Ika Fitriana
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
berkat rahmat dan karunia-Nya, buku prosiding simposium “Jakarta
Internal Medicine in Daily Practice“ (JIM DACE) ini dapat selesai disusun.
Dengan semakin meningkatnya tuntutan dan tantangan
peningkatan standar pelayanan kedokteran khususnya di bidang ilmu
penyakit dalam diharapkan simposium “Jakarta Internal Medicine in
Daily Practice“ (JIM DACE) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Jakarta Raya (PAPDI
JAYA) mampu menjawab tantangan tersebut dengan menekankan pada
pendalaman ilmu penyakit dalam dan penerapan ilmu tersebut pada
prakteknya sehari-hari.
Buku prosiding ini tidak hanya menyampaikan materi ilmiah
simposium tetapi juga materi workshop yang juga merupakan bagian
dari kegiatan ilmiah “Jakarta Internal Medicine in Daily Practice“ (JIM
DACE) yang meliputi topik-topik dibidang ilmu penyakit dalam
diantaranya Kardiologi, Pulmonologi, Gastroentero-Hepatologi,
Penyakit Tropik Infeksi, Alergi-Imunologi, Hematologi Onkologi Medik,
Reumatologi, Endokrin Metabolik dan Diabetes, dan Ginjal Hipertensi.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembicara yang
telah menyusun materinya dalam buku ini.
Sesuai dengan tema JIM DACE 2019 ini, “Internal medicine and
primary care as a join force: Bridging primary care and internist specialist
care in daily practice ”, kami berharap semoga materi dalam buku ini
Salam Sejawat
Jakarta, September 2019
Tim Editor
SIMPOSIUM
Kode Etik Donasi Darah dan Transfusi Darah ............................. 1
Zubairi Djoerban
WORKSHOP
POSTER
Zubairi Djoerban
Divisi Hematologi Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM
Pengantar
Ilmu Kedokteran dan penyelenggaraan sistem kesehatan di mana pun
selalu disarati dengan isu dan dilema etis yang perlu ditangani secara
hati-hati dan menggunakan pendekatan empatik, jika tidak ingin
proses pengobatan gagal atau tidak maksimal. Masalahnya adalah
subyek yang terlibat, baik staf medis maupun pasien atau klien, adalah
manusia yang otonom dengan kepercayaan dan values yang
terinternalisir secara mendalam. Proses “bargaining” di antara
penyedia layanan dan klien di dalam setting rumah sakit atau klinik
menuntut pertimbangan bioetika yang matang sebelum sebuah
tindakan saintifik terhadap tubuh klien dilakukan.
Makalah ini akan memfokuskan pada masalah etika yang muncul
di seputar donasi dan transfusi darah. Transfusi darah berhubungan
erat dengan beberapa isu etik, antara lain karena menyangkut asalnya
(dari tubuh manusia hidup) dan nilainya. Darah adalah zat yang amat
berharga (dianggap sebagai ‘tempat’ nyawa berada), tetapi
mempunyai keterbatasan waktu simpan. Keadaan demikian
berharga, maka keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan
transfusi harus dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan dasar
berikut: (1) penghormatan terhadap individu dan nilai-nilai yang
dianutnya, (2) perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan yang
bersangkutan, (3) menghindari sejauh mungkin terjadinya eksploitasi
dan penyalahgunaan, dan (4) penerapan prinsip Hippokrates primum
non nocere atau ‘menghindari keburukan adalah yang paling utama.1
Kedua hal ini, human error dan kurangnya pengawasan dan panduan,
akan menyebabkan sejumlah kerentanan. Kurangnya komunikasi dan
Dilema Etiko-Religius
Meskipun kode etik telah ditetapkan dan disepakati secara
internasional, namun dalam praktiknya sejumlah dilemma tetap akan
dihadapi oleh mereka yang terlibat di dalam prosesnya. Bank Darah
(UTD/PMI), misalnya, mempunyai dua tugas yakni memastikan
keamanan darah donor, dan memastikan resipien tidak akan
mengalami masalah pasca transfusi. Yang kedua lebih dilematis.
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah semua
sumber daya untuk memastikan keamanan darah harus digunakan?
Atau, apakah test keamanan perlu disesuaikan dengan anggaran yang
Epidemiologi
Klasifikasi
Preeklampsia
Hipertensi Kronik
Hipertensi Gestasional
Komplikasi
Tatalaksana
Obat Dosis
Labetalol 10 -20 mg iv, lalu 20 – 80 mg tiap 20 –
30 menit hingga dosis maksimum 300
mg
Atau
Infus iv 1 – 2 mg/menit
Sodium Nitropusside Mulai dari 0,25 mcg/kgBB/menit
hingga dosis maksimum 5
mcg/kgBB/menit
Terdapat risiko keracunan sianida pada
fetus bila dgunakan lebih dari 4 jam
Hidralazin Dimulai dengan 5 mg iv atau 10 mg IM
Diulang 5 -10 mg dengan interval 20
menit bilaman diperlukan
Sampai saat ini tidak ada studi klinis yang menerangkan mengenai efek
samping metarnal maupun neonatus pada pemberian antihipertensi
selama laktasi. Beberapa studi menyatakan memang sebagian kecil
antihipertensi disekresi melalui ASI, namun tidak ada efek klinis yang
diakibatkan selama pemberian obat-obatan tersebut. Beberapa obat
yang disekresikan lewat ASI antara lain: metildopa, betabloker, CCB,
ACE-inhibitor, hidralazin, dan diuretik.Panduan yang beredar
merekomendasikan penggunaan metildopa sebagai obat lini pertama
hipertensi pada laktasi. Namun pemberian obat ini berkaitan dengan
depresi klinis, dan harus diberikan secara hati-hati pada wanita
postpartum yang berisiko untuk mengalami depresi postpartum. ACE
inhibitor (elanapril, captopril dan quinapril) mempunyai molekul yang
kecil dan berisiko untuk ditransfer dalam jumlah kecil melalui ASI,
namun tidak ada studi yang dapat membuktikan dampak klinis obat
tersebut terhadap neonatus. Secara umum, obat antihipertensi yang
Pendahuluan
Patogenesis
Faktor risiko
Kriteria Skor
Hipotensi 5
Terapi pompa balon intra-aortik 5
Gagal jantung kronik 5
Usia >75 tahun 4
Anemia 3
Diabetes 3
Volume kontras Meningkat sesuai
volume
Kreatinin serum >1,5 mg/dL 4
eGFR <60 ml/menit/1,73 m2 Meningkat sesuai
penurunan eGFR
Gambaran Klinis
Manifestasi klinis utama CIN adalah peningkatan kreatinin serum
dan, yang lebih jarang, oliguria. Sebagian besar pasien nonoligourik.
Peningkatan kreatinin umumnya terlihat dalam 24 sampai 48 jam
setelah paparan kontras dan umumnya ringan. Kreatinin biasanya
mulai menurun kembali dalam tiga sampai tujuh hari. Jika terdapat
oliguria, umumnya terjadi segera setelah prosedur pemberian kontras.
Manifestasi AKI lain dapat terlihat, seperti hiperkalemia, asidosis, dan
hiperfosfatemia.6, 7
Urinalisis dapat menunjukkan gambaran klasik ATN
sepertisedimen granular berwarna cokelat keruh atau sedimen epitel
Diagnosis
Diagnosis CIN berdasarkan manifestasi klinik, termasuk peningkatan
kreatinin serum dalam 24 sampai 48 jam setelah paparan kontras, dan
setelah menyingkirkan penyebab AKI lainnya.
Urinalisis dapat memberikan informasi diagnostik yang penting
untuk menyingkirkan penyebab AKI lainnya. Temuan sedimen granular
berwarna cokelat keruh atau sedimen epitel tubular akan memperkuat
diagnosis CIN, namun tidak adanya temuan tersebut juga tidak
menyingkirkan diagnosis ini. Namun demikian, tidak ditemukannya
temuan lain seperti sel darah putih, sedimen sel darah putih, sel darah
merah dismorfik, atau sedimen sel darah merah umumnya
menyingkirkan nephritis interstisial dan penyakit glomerular sebagai
penyebab dari AKI. Sebaliknya jika ditemukan temuan tersebut, maka
penyebab AKI adalah bukan ATN, misalnya nephritis interstisial dan
lesi glomerular.
Walaupun ultrasonografi (USG) umumnya dilakukan pada pasien
dengan peningkatan kreatinin, namun pada kasus yang dicurigai
sebagai CIN pemeriksaan USG tidak dilakukan pada fase awal.
Modalitas USG dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab AKI
lain yang perjalanan klinisnya tidak sesuai dengan CIN. Seperti halnya
pemeriksaan USG, biopsi ginjal umumnya tidak dilakukan untuk
mendiagnosis ATN pada CIN, namun dapat dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lainnya ketika diagnosis CIN masih
dipertanyakan.
Obat-obatan lain
Su dkk. mempublikasikan meta-analisis mengenai pencegahan
CIN dengan berbagai macam obat antara lain: NAC, teofilin,
fenoldopam, iloprost, alprostadil, prostaglandin E1, statin, statin
Dialisis
Dialisis untuk indikasi eliminasi media kontras tidak direkomendasikan
sebagai pencegahan CIN. Satu penelitian menunjukkan hasil positif jika
dilakukan hemofiltrasi jika dilakukan 6 jam sebelum terjadinya
paparan media kontras dan dilanjutkan sampai 18-24 jam setelah
pemberian media kontras. Namun, prosedur seperti ini memiliki
tingkat kesulitan yang sangat tinggi dan tidak dapat dilakukan dalam
praktik klinis sehari-hari. Penelitian-penelitian lainnya pun tidak
berhasil menunjukkan manfaat dari dialisis.17
Kesimpulan
Beberapa hal dapat disimpulkan berdasarkan pemaparan di atas:
• Pengenalan faktor risiko secara individual sangat penting untuk
menilai risiko terjadinya CIN
• Pemberian hidrasi profilaksis terhadap pasien dengan risiko CIN
• Hidrasi sebaiknya diberikan secara intravena, baik berupa sodium
klorida ataupun sodium bikarbonat
• NAC dapat diberikan sebagai terapi tambahan
• Statin dosis tinggi dapat diberikan sebagai terapi tambahan
Daftar Pustaka
1. Hossain MA, Costanzo E, Cosentino J, Patel C, Qaisar H, Singh V,
et al. Contrast-induced nephropathy: Pathophysiology, risk
factors, and prevention. Saudi Journal of Kidney Diseases and
Transplantation. 2018;29(1):1.
2. Detrenis S, Meschi M, Musini S, Savazzi G. Lights and shadows on
the pathogenesis of contrast-induced nephropathy: state of the
art. Nephrology Dialysis Transplantation. 2005;20(8):1542-50.
3. Khwaja A. KDIGO clinical practice guidelines for acute kidney
injury. Nephron Clinical Practice. 2012;120(4):c179-c84.
4. Persson PB, Hansell P, Liss P. Pathophysiology of contrast
medium–induced nephropathy. Kidney international.
2005;68(1):14-22.
5. Patschan D, Buschmann I, Ritter O. Contrast-Induced
Nephropathy: Update on the Use of Crystalloids and
Pharmacological Measures. International journal of nephrology.
2018;2018.
6. Rich MW, Crecelius CA. Incidence, risk factors, and clinical course
of acute renal insufficiency after cardiac catheterization in
patients 70 years of age or older: a prospective study. Archives of
Internal Medicine. 1990;150(6):1237-42.
7. Morcos S, El-Nahas A, Brown P, Haylor J. Effect of iodinated water
soluble contrast media on urinary protein assays. BMJ.
1992;305(6844):29.
8. Nijssen EC, Rennenberg RJ, Nelemans PJ, Essers BA, Janssen MM,
Vermeeren MA, et al. Prophylactic hydration to protect renal
function from intravascular iodinated contrast material in
patients at high risk of contrast-induced nephropathy
(AMACING): a prospective, randomised, phase 3, controlled,
open-label, non-inferiority trial. The Lancet.
2017;389(10076):1312-22.
Dyah Purnamasari
Daftar pustaka
Kesimpulan
Daftar pustaka
E. Mudjaddid
Divisi Psikosomatik
Etiologi
Etiologi dan patogenesis fibromialgia belum sepenuhnya
diketahui. Beberapa penelitian menyebutkan fibromialgia erat
hubungannya dengan gangguan tidur dan faktor stresor psikososial.
Pada umumnya fibromialgia diperburuk oleh adanya stres.
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa fibromialgia merupakan bagian
dari depresi terselubung atau bagian dari gejala ansietas.
Diagnosis
Diagnosis gangguan nyeri muskuloskeletal psikosomatik seperti
fibromialgia harus didasarkan pada anamnesis nyeri yang teliti tentang
sifat-sifat nyeri, intensitas, lokasi, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri, termasuk faktor psikososial.
Terapi Farmakologis
Daftar Pustaka:
Korespondensi: chrispian.oktafbipian@ukrida.ac.id
PENDAHULUAN
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
PATOGENESIS
FAKTOR RISIKO1-3,6,7
DIAGNOSIS
• Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
• Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis
gas darah PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
• Dahak jernih tidak berwarna
• Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK
(hasil spirometri)
• Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
• Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
Komplikasi
• Gagal napas
- Gagal napas kronik (Hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg
dan PCO2 >60 mmHg, dengan pH darah normal)
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik, dengan gejala:
sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah
dan purulen, demam dan kesadaran menurun
• Infeksi berulang
- Imunitas rendah disertai produksi sputum berlebihan dapat
mempermudah koloni kuman dan menyebabkan infeksi
berulang
• Kor pulmonal
- Ditandai dengan P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%,
dan dapat disertai gagal jantung kanan
• Mengurangi gejala
• Mencegah progresivitas penyakit
• Meningkatkan toleransi latihan
• Meningkatkan status kesehatan
• Mencegah dan menangani komplikasi
• Mencegah dan menangani eksaserbasi
• Menurunkan kematian
• Edukasi
• Berhenti merokok
• Obat-obatan
• Rehabilitasi
• Terapi oksigen
• Ventilasi mekanik
• Nutrisi
Kelompok A:1
Kelompok B:1
Kelompok C:1
Kelompok D:1
Kelompok A Kelompok B
Bronkodilator1-3,6,7
1. Agonis β2
SABA
LABA
2. Antikolinergik/Antagonis Muskarinik
SAMA
LAMA
3. Derivat Xanthine
Antiinflamasi1-3,6,7
1. ICS
2. Glucocorticoid oral
3. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Terapi Kombinasi13
1. Kombinasi bronkodilator
Saat ini sudah tersedia kombinasi LABA dengan LAMA dalam satu
inhaler. Kombinasi ini memperbaiki fungsi paru dibandingkan dengan
plasebo, dan perbaikan ini secara konsisten lebih besar dibanding efek
monoterapi bronkodilator kerja panjang. Kombinasi LABA dengan
LAMA juga menghasilkan perbaikan yang lebih besar dalam kualitas
hidup dibanding dengan plasebo dan bronkodilator tunggal pada
pasien dengan gejala basal yang lebih berat. Kombinasi LABA/LAMA
dengan dosis yang lebih rendah yang diberikan dua kali sehari juga
menunjukkan perbaikan gejala dan status kesehatan pada pasien
PPOK.17
2. Kombinasi LABA/ICS
Obat lain1
1. Antibiotik
2. Mukolitik
3. Antitusif
5. Vasodilator
• Spirometri
• Gejala
• Merokok
Pemantauan Komorbid
KESIMPULAN
PPOK adalah penyakit respirasi kronik dengan adanya hambatan
aliran udara progresif, yang berhubungan dengan peningkatan
respons inflamasi kronis saluran napas. Hambatan jalan napas pada
PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran napas dan kerusakan
parenkim paru. Rokok merupakan faktor risiko terpenting sehingga
berhenti merokok merupakan cara yang efektif untuk menurunkan
risiko PPOK dan memperlambat progresivitasnya. Tujuan terapi PPOK
adalah untuk mengurangi gejala, menurunkan eksaserbasi,
memperbaiki kualitas hidup pasien dan kemungkinan menurunkan
mortalitas. Obat farmakologi utama untuk PPOK adalah bronkodilator
seperti agonis β2 dan antikolinergik (antagonis muskarinik).
