Anda di halaman 1dari 315

Ceva Wicaksono Pitoyo

Ika Fitriana
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
berkat rahmat dan karunia-Nya, buku prosiding simposium “Jakarta
Internal Medicine in Daily Practice“ (JIM DACE) ini dapat selesai disusun.
Dengan semakin meningkatnya tuntutan dan tantangan
peningkatan standar pelayanan kedokteran khususnya di bidang ilmu
penyakit dalam diharapkan simposium “Jakarta Internal Medicine in
Daily Practice“ (JIM DACE) yang diselenggarakan oleh Perhimpunan
Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia Cabang Jakarta Raya (PAPDI
JAYA) mampu menjawab tantangan tersebut dengan menekankan pada
pendalaman ilmu penyakit dalam dan penerapan ilmu tersebut pada
prakteknya sehari-hari.
Buku prosiding ini tidak hanya menyampaikan materi ilmiah
simposium tetapi juga materi workshop yang juga merupakan bagian
dari kegiatan ilmiah “Jakarta Internal Medicine in Daily Practice“ (JIM
DACE) yang meliputi topik-topik dibidang ilmu penyakit dalam
diantaranya Kardiologi, Pulmonologi, Gastroentero-Hepatologi,
Penyakit Tropik Infeksi, Alergi-Imunologi, Hematologi Onkologi Medik,
Reumatologi, Endokrin Metabolik dan Diabetes, dan Ginjal Hipertensi.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada para pembicara yang
telah menyusun materinya dalam buku ini.
Sesuai dengan tema JIM DACE 2019 ini, “Internal medicine and
primary care as a join force: Bridging primary care and internist specialist
care in daily practice ”, kami berharap semoga materi dalam buku ini

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | iii


dapat memberikan panduan dan meningkatkan kualitas, dan peran
dokter sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dan peran dokter
spesialis sebagai pendukung utama dalam upaya deteksi dini dan follow
up pasien dengan kasus-kasus penyakit dalam pada praktek sehari-hari
di lapangan. Semoga buku ini bermanfaat bagi para Sejawat dalam
upaya memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

Salam Sejawat
Jakarta, September 2019
Tim Editor

iv | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


DAFTAR ISI

SIMPOSIUM
Kode Etik Donasi Darah dan Transfusi Darah ............................. 1
Zubairi Djoerban

Hipertensi pada Kehamilan ......................................................... 8


Aida Lydia

Contrast-Induced Nephropathy: Evaluation, Prevention, and


Treatment of Acute Kidney Injury due to Contrast-Induced
Nephropathy ................................................................................ 29
Maruhum Bonar H.M

New insight from Sitagliptin Study (East Asian Population) ....... 41


Dyah Purnamasari

Advantage of Fixed Dose Combination in Moderate to


High Risk Dyslipidemia Patients .................................................. 45
Dono Antono

Tatalaksana Fibromyalgia Menggunakan Pendekatan


Psikosomatik ................................................................................ 53
E. Mudjaddid

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | v


Meningkatkan Kualitas Hidup pada Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik .......................................................................... 65
Chrispian Oktafbipian Mamudi

Deteksi Dini dan Tatalaksana Awal Mieloma Multipel .............. 93


Sri Agustini Kurniawati

Lekemia Akut: Bagaimana Mendiagnosis,Tatalaksana dan


Pengobatannya? .......................................................................... 104
Cosphiadi Irawan

Management of Hepatitis B in Pregnancy ................................... 115


Chyntia Olivia Maurine Jasirwan

Pasthophysiology and Diagnosis of GERD Related Illness ........... 128


Marcellus Simadibrata

WORKSHOP

Managing Complication of Gastroesophageal Reflux


Disease (GERD) ............................................................................. 151
Lianda Siregar

Non Invasive Diagnostic of Helicobacter Pylori Infection ........... 173


Femmy Nurul Akbar

vi | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Peranan Surveilans Elastography dan USG Abdomen dalam
Meningkatkan Survival dan Kualitas Hidup Pengidap
Hepatitis ....................................................................................... 175
Juferdy Kurniawan

Bagaimana Mengelola Hepatitis Kronik ...................................... 186


Rino A Gani

Enteropati OAINS ......................................................................... 204


Ruswhandi

Road to A Cure for HIV ................................................................. 212


Samsuridjal Djauzi

Direct Acting Antivirus (DAA) Therapy in Patients with


Hepatitis C and HIV ...................................................................... 215
Juferdy Kurniawan

Infeksi Oportunistik Toxoplasmosis pada HIV/AIDS ................... 221


Adityo Susilo

What have we learned from Diabetes CVOT: Implication


to Daily Practice ........................................................................... 228
Tri Juli Edi Tarigan

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | vii


EMPA-REG OUTCOME in Real World Setting: Interim Result
of EMPRISE Real World Data ....................................................... 237
Marulam M Panggabean

POSTER

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Hipertensi


pada Pasien Rawat Jalan di Puskesmas Kampung Sawah,
Kota Tangerang selatan, Provinsi Banten Tahun 2017 ............... 257
Muhammad Iqbal

Perbandingan Kualitas Hidup Antara Continuous Ambulatory


Peritoneal Dialysis dan Hemodialisis pada Pasien dengan
Penyakit Ginjal Tahap Akhir: Laporan Kasus Berbasis Bukti ...... 259
Putri Nurra Kusumawardhany Hakim, Hamzah Shatri,
Pringgodigdo Nugroho

Demam Berdarah Dengue pada Kehamilan: Sebuah Laporan


Kasus Penanganan Pasien di Lokasi Sumber Daya Terbatas ...... 262
Lauretta Ariella Sugondo, Yosef William Angliwarman

Peran Advance Directives pada Gagal Jantung Terminal


Pasien Geriatri .............................................................................. 264
Edward Faisal, Hamzah Shatri, Rudi Putranto, Ika Fitriana

viii | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Diare Kronik pada Pasien Pancolitis Akibat
Trichuristrichiura .......................................................................... 266
Sheila Adiwinata, Willy Brodus Uwan, Budiman Gunawan

Efektivitas Terapi Kombinasi Prokinetik dan Ppi Dibandingkan


dengan PPI sebagai Monoterapi pada Pasien Gerd :
Laporan Kasus Berbasis Bukti ...................................................... 269
Cholifatun Nisa, Hanna Farida Rachmat

Hipokalemia Berulang pada Penggunaan Olanzapine,


Sebuah Laporan Kasus ................................................................. 271
Dwi Rendra Hadi, Suzy Maria

Efektivitas dan Keamanan Febuxostat Dibandingkan


Dengan Allopurinol pada Pasien Penyakit Ginjal Kronik
Dalam Menurunkan Kadar Asam Urat: Sebuah Laporan
Kasus Berbasis Bukti .................................................................... 273
Gema Barlian Effendi

Toleransi Glukosa Terganggu pada Remaja dengan


Riwayat Berat Badan Lahir Rendah: Studi Kohort
Tanjungsari, Indonesia ................................................................. 275
Hikmat Permana, Ria Bandiara, Stefanie Yuliana Usman,
Evan Susandi , Aly Diana, Bachti Alisjahbana

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | ix


Perbandingan Efektivitas Polyethylene Glycol 3350 (PEG 3350)
dengan Lactulose dalam Menurunkan Derajat Ensefalopati
Hepatikum Berdasarkan Hepatic Encephalopathy Scoring
Algorithm (HESA) .......................................................................... 278
Iqbal Taufiqqurrachman, Czeresna Heriawan Soejono

Tingkat Penyelesaian Pencegahan Pasca Paparan (Ppp) Hiv


dengan Berbagai Regimen Obat: Evidenced-Based
Case Report .................................................................................. 280
Bramantya Wicaksana, Andrian Wiraguna, Evy Yunihastuti

Laporan Kasus: Hubungan Ansietas dengan Kejadian


Esofagitis ....................................................................................... 282
Cindy Rahardja, Hamzah Shatri

Laporan Kasus Artritis Septik Salmonella pada


Pasien Lupus Eritematosus Sistemik ........................................... 285
Cindy Yusuf, Mario Steffanus

Ansietas sebagai Pemicu Terjadinya Ulkus Peptikum ................ 288


Eddy Chandra, Rudi Putranto, Hamzah Shatri

x | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Kanker Tiroid sebagai Kanker Sekunder Pada Kanker
Payudara ...................................................................................... 291
Jessica Novia Hadiyanto, Ikhwan Rinaldi, Abdul Muthalib,
Barlian Sutedja, Diah Rini Handjari, Tjondro Setiawan,
Judy Tjahjaindra

High Dose Dexamethasone Sebagai Tata Laksana ITP pada


Periode Peripartum: Sebuah Laporan Kasus ............................... 294
Asiyah N Fadila, Tulus Widiyanto, Edison YP Saragih

Prevalensi Ketidakpatuhan Kunjungan Kontrol pada Pasien


Hipertensi yang Berobat di Fasilitas PelayananTingkat Pertama
(FKTP) dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya .................... 296
Puri Prameshwari, Duddy Mulyawan Djajadisastra

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | xi


SIMPOSIUM
KODE ETIK DONASI DARAH DAN
TRANSFUSI DARAH

Zubairi Djoerban
Divisi Hematologi Onkologi Medik
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Pengantar
Ilmu Kedokteran dan penyelenggaraan sistem kesehatan di mana pun
selalu disarati dengan isu dan dilema etis yang perlu ditangani secara
hati-hati dan menggunakan pendekatan empatik, jika tidak ingin
proses pengobatan gagal atau tidak maksimal. Masalahnya adalah
subyek yang terlibat, baik staf medis maupun pasien atau klien, adalah
manusia yang otonom dengan kepercayaan dan values yang
terinternalisir secara mendalam. Proses “bargaining” di antara
penyedia layanan dan klien di dalam setting rumah sakit atau klinik
menuntut pertimbangan bioetika yang matang sebelum sebuah
tindakan saintifik terhadap tubuh klien dilakukan.
Makalah ini akan memfokuskan pada masalah etika yang muncul
di seputar donasi dan transfusi darah. Transfusi darah berhubungan
erat dengan beberapa isu etik, antara lain karena menyangkut asalnya
(dari tubuh manusia hidup) dan nilainya. Darah adalah zat yang amat
berharga (dianggap sebagai ‘tempat’ nyawa berada), tetapi
mempunyai keterbatasan waktu simpan. Keadaan demikian
berharga, maka keputusan untuk melakukan atau tidak melakukan
transfusi harus dilakukan atas pertimbangan-pertimbangan dasar
berikut: (1) penghormatan terhadap individu dan nilai-nilai yang
dianutnya, (2) perlindungan terhadap hak dan kesejahteraan yang
bersangkutan, (3) menghindari sejauh mungkin terjadinya eksploitasi
dan penyalahgunaan, dan (4) penerapan prinsip Hippokrates primum
non nocere atau ‘menghindari keburukan adalah yang paling utama.1

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 1


Sejarah Etika Transfusi Darah
Etika adalah suatu proses dinamis yang melibatkan ilmu pengetahuan
yang bersifat ilmiah di satu sisi, serta kesadaran masyarakat dan
perangkat perundangan di sisi lain. Untuk itu penting untuk
mengetahui bagaimana etika yang sekarang berlaku ini bermula.

Sejarah kedokteran mencatat transfusi pertama dilakukan pada abad


ke-15, tepatnya pada tahun 1492, sebagai upaya menyelamatkan jiwa
Paus Innosensius (Pope Innocent) VIII. Donornya adalah tiga bocah
laki-laki berusia 10 tahun. Malangnya, baik donor maupun resipien
meninggal tak lama kemudian. Upaya transfusi berikutnya dilakukan
sekitar dua abad kemudian. Pada tahun 1667, Dr Richard Lower
mentransfusikan darah domba ke tubuh seorang penderita gangguan
kejiwaan sebagai upaya menyembuhkan sakitnya. Dalam setahun
pasien mendapat dua kali transfusi, namun proses tersebut
menyebabkan pasien mengalami reaksi anafilaktik dan kehilangan
nyawa. Pengadilan memutuskan dokter tidak boleh melanjutkan
percobaan tersebut. Untuk dicatat, pasien mendapat bayaran atas
keikutsertaan di dalam uji coba tersebut.2

Namun kegagalan demi kegagalan tidak menyebabkan dunia medis


surut meyakini bahwa transfusi darah mungkin dan potensial
dilakukan untuk menyelamatkan nyawa manusia dari kematian yang
sebenarnya bisa dicegah. Pada awal abad ke-20 teknologi transfusi
darah mencapai perkembangan yang menggembirakan. Namun pada
saat yang sama sejumlah masalah etika pun mengiringi. Di era
munculnya epidemi AIDS misalnya, pertanyaan etis yang muncul
adalah, apakah kelompok gay (homoseksual) berhak mendonorkan
darah, karena ketika itu AIDS identik dengan kelompok lelaki yang
berhubungan seks dengan sesama laki-laki.

Pada tahun 1980 Masyarakat Transfusi Darah Internasional


(International Society of Blood Transfusion, ISBT) menekankan perlu
ada kode etik transfusi darah secara formal, yang kemudian didukung
dan dikembangkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Liga

2 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Bulan Sabit Merah Internasional. Tujuan Kode Etik Transfusi Darah
adalah untuk mendefinisikan prinsip-prinsip etika dan peraturan
dalam transfusi darah. Kode etik tersebut menekankan beberapa hal,
antara lain

Aspek Legal Transfusi Darah


Mengingat transfusi darah sudah menjadi bagian penting dalam
layanan kesehatan modern. Namun risiko yang menghadang juga tidak
kecil apabila prosesnya dilakukan dengan tidak hati-hati. Untuk itu
layanan transfusi darah memerlukan peraturan dan protokol yang
ketat, termasuk untuk mengelola dan memitigasi risiko-risiko. Di
antara mitigasi risiko yang perlu diperhatikan adalah adanya kebijakan
dan SOP yang tertulis dan dipahami semua pihak terkait, penggunaan
dokumentasi berstandar, pencatatan yang detil dan tepat waktu.
Manajemen risiko termasuk menandai kantung darah dengan bar-
coded, validasi sebelum transfusi ke pasien, tehnologi isentifikasi
pasien dll.3

Penting diingat bahwa terlepas dari kelengkapan prosedur dan


protokol, faktor manusia dan human error tetap ada, dan ini hanya
bisa diatasi dengan pelatihan berkala, evaluasi kompetensi, sistem
pengecekan berulang, serta berbagai inisiatif yang dilakukan untuk
tujuan perbaikan kualitas layanan yang berorientasi pada kepentingan
klien atau resipien.

Layanan transfusi darah semakin aman di era sekarang dengan


semakin canggihnya metode skrining donor, meningkatnya donor
sukarela, automasi dalam obat-obat transfusi dan standar jaminan
mutu. Namun demikian data menunjukkan baru 125 negara yang
memiliki panduan nasional keamanan darah, hanya 67% rumahsakit di
negara maju yang memiliki komite transfusi, dan lebih sedikit lagi
(54%) yang menyelenggarakan audit klinis transfusi darah.

Kedua hal ini, human error dan kurangnya pengawasan dan panduan,
akan menyebabkan sejumlah kerentanan. Kurangnya komunikasi dan

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 3


konseling akan berdampak pada donor sukarela dan, di sisi lain, self-
exclusion pada komunitas yang berisiko tinggi menularkan
infeksi. Kemudian, kurangnya pengawasan terhadap darah,
komponen darah, atau produk darah dari donor yang terbukti
terinfeksi penyakit-penyakit menular seperti HIV dan Hepatitis tentu
saja berisiko menjadi sumber penularannya. Kurangnya bahan-bahan
habis pakai di negara-negara berpenghasilan rendah, kurangnya alat
diagnostik yang memadai, mekanisme kontrol yang tidak memadai
pada saat pemindahan dan penyimpanan, semuanya akan berdampak
pada kualitas darah yang akan ditransfusikan.

Kerentanan cukup besar lainnya yang masih mengintai adalah masalah


mistmatched antara darah donor dengan resipien. Data dari Inggris
pada akhir dekade ’90-an menunjukkan masih ada 1 di antara 13.000
kantong darah ditransfusikan ke pasien yang “salah” dan beberapa
berakibat fatal.4 Kejadian yang sama juga masih ditemui di negara
semaju Amerika pada periode yang sama. Artinya, ini hanyalah puncak
gunung es dari masalah yang sesungguhnya, yang tidak terekam apa
lagi terlaporkan di negara-negara dengan system kesehatan dan
pengawasan yang lebih lemah.

Segenap masalah ini menunjukkan betapa tricky manajemen transfusi


darah, sehingga soal etika sama sekali tidak bisa diremehkan di
dalamnya.

Dilema Etiko-Religius
Meskipun kode etik telah ditetapkan dan disepakati secara
internasional, namun dalam praktiknya sejumlah dilemma tetap akan
dihadapi oleh mereka yang terlibat di dalam prosesnya. Bank Darah
(UTD/PMI), misalnya, mempunyai dua tugas yakni memastikan
keamanan darah donor, dan memastikan resipien tidak akan
mengalami masalah pasca transfusi. Yang kedua lebih dilematis.
Pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul adalah apakah semua
sumber daya untuk memastikan keamanan darah harus digunakan?
Atau, apakah test keamanan perlu disesuaikan dengan anggaran yang

4 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


tersedia? Untuk diketahui, meskipun kian lama skrining darah donor
terhadap beberapa jenis penyakit (HIV, malaria, sifillis, hepatitis B dan
C) semakin baik, namun tak ada yang menjamin 100 persen tidak akan
terjadi penularan. Saat ini risiko penularan HIV melalui transfusi adalah
1: 1.500.000, dan hepatitis B 1: 60.000

Ada beberapa upaya untuk mendapatkan calon donor yang


kemungkinan terinfeksi sedikit, yaitu antara lain dengan Self-deferral,
calon donor yang mempunyai risiko tertular HIV atau hepatitis C
diharapkan membatalkan menyumbang darah setelah membaca
leaflet yang berisi antara lain bila anda termasuk berisiko terinfeksi HIV
(MSM, pengguna narkotika dll) diharapkan membatalkan rencana
menyumbang darah.

Sumberdaya selalu terbatas, termasuk untuk menyediakan reagen


guna memastikan keamanan darah sebelum ditransfusikan ke tubuh
resipien. Untuk itu bank darah perlu mempertimbangkan dan
menyeimbangkan antara sumberdaya yang dimiliki dengan prinsip
keamanan universal yang menjadi hak penerima donor. Keterbatasan
sumberdaya yang dihadapi bank darah tidak selalu disadari juga oleh
donor. Banyak donor yang menganggap donasi gratis mereka akan
mencapai resipien secara cuma-cuma.5

Di Indonesia, pemerintah dalam hal ini PMI selalu berusaha


meningkatkan keamanan darah yang akan ditransfusikan kepada
resipien. Saat ini PMI, didukung Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah
melengkapi alat uji saring dengan metode Nucleic Acid Test (NAT) yang
mampu mendeteksi keberadaan DNA/RNA virus dengan masa jendela
yang lebih pendek dibanding teknologi yang sebelumnya yakni ELISA.
Dengan uji saring NAT risiko penularan HIV, hepatitis B dan hepatitis C
melalui transfusi akan berkurang. Namun hingga tahun 2018, uji saring
NAT baru tersedia di 12 kota besar yakni Bandung, Surabaya,
Semarang, Surakarta, Bali, Makassar, Medan, Pekanbaru, Padang,
Lampung dan Yogyakarta selain DKI Jakarta sendiri.6

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 5


Donor darah adalah “bisnis” yang mahal. Di satu sisi masalah nyawa
menjadi taruhan, sementara di sisi lain ditekankan bahwa tidak boleh
ada transaksi atau pelibatan pembayaran apa pun. Menyediakan
darah donor yang bebas penyakit, dengan harga produksi yang
ditetapkan pemerintah, masih terus menjadi masalah di banyak
negara di Asia yang terus menyisakan pertanyaan etis mengenai hak
warga negara untuk mendapat perlindungan ketika berada dalam
posisi lemah (baca: sakit).

Masih dari sisi resipien, dilema lainnya terkait dengan sistem


keyakinan yang dianut. Salah satu aliran keagamaan yang secara
prinsip menolak donor darah adalah Saksi Jehovah yang dianut oleh
hampir 8 juta orang di seluruh dunia. Penolakan mereka terhadap
donor darah bukan didasarkan pada persepsi tentang risiko terkait
transfusi darah, melainkan karena pemahaman tekstual terhadap
kitab suci. Darah, menurut pemahaman Saksi Jehovah, adalah tempat
jiwa paling bersemayam. Darahlah yang menghidupi jasad (daging),
dan karenanya mereka diperintahkan untuk menjauhi memakan
daging persembahan dan darah.7 Tidak hanya diharamkan menerima,
mengambil darah pun menurut perspektif ajaran Saksi Jehovah adalah
bentuk pelanggaran dan ketidaktaatan terhadap larangan Tuhan.

Hampir semua pengikut Saksi Jehovah menolak donor darah lengkap


dan bagian-bagian penting darah seperti sel darah merah, trombosit,
sel darah putih, maupun plasma. Namun mereka dapat menerima
pemberian derivat darah seperti albumin, cryoprecipitate, factor
pembekuan (termasuk konsentrat fibrinogen), dan immunoglobulin.
Mereka juga tidak keberatan untuk mendapat hemodialysis,
apheresis, operasi jantung bypass, dan darah mereka sendiri
(intraoperative cell salvage/ICS). Juga tidak keberatan untuk
menerima produksi yg didapat dengan tehnologi rekombinan
a.l. erythropoietin, dan granulocyte colony stimulating factors (e.g. G-
CSF or GM-CSF).8
Referensi :
1. https://ijme.in/articles/ethical-issues-in-transfusion-
medicine/?galley=html

6 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


2. Ibid.
3. http://www.gjtmonline.com/article.asp?issn=2468-
8398;year=2017;volume=2;issue=1;spage=5;epage=7;aulast=Gup
ta
4. Ibid
5. http://www.gjtmonline.com/article.asp?issn=2468-
8398;year=2017;volume=2;issue=1;spage=1;epage=4;aulast=Cha
ndrashekar
6. https://www.jawapos.com/jpg-today/28/09/2018/ini-cara-pmi-
cegah-penularan-hiv-lewat-transfusi-darah/
7. https://www.transfusionguidelines.org/transfusion-
handbook/12-management-of-patients-who-do-not-accept-
transfusion/12-2-jehovah-s-witnesses-and-blood-transfusion
8. Ibid.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 7


HIPERTENSI PADA KEHAMILAN
Aida Lydia
Divisi Ginjal Hipertensi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Epidemiologi

Hypertensive disorders in pregnancy(hipertensi dalam kehamilan)


merupakan masalah kesehatan dunia. Hipertensi dalam
kehamilanmerupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan
morbiditas pada kehamilan sebanyak 14% pada tahun 2003 -
2009.1Hipertensi dalam kehamilan sebelumnya didefinisakan sebagai
subtipe gangguan pada kehamilan yang terdiri dari satu atau lebih
gejala berupa hipertensi, proteinuria dan edema saat kehamilan.
Namun pada tahun 2004, konsensus dari Jepang membagi gangguan
hipertensi pada kehamilan berdasarkan onset menjadi: hipertensi
gestasional (HG), pre-eclampsia (PE) dan eclampsia; serta
superimposed preeclampsia.2

Prevalensi hipertensi dalam kehamilan adalah 5,2 – 8,2% secara


keseluruhan dengan prevalensi tertinggi pada daerah Oceania (2,8 –
9,2%) dan Eropa (2,6 – 4,0%). Daerah Asia sendiri mempunyai
prevalensi sebanyak 0,2 – 6,7%.3 Angka ini sesuai dengan data di
Indonesia yang menunjukkan prevalensi hipertensi pada ibu hamil

8 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


mencapai 6.18% pada seluruh 33 provinsi dengan prevalensi tertinggi
di provinsi Jawa Barat sebanyak 10,67%.4

Seperti yang disebutkan sebelumnya, hipertensi dalam kehamilan


berkaitan dengan mortalitas dan morbiditas, baik maternal maupun
neonatal, yang tinggi. Hipertensi dalam kehamilan menyebabkan
kematian maternal sebanyak 30000 jiwa setiap tahunnya. Hipertensi
dalam kehamilan juga menyumbang sebanyak 30% penyebab
maternal near-miss events. Selain maternal, hipertensi dalam
kehamilan juga menyebabkan morbiditas dan mortalitas neonatal.
Diperkirakan dari 2,6 juta lahir mati (stillbirth) tiap tahunnya, 16%
diantaranya disebabkan oleh hipertensi dalam kehamilan, dimana 11%
adalah hipertensi kronik dan 5% sisanya adalah pre-eclampsia.
Komplikasi neonatal yang berhubungan dengan hipertensi dalam
kehamilan antara lain adalah prematuritas, pertumbuhan janin
terhambat, hipoglikemia neonatus dan asfiksia. Selain itu, hipertensi
dalam kehamilan juga menyebabkan 1,5 – 2 juta kematian neonatus
tiap tahunnya, mencakup 10% dari keseluruhanearly neonatal death.5

Gangguan hipertensi pada kehamilan dibagi menjadi 5 kategori


berdasarkan onset munculnya saat usia kehamilan, yakni: hipertensi
kronik, pre-eklamsia/eklamsia, hipertensi kronik superimposed
dengan preeklamsia, hipertensi gestasional dan hipertensi post
partum. Pada makalah ini, ditekankan pembahasan mengenai

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 9


preeklamsia, hipertensi gestasional, dan hipertensi kronik dimana
prevalensi ketiga penyakit ini paling besar dari keseluruhan gangguan
hipertensi dalam kehamilan.

Perubahan Fisiologis pada Kehamilan

Perubahan kardiovaskular fisiologis yang terjadi saat kehamilan secara


umum disebabkan oleh perubahan resistensi vaskular peningkatan
cardiac output. Vasodilatasi sistemik saat kehamilan terjadi mulai dari
5 minggu, mendahului pembentukan plasenta penuh dan
perkembangan sirkulasi uroplasental. Pada trimester pertama,
terdapat penurunan resistensi vaskular, dimana mencapai titik
terendahnya pada trimester kedua dan diikuti periode plateu hingga
akhir masa kehamilan. Penurunan tekanan darah terutama terjadi
pada diastolik 35-40% dari baseline. Komplains dan distensibiltas
vaskular juga meningkat, yang menyebabkan penurunan tekanan
arteri dan tekanan darah sistolik sentral pada trimester pertama
kehamilan. Perubahan hemodinamik ini akan kembali ke kondisi
sebelum kehamilan pada 2 minggu pasca melahirkan.6

Terdapat hubungan antara kadar progesteron dan relaksin saat


kehamilan dengan perubahan kardiovaskular, khususnya resistensi
perifer vaskular. Hormon relaksin yang dihasilkan corpus luteum pada
awal kehamilan, dan terus meningkat hingga mencapai kadar tertinggi
pada pertengahan kehamilan. Hormon ini mempunyai kemapuan

10 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


vasodilatasi yang diperantarai oleh endotel. Pada trimester awal juga
terjadi peningkatan hormon kortisol bebas baik yang mempunyai
komponen retensi natrium (deoksikortikosteron) maupun komponen
natriuresis (progesteron).7Perubahan juga terjadi pada respon
terhadap sistem saraf simpatis dan respon baroreseptor selama masa
kehamilan. Aktifitas simpatis vasomotor meningkat pada awal
kehamilan, peningkatan aktifitas simpatis yang berlebihan akan
merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi gestasional dan pre-
eklamsia. Pada kehamilan, ditemukan juga penurunan responsifitas
terhadap angiotensin II, neorepinefrin dan vasopresin. Respon
baroreseptor terhadap stimulasi alfa adrenergik juga
berkurang.Perubahan vaskular, neurologis dan hormonal ini berperan
dalam perubahan tekanan darah pada saat kehamilan, khususnya
trimester pertama.6

Kepentingan klinis dalam mengetahui perubahan fisiologis ini adalah


adanya potensi kesalahan diagnosis hipertensi pada saat kehamilan.
Hipertensi kronik yang tidak terdiagnosis sebelumnya dapat tertutupi
oleh penurunan tekanan darah yang secara fisiologis terjadi.
Hipertensi tetap didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥140
mmHg dan diastolik ≥90 mmHg, namun diastolik≥75 mmHg pada
trimester pertama dan diastolik ≥85 mmHg pada trimester kedua
telah dianggap sebagai kenaikan tekanan darah yang abnormal.
Kenaikan ini, walaupun tidak disertai dengan kerusakan end organ

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 11


berhubungan dengan perkembangan janin terhambat8 dan berisiko
untuk menjadi preeklamsia atau hipertensi gestasional9.

Klasifikasi

American College of Obstetry and Gynaecology (ACOG)


mengklasifikasikan hipertensi dalam kehamilan menjadi 5 kategori,
yaitu: hipertensi kronik, pre-eklamsia/eklamsia, hipertensi kronik
superimposed dengan preeklamsia, hipertensi gestasional dan
hipertensi post partum. Klasifikasi ini dibagi berdasarkan onset
hipertensi pada usia kehamilan. Berdasarkan klasifikasi tersebut,
hipertensi gestasional dan preeklamsia merupakan kelainan yang
paling sering dijumpai.

Tabel 1. Klasifikasi dan Definisi hipertensi dalam


kehamilanberdasarkan ACOG9

Klasifikasi Definisi Prevalensi


(%)
Hipertensi Peningkatan tekanan darah 1-5
Kronik sebelum 20 minggu masa
kehamilan dan menetap hingga 12
minggu pasca kehamilan

12 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Preeklamsia Peningkatan tekanan darah de novo 5-7
setelah 20 minggu masa kehamilan
disertai dengan proteinuria
Hipertensi Peningkatan tekanan darah yang 0,2 - 1
kronik dengan disertai dengan proteinuria atau
preeklamsia disfungsi end-organ lain yang
terjadi bersamaan dengan
hipertensi kronik
Hipertensi Peningkatan tekanan darah de novo 6-7
gestasional lebih dari 20 minggu tanpa
proteinuria maupun disfungsi organ
lain

Dalam hal ini, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik ≥


140 mmHg, dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi
dikatakan mild atau ringan dimana tekanan darah sistolik dan diastolik
kurang dari 160 mmHg dan 110 mmHg. Pengukuran tekanan darah ini
direkomendasikan untuk dilakukan dua kali dengan rentang waktu 4
jam, kecuali pada kondisi severe pre-eklamsia, pengukuran tekanan
darah dilakukan dua kali dalam rentang waktu yang lebih sempit.9

Preeklampsia

Preeklampsia adalah kelainan terkait hipertensi yang terjadi secara


eksklusif pada kehamilan, khususnya pada usia kehamilan 20 minggu

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 13


hingga masa term. Kelainan yang terjadi pada preeklamsia berupaa
hipertensi pada waktu spesifik, dengan gangguan multiorgan.
Sebelumnya, preeklamsia secara sederhana didefinisikan sebagai
hipertensi pada kehamilan lebih dari 20 minggu dengan proteinuria.
Namun, ditemukan subset ibu hamil dengan preeklamsia yang
menunjukkan peningkatan tekanan darah tinggi dengan kelainan multi
organ, tanpa disertai proteinuria. Tanpa adanya proteinuria,
preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang berkaitan dengan
trombositopenia, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal akut,
edema paru, gangguan neurologis atau penglihatan.9

Tabel 2. Kriteria diagnosis preeklampsia9

Kriteria diagnosis Definisi


Tekanan darah • Lebih tinggi dari 140 mmHg sistolik dan
90 mmHg diastolik pada dua kali
pemeriksaan dengan rentang waktu 4
jam , setelah usia kehamilan lebih dari 20
minggu
• Lebih tinggi dari 160 mmHg sistolik dan
110 mmHg diastolik pada 2 kali
pemeriksaan dengan rentang waktu yang
lebih pendek
dan

14 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Proteinuria • Proteinuria lebih dari 300 mg/24 jam
dengan pemeriksaan protein urin
kuantitatif
atau
• Rasio protein/creatinin 0,3 gr/grCr
• Proteinuria +1 dengan dipstik
Bilamana tidak ditemukan proteinuria, maka hipertensi dengan
gejala seperti berikut:
Trombositopenia Trombosit dibawah 100000
Gangguan ginjal Kenaikan serum kreatinin diatas 1,1 aau
peningkatan kreatinin 2 kali lipat, tanpa ada
penyebab lain
Gangguan fungsi Kenaikan enzim hati dua kali lipat nilai
hati normal
Edema pulmonal
Gangguan neurologis dan penglihatan

Preeklampsia tidak dikategorikan berdasarkan derajat keparahan


menjadi ringan, sedang, dan berat. Melainkan beberapa gejala yang
ada pada kriteria diagnosis preeklampsia yang menunjukkan derajat
berat penyakit. Ibu hamil dengan tekanan darah ≥160/110 mmHg yang
disertai dengan gangguan fungsi hati, gangguan ginjal, edem paru,
gangguan neurologis atau penglihatan dapat dikategorikan sebagai
preeklampsia berat.9 Beberapa kondisi dari ibu hamil yang

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 15


meningkatkan kewaspadaan atas terjadinya preeklampsia di
kemudian hari antara lain adalah kenaikan tekanan darah melebihi 30
mmHg sistolik dan 15 mmHg diastolik; pertumbuhan janin terganggu
pada pemeriksaan antenatal dan proteinuria saat awal kehamilan.

Hipertensi Kronik

HIpertensi kronik adalah kenaikan tekanan darah melebihi 140/90


mmHg sebelum 20 minggu masa kehamilan, menetap hingga 12
minggu pasca melahirkan atau terdapat riwayat penggunaan obat
antihipertensi sejak sebelum kehamilan.9Ibu hamil dengan hipertensi
kronik baik akan mengalami peningkatan morbiditas baik komplikasi
maternal maupun fetal.9,10

Preeklampsia terjadi pada 13 – 40% ibu hamil dengan hipertensi


kronik. Ibu hamil dengan hipertensi kronik juga terjadi akselerasi
kerusakan target organ terkait hipertensi seperti ginjal, otak, dan
jantung. Komplikasi maternal yang terjadi pada hipertensi kronik
antara lain perdarahan post partum dan seksio sesarian (OR: 2,2 CI: 1,4
– 3,7 dan OR 2,7: CI: 2,4 – 3,0).9 Hipertensi kronik juga berhubungan
dengan kelahiran preterm dan perumbuhan janin terganggu.9,10

Hipertensi Gestasional

16 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Hipertensi gestasional dibedakan dari preeklamsia dengan adanya
proteinuria dan kelainan organ multisistem yang menyertainya.
Luaran dari hipertensi gestasional cukup baik, walaupun beberapa
laporan menyebutkan pasien dengan hipertensi gestasional
mempunyai risiko untuk terjadinya hipertensi kronik tujuh kali lipat
pada 10 tahun pasca melahirkan.9

Komplikasi

Hipertensi dalam kehamilanmempunyai implikasi yang signifikan


dalam risiko kardiovaskular jangka panjang maupun jangka pendek.
Ibu hamil dengan riwayat preeklamsia mempunyai risiko 2 kali lipat
lebih tinggi untuk mengalami penyakit kardiovaskular dibandingkan
dengan wanita yang tetap normotensif selama kehamilan. Riwayat
preeklamsia meningkatkan risiko sebanyak 4,2 kali lipat untuk gagal
jantung, 2,5 kali lipat untuk penyakit arteri koroner dan 1,8 kali lipat
untuk stroke selama follow up lebih dari 39 tahun.11 Risiko ini
berhubungan secara linear dengan derajat berat preeklamsia dan
adanya tidaknya morbiditas janin saat kehamilan.12 Risiko penyakit
kardiovaskular juga meningkat pada wanita dengan riwayat hipertensi
pada kehamilan, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil
dengan preeklamsia. Pada studi kohort jangka panjang, ditemukan
bahwa risiko hipertensi dan penyakit jantung iskemik lebih tinggi pada
wanita degan riwayat hipertensi gestasional, dibandingkan dengan
wanita dengan riwayat preeklamsia (OR:4.08 vs 3.06) dan (OR: 3.19 vs

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 17


2.67).13

Risiko kardiovaskular ini juga meningkat dalam jangka waktu cukup


singkat segera setelah melahirkan. Pasien dengan hipertensi dalam
kehamilan dan preeklampsia mempunyai risiko untuk terjadinya
hipertensi sebanyak 9,4 kali lipat pada 4 tahun pasca melahirkan.
Hospitalisasi akibat penyakit kardiovaskular juga meningkat sebenyak
2,4 kali lipat pada wanita dengan riwayat hipertensi dalam
kehamilandalam jangka waktu 3 tahun saat melahirkan.14 Melihat
komplikasi kardiovaskular yang nyata baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, maka diperlukan upaya preventif untuk
mencegah komplikasi kardiovaskular pasca kehamilan pada ibu hamil
dengan hipertensi dalam kehamilan. Identifikasi risiko untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular juga harus diakukan. Wanita
dengan obesitas dan riwayat merokok mempunyai risiko untuk
berkembang menjadi hipertensi.12 Karena itu, konseling prenatal
mengenai pola hidup, pola makan dan indeks massa tubuh ideal perlu
dilakukan untuk mencegah morbiditas terkait penyakit kardiovaskular.

Glomerular endoteliosis dapat ditemukan secara umum pada ibu


hamil normal. Namun, pada ibu hamil dengan preeklamsia, terdapat
disfungsi glomerulus berart yang ditandai oleh podocyte loss dan
injury. Adanya proteinuria yang signifikan, ibu hamil dengan

18 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


preeklamsia berisiko untuk terjadinya penurunan lajur filtrasi
glomerulu atau bahkan gagal ginjal.15 Studi kohort yang dilakukan di
skandinavia, menunjukkan bahkan wanita dengan riwayat
preeklampsia berisiko tinggi untuk mengalami gangguan ginjal akut
dan penyakit ginjal kronik baik dalam jangka pendek maupun jangka
panjang. Wanita dengan riwayat preeklamsia memiliki risiko
terjadinya gangguan ginjal akut dalam 5 tahun pasca melahirkan (HR:
1,38 95CI: 1,06 – 1,78). Risiko terjadinya gagal ginjal kronik lebih
terlihat dalam jangka waktu lebih dari 5 tahun setelah melahirkan.
Wanita dengan riwayat preeklamsia mempunyai risiko untuk
terjadinya penyakit ginjal kronik (HR: 6,11 95CI: 3.84 – 9,72); penyakit
ginjal hipertensi (HR: 4,65 95CI: 2,77 – 7,77) dan kelainan glomerulus
terkait proteinuria (HR: 4,77 95CI:3,88 – 5,86).15

Tatalaksana

Tatalaksana hipertensi dalam kehamilanmencakup konseling prenatal,


antenatal, upaya preventif dan pemberian medikamentosa. Hipertensi
dalam kehamilan merupakan suatu sindroma dimana kejadiannya
adalah kombinasi antara faktor genetik dan faktor lingkungan yang
dapat dimodifikasi. Faktor risiko lingkungan hipertensi dalam
kehamilan diantaranya: hipertensi, obesitas/overweight, diabetes
melitus, dan penggunaan alat kontrasepsi.4 Riwayat merokok, anemia,
dan asupan alkohol saat kehamilan juga meningkatkan risiko
terjadinya preeklamsia dan hipertensi gestasional.3 Modifikasi faktor

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 19


risiko dan edukasi merupakan komponen penting dalam manajemen
holistik hipertensi pada kehamilan. Tatalaksana hipertensi dalam
kehamilannon medikamentosa dimulai dari konseling prenatal dan
antenatal. Pada konseling antenatal, edukasi harus mencakup edukasi
diet rendah garam (DASH-diet), olahraga rutin dan pada wanita obes,e
tidak disarankan kenaikan berat badan selama kehamilan lebih dari 6,8
kg.16

Upaya preventif dilakukan secara komprehensif pada ibu hamil saat


pemeriksaan antenatal. Pemberian aspirin 100 – 150 mg mulai dari
minggu ke-12 hingga minggu ke 36-37 dilakukan pada pasien dengan
risiko preeklamsia tinggi dan moderat (Tabel 3). Pemberian kalsium 1,5
– 2 gram per hari juga diberikan pada wanita dengan intake kalsium
yang rendah (kurang dari 600 mg per hari). Pemberian vitamin C dan
vitamin E tidak terbukti menurunkan risiko preeklamsia, dan
berhubungan dengan luaran perinatal yang buruk seperti berat badan
bayi lahir rendah.16

Tabel 3. Risiko tinggi dan sedang untuk preeklamsia16

Risiko tinggi Risiko Sedang


• Riwayat HD pada kehamilan • Primipara
sebelumnya • Usia ≥ 40 tahun
• Penyakit Ginjal Kronik • Interval kehamilan lebih dari

20 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


• Penyakit autoimun 10 tahun
• Diabetes tipe 1 dan 2 • BMI of ≥35 kg/m2
• Hipertensi kronik • Riwayat keluarga
preeklampsia
• Kehamilan ganda

Tatalaksana medikamentosa pada ibu hamil dilakukan pada tekanan


darah ≥ 150/100 mmHg atau ≥ 140/90 mmHg dengan target organ
damage (peyakit ginjal kronik, hipertrofi ventrikel kiri, kerusakan
mikrovaskular, retinopati hipertensi, stroke dan usia diatas 40
tahun).9,16,17

Antihipertensi yang direkomendasikan untuk ibu hamil adalah


methyldopa, beta bloker dan antagonis kalsium (calcium channel
blocker/CCB). Dibandingkan dengan CCB, betabloker mempunyai
risiko terjadinya bradikardia, pertumbuhan janin terganggu dan
hipoglikemia; serta mempunya efektifitas tidak sebaik CCB. Tidak
semua beta bloker dapat digunakan, dan atenolol tidak disarankan
untuk digunakan selama masa kehamilan. Hidralazin bukan lagi terapi
pilihan utama pada kehamilan, karena kurangnya efektifitas untuk
menurunkan darah pada pasien dengan hipertensi dalam
kehamilanpada setting hipertensi urgensi. Ibu hamil dengan

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 21


pengobatan antihipertensi sebelumnya boleh dilanjutkan
penggunaannya kecuali dalam terapi ACE-inhibitor, ARB dan renin
inhibitor; yang memiliki potensi teratogenitas. Karena plasma volume
berkurang pada preeklamsia, maka pemberian diuretik tidak
disarankan, kecuali dalam kondisi oligouria. Pasien yang mendapatkan
pengobatan magnesium sulfat, sebaiknya tidak diberikan CCB untuk
menghindari efek sinergisitas yang dapat menyebabkan hipotensi.16

Tabel 4. Antihipertensi pilihan pada preeklampsia berat

Obat Dosis
Labetalol 10 -20 mg iv, lalu 20 – 80 mg tiap 20 –
30 menit hingga dosis maksimum 300
mg
Atau
Infus iv 1 – 2 mg/menit
Sodium Nitropusside Mulai dari 0,25 mcg/kgBB/menit
hingga dosis maksimum 5
mcg/kgBB/menit
Terdapat risiko keracunan sianida pada
fetus bila dgunakan lebih dari 4 jam
Hidralazin Dimulai dengan 5 mg iv atau 10 mg IM
Diulang 5 -10 mg dengan interval 20
menit bilaman diperlukan

22 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Bila tidak ada respon setelah 20 mg IV
atau 30 mg IM, pertimbangkan
penggunaan obat lain
Nifedipin Awal diberikan 10 mg
Dapat diulang 10 mg bila tekanan darah
belum turun
Tidak disarankan penggunaan nifedipin
jangka pendek

Pada pasien dengan pasien dengan preeklampsia berat, perawatan di


rumah sakit disarankan. Terapi pilihan tetap methyldopa, beta bloker
dan CCB, rute pemberian disesuaikan dengan waktu kelahiran. Pada
pasien dengan edema paru, dapat diberikan nitrogliserin secara
intravena 5ug/min, dan ditingkatkan secara bertahap selama 3-5
menit hingga 100 ug/menit. Target tekanan darah tidak diberlakukan
khusus pada ibu hamil, tidak ada perbedaan terkait luaran maternal
dan perinatal pada tight control dengan less-tight
control.9,16Persalinan tidak disarankan pada kehamilan kurang dari 37
minggu dan tekanan darah ibu ≥ 160/110 mmHg.9,18Antihipertensi
yang digunakan untuk tatalaksana hipertensi pada preeklamsi berat
adalah labetalol intravena, hidralazin intravena dan nifedipin oral.9

Persalinan kurang dari 34 minggu dipertimbangkan bila terjadi gejala


seperti hipertensi berat, HELLP syndrome, edema paru, eklampsia,

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 23


gangguan ginjal akut, koagulasi intravaskular diseminata, solusio
plasenta, pekembangan janin terganggu, oligohidrmanio dan test fetal
stress yang abnormal. Bila mana ibu hamil mengalami hipertensi berat,
(tekanan darah >160/110 mmHg), penurunan tekanan darah harus
dilakukan pada 24-48 jam. Bilamana tekanan darah tidak berhasil
mencapai target dalam 24-48 jam, maka persalinan preterm
disarankan.17

Tatalaksana antihipertensi saat laktasi

Sampai saat ini tidak ada studi klinis yang menerangkan mengenai efek
samping metarnal maupun neonatus pada pemberian antihipertensi
selama laktasi. Beberapa studi menyatakan memang sebagian kecil
antihipertensi disekresi melalui ASI, namun tidak ada efek klinis yang
diakibatkan selama pemberian obat-obatan tersebut. Beberapa obat
yang disekresikan lewat ASI antara lain: metildopa, betabloker, CCB,
ACE-inhibitor, hidralazin, dan diuretik.Panduan yang beredar
merekomendasikan penggunaan metildopa sebagai obat lini pertama
hipertensi pada laktasi. Namun pemberian obat ini berkaitan dengan
depresi klinis, dan harus diberikan secara hati-hati pada wanita
postpartum yang berisiko untuk mengalami depresi postpartum. ACE
inhibitor (elanapril, captopril dan quinapril) mempunyai molekul yang
kecil dan berisiko untuk ditransfer dalam jumlah kecil melalui ASI,
namun tidak ada studi yang dapat membuktikan dampak klinis obat
tersebut terhadap neonatus. Secara umum, obat antihipertensi yang

24 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


dapat digunakan selama kehamilan, dapat digunakan selama laktasi.18

Tabel 5. Rangkuman Penggunaan Antihipertensi pada Kehamilan


dan Laktasi

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 25


Daftar Pustaka

1. Say L, Chou D, Gemmill A, Tunçalp Ö, Moller AB, Daniels J, et al.


Global causes of maternal death: A WHO systematic analysis.
Lancet Glob Heal. 2014;2(6):323–33.
2. Watanabe K, Naruse K, Tanaka K, Metoki H, Suzuki Y. Outline of
Definition and Classification of “Pregnancy induced Hypertension
(PIH).” Hypertens Res Pregnancy. 2013;1(1):3–4.
3. Umesawa M, Kobashi G. Epidemiology of hypertensive disorders
in pregnancy: Prevalence, risk factors, predictors and prognosis.
Hypertens Res [Internet]. Nature Publishing Group;
2017;40(3):213–20. Available from:
http://dx.doi.org/10.1038/hr.2016.126

26 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


4. Sari NK, Hakimi M, Rahayujati TB. Determinan gangguan hipertensi
kehamilan di Indonesia. BKM J Community Med Public Heal.
2016;32(9):295–302.
5. von Dadelszen P, Magee LA. Preventing deaths due to the
hypertensive disorders of pregnancy [Internet]. Best Practice and
Research: Clinical Obstetrics and Gynaecology. Elsevier Ltd; 2016.
p. 83–102. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.bpobgyn.2016.05.005
6. Sanghavi M, Rutherford JD. Cardiovascular physiology of
pregnancy. Circulation. 2014;130(12):1003–8.
7. Cavalcante J, Lima J, Redheuil A, Al-Mallah M. Aortic stiffness:
Current understanding and future directions. J Am Coll Cardiol.
2011;57(14):1511–22.
8. Lindheimer M, Taler S, Cunningham FG. Hypertension in
pregnancy. J Am Soc Hypertens [Internet]. American Society of
Hypertension; 2008;2(6):484–94. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jash.2008.10.001
9. American College of Obstetricians and Gynecologists. Task Force
on Hypertension in Pregnancy. Hypertension in Pregnancy.
Hypertension in Pregnancy. 2013. 1–100 p.
10. Seely EW, Ecker J. Chronic hypertension in pregnancy. Circulation.
2014;129(11):1254–61.
11. Wu P, Haththotuwa R, Kwok CS, Babu A, Kotronias RA, Rushton C,
et al. Preeclampsia and future cardiovascular health. Circ
Cardiovasc Qual Outcomes. 2017;10(2):1–9.
12. Ying W, Catov JM, Ouyang P. Hypertensive disorders of pregnancy
and future maternal cardiovascular risk. Journal of the American
Heart Association. 2018. p. 1–9.
13. Tooher J, Thornton C, Makris A, Ogle R, Korda A, Hennessy A. All
hypertensive disorders of pregnancy increase the risk of future
cardiovascular disease. Hypertension. 2017;70(4):798–803.
14. Jarvie J, Metz T, Davis M, Ehrig J, Kao D. Short-term risk of
cardiovascular readmission following a hypertensive disorder of
pregnancy. Heart. 2018;104:1187–94.
15. Kristensen JH, Basit S, Wohlfahrt J, Damholt MB, Boyd HA. Pre-
eclampsia and risk of later kidney disease: Nationwide cohort
study. BMJ. 2019;365:1–9.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 27


16. Regitz-Zagrosek V, Roos-Hesselink JW, Bauersachs J, Blomstrom-
Lundqvist C, Cifkova R, De Bonis M, et al. 2018 ESC Guidelines for
the management of cardiovascular diseases during pregnancy. Eur
Hear J. 2019;77(3):245–326.
17. Kattah A, Garovic V. The Management of Hypertension in
Pregnancy. Adv Chronic Kidney Dis. 2013;20(3):229–39.
18. National Institute for Health and Care Excellence. Hypertension in
pregnancy: diagnosis and management. 2015;(June):1–54.
Available from: http://www.nice.org.uk/guidance/cg107

28 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


CONTRAST-INDUCED NEPHROPATHY: EVALUATION, PREVENTION,
AND TREATMENT OF ACUTE KIDNEY INJURY DUE TO CONTRAST-
INDUCED NEPHROPATHY

Maruhum Bonar H.M

Divisi Ginjal Hipertensi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Pendahuluan

Contrast-induced nephropathy (CIN) merupakan penyebab acute


kidney injury (AKI) yang bersifat iatrogenik yang cukup banyak
dijumpai. Meskipun kondisi ini bersifat sementara, CIN dapat
memperpanjanglama perawatan, meningkatkan mortalitas, dan
mempercepat progresivitas penyakit ginjal kronik (PGK). Pada pasien
yang telah mengalami gangguan ginjal sebelumnya, kejadian
kerusakan ginjal permanen hingga membutuhkan dialisis dapat
mencapai 10% setelah prosedur korangiografi. Bahkan angka
kematian di rumah sakit pada AKI yang membutuhkan dialisis
mencapai 36%, walaupun kematian pada keadaan ini juga dipengaruhi
oleh komorbid lainnya.1, 2

Secara singkat CIN didefinisikan sebagaigangguan fungsi ginjal


(peningkatan kreatinin serum 25% dari nilai dasar atau peningkatan
nilai absolut kreatinin serum sebesar 0,5 mg/dL) dalam waktu 48 – 72
jam setelah pemberian zat kontras. Contrast-induced
nephropathymerupakan kondisi yang dapat dicegah.Pasien-pasien
berisiko tinggi dapat diketahui sebelumnya dan sebagian besar
prosedur yang membutuhkan material kontras yang terencana harus
mengikuti prosedur profilaksis. Penelitian-penelitian terbaru
menunjukkan bahwa dengan menggunakan zat yang low- atau iso-

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 29


osmolar dan dengan dosis yang rendah namun efektif, serta
pemberian cairan intravena sebelum tindakan yaitu dengan cairan
kristaloid isotonik dapat mencegah risiko CIN pada pasien risiko
tinggi.1, 2

Panduan KDIGOpada tahun 2012 mengenai praktik klinik pada AKI


telah menyebutkan beberapa hal mengenai panduan pencegahan CIN
mulai dari pengenalan faktor risiko CIN, meminimalkan volume
kontras dan penggunaan iso-osmolar atau low-osmolar kontras
sampai tindakan pencegahan dengan salin normal atau sodium
bikarbonat intravena.3Makalah ini akan membahas lebih detil
mengenai patogenesis, evaluasi dan pencegahan AKI yang disebabkan
oleh CIN.

Patogenesis

Beberapa mekanisme diduga menjadi dasar terjadinya CIN. Penelitian-


penelitian sebelumnya menunjukkan bukti terjadinya nekrosis tubular
akut (acute tubular necrosis, ATN), namun mekanisme yang mendasari
masih belum dimengerti seluruhnya. Terdapat dua teori yang
mendasari ATN pada CIN. Teori pertama adalah vasokonstriksi ginjal
yang menyebabkan hipoksia medular, kemungkinan akibat
peningkatan viskositas dan perubahan berbagai zat seperti nitrit oxide,
endothelin, dan/atau adenosin. Teori kedua adalah bahwa ATN secara
langsung disebabkan oleh efek toksik dari media kontras pada sel
tubular. Cedera sel tubular dapat dieksaserbasi oleh vasokonstriksi
ginjal.1, 2, 4

Faktor risiko

Sangat penting untuk mengenali faktor risiko dan membuat stratifikasi


risiko terjadinya CIN. Riwayat PGK sebelumnya yang disertai dengan
diabetes melitus merupakan risiko yang paling tinggi terhadap CIN.
Pada pasien yang memiliki nilai kreatinin dasar yang telah meningkat,

30 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


misalnya pada pasien diabetes atau PGK, angka kejadian CIN dapat
mencapai 12-26%. Pada pasien dengan nilai kreatinin serum dasar
yang normal, insidens CIN adalah sekitar 3%. Faktor lainnya yang
meningkatkan risiko CIN dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1. Faktor Risiko CIN

Faktor risiko CIN


− Diabetes dengan PGK (minimal stadium 3)
− Riwayat PGK (minimal stadium 3)
− Usia lanjut
− Deplesi cairan intravaskular
− Volume kontras dan zat kontras dengan osmolaritas
tinggi
− Penggunaan bersama dengan obat-obat berikut:
• Diuretik
• Angitensin-converting enzyme inhibitor
(ACEi)
• Obat anti-inflamasi nonsteroid (OAINS)
• Aminoglikosida
• Calcineurin inhibitor

Pada tahun 2004, Mehran dkk telah mengembangkan skor untuk


memperkirakan kemungkinan terjadinya AKI setelah paparan zat
kontras. Beberapa kriteria dimasukkan dalam perhitungan skor yaitu
hipotensi, penggunaan terapi pompa balon intra-aortik, gagal jantung
kronik, usia >75 tahun, anemia, diabetes, volume kontras yang lebih
banyak, dan riwayat PGK sebelumnya. Masing-masing kriteria memiliki
skor berbeda (misal hipotensi memiliki 5 poin sedangkan diabetes
memiliki 3 poin). Berdasarkan jumlah skor terdapat empat kategori
risiko yaitu <5; 6 sampai 10; 11 sampai 16; dan >16) yang menunjukkan
risiko yang semakin meningkat untuk terjadinya CIN dan dialisis (Tabel
2)5

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 31


Tabel 2. Sistem skor risiko CIN

Kriteria Skor
Hipotensi 5
Terapi pompa balon intra-aortik 5
Gagal jantung kronik 5
Usia >75 tahun 4
Anemia 3
Diabetes 3
Volume kontras Meningkat sesuai
volume
Kreatinin serum >1,5 mg/dL 4
eGFR <60 ml/menit/1,73 m2 Meningkat sesuai
penurunan eGFR

Gambaran Klinis
Manifestasi klinis utama CIN adalah peningkatan kreatinin serum
dan, yang lebih jarang, oliguria. Sebagian besar pasien nonoligourik.
Peningkatan kreatinin umumnya terlihat dalam 24 sampai 48 jam
setelah paparan kontras dan umumnya ringan. Kreatinin biasanya
mulai menurun kembali dalam tiga sampai tujuh hari. Jika terdapat
oliguria, umumnya terjadi segera setelah prosedur pemberian kontras.
Manifestasi AKI lain dapat terlihat, seperti hiperkalemia, asidosis, dan
hiperfosfatemia.6, 7
Urinalisis dapat menunjukkan gambaran klasik ATN
sepertisedimen granular berwarna cokelat keruh atau sedimen epitel

32 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


tubular. Namun tidak ditemukannya sedimen ini dalam urin tidak
menyingkirkan diagnosis.7
Ekskresi protein dalam urin biasanya tidak ditemukan atau ringan.
Pemeriksaan ekskresi protein sebaiknya tidak dilakukan dalam 24 jam
pertama setelah pemeriksaan dengan media kontras karena nilainya
dapat lebih tinggi dari yang sebenarnya (positif palsu). Jika didapatkan
ekskresi protein yang positif, maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan
ulang setidaknya 48 jam setelah pemberian kontras untuk
menyingkirkan kemungkinan positif palsu.7

Diagnosis
Diagnosis CIN berdasarkan manifestasi klinik, termasuk peningkatan
kreatinin serum dalam 24 sampai 48 jam setelah paparan kontras, dan
setelah menyingkirkan penyebab AKI lainnya.
Urinalisis dapat memberikan informasi diagnostik yang penting
untuk menyingkirkan penyebab AKI lainnya. Temuan sedimen granular
berwarna cokelat keruh atau sedimen epitel tubular akan memperkuat
diagnosis CIN, namun tidak adanya temuan tersebut juga tidak
menyingkirkan diagnosis ini. Namun demikian, tidak ditemukannya
temuan lain seperti sel darah putih, sedimen sel darah putih, sel darah
merah dismorfik, atau sedimen sel darah merah umumnya
menyingkirkan nephritis interstisial dan penyakit glomerular sebagai
penyebab dari AKI. Sebaliknya jika ditemukan temuan tersebut, maka
penyebab AKI adalah bukan ATN, misalnya nephritis interstisial dan
lesi glomerular.
Walaupun ultrasonografi (USG) umumnya dilakukan pada pasien
dengan peningkatan kreatinin, namun pada kasus yang dicurigai
sebagai CIN pemeriksaan USG tidak dilakukan pada fase awal.
Modalitas USG dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyebab AKI
lain yang perjalanan klinisnya tidak sesuai dengan CIN. Seperti halnya
pemeriksaan USG, biopsi ginjal umumnya tidak dilakukan untuk
mendiagnosis ATN pada CIN, namun dapat dilakukan untuk
menyingkirkan penyebab lainnya ketika diagnosis CIN masih
dipertanyakan.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 33


PENCEGAHAN DAN TATA LAKSANA
CIN merupakan kondisi yang dapat dicegah. Saat ini, tindakan
profilaksis yang diterima secara umum adalah hidrasi terhadap pasien
dengan menggunakan salin normal sebelum pemberian zat kontras.
Adanya kondisi-kondisi di mana pasien tidak dapat mentoleransi
cairan dalam jumlah banyak melatarbelakangi berbagai penelitian
untuk mencari adakah tindakan lain yang dapat dilakukan untuk
mengurangi insiden CIN atau sejauh mana hidrasi dapat mencegah
terjadinya CIN.

Pencegahan dengan Kristaloid


Kristaloid vs. tanpa Kristaloid
Berbagai penelitian sejak dahulu menyatakan bahwa salin normal
terbukti efektif dalam mencegah CIN. Penelitian AMACING trial
mencoba mempertanyakan mengenai peran hidrasi tersebut. Pada
penelitian ini dibandingkan antara pemberian profilaksis salin normal
versus tanpa profilaksis untuk mencegah CIN. Hasilnya cukup
mengejutkan di mana prosedur tanpa profilaksis ternyata tidak lebih
infekrior dibandingkan prosedur hidrasi dengan salin normal untuk
melindungi fungsi ginjal. Namun pada penelitian ini terdapat beberapa
keterbatasan antara lain rendahnya angka kejadian CIN pada
penelitian ini yang kemungkinan disebabkan oleh belum
terdiagnosisnya CIN pada sebagian individu serta rendahnya viskositas
dan konsentrasi kontras yang digunakan yang tidak sesuai dengan
praktik sehari-hari di negara lain sehingga dianggap kurang valid.5, 8

Natrium Klorida vs.Natrium Bikarbonat


Penelitian lain yang dipublikasi di Journal of the American Medical
Association meneliti apakah infus sodium bikarbonat dapat mencegah
CIN. Pada penelitian ini Natrium bikarbonat terbukti dapat mencegah

34 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


CIN, namun penelitian ini hanya melibatkan sangat sedikit pasien.9
Penelitian lain oleh Briguori dkk. membandingkan salin normal
ditambah N-acetylcystein (NAC) versus natrium bikarbonat ditambah
NAC versussalin normal ditambah NAC dan asam askorbat. Pada
penelitian ini didapatkan pemberian natrium bikarbonat ditambah
NAC superior dibandingkan terapi lainnya.10
Penelitian lain, yaitu RENO trial, mengevaluasi hidrasi dengan
pemberian salin normal post-kontras versus terapi dengan natrium
bikarbonat dan NAC sebelum dan sesudah kontras. Kedua kelompok
juga mendapatkan dua kali pemberian NAC setelah pemberian
kontras. Berdasarkan penelitian ini, pemberian infus cepat natrium
bikarbonat ditambah NAC dianggap aman dan efektif untuk
mengurangi insidens CIN pada pasien yang akan menjalani intervensi
koroner perkutan dibandingkan dengan pemberian salin saja.11
Penelitian yang paling terkini mengenai pencegahan CIN adalah
penelitian yang dilakukan oleh Weisbord dkk. yang
membandingkannatrium bikarbonat IV versus salin normal dan NAC
versus plasebo. Ini merupakan penelitian uji klinis acak tersamar
ganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara pemberian sodium bikarbonat dengan salin
normal maupun pemberian NAC dibandingkan plasebo untuk
mencegah kematian, kebutuhan dialisis, maupun penurunan fungsi
ginjal persisten dalam 90 hari maupun untuk pencegahan CIN.
Berdasarkan penelitian ini maka pemberian natrium bikarbonat IV
tidak memiliki manfaat dibandingkan salin normal IV dalam mencegah
penurunan fungsi ginjal, kematian maupun AKI. Kesimpulan yang sama
juga terjadi pada NAC dibandingkan plasebo.12

Pemberian Cairan Oral vs. intravena


Penelitian yang membandingkan pemberian cairan oral vs.
intravena lebih sedikit. Suatu penelitian uji klinis acak terkontrol oleh
Marten dkk. yang membandingkan kelompok pasien dengan protokol
pemberian natrium bikarbonat iv, natrium sitrat oral, dan hidrasi
nonspesifik. Hasil penelitian membuktikan tidak ada perbedaan
insiden CIN pada semua kelompok (7,0% vs 11,6% vs 9,1%)9

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 35


N-Acetylcystein
Berdasarkan penelitian terdahulu, N-Acetyl cystein (NAC)
diharapkan dapat menetralkanreactive-oxygen species yang
disebabkan oleh zat kontras di dalam ginjal. Berbagai penelitian
menunjukkan hasil yang positif dari NAC untuk pencegahan CIN,
namun perlu diperhatikan adanya beberapa keterbatasan pada
penelitian tersebut.10, 11
Pemberian NAC tunggal untuk pencegahan CIN juga telah diteliti.
Pada penelitian ini pasien diberikan dosis standar NAC (600 mg IV
bolus diikuti dengan 600 mg peroral dua kali sehari selama 48 jam
setelah pemberian kontras), dosis ganda (1200 mg IV bolus diikuti
1200 mg peroral dua kali sehari selama 48 jam setelah pemberian
kontras), atau kelompok kontrol (plasebo). Semua pasien juga
diberikan hidrasi IV dengan salin normal (1 mL/lg/jam atau 0,5
ml/kg/jam untuk pasien gagal jantung). Terdapat perbedaan signifikan
terhadap peningkatan kadar serum kreatinin, terutama pada
kelompok dosis ganda (33% kontrol, 15% dosis standar, 8% dosis
ganda; 0<0,001). Hasil serupa juga terlihat pada luaran lain yaitu
kematian, AKI yang membutuhkan dialisis sementara, atau kebutuhan
ventilasi mekanik (p<0,002). Berdasarkan penelitian ini, maka
penggunaan NAC dapat menurunkan risiko CIN, terutama pada
strategi dosis ganda.13
Sebaliknya penelitian terkini oleh Weisbord yang juga meneliti
subgrup profilaksis dengan NAC mendapatkan tidak ada perbedaan
signifikan antara NAC dibandingkan plasebo dalam mencegah
CIN.12Begitu juga Li dkk. dalam meta-analisis yang dipublikasi pada
tahun 2017 menyimpulkan bahwa NAC bukanlah strategi yang efektif
dalam profilaksis CIN.14

Obat-obatan lain
Su dkk. mempublikasikan meta-analisis mengenai pencegahan
CIN dengan berbagai macam obat antara lain: NAC, teofilin,
fenoldopam, iloprost, alprostadil, prostaglandin E1, statin, statin

36 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


ditambah NAC, asam askorbat (vitamin C), tokoferol (vitamin E), asam
alpha-lipoic, atrial natriuretic peptide, dan carperitide. Berdasarkan
meta-analisis ini obat yang paling efektif adalah statin dosis tinggi
ditambah hidrasi dengan atau tanpa NAC.15, 16
Adanya banyak perbedaan pada berbagai penelitian tersebut,
maka sangat sulit untuk menentukan rekomendasi penggunaan NAC
untuk pencegahan CIN. Namun, mengingat ketersediaan NAC cukup
mudah dan harga relatif terjangkau maka NAC dapat menjadi pilihan
yang dapat diterapkan sebagai terapi tambahan di samping pemberian
hidrasi dan obat-obat lain yang telah terbukti bermanfaat seperti
statin dosis tinggi.16

Dialisis
Dialisis untuk indikasi eliminasi media kontras tidak direkomendasikan
sebagai pencegahan CIN. Satu penelitian menunjukkan hasil positif jika
dilakukan hemofiltrasi jika dilakukan 6 jam sebelum terjadinya
paparan media kontras dan dilanjutkan sampai 18-24 jam setelah
pemberian media kontras. Namun, prosedur seperti ini memiliki
tingkat kesulitan yang sangat tinggi dan tidak dapat dilakukan dalam
praktik klinis sehari-hari. Penelitian-penelitian lainnya pun tidak
berhasil menunjukkan manfaat dari dialisis.17

Kesimpulan
Beberapa hal dapat disimpulkan berdasarkan pemaparan di atas:
• Pengenalan faktor risiko secara individual sangat penting untuk
menilai risiko terjadinya CIN
• Pemberian hidrasi profilaksis terhadap pasien dengan risiko CIN
• Hidrasi sebaiknya diberikan secara intravena, baik berupa sodium
klorida ataupun sodium bikarbonat
• NAC dapat diberikan sebagai terapi tambahan
• Statin dosis tinggi dapat diberikan sebagai terapi tambahan

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 37


• Dialisis bukan merupakan tindakan untuk pencegahan CIN

Daftar Pustaka
1. Hossain MA, Costanzo E, Cosentino J, Patel C, Qaisar H, Singh V,
et al. Contrast-induced nephropathy: Pathophysiology, risk
factors, and prevention. Saudi Journal of Kidney Diseases and
Transplantation. 2018;29(1):1.
2. Detrenis S, Meschi M, Musini S, Savazzi G. Lights and shadows on
the pathogenesis of contrast-induced nephropathy: state of the
art. Nephrology Dialysis Transplantation. 2005;20(8):1542-50.
3. Khwaja A. KDIGO clinical practice guidelines for acute kidney
injury. Nephron Clinical Practice. 2012;120(4):c179-c84.
4. Persson PB, Hansell P, Liss P. Pathophysiology of contrast
medium–induced nephropathy. Kidney international.
2005;68(1):14-22.
5. Patschan D, Buschmann I, Ritter O. Contrast-Induced
Nephropathy: Update on the Use of Crystalloids and
Pharmacological Measures. International journal of nephrology.
2018;2018.
6. Rich MW, Crecelius CA. Incidence, risk factors, and clinical course
of acute renal insufficiency after cardiac catheterization in
patients 70 years of age or older: a prospective study. Archives of
Internal Medicine. 1990;150(6):1237-42.
7. Morcos S, El-Nahas A, Brown P, Haylor J. Effect of iodinated water
soluble contrast media on urinary protein assays. BMJ.
1992;305(6844):29.
8. Nijssen EC, Rennenberg RJ, Nelemans PJ, Essers BA, Janssen MM,
Vermeeren MA, et al. Prophylactic hydration to protect renal
function from intravascular iodinated contrast material in
patients at high risk of contrast-induced nephropathy
(AMACING): a prospective, randomised, phase 3, controlled,
open-label, non-inferiority trial. The Lancet.
2017;389(10076):1312-22.

38 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


9. Merten GJ, Burgess WP, Gray LV, Holleman JH, Roush TS,
Kowalchuk GJ, et al. Prevention of contrast-induced nephropathy
with sodium bicarbonate: a randomized controlled trial. Jama.
2004;291(19):2328-34.
10. Briguori C, Visconti G, Focaccio A, Airoldi F, Valgimigli M, Sangiorgi
GM, et al. Renal Insufficiency After Contrast Media
Administration Trial II (REMEDIAL II) RenalGuard System in High-
Risk Patients for Contrast-Induced Acute Kidney Injury.
Circulation. 2011;124(11):1260-9.
11. Recio-Mayoral A, Chaparro M, Prado B, Cózar R, Méndez I,
Banerjee D, et al. The reno-protective effect of hydration with
sodium bicarbonate plus N-acetylcysteine in patients undergoing
emergency percutaneous coronary intervention: the RENO Study.
Journal of the American College of Cardiology. 2007;49(12):1283-
8.
12. Weisbord SD, Gallagher M, Jneid H, Garcia S, Cass A, Thwin S-S, et
al. Outcomes after angiography with sodium bicarbonate and
acetylcysteine. New England Journal of Medicine.
2018;378(7):603-14.
13. Marenzi G, Assanelli E, Marana I, Lauri G, Campodonico J, Grazi
M, et al. N-acetylcysteine and contrast-induced nephropathy in
primary angioplasty. New England Journal of Medicine.
2006;354(26):2773-82.
14. Li JX, Jin EZ, Yu LH, Li Y, Liu NN, Dong YM, et al. Oral
N‑acetylcysteine for prophylaxis of contrast‑induced
nephropathy in patients following coronary angioplasty: A
meta‑analysis. Experimental and therapeutic medicine.
2017;14(2):1568-76.
15. Su X, Xie X, Liu L, Lv J, Song F, Perkovic V, et al. Comparative
effectiveness of 12 treatment strategies for preventing contrast-
induced acute kidney injury: a systematic review and Bayesian
network meta-analysis. American Journal of Kidney Diseases.
2017;69(1):69-77.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 39


16. Özhan H, Erden I, Ordu S, Aydin M, Caglar O, Basar C, et al. Efficacy
of short-term high-dose atorvastatin for prevention of contrast-
induced nephropathy in patients undergoing coronary
angiography. Angiology. 2010;61(7):711-4.
17. Marenzi G, Lauri G, Campodonico J, Marana I, Assanelli E, De
Metrio M, et al. Comparison of two hemofiltration protocols for
prevention of contrast-induced nephropathy in high-risk patients.
The American journal of medicine. 2006;119(2):155-62.

40 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


NEW INSIGHT FROM SITAGLIPTIN STUDY
(EAST ASIAN POPULATION)

Dyah Purnamasari

Divisi Metabolik Endokrinologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI/ RS Cipto Mangunkusumo Jakarta

Prevalensi dan insidens diabetes melitus (DM) di Kawasan Asia,


termasuk Indonesia melonjak bermakna sehingga menyumbang
sebanyak 25% dari total penyandang DM di dunia.1 Kenaikan ini
mendapatkan respons yang cepat dalam hal perkembangan terapi
untuk kasus DM, dimana dalam 10 tahun terakhir terdapat beberapa
obat DM generasi baru dengan mekanisme kerja yang saling
melengkapi untuk menurunkan hiperglikemia. Meskipun saat ini
terdapat banyak pilihan obat baik oral maupun injeksi untuk kasus DM,
data Diabetes Care in Asia menunjukkan proporsi penyandang DM
yang mencapai target kendali glikemik hanya sekitar 30% pasien.
Angka tersebut tidak hanya di negeara berkembang, namun juga di
Negara maju. Hal tersebut menunjukkan pentingnya pendekatan
secara menyeluruh dalam penatalaksanaan DM, tidak hanya focus
pada pendekatan farmakologi, namun perlu juga pendekatan non-
farmakologi.2

Patofisiologi utama terjadinya DM tipe 2 adalah kombinasi antara


gangguan sensitivitas insulin (resistensi insulin) dan gangguan sekresi
insulin (defisiensi insulin). Kedua gangguan utama tersebut kemudian
berkembang menjadi teori octet yang menunjukkan adanya 8 jenis
gangguan yang mengakibatkan hiperglikemia. Kedelapan gangguan
tersebut meliputi gangguan sekresi insulin, peningkatan produksi
glukagon, gangguan ambilan glukosa di otot, peningkatan produksi

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 41


glukosa hati oleh hati, peningkatan lipolisis jaringan lemak,
peningkatan reabsorpsi glukosa di ginjal, gangguan neuro transmiter
di otak, dan gangguan sekresi hormone inkretin saluran cerna.3

Penelitian terdahulu menunjukkan penyandang DM di Kawasan


Asia didominasi oleh gangguan sekresi insulin oleh sel beta pankreas.
Hal tersebut sudah mulai diketahui sejak awal tahun 1970 di populasi
Jepang yang dibandingkan dengan populasi Kaukasia. Gangguan
sekresi insulin nyata tampak pada fase setelah makan meskipun pada
populasi dengan indeks masa tubuh yang lebih kecil dan sensitivitas
insulin yang lebih tinggi dibandingkan populasi kulit putih. Suatu
penelitian yang membandingkan populasi Jepang dan Kaukasia
menunjukkan bahwa populasi Jepang (Asia) memiliki sensitivitas
insulin yang lebih tinggi daripada Kaukasia, sementara itu populasi
Kaukasia memiliki respons sel beta yang lebih tinggi dari pada populasi
Jepang. Di akhir analisis penelitian tersebut menunjukkan bahwa
perbedaan respon sel beta diantara kedua populasi menjadi tidak
bermakna setelah dilakukan adjustment terhadap indeks massa
tubuh.4 Laporan systematic review dan meta-analysis terbaru
menunjukkan adanya factor genetic menyebabkan populasi Afrika dan
Asia timur lebih rentan mengalami DM dibandingkan dengan
Kaukasia.3

Penghambat enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4 inhibitor)


merupakan salah satu obat DM yang bekerja dengan menghambat
enzim DPP-4, suatu enzim yang berfungsi menginaktivasi GLP-1,
sehingga kadar GLP-1 dalam darah dipertahankan tinggi. Mekanisme
kerja obat ini diantaranya meningkatkan efisiensi produksi insulin yang
bersifat glucose-dependent, menekan produksi glucagon berlebihan,
menghambat pengosongan lambung sehingga menurunkan kecepatan
masuknya glukosa ke sirkulasi, dan meningkatkan rasa kenyang
sehingga mengurangi asupan makanan. Sejauh ini terdapat beberapa
macam penghambat DPP-4 diantaranya adalah sitagliptin, vildagliptin,
linagliptin, saxagliptin, dan alogliptin. Penelitian terdahulu
menunjukkan penggunaan penghambat DPP-4 pada penyandang DM
dapat menurunkan HbA1c hingga 0,94. Selain itu, penelitian meta

42 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


analisis menunjukkan obat penghambat DPP-4 memperbaiki fungsi sel
beta dibandingkan plasebo.5-7

Penelitian terdahulu menunjukkan populasi Asia menunjukkan


respon penurunan glukosa darah yang lebih besar dibandingkan
dengan Kaukasia pasca pemberian obat golongan penghambat DPP-4,
meskipun hal ini memerlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui
mekanismenya. Satu studi terbaru meneliti efektifitas sitagliptin pada
populasi Asia. Studi tersebut melibatkan 2819 subjek dari fase IIb/III.
Sebanyak 74,5% berasal dari Cina, 10% dari Jepang dan 15% lainnya
dari Asia Timur lainnya. Rerata HbA1c subjek 8,5% dengan lama DM
sekitar 7,4 tahun. Sitagliptin menurunkan HbA1c sekitar 0,94% dari
baseline 8,5%. Populasi Cina, Jepang, dan Asia lainnya menunjukkan
respons penurunan HbA1c yang bermakna dibandingkan plasebo.
Proporsi subjek yang berhasil mencapai HbA1c <7% pada bulan ke 12
dan 24 lebih banyak pada pengguna sitagliptin dibandingkan placebo.
Pada minggu ke 12 dan 24, sebanyak 28,4% dan 30% subjek mencapai
HbA1c <7. Pada evaluasi efek samping, penggunaan sitagliptin relative
aman dengan insidens hipoglikemia yang rendah dan tidak berbeda
bermakna dibandingkan penggunaan plasebo.8

Sebagai simpulan, efek penurunan glukosa dari penghambat DPP-


4 lebih nyata pada populasi Asia disbanding Kaukasia. Penggunaan
sitagliptin menurunkan HbA1c sekitar 0,94% dari baseline 8,5% pada
populasi Asia dengan DM serta tidak menunjukkan efek hipoglikemi
yang bermakna dibandingkan plasebo.

Daftar pustaka

1. Yabe D, Deino Y. Type 2 diabetes via β cell dysfunction in east Asian


people. Lancet Diabetes Endocrinol 2015:1-2.
2. Rudijanto A, Lindarto D, Pemayun TGD, Wisnu W, Kumala P, Puteri
HHS. DiabCare Asia 2012: diabetes management, control, and
complications in patients with type 2 diabetes in Indonesia. Med J
Indones2019;28:47-56.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 43


3. Kodama K, Tojjar D, Yamada S, Toda K, Patel CJ, Butte AJ. Ethnic
differences in the relationship between insulin sensitivity and
insulin response. A systematic review and meta-analysis. Diabetes
Care 2013;36:1789-96.
4. Moller JB, Pedersen M, Tanaka H, Ohsugi M, Overgaard RV, Lynge
J, et al. Body composition is the main determinant for the
difference in type 2 diabetes pathophysiology between Japanese
and Caucasians. Diabetes Care 2014;37:796-804.
5. Aroda VR, Henry RR, Han J, Huang W, DeYoung MB, Darsow T, et
al. Efficacy of GLP-1 receptor agonist and DPP-4 inhibitors: meta-
analysis and systematic review. ClinTher 2012;34(6):1247-58.
6. Lyu X, Zhu X, Zhao B, Du L, Chen D, Wang C, et al. Effects of
dipeptidyl peptidase-4 inhibitors on beta cell function and insulin
resistance in type 2 diabetes: meta-analysis of randomized
controlled trials. Sci Rep 2017.
7. Kim YG, Hahn S, Oh TJ, Kwak SH, Park KS. Differences in the
glucose-lowering efficacy of dipeptidyl peptidase-4 inhibitors
between Asians and non-Asians: a systematic review and meta-
analysis. Diabetologia 2013;56(4):696-708.
8. Conceicao J, et al. Glycemic Efficacy of Sitagliptin in East Asian
Populations: A Pooled Analysis. Poster presented at: ADA 2019;
June 8–12; 2019 San Francisco, California. Poster 1188-P.

44 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Advantage of Fixed Dose Combination in Moderate
to High Risk Dyslipidemia Patients
dr. DonoAntono, SpPD.,KKV.,FINASIM., FICA

Penyakit kardiovaskular (CVD) adalah penyebab utama morbiditas dan


mortalitas di seluruh dunia1.Studi epidemiologismenetapkan
hiperkolesterolemia sebagai salah satu faktor risiko paling penting
dalamterjadinya infark miokard dan stroke iskemik .Statinbekerja
2, 3

dengan menurunkan produksi LDL-C hepatik, memungkinkan


penurunan kadar LDL-C serum hingga 50-60% ketika dosis tinggi
digunakan4.Ezetimibe yang bekerjasebagaipenghambat penyerapan
kolesterol usus, telahdisetujuidalam penggunaan klinis pada tahun
2002 dan telah tersedia sebagai agen tunggaldalam kombinasi dengan
simvastatin.Baru-baru ini, kombinasi dosis tetap dengan atorvastatin,
salah satu statin yang paling banyak dipelajari, juga telahdisetujui dan
diluncurkan di beberapa negara, termasuk AS.Ketertarikan pada
kombinasi statin-ezetimibe ini sekarang telah diperkuat oleh publikasi
data yang menunjukkan pengurangan risiko kardiovaskular dengan
ezetimibe pada pasien dengan sindrom koroner akut (ACS) 5.

Kombinasiatorvastatin 10 mg plus ezetimibe memberikan pengobatan


yang lebih efektif daripada peningkatan titrasi atorvastatin (20/40/80)
mg ketika di-coba untuk memenuhi target lipid individu berisiko tinggi
pada pasien penyakit jantung yang ditetapkan oleh guidelines Eropa
dan Kanada.Constance et al. dalam 12 minggu percobaan acak

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 45


mereka6 menunjukkan bahwa atorvastatin plus ezetimibe (eze / ator)
ditemukan lebih efektif dalam menurunkan LDL-c
dibandingkandenganpeningkagtandua kali lipat dosis atorvastatin saja
. Ditemukan bahwa kombinasi 10 mgezetimibe +10 mgatorvastatin
7-9

lebih efektif daripada meningkatkan atorvastatin menjadi 20 mg atau


beralih ke rosuvastatin 2,5 mg pada pasien dengan hiperkoleterolemia
yang kadar LDL-c-nya belum mencapai nilai target yang
direkomendasikan dengan 10 mgmonoterapiatorvastatin selama 4
minggu 10. Kombinasi ezetimibe dan atorvastatin memiliki efek sinergis
dan secara efektif mengurangi deposisi lipid di dinding pembuluh
darah. Pengamatan ini telah ditunjukkan pada tingkat studi
eksperimental dan manusia.

Kombinasi statin-ezetimibe adalah pilihan terapiyang cocok untuk


pasien yang tidak bisamencapai kadartarget kolesterol lipoprotein
(LDL-C) pada pasien yang menggunakanmonoterapistatin dan pada
pasien yang rentan terhadap efek samping statin(yang tergantung
dengandosis).Statin pada umumnya dapatditoleransi dengan baik.
Efek samping yang paling umum adalah gejala yang berhubungan
dengan otot dan peningkatan serum transaminase, yang keduanya
lebih sering terjadi ketika dosis tinggi digunakan. Miopati terkait statin
adalah efek samping yang jarang namuncukup serius, mempengaruhi
1 per 100 hingga 1 per 10.000 orang yang menerima dosis statin
standar. Hingga 7-29% pasien mengalami beberapa jenis gejala otot
yang terkait statin yang dapat menyebabkan penghentian obat. 11

46 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Terapi statin juga baru-baru ini terbukti membawa sedikit peningkatan
risiko terkena diabetes mellitus tipe 2.12 Risiko diabetes baru mulai
terjadi pada pasien yang memang sudah memiliki salah satu atau lebih
faktor risiko dari penyakit ini sebelumnya13,14 dan tampaknya lebih
tinggi terjadi pada pasien dengan terapi statin intensif daripada
dengan terapi dosis sedang.15Karena efek samping ini tampaknya
tergantung pada tingginya dosis, penggunaan terapi kombinasi
sebagai bagian dari strategi pemberian dosis statin dapat menjadi
pendekatan yang menarik, terutama untuk pasien yang tidak dapat
mentolerir statin dosis tinggi atau yang cenderung mengalami miopati
yang diinduksi statin ( orang tua, pasien ras Asia, atau mereka dengan
insufisiensi ginjal).16

Ezetimibe plus atorvastatin dapat ditoleransi dengan baik, dengan


profil keamanan yang mirip dengan atorvastatin saja dan dengan
plasebo.17Hal ini menawarkan pilihan pengobatan baru yang sangat
manjur untuk pasien dengan hiperkolesterolemia. Atorvastatin
ditemukan menjadi salah satu dari hanya dua statin (rosuvastatin
adalah yang lain) yang dapat mengurangi LDL-c> 40% dengan dosis ‡
20 mg / hari.18 Teramoto et al. menemukan bahwa tidak ada reaksi
merugikan ketika mereka mempelajari tolerabilitas pemberian
ezetimibe dengan atorvastatin pada 125 pasien Jepang dengan LDL-c
tinggi.19 Terlepas dari penelitian yang disebutkan di atas, penelitian
lain telah melaporkan beberapa efek buruk dari masing-masing
komponen LiptruzetTM (ezetimibe dan atorvastatin).

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 47


Karena atorvastatin dan ezetimibe, pada tingkat lebih rendah,
dikaitkan dengan tingkat rhabdomyolysis atau miopati, disarankan
bahwa hasil tes enzim hati harus diperoleh sebelum memulai terapi
dan harus diulang seperti yang ditunjukkan. Selain itu, obat harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien yang minum alkohol dalam
jumlah besar atau yang memiliki riwayat penyakit hati dan selama
kehamilan.20 Penyakit hati aktif dan peningkatan
transaminasepersisten yang tidakdapatdijelaskan merupakan
kontraindikasi dalam penggunaan obatezetimibe dan
atorvastati.21Karena statindikontraindikasikan pada kehamilan yang
dapatmeyebabkan risiko malformasi berat, FDC ezetimibe dan
atorvastatintidak boleh diresepkan untuk wanita hamil. Efek
kombinasi atorvastatin dan ezetimibe pada populasi anak
masihmenajadisubjek untukpenelitian lebih lanjut.

Kesimpulan

Statin adalah landasan pengobatan rendah lemak farmakologis untuk


mengurangi risiko kardiovaskular. Namun, bahkan dengan agen yang
paling efektif, hingga 40% pasien tidak mencapai kadar LDL-C yang
diinginkan. Ezetimibe, penghambat penyerapan kolesterol usus,
memiliki efek lipid terapeutik komplementer dan aditif ketika
dikombinasikan dengan statin, memberikan pengurangan LDL-C yang

48 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


nyata dan secara substansial meningkatkan pencapaian kadar
kolesterol yang direkomendasikan oleh pedoman.

Dalam uji coba terkontrol plasebo, kombinasi simvastatin-ezetimibe


telah terbukti mengurangi kejadian iskemik pada pasien dengan AS
asimptomatik, dan kejadian peristiwa aterosklerotik utama pada
pasien dengan CKD. Dibandingkan dengan monoterapi simvastatin,
simvasogin-ezetimibe juga secara signifikan mengurangi infark
miokard non-fatal dan stroke iskemik pada pasien dengan ACS stabil
baru-baru ini. Khususnya, besarnya pengurangan kejadian
kardiovaskular yang terlihat dengan ezetimibe tampak serupa dengan
yang diamati dengan statin untuk tingkat penurunan LDL-C yang sama.
Atorvastatin-ezetimibe juga telah terbukti menginduksi regresi
aterosklerosis koroner yang diukur dengan IVUS dalam proporsi pasien
yang secara signifikan lebih besar daripada atorvastatin saja.

Ezetimibe pada umumnyadapat ditoleransi dan memiliki profil


keamanan yang baik. Penambahan ezetimibe pada terapi statin
memungkinkan penggunaan dosis statin lebih rendah tanpa khasiat
bertentangan, sehingga mengurangi kemungkinan efek samping statin
tergantung dosis. Yang penting, tidak seperti statin, ezetimibe
tampaknya tidak terkait dengan insiden diabetes.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 49


Kombinasi ezetimibe dan atorvastatin baru-baru ini disetujui oleh FDA
untuk mengurangi LDL-c pada pasien dengan hiperlipidemia primer
atau mixedhiperlipidemia. Studi klinis menunjukkan kombinasi
ezetimibe dan atorvastatinmerupakanterapi hiperlipidemia yang
aman dan efektif pada individu yang berisiko tinggi terkena
cardiovascular disease (CVD).

Daftar pustaka

1. Mozaffarian D, Benjamin EJ, Go AS, Arnett DK, Blaha MJ, Cushman


M, et al. Heart diseaseand stroke statistics-2016 update: a report
from the American Heart Association. Circulation. 2016;133:e38–
60.
2. Yusuf S, Hawken S, Ounpuu S, Dans T, Avezum A, Lanas F, et al. Effect
of potentially modifiable risk factors associated with myocardial
infarction in 52 countries (the INTERHEART study): case-control
study. Lancet. 2004;364:937–52.
3. O’Donnell MJ, Xavier D, Liu L, Zhang H, Chin SL, Rao-Mela- cini P, et
al. Risk factors for ischaemic and intracerebral haemorrhagic stroke
in 22 countries (the INTERSTROKE study): a case-control study.
Lancet. 2010;376:112–23.
4. Weng TC, Yang YH, Lin SJ, Tai SH. A systematic review and meta-
analysis on the therapeutic equivalence of statins. J Clin Pharm
Ther. 2010;35:139–51.
5. Cannon CP, Blazing MA, Giugliano RP, McCagg A, White JA, Theroux
P, et al. Ezetimibe added to statin therapy after acute coronary
syndromes. N Engl J Med. 2015;372:2387–97.
6. Constance C, Ben-Yehuda O, Wenger NK, et al. Atorvastatin 10 mg
plus ezetimibe versus titration to atorvastatin 40 mg: attainment of
European and Canadian guideline lipid targets in high-risk subjects
>/=65 years. Lipids Health Dis 2014;13:13

50 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


7. Conard SE, Bays HE, Leiter LA, et al. Efficacy and safety of ezetimibe
added on to atorvastatin (20 mg) versus uptitration of atorvastatin
(to 40 mg) in hypercholesterolemic patients at
8 Leiter LA, Bays H, Conard S, et al. Efficacy and safety of ezetimibe
added on to atorvastatin (40 mg) compared with uptitration of
atorvastatin (to 80 mg) in hypercholesterolemic patients at high
risk of coronary heart disease. Am J Cardiol 2008;102(11):1495-
501
9. Conard S, Bays H, Leiter LA, et al. Ezetimibe added to atorvastatin
compared with doubling the atorvastatin dose in patients at high
risk for coronary heart disease with diabetes mellitus, metabolic
syndrome or neither. Diabetes ObesMetab 2010;12(3):210-18
10. Teramoto T, Sawada T, Iwamoto K, Daida H. Clinical efficacy and
tolerability of Ezetimibe in combination with Atorvastatin in
Japanese patients with Hypercholesterolemia-Ezetimibe Phase IV
randomized controlled trial in patients with Hypercholesterolemia.
CurrTher Res Clin Exp 2012;73(1-2):16-40
11. Stroes ES, Thompson PD, Corsini A, Vladutiu GD, Raal FJ, Ray KK, et
al. Statin-associated muscle symptoms: impact on statin therapy-
European Atherosclerosis Society Consensus Panel Statement on
Assessment, Aetiology and Management. Eur Heart J.
2015;36:1012–22.
12.Sattar N, Preiss D, Murray HM, Welsh P, Buckley BM, de Craen AJ,
et al. Statins and risk of incident diabetes: a collaborative meta-
analysis of randomised statin trials. Lancet. 2010;375:735–42.
13. Ridker PM, Pradhan A, MacFadyen JG, Libby P, Glynn RJ.
Cardiovascular benefits and diabetes risks of statin therapy in
primary prevention: an analysis from the JUPITER trial. Lancet.
2012;380:565–71.
14. Waters DD, Ho JE, Boekholdt SM, DeMicco DA, Kastelein JJ, Messig
M, et al. Cardiovascular event reduction versus new-onset
diabetes during atorvastatin therapy: effect of baseline risk fac-
tors for diabetes. J Am Coll Cardiol. 2013;61:148–52.
15. Preiss D, Seshasai SR, Welsh P, Murphy SA, Ho JE, Waters DD, et al.
Risk of incident diabetes with intensive-dose compared with
moderate-dose statin therapy: a meta-analysis. JAMA.
2011;305:2556–64.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 51


16. Deharo P, Pankert M, Quilici J, Grosdidier C, Verdier V, Bonnet G,
et al. Safety and effectiveness of the association ezetimibe- statin
(E-S) versus high dose rosuvastatin after acute coronary syndrome:
the SAFE-ES study. Ann CardiolAngeiol (Paris). 2014;63:222–7.
17. Ballantyne CM, Houri J,Notarbartolo A, et al. Effect of ezetimibe
coadministered with atorvastatin in628 patients with primary
hypercholesterolemia: a prospective, randomized, double-blind
trial. Circulation 2003;107(19):2409-15
18.Weng TC, Yang YH, Lin SJ, Tai SH.A systematic review and meta-
analysis on the therapeutic equivalence of statins.J Clin Pharm
Ther 2010;35(2):139-51
19.Teramoto T, Sawada T, Iwamoto K,Daida H. Clinical efficacy and
tolerability of Ezetimibe in combination with Atorvastatin in
Japanese patients with Hypercholesterolemia-Ezetimibe Phase IV
randomized controlled trial in patients with Hypercholesterolemia.
CurrTher Res Clin Exp 2012;73(1-2):16-40
20.Weffald LA, Flach LA. Myopathy associated with atorvastatin-
ezetimibe combination therapy.2007. Available from:
http://www.ncbi. nlm.nih.gov/pubmed/17253923
21.McKenney JM, Jones PH, Bays HE,et al. Comparative effects on lipid
levels of combination therapy with a statin and extended-release
niacin or ezetimibe versus a statin alone (the COMPELL study).
Atherosclerosis 2007;192(2):432-7

52 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


TATALAKSANA FIBROMIALGIA
MENGGUNAKAN PENDEKATAN PSIKOSOMATIK

E. Mudjaddid

Divisi Psikosomatik

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Fibromialgia merupakan gangguan paling sering ditemukan


setelah osteoarthritis di Amerika. Diperkirakan sekitar 2 -5% populasi
dewasa mengalami gangguan ini. Kelainannya bersifat menetap dan
dapat menimbulkan kendala pada kehidupan sehari-hari, dalam
kehidupan sosial, kinerja dan menelan biaya yang tinggi.

Fibromilgia adalah sindroma dengan keluhan nyeri


muskuloskeletal difus yang ideal sebagai model gangguan
psikosomatik. Sindrom ini cukup sering dijumpai dan lebih banyak
pada wanita muda.

Secara klinis fibromialgia ditandai dengan adanya manifestasi


nyeri muskuloskeletal atau nyeri rematik non-artikuler yang difus,
kaku otot, mudah lelah, disstres dan biasanya disertai dengan
gangguan tidur. Pada tahun 1990, American College of Rheumatology
(ACR) telah menetapkan kriteria untuk diagnosis fibromyalgia dengan
menggunakan tender point sebagai acuan. Pada tahun 2010/2011
telah diperkenalkan cara diagnostic fibromyalgia dengan
menggunakan scoring WPI (Widespread Pain Index) dan SS (Symptom
Severity) dan kemudian direvisi pada tahun 2016.

Walaupun sampai saat ini etiologi fibromialgia masih


diperdebatkan tetapi faktor psikis diyakini memegang peranan
penting baik sebagai pencetus gejala maupun sebagai faktor yang
memperburuk perjalanan penyakit. Fibromialgia sering disertai

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 53


dengan adanya gangguan psikologis seperti somatisasi, ansietas
maupun depresi.

Beberapa studi mengenai ambang rangsang nyeri menemukan


bahwa pasien fibromialgia memiliki ambang rangsang nyeri yang
rendah sehingga setiap nyeri dirasakan lebih hebat dibanding orang
normal.

Tatalaksana sindrom fibromialgia sering belum memuaskan dan


karena perjalanan penyakitnya bersifat kronis dan menetap maka
pendekatan psikosomatik perlu dilakukan dengan memperhatikan
semua aspek yang mempengaruhi pasien baik fisik maupun psikis

Gejala Klinis Fibromialgia


Fibromialgia ditandai oleh adanya trias gejala yaitu : nyeri
musculoskeletal (pain), kaku (stiffness) dan mudah lelah (fatigue)
ditambah dengan gejala lain yang sering ditemukan yaitu rasa baal,
kesemutan dan gangguan tidur.

Nyeri dan kaku otot merupakan gejala yang utama pada


fibromialgia. Nyeri otot bersifat menyebar dan menetap secara kronis.
Nyeri biasanya dirasakan bersumber dari otot tetapi beberapa pasien
mengeluhkan nyeri pada persendian walaupun pada pemeriksaan fisik
tidak dijumpai adanya pembengkakan pada sendi. Perasaan kaku pada
otot-otot timbul dan memburuk pada pagi hari. Gejala-gejala ini
intensitasnya juga bervariasi sepanjang hari dan diperburuk bila pasien
melakukan aktivitas, adanya infeksi, trauma pada jaringan lunak,
kurang tidur, cuaca dingin dan bila terdapat stresor psikososial.
Sebaliknya keluhan-keluhannya berkurang pada saat musim panas,
mandi air hangat, liburan atau aktivitas ringan.

Pasien fibromialgia sering mengeluh mudah lelah baik pada


latihan fisik maupun pada keadaan stres. Penyebab kelelahan pada
fibromialgia sering multi faktor termasuk adanya gangguan tidur
(tidur yang tidak lelap), suasana depresi, kurang bisa menyelesaikan

54 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


persoalan dan disfungsi endokrin secara sekunder seperti gangguan
pada hypothalamic pituitary adrenal axis atau defisiensi hormon
pertumbuhan.

Gangguan tidur jarang dikemukakan secara spontan. Gangguan


tidur biasanya dijumpai setelah dilakukan anamnesis yang teliti.
Gangguan tidur ini menyebabkan pasien tidak merasa segar saat
bangun tidur dipagi hari. Beratnya gangguan tidur berhubungan
dengan gejala-gejala utama fibromialgia yaitu lelah pada siang hari dan
kaku otot dipagi hari.

Keluhan lain yang menyertai fibromialgia biasanya keluhan yang


merupakan gangguan fungsional akibat keterlibatan factor psikis
sehingga terjadi vegetative imbalance. Keluhan-keluhannya seperti :
sindrom kolon iritabel, “irritable bladder”, “tension headache”,
migren, dan dismenorhe.

Etiologi
Etiologi dan patogenesis fibromialgia belum sepenuhnya
diketahui. Beberapa penelitian menyebutkan fibromialgia erat
hubungannya dengan gangguan tidur dan faktor stresor psikososial.
Pada umumnya fibromialgia diperburuk oleh adanya stres.
Kepustakaan lain menyebutkan bahwa fibromialgia merupakan bagian
dari depresi terselubung atau bagian dari gejala ansietas.

Studi mengenai ambang rangsang nyeri menemukan bahwa


pasien fibromialgia memiliki ambang rangsang nyeri yang rendah
sehingga mudah merasakan nyeri. Hal ini terjadi akibat adanya ketidak
seimbangan neurokimiawi pada sistim saraf pusat dan terjadi
penguatan persepsi rasa nyeri (central amplification) yang ditandai
khas adanya allodynia (meningkatnya sensitivitas terhadap
rangsangan sakit yang abnormal) dan hyperalgesia (meningkatnya
respon terhadap rangsang sakit). Pada sistim saraf pusat terjadi
perubahan kadar neurotransmiter yang mempengaruhi proses
timbulnya rasa nyeri. Neurotransmiter yang menimbulkan nyeri

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 55


kadarnya bertambah sedangkan neurotransmiter yang menghambat
nyeri berkurang. Pada pasen fibromialgia terjadi penurunan ATP dan
kreatin posfat, peningkatan subtansi P pada cairan serebrospinal,
penurunan tryptophan (prekursor serotonin dan penurunan
serotonin.

Pada kenyataannya fibromialgia sering disertai dengan depresi


maupun ansietas. Hasil penelitian Thieme, K (2004), menunjukkan
bahwa dari 115 pasien sindrom fibromialgia diperoleh 74.8% disertai
ansietas dan depresi.

Belakangan ini telah banyak penelitian meta analisis mengenai


hubungan antara gejala-gejala nyeri pada fibromialgia dengan kadar
vitamin D. Ternyata pada kebanyakan pasien fibromialgia memiliki
kadar vitamin D yang rendah (kurang dari 32 ng/ml.

Diagnosis
Diagnosis gangguan nyeri muskuloskeletal psikosomatik seperti
fibromialgia harus didasarkan pada anamnesis nyeri yang teliti tentang
sifat-sifat nyeri, intensitas, lokasi, dan faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri, termasuk faktor psikososial.

Seringkali fibromialgia disertai adanya gangguan psikis yang nyata


seperti ansietas dan depresi atau sebaliknya gejala-gejala nyeri
muskuloskeletal merupakan bagian dari ansietas maupun depresi.
Menurut American College of Rheumatology (ACR) tahun 1990,
kriteria diagnosis untuk fibromialgia adalah sebagai berikut :

1. Nyeri otot yang menyeluruh (tidak terlokalisasi pada satu tempat)


selama 3 bulan, mengenai sisi kiri dan kanan badan; diatas dan
dibawah panggul.
2. Ditemukan minimal 11 dari 18 tender point yang dirasa nyeri.

56 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Titik-titik nyeri yang harus diperiksa yaitu pada kedua daerah
oksipital, servikal bawah, trapezius, supraspinatus, iga kedua,
epicondylus lateralis, gluteal, trochanter mayor dan lutut. Pasien akan
merasakan nyeri apabila dilakukan penekanan dengan ibu jari pada
titik-titik nyeri tersebut.
Pada tahun 2010 The American College of Rheumatology (ACR)
memperkenalkan cara baru untuk diagnosis fibromialgia dengan
menggunakan sistim scoring terhadap WPI (Widespread Pain Index)
dan SS (Symptom Severity). Cara ini dilihat lebih psikosomatis
dibanding cara lama karena cukup dengan melakukan anamnesis yang
teliti mengenai keluhan-keluhan yang disampaikan pasien kemudian
dilakukan skoring.
Kriteria yang dipakai untuk diagnosis fibromialgia dengan cara ini
ialah :
Pasien memenuhi kriteria diagnosis fibromialgia apabila didapatkan 3
hal dibawah ini :
1. Skor WPI lebih atau sama dengan 7 dan Skor SS lebih atau sama
dengan 5; atau WPI 3 – 6 dan SS lebih atau sama dengan 9.
2. Keluhan sudah berlangsung dan menetap minimal 3 bulan.
3. Pasien tidak mempunyai gangguan lain yang dapat menerangkan
keluhannya.

Pada tahun 2016 kriteria ACR untuk fibromialgia tersebut di revisi


dengan memasukkan gejala sakit kepala, nyeri atau kram perut dan
depresi dalam Simptom Severity, sementara syarat nyeri untuk WPI
harus ditemukan sekurangnya pada 4 kuadran dari 5 kuadran bagian
tubuh.
Secara lengkap cara penilaian dengan menggunakan skor WPI dan SS
dapat dibaca pada lampiran tulisan ini.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 57


TATALAKSANA

Pertimbangan Dalam Pendekatan Terapi

Dokter sebaiknya memberi informasi yang lugas kepada pasien


bahwa fibromyalgia tidak bisa sembuh sempurna tetapi pemahaman
tentang penyakitnya, perubahan gaya hidup dan latihan yang tekun
dapat membantu memperbaiki keluhan secara bermakna. Jika pasien
fibromyalgia memahami tentang perjalanan penyakitnya secara baik
maka akan menambah kepatuhan berobat dan kontrol secara teratur.

Pengobatan yang dianjurkan didasarkan atas hasil penelitian yang


bermakna dan dapat dipertanggung jawabkan. Rasa sakit yang terkait
dengan faktor-faktor biologi, kognisi, emosi dan perilaku harus
dipertimbangkan dan menjadi dasar untuk melakukan psikoterapi
kognitif dan perilaku (CBT) pada pendekatan tatalaksana nyeri.

Faktor yang krusial dalam melakukan tatalaksana nyeri, fatigue


(kelelahan) dan berbagai keluhan lainnya adalah memberikan
penilaian yang wajar kepada keluhan-keluhan pasien dengan
memberikan empati dan mendengarkan serta memahami bahwa
pasien benar-benar merasakan sakitnya. Komentar seperti “Itu semua
hanya fikiranmu saja” atau “Saya tidak menemukan sesuatu yang salah
pada anda” hanya akan menambah frustrasi pasien.

Hindari melakukan terapi fisik atau latihan yang berlebihan


setelah pasien mengalami trauma ringan; sebaliknya tidak dianjurkan
membatasi aktivitas secara berlebihan atau melakukan pekerjaan
berlebihan.

Secara keseluruhan maka pendekatan terapi pada fibromyalgia


meliputi berbagai modalitas seperti medikamentosa, latihan aerobic,
pendekatan psikologi dan perilaku serta mendorong penderita untuk
dapat melakukan upaya-upaya yang mandiri dalam mengatasi
berbagai stres.

58 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Hasil penelitian yang dilaporkan Hauser menunjukkan bahwa dari
1119 pasien dalam 9 penelitian acak terkontrol pengobatan dengan
multi komponen (minimal 1 terapi edukasi atau psikoterapi ditambah
minimal 1 bentuk terapi latihan) memberikan manfaat untuk
mengurangi nyeri, kelelahan, depresi dan memperbaiki kualitas hidup.

Gangguan tidur sangat sering ditemukan pada pasien


fibromyalgia yang memperburuk rasa nyeri, kelelahan dan depresi.
Oleh karena itu gangguan tidur harus ditatalaksana secara tepat baik
secara farmakologi maupun non-farmakologi.

Terapi Farmakologis

Tidak ada obat tunggal yang efektif untuk mengobati fibromilgia.


Pendekatan pengobatan dilakukan melalui kombinasi psikoterapi
suportif, modifikasi perilaku, edukasi, memperbaiki kondisi fisik (terapi
simptomatik) dan psikofarmaka yang sesuai.

Aspirin dan NSAIDs (Non Steroid Anti Inflammatory Drugs) dapat


mengurangi keluhan nyeri walaupun tidak optimal. Sedangkan
kortikosteroid kurang bermanfaat. Gabapentin dilaporkan memberi
manfaat untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien fibromyalgia.

Anti depresan golongan trisiklik (doxipen, amitriptylin,


nortriptylin) dalam dosis rendah dapat diberikan untuk mengurangi
nyeri dan memperbaiki gangguan tidur. Anti depresan golongan SSRI
(Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) seperti: fluoksetin, sertralin,
paroksetin, dan venlafaksin dapat diberikan pada fibromialgia yang
disertai depresi.

Studi meta analisis melaporkan bahwa antidepresan dapat


mengurangi nyeri, kelelahan, mood depresi, memperbaiki gangguan
tidur dan memperbaiki kualitas hidup pada pasien fibromialgia.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 59


Sedangkan bila fibromialgia disertai dengan ansietas dapat
diberikan anti ansietas baik golongan benzodiazepin maupun golongan
non benzodiazepin.

Injeksi anestesi lokal pada tender point dapat dicoba walaupun


hasilnya dalam jangka panjang masih dipertanyakan. Analgesik
golongan opiat tidak dianjurkan karena tidak bermanfat.

Pemberian suplemen vitamin D untuk mempertahankan kadar


yang normal dilaporkan dapat memperbaiki gejala-gejala nyeri pada
fibromialgia.

Psikoterapi dan Terapi Perilaku

Terapi lain yang dapat memperbaiki keluhan fibromialgia ialah


psikoterapi berupa psikoterapi suportif, psikoterapi perilaku kognitif
(CBT) dan relaksasi.

Depresi, ansietas, stres, gangguan tidur, rasa nyeri, strategi


melawan dan kemampuan diri merupakan hal-hal yang sangat penting
dipertimbangkan dalam menangani pasien fibromyalgia sehingga
menentukan keberhasilan pengobatan.

Depresi harus diobati secara agressif. Kadang-kadang melakukan


pendekatan terhadap factor psikis dan perilaku sudah memberikan
perbaikan, sementara intervensi farmakoterapi hasilnya terbatas.
Cognitive-behavioral therapy (CBT) dapat mengurangi rasa nyeri dan
gangguan fisik pada sepertiga sampai separuh pasien-pasien
fibromyalgia yang diobati.

Sifat-sifat pasien sebelum diobati sangat menentukan


keberhasilan terapi nonfarmakologi. Tingkat stres yang tinggi,
kemampuan melawan yang kurang, perilaku terhadap nyeri, ,hendaya
fisik yang berat dan dukungan pasangan menentukan respon terhadap
CBT.

60 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Depresi pada fibromyalgia harus diobati secara farmakologi dan
non-farmakologi. Mengobati hanya depresinya tidak menyembuhkan
fibromyalgia. Anti depresan dapat membantu tetapi keluhan lain
seperti nyeri dan kelelahan harus diobati. Modifikasi diet, modifikasi
perilaku dan melakukan kebiasaan tidur yang sehat harus
dianjurkan.Hal lain yang penting dalam merubah perilaku ialah
memulai menjalankan program latihan sesuai kemampuan dan
melakukan tatalaksana stres secara terus menerus.

Terapi Fisik dan Latihan

Umumnya pasien dengan nyeri kronis takut bahwa aktivitas akan


memperburuk rasa sakit, padahal keadaan ini tidak menguntungkan.
Yang dianjurkan ialah latihan aerobic bertahap (misalnya jalan kaki,
bersepeda statis dsb) yang merupakan bagian integral dari
pengobatan fibromyalgia. Program latihan dimulai dari yang ringan
dan ditingkatkan bertahap. Latihan yang terlalu lama dan berat tidak
dianjurkan. Manfaat latihan pada pasien fibromyalgia adalah
memperoleh kebugaran dan mengurangi nyeri secara subjetif maupun
objektif.

Pengobatan Gangguan Tidur

Yang penting memperbaiki pola tidur dan melakukan kebiasaan tidur


yang sehat. Menghindari makanan, minuman atau obat yang
mempengaruhi tidur seperti caffeine, alhohol dan obat-obat tertentu.
Mengajarkan tehnik relaksasi menjelang tidur sangat bermanfaat.

Beberapa obat yang dapat diberikan untuk memperbaiki gangguan


tidur antara lain:

- Antidepressan ( Trisiklik, trazodone, SSRI dan SNRI)


- Anticonvulsant ( Clonazepam, gabapentin, tiagabine)
- Hipnotik Nonbenzodiazepin (Zolpidem, Zaleplon)

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 61


Tatalaksana saat kambuh

Pasien sebaiknya belajar untuk mengetahui faktor-faktor yang


mencetuskan kekambuhan (walaupun kadang-kadang sulit di
identifikasi) dan bagaimana cara mengurangi gejala yang timbul.
Beberapa tip untuk menghindari dan menatalaksana kekambuhan
antara lain:

- Obati infeksi segera


- Hindari perubahan diet yang mengganggu
- Lakukan latihan fisik sesuai anjuran
- Perubahan aktivitas fisik tidak secara berlebihan atau mendadak
- Hindari kegiatan yang tidak diperlukan
- Obati depresi dan gangguan tidur secara agresif
- Penggunaan obat yang baru dimulai dengan dosis rendah
- Waspada terhadap situasi yang pernah menimbulkan
kekambuhan
- Beri semangat untuk melakukan aktivitas harian dan mengerti
keterbatasannya.

Secara psikosomatik prinsip pendekatan pengobatan pada


fibromialgia dapat dirangkum sebagai berikut :

- Jelaskan bahwa gejala-gejala yang dikeluhkan pasien memang


dapat dimengerti dan familier untuk dokter.
- Berikan penjelasan yang meyakinkan termasuk bagaimana faktor
psikis, emosi dan perilaku dapat memperburuk keluhan-
keluhannya.
- Berikan kesempatan untuk mendiskusikan kekhawatiran pasien
dan keluarga tentang penyakitnya.
- Berikan saran-saran yang praktis untuk mengatasi gejala. Berikan
dorongan untuk beraktivitas dan bekerja secara normal.
- Kenali adanya depresi maupun ansietas pada pasien dan segera
obati.

62 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


- Diskusikan dengan pasien tentang rencana pengabatan.
- Melakukan pemantauan secara berkesinambungan.

Daftar Pustaka:

1. Arnold LM, Keck PE, Welge JA. Antidepressant treatment of


fibromyalgia. Psychosomatics. 2000;41:104-113.
2. Dersh J, Polatin PB, Gatchel RJ. Chronic pain and psychopathology:
research findings and theoretical considerations. Psychosom Med.
2002;64:773-786.
3. Mayou R, Farmer A. Functional somatic symptoms and syndromes.
BMJ. 2002;325:265-268.
4. Thieme K. Turk DC, Flor H. Comorbid depression and anxiety in
fibromyalgia syndrome: relationship to somatic and psychosocial
variables. Psychosom Med.2004;66:837-844.
5. Winfield JB, Diamond HS. Fibromyalgia Treatment & Management.
Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/329838-
treatment#showall. Tanggal 21 September 2013.
6. Clauw DJ, Arnold LM, McCarberg BH. The Science of Fibromyalgia.
Mayo Clin Proc. 2011; 86(9):907-911.
7. Wolfe F, Clauw DJ, Fitzcharles MA, Goldenberg DL, Katz RS et al.
The American Collage of Rheumatology Preliminary Diagnostic
Criteria for Fibromyalgia and Measurement of Symptom Severity.
Arthritis Care and Research 2010. 62(5): 600-610.
8. Carruthers BM, Van de Sande BI. Fibromyalgia Syndrome : A
Clinical Case Definition and Guidelines for Medical Practitioners An
Overview of the Canadian Consensus Document. Journal of
Musculoskeletal Pain. 2003. 11(4):3-107.
9. Arnold LM, Claw DJ, Dunegan LJ, Turk DC. A Framework for
Fibromyalgia Management for Primary Care Providers. Mayo Clin
Proc.2012; 87(5):488-496.
10. Hauser MD, Bernardiy K, Uceyler N, Sommer C. Treatment of
Fibromyalgia Syndrome With Antidepressants. A Meta-analysis.
JAMA.2009.301(2):198-209.
11. Sauer K, Kemper C, Glaeske G. Fibromyalgia Syndrome :
Prevalence, pharmacological and non-pharmacological

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 63


interventions in outpatient health care. An analysis of statutory
health insurance data. Joint Bone Spine 2011. 78:80-84.
12. Gupta A, Silman AJ. Psychological stress and fibromyalgia : a
review of the evidence suggesting a neuroendocrine link. Arthritis
Res Ther 2004. 6:98-106.
13. Dymon TE, Fibromyalgia. Neurologic and Psychiatric Care I. ASCAP
2015.
14. Wolfe F, Clauw JD, Fitzcharles MA, Goldenberg DL, Hauser W, Katz
RL et al. 2016 Revision to the 2010/2011 fibromyalgia diagnostic
criteria.Seminars in Arthritis and Rheumatism 2016. 46:319-329.
15. Makrani AH, Afshari M, Ghajar M, Foroghi Z, Moosazadeh M.
Vitamin D and Fibromyalgia : a meta analysis. Korean J Pain 2017.
30(4): 250-257.
16. Altindag O, Ogut E, Gur A, Gursoy S, Gunay M. Serum vitamin D
level and its Relation with Clinical Parameters in Fibromyalgia as a
Neurophatic Pain. Orthopedic Muscul Syst 2014. 3:3.

64 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


MENINGKATKAN KUALITAS HIDUP PADA PASIEN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
(IMPROVING QUALITY OF LIFE IN COPD)

Chrispian Oktafbipian Mamudi

Divisi Respirologi dan Kritis Respirasi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Korespondensi: chrispian.oktafbipian@ukrida.ac.id

PENDAHULUAN

Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu


penyakit yang memiliki beban kesehatan tertinggi. Menurut WHO
dalam Global Status of Non-communicable Diseases 2010, PPOK
menduduki peringkat ke-4 di antara penyakit tidak menular dengan
mortalitas tertinggi setelah penyakit kardiovaskuler, keganasan, dan
diabetes melitus. Selain itu menurut GOLD Report 2014, PPOK juga
memerlukan biaya kesehatan hingga 56% total biaya penyakit
respirasi, tertinggi disebabkan oleh eksaserbasi PPOK.1-3 Kematian
menjadi beban sosial yang paling buruk yang diakibatkan oleh PPOK,
namun diperlukan parameter yang bersifat konsisten untuk mengukur
beban sosial. Parameter yang dapat digunakan adalah Disability-
Adjusted Life Year (DALY), yaitu hasil dari penjumlahan antara Years of
Life Lost (YLL) dan Years Lived with Disability (YLD). Berdasarkan hasil
perhitungan tersebut, diperkirakan pada tahun 2030, PPOK akan
menempati peringkat ketujuh, dimana sebelumnya pada tahun 1990
penyakit ini menempati urutan keduabelas.4,5

DEFINISI

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 65


Menurut GOLD (the Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease) 2018, Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit
umum, dapat dicegah dan diobati yang ditandai dengan gejala
pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan
karena kelainan saluran napas dan/atau alveolus. Penyakit Paru
Obstruktif Kronik biasanya disebabkan oleh paparan signifikan
terhadap partikel atau gas berbahaya. Hambatan jalan napas pada
PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran napas kecil (obstruksi
bronkiolitis) dan kerusakan parenkim paru (emfisema).1-3

EPIDEMIOLOGI

Prevalensi global PPOK pada tahun 2015 sekitar 11,7%,


meningkat 44,2% dari tahun 1990, dan menyebabkan kematian pada
3,2 juta orang di 2015, meningkat 11,6% dari tahun 1990. Prevalensi
PPOK di Indonesia menurut Riskesdas 2013 adalah 3,7% (pria 4,2%,
perempuan 3,3%).4,5 Hasil survei penyakit tidak menular oleh Ditjen
PPM & PL di 5 RS provinsi (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004 menunjukkan
bahwa PPOK merupakan penyumbang angka kesakitan terbesar (35%),
diikuti oleh asma bronkial (33%), kanker paru (30%), dan lainnya (2%).3

Prevalensi PPOK terus meningkat dengan bertambahnya


prevalensi perokok dan populasi usia lanjut, serta peningkatan polusi
udara. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)
tahun 2001, 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% penduduk perempuan
adalah perokok, dan sebagian besar anggota rumah tangga adalah
perokok pasif. Sedangkan jumlah perokok yang berisiko PPOK atau
kanker paru adalah sebesar 20-25%.3

PATOGENESIS

Penyakit Paru Obstruktif Kronik terjadi sekunder terhadap


respons inflamasi abnormal pada paru yang disebabkan terutama oleh
rokok, tetapi bisa juga karena faktor genetik, polusi udara atau
paparan terhadap gas-gas berbahaya lainnya.1-3 Limitasi aliran udara

66 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


kronik yang merupakan karakter PPOK disebabkan oleh inflamasi dan
remodelling jalan napas (penyakit jalan napas kecil), kerusakan alveoli
dan penurunan elastisitas paru (destruksi parenkim), yang
menyebabkan kolaps jalan napas terutama selama ekspirasi. Inflamasi
paru lebih lanjut dieksaserbasi oleh stres oksidatif dan kelebihan
proteinase dalam paru, yang menyebabkan perubahan patologis
terkait PPOK.1-3

FAKTOR RISIKO1-3,6,7

• Perokok, baik perokok aktif maupun perokok pasif, merupakan


faktor risiko terpenting
• Genetik, kekurangan alpha-1 antitrypsin, protein yang berperan
menjaga elastistisitas paru.
• Polusi udara/paparan terhadap partikel berbahaya
• Stres oksidatif
• Tumbuh kembang paru yang kurang optimal
• Status sosioekonomi yang rendah
• Riwayat penyakit respirasi (terutama asma)
• Riwayat PPOK atau penyakit respirasi lain di keluarga
• Riwayat eksaserbasi atau pernah dirawat di RS untuk penyakit
respirasi

DIAGNOSIS

Anamnesis gejala PPOK seperti sesak napas, peningkatan usaha


bernapas, rasa berat saat bernapas atau gasping, batuk - biasanya
kronik (dengan atau tanpa disertai dahak), mudah lelah dan
terganggunya aktivitas fisik.1,3,6,7 Pada pemeriksaan fisik tahap awal,
bisa tidak ditemukan kelainan, namun pada PPOK berat, dapat
ditemukan mengi dan ekspirasi memanjang. Selain itu, bisa ditemukan
tanda hiperinflasi seperti barrel chest, sianosis, kontraksi otot-otot
aksesori pernapasan, pursed lips breathing, serta tanda-tanda
penyakit kronik (muscle wasting, kehilangan berat badan,
berkurangnya jaringan lemak) yang merupakan tanda progresivitas
PPOK.1,3,6,7

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 67


Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis PPOK antara lain:

• Spirometri, merupakan pemeriksaan definitif untuk diagnosis


PPOK, yaitu dengan mengetahui nilai FEV1 (forced expiration
volume in 1 second) dan FVC (forced vital capacity). Pada PPOK,
FEV1/ FVC < 0,7
• Analisis gas darah, dapat mengukur pH darah, kadar O2, dan CO2
darah
• Radiografi
• CT scan untuk melihat emfisema alveoli
• Kadar α-1 antitripsin

Klasifikasi (Gambar 1)8

Penyakit Paru Obstruktif Kronik dapat diklasifikasikan


berdasarkan gejala dan spirometri (nilai FEV1) setelah pemberian
bronkodilator pada rasio FEV1/FVC < 0,7.1,3,6 Selain itu, PPOK juga
dapat diklasifikasikan berdasarkan mMRC (Modified British Medical
Research Council) (Tabel 1), CAT (COPD Assessment Test) (Gambar 2)
serta riwayat eksaserbasi.1

PPOK juga dibedakan menjadi PPOK stabil dan eksaserbasi akut.


Kriteria PPOK stabil:3

• Tidak dalam kondisi gagal napas akut pada gagal napas kronik
• Dapat dalam kondisi gagal napas kronik stabil, yaitu hasil analisis
gas darah PCO2 < 45 mmHg dan PO2 > 60 mmHg
• Dahak jernih tidak berwarna
• Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK
(hasil spirometri)
• Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
• Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan

Eksaserbasi PPOK didefinisikan sebagai perburukan gejala


pernapasan akut yang memerlukan terapi tambahan. Eksaserbasi
dapat dipicu oleh beberapa faktor, yang paling sering infeksi saluran

68 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


pernapasan. Penyebab lainnya adalah polusi udara, kelelahan, dan
adanya komplikasi.1,3 Gejala eksaserbasi akut PPOK:1,3

• Sesak napas bertambah


• Produksi sputum meningkat
• Perubahan warna sputum

Eksaserbasi akut dibagi menjadi:1,3

• Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas


• Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
• Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab
lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan
frekuensi pernapasan lebih dari 20% basal, atau frekuensi nadi
lebih dari 20% basal

Komplikasi

Jika tidak ditangani dengan baik, PPOK dapat menyebabkan


komplikasi seperti:3

• Gagal napas
- Gagal napas kronik (Hasil analisis gas darah PO2 <60 mmHg
dan PCO2 >60 mmHg, dengan pH darah normal)
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik, dengan gejala:
sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah
dan purulen, demam dan kesadaran menurun
• Infeksi berulang
- Imunitas rendah disertai produksi sputum berlebihan dapat
mempermudah koloni kuman dan menyebabkan infeksi
berulang
• Kor pulmonal
- Ditandai dengan P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50%,
dan dapat disertai gagal jantung kanan

Combined COPD Assessment

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 69


Combined COPD Assessment melakukan penilaian efek PPOK
terhadap masing-masing penderitanya berdasarkan assessment
terhadap gejala yang dialami dan kejadian eksaserbasi.4

Gambar 1. Klasifikasi PPOK

Klasifikasi pasien berdasarkan Combined COPD Assessment:

1. Kelompok A – Rendah Risiko, Sedikit Gejala

Pasien yang mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam


setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade
0-1.1

2. Kelompok B – Rendah Risiko, Banyak Gejala

Pasien yang mengalami eksaserbasi paling banyak 1 kali dalam


setahun dan tidak pernah mengalami perawatan rumah sakit akibat
eksaserbasi, serta hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade
≥2.1

3. Kelompok C – Tinggi Risiko, Sedikit Gejala

70 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Pasien yang mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau
≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta
hasil penilaian CAT score<10 atau mMRC grade 0-1.1

4. Kelompok D – Tinggi Risiko, Banyak Gejala

Pasien yang mengalami eksaserbasi sebanyak ≥2 kali per tahun atau


≥1 kali mengalami perawatan rumah sakit akibat eksaserbasi, serta
hasil penilaian CAT score ≥10 atau mMRC grade ≥2.1

Tabel 1. Formulir kuesioner Modified British Medical Research


Council (mMRC)

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 71


COPD ASSESSMENT TEST (CAT)

Gambar 2. Formulir COPD Assesment Test (CAT)

72 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


TATALAKSANA

Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk:1,3,6,7

• Mengurangi gejala
• Mencegah progresivitas penyakit
• Meningkatkan toleransi latihan
• Meningkatkan status kesehatan
• Mencegah dan menangani komplikasi
• Mencegah dan menangani eksaserbasi
• Menurunkan kematian

Penatalaksanaan umum PPOK meliputi:1,3,6,7

• Edukasi
• Berhenti merokok
• Obat-obatan
• Rehabilitasi
• Terapi oksigen
• Ventilasi mekanik
• Nutrisi

Beberapa bukti yang mendukung pencegahan dan terapi


pemeliharaan GOLD 2018:1

• Kuncinya adalah berhenti merokok, yaitu dengan


farmakoterapi atau pengganti nikotin
• Terapi farmakologi bersifat individual
• Teknik inhalasi yang perlu dinilai secara teratur
• Vaksin influenza bisa menurunkan kejadian infeksi saluran
napas bawah dan kematian pada PPOK
• Vaksin pneumokokus menurunkan kejadian infeksi saluran
napas bawah, direkomendasikan untuk pasien PPOK berusia ≥
65 tahun
• Rehabilitasi paru untuk memperbaiki gejala, kualitas hidup,
partisipasi fisik dan emosi penderita PPOK dalam aktivitas
harian

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 73


• Terapi oksigen jangka panjang dapat memperbaiki tingkat
kelangsungan hidup pasien hipoksemia kronik berat saat
istirahat, tetapi sebaiknya tidak rutin pada PPOK stabil dan
desaturasi sedang
• Ventilasi non-invasif jangka panjang menurunkan mortalitas
dan perawatan di rumah sakit pasien hiperkapnia kronik berat
dan perawatan karena gagal napas akut
• Intervensi bedah atau bronkoskopi bermanfaat pada
emfisema lanjut refrakter
• Pendekatan paliatif efektif mengontrol gejala PPOK lanjut

Terapi Farmakologi (Gambar 3)8

Terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi gejala,


menurunkan frekuensi dan tingkat keparahan eksaserbasi, serta
memperbaiki toleransi terhadap latihan fisik dan status kesehatan
(Gambar 4). Hingga saat ini, belum ada bukti uji klinik yang
menyimpulkan bahwa obat-obat yang tersedia untuk PPOK dapat
memodifikasi penurunan fungsi paru jangka panjang. Pemilihan obat
dalam setiap golongan obat tergantung ketersediaan dan biaya,
respons klinis, dan efek samping. Setiap terapi memerlukan regimen
individual terkait keparahan, limitasi aliran udara, dan tingkat
keparahan eksaserbasi.1,2

Kelompok A:1

- Semua pasien diberi terapi bronkodilator berdasarkan efeknya


terhadap sesak napas, bisa berupa bronkodilator kerja singkat
atau kerja panjang.
- Terapi bisa dilanjutkan jika ditemukan manfaat simtomatik.

Kelompok B:1

74 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


- Terapi awal bronkodilator kerja panjang karena lebih unggul
dibanding bronkodilator kerja singkat.
- Tidak ada bukti rekomendasi salah satu bronkodilator kerja
panjang untuk terapi awal gejala. Pemilihan obat tergantung
persepsi pasien.

Kelompok C:1

- Terapi awal bronkodilator kerja panjang tunggal. Long acting


muscarinic antagonist (LAMA) lebih unggul disbanding Long
acting beta-2 agonist (LABA) dalam mencegah eksaserbasi,
sehingga LAMA lebih direkomendasikan untuk terapi awal
kelompok ini.

Kelompok D:1

Direkomendasikan terapi awal menggunakan kombinasi


LABA/LAMA karena:

- Studi menunjukkan LABA/LAMA lebih unggul dibanding obat


tunggal. LAMA lebih dipilih untuk mencegah eksaserbasi
dibandingkan dengan LABA.
- Kombinasi LABA/LAMA lebih tunggul dibanding kombinasi
LABA/ICS (inhaled corticosteroid) dalam mencegah
eksaserbasi.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 75


Kelompok C Kelompok D
LAMA atau
LAMA+LABA* atau
LAMA ICS+LABA**
*pertimbangkan jika sangat simptomatik

Kelompok A Kelompok B

Bronkodilator Bronkodilator onset lama


(LABA atau LAMA)

Gambar 3. Terapi farmakologi PPOK

• Pasien kelompok D mempunyai risiko pneumonia lebih tinggi


jika mendapat terapi ICS.
• Pada beberapa pasien, pilihan pertama untuk terapi awal
adalah kombinasi LABA/ICS, seperti pada riwayat dan/ atau
penemuan yang menunjukkan tumpang tindih antara asma
dengan PPOK. Tingginya eosinofil darah juga dipertimbangkan
sebagai parameter yang mendukung penggunaan ICS,
meskipun masih diperdebatkan.
• Pasien eksaserbasi lebih lanjut dengan terapi LABA/LAMA
dianjurkan untuk:
o Eskalasi ke kombinasi LABA/LAMA/ICS untuk mencegah
eksaserbasi.
o Beralih ke kombinasi LABA/ICS, namun tidak ada bukti hal
ini dapat lebih baik mencegah eksaserbasi. Jika terapi
LABA/ICS tidak berdampak positif, dapat ditambahkan
LAMA.
• Jika pasien dengan terapi LABA/LAMA/ ICS masih mengalami
eksaserbasi, pilihan berikut:
o Ditambahkan roflumilast, yang dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan FEV1 diprediksi <50% dan bronchitis
kronik, khususnya jika mengalami minimal sekali

76 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


perawatan di rumah sakit untuk sekali eksaserbasi dalam
tahun sebelumnya.
o Ditambahkan macrolide. Pilihan terbaik adalah
azithromycin. Pertimbangkan juga perkembangan
resistensi organisme.
o Penghentian terapi ICS. Kurangnya laporan efikasi dan
peningkatan risiko efek samping (termasuk pneumonia)
dan bukti yang tidak menunjukkan bahaya bermakna
penghentian ICS, mendukung rekomendasi ini.

Bronkodilator1-3,6,7

Bronkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1


dan/atau memperbaiki variabel spirometri lainnya dengan
mempengaruhi tonus otot polos jalan napas dan memperbaiki aliran
udara ekspirasi, yang mencerminkan pelebaran jalan napas daripada
perubahan elastisitas paru. Bronkodilator cenderung menurunkan
hiperinflasi dinamik saat istirahat ataupun selama latihan fisik, serta
memperbaiki performa latihan. Besarnya perubahan ini, khususnya
pada pasien dengan PPOK berat dan sangat berat, tidak mudah
diprediksi dari perbaikan FEV1 saat istirahat.

Peningkatan dosis bronkodilator, khususnya yang diberikan


dengan nebulizer, tampaknya memberikan manfaat subjektif pada
episode akut, tetapi tidak membantu pada penyakit stabil. Obat
bronkodilator paling sering diberikan reguler untuk mencegah atau
mengurangi gejala. Namun, penggunaan bronkodilator kerja singkat
pada basis regular secara umum tidak dianjurkan.1

Bronkodilator yang digunakan pada PPOK adalah agonis β2 dan


antikolinergik (antagonis muskarinik)

1. Agonis β2

Kerja utama agonis β2 adalah merelaksasi otot polos jalan napas


dengan menstimulasi reseptor adrenergik beta-2, yang meningkatkan
cAMP dan menghasilkan antagonisme fungsional terhadap

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 77


bronkokonstriksi. Efek samping berupa sinus takikardia saat istirahat
dan berpotensi mencetuskan gangguan irama jantung, dan tremor
somatik. Agonis β2 terdiri dari short-acting (SABA) dan long-acting
(LABA) beta2-agonist.

SABA

• Efek SABA biasanya hilang dalam 4-6 jam.


• Penggunaan SABA dapat memperbaiki FEV1 dan gejala.
• Contoh: salbutamol, fenoterol
• Salbutamol lebih selektif, sehingga menimbulkan lebih sedikit
efek samping dibanding fenoterol.9

LABA

• Durasi kerja 12 jam atau lebih


• Contoh: Formoterol, salmeterol, indacaterol, oladaterol,
vilanterol (inhalasi)
• Formoterol & salmeterol merupakan LABA yang diberikan dua
kali sehari yang secara bermakna memperbaiki FEV1 dan
volume paru, sesak napas, status kesehatan, frekuensi
eksaserbasi dan jumlah perawatan di rumah sakit (Evidence A),
tetapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan
fungsi paru.
• Salmeterol mengurangi risiko perawatan di rumah sakit
(Evidence B).
• Indacaterol merupakan LABA sekali sehari dengan durasi kerja
24 jam dan secara signifikan memperbaiki sesak na[as, status
kesehatan, dan tingkat eksaserbasi (Evidence A). Namun
beberapa pasien mengalami batuk setelah inhalasi
indacaterol.
• Oladaterol dan vilanterol merupakan LABA sekali sehari
tambahan yang memperbaiki fungsi paru dan gejala PPOK.

2. Antikolinergik/Antagonis Muskarinik

78 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Bekerja memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada
reseptor muskarinik M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan
napas. Antikolinergik inhalasi hampir tidak diabsorpsi sehingga efek
samping sistemiknya lebih rendah dibanding atropine. Secara umum
obat ini relatif aman, dengan efek samping utama mulut kering.
Antikolinergik terdiri dari short-acting (SAMA) dan long-acting (LAMA)
muscarinic antagonist.

SAMA

• Juga bekerja dengan menghambat reseptor neuron M2 yang


berpotensi menyebabkan bronkokonstriksi secara vagal
• Efek bronkodilator SAMA inhalasi lebih lama dibanding SABA
• Contoh: Ipratropium, oxitropium
• Kajian sistematik dari studi acak dengan kontrol menunjukkan
bahwa ipratropium memberikan sedikit manfaat lebih
dibanding SABA dalam fungsi paru, status kesehatan, dan
kebutuhan steroid oral. Namun pada beberapa pasien dapat
menyebabkan efek samping rasa logam atau pahit pada lidah.

LAMA

• Mempunyai ikatan yang lama pada reseptor muskarinik M3,


dengan disosiasi yang lebih cepat dari reseptor muskarinik M2,
sehingga memperpanjang durasi efek bronkodilator
• Dapat mengurangi eksaserbasi dan perawatan di rumah sakit,
memperbaiki gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta
memperbaiki efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence B).
• Contoh: Tiotropium, aclidinium, umeclidinium, glycopyrronium
bromide
• Di antara LAMA, tiopropium dan umeclidinium diberikan sekali
sehari, sedangkan aclidinium dua kali sehari, dan
glycopyrronium 1-2 kali sehari.
• Tiotropium memperbaiki gejala, status kesehatan, efektivitas
rehabilitasi paru, dan menurunkan eksaserbasi serta
perawatan di rumah sakit, namun tidak mempunyai efek pada
tingkat penurunan fungsi paru.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 79


• Uji klinik juga menunjukkan bahwa efek pada tingkat
eksaserbasi LAMA (tiotropium) lebih besar dibanding terapi
LAMA

3. Derivat Xanthine

• Efek pasti obat golongan ini masih kontroversi, bisa bekerja


sebagai penghambat phosphodiesterase nonselektif, tetapi juga
dilaporkan mempunyai efek bronkodilator yang kemaknaannya
masih diperdebatkan.
• Data mengenai lama kerja pada PPOK masih kurang.
• Rasio terapeutik derivat xanthine kecil dan sebagian besar
manfaatnya terjadi hanya saat diberikan pada dosis yang hampir
toksik. Efek samping meliputi palpitasi, kejang grand mal, sakit
kepala, insomnia, mual dan nyeri ulu hati.
• Obat ini juga berinteraksi signifikan dengan obat lain seperti
digitalis dan coumadin.
• Derivat xanthine juga dapat meningkatkan risiko overdosis obat
ini.
• Contoh derivat xanthin adalah theophylline dan doxofylline yang
diberikan per oral.
• Penambahan theophylline pada salmeterol menyebabkan
perbaikan FEV1 dan sesak napas yang lebih baik dibanding
salmeterol saja.
• Doxofylline mempunyai profil keamanan dan tolerabilitas yang
lebih baik dan interaksi obat yang lebih rendah dibanding
theophylline, relatif aman pada pasien jantung atau usia lanjut
yang menderita asma bronkial atau PPOK.

Antiinflamasi1-3,6,7

Hingga saat ini, eksaserbasi (tingkat eksaserbasi, pasien dengan


minimal sekali eksaserbasi, waktu hingga pertama kali mengalami
eksaserbasi) mencerminkan endpoint utama yang klinis relevan untuk
menilai efikasi obat antiinflamasi. Antiinflamasi yang dapat digunakan
pada PPOK adalah kortikosteroid dan phosphodiesterase-4 inhibitor
(PDE4 inhibitor). Bukti in vitro menunjukkan bahwa inflamasi terkait

80 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


PPOK mempunyai responsivitas terbatas terhadap kortikosteroid
namun, beberapa obat seperti agonis β2, theophylline, atau macrolide
dapat secara pasial meningkatkan sensitivitas kortikosteroid. Data in
vivo menunjukkan bahwa kaitan dosis respons dengan keamanan
jangka panjang (>3 tahun) kortikosteroid inhalasi pada pasien PPOK
masih belum jelas dan memerlukan penelitian lebih lanjut.

1. ICS

• Kortikosteroid yang diberikan regular dapat memperbaiki


gejala, fungsi paru, kualitas hidup, frekuensi eksaserbasi pada
pasien dengan FEV1 diprediksi < 60%.
• Namun kebanyakan studi telah menemukan bahwa terapi
reguler dengan kortikosteroid inhalasi tidak memodifikasi
penurunan FEV1 atau mortalitas jangka panjang pada pasien
PPOK.
• Contoh: Fluticasone, Budesonide
• Dalam studi TORCH terdapat kecenderungan mortalitas lebih
tinggi pada pasien yang diterapi fluticasone propionate saja
dibanding pasien yang diterapi plasebo atau kombinasi
salmeterol plus fluticasone propionate.9 Namun peningkatan
mortalitas tidak ditemukan pada pasien PPOK yang diterapi
dengan fluticasone furoate dalam studi Survival in Chronic
Obstructive Pulmonary Disease with Heightened Cardiovascular
Risk (SUMMIT).10
• Studi acak dengan kontrol menunjukkan bahwa penggunaan
ICS dikaitkan dengan peningkatan prevalensi kandidiasis oral,
suara serak, memar kulit, dan pneumonia.11 Pasien lebih
berisiko pneumonia meliputi perokok, usia > 55 tahun, riwayat
eksaserbasi atau pneumonia, indeks massa tubuh < 25 kg/m2,
derajat sesak MRC buruk dan/atau hambatan aliran udara
berat.
• Penggunaan ICS juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
diabetes/control diabetes yang buruk, katarak, dan infeksi
mycobacterial termasuk tuberkulosis.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 81


• Terdapat laporan peningkatan eksaserbasi dan/atau gejala,
serta penurunan FEV1 (sekitar 40 mL) pada penghentian terapi
ICS, pemberian bronkodilator kerja panjang dapat
meminimalisasi efek penghentian ICS.

2. Glucocorticoid oral

• Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi


akut pada pasien dirawat di rumah sakit atau selama di unit
gawat darurat, menurunkan tingkat kegagalan terapi, tingkat
relaps dan memperbaiki fungsi paru dan sesak napas, namun
penggunaannya pada terapi harian jangka panjang pada PPOK
tidak dianjurkan karena komplikasi sistemik yang tinggi.12
• Glucocorticoid oral dapat menyebabkan efek samping seperti
miopati steroid,13 yang dapat berkontribusi pada kelemahan
otot, penurunan fungsionalitas dan gagal napas pada pasien
PPOK yang sangat berat.1

3. Phosphodiesterase-4 inhibitor

• Kerja utama PDE4 inhibitor adalah mengurangi inflamasi


dengan menghambat pemecahan C-AMP intraseluler.
• Roflumilast merupakan obat golongan ini yang diberikan sekali
sehari secara oral.
• Roflumilast tidak mempunyai efek bronkodilator langsung,
namun bisa menurunkan eksaserbasi sedang dan berat pada
pasien dengan bronkitis kronik, PPOK berat hingga sangat berat
dan riwayat eksaserbasi, yang diterapi dengan kortikosteroid
sistemik.
• Efek pada fungsi paru juga tampak jika roflumilast ditambahkan
pada bronkodilator kerja panjang dan pada pasien yang tidak
terkontrol dengan kombinasi tetap LABA/ICS.
• Untuk pasien PPOK, PDE4 inhibitor mempunyai efek samping
yang lebih besar dibanding obat inhalasi, seperti diare, mual,
penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri
abdomen, ganggun tidur dan sakit kepala. Sebaiknya dihindari
pada pasien kurus dan hati-hati pada pasien dnegan depresi.

82 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Efek samping tampaknya terjadi pada awal terapi namun akan
menghilang dengan diteruskannya terapi.
• Efek samping: mual, menurunkan nafsu makan, sakit perut,
diare, gangguan tidur, dan sakit kepala

Terapi Kombinasi13

1. Kombinasi bronkodilator

Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme dan lama


kerja berbeda dapat meningkatkan derajat bronkodilatasi dengan
risiko efek samping lebih rendah disbanding meningkatkan dosis
bronkodilator tunggal.14 Kombinasi LABA dan LAMA lebih unggul
dibanding obat tunggal dalam memperbaiki FEV1 dan gejala PPOK.15
Terapi dengan formoterol dan tiotropium dalam inhaler terpisah
memberikan dampak yang lebih besar dibanding obat tunggal.16

Saat ini sudah tersedia kombinasi LABA dengan LAMA dalam satu
inhaler. Kombinasi ini memperbaiki fungsi paru dibandingkan dengan
plasebo, dan perbaikan ini secara konsisten lebih besar dibanding efek
monoterapi bronkodilator kerja panjang. Kombinasi LABA dengan
LAMA juga menghasilkan perbaikan yang lebih besar dalam kualitas
hidup dibanding dengan plasebo dan bronkodilator tunggal pada
pasien dengan gejala basal yang lebih berat. Kombinasi LABA/LAMA
dengan dosis yang lebih rendah yang diberikan dua kali sehari juga
menunjukkan perbaikan gejala dan status kesehatan pada pasien
PPOK.17

Salah satu studi pada pasien dengan riwayat eksaserbasi


menunjukkan bahwa kombinasi bronkodilator kerja panjang lebih
efektif dibanding monoterapi bronkodilator kerja panjang untuk
mencegah eksaserbasi. Selain itu, studi lain pada pasien dengan
riwayat eksaserbasi mengkonfirmasi bahwa kombinasi LABA/LAMA
menurunkan eksaserbasi lebih besar dibanding kombinasi LABA/ICS.18

2. Kombinasi LABA/ICS

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 83


Pada pasien dengan PPOK sedang hingga sangat berat dan
eksaserbasi, kombinasi LABA/ICS lebih efektif dibanding obat tunggal
dalam memperbaiki fungsi paru, status kesehatan dan menurunkan
eksaserbasi.19,20 Namun studi klinis, gagal menunjukkan efek
bermakna dari terapi kombinasi pada kelangsungan hidup.21,22

3. Terapi inhalasi 3 obat

Penambahan LAMA pada kombinasi LABA/ICS dapat


memperbaiki fungsi paru dan outcome, khususnya pada risiko
eksaserbasi.23 Namun uji klinik acak dengan kontrol tidak
menunjukkan manfaat penambahan ICS pada kombinasi LABA/LAMA
dalam hal eksaserbasi.24 Suatu studi tersamar ganda dengan kontrol
melaporkan bahwa terapi dengan terapi 3 obat mempunyai manfaat
klinis yang lebih besar dibandingkan tiotropium pada pasien dengan
PPOK simtomatik, FEV1 <50%, dan riwayat eksaserbasi.25 Studi
tersamar ganda dengan kontrol lainnya melaporkan manfaat terapi
inhaler tunggal 3 obat dibandingkan dengan terapi LABA/ICS pada
pasien dengan PPOK lanjut.26

Obat lain1

1. Antibiotik

Studi baru-baru ini menunjukkan bahwa penggunaan reguler


beberapa antibiotik dapat menurunkan tingkat eksaserbasi PPOK.
Azithromycin (250 mg/hari atau 500 mg 3 kali seminggu) atau
erythromycin (500 mg 2 kali sehari) selama 1 tahun pada pasien yang
rentan eksaserbasi, dapat menurunkan risiko eksaserbasi dibanding
perawatan biasa.27,28 Namun penggunaan azithromycin dikaitkan
dengan peningkatan kejadian resistensi bakteri dan gangguan tes
pendengaran, dan tidak ada data mengenai efikasi atau keamanan
terapi azithromycin kronik (> 1 tahun terapi) untuk mencegah
eksaserbasi PPOK.1,29

2. Mukolitik

84 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Pada pasien PPOK yang tidak mendapat ICS, terapi reguler dengan
mukolitik seperti carbocysteine dan N-acetylcysteine dapat
menurunkan eksaserbasi dan sedikit memperbaiki status
kesehatan.30,31

3. Antitusif

Peranan antitusif pada PPOK masih belum jelas.32

4. Alpha-1 antitrypsin augmentation therapy

• Obat ini diberikan secara intravena untuk meminimalisasi


perkembangan dan progresivitas penyakit paru serta menjaga
fungsi dan struktur paru pada pasien dengan defisiensi alpha-1
antitrypsin (AATD).1
• Suatu studi observasi menunjukkan adanya penurunan
progresivitas spirometrik pada pasien yang diterapi dengan
obat ini dibanding yang tidak,33 dan penurunan tersebut lebih
efektif pada pasien dengan FEV1 diprediksi 35-49%.34
• Bukan atau bekas perokok dengan FEV1 diprediksi 35-60%
merupakan kelompok pasien yang paling dianjurkan untuk
terapi obat ini (Evidence B).1
• Tidak semua pasien dengan AATD mengalami atau menetap
dengan progresivitas spirometrik yang cepat setelah berhenti
merokok, sehingga obat ini sebaiknya digunakan pada pasien
dengan bukti progresivitas yang terus menerus dan cepat
setelah berhenti merokok.35
• Obat ini direkomendasikan pada pasien dengan AATD dan FEV1
diprediksi <65%. Namun studi baru-baru ini
merekomendasikan bahwa semua pasien dengan bukti
penyakit paru progresif sebaiknya dipertimbangkan untuk
penyakit paru terkait AATD, dan FEV1 >65%.1

5. Vasodilator

Vasodilator belum dinilai secara tepat pada pasien PPOK dengan


hipertensi paru berat.1

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 85


Terapi farmakologi pada eksaserbasi1,3

• Pada eksaserbasi akut PPOK, tujuan terapi adalah meminimalisasi


dampak negatif dari eksaserbasi yang terjadi dan untuk mencegah
kejadian eksaserbasi selanjutnya.
• Penatalaksanaan eksaserbasi akut PPOK meliputi penambahan
dosis bronkodilator dan frekuensi pemberiannya. Short-acting
beta 2-agonist, dengan atau tanpa SAMA, direkomendasikan
sebagai bronkodilator awal untuk terapi eksaserbasi akut.
Sedangkan terapi pemeliharaan dengan bronkodilator kerja
panjang sebaiknya dimulai sesegera mungkin sebelum keluar dari
rumah sakit.
• Kortikosteroid sistemik dapat memperbaiki fungsi paru (FEV1),
oksigenasi dan mempersingkat waktu pemulihan dan durasi
perawatan di rumah sakit. Durasi terapi sebaiknya tidak lebih dari
5-7 hari.
• Antibiotik, jika diindikasikan, dapat mempersingkat waktu
pemulihan, menurunkan risiko kekambuhan dini, kegagalan
terapi, dan durasi perawatan di rumah sakit.
• Methylxanthine tidak direkomendasikan karena meningkatkan
profil efek samping.
• Bila terjadi eksaserbasi berat obat diberikan secara injeksi,
subkutan, intravena atau per drip, misal:3
 Terbutaline 0,3 mL subkutan
 Adrenaline 0,3 mg subkutan
 Aminophylline bolus 5 mg/kgBB (dengan pengenceran)
dilanjutkan dengan per drip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam
 Kortikosteroid 30 mg/hari dalam 2 minggu bila perlu dengan
dosis diturunkan bertahap (tappering off)
 Antibiotik (minimal 10 hari dapat sampai 2 minggu)

PEMANTAUAN DAN FOLLOW UP

Follow up rutin penting pada penatalaksanaan semua pasien


termasuk PPOK. Fungsi paru bisa diperkirakan memburuk, bahkan
dengan pengobatan terbaik. Gejala dan pengukuran objektif dari
keterbatasan aliran udara harus dimonitor untuk menentukan kapan

86 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


dilakukan modifikasi terapi dan untuk identifikasi beberapa komplikasi
yang bisa timbul.

Pemantauan progresifitas penyakit dan komplikasi

• Spirometri

Penurunan fungsi paru terbaik diukur dengan spirometri,


dilakukan sekurang-kurangnya setiap 1 tahun sekali. Kuesioner seperti
CAT bisa dilakukan setiap 2 atau 3 bulan.

• Gejala

Pada setiap kunjungan, tanyakan perubahan gejala dari saat


kunjungan terakhir termasuk batuk dan dahak, sesak napas, fatiq,
keterbatasan aktivitas dan gangguan tidur.

• Merokok

Pada setiap kunjungan, tanyakan status merokok terbaru dan


paparan terhadap rokok.

Pemantauan Farmakoterapi dan Terapi Medis Lain

Agar penyesuaian terapi sesuai sejalan dengan berjalannya


penyakit, setiap follow up harus termasuk diskusi mengenai regimen
terapi terbaru. Dosis setiap obat, kepatuhan terhadap regimen, teknik
penggunaan terapi inhalasi, efektivitas regimen terbaru dalam
mengontrol gejala dan efek samping terapi harus selalu dalam
pengawasan. Modifikasi terapi harus dianjurkan untuk menghindari
polifarmasi yang tidak diperlukan.

Pemantauan Riwayat Eksaserbasi

Evaluasi frekuensi, beratnya dan penyebab terjadinya


eksaserbasi. Peningkatan jumlah sputum, perburukan akut sesak
napas dan adanya sputum purulen harus dicatat. Penyelidikan spesifik

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 87


terhadap kunjungan yang tidak terjadwal, panggilan telepon terhadap
petugas kesehatan dan penggunaan fasilitas emergensi adalah
penting. Tingkat beratnya eksaserbasi bisa diperkirakan dari
peningkatan penggunaan obat bronkhodilator atau kortikosteroid dan
kebutuhan terhadap terapi antibiotik. Perawatan di rumah sakit harus
terdokumentasi, termasuk fasilitas, lamanya perawatan, dan
penggunaan ventilasi mekanik.

Pemantauan Komorbid

Komorbid biasa ditemukan pada pasien dengan PPOK,


memperbesar ketidakmampuan yang berhubungan dengan PPOK dan
potensial menimbulkan penatalaksanaan menjadi lebih kompleks.

KESIMPULAN
PPOK adalah penyakit respirasi kronik dengan adanya hambatan
aliran udara progresif, yang berhubungan dengan peningkatan
respons inflamasi kronis saluran napas. Hambatan jalan napas pada
PPOK disebabkan oleh obstruksi saluran napas dan kerusakan
parenkim paru. Rokok merupakan faktor risiko terpenting sehingga
berhenti merokok merupakan cara yang efektif untuk menurunkan
risiko PPOK dan memperlambat progresivitasnya. Tujuan terapi PPOK
adalah untuk mengurangi gejala, menurunkan eksaserbasi,
memperbaiki kualitas hidup pasien dan kemungkinan menurunkan
mortalitas. Obat farmakologi utama untuk PPOK adalah bronkodilator
seperti agonis β2 dan antikolinergik (antagonis muskarinik).
Bronkodilator kerja panjang lebih efektif dibanding bronkodilator kerja
singkat untuk terapi pemeliharaan PPOK. Kombinasi bronkodilator
(agonis β2 dan antikolinergik) atau kombinasi bronkodilator dengan
kortikosteroid inhalasi lebih efektif dalam memperbaiki fungsi paru
dibanding monoterapi. Kombinasi 3 obat (LABA, LAMA, dan ICS) dapat
memperbaiki fungsi paru dan kualitas hidup, serta menurunkan risiko
eksaserbasi dibanding kombinasi LABA/ICS atau LABA/LAMA.
Pemilihan pengobatan untuk mencegah eksaserbasi juga bisa dipakai
untuk meningkatkan kualitas hidup pada pasien PPOK. Klinis perlu

88 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


memberikan terapi yang bersifat individual, termasuk faktor risiko dan
komorbiditas, agar dapat memaksimalkan pengobatan pada PPOK.

DAFTAR PUSTAKA

1. lobal strategy for the diagnosis, management, and prevention of


chronic obstructive pulmonary disease (2018 report) [Internet].
2018 [cited 2018 Oct 1]. Available from: https://goldcopd.org/wp-
content/uploads/2017/11/GOLD-2018-v6.0-FINAL-revised-20-
Nov_WMS.pdf
2. Young RJ, Murphy KR. Review of the 2009 Global initiative for
chronic obstructive lung disease (GOLD) guidelines for the
pharmacological management of chronic obstructive pulmonary
disease [Internet]. 2009 [cited 2018 Oct 1]. Available from:
http://advanceweb.com/web/focus_on_copd/article2.html
3. PPOK. Diagnosis dan penatalaksanaan. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia; 2011.
4. Vestbo J, Hurd S, Agusti A, Jones P, Vogelmeier C, Anzueto A, et al.
Global strategy for the diagnosis, management, and prevention of
chronic obstructive pulmonary disease: GOLD executive summary.
Am J Respir Crit Care Med. 2014;187(4):347 - 65.
5. Lopez AD, Shibuya K, Rao C, Mathers CD, Hansell AL, Held LS, et al.
Chronic obstructive pulmonary disease: current burden and future
projections. European Respiratory Journal. 2006;27(2):397-412.
6. Soeroto AY, Suryadinata H. Penyakit paru obstruktif kronik. Ina J
Chest Crit Emerg Med. 2014;1(2):83-8.
7. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pedoman diagnosis &
penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia; 2003.
8. Global Initiative for chronic obstructive lung disease: pocket guide
to COPD diagnosis, management, and prevention, a guide for
health care professional (2019 report) [Internet]. 2019 [cited 2019
Aug 14]. Available from: https://goldcopd.org › GOLD-2019-
POCKET-GUIDE-FINAL_WMS
9. Wong CS, Pavord ID, Williams J, Britton JR, Tattersfield AE.
Bronchodilator, cardiovascular, and hypokalaemic effects of

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 89


fenoterol, salbutamol, and terbutaline in asthma. Lancet
1991;336(8728):1396-9.
10. Vestbo J, Anderson JA, Brook RD, Calverley PM, Celli BR, Crim C, et
al. Fluticasone furoate and vilanterol and survival in chronic
obstructive pulmonary disease with heightened cardiovascular
risk (SUMMIT): A double-blind randomised controlled trial. Lancet.
2016;387(10030):1817-26. doi: 10.1016/S0140-6736(16)30069-1.
11. Yang IA, Clarke MS, Sim EH, Fong KM. Inhaled corticosteroids for
stable chronic obstructive pulmonary disease. Cochrane Database
Syst Rev 2012;7(7):CD002991.
12. Walters JA, Tan DJ, White CJ, Gibson PG, Wood-Baker R, Walters
EH. Systemic corticosteroids for acute exacerbations of chronic
obstructive pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev
2014;(9):CD001288.
13. Manson SC, Brown RE, Cerulli A, Vidaurre CF. The cumulative
burden of oral corticosteroid side effects and the economic
implications of steroid use. Respir Med. 2009;103(7):975-94.
14. Cazzola M, Molimard M. The scientific rationale for combining
long-acting beta2-agonists and muscarinic antagonists in COPD.
Pulm Pharmacol Ther. 2010;23(4):257-67.
15. Gross N, Tashkin D, Miller R, Oren J, Coleman W, Linberg S.
Inhalation by nebulization of albuterolipratropium combination
(Dey combination) is superior to either agent alone in the
treatment of chronic obstructive pulmonary disease. Dey
Combination Solution Study Group. Respiration 1998; 65(5):354-
62.
16. Tashkin DP, Pearle J, Iezzoni D, Varghese ST. Formoterol and
tiotropium compared with tiotropium alone for treatment of
COPD. COPD 2009;6(1):17-25.
17. Mahler DA, Kerwin E, Ayers T, FowlerTaylor A, Maitra S, Thach C,
et al. FLIGHT1 and FLIGHT2: Efficacy and safety of qva149
(indacaterol/glycopyrrolate) versus its monocomponents and
placebo in patients with chronic obstructive pulmonary disease.
Am J Respir Crit Care Med 2015;192(9): 1068-79,
18. Wedzicha JA, Banerji D, Chapman KR, Vestbo J, Roche N, Ayers RT,
et al. Indacaterol-glycopyrronium versus salmeterol-fluticasone
for COPD. N Engl J Med. 2016;374(23):2222-34.

90 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


19. Nannini LJ, Lasserson TJ, Poole P. Combined corticosteroid and
long-acting beta(2)-agonist in one inhaler versus long-acting
beta(2)-agonists for chronic obstructive pulmonary disease.
Cochrane Database Syst Rev. 2012;9(9): CD006829.
20. Nannini LJ, Poole P, Milan SJ, Kesterton A. Combined
corticosteroid and long-acting beta(2)-agonist in one inhaler
versus inhaled corticosteroids alone for chronic obstructive
pulmonary disease. Cochrane Database Syst Rev.
2013;8(8):CD006826.
21. Calverley PM, Anderson JA, Celli B, Ferguson GT, Jenkins C, Jones
PW, et al. Salmeterol and fluticasone propionate and survival in
chronic obstructive pulmonary disease. N Engl J Med.
2007;356(8):775-89.
22. Vestbo J, Anderson JA, Brook RD, Calverley PM, Celli BR, Crim C, et
al. Fluticasone furoate and vilanterol and survival in chronic
obstructive pulmonary disease with heightened cardiovascular
risk (SUMMIT): A double-blind randomised controlled trial. Lancet
2016;387(10030):1817-26.
23. Singh D, Brooks J, Hagan G, Cahn A, O’Connor BJ. Superiority of
”triple” therapy with salmeterol/fluticasone propionate and
tiotropium bromide versus individual components in moderate to
severe COPD. Thorax 2008;63(7):592-8.
24. Aaron SD, Vandemheen KL, Fergusson D, Maltais F, Bourbeau J,
Goldstein R, et al. Tiotropium in combination with placebo,
salmeterol, or fluticasone-salmeterol for treatment of chronic
obstructive pulmonary disease: A randomized trial. Ann Intern
Med 2007;146(8):545-55.
25. Vestbo J, Papi A, Corradi M, Blazhko V, Montagna I, Francisco C, et
al. Single inhaler extrafine triple therapy versus long-acting
muscarinic antagonist therapy for chronic obstructive pulmonary
disease (TRINITY): A double-blind, parallel group, randomised
controlled trial. Lancet 2017; 389(10082):1919-29.
26. Lipson DA, Barnacle H, Birk R, Brealey N, Locantore N, Lomas DA,
et al. FULFIL Trial: Once-daily triple therapy for patients with
chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med.
2017;196(4):438-46.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 91


27. Uzun S, Djamin RS, Kluytmans JA, Mulder PG, van’t Veer NE,
Ermens AA, et al. Azithromycin maintenance treatment in patients
with frequent exacerbations of chronic obstructive pulmonary
disease (COLUMBUS): A randomised, doubleblind, placebo-
controlled trial. The Lancet Respiratory medicine 2014;2(5):361-8.
28. Seemungal TA, Wilkinson TM, Hurst JR, Perera WR, Sapsford RJ,
Wedzicha JA. Long-term erythromycin therapy is associated with
decreased chronic obstructive pulmonary disease exacerbations.
Am J Respir Crit Care Med. 2008;178(11):1139-47.
29. Albert RK, Connett J, Bailey WC, Casaburi R, Cooper JA Jr, Criner
GJ, et al. Azithromycin for prevention of exacerbations of COPD. N
Engl J Med. 2011;365(8):689-98.
30. Cazzola M, Calzetta L, Page C, Jardim J, Chuchalin AG, Rogliani P,
et al. Influence of N-acetylcysteine on chronic bronchitis or COPD
exacerbations: A meta-analysis. Eur Respir Rev. 2015;24(137):451-
61.
31. Poole P, Chong J, Cates CJ. Mucolytic agents versus placebo for
chronic bronchitis or chronic obstructive pulmonary disease.
Cochrane Database Syst Rev. 2015;(7): CD001287.
32. Schildmann EK, Remi C, Bausewein C. Levodropropizine in the
management of cough associated with cancer or nonmalignant
chronic disease--a systematic review. J Pain Palliat Care
Pharmacother. 2011;25(3):209-18.
33. Chapman KR, Stockley RA, Dawkins C, Wilkes MM, Navickis RJ.
Augmentation therapy for alpha1 antitrypsin deficiency: A meta-
analysis. Copd. 2009; 6(3):177-84.
34. The alpha-1-antitrypsin deficiency registry study group. Survival
and FEV1 decline in individuals with severe deficiency of alpha1-
antitrypsin. Am J Respir Crit Care Med. 1998;158(1):49-59.
35. Stockley RA, Edgar RG, Pillai A, Turner AM. Individualized lung
function trends in alpha-1-antitrypsin deficiency: A need for
patience in order to provide patient centered management? Int J
Chron Obstruct Pulmon Dis. 2016;11:1745-56.

92 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


DETEKSI DINI DAN TATALAKSANA AWAL
MIELOMA MULTIPEL
Sri Agustini Kurniawati1, Ruth Vonky Rebecca1
1
SMF Hematologi Onkologi Medik Pusat Kanker Nasional RS
Kanker Dharmais

Definisi

Mieloma multipel (MM) adalah keganasan sel plasma klonal,


ditandai dengan adanya akumulasi sel plasma di sumsum tulang yang
menyebabkan berbagai manifestasi klinis heterogen dan dapat
melibatkan beberapa jaringan dan organ yang berbeda seperti
destruksi tulang, kegagalan sumsum tulang, kerusakan ginjal,
hiperkalsemia, dan rentan terhadap infeksi.1 Gejala disfungsi organ
tersebut dikenal dengan istilah CRAB yaitu terdiri dari hiperkalsemia
(Calcium elevated), insufisiensi renal (Renal insufficiency), Anemia, dan
lesi tulang (Bone lesions).

Epidemiologi

Prevalensi MM berkisar 1% dari semua kasus keganasan dan ±


10% dari semua kasus keganasan darah. Variasi etnik pada insidens
MM jelas diketahui. Mieloma multipel dilaporkan insidensinya lebih
rendah di negara Asia dibandingkan dengan negara di Eropa. Insidens
MM di Eropa ialah 4,5-6,0 per 100.000 penduduk per tahun dengan
median usia saat diagnosis ialah 72 tahun serta angka kematiannya 4,1
per 100.000 penduduk per tahun.2-3
Data dari GLOBOCAN 2018 menunjukkan insidens MM di dunia
ialah 0,9% dengan angka kematiannya 1,1%. Sedangkan data di
Indonesia menunjukkan prevalensi 5 tahun MM di Indonesia sekitar
2,21%. Di Indonesia MM menduduki peringkat ke-20 kanker dengan

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 93


angka kasus baru terbanyak yaitu 0,89% dan menduduki peringkat ke-
18 kanker dengan angka kematian tersering yaitu 1,26%.4-5

Patogenesis

Mieloma berkembang mulai dari proliferasi premaligna


asimtomatik sel plasma monoklonal yang berasal dari sel B post
germinal center. Perubahan bertahap lingkungan mikro dan makro
serta genetik menimbulkan transformasi sel-sel tersebut menjadi
neoplasma maligna. Perubahan yang dimaksud di atas meliputi
stimulasi antigen dan supresi sistem kekebalan tubuh (ekspresi
TLR/Toll Like Receptor dan IL/Interleukin-6 aberant), perubahan
sitogenetik (translokasi IgH, translokasi non-IgH, delesi 13, NRAS,
KRAS, cMYC, p53), aktivasi dari Cyclin D, serta adanya interaksi stromal
dan sekresi sitokin (faktor lingkungan mikro). Mieloma diawali
berkembang mulai dari MGUS (Monoclonal Gammopathy of
Undetermined Clinical Significance) yang berubah menjadi SM
(Smoldering Myeloma) dan akhirnya menjadi MM.6-7

Deteksi Dini

Deteksi dini MM meliputi beberapa hal di bawah ini yaitu :

a) Anamnesis
Keluhan atau gejala yang sering ditemukan pada MM antara
lain nyeri pada tulang spontan (sebanyak 66%, termasuk nyeri
pinggang/punggung), gejala anemia (seperti lemas/letih/lesu
(32%) dan pusing), penurunan berat badan >10 kg (12%),
demam (<1%), infeksi berulang dan adanya perdarahan
spontan (<15%), adanya massa di tubuh (gejala plasmasitoma
ekstramedular), gejala kompresi medula spinalis (nyeri
pinggang, kelemahan tungkai, baal, atau dysethesia
ekstremitas), gejala hiperkalsemia yang bervariasi (perubahan
kesadaran, konstipasi, mual, dan kehausan), gejala
hiperviskositas (kelemahan umum, mudah lebam, penglihatan
buram, perubahan sensorik) dan gejala neurologis (neuropati
perifer). 1,2,8

94 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


b) Pemeriksaan Fisik
Tanda atau pemeriksaan fisik yang sering ditemukan pada MM
antara lain penurunan performa status, konjungtiva tampak
pucat, bisa terjadi penurunan kesadaran, defisit neurologik
fokal, tanda-tanda fraktur kompresi, adanya massa
ekstramedular, adanya limfadenopati, dan manifestasi
perdarahan di kutis dan mukosa seperti ekimosis, petekie,
hematoma, epistaksis, serta perdarahan gusi.1,2
c) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium untuk diagnostik awal MM
meliputi pemeriksaan darah dasar meliputi darah perifer
lengkap dan morfologi darah tepi(meliputi hitung jenis dan
adanya rouleaux), fungsi ginjal (serum kreatinin dan
elektrolit), lactat dehydrogenase (LDH), serum kalsium, rasio
albumin/globulin, β2 mikroglobulin. Kadar hemoglobin
<12g/dL ditemukan sebanyak 79%, kadar creatinine >2mg/dL
ditemukan sebanyak 19%, kadar kalsium >11mg/dL ditemukan
sebanyak 13%. Pemeriksaan laboratorium lanjutan meliputi
viskositas darah dan ditemukan hiperviskositas >4cP sebanyak
<7%. Kemudian dapat dilanjutkan pemeriksaan deteksi
protein monoklonal (ditemukan sebanyak 97%) dengan
elektroforesis protein (urin dan serum), imunofiksasi protein
(urin dan serum), serum FLC (Free Light Chain), dan kadar
immunoglobulin kuantitatif (IgA, IgG, atau IgM). Selanjutnya
dilakukan pemeriksaan dari sampel sumsum tulang untuk
menentukan adanya sel plasma klonal berupa morfologi
aspirasi sumsum tulang, histopatologi biopsi sumsum tulang,
imunohistokimia dan flowcytometry. Bila terdapat massa
ekstramedular maka dapat dilakukan pemeriksaan
histopatologi biopsi massa tersebut.1,2,8

d) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan diagnostik radiologi awal untuk menemukan lesi
litik pada MM meliputi bone survey atau CT-Scan seluruh
tubuh dosis rendah. Lesi litik, osteoporosis atau fraktur pada
foto roentgen polos ditemukan sebanyak 79%.1,2,8

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 95


Pemeriksaan CT scan, PET/CT scan, atau MRI dapat digunakan
pada pasien dengan nyeri tulang tanpa kelainan yang terlihat
pada bone survey.
e) Pemeriksaan Sitogenetik
Merupakan pemeriksaan diagnostik lanjutan MM untuk
melihat mutasi genetik dengan analisis kromosom
konvensional dan FISH (Fluoresence In Situ Hybridization). 1,2

Diagnosis

Diagnosis mieloma berdasarkan adanya sel plasma monoklonal


sedikitnya 10% di sumsum tulang dan adanya protein monoklonal
pada serum atau urin. Mieloma multipel perlu dibedakan dengan
MGUS, MM smoldering atau MM indolen (mieloma asimtomatik) dan
solitary plasmocytoma. Mieloma diklasifikasikan menjadi tanpa gejala
(asimtomatik) dan dengan gejala (aktif/simtomatik) tergantung dari
ada atau tidaknya gejala disfungsi organ atau jaringan yang berkaitan
dengan mieloma.
Kriteria diagnosis MM berdasarkan klinikopatologi, sehingga pada
kriteria diagnostik sebelumnya mengalami perkembangan
berdasarkan beberapa kriteria kelompok peneliti. Tahun 2003
International Myeloma Working Group (IMWG) melakukan
standardisasi kriteria diagnostik MM berdasarkan beberapa kriteria
MM yang ada sebelumnya, di mana salah satu yang sering digunakan
adalah sebelumnya adalah kriteria berdasarkan Durie-Salmon.
Perkembangan kriteria diagnostik MM selanjutnya dilatarbelakangi
oleh kemajuan pengobatan MM dengan ditemukannya obat baru
seperti golongan imunomodulator (thalidomide/lenalidomide) dan
inhibitor proteosom (bortezomib), dan juga kemajuan pemeriksaan
laboratorium dan pencitraan yang dapat mendeteksi disfungsi organ
yang disebabkan oleh MM. Pada saat ini MM ditegakkan berdasarkan
kriteria diagnostik IMWG tahun 2014 sebagai berikut9:
1. Sel plasma klonal pada sumsum tulang >10%, atau
2. Dengan pembuktian plasmasitoma dari biopsi
tulang/plasmasitoma ekstrameduler dan salah satu atau lebih
dari kejadian yang mengikuti MM :

96 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


a. Kondisi yang mengacu pada mieloma (myeloma-defining
events)
i. Bukti kerusakan akhir organ yang dapat menjadi
atribut dari yang mendasari gangguan proliferatif sel
plasma, khususnya:
1. Hiperkalsemia: kalsium serum >0,25 mmol/L (>1
mg/dL) di atas nilai batas atas normal atau >2,75
mmol/L (>11 mg/dL)
2. Insufisiensi renal: bersihan kreatinin <40
mL/menit atau kreatinin serum >177 umol/L (>2
mg/dL)
3. Anemia: nilai hemoglobin >2g/dL di bawah nilai
normal, atau nilai hemoglobin <10g/dL
4. Lesi tulang: satu atau lebih lesi osteolitik pada
radiografi skeletal, CT, atau PET-CT (bila sel
plasma sumsum tulang <10%, diperlukan >1 lesi
tulang untuk membedakan plasmasitoma soliter
dengan keterlibatan sumsum tulang minimal).
b. Satu atau lebih dari biomarker keganasan berikut:
i. Persentase sel plasma klonal sumsum tulang >60%
(klonalitas harus menunjukkan restriksi rantai ringan
kappa/lambda pada flowcytometry, imunohistokimia
/ immunofluorescence).
ii. Rasio involved: uninvolved free-light chain serum
>100
iii. Lebih dari satu lesi fokal pada MRI (setiap lesi minimal
berdiameter 5mm)
Stadium

Sama seperti kriteria diagnostik, penentuan stadium MM pun


mengalami perubahan. Pada awalnya stadium MM diklasifikasikan
berdasarkan kriteria Durie-Salmon. Oleh karena klasifikasi stadium
Durie-Salmon tidak berkorelasi baik dengan prognosis pasien, maka

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 97


pada tahun 2005 IMWG membuat klasifikasi stadium baru
International Staging System (ISS) dengan menggunakan variabel yang
lebih sederhana namun berkorelasi lebih baik dengan prognosis
pasien. Pada tahun 2015, Palumbo dkk memperkenalkan sistem
stadium Revised-ISS (R-ISS) yang membagi stadium berdasarkan
stadium ISS, abnormalitas kromosomal dan kadar LDH serum untuk
mendefinisikan subkelompok pasien dengan prognosis yang berbeda
sehingga memungkinkan stratifikasi pada uji klinis dan perbandingan
data penelitian. Penentuan stadium MM berdasarkan kriteria R-ISS
201510 yaitu:
a. Stadium I
Kadar β2M serum <3,5mg/L, kadar albumin serum >3,5g/dL
abnormalitas kromosomal berisiko standar (tidak ada
abnormalitas kromosomal berisiko tinggi) oleh iFISH dan kadar
LDH normal.
b. Stadium II
Kadar β2M serum <3,5 mg/L dan albumin serum < 3,5 g/dL,
atau kadar β2M serum 3,5 – 5,5 mg/L dan slbumin serum
berapa saja. Tidak memenuhi kriteria R-ISS stadium I atau III.
c. Stadium III
Kadar β2M serum >5,5mg/L dan abnormalitas kromosomal
berisiko tinggi (delesi {17p13} dan/atau translokasi t{4;14})
atau kadar LDH yang tinggi.

Stratifikasi Risiko

Berdasarkan konsensus IWMG stratifikasi risiko pada kasus MM


meliputi3 :

a) Risiko rendah
Meliputi MM dengan stadium R-ISS I, tanpa hypodiploid
pada stadium R-ISS I, tanpa abnormalitas kromosomal
(delesi {17p13} dan/atau translokasi t{4;14}, atau +1q21)
pada stadium R-ISS I atau II, dan usia <55 tahun.
b) Risiko sedang
Meliputi MM dengan stadium R-ISS II, tanpa hypodiploid
pada stadium R-ISS II atau dengan hypodiploid pada stadium

98 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


R-ISS I, tanpa abnormalitas kromosomal (delesi {17p13}
dan/atau translokasi t{4;14}, atau +1q21) pada stadium R-
ISS III, atau dengan abnormalitas kromosomal (delesi
{17p13} dan/atau translokasi t{4;14}, atau +21q21) pada
stadium R-ISS I.
c) Risiko tinggi
Meliputi MM dengan stadium R-ISS III, dengan hypodiploid
pada stadium R-ISS I atau II, dengan abnormalitas
kromosomal (delesi {17p13} dan/atau translokasi t{4;14)
pada stadium R-ISS II atau III.

Tatalaksana

Pengobatan MM mengalami perkembangan pesat dalam


beberapa dekade terakhir. Tujuan pengobatan MM mengalami
perubahan, dari mencapai kontrol penyakit menjadi mencapai
kesintasan bebas penyakit jangka panjang, jika tidak dapat
disembuhkan pada sebagian besar pasien. Tatalaksana MM terdiri dari
pengobatan definitif dan suportif. Sejak diperkenalkannya terapi dosis
tinggi dan autologus hematopoetic stem cell transplantation/ASCT)
pada tahun 1980, maka pengobatan sitostatika melphalan/kombinasi
sitostatika dan steroid yang dilanjutkan dengan terapi dosis tinggi dan
ASCT menunjukkan perbaikan respons pengobatan dan
memperpanjang kesintasan.

Prinsip tatalaksana pada kasus MM meliputi 2,3,11:

1. Menentukan kandidat atau non-kandidat pasien yang akan


menjalani transplantasi sumsum tulang autologus (autologus
hematopoetic stem cell transplantation/ASCT). Persyaratan
pasien MM kandidat ASCT antara lain12:
a) Usia < 65-70 tahun
b) Performa status ECOG ≤2 atau Karnosky ≥70.
c) Pasien dengan status fungsional NYHA (New York Heart
Association) I-II atau fraksi ejeksi ventrikel kiri ≥40% (bila
menggunakan rejimen conditioning BEAM) atau fraksi
ejeksi ventrikel kiri ≥50% (bila menggunakan rejimen

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 99


kemoterapi yang telah diketahui toksisitas kardiaknya
atau rejimen conditioning dengan total body irradiation).
d) Pasien tidak memiliki sirosis hati.
e) Pasien dengan fungsi paru baik (kadar corrected DLCO
≥50%).
f) Pasien dengan serum kreatinin <2 mg/dL atau CrCl >50.
g) Remisi komplit paska kemoterapi induksi.
2. Terapi sistemik antikanker pasien MM kandidat ASCT terdiri
fase induksi, high dose chemotherapy-ASCT, dan maintenance.
Prinsip pengobatan kemoterapi induksi pada pasien kandidat
transplan adalah tidak menggunakan regimen yang
mengandung melphalan.
3. Terapi sistemik antikanker pasien MM non-kandidat ASCT
terdiri dari fase induksi yang umumnya diberikan selama 9
bulan sampai 1 tahun dan dilanjutkan maintenance.
4. Terapi suportif/ajuvan/Terapi lokoregional sesuai indikasi
klinis
5. Salvage Therapy pada pasien kambuh/relaps atau refrakter.

Tan dkk14 membuat suatu panduan penatalaksanaan pasien MM


aktif untuk negara berkembang seperti di Asia dengan tujuan
menyeragamkan panduan diagnosis dan pengobatan dan membantu
memperbaiki luaran klinis pasien MM aktif di negara yang kaya sumber
daya, namun juga mengoptimalkan luaran klinis pasien di negara
miskin sumber daya.

Tatalaksana suportif pada kasus MM meliputi2,3,11 :

1) Pengobatan Bone Diseases : Pemberian infus bisfosfonat


intravena setiap 21-28 hari
2) Pemberian analog erithropoeitin pada anemia : Pemberian
analog eritropoetin suntik subkutan jika didapatkan indikasi
kadar hemoglobin darah kurang dari 10 g/dL atau anemia
progresif/simtomatik jika Hb 10-12 g/dL.
3) Pengobatan suportif untuk kondisi hiperkalsemia : Pemberian
cairan infus hidrasi, steroid, diuretik, bisfosfonat dan evaluasi
fungsi ginjal.

100 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


4) Pengobatan suportif untuk kondisi hiperviskositas :
plasmaferesis
5) Radioterapi paliatif pada kondisi nyeri tulang atau impending
fracture atau adanya kompresi spinal.
6) Pengobatan suportif fungsi ginjal : Pemberian hidrasi adekuat,
hindari obat nefrotoksik, hindari penggunaan kontras
7) Pengobatan kondisi hiperkoagulasi : Pertimbangan pemberian
antikoagulan sesuai indikasi
8) Tranfusi PRC pada kondisi anemia.
9) Transfusi Trombosit pada trombositopenia
10) Injeksi Growth Factor: Injeksi GCSF (Growth Colony
Stimulating Factor) diberikan pada pasien yang mengalami
kondisi neutropenia baik disertai febris maupun tidak.
11) Pemberian antibiotik pada infeksi : Antibiotik profilaksis
(dekontaminasi parsial) mulai diberikan pada saat pasien
menjalani kemoterapi agresif. Antibiotik empirik diberikan
pada saat pasien mengalami kondisi demam neutropenia
yang dilanjutkan dengan pemberian antibiotik definitif sesuai
hasil kultur.
12) Pengobatan suportif gangguan fungsi organ. Gangguan fungsi
organ meliputi : gangguan ginjal (kondisi acute renal failure),
gangguan fungsi hati (drug induced liver injury), gangguan
sistem saraf, nyeri dan sebagainya.
13) Pengobatan suportif terhadap penyakit penyerta/komorbid.
14) Pengobatan suportif rehabilitasi medik terhadap
penyakit/efek samping kemoterapi.

Daftar Pustaka

1. Rajkumar S. Clinical features, laboratory manifestations, and


diagnosis of multiple myeloma [Internet]. 2019 [cited 2019 Aug
19]. Available from : https://www.uptodate.com/contents/
clinical-features-laboratory-manifestations-and-diagnosis-of-
multiple-myeloma
2. Moreau P, San Miguel J, Sonneveld P, Mateos MV, Zamagni E,
Avet-Loiseau H, et.al. Multiple myeloma: ESMO clinical practice

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 101


guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Ann Oncol
2017;28(4):iv52-61.
3. Tan D, Chng WJ, Chou T, Nawarawong W, Hwang S-Y, Chim CS, et
al. Management of multiple myeloma in Asia: resource-stratified
guidelines. Lancet Oncol. 2013;14(12):571–81.
4. Bray FB, Ferlay J, Soerjomataram S, Siegel RL, Torre LA, jemal A.
Global cancer statistics 2018 : GLOBOCAN estimates of incidence
and mortality worldwide for 36 cancers in 185 countries. Ca cancer
J clin. 2018;68:394-424.
5. International Agency for Research on Cancer. GLOBOCAN 2018 :
Indonesia.
6. Palumbo A, Anderson K. Review article : multiple myeloma. N Engl
J Med. 2011;364:1046-60.
7. Abeloff M, Armitage J, Niederhurber J, Kastan M, McKenna W.
Abeloff’s Clinical Oncology 4th Ed. Elsevier. 2010
8. Kyle RA, Gertz MA, Witzig TE, Lust JA, Lacy MQ, Dispenzieri A, et
al. Review of 1027 patients with newly diagnosed multiple
myeloma. Mayo Clin Proc. 2003;78:21-33
9. Rajkumar SV, Dimopoulos MA, Palumbo A, Blade J, Merlini G,
Mateos M-V, dkk. International Myeloma Working Group updated
criteria for the diagnosis of multiple myeloma. Lancet Oncol.
2014;15(12):e538–48.
10. Palumbo A, Loiseau HA, Oliva S, Lokhorst HM, Goldschmidt H,
Rosinol L, et al. Revised international staging system for multiple
myeloma: a report from International Myeloma Working Group. J
Clin Oncol. 2015;33:1–6.
11. Rajkumar SV. Overview of the management of multiple myeloma
[Internet]. 2018 [cited 2019 Aug 19]. Available from:
https://www.uptodate.com/contents/overview-of-the-
management-of-multiple-
myeloma?search=%22Overview%20of%20the%20management%
20of%20multiple%20myeloma%22&source=search_result&select
edTitle=1~1&usage_type=default&display_rank=1
12. Rajkumar SV. Autologous hemtaopoietic cell transplantation in
multiple myeloma [Internet]. 2018 [cited 2018 Oct 11]. Available
from : https://www.uptodate.com/contents/autologous-
hematopoietic-cell-transplantation-in-multiple-

102 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


myeloma?search=%22Autologous%20hematopoietic%20cell%20t
ransplantation%20in%20multiple%20myeloma%22&source=sear
ch_result&selectedTitle=1~1&usage_type=default&display_rank=
1
13. Michael J. Multiple myeloma treatment [Internet]. 2017 [cited
2018 Feb 25]. Available from: https://www.cancertherapyadvisor
.com/multiplemyeloma/multiple-myeloma-treatment-
regimens/article/218209/
14. Tan D, Chng WJ, Chou T, Nawarawong W, Hwang S-Y, Chim CS, et
al. Management of multiple myeloma in Asia: resource-stratified
guidelines. Lancet Oncol. 2013;14(12):571–81.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 103


LEKEMIA AKUT: BAGAIMANA
MENDIAGNOSIS,TATALAKSANA DAN
PENGOBATANNYA?

Cosphiadi Irawan

Konsultan Hematologi - Onkologi Medik

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

Data GLOBOCAN 2018 menempatkan penyakit kanker darah atau


lekemia(-gabungan lekemia akut dan kronik-) diperingkat ke sembilan,
dibawah limfoma non Hodgkin (-peringkat tujuh-) dan multiple
myeloma di peringkat ke 20 pada penyakit tersering di Indonesia.1
Tulisan ini selanjutnya akan membahas akut mieloblastik
lekemia(AML) dan akut limfoblastik lekemia (ALL) pada dewasa. Pada
pasien anak insiden ALL tertingi dibanding jenis lekemia lain dan pasien
dewasa, dimana pada pasien dewasa AML sendiri adalah bentuk
tersering yang ditemui (sekitar 85%), yang insidennya meningkat
sejalan dengan bertambahnya umur, dibandingkan kejadian ALL (15-
20%). Meskipun saat ini penyebab utamanya belum diketahui pasti,
beberapa pajanan terhadap zat genotoksik, zat petrokimia atau
adanya kelainan darah sebelumnya seperti sindrom “marrow failure”,
mempunyai hubungan erat dengan kejadiannya leukemia pada
dewasa. Pengobatan pasien leukemia akut yang berhasil dan sukses,
adalah yang dapat secara efektif mengeradikasi sel punca leukemia
dan subklonal nya sehingga residual sel leukemia tidaklagi dapat
menjadi sumber kekambuhan.2,3 AML sendiri merupakan penyakit
yang kompleks, dengan beberapa kelainan genetik, genomik,
epigenetik dan fenotip yang heterogen2. Data SEER menunjukan umur
median diagnosis adalah 67 tahun, dengan 54% nya didiagnosis
diumur ≥ 65 tahun; serta sepertiganya didianosis pada usia ≥ 75 tahun.
Pasien berusia dibawah 60 tahun didapati 35% - 40%, dapat bertahan

104 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


hidup dalam jangka waktu lama dengan modalitas pengobatan yang
ada saat ini.3 Namun demikian kelompok pasien lain dengan subtipe
genetik tertentu menunjukkan prognosis yang buruk, sementara
pasien berusia lebih dari 60 tahun memperlihatkan hasil terapi yang
tidak memuaskan2,3. Sedangkan ALL merupakan penyakit keganasan
darah yang juga heterogen, dengan karakter proliferasi sel limfoid
imatur di sumsum tulang, darah perifer dan organ lain. Kejadian pada
anak berkisar 70 -80%, sedang pada dewasa hanya 20 %. Data di USA
menunjukkan median umur dignosis ALL adalah 15 tahun, dengan
57.2 % didiagnosis diusia kurang dari 20 tahun, 26.8% pada 45 tahun ,
dan 11% didiagnosis pada umur ≥ 65 tahun.4 Apabila pasien leukemia
akut tidak segera diobati, umumnya akan berakibat fatal dalam waktu
6 bulan sejak diagnosis, dan biasanya dihubungkan dengan infeksi
yang memberat atau perdarahan.

Gejala dan tanda:

Gejala-gejala pasien dengan leukemia pada awalnya sangatlah


bervariasi dan sayangnya bisa sangat tak spesifik, dimana tidak ada
satu gejala spesifik tertentu yang dapat mewakili semua jenis dan tipe
keganasan darah. Gejala semakin khas dengan memberatnya
penyakit. Penelitian yang dilakukan di Inggris “The UK’s
Haematological Malignancy Research Network pasien yang baru
didiagnosis meliputi myeloma, limfoma dan leukemia
memperlihatkan rentang gejala dari: kelelahan sebagai gejala
tersering, disusul nyeri, benjolan, sesak nafas, ruam kulit, keringat
berlebihan dan seterusnya.5 Berdasarkan penelitian diatas pasien AML
menunjukkan berturut turut gejala: kelelahan, sesak nafas/batuk,
bruising/perdarahan, infeksi, nyeri, gatal dan ruam kulit.5 Sedangkan
pasien ALL berturut-turut menunjukkan gejala yang sama, namun
berbeda urutan kekerapan, dengan nyeri menempati urutan kedua
setelah rasa lelah, dan adanya pembesaran KGB/benjolan atau
organomegali.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 105


Diagnosis dan Persiapan Kemoterapi Agresif3,4,6:

Langkah-langkah diagnosis pasien leukemia akut tidaklah


berbeda dengan penyakit keganasan darah lainnya, seperti dimulai
dengan data demografi, anamnesis yang cermat terkait keluarga,
riwayat perdarahan, komorbid, dan dilanjutkan pemeriksaan fisik
guna penelusuran tanda perdarahan, seperti telah disebutkan diatas,
serta penelusuran ada tidak nya pembesaran KGB dan organomegali.
Performance pasien berdasarkan kriteria Karnosfky atau ECOG
diperlukan sebelum memulai terapi induksi. Kajian darah perifer
lengkap umumnya akan menemukan gambaran penurunan Hb dan
trombosit disertai peningkatan darah putih dengan positip sel blast
pada hitung jenis, disertai peningkatan LDH dan asam urat. Beberapa
kasus didapati dalam kondisi pansitopenia, ataupun tak ditemuinya sel
blast didarah perifer yang berkaitan dengan kondisi lekemia alekemik.
Konfirmasi morfologi dan jumah sel blast yang ≥ 20 % dilakukan
melalui BMP ( bone marrow puncture) disertai pewarnaan
imunositokimia positip SBB (Sudan black B) dan MPO
(myeloperoksidase) untuk AML, yang bila negatif misal pada AML M0
atau M5 harus dilanjutkan dengan pemeriksaan imunophenotyping
dan sitogenetik guna verifikasi dan klasifikasi diagnosis serta
prognosisnya.ALL sendiri memperlihatkan hasil positip dengan
pewarnaan PAS (periodic acid shift) (Gambar 1). Biopsi sumsum tulang
dapat dilakukan guna melihat pulau pulau (agregat) sel sel blast.Flow
cytometry, merupakan hal yang rutin dikerjakan dimana sel dari darah
perifer atau sumsum tulang, dengan perlakuan antibodi tertentu,
kemudian dilewatkan didepan sinar laser; analisis, perhitungan dan
jumlah sel blast nya dilakukan melalui “gating”, akan ditampilkan
dalam data digital. Pemeriksaan sitogenetik dan karyotype pasien
leukemia baik dengan konvensional sitogenetik maupun dengan FISH
(fluorescence insitu hybridisation) atau bila perlu PCR (Polymerase
chain reaction) diperlukan guna menemukan misalnya: NPM1, CEBPA,

106 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


RUNX1, FLT-3, TP53 untuk AML, dan ada tidak nya kromosom Ph (bcr-
abl) baik pada AML dan ALL. Langkah langkah ini merupakan
pemerikasaan lengkap MIC (morphology, imunophenotyping and
cytogenetic). Flowcytometri akan lebih memastikan diagnosis pasien
leukemia dengan ekspresi penanda tertentu, misal pada AML akan
mengekspresikan CD34, CD117, CD33, CD 13, HLA-DR, CD14
(monositik). Pasien ALL akan positip dengan CD45, CD19, CD3, CD5,
CD8, CD10. Beberapa test tambahan diperlukan meliputi darah
biokimia (fungsi hati, ginjal, status gula darah , dll), hemostase, urine
rutin,test kehamilan. Penapisan hepatis A, B, C dan HIV dapat
dilakukan sejak awal diagnosis ditegakkan. Terapi pencegahan infeksi
atau parsial antibiotic decontamination dapat segera dilakukan secara
adekuat, umumnya tiga hari sebelum terapi induksi. Analisa fungsi
jantung dengan ekokardiografi atau MUGA bila ada indikasi
merupakan prasyarat sebelum kemoterapi agresif dilakukan, selain
eksklusi ada nya fokal infeksi daerah THT, gigi dan mulut. Tatalaksana
pengobatan pasca diagnosis dan akurat, memerlukan fasilitas dan
team medis, perawat, gizi yang terlatih dan instalasi teknik rumah sakit
yang memadai (ruang isolasi pasien immune compromise),
memerlukan dukungan bank darah yang optimal; karena bila terapi
pengobatan leukemia dilanjutkan sampai transplatansi alogenik angka
mortalitas nya dapat mencapai 20 %. Pada pasien AML selain
performance, hiperlekositosis (Lekosit > 100.000/uL), prognosis pasien
sangan dipengaruhi adanya mutasi FLT3-ITD dan KIT, yang akan
menghilangkan keberadaan mutai yang menguntungkan pasien AML
bila muncul bersamaan. Pada ALL jumlah lekosit > 50.000/uL, gender
pria, sel T leukemia, hipoloidi, trisomy 5, t(4;11) dan t (9,22) (Ph+) dan
penurunan minimal sel blast 7 hari pasca induksi menunjukkan
prognosis yang buruk.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 107


Tabel 1.Klasifikasi WHO untuk AML dan ALL (2016)6,7,8

(Lanjutan:)

108 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


(Lanjutan)

Berbeda dengan klasifikasi French American British (FAB;1976) dan


WHO,2008 ( lihat tabel 2) klasifikasi WHO 2016 telah merujuk karyotip
(sitogenetik) dan ekspresi gen tertentu yang menentukan prognosis
dan terapi pasiennya. Selain itu juga dimasukkan leukemia dengan
ambiguous lineage dalam katagori MPAL (mixed phenotype acute
leukemia)berupabifenotipe ataupun bilineage.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 109


Tabel 2:Klasifikasi AML FAB (1976) ALL(1997) dan WHO (2008)6,7,8,9

FAB: AML WHO: AML


• AML with recurrent
• M0 -- Undifferentiated
AML cytogenic translocations
• M1 -- AML without • AML with multi-lineage
maturation dysplasia
• M2 -- AML with • AML and myelodysplasia,
maturation therapy related
• M3 -- Acute
• AML, not otherwise
Promyelocytic Leukemia
• M4 -- Acute categorized
Meylomonocytic WHO : ALL
Leukemia • Precursor B
• M5 -- Acute Monocytic
Lymphoblastic
Leukemia
Leukemia/Lymphoma
• M6 -- Erythroleukemia
(ALL/LBL) -- ALL in
(DiGuglielmo’s)
children (80-85% of
• M7 -- Megakaryoblastic
childhood ALL); LBL in
Leukemia
young adults and rare;
FAB: ALL
FAB L1 or L2 blast
• L1: Small homogeneous morphology
blasts; mostly in children • Precursor T ALL/LBL --
• L2: Large heterogeneous 15% of childhood ALL and
blasts; mostly in adults 25% of adult ALL
• L3: “Burkitt” large • Burkitt
basophilic B-cell blasts Leukemia/Lymphoma
with vacuoles (FAB L3)

110 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Gambar1:

Terapi induksi, konsolidasi dan pemeliharaan (maintenance)3,4,6,8:

Lekemia myeloblastik akut:Kemoterapi agresif pasien AML dimulai


dengan fase induksi dimana pada pasien kelompok umur < 60 tahun
dapat dilakukan dengan protokol: D3+A7 (katagori 1): daunorubicin
60-90 mg/m2 (hari1-3) dan cytarabin 100-200 mg/m2 infus kontinu (
hari 1-7). Pasien risiko standar/ rendah berdasarkan sitogenetik, dan
berhasil mencapai remisi lengkap (sel blast < 5%) dengan evaluasi BMP
hari ke 14 atau 21/28 pasca awal kemoterapi, melanjutkan dengan
konsolidasi dengan HIDAC ( highdose ARA-C) 3-4 siklus atau dapat juga
dengan daunorubicin +cytarabin. Pasien AML dengan risiko sitogenetik
intermediate atau “unfavourable” dianjurkan melakukan transplantasi
sel punca alogenik dengan donor yang matching. Bila donor tak
tersedia, pasien dapat melanjutkan terapi konsolidasi dengan
protokol yang telah disebutkan sebelumnya ditambah terapi target

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 111


yang sesuai untuk mutasi FLT3 atau CD33 positip bila tersedia. Pasien
yang tak berhasil mencapai remisi ( sel blast > 5%) dapat melakukan
reinduksi unuk mencapai remisi lengkap.Dalam strategi terapi AML
tidak dikenal terapi maintenance, seperti pada ALL.

Lekemia limfoblastik akut: Pada pasien dewasa atau dewasa muda


ALL, belum ada kesepakatan universal kemoterapi protokol mana
yang terbaik, dikarenakan belum adanya studi komparatif antara
regimen yang dipakai (lihat tabel 2); kecuali perlunya dilakukan terapi
pencegahan keterlibatan sistim saraf pusat dengan MTX intratekal dan
radiasi kepala. Status t(9,22) atau kromosom Ph+ perlu ditentukan
guna memastikan perlu tidaknya dilakukan transplantasi sel punca
alogenik. Pada pasien dewasa muda dengan Ph+ kemoterapi dapat
ditambahkan imatinib (anti bcr-abl), yang bila didapati MRD (minimal
residual disease) dapat dipertimbangkan transplantasi sel punca
alogenik. Pada pasien > 65 tahun kemoterapi dan steroid dan imatinib
bila Ph+, termasuk sebgai terapi maintenance pasca remisi lengkap.
Pada pasien dengan parsial respon, terapi salvage dan transplantasi
sel punca alogenik menjadi pilihan alternative. Pada pasien Ph- yang
CR, MRD- dengan gambaran risiko tinggi, transplantasi sel punca
hematopoetik dapat menjadi alternative. Sedangkan pasien dengan
MRD+ , transplantasi sel punca menjadi pertimbangan terlepas dari
faktor risiko yang ada

112 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Regimen N Media Treatment CR, DFS, %
n Age %
11 BFM, HD-Ara-C, HD-
GMALL 05/93[1] 35 87 35
63 MTX

19
CALGB 8811[2] 32 BFM, ↑ Cy, ↑ ASP 85 36
8

16
CALGB 19802[3] 41 BFM, ↑ Cy, ↑ DNR 78 35
3
MRC/ECOG-
19 15-
UKALLXII/E299 BFM + HD-MTX ± SCT 90 39*
13 64
3[4]
A. Cy, DEX, ADR,
VCR
28 38
Hyper-CVAD [5]
40 92
8 B. HD-MTX + HD-
Ara-C

Kesimpulan:

Lekemia akut myeloblastik dan limfoblastik merupakan bagian


dari penyakit keganasan darah, dengan ditemuinya sel blast (imatur)
didarah perifer dan atau organ lain, yang disebabkan berbagai faktor
yang belum sepenuhnya jelas.Data terakhir leukemia menunjukkan
menduduki peringkat kesembilan kanker di Indonesia. Gejala tersering
secara berurutan memperlihatkan variasi yang lebar dan kadang non
spesifik, misal pada AML: kelelahan, sesak nafas/batuk, bruising/
perdarahan, infeksi,nyeri, gatal dan ruam kulit.Sedangkan pasien ALL
berturut turut menunjukkan gejala yang mirip namun berbeda urutan
kekerapan, dengan nyeri menempati urutan kedua setelah rasa lelah,
dan adanya pembesaran KGB/benjolan atau organomegali. Langkah
diagnostic yan cepat dan akurat sejak awal anamnesis, pemeriksaan
fisik, BMP ± biopsy sumsum tulang, imunositokimia (AML:
SBB/MPO,ALL: PAS), dan flowcytometri. Pemeriksaan lanjutan terkait

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 113


sitogenetik dan mutasinya ( NPM1, FLT3-ITD, Ph+ , dll) merupakan
bagian integral dalam menentukan strategi pengobatan yang terbaik.
Pengobatan leukemia akut dimulai dengan fase induksi guna
mengeradikasi dan mnurunkan sel blast < 5%, dilanjutkan konsolidasi
guna mencapai negative MRD ( sumber kekambuhan hilang). Pada
pasien dengan karakteristik risiko tinggi baik AML dan ALL, transplatasi
alogenik (donor) yang “matching” dapat dilakukan guna
menekankekambuhan dan mningkatkan angka kesembuhan.

Daftar pustaka:

1. GLOBOCAN data resource, 2018


2. Lowenberg B,RoweJM.Editorial.Blood,2016
127:1.www.bloodjournal.org,May 22, 2019.
3. Acute myloblastic leukemia. NCCN clinical practice guidelines
version 3. 2019.
4. Acute lymphoblastic leukemia. NCCN clinical practice guidelines
version 2. 2019.
5. Howell DA, Smith AG,Jack A, et alTime-to-diagnosis and symptoms
of myeloma,
lymphomas and leukaemias: a report from the haematological
malignancy research Network. BMC Hematology 2013;13; 9
6. Dohner H,Estey E, Grimwade D,et al. Blood. 2017;129(4)
7. Arber DA,George TI, Sojitra Pl. ASH-CAP Guidelines for the
diagnosis of acute leukemia. Blood. 2016; 127(20):2391-2405
8. Terwilliger T, Abdul Hay M.Acute lymphoblastic leukemia: a
comprehensive review and2017 update. Blood Cancer Journal
(2017) 7, e577; doi:10.1038/bcj.2017.53
9. JM Bennett, et al. Br J Haematol 1976; 33: 451–8.

114 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


MANAGEMENT OF HEPATITIS B IN PREGNANCY
Chyntia Olivia Maurine Jasirwan

Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional Cipto Mangunkusumo

Pendahuluan

World Health Organization (WHO) tahun 2017 melaporkan


bahwa infeksi virus hepatitis B (VHB) telah menjadi masalah kesehatan
global. Sekitar 3,5% dari total populasi dunia atau 257 juta orang
menderita infeksi VHB kronik, dengan 68% nya berada di regio Afrika
dan Pasifik Barat.1 Di Indonesia, prevalensi hepatitis B kronik
berdasarkan hasil pemeriksaan hepatitis B surface antigen (HBsAg)
positif adalah sebesar 7,1% pada tahun 2013.2

65 juta wanita usia produktif di seluruh dunia diperkirakan


menderita infeksi VHB kronik.3 Di Amerika Serikat, ditemukan 23,000
wanita hamil dengan infeksi VHB kronik setiap tahun.4 Studi tahun
2008 hingga 2014 di Laos menemukan bahwa 5,44% (720 dari 13,238)
wanita hamil memiliki hasil pemeriksaan HBsAg positif.5 Sedangkan di
Iran, 1,24% (308/24,853) wanita hamil menderita infeksi VHB kronik.6
Di Indonesia, prevalensi wanita hamil dengan HBsAg positif dilaporkan
sebesar 2,76%. Studi juga dilakukan di beberapa kota dengan hasil
prevalensi wanita hamil dengan HBsAg positif sebesar 2,2% di Jakarta,
4,7% di Jawa Barat, 1,9% di Bali, 3,4% di Mataram, dan 6,8% di
Makassar. Dengan angka kehamilan sebesar 5 juta kehamilan setiap
tahun, diperkirakan 150 ribu wanita hamil di Indonesia setiap tahun
memiliki potensi untuk menularkan VHB kepada bayi yang mereka
lahirkan. 95% dari bayi yang terinfeksi oleh VHB saat lahir akan
menjadi penderita infeksi VHB kronik.7 Maka dari itu, skrining hepatitis
B pada wanita hamil serta tatalaksana infeksi hepatitis B pada

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 115


kehamilan merupakan langkah yang penting untuk mencegah
transmisi virus kepada bayi yang baru lahir.

Skrining Hepatitis B pada Kehamilan

American Association for the Study of the Liver Disease (AASLD)


dan American College of Obstetrics and Gynecology (ACOG)
merekomendasikan agar skrining hepatitis B dilakukan pada semua
wanita hamil. Skrining hepatitis B dilakukan melalui pemeriksaan
HBsAg dan hepatitis B surface antibody (anti-HBs) pada kunjungan
antenatal pertama. Bila hasil pemeriksaan HBsAg dan anti-HBs negatif,
maka vaksinasi hepatitis B perlu diberikan pada kelompok risiko tinggi,
seperti pasien dengan multiple sex partners, pekerja kesehatan,
penderita HIV, atau pasien dengan diabetes yang belum pernah
mendapatkan vaksinasi. Bila hasil pemeriksaan HBsAg positif, maka
perlu dilakukan pemeriksaan hepatitis B virus deoxyribonucleic acid
(HBV DNA), hepatitis B envelope antigen (HBeAg), dan alanine
aminotransferase (ALT). Pasangan seksual wanita hamil dengan HBsAg
postitif juga dianjurkan menjalani skrining hepatitis B.8-10

Tatalaksana Hepatitis B pada Kehamilan

Tujuan dari terapi infeksi VHB kronik secara umum adalah untuk
mencegah kerusakan hati yang lebih lanjut dan perkembangan
penyakit. Diketahui bahwa infeksi VHB kronik yang tidak
mendapatakan terapi dapat berkembang menjadi sirosis, sirosis
dekompensata, penyakit hati lanjut, karsinoma hepatoseluler, bahkan
kematian.11 Pada kelompok wanita hamil, tujuan lain dari terapi
antiviral adalah untuk untuk mengurangi angka transmisi vertikal atau
dalam kata lain mencegah terjadinya mother to child transmission
(MTCT). Immunoprofilaksis dengan vaksinasi hepatitis B dan hepatitis
B immunoglobulin (HBIG) pada bayi baru lahir (dalam 12 jam) diikuti
oleh dua dosis vaksinasi hepatitis B (dalam 6 bulan) dianjurkan dan

116 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


dapat mencegah MTCT. Namun, cara ini gagal mencegah MTCT pada
30% bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan infeksi VHB kronik.8
Kegagalan immunoprofilaksis berhubungan dengan status infeksi VHB
dari ibu. Sebuah studi menyimpulkan bahwa HBeAg positif dan HBV
DNA ≥ 8 log10 IU/mL pada minggu ke 28-30 kehamilan merupakan
prediktor kegagalan immunoprofilaksis.12 Pemberian terapi antivirus
pada wanita hamil dengan HBV DNA > 200,000 IU/mL pada trimester
ketiga kehamilan dapat menekan angka virus dan menurunkan angka
transmisi vertikal VHB.4

Pemberian terapi antiviral pada wanita hamil dengan infeksi VHB


kronik harus melihat risiko dan keuntungan pengobatan tersebut.
Pada wanita hamil tanpa fibrosis atau sirosis hati lanjut dengan risiko
dekompensasi, terapi antiviral dapat ditunda dan dilakukan
monitoring setiap 3 bulan dengan pemeriksaan ALT dan HBV DNA.
Wanita hamil dengan hasil pemeriksaan ALT meningkat 5x dari batas
atas normal, ALT meningkat 3x dari pemeriksaan ALT sebelumnya,
atau HBV DNA meningkat 2 log IU/mL dari pemeriksaan HBV DNA
sebelumnya disebut mengalami hepatitis flare. Hepatitis flare pada
umumnya asimptomatik namun bila terjadi dekompensasi hati pada
pasien dengan flare maka terapi antiviral perlu dimulai. Pada wanita
hamil dengan fibrosis atau sirosis hati lanjut dengan risiko
dekompensasi, terapi antiviral dapat segera diberikan. Penundaan
terapi antiviral dilakukan sampai trimester ketiga kehamilan. Pada
trimester ketiga kehamilan, wanita hamil dengan hasil pemeriksaan
HBV DNA > 200,000 IU/mL dan/atau HBeAg positif diberikan terapi
antiviral sampai dengan 3 bulan setelah melahirkan untuk mengurangi
transmisi vertikal.4,11 Tatalaksana wanita hamil dengan infeksi VHB
kronik yang belum mendapatkan terapi antiviral digambarkan oleh
Gambar 1.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 117


Gambar 1. Tatalaksana Infeksi VHB Kronik pada Wanita Hamil yang
Belum Mendapatkan Terapi Antiviral 4

Terdapat berbagai antiviral yang dapat digunakan sebagai terapi


infeksi VHB kronik pada kehamilan. Peg-IFN dikontraindikasikan pada
kehamilan. Telbivudin dan tenofovir dikategorikan dalam pregnancy
safety class B; sedangkan, lamivudin, entecavir, dan adefovir
dikategorikan dalam pregnancy safety class C. Tenofovir lebih
direkomendasikan sebagai terapi antiviral untuk wanita hamil
dikarenakan risiko resistensi yang rendah. Telbivudin dapat diberikan
sebagai alternatif bila tenofovir tidak tersedia.8,9,11

118 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Bila pasien menjadi hamil pada saat menjalani terapi antiviral,
maka pengobatan perlu dievaluasi. Pasien disarankan untuk
menghentikan pengobatan kecuali pada pasien dengan sirosis dan
fibrosis hati lanjut dengan risiko dekompensasi bila pengobatan
dihentikan. Dalam hal ini, pasien yang mendapatkan terapi Peg-IFN
harus mengganti terapinya dengan obat yang lebih aman. Wanita
hamil yang pengobatannya dihentikan perlu menjalani pemantauan
ketat karena berisiko untuk mengalami hepatitis flare.11

Metode persalinan, persalinan melalui operasi Caesarean section


(C-section) atau per vaginam, tidak mempengaruhi MTCT. Transmisi
VHB tidak terjadi pada wanita hamil dengan HBV DNA sebelum
persalinan < 200,000 IU/mL baik pada persalinan dengan C-section
maupun per vaginam. Maka tidak ada indikasi melakukan C-section
pada wanita hamil dengan infeksi VHB kronik bila tujuannya adalah
untuk mengurangi transmisi vertikal.8 Namun, pada wanita hamil
dengan penyakit hati lanjut dimana ditemukan varises gastroesofageal
atau hipertensi portal, C-section direkomendasikan.4

Tatalaksana Hepatitis B Pasca Persalinan

Pasca persalinan, monitoring ketat tetap penting untuk dilakukan


sampai setidaknya 6 bulan pasca persalinan. Hal ini dikarenakan dapat
terjadi reaktivasi virus hepatitis B terkait dengan kehamilan
(pregnancy-associated hepatitis B reactivation).8,9

Pemberian air susu ibu (ASI) tidak dikontraindikasikan pada


wanita dengan HBsAg positif. Tidak ada bukti yang menyatakan adanya
transmisi virus hepatitis B melalui ASI. Pada studi pemantauan 147
bayi dengan ibu dengan infeksi VHB kronik, tidak ada perbedaan
jumlah bayi yang mendapatkan HBsAg dan anti-HBs pada kelompok
ASI dengan kelompok susu formula. Maka, ibu dengan HBsAg positif
masih disarankan untuk menyusui bayinya. Belum ada studi yang
menyatakan keamanan terapi antiviral pada pasien laktasi. Namun,

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 119


penghentian terapi antiviral tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan terjadinya hepatitis flare.11

Kesimpulan

Transmisi vertikal merupakan mekanisme transmisi VHB utama di


negara yang endemis VHB, termasuk Indonesia. Skrining hepatitis B
pada semua wanita hamil serta tatalaksana infeksi hepatitis B pada
kehamilan penting untuk mencegah transmisi VHB kepada bayi
dengan ibu HBsAg positif. Wanita hamil dengan HBV DNA > 200,000
IU/mL pada trimester ketiga kehamilan perlu diberikan terapi antiviral
mulai dari trimester ketiga kehamilan sampai 3 bulan pasca persalinan.
Tenofovir merupakan antiviral yang direkomendasikan untuk wanita
hamil. Pemantauan ketat selama kehamilan sampai 6 bulan pasca
persalinan penting untuk dilakukan.

Referensi

1. World Health Organization. Global hepatitis report 2017. France:


World Health Organization; 2017.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan
Dasar 2013. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013.
3. Kushner T, Sarkar M. Chronic Hepatitis B in Pregnancy. Clin Liver
Dis (Hoboken) 2018; 12(1): 24-8.
4. Aslam A, Reyes KJC, Malladi VR, Ishtiaq R, Lau DTY. Management
of chronic hepatitis B during pregnancy. Gastroenterol Rep 2018;
6(4): 257-62.
5. Choisy M, Keomalaphet S, Xaydalasouk K, Quet F, Latthaphasavang
V, Buisson Y. Prevalence of Hepatitis B Virus Infection among
Pregnant Women Attending Antenatal Clinic in Vientiane, Laos,
2008-2014. Hepatitis Research and Treatment 2017: 1-5.

120 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


6. Moghaddasifar I, Lankarani KB, Moosazadeh M, Afshari M, Malary
M. Prevalence of Hepatitis B Virus Infection among Pregnant
Women in Iran: A Systematic Review and Meta-analysis. Iran J
Cancer Prev 2016; 9(6): 1-9.
7. Muljono DH. Epidemiology of Hepatitis B and C in Republic of
Indonesia. Euroasian J Hepatogastroenterol 2017; 7(1): 55-9.
8. Ayoub WS, Cohen E. Hepatitis B Management in the Pregnant
Patient: An Update. J Clin Transl Hepatol 2016; 4(3): 241-7.
9. Zhou K, Terrault N. Management of hepatitis B in special
populations. Best Pract Res Clin Gastroenterol 2017; 31(3): 311-
20.
10. Terrault NA, Lok ASF, McMahon BJ, Chang KM, Hwang JP, Jonas
MM, et al. Update of Prevention, Diagnosis, and Treatment of
Chronic Hepatitis B: AASLD 2018 Hepatitis B Guidance. Hepatology
2018; 67(4): 1560-99.
11. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis B. Jakarta: PPHI; 2017.
12. Latthaphasavang V, Vanhems P, Houng NNG, Sibounlang P,
Paboriboune P, Malato L, et al. Perinatal hepatitits B virus
transmission in Lao PDR: A prospective cohort study. PLoS One
2019; 14(4): 1-14.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 121


MANAGEMENT OF HIV INFECTION IN PREGNANCY

Erni Juwita Nelwan

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM

Infeksivirus Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan salah


satu penyakit yang secara bermakna menurunkan kualitas hidup
pengidapnya. Di dunia, kematian terkait AIDS mencapai puncaknya
pada 2005 dengan angka 2,3 juta kematian dan menurun pada tahun
2012 ke angka 1,6 juta kematian.(1) Penurunan angka ini, berbanding
terbalik dengan peningkatan transmisi virus. Di Indonesia, sampai
dengan tahun 2013, infeksi HIV telah menyebar ke 368 kabupaten dari
497 dan kasus baru mencapai 29.037 kasus dengan pengidap
perempuan mencapai 42,28%. Lebih dari 90% bayi yang terinfeksi HIV
tertular dari ibu HIV positif yang tidak terdeteksi lebih awal. Penularan
dapat terjadi selama kehamilan, saat persalinan dan selama
menyusui.(2) Peningkatan pengetahuan dan kewaspadaan petugas
kesehatan dan masyarakat harus ditingkatkan khususnya pada infeksi
HIV di ibu hamil.

Di Indonesia sendiri, saat ini pendekatan yang digunakan adalah 90-


90-90 yaitu mendeteksi orang yang terinfeksi pada 90% yang
diperkirakan terinfeksi, memberikan terapi antiretroviral (ARV) dini
pada 90% orang yang terinfeksi, serta mampu mencapai keadaan virus

122 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


tidak terdeteksi pada 90% yang minum ARV. (3) Diagnosis HIV selama
ini menggunakan 2 metode pemeriksaan , yaitu pemeriksaan serologis
dan virologis. Pemeriksaan serologis adalah dengan rapid
immunochromatography test (tescepat) atau ELISA (enzyme
immunoassay). Tes ini digunakan untuk mendeteksi antibodi (generasi
1) atau antigen dan antibodi (generasi 3 dan 4). Pemeriksaan virologis
dilakukan dengan pemeriksaan DNA dan RNA virus HIV.(3,4)

Tabel 1. Karakteristik PemeriksaanSerologis HIV.* (HIV-1 : HIV tipe 1,


HIV-2 : HIV tipe 2. *Pemeriksaan laboratorium yang digunakan di US
Centers for Disease Control and Prevention. ǂdidefinisikan sebagai
periode waktu di antara infeksi HIV dan hasil tes positif; hasil
menggambarkan nilai media dan hasil individual dapat bervariasi.(5)

Empat pendekatan komprehensif untuk mencegah transmisi vertikal


HIV, yaitu pencegahan primer infeksi HIV pada wanita usia reproduktif,
pencegahan kehamilan yang tidak diinginkan pada wanita pengidap
HIV, pencegahan transmisi vertikal HIV dari ibu kepada anak, dan
penyediaan terapi, perawatan dan dukungan yang baik bagi ibu

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 123


dengan HIV, serta anak dan keluarganya. Pemberian ARV pada ibu
hamil harus diberikan tanpa melihat jumlah CD4. Pilihan pemberian
ARV pada ibu hamil sama dengan pilihan terapi pada orang dewasa.
Terapi ARV dapat dimulai segera setelah diagnosis tegak dan ibu yang
sudah mendapat terapi sebelum kehamilan dapat diteruskan tanpa
penyesuaian. Terapi ARV diteruskan sampai seumur hidup. (3)

Dua pertiga transmisi vertikal terjadi pada masa akhir kehamilan


hingga persalinan. Pemberian AZT oral per oral saatkehamilan dan
intravena saat persalinan pada pengidap HIV dilanjutkan dengan
pemberian AZT per oral (2 mg/kg/kali setiap 6 jam ) pada bayi yang
dilahirkannya, sampai dengan usia 6 minggu menurunkan risiko
transmisi sebanyak 67,5% dibandingkan plasebo. Beberapa studi
menunjukkan bahwa melahirkan dengan operasi sesar elektif yang
dilakukan sebelum pecahnya ketuban berhubungan dengan
menurunnya transmisi HIV sampaidengan 5%.(4,5) Hasil yang serupa
juga ditunjukkan dari penelitian Kennedy dkk pada tahun 2017 bahwa
operasi sesar elektif pada ibu dengan HIV positif berhubungan dengan
rendahnya angka infeksi HIV pada bayi dibandingkan dengan
persalinan pervaginam. (1,7% vs.10,6%)(6) Kementerian kesehatan
melalui Keputusaan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
HK.01.07/MENKES/90/2019 merekomendasikan operasi sesar elektif
pada usia gestasi 38 minggu untuk mengurangi transmisi vertikal
dilakukan ketika viral load ≥ 1000 kopi/ µL dan ketika viral load pada
trimester ketiga tidak diketahui. Operasi sesar elektif pada pengidap
dengan VL <1000 kopi/ µL tidak rutin dilakukan kecuali atas indikasi

124 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


obstetrilain. Sedangkan pada daerah yang tidak dapat memastikan
kesersediaan fasilitas dan tenaga kesehatan untuk melakukan
prosedur bedah sesar pada ibu hamil dengan HIV positif, rekomendasi
cara persalinan sesuai dengan pertimbangan manfaat dan risiko.
Rekomendasi persalinan pada negara berkembang lebih menekankan
pentingnya pencegahan infeksi, menghindari pemecahan selaput
ketuban dan tindakan invasif seperti episiotomi untuk menurunkan
risiko transmisi. (3)

Seluruh bayi lahir dari ibu HIV harus mendapatkan ARV profilaksis dan
diberikan pada 6-12 jam setelah lahir, selambat-lambatnya kurang dari
72 jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah transmisi HIV yang terjadi
terutama pada saat persalinan dan menyusui. Profilaksis yang
digunakan adalah zidovudine selama 6 minggu dosis sesuai dengan
usia gestasi. Pemberian kotrimoksazol terbukti menurunkan angka
infeksi oportunistik, diare, pneumonia dan malaria pada bayi dari ibu
pengidap HIV.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 125


Tabel 2. Panduan pemberian dosis profilaksis neonatal dari ibu
pengidap HIV(4)

Daftar Pustaka

1. Maartens G, Celum C, Lewin SR. HIV infection: Epidemiology,


pathogenesis, treatment, and prevention. Lancet [Internet].
2014;384(9939):258–71. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60164-1

2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman


Manajemen Program Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari
Ibu ke Anaak. Jakarta; 2015.

3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri


Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/90/2019 tentang Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran Tata Laksana HIV. 2019;8(2):2019.

4. Hurst SA, Appelgren KE, Kourtis AP. Prevention of mother-to-

126 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


child transmission of HIV Type 1: The role of neonatal and infant
prophylaxis. Expert Rev Anti Infect Ther. 2015;13(2):169–81.

5. Bobat R, Archary M. HIV infection. Viral Infect Child.


2017;1(October):69–100.

6. Kennedy CE, Yeh PT, Pandey S, Betran AP, Narasimhan M.


Elective cesarean section for women living with HIV: A systematic
review of risks and benefits. Aids. 2017;31(11):1579–91.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 127


PASTHOPHYSIOLOGY AND DIAGNOSIS OF GERD
RELATED ILLNESS

Marcellus Simadibrata

Divisi Gastroenterologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM

GERD sering ditemukan dan makin meningkat di Indonesia. GERD


menurunkan kualitas hidup. Pathofisiologi dan faktor resiko sangat
berhubungan dengan manifestasi klinis GERD dan respon pengobatan.

Tiga grup unik GERD yaitu Penyakit Refluks non-erosif, Penyakit


Esofagitis erosif dan Barrett’s esofagus. Penyakit refluks non-erosif
bersifat non-progresif, manifestasi klinis atipikal. Penyakit Esofagitis
erosif bermanifestasi menimbulkan striktur, ulkus dan perdarahan
gastrointestinal atas. Barrett’s esofagus menimbulkan
adenokarsinoma esofagus.

GERD merupakan penyakit saluran cerna atas yang disebabkan banyak


faktor, a.l. kontak reflux gastroduodenal dengan mukosa esofagus,
kurangnya resistesnsi mukosa esofagus, hipersensitifitas terhadap
stimulasi isi lambung, reaksi relaksasi sfingter esofagus bawah
transien(TLESR), gangguan pengosongan lambung, kurangnya
kemampuan esofagus memgersihakan isi refluks.

Yoshida N melaporkan dari penelitiannya bahwa GERD disebabkan


adanya proses inflamasi karena dilepasnya interleukin-6 dan
interleukin-8 , peningkatan leukosit dan stres oksidatif, Adanya radikal
bebas, hipersensitifitas esofagus yang diaktifkan protease dan Zat P.

Faktor resiko terjadinya GERD yaitu faktor eksogen(lingkungan) dan


faktor endogen(genetik, penyakit komorbid lain).

128 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Yang termasuk faktor eksogen(lingkungan) a.l. merokok, alkohol, obat-
obat, makanan-makanan tertentu, infeksi Helicobacter pylori, selang
nasogastrik dan trauma abdomen. Penyakit penyakit yang
menimbulkan GERD yaitu obesitas, Diabetes Mellitus, sindrom
Zollinger-Ellison, kehamilan, Miotomi pada akalasia, sindrom CSRT,
sindrom Sicca, penyakit psikiatri dan retardasi mentasl pada anak.

Diagnosis GERD ditegakkan berdasarkan Anamnesis, GERD Q, Tes PPI,


pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang termasuk endoskopi, ph
metri impedance, manometri dll.

Kata kunci: GERD, Pafofisiologi, faktor resiko, diagnosis.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 129


THE MANAGEMENT OF GERD

Ari Fahrial Syam

Division of Gastroenterology, Department of Internal Medicine,

Faculty of Medicine, Universitas Indonesia.

Email: ari_syam@hotmail.com

Gastroesophageal reflux disease (GERD) is one of the common


problems in clinical practice that can affect daily activity and quality of
life. The prevalence of GERD in western countries is around 10-20%,
meanwhile, it is found less than 5% of Asia population. A hospital-
based study in Jakarta, Indonesia showed an increasing prevalence
from 5,7% to 25,18% in 2002.1 In Indonesia, our last study using online
study, the prevalence of GERD that determined using GERD-Q online
survey was 55,4% that was higher than previous studies. Male gender,
smoking habit, and BMI >30 kg/m2 were risk factors of GERD.2

Endoscopy and esophageal 24-h pH monitoring were initially


proposed as the gold standards for the diagnosis of GERD. However, it
is estimated that up to 70% of patients with typical symptoms of GERD
have normal esophageal or non-esophageal reflux disease (NERD).
Furthermore, endoscopy and pH testing are expensive and are not
available in small city Hospital in Indonesia. So we need a tool to
diagnose the probability of GERD in our daily practice. The most
commonly used modalities for GERD symptoms evaluation is GERD
questionnaire (GERD-Q), which has been translated into multiple
languages including Indonesian. The GERD question consists of 6
questions: How often did you have a burning feeling behind your
breastbone (regurgitation)? How often did you have stomach contents
(liquid or food) moving upwards to your throat or mouth

130 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


(regurgitation)? How often did you have a pain in the center of the
upper abdomen? How often did you have nausea? How often did you
have difficulty sleeping because of your heartburn and/or
regurgitation? How often did you take additional medication for
heartburn and/or regurgitation, other than what the physician told to
you take?3

In Indonesia consensus, the management of GERD consists of


non-pharmacologic treatment, pharmacologic treatment, endoscopic
treatment, and surgery. There are 5 targets for GERD treatment: to
reduce symptoms, to heal the esophageal lesions, to prevent relapse,
to improve the quality of life and to prevent complications.4

The GERD patient must avoid foods that are acidic or irritative,
foods that can induce reflux such as fatty or fried foods, coffee, tea
and caffeinated beverages, chocolate and mint. The GERD patient also
must stop drinking and smoke, to reduce body weight, to avoid of
eating within 3 hours before bedtime, to reduce postprandial
symptoms, to consume of smaller and more frequent and to elevate
of the head bed.

Acid suppression using proton pump inhibitors (PPIs), is currently


the mainstay of therapy for GERD. For patients with typical symptoms
of GERD, an 8-week course of PPI therapy is recommended. Before
empirically prescribing a PPI, it is necessary to ensure that the patient
does not have alarm symptoms that may indicate the presence of a
gastroesophageal malignant neoplasm or other non-GERD diagnosis.
The alarm symptoms include rapidly progressive dysphagia,
regurgitation of undigested food, anemia, extraesophageal symptoms
of GERD, and weight loss.

However, the healing of esophageal mucosal inflammation seems


to be much more predictable than the resolution of symptoms in
patients with GERD who receive PPI treatment. Consequently, failure
of PPI treatment to resolve GERD-related symptoms (unresponsive PPI
treatment) has become the most common presentation of GERD in

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 131


gastroenterological practice.5

Regarding the management of GERD and H pylori infection, in


ACG Clinical guideline for H pylori infection 2017, mention that patient
with typical symptoms of GERD who do not have the history of PUD
need not be tested for H pylori infection. However, for those who
tested and infected, treatment should be offered.6

Reference:

1. Ari F. Syam, Rani A, Abdullah M. Prevalence of reflux esophagitis,


Barrett’s esophagus and esophageal cancer in Indonesian people
evaluation by endoscopy. Cancer Res Treat. 2003: 35;83.
2. Syam AF, Sobur CS, Abdullah M, Makmun D. GerdQ Online Survey:
Prevalence and Risk Factors of GERD in the Indonesian Population.
Am J Gastroenterol 2015;110:S709-10.
3. Simadibrata M, Rani A, Adi P, Djumhana A, Abdullah M. The
gastroesophageal reflux disease questionnaire using Indonesian
language: a language validation survey. Med J
Indones2011;20:125-30.
4. PerkumpulanGastroenterologi Indonesia. RevisiKonsensus
Nasional PenatalakasanaanPenyakitRefluksGastroesofageal
(Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di Indonesia. Syam AF,
Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra TR
Editors. PerkumpulanGastroenerologi Indonesia (PGI) 2013.
5. Vakil N, van Zanten SV, Kahrilas P, Dent J, Jones R; Global
Consensus Group.The Montreal definition and classification of
gastroesophageal reflux disease: a global evidence-based
consensus. Am J Gastroenterol 2006; 101:1900-20.
6. Chei WD, Leontiadis GI, Howden CW, Moss SF. ACG Clinical
Guideline: Treatment of Helicobacter pylori infection. Am J
Gastroenterol 2017; 112:212–238.

132 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


INANISI PADA USIA LANJUT

Noto Dwimartutie

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI- RSCM

Pendahuluan

Inanisi atau gangguan nutrisi atau malnutrisi merupakan salah


satu sindrom geriatri yang seringkali timbul akibat berbagai faktor
penyebab. Adanya gangguan nutrisi ini patut diketahui penyebabnya.
Malnutrisi dapat mengakibatkan ketergantungan fisik, menurunkan
kualitas hidup, sebagai prediktor mortalitas dan berkaitan dengan
biaya kesehatan yang tinggi. Sangat penting untuk mengenali dan
menatalaksana sejak awal kondisi malnutrisi ini sehingga tidak
mengakibatkan komplikasi lebih lanjut. Malnutrisi dapat menunjukkan
status gizi kuran gatau status gizi lebih. Yang selanjutnya akan dibahas
disinia dalah status gizi kurang.

Epidemiologi

Studi menunjukkan bahwa malnutrisi rentan terjadi pada


populasi usia lanjut. Studi telaah sistematik dari 54 studi menunjukkan
bahwa 83% usia lanjut di komunitas dalam kondisi berisiko malnutrisi.1
Telaah sistematik dari 77 studi pada usia lanjut di nursing home
menunjukkan bahwa 20-39% usia lanjut mengalami malnutrisi dan 47-
62% usia lanjut berisiko malnutrisi.2 Studi oleh Setiati dkk. pada 702
subyek usia lanjut di rawat jalan pada beberapa kota di Indonesia

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 133


mendapatkan 56,7% berisiko malnutrisi dan 2,4% mengalami
malnutrisi berdasarkan skor Mini Nutrisional Assessment (MNA).3

Definisi

Malnutrisi merupakan kondisi defisiensi, kelebihan, atau


ketidakseimbangan energi, protein dan zat gizi lain. Malnutrisi secara
praktis bisa menunjukkan status gizi kurang atau status gizi lebih.
Malnutrisi berupa kekurangan energi protein merupakan jenis
terbanyak yang ditemukan pada usialanjut. 4

Berdasarkan konsensus GLIM (Global Leadership Initiative on


Malnutrition) tahun 2019 dengan tim inti dari perhimpunan nutrisi
klinis global American Society for Parenteral and Enteral Nutrition
(ASPEN), European Society for Clinical Nutrition and Metabolism
(ESPEN), Federacion Latinoamericana de Terapia Nutricional,
Nutricion Clinica y Metabolismmo (FELANPE) dan Parenteral and
Enteral Nutrition Society of Asia (PENSA), diagnosis malnutrisi terbaru
memasukkan kriteria fenotip dan etiologi ke dalam definisinya (tabel
1). Seseorang didiagnosis malnutrisi bila memenuhi minimal 1 kriteria
fenotip dan 1 kriteria etiologik. 5

Tabel 1. Diagnosis malnutrisiberdasarkankriteriafenotip dan


etiologimenurutkonsensus GLIM (Global Leadership Initiative on
Malnutrition)5

134 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Kriteriafenotip Kriteriaetiologi

Penurunan IMT rendah Penurunan Inflamasi


Penurunan
berat badan (kg/m2) asupan
massa otot
(BB) (%) makan atau
asimilasi
>5% <20 : usia< Penurunan < 50% Penyakit/
dalamwaktu 70 tahun , massa otot kebutuhan trauma
6 bulan, atau dengan energi> 1 akut atau
teknik minggu,
atau <22 :usia> penyakit
pengukuran
70 tahun atau kronik
>10% komposisi
penurunan
lebihdari 6 tubuh yang
berapapun> 2
bulan tervalidasi
minggu,
Asia atau semua
kondisi gastro
<18,5 : usia<
intestinal
70 tahun,
kronik yang
atau berdampak
terhadap
<20 : usia>
asimilasi atau
70 tahun
absorbsi
makanan

Penurunan massa otot menggunakan instrumen yang


direkomendasikan oleh GLIM seperti DXA (dual-energy
absorptiometry) atau alat ukur komposisi tubuh lain seperti BIA (bio-
electrical impedance), CT scan, ultrasound, atau MRI, walaupun
sebagian metode tersebut tidak tersedia di beberapa kondisi klinis.
Pemeriksaan fisik dan pengukuran antropometri seperti lingkar otot
betis atau lengan dapat dijadikan pengukuran alternatif. Nilai batas
ambang untuk massa otot seperti pada tabel 2.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 135


Tabel 2. Rekomendasinilaiambangpenurunan masa otot5

Laki- Perempuan
laki
Appendicular Skeletal <7,26 <5,25
Muscle Index (ASMI, kg/m2)
ASMI (kg/m2)a <7 <6
ASMI (kg/m2)b
• DXA <7 <5,4
• BIA <7 <5,7
Fat free mass index <17 <15
(FFMI, kg/m2)
Appendicular lean mass <21,4 <14,1
(ALM,kg)
Appendicular lean mass <0,725 <0,591
adjusted for BMI = ALM/IMT
Keterangan :

a. Rekomendasi European Working Group on Sarcopenia


in Older People 2 (EWGSOP2)
b. Rekomendasi Asian Working Group for Sarcopenia
(AWGS)

Penurunan asupan makan dapat disebabkan oleh berbagai sebab


seperti oral higiene buruk, efek samping obat, depresi, disfagia,
gangguan gastrointersinal, anoreksia dan support nutrisi yang tidak
adekuat. Penurunan asimilasi makanan atau nutrisi berkaitan dengan
gangguan malabsorbsi seperti short bowel syndrome, insufisiensi
pankreas, dan setelah operasi bariatrik. Selain itu penurunan asupan
makan dan asimilasi juga berhubungan dengan berbagai gangguan
seperti striktur esophagus, gastroparesis, serta gangguan

136 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, disfagia, konstipasi dan
nyeri abdomen.5

Terkait etiologi, infeksi mayor, trauma, lukabakar, dan trauma


kepala tertutup berhubungan dengan inflamasi akut dengan derajat
berat. Penyakit kronik seperti gagal jantung, PPOK, artritis rematoid,
gagal ginjal, penyakit hati, dan kanker berhubungan dengan inflamasi
kronik atau rekuren dengan derajat ringan hingga sedang.5

Derajat keparahan malnutrisi menurut GLIM berdasarkan kriteria


fenotip malnutrisi, terbagi menjadi 2 yaitu malnutrisi sedang dan
malnutrisi berat (tabel 4).5

Tabel 4. Derajatkeparahanmalnutrisi5

Kriteriafenotip
Penurunan IMT rendah Penurunanmassa
beratbadan (kg/m2)a ototb
(%)
Derajat 1 / 5%-10% <20 Defisit
malnutrisi dalam 6 :usia<70 ringan – sedang
sedang bulan, atau tahun
( Memenuhi 1 10%-20% <22 :usia>
kriteria fenotip) lebih dari 6 70 tahun
bulan

Derajat2 / >10% < 18,5 Defisit berat


malnutrisi berat dalam 6 :usia<<70
bulan, atau tahun
Memenuhi 1
kriteria fenotip >20% <20 :usia>
lebihdari 6 70 tahun
bulan

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 137


Keterangan :

a. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut terhadap konsensus


IMT populasi Asia
b. Contoh dengan menggunakan DXA, BIA, CT scan atau MRI.
BIla tidak tersedia, pemeriksaan fisik atau pengukuranan
troprometri seperti lingkar lengan atas atau lingkar betis
dapat digunakan. Kajian fungsional seperti kekuatan
genggam tangan dapat digunakan untuk menunjang
pengukuran.

Etiologi dan FaktorRisiko

Faktor penyebab malnutrisi pada usia lanjut adalah multifaktorial.


Pada usia lanjut didapatkan penurunan fungsi organ seperti organ
penghidu dan sensasi pengecapan, masalah gigi geligi dan rongga
mulut, perlambatan waktu pengosongan lambung, serta respon
refleks peregangan dinding lambung berlebih menyebabkan cepat
kenyang. Usia lanjut seringkali kehilangan nafsu makan (anoreksia),
perubahan pola dan kebiasaan makan. Adanya berbagai penyakit akut
dan konsumsi obat-obatan dapat mencetuskan anoreksia. Faktor
psikologi juga sering didapatkan dan mempengaruhi asupan makan.
Kondisi psikologis seperti kesepian, depresi, serta gangguan kognitif
seperti demensia, dapat mengakibatkan penurunan asupan makan.
Faktor sosial ekonomi seperti ketergantungan kepada orang lain
ataupun dana yang tidak cukup untuk menyediakan makanan yang
bergizi juga menjadi salah satu penyebab kondisi malnutrisi.4,6,7

Telaah sistematik mengenai faktor risiko malnutrisi pada usia


lanjut mendapatkan bahwa usia (OR: 1.038; p = 0.045),
kerentaan/frailty pada usialanjut yang tinggal di nursing home (panti
rawat werdha) (β: 0.22; p = 0.036), polifamasi (β: −0.62; p = 0.001),
penyakit Parkinson (OR: 2.450; p = 0.047), konstipasi(OR: 2.490; p =
0.015), penurunan kognitif (OR: 1.844; p = 0.001), demensia(OR:
2.139; p = 0.001), disfagia oral, gejala gangguan menelan (OR: 2.73; p =
0.015), ketergantungan kepada orang lain untuk makan (OR: 2.257; p =

138 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


0.001), kehilangan minat dalam hidup (β: −0.58; p = 0.017), tidak nafsu
makan (β: −1.52; P = 0.000), status kesehatan yang dilaporkan rendah
(OR: 3.30; nilai p tidakdiberikan)dan sedang (β: −0.27; p = 0.016),
penurunan kesehatan secara umum termasuk fungsi fisik (OR:
1.793; p = 0.008), serta tinggal di nursing home (β: −1.89; P < 0.001).8

“MEALS ON WHEELS” merupakan akronim berbagai faktor


penyebab penurunan berat badan yang tidak diinginkan pada usia
lanjut seperti yang dapat dilihat pada tabel 5.8

Tabel5 .Penyebab penurunan berat badan yang tidak diinginkan


(involuntary weight loss) pada usia lanjut : “ MEALS ON WHEELS”8

M Medication effect (pengaruh obat-obatan)


E Emotional problems (masalah emosi, terutama depresi)
A Anorexia nervosa, Alcoholism (alkoholisme)
L Late-life paranoia (paranoid pada lansia)
S Swallowing disorders (gangguan menelan)
O Oral factors (faktor rongga mulut, seperti karies, susunan
gigi geligi yang buruk)
N No money (tidak memiliki uang)
W Wandering and other dementia-related behaviors
(berkelana dan berbagai gangguan perilaku terkait
demensia)
H Hipertiroid, Hipotiroid, hiperparatiroid,hipoadrenal
E Enteric problems (masalah saluran cerna)
E Eating problems (masalah makan, misalnya tidak mampu
untuk makan secara mandiri)
L Low-salt, Low-cholesterol diet (diet rendah garam, diet
rendah kolesterol)

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 139


S Stones, Social problems (masalah sosial seperti isolasi,
tidak mampu untuk mendapatkan makanan yang
diinginkan)

Dampak

Malnutrisi berdampak buruk bagi kualitas hidup usia lanjut.


Malnutrisi meningkatkan risiko kerentaan/frailty, sarkopenia, jatuh,
dan penurunan status fungsional/ kemandirian. Malnutrisi
meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit, peningkatan lama
rawat, penyembuhanluka yang buruk, meningkatkan mortalitas. Studi
di Kanada pada usia lanjut di komunitas melaporkan 20% berisiko
tinggi masuk perawatan rumah sakit dan 60% berisiko kematian
selama 3 tahun pada usia lanjut yang berisiko malnutrisi. Studi kohort
pada usia lanjut di Kolombia mendapatkan malnutrisi berkaitan
dengan 30% biaya rawat lebih tinggi. 9,10

Malnutrisi juga berkaitan dengan kualitas hidup yang rendah.


Studi kajian sistematik dan meta analisis oleh Rasheed dkk
mendapatkan bahwa usia lanjut dengan malnutrisi memiliki kualitas
hidup yang rendah (OR:2,85; 95%CI 2,2-3,7, p<0,01), dan intervensi
untuk memperbaiki status nutrisi juga dapat memperbaiki kualitas
hidup secara signifikan baika spekfisik maupun aspek mental.11

Penapisan, Pengkajian dan Evaluasi

Selain di komunitas, malnutrisi sering kali didapatkan di rumah


sakit. Salah satu penyebab kondisi malnutrisi ini yaitu penapisan dan
pengkajian status gizi yang tidak dilakukan rutin, kurangnya kesadaran
tentang pentingnya evaluasi status gizi, serta kesulitan dari staf rumah
sakit untuk mendapatkan informasi dari pasien akibat penurunan
kondisi fisik dan kognitif maupun dari keluarganya.4

140 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Penapisan, pengkajian dan evaluasi status gizi pada usia lanjut
adalah aspek yang tidak dapat dipisahkan dari pengkajian paripurna
pasien geriatri (comprehensive geriatric assessment/CGA). Saat
melakukan penapisan, pengkajian dan evaluasi status gizi, maka
pengkajian kondisi fisik medis, status fungsional, status kognitif, status
afektif, status sosial ekonomi juga harus dilakukan dan dievaluasi
secara bersamaan. 4

Pengkajian nutrisi melibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik antara lain dengan
pemeriksaan antropometri, mencari tanda defisiensi makro dan
mikronutrien, serta tanda inflamasi. Pemeriksaan data laboratorium
untuk mencari penyebab. Asupan makanan penting untuk diketahui
dengan berbagai metode cara antara lain riwayat asupan makan, food
recall, dan lain-lain.4

Penapisan status gizi dengan mengidentifikasi usia lanjut yang


memiliki risiko malnutrisi. Instrumen yang digunakan yaitu instrumen
sederhana yang tidak memakan waktu lama dan tidak membutuhkan
biaya besar. Terdapat berbagai macam instrumen untuk penapisan
status gizis eperti Mini Nutritional Assessment (MNA), Malnutrition
Screening Tool (MST), Nutritonal Risk Screening (NRS-2002),
Malnutrition Universal Screening Tool (MUST) dan Geriatric Nutritional
Risk Index (GNRI). Instrument untuk pengkajian lebih lanjut antara lain
dengan MNA full form, dan Subjective Global Assessment (SGA).4,6

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 141


Gambar 1. Skemapenapisanawal, pengkajian, diagnosis dan
derajatkeparahanmalnutrisiberdasarkan GLIM5

Tatalaksana

Pencegahan malnutrisi dapat dilakukan dengan melakukan


penapisan, pengkajian serta pemberia nnutrisi adekuat untuk usia
lanjut. Tatalaksana malnutrisi adalah dengan mengobati atau
menatalaksana penyebab malnutrisi yang mendasari serta memenuhi
kebutuhan nutrisi yang sesuai.

Tabel 1. Penyebab potensial malnutrisi dan intervensi yang


dapat dilakukan6

Penyebab potensial Intervensi


Masalah pengunyahan Perbaiki kondisi gigi mulut
Modifikasi tekstur makanan

142 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Disfagia Evaluasi fungsi menelan
Latihan menelan
Modifikasi tekstur makanan sesuai
evaluasi fungsi menelan

Gangguan fungsi Fisioterapi, okupasi terapi


ekstremitas atas
Bantuan adekuat untuk makan dan minum
(seperti memotong makanan)
Ketersediaan makanan dan minuman
Makanan yang dapat dipegang oleh
tangan (finger food)
Bantuan dalam penyediaan makanan

Mobilitas terbatas, Fisioterapi


imobilisasi
Latihanfisik, resistance training
Bantuan dalam penyediaan makanan
Gangguan kognitif Pengawasan saat makan
Bantuan saat makan
Bantuan dalam penyediaan makanan
Pola makan seperti keluarga bila dirawat
di nursing home
Depresi Terapidepresiadekuat
Makan bersama-samadengan orang lain
Lingkungan yang nyaman
Aktivitas grup

Kesepian Makan bersama dengan orang lain

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 143


Aktivitas grup

Penyakit akut atau Terapi adekuat


kronik

Efek samping Evaluasi obat-obatan


pengobatan
Penurunan dosis obat
Penggantian dengan obat yang lain

Diet yang direstriksi Evaluasi kembali diet dan penghilangan


restriksi

Terkait dengan pemenuhan kebutuhan gizi, perlu diperhatikan


kebutuhan energi, protein, lemak dan karbohidrat serta cairan.
Panduan ESPEN merekomendasikan kebutuhan energi harian untuk
usia lanjut yaitu sebesar 30 kkal/kgBB/hari yang disesuaikan dengan
status nutrisi, penyakit, aktivitas fisik dan toleransi individu. Pada usia
lanjut dengan indeks massa tubuh dengan berat badan kurang maka
dibutuhkan energi sebesar 32-38 kkal/kgBB/hari. Pada usia lanjut yang
sakit kebutuhan energi minimal adalah 27-30 kkal/kgBB/hari. Pada
kondisi stress metabolik berat seperti luka bakar, ulkus dekubitus,
infeksi, maka kebutuhan energi dapat meningkat menjadi 30-35
kkal/kgBB/hari. Kebutuhan protein usia lanjut sehat secara umum
adalahs ebesar 1-1,2 g/kgBB/hari untuk mempertahankan massa otot,
dapat meningkat 1,2-1,5 g/kgBB/hari pada kondisi malnutrisi atau
berisiko malnutrisi akibat penyakit akut atau kronik. Kebutuhan
protein dapat meningkat hingga 2 g/kgBB/hari pada kondisi penyakit
berat dan malnutrisi yang nyata. Kebutuhan mikronutrien disesuaikan
dengan kebutuhan harian seperti biasa, kecuali bila ada defisiensi zat
gizi tertentu. Kebutuhan cairan 30 ml/kg BB perhari dengan

144 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


penyesuaian pada kondisi medis.6,12 Proses tata laksana nutrisi bagi
usia lanjut seperti pada gambar 2.

Gambar 2. Proses tatalaksananutrisibagiusia lanjut6

Metode pemberian nutrisi baik secara oral, enteral ataupun


parenteral tentunya tergantung dari berbagai hal terutama fungsi
saluran gastrointestinal. Jangka metode nutrisi yang akan diberikan
turut memengaruhi pilihan pemberian nutrisi, sebagai contoh bila
menggunakan nutrisi parenteral dalam jangka waktu lama sebaiknya
digunakan jalur akses vena sentral.4

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 145


Simpulan

Inanisi atau malnutrisi adalah kondisi yang harus segera dideteksi


sejak awal dan ditatalaksana adekuat. Definisi malnutrisi saat ini
melihat berbagai aspek fenotip dan etiologi. Malnutrisi pada usia
lanjut berdampak negative dengan meningkatkan mortalitas dan
morbiditas serta menurunkan kualitas hidup usia lanjut. Tatalaksana
malnutrisi meliputi tatalaksana faktor penyebab dan pemenuhan
kebutuhan nutrisi adekuat.

Daftar pustaka

1. Hamirudin, A.H.; Charlton, K.; Walton, K. Outcomes related to


nutrition screening in community living older adults: A systematic
literature review. Arch GerontolGeriatr. 2016;62: 9–25.
2. Bell CL, et al. Prevalence and measures of nutritional
compromiseamong nursing home patients: weight loss, low
bodymass index, malnutrition, and feeding dependency, a
systematicreview of the literature. J Am Med Dir Assoc.
2013;14(2):94-100.
3. Setiati S, Istanti R, Andayani R, Kuswardhani T, et al. Cut-off
anthropometry measurement and nutritional status among
elderly outpatient in Indonesia: multi-centre study. Acta Med
Indones. 2010;42(4):224-30
4. PedomanAsuhanGizi pada Lansia dan PasienGeriatri. PERGEMI.
2017
5. JensenGL, CederholmT, CorreiaM.I.T.D., GonzalezMC, Fukushima
R.HigashiguchiT, et al. GLIM criteria for the diagnosis of
malnutrition: A consensus report from the global clinical nutrition
community. JParenter EnterNutr. 2019;38: 1–9.
6. Volkert, D, Beck AM, CederholmT, Cruz-Jentoft A, GoisserS,
Hooper L, et al. ESPEN guideline on clinical nutrition and
hydration in geriatrics. Clin Nutr. 2019, 38, 10–47.
7. Robert CH, Lim SER, Cox JC, Ibrahim K. The challenge of managing
undernutrition in older people with frailty. Nutrients.2019;11:1-17

146 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


8. Fávaro-Moreira NC, Krausch-Hofmann S, Matthys C, et al. Risk
Factors for Malnutrition in Older Adults: A Systematic Review of
the Literature Based on Longitudinal Data. Adv Nutr.
2016;7(3):507–522
9. Ramage-Morin PL, Gilmour H,Rotermann M. Nutritional risk,
hospitalization and mortality among community-dwelling
Canadians aged 65 or older. Health Rep. 2017;28: 17–27.
10. Ruiz AJ, Buitrago G, RodriguezN, Gomez G,Sulo S, Gomez C. et al.
Clinical and economic outcomes associated with malnutrition in
hospitalized patients. ClinNutr. 2018 ;38(3):1310-1316
11. Rasheed S, Wood RT. Malnutrition and quality of life in older
people : a systematic review and meta-analysis. Ageing Research
Reviews.2013;12:561-66
12. Eutz NEP, Bauer J, Barazzoni R, Biolo G, Boirie Y, Westphal AB, et
al. Protein intake and exercise for optimal muscle function with
aging : Recommendation from the ESPEN Expert Group. Clin Nutr.
2014;33:929-36

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 147


WORKSHOP
MANAGING COMPLICATION OF
GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Lianda Siregar

Departemen Gastroenterologi dan Hepatologi, RS Dharmais

Pendahuluan

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah gangguan saluran


cerna atas paling sering terjadi pada usia tua yang disebabkan
kerusakan mukosa karena refluks isi gaster ke esophagus.1,2 Gambaran
klinis GERD dapat berupa gejala refluks dan esophagitis (Gambar 1),
atau gambaran dari komplikasi GERD seperti Barrett’s esophagus,
adenocarsinoma esofagus, striktur esophagus (Gambar 1) atau
sindrom ekstra-esofagus (asma, laryngitis, atau batuk kronik).3 Di
Amerika Serikat sekitar 10-15% penduduk dewasa mengalami GERD.
Selain itu terjadi peningkatan adenokarsinoma esofagus secara
bersamaan terjadi peningkatan kejadian GERD.1

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 151


Gambar 1. Gambaran endoskopik (A) Esofagitis peptik, (B) Striktur

A.Esofagitis erosif B. Striktur esofagus dengan esofagitis


erosif kronik

C. Barrett’s esophagus D. Adenocarcinoma esofagus dengan


Barrett’s esophagus

prptik, (C) metaplasia Barret’s, dan (D) perkembangan


adenokarsinoma pada daerah Barret’s esophagus.1

Komplikasi GERD

Pada GERD dengan gejala khas dan respon pada terapi Proton Pump
Inhibitor(PPI), tida ada pemeriksaan yang dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Pemeriksaan diagnostik biasanya dilakukan
untuk menghindari misdiagnosis untuk mengidentifikasi komplikasi
(striktur, Barret’s metaplasia, dan adenokarsinoma) dan untuk
mengevaluasi kegagalam terapi.2 Pendekatan lebih agresif pada usia
tua diperlukan karena tingginya kejadian komplikasi yang berat.

152 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Walaupun evaluasi dan manajemen GERD umumnya sama pada usia
tua.4

Gambar 2 Definisi Montreal GERD. Definisi menyeluruh berdasarkan


gejala dan komplikasi disebabkan oleh reflux4

Komplikasi disebabkan inflamasi langsung dari reflux atau proses


pebaikan jaringan.2 Komplikasi esophagus meliputi esofagitis erosif,
striktur esophagus, Barret’s esophagus dan adenokarsinoma
esophagus. Komplikasi ektra-esofagus meliputi nyeri dada atipikal
tanpa ada dasar penyakit arteri koroner (nyeri non-kardiak); telinga,
hidung dan tenggorokan (THT) meliputi sensasi globus, suara parau,
laringitis, dan masalah gigi; masalah paru seperti batuk kronik, asma
dan aspirasi paru.2,3

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 153


Pada studi endoskopi dan pemeriksaan ambulatory pH ditemukan
GERD terdapat 75% pasien dengan chronic hoarseness, 20% pasien
dengan batuk kronik, 45% pasien dengan nyeri dada dan arteri koroner
normal, <10% pasien dengan esofagitis.5 Hasil survei menunjukan
prevalansi GERD pada populasi umum ditemukan 23% dengan nyeri
dada. Pada pasien GERD dengan gejala tipikal ditemukan asma 9%,
bronchitis 20%, dan suara parau 15%.

Komplikasi esophagus

1. Esofagitis
Esofagitis merupakan komplikasi paling sering terjadi pada GERD,
sekitar 50% kejadian pada pasien GERD.Esofagitis didiagnosis melalui
gambaran endoskopi. Reflux biasanya terjadi dibagian distal esofagus
dan gastroesophageal junction. Gambaran morfologi reflux esofagitis
bermacam-macam dan tidak spesifik berupa hyperplasia sel basal,
pemanjangan papilla vascular, edema enterselular, adanya eosinophil
intraepitel, limfosit intraepitel, degenerasi “baloning” sel skuamosa,
dan ulserasi.4

Beratnya esophagitis pada endoskopi menggunakan klasifikasi Los


Angeles yang membagi berdasarkan adanya kerusakan mukosa.6

Klasifikasi Los Angeles esofagitis:6

154 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


• Grade A : kerusakan mukosa tidak lebih dari 5 mm, tidak ada
yang melebar ke bagian atas lipatan mukosa
• Grade B : kerusakan mukosa lebih dari 5 mm dan tidak
meluas ke bagian atas dua lipatan mukosa
• Grade C : kerusakan meluas yang meluas ke bagian atas dua
atau lebih lipatan mukosa tapi mengenai kurang dari 75 %
esophageal circumference
• Grade D : kerusakan mukosa minimal 75% esophageal
circumference
Sebelumnya terapi antagonis reseptor histamine 2 disarankan sebagai
terapi awal pada esofagitis karena GERD. Studi berikutnya
menunjukan bahwa PPI lebih superior dan efektif mengurangi gejala
(omeprazole 20mg/hari, pantoprazole 40mg/hari, atau lansoprazole
30mg/hari selama 4 – 8 minggu) dibandingkan ranitidine, simetidin
dan placebo. Cisapride, agen gastroprokinetik, dan sukralfat kurang
efektif tapi dapat bermanfaat pada pasien tententu atau debagai
terapi lini kedua. Cisaprid hanya dapat digunakan melalui pemeriksaan
ketat karena risiko komplikasi aritmia dan kematian.7

Beberapa ahli menyarankan pemberian PPI dan H2RA pada pasien


dengan gejaladominan seperti ulkus (muncul pada malam hari,
diperingan oleh makanan), agen gastroprokinetik pada pasien dengan
gejala simitilitas (mual, kembung) (esofagitis treatment, Medscape)
Menurut guidelines ACG 2013, pasien GERD dengan gejala berlanjut
setelah pemberhentian terapi PPI dan mengalami komplikasi
diperlukan terapi jangka panjang bahkan seumur hidup.7

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 155


2. Striktur esofagus
Striktur esofagus merupakan komplikasi dari reflux gastroesofageal
kronik dan persisten. Striktur esofagus mempunya derajat berat yang
berbeda dengan berbagai macam komplikasi klinis. Esofagus yang
normal mempunyai diameter mecapai 30mm. Striktur peptikum
biasanya terjasi di squamocolumnar junction dan panjang 1-4mm.
Pasien dengan striktur peptikum biasanya pasa usia tua dan
mempunyai riwayat gastroesophageal reflux (GER). Prediktor
pembentukan striktur pada pasien GER adalah tonus sfingter esofageal
bawah kurang dari 8 mm, gangguan motilitas esopjageal, dan reflux
duodenogastrik.9

Riwayat penyakit sebelumnya dapat membantu dalam menentukan


striktur esofagus. Pasien dengan riwayat sebelumnya memiliki riwayat
gejala heartburn dan gejala terkait asam akan membuat perbaikan
sekunder dan memnyebabkan fibrosis dan penyempitan esofagus
akan mengalami perbaikan setelah dilatasi esofagus.9

Diagnostik

Tujuan utama diagnostik adalah untuk mengkarakteristikan dan


menyingkirkan keganasan.Semua pasien yang dicurigai striktur peptik
harus menjalani pemeriksaan untuk menegakan diagnosis dan
menentukan rencana terapi.

Endoskopi

156 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Prosedur diagnostik pertama direkomendasikan untuk pasien dengan
disfagia adalah endoskopi.Endoskopi dapat digunakan terapi dengan
memasukan guidewire melalui endoskopi untuk dilakukan balon
dilatasi.Gambaran striktur peptik berupa penyempitan distal esofagus
dengan penurunan gambaran vaskular mukosa yang sulit dilakukan
distensi dengan air insufflations.Striktur peptikum biasanya berlokasi
di squamomuscular junction. Jika ditemukan di lokasi lain, striktur
kemungkinan bukan peptik. Biopsi disarankan untuk menyingkirkan
neoplasma.Pasien dengan striktur berulang disarankan untuk
melakukan pemeriksaan barium

Barium esophagram

Menemukan lokasi, panjang dan karakter striktur, termasuk striktur


ringan yang tidak dapat dinilai dengan endoskopi atau striktur
berat.Pemeriksaan barium lebih sensitif dibandingkan dengan
endoskopi untuk mendeteksi striktur dengan diameter ≥ 10
mm.Barium dapat mengindentifikasi lokasi, diameter, dan panjang lesi
peptikum.

Manometri esophageal

Mengukur tonus sfingter esofageal bawah dan medeteksi ganguan


motilitaskeduanya digunakan sebagai prognosis dan menajemen yang
akan dilakukan

Moniring pH 24 jam

Mengidentifikasi gambaran dan luasnya reflux.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 157


Radiografi

Diameter striktur ditentukan dengan evaluasi endoskopi dan


pemeriksaan radiologi.Panjang striktur ditentukan dengan
pemeriksaan radiologi. Respon dilatasi baik ketika terjadi perbaikan
disfagia dan pasien dapat menalan makanan padat dan lumen
esofagus melebar >15mm. Respon buruk jika pengulangan dilatasi
diperlukan karena striktur rekurens, sulit dilakukan pelebaran
esofagus, terjadi striktur kembali dalam 1 bulan setelah dilakukan
dilatasi, dan pasien hanya dapat menelan makanan cair atau lunak

Klasifikasi striktur menggunakan grup Csendens’s berdasarkan berat


dan luasnya striktur. Klasifikasi menggunakan diameter internal,
panjang dan kemudahan dilakukan dilatasi akan menjadi penentu
dalam terapi yang disarankan dan prognosis pasien.

Komponen penilaian Skor

1 Diameter striktur (mm)

>11 1

6-10 2

≤5 3

2 Panjang striktur (mm)

<30 1

30-50 2

158 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


>50 3

3 Respon dilatasi

Baik 1

Buruk 2

Grading striktur

Tipe I : 3-4

Tipe II : 5-6

Tipe III : 7-8

Modified from Braghetto et al.18

Terapi Striktur esofagus9

Tujuan terapi striktur esofagus adalah mengurangi disfagia dan dapat


menelan kembali dan mengobati GER untuk perbaikan esofagitis dan
mencegah striktur berulang

1. Dilatasi striktur

Disfagia pebaikan jika dilatasi mencapai 14mm

2. Terapi medis

PPI sangat bermanfaat dan efektif untuk mencegah striktur


rekurens. Peningkatan pengosongan esofagus dan gaster

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 159


dengan agen motilitas hanya H2 bolker pada penyembuhan
esofagitis ringan. Pada uji randomized omeprazole
bermanfaat dan lebih efeltif dibandingakan H2 bloker pada
penyembuhan esofagitis dan menurunkan kebutuhan unutuk
dilatasi striktur berulang.
3. Terapi pembedahan
Pembedahan lebih efektif daripada terapi medis untuk
penyembuhan esofagitis. Indikasi pembedahan pada pasien
dnegan striktur peptik :

• Tidak dapat dilakukan dilatasi striktur


• Disfagia rekurens
• Esofagitis refrakter dengan terapi pengobatan
• Manifestasi ekstraesofageal seperti aspirasi
pneumonia
• Pertimbangan efek jangka panjang pengobatan pada
usia muda

3. Barrett’s esophagus dan Adenokarsinoma esophagus.


Barrett’s esophagus10

Barrett’s esoppagus (BE) merupakan pembetukan epitel kolumnar


metaplasia dengan arsitektur kripta dari epitel skuamosa esofagus
dikenal sebagai metaplasia intestinal yang merupakan respon
memperbaiki jaringan dari kerusangan jaringan karena refluks. BE
adalah kondisi lesi pre-maglinant yang dapat berkembang menjadi
displasia dan adenokarsinoma esofagus (AKE) menginvasi submukosa

160 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


yang didignosis melalui pemeriksaan endoskopi dan biopsi dengan
gambaran metaplasia intestinal(Gambar 3)

Gambar 3. Perkembangan dan progresi Barret’s esophagus10

Manajemen Barret’s esofagus10,11

Manjemen pasien BE berdasarkan stadium penyakit. Terapi endoskopi


dilakukan pada pasien BE dengan low grade dysplasia (LGD), high
grade dysplasia (HGD), AKE mukosa, AKE submukosa ‘low risk. Pada
pasien dengan BE non-displasia tidak dilakukan terapi endoskopi
tetapi disarankan untuk dilakukan surveilas endoskopi.(Gambar 4)

Endoscopic mucosal resection (EMR)

Pasien dengan BE terdapat dysplasia atau AKE awal superfisial


diharuskan melakukan Endoscopic mucosal resection (EMR) untuk
mendapatkan jaringan untuk evaluasi faktor prognostik seperti grade
dysplasia, invasi vaskular dan kesempurnaan reseksi.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 161


Gambar 4. Algoritma manajemen Barrett’s esophagus

Pada 1000 pasien BE dengan AKE mukosa dilakukan EMR menunjukan


remisi komplit jangka panjang (93,8%) setelah dilakukan follow-up
hamper 5 tahun. Kejadian komplikasi dilaporkan sekitar 1,5% dan rata-
rata rekurens neoplasia sekitar 14,5%.

Endoscopic submucosal dissection (ESD)10

ESD dapat membuang lesi dengan berbagai ukuran yang menginvasi


mukosa dan submukosa. Studi prospektif menbandingkan EMR dan
ESD pada 40 pasien BE dengan AKE mukosa ditemukan tidak ada
perbedaan bermakna pada rata-rata remisi komplit. EMR masih
menjadi pilihan terapi dan ESD menjadi pilihan pada lesi yang tebal

162 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


yang tidak dapat dibuang dengan EMR dan dicurigai sudah
menginfiltrasi submukosa.

Ablasi endoskopi.10

Tingginya progresifitas LGD menjadi AKE menjadi alasan mengapa


ablasi endoskopi dilakukan sebagai alternative ffollow-up endoskopik
berkala. Ablasi endoskopi pada BE adalah radiofrequency ablation
(RFA), cryoablation, argon plasma coagulation (APC). (petter 2019,
barretts esophagus)

Adenokarsioma Esofagus (AKE)13

Terdapat dua jenis kanker esofagus, squamous cell carcinoma dan


adenokarsinoma esofagus. Adenokarsinoma dihubungkan dengan
riwayat refluks sam berat dan kronik melalui perkembangan pre-
kanker Barrett’s esophagus kondisi.(gregson) Lokasi tersering terdapat
pada bagian bawah esofagus dan tumor mempunya struktur
glandular.Pada studi case-control dan metaanalisis, GERD
dihubungkan dengan OR 12 (IK 95%: 7,64-18,70) pada barrett
esophagus dan 4,64 (IK95% : 3,28-6,57) pada adenokarsinoma
esofagus.13 Secara umum BE menjadi Gejala yang perlu diperhatikan
pada kanker esofagus adalah disfagia, odinofagia, penurunan berat
bada yag drastic, suara parau dan batuk. Terkadang dapat ditemukan
muntah darah, bab hitam dan anemia.13

Faktor risiko 13

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 163


• GERD
• Barrett’s esophagus
• Obesitas visceral dan sentral
Endoskopi merupakan gold standard untuk mendeteksi dan
mendiagnosis adnokarsinoma esofagus 12

Gambar 5. Algoritma rekomendasi surveilans dan terapi pada Barrett’s


esophagus dan adenokarsinoma esofagus12

National guidelines merekomendasikan untuk melakukan endoskopi


berulang untuk surveilans.(gregson). Surveilans dilakukan untuk
menemukan lesi neoplasma pada stadium awal (HGD atau karsinoma
intramukosal) jadi dapat dilakukan terapi kuratif. Dari hasil meta-
analisis dan studi kohort prospektif merekomendasikan pada semua
pasien dengan BE, biopsi dilakukan dari pada lesi yang terlihat
mencurigakan perubahan displasia mukosa, diambil 4 sampel secara

164 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


acak dengan jarak 2 cm pada segmen Barrett- disebut protocol
Seattle.(gregson).

Di Eropa dan Amerika Utara, sebagian besar pasien dengan kanker


esofagus udah terdapat locally advanced atau metastasis. Amrican
College of Gastroenterology (ACG) dan British Society of
Gastroenterology (BSC) menyarankan untuk dilakukan skrining pada
pasien dengan GERD lebih dari 5 tahun dan mempunyai >1 faktor
risiko.13

Pencegahan adenokarsinoma esofagus

Perncegahan primer pada kanker ini adalah dengan menghindari


faktor risiko seperti menjaga berat badan. Pada pasien dengan BE,
pencegahan sekunder dengan terapi PPI atau NSAID, terapi ablasi
untuk membuang precursor neoplasiadan pembedahan. Berdasarkan
studi kohort dan metanalisis menunjukan pemberian PPI pada BE akan
menurunkan displasia dan AKE. Pasien BE dengan lesi nodular harus
menjalani EMR untuk menentukan grade dan luas lesi, sehingga jika
ditemukan gambaran dysplasia atau adenokarsinoma dapat
menentukan manajemen lebih lanjut untuk pasien.13

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 165


Gambar 5. Manajemen kanker esofagus13

Manajemen pasien adenokarsinoma esofagus tergantung dari


karakteristik pasien dan tumor (stadium TNM). Pada tumor stadium
awal dapat dilakukan reseksi dengan endoskopi sedangan pada locally
advanced dapat dilakukan kemoterapi, kemoradiasi, terapi
pembedahan atau kombinasi.13

Komplikasi ektraesofagus

Refluks asam menyebabkan sejumlah klinis diluar esofagus.Gejala ini


dapat ditemukan tanpa adanya gejala heartburn atau regurgitasi
sehingga GERD sangat mungkin ditemukan dengan gejala seperti
asma, batuk kronik atau laryngitis. (WJR GERD related asma) GED
mnyebabkan gejalan ekstra-esofagus nelalui mekanisme langsug

166 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


(aspirasi atau mekanisme tidak langsung (vagal) Diagnosis laryngitis
reflux tidak berdasarkan hanya temuan laringoskop.Endoskopi tidak
disarankan untuk mendiagnosis asma karena GERD.Pemberian uji
proton pump inhibitor (PPI) direkomendasikan untuk terapi gejala
ekstra-esofagus.14

Batuk kronik15

Batuk kronik adalah batuk lebih dari 8 minggu dengan gambaran


radiologi normal pada pasien yang tidak merokok dan tidak minum
obat angiotensim-converting enzyme (ACE) inhibitor. Diagnosis GERD
dihubungkan dengan batuk kronik menjadi tantangan, sekitar 75%
pasien baruk kronik dengan GERD yang tidak memiliki gejala refluk
tipikal. Dignostik batuk kronik karena GERD sulit karena keterbatasan
tes definitif untuk ini. EGD dan monitoring pH esofagus 24 jam dapat
digunakan sebagai alat diagnostic, tetapi EGD mempunyai kesulitan
dalam mendignostik reflux yang dihubungkan dengan batuk karena
kolerasi yang buruk antara temuan esofagitis dengan batuk kronik.
Studi Baldi et.al melaporkan 45 pasien dengan batuk kronik terdapat
55% pasien dnegan gejala refluk klasik dan 15% esofagitis. EGD
mempunyai sensitivitas rendah dalam menetapkan hubungan antara
batuk kronik dan temuan esofagus.

Monitoring pH esofagus 24 jam memepunyai sensitivitas 90% untuk


mendiagnosis esofagus abnormal yang terpapar asam pada pasien

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 167


GERD. Metode ini mempunyai keterbatasan pada pasien dengan batuk
kronik, spesifitasnya sekitar 66%. Keuntungan monitoring pH pada
pasien batuk kronik dapat mengkolerasi episode refluks esofagus
dengan gejala batuk menggunakan symptom index (SI) dan symptom
association probability (SAP). Tetapi pemeriksaan monitoring pH
masih menjadi masalah karena mempunyai nilai prediktif rendah,
kurangnya realibilitas SI dan SAP.15

Evaluasi terpenting pada pasien dengan batuk kronik adalah harus


menyingkirkan post nasal drip syndrome (PNDS), asma dan brokhitis
kronik, hasil rontgent paru normal dan tidak ada riwayat penggunaan
ACE inhibitor. Setelah itu melakukan terapi empiris dnegan PPI satu
kali sehari atau dua kali sehari tidak lebih dari 12-16 minggu, yang
digunakan untuk mengidentifikasi dan mengobati pasien batuk kronik
karena refluks.

Pasien yang tidak respons dengan terapi ini harus menjalani tes untuk
menyingkirkan hernia hiatal dan evaluasi kelainan paru.15

Asma

Asma mempunyai kolerasi kuat dengan GERD yang dapat menginduksi


satu sama lain. GERD dapat menginduksi asma melalui mediasi vagal
atau mikroaspirasi.15

168 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Gambar 6 Prevalensi GERD pada pasien asma16

Hasil dari 4 studi yang membandingkan grup 538 dengan asma dari
Prancis, Jerman, Filandia dan Amerika Serikat menunjukan 365 pasien
memiliki gejala reflus(68%). Ada beberapa metode untuk
mendiagnosis GERD terkait dengan kelainan paru yaitu pemeriksaan
sputum, monitoring skintigrafik, monitoring pH esofagus ambulari,
survei prevalesi gejala GERD.16

Karakteristik feflux menginduksi asma

• Onset saat dewasa


• Bukan perokok
• Tidak ada alergi
• Ada batuk
• Gejala muncul pada malam hari
• Memburuk ketika dibari makanan
• Tidak respon dengan terapi asma

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 169


• Respon dengan terapi antisekeretorik asam lambung
Terapi pada pasien asma sama dengan pasien batuk kronik
menggunakan terapi empiris awal dengan PPI satu kali sehari atau dua
kali sehari selama 2-3 bulan. Pada pasien dengan.17,18

Nyeri non-kardiak

Nyeri dada non-kardiak adalah nyeri dada berulang yang tidak dapat
dibedakan dengan nyeri jantung iskemik setalh dilakukan pemeriksaan
yang sesuai untung menyingkirkan penyebab jantung. Nyeri dada non-
kardiak sering terjadi pada pasien GERD19

Sindrom nyeri dada reflux merupakan sidrom esofagus tanpa cedera


mukosa berdasarkan kelompok konsensus Montreal.Nyeri dada tidak
dapat dibedakan antara nyeri jantung iskemik dan GERD. Pasien
dengan sindrom nyeri dada refluks harus menyingkirkan penyakit
jantung iskemik. Stelah penyakit jantung disingkirkan, pasien dapat
diberikan terapi empirik dengan Proton Pump Inhibitor (PPI), jika
pasien tetap mengeluh nyeri dada dapat dilakukan pemeriksaan pH
dan manometer esophagus atau monitor pH-impedansi untuk
menyingkirkan gangguan motilitas atau gejala refluks refrakter.20

Daftar Pustaka

1. Llovet J. Harrison’s Principles of Internal Medicine: Disease of


the Esophagus. New York: McGrawhill; 2018

170 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


2. Kahrilas P.J. Gastroesphageal Reflux Disease. The New England
Journal of Medicine. 2008;359:1700-7.
3. Bansal A, Kahrilaa J. Treatment of GERD Complications
(Barrett’s, Peptic Stricture) and Extraesophageal Syndromes.
Best.Prac.Res.Clin.Gastroenterol. 2010 December ; 24(6):
961–968.
4. American Gastroenterological Association Institute .
Management of Gastroesophageal Reflux Disease.
Gastroenterology 2008;135:1392–1413
5. Katz P.O. Treatment of Gastroesophageal Reflux Disease: Use
of Algorithms to Aid in Management. The American Journal of
Gastroenterology. 1999
6. Souza R.F From Reflux Esophagitis to Esophageal
Adenocarcinoma. Dig Dis. 2016 ; 34(5): 483–490
7. Chait M.M. Gastroesophageal reflux disease: Important
considerations for the older patients. World J Gastrointest
Endosc; 2010; 2(12): 388-396
8. Devuni D. Esophagitis Treatment & Management. Medscape;
2019
9. Lundell L. Reflux esophagitis and peptic strictures. GI Motility
online; 2006
10. Peters Y, Kaabi AA, Shaheen N.J. et.al Barrett oesophagus. Nat.
Rev. Dis. Primers; 2019.
11. Kulper E, Spaander M.C. Natural History of Barrett’s
Esophagus. Digestive Diseases and Sciences; 2018.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 171


12. Gregson E.M, Bornschein J, Fitzgerald R.C. Genetic progression
of Barrett’s oesophagus to oesophageal adenocarcinoma.
British Journal of Cancer ; 2016, 403–410
13. Smyth E.C, Lagergren J, Fitzgerald R, et.al. Oesophageal
cancer. Nat. Rev. Dis. Primers 3; 2017.
14. Girski R.R, Rosa A.R.P. Valle E.D Extraesophageal
manifestations of gastroesophageal reflux disease. Bras
Pneumol. 2006;32(2):150-60
15. Yuksel E.S, Vaezi M.F. New Developments in Extraesophageal
Reflux Disease. Gastroenterology & Hepatology;2012
16. Sontang S.J, Harding S.M. Gastroesophageal reflux and
asthma. GI Motility online; 2006
17. Hu Z.W, Wu J.M, Liang W.T, et.al. Gastroesophageal reflux
disease related asthma: from preliminary studies to clinical
practice. World J Respiro;l 2015 March 28; 5(1): 58-64
18. Bowrey D.J Peters J.H DeMesster T.R. Gastroesophageal Reflux
Disease in Asthma Effects of Medical and Surgical Antireflux
Therapy on Asthma Control. Annals of surgery; 2000.
19. Fass R, Achem S.R. Noncardiac Chest Pain: Epidemiology,
Natural Course and Pathogenesis. J Neurogastroenterol
Motil:2011;17:110-123
20. Achem A.R, Non-cardiac Chest Pain. American College of
Gastroenterology. 2013

172 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


NON INVASIVE DIAGNOSTIC OF
HELICOBACTER PYLORI INFECTION

Femmy Nurul Akbar

Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah


Jakarta

Helicobacter pylori (HP) merupakan bakteri yang hidup didalam


lambung. Kuman ini dapat menyebabkan berbagai kelainan pada
lambung diantaranya ulkus peptikum, inflamasi pada lapisan mukosa
lambung dan juga kanker lambung.

Deteksi H.pylori merupakan hal yang diperlukan pada praktek sehari -


hari. Beberapa jenis pemeriksaan dapat dilakukan dalam mendeteksi
kuman ini , namun yang menjadi standar dan yang paling banyak
digunakan adalah Rapid Urease Test atau yang lebih dikenal dengan
nama CLO test. Cara kerja pemeriksaan ini bedasarkan kemampuan
kuman Helicobacter pylori dalam mensekresi enzim urease yang
mengubah urea menjadi karbondioksida dan amoniak. CLO test
dilakukan pada saat pemeriksaan gastroskopi dengan mengambil
sedikit jaringan lewat biopsi gaster untuk kemudian dianalisa.

Selain pemeriksaan yang invasif , deteksi Helicobacter juga dapat


dilakukan dengan cara non invasif yang paling sering dipakai adalah
pemeriksaan Urea Breath Test (UBT) yang menggunakan radioisotope
karbon alami C13 . Aktivitas urease hanya terdapat pada pasien yang
terinfeksi Helicobacter, jadi jika pasien diberikan sejumlah urea yang
masuk lewat mulut, , maka urea tersebut akan dilabel atau ditandai
oleh isotop C13 dimana karbondioksisa yang diproduksi urease juga
akan dilabel oleh C13, sehingga akan dapat dibedakan dari
karbondioksida normal. Pemeriksaan UBT saat ini paling banyak
digunakan didunia meskipun pemeriksaan relatif mahal dan butuh

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 173


tambahan alat spektrofotometer infra red yang bersifat slow analysers
untuk mendeteksi karbondioksida yang dilabel tersebut.

Dengan adanya beberapa kelemahan dari UBT tersebut makan dicari


inovasi baru yang salah satunya ada Ammonia Breath Test (ABT0.
Metode ABT ini mempunyai hasil yang cepat serta lebih aman karena
tidak menggunatakn radioisotop, juga tanpa ada rasa nyeri karena
caranya hanya dengan menarik napas melalui hidung. Penyimpanan
alat juga mudah dan tidak ada kriteria kondisi penyimpanan khusus.
Alat ini dapat mendeteksi aktivitas urease pada pasien suspect
Helicobacter pylori dengan hasilnya bersifat kuantitatif dengan
sensitivitas 95% dan spesifisitas 97% serta biaya lebih murah
dibandingkan UBT.

174 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


PERANAN SURVEILANS ELASTOGRAPHY DAN USG ABDOMEN
DALAM MENINGKATKAN SURVIVAL DAN KUALITAS HIDUP
PENGIDAP HEPATITIS

Juferdy Kurniawan

Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional
Cipto Mangunkusumo
Pendahuluan

Prevalensi hepatitis di Indonesiamengalamisuatupeningkatan.


RisetKesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkanprevalensi hepatitis
pada tahun 2018 sebesar 0.4%, meningkatdibandingkantahun 2013
(0.2%).1,2Riskesdastahun 2013 juga melaporkanprevalensiinfeksi virus
hepatitis B (VHB) berdasarkanhasilpemeriksaanhepatitis B surface
antigen (HBsAg) positifsebesar 7.1% sedangkanprevalensiinfeksi virus
hepatitis C (VHC) berdasarkanhasilpemeriksaanhepatitis C virus
antibodies (anti-HCV) positifsebesar 2.5%.2Infeksikronik virus hepatitis
menjadisuatumasalahkesehatanutama di dunia, termasuk Indonesia,
karenaterkaitdengantimbulnyakomplikasihatiyaknisirosishati dan
karsinomaselhati (KSH). Insidenskumulatif 5 tahunsirosishati pada
pasiendenganinfeksi VHB yang
tidakmendapatkanterapiadalahsebesar 8-
20%;sementara,insidenskumulatif KSH pada pasiendengan hepatitis B

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 175


yang sudahmengalamisirosishatimencapai 21% pada pemantauan 6
tahun.3Progresifitaspenyakit pada infeksi VHC berjalanlebihlambat.
10-20% infeksi VHC
kronikakanberkembangmenjadisirosishatidalamkurunwaktu 15-20
tahun dan setelahmenjadisirosishati 1-5% per
tahunakanberkembangmenjadi KSH.4

PengertianSurveilans

Surveilansadalahpemeriksaanskrining yang dilakukansecara regular


pada interval waktutertentuterhadappopulasi yang
memilikirisikotinggiuntuksuatupenyakit.
Tujuandarisurveilansialahuntukmendeteksipenyakit yang
asimptomatikatausubklinis. Kriteriadaripemerikaanskrining yang
optimal antara lain adalahmemilikisensitivitas yang tinggi,
efektifbiaya, dan tersediasecaraluas (wide availability). Penyakit yang
perludilakukanskriningialahpenyakitdenganangkamortalitas yang
tinggi pada populasitertentudimanadeteksidinidapatmeningkatkan
kesintasan.5,6

RekomendasiSurveilans pada Hepatitis VirusKronik

Identifikasisirosishatidan KSH pentinguntukmenilai prognosis dan


responterapi pada pasiendenganinfeksi VHB dan VHC. Makadariitu,
pemeriksaanultrasonografi (USG) abdomen dan transient

176 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


elastographyperludilakukandalamevaluasipasiendenganinfeksi
hepatitis kronikpraterapi, baikinfeksi VHB maupun VHC.3,4

Pasien hepatitis B kronik yang menunjukanreplikasi virus (hepatitis B


envelope antigenHBeAgpositif) dengan alanine transferase (ALT)
normal ataumeningkatsedikitsecarapersistentanpaadanyabukti
fibrosis signifikanatausirosismemerlukanpemeriksaantransient
elastographysetiap 3 bulan. Pasien hepatitis B
kronikdenganrisikotinggiperludilakukansurveilans KSH
denganpemeriksaan USG abdomen dan alpha-fetoprotein (AFP)setiap
6 bulan. Pasien hepatitis B kronikdenganrisikotinggiuntuk KSH
adalahsebagaiberikut: 1) laki-lakiras Asia denganusialebihdari 40
tahun, 2) perempuanras Asia denganusialebihdari 50 tahun, 3)
pasiendengansirosishati, 4)
ataupasiendenganriwayatpenyakithatilanjut di keluarga, khususnya
KSH pada anggotakeluargaderajat pertama.3,5

Pada pasiendengan hepatitis C kronik yang


belummendapatterapiataugagalterapi, pemeriksaan derajat
fibrosis hatidengantransient elastographydianjurkansetiap 1 sampai 2
tahun. Pasien hepatitis C kronikdengansirosis, baik yang
sudahmendapatterapi danmencapaisustained virological
response(SVR) 12 mingguatau 24 minggumaupun yang
belummendapatterapi dan yang
gagalterapi,direkomendasikanmenjalanisurveilansuntuk KSH
denganpemeriksaan USG abdomen dan AFP setiap 6 bulan. Pasien

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 177


hepatitis C kronik non-sirotikdengan fibrosis hatilanjut juga
direkomendasikanuntukmenjalanisurveilans KSH.4,5

Transient Elastrography

Fibrosis hatiberhubungandengan prognosis pasien yang


menderitapenyakithatikronik, termasuk hepatitis virus kronik.
Penilaianderajat fibrosis dan perkembanganderajat fibrosis
pentingdalamtatalaksanapasien. Sampaisaatini,
biopsihatimasihmerupakanstrandarbakuemasuntukevaluasi fibrosis
hati. Namun, biopsihatimerupakanpemeriksaan yang invasif dan
cukup mahal sehinggatidakmungkindilakukanberkala pada
pasienpenyakithatikronik. Keterbatasan lain
adalahkesalahanpengambilansampel, variabilitasantar operator, dan
potensiterjadinyakomplikasiakibatprosedurbiopsihatisepertinyeri,
perdarahan, dan hipotensi. Pada tahun 2002,
diperkenalkansebuahpemeriksaan fibrosis hati non-
invasifyaknitransient elastography (TE, FibroScan). TE
merupakanpemerikaanberbasisgelombangsuara (ultrasound) yang
dapatmenilaiderajat fibrosis
hatisecarakuantitatifmelaluipengukurankekakuanhati (liver stiffness).
Prinsipdasar TE
adalahkecepatanmerambatnyagelombangsuaramelaluisuatujaringan
homogensebandingdenganelastisitasnya.
Elastisitashatiberkorelasidenganjumlah fibrosis di hati.3,7,8

178 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


AlatFibroScanuntukpemeriksaan TEterdiridarisebuahtransduser dan
sebuah vibrator. Vibrator
menghasilkangelombangdenganamplitudoringan dan frekuensi yang
rendah (50 Hz) yang diteruskan oleh
transduserkejaringanhatimembentukgelombangyang
merambatmelaluihati (disebutshear wave). Pulse-echo
ultrasoundmengikutishear wave dan
mengukurkecepatangelombangtersebut. Kecepatanshear
wavedigunakanuntukmengukurkekakuanhati (liver stiffness) dan
derajat fibrosis hati. Kecepatanshear wavelebihcepat pada fibrosis
hatidibandingkanhati normal. Pengukurandilakukansebanyak 10 kali
dan dihitungreratanyauntukmendapatkanhasildalam kilopascal (kPa).
Hasil TE terpercayabilasuccess rate (jumlahpengukuran valid
dibagijumlah total pengukuran) lebihdari 60% dan interquartile range
(IQR; menggambarkanvariabilitasintrinsik) kurangdari 30%.7,8

Saatini TE
dianjurkanuntukskriningsirosishatikarenaakuratuntukidentifikasi
fibrosis hati. Rerataarea under the receiver operating characteristic
curve (AUROC) untuk diagnosis fibrosis signifikan 0.84, fibrosis berat
0.89, dan sirosishati 0.94. Usia dan body mass index (BMI)
tidakmempengaruhi AUROC, namunditemukanheterogenitas AUROC
sesuaidenganpenyakithati yang mendasari.9Selainakurat, TE
dibandingkanbiopsihatilebihefektifbiaya dan sudahbisadikerjakan di
seluruh Indonesia sehinggamerupakanpemeriksaanskrining yang
cukup ideal untuksirosishati. Kelebihan TE antara lain

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 179


adalahtidakmenimbulkannyeri, cepatpengerjaanya (kurangdari 5
menit), dan mudahdikerjakanbaiksecarabedside di
rawatinapatausaatrawatjalandenganhasil yang reproducible.
Keterbatasan TE adalahtidakhanya fibrosis hati yang
dapatmempengaruhikekakuanhatinamun juga ALT flares,
derajatinflamasihati,kolestasisekstrahepatik, kongestihati, dan intake
makanandalam 60 - 120 menitdaripemeriksaan. Pada
kondisiinibisadidapatkanangkakekakuanhati yang
tinggisehinggapemeriksaan TE pada kondisidiatastidakdianjurkan. TE
juga tidakdianjurkan pada pasiendenganobesitas, selaiga yang sempit,
high-riding liver, hiperinflasiparu, dan
asiteskarenaberhubungandengansuccess rate yang rendah.8

American GastroenterologicalAssociation (AGA)


merekomendasikanpemeriksaan TEdibandingkanpemeriksaan fibrosis
non-invasiflainnyauntukdeteksisirosishatipada pasiendengan
hepatitis B dan hepatitis C kronik.
Rekomendasinilaititikpotonguntukdeteksisirosishatidimuat pada
Tabel 1.10Pasiendengansirosishatiperlumenjalanisurveilansuntuk KSH.

Tabel 1. Rekomendasi Nilai Cut-Off (titikpotong) TE untukSirosisHati


(AGA)
Populasi Nilai Cut-Off
Hepatitis B kronik 11.0 kPa
untukdeteksisirosishati

180 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Hepatitis C kronik 12.5 kPa
untukdeteksisirosishati
Penyakithatialkoholikkronik 12.5 kPa
untukdeteksisirosishati

Ultrasonografi Abdomen

USG abdomen, khususnya USG hati, merupakanmetodepemeriksaan


yang direkomendasikan oleh The American Association for the Study
of Liver Diseases (AASLD), the European Association for the Study of
the Liver (EASL), the Asian Pacific Association for the Study of the Liver
(APASL), dan PerhimpunanPenelitiHