25 cm x 17.5 cm
xiii + 250 halaman
ISBN : 978-979-9455-72-7
/a
Diterbitkan pertama kali oleh
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas In,donesia
J[. Diponegoro No. 71 ]akafta Pusat 10430
Telp. r O2L-3|9O3775 Faks. : 021-31903776
Email : pipfkui@yahoo.corn Website : www.i'nternafkui.or.id
Upaya pembuatan buku ini tidak lepas dari peran para staf Departemen
Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM yang berkecimpung dalam dunia
penerbitan yang dikenal sebagai Pusat Penerbitan. Penerbitan buku ini
telah menjadi agenda bagi kami untuk dilaksanakan pada tahun 2OO7.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada para penulis, staf
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, yang telah menjadi
kontributor tulisan pada buku ini,
Wassalam
Tim editor
ilt
Sambutan
Kedoktera n perioperatif tida k meru paka n subspesial isasi penya kit dalam,
tetapi lebih merupakan pengetahun baru yang memberikan kemampuan
kepada para dokter spesialis penyakit dalam untuk mengetahui faktor-
faktor risiko sebelum operasi dilakukan, mengelola kelainan bidang
penyakit dalam selama masa perioperatif, memperkirakan risiko operasi,
dan menanggulangi penyulit yang timbul.
R. Sjamsuhidajat
Dokter Spesialis Bedah
Desember 2007
Dr. Andri Sanityosor Sp.PD Divisi Hepatologi
Depaftemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUIIRSUPN, Dr.Cipto Mangunkusumo
Prof. Dr. Herdiman T. Poha& SP.PD' KPTI Divisi Penyakit Tropik Infeksi
Depademen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo
vH
Dr.Hamzah Shatri, Sp.PD,KPsi Divisi Psikosomatik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusumo
vilt
Dr. Reno GustalrianirSp.PD Divisi Metabolik Endokrin
Departemen IImu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN. Dr.Cipto Mangunkusutuno
Dr, Ryan R.anity.a,Sp.PD Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKU,IIR.SUPD'1. Dr.Cipto Mangunkusurno
tx
Daftar Isi
BABI : KONSULTASIPERIOPERATIF
Konsultasi Perioperatif Bagi Spesialis Penyakit Dalam :
Falsafah dan Prinsip .'.'...........3
Aru W. SudoYo, Kuntjoro Harimufti
Ikhwan Rinaldi
xi
3.3 Penyakit Jantung Valvular .. 103
Sally Arnan Nasution, Lukrnan Hakim Makmun
xil
3.18 Infeksi Human Immunodeficiency Virus/Acquired
Immune Deficiency SYndrome .'.........216
Evy Yunihastuti, Samsuridjal Djauzi
Lampiran:
Contoh kasus perioperatif, jawaban konsultasi, dan
pembahasa n
xilt
BIB I
Konsultasi Perioperatif bagi Spesialis
Penyakit llalam : Falsafah dan Prinsip
Aru W. Sudoyo, Kuntjoro Harimurti
1"Seringkali" di *ini diartikan bahwa tidak semua institusi pelayanan nredik mawajibkan diadakan
kr:nsuliasi terlebih dahulu pada $esrang internis ateu spesialis penyakit dalam.
4 Konsultasi Perioperatif bagi Spesialis Penyakit Dalam: Falsafah dan Prinsip
Hal di atas penting karena seorang pasien mungkin sudah mengidap penyakit
kronik atau menahun yang dapat memperberat kondisinya akibat tindakan
pembedahan maupun anestesi terhadapnya. Sumbangsih seorang internis2 adalah
berupaya memberikan ketenangan pada ahli bedah serta ahli anestesi dalam
menjalankan tugasnya, dengan cara mengamankan pasien dari perburukan
keadaan akibat penyakit penyerta tersebut (misalnya diabetes melitus, hipertensi,
gangguan jantung dan pernapasan, atau karena usia yang lanjut).
Dalam menjawab konsultasi perioperatif tersebut, seorang internis juga harus
diberi batasan-batasan sehingga tidak melampaui kapasitasnya sebagai konsultan
preoperatif. Sebuah contoh adalah pada penilaian (assessrnenf) kardiopulmoner
pasien yang akan dioperasi, hal-hal yang perlu dipegang diantaranya:
1. Tujuannya adalah menentukan dan melaporkan apakah terdapat risiko
berlebih (excess risk) dan bukan uraian penyakitnya;
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah kunci;
3. Apakah ada perubahan dalam keadaan pasien atau status kesehatannya
4. Nilai toleransi terhadap beban fisik atau latihan;
5. Apakah pasien mempunyai profil risiko kardiak rendah, sedang, atau tinggi?;
3 "Medical ethics"' is
pimarily a field of applied ethics, the study of moral value/moral values
and judgmenfs as fhey apply ta medicine. As a scholarly ciisciptine, medical ethics
encor??passes its practical applicatian in clinical seftiogs as well as work on its history, plti-
losophy, theology, and sociology." (Wikipedia).
5 Konsultasi Perioperatif bagi Spesialis Penyakit Dalam: Falsafah dan Prinsip
pada situasi dan kondisi pasien, dengan berpegang pada prinsip dan falsafah
etika kedokteran (jangan merugikan pasien).
Halyang penting adalah, perlu ditetapkan dahulu bahwa konsultasi preoperatif
dilaksanakan atas permintaan. Setelah diminta, jawaban konsultasi itu diberikan
dengan berpegang pada etika dan profesionalisme, yang kadang-kadang
memerlukan keberanian mengutarakan pendapat demi keselamatan pasien -
sepanjang itu tidak keluar dari wewenang profesional dan kompetensi konsultan
tersebut.
IGSIIIIR LAN
Peran spesialis penyakit dalam dalam memberikan konsultasi preoperatif adalah:6
1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi status medik pasien;
2. memberikan profil atau gambaran medik atas keadaan klinis pasien;
3. Menentukan dan menyarankan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan
sebelum operasi; dan
4. Mengupayakan perbaikan kondisi pasien agar risiko operasi dikurangi.
5. lnternis dalam menjawab konsul perioperatif tidak menyatakan ada tidaknya
indikasi atau kontraindikasi operasi
REMENEI
1 . Med ClinNorth Am 2003; 87(1)
2. Arch lnt Med 1983;143:1753
BIB II
11
Jantung
American College of Cardiology (ACC)/ American Heart Association (AHA)
membuat tiga kelas faktor risiko dengan gradasi risiko sebagai berikut:
Faktor risiko major
. Sindrom koroner tidak stabil
. Gagal jantung kongestif (dekompensasi)
. Aritmia tidak terkontrol
. Lesi katup berat
Faktor lntermediate
. Angina stabil/ringan
. Riwayat infark miokard sebelumnya
. Gagal jantung kongestif terkompensasi
. Diabetes melitus
. lnsufisiensi ginjal
Faktor risiko minor
. Usia lanjut
. EKG abnormal
. lrama non sinus stabil
. Kapasitas fungsional buruk
. Gangguanserebrovaskularsebelumnya
. Hipertensi tidak terkontrol
lndeks risiko jantung yang telah direvisi (Revlsed Cardiac Risk lndex) adalah
alat stratifikasi risiko yang telah divalidasi dengan menggunakan variabel yang
lebih sedikit:
. Pembedahan risiko tinggi
. Penyakit jantung iskemik
. Riwayat gagal jantung kongestif
. lnsufisiensi ginjal
. Diabetes melitus yang memerlukan terapi insulin
. Riwayatpenyakitserebrovaskular
Siti Setiati, Arif Mansjoer 13
Paru
Anamnesis untuk mengevaluasi fungsi paru seyogianya berfokus pada adanya
dan beratnya faktor risiko yang ada pada pasien. Setiap riwayat penyakit paru
kronik harus dievaluasi secara rinci. Upaya harus dilakukan untuk menentukan
kondisi awal pasien (patient's baseline) dan apakah terjadi perburukan pada
fungsi paru seperti meningkatnya batuk dan produksi sputum. Setiap gejala
adanya infeksi saluran napas atas harus ditemukenali. Walaupun bukan suatu
kontraindikasi mutlak untuk pembedahan, lebih bijaksana untuk menunda prosedur
pembedahan yang bersifat elektif manakala dijumpai adanya infeksi tersebut.
Usia lanjut, terutama usia >60 tahun, juga diidentifikasi sebagai prediktor
komplikasi paru pasca pembedahan. Riwayat merokok juga harus diperoleh.
Kondisi komorbid akan mempengaruhi terjadinya komplikasi pada paru.
Karenanya, riwayat medis yang lengkap harus diperoleh. Status kesehatan yang
buruk dikaitkan pula dengan risiko gangguan paru perioperatif yang meningkat.
Obat anti hipertensi yang dikonsumsi sebelum masuk rumah sakit harus
dievaluasi karena mungkin akan berpengaruh pada saat periode perioperatif. Bila
pasien telah mengkonsumsi penyekat beta atau klonidin dalam jangka lama,
penghentian obal-obat tersebut mungkin akan menyebabkan takikardia dan
rebound hypertension
Diabetes melitus
Diabetes melitus dan hiperglikemia akan meningkatkan risiko outcome yang buruk.
Kontrol gula darah yang buruk berkaitan dengan risiko infeksi pasca pembedahan.
Oleh karenanya perlu dilakukan anamnesis riwayat diabetes melitus dan kontrol
gula darahnya. Pasien diabetes melitus juga berisiko tinggi mengalami penyakit
jantung dan pembuluh darah. Untuk itu, stratifikasi risiko yang tepat untuk terjadinya
komplikasijantung saat pembedahan adalah penting dilakukan ketika melakukan
evaluasi perioperatif
Penggunaan steroid
Pembedahan adalah aktivator poten untuk aksis hipotalamus-hipofisis. Pasien
dengan insufisiensi adrenal mungkin kehilangan respons terhadap stres
pembedahan
Status fungsional
Estimasi kondisi status fungsional pasien juga perlu dibuat. Pengkajian tentang
status fungsional yang terpercaya adalah dengan anamnesis yang baik. Pada
umumnya jika pasien tidak dapat melakukan aktivitas sampai dengan 4 MET's ,
mereka berada di dalam status fungsional yang buruk. Beberapa contoh kegiatan
yang umumnya membutuhkan lebih dari 4 MET's antara lain:
. Mampu mendaki satu atau lebih anak tangga tanpa kelelahan yang berat
. Mampu berlari jarak pendek
. Mampu melakukan pekerjaan rumah yang cukup berat seperti mengepel
lantai rumah, berkebun, dsb.
Agar lebih dapat menyaring kondisi medis yang perlu dipersiapkan secara
khusus, Badner (1998) telah mengembang kuisioner berisi 36 pertanyaan yang
diisi oleh pasien yang akan dioperasi. Kuisioner ini (lihat lampiran) bukan untuk
menggantikan anamnesis yang dilakukan oleh dokter namun dapat untuk
melengkapi evaluasi kondisi medis pasien.
Siti Setiati, Arif Mansjoer 15
PEMERIIGAAN FISIK
Pemeriksaan fisik yang menyeluruh harus dilakukan agar tidak ada kelainan
penting yang terlewatkan. Perhatian khusus seyogianya diberikan pada tanda
vital, terutama tekanan darah. Kendati hipertensi yang tidak terkontrol hanya
merupakan kriteria minor pada pedoman ACC/AHA, tekanan darah sistolik >'180
atau diastolik > 110 mmHg pada umumnya merupakan kontraindikasi untuk
pembedahan elektif., dan oleh karenanya harus diterapi terlebih dahulu sebelum
tindakan pembedahan dilakukan. Pemeriksaan jantung yang teliti dapat
mendeteksi adanya gagal jantung yang aktif atau murmur jantung, khususnya
stenosis aorta. Adanya bunyi jantung 53, meningkatnya tekanan vena jugularis,
bradikardia, takikardia, dan iregularitas karena ectopic beaf perlu mendapat
perhatian serius karena merupakan faktor risiko perioperatif. Pemeriksaan
ekstremitas bawah mungkin menunjukkan adanya abnormalitas denyut nadi atau
edema yang menunjukkan adanya masalah sirkulasi atau jantung.
Pada paru, adanya penyakit paru kronik perlu mendapat perhatian, seperti
meningkatnya dimensi anteroposterior dada dan adanya bunyi napas tambahan
terutama wheezing. Adanya ronkhi atau bronkospasme mungkin menunjukkan
ada penyakit paru atau gagal jantung. Adanya batuk persisten saat pemeriksaan
fisik dilakukan juga merupakan indikator meningkatnya risiko perioperatif.
Pada hati, tandatanda adanya gangguan hati perlu dicari, seperti ikterus,
asites, demikian pula spider nevi, eritema palmaris, atrofi testes.
16 Pengkajian Perioperatif Berdasarkan pada Anamnesis
PEMERIIGAAN PENUNIAT{G
Jantung
Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) direkomendasikan pada laki-laki berusia
di atas 40 tahun dan perempuan berusia di atas 50 tahun yang menjalani prosedur
pembedahan risiko sedang dan tinggi. Setiap pasien yang diduga memilikipenyakit
jantung karena memiliki faktor risiko (misal: diabetes) seyogianya dilakukan
pemeriksaan EKG. Namun demikian, EKG tidaklah rutin dikerjakan pada pasien
yang menjalani prosedur pembedahan dengan risiko ringan.
Pemeriksaan ekokardiogram umumnya tidak rutin dikerjakan' Namun bila
dijumpai adanya murmur pada pemeriksaan fisik yang dicurigai berhubungan
dengan penyakit valvular (kelainan katup), ekokardiografi sebaiknya dikerjakan.
Pengkajian atas fungsi ventrikel kiri seyogianya dipertimbangkan manakala
terdapat kecurigaan akan adanya gagal jantung kongestif yang sebelumnya tidak
terdiagnosis. Sfress evaluation tidak rutin dilakukan pada semua pasien yang
akan menjalani pembedahan tidak diperlukan.
Uji latih (exercise testing),jika pasien mampu untuk melakukan latihan secara
adekuat, uji latih (exercise testing) adalah pilihan pertama. Ketidak mampuan
untuk berlatih dengan adekuat merupakan faktor risiko untuk oufcome yang buruk.
Pasien harus mampu melakukan latihan sampai dengan 85% denyut jantung
maksimal
Angiografi koroner (coronary angiography), tidak rutin dikerjakan sebagai
metode stratifikasi faktor risiko. Angiografi pra pembedahan diindikasikan pada
pasien yang berisiko tinggi pada uji non-invasif, dengan tujuan untuk menetapkan
tingkat risiko perioperatif, dan menentukan apakah pasien memiliki penyakit yang
memerlukan pertimbangan untuk revaskularisasi
Siti Setiati, Arif Mansjoer t7
LR:likelihood ratio
Paru
Uji fungsi paru, tidak jelas perannya dan kontroversial. Walaupun uji fungsi paru
dapat dilakukan untuk menetapkan penyakit paru, pada pembedahan non paru
uji tersebut tidak banyak manfaatnya. Namun demikian, pada pasien dengan
gejala gangguan paru yang tidak dapat dijelaskan dan pasien dengan penyakit
paru, uji fungsi paru dapat dilakukan.
Analisis gas darah, pada umumnya bukan merupakan bagian integral dari
evaluasi paru dan juga tidak jelas perannya dalam memperkirakan risiko paru pra
18 Pengkajian Perioperatif Berdasarkan pada Anamnesis
pembedahan. Analisis gas darah perlu dilakukan bila secara klinis memang
dibutuhkan, misalnya untuk menentukan apakah penyakit paru pasien yang
menjalani pembedahan terkompensasi.
Radiografi dada, seyogianya tidak dilakukan rutin untuk mengevaluasi risiko
paru perioperatif. Radiografidada seringkalitidak mempengaruhitatalaksana karena
gambaran yang ditemukan bersifat kronik. Namun demikian, pada pasien yang
berusia di atas 50 tahun, pemeriksaan radiografi dada semakin diperlukan.
Diabetes melitus
Pemeriksaan gula darah dan Hemoglobin A1c seyogianya dilakukan untuk
membedakan kejadian perioperative sfress hyperglycemia dari diabetes melitus
yang tidak terdiagnosis. Pada pasien yang sudah diketahui menderita diabetes
melitus sebaiknya diketahui kontrol gula darahnya agar dapat ditentukan jenis
terapi yang dibutuhkan. Evaluasi fungsi ginjal seyogianya dilakukan pada pasien
dengan diabetes melitus yang akan menjalani pembedahan.
Referensi
1. WoffsthalSD. General risk assessment. ln:WolfsthalSD. Medicalperioperative management'89/
'90. London: Prentice-Hall lnternational; 1 989.p, 5-10.
2. Badner NH, Craen RA, PaulTL, Doyle JA. Anesthesia preadmission assessment: a new ap-
I proach through use of a screening questionnaire. Can J Anaesth. 1 998; 45:87-92.
3. Smetana GW, Macpherson DS. The case against routine preoperative laboratory testing. Med
Clin North Am. 2003; 87 : 7 -40.
Siti Setiati, Arif Mansjoer 19
IAMPIRAN:
Kuisioner Penyaring Preoperatif
32. Harap tulis daftar makanan atau obat yang menyebabkan anda alergi.
33. Harap tulis daftar obat-obat yang sedang anda minum saat ini.
34. Harap tulis daftar operasi yang pernah anda jalani'sebelumnya.
35. Bila hari ini adalah hari anda dioperasi, kapan anda terakhir makan atau
minum?
36. Umur: Berat: Tinggi
Pada pasien yang menjawab ya pada pertanyaan #1-8,10-14, 16, 19-25, atau
30 harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap sebagai bagian
dari evaluasi preoperatif.
2t
penyakit
kardiovaskularakan meningkatseiring dengan meningkatnya
f,)revalensi
I usia dan diperkirakan jumlah pasien usia lanjut akan bertambah dalam
beberapa dasawarsa yang akan datang.l Kelompok usia lanjut ini merupakan
jumlah terbesar dilakukannya prosedur bedah.2 Hampir seperempat prosedur bedah
ini adalah prosedur bedah intraabdomen, toraks, vaskular dan ortopedi yang
dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular perioperatif yang
bermakna.3 Tulisan ini akan membahas khusus evaluasi kardiovaskular perioperatif
pada operasi non kardiak
Evaluasi kardiovaskular dilakukan pada pasien yang menjalani operasi non
kardiak bila diduga pada pasien yang mempunyai risiko mortalitas dan morbiditas
jantung perioperatif. Pada pasien yang diketahui menderita penyakit jatung koroner
(PJK) atau onsef baru gejala dan tanda yang dicurigai PJK, harus dilakukan
penilaian awal (baseline) terhadap kondisi jantung.
Evaluasi jantung praoperatif harus dilakukan dengan hati-hati tergantung
kondisipenyakit bedahnya. Pada kasus emergensi bedah akut, evaluasi praoperatif
terbatas pada tes sederhana dan penting seperti penilaian cepat tanda vital
kardiovaskular, status volume, hematokrit, elektrolit, fungsi ginjal, analisis urin
dan EKG. Hanya tes dan intervensi yang paling mendasar yang dilakukan sampai
dilakukan tindakan emergensi bedah akut. Evaluasi lebih lanjut dapat dilakukan
setelah operasi. Pada pasien yang revaskularisasi koroner bukanlah merupakan
pilihan, tidak perlu dilakukan tes stres noninvasif. Pada kondisi tidak urgen, evaluasi
jantung praoperatif dapat menimbulkan konsekuensi antara lain menunda prosedur
elektif.
22 Evaluasi Kardiovaskular Perioperatif
A]{A,IIINESIS
PEMERIIGAANFISTS
yang baik gagal jantung kronik kecuali tekanan vena jugular meningkat atau tes
hepatojugular positif.
Pemeriksaan terhadap pulsasi arteri karotis dan arteri lain juga penting.
Adanya penyakit vaskular yang terkait, perlu dicurigai PJK yang tersembunyi.
Auskultasi jantung sering memberikan arahan penyakit jantung yang mendasari.
Jika ditemukan bunyijantung ketiga pada daerah apeks, dicurigai fungsi ventrikel
kiri yang menurun, namun bila tidak ditemukan tidak menunjukkan fungsi ventrikel
kiri yang baik.10 Jika terdengar murmur, perlu ditentukan ada tidaknya penyakit
1 METs
Apakah dapat mengurus diri sendiri? Makan, berpakaian, ke toilet? Berjalan dari
rumah? Beiialan 1 alau 2 blok pada jalan datar 3,2-4,8 km/jam. Dapat mengerjakan
pekerjaan rumah seperti membersihkan debu atau mencuci piring.
4 METs
J Naik 1 trap anak tangga atau jalan mendaki? Jalan datar 6,4 km/jam? Lari jarak
pendek? Mengerjakan pekerjaan berat sqgerti . menyikat lantai,
seperti golf,
mengangkaVm"nig6ser perabot yang berat? Mengikuti aktivitas
,
bowling, mena{, tenis ganda, melempar base ball atau bola kaki?
>fOmefs
Olahraga renang, tenis tunggal, bola kaki, bola basket atau main ski?
24 Evaluasi Kardiovaskular Perioperatif
valvular yang bermakna. Deteksi stenosis aorta yang bermakna cukup penting
karena memberikan risiko yang lebih tinggi terhadap operasi non jantung.ll
Stenosis atau regurgitasi mitral yang bermakna meningkatkan risiko gagaljantung.
Regurgitasi aorta dan mitral mungkin minimal namun dapat merupakan predisposisi
terjadinya endokarditis infektif.
PEMERIIGAANPENUNIANG
Konsultan harus menilai data laboratorium yang ada seperti kimia darah dan juga
pemeriksaan folo roentgen dada berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.
EKG sering dikerjakan sebagai bagian evaluasi praoperatif pada semua pasien
yang melebihi usia spesifik atau menjalani prosedur tertentu yang spesifik.
Gangguan elektrolit dan metabolik, obat-obatan, penyakit intrakranial dan
penyakit paru dapat mempengaruhi hasil EKG. Kelainan konduksi, seperti blok
cabang berkas kanan atau blok atrioventrikular derajat satu perlu mendapat
perhatian namun biasanaya tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan. Sama halnya
dengan aritmia ventrikular asimtomatik, bahkan jika ditemukan penyakit jantung
struktu ra|.12,13
Evaluasi klinis dasar berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan EKG biasanya
memberi data yang cukup untuk memperkirakan risiko jantung. Dalam upaya
untuk mengkode faktor klinis dan laboratorium yang dapat mempengaruhi ouf-
corne, sejumlah peneliti telah mengembangkan indeks risiko dalam 25 tahun
terakhir berdasarkan analisis multivariabel.ll'23 Lee et al, telah memvalidasi indeks
sederhana untuk memprediksi risiko jantung pada pasien stabil yang menjalani
operasi non jantung utama yang tidak emergensi.a Enam risiko independen yang
terkait telah diidentifikasi yaitu:
1 . penyakit jantung iskemik (didefinisikan sebagai riwayat infark miokard, riwayat
tes treadmill positif, penggunaan nitrogliserin, keluhan nyeri dada yang baru
terjadi yang diduga sekunder karena iskemia koroner, atau EKG dengan
gelombang Q abnormal);
2. gagal jantung kongestif (didefinisikan sebagai riwayat gagal jantung, edema
paru, edema perifer, ronki bilateral, 53 atau redistribusi vaskular paru pada
foto dada);
3. penyakit vaskular serebral (riwayat transient ischemic attack atau strok);
4. operasi risiko tinggi (aneurisma aorta abdominalis atau vaskular lain, toraks,
abdomen atau operasi ortopedi);
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 25
PENIIAIANIGINIS
Terdapat sekelompok penyakit jantung aktif yang jika ditemukan menuniukkan
risiko klinis mayor. Adanya satu atau lebih kondisi tersebut memerlukan
tatalaksana intensif dan dapat menunda atau membatalkan operasi kecuali operasi
yang bersifat emergensi. Kondisi ini mencakup:
. Sindrom koroner tak stabil; angina berat atau tak stabil, infark rniokard yang
baru terjadi.
. Gagal jantung dekompensasi
. Aritmia yang bermakna
. Penyakit valvular berat
berkas kiri, abnormalitas ST-T), irama selain sinus dan hipertensi yang tak
terkendali.
Pada Gambar 1 dapat dilihat algoritme untuk menentukan pasien mana yang
merupakan kandidat untuk pemeriksaan jantung.
Tahap 2: Apakah pasien mempunyai 1 kondisi jantung aktif pada tabel 1 ?. Jika
tidak masuk ke tahap 3. Pada pasien yang dipertimbangkan untuk operasi non
kardiak elektif, adanya penyakit koroner tidak stabil, gagaljantung dekompensasi
atau aritmia berat atau penyakit jantung valvular biasanya mengakibatkan
pembatalan atau penundaan operasi sampai masalah jantung telah diklarifikasi
dan diterapi secara adekuat. Sebagai contoh sindrom koroner tak stabil mencakup
infark miokard sebelumnya dengan bukti risiko iskemik penting dengan gejala
klinis atau pemeriksaan non invasif terdapat angina berat atau tak stabil dan
iskemia kurang terkendali melalui gagal jantung. Banyak pasien pada keadaan
ini dirujuk untuk dilakukan angiografi koroner untuk menilai pilihan terapi
selanjutnya. Tergantung hasil tes atau intervensi dan risiko penundaan operasi,
mungkin cukup adekuat untuk melakukan rencana operasi dengan terapi medis
maksimal.
Tahap 3:Apakah pasien akan menjalani operasi risiko rendah ? Banyak tindakan
dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas < 1% (lihat Tabel 3), bahkan pada
pasien risiko tinggi. Mortalitas pada hari operasi, pada banyak tindakan operasi
rawat jalan, ternyata lebih rendah daripada mortalitas hari ke-30, yang menduga
bahwa peningkatan risiko operasi rawat jalan bisa diabaikan atau mungkin
protektif.26 Sehingga intervensi berdasarkan pemeriksaan kardiovaskular pasien
stabil jarang mengakibatkan perubahan dalam penatalaksanaan, dan cukup
adekuat untuk melakukan tindakan operasi yang direncanakan.
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 27
Dalam satu seri 600 pasien yang menjalani tindakan non kardiak mayor, iskemia
miokard perioperatif dan komplikasi kardiovaskular lebih lain sering dijumpai pada
pasien yang dilaporkan dengan toleransi latihan yang rendah (tidak mampu
berjalan 4 blok atau naik 2 lantai), bahkan setelah disesuaikan dengan karakteristik
dasar yang diketahui berkaitan dengan peningkatan risiko.3o
klinis yang akan menentukan keperluan evaluasi selanjutnya. JikA pasien tidak
mempunyai faktor risiko klinis, hal ini cukup untuk melakukan operasi yang
direncanakan, dan tidak dianjurkan perubahan tata laksana selanjutnya.
Jika pasien mempunyai 1 atau 2 faktor risiko, beralasan untuk melakukan
operasi yang direncanakan, dengan kontrol frekuensi jantung dengan penyekat
beta, atau pemeriksaan lanjutan jika akan mengubah tatalaksana.
Pada pasien dengan 3 atau lebih faktor risiko klinis, risiko kardiak yang
spesifik operasi (tabel 3). Risiko kardiak yang spesifik operasi pada operasi
nonkardiak dikaitkan dengan 2 hal penting. Pertama, jenis operasi dapat
mengidentifikasi pasien dengan kecenderungan lebih besar penyakit jantung yang
mendasarinya dan morbiditas dan mortalitas perioperatif yang lebih tinggi.
Pada pasien yang menjalani operasi vaskular, pemeriksaan hanya
dipertimbangkan jika akan mengubah tatalaksana. Jenis operasi yang lain dikaitkan
dengan risiko sama dengan operasi vaskular namun belum pernah diteliti secara
mendalam. Untuk operasi non vaskular, derajat stres hemodinamik kardial
menentukan risiko spesifik bedah. Tergantung tindakan bedah non kardiak, mungkin
dikaitkan dengan perubahan frekuensi jantung, tekanan darah, volume vaskular,
nyeri, perdarahan, kecenderungan pembekuan darah, oksigenasi, aktivasi neuro-
humoral dan lain-lain. lntensitas stresor miokard dan koroner membantu
menentukan kecenderungan komplikasijantung perioperatif. Morbiditas perioperatif
yang dikaitkan dengan tindakan berkisar antara 1-5o/o. Pada pasien yang
dipertimbangkan siap untuk menjalani bedah risiko intermediate, tidak cukup data
untuk menentukan strategi terbaik (menjalankan operasi yang direncanakan
dengan mengendalikan secara ketat frekuensi jantung dengan penyekat beta
atau melakukan pemeriksaan kardiovaskular lebih lanjut jika akan mengubah
tata laksana).
I(EIMR'LAN
Evaluasi perioperatif yang sukses dan tatalaksana pasien jantung risiko tinggi
yang menjalani operasi non kardiak membutuhkan suatu kerjasama tim dan
komunikasi antara ahli bedah, ahli anestesi dan ahli penyakit dalam/konsultan.
Secara umum, indikasi untuk pemeriksaan jantung lanjutan dan tatalaksananya
adalah sama seperti kondisi non operatif, tetapi waktunya tergantung pada
beberapa faktor mencakup urgensi operasi non jantung, faktor risiko spesifik pada
pasien dan pertimbangan spesifik operasi. Penggunaan bersama tes non invasif
dan invasif praoperatif terbatas pada keadaan di mana hasil dari tes akan
mempengaruhi secara jelas tatalaksana pasien. Ahli penyakit Dalam/konsultan
menyiapkan pasien sebaik-baiknya dengan membuat rekomendasi yang ditujukan
untuk menurunkan risiko jantung perioperatif segera, sama baiknya dengan
penilaian tehadap kebutuhan untuk stratiflkasi risiko dan intervensi pasca operatif
selanjutnya.
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 29
@
@
@ Kapasitas fungsjonal baik
(level IVETZ4) tanpa rujukan
(k6hs LLOE. B)
I *"**o."
I -l
Pertimbangkan itu
iika akan mengubah
Operasi sesuai rencana dengan kontrol frekuensi jantung
(kelas lia.LoE B) atau pertimbangkan tes non invasif (kelas llb, LoE
jika akan mengambil tatalaksana
I-
| "p"""
Rutukan I
tatalaksana *sesuai
RffiRENEI
1 . Mangano DT. Perioperative cardiac morbidity. Anesthesiology 1990;72:153-84.
2. Fleisher LA, Eagle KA. Clinical practice; lowering cardiac risk in noncardiac surgery. N EnglJ Med
2001',345:1677- 82.
3. Fleisher LA, Beattie C. Current practice in the preoperative evaluation of patients undergoing major
vascular surgery: a survey of cardiovascular anesthesiologists. J Cardiothorac Vasc Anesth
1993;7:650-4.
4. FleisherLA, BeckmanJA, Brown KAetal.ACC/AHA 200Tguidelineson PerioperativeCardiovascu-
lar Evaluation and Care for Noncardiac Surgey.
5. RogerVL,BallardDJ,HallettJWJr.,OsmundsonPJ,PuetPA,GershBJ.lnfluenceo{coronaryadery
disease on morbidity and mortality after abdominal aortic aneurysmectomy: a population-based study,
1 971-1 987. J Am Coll Cardiol 1 989;14:124*52.
6. Herlzer NR. Basic data concerning associated coronary disease in peripheral vascular patients. Ann
Vasc Surg 1 987;1 :616 -20.
7. Gersh BJ, Rihal CS, Rooke TW, Ballard DJ. Evaluation and management of patients with both
peripheral vascular and coronary artery disease. J Am Coll Cardiol 1991 ;18:203-14.
B. Jamieson WR, Janusz MT, Miyagishima RT, Gerein AN. lnfluence of ischemic heart disease on early
and late mortality after surgery for peripheral occlusive vascular disease. Circulation 1982;66:192-197.
9+ abdominojugular test: technique and hemodynamic conelates. Ann lntern Med
-' Errvy GA. The
1 988;1 09:45G60.
10. Butman SM, Ewy GA, Standen JR, Kern KB, Hahn E. Bedside cardiovascular examination in patients
with severe chronic heart failure: importance of rest or inducible jugular venous distension. J Am Coll
Cardiol 1 993;22:968 -74.
11 . Goldman L, Caldera DL, Nussbaum SR, et al. Multifactorial index of cardiac risk in noncardiac surgical
procedures. N Engl J \tied 1977 ;297 : 845-50.
30 Evaluasi Kardiovaskular Perioperatif
12. O'Kelly B, Browner WS, Massie B, Tubau J, Ngo L, Mangano DT. Ventricular arrhythmias in
patients undergoing noncardiac surgery. The Study of Perioperative lschemia Research Group.
JAMA 1992;268:217-21.
13. Mahla E, Rotman B, Rehak P, et al. Perioperative ventricular dysrhythmias in patients with
structural heart disease undergoing noncardiac surgery. Anesth Analg 1998;86:16 -21.
14. Ashton CM, Petersen NJ, Wray NP, et al. The incidence of perioperative myocardial infarction in
men undergoing noncardiac surgery. Ann lntern Med 1993;118:504 -10.
15. Hollenberq M, Mangano DT, Browner WS, London MJ, Tubau JF, Tateo lM. Predictors of
postoperaiive'myoclrdial ischemia in patiehts undergoing noncardiac surgery. The Study of
Perioperative lschemia Research Group. JAMA 1992;268:205-9.
16. Hubbar.d BL, Gibbons RJ, LapeyreACl, ZinsmeisterAR, Clements lP. ldentification of severe
coronary artery disease using simple clinical parameters. Arch lntern Med 1 992;152:309 -12.
17. Lette J, Waters D, Bernier H, et al. Preoperative and long{erm cardiac risk assessment: predic-
tive value of 23 clinical descriptors, 7 multivariate scoring systems, and quantitative dipyridamole
imaging in 360 patients. Ann Surg 1992;216:192-204.
18. Manqano DT, Browner WS, Hollenberg M, London MJ, Tubau JF, Tateo lM. Association of
perio'perative'myocardial ischemia with Eardiac morbidity and mortality in men undugoing f on
cardiac surgerlr. The Study of Perioperative lschemia Research Group. N Engl Med j
1990;323:1781- 8.
19. MichelLA, JamartJ, Bradpiece HA, Malt RA. Prediction of risk in noncardiac operations after
cardiac operations. J Thorac Cardiovasc Surg 1990;100:595- 605.
20. Eagle KA, Coley CM, NewellJB, et al. Combining clinicaland thallium data optimizes preopera-
tive assessment of cardiac risk before major vascular surgery. Ann lntern Med 1989;110:859-66.
21. DetskyAS, Abrams HB, Mclaughlin JR, et al. Predicting cardiac complications in patients under-
going non-cardiac surgery. J Gen lntern Med 1986;1:211-9.
22. Foster ED, Davis KB, Carpenter JA, Abele S, Fray D. Risk oI noncardiac operation in patients
with defined coronary disease: the CoronaryArtery Surgery Study (CASS) registry experience.
Ann Thorac Surg 1986;41:42-50.
23. Cooperman M, Pflug B, Mafiin EWJ, Evans WE. Cardiovascular risk factors in patients with
peripheral vascular disease. Surgery 1978;84: 505-9.
24.Tarhan S, Moffitt EA, Taylor WF, Giuliani ER. Myocardial infarction after general anesthesia.
JAMA1972;220:1451- 4.
25. AntmanEM,AnbeDT,ArmstrongPW,etal.ACC/AHAguidelinesforthemanagementof patients
with ST-elevation myocardial infarction: a repoft of the American College of Cardiology/American
HeartAssociation Task Force on Practice Guidelines (Committee to Revise the 1999 Guidelines
forthe Management of Patients WithAcute Myocardial lnfarction). J Am CollCardiol2004;44:E1-
E211.
26. Fleisher LA, Pasternak LR, Herbed R, Anderson GF. lnpatient hospital admission and death after
outpatient surgery in elderly patients: imporlance of patient and system characteristics and loca-
tion of care. Arch Surg 2004;139:67-72.
27. Nelson CL, Herndon JE, Mark DB, et al. Relation of clinical and angiographic factors to functional
capacity as measured by the Duke Activity Status lndex. Am J Cardiol 1991 ;68:973-5.
28. Myers J, Do D, Herbert W, Ribisi P, Froelicher VF. A nomogram to predict exercise capacity from
a Specific activity questionnaire and clinical data. Am J Cardiol 1994;73:591- 6.
29. Bartels C, Bechtel JF, Hossmann V Horsch S. Cardiac risk stratification for high-risk vascular
surgery. Ci rculation 1997 :95:247 3-5.
30. Reilly DF, McNeely MJ, Doerner D, et al. Sellreported exercise tolerance and the risk of serious
perioperative complications. Arch ntern Med 1 999 ; 1 59 :2185-92.
I
31, 0lder B HallA, Hader R. Cardiopulmonary exercise testing as a screening test for perioperative
management of major surgery in the elderly. Chest 1999;116:355- 62.
31
pasien tanpa PPOK. Penilaian tentang derajat PPOK dengan menggunakan tes
fungsi paru tidak menunjukkan perbaikan dengan penilaian risiko klinik kecuali
pada pasien dengan FEV, kurang dari 500 mL atau PCO, lebih dari 45 mmHg
yang merupakan bagian dari risiko tinggi.
Pasien asma mempunyai risiko yang tinggi terjadinya bronkospasme selama
intubasi dan ekstubasi trakeal dan selama periode pasca operasi. Namun, pada
pasien-pasien dengan fungsi paru yang optimal (berdasarkan gejala, pemeriksaan
fisik atau spirometri) pada saat pembedahan, tidak berisiko untuk terjadinya
komplikasi paru yang lain.
Pasien dengan penyakit obesitas (berat badan lebih dari 113 kg) mempunyai
risiko 2 kali lipat untuk terjadinya pneumonia dibandingkan dengan pasien yang
berat badannya lebih rendah. Obesitas ringan bukan merupakan risiko komplikasi
paru yang penting.
Beberapa studi menunjukkan perokok sigaret dihubungkan dengan peningkatan
risiko terjadinya atelektasis pasca operasi. Perokok sigaret juga diketahui
mempunyai risiko 2 kali lipat untuk terjadinya pneumonia walaupun telah dilakukan
pengobatan terhadap penyakit paru yang mendasari. Kesimpulan dari faktor risiko
yang diketahui merupakan komplikasi paru dapat dilihat pada tabel 1.
1. ?linbbdthin,,a'bdomiiia!.ntiii rrhu:tkardiii.tcriiksik
?.,: Waktu anestesi lebih dari 4 iam
?,, Penyakit obegitas
4,. Penyaktt,Fanrl qt6tuk$i' kronik e&u: asr{a
i5, Panbkb( tebitrr,tairi '20 :bak::perrahu!'
Apakah ada indeks yang serupa dengan indeks risiko jantung yang dapat
membantu memprediksi risiko komplikasi pulmonar?
Ya! Ada dua indeks yang tervalidasi dengan baik: pertama untuk memprediksi
risiko pneumonia pasca operasi dan lainnya untuk memperkirakan risiko gagal
napas pasca operasi. Kedua indeks ini merupakan alat yang sangat membantu
untuk membagi risiko komplikasi pulmonar (Tabel 2'3)'
Tipe Pembedahan
- Aneurisrna aortarabdominal 15 27
- Toraks 14 21
- Abdomen"bagian atas '10 14
- Ldher I 11
- Bedih saraf I 3
- Vaskular 3 't4
Usia ( tahun )
- >80 17 6
- 7*79 13 6
- 60s9 o
:
- 50-59 4
S.tatusfungqjo,rtgl
- Dependen total 10 7
- Dependen sebagian 6 7
Riwayat PPOK 5 6
Ureum'darah
- <8m$dl 4
- 22-30ms/dl 2
- 130 mgldl 3 ;
Operasi emergensi 3 11
Penurunan berat badan > 10 % dalam 6 7
bulan terakhir-
Albumln,'(< 3 gn/dL)
Anestesi umum 4
Gangguanl keterbatasan sensori 4
Riwayat kecelakaan serebrovaskular 4
Transfusi > 4 kantong 3
Penggunaan steroid unluk penyakit 3
kronik
Perokok dalam 1 tahun terakhir 3
Asupan alkohol >2 gelas/hr dalam 2 2
minggu terakhir
a,24%{4,16) 0.5%(s10)
1.19 o/o (16-25) 2.2% (11-1s)
4.Oo/o{26-4.0't 5.0Yo {2G27)
9.4 7o (41-55) 11.6 %(2840)
'15.8 o/o ( >55) 30.5%(>40)
Data dari Azorullah AM, Daley J, Henderson WG, Khuri SF; 2000 dan Azoruilah AM, Khuri sF, Henderson
WG, et al: Ann lntern Med. 2001;135:847-57.
34 Evaluasi dan Tata Laksana Perioperatif Paru
Kapan spirometri pra operasi diindikasikan dan apakah ada ambang batas
terendah di mana operasi mempunyai risiko yang besar?
Spirometri pra operasi biasanya mengkonfirmasi apa yang sebelumnya telah kita
ketahui. Jarang kita menemukan gangguan obstruktif dan restriktif tanpa gejala
klinis). Tes yang biasa dilakukan termasuk kapasitas ekspirasi paksa dalam 1
detik (FEV,) dan kapasitas vital paksa (FVC). Hasil spirometri abnormal pada
kasus obstruktif (apakah FEV., rendah atau rasio FEV,/FVC rendah) dapat
digunakan secara kuantitatif memprediksi risiko komplikasi pulmonar. Tetapi pasien
dengan hasil spirometri abnormal berat (FEV, <0,5 L ) pada keadaan emergensi
masih dapat menjalani operasi, tentunya dengan antisipasi risiko-risiko yang sudah
diketahui dan penanganannya (antara lain:kesiapan ventilator sesudah operasi
bila terjadi gagal napas).
operasi abdominal atas jika digunakan minimal 15 menit selama 4 kali perhari.
Latihan pernapasan dengan pursed lips, huffing dan batuk tiap jam menurunkan
insiden pneumonia setelah operasi abdomen. Pemeriksaan ini efektif apabila
dimulai sebelum operasi dan dilanjutkan sampai 1-4 hari pasca operasi.
Prophylactic continous positive airway pressure (CAPP) dan intermittent positive
pressure breathing (PPB) tidak lebih menguntungkan dibandingkan dengan
spirometri insentif dalam menurunkan komplikasi paru pasca operasi. Biaya yang
lebih mahal pada dua prosedur terakhir menyebabkan tidak dianjurkan untuk
dilakukan rutin.
Ada laporan bahwa menggunakan analgesia epidural pasca operasi untuk
meningkatkan kontrol nyeri, sehingga gerakan diafragma tak terganggu dan hal
ini akan mengurangi komplikasi paru. Hampir semua studi menunjukkan bahwa
opioid epidural pasca operasi dan anestesi lokal merupakan kontrol nyeri yang
sangat baik tapi tidak menurunkan angka komplikasi pasca operasi.
Terdapat beberapa bukti bahwa insiden komplikasi paru pasca operasi pada
pasien PPOK atau asma dapat diturunkan dengan optimalisasi fungsi paru sebelum
operasi. Pasien dengan mengi akan memperoleh keuntungan dengan pemberian
pre operasi bronkodilator dan pada kasus tertentu kortikosteroid. Antibiotik
diberikan pada pasien yang batuk dengan sputum purulen sampai sputum bersih
sebelum operasi. Pasien yang telah mendapatkan teofilin oral, diberikan teofilin
intra vena selama dan setelah operasi jika perlu. Pasien dengan tanda infeksi
sistim pernapasannya pada operasi elektif harus diatasi dulu sampai optimal
infeksi tersebut, barulah dioperasi.
Strategi Keterangan
Latihan napas dalam Mengurangi risiko hingga 50%. Ajari sebelum dilakukannya
operasi J
Batuk
Batuk ialah suatu manuver ekspirasi yang tidak secara langsung mengembangkan
volume paru, tapi dapat membantu pengeluaran sekret dan menstimulasi
Zulkifli Amin 39
Mobilisasi awal
Posisi berbaring berhubungan dengan volume paru yang lebih sedikit, yang dapat
diperbaiki dengan posisi tegak misalnya duduk atau berdiri. Karena itu posisi
tegak dan mobilisasi awaltamapaknya membantu pengembangan paru, walaupun
efek langsung dalam mencegah kompilkasi paru belum banyak diteliti. Cukup
masuk akal untuk mencoba posisi berdiri dan mobilisasi secepat mungkin setelah
operasi, terutama pada pasien yang berisiko terhadap komplikasi paru.
Pengurangan nyeri
Banyak usaha dilakukan untuk mengontrol nyeri pasca operasi. Banyak pilihan
yang tersedia, termasuk dosis bolus analgesik secara periodik, analgesik yang
dikontrol pasien dengan atau tanpa infus obat nyeri secara kontinyu, analgesik
epidural yang dapat diberikan secara bolus atau infus kontinyu.
Analgesik epidural memberikan kontrol nyeri pasca operasi yang lebih baik
dibanding dengan analgesik sistemik, dan dapat berpotensi menurunkan komplikasi
pasca operasi melalui berbagai mekanisme misalnya menghilangkan nyeri lebih baik,
perbaikan dinamika paru, dan menurunkan beratnya hipoksia pasca operasi. Yang
menarik, data terakhir menunjukkan kemampuan analgesik epidural pasca operasi
untuk menurunkan komplikasi paru setara dengan analgesik jenis lain, walaupun
diduga ada beberapa keuntungan pada pasien risiko tinggi.31 Dari perspektif paru,
kontrol nyeri yang ideal memungkinkan pasien untuk terlibat secara agresif dalam
aktivitas pengembangan paru, batuk dan mobilisasi awal tanpa menekan dorongan
napas dan mekanisme refleks protektif seperti batuk dan muntah. Perhatian secara
individual terhadap penanganan nyeri dapat meningkatkan efektivitas usaha-usaha
lain untuk mencegah komplikasi pasca operasi.
Perhatian yang lebih harus ditujukan pada profilaksis terhadap trombosis vena
dalam dan emboli paru pada semua pasien bedah, terutama pada pasien dengan
risiko tinggi terhadap kompilkasi ini (misalnya operasi pelvis atau ortopedik) yang
sebelumnya dianggap sebagai risiko rendah untuk komplikasi paru.
40 Evaluasi dan Tata Laksana Perioperatif Paru
KESIMTIAN
ldentifikasi pasien-pasien dengan peningkatan risiko paru sebelum operasi
memegang peranan kunci dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas bedah.
Penilaian klinis yang baik terhadap faktor risiko serta fungsi paru, penggunaan tes
yang tepat dan perencanaan yang komprehensif terhadap perawatan paru perioperatif
akan menurunkan kemungkinan komplikasi paru selama dan sesudah operasi.
REFERE\EI
1. Adler JS dan Goldman L. Preoperative evaluation. ln: Tierney LM, McPhee SJ,Papadakis MA
eds. Cunent diagnosis and treatment. 41 't ed. New York: Lange Medica; 2003. p. 93- 11 0. New
York: McGraw &Hill; 2002. p. 33-45.
2. Arozullah AM, Daley J, Henderson WG, Khuri SF. Multifactorial risk index for predicting
postoperative respiratory failure after major noncardiac surgery. Ann Surg. 2000;232:242-53.
3. Arozullah AM, KhuriSF, Henderson WG, et al. Development and validation of a multifactorial risk
index for predicting postoperative pneumonia after major noncardiac surgery. Ann lntern Med.
2001;'135:847-57.
4. Lawrence VA, Cornell JE, Smetana GW. Strategies to reduce postoperative pulmonary
complications after noncardiothoracic surgery: Systematic review for the American College of
Physicians. Ann lntern Med. 2006;144:596-608.
5. Masters PA, Gleeson K. Preoperative pulmonary evaluation. ln: Gross RJ, Capato GM, Kamerer,
Gross Medical Consultations, eds. 3d ed. Baltimore: William & Wilkins; 1998.
6. Smetana GW. Preoperative pulmonary evaluation. N Engl J Med. 1999;340:937-44.
7. Smetana. GW, Lawrence VA, Cornell JE. Preoperative pulmonary risk stratification for
non-cardiothoracic surgery: Systematic review for the American College of Physicians. Ann
lntern Med. 2006;1 44:596-608.
4L
ntuk dapat memberikan penilaian dan keputusan yang tepat terkait dengan
judul di atas, maka memahami fisiologi dasar hemostasis merupakan hal
yang penting karena beberapa alasan, antara lain adalah :
1. Memberi kemampuan kepada kita untuk menginterpretasi hasil laboratorium
yang baku dan bahkan yang baru
2- Mampu menganalisis secara komprehensif proses alamiah yang kompleks
dari hampir semua penyakit trombo-hemorargik
3. Dapat memahami cara bekerja obat obatan hemostatik/ anti koagulan dan
trombotik; serta bahkan terapi baru targeted therapy.
Kondisi lain yang harus dipikirkan adalah lama dan jenis operasi yang harus
dilalui pasien, kita mungkin berhadapan tidak saja dengan operasi elektif/
terencana, namun juga operasi emergensi/ penyelamatan hidup, memerlukan
persiapan yang intensif dengan memantau parameter hemostasis (terutama untuk
jenis pasien ad. 2 dan 3) guna mendapatkan hasil terbaik. Sedangkan untuk ad.
'l bila tak ada kondisi khusus (misal: perdarahan iatrogenik) biasanya tak
memerlukan penanganan khusus, kecuali pencegahan terhadap risiko trombosis.
Pertanyaannya adalah: Pasien mana yang berisiko tinggi terjadi perdarahan atau
venous-tromboemboli (VTE) perioperatif ?
2. Trombosit
Trombosit akan teraktifasi secara kompleks dan sistimatis bila terjaditraumai
lesi pada sel endotel PD, dimana proses adhesif-aktifasi-perubahan bentuk
dan sekresi "granules" adalah bagian dari proses pembentukan sumbat
hemostatik lokal
Cosphiadi Irawan 43
3. Sistem prokoagulasi
Sistem prokoagulasi yang terdiri atas serine protease dan kofaktornya akan
berinteraksi dengan permukaan fospolipid endotel PD dan trombosit yang
rusak untuk membentuk sumbat fibrin yang stabil melalui jalur intrinsik -
ekstrinsik dan jalur bersama.
RISIKOPERDAMHAN
Untuk dapat menyaring pasien dengan predisposisi terjadi perdarahan, terutama
yang tanpa/silent riwayal perdarahan bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk itu
anamnesis yang cermat meliputi riwayat perdarahan pasca operasi sebelumnya/
ekstraksi gigi, mudah kebiruan di kulit, perdarahan gusi, riwayat haid, riwayat
keluarga dengan perdarahan, riwayat pemakaian obat obatan, terutama aspirin
dan NSAID, warfarin merupakan hal yang vital dan mutlak dilakukan guna
mengarahkan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut. lnformasi pemeriksaan fisik
yang mencermati kemungkinan kelainan hati kronik, keganasan, organomegali,
perdarahan bawah kulit akan sangat membantu penilaian tingkat risiko terjadinya
perdarahan.
Prosedur operasi risiko rendah pada pasien "normal" disepakati tak
memerlukan pemeriksaan tes fungsi koagulasi; namun prosedur operasi risiko
menengah dan tinggi memerlukan evaluasi PT (protrombin time), aPTT
Obat:
Asidum salicylicum
Warfarin
Heparin , terutama LtvlVVH
NSAID
Gangguan didapat:
Defisiensi vit K
Distungsi hati
Penyakit ginjal
Sepsis
Syok
lromoosrtopenla
Kehilangan darah masif
Dtc
Bawaan:
Gangguan fungsi dan jumlah trombosit
Penyakit von Willebarand
Defisiensi faktor pembekuan ( misal: hemophilia, defisiensi FXlll )
Dikutip dari: MBC Koh, Beverley JH. Blood Review,17(2003) 179-185
M Penilaian Perioperatif Risiko Perdarahan dan Trombosis
PREDIIGIPERDARAHAN
Peran evaluasi rutin PT, aPTT, hitung trombosit dan masa perdarahan untuk
memprediksi risiko perdarahan di hampir semua Institusi kesehatan ternyata tak
sepenuhnya memuaskan; suatu meta analisis 50 penelitian yang melibatkan
pencegahan DVT dengan heparin dan plasebo, ternyata 7486 kasus plasebo 3,3
% mengalami perdarahan yang berlebihan di mana 0,1% meninggal
karenanya.(A).Beberapa pemeriksaan yang belum sepenuhnya mampu laksana
di negara kita adalah PFA100 (platelets function analyser)yang melihat kapasitas
adhesi dan agregasi trombosit dalam whole blood yang mengalir, juga belum
menunjukkan korelasi yang bermakna antara nilai PFA dengan jumlah perdarahan
intra dan pasca operasi pada kasus jantung.
Thrombelastoghraphy menunjukkan nilai prediksi yang lebih baik, dimana
pada kasus operasi jantung nilai prediktif negatif mencapai >80o/oi terutama bila
digabung dengan PFA100. Berdasarkan beberapa penelitian besar; seperti yang
telah disampaikan diatas, cara terbaik untuk memprediksi kemungkinan perdarahan
adalah :
anamnesis yang adekuat dan pemeriksaan fisik yang cermat. Cara ini
mampu memperlihatkan pasien dengan riwayat perdarahan, akan lebih mengalami
perdarahan durante-posf operasi dibandingkan pasien tanpa riwayat perdarahan.
Kelemahan teknik ini akan meningkat (misleading) terutama pada pasien yang
belum pernah terpajan trauma atau operasi sebelumnya dan/atau bila interviewer
gagal menanyakan pertanyaan yang tepat (miscommunication). Selanjutnya akan
dibahas patok baku yang luas dipakai PT dan aPTT; nilai PT memanjang
menunjukkan kelainan kaskade ekstrinsik ( diawali "tissue fakto/') : yang melibatkan
Fll, FV, FVll atau defisiensi fibrinogen. Kemungkinan kausa adalah: APS,
kekurangan vitamin K, gangguan fungsi hati, defisiensi fibrinogen atau DIC; bila
semua faktor di atas normal juga masih mungkin artefak lab. Nilai aPTT
Cosphiadi Irawan 45
Kelainan Terapi
Defisiensi beratlaktor pembekuan (mis: Konsdntrat faktor pembekuan
vfl,tx,x ) DDAVP
HemoShilia A ringan
Fenyakit'Von rWifiabraild : DOAVP
Tipe,,l,' Konsentrat faklor pembekuan
Tiper ll, Ill FaKor pembekuan dan / atau tranexena*ric
Afi brinogenemia / disfibrinogenemia acid
Trombositopenia Perdarahan tak lazim terjadi
RISIKOTROMBOSIS
l
l
EXPOSTNG RtSK(S): l
ARTHROSCOPY
PREDI.SPOSING RISK(S} :
HI$TORY OF DVT / PE
AGE > TOYEARS 1-5
THROMtsOPHILIA'
OBESITY 1-0
MAJOR VARICOSITIES 0-5
ESTROGENS I HRT 0-5
CC PILLS 0-5
INFLAMMATION I INFECTION 0-5
KEIMruLAN
1. Pemahaman proses hemostasis normal mutlak diperlukan untuk memahami
kondisi klinis, hasil laboratorium dan terapi yang diperlukan pada kondisi
periopratif berisiko perdarahan dan WE
2. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat, terbukti merupakan alat
yang mampu membedakan pasien mana yang "berisiko "perdarahan dan
memerlukan periksaan hemostasis lebih lanjut, dibandingkan bila hanya
mengandalkan masa perdarahan ,PT dan aPTT
3. Kajian faktor exposing (terpajan) dan predisposlng (faktor risiko) akan dapat
membedakan pasien mana berisiko ringan sedang dan berat terjadinya VTE;
serta yang memerlukan tatalaksana antikoagulan
4. Pasien risiko tinggiWE dan dalam pemakaian antikogulan kronik memerlukan
bridges therapy dengan UFH / LMWH
REERE\EI
1. O'Donnel M, Kearon M. Perioperative management of oral anticoagulation. Clin Geriatr Med.
2006;22:1 99-213.
2. Baker R.Pre-operative hemostatic assesment and management. Transfusion and Apheresis
Science. 2002;27 :45-53.
3. Bleeding Time and Bleeding: An Analysis of the Relationship of the Bleeding Time Test With
Parameters of Surglcal Bleeding. Blood. 1994;84:3363-70.
4. Sridhar R, Grigg AP. The perioperative management of anticoagulation. Aust Prescr. 2002;23:13-
6.
5. Eckman MH. Erban JK, Singh SK, Kao GS. Screening for the risk for bleeding and
thrombosis. Ann lntern Med. 2003;1 38:W1 5'W24.
50 Penilaian Perioperatif Risiko Perdarahan dan Trombosis
o Koh MBC, Hunt BJ. The management of perioperative bleeding. Blood Reviews .2003;17:179-
85,
10. Koscielny J, Ziemer S, Radtke H, Schmurtzler M, Pruss A, Sinh P, et al. A practical concept for
perioperative identification of patients with impaired primary hemostasis. Clin Apple
Thrombosis/Hemostasis. 2004; 1 0(3) : 1 95-204.
11. Bates S, Weitz Jl. Coagulation assays. Ci rculation. 2005; 1 1 2:e53-e60.
51
adalah lokasi dan lama operasi, jenis anestesi, dan derajat imobilisasi pasca
operasi. Resultan kedua faktor risiko diatas menunjukan faktor risiko trombosis
vena dalam atau tromboemboli vena secara keseluruhan.
Senada dengan pengkajian di atas, American College of Chest Physician
(ACCP), organisasi yang rekomendasi dalam hal trombosisnya sering digunakan
di lndonesia, mengeluarkan rekomendasi pengkajian trombosis vena dalam pada
perioperatif.
vena setelah operasi ortopedi mayor dapat dilihat pada tabel berikut.
Pada operasi artroplasti panggul elektif, direkomendasiskan untuk
menggunakan salah satu antitrombosis dibawah ini (rekomendasi lA):
1. LMWH (dosis risiko tinggi diberikan 12 jam sebelum operasi alau 12-24 jam
setelah operasi atau 4-6 jam setelah operasi setengah dosis risiko tinggi
58 Pencegahan Trombosis Vena Dalam
dan kemudian ditingkatkan menjadi dosis risiko tinggi biasa pada hari
berikutnya)
2. Fondaparinux (2,5 mg dimulai 6-8 jam setelah operasi)
3. Antagonis vitamin K oral, dosis disesuaikan, dimulai preoperatif atau sore
setelah operasi (target INR 2,5 dengan kisaran 2-3)
KEIMruI.AN
1. Operasi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya trombosis vena dalam
2. Trombosis vena dalam dan emboli paru dapat berakibat fatal
3. Direkomendasikan untuk memberikan profilaksis antitrombosis berupa LDUH,
LMWH atau antagonis vitamin K oral
RmEn6[
1. Motte S, Samama CM, Guay J, Borg JY Rosencher N. Prevention of postoperative venous
thromboembolism. Risk assessment and methods prophylaxis. Can J Anesth 2006;53: 568-79.
2. Agnelli G, Sonaglia F. Advandces in Basic, Laboratory and ClinicalAspects of Thromboembolic
Diseases. Prevention of VenousThromboembolism in High Risk Patients. Hematologica 1997;82:
496-502
3. BombeliT, Spahn D,R. Updates in perioperative coagulation : physiology and management of
thromboembolism and haemorrhage. Br J Anaesth 2004;93:275-87 .
Ikhwan Rinaldi 59
4. SeagalJB. Steiff MB, Hofman L, Thorntorn K, Bass EB. Management of venous thromboembo-
lism ; a systematic review for a practice guideline. Ann lnter Med 2007;146:211-222.
5. Geerts WH, Pineo GFl, Bergqvist D, Lassen MR, Colwell CW, Ray JG. Prevention of Venous
Thromboembolism :the seventhACCP conference on antithrombotic and thrombolytictherapy.
Chest 2004;1 26:338-340.
Stratton MA, Anderson FA, BusseyHl, Caprini J, ComerotaA, Haines ST, Hawkins DW, O'Connel
MB, Smith RC, Stringer KA. Prevention of venous thromboembolism. Adherence to the 1995
American College of Chest Physician Consensus Guidelinesforsurgicalpatients.
60
I Virulensi bakteri
I
Virulensi merupakan kemampuan patogen dalam menimbulkan infeksi. Virulensi
merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam terjadinya infeksi luka
operasi, semakin virulen bakteri kontaminan, risiko terjadinya infeksi semakin
tinggi walaupun hanya sedikit jumlah inokulum bakteri kontaminan tersebut.
Beberapa patogen yang diketahui bervirulensi tinggi diantaranya adalah :
Stafilokokus koagulase positif yang lebih virulen dari koagulase negatif,
Streptokokus grup A, E coli dengan endotoksin di membran luar, Clostridium
62 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada Pembedahan
1. Luka bersih
Luka bersih adalah apabila tindakan operasi tidak membuka viskus atau
lumen dimana terdapat koloni flora normal. Sebagai contoh operasi hernia
elektif memiliki risiko infeksi minimal, kemungkinan kontaminasi didapat
dariflora normal di kulit, ruang operasi atau tim operasi. Kemungkian infeksi
yang tersering adalah Staphylococcus aureus dengan risiko infeksi kurang
dari 2 o/".
3. Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi apabila t6rjadi kontaminasi luas pada daerah operasi,
seperti pada luka tembus usus akan terjadi kontaminasi akibat masuknya
isi viskus ke area operasi. Risiko infeksi pada kelompok ini >10%.
I
4. Luka kotor
I
Luka kotor apabila tindakan operasi dilakukan pada daerah yang mengalami
infeksi aktif. Eksplorasi abdomen pada peritonitis bakterial akut, abses I
Nilai ketiga (1 nilai) : bila lama operasi melebihi 75o/o dari persentil menurut
survei NNIS (T poin). T poin adalah lama operasi dalam jam sesuai 75 %
persentil dari survei NNIS. (Tabel 2)
Amputasi ekstremitas 1
Seksio's€saria 1
Di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 1992, telah diterbitkan buku
pedoman terapi profilaksis antibiotika khusus pada pembedahan. Buku pedoman
tersebut menekankan pentingnya tindakan preventif baik asepsis dan antisepsis
untuk mengurangi kontaminasi kuman eksogen, peningkatan ketrampilan teknik
pembedahan sesuai prosedur yang mana luka bersih tetap dipertahankan sebagai
luka bersih, luka tercemar diusahakan sesedikit mungkin dan pembersihan
jaringan nekrotik dan bekuan darah, penjahitan tidak terlalu kuat sehingga tidak
menimbulkan devitalisasi jaringan.
Petunjuk pemberian terapi profilaksis antibiotika yang dianjurkan adalah
sebagai berikut:
1. Antibiotika profilaksis bermanfaat untuk menurunkan prevalensi infeksi luka
operasi pada luka yang tercemar kuman: bersih tercemar (terkontaminasi),
Khie Chen, Budi Setiawan, Herdiman T Pohan 65
paruh eliminasi yang panjang, efek samping yang kurang; disamping harga I
Profilaksis antibiotik I
Durasi Efektivitas
Jumlah Organisme Pola Resistensi
Perlindungan Profilaksis
OBqnisr-*eitulgqal Dapat,diFerkitakan Pefidek $+ua!,q1
0iQanllma rnuttipet Paiiat,dire*irakan Pendek S.anga!rbaik
Organiaite,'hrnu$! Tidakrdiketahui, PsndGk Bak
Organlsrnelunggal Papat.oipe*iraran Panjang Baik'
Organismeimufiipet Tidak Oiketahui Faniang Buruk/tidek efektif
Reaksi terhadap
rrolilaKsts Regimen Antibiotik
Penisilin
Profilaksis ada
Tidak Amoksisilin 2 g (PO) I jam sebelum pi.osedurdilakukan*
oral anafilaktoid SeJaleksin 1 g (PO) 1 jam sebelum prosedur dilakukan
Tidak
Anafilakloid Klindamisin SOO mg (PO) 1 jam sebelum prosedur
Prqfitaksis tv ridak ada Xflllil;r (tv) 30 menit seberum prosedur dilakukan
Tidak analilaktoid Sefazolin 1 g (lV) 15 menit sebelum prosedur dilakukan
Anafilaktoid Klindamisin 600 mg 0V) 30 menit sebelum prosedur
dilakukan
Reaksi terhadap
Profilaksis Regimen Antibiotik
Penisilin
Profilaksis oral Tidak ada Amoksisilin 2 g (PO) 1 jam sebelum prosedur
dilakukan
Tidak anafilaktoid, Linezolid 600 mg (PO) 1 jam sebelum prosedur
anafilaktoid dilakukan
Profitaksis lV Tidak ada Ampisilin 2 g (lV) 30 menit sebelum prosedur
dilakukan
atau
Gentamisin 80 mg (lM) atau (lV) selama 1 jam,
60 menit sebelum prosedur dilakukan
Tidak anafilaktoid, Vankomisin 1 g (lV) selama 1 jam, 60 menlt
anafilaktoid sebelum prosedur dilakukan
atau
Gentamisin 80 mg (lM) atau (lV) selama 1 jam,
60 menit sebdlum prosedur dilakukan
72 Penggunaan Antibiotik untuk Profilaksis pada Pembedahan
REME\EI
1. Cunha BA. Antibiotic essentials. New York: Physician's Press; 2005.
2. DellingerEEGrossPA,BanetTL,etal,Qualitystandardforantimicrobialprophylaxisinsurgical
procedure. Clin lnfec Dis. 1994;18:422-7.
3. Djolosugito MA, Sroeshadi D, Pusponegoro AD, Supardi l. Buku manual pengendalian infeksi
nosokomial di rumah sakit.
4, Fry DE. Surgicalsite infection: pathogenesis and prevention. [cited March 10,2003]available
rom: http//www. Medscape.com/viewprogramel2220
f
-index.
5. Manqram AJ. Horan TC, Pearson ML, et al. Guidelines for prevention of surgical site infection,
1999. lnf Control and Hosp Epiemiol. 1999;20(4):247-64.
6. Nelwan FIHH, Zulkarnain l, Widodo D, et al (eds). Abstract Book:JakartaAntimicrobial Update
2003.
73
Oleh karena itu untuk mencegah agar dampak operasi tersebut dapat
diminimalisasi ,status nutrisi pasien sebelum operasi harus ditentukan. Apabila
terdapat malnutrisi maka dukungan nutrisi harus diberikan sebelum operasi. Selain
itu dukungan nutrisi yang diberikan harus tetap dipertahankan selama operasi
dan paska operasi. Dukungan nutrisi perioperatif dapat memperbaiki berbagai
abnormalitas imunologi dan biokimiawi pada pasien dengan manlnutrisi maupun
pasien normal.
Suplementasi nutrisi pasca operasi dapat mencegah terjadinya translokasi
bakteri di usus dan menekan terjadinya infeksi. a'5
74 Pengelolaan Nutrisi Perioperatif
Pengukuran antropometri
Pengukuran berat badan merupakan pemeriksaan yang sering digunakan untuk
mengetahui status nutrisi pasien. Perubahan berat badan yang mendadak
menunjukkan perubahan balans cairan yang mendadak. Sedang perubahan berat
badan jangka lama menunjukkan perubahan massa real jaringan tubuh. Setelah
diketahui berat badan tentunya yang perlu dihitung selanjutnya adalah indeks
massa tubuh. (lMT).6'? IMT didapat perbandingan antara berat badan dalam
kilogram dengan tinggi badan kuadrat dalam meter (Gambar 1).
Underweight <18,5
Noimal 18,5-22,9
Overweight e23
At risk 23-24,9
Obese I ?5-29,9
Obese ll 830
Ari Fahrial Syam ls
dari kain atau nylon yang diletakan pada pertengahan
lengan antara akromian
dan olekranon. pengukuran TSF untuk memperkirakan
cadangan remak jaringa
sedang LLA untuk memperkirakan massa
otot. Besaran standar untuk rsF
orang dewasa raki-raki 12,5 mm sedang
untuk perempuan 16,5 mm. Untuk ringkar
lengan atas standar yang digunakan adarah
29,3 cm untuk dewasa raki_raki dan
28,5 untuk dewasa perempuan.
Pemeriksaan fisik secara keserurhan juga bisa
menduga adanya masarah
dengan status nutrisi seseorang. Konjungtiva yang
pucat tanda adanya riwayat
perdarahan baik perdarahan karena
saruran cerna atau sebab rain pada pasien
dengan riwayat asupan makanan yang tidak
baik juga harus dipikirkan
kemungkinan adanya masarah pada nutrisi pasien
tersebut. pada pasien dengan
penyakit kronis missar karena adanya I
tumor adanya udem pada tibiar dan asites
juga meusti dipikirkan kemungkinan adanya I
hipoarbumin pada pasein tersebut.
I
I
Pemeriksaan laboratorium
I
Pemeriksaan raboratorium yang sering digunakan
untuk mengevaruasi status
nutrisi antara lain pemeriksaan albumin, prealbumin,
transferin, kreatinin dan balans
nitrogen.
KEII.{ruLAN
Status nutrisi pasien yang akan mengalami nutrisi harus diperhatikan dengan
seksama menjelang tindakan operasi. Apalagijika operasi tersebut bersifat elektif.
Jika terdapat malnutrisi maka dukungan nutrisi harus diberikan pada massa
preoperasi dan pasca operasi. Hal ini penting mengingat malnutrisi berhubungan
dengan peningkatan terjadikomplikasipaska operasi, memperpanjang masa rawat
dan meningkatkan kematian. Adanya dukungan nutrisi akan memperbaiki
morbiditas dan mortalitas Pasien.
RME\EI I
I
Hochwald SN, Harrison LE, Heslin MJ, Burt ME, Brennan MF. Eariy postoperative enteral
feeding improves whole body protein kinetics in upper gastrointestinal cancer patients. Am J Surg. I
I
1 997; 74:325-30.
1
Jeejeebhoy KN. Enteral and parenteral nutrition: evidence-based approach. Proc Nutr Soc. I
2001;60:399- 402.
A H Beattie, AT Prach, J P Baxter, C R Pennington. A randomized controlled trial evaluating the
used of ent'eral nukitional supplements postoperatively in malnourished surgical patients.Gut
2000;46:813-8.
WindsorA, Braga M, Martindale R, Buenos R, Tepaske R, Kraehenbuehl L, Weimann A. Fit for
surgery: an exp-ert panel review on optimising patients prior to surgery with a particular focus on
nutiition. Surgeon. 2004; 2(6):315-9.
5. Goonetilleke KS, SiriwardenaAK. Systematic review of peri-operative nutritionalsupplementation
in patients undeigoing Pancreaticoduodenectomy.J Pancreas (online). 2006;7(1):5-1 3.
6. Dwyer. Nutritional Requirements and DietaryAssessment. ln FauciAS, Braunwald E, lsselbach.er
f.l 'ett at. (eds). Harrisbn's Principle of lnteinal Medicine. 14th edition. New York: McGraw-Hill.
2002. p. 451-54.
7. SvamAF. Malnutrisi. Dalam SudovoAW, SetiyohadiB,Alwi l, Simadibrata M, SetiatiS. BukuAjar
llriru Penyakit Dalam.EdisilV. Ja(arta: PusafPenerbitan Depademen IPD FKUl.2006.Hal314'
6.
Barendreqt K, Soeters B, Allison SP. Diagnosis of malnutrition. Screening and assessment. ln
Sobotfa LIAltison SB Frirst P et al.(editors). Basics in clinical nutrition. 2'd edition. Semily: House
Galen.2000 p.29-36.
Wu GH, Liu ZH,Wu ZH, Wu ZG. Perioperative artificalnutrition in malnourhised gastrointerstinal
cancer patients. World J Gastroenterol 2006; 12(1 5): 2441-2444.
10. Moore FA, Feliciano DV,Andrassy RJ, McArdleAH, Booth FV, Morgenstein-WagnerTB, Kellum
JM Jr, Wllling RE, Moore EE.-Early enteral feeding, comparedvith^parenteral, reduces
postoperativeieptic complications. The results of a meta-analysis. Ann Surg. 1992;216:172'
1 83.
BIB m
I
a.
81
umlah penderita penyakit jantung koroner yang akan menjalani operasi non-
jantung saat ini semakin banyak, mulai dari penderita jantung koroner yang
sudah lama maupun yang baru saja terjadi. Untuk persiapan tindakan operasi,
para penderita jantung koroner harus menjalani beberapa tahap pemeriksaan guna
menurunkan risiko kardiak pada saat operasi. American College of Cardiologi/
American HearT Association (ACCIAHA) dan American College of Physician (ACP)
sudah mengeluarkan sebuah panduan untuk tatalaksana perioperatif pasien dengan
penyakit jantung yang menjalani operasi non-jantung.
Tujuan dari evaluasi perioperatif kardiovaskular adalah: (1) untuk mengkaji
secara klinis status medik pasien saat itu dan profil risiko klinis, (2) untuk
I
memutuskan apakah perlu pemeriksaan lanjutan sebelum operasi, (3) membuat
rekomendasi sesuai hasil yang dikaitkan dengan tatalaksana yang akan dikerjakan I
Anamnesis/riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang lengkap dan terinci adalah faktor yang penting dalam
menentukan risiko klinis pasien dari timbulnya komplikasi kardiak pasca operasi.
Beberapa pertanyaan penting harus diajukan untuk mendapatkan status klinis
pasien terkini. (Tabel 1)
a2 Penyakit Jatung Koroner
Riwayat
Usia
Penyakil jantung sebelumnya (lM, angina, aritmia, penyakit katup)
lntervensi kardiak sebelumnya (CABG, PCI)
Evaluasi kardiak sebelumnya (tes non invasif, angiografi)
Faktor risiko (hipertensi, DM, dislipidemia, merokok)
Penyakit yang bertubungan (Penyakit vaskular perifer, CVA, CKD, PpOK)
Status terkini (nyeri dada, sesak napas)
Kapasitas tungsional
Obat-obatan (termasuk jamu dan obat-obat Cina)
Pemeriksaan fisik
Tanda-tanda vitat
Bruit karotis
Tekanan vena jugularis
Murmur (AS, MS) atau gallop (S3)
Ronki atau mengi
Edema
HUrSa$ peffer
Defisittneurologis
Keterangan : CABG, coronary aftery bypass grafting; CKD, chronic kidney dlsease, CVA, cerebrovascular
accident; DM, diabetes melitus; lM, infark miokard; PPOK, penyakit paru obstruktif kronis
Faktor usia pada beberapa penelitian dan jenis indikasi risiko masuk sebagai
salah satu prediktor risiko yang independen. Batas usia yang digunakan adalah
di atas 70 tahun. Yang menjadi perhatian ialah bahwa dengan bertambahnya usia
maka terjadi penurunan kemampuan kardiak dan timbulnya penyakit jantung yang
tak terlihat secara klinis. Pada sebuah penelitian besar lainnya didapat bahwa
usia bukan faktor risiko independen tetapi harus dilakukan penyesuaian dengan
faktor yang lebih kuat prediksinya.
Riwayat penyakit jantung terdahulu harus diketahui seperti: angina, infark
miokard, gagal jantung kongestif dan edema paru, aritmia atau penyakit jantung
katup. Jika diketahui ada penyakit tersebut di atas maka harus diketahui derajat
berat ringan penyakit. Untuk kasus infark miokard maka harus diketahui stabilitas
angina yang diderita dengan menggunakan skala ccs untuk angina. (Tabel 2)
Pertanyaan yang diajukan ke pasien harus dimengerti oleh pasien dan merupakan
kebiasaan pasien sehari-hari sehingga data yang didapat tidak bias. pasien
dengan recent infrak miokard, angina tak stabil, angina kelas lll-lV gagaljantung
yang dekompensata dan stenosis aorta yang simtomatik memiliki risiko tinggi
untuk megalami komplikasi kardiak perioperatif dan harus menjalani pemeriksaan
dan intervensi dahulu sebelum dilakukan operasi yang terencana. sedangkan
pasien dengan angina stabil ringan (kelas l-ll), riwayat infark miokard lama dan
-
gagal jantung yang terkompensasi memiliki risiko lebih rendah namun tetap
memiliki risiko yang bisa meningkat dibandingkan dengan pasien yang tidak
memiliki penyakit jantung. Pada beberapa pasien yang akan menjalani tindakan
yang memiliki risiko rendah atau sedang dapat langsung menjalanitindakan operasi
tanpa melewati pemeriksaan intervensi atau CABG, karena tindakan tersebut
akan meningkatkan risiko komplikasi perioperatif. Pertama yang harus menjadi
acuan adalah tindakan yang tidak membahayakan (flrs[ do no harm).
Apabila pasien diketahui tidak menderita penyakit jantung maka faktor risiko
timbulnya penyakit jantung koroner harus dicari. Mereka adalah pasien dengan
diabetes melitus, hipertensi, dislipidemia dan merokok. Pada penderita diabetes
yang sangat membutuhkan insulin, mereka berisiko mengalami komplikasi kardiak
perioperatif. Tetapi bila pasien tidak memiliki hipertensi berat (stage 2 JNC Vll)
maka risikonya adalah sedang. Pasien bisa juga memiliki penyakit lain yang
berhubungan dengan penyakit jantung koroner atau gagal jantung seperti penyakit
vaskular perifer, penyakit serebrovaskular atau insufisiensi ginjal. Harus juga dicari
kemungkinan adanya penyakit paru obstruktif kronis.
ru fidak mampu melakukan aktivitas fisik apapun tanpa ada keluhan, angina bisa muncul I
walau dalam keadaan istirahat
I
Pemeriksaan fisis
Lakukan pemeriksaan fisis yang langsung berguna untuk menemukan gejala-
gejala yang berhubungan penyakit jantung sesuai dengan riwayat penyakit yang
didapat. Pemeriksaan tanda vital akan mendapatkan keberadaan hipertensi,
hipotensi, takikardia, bradikardia, bermacam aritmia dan gangguan pernapasan.
Tekanan vena jugular yang meningkat serta 53 gallop juga bisa ditemukan sebagai
salah satu faktor prediktor dari Goldman untuk komplikasi pasca operasi. Gejala
lain gagal jantung seperti ronki dan edema harus dicari. Setiap ditemukan ada
murmur kardiak harus dievaluasi sebaik mungkin. Adanya bruit karotis, hemiparese,
massa di abdomen yang berdenyut atau menurunnya pulsasi di perifer
menunjukkan adanya gangguan serebrovaskular atau penyakit vaskular perifer.
Elektrokardiogram
EKG praoperasi adalah komponen ketiga yang harus dilakukan untuk evaluasi
risiko kardiak rutin. EKG dikerjakan untuk mengevaluasi adanya infark miokard
sebelumnya, iskemia, aritmia, gangguan konduksi, hipertrofi ventrikel kiri dan
perubahan pada gelombang ST-T yang non spesifik. Temuan yang berarti adalah
bila ada lM yang tidak bergejala, terutama pada pasien yang EKG sebelumnya
tidak menunjukkan gambaran seperti lM. Adanya hipertrofi ventrikel kiri menunjukan
adanya hipertensi yang lama, sesuai dengan temuan klinis pada pasien atau
tidak harus disesuaikan. Banyak jenis aritmia bisa ditemukan dari EKG. Depresi
pada segmen ST yang signifikan dan adanya blok cabang berkas kiri (LBBB)
menjadi tanda adanya penyakit jantung koroner. Namun PJK yang tidak bergejala
tidak meningkatkan risiko perioperatif pada pasien yang diketahui maupun tidak
diketahui menderita PJK.
Berdasarkan data yang ada maka penjawab konsul harus bisa mengidentifikasi
pasien masuk dalam kelompok risiko mana, rendah, sedang atau tinggi. Secara
a
umum maka yang memiliki risiko rendah tidak memerlukan €valuasi lanjut untuk
menjalani pembedahan. Pada risiko tinggi diperlukan tindak lanjut berupa angiografi
koroner dan revaskularisasi. Sedangkan pemeriksaan noninvasif berguna untuk
memilah apakah pasien masuk dalam kelompok risiko sedang atau tinggi.
Panduan ACC/AHA dan ACP telah membuat beberapa algoritme untuk
mengevaluasi kardiak perioperatif dan membantu dokter konsultan untuk
memutuskan apakah bisa langsung dioperasi atau perlu investigasi atau
tatalaksana lanjut.
Panduan ACC/AHA
AHA pada tahun 2002 sudah mengeluarkan panduan tatalaksana perioperatif kardiak I
untuk operasi bukan operasija;rtung yang kemudian dilengkap pada tahun 2007. I
maupun minor. Demikian pula dengan jenis tindakan yang akan dilakukan dibagi I
atas ketiga kriteria tadi. Terbagi pula atas berapa kapasitas fungsional yang dimiliki i
pasien.
Untuk kasus penyakit jantung koroner maka yang termasuk klasifikasi mayor
untuk penyakit adalah: sindrom koroner tak stabil, angina pektoris tak stabil, infark
miokard "recent'(7-30 hari), angina sesuai klas lll-lV CCS, gagaljantung kongestif
yang dekompensasi, aritmia yang bergejala dan penyakit katup jantung berat. Untuk
kalsifikasi sedang terdiri dari: angina stabil klas l-ll, riwayat infark miokard (>30
hari), riwayat gagal jantung kongestif yang terkompensasi dan lain-lain. Sedangkan
untuk kelainan gambaran EKG dan riwayat kecelakaan yang teriadi pada
serebrovaskular serta tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol masuk minor.
Untuk kapasitas fungsional dilakukan penilaian sesuai dengan kemampuan
fisik pasien. Patokan alau cut off point yang diambil untuk perhitungan dalam
METS adalah angka 4. Angka ini menunjukkan kemampuan minimal yang !
sebaiknya dimiliki pasien. Bila seorang pasien mampu menanjak sampai dengan
I
1 lantai sambil membawa barang bawaan yang dijinjing seperti tas kresek dari
toko swalayan, berjalan menanjak atau berjalan dengan kecepatan 34 mil perjam, I
Untuk tindakan gawat darurat maka tidak ada waktu yang cukup untuk
melakukan evaluasi kardiak yang cukup sehingga risiko terjadinya penyakit jantung
(cardiac risk)meningkal2-5 kali dari nqrmal. Sedangkan untuk yang menjalani
tindakan elektif maka harus dilanjutkan pemeriksaan sesuai algoritme yang ada.
Panduan ACP
ACP banyak mengambil kepustakaan Lee dan Detsky untuk dijadikan panduan.
Tidak banyak diterapkan tatalaksana khusus untuk persiapan operasi.
Tatalaksana medikamentosa
Beberapa obat yang biasa digunakan untuk menurunkan komplikasi kardiak
perioperatif setelah operasi nonkardiak, antara lain adalah penyekat beta, agonis
o, nitrogliserin dan penghambat kanal kalsium. Untuk penghambat kanal kalsium
belum banyak data yang didapat tetapi memang memberikan hasil yang baik
untuk operasi kardiak. Sedangkan untuk penggunaan nitrogliserin data yang didapat
sangat terbatas. Nitrogliserin sendiri hanya mengurangi iskemia pada tindakan
endaterektomi karotis tetapi bukan kejadian infark miokard maupun kematian.
Obat ini meningkatkan kejadian hipotensi saat tindakan berlangsung.
Penyekat p
Bisoprolol memberikan hasil yang baik pada penelitian Poldermans dkk.
Pemberian 7 hari sebelum dan dilanjutkan 30 hari sesudah operasi pada pasien
dengan hasil dobutamrne sfress echocardigraphy positif menunjukkan hasil
penurunan risiko kematian akibat penyakit jantung (3,4% versus dan infark
17o/o)
miokard nonfatal (0% versus 17%) dibandingkan dengan plasebo. Penelitian
Boersma dkk pun menunjukkan hasil bahwa bisoprolol bisa menurunkan kejadian
kardiak pada penderita dengan faktor risiko klinis untuk terjadinya cardiac events
sesuai indeks kardiak Lee yang direvisi. Pada penggunaan jangka panjang
bisoprololjuga menurunkan kejadian infark miokard dan cardiac deafh dibandingkan
dengan kelompok standar (12o/o vercus 32o/o).
Atenolol menurut penelitian the Multicenter Study of Perioperative lschemia
Research Group memberikan hasil penurunan kejadian iskemia (24% versus 39%)
pada pemberian yang tidak terlalu lama sebelum operasi dan diteruskan selama
perawatan. Hasil penelitian ini tidak menunjukkan hasil yang bermakna dalam
penurunan kejadian infark miokard maupun kematian akibat jantung. Tetapi setelah
pemberian 2 tahun memberikan hasil yang signifikan terhadap kejadian infark
miokard maupun cardiac death. Untuk pemberian penyekat beta selama operasi,
seperti esmolol hanya memberikan hasil yang baik dalam mengurangi kejadian
iskemia saja.
Ika Prasetya Wijaya, Idrus Alwi 89
Agonis alfa
Clonidin memberikan hasil yang baik dalam menurunkan kejadian iskemia miokard
pada pembedahan vaskular. Obat lainnya adalah Mivazerol yang menurunkan
cardiac death telapi tidak untuk kejadian infark miokard.
I
CABG perioperatif I
Tidak ada penelitian yang bersifat randomized controlled fnal untuk mengamati I
Pada satu penelitian dengan 1001 pasien konsekutif didapatkan bahwa untuk I
jangka pendek profilaksis dengan CABG untuk persiapan operasi non kardiak
tidak banyak memberikan keuntungan. Dari Coronary Artery Bypass Sfudy (CASS)
hanya memberikan hasil yang signifikan untuk menurunkan angka cardiac death
(0,9% versus 2,4%) namun tidak signifikan secara statistik untuk menurunkan
infark miokard (0,7% versus 1,1%) dibandingkan dengan pasien yang hanya
menerima terapi medikamentosa saja. Lain halnya bila dibandingkan dengan
pasien yang tidak menjalani CABG sebelum tindakan nonkardiak. Hasilnya sangat
jarang dilakukan CABG hanya untuk menurunkan risiko perioperatif nonkardiak.
Sedangkan untuk masa perlindungan terhadap tindakan nonkardiak pada
pasien yang telah menjalani CABG, disebutkan bahwa waktu yang ideal adalah
4-6 tahun setelah CABG masih didapatkan efek penurunan kejadian kardiak pada
operasi/tindakan nonkardiak. ACC malah merekomendasikan waktu 5 tahun pada I
perdarahan dapat terjadi bila tindakan nonkardiak dilakukan kurang dari 2 minggu.
Kejadian restenosis biasanya meningkat setelah 8 minggu. Tetapi bila restenosis
tidak terjadi hingga 8-12 bulan maka perlidungan dari PTCA sangat baik terhadap
pasien dalam menghadapi tindakan nonkardiak. Lihat algbritme tata laksana pasien
dengan riwayat PCI dan akan menjalani operasi non kardiak
Satu laporan yang membandingkan antara PCI dengan CABG menunjukkan
hasil yang sama dalam mencegah infark dan kematian. Pelaksanaan
revaskularisasi yang dilakukan di bawah 4 tahun menjelang operasi lebih baik
dibandingkan setelah 4 tahun dalam melindungi pasien dari komplikasi.
>14 hari >30.45 hari <30-45 hari <365 hari >365 hari
lrursentt ll I lrurgenn I
Gambar 1. Algoritme pendekatan tatalaksana pasien dengan riwayat PCI yang direncanakan
operasi non-kardiak
30 - 365 hari
{rdrplasi ACqlAllA 3007 guidelim an pgr'npektiw cardivasular €vatuation and €rs for non e.diac surg{y)
Gambar 2. Algoritme tata laksana pasien yang membutuhkan terapi intervensi koroner
perkutan.(PCl) yang direncanakan operasi.
Ika Prasetya Wijaya, Idrus Alwi 9l
Konsiderasi anestesi
Sampai saat ini tidak ada bukti yang kuat teknik anestesi mana yang baik untuk
melindungi miokard. Sehingga teknik anestesi mana yang dipilih merupakan hak
dari anestesiologis. Tatalaksana nyeri sebelum operasi sangat penting, namun
tidak ada teknik analgesia yang disepakati. Pertahankan suhu dalam suhu
normal untuk menurunkan kematian kardiak perioperatif.
I(EIMruLAN
Banyak metode dalam persiapan perioperatif tindakan nonkardiak. Namun yang
terpenting adalah proses identifikasi pasien mulai dari anamnesis yang lengkap,
pemeriksaan fisik yang tepat, dan EKG. Dari hasil ini maka beberapa risiko,
panduan dan algoritme dapat membantu kita untuk memutuskan apakah pasien
perlu pemeriksaan khusus atau tidak sebelum menjalani tindakan nonkardiak.
Apakah pemeriksaan atau tatalaksana medikamentosa diperlukan sebelum
tindakan/operasi. Harus diingat bahwa jangan lakukan pemeriksaan bila hasilnya I
I
RETEREUil
'l
, Eagle KA, Berger PB Calkins H, et al. ACC/AHA guideline update for perioperative cardivascular
evaluation for non cardiac surgery-excecutive summary: a report of the American College of
Cardiology/American HeartAssociation Task Force on Practice Guidelines (Comite to Update the I
1996 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation for Noncardiac Surgery). J Am Coll
Cardiol. 2002;39 :542-53. I
2. Eagle KA, Brundage BH, Chaitman BR, et al. Guidelines for perioperative cardiovascular I
evaluation for noncardiac surgery. Report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines (Comitte on Perioperative Cardiovascular
Evaluation for Noncardiac Surgery), J Am Coll Cardiol. 1996;27:910-48.
3. Cohn SL, Goldman L. Preoperative risk evaluation and perioperative management of patients
with coronary artery disease. ln: Cohn SL, ed. Preoperative medical consultation. Med Clin N
Am.2003;87:'11'l-36.
4. Palda VA, DetskyAS, Perioperative assessment and management of risk from coronary artery
disease. Ann lntern Med. 1997;127:313-28.
5. Lee TH, Marcantonio ER, Mangione CM, et al. Derivation and prospective validation of a simple
index for prediction of cardiac risk of major noncardiac surgery. Circulation. 1 999;100:1043-9.
6. Goldman L, Caldera DL, Nussbaum SR, et al, Multifactorial index of cardiac risk in noncardiac
surgical procedures. N Engl J Med.1977;297:845-50.
7. Harun S, Majid A. Penyakit jantung dan operasi non jantung. ln: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi
l, et al, eds. 4h ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam
FKUI;2006. p. 1703-10.
92 Penyakit Jatung Koroner
8. Poldermans D, Boersma E, Bax JJ, et al, The effect of bisoprololon perioperative mortality and
myocardial infarction in high-risk patients undergoing vascular surgery. Dutch Echocardiographic
Cardiac Risk Evaluation Applying Stress Echocardiography Study Group. N Engl J Med.
1 999;341 :1 789-94.
9. Boersma E, Poldermans D, Bax JJ, et al. Predictors of cardiac events after major vascular
surgery: role of clinical characteristics, dobutamine echocardiography, and beta-blocker therapy.
JAMA, 2001 ;285:1 865-73.
10. Mangano DT, Layug EL, Wallace A, et al. Effect of atenolol on mofiality and cardiovascular
morbidity after noncardiac surgery. Multiceter Study of Perioperative lschemia Research Group.
N EnglJ Med. 1996;335:1713-20.
11. KaluzaGL,JosephJ,LeeJR,etal.Catastrophicoutcomesofnoncardiacsurgerysoonafter
coronary stenting. J Am Coll Cardiol. 2000;35:1288-94.
-)
93
8.2 Arltmla
Dono Antono, Sjaharuddin Harun
ritmia adalah gangguan irama jantung dapat berupa irama yang tak teratur
etapi termasuk gangguan pembentukan impuls dan gangguan konduksi.
Gangguan pembentukan impuls bisa pada SA node, atrium, AV node dan ventrikel.
Sedangkan gangguan konduksi terjadi pada nodus SA, nodus AV dan sistem his.
Tindakan pembedahan maupun pascabedah dapat mengakibatkan beban
iskemia dan dapat mengancam pasien, baik yang diduga ataupun yang tidak
diduga mempunyai penyakit kardiovaskular. Pada pembedahaan dapat terjadi
pendarahan yang tidak terduga, asidosis, gangguan ventilasi, hiperkapnia,
resistensi sistemik menurun, kontraksi dan konduktivitas jantung menurun, aritmia,
hipotensi (dengan atau tanpa perdarahaan) yang kesemuanya ini dapat
mengganggu fungsi jantung.
Obat anestesi opiat pada dosis tinggi dihubungkan dengan ventilasi pasca-
bedah, penurunan denyut jantung dan tekanan darah (TD). Suksinilkolin
menyebabkan takikardia ataupun bradikardia, tetapi lebih sering timbul respons
bradikardi (sinus bradikardia berat, ritme nodal dan bahkan asistol).
Obat anestesi inhalasi (halotan, enfuran, isofluran) dapat menyebabkan
depresi kontraksi miokard, mengurangi after-load. Obat-obat baru seperti
desfluramin dan sevofluran belum terbukti keamanannya terhadap sistem
kardiovaskular.
Anestesi spinal/epidural dapat menyebabkan hipotensi dan bradikardia.
Belum ada satu pun teknik maupun obat-obat anestesi yang benar-benar dapat
melindungi jantung. Oleh karena itu pilihan anestesi dan pemantauan intraporatif
diserahkan pada tim anestesi.
94 Aritmia
KI.ASIFIIGSIARITMIA
Dari mekanisme terjadinya irama jantung dan aritmia maka dapatlah kita buat
klasifikasi irama jantung sebagai berikut :
. lrama berasal dari nodus SA.
- lrama sinus normal, yaitu irama jantung normal pada umumnya.
- Sinus aritmia, baik yang disebabkan pernapasan ('TespiratoryJ ataupun
tidak
- Sinus takikardi, peningkatan aktivitas node SA 100 kali/menit atau lebih,
. Aritmia Atrial-
- Fibrilasi atrial (Afi) dengan respon ventrikel cepat, normal atau lambat.
- Fluter atrial (Afl).
- Atrial takikardia biasanya paroksismal (PAT, Paroxysmal Atrial Tachy-
cardia). Ada juga yang disertai dengan blok hantarannya, dan disebut
sebagai PAT dengan blok.
- Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari Atrial tersebut hanya datang
satu per-satu, mungkin dari satu fokus (unifokal) atau lebih (multi fokal).
. Aritmia AV Jungsional.
Ada yang timbul pasif, yaitu karena nodus SA kurang aktif sehingga diambil
alih:
- lrama AV Jungsional, biasanya bradikardia; bisa tinggi, sedang atau
rendah.
- AV Jungsional ekstrasistol (uni-multi focal)
- AV Jungsional takikardia paroksismal, seperti PAT. Seringkali sukar
membedakan antara irama yang berasal dariAtrial atau AV Jungsional,
sehingga disebut saja sebagai irama supra ventrikular, karena memang
keduanya berasal dari atas ventrikel dan penatalaksanaannya pun tak
jauh berbeda. Tetapi Afi dan Afl tidak mungkin dari AV Jungsional,
sebagaimana irama AV Junctional pasif (non paroksismal) dapat dikenali
bukan Atrial.
. Aritmia Ventrikular
- lrama ldio Ventrikular, biasanya non paroksismal, dan idio ventrikular
takikardiainon paroksismal ventrikular takikardia (non PVT).
- Paroksismal ventrikular takikardia (PVT).
- Fluter ventrikuler (VFl) serta Fibrilasi ventrikuler (Vfi).
- Parasistol ventrikuler.
- Asistole
. Gangguan hantaran pada sekitar berkas Hls dan percabangannya (Bundle
Branch).
- Blok AV (AVB) derajat 1, 2 (tipe 1 Wenkebach serta tipe2) dan 3
(total).
Dono Antono, Sjaharuddin Harun 95
- Bundle Branch B/ock (BBB), mungkin kanan (RBBB) atau kiri (LBBB),
bisa parsial (incomplete) atau total (complete) dan bisa juga tergantung
pada HR sehingga disebut sebgai "rate dependent Bundle Branch
BlocK'. Dalam suatu rekaman dari seorang pasien bisa ditemukan
irama jantung sinus dengan ekstrasistol ventrikel (VES) atau SVES
unifokal atau multifokal, multi fokal SVES dengan aberantia, atau atrial
atau ventrikular atau supraventrikular yang umumnya terapinya sangat
berbeda. Kunci dari pembedaan ini adalah menemukan ada tidaknya
gelombang P dan menentukan posisinya/hubungannya terhadap QRS.
lrama ventrikular tidak didahului P atau tak ada hubungan antara P dan
QRS.
Dalam menilai atau evaluasi aritmia preoperatif secara praktis dapat digolongkan
berdasarkan 3 hal dibawah ini :
1. Bradi aritmia / Taki aritmia
2. Supra Ventrikular / Ventrikular
3. Aritmia benigna / maligna.
1. Bradikardia/bradiaritmia
Dalam menilai kecepatan irama jantung, idealnya yang di izinkan untuk operasi
antara 60-100x/menit. Jika denyut jantung antara 40-60x/menit, tanpa keluhan
dan irama sinus. Jika tidak ada kendala fisik, diperiksa sfress fesf dengan fread-
95 Aritmia
mill, apabila ada respon takikardi normal, berarti sinus bradikardi asimptomatik
boleh operasi tanpa resiko.
Bila denyut jantung kurang dari40></menit, biasanya ada keluhan pada waktu
aktivitas fisik. Jika tidak ada keluhan dan irama sinus, diagnostik bradikardi dengan
holter monitor, jika ditemukan srnus arresf atau Extra Srsfo/e Junctional Escape
Beat alau Run VT atauAV Block Total fransienf, walaupun tanpa keluhan sebelum
operasi dipasang Permanent Pace Maker, Temporary Pace Maker, jika akan
operasi segera.
Tatalaksana sinus bradikardi (SB) tidak diperlukan bila tidak terdapat gejala
dan gangguan hemodinamik. Dalam keadaan infark miokard akut dan disertai
gangguan hemodinamik dapat diberikan sulfas atropin (SA) 0,5 mg intravena dan
dapat diulang seperlunya. Bila tidak membaik atau SB cenderung berulang maka
harus dipasang pacu jantung sementara (temporary pacing). Perlu ditanyakan
obat-obatan yang diminum, sering kali akibat efek samping atau intoksikasi obat
yang dapat menyebabkan bradikardia.
4. AV blok
a. Blok AV derajat I
Blok AV derajat I bila semua implus dari atrium dapat dihantarkan ke
ventrikel dengan waktu hantaran yang lebih lama (pada EKG interval
PR> 0,20 detik). Kelainannya biasanya pada tingkat nodus AV dan
jarang pada sistem His-Purkinje. Karena semua implus dari atrium dapat
dihantarkan ke ventrikel maka tidak menimbulkan gejala.
Dono Antono, Sjaharuddin Harun 97
b. Blok AV deralat 2
Pada keadaan ini tidak semua impuls dari atrium dapat dihantarkan
melalui nodus AV dan sistem His-Purkinje ke ventrikel. Berdasarkan
rekaman EKG kelainan ini dapat dikelompokan menjadi tipe Mobizt I
(tipe Wenckebach) dan tipe Mobizt tt. Pada tipe Mobizt I terdapat
pemanjangan interval PR yang progresif sebelum terjadinya hambatan
total. Lokasi kelainan ini biasanya di tingkat nodus AV. Sedangkan tipe
Mobizt ll terdapat hambatan impuls dari atrium yang intermiten di mana
impuls dari atrium tibatiba tidak dapat dihantarkan ke ventrikel. pada
tipe ini lokasi hambatan adalah infranodal (pada sistem His-purkinje).
Gejala yang sangat bergantung pada besarnya laju ventrikel. Jarang
blok AV derajat 2 menimbulkan gejala.
Pada AV blok derajat 1 dan AV blok derajat 2 jenis dan lokasi gangguan I
ARITMIASPESIFTK
Fibrilasi Atrial
Kardioversi elektrik
Pasien FA dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat laju irama ventrikel yang
cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan kardioversi
elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 joule. Bila tidak berhasil dapat
dinaikkan menjadi 300 joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi dengan
obat anestesi kerja pendek.
Dono Antono, Sjaharuddin Harun 99
Penatalaksanaan farmakologis
Obat-obatan antia aritmia yang digunakan pada pengobatan AF adalah : (A). (1)
kelompok kontrol frekuensi denyut jantung untuk mengatasi denyut nadi, yaitu
golongan penyekat beta (class ll), golongan antagonis kalsium yang verapamil,
diltiazem (kelas lV). Di samping itu dapat dipergunakan juga digitalis. (B) adalah
kelompok kontrol irama untuk mengkonversi dari AF ke irama sinus dan juga
untuk mempertahankannya bila telah kembali ke irama sinus, yaitu: (1). Golongan
yang memblokade kanal ion NA (kelas lA, lC) yaitu antara lain kuinidin, propafenon.
(2) kelas lll yang memperpanjang masa refrakter potensial aksi dengan
menghambat kanal ion K, yaitu antara amiodaron, sotalol.
ARITMIAVENTRIKEL
Secara klinis PVC yang terjadi pada pasien dengan jantung normal tidak
memiliki faktor prognostik yang penting. Pada keadaan ini tidak diperlukan terapi.
Bila pasien merasakan tidak nyaman dapat diberikan obat penenang (minor
Dono Antono, Sjaharuddin Harun 101
tranquilizer) dan menghindari faktor yang memperberat seperti kopi dan rokok.
Bila gejala tidak berkurang dapat diberikan obat penyekat beta.
Pada keadaan akut seperti infark miokard akut, terutama PVC bigemini,
multifokal, atau R on T, dapat diberikan lidokain, prokainamid, atau amiodaron.
Bila PVC yang sering (frequent) muncul pada pasien pasca infark dengan
penurunan fungsi LV (fraksi ejeksi < 35%) atau kardiomiopati dilatasi, maka nilai
prognostiknya menjadi penting karena kelompok pasien ini memiliki risiko kematian
mendadak yang tinggi. Kelompok pasien ini sebaiknya dirujuk untuk pemeriksaan
elektrofisiologi untuk menentukan apakah perlu dipasang implanftable cardioverter
defibrillator (ICD).
TATAI.AIGANAUMUM
Tatalaksana preoperatif
Pada prinsipnya semua aritmia baik supraventrikular maupun ventrikular tergantung
dari kausanya. Jika tidak ada dasar penyakit jantung organik atau metabolik,
boleh operasijika frekuensi denyut jantung terkontrol berkisar 60 - 100 x / menit.
Ekstra sistole kurang dari 5 ></ menit, dan dalam terapi, boleh dilakukan operasi
dengan anjuran memakai pengawasan monitor EKG selama operasi. Jika pernah
ada riwayat VTA/F dengan atau tanpa ada kelainan jantung organik atau metabolik,
tergolong resiko tinggi untuk operasi. Perlu diatasi penyebabnya dahulu. Pada
pasien pasca infark miokard harus dilakukan revaskularisasi dan baru boleh
operasi setelah 3 bulan. Pada kelompok ini berisiko kematian mendadak,
sebaiknya dilakukan pemeriksaan elektrofisiologi untuk menentukan apakah perlu
dipasang ICD ( implantable cardioverier defibrilator ) .
RffiE\ET
Douglas P. Zipes, MD, MACC, FAHA, FESC, Co-ChalrA. John Cammet, MD, FACC, FAHA, FESC,
Co-Chair Martin Borggrefe, et al. ACC/AHA/ESC Guidelines for the Management of Patients with
Ventricular Arrhythimias and the Prevention of Sudden Cardiac Death. A repofi of the American
Collega of Cardiology/American HeartAssociation. Curculation 2006;48:1064- 1108, Circula-
tion 2006; 114:1088-1132, and European Heart Journal 2006;27:2099114q.
Sudoyo W. Aru, Setiyohadi Bambang dkk., BahanAjar llmu Penyakit Dalam,Jilid lll Edisi lV, Departemen
llmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokeran Universitas lndonesia. Jakafia:Juni2006,
Chung K. Edward, M.D., TigheADennis., M.D., Pocket guideTo Cardiovascular Diseases. Areporl
of BlackwellScience, lnc. England 1999.
r03
Khusus untuk keadaan gagal jantung akibat efek hemodinamik dari kelainan
katup tersebut penting di evaluasi dominasi dari gagal jantung yang ada, seperti
gagal jantung kanan saja, gagal jantung kiri saja atau kombinasi keduanya yang
menyebabkan gagal jantung kongestif.
i
Pasien-pasien dengan penyakit jantung katup yang akan menjalanitindakan operasi
non-kardiak terutama pada kelainan katup yang cukup berat, seharusnya dilakukan
identifikasi dan evaluasi status pasien secara cermat.
Adanya gejala seperti dyspnoea, nyeri dada, sinkop atau gagal jantung,
seperti juga adanya aritmia (seperti fibrilasi atrial sebagai aritmia yang paling
sering ditemukan) harus diketahui sejak persiapan perioperatif tersebut.
Pemeriksaan fisik yang cermat sangat dibutuhkan, di samping bantuan hasil
pemeriksaan penunjang seperti rekaman elektrokardiografi (EKG), rontgen toraks
dan pemeriksaan ekokardiografi. Sebaiknya pada pasien yang dari pemeriksaan
fisik dideteksi adanya suara bising atau murmur, agar dilakukan pemeriksaan
ekokardiografi terlebih dahulu guna identifikasiadanya gangguan pada katup jantung
dan bila ditemukan kelainan dapat dibuat derajat kerusakannya. Hal ini terutama
pada populasi usia lanjut dimana seringkali bunyi sistolik yang ringan merupakan
tanda fisik yang penting dari stenosis aorta.
Hal-hal penting lain yang harus dievaluasi dari pemeriksaan ekokardiografi
sebelum tindakan operasi meliputi : derajat beratnya lesi pada katup jantung,
fungsi ventrikel kiri jantung dan tekanan pulmonal.
MONITORPERIOPERAEF
Jika seorang pasien telah diketahui menderita penyakit jantung katup berat
yang diperkirakan dapat dikoreksi dengan pembedahan, maka tindakan bedah
guna mengkoreksi lesi katup tersebut sangat dianjurkan sebelum dilakukan
tindakan bedah non-kardiak tersebut. Hal ini terutama ditujukan untuk menghindari
keadaan-keadaan seperti edema paru, cardiac arrest atau hemiplegia, yang
kemungkinan dapat terjadi akibat keadaan-keadaan yang disebabkan oleh tindakan
pembedahan dan anestesia, misalnya peningkatan tekanan darah dan lain-lain.
Khusus pada kasus-kasus dengan stenosis aorta atau stenosis mitral dengan
aritmia (misalnya fibrilasi atrial) yang menengah sampai berat, golongan obat
penghambat beta (beta blockers) dan amiodaron dapat diberikan sebagai
profilaksis, yang dalam hal ini obat-obatan tersebut bermanfaat untuk
mempertahankan irama sinus pada periode posfoperatif. walaupun sampai saat
ini manfaat beta blocker untuk menurunkan tingkat mortalitas kardiovaskular
sebelum operasi vascular major belum dapat dipastikan apakah juga berlaku pada
pasien dengan penyakit jantung katup.
PERHATIAN K}IUSUS
Seperti juga pada keadaan-keadaan gangguan atau kelainan jantung lain yang
telah diketahui sebelum tindakan-tindakan pembedahan, pasien dengan kelainan
katup jantung juga membutuhkan perhatian khusus sebelum dan sesudah tindakan
pembedahan non-kardiak tersebut. secara umum hal-hal yang harus menjadi
perhatian khusus pada pasien-pasien dengan kelainan jantung jenis apapun adalah:
. Pemakaian obat antikoagulan oral
. Pemakaian heparin intravena atau subkutan
. Obat golongan kortikosteroid jangka panjang
. Penggunaan cairan infuse yang mengandung natrium
. Transfusi darah
Keadaan yang paling sering ditemukan pada populasi dengan penyakit katup
jantung adalah pemakaian obat antikoagulan oral, terutama pasien pasca operasi
untuk penggantian atau perbaikan katup jantung, atau karena indikasi lain yang
sering ditemukan seperti gangguan irama jantung (paling sering adalah fibrilasi
atrial).
Dikatakan bahwa pada seorang pasien yang sedang dalam pengobatan
dengan antikoagulan oral, disepakati bahwa obat tersebut sebaiknya dihentikan
2-3 hari sebelum tindakan pembedahan, walaupun pada sumber lain dikatakan
sebaiknya penghentian obat antikoagulan oral tersebut bisa dianjurkan sampai 1
minggu sebelum tindakan pembedahan. Dan setelah tindakan operasi non-kardiak
tersebut dilakukan, maka pemberian obat antikoagulan oral dapat diberikan kembali
t 2-3 hari pasca operasi.
Sally Aman Nasution, Lukman Hakim Makmun LO7
I"ESI KATUPSPESIFIK
Stenosis Aoda
Penyebab terbanyak dari stenosis aorta termasuk degenerasi idiopatik dan
kalsifikasi dari daun katup aorta, dengan konsekuensi jangka panjang akan terjadi
hipertensi arterial, akibat demam reumatik atau abnormalitas morfologi katup
(misalnya : aorta bicuspid). Obstruksidariorificium katup aorta akan mengakibatkan
peningkatan tekanan ventrikel kiri untuk mempertahankan isi sekuncup. Akhirnya
akan terjadi hipertrofi dari otot ventrikel kirijantung. Secara bersamaan peningkatan
tekanan di ventrikel kiri akan menekan pembuluh darah subendokard, sehingga
mengganggu aliran darah koroner dan distribusi oksigen ke sel otot jantung. Hal
ini menjelaskan mengapa pada 50-70% pasien stenosis aorta sering mengeluh
angina atau nyeri dada. Dan 15-30% pasien sering mengalami sinkop.
Derajat beratnya stenosis aorta dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu :
1. AS berat : bila AVA < atau sama dengan 1 cm2
2. AS sedang : bila AVA 1-1,5 cm2
3. AS ringan ' bila AVA > 1,5 cm2
Dari beberapa studi telah dibuktikan bahwa stenosis aorta berat (AVA atau
Aortic Valve Area < 1 cm2 atau 0,6 cm2lm2 BSA) akan meningkatkan risiko
pembedahan non-kardiak paling tinggi di antara kelainan katup jantung lainnya.
Sehingga dibuat beberapa rekomendasi yang dianjurkan untuk mempersiapkan
seorang pasien stenosis aorta berat yang akan menjalani pembedahan non-kardiak.
Stenosis mitra!
Seperti lesi katup jantung yang lain, penyakit demam reumatik masih merupakan
penyebab terbanyak dari stenosis mitral. Penyebab lain termasuk stenosis
mitral congenital, SLE, RA, miksoma atrial dan endokarditis bacterial. Gejala
klinis dari stenosis mitral tersebut biasanya adalah orthopnea, sesak saat
beraktivitas dan paroxysmal nocturnal dyspnea sebagai pentunjuk adanya disfungsi
ventrikel kiri. :
I
t, KATUPPROTESA
i' Pada pasien yang telah menjalani koreksi terhadap kelainan katup jantung dan
I
telah dipasang katup protesa, sebenarnya kelainan jantung yang mendasari telah
selesai sehingga tindakan pembedahan non-kardiak dapat dilaksanakan dengan
aman, terutama dalam hal hemodinamik.
Tetapi ada beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum tindakan prosedur
non-kardiak tersebut, antara lain :
' Pastikan bahwa tidak terdapat tanda atau gejala adanya disfungsi katup I
I
I
harus memuaskan (dalam hal status katup protesa tersebut)
' Risiko yang sering timbul adalah dalam hal penggunaan antikoagulan pada
protesa katup mekanik. Sehingga harus dilakukan manajemen penggunaan
antikoagulan yang tepat selama periode perioperatif. I
RMENEI I
1. Fleisher LA, Beckman JA, Brown KA, Calkins H, Chaikoff E, Fleischmann KE, et al. ACC/AHA
2007 Guidelines on Perioperative Cardiovascular Evaluation and Care for Noncardiac Surgery.
JACC.2007; 50:172-3.
2. Fleisher LA, Eagle KA. Anesthesia and Noncardiac Surgery in Patients with Heaft Disease. ln :
Zipes DP, Libby P, Bonow RO, Braunwald E, eds. Braunwdld's Heart Disease. Tth ed. philadel-
phia : Elsevier Saunders; 2005. p. 2021-2038.
3. Vahanian A, Baumgartner H, Bax J, Butchaft E, Dion R, et al. Guidelines on the management of
valvular heart disease. The Task Force on the Management of Valvular Hearl Disedse of the
European Society of Cardiology. Eur H Journal, 2007;28:230-68.
4. Boost KA, Zwissler B. Anesthetic Management of Patients with Valvular Heart Disease in Noncar-
diac surgery.1n : Howell S, Peppel c, spahn DR, eds. Heart Disease and the surgical patient.
New York : lnforma Healthcare; 2007. p.335-45.
5. Alpert JS, Sabik JF, Cosgrove DM. Mitral Valve Disease. ln : Topol EJ, ed. Textbook of Cardio-
LL2 Penyakit Jantung Valvular
vascular Medicine. 2nd ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2002. P483-508.
6. Stewart WJ, Carabello BA. Aortic Valve Disease. ln : Topol EJ, ed. Textbook of Cardiovascular
Medicine, 2nd ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins ; 2002. P. 509-28.
7. Garcia MJ. Prosthetic Valve Disease. ln :Topol EJ, ed. Textbook of Cardiovascular Medicine, 2nd
ed. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkin s ;2002. p. 549-68
8. Valvular Heart Disease; MitralValve Disease. ln : Cheitlin MD, Sokolow M, Mcllroy MB, eds.
Clinical Cardiology, 6m ed. Lange Medical Pub; 1993. p. 407-37.
9. Aortic Valve Disease; Multiple Valve Disease. ln : Cheitlin MD, Sokolow M, Mcllroy MB, eds.
Clinical Cardiology, 61h ed. Lange Medical Pub; 1993. p.438-475.
10. Cardiac Disease & the Surgical Patient. ln : Cheitlin MD, Sokolow M, Mcllroy MB, eds. Clinical
Cardiology,6th ed. Lange MedicalPub; 1993. p.704-11.
\
113
I
i
simtomatik.l I
Evaluasi perioperatif sangat penting dilakukan pada pasien dengan gagal
I
jantung kronik yang akan menjalani operasi. Anestesi umum dapat memperburuk I
pemeriksaan fisik dan penunjang untuk menentukan risiko kardiak yang terjadi I
dan memberikan tatalaksana yang optimal untuk mengurangi risiko perioperatif. I
PRAOPERASI
1. Tanda vital: tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas dan suhu tubuh
dalam batas normal atau tidak. Misalnya bila terdapat hipertensi maka
diperlukan obat anti hipertensi. Tekanan darah optimal sistolik 100-140
mmHg, sedangkan diastolik 70-95 mmHg'
Ll4 Gagal Jantung Kronik
15. Fungsi ventrikel kirl. Evaluasi fungsi ventrikel kiri secara non invasif yaitu
ekokardiografi terutama fungsi sistol!k untuk mengetahui ejeksi fraksi ventrikel
kiri. Pasien dengan fraksi ejeksi < 40 o/a mempunyai risiko komplikasi lebih
berat.
16. Fungsi ventrikel kanan. Dengan pemeriksaan ekokardiografi dapat
diidentifikasiadanya penurunan fungsiventrikel kanan dan hipertensi pulmonal
(gradien > 60 mmHg) yang dapat meningkatkan risiko komplikasi, sehingga
dapat diberikan pengobatan untuk menurunkan hipertensi pulmonal terlebih
dulu.
17. Katup jantung. Adanya kelainan katup seperti stenosis mitral, stenosia aorta,
insufusiensi mitral dan insufisiensi aorta dapat meningkatkan risiko operasi.
Perlu diberikan obat-obatan untuk mengurangi afterload atau bahkan operasi
katup pada kelainan katup yang berat. Pasien dengan kelainan katup atau
menggunakan katup mekanik harus diberikan terapi antibiotik untuk
profilaksis endokarditis infektif. Mengenai terapi antibiotik secara lebih leng kap
dan spesifik dapat dilihat pada bab Pencegahan infeksi luka operasi dan
terapi antibiotik profilaksis..
18. Fungsi paru. Apakah ada infeksi, efusi, PPOK yang dapat memperberat
gagal jantung. Begitu pula dengan kemungkinan adanya hipertensi pulmonal
baik primer maupun sekunder.
19. Etiologi gagal jantung penting untuk diketahui. Apakah merupakan penyakit
jantung koroner, kelainan katup atau kardiomiopati. Untuk ;tt?nlakit jantung
koroner telah ada pedoman yang lebih spesifik untuk manajemen perioperatif.
20. Ada tidaknya kondisi yang dapat mencetuskan gagal jantung seperti infeksi
. Jenis operasi. Apakah operasi merupakan tindakan minor atau mayoi. yang
21
memerlukan waktu lama dan perdarahan yang banyak.
Mayor
- Angina pektoris tak stabil
- lnfark miokard baru
- Gagal jantung decompensated
- Aritmia (AV blok deralat tinggi, aritmia ventrikel simtomatik, aritmia supraventrikular)
- Penyakit katup jantung yang berat
Intermediate
- Angina peKoris ringan
- Riwayat infark miokard atau adanya gel Q patologis pada EKG
- Riwayat gagal jantung
- Diabetes melitus
- lnsufusiensi ginjal kronik
Minor
- Usia lanjut
- Abnormal EKG ( LVH, LBBB, gel ST-T abnormal)
- Ritme selain sinus (rnisalnya fibrilasi atrial)
- Kapasitas fungsional rendah
- Riwayat strok
- Hipertensi tak terkontrol
Dikut:p dari Eagle KA et al. Guideline for perioperative cardiovascular evaluation for noncardiac surgery.
ACC/AHA guidelines. J Am Coll Cardiol 2002; 39: 542.
Usia 2 65 tahun
Hipertensi
Perokok
Kolesterol > 240 mgldl
Diabetes melitus tipe 2
Cardiac Nsk lndex Criteria (Goldman, Auerbach) yang telah direvisi :
1. Prosedur operasi risiko tinggi (lntraperitoneal, intratoraks dan vaskular suprainguinal)
2. Penyakit jantung iskemik : riwayat infark miokard, adanya Q patologis pada EKG,
riwayat angina, penggunaan nitrat, uji latih positif, nyeri dada tipikal
3. Riwayat strok atau TIA
4. Diabetes melitus dalam terapi insulin
5. ;
lnsufusiensi renal kronik (kadar kreatinin darah 2 mgldl)
118 Gagal Jantung Kronik
INTRAOPERASI
PASCAOPERASI
Evaluasitanda vital (tekanan darah, frekuensi nadi, napas dan suhu), keseimbangan
cairan, elektrolit, oksigenasi, dan kadar Hb. Pemberian obat-obat gagal jantung
yang mengurangi preload dan afterload, anli hipertensi, dan antiaritmia.
Keseimbangan cairan sangat penting diketahui untuk menentukan adanya over-
load dan perlu tidaknya pemberian diuretik. Evaluasi EKG terutama pada pasien
dengan riwayat aritmia, riwayat PJK atau ada keluhan nyeri dada. pemeriksaan
enzim jantung dapat dilakukan pada kelainan EKG yang mencurigakan walaupun
tanpa gejala klinis karena iskemi dan infark miokard pasca operasi biasanya
terjadi si/enf akibat faktor perancu seperti obat-obat analgetik. pemberian
antikoagulan dan antitrombotik pada pasien dengan indikasi dapat dilanjutkan
pada 24-72jam pasca operasi dengan tetap mempertimbangkan risiko perdarahan
yang dapat terjadi. Pemberian analgetik optimal untuk mengurangi nyeri yang
dapat meningkatkan tonus simpatis dan memperberat kerja jantung.12
RffiREI\lsI
1 . Jessup M, Brozena S. Heart failure. N Engl J Med 2004;348: 2007-18.
2. Grayburn PA, Hillis LD. Cardiac events in patients undergoing noncardiac surgery: shifting the
paradigm from noninvasive risk stratification to therapy. Ahn lntern Med 2003; i3B:506-11.-
3. Eagle AK et al. ACC/AHA Guideline update for perioperative cardiovascular evaluation for non-
cardiac surgery: a reporl of the American College Cardiology/American Heart Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. J Am Coll eardiol2002139: 542-3.
4. l!-.lqt gf LA, Eagle KA. Lowering cardiac risk in noncardiac surgery. N Engt J Med 2001; 345:
1677-81.
5. Merz NB. Assesment of patients at intermediate cardiac risk. Am J Cardiol 2005; 96 (suppl): 2J-
10J.
6. Goldman L, Cohn Sl. Preoperative risk evaluation and perioperative management of patients with
coronary artery disease. Med Clin North Am 2003; 87: 1 11 -36.
7. Shamash JB, GhaliWA. Preoperaliveassessment and perioperative management of the patient
with non ischemic heaft disease. Med Clin Nofth Am 2003; 87: 1A7-52.
8. Adams DH,Filsoufi F, Antman EM. Medical management of the patient undergoing cardiac
surgery. ln: Braunwald, ed. Hearl disease, a textbook of cardiovascular medicine.SM 4d. WB
Saunders company; 2005: 1 993-201 7.
Ryan Ranitya, Marulam Panggabean 119
I
I
I
120
DTINNSI
Definisi gagal jantung secara tradisional difokuskan pada kegagalan pompa jantung
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Sayangnya tidak ada definisi
klasik yang cukup memuaskan dan tentu saja tidak membantu dalam praktek
klinik. Definisi yang bermanfaat dalam membuat diagnosis gagal jantung harus
berdasarkan judgment klinis yang menyokong anamnesis, pemeriksaan fisis dan
pemeriksaan noninvasif dan invasif.3
PIDEIYIIOOGI
Prevalensi gagal jantung kronik simtomatik berkisar antara 0,4o/o dan 3,60/o,
tergantung populasi yang diteliti dan metodologi yang digunakan. Prevalensi pada
populasi Eropa dewasa sekitar 1,5%, dan mungkin setinggi 3-5% pada usia di
atas 75 tahun. Rerata usia pasien gagaljantung adalah 74 sampai 76 tahun dan
terdapat perbedaan gender yang nyata dengan prevelensi pada pria lebih tinggi
daripada wanita.4-6 Pada usia 40 tahun, risiko untuk terjadinya gagaljantung adalah
21o/o pada pria dan 20% pada wanita.T
Prevalensi disfungsi sistolik ventrikel kiri pada populasi dewasa dilaporkan
sebesar 3%, meningkat 4o/o sampai 60/o pada subyek berusia di atas 65 tahun.
Antara setengah sampai duapertiga subyek tersebut asimtomatik. Namun
walaupun disfungsi ventrikel kiri asimtomatik, mortalitas 5 tahun bermakna yaitu
sebesar 5%. Gagal jantung dikaitkan dengan prognosis yang buruk, di mana
sekitar separuh pasien dengan diagnosis gagal jantung meninggal dalam 4 tahun I
dan lebih separuh pasien pasien dengan gagal jantung berat akan meninggal
dalam satu tahun.3
EE(X)GI
Penyebab utama gagal jantung adalah penyakit jantung koroner (PJK) akut dan
kronik. Prevalensi PJK pada pasien gagal jantung bervariasi antara 50% sampai
75o/o.3 Sebagian besar pasien mempunyai riwayat infark miokard dan bukti
hibernasi atau iskemia yang reversibel. Walupun hipertensi ditemukan pada
sebagian besar pasien dan merupakan faktor risiko penting untuk terjadinya gagal
jantung, namun hanya 10% kasus gagaljantung disebabkan langsung oleh penyakit
jantung hipertensi.
122 Gagal Jantung Akut
PAIOFISIOLOGI
Hilangnya kontraktilitas miokard dan overload volume atau tekanan jangka panjang
merupakan penyebab utama disfungsi ventrikel, yang dalam perjalanan waktu
berkembang menjadi gagal jantung yang nyata. Ventrikel yang lemah dan oyer-
load tidak mampu mengosongkan secara adekuat selama sistol, sehingga
volume sistolik akhir akan meningkat, di mana fraksi ejeksi volume skuncup (stroke
volume) menurun. Penurunan fraksi ejeksi mengakibatkan peningkatan volume
dan tekanan akhir diastolik dan sesuai dengan hukum Frank-Starling, volume
sekuncup akan menurun.
Sistem yang diaktivasi sebagai respons terhadap fungsi ventrikel yang
menurun adalah simpatis, parasimpatis, sistem renin-angiotensin-aldosteron
(RAAS), hipotalamo-neurohipofiseal, sistem imun dan endotelium vaskular.s,e
Aktivasi sistem simpatis menyebabkan vasokonstriksi dan menyebabkan respons
inotropik dan kronotropik positif, yang mana aktivitas tersebut direfleksikan dengan
peningkatan kadar noradrenalin plasma. Sistem RAA dengan hasil akhir
angiotensin ll dan aldosteron, mengakibatkan vasokonstriksi selanjutnya, retensi
air dan garam serta hilangnya potassium. Pelepasan hormon antidiuretik (ADH,
vasopresin) berperan dalam peningkatan reabsorpsi dan vasokonstriksi perifer.lo
Rangsangan vasokonstriksi selanjutnya pada endotelium yang teraktivasi akan
melepaskan endotelin-1 .11
Sistem kardiovaskular mempunyai sistem yang juga megalami aktivasi
terhadap vasokonstriksi dan retensi cairan oleh karena sistem RAA. Sistem ini
adalah natriuretic peptides (atrial /ANP) dan brain natriuretic peptides (BNP) yang
disintesis dan dilepas oleh miosit jantung, yang memicu vasodilatasi dan
diuresis. Adrenomedulin dan dopamin yang disekresi kelenjar adrenal dan
prostasiklin yang dilepas oleh endotelium juga mempunyai efek yang sama. Juga
telah dibuktikan aktivasi sistem imun dengan meningkatnya sitokin proinflamasi
TNF cx,lL-1 dan lL-6.12
Walaupun respons neurohumoral awalnya bermanfaat dan mengembalikan
tekanan perfusi dan curah jantung, dalam jangka panjang akan berefek buruk dan
jika tidak diberikan terapi yang adekuat dapat mengakibatkan gagal multiorgan
akhir (terminal multiorgan failure). Pemahaman semua mekanisme kompleks
tersebut merupakan dasar strategi terapi saat ini untuk gagal jantung akut dan
kronik.13
Trauma bedah mengaktivasi sistem yang sama seperti gagal jantung
(failing heart) yaitu: sistem simpatoadrenergik dengan peningkatan kadar
noradrenalin dan adrenalin plasma, sistem RAA, korteks adrenal (kortisol), kelenjar
pituitari (hormon adrenokortikotropik, hormon pertumbuhan, vasopresin, ADH) dan
endotelium (endotelin). Hasil secara keseluruhan dari orkestra respons stres ini
adalah vasokonstriksi, hipertensi, takikardia, konservasi garam dan air dari ginjal
Idrus Alwi, Arif Mansjoer t23
dan hilangnya potassium.la Selama bedah, respons stres tersebut diperkuat oleh
anestesi umum daniatau regional, tetapi dalam periode pasca operatif, menjadi
beralawanan dan mempunyai efek buruk pada pasien dengan cadangan jantung
yang menurun atau suplai oksigen miokard yang terbatas.
DIAGNOSIS
Diagnosis gagal jantung menurut guideline ESC memerlukan adanya gejala dan
tanda gagal jantung dan bukti obyektif disfungsi jantung saat istirahat. Gejala
klasik gagaljantung adalah dyspnea de'efort (sensitivitas 66%, spsesifisitas 52%),
orthopnea (spesifisitas 81Yo), paroxysmal nocturnal dyspnea, fatigue dan edema
(sensitivitas 23o/o).15 Reprodusibilitas interobserver tanda karakteristik gagaljantung
mencakup edema perifer, peningkatan JVP, bunyi jantung lll dan ronki paru
Evaluasi final
umumnya rendah. Jadi pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang asimptomatik
dapat dengan mudah tersingkir dari diagnosis klinis dan stratifikasi risiko
praoperatif. Algoritme diagnosis gagal jantung dan disfungsi ventrikel kiri dapat
dilihat pada bagan 1. Dasar obyektif disfungsi ventrikel kiri harus berdasarkan
pada empat pemeriksaan : EKG, foto rontgen dada, ekokardiografi dan
pemeriksaan BNP.3
EKG yang normal mempunyai nilai prediksi negatif yang tinggi, di mana
adanya gelombang Q prekordial dan interval QRS yang memanjang adalah sugestif
adanya abnormalitas fungsi ventrikel kiri.16 EKG juga berperan dalam penilaian
abnormalitas irama dan konduksi jantung. Pemeriksaan foto toraks harus
merupakan bagian dari penilaian dan evaluasi diagnosis awal untuk ukuran dan
bentuk jantung, rasio kardiotorasik, kongesti atau edema vena pulmonar dan efusi
pleura. Ekokardiografi berperan penting dalam diagnosis fungsi sistolik dan
diastolik, dan ukuran ventrikel kiri dan kanan, gerakan dinding regional (regional
wall motion), hipertrofi ventrikel, fungsi valvular, perikardium dan tekanan arteri
pulmonalis.3 Salah satu pengukuran terpenting adalah fraksi ejeksi (ejection
fraction) ventrikel kiri. Umumnya EF < 50 o/o dianggap abnormal, EF < 30%
menunjukkan disfungsi ventrikel kiri yang berat.
Famili natriuretic peptides, ANP dan BNP saat initersedia sebagai biomarker
gagal jantung.lT ANP disintesis dan disimpan serta dilepas dari miokardium atrial,
sedangkan BNP dilepas oleh miokardium ventrikel. Rangsangan pelepasan ANP
dan BNP adalah peregangan (stretching) miosit yang disebabkan peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dan regangan dinding (wal/ sfress).18 BNP
dan NT-proBMP merefleksikan lebih baik stres dinding dan disfungsi ventrikel
kiri, sehingga menjadi petanda yang lebih disukai dan tersedia luas secara
komersil. BNP atau NT-proBNP terutama bermanfaat untuk menyingkirkan disfungsi
ventrikel kiri dan gagaljantung pada pasien dengan gejala dan tanda yang sama.
Nilai prediksi negatif BNP/NT-pro BNP dilaporkan setinggi 98oh.1s'20 Penggunaan
BNP dalam diagnosis banding dispnea akut mengurangi lama rawat di rumah
sakit dan juga menurunkan biaya perawatan rumah sakit. Sensitivitas BNP/NT-
proBNP yang tinggi dapat mengidentifikasi pasien dengan disfungsi ventrikel kiri
klas I NYHA yang asimtomatik yang akan bermanfaat terhadap terapi dengan
inhibitor ACE.
GAGATJANruNGAKUT
Gagal jantung akut dicirikan dengan adanya onsef cepat gejala dan tanda sekunder
akibat fungsi jantung yang abnormal.2l Gagal jantung akut dapat terjadi pada
pasien tanpa (de novo) alau dengan penyakit jantung sebelumnya (dekompensasi
akut gagal jantung kronik). Faktor pencetus gagal jantung akut dapat dilihat pada
tabel 1.
Idrus Alwi, Arif Mansjoer L25
Kardiak
Aritmia
Fibrilasi atrial/fl uter
Takikardia ventrikular
Rikne bradikardia
Sindrorn koroner akut
lskemia miokard
lnfark rniokard
Komplikasi infark
Valvular
Regurgitasi barulmeningkat
Slenosis aorta berat
Disfungsi prostetik
Trauma
Kontusio miokard
Miokarditis
Ekstra kardiak
Hipertensi
Overload cairan
Peningkatan asupan garam
Ketidak teraturan minurn obat
Obat penyerta (NSAID, glitazon)
lnfeksi (sepsis)
Emboli paru
Tirotoksikosis
Anemia
Gagal ginjal
Alkohol berlebihan
Pedoman diagnosis dan tata laksana gagal jantung akut dari ESC membedakan
6 bentuk gagal jantung akut:
Klasifikasi lain yang digunakan di intensive care unit atau intensive coronary care
unit adalah klasifikasi Killip, klasifikasi Forester, klasifikasi beratnya klinis.
Klasifikasi Killip dibuat berdasarkan tanda klinis dan foto toraks:
. Tingkat l: Bukan gagaljantung. Tidak ada tanda klinis dekompensasijantung
. Tingkat ll: Gagal jantung. Kriteria diagnostik mencakup ronki, gallop 53,
hipertensi vena pulmonalis. Bendungan paru dengan ronki basah dengan
setengah bawah lapang paru.
. Tingkat lll: Gagal jantung berat.Edema paru nyata dengan ronki di seluruh
lapang paru
. Tingkat lV: SYok kardiogenik. Tandatandanya mencakup hipotensi (tekanan
darah sistolik =< 90 mmHg) dan terdapat keadaan vasokonstruksi perifer
seperti oliguria, sianosis, diaforesis
Klasifikasi Forrester dibuat berdasarkan tanda klinis hipoperfusi perifer
(pengisian nadi, permukaan kulit dingin sianosis perifer, hipotensi, takikardia,
gangguan kesadaran, oliguria), bendungan paru (ronki, foto toraks abnormal),
dan hemodinamik sebagai dasar penurunan cardiac index (=<2,3 L/menit/m2)
dan peningkatan tekanan kapiler paru (>18 mmHg).
Klasifikasi lain adalah klasifikasi beratnya klinis yang dibuat berdasarkan
pengamatan sirkulasi perife(perfusi). Pasien dikelompokkan menjadi
. Kelas I (Kelompok A): hangat - kering
. Kelas ll (Kelompok B): hangat - basah
. Kelas lll (Kelompok L): dingin - kering
. Kelas lV (Kelompok A): dingin - basah
Idrus Alwi, Arif Mansjoer 127
Pqrfuqi.iarinSar.l
3's-
1 H-r
Perfusi normall
I'- 2.5.-
c-l
@
HiP6iedusi
dngan
2:2
2 - H-lll H-lv
Ct' C-lll c-tv
lrriirml
@
I
74, 18
ltttt
zfi
5 15 a5' 30 35 40
PeUrP,mniHg bandungan paru
Gambar 1. Klasifikasi klinis dari bentuk gagal jantung (klasifikasi Forrester). H l-lV menunjukkan
beratnya keadaan hemodinamik dengan acuan cardiac index dan tekanan kapiler paru yang
digambarkan dengan garis vertikal dan horizontal. C l-lV menunjukkan beratnya manifestasi klinis
TATALAIGANAANESTESI
Belum ada penelitian acak terhadap teknik anestesi pada pasien gagal jantung.
Pada sebagian besar penelitian terhadap efek kardiovaskular anestesi, pasien
dengan gagal jantung dan fungsi sistolik yang rendah dikeluarkan dari penelitian,
sehingga tidak ada teknik anestesi yang superior dibandingkan dengan yang
lain. Teknik anestesi regional menunjukkan banyak manfaat tetapi tidak dikaitkan
dengan outcome yang lebih baik.26 Pasien gagaljantung dekompensasi bermanfat
bila dilkukan pemantauan hemodinamik invasif sebagai petunjuk dosis anestesi
dan obat lain, untuk mend6teksi serta mengobati setiap perburukan fungsi
hemodinamik. Namun belum ada bukti bahwa pematauan invasif memperbaiki
outcome secara bermakna.2T
Idrus Alwi, Arif Mansjoer L29
Pendekatan terapi pada gagal jantung akut (GJA) bervariasi tergantung penyebab
gagal jantung. Beberapa prinsip terapi pada GJA dapat dilihat pada tabel 3.
Morfin masih merupakan obat pilihan pertama dengan efek venodilatasi
sitemik dan efek terhadap SSP, menurunkan bendungan paru dan mengurangi
cemas. Nitrat dan diuretik merupakan obat yang paling efisien untuk mengobati
GJA. Obat yang merupakan gehgrasi baru adalah nesiritid, suatu BNP human
rekombinan, merupakan vosodilator vena, arteri dan koroner, menurunkan preload
dan afterload, menekan sistem RAA dan sistem simpatis serta memicu diuresis.
Diuretik loop intra vena (furosemid) mempunyai peran penting dalam
tatalaksana GJA. Efek relaksasi terhadap pembuluh darah berperan untuk
menurunkan tekanan pengisian jantung kiri dan kanan dan menurunkan bendungan
paru dan sistemik. Penambahan diuretik tiazid, spironolakton atau infus furosemid
(5-40 mg/jam) direkomendasikan untuk memperbaiki sensitlvitas diuretik.
Penggunaan dopamin dosis rendah untuk meningkatkan aliran darah renal dan
ekskresi sodium masih kontroversial.
Oksigen
Morfin
Diuretik
Furosemid, torasemid
Nitrat
Nitrogliserin
Natriuretic peptide
Nesiritid
Dukungan ventilasi
lnvasif
Continuous positive airway pressure (CPAP)
Bitevel positive airway IBiPAP) dengan face mask
lntubasi trakeal
Ventilasi mekanis + positive end-expiratory pressure (PEEP)
lnodilator
lnhibitor posfodiesterase
Milrinon, enoksimon
Calsium sensifizers
Levosimendan
lnotrop
Dobutamin
Vasopresor (katekolamin)
Adrenalin, noradrenalin
Pacu jantung
Atriaf, dual, biventrikular
Ultrafiltrasi
Dukungan bedah
I ntra- aa rl i c c a u n te rp u I a st i o n
Venticular assr'st devlce (VAD)
Revaskularisasi emergensi / bedah katup
Resusitasi kardiopulmonar
130 Gagal Jantung Akut
KESIMruLAN
REMENEI
1. Skarvan K. Heart failure and the surgical patient. ln: Howell, PeppaC, Spahn DR. Eds' Heart
Disease and the Surgical Patient. NewYork. lnforma Healthcare USA. lnc. 2007.p.237-67.
2. Cleland JG, Mc Gowan J. Heart failure due to ischaemicheafi disease:.epidemio^logy, patho-
physiology and progression.'J Cardiovasc Pharmacol 1999;33(supppl 3):S17-S29.
3. Guideline for the diagnosis and treatment of chronic heart failure (update 2005). Eur Heart J
2005;26:115-40.
4. CowieMR,MostardA,WoodDA,etal.Theepidemiologyofheartfailure.EurHeartJl99T;18:208'
25.
5. Cowie MR, Wood DA, CoatsAJ, et al. lncidence and aetiology of heaftfailure: a population based
study. Eur Heaft J 1999;20:421 -8.
-
6. Massie BM, Shah NB. Evolving trends in the epidemiologic factors of heaft failure:rationale for
preventive itrategies and com[rehensive disease management. Am Heart J 1 997;1 33:703'1 2.
7 . Lloyd-Jones DM, Larson MG, Leip EP et al. Lifetime risk for developing congestive heart failure'
Circulation 2002;1 06:3068-72.
B. Remes J, Tikkanen l, Fyhrquist . Neuroendocrine activity in untreated heart failure. Br Heaft J
1991 ;65:249-55.
g. Baig MK, Mahon N, McKenna WJ, et al. The pathophysiology of advanced heart failure. Am
Heart J 1 998;1 35:521 6-5230.
-
10. Jqckson G, Gibbs CR, Davies MK. ABC of hearl failure: pathophysiology. Br Med J 2000:320:167-
70.
'11.
Wei C,tt{, Lglman A, Rodeheffer RJ, et al. Endotheiin in human congestive heartfailure. Circula-
tion 1994;89:1580-6.
12. Anker SD, Von Haeling S. lnflammatory mediators in chronic hearl failure: an overview. Heart
2004;90:464-70.
13. Braunwald E, Bristow-MR. Congestive heartfailure: fifty years of progress. Circulation
2000; 1 02(suppl lV):1 4-23.
14. Holte K, Sharrock NE, {gllqt H. Pathophysiology and clinical implications of perioperative fluid
excess. Br J Anaesth 2002;89:6222-32.
15. Harlan WR, Oberman A, Grimm R, et al. Chronic congestive heafi failure in coronary aftery
disease: clinical criteria. Ann lnterm Med 1977;86:133-8.
16. DavieAP,LgveMP,McMurray_JJ.Valueoftheelectrocardiograminidentifyingheartfailuredue
to left ventricular dysfunction. Br Med J 1996;313(7052):300-t.
17. Wang TJ, Larson MG, Levy D, et al. Plasma natriuretic peptide levels and the risk of cardiovas-
cular events and death. N Engl J Med 2004;350:655-63.
18. Troughton.RW, Frampton cM, Yandle
I9r.et ?l rreatment of heart failure guided by plasma
aminoterminal brain natriuretic peptide (N-BNP) concentrations. Lancet 2000]355:112'6-33.
19. CowieMR,StruthersADS,WoodDAetal.Valueof natriureticpeptidesinassessmentof patients
wlth possible new heart failure in primary care. Lancet 1997;350:1349-51.
20. MuellerT, GegenhuberA, Poelz W, et al. Diagnostic accuracy of B type natriuretic peptide and
amino terminal proBNP in the emergency diagnosis of heart f-ailure. Hear12005;91iOOO-t Z.
21 . The Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of Cardiology: guidelines on the
diagnosis and treatment of acute heart failure. Eui Heart J ZOdS;ZA:gAq-qt6.
22. Fonarow GC. For the ADHERE scientific advisory committee overview of acutely decompen-
Pt^eg^cglge^slive heart failure (ADHF): a report-from the ADHERE registry. Heart Fait'Rev
2004;9:1 79-85.
23. Cleland JG., Swedberg K, Follath F, et al. The EuroHeartFailuere survey programme: a survey
on the quality of care among patients with heart failure in Europe. Part 1 . Patidnt characteristici
and diagnosis. Eur Heart J 2003;24(5):442-63.
24. Krumholtz HM, Parent EM, Tq N, et al. Readmission after hospitalization for congestive heari
failure among Medicare beneficiaries. Arch lntern Med 1997;157:g9-104.
25. Eagle KA, Berger PB, Calkins H, et al. ACC/AHA Guideline Update for perioperative cardiovas-
cular evaluation for non cardiac surg'ery. Circulation 2OO2;11S:1257-67.
26. Bode RH, Lewis KP, Zarich SW, et al. Cardiac outcome after peripheral vascular surgery:
comparison of general and regional anesthesia. Anesthesiology t ilg0iA+:g-t S.
27. Sandham JD, HullRD, BrgnJ RF, et al. for the Canadian Critical Care ClinicalTrials Group. A
laldomized, controlled trial of the use of pulmonary artery catheters in high risk surgical patients.
N EnglJ Med 2003;348:5-'14.
28. Millane T, Jgcfgol Q, Gibbs cR, et al. ABC of hearl failure : acute and chronic management
strategies. Br Med J 2000;320:559-62.
29. Mc Munay J, Cohen-SolalA, et al. Practical recommendations for the use of ACE inhibitors, beta-
blockers, aldosterone antagonists gn$ qlgloleryin receptor blockers in hearl failure: putting
guideline into practice. Eur J Heart Fail2005;7:710-21.
30. Cleland JG- Comoprehensive adrenergic receptor blockade with carvedilol is superior to beta-'l-
selective blockade with metoprolol in patients with heart failure: COMET. CuriHeart Fail Rep
2004;1:82-8.
L32
3.6 Asma
Heru Sundaru
SEBELUMOPERASI
pasien masih mengi atau Arus Puncak Ekspirasi < 80% dari nilai terbaiknya atau
prediksi.T. Risiko terjadinya bronkospasme pada masa perioperatif rendah bila
asma dalam keadaan stabil atau terkontrol dan kalaupun terjadi komplikasi
biasanya ringan. Oleh karena itu pasien asma yang akan menjalani operasi
diupayakan secepatnya dalam keadaan terkontrol. Seperti diketahui klasifikasi
asma berdasarkan beratnya asma, karena lebih rumit dan belum pernah divalidasi
mulai ditinggalkan dan hanya digunakan dalam penelitian, sedangkan untuk praktek
sehari-hari dipakai klasifikasi kontrol asma.8 Tes kontrol asma (TKA) adalah contoh
alat ukur untuk menilai apakah kondisi asma pasien telah terkontrol apa belum,e
dapat dilihat pada lampiran 1. Faktor-faktor apa saja yang harus diperhatikan
I
sebelum operasi dapat dilihat di bawah ini: I
1. Asma terkontrol baik. TKA yang terdiri atas komponen aktivitas, sesak napas, I
bangun malam, pemakaian obat pelega serta kontrol asma menurut penilaian
I
pasien. TKA memberikan skor 20 sampai 24 untuk asma terkontrol baik dan I
PERSIAPANOPERASI
Pasien asma yang asimtomatik dan tidak menggunakan obat, risiko komplikasi
operasi dapat dikatakan sama denga pasien bukan asma.12 Pemberian
kortikosteroid pada pasien asimtomatik dan terkontrol baik sebelum operasi masih
menjadi perdebatan.. Warner dkk11 menyatakan tidak bijaksana memberikan
kortikosteroid secara rutin sebelum operasi, sedangkan Parker dkkl3 memberikan
kortikosteroid bila VEPI <80% prediksi untuk mengurangi inflamasi, edema saluran
napas dan mengurangi produksi sekret. Ada pula yang menganjurkan kombinasi
inhalasi steroid dan agonis bela2.1a
Pasien asma asimtomatik karena memakai obat asma, pencegahan harus
tetap meneruskan obat tersebut. Pasien yang sedang atau pernah memakai
kortikosteroid oral atau inhalasi dosis tinggi memerlukan tambahan kortikosteroid
sistemik perioperatif untuk mencegah terjadinya insufisiensi adrenal. Kortikosteroid
diberikan 24-48 jam sebelum operasi, pada orang dewasa setara dengan dosis
40-60 mg prednison. Bila tidak dapat minum obat, steroid dapat diberikan intravena.
Steroid dapat dihentikan setelah operasi. Pemakaian jangka pendek tidak
memerlukan tapering off dan tidak menyebabkan infeksi luka atau perlambatan
penyembuhan luka.l5Matsuse dkk.16 memberikan prednisolon 10-20mg/hari selama
1-2 hari sebelum operasi, metil prednisolon 80-125 mg 2 jam sebelum operasi
dan dilanjutkan dengan metil prednisolon 80 mg segera setelah operasi pada 75
pasien asma intermiten dan persisten ringan ternyata hanya 4 o/o \ang mengalami
gejala asma ringan.
Pasien yang sebelum operasi mempunyai gejala asma, dianjurkan memakai
pengobatan inhalasi agonis beta2 dan kortikosteroid. Teofilin tidak dianjurkan
sebagai obat lini pertama karena lebih banyak efek sampingnya. Meskipun gejala
asma cepat menghilang dan rencana operasi dapat dilanjutkan, reaktivitas saluran
napas masih tinggi sehingga pengawasan harus lebih ketat. Bagi pasien yang
masih bergejala operasi kalau mungkin ditunda kecuali operasi emergensi. Pada
keadaan emergensi di mana operasi tidak dapat ditunda sementara pasien masih
menunjukkan gejala asma, inhalasi agonis beta 2 dan kortikosteroid intravena
segera diberikan dan terus dilanjutkan selama dan sesudah operasi.lT
Heru Sundaru 135
SELAMAOPERASI
SETEI.AHOPERASI
REME\6[
1. Joehl RJ. Perioperative evaluation: pulmonary, cardiac, renaldysfunction and comorbidities.
Surg Clin N Am. 2005:85;1061-73.
2. Baratawidjaja KG, Subarjo RW, Kartasasmita C, Suprihati, Sundaru H Siregar SP, et al. Allergy
and asthma; The scenario in lndonesia. ln: Shaikh WA, ed. Principle and practice of tropicdl
allergy and asthma. Mumbai: Vikas Medical Publisher; 2006. p. 707-36.
3. Peter R. Preoperative assessment: pulmonary. Anesthesiol Clin N Am. 2004;22;77-g1.
4. OlssonGL.Brochospasmduringanaesthesia.Acomputer-aidedincidencestudy.ActaAnaesthesiol
Scand. 1 987;3 1 :244-52.
5. Shnider SM, Papper EM. Anesthesia for the asthmatic patient. Anesthesiology. 196'l;22:886-92.
6. Gold Ml, Helrich MA. A study of the complications related to anesthesia in asthmatic patients.
Anesth Analg. 1 963;42:283-93.
7. Guidelines for the diagnosis and management of asthma. National heafi, lung, and blood
institute. National asthma education program. Expert Panel Heport ll. J Allergy Clin immunol.
1 991 ;88:425-534.
B. GINA Report. Global strategy for asthma managemenl and prevention. (cited 2007 January 9).
Available from: unvw.ginasthma.org/Guidelineitem.asp??11 =2&12= l&intld=60
L NathanRA,SorknessCA,KosinskiM,SchatzM,liJT,MarcusP,etal.Developmentoftheasthma
control test: A survey for assessing asthma control. J Allergy Clin lmmunol. 2004;113:59-65.
10. Dilworth J, White RJ. Postoperative chest infection after upperabdominalsurgery: an important
problem for smokers. Respir Med. 1992;86:205-10
136 Asma
11. Warner D0, Warner MA, Barnes RD, Oxford KP, Schroeder DR, Gray DT, et al. Perioperative
respiratory complications in patients with asthma. Anesthesiology. 1 996;85:460-7.
12. May HA, Smyth RL, Romer HC, et al. Effect of anaesthesia on lung function in children with
asthma. Br J Anaesth. 1996;77 :200-2.
13. Parker SD, Brown RH, Darowski MJ, Hirshman CA. Time related decrease in airuay reactivity
by corticosteroids. Anesthesiology. 1 989;7'l :Al 077.
14. Kill HK, Rooke GA, Ryan-Dykes MA, Bishop MJ. Effect of prophylactic bronchodilator treatment
on lung resistance after tracheal intubations. Anesthesiology. 1 994;81 :43-8.
15. Kabalin CS, Yarnold PR, Grammer LC. Low complication rate of corticosteroids-treated
asthmatics undergoing surgical procedures. Arch lntern Med, 1 995;1 55:'l 379-84.
16. Matsuse H, Shimoda T, Machida l, Kondo Y KawanoT, Saeki S, et al. Perioperative
corticosteroids for intermittent and mild persistent asthma. Allergy lnternational. 2002;51 :1 85-90.
17. Rodrigo C, Rodrigo G. lnhaled therapy in non-asthma:Assessment and management. New York:
McGraw-Hill; 2000. p. 161 -78.
18. Cohendy R. JoubertA. Eledjam JJ. Prefaut C. Le risqu6 respiratoire en chirurgie generale chez
l'adulte. Rev Pneumol Clin. 1991 ;47:10-20.
19. Haddow GR, Rley E, lsaacs R, Mcsharry R. Ketoolac, nasal polyposis and bronchial asthma; a
cause for concern. Anesth Analg. 1 993;76:420-2.
Heru Sundaru L37
I
138 Asma
[ampiran
Ringkasan : Asma-Perioperatif
Sebelum Operasi :
9.7 Tuberkulosls
ZulkifliAmin
eadaan di mana pada reak seorang pasien TB paru ditemukan basil tahan
sam positif adalah keadaan infeksius terbuka dan setiap batuk, bersin
penderita akan ada kuman infeksius tersembur keluar yang bisa menular kepada
orang sekitarnya atau mencemari ruangialat sekitar di mana pasien berada.
Tuberkulosis akan memburuk pada keadaan imunkompromis. Stres yang
dialami seseorang sebelum-selama dan sesudah operasi juga menimbulkan
keadaan imun-kompromis ringan.
Persiapan operasi pada pasien tuberkulosis dibagi atas beberapa keadaan:
jenis operasi dan kondisi infeksi tuberkulosis.
Jenis operasi terdiri atas: operasi elektif dan emergensi.
A. E..EfiIF
Dipastikan dulu bahwa minimal masih ada 2 obal anti Tb(baik baris pertama
maupun yang kedua) yang tersedia dan sensitif yang akan diberikan pada
pasien sesudah operasi. Harus diperhitungkan dengan matang risiko,
kelayakan dan jaringan paru yang tersisa saat sesudah operasi untuk
mempertahankan fungsi tubuh normal. Hal ini bisa diperiksa dengan tes
fungsi paru yailu force expiratory volume 1 detik minimal 0,8 liter, CT scan
toraks untuk menentukan luasnya reseksi yang akan dilakukan dan lung
ventilation-perfusion scan. Tak kalah pentingnya kondisi kardiovaskular dan
nutrisi yang baik (albumin >3 g/dL) akan mempengaruhi keberhasilan operasi.
Sesudah operasi dilakukan sterilisasi kamar operasi dengan sinar ultra vio-
let, dan pasien diisolasikan.
RffiENEI
1. Amin Z. Pengobatan tuberkulosis paru. ln: SudoyoA, Setyohadi B, Simadibrata M, Setiati S, eds.
Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4h ed. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam FKUI;
2006.
2. Yew WW, Chiu SW. Role of surgery in diagnosis and management of pulmonary tuberculosis. ln:
Schlossberg D, ed. Tuberculosis and non tuberculous mycobacterial infections. 4u ed.. Philadel-
phia: WB Saunders Co; 1999. p. 93-7.
3. Boyd AD, Crawford BK, Glassman L. Surgical therapy of tuberculosis. ln: Rom WN,Garay SM,
eds. Tuberculosis. 1d ed. Boston: Little Brown and Co.; 1996. p.513-23.
L42
!\ /lenurut GOLD 2006, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan suatu
I V lpenyat<it yang dapat dicegah dan diobati, dapat mempengaruhi organ di
luar paru yang dapat memperberat kondisi pasien, ditandai dengan terbatasnya
aliran udara yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan aliran udara pada
umumnya progresif dan dihubungkan dengan respons inflamasi yang abnormal
pada paru yang disebabkan oleh partikel gas .
PPOK merupakan faktor risiko penting pada operasi. Pasien dengan PPOK
(FEV1<40o/o pred) mempunyai komplikasi pascaoperasi sebesar 6 kali.
Keuntungan operasi harus dipertimbangkan dengan kesulitan yang ada. Evaluasi
persiapan operasi harus hati-hati pada pasien PPOK termasuk identifikasi pasien
dengan risiko tinggi dan yang memerlukan pengobatan agresif. Pada operasi
elektif harus ditunda apabila terdapat gejala dengan kapasitas latihan lemah atau
ada eksaserbasi.
Menurut study Wightman, Pederson dkk ditemukan adanya perbedaan bermakna
risiko komplikasi pasca operasi pada pasien dengan PPOK (6-26%) dibandingkan
dengan pasien tanpa PPOK (2-8%). Data studi Kroenke dkk (1993) dan Wong dkk
(1995) menyimpulkan bahwa pasien dengan PPOK diklasifikasikan risiko sangat
tinggi, mempunyai risiko berat pada saat operasi dan komplikasi pasca operasi (29%).
Karena PPOK menjadi faktor risiko dalam tindakan operasi, maka perlu adanya
persiapan operasi untuk mengurangi timbulnya komplikasi pasca operasi.
KT.ASIFIIGSIPFOK
Dalam tindakan operasi, dikenal risiko operasi bagi pasien-pasien yang mengalami
kondisi tertentu, sehing$a sangat perlu diketahui kondisi pasien menjelang operasi.
Anna Uyainah ZN L43
(FVC%)
FEVI/FVC FEY1 Yo Prediksi
Stadium COPD PostBrokodilator PostBronkodilator
I : ringan < 0,70 FEV1 > 80o/o
il : sedang < 0,70 50olo<FEV1 <80%
ilt : berat < 0,70 30o/o < FEYI <50o/o
IV : sangat berat < 0,70 FEVI < 30% prediksi atau FEVI
< 50% prediksi + gagal napas kronik
Dalam persiapan operasi pada pasien PPOK, kita harus mengetahui tingkatan
I
risiko pada pasien PPOK melalui penilaian klasifikasi PPOK.
I
. Gagal napas
. Pneumonia
. Atelektasis
. Penggunaan ventilasi mekanik yang lama
. PPOK dengan eksaserbasi
. Bronkospasme
. Tromboemboli
Untuk mencapai tujuan yang optimal dari persiapan operasi, kita perlu
mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi komplikasi dari kondisi pra operasi,
saat operasi dan pasca operasi.
. Umum
. Paru : inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi
3. Pemeriksaanpenunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk persiapan operasi pada pasien
PPOK selain pemeriksan laboratorium dan foto toraks dibutuhkan
pemeriksaan spirometri, walaupun hasil pemeriksaan spirometri tidak
menentukan boleh atau tidaknya operasi tersebut, atau spirometrijuga tidak
menentukan kontraindikasi atau tidaknya terhadap anestesi umum.
Pemeriksaan spirometri berguna untuk menentukan risiko terhadap
komplikasi pasca operasi, sehingga dapat memprediksi dan mengantisipasi
pencegahan terhadap komplikasi. Pemeriksaan analisis gas darah (AGD)
diperlukan pada pasien yang tidak mampu atau kontraindikasi spirometri
serta pada pasien dengan FEVI pred < 50o/o.
Anna Uyainah ZN 145
PENIIAIAN RISIKO OPERASI
Penilaian risiko operasi harus dinilai berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis
dan pemeriksaan penunjang.
Pada anamnesis, adanya keruhan sesuai dengan ppoK yang akan
meningkatkan risiko operasi, di antaranya :
. Kebiasaan merokok
o Adanya batuk kronik
. Adanya riwayat asma
. Adanya riwayat TB
Adanya keluhan sesak napas
. Adanya keluarga yang perokok berat
Foto toraks :
. Emfisema
. lnfiltrat
Spirometri :
. Obstruksi
. Restriksi berat
AGD :
, Pra operasi
' Penanganan pasien sebelum operasi sangat penting untuk mengurangi komplikasi
pasca operasi, diantaranya sebagai berikut :
. Berhenti merokok
Merokok merupakan faktor risiko penting pada komplikasi paru pasca
operasi. Beberapa penelitian menunjukkan adanya peningkatan risiko
terhadap kompiikasi paru bagi perokok lebih dari4 kali , bahkan pada pasien
tanpa PPOK.
Dianjurkan adanya intervensi (berhenti merokok) pada 6-8 minggu sebelum
operasi dan diteruskan sampai 10 hari pasca operasi.
. Kurangi berat badan
. Penanganan agresif pasien PPOK untuk optimalkan fungsi paru
Bronkodilator
Steroid
Intra operasi
Perhatian pada saat operasi yang juga berhubungan dengan komplikasi pasca
operasi, terutama harus diperhatikan :
a. Jenis anestesi
b. Lokasi operasi
c. Lamanya anestesi
d. Tipe insisi pada operasi
Jenis operasi
Data tidak menentukan apakah rata2 komplikasi dengan anestesi spinal atau
epidural lebih rendah dibandingkan dengan anestesi umum. Studi tahun 1984
melaporkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara anestesi spinal atau
anestesi umum pada operasi abdomen. Beberapa penelitian (Yeager,1987;
Anna Uyainah ZN L47
Lokasi operasi
lnsiden komplikasi berhubungan terbalik dengan jarak insisi operasi dari diafragma.
Rata2 komplikasi untuk operasi abdomen atas berkisar antara 17-760/o. Untuk
operasi abdomen bawah rata-rata 0-5%. Untuk operasi toraks rata-rata 19-59%.
Operasi kolesistektomi dengan laparaskopi dihubungkan dengan insiden
komplikasi yang lebih rendah, dengan penurunan FVC dilaporkan 23o/o,
dibandingkan dengan 50% pada laparatomi.
Lamanya operasi
Pasien yang dilakukan operasi dengan waktu 3-4 jam mempunyai risiko komplikasi
pascaoperasi lebih tinggi dibandingkan dengan waktu operasi kurang dari 2 jam
dengan perbandingan 40% dibanding 8%.
Pada pasien-pasien dengan PPOK, pada saat operasi dapat meningkatkan
closing capacity, maka pada intra operasi hal-halyang perlu diperhatikan adalah
sebagai berikut :
. Batasi lama operasi : seabaiknya dilakukan kurang dari 3 jam
. Gunakan spinal atau epidural anestesi
. Hindari penggunaan Pancuronium
. Gunakan laparoskopi bila mungkin
Pasca Operasi
Faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi pasca operasi adalah
imobilisasi dan kontrol nyeri yang tidak adekuat.
Operasi abdomen atas dan toraks dihubungkan dengan penurunan kapasitas
vital (VC) 50% dan kapasitas residu fungsional (FRC) 30%.
Pada operasi toraks dan abdomen atas, volume semenit cukup, tetapi tidal
volume menurun dan frekuensi pernapasan meningkat. Pola pernapasan ini
148 Penyakit Paru Obstruktif Kronik
disebabkan karena dampak dari anestesi dan narkotik pasca operasi yang
menyebabkan menghambat batuk, melemahkan pembersihan mukosiliar dan
mengakibatkan pneumonia pasca operasi.
Untuk pencegahan komplikasi, setelah operasi sebaiknya dipertimbangkan
hal-hal sebagai berikut :
. Mobilisasi dan ambulatoar segera setelah memungkinkan
. Manuver ekspansi paru (spirometri insentif, latihan bernapas dalam, CPAP)
. Pemberian analgesik yang adekuat (kontrol nyeri pada pasien, blok nervus
intercostal, anestesi epidural).
KESIMruLAN
. Persiapan operasi yang baik pada penderita PPOK akan mengurangi
komplikasi pasca operasi, juga mengurangi penundaan operasi serta kendala
saat operasi.
. Persiapan operasi pada penderita PPOK harus memperhatikan kondisi
pasien dari anamnesi dan pemeriksaan fisik serta nilai spirometri atau nilai
AGD.
a
RERENSI
1. WHO. Global strategy for the diagnosis, Management, and prevention of chronic obstructive
pulmonary disease, 2006. Available online on: http/iwww.goldcopd.com.
2. Smetana GW, et al. Update in perioperative medicine. 2004;140(6):452-61.
3. McAlister FA, Khan NA, Straus SE, et al, Accuracy of the preoperativeassessment in predicting
pulmonary risk after nonthoracic surgery. Am J Respir Crit Care Med. 2003;167:741-4.
4. Goldmann DFl, Bronw FH, Guarnieri DM, et al. Perioperative medicine. New York McGraw -
Hill;'1994.
150
INS'FISIENSIADRENAL
Diagnosis insufisiensi adrenal biasanya ditegakan melalui pendekatan klinis dan
tidak melalui tes biokimia. Keadaan klinis yang dicurigai sebagai terjadinya
insufisiensi adrenal adalah riwayat perjalanan klinis berupa keadaan hipotensi
yang tidak jelas penyebabnya dan berespons baik pada pemberian kortikosteroid.
lnsidens insufisiensi adrenal karena terapi glukokortikoid saat operasi sangat
jarang + 0,01o/o - 0,1o/o. Dari satu penelitian yang melibatkan 62.473 pasien yang
mengalami pembiusan, didapatkan 419 pasien membutuhkan pemberian
suplementasi kortikosteroid untuk menanggulangi insufisiensi adrenal dan hanya
3 pasien yang mengalami hipotensi disebabkan oleh karena dosis kortikosteroid
yang tidak adekuat.l
Aksis Hypofalamic pituitary adrenal(HPA) mengatur keluarnya glukokortikoid'
dari kelenjar adrenal yang berguna untuk metabolisme, produksi substansi nutrisi,
pemeliharaan dan juga pengeluaran pada sistem imun dan sirkulasi.Hipotalamus
akan mengeluarkan ACTH dan ACTH akan merangsang korteks adrenal untuk
memproduksi kortisol dan juga disertai adanya mekanisme feed back melalui
CRH. Konsentrasi kortisol normal pada kelenjar adrenal (keadaan baik) adalah
15-30 mg/hari. Apabila adrenal mendapat stresor dari luar seperti pada operasi,
trauma, luka bakar, latihan jasmani dan juga trauma psikologis maka produksi
kortisol dari kelenjar adrenal akan meningkat menjadi 60-100m9/hari. Kortikosteroid
(glukokortikoid) mempunyaiefek pada sirkulasi berupa penguatan efek katekolamin
(epineprin dan norepineprin) pada pembuluh darah mengakibatkan peninggian
tekanan darah (inotropik).Kortikosteroid juga mempunyai efek menghambat
produksi prostasiklin (PG12) pada vaskular. Akibat stresor yang timbul dari luar
akan menyebabkan turunnya produksi kortisol (kortikosteroid) secara relatif pada
penderita pemakai kortikosteroid jangka lama (tertekannya aksis HPA) akan
menyebabkan keadaan insufisiensi adrenal dan berakibat meningginya produkasi
prostasiklin (PG12) yang menimbulkan terjadinya vasodilatasi.l,2'3
Penyebab insufisensi adrenal primer yang tersering adalah tuberkulosis dan
juga pada 30% pederita HIV dapat terjadi insufisiensi adrenal. lnsufisiensi adrenal
sekunder biasanya disebabkan oleh penggunaan kortikosteroid jangka lama.
Berbeda dengan insufisiensi adrenal primer pada insufisiensi adrenal sekunder
kadar gangguan elektrolit tidak dapat diperkirakan sehingga kelainan elektrolit
biasanya tidak terlihat.
Penggunaan kortikosteroid yang kronis dengan dosis tinggi dan tidak alter-
nate day (selang sehari) akan menekan aksis HPA. Berapa lama penggunaan
serta jumlah gram kortikosteroid /hari yang dapat menyebabkan penekanan aksis
HPA sampai saat ini belum dapat ditentukan. Pasien yang menerima prednison
2Omg/hari dan berlangsung lebih dari 5 hari akan berisiko mengalami penekanan
aksis HPA. Pasien yang menerima dosis psikologis sebesar 5 mg prednison/
hari atau 25mg hidrokortison/ hari atau 0,75 mg deksametason/ hari berapapun
lamanya tidak akan menekan aksisis HPA. Demikian pula pemberian kortikosteroid
kerja pendek (prednison, prednisolon, metil prednisolon, kortison, hidrokortison)
tanpa melihat dosis dan dipakai dengan alternate (selang sehari) selama kurang
3 minggu tidak mempengaruhi pemberian aksis HPA. Berbeda dengan pemberian
prednison dosis di antara 5 mg - 20 mg selama lebih 40 hari akan menekan aksis
HPA.
Masa penyembuhan dari penekanan aksis HPA memerlukan waktu t g - 12
bulan dihitung sejak pemberian kortikosteroid dihentikan. Oleh karenanya riwayat
penggunaan korikosteroid masa lalu sangat penting dalam penilaian perioperatif
untuk mendeteksi kemungkinan risiko timbulnya insufisiensi adrenal.1,2,3'5
KESIMruLAN
Pemakaian kortikosteroid sistemik atau topikal dalam dosis besar dan lama dapat
menyebabkan penekanan aksis HPA dan berisiko terjadinya insufisiensi adrenal.
Pada keadaan inqufisiensi adrenal dapat menimbulkan keadaan hipotensi
sampai dengan syok.
Penapisan perioperatif terhadap pasien yang berisiko mengalami penekan
aksis HPA sangat bermanfaat untuk mengurangi terjadinya hipotensi / syok pasca
operasi.
Pemberian suplementasi kortikosteroid pada pasien yang mengalami
penekanan aksis HPA akan menghindari terjadinya insufisiensi adrenal.
Pemberian suplementasi kortikosteroid dilakukan dengan dosis yang tidak
tinggi dan jangka waktu pendek.
L54 Pemakaian Kortikosteroid Jangka Lama
RffiE\EI
1. Axelrod L. Perioperative management of patients treated with glucocorlicoids. Endocrinol Metab
Clin North Am. 2003;32:367-83.
2. Connery E Lisa, Coursi BD. Assessment and therapy of selected endocrine disorders.
Anesthesiol Clin North Am. 2004;22:93-1 23.
Zimmerman B, Gold M, whenentt, HannaAK. Adrenalsuppression in two patients with asthma
treated with low doses of the inhaled steroid fluticasone propionate. J Allergy Clin lmmunol. 1 988;
101:425-6.
4. Schiff RL, Welsh GA. Perioperative evaluation and management of the patient with endocrine
dysfunction. Med Clin North Am. 2003;87:175-92.
5. Gohh Y R, Warren Tfepreop-elative Evqluation of the transplanted patient for nontransplant
Q.
surgery. Surg Clin North Am. 2006;86:1147-66.
6. Lin sonia, Pharm D, christopherJ, cosgrove. Perioperative managementof immunosupression.
Surg Clin Norlh Am. 2006;86:1 1 67-83.
155
adalah kerusakan ginjal baik struktur atau fungsinya selama 3 bulan atau lebih, I
dengan atau tanpa penurunan LFG, berdasarkan kelainan patologis, atau petanda I
pencitraan.2
The Third National Health and Examination Suruey menyatakan prevalensi
I
PGK sebesar 11o/o dari jumlah populasi Amerika Serikat yang berusia dewasa.
Prevalensi PGK lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan dan I
prevalensi tersebut lebih tinggi pada pasien yang berumur lebih dari 65 tahun.l I
Pada PGK stadium akhir, mortalitas operasi 1-4o/o, namun pada pasien yang
menjalani operasijantung, mortalitas meningkat menjadi 10-20o/o. Risiko kematian
meningkat pada pasien yang berumur > 60 tahun dan pada pasien yang mengidap
diabetes melitus (DM). Pada operasi emergency risiko kematian 5 kali lebih besar.
Penyebab kematian umumnya sepsis dan aritmia.
Penyulit yang paling sering ditemukan adalah hiperkalemia, infeksi,
hemodinamik yang tidak stabil, perdarahan, dan aritmia.3 Pasien PGK dengan
kadar kreatinin pra-operasi < 1,9 mg/dl yang menjalani operasijantung mempunyai
risiko gagal ginjal akut (GGA) sebesar 4-10%. Tingkat mortalitas mencapai 63,2o/o
pada pasien PGK yang mengalami GGA setelah operasi.a
156 Penyakit Ginjal Kronik
Patofisiologi
Pada PGK terjadi kerusakan di unit nefron ginjal yang berlangsung progresif.
Kerusakan tersebut mengakibatkan beban kerja berlebih pada nefron yang sehat,
sehingga terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi. Jika mekanisme adaptasi mencapai titik
jenuh maka LFG akan menurun. Bila LFG menurun sebesar 50%, maka kadar
ureum dan kreatinin plasma akan meningkat secara signifikan, bahkan kadar kreatinin
dapat meningkat dua kali lipat.
Hiperfiltrasi dan hipertrofi nefron sehat juga meningkatkan tekanan kapiler
glomerular. Hal tersebut menyebabkan kerusakan kapiler dan dapat berlanjut
menjadi glomerulosklerosis fokal atau segmental yang berakhir sebagai
glomerulosklerosis global.l
Gambaran klinis
Pasien PGK seringkali asimtomatik, terutama pada PGK stadium 1-3 (stadium
1, LFG >90. Stadium 2, LFG 60-89; stadium 3, LFG 30-59 ml/menit). Gejala
akan nyata pada stadium lanjut, melibatkan berbagai sistem organ dan biasanya
sebagai manifestasi klinis uremia. Keluhan yang muncul adalah mual, muntah,
gatal di seluruh tubuh, rasa pegal ditungkai bawah sehingga kakisering digerakkan
(resf/ess leg syndrome), rasa semutan atau terbakar di telapak kaki (burning feet
syndrome), edema, penurunan libido sampai gangguan ereksi.
Riwayat penyakit pasien sebelumnya sangat penting diketahui untuk mencari
etiologi dan faktor-faktor yang dapat memperburuk PGK seperti hipertensi, infeksi
saluran kemih, dan penggunaan obat-obatan.
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium bertujuan untuk menegakkan diagnosis dan stadium
PGK, mencari etiologi serta komplikasi. Dari pemeriksaan tersebut dapat diketahui
Lucky Aziza Bawazier L57
PERSIAPAN PRA.OPERASI
Sedang
Untuk pasien PGK yang harus menjalani dialisis rutin, dialisis dapat dilakukan
12- 24 jam sebelum operasi elektif. Dialisis tidak menggunakan heparin atau
menggunakan heparin minimal (25-50o/o dari kebutuhan biasa) karena efek
antikoagulan heparin dapat bertahan 1,5 - 2 jam setelah dialisis selesai.3 Tujuan
dialisis pra-operasi adalah untuk mengurangi risiko hiperkalemia, penurunan
kesadaran (ensefalopati), perdarahan masif akibat uremia, dan volume overload.
Dialisis peritoneal dapat dilanjutkan apabila operasi yang akan dilakukan adalah
operasi non-abdominal, jika operasi abdominal, maka diubah menjadi hemodialisis
sampai penyembuhan luka selesai.e
Jenis anestesi yang akan dilakukan harus direncanakan apakah lokal,
regional, atau umum. Tujuannya melindungi ginjal dari kerusakan lebih lanjut.
Untuk itu perfusi renal yang optimal dipertahankan dengan memberikan
vasodilator renal (dopaminergik dosis rendah dan penghambat kanal kalsium),
mempertahankan aliran darah ke tubular dan mencegah obstruksi tubular dengan
pemberian cairan. Selain itu persiapan juga mencakup pemilihan obat anestesi
sesuai dengan operasi yang akan dilakukan.a Hal tersebut sangat penting karena
jenis dan dosis obat berbeda untuk tiap metode anestesi. Dibandingkan dengan
anestesi umum, anestesi spinal dan epidural memberi efek minimal terhadap
fungsi ginjal.s Karena itu, sedapat mungkin dipilih anestesi spinal atau epidural,
kecuali untuk operasi toraks dan laparatomi eksplorasi.
Pemilihan agen anestesi juga sangat penting untuk direncanakan. Tentu
saja pilihan jatuh pada agen yang tidak nefrotoksik. Pada PGK, umumnya agen
anestesi inhalasi yang dipakai adalah siklopropan dan halotan. Metoksifluran dan
entran tidak digunakan untuk PGK karena bersifat nefrotoksik.
Obat sedatif dan hipnotik yang aman untuk PGK adalah diazepam atau
flurazepam. Sebagai pelemah otot dipakai suksinilkolin, akan tetapi harus hati-
hati karena dapat meningkatkan kalium darah. Diuretik tiazid tidak dipakai pada
PGK stadium 4-5. Spironolakton juga kontraindikasi pada PGK stadium 3-5.
Diuretik yang aman dipakai adalah furosemid walaupun pada PGK stadium 5
diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk dapat bekerja efektif. Pada dosis tinggi
dan pemakaian lama terutama intravena dapat memberikan efek ototoksisitas.
Selain furosemid dapat diberikan asam etakrimid, tetapi sifatnya lebih ototoksik
daripada furosemid.
Penyesuaian dosis dan memperpanjang interval waktu pemberian juga perlu
dilakukan, mengingat beberapa obat diekskresi dan dimetabolisme di ginjal. Efek
sistemik obat yang berkaitan dengan fungsi ginjal dan komplikasi PGK juga penting
diketahui. Misalnya obat yang menurunkan volume cairan seperti diuretik dan
suksinilkolin yang dapat menyebabkan hiperkalemia.s Golongan narkotik seperti
kodein, meperidin, morfin dan pentazosin relatif aman untuk PGK karena
dimetabolisme di hati tetapi dosis dikurangi karena pasien uremia cenderung
Iebih sensitif terhadap efek depresi sistem saraf pusat. Penggunaan meperidin
160 Penyakit Ginjal Kronik
jangka panjang dapat menyebabkan twitching dan kejang karena retensi metabolit
obat tersebut. Obat antihipertensi dapat diberikan dengan dosis seperti biasa.s
Anamnesis
1. Sesak
2. Mual dan muntah
3. Alergi obat
4. Asupan makanan dan minuman dalam 1 bulan terakhir terutama
beberapa hari sebelum anamnesis
5. Riwayat hipertensi, batu ginjal, lupus, DM, PJK
.
Pemeriksaan fisis
1. Tekanan darah, target <140/90 mmHg, diusahakan <'130/80 mmHg,
kalau belum tercapai diberikan obat antihipertensi
2. Pernapasan: biasa atau cepat (oleh karena asidosis/ edema paru)
3. Konjungtiva: pucat atau tidak
4. Pemeriksaan paru: bunyi napas pokok, suara napas tambahan seperti ronkhi
5. Apakah ada tanda-tanda dehidrasi:
. Lidah: kering atau tidak
. Turgor: turun atau tidak. Diperiksa di lengan bawah atau di atas
klavikula pada usia muda dengan cara mencubit lipatan kulit
. Hipotensi postural: tekanan darah pada perubahan posisi dari
berbaring ke berdiri, yaitu terjadi penurunan sistolik lebih dari 20
mmHg saat berdiri
6. Overhidrasi:
. Hipertensi
. Edema
. JVP meningkat
. Keseimbangan cairan masuk dan keluar dengan mengukur
produksi urin, lWL, jumlah yang diminum dan infus cairan masuk
dalam satu hari.
Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium
a. Periksa ureum dan kreatinin terakhir t hari sebelum operasi
Jika ureum >100 mg atau kreatinin > 5, harus dilakukan hemodialisis
. untuk operasi dengan anestesi spinal atau anestesi umum. Jika ureum
meningkat, singkirkan dehidrasi, perdarahan saluran cerna, sepsis, dan
katabolisme.
Lucky Aziza Bawazier 161
elektif sedang dan besar Hb berkisar 8 g/dl. Pada operasi besar perlu
dipasang CVP untuk memantau cairan lebih tepat.
Beberapa hari sebelum operasi bila diperlukan diberikan cairan lV 1- I
1,5 literl24 jam. Saat pasien mulai puasa (8-12 jam sebelum operasi)
I
diberikan cairan 1 ,5-2literl 24 jam. Cairan yang dipilih adalah cairan I
isotonis yaitu NaCl 0,9% (bila tidak ada HT) atau dekstrosa 5%. Dapat
juga diberikan dekstrosa in saline (dekstrosa 2,5 %, NaCI 0,45%). Untuk
PGK stadium 5 kebutuhan cairan lebih sedikit atau berkurang yaitu
500 cc- 'l liter per 24 jam.
2. Elektrokardiografi
Merupakan pemeriksaan rutin untuk mendeteksi penyakit jantung koroner
yang biasa terjadi pada PGK.
L62 Penyakit Ginjal Kronik
TATALAKSANA
Dalam tahap intra-operasi yang penting adalah pengawasan. Pada pasien PGK,
keseimbangan cairan dan elektrolit merupakan salah satu hal 'penting untuk
dipantau. Hal tersebut menjadi prioritas karena toleransi pasien PGK terhadap
keadaan hipo atau hipervolemia, rendah. Oleh karena itu tekanan darah, output
urin, dan tekanan vena sentral harus diawasi dengan ketat.
Elektrolit yang diawasi terutama kalium. Suksinilkolin dan keadaan
hipoventilasi dapat mengakibatkan hiperkalemia yang dapat berujung pada fibrilasi
ventrikel. Penggunaan cairan intravena yang tidak mengandung kalium juga
dianjurkan. Kehilangan cairan dan darah harus segera diatasi karena
mengakibatkan hipokalemia. Kelainan elektrolit dipantau dengan EKG dan
pemeriksaan elektrolit darah setiap 6 jam apabila operasi berlangsung lama.
Untuk mengurangi efek obat terhadap jantung dan ginjal, induksi anestesi
dianjurkan menggunakan agen intravena yang dititrasi dikombinasi dengan agen
inhalasi yang poten.s'e
Produksi urin yang kurang (oliguria) tidak berarti telah terjadi GGA dan GGA
tidak selalu ditandai dengan oliguria. Oliguri pasca-operasi harus dicurigai akibat
kelainan pre-renal seperti hipovolemia sampaiterbukti bukan. Penyebab lain seperti
obstruksi mekanik pada saluran kemih atau kateter perlu diteliti bila urin sama
sekali tidak keluar. Jumlah produksi urin pada kasus GGA pasca-operasi biasanya
<400 mL per hari (15 mL Per jam).4
Apabila oliguri persisten setelah pemberian diuretik, langkah yang dilakukan
adalah:a
1. Mengembalikan hemodinamik yang normal dengan memberikan diuretik
dengan dosis yang lebih tinggi (furosemid 80-120 mg, bumetanid 2,5-5 mg)
2. Pemberian albumin karena dibutuhkan untuk mengantarkan furosemid ke
tubulus
3. lnfus diuretik secara kontinu untuk mempertahankan konsentrasi diuretik
sedikit di atas ambang dosis. Contoh furosemid 40 mg lV bolus, dilanjutkan
2-10 mg/jam dalam infus dengan pemantauan untuk menghindari hipovolemia
dan gangguan elektrolit
4. Blokade nefron segmental dengan loop diuretic dan tiazid. Loop diuretic
menghambat reabsorbsi Na*, tiazid menghambat reabsorbsi kompensasi di
tubulus distal.
5. Hindarkan pemberian kalium berlebihan dalam infus dan diet serta hindarkan
obat-obat nefrotoksik.
K6IMruI.AN
Pada pasien PGK yang memerlukan operasi baik ringan, sedang, maupun besar
perlu dievaluasi secara menyeluruh yaitu keadaan umum, stadium PGK, penyakit I
operasi lakukan evaluasi dengan baik jangan sampai terjadi dehidrasi atau I
REME\EI
1. Verrelli M. Chronic renal failure. Cited on: January 17th,2007. Available from: http://
www.emedicine.con/meMopic374. htrn.
Z. NasirA, RaniA, Soegondo S. Panduan pelayanan medik ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat
Penerbitan ilmu penyakit dalam FKU I ; 2004. p. 1 49'50.
3. Krishnan M. Preoperative care of patients with kidney disease. Am Fam Physician.
2002;66:1471-6.
4. Lee H, Salden R. Perioperative renal protection. ln: Coersin D, Mqrliq M, Peral R,.f.19-ugh D^.
Critical care medicine [erioperative management. 2nd ed. Philadelphia: Lippincot Williams &
Wilkins; 2002. p.503-1 7.
L64 Penyakit Ginjal Kronik
5. KapojosE,LydiaA,SidabutarR,Suhardjono.Gagalginjalkronik.Bukuajarimupenyakitdalam.
3d ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p.427-34.
6. Petty B. Medical assessment of the preoperative patient. ln: Harvey, Johns, McKusick, Owens,
Ros6, eds. The principle and practice of medicine. Canada: Prentice-Hall lnternational lnc;
1 9BB.p.1 1 62-4
7. Otah K. Perioperative management of the patient with chronic renal failure. Cited on: Januari 1 7rh,
3.11 Elpertensl
Ginova Nainggolan, Arif Mansjoer
>
l_lipertensi dengan batasan umum tekanan darah sistolik 140 mmHg atau
f lt"fun"n darah diastolik > 90 mmHg, merupakan kondisi yang cukup sering
ditemui pada pasien yang akan dilakukan operasi. Pada populasi normal saja
diperkirakan 1 dari 4 orang mengalami hipertensi dan prevalensinya pun bertambah
seiring dengan meningkatkanya usia. Hipertensi adalah faktor risiko utama pada
penyakit jantung, serebral, renal, dan vaskular dengan komplikasi berupa infark
miokard, gagal jantung, strok, gagal ginjal, penyakit vaskular perifer, dan diseksi
aorta. Karena hal tersebut tak jarang kondisi hipertensi menjadi penyebab
ditundanya suatu operasi.
Hipertensi Persentase
Hipe*ensi esensial
Hipertensi renal
Renovaskular Zq/o
Parenkimal 3n/o
Hipertensi endokrin
Atdosteronisme Primer 5o/o
Feokromositom^ A,1o/o
Lainlain 0,6%
166 Hipertensi
Tekanan darah (mmHg) Klasifikasi JNC Vl (1997) Klasifikasi JNC Vll (2003)
<{20 I80 Optimaf : Nonnal
tio.tiri?,go*c Noimal,, p.ratiipri;rten6i
130'139 I.,85i89 Gerigrblrtas: Prahipartehsl '
>1,40,],90r,r' Hipertsnsir Hipertenai,
1,40.159190.99 Darajat lr: 'Deraiit,l
16(t179'7 {00 - 10S refaietll ,bara;q1'1!
>180,,1 11i0 op,ajttJlt Derqjat ti
Pada saat dilakukan operasi di mana pada pasien dilakukan induksi dapat terjadi
aktivasi sistem saraf simpatis yang menyebabkan peningkatan tekanan darah
20-30 mmHg dan peningkatan frekuensijantung 15-20 detak permenit pada pasien
normotensi. Respons peningkatan tekanan darah dan frekuensi jantung ini akan
lebih tampak pada pasien hipertensi tidak terkontrol di mana tekanan darah sistolik
dapat meningkat 90 mmHg dan frekuensi jantung 40 detak per menit.
Tekanan arteri rerata cenderung turun seiring berjalannya anestesi akibat
'
berbagai faktor termasuk efek langsung obat-obat anestesi, inhibisi sistem saraf
simpatis, dan hilangnya pengendalian refleks baroreseptor terhadap tekanan arteri.
Perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya episode hipotensi intraoperatif. Pada
pasien yang memiliki hipertensi sebelumnya keadaan tekanan darah intraoperasi
sangat labil (dapat berubah-ubah baik hipotensi atau hipertensi). Keadaan ini
dapat menyebabkan gangguan perfusi koroner dan terjadi iskemia miokard.
disfungsi diastolik ventrikel kiri yang mengalami hipertrofi, disfungsi sistolik sebagai
dari gagal jantung kongestif, gangguan ginjal, penyakit serebrovaskular, dan
penyakit jantung koroner. Besarnya risiko tergantung dari beratnya hipertensi
yang terjadi.
Penelitian tentang hipertensi perioperatif masih terbatas dan belum dapat
memperlihatkan dengan nyata bahwa penundaan operasi pada pasien hipertensi
akan menurunkan risiko kardiak. Pada pedoman klinis ACC/AHA mengenai
perioperatif, hipertensi tidak terkontrol dikelompokkan sebagai faktor risiko minor
terjadinya komplikasi kardiovaskular.
Penelitian pada hipertensiberat: Suatu penelitian awalpada pasien hipertensi
berat yang tidak terkontrol (tekanan darah rerata sistolik 211 mmHg dan diastolik
105 mmHg) memperlihatkan respons hipotensi saat dilakukan induksi dan respons
hipertensi terhadap stimulus yang diberikan. Pada pasien hipertensi yang terkontrol
baik respons yang terjadi sama dengan pasien normotensi. Penelitian lain
mendapatkan tekanan darah diastolik di atas 110 mmHg segera sebelum tindakan
operasi berhubungan dengan jumlah komplikasi yang terjadi termasuk disritmia,
iskemia dan infark miokard, komplikasi neurologis, dan gagal ginjal.
Penelitian pada hipertensi ringan-sedang: Suatu penelitian pada 676 tindakan
operasi dengan anestesia umum pada pasien di atas 40 tahun memperlihatkan
bahwa pada pasien hipertensi dengan tekanan darah diastolik kurang dari 110
I
mmHg tidak terjadi peningkatan risiko operasi. Namun bila hipertensi tersebut
I
telah menyebabkan kerusakan organ target maka risiko operasi meningkat secara
I
carotid endarterectomy dengan tekanan darah sistolik di atas 200 mmHg. Terjadi I
I
STRATEGI AWAL PENGELOI.AAN HIPERTENSI PERIOPERANF
Pada pasien yang akan menjalani operasi dan mengalami peningkatan tekanan
darah harus dipisahkan dahulu, apakah pasien menjalani operasi emergensi atau
operasi elektif
Pada operasi emergensi, hipertensi dapat diturunkan segera dengan
penggunaan obat antihipertensi intravena. Selain itu harus dikaji pula apakah
pasien memang memiliki kemungkinan hipertensi lama atau tekanan darah yang
tinggi terjadi karena akibat dari kondisi lain seperti nyeri, takut, gelisah, atau efek
samping obat yang diberikan.
Pada operasi elektif, hipertensi pada pasien dapat dievaluasi lebih mendalam.
Hipertensi yang terjadi dikaji apakah baru diketahui dari pemeriksaan saat ini
atau sudah diketahui sebelumnya. Anamnesis dan pemeriksaan fisik serta
168 Hipertensi
Krisis hipertensi, yaitu peningkatan tekanan darah yang cukup tinggi di atas 180/
120 mmHg, umumnya dibedakan menjadi 2 kelompok besar yaitu, hipertensi
emergensi dan hiperetnsi urgensi. Pada hipertensi emergensi telah terjadi kerusakan
target organ seperti ensefalopati hipertensi, perdarahan intraserebral, infark miokard
akut, gagal jantung kiri dengan edema paru, angina pektoris tidak stabil, diseksi
aneurisma aorta, atau eklampsia. Sedangkan pada hipertensi urgensi tidak atau
belum terjadi kerusakan organ target. Pada pasien krisis hipertensi yang terjadi
sebelum tindakan operasi emergensi harus dipertimbangkan kembali risiko dan
manfaat bila operasi tetap dilanjutkan atau ditunda.
Prinsip tata laksana pasien krisis hipertensi adalah menurunkan tekanan
darah dalam hitungan menit-jam pada hipertensi emergensi dan hitungan jam -
hari pada pasien hiperensi urgensi. ldealnya pasien tersebut dirawat di unit
perawatan intensif untuk pemantauan tekanan darah dan pemberian obat
antihipertensi intravena. Penurunan tekanan darah pada hipertensi emergensi
hendaknya tidak melebih 25% dari tekanan darah rerata dalam 1 jam pertama
dan bila kondisi klinis stabil diturunkan hingga 160/100-110 mmHg pada 2-6 jam
kemudian. Bila kondisi klinis tetap stabil maka tekanan darah dapat diturunkan
dalam 2448 jam hingga mencapai tekanan darah normal. Penurunan tekanan
darah yang terlalu cepat dapat menyebabkan iskemia renal, serebral, dan
kardiovaskular sehingga penggunaan nifedipin (masa kerja singkat) sudah tidak
dipertimbangkan pada terapi awal krisis hipertensi
Pada pasien hipertensi urgensi yang tetap akan menjalani operasi emergensi
sebaiknya diberikan obat hipertensi intravena, namun pada operasi elektif dapat
diberikan obat antihipertensi oral dengan masa kerja singkat seperti kaptopril
atau klondin.
Ginova Nainggolan, Arif Mansjoer 169
Pada pasien hipertensi tidak terkontrol baik dengan obat dengan tekanan darah
yang sangat berfluktuasi terdapat risiko iskemik perioperatif pada tindakan induksi
maupun intubasi. Tekanan darah di atas 180/110 mmHg harus dikendalikan
sebelum tindakan operasi. Untuk operasi elektif, pengendalian tekanan darah
dengan terapi rawat jalan dapat dicapai dengan selama beberapa hari-minggu.
Sedangkan bila akan dilakukan operasi emergensi maka diberikan obat
antihipertensi intravena.
Perlu diketahui berberapa sifat dari obat antihipertensi yang dapat
mempengaruhi operasi.
. Diuretik: dapat menimbulkan hipokalemia dan hipovolemia. Keadaan ini dapat
menimbulkan aritmia jantung. Karena itu elektrolit dan volume cairan pada
masa perioperatif perlu diperhatikan.
. Angiotensin convefting enzym inhibitor (ACEI) dan angiotensin ll receptor
blocker (ARB): dilaporkan dapat menimbulkan hipotensi pada pasien dengan
gagaljantung. Karena itu pada pasien tersebut golongan obat ini dianjurkan
tidak diberikan pada malam sebelum operasi.
. Antagonis kalsium : secara teoritis dapat menimbulkan perdarahan karena
gangguan agregasi trombosit, tetapi hal ini tidak terbukti pada manusia.
Karena itu pada pasien yang menggunakan obat tersebut tidak perlu
penghentian obat selama masa perioperatf.
L7O Hipertensi
Furosemid 20-80 2
Bisoprolol 2,5-10 1
Ramipril 2,5-20 1
extened release
Amlodipin 2,5-10 1
Pada masa pasca tindakan operasi pasien dapat mengalami peningkatan tekanan
darah, Hipertensi yang segera terjadi pasca operasi dapat dicetuskan rasa nyeri
luka analgesia yang tidak adekuat, agitasi saat pulih dari pembiusan, hipoksia,
hiperkarbia, rasa tidak nyaman akibat pipa endotrakeal, hipotermia, pemberian
cairan berlebih, atau efek sisa dari vasopresor yang diberikan intraoperatif.
Sedangkan hipertensi yang terjadi 24-48 jam pascaoperasi dapat terjadi akibat
masuknya cairan yang diberikan intraoperatif kembali ke intravaskular. Faktor
predisposisi terjadi hipertensi pasca-operasi adalah hipertensi sebelum operasi
atau jenis operasi yang dilakukan. Sebanyak 50% pasien yang menjalani operasi
perbaikan aneurisma aorta abdominalis dan 30% pasien pada operasi vascular
perifer mengalami hipertensi pascaoperasi.
Tata laksana awal adalah mengevaluasi dan mengatasi faktor pencetus yang
mungkin terjadi. Bila pencetus yang mungkin menjadi penyebab hipertensi telah
disingkirkan atau diatasi namun tekanan darah tetap >180/110 mmHg maka obat
antihipertensi harus segera diberikan untuk mencegah atau membatasi kerusakan
organ target, biasanya obat hipertensi diberikan dalam bentuk intravena.
REFERENSX
I
S.I?Illabetes Melltus
Reno Gustaviani, Pradana Soewondo
Stres dan trauma yang dihubungkan dengan anestesia dan operasi menyebabkan
respons katabolik yang cukup berat (lihat tabel 1). Keadaan ini disebabkan karena
meningkatnya produksi hormon kontra regulasi insulin yaitu epinefrin, norepinefrin,
glukagon, hormon pertumbuhan, katekolamin, dan kortisol'3"10
Diharapkan selama operasi berlangsung, glukosa darah berada dalam batas
toleransi, oleh karena hipoglikemia selama operasi dapat membahayakan jiwa
penderita. Sedangkan hiperglikemia dapat menyebabkan'1'2'10
1. Faal leukosit (kemotaksis, fagositosis, bakterisida intraselular) menurun,
demikian pula fungsi limfosit dan monosit. Akibatnya penderita DM mudah
mengalami infeksi, yang merupakan penyulit tersering pasca operasi.
2. Gangguan reologi : viskositas darah meningkat dan mudah terjadi agregasi
trombosit, demikian pula akan mudah timbul agregasi eritrosit dan leukosit,
yang memudahkan terjadinya trombosis.
3. Faal endoteljuga terganggu, yang merupakan predisposisitimbulnya agregasi
trombosit dan terjadi trombosis.
4. Status imunologi humoral dan selular menurun, misalnya kemunduran fungsi
sel T supresor.
5. Pembentukan jaringan granulasi terhambat oleh karena sintesis fibroblas
dan kolagen tertekan. I
I
I
Endokrin
Peningkatan honnon kontm regulasi insulin: kalekolAmin; glrikagon dan kortisol -
hormsn katabollk utama. dan honnon pqrtumbulian
- Penurunan sekresi insulin menyebabkan hilangnya efek antikatabolik insulin
- Penurunan kerja insulin yang disebabkan oleh rneningkatnya reeistensi imulin
sekunder akibat hormon kontra regulasi
trletabolik
- Hiperglikernia
- Penurunan penggunaan glukosa
- Moningkatnya produksi glukosa sekunder akibat glikogonolisis dan glukoneogenesis
- Meningkatnyakatabolismeprotein
- Meningkatnya variabel pada lipolisis dengan formasi benda keton
- Meningkatnya laju metabolik dan katabolisme
Efek segera dan jangka Paniang
- Dehidrasi dan,ketidakstabilan hsmodinamik yang disebabkan oleh'diuresis osmotik
- Berkurangnya ma$sa lemak tubuh, keseimbangan nitrogen negallf, kegagalan
penyembuhan luka, ponurunan resistensi untuk terjadinyainfeksi
- Berkurangnya jaringan adiposa dan cadangan energi dari asam lerricik
- Defisiensi asam amino esensial, vitamin dan mineral.
L74 Diabetes Melitus
EVALUASI PRAOPERASI
Penilaian risiko operasi pada pasien DM secara umum sama dengan pasien
lainnya, dan yang penting untuk mendiagnosis mengevaluasi dan mengobati
penyakit jantung, paru, ginjal, ketidakseimbangan elektrolit dan/atau anemia
sebelum operasi. Tujuan terapi adalah menghindari meningkatnya morbiditas dan
mortalitas. Kadar glukosa darah yang tinggi, katabolisme protein yang tidak perlu,
serta ketidakseimbangan cairan dan elektrolit harus dicegah. Tujuan ini dapat
dicapai dengan evalusi pra operasi yang baik (lihat tabel 2) dan membuat hubungan
antara dokter spesialis penyakit dalam, spesialis bedah dan spesialis anestesia
menjadi lebih efektif. Penilaian klinis harus dilakukan sebelum operasi elektif.
Tipe DM harus segera diidentifikasi.Pasien DM tipe 2 cenderung untuk memiliki
peningkatan resistensi perifer dan menurunnya sekresi insulin perioperatif. Hal ini
dapat menyebabkan kebutuhan insulin lebih tinggi. Pasien DM tipe t harus
diberikan dosis insulin secara adekuat sesuai jadwal.s-to
operasi lainnya target glukosa darah plasma adalah 90-140 mg/dl. Namun I
demikian, belum ada keseragaman dalam menetapkan kadar glukosa darah 3-10 I
I
Untuk memperbaiki kontrol glukosa darah pada pasien yang mendapat
I
insulin, pemeriksaan kadar glukosa darah harus lebih sering, dengan dosis
1
insulin yang disesuaikan. lnsulin kerja panjang dapat dihentikan satu sampai dua
hari menjelang tindakan, dan kadar glukosa darah dapat dikendalikan dengan I
insulin campur antara kerja menengah dan kerja pendek dua kali sehari, atau
I
dengan insulin kerja pendek setiap sebelum makan. Namun dernikian, insulin
I
kerja panjang dapat dilanjutkan, terutama jika pasien menggunakan insulin basal
seperti glargin. Sejak keluarnya insulin analog yang dapat mempertahankan kadar
glukosa darah sepanjang hari, banyak pengalaman menunjukkan bahwa cukup
aman menggunakan basal insulin ini pada saat perioperatif. 3-r0
Obat oral umumnya dihentikan sebelum tindakan. Sulfonilurea kerja panjang
dihentikan 48-72 jam sebelum tindakan, sementara sulfonilurea kerja pendek,
pemicu sekresi insulin yang lain dan metformin dapat dihentikan pada malam
sebelum tindakan atau pada hari tindakan. 3i0
PENATAIAIGANAAN INTRAOPERASI
A.Insulin
Semua pasien yang menggunakan insulin, baik DM tipe 1 maupun tipe 2, harus
mendapat terapi insulin selama prosedur operasi. Pada pasien DM tipe 2 yang
memiliki kontrol cukup baik dengan diet dan obat hipoglikemik oral, mungkin
tidak membutuhkan insulin jika prosedur tindakan relatif mudah dan singkat. Pada
banyak situasi, termasuk kontrolyang buruk cukup lama atau pada pada prosedur
operasi yang cukup sulit, pada pasien DM tipe 2 pemberian insulin cukup
bermanfaat untuk menjaga kontrol glikemik.2-1o
Metode pemberian insulin terbaik dalam operasi masih diperdebatkan. Baru
sedikit data yang jelas memperlihatkan keunggulan dari satu cara dibandingkan
dengan cara yang lain. Metode pemberian yang baik haruslah : (1) dapat menjaga
kontrol gukosa darah secara baik untuk mencegah hiperglikemia dan hipoglikemia
(2) dapat mencegah gangguan metabolik lain (3) relatif lebih mudah untuk
dimengerti (4) dapat diterapkan pada berbagai situasi (seperti di ruang operasi,
ruang pemulihan dan pada ruang perawatan umum serta bangsal bedah). Kunci
keberhasilan beberapa cara adalah kehati-hatian, pemantauan yang cukup sering
untuk mendeteksi beberapa perubahan dalam kontrol metabolik dan
memperbaikinya sebelum bertambah berat.s
a
Reno Gustaviani, Pradana Soewondo L77
kalium harus ditambahkan pada per liter cairan yang mengandung dekstrosa.
Kalium diberikan lebih banyak jika terjadi hipokalemia. Pada pasien dengan
hiperkalemia, kalium tidak perlu diberikan meskipun kadar kalium turun sampai
batas normal.3io
Terdapat dua fase kritis pada perawatan perioperatif pasien diabetes. Pertama
fase katabolik awal, yang terjadi pada saat sebelum sampai saat terjadi operasi.
Kedua adalah fase transisional, di mana pada saat ini terjadi pemulihan sebagian
dari stres operasi menuju makan yang biasa. Untuk banyak pasien diabetes
keadaan ini adalah masa peralihan yang sulit. Kebanyakan dari mereka menderita
gastroparesis mungkin ingin makan tetapi makanan tidak dapat turun. Begitu
pemberian makan oral dimulai, kadar glukosa mungkin meningkat secara
mendadak dan menetap untuk beberapa waktu setelah perawatan. s-10
OPERASI RAWATJALAN
Dalam beberapa tahun terakhir, tipe operasi pada operasi rawat jalan dapat
ditentukan pada hari yang sama. Jika tidak membutuhkan anestesi umum,
penggunaan obat oral atau insulin bila glukosa darah sudah terkontrol baik dapat
diteruskan, karena tidak memerlukan persiapan dengan puasa dan sesudah
tindakan dapat makan seperti biasa. Jika mungkin, pada pasien-pasien ini dilakukan
tindakan sepagi mungkin. Jika pendekatan ini tidak mungkin, atau tindakan
terlambat, insulin yang didapat pasien diganti dengan drip insulin atau kombinasi
infus insulin-glukosa.3-s
PROGITGISP
KESIMruI.AN
3. Seluruh aspek harus dipantau dan dikendalikan secara baik pada saat
perioperatif
lnfus insulin intravena berkesinambungan umumnya merupakan pendekatan
terbaik untuk penatalaksanaan glukosa darah perioperatif.
5. Meskipun strategi yang bervariasi dilaporkan, keputusan klinis tetap sebagai
komponen kunci pada pengobatan perioperatif yang baik pada pasien DM. .
RffiRE\EI
1. Saleh SC. Anestesi dan operasi pada penderita DM dan penatalaksanaan prabedah selama
pembedahan dan pasca bedah dini. Naskah lgngkap simposium pengenalan dan penanganan
penyakit endokrin dan metabolik. Medan: PERKENI; 1995. p. 155'64.
2. Azhari G, Sjafii P. Management of diabetes mellitus during surgery using the insulin-dextrose
method. Acta Med lndones. 2001 ;33(1):25-30.
3. Laurence AG. Perioperative management of the diabetic patient. Endocrinol Metab Clin North Am.
1992;21(2):457-75.
4. Scott JJ, James RS. An update on perioperative management of diabetes. Arch lntern Med.
1 999;159:2405-11 .
5. Marks J. Perioperative management of diabetes. Am Fam Physician. 2003;67:93'100.
6. Dagogo-Jack S, Alberti KGMM. Management of diabetes mellitus in surgical patients. Diabetes
Spectru m. 2002;1 5:44-8.
7 . Rothenberg David, Mira Loh Trivedi. Perioperative management of diabetic patient. Accessed
from: URL : http//www.emedicine.com/med/topic3165,htm. Last Updated: May 17, 2006.
8. Hoogwerf BJ. Perioperative management of diabetes mellitus: how should we act on the limited
'l):595-9.
evidence? Cleve Clin J Med. 2006;73(Suppl
9. Gill GV, Alberli KGMM. The care of the diabetic patient during surgery. lnternationaltextbook of
diabetes mellitus. ln: DeFronzo RA, Ferrannini E, Keen H, Zimmet P, eds. England:John Wiley
& Sons;2004. p. 1741-9.
10. Sherita HG, Camille PV Linda H, Frederick LB. Perioperative glycemic control and the risk of
infectious complication in a cohort of adult with diabetes. Diabet Care. 1 999;22(9):1408-14.
181
besar) dan yang berkaitan dengan fungsi tiroid (misalnya hipertiroidisme, krisis I
I
Tindakan operasi pada pasien dengan penyakit tiroid hampir semua bersifat
I
elektif, mengingat risiko kematian perioperatif meningkat pada pasien dengan I
penyakit tiroid yang tidak terkontrol/ tidak terdiagnosis.3 Selain pengaruhnya yang
dominan pada sistem kardiovaskular, hipertiroidisme dan hipotiroidisme juga
mempengaruhi pemberian obat-obat anestesi akibat peningkatan atau penurunan
bersihan dan volume distribusi obat pada kondisi hiper dan hipometabolisme.
Sebagaicontoh pemberian propofol intravena pada hipertiroidisme, dosis infusnya
dinaikkan untuk mencapai konsentrasi yang efektif di darah.2
Pada bab ini akan dibahas persiapan perioperatif pada pasien dengan penyakit
tiroid. Laporan operasi non tiroid pada pasien-pasien dengan kelainan tiroid masih
jarang. Penatalaksanaan pasien dengan hiper dan hipotiroidisme juga akan
dibahas mengingat perlunya mencapai kondisieutiroid sebelum dilakukan operasi.
HIFOIIROIDEME
Definisi
Hipotiroidisme adalah kumpulan sindrom yang disebabkan konsentrasi hormon
L82 Penyakit Tiroid
Gejala klinis
Gejala yang sering dikeluhkan pada usia dewasa adalah cepat lelah, tidak tahan
dingin, berat badan naik, konstipasi, gangguan siklus haid dan kejang otot. 3,4
Pengaruh hipotiroidisme pada berbagai sistem organ dapat dilihat pada tabel 1.3
PENATAI.AIGANMN HIPOTIROIDISME
hipotiroidisme.3,4
2. Pemeriksaanpenunjang
Meliputi pemeriksaan laboratorium rutin, radiologi dan elektrokardiografi.
Apabila dari anamnesis dan pemeriksaan fisis dicurigai kuat adanya gejala
hipotiroidisme, maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan konsentrasi
TSH. Pemeriksaan TSH juga dilakukan pada pasien hipotiroidisme yang
sedang mendapat terapi suplementasi hormon untuk memastikan kondisi
eutiroid.3,a
C. Evaluasiperioperatif
Beberapa kondisi seperti di bawah ini dapat menjadi pertimbangan adanya
kemungkinan hipotiroid yang tidak terdiagnosis pada pasien pasca operasi,
yaitu:3
1. Terdapat kesulitan melakukan proses weaning dari ventilator.
2. lleus yang tidak dapat dijelaskan.
3. Gagal jantung.
Dyah Purnamasari, Imam Subekti 185
Pada pasien yang belum bisa makan peroral pasca operasi, penundaan
levotiroksin relatif aman mengingat waktu paruhnya yang panjang ( t7
hari).
HIPERMROIDEME
Definisi
Hipertiroidisme mengandung arti hiperaktivitas kelenjar tiroid, sedangkan
tirotoksikosis merupakan kumpulan gejala yang disebabkan peningkatan hormon
tiroid di sirkulasi, bisa berasal dari kelenjar tiroid yang aktivitasnya meningkat
maupun dari sumber di luar kelenjar tiroid. Beberapa keadaan yang dapat
menyebabkan tirotoksikosis adalah struma difusa toksik (penyakit graves), ad-
enoma toksik (penyakit Plummer), struma multinodosa toksik, tiroiditis subakut,
tiroiditis Hashimoto fase hipertiroidisme, tirotoksikosis faktisia dan penyebab lain
yang jarang (struma ovarium, karsinoma tiroid metastasis, mola hidatidosa, ,,ham-
burger thyrotoxicosis", tumor hipofisis yang mensekresi rsH, hipofisis yang resisten
terhadap T3 dan T4). Penyakit Graves merupakan penyebab tersering, disusul
oleh struma multinodosa toksik.1,4-6
Prevalensi tirotoksikosis pada wanita berkisar antara 0,s-2%. wanita lebih
sering daripada pria.a
Gejala klinis
Keluhan dan gejala pada tirotoksikosis disebabkan hiperaktivitas susunan saraf
simpatis. Pengaruh hipertiroidisme pada beberapa sistem organ dapat dilihat pada
tabel 2.6 Tidak semua pasien menunjukkan gejala yang khas terutama bila fase
awal penyakit dan pada pasien usia lanjut. Pada pasien usia lanjut dengan fibrilasi
atrium, kemungkinan ada tidaknya hipertiroidisme sebaiknya ditentukan dahulu.a
Pada pasien yang kondisi eutiroidnya sudah tercapai, pemberian obat anti
tiroid dilanjutkan selama masa perioperatif.
Pada pasien hipertiroid yang baru didiagnosis pertama kali dan belum pernah
mendapatkan terapi, maka kondisi eutiroid harus dicapai dahulu, baik dengan
pemberian obat-obatan maupun dengan terapi ablasi. obat anti tiroid (oAT) yang
diberikan dapat berupa derivat tiourasil (propiltiourasil, PTU) maupun derivat
tioimidazol (karbimazol, metimazol atau tiamazol). Prinsip pemberian oAT adalah
dimulai dengan dosis tinggi dan setelah tercapai kondisi klinis eutiroid, dosis
diturunkan perlahan-lahan hingga terc4pai keadaan remisi. Tindakan operasi aman
dilakukan bila pasien sudah mencapai kondisi eutiroid secara klinis dan laboratoris,
meski belum mencapai remisi, mengingat diperlukan waktu cukup lama untuk
mencapai remisi. Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi PTU secara oral,
PTU dapat diberikan per rektal. Pemberian OAT dapat dimulai dengan karbimazol
30 mg, metimazol 30 mg atau PTU 400 mg sehari dalam dosis terbagi.6,7
Gejala peningkatan aktivitas simpatis di perifer, dapat diatasi dengan
propranolol. Propranololjuga dapat menghambat konversi 14 menjadi 13 di perifer
sehingga membantu mempercepat terkontrolnya gejala hipertiroidisme.3-s
Propranolol dapat diberikan 2-3 kali sehari 10 mg, disesuaikan dengan beratnya
takikardia. Pemberian propranolol dihindari bila terdapat kontraindikasi seperti
asma bronkial.6,7
Pemberian preparat lodida dapat menghambat pengeluaran hormon tiroid,
namun pemberiannya harus disertai dengan pemberian obat antitiroid untuk
mencegah pengumpulan hormon tiroid. Pada 7-10 jam pre operatif, dapat diberikan
3 kali 5 tetes solusio lugol. Pemberian preparat iodida praoperatif untuk mengurangi
vaskularisasi kelenjar tiroid masih belum rutin dilakukan.3,6-s
KRISISTIROID
Tidak jauh berbeda dengan kondisi hipertiroidisme, pasien dengan krisis tiroid
juga diterapi dahulu sehingga tercapai kondisi eutiroid sebelum dilakukan operasi.
Prinsip penatalaksanaan krisis tiroid meliputi mengatasi faktor pencetus,
memperbaiki keadaan umum dan mengontrol gejala hipertiroidisme. pasien
sebaiknya dirawat di unit perawatan intensif.a-6
Obat antitiroid diberikan dalam dosis tinggi dan terbagi (loading dose 600-
1000 mg, dilanjutkan 200 mg tiap 4 jam sehingga dosis totat sehari 1000-1500
mg) untuk menghambat produksi hormon tiroid. Sedangkan untuk menghambat
pelepasan hormon tiriod yang sudah diproduksi, dapat diberikan larutan lugol (10
tetes setiap 6-8 jam) atau larutan kalium iodida jenuh (5 tetes tiap 6 jam).6 s
Beta blocker (propranolol) dapat diberikan per oral 20-40 mg setiap 6 jam atau
1-2 mg intravena untuk mengontrol gejala peningkatan aktivitas simpatis di perifer.
selain itu, propranololjuga dapat menghambat konversi 14 menjadi 13 di perifer.6,7
188 Penyakit Tiroid
c. EI'AIUASI PERIOPERATIF
Kejadian krisis tiroid juga masih dapat terjadi pada periode pasca operasi, kadang
dengan gejala yang tidak khas, seperti kenaikan suhu yang tinggi dan sulit
diterangkan penyebabnya. Pemantauan masih harus dilakukan pada periode
pasca operasi.3
RMENET
1 . Davies TF, Larsen PR. Thyrotoxicosis. ln: Larsen, Kronenberg, Melmed, Polonsky, eds. William
textbook of endocrinology. 101h ed. Philadelphia: WB.Saunders; 2003. p.374-421.
2. Farling, PA. Thyroid disease. Br J Anaesth. 2000;85:15-28.
3. Wertheim, W. Muluk, V. Thyroid disease. ln:Cohn SL, Smetana GW, Weed HG, eds. Perioperative
medicine, just the fact. lnternational edition. Singapore: Mc Graw Hill Co; lnc.; 2006. p.152-8.
4. Greenspan FS. The thyroid gland. ln: Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic and clinical
endocrinology. 7h ed. New York: Lange Medical Books/McGraw Hill Co; 2004. p. 215-94.
5. Cooper, DS. Treatment of thyrotoxicosis. ln: Braverman LE, Utiger RD, eds. Werner and lngbar's
the thyroid. Afundamental and clinical text. th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2005.
p. 665-94.
6. Weetman,AP. Graves' disease. N Engl J Med. 2000;343(17):1236-48.
7. Djokomoeljanto, R. Kelenjartirold, hipotiroidisme dan hipertiroidisme. ln:SudoyoAW, Setiyohadi
B, Alwi l, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan
llmu Penyakit Dalam FKUI;2006. p. 1955-65.
8. Panzer C, Beazley R, Braverman L, Rapid preoperative preparation for severe hyperthyroid
graves' disease. J C n Endocri nol Metab. 2004;89:21 42-4.
I i
9. Pandey CK, Reza M, Dhiraaj S, AganivalA, Singh PK. Rapid preparation of severe uncontrolled
thyrotoxicosis due to graves'disease with lopanoic acid, a case repofi. Can J Anaesth. 2004;
51(1):38-40.
189
mekanisme hemostasis. Tanpa mekanisme ini perlukaan yang dibuat saat operasi I
HEMOSTASISPRIMER
A2. Reseptor tersebut adalah PARI dan PAR2, purinoreseptor, p2yl dan p2x1,
reseptor a-adrenergik, dan reseptor TP. Ketika terpapar dengan agoni terlarut dan
protein adhesif maka afinitas dan aviditas trombosit dengan ligandnya meningkat
dengan cepat.1,7
Proses hemostasis primer diawali dengan terpaparnya jaringan subendotel
ketika terjadi trauma atau kerusakan pembuluh darah. saat itu pulalah terjadi
kontak pertama antara trombosit di sirkulasi dengan lesi di dinding pembuluh
darah yang dikuatkan oleh adanya interaksi antara reseptor untuk vwp (Gplb-v-
lX) dan vWF (fase kontak). lnteraksi ini selanjutnya distabilkan oleh interaksi
antara keluarga reseptor integrin dengan reseptor adhesi membran (kolagen,
laminin, dan fibronektin). 1'7 I
dibutuhkan tiga komponen: shear forces, ion kalsium dan fibrinogen. Kalsium
I
dan fibrinogen tersimpan di dalam granula trombosit dalam konsentrasi tinggi dan
dilepaskan di sekitar pertumbuhan agregat trombosit pada waktu agregasi.
Fibrinogen berikatan dengan trombosit melalui reseptor GP llb-llla dan ikatan ini
sangat tergantung ion kalsium.l'7
Ketika terjadi aktivasi trombosit, fosfolipid yang bermuatan negatif (fosfatidit
serin/PS dan fosfatidiletanolamin) yang diaktivasi oleh kalsium mengalami
translokasi ke permukaan terluar membran plasma. Di samping itu terjadi pula
mikrovesikulasi membran yang meningkatkan ekspresi PS ke permukaan yang
bekerja sebagai permukaan pengikat untuk faktor va dan Xa yang berkonjugnsi
dengan ion kalsium dalam kompleks protrombinase.l'7
L92 Trombositopenia dan Disfungsi Trombosit
Dalam peran sebagai hemostasis primer dalam mekanisme hemostasis, ada dua
variabel trombosit yang turut menentukan yaitu jumlah trombosit dan fungsi
trombosit. Secara teknis, jumlah trombosit yang normal berkisar 150.000-400.000/
ul.5'8 Jika jumlah hitung trombosit berada di bawah nilai kisaran normal tersebut
maka dikatakan sebagai trombositopenia. Meski demikian umumnya manifestasi
perdarahan jarang muncul pada saat jumlah trombosit lebih dari 50.000/ul. Bahkan
perdarahan spontan jarang terjadi ketika jumlah trombosit kurang dari 10.000-
20.000/ul. Manifestasi perdarahan pada trombositopenia dapat berupa ptekiae,
perdarahan gusi, menoragia, epistaksis, atau perdarahan gastrointestinal.5,e
Disamping jumlah trombosit, adanya trombosit tua pada sirkulasi darah juga turut
menentukan muncul tidaknya manifestasi perdarahan. Pada kelainan produksi
trombosit misalnya pada leukemia atau kegagalan sumsum tulang, risiko
perdarahan pada trombositopenia lebih sering terjadi dibandingkan dengan kelainan
destruksi trombosit.s,e Hal ini terjadi karena pertukaran trombosit tua dengan muda
berjalan begitu cepat sehingga akan lebih banyak trombosit muda dibandingkan
yang tua di sirkulasi.5,s
Penghitungan jumlah trombosit yang akurat amat krusial dalam pengambilan
keputusan tatalaksana trombositopenia perioperatif. Beberapa literatur mematok
harga 50.000/ul trombosit sebagai ambang batas kecukupan trombosit untuk
tindakan operasi. Dewasa ini, penghitungan trombosit dengan mesin
memungkinkan terjadinya kesalahan hitung. Kesalahan hitung yang mengakibatkan
artifaktualtrombositopenia, pseudotrombositopenia, perlu dipikirkan karena adanya
clumping yang dicetuskan oleh EDTA atau satelitisme (melekatnya trombosit
pada membran netrofil karena adanya antibodi lgG atau lgM trombosit. Oleh karena
itu, jika ada keragu-raguan, penghitungan mesin harus dikonfirmasi dengan
penghitungan manual hapusan darah tepi.s
Fungsi trombosit juga mempengaruhi perdarahan. Meski jumlah trombosit
lebih dari 50.000/ul, tak jarang terjadi juga perdarahan karena adanya gangguan
fungsi trombosit. Disfungsi trombosit dapat terjadi karena diinduksi obat; uremia;
penyakit hati; sforage pool deficiency platelets; trombosit teraktivasi oleh penyakit
jantung koroner, penyakit pembuluh darah perifer, strok; protein abnormal dan
antibodi (lgG, lgM) pada penyakit autoimun (lTP, SLE, kelainan jaringan ikat),
mieloma multipel, disproteinemia, disfungsi didapat dengan eosinofilia; kelainan
hematologik seperti penyakit mieloproliferatif/sindrom mielodisplasia, leukemia,
thalasemia; lnfeksi mononukleosis, HIV septikemia; DIC; defisiensi vitamin 812,
E, Zn, agamaglobulinemia, penyakit simpanan glikogen,3, 5,10
Penilaian fungsi trombosit dilakukan dengan cara memeriksa masa
perdarahan/Bleeding Time (Bf). Cara lvy yang dimodifikasi merupakan cara yang
paling luas digunakan. Dengan teknik ini nilai batas atas normal BT 9 menit.
Ikhwan Rinaldi, Aru W Sudoyo 193
Mekanisme
'
Asam.asetlsalisilat {A*pirin} {nhibitsr siklool$igena$e Femanjangan,BT,
perdarahan
Antiinfl amasi nonsieroid {l bupro-fen, lnhibisi sintesis Pemanjangan BT,
lndometasin, naproksen, proslAglandin perdarahan yang jarang
diklotunak)
I
lnhibitor llFllla llamtmt reseptor Pemanjangan BT,
(Abciximab, integrin, tincfi ban) fibrinogen perdarahan I
KI.ASIFIIGSI TROMBOSITOPENIA
Seperti telah dijelaskan pada uraian di atas, trombosit memiliki peran yang besar
pada proses hemostasis primer. Peran trombosit ini tidak hanya tergantung pada
jumlahnya tetapi juga pada fungsinya. Meskipun pada kebanyakan kasus, jumlah
trombosit berjalan linear dengan fungsinya, namun pada kasus-kasus tertentu
keduanya tidak berjalan linear.4'7,e Oleh karena itu perlu evaluasi yang seksama
sebagai dasar pengambilan keputusan pemberian transfusi trombosit dengan tidak
hanya terpaku pada hasil pemeriksaan laboratorium melainkan juga berpegang
pada anamnesis (riwayat perdarahan sebelumnya dan riwayat penyakit penyerta)
dan pemeriksaan fisik yang teliti.13-16 Hal ini dilakukan untuk mendapatkan adanya
kemungkinan faktor-faktor risiko perdarahanl3 :
1. Adanya dan beratnya sindrom perdarahan spontan atau perdarahan yang
diakibatkan oleh trauma ringan,
2. Riwayat perdarahan atau transfusi pada operasi minor atau prosedur invasif
sebelumnya,
Ikhwan Rinaldi, Aru W Sudoyo 195
thromboplastin time (aPTT), euglobulin clot lysis time (1ika riwayat perdarahan I
I
meragukan dan prosedurnya mayor, melibatkan gangguan hemostasis). Jika ada
riwayat perdarahan dan prosedurnya mayor atau minor dilakukan pemeriksaan
seperti pada perdarahan yang samar-samar dan jika hasilnya negatif dilanjutkan
dengan pemeriksaan faktor VIll, lX, dan Xl, thrombin time, antiplasmin,
pertimbangkan penyakit vWF, dan pemeriksaan agregasitrombosit, pertimbangkan
juga tes khusus untuk abnormalitas fibrinolisis.6,ls Bleeding time tidak terbukti
berguna memprediksi perdarahan perioperatif kecuali pada pasien yang diketahui
mempunyai kelainan trombosit dimana pemberian desmopresin atau fresh frozen
plasma (FFP) dipertimbangkan. 1a
2. Derajattrombositopenia I
3. Penyakit penyerta I
4. Fungsi trombosit
5. Jenis operasi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, fungsi trombosit dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Penyebab umum disfungsi trombosit adalah obat-obatan. Aspirin
mempengaruhi fungsi trombosit selama masa hidup efektifnya (7-10 hari).
Antiinflamasi non steroid hanya menghambat jalur siklooksigenase trombosit untuk
sementara waktu dan fungsi trombosit kembali normal setelah obat tereliminasi
dari tubuh. Obat analgetik seperti kodein, opiat, propoksifen dan asetaminofen
tidak mempengaruhi fungsi trombosit 4'6,11,14
Di samping obat, insufisiensi ginjal dan hati lanjut juga mempengaruhi fungsi
trombosit. sehingga untuk memperbbiki BT perlu diberikan transfusi trombosit.4,6,i1,i4
196 Trombositopenia dan Disfungsi Trombosit
3. Oesman F, Setiabudy R. Fisiologi hemostasis dan fibrinolisis. ln: Setiabudy H, eds. Hemostasis
dan trombosis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas lndonesia; 1 992. p. 3-10.
4. Levine SP. Thrombocytopenia: Pathophysiology and classification. ln: Greer JP, Foerster J,
Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, eds, 11m eds. Philadelphia: Wintrobe's
Clinical Hematology/Lippincot Wlliam & Wilkins; 2004. p. 1 534-64.
5. Mazur E. Platelets. ln: Schiffman FJ. Hematologic pathophysiology. Philadelphia: Lippincotl
Raven. Philadelphia.l 998. p. 121 -60.
6. Rodger GM. Diagnostic approach of bleeding disorders. ln: Greer JP, Foerster J, Luke-ns JN,
Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, eds. 11rh Eds. Philadelphia: Wintrobe's Clinical
Hematology/Lippincot Wlliam & Wilkins; 2004. p, 1511-25.
7. Gawaz M. Platelets and primary hemostasis. Blood platelets. Physiology, pathophysiology.
Membrane receptors, antiplatelet principles, and therapy for atherothrombotic diseases. Thieme.
Stutgard. 2001. p. 5-24.
8. Goodnight SH. Screening tests of hemostasis. Disorders of hemostasis and thrombosis a clinical
guide. 2nd eds. New York: Mc Graw-Hill Companies; 2001. p. 41-51.
9. Goodnight SH. Thrombocytopenias. Disorders of hemostasis and thrombosis a clinical guide. 2nd
eds. New York Mc Graw-Hill Co; 2001. p.76-87.
10. Goodnight SH. Acquired platelet disorders. Disorders of hemostasis and thrombosis a clinical
guide. 2'd eds. New York: Mc Graw-Hill Co; 200'1. p. 108-14.
11, Gawaz M. Diagnosis of function, Blood platelets. Physiology, pathophysiology. Membrane
receptors, antiplatelet principles, and therapy for atherothrombotic diseases. Thieme. Stutgard.
2001. p.42-56.
12. Levine SP. Thrombocytopenia caused by immunologic platelet destruction. Greer JP, Foerster J,
Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, Glader B, eds. 11n Eds. Philadephia: Wintrobe's
Clinical Hematology/Lippincot Wlliam and Wilkins; 2004. p. 1512-25.
13. Samama CM, Djoudi R, Lecompte I
Denizot NN, Schved JF. Perioperative platelet transfusion:
recommendations of the agence francaise de securite sanitaire des produits de sante (AFSSaPS)
2003. Can J Anesth. 2005;52(1 ):30-7.
14. lrvingGA.Perioperativebloodandbloodcomponenttherapy.CanJAnesth,l992;39(10):1105-15
15. American Society of Anaethesiologist Task Force on perioperative blood transfusion and
adjuvant therapies. Practice guidelines for perioperative and adjuvant therapies.
16. BombeliT, Spahn DR. Updates in perioperative coagulation: physiology and management of
thromboembolism and haemorrhage. Br J Anaeshth. 2004:93;275-87 .
198
Pemberian warfarin dihentikan 4 hari sebelum prosedur operasi. Nilai INR dibiarkan
kembali normal. Pemberian anti koagulan dapat dilanjutkan ke dosis harian,
setelah prosedur selesai tanpa harus mengganti anti koagulan oral ke anti koagulan
suntik. Strategi ini dapat dilakukan bila prosesur operasi berisiko tinggi untuk
terjadinya perdarahan. Pasien segera diberikan antikoagulan profilaksis dengan
unnfractionated heparin dosis rendah, 5000 unit subkutan atau LMWH dosis
profilaksis dan dapat dilanjutkan dengan pemberian warfarin, jika prosedur operasi
berisiko menyebabkan terjadinya trombosis.
Abdulmuthalib, Andhika Rachman 199
Tinggi Menengah
Katup Lokalisasi Mitral Katup aorta dan Katup aorta dan <
pro$tetik Katup aorta tunggal 12 faktor risiko 2 faktor risiko
Dua prostetik katup tromboemboli tromboemboli
jantung Bileaflet titling disc
type (misaf : St.
Jude, Carbomedic)
Tipe Katup genera$i
pertama : katup sarang
bola (misal Starr-
Edwards)
Sin gl e-leaf I et titli ng
dlsc fype (misal :
Bjork-Shiley,
Medtronic-Hall)
Fibrilasi Airial Riwayat $trok atau TIA > 2 faktor risiko lone AF; ? 65
(AF) kronik baru tromboemboli tahun dan < 2
Penyakit jantung faktor risiko
rheuma tromboemboli
Tromboembotl Episode Tromboemboli Eprsode
Vena vena <1 bulan tromboemboli
Kanker vena ? 6 bulan
Anti bodi antifosfolipid Tromboemboli
Penyakit paru atau rekurens dengan
jantung kronik warfarin
sebelumnya
.Faktor risiko tromboemboli seperti fibrilasi atrial, dilatasi atrial, disfungsi ventrikel,
kardiomiopati, riwayat TIA atau strok, hipertensi, diabetes mellitus, usia > 75 tahun
:$&?,if a$:!ii{tdrtq}a,
Abdulmuthalib, Andhika Rachman 2Ol
RME\EI
1 . Dunn AS. Periop-erative management of oral anticoagulation: when and how to bridge. J Thromb
Thrombolysis 2006;21 (1 ):85-9.
3.16 Eemolllla
Lugyanti Sukrisman, Karmel L. Tambunan
PENII.AIAN PRAOPERASI
Dalam penilaian atau persiapan operasi, risiko perdarahan dapat diketahui saat
awal melalui anamnesis yang cermat mengenai riwayat perdarahan pasien, baik
spontan, pasca trauma atau tindakan. Jika terdapat riwayat bengkak berulang
pada sendi, perdarahan yang lama pasca sirkumsisi atau pencabutan gigi, harus
diwaspadai kemungkinan gangguan pembekuan darah pada pasien. Juga riwayat
penyakivperdarahan pada keluarga terdekat, jika ada, merupakan informasi yang
berharga. Pada pemeriksaan fisik perlu dicari adanya tandatanda perdarahan
pada kulit, sendi atau mukosa, juga adanya kelainan lain yang dapat berhubungan
dengan gangguan hemostasis.
Pada pasien yang sudah diketahui menderita Hemofilia, persiapan pra operasi
memerlukan penilaian dan perencanaan yang baik, yang meliputi:
1. Derajat/beratnya Hemofilia yang diderita
2. Jenis operasi: mayor atau minor, elektif atau emergency.
3. Pemberian faktor pembekuan
4. Penyulit: inhibitor (anti) faktor pembekuan yang telah ada pada pasien tersebut,
perkiraan lama penyembuhan, dan lain-lain.
5. Terapi tambahan/tindakan lain yang diperlukan
1. Derajat hemofilia
Penderita Hemofilia yang akan menjalani operasi harus diketahui sebelumnya
apakah termasuk kategori Hemofilia ringan/sedang/berat. Hemofilia dikategorikan
ringan jika kadar .... 5-40o/o, sedang jika kadar 1-5%, dan berat jika kadarnya
<1%. Penting juga untuk mengetahui frekuensi pemberian faktor Vlll sebelumnya
serta riwayat perdarahan yang dialami untuk membantu memperkirakan beratnya
Hemofilia serta risiko perdarahan yang dihadapi. Jika operasi yang akan dijalani
termasuk operasi besar/mayor, penderita termasuk Hemofilia berat atau sedang
atau terdapat riwayat perdarahan dalam jumlah banyak pada operasi/trauma
sebelumnya, dan pemeriksaan kadar F.vlll tersedia, sebaiknya diperiksa kadar
F.Vlll sebelumnya.
2. Jenis operasi
operasi emergency mempunyai risiko terjadinya penyulit yang lebih besar
dibandingkan dengan operasi elektif. Pada penderita Hemofilia, jumlah faktor
pembekuan yang diperlukan dihitung sesuai dengan jenis operasi (lihat tabel)
2O4 Hemofilia
atau dapat dihitung menggunakan rumus. Perlu diketahui juga perkiraan lama
operasi tersebut karena pada operasi yang berlangsung lama kadang kala
diperlukan pemberian faktor pembekuan selama operasi berlangsung.
Menggunakan rumus:
F.Vlll yang diperlukan = (F.Vlll target - kadar F.Vlll sekarang) x Berat Badan
dengan target 100% pada operasi besar dan 50% pasca operasi, atau
menggunakan tabel sebagai berikut:
Hemofilia A Hemofilia B
Sangat penting untuk mempersiapkan F.Vlll hingga (10)-14 hari pasca operasi.
Pada beberapa kasus terutama pada operasi minor dengan perdarahan yang tidak
banyak, pemberian F.Vlll setelah luka operasi sembuh primer dapat berupa
kriopresipitat, tergantung pada kondisi penderita dan penilaian tim dokter yang
merawat.
Lugyanti Sukrisman, karmel L Tabunan 205
_
Faktor Vlll diberikan (segera) sebelum operasi dan dilanjutkan setiap 8-12
jam tergantung jenis operasi, kondisi pasca operasi dan perdarahan yang terjadi
(lihat contoh tabel). Penghitungan F.Vlll ini bersifat individual/kasus per kasus
karena bergantung pada beratnya Hemofilia, jenis operasi yang dilakukan,
perdarahan serta penyulit pasca operasi. Panduan peri operatif ini pada prakteknya
dapat disesuaikan dengan kondisi pasien, jenis operasi, perdarahan dan kondisi
lain di setiap RS/daerah dengan tetap mengutamakan keselamatan pasien.
4. Penyulit
Pada penderita Hemofilia berat yang disertai pemberian F.Vlll yang cukup sering
atau riwayat perdarahan yang berulang-ulang, perlu dipikirkan adanya inhibitor I
F.Vlll. Jika fasilitas memungkinkan, kadar inhibitor ini harus diperiksa karena
I
umumnya dosis yang diperlukan lebih besar pada penderita yang mempunyai I
inhibitor.
Perlu dipikirkan juga kemungkinan penyulit lain pasca operasi seperti sep-
sis yang menyebabkan waktu paruh faktor pembekuan, termasuk F.Vlll, Iebih
pendek dan risiko perdarahan yang besar. Pada kasus-kasus dengan penyulit,
kerja sama yang baik antara dokter Bedah dan dokter spesialis Penyakit Dalam
sangat diperlukan, termasuk penilaian apakah pasien harus dikonsultasikan/dirujuk
ke RS/daerah lain yang lebih lengkap.
Prinsip umum ini tentunya harus dipahami oleh setiap dokter yang merawat,
termasuk dokter yang melakukan pembiusan (Spesialis Anestesi). Sedangkan
pemberian transfusi darah (packed red cell) atau obat-obat lain, sesuai dengan
indikasi klinis pada pasien.
2OG Hemofilia
XEIMruI.AN
1. Penilaian dan perencanaan peri operatif yang cermat dan kerja sama yang
baik antara dokter Bedah, dokter Spesialis Penyakit Dalam, dokter Spesialis
Rehabililtasi Medik atau dokter lain yang terkait harus dilakukan pada
penderita Hemofilia yang akan menjalani operasi, agar komplikasi perdarahan
dapat dihindari dan penyembuhan luka operasi dapat berlangsung dengan
baik.
2. Pemberian F.VIll/pembekuan pada penderita Hemofilia bergantung pada
beratnya Hemofilia, jenis operasi yang dilakukan, perdarahan serta penyulit
lain pasca operasi.
3. Panduan peri operatif penderita Hemofilia merupakan panduan yang dalam
prakteknya dapat disesuaikan dengan kondisi pasien, jenis operasi,
perdarahan dan situasilkondisi di setiap RS/daerah dengan tetap
mengutamakan keselamatan pasien.
REERH\ST
1. Kessler CM, Mariani G. Clinical manifestations and therapy of the hemophilias. Dalam: Colman
RW, Marder VJ, Clowes AW, George JN, Goldhaber SZ, editor. Hemostasis and thrombosis.
Basic principles and clinical practices Sth ed. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins
2006;59:887-904.
2. Nilsson lM. Bleeding symptoms in hemophilia. Dalam: Nilsson IM, editor. Hemophilia. Stockholm;
Pharmacia plasma products 1994;5:26-9.
3. Nilsson lM. Replacementtherapy. Dalam:Nilsson lM, editor. Hemophilia. Stockholm; Pharmacia
plasma products 1994;6:30-51 .
4. Brettler D_B, Levin_e PH. Clinical manifestations and therapy of inherited coagulation factor defi-
ciencies. Dalam:Colman RW, Hirsh J, MarderVJ, Salzman EW, editor. Hemostasis and Throm-
bosis. Basic principles and clinicalpractice 3d ed. Philadelphia;JB LippincotCompany 1994;8:169-
83,
5. Hillman RS,AultKA, HinderHM. Hemophiliaandotherintrinsicpathwaydefects. Hematologyin
clinical practice 4rh ed. New York; McGraw-Hill 2005;32:368-79.
207
pasien penyakit hati kronik tidak jarang menjalani prosedur operasi. sebanyak
I lo't" pasien akan memerlukan prosedur operasi dalam 2 tahun terakhir
kehidupannya. Adanya penyakit hati akan memberi efek terhadap risiko mortalitas
dan morbiditas dari operasi. sehingga evaluasi dan manajemen preoperasi yang
baik akan dapat menurunkan resiko dan meningkatkan keberhasilan terhadap
pasien dengan penyakit hati yang akan menjalani prosedur operasi.
Peningkatan risiko operasi dan anastesi umum pada pasien dengan penyakit
hati berhubungan dengan fungsi metabolik dan sintesis dari hati. Fungsi hati
yang penting meliputi metabolisme obat, detoksifikasitoksin endogen dan eksogen
dan pembentukan protein plasma. Kegagalan fungsi fungsi tersebut akan I
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang baik lengkap dan menyeluruh sangat
berguna untuk mendapatkan tanda dan gejala apakah pasien mempunyai penyakit
hati, juga untuk mengenali adanya faktor risiko untuk penyakit hati, seperti riwayat
transfusi darah, pengguna narkoba atau alkohol . Adanya riwayat keluarga dengan
penyakit kuning, anemia atau penyakit hati herediter, riwayat alergi atau efek
samping terhadap obat obat anastesi memunculkan kecurigaan terhadap adanya
penyakit hati. Juga harus ditanya adanya penggunaan obat-obat bebas untuk
nyeri maupun ramuan herbal. Pemeriksaan fisik dapat mengenali adanya stig-
208 Penyakit Hati
mata penyakit hati kronik seperti jaundice, spider nevi, ascites, pembesaran hati
atau limpa atau eritema palmaris maupun temporal wasting.
Tes biokimiawi hati meliputi AST, ALf, ALP, bilirubin dan albumin tidak rutin
dilakukan terutama pada pasien sehat dan asimptomatik karena tidak cost-effec-
tive dan nilai prediktifnya rendah. Diindikasikan bila ada kecurigaan berdasarkan
anamnesis dan temuan klinis adanya penyakit hati. Jika didapatkan hasil tes
fungsi hati yang abnormal, operasi terencana seharusnya ditunda sampai
didapatkan hasil evaluasiyang lengkap terhadap kelainan biokimia tersebut. Secara
umum untuk pasien tanpa gejala dengan peningkatan ringan kadarAST dan ALT
dan kadar total bilirubin yang normal tidak diperlukan penundaan operasi. Pada
pasien dgn peningkatan AST dan ALT di atas 3 kali normal atau peningkatan
kadar total bilirubin memerlukan investigasi lebih rinci:
. Disfungsi hepatoselular: test serologik, biopsi hati
. Kolestasis: USG, MRCP, ERCP, biopsi hati.
Adanya penyakit hati dapat meningkatkan risiko operasi dan anastesi dengan
beberapa cara. Disfungsi hati akan secara bermakna mempengaruhi metabolisme
obat yang digunakan perioperasi:
. Peningkatan lama kerja obat akibat perubahan metabolisme oleh enzim
sitokrom P450,
. Penurunan konsentrasi dari protein pengikat plasma
. Penurunan ekskresi bilier.
Obstructive jaundice
Adanya obstructive jaundice akan meningkatkan mortalitas (8-28o/o). Faktor risiko
termasuk :
Faktor risiko lain: kadar kreatinin serum lebih dari 1,4 mgldl, albumin serum
{
< 3 g/dl, umur lebih dari 65 tahun, AST di atas 90 lU/L dan BUN di atas 'l9mg/dt.
I
Hepatitis akut
Mortalitas dan morbiditas akan meningkat pada pasien hepatitis akut yang
menjalani operasi, sebagai akibat dari kerusakan akut hepatoselular dan disfungsi
hati. Operasi terencana seharusnya ditunda sampai keadaan klinis pasien,
biokimia dan histologi kembali normal.
Hepatitis kronik
Risiko operasi berkorelasi dengan derajat penyakitnya. Operasi dianggap aman
I
pada pasien yang asimptomatik dan dengan kelainan ringan pada histologinya.
Sedangkan pasien aktif dan simptomatik dengan kelainan histologi yang berat
akan meningkat risiko operasinya. Pasien dengan HbsAg atau anti HCV positif
asimptomatik; tidak meningkatkan risiko operasi, belum jelas apakah anastesi
akan membuat aktivasi virus, risiko infeksi terhadap operator atau petugas medis.
Sirosis
Pada pasien sirosis, risiko perioperasi akan dipengaruhi oleh disfungsi hati ( bi-
lirubin > 3 mg/dl, albumin < 3 g/dl, masa protrombin memanjang > 1,5 X), pTT
memanjang, lekosit > 10.000/mm3. hipertensi portal, malnutrisi, infeksi dan
komplikasi seperti varises, asites, kelainan ginjal.
21.O Penyakit Hati
Untuk menentukan risiko perioperasi diperlukan penilaian yang akurat dari penyakit
hati yang mendasarinya. Untuk keperluan penilaian tersebut yang digunakan adalah
skor dari Child Turcotte Pugh (CTP) dan skor Model for End-stage Liver Disease
(MELD).
JENISOPERASI
Risiko berkolerasi dengan luas dan jenis operasi; risiko terbesar pada operasi
traktus biliaris, abdomen atas dan jantung.
Operasi emergensi
Hasil beberapa studi memperlihatkan bahwa pasien sirosis yang menjalanioperasi
emergensi terutama operasi abdominal atau operasi karena trauma mempunyai
mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan pasien dgn fungsi hati normal. Semakin
meningkat skor CTP hasilnya juga semakin buruk.
Andri Sanityoso zlL
Operasi abdominal
Operasi abdominal seperti bypass lambung, bilier, operasi ulkus, reseksi kolon,
mortalitas dan morbiditasnya meningkat pada pasien sirosis. Pasien sirosis lanjut
dengan hipertensi porta yang mengalami kolesistitis, kolesistostomi lebih
dianjurkan dibandingkan kolesistektomi. Sementara tindakan operasi
nonlaparaskopi dan kolesistektomi emergensi mempunyai risiko lebih tinggi
dibandingkan laparoskopi kolesistektomi.
Operasi jantung
Pasien sirosis yang menjalani operasi jantung dengan bypass kardiopulmoner
mempunyai risiko perioperasiyang meningkat. Beberapa publikasi memperlihatkan
peningkatan komplikasi postoperasi dan mortalitas. Peningkatan morbiditas dan
mortalitas disebabkan oleh meningkatnya insiden peradarahan dan sepsis akan
tetapi tidak berhubungan dengan komplikasi jantungnya. Pada satu penelitian
didapatkan angka mortalitas sebesar 0o/o,50Yo dan 100% untuk pasien dgn CTp
A, B dan C. CTP skor sama dengan atau di atas 8 mempunyai mortalitas yang
meningkat bermakna dibandingkan dengan skor di bawah 8
Reseksi hati
Reseksi hati pada pasien sirosis dengan hepatoma harus memperhitungkan
kapasitas hati yang akan tersisa, terutama pada penderita dengan sirosis lanjut
dan hipertensi portal. Pasien pasien tersebut mempunyai angka komplikasi
perioperasi yang meningkat, dekompensasi pada jangka panjang dan kematian
setelah reseksi, oleh karenanya seleksi pasien sangat penting. Hepatic vein pres-
sure gradient (HVPG) < 10 mmHg dan bilirubin totaldalam batas normal merupakan
prediktor utama, dengan angka kesintasan 5 tahun diatas 70%. Sebaliknya HVpG
> 1OmmHg dan kadar bilirubin total > 1 mg/dl mempunyai angka kesintasan 5
tahun di bawah 30%, tanpa melihat klasifikasi CTP.
CTP klasc
atau
IViELD skor >15
CTP klas A
atau
MELD skor <'10
Pada pasien yang akan dilakukan reseksi hati, hipertensi portal merupakan
prediktor utama terhadap keberhasilan operasi dibandingkan dengan klasifikasi
CTP. Pengukuran tekanan portal sebelum tindakanoperasi penting dilakukan, akan
tetapi tidak selalu dapat dilakukan. Penilaian adanya hipertensi portal juga dapat
diprediksi secara klinis seperti adanya varises, asites atau kadar trombosit dibawah
100.000/mm3 disertai adanya splenomegali.
MANA]EMEN PREOPERASI
Selain mencari faktor risiko yang ada, penanganan terhadap kondisi kondisi yang
berhubungan dengan gangguan fungsi hati yang adajuga sangat penting. Perhatian
khusus dibutuhkan pada pasien dengan komplikasi umum penyakit hati kronik
seperti koagulopati, trombositopenia, asites, insufisiensi ginjal, ensefalopati, dan
malnutrisi. Dan juga kecenderungan pasien terjadi infeksi sehinggan perlu
dipertimbangkan pemberian antibiotik sebagai profilaksis sepsis.
Koagulopati
Penyebab hal ini multifaktorial:
. malnutrisi
. Absorpsi yang buruk akibat dari kolestasis
. Kegagalan pembentukan faktor koagulasi
Andri Sanityoso z1,g
Vitamin K intra muskular dan transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) dapat
diberikan untuk koreksi INR pasien sebelum operasi. Akan tetapi untuk kelainan
koagulopati yang berat INR tidak dapat dikoreksi dengan cara tersebut, dan
pemberian berulang ulang FFP akan menambah beban cairan yang masuk. lnfus
kriopresipitate yang berisi banyak fibrinogen dan factor von Willebrand dengan
volume yang minimal dapat digunakan untuk memperbaiki koagulopati yang sering
mendasari pasien dengan penyakit hati kronik. Pemberian faktor Vlla secara lV
cukup aman dan efektif dalam memperbaiki koagulopati dan menormalkan INR
pada pasien sirosis sebelum tindakan invasif seperti biopsi hati. Pasien dengan
trombositopenia direkomendasikan untuk transfusi trombosit sampai mencapai
100.000/mm3 atau lebih. Masa perdarahan yang memanjang dikoreksi dengan
pemberian desmopresin asetat.
Asites
Penanganan asites preoperasi yang agresif dan kontrol terhadap asites dapat
meminimalkan risiko yang berhubungan dengan gangguan respirasi perioperasi
dan penyembuhan luka. Penanganan jangka panjang meliputi pembatasan asupan
natrium (< 2 gr) dan diuretik oral dengan penilaian kadar elektrolit dan fungsi (
ginjal. Walaupun jarang memberikan gejala, kondisi hiponatremi umum ditemukan
t
pada pasien dengan sirosis lanjut demikian juga pada pasien yang mendapat
I
diuretik. Sedangkan pembatasan asupan cairan diperlukan bila kadar sodium
serum kurang dari 120 mmol/|. Pilihan terapi pada penderita asites sedang sampai
berat meliputi paracentesis volume besar atau pembuangan cairan asites saat
laparatomi. Jika dikerjakan paracentesis, cairan harus dianalisis untuk mengetahui
adanya SBP, dan jika ada pemberian antibiotik harus segera dimulai. Reakumulasi
pascaoperasi umum terjadi dan harus dilakukan upaya untuk meminimalkan
munculnya kondisi tersebut. Strategi pencegahannya adalah dengan pembatasan
asupan natrium dan membatasi jumlah cairan NaCL untuk pemberian obat atau
koreksi elektrolit.
Disfungsiginjal
Mengenali dan mencegah terjadinya disfungsi ginjal pada pasien dengan penyakit
hati yang akan mejalani operasi adalah penting dalam hal untuk meminimalkan
kejadian komplikasi perioperatif. Sejalan dengan perburukan penyakit hati kronik
perubahan patofisiologi yang terjadi menjadi predisposisi untuk terjadinya
hipoperfusi ginjal. Penting untuk menghindari penggunaan obat nefrotoksik seperti
aminoglikosida, NSAID dan zat kontras intravena. Tindakan paracentesis lebih
dari 5L harus diikuti dengan pemberian albumin intravena untuk mengurangi risiko
gangguan sirkulasi pascaparasentesis dan disfungsi ginjal.
214 Penyakit Hati
Drainase bilier
Penelitian-penelitian retrospektif awal menunjukkan bahwa drainase bilier eksternal
preoperasi pada pasien dengan obstruktif jaundlce memperlihatkan penurunan
mortalitas. Sedangkan penelitian-penelitian prospektif selanjutnya memperlihatkan
bahwa baik perkutan maupun endoskopi bilier drainase preoperasi tidak
memperbaiki morbiditas maupun mortalitas pada pasien yang tanpa disertai
infeksi, sehingga prosedur tersebut tidak direkomendasikan. Komplikasi dari
drainase transhepatik termasuk kolangitis, sepsis, dehidrasi, kateter berpindah
tempat. Akan tetapi pada kondisi adanya kolangitis akut, kompresi bilier segera
dan antibiotik lV harus diberikan preoperasi, dan operasi ditunda sampai infeksi
perbaikan.
KEIMruLAN
Banyak faktor yang berkontribusi dalam meningkat'kan risiko operasi pada pasien
penyakit hati. Tatalaksana termasuk jenis operasi harus disesuaikan dengan
kondisi dari penyakit hati yang diderita pasien. Pada hepatitis akut, operasi
terencana harus ditunda sampai perbaikan gejala. Pada hepatitis kronik, risiko
perioperasi meningkat sesuai dengan perburukan fungsi hati yang dinilai baik
dengan kasifikasi CTP maupun skor MELD. Operasi reseksi hati diputuskan
dengan evaluasi yang cermat sehubungan dengan risiko yang lebih besar dan
unik. Penatalaksanaan terhadap komplikasi dari penyakit hati yang mendasari
harus optimal dalam usaha untuk meningkatkan keberhasilan operasi.
Andri Sanityoso 2Ls
REfRE\ST
1. del Olmo JA et al. Risk factor for nonhepatic surgery in patients with cirrhosis. World J Surg
2003;27:647-52.
2. Wiesner RH et al. Model for end-stage liver disease (MELD) and allocation of donor livers,
Gastroenterology 2003; 1 24:91 -96.
3. Kamath etal. A model to predict survival in patient with end-stage liver disease. Hepatology
2001;33:464-70.
4. Perkins L etal- Utility of pre-operative scores for predictingmorbidity after cholecystectomy in
patients with cirrhosis. Clin Gastroenterol Hepatol 2004;2;1123-8
5. SumanAetal.Predictingoutcomeaftercardiacsurgeryinpatientswithcirrhosis:acomparisonof
child-pugh and M ELD score. Cl in Gastroenterol Hepatol 2004;2:7 1 9-7 23.
6. Farsnworth N etal. Child-Turcotte-Pugh versus MELD score as a predictor of outcome after
elective and emergent surgery in cirrhotic patients. Am J Surg 2004;188:580-83.
7. Schroeder RA etal. Predictive indices of morbidity and mofiality after liver resection. Ann Surg
2006'.243:373-9.
8. Hoeper MM etal. Porlopulmonary Hyperlension and Hepatopulmonary Syndrome. Lancet
2004;363:1 461 -8.
9. Runyon BA. Management of adult patients with ascites due to cinhosis. Hepatology 2004;21:111-
123.
10. Friedman LS. Surgery in the Patients with liver Disease and Postoperative Jaundice. ln Fried-
man LS, Keeffe E B eds. Handbook of Liver Disease, 2 ed. Philadelphia. Elsevier.
2I.6
WITS (Woman and lnfant Transmission Study) pada ODHA yang hamil tidak
menunjukkan perbedaan kematian dan progresivitas penyakit HIV pada kelompok
yang menjalani operasi seksio elektif, emergensi, ataupun yang menjalani
persalinan normal.e
Komplikasi pasca operasi pada ODHA umumnya dikaitkan dengan status
imunnya dan infeksi oportunistik serta komplikasi HIV yang sudah ada, serta
berat-ringannya operasi. Risiko komplikasi dilaporkan lebih tinggi pada ODHA
dalam stadium AIDS dengan berbagai infeksi oportunistik, hitung CD4+ kurang
dari 200 sel/ml.8,10-12 Sedangkan, risiko operasi pada ODHA dengan CD4+ lebih
dari 500 sel/ml tidak berbeda dengan kelompok HIV seronegatif.ll Demikian juga
dengan banyaknya jumlah HIV atau yang dikenal sebagai viral load.13'14 Viral load
lebih atau sama dengan 300.000 kopi/cc meningkatkan risiko komplikasi operasi
hampir tiga kali lipat dibanding dengan viral load kurang dari jumlah tersebut.la
Beberapa peneliti juga menghubungkan risiko komplikasi operasi pada ODHA
dengan rendahnya kadar albumin praoperasi.l5
Seiring dengan makin tingginya harapan hidup pada ODHA, berbagai penyakit
terkait proses penuaan seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, diabetes
melitus juga harus dipertimbangkan.16 Seperti populasi lainnya, kondisi seperti
ini juga akan meningkatkan risiko operasi pada ODHA.
EVALUASI PRAOPERASI
dan hitung CD4+. Pedu dinilai hitung CD4+ dalam tiga bulan terakhit dan
jika tersedia jumlah virus HlVnya (viral toad). Foto toraks dan
elektrokardiogram harus diperiksa pada semua pasien, terlebih karena
tingginya kejadian tuberkulosis pada ODHA di lndonesia. Pada pasien dengan
kecurigaan gangguan suatu organ atau sistem memerlukan evaluasi yang
lebih lanjut.18
Antiretroviral
ODHA dengan hitung CD4+ kurang dari 200 sel/ml, atau limfosit total kurang dari
12001cc, atau sudah dalam stadium AIDS sudah mempunyai indikasi untuk
pemberian antiretroviral (ARV). Obat ini digunakan tiap hari hingga seumur hidup
dengan adherens yang sangat tinggi (lebih dari 95%) untuk bisa mencapai target
penurunan jumlah virus di dalam darah serendah mungkin.le Karena resistensi
ARV ini mudah sekali terjadi, ODHA diharapkan tidak menghentikan pengobatan
dan tetap meneruskan pengobatan sebelum proses operasi.16 Perlu diperhatikan
waktu paruh masing-masing antiretroviral tersebut. Obat golongan NNRTI (non-
nucleoside reverse transcriptase inhibitor) efavirenz dan nevirapin mempunyai
waktu paruh yang lebih lama daripada golongan lain (44-55 jam dan 25-30 jam).
Sedangkan obat golongan NRTI (nucleoside reverse transcriptase inhibitor) seperti
zidovudin, stavudin, Iamivudin mempunyai waktu paruh lebih singkat (1-6 jam)
dan golongan Pl (profease inhibitor) seperti nelvinafir, lopinavir, ritonavir hanya 1-
7 jam. Karena itu, jika menghentikan antiretroviral secara bersamaan akan
mengakibatkan keadaan monoterapi efavirenz atau nevirapin di dalam darah yang
akan menyebabkan resistensi. Sewell, dkk menganjurkan jika memungkinkan
antiretroviral sebaiknya tidak dihentikan pada oDHA yang akan menjalani anestesi
umum atau yang lambungnya diistirahatkan selama beberapa waktu. Jika
penghentian obat tidak dapat dihindari, NRTI dan Pl sebaiknya dihentikan dan
dimulai kembali secara bersamaan. Sedangkan penghentian NNRTI harus
dilakukan dua sampai empat hari sebelum penghentian NRTI atau Pl. Oleh karena
itu, diperlukan konsultasi dengan dokter ahli HIV yang menangani pasien.2o
Selain cara penghentian obat, perlu juga diperhatikan interaksi obat
antiretroviral dengan obat anestesi. Obat golongan Pl, terutama ritonavir, merupakan
inhibitor CYP sehingga mempengaruhi metabolisme berbagai obat anestesi dan
analgetik, seperti midazolam, fentanil, serta obat jantung seperti amiodaron dan
kuinidin.18,21 Amiodaron, astemizol, diazepam, meperidin, dan kuinidin sebaiknya
tidak diberikan pada pengguna ritonavir. Sedangkan digoksin, midazolam, fentanil,
metadon, dan warfarin dapat diberikan dengan pemantauan ketat.16
Sebagai contoh, pasien AIDS dengan kerusakan paru hebat karena infeksi
tuberkulosis atau pneumonia Pneumocysfis carinii (PCP), anestesi regional
tampaknya lebih menguntungkan.16,18 Hal lain yang harus diperhatikan adalah
kelainan neurologis yang terdapat pada ODHA.Demensia terkait HIV dapat
meningkatkan sensitivitas otak terhadap sedatif obat sedatif atau psikoaktif seperti
opioid, benzodiazepin dan neuroleptik.ls
Keamanan anestesi regional sempat menjadi perdebatan pada ODHA karena
ketakutan bahwa infeksi HIV akan menyebar ke otak. Namun, dengan makin
banyaknya pengalaman anestesi spinal atau epidural belakangan ini, ternyata
sekuele yang terjadi tidak berbeda dengan populasi umum.16 Yang memerlukan
perhatian khusus adalah jika ODHA mengalami infeksi oportunistik yang
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial seperti toksoplasma otak dan
meningitis kriptokokosis karena peningkatan intrakranial dan infeksi susunan saraf
pusat merupakan kontraindikasi anestesi neuroaksial. Kedua penyakit ini
umumnya dapat diatasi dengan terapi medis, sehingga sebaiknya operasi ditunda
hingga terjadi perbaikan.ls Jadi, jika tidak ada kontraindikasi rutin (seperti
koagulopati, infeksi di tempat suntikan) atau peningkatan tekanan intrakranial,
anestesi ini dapat dilakukan dengan aman pada ODHA.16'22
RMEI{SI
Palella FR Jr DK, Moorman AC, Loveless M0, Fuhrer J, Satten GA, et al. Declining morbidity and
mortality among patients with advanced human immunodeficiency virus infection. N Engl J Med.
1998;338:853-60.
Harris HW, Schecter WP. Surgical risk assessment and management in patients with HIV
disease. Gastroenterol Clin North Am. 1997;26:377-91 .
Moreno S, Fortun J, Quereda C, et al. Liver transplantation in H|V-infected recipients. Liver
Transpl. 2005;1 1 :76-81 .
MazuecosA, PascualJ, Gomez E et al. [Renaltransplantation in H|V-infected patients in Spain].
Nef rologia 2006; 26: 1 1 3-20.
Harrison WJ, Lewis CP, Lavy CB. Wound healing after lmplant surgery in H|V-positive patients.
J Bone Joint Surg Br 2002; 84: 802-6.
Becker K, Erckenbrecht JF. [Spectrum and results of operative interventions in HIV infection
patientsl. Chirurg 2001 ; 72: 389-95,
Duarte G, Read JS, Gonin R et al. Mode of delivery and postpartum morbidity in Latin American
and Caribbean countries among women who are infected with human immunodeficiencyvirus-1:
the NICHD lnternationalSite Development lnitiative (NISDI) PerinatalStudy. Am J ObstefGynecol
2006; 195: 215-29.
8 Rose DN, Collins M, Kleban R. Complications of surgery in H|V-infected patients. AIDS 1998; 12:
2243-51.
I Navas-Nachera EL RJ, Leightyc RM, Tuomalad RE, Zorrillae CD, Landesmanf S, et al. Mode of
delivery and postpartum HIV-1 disease progression: The Women and lnfants Transmission
Study. Al DS 2006; 20: 429-36.
10 Albaran RG, Webber J, Steffes CP. CD4 cell counts as a prognostic factor of major abdominal
surgery in patients infected with the human immunodeficiency virus. Arch Surg 1998; 133: 626-
31.
1l Savioz D, Chilcott M, Ludwig C et al. Preoperative counts of CD4 T-lymphocytes and early
postoperative infective complications in H|V-positive patients. Eur J Surg 1998; 164:483-7 .
12 Grubed TA, Reindell D, Kastner R et al. Rates of postoperative complications among human
immunodeficiency vlrusinfected women who have undergone obstetric and gynecologiCsurgical
procedures. Clin lnfect Dis 2002; 34:822-30.
Evy Yunihastuti, Samsuridjal Djauzi 22L
13 Tran HS, Moncure M, Tarnoff M et al. Predictors of operative outcome in patients with human
immunodeficiency virus infection and acquired immunodeficiency syndrome. Am J Surg 2000;
180:228-33.
14 Horberg MA, Hurley LB, Klein DB et al. Surgical outcomes in human immunodeficiency virus-
infected patients in the era of highly active antiretroviraltherapy. Arch Surg 2006;141:1238-45.
15 Lin PH, Bush RL, Yao Q et al. Abdominal aortic surgery in patients with human immunodeficiency
virus infection. Am J Surg 2004; 1BB: 690-7.
16 Hughes SC. HIV and anesthesia. Anesthesiol Clin North America2004;22:379-404,v.
17 Becker K, Erckenbrecht JF. IPreoperative risk assessment and perioperative management of
H|V-infected patientsl. Med Klin (Munich) 2001 ; 96: 26-31.
18 Evron S, Glezerman M, Harow E et al. Human immunodeficiency virus: anesthetic and obstetric
considerations. Anesth Analg 2004; 98: 503-11 .
19 WH0. Patient evaluation and antiretroviral treatment for adults and adolescents. Geneve: World
Health Organization, 2006.
20 SewellWA, Mazhude C, Murdin-GerettiAet al. lnterrupting antiretroviraltreatment needs pafiicu- i
lar care. BMJ 2001 ; 322: 616. i
21 Olkkola KT, Palkama VJ, Neuvonen PJ. Ritonavir's role in reducing fentanyl clearance and
prolonging its half-life. Anesthesiology l999; 91 : 681-5.
22 Avidan MS, Groves B Bloil M et al. Low complication rate associated with cesarean section under
spinalanesthesia for HIV-1-infected women on antiretroviraltherapy. Anesthesiology2002;97:
320-4.
lppolito G PV, HeptonstallJ, JaggerJ, De CarliG, Petrossilo N Occupational human immunode-
ficiency virus infection in health care workers: worldwide cases through September 1 997 . Clinical
lnfectious Disease 1 999; 26: 365-83.
Young T, Arens F, Kennedy G et al. Antiretroviral post-exposure prophylaxis (PEP) for occupa-
tional HIV exposure. Cochrane Database Syst Rev2007: CD002835.
222
eiring meningkatnya usia harapan hidup akan semakin banyak orang usia
lanjut yang menjalani pembedahan (operasi) karena berbagai sebab. Pasien
usia lanjut yang akan menjalani operasi mungkin berisiko mengalami hasil akhir
yang kurang atau bahkan tidak baik sama sekali karena berkurangnya kemampuan
untuk memelihara atau mengembalikan homeostasis fisiologik saat menjalani
operasi. Lebih jauh, kondisi tersebut akan diperberat oleh adanya berbagai
komorbiditas seperti penyakit jantung, paru, diabetes melitus, dan sebagainya.
Faktor usia saja bukan merupakan patokan yang baik mengenai risiko operasi
dan seyogianya tidak menjadi satu-satunya kriteria untuk menentukan siapa yang
layak untuk menjalani operasi. Namun demikian, usia lanjut seringkali diikuti
dengan berbagai penyakit kronik yang justru merupakan prediktor yang kuat terkait
dengan risiko operasi, menentukan siapa yang mungkin mendapatkan manfaat
dari prosedur operasi yang dilakukan.
Perawatan perioperatif membutuhkan evaluasi medis secara hati-hati dan
observasi pascaoperasi paripurna agar dapat mengantisipasi komplikasi yang
potensial terjadi. Diperkirakan 25-30o/o dari semua kematian perioperatif terkait
dengan penyebab kardiak, sehingga pengkajian risiko praoperasi non kardiak
difokuskan pada upaya untuk memperkirakan komplikasi kardiak tersebut.
Prosedur operasi yang akan dilakukan perlu didiskusikan dengan pasien
dan keluarga sehingga pemahaman mengenai risiko dan manfaat operasi menjadi
lebih jelas, serta mengurangi kemungkinan terjadi kesalahan harapan terhadap
operasi yang akan dilakukan. Selain itu, perlu pula dikomunikasikan kepada pasien
dan keluarganya bahwa masa pemulihan mungkin lebih lama dibandingkan pasien
usia muda dan mungkin diperlukan program perawatan, seperti perawatan subakut,
unit rehabilitasi, atau pelayanan perawatan di rumah. Peningkatan aktivitas fisik
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 223
Terdapat berbagai perubahan fisiologis terkait dengan proses penuaan yang dapat
memengaruhi perawatan perioperatif (Tabel 1).
Sistem kardiovaskular
Perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem kardiovaskular bertanggung jawab
terhadap peningkatan insidensi infark miokard, gagaljantung, dan aritmia perioperatif
pada kelompok usia lanjut. Perubahan akibat penuaan antara lain adalah penurunan
sensitivitas sistem parasimpatis dalam mengubah tanggapan baroreseptor, tekanan
darah, dan denyut jantung. Sensitivitas sistem simpatis juga menurun, Kondisi
tersebut menurunkan kemampuan tubuh untuk mengkompensasi perubahan yang
mendadak. Pembuluh darah arteri dan vena menjadi kaku sehingga menurunkan
kapasitas untuk berkonstriksi atau berdilatasi. Kekakuan miokardium juga terjadi
sehingga memengaruhi relaksasi diastolik dan tekanan pengisian.Pada gilirannya
akan terjadi disfungsi diastolik dengan peningkatan tekanan arterial kiri dan kongesti
paru.
Obat-obat anestesi menyebabkan vasodilatasi perifer dengan penurunan
resistensi vaskular. Manakala orang usia lanjut sebelum pemberian obat tersebut
telah memiliki volume intravaskular yang berkurang akibat mengkonsumsi diuretik,
maka akan terjadi pengurangan perfusi ke jaringan secara mendadak.
Sistem respirasi
Perubahan fisiologi akibat penuaan merupakan faktor predisposisi terjadinya
komplikasi saluran pernapasan pada usia lanjut. Kapasitas paru total, recoilelastis
toraks, compliance parenkim paru, dan kapasitas vital paru yang menurun
menyebabkan timbulnya gangguan paru berupa campuran restriktif dan obstruktif.
Berkurangnya compliance dan kekuatan otot berarti berkurangnya ekspirasi paksa
dan berkurangnya kemampuan untuk batuk dan membersihkan sekresi lendir dari
saluran napas.
224 usia Lanjut
Aliran darah paru yang berkurang disertai dengan area permukaan alveolar
yang berkurang sekali akan mengurangi tekanan oksigen arterial darl g5 mmHg
pada usia 20 tahun menjadi hanya 73 mmHg pada usia 75 tahun. Selain itu,
terjadi pula kehilangan sensitivitas sistem saraf pusat terhadap perubahan tekanan
oksigen dan karbondioksida. Perubahan fisiologi dan struktural menyebabkan
peningkatan ventilasi/perfusi mismatch. Kondisi ini akan dieksaserbasi oleh efek
zat anestesia, khususnya anestesia umum. Di samping itu, anestesia umum
juga menurunkan refleks vasokonstriksi hipoksia paru. Anestesia regional tidak
terlalu berpengaruh pada sistem respirasi, karena tidak memerlukan intubasi
trakea, menghindari efek ventilasi tekanan positif intermiten, dan juga merupakan
penghilang rasa nyeri pasca operasi yang sangat efektif.
Teknik anestesia seyogianya memakai analgesia atau anestesia regional
bilamana memungkinkan. Relaksasi otot harus segera dihentikan pada akhir
operasi. Pemantauan invasif perlu dilakukan terutama dalam pemberian terapi
cairan karena orang usia lanjut pada umumnya kurang dapat mentoleransi terapi
cairan yang terlalu cepat akibat perubahan pada compliance dan perfusi paru
serta fungsi ginjal
Perubahan Pengaruh
Umum I massa oiot rangka Perubahan distribusi volume
I termoregulasi Berpotensi terjadinya toksisitas obat
Kerentanan/ kerapuhan lebih besar
I Penyembuhan fungsional
Kulit I reepitelisasi i laju penyembuhan luka
I pembuluh darah kulit
Jantung 1 kekakuan vaskular t tekari8n darah dan beban venlrikel
1 kekakuan ventrikel Hipertensi
Degenerasi sistem konduksi Hipertrofi ventrikel
Degenerasi kafu p jantung t sensitivitas terhadap perubahan
I frekuensi jantung maksimal volume
Dekondisi kardlopulmonal I respons frekuensi jantung
I prevalensi penyakit arteri koroner t risiko blok AV derajat tinggi
I risiko iskemia miokard
Paru-paru elastisitas jaringan 1 potensi kegagalan respirasi
kekakuan dinding dada (misalnya obat-obatan sedatif)
V/Q mismatch 1 risiko aspirasi dan infeksi
proteksi jalan napas
Ginjal jumlah nefron 1 waktu paruh obat yang diekskresi
ekskresi natrium dan air ginjal
Hipertrofi prostat I risiko kelebihan cairan
I risiko rctensi dan infeksi
Imunitas I fungsi imun 1 risiko infeksi
Hati I aliran darah 1 waktu paruh obat yang diekskresi
Ioksidasi mikrosomal hati
Endokrin Resistensi insulin Hiperglikemia
Gangguan sekresi insulin
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 225
Ginjal
Ginjal berperan dalam keseimbangan cairan dan elektrolit, serta metabolisme
obat. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian fungsi ginjal dan metabolik praoperasi
sehingga bila ada gangguan dapat dikelola selama periode perioperatif.
Penurunan jumlah glomerulus dan aliran ginjal seiring dengan meningkatnya
usia, berperan pada penurunan klirens kreatinin. Konsentrasi kreatinin serum
tidak selalu dapat digunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal pada usia lanjut
karena massa otot juga berkurang seiring dengan meningkatnya usia sementara
kreatinin terkait dengan massa otot. Kreatinin mungkin masih dalam kisaran nor-
mal, walaupun sebenarnya sudah menunjukkan ada penurunan fungsi ginjal
sehingga obat-obatan yang dimetabolisme di ginjal perlu disesuaikan dosisnya.
Oleh karena itu, klirens kreatinin perlu dihitung dengan menggunakan rumus
Cockcroft-Gault:
Klirens kreatinin (ml/menit) = {[140 - usia] x berat badan/ 172 x Crj
(untuk perempuan hasil perhitungan tersebut dikalikan dengan 0,85)
PENGI(AIIAN PMOPERASI
Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun
atau lebih) berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki
karakteristik multipatologi, daya cadangan faali yang rendah, gejala dan tanda
klinis yang tidak khas, menurunnya status fungsional, dan gangguan nutrisi. Jika
karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti infeksi, maka
seringkali timbul sindrom geriatri seperti gangguan fungsi kognitif, depresi,
imobilisasi, instabilitas, dan inkontinensia. Selain itu, mungkin secara psikososial
terdapat kemiskinan (masalah finansial) atau pengabaian (neglecfed). Oleh karena
itu, pendekatan dalam evaluasi medis pada pasien geriatri harus bersifat paripurna
dari sisi bio-psiko-sosial serta memperhatikan aspek kuratif, rehabilitatif, promotif,
dan preventif.
Komponen dari pengkajian paripurna pasien geriatri meliputi pula status
fungsional, status kognitif, status mental-emosional, dan status nutrisi. Selain
itu, anamnesis yang dilakukan mencakup anamnesis sistem organ yang secara
226 Usia Lanjut
aktif ditanyakan oleh dokter dan pemeriksaan fisik lengkap /ang mencakup pula
pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal. Status fungsional dapat dievaluasi
dengan instrumen indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of daily living/
ADL) Barthel. Penapisan adanya gangguan kognitif secara obyektif antara lain
dapat dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti the Mini-Mental State
Examination (MMSE), sedangkan instrumen untuk menapis adanya gangguan
depresi atau gangguan penyesuaian misalnya dengan Geriatric Depresslon Sca/e
(GDS) [ihat lampiran]. Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan
anamnesis gizi (asupan), pemeriksaan antropometrik, dan biokimia, serta didukung
dengan instrumen Subjective GlobalAssessmenf (SGA) alau Mini Nutritional
Assessmenf (MNA).
Pengkajian pra operasi mensyaratkan adanya riwayat penyakit (anamne-
sis) bersama-sama dengan pengkajian status fungsional. Bila perlu, minta pasien
untuk berjalan, naik tangga, saat pengkajian praoperatif dilakukan sehingga dapat
diukur status fisiologi pasien sebelum operasi. Dianjurkan untuk mempersiapkan
kondisifisik misalnya dengan berjalan tiap hari selama 2-3 minggu sebelum operasi
elektif dan selanjutnya diikuti oleh ambulasi dini pascaoperasi. Menghentikan
merokok sekurang-kurangnya 8 minggu sebelum operasi juga direkomendasikan.
Fisioterapi dada 24 jam sebelum tindakan operasi memberi manfaat fisik dan
memfasilitasi instruksi untuk dapat bernapas dalam dan batuk pasca operasi.
Evaluasi status fungsional menentukan status dan kemampuan pasien untuk
melakukan mobilisasi dan aktivitas sehari-hari secara mandiri. Masalah
muskuloskeletal akibat artritis, penyakit Parkinson, atau strok mungkin berkaitan
dengan masalah mobilitas, gangguan status fungsional, dan faktor lain yang
memperlambat penyembuhan.
Diabetes mditus
Riwayat strok
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 227
Bunyi jantung 3 11
pascaoperasi, tergantung pada jenis prosedur operasi dan hasilnya. Pasien dengan
DW yang mendapat warfarin selama 2-3 bulan, tidak perlu mendapatkan heparin
sebelum operasi dilakukan, kecuali terdapat risiko lainnya. Heparin harus diberikan
pascaoperasi hingga INR kembali >2. Rekomendasi ini harus dikombinasikan
pula dengan profilaksis mekanik (gradient compression stockings intermittent
pneumatic compression). Operasi elektif harus dihindari dalam 1 bulan pasca-
emboli arteri.
Pemeriksaan neuropsikiatri ditujukan untuk menentukan apakah ada
gangguan kognitif, depresi, penyakit Parkinson, atau kelemahan fokal. Adanya
gangguan fungsi kognitif akan meningkatkan risiko terjadinya delirium perioperatif
dan perawatan di rumah sakit yang lebih lama pada pasien usia lanjut. Status
volume intravaskular harus dioptimalkan praoperasi.
Sindrom delirium akut terjadi pada 10-15% pasien usia lanjut yang menjatani
prosedur bedah umum, 30% pada operasi kardiak, dan hingga 50% pada operasi
perbaikan fraktur panggul. Adanya demensia, usia sangat lanjut, dan riwayat
penurunan fungsi kognitif sebelumnya merupakan faktor risiko terjadinya
delirium perioperatif.
Pengkajian seksama tentang obat-obatan yang digunakan oleh pasien
usia lanjut harus dilakukan sebelum operasi. Aspirin, klopidogrel, nonsteroidal,
dan obat-obatan antiplatelet lainnya meningkatkan risiko perdarahan perioperatif,
dan jika tidak dibutuhkan harus ditunda penggunaannya selama 7-10 hari. Obat-
obatan yang memiliki efek antikolinergik juga sebaiknya ditunda karena dapat
meningkatkan risiko delirium perioperatif. Adanya pemakaian obat-obatan golongan
benzodiazepin secara kronik perlu diperhatikan dan harus dilakukan tappering off
untuk mengurangi risiko gejala putus obat ketika pasien diharuskan puasa selama
periode perioperatif.
Jika tidak diperlukan untuk mengatasi volume cairan yang berlebihan atau
gejala edema paru pada pasien dengan gagal jantung kongestif, obat diuretika
perlu dipertimbangkan untuk ditunda pemberiannya selama 24-48 jam sebelum
operasi.
Pasien-pasien yang mengkonsumsi obat-obatan untuk antiepilepsi,
kardiovaskular, dan antihipertensi umumnya tetap harus mengkonsumsi obat-
obatan tersebut pada pagi hari menjelang operasi dengan sesedikit mungkin air
minum. Penghentian mendadak obat penyekat beta dan klonidin berkaitan dengan
komplikasi kardiovaskular yang bermakna.
Obat hipoglikemik oral umumnya ditunda pemberiannya malam hari
menjelang operasi untuk mengurangi risiko hipoglikemia perioperatif. Pasien dia-
betes melitus yang mendapat terapi insulin jangka menengah umumnya
mendapatkan setengah dari dosis biasanya pada pagi hari menjelang operasi
dan diberikan cairan dekstrosa 5% intravena. Glukosa darah lebih dari250 mg/dl
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 233
pascaoperasi. Penurunan fungsi kognitif juga dapat terjadi akibat infark otak
pascaoperasi kardiak.
Confusion pasca operasi dikaitkan dengan meningkatnya laju morbiditas,
keterlambatan dalam pemulangan ke rumah. Pengkajian perioperatif perlu
memperhatikan masalah tersebut
Pasca operasi, pasien memerlukan perawatan dan pemantauan yang
seksama. Terapi oksigen suplemental, analgesia yang optimal,.kontrol frekuensi
jantung, dan tranfusi darah yang bijak akan membantu memaksimalkan suplai
oksigen miokard. Pemantauan terapi cairan agar tidak kekurangan atau kelebihan
perlu dilakukan pula
Suplementasi oksigen dan fisioterapi dada harus tetap dilanjutkan pasca
operasi sampai sekurang-kurangnya 5 hari pasca operasi, karena periode waktu
tersebut merupakan periode terbesar untuk kejadian hipoksia nokturnal dan awitan
pneumonia. Bila tidak ada kontraindikasi, mobilisasi sedini, latihan lingkup gerak
sendi, dsb, mungkin dapat dilakukan untuk menghindari efek deconditioning.
Tatalaksana pascaoperasi juga meliputi penggunaan obat-obatan untuk
mengatasi nyeri, meningkatkan mobilisasi, penggunaan kateter urin yang tepat,
pencegahan dan tatalaksana delirium, serta penggunaan antikoagulan.
' Nyeri pada pasien usia lanjut seringkali tidak ditatalaksana dengan baik.
Pasien seyogianya secara berkala ditanyakan mengenai derajat beratnya nyeri
menggunakan skala analog (misalnya visual analog sca/e) dan obat analgetik
harus diberikan rutin, bukan jika perlu.
Mobilisasi dini pasien pascaoperasi sangat penting untuk mengurangi risiko
komplikasi. Jika dalam proses pemulihan tidak dibolehkan untuk melakukan
mobilisasi penuh, dapat dilakukan latihan lingkup gerak sendi dan mempertahankan
postur tegak.
Penggunaan kateter urin dapat menjadi predisposisi terjadinya infeksi saluran
kemih beserta komplikasinya. Oleh karena itu, penggunaan kateter harus jangka
pendek dengan target sudah dilepas pada pagi hari setelah operasi dilakukan.
Perlu dihindari pemakaian kateter urin lebih dari 48 jam kecuali jika retensi urin
tidak dapat ditatalaksana dengan cara lain. Jika terdapat retensi urin atau distensi
kandung kemih, dapat dipertimbangkan penggunaan kateter urin intermiten.
KESIMPULAN
Terdapat berbagai hal penting yang harus diperhatikan pada orang usia lanjut
yang akan menjalani operasi mengingat terdapat berbagai perubahan fisiologis
terkait dengan proses penuaan yang dapat memengaruhi perawatan perioperatif.
Faktor usia saja tidak dapat dijadikan patokan mengenai risiko operasi, namun
berbagai penyakit kronik penyerta merupakan prediktor kuat terkait dengan risiko
Siti Setiati, Purwita Wijaya Laksmi, Nina Kemala Sari 235
operasi. Pengkajian paripurna pasien geriatri yang meliputi tidak hanya dnamne-
sis dan pemeriksaan fisik namun juga mengenai informed consent, status
fungsional, kognitif, mental-emosional, dan nutrisi, serta obat-obatan yang
dikonsumsi dan dukungan sosial mutlak dilakukan secara interdisiplin dalam
pengkajian perioperatif.
REFERENSI
1. Vaitkevicius PV Kirsh MM, Orringer MB. Perioperative evaluation and management. Dalam:
HazzardWR, BlassJR HalterJB,OuslanderJG,TinettiME. Penyunting. Principlesof Geriatric
Medicine and Gerontology. Edisi ke-5. New York: Mc Graw-Hill; 2003. p. 361-71.
2, Seymour DG. Perioperative and postoperative medicalassessment. Dalam: Pathy MSJ, Sinclair
AJ, Morley JE. Principles and Practice of Geriatric Medicine. Edisi ke-4. St Louis: John Wiley &
Sons lnc; 2006. p. 1631-45,
3. Ersan T. Perioperative management of the geriatric patient. Diunduh 24 Oktober 2007 dari http/
Aivww.emedicine.con/meditopicSl 75. htm
4, weinryb J, Johnson J. Perioperative management in the elderly, Dalam: Forcia MA, Schwab EP,
Raziano DB, Mourey RL. Penyunting. Geriatric Secret edisi ke -3, Philidelphia: Hanley Belfus;
2004.p.241-7
236 usia Lanjut
IIMPIRAN
IOTAL SKOR
iryry
Nilai Nilai
Maksimum Responden
ORIENTASI
5 ( ) Sekarang (hari-tanggal-bulan-tahun) berapa dan musim apa?
Sekarang kita berada dimara?
5 ( ) (Nama rumah sakit atau instansi)
(lnstansi, jalan, nomor rumah, kota, kabupaten, propinsi)
REG]STRASI
3 () Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda, misalnya :
SADAR-SOMNOLEN-STUPOR.KOMA
Jam sele$ai :
Tempat wawancara :
238 Usia Lanjut
. II{SIRUIGIUNTKPENGGUI{AAN
MrNr MENTAT SrATE EXAMINAEON (MMSE)
ORIENTASI
1. Tanyakanlah tanggal, bulan, dan tahun. Kemudian tanyalah juga hari dan
musim. Satu nilai untuk setiap jawaban yang benar.
2. Tanyakanlah berturut-turt sebagai berikut : " Dapatkah anda menyebut
nama rumah sakit / institusi ini ?".
Kemudian tanyalahlantai / tingkat / nomor jalan, kota, kabupaten dan propinsi
tempat rumah sakit / institusi tersebut terletak.
REGISIRASI
I,E{GII{GAT
BAHASA
Nilai tingkat kesadaran pada garis absis, dari sadar penuh pada ujung kiri sampai
dengan koma pada ujung kanan.
240
perasi atau tindakan medis pada umumnya menimbulkan rasa takut pada
pasien. Apapun jenisnya baik operasi besar maupun operasi kecil merupakan
suatu stresor yang dapat menimbulkan reaksi stres, kemudian dikuti dengan
gejala-gejala kecemasan, ansietas, atau depresi. Kecemasan atau gejala yang
timbul dapat ringan dan bersifat sementara kemudian menjadi normal kembali
bila pasien dapat mengendalikan sendiri dengan baik.
Namun dapat juga berlebihan dan menimbulkan gejala-gejala psikis dan
somatik yang dapat berpengaruh terhadap persiapan tindakan medik operatif.
Bahkan bila tidak ditatalaksana dengan baik dapat meyebabkan operasi
tertunda, atau timbul gangguan selama operasi dan sesudah operasi.
Memperlambat penyembuhan, menimbulkan hendaya dan gangguan kualitas
hidup pasca operasi. Untuk mendapatkan hasil yang optimal perlu dilakukan
evaluasi dan penilaian status psikosomatik pra dan pasca tindakan medik operatif.
Pada tindakan medik operatif persiapan status somatik pasien umumnya telah
dilakukan dengan baik terutama status kardio-pulmonal, pemeriksaan laboratorium
dan penunjang yang diperlukan. Sebaliknya persiapan status psikis sering kali
dianggap tidak penting dan sering kurang menjadi perhatian padahal dapat
mengoptimalkan hasil tindakan, bila status psikis dipersiapkan dan ditatalaksana
dengan baik
Evaluasi status psikis dimulai dengan hubungan dokter-pasien yang baik
sehingga anamnesis status psiko-sosial, dukungan keluarga serta financial bila
diperlukan dapat berjalan dengan baik. Pada saat yang bersamaan dokter dapat
242 Ansietas dan Depresi
Setelah operasi dan pasien sudah stabil serta mampu berkomunikasi maka
kelanjutan pembinaan hubungan dokter-pasien terutama komunikasiventilasi perlu
dilanjutkan. Untuk menilai kembali status psikis pasien terutama pada penyakit-
penyakit serius seperti amputasi, bedah jantung , kanker dan lain lain. Pasca
24 Ansietas dan Depresi
tindakan medik operatif gejala yang menonjol biasanya gejala-gejala depresi. Pasien
merasa kehilangan sesuatu dari tubuhnya, kelelahan dan kurang tenaga dari
perlawanan terhadap penyakit dan rangkaian pengobatan yang telah dilakukan
dan lain-lain.
Psikoterapi suportif atau rehabilitasi fungsi psikis sebaiknya segera dilakukan
untuk mencegah timbulnya depresi yang menetap'
Evaluasi berkala setelah rawat jalan bila diperlukan dapat memastikan ada
tidaknya sindrom depresi. Bila terdapat sindrom depresi sebaiknya dikonsultasikan
kepada psikosommatisian pemberian anti depresan. Pemberian anti depresan
yang sesuai dengan kondisi pasien dengan tetap memperhatikan kondisi somatik
serta efek samping terrhadap fungsi kardiovaskular'
RffiE\EI
Burg MM, Benedetto MC, Rosenberg R, Soufer R. Presurgical depression predicts medical
-morOibity
O months aftercoronary a-rtery bypass graft surgery. Psychosomatic Medicine.2003;
65:111-18,
Green AI Steptoe A. The effects of stress management on thequality -01!le o.ffaligl'ts fo-llowing acute
myoiardial infarction or coronary bypass surgery. Eur Heart J 1996; 17: 1663-70.
Gallaqher R, and McKinley S. Stressors and anxiety in patients undergoing coronary artery bypass
s[rgery. American JoL rnal of Critical Car e. 2007 :1 A:248-57
Rafanelli M, Roncuzzi R, Milaneschi Y. Minor depression as a cardiac risk lactor After coronary
artery bypass surgery. Psychosomatics 2006; 47:289-95
Vingerhoets Guy. Perioperative anxiety and depression in open-heart surgery. Psychosomatics
1998; 39:30-37
mmHR[lr
247
Berikut ini adalah contoh kasus perioperatif yang dapat ditemukan pada praktik
sehari-hari di mana seorang internis mendapatkan surat konsul yang dibuat oleh
sejawat rHT. Permintaan konsultasi yang tercantum pada surat konsultasinya
adalah mohon toleransi operasi pasien dan adakah kontraindikasi tindakan
operasi?
Pasien tersebut seorang laki-laki, 65 tahun, yang didiagnosis sebagai polip
nasi bilateral dan direncanakan polipektomi 2 hari mendatang. sejawat rHT telah
memberikan obat saat ini adalah Telfast OD 1 x 120 mg, Nasacort nasal spray 2
x 2 spray, Ciprofloxacin 2 x 500 mg, Frisium 1x 1. Hasil laboratorium:
Masa perdarahan 3,5 menit (1-6 menit) Trigliserida 110 mg/dL (<200)
Masa pembekuan 11 menit (10-15 menit) Kolesterol tolal229 mg/dl (<200)
Kolesterol HDL 60 mg/dl (35-55)
Albumin 4,3 gidl t4-5,2) Kolesterol LDL 134 mgldl (<130)
yLw a
U
aL d,Lab eles vv-eLLirl,s, p ewgaVzLt 1 a wtu'wg k or o wer, str ok,
A swLA, tvLb erlzwLosLs, lzt twLw1.
EK4: .sl?, worweaL ai<sLs, 6zRS yate 7/L x/wt, LwtewaL ?R: a,Ic,-,
LwtervaL @RS o,og", tLd,a.Q.LerdaVat Terwbalrtaw 1eont"bawq ST d,aw
r.
Foto toraks: c1-R-<Soft, Lw{r.Ltrat '/ -
Kesirupulan
Pad,a yasLew dewgaw rewcl,wA oVerasL eLeVztLf dewgaw dLagwosLs
bedatr' poLQ wasL LwL tzawtL dapatte.aw
- t+ryevtewsL daLa'ru leraVL (cor covwVewsated)
- >LsLLVLd,ewtLa
dt sLlzo lzardLoLogL: rLwgaw
rzLsLtz.o p u-Ln*o woLo gL: rLwcj a w
K,owdLsL vwetaboLLk. daw hen*osLasLs stabLL.
SArAw:
ob al- ob ata w seb eLvtwtwtn a an
^-Lo
d
ryLw d, a w Lo s arta w dLtervtsQ.a w.
sLtr,,tvastatLw 1- x Lo vwq
P ewgewd aLLa w wr4erL V
as ca- oyer a sL
"epCl
>r. PapdL N'tsa^tara, SpPD
249
PEMBAHASAN
Pada kasus ini sesuai dengan algoritma lihat gambar 1 Bab 2.2 maka tidak
diperlukan evaluasi lebih lanjut lagi dari sisi kardiovaskular dan dapat menjalani
tindakan operasi.
Lain-lain:
Lembar jawaban konsultasi adalah dokumen resmi maka jangan lupa melengkapi
jawaban konsultasi dengan waktu kita menjawab surat konsultasi tersebut (tanggal
dan jam) dan nama lengkap kita.