejala klinisnya muncul16.
Toxoplasma Okuler
Toxoplasma okuler merupakan penyebab tersering dari uveitis posterior
di seluruh dunia, tetapi insidensi dan prevalensinya sulit ditentukan
dengan tepat. Secara klasik, retinochoroiditis sekunder akibat toxoplasma
didapat, dianggap sebagai kejadian yang luar biasa pada pasien dengan
immnunokompeten dan biasanya didefinisikan sebagai periode reaktivasi
kista laten yang dikaitkan dengan infeksi kongenital yang tidak terdiagnosis.
Tetapi data terakhir berdasar pemeriksaan mata, pada beberapa kasus
merupakan infeksi baru19.
Daftar Pustaka
1. Vancikova, Z. and Dvorak, P. Cytomegalovirus Infection in Immunocompetent and
Immunocompromised Individuals- A review. Current Drug Targets – Immune,
Edocrine & Metabolic Disorder. 2001: 179-87
2. Monto Ho. The History of Cytomegalovirus and Its Disease. Med Microbiol Immunol.
2008. 197:65–73
3. Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana
Infeksi Sitomegalovirus pada HIV. Desember 2016
4. Shapira, Y., Mimouni. M., Vishnevskia-Dai, V. Cytomegalovirus retinitis in HIV-
negative
patients – associated conditions, clinical presentation, diagnostic methods
and treatment strategy. Acta Ophthalmologica 2017
5. Dunn, J. P. CMV. Retinitis Diunduh dari https://www.hopkinsguides.com/hopkins/
view/Johns_Hopkins_HIV_Guide/545041/all/CMV_retinitis
6. Cheung, C.Y. M., Kwong, Y. Cytomegalovirus infection in non–human immunodeciency
virus– infected patients: a hematologist perspective. HKJ Ophthalmol Vol. 20 No. 2
7. Ariza-Heredia, E. J., Nesher, L., Chemaly. R. F. Cytomegalovirus diseases after
hematopoietic stem cell transplantation: A mini-review. Cancer. Letters 342
(2014) 1–8
8. Chaer, F. E., Shah D. R., Chemaly, R. F. How I treat resistant cytomegalovirus
infection in hematopoietic cell transplantation recipients. Blood, 8 December 2016
X Volume 128, Number 23
9. Whitley, R. J. and Roizman, B. Herpes simplex virus infections. The Lancet. 2001.
357: 1513-18
Meskipun onset dapat spontan, SLT paling sering terjadi beberapa hari
setelah pemberian kemoterapi. Tidak hanya pasca kemoterapi saja SLT juga
pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian radiasi pengion, termasuk
iradiasi total tubuh pada transplantasi, embolisasi, ablasi radio frekuensi
dan juga terapi antibodi monoklonal, glukokortikoid, dan interferon dan pada
transplantasi sumsum tulang.(1,2)
PATOGENESIS
Faktor risiko terjadinya SLT meliputi
1. Adanya bulky diseases yaitu ukuran kelenjar getah bening yang besar
dan atau hepatosplenomegali atau jumlah leukosit tinggi, atau keduanya,
sering dibuktikan dengan tingginya LDH sebelum terapi.
2. Kadar asam urat sebelum pengobatan tinggi.
3. Gangguan fungsi ginjal, yang dibuktikan dengan kelainan biokimia atau
penurunan output urin.
4. Penggunaan obat yang berpotensi nefrotoksik.
Patogenesis SLT yang penting adalah lisis sel kanker disertai pelepasan
produk intraseluler yang melebihi kapasitas ginjal untuk membersihkan
produk lisis tersebut. Rangkaian kejadian akibat lisis sel kanker menyebabkan
a. Hiperkalemia
Hiperkalemia sering disebut sebagai tanda pertama SLT dan merupakan
ancaman bagi penderita kanker. Meskipun pelepasan kalium intraseluler
dari sel-sel yang mati adalah penyebab utama dari hiperkalemia, namun
diperkirakan penurunan kadar adenosin trifosfat sebelum lisis sel dapat
juga menyebabkan kebocoran kalium. Kelainan elektrokardiografi
dapat ringan sampai berat seperti disfungsi nodus sinus,gangguan
konduksi hingga aritmia ganas. Perubahan umum termasuk gelombang
T memuncak dan pelebaran QRS. Manifestasi lain dari hiperkalemia
termasuk gejala neuromuskuler yang bermanifestasi sebagai kram otot,
kelemahan, dan parestesia serta gejala konstitusional seperti mual,
muntah, dan diare.
b. Hiperurisemia
Hiperurisemia, meskipun tidak menimbulkan ancaman langsung,
adalah temuan yang paling sering terjadi. Pengkatan asam urat terjadi
karena nukleotida purin, guanosin, dan adenosin yang dikatabolisme
di hati, pertama menjadi inosin, kemudian menjadi hipoksantin dan
xantin, sebelum dioksidasi menjadi asam urat. Dengan pKa 5,4, asam
urat larut dalam pH fisiologis tetapi tidak larut dalam urin, dan ketika
konsentrasinya tinggi akan terjadi pengkristalan di parenkim ginjal,
tubulus distal, dan duktus kolektivus, di mana pH luminal adalah 5, hal
inilah yang menyebabkan obstruksi tubular intraluminal dan oliguria.
c. Hiperfosfatemia
Pada sel sel kanker yang membelah diri secara cepat, khususnya sel
limfoid, metabolisme asam nukleat akan sangat tinggi.Hal ini akan
disertai kadar fosfat yang tinggi dibanding sel (limfoid) normal. Kejadian
ini akan menimbulkan hiperfosfatemi, hipokalsemi dan hiperfosfaturi.
d. Hipokalsemia
Hipokalsemia menyebabkan peningkatan kadar hormon paratiroid
yang menyebabkan penurunan reabsorpsi fosfat yang dihasilkan
dalam tubulus proksimal, meningkatkan terjadinya hiperfosfaturia dan
meningkatkan risiko nefrokalsinosis dan obstruksi tubular.
DIAGNOSIS
Kelainan klinis dapat berkisar mulai dari kelainan laboratorium yang
asimptomatik hingga perubahan klinis sekunder akibat gangguan elektrolit
seperti aritmia jantung dan henti jantung (hiperkalemia), iritabilitas
neuromuskular, tetani, kejang dan perubahan status mental (hipokalsemia),
gagal ginjal akut (hiperurisemia dan hiperfosfatemia), dan asidosis metabolik
(gagal ginjal akut dan asidosis laktat). (1,2,3)
TERAPI
Manajemen pencegahan SLT dapat dimulai dengan memeriksa secara
laboratorium kadar ureum, kreatinin dan elektrolit pada pasien kanker, baik
yang mendapat kemoterapi maupun tidak. Tindakan pencegahan termasuk
hidrasi yang adekuat, permulaan terapi allopurinol, dan pengobatan dengan
pengikat fosfat oral lebih baik dimulai 24 jam sebelum pemberian kemoterapi.
Langkah-langkah tersebut secara bersama sama ditujukan untuk mencapai
aliran urin yang tinggi sambil mengurangi beban asam urat, sehingga
menurunkan kadar potasium dan meminimalkan kemungkinan asam urat
dan atau kalsium fosfat akan mengendap di jaringan ginjal dan tubulus. (2,3)
a. Hidrasi agresif
Langkah pertama penatalaksanaan SLT adalah dengan memelihara
output urine yang tinggi, Hidrasi agresif adalah intervensi yang paling
penting, dan ini harus dimulai sesegera mungkin, pemberian cairan
intravena pada sampai 3000 mL/m2 /hari dapat mempertahankan
output urin yang tinggi. Bila memungkinkan, terapi kanker harus ditunda
sampai hidrasi dapat diberikan. Terapi ini ditujukan untuk mencegah
kristalisasi asam urat dan deposisi kalsium fosfat pada tubulus renal. (3)
b. Alkalinisasi urin
Alkalinisasi urin tetap menjadi pembicaraan yang kontroversial
dan pernah diwacanakan. Meskipun alkalinisasi dianjurkan untuk
menghindari kristalisasi asam urat, hal itu ternyata menimbulkan
pengendapan kompleks kalsium dan atau fosfat dalam tubulus ginjal dan
50% dan biasanya diberikan dengan dosis 300 mg / hari, baik sebagai
tablet tunggal 300 mg atau 100 mg tiga kali sehari. Dalam manajemen
pasien dengan SLT, dosis setinggi 400 mg / m2 / hari dapat digunakan.
