Anda di halaman 1dari 255

KEDOITEPAN PEPIOPI PAil T

Evaluasi dan Tata Laksana


di Bidang Ilmu Penyakit Dalam

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
TfDOKtfPAN PEPTOPIPATIT
Evaluasidan Tata Laksana di Bidang Ilmu Penyakit Dalam

Editor: Arif Mansjoeq Aru W. Sudoyo, Idrus Alwi, Ikhwan Rinaldi,


Kuntjoro Harimurti, Purwita W. Laksmi, Ryan Ranitya, Siti Setiati

Redaktur Pelaksana : Nia Kurniasih


Sampul Muka: Edy Supardi
Tata letak : Edy Supardi, Hari Sugianto, Sudiariandini Sudarto
Tim Sekretariat : Nia Kurniasih, Edy Supardi, SudiariandiniSudarto,
ZikriAnwar, Hari Sugianto, Sandi Saputra

25 cm x 17.5 cm
xiii + 250 halaman
ISBN : 978-979-9455-72-7

Hak Cipta Dilindungi Undang-undang


Dilarang memperbanyak, mencetak, dan menerbitkan sebagian atau seluruh
isi buku ini dengan cara dan bentuk apapun tanpa seizin penulis dan penerbit

/a
Diterbitkan pertama kali oleh
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas In,donesia
J[. Diponegoro No. 71 ]akafta Pusat 10430
Telp. r O2L-3|9O3775 Faks. : 021-31903776
Email : pipfkui@yahoo.corn Website : www.i'nternafkui.or.id

Iakarta, Desember 2OO7


Kata Pengantar

Dunia pembedahan merupakan bidang yang tidak hanya melibatkan


disiplin ilmu anestesi dan bedah saja, namun melibatkan disiplin lain
termasuk ilmu penyakit dalam. Menjawab konsultasi perioperatif
merupakan hal yang sudah dijalani selama ini.

Saat ini Oi Oalam kegiatan-kegiatan pendidikan dokter berkelanjutan,


kegiatan workshop mengenai kedokteran perioperatif sudah mulai sering
diadakan, namun pengetahuan akan kedokteran perioperatif khususnya
di bidang ilmu penyakit dalam belum diajarkan secara lengkap kepada
seorang calon internis. Buku ini diharapkan dapat menjadi pelengkap
kebutuhan internis tersebut.

Buku Kedokteran Perioperatif, Evaluasi dan Tata laksana di Bidang Ilmu


Penyakit Dalam ini ditulis secara sistematis agar mudah untuk dipahami.
Setelah uraian peran internis dalam konsultasi perioperatif yang
dituangkan pada BAB I, evaluasi dan tata laksana umum perioperatif
dibahas dalam BAB II. Tata laksana perioperatif pada pasien yang
memiliki penyakit tertentu ataupun kondisi khusus diuraikan pada BAB
III. Satu ilustrasi kasus sederhana ditampilkan untuk melengkapi
pemahaman para pembaca.

Upaya pembuatan buku ini tidak lepas dari peran para staf Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang berkecimpung dalam dunia
penerbitan yang dikenal sebagai Pusat Penerbitan. Penerbitan buku ini
telah menjadi agenda bagi kami untuk dilaksanakan pada tahun 2OO7.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada para penulis, staf
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, yang telah menjadi
kontributor tulisan pada buku ini,

Saran dan kritik pembaca senantiasa kamiterima dengan tangan terbuka


guna meningkatkan kualitas buku dan tulisan kami. Semoga buku ini
dapat bermanfaat 9qgi kita dalam menjalankan praktik sebagi seorang
internis. /

Wassalam
Tim editor

ilt
Sambutan

Asuhan perioperatif sudah diakui sekitar 25 tahun sebagai komponen


penting dalam pengelolaan kasus bedah secara menyeluruh. Asuhan
ini tertuju kepada pasien bedah dan memberikan perhatian tentang
status pasien sebelum, selama, dan sesudah tindakan bedah.

Kedoktera n perioperatif tida k meru paka n subspesial isasi penya kit dalam,
tetapi lebih merupakan pengetahun baru yang memberikan kemampuan
kepada para dokter spesialis penyakit dalam untuk mengetahui faktor-
faktor risiko sebelum operasi dilakukan, mengelola kelainan bidang
penyakit dalam selama masa perioperatif, memperkirakan risiko operasi,
dan menanggulangi penyulit yang timbul.

Kedokteran perioperatif telah menjadi stimulus berkembangnya riset


dalam bidang ini, yang dibuktikan dengan meningkatnya jumlah publikasi,
khususnya yang berhubungan dengan pengaruh tindakan bedah
terhadap fungsi jantung dan paru. Hasil akhir yang diberikan oleh
kedokteran perioperatif ternyata sangat dihargai oleh para dokter
spesialis bedah, dokter spesialis anestesi, dan juga oleh para dokter
spesialis penyakit dalam sendiri.

Sebelum berkembangnya asuhan perioperatif ini, sekitar empat perlima


dari jumlah kematian pascabedah disebabkan oleh kelainan bidang
penyakit dalam yang sudah ada waktu operasi dilakukan, dan hanya
sekitar seperlima oleh tindakan bedah atau anestesi, Sekarang, keadaan
ini mulai berbalik.

Saya menyambut baik terbitnya buku ini.

R. Sjamsuhidajat
Dokter Spesialis Bedah

Desember 2007
Dr. Andri Sanityosor Sp.PD Divisi Hepatologi
Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUIIRSUPN, Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Anna Uyainah ZN. Sp.PD,KPTMARS Divisi Pulmonologi


Departemen llmu Penyakit Datam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Ari Fahrial Syam, Sp.PD,KGEHTMMB Div'tsi Gastroenterotogi


Departernen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Arif Mansjoer, Sp.PD Depaftemen Itmu Penyakit Dalam


FKUIIRSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

DR. Dr. Aru W. Sudoyo,Sp.PD,KHOM Divisi Hematologi Onkologi Medik


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Budi Setiawan, Sp.PD,KPTI Divisi Penyakit Tropik Infeksi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/R.SUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Cosphiadi Irawan,Sp.PDrKHOM Divisi Hematologi Onkologi Medik


Departemen llmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Dono Antono, Sp.PD Divisi Kardiologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalarn
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Dyah Purnamasari, Sp.PD Divisi Metabolik Endokrin


Depaftemen trlmu Penyakit Dalam
FKUIIRSUPN. DrCipto Mangunkusumo

Dr. Evy Yunihastuti, Sp.PD Dlvisi Alergi Imunologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUIIRSUPN, Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Ginova Nainggolan, Sp.PDTKGH Divisi Ginjal hipertensi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUIIRSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Prof. Dr. Herdiman T. Poha& SP.PD' KPTI Divisi Penyakit Tropik Infeksi
Depademen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Prof. DR.Dr.Heru Sundaru, Sp.PD, KAI Divisi Alergi lrnunologi


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

vH
Dr.Hamzah Shatri, Sp.PD,KPsi Divisi Psikosomatik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

DR. Dr,Idrus Alwi, Sp.PD,KIO/,FACC Divisi Kardiologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Ika Prasetya Wiiayar Sp.PD Divisi Kardiologi


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Ikhwan Rinaldi, Sp.PD Divisi Hematologi Onkologi Medik


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr, Imam Subekti, Sp.PD,KEMD Divisi Metabolik Endokrin


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Prof. DR.Dr.Karmel L. Tambunan, Sp,PD,KHOM Divisi Hematologi Onkologi Medik


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr, Khie Chen, Sp.PD,KPTI Divisi Penyakit Tropik Infeksi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Kuntjoro Harimufti, Sp.PD Divisi Geriatri


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Lucky Aziza Bawazier, Sp.PD,KGH Divisi Ginjal Hipertensi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Lugyanti Sukrisman,Sp.PD Divisi Hematologi Onkologi Medik


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Nina Kemala Sari,Sp.PD,KGerD Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Prof, Dr. Lukman Hakim Makmun,Sp.PD,KKv Divisi Kardiologi


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr. Pradana Soewondo,Sp.PD,KEMD Divisi Metabolik Endokrin


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr, Marulam M. Panggabean, Sp.PD,KKv,Sp.rP Divisi Kardiologi


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr, Purwita Wijaya Laksmi, Sp.PD Divisi Geriatri


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

vilt
Dr. Reno GustalrianirSp.PD Divisi Metabolik Endokrin
Departemen IImu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusutuno
Dr, Ryan R.anity.a,Sp.PD Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKU,IIR.SUPD'1. Dr.Cipto Mangunkusurno

Prof. Dr. S. HarunrSP.PD,Kl(r,Sp.J'P Divisi KardioloE'i


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mang,unkusurno

Dr. Sally Aman t*asutioni$.PD Divisi Kardiologi


Departefllen llrnu Perryakit Da{am
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangr,rnkusumo

Prof. DR. Dr, Samsurk$al Djauzi, Sp.PD,KAI Divisi Alergi Irnmunologi


Depa*emen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

DR. Dr. Siti Setiati,MEpld, Sp.PD,KGer Divisi Geriatri


Departemen Il'mu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPI!. Dr.Cipto Mangunkusumo

Dr, Teguh Harjono Kariadi,Sp.PD,l(AI Divisi Alergi Immunologi


Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

DR. Dr. Zulkifli Amin,SP'PD,KP Divlsi Pulmonologi


Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo

tx
Daftar Isi

BABI : KONSULTASIPERIOPERATIF
Konsultasi Perioperatif Bagi Spesialis Penyakit Dalam :
Falsafah dan Prinsip .'.'...........3
Aru W. SudoYo, Kuntjoro Harimufti

BABII: EVALUASI DAN TATA LAI(SANA PERIOPERATIF


2.L Pengkajian Perioperatif berdasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang ...... 1 1
Siti Setiati, Arif Mansjoer

2.2 Evaluasi Kardiovaskular Perioperatif .....2L


Idrus Alwi, Arif Mansjoer

2.3 Evaluasi dan Tata Laksana Perioperatif Paru '...'.'... 31


ZulkifliArnin

2.4 Penilaian Perioperatif Risiko Perdarahan


dan Trombosis .......... ......-.....4t
CosPhiadi Irawan

Ikhwan Rinaldi

2.6 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada


Pembedahan..........'. ......."'... 60
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T' Pohan

2.7 Pengelotaan Nutrisi Perioperatif ....... "'.... ............... 7 3


AriFahrialSyam

BAB III : TATA LAKSANA PERIOPERATIF PASIEN DENGAN PENYAKIT


TERTENTU/ KONDISI KHUSUS

3.1 Penyakitlantung Koroner .... 81


Ika PrasetYa W Idrus Alwi

3.2 Aritmia .....'...'..."' 93


Dono Antono, Sjaharuddin Harun

xi
3.3 Penyakit Jantung Valvular .. 103
Sally Arnan Nasution, Lukrnan Hakim Makmun

3.4 Gagal Jantung Kronik ......... 1 13


Ryan Ranitya, Marulam Panggabean

3.5 Gagal Jantung Akut ........ .... L2O


Idrus Alwi, Arif Mansjoer

3.6 Asma ................. 132


Heru Sundaru

3.7 Tuberkulosis............. .......... 139


ZulkifliAmin

3.8 Penyakit Paru Obstruktif Kronik .............. ............. 142


Anna Uyainah ZN

3.9 Pemakaian Kostikosteroid Jangka Lama ............... 150


Teguh Harjono Karjadi

3.1O Penyakit Ginjal Kronik ........ 155


Lucky Aziza Bawazier

3.11 Hipertensi ......... ................. L65


Ginova Nainggolan, Arif Mansjoer

3.12 Diabetes Melitus ................. L72


Reno Gustaviani, Pradana Soewondo

3.13 PenyakitTiroid .. 181


Dyah Purnamasari, Imam Subekti

3.14 Trombositopenia dan Disfungsi trombosit ............. 189


Ikhwan Rinaldi, Aru W Sudoyo

3.15 PenggunaanAntikoagulan Kronik ........ 198


Abdulmuthalib, Andhika Rachman

3.16 Hemofilia.......... .................. 202


Lugyanti Sukrisman, Karmel L. Tambunan

3.17 Penyakit Hati ..... 207


Andri Sanityoso

xil
3.18 Infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immune Deficiency SYndrome .'.........216
Evy Yunihastuti, Samsuridjal Djauzi

3.19 Usia Lanjut ...,....'222


Siti Setiati, Purwita Wijaya Lakmi, Nina Kemala Sari

3.20 Ansietas dan DePresi .......'.. 24L


Hamzah Shatri

Lampiran:
Contoh kasus perioperatif, jawaban konsultasi, dan
pembahasa n

xilt
BIB I
Konsultasi Perioperatif bagi Spesialis
Penyakit llalam : Falsafah dan Prinsip
Aru W. Sudoyo, Kuntjoro Harimurti

eiring perkembangan di bidang kedokteran, termasuk di dalamnya adalah


meningkatnya kemampuan diagnosis dan penatalaksanaan penyakit-
penyakit yang membutuhkan pembedahan, maka prosedur operasi atau
pembedahan semakin sering dilakukan, termasuk pada pasien-pasien yang dahulu
dianggap berisiko tinggi. Sebagai contoh, dahulu tindakan pembedahan total hip
replacementjarang dilakukan pada pasien berusia lanjut yang mengalami fraktur
femur; selain karena adanya pandangan seorang berusia lanjut tidak perlu untuk
bisa berjalan lagi, juga karena teknik operasi dan anestesi yang ada diperkirakan
akan meningkatkan risiko mortalitas atau morbiditas selama dan setelah operasi.
Termasuk pula tindakan-tindakan operasiterhadap mereka dengan penyakit jantung
koroner (PJK), penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), serta penyakit lain yang
dianggap berisiko tinggi menerima beban prosedur pembedahan dan/atau anestesi.
Sebelum melakukan pembedahan serta anestesi terhadap pasien, khususnya
pasien yang berisiko tinggi, seringkalil seorang ahli bedah dan/atau ahli anestesi
akan meminta pendapat dari seorang spesialis penyakit dalam (internis), yang
disebut sebagai "konsultasi preoperatif'. Bagi spesialis penyakit dalam, konsultasi
tersebut berdampak profesional dan hukum, karena itu spesialis yang bersangkutan
perlu dibekali -selain pengetahuan medik dalam bidangnya - dengan pemahaman
akan tatacara perilaku maupun rambu-rambu yang bertujuan mengamankan baik
si pasien maupun dokter itu sendiri.

1"Seringkali" di *ini diartikan bahwa tidak semua institusi pelayanan nredik mawajibkan diadakan
kr:nsuliasi terlebih dahulu pada $esrang internis ateu spesialis penyakit dalam.
4 Konsultasi Perioperatif bagi Spesialis Penyakit Dalam: Falsafah dan Prinsip

TTI'UAI{ DAT{ PRINSIP KONST'LTASI PREOPERAilF

Dalam upaya untuk mengamankan pasien (yang kadang-kadang mempunyai satu


atau lebih penyakit penyerta), sebuah konsultasi preoperatif mempunyai beberapa
tujuan, yaitu:
1. Mengidentifikasi penyakit-penyakit penyerta serta faktor-faktor risiko operasi
yang sebelumnya tidak terdeteksi;
2. Mengoptimalkan keadaan pasien sebelum menjalani operasi;
3. Memahami, mengenali, dan mengobati keadaan-keadaan yang dapat
menyebabkan terjadinya penyulit pascabedah;
4. Berperan sebagai anggota sebuah tim bersama ahli anestesi dan bedah;
5. Mengupayakan keseimbangan antara risiko dan manfaat dalam prosedur
yang akan dilaksanakan.

Hal di atas penting karena seorang pasien mungkin sudah mengidap penyakit
kronik atau menahun yang dapat memperberat kondisinya akibat tindakan
pembedahan maupun anestesi terhadapnya. Sumbangsih seorang internis2 adalah
berupaya memberikan ketenangan pada ahli bedah serta ahli anestesi dalam
menjalankan tugasnya, dengan cara mengamankan pasien dari perburukan
keadaan akibat penyakit penyerta tersebut (misalnya diabetes melitus, hipertensi,
gangguan jantung dan pernapasan, atau karena usia yang lanjut).
Dalam menjawab konsultasi perioperatif tersebut, seorang internis juga harus
diberi batasan-batasan sehingga tidak melampaui kapasitasnya sebagai konsultan
preoperatif. Sebuah contoh adalah pada penilaian (assessrnenf) kardiopulmoner
pasien yang akan dioperasi, hal-hal yang perlu dipegang diantaranya:
1. Tujuannya adalah menentukan dan melaporkan apakah terdapat risiko
berlebih (excess risk) dan bukan uraian penyakitnya;
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah kunci;
3. Apakah ada perubahan dalam keadaan pasien atau status kesehatannya
4. Nilai toleransi terhadap beban fisik atau latihan;
5. Apakah pasien mempunyai profil risiko kardiak rendah, sedang, atau tinggi?;

Risiko pasien sesuai konsensus American College of Chest Physicians


(ACCP):1) rendah (biasanya umur <40 tahun dan mobilisasi cepat); 2) sedang
( umur <40 tahun, bedah mayor, perlu heparinisasi setiap 12ia:m); dan 3)tinggi
(umur >40 tahun dengan faktor risiko, bedah mayor, heparinisasi setiap 8
jam). Chest 1995; 108:3125-3345.

2 Selanjutnva di$ebut s&baEai "konsultan" dalarn buku panduan ini


Aru W. Sudoyo, Kuntjoro Harimurti

6. Apakah risiko yang harus diantisipasi pada pembedahan?


Dalam menjalankan tugasnya sebagai konsultan, diperlukan pemahaman
akan beberapa prinsip dalam cara manjawab maupun cakupannya, yaitu:
1. Substansi saran yang diberikan tidak boleh keluar dari batasan kompetensi
keahlian sebagai spesialis penyakit dalam. Misalnya: berikan saran mengenai
penatalaksanaan pemberian insulin perioperatif, tetapi JANGAN
menganjurkan jenis teknik anestesi (..."sebaiknya anestesi spinal saja ..",
dsb).
2. Batasi jumlah saran sesedikit mungkin. Terlalu banyak saran akan
mengaburkan permasalahan yang seharusnya menjadi perhatian.
3. Arahkan jawaban dan saran pada permintaan konsultasinya. lsi jawaban
akan berbeda bila permintaannya adalah "adakah kelainan di bidang TS"
dengan "mohon evaluasi adakah kemungkinan risiko gangguan pernapasan
pada pasien dengan PPOK".
4. lkuti pasien sampai masa pasca bedah /pasca operasi karena berbagai
komplikasiterjadi pada masa ini (bila mendapat izin dari dokter utama pasien).
5. lngat bahwa konsultan TIDAK menyatakan "menyetujui" atau "tidak ada
kontraindikasi operasi" melainkan menyatakan bahwa secara umum pada
pasien didapatkan "average risk" dari segi penyakit dalam bila tidak ada
kelainan penyerta. Atau bila pasien mempunyai penyakit tertentu maka
nyatakan pasien dalam risiko rendah atau sedang atau berat dari segi kelainan
yang didapatkan.

PRINSIP.PRINSIP ETIKA KEDOKIEMN NATAIVI KONSUTTASI PREOPERAEF


Hubungan antara dokter dengan pasierlnya, dengan keluarga pasien, ataupun
antar sejawat seprofesi dipayungi oleh seperangkat "aturan" yang dikenal sebagai
etika kedokteran (medical ethics3). Etika kedokteran mengenal adanya 6 (enam)
prinsip yang seyogyanya dilakukan oleh seorang dokter dalam melakukan
tugasnya, yaitu:
1. Beneficence - seorang dokter harus melakukan apa yang terbaik bagi
pasiennya (salus aegroti suprema lex);
2. Non-maleficence - "first, do no harm" yaitu tindakan seorang dokter tidak
boleh merugikan pasien (primum non nocere);
3. Autonomy - pasien mempunyai hak untuk menolak atau memilih

3 "Medical ethics"' is
pimarily a field of applied ethics, the study of moral value/moral values
and judgmenfs as fhey apply ta medicine. As a scholarly ciisciptine, medical ethics
encor??passes its practical applicatian in clinical seftiogs as well as work on its history, plti-
losophy, theology, and sociology." (Wikipedia).
5 Konsultasi Perioperatif bagi Spesialis Penyakit Dalam: Falsafah dan Prinsip

pen gobatan ny a ntas aeg roti s u p re m a I e x);


(vo I u
4. Justice - menyangkut perhatian atas sumberdaya yang kurang dan keputusan
mengenai siapa yang akan mendapat pengobatan tertentu;
5. Dignity - pasien (dan orang yang mengobati pasien) berhak atas martabatnya
sebagai manusia; dan
6. Truthfulness and honesty * konsep bahwa pasien mendapat informasi yang
benar dan terbuka mengenai pengonbatan yang akan diberikan padanya.
.. Salah satunya adalah dalam hal informed consent.
' Walaupun panduan ini ditujukan pada dokter yang akan menjawab konsul, perlu
diketahui juga apa yang digariskan oleh etika pada dokter yang meminta konsul,
yaitu:
1. Hanya satu dokter yang mempunyai tanggung jawab tertinggi atas
pasiennya.
2. Konsultan tidak boleh mengambil alih tanggung jawab atas perawatan pasien
kecuali mendapat izin dari dokter penanggung jawab.
3. Konsultasi harus diminta pada waktu yang tepat (tidak terlambat atau bila
keadana sudah memburuk). Keadaan ini muncul bila ada konflik profesional
atas pasien.
4. Diskusi mengenai substansi konsultasi harus dilakukan dengan dokter
konsultan, dan dengan pasien hanya atas persetujuan dari konsultan.
5. Perbedaan harus diselesaikan dengan suatu konsultasi kedua atau
mundurnya konsultan dari tim. Namun konsultan berhak untuk menyatakan
pendapatnya pada pasien di depan dokter yang meminta konsul bila
diperlukana.

Bagi seorang konsultan berlaku seperangkat panduan yang dapat digunakan,


tercantum sebagai Goldman's Ten Commandments of Consultations atau
Sepuluh Hukum dari Goldman, yaitu:
1. Tentukan pertanyaannya.
2. Tegakkan urgensi atau prioritas masalah yang akan dijawab.
3. Periksa sendiri keadaan pasiennya, tidak diwakilkan atau melalui orang lain.
4. Jawab secara singkat dan pantas.
5. Jawablah secara spesifik terhadap masalah pasien.
6. Berikan rencana alternatif untk menghadapi kemungkinan perburukan
keadaan.
7. Berjalanlah dalam batasan kewenangan kompetensi.
8. Beri saran tanpa terkesan mengajari.
9. Bicarakan secara langsung kasus konsultasi dengan dokter yang merawat.
10. Rawat lanjut atau follow-up bila dipandang perlu bagi keselamatan pasien.

Kesepuluh butir di atas dapat diikuti dengan gradasi berbeda-beda bergantung


Aru W. Sudoyo, Kuntjoro Harimurti

pada situasi dan kondisi pasien, dengan berpegang pada prinsip dan falsafah
etika kedokteran (jangan merugikan pasien).
Halyang penting adalah, perlu ditetapkan dahulu bahwa konsultasi preoperatif
dilaksanakan atas permintaan. Setelah diminta, jawaban konsultasi itu diberikan
dengan berpegang pada etika dan profesionalisme, yang kadang-kadang
memerlukan keberanian mengutarakan pendapat demi keselamatan pasien -
sepanjang itu tidak keluar dari wewenang profesional dan kompetensi konsultan
tersebut.

IGSIIIIR LAN
Peran spesialis penyakit dalam dalam memberikan konsultasi preoperatif adalah:6
1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi status medik pasien;
2. memberikan profil atau gambaran medik atas keadaan klinis pasien;
3. Menentukan dan menyarankan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan
sebelum operasi; dan
4. Mengupayakan perbaikan kondisi pasien agar risiko operasi dikurangi.
5. lnternis dalam menjawab konsul perioperatif tidak menyatakan ada tidaknya
indikasi atau kontraindikasi operasi

REMENEI
1 . Med ClinNorth Am 2003; 87(1)
2. Arch lnt Med 1983;143:1753
BIB II
11

2.1 Peng[allan Perloperaflf Berdasarkan


pada Anannesls, Pemerlksaan Flslk,
dan Pemerlksaan Penuqfang
Siti Setiati, Arif Mansjoer

fi namnesis yang menyeluruh-komprehensif amat perlu dilakukan agar tidak


/arO" satupun informasi penting yang terkait dengan persiapan perioperatif
terlewatkan. Anamnesis dilakukan dengan pasien (autoanamnesis) namun bila
tidak memungkinkan dapat dilakukan dengan keluarga atau orang terdekat yang
mengenal pasien sehari-hari terutama masalah kesehatan pasien (aloanamnesis).
Fokus kegiatan anamnesis adalah untuk mengidentifikasi adanya faktor risiko
atau kondisi komorbid yang akan memengaruhi risiko perioperatif. Adanya kondisi
komorbid akan menyebabkan kemungkinan timbulnya outcome buruk lebih besar.
Anamnesis mengenai adanya gangguan jantung harus berupaya
mendapatkan riwayat penyakit jantung koroner dan gagaljantung kongestif. Adanya
infark miokard dalam 6 bulan belakangan, gagal jantung kongestif aktif, aritmia,
angina tidak stabil menunjukkan risiko tinggi untuk komplikasi pada jantung pasca
pembedahan. Hipertensi kronik tidak meningkatkan risiko komplikasi pasca
operasi; namun tekanan darah yang amat tinggi, fluktuasi tekanan darah, dan
hipertensi yang baru terjadi mungkin akan menyebabkan instabilitas saat
pembedahan.
Anamnesis mengenai paru seyogianya mengidentifikasi adanya penyakit
paru obstruktif kronik (PPOK) atau asma atau riwayat merokok, dan penggunaan
steroid jangka panjang. Faktor risiko lain untuk kejadian pneumonia pasca
pembedahan adalah strok (cerebrovascular accidentlCYA), peminum alkohol, dan
tipe prosedur yang akan dilakukan.
Kejadian tromboemboli sebelumnya, termasuk trombosis vena dalam pada
ekstremitas atas atau bawah atau emboli paru merupakan faktor risiko yang
12 Pengkajian Perioperatif Berdasarkan pada Anamnesis

signifikan untuk kejadian tromboemboli pasca pembedahan. Komplikasi tersebut


sering terjadi pada pembedahan ortopedi di lutut atau femur dan panggul, atau
pembedahan intra abdomen untuk operasi keganasan.
Hipertensi, diabetes melitus dan faktor risiko aterosklerosis lain mungkin
menunjukkan perlunya evaluasi fungsi ginjal.
Status fungsional akan menentukan status dan kemampuan untuk kembali
mampu melakukan mobilisasi dan merawat diri sendiri pasca pembedahan.
Riwayat nutrisi juga penting digali karena akan menguak masalah-masalah
gangguan makan, termasuk disfagia, penyakit saluran cerna, dan penurunan berat
badan yang involunter.

Jantung
American College of Cardiology (ACC)/ American Heart Association (AHA)
membuat tiga kelas faktor risiko dengan gradasi risiko sebagai berikut:
Faktor risiko major
. Sindrom koroner tidak stabil
. Gagal jantung kongestif (dekompensasi)
. Aritmia tidak terkontrol
. Lesi katup berat
Faktor lntermediate
. Angina stabil/ringan
. Riwayat infark miokard sebelumnya
. Gagal jantung kongestif terkompensasi
. Diabetes melitus
. lnsufisiensi ginjal
Faktor risiko minor
. Usia lanjut
. EKG abnormal
. lrama non sinus stabil
. Kapasitas fungsional buruk
. Gangguanserebrovaskularsebelumnya
. Hipertensi tidak terkontrol

lndeks risiko jantung yang telah direvisi (Revlsed Cardiac Risk lndex) adalah
alat stratifikasi risiko yang telah divalidasi dengan menggunakan variabel yang
lebih sedikit:
. Pembedahan risiko tinggi
. Penyakit jantung iskemik
. Riwayat gagal jantung kongestif
. lnsufisiensi ginjal
. Diabetes melitus yang memerlukan terapi insulin
. Riwayatpenyakitserebrovaskular
Siti Setiati, Arif Mansjoer 13

Estimasi status fungsional pasien juga harus dilakukan. Pengkajian status


fungsional dapat dilakukan dengan anamnesis. Pada umumnya bila pasien tidak
dapat melakukan aktivitas sampai dengan 4 MET's (metabolic equipments),
umumnya mereka berada pada status fungsional yang buruk. Lebih rinci mengenai
aktivitas yang dikaitkan dengan MET's dapat dilihat pada bagian lain dari buku ini.
Pertimbangan harus dilakukan secara seksama terhadap berbagai faktor
risiko utama seperti tersebut di atas. Jika pasien pernah menjalani revaskularisasi
koroner dalam 5 tahun belakangan atau telah menjalanievaluasijantung dengan
angiografi dalam 2 tahun belakangan, maka tidak diperlukan lagi evaluasijantung
sepanjang tidak muncul gejala atau tanda baru.
Selanjutnya ada 3 faktor yang harus ditentukan, yakni:
1. Apakah pasien memiliki faktor risiko intermediate seperti yang telah
dikemukakan di atas?
2. Apakah pembedahan berisiko tingi?
3. Apakah pasien memiliki status fungsional yang buruk (kinerja maksimum
< 4 MET's)

Jika terdapat 2 dari 3 faktor risiko, preoperative sfress testing


direkomendasikan.

Paru
Anamnesis untuk mengevaluasi fungsi paru seyogianya berfokus pada adanya
dan beratnya faktor risiko yang ada pada pasien. Setiap riwayat penyakit paru
kronik harus dievaluasi secara rinci. Upaya harus dilakukan untuk menentukan
kondisi awal pasien (patient's baseline) dan apakah terjadi perburukan pada
fungsi paru seperti meningkatnya batuk dan produksi sputum. Setiap gejala
adanya infeksi saluran napas atas harus ditemukenali. Walaupun bukan suatu
kontraindikasi mutlak untuk pembedahan, lebih bijaksana untuk menunda prosedur
pembedahan yang bersifat elektif manakala dijumpai adanya infeksi tersebut.
Usia lanjut, terutama usia >60 tahun, juga diidentifikasi sebagai prediktor
komplikasi paru pasca pembedahan. Riwayat merokok juga harus diperoleh.
Kondisi komorbid akan mempengaruhi terjadinya komplikasi pada paru.
Karenanya, riwayat medis yang lengkap harus diperoleh. Status kesehatan yang
buruk dikaitkan pula dengan risiko gangguan paru perioperatif yang meningkat.

Hati dan ginjal


Riwayat rinci mengenai adanya risiko gangguan hati seperti penggunaan alkohol
atau obat-obatan juga perlu dilakukan, demikian pula dengan riwayat tranfusi
sebelumnya.
lnsufisiensiginjal kronik merupakan faktor risiko independen untuk komplikasi
jantung, sehingga semua pasien dengan gagal ginjal memerlukan stratifikasi
risiko jantung yang tepat. Pasien dengan gagal ginjal tahap akhir umumnya memiliki
L4 Pengkajian Perioperatif Berdasarkan pada Anamnesis

risiko mortalitas yang tinggi manakala menjalani operasi.


Tekanan darah yang tinggi (tekanan darah >180/1'10 ) sebelum pembedahan
(operasi) sering menyebabkan fluktuasi yang lebar selama operasi berlangsung,
dan dikaitkan dengan meningkatnya risiko gangguan jantung selama masa
perioperatif .

Obat anti hipertensi yang dikonsumsi sebelum masuk rumah sakit harus
dievaluasi karena mungkin akan berpengaruh pada saat periode perioperatif. Bila
pasien telah mengkonsumsi penyekat beta atau klonidin dalam jangka lama,
penghentian obal-obat tersebut mungkin akan menyebabkan takikardia dan
rebound hypertension

Diabetes melitus
Diabetes melitus dan hiperglikemia akan meningkatkan risiko outcome yang buruk.
Kontrol gula darah yang buruk berkaitan dengan risiko infeksi pasca pembedahan.
Oleh karenanya perlu dilakukan anamnesis riwayat diabetes melitus dan kontrol
gula darahnya. Pasien diabetes melitus juga berisiko tinggi mengalami penyakit
jantung dan pembuluh darah. Untuk itu, stratifikasi risiko yang tepat untuk terjadinya
komplikasijantung saat pembedahan adalah penting dilakukan ketika melakukan
evaluasi perioperatif

Penggunaan steroid
Pembedahan adalah aktivator poten untuk aksis hipotalamus-hipofisis. Pasien
dengan insufisiensi adrenal mungkin kehilangan respons terhadap stres
pembedahan

Status fungsional
Estimasi kondisi status fungsional pasien juga perlu dibuat. Pengkajian tentang
status fungsional yang terpercaya adalah dengan anamnesis yang baik. Pada
umumnya jika pasien tidak dapat melakukan aktivitas sampai dengan 4 MET's ,
mereka berada di dalam status fungsional yang buruk. Beberapa contoh kegiatan
yang umumnya membutuhkan lebih dari 4 MET's antara lain:
. Mampu mendaki satu atau lebih anak tangga tanpa kelelahan yang berat
. Mampu berlari jarak pendek
. Mampu melakukan pekerjaan rumah yang cukup berat seperti mengepel
lantai rumah, berkebun, dsb.
Agar lebih dapat menyaring kondisi medis yang perlu dipersiapkan secara
khusus, Badner (1998) telah mengembang kuisioner berisi 36 pertanyaan yang
diisi oleh pasien yang akan dioperasi. Kuisioner ini (lihat lampiran) bukan untuk
menggantikan anamnesis yang dilakukan oleh dokter namun dapat untuk
melengkapi evaluasi kondisi medis pasien.
Siti Setiati, Arif Mansjoer 15

Penyakit kardiovaskular. Riwayat: infark miokard, angina, gagal jantung kongestif,


demam reumatik, penyakit jantung katup, aritmia. Gejala: dispnue, ortopneu, paroxysmal
noctumal dyspnea, edema, nyeri dada, palpitasi, sinkop, kepala terasa seperti melayang
Penyraklt paru. Riwayat: merokok, paparern di tempat kerja, tuberkulosis, asma, alau
infeksi paru. Gejala: batuk, produksi sputum, dispneu.
Kelainan endokrin. Riwayat: penyakit tiroid, diabetes melitus,.atau penggunaan sterioid
jangka panjang. Pada wanita premenopause: tanggal terakhir menstruasi, jenis
kontrasepsi yang digunakan, dan kemungkinan kehamilan. Gejala: gugup, perubahan
berat badan, intoleransi panas/dingin, poliuria, polidipsi.
Kelainan hematologi. Riwayat: perdarahan, mudah memal anemia, reaksi transfusi
Kelainan neurologis. Riwayat strok, TlA, kejang, dan kelainan neuromuskular
Kelainan sistemik lain. Gangguan hati atau ginjal, artritis, penyakit tromboemboli, atau
obesitas. Gejala infeksi (genitourinarius, kulit, sinus, paru) dan gejala konstitusional (berat
badan turun, keringat, demam).
Riwayat pembedahan. Riwayat komplikasi anestesi atau prosedur bedah (perdarahan
masih, sulit intubasi, gangguan jantung)
Riwayat pengobatan. Riwayat alergi terhadap obat dan manifestasinya.
Riwayat kebiasaan. Riwayat: rokok, minum alkohol alau penggunaan narkoba.
Riwayat keluarga. Riwayat: perdarahan, kelainan kardiovaskular, ginjal atau endokrin
Riwayat komplikasi anastesia

PEMERIIGAAN FISIK

Pemeriksaan fisik yang menyeluruh harus dilakukan agar tidak ada kelainan
penting yang terlewatkan. Perhatian khusus seyogianya diberikan pada tanda
vital, terutama tekanan darah. Kendati hipertensi yang tidak terkontrol hanya
merupakan kriteria minor pada pedoman ACC/AHA, tekanan darah sistolik >'180
atau diastolik > 110 mmHg pada umumnya merupakan kontraindikasi untuk
pembedahan elektif., dan oleh karenanya harus diterapi terlebih dahulu sebelum
tindakan pembedahan dilakukan. Pemeriksaan jantung yang teliti dapat
mendeteksi adanya gagal jantung yang aktif atau murmur jantung, khususnya
stenosis aorta. Adanya bunyi jantung 53, meningkatnya tekanan vena jugularis,
bradikardia, takikardia, dan iregularitas karena ectopic beaf perlu mendapat
perhatian serius karena merupakan faktor risiko perioperatif. Pemeriksaan
ekstremitas bawah mungkin menunjukkan adanya abnormalitas denyut nadi atau
edema yang menunjukkan adanya masalah sirkulasi atau jantung.
Pada paru, adanya penyakit paru kronik perlu mendapat perhatian, seperti
meningkatnya dimensi anteroposterior dada dan adanya bunyi napas tambahan
terutama wheezing. Adanya ronkhi atau bronkospasme mungkin menunjukkan
ada penyakit paru atau gagal jantung. Adanya batuk persisten saat pemeriksaan
fisik dilakukan juga merupakan indikator meningkatnya risiko perioperatif.
Pada hati, tandatanda adanya gangguan hati perlu dicari, seperti ikterus,
asites, demikian pula spider nevi, eritema palmaris, atrofi testes.
16 Pengkajian Perioperatif Berdasarkan pada Anamnesis

Abnormalitas pada muskuloskeletal akibat artritis, penyakit Parkinson, atau


stroke mungkin dikaitkan dengan ganggauan mobilitas, hendaya fungsional dan
faktor lain yang dapat memperlambat penyembuhan.
Pada usia lanjut pemeriksaan neuropsikiatri ditujukan untuk menentukan
apakah terdapat gangguan kognitif akut atau kronik, depresi, penyakit Parkinson,
atau kelemahan fokal yang menunjukkan adanya penyakit serebrovaskular.

PEMERIIGAAN PENUNIAT{G

Tujuan pemeriksaan penunjang adalah menemukan penyakit atau masalah yang


tidak ditemukenali pada saat anamnesis dan pemeriksaan fisik, atau untuk
mengkonfirmasi diagnosis yang dicurigai pada saat anamnesis dan pemeriksaan
fisik. Beberapa pemeriksaan penunjang yang umumnya perlu dilakukan adalah
pemeriksaan darah perifer lengkap, gula darah, elektrolit, ureum dan kreatinin,
radiografi dada, dan elektrokardiografi. Pemeriksaan penunjang lain dilakukan
bila ada indikasi.

Jantung
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) direkomendasikan pada laki-laki berusia
di atas 40 tahun dan perempuan berusia di atas 50 tahun yang menjalani prosedur
pembedahan risiko sedang dan tinggi. Setiap pasien yang diduga memilikipenyakit
jantung karena memiliki faktor risiko (misal: diabetes) seyogianya dilakukan
pemeriksaan EKG. Namun demikian, EKG tidaklah rutin dikerjakan pada pasien
yang menjalani prosedur pembedahan dengan risiko ringan.
Pemeriksaan ekokardiogram umumnya tidak rutin dikerjakan' Namun bila
dijumpai adanya murmur pada pemeriksaan fisik yang dicurigai berhubungan
dengan penyakit valvular (kelainan katup), ekokardiografi sebaiknya dikerjakan.
Pengkajian atas fungsi ventrikel kiri seyogianya dipertimbangkan manakala
terdapat kecurigaan akan adanya gagal jantung kongestif yang sebelumnya tidak
terdiagnosis. Sfress evaluation tidak rutin dilakukan pada semua pasien yang
akan menjalani pembedahan tidak diperlukan.
Uji latih (exercise testing),jika pasien mampu untuk melakukan latihan secara
adekuat, uji latih (exercise testing) adalah pilihan pertama. Ketidak mampuan
untuk berlatih dengan adekuat merupakan faktor risiko untuk oufcome yang buruk.
Pasien harus mampu melakukan latihan sampai dengan 85% denyut jantung
maksimal
Angiografi koroner (coronary angiography), tidak rutin dikerjakan sebagai
metode stratifikasi faktor risiko. Angiografi pra pembedahan diindikasikan pada
pasien yang berisiko tinggi pada uji non-invasif, dengan tujuan untuk menetapkan
tingkat risiko perioperatif, dan menentukan apakah pasien memiliki penyakit yang
memerlukan pertimbangan untuk revaskularisasi
Siti Setiati, Arif Mansjoer t7

Pemeriksaan lnsidens kelainan LR (+) LR


yang (-)
mempengaruhi
manajemen
pasien

Hemogtobin 0,'l 3,3 0,9 Antisipasi perdarahan masif


atau bergejala anemia
Leukosit 0,0 0 1 Gejala ada infeksi, kelainan
mieloproliperatif, atau
pengobatan mielotoksik
Trombosit 0,0 1 Riwayat perdarahan diathesis,
kelainan mieloProliPeratif , atau
pengobatan mielotoksik
Masa protrombin 0.0 1,01 Riwiyatperdarahandiathesis,
(PT) penyakit hati kronis, malnutrisi,
penggunaan antibiotik jangka
panjang
Masa 0,1 1,7 0,86 Riwayat perdarahan diathesis
tromboplaslin
parsial (Pfi)
Elektrolit 1,8 4,3 0,8 Diketahui insufisiensi renal,
gagal jantung kongestif,
pengobatan yang
mempengaruhi elektrol it
Fungsi ginjal 2,6 3,3 0,81 Usia > 50 tahun, hipertensi,
penyakit jantung, oPerasi
besar, pengobtan yang
memperngaruhi fungsi ginjat
Glukosa 0.5 1,6 0,85 Obesitas atau diketahui DM
Fungsi hati 0,1 Tidak indikasi, pertimbangkan
pengukuran albumin unYuk
operasi besar atau penyakit
kronis.
Urinalisis 1,4 1,7 0,97 Tidak indikasi
Elektrokardiogram 2,6 1,6 0,96 Laki-laki > 40 rahun,
perempuan > 50 tahun, I
diketahui PJK, diabetes, atau
hipertensi
Foto toraks 3.0 2,5 0J2 Laki-laki > 50 diketahui ada I
penyakit jantung atau paru, I
gejala mangarah Pada
penyakit paru atau jantung.'

LR:likelihood ratio

Paru
Uji fungsi paru, tidak jelas perannya dan kontroversial. Walaupun uji fungsi paru
dapat dilakukan untuk menetapkan penyakit paru, pada pembedahan non paru
uji tersebut tidak banyak manfaatnya. Namun demikian, pada pasien dengan
gejala gangguan paru yang tidak dapat dijelaskan dan pasien dengan penyakit
paru, uji fungsi paru dapat dilakukan.
Analisis gas darah, pada umumnya bukan merupakan bagian integral dari
evaluasi paru dan juga tidak jelas perannya dalam memperkirakan risiko paru pra
18 Pengkajian Perioperatif Berdasarkan pada Anamnesis

pembedahan. Analisis gas darah perlu dilakukan bila secara klinis memang
dibutuhkan, misalnya untuk menentukan apakah penyakit paru pasien yang
menjalani pembedahan terkompensasi.
Radiografi dada, seyogianya tidak dilakukan rutin untuk mengevaluasi risiko
paru perioperatif. Radiografidada seringkalitidak mempengaruhitatalaksana karena
gambaran yang ditemukan bersifat kronik. Namun demikian, pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun, pemeriksaan radiografi dada semakin diperlukan.

Hati dan ginja!


Penapisan laboratorium untuk gangguan hati tidak direkomendasikan. Namun
demikian, pasien yang diketahui atau diduga dengan penyakit hati, harus menjalani
evaluasi menyeluruh untuk fungsi hatinya meliputi pemeriksaan konsentrasi enzim
hati, albumin, dan bilirubin, dan juga evaluasi koagulopati. Fungsi ginjal meliputi
elektrolit, ureum kreatinin, sebaiknya juga dievaluasi.

Diabetes melitus
Pemeriksaan gula darah dan Hemoglobin A1c seyogianya dilakukan untuk
membedakan kejadian perioperative sfress hyperglycemia dari diabetes melitus
yang tidak terdiagnosis. Pada pasien yang sudah diketahui menderita diabetes
melitus sebaiknya diketahui kontrol gula darahnya agar dapat ditentukan jenis
terapi yang dibutuhkan. Evaluasi fungsi ginjal seyogianya dilakukan pada pasien
dengan diabetes melitus yang akan menjalani pembedahan.

Referensi
1. WoffsthalSD. General risk assessment. ln:WolfsthalSD. Medicalperioperative management'89/
'90. London: Prentice-Hall lnternational; 1 989.p, 5-10.
2. Badner NH, Craen RA, PaulTL, Doyle JA. Anesthesia preadmission assessment: a new ap-
I proach through use of a screening questionnaire. Can J Anaesth. 1 998; 45:87-92.
3. Smetana GW, Macpherson DS. The case against routine preoperative laboratory testing. Med
Clin North Am. 2003; 87 : 7 -40.
Siti Setiati, Arif Mansjoer 19

IAMPIRAN:
Kuisioner Penyaring Preoperatif

1. Pernahkan anda mengalami serangan jantung?


2. Pernahkah anda mengalami gangguan jantung?
3. Pernahkah anda mengalami gagal jantung?
4. Pernahkah anda mengalami adanya cairan di dalam paru?
5. Apakah anda memiliki bunyi bising dari jantung?
6. Apakah anda pernah mengalami demam rematik saat kecil?
7. Apakah anda pernah mengalami nyeri dada atau rasa dada terikat?
8. Apakah anda pernah diobati karena irama jantung yang tidak teratur?
9. Apakah anda mempunyai tekanan darah tinggi?
10. Apakah anda pernah mengalami kesulitan bernapas?
11. Apakah anda menderita asma, bronkitis, atau emfisema?
12. Apakah anda sering batuk?
13. Apakah menaiki tangga satu lantai menyebabkan anda sesak?
14. Apakah berjalan satu blok gedung menyebabkan anda sesajk?
15. Apakah anda saat ini atau baru saja menghisap rokok? Bila ya, berapa
bungkus sehari? Sudah berapa tahun?
16. Apakah anda memiliki penyakit hati, atau riwayat kuning atau hepatitis?
17. Apakah anda minum minuman beralkohol lebih dari 3 kali perhari? Bila ya,
berapa kali seminggu?
18. Apakah anda memiliki gangguan pencernaan, rasa terbakar di dada, atau
masuknya lambung ke rongga dada?
'19. Apakah anda memiliki riwayat penyakit tiroid atau gondok?
20. Apakah anda mengidap diabetes t
21. Apakah anda memiliki masalah ginjal?
22. Apakah anda mengalami baal atau kelemahan di tangan atau kaki?
23. Apakah anda memiliki epilepsi, pingsan, atau kejang?
24. Apakah anda memilikimasalah dengan pemnbekuan darah, atau perdarahan.
25. Apakah anda memiliki masalah medis penting? Mohon ditulis.
26. Apakah pernah menjalani pembiusan? Bila ya, kapa terakhir?
27. Apakah ada anggota keluarga yang mengalami efek samping saat
pembiusan?
28. Apakah anda mengalami artritis atau sakit pada leher atau rahang?
29. Apakah anda mempunyai gigi palsu, ditambal atau lepas?
30. Apakah anda merasa sedang hamil?
31. Apakah anda menjalani pengobatam dengan prednison atau kortikosteroid
lain?
20 Pengkajian Perioperatif Berdasarkan pada Anamnesis

32. Harap tulis daftar makanan atau obat yang menyebabkan anda alergi.
33. Harap tulis daftar obat-obat yang sedang anda minum saat ini.
34. Harap tulis daftar operasi yang pernah anda jalani'sebelumnya.
35. Bila hari ini adalah hari anda dioperasi, kapan anda terakhir makan atau
minum?
36. Umur: Berat: Tinggi

Pada pasien yang menjawab ya pada pertanyaan #1-8,10-14, 16, 19-25, atau
30 harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap sebagai bagian
dari evaluasi preoperatif.
2t

2.2 Evaluasl Kardlovaskular Perloperailf


Idrus Alwi, Arif Mansjoer

penyakit
kardiovaskularakan meningkatseiring dengan meningkatnya
f,)revalensi
I usia dan diperkirakan jumlah pasien usia lanjut akan bertambah dalam
beberapa dasawarsa yang akan datang.l Kelompok usia lanjut ini merupakan
jumlah terbesar dilakukannya prosedur bedah.2 Hampir seperempat prosedur bedah
ini adalah prosedur bedah intraabdomen, toraks, vaskular dan ortopedi yang
dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular perioperatif yang
bermakna.3 Tulisan ini akan membahas khusus evaluasi kardiovaskular perioperatif
pada operasi non kardiak
Evaluasi kardiovaskular dilakukan pada pasien yang menjalani operasi non
kardiak bila diduga pada pasien yang mempunyai risiko mortalitas dan morbiditas
jantung perioperatif. Pada pasien yang diketahui menderita penyakit jatung koroner
(PJK) atau onsef baru gejala dan tanda yang dicurigai PJK, harus dilakukan
penilaian awal (baseline) terhadap kondisi jantung.
Evaluasi jantung praoperatif harus dilakukan dengan hati-hati tergantung
kondisipenyakit bedahnya. Pada kasus emergensi bedah akut, evaluasi praoperatif
terbatas pada tes sederhana dan penting seperti penilaian cepat tanda vital
kardiovaskular, status volume, hematokrit, elektrolit, fungsi ginjal, analisis urin
dan EKG. Hanya tes dan intervensi yang paling mendasar yang dilakukan sampai
dilakukan tindakan emergensi bedah akut. Evaluasi lebih lanjut dapat dilakukan
setelah operasi. Pada pasien yang revaskularisasi koroner bukanlah merupakan
pilihan, tidak perlu dilakukan tes stres noninvasif. Pada kondisi tidak urgen, evaluasi
jantung praoperatif dapat menimbulkan konsekuensi antara lain menunda prosedur
elektif.
22 Evaluasi Kardiovaskular Perioperatif

A]{A,IIINESIS

Anamnesis mempunyai peran penting dalam menemukan penyakit jantung dan/


atau penyakit penyerta yang akan menempatkan pasien dalam kelompok risiko
operasi yang tinggi. Anamnesis harus dapat mengidentifikasi kondisijantung berat
seperti sindrom koroner akut, riwayat angina sebelumnya, infark miokard (lM)
sebelumnya atau yang baru terjadi, gagal jantung dekompensasi, aritmia yang
bermakna dan penyakit katup berat (Tabel 1). Harus juga ditanyakan apakah
pasien mempunyai riwayat pacu jantung atau implantable cardioverter
defibrillator (lCD) atau riwayat ortostatik.
Faktor risiko PJK yang dapat dimodifikasi harus dicatat, juga bukti penyakit
lain yang berhubungan seperti penyakit vaskular perifer, penyakit serebrovaskular,
diabetes melitus, penurunan fungsi ginjal dan penyailit paru kronik.
Pada pasien dengan penyakit jantung, setiap perubahan gejala yang baru
terjadi harus dicatat. Obat yang digunakan harus dicatat dengan tepat, termasuk
obat herbal dan suplemen nutrisi dan dosis sangatlah penting. Anamnesis harus
juga dapat menentukan kapasitas fungsional pasien (Tabel 2). Pasien yang
diklasifikasikan sebagai risiko tinggi sehubungan dengan usia atau diketahui
menderita PJK tetapi asimtomatik dan mampu berlari selama 30 menit setiap
hari mungkin tidak memerlukan evaluasi lebih lanjut. Sebaliknya, pasien yang
kurang olah raga tanpa riwayat penyakit kardiovaskular tetapi dengan faktor risiko
klinis yang diduga dapat meningkatkan risiko perioperatif mungkin bermanfaat
jika dilakukan evaluasi praoperatif yang lebih mendalam.5-8

PEMERIIGAANFISTS

Pemeriksaan kardiovaskular meliputi penilaian tanda vital (termasuk pengukuran


tekanan darah pada kedua lengan), pulsasi karotis dan bruits, tekanan dan pulsasi
vena jugular, auskultasi paru, palpasi dan auskultasi prekordial, palpasi abdomen
dan pemeriksaan ekstremitas untuk menilai edema dan integritas vaskular. Adanya
implant pacu jantung dan ICD juga dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan fisis.
Adanya sianosis, pucat, sesak selama bicara atau aktivitas ringan,
pernapasan Cheyne-Stokes, status gizi buruk, obesitas, deformitas tulang, tremor
dan ansietas adalah beberapa data penyakit yang mendasari atau PJK yang
dapat dikenal oleh dokter pada pemeriksaan fisis umum.
Pada pasien dengan gagal jantung akut, adanya ronki dan bukti adanya
bendungan paru pada pemeriksaan folo roentgen dada mempunyai korelasi yang
baik dengan peningkatan tekanan vena pulmonal. Namun, pada pasien gagal
jantung kronik (GJK), tanda tersebut mungkin tidak dijumpai. Peningkatan tekanan
vena jugularis atau refluks hepatojugular positif merupakan tanda hipervolumia
yang lebih baik pada pasien GJK.e,1o Edema perifer bukan merupakan indikator
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 23

yang baik gagal jantung kronik kecuali tekanan vena jugular meningkat atau tes
hepatojugular positif.
Pemeriksaan terhadap pulsasi arteri karotis dan arteri lain juga penting.
Adanya penyakit vaskular yang terkait, perlu dicurigai PJK yang tersembunyi.
Auskultasi jantung sering memberikan arahan penyakit jantung yang mendasari.
Jika ditemukan bunyijantung ketiga pada daerah apeks, dicurigai fungsi ventrikel
kiri yang menurun, namun bila tidak ditemukan tidak menunjukkan fungsi ventrikel
kiri yang baik.10 Jika terdengar murmur, perlu ditentukan ada tidaknya penyakit

Sindrom koroner tak stabil


o l'nstable angina atau angina pektoris berat (ccs class lll atau lV)
o IMA baru (>7 hari dan <3b nari; dan adanya risiko iskemik secara sim
pemeriksaan non invasif
Gagal jantung kongestif stadium dekompensasi (klas lV NYHA; perburuka
jantung onsef baru)
Aritmia bermakna :
o blok AV derajat tinggi, blok AV Mobitz ll, blok AV derajat lll
o aritmia ventrikular simtomatik yang didasari kelainan jantung
o aritmia supraventrikular (termasuk fibrilasi atrial) yang tidak terkontrol
> 1OO /menit dalam istirahat)
o bradikardiasimtomatik
o takikardiaventrikular
Penyakit katup yang berat :
o stenosis aorta berat (mean pressure gradient >4o mm Hg, aortic valve
atau simtomatik)
o stenosis mitral simtomatik (sesak saat aktivitas yang progresif, prasinl
atau gagal jantung)

ccs : canadian cardiovascular Society; NYHA, New York Heart Associatior

1 METs
Apakah dapat mengurus diri sendiri? Makan, berpakaian, ke toilet? Berjalan dari
rumah? Beiialan 1 alau 2 blok pada jalan datar 3,2-4,8 km/jam. Dapat mengerjakan
pekerjaan rumah seperti membersihkan debu atau mencuci piring.

4 METs
J Naik 1 trap anak tangga atau jalan mendaki? Jalan datar 6,4 km/jam? Lari jarak
pendek? Mengerjakan pekerjaan berat sqgerti . menyikat lantai,
seperti golf,
mengangkaVm"nig6ser perabot yang berat? Mengikuti aktivitas
,
bowling, mena{, tenis ganda, melempar base ball atau bola kaki?
>fOmefs
Olahraga renang, tenis tunggal, bola kaki, bola basket atau main ski?
24 Evaluasi Kardiovaskular Perioperatif

valvular yang bermakna. Deteksi stenosis aorta yang bermakna cukup penting
karena memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap operasi non jantung.ll
Stenosis atau regurgitasi mitral yang bermakna meningkatkan risiko gagaljantung.
Regurgitasi aorta dan mitral mungkin minimal namun dapat merupakan predisposisi
terjadinya endokarditis infektif.

PEMERIIGAANPENUNIANG

Konsultan harus menilai data laboratorium yang ada seperti kimia darah dan juga
pemeriksaan folo roentgen dada berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
EKG sering dikerjakan sebagai bagian evaluasi praoperatif pada semua pasien
yang melebihi usia spesifik atau menjalani prosedur tertentu yang spesifik.
Gangguan elektrolit dan metabolik, obat-obatan, penyakit intrakranial dan
penyakit paru dapat mempengaruhi hasil EKG. Kelainan konduksi, seperti blok
cabang berkas kanan atau blok atrioventrikular derajat satu perlu mendapat
perhatian namun biasanaya tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan. Sama halnya
dengan aritmia ventrikular asimtomatik, bahkan jika ditemukan penyakit jantung
struktu ra|.12,13

INDEIG BERBAGAI VARIABEL UNruK MEMPREDIIGI MORBIDITAS


KARDIAKPERIOPERAUF

Evaluasi klinis dasar berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan EKG biasanya
memberi data yang cukup untuk memperkirakan risiko jantung. Dalam upaya
untuk mengkode faktor klinis dan laboratorium yang dapat mempengaruhi ouf-
corne, sejumlah peneliti telah mengembangkan indeks risiko dalam 25 tahun
terakhir berdasarkan analisis multivariabel.ll'23 Lee et al, telah memvalidasi indeks
sederhana untuk memprediksi risiko jantung pada pasien stabil yang menjalani
operasi non jantung utama yang tidak emergensi.a Enam risiko independen yang
terkait telah diidentifikasi yaitu:
1 . penyakit jantung iskemik (didefinisikan sebagai riwayat infark miokard, riwayat
tes treadmill positif, penggunaan nitrogliserin, keluhan nyeri dada yang baru
terjadi yang diduga sekunder karena iskemia koroner, atau EKG dengan
gelombang Q abnormal);
2. gagal jantung kongestif (didefinisikan sebagai riwayat gagal jantung, edema
paru, edema perifer, ronki bilateral, 53 atau redistribusi vaskular paru pada
foto dada);
3. penyakit vaskular serebral (riwayat transient ischemic attack atau strok);
4. operasi risiko tinggi (aneurisma aorta abdominalis atau vaskular lain, toraks,
abdomen atau operasi ortopedi);
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 25

5. terapi insulin praoperatif pada pasien diabetes melitus; dan


b. kadar kreatinin praoperatif lebih dari 2 mg/dl.

Meningkatnya jumlah faktor risiko berhubungan dengan meningkatnya risiko.


lndeks risiko jantung yang direvisi,a merupakan salah satu dari indeks risiko yang
paling banyak dipakai secara luas.

PENIIAIANIGINIS
Terdapat sekelompok penyakit jantung aktif yang jika ditemukan menuniukkan
risiko klinis mayor. Adanya satu atau lebih kondisi tersebut memerlukan
tatalaksana intensif dan dapat menunda atau membatalkan operasi kecuali operasi
yang bersifat emergensi. Kondisi ini mencakup:
. Sindrom koroner tak stabil; angina berat atau tak stabil, infark rniokard yang
baru terjadi.
. Gagal jantung dekompensasi
. Aritmia yang bermakna
. Penyakit valvular berat

Faktor risiko klinis mencakuP:


. Riwayat penyakit jantung iskemik
. Riwayat gagal jantung sebelumnya atau terkompensasi
. Riwayat penyakit serebvaskular
. Diabetes mellitus dan
. lnsufisiensi ginjal 4

Riwayat infark miokard atau gelombang Q abnormal berdasarkan EKG


dikelompokkan sebagai faktor risiko klinis, sedangkan infark miokard akut
(dideflnisikan sebagaisekurang-kurangnya 1 kejadian lM dalam 7 hariatau kurang
sebelum pemeriksaan) atau infark miokard baru (recent) (lebih dari 7 hari namun
kurang atau sama dengan 1 bulan sebelum pemeriksaan) dengan bukti risiko
iskemik penting berdasarkan gejala klinis atau pemeriksaan noninvasif
dikelompokan sebagai kondisi jantung aktif. Definisi ini merupakan konsensus
ACC Cardiovascular Database Committee. Pembagian infark miokard menjadi
interval 3 dan 6 bulan tidak dianjurkan dan sebaiknya tidak dipakai lagi.tt'ze
Tatalaksana lM terkini menganjurkan stratifikasi risiko selama
penyembuhan.2s Jika tes stres terakhir tidak menunjukkan risiko iskemia miokard
residu, kecenderungan reinfark setelah operasi non jantung adalah rendah.
Walaupun tidak terdapat uji klinis adekuat yang memberikan rekomendasi yang
tegas, tampaknya logis untuk menunggu operasi elektif 4 sampai 6 minggu setelah
infark miokard. Prediktor minor dikenal sebagai petanda penyakit kardiovaskular
yang tidak menunjukkan peningkatan risiko perioperatif independent, seperti usia
lanjut (lebih dari 70 tahun), EKG abnormal (hipertrofi ventrikel kiri, blok cabang
26 Evaluasi KardiovaskularPerioperatif

berkas kiri, abnormalitas ST-T), irama selain sinus dan hipertensi yang tak
terkendali.

PENDEKATA]II BERTAHIUT UNTUK PENIIAIAN JANIUNG PERIOPERATIF

Pada Gambar 1 dapat dilihat algoritme untuk menentukan pasien mana yang
merupakan kandidat untuk pemeriksaan jantung.

Tahap 1: Konsultan harus menentukan urgensioperasi non kardiak. Pada banyak


situasi, pasien atau faktor spesifik bedah menganjurkan strategi yang tidak
menunggu penilaian atau terapi jantung selanjutnya. Pada keadaan tersebut,
konsultan dapat melakukan hal terbaik dengan memberikan rekomendasi untuk
tatalaksana medis perioperatif. Stratifikasi risiko pasca operatif yang terbatas,
sering memadai pada pasien dengan peningkatan risiko bencana koroner jangka
panjang yang belum pernah mendapat penilaian sebelumnya. lni biasanya
dikerjakan setelah pasien mengalami penyembuhan dari hilangnya darah, decon-
ditioning dan komplikasi pasca operatif lain yang dapat menjadi perancu interpretasi
hasil tes non invasif.

Tahap 2: Apakah pasien mempunyai 1 kondisi jantung aktif pada tabel 1 ?. Jika
tidak masuk ke tahap 3. Pada pasien yang dipertimbangkan untuk operasi non
kardiak elektif, adanya penyakit koroner tidak stabil, gagaljantung dekompensasi
atau aritmia berat atau penyakit jantung valvular biasanya mengakibatkan
pembatalan atau penundaan operasi sampai masalah jantung telah diklarifikasi
dan diterapi secara adekuat. Sebagai contoh sindrom koroner tak stabil mencakup
infark miokard sebelumnya dengan bukti risiko iskemik penting dengan gejala
klinis atau pemeriksaan non invasif terdapat angina berat atau tak stabil dan
iskemia kurang terkendali melalui gagal jantung. Banyak pasien pada keadaan
ini dirujuk untuk dilakukan angiografi koroner untuk menilai pilihan terapi
selanjutnya. Tergantung hasil tes atau intervensi dan risiko penundaan operasi,
mungkin cukup adekuat untuk melakukan rencana operasi dengan terapi medis
maksimal.

Tahap 3:Apakah pasien akan menjalani operasi risiko rendah ? Banyak tindakan
dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas < 1% (lihat Tabel 3), bahkan pada
pasien risiko tinggi. Mortalitas pada hari operasi, pada banyak tindakan operasi
rawat jalan, ternyata lebih rendah daripada mortalitas hari ke-30, yang menduga
bahwa peningkatan risiko operasi rawat jalan bisa diabaikan atau mungkin
protektif.26 Sehingga intervensi berdasarkan pemeriksaan kardiovaskular pasien
stabil jarang mengakibatkan perubahan dalam penatalaksanaan, dan cukup
adekuat untuk melakukan tindakan operasi yang direncanakan.
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 27

Tahap 4 : Apakah pasien mempunyai kapasitas fungsional yang baik, tanpa


gejala? Status fungsional dapat diandalkan untuk memprediksi bencana jantung
jangka panjang.2T-3l Pada pasien asimtomatik dengan kapasitas fungsional yang
sangat baik, tatalaksana jarang akan diubah berdasarkan hasil pemeriksaan
kardiovaskular selanjutnya. Sehingga cukup adekuat untuk melakukan operasi
yang direncanakan. Pada pasien yang diketahui menderita penyakit kardiovaskular
atau sekurang-kurangnya 1 faktor risiko klinis, kendali frekuensijantung perioperatif
dengan penyekat beta cukup adekuat.
Pada pasien yang tidak punya tes treadmill yang baru, status fungsional
biasanya dapat diperkirakan dari kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup
sehari-hari.30 Kapasitas fungsional dapat dinyatakan dalam metabolic equivalents
(METs); konsumsi oksigen basal atau istirahat (VOr) pada pria usia 40 tahun
dengan berat badan 70-kg, dalam keadaan istirahat dalah 3,5 mL per kg per min,
atau 1 MET.
Kapasitas fungsional diklasifikasikan sebagi sangat baik (> 10 METs), baik
(7-10 METs), sedang (4-7 METs), rendah (< 4 METs) atau tidak diketahui. Risiko
perioperatif kardiak dan jangka panjang meningkat pada pasien yang tidak mampu
mencapai kebutuhan 4 METs selama sebagian besar aktivitas harian normal.30

Tinggi (risiko kardiak > 5%)


-operasi emergensi, majorlerutama pada usia tua
-aorta dan vaskular major lainnYa
-vaskular perifer
-tindakan bedah yang lama dan ter.iadi pergeseran
-cairan dan/atau darah hilang yang banyak
Sedang {risiko kardiak < 5%)
-carotid end arterectomy
-kepala dan leher
-intra peritoneal dan intralorak
-ortopedi
- prostate
Rendah (risiko kardiak < 1%)
- prosedur endoskoPi
- prqsedur superficial
- katarak
- payudara

Dalam satu seri 600 pasien yang menjalani tindakan non kardiak mayor, iskemia
miokard perioperatif dan komplikasi kardiovaskular lebih lain sering dijumpai pada
pasien yang dilaporkan dengan toleransi latihan yang rendah (tidak mampu
berjalan 4 blok atau naik 2 lantai), bahkan setelah disesuaikan dengan karakteristik
dasar yang diketahui berkaitan dengan peningkatan risiko.3o

Tahap 5: Jika pasien mempunyai kapasitas fungsional yang rendah, simtomatik,


atau kapasitas fungsionalriya tidak diketahui, selanjutnya adanya faktor risiko
28 Evaluasi Kardiovaskular Perioperatif

klinis yang akan menentukan keperluan evaluasi selanjutnya. JikA pasien tidak
mempunyai faktor risiko klinis, hal ini cukup untuk melakukan operasi yang
direncanakan, dan tidak dianjurkan perubahan tata laksana selanjutnya.
Jika pasien mempunyai 1 atau 2 faktor risiko, beralasan untuk melakukan
operasi yang direncanakan, dengan kontrol frekuensi jantung dengan penyekat
beta, atau pemeriksaan lanjutan jika akan mengubah tatalaksana.
Pada pasien dengan 3 atau lebih faktor risiko klinis, risiko kardiak yang
spesifik operasi (tabel 3). Risiko kardiak yang spesifik operasi pada operasi
nonkardiak dikaitkan dengan 2 hal penting. Pertama, jenis operasi dapat
mengidentifikasi pasien dengan kecenderungan lebih besar penyakit jantung yang
mendasarinya dan morbiditas dan mortalitas perioperatif yang lebih tinggi.
Pada pasien yang menjalani operasi vaskular, pemeriksaan hanya
dipertimbangkan jika akan mengubah tatalaksana. Jenis operasi yang lain dikaitkan
dengan risiko sama dengan operasi vaskular namun belum pernah diteliti secara
mendalam. Untuk operasi non vaskular, derajat stres hemodinamik kardial
menentukan risiko spesifik bedah. Tergantung tindakan bedah non kardiak, mungkin
dikaitkan dengan perubahan frekuensi jantung, tekanan darah, volume vaskular,
nyeri, perdarahan, kecenderungan pembekuan darah, oksigenasi, aktivasi neuro-
humoral dan lain-lain. lntensitas stresor miokard dan koroner membantu
menentukan kecenderungan komplikasijantung perioperatif. Morbiditas perioperatif
yang dikaitkan dengan tindakan berkisar antara 1-5o/o. Pada pasien yang
dipertimbangkan siap untuk menjalani bedah risiko intermediate, tidak cukup data
untuk menentukan strategi terbaik (menjalankan operasi yang direncanakan
dengan mengendalikan secara ketat frekuensi jantung dengan penyekat beta
atau melakukan pemeriksaan kardiovaskular lebih lanjut jika akan mengubah
tata laksana).

I(EIMR'LAN
Evaluasi perioperatif yang sukses dan tatalaksana pasien jantung risiko tinggi
yang menjalani operasi non kardiak membutuhkan suatu kerjasama tim dan
komunikasi antara ahli bedah, ahli anestesi dan ahli penyakit dalam/konsultan.
Secara umum, indikasi untuk pemeriksaan jantung lanjutan dan tatalaksananya
adalah sama seperti kondisi non operatif, tetapi waktunya tergantung pada
beberapa faktor mencakup urgensi operasi non jantung, faktor risiko spesifik pada
pasien dan pertimbangan spesifik operasi. Penggunaan bersama tes non invasif
dan invasif praoperatif terbatas pada keadaan di mana hasil dari tes akan
mempengaruhi secara jelas tatalaksana pasien. Ahli penyakit Dalam/konsultan
menyiapkan pasien sebaik-baiknya dengan membuat rekomendasi yang ditujukan
untuk menurunkan risiko jantung perioperatif segera, sama baiknya dengan
penilaian tehadap kebutuhan untuk stratiflkasi risiko dan intervensi pasca operatif
selanjutnya.
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 29

@ dan stratifikasi risiko perjoperatil


dan tatalaksana fahor insulin

@
@
@ Kapasitas fungsjonal baik
(level IVETZ4) tanpa rujukan
(k6hs LLOE. B)

I *"**o."

I -l
Pertimbangkan itu
iika akan mengubah
Operasi sesuai rencana dengan kontrol frekuensi jantung
(kelas lia.LoE B) atau pertimbangkan tes non invasif (kelas llb, LoE
jika akan mengambil tatalaksana
I-
| "p"""
Rutukan I
tatalaksana *sesuai

Gambar 1. Algoritme evaluasi kardiovaskular pada operasi non kardiak

RffiRENEI
1 . Mangano DT. Perioperative cardiac morbidity. Anesthesiology 1990;72:153-84.
2. Fleisher LA, Eagle KA. Clinical practice; lowering cardiac risk in noncardiac surgery. N EnglJ Med
2001',345:1677- 82.
3. Fleisher LA, Beattie C. Current practice in the preoperative evaluation of patients undergoing major
vascular surgery: a survey of cardiovascular anesthesiologists. J Cardiothorac Vasc Anesth
1993;7:650-4.
4. FleisherLA, BeckmanJA, Brown KAetal.ACC/AHA 200Tguidelineson PerioperativeCardiovascu-
lar Evaluation and Care for Noncardiac Surgey.
5. RogerVL,BallardDJ,HallettJWJr.,OsmundsonPJ,PuetPA,GershBJ.lnfluenceo{coronaryadery
disease on morbidity and mortality after abdominal aortic aneurysmectomy: a population-based study,
1 971-1 987. J Am Coll Cardiol 1 989;14:124*52.

6. Herlzer NR. Basic data concerning associated coronary disease in peripheral vascular patients. Ann
Vasc Surg 1 987;1 :616 -20.
7. Gersh BJ, Rihal CS, Rooke TW, Ballard DJ. Evaluation and management of patients with both
peripheral vascular and coronary artery disease. J Am Coll Cardiol 1991 ;18:203-14.
B. Jamieson WR, Janusz MT, Miyagishima RT, Gerein AN. lnfluence of ischemic heart disease on early
and late mortality after surgery for peripheral occlusive vascular disease. Circulation 1982;66:192-197.
9+ abdominojugular test: technique and hemodynamic conelates. Ann lntern Med
-' Errvy GA. The
1 988;1 09:45G60.
10. Butman SM, Ewy GA, Standen JR, Kern KB, Hahn E. Bedside cardiovascular examination in patients
with severe chronic heart failure: importance of rest or inducible jugular venous distension. J Am Coll
Cardiol 1 993;22:968 -74.
11 . Goldman L, Caldera DL, Nussbaum SR, et al. Multifactorial index of cardiac risk in noncardiac surgical
procedures. N Engl J \tied 1977 ;297 : 845-50.
30 Evaluasi Kardiovaskular Perioperatif

12. O'Kelly B, Browner WS, Massie B, Tubau J, Ngo L, Mangano DT. Ventricular arrhythmias in
patients undergoing noncardiac surgery. The Study of Perioperative lschemia Research Group.
JAMA 1992;268:217-21.
13. Mahla E, Rotman B, Rehak P, et al. Perioperative ventricular dysrhythmias in patients with
structural heart disease undergoing noncardiac surgery. Anesth Analg 1998;86:16 -21.
14. Ashton CM, Petersen NJ, Wray NP, et al. The incidence of perioperative myocardial infarction in
men undergoing noncardiac surgery. Ann lntern Med 1993;118:504 -10.
15. Hollenberq M, Mangano DT, Browner WS, London MJ, Tubau JF, Tateo lM. Predictors of
postoperaiive'myoclrdial ischemia in patiehts undergoing noncardiac surgery. The Study of
Perioperative lschemia Research Group. JAMA 1992;268:205-9.
16. Hubbar.d BL, Gibbons RJ, LapeyreACl, ZinsmeisterAR, Clements lP. ldentification of severe
coronary artery disease using simple clinical parameters. Arch lntern Med 1 992;152:309 -12.
17. Lette J, Waters D, Bernier H, et al. Preoperative and long{erm cardiac risk assessment: predic-
tive value of 23 clinical descriptors, 7 multivariate scoring systems, and quantitative dipyridamole
imaging in 360 patients. Ann Surg 1992;216:192-204.
18. Manqano DT, Browner WS, Hollenberg M, London MJ, Tubau JF, Tateo lM. Association of
perio'perative'myocardial ischemia with Eardiac morbidity and mortality in men undugoing f on
cardiac surgerlr. The Study of Perioperative lschemia Research Group. N Engl Med j
1990;323:1781- 8.
19. MichelLA, JamartJ, Bradpiece HA, Malt RA. Prediction of risk in noncardiac operations after
cardiac operations. J Thorac Cardiovasc Surg 1990;100:595- 605.
20. Eagle KA, Coley CM, NewellJB, et al. Combining clinicaland thallium data optimizes preopera-
tive assessment of cardiac risk before major vascular surgery. Ann lntern Med 1989;110:859-66.
21. DetskyAS, Abrams HB, Mclaughlin JR, et al. Predicting cardiac complications in patients under-
going non-cardiac surgery. J Gen lntern Med 1986;1:211-9.
22. Foster ED, Davis KB, Carpenter JA, Abele S, Fray D. Risk oI noncardiac operation in patients
with defined coronary disease: the CoronaryArtery Surgery Study (CASS) registry experience.
Ann Thorac Surg 1986;41:42-50.
23. Cooperman M, Pflug B, Mafiin EWJ, Evans WE. Cardiovascular risk factors in patients with
peripheral vascular disease. Surgery 1978;84: 505-9.
24.Tarhan S, Moffitt EA, Taylor WF, Giuliani ER. Myocardial infarction after general anesthesia.
JAMA1972;220:1451- 4.
25. AntmanEM,AnbeDT,ArmstrongPW,etal.ACC/AHAguidelinesforthemanagementof patients
with ST-elevation myocardial infarction: a repoft of the American College of Cardiology/American
HeartAssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1999 Guidelines
forthe Management of Patients WithAcute Myocardial lnfarction). J Am CollCardiol2004;44:E1-
E211.
26. Fleisher LA, Pasternak LR, Herbed R, Anderson GF. lnpatient hospital admission and death after
outpatient surgery in elderly patients: imporlance of patient and system characteristics and loca-
tion of care. Arch Surg 2004;139:67-72.
27. Nelson CL, Herndon JE, Mark DB, et al. Relation of clinical and angiographic factors to functional
capacity as measured by the Duke Activity Status lndex. Am J Cardiol 1991 ;68:973-5.
28. Myers J, Do D, Herbert W, Ribisi P, Froelicher VF. A nomogram to predict exercise capacity from
a Specific activity questionnaire and clinical data. Am J Cardiol 1994;73:591- 6.
29. Bartels C, Bechtel JF, Hossmann V Horsch S. Cardiac risk stratification for high-risk vascular
surgery. Ci rculation 1997 :95:247 3-5.
30. Reilly DF, McNeely MJ, Doerner D, et al. Sellreported exercise tolerance and the risk of serious
perioperative complications. Arch ntern Med 1 999 ; 1 59 :2185-92.
I

31, 0lder B HallA, Hader R. Cardiopulmonary exercise testing as a screening test for perioperative
management of major surgery in the elderly. Chest 1999;116:355- 62.
31

2.9 EYaluasil dan Tatr talsara


Putoperaflf Paru
ZulkifliAmin

paru yang sering terjadi pasca operasi antara lain: pneumonia,


l1(omOlikasi
I \bronkospasme, atelektasis, hipoksemia sampai gagal napas yang
memerlukan ventilator mekanik jangka panjang. Pneumonia dan atelektasis
merupakan komplikasi paru pasca operasi yang mempunyai persentase yang
cukup tinggi. Persentase risiko untuk terjadinya komplikasi paru pasca operasi,
di luar atelektasis asimptomatis bervariasi antara 6-190/o. Tulisan ini akan
menekankan evaluasi dan tata laksana perioperatif paru pada pembedahan non
paru.

FAIfiOR RISIKOTER'ADINYA KOMPUIGSI PARU PASCA OPERASI


Risiko terjadinya komplikasi paru tertinggi ada pada pasien-pasien yang menjalani
pembedahan kardiak, toraks dan abdominal bagian atas, dengan angka komplikasi
yang dilaporkan sebesar 9% sampai 76oh. Risiko pada pasien yang menjalani
prosedur pembedahan abdomen bawah dan pelvis bervariasi antara 2-5o/o
sedangkan untuk prosedur operasi di ekstremitas kurang dari 1-3oh. Angka
komplikasi paru yang dihubungkan dengan tindakan laparoskopi dan torakoskopi
masih belum banyak data yang tersedia. Pada sebuah studi yang melibatkan
lebih dari 1500 pasien yang menjalani kolesistektomi laparoskopi, angka
komplikasi paru kurang dari 1Yo lebih rendah apabila dibandingkan dengan
kolesistektomi biasa (open cholecystectomy)
Diketahui tiga faktor spesifik yang meningkatkan risiko komplikasi paru pasca
operasi tdd: penyakit paru kronik, obesitas dan perokok. Pasien dengan penyakit
paru obstruksi kronik (PPOK) mempunyai risiko 2-4 kali lipat dibandingkan dengan
32 Evaluasi dan Tata Laksana Perioperatif Paru

pasien tanpa PPOK. Penilaian tentang derajat PPOK dengan menggunakan tes
fungsi paru tidak menunjukkan perbaikan dengan penilaian risiko klinik kecuali
pada pasien dengan FEV, kurang dari 500 mL atau PCO, lebih dari 45 mmHg
yang merupakan bagian dari risiko tinggi.
Pasien asma mempunyai risiko yang tinggi terjadinya bronkospasme selama
intubasi dan ekstubasi trakeal dan selama periode pasca operasi. Namun, pada
pasien-pasien dengan fungsi paru yang optimal (berdasarkan gejala, pemeriksaan
fisik atau spirometri) pada saat pembedahan, tidak berisiko untuk terjadinya
komplikasi paru yang lain.
Pasien dengan penyakit obesitas (berat badan lebih dari 113 kg) mempunyai
risiko 2 kali lipat untuk terjadinya pneumonia dibandingkan dengan pasien yang
berat badannya lebih rendah. Obesitas ringan bukan merupakan risiko komplikasi
paru yang penting.
Beberapa studi menunjukkan perokok sigaret dihubungkan dengan peningkatan
risiko terjadinya atelektasis pasca operasi. Perokok sigaret juga diketahui
mempunyai risiko 2 kali lipat untuk terjadinya pneumonia walaupun telah dilakukan
pengobatan terhadap penyakit paru yang mendasari. Kesimpulan dari faktor risiko
yang diketahui merupakan komplikasi paru dapat dilihat pada tabel 1.

1. ?linbbdthin,,a'bdomiiia!.ntiii rrhu:tkardiii.tcriiksik
?.,: Waktu anestesi lebih dari 4 iam
?,, Penyakit obegitas
4,. Penyaktt,Fanrl qt6tuk$i' kronik e&u: asr{a
i5, Panbkb( tebitrr,tairi '20 :bak::perrahu!'

Apakah ada indeks yang serupa dengan indeks risiko jantung yang dapat
membantu memprediksi risiko komplikasi pulmonar?
Ya! Ada dua indeks yang tervalidasi dengan baik: pertama untuk memprediksi
risiko pneumonia pasca operasi dan lainnya untuk memperkirakan risiko gagal
napas pasca operasi. Kedua indeks ini merupakan alat yang sangat membantu
untuk membagi risiko komplikasi pulmonar (Tabel 2'3)'

Apakah foto toraks sebelum operasi mempengaruhi tatalaksana pra


operasi?
Kurang dari 1o/o dari hasil pemeriksaan foto toraks pra operasiyang abnormal dan
mengubah tatalaksana. Penemuan emfisema pada foto toraks jarang mengubah
diagnosis karena emfisema sudah bisa diprediksi dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Lakukan pemeriksaan foto toraks rutin untuk pasien berusia
lebih dari 50 tahun yang akan menjalani operasi besar, untuk pasien dengan
penyakit kardiopulmonal yang diketahui sebelumnya dan untuk mereka dengan
Zulkifli Amin 33

Faktor Risiko Pra Operasi


PneumoniaPasca Gagal Napas Pasca
Operasi Operasi

Tipe Pembedahan
- Aneurisrna aortarabdominal 15 27
- Toraks 14 21
- Abdomen"bagian atas '10 14
- Ldher I 11
- Bedih saraf I 3
- Vaskular 3 't4
Usia ( tahun )
- >80 17 6
- 7*79 13 6
- 60s9 o
:
- 50-59 4
S.tatusfungqjo,rtgl
- Dependen total 10 7
- Dependen sebagian 6 7
Riwayat PPOK 5 6
Ureum'darah
- <8m$dl 4
- 22-30ms/dl 2
- 130 mgldl 3 ;
Operasi emergensi 3 11
Penurunan berat badan > 10 % dalam 6 7
bulan terakhir-
Albumln,'(< 3 gn/dL)
Anestesi umum 4
Gangguanl keterbatasan sensori 4
Riwayat kecelakaan serebrovaskular 4
Transfusi > 4 kantong 3
Penggunaan steroid unluk penyakit 3
kronik
Perokok dalam 1 tahun terakhir 3
Asupan alkohol >2 gelas/hr dalam 2 2
minggu terakhir

Risiko Pneumonia Risiko Gagal Napas


(Kisaran Nilai Total) (Kisaran Nilai Total)

a,24%{4,16) 0.5%(s10)
1.19 o/o (16-25) 2.2% (11-1s)
4.Oo/o{26-4.0't 5.0Yo {2G27)
9.4 7o (41-55) 11.6 %(2840)
'15.8 o/o ( >55) 30.5%(>40)
Data dari Azorullah AM, Daley J, Henderson WG, Khuri SF; 2000 dan Azoruilah AM, Khuri sF, Henderson
WG, et al: Ann lntern Med. 2001;135:847-57.
34 Evaluasi dan Tata Laksana Perioperatif Paru

gejala yang menunjukkan kemungkinan adanya penyakit kardiopulmonal yang


tidak terdiagnosis.

Kapan spirometri pra operasi diindikasikan dan apakah ada ambang batas
terendah di mana operasi mempunyai risiko yang besar?
Spirometri pra operasi biasanya mengkonfirmasi apa yang sebelumnya telah kita
ketahui. Jarang kita menemukan gangguan obstruktif dan restriktif tanpa gejala
klinis). Tes yang biasa dilakukan termasuk kapasitas ekspirasi paksa dalam 1
detik (FEV,) dan kapasitas vital paksa (FVC). Hasil spirometri abnormal pada
kasus obstruktif (apakah FEV., rendah atau rasio FEV,/FVC rendah) dapat
digunakan secara kuantitatif memprediksi risiko komplikasi pulmonar. Tetapi pasien
dengan hasil spirometri abnormal berat (FEV, <0,5 L ) pada keadaan emergensi
masih dapat menjalani operasi, tentunya dengan antisipasi risiko-risiko yang sudah
diketahui dan penanganannya (antara lain:kesiapan ventilator sesudah operasi
bila terjadi gagal napas).

Apakah pemeriksaan gas darah arteri berperan dalam penilaian pra


operasi?
Tidak pada semua kasus! Pada keadaan kita ragu adanya hiperkapnia atau
hipoksemia sedangkan pemeriksaan spirometri tak bisa dilakukan maka
pemeriksaan gas darah arteri ini secara kuantitatif bisa memastikannya. Hiperkapnia
menandakan pasien risiko tinggi, tetapi dokter dapat dengan mudah mengenali
pasien ini berdasarkan gambaran penyakit paru obstruktif berat yang ditemukan
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Meskipun begitu, adanya hiperkapnia
bukanlah kontraindikasi absolut operasi. Hipoksemia tidak meningkatkan risiko
lebih dari risiko kondisidasarnya, contohnya PPOK. Jangan memeriksa pengukuran
gas darah arteri sebagai evaluasi rutin pra operasi.

Pemeriksaan lain apakah yang membantu memperkirakan risiko komplikasi


pulmonar?
Pemeriksaan albumin serum merupakan salah satu prediktor laboratorium yang
penting untuk menentukan risiko komplikasi pulmonar, Kadar albumin serum <3
gm/dl meningkatkan risiko komplikasi pulmonar tiga hingga empat kali lipat;
risiko ini sebanding dengan risiko karena PPOK. Ukur albumin serum pada pasien
dengan penyakit kronik yang akan menjalani operasi besar. Nilai yang rendah
seharusnya menjadi faktor untuk pertimbangan ulang apakah operasi perlu
dilakukan atau tidak.

TATAI.AIGANA PERIOPE RATI F


Secara keseluruhan kita harus mengetahui riwayat penyakit pasien, melakukan
pemeriksaan fisik teliti sebelum memulai penilaian pre-operativ paru. Ada atau
Zulkifli Amin 35

tidaknya faktor risiko paru dan ditemukannya pemeriksaan yang mencurigakan


adanya penyakit dasar paru harus diutamakan. Kondisi fisik terakhir dan status
nutrisi pasien harus dinilai ulang untuk melihat adakah keadaan-keadaan yang
mempunyai efek buruk pada fungsi paru baik selama dan setelah operasi.
Bila pada pasien tidak ditemukan adanya faktor risiko dan pada
pemeriksaaan fisik juga didapatkan normal, maka tidak ada indikasi untuk lebih
lanjut mengevaluasi keadaan parunya.
Bila pada pasien ada faktor risiko atau ditemukannya adanya riwayat penyakit
sistim pernapasan sebelumnya yang didapat dari anamnesa atau pemeriksaan
fisik, maka evaluasi diagnostik lebih lanjut dianjurkan. Secara umum, foto
rontgen dada dan spirometri cukup dapat menggambarkan keadaan kelainan dari
paru. Pemeriksaan analisa gas arteri darah abnormal bisa memperjelas tingkat
disfungsi pernapasan dasar. Jika dengan pemeriksaan-pemeriksaan tersebut tidak
menunjukkan adanya kelainan penyakit paru yang signifikan, maka tidak diperlukan
evaluasi lebih lanjut sebelum operasi.
Bila ditemukan adanya faktor risiko atau ditemukan adanya disfungsi paru
yang berpotensi buruk terhadap risiko operasi, maka semua potensi yang akan
terjadi sebagai risiko operasi dan dalam harus dievaluasi. lnformasi yang diberikan
harus diperhatikan oleh dokter bedah dan anestesi. Pada pasien tertentu,
penundaan operasi (apabila dimungkinkan) untuk optimalisasi pada keadaan paru
pasien dapat saja menguntungkan. Prosedur alternatif harus dipilih pada pasien
tertentu untuk meminimalkan efek buruk pada paru. Misalnya, pada pasien dengan
risiko tinggi, anestesi regional atau lokal lebih dianjurkan daripada anestesi umum,
begitu pula pertimbangan penentuan jenis, lokasi insisi dan durasi operasi.
Anestesiologist harus waspada terhadap derajat penyakit paru yang mendasarinya
yang mungkin dapat mengubah penatalaksanaan. Lebih lanjut, diperlukan juga
konsultasi pra-operasi antara spesialis bedah dan spesialis anestesi untuk
merencanakan tatalaksana sesudah operasi sebagai antisipasi kemungkinan
adanya komplikasi pulmonar.
Bila memungkinkan, diperlukan upaya untuk meminimalkan faktor risiko.
Kebiasan merokok harus dihentikan delapan minggu sebelumnya (atau lebih lama
lagi). Pada pasien gemuk, dilakukan konsultasi untuk mengurangi berat badan,
dan pasien dengan riwayat klinis yang mendukung munculnya gangguan sindrom
obstruksi "sleep apnea" atau "sindrom obesity hypoventilation" maka perlu evaluasi
lanjut dengan pemeriksaan analisa gas darah dan polysomnography.
Tujuan tatalaksana perioperatif adalah untuk menurunkan kemungkinan
komplikasi paru pasca operasi. Berhenti merokok minimal 8 minggu sebelum
operasi secara bermakna menurunkan insiden komplikasi paru pasca operasi
pada pasien-pasien yang menjalani operasi bypass arteri koroner. Spirometri insentif
telah terbukti menurunkan insiden atelektasis pasca operasi dan pada sebuah
studi menurunkan lama perawatan di rumah sakit pada pasien yang menjalani
36 Evaluasi dan Tata Laksana Perioperatif Paru

operasi abdominal atas jika digunakan minimal 15 menit selama 4 kali perhari.
Latihan pernapasan dengan pursed lips, huffing dan batuk tiap jam menurunkan
insiden pneumonia setelah operasi abdomen. Pemeriksaan ini efektif apabila
dimulai sebelum operasi dan dilanjutkan sampai 1-4 hari pasca operasi.
Prophylactic continous positive airway pressure (CAPP) dan intermittent positive
pressure breathing (PPB) tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan
spirometri insentif dalam menurunkan komplikasi paru pasca operasi. Biaya yang
lebih mahal pada dua prosedur terakhir menyebabkan tidak dianjurkan untuk
dilakukan rutin.
Ada laporan bahwa menggunakan analgesia epidural pasca operasi untuk
meningkatkan kontrol nyeri, sehingga gerakan diafragma tak terganggu dan hal
ini akan mengurangi komplikasi paru. Hampir semua studi menunjukkan bahwa
opioid epidural pasca operasi dan anestesi lokal merupakan kontrol nyeri yang
sangat baik tapi tidak menurunkan angka komplikasi pasca operasi.
Terdapat beberapa bukti bahwa insiden komplikasi paru pasca operasi pada
pasien PPOK atau asma dapat diturunkan dengan optimalisasi fungsi paru sebelum
operasi. Pasien dengan mengi akan memperoleh keuntungan dengan pemberian
pre operasi bronkodilator dan pada kasus tertentu kortikosteroid. Antibiotik
diberikan pada pasien yang batuk dengan sputum purulen sampai sputum bersih
sebelum operasi. Pasien yang telah mendapatkan teofilin oral, diberikan teofilin
intra vena selama dan setelah operasi jika perlu. Pasien dengan tanda infeksi
sistim pernapasannya pada operasi elektif harus diatasi dulu sampai optimal
infeksi tersebut, barulah dioperasi.

Faktor risiko Rekomendasi tatalaksana

1. Merokok Hentikan rokok minimal I minggu atau segera sebelum operasi'


2. Obesitas Turunkan berat badan sebelum prosedur. Evaluasi adanya
Obstruksi sleep apnea atau obesify hypoventilasi sindrcme. lnstruksi
manuver ekspansi paru setelah operasi.
3. Asma Hindari faktor pencetus yang menimbulkan serangan' Gunakan secara
maksimal bronkodilator inhalasi dan steriod. Pertimbangkan Steroid lV pada
preoperatif. Sesuaikan titrasi teofilin dan sesuaikan dosis aminofilin dengan
keadaan.
4. PPOK Agre$if bronkodilator untuk maksimalkan status respiratori sebelum operasi.
Kernudian diberi antibiotik untuk bronkitis. Pertimbangkan pemberiar st'eroid.
Pemberian aminofilin pre opreatif dan penyesuaikan dosis teofifin
disesuaikan dengan keadaan. Jika terdapat infeksi pernapaean, tunda
operasi dan obati dengan antibiotik jika diperlukan.

Strategi pasca operasi apa apakah yang diperlukan untuk menurunkan


risiko komplikasi pulmonal?
Zulkifli Amin 37

Strategi Keterangan
Latihan napas dalam Mengurangi risiko hingga 50%. Ajari sebelum dilakukannya
operasi J

lnsentif Spirometri Mengurangi risiko hingga 507o. Tidak ada pengurangan


risiko lebih lanjut bila dikombinasikan dengan latihan napas
dalam
Continuous po$itive airway Digunakan untuk pasien yang tidak bisa melakukan napas
pressu/e dalam atau spirometri pendorong. Mengakibatkan risiko
kecil barotrauma dan memerlukan pengawasan lebih
Analgesi Epidural Menurunkan risiko setelah operasi toraks, abdornen atas
dan operasi aorta.
Dekompresi nasogastrik selektif Penggunaan selektif dekompresi nasogastrik setelah
operasi abdomen berdasarkan gejata atau adanya
kembung menurunkan risiko komplikasi paru.

TATALAIGANA PASCA OPE RASI


Beberapa intervensi profilaksis telah dikembangkan untuk penggunaan pada
periode pasca operasi yang berguna untuk menurunkan kejadian komplikasi paru
pasca operasi. Hal tersebut harus dipandang sebagai kelanjutan langsung dari
usaha preoperatif untuk menghindari masalah paru. Usaha-usaha preventif harus
direncanakan sesuai dengan profil faktor risiko pasien sebelum operasi dan
diterapkan secara agresif selama periode pasca operasi. Walaupun pada pasien
dengan risiko rendah, intervensi preventif yang rutin seperti mobilisasi awal dan
profilaksis untuk trombosis vena dalam tidak boleh dilupakan.

Manuver pengembangan paru


Tujuan manuver pengembangan paru ialah untuk meningkatkan kapasitas residual
fungsional dan menstimulasi refleks diafragma yang terhambat, dengan itu
menurunkan kejadian atelektasis dan mempercepat kembalinya dinamika paru
yang normal. Manuver ini memperbaiki mekanisme pulmonal pasca operasi dan
bukti ilmiah menunjukkkan bahwa penggunaannya pada pasien dengan risiko
tinggi dapat menurunkan kejadian komplikasi paru. Beberapa cara pengembangan
paru dengan berbagai kompleksitas dan biaya telah tersedia.
Latihan napas dalam adalah manuver yang terprogram yang dilakukan
secara periodik oleh pasien. Walaupun beberapa protokol telah tersedia,
kebanyakan meliputi inhalasi menuju kapasitas paru total dalam jadwal yang
ditentukan. Penggunaan yang efektif membutuhkan pasien yang kooperatif dan
penuh motivasi yang secara seksama diberi petunjuk dan diawasi saat melakukan
latihan, digabung dengan pemberian semangat dan penilaian kepatuhan pasca
operasi.
38 Evaluasi dan Tata Laksana Perioperatif Paru

Spirometri insentif mendorong pasien untuk melakukan aktivitas


pengembangan paru yang mirip dengan latihan napas dalam, tapi menggunakan
spirometer yang tidak mahal, dapat dibawa dan disposibel. Hal ini memberi
keuntungan yaitu umpan balik secara langsung pada pasien mengenai cukup
tidaknya usaha pasien serta merupakan suatu pengingat secara visual yang dapat
mendorong penggunaannya.
lntermitten Positive Pressure Breathing (IPPB) membantu pengembangan
paru dengan cara menghantarkan tekanan positif melalui sungkup wajah ke jalan
napas selama usaha inspirasi dan diberikan secara periodik selama periode pasca
operasi. Metode ini memerlukan peralatan khusus dan petugas yang terlatih,
dapat menyebabkan distensi perut dan secara nyata lebih mahal daripada latihan
napas dalam maupun spirometri insentif. Karena itu akhir-akhir ini penggunannya
berkurang. Tapi masih mempunyai peran yang potensial terutama pada pasien
yang secara fisik tidak dapat melakukan manuver pengembangan paru sendiri
misalnya pada pasien dengan kelainan tulang yang berat atau pasien dengan
gangguan kesadaran.
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) akhir-akhir ini juga telah
diaplikasikan sebagai sebuah metode pengembangan paru pasca operasi. Tekanan
menetap yang telah ditentukan diberikan bersama udara yang dihirup melalui
sungkup wajah. Hal ini dapat meningkatkan volume paru secara cepat setelah
operasi dibandingkan dengan manuver-manuver volunter, dan dapat membantu
oksigenasi dan pengeluaran karbondioksida. Tapi keefektifannya dalam mencegah
komplikasi pasca operasi masih harus dinilai lagi. Serupa dengan IPPB, CPAP
juga memerlukan peralatan khusus dan petugas yang terlatih karena itu lebih
rumit dan relatif lebih mal dibandingkan cara lain.
Beberapa studi telah membandingkan efektivitas manuver-manuver
pengembangan paru yang tersedia. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada satu
metode yang lebih superior untuk memperbaiki hasil secara klinis. Pengembangan
paru dapat dicapai secara efektif melalui berbagai cara. Karena itu, pilihan metode
harus berdasarkan kebutuhan pasien secara individual dan ketersediaan sumber
daya.
Manuver pengembangan paru tampaknya lebih efektif bila diajarkan dan dilatih
pre operasi saat pasien sadar dan tidak dalam keadaan nyeri. Walaupun data
mengenai frekuensi yang ideal serta lamanya tatalaksana pasca operasi masih
kurang, tapi cukup beralasan untuk melanjutkan manuver pengembangan paru
sekurangnya 3 sampai 4 hari setelah operasi dengan risiko tinggi atau sampai
mobilisasi penuh dan sampai kembalinya status klinis pasien seperti sebelumnya.

Batuk
Batuk ialah suatu manuver ekspirasi yang tidak secara langsung mengembangkan
volume paru, tapi dapat membantu pengeluaran sekret dan menstimulasi
Zulkifli Amin 39

diafragma. Sebagai tambahan, napas dalam sebelum batuk dapat menyebabkan


pengembangan paru yang bermakna. Manuver batuk sering digabungkan dengan
latihan napas dalam untuk meningkatkan pengeluaran sekret bersamaan dengan
pengembangan paru. Batuk yang lebih efektif dapat dibantu dengan pengendalian
nyeri yang cukup dan penyanggahan lokasi operasi.

Mobilisasi awal
Posisi berbaring berhubungan dengan volume paru yang lebih sedikit, yang dapat
diperbaiki dengan posisi tegak misalnya duduk atau berdiri. Karena itu posisi
tegak dan mobilisasi awaltamapaknya membantu pengembangan paru, walaupun
efek langsung dalam mencegah kompilkasi paru belum banyak diteliti. Cukup
masuk akal untuk mencoba posisi berdiri dan mobilisasi secepat mungkin setelah
operasi, terutama pada pasien yang berisiko terhadap komplikasi paru.

Pengurangan nyeri
Banyak usaha dilakukan untuk mengontrol nyeri pasca operasi. Banyak pilihan
yang tersedia, termasuk dosis bolus analgesik secara periodik, analgesik yang
dikontrol pasien dengan atau tanpa infus obat nyeri secara kontinyu, analgesik
epidural yang dapat diberikan secara bolus atau infus kontinyu.
Analgesik epidural memberikan kontrol nyeri pasca operasi yang lebih baik
dibanding dengan analgesik sistemik, dan dapat berpotensi menurunkan komplikasi
pasca operasi melalui berbagai mekanisme misalnya menghilangkan nyeri lebih baik,
perbaikan dinamika paru, dan menurunkan beratnya hipoksia pasca operasi. Yang
menarik, data terakhir menunjukkan kemampuan analgesik epidural pasca operasi
untuk menurunkan komplikasi paru setara dengan analgesik jenis lain, walaupun
diduga ada beberapa keuntungan pada pasien risiko tinggi.31 Dari perspektif paru,
kontrol nyeri yang ideal memungkinkan pasien untuk terlibat secara agresif dalam
aktivitas pengembangan paru, batuk dan mobilisasi awal tanpa menekan dorongan
napas dan mekanisme refleks protektif seperti batuk dan muntah. Perhatian secara
individual terhadap penanganan nyeri dapat meningkatkan efektivitas usaha-usaha
lain untuk mencegah komplikasi pasca operasi.

PROFILAIGIS UNTKTROII{BOEM BO|J VEI{A

Perhatian yang lebih harus ditujukan pada profilaksis terhadap trombosis vena
dalam dan emboli paru pada semua pasien bedah, terutama pada pasien dengan
risiko tinggi terhadap kompilkasi ini (misalnya operasi pelvis atau ortopedik) yang
sebelumnya dianggap sebagai risiko rendah untuk komplikasi paru.
40 Evaluasi dan Tata Laksana Perioperatif Paru

KESIMTIAN
ldentifikasi pasien-pasien dengan peningkatan risiko paru sebelum operasi
memegang peranan kunci dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas bedah.
Penilaian klinis yang baik terhadap faktor risiko serta fungsi paru, penggunaan tes
yang tepat dan perencanaan yang komprehensif terhadap perawatan paru perioperatif
akan menurunkan kemungkinan komplikasi paru selama dan sesudah operasi.

Kiat penting: Evaluasi Paru Pra Operasi


1. Semua pasien yang akan menjalankan pembedahan paru dan non paru
memerlukan evaluasi paru pre-operatif, termasuk penilaian faktor risiko terkait-
pasien dan terkait-prosedur
2. Risiko pneumonia pasca operasi dan gagal napas dapat ditentukan dan
indeks komplikasi paru berguna dalam strategi menurunkan risiko komplikasi
pasca operasi
3. Strategi untuk menurunkan komplikasi paru di antaranya latihan napas dalam,
insentif spirometri, continuous positive airvvay pressure, analgesi epidural
dan dekompresi nasogastrik selektif.

REFERE\EI

1. Adler JS dan Goldman L. Preoperative evaluation. ln: Tierney LM, McPhee SJ,Papadakis MA
eds. Cunent diagnosis and treatment. 41 't ed. New York: Lange Medica; 2003. p. 93- 11 0. New
York: McGraw &Hill; 2002. p. 33-45.
2. Arozullah AM, Daley J, Henderson WG, Khuri SF. Multifactorial risk index for predicting
postoperative respiratory failure after major noncardiac surgery. Ann Surg. 2000;232:242-53.
3. Arozullah AM, KhuriSF, Henderson WG, et al. Development and validation of a multifactorial risk
index for predicting postoperative pneumonia after major noncardiac surgery. Ann lntern Med.
2001;'135:847-57.
4. Lawrence VA, Cornell JE, Smetana GW. Strategies to reduce postoperative pulmonary
complications after noncardiothoracic surgery: Systematic review for the American College of
Physicians. Ann lntern Med. 2006;144:596-608.
5. Masters PA, Gleeson K. Preoperative pulmonary evaluation. ln: Gross RJ, Capato GM, Kamerer,
Gross Medical Consultations, eds. 3d ed. Baltimore: William & Wilkins; 1998.
6. Smetana GW. Preoperative pulmonary evaluation. N Engl J Med. 1999;340:937-44.
7. Smetana. GW, Lawrence VA, Cornell JE. Preoperative pulmonary risk stratification for
non-cardiothoracic surgery: Systematic review for the American College of Physicians. Ann
lntern Med. 2006;1 44:596-608.
4L

2.4 Penllalan Perloperailf Rlslf,o


Perdarahan dan Trombosls
Cosphiadilrawan

ntuk dapat memberikan penilaian dan keputusan yang tepat terkait dengan
judul di atas, maka memahami fisiologi dasar hemostasis merupakan hal
yang penting karena beberapa alasan, antara lain adalah :
1. Memberi kemampuan kepada kita untuk menginterpretasi hasil laboratorium
yang baku dan bahkan yang baru
2- Mampu menganalisis secara komprehensif proses alamiah yang kompleks
dari hampir semua penyakit trombo-hemorargik
3. Dapat memahami cara bekerja obat obatan hemostatik/ anti koagulan dan
trombotik; serta bahkan terapi baru targeted therapy.

Hemostasis sendiri melibatkan 5 komponen yang berinteraksi secara


seimbang dan sama pentingnya; yang terdiri atas hemostasis primer dan sekunder.
Hemostasis primer terdiri atas pembuluh darah dan trombosit. Hemostasis
sekunder adalah: protein protein faktor koagulasi darah, antikoagulan dan
fibrinolisis. interaksi faktor faktor tersebut secara seimbang membentuk sistem
yang bertujuan mempertahankan darah tetap mengalir di dalam pembuluh darah
dengan lahcar.
Selanjutnya akan dibahas secara singkat mekanisme normal hemostasis
dan dilanjutkan berbagai penilaian laboratorium terkait dengan kemungkinan
ditemuinya tiga jenis pasien yang kita hadapi dalam praktek sehari hari sehubungan
perioperatif non jantung. Ketiga jenis pasien tersebut adalah:
1. Pasien normal tanpa riwayat kelainan pembekuan darah
2. Pasien dengan riwayat dan/atau penyakit (liver, disfungsi ginjal, kanker,
sepsis, dll) yang berpotensi mengganggu sistim hemostasis atau dengan
kelainan bawaan
42 Penilaian Perioperatif Risiko Perdarahan dan Trombosis

3. Pasien dengan pemakaian obat obatan anti koagulan dan/anti trombotik

Kondisi lain yang harus dipikirkan adalah lama dan jenis operasi yang harus
dilalui pasien, kita mungkin berhadapan tidak saja dengan operasi elektif/
terencana, namun juga operasi emergensi/ penyelamatan hidup, memerlukan
persiapan yang intensif dengan memantau parameter hemostasis (terutama untuk
jenis pasien ad. 2 dan 3) guna mendapatkan hasil terbaik. Sedangkan untuk ad.
'l bila tak ada kondisi khusus (misal: perdarahan iatrogenik) biasanya tak
memerlukan penanganan khusus, kecuali pencegahan terhadap risiko trombosis.
Pertanyaannya adalah: Pasien mana yang berisiko tinggi terjadi perdarahan atau
venous-tromboemboli (VTE) perioperatif ?

M EKANISM E H EMOSTASIS NORMAL PADA SAAT PERDARAHAN

1. Vasokonstriksi otot polos pembuluh darah (PD)


Arteri atau vena merupakan reaksi awal pada waktu terjadi lesi/trauma pada
PD. Belum jelas benar mekanisme pasti terjadinya kontraksi tersebut,
beberapa peneliti menyebutkan terdapat zat vasokonstriktor antara lain :
a. Trombosit yang teraktifasi: mengeluarkan serotonin (5-hidroksi
tryptamin), thromboxane -A2 (TXA2)
b. Dinding endotel PD mampu memproduksi endotelin (vasokonstriktor
poten )
c. FXll teraktivasi (faktor Hageman) merangsang produksi bradikinin
d. Fibrinopeptide B yang dikeluarkan pada waktu aktivasi trombin
merangsang secara langsung dan tak langsung. Endotel PD memiliki
peran aktif di setiap fase hemostasis dengan: mengontrol tonus PD,
aktivasi trombosit (adhesif dan agregasi) dan produksi platelets acti-
vating factor (PAF), pembentukkan dan pencairan bekuan darah;
memproduksi vasodilator poten seperti: endothelium derived relaxing
factors (EDRF, NO), prostasiklin/ PGl2. Beberapa antikoagulan seperti:
heparin like glikosaminoglicans (GAGs) dan trombomodulin. Juga
membentuk penghambat aktifator pembekuan ekstrinsik (TFPI) dan
aktivator plasminogen (t-PA) maupun plasminogen aktivator inhibitor-1
(PAl-1 ) serta memodulasi fibrinolisis.

2. Trombosit
Trombosit akan teraktifasi secara kompleks dan sistimatis bila terjaditraumai
lesi pada sel endotel PD, dimana proses adhesif-aktifasi-perubahan bentuk
dan sekresi "granules" adalah bagian dari proses pembentukan sumbat
hemostatik lokal
Cosphiadi Irawan 43

3. Sistem prokoagulasi
Sistem prokoagulasi yang terdiri atas serine protease dan kofaktornya akan
berinteraksi dengan permukaan fospolipid endotel PD dan trombosit yang
rusak untuk membentuk sumbat fibrin yang stabil melalui jalur intrinsik -
ekstrinsik dan jalur bersama.

RISIKOPERDAMHAN
Untuk dapat menyaring pasien dengan predisposisi terjadi perdarahan, terutama
yang tanpa/silent riwayal perdarahan bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu
anamnesis yang cermat meliputi riwayat perdarahan pasca operasi sebelumnya/
ekstraksi gigi, mudah kebiruan di kulit, perdarahan gusi, riwayat haid, riwayat
keluarga dengan perdarahan, riwayat pemakaian obat obatan, terutama aspirin
dan NSAID, warfarin merupakan hal yang vital dan mutlak dilakukan guna
mengarahkan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. lnformasi pemeriksaan fisik
yang mencermati kemungkinan kelainan hati kronik, keganasan, organomegali,
perdarahan bawah kulit akan sangat membantu penilaian tingkat risiko terjadinya
perdarahan.
Prosedur operasi risiko rendah pada pasien "normal" disepakati tak
memerlukan pemeriksaan tes fungsi koagulasi; namun prosedur operasi risiko
menengah dan tinggi memerlukan evaluasi PT (protrombin time), aPTT

Obat:
Asidum salicylicum
Warfarin
Heparin , terutama LtvlVVH
NSAID
Gangguan didapat:
Defisiensi vit K
Distungsi hati
Penyakit ginjal
Sepsis
Syok
lromoosrtopenla
Kehilangan darah masif
Dtc
Bawaan:
Gangguan fungsi dan jumlah trombosit
Penyakit von Willebarand
Defisiensi faktor pembekuan ( misal: hemophilia, defisiensi FXlll )
Dikutip dari: MBC Koh, Beverley JH. Blood Review,17(2003) 179-185
M Penilaian Perioperatif Risiko Perdarahan dan Trombosis

(activated partial thromboplastin time) dan hitung trombosit. Pasien dengan


kecurigaan adanya "defek" pembekuan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut faktor
pembekuan (misal : FVlll, FlX, von Willebrand ) waktu perdarahan, dan sebaiknya
dikonsulkan pada hematologi.
Pada pasien normal, konsumsi faktor koagulasi dan trombosit serta faktor
antikoagulan fisiologis; memang meningkat pada perdarahan operasi dan/atau
hemodilusi karena infus kristaloid, namun jarang mengakibatkan perubahan yang
bermakna untuk menyebabkan perdarahan. Operasi yang moderat sampai
ekstensif seperti: perbaikan aneurisma abdomen dan "total hip replacement';
penurunan trombosit, FVlll, vWF, ATlll, dan protein C, sering ditemui. Secara
fisiologis reaksi fase akut intra operatif akan merangsang produksi faktor faktor
di atas. Sedangkan transfusi darah secara masif jarang menyebabkan perdarahan,
tetapi dapat berperan dalam menyebabkan abnormalitas hemostasis yang lain.

PREDIIGIPERDARAHAN

Peran evaluasi rutin PT, aPTT, hitung trombosit dan masa perdarahan untuk
memprediksi risiko perdarahan di hampir semua Institusi kesehatan ternyata tak
sepenuhnya memuaskan; suatu meta analisis 50 penelitian yang melibatkan
pencegahan DVT dengan heparin dan plasebo, ternyata 7486 kasus plasebo 3,3
% mengalami perdarahan yang berlebihan di mana 0,1% meninggal
karenanya.(A).Beberapa pemeriksaan yang belum sepenuhnya mampu laksana
di negara kita adalah PFA100 (platelets function analyser)yang melihat kapasitas
adhesi dan agregasi trombosit dalam whole blood yang mengalir, juga belum
menunjukkan korelasi yang bermakna antara nilai PFA dengan jumlah perdarahan
intra dan pasca operasi pada kasus jantung.
Thrombelastoghraphy menunjukkan nilai prediksi yang lebih baik, dimana
pada kasus operasi jantung nilai prediktif negatif mencapai >80o/oi terutama bila
digabung dengan PFA100. Berdasarkan beberapa penelitian besar; seperti yang
telah disampaikan diatas, cara terbaik untuk memprediksi kemungkinan perdarahan
adalah :
anamnesis yang adekuat dan pemeriksaan fisik yang cermat. Cara ini
mampu memperlihatkan pasien dengan riwayat perdarahan, akan lebih mengalami
perdarahan durante-posf operasi dibandingkan pasien tanpa riwayat perdarahan.
Kelemahan teknik ini akan meningkat (misleading) terutama pada pasien yang
belum pernah terpajan trauma atau operasi sebelumnya dan/atau bila interviewer
gagal menanyakan pertanyaan yang tepat (miscommunication). Selanjutnya akan
dibahas patok baku yang luas dipakai PT dan aPTT; nilai PT memanjang
menunjukkan kelainan kaskade ekstrinsik ( diawali "tissue fakto/') : yang melibatkan
Fll, FV, FVll atau defisiensi fibrinogen. Kemungkinan kausa adalah: APS,
kekurangan vitamin K, gangguan fungsi hati, defisiensi fibrinogen atau DIC; bila
semua faktor di atas normal juga masih mungkin artefak lab. Nilai aPTT
Cosphiadi Irawan 45

memanjang menunjukkan kelainan pada jalur intrinsik (dimulai dari kontak


1611ep+FXll) yang melibatkan:FVlll, FlX, FX, FXl, FXll atau defisiensi fibrino'
gen. Kemungkinan kausa adalah: heparin, DlC, hemophilia/defiensi faktor intrinsik
atau hiperfibrinolisis. (Gambar 1)

( Dikutip dari: Bombeli lspahn DR. Br J Anaesth 2004;93 :275-87 )

Gambar l.Algoritme Pendekatan Kausa Gangguan Hemostasis

Transfusi komponen darah


Pembahasan tentang transfusi darah untuk mengkoreksi Hb adalah diluar cakupan
pembahasan kali ini; selanjutnya dibahas peranan transfusi komponen darah untuk
menurunkan risiko perdarahan perioperatif. Berdasarkan patokan UK Blood
Transfusion Seryices :transfusi darah meliputi: 1. Trombosit 2. FFP (fresh
frozen plasma ) 3.Cryoprecipitate;
a. Tingkat trombosit dipertahankan di atas 50-100 x 10e9 dengan transfusi
trombosit
b. PT / aPTT yang memanjang tanpa pemakaian heparin harus dipertahankan
di bawah 1,5 nilai normal, dengan transfusi FFP
c. Fibrinogen harus dipertahankan di atas 0,8 - 1,0 g/dl dengan
cryoprecipitate

Setelah mengetahui kelainan hemostasis berdasarkan pendekatan di atas,


tabel berikut memperlihatkan ringkasan terapi yang perlu dilakukan.
Penapisan rutin kelainan hemostasis pada pasien tanpa riwayat perdarahan
dan pemeriksaan fisik normal biasanya tidak bermanfaat, ini karena baik : masa
perdarahan, PT dan aPTT tidaklah bersifat prediktif untuk perdarahan tak terduga
pada peri dan post operatif.
46 Penilaian Perioperatif Risiko Perdarahan dan Trombosis

Kelainan Terapi
Defisiensi beratlaktor pembekuan (mis: Konsdntrat faktor pembekuan
vfl,tx,x ) DDAVP
HemoShilia A ringan
Fenyakit'Von rWifiabraild : DOAVP
Tipe,,l,' Konsentrat faklor pembekuan
Tiper ll, Ill FaKor pembekuan dan / atau tranexena*ric
Afi brinogenemia / disfibrinogenemia acid
Trombositopenia Perdarahan tak lazim terjadi

Mungkin perlu trombosit


Indikasi transfusi trombosit
Penyakit hati: PT > 3 detik dari kontrol FFP
Disfungsi trombosit
H€raditer,r: defuk sekresi BDAVP
defek reseptor Transfusi trornbosit
Didapa! (Masa perdarahan >15 meniUclanaman
like defects)
Fenlqkitr mieloprol iferatif Transfusi trombosit
Parapmtein' Plasmapharesis; transfusi Trom.
Penyakit ginjal Dialisa; DDAV
Dikutip dari: R Baker. Transfusion and Apharesis Science 27 (2002) 45-53

Obat obat hemostatik


1. Aprotinin, merupakan serine protease bovine yang berfungsi sebagai
inhibitor plasmin (anti fibrinolitik); pada dosis tinggi ( 200ktU/ml) akan
menghambat serine protease lain seperti kallikrein sehingga mereduksi
fibrinolisis akibat aktifasi "faktor kontak " dan bradikinin. Beberapa pemakain
klinis ditujukan terutama untuk operasi jantung, bypass kardiopulmoner dan
transplantasi hati, dapat menurunkan jumlah perdarahan dan kebutuhan darah.
Karena berasal dari sapi maka risiko alergi meningkat pada pemakaian
berulang.
2. Analog Iisin : Episolon amino caproic acid (EACA) dan tranexenamic acid,
keduanya merupakan kompetitif inhibitor terikatnya plasmin pada fibrin.
Penelitian tranexenamic acid lebih luas dilakukan pada operasi jantung
dibanding EACA. Dosis kontinu 10 mg/kg selama 30 menit dilanjutkan dengan
1 mg /kg selama 10 jam, dapat menurunkan kebutuhan darah. Efek
antiplasminnya diketahui tidak sekuat aprotinin, namun harganya lebih murah
dan risiko merangsang reaksi imun yang lebih rendah.
3. Desmopressin (DDAVP), adalah sintetik analog vasopresin yang relatif tanpa
aktivitas vasokonstriktor, la meningkatkan konsentrasi plasma dan aktivitas
vWF terutama dengan merangsang pelepasan vWF endotel pD dan
meningkatkan fungsi trombosit. Efikasinya terutama pada kasus penyakit
vWF dan kelainan fungsional trombosit , termasuk terapi karena aspirin.
Cosphiadi'Irawan 47

4. Rekombinan faktor VllA (rFVllA), menunjukkan aktivitas terutama pada kasus


hemophilia berat dengan inhibitor
5. Agen topikal: fibrin glues, terdiri dari trombin yang ditambahkan pada
fibrinogen konsentrat dan calsium. Efektif terutama pada perdarahan pada
jahitan dengan aliran darah yang rendah. Belum ada bukti medis yang kuat
terhadap pemakaiannya

RISIKOTROMBOSIS

Peningkatan risiko trombosis perioperatif dipengaruhi oleh exposing factor (faklor-


faktor yang akan dan sedang dialami pasien: jenis operasi, infeksi, imobilisasi)
dan predisposing factor (faktor faktor yang ada dipasien: HT, NIDDM,
hyperkoagulasi , etc). Untuk itu kajian tentang faktor risiko venous-tromboemboli
(TE) perioperatif akan dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas;
terutama pasien dengan risiko sedang sampai tinggi.
Secara praktis dalam kerja sehari hari formula Bicks dapat digunakan untuk
menentukan posisi pasien dengan operasi mayor terhadap risiko kejadian WE
berdasarkan faktor terpajan dan predisposisi (Gambar 2); kriteria ini selanjutnya
dapat merujuk kesepakatan ACCP 7 yang menetapkan : 1. Pasien dengan risiko
sedang perlu dipertimbangkan pemakaian antikoagulan sebagai pencegahan primer
atau sekunder 2. Pasien dengan risiko tinggi terapi anti koagulan perlu diberikan.
Sridhar et al memberikan kriteria untuk pasien risiko rendah dan tinggi untuk
pengunaan antikoagulan perioperatif. (Tabel 4)

Pasien dengan pemakaian antikoagulan kronik dan Bridges Therapy.


1. Operasi minor dengan risiko perdarahan minimal oral antikoagulan dapat
di lanjutkan dengan rentang INR 1,5 - 1,8. Termasuk disini adalah eksisi
lesi kulit, biopsi SSTL, operasi katarak dan prosedur dimana perdarahan
dapat diatasi dengan tindakan lokal

Umur Faktor,risiko yanq daoat dimodifikasi


RiwayatWE Gaya hidup ( diet, lingkungan )
Kanker aktr'f Merokok
Trauma Obesitas
Operasi mayor Tingkat latihan/aktivitas
Penyakit akut dan kronik dengan "bedrest" lama Obat obatan :
CVP Kemoterapi
Gagal jantung Estrogen eksogen
Kehamilan Terapi sulih hormon, Tamoxifen dll
"Bulky"Lymphadenopati dengan kompresi vaskular Thalidomide / lenalidomide
48 Penilaian Perioperatif Risiko Perdarahan dan Trombosis

Tingkat Risiko DVT % DVT% PE% PEYO


Calf Prox. Clinical Fatal
Risiko rendah 2 0,4 0,2 < 0,01
Op. minor, <40 th,risiko lain (-)
Risiko menengah 10-20 2-4 1-2 0,1-0,4
- Op. minor, risiko lain(+)
- Umur 40-60 th, risiko lain (-)
Risiko tinggi 20-40 4-B 2-4 0,4-1,0
- Umur >60 th, atau 40-60 th dgn
risiko lain (+) ( Riw. WE,kanker,
hiperkoagulasi
Risiko tertinggi: 40-80 10* 20 4-10 0,2*5
Pasien risiko multipel (>40 th,
kanker, riw. WE; Op. athroplasti
pinggul / lutut,HFS, Trauma mayor/
med. Spinalis

Dikutip dari ACCP Vll

l
l

EXPOSTNG RtSK(S): l

HIPIKNEE ARTHSOPLASTY HIGH = 3


MAJOR SURGERY

SURGERY > 30 MIN.


AGE >40 MODERATE = 2
FEMORAL FMCTURE
IMMOBILIZING PIASTER CAST

OURGENY < 30 MIN.


TRAUMA / TI BIAL FRACTURE
AMBULATORY PLASTER CAST LOW = 1

ARTHROSCOPY

PREDI.SPOSING RISK(S} :

HI$TORY OF DVT / PE
AGE > TOYEARS 1-5
THROMtsOPHILIA'
OBESITY 1-0
MAJOR VARICOSITIES 0-5
ESTROGENS I HRT 0-5
CC PILLS 0-5
INFLAMMATION I INFECTION 0-5

: HEREtrTARY OR ACOIREP THROMBOPISILIA

Gambar 2. Skala risiko WE pada pasien dengan operasi mayor"

2. Operasi mayor, strategi terutama ditujukan untuk mencegah kejadian


tromboemboli (TE) Iebih dari pada perdarahan. Pasien dibagi dalam 2
kelompok kajian risiko terjadinya TE; Pasien dengan risiko rendah warfarin
dihentikan 5 hari sebelum operasi, tanpa antikoagulan pengganti. Pasien
dengan risiko tinggi harus menerima antikoagulan pengganti heparin atau
LMWH (Tabel 5)
Cosphiadi Irawan 49

Risiko Rendah Risiko Tinggi


-5 (pre op) Stop warfarin
4 Tanpa antikoagulan Stop warfarin
Ukur INR
Mulai UFH dosis penuh / LMWH
Diteruskan sampai hari -'t
-1 Stop LlvfWH min. 12jam preop.dan UFH
6 jam preop.
0 Hari operasi: Ukur lNR pagi operasi dan bila > 2,0 ; pilihan: tunda operasi, FFP
Mulai warfarin, bila intake Bila hemosta_sis slabif atau 6 jam post
pqroral memungkinkan dgn op. Mulai LMWH /UFH Bila INR >2,0
dosis preop. tunda heparin
Bila INR >1r,2 S dosis lebih
kecil
Dikutip dari Sridhar R, Grigg AP. Aust Prescr 2000;23:.13-6

KEIMruLAN
1. Pemahaman proses hemostasis normal mutlak diperlukan untuk memahami
kondisi klinis, hasil laboratorium dan terapi yang diperlukan pada kondisi
periopratif berisiko perdarahan dan WE
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, terbukti merupakan alat
yang mampu membedakan pasien mana yang "berisiko "perdarahan dan
memerlukan periksaan hemostasis lebih lanjut, dibandingkan bila hanya
mengandalkan masa perdarahan ,PT dan aPTT
3. Kajian faktor exposing (terpajan) dan predisposlng (faktor risiko) akan dapat
membedakan pasien mana berisiko ringan sedang dan berat terjadinya VTE;
serta yang memerlukan tatalaksana antikoagulan
4. Pasien risiko tinggiWE dan dalam pemakaian antikogulan kronik memerlukan
bridges therapy dengan UFH / LMWH

REERE\EI
1. O'Donnel M, Kearon M. Perioperative management of oral anticoagulation. Clin Geriatr Med.
2006;22:1 99-213.
2. Baker R.Pre-operative hemostatic assesment and management. Transfusion and Apheresis
Science. 2002;27 :45-53.
3. Bleeding Time and Bleeding: An Analysis of the Relationship of the Bleeding Time Test With
Parameters of Surglcal Bleeding. Blood. 1994;84:3363-70.
4. Sridhar R, Grigg AP. The perioperative management of anticoagulation. Aust Prescr. 2002;23:13-
6.
5. Eckman MH. Erban JK, Singh SK, Kao GS. Screening for the risk for bleeding and
thrombosis. Ann lntern Med. 2003;1 38:W1 5'W24.
50 Penilaian Perioperatif Risiko Perdarahan dan Trombosis

6. Bombeli T, Spahn R. Updates in perioperative coagulation; physiology and management of


thromboembolism and haemorrhage. Br J Anaesth. 2004;93:275-87 .
7. Hambleton J, Leung L, Levi M. Coagulation:consultative hemostasis. Hematology.2002: 335-52.
8. Abrams CS. Antithrombotic therapy problems and issues. Hematology. 2006:457-61 .

o Koh MBC, Hunt BJ. The management of perioperative bleeding. Blood Reviews .2003;17:179-
85,
10. Koscielny J, Ziemer S, Radtke H, Schmurtzler M, Pruss A, Sinh P, et al. A practical concept for
perioperative identification of patients with impaired primary hemostasis. Clin Apple
Thrombosis/Hemostasis. 2004; 1 0(3) : 1 95-204.
11. Bates S, Weitz Jl. Coagulation assays. Ci rculation. 2005; 1 1 2:e53-e60.
51

2.5 Pencegalan Trombosls Vena llalam


Ikhwan Rinaldi

didalamnya trombosis vena dalam (terutama


fromboemboli vena, termasuk
I ekstremitas bawah) dan emboli paru, merupakan komplikasi pasca operasi
yang sering terjadi. Komplikasi ini tergantung pada kondisi klinik (risiko pajanan
atau risiko terkait situasi) dan faktor penyakit yang mendasari (faktor predisposisi
atau risiko terkait pasien), termasuk faktor risiko klinik atau kelainan biokimia
yang memicu trombofilia. lnsiden trombosis vena dalam pasca operasi tergantung
pada faktor-faktor yang berhubungan dengan prosedur operasi itu sendiri termasuk
tipe dan lokasi operasi, lama operasi, jenis anestesi, dan derajat imobilisasi pasca
operasi.
Operasi ortopedi mayor, operasi saraf elektif, operasi kanker dan trauma
multipel berisiko tinggi untuk terjadi tromboemboli vena. lnsiden trombosis vena
dalam pada operasi ortopedi adalah 60%. lnsiden trombosis vena dalam lebih
sedikit pada operasi abdomen (260/0), saraf (22%) dan ginekologi (14%). Satu
persen kematian di rumah sakit adalah akibat emboli paru, baik karena perawatan
di rumah sakit maupun karena prosedur operasi.
Kejadian tromboemboli vena (trombosis vena dalam dan emboli paru) dapat
dicegah. Pencegahan dapat dilakukan dengan cara mekanik maupun farmakologik.
Beberapa kelompok di dunia yang berminat dengan masalah tromboemboli vena
(trombosis vena dalam) telah mengeluarkan berbagai rekomendasi untuk
melakukan profilaksis terhadap pasien yang akan menjalani prosedur operasi
yang berisiko tinggi untuk terjadinya trombosis vena dalam. Hal ini memerlukan
pengetahuan yang baik mengenai patogenesis dan patofisiotogi terjadinya
tromboemboli vena (trombosis vena dalam).
52 Pencegahan Trombosis Vena Dalam

TROMBOSISVENA DAI.AM : PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Proses koagulasi meliputi beberapa tahap :


1. lnisiasi. Pada tahap ini, faktor jaringan yang terekspresi karena kerusakan
vaskular akan mengikat FVlla (yang bersirkulasi dalam jumlah sedikit), yang
kemudian memicu aktivasi FIX menjadi FlXa dan FX menjadi FXa. FXa
kemudian mengikat dengan amat cepat Fll, memproduksi sejumlah kecil
trombin (Flla). Pada reaksi yang lebih lambat, FlXa berikatan dengan dan
mengaktifkan FX menjadi FXa.
2. Amplifikasi. Karena trombin yang terbentuk masih terlalu sedikit untuk
mengaktifkan fibrinogen, maka ada mekanisme umpan balik. Pertama,
pembentukan FVlla ditingkatkan dengan adanya aktivasi FVll yang terikat
dengan faktor jaringan oleh FVlla, FlXa, FXa. Kemudian trombin mengaktikan
kofaktor non-ezimatik FV dan FVlll, yang mempercepat aktivasi Fll oleh FXa
dan aktivasi FXa oleh FlXa. Selanjutnya trombin juga mengaktifkan FXI
menjadi FXla, meningkatkan pembentukan FlXa.
3. Propagasi. Guna mempertahankan pembentukan trombin terus menerus,
memastikan pembentukan bekuan darah yang cukup banyak, sejumlah besar
FXa diproduksi oleh aktivasi FX oleh FlXa dan FVllla. FlXa terutama berasal
dari aktivasi FIX oleh kompleks FVlla/Faktor jaringan.
4. Stabilisasi. Pembentukan trombin maksimal terjadi setelah terbentuknya
fibrin monomer. Jika jumlah trombin mencukupi untuk mengaktivasi FXlll,
suatu transaglutaminase, trombin kemudian melakukan ikat silang dengan
fibrin monomer untuk menstabilkan jaringan fibrin. Disamping itu, trombin
kemudian mengaktifkan thrombin-activable-fibrinolysis-inhibitor (TAFI) yang
melindungi bekuan darah (klot) dari fibrinolisis.

Gambar 1. Tahap{ahap proses koagulasi


Ikhwan Rinaldi 53

Prosedur operasi selalu mengakibatkan ketidakseimbangan sistem


koagulasi, yang mengakibatkan kecenderungan terjadinya trombosis atau
perdarahan. Disamping intervensi operasinya sendiri, faktor risiko klinik termasuk
imobilisasi, infeksi, kanker dan obat-obatan, dan beberapa macam faktor
perioperatif lain yang ikut berinterferensi dengan sistem koagulasi seperti
hiptotermia, asidosis metabolik, pemberian cairan, dan sirkulasi ekstrakorporeal.
Beberapa jam pertama setelah operasi, akibat kerusakan jaringan endotel
(pertubasi) saat operasi, terjadi peningkatan faktor jaringan, activator plasmino-
gen jaringan, plasminogen activator inhibitor-1 (PAl-1) and vWF, yang
mengakibatkan keadaan hiperkoagulabilitas dan hipofibrinolisis, terbukti dengan
adanya peningkatan pembentukan petanda-petanda koagulasi seperti kompleks
trombin-antitrombin, fibrlnopeptida A dan banyak lagi yang lain. Kadar mediator
ini berfluktuasi dengan cepat dan derajat kerusakan endotel tidak hanya tergantung
pada jenis, berat dan lama operasi, tetapi juga waktu pengumpulan darah.

BU KII KLINIS TROM BOSIS VENA DAIAM

Operasi ortopedi merupakan faktor risiko tertinggi (Tabe! 1) untuk terjadinya


trombosis vena dalam dibandingkan dengan operasi ginekologi, saraf dan umum.
Dari studi prospektif yang dipublikasi sejak tahun 1980 didapatkan insiden
trombosis vena dalam berdasarkan hasil venografi pada pasien penggantian panggul
total (total hip replacement) yang tidak diberi profilaksis, berkisar antara 42-57%,
dengan trombosis vena dalam proksimal berkisar 18-36%. lnsiden emboli paru
yang fatal bervariasi antara 0,1-2%. Sedangkan pada operasi penggantian lutut
(total knee replacement), insiden trombosis vena dalam dan trombosis vena dalam
proksimal berkisar antara 41-85o/o dan 5-22o/o dengan insiden emboli paru fatal
antara 0,1-1,7%,

Kelompok pasien Prevalensi Trombosis Vena Dalam %


Pasien Medis 10-20
Operasi umum 1&40
Operasi ginekologi mayor 1540
Operasi urologi 1540
Operasi saraf 1s40
$trok 20-50
Artroplasti panggul atau lutut, operasi frakur 40-60
panggul
Trauma mayor 40-80
Trauma korda spinalis 60.80
Pasien perawatan kritis

*Didasarkan pada pemeriksaan DW pada pasien yang belum mendapat profilaksis


54 Pencegahan Trombosis Vena Dalam

Penggunaan antikoagulan profilaksis telah mengurangi insiden trombosis


vena dalam dan emboli paru. Douketis dkk menganalisa data dari empat studi
prospektif dengan mengkaji frekuensi trombosis vena dalam selama pada 6089
pasien yang menjalani operasi penggantian panggul (kira-kira 4500) dan
penggantian lutut (kira-kira '1500) dan menerima antikoagulan (Low Molecular
Weight HeparinlLMWH atau warfarin) selama 7-10 hari dalam kurun waktu tiga
bulan. Hasilnya, frekuensi trombosis vena dalam dalam kurun waktu tiga bulan
tindakan operasi adalah 3,2o/o; 1,1o/o lerjadi selama pemberian antil(oagulan di
rumah sakit dan selebihnya terjadi 80 hari setelah menghentikan antikoagulan
dan meninggalkan rumah sakit. Sedangkan emboli paru terjadi pada 0,1o/o pasien;
0,04Yo di rumah sakti dan 0,06% setelah keluar dari rumah sakit.
Meskipun antikoagulan bermanfaat dalam menurunkan kejadian tromboemboli
vena tetapi memiliki efek samping perdarahan yang harus menjadi perhatian.

STRAEFTIGSI RISIKO TROMBOSIS VENA DAIAM


Memperhatikan manfaat dan risiko penggUnaan antikoagulan, maka perlu
pertimbangan yang matang untuk memberikan obat ini pada situasi dan waktu
yang tepat. Seperti diperlihatkan pada tabel diatas, tidak semua operasi berisiko
tinggi untuk terjadi tromboemboli vena. Namun demikian, jenis operasi bukanlah
satu-satunya bahan pertimbangan dalam memutuskan pemberian antikoagulan
karena ada risiko yang terkait situasi dan risiko terkait pasien. Risiko terkait
pasien menyangkut usia, penggunaan obat kontrasepsi, obesitas, imobilisasi
lebih dari 4 hari, pasca persalinan, kanker, ada DVT sebelumnya, paralisis, dan
trombofilia seperti sindroma antifosfolipid, defisiensi antitrombin, defisiensi
protein C dan protein S, resisten terhadap protein C teraktivasi (faktor V Leiden),
dan varian protrombin 20210A. Selain jenis operasi, risiko terkait operasi lainnya

Risiko terkait prosedur operasi Tingkat risiko Risiko terkait pasien


KoleeisteKomi Tidak ada faktor risiko
Artroskopi
OBerasi lehor
Trauma tungkai yang dipasang gips Usia > 40 tahun
Apendektomi berkomplikasi Kontreseptif oral
Operasi spinal tanpa kelemahan tungkai Vena varikosa, obesitae
Histerektomi lmobilisasi > 4 hari
Operasi ponyakit Crchn's lnfekoi preoperatif
Nifas
Operesi ka*ker Kanker
Proslat6ktomi radikal Tromboembolivena sebelumnya
Operasi panggul, pelvis, tungkai Paralisis tungkai bawah
Operasi $pinal dengan kelemahan tungkai Trombofilia
Ikhwan Rinaldi 55

Risiko terkait prosedur Risiko terkait pasien Risiko tromboemboli


operasi keseluruhan
1 1 Rendah
1 2 Moderat
,|
3 Moderat
2 1 Moderat
2 2 Moderat
2 3 Tinggi
3 1 Tinggi
3 2 Tinggi
3 3 Tinggi

adalah lokasi dan lama operasi, jenis anestesi, dan derajat imobilisasi pasca
operasi. Resultan kedua faktor risiko diatas menunjukan faktor risiko trombosis
vena dalam atau tromboemboli vena secara keseluruhan.
Senada dengan pengkajian di atas, American College of Chest Physician
(ACCP), organisasi yang rekomendasi dalam hal trombosisnya sering digunakan
di lndonesia, mengeluarkan rekomendasi pengkajian trombosis vena dalam pada
perioperatif.

Risiko Rendah Risiko Moderat Risiko Tinggi Risiko Paling Tinggi


Operasi minor tidak Operasi mayor dan Operasi mayor Operasi mayor pada
berkomplikasi pada minor .pada pasien pada pasien usia pasien > 40 tahun
pasien < 40 tahun tanpa 40-60 tahun tanpa > 40 tahun plus tromboemboli
faktor risiko klinik faktor risiko klinik dengan faKor vena atau penyakit I

risiko tambahan keganasan atau


Operasi mayor pada kondisi I
pasien tanpa fakor hiperkoagulabilitas.
risiko tambahan Operasi mayor
I

ortopedi atau faktur


Operasi minor pada panggul atau strok
pasien dengan faktor atau trauma korda
risiko spinalis atau trauma
multipel
55 Pencegahan Trombosis Vena Dalam

Faktor Risiko Klinik Obat-obatan Trombofilia herediter Trombofilia


didapat
Riwayat tromboemboli Kontraseptif oral Resisten protein C Sindrom antibodi
terqktivasi antifosfolipid
Keganasan Terapi Sulih Mutasi gen protrombin Kadar
Hormon G20210A
Umur > 40 tahun Def isiensi antitrombin
Obesitas Defisiensi protein C
Vena Varikosa Defisier protein S
lmobilisasi lama Hiperhomosisteinemia
Dehidrasi
Gagal Jantung
Sindrom Nefrotik
Strok
Sindom mieloproliferatif
Penyakit Behcet
Kehamilan
Nifas

PENCEGAHAN TROM BOSIS VENA DAI.AM

Keputusan untuk memberikan profilaksis antitrombosis ditentukan berdasarkan


penilaian terhadap risiko trombosis dan risiko perdarahan. Pasien dengan risiko
moderat, tinggi dan sangat tinggi untuk mengalami tromboemboli vena (trombosis
vena dalam) membutuhkan profilaksis antitrombosis, kecuali ada kontraindikasi,
secara tunggal atau kombinasi dengan metode mekanik. Profilaksis tidak
dibutuhkan pada pasien dengan risiko rendah.

Derajat Risiko Strategi Pencegahan


Rendah Tidak ada profilaksis, mobilisasi dini dan agresif
Sedang LDUH (tiap 12 jam), LMWH ? 3400 U per hari), GCS, atau IPC
Tinggi LDUH {tiap 8 jam), LMWH {> 3400 U}, atau IPC
Paling tinggi LMWH (> 3400 U), fondaparinus, anlagoni$ vitamin K oral (lNR
2-3i atau IPC>GCS + LDUHILMWH

Metode mekanik yang dapat digunakan untuk profilaksis tromboembolivena


antara lain'. graduated compression sfocking (GCS), intermittent pneumatic
compression (lPC) and the venous foot pump (VFP). Ketiganya dapat
meningkatkan aliran vena dan atau mengurangi stasis pada vena tungkai.
Penggunaan utamanya pada pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya
Ikhwan Rinaldi 57

perdarahan atau kombinasinya dengan antitrombosis meningkatkan efikasi.


Meski terbukti mengurangi insidensi trombosis vena dalam pada beberapa
kelompok, namun penggunaannya masih kurang. Metode ini tidak dapat
mengurangi insiden emboli paru. Dan karena buruknya komplaians penggunaan
alat ini di klinik kurang dianjurkan.
Aspirin tidak dianjurkan digunakan untuk profilaksis tromboemboli vena
(trombosis vena dalam). Sejumlah uji klinik memperlihatkan aspirin tidak bermanfaat
untuk profilaksis, bahkan kombinasinya dengan antitrombosis meningkatkan risiko
perdarahan meski sedikit kejadiannya.
Pada operasi umum, pasien dengan risiko rendah tidak direkomendasikan
untuk mendapatkan profilaksis, dianjurkan untuk mobilisasi lebih dini dan agresif
(rekomendasi lC+); pasien dengan risiko moderat perlu profilaksis unfractionated
heparin dosis rendah (LDUH) ( 2 X 5000 U) atau low molecular weight heparin
(LMWH) d
3400 U per hari (rekomendasi lA); pasien dengan risiko tinggi
direkomendasikan untuk diberikan profilaksis LDUH 3 kali 5000 U atau LMWH >
3400 U (rekomendasi lA); pasien risiko tinggi dengan faktor risiko multipel
direkomendasikan untuk dikombinasikan dengan metode mekanik (GCS dan atau
IPC) (rekomendasi lC+). Pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya perdarahan
tetapi berisiko tinggijuga untuk terjadi tromboembolivena direkomendasikan untuk
menggunakan GCS atau lPC, paling tidak sampai risiko perdarahan berkurang
(rekomendasi lA). Pada pasien kanker yang berisiko tinggi dianjurkan mendapat
profilaksis pasca perawatan (rekomendasi 2A).
Operasi ortopedi memerlukan perhatian khusus untuk profilaksis
antitrombosis karena insidensinya tinggi. Operasi ortopedi yang dimaksud adalah
atroplasti panggul, atroplasti lutut dan operasi fraktur femur. Prevalesi tromboemboli

Trombosis Vena Daiam % Emboli Paruo/o


Prosedur
Total
Artroplasti panggul 42-57 1&36 0,9-28 0,1-2,0
Artropldsti lutut 41-85 5-22 't5-'t0 0;'l-1J
Operasi frakturfemur 46-60 23-30 3-'t 1 2.5-7.5

vena setelah operasi ortopedi mayor dapat dilihat pada tabel berikut.
Pada operasi artroplasti panggul elektif, direkomendasiskan untuk
menggunakan salah satu antitrombosis dibawah ini (rekomendasi lA):
1. LMWH (dosis risiko tinggi diberikan 12 jam sebelum operasi alau 12-24 jam
setelah operasi atau 4-6 jam setelah operasi setengah dosis risiko tinggi
58 Pencegahan Trombosis Vena Dalam

dan kemudian ditingkatkan menjadi dosis risiko tinggi biasa pada hari
berikutnya)
2. Fondaparinux (2,5 mg dimulai 6-8 jam setelah operasi)
3. Antagonis vitamin K oral, dosis disesuaikan, dimulai preoperatif atau sore
setelah operasi (target INR 2,5 dengan kisaran 2-3)

Pasien yang akan menjalani operasi artroplasti lutut direkomendasikan untuk


mendapat tromboprofilaksis rutin menggunakan LMWH (dosis risiko tinggi
biasa), fondaparinux atau antagonis vitamin K dosis disesuaikan. (rekomendasi
lA). Pengunaan IPC sebagai alternatif direkomendasikan sebagai pilihan anternatif
(rekomendasi lB)
Sedangkan pada pasien yang akan menjalani operasi fraktur panggul
direkomendasikan untuk diberikan profilaksis fondaparinux (rekomendasi lA),
LMWH dengan dosis risiko tinggi biasa (rekomendasi lC), antagonis vitamin -K
dosis disesuaikan (target INR 2,5 dengan kisaran 2-3) (rekomendasi 2B). Jika
operasi tertunda, dianjurkan pemberian LDUH atau LMWH pada waktu antara
masuk rawat rumah sakit sampai dengan operasi (rekomendasi lC).
Lamanya profilaksis menurut Seventh ACCP pada pasien yang menjalani
artroplasti panggul, lutut, atau operasi faktur femur paling sedikit 10 hari diikuti
profilasis pasca perawatan selama 28-35 hari setelah operasi untuk pasien yang
menjalani operasi artroplasti panggul atau operasi fraktur femur. Pilihan
antirombosis pasca perawatan untuk artroplasti panggul LMWH (rekomendasi
lA), antagonis vitamin K (rekomendasi lA), atau fondaparinux (rekomendasi lC+)
dan untuk operasi fraktur femur adalah fondaparinus (rekomendasi lA), LMWH
(rekomendasi lC+) atau vitamin K (rekomendasi lC+).

KEIMruI.AN
1. Operasi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya trombosis vena dalam
2. Trombosis vena dalam dan emboli paru dapat berakibat fatal
3. Direkomendasikan untuk memberikan profilaksis antitrombosis berupa LDUH,
LMWH atau antagonis vitamin K oral

RmEn6[
1. Motte S, Samama CM, Guay J, Borg JY Rosencher N. Prevention of postoperative venous
thromboembolism. Risk assessment and methods prophylaxis. Can J Anesth 2006;53: 568-79.
2. Agnelli G, Sonaglia F. Advandces in Basic, Laboratory and ClinicalAspects of Thromboembolic
Diseases. Prevention of VenousThromboembolism in High Risk Patients. Hematologica 1997;82:
496-502
3. BombeliT, Spahn D,R. Updates in perioperative coagulation : physiology and management of
thromboembolism and haemorrhage. Br J Anaesth 2004;93:275-87 .
Ikhwan Rinaldi 59
4. SeagalJB. Steiff MB, Hofman L, Thorntorn K, Bass EB. Management of venous thromboembo-
lism ; a systematic review for a practice guideline. Ann lnter Med 2007;146:211-222.
5. Geerts WH, Pineo GFl, Bergqvist D, Lassen MR, Colwell CW, Ray JG. Prevention of Venous
Thromboembolism :the seventhACCP conference on antithrombotic and thrombolytictherapy.
Chest 2004;1 26:338-340.
Stratton MA, Anderson FA, BusseyHl, Caprini J, ComerotaA, Haines ST, Hawkins DW, O'Connel
MB, Smith RC, Stringer KA. Prevention of venous thromboembolism. Adherence to the 1995
American College of Chest Physician Consensus Guidelinesforsurgicalpatients.
60

2.8 Penggunaan Anflbloflk unftf,


hottlafsls pada Pembedahan
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T. Pohan

rofilaksis adalah pemberian antimikroba setelah adanya paparan terhadap


penyebab infeksi, pada pasien dengan faktor risiko tertentu. Faktor risiko
mengandung pengertian bahwa terdapat kondisi tertentu yang menyebabkan
kemungkinan terjadinya infeksi menjadi demikian besar atau dampak/implikasi
klinis yang ditimbulkan infeksi tersebut merugikan terhadap pasien (meningkatkan
morbiditas dan mortalitas). Faktor risiko tersebut mencakup faktor pejamuihost
(rentan atau imunokompromais), atau akibat tindakan tertentu misalnya
pembedahan, atau apabila terjadi infeksi akan memberikan dampak yang sangat
merugikan (misalnya infeksi pada implan atau graft) atau dampak infeksi yang
memberatkan karena komplikasi penyakitnya.

Berapa prinsip profilaksis dalam aplikasi di klinik adalah sebagai berikut :


1. Risiko atau potensi timbulnya infeksi lebih besar dibandingkan efek samping
yang mungkin ditimbulkan.
2. Antibiotika diberikan dalam periode sesingkat mungkin untuk mencegah
infeksi.
3. Antibiotika diberikan sebelum periode risiko, atau segera setelah terpapar
dengan penyebab atau individu yang terinfeksi.

Beberapa keadaan yang saat ini merupakan indikasi untuk pemberian


profilaksis antibiotik adalah:
1. Profilaksis antibiotik pada pasien yang menjalani pembedahan
2. Profilaksis antibiotik untuk mencegah infeksi berulanglre/aps misalnya pada
pasien asplenia, infeksi saluran kemih berulang, demam rematik, netropenia
dan bronkitis kronik.
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T Pohan 61

3. Profilaksis pasca paparan (post-exposure prophylaxls,), misalnya pada


meningitis, difteri, penyakit hubungan seksual gonore, sifilis dan kontak HlV.
4. Profilaksis endokarditis.
5. Profilaksis pada perjalanan ke daerah endemis (travel prophylaxis).
6. Profilaksis infeksi oportunis pada pasien imunokompromis dan HlV.

PROFII.AIGIS ANTIBIOTIKA PADA PASIEN YANG MENJAI.ANI


PEMBEDA}IAN
lnfeksi luka operasi merupakan salah satu masalah dalam penanganan pasca
bedah. lnsiden terjadinya infeksi luka operasi di Amerika Serikat sebesar 2,6 %
dariseluruh operasi (NationalNosocomial lnfections Survel/encelNNIS 1986-1996),
meskipun telah diterapkan standar sterilisasi dan desinfeksi, penyaringan udara
di kamar operasi dan pemberian antibiotika profilaksis. Hal ini berkaitan dengan
meningkatnya populasi dengan risiko yang menjalani operasi seperti usia lanjut
dan populasi dengan penyakit penyerta seperti diabetes melitus, gagal ginjal
kronik dan lain-lain. Terjadinya infeksi luka operasi memperpanjang masa
perawatan dengan implikasi meningkatnya biaya. Profllaksis antibiotika yang akan
dibahas pada tulisan ini merupakan salah satu aspek dalam pencegahan terjadinya
infeksi luka operasi.

PAIiOGENESIS INFEIGI TUKA BEI(AS OPERASI


Kontaminasi luka bekas operasi bakteri, baik dari udara di kamar operasi, instrumen
yang digunakan atau dari personil di kamar operasi sangat mungkin terjadi. Tetapi
hanya sebagian kecil dari luka yang terkontaminasi tersebut yang menunjukkan
tanda infeksi, Pada kebanyakan dari penderita, sistem imunitas dapat
mengeliminasi kontaminan dari luka operasi dan hanya sebagian kecil yang
terinfeksi. Berbagai faktor turut berperan dalam terjadinya infeksi luka operasi
yaitu: faktor patogen yang mencakup virulensi dari kuman dan jumlah inokulum
kuman yang mengkontaminasi. Faktor lingkungan mikro dari luka yaitu
vaskularisasi ke daerah luka, oksigenisasi dan keadaan lokal dari luka sendiri
turut berperan dalam proses penyembuhan disamping faktor imunitas dari hosf.
?

I Virulensi bakteri
I
Virulensi merupakan kemampuan patogen dalam menimbulkan infeksi. Virulensi
merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam terjadinya infeksi luka
operasi, semakin virulen bakteri kontaminan, risiko terjadinya infeksi semakin
tinggi walaupun hanya sedikit jumlah inokulum bakteri kontaminan tersebut.
Beberapa patogen yang diketahui bervirulensi tinggi diantaranya adalah :
Stafilokokus koagulase positif yang lebih virulen dari koagulase negatif,
Streptokokus grup A, E coli dengan endotoksin di membran luar, Clostridium
62 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada Pembedahan

perfringens dan Bacteroides fragilis. Kontaminasi beberapa jenis bakteri secara


bersamaan juga dapat meningkatkan virulensi masing-masing patogen, misalnya
bila bakteri anaerob seperti Bacteroides sp. akan lebih patogen bila terdapat
bersama dengan bakteri aerob.

Jumlah inokulum bakteri


Jumlah inokulum bakteri merupakan faktor yang berperan dalam terjadinya infeksi.
Kontaminiasi bakteri dari luar (eksogen) dapat terjadi melalui udara di kamar
operasi, instrumen bedah dan personil di ruang operasi termasuk dokter dan
perawat. Dapat pula infeksi berasal dari endogen yaitu bila operasi melibatkan
atau membuka organ yang tidak steril seperti usus halus atau kolon. Bakteri
pada kulit pada umumnya masih dapat ditemukan, walaupun telah dilakukannya
desinfeksi sesuai standar. Jumlah inokulum bakteri terbesar bila operasi melibatkan
usus, dimana jumlah inokulum pada usus halus bagian distal sebesar 103-104
bakteri/ml, kolon proksimal 105-106 bakteri/ml, dan yang terbanyak di kolon distal
dan rektum sebesar 1010-1012 bakteri/ml. Bakteri juga dapat ditemukan pada
lambung dengan hipo- atau aklorhidria, kandung empedu pada ikterus obstruktif,
batu dan kolesistitis akut, serta kandung kemih pasien wanita. Operasi yang
melibatkan orofaring, paru dan saluran kemih dapat juga merupakan kontaminan
bergantung pada keadaan penyakit dan lama operasinya.

Lingkungan mikro luka operasi


Berbagai faktor pada lingkungan miko luka misalnya kadar hemoglobin, jumlah
jaringan nekrotik pada luka, terdapatnya benda asing seperti material dari benang
operasi dan dead space luka akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi'

Mekanisme pertahanan tubuh peiamu (HosO


Selain faktor patogen dan lingkungan luka operasi, respons pejamu merupakan
salah satu faktor yang menentukan terjadinya infeksi di luka operasi. Pada
dasarnya pembuatan insisi pada tindakan operasi sudah merupakan rangsangan
bagi sistem imun untuk aktivasi reaksi inflamasi yang bertujuan untuk memperbaiki
jaringan atau dengan kata lain merupakan proses dari penyembuhan luka. Proses
ini dari aspek infeksi merupakan suatu proses yang menguntungkan oleh karena
masuknya kontaminan ke dalam luka akan dieliminasi oleh sistem imun yang
telah teraktivasi.
Berbagai keadaan yang menyebabkan gangguan pada sistem imun akan
meningkatkan risiko infeksi, di antaranya : penyakit kronik seperti diabetes, gagal
ginjal kronik, penyakit paru obstruktif kronik; malnutrisi; keadaan akut dan berat
seperti syok, hipoksemia pada pasien yang dirawat di ICU akan menurunkan
respon imun penderita. Selain itu penggunaan obat imunosupresi ataupun
kortikosteroid dosis tinggi juga akan mensupresi sistem imunitas sehingga
meningkatkan risiko infeksi.
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T Pohan 63

KI.ASIFIIGSI IUKA DAT{ RISIKO INFEIGI TUKAOPERASI


Klasifikasi luka operasi dibagi menurut kemungkinan luka tersebut terkontaminasi
sejumlah inokulum patogen (bakteri). Dikenal klasifikasi luka bersih, bersih
terkontaminasi, luka terkontaminasi dan luka kotor.

1. Luka bersih
Luka bersih adalah apabila tindakan operasi tidak membuka viskus atau
lumen dimana terdapat koloni flora normal. Sebagai contoh operasi hernia
elektif memiliki risiko infeksi minimal, kemungkinan kontaminasi didapat
dariflora normal di kulit, ruang operasi atau tim operasi. Kemungkian infeksi
yang tersering adalah Staphylococcus aureus dengan risiko infeksi kurang
dari 2 o/".

2. Luka bersih terkontaminasi


Luka bersih terkontaminasi apabila operasi membuka viskus atau lumen
dimana terdapat flora normal tetapi dilakukan secara terencana dan terkontrol.
Sebagai contoh operasi kolektomi sigmoid, kemungkinan kontaminasi dari
bakteri normal dalam usus seperti E coli, Bacteroides fragilis. Operasi lain
yang melakukan reseksi intestinal, paru, operasi tumor di daerah leher dan
operasi ginekologi termasuk dalam kelompok ini. Risiko infeksi pada
o/o.
kelompok ini sebesar 4-10

3. Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi apabila t6rjadi kontaminasi luas pada daerah operasi,
seperti pada luka tembus usus akan terjadi kontaminasi akibat masuknya
isi viskus ke area operasi. Risiko infeksi pada kelompok ini >10%.
I

4. Luka kotor
I
Luka kotor apabila tindakan operasi dilakukan pada daerah yang mengalami
infeksi aktif. Eksplorasi abdomen pada peritonitis bakterial akut, abses I

intra-abdominal termasuk dalam kelompok ini. Patogen kontaminan sesuai


dengan patogen penyebab infeksi.

Risiko infeksi luka operasi menurut indeks NNIS


Selain penentuan risiko infeksi menurut klasifikasi luka operasi berbagai institusi,
khususnya di Amerika menerapkan penentuan risiko berdasarkan indeks NNIS
(National Nosocomial lnfection Surveilence) yang diperkenalkan sejak tahun 1991.
lndeks tersebut terdiri dari 3 variabel dengan sebaran antara 0-3 yang terdiri dari:
. Nilai pertama (1 nilai) : apabila luka operasi termasuk luka terkontaminasi
atau luka kotor.
. Nilai kedua (1 nila4) : apabila nilai ASA (American Society of Anesthesio
/ogrsf) preoperatif 3, 4 alau 5. (Tabel 1)
64 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada Pembedahan

Nilai ketiga (1 nilai) : bila lama operasi melebihi 75o/o dari persentil menurut
survei NNIS (T poin). T poin adalah lama operasi dalam jam sesuai 75 %
persentil dari survei NNIS. (Tabel 2)

Kelas I Pasien sehat


Kelas ll Pasien dengan penyakit sislemik ringan, tidak didapatkan
keterbatasan fu ngsional.
Kelas lll Pasien dengan penyakit sistemik berat, keterbatasan fungsional.
Ketas lV Pasien dengan penyakit sistemik yang berat dan mengancam
kehidupan.
Kelas V Pasien dengan kemungkinan meninggal dalam 24iam.

Jenis operasi T poin

0perasi pintas koroner 5


Operasi kandung empedi], heparatau pankreas 4
Kraniotomi 4
Operasi kepala dan leher 4
Operasi kolon 3
Operasi pro$tesis sendi 3
Operasi vaskuler 3
Opelasi abdominal atau vaginal histerektomi 2
Ventricular shunt 2
*lteiniiQ|rfiaphf- 2
ApGndiKomi 1

Amputasi ekstremitas 1

Seksio's€saria 1

Sumber : National Nosocomial lnfection Surve/ence (NNIS)


System report, data summary Januari 1992-Juni 2002
lssued Agt 2002. http://wwWcdc.qov/ncidod/NN lS

Di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1992, telah diterbitkan buku
pedoman terapi profilaksis antibiotika khusus pada pembedahan. Buku pedoman
tersebut menekankan pentingnya tindakan preventif baik asepsis dan antisepsis
untuk mengurangi kontaminasi kuman eksogen, peningkatan ketrampilan teknik
pembedahan sesuai prosedur yang mana luka bersih tetap dipertahankan sebagai
luka bersih, luka tercemar diusahakan sesedikit mungkin dan pembersihan
jaringan nekrotik dan bekuan darah, penjahitan tidak terlalu kuat sehingga tidak
menimbulkan devitalisasi jaringan.
Petunjuk pemberian terapi profilaksis antibiotika yang dianjurkan adalah
sebagai berikut:
1. Antibiotika profilaksis bermanfaat untuk menurunkan prevalensi infeksi luka
operasi pada luka yang tercemar kuman: bersih tercemar (terkontaminasi),
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T Pohan 65

tercemar (terkontaminasi) dan kotor.


2. Pada luka bedah yang bersih, antibiotika profilaksis tidak perlu diberikan,
kecuali bila dapat menimbulkan infeksi luka operasi yang fatal dan katastropik
(operasi pemasangan protesa pada tulang dan katup jantung, atau
pembedahan bola mata).
3. Kadar antibiotika profilaksis harus tinggi di dalam jaringan sewaktu operasi
berlangsung.
4. Lama pemberian antibiotika harus diusahakan sesingkat mungkin.
5. Pemilihan antibiotika sesuai hasil uji klinik yang sahih.
6. Bila ada lebih dari satu antibiotika yang bermanfaat, dipilih antibiotika dengan
profil farmakokinetik yang menguntungkan: penetrasi ke jaringan tinggi, waktu I

paruh eliminasi yang panjang, efek samping yang kurang; disamping harga I

yang relatif murah. I


I

PENCEGAHAN INFEIGI PADA LUKA BEIGS OPERASI

Pencegahan infeksi luka operasi mencakup manajemen perioperatif dan intra-


operatif. Di samping itu penggunaan antibiotik profilaksis yang sesuai merupakan
bagian yang penting dari prevensi infeksi. Pada manajemen perioperatif tindakan
yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko infeksi adalah mandi dengan
antiseptik, pencukuran area operasi, asepsis dan antisepsis kulit sebelum
tindakan, pencucian tangan tim bedah, penanganan personil bedah dengan infeksi
dan kolonisasi dan pemberian antibiotika profilaksis. Manajemen di kamar operasi
meliputi ventilasi, sterilisasi perlengkapan dan instrumen di kamar operasi, teknik
asepsis dan teknik bedah yang dilakukan.

Profilaksis antibiotik I

Profilaksis antibiotik merupakan bdgian dari pencegahan infeksi. Antibiotik yang I


diberikan pada pasien bedah dapat bertujuan untuk mengurangi jumlah koloni
I
bakteri di usus, mengurangi jumlah inokulum kontaminasi sehingga menurunkan
risiko infeksi atau sebagaiterapi apabila sudah dalam keadaan infeksi sebelumnya.
Yang termasuk tindakan profilaksis adalah pemberian sebelum terdapat tanda
infeksi.

Yang perlu menjadi pertimbangan dalam pemberian terapi profilaksis adalah:


1. Apakah terapi profilaksis diperlukan ?
2. Apa jenis antibiotika yang akan diberikan ?
3. Apakah antibiotika diberikan secara oral atau intravena?
4. Kapan memulai terapi dan berapa lama?
Selain itu, terdapat pula beberapa faktor yang mempengaruhi efektifitas
antibiotika profilaksis dalam pembedahan seperti yang terlihat dalam tabel 3.
66 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada Pembedahan

Durasi Efektivitas
Jumlah Organisme Pola Resistensi
Perlindungan Profilaksis
OBqnisr-*eitulgqal Dapat,diFerkitakan Pefidek $+ua!,q1
0iQanllma rnuttipet Paiiat,dire*irakan Pendek S.anga!rbaik
Organiaite,'hrnu$! Tidakrdiketahui, PsndGk Bak
Organlsrnelunggal Papat.oipe*iraran Panjang Baik'
Organismeimufiipet Tidak Oiketahui Faniang Buruk/tidek efektif

Pertanyaan yang sering diajukan adalah apakah antibiotik profilaksis harus


diberikan pada semua operasi. Berbagai studi menunjukkan bahwa antibiotika
profilaksis terbukti bermanfaat pada operasi dengan luka bersih terkontaminasi
atau dengan indeks NNIS > 1. Pada luka bersih dengan indeks NNIS 0, manfaat
antibiotika profilaksis sulit dibuktikan. Berbagai jenis operasi dimana antibiotika
profilaksis terbukti bermanfaat antara lain adalah luka tembus abdomen, operasi
vaskular, operasi ortopedi (panggul dan internal fiksasi), histerektomi, seksio
sesaria, operasi kanker di kepala dan leher dan shunt ventrikulo-peritoneal.
Jenis antibiotika yang digunakan sangat bergantung jenis operasi, pola
kepekaan kuman di rumah sakit, toleransi penderita dan biaya yang akan
dikeluarkan. Mengetahui beberapa jenis patogen yang mungkin menjadi penyebab
infeksi luka operasi (tabel 4) dapat membantu pemilihan jenis antibiotika yang
paling sesuai. Berkaitan dengan berbagai jenis antibiotika yang ada, golongan
antibiotika yang paling luas digunakan dalam profilaksis adalah golongan
sefalosporin. Sefalosporin paling luas digunakan karena pertimbangan spektrum
yang luas mencakup Gram positif dan negatif, cukup aman, profil farmakokinetik
sesuai tujuan profilaksis dan biaya yang relatif tidak memberatkan. Di antara
antibiotik golongan sefalosporin, sefazolin, sefoksitin dan sefuroksim merupakan
yang paling banyak diteliti untuk terapi profilaksis. Selain itu, beberapa penelitian
juga menggunakan seftriakson dan sefotaksim dengan hasil yang cukup efektif.
Bila penderita memiliki riwayat alergi penisilin dan sefalosporin, sebagai alternatif
dapat diberikan klindamisin, vankomisin atau aztreonam. Sedangkan bila ada
kemungkinan infeksi anaerob dapat diberikan metronidazol atau klindamisin.
Penggunaan rutin vankomisin tidak dianjurkan kecuali kemungkinan terjadi infeksi
MRSA pada operasi mediastinum. Aminoglikosida jarang digunakan dalam
profilaksis kecuali dalam kombinasi.
Pemberian antibiotika pada umumnya dilakukan secara intravena, dengan
awitan (timing) sedekat mungkin dengan saat dimulainya operasi (30 menit
sebelum insisi) untuk mendapatkan konsentrasi maksimal di dalam darah. Pada
operasi yang berlangsung lama juga dapat diberikan dosis rumatan. Antibiotika
umumnya diberikan selama 1-2 hari tergantung jenis operasi yang dilakukan.
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T Pohan 67

Pemberian antibiotik oral selain parenteral sebelum operasi kolon dengan


tujuan mengurangi populasi kuman di usus, terbukti menurunkan risiko infeksi.
Antibiotik yang dapat digunakan pada umumnya mempunyai karakteristik absorbsi
yang tidak baik sehingga dapat memberikan efek yang maksimal di lumen usus.
Untuk kepentingan ini, dapat digunakan antibiotika seperti neomisin, atau dalam
kombinasi dengan eritromisin, atau tetrasiklin t hari sebelum operasi.

Operasi Patogen yang mungkin

1. Penanaman graft, prostesis atau implant Staphylococcu s a u re u s,


Staphylococcus koagulase-negatif
2. Jantung Staphyl ococc us aureus,
Staphylococc us koagulase-negatif
3. Bedah saraf Staphylococcus au reu s,
Staphyl ococcus koagulase-negatif
4. Payudara Stap h yloc oc c u s a u re u s,
Stap h ylo coccu s koagutase-negatif
5. Mata (Data terbatas, namun pada prosedur Staphylococcus aureus,
yang umum seperti reseksi segmen anterior, Staphyl o coccu s koag ulase-negatif ,
vitrektomi, operasi sklera) bacillus Gram negatif
Ortopedi : Staphylococcus au reu s,
Total joint replacement, fraktur tertutup, Stap hylococc us koagulase-negatif,
penggunaan paku / bone plate / alat fiksasi bacillus Gram negatif
internal lain, perbaikan struktur tanpa implant,
lrauma
7. Toraks selain jantung : Stap hylococc us a it re u s,
Lobektomi, pneumonektomi, wedge resection, Staphy Io coc cu $ koagulase-negatil
prosedur mediastinal lainnya, closed tube Streptococcus pneumoniae, bacillus
thoracostomy Gram negatif
8. Vaskular Staphylococcus au reus,
Stap hylococcu s koagulase-negatif
9. ApendiKomi Bacillus Gram negatif, anaerob
10. Saluran bilier Bacillus Gram negatif, anaerob I

11. Kolorektal Bacillus Gram negatif, anaerob I


12. Gastroduodenal Bacillus Gram negatif,
Streptococcu s, anaerob I

13. Kepala dan leher Staphylococcus au reu s,


Strepfococcus, anaerob
14. Obstetrik dan Ginekologi Bacillus Gram negatif, Streplococcus
grup B, Enterococcus, anaerob
15. Urologi Bacillus Gram negatif
68 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada Pembedahan

Organisme Profilaksis yang


Prosedur Profilaksis Alternatif Keterangan
yang umum Dianjurkan
Pemasangan S.epidermidis K$nunoki4aF bukan Kemundkin?n,bukan Berikan sesaat
pintas $SP S. aureus MRSA / MRSE MRSA/MRSF. sebelum prosedur
ivPA/A), Seftriakson Sefotaksim dilakukan.
kraniotomi, 'l g(lv)xldosis Vankomisin mencegah
trauma
2g(lV)xldosis
terjadinya infeksi
terbuka SSP atau
luka,tapi milngkin tidak
Kemunqkinan MRSA / Seftizoksim mencegah tgrjadinya
MRSE 2g(lV)xldosis infekci SSP. Bedkan
Linezolid vankomicin pdrlahan-
600 mg (lV) x 1 dosi$ lahan selama 1 jam
Kemunotdnan MR$A /
sabelum prosedur
MRSE
dilakukan.
Linezolid
600 mg (lV) x 1 dosis
alau
Vankomisin
lgxldosis
atau
Minosiklin
200g(lV)xldosis
Bedah toraks 3. aureus Seftriakson Sefotaksim Eerikan sesaat
{non-jantung) (MssA) 1g(lV)xldosis 2g(lV)xldosis sebelilm proEedur
dilakukan
Atau atau
Sefazolin Seflizoksim
1g(lV)xldosis 2 g (lV) x 'l dosis

Bedah $. epidennidis Vankomisin Linezolid Berikan vankomisin dan


penggantian (M$SE / MRSE) 1g(lv)xldosis 600 mg (lV) x 1 dasis gentamisin lV perlahan-
katup jantung S. aureus lahan selama 1 jam
atau atau
(MSSAt MRSA) sebelum prosedur
Gcatamisin centamisin dilakukan-
Enterobacter
240 mg (lV) x 1 dosis 240 mg (lV) x 1 dosis
Bedah tandur S. aureus Seftriakson Sefotaksim Berikan se3aat
bypass arteri (MSSA) 1g(lv)xldosis 2g(lV)xldo$iE sebelum prosedur
koroner dilakukan. Ulangi dosis
Atau atau
inttaoperatif untuk
Sefazolin Seftizoksim proGedur yang
2g{lV)xl dosis 2g(lV)xldosis berlangsung selarna >
3 jam.
Bedah E. COlt Ampisilin Meropenem Berikan sesaat
saluran Klebsiella 1g(lV) xl dosis 1g (lV) xl
dosis $eb€lum prosedur
empedu dilakukan (tidak perlu
Enterococci Tambah salah satu atau
mencakup
Seftriakson Ampisilin / sulbaktam mikroorganisme
1g(lV)xl dosis 3g (lV)xl dosis anaerob)
Alau atau
Sofazolin Kuinolon apapun (lV)
1g(lV)xldosis x 1 dosis

Bedah E. coli Ampisilin /sulbaktam Meropenem Berikan sesaat


hepatik Kleb$ie11a 3g(lV) xl dosis 1g(lV) x l dosis sebelum prosedur
dilakukan.
Enterococci atau Atau
B. fragilis Piperasilin/tazobaktam Moksifloksasin
4.5 g (lV) x 1 dosis 400 mg (lV) x 1 dosis
Bedah S. auleus Seftriakson Sefotaksim Berikan sesaat
lambung, StreDtokokus 1g(lv)xldosis 2g(lV)xldosis sebelum prosedur
usus halus grup A dilakukan (tidak perlu
Atau atau
oaglan atas mencakup
$efazolin Seftizoksim mikroorganisme
1g(lv)xl dosis 2g(lV)x1do$is anaerob)
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T Pohan 69

Bedah usus E. coli Seftriakson MeFonidazol Berikan sesaat sebelum


halils,kolon Klebsiella 1g(lV)xldosis 1g(lV)xldosis prosedff dilakukan.
g.lIagilis Tambah Tambah salah satu Berikan gentambin lV
fnerococci Metronidazol Gatifloksasin sccara pea.lahan selama
1s{lV}xrdosis 400 mg (lvlx 1:do$is 1jam.
.atau
Levofloksasin
500 mg (lV) x 1 dosls
atatr
Gentamisin
240 mg {lV) x 1 dosis
Bedah pelvik Easilus aerob Seffriak$on Sefotetan Berikan sesaat sebelum
{obgin) Gram negatif 1g{lV)xldosis 2g(lVlxl dosis prosedur dilakukan.
$tlep.tokokus Talllbah alau
anaerob Metronidazol Sefokskin
B. fiagilis 1 g (lV) x'l dosis 2g{lV)xl dosis
aiau
Seftizoksim
2g(lvlxldosis
Eedah S. epldermidis Berikan s€saat sebelum
implantasi S. aureus prosedur dilakukan.
pRlstese Setazoliil Dosis pasca og6€si
orlopedik 2g(lV)xldosis 1g(lV)xldosis adalah tidak dipedukan
dan tidak efiektif.
Kemunaki*an MRSA / Kemunakinafi MRSA I
MRSE MRSE
Teicoplanin 2xit00 mg liieltio
sebanyak 3 dosis 600 mg {lV} x 1 dosis
Artrosopi S.aureus Seftriakson Sefotaksim Bila prosedur bedah
Basilusenterik 1 g(lV)x1 dosis 2g(lV)xldosis dilakukan dengan bersih,
Gram negatff atau atau profilaksis sebelum
Sefazolin Seftizoksim prosedur biasanya tidak
1g(lv)xldosis 2g(lV)xldosis dioerlukan.
Bedah S.aureus Seftriakson Klindamisin lni lebih digunakan
ortopedik Basilusaerob', gx3-7hari 600 mg (lV) tiap 8 jam x sebagai lerapi awal,
(fraKur Gram nogatif atau 3-7hari bukan sebagai
terbuka) Sefazolin atau profifaksis. Lamanya
3xlgselama3,Thari Gentarnisin pemberlan antibiotik
240 mg (tV) tiap 24.iam x pasea prosedur
3*7hari tergantung dari tingkat
Atau keparahan infeksi.
Amikasin
2 x 500 mg x 3-7 hari
Bedah S. aureus Seftriakson Sefotaksim Berikan seSaat sebelum
implantasi Basilusentefik 1 gx 1 dosis 2 g (lV) x'l dosis prosedur dilakukan.
urologis Gram negatif atau
Seffizoksim
2g{tV)xl dosis
Sistoskopi. P.aeruginosa Piperasilinltazobaklam Gatifloksasin Profilaksis diberikan
TURP P.cepacia 4,5 g (lV) x 1 dosis 400 mg (lV) x 1 dosis kopada pasien TURP
P.maltophilia atau atau dengan kultur udn pre op
E.iaecalis Siprofloksasin Levofloksasin yang positif.
Easilus cnterik 400 rng (lV) x 1 dosis 500 mg (lV) x 1 dosis Ini lebih digunakan
Gram neqatif sebagai terapi awal,
E. laecium Linezolid Kuinuprislin / dalfopristin bukan sebagai
(VRE) 600mgx1dosis 7,5 mg/kg (lV) x 1 dosis profilaksis. BilA ku[ur
urin pre-op negatil maka
tidak perlu profi laksis.
Fosfomycin
Flastik Ceftizoxim
Levofloksasin
Keterangan : MSSA / MRSA: methicillin-sensitive / resistant S. aureus
MSSE/ MRSE : methicillin-sensitive / resistant S. epidermidis
70 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada Pembedahan

Profilaksis terhada p E ndokarditis Bakterialis


Prosedur dimana profilaksis direkomendasikan adalah pada pasien dengan kondisi
jantung yang berisiko tinggi dan sedang.

Profilaksis Disarankan Profilaksis Tidak Disarankan


Syarat (kolom A) (kolom B)
Kondisi ASD primum ostium o ASD ostium sekundum terisolasi
iantung Terdapat prostese katup jantung, a Bedah perbaikan ASD ostium
termasuk katup bioprostese dan sekundum atau PDA tanpa residu
homograf lebih dari 6 bulan
a Endokarditis infektif sebelumnya Riwayat bedah bypass arteri
Sebagian besar malformasi jantung koroner sebelumnya
kongenital I MVP tanpa regurgitasi katup
a Penyakit katup reumatik a Murmur fi siologis, fungsional, atau
a Kardiomiopati hipertropik innocent
a MVP (Prolapsus katup mitral) Riwayat penyakit jantung Kawasaki
dengan regurgitasi katup atau demam reumatik tanpa
kelainan katup sebelumnya.
Prosedur . Prosedur dental yang diketahui Prosedur dental yang sepertinya
dapat menginduksi terjadinya tidak akan menyebabkan terjadinya
perdarahan mukosa / gusi, perdarahan gusi
termasuk pembersihan dental a lnsersi tuba timpanostomi
a Tonsilektomi atau adenoidektomi a Bronkoskopi fleksibel dengan atau
a Pembedahan yang melibatkan tanpa biopsi
mukosa pernapasan aiau a lntubasi endotrakeal
pencemaan a Endoskopi dengan atau tanpa
a Bronkoskopi kaku biopsi saluran cema
a Skleroterapi untuk varises esofagus a Bedah sesar
a Dilatasi esofagus a D & C, pemasangan / pelepasan
a Bedah kantung empedu lUD, atau abortus terapeutik tanpa
a Dilatasi uretra atau sistoskopi adanya infeksi
a Kateterisasi uretra atau bedah Pemasangan defibrilator i alat pacu
saluran kemih di saat terdapat ISK jantung
a Bedah prostat a lmplantasi sfenf jantung
a lnsisi dan drainase jaringan yang Angioplasti transluminal koroner
terinfeksi perkutaneus (PTCA)
a Histerektomi vaginal Keteterisasi jantung
a Persalinan per vaginam, dilatasi dan
kuretase (D & C), pemasangan /
pelepasan lUD, atau abortus
terapeutik pada keadaan adanya
infeksi.

Profilaksis diindikasikan untuk pasien dengan kondisi kelainan jantung


seperti yang tertulis dalam kolom A yang akan menjalani prosedur bedah seperti
yang tertulis dalam kolom A. Profilaksis tidak disarankan untuk diberikan kepada
pasien dengan kondisi kelainan jantung yang tertulis dalam kolom B dan yang
akan menjalani prosedur yang tertulis dalam kolom B.
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T Pohan 7L

Profilaksis endokarditis diarahkan terhadap bakteri Streptococcus viridans,


yakni patogen penyebab endokarditis bakterial subakut yang koloninya berada
di tubuh bagian atas sedangkan di tubuh bagian bawah diarahkan terhadap En-
terococcus fecalis. Profilaksis oral lebih dianjurkan dibandingkan profilaksis injeksi,
kecuali pada kondisi pasien dengan riwayat pernah mengalami endokarditis, pintas
jantung, atau dengan prostese katup jantung. Beberapa ahli menyarankan
amoksisilin diberikan dengan dosis sebesar 3 g atau klindamisin dengan dosis
sebesar 600 mg. (Tabel 7 dan 8).

Reaksi terhadap
rrolilaKsts Regimen Antibiotik
Penisilin
Profilaksis ada
Tidak Amoksisilin 2 g (PO) I jam sebelum pi.osedurdilakukan*
oral anafilaktoid SeJaleksin 1 g (PO) 1 jam sebelum prosedur dilakukan
Tidak
Anafilakloid Klindamisin SOO mg (PO) 1 jam sebelum prosedur
Prqfitaksis tv ridak ada Xflllil;r (tv) 30 menit seberum prosedur dilakukan
Tidak analilaktoid Sefazolin 1 g (lV) 15 menit sebelum prosedur dilakukan
Anafilaktoid Klindamisin 600 mg 0V) 30 menit sebelum prosedur
dilakukan

Reaksi terhadap
Profilaksis Regimen Antibiotik
Penisilin
Profilaksis oral Tidak ada Amoksisilin 2 g (PO) 1 jam sebelum prosedur
dilakukan
Tidak anafilaktoid, Linezolid 600 mg (PO) 1 jam sebelum prosedur
anafilaktoid dilakukan
Profitaksis lV Tidak ada Ampisilin 2 g (lV) 30 menit sebelum prosedur
dilakukan
atau
Gentamisin 80 mg (lM) atau (lV) selama 1 jam,
60 menit sebelum prosedur dilakukan
Tidak anafilaktoid, Vankomisin 1 g (lV) selama 1 jam, 60 menlt
anafilaktoid sebelum prosedur dilakukan
atau
Gentamisin 80 mg (lM) atau (lV) selama 1 jam,
60 menit sebdlum prosedur dilakukan
72 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada Pembedahan

REME\EI
1. Cunha BA. Antibiotic essentials. New York: Physician's Press; 2005.
2. DellingerEEGrossPA,BanetTL,etal,Qualitystandardforantimicrobialprophylaxisinsurgical
procedure. Clin lnfec Dis. 1994;18:422-7.
3. Djolosugito MA, Sroeshadi D, Pusponegoro AD, Supardi l. Buku manual pengendalian infeksi
nosokomial di rumah sakit.
4, Fry DE. Surgicalsite infection: pathogenesis and prevention. [cited March 10,2003]available
rom: http//www. Medscape.com/viewprogramel2220
f
-index.
5. Manqram AJ. Horan TC, Pearson ML, et al. Guidelines for prevention of surgical site infection,
1999. lnf Control and Hosp Epiemiol. 1999;20(4):247-64.
6. Nelwan FIHH, Zulkarnain l, Widodo D, et al (eds). Abstract Book:JakartaAntimicrobial Update
2003.
73

2.7 Pengelolaan llutrlsl Perloperailf


Ari Fahrial Syam

perasi bagi seseorang merupakan suatu proses yang bisa menyebabkan


perubahan metabolik secara tibatiba. Tergantung dari lama dan macam
operasi tetapi secara umum operasi akan menyebabkan stress tersendiri bagi
seseorang. Pada saat operasi akan terjadi peningkatan berbagai hormon glukagon,
kostikosteroid dan katekolamin dan terjadi proses glukoneogenesis. Disisi lain
komplikasi operasijika terjadi akan memperburuk proses katabolisme dan secara
keseluruhan akan mempengaruhi lama rawat dan morbiditas serta mortilitas
pasien. Oleh karena itu penilaian status nutrisi merupakan suatu halyang penting.l'2
Komplikasi, morbiditas dan mortalitas operasi sangat dipengaruhi oleh sta-
tus nutrisi pasien yang mengalami operasi. Berbagai penelitian membuktikan
bahwa malnutrisi merupakan salah satu faktor risiko yang meningkatkan
mortalitas, morbiditas dan memperpanjang masa rawat. Selain itu pasien yang I

mengalami operasi mempunyai resiko untuk terjadinya malnutrisi karena lamanya I

puasa, stres operasi serta adanya peningkatan katabolisme selama operasi.3 I

Oleh karena itu untuk mencegah agar dampak operasi tersebut dapat
diminimalisasi ,status nutrisi pasien sebelum operasi harus ditentukan. Apabila
terdapat malnutrisi maka dukungan nutrisi harus diberikan sebelum operasi. Selain
itu dukungan nutrisi yang diberikan harus tetap dipertahankan selama operasi
dan paska operasi. Dukungan nutrisi perioperatif dapat memperbaiki berbagai
abnormalitas imunologi dan biokimiawi pada pasien dengan manlnutrisi maupun
pasien normal.
Suplementasi nutrisi pasca operasi dapat mencegah terjadinya translokasi
bakteri di usus dan menekan terjadinya infeksi. a'5
74 Pengelolaan Nutrisi Perioperatif

PENIIAIAN SATUS NUTRISI


Penilain nutrisi meliputi anamnesis asupan nutrisi, pemeriksaan fisik terutama
pengukuran antropometri dan pemeriksaan laboratorium yang berhubungan dengan
status nutrisi pasien. Pemeriksaan khusus untuk menentukan status nutrisi seperti
Bioelectical lmpedance Spectroscopy (BlS) dan energy expenditure. Pendekatan
yang akhir-akhir ini sering digunakan terutama untuk penelitian adalah dengan
menggunakan subjective global assessmenf (SGA). 6

Pengukuran antropometri
Pengukuran berat badan merupakan pemeriksaan yang sering digunakan untuk
mengetahui status nutrisi pasien. Perubahan berat badan yang mendadak
menunjukkan perubahan balans cairan yang mendadak. Sedang perubahan berat
badan jangka lama menunjukkan perubahan massa real jaringan tubuh. Setelah
diketahui berat badan tentunya yang perlu dihitung selanjutnya adalah indeks
massa tubuh. (lMT).6'? IMT didapat perbandingan antara berat badan dalam
kilogram dengan tinggi badan kuadrat dalam meter (Gambar 1).

lndeks massa tubuh (lMT) = berat badan (kg)/ (tinggi badan)2(m2)

Gambar 1. Pengukuran lndeks Massa Tubuh (lMT)

Berdasarkan IMT pasien tersebut dapat ditentukan status nutrisi pasien


tersebut. Berbagai klasifikasi digunakan untuk menentukan status nutrisi
seseorang yang sering digunakan adalah klasifikasi oleh WHO dimana nilai
normal IMT adalah 18,5 sampai 22,9. (lihat Tabel 1)
Selain pemeriksaan berat badan, parameter antropometeri lain yang
digunakan yaitu pengukuran tebal lemak bawah kulit triseps (Triceps skinfold
fhlcknessffSF) dan pengukuran lingkar lengan atas/LLA (Midarm circumferencel
MAC). Pengukuran TSF dilakukan dengan menggunakan alat khusus. Pengukuran
LLA dilakukan dengan menggunakan alat pengukur meteran yang terbuat umumnya

Klasifikasi IMT (kg/m'z)

Underweight <18,5
Noimal 18,5-22,9
Overweight e23
At risk 23-24,9
Obese I ?5-29,9
Obese ll 830
Ari Fahrial Syam ls
dari kain atau nylon yang diletakan pada pertengahan
lengan antara akromian
dan olekranon. pengukuran TSF untuk memperkirakan
cadangan remak jaringa
sedang LLA untuk memperkirakan massa
otot. Besaran standar untuk rsF
orang dewasa raki-raki 12,5 mm sedang
untuk perempuan 16,5 mm. Untuk ringkar
lengan atas standar yang digunakan adarah
29,3 cm untuk dewasa raki_raki dan
28,5 untuk dewasa perempuan.
Pemeriksaan fisik secara keserurhan juga bisa
menduga adanya masarah
dengan status nutrisi seseorang. Konjungtiva yang
pucat tanda adanya riwayat
perdarahan baik perdarahan karena
saruran cerna atau sebab rain pada pasien
dengan riwayat asupan makanan yang tidak
baik juga harus dipikirkan
kemungkinan adanya masarah pada nutrisi pasien
tersebut. pada pasien dengan
penyakit kronis missar karena adanya I
tumor adanya udem pada tibiar dan asites
juga meusti dipikirkan kemungkinan adanya I
hipoarbumin pada pasein tersebut.
I

I
Pemeriksaan laboratorium
I
Pemeriksaan raboratorium yang sering digunakan
untuk mengevaruasi status
nutrisi antara lain pemeriksaan albumin, prealbumin,
transferin, kreatinin dan balans
nitrogen.

Subjective global assessment


Metode lain yang sering digunakan untuk merakukan
peniraian nutrisi adarah
dengan menggunakan subjective grobatassessmenf I

sGA). Metode sGA yang


telah tervaridasi ini dikembangkan oreh Destky. I
sedang metode yang menyerupai
sGA dan diperuntukkan untuk pasien usia lanjut I
adalah Mini NutritionalAssesmenf
(MNA) yang dikembangkan oreh veilas I

dan kawan-kawan. Metode sGA ini


melakukan pendekatan penilaian nutrisi berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan
fisik' Anamnesis meriputi adanya perubahan
badan, perubahan asupan makanan,
keluhan gastrointestinar yang menetap serama
2 minggu, perubahan status I

fungsional dan penyakit yang berhubungan dengan


kebutuhan nutrisi. sedang I
pada pemeriksaan fisik dinirai berdsarkan
adanya kehirangan remak subkutan, I
kehilangan massa otot, adanya udem pada kaki,
udem pada sacrum dan adanya
asites.I
Klasifikasi sGA terdiri dari keras A, B dan c.
Keras A jika status nutrisi baik,
kelas B jika marnutrisi sedang/moderat dan keras jika
c marnutrisi berat. Jika
operasi dirakukan atas indikasi penyakit tiba-tiba
missar karena trauma
kemungkihan besar evaruasi dengan sGA
tidak menunjukkan adanya masarah
dengan nutrisi. Tapijika operasi yang dilakukan
untuk penyakit kronis misal karena
kanker usus biasanya penilaian SGA pasien
buruk,
seterah diketahui status nutrisi pasien yang akan
merakukan operasi
dukungan nutrisi harus dipersiapkan seberum
operasi, serama operasidan seterah
operasi.
76 Pengelolaan Nutrisi Perioperatif

DUKUNGAN NUTRTST SEBELUM OPERAST, SELAMA OPERAST DAN PASCA


OPERASI

Berbagai penelitian membuktikan bahwa dukungan nutrisi 1-2 minggu sebelum


operasi baik secara enteral maupun parenteral akan meningkatkan outcome
terutama pada pasien dengan malnutrisi.
Puasa yang terlalu lama sebelum operasi juga sangat mempengaruhi
outcome pasca operasi karena itu pemberian nutrisi cair yang cepat habis di
lambung dapat diberikan beberapa jam sebelum operasi. Adanya suplementasi
nutrisi menjelang operasi ini secara metabolic akan lebih baik dari pada pasien
dipuasakan dengan waktu yang lebih panjang. Asupan nutrisi yang diberikan
menjelang operasi ini akan menurunkan resistensi insulin dan balans nitrogen
urin.
Pada operasi besar seperti operasi pankreatikoduodenektomi, terjadi
penurunan asupan kalori selama operasi, oleh karena selain suplementasi
sebelum operasi paska operasi juga harus diperhatikan mengenai suplementasi
nutrisi tersebut. Metanalisis yang dilakukan oleh Goonetilleke dan Siriwardena
membuktikan pentingnya suplementasi enteral paska operasi yang dilakukan
secara teratur.5
Berbagai studi juga menunjukkan bahwa pemberian nutrisi perioperatif sangat
berperan untuk menurunkan komplikasi paska operasi. Penelitian yang dilakukan
Wu dan kawan-kawan mendapatkan komplikasi operasi yang lebih sedikit
sebanyak 18,3% pada kelompok yang mendapatkan nutrisi dibandingkan 33,5%
kejadian komplikasi pada kelompok control. Selain itu penelitian tersebut juga
mambuktikan bahwa pemberian nutrisi perioeratif akan menurunkan angka
kematian paska operasi dan mempercepat masa rawat. Pada penelitian tersebut
yang dilakukan pada pasien kanker gastrointestinal yang akan dilakukan operasi
dilakukan suplementasi nutrisi enteral atau parenteral pada kelompok pasien yang
diteliti dan hanya memberikan nutris paska operasi kelompok control. Penelitian
ini membuktikan bahwa pemberian nutrisi preoperasi pada kelompok dengan
malnutrisi sedang dan berat akan menurunakan angka kematian dan komplikasi
paska operasi.
Dukungan nutrisi perioperatif dapat diberika secara enteral atau parenteral
atau kombinasi antara parenteral dan enteral. Masing-masing dari modalitas ini
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tetapi jika kondisi pencernaan pasien
tersebut normal maka enteral menjadi pilihan. Karena kita ketahui bahwa
pemeberian parenteral mempunyai resiko untuk terjadinya komplikasi infeksi
berupa flebitis. Beberapa penelitian juga membuktikan bahwa pemberian nutrisi
enteral diawal paska operasi mempunyai komplikasi sepsis yang lebih sedikit
dibandingkan dengan pemberian dukungan nutrisi parenteral. 10
Ari Fahrial Syam 77

KEII.{ruLAN
Status nutrisi pasien yang akan mengalami nutrisi harus diperhatikan dengan
seksama menjelang tindakan operasi. Apalagijika operasi tersebut bersifat elektif.
Jika terdapat malnutrisi maka dukungan nutrisi harus diberikan pada massa
preoperasi dan pasca operasi. Hal ini penting mengingat malnutrisi berhubungan
dengan peningkatan terjadikomplikasipaska operasi, memperpanjang masa rawat
dan meningkatkan kematian. Adanya dukungan nutrisi akan memperbaiki
morbiditas dan mortalitas Pasien.

RME\EI I

I
Hochwald SN, Harrison LE, Heslin MJ, Burt ME, Brennan MF. Eariy postoperative enteral
feeding improves whole body protein kinetics in upper gastrointestinal cancer patients. Am J Surg. I

I
1 997; 74:325-30.
1

Jeejeebhoy KN. Enteral and parenteral nutrition: evidence-based approach. Proc Nutr Soc. I

2001;60:399- 402.
A H Beattie, AT Prach, J P Baxter, C R Pennington. A randomized controlled trial evaluating the
used of ent'eral nukitional supplements postoperatively in malnourished surgical patients.Gut
2000;46:813-8.
WindsorA, Braga M, Martindale R, Buenos R, Tepaske R, Kraehenbuehl L, Weimann A. Fit for
surgery: an exp-ert panel review on optimising patients prior to surgery with a particular focus on
nutiition. Surgeon. 2004; 2(6):315-9.
5. Goonetilleke KS, SiriwardenaAK. Systematic review of peri-operative nutritionalsupplementation
in patients undeigoing Pancreaticoduodenectomy.J Pancreas (online). 2006;7(1):5-1 3.
6. Dwyer. Nutritional Requirements and DietaryAssessment. ln FauciAS, Braunwald E, lsselbach.er
f.l 'ett at. (eds). Harrisbn's Principle of lnteinal Medicine. 14th edition. New York: McGraw-Hill.
2002. p. 451-54.
7. SvamAF. Malnutrisi. Dalam SudovoAW, SetiyohadiB,Alwi l, Simadibrata M, SetiatiS. BukuAjar
llriru Penyakit Dalam.EdisilV. Ja(arta: PusafPenerbitan Depademen IPD FKUl.2006.Hal314'
6.
Barendreqt K, Soeters B, Allison SP. Diagnosis of malnutrition. Screening and assessment. ln
Sobotfa LIAltison SB Frirst P et al.(editors). Basics in clinical nutrition. 2'd edition. Semily: House
Galen.2000 p.29-36.
Wu GH, Liu ZH,Wu ZH, Wu ZG. Perioperative artificalnutrition in malnourhised gastrointerstinal
cancer patients. World J Gastroenterol 2006; 12(1 5): 2441-2444.
10. Moore FA, Feliciano DV,Andrassy RJ, McArdleAH, Booth FV, Morgenstein-WagnerTB, Kellum
JM Jr, Wllling RE, Moore EE.-Early enteral feeding, comparedvith^parenteral, reduces
postoperativeieptic complications. The results of a meta-analysis. Ann Surg. 1992;216:172'
1 83.
BIB m

I
a.

81

3.1 Penyaflt Jantung Koroner


Ika Prasetya Wrjaya, Idrus Alwi
I

umlah penderita penyakit jantung koroner yang akan menjalani operasi non-
jantung saat ini semakin banyak, mulai dari penderita jantung koroner yang
sudah lama maupun yang baru saja terjadi. Untuk persiapan tindakan operasi,
para penderita jantung koroner harus menjalani beberapa tahap pemeriksaan guna
menurunkan risiko kardiak pada saat operasi. American College of Cardiologi/
American HearT Association (ACCIAHA) dan American College of Physician (ACP)
sudah mengeluarkan sebuah panduan untuk tatalaksana perioperatif pasien dengan
penyakit jantung yang menjalani operasi non-jantung.
Tujuan dari evaluasi perioperatif kardiovaskular adalah: (1) untuk mengkaji
secara klinis status medik pasien saat itu dan profil risiko klinis, (2) untuk
I
memutuskan apakah perlu pemeriksaan lanjutan sebelum operasi, (3) membuat
rekomendasi sesuai hasil yang dikaitkan dengan tatalaksana yang akan dikerjakan I

guna menurunkan risiko. I


Selain ACC/AHA dan ACP, banyak cara lain untuk menentukan risiko kardiak
yang pernah dikenal, sepertiASA, NYHA/CCS, Goldman, Cooperman, Detsky, Larsen
dan Lee (1999). Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Saat ini mungkin
lebih baik mengikuti panduan evaluasi risiko kardiak dari ACC/AHA dan ACP.

POI.A PENDEKATAN KE PASIEN

Anamnesis/riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang lengkap dan terinci adalah faktor yang penting dalam
menentukan risiko klinis pasien dari timbulnya komplikasi kardiak pasca operasi.
Beberapa pertanyaan penting harus diajukan untuk mendapatkan status klinis
pasien terkini. (Tabel 1)
a2 Penyakit Jatung Koroner

Riwayat
Usia
Penyakil jantung sebelumnya (lM, angina, aritmia, penyakit katup)
lntervensi kardiak sebelumnya (CABG, PCI)
Evaluasi kardiak sebelumnya (tes non invasif, angiografi)
Faktor risiko (hipertensi, DM, dislipidemia, merokok)
Penyakit yang bertubungan (Penyakit vaskular perifer, CVA, CKD, PpOK)
Status terkini (nyeri dada, sesak napas)
Kapasitas tungsional
Obat-obatan (termasuk jamu dan obat-obat Cina)

Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vitat
Bruit karotis
Tekanan vena jugularis
Murmur (AS, MS) atau gallop (S3)
Ronki atau mengi
Edema
HUrSa$ peffer
Defisittneurologis
Keterangan : CABG, coronary aftery bypass grafting; CKD, chronic kidney dlsease, CVA, cerebrovascular
accident; DM, diabetes melitus; lM, infark miokard; PPOK, penyakit paru obstruktif kronis

Faktor usia pada beberapa penelitian dan jenis indikasi risiko masuk sebagai
salah satu prediktor risiko yang independen. Batas usia yang digunakan adalah
di atas 70 tahun. Yang menjadi perhatian ialah bahwa dengan bertambahnya usia
maka terjadi penurunan kemampuan kardiak dan timbulnya penyakit jantung yang
tak terlihat secara klinis. Pada sebuah penelitian besar lainnya didapat bahwa
usia bukan faktor risiko independen tetapi harus dilakukan penyesuaian dengan
faktor yang lebih kuat prediksinya.
Riwayat penyakit jantung terdahulu harus diketahui seperti: angina, infark
miokard, gagal jantung kongestif dan edema paru, aritmia atau penyakit jantung
katup. Jika diketahui ada penyakit tersebut di atas maka harus diketahui derajat
berat ringan penyakit. Untuk kasus infark miokard maka harus diketahui stabilitas
angina yang diderita dengan menggunakan skala ccs untuk angina. (Tabel 2)
Pertanyaan yang diajukan ke pasien harus dimengerti oleh pasien dan merupakan
kebiasaan pasien sehari-hari sehingga data yang didapat tidak bias. pasien
dengan recent infrak miokard, angina tak stabil, angina kelas lll-lV gagaljantung
yang dekompensata dan stenosis aorta yang simtomatik memiliki risiko tinggi
untuk megalami komplikasi kardiak perioperatif dan harus menjalani pemeriksaan
dan intervensi dahulu sebelum dilakukan operasi yang terencana. sedangkan
pasien dengan angina stabil ringan (kelas l-ll), riwayat infark miokard lama dan
-

Ika Prasetya Wijaya, Idrus AIwi 83

gagal jantung yang terkompensasi memiliki risiko lebih rendah namun tetap
memiliki risiko yang bisa meningkat dibandingkan dengan pasien yang tidak
memiliki penyakit jantung. Pada beberapa pasien yang akan menjalani tindakan
yang memiliki risiko rendah atau sedang dapat langsung menjalanitindakan operasi
tanpa melewati pemeriksaan intervensi atau CABG, karena tindakan tersebut
akan meningkatkan risiko komplikasi perioperatif. Pertama yang harus menjadi
acuan adalah tindakan yang tidak membahayakan (flrs[ do no harm).
Apabila pasien diketahui tidak menderita penyakit jantung maka faktor risiko
timbulnya penyakit jantung koroner harus dicari. Mereka adalah pasien dengan
diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia dan merokok. Pada penderita diabetes
yang sangat membutuhkan insulin, mereka berisiko mengalami komplikasi kardiak
perioperatif. Tetapi bila pasien tidak memiliki hipertensi berat (stage 2 JNC Vll)
maka risikonya adalah sedang. Pasien bisa juga memiliki penyakit lain yang
berhubungan dengan penyakit jantung koroner atau gagal jantung seperti penyakit
vaskular perifer, penyakit serebrovaskular atau insufisiensi ginjal. Harus juga dicari
kemungkinan adanya penyakit paru obstruktif kronis.

Kelas Deskripsi tiap kelas


Pada kegiatan fisik biasa tidak menimbulkan keluhan angina, seperti berialan atau
naik tangga. Angina muncul pada aktivitas yang berlangsung terus menerus, cepat
dan lama saat bekerja atau rekreasi
Pada aktiftas biasa terdapat keterbatasan ringan, seperti berjalan atau naiktangga
denga cepat, berjalan menanjak, berjalan atau naik tangga setelah makan, pada
keadaan dingin, berangin atau dalam stres emosional atau dalam beberapa iam
setelah bangun tidur. Angina muncul setelah berjalan > 2 blok atau naik tangga > 1
flight.
ilt Pada aKiyitas fisik biasa terdapat keterbatasan yang jelas. Angina muncul saat
berjalan 1 sampai 2 blok atau naik tangga I flight dalam kondisi yang normal.
I

ru fidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun tanpa ada keluhan, angina bisa muncul I
walau dalam keadaan istirahat
I

Sangat penting untuk memastikan kapasitas fungsional pasien, yang


berperan pada komplikasi pasca operasi. Tidak cukup dengan hanya menanyakan
apakah pasien memiliki keluhan nyeri dada atau sesak napas saat melakukan
aktivitas tanpa mengetahui pengetahuan pasien tentang aktivitas sehari-hari atau
kemampuan mereka dalam melakukan aktivitas tersebut. Perlu ditanyakan pula
kemampuan pasien berjalan seberapa jauh atau kemampuan menaiki anak tangga
sampai berapa flight (flight adalah bagian dari anak tangga yang datar dan biasanya
tempat berputar di antara 2 lantai). Pasien yang tidak mampu menaiki tangga 1

flight merupakan salah satu keterbatasan yang menjadi penentu dalam


menentukan risiko kardiak perioperatif terutama untuk menjalani tindakan operasi
besar toraks, vaskular, dan operasi abdominal.
84 Penyakit Jatung Koroner

Catatan yang lengkap tentang obat-obatan yang dikonsumsi serta dosis


lengkapnya, termasuk didalamnya obat-obat bebas, herbal (amu-jamuan) serta
obat tradisional lainnya seperti obat Cina harus didokumentasi dengan baik.

Pemeriksaan fisis
Lakukan pemeriksaan fisis yang langsung berguna untuk menemukan gejala-
gejala yang berhubungan penyakit jantung sesuai dengan riwayat penyakit yang
didapat. Pemeriksaan tanda vital akan mendapatkan keberadaan hipertensi,
hipotensi, takikardia, bradikardia, bermacam aritmia dan gangguan pernapasan.
Tekanan vena jugular yang meningkat serta 53 gallop juga bisa ditemukan sebagai
salah satu faktor prediktor dari Goldman untuk komplikasi pasca operasi. Gejala
lain gagal jantung seperti ronki dan edema harus dicari. Setiap ditemukan ada
murmur kardiak harus dievaluasi sebaik mungkin. Adanya bruit karotis, hemiparese,
massa di abdomen yang berdenyut atau menurunnya pulsasi di perifer
menunjukkan adanya gangguan serebrovaskular atau penyakit vaskular perifer.

Elektrokardiogram
EKG praoperasi adalah komponen ketiga yang harus dilakukan untuk evaluasi
risiko kardiak rutin. EKG dikerjakan untuk mengevaluasi adanya infark miokard
sebelumnya, iskemia, aritmia, gangguan konduksi, hipertrofi ventrikel kiri dan
perubahan pada gelombang ST-T yang non spesifik. Temuan yang berarti adalah
bila ada lM yang tidak bergejala, terutama pada pasien yang EKG sebelumnya
tidak menunjukkan gambaran seperti lM. Adanya hipertrofi ventrikel kiri menunjukan
adanya hipertensi yang lama, sesuai dengan temuan klinis pada pasien atau
tidak harus disesuaikan. Banyak jenis aritmia bisa ditemukan dari EKG. Depresi
pada segmen ST yang signifikan dan adanya blok cabang berkas kiri (LBBB)
menjadi tanda adanya penyakit jantung koroner. Namun PJK yang tidak bergejala
tidak meningkatkan risiko perioperatif pada pasien yang diketahui maupun tidak
diketahui menderita PJK.

Evaluasi kardiak sebelumnya


Bila pasien sudah pernah menjalani pemeriksaan koroner sebelumnya maka
penting untuk didapatkan semua data tersebut. Yang bisa menjadi acuan adalah
hasil pemeriksaan uji latih jantung, ekokardiogram 2D saat istirahat, sfress
thallium scan, dipyridamole thallium imaging, dobutamine sfress echocardiogram
atau angiografi koroner. Tidak cukup hanya hasil normal atau tidak normal,
dibutuhkan data yang lengkap dari salah satu pemeriksaan tadi.

PENII.AIAN RISTKO IGINIS

Berdasarkan data yang ada maka penjawab konsul harus bisa mengidentifikasi
pasien masuk dalam kelompok risiko mana, rendah, sedang atau tinggi. Secara
a

Ika Prasetya Wijaya, Idrus Alwi 85

umum maka yang memiliki risiko rendah tidak memerlukan €valuasi lanjut untuk
menjalani pembedahan. Pada risiko tinggi diperlukan tindak lanjut berupa angiografi
koroner dan revaskularisasi. Sedangkan pemeriksaan noninvasif berguna untuk
memilah apakah pasien masuk dalam kelompok risiko sedang atau tinggi.
Panduan ACC/AHA dan ACP telah membuat beberapa algoritme untuk
mengevaluasi kardiak perioperatif dan membantu dokter konsultan untuk
memutuskan apakah bisa langsung dioperasi atau perlu investigasi atau
tatalaksana lanjut.

Panduan ACC/AHA
AHA pada tahun 2002 sudah mengeluarkan panduan tatalaksana perioperatif kardiak I

untuk operasi bukan operasija;rtung yang kemudian dilengkap pada tahun 2007. I

AHA menyebutkan kriteria penyakit yang termasuk golongan mayor, sedang i

maupun minor. Demikian pula dengan jenis tindakan yang akan dilakukan dibagi I

atas ketiga kriteria tadi. Terbagi pula atas berapa kapasitas fungsional yang dimiliki i

pasien.
Untuk kasus penyakit jantung koroner maka yang termasuk klasifikasi mayor
untuk penyakit adalah: sindrom koroner tak stabil, angina pektoris tak stabil, infark
miokard "recent'(7-30 hari), angina sesuai klas lll-lV CCS, gagaljantung kongestif
yang dekompensasi, aritmia yang bergejala dan penyakit katup jantung berat. Untuk
kalsifikasi sedang terdiri dari: angina stabil klas l-ll, riwayat infark miokard (>30
hari), riwayat gagal jantung kongestif yang terkompensasi dan lain-lain. Sedangkan
untuk kelainan gambaran EKG dan riwayat kecelakaan yang teriadi pada
serebrovaskular serta tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol masuk minor.
Untuk kapasitas fungsional dilakukan penilaian sesuai dengan kemampuan
fisik pasien. Patokan alau cut off point yang diambil untuk perhitungan dalam
METS adalah angka 4. Angka ini menunjukkan kemampuan minimal yang !

sebaiknya dimiliki pasien. Bila seorang pasien mampu menanjak sampai dengan
I
1 lantai sambil membawa barang bawaan yang dijinjing seperti tas kresek dari
toko swalayan, berjalan menanjak atau berjalan dengan kecepatan 34 mil perjam, I

bisa mandi dengan menggunakan gayung tanpa mengalami sesak menunjukkan


kemampuan pasien yang lebih dari 4 METS.
Tindakan pembedahan juga dikelompokkan dalam beberapa kelas. Tindakan
dengan risiko tinggi, sedang dan rendah (masing-masing memiliki risiko timbulnya
gangguan kardiak >SYo, 1-5o/o dan <1%). Tindakan yang termasuk risiko tinggi
adalah: operasi besar (mayor) emergensi, bedah pembuluh darah perifer maupun
aorta dan tindakan bedah yang lama, sehingga bisa terjadi kehilangan cairan
atau darah dan lainnya. Tindakan yang termasuk sedang adalah endarterektomi
karotis, bedah leher dan kepala, bedah intraperitoneal dan intratoraks serta prosedur
ortopedi. Sedangkan tindakan dengan risiko rendah adalah prosedur endoskopi,
bedah payudara serta katarak.
86 Penyakit Jatung Koroner

Untuk tindakan gawat darurat maka tidak ada waktu yang cukup untuk
melakukan evaluasi kardiak yang cukup sehingga risiko terjadinya penyakit jantung
(cardiac risk)meningkal2-5 kali dari nqrmal. Sedangkan untuk yang menjalani
tindakan elektif maka harus dilanjutkan pemeriksaan sesuai algoritme yang ada.

Panduan ACP
ACP banyak mengambil kepustakaan Lee dan Detsky untuk dijadikan panduan.
Tidak banyak diterapkan tatalaksana khusus untuk persiapan operasi.

PEMERIIGAAN NONI]WASIF UNruK MENGETAHUI IGPASITAS R,NGSIONAL


DANRISIKOPJK
Pemeriksaan noninvasif yang dilakukan bisa berupa pemeriksaan saat istirahat,
uji latih jantung maupun dengan menggunakan obat baik berupa pencitraan perfusi
miokardium maupun ekokardiografi.

Ekokardiografi saat istirahat


Pemeriksaan ekokardiografi saat istirahat (resting) bukan merupakan pemeriksaan
rutin. Namun jika ditemukan pada beberapa pasien terdapat perburukan/penurunan
kemampuan fisik ekokardiografi ini bisa menjadi alat bantu. Hasil pemeriksaan
fraksi ejeksi ventrikel kiri bisa diketahui dari pemeriksaan ini. Angka < 35% bisa
menjadi petunjuk akan terjadinya gagal jantung pasca operasi, ia tidak dapat
memprediksi iskemia miokard perioperatif. Pemeriksaan ini sangat dianjurkan
pada pasien dengan kecurigaan memiliki penyakit jantung katup dan kardiomiopati
hipertrofi.

Uji latih jantung


Uji latih jantung paling sering menggunakan treadmill- Uji ini terkadang banyak
kendala, antara lain kemampuan pasien untuk melakukan uji ini rendah. Untuk
mencapai 75o/otargel frekuensi nadi sesuai usia banyak tidak dicapai oleh pasien.
Terjadinya iskemia pada fase latihan yang masih rendah menunjukkan risiko tinggi.
Bila hasil positif tidak ditemukan tetapi terdapat ketidakmampuan mencapai tar-
get nadi yang sesuai usia membuat pemeriksaan tidak bisa memberikan
kesimpulan. Selain itu bila kemampuan pasien normal tetapi dicapai dengan nadi
yang rendah, maka kedua hal tersebut bisa menunjukkan risiko yang tinggi karena
kapasitas fungsional yang rendah atau jelek.
Yang perlu diketahui saat uji latih jantung bukan hanya hasil positif atau
negatif, namun harus diketahui pula pencapaian target sesuai usia, frekuensi
nadi saat puncak latihan, respon tekanan darah sistolik dan hasil double product
yang merupakan perkalian nadi dengan tekanan darah sistolik.
C

Ika Prasetya Wijaya, Idrus Alwi 87

Pemeriksaan dengan obat (Non-exercise Stress Tesfl


Pada pasien yang tidak mampu melakukan uji latih jantung maka pemeriksaan
ini menjadi pilihan. Penggunaan dipiridamol/adenosin maupun dobutamin dapat
dipilih berdasarkan indikasi atau kontraindikasi yang ada. Ekokardiografi dengan
latihan menggunakan obat mungkin kemampuannya masih di bawah pemeriksaan
perfusi miokardium. Namun ekokardiografi. dengan obat pemacu jantung ini
memiliki spesifisitas dan positive predictive value yang lebih baik ketimbang
pencitraan perfusi miokardium. Sayangnya pada,pasien dengan LBBB (/eft bundle-
branch b/ock) hasil pemeriksaan ini bisa menunjukkan positif palsu karena gerakan
di septum berkurang.

Pencitraan pedusi miokardiu m (Myoca rdia I Perfusion Imaging)


Yang lazim digunakan adalah pencitraan dengan menggunakan thallium atau
technetium dengan bantuan dipiridamol. Efek samping dipiridamol adalah
bronkospasme, nyeri dada, pusing dan lemas. Kontraindikasi relatif dipiridamol
adalah bronkospasme dan stenosis karotis yang signifikan.
Sangat sedikit data yang mendukung penggunaan pemeriksaan ini sebagai
persiapan perioperatif non kardiak. Pada tindakan operasi vaskular didapatkan
data dari 2834 pasien, ada189 yang memiliki kejadian kardiak perioperatif,
menunjukkan hasil positive predictive value sekitar 12o/o (rentang 4-20%) dan
negative predictive vatue sekitar ggo/o (rentang 95-100%). Untuk tindakan non
vaskular , 674 pasien dengan 49 kejadian perioperatif, PPV sekitar 16% (rentang
6-670/0) dan NPV 99% (rentang 98-100%). Risiko kardiak meningkat sesuai dengan
hasil pemeriksaan berupa meningkatnya luas dan jumlah daerah miokard yang
mengalami kelainan reperfusi.

Dobutam ine stress echocardiography


Dari 1657 pasien dengan 83 kejadian kardiak didapatkan hasil PPV 15% (rentang
7-25o/o) dengan NPV 99% (rentang 93-100%). Dari hasil 3 penelitian untuk tindakan
non vaskular dan 9 penelitian untuk tindakan vaskular didapatkan hasil yang sama
untuk PPV dan NPV. Hasil pemeriksaan yang menunjukkan meluasnya dan berat
pergerakan dinding ventrikelyang buruk, terutama pada ambang batas pemberian
dobutamin yang rendah, merupakan prediktor outcome jangka pendek dan jangka
panjang yang jelek. Pemeriksaan ini tidak boleh dilakukan pada penderita aritmia
yang bergejala jelas, tekanan darah tinggi atau rendah yang jelas dan dengan
kecurigaan stenosis aorta yang kritikal.

Monitor EKG ambulatory


Pemeriksaan inijuga memiliki data tidak banyak. Masalah lain adalah kemungkinan
gambaran EKG dasar sudah mengalami kelainan selain pemeriksaan yang
membutuhkan waktu 24 jam.
88 Penyakit Jatung Koroner

TATAIAIGANA PE RIOPE RATIF

Langkah pertama yang dilakukan adalah mengidentifikasi apakah pasien masuk


dalam risiko terjadinya komplikasi kardiak perioperatif, setelah itu tugas kita adalah
menurunkan risiko tadi. Banyak hal yang bisa dilakukan antara lain memberikan
terapi medikamentosa atau melakukan tindakan langsung seperti CABG atau
PCl. Pertanyaan yang harus dibuat sebelum tindakan adalah: 1. apakah tindakan
intervensi tadi bisa memperbaiki outcome?; 2. jika ya, berapa lama tindakan tadi
dapat memberikan perlindungan optimal?; dan 3. pada pasien yang seperti apa
hal tersebut memberikan manfaat?

Tatalaksana medikamentosa
Beberapa obat yang biasa digunakan untuk menurunkan komplikasi kardiak
perioperatif setelah operasi nonkardiak, antara lain adalah penyekat beta, agonis
o, nitrogliserin dan penghambat kanal kalsium. Untuk penghambat kanal kalsium
belum banyak data yang didapat tetapi memang memberikan hasil yang baik
untuk operasi kardiak. Sedangkan untuk penggunaan nitrogliserin data yang didapat
sangat terbatas. Nitrogliserin sendiri hanya mengurangi iskemia pada tindakan
endaterektomi karotis tetapi bukan kejadian infark miokard maupun kematian.
Obat ini meningkatkan kejadian hipotensi saat tindakan berlangsung.

Penyekat p
Bisoprolol memberikan hasil yang baik pada penelitian Poldermans dkk.
Pemberian 7 hari sebelum dan dilanjutkan 30 hari sesudah operasi pada pasien
dengan hasil dobutamrne sfress echocardigraphy positif menunjukkan hasil
penurunan risiko kematian akibat penyakit jantung (3,4% versus dan infark
17o/o)
miokard nonfatal (0% versus 17%) dibandingkan dengan plasebo. Penelitian
Boersma dkk pun menunjukkan hasil bahwa bisoprolol bisa menurunkan kejadian
kardiak pada penderita dengan faktor risiko klinis untuk terjadinya cardiac events
sesuai indeks kardiak Lee yang direvisi. Pada penggunaan jangka panjang
bisoprololjuga menurunkan kejadian infark miokard dan cardiac deafh dibandingkan
dengan kelompok standar (12o/o vercus 32o/o).
Atenolol menurut penelitian the Multicenter Study of Perioperative lschemia
Research Group memberikan hasil penurunan kejadian iskemia (24% versus 39%)
pada pemberian yang tidak terlalu lama sebelum operasi dan diteruskan selama
perawatan. Hasil penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang bermakna dalam
penurunan kejadian infark miokard maupun kematian akibat jantung. Tetapi setelah
pemberian 2 tahun memberikan hasil yang signifikan terhadap kejadian infark
miokard maupun cardiac death. Untuk pemberian penyekat beta selama operasi,
seperti esmolol hanya memberikan hasil yang baik dalam mengurangi kejadian
iskemia saja.
Ika Prasetya Wijaya, Idrus Alwi 89

Penting diperhatikan kriteria inklusi setiap penelitian, tatacara pemberian,


tipe operasi dan keluaran (outcome) yang diukur dari masing-masing penelitian
tadi. Hasil penelitian yang menggunaan protokol ketat dan dosis yang dititrasi
untuk mencapai nadi <65 x/menit tentunya akan memberikan hasil yang berbeda
bila dibandingkan dengan regimen yang berbeda pula.

Agonis alfa
Clonidin memberikan hasil yang baik dalam menurunkan kejadian iskemia miokard
pada pembedahan vaskular. Obat lainnya adalah Mivazerol yang menurunkan
cardiac death telapi tidak untuk kejadian infark miokard.
I

CABG perioperatif I

Tidak ada penelitian yang bersifat randomized controlled fnal untuk mengamati I

manfaat CABG sebagai tindakan profilaksis pada persiapan operasi nonkardiak. {

Pada satu penelitian dengan 1001 pasien konsekutif didapatkan bahwa untuk I

jangka pendek profilaksis dengan CABG untuk persiapan operasi non kardiak
tidak banyak memberikan keuntungan. Dari Coronary Artery Bypass Sfudy (CASS)
hanya memberikan hasil yang signifikan untuk menurunkan angka cardiac death
(0,9% versus 2,4%) namun tidak signifikan secara statistik untuk menurunkan
infark miokard (0,7% versus 1,1%) dibandingkan dengan pasien yang hanya
menerima terapi medikamentosa saja. Lain halnya bila dibandingkan dengan
pasien yang tidak menjalani CABG sebelum tindakan nonkardiak. Hasilnya sangat
jarang dilakukan CABG hanya untuk menurunkan risiko perioperatif nonkardiak.
Sedangkan untuk masa perlindungan terhadap tindakan nonkardiak pada
pasien yang telah menjalani CABG, disebutkan bahwa waktu yang ideal adalah
4-6 tahun setelah CABG masih didapatkan efek penurunan kejadian kardiak pada
operasi/tindakan nonkardiak. ACC malah merekomendasikan waktu 5 tahun pada I

pasien dengan medikamentosa tanpa keluhan. Semua itu berhubungan dengan


{
kejadian oklusi atau stenosis pada graft.
I
Intervensi koroner perkutan
Untuk angioplasti profilaksis juga tidak ada randomized clinical trial yang
menunjukkan penurunan kejadian iskemia, infark dan kematian pada tindakan non
kardiak. Tetapi daridata yang ada didapatkan kejadian kematian 0-2,7Yo dan kejadian
infark 0-5,6%. Hasil yang lebih baik dari yang diharapkan berdasarkan kontrol
history. Waktu rata-rala dari PTCA ke operasi atau tindakan adalah t hari sampai 1

tahun. ACC merekomendasikan waktu 1 minggu setelah balloon angioplasty agar


sudah terjadi penyembuhan pada tempat dilakukan tindakan PTCA.
Pada pasien yang menjalani pemasangan sfenf, waktu yang diperlukan untuk
mencegah restenosis dan perdarahan adalah 2-4 minggu namun tidak lebih dari 8
minggu. Obat-obat antiplatelet seperti aspirin dan clopidogrel tetap digunakan
sampai waktu tersebut untuk mencegah restenosis. Kematian dan episode
90 Penyakit Jatung Koroner

perdarahan dapat terjadi bila tindakan nonkardiak dilakukan kurang dari 2 minggu.
Kejadian restenosis biasanya meningkat setelah 8 minggu. Tetapi bila restenosis
tidak terjadi hingga 8-12 bulan maka perlidungan dari PTCA sangat baik terhadap
pasien dalam menghadapi tindakan nonkardiak. Lihat algbritme tata laksana pasien
dengan riwayat PCI dan akan menjalani operasi non kardiak
Satu laporan yang membandingkan antara PCI dengan CABG menunjukkan
hasil yang sama dalam mencegah infark dan kematian. Pelaksanaan
revaskularisasi yang dilakukan di bawah 4 tahun menjelang operasi lebih baik
dibandingkan setelah 4 tahun dalam melindungi pasien dari komplikasi.

Riwayat Coronary lnteruention (PCI\

>14 hari >30.45 hari <30-45 hari <365 hari >365 hari

lTundaooerasi bilall I ltundaooerasi bila ll I


looerasi Lf"ktif ll laniutkan rencana I I ooerasi efektif ataul I laniutkan ren"rn, I
"t", I I
I tiaat menoesat ooerasi I I tidak mendesak I I ooerasi I

lrursentt ll I lrurgenn I

(adaptasi ACCIAHA 2007 guideline on perioperalive cardivascular


evaluation.6nd care for non cadiac surgery-JAoc 207, 50(17) : 161-222)

Gambar 1. Algoritme pendekatan tatalaksana pasien dengan riwayat PCI yang direncanakan
operasi non-kardiak

pasang stent dan laniutkan


rendah-+ terapi 2 antiplatelet kombinasi
' (Dual-antiplatelet)
Tidak rendah

30 - 365 hari

{rdrplasi ACqlAllA 3007 guidelim an pgr'npektiw cardivasular €vatuation and €rs for non e.diac surg{y)

Gambar 2. Algoritme tata laksana pasien yang membutuhkan terapi intervensi koroner
perkutan.(PCl) yang direncanakan operasi.
Ika Prasetya Wijaya, Idrus Alwi 9l

Kateter afteri Pulmonal


Penggunaan alat ini tidak dianjurkan karena dari satu penelitian meningkatkan
kejadian gagal jantung.

Konsiderasi anestesi
Sampai saat ini tidak ada bukti yang kuat teknik anestesi mana yang baik untuk
melindungi miokard. Sehingga teknik anestesi mana yang dipilih merupakan hak
dari anestesiologis. Tatalaksana nyeri sebelum operasi sangat penting, namun
tidak ada teknik analgesia yang disepakati. Pertahankan suhu dalam suhu
normal untuk menurunkan kematian kardiak perioperatif.

I(EIMruLAN
Banyak metode dalam persiapan perioperatif tindakan nonkardiak. Namun yang
terpenting adalah proses identifikasi pasien mulai dari anamnesis yang lengkap,
pemeriksaan fisik yang tepat, dan EKG. Dari hasil ini maka beberapa risiko,
panduan dan algoritme dapat membantu kita untuk memutuskan apakah pasien
perlu pemeriksaan khusus atau tidak sebelum menjalani tindakan nonkardiak.
Apakah pemeriksaan atau tatalaksana medikamentosa diperlukan sebelum
tindakan/operasi. Harus diingat bahwa jangan lakukan pemeriksaan bila hasilnya I

tidak mengubah tatalaksana pasien. I

I
RETEREUil
'l
, Eagle KA, Berger PB Calkins H, et al. ACC/AHA guideline update for perioperative cardivascular
evaluation for non cardiac surgery-excecutive summary: a report of the American College of
Cardiology/American HeartAssociation Task Force on Practice Guidelines (Comite to Update the I
1996 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery). J Am Coll
Cardiol. 2002;39 :542-53. I

2. Eagle KA, Brundage BH, Chaitman BR, et al. Guidelines for perioperative cardiovascular I
evaluation for noncardiac surgery. Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Comitte on Perioperative Cardiovascular
Evaluation for Noncardiac Surgery), J Am Coll Cardiol. 1996;27:910-48.
3. Cohn SL, Goldman L. Preoperative risk evaluation and perioperative management of patients
with coronary artery disease. ln: Cohn SL, ed. Preoperative medical consultation. Med Clin N
Am.2003;87:'11'l-36.
4. Palda VA, DetskyAS, Perioperative assessment and management of risk from coronary artery
disease. Ann lntern Med. 1997;127:313-28.
5. Lee TH, Marcantonio ER, Mangione CM, et al. Derivation and prospective validation of a simple
index for prediction of cardiac risk of major noncardiac surgery. Circulation. 1 999;100:1043-9.
6. Goldman L, Caldera DL, Nussbaum SR, et al, Multifactorial index of cardiac risk in noncardiac
surgical procedures. N Engl J Med.1977;297:845-50.
7. Harun S, Majid A. Penyakit jantung dan operasi non jantung. ln: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi
l, et al, eds. 4h ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam
FKUI;2006. p. 1703-10.
92 Penyakit Jatung Koroner

8. Poldermans D, Boersma E, Bax JJ, et al, The effect of bisoprololon perioperative mortality and
myocardial infarction in high-risk patients undergoing vascular surgery. Dutch Echocardiographic
Cardiac Risk Evaluation Applying Stress Echocardiography Study Group. N Engl J Med.
1 999;341 :1 789-94.

9. Boersma E, Poldermans D, Bax JJ, et al. Predictors of cardiac events after major vascular
surgery: role of clinical characteristics, dobutamine echocardiography, and beta-blocker therapy.
JAMA, 2001 ;285:1 865-73.
10. Mangano DT, Layug EL, Wallace A, et al. Effect of atenolol on mofiality and cardiovascular
morbidity after noncardiac surgery. Multiceter Study of Perioperative lschemia Research Group.
N EnglJ Med. 1996;335:1713-20.
11. KaluzaGL,JosephJ,LeeJR,etal.Catastrophicoutcomesofnoncardiacsurgerysoonafter
coronary stenting. J Am Coll Cardiol. 2000;35:1288-94.

-)
93

8.2 Arltmla
Dono Antono, Sjaharuddin Harun

ritmia adalah gangguan irama jantung dapat berupa irama yang tak teratur
etapi termasuk gangguan pembentukan impuls dan gangguan konduksi.
Gangguan pembentukan impuls bisa pada SA node, atrium, AV node dan ventrikel.
Sedangkan gangguan konduksi terjadi pada nodus SA, nodus AV dan sistem his.
Tindakan pembedahan maupun pascabedah dapat mengakibatkan beban
iskemia dan dapat mengancam pasien, baik yang diduga ataupun yang tidak
diduga mempunyai penyakit kardiovaskular. Pada pembedahaan dapat terjadi
pendarahan yang tidak terduga, asidosis, gangguan ventilasi, hiperkapnia,
resistensi sistemik menurun, kontraksi dan konduktivitas jantung menurun, aritmia,
hipotensi (dengan atau tanpa perdarahaan) yang kesemuanya ini dapat
mengganggu fungsi jantung.
Obat anestesi opiat pada dosis tinggi dihubungkan dengan ventilasi pasca-
bedah, penurunan denyut jantung dan tekanan darah (TD). Suksinilkolin
menyebabkan takikardia ataupun bradikardia, tetapi lebih sering timbul respons
bradikardi (sinus bradikardia berat, ritme nodal dan bahkan asistol).
Obat anestesi inhalasi (halotan, enfuran, isofluran) dapat menyebabkan
depresi kontraksi miokard, mengurangi after-load. Obat-obat baru seperti
desfluramin dan sevofluran belum terbukti keamanannya terhadap sistem
kardiovaskular.
Anestesi spinal/epidural dapat menyebabkan hipotensi dan bradikardia.
Belum ada satu pun teknik maupun obat-obat anestesi yang benar-benar dapat
melindungi jantung. Oleh karena itu pilihan anestesi dan pemantauan intraporatif
diserahkan pada tim anestesi.
94 Aritmia

KI.ASIFIIGSIARITMIA
Dari mekanisme terjadinya irama jantung dan aritmia maka dapatlah kita buat
klasifikasi irama jantung sebagai berikut :
. lrama berasal dari nodus SA.
- lrama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada umumnya.
- Sinus aritmia, baik yang disebabkan pernapasan ('TespiratoryJ ataupun
tidak
- Sinus takikardi, peningkatan aktivitas node SA 100 kali/menit atau lebih,
. Aritmia Atrial-
- Fibrilasi atrial (Afi) dengan respon ventrikel cepat, normal atau lambat.
- Fluter atrial (Afl).
- Atrial takikardia biasanya paroksismal (PAT, Paroxysmal Atrial Tachy-
cardia). Ada juga yang disertai dengan blok hantarannya, dan disebut
sebagai PAT dengan blok.
- Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial tersebut hanya datang
satu per-satu, mungkin dari satu fokus (unifokal) atau lebih (multi fokal).
. Aritmia AV Jungsional.
Ada yang timbul pasif, yaitu karena nodus SA kurang aktif sehingga diambil
alih:
- lrama AV Jungsional, biasanya bradikardia; bisa tinggi, sedang atau
rendah.
- AV Jungsional ekstrasistol (uni-multi focal)
- AV Jungsional takikardia paroksismal, seperti PAT. Seringkali sukar
membedakan antara irama yang berasal dariAtrial atau AV Jungsional,
sehingga disebut saja sebagai irama supra ventrikular, karena memang
keduanya berasal dari atas ventrikel dan penatalaksanaannya pun tak
jauh berbeda. Tetapi Afi dan Afl tidak mungkin dari AV Jungsional,
sebagaimana irama AV Junctional pasif (non paroksismal) dapat dikenali
bukan Atrial.
. Aritmia Ventrikular
- lrama ldio Ventrikular, biasanya non paroksismal, dan idio ventrikular
takikardiainon paroksismal ventrikular takikardia (non PVT).
- Paroksismal ventrikular takikardia (PVT).
- Fluter ventrikuler (VFl) serta Fibrilasi ventrikuler (Vfi).
- Parasistol ventrikuler.
- Asistole
. Gangguan hantaran pada sekitar berkas Hls dan percabangannya (Bundle
Branch).
- Blok AV (AVB) derajat 1, 2 (tipe 1 Wenkebach serta tipe2) dan 3
(total).
Dono Antono, Sjaharuddin Harun 95

- Bundle Branch B/ock (BBB), mungkin kanan (RBBB) atau kiri (LBBB),
bisa parsial (incomplete) atau total (complete) dan bisa juga tergantung
pada HR sehingga disebut sebgai "rate dependent Bundle Branch
BlocK'. Dalam suatu rekaman dari seorang pasien bisa ditemukan
irama jantung sinus dengan ekstrasistol ventrikel (VES) atau SVES
unifokal atau multifokal, multi fokal SVES dengan aberantia, atau atrial
atau ventrikular atau supraventrikular yang umumnya terapinya sangat
berbeda. Kunci dari pembedaan ini adalah menemukan ada tidaknya
gelombang P dan menentukan posisinya/hubungannya terhadap QRS.
lrama ventrikular tidak didahului P atau tak ada hubungan antara P dan
QRS.

PENITAIAN ATAU EVALUASI ARITMIA PREOPERATIF

Dalam menilai atau evaluasi aritmia preoperatif secara praktis dapat digolongkan
berdasarkan 3 hal dibawah ini :
1. Bradi aritmia / Taki aritmia
2. Supra Ventrikular / Ventrikular
3. Aritmia benigna / maligna.

Pembagian ini penting dalam praktek sehari-hari pada persiapan preoperatif,


apakah aritmia beresiko fatal atau tidak pada saat pembiusan. Secara klinis an-
amnesis harus dicari apakah aritmia menimbulkan keluhan atau tidak.
Jika ditemukan aritmia pada EKG, harus ditanyakan apakah ada keluhan
syncope (pingsan, gelap atau hilang ingatan sesaat) atau near syncope (pusing,
rasa mau jatuh/pingsan, mendadak lemas), pada saat istirahat atau aktivitas
tertentu, berdebar, mual, rasa sulit mengambil napas/sesak napas, muntah dan
lain-lain yang berhubungan dengan gejala insufisiensi serebral. Apakah ada riwayat
sakit jantung koroner, kardiomiopati, penyakit jantung katup atau rematik, atau
penyakit jantung lain yang mendasari kelainan aritmia, riwayat obat-obat yang
dapat menyebabkan aritmia, penyakit metabolik dan gangguan elektrolit.
Diagnosis aritmia ditentukan dengan pemeriksaan Resting ECG atau dengan
Excerslse ECG jika ada keluhan sinkop atau berdebar tapi tidak terdeteksi dari
Resfing ECG . Jika tidak ditemukan dan ada indikasi, dianjurkan pemeriksaan
Holter monitor. Jika perlu dilakukan pemeriksaan ekokardiografi untuk mencari
etiologi kelainan anatomis.

1. Bradikardia/bradiaritmia
Dalam menilai kecepatan irama jantung, idealnya yang di izinkan untuk operasi
antara 60-100x/menit. Jika denyut jantung antara 40-60x/menit, tanpa keluhan
dan irama sinus. Jika tidak ada kendala fisik, diperiksa sfress fesf dengan fread-
95 Aritmia

mill, apabila ada respon takikardi normal, berarti sinus bradikardi asimptomatik
boleh operasi tanpa resiko.
Bila denyut jantung kurang dari40></menit, biasanya ada keluhan pada waktu
aktivitas fisik. Jika tidak ada keluhan dan irama sinus, diagnostik bradikardi dengan
holter monitor, jika ditemukan srnus arresf atau Extra Srsfo/e Junctional Escape
Beat alau Run VT atauAV Block Total fransienf, walaupun tanpa keluhan sebelum
operasi dipasang Permanent Pace Maker, Temporary Pace Maker, jika akan
operasi segera.
Tatalaksana sinus bradikardi (SB) tidak diperlukan bila tidak terdapat gejala
dan gangguan hemodinamik. Dalam keadaan infark miokard akut dan disertai
gangguan hemodinamik dapat diberikan sulfas atropin (SA) 0,5 mg intravena dan
dapat diulang seperlunya. Bila tidak membaik atau SB cenderung berulang maka
harus dipasang pacu jantung sementara (temporary pacing). Perlu ditanyakan
obat-obatan yang diminum, sering kali akibat efek samping atau intoksikasi obat
yang dapat menyebabkan bradikardia.

2. Takikardia /taki aritmia


Pada sinus takikardia denyut jantung antara '100-160x/menit tanpa ada dasar
penyakit jantung, dapat diberikan obat-obat penyekat beta (propranolol, bisoprolol,
Metaprolol, dan lain-lain), verapamil, jika ada dasar penyakit jantungnya, harus
diterapi dulu sesuai kausanya.
Jika denyut jantung lebih dari 140 x/menit , hal yang harus diperhatikan
adalah gambaran EKG apakah berasal dari supraventrikular atau ventrikular.

3. Sindrom sinus sakit (sick sinus syndrome)


Gangguan atau penyakit pada nodus SA merupakan penyebab bradikarditersering.
Sindrom sinus sakit (SSS) adalah gangguan fungsi nodus SA yang disertai gejala
SSS. Gambaran EKG dapat berupa sinus bradikardi persisten tanpa pengaruh
obat, srnus arrest atau sinus exit block, AF (atrial fibrillasi) respons lambat, atau
suatu bradikardia yang bergantian
Penanganan SSS tergantung pada irama dasarnya. Umumnya diperlukan
pemasangan pacu jantung permanen. pada keadaan braditakikardia diperlukan
kombinasi obat antiaritmia dan pacu jantung permanen (PPM).

4. AV blok
a. Blok AV derajat I
Blok AV derajat I bila semua implus dari atrium dapat dihantarkan ke
ventrikel dengan waktu hantaran yang lebih lama (pada EKG interval
PR> 0,20 detik). Kelainannya biasanya pada tingkat nodus AV dan
jarang pada sistem His-Purkinje. Karena semua implus dari atrium dapat
dihantarkan ke ventrikel maka tidak menimbulkan gejala.
Dono Antono, Sjaharuddin Harun 97

b. Blok AV deralat 2
Pada keadaan ini tidak semua impuls dari atrium dapat dihantarkan
melalui nodus AV dan sistem His-Purkinje ke ventrikel. Berdasarkan
rekaman EKG kelainan ini dapat dikelompokan menjadi tipe Mobizt I

(tipe Wenckebach) dan tipe Mobizt tt. Pada tipe Mobizt I terdapat
pemanjangan interval PR yang progresif sebelum terjadinya hambatan
total. Lokasi kelainan ini biasanya di tingkat nodus AV. Sedangkan tipe
Mobizt ll terdapat hambatan impuls dari atrium yang intermiten di mana
impuls dari atrium tibatiba tidak dapat dihantarkan ke ventrikel. pada
tipe ini lokasi hambatan adalah infranodal (pada sistem His-purkinje).
Gejala yang sangat bergantung pada besarnya laju ventrikel. Jarang
blok AV derajat 2 menimbulkan gejala.

c. Blok AV derajat 3 (complete heart block)


Bila hantaran impuls dari atrium samasekali tidak dapat mencapai
ventrikel disebut AV derajat 3 (btok AV total). Pada keadaan ini laju
ventrikel tergantung pada pacemaker cadangan (subsrdra ry pacemaker)
yang mengambil alih. Bila lokasi hambatan berada di AV Node maka
laju ventrikel biasanya cukup untuk mempertahankan curah jantung
Namun bila lokasi hambatan berada di bawah nodus AV (infranodal)
kerap menimbulkan gangguan hemodinamik karena lajunya sangat pelan !

(< 40 kali per menit) I

Pada AV blok derajat 1 dan AV blok derajat 2 jenis dan lokasi gangguan I

apapun tidak memerlukan terapi PPM jika tidak bergejala. Dapat I

dilakukan pembiusan dengan monitor EKG. Jika simptomatik I

memerlukan PPM/TPM sebelum operasi. Pada AV blok derajat 3 I

indikasi PPM adalah :


1. Bila disertai bradikardi yang simptomatik .
2. Bila disertai pause > 3 detik atau laju ventrikel < 40 kali per menit
pada saat terjaga, walaupun tidak bergejala.
3. AV blok pasca pembedahan yang diperkirakan tidak dapat pulih
kembali.
4. Pasca ablasi nodus AV.
Pada prinsipnya pada kasus preoperasi elektif, setiap bradikardi yang
simptomatik harus dipasang pacu jantung permanen atau pada
preoperasi cito dipasang pacu jantung sementara.
98 Aritmia

ARITMIASPESIFTK

Fibrilasi Atrial

Penyakit jantung yang berhubungan dengan fibrilasi atrial I


. Penyakit Jantung Koroner
. Kardiomiopati Dilatasi
. Kardiomiopati Hipertrofik
. Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non-reumatik
. Aritmia jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT. Sindrom WPW, sick
sinus syndrome.
. Perikarditis

Penyakit di luar jantung yang berhubungan dengan fibrilasi atrial :


. Hipertensi sistemik
. Diabetes melitus
. Hipertirodisme
. Penyakit paru : penyakit paru obstruktif kronik, hipertensi pulmonal primer,
emboli paru akut
. Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan FA pada pasien
yang sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergik

KI.ASIFIIGSI FTBRI I.ASI ATRIAL


a. FA paroksismal
Bila FA berlangsung kurang dari 7 hari. Lebih kurang 50% FA paroksismal
akan kembali ke irama sinus secara spontan dalam waktu 24 iam' FA yang
episode pertamanya kurang dari 48 jam juga disebut FA paroksismal.
b. FA persisten
Bila FA menetap |ebih dari 48 jam tetapi kurang dari 7 hari. Pada FA persisten
diperlukan kardioversi untuk mengembalikan ke irama sinus.
c. FA kronik atau permanen
Bila FA berlangsung lebih dari 7 hari. Biasanya dengan kardioversi pun sulit
sekali untuk mengembalikan ke irama sinus (resisten).

Kardioversi elektrik
Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat laju irama ventrikel yang
cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi
elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 joule. Bila tidak berhasil dapat
dinaikkan menjadi 300 joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan
obat anestesi kerja pendek.
Dono Antono, Sjaharuddin Harun 99

Mempeftahankan irama sinus


FA adalah penyakit kronis dan rekurensi sering terjadi baik pada FA paroksismal
maupun pada FA persisten. Bila telah terjadi konversi ke irama sinus maka hal ini
perlu dipertahankan dengan pengobatan profilaktik.

Pemilihan obat-obat antiaritmia pada pasien dengan kelainan jantung


Pemilihan obat-obat antiaritmia disesuaikan dengan keadaan penyakit jantung
yang diderita untuk mencegah timbulnya pro aritmia. pada sinrom wpw digoksin
tidak boleh diberikan oleh karena dapat menimbulkan kenaikan paradoksal laju
ventrikel selama FA. Penyekat beta tidak menurunkan hantaran pada jalur aksesori
selama periode preeksitasi dari FA.

obar ,"fi!?,," Efek Samping

Amiodaron Oral Rawat fnap : 1,2-1,8 glhari Hipotensi, bradikardia,


dalam dosis terbagi sampai 10 pemanjangan interval QT,
g. Kemudian 200-400 mg/hari torsades de pointes fiarang),
sebagai dosis pemelihiraan gangguan saluran cerna,
atau 30 mg/kg sebagai dosis konstipasi, flebltis {lV)
tunggal
Rawat Jalan : 600-800 mg/hari l

dalam dosis terbagi sampai 10 I

g, kemudian 200-400 mg/hari


dosis pemeliharaan 5-7 mg/kg l

dalam 30-60 menit, kemudian I

1,2-1,8 gthan diteruskan IV


I
atau oral dalam dosis terbagi
sampai total 10 g, kemudian I

20O4OO mg/hari sebagai dosis


pemeliharaan I
lntravena/oral
I
Dofetilide Oral
CCT(ml/mn) {us BID) I
>60 500
40-60 250
20-44 125
<2A KI
Flecainide . Oral 200-300 mg
r lntravena 1 ,5-3,0 m$kg dalam 10-20 mnt

lbutilide lntravena 1 mg dalam 10 menil, diulangi 1


mg bila diperlukan
Propafenon Oral 400-600 mg
lntravena 1,5-2,0 mg/kg dalam 10-20 mnt
Quinidine Oral g dalam dosis terbagi
0,75-1,5
dalam 6-12 jam, biasanya
bersamaan dengan obat yang
memperlambat denyut
100 Aritmia

Pengobatan Laju Irama Ventrikel


Obat-obat yang sering dipergunakan untuk mengontrol laju irama ventrikel adalah
digoksin, antagonis kalsium (verapamil, diltiazem) dan penyekat beta. Laju irama
yang dianggap terkontrol adalah antara 60-80 kali/menit pada saat istirahat dan
90-115 kali/menit pada saat aktivitas.

ARITMIA SU PRA VENTRIKUI.AR

Penatalaksanaan farmakologis
Obat-obatan antia aritmia yang digunakan pada pengobatan AF adalah : (A). (1)
kelompok kontrol frekuensi denyut jantung untuk mengatasi denyut nadi, yaitu
golongan penyekat beta (class ll), golongan antagonis kalsium yang verapamil,
diltiazem (kelas lV). Di samping itu dapat dipergunakan juga digitalis. (B) adalah
kelompok kontrol irama untuk mengkonversi dari AF ke irama sinus dan juga
untuk mempertahankannya bila telah kembali ke irama sinus, yaitu: (1). Golongan
yang memblokade kanal ion NA (kelas lA, lC) yaitu antara lain kuinidin, propafenon.
(2) kelas lll yang memperpanjang masa refrakter potensial aksi dengan
menghambat kanal ion K, yaitu antara amiodaron, sotalol.

ARITMIAVENTRIKEL

Premature ventricular contraction (PVC)


PVC timbul bila karena adanya fokus ektopik pada ventrikel yang muncul lebih
awal dari irama dasarnya. Pada EKG akan terlihat QRS yang lebar, terdapat
perubahan segmen ST-T sekunder, dan terdapat jeda kompensasi penuh (ful/y
compensatory pause).

Berdasarkan frekuensi dan bentuknya PVC dapaat dibagi menjadi :

. PVC Jarang (infrequent): kurang dari lima kali per menit


. PVC Sering (frequent): lebih dari lima kali per menit
. PVC Repetitif : bila muncul pada tiap denyutan (beat) kedua dari irama
dasar disebut PVC bigemini, bila timbul pada denyutan ketiga dari irama
dasar disebut PVC trigemini.
. PVC berkelompok : bila dua PVC muncul dalam satu sandapan bentuknya
berlainan. Ini menandakan fokus ektopik berasal lebih dari satu tempat
. Fenomena R on T : PVC muncul pada periode repolarisasi ventrikel yang
rentan untuk terjadinya VF yaitu pada down-slope gelombang T

Secara klinis PVC yang terjadi pada pasien dengan jantung normal tidak
memiliki faktor prognostik yang penting. Pada keadaan ini tidak diperlukan terapi.
Bila pasien merasakan tidak nyaman dapat diberikan obat penenang (minor
Dono Antono, Sjaharuddin Harun 101

tranquilizer) dan menghindari faktor yang memperberat seperti kopi dan rokok.
Bila gejala tidak berkurang dapat diberikan obat penyekat beta.
Pada keadaan akut seperti infark miokard akut, terutama PVC bigemini,
multifokal, atau R on T, dapat diberikan lidokain, prokainamid, atau amiodaron.
Bila PVC yang sering (frequent) muncul pada pasien pasca infark dengan
penurunan fungsi LV (fraksi ejeksi < 35%) atau kardiomiopati dilatasi, maka nilai
prognostiknya menjadi penting karena kelompok pasien ini memiliki risiko kematian
mendadak yang tinggi. Kelompok pasien ini sebaiknya dirujuk untuk pemeriksaan
elektrofisiologi untuk menentukan apakah perlu dipasang implanftable cardioverter
defibrillator (ICD).

TATAI.AIGANAUMUM

Tatalaksana pada keadaan akut


Bila keadaan hemodinamik stabil, terminasi VT dilakukan dengan pemberian obat-
obatan secara intravena seperti amiodaron, lidokaine, dan prokainamid. Dua obat
yang pertama tersedia di lndonesia. Amiodaron dan prokainamid lebih unggul
dibandingkan dengan lidokain. Amiodaron dapat diberikan dengan dosis
pembebanan (loading dose) 15 mg/menit diberikan dalam 't0 menit dan diikuti
dengan infus kontinyu 1mg/menit selama 6 jam, dan dosis pemeliharaan 0,5 mg/
menit dalam 18 jam berikutnya. Bila gagal dengan obat, dilakukan kardioversi
elektrik yang dapat dimulai dengan energi rendah (10 joule dan 50 joule).
Dalam tatalaksana akut perlu dicari faktor penyebab yang dapat dikoreksi
seperti iskemia, gangguan elektrolit, hipotensi, dan asidosis. Bila keadaan
hemodinamik tidak stabil (hipotensi, syok, angina, gagal jantung, dan gejala
hipoperfusi otak) maka pilihan pertama adalah kardioversi elektrik.

Tatalaksana jangka panjang


Tujuan terapijangka panjang adalah mencegah kematian mendadak. Pada pasien
dengan VT non-susfained dan bergejala dapat diberikan obat penyekat beta. Bila
tidak efektif dapat diberikan sotalol atau amiodaron. Pada pasien dengan riwayat
infark miokard akut dan penurunan fungsiventrikel kiri (fraksi ejeksi < 35%), terdapat
VT yang dapat dicetuskan dan tidak dapat dihilangkan dengan obat, maka ICD
lebih unggul dalam menurunkan mortalitas (The Multicenter Automatic Defibrilla-
tor Ttial = MADIT). Untuk pencegahan sekunder kematian mendadak (pasien
yang berhasil diselamatkan dari aritmia fatal) pada pasien pasca infark miokard
dengan penurunan fungsi ventrikel kiri, ICD telah terbukti lebih unggul daripada
amiodaron.
lO2 Aritmia

Fibrilasi ventrikel (VF)


Fibrasi ventrikel (VF) merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang
ditandai oleh kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST yang tidak beraturan
dan sulit dikenal (disorganized). VF merupakan penyebab kematian mendadak.

Tatalaksana preoperatif
Pada prinsipnya semua aritmia baik supraventrikular maupun ventrikular tergantung
dari kausanya. Jika tidak ada dasar penyakit jantung organik atau metabolik,
boleh operasijika frekuensi denyut jantung terkontrol berkisar 60 - 100 x / menit.
Ekstra sistole kurang dari 5 ></ menit, dan dalam terapi, boleh dilakukan operasi
dengan anjuran memakai pengawasan monitor EKG selama operasi. Jika pernah
ada riwayat VTA/F dengan atau tanpa ada kelainan jantung organik atau metabolik,
tergolong resiko tinggi untuk operasi. Perlu diatasi penyebabnya dahulu. Pada
pasien pasca infark miokard harus dilakukan revaskularisasi dan baru boleh
operasi setelah 3 bulan. Pada kelompok ini berisiko kematian mendadak,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi untuk menentukan apakah perlu
dipasang ICD ( implantable cardioverier defibrilator ) .

RffiE\ET
Douglas P. Zipes, MD, MACC, FAHA, FESC, Co-ChalrA. John Cammet, MD, FACC, FAHA, FESC,
Co-Chair Martin Borggrefe, et al. ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients with
Ventricular Arrhythimias and the Prevention of Sudden Cardiac Death. A repofi of the American
Collega of Cardiology/American HeartAssociation. Curculation 2006;48:1064- 1108, Circula-
tion 2006; 114:1088-1132, and European Heart Journal 2006;27:2099114q.
Sudoyo W. Aru, Setiyohadi Bambang dkk., BahanAjar llmu Penyakit Dalam,Jilid lll Edisi lV, Departemen
llmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokeran Universitas lndonesia. Jakafia:Juni2006,
Chung K. Edward, M.D., TigheADennis., M.D., Pocket guideTo Cardiovascular Diseases. Areporl
of BlackwellScience, lnc. England 1999.
r03

3.3 Penya,Ht Jantug Valwlar


SallyAman Nasution, Lukman Hakim Makmun

ada kasus-kasus dengan penyakit jantung katup (valvular heart disease)


yang akan menjalani tindakan operasi non-kardiak, terdapat beberapa risiko
yang cukup bermakna terutama pada pasien dengan kasus stenosis aorta berat,
dimana kelainan ini cukup sering ditemukan pada pasien usia lanjut. Tetapi
panduan yang khusus membahas mengenai persiapan baku yang harus dilakukan
sebelum tindakan operasi tersebut, belum banyak dibuat. Karena sebagian besar
panduan termasuk persiapan perioperatif lebih terfokus pada masalah penyakit
jantung iskemik.
Seperti telah diketahui secara luas bahwa prediktor major dari pengkajian
risiko kardiovaskular pada seorang pasien yang akan menjalani operasi non-kardiak
meliputi : sindrom koroner akut, gagal jantung yang tidak terkompensasi, aritmia
bermakna yang dapat mengancam nyawa (termasuk blok atrioventrikular derajat
tinggi, aritmia ventricular atau aritmia supraventrikular dengan laju ventrikel yang
tidak terkontrol) dan penyakit jantung katup yang berat.
Pada seorang pasien yang telah diketahui menderita penyakit jantung katup
sebelumnya, pengkajian perioperatif dimulai dari status simtomatik, ada atau
tidak gangguan irama (aritmia) yang menyertai, derajat beratnya kerusakan pada
katup jantung tersebut, fungsi ventrikel kiri dan tekanan pulmonal serta adanya
komorbiditas lain seperti penyakit jantung iskemik.
Hal lain yang tidak boleh luput dari perhatian klinisi adalah efek terhadap
hemodinamik yang diakibatkan oleh kelainan katup tersebut. Dari patofisiologi
hemodinamik harus diingat konsekuensi yang dapat dihadapi akibat efek
perubahan hemodinamik seperti :
LO4 Penyakit Jantung Valvular

. Stenosis Mitral : akibat terjadinya hipertrofi atrium kiri yang menyebabkan


tekanan meningkat sehingga dapat terjadi backward yang berakibat terjadi
gagal jantung kanan. Sedangkan akibat terjadi forward dari kelainan tersebut
akan menyebabkan volume di ventrikel kiriyang kecil dan akan menyebabkan
curah jantung menurun sehingga akan menyebabkan gagal jantung kiri
akhirnya. Akibat lain dari stenosis mitral adalah dilatasi atrium kiri yang
menyebabkan tekanan meningkat, dan akibat backward aliran akan terjadi
gagal jantung kanan. Dan akibat forward akan terjadi volume ventrikel kiri
yang meningkat dan menyebabkan dilatasi ventrikel kiri dan akhirnya terjadi
gagal jantung kiri.
. Stenosis Aorta : terjadi dilatasi ventrikel kiri dan tekanan yang meningkat
sehingga terjadi /ow output dan mengakibatkan terjadinya gagal jantung kiri
(forward). Pada aliran balik (backward) lama kelamaan dapat terjadi gagal
jantung kanan
. Regurgitasi Aorta : akan ditemukan peningkatan volume di ventrikel kiri
sehingga terjadi dilatasi ventrikel kiri dan akan mengakibatkan low output
dan terjadi gagal jantung kiri

Khusus untuk keadaan gagal jantung akibat efek hemodinamik dari kelainan
katup tersebut penting di evaluasi dominasi dari gagal jantung yang ada, seperti
gagal jantung kanan saja, gagal jantung kiri saja atau kombinasi keduanya yang
menyebabkan gagal jantung kongestif.

EFEKANESTESI DAN OPERASI TERHADAP KARDIOVASKUI.AR

Morbiditas dan mortalitas kardiovaskular akan meningkat pada pasien yang


diketahui memiliki factor risiko atau sudah memiliki gangguan pada system
kardiovaskular dan menjalani tindakan pembedahan non-kardiak. Komplikasi
perioperatif kardiovaskular tersebut tidak hanya pada periode segera setelah
tindakan tetapi juga dampak yang mungkin timbul pada tahun-tahun setelahnya.
Konsekuensi yang harus dipahami benar oleh dokter yang merawatnya,
termasuk dokter ahli penyakit dalam atau kardiologi, ahli bedah dan anestesi
adalah pada pasien dengan kelainan katup jantung yang akan menjalani
pembedahan, sangat erat hubungannya dengan kelainan pada atrium dan ventrikel
kanan atau kiri yang dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan dari volume
dan tekanan pada ruangan tersebut, dan akhirnya akan terjadi perubahan
hemodinamik. Akibat dari perubahan hemodinamik tersebut akan menyebabkan
terjadinya disfungsi dari otot jantung, gagal jantung kongestif, aritmia dan kematian
mendadak.
Sehingga konsekuensi kardiovaskular tersebut harus dipertimbangkan saat
membuat evaluasi perioperatif pada pasien kelainan katup jantung yang akan
Sally Aman Nasution, Lukman Hakim Makmun 105

menjalani pembedahan non-kardiak, baik dari pemilihan jenis anestesi sampai


perawatan perioperatif. Evaluasi preoperative yang akurat dari keadaan
hemodinamik pasien akan dapat meminimalisasi morbiditas pasien perioperatif.
Pemilihan regimen anestesi yang akan dipergunakan pada pasien dengan
penyakit katup jantung harus selalu mempertimbangkan interaksi hemodinamik
dengan metode anestesi tersebut, misalnya : variasi denyut jantung, irama jantung,
tekanan darah dan resistensi vascular perifer dengan patofisiologi dan fungsional
dari katup tersebut. Kebanyakan lesi katup yang terjadi tidak dapat diatasi hanya
dengan obat-obatan. Sehingga tujuan major dari regimen anestesi yang dipilih
L
I
pada sebagian besar pasien adalah untuk mempertahankan stabilitas
hemodinamiknya. I

EVALUASI KLINIS PERIOPERAEF I

i
Pasien-pasien dengan penyakit jantung katup yang akan menjalanitindakan operasi
non-kardiak terutama pada kelainan katup yang cukup berat, seharusnya dilakukan
identifikasi dan evaluasi status pasien secara cermat.
Adanya gejala seperti dyspnoea, nyeri dada, sinkop atau gagal jantung,
seperti juga adanya aritmia (seperti fibrilasi atrial sebagai aritmia yang paling
sering ditemukan) harus diketahui sejak persiapan perioperatif tersebut.
Pemeriksaan fisik yang cermat sangat dibutuhkan, di samping bantuan hasil
pemeriksaan penunjang seperti rekaman elektrokardiografi (EKG), rontgen toraks
dan pemeriksaan ekokardiografi. Sebaiknya pada pasien yang dari pemeriksaan
fisik dideteksi adanya suara bising atau murmur, agar dilakukan pemeriksaan
ekokardiografi terlebih dahulu guna identifikasiadanya gangguan pada katup jantung
dan bila ditemukan kelainan dapat dibuat derajat kerusakannya. Hal ini terutama
pada populasi usia lanjut dimana seringkali bunyi sistolik yang ringan merupakan
tanda fisik yang penting dari stenosis aorta.
Hal-hal penting lain yang harus dievaluasi dari pemeriksaan ekokardiografi
sebelum tindakan operasi meliputi : derajat beratnya lesi pada katup jantung,
fungsi ventrikel kiri jantung dan tekanan pulmonal.

MONITORPERIOPERAEF

Pasien-pasien dengan kelainan katup jantung yang menjalani tindakan operasi


non-kardiak dengan risiko menengah sampai tinggi akan membutuhkan perawatan
perioperatif khusus, terutama dengan tujuan agar dipastikan tidak terjadi keadaan
hipotensi sistemik, serta deplesi ataupun kelebihan volume cairan. Salah satu
contoh pada seorang pasien dengan stenosis aorta agar dihindari keadaan
hipotensi, karena dapat memperburuk keadaan pasien tersebut.
106 Penyakit Jantung Valvular

Jika seorang pasien telah diketahui menderita penyakit jantung katup berat
yang diperkirakan dapat dikoreksi dengan pembedahan, maka tindakan bedah
guna mengkoreksi lesi katup tersebut sangat dianjurkan sebelum dilakukan
tindakan bedah non-kardiak tersebut. Hal ini terutama ditujukan untuk menghindari
keadaan-keadaan seperti edema paru, cardiac arrest atau hemiplegia, yang
kemungkinan dapat terjadi akibat keadaan-keadaan yang disebabkan oleh tindakan
pembedahan dan anestesia, misalnya peningkatan tekanan darah dan lain-lain.
Khusus pada kasus-kasus dengan stenosis aorta atau stenosis mitral dengan
aritmia (misalnya fibrilasi atrial) yang menengah sampai berat, golongan obat
penghambat beta (beta blockers) dan amiodaron dapat diberikan sebagai
profilaksis, yang dalam hal ini obat-obatan tersebut bermanfaat untuk
mempertahankan irama sinus pada periode posfoperatif. walaupun sampai saat
ini manfaat beta blocker untuk menurunkan tingkat mortalitas kardiovaskular
sebelum operasi vascular major belum dapat dipastikan apakah juga berlaku pada
pasien dengan penyakit jantung katup.

PERHATIAN K}IUSUS

Seperti juga pada keadaan-keadaan gangguan atau kelainan jantung lain yang
telah diketahui sebelum tindakan-tindakan pembedahan, pasien dengan kelainan
katup jantung juga membutuhkan perhatian khusus sebelum dan sesudah tindakan
pembedahan non-kardiak tersebut. secara umum hal-hal yang harus menjadi
perhatian khusus pada pasien-pasien dengan kelainan jantung jenis apapun adalah:
. Pemakaian obat antikoagulan oral
. Pemakaian heparin intravena atau subkutan
. Obat golongan kortikosteroid jangka panjang
. Penggunaan cairan infuse yang mengandung natrium
. Transfusi darah

Keadaan yang paling sering ditemukan pada populasi dengan penyakit katup
jantung adalah pemakaian obat antikoagulan oral, terutama pasien pasca operasi
untuk penggantian atau perbaikan katup jantung, atau karena indikasi lain yang
sering ditemukan seperti gangguan irama jantung (paling sering adalah fibrilasi
atrial).
Dikatakan bahwa pada seorang pasien yang sedang dalam pengobatan
dengan antikoagulan oral, disepakati bahwa obat tersebut sebaiknya dihentikan
2-3 hari sebelum tindakan pembedahan, walaupun pada sumber lain dikatakan
sebaiknya penghentian obat antikoagulan oral tersebut bisa dianjurkan sampai 1
minggu sebelum tindakan pembedahan. Dan setelah tindakan operasi non-kardiak
tersebut dilakukan, maka pemberian obat antikoagulan oral dapat diberikan kembali
t 2-3 hari pasca operasi.
Sally Aman Nasution, Lukman Hakim Makmun LO7

Apabila pasien yang diharuskan menggunakan antikoagulan dalam jangka


panjang, cara pemberian antikoagulan tersebut dapat diubah menjadi intravena
atau subkutan sementara selama periode sebelum dan sesudah tindakan
pembedahan. Bila yang dipergunakan adalah heparin intravena maka pemberiannya
dapat dihentikant 6 jam sebelum tindakan, dan dilanjutkan kembali 18-24 jam
sesudah tindakan pembedahan, kecuali terdapat kontraindikasi pemberian.

KONDISI KARDIOVASKUI.AR SPESIFIK PADA PASIEN DENGAN OPERASI


T NON.IGRDIAK
Ada beberapa hal yang patut menjadi perhatian bagi para internist atau kardiologist
yang dikonsulkan untuk mempersiapkan seorang pasien yang diketahui menderita
I; penyakit jantung katup dan direncanakan akan menjalani operasi non-kardiak.
I Hal-hal tersebut adalah :
. Stenosis aorta yang berat mempunyai risiko paling tinggi pada tindakan
operasi non-kardiak. Dianjurkan agar pasien dengan keadaan yang demikian
sebaiknya menjalani tindakan koreksi dengan penggantian katup jantung
sebelum menjalani operasi non-kardiak. Pada beberapa kasus dikatakan
tindakan valvuloplasti pada katup aorta dapat pula dipertimbangkan.
Sedangkan sebuah studi retrospektif yang melakukan studi pada sekelompok
pasien terpilih dengan stenosis aorta berat yang tidak bergejala, ternyata
setelah menjalani tindakan pembedahan non-kardiak, semuanya berjalan
lancar tetapi dengan monitor hemodinamik yang sangat ketat
. HeartRafe: sebaiknya dikontrol sampai senormal mungkin untuk memenuhi
periode pengisian saat diastolic dan menghindari terjadinya kongesti paru
terutama pada pasien dengan stenosis mitral ringan sampai sedang.
. Regurgitasi mitral atau aorta .' pada keadaan-keadaan tersebut justru
heart rate yang rendah akan meningkatkan pengisian diastolic permenit dan
dapat menimbulkan eksaserbasi volume ventrikel kiri yang berlebihan.
Sehingga dengan keadaan denyut jantung yang agak tinggi akan lebih
ditoleransi dengan baik oleh penderitanya.
. Protesa katup mekanik : Tentu saja sebagian besar populasi dengan katup
protesa mekanik ini diharuskan menggunakan antikoagulan oral dalam jangka
waktu yang lama. Pada pasien-pasien dengan katup protesa ini sebaiknya
kadar Prothrombin Time secepatnya diturunkan sampai kadar yang rendah
atal0 kadar sub-terapeutik untuk tindakan prosedur minor seperti pengobatan
atau perawatan gigi dan biopsy superficial. Dan pemakaian antikoagulan
oral tersebut dapat dilanjutkan pemberiannya segera setelah prosedur
tindakan selesai dilakukan.
. Antibiotika : pasien dengan penyakit jantung katup membutuhkan antibiotika
yang sesuai sebagai profilaksis endokarditis sebelum tindakan pembedahan.
108 Penyakit Jantung Valvular

I"ESI KATUPSPESIFIK

Stenosis Aoda
Penyebab terbanyak dari stenosis aorta termasuk degenerasi idiopatik dan
kalsifikasi dari daun katup aorta, dengan konsekuensi jangka panjang akan terjadi
hipertensi arterial, akibat demam reumatik atau abnormalitas morfologi katup
(misalnya : aorta bicuspid). Obstruksidariorificium katup aorta akan mengakibatkan
peningkatan tekanan ventrikel kiri untuk mempertahankan isi sekuncup. Akhirnya
akan terjadi hipertrofi dari otot ventrikel kirijantung. Secara bersamaan peningkatan
tekanan di ventrikel kiri akan menekan pembuluh darah subendokard, sehingga
mengganggu aliran darah koroner dan distribusi oksigen ke sel otot jantung. Hal
ini menjelaskan mengapa pada 50-70% pasien stenosis aorta sering mengeluh
angina atau nyeri dada. Dan 15-30% pasien sering mengalami sinkop.
Derajat beratnya stenosis aorta dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. AS berat : bila AVA < atau sama dengan 1 cm2
2. AS sedang : bila AVA 1-1,5 cm2
3. AS ringan ' bila AVA > 1,5 cm2
Dari beberapa studi telah dibuktikan bahwa stenosis aorta berat (AVA atau
Aortic Valve Area < 1 cm2 atau 0,6 cm2lm2 BSA) akan meningkatkan risiko
pembedahan non-kardiak paling tinggi di antara kelainan katup jantung lainnya.
Sehingga dibuat beberapa rekomendasi yang dianjurkan untuk mempersiapkan
seorang pasien stenosis aorta berat yang akan menjalani pembedahan non-kardiak.

Beberapa rekomendasi pada pasien stenosis aorta yang akan menjalani


pembedahan non-kardiak :
. Pasien dengan stenosis aorta bermakna yang direncanakan tindakan
pembedahan non-kardiak yang urgen : direkomendasikan agar tindakan
pembedahan tersebut tetap dijalankan dengan monitor hemodinamik yang
ketat.
. Bila pasien stenosis aorta direncanakan untuk tindakan pembedahan non-
kardiak yang elektif, maka sebaiknya risiko komplikasi kardiak selama
pembedahan tersebut dipikirkan dengan pertimbangan risiko dan manfaat
bila sebelumnya dilakukan perbaikan katup terlebih dahulu. Derajat beratnya
kelainan pada katup dan gejala klinis yang ditimbulkan seharusnya menjadi
salah satu bahan pertimbangan dibandingkan dengan risiko dan urgensi
tindakan pembedahan non-kardiak yang akan dihadapi.
. Sedangkan pada pasien stenosis aorta berat yang asimtomatik :
- Tindakan non-kardiak dengan risiko rendah atau sedang : dapat dilakukan
dengan cukup aman
- Tindakan non-kardiak dengan risiko tinggi : sebaiknya pasien dievaluasi
dengan seksama untuk dipertimbangkan menjalani tindakan
Sally Aman Nasution, Lukman Hakim Makmun 109

penggantian katup aorta sebelumnya, termasuk evaluasi angiografi


koroner juga dibutuhkan untuk menyingkirkan kemungkinan keterlibatan
penyakit arteri koroner.
. Pasien stenosis aorta simtomatik : tentu saja harus dipertimbangkan
tindakan perbaikan katup sebelumnya walaupun tindakan pembedahan non-
kardiak yang direncanakan termasuk golongan risiko rendah atau menengah.
Apabila pada keadaan tertentu tindakan operasi penggantian katup tidak
dapat dilakukan misalnya pasien termasuk golongan poor candidafe untuk
operasi (berdasarkan EuToSCORE) maka tindakan pembedahan non-kardiak
sebaiknya dipertimbangkan lagi dan dilaksanakan bila memang benar-benar
t diperlukan secara absolute. Beberapa kepustakaan mengatakan pada
t populasi poor candidafe tersebut dapat dilakukan valvuloplasti aortic perkutan
dapat dilakukan hanya untuk menurunkan risiko tindakan operasi non-kardiak
tersebut.

Terapi antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum tindakan operasi untuk


menurunkan risiko endokarditis infektif pada pasien dengan stenosis aorta.
Dan pasien juga harus mendapatkan sedasi preoperative yang adekuat untuk
menghindari keadaan stress yang akan mengakibatkan takikardia.

Pembedahan Pembedahan oral, gigi i


gastrointestinal atau dan esofagus I
urologi
Risiko Tinggi : Ampicillin + Gentamisin Amoksisilin
- Katup protesa atau Alau
- Risiko endokarditis bakterial : Teicoplanin + Gentamisin Clindamycin
I
defek jantung kompleks dan atau Cephalosporin
sianotik
(
Risiko Sedang : Amoksisilin Azithromycin
- Defek jantung lain atau Ampicilin Atau I

- Penyakit katup yang didapat atau Clarithromycin


- Kardiomiopatihipertrofik Vancomycin
- Prolaps Katup Mitral (dengan
regurgitasi atau penebalan daun
katup)
Risiko Ringan :

- Setelah oklusi ASD, VSD atau


ductus botalli
- Setelah CABG
- Prolaps Katup Mitral (tanpa
regurgitasi)
- Bising Jantung fungsional
- PacuJantung/Defibrilator
implant
110 Penyakit Jantung Valvular

Target hemodinamik pada pasien dengan stenosis aorta adalah :


. Menghindari takikardia (denyut jantung dipertahankan 50-70 x/menit)
. Menghindari vasodilatasi perifer dan hipotensi
. Optimalisasi volume cairan intravaskular untuk mempertahankan pengisian
ventrikel kiri
. Mempertahankankontraktilitasmiokardium

Stenosis mitra!
Seperti lesi katup jantung yang lain, penyakit demam reumatik masih merupakan
penyebab terbanyak dari stenosis mitral. Penyebab lain termasuk stenosis
mitral congenital, SLE, RA, miksoma atrial dan endokarditis bacterial. Gejala
klinis dari stenosis mitral tersebut biasanya adalah orthopnea, sesak saat
beraktivitas dan paroxysmal nocturnal dyspnea sebagai pentunjuk adanya disfungsi
ventrikel kiri. :

Derajat beratnya stenosis mitral dibagi dalam 3 kelompok :

1. Ringan : bila MVA 1,5 - 2,5 cm2


2. Sedang : bila MVA 1 - 1,5 cm2
3 Berat : bila MVA < 1 cm2
Pada kasus-kasus stenosis mitral yang tidak signifikan atau yang masih
ringan (MVA atau Mitral Valve Area > 1,5 cm2 ), tindakan pembedahan non-kardiak
dapat dilakukan dengan risiko tindakan yang ringan.
Tetapi pada pasien yang simtomatik dengan stenosis mitral signifikan atau
cukup berat dan tekanan sistolik arteri pulmonal < 50 mmHg, tindakan bedah
non-kardiak dapat dilakukan dengan risiko ringan, walaupun harus diingat bila
timbul kejadian fibrilasi atrial selama tindakan hal tersebut dapat merubah keadaan
secara tajam, sehingga risiko tindakan dapat meningkat.
Pada pasien simtomatik dengan tekanan sistolik arteri pulmonal > 50 mmHg,
sangat dianjurkan untuk dilakukan koreksi terhadap stenosis mitral tersebut
sebelum prosedur bedah non-kardiak dijalankan.
Target hemodinamik perioperatif pada pasien dengan stenosis mitral :

. Menghindari terjadinya sinus takikardia (60-70 x/menit) sehingga


memperpendek fase diastolik
. Control denyut jantung bila terdapat fibrilasi atrial dengan respon ventricular
cepat
. Optimalisasi pengisian ventrikel/menghindari peningkatan mendadak dari
volume vena sentral
. Stabilisasi resistensi vaskular sistemik
. Stabilisasi resistensi vena pulmonalis (menghindari hipoksemia atau
hiperkapnea yang dapat meningkatkan resistensi pulmonal dan provokasi
gagal ventrikel kanan)
Sally Aman Nasution, Lukman Hakim Makmun 111

REGU RGITASI MITRAL DAN AORIA


' Pada kasus-kasus regurgitasi aorta atau mitral yang non-signifikan, tindakan
prosedur non-kardiak dapat dilakukan dengan risiko ringan
' Pada pasien asimtomatik dengan fungsi ventrikel kiri yang masih cukup
baik dan regurgitasi mitral atau aorta yang berat, tindakan pembedahan non-
kardiak dapat dilakukan dengan risiko ringan
' Pada pasien simtomatik atau pasien dengan fungsiventrikel kiri yang menurun
(EF < 30%) tindakan pembedahan non-kardiak tersebut sebaiknya dilakukan
apabila benar-benar dibutuhkan. Terapi medikamentosa terhadap keadaan
gagal jantungnya harus diberikan secara optimal sebelum tindakan
pembedahan dan vasodilator kemungkinan dibutuhkan pada keadaan ini. i

I
t, KATUPPROTESA
i' Pada pasien yang telah menjalani koreksi terhadap kelainan katup jantung dan
I

telah dipasang katup protesa, sebenarnya kelainan jantung yang mendasari telah
selesai sehingga tindakan pembedahan non-kardiak dapat dilaksanakan dengan
aman, terutama dalam hal hemodinamik.
Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum tindakan prosedur
non-kardiak tersebut, antara lain :
' Pastikan bahwa tidak terdapat tanda atau gejala adanya disfungsi katup I
I

protesa tersebut (secara anamnesis dan pemeriksaan fisik)


' Evaluasi pemeriksaan ekokardiografi terbaru harus dilakukan dan hasilnya I

I
harus memuaskan (dalam hal status katup protesa tersebut)
' Risiko yang sering timbul adalah dalam hal penggunaan antikoagulan pada
protesa katup mekanik. Sehingga harus dilakukan manajemen penggunaan
antikoagulan yang tepat selama periode perioperatif. I

RMENEI I

1. Fleisher LA, Beckman JA, Brown KA, Calkins H, Chaikoff E, Fleischmann KE, et al. ACC/AHA
2007 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation and Care for Noncardiac Surgery.
JACC.2007; 50:172-3.
2. Fleisher LA, Eagle KA. Anesthesia and Noncardiac Surgery in Patients with Heaft Disease. ln :
Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E, eds. Braunwdld's Heart Disease. Tth ed. philadel-
phia : Elsevier Saunders; 2005. p. 2021-2038.
3. Vahanian A, Baumgartner H, Bax J, Butchaft E, Dion R, et al. Guidelines on the management of
valvular heart disease. The Task Force on the Management of Valvular Hearl Disedse of the
European Society of Cardiology. Eur H Journal, 2007;28:230-68.
4. Boost KA, Zwissler B. Anesthetic Management of Patients with Valvular Heart Disease in Noncar-
diac surgery.1n : Howell S, Peppel c, spahn DR, eds. Heart Disease and the surgical patient.
New York : lnforma Healthcare; 2007. p.335-45.
5. Alpert JS, Sabik JF, Cosgrove DM. Mitral Valve Disease. ln : Topol EJ, ed. Textbook of Cardio-
LL2 Penyakit Jantung Valvular

vascular Medicine. 2nd ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2002. P483-508.
6. Stewart WJ, Carabello BA. Aortic Valve Disease. ln : Topol EJ, ed. Textbook of Cardiovascular
Medicine, 2nd ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2002. P. 509-28.
7. Garcia MJ. Prosthetic Valve Disease. ln :Topol EJ, ed. Textbook of Cardiovascular Medicine, 2nd
ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkin s ;2002. p. 549-68
8. Valvular Heart Disease; MitralValve Disease. ln : Cheitlin MD, Sokolow M, Mcllroy MB, eds.
Clinical Cardiology, 6m ed. Lange Medical Pub; 1993. p. 407-37.
9. Aortic Valve Disease; Multiple Valve Disease. ln : Cheitlin MD, Sokolow M, Mcllroy MB, eds.
Clinical Cardiology, 61h ed. Lange Medical Pub; 1993. p.438-475.
10. Cardiac Disease & the Surgical Patient. ln : Cheitlin MD, Sokolow M, Mcllroy MB, eds. Clinical
Cardiology,6th ed. Lange MedicalPub; 1993. p.704-11.

\
113

3.4 Gagal Jantung Kronlk


Ryan Ranitya, Marulam Panggabean
I

I
i

agaljantung merupakan suatu kondisi dimana jantung tidak dapat memompa


darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik jaringan dan or-
gan. Prevalensi gagal jantung di Amerika semakin meningkat dan diperkirakan
sekitar 4,9 juta/tahun. Gagaljantung ditemukan 6 % - 10% pada populasi umum
usia lebih dari 65 tahun dengan angka kematian sekitar 45o/o pada gagal jantung I

simtomatik.l I
Evaluasi perioperatif sangat penting dilakukan pada pasien dengan gagal
I
jantung kronik yang akan menjalani operasi. Anestesi umum dapat memperburuk I

kondisi pada sekitar 20 % pasien dengan gagaljantung sebelum operasi. lnsidens


gagal jantung perioperatif sekitar 0,2 - 5,8 % dengan angka mortalitas mencapai
2oo/o.2'3
Tatalaksana perioperatif pada gagal jantung meliputi evaluasi anamnesis,
I

pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menentukan risiko kardiak yang terjadi I
dan memberikan tatalaksana yang optimal untuk mengurangi risiko perioperatif. I

Tatalaksana perioperatif mencakup persiapan pra operasi, evaluasi dan tatalaksana


intra operasi dan pasca oPerasi.

PRAOPERASI

Anamnesis mengenai riwayat penyakit jantung sebelumnya serta berbagai kondisi


dan penyakit komorbid yang menyertai. Hal-hal yang perlu dievaluasi:
3-8

1. Tanda vital: tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas dan suhu tubuh
dalam batas normal atau tidak. Misalnya bila terdapat hipertensi maka
diperlukan obat anti hipertensi. Tekanan darah optimal sistolik 100-140
mmHg, sedangkan diastolik 70-95 mmHg'
Ll4 Gagal Jantung Kronik

2. Status hidrasi. Apakah terdapat tanda-tanda bendungan paruloverload cairan


sehingga diperlukan pemberian diuretik dan keseimbangan cairan negatif.
3. Pemeriksaan fisik yang harus diperhatikan adalah tekanan vena jugularis,
ada tidaknya murmur (tanda stenosis aorta, stenosis mitral), gallop, ronkhi,
mengi, edema perifer, dan defisit neurologik.
4. Status nutrisi. Kondisi malnutrisi kalori-protein dapat memperburuk fungsi
jantung (cardiac cachexia) dan meningkatkan risiko sepsis dan gagal napas.
Pada operasi elektif dapat diberikan terapi nutrisi untuk memperbaiki status
gizi.
5. Obat-obatan yang dimrnum rutin. Apakah terdapat obat-obatan yang harus
dihentikan beberapa hari sebelum operasi seperti anti agregasi trombosit
(aspirin, tiklopidin, klopidogrel) (dihentikan selama 3-5 hari) atau antikoagulan
misalnya warfarin (dihentikan selama 5-7 hari) dan diganti sementara dengan
terapi unfractionated heparin intravena yang dapat dihentikan 6 jam sebelum
operasi. Pada kondisi tertentu yaitu pasca balloon angioplasty tanpa stent
aspirin tetap diberikan dan operasi elektif ditunda sampai 2-4 minggu setelah
tindakan. Sedangkan pada pasien pasca pemasangan stent , operasi elektif
ditunda sampai 4-6 minggu stelah tindakan dan aspirin tetap terus diberikan.
Risiko stenosis yang timbul dengan menghentikan pemberian aspirin cukup
besar, sehingga penghentian aspirin hanya pada kondisi yang mendesak
seperti komplikasi perdarahan mayor.
6. Obat-obat gagal jantung kronik yang telah rutin diberikan. Pemberian obat
juga dengan mempertimbangkan etiologi dari gagaljantung itu sendiri apakah
PJK, hipertensi, DM atau kardiomiopati.
. ACE inhibitor/AllRB direkomendasikan untuk gagal jantung kronik
dengan atau tanpa gejala, ejeksi fraksi menurun < 45o/o. Obat dapat
diberikan bersama dengan diuretik bila terdapat retensi cairan.
. Diuretikyaitu loop diuretik (furosemide) diberikan bila ditemukan retensi
cairan, kongesti paru. Biasanya dikombinasi dengan ACE inhibitor
. Penyekaf befa direkomendasikan pada semua gagal jantung ringan,
sedang, berat yang stabil bila tidak ada kontraindikasi. Pemberian
kombinasi dengan ACE inhibitor terbukti menurunkan mortalitas jangka
panjang terutama pada pesien dengan kausa penyakit jantung koroner.e
Obat-obat yang direkomendasi yaitu bisoprolol, carvedilol, metoprolol
dan nebivolol. Pemberian penyekat beta dimulai 5-7 hari sebelum operasi.
Target terapi adalah denyut jantung saat istirahat sekitar 60 x/menit.
. Antagonis reseptor aldosteron sebagai terapi tambahan ACE inhibitor,
penyekat beta terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas. Dosis
spironolakton 25 mg/hari dengan evaluasi kadar kreatinin dan kalium
darah.
Ryan Ranitya, Marulam Panggabean 115

. Digitalis diberikan pada gagal jantung dengan fibrilasi atrial.


. Nitrat sebagai terapi tambahan bila ada keluhan angina. Dianjurkan
pemberian interval 8-12 jam atau kombinasi dengan ACE inhibitor'
. Antagonis kalsium tidak dianjurkan pada gagal jantung sistolik. Dapat
dipertimbangkan bila tekanan darah sulit dikontrol dengan ACE inhibi-
tor dan penyekat beta.
. Agonis alfa-2 Pemberian agonis alfa-2 perioperatif yaitu klonidin
dilaporkan dapat menurunkan mortalitas dan infark miokard selama
operasi.e
. Statin Pemberian statin perioperatif dilaporkan dapat menurunkan
mortalitas pasca operasi sampai 44'h terutama pada pasien PJK.
Sayangnya dari berbagai studi yang telah dilakukan tidak jelas
disebutkan berapa lama dan kapan statin diberikan pada pasien-pasien
tersebut.e
7. Kadar elektrolit. Kadar elektrolit terutama kalium, magnesium dan kalsium
dalam batas normal untuk mengurangi risiko terjadinya aritmia yang dapat
memperburuk gagal jantung.
8. Kadar gula darah. Hiperglikemia dan hipoglikemia dapat mempengaruhi sta-
tus metabolik dan mmeprburuk fungsi jantung secara tidak langsung.
o Anemia. Kadar Hb yang rendah dapat mengurangi oksigenasi dan
memperburuk gagal jantung. Kadar hematokrit < 28o/o dilaporkan
berhubungan dengan peningkatan insiden iskemia perioperatif dan komplikasi
pasca operasi pada pasien yang menjalani operasi vaskular dan prostat'
10. Analisa gas darah. Kadar oksigen dalam darah yang rendah dan adanya
alkalosis atau asidosis metabolik dapat memperberat fungsijantung sehingga
perlu dikoreksi terlebih dulu.
11. Fungsi koagulasi. Evaluasi adanya trombositopenia, pemanjangan PT, APTT
atau masa perdarahan. Untuk mengantisipasi timbulnya perdarahan banyak
yang dapat memperburuk gagal jantung. Bila diperlukan diberikan tindakan
seperti tranfusi trombosit, FFP (fresh frozen plasma) dan vitamin K.
12. Evaluasi fungsi ginjal. Kadar ureum dan kreatinin darah yang meningkat
dapat diperburuk dengan adanya gagaljantung akibat perfusi ke ginjal yang
berkurang. Klirens obat-obatan anestesi dan obat jantung juga dapat
dipengaruhi.
13. Evaluasi fungsi hati. Beberapa obat anestesi akan dimetabolisme di hati
dan bila terganggu juga dapat menyebabkan depresi miokard.
14. Evaluasi fungsi tiroid tidak rutin dilakukan, tetapi hanya pada pasien dengan
riwayat kelainan tiroid atau ditemukan adanya fibrilasi atrial. Kondisi hipotiroid
dapat memperpanjang penggunaaan ventilator dan menurunkan klirens obat
anestesi sedangkan kondisi hipertiroid dapat menyebabkan hipermetabolik
dan meningkatkan risiko iskemi miokard.
116 cagal Jantung Kronik

15. Fungsi ventrikel kirl. Evaluasi fungsi ventrikel kiri secara non invasif yaitu
ekokardiografi terutama fungsi sistol!k untuk mengetahui ejeksi fraksi ventrikel
kiri. Pasien dengan fraksi ejeksi < 40 o/a mempunyai risiko komplikasi lebih
berat.
16. Fungsi ventrikel kanan. Dengan pemeriksaan ekokardiografi dapat
diidentifikasiadanya penurunan fungsiventrikel kanan dan hipertensi pulmonal
(gradien > 60 mmHg) yang dapat meningkatkan risiko komplikasi, sehingga
dapat diberikan pengobatan untuk menurunkan hipertensi pulmonal terlebih
dulu.
17. Katup jantung. Adanya kelainan katup seperti stenosis mitral, stenosia aorta,
insufusiensi mitral dan insufisiensi aorta dapat meningkatkan risiko operasi.
Perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi afterload atau bahkan operasi
katup pada kelainan katup yang berat. Pasien dengan kelainan katup atau
menggunakan katup mekanik harus diberikan terapi antibiotik untuk
profilaksis endokarditis infektif. Mengenai terapi antibiotik secara lebih leng kap
dan spesifik dapat dilihat pada bab Pencegahan infeksi luka operasi dan
terapi antibiotik profilaksis..
18. Fungsi paru. Apakah ada infeksi, efusi, PPOK yang dapat memperberat
gagal jantung. Begitu pula dengan kemungkinan adanya hipertensi pulmonal
baik primer maupun sekunder.
19. Etiologi gagal jantung penting untuk diketahui. Apakah merupakan penyakit
jantung koroner, kelainan katup atau kardiomiopati. Untuk ;tt?nlakit jantung
koroner telah ada pedoman yang lebih spesifik untuk manajemen perioperatif.
20. Ada tidaknya kondisi yang dapat mencetuskan gagal jantung seperti infeksi
. Jenis operasi. Apakah operasi merupakan tindakan minor atau mayoi. yang
21
memerlukan waktu lama dan perdarahan yang banyak.

Risiko tinggi (>5%) Risiko sedang (<5%) Risiko rendah (1%)


Keadaan darurat Endarterektomi karotis Endoskopi
Bedah vaskular mayor lntraperitoneal Katarak
Operasi aorta lntratoraks Payudara
Bedah vaskular perifer ortopedi superfisial
Pralonged surgery Prostat
Kepala dan leher
Dikutip dari Eagle KA et al. Guideline for perioperative cardiovascular evaluation for noncardiac
surgery. ACC/AHA guidelines. J Am Coll Cardiol2002;39: 542.
Ryan Ranitya, Marulam Panggabean LL7

Mayor
- Angina pektoris tak stabil
- lnfark miokard baru
- Gagal jantung decompensated
- Aritmia (AV blok deralat tinggi, aritmia ventrikel simtomatik, aritmia supraventrikular)
- Penyakit katup jantung yang berat
Intermediate
- Angina peKoris ringan
- Riwayat infark miokard atau adanya gel Q patologis pada EKG
- Riwayat gagal jantung
- Diabetes melitus
- lnsufusiensi ginjal kronik
Minor
- Usia lanjut
- Abnormal EKG ( LVH, LBBB, gel ST-T abnormal)
- Ritme selain sinus (rnisalnya fibrilasi atrial)
- Kapasitas fungsional rendah
- Riwayat strok
- Hipertensi tak terkontrol
Dikut:p dari Eagle KA et al. Guideline for perioperative cardiovascular evaluation for noncardiac surgery.
ACC/AHA guidelines. J Am Coll Cardiol 2002; 39: 542.

22. Pemberian penyekat beta pra-operatif. Beberapa studi telah membuktikan


pemberian penyekat beta perioperatif mempunyai angka mortalitas dan
morbiditas yang lebih baik. Terapi penyekat beta pada gagal jantung kronik
terbukti menurunkan angka mortalitas.(10) Pemberian obat biasanya
dilakukan 5-7 hari sebelum operasi. Kontraindikasi pemberian penyekat beta
adalah asma/PPOK, hipotensi, bradikardia, blok AV, gagal jantung akut,
dan edema paru.(10,11) Target pemberian penyekat beta adalah frekuensi
denyut jantung saat istirahat 50-60 kali permenit, Kriteria pemberian penyekat
beta dapat dilihat pada tabel 3 berikut.

Usia 2 65 tahun
Hipertensi
Perokok
Kolesterol > 240 mgldl
Diabetes melitus tipe 2
Cardiac Nsk lndex Criteria (Goldman, Auerbach) yang telah direvisi :
1. Prosedur operasi risiko tinggi (lntraperitoneal, intratoraks dan vaskular suprainguinal)
2. Penyakit jantung iskemik : riwayat infark miokard, adanya Q patologis pada EKG,
riwayat angina, penggunaan nitrat, uji latih positif, nyeri dada tipikal
3. Riwayat strok atau TIA
4. Diabetes melitus dalam terapi insulin
5. ;
lnsufusiensi renal kronik (kadar kreatinin darah 2 mgldl)
118 Gagal Jantung Kronik

INTRAOPERASI

Keseimbangan cairan harus diusahakan seimbang. Adanya perpindahan cairan


dalam jumlah besar seperti perdarahan intra operasi dapat mengganggu
hemodinamik dan memperberat gagal jantung dan hipoksia. pemberian terapi
cairan pada hipovolemik harus hati-hati karena bahaya overload dan fungsi pompa
jantung yang telah menurun. Evaluasi kemungkinan adanya aritmia yang dapat
memperberat gagal jantung.

PASCAOPERASI

Evaluasitanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi, napas dan suhu), keseimbangan
cairan, elektrolit, oksigenasi, dan kadar Hb. Pemberian obat-obat gagal jantung
yang mengurangi preload dan afterload, anli hipertensi, dan antiaritmia.
Keseimbangan cairan sangat penting diketahui untuk menentukan adanya over-
load dan perlu tidaknya pemberian diuretik. Evaluasi EKG terutama pada pasien
dengan riwayat aritmia, riwayat PJK atau ada keluhan nyeri dada. pemeriksaan
enzim jantung dapat dilakukan pada kelainan EKG yang mencurigakan walaupun
tanpa gejala klinis karena iskemi dan infark miokard pasca operasi biasanya
terjadi si/enf akibat faktor perancu seperti obat-obat analgetik. pemberian
antikoagulan dan antitrombotik pada pasien dengan indikasi dapat dilanjutkan
pada 24-72jam pasca operasi dengan tetap mempertimbangkan risiko perdarahan
yang dapat terjadi. Pemberian analgetik optimal untuk mengurangi nyeri yang
dapat meningkatkan tonus simpatis dan memperberat kerja jantung.12

RffiREI\lsI
1 . Jessup M, Brozena S. Heart failure. N Engl J Med 2004;348: 2007-18.
2. Grayburn PA, Hillis LD. Cardiac events in patients undergoing noncardiac surgery: shifting the
paradigm from noninvasive risk stratification to therapy. Ahn lntern Med 2003; i3B:506-11.-
3. Eagle AK et al. ACC/AHA Guideline update for perioperative cardiovascular evaluation for non-
cardiac surgery: a reporl of the American College Cardiology/American Heart Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll eardiol2002139: 542-3.
4. l!-.lqt gf LA, Eagle KA. Lowering cardiac risk in noncardiac surgery. N Engt J Med 2001; 345:
1677-81.
5. Merz NB. Assesment of patients at intermediate cardiac risk. Am J Cardiol 2005; 96 (suppl): 2J-
10J.
6. Goldman L, Cohn Sl. Preoperative risk evaluation and perioperative management of patients with
coronary artery disease. Med Clin North Am 2003; 87: 1 11 -36.
7. Shamash JB, GhaliWA. Preoperaliveassessment and perioperative management of the patient
with non ischemic heaft disease. Med Clin Nofth Am 2003; 87: 1A7-52.
8. Adams DH,Filsoufi F, Antman EM. Medical management of the patient undergoing cardiac
surgery. ln: Braunwald, ed. Hearl disease, a textbook of cardiovascular medicine.SM 4d. WB
Saunders company; 2005: 1 993-201 7.
Ryan Ranitya, Marulam Panggabean 119

9. Fleisher EA et al. ACC/AHA 2007 guidelines on perioperative cardiovascular evaluation and


care for noncardiac surgery. Circulation 2007; 11 6: I 971 -96.
10. Lindenauer P, Pekow P, Wang K, et al. Perioperative beta blocker therapy and mofiality after
major non cardiac surgery. N Engl J Med 2005;353: 349-61.
11. Beckman JA, Brown AK, Calkins H, et al. ACC/AHA 2006 perioperative guideline Update on
Perioperative Cardiocvascular evaluation for noncardiac surgery: focused update on perioperative
beta blocker the rapy. Ci rcu lation 2006 : 11 3: 2662-7 4.
12. Fleisher LA, Eagle KA. Anesthesia and noncardiac surgery in pati_ents with heart disease. ln:
Braunwald, ed. Heart disease, a textbook of cardiovascular medicine.Sth 4d. WB Saunders
Company; 2005: 2021 -34.

I
I

I
120

3.5 Gagal Jantung A[ut


Idrus Alwi, Arif Mansjoer

emua penyakit pada jantung dapat berkembang menjadi gagal jantung.


Perkembangan menjadi gagal jantung dapat terjadi secara perlahan-lahan
atau mendadak dan merupakan suatu spektrum klinis yang lebar, mulai dari
asimtomatik sampai edema paru atau syok kardiogenik yang mengancam nyawa.l
Saat ini PJK tidak hanya bertanggung jawab terhadap 80% dari semua
kematian jantung, tetapi juga sebagian besar kasus gagal jantung.2
Karena usia harapan hidup makin panjang dan terapi PJK makin efektif,
jumlah pasien gagal jantung di masyarakat meningkat. Akibatnya, banyak pasien
yang menderita gagaljantung yang berkunjung ke rumah sakit dan membutuhkan
anestesi serta bedah.r

DTINNSI

Definisi gagal jantung secara tradisional difokuskan pada kegagalan pompa jantung
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Sayangnya tidak ada definisi
klasik yang cukup memuaskan dan tentu saja tidak membantu dalam praktek
klinik. Definisi yang bermanfaat dalam membuat diagnosis gagal jantung harus
berdasarkan judgment klinis yang menyokong anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan noninvasif dan invasif.3

Diagnosis gagal jantung dibuat jika :


1. Terdapat gejala gagal jantung dan jika
2. Terdapat bukti obyektif disfungsi jantung saat istirahat. yang mana kedua
kriteria harus dipenuhi.3
Idrus Alwi, Arif Mansjoer L2L

Untuk kepentingan praktis, perlu dibedakan antara gagal jantung kronik


dengan gagal jantung akut, di mana banyak kasus gagal jantung akut merupakan
dekompensasi akut dari gagal jantung kronik sebelumnya. Pasien gagal jantung
dapat mempunyai fungsi sistolik ventrikel kiri yang abnormal atau normal. Jika
terdapat disfungsi diastolik ventrikel kiri pada pasien gagal jantung dan fungsi
sistolik ventrikel kirinya normal, gagaljantung diklasifikasikan sebagai gagaljantung
diastolik. Juga perlu dibedakan gagaljantung kiri predominan dengan gagaljantung
kanan (isotated). Juga masih digunakan terminologi gagal jantung backward
(contoh ekstrim edema paru) dan fonward (contoh ekstrim syok kardiogenik).
Terminologi yang digunakan secara luas adalah gagal jantung kongestif yang
menunjukkan adanya hipertensi vena dan edema pada sirkulasi paru dan sistemik.
Terminologi gagal jantung perioperatif atau pasca operatif merujuk pada gagal
jantung akut yang berkembang selama periode perioperatif. Gagal jantung akut
diduga merupakan adverse outcome utama anestesi dan bedah.l

PIDEIYIIOOGI
Prevalensi gagal jantung kronik simtomatik berkisar antara 0,4o/o dan 3,60/o,
tergantung populasi yang diteliti dan metodologi yang digunakan. Prevalensi pada
populasi Eropa dewasa sekitar 1,5%, dan mungkin setinggi 3-5% pada usia di
atas 75 tahun. Rerata usia pasien gagaljantung adalah 74 sampai 76 tahun dan
terdapat perbedaan gender yang nyata dengan prevelensi pada pria lebih tinggi
daripada wanita.4-6 Pada usia 40 tahun, risiko untuk terjadinya gagaljantung adalah
21o/o pada pria dan 20% pada wanita.T
Prevalensi disfungsi sistolik ventrikel kiri pada populasi dewasa dilaporkan
sebesar 3%, meningkat 4o/o sampai 60/o pada subyek berusia di atas 65 tahun.
Antara setengah sampai duapertiga subyek tersebut asimtomatik. Namun
walaupun disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, mortalitas 5 tahun bermakna yaitu
sebesar 5%. Gagal jantung dikaitkan dengan prognosis yang buruk, di mana
sekitar separuh pasien dengan diagnosis gagal jantung meninggal dalam 4 tahun I

dan lebih separuh pasien pasien dengan gagal jantung berat akan meninggal
dalam satu tahun.3

EE(X)GI
Penyebab utama gagal jantung adalah penyakit jantung koroner (PJK) akut dan
kronik. Prevalensi PJK pada pasien gagal jantung bervariasi antara 50% sampai
75o/o.3 Sebagian besar pasien mempunyai riwayat infark miokard dan bukti
hibernasi atau iskemia yang reversibel. Walupun hipertensi ditemukan pada
sebagian besar pasien dan merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya gagal
jantung, namun hanya 10% kasus gagaljantung disebabkan langsung oleh penyakit
jantung hipertensi.
122 Gagal Jantung Akut

PAIOFISIOLOGI

Hilangnya kontraktilitas miokard dan overload volume atau tekanan jangka panjang
merupakan penyebab utama disfungsi ventrikel, yang dalam perjalanan waktu
berkembang menjadi gagal jantung yang nyata. Ventrikel yang lemah dan oyer-
load tidak mampu mengosongkan secara adekuat selama sistol, sehingga
volume sistolik akhir akan meningkat, di mana fraksi ejeksi volume skuncup (stroke
volume) menurun. Penurunan fraksi ejeksi mengakibatkan peningkatan volume
dan tekanan akhir diastolik dan sesuai dengan hukum Frank-Starling, volume
sekuncup akan menurun.
Sistem yang diaktivasi sebagai respons terhadap fungsi ventrikel yang
menurun adalah simpatis, parasimpatis, sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAAS), hipotalamo-neurohipofiseal, sistem imun dan endotelium vaskular.s,e
Aktivasi sistem simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan menyebabkan respons
inotropik dan kronotropik positif, yang mana aktivitas tersebut direfleksikan dengan
peningkatan kadar noradrenalin plasma. Sistem RAA dengan hasil akhir
angiotensin ll dan aldosteron, mengakibatkan vasokonstriksi selanjutnya, retensi
air dan garam serta hilangnya potassium. Pelepasan hormon antidiuretik (ADH,
vasopresin) berperan dalam peningkatan reabsorpsi dan vasokonstriksi perifer.lo
Rangsangan vasokonstriksi selanjutnya pada endotelium yang teraktivasi akan
melepaskan endotelin-1 .11
Sistem kardiovaskular mempunyai sistem yang juga megalami aktivasi
terhadap vasokonstriksi dan retensi cairan oleh karena sistem RAA. Sistem ini
adalah natriuretic peptides (atrial /ANP) dan brain natriuretic peptides (BNP) yang
disintesis dan dilepas oleh miosit jantung, yang memicu vasodilatasi dan
diuresis. Adrenomedulin dan dopamin yang disekresi kelenjar adrenal dan
prostasiklin yang dilepas oleh endotelium juga mempunyai efek yang sama. Juga
telah dibuktikan aktivasi sistem imun dengan meningkatnya sitokin proinflamasi
TNF cx,lL-1 dan lL-6.12
Walaupun respons neurohumoral awalnya bermanfaat dan mengembalikan
tekanan perfusi dan curah jantung, dalam jangka panjang akan berefek buruk dan
jika tidak diberikan terapi yang adekuat dapat mengakibatkan gagal multiorgan
akhir (terminal multiorgan failure). Pemahaman semua mekanisme kompleks
tersebut merupakan dasar strategi terapi saat ini untuk gagal jantung akut dan
kronik.13
Trauma bedah mengaktivasi sistem yang sama seperti gagal jantung
(failing heart) yaitu: sistem simpatoadrenergik dengan peningkatan kadar
noradrenalin dan adrenalin plasma, sistem RAA, korteks adrenal (kortisol), kelenjar
pituitari (hormon adrenokortikotropik, hormon pertumbuhan, vasopresin, ADH) dan
endotelium (endotelin). Hasil secara keseluruhan dari orkestra respons stres ini
adalah vasokonstriksi, hipertensi, takikardia, konservasi garam dan air dari ginjal
Idrus Alwi, Arif Mansjoer t23

dan hilangnya potassium.la Selama bedah, respons stres tersebut diperkuat oleh
anestesi umum daniatau regional, tetapi dalam periode pasca operatif, menjadi
beralawanan dan mempunyai efek buruk pada pasien dengan cadangan jantung
yang menurun atau suplai oksigen miokard yang terbatas.

DIAGNOSIS

Diagnosis gagal jantung menurut guideline ESC memerlukan adanya gejala dan
tanda gagal jantung dan bukti obyektif disfungsi jantung saat istirahat. Gejala
klasik gagaljantung adalah dyspnea de'efort (sensitivitas 66%, spsesifisitas 52%),
orthopnea (spesifisitas 81Yo), paroxysmal nocturnal dyspnea, fatigue dan edema
(sensitivitas 23o/o).15 Reprodusibilitas interobserver tanda karakteristik gagaljantung
mencakup edema perifer, peningkatan JVP, bunyi jantung lll dan ronki paru

Aprk;h p-reoinCIr iizu-tanoidisfungsi ventrikel kiri


atau gejala dan tanda gagal jantung ada ? l

-.-; - Disfunqsi ventrikel kiri


L]dal(:zL-. dan gagallantung tidak lazim

Evaluasi final

Aplikasi Guideline AC/AHA untuk


evaluasi kardiovaskular perioperaiif

Bagan 1. Algoritme untuk diagnosis gagal jantung praoperatifl


L24 Gagal Jantung Akut

umumnya rendah. Jadi pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang asimptomatik
dapat dengan mudah tersingkir dari diagnosis klinis dan stratifikasi risiko
praoperatif. Algoritme diagnosis gagal jantung dan disfungsi ventrikel kiri dapat
dilihat pada bagan 1. Dasar obyektif disfungsi ventrikel kiri harus berdasarkan
pada empat pemeriksaan : EKG, foto rontgen dada, ekokardiografi dan
pemeriksaan BNP.3
EKG yang normal mempunyai nilai prediksi negatif yang tinggi, di mana
adanya gelombang Q prekordial dan interval QRS yang memanjang adalah sugestif
adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri.16 EKG juga berperan dalam penilaian
abnormalitas irama dan konduksi jantung. Pemeriksaan foto toraks harus
merupakan bagian dari penilaian dan evaluasi diagnosis awal untuk ukuran dan
bentuk jantung, rasio kardiotorasik, kongesti atau edema vena pulmonar dan efusi
pleura. Ekokardiografi berperan penting dalam diagnosis fungsi sistolik dan
diastolik, dan ukuran ventrikel kiri dan kanan, gerakan dinding regional (regional
wall motion), hipertrofi ventrikel, fungsi valvular, perikardium dan tekanan arteri
pulmonalis.3 Salah satu pengukuran terpenting adalah fraksi ejeksi (ejection
fraction) ventrikel kiri. Umumnya EF < 50 o/o dianggap abnormal, EF < 30%
menunjukkan disfungsi ventrikel kiri yang berat.
Famili natriuretic peptides, ANP dan BNP saat initersedia sebagai biomarker
gagal jantung.lT ANP disintesis dan disimpan serta dilepas dari miokardium atrial,
sedangkan BNP dilepas oleh miokardium ventrikel. Rangsangan pelepasan ANP
dan BNP adalah peregangan (stretching) miosit yang disebabkan peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dan regangan dinding (wal/ sfress).18 BNP
dan NT-proBMP merefleksikan lebih baik stres dinding dan disfungsi ventrikel
kiri, sehingga menjadi petanda yang lebih disukai dan tersedia luas secara
komersil. BNP atau NT-proBNP terutama bermanfaat untuk menyingkirkan disfungsi
ventrikel kiri dan gagaljantung pada pasien dengan gejala dan tanda yang sama.
Nilai prediksi negatif BNP/NT-pro BNP dilaporkan setinggi 98oh.1s'20 Penggunaan
BNP dalam diagnosis banding dispnea akut mengurangi lama rawat di rumah
sakit dan juga menurunkan biaya perawatan rumah sakit. Sensitivitas BNP/NT-
proBNP yang tinggi dapat mengidentifikasi pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
klas I NYHA yang asimtomatik yang akan bermanfaat terhadap terapi dengan
inhibitor ACE.

GAGATJANruNGAKUT

Gagal jantung akut dicirikan dengan adanya onsef cepat gejala dan tanda sekunder
akibat fungsi jantung yang abnormal.2l Gagal jantung akut dapat terjadi pada
pasien tanpa (de novo) alau dengan penyakit jantung sebelumnya (dekompensasi
akut gagal jantung kronik). Faktor pencetus gagal jantung akut dapat dilihat pada
tabel 1.
Idrus Alwi, Arif Mansjoer L25

Kardiak
Aritmia
Fibrilasi atrial/fl uter
Takikardia ventrikular
Rikne bradikardia
Sindrorn koroner akut
lskemia miokard
lnfark rniokard
Komplikasi infark
Valvular
Regurgitasi barulmeningkat
Slenosis aorta berat
Disfungsi prostetik
Trauma
Kontusio miokard
Miokarditis

Ekstra kardiak
Hipertensi
Overload cairan
Peningkatan asupan garam
Ketidak teraturan minurn obat
Obat penyerta (NSAID, glitazon)
lnfeksi (sepsis)
Emboli paru
Tirotoksikosis
Anemia
Gagal ginjal
Alkohol berlebihan

Pedoman diagnosis dan tata laksana gagal jantung akut dari ESC membedakan
6 bentuk gagal jantung akut:

1. Gagal jantung dekompensasi akut (de novo atau sebagai dekompensasi


dari gagaljantung kronis) dengan tanda dan gejala gagaljantung akut namun
ringan dan tidak memenuhi kriteria syok kardiogenikm edema paru, atau
krisis hipertensi.
2. Gagaljantung akut hipertensif: gejala dan tanda gagaljantung disertai tekanan
darah tinggi dan fungsi jantung kiri relatif masih baik dengan foto toraks
sebanding dengan edema paru akut.
3. Edema paru (dibuktikan dengan foto toraks) disertai dengan distres
pernapasan berat dengan ronki di seluruh paru dan ortopnea, dengan saturasi
02 biasanya <90% pada udara ruangan sebelum terapi.
4. Syok kardiogenik adalah keadaan hipoperfusijaringan yang disebabkan gagal
jantung setelah perbaikan perload. Tidak ada definisi baku untuk parameter
hemodinamik yang menjelaskan perbedaan prevalensi dan outcome pada
banyak penelitian, tetapi syok kardiogenik biasanya ditandai dengan
L26 Gagal Jantung Akut

menurunnya tekanan darah (tekanan darah sistolik <90 mmHg atau


penurunan tekanan arteri rerata >30 mmHg) dan/atau produksi urin sedikit
(<0,5 mUkg/jam), dengan frekuensi nadi >60 x/m dengan atau tanpa adanya
bendungan organ. Ada rangkaian dari low cardiac output hingga syok
kardiogenik.
5. High outputfailure ditandaidengan curah jantung yang tinggi, biasanya dengan
frekuensi jantung yang cepat (disebabkan oleh aritmia, tirotoksikosis, ane-
mia, penyakit Paget, iatrogenik, atau oleh mekanisme lain), dengan akral
hangat, kongesti paru, dan kadang-kadang dengan tekanan darah rendah
pada syok septik.
6. Gagal jantung kanan ditandai dengan low out syndrome dengan peningkatan
tekaanan vena jugularis, pembesaran hati, dan hipotensi.

Klasifikasi lain yang digunakan di intensive care unit atau intensive coronary care
unit adalah klasifikasi Killip, klasifikasi Forester, klasifikasi beratnya klinis.
Klasifikasi Killip dibuat berdasarkan tanda klinis dan foto toraks:
. Tingkat l: Bukan gagaljantung. Tidak ada tanda klinis dekompensasijantung
. Tingkat ll: Gagal jantung. Kriteria diagnostik mencakup ronki, gallop 53,
hipertensi vena pulmonalis. Bendungan paru dengan ronki basah dengan
setengah bawah lapang paru.
. Tingkat lll: Gagal jantung berat.Edema paru nyata dengan ronki di seluruh
lapang paru
. Tingkat lV: SYok kardiogenik. Tandatandanya mencakup hipotensi (tekanan
darah sistolik =< 90 mmHg) dan terdapat keadaan vasokonstruksi perifer
seperti oliguria, sianosis, diaforesis
Klasifikasi Forrester dibuat berdasarkan tanda klinis hipoperfusi perifer
(pengisian nadi, permukaan kulit dingin sianosis perifer, hipotensi, takikardia,
gangguan kesadaran, oliguria), bendungan paru (ronki, foto toraks abnormal),
dan hemodinamik sebagai dasar penurunan cardiac index (=<2,3 L/menit/m2)
dan peningkatan tekanan kapiler paru (>18 mmHg).
Klasifikasi lain adalah klasifikasi beratnya klinis yang dibuat berdasarkan
pengamatan sirkulasi perife(perfusi). Pasien dikelompokkan menjadi
. Kelas I (Kelompok A): hangat - kering
. Kelas ll (Kelompok B): hangat - basah
. Kelas lll (Kelompok L): dingin - kering
. Kelas lV (Kelompok A): dingin - basah
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 127

Pqrfuqi.iarinSar.l

3's-
1 H-r
Perfusi normall
I'- 2.5.-
c-l

@
HiP6iedusi
dngan
2:2
2 - H-lll H-lv
Ct' C-lll c-tv
lrriirml

Hlpo'pgduii 1.5; Pemberian cairan TD normal: vasodilator


't eEi TD menurun: inotropik atau vasopresor

@
I
74, 18
ltttt
zfi
5 15 a5' 30 35 40
PeUrP,mniHg bandungan paru

EEPyol0mia ringm beEl

Gambar 1. Klasifikasi klinis dari bentuk gagal jantung (klasifikasi Forrester). H l-lV menunjukkan
beratnya keadaan hemodinamik dengan acuan cardiac index dan tekanan kapiler paru yang
digambarkan dengan garis vertikal dan horizontal. C l-lV menunjukkan beratnya manifestasi klinis

Killip/ Diuresis Hipoperfusi Hipoperfusi


Forrester organ
.Gagaljantung +l- Normal Nofinal Peningkatan K tt/F I
dekompendasi r€ndah rendahl ringan
akut / [nggr tinggi
Gegatjantung Biasa Tinggi +l- >18 Kll-lv/ + derigan
akul.. mdningkat F l-ilt gepla 88P
htpdrta,ilsif
Edemaparu + Normal Rendah Meningkat K u/F ll + +l-
rendah
Syok + Nonnal Rendah, >16 K It-Vl Rendsh + +
kadiogenik rendah <2,2 F l-llr
-{lttw au$i
syndrome)
Syok >90 <90 <1,8 >1g K IV/F IV Sangat I
kardiogenik rendah
berrt
High ofiptd + +l- + +l- K [/F t-[ +
failure
Gagaljantung Biasa Renda Rendah Rendah FI +l- +l*
kanan rendah h
FJ: frekuensi jantung, TDS: tekanan darah sistolik, Cl: cardiac index, PCWp: pulmonary
capillary wedge pressure, SSP: susunan saraf pusat

semua bentuk gagaljantung tersebut dapat terjadi pada periode perioperatif.


Gagal jantung akut biasanya merupakan kondisi yang mengancam nyawa yang
membutuhkan perawatan dan terapi segera dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang utama.
128 Gagal Jantung Akut

The Acute Decompensated Hearl Failure Registry (ADHERE) melaporkan


62.018 pasien dengan median usia 75,3 tahun dan sebagian besar mempunyai
riwayat gagal jantung.22 Sekitar 54% pasien mempunyai fungsi sistolik veintrikel
kiri yang normal. mortalitas di rumah sakit sekitar 3,9%. Lima puluh persen pasien
yang diterapi di rumah sakit karena gagal jantung akut mengalami rehospitaliasi
sekurang-kurangnya sekali dan sekitar 15% sekurang-kurangnya dua kali dalam
12 bulan berikutnya.23'24
Anestesi, cemas, persepsi nyeri dan peningkatan aliran balik (venous re-
turn) akibat tekanan intratoraks yang meningkat dapat meningkatkan tonus
simpatis, frekuensijantung, tekanan darah sistolik, preload dan afterload ventrikel
kiri dan memicu edema paru. Pada pasien PJK, edema paru pasca operasi dapat
dicetuskan oleh episod iskemia miokard yang sering dijumpai pada pasien PJK
selama emergensi.

PENIISIAN RISIKO PRA OPERAEF


Guideline ACC/AHA untuk evaluasi kardiovaskular perioperatif untuk operasi non
kardiak memasukkan gagal jantung dekompensasi sebagai prediktor risiko klinis
utama.25 Sesuai algoritme, jika terdapat prediktor utama maka operasi non kardiak
elektif harus ditunda, diberikan terapi medis, modifikasi faktor risiko dan evaluasi
lebih lanjut, termasuk angiografi koroner jika diperlukan.
Gagal jantung kongestif atau riwayat gagal jantung masuk dalam kelompok
prediktor klinis intermediate. Menurut guideline, dibolehkan melakukan prosedur
bedah risiko rendah, namun memerlukan estimasi kapasitas fungsional pasien
jika direncanakan bedah risiko sedang atau tinggi. Fraksi ejeksi ventrlkel kiri
dapat berguna, walaupun tak berhubungan dengan gejala dan merupakan prediktor
outcome iskemik yang rendah, dapat memprediksi gagat jantung pasca operatif
dan kematian jantung dengan tepat. Risiko komplikasi perioperatif meningkat
pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri kurang dari 35'h'25

TATALAIGANAANESTESI
Belum ada penelitian acak terhadap teknik anestesi pada pasien gagal jantung.
Pada sebagian besar penelitian terhadap efek kardiovaskular anestesi, pasien
dengan gagal jantung dan fungsi sistolik yang rendah dikeluarkan dari penelitian,
sehingga tidak ada teknik anestesi yang superior dibandingkan dengan yang
lain. Teknik anestesi regional menunjukkan banyak manfaat tetapi tidak dikaitkan
dengan outcome yang lebih baik.26 Pasien gagaljantung dekompensasi bermanfat
bila dilkukan pemantauan hemodinamik invasif sebagai petunjuk dosis anestesi
dan obat lain, untuk mend6teksi serta mengobati setiap perburukan fungsi
hemodinamik. Namun belum ada bukti bahwa pematauan invasif memperbaiki
outcome secara bermakna.2T
Idrus Alwi, Arif Mansjoer L29

TATA LAIGANA PE RIOPERATI F

Pendekatan terapi pada gagal jantung akut (GJA) bervariasi tergantung penyebab
gagal jantung. Beberapa prinsip terapi pada GJA dapat dilihat pada tabel 3.
Morfin masih merupakan obat pilihan pertama dengan efek venodilatasi
sitemik dan efek terhadap SSP, menurunkan bendungan paru dan mengurangi
cemas. Nitrat dan diuretik merupakan obat yang paling efisien untuk mengobati
GJA. Obat yang merupakan gehgrasi baru adalah nesiritid, suatu BNP human
rekombinan, merupakan vosodilator vena, arteri dan koroner, menurunkan preload
dan afterload, menekan sistem RAA dan sistem simpatis serta memicu diuresis.
Diuretik loop intra vena (furosemid) mempunyai peran penting dalam
tatalaksana GJA. Efek relaksasi terhadap pembuluh darah berperan untuk
menurunkan tekanan pengisian jantung kiri dan kanan dan menurunkan bendungan
paru dan sistemik. Penambahan diuretik tiazid, spironolakton atau infus furosemid
(5-40 mg/jam) direkomendasikan untuk memperbaiki sensitlvitas diuretik.
Penggunaan dopamin dosis rendah untuk meningkatkan aliran darah renal dan
ekskresi sodium masih kontroversial.

Oksigen
Morfin
Diuretik
Furosemid, torasemid
Nitrat
Nitrogliserin
Natriuretic peptide
Nesiritid
Dukungan ventilasi
lnvasif
Continuous positive airway pressure (CPAP)
Bitevel positive airway IBiPAP) dengan face mask
lntubasi trakeal
Ventilasi mekanis + positive end-expiratory pressure (PEEP)
lnodilator
lnhibitor posfodiesterase
Milrinon, enoksimon
Calsium sensifizers
Levosimendan
lnotrop
Dobutamin
Vasopresor (katekolamin)
Adrenalin, noradrenalin
Pacu jantung
Atriaf, dual, biventrikular
Ultrafiltrasi
Dukungan bedah
I ntra- aa rl i c c a u n te rp u I a st i o n
Venticular assr'st devlce (VAD)
Revaskularisasi emergensi / bedah katup
Resusitasi kardiopulmonar
130 Gagal Jantung Akut

Penyekat beta bermanfaat dalam tatalaksana gagaljantung akut, jika sudah


tidak ada bendungan paru dan jika terdapat tanda aktivitas simpatis yang tinggi,
takikardia dan hipertensi. Penyekat beta memperbaiki pengisian ventrikel kiri dan
melindungi miokard terhadap iskemia.
Pasien dengan gagal jantung kiri sistolik, perfusi perifer inadekuat dan
hipotensi membutuhkan support inotropik. Tujuan terapi dengan inotropik adalah
meningkatkan curah jantung, menormalkan distribusinya dan memperbaiki suplai
oksigen tanpa efek samping takikardia atau aritmia. Dobutamin mungkin
merupakan inotropik yang terbanyak digunakan pada perioperatif' Pada syok
kardiogenik dan situasi yang mengancam nyawa, dianjurkan penggunaan
vasopressor yang bersifat sementara (adrenalin, nor adrenalin dan vasopresin).

KESIMruLAN

Meningkatnya pasien gagal jantung yang menjalani operasi merupakan risiko


terjadinya adverse outcome. Adanya gagal jantung dan cadangan jantung yang
terkait harus diketahui praoperatif dan tatalaksana perioperatif harus dilakukan
secara optimal. Pemantauan yang perlu diperhatikan mencakup penundaan
operasi, terapi medis dan perencanaan dengan baik anestesi dan pengawasan
pasca operatif. Jika terjadi gagal jantung akut, penyebabnya harus diidentifikasi
dan gagal jantung diterapi secara agresif. Koordinasi pra dan perioperatif dari
semua profesi yang terlibat dalam pengawasan pasien dapat menurunkan risiko
perioperatif dan mungkin akan memperbaiki aoutcome iangka panjang.

REMENEI
1. Skarvan K. Heart failure and the surgical patient. ln: Howell, PeppaC, Spahn DR. Eds' Heart
Disease and the Surgical Patient. NewYork. lnforma Healthcare USA. lnc. 2007.p.237-67.
2. Cleland JG, Mc Gowan J. Heart failure due to ischaemicheafi disease:.epidemio^logy, patho-
physiology and progression.'J Cardiovasc Pharmacol 1999;33(supppl 3):S17-S29.
3. Guideline for the diagnosis and treatment of chronic heart failure (update 2005). Eur Heart J
2005;26:115-40.
4. CowieMR,MostardA,WoodDA,etal.Theepidemiologyofheartfailure.EurHeartJl99T;18:208'
25.
5. Cowie MR, Wood DA, CoatsAJ, et al. lncidence and aetiology of heaftfailure: a population based
study. Eur Heaft J 1999;20:421 -8.
-
6. Massie BM, Shah NB. Evolving trends in the epidemiologic factors of heaft failure:rationale for
preventive itrategies and com[rehensive disease management. Am Heart J 1 997;1 33:703'1 2.
7 . Lloyd-Jones DM, Larson MG, Leip EP et al. Lifetime risk for developing congestive heart failure'
Circulation 2002;1 06:3068-72.
B. Remes J, Tikkanen l, Fyhrquist . Neuroendocrine activity in untreated heart failure. Br Heaft J
1991 ;65:249-55.
g. Baig MK, Mahon N, McKenna WJ, et al. The pathophysiology of advanced heart failure. Am
Heart J 1 998;1 35:521 6-5230.
-

Idrus Alwi, Arif Mansjoer 131

10. Jqckson G, Gibbs CR, Davies MK. ABC of hearl failure: pathophysiology. Br Med J 2000:320:167-
70.
'11.
Wei C,tt{, Lglman A, Rodeheffer RJ, et al. Endotheiin in human congestive heartfailure. Circula-
tion 1994;89:1580-6.
12. Anker SD, Von Haeling S. lnflammatory mediators in chronic hearl failure: an overview. Heart
2004;90:464-70.
13. Braunwald E, Bristow-MR. Congestive heartfailure: fifty years of progress. Circulation
2000; 1 02(suppl lV):1 4-23.
14. Holte K, Sharrock NE, {gllqt H. Pathophysiology and clinical implications of perioperative fluid
excess. Br J Anaesth 2002;89:6222-32.
15. Harlan WR, Oberman A, Grimm R, et al. Chronic congestive heafi failure in coronary aftery
disease: clinical criteria. Ann lnterm Med 1977;86:133-8.
16. DavieAP,LgveMP,McMurray_JJ.Valueoftheelectrocardiograminidentifyingheartfailuredue
to left ventricular dysfunction. Br Med J 1996;313(7052):300-t.
17. Wang TJ, Larson MG, Levy D, et al. Plasma natriuretic peptide levels and the risk of cardiovas-
cular events and death. N Engl J Med 2004;350:655-63.
18. Troughton.RW, Frampton cM, Yandle
I9r.et ?l rreatment of heart failure guided by plasma
aminoterminal brain natriuretic peptide (N-BNP) concentrations. Lancet 2000]355:112'6-33.
19. CowieMR,StruthersADS,WoodDAetal.Valueof natriureticpeptidesinassessmentof patients
wlth possible new heart failure in primary care. Lancet 1997;350:1349-51.
20. MuellerT, GegenhuberA, Poelz W, et al. Diagnostic accuracy of B type natriuretic peptide and
amino terminal proBNP in the emergency diagnosis of heart f-ailure. Hear12005;91iOOO-t Z.
21 . The Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of Cardiology: guidelines on the
diagnosis and treatment of acute heart failure. Eui Heart J ZOdS;ZA:gAq-qt6.
22. Fonarow GC. For the ADHERE scientific advisory committee overview of acutely decompen-
Pt^eg^cglge^slive heart failure (ADHF): a report-from the ADHERE registry. Heart Fait'Rev
2004;9:1 79-85.
23. Cleland JG., Swedberg K, Follath F, et al. The EuroHeartFailuere survey programme: a survey
on the quality of care among patients with heart failure in Europe. Part 1 . Patidnt characteristici
and diagnosis. Eur Heart J 2003;24(5):442-63.
24. Krumholtz HM, Parent EM, Tq N, et al. Readmission after hospitalization for congestive heari
failure among Medicare beneficiaries. Arch lntern Med 1997;157:g9-104.
25. Eagle KA, Berger PB, Calkins H, et al. ACC/AHA Guideline Update for perioperative cardiovas-
cular evaluation for non cardiac surg'ery. Circulation 2OO2;11S:1257-67.
26. Bode RH, Lewis KP, Zarich SW, et al. Cardiac outcome after peripheral vascular surgery:
comparison of general and regional anesthesia. Anesthesiology t ilg0iA+:g-t S.
27. Sandham JD, HullRD, BrgnJ RF, et al. for the Canadian Critical Care ClinicalTrials Group. A
laldomized, controlled trial of the use of pulmonary artery catheters in high risk surgical patients.
N EnglJ Med 2003;348:5-'14.
28. Millane T, Jgcfgol Q, Gibbs cR, et al. ABC of hearl failure : acute and chronic management
strategies. Br Med J 2000;320:559-62.
29. Mc Munay J, Cohen-SolalA, et al. Practical recommendations for the use of ACE inhibitors, beta-
blockers, aldosterone antagonists gn$ qlgloleryin receptor blockers in hearl failure: putting
guideline into practice. Eur J Heart Fail2005;7:710-21.
30. Cleland JG- Comoprehensive adrenergic receptor blockade with carvedilol is superior to beta-'l-
selective blockade with metoprolol in patients with heart failure: COMET. CuriHeart Fail Rep
2004;1:82-8.
L32

3.6 Asma
Heru Sundaru

ujuan operasi adalah untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, sehingga


kualitas hidupnya akan menjadi lebih baik dibandingkan dengan sebelum
operasi. Untuk mendapatkan hasil operasi yang baik dan menghindari terjadinya
komplikasi selama operasi diperlukan persiapan atau evaluasi kondisi pasien
terutama pasien-pasien yang mempunyai faktor risiko termasuk pasien asma.l
Meningkatnya prevalensi asma yang juga terjadi di lndonesia,2 akan
mempunyai pengaruh yaitu meningkatnya jumlah pasien asma yang menjalani
operasi. Oleh karena itu pemahaman pasien-pasien asma yang akan dioperasi
penting diketahui untuk menghindari atau mengurangi komplikasi paru pasca
operasi (KPPO) seperti pnemonia, bronkitis, bronkospasme, hipoksemia, gagal
napas sampai kepada pemanjangan pemakaian ventilasi mekanik.3
Sifat asma yang ditandai oleh adanya obstruksi saluran napas, inflamasi
dan hipereaktivitas saluran napas menyebabkan pasien asma rentan terhadap
pemicu baik oleh obat-obat yang dipakai selama dan sesudah operasi maupun
tindakan operasi sendiri.
Dari kepustakaan dilaporkan di masyarakat umum kejadian bronkospasme
selama operasi terjadi pada1.6 kejadian setiap 1000 operasi,a sedangkan pada
pasien asma berkisar antara 6,5 -7,1o/o.5'6 Meskipun umumnya dapat diatasi dengan
baik, data di atas menunjukkan perlunya pemahaman pasien-pasien asma yang
akan dioperasi.
Dalam makalah ini akan dibicarakan evaluasi pasien asma sebelum dan
sesudah operasi, sedangkan selama operasi menjadi kompetensi spesialis
anestesi.

SEBELUMOPERASI

Penelitian nnenunjukkan pada asma terjadinya komplikasi paru meningkat bila


Heru Sundaru 133

pasien masih mengi atau Arus Puncak Ekspirasi < 80% dari nilai terbaiknya atau
prediksi.T. Risiko terjadinya bronkospasme pada masa perioperatif rendah bila
asma dalam keadaan stabil atau terkontrol dan kalaupun terjadi komplikasi
biasanya ringan. Oleh karena itu pasien asma yang akan menjalani operasi
diupayakan secepatnya dalam keadaan terkontrol. Seperti diketahui klasifikasi
asma berdasarkan beratnya asma, karena lebih rumit dan belum pernah divalidasi
mulai ditinggalkan dan hanya digunakan dalam penelitian, sedangkan untuk praktek
sehari-hari dipakai klasifikasi kontrol asma.8 Tes kontrol asma (TKA) adalah contoh
alat ukur untuk menilai apakah kondisi asma pasien telah terkontrol apa belum,e
dapat dilihat pada lampiran 1. Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan
I
sebelum operasi dapat dilihat di bawah ini: I
1. Asma terkontrol baik. TKA yang terdiri atas komponen aktivitas, sesak napas, I

bangun malam, pemakaian obat pelega serta kontrol asma menurut penilaian
I
pasien. TKA memberikan skor 20 sampai 24 untuk asma terkontrol baik dan I

skor 25 untuk kontrol sempurna. Skor <20 sebaiknya segera mungkin di


tingkatkan dengan obat asma dan penghindaran faktor pencetus. Asma yang
terkontrol baik tidak ada gangguan aktivitas, tidak ada keluhan sesak, batuk,
atau mengi, pemakaian obat pelega jarang atau sangat minimal, tidak
terbangun malam atau pagi hari karena asma.
2. Pencetus serangan asma perioperatif perlu diperhatikan seperti obat, zat
farmakologis yang lain. Aspirin dan obat anti inflamasi non-steroid, penyekat
beta dan antibiotik kadang-kadang dapat mencetuskan asma, begitu pula
halnya dengan alergi lateks.
3. Serangan asma yang belum lama berselang masih menyisakan hipereaktivitas
saluran napas, sehingga perlu terapi yang adekuat karena saluran napas
mudah terpicu. Demikian pula infeksi saluran napas seperti flu dapat
meningkatkan hiperaktivitas saluran napas.
4. Sebaiknya tidak merokok. Bila operasi elektif, merokok dihentikan 8 minggu
sebelum operasi untuk menghindari komplikasi KPPO. Menghentikan 1

minggu sebelum operasi memperbaiki motilitas silia, transport dan eliminasi


sekret. Penghentian merokok 2 hari sebelum operasi rnenurunkan carboxy-
hemoglobin dan meningkatkan transport oksigen ke jaringan.l0
5. Jenis operasi. Lokasi operasi yang dekat diafragma, lama operasi lebih dari
4 jam serta perlakuan intubasi meningkatkan komplikasi operasi.
6. Hal-hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah kondisi kesehatan pasien
pada umumnya seperti usia, obesitas, pemakaian kortikosteroid jangka
panjang serta malnutrisi yang mengakibatkan kelemahan otot-otot
pernapasan, batuk dan gangguan bersihan sekret.3
7. Pemeriksaan fungsi paru atau spirometri. Bila tersedia cukup membantu.
Masalahnya sering dijumpai pasien asma dengan obstruksi saluran napas
t34 Asma

menyangkal adanya gejala dan memang sering didapatkan ketidaksesuaian


antara gejala asma dengan hasil pemeriksaan spirometri.
8. Faktor risiko yang juga harus diperhatikan dalam terjadinya KPPO adalah
riwayat perawatan intensif , intubasi trakea serta serangan asma yang belum
lama terjadi.ll

PERSIAPANOPERASI

Pasien asma yang asimtomatik dan tidak menggunakan obat, risiko komplikasi
operasi dapat dikatakan sama denga pasien bukan asma.12 Pemberian
kortikosteroid pada pasien asimtomatik dan terkontrol baik sebelum operasi masih
menjadi perdebatan.. Warner dkk11 menyatakan tidak bijaksana memberikan
kortikosteroid secara rutin sebelum operasi, sedangkan Parker dkkl3 memberikan
kortikosteroid bila VEPI <80% prediksi untuk mengurangi inflamasi, edema saluran
napas dan mengurangi produksi sekret. Ada pula yang menganjurkan kombinasi
inhalasi steroid dan agonis bela2.1a
Pasien asma asimtomatik karena memakai obat asma, pencegahan harus
tetap meneruskan obat tersebut. Pasien yang sedang atau pernah memakai
kortikosteroid oral atau inhalasi dosis tinggi memerlukan tambahan kortikosteroid
sistemik perioperatif untuk mencegah terjadinya insufisiensi adrenal. Kortikosteroid
diberikan 24-48 jam sebelum operasi, pada orang dewasa setara dengan dosis
40-60 mg prednison. Bila tidak dapat minum obat, steroid dapat diberikan intravena.
Steroid dapat dihentikan setelah operasi. Pemakaian jangka pendek tidak
memerlukan tapering off dan tidak menyebabkan infeksi luka atau perlambatan
penyembuhan luka.l5Matsuse dkk.16 memberikan prednisolon 10-20mg/hari selama
1-2 hari sebelum operasi, metil prednisolon 80-125 mg 2 jam sebelum operasi
dan dilanjutkan dengan metil prednisolon 80 mg segera setelah operasi pada 75
pasien asma intermiten dan persisten ringan ternyata hanya 4 o/o \ang mengalami
gejala asma ringan.
Pasien yang sebelum operasi mempunyai gejala asma, dianjurkan memakai
pengobatan inhalasi agonis beta2 dan kortikosteroid. Teofilin tidak dianjurkan
sebagai obat lini pertama karena lebih banyak efek sampingnya. Meskipun gejala
asma cepat menghilang dan rencana operasi dapat dilanjutkan, reaktivitas saluran
napas masih tinggi sehingga pengawasan harus lebih ketat. Bagi pasien yang
masih bergejala operasi kalau mungkin ditunda kecuali operasi emergensi. Pada
keadaan emergensi di mana operasi tidak dapat ditunda sementara pasien masih
menunjukkan gejala asma, inhalasi agonis beta 2 dan kortikosteroid intravena
segera diberikan dan terus dilanjutkan selama dan sesudah operasi.lT
Heru Sundaru 135

SELAMAOPERASI

Sebagai spesialis penyakit dalam, tugas utamanya adalah mempersiapkan pasien


yang akan menjalani operasi dalam kondisi seoptimal mungkin. Umumnya selama
operasi dan di ruang transit masih dalam pengawasan spesialis anestesi. Pemilihan
obat-obat anestesi, premedikasi, jenis anestesi apakah lokal, spinal atau anestesi
umum tergantung pertimbangan dan pengalaman spesialis anestesi.

SETEI.AHOPERASI

Setelah operasi, pasien masih mungkin mengalami bronkospasme, bahkan


kejadian bronkospasme lebih sering terjadi segera setelah operasi dibandingkan
dengan selama operasi.ls Dianjurkan pengawasan pasien yang berisiko sebaiknya
di ruang perawatan intensif. Pemakaian obat penghilang rasa nyeri golongan anti
inflamasi non-steroid harus berhati-hati, karena pada sebagian pasien asma dapat
menimbulkan bronkospasme yang berat.le Jika terjadi bronkospasme segera
berikan agonis b,eta 2 dan kortikosteroid intravena dan tentu saja oksigen. Kalau
gejala asma tidak hilang pikirkan juga adanya emboli paru, gagat jantung akut
atau pnemotoraks.
Sebagai kesimpulan, evaluasi dan persiapan operasi pasien asma yang akan
menjalani operasi diperlukan untuk menghindari atau mengurangi terjadinya
komplikasi paru pasca operasi. Ringkasan dapat dilihat pada lampiran 2.

REME\6[
1. Joehl RJ. Perioperative evaluation: pulmonary, cardiac, renaldysfunction and comorbidities.
Surg Clin N Am. 2005:85;1061-73.
2. Baratawidjaja KG, Subarjo RW, Kartasasmita C, Suprihati, Sundaru H Siregar SP, et al. Allergy
and asthma; The scenario in lndonesia. ln: Shaikh WA, ed. Principle and practice of tropicdl
allergy and asthma. Mumbai: Vikas Medical Publisher; 2006. p. 707-36.
3. Peter R. Preoperative assessment: pulmonary. Anesthesiol Clin N Am. 2004;22;77-g1.
4. OlssonGL.Brochospasmduringanaesthesia.Acomputer-aidedincidencestudy.ActaAnaesthesiol
Scand. 1 987;3 1 :244-52.
5. Shnider SM, Papper EM. Anesthesia for the asthmatic patient. Anesthesiology. 196'l;22:886-92.
6. Gold Ml, Helrich MA. A study of the complications related to anesthesia in asthmatic patients.
Anesth Analg. 1 963;42:283-93.
7. Guidelines for the diagnosis and management of asthma. National heafi, lung, and blood
institute. National asthma education program. Expert Panel Heport ll. J Allergy Clin immunol.
1 991 ;88:425-534.

B. GINA Report. Global strategy for asthma managemenl and prevention. (cited 2007 January 9).
Available from: unvw.ginasthma.org/Guidelineitem.asp??11 =2&12= l&intld=60
L NathanRA,SorknessCA,KosinskiM,SchatzM,liJT,MarcusP,etal.Developmentoftheasthma
control test: A survey for assessing asthma control. J Allergy Clin lmmunol. 2004;113:59-65.
10. Dilworth J, White RJ. Postoperative chest infection after upperabdominalsurgery: an important
problem for smokers. Respir Med. 1992;86:205-10
136 Asma

11. Warner D0, Warner MA, Barnes RD, Oxford KP, Schroeder DR, Gray DT, et al. Perioperative
respiratory complications in patients with asthma. Anesthesiology. 1 996;85:460-7.
12. May HA, Smyth RL, Romer HC, et al. Effect of anaesthesia on lung function in children with
asthma. Br J Anaesth. 1996;77 :200-2.
13. Parker SD, Brown RH, Darowski MJ, Hirshman CA. Time related decrease in airuay reactivity
by corticosteroids. Anesthesiology. 1 989;7'l :Al 077.
14. Kill HK, Rooke GA, Ryan-Dykes MA, Bishop MJ. Effect of prophylactic bronchodilator treatment
on lung resistance after tracheal intubations. Anesthesiology. 1 994;81 :43-8.
15. Kabalin CS, Yarnold PR, Grammer LC. Low complication rate of corticosteroids-treated
asthmatics undergoing surgical procedures. Arch lntern Med, 1 995;1 55:'l 379-84.
16. Matsuse H, Shimoda T, Machida l, Kondo Y KawanoT, Saeki S, et al. Perioperative
corticosteroids for intermittent and mild persistent asthma. Allergy lnternational. 2002;51 :1 85-90.
17. Rodrigo C, Rodrigo G. lnhaled therapy in non-asthma:Assessment and management. New York:
McGraw-Hill; 2000. p. 161 -78.
18. Cohendy R. JoubertA. Eledjam JJ. Prefaut C. Le risqu6 respiratoire en chirurgie generale chez
l'adulte. Rev Pneumol Clin. 1991 ;47:10-20.
19. Haddow GR, Rley E, lsaacs R, Mcsharry R. Ketoolac, nasal polyposis and bronchial asthma; a
cause for concern. Anesth Analg. 1 993;76:420-2.
Heru Sundaru L37

Tes Kontrol Asma


Silahkan pilih salah satu jawaban yang sesuai dengan kondisi asma anda. Berikan
tanda silang (X).

I
138 Asma

[ampiran
Ringkasan : Asma-Perioperatif

Sebelum Operasi :

(Evaluasi) 1. Asma terkontrol : - tanpa obat : teruskan


(skor TKA " 20) - dengan obat : teruskan

2. Asma tidak terkontrol (Gejala)


Elektif tunda operasi, obati sampai mencapai
terkontrol.
Emergensi inhalasi agonis F, dan kortikosteroid
intravena sebelum; selama dan setelah
operasi
3. Spirometri normal :teruskan pengobatan tanpa
operasi
obstruksi : tingkatkan pengobatan sistemik
steroid + agonis F,
4. Rokok hentikan rokok minimal 2 hari sebelum
operasi, kalau mungkin 8 minggu.
5. Adakah riwayat alergi obat dan lateks ? Hindari
6. Riwayat pemakaian kortikosteroid sistemik / ICS dosis tinggi
(>1000 pg/hr) + suplementasi, mencegah krisis adrenal.
7. Riwayat perawatan rumah sakit, kunjungan ke lGD, intubasi
trakea + resiko tinggi.
Matsuse dkk : Pada asma intermiten atau persisten
Prednisolon : 10-20 mg sebelum operasi
Metil prednisolon (i.v) :80-125 mg2iam sebelum operasi.
Diikuti 80 mg metil prednisolon begitu selesai operasi.

Sesudah operasi : perhatikan adanya brokospasme/obstruksi saluran napas,


bila ada, inhalasi agonis 9, dan kortikosteroid oral serta oksigen.
139

9.7 Tuberkulosls
ZulkifliAmin

eadaan di mana pada reak seorang pasien TB paru ditemukan basil tahan
sam positif adalah keadaan infeksius terbuka dan setiap batuk, bersin
penderita akan ada kuman infeksius tersembur keluar yang bisa menular kepada
orang sekitarnya atau mencemari ruangialat sekitar di mana pasien berada.
Tuberkulosis akan memburuk pada keadaan imunkompromis. Stres yang
dialami seseorang sebelum-selama dan sesudah operasi juga menimbulkan
keadaan imun-kompromis ringan.
Persiapan operasi pada pasien tuberkulosis dibagi atas beberapa keadaan:
jenis operasi dan kondisi infeksi tuberkulosis.
Jenis operasi terdiri atas: operasi elektif dan emergensi.

Kondisi infeksi tuberkulosis terdiri atas:


1. TB paru dengan basil tahan asam (BTA) positif
2. TB paru dengan basil tahan asam negatif
3. TB diseminata (TB intra paru dan ekstra paru bersamaan)
4. TB ekstra paru

A. E..EfiIF

1. Operasi elektif TB paru dengan pemeriksaan mikroskopik basil tahan


asam (BTA) positif
Pada operasi elektif sama dengan persyaratan operasi yang lain setiap
infeksi yang ada pada suatu organ tubuh haruslah disembuhkan dulu.
Mengingat TB adalah suatu infeksi kronik berbagai studi membuktikan bahwa
dengan menghilangkan basil tahan asam dari sputum (membuat konversi)
140 Tuberkulosis

maka penularan terbuka ke sekitarnya akan banyak dikurangi, sambil


memberikan minimal 4 obat anti tuberkulosis yang diperkirakan sensitif
minimal 3 minggu. Sesudah operasi, kamar operasi harus disterilkan dengan
ultra violet, pasien harus dirawat di ruang isolasi.

2. Operasi elektif TB paru dengan pemeriksaan mikroskopik basil tahan


asam (BTA) negatif
Pada keadaan ini minimal 3 minggu sebelum hari operasi diberikan obat
anti tuberkulosis (sedikitnya terdiri atas 4 obat di mana 2 diantaranya adalah
Rifampisin dan INH). Sesudah operasi, kamar operasi harus disterilkan
dengan ultra violet, pasien harus di rawat diruang isolasi.

3. Operasi elektif TB diseminata dengan pemeriksaan mikroskopik ba-


sil tahan asam (BTA) positif
Pada keadaan ini juga sama dengan TB paru BTA positif, yaitu diobati
(sedikitnya BTA terdiri atas 4 obat di mana 2 di antaranya rifampisin dan
INH) sampai secara mikroskopis BTA-nya dikonversi sehingga negatif.
Sesudah operasi, kamar operasi harus disterilkan dengan ultra violet, pasien
harus dirawat di ruang isolasi.

4. Operasi elektif TB diseminata dengan pemeriksaan mikroskopik ba'


sil tahan asam (BTA) negatif
Pada keadaan ini minimal 3 minggu sebelum hari operasi diberikan obat
anti tuberkulosis terdiri atas minimal 4 obat, di mana 2 di antaranya rifampisin
dan lNH. Sesudah operasi, kamar operasi harus disterilkan dengan ultra
violet, pasien harus dirawat di ruang isolasi.
E Operasi elektif TB ekstra paru
Pada keadaan ini minimal 3 minggu sebelum hari operasi diberikan obat
anti tuberkulosis (sedikitnya terdiri atas 4 obat, di mana 2 di antaranya
rifampisin dan INH)
B. Operasi emergensi
Pada keadaan ini, operasi bisa dilaksanakan setiap saat sesuai kondisi
emergensi yang dihadapi. Untuk meminimalkan kemungkinan penularan atau
memburuknya keadaan penyakit TB, maka anti tuberkulosis juga ikut
diberikan sesudah operasi dengan rejimen minimal 4 macam obat. Pada TB
paru ruang operasi harus disterilkan dengan ultra violet, pasien dirawat diruang
isolasi.

c. Reseksi paru pada TB Paru


Basil tahan asam menetap positif pada kavitas persisten, hemoptisis masif,
adanya fistel bronkopleura TB, karsinoma, MDR TB dengan destroyed lungl
kavitas persisten, adanya sumbatan TB intrabronkial.
Zulkifli Amin 141

Dipastikan dulu bahwa minimal masih ada 2 obal anti Tb(baik baris pertama
maupun yang kedua) yang tersedia dan sensitif yang akan diberikan pada
pasien sesudah operasi. Harus diperhitungkan dengan matang risiko,
kelayakan dan jaringan paru yang tersisa saat sesudah operasi untuk
mempertahankan fungsi tubuh normal. Hal ini bisa diperiksa dengan tes
fungsi paru yailu force expiratory volume 1 detik minimal 0,8 liter, CT scan
toraks untuk menentukan luasnya reseksi yang akan dilakukan dan lung
ventilation-perfusion scan. Tak kalah pentingnya kondisi kardiovaskular dan
nutrisi yang baik (albumin >3 g/dL) akan mempengaruhi keberhasilan operasi.
Sesudah operasi dilakukan sterilisasi kamar operasi dengan sinar ultra vio-
let, dan pasien diisolasikan.

RffiENEI
1. Amin Z. Pengobatan tuberkulosis paru. ln: SudoyoA, Setyohadi B, Simadibrata M, Setiati S, eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4h ed. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.
2. Yew WW, Chiu SW. Role of surgery in diagnosis and management of pulmonary tuberculosis. ln:
Schlossberg D, ed. Tuberculosis and non tuberculous mycobacterial infections. 4u ed.. Philadel-
phia: WB Saunders Co; 1999. p. 93-7.
3. Boyd AD, Crawford BK, Glassman L. Surgical therapy of tuberculosis. ln: Rom WN,Garay SM,
eds. Tuberculosis. 1d ed. Boston: Little Brown and Co.; 1996. p.513-23.
L42

3.8 Penya,Ht Pam 0bstru[flf Kronlk


Anna Uyainah ZN

!\ /lenurut GOLD 2006, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan suatu
I V lpenyat<it yang dapat dicegah dan diobati, dapat mempengaruhi organ di
luar paru yang dapat memperberat kondisi pasien, ditandai dengan terbatasnya
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan aliran udara pada
umumnya progresif dan dihubungkan dengan respons inflamasi yang abnormal
pada paru yang disebabkan oleh partikel gas .
PPOK merupakan faktor risiko penting pada operasi. Pasien dengan PPOK
(FEV1<40o/o pred) mempunyai komplikasi pascaoperasi sebesar 6 kali.
Keuntungan operasi harus dipertimbangkan dengan kesulitan yang ada. Evaluasi
persiapan operasi harus hati-hati pada pasien PPOK termasuk identifikasi pasien
dengan risiko tinggi dan yang memerlukan pengobatan agresif. Pada operasi
elektif harus ditunda apabila terdapat gejala dengan kapasitas latihan lemah atau
ada eksaserbasi.
Menurut study Wightman, Pederson dkk ditemukan adanya perbedaan bermakna
risiko komplikasi pasca operasi pada pasien dengan PPOK (6-26%) dibandingkan
dengan pasien tanpa PPOK (2-8%). Data studi Kroenke dkk (1993) dan Wong dkk
(1995) menyimpulkan bahwa pasien dengan PPOK diklasifikasikan risiko sangat
tinggi, mempunyai risiko berat pada saat operasi dan komplikasi pasca operasi (29%).
Karena PPOK menjadi faktor risiko dalam tindakan operasi, maka perlu adanya
persiapan operasi untuk mengurangi timbulnya komplikasi pasca operasi.

KT.ASIFIIGSIPFOK

Dalam tindakan operasi, dikenal risiko operasi bagi pasien-pasien yang mengalami
kondisi tertentu, sehing$a sangat perlu diketahui kondisi pasien menjelang operasi.
Anna Uyainah ZN L43

(FVC%)
FEVI/FVC FEY1 Yo Prediksi
Stadium COPD PostBrokodilator PostBronkodilator
I : ringan < 0,70 FEV1 > 80o/o
il : sedang < 0,70 50olo<FEV1 <80%
ilt : berat < 0,70 30o/o < FEYI <50o/o
IV : sangat berat < 0,70 FEVI < 30% prediksi atau FEVI
< 50% prediksi + gagal napas kronik

Dalam persiapan operasi pada pasien PPOK, kita harus mengetahui tingkatan
I
risiko pada pasien PPOK melalui penilaian klasifikasi PPOK.
I

KOM PLII(ASI PARU PASCA OPERASI

Komplikasi pasca operasi didefinisikan sebagai kelainan yang menimbulkan


penyakit atau disfungsi, secara klinik bermakna, dan berdampak negatif.
Pada berbagai tindakan operasi diketahui adanya komplikasi paru pasca
operasi, diantaranya :

. Gagal napas
. Pneumonia
. Atelektasis
. Penggunaan ventilasi mekanik yang lama
. PPOK dengan eksaserbasi
. Bronkospasme
. Tromboemboli

Berbagai komplikasi paru tersebut akan menyebabkan meningkatnya


mortalitas dan morbiditas, serta lebih lamanya hari rawat pasca operasi.

PENATAIAKSANAAN PERSIAPAN OPERASI

Mempertimbangkan berbagai komplikasi paru pasca operasi, diperlukan persiapan


operasi secara optimal, sehingga tercapai tujuan persiapan operasi diantaranya :

. Menilai keterbatasan fisiologis pasien


. Mengurangi penundaan operasi
. Membantu kelancaran operasi
. Mengoptimalkan kondisi pasien saat operasi
. Mencegah timbulnya penyakit saat operasi
. Mencegah relaps penyakit yang sudah ada pada pasien saat operasi
. Meminimalkan komplikasi pasca operasi
. Mengoptimalkan kondisi pasien pasca operasi
L44 Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Pra Operasi Saat Operasi Pasca Operasi

Merokok Jenis Anestesi Mobilitas pasca operasi


Status kesehatai umum Lama anestesi Konlrol nyeri
Statut gizi Lokasi operasi
Obesitas t tpe tnstst operasr
COPD
Riwayat lnfeksi Paru

Untuk mencapai tujuan yang optimal dari persiapan operasi, kita perlu
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi komplikasi dari kondisi pra operasi,
saat operasi dan pasca operasi.

PEMERIIGAAN DAIAM PERSIAPAN OPERASI

Untuk persiapan operasi perlu dilakukan, anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Pada anamnesis perlu diinvestigasi mengenai :
. Batuk : lamanya, waktu, produksi sputum
. Sesak napas : derajat, waktu, hubungan dengan aktivitas
. Demam : sifat, sejak kapan
. Riwayat penyakit TB, asma : riwayat berobat , kondisi saat lni ?
. Riwayat keluarga TB, asma, alergi
2. Pemeriksaan fisis
Pada pemeriksaan fisis, perlu dinilai :

. Umum
. Paru : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi
3. Pemeriksaanpenunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk persiapan operasi pada pasien
PPOK selain pemeriksan laboratorium dan foto toraks dibutuhkan
pemeriksaan spirometri, walaupun hasil pemeriksaan spirometri tidak
menentukan boleh atau tidaknya operasi tersebut, atau spirometrijuga tidak
menentukan kontraindikasi atau tidaknya terhadap anestesi umum.
Pemeriksaan spirometri berguna untuk menentukan risiko terhadap
komplikasi pasca operasi, sehingga dapat memprediksi dan mengantisipasi
pencegahan terhadap komplikasi. Pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
diperlukan pada pasien yang tidak mampu atau kontraindikasi spirometri
serta pada pasien dengan FEVI pred < 50o/o.
Anna Uyainah ZN 145
PENIIAIAN RISIKO OPERASI
Penilaian risiko operasi harus dinilai berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis, adanya keruhan sesuai dengan ppoK yang akan
meningkatkan risiko operasi, di antaranya :

. Kebiasaan merokok
o Adanya batuk kronik
. Adanya riwayat asma
. Adanya riwayat TB
Adanya keluhan sesak napas
. Adanya keluarga yang perokok berat

Pada pemeriksaan fisis, ditemukan adanya :


' sesak napas, sianosis, jari clubbing, bentuk dada ( kifosis, skoliosis ?)
. Pernapasan purse /rps
' Adanya bunyi napas vesikular yang melemah, ronki kering, ekspirasi
memanjang alau wheezing

Pada pemeriksaan penunjang :


Laboratorium :
. Ditemukan adanya tanda infeksi atau tidak

Foto toraks :
. Emfisema
. lnfiltrat

Spirometri :

. Obstruksi
. Restriksi berat

AGD :

. Hiperkapnia ( PaCO2 > 45 mmHg)


. Hipoksia
Risiko tinggi untuk operasi dalam narkose apabila terdapat tanda-tanda ppOK
dan pada pemeriksaan spirometri terdapat hasil sebagai berikut :
. FEVI/FVC < 70% ( < 65% )
' FEV1 < 70o/o PRED
. FVC o/o < 40 % (untuk operasi toraks/ abdominal atas)
Atau nilai AGD ( apabila pasien tidak mampu atau terdapat kontraindikasi
spirometri) sebagai berikut :
146 Penyakit Paru Obstruktif Kronik

. Hiperkapnia : PaCa2 > 45 mmHg (PPOK berat) dinilai berisiko tinggi,


walaupun tidak harus melarang operasi
. Hipoksemia tidak bermakna untuk prediksi komplikasi

LANGI(AFI{.ANGKAH UNruK MENGUMNGI KOMruI(ASI PARU PASCAOPERASI

, Pra operasi
' Penanganan pasien sebelum operasi sangat penting untuk mengurangi komplikasi
pasca operasi, diantaranya sebagai berikut :

. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko penting pada komplikasi paru pasca
operasi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko
terhadap kompiikasi paru bagi perokok lebih dari4 kali , bahkan pada pasien
tanpa PPOK.
Dianjurkan adanya intervensi (berhenti merokok) pada 6-8 minggu sebelum
operasi dan diteruskan sampai 10 hari pasca operasi.
. Kurangi berat badan
. Penanganan agresif pasien PPOK untuk optimalkan fungsi paru
Bronkodilator
Steroid

. ;",JJ;:1X1L[1fl'dan tunda operasi bira ada inreksi


. Edukasi pasien
Cara bernapas yang benar
Latihan napas dalam
lnsentif Spirometri

Intra operasi
Perhatian pada saat operasi yang juga berhubungan dengan komplikasi pasca
operasi, terutama harus diperhatikan :
a. Jenis anestesi
b. Lokasi operasi
c. Lamanya anestesi
d. Tipe insisi pada operasi

Jenis operasi
Data tidak menentukan apakah rata2 komplikasi dengan anestesi spinal atau
epidural lebih rendah dibandingkan dengan anestesi umum. Studi tahun 1984
melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara anestesi spinal atau
anestesi umum pada operasi abdomen. Beberapa penelitian (Yeager,1987;
Anna Uyainah ZN L47

Pedersen,1990) mendapatkan komplikasi gagal napas yang lebih tinggi pada


operasi dengan anestesi umum dibandingkan dengan anestesi spinal atau epidu-
ral. Anestesi spinal dan epidural lebih aman dan perlu dipertimbangkan pada
pasien dengan risiko tinggi.

Lokasi operasi
lnsiden komplikasi berhubungan terbalik dengan jarak insisi operasi dari diafragma.
Rata2 komplikasi untuk operasi abdomen atas berkisar antara 17-760/o. Untuk
operasi abdomen bawah rata-rata 0-5%. Untuk operasi toraks rata-rata 19-59%.
Operasi kolesistektomi dengan laparaskopi dihubungkan dengan insiden
komplikasi yang lebih rendah, dengan penurunan FVC dilaporkan 23o/o,
dibandingkan dengan 50% pada laparatomi.

Lamanya operasi
Pasien yang dilakukan operasi dengan waktu 3-4 jam mempunyai risiko komplikasi
pascaoperasi lebih tinggi dibandingkan dengan waktu operasi kurang dari 2 jam
dengan perbandingan 40% dibanding 8%.
Pada pasien-pasien dengan PPOK, pada saat operasi dapat meningkatkan
closing capacity, maka pada intra operasi hal-halyang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut :
. Batasi lama operasi : seabaiknya dilakukan kurang dari 3 jam
. Gunakan spinal atau epidural anestesi
. Hindari penggunaan Pancuronium
. Gunakan laparoskopi bila mungkin

Tipe Insisi pada Operasi


Operasi abdomen dengan laparoskopi, dikaitkan dengan kelainan paru pasca
operasi lebih sedikit dan lama rawat lebih pendek. Teknik tersebut insisi lebih
kecil, dan mengurangi manipulasi terhadap organ viseral dan meminimalkan efek
yang tidak diinginkan terhadap otot respirasi. Operasi dengan laparaskopi dapat
menurunkan FVC sebasar 23'/o dan FEVI sebesar 160/o, oleh karena itu pasien
dengan PPOK berat dapat ditoleransi untuk operasi. Operasi dengan Video-as-
sisted thoracoscopy menggunakan insisi lebih kecil sehingga mengurangi lama
rawat dan juga mengurangi komplikasi paru pasca operasi.

Pasca Operasi
Faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi pasca operasi adalah
imobilisasi dan kontrol nyeri yang tidak adekuat.
Operasi abdomen atas dan toraks dihubungkan dengan penurunan kapasitas
vital (VC) 50% dan kapasitas residu fungsional (FRC) 30%.
Pada operasi toraks dan abdomen atas, volume semenit cukup, tetapi tidal
volume menurun dan frekuensi pernapasan meningkat. Pola pernapasan ini
148 Penyakit Paru Obstruktif Kronik

disebabkan karena dampak dari anestesi dan narkotik pasca operasi yang
menyebabkan menghambat batuk, melemahkan pembersihan mukosiliar dan
mengakibatkan pneumonia pasca operasi.
Untuk pencegahan komplikasi, setelah operasi sebaiknya dipertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :
. Mobilisasi dan ambulatoar segera setelah memungkinkan
. Manuver ekspansi paru (spirometri insentif, latihan bernapas dalam, CPAP)
. Pemberian analgesik yang adekuat (kontrol nyeri pada pasien, blok nervus
intercostal, anestesi epidural).

JAWABAN PERSIAPAN OPERASI

Dalam menjawab konsultasi persiapan operasi :

1. Jawaban untuk risiko operasi


Risiko ringan, sedang atau berat untuk operasi dalam narkose (bukan ada /
tidak ada kontra indikasi). Walaupun permintaan konsultasi untuk regional
anestesi, tetap disiapkan untuk narkose ( anestesi umum), dengan alasan
apabila operasidengan regional anestesi gagal dan perlu dilanjutkan dengan
narkose, maka persiapan sudah cukup tidak perlu menunda operasi.
2. Saran yang dianjurkan sesuai kondisi pasien
Dalam persiapan operasi pasien harus dipersiapkan benar sampai layak
atau risiko ringan untuk operasi. Apabila ada risiko sedang atau berat, maka
perlu ditangani dulu masalahnya, dilakukan pengobatan dan fisioterapi bila
perlu. Namun kita tidak boleh menunggu terlalu lama sampai pasien benar-
benar memungkinkan untuk operasi dalam narkose, karena penundaan
tersebut mengakibatkan kondisi pasien memburuk akibat terlambatnya
operasi. Apabila hasil pemeriksaan tidak memungkinkan untuk operasi dalam
narkose, maka perlu dijawab risiko berat untuk operasi dalam narkose, dan
dianjurkan sebaiknya operasi dilakukan dengan regional atau lokal anestesi.
Jawaban ini diperlukan spesialis bedah dan anestesi untuk membuat
keputusan perencanaan operasi.

KESIMruLAN
. Persiapan operasi yang baik pada penderita PPOK akan mengurangi
komplikasi pasca operasi, juga mengurangi penundaan operasi serta kendala
saat operasi.
. Persiapan operasi pada penderita PPOK harus memperhatikan kondisi
pasien dari anamnesi dan pemeriksaan fisik serta nilai spirometri atau nilai
AGD.
a

Anna Uyainah ZN L49

Penatalaksanaan pengobatan atau fisioterapi bagi pasien PPOK sebelum


operasi bagi pasien yang memerlukan akan membantu kelancaran operasi
dan mengurangi komplikasi pasca operasi.
Jawaban konsultasi persiapan operasi perlu ditulis dengan jelas agar operasi
dapat dilakukan dengan baik.

RERENSI

1. WHO. Global strategy for the diagnosis, Management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease, 2006. Available online on: http/iwww.goldcopd.com.
2. Smetana GW, et al. Update in perioperative medicine. 2004;140(6):452-61.
3. McAlister FA, Khan NA, Straus SE, et al, Accuracy of the preoperativeassessment in predicting
pulmonary risk after nonthoracic surgery. Am J Respir Crit Care Med. 2003;167:741-4.
4. Goldmann DFl, Bronw FH, Guarnieri DM, et al. Perioperative medicine. New York McGraw -
Hill;'1994.
150

3.9 Pemaf,alan Kordlosterold


JanEf,a lana
Teguh Harjono Karyadi

penggunaan kortison sebagai antiinflamasi dan imunosupresif sudah dikenal


I sejak 1948. Sejak saat itu penggunaan kortison dan gtukokortikoid anatognya
sangat dikenal luas. Selain mempunyai efek terapi golongan glukokortikoid
(kortikosteroid) mempunyai efek samping yang cukup banyak seperti
hiperglikemia, hipokalemia, hipertensi, osteoporosis, katarak, insufisiensi
adrenal dan sindrom Cushing's dll.1'2
Efek insufisiensi adrenal sekunder akibat penggunaan kartikosteroid jangka
lama lebih ditekankan pada makalah ini, disebabkan adanya efek hipotensi yang
dapat timbul saat dilakukan operasi ataupun pasca operasi.Oleh karena itu
persiapan perioperatif yang baik sebelum dilakukan tindakan operasi.sangaflah
penting.
lnsufisiensi adrenal sekunder yang disebabkan oleh terapi kortikosteroid
telah diidentifikasi sejak lama (setelah diketahuinya aksls Hypotalamic pituitary
adrenal (HPA) Penggunaan golongan kortikosteroid (prednison, metilprednisolon,
prednisolon, deksametason. dll) secara sistemik maupun topikal (kulit, bronkus,
dll) dalam jangka lama dapat menekan kelenjar adrenal.1,2,3 Keadaan adrenal yang
tertekan ini sangat dikhawatirkan akan menjadikan keadaan insufisiensi,
disebabkan kelenjar adrenal tidak dapat mengeluarkan kortisol dalam jumlah yang
cukup dalam mengatasi stres anastesia dan operasi .Keadaan insufisiensi
adrenal dikawatirkan akan menyebabkan terjadinya hipotensi sampai syok,
meskipun pada kenyataannya jarang dijumpai.l'3,a
Teguh Harjono K 151

INS'FISIENSIADRENAL
Diagnosis insufisiensi adrenal biasanya ditegakan melalui pendekatan klinis dan
tidak melalui tes biokimia. Keadaan klinis yang dicurigai sebagai terjadinya
insufisiensi adrenal adalah riwayat perjalanan klinis berupa keadaan hipotensi
yang tidak jelas penyebabnya dan berespons baik pada pemberian kortikosteroid.
lnsidens insufisiensi adrenal karena terapi glukokortikoid saat operasi sangat
jarang + 0,01o/o - 0,1o/o. Dari satu penelitian yang melibatkan 62.473 pasien yang
mengalami pembiusan, didapatkan 419 pasien membutuhkan pemberian
suplementasi kortikosteroid untuk menanggulangi insufisiensi adrenal dan hanya
3 pasien yang mengalami hipotensi disebabkan oleh karena dosis kortikosteroid
yang tidak adekuat.l
Aksis Hypofalamic pituitary adrenal(HPA) mengatur keluarnya glukokortikoid'
dari kelenjar adrenal yang berguna untuk metabolisme, produksi substansi nutrisi,
pemeliharaan dan juga pengeluaran pada sistem imun dan sirkulasi.Hipotalamus
akan mengeluarkan ACTH dan ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk
memproduksi kortisol dan juga disertai adanya mekanisme feed back melalui
CRH. Konsentrasi kortisol normal pada kelenjar adrenal (keadaan baik) adalah
15-30 mg/hari. Apabila adrenal mendapat stresor dari luar seperti pada operasi,
trauma, luka bakar, latihan jasmani dan juga trauma psikologis maka produksi
kortisol dari kelenjar adrenal akan meningkat menjadi 60-100m9/hari. Kortikosteroid
(glukokortikoid) mempunyaiefek pada sirkulasi berupa penguatan efek katekolamin
(epineprin dan norepineprin) pada pembuluh darah mengakibatkan peninggian
tekanan darah (inotropik).Kortikosteroid juga mempunyai efek menghambat
produksi prostasiklin (PG12) pada vaskular. Akibat stresor yang timbul dari luar
akan menyebabkan turunnya produksi kortisol (kortikosteroid) secara relatif pada
penderita pemakai kortikosteroid jangka lama (tertekannya aksis HPA) akan
menyebabkan keadaan insufisiensi adrenal dan berakibat meningginya produkasi
prostasiklin (PG12) yang menimbulkan terjadinya vasodilatasi.l,2'3
Penyebab insufisensi adrenal primer yang tersering adalah tuberkulosis dan
juga pada 30% pederita HIV dapat terjadi insufisiensi adrenal. lnsufisiensi adrenal
sekunder biasanya disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid jangka lama.
Berbeda dengan insufisiensi adrenal primer pada insufisiensi adrenal sekunder
kadar gangguan elektrolit tidak dapat diperkirakan sehingga kelainan elektrolit
biasanya tidak terlihat.

BAGAIM/ANA MENCARI INST,FISIENSI ADREMT PADA PASIEN PERIOPERATIF


Penapisan pra operasi pada individu yang akan dilakukan operasisangatlah penting.
Untuk mempermudah penemuan individu yang mempunyai risiko terjadinya
penekanan aksis HPA maka keadaan di bawah ini dapat dicurigai :

. Pengguna glukokorkoid sistemik yang lama seperti penderita penyakit


152 Pemakaian Kortikosteroid Jangka Lama

autoimun, asma bronkial, pasien transplantasi, inflammatory bowel syndrom,


reumatoid artritis dll
' Penggunaan glukokortikoid topikal karena kelainan kulit maupun inhalasi
pada penderita asma bronkial.

Penggunaan kortikosteroid yang kronis dengan dosis tinggi dan tidak alter-
nate day (selang sehari) akan menekan aksis HPA. Berapa lama penggunaan
serta jumlah gram kortikosteroid /hari yang dapat menyebabkan penekanan aksis
HPA sampai saat ini belum dapat ditentukan. Pasien yang menerima prednison
2Omg/hari dan berlangsung lebih dari 5 hari akan berisiko mengalami penekanan
aksis HPA. Pasien yang menerima dosis psikologis sebesar 5 mg prednison/
hari atau 25mg hidrokortison/ hari atau 0,75 mg deksametason/ hari berapapun
lamanya tidak akan menekan aksisis HPA. Demikian pula pemberian kortikosteroid
kerja pendek (prednison, prednisolon, metil prednisolon, kortison, hidrokortison)
tanpa melihat dosis dan dipakai dengan alternate (selang sehari) selama kurang
3 minggu tidak mempengaruhi pemberian aksis HPA. Berbeda dengan pemberian
prednison dosis di antara 5 mg - 20 mg selama lebih 40 hari akan menekan aksis
HPA.
Masa penyembuhan dari penekanan aksis HPA memerlukan waktu t g - 12
bulan dihitung sejak pemberian kortikosteroid dihentikan. Oleh karenanya riwayat
penggunaan korikosteroid masa lalu sangat penting dalam penilaian perioperatif
untuk mendeteksi kemungkinan risiko timbulnya insufisiensi adrenal.1,2,3'5

SUPI..EM ENTAST KORIIKOSIEROID


Pemberian suplementasi kortikosteroid pada penderita insufisiensi adrenal didasari
bahwa stesor operasi dan anestesi akan meningkatkan kebutuhan kortisol sebesar
75-150 mg/hari dan jarang melebihi 200m9/hari. Peningkatan kortisol tersebut
dapat berlangsung 2-3 hari pada operasi dalam kategori mayor. Oleh karena itu
pemberian dosis suplementasi kortikosteroid haruslah tidak terlalu tinggi dan tidak
dalam waktu lama. Setelah pemberian dosis suplementasi selesai, dosis
kortikosteroid langsung kembali pada keadaan sebelum operasi (apabila
sebelumnya sedang memakai steroid kembali ke dosis semula, dan apa bila
tidak memakai dapat dihentikan). Pemberian suplementasi kortikosteroid dapat
mencegah timbulnya hipotensi sampai syok pada waktu dilakukan tindakan operasi
maupun pasca operasi yang disebabkan oleh insufisiensi adrenal relatif karena
penekanan aksis HPA oleh pemakaian kortikosteroid jangka lama.
Pemberian suplementasi kortikosteroid dengan dosis besar dan terlalu lama
akan menimbulkan penyulit pasca operasi seperti luka operasi yang sukar sembuh,
pendaharan gastro intestirnal, hiperglikemia, resistensi cairan, infeksi dll.1,2'4,6
Teguh Harjono K 153

Jenis Definisi Dosis kortikosteroid


Pembedahan

Prosedur dalam lokal anestesia Hidrokortison.25 mg lV atau stercid


dan lama kurang dari ljam lain setara, pada hari tindakan saja.
(hemia inguinal, kolonoskopi,
demam ringan dll)

Mo.derate Prosedur berupa operasi Hidrokortison 5&75 rng lV atau


ekstremitas bawah, operasi steroid yg setara, pada hari tindakan
valkular, penggantian sendi, dan dilakukan tapering dalam 1-2 hari
hemikolektomi dan kemudian kembali ke dosis
sebelum tidakan

Major Prosedur berupa operasi : Hidrokortison 100-150 mg lV atau


kardiopulmoner, esofago steroid yg setara pada hari prosedur
gastroeKomi, reseksi liver, dan diturunkan secara cepatdalam 1-
whipple prosedure. 2 hari dan kembali ke dosis semula
sebelum tindakan.

No Preparat steroid Efek Efek Biology


(h)
Cara
Glukortikoid Mineralokotikoid % life Penggunaan
1 Hidrokortieon 1 1 6-8 PO. tV, tM
2 Prednison 4 o.'t -0-2 18-36 PO
3 Metilprednisolon 5 0.1 - 0.2 18-36 PCI,IV
4 Dexamelason 30 < 0.1 36-54 PO,IV

KESIMruLAN

Pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam dosis besar dan lama dapat
menyebabkan penekanan aksis HPA dan berisiko terjadinya insufisiensi adrenal.
Pada keadaan inqufisiensi adrenal dapat menimbulkan keadaan hipotensi
sampai dengan syok.
Penapisan perioperatif terhadap pasien yang berisiko mengalami penekan
aksis HPA sangat bermanfaat untuk mengurangi terjadinya hipotensi / syok pasca
operasi.
Pemberian suplementasi kortikosteroid pada pasien yang mengalami
penekanan aksis HPA akan menghindari terjadinya insufisiensi adrenal.
Pemberian suplementasi kortikosteroid dilakukan dengan dosis yang tidak
tinggi dan jangka waktu pendek.
L54 Pemakaian Kortikosteroid Jangka Lama

RffiE\EI
1. Axelrod L. Perioperative management of patients treated with glucocorlicoids. Endocrinol Metab
Clin North Am. 2003;32:367-83.
2. Connery E Lisa, Coursi BD. Assessment and therapy of selected endocrine disorders.
Anesthesiol Clin North Am. 2004;22:93-1 23.
Zimmerman B, Gold M, whenentt, HannaAK. Adrenalsuppression in two patients with asthma
treated with low doses of the inhaled steroid fluticasone propionate. J Allergy Clin lmmunol. 1 988;
101:425-6.
4. Schiff RL, Welsh GA. Perioperative evaluation and management of the patient with endocrine
dysfunction. Med Clin North Am. 2003;87:175-92.
5. Gohh Y R, Warren Tfepreop-elative Evqluation of the transplanted patient for nontransplant
Q.
surgery. Surg Clin North Am. 2006;86:1147-66.
6. Lin sonia, Pharm D, christopherJ, cosgrove. Perioperative managementof immunosupression.
Surg Clin Norlh Am. 2006;86:1 1 67-83.
155

3.10 Penya,Xilt Glqlal f,ronlf,


Lucky Aziza Bawazier
I

Quatity tnitiative (ADOaD of the


l\fenurut The Kidney Drsease Outcomes
lY lNational Kidney Foundation (NKF,) penyakit ginjal kronik (PGK) adalah
kerusakan ginjal atau menurunnya laju filtrasi glomerular (LFG) menjadi <60 mL/
min/1,73 m2 selama 3 bulan atau lebih. I(DOQI mengklasifikasikan PGK menjadi
5 stadium.l I

Kriteria PGK yang digunakan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM I

adalah kerusakan ginjal baik struktur atau fungsinya selama 3 bulan atau lebih, I

dengan atau tanpa penurunan LFG, berdasarkan kelainan patologis, atau petanda I

kerusakan ginjal, termasuk kelainan pada pemeriksaan darah, urin, atau I

pencitraan.2
The Third National Health and Examination Suruey menyatakan prevalensi
I
PGK sebesar 11o/o dari jumlah populasi Amerika Serikat yang berusia dewasa.
Prevalensi PGK lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan I
prevalensi tersebut lebih tinggi pada pasien yang berumur lebih dari 65 tahun.l I

Pada PGK stadium akhir, mortalitas operasi 1-4o/o, namun pada pasien yang
menjalani operasijantung, mortalitas meningkat menjadi 10-20o/o. Risiko kematian
meningkat pada pasien yang berumur > 60 tahun dan pada pasien yang mengidap
diabetes melitus (DM). Pada operasi emergency risiko kematian 5 kali lebih besar.
Penyebab kematian umumnya sepsis dan aritmia.
Penyulit yang paling sering ditemukan adalah hiperkalemia, infeksi,
hemodinamik yang tidak stabil, perdarahan, dan aritmia.3 Pasien PGK dengan
kadar kreatinin pra-operasi < 1,9 mg/dl yang menjalani operasijantung mempunyai
risiko gagal ginjal akut (GGA) sebesar 4-10%. Tingkat mortalitas mencapai 63,2o/o
pada pasien PGK yang mengalami GGA setelah operasi.a
156 Penyakit Ginjal Kronik

Etiologi penyakit ginjal kronik I


1. Kelainan vaskular: trombosis vena renal, ateroemboli, stenosis arteri renal
dan nefrosklerosis hipertensif.
2. Kelainan glomerular primer: glomerulonefritis .progresif, glomerulonefritis
membranoproliferatif, nefropati imunoglobulin A, nefropati membranosa,
glomerulosklerosis fokal dan segmental
3. Kelainan glomerular sekunder: DM, reumatoid artritis, lupus eritematosus
sistemik, infeksi parasitik, skleroderma, hepatitis B dan C, trombotik
trombositopenik purpura (TTP), dan infeksi HIV.
4. Kelainan tubulointerstisial: obat (misal allupurinol, sulfa), ginjal polikistik,
hipokalemia kronik, dan hiperkalsemia kronik
5. Obstruksi saluran kemih: urolitiasis, tumor, pembesaran prostat, striktur
uretra, dan fibrosis retroperitoneal.

Patofisiologi
Pada PGK terjadi kerusakan di unit nefron ginjal yang berlangsung progresif.
Kerusakan tersebut mengakibatkan beban kerja berlebih pada nefron yang sehat,
sehingga terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi. Jika mekanisme adaptasi mencapai titik
jenuh maka LFG akan menurun. Bila LFG menurun sebesar 50%, maka kadar
ureum dan kreatinin plasma akan meningkat secara signifikan, bahkan kadar kreatinin
dapat meningkat dua kali lipat.
Hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron sehat juga meningkatkan tekanan kapiler
glomerular. Hal tersebut menyebabkan kerusakan kapiler dan dapat berlanjut
menjadi glomerulosklerosis fokal atau segmental yang berakhir sebagai
glomerulosklerosis global.l

Gambaran klinis
Pasien PGK seringkali asimtomatik, terutama pada PGK stadium 1-3 (stadium
1, LFG >90. Stadium 2, LFG 60-89; stadium 3, LFG 30-59 ml/menit). Gejala
akan nyata pada stadium lanjut, melibatkan berbagai sistem organ dan biasanya
sebagai manifestasi klinis uremia. Keluhan yang muncul adalah mual, muntah,
gatal di seluruh tubuh, rasa pegal ditungkai bawah sehingga kakisering digerakkan
(resf/ess leg syndrome), rasa semutan atau terbakar di telapak kaki (burning feet
syndrome), edema, penurunan libido sampai gangguan ereksi.
Riwayat penyakit pasien sebelumnya sangat penting diketahui untuk mencari
etiologi dan faktor-faktor yang dapat memperburuk PGK seperti hipertensi, infeksi
saluran kemih, dan penggunaan obat-obatan.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan stadium
PGK, mencari etiologi serta komplikasi. Dari pemeriksaan tersebut dapat diketahui
Lucky Aziza Bawazier L57

peningkatan ureum dan kreatinin, anemia, hiperkalemia, hipokalsemia,


hiponatremia, dan kadar bikarbonat yang rendah. Pemeriksaan urin 24 iam
diperlukan untuk mengetahui LFG dan proteinuria.
pemeriksaan EKG diperlukan untuk mengidentifikasi kelainan jantung seperti
hipertrofi ventrikel, aritmia, dan gangguan elektrolit. Ultrasonografi dan foto polos
abdomen dilakukan untuk menilai besar dan kontur ginjal, adanya batu di saluran
kemih, atau obstruksi lain.
Pemeriksaan lebih lanjut seperti elektroforesis protein serum dan urin, antibodi
antinuklir (ANA), antibodi anti-membran basal glomerular (anti-GBM), serologi hepa-
titis B dan C, HIV dan VDRL, dilakukan sesuai indikasi untuk mencari etiologi'1's

PERSIAPAN PRA.OPERASI

Beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan operasi


pada pasien PGK adalah derajat penyakit, status dialisis, dan jenis operasi yang
akan dilakukan. Hal tersebut untuk memperkirakan besarnya risiko operasi, hasil
operasi dan prognosis pasien. Oleh karena itu pada persiapan operasi,
pemeriksaan yang menyeluruh sangat diperlukan.3 Risiko operasi pada gagal ginjal,
PGK stadium 3 (LFG 15-29 ml/menit) dan stadium 4 (LFG <15) adalah sedang
sampai besar tergantung jenis operasinya. Pada operasi abdomen akut, bedah
aorta, bedah toraks, bedah saraf, bedah otak, penyakit hepatobilier, atau sepsis,
risikonya besar. Di luar operasi tersebut, risiko operasi sedang. Untuk PGK sta-
dium 1-2 risikonya sama dengan risiko akibat penyakit itu sendiri.
pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang perlu diperhatikan adalah tanda-
tanda azotemia dan uremia. Selain itu juga harus diperhatikan fungsi kardiovaskular.
panduan American Coltege of Cardiology/American Heart Assocraflon mengenai
evaluasi kardiovaskular perioperatif pada operasi nonkardiak menyatakan pasien
dengan kadar kreatinin > 2 diperkirakan mempunyai peningkatan risiko morbiditas

Sedang

- lnfa* miokard selarna - Hipckalemh - Angina pektoris stabil


6 bulan
- Gagal jantung kongestif - Hipoksemia - Diabetes melitus
; Usia > 70 tahun - Stenosis aorta - Hipertensi ringan atau sadang
- lrame selain sinus - Gagal ginjal - Brul karotid asirntomatik
- tnsufi siensl reqpirasi
- Peningkatan SGPT
- Penyakit hati kronik
- Operasi emergensi
- Operasi toraks atau abdominal
bagian atas
158 Penyakit Ginjdt Kronik

kardiovaskular perioperatif: Rdspirasi, tanda-tanda kelebihan atau kekurangan


cairan, dan riwayat perdarahan juga perlu diperhatikan.3'7
Pemeriksaan penunjang yang penting antara lain pemeriksaan darah rutin
untuk mendeteksi anemia. Meskipun demikian, jika terdapat anemia, transfusi pra-
operasi tidak selalu dianjurkan. Transfusi sebelum operasi dilakukan bila: hematokrit
< 20ok, pasien mempunyai risiko kehilangan banyak darah, atau pasien PJK dengan
hematokrit < 25o/o.7'8 Transfusi juga dianjurkan jika Hb < 6-7 g/dl. Target transfusi
adalah hematokrit 28-30o/o karena pasien PGK sudah terbiasa dengan keadaan
anemia, sehingga pemberian darah berlebihan dapat membebani jantung.s Sebelum
transfusi, dianjurkan untuk melakukan dialisis dengan tujuan mengurangi kelebihan
potasium. Oleh karena itu jenis darah untuk transfusi adalah washed packed red
blood cells, (hati-hati overload).e Untuk operasi elektif, Hb dinaikkan dengan
pernberian eritropoetin injeksi subkutan 4000 U, dua kaii seminggu. Jumlah transfusi
-
dihitung menggunakan rumus: (Hb target Hb aktual) x BB x 3 cc.
Analisis gas darah dan kimia darah penting untuk mendeteksi gangguan
keseimbangan asam basa dan hipoksemia.8 Keadaan asidosis metabolik kronik
pada PGK memang belum terbukti berhubungan dengan tingginya morbiditas
operasi tetapi dapat menurunkan efektivitas obat anestesi lokal.
Hiperkalemia pra-operasi ditemukan pada 19-38% pasien PGK. Untuk
mengatasinya digunakan insulin yang dikombinasikan larutan dekstrosa lV,
bikarbonat lV, polystyrene binding reslns; jika gagal, maka ditakukan dialisis.3
Hipokalemia (K < 3,5 mmol/L) dapat mengakibatkan aritmia dan jika hal tersebut
terjadi diberikan KCI dengan rumus: " K x BB x 0,3 meq/L, tanpa ditambah
kebutuhan K untuk t hari (1 meq/kgBB). Target kadar kalium adalah kadar kalium
normal terendah (3,5 mmol/L).
Asidosis metabolik dikoreksi dengan bikarbonat, kemudian AGD diperiksa
ulang. Pada asidosis metabolik berulang dilakukan hemodialisis.
Hiponatremia sering dihubungkan dengan dilusi atau kehilangan cairan dan
menyebabkan edema selular. Bila terjadi hipernatremia, dikoreksi kehilangan air
dan garam. Gangguan elektrolit lain yang sering ditemukan pada PGK adalah
hipokalsemia dan hiperfosfatemia. Pada pasien uremia didapatkan
hipermagnesemia terutama yang mendapat antasida dan terapi katartik yang
berisi magnesium. Bila kadar magnesium melebihi 3 mEq/dl, akan terjadi aritmia.
Pemeriksaan lain adalah hemostasis. Pada gagal ginjal, terganggunya
hemostasis dapat menimbulkan perdarahan yang sulit dikendalikan. Selain itu
uremia pada pasien PGK dapat menyebabkan disfungsi trombosit sehingga
antiplatelet seperti aspirin tidak diberikan dalam waktu 72 jam sebelum operasi.3
Dianjurkan pemeriksaan foto toraks untuk mendeteksi oyerload atau kelainan
paru lain dan EKG untuk mengidentifikasi kelainan jantung.e Apabila ada tanda
iskemik koroner pada EKG dikonsultasikan ke Divisi Kardiologi. Pada iskemia
yang luas dilakukan ekokardiografi.
Lucky Aziza Bawazier 159

Untuk pasien PGK yang harus menjalani dialisis rutin, dialisis dapat dilakukan
12- 24 jam sebelum operasi elektif. Dialisis tidak menggunakan heparin atau
menggunakan heparin minimal (25-50o/o dari kebutuhan biasa) karena efek
antikoagulan heparin dapat bertahan 1,5 - 2 jam setelah dialisis selesai.3 Tujuan
dialisis pra-operasi adalah untuk mengurangi risiko hiperkalemia, penurunan
kesadaran (ensefalopati), perdarahan masif akibat uremia, dan volume overload.
Dialisis peritoneal dapat dilanjutkan apabila operasi yang akan dilakukan adalah
operasi non-abdominal, jika operasi abdominal, maka diubah menjadi hemodialisis
sampai penyembuhan luka selesai.e
Jenis anestesi yang akan dilakukan harus direncanakan apakah lokal,
regional, atau umum. Tujuannya melindungi ginjal dari kerusakan lebih lanjut.
Untuk itu perfusi renal yang optimal dipertahankan dengan memberikan
vasodilator renal (dopaminergik dosis rendah dan penghambat kanal kalsium),
mempertahankan aliran darah ke tubular dan mencegah obstruksi tubular dengan
pemberian cairan. Selain itu persiapan juga mencakup pemilihan obat anestesi
sesuai dengan operasi yang akan dilakukan.a Hal tersebut sangat penting karena
jenis dan dosis obat berbeda untuk tiap metode anestesi. Dibandingkan dengan
anestesi umum, anestesi spinal dan epidural memberi efek minimal terhadap
fungsi ginjal.s Karena itu, sedapat mungkin dipilih anestesi spinal atau epidural,
kecuali untuk operasi toraks dan laparatomi eksplorasi.
Pemilihan agen anestesi juga sangat penting untuk direncanakan. Tentu
saja pilihan jatuh pada agen yang tidak nefrotoksik. Pada PGK, umumnya agen
anestesi inhalasi yang dipakai adalah siklopropan dan halotan. Metoksifluran dan
entran tidak digunakan untuk PGK karena bersifat nefrotoksik.
Obat sedatif dan hipnotik yang aman untuk PGK adalah diazepam atau
flurazepam. Sebagai pelemah otot dipakai suksinilkolin, akan tetapi harus hati-
hati karena dapat meningkatkan kalium darah. Diuretik tiazid tidak dipakai pada
PGK stadium 4-5. Spironolakton juga kontraindikasi pada PGK stadium 3-5.
Diuretik yang aman dipakai adalah furosemid walaupun pada PGK stadium 5
diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk dapat bekerja efektif. Pada dosis tinggi
dan pemakaian lama terutama intravena dapat memberikan efek ototoksisitas.
Selain furosemid dapat diberikan asam etakrimid, tetapi sifatnya lebih ototoksik
daripada furosemid.
Penyesuaian dosis dan memperpanjang interval waktu pemberian juga perlu
dilakukan, mengingat beberapa obat diekskresi dan dimetabolisme di ginjal. Efek
sistemik obat yang berkaitan dengan fungsi ginjal dan komplikasi PGK juga penting
diketahui. Misalnya obat yang menurunkan volume cairan seperti diuretik dan
suksinilkolin yang dapat menyebabkan hiperkalemia.s Golongan narkotik seperti
kodein, meperidin, morfin dan pentazosin relatif aman untuk PGK karena
dimetabolisme di hati tetapi dosis dikurangi karena pasien uremia cenderung
Iebih sensitif terhadap efek depresi sistem saraf pusat. Penggunaan meperidin
160 Penyakit Ginjal Kronik

jangka panjang dapat menyebabkan twitching dan kejang karena retensi metabolit
obat tersebut. Obat antihipertensi dapat diberikan dengan dosis seperti biasa.s

Evaluasi Pra Operasi untuk Pasien PGK

Anamnesis
1. Sesak
2. Mual dan muntah
3. Alergi obat
4. Asupan makanan dan minuman dalam 1 bulan terakhir terutama
beberapa hari sebelum anamnesis
5. Riwayat hipertensi, batu ginjal, lupus, DM, PJK
.

Pemeriksaan fisis
1. Tekanan darah, target <140/90 mmHg, diusahakan <'130/80 mmHg,
kalau belum tercapai diberikan obat antihipertensi
2. Pernapasan: biasa atau cepat (oleh karena asidosis/ edema paru)
3. Konjungtiva: pucat atau tidak
4. Pemeriksaan paru: bunyi napas pokok, suara napas tambahan seperti ronkhi
5. Apakah ada tanda-tanda dehidrasi:
. Lidah: kering atau tidak
. Turgor: turun atau tidak. Diperiksa di lengan bawah atau di atas
klavikula pada usia muda dengan cara mencubit lipatan kulit
. Hipotensi postural: tekanan darah pada perubahan posisi dari
berbaring ke berdiri, yaitu terjadi penurunan sistolik lebih dari 20
mmHg saat berdiri
6. Overhidrasi:
. Hipertensi
. Edema
. JVP meningkat
. Keseimbangan cairan masuk dan keluar dengan mengukur
produksi urin, lWL, jumlah yang diminum dan infus cairan masuk
dalam satu hari.

Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
a. Periksa ureum dan kreatinin terakhir t hari sebelum operasi
Jika ureum >100 mg atau kreatinin > 5, harus dilakukan hemodialisis
. untuk operasi dengan anestesi spinal atau anestesi umum. Jika ureum
meningkat, singkirkan dehidrasi, perdarahan saluran cerna, sepsis, dan
katabolisme.
Lucky Aziza Bawazier 161

b. LFG, hitung dengan rumus Cockroft & Gault


(140-umu0 x BB ml/menit
kreatinin x 72
dikalikan dengan 0,85 untuk perempuan.
G; Elektrolit dan analisa gas darah (AGD)
Pada operasi emergency/urgency untuk semua stadium PGK diperiksa
AGD dan elektrolit. Pada operasi elektif stadium 1: operasi kecil,
sedang, besar, cukup periksa elektrolit kecuali terdapat tanda asidosis.
Pada stadium 2-3, untuk operasi kecil cukup periksa elektrolit, kecuali
terdapat tanda-tanda asidosis. Pada operasi sedang dan besar periksa
AGD dan elektrolit. Pada stadium 4-5, untuk operasi kecil, sedang,
besar periksa AGD dan elektrolit
Pada hiperkalemia > 5,5 mmol/L dikoreksi cepat dengan infus insulin
dan dekstrosa dengan perbandingan 1 U insulin dalam 5 g dekstrosa
atau larutan bikarbonat (bila terjadi asidosis metabolik) atau diberikan
kalsium karbonas lV untuk menguatkan otot jantung. Hiperkalemia
ringan (5,5-6 mmol/L) diberikan Kalitake oral untuk beberapa hari (untuk
operasi elektif).
d. lon kalsium dan albumin
Pemeriksaan ini perlu dilakukan karena pada pasien PGK sering
I
mengalami hipokalsemia dan hipoalbuminemia.
I
e. Pemeriksaan darah rutin
I
Pada operasi gawaVdarurat sedang dan besar, Hb dipertahankan sekitar I

9 g/dL, sedangkan pada operasikecilbaik emergency, urgency, maupun I

elektif sedang dan besar Hb berkisar 8 g/dl. Pada operasi besar perlu
dipasang CVP untuk memantau cairan lebih tepat.
Beberapa hari sebelum operasi bila diperlukan diberikan cairan lV 1- I

1,5 literl24 jam. Saat pasien mulai puasa (8-12 jam sebelum operasi)
I
diberikan cairan 1 ,5-2literl 24 jam. Cairan yang dipilih adalah cairan I

isotonis yaitu NaCl 0,9% (bila tidak ada HT) atau dekstrosa 5%. Dapat
juga diberikan dekstrosa in saline (dekstrosa 2,5 %, NaCI 0,45%). Untuk
PGK stadium 5 kebutuhan cairan lebih sedikit atau berkurang yaitu
500 cc- 'l liter per 24 jam.

2. Elektrokardiografi
Merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi penyakit jantung koroner
yang biasa terjadi pada PGK.
L62 Penyakit Ginjal Kronik

TATALAKSANA

Dalam tahap intra-operasi yang penting adalah pengawasan. Pada pasien PGK,
keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan salah satu hal 'penting untuk
dipantau. Hal tersebut menjadi prioritas karena toleransi pasien PGK terhadap
keadaan hipo atau hipervolemia, rendah. Oleh karena itu tekanan darah, output
urin, dan tekanan vena sentral harus diawasi dengan ketat.
Elektrolit yang diawasi terutama kalium. Suksinilkolin dan keadaan
hipoventilasi dapat mengakibatkan hiperkalemia yang dapat berujung pada fibrilasi
ventrikel. Penggunaan cairan intravena yang tidak mengandung kalium juga
dianjurkan. Kehilangan cairan dan darah harus segera diatasi karena
mengakibatkan hipokalemia. Kelainan elektrolit dipantau dengan EKG dan
pemeriksaan elektrolit darah setiap 6 jam apabila operasi berlangsung lama.
Untuk mengurangi efek obat terhadap jantung dan ginjal, induksi anestesi
dianjurkan menggunakan agen intravena yang dititrasi dikombinasi dengan agen
inhalasi yang poten.s'e

Tindak lanjut pasca operasi


Pasca-operasi dilakukan pemantauan yang kurang lebih sama dengan intra-
operasi. Tekanan darah sering menjadi tidak stabil karena nyeri akibat operasi
mulai terasa. Kenaikan tekanan darah akibat nyeri dapat diperbaiki dengan
analgesik golongan narkotik. Setelah keluar dari recovery room (4-6 jam setelah
operasi), ureum dan kreatinin diperiksa ulang dan dicatat total cairan yang sudah
masuk. Kreatinin, elektrolit, dan ion kalsium diperiksa tiap hari sampai pasien
stabil. Pada gagal ginjal, derivat morfin yang bersifat sedatif dan menekan
pernapasan dapat terakumulasi oleh karena itu harus hati-hati.
Jangan membiarkan pasien menjadi dehidrasi karena kekuatiran yang
berlebih terhadap penimbunan cairan. Bila pasien belum mendapat makan dan
minum setelah operasi, pada PGK stadium 5 dapat diberikan cairan isotonis 1-
1,5 lilerl24 jam. Bila mulai ada tanda-tanda overload atau CVP meningkat,
pemberian cairan dikurangi menjadi 500 ccl24 jam. Bila tanda overload semakin
nyata dilakukan hemodialisis.
Untuk PGK stadium 1-4, pantau jumlah urin per jam dan CVP. Jika produksi
urin di bawah 40 ml/jam, harus diteliti apa sebabnya apakah prerenal (hipoperfusi
ginjal/syok atau sepsis), faktor renal (nekrosis tubular akut atau nefritis interstisial),
atau posf renal (kerusakan ureter setelah operasi pelvis atau trauma). Berikan
cairan sesuai perkiraan perdarahan operasi, jumlah urin dan lWL. Hal yang sering
terjadi pada PGK adalah kekuatiran overhidrasi sehingga takut memberikan cairan.
Akibatnya produksi urin sangat sedikit dan kadar kreatinin meningkat. Jika hal
tersebut terjadi, tidak perlu ragu memberikan cairan sekitar 500cc /4 jam.
Lucky Aziza Bawazier 163

Produksi urin yang kurang (oliguria) tidak berarti telah terjadi GGA dan GGA
tidak selalu ditandai dengan oliguria. Oliguri pasca-operasi harus dicurigai akibat
kelainan pre-renal seperti hipovolemia sampaiterbukti bukan. Penyebab lain seperti
obstruksi mekanik pada saluran kemih atau kateter perlu diteliti bila urin sama
sekali tidak keluar. Jumlah produksi urin pada kasus GGA pasca-operasi biasanya
<400 mL per hari (15 mL Per jam).4
Apabila oliguri persisten setelah pemberian diuretik, langkah yang dilakukan
adalah:a
1. Mengembalikan hemodinamik yang normal dengan memberikan diuretik
dengan dosis yang lebih tinggi (furosemid 80-120 mg, bumetanid 2,5-5 mg)
2. Pemberian albumin karena dibutuhkan untuk mengantarkan furosemid ke
tubulus
3. lnfus diuretik secara kontinu untuk mempertahankan konsentrasi diuretik
sedikit di atas ambang dosis. Contoh furosemid 40 mg lV bolus, dilanjutkan
2-10 mg/jam dalam infus dengan pemantauan untuk menghindari hipovolemia
dan gangguan elektrolit
4. Blokade nefron segmental dengan loop diuretic dan tiazid. Loop diuretic
menghambat reabsorbsi Na*, tiazid menghambat reabsorbsi kompensasi di
tubulus distal.
5. Hindarkan pemberian kalium berlebihan dalam infus dan diet serta hindarkan
obat-obat nefrotoksik.

K6IMruI.AN
Pada pasien PGK yang memerlukan operasi baik ringan, sedang, maupun besar
perlu dievaluasi secara menyeluruh yaitu keadaan umum, stadium PGK, penyakit I

komorbid, keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, derajat anemia, kadar


ureum dan kreatinin yang dinilai sampai dengan sehari sebelum operasi. Pasca- I

operasi lakukan evaluasi dengan baik jangan sampai terjadi dehidrasi atau I

overhidrasi yang memperburuk fungsi ginjal bahkan mengancam jiwa penderita.

REME\EI

1. Verrelli M. Chronic renal failure. Cited on: January 17th,2007. Available from: http://
www.emedicine.con/meMopic374. htrn.

Z. NasirA, RaniA, Soegondo S. Panduan pelayanan medik ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan ilmu penyakit dalam FKU I ; 2004. p. 1 49'50.
3. Krishnan M. Preoperative care of patients with kidney disease. Am Fam Physician.
2002;66:1471-6.
4. Lee H, Salden R. Perioperative renal protection. ln: Coersin D, Mqrliq M, Peral R,.f.19-ugh D^.
Critical care medicine [erioperative management. 2nd ed. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins; 2002. p.503-1 7.
L64 Penyakit Ginjal Kronik

5. KapojosE,LydiaA,SidabutarR,Suhardjono.Gagalginjalkronik.Bukuajarimupenyakitdalam.
3d ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p.427-34.
6. Petty B. Medical assessment of the preoperative patient. ln: Harvey, Johns, McKusick, Owens,
Ros6, eds. The principle and practice of medicine. Canada: Prentice-Hall lnternational lnc;
1 9BB.p.1 1 62-4
7. Otah K. Perioperative management of the patient with chronic renal failure. Cited on: Januari 1 7rh,

2007. Avalilable f rom: http//www.emedicine.com/med/topic374.htm.


8. MikhailM, Morgan G.Anesthesiaforpatientswith renaldisease. ClinicalAnesthesiol.2nd Ed. New
York: Appleton & Lange; 1996. p. 593-8.
9. Tantum K. Anesthesia. Organ effects, toxicity, and risk. ln: Kammerer W, Gross R. Medical
consultation; role of the iniernist on surgical, obstetric, and psychiatric seruices. Baltimore/
London: Williams & Wilkins;1984. p. 16'28.
'10. Briefel G, Turer P. Renal, fluid and electrolyte, and acid-base disorder. ln: Kammerer W, Gross R,
eds. Medical consultation; role of the internist on surgical, obstetric, and psychiatric services.
Baltimore/London : Williams & Wilkins; 1 984. p. 1 39-205.
11 , Knauss T. Renal transplantation: donor and recipient evaluation. ln: Hrick D, Sedor J, Ganz, eds-.
Questions you will be asked on rounds, in the clinic, on oral exams. Philadelphia: Mhanley &
Belfus lnc; 1 999. p.168-71 .
12. McKay D, Milfors E. Evaluation of potential renaltransplant candidates and donors.ln: Owen W,
Pereiia B, Sayegh, eds. Dialysis and transplantation, a companion to Brenner & Recto/s the
' kidney. Philadephia: WB Saunders company; 2000. p. 5 t1-25.
13. Subagian Nefrologi, Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM. Protokol persiapan
transflantasi ginjal di RSUP dr. Cipto Mangunkusumo/FKUl, Jakarta, 2003.
14. Sukadis l. Presentasi: biaya cangkok ginjaldi RS PG|-Cikini, Jakafta, 27 Januari2007.
15. Rahardio J, Markum MS, Roesma J, Sidabutar RP. Transplantasi pada gagal ginjal kronik. ln:
Daldijono, Santoso T, Rahardjo J, eds. Gagal ginjal kronik diagnosis dan penanggulangan.
Jakafta: Balai Penerbit FKUI. p. 89-101.
16. Susalit E. Transplantasi ginjal. ln: SudoyoA, Setiyohadi B, Alwi l, Simadibrata M, S_etiati S, eds.
Buku ajar imu penyakit dalam. 4h ed. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam FKUI;
2006. p.601-9.
165

3.11 Elpertensl
Ginova Nainggolan, Arif Mansjoer

>
l_lipertensi dengan batasan umum tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
f lt"fun"n darah diastolik > 90 mmHg, merupakan kondisi yang cukup sering
ditemui pada pasien yang akan dilakukan operasi. Pada populasi normal saja
diperkirakan 1 dari 4 orang mengalami hipertensi dan prevalensinya pun bertambah
seiring dengan meningkatkanya usia. Hipertensi adalah faktor risiko utama pada
penyakit jantung, serebral, renal, dan vaskular dengan komplikasi berupa infark
miokard, gagal jantung, strok, gagal ginjal, penyakit vaskular perifer, dan diseksi
aorta. Karena hal tersebut tak jarang kondisi hipertensi menjadi penyebab
ditundanya suatu operasi.

Hipertensi Persentase

Hipe*ensi esensial
Hipertensi renal
Renovaskular Zq/o

Parenkimal 3n/o

Hipertensi endokrin
Atdosteronisme Primer 5o/o

Sindrom Gushing O,1o/o

Feokromositom^ A,1o/o

Kelainan adrenal lain 0,2Yo

Pengobatan estrogen {Hipertensi pil} 1o/o

Lainlain 0,6%
166 Hipertensi

Harus dipahami bahwa hipertensi bukanlah suatu penyakit tunggal namun


merupakan sindrom yang disebabkan banyak hal. Pada sekitar 88% populasi
hipertensi penyebab hipertensi tidak diketahui dan dikenal sebagai hipertensi
esensial atau hipertensi primer. Sedangkan hipertensi yang diketahui penyebabnya
disebabkan hipertensi sekunder.
Klasifikasi hipertensi yang sering digunakan adalah klasifikasi berdasarkan
Joint National Committee (JNC) baik JNC Vl (1997) maupun JNC Vll (2003).
Batasan terakhir mengacu pada berdasarkan risiko hipertensi dan risiko komplikasi
kardiovaskular hipertensi. Perbedaannya adalah pada klasifikasi baru dimasukkan
klasifikasi prehipertensi dan klasifikasi derajat 2 dan 3 dijadikan satu klasifikasi
menjadi derajat 2.

Tekanan darah (mmHg) Klasifikasi JNC Vl (1997) Klasifikasi JNC Vll (2003)
<{20 I80 Optimaf : Nonnal
tio.tiri?,go*c Noimal,, p.ratiipri;rten6i
130'139 I.,85i89 Gerigrblrtas: Prahipartehsl '
>1,40,],90r,r' Hipertsnsir Hipertenai,
1,40.159190.99 Darajat lr: 'Deraiit,l
16(t179'7 {00 - 10S refaietll ,bara;q1'1!
>180,,1 11i0 op,ajttJlt Derqjat ti

MENGAPA PENGENDALIAN TEKANAN DARAH SEBELUM OPERASI PENrING?

Pada saat dilakukan operasi di mana pada pasien dilakukan induksi dapat terjadi
aktivasi sistem saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah
20-30 mmHg dan peningkatan frekuensijantung 15-20 detak permenit pada pasien
normotensi. Respons peningkatan tekanan darah dan frekuensi jantung ini akan
lebih tampak pada pasien hipertensi tidak terkontrol di mana tekanan darah sistolik
dapat meningkat 90 mmHg dan frekuensi jantung 40 detak per menit.
Tekanan arteri rerata cenderung turun seiring berjalannya anestesi akibat
'
berbagai faktor termasuk efek langsung obat-obat anestesi, inhibisi sistem saraf
simpatis, dan hilangnya pengendalian refleks baroreseptor terhadap tekanan arteri.
Perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya episode hipotensi intraoperatif. Pada
pasien yang memiliki hipertensi sebelumnya keadaan tekanan darah intraoperasi
sangat labil (dapat berubah-ubah baik hipotensi atau hipertensi). Keadaan ini
dapat menyebabkan gangguan perfusi koroner dan terjadi iskemia miokard.

RISIKO PERIOPERATIF AKIBAT HIPERIENSI

Pada pasien dengan riwayat hipertensi sebelumnya dapat terjadi respons


kardiovaskular yang beragam dan dapat meningkatkan risiko operasi termasuk
Ginova Nainggolan, Arif Mansjoer L57

disfungsi diastolik ventrikel kiri yang mengalami hipertrofi, disfungsi sistolik sebagai
dari gagal jantung kongestif, gangguan ginjal, penyakit serebrovaskular, dan
penyakit jantung koroner. Besarnya risiko tergantung dari beratnya hipertensi
yang terjadi.
Penelitian tentang hipertensi perioperatif masih terbatas dan belum dapat
memperlihatkan dengan nyata bahwa penundaan operasi pada pasien hipertensi
akan menurunkan risiko kardiak. Pada pedoman klinis ACC/AHA mengenai
perioperatif, hipertensi tidak terkontrol dikelompokkan sebagai faktor risiko minor
terjadinya komplikasi kardiovaskular.
Penelitian pada hipertensiberat: Suatu penelitian awalpada pasien hipertensi
berat yang tidak terkontrol (tekanan darah rerata sistolik 211 mmHg dan diastolik
105 mmHg) memperlihatkan respons hipotensi saat dilakukan induksi dan respons
hipertensi terhadap stimulus yang diberikan. Pada pasien hipertensi yang terkontrol
baik respons yang terjadi sama dengan pasien normotensi. Penelitian lain
mendapatkan tekanan darah diastolik di atas 110 mmHg segera sebelum tindakan
operasi berhubungan dengan jumlah komplikasi yang terjadi termasuk disritmia,
iskemia dan infark miokard, komplikasi neurologis, dan gagal ginjal.
Penelitian pada hipertensi ringan-sedang: Suatu penelitian pada 676 tindakan
operasi dengan anestesia umum pada pasien di atas 40 tahun memperlihatkan
bahwa pada pasien hipertensi dengan tekanan darah diastolik kurang dari 110
I

mmHg tidak terjadi peningkatan risiko operasi. Namun bila hipertensi tersebut
I
telah menyebabkan kerusakan organ target maka risiko operasi meningkat secara
I

bermakna. Penelitian lain memperlihatkan bahwa pada pasien yang menjalani I

carotid endarterectomy dengan tekanan darah sistolik di atas 200 mmHg. Terjadi I

peningkatan risiko terjadinya hipertensi dan gangguan neurologis pasca operasi.


Demikian pula hipertensi sistolik terisolasi yang menyebabkan peningkatan risiko
I
mortalitas pasca operasi.
I

I
STRATEGI AWAL PENGELOI.AAN HIPERTENSI PERIOPERANF

Pada pasien yang akan menjalani operasi dan mengalami peningkatan tekanan
darah harus dipisahkan dahulu, apakah pasien menjalani operasi emergensi atau
operasi elektif
Pada operasi emergensi, hipertensi dapat diturunkan segera dengan
penggunaan obat antihipertensi intravena. Selain itu harus dikaji pula apakah
pasien memang memiliki kemungkinan hipertensi lama atau tekanan darah yang
tinggi terjadi karena akibat dari kondisi lain seperti nyeri, takut, gelisah, atau efek
samping obat yang diberikan.
Pada operasi elektif, hipertensi pada pasien dapat dievaluasi lebih mendalam.
Hipertensi yang terjadi dikaji apakah baru diketahui dari pemeriksaan saat ini
atau sudah diketahui sebelumnya. Anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
168 Hipertensi

pemeriksan penunjang rutin yang perlu dilakukan untuk mengevaluasi penyebab,


komplikasi, serta riwayat pengobatan dan keberhasilnya. Gejala dan tanda
penyakit kardiovaskular, serebrovaskular, vascular peiifer sering ditermukan pada
pasien hipertensi. Evaluasi yang dilakukan mencakup pemeriksaan darah lengkap,
urinalisis, pemeriksaan natrium, kalium, kreatinin, gula darah puasa, kolesterol
total dan HDL, serta elektrokardiografi.
Pemeriksaan tekanan darah pun dipengaruhi oleh berbagai hal. ldealnya 5
menit sebelum dilakukan pemeriksaan dengan pengukur tekanan darah air raksa
pasien harus duduk dengan tenang, tangan bersadar pada meja setinggi letak
jantung, dan kaki bersandar di lantai, Pemeriksaan tekanan darah dengan posisi
pasien berdiri kadang diperlukan pada pasien dengan dugaan postural hipotensi.
Manset harus menutup setidaknyaSOo/o permukaan lengan. Pengukuran dilakukan
setidaknya 2 kali dan hasilnya kemudian ditulis dan disampaikan kepada pasien.

TATA I.AIGANA PREOPERATIF KRISIS HIPERTENST

Krisis hipertensi, yaitu peningkatan tekanan darah yang cukup tinggi di atas 180/
120 mmHg, umumnya dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu, hipertensi
emergensi dan hiperetnsi urgensi. Pada hipertensi emergensi telah terjadi kerusakan
target organ seperti ensefalopati hipertensi, perdarahan intraserebral, infark miokard
akut, gagal jantung kiri dengan edema paru, angina pektoris tidak stabil, diseksi
aneurisma aorta, atau eklampsia. Sedangkan pada hipertensi urgensi tidak atau
belum terjadi kerusakan organ target. Pada pasien krisis hipertensi yang terjadi
sebelum tindakan operasi emergensi harus dipertimbangkan kembali risiko dan
manfaat bila operasi tetap dilanjutkan atau ditunda.
Prinsip tata laksana pasien krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan
darah dalam hitungan menit-jam pada hipertensi emergensi dan hitungan jam -
hari pada pasien hiperensi urgensi. ldealnya pasien tersebut dirawat di unit
perawatan intensif untuk pemantauan tekanan darah dan pemberian obat
antihipertensi intravena. Penurunan tekanan darah pada hipertensi emergensi
hendaknya tidak melebih 25% dari tekanan darah rerata dalam 1 jam pertama
dan bila kondisi klinis stabil diturunkan hingga 160/100-110 mmHg pada 2-6 jam
kemudian. Bila kondisi klinis tetap stabil maka tekanan darah dapat diturunkan
dalam 2448 jam hingga mencapai tekanan darah normal. Penurunan tekanan
darah yang terlalu cepat dapat menyebabkan iskemia renal, serebral, dan
kardiovaskular sehingga penggunaan nifedipin (masa kerja singkat) sudah tidak
dipertimbangkan pada terapi awal krisis hipertensi
Pada pasien hipertensi urgensi yang tetap akan menjalani operasi emergensi
sebaiknya diberikan obat hipertensi intravena, namun pada operasi elektif dapat
diberikan obat antihipertensi oral dengan masa kerja singkat seperti kaptopril
atau klondin.
Ginova Nainggolan, Arif Mansjoer 169

Dosis Awal Masa kerja Efek samping lndikasi


kerja khusus
Na-nitropru$id 0,25-10 $egera 1-2 menit Nausea, Hipertensi
ug/kg/menit muntah, emergensi.
infus lV kedutan otot, Hatirhati pada
berkeringat; peningkatan
intoksikasi tekaflan
tiosinat, sianida intrakraaial
Nicardipin HCI 5'15 5-10 15-30 menit, Takikardia, Hipertensi
mg/jam lV menit dapat sakit kepala, emergensi,
mencapai 4 flushing, flebitis kecuali gagal
jam lokal jantung akut,
perhatian
pada iskemia
koroner
Nftrogliserin 5-100 2-5 menit 5-'10 menit Sakit kepala, lskemia
ug{am infus muntah, koroner
U methemoglobin
emia, loleransi
pada
penggun6an
lama

TATA I.AI(SANA PREOPERATIF HIPERTENSI BERAT

Pada pasien hipertensi tidak terkontrol baik dengan obat dengan tekanan darah
yang sangat berfluktuasi terdapat risiko iskemik perioperatif pada tindakan induksi
maupun intubasi. Tekanan darah di atas 180/110 mmHg harus dikendalikan
sebelum tindakan operasi. Untuk operasi elektif, pengendalian tekanan darah
dengan terapi rawat jalan dapat dicapai dengan selama beberapa hari-minggu.
Sedangkan bila akan dilakukan operasi emergensi maka diberikan obat
antihipertensi intravena.
Perlu diketahui berberapa sifat dari obat antihipertensi yang dapat
mempengaruhi operasi.
. Diuretik: dapat menimbulkan hipokalemia dan hipovolemia. Keadaan ini dapat
menimbulkan aritmia jantung. Karena itu elektrolit dan volume cairan pada
masa perioperatif perlu diperhatikan.
. Angiotensin convefting enzym inhibitor (ACEI) dan angiotensin ll receptor
blocker (ARB): dilaporkan dapat menimbulkan hipotensi pada pasien dengan
gagaljantung. Karena itu pada pasien tersebut golongan obat ini dianjurkan
tidak diberikan pada malam sebelum operasi.
. Antagonis kalsium : secara teoritis dapat menimbulkan perdarahan karena
gangguan agregasi trombosit, tetapi hal ini tidak terbukti pada manusia.
Karena itu pada pasien yang menggunakan obat tersebut tidak perlu
penghentian obat selama masa perioperatf.
L7O Hipertensi

Kelompok Dosis (mg/hari) Frekuensi (/hari)

Diuretik Hidroktorotiazid 12,S-50 1

Furosemid 20-80 2

Penyekat reseptor aldosteron Spironolakton 25-50 1

Penyekat beta Atenolol 25-100 1

Bisoprolol 2,5-10 1

Metoprotol 50-1 00 1-2


Propranolol 40-160 2
Carvedilol 12,5-50 ?

Penyekat ACE Captopril 25-100 2


Lisinopril 10-40 1

Ramipril 2,5-20 1

Antagonis angiotensin ll Losartan 25-100 1-2


Telmisartan 20-80 I
Valsartan 80-320 1-2

Penyekat kanal kalsium Diltiazem 180-420 1

extened release
Amlodipin 2,5-10 1

Penyekat alfa-1 Doxazosin 't-16 1

Prazosin 2-20 2-3


terazostn 1-20 1-2

Agonis affa-2 sentral Klonidin 0,1-0,8 2


Metildopa 250-100 2

TATA IAI(SANA HIPERTENSI RINGAN-SEDANG YANG TIDAK MENDAPAT


PENGOBATAN

Pada pasien hipertensi ringan-sedang (tekanan darah diastolik 90-110 mmHg)


yang tidak mendapat pengobatan, operasi tetap dapat dilakukan tanpa terjadi
peningkatan risiko operasi. Obat anti hipertensi harus segera diberikan setelah
operasi.
Pada operasi plastik, retina, dan neurologi hipertensi ringan-sedang dapat
meningkatkan risiko perdarahan dan hematoma pada luka. Pada keadaan ini
tekanan darah perlu diturunkan sebelum dilakukan oerasi.

TATA IAI(SANA PREOPERATIF HIPERTENSI TERKONTROL ATAU RINGAN


SEDANG YANG MENDAPAT PENGOBATAN

Pada pasien hipertensi terkontrol atau hipertensi ringan-sedang (tekanan darah


diastolik <110 mmHg) yang mendapat pengobatan, obat diteruskan hingga pagi
menjelang operasi. Obat-obat ini diteruskan kembali segera setelah selesai operasi.
Ginova Nainggolan, Arif Mansjoer L7l

TATA I.AIGANA HIPERTENSI PASCA.OPERASI

Pada masa pasca tindakan operasi pasien dapat mengalami peningkatan tekanan
darah, Hipertensi yang segera terjadi pasca operasi dapat dicetuskan rasa nyeri
luka analgesia yang tidak adekuat, agitasi saat pulih dari pembiusan, hipoksia,
hiperkarbia, rasa tidak nyaman akibat pipa endotrakeal, hipotermia, pemberian
cairan berlebih, atau efek sisa dari vasopresor yang diberikan intraoperatif.
Sedangkan hipertensi yang terjadi 24-48 jam pascaoperasi dapat terjadi akibat
masuknya cairan yang diberikan intraoperatif kembali ke intravaskular. Faktor
predisposisi terjadi hipertensi pasca-operasi adalah hipertensi sebelum operasi
atau jenis operasi yang dilakukan. Sebanyak 50% pasien yang menjalani operasi
perbaikan aneurisma aorta abdominalis dan 30% pasien pada operasi vascular
perifer mengalami hipertensi pascaoperasi.
Tata laksana awal adalah mengevaluasi dan mengatasi faktor pencetus yang
mungkin terjadi. Bila pencetus yang mungkin menjadi penyebab hipertensi telah
disingkirkan atau diatasi namun tekanan darah tetap >180/110 mmHg maka obat
antihipertensi harus segera diberikan untuk mencegah atau membatasi kerusakan
organ target, biasanya obat hipertensi diberikan dalam bentuk intravena.

REFERENSX
I

1. Kaplan NM. Perioperative management of hypertension. Accessed at vwvw.uptodate.com on 26 I


Juli2007
I
2. Chobanian AV Bakris GL, Black HR, Chusman WC, Green LA, lzzo JL, et al. The seventh repoft I
of the joint national committee on prevention, detection, evalutation, and treatment of high blood
I
pressure. J Am Med Assoc.2003; 289:2560-72.
3. August P. lnitial treatment of hypertension N Engl J Med. 2003; 348: 610-7.
4. Fleisher LA, Beckman JA, Brown KA, Calkins H, Chaikof E, Fleischmann KE, et al. ACC/AHA I
Guidelines on perioperative cardiovascular evaluation and care for noncardiac surgeryr execu-
tive summary. J Am Coll Cardiol.2007; 50: 1707'32.
I
5. Shammash JB, GhaliWA. Med Clin North Am. 2003; 87: 137-52.
I
6. Foxwell MM, Meyerson DA. Cardiovascular assessment and management. ln: Wolfsthal. Medi-
cal PerioperativeManagement'89/'90. 1't edition. London: Prentice-Hall lnternational; 1989.p.84-
127.
172

S.I?Illabetes Melltus
Reno Gustaviani, Pradana Soewondo

pasien diabetes melitus (DM) mempunyai kemungkinan untuk mengalami


I penyulit yang memerlukan tindakan operasi. Dengan bertambahnya usia
harapan hidup, kemungkinan untuk terjadinya penyulit tersebut semakin
meningkat. Sekitar 50% dari mereka membutuhkan operasi semasa hidupnya.
Lebih dari 75% pasien-pasien ini berusia lebih dari 50 tahun, di mana prevalensi
terjadinya penyakit miokard dan pembuluh darah serta gangguan ginjal
meningkat.l'2
Angka kesakitan dan kematian selama periode perioperatif pasien DM lebih
besar dibandingkan dengan pasien non DM. Hal ini disebabkan karena pada pasien
DM terdapat kelainan makrovaskular (termasuk penyakit pembuluh darah koroner),
selain kegagalan fungsi ginjal, ketidakseimbangan elektrolit dan dehidrasi. Selama
periode pasca operasi, insiden pasien DM yang terkena infeksi cukup tinggi,
seperti terjadinya infeksi saluran kemih, pneumonia dan infeksi lainnya. Kegagalan
penyembuhan luka mungkin terjadi jika terdapat hiperglikemia.3
Saat ini, dengan kemajuan dalam penatalaksanaan perioperatif
memungkinkan pasien diabetes untuk menjalani operasi yang kompleks karena
meningkatnya keamanan serta lebih banyak dilakukan operasi pada pasien-pasien
yang tidak dirawat. Beberapa faktor terlibat dalam menentukan respons glikemik
untuk prosedur operasi. Meskipun beberapa dapat diantisipasi secara adekuat,
namun yang lainnya sangat sulit untuk diperkirakan. Kesanggupan sekresi insu-
lin, sensitivitas insulin, metabolisme secara keseluruhan, dan nutrisi mungkin
berubah secara radikal dari periode pra operasi sampai pasca operasi dan mungkin
juga sangat berbeda dari satu prosedur ke prosedur lainnya. Untuk alasan ini
banyak dokter bersikap proaktif untuk mengatasi hiperglikemia pada pasien-pasien
3'a
diabetes yang akan menjalani operasi.
Reno Gustaviani, Pradana Soewondo L73

EFEK METABOUKANESTESIA DAN OPERASI

Stres dan trauma yang dihubungkan dengan anestesia dan operasi menyebabkan
respons katabolik yang cukup berat (lihat tabel 1). Keadaan ini disebabkan karena
meningkatnya produksi hormon kontra regulasi insulin yaitu epinefrin, norepinefrin,
glukagon, hormon pertumbuhan, katekolamin, dan kortisol'3"10
Diharapkan selama operasi berlangsung, glukosa darah berada dalam batas
toleransi, oleh karena hipoglikemia selama operasi dapat membahayakan jiwa
penderita. Sedangkan hiperglikemia dapat menyebabkan'1'2'10
1. Faal leukosit (kemotaksis, fagositosis, bakterisida intraselular) menurun,
demikian pula fungsi limfosit dan monosit. Akibatnya penderita DM mudah
mengalami infeksi, yang merupakan penyulit tersering pasca operasi.
2. Gangguan reologi : viskositas darah meningkat dan mudah terjadi agregasi
trombosit, demikian pula akan mudah timbul agregasi eritrosit dan leukosit,
yang memudahkan terjadinya trombosis.
3. Faal endoteljuga terganggu, yang merupakan predisposisitimbulnya agregasi
trombosit dan terjadi trombosis.
4. Status imunologi humoral dan selular menurun, misalnya kemunduran fungsi
sel T supresor.
5. Pembentukan jaringan granulasi terhambat oleh karena sintesis fibroblas
dan kolagen tertekan. I

I
I

Endokrin
Peningkatan honnon kontm regulasi insulin: kalekolAmin; glrikagon dan kortisol -
hormsn katabollk utama. dan honnon pqrtumbulian
- Penurunan sekresi insulin menyebabkan hilangnya efek antikatabolik insulin
- Penurunan kerja insulin yang disebabkan oleh rneningkatnya reeistensi imulin
sekunder akibat hormon kontra regulasi
trletabolik
- Hiperglikernia
- Penurunan penggunaan glukosa
- Moningkatnya produksi glukosa sekunder akibat glikogonolisis dan glukoneogenesis
- Meningkatnyakatabolismeprotein
- Meningkatnya variabel pada lipolisis dengan formasi benda keton
- Meningkatnya laju metabolik dan katabolisme
Efek segera dan jangka Paniang
- Dehidrasi dan,ketidakstabilan hsmodinamik yang disebabkan oleh'diuresis osmotik
- Berkurangnya ma$sa lemak tubuh, keseimbangan nitrogen negallf, kegagalan
penyembuhan luka, ponurunan resistensi untuk terjadinyainfeksi
- Berkurangnya jaringan adiposa dan cadangan energi dari asam lerricik
- Defisiensi asam amino esensial, vitamin dan mineral.
L74 Diabetes Melitus

Berdasarkan alasan di atas, hiperglikemia dapat menyebabkan penyandang


DM mudah mengalami infeksi dan penyembuhan luka operasi cenderung
1,2,10
melambat.
Pada keadaan infeksi (misalnya abses, gangren), maka kebutuhan insulin
pra operasi meningkat. Operasi yang dilakukan untuk menghilangkan infeksi
tersebut tidak menyebabkan kenaikan kebutuhan insulin, tetapi justru dapat
menurunkan kebutuhan. Hal ini disebut reverse alarm reaction.2tl

EVALUASI PRAOPERASI

Penilaian risiko operasi pada pasien DM secara umum sama dengan pasien
lainnya, dan yang penting untuk mendiagnosis mengevaluasi dan mengobati
penyakit jantung, paru, ginjal, ketidakseimbangan elektrolit dan/atau anemia
sebelum operasi. Tujuan terapi adalah menghindari meningkatnya morbiditas dan
mortalitas. Kadar glukosa darah yang tinggi, katabolisme protein yang tidak perlu,
serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit harus dicegah. Tujuan ini dapat
dicapai dengan evalusi pra operasi yang baik (lihat tabel 2) dan membuat hubungan
antara dokter spesialis penyakit dalam, spesialis bedah dan spesialis anestesia
menjadi lebih efektif. Penilaian klinis harus dilakukan sebelum operasi elektif.
Tipe DM harus segera diidentifikasi.Pasien DM tipe 2 cenderung untuk memiliki
peningkatan resistensi perifer dan menurunnya sekresi insulin perioperatif. Hal ini
dapat menyebabkan kebutuhan insulin lebih tinggi. Pasien DM tipe t harus
diberikan dosis insulin secara adekuat sesuai jadwal.s-to

Fenilaian risiko operasi :


- Faktor risiko rutin : jantung, paru, ginjal, hematologi
- Faktor risiko yang dihubungkan dengan diabetes : komplikasi makrovaskular, mikro-
vaskular, dan neuropati
Penatalaksanaan diabetes :

- Menegakkan kembali klasifikasi diabetes secara benar


- Terapi farmakologi : tipe obat, dosis, waktu
- Perencanaan makan : kandungan karbohidrat, waktu makan
- AKivitas
- Hipoglikemia : frekuensi, kewaspadaan, beratnya
Antisipasi pembedahan :
- Tipe prosedur pembedahan
- Pasien rawat jalan atau rawat inap
- Tipe anestesia
- Waktu mulainya pembedahan
- Lamanya pembedahan
Reno Gustaviani, Pradana Soewondo L75

Penilaian pra operasi harus termasuk tinjauan mengenai komplikasi


diabetes seperti nefropati, neuropati otonom, hipertensi dan penyakit pembuluh
darah koroner. Nefropati dihubungkan dengan pemberian cairan, farmakokinetik
insulin, dan pemberian antibiotik yang harus hati-hati. Neuropati otonom
mengurangi respons kardiovaskular pada operasi dan anestesia serta dihubungkan
dengan risiko terjadinya aritmia. Neuropati otonom mungkin dapat menimbulkan
komplikasi lebih jauh, fase pemulihan pascaoperasi yang lebih panjang dan
biasanya dihubungkan dengan mortalitas non bedah. Yang juga sering menjadi
masalah adalah retensi urin pasca operasi dan terlambatnya pemberian makan
pasca operasi yang dapat menimbulkan gangguan gastrointestinal. Meningkatnya
prevalensi hipertensi, penyakit jantung koroner dan komplikasinya membutuhkan
evaluasi dan penatalaksanaan yang hati-hati. Komplikasi kardiovaskular merupakan
penyebab terbesar terjadinya kematian akibat operasi pada pasien diabetes.3io

A. Kontrol glukosa darah


Memperbaiki kadar glukosa darah dan kontrol metabolik yang lain biasanya
dilakukan pada saat pasien rawat jalan sebelum tindakan, karena kebanyakan
pasien baru dirawat menjelang tindakan dilaksanakan. Kadar glukosa darah yang
optimal untuk dilakukan tindakan operasi adalah kadar glukosa darah dalam batas
normal. Target glukosa darah yang diinginkan untuk penderita kritis yang akan
menjalani operasi berkisar antara 80-110 mg/dl, sedang untuk penderita dengan I

operasi lainnya target glukosa darah plasma adalah 90-140 mg/dl. Namun I

demikian, belum ada keseragaman dalam menetapkan kadar glukosa darah 3-10 I

I
Untuk memperbaiki kontrol glukosa darah pada pasien yang mendapat
I
insulin, pemeriksaan kadar glukosa darah harus lebih sering, dengan dosis
1

insulin yang disesuaikan. lnsulin kerja panjang dapat dihentikan satu sampai dua
hari menjelang tindakan, dan kadar glukosa darah dapat dikendalikan dengan I

insulin campur antara kerja menengah dan kerja pendek dua kali sehari, atau
I
dengan insulin kerja pendek setiap sebelum makan. Namun dernikian, insulin
I
kerja panjang dapat dilanjutkan, terutama jika pasien menggunakan insulin basal
seperti glargin. Sejak keluarnya insulin analog yang dapat mempertahankan kadar
glukosa darah sepanjang hari, banyak pengalaman menunjukkan bahwa cukup
aman menggunakan basal insulin ini pada saat perioperatif. 3-r0
Obat oral umumnya dihentikan sebelum tindakan. Sulfonilurea kerja panjang
dihentikan 48-72 jam sebelum tindakan, sementara sulfonilurea kerja pendek,
pemicu sekresi insulin yang lain dan metformin dapat dihentikan pada malam
sebelum tindakan atau pada hari tindakan. 3i0

B. Evaluasi untuk operasi gawat darurat


Pasien DM juga ada kemungkinan untuk menjalani operasi gawat darurat. Pada
kondisi ini, stres keadaan akut sering kali sebagai pencetus kontrol glukosa darah
176 Diabetes Melitus

yang memburuk, di mana kemungkinan besar dapat menyebabkan ketoasidosis.


Sebagai prioritas utama adalah menilai kontrol glukosa darah, ada tidaknya
dehidrasi, dan status asam basa. Penatalaksanaan pra operasi harus lebih agresif
untuk memperbaiki status hidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit, serta
mengoptimalkan kadar glukosa darah. Pada kejadian ketoasidosis, operasi harus
ditunda 4 - 6 jam jika mungkin, sementara pasien diberikan terapi standar
ketoasidosis.3,a
Semua pasien DM yang mengalami trauma harus dianggap dalam keadaan
lambung penuh tanpa memperdulikan kapan makan terakhirnya. Hal ini karena
ada kemungkinan pasien berada dalam berbagai derajat neuropati diabetik otonom,
yang menyebabkan gastroparesis. Dengan adanya trauma proses pengosongan
lambung akan terhenti, dan makanan yang dimakan paling tidak 8 jam sebelum
trauma harus tetap dianggap ada dalam lambung. Tergantung urgensi operasi,
bila mungkin operasi ditunda 4 - 6 jam untuk memperbaiki kondisi pasien.3'a
Pasien juga dipersiapkan sama seperti operasi elektif, pemberian insulin
subkutan dihentikan, dan mulai infus insulin intravena. Harus diingat bahwa pasien
mungkin baru selesai disuntik insulin untuk hari itu, dan bisa terjadi hipoglikemia,
maka tidak hanya infus insulin diberikan tapi mungkin perlu diberikan glukosa
intravena jika terdapat hipoglikemia.3,4

PENATAIAIGANAAN INTRAOPERASI

A.Insulin
Semua pasien yang menggunakan insulin, baik DM tipe 1 maupun tipe 2, harus
mendapat terapi insulin selama prosedur operasi. Pada pasien DM tipe 2 yang
memiliki kontrol cukup baik dengan diet dan obat hipoglikemik oral, mungkin
tidak membutuhkan insulin jika prosedur tindakan relatif mudah dan singkat. Pada
banyak situasi, termasuk kontrolyang buruk cukup lama atau pada pada prosedur
operasi yang cukup sulit, pada pasien DM tipe 2 pemberian insulin cukup
bermanfaat untuk menjaga kontrol glikemik.2-1o
Metode pemberian insulin terbaik dalam operasi masih diperdebatkan. Baru
sedikit data yang jelas memperlihatkan keunggulan dari satu cara dibandingkan
dengan cara yang lain. Metode pemberian yang baik haruslah : (1) dapat menjaga
kontrol gukosa darah secara baik untuk mencegah hiperglikemia dan hipoglikemia
(2) dapat mencegah gangguan metabolik lain (3) relatif lebih mudah untuk
dimengerti (4) dapat diterapkan pada berbagai situasi (seperti di ruang operasi,
ruang pemulihan dan pada ruang perawatan umum serta bangsal bedah). Kunci
keberhasilan beberapa cara adalah kehati-hatian, pemantauan yang cukup sering
untuk mendeteksi beberapa perubahan dalam kontrol metabolik dan
memperbaikinya sebelum bertambah berat.s
a
Reno Gustaviani, Pradana Soewondo L77

Protokol terbaru dalam penatalaksanaan operasi pada pasien DM adalah


dengan menggunakan infus insulin glukosa berkesinambungan (insulin kerja cepat
atau pendek), menggantikan pemberian insulin kerja menengah yang diberikan
secara subkutan pada pagi hari saat operasi. Pemberian infus insulin glukosa
berkesinambungan ini harus dimonitor dengan pemeriksaan glukosa darah secara
bedside.2-10
Keberhasilan infus insulin'intravena terletak pada kesederhanaan serta lebih
mudah dalam memperkirakan absorpsinya dibandingkan dengan pemberian
secara subkutan. Tujuannya adalah mempertahankan kadar glukosa darah dalam
kisaran yang diharapkan selama periode perioperatif.s
Algoritma drip insulin didasarkan pada kerja insulin-glukosa normal dengan
dosis penyesuaian, untuk memfasilitasi penggunaan dekstrosa 5% dan perubahan
dalam metabolisme glukosa dihubungkan dengan stres. Penelitian klinik
menunjukkan bahwa kebanyakan pasien yang menjalani operasi, glukosa darah
dapat dipertahankan dengan infus regular insulin kecepatan antara 1-2 Uljam,
disertai dengan pemberian dekstrosa 5o/o dan 20 mEq KCI/jam. Kecepatan
pemberian drip insulin dapat disesuaikan dengan kadar glukosa darah yang
dimonitor setiap jam. Perkiraan awal kebutuhan insulin didasarkan pada tipe dia-
betes, terapi sebelumnya, derajat kontrol glikemik dihubungkan dengan kebutuhan
insulin satu hari, terapi steroid, dan adanya obesitas, gagal ginjal atau infeksi.
Jika kadar glukosa darah kurang dari 70 mg/dl drip insulin dapat dihentikan
sementara, kontrol glukosa darah setiap 30 menit dan jika tetap < 70 mg/dL
berikan glukosa intravena 10%, kemudian periksa glukosa darah tiap 30 menit
sampai glukosa darah berkisar 100 mg/dL, berikan kembali drip insulin dengan
kecepatan sekitar 1 Uljam. lnsulin yang diberikan intaravena mempunyai waktu
paruh 5 menit dan efek biologis selama sekitar 20 menit. Hipoglikemia secara
bermakna sepertinya tidak akan terjadi jika glukosa darah diperiksa tiap jam.z-to

B. Pemberian glukosa, cairan dan eElektrolit


Pemberian glukosa yang adekuat diperlukan untuk mencegah hipoglikemia,
katabolisme berat (balans nitrogen negatif) dan kebutuhan energi basal yang
diberikan perioperatif pada pasien diabetes. Cairan pemeliharaan umumnya
mengandung dekstrosa 5% diberikan '100 ml/jam. Glukosa lebih banyak mungkin
dibutuhkan jika pasien berada dalam keadaan stres berat. Jika dibutuhkan
penambahan cairan (seperti untuk mempertahankan hemodinamik), dapat
ditambahkan cairan yang tidak mengandung dekstrosa.2-lo
Kadar kalium harus dimonitor paling tidak pada saat sebelum dan setelah
operasi. lngat bahwa kadar kalium serum yang normal tidak menggambarkan
konentrasi kalium total yang normal pada tubuh. Banyak faktor dapat
mempengaruhi kadar kalium serum selama operasi. Pada pasien-pasien diabe-
tes dengan fungsi ginjal yang normal dan kadar kalium yang normal, 10-20 mEq
t78 Diabetes Melitus

kalium harus ditambahkan pada per liter cairan yang mengandung dekstrosa.
Kalium diberikan lebih banyak jika terjadi hipokalemia. Pada pasien dengan
hiperkalemia, kalium tidak perlu diberikan meskipun kadar kalium turun sampai
batas normal.3io

PENATALAKSANAAN PASCA OPERASI

Terdapat dua fase kritis pada perawatan perioperatif pasien diabetes. Pertama
fase katabolik awal, yang terjadi pada saat sebelum sampai saat terjadi operasi.
Kedua adalah fase transisional, di mana pada saat ini terjadi pemulihan sebagian
dari stres operasi menuju makan yang biasa. Untuk banyak pasien diabetes
keadaan ini adalah masa peralihan yang sulit. Kebanyakan dari mereka menderita
gastroparesis mungkin ingin makan tetapi makanan tidak dapat turun. Begitu
pemberian makan oral dimulai, kadar glukosa mungkin meningkat secara
mendadak dan menetap untuk beberapa waktu setelah perawatan. s-10

a Lanjutkan infus insulin perioperatif sampai makanan dapat ditoleransi.


a Berikan insulin awal yang diberikan subkutan (sebaiknya basal-bolus) 1-2 jam sebelum
menyetop infus insulin.
Pasien DM tipe 2 yang sebelumnya diterapi dengan diet daniatau obat hipoglikemik
oral : berikan pengobatan seperti biasa jika kadar glukosa darah normal dan kebutuhan
insulin terakhir tidak tinggi.
Pasien yang diterapi dengan insulin : berikan dosis awal aiau gunakan dosis insulin 24 -
48 jam sebelumnya untuk menentukan dosis awal yang baru.
Modifikasi dosis secara regular (setiap 1 - 2 hari).

Penatalaksanaan pasca operasi menggunakan sliding sca/e dengan insulin


kerja pendek seperti yang selama ini banyak digunakan, ternyata memberikan
fluktuasi kadar glukosa darah yang cukup tinggi, bahkan pada pasien DM tipe 1
dapat mencetuskan timbulnya ketoasidosis.s
Selama pemulihan pasca operasi diperpanjang, pasien harus mendapatkan
makanan melalui selang hidung atau nutrisi parenteral total. lnfus drip insulin
dapat dengan mudah dimodifikasi untuk memberikan dukungan nutrisi.3,a
Cairan harus diberikan secara individual. Pada umumnya 2-3 liter cairan
(kira-kira 100 mlijam) harus diberikan untuk menggantikan rnsensrb/e uraferlosses
dan untuk memperoleh pengeluaran urin sekurang-kurangnya 40 ml/jam. Jenis
cairan yang dapat diterima dengan mudah bagi pasien DM adalah dekstrosa 5%
atau dekstrosa 5% dalam larutan !/2 N saline, dan menambah sekitar 20 mEq
kalium untuk setiap liter cairan yang diinfuskan. 3-5
Reno Gustaviani, Pradana Soewondo L79

Pada kebanyakan pasien dapat dilakukan perubahan diet secara progresif


dari cair ke padat, jika memungkinkan dalam 48 jam dan diberikan insulin subkutan
(sebaiknya basal-bolus), sedangkan infus insulin intravena dihentikan 1-2 jam
setelah pemberian insulin subkutan. Harus diingat bahwa selama periode pasca
operasi, resistensi insulin oleh stres operasi tetap dijumpai, sehingga diperlukan
penyesuaian dosis subkutan sesuai dengan kadar glukosa darah penderita.3-5
lnfeksi pada luka operasi sering terjadi pada penderita diabetes dengan
kontrol metabolik yang jelek. Hal ini biasanya dipengaruhi oleh gangguan fungsi
granulosit dan keadaan sirkulasi yang jelek oleh karena makroangiopati atau
mikroangiopati. 3-11

OPERASI RAWATJALAN

Dalam beberapa tahun terakhir, tipe operasi pada operasi rawat jalan dapat
ditentukan pada hari yang sama. Jika tidak membutuhkan anestesi umum,
penggunaan obat oral atau insulin bila glukosa darah sudah terkontrol baik dapat
diteruskan, karena tidak memerlukan persiapan dengan puasa dan sesudah
tindakan dapat makan seperti biasa. Jika mungkin, pada pasien-pasien ini dilakukan
tindakan sepagi mungkin. Jika pendekatan ini tidak mungkin, atau tindakan
terlambat, insulin yang didapat pasien diganti dengan drip insulin atau kombinasi
infus insulin-glukosa.3-s

PROGITGISP

Beberapa faktor yang menunjukkan prognosis kurang baik untuk penderita DM


yang mengalami anestesi dan operasi adalah :

1. Regulasi glukosa darah yang tidak optimal.


2. Usia lebih dari 60 tahun.
3. Lama DM lebih dari 10 tahun.
4. Angiopati (periksa retina untuk mendeteksi mikroangiopati, dan EKG untuk
mengetahui adanya penyakit koroner / makroangiopati).
5. Neuropati (otonom / perifer).
6. Adanya infeksi berat atau sepsis.
7. Hipotensi.

KESIMruI.AN

1. Petunjuk penatalaksanaan perioperatif pada pasien diabetes yang sesuai


dengan evidence-based masih sangat tebatas, umumnya lebih bersifat seni.
2. Banyak protokol untuk mengatasi masalah ini, namun tidak ada satu pun
yang lebih unggul dari yang lain.
18O Diabetes Melitus

3. Seluruh aspek harus dipantau dan dikendalikan secara baik pada saat
perioperatif
lnfus insulin intravena berkesinambungan umumnya merupakan pendekatan
terbaik untuk penatalaksanaan glukosa darah perioperatif.
5. Meskipun strategi yang bervariasi dilaporkan, keputusan klinis tetap sebagai
komponen kunci pada pengobatan perioperatif yang baik pada pasien DM. .

RffiRE\EI
1. Saleh SC. Anestesi dan operasi pada penderita DM dan penatalaksanaan prabedah selama
pembedahan dan pasca bedah dini. Naskah lgngkap simposium pengenalan dan penanganan
penyakit endokrin dan metabolik. Medan: PERKENI; 1995. p. 155'64.
2. Azhari G, Sjafii P. Management of diabetes mellitus during surgery using the insulin-dextrose
method. Acta Med lndones. 2001 ;33(1):25-30.
3. Laurence AG. Perioperative management of the diabetic patient. Endocrinol Metab Clin North Am.
1992;21(2):457-75.
4. Scott JJ, James RS. An update on perioperative management of diabetes. Arch lntern Med.
1 999;159:2405-11 .
5. Marks J. Perioperative management of diabetes. Am Fam Physician. 2003;67:93'100.
6. Dagogo-Jack S, Alberti KGMM. Management of diabetes mellitus in surgical patients. Diabetes
Spectru m. 2002;1 5:44-8.
7 . Rothenberg David, Mira Loh Trivedi. Perioperative management of diabetic patient. Accessed
from: URL : http//www.emedicine.com/med/topic3165,htm. Last Updated: May 17, 2006.
8. Hoogwerf BJ. Perioperative management of diabetes mellitus: how should we act on the limited
'l):595-9.
evidence? Cleve Clin J Med. 2006;73(Suppl
9. Gill GV, Alberli KGMM. The care of the diabetic patient during surgery. lnternationaltextbook of
diabetes mellitus. ln: DeFronzo RA, Ferrannini E, Keen H, Zimmet P, eds. England:John Wiley
& Sons;2004. p. 1741-9.
10. Sherita HG, Camille PV Linda H, Frederick LB. Perioperative glycemic control and the risk of
infectious complication in a cohort of adult with diabetes. Diabet Care. 1 999;22(9):1408-14.
181

3.13 Penya,klt Tlrold


Dyah Purnamasari, Imam Subekti

enyakit pada kelenjar tiroid cukup sering ditemukan. Di daerah endemik,


insiden penyakit goiter pada populasi dewasa adalah 15-30%. Studi pada
populasi kulit putih melaporkan bahwa tirotoksikosis mengenai2% populasiwanita
dan O,2o/o populasi pria.1,2
Masalah yang berhubungan dengan prosedur operasi secara umum dapat
dibagi menjadi dua yaitu yang berkaitan dengan anatomi (misalnya goiter yang I

besar) dan yang berkaitan dengan fungsi tiroid (misalnya hipertiroidisme, krisis I

tiroid dan hipotiroidisme).3 I

I
Tindakan operasi pada pasien dengan penyakit tiroid hampir semua bersifat
I
elektif, mengingat risiko kematian perioperatif meningkat pada pasien dengan I

penyakit tiroid yang tidak terkontrol/ tidak terdiagnosis.3 Selain pengaruhnya yang
dominan pada sistem kardiovaskular, hipertiroidisme dan hipotiroidisme juga
mempengaruhi pemberian obat-obat anestesi akibat peningkatan atau penurunan
bersihan dan volume distribusi obat pada kondisi hiper dan hipometabolisme.
Sebagaicontoh pemberian propofol intravena pada hipertiroidisme, dosis infusnya
dinaikkan untuk mencapai konsentrasi yang efektif di darah.2
Pada bab ini akan dibahas persiapan perioperatif pada pasien dengan penyakit
tiroid. Laporan operasi non tiroid pada pasien-pasien dengan kelainan tiroid masih
jarang. Penatalaksanaan pasien dengan hiper dan hipotiroidisme juga akan
dibahas mengingat perlunya mencapai kondisieutiroid sebelum dilakukan operasi.

HIFOIIROIDEME

Definisi
Hipotiroidisme adalah kumpulan sindrom yang disebabkan konsentrasi hormon
L82 Penyakit Tiroid

tiroid yang rendah sehingga mengakibatkan penurunan laju metabolisme tubuh


secara umum.a Kejadian hipotiroidisme sangat bervariasi, dipengaruhi oleh faktor
geografik dan lingkungan seperti asupan iodium dan goitrogen, predisposisi genetik
dan usia. Di daerah endemik, prevalensi hipotiroidisme adalah 5 per 1000,
sedangkan prevalensi hipotiroidisme subklinis sebesar 15 per 1000.,

Gejala klinis
Gejala yang sering dikeluhkan pada usia dewasa adalah cepat lelah, tidak tahan
dingin, berat badan naik, konstipasi, gangguan siklus haid dan kejang otot. 3,4
Pengaruh hipotiroidisme pada berbagai sistem organ dapat dilihat pada tabel 1.3

Organ/ sistem organ Keluhan/ Gejala/ Kelainan


Kardiovaskular Bradikardia
Gangguan kontraktilitas
Penurunan curah jantung
Kardiomegali (paling banyak disebabkan efusi perikardial)
Respirasi Sesak dengan aktivitas
Gangguan re$pons ventilasi terhadap hiperkapnia dan hipoksia
Hipoventilasi
Steep apnea
Efusi pleura
Gastrointestinal Anoreksia
Penurunan peristaltik usus ) konstipasi kronik, impaksi feses
dan ileus
Ginial Penurunan laju filtrasi ginjal
(air dan elektrolit) Penurunan kemampuan ekskresi kelebihan cairan * intoksikasi
cairan, hiponatremia
Hematologi Anemia, disebabkan:
Gangguan sintesis hemoglobin karena defisiensi tiroksin
Defisiensi besi karena hilangnya besi pada menoragia dan
gangguan absorpsi besi
Defisiensi asam folat karena gangguan absorpsi asam folat
Anemia pemisiosa
Neuromuskular Kelemahan otot proksimal
Berkurangnya refleks
Gerakan otiot melambat
Kesemutan
Psikiatri Depresi
Gangguan memori
Gangguan kepribadian
Endokrin Gangguan pembentukan estrogen ) gangguan sekresi FSH
dan LH, siklus anovulatoar, infertilitas, menoragia
Dikutip dari: Wertheim, W. Muluk, V. Thyroid disease. In:Cohn, SL. Smetana, GW. Weed, HG, editors.
Perioperative medicine, just the fact. lnternational edition. Singapore: Mc Graw Hill Companies lnc.;2006.
p.1 52-8.
Dyah Purnamasari, Imam Subekti 183

Faktor-faKor yang Mempengaruhi Prosedur Operasi


Pada pasien dengan hipotiroidisme, beberapa risiko yang berhubungan dengan
prosedur operasi adalah sebagai berikut:
. Pemberian obat-obat premedikasi dan anestesi
Akibat adanya gangguan metabolisme dan bersihan obat di hati dan ginjal,
pasien dengan hipotiroidisme memiliki sensitivitas yang meningkat terhadap
obalobatan (anestesi, perioperatif).3
-; Periode pemulihan (kesadaran), penekanan fungsi respirasi dan fase
hipotensi memanjang.
. lntraoperatif
Adanya kelainan jantung memprediksi timbulnya risiko hipotensi dan gagal
jantung lebih sering.3'a
. Mengatasi infeksi
Jarangnya gejala demam mengakibatkan diagnosis terlambat dan pemberian
terapi untuk infeksi.3

PENATAI.AIGANMN HIPOTIROIDISME

A. Evaluasi pra operasi


1. Anamnesis dan pemeriksaan fisis I

Mendeteksi ada tidaknya keluhan dan gejala kelainan fungsi tiroid.


I
Pasien yang mendapatkan suplementasi hormon tiroid, pemakaian obat- I

obatan seperti kolestiramin, besi, preparat aluminium, kalsium, dan I

karbamazepin dapat menurunkan absorpsi hormon tiroid. Pemakaian preparat I


iodine dan kontras yang mengandung iodine dapat memperburuk 1

hipotiroidisme.3,4
2. Pemeriksaanpenunjang
Meliputi pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan elektrokardiografi.
Apabila dari anamnesis dan pemeriksaan fisis dicurigai kuat adanya gejala
hipotiroidisme, maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan konsentrasi
TSH. Pemeriksaan TSH juga dilakukan pada pasien hipotiroidisme yang
sedang mendapat terapi suplementasi hormon untuk memastikan kondisi
eutiroid.3,a

B. Penatalaksanaan pra operasi


Pada pasien yang sudah mendapatkan suplementasi levotiroksin
sebelumnya, dilakukan penilaian status fungsional tiroidnya. Selain dapat
diketahui dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat pula dilakukan
pemeriksaan konsentrasi TSH.3'4
Pada pasien yang baru dicurigai adanya hipotiroidisme pada saat pra operasi,
184 Penyakit Tiroid

maka dilakukan pemeriksaan konsentrasi TSH dan perlu ditentukan apakah


hipotiroidismenya tersebut ringan, sedang atau berat. Pada hipotiroidisme
yang ringan atau sedang, tanpa adanya komplikasi lain, operasi relatif aman
dan tidak perlu ditunda. Pada hipotiroidisme yang berat, ditandai dengan
adanya koma miksedema, gangguan status mental, gagal jantung, atau
konsentrasi hormon tiroksin yang sangat rendah, maka sebaiknya operasi
ditunda sampai kondisi hipotiroidisme beratnya teratasi. Koma miksedema
merupakan komplikasi terberat dari kondisi hipotiroidisme yang tidak diobati.
Kondisi ini ditandai dengan kelemahan progresif, penurunan kesadaran (stu-
por), hipotermia, hipoventilasi, hipoglikemia, hiponatremia, hipotensi,
bradikardia dan syok.3'a
Dosis suplementasi levotiroksin pada pasien yang baru diketahui hipotiroid,
ringan dan sedang, tidak berbeda dengan pasien rawat jalan, 1-2 mglkgl
hari. Pada pasien usia lanjut, hipotiroid yang lama atau dengan penyakit
jantung, sebaiknya diberikan dosis awal yang lebih rendah (25 mg/hari) untuk
menghindari terjadinya efek samping.3
Pada pasien dengan hipotiroidisme berat namun memerlukan tindakan operasi
segera, maka diberikan suplementasi levotiroksin dan steroid intravena.
Awalnya, dosis T4 intravena diberikan loading dose 300-400 mg dilanjutkan
50 mg per hari. Sayangnya preparat levotiroksin intravena belum tersedia di
lndonesia. Pemberian steroid tidak diperlukan apabila sebelum onset koma
tidak didapatkan gangguan fungsi adrenal. Namun apabila status adrenalnya
tidak diketahui maka sebaiknya dilakukan tes stimulasi cosyntropin. Setelah
itu diberikan hidrokortison 100 mg intravena dilanjutkan 4 x 50 mg dan
dilakukan tapering dosis sampai total 7 hari. Apabila setelah itu diketahui
konsentrasi kortisol plasma > 30 g/dL atau hasil tes stimulasi cosyntropin
dalam batas normal, maka pemberian steroid dapat dihentikan.3,a
Apabila terdapat hipotermia, dapat diberikan cairan intravena yang hangat.
Pemanasan dari luar dapat memperberat hipotensi.
Pada pasien hipotiroidisme yang akan menjalani operasijantung, maka perlu
dilakukan penilaian kasus demi kasus. Beberapa studi menyarankan
pemberian suplementasi pasca tindakan, namun belum ada simpulan yang
memuaskan hingga saat ini.3

C. Evaluasiperioperatif
Beberapa kondisi seperti di bawah ini dapat menjadi pertimbangan adanya
kemungkinan hipotiroid yang tidak terdiagnosis pada pasien pasca operasi,
yaitu:3
1. Terdapat kesulitan melakukan proses weaning dari ventilator.
2. lleus yang tidak dapat dijelaskan.
3. Gagal jantung.
Dyah Purnamasari, Imam Subekti 185

Pada pasien yang belum bisa makan peroral pasca operasi, penundaan
levotiroksin relatif aman mengingat waktu paruhnya yang panjang ( t7
hari).

HIPERMROIDEME

Definisi
Hipertiroidisme mengandung arti hiperaktivitas kelenjar tiroid, sedangkan
tirotoksikosis merupakan kumpulan gejala yang disebabkan peningkatan hormon
tiroid di sirkulasi, bisa berasal dari kelenjar tiroid yang aktivitasnya meningkat
maupun dari sumber di luar kelenjar tiroid. Beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan tirotoksikosis adalah struma difusa toksik (penyakit graves), ad-
enoma toksik (penyakit Plummer), struma multinodosa toksik, tiroiditis subakut,
tiroiditis Hashimoto fase hipertiroidisme, tirotoksikosis faktisia dan penyebab lain
yang jarang (struma ovarium, karsinoma tiroid metastasis, mola hidatidosa, ,,ham-
burger thyrotoxicosis", tumor hipofisis yang mensekresi rsH, hipofisis yang resisten
terhadap T3 dan T4). Penyakit Graves merupakan penyebab tersering, disusul
oleh struma multinodosa toksik.1,4-6
Prevalensi tirotoksikosis pada wanita berkisar antara 0,s-2%. wanita lebih
sering daripada pria.a

Gejala klinis
Keluhan dan gejala pada tirotoksikosis disebabkan hiperaktivitas susunan saraf
simpatis. Pengaruh hipertiroidisme pada beberapa sistem organ dapat dilihat pada
tabel 2.6 Tidak semua pasien menunjukkan gejala yang khas terutama bila fase
awal penyakit dan pada pasien usia lanjut. Pada pasien usia lanjut dengan fibrilasi
atrium, kemungkinan ada tidaknya hipertiroidisme sebaiknya ditentukan dahulu.a

FaKor-faktor yang berhubungan dengan tindakan operasi


Pada pasien dengan hipertiroidisme, beberapa risiko yang berhubungan dengan
prosedur operasi adalah sebagai berikut:
. Risiko terjadinya krisis tiroid
Risiko terjadinya krisis tiroid terutama pada operasi mayor yang sifatnya
segera/emergency. Kejadian krisis tiroid juga dapat dicetuskan oleh
operasi minor. Komplikasi ini dapat terjadi durante operasi maupun pasca
operasi.3-6
. Pemberian dosis obat-obatan anestesi/ sedasi
Pemberian obat-obatan anestesi/ sedasi harus dihitung ulang mengingat
adanya peningkatan bersihan obat. Sebaiknya dihindari pemberian
atropin mengingat risiko terjadinya stimulasi adrenergik.3
186 Penyakit Tiroid

Risiko terjadinya aritmia dan gagal jantung Iebih besar


Pada pasien dengan hipertiroidisme yang sudah lama, biasanya disertai
pula dengan kelainan jantung (thyroid heart disease) sehingga berisiko
terjadi aritmia berat dan gagal jantung yang mengancam nyawa.3

Organ/ sistem organ Keluhan/ gejala/ tanda


Kardiovaskular Takikardia
Peningkatan curah jantung
Fibrilasi atrium
Gagal jantung
Respirasi Sesak napas
Gastrointestinal Frekuensi buang air besar meningkat
Ginjal Peningkatan laju filtrasi glomerulus
Banyak buang air kecil, banyak minum
Neuromuskular dan kulit Tremor halus
Refl eks fi siologis meningkat
Kelemahan otot, berkurangnya masa otot
Paralisis periodik
Perabaan kulit basah dan hangat
Rambut rontok
Gatal-gatal
Psikiatri Gangguan afek ) mudah tersinggung, psikosis
Gelisah
Sulit tidur
Umum Berat badan menurun meski nafsu makan meningkat
Banyak keringat, tidak tahan panas
Reproduksi Gangguan siklus haid
Libido menurun
Dikutip dari: Weetman, AP. Graves' disease. N Engl J Med 2000;343(17): 1236-48.

PENATAI.AI(SANAAN HIPERTIROIDISME DAN KRISISTIROID

A, Evaluasi pra operasi


Mendeteksi ada tidaknya keluhan dan gejala tirotoksikosis
Mendeteksi riwayat pemakaian obat-obatan yang berisiko mempengaruhi fungsi
tiroid seperti amiodaron.a,5

B. Penatalaksanaan pra operasi


Bila dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dicurigai kuat adanya gejala hipertiroid,
maka selain pemeriksaan rutin pra operasi, dilakukan juga pemeriksaan fungsi
tiroid (fT4). Konsentrasi fT4 yang meningkat menunjukkan adanya tirotoksikosis.3
Pada pasien yang sudah didiagnosis sebelumnya dan sudah atau pernah
mendapatkan terapi dengan obat anti tiroid, dilakukan pemeriksaan fungsi tiroid
(fT4) untuk memastikan kondisi eutiroidnya.3
Dyah Purnamasari, Imam Subekti L87

Pada pasien yang kondisi eutiroidnya sudah tercapai, pemberian obat anti
tiroid dilanjutkan selama masa perioperatif.
Pada pasien hipertiroid yang baru didiagnosis pertama kali dan belum pernah
mendapatkan terapi, maka kondisi eutiroid harus dicapai dahulu, baik dengan
pemberian obat-obatan maupun dengan terapi ablasi. obat anti tiroid (oAT) yang
diberikan dapat berupa derivat tiourasil (propiltiourasil, PTU) maupun derivat
tioimidazol (karbimazol, metimazol atau tiamazol). Prinsip pemberian oAT adalah
dimulai dengan dosis tinggi dan setelah tercapai kondisi klinis eutiroid, dosis
diturunkan perlahan-lahan hingga terc4pai keadaan remisi. Tindakan operasi aman
dilakukan bila pasien sudah mencapai kondisi eutiroid secara klinis dan laboratoris,
meski belum mencapai remisi, mengingat diperlukan waktu cukup lama untuk
mencapai remisi. Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi PTU secara oral,
PTU dapat diberikan per rektal. Pemberian OAT dapat dimulai dengan karbimazol
30 mg, metimazol 30 mg atau PTU 400 mg sehari dalam dosis terbagi.6,7
Gejala peningkatan aktivitas simpatis di perifer, dapat diatasi dengan
propranolol. Propranololjuga dapat menghambat konversi 14 menjadi 13 di perifer
sehingga membantu mempercepat terkontrolnya gejala hipertiroidisme.3-s
Propranolol dapat diberikan 2-3 kali sehari 10 mg, disesuaikan dengan beratnya
takikardia. Pemberian propranolol dihindari bila terdapat kontraindikasi seperti
asma bronkial.6,7
Pemberian preparat lodida dapat menghambat pengeluaran hormon tiroid,
namun pemberiannya harus disertai dengan pemberian obat antitiroid untuk
mencegah pengumpulan hormon tiroid. Pada 7-10 jam pre operatif, dapat diberikan
3 kali 5 tetes solusio lugol. Pemberian preparat iodida praoperatif untuk mengurangi
vaskularisasi kelenjar tiroid masih belum rutin dilakukan.3,6-s

KRISISTIROID
Tidak jauh berbeda dengan kondisi hipertiroidisme, pasien dengan krisis tiroid
juga diterapi dahulu sehingga tercapai kondisi eutiroid sebelum dilakukan operasi.
Prinsip penatalaksanaan krisis tiroid meliputi mengatasi faktor pencetus,
memperbaiki keadaan umum dan mengontrol gejala hipertiroidisme. pasien
sebaiknya dirawat di unit perawatan intensif.a-6
Obat antitiroid diberikan dalam dosis tinggi dan terbagi (loading dose 600-
1000 mg, dilanjutkan 200 mg tiap 4 jam sehingga dosis totat sehari 1000-1500
mg) untuk menghambat produksi hormon tiroid. Sedangkan untuk menghambat
pelepasan hormon tiriod yang sudah diproduksi, dapat diberikan larutan lugol (10
tetes setiap 6-8 jam) atau larutan kalium iodida jenuh (5 tetes tiap 6 jam).6 s
Beta blocker (propranolol) dapat diberikan per oral 20-40 mg setiap 6 jam atau
1-2 mg intravena untuk mengontrol gejala peningkatan aktivitas simpatis di perifer.
selain itu, propranololjuga dapat menghambat konversi 14 menjadi 13 di perifer.6,7
188 Penyakit Tiroid

Pemberian steroid, hidrokortison dengan dosis 100 mg tiap 8 jam atau


deksametason 2 mg tiap 6 jam bertujuan untuk mengatasi insufisiensi adrenal
relatif pada kondisi hipermetabolisme.6,T
Terapi suportif lainnya turut mendukung seperti pemberian nutrisi yang
adekuat, antipiretik, sedasi, mengoreksi kelainan elektrolit dan oksigenasi.
Pemberian salisilat dihindari karena berisiko meningkatkan free hormone di perifer
akibat menggeser ikatan free hormone dengan thyroid binding globulin (TBG).4 ?
Dengan terapi agresif, kondisi krisis tiroid diharapkan teratasi dalam 36-48
jam.'

c. EI'AIUASI PERIOPERATIF
Kejadian krisis tiroid juga masih dapat terjadi pada periode pasca operasi, kadang
dengan gejala yang tidak khas, seperti kenaikan suhu yang tinggi dan sulit
diterangkan penyebabnya. Pemantauan masih harus dilakukan pada periode
pasca operasi.3

RMENET

1 . Davies TF, Larsen PR. Thyrotoxicosis. ln: Larsen, Kronenberg, Melmed, Polonsky, eds. William
textbook of endocrinology. 101h ed. Philadelphia: WB.Saunders; 2003. p.374-421.
2. Farling, PA. Thyroid disease. Br J Anaesth. 2000;85:15-28.
3. Wertheim, W. Muluk, V. Thyroid disease. ln:Cohn SL, Smetana GW, Weed HG, eds. Perioperative
medicine, just the fact. lnternational edition. Singapore: Mc Graw Hill Co; lnc.; 2006. p.152-8.
4. Greenspan FS. The thyroid gland. ln: Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic and clinical
endocrinology. 7h ed. New York: Lange Medical Books/McGraw Hill Co; 2004. p. 215-94.
5. Cooper, DS. Treatment of thyrotoxicosis. ln: Braverman LE, Utiger RD, eds. Werner and lngbar's
the thyroid. Afundamental and clinical text. th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2005.
p. 665-94.
6. Weetman,AP. Graves' disease. N Engl J Med. 2000;343(17):1236-48.
7. Djokomoeljanto, R. Kelenjartirold, hipotiroidisme dan hipertiroidisme. ln:SudoyoAW, Setiyohadi
B, Alwi l, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
llmu Penyakit Dalam FKUI;2006. p. 1955-65.
8. Panzer C, Beazley R, Braverman L, Rapid preoperative preparation for severe hyperthyroid
graves' disease. J C n Endocri nol Metab. 2004;89:21 42-4.
I i

9. Pandey CK, Reza M, Dhiraaj S, AganivalA, Singh PK. Rapid preparation of severe uncontrolled
thyrotoxicosis due to graves'disease with lopanoic acid, a case repofi. Can J Anaesth. 2004;
51(1):38-40.
189

3.14 Tmmbosltopenla dan


Dlsfttrgsl Tromboslt
I
Ikhwan Rinaldi, Aru W.Sudoyo
I
I

operasi lazimnya merupakan tindakan yang menimbulkan perlukaan


lndakan
Ipada tubuh. setiap perlukaan pada tubuh menimbulkan perdarahan dan pasti
membutuhkan dan seharusnya menimbulkan reaksi tubuh untuk menghentikan
perdarahan dan memperbaiki perlukaan tersebut. Mekanisme tubuh untuk
menghentikan perdarahan dan memperbaiki perlukaan diawali oleh proses
penghentian perdarahan melalui sebuah mekanisme yang dikenal dengan I

mekanisme hemostasis. Tanpa mekanisme ini perlukaan yang dibuat saat operasi I

dapat menimbulkan perdarahan yang tidak henti-hentinya dan dapat berakibat I


I
fatal bagi pasien.l
Hemostasis didefiniskan sebagai penghentian aliran darah dari atau di dalam
pembuluh darah sebagai mekanisme tubuh untuk menghentikan perdarahan
spontan.1,2,3 Mekanisme ini melibatkan proses:1,2,3 I
1. lnteraksi pembuluh darah dan struktur pendukungnya I

2. Trombosit yang bersirkulasi dan interaksinya dengan pembuluh darah yang


I
rusak
3. Pembentukan fibrin oleh sistem koagulasi
4. Regulasi ekstensi bekuan darah oleh faktor-faktor inhibitor dan sistem
fibrinolisis
5. Remodeling dan perbaikan kembali lokasi perlukaan setelah perdarahan
berhenti.

Singkatnya, mekanisme hemostasis dibagi menjadi hemostasis primel he-


mostasis sekunder dan fibrinolisis. Pada hemostasis primer, trombosit memegang
peranan kunci melalui proses adhesi dan agregasinya.2'3 Oleh karena itu,
penurunan jumlah trombosit pada jumlah tertentu (trombositopenia) atau
190 Trombositopenia dan Disfungsi Trombosit

terganggunya fungsi trombosit (disfungsi trombosit) juga akan mempengaruhi


proses hemostasis secara keseluruhan. Secara klinis, trombositopenia dapat
bermanifestasi sebagai perdarahan gusi, menoragi, ptekiae, epistaksis, perdarahan
saluran cerna bagian atas, dan perdarahan bullae mukosa.l
Trombosit dibentuk di sumsum tulang. Untuk membentuk trombosit yang
matang dibutuhkan waktu 4-5 hari. Di dalam sirkulasi darah umur trombosit berkisar
7-10 hari. Selain bersirkulasi di pembuluh darah, sebagian trombosit dipooling di
limpa. 1 Dengan demikian mudah dimengerti bila trombositopenia bisa terjadi bila
terjadi defisiensi produksi, akselerasi destruksi, atau abnormalitas pooling. Hal
lain yang dapat menimbulkan trombositopenia adalah teknis pemeriksaan.l,s
Apapun penyebabnya, trombositopenia harus ditatalaksana lebih dulu hingga
mencapai jumlah trombosit yang cukup untuk melakukan peran dalam hemosta-
sis primer. Kecukupan jumlah trombosit ini amat tergantung pada jenis operasi
atau mayor atau minornya sebuah tindakan operasi.5 Anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan hemostasis tertentu sesuai indikasi (termasuk hitung
trombosit) memegang peranan penting dalam penanganan pasien perioperatif. 6

HEMOSTASISPRIMER

Hemostasis primer merupakan proses yang melibatkan dinding pembuluh darah


dan trombosit serta interaksi keduanya. Dinding pembuluh darah yang intak
merupakan kondisi yang baik untuk mempertahankan aliran darah di dalamnya.
Karena ketika terjadi kerusakan maka akan terpaparlah bagian-bagian dinding
pembuluh darah yang segera mengaktifkan trombosit dan sistem koagulasi. Adapun
dinding pembuluh darah itu membentuk lapisan-lapisan dari dalam keluar yakni
endotel dan subendotel (tunika intima), tunika media dan tunika adventisia.
Subendotel mengandung beberapa protein adesif seperti kolagen, mikfofibril,
laminin, trombospondin, fibronektin, elastin, veitronektin dan faktor von Willebrand
merupakan tempat terikatnya trombosit dan leukosit ketika pembuluh darah
mengalami kerusakan. 1 Trombosit memiliki reseptor adhesi di membran
permukaannya yang disebut integrin. lntegrin mengandung subunit heterodimerik
transmembran a dan b yang bertanggung jawab untuk interaksi adhesi dan jalur
tranduksi signal. Reseptor adhesi trombosit yang paling banyak adalah integrin
apbb3 atau glikoprotein (GP)llb/llla. lntegrin ini adalah reseptor untuk ligand fi-
brinogen, fibronektin, vitronektin, faktor von Willebrand (vWF), dan trombospondin,
serta memperantarai adhesi, spreading dan agregasi trombosit. Reseptor adhesif
lainnya adalah kompleks GPIP-V-IX, integrin u2b1 dan GP Vl dengan ligandnya
masing-masing vWF, kolagen dan kolagen.l'7 Disamping itu, trombosit juga memiliki
reseptor terhadap agonis terlarut seperti trombin, ADP, epinefrin dan tromboksan
Ikhwan Rinaldi, Aru W Sudoyo 191

A2. Reseptor tersebut adalah PARI dan PAR2, purinoreseptor, p2yl dan p2x1,
reseptor a-adrenergik, dan reseptor TP. Ketika terpapar dengan agoni terlarut dan
protein adhesif maka afinitas dan aviditas trombosit dengan ligandnya meningkat
dengan cepat.1,7
Proses hemostasis primer diawali dengan terpaparnya jaringan subendotel
ketika terjadi trauma atau kerusakan pembuluh darah. saat itu pulalah terjadi
kontak pertama antara trombosit di sirkulasi dengan lesi di dinding pembuluh
darah yang dikuatkan oleh adanya interaksi antara reseptor untuk vwp (Gplb-v-
lX) dan vWF (fase kontak). lnteraksi ini selanjutnya distabilkan oleh interaksi
antara keluarga reseptor integrin dengan reseptor adhesi membran (kolagen,
laminin, dan fibronektin). 1'7 I

lkatan antara reseptor kolagen trombosit dengan ligandnya akan {

mengaktifkan dan mengubah bentuk trombosit yang melekat (fase aktivasi). I

Pseudopodi yang dibentuk akan mengefektifkan penutupan lesi dinding pembuluh


darah melalui proses penyebaran trombosit ke seluruh jaringan subendotel yang
terpapar. Kemudian trombosit akan melepaskan isi granulanya; granula a
melepaskan fibrinogem vWF, trombospondin, faktor V, vitronektin, dan protein
lainnya; badan dense melepaskan ADP, ATP, serotonin dan kalsium. pelepasan
komponen-komponen ini dari trombosit merupakan tenaga bagi trombosit untuk
menstimulasi dan merekrut trombosit di sirkulasi dan menginduksinya untuk
beragregasi dengan trombosit yang sudah melekat di subendotel. lnteraksi ini
terjadi melalui reseptor GPllb-llla yang teraktivasi.l,T
ADP dan (tromboksan A2) TxA2 berikatan dengan reseptor teraktivasi dan
menginduksi aktivasi dan perubahan bentuk trombosit melaluijalur tranduksi sinyal.
Agregasi trombosit terjadi dalam dua fase yakni agregasi primer dan sekunder.
Pada agregasi primer terjadi ikatan lemah antar trombosit melalui jembatan fi-
brinogen yang bersifat reversibel. Agregasi sekunder dimulai ketika tombosit telah I

melepaskan komponen granulanya. Untuk terjadinya agregasi yang normal I

dibutuhkan tiga komponen: shear forces, ion kalsium dan fibrinogen. Kalsium
I
dan fibrinogen tersimpan di dalam granula trombosit dalam konsentrasi tinggi dan
dilepaskan di sekitar pertumbuhan agregat trombosit pada waktu agregasi.
Fibrinogen berikatan dengan trombosit melalui reseptor GP llb-llla dan ikatan ini
sangat tergantung ion kalsium.l'7
Ketika terjadi aktivasi trombosit, fosfolipid yang bermuatan negatif (fosfatidit
serin/PS dan fosfatidiletanolamin) yang diaktivasi oleh kalsium mengalami
translokasi ke permukaan terluar membran plasma. Di samping itu terjadi pula
mikrovesikulasi membran yang meningkatkan ekspresi PS ke permukaan yang
bekerja sebagai permukaan pengikat untuk faktor va dan Xa yang berkonjugnsi
dengan ion kalsium dalam kompleks protrombinase.l'7
L92 Trombositopenia dan Disfungsi Trombosit

TROMBO6ITOPENIAVS DISR'NGSI TROMBOsTT

Dalam peran sebagai hemostasis primer dalam mekanisme hemostasis, ada dua
variabel trombosit yang turut menentukan yaitu jumlah trombosit dan fungsi
trombosit. Secara teknis, jumlah trombosit yang normal berkisar 150.000-400.000/
ul.5'8 Jika jumlah hitung trombosit berada di bawah nilai kisaran normal tersebut
maka dikatakan sebagai trombositopenia. Meski demikian umumnya manifestasi
perdarahan jarang muncul pada saat jumlah trombosit lebih dari 50.000/ul. Bahkan
perdarahan spontan jarang terjadi ketika jumlah trombosit kurang dari 10.000-
20.000/ul. Manifestasi perdarahan pada trombositopenia dapat berupa ptekiae,
perdarahan gusi, menoragia, epistaksis, atau perdarahan gastrointestinal.5,e
Disamping jumlah trombosit, adanya trombosit tua pada sirkulasi darah juga turut
menentukan muncul tidaknya manifestasi perdarahan. Pada kelainan produksi
trombosit misalnya pada leukemia atau kegagalan sumsum tulang, risiko
perdarahan pada trombositopenia lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelainan
destruksi trombosit.s,e Hal ini terjadi karena pertukaran trombosit tua dengan muda
berjalan begitu cepat sehingga akan lebih banyak trombosit muda dibandingkan
yang tua di sirkulasi.5,s
Penghitungan jumlah trombosit yang akurat amat krusial dalam pengambilan
keputusan tatalaksana trombositopenia perioperatif. Beberapa literatur mematok
harga 50.000/ul trombosit sebagai ambang batas kecukupan trombosit untuk
tindakan operasi. Dewasa ini, penghitungan trombosit dengan mesin
memungkinkan terjadinya kesalahan hitung. Kesalahan hitung yang mengakibatkan
artifaktualtrombositopenia, pseudotrombositopenia, perlu dipikirkan karena adanya
clumping yang dicetuskan oleh EDTA atau satelitisme (melekatnya trombosit
pada membran netrofil karena adanya antibodi lgG atau lgM trombosit. Oleh karena
itu, jika ada keragu-raguan, penghitungan mesin harus dikonfirmasi dengan
penghitungan manual hapusan darah tepi.s
Fungsi trombosit juga mempengaruhi perdarahan. Meski jumlah trombosit
lebih dari 50.000/ul, tak jarang terjadi juga perdarahan karena adanya gangguan
fungsi trombosit. Disfungsi trombosit dapat terjadi karena diinduksi obat; uremia;
penyakit hati; sforage pool deficiency platelets; trombosit teraktivasi oleh penyakit
jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer, strok; protein abnormal dan
antibodi (lgG, lgM) pada penyakit autoimun (lTP, SLE, kelainan jaringan ikat),
mieloma multipel, disproteinemia, disfungsi didapat dengan eosinofilia; kelainan
hematologik seperti penyakit mieloproliferatif/sindrom mielodisplasia, leukemia,
thalasemia; lnfeksi mononukleosis, HIV septikemia; DIC; defisiensi vitamin 812,
E, Zn, agamaglobulinemia, penyakit simpanan glikogen,3, 5,10
Penilaian fungsi trombosit dilakukan dengan cara memeriksa masa
perdarahan/Bleeding Time (Bf). Cara lvy yang dimodifikasi merupakan cara yang
paling luas digunakan. Dengan teknik ini nilai batas atas normal BT 9 menit.
Ikhwan Rinaldi, Aru W Sudoyo 193

Umumnya BT akan abnormal pada tiga keadaan yakni : 1. trombositopenia kurang


dari 100.000/ul, 2. beberapa jenis disfungsi trombosit, 3. abnormalitas pembuluh
darah (amiloidosis). Pada fungsi trombosit yang normal dan jumlah trombosit
10.000 *'100.000/ul, nilai BT bervariasi linear. Pada trombositopenia karena
akselerasi destruksi, nilai BT lebih pendek dibandingkan perkiraannya karena isi
fosfolipid yang lebih muda dan trombosit yang lebih besar. Sedangkan pada
trombositopenia karena defisiensi produksi terjadi gangguan maturasi megakariosit
dan trombosit, maka BT lebih panjang dari nilai prediksinya. BT saat ini
pemeriksaan agregasi trombosit dan atau uji fungsi vWF bisa dikerjakan untuk
mendapatkan data yang lebih rinci dan spesifik meski pemeriksaan ini lebih
mahal.5,8,11

Berbagai obat dapat mencetuskan pemanjangan BT (tabel 1). Aspirin


merupakan obat tersering digunakan yang berperan pada pemanjangan BT pasien-
pasien yang akan menjalani operasi. Efek pemanjangan BT pada pasien normal
terjadi jika dikonsupsi paling sedikit dengan dosis 1-2 mg/kg berat badan,2 jam
setelah dikonsumsi, dan hilang setelah 2-4 hari, atau sampai 10 hari dengan
pemeriksaan agregasi trombosit. Antibiotik beta laktam dapat memberi pengaruh
maksimal pada BT dan agregasi trombosit jika dosisnya dibiarkan tinggi dan
menetap sampai dengan 48 jam dan akan berakhlr setelah 7-10 hari.lo

Mekanisme
'
Asam.asetlsalisilat {A*pirin} {nhibitsr siklool$igena$e Femanjangan,BT,
perdarahan
Antiinfl amasi nonsieroid {l bupro-fen, lnhibisi sintesis Pemanjangan BT,
lndometasin, naproksen, proslAglandin perdarahan yang jarang
diklotunak)
I
lnhibitor llFllla llamtmt reseptor Pemanjangan BT,
(Abciximab, integrin, tincfi ban) fibrinogen perdarahan I

Antlbib'tika beta laldam {penisillin Mengikat membran Pemanjangan BT,


i Q, ampicilin'-cartrenicilin; tika*ilin, irombdsil perubahafl perdamhan' I
sefalosporin) reseptwago*is,
Obat kardiovaskular : verapamil, Hambat saluran kalgium, Penurunan agregasi deqgan
kuinidin, nifedipin antagonis resoptor epineferin, pemanjangan BT
adieneqgik,
Pskotropika : amiltriptilin, Penurulen.tagrggasi, .
nortriptilin, imipramin trornnosit, aenta' Abp, tidak
ada perdarahan
Hemostatik : antltrombotik ( EACA, lrden€ikatrmembran, Perdarahan, peningkatan BT
tiklopidin, dekstran) pgn0runanr,fungli,
rqieptorrGP |lbrllle
Obat lain : halotan, propanolol, Peningkatan BT
nitrogliserin, kuinidin, etanol.
Natrium valproat.

Penggunaan obat-obat yang dapat mempengaruhi fungsi trombosit itu harus


dihentikan paling sedikit 7-10 hari sebelum pemeriksaan.
L94 Trombositopenia dan Disfungsi Trombosit

KI.ASIFIIGSI TROMBOSITOPENIA

Berdasarkan patofisiologinya, trombositopenia dapat diklasifikasikan menjadi a,e :

1. Trombositopenia artifaktual; disebut juga pseudotrombositopenia.


Disebabkan oleh trombosit yang mengalami clumping, satelitisme, dan
trombosit raksasa
2. Penurunan produksi trombosit yang disebabkan oleh hipoplasi
megakariosit, trombopoeisis yang tidak efektif, kelainan kendali
trombopoeisis, dan trombositopenia herediter
3. Peningkatan destruksi trombosit yang disebabkan oleh kelainan
imunologik dan non imunologik. Kelainan imunologik dikelompokkan menjadi
kelainan autoimun dan alloimun. Kelainan autoimun dapat terjadi pada ITP
(ldiopatic Thrombocytopenic Purpura), sekunder karena infeksi , kehamilan,
kelainan vaskular kolagen, kelainan limfoproliferatif, obat-obatan dan lain-
lain. Kelainan aloimun dapat terjadi pada trombositopenia neonatal dan pur-
pura pasca transfusi. Kelainan non imunologik disebabkan trombosis
mikroangiopati (DlC, Th rombotic Th rombocytopenia Purpura, Hemolytic
Uremic Syndrome), kerusakan trombosit oleh permukaan vaskular yang ab-
normal, dan lai-lain (infeksi dan transfusi darah masif).
4. Distribusi atau pooling trombosit yang abnormal, dapat terjadi pada
kelainan limpa (neoplastik, kongestif, infiltrat, infeksi, penyebab yang tidak
diketahui), hipotermia, dan dilusi trombosit pada transfusi darah masif.
Secara umum, penatalaksanaan trombositopenia didasarkan atas penyakit
yang mendasarinya.e

EVATUASI PERIOPERAEF I(ASUS TROMBOSITOPENIA

Seperti telah dijelaskan pada uraian di atas, trombosit memiliki peran yang besar
pada proses hemostasis primer. Peran trombosit ini tidak hanya tergantung pada
jumlahnya tetapi juga pada fungsinya. Meskipun pada kebanyakan kasus, jumlah
trombosit berjalan linear dengan fungsinya, namun pada kasus-kasus tertentu
keduanya tidak berjalan linear.4'7,e Oleh karena itu perlu evaluasi yang seksama
sebagai dasar pengambilan keputusan pemberian transfusi trombosit dengan tidak
hanya terpaku pada hasil pemeriksaan laboratorium melainkan juga berpegang
pada anamnesis (riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat penyakit penyerta)
dan pemeriksaan fisik yang teliti.13-16 Hal ini dilakukan untuk mendapatkan adanya
kemungkinan faktor-faktor risiko perdarahanl3 :
1. Adanya dan beratnya sindrom perdarahan spontan atau perdarahan yang
diakibatkan oleh trauma ringan,
2. Riwayat perdarahan atau transfusi pada operasi minor atau prosedur invasif
sebelumnya,
Ikhwan Rinaldi, Aru W Sudoyo 195

3. Adanya abnormalitas hemostasis yang berhubungan dengan


trombositopenia, terutama pada kasus koagulasi intravaskular diseminata,
4. Hal-hal yang dapat mencetuskan perubahan fungsi trombosit, seperti obat*
obatan penyakit hematologi (gamopati monoklonal, mielodisplasia), penyakit
ginjal dan liver, hipotermia, anemia, splenomegali, syok persisten, infeksi,
dan hipertensi.
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan untuk evaluasi risiko perdarahan
perioperatif tergantung pada ada tidaknya riwayat perdarahan sebelumnya dan
jenis prosedur (mayor/minor) yang mencakup hitung trombosit (jika tidak ada
riwayat perdarahan dan prosedurnya mayor), dan masa protrombin/prothrombin
time (PT) atau international normalized rafio (lNR), activated partial I

thromboplastin time (aPTT), euglobulin clot lysis time (1ika riwayat perdarahan I
I
meragukan dan prosedurnya mayor, melibatkan gangguan hemostasis). Jika ada
riwayat perdarahan dan prosedurnya mayor atau minor dilakukan pemeriksaan
seperti pada perdarahan yang samar-samar dan jika hasilnya negatif dilanjutkan
dengan pemeriksaan faktor VIll, lX, dan Xl, thrombin time, antiplasmin,
pertimbangkan penyakit vWF, dan pemeriksaan agregasitrombosit, pertimbangkan
juga tes khusus untuk abnormalitas fibrinolisis.6,ls Bleeding time tidak terbukti
berguna memprediksi perdarahan perioperatif kecuali pada pasien yang diketahui
mempunyai kelainan trombosit dimana pemberian desmopresin atau fresh frozen
plasma (FFP) dipertimbangkan. 1a

TATALIIGANA PE RIOPE RAIIF KASUS TROM BOSTTOPE NIA


Kebutuhan transfusi trombosit sebelum tindakan invasif atau operasi ditentukan
oleh:4
1. Penyebab trombositopenia I

2. Derajattrombositopenia I

3. Penyakit penyerta I
4. Fungsi trombosit
5. Jenis operasi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, fungsi trombosit dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Penyebab umum disfungsi trombosit adalah obat-obatan. Aspirin
mempengaruhi fungsi trombosit selama masa hidup efektifnya (7-10 hari).
Antiinflamasi non steroid hanya menghambat jalur siklooksigenase trombosit untuk
sementara waktu dan fungsi trombosit kembali normal setelah obat tereliminasi
dari tubuh. Obat analgetik seperti kodein, opiat, propoksifen dan asetaminofen
tidak mempengaruhi fungsi trombosit 4'6,11,14
Di samping obat, insufisiensi ginjal dan hati lanjut juga mempengaruhi fungsi
trombosit. sehingga untuk memperbbiki BT perlu diberikan transfusi trombosit.4,6,i1,i4
196 Trombositopenia dan Disfungsi Trombosit

Prosedur invasif seperti biopsi hati, punksi lumbal, biopsi endoskopi


transbronkial, endoskopi gastrointestinal dengan biopsi, pemasangan kateter, dan
lain-lain) pada pasien dengan trombositopenia, direkomendasikan untuk
mendapatkan transfusi trombosit untuk mencapai trombosit hitung > 50.000/ul.
Sebelum prosedur dikerjakan, trombosit hitung harus dikerjakan setelah transfusi.
Pada operasi, tanpa memperhitungkan jenis operasinya, jika tidak ada
disfungsi trombosit, maka tidak ada risiko perdarahan yang berhubungan dengan
trombositopenia pada hitung trombosit > 50.000/ul. Risiko perdarahan rendah
jika hitung trombosit antara 50.000 - 100.000/ul. Oleh karena itu ambang standar
untuk risiko operasi adalah 50.000/ul termasuk pada operasi jqntung dengan by-
pass kardiopulmonal.
Tidak ada bukti bahwa ambang risiko berbeda menurut jenis operasi. Namun
demikian, untuk bedah saraf dan operasi mata yang melibatkan segmen poste-
rior mata dibutuhkan hitung trombosit > 100.000/ul.
Untuk anestesi regional: hitung trombosit > 50.000/ul cukup untuk anestesi
spinal, hitung trombosit > 80.000/ul cukup untuk anestesi epidural, tetapi risiko
perdarahan harus diperhitungkan terutama di lokasi yang sebelumnya.
Pada kasus transfusi masif, transfusi trombosit berguna pada operasi jantung
dan operasi hati mayor (transplantasi hati dan portocaval shunt). Pada operasi
jantung, transfusi trombosit terapeutik dibenarkan jika hitung trombosit < 5O.OOO/
ul. Transfusi trombosit dibenarkan pada perdarahan minoryang berhubungan dengan
trombosit hitung < 100.000/ul. Sedangkan pada transplantasi hati transfusi
trombosit terapeutik dibenarkan jika trombosit hitung < 50.000/ul.
Pada kelainan obstetrik, tidak ada indikasi transfusi trombosit pada kasus
trombositopenia gestasional, pada kehamilan lanjut (dikenal juga sebagai ITP).
Sedangkan pada trombositopenia yang berhubungan dengan sindrom hemolisis,
peningkatan enzim hati, trombositopenia (HELLP) atau preeklampsia, transfusi
trombosit direkomendasi segera sebelum operasi seksio sesaria untuk trombosit
hitung yang kurang dari 50.000/ul dan segera sebelum persalinan pervaginam
untuk hitung trombosit < 30.000/ul.
Transfusi trombosit tidak diindikasikan pada autoimmune th rombocytopenic
purpura karena trombosit yang ditransfusikan akan dihancurkan dengan cepat
kecuali pada keadaan perdarahan darurat yang mengancam nyawa. Pada kasus
ini diindikasikan pemberian imunoglobulin intravena dan kortikosteroid dosis tinggi.

1. Goodnight SH. Mechanisms of hemostasis and thrombosis. Disorders of hemostasis and


thrombosis a clinical guide. 2nd eds. New York: Mc Graw-Hill Co; 2001 . p. 3-1 9.
2. GawazM. Physiologyof hemostasis. Blood platelets. Physiology, pathophysiology. Membrane
receptors, antiplatelet principles, and therapy for atherothrombotic diseases. Thieme, Stutgard,
2001. p.1-3.
Ikhwan Rinaldi, Aru W Sudoyo 197

3. Oesman F, Setiabudy R. Fisiologi hemostasis dan fibrinolisis. ln: Setiabudy H, eds. Hemostasis
dan trombosis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia; 1 992. p. 3-10.
4. Levine SP. Thrombocytopenia: Pathophysiology and classification. ln: Greer JP, Foerster J,
Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, eds, 11m eds. Philadelphia: Wintrobe's
Clinical Hematology/Lippincot Wlliam & Wilkins; 2004. p. 1 534-64.
5. Mazur E. Platelets. ln: Schiffman FJ. Hematologic pathophysiology. Philadelphia: Lippincotl
Raven. Philadelphia.l 998. p. 121 -60.
6. Rodger GM. Diagnostic approach of bleeding disorders. ln: Greer JP, Foerster J, Luke-ns JN,
Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, eds. 11rh Eds. Philadelphia: Wintrobe's Clinical
Hematology/Lippincot Wlliam & Wilkins; 2004. p, 1511-25.
7. Gawaz M. Platelets and primary hemostasis. Blood platelets. Physiology, pathophysiology.
Membrane receptors, antiplatelet principles, and therapy for atherothrombotic diseases. Thieme.
Stutgard. 2001. p. 5-24.
8. Goodnight SH. Screening tests of hemostasis. Disorders of hemostasis and thrombosis a clinical
guide. 2nd eds. New York: Mc Graw-Hill Companies; 2001. p. 41-51.
9. Goodnight SH. Thrombocytopenias. Disorders of hemostasis and thrombosis a clinical guide. 2nd
eds. New York Mc Graw-Hill Co; 2001. p.76-87.
10. Goodnight SH. Acquired platelet disorders. Disorders of hemostasis and thrombosis a clinical
guide. 2'd eds. New York: Mc Graw-Hill Co; 200'1. p. 108-14.
11, Gawaz M. Diagnosis of function, Blood platelets. Physiology, pathophysiology. Membrane
receptors, antiplatelet principles, and therapy for atherothrombotic diseases. Thieme. Stutgard.
2001. p.42-56.
12. Levine SP. Thrombocytopenia caused by immunologic platelet destruction. Greer JP, Foerster J,
Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, eds. 11n Eds. Philadephia: Wintrobe's
Clinical Hematology/Lippincot Wlliam and Wilkins; 2004. p. 1512-25.
13. Samama CM, Djoudi R, Lecompte I
Denizot NN, Schved JF. Perioperative platelet transfusion:
recommendations of the agence francaise de securite sanitaire des produits de sante (AFSSaPS)
2003. Can J Anesth. 2005;52(1 ):30-7.
14. lrvingGA.Perioperativebloodandbloodcomponenttherapy.CanJAnesth,l992;39(10):1105-15
15. American Society of Anaethesiologist Task Force on perioperative blood transfusion and
adjuvant therapies. Practice guidelines for perioperative and adjuvant therapies.
16. BombeliT, Spahn DR. Updates in perioperative coagulation: physiology and management of
thromboembolism and haemorrhage. Br J Anaeshth. 2004:93;275-87 .
198

3.15 Penggunaan Antlf,oagulan llronlf,


Abdulmuthalib, Andhika Rachman

dengan bertambahnya pemakaian preparat antivitamin K, sejak publikasi


Qeiring
lfpertama pada tahun 1986, klinisi dihadapkan pada kasus-kasus yang
memerlukan pengambilan keputusan penggunaan preparat anti vitamin K sebelum,
saat dan segera setelah prosedur invasif. Tata laksana perioperatif pengguna anti
koagulan bukan merupakan hal yang mudah. Pemberian obat oral harus dihentikan
untuk mencegah terjadinya perdarahan masif. Subtitusi dengan antikoagulan
intravena seperti heparin intravena atau low molecular weight heparin (LMWH)
dapat menurunkan risiko tromboemboli. Di sisi lain dapat pula menyebabkan
perdarahan pasca operasi dan pelaksanaannya harus dilakukan di rumah sakit.l'2
Kongres American College of Chest Physician (ACCP) Vll pada September
2004, telah merumuskan beberapa rekomendasi yang di antaranya mengenai
tata laksana perioperatif antikoagulan. Klasifikasi rekomendasi dilakukan
3, a
berdasarkan stratifikasi risiko terjadinya tromboemboli.

PASIEN DENGAN RISIKO RENDAH UNTUKTER]ADINYATROMBOEMBOII 3,4

Pemberian warfarin dihentikan 4 hari sebelum prosedur operasi. Nilai INR dibiarkan
kembali normal. Pemberian anti koagulan dapat dilanjutkan ke dosis harian,
setelah prosedur selesai tanpa harus mengganti anti koagulan oral ke anti koagulan
suntik. Strategi ini dapat dilakukan bila prosesur operasi berisiko tinggi untuk
terjadinya perdarahan. Pasien segera diberikan antikoagulan profilaksis dengan
unnfractionated heparin dosis rendah, 5000 unit subkutan atau LMWH dosis
profilaksis dan dapat dilanjutkan dengan pemberian warfarin, jika prosedur operasi
berisiko menyebabkan terjadinya trombosis.
Abdulmuthalib, Andhika Rachman 199

Tinggi Menengah
Katup Lokalisasi Mitral Katup aorta dan Katup aorta dan <
pro$tetik Katup aorta tunggal 12 faktor risiko 2 faktor risiko
Dua prostetik katup tromboemboli tromboemboli
jantung Bileaflet titling disc
type (misaf : St.
Jude, Carbomedic)
Tipe Katup genera$i
pertama : katup sarang
bola (misal Starr-
Edwards)
Sin gl e-leaf I et titli ng
dlsc fype (misal :
Bjork-Shiley,
Medtronic-Hall)
Fibrilasi Airial Riwayat $trok atau TIA > 2 faktor risiko lone AF; ? 65
(AF) kronik baru tromboemboli tahun dan < 2
Penyakit jantung faktor risiko
rheuma tromboemboli
Tromboembotl Episode Tromboemboli Eprsode
Vena vena <1 bulan tromboemboli
Kanker vena ? 6 bulan
Anti bodi antifosfolipid Tromboemboli
Penyakit paru atau rekurens dengan
jantung kronik warfarin
sebelumnya
.Faktor risiko tromboemboli seperti fibrilasi atrial, dilatasi atrial, disfungsi ventrikel,
kardiomiopati, riwayat TIA atau strok, hipertensi, diabetes mellitus, usia > 75 tahun

PASIEN DENGAN RISIKO MENENGAH UNruKTER'ADINYATROMBOEMBOU

Pemberian warfarin dihentikan 4 hari sebelum prosedur. Nilai INR dibiarkan


mencapai titik terendah. Dua hari sebelum operasi, dilakukan pemberian heparin
unfractionated 5000 unit subkutan atau LMWH dosis profilaksis. pemberian hep-
arin dihentikan 6 jam sebelum operasi dan dilanjutkan kembali pasca operasi
diikuti pemberian warfarin secara bersamaan.

PASIEN DENGAN RISIKO TINGGI UNru K TERIADIiIIYA TROM BOSIS

Kelompok pasien dengan kecenderungan terjadinya trombosis, perlu dilakukan


pemberian heparin (unfractionated atau low molecular weight heparin). Pemberian
warfarin dihentikan 4-5 hari sebelum prosedur dilanjutkan pemberian heparin jika
hasil INR berada pada nilai terapeutik sesuai indikasi penggunaan . Unfractionated
heparin harus dihentikan 3-4 jam sebelum prosedur, sedangkan LMWH dihentikan
di pagi hari sebelum prosedur dilakukan, jika diberikan 1 kali perhari dan dihentikan
12 jam sebelum operasi jika diberikan 2 kali per hari.
200 Pengguna Antikoagulan Kronik

Untuk pasien dengan risiko rendah terjadinya perdarahan, warfarin harus


segera dimulai setelah operasi, selesai, overlapping dengan pemberian heparin,
sampai nilai INR kembali pada nilai terapeutik. Untuk pasien dengan
kecenderungan terjadinya perdarahan, prosedur yang sama dapat dilakukan bila
pemeriksaan hemostasis baik.
Tata laksana perioperatif diatas diberikan pada atrial fibrilasi dengan faktor
risiko multipel, yaitu riwayat strok, riwayat tromboemboli vena yang sedang dalam
pemberian antikoagulan sekurang-kurangnya 3 bulan atau pasien dengan riwayat
tromboemboli vena namun memiliki risiko tinggi untuk berulang, pasien dengan
regurgitasi mitral yang berisiko terjadinya tromboemboli.
Pasien dengan tromboemboli vena yang terjadi beberapa minggu sebelum
prosedur dilakukan, risiko kekambuhan cukup tinggi dan penggunaan filter vena
cava diindikasikan, terutama jika prosedur yang akan dikerjakan berisiko tinggi
untuk terjadinya perdarahan. Filter vena cava inferior memberikan proteksi pada
terjadinya emboli paru dan trombosis vena dalam tungkai. Dalam jangka panjang,
alat tersebut meningkatkan risiko terjadinya trombosis vena dalam berulang dan
komplikasi trombus di tungkai bawah. Pasien dengan risiko tinggi mendapatkan
antikoagulan setelah dirasa aman.
Stratifikasi faktor risiko trombosis berdasarkan penggunaan antikoagulan
oral menurut 7th ACCP berbeda dengan tabel diatas. Menurut 7th ACCP yang
berisiko rendah adalah mereka yang dengan tidak adanya tromboembolivena
baru ( > 3 bulan), atrial fibrilasi tanpa strok atau TIA atau faktor risiko lain, prostetik
katup jantung dengan dua daun pada aorta, sedangkan yang berisiko tinggi adalah
mereka yang mengalami kejadian tromboembolivena baru (< 3 bulan), katup
jantung mitral mekanik dan model katup lama (bola/sarang)

PASIEN PENGGUNAANTIKOAGUI.AN DENGAN OPERASI DARURAT

Terapi menghilangkan efek antikoagulan oral


Vitamin K
':?i*SSl'tQsilr,trav.$F F:

,:,L;@#- '-- a .?l*;,r'l**tti


.1..,r..]:t,...., :r.r,..:r,r,,,.,...-... -,,r.,..,,-., .. ., .. ..

:$&?,if a$:!ii{tdrtq}a,
Abdulmuthalib, Andhika Rachman 2Ol

PASIEN PENGGUNAANTI KOAGUI.AN DENGAN RIWAYAT PERDARAHAN


PASCAOPERASI

Perlu dilakukan tindakan khusus untuk pengguna antikoagulan dengan riwayat


perdarahan pasca operasi. Pemberian vitamin K atau plasma beku segar
(FFP=fresh frozen plasma) dengan cepat dapat menghilangkan pengaruh
heparin. Pengaruh heparin unfractionated akan berkurang dalam waktu 4 jam
setelah penghentian. Dan bila diperlukan, dapat dipercepat dengan pemberian
injeksi protamine. Heparin LMW tidak dapat sepenuhnya dihilangkan pengaruhnya
dengan pemberian protamine. Sehingga pada pasien risiko perdarah yang sangat
tinggi, heparin unfractionated merupakan pilihan yang paling tepat untuk terapi
pengganti, karena pengaruh heparin unfractionated lebih mudah dihilangkan !

daripada heparin LMW. I

RME\EI
1 . Dunn AS. Periop-erative management of oral anticoagulation: when and how to bridge. J Thromb
Thrombolysis 2006;21 (1 ):85-9.

2. Dunn A$.Turpie AG,. Perioperative Managemgnt for Patient Beceiving OralAnticoagulant, A


systematic Revier,y. Arch lntern Med 2003;163:901-8.
3, AnsellJ, Hirsh J, Poller L, Buqgey!, JacobsonA,tlylek E. The Pharmacologyand Management
olthe Vitamln KAntagonists:The Seventh ACCP Conference onAntithrombotic and Thronibolytic
Therapy. Chest 2004;1 26:204-33.
4. Hirsh J,OralAnticoagulants (Vitamin KAntagonists). ln: Hirsh J, editor. Guidelines forAntithrombotic
Therapy.5ih ed. London: BC Decker Inc;2005. p.7-14.
5. MannucciC, Douketis JD. The management of patients who require temporary reversa of vitamin
K antagonistsfor surgery: a practical guide for clinicians.(lntern Emerg MeO 2OO0; 1 (2): g6-1 04.
202

3.16 Eemolllla
Lugyanti Sukrisman, Karmel L. Tambunan

l-lemofilia adalah kelainan pembekuan darah yang disebabkan oleh defisiensi


I lt"nor pembekuan Vlll (Hemofilia A) atau faktor lX (Hemofilia B) atau faktor Xl
(Hemofilia C). Hemofilia A dan B diturunkan secara herediter melalui kromosom X
(X-linked recessive dlseases) sedangkan Hemofilia C diturunkan secara autoso-
mal dominan. Hemofilia A merupakan jenis yang terbanyak, meliputi 80-85% kasus
Hemofilia atau sekitar 1 dari 5.000 kelahiran bayi laki-laki, Hemofilia B terjadi
pada sekitar 1 dari 30.000 kelahiran bayi laki-laki, sedangkan Hemofilia C pada 1
dari 1.000.000 kelahiran pada populasi umum tetapiterjadi pada 1 dari 500 kelahiran
bayi Yahudi Ashkenazi.
Perdarahan merupakan gejala utama penderita Hemofilia, dengan lokasi
terbanyak pada sendi (hemartrosis) dan otot. Perdarahan juga dapat terjadi pada
gusi, epistaksis, pasca sirkumsisi atau ekstraksi gigi, hingga perdarahan berat
yang mengancam jiwa, bergantung pada derajat Hemofilia dan lokasi perdarahan
tersebut. Untuk mencegah dan mengatasi perdarahan ini, penderita Hemofilia
memerlukan terapi faktor pembekuan yaitu faktor (F) Vlll konsentrat atau
kriopresipitat pada Hemofilia A, plasma beku segar (fresh frozen plasma) alau
prothrombin complex concentrate (PCC) pada Hemofilia B atau C.
Mengingat perdarahan merupakan manifestasi utama penyakit ini, persiapan
yang cermat sebelum operasi harus dilakukan pada setiap penderita Hemofilia.
Faktor pembekuan yang diperlukan harus dihitung secara cermat hingga 10-14
hari pasca operasi karena risiko perdarahan yang dapat terjadi hingga periode
tersebut. Oleh karena itu, persiapan dan kerja sama yang baik merupakan syarat
yang harus dipenuhi sebelum operasi dilakukan pada penderita Hemofilih.
Lugyanti Sukrisman, karmel L Tabunan 2Og

PENII.AIAN PRAOPERASI

Dalam penilaian atau persiapan operasi, risiko perdarahan dapat diketahui saat
awal melalui anamnesis yang cermat mengenai riwayat perdarahan pasien, baik
spontan, pasca trauma atau tindakan. Jika terdapat riwayat bengkak berulang
pada sendi, perdarahan yang lama pasca sirkumsisi atau pencabutan gigi, harus
diwaspadai kemungkinan gangguan pembekuan darah pada pasien. Juga riwayat
penyakivperdarahan pada keluarga terdekat, jika ada, merupakan informasi yang
berharga. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari adanya tandatanda perdarahan
pada kulit, sendi atau mukosa, juga adanya kelainan lain yang dapat berhubungan
dengan gangguan hemostasis.
Pada pasien yang sudah diketahui menderita Hemofilia, persiapan pra operasi
memerlukan penilaian dan perencanaan yang baik, yang meliputi:
1. Derajat/beratnya Hemofilia yang diderita
2. Jenis operasi: mayor atau minor, elektif atau emergency.
3. Pemberian faktor pembekuan
4. Penyulit: inhibitor (anti) faktor pembekuan yang telah ada pada pasien tersebut,
perkiraan lama penyembuhan, dan lain-lain.
5. Terapi tambahan/tindakan lain yang diperlukan

Berdasarkan hal tersebut dapat dihitung perkiraan faktor pembekuan yang


diperlukan sejak sebelum hingga 10-14 hari pasca operasi, apakah memerlukan
faktor pembekuan konsentrat atau dapat diganti dengan produk plasma
(kriopresipitat, plasma beku segar/fresh frozen plasma) serta obat-obatan/tindakan
tambahan lain yang diperlukan.

1. Derajat hemofilia
Penderita Hemofilia yang akan menjalani operasi harus diketahui sebelumnya
apakah termasuk kategori Hemofilia ringan/sedang/berat. Hemofilia dikategorikan
ringan jika kadar .... 5-40o/o, sedang jika kadar 1-5%, dan berat jika kadarnya
<1%. Penting juga untuk mengetahui frekuensi pemberian faktor Vlll sebelumnya
serta riwayat perdarahan yang dialami untuk membantu memperkirakan beratnya
Hemofilia serta risiko perdarahan yang dihadapi. Jika operasi yang akan dijalani
termasuk operasi besar/mayor, penderita termasuk Hemofilia berat atau sedang
atau terdapat riwayat perdarahan dalam jumlah banyak pada operasi/trauma
sebelumnya, dan pemeriksaan kadar F.vlll tersedia, sebaiknya diperiksa kadar
F.Vlll sebelumnya.

2. Jenis operasi
operasi emergency mempunyai risiko terjadinya penyulit yang lebih besar
dibandingkan dengan operasi elektif. Pada penderita Hemofilia, jumlah faktor
pembekuan yang diperlukan dihitung sesuai dengan jenis operasi (lihat tabel)
2O4 Hemofilia

atau dapat dihitung menggunakan rumus. Perlu diketahui juga perkiraan lama
operasi tersebut karena pada operasi yang berlangsung lama kadang kala
diperlukan pemberian faktor pembekuan selama operasi berlangsung.

3, Pemberian falftor pembekuan


Terdapat beberapa panduan pemberian F.Vlll pada Hemofilia A atau F.lX pada
Hemofilia B, dan umumnya diperlukan faktor Vlll atau lX konsentrat, terutama
pada operasi mayor. Jika faktor pembekuan konsentrat tidak tersedia, pada
penderita Hemofilia ringan yang menjalani operasi minor, kriopresipitat atau
desmopresin asetat dapat merupakan alternatif pengganti F.Vlll, dan plasma beku
segar (FFP) sebagai pengganti F.lX, akan tetapi tentunya harus dinilai kasus per
kasus karena beberapa jenis operasi minor juga dapat mempunyai risiko
perdarahan yang cukup tinggi. Hal ini memerlukan penilaian yang baik. Jika operasi
bersifat elektif dan risiko perdarahan dinilai cukup tinggi, operasi sebaiknya ditunda
hingga faktor Vlll konsentrat tersedia atau penderita dirujuk ke RS/daerah lain di
mana F.Vlll konsentrat dapat diperoleh/tersedia.
Salah satu panduan pemberian faktor pembekuan pada Hemofilia A dan B
adalah sebagai berikut:

Menggunakan rumus:
F.Vlll yang diperlukan = (F.Vlll target - kadar F.Vlll sekarang) x Berat Badan
dengan target 100% pada operasi besar dan 50% pasca operasi, atau
menggunakan tabel sebagai berikut:

Hemofilia A Hemofilia B

Operasi Operasi Operasi Operasi


mayor minor mayor minor
Taryeli F.pembekuan,(%) 80rtO0 40-50 60-100 40:s0
D$sis,ar'/41, 4Q,50 2y,A 40*o 30.40
lli ataq,lx lkgBB)
tF:Vl
Dosis,pemeliharaan 20.30 20-30 2&.30 20;30
{F.Vlll:at*u lXlkgBB}
lnie*alrtiarn) .8-12r &12 12-24 12;24

Dikutip dari Brettlera, Nillson2 dan Hillmans

Sangat penting untuk mempersiapkan F.Vlll hingga (10)-14 hari pasca operasi.
Pada beberapa kasus terutama pada operasi minor dengan perdarahan yang tidak
banyak, pemberian F.Vlll setelah luka operasi sembuh primer dapat berupa
kriopresipitat, tergantung pada kondisi penderita dan penilaian tim dokter yang
merawat.
Lugyanti Sukrisman, karmel L Tabunan 205
_
Faktor Vlll diberikan (segera) sebelum operasi dan dilanjutkan setiap 8-12
jam tergantung jenis operasi, kondisi pasca operasi dan perdarahan yang terjadi
(lihat contoh tabel). Penghitungan F.Vlll ini bersifat individual/kasus per kasus
karena bergantung pada beratnya Hemofilia, jenis operasi yang dilakukan,
perdarahan serta penyulit pasca operasi. Panduan peri operatif ini pada prakteknya
dapat disesuaikan dengan kondisi pasien, jenis operasi, perdarahan dan kondisi
lain di setiap RS/daerah dengan tetap mengutamakan keselamatan pasien.

4. Penyulit
Pada penderita Hemofilia berat yang disertai pemberian F.Vlll yang cukup sering
atau riwayat perdarahan yang berulang-ulang, perlu dipikirkan adanya inhibitor I

F.Vlll. Jika fasilitas memungkinkan, kadar inhibitor ini harus diperiksa karena
I
umumnya dosis yang diperlukan lebih besar pada penderita yang mempunyai I
inhibitor.
Perlu dipikirkan juga kemungkinan penyulit lain pasca operasi seperti sep-
sis yang menyebabkan waktu paruh faktor pembekuan, termasuk F.Vlll, Iebih
pendek dan risiko perdarahan yang besar. Pada kasus-kasus dengan penyulit,
kerja sama yang baik antara dokter Bedah dan dokter spesialis Penyakit Dalam
sangat diperlukan, termasuk penilaian apakah pasien harus dikonsultasikan/dirujuk
ke RS/daerah lain yang lebih lengkap.

5. Terapi tambahan/tindakan lain yang diperlukan


Yang harus dipersiapkan juga adalah terapi tambahan atau tindakan lain sebelum
atau pasca operasi, seperti: 1) pemberian antifibrinolitik asam traneksamat 4x500
mg atau 3x1000 mg fiika tidak terdapat kontra indikasi) sebelum tindakan hingga
1

7-10 hari pasca operasi; 2) fisioterapi yang memerlukan pengaturan waktu


pemberian F.Vlll konsentraVkriopresipitat (diberikan sebelum dilakukan fisioterapi);
3) kompres dingin, dan lain-lain. Hal ini dapat terlaksana dengan baik jika terdapat I
kerja sama antara dokter Bedah, dokter Spesialis Penyakit Dalam serta dokter
Spesialis Rehabilitasi Medik / fisioterapis atau pihak lain yang terkait.
Dalam perencanaan peri operatif ini juga tidak boleh dilupakan prinsip umum
penanganan penderita Hemofilia, seperti:
1. Menghindari obat asetil salisilat, anti agregasi trombosit dan antikoagulan.
2. Menghindari penyuntikan obat secara intramuskular.
3. Mengatasi perdarahan sesegera mungkin dan memberikan faktor pembekuan
dengan cara yang tepat.

Prinsip umum ini tentunya harus dipahami oleh setiap dokter yang merawat,
termasuk dokter yang melakukan pembiusan (Spesialis Anestesi). Sedangkan
pemberian transfusi darah (packed red cell) atau obat-obat lain, sesuai dengan
indikasi klinis pada pasien.
2OG Hemofilia

XEIMruI.AN
1. Penilaian dan perencanaan peri operatif yang cermat dan kerja sama yang
baik antara dokter Bedah, dokter Spesialis Penyakit Dalam, dokter Spesialis
Rehabililtasi Medik atau dokter lain yang terkait harus dilakukan pada
penderita Hemofilia yang akan menjalani operasi, agar komplikasi perdarahan
dapat dihindari dan penyembuhan luka operasi dapat berlangsung dengan
baik.
2. Pemberian F.VIll/pembekuan pada penderita Hemofilia bergantung pada
beratnya Hemofilia, jenis operasi yang dilakukan, perdarahan serta penyulit
lain pasca operasi.
3. Panduan peri operatif penderita Hemofilia merupakan panduan yang dalam
prakteknya dapat disesuaikan dengan kondisi pasien, jenis operasi,
perdarahan dan situasilkondisi di setiap RS/daerah dengan tetap
mengutamakan keselamatan pasien.

REERH\ST

1. Kessler CM, Mariani G. Clinical manifestations and therapy of the hemophilias. Dalam: Colman
RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN, Goldhaber SZ, editor. Hemostasis and thrombosis.
Basic principles and clinical practices Sth ed. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins
2006;59:887-904.
2. Nilsson lM. Bleeding symptoms in hemophilia. Dalam: Nilsson IM, editor. Hemophilia. Stockholm;
Pharmacia plasma products 1994;5:26-9.
3. Nilsson lM. Replacementtherapy. Dalam:Nilsson lM, editor. Hemophilia. Stockholm; Pharmacia
plasma products 1994;6:30-51 .
4. Brettler D_B, Levin_e PH. Clinical manifestations and therapy of inherited coagulation factor defi-
ciencies. Dalam:Colman RW, Hirsh J, MarderVJ, Salzman EW, editor. Hemostasis and Throm-
bosis. Basic principles and clinicalpractice 3d ed. Philadelphia;JB LippincotCompany 1994;8:169-
83,
5. Hillman RS,AultKA, HinderHM. Hemophiliaandotherintrinsicpathwaydefects. Hematologyin
clinical practice 4rh ed. New York; McGraw-Hill 2005;32:368-79.
207

g.l7 Penya,f,lt Eafl


AndriSanityoso

pasien penyakit hati kronik tidak jarang menjalani prosedur operasi. sebanyak
I lo't" pasien akan memerlukan prosedur operasi dalam 2 tahun terakhir
kehidupannya. Adanya penyakit hati akan memberi efek terhadap risiko mortalitas
dan morbiditas dari operasi. sehingga evaluasi dan manajemen preoperasi yang
baik akan dapat menurunkan resiko dan meningkatkan keberhasilan terhadap
pasien dengan penyakit hati yang akan menjalani prosedur operasi.
Peningkatan risiko operasi dan anastesi umum pada pasien dengan penyakit
hati berhubungan dengan fungsi metabolik dan sintesis dari hati. Fungsi hati
yang penting meliputi metabolisme obat, detoksifikasitoksin endogen dan eksogen
dan pembentukan protein plasma. Kegagalan fungsi fungsi tersebut akan I

berpengaruh terhadap meningkatnya risiko operasi. Oleh karena itu identifikasi


pasien yang mengalami gangguan fungsi hati sebelum operasi, penilaian risiko
dan stratifikasi serta koreksi terhadap kelainan tersebut sangat diperlukan untuk I

manajemen pasien yang optimal.

SKRINING PREOPERASI TERHADAP PENYAKIT HATI

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik lengkap dan menyeluruh sangat
berguna untuk mendapatkan tanda dan gejala apakah pasien mempunyai penyakit
hati, juga untuk mengenali adanya faktor risiko untuk penyakit hati, seperti riwayat
transfusi darah, pengguna narkoba atau alkohol . Adanya riwayat keluarga dengan
penyakit kuning, anemia atau penyakit hati herediter, riwayat alergi atau efek
samping terhadap obat obat anastesi memunculkan kecurigaan terhadap adanya
penyakit hati. Juga harus ditanya adanya penggunaan obat-obat bebas untuk
nyeri maupun ramuan herbal. Pemeriksaan fisik dapat mengenali adanya stig-
208 Penyakit Hati

mata penyakit hati kronik seperti jaundice, spider nevi, ascites, pembesaran hati
atau limpa atau eritema palmaris maupun temporal wasting.
Tes biokimiawi hati meliputi AST, ALf, ALP, bilirubin dan albumin tidak rutin
dilakukan terutama pada pasien sehat dan asimptomatik karena tidak cost-effec-
tive dan nilai prediktifnya rendah. Diindikasikan bila ada kecurigaan berdasarkan
anamnesis dan temuan klinis adanya penyakit hati. Jika didapatkan hasil tes
fungsi hati yang abnormal, operasi terencana seharusnya ditunda sampai
didapatkan hasil evaluasiyang lengkap terhadap kelainan biokimia tersebut. Secara
umum untuk pasien tanpa gejala dengan peningkatan ringan kadarAST dan ALT
dan kadar total bilirubin yang normal tidak diperlukan penundaan operasi. Pada
pasien dgn peningkatan AST dan ALT di atas 3 kali normal atau peningkatan
kadar total bilirubin memerlukan investigasi lebih rinci:
. Disfungsi hepatoselular: test serologik, biopsi hati
. Kolestasis: USG, MRCP, ERCP, biopsi hati.

EFEK PENYAKIT HATI TERHADAP OPERASI DAN ANASTESI.

Adanya penyakit hati dapat meningkatkan risiko operasi dan anastesi dengan
beberapa cara. Disfungsi hati akan secara bermakna mempengaruhi metabolisme
obat yang digunakan perioperasi:
. Peningkatan lama kerja obat akibat perubahan metabolisme oleh enzim
sitokrom P450,
. Penurunan konsentrasi dari protein pengikat plasma
. Penurunan ekskresi bilier.

Penggunaan opioid narkotik seperti morfin dan oxycodone harus dihindarkan


pada pasien sirosis, karena bioavibilitasnya meningkat dan waktu paruh yang
memanjang. Sedangkan metabolisme Fentanil dan sufentanil tidak berubah.
Metabolisme beberapa benzodiazepin seperti midazolam dan diazepam melambat
sehingga masa kerjanya memanjang. Sementara oxazepam, lorazepam dan
temazepam tidak berubah. Peningkatan masa kerja dari benzodiazepine dapat
menyebabkan penekanan yang berkepanjangan terhadap system saraf pusat dan
mempresipitasi ensefalopati hepatik, oleh karenanya obat ini harus digunakan
secara berhati-hati. Anastesi volatile seperti halothane mempunyai risiko untuk
terjadinya hepatitis imbas obat. Sedangkan lsofluran, desfluran, sevofluran dan
nitrous oxrde penggunaannya direkomendasikan karena metabolisme di hati kecil
dan tidak mengganggu aliran darah hepatik.
Salah satu manifestasi penyakit hati lanjut adalah sirkulasi hiperdinamik
dengan peningkatan curah jantung dan penurunan tahanan vaskular sistemik yang
mengakibatkan vasodilatasi dari splanknik dan sistemik yang selanjutnya akan
mengaktifkan sistem saraf simpatis dan aksis neurohormonal untuk
Andri Sanityoso 2O9

mempertahankan tekanan perfusi arteri. Kompensatori inotropik dan kronotropik


terhadap jantung terhadap strees fisik dan farmakologik pada pasien sirosis tidak
terjadi. Oleh karena itu induksi anastesi, perdarahan, hipoksia, hipotensi,
penggunaan obat vasoaktif dan bahkan posisi pasien dan teknik operasi akan
menurunkan transport oksigen ke hati dan meningkatkan risiko disfungsi hati.

ESTIMASI RISIKO OPERASI

Obstructive jaundice
Adanya obstructive jaundice akan meningkatkan mortalitas (8-28o/o). Faktor risiko
termasuk :

. Hematokrit awal < 30o/o,


. bilirubin total > 11 mg/dl,
. penyebab keganasan,
. Bila ada ketiga, mortalitas 60%
. Bila tidak ada ketiganya, mortalitas < 5%

Faktor risiko lain: kadar kreatinin serum lebih dari 1,4 mgldl, albumin serum
{
< 3 g/dl, umur lebih dari 65 tahun, AST di atas 90 lU/L dan BUN di atas 'l9mg/dt.
I

Hepatitis akut
Mortalitas dan morbiditas akan meningkat pada pasien hepatitis akut yang
menjalani operasi, sebagai akibat dari kerusakan akut hepatoselular dan disfungsi
hati. Operasi terencana seharusnya ditunda sampai keadaan klinis pasien,
biokimia dan histologi kembali normal.

Hepatitis kronik
Risiko operasi berkorelasi dengan derajat penyakitnya. Operasi dianggap aman
I
pada pasien yang asimptomatik dan dengan kelainan ringan pada histologinya.
Sedangkan pasien aktif dan simptomatik dengan kelainan histologi yang berat
akan meningkat risiko operasinya. Pasien dengan HbsAg atau anti HCV positif
asimptomatik; tidak meningkatkan risiko operasi, belum jelas apakah anastesi
akan membuat aktivasi virus, risiko infeksi terhadap operator atau petugas medis.

Sirosis
Pada pasien sirosis, risiko perioperasi akan dipengaruhi oleh disfungsi hati ( bi-
lirubin > 3 mg/dl, albumin < 3 g/dl, masa protrombin memanjang > 1,5 X), pTT
memanjang, lekosit > 10.000/mm3. hipertensi portal, malnutrisi, infeksi dan
komplikasi seperti varises, asites, kelainan ginjal.
21.O Penyakit Hati

DERAIAT PENYAKIT HATI YANG MENDASARI

Untuk menentukan risiko perioperasi diperlukan penilaian yang akurat dari penyakit
hati yang mendasarinya. Untuk keperluan penilaian tersebut yang digunakan adalah
skor dari Child Turcotte Pugh (CTP) dan skor Model for End-stage Liver Disease
(MELD).

Skor Child Turcotte Pugh (CIP)


Skor ini merupakan prediktor yang digunakan secara luas untuk menilai risiko
operasi. Penelitian retrospektif memperlihatkan kegunaannya akan tetapi tidak
pada penelitian prospektif. Untuk pasien sirosis yang menjalani operasi abdo-
men, angka mortalitas untuk CTP A, B dan C adalah 10o/o,30-31o/o dan 76-820/o.
Akan tetapi skor CTP mempunyai keterbatasan dalam hal parameter klinisnya
yang subjektif maupun penentuan nilai cut off yang dipakai pada parameter
biokimianya. Misalnya pada terminologi definisi tidak ada asites apakah secara
klinik atau USG sehingga sirosis dengan CTP A masih memungkinkan terdapatnya
asites, hiperbilirubin dan hipertensi portal. Sehingga diperlukan suatu skor yang
lebih akurat untuk menentukan derajat beratnya penyakit hati yang sudah ada.

Model for End Stage Liver Disease (MELD)


Skor MELD mempunyai nilai diantara 8 - 40, yang didapatkan dari perhitungan
yang rumit yang melibatkan tiga variable biokimia, yaitu kadar total serum biliru-
bin, kadar kreatinin dan lnternational normalized ratio (lNR). Skor MELD ini telah
divalidasi secara prospektif sebagai faktor prognostik untuk mortalitas pada pasien
sirosis, perdarahan akut varises atau hepatitis alkoholik akut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa baik skor MELD maupun CTP secara
akurat dapat memprediksi morbiditas postoperasi. Pasien dengan skor MELD diatas
8 lebih banyak yang mendapat komplikasi post op termasuk kematian dibandingkan
dgn pasien yang skor MELD di bawah 8. (44 -10o/o). Demikian juga untuk pasien
yang menjalani operasi bypass cardiopulmoner, skor MELD maupun CTP
mempunyai korelasi yang tinggi untuk kejadian dekompensasi hati dan kematian.

JENISOPERASI

Risiko berkolerasi dengan luas dan jenis operasi; risiko terbesar pada operasi
traktus biliaris, abdomen atas dan jantung.

Operasi emergensi
Hasil beberapa studi memperlihatkan bahwa pasien sirosis yang menjalanioperasi
emergensi terutama operasi abdominal atau operasi karena trauma mempunyai
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien dgn fungsi hati normal. Semakin
meningkat skor CTP hasilnya juga semakin buruk.
Andri Sanityoso zlL
Operasi abdominal
Operasi abdominal seperti bypass lambung, bilier, operasi ulkus, reseksi kolon,
mortalitas dan morbiditasnya meningkat pada pasien sirosis. Pasien sirosis lanjut
dengan hipertensi porta yang mengalami kolesistitis, kolesistostomi lebih
dianjurkan dibandingkan kolesistektomi. Sementara tindakan operasi
nonlaparaskopi dan kolesistektomi emergensi mempunyai risiko lebih tinggi
dibandingkan laparoskopi kolesistektomi.

Operasi jantung
Pasien sirosis yang menjalani operasi jantung dengan bypass kardiopulmoner
mempunyai risiko perioperasiyang meningkat. Beberapa publikasi memperlihatkan
peningkatan komplikasi postoperasi dan mortalitas. Peningkatan morbiditas dan
mortalitas disebabkan oleh meningkatnya insiden peradarahan dan sepsis akan
tetapi tidak berhubungan dengan komplikasi jantungnya. Pada satu penelitian
didapatkan angka mortalitas sebesar 0o/o,50Yo dan 100% untuk pasien dgn CTp
A, B dan C. CTP skor sama dengan atau di atas 8 mempunyai mortalitas yang
meningkat bermakna dibandingkan dengan skor di bawah 8

Reseksi hati
Reseksi hati pada pasien sirosis dengan hepatoma harus memperhitungkan
kapasitas hati yang akan tersisa, terutama pada penderita dengan sirosis lanjut
dan hipertensi portal. Pasien pasien tersebut mempunyai angka komplikasi
perioperasi yang meningkat, dekompensasi pada jangka panjang dan kematian
setelah reseksi, oleh karenanya seleksi pasien sangat penting. Hepatic vein pres-
sure gradient (HVPG) < 10 mmHg dan bilirubin totaldalam batas normal merupakan
prediktor utama, dengan angka kesintasan 5 tahun diatas 70%. Sebaliknya HVpG
> 1OmmHg dan kadar bilirubin total > 1 mg/dl mempunyai angka kesintasan 5
tahun di bawah 30%, tanpa melihat klasifikasi CTP.

REKOMENDASI UNruK EVATUASI PREOPERASI

Algoritma penilaian preoperasi pada pasien dengan penyakit hati


Operasi terencana dapat dilakukan pada pasien sirosis dengan CTP A. pasien
dengan klasifikasi CTP B, operasi reseksi hati dan operasijantung harus dihindari,
sedangkan untuk operasi terencana kondisi harus optimal. Pasien dengan
klasifikasi CTP C operasi terencana merupakan kontraindikasi dan diutamakan
pilihan non operasi.
Secara umum pasien dengan skor MELD di bawah 10 dapat dilakukan operasi
terencana. Sementara pasien dengan skor MELD antara 10-15 memerlukan
perhatian khusus. Sedangkan pasien dengan skor MELD diatas lS,operasi
terencana sebaiknya dihindari dan dipertimbangkan untuk transplantasi hati.
2L2 Penyakit Hati

CTP klasc
atau
IViELD skor >15

CTP klas B lanjutkan tindakan


dengan hati-hati dan
MELD skor 10-15 pengawasan
perioperatif yang ketat

CTP klas A
atau
MELD skor <'10

Gambar 1. Algoritma penilaian pra operasi pasien dengan penyakit hati

Pada pasien yang akan dilakukan reseksi hati, hipertensi portal merupakan
prediktor utama terhadap keberhasilan operasi dibandingkan dengan klasifikasi
CTP. Pengukuran tekanan portal sebelum tindakanoperasi penting dilakukan, akan
tetapi tidak selalu dapat dilakukan. Penilaian adanya hipertensi portal juga dapat
diprediksi secara klinis seperti adanya varises, asites atau kadar trombosit dibawah
100.000/mm3 disertai adanya splenomegali.

MANA]EMEN PREOPERASI

Selain mencari faktor risiko yang ada, penanganan terhadap kondisi kondisi yang
berhubungan dengan gangguan fungsi hati yang adajuga sangat penting. Perhatian
khusus dibutuhkan pada pasien dengan komplikasi umum penyakit hati kronik
seperti koagulopati, trombositopenia, asites, insufisiensi ginjal, ensefalopati, dan
malnutrisi. Dan juga kecenderungan pasien terjadi infeksi sehinggan perlu
dipertimbangkan pemberian antibiotik sebagai profilaksis sepsis.

Koagulopati
Penyebab hal ini multifaktorial:
. malnutrisi
. Absorpsi yang buruk akibat dari kolestasis
. Kegagalan pembentukan faktor koagulasi
Andri Sanityoso z1,g

Vitamin K intra muskular dan transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat
diberikan untuk koreksi INR pasien sebelum operasi. Akan tetapi untuk kelainan
koagulopati yang berat INR tidak dapat dikoreksi dengan cara tersebut, dan
pemberian berulang ulang FFP akan menambah beban cairan yang masuk. lnfus
kriopresipitate yang berisi banyak fibrinogen dan factor von Willebrand dengan
volume yang minimal dapat digunakan untuk memperbaiki koagulopati yang sering
mendasari pasien dengan penyakit hati kronik. Pemberian faktor Vlla secara lV
cukup aman dan efektif dalam memperbaiki koagulopati dan menormalkan INR
pada pasien sirosis sebelum tindakan invasif seperti biopsi hati. Pasien dengan
trombositopenia direkomendasikan untuk transfusi trombosit sampai mencapai
100.000/mm3 atau lebih. Masa perdarahan yang memanjang dikoreksi dengan
pemberian desmopresin asetat.

Asites
Penanganan asites preoperasi yang agresif dan kontrol terhadap asites dapat
meminimalkan risiko yang berhubungan dengan gangguan respirasi perioperasi
dan penyembuhan luka. Penanganan jangka panjang meliputi pembatasan asupan
natrium (< 2 gr) dan diuretik oral dengan penilaian kadar elektrolit dan fungsi (
ginjal. Walaupun jarang memberikan gejala, kondisi hiponatremi umum ditemukan
t
pada pasien dengan sirosis lanjut demikian juga pada pasien yang mendapat
I
diuretik. Sedangkan pembatasan asupan cairan diperlukan bila kadar sodium
serum kurang dari 120 mmol/|. Pilihan terapi pada penderita asites sedang sampai
berat meliputi paracentesis volume besar atau pembuangan cairan asites saat
laparatomi. Jika dikerjakan paracentesis, cairan harus dianalisis untuk mengetahui
adanya SBP, dan jika ada pemberian antibiotik harus segera dimulai. Reakumulasi
pascaoperasi umum terjadi dan harus dilakukan upaya untuk meminimalkan
munculnya kondisi tersebut. Strategi pencegahannya adalah dengan pembatasan
asupan natrium dan membatasi jumlah cairan NaCL untuk pemberian obat atau
koreksi elektrolit.

Disfungsiginjal
Mengenali dan mencegah terjadinya disfungsi ginjal pada pasien dengan penyakit
hati yang akan mejalani operasi adalah penting dalam hal untuk meminimalkan
kejadian komplikasi perioperatif. Sejalan dengan perburukan penyakit hati kronik
perubahan patofisiologi yang terjadi menjadi predisposisi untuk terjadinya
hipoperfusi ginjal. Penting untuk menghindari penggunaan obat nefrotoksik seperti
aminoglikosida, NSAID dan zat kontras intravena. Tindakan paracentesis lebih
dari 5L harus diikuti dengan pemberian albumin intravena untuk mengurangi risiko
gangguan sirkulasi pascaparasentesis dan disfungsi ginjal.
214 Penyakit Hati

Portosystemic Enchepalopathy (PSE)


PSE merupakan komplikasi penyakit hati dengan spectrum gejala neuropsikiatri
yang luas mulai dari konfusi ringan sampai koma dalam. Presipitator PSE sebagian
merupakan faktor yang reversibel seperti hipokalemia, alkalosis, hipoglikemia
dan hipovolemia serta obat seperti benzodiazepam. Pada pasien hipertensi
portal yang mengalami perdarahan gastro instestinal, gagal ginjal dan infeksi
cenderung untuk terjadinya PSE. Operasi terencana harus ditunda sampai terjadi
perbaikan dari status mental pasien. Pengobatan PSE meliputi identifikasi faktor
penyebab yang reversibel dan upaya untuk melakukan koreksi.
Laktulosa diberikan sampai tercapai frekuensi defekasi yang lembut 3-4 kalil
hari. Antibiotik seperti neomisin yang tidak diabsorpsi sistemik jarang digunakan
karena efek sampingnya, sedangkan golongan rifaximin belum masuk ke lndone-
sia. Asupan protein yang dibatasi 1 -1,5 g/kg per hari sering dilakukan walaupun
tidak ada bukti klinik yang mendukung bahkan berpotensi untuk memperburuk
kondisi postoperasi pada pasien malnutrisi. Pada pasien malnutrisi dan intake
oral tidbk mencukupi, suplementasi melalui sonde kadang diperlukan mengingat
adanya peningkatan katabolisme yang terjadi pasien sirosis.

Drainase bilier
Penelitian-penelitian retrospektif awal menunjukkan bahwa drainase bilier eksternal
preoperasi pada pasien dengan obstruktif jaundlce memperlihatkan penurunan
mortalitas. Sedangkan penelitian-penelitian prospektif selanjutnya memperlihatkan
bahwa baik perkutan maupun endoskopi bilier drainase preoperasi tidak
memperbaiki morbiditas maupun mortalitas pada pasien yang tanpa disertai
infeksi, sehingga prosedur tersebut tidak direkomendasikan. Komplikasi dari
drainase transhepatik termasuk kolangitis, sepsis, dehidrasi, kateter berpindah
tempat. Akan tetapi pada kondisi adanya kolangitis akut, kompresi bilier segera
dan antibiotik lV harus diberikan preoperasi, dan operasi ditunda sampai infeksi
perbaikan.

KEIMruLAN
Banyak faktor yang berkontribusi dalam meningkat'kan risiko operasi pada pasien
penyakit hati. Tatalaksana termasuk jenis operasi harus disesuaikan dengan
kondisi dari penyakit hati yang diderita pasien. Pada hepatitis akut, operasi
terencana harus ditunda sampai perbaikan gejala. Pada hepatitis kronik, risiko
perioperasi meningkat sesuai dengan perburukan fungsi hati yang dinilai baik
dengan kasifikasi CTP maupun skor MELD. Operasi reseksi hati diputuskan
dengan evaluasi yang cermat sehubungan dengan risiko yang lebih besar dan
unik. Penatalaksanaan terhadap komplikasi dari penyakit hati yang mendasari
harus optimal dalam usaha untuk meningkatkan keberhasilan operasi.
Andri Sanityoso 2Ls

TATAI.AIGANA PREOPERASI KOMPLII(ASI PENYAKIT HATI

Clinical Management Considerations


Manifestation
Status nutrisi Pertahankan asupan protein adekuat {1-1.5 g/kg per hari)
Dukungan diet seimbang
Koagulopati Suplementasi Vitamin K (oral atau parenteral)
Transfusi fresh frozen plasma (FFP)
Pemberian kriopresipitat lntravena
Pemberian rekombinan faktor Vlla intravena
Transfusions trombosit
Parasentesis dan analisis cairan asites untuk membuktikan adanya
infeksi
Diet rendah garam (<2 g daily)
Terapi diuretic oral : spironolakton dan /atau furosemid I

Retriksi cairan (bila Na serum <120 mmol/L) I


Hindari pemberian Nacl berlebih
Hindari obat antiinflamasi non steroid (OAINS)
Disfungsi renal Hindari bahan nefrotoksik insult
lnfusion albumin (bila volume parasentesis >5 L)
Ensefalopati Koreksi factor metabolic yang reversibel
Portosistemik Hindari sedasi dan narkotik opioid bila mungkin
Pemberian laktulosa oral, titrasi hingga gerakan usus 3-4 kali per hari
Pemberian antibiotic yang tidak diabsorpsi {
Asupan protein diturunkan
I

Kelainan vaskular Perawatan suportif


hepato pulmonal Suplementasi oksigen

REfRE\ST
1. del Olmo JA et al. Risk factor for nonhepatic surgery in patients with cirrhosis. World J Surg
2003;27:647-52.
2. Wiesner RH et al. Model for end-stage liver disease (MELD) and allocation of donor livers,
Gastroenterology 2003; 1 24:91 -96.
3. Kamath etal. A model to predict survival in patient with end-stage liver disease. Hepatology
2001;33:464-70.
4. Perkins L etal- Utility of pre-operative scores for predictingmorbidity after cholecystectomy in
patients with cirrhosis. Clin Gastroenterol Hepatol 2004;2;1123-8
5. SumanAetal.Predictingoutcomeaftercardiacsurgeryinpatientswithcirrhosis:acomparisonof
child-pugh and M ELD score. Cl in Gastroenterol Hepatol 2004;2:7 1 9-7 23.
6. Farsnworth N etal. Child-Turcotte-Pugh versus MELD score as a predictor of outcome after
elective and emergent surgery in cirrhotic patients. Am J Surg 2004;188:580-83.
7. Schroeder RA etal. Predictive indices of morbidity and mofiality after liver resection. Ann Surg
2006'.243:373-9.
8. Hoeper MM etal. Porlopulmonary Hyperlension and Hepatopulmonary Syndrome. Lancet
2004;363:1 461 -8.
9. Runyon BA. Management of adult patients with ascites due to cinhosis. Hepatology 2004;21:111-
123.
10. Friedman LS. Surgery in the Patients with liver Disease and Postoperative Jaundice. ln Fried-
man LS, Keeffe E B eds. Handbook of Liver Disease, 2 ed. Philadelphia. Elsevier.
2I.6

3.18 Infe[sl frumen Inmruodellclcncy Tlrusl


Acqulnd Innruodellclency findnne
Evy Yunihastuti, Samsuridjal Djauzi

Q eberapa tahun terakhir, seiring dengan maraknya penggunaan narkoba suntik,


lJterjadi peningkatan kasus HIV/AIDS di lndonesia. Dengan tersedianya terapi
antiretroviral kombinasi (Highly Active Antiretroviral TherapylHAART), angka
kesakitan dan kematian pada orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pun berkurang
secara signifikan.l Dengan demikian, makin banyak ODHA memerlukan tindakan
operasi. Baik operasi untuk penyakit terkait H|V-nya, ataupun operasi umum seperti
pasien non-HlV lainnya, seperti apendisitis akut, kolesistitis, dan lainnya. Bahkan,
laparatomi akibat penyakit terkait HIV hanya merupakan sepertiga dari seluruh
laparatomi pada ODHA.2 Transplantasi organ pada ODHA dalam terapi antiretroviral,
seperti transplantasi hati dan ginjal pun saat ini mulai banyak dilakukan pada
ODHA.3,4
Namun, acapkali terjadi keraguan para klinisi ketika harus melakukan operasi
pada ODHA. Sampai saat ini persepsi umum yang diketahui adalah status HIV
merupakan salah satu risiko mayor terjadinya komplikasi operasi karena (1) luka
operasi tidak akan membaik karena imunitas yang rendah, (2) komplikasi
perioperatif yang tinggi, (3) periode pemulihan yang dibutuhkan lebih lama,
sehingga risiko sepsis dan kegagalan multiorgan lebih tinggi, namun yang paling
sering terjadi adalah (4) ketakutan bahwa petugas kesehatan akan tertular HlV.2
Walaupun laporan-laporan terbaru menunjukkan hasil operasi yang lebih baik
dari sebelumflya.s-e

RISIKO OPERASI PADA ODHA


Progresivitas penyakit HIV pada umumnya tidak dipengaruhi operasi. Penelitian
Evy Yunihastuti, Samsuridjal Djauzi 2L7

WITS (Woman and lnfant Transmission Study) pada ODHA yang hamil tidak
menunjukkan perbedaan kematian dan progresivitas penyakit HIV pada kelompok
yang menjalani operasi seksio elektif, emergensi, ataupun yang menjalani
persalinan normal.e
Komplikasi pasca operasi pada ODHA umumnya dikaitkan dengan status
imunnya dan infeksi oportunistik serta komplikasi HIV yang sudah ada, serta
berat-ringannya operasi. Risiko komplikasi dilaporkan lebih tinggi pada ODHA
dalam stadium AIDS dengan berbagai infeksi oportunistik, hitung CD4+ kurang
dari 200 sel/ml.8,10-12 Sedangkan, risiko operasi pada ODHA dengan CD4+ lebih
dari 500 sel/ml tidak berbeda dengan kelompok HIV seronegatif.ll Demikian juga
dengan banyaknya jumlah HIV atau yang dikenal sebagai viral load.13'14 Viral load
lebih atau sama dengan 300.000 kopi/cc meningkatkan risiko komplikasi operasi
hampir tiga kali lipat dibanding dengan viral load kurang dari jumlah tersebut.la
Beberapa peneliti juga menghubungkan risiko komplikasi operasi pada ODHA
dengan rendahnya kadar albumin praoperasi.l5
Seiring dengan makin tingginya harapan hidup pada ODHA, berbagai penyakit
terkait proses penuaan seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes
melitus juga harus dipertimbangkan.16 Seperti populasi lainnya, kondisi seperti
ini juga akan meningkatkan risiko operasi pada ODHA.

EVALUASI PRAOPERASI

Dalam melakukan penilaian praoperasi, seperti pada pasien dengan penyakit


kronik lainnya, dibutuhkan penilaian menyeluruh terhadap status HIV dan penyakit
penyertanya, serta komunikasi dengan dokter yang selama ini merawat ODHA.
ODHA dengan hitung CD4+ kurang dari 200 sel/ml memerlukan evaluasi yang
lebih lengkap.16,17

Beberapa hal yang harus dinilai adalah sebagai berikut:


. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap diperlukan untuk mencari
infeksi oportunistik dan keganasan, riwayat pengobatan atau pencegahan
infeksi oportunistik, serta riwayat penggunaan antiretroviral dan efek
sampingnya. Efek samping yang sering ditemukan pada penggunaan
antiretroviral lini pertama yang ada di lndonesia adalah gangguan fungsi hati,
anemia, serta alergi. Alergi obat perlu diwaspadai karena ODHA mempunyai
risiko terjadi alergi obat 100 kali lebih sering daripada populasi umum.
Sedangkan untuk pengguna obat golongan protease inhibitor yang terdapat
pada lini ke-2 antiretroviral di lndonesia, efek samping yang harus diwaspadai
adalah kardiotoksisitas, resistensi insulin, dan hiperkoagulasi.ls'1e
. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang yang diperlukan adalah darah perifer
lengkap, hemostasis, fungsi hati, fungsi ginjal, gula darah, albumin, elektrolit,
218 Infeksi HIV/ArDS

dan hitung CD4+. Pedu dinilai hitung CD4+ dalam tiga bulan terakhit dan
jika tersedia jumlah virus HlVnya (viral toad). Foto toraks dan
elektrokardiogram harus diperiksa pada semua pasien, terlebih karena
tingginya kejadian tuberkulosis pada ODHA di lndonesia. Pada pasien dengan
kecurigaan gangguan suatu organ atau sistem memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut.18

Antiretroviral
ODHA dengan hitung CD4+ kurang dari 200 sel/ml, atau limfosit total kurang dari
12001cc, atau sudah dalam stadium AIDS sudah mempunyai indikasi untuk
pemberian antiretroviral (ARV). Obat ini digunakan tiap hari hingga seumur hidup
dengan adherens yang sangat tinggi (lebih dari 95%) untuk bisa mencapai target
penurunan jumlah virus di dalam darah serendah mungkin.le Karena resistensi
ARV ini mudah sekali terjadi, ODHA diharapkan tidak menghentikan pengobatan
dan tetap meneruskan pengobatan sebelum proses operasi.16 Perlu diperhatikan
waktu paruh masing-masing antiretroviral tersebut. Obat golongan NNRTI (non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitor) efavirenz dan nevirapin mempunyai
waktu paruh yang lebih lama daripada golongan lain (44-55 jam dan 25-30 jam).
Sedangkan obat golongan NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitor) seperti
zidovudin, stavudin, Iamivudin mempunyai waktu paruh lebih singkat (1-6 jam)
dan golongan Pl (profease inhibitor) seperti nelvinafir, lopinavir, ritonavir hanya 1-
7 jam. Karena itu, jika menghentikan antiretroviral secara bersamaan akan
mengakibatkan keadaan monoterapi efavirenz atau nevirapin di dalam darah yang
akan menyebabkan resistensi. Sewell, dkk menganjurkan jika memungkinkan
antiretroviral sebaiknya tidak dihentikan pada oDHA yang akan menjalani anestesi
umum atau yang lambungnya diistirahatkan selama beberapa waktu. Jika
penghentian obat tidak dapat dihindari, NRTI dan Pl sebaiknya dihentikan dan
dimulai kembali secara bersamaan. Sedangkan penghentian NNRTI harus
dilakukan dua sampai empat hari sebelum penghentian NRTI atau Pl. Oleh karena
itu, diperlukan konsultasi dengan dokter ahli HIV yang menangani pasien.2o
Selain cara penghentian obat, perlu juga diperhatikan interaksi obat
antiretroviral dengan obat anestesi. Obat golongan Pl, terutama ritonavir, merupakan
inhibitor CYP sehingga mempengaruhi metabolisme berbagai obat anestesi dan
analgetik, seperti midazolam, fentanil, serta obat jantung seperti amiodaron dan
kuinidin.18,21 Amiodaron, astemizol, diazepam, meperidin, dan kuinidin sebaiknya
tidak diberikan pada pengguna ritonavir. Sedangkan digoksin, midazolam, fentanil,
metadon, dan warfarin dapat diberikan dengan pemantauan ketat.16

HIV dan anestesi


Anestesi umum bukan merupakan hal yang harus dihindari pada ODHA. Ada
tidaknya kelainan paru-paru pada ODHA lebih penting untuk dipertimbangkan.
Evy Yunihastuti, Samsuridjal Djauzi 2Lg

Sebagai contoh, pasien AIDS dengan kerusakan paru hebat karena infeksi
tuberkulosis atau pneumonia Pneumocysfis carinii (PCP), anestesi regional
tampaknya lebih menguntungkan.16,18 Hal lain yang harus diperhatikan adalah
kelainan neurologis yang terdapat pada ODHA.Demensia terkait HIV dapat
meningkatkan sensitivitas otak terhadap sedatif obat sedatif atau psikoaktif seperti
opioid, benzodiazepin dan neuroleptik.ls
Keamanan anestesi regional sempat menjadi perdebatan pada ODHA karena
ketakutan bahwa infeksi HIV akan menyebar ke otak. Namun, dengan makin
banyaknya pengalaman anestesi spinal atau epidural belakangan ini, ternyata
sekuele yang terjadi tidak berbeda dengan populasi umum.16 Yang memerlukan
perhatian khusus adalah jika ODHA mengalami infeksi oportunistik yang
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial seperti toksoplasma otak dan
meningitis kriptokokosis karena peningkatan intrakranial dan infeksi susunan saraf
pusat merupakan kontraindikasi anestesi neuroaksial. Kedua penyakit ini
umumnya dapat diatasi dengan terapi medis, sehingga sebaiknya operasi ditunda
hingga terjadi perbaikan.ls Jadi, jika tidak ada kontraindikasi rutin (seperti
koagulopati, infeksi di tempat suntikan) atau peningkatan tekanan intrakranial,
anestesi ini dapat dilakukan dengan aman pada ODHA.16'22

Risiko penularan HIV dan pencegahan pasca pajanan HIV


lsu lain yang selalu menjadi pertimbangan sebelum operasi pada ODHA adalah
risiko penularan HIV kepada petugas kesehatan. Yang perlu diketahui adalah
risiko penularan HIV akibat paparan pada petugas kesehatan sebenarnya sangat
kecil dan saat ini tersedia obat pencegahan pasca paparan. Risiko penularan
akibat tertusuk jarum atau tergores alat tajam yang terkena darah yang
mengandung HIV (paparan perkutan) adalah sebesar 0.3%. Risiko penularan akibat
paparan darah dengan mukosa atau kulit yang tidak intak hanya sebesar 0.09%.
Sedangkan paparan darah dengan kulit intak sampai saat ini belum pernah
dilaporkan dapat menularkan HIV sehingga dianggap aman.23 Selama petugas
kesehatan melakukan kewaspadaan universal sama seperti pencegahan penyakit
yang menular melalui darah lainnya, operasi pada ODHA tidak perlu dikhawatirkan.
Untuk mengurangi risiko penularan akibat kecelakaan kerja seperti di atas,
sudah sejak lama dikenal obat pencegahan atau yang dikenal dengan profilaksis
pascapaparan HlV. Obat antiretroviral pencegahan ini harus dimulai sesegera
mungkin dalam 36 jam pasca paparan. Regimen standar yang digunakan adalah
kombinasizidovudin dan lamivudin. Dengan menggunakan profilaksis pencegahan
secara teratur selama 4 minggu, risiko penularan HIV di atas dapat dikurangi
sebanyak 81oA.24 Yang perlu dilakukan segera adalah melapor kepada atasan
dan tim AIDS rumah sakit untuk kemungkinan mendapatkan obat profilaksis ini.
22O Infeksi Hrv/ArDS

Pengalaman operasi ODHA di RS Cipto Mangunkusumo


Sejak tahun 1996 telah dilakukan berbagai macam operasi pada ODHA di RS
Cipto Mangunkusumo dan berbagai rumah sakit lain di Jakarta, antara lain seksio
sesarea, apendiktomi, biopsi kelenjar, laminektomi, gastrektomi, operasi ginjal,
abses gluteus, herniotomi, hemoroidektomi, kraniotomi, amputasi, dan skin graft.
Jenis operasi yang terbanyak adalah seksio sesarea dan biopsi kelenjar. Pada
umumnya penyembuhan luka baik dan kecelakaan operasi yang terjadi minimal.
Persiapan adalah melakukan kewaspadaan universal, penilaian kelayakan risiko
operasi seperti biasa dan penatalaksanaan pascaoperasi. Mengingat penggunaan
jenis obat cukup banyak, perlu diperhatikan interaksi obat dan waktu paruh obat.
Kelompok studi AIDS acapkali dilibatkan dalam proses persiapan operasi, dan
juga konseling kepada keluarga untuk mengurangi ketakutan.

RMEI{SI

Palella FR Jr DK, Moorman AC, Loveless M0, Fuhrer J, Satten GA, et al. Declining morbidity and
mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med.
1998;338:853-60.
Harris HW, Schecter WP. Surgical risk assessment and management in patients with HIV
disease. Gastroenterol Clin North Am. 1997;26:377-91 .
Moreno S, Fortun J, Quereda C, et al. Liver transplantation in H|V-infected recipients. Liver
Transpl. 2005;1 1 :76-81 .
MazuecosA, PascualJ, Gomez E et al. [Renaltransplantation in H|V-infected patients in Spain].
Nef rologia 2006; 26: 1 1 3-20.
Harrison WJ, Lewis CP, Lavy CB. Wound healing after lmplant surgery in H|V-positive patients.
J Bone Joint Surg Br 2002; 84: 802-6.
Becker K, Erckenbrecht JF. [Spectrum and results of operative interventions in HIV infection
patientsl. Chirurg 2001 ; 72: 389-95,
Duarte G, Read JS, Gonin R et al. Mode of delivery and postpartum morbidity in Latin American
and Caribbean countries among women who are infected with human immunodeficiencyvirus-1:
the NICHD lnternationalSite Development lnitiative (NISDI) PerinatalStudy. Am J ObstefGynecol
2006; 195: 215-29.
8 Rose DN, Collins M, Kleban R. Complications of surgery in H|V-infected patients. AIDS 1998; 12:
2243-51.
I Navas-Nachera EL RJ, Leightyc RM, Tuomalad RE, Zorrillae CD, Landesmanf S, et al. Mode of
delivery and postpartum HIV-1 disease progression: The Women and lnfants Transmission
Study. Al DS 2006; 20: 429-36.
10 Albaran RG, Webber J, Steffes CP. CD4 cell counts as a prognostic factor of major abdominal
surgery in patients infected with the human immunodeficiency virus. Arch Surg 1998; 133: 626-
31.
1l Savioz D, Chilcott M, Ludwig C et al. Preoperative counts of CD4 T-lymphocytes and early
postoperative infective complications in H|V-positive patients. Eur J Surg 1998; 164:483-7 .
12 Grubed TA, Reindell D, Kastner R et al. Rates of postoperative complications among human
immunodeficiency vlrusinfected women who have undergone obstetric and gynecologiCsurgical
procedures. Clin lnfect Dis 2002; 34:822-30.
Evy Yunihastuti, Samsuridjal Djauzi 22L

13 Tran HS, Moncure M, Tarnoff M et al. Predictors of operative outcome in patients with human
immunodeficiency virus infection and acquired immunodeficiency syndrome. Am J Surg 2000;
180:228-33.
14 Horberg MA, Hurley LB, Klein DB et al. Surgical outcomes in human immunodeficiency virus-
infected patients in the era of highly active antiretroviraltherapy. Arch Surg 2006;141:1238-45.
15 Lin PH, Bush RL, Yao Q et al. Abdominal aortic surgery in patients with human immunodeficiency
virus infection. Am J Surg 2004; 1BB: 690-7.
16 Hughes SC. HIV and anesthesia. Anesthesiol Clin North America2004;22:379-404,v.
17 Becker K, Erckenbrecht JF. IPreoperative risk assessment and perioperative management of
H|V-infected patientsl. Med Klin (Munich) 2001 ; 96: 26-31.
18 Evron S, Glezerman M, Harow E et al. Human immunodeficiency virus: anesthetic and obstetric
considerations. Anesth Analg 2004; 98: 503-11 .
19 WH0. Patient evaluation and antiretroviral treatment for adults and adolescents. Geneve: World
Health Organization, 2006.
20 SewellWA, Mazhude C, Murdin-GerettiAet al. lnterrupting antiretroviraltreatment needs pafiicu- i
lar care. BMJ 2001 ; 322: 616. i
21 Olkkola KT, Palkama VJ, Neuvonen PJ. Ritonavir's role in reducing fentanyl clearance and
prolonging its half-life. Anesthesiology l999; 91 : 681-5.
22 Avidan MS, Groves B Bloil M et al. Low complication rate associated with cesarean section under
spinalanesthesia for HIV-1-infected women on antiretroviraltherapy. Anesthesiology2002;97:
320-4.
lppolito G PV, HeptonstallJ, JaggerJ, De CarliG, Petrossilo N Occupational human immunode-
ficiency virus infection in health care workers: worldwide cases through September 1 997 . Clinical
lnfectious Disease 1 999; 26: 365-83.
Young T, Arens F, Kennedy G et al. Antiretroviral post-exposure prophylaxis (PEP) for occupa-
tional HIV exposure. Cochrane Database Syst Rev2007: CD002835.
222

3.19 Usla La4fut


SitiSetiati, Purwita Wijaya Lakmi, Nina Kemala Sari

eiring meningkatnya usia harapan hidup akan semakin banyak orang usia
lanjut yang menjalani pembedahan (operasi) karena berbagai sebab. Pasien
usia lanjut yang akan menjalani operasi mungkin berisiko mengalami hasil akhir
yang kurang atau bahkan tidak baik sama sekali karena berkurangnya kemampuan
untuk memelihara atau mengembalikan homeostasis fisiologik saat menjalani
operasi. Lebih jauh, kondisi tersebut akan diperberat oleh adanya berbagai
komorbiditas seperti penyakit jantung, paru, diabetes melitus, dan sebagainya.
Faktor usia saja bukan merupakan patokan yang baik mengenai risiko operasi
dan seyogianya tidak menjadi satu-satunya kriteria untuk menentukan siapa yang
layak untuk menjalani operasi. Namun demikian, usia lanjut seringkali diikuti
dengan berbagai penyakit kronik yang justru merupakan prediktor yang kuat terkait
dengan risiko operasi, menentukan siapa yang mungkin mendapatkan manfaat
dari prosedur operasi yang dilakukan.
Perawatan perioperatif membutuhkan evaluasi medis secara hati-hati dan
observasi pascaoperasi paripurna agar dapat mengantisipasi komplikasi yang
potensial terjadi. Diperkirakan 25-30o/o dari semua kematian perioperatif terkait
dengan penyebab kardiak, sehingga pengkajian risiko praoperasi non kardiak
difokuskan pada upaya untuk memperkirakan komplikasi kardiak tersebut.
Prosedur operasi yang akan dilakukan perlu didiskusikan dengan pasien
dan keluarga sehingga pemahaman mengenai risiko dan manfaat operasi menjadi
lebih jelas, serta mengurangi kemungkinan terjadi kesalahan harapan terhadap
operasi yang akan dilakukan. Selain itu, perlu pula dikomunikasikan kepada pasien
dan keluarganya bahwa masa pemulihan mungkin lebih lama dibandingkan pasien
usia muda dan mungkin diperlukan program perawatan, seperti perawatan subakut,
unit rehabilitasi, atau pelayanan perawatan di rumah. Peningkatan aktivitas fisik
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 223

dan rehabilitasi selama masa pemulihan pascaoperasi dapat memperbaiki tingkat


kemandirian fungsional, mempersingkat masa penyembuhan, dan mencegah
perawatan ulang.
Pengkajian risiko praoperasi difokuskan pada ulasan rinci mengenai
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pengkajian tersebut harus meliputi pula ulasan
mengenai obat-obatan yang dikonsumsi, fungsi fisik, kemampuan kognitif,
kompetensi, keberadaan dukungan sosial, dan gejala depresi (pengkajian paripurna
pasien geriatri/ comprehensive geriatric assessmenf).

PERUBAHAN PADA STSTEM KARDIOVASKUIA& RESPTRASI, SARAF I


I
PUSAI/ DAN GINJAL AKIBAT PENUAAN

Terdapat berbagai perubahan fisiologis terkait dengan proses penuaan yang dapat
memengaruhi perawatan perioperatif (Tabel 1).

Sistem kardiovaskular
Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular bertanggung jawab
terhadap peningkatan insidensi infark miokard, gagaljantung, dan aritmia perioperatif
pada kelompok usia lanjut. Perubahan akibat penuaan antara lain adalah penurunan
sensitivitas sistem parasimpatis dalam mengubah tanggapan baroreseptor, tekanan
darah, dan denyut jantung. Sensitivitas sistem simpatis juga menurun, Kondisi
tersebut menurunkan kemampuan tubuh untuk mengkompensasi perubahan yang
mendadak. Pembuluh darah arteri dan vena menjadi kaku sehingga menurunkan
kapasitas untuk berkonstriksi atau berdilatasi. Kekakuan miokardium juga terjadi
sehingga memengaruhi relaksasi diastolik dan tekanan pengisian.Pada gilirannya
akan terjadi disfungsi diastolik dengan peningkatan tekanan arterial kiri dan kongesti
paru.
Obat-obat anestesi menyebabkan vasodilatasi perifer dengan penurunan
resistensi vaskular. Manakala orang usia lanjut sebelum pemberian obat tersebut
telah memiliki volume intravaskular yang berkurang akibat mengkonsumsi diuretik,
maka akan terjadi pengurangan perfusi ke jaringan secara mendadak.

Sistem respirasi
Perubahan fisiologi akibat penuaan merupakan faktor predisposisi terjadinya
komplikasi saluran pernapasan pada usia lanjut. Kapasitas paru total, recoilelastis
toraks, compliance parenkim paru, dan kapasitas vital paru yang menurun
menyebabkan timbulnya gangguan paru berupa campuran restriktif dan obstruktif.
Berkurangnya compliance dan kekuatan otot berarti berkurangnya ekspirasi paksa
dan berkurangnya kemampuan untuk batuk dan membersihkan sekresi lendir dari
saluran napas.
224 usia Lanjut

Aliran darah paru yang berkurang disertai dengan area permukaan alveolar
yang berkurang sekali akan mengurangi tekanan oksigen arterial darl g5 mmHg
pada usia 20 tahun menjadi hanya 73 mmHg pada usia 75 tahun. Selain itu,
terjadi pula kehilangan sensitivitas sistem saraf pusat terhadap perubahan tekanan
oksigen dan karbondioksida. Perubahan fisiologi dan struktural menyebabkan
peningkatan ventilasi/perfusi mismatch. Kondisi ini akan dieksaserbasi oleh efek
zat anestesia, khususnya anestesia umum. Di samping itu, anestesia umum
juga menurunkan refleks vasokonstriksi hipoksia paru. Anestesia regional tidak
terlalu berpengaruh pada sistem respirasi, karena tidak memerlukan intubasi
trakea, menghindari efek ventilasi tekanan positif intermiten, dan juga merupakan
penghilang rasa nyeri pasca operasi yang sangat efektif.
Teknik anestesia seyogianya memakai analgesia atau anestesia regional
bilamana memungkinkan. Relaksasi otot harus segera dihentikan pada akhir
operasi. Pemantauan invasif perlu dilakukan terutama dalam pemberian terapi
cairan karena orang usia lanjut pada umumnya kurang dapat mentoleransi terapi
cairan yang terlalu cepat akibat perubahan pada compliance dan perfusi paru
serta fungsi ginjal

Perubahan Pengaruh
Umum I massa oiot rangka Perubahan distribusi volume
I termoregulasi Berpotensi terjadinya toksisitas obat
Kerentanan/ kerapuhan lebih besar
I Penyembuhan fungsional
Kulit I reepitelisasi i laju penyembuhan luka
I pembuluh darah kulit
Jantung 1 kekakuan vaskular t tekari8n darah dan beban venlrikel
1 kekakuan ventrikel Hipertensi
Degenerasi sistem konduksi Hipertrofi ventrikel
Degenerasi kafu p jantung t sensitivitas terhadap perubahan
I frekuensi jantung maksimal volume
Dekondisi kardlopulmonal I respons frekuensi jantung
I prevalensi penyakit arteri koroner t risiko blok AV derajat tinggi
I risiko iskemia miokard
Paru-paru elastisitas jaringan 1 potensi kegagalan respirasi
kekakuan dinding dada (misalnya obat-obatan sedatif)
V/Q mismatch 1 risiko aspirasi dan infeksi
proteksi jalan napas
Ginjal jumlah nefron 1 waktu paruh obat yang diekskresi
ekskresi natrium dan air ginjal
Hipertrofi prostat I risiko kelebihan cairan
I risiko rctensi dan infeksi
Imunitas I fungsi imun 1 risiko infeksi
Hati I aliran darah 1 waktu paruh obat yang diekskresi
Ioksidasi mikrosomal hati
Endokrin Resistensi insulin Hiperglikemia
Gangguan sekresi insulin
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 225

Sistem saraf pusat


Pasien usia lanjut berisiko mengalami morbiditas dan mortalitas sistem saraf
pusat akibat kehilangan neuron terkait penuaan, adanya patologi seperti
aterosklerosis serebrovaskular yang bersamaan, dan berkurangnya konsentrasi
neurotransmiter. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan mereka kurang mampu
beradaptasi dengan baik terhadap beban yang diberikan oleh tindakan operasi
dan anestesia. Morbiditas terkait dengan anestesi dan operasi pada usia lanjut
seringkali terjadi dalam bentuk confusion atau strok pasca operasi.

Ginjal
Ginjal berperan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit, serta metabolisme
obat. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian fungsi ginjal dan metabolik praoperasi
sehingga bila ada gangguan dapat dikelola selama periode perioperatif.
Penurunan jumlah glomerulus dan aliran ginjal seiring dengan meningkatnya
usia, berperan pada penurunan klirens kreatinin. Konsentrasi kreatinin serum
tidak selalu dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal pada usia lanjut
karena massa otot juga berkurang seiring dengan meningkatnya usia sementara
kreatinin terkait dengan massa otot. Kreatinin mungkin masih dalam kisaran nor-
mal, walaupun sebenarnya sudah menunjukkan ada penurunan fungsi ginjal
sehingga obat-obatan yang dimetabolisme di ginjal perlu disesuaikan dosisnya.
Oleh karena itu, klirens kreatinin perlu dihitung dengan menggunakan rumus
Cockcroft-Gault:
Klirens kreatinin (ml/menit) = {[140 - usia] x berat badan/ 172 x Crj
(untuk perempuan hasil perhitungan tersebut dikalikan dengan 0,85)

PENGI(AIIAN PMOPERASI

Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun
atau lebih) berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki
karakteristik multipatologi, daya cadangan faali yang rendah, gejala dan tanda
klinis yang tidak khas, menurunnya status fungsional, dan gangguan nutrisi. Jika
karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti infeksi, maka
seringkali timbul sindrom geriatri seperti gangguan fungsi kognitif, depresi,
imobilisasi, instabilitas, dan inkontinensia. Selain itu, mungkin secara psikososial
terdapat kemiskinan (masalah finansial) atau pengabaian (neglecfed). Oleh karena
itu, pendekatan dalam evaluasi medis pada pasien geriatri harus bersifat paripurna
dari sisi bio-psiko-sosial serta memperhatikan aspek kuratif, rehabilitatif, promotif,
dan preventif.
Komponen dari pengkajian paripurna pasien geriatri meliputi pula status
fungsional, status kognitif, status mental-emosional, dan status nutrisi. Selain
itu, anamnesis yang dilakukan mencakup anamnesis sistem organ yang secara
226 Usia Lanjut

aktif ditanyakan oleh dokter dan pemeriksaan fisik lengkap /ang mencakup pula
pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal. Status fungsional dapat dievaluasi
dengan instrumen indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of daily living/
ADL) Barthel. Penapisan adanya gangguan kognitif secara obyektif antara lain
dapat dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti the Mini-Mental State
Examination (MMSE), sedangkan instrumen untuk menapis adanya gangguan
depresi atau gangguan penyesuaian misalnya dengan Geriatric Depresslon Sca/e
(GDS) [ihat lampiran]. Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan
anamnesis gizi (asupan), pemeriksaan antropometrik, dan biokimia, serta didukung
dengan instrumen Subjective GlobalAssessmenf (SGA) alau Mini Nutritional
Assessmenf (MNA).
Pengkajian pra operasi mensyaratkan adanya riwayat penyakit (anamne-
sis) bersama-sama dengan pengkajian status fungsional. Bila perlu, minta pasien
untuk berjalan, naik tangga, saat pengkajian praoperatif dilakukan sehingga dapat
diukur status fisiologi pasien sebelum operasi. Dianjurkan untuk mempersiapkan
kondisifisik misalnya dengan berjalan tiap hari selama 2-3 minggu sebelum operasi
elektif dan selanjutnya diikuti oleh ambulasi dini pascaoperasi. Menghentikan
merokok sekurang-kurangnya 8 minggu sebelum operasi juga direkomendasikan.
Fisioterapi dada 24 jam sebelum tindakan operasi memberi manfaat fisik dan
memfasilitasi instruksi untuk dapat bernapas dalam dan batuk pasca operasi.
Evaluasi status fungsional menentukan status dan kemampuan pasien untuk
melakukan mobilisasi dan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Masalah
muskuloskeletal akibat artritis, penyakit Parkinson, atau strok mungkin berkaitan
dengan masalah mobilitas, gangguan status fungsional, dan faktor lain yang
memperlambat penyembuhan.

o lnfark miokard dalam 3 bulan sebelum pembedahan


. Gagal jantung kongestif dekompensasi
o Aritmia
Angina tidak stabil atau angina saat istirahat (NYHA derajat 4)

Hipertensi tidak terkontrol

Penyakit katup berat

Kondisi medik yang buruk

Kapasitas latihan jasmani yang buruk

Diabetes mditus

Riwayat strok
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 227

Status nutrisi penting dievaluasi untuk mengungkap adanya masalah makan,


menelan, gangguan saluran cerna, dan adanya penurunan berat badan yang
involunter. Amati pula derajat frailty dan deconditioning saat pasien memasuki
ruang periksa.
Pasien mungkin memiliki gangguan kognitif ringan yang memengaruhi daya
ingat mereka, jawaban yang diberikan terlalu lambat, sehingga memerlukan waktu
lama dan kesabaran untuk melakukan anamnesis
Tampilan klinik penyakit mungkin sangat berbeda dibandingkan dengan pada
usia muda. Kondisi seperti hipertiroidism atau hipotiroidism sulit didiagnosis pada
orang usia lanjut. Pengkajian seyogianya dilakukan beberapa hari sebelum operasi
sehingga dapat dilakukan evaluasi lebih lanjut bila diperlukan. Pengkajian
interdisiplin oleh tim interdisiplin akan memberikan hasil yang baik pada saat
perioperatif dan pasien dipulangkan.
Pengkajian pra operasi seyogianya ditujukan pada identifikasi faktor-faktor
risiko atau prediktor buruk pasca operasi (tabel 2). Komorbiditas yang sering
terjadi pada orang usia lanjut memerlukan pengkajian yang komprehensif. Ketika
melakukan pengkajian pra operasi pada pasien usia lanjut, sangat penting untuk
meletakkan fungsi sistem kardiovaskular dan pernapasan dalam konteks pasien
secara keseluruhan.
The American Heart Association dan American College of Cardiology (AHN
ACC) telah mempublikasikan algoritma terbaru yang dapat membantu dalam
pengkajian risiko praoperatif (Lihat Bab 2.2). Faktor klinik yang diperhatikan dalam
pengkajian risiko meliputi kapasitas fungsional, usia, komorbiditas, dan jenis
prosedur operasi. Tes atau evaluasi pra operasi yang harus dilakukan ditentukan
oleh gejala klinis pasien. Jika operasi yang dilakukan emergensi, pemeriksaan
diagnostik dan tatalaksana yang sesuai dilakukan sampai tiba saatnya operasi
dilaksanakan. Kadangkala pertimbangan medis menyebabkan pembatalan operasi.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan elektrokardiogram awal dapat membantu
mengidentifikasi penyakit jantung yang berpotensi serius seperti riwayat infark
miokard, angina, gagal jantung kongestif, abnormalitas konduksi, atau aritmia.
Perlu diketahui derajat penyakit, stabilitasnya, dan tatalaksana sebelum dilakukan
operasi. Berdasarkan algoritma AHA/ACC, faktor usia merupakan prediktor klinis
minor sehingga meskipun berusia lanjut namun tidak memiliki prediktor klinis
mayor atau menengah dan memiliki kapasitas fungsional moderat/baik 24
metabolik equivalentlMET (mampu naik tangga) atau bila kapasitas fungsional
buruk <4 MET namun menjalani prosedur operasi risiko rendah/menengah, dapat
dilakukan operasitanpa perlu dilakukan pemeriksaan non invasif atau invasif terlebih
dahulu (Lihat Bab 2.2).
228 Usia Lanjut

Indeks prapembedahan untuk memprediksi komplikasi pasca pembedahan


lndeks risiko jantung (cardiac risk indexl cRl) dari Goldman merupakan predlktor
outcome jantung pasca pembedahan. Sembilan faktor independen yang mengkaji
derajat stres hemodinamik pada sistem organ penting dan risiko pada jantung
meliputi:

Bunyi jantung 3 11

Tekanan vena Jugular meningkat 11

lnfark miokard dalam 6 bulan terakhir 10


EKG menunjukkan lebih dari 5 PVC (premature ventricular contracture) T
EKG- PAC (premature atrial contraction) alau irama selain sinus 7
Usia di atas 70 tahun s
Prosedur emergensi 4
Pembedahan intra toraks, intra abdomen, atau aorta 3
Keadaan umum buruk, metabolik atau tirah baring lama 3

Nilai dari 9 faktor tersebut dijumlah dan digr-rnakan untuk mengklasifikasikan


pasien menjadi 4 kategori risiko, yakni:

KIas I G5 0,7 4,2


Klas ll 6-12 5 2
Klas lll 13-i25 11 2
Klas lV >26 22 56

Orang berusia lanjut di atas 70 tahun yang menjalani pembedahan


intraabdomen, intra toraks, atau prosedur aorta, dan yang memiliki 5 faktor pertama
akan memiliki poin total 13, dan kondisi tersebut menempatkan mereka pada
kategori berisiko tertinggi.
Adanya riwayat penyakit jantung seperti penyakit jantung koroner dan gagal
jantung kongestif perlu diidentifikasi. lnfark miokard akut dalam 6 bulan belakangan,
gagal jantung kongestif aktif, aritmia jantung, dan angina tidak stabil merupakan
faktor risiko penting terjadinya komplikasi jantung pascaoperatif. Tekanan darah
yang sangat tinggi, fluktuasi tekanan darah, atau hipertensi pertama kali
diidentifikasi mungkin perlu diperhatikan untuk memprediksi adanya instabilitas
selama operasi operasi. Jika situasi klinis memungkinkan, hipertensi berat harus
dikontrol sebelum tindakan operasi dilakukan. Kesinambungan terapi antihipertensi
praoperasi hingga periode perioperatif sangat penting, terutama untuk klonidin
dan golongan penyekat beta.
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 229

Penyakit arteri koronet (coronary artery disease) seringkali dijumpai pada


pasien usia lanjut, oleh karena itu pasien usia lanjut seyogianya dilakukan
penapisan secara hati-hati mengenai adanya gejala dan tanda penyakit tersebut
baik yang ringan maupun nyata. Peningkatan kekakuan pembuluh darah dan
ventrikel kiri terkait dengan usia, menyebabkan sensitivitas yang lebih besar
terhadap perubahan volume. Adanya penurunan sistem konduksi listrik jantung
terkait dengan usia, menempatkan pasien usia lanjut pada risiko yang lebih besar
untuk terjadinya bradikardia akibat obat atau blok atrioventricular (AV) derajat
tinggi, sementara riwayat infark miokard atau fraksi ejeksi yang rendah berkaitan
ciengan risiko yang lebih besar untuk terjadinya takikardia ventrikular.
Pemeriksaan jantung-paru dapat mendeteksi adanya gagal jantung atau
murmur jantung, khususnya stenosis aorta, penyakit katup jantung tersering pada
usia lanjut. Adanya bunyi jantung 53, tekanan vena jugularis yang meningkat,
bradikardia, takikardia, denyut ektopik, merupakan petanda adanya faktor risiko
potensial. Pemeriksaan tungkai bawah mungkin menunjukkan abnormalitas denyut
nadi perifer atau adanya edema menunjukkan masalah pada jantung dan sirkulasi.
Bunyi napas melemah mungkin menunjukkan adanya PPOK, ronkhi dan spasme
bronkus mungkin menunjukkan adanya penyakit paru atau gagal jantung.
Elektrokardiografi akan mengidentifikasi pasien dengan hipertrofi ventrikel
kiri atau depresi segmen ST. Pasien dengan gambaran EKG seperti itu;
memerlukan pengkajian EKG saat berlatih, tergantung pada jenis operasi yang
akan dilakukan. Angiografi koroner mungkin perlu dilakukan pada pasien dengan
angina saat istirahat atau angina tidak stabil, untuk selanjutnya revaskularisasi
praoperatif mungkin dibutuhkan. Bunyi murmur jantung yang terdeteksi secara
klinis dan gambaran gagal jantung kongestif perlu dievaluasi lebih jauh
menggunakan ekokardiografi. Aritmia yang terdeteksi saat istirahat atau saat
melakukan latihan jasmani seyogianya diterapi sebelum dilakukan operasi. Jika
irama sinus tidak juga tercapai, kontrol rafe jantung dan pemberian antikoagulan
dapat diterima. Pacu jantung sementara atau menetap diperlukan pada blok jantung
tipe ll atau lll.
lndikasi untuk evaluasi dan tatalaksana penyakit jantung katup sama halnya
pada kondisi nonoperatif. Stenosis aorta atau mitral yang bergejala berkaitan
dengan risiko perioperatif yang bermakna, gagal jantung kongestif berat, atau
syok sehingga patut dipertimbangkan untuk menjalani valvotomi perkutan atau
operasi katup sebelum tindakan operasi dilakukan, sedangkan regurgitasi aorta
atau mitral yang bergejala umumnya kurang berisiko selama operasi jika
ditatalaksana dengan terapi medis dan dikontrol secara intensif. Prosedur operasi
pada mulut, usus, saluran kemih, saluran bilier, dan paru-paru dapat menyebabkan
bakteremia dan meningkatkan risiko endokarditis jika terdapat penyakit jantung
katup yang bermakna sehingga diperlukan profilaksis praoperasi.
23O Usia Lanjut

Jika tidak ada kontraindikasi, direkomendasikan untuk memberikan obat


penyekat beta (sebaiknya obat kerja pendek) selama periode perioperatif pada
semua pasien dengan risiko tinggi untuk terjadinya sindrom koroner akut yang
dijadwalkan untuk menjalani operasi nonkardiak dengan target frekuensi jantung
saat istirahat < 60x/menit.
Riwayat penyakit paru seperti adanya penyakit paru obstruksi kronik atau
asma, riwayat merokok, dan penggunaan steroid jangka panjang, perlu
diidentifikasi. Faktor risiko terjadinya pneumonia pascaoperasi meliputi perubahan
kesadaran, cerebrovascular accidenf (CVA), penggunaan alkohol, dan tipe operasi
yang direncanakan. Operasi abdomen atas dan intratoraks membawa risiko operasi
yang lebih besar.
Usia semata bukan indikasi absolut untuk uji fungsi paru. Pasien yang akan
menjalani reseksi paru selalu menjalani uji fungsi paru untuk menentukan apakah
paru yang tersisa masih adekuat. Prosedur yang melibatkan insisi abdomen atas
atau toraks mengganggu fungsi respirasi, Pasien yang sedang bersiap untuk
prosedur tersebut mungkin harus menjalani uji fungsi paru, terutama bila mereka
mengalami batuk, PPOK, merokok, sesak napas, atau penyakit paru lain.
Sebaliknya, operasi ortopedi, prosedur abdomen bagian bawah tidak atau hanya
memberi risiko minimal pada paru sehingga uji fungsi paru tidak diindikasikan.
Pasien dengan infeksi paru aktif perlu ditunda untuk menjalani operasi
dan mendapatkan pengobatan medik terlebih dahulu. Pasien dengan penyakit
paru berat atau kondisi fisik berat harus diperkenalkan mengenai penggunaan
spirometri yang tepat sebelum tindakan operasi dilakukan untuk mengurangi risiko
atelektasis paru dan komplikasinya.
Penyakit saluran napas reaktif harus ditatalaksana secara maksimal dengan
bronkodilator dan mungkin steroid sebelum tindakan operasi dilakukan. Seringkali
pasien usia lanjut mengalami atelektasis atau aspirasi paru-paru pascaoperasi.
Diperkirakan 14% pasien usia lanjut mengalami komplikasi mayor pulmonal
perioperatif (pneumonia, edema paru, atau emboliparu), terutama setelah menjalani
prosedur operasi abdomen atau kardiotoraks. Pneumonia pascaoperasi pada pasien
usia lanjut terkait dengan laju mortalitas 15-20% dan harus ditatalaksana dengan
terapi respirasi secara agresif dan antibiotika yang tepat.
Beberapa data di bawah ini dapat digunakan sebagai prediktor komplikasi
pernapasan yang bermakna:
. PCO2 > 45 mmHg
. FEV, < 2 liter (terutama < 1 liter)
. Volume ventilasi maksimal < 507o prediksi
Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menemukan penyakit atau masalah
yang tidak dijumpai pada anamnesis dan pemeriksaan fisik atau untuk
mengkonfirmasi diagnosis yang dicurigai dari anamnesis dan pemeriksaan
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 231

fisik tersebut. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain


sebagai berikut:
. Gula darah puasa (mencari diabetes melitus)
. Darah perifer lengkap (adanya infeksi atau anemia)
. Elektrolit ( menunjukkan risiko aritmia)
. Kreatinin ( digunakan untuk menghitung bersihan kreatinin untuk mencari
gangguan ginjal)
. Foto toraks ( menapis adanya penyakit paru)
. EKG ( deteksi iskemia atau aritmia)
Adanya riwayat hipertensi, diabetes melitus, dan faktor risiko
aterosklerosis lain, merupakan informasi penting untuk memperhatikan fungsi
ginjal pasien. Kendati konsentrasi kreatinin serum normal, fungsi ginjal mungkin
saja sudah mengalami gangguan (insufisiensi) sehingga memerlukan modifikasi
dosis obat yang diberikan.
Adanya riwayat masalah tromboemboli seperti trombosis vena dalam,
baik pada ekstremitas atas maupun bawah, atau emboii paru merupakan faktor
risiko terjadinya kejadian tromboemboli pascaoperasi. Komplikasi-komplikasi
tersebut bisa terjadi pada operasi ortopedi pada lutut, panggul, dan femur, atau
operasi intraabdomen untuk masalah keganasan. Pasien usia lanjut yang
menjalani operasi ortopedi penggantian tulang panggul atau lutut serta prosedur
urologik dan ginekologik, berisiko tinggi untuk mengalami trombosis vena dalam
pascaoperasi. Untuk prosedur operasi berisiko rendah sampai menengah, dapat
diberikan heparin dosis rendah subkutan atau alat kompresi pneumatik eksternal
segera setelah operasi dilakukan hingga pasien dapat dipulangkan. Untuk prosedur
operasi berisiko tinggi, patut dipertimbangkan pemberian low-molecular weight
heparin atau warfarin untuk mencegah trombosis vena dalam pascaoperasi.
Pada pasien yang mengkonsumsi warfarin jangka panjang dengan target
INR 2-3, pemberian obat harus ditunda agar nilai INR kembali normal hingga
kurang dari 1,5 sebelum operasi dilakukan. Jika sebelumnya target INR
dipertahankan >3, maka warfarin mungkin perlu tidak diberikan dalam waktu yang
lebih lama. INR harus diperiksa sehari sebelum operasi dilakukan untuk
memastikan bahwa target INR sudah mencapai kisaran yang dapat diterima. Jika
INR berlebihan (>1,8), dapat diberikan vitamin K dosis rendah 1 mg subkutan.
Jika INR <2, maka perlu dipertimbangkan pemberian profilaksis antitrombotik
lainnya.
Operasi elektif sebaiknya dihindari selama 1 bulan pasca kejadian trombosis
vena dalam. Jika tidak memungkinkan untuk melakukan hal tersebut, manakala
INR <2, maka heparin intravena harus diberikan sebelum dan sesudah prosedur
operasi dilakukan. Heparin intravena harus dihentikan pemberiannya 6 jam sebelum
operasi dilakukan dan dapat dimulai kembali pemberiannya paling cepat 12 jam
232 Usia Lanjut

pascaoperasi, tergantung pada jenis prosedur operasi dan hasilnya. Pasien dengan
DW yang mendapat warfarin selama 2-3 bulan, tidak perlu mendapatkan heparin
sebelum operasi dilakukan, kecuali terdapat risiko lainnya. Heparin harus diberikan
pascaoperasi hingga INR kembali >2. Rekomendasi ini harus dikombinasikan
pula dengan profilaksis mekanik (gradient compression stockings intermittent
pneumatic compression). Operasi elektif harus dihindari dalam 1 bulan pasca-
emboli arteri.
Pemeriksaan neuropsikiatri ditujukan untuk menentukan apakah ada
gangguan kognitif, depresi, penyakit Parkinson, atau kelemahan fokal. Adanya
gangguan fungsi kognitif akan meningkatkan risiko terjadinya delirium perioperatif
dan perawatan di rumah sakit yang lebih lama pada pasien usia lanjut. Status
volume intravaskular harus dioptimalkan praoperasi.
Sindrom delirium akut terjadi pada 10-15% pasien usia lanjut yang menjatani
prosedur bedah umum, 30% pada operasi kardiak, dan hingga 50% pada operasi
perbaikan fraktur panggul. Adanya demensia, usia sangat lanjut, dan riwayat
penurunan fungsi kognitif sebelumnya merupakan faktor risiko terjadinya
delirium perioperatif.
Pengkajian seksama tentang obat-obatan yang digunakan oleh pasien
usia lanjut harus dilakukan sebelum operasi. Aspirin, klopidogrel, nonsteroidal,
dan obat-obatan antiplatelet lainnya meningkatkan risiko perdarahan perioperatif,
dan jika tidak dibutuhkan harus ditunda penggunaannya selama 7-10 hari. Obat-
obatan yang memiliki efek antikolinergik juga sebaiknya ditunda karena dapat
meningkatkan risiko delirium perioperatif. Adanya pemakaian obat-obatan golongan
benzodiazepin secara kronik perlu diperhatikan dan harus dilakukan tappering off
untuk mengurangi risiko gejala putus obat ketika pasien diharuskan puasa selama
periode perioperatif.
Jika tidak diperlukan untuk mengatasi volume cairan yang berlebihan atau
gejala edema paru pada pasien dengan gagal jantung kongestif, obat diuretika
perlu dipertimbangkan untuk ditunda pemberiannya selama 24-48 jam sebelum
operasi.
Pasien-pasien yang mengkonsumsi obat-obatan untuk antiepilepsi,
kardiovaskular, dan antihipertensi umumnya tetap harus mengkonsumsi obat-
obatan tersebut pada pagi hari menjelang operasi dengan sesedikit mungkin air
minum. Penghentian mendadak obat penyekat beta dan klonidin berkaitan dengan
komplikasi kardiovaskular yang bermakna.
Obat hipoglikemik oral umumnya ditunda pemberiannya malam hari
menjelang operasi untuk mengurangi risiko hipoglikemia perioperatif. Pasien dia-
betes melitus yang mendapat terapi insulin jangka menengah umumnya
mendapatkan setengah dari dosis biasanya pada pagi hari menjelang operasi
dan diberikan cairan dekstrosa 5% intravena. Glukosa darah lebih dari250 mg/dl
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 233

pascaoperasi dapat ditatalaksana dengan pemberian insulin subkut-an atau jika


hemodinamik tidak stabil (dapat menyebabkan absorbsi insulin yang diberikan
subkutan bervariasi) diberikan infus insulin kerja pendek.
Supresi adrenal akibat penggunaan kronik steroid harus ditatalaksana dengan
pemberian steroid, umumnya hidrokortison 100 mg tiap 6 jam yang mulai diberikan
pada malam hari menjelang operasi dan kemudian diturunkan dosisnya hingga
mencapai dosis rumatan dalam 3-5 hari sesuai dengan kondisi pascaoperasi.

PENGKAJ IAN PASCA OPERASI

Selama periode pascaoperasi perlu dilakukan observasiterhadap adanya iskemia


miokard, infark, aritmia, dan trombosis vena dalam. Nyeri angina mungkin
tersamarkan oleh penggunaan obat golongan narkotika atau sulit untuk
diungkapkan pasien selama masa pemulihan. Perubahan segmen ST pada EKG
pascaoperasi dapat menjadi petunjuk adanya iskemia miokard. Perlu dipahami
bahwa iskemia pada kelompok usia ini mungkin tidak memberikan gejala (silent),
mungkin tidak berhubungan dengan munculnya gelombang Q pada EKG. Bila
tidak ada riwayat penyakit arteri koroner sebelumnya, pengawasan dilakukan
terbatas pada pasien yang kemudian muncul gejala atau tanda disfungsi
kardiovaskular, sedangkan pada pasien yang menjalani prosedur operasi berisiko
tinggi atau menengah perlu dilakukan pemeriksaan EKG sebelum dan segera
setelah operasi, serta setiap hari dalam 2 hari pertama pascaoperasi. Aritmia
pascaoperasi seringkali disebabkan masalah nonkardiak yang dapat dikoreksi,
seperti infeksi, hipotensi, gangguan metabolik (hipokalemia, hipomagnesemia),
dan hipoksia. Penggunaan profilaksis antiaritmia selain penyekat beta sampai
saat ini belum disepakati.
Perawatan pasca operasi di ruang rawat intesif perlu diantisipasi untuk pasien
usia lanjut dengan gejala jantung yang signifikan, terutama pada pasien yang
menjalani operasiabdomen atau toraks. Pemantauan tekanan darah dan tekanan
vena sentral yang invasif dimulai lebih dini dan dilanjutkan sepanjang periode
perioperatif. Pemberian obat golongan penyekat beta dapat menurunkan risiko
iskemia miokardial dan umumnya ditoleransi baik oleh pasien usia lanjut.
Kadar hemoglobin (Hb) seringkali turun pascaoperasi besar/ mayor. Transfusi
diberikan pada pasien yang menunjukkan gejala dan pada pasien dengan kadar
Hb kurang dari 7 g/dl.
Penurunan fungsi kognitif dilaporkan terjadi pascaoperasi pada berbagai
prosedur operasi. Berdasarkan penelitian didapatkan bahwa 26% pasien berusia
lebih dari 60 tahun yang menjalani prosedur operasi intraabdomen atau ortopedik,
mengalami penurunan fungsi kognitif bermakna, 1 minggu pascaoperasi. Faktor
risiko terjadinya penurunan fungsi kognitif tersebut meliputi usia yang lebih tua,
penggunaan anestesiyang lebih banyak, serta komplikasi infeksi dan respiratorius
234 Usia Lanjut

pascaoperasi. Penurunan fungsi kognitif juga dapat terjadi akibat infark otak
pascaoperasi kardiak.
Confusion pasca operasi dikaitkan dengan meningkatnya laju morbiditas,
keterlambatan dalam pemulangan ke rumah. Pengkajian perioperatif perlu
memperhatikan masalah tersebut
Pasca operasi, pasien memerlukan perawatan dan pemantauan yang
seksama. Terapi oksigen suplemental, analgesia yang optimal,.kontrol frekuensi
jantung, dan tranfusi darah yang bijak akan membantu memaksimalkan suplai
oksigen miokard. Pemantauan terapi cairan agar tidak kekurangan atau kelebihan
perlu dilakukan pula
Suplementasi oksigen dan fisioterapi dada harus tetap dilanjutkan pasca
operasi sampai sekurang-kurangnya 5 hari pasca operasi, karena periode waktu
tersebut merupakan periode terbesar untuk kejadian hipoksia nokturnal dan awitan
pneumonia. Bila tidak ada kontraindikasi, mobilisasi sedini, latihan lingkup gerak
sendi, dsb, mungkin dapat dilakukan untuk menghindari efek deconditioning.
Tatalaksana pascaoperasi juga meliputi penggunaan obat-obatan untuk
mengatasi nyeri, meningkatkan mobilisasi, penggunaan kateter urin yang tepat,
pencegahan dan tatalaksana delirium, serta penggunaan antikoagulan.
' Nyeri pada pasien usia lanjut seringkali tidak ditatalaksana dengan baik.
Pasien seyogianya secara berkala ditanyakan mengenai derajat beratnya nyeri
menggunakan skala analog (misalnya visual analog sca/e) dan obat analgetik
harus diberikan rutin, bukan jika perlu.
Mobilisasi dini pasien pascaoperasi sangat penting untuk mengurangi risiko
komplikasi. Jika dalam proses pemulihan tidak dibolehkan untuk melakukan
mobilisasi penuh, dapat dilakukan latihan lingkup gerak sendi dan mempertahankan
postur tegak.
Penggunaan kateter urin dapat menjadi predisposisi terjadinya infeksi saluran
kemih beserta komplikasinya. Oleh karena itu, penggunaan kateter harus jangka
pendek dengan target sudah dilepas pada pagi hari setelah operasi dilakukan.
Perlu dihindari pemakaian kateter urin lebih dari 48 jam kecuali jika retensi urin
tidak dapat ditatalaksana dengan cara lain. Jika terdapat retensi urin atau distensi
kandung kemih, dapat dipertimbangkan penggunaan kateter urin intermiten.

KESIMPULAN

Terdapat berbagai hal penting yang harus diperhatikan pada orang usia lanjut
yang akan menjalani operasi mengingat terdapat berbagai perubahan fisiologis
terkait dengan proses penuaan yang dapat memengaruhi perawatan perioperatif.
Faktor usia saja tidak dapat dijadikan patokan mengenai risiko operasi, namun
berbagai penyakit kronik penyerta merupakan prediktor kuat terkait dengan risiko
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 235

operasi. Pengkajian paripurna pasien geriatri yang meliputi tidak hanya dnamne-
sis dan pemeriksaan fisik namun juga mengenai informed consent, status
fungsional, kognitif, mental-emosional, dan nutrisi, serta obat-obatan yang
dikonsumsi dan dukungan sosial mutlak dilakukan secara interdisiplin dalam
pengkajian perioperatif.

REFERENSI

1. Vaitkevicius PV Kirsh MM, Orringer MB. Perioperative evaluation and management. Dalam:
HazzardWR, BlassJR HalterJB,OuslanderJG,TinettiME. Penyunting. Principlesof Geriatric
Medicine and Gerontology. Edisi ke-5. New York: Mc Graw-Hill; 2003. p. 361-71.
2, Seymour DG. Perioperative and postoperative medicalassessment. Dalam: Pathy MSJ, Sinclair
AJ, Morley JE. Principles and Practice of Geriatric Medicine. Edisi ke-4. St Louis: John Wiley &
Sons lnc; 2006. p. 1631-45,
3. Ersan T. Perioperative management of the geriatric patient. Diunduh 24 Oktober 2007 dari http/
Aivww.emedicine.con/meditopicSl 75. htm
4, weinryb J, Johnson J. Perioperative management in the elderly, Dalam: Forcia MA, Schwab EP,
Raziano DB, Mourey RL. Penyunting. Geriatric Secret edisi ke -3, Philidelphia: Hanley Belfus;
2004.p.241-7
236 usia Lanjut

IIMPIRAN

INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI.HARI BARTHEL (AKS BARTHEL)

Mengendalikan 0 Tak terkendali/tak teratur (perlu


rangsang pencahar)
pembuangan tinja I Kadang-kadang tak terkendali (1x
seminggu)
2 Terkendali teratur
Mengendalikan 0 Tak terkendali atau pakai kateter
rangsang berkemih 1 Kadang-kadang tak terkendali (hanya
1xl 24 jam)
2 Mandiri
Membersihkan diri n Butuh pertolongan orang lain
(seka muka, sisir I Mandiri
rambut, sikat gigi)
Penggunaan jamban, 0 Tergantung pertolongan orang lain
masuk dan keluar 1 Perlu pertolongan pada beberaPa
(melepaskan, kegiatan tetapi dapat mengerjakan
memakai celana, sendiri beberapa kegiatan yang lain
membersihkan, Mandiri
menyiram)
Makan 0 Tidak mampu
1 Perlu ditolong memotong makanan
2 Mandiri
Berubah sikap dari 0 Tidak mampu
berbaring ke duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk
(2 orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri
Berpindah / berjalan 0 Tidak mampu
1 Bisa (pindah) dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang
3 Mandiri
Memakai baju 0 Tergantung orang lain
1 Sebagian di bantu (misalnYa
mengancing baju)
2 Mandiri
Naik turun tangga 0 Tidak mampu
1 Buluh pertolongan
2 Mandiri

10 Mandi 0 Tergantung orang lain


1 Mandiri

IOTAL SKOR

Keterangan Skor AKS BARTHEL


20 : Mandiri 5-8 : Ketergantungan berat
12-19: Ketergantungan ringan 0 -4 : Ketergantungan total
9-11 : Ketergantungansedang
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 237

MINI MENTAL STATE EXAMINAI'OTV (MMSE)

Nama Responden : Nama Pewawancara :

Umur Responden : Tanggal Wawancara :

Pendidikan Jam mulai

iryry
Nilai Nilai
Maksimum Responden
ORIENTASI
5 ( ) Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa?
Sekarang kita berada dimara?
5 ( ) (Nama rumah sakit atau instansi)
(lnstansi, jalan, nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)
REG]STRASI
3 () Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda, misalnya :

Satu detik untuk tiap benda. Kemudian mintalah responden


mengulang ke tiga nama benda tersebut.
Berilah nilai 1 untuk tiap jawaban yang bonar, bila masih salah,
ulangi penyebutan ke tiga nama benda tersebut sampai responden
dapat mengatakannya dengan benar :
(bola, kursi, sepalu)
Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : --._-
kali.
ATENSI DAN KALKULASI
5 () Hitunglah berturut-turut selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah.
Berhenti setelah 5 kali hitungan (9346-79-72-65). Kemungkinan
lain, ejalah kata dengan lima hunrf, misalnya' DUNIA' dari akhir ke
awal / dari kanan ke kiri : 'AINUD'.
Satu (1) nilai untuk setiap jawaban yang benar.
MENGINGAT
3 () Tanyakan kembali nama ke tiga benda yang telah disebut di atas.
Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar.
BAHASA
I () a. Apakah nama benda ini? Perlihatkanlah pinsil dan ariqi (2 nilai)
b. Ulangi kalimat berikut: '!lKA TIDAK, DAN ATAU TAPI" (1 nilai)
c. Laksanakanlah 3 buah perintah ini :
Peganglah selembar kertas dengan tangan kananmu, lipatlah
kertas itu pada pertengahan dan letakkan di lantai.
(3 nilai)
d. Bacalah dan laksanakan perintah berikut:
,PEJAMKANMATA ANDA" (1 nilai)
e. Tulislah sebuah kalimat ! (1 nilai)
f. Tirulah gambar ini ! (1 nilai)

Jumlah () Tandailah tingkat kesadaran responden pada garis absis di bawah


nilai : ini dengan huruf 'X'

SADAR-SOMNOLEN-STUPOR.KOMA

Jam sele$ai :
Tempat wawancara :
238 Usia Lanjut

. II{SIRUIGIUNTKPENGGUI{AAN
MrNr MENTAT SrATE EXAMINAEON (MMSE)

ORIENTASI

1. Tanyakanlah tanggal, bulan, dan tahun. Kemudian tanyalah juga hari dan
musim. Satu nilai untuk setiap jawaban yang benar.
2. Tanyakanlah berturut-turt sebagai berikut : " Dapatkah anda menyebut
nama rumah sakit / institusi ini ?".
Kemudian tanyalahlantai / tingkat / nomor jalan, kota, kabupaten dan propinsi
tempat rumah sakit / institusi tersebut terletak.

REGISIRASI

1. Tanyalah responden bila saudara dapat menguji ingatannya.


2. Katakan 3 nama benda yang satu sama lain tidak ada kaitan, dengan terang
dan perlahan, kira-kira 1 detik untuk tiap nama benda.
3. Sesudah menyebut nama ke tiga benda tersebut, mintalah responden
mengulanginya.
4. Pengulangan penyebutan ke tiga nama benda tersebut yang pertama kali
diberi nilai 0-3.
5. Bila responden tidak dapat menyebut dengan benar, ulangi sampai responden
dapat melakukannya.
6. Jumlah maksimal pengulangan 6 kali.
7. Bila responden masih tidak dapat menghafalnya, maka fungsi mengingat di
bawah tidak dapat diukur secara bermakna.

ATENSI DAN KALKUI.ASI

1. Mintalah responden menghitung selang 7 angka mulai dari 100 ke bawah.


2. Hentikan setelah 5 kali pengurangan (93, 86, 79,72, 65)
3. Hitunglah nilai dari jawaban yang benar.
4. Bila responden tidak dapat melakukan hal ini, mintalah responden untuk
mengeja kata "DUNlA" dari akhir ke awal.
5. Nilai dihitung dari jumlah huruf dalam urutan terbalik yang benar.
Contoh : AINUD = 5; AIUND = 3

I,E{GII{GAT

1. tanyalah responden apakah ia dapat mengingat dan menyebut 3 nama benda


yang sebelumnya telah diminta padanya untuk dihafal. Nilai antara 0-3.
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 239

BAHASA

Penamaan : - Perlihatkan pada responden arloji dan tanyakanlah


padanya nama benda tersebut. Ulangi untuk pinsil-
Nilai antara 0-2
Pengulangan - : Mintalah responden mengulang kalimat tersebut setelah
saudara mengucapkannya. Percobaan pengulangan
tersebut hanya boleh satu kali.
- Nilai 0-1
Perintah tiga tahap: - Berilah responden selembar kertas putih dan berikan
perintah tiga tahap tersebut.
- Nilai 1 untuk setiap tahap yang dilaksanakan dengan
benar

Membaca - Pada selembar kertas kosong, tulislah dengan huruf


balok : " Pejamkan Mata Anda". Huruf-huruf tersebut
harus cukup besar bagi responden, sehingga terlihat
dengan jelas.
- Mintalah responden untuk membacanya dan
melaksanakan perintah tersebut.
- Nilai t hanya jika responden memejamkan matanya.
Menulis : - Berilah responden sepotong kertas dan mintalah untuk
menulis sebuah kalimat untuk saudara.
- Jangan mendiktekan kalimat, karena hal ini harus
dikerjakan responden dengan spontan
- Kalimat tersebut harus mengandung subjek, kata kerja
dan mempunyai arti. Tata bahasa dan tanda baca yang
benar tidak pedu diperhatikan
Meniru : - Pada sepotong kertas yang bersih, gambarlah 2 segi-
lima yang berpotongan, panjang tiap sisi 2,5 cm.
- Mintalah responden untuk menirunya secepat mungkin.
- Ke sepuluh sudut harus tergambar dan 2 sudut harus
berpotongan untuk memperoleh nilai 1.
- Gelombang dan putaran dapat diabaikan

Nilai tingkat kesadaran pada garis absis, dari sadar penuh pada ujung kiri sampai
dengan koma pada ujung kanan.
240

GERIATRIC DEPRESSTON SCATE (GDS)

Apakah anda sebenamya puas dengan kehidupan anda? YA TIDAK


Apakah anda telah meninggalkan banyak kegiatan dan minat YA TIDAK
atau kesenangan anda?
3. Apakah anda merasa kehidupan anda kosong? YA TIDAK
4. Apakah anda sering merasa bosan? YA TIDAK
5. Apakah anda sangat berharap terhadap masa depan? YA TIDAK
6. Apakah anda merasa terganggu dengan pikiran bahwa anda YA TIDAK
tidak dapat keluar dari pikiran anda?
7. Apakah anda merasa mempunyai semangat yang baik setiap YA NDAK
saat?
8. Apakah anda merasa takut bahwa sesuatu yang buruk akan YA TIDAK
terjadi pada diri anda?
9. Apakah anda merasa bahagia untuk sebagian besar hidup YA TIDAK
anda?
10. Apakah anda sering merasa tidak berdaya? YA TIDAK
11. Apakah anda sering merasa resah dan gelisah? YA TIDAK
12. Apakah anda lebih $enang berada di rumah daripada pergi ke YA TIDAK
luar rumah dan melakukan hal-hal yang baru?
13. Apakah anda sering merasa khawatir terhadap masa depan YA TIDAK
anda?
14. Apakah anda merasa memiliki banyak masalah dengan daya YA TIDAK
ingat anda dibandingkan kebanyakan orang?
15. Apakah menurut anda hidup anda saat ini menyenangkan? YA TIDAK
16. Apakah anda sering merasa sedih? YA TIDAK
17. Apakah saat ini anda merasa tidak berharga? YA TIDAK
18. Apakah anda sangat mengkhawatirkan masa lalu anda? YA TIDAK
19. Apakah anda merasa hidup ini sangat menarik dan YA TIDAK
menyenangkan?
20. Apakah sulit bagi anda untuk memulai sesuatu hal yang YA TIDAK
baru?
21. Apakah anda merasa penuh semangat? YA TIDAK
22. Apakah anda merasa bahwa keadaan anda tidak ada YA TIDAK
harapan?
23. Apakah anda merasa orang lain memiliki keadaan yang lebih YA TIDAK
baik dari anda?
24_ Apakah anda sering merasa sedih terhadap hal-hal kecil? YA TIDAK
25. Apakah anda sering merasa ingin menangis? YA TIDAK
26. Apakah anda mempunyai masalah dalam berkonsentrasi? YA TIDAK
27. Apakah anda merasa senang ketika bangun di pagi hari? YA TIDAK
24. Apakah anda lebih memilih untuk tidak mengikuti pertemuan- YA TIDAK
pertemuan sosial/ bermasyarakat2
29. Apakah mudah bagi anda untuk membuat keputusan? YA TIDAK
30. Apakah pikiran anda secerah biasanya? YA TIDAK

Skor: hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal


r Setiap jawaban bercetak tebal mempunyai nilai 1.

. Skor antara 5 - 9 menunjukkan kemungkinan besar depresi


. Skor 10 atau lebih menunjukkan depresi
24!

3.20 Anstetas dan lleprcsl


Hamzah Shatri

perasi atau tindakan medis pada umumnya menimbulkan rasa takut pada
pasien. Apapun jenisnya baik operasi besar maupun operasi kecil merupakan
suatu stresor yang dapat menimbulkan reaksi stres, kemudian dikuti dengan
gejala-gejala kecemasan, ansietas, atau depresi. Kecemasan atau gejala yang
timbul dapat ringan dan bersifat sementara kemudian menjadi normal kembali
bila pasien dapat mengendalikan sendiri dengan baik.
Namun dapat juga berlebihan dan menimbulkan gejala-gejala psikis dan
somatik yang dapat berpengaruh terhadap persiapan tindakan medik operatif.
Bahkan bila tidak ditatalaksana dengan baik dapat meyebabkan operasi
tertunda, atau timbul gangguan selama operasi dan sesudah operasi.
Memperlambat penyembuhan, menimbulkan hendaya dan gangguan kualitas
hidup pasca operasi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal perlu dilakukan
evaluasi dan penilaian status psikosomatik pra dan pasca tindakan medik operatif.

EVAIUASI DAN PENII.AIAN STATUS PSIKOSOMATIK

Pada tindakan medik operatif persiapan status somatik pasien umumnya telah
dilakukan dengan baik terutama status kardio-pulmonal, pemeriksaan laboratorium
dan penunjang yang diperlukan. Sebaliknya persiapan status psikis sering kali
dianggap tidak penting dan sering kurang menjadi perhatian padahal dapat
mengoptimalkan hasil tindakan, bila status psikis dipersiapkan dan ditatalaksana
dengan baik
Evaluasi status psikis dimulai dengan hubungan dokter-pasien yang baik
sehingga anamnesis status psiko-sosial, dukungan keluarga serta financial bila
diperlukan dapat berjalan dengan baik. Pada saat yang bersamaan dokter dapat
242 Ansietas dan Depresi

sekaligus memberikan waktu dan kesempatan kepada pasien untuk melakukan


komunikasi ventilasi yaitu memberikan kesempatan yang memadai bagi pasien
untuk menyampaikan keluhan dan masalah yang dihadapinya, sehingga dengan
mudah dapat diketahui keluhan dan masalah pada pasien baik yang menyangkut
penyakitnya, tindakan medik operasi yang akan dilakukan dan harapan pasien
beserta keluarga.
Selama anamnesis dokter dapat melihat langsung dan lebih memahami
perasaan pasien, kecemasan, kekawatiran yang ada pada pasien. Bila ada
kecemasan, ketegangan, gangguan emosi, dan atau gangguan psikis lain dapat
segera dicari penyebab atau stresor yang ada.
Dari hasil suatu penelitian beberapa stresor yang sering menimbulkan
kecemasan pada pasien yang akan dilakukan tindakan medis operatif antara lain
. Menunggu operasi dan menjelang pelaksanaan operasi
. Rasa nyeri dan rasa tidak nyaman
. Jauh dari keluarga dan teman
. Pengaruh penyakit atau operasi
. Kesembuhan pasien dan aktivitas setelah operasi
Semua di atas penting untuk bekal dokter saat menjelaskan dan memberikan
informasi yang tepat untuk pasien maupun keluarga tanpa menimbulkan atau
menambah kecemasan. Langkah berikutnya adalah melakukan penilaian apakah
pasien cemas atau tidak. Kecemasan tersebut wajar atau herlebihan. Apa
penyebab atau stresor utamanya.
Juga harus ditentukan apakah kecemasan tersebut sebagai suatu adaptasi
terhadap situasi yang ada, penyakit yang diderita, tidakan medik operatif yang
akan dilakukan atau memang merupakan suatu sindrom ansietas, depresi,
gangguan emosi, atau gangguan psikis lain yang sudah ada sebelumnya. Apakah
sudah mendapat pengobatan atau belum dan lain sebagainya.

TATATAI(SANA PRA OPERASI

Setelah dokter melakukan evaluasi dan penilaian status psikosomatik pasien


maka dokter dapat menyimpulkan kemampuan psikis pasien. Selanjutnya dokter
memberikan informasi dan penjelasan berkaitan dengan penyakit dan tindakan
operasi yang akan dilakukan dengan lebih tepat, mudah dipahami serta tidak
menimbulkan rasa takut.
Pada umumnya pasien telah mencari informasi dan bertanya tentang penyakit
dan tindakan yang akan dilakukan. Pasien ingin tahu pengalaman pasien lain,
apa yang mereka lihat, apa yang mereka dengar dan rasakan dan bagaimana
pengalaman mereka mengatasi keadaan tersebut. Namun ada juga sebagian
pasien yang makin cemas setelah mereka tahu lebih detail, untuk itu dokter perlu
Hamzah Shatri Ag
menilai kemampuan status psikis pasien dalam memahami keadaan dan tindakan
yang akan dilakukan sehingga dapat menjelaskan dengan baik tanpa menimbulkan
atau menambah kecemasan atau kesedihan pasien dan keluarga. Pasien merasa
paham, puas, tenang dan senang. Semakin pasien jelas dan mengerti dapat
mengurangi penderitan psikis dan somatik serta memahami bahwa tindakan
medik operatif yang akan dilakukan dapat menyembuhkan penyakit atau
menyelamatkan hidup pasien. :
Bila tangkah di atas telah dilakukan namun masih tetap ada kecemasan
dan atau gangguan psikis yang berlebihan maka dapat diberikan ansiolitik. Ansiolitik
atau anti ansietas yang cukup aman dan banyak digunakan adalah golongan
benzodiazepine, tetapi harus hati-hati pada penyakit atau tindakan medik operatif
yang berhubungan dangan pernapasan.
Bila sebelum tindakan pasien sudah menderita gangguan psikosomatik
ansietas dan atau depresi, obat psikotropik dapat diberikan khususnya golongan
benzodiazepine, sedangkan antidepresan sebaiknya ditunda oleh karena dapat
mempengaruhi sistem kardiovaskular.
Ansietas atau kecemasan yang berlebih dapat menimbulkan gejala somatik
seperti berdebar, aritmia, mual, susah tidur dan lain-lain, maka pengobatan
simtomatik dapat diberikan, sesuai kebutuhan tanpa menganggu persiapan lain.
Secara umum kecemasan, ketegangan pasien sehari sebelum tindakan
medik operatif akan meningkat, dan makin meningkat sesaat menjelang tindakan
medik operasi. Kunjungan dan penilaian data psikis spesialis anestesi menjadi
sangat penting berkaitan dengan pemberian premedikasi.
Perhatian yang memadai pada saat akan operasi dan pada saat menunggu
di ruang operasidari suatu penelitian terbukti dapat mengurangi kecemasan pasien
demikian juga dengan relaksasi dan pemberian anti ansietas sebelumnya.
Yang juga perlu diketahui juga bahwa kecemasan dan atau kesedihan
sebelum tindakan medik operatif tidak hanya dialami oleh pasien saja, namun
juga dirasakan oleh keluarga dan teman dekat pasien terutama bila penyakit
serius dan tindakan medis operatif yang akan dilakukan merupakan operasi besar.
Tidak boleh dilupakan peran aspek spiritual, berdoa kepada Yang Maha
Penyembuh Allah sM sangat membantu menenangkan hati, menambah harapan
dan mempercepat kesembuhan

EVALUASI DAN PENIIAIAN PASIOATINDAIGN MEDIK OPERATIF

Setelah operasi dan pasien sudah stabil serta mampu berkomunikasi maka
kelanjutan pembinaan hubungan dokter-pasien terutama komunikasiventilasi perlu
dilanjutkan. Untuk menilai kembali status psikis pasien terutama pada penyakit-
penyakit serius seperti amputasi, bedah jantung , kanker dan lain lain. Pasca
24 Ansietas dan Depresi

tindakan medik operatif gejala yang menonjol biasanya gejala-gejala depresi. Pasien
merasa kehilangan sesuatu dari tubuhnya, kelelahan dan kurang tenaga dari
perlawanan terhadap penyakit dan rangkaian pengobatan yang telah dilakukan
dan lain-lain.
Psikoterapi suportif atau rehabilitasi fungsi psikis sebaiknya segera dilakukan
untuk mencegah timbulnya depresi yang menetap'
Evaluasi berkala setelah rawat jalan bila diperlukan dapat memastikan ada
tidaknya sindrom depresi. Bila terdapat sindrom depresi sebaiknya dikonsultasikan
kepada psikosommatisian pemberian anti depresan. Pemberian anti depresan
yang sesuai dengan kondisi pasien dengan tetap memperhatikan kondisi somatik
serta efek samping terrhadap fungsi kardiovaskular'

RffiE\EI
Burg MM, Benedetto MC, Rosenberg R, Soufer R. Presurgical depression predicts medical
-morOibity
O months aftercoronary a-rtery bypass graft surgery. Psychosomatic Medicine.2003;
65:111-18,
Green AI Steptoe A. The effects of stress management on thequality -01!le o.ffaligl'ts fo-llowing acute
myoiardial infarction or coronary bypass surgery. Eur Heart J 1996; 17: 1663-70.
Gallaqher R, and McKinley S. Stressors and anxiety in patients undergoing coronary artery bypass
s[rgery. American JoL rnal of Critical Car e. 2007 :1 A:248-57
Rafanelli M, Roncuzzi R, Milaneschi Y. Minor depression as a cardiac risk lactor After coronary
artery bypass surgery. Psychosomatics 2006; 47:289-95
Vingerhoets Guy. Perioperative anxiety and depression in open-heart surgery. Psychosomatics
1998; 39:30-37
mmHR[lr
247

CDNTOH I(ASUS PERIOPERAIF

Berikut ini adalah contoh kasus perioperatif yang dapat ditemukan pada praktik
sehari-hari di mana seorang internis mendapatkan surat konsul yang dibuat oleh
sejawat rHT. Permintaan konsultasi yang tercantum pada surat konsultasinya
adalah mohon toleransi operasi pasien dan adakah kontraindikasi tindakan
operasi?
Pasien tersebut seorang laki-laki, 65 tahun, yang didiagnosis sebagai polip
nasi bilateral dan direncanakan polipektomi 2 hari mendatang. sejawat rHT telah
memberikan obat saat ini adalah Telfast OD 1 x 120 mg, Nasacort nasal spray 2
x 2 spray, Ciprofloxacin 2 x 500 mg, Frisium 1x 1. Hasil laboratorium:

Hb 13,3 g/dl (13-16) sGoT 22UA (<3s)


Ht 41,1 o/o (4048) SGPT 14 U/t(<36)
Leukosit 8.0001u1 (5.000-1 0.000)
Hitung jenis 011 1216413013 Ureum 37 mg/dl (10-50)
Trombosit 390.000/uL (1 50.000-400.000/uL) Kreatinin 1,4 mg/dl (0,5-1,5)
LED 6s (<15) Asam urat 6,4 mg/dl (3,4-7)

Masa perdarahan 3,5 menit (1-6 menit) Trigliserida 110 mg/dL (<200)
Masa pembekuan 11 menit (10-15 menit) Kolesterol tolal229 mg/dl (<200)
Kolesterol HDL 60 mg/dl (35-55)
Albumin 4,3 gidl t4-5,2) Kolesterol LDL 134 mgldl (<130)

Natrium 139 Eq/L (135-147)


Kalium 4,3 mEq/L (3,5-5,5)
Klorida 103 mEq/L (100-106)

setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik, pada lembar jawaban


konsultasi tertulis jawaban lengkap sebagai berikut:

L-L2-2a 07 (Pvtk vtL tS.=o)

-renta w selaw al,


\tl,n.

vada pasLew d,ewgaw poLtp wasL bLLateraL d,aw dLrewcawakaw


poLQeQtotruL z karL n*ewd,atawg, ka,,utL d,apatkaw rLwaaat
hr-.pertewsL 20 lahuw. pasLew seLarwa LwL berobat teratvtr, obat gawg
dLvwLwvLnt teralehLr an,"LodlpLw L x S ,.,/-q, Losaytnw L x So ,Mq.
Ad,awga wgerL dad,a, sesa?" pLwgsaw dLsawgl<"aL d,en*LlzLaw pwLa
248

yLw a
U
aL d,Lab eles vv-eLLirl,s, p ewgaVzLt 1 a wtu'wg k or o wer, str ok,
A swLA, tvLb erlzwLosLs, lzt twLw1.

PasLew LLd,ak. n*evwLLL@L rLwagat aLergL vwalzawaw atavt obat.


Tdnww tj85
pasLew perwah wtewlaLawL LaTarotontL uwttt-lz
p ewg a wgt<.ata w k a wdvtwg ewq ed u. P a sLew tLda!<" n*ent"LLLVzL
p.ebLa s a a w n,, er ol<"0k".

PevwerLl<.saaw {usLtz: TB a7o wLq, BB 70 kg.


1-D: L2l:0/80 n*wtFlQ, r) 76 X-tru-, P 20 X/v'/", s 37ac.
Mata: Q.owlvtwgtLva lLdate. ?wcll, slzLera tLdatz LtzterLVz
Lehen)vP woYWLaL

)awtvLwq: BJ l-ll waywLaL vw ywLwr -, qaLLop -


Pa,yL: s0w0r, vesL@v,-Ler, rowlzL -/- wlneezLwg -/-
Abdontew Lewtts, lerdayal sLVzatrLtz Lulza oVerasL, hatL daw LLwqa
tLdak" teraba, asLtes -, bLsLwg wsws w>rvwlL
€QsterntLtas: edewca tvtwqV<"aL -/-, alzraL l,tawgat

eab: d,Lslur:dewcLa, LaLw-LaLw daLan* balas worvwaL


I

EK4: .sl?, worweaL ai<sLs, 6zRS yate 7/L x/wt, LwtewaL ?R: a,Ic,-,
LwtervaL @RS o,og", tLd,a.Q.LerdaVat Terwbalrtaw 1eont"bawq ST d,aw
r.
Foto toraks: c1-R-<Soft, Lw{r.Ltrat '/ -

Kesirupulan
Pad,a yasLew dewgaw rewcl,wA oVerasL eLeVztLf dewgaw dLagwosLs
bedatr' poLQ wasL LwL tzawtL dapatte.aw
- t+ryevtewsL daLa'ru leraVL (cor covwVewsated)
- >LsLLVLd,ewtLa
dt sLlzo lzardLoLogL: rLwgaw
rzLsLtz.o p u-Ln*o woLo gL: rLwcj a w
K,owdLsL vwetaboLLk. daw hen*osLasLs stabLL.

SArAw:
ob al- ob ata w seb eLvtwtwtn a an
^-Lo
d
ryLw d, a w Lo s arta w dLtervtsQ.a w.
sLtr,,tvastatLw 1- x Lo vwq
P ewgewd aLLa w wr4erL V
as ca- oyer a sL

.eLLa selawat berkewa.w, kawtL a{"aw LVzv&


{ol.Low wp. TerLw-a rzasLttt

"epCl
>r. PapdL N'tsa^tara, SpPD
249

PEMBAHASAN

Konsultasi perioperatif pada kasus di atas merupakan permintaan pendapaU


pertanyaan dari sejawat dokter spesialis THT atau dokter anestesi kepada kita
sebagai seorang internis. Walau permintaan toleransi operasi dan pertanyan
adanya kontraindikasi operasi pada pasien sering diminta oleh sejawat lain, namun
jawaban yang kita berikan hendaknya mengacu pada tujuan konsultasi konsultasi
perioperatif yaitu kita harus mengidentifikasi penyakit penyerta serta faktor-faktor
risiko operasi yang tidak terdeteksi sebelumnya, mengoptimalkan keadaan pasien
sebelum menjalanioperasi, dan, dan mengobati keadaan yang dapat menyebabkan
terjadinya komplikasi pasca operasi.
Hasil pemeriksaan klinis dan penunjang pada pasien ini adalah terdapatnya
penyakit penyerta hipertensi yang sudah mendapat pengobatan dan dislipidemia.
Komplikasi hipertensi seperti strok, infark miokard, gagaljantung, penyakit ginjal
kronik tidak dijumpai pada pasien ini. Obat hipertensi yang dikonsumsi selama
ini dapat diteruskan hingga pagi menjelang operasi. Pasca operasi rasa nyeri
harus dihindari karena dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah.

Bagaiamana risiko kardiovaskular pada pasien tersebut?


Pada pasien yang akan menjalani operasi risiko yang selalu menjadi perhatian
adalah risiko kardiovaskular dan risiko pulmonal, sehingga 5 tahap penilaian jantung
perioperatatif (ACC/AHA 2007) dapat dijadikan acuan dalam menentukan risiko
kardiovaskular. Untuk melalui tahap-tahap tersebut ada beberapa pertanyaan yang
harus dijawab: (lihat Bab 2.2)
1. Apakah operasi bersifat emergensi? Pasien ini akan menjalani operasi
elektif.
2. Apakah pasien memiliki satu kondisi penyakit jantung yang aktif?
Berdasarkan pemeriksaan klinis dan penunjang tidak dijumpai keadaan
sindrom koroner akut, gagal jantung kongestif, aritmia, dan penyakit
jantung katup.
Apakah pasien akan menjalani operasi risiko rendah? Pasien akan
menjalani operasi di daerah kepala sesuai dengan stratifikasi risiko
sedang
4. Apakah pasien mempunyai kapasitas fungsional yang baik? Tidak
terdapat gangguan kapasitas fungsional pada pasien?
Apakah ada faktor risiko klinis? Pada pasien tidak didapatkan riwayat
penyakit jantung iskemik, gagal jantung, pemnyakit serebrovaskular,
diabetes, atau insufisiensi ginjal.
2s0

Pada kasus ini sesuai dengan algoritma lihat gambar 1 Bab 2.2 maka tidak
diperlukan evaluasi lebih lanjut lagi dari sisi kardiovaskular dan dapat menjalani
tindakan operasi.

Bagaimana risiko pulmonal pada pasien tersebut?


Pada pasien tidak didapatkan faktor risiko paru pasca operasi (Lihat Bab 2.3)

Jawaban kesimpulan apa yang diharapkan dari seorang internis?


Jawaban yang sebenarnya dibutuhkan adalah identifikasi penyakit penyerta dan
faktor risiko yang sebelumnya tidak diketahi. Sejawat anestesi akan melakukan
penilaian risiko operasi dengan skor ASA (American Society of Anesthesiology)
dengan nilai t hingga 5.
Pada lembar jawaban tersebut hendaknya kita menghindari penulisan pernyataan
sebagai berikut:

. saat in"i terdapat (atav" tidak terdapat) ada korutra indikasi


operasi
' Acc operasi
' risiko operasi rirugaw (ataupuw seda/.4,g, berat)

Lain-lain:
Lembar jawaban konsultasi adalah dokumen resmi maka jangan lupa melengkapi
jawaban konsultasi dengan waktu kita menjawab surat konsultasi tersebut (tanggal
dan jam) dan nama lengkap kita.

Anda mungkin juga menyukai