Bronkodilator kerja panjang lebih efektif dibanding bronkodilator kerja
singkat untuk terapi pemeliharaan PPOK. Kombinasi bronkodilator
(agonis β2 dan antikolinergik) atau kombinasi bronkodilator dengan
kortikosteroid inhalasi lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru
dibanding monoterapi. Kombinasi 3 obat (LABA, LAMA, dan ICS) dapat
memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup, serta menurunkan risiko
eksaserbasi dibanding kombinasi LABA/ICS atau LABA/LAMA.
Pemilihan pengobatan untuk mencegah eksaserbasi juga bisa dipakai
untuk meningkatkan kualitas hidup pada pasien PPOK. Klinis perlu
DAFTAR PUSTAKA
Definisi
Epidemiologi
Patogenesis
Deteksi Dini
a) Anamnesis
Keluhan atau gejala yang sering ditemukan pada MM antara
lain nyeri pada tulang spontan (sebanyak 66%, termasuk nyeri
pinggang/punggung), gejala anemia (seperti lemas/letih/lesu
(32%) dan pusing), penurunan berat badan >10 kg (12%),
demam (<1%), infeksi berulang dan adanya perdarahan
spontan (<15%), adanya massa di tubuh (gejala plasmasitoma
ekstramedular), gejala kompresi medula spinalis (nyeri
pinggang, kelemahan tungkai, baal, atau dysethesia
ekstremitas), gejala hiperkalsemia yang bervariasi (perubahan
kesadaran, konstipasi, mual, dan kehausan), gejala
hiperviskositas (kelemahan umum, mudah lebam, penglihatan
buram, perubahan sensorik) dan gejala neurologis (neuropati
perifer). 1,2,8
d) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan diagnostik radiologi awal untuk menemukan lesi
litik pada MM meliputi bone survey atau CT-Scan seluruh
tubuh dosis rendah. Lesi litik, osteoporosis atau fraktur pada
foto roentgen polos ditemukan sebanyak 79%.1,2,8
Diagnosis
Stratifikasi Risiko
a) Risiko rendah
Meliputi MM dengan stadium R-ISS I, tanpa hypodiploid
pada stadium R-ISS I, tanpa abnormalitas kromosomal
(delesi {17p13} dan/atau translokasi t{4;14}, atau +1q21)
pada stadium R-ISS I atau II, dan usia <55 tahun.
b) Risiko sedang
Meliputi MM dengan stadium R-ISS II, tanpa hypodiploid
pada stadium R-ISS II atau dengan hypodiploid pada stadium
Tatalaksana
Daftar Pustaka
Cosphiadi Irawan
(Lanjutan:)
19
CALGB 8811[2] 32 BFM, ↑ Cy, ↑ ASP 85 36
8
16
CALGB 19802[3] 41 BFM, ↑ Cy, ↑ DNR 78 35
3
MRC/ECOG-
19 15-
UKALLXII/E299 BFM + HD-MTX ± SCT 90 39*
13 64
3[4]
A. Cy, DEX, ADR,
VCR
28 38
Hyper-CVAD [5]
40 92
8 B. HD-MTX + HD-
Ara-C
Kesimpulan:
Daftar pustaka:
Pendahuluan
Tujuan dari terapi infeksi VHB kronik secara umum adalah untuk
mencegah kerusakan hati yang lebih lanjut dan perkembangan
penyakit. Diketahui bahwa infeksi VHB kronik yang tidak
mendapatakan terapi dapat berkembang menjadi sirosis, sirosis
dekompensata, penyakit hati lanjut, karsinoma hepatoseluler, bahkan
kematian.11 Pada kelompok wanita hamil, tujuan lain dari terapi
antiviral adalah untuk untuk mengurangi angka transmisi vertikal atau
dalam kata lain mencegah terjadinya mother to child transmission
(MTCT). Immunoprofilaksis dengan vaksinasi hepatitis B dan hepatitis
B immunoglobulin (HBIG) pada bayi baru lahir (dalam 12 jam) diikuti
oleh dua dosis vaksinasi hepatitis B (dalam 6 bulan) dianjurkan dan
Kesimpulan
Referensi
Seluruh bayi lahir dari ibu HIV harus mendapatkan ARV profilaksis dan
diberikan pada 6-12 jam setelah lahir, selambat-lambatnya kurang dari
72 jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah transmisi HIV yang terjadi
terutama pada saat persalinan dan menyusui. Profilaksis yang
digunakan adalah zidovudine selama 6 minggu dosis sesuai dengan
usia gestasi. Pemberian kotrimoksazol terbukti menurunkan angka
infeksi oportunistik, diare, pneumonia dan malaria pada bayi dari ibu
pengidap HIV.
Daftar Pustaka
Marcellus Simadibrata
Divisi Gastroenterologi
Email: ari_syam@hotmail.com
The GERD patient must avoid foods that are acidic or irritative,
foods that can induce reflux such as fatty or fried foods, coffee, tea
and caffeinated beverages, chocolate and mint. The GERD patient also
must stop drinking and smoke, to reduce body weight, to avoid of
eating within 3 hours before bedtime, to reduce postprandial
symptoms, to consume of smaller and more frequent and to elevate
of the head bed.
Reference:
Noto Dwimartutie
FKUI- RSCM
Pendahuluan
Epidemiologi
Definisi
Laki- Perempuan
laki
Appendicular Skeletal <7,26 <5,25
Muscle Index (ASMI, kg/m2)
ASMI (kg/m2)a <7 <6
ASMI (kg/m2)b
• DXA <7 <5,4
• BIA <7 <5,7
Fat free mass index <17 <15
(FFMI, kg/m2)
Appendicular lean mass <21,4 <14,1
(ALM,kg)
Appendicular lean mass <0,725 <0,591
adjusted for BMI = ALM/IMT
Keterangan :
Tabel 4. Derajatkeparahanmalnutrisi5
Kriteriafenotip
Penurunan IMT rendah Penurunanmassa
beratbadan (kg/m2)a ototb
(%)
Derajat 1 / 5%-10% <20 Defisit
malnutrisi dalam 6 :usia<70 ringan – sedang
sedang bulan, atau tahun
( Memenuhi 1 10%-20% <22 :usia>
kriteria fenotip) lebih dari 6 70 tahun
bulan
Dampak
Tatalaksana
Daftar pustaka
Lianda Siregar
Pendahuluan
Komplikasi GERD
Pada GERD dengan gejala khas dan respon pada terapi Proton Pump
Inhibitor(PPI), tida ada pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan diagnostik biasanya dilakukan
untuk menghindari misdiagnosis untuk mengidentifikasi komplikasi
(striktur, Barret’s metaplasia, dan adenokarsinoma) dan untuk
mengevaluasi kegagalam terapi.2 Pendekatan lebih agresif pada usia
tua diperlukan karena tingginya kejadian komplikasi yang berat.
Komplikasi esophagus
1. Esofagitis
Esofagitis merupakan komplikasi paling sering terjadi pada GERD,
sekitar 50% kejadian pada pasien GERD.Esofagitis didiagnosis melalui
gambaran endoskopi. Reflux biasanya terjadi dibagian distal esofagus
dan gastroesophageal junction. Gambaran morfologi reflux esofagitis
bermacam-macam dan tidak spesifik berupa hyperplasia sel basal,
pemanjangan papilla vascular, edema enterselular, adanya eosinophil
intraepitel, limfosit intraepitel, degenerasi “baloning” sel skuamosa,
dan ulserasi.4
Diagnostik
Endoskopi
Barium esophagram
Manometri esophageal
Moniring pH 24 jam
>11 1
6-10 2
≤5 3
<30 1
30-50 2
3 Respon dilatasi
Baik 1
Buruk 2
Grading striktur
Tipe I : 3-4
Tipe II : 5-6
1. Dilatasi striktur
2. Terapi medis
Ablasi endoskopi.10
Faktor risiko 13
Komplikasi ektraesofagus
Batuk kronik15
Pasien yang tidak respons dengan terapi ini harus menjalani tes untuk
menyingkirkan hernia hiatal dan evaluasi kelainan paru.15
Asma
Hasil dari 4 studi yang membandingkan grup 538 dengan asma dari
Prancis, Jerman, Filandia dan Amerika Serikat menunjukan 365 pasien
memiliki gejala reflus(68%). Ada beberapa metode untuk
mendiagnosis GERD terkait dengan kelainan paru yaitu pemeriksaan
sputum, monitoring skintigrafik, monitoring pH esofagus ambulari,
survei prevalesi gejala GERD.16
Nyeri non-kardiak
Nyeri dada non-kardiak adalah nyeri dada berulang yang tidak dapat
dibedakan dengan nyeri jantung iskemik setalh dilakukan pemeriksaan
yang sesuai untung menyingkirkan penyebab jantung. Nyeri dada non-
kardiak sering terjadi pada pasien GERD19
Daftar Pustaka
Juferdy Kurniawan
PengertianSurveilans
Transient Elastrography
Saatini TE
dianjurkanuntukskriningsirosishatikarenaakuratuntukidentifikasi
fibrosis hati. Rerataarea under the receiver operating characteristic
curve (AUROC) untuk diagnosis fibrosis signifikan 0.84, fibrosis berat
0.89, dan sirosishati 0.94. Usia dan body mass index (BMI)
tidakmempengaruhi AUROC, namunditemukanheterogenitas AUROC
sesuaidenganpenyakithati yang mendasari.9Selainakurat, TE
dibandingkanbiopsihatilebihefektifbiaya dan sudahbisadikerjakan di
seluruh Indonesia sehinggamerupakanpemeriksaanskrining yang
cukup ideal untuksirosishati. Kelebihan TE antara lain
Ultrasonografi Abdomen
Kesimpulan
Referensi
Rino A Gani
Pendahuluan
Pajanan virus ini akan menyebabkan dua luaran klinis, yaitu: (1)
Hepatitis akut yang kemudian sembuh secara spontan dan
membentuk kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2) Berkembang
menjadi kronik. Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa
mengalami 4 fase penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase immune
clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi. Fase immune
tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar
alanin aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase immune
clearance terjadi ketika sistem imun berusaha melawan virus. Hal ini
ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien kemudian
Masa inkubasi VHC berkisar antara 14-180 hari (±45 hari). Apabila
setelah 6 bulan pasca paparan, anti-HCV dan RNA VHC masih
terdeteksi di dalam darah maka dapat didiagnosis sebagai hepatitis C
kronik. Hampir 80% pasien hepatitis C akut akan menetap menjadi
hepatitis C kronik. Progresifitas hepatitis C kronik berjalan lambat, 10-
20% akan berkembang menjadi sirosis hati dalam kurun waktu 15- 20
Kesimpulan
Jakarta
Epidemiologi :
Gambaran klinis :
OAINS dikenal sebagai salah satu faktor agresif eksogen yang dapat
menyebabkan kerusakan mukosa lambung. Lesimukosa lambung
dikenal dengan gastropati. Penggunaan OAINS bersama dengan obat
mengalami gastropati dapat mengalami sindrom serta gejala klinis
gastropati timbul dyspepsia tanpa adanya ulkus, ulkus dengan atau
bahkan komplikasinya berupa perdarahan atau perforasi.
• Osteoartritis
• Artritisreumatoid
Risiko ProfilRisiko
High risk History of previous complicated
ulcers
Intermediate risk > 2 risk factors
age > 65 years old
High dose NSAIDs use
History of previous non-
complicated ulcers
Low risk Use with aspirin, corticosteroids,
Independent risk factor or anticoagulants
No risk factor
H pylori infection
A. H2 antagonis
B. PPI
C. Prostaglandin Analog
D. Gastroenteroprotective
E. Mucoprotective
A.H2 Antagonis
B. PPI
C. Prostaglandin Analog
Obat Misoprostol adalah preparat yang dipakai untuk pengobatan
Gastropati OAINS. Efek kerjanaya adalah mensekresi
mukosabikarbonat dan meningkatkan aliran darah di mukosa.
Dosis 4x200 mg mampu mencegah ulkus pada mukosa (lebih dari
40%). Efeksamping tersering diare.
D. Gastroenteroprotective
Golongan obat yang melindungi mukosa lambung dengan cara
menstimulasi prostaglandin endogen, eliminasi radikal bebas,
mengurangi pro inflammatory cytokines.
Obat Rebamipide ini sama efektifnya dengan pemberian misoprostol
dengan profil keamanan yang lebih. Obat ini terutama digunakan pada
pengguna aspirin jangka panjang.
F. Mucoprotective
Sukralfate adalah preparat yang tersedia untuk pengguna NSAID.
Komponen adalah garam aluminium melindungi mukosa akibat OAINS.
SIMPULAN
Gastropati OAINS adalah hal yang kita hadapi sehari-hari di tempat
praktek. Kasus ini meningkat seiring dengan jumlah kasus penyakit
yang butuh obat ini dan seiring usia penderita yang perlu
menggunakan obat.
Ruswhandi
A. PENDAHULUAN
OAINS (obat anti inflamasi non steroid) adalah obat yang
sehari-hari banyak pemakaiannya. Sebagai obat dengan khasiat
antinflamasi, analgesik, dan anti platelet, obat ini banyak dipakai pada
pengobatan dan pencegahan rhematoid arthritis, osteoarthritis,
penyakit kolagen, penyakit jantung koroner dan serebrovaskular.
B. EPIDEMIOLOGI
Dalam 10 tahun terakhir ada kecenderungan kenaikan
komplikasi saluran cerna akibat OAINS seperti perdarahan dan
perforasi dengan penurunan pada saluran cerna bagian atas dan
kenaikan padasaluran cerna bagian bawah. Rasio berubah dari 4,1
C. PATOGENESIS
Bjarnason dkk.5 menyarankan hipotesis 3-hit. Pertama,
fosfolipid dalam membrane sel pada permukaan mukosa langsung
rusak oleh OAINS, selanjutnya terjadi cedera mitokondri adalam sel.
Kedua, kerusakan mitokondria menginduksi penurunan sintesis
energi, menyebabkan habisnya kalsium dan terbentuknya radikal
bebas. Kemudian, terjadi gangguan persimpangan interselular dan
peningkatan permeabilitas mukosa. Ketiga, kandungan intraluminal,
seperti asam empedu, enzim proteolitik, bakteri usus, dan racun,
E. DIAGNOSIS
Alasan utama terabaikannya diagnosis klinis enteropati yang
diinduksi OAINS adalah sulitnya membuat diagnosis. Satu penelitian
menggunakan permeabilitas Cr-EDTA menunjukkan bahwa usus kecil
lebih banyak kerusakan pada peningkatan dosis OAINS (19% dengan
750mg naproxen berbanding 68% dengan 1000mg naproxen).
G. KESIMPULAN
Enteropati yang diinduksi OAINS mungkin sesering dan
separah komplikasi saluran cerna bagian atas. Dalam kebanyakan
kasus, manifestasi klinis tidaks pesifik dan mekanisme pathogen tidak
diketahui dengan baik, tetapi diduga rumit. Modalitas diagnostic baru,
seperti CE dan DBE, memungkinkan diagnosis cedera usus kecil yang
disebabkan oleh OAINS lebih mudah daripada di masa lalu. Namun,
tidak ada obat yang terbukti efektif untuk mengobati enteropati yang
diinduksi OAINS. Oleh karena itu, studi lebih lanjut mengenai
pencegahan dan pengobatan cedera usus yang disebabkan oleh OAINS
sangat dibutuhkan.
Kepustakaan
Tersedia lima jalan menuju penyembuhan HIV. 1) Shock and Kill. Cara
ini mencoba mengosongkan virus di sel reservoir dengan kombinasi
ARV dan obat yang disebut HDAC (histone deacetylase) inhibitor.
Penelitian menunjukkan bahwa HIV dapat didorong keluar dari sel
reservoir. Namun, ada kekhawatiran karena sel makrofag terdapat di
Juferdy Kurniawan
Epidemiologi HCV-HIV
Kesimpulan
Daftar Pustaka
Adityo Susilo
FKUI/RSCM/RSUI, Jakarta
Pendahuluan
Infeksi HIV memiliki tiga fase utama yang harus dilewati; fase
akut infeksi primer akut, fase laten asimtomatik, dan fase kronik
simtomatik. Lama waktu yang dibutuhkan dapat bervariasi, mulai dari
6 bulan setelah serokonversi hingga lebih dari 30 tahun hingga
Introduction
In the DECLARE Trial, patients with type 2 diabetes who had or were
at risk for atherosclerotic cardiovascular disease, treatment with
dapagliflozin did not result in a higher or lower rate of MACE than
placebo but did result in a lower rate of cardiovascular death or
hospitalization for heart failure, a finding that reflects a lower rate of
hospitalization for heart failure.
SUMMARY
REFERENCES
5. Holman RR, Paul SK, Bethel MA, Matthews DR, Neil HAW. 10-year
follow-up of intensive glucose control in type 2 diabetes. N Engl J
Med 2008; 359:1577–89.
6. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Effect of intensive
blood-glucose control with metformin on complications in
overweight patients with type 2 diabetes (UKPDS 34). Lancet
1998;352:854–65.
7. Gerstein HC, Miller ME, Byington RP, et al. Action to Control
Cardiovascular Risk in Diabetes Study Group. Effects of intensive
glucose lowering in type 2 diabetes. N Engl J Med 2008;358:2545–
59.
8. ACCORD Study Group. Nine-year effects of 3.7 years of intensive
glycemic control on cardiovascular outcomes. Diabetes Care
2016;39:701–8.
9. Patel A, MacMahon S, Chalmers J, et al. ADVANCE Collaborative
Group. Intensive blood glucose control and vascular outcomes in
patients with type 2 diabetes. N Engl J Med 2008;358:2560–72.
10. Duckworth W, Abraira C, Moritz T, et al. VADT Investigators.
Glucose control and vascular complications in veterans with type
2 diabetes. N Engl J Med 2009;360:129–39.
Selain itu, diperkirakan pada angka harapan hidup pasien laki – laki
usia 60 tahun akan berkurang 6 tahun jika dia terdiagnosa dengan
Diabetes dan akan berkurang lagi 6 tahun jika ia terdiagnosa dengan
Diabetes dengan komplikasi penyakit jantung (MI atau Stroke)2.
1. SGLT-2i
a. EMPA-REG OUTCOME
c. CREDENCE
d. DECLARE TIMI
e. VERTIS CV
2. DPP-4i
a. SAVOR-TIMI 53
b. EXAMINE
c. TECOS
d. CAROLINA
e. CARMELINA
f. OMNEON
3. GLP-1 RA
a. ELIXA
b. LEADER
d. EXSCEL
e. FREEDOM-CVD
f. HARMONY
g. REWIND
Hasil tersebut konsisten pada pasien dengan atau tanpa riwayat gagal
jantung38.
EMPRISE
Dari literatur yang ada, satu dari tiga pasien Diabetes tipe 2 memiliki
penyakit kardiovaskular dimana pada penelitian EMPA-REG OUTCOME
hampir semua populasi memiliki penyakit kardiovaskular. Pada
1. Efektivitas
a. Hasil primer
i. Perawatan karena MI
vi. 3P-MACE
b. Hasil sekunder
i. ESRD
2. Keamanan
a. Hasil sekunder
i. Fraktur tulang
v. Ketoasidosis Diabetikum
i. Rawat inap
iii. Farmasi
1. Pengobatan
b. Biaya
1. EMPA-REG OUTCOME
1. Hasil
Kesimpulan
Kepustakaan
Muhammad Iqbal*
ABSTRAK
Peserta PogramStudiPendidikanDokter,
1
ABSTRAK
Pada laporan kasus ini kami menyajikan pasien wanita suku Manggarai
usia 26 tahun, G2P1A0 gravid 22-23 minggu yang dirawat dengan
diagnosis Sindrom Shock Dengue (SSD) pada periode KLB Dengue di
Manggarai Barat bulan Januari 2019. Pasien dirujuk dari RSUD Komodo
dengan demam hari keempat disertai nyeri kepala dan lemas.
Pemeriksaan fisik dan hitung darah lengkap serta status KLB menjadi
dasar diagnosis pasien terinfeksi Dengue dengan pemberat anemia. Di
hari pertama perawata npasien dibantu dengan topangan dobutamin,
hari kedua dilakukan penurunan dosis sampai dengan penghentian
terapi tesebut. Di hari ketiga dan keempat dilakukan transfuse sel
darah merah. Di hari kelima pasien diizinkan untuk rawat jalan. Selama
perawatan inap status janin dipantau berkala dan dinyatakan baik.
Pasien kemudian dating untuk kontrol di hari kelima rawat jalan
dengan keadaan baik dan hitung trombosit normal.
.DepartemenIlmuPenyakitDalam, FakultasKedokteranUniversitas
1
Pendahuluan
IlustrasiKasus
Diskusi
Kesimpulan
Referensi
1
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik
Atamajaya, Jakarta, Indonesia
Korespondensi:
Sheila Adiwinata
Phone: 6221-6691944
Email: sheilaadiwinata@gmail.com
Diskusi:
1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
ABSTRAK:
GemaBarlian Effendi1
1
Departemen IlmuPenyakitDalam, FakultasKedokteranUniversitas
Indonesia, RumahSakitUmum Pusat Nasional CiptoMangunkusumo
LatarBelakang
Metode
Hasil
Kesimpulan
1
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia
2.
Nutrition Working Group, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Bandung, Indonesia
3.
Frontier for Health Foundation, Bandung,Indonesia
Abstrak
Latar Belakang
Metode
Hasil
Kesimpulan
Mangunkusumo, Jakarta.
2
Divisi Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Ilustrasi Kasus
Pendahuluan
Metode
Hasil
Kesimpulan
*
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo,
Jakarta
Pendahuluan
Ilustrasi Kasus
Diskusi
Kesimpulan
References:
1. Choi JM, Yang JI, Kang SJ, Han YM, Lee J, Lee C, Chung SJ, Yoon DH,
Park B, Kim YS. Association Between Anxiety and Depression and
Gastroesophageal Reflux Disease: Results From a Large Cross-
sectional Study. J Neurogastroenterol Motil. 2018 Oct 1;24(4):593-
602. doi: 10.5056/jnm18069.
ABSTRAK
Pendahuluan
Ilustrasi Kasus
Diskusi
Salmonella merupakan bakteri basil Gram negatif yang dapat
menginfeksi manusia dan hewan, serta dapat berperan sebagai karier.
Infeksi pada individu imunokompeten dapat dieradikasi dengan
mudah, namun pada pasien imunosupresi, infeksi dapat menyebar
secara hematogenik dan membentuk lesifokal. Infeksi dapat
diakibatkan oleh reaktivasi infeksi laten, infeksi baru, atau keduanya.
Faktor predisposisi artritis septik akibat Salmonella adalah nekrosisa
Pendahuluan :
IlustrasiKasus :
Diskusi :
Referensi :
1
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta;
4
Unit Radiologi, RS Gading Pluit, Jakarta
Pendahuluan
Ilustrasi Kasus
Referensi:
Pendahuluan
Hasil
Dari 66 pasien yang menjadi subyek penelitian, 7 orang dieksklusi
karena alasan pindah fasilitas 4 orang, dirujuk ke RS 1 orang dan 2
orang belum genap 1 tahun pengobatan. Meski relatif berimbang,
pasien wanita sedikit lebih banyak 52,5 %. Berdasarkan klasifikasi JNC
8 - 2018 prevalensi terbesar adalah hipertensi derajat 1 mencapai
91,8 %. Tujuh puluh lima persen pasien mendapatkan 1 jenis obat dan
golongan Calcium Channel Blocker merupakan jenis obat yang
tersering diberikan. Prevalensi pasien yang kontrol kurang dari 10 kali
setahun mencapai 26,2%, dan penyebabnya 62,6% akibat kendala
pembayaran. Dari analisa bivariate tidak ditemukan hubungan
bermakna antara kepatuhan dengan jumlah obat yang dikonsumsi,
jenis kelamin dan usia.
Simpulan
Prevalensi ketidakpatuhan kontrol masih tinggi. Diperlukan penelitian
lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor lain yang menjadi penyebab.