f. Penatalaksanaan gagal ginjal akut
Jika terjadi gagal ginjal akut, hemodialisis konvensional adalah mode
dialisis yang lebih disukai karena jauh lebih efektif dalam menghilangkan
asam urat dan fosfat daripada dialisis peritoneal. Hemodialisis segera
dianjurkan. Memang, pada pasien yang datang dengan hemodialisis SLT
harus dimulai sebelum terapi sitotoksik diberikan.
DIAGNOSIS
Gejala Klinik
Poliuria, polidipsi, nokturia, anoreksia, easy fatigability dan lemah
merupakan gejala klinis awal hiperkalsemia. Gejala itu dapat berlanjut
menjadi apatis, irritabel, depresi, penurunan konsentrasi, gangguan mental
sampai koma, kelemahan otot, mual,muntah, nyeri abdomen, konstipasi dan
obstipasi, gatal dan gangguan pengelihatan.
Pemeriksaan Laboratorium
Didapatkan serum kalslum koreksi lebih dari 10,5mg/dL, peningkatan
alkali fostatase serum karena hiperparatirold atau metastasis keganasan
ke tulang maupun hati, Peningkatan serum klorida dan dapat terjadi renal
tubuler asidosis pada hiperparatroid primer serta peningkatan ureum dan
kreatinin serum.
Pemeriksaan lmaging
Reabsorbsi subperiosteal, nefrokasinosis dan kadang nefrolitiasis
merupakan hasil yang dididapat pada penderita hiperkalsemia pada
keganasan.
Pemeriksaan EKG
Didapatkan Q-T interval memendek dan P-R interval memanjang. Bila
kalsium serum lebih dari 16 mg/dl didapatkan gelombang T yang meiebar.
DIAGNOSIS BANDING
Diagnosa banding hiperkalsemi pada keganasan yaitu
- Hiperparatiroid primer.
- Penggunaan terapi diuretik tiazide.
- Intoksikasi vitamin D atau vitamin A
- Sindrma Milk-Alkali.
Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018 821
Eko A Pangarsa
TERAPI
Terapi dapat dibedakan menjadi non farmakologik dan farmakologik.(4,5)
Hiperkalsemia kronik
1. Minum 2-3 liter tiap hari
2. Hindari makanan yang mengandung tinggi kalsium seperti minum susu
TERAPI FARMAKOLOGIK
Hiperkalsemia simtomatik akut
1. Diuretik furosemid diberikan 2 X 40-80 mg lV sehari, setelah hidrasi
cairan cukup. Pemberian diuretik diharapkan dapat menghambat
reabsorbi kalsium di tubulus distal ginjal.
2. Bifosfonat diberikan sebagai inhibitor poten osteoclast dan resorbsi
tulang.
3. Galium nitrat diberikan dengan dosis 100-200 mg/m2 lV minimal 24
jam,tiap hari selama 5 hari. Galium nitrat berefek sebagai penghambat
kerja osteoclast
4. Mithramycin diberikan dengan dosis 25 mcg/kg infus iv minimal 6 jam
bisa diulang tiap 3-4 hari. Kalsium serum diperiksa tiap 1-2 hari sekali.
Pada pasien gagal ginjal dosisnya lebih kecil dari 10 mcg/kg, tetapi lebih
baik tidak diberikan dan dapat diganti dengan kalsitonin. Obat ini bekerja
sitotoksik terhadap osteoclas
Hiperkalsemia Kronik
1. Glukokortikoid yang digunakan adalah Prednison 20-40 mg PO tiap hari
atau Hidrokortison 100-200 mg lV tiap hari selama 3 hari.
2. Bifosfonat yang dapat diberikan adalah Zolendronat 4 mg tiap 7-30 hari
atau Pamindronat 60-90 mg tiap 7-30 hari
3. Fosfat dapat diberikan dengan dosis harian 1-6 g
4. lnhibitor prostalglandin yaitu aspirin atau indomethasin diberikan pada
hiperkalsemia refrakter.
Daftar Pustaka
1. Howard S.C., M.D., Jones D.P, M.D., Pui C.H. The Tumor Lysis Syndrome. N Engl J
Med 2011;364:1844-54.
2. Fojo A. T. Oncologic Emergencies. In: Cancer Principle and Practice of Oncology, 7Th
edition. Vincent T. Devitta, Samuel Hellman, Steven A. Rosenberg (ed). Lippincott
William and Wilkinds. Available on CD Rom
3. Jones G. L., Will A., Jackson G. H., Webb N. J. A, Rule S. Guidelines for the management
of tumour lysis syndrome in adults and children with haematological malignancies
on behalf of the British Committee for Standards in Haematology. British Journal of
Haematology, 2015, 169, 661–71.
4. Stewart A. F. Hypercalcemia Associated with Cancer. N Engl J Med 2005;352:373-9.
5. Goldner W. Cancer-Related Hypercalcemia. Journal of Oncology Practice. Volume
12 / Issue 5 / May 2016: 426-32.
Pendahuluan
Penatalaksanaan perioperatif pada populasi khusus seperti pada
geriatrik, meliputi dari hari pra operasi sampai pasca operasi. Penatalayanan
perioperatif yang tepat pada geriatrik dapat membantu mencegah atau
meminimalkan komplikasi tindakan operasi. Penatalaksanaan perioperatif
pada geriatrik diharapakan dapat membantu mempercepat pemulihan pasca
operasi. Populasi geriatrik, dengan berbagai macam komorbid yang umum
telah menyertai penderita, sangat memerlukan penataksanaan perioperatif
yang terpadu dan menyeluruh, pada pelayanan kedokteran dengan dasar Ilmu
Penyakit Dalam berbasis pelayanan intensif, bersama tim Bedah dan Anestesi.
Penatalaksanaan Prioperatif
Penatalaksanaan perioperetif meliputi penatalayanan pengobatan yang
sedang berjalan dan yang mungkin perlu penghentian sementara maupun
penggunaan obat yang sesuai berdasarkan fungsi organ saat pra operasi.
Penatalaksanaan perioperatif meliputi:
- Dokumentasi yang akurat dari obat preoperatif serta keputusan yang
ditetapkan untuk menghentikan pengobatan sebelum operasi (seperti:
klonidin, beta-bloker, asam salisilat).
- Pemantauan hasil pemeriksaan penunjang seperti: fungsi paru, fungsi
jantung, fungsi ginjal, fungsi hati dan fungsi pankreas untuk menentukan
dosis dan risiko terjadinya efek samping (seperti: obat bronkhodilator,
obat antihipertensi, keperluan dialisis peroperatif, obat anti diabetik sub
kutan/IV, obat anti koagulan).
- Penggunaan formulasi yang sesuai dan produk alternatif bila diperlukan
(seperti: obat calsium channel blocker/CCB intra vena, nitrogliserin intra
vena)
- Tatalaksana nyeri yang tepat (seperti dengan golongan NSAID atau
opioid bila diperlukan).
Kriteria Mayor
Usia diatas 70 tahun dengan penyakit tidak terkompensasi seperti: Coronary artery
disease / COPD / Stroke.
Penyakit vaskuler berat yang mengenai pembuluh darah besar
Akut Abdomen dengan hemodinamik tidak stabil: seperti kehilangan darah >500 cc.
Sepsis, dengan gagal napas (memerlukan FiO2>40% untuk mempertahankan
Sat..>90%, dengan ventilasi mekanik lebih dari 48 jam).
Gagal Ginjal
Minor criteria
Bedah Emergensi/Urgens.
Gambar 1. Keberhasilan GDT pada risiko pasien dan resiko tindakan bedah
Tabel 2. Risiko Relatif dan Number Needed to Treat (NNT) terhadap mortalitas pada
GDT Perioperatif
Simpulan
Penatalaksanaan periperatif pada populasi khusus, seperti pada geriatrik,
meliputi penatalaksaan pre sampai pasca operasi dengan perhatian khusus
pada pemberian cairan serta obat inotropik dan atau vasoaktif sebelum
sampai setelah operasi besar terencana yang beresiko serta menjamin
kesimambungan obat-obat oral yang rutin untuk terapi komorbid.
Daftar Pustaka
1. ED Silva, AC Perrino, A Teruya, BJ Sweitzer, CST Gatto, CM Simões et al. Brazilian
Consensus on perioperative hemodynamic therapy goal guided in patients
undergoing noncardiac surgery: fluid management strategy. Rev Bras Anestesiol.
2016;66(6): 557-71.
2. T Ersan, WA Schwer. Perioperative Management of the Geriatric Patient. https://
emedicine.medscape.com/article/285433-overview.
3. LL Schlitzkus, AA Melin, JM Johanning, PJ Schenarts. Perioperative Management of
Elderly Patients. Surg Clin N Am 2015;95:391–415.
4. PK Mistry, GS. Gaunay, DM Hoenig. Prediction of surgical complications in the
elderly: Can we improve outcomes?. Asian Journal of Urology 2017;4: 44-49.
Pendahuluan
Sebelum melakukan pembedahan serta anestesi terhadap pasien,
khususnya pasien yang berisiko tinggi, seringkali seorang ahli bedah atau
ahli anestesi akan meminta pendapat dari seorang Spesialis Penyakit
Dalam (Internist) yang disebut sebagai “konsultasi preoperatif (konsultasi
medis pra operasi)”, karena itu spesialis penyakit dalam perlu dibekali
pengetahuan medik dalam bidangnya yang bertujuan mengamankan baik
pasien maupun dokter. Konsultasi preoperatif mempunyai beberapa tujuan,
yaitu mengidentifikasi penyakit penyerta serta faktor risiko operasi yang
sebelumnya tidak terdeteksi, mengoptimalkan keadaan pasien sebelum
menjalani operasi, menentukan dan menyarankan pemeriksaan tambahan
sebelum operasi, mengupayakan perbaikan kondisi pasien agar risiko operasi
dikurangi, mengupayakan keseimbangan antara risiko dan manfaat dalam
prosedur yang akan dilaksanakan.1
Stratifikasi Risiko
Stratifikasi risiko akan dinilai saat preoperatif secara umum dengan
menggunakan ASA (American Society of Anesthesiologist), dimana semakin
tinggi nilainya kondisi medis pasien yang semakin berat.2
828 Pertemuan Ilmiah Nasional XVI PB. PAPDI - Medan 2018
Penatalaksanaan Perioperatif pada Populasi Khusus - Pertimbangan Renal Metabolic Gastrohepato dan Geriatric
Pada pasien dengan riwayat penyakit hati perlu diketahui kondisi penyakit
hati sekarang, regimen pengobatan yang sementara dipakai, status volume,
dan riwayat komplikasi hati sebelumnya, termasuk respon pembedahan
atau pembiusan sebelumnya. Keadaan sirosis merupakan suatu faktor mayor
terhadap kejadian komplikasi perioperatif dihubungkan dengan sejumlah
perubahan fisiologi. Metabolisme hati yang jelek terhadap obat obat anestetik
dan obat obat lain selama perioperatif. Mudahnya terjadinya risiko perdarahan
Hemodialisa
Pada umumnya tindakan hemodialisa tidak dilakukan sebelum
pembedahan untuk meminimalkan risiko dari antikoagulan dan adanya
perpindahan elektrolit yang tidak terlarut. Hemodialisa mungkin berguna
pada dugaan akan hilangnya cairan atau elektrolit post operasi. Pada keadaan
preoperatif, riwayat keadaan akses vaskular seperi riwayat gangguan
pembekuan, atau stenosis, perlu dipertimbangkan. Secara umum, kateter
hemodialisa tidak boleh dipakai untuk selain dialissis.4
Obat-Obatan
Penting untuk membuat daftar obat yang dapat mengganggu fungsi
ginjal dan perlu diketahui dosis penyesuaiannya. Beberapa anti biotik seperti
vankomisin dan aminoglikosida tidak hanya perlu dosis penyesuain tapi
perlu monitoring ketat. Sedapat mungkin hindari pemakaian NSAID. Morfin
dapat menjadi meningkat akumulasinya dalam darah pada pasien gangguan
ginjal. Pemakaian obat ACE Inhibitor dan ARB perlu pemantauan ketat fungsi
ginjal elektrolit. Kehilangan produk eritropoietin sebagai akibat penurunan
fungsi ginjal akan berkembang menjadi anemia. Biasanya Ahli Ginjal memakai
ESA atau suplementasi besi untuk target Ht 33%. Pada kondisi preoperatif
sebaiknya didiskusikan dengan ahli ginjal untuk melihat keuntungan zat besi
atau eritropoietiin.4
Statin
Statin selain dapat menurunkan lipid, juga mempunyai efek pleotropik.
Statin dapat memperbaiki fungsi endotel dan stabilisasi plak aterosklerotik.
Pasien yang sudah menggunakan statin, dapat meneruskan pengobatannya
pada preoperatif. Berdasarkan bukti yang ada, statin direkomendasikan pada
pasien risiko tinggi, sebaiknya 30 hari dan sekurang-kurangnya 1 minggu
sebelum operasi , dan penggunaan statin yang sudah lama jangan dihentikan
sebelum operasi.5
Pada poin ini stress operasi harus dievaluasi utamanya pada operasi
operasi besar yang menutuhkan volume pergantian yang besar. Mungkin perlu
dipertimbangakan prosedur yang sifatnya lebih kurang invasif. Selalu diingat
nahwa tujuan operasi bukan hanya untuk sekedar memperpanjang hidup,
tetapi yang paling penting juga adalah mempertahankan kualitas dan fungsi
kognitif setelah operasi. Ketika sudah diputuskan untuk dilakukan operasi,
perlu dibuat usaha pencegahan komplikasi pada usia lanjut. Meskipun skor
frailty bisa dipakai untuk mengidentifikasi risiko tinggi, perlu ditambahkan
Kesimpulan
Seorang konsultasi medis seharusnya perlu mengantisipasi masalah dan
komplikasi yang bisa terjadi dan mempunyai perencaaan untuk pencegahan.
Beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bahwa risiko post pembedahan
akan jauh semakin meningkat seiring dengan peningkatan umur . Manajemen
perioperatif terhadap pasien anemia, gangguan trombosit atau kelainan yang
menyebabkan trombosis atau perdarahan. Pasien dengan riwayat penyakit
hati sebaiknya dievaluasi secara fokus terhadap penentuan derajat beratnya
kerusakan pada hati. Pasien tanpa adanya sirosis, pemeriksaan berdarkan
penyakit komorbid yang mendasari. Pasien dengan bukti adanya sirosis
mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya dekompensasi dan kategori risiko
didasarkan pada kemungkinan komplikasi pembedahan yang mungkin terjadi.
Preoperatif pasien diabetes yang baik dapat mengurangi risiko komplikasi
postoperasi. Pasien yang dating ke klinik preoperatif biasanya malah belum
mengetahui dirinya diabetes sehingga perlu permeriksaan yang lebih cermat.
Jangan lupa diskusi dengan keluarga untuk dan pasien untuk dapat melakukan
kontrol ketat terhadap pengobatan diabetesnya.
Daftar Pustaka
1. Ketha SS, Jaffer AK. Hospitalist as Medical Consultant. In: Jaffer AK, Grant PJ.
2012 Perioperative Medicine. Medical Consultation and co management. Wiley
Blackwell. New Jersey pp 3-10
2. Pasternal LR. Anesthesia Management of The Surgical Patient. In: Lubin MF
et al.2006. . 4th ed Medical Management of the surgical Patient. Text book of
perioperative medicine. Cambridge university press. New York pp 7-20
3. Mitchell KJ. Liver Disease and Perioperative Risk. In: Jackson MB, Mookherje S,
Hamlin NP. 2015. The perioperative medicine consult handbook. 2nd ed. Springer
Internal Publishing pp 107-18
4. Stefan MS, Schaffer AC. Chronic Kidney Disease. In: Cohn Sl. 2011. Perioperative
Medicine. Springer Verlag London pp 303-13
5. Hamlin NP. Perioperative Disease Management. In: Wong CJ, Hanlin P. 2011. The
Perioperative Medicine Consult Handbook. Springerlink London pp 143-51
6. Setia SS, Rooke GA. Perioperative Care of Elderly Patients. In: Jackson MB,
Mookherje S, Hamlin NP. 2015. The perioperative medicine consult handbook. 2nd
ed. Springer Internal Publishing pp 243-53
PENGANTAR
Aterosklerosis dapat muncul tidak hanya di arteri koroner dan arteri
serebral namun juga arteri perifer. Arteri di ekstremitas bawah terutama
lebih berisiko terbentuk ateroma. Prevalensi peripheral artery disease
(PAD) simtomatik pada usia 55-75 tahun adalah 4,5% (20% jika termasuk
yang asimtomatik). Di Inggris dan Wales, sekitar 50.000 orang dirawat di
rumah sakit setiap tahunnya karena PAD, 15.000 diantaranya membutuhkan
amputasi. Prevalensi PAD yang terdeteksi dengan prosedur non-invasif dapat
mencapai tiga kali lipat dari prevalensi klaudikasio intermiten .
Diagnosis secara dini sangat penting untuk memulai terapi yang tepat.
USG dupleks adalah pemeriksaan non-invasif yang efisien dan berisiko rendah
untuk penegakkan diagnosis primer.
ANATOMI
Arteri ekstremitas bawah dimulai dari bifukarsio aorta abdominal.
Arteri iliaka berjalan di dinding posterior pelvis kemudian terbagi menjadi
arteri iliaka interna dan arteri iliaka eksterna. Arteri iliaka interna agak sulit
dilihat menggunakan USG transabdominal. Arteri iliaka eksterna berjalan
turun ke bawah sepanjang pelvis sampai ligamen inguinal, lalu berjalan ke sis
anteromedial dari m. psoas, pada area ini arteri terletak lebih superfisial dari
vena iliaka eksterna.
TEKNIK PEMINDAIAN
Pemeriksaan ekstremitas bawah secara menyeluruh dapat menghabiskan
banyak waktu. Namun dalam beberapa kasus hal ini diperlukan, walaupun
pada kasus-kasus tertentu pemeriksaan dapat dilakukan pada area tertentu
saja.
Arteri Tungkai
Tingkat kerumitan pemeriksaan arteri tungkai tergantung dari situasi
klinis pasien. A. tibialis posterior adalah cabang trunkus tibioperoneal yang
paling mudah ditemukan dengan meletakkan transduser dengan posisi
longitudinal di bagian medial tungkai, di belakang tibia. A. tibialis posterior
juga dapat dilihat di belakang maleolus medial, lalu ditelusuri ke atas.
PENILAIAN PENYAKIT
Beberapa kriteria diagnostik yang dapat digunakan untuk penilaian PAD
antara lain:
• Penilaian Langsung/Direct Measurement
Penilaian langsung pada stenosis sering sulit dilakukan karena kecilnya
diameter pembuluh darah kaki terutama pada bagian dalam paha.
Penilaian langsung lebih bisa dilakukan pada a. iliaka eksternal, a.
femoralis komunis dan bagian atas a. femoralis superfisial. Penilaian
menurunnya diameter pembuluh darah dilakukan setelah melihat
distribusi plak secara transversal maupun longitudinal. Saat segmen
stenosis terdeteksi, panjang segmen harus diukur.
• Peak Velocity Ratio
Ketika penilaian langsung tidak dapat dilakukan, stenosis diestimasi
menggunakan perubahan peaksystolic velocity. Kecepatan normal pada
arteri ekstremitas adalah 1,2 m/s pada segmen iliaka, 0.9 m/s pada
segmen femoralis superfisial dan 0.7 m/s pada segmen popliteal. Derajat
stenosis kemudian dapat diperkirakan sesuai tabel berikut:
• Perubahan Waveform
Waveform normal pada arteri ekstremitas bawah memiliki tiga komponen
(pada individu yang sering berolahraga dapat tampak empat atau lima
komponen). Komponen-komponen ini menunjukkan perubahan tekanan
selama siklus kardiak. Beberapa perubahan pada waveform dapat
menunjukkan adanya gangguan pada arteri, antara lain:
Waveform changes associated with disease in the lower limb
Daftar Pustaka
1. Allan, PL, Dubbins, PA, Pozniak, MA, McDicken WN 2006, Clinical Doppler Ultrasound
second edition, Philadelphia, Elsevier
2. Schaberle, W 2004, Ultrasonography in Vascular Diagnosis, New York, Springer-
Verlag
A. B-mode Image
B. Spektral display
Pasien harus melakukan manuver valsalva dengan paksa selama
waktu biasanya dua hingga tiga detik. Pasien diminta untuk melakukan
menarik napas panjang dan tahan.
Teknik ini memastikan bahwa volume darah yang besar dari vena
dikosongkan dari betis secara berurutan untuk membuat gradien
tekanan tinggi saat release. Augmentasi pergelangan kaki atau kaki tidak
begitu efektif karena volume vena sedikit ditemukan di lokasi ini
Gambar 5. Aliran darah pada pembuluh darah vena yang terdapat trombus
plaque terlihat batas plaque yang jelas dan akan mempermudah untuk
pengukuran IMT.
Klasifikasi Plaque
Gray Weale dkk (1998) membuat klasifikasi 4 tipe plak, yaitu:
1. Dominan hipoekoik plak dengan ekogenik cap yang tipis.
2. Sebagian hipoekoik dengan area ekogenik minimal.
3. Dominan ekogenik dengan area hipoekoik minimal.
4. Ekogenik/ hiperekoik homogen.
Berdasarkan klasifikasi ini, didapatkan bahwa frekuensi gejala
neurovaskular lebih banyak terdapat pada plak tipe 1 dan 2 (vulnerable
plaque/ plaque tidak stabil) sedangkan tipe 3 dan 4 (stable plaque) lebih
bersifat asimtomatik.
a. Plaque stabil (memiliki risiko rendah)
- Plaque yang hiperekoik dan homogen
- Plaque dengan permukaan yang rata
- Plaque dengan batas kalsifikasi yang tegas
- Plaque yang pendek (kurang dari 1 cm), Plaque yang tidak tebal
(< 4mm)
Daftar Pustaka
1. Athansaios NC, Nicolas C, Joannic T, Nikolaos P, Fotious L, Ioannis N, et all. Lower
limb vein color and spectral doppler ultrasonography examination. Ann Ital Chir.
2008;79(4):273-80.
2. Dong-Kyu Lee, Kyung-Sik Ahn, Chang Ho Kang, Sung Bum Cho. Ultrasonography
of the lower extremity veins: anatomy and basic approach. Ultrasonography.
2017;36(2):120-30.
3. Martin Necas.Duplex ultrasound in the assessment of lower extremity venous
insufficiency Austr J Ultrasound Med. 2010 13(4): 37–45.
4. James DF, David RA. Venous protocols, techniques, and interpretasions of the
upper and lower extremities. Radiologic Clin North Am. 2004;42:279-96.
5. Piercesare S, Laureando, Laura A. Analysis of doppler blood flow velocity in carotid
arteries for the detection of atherosclerotic plaques. 2011:12-43.
6. Sorin Crişan. Carotid ultrasound. Medical Ultrasonography.2011;13(4): 326-30.
7. Whal Lee. General principles of carotid doppler ultrasonography. Ultrasonograp
hy.2014;33(1):11-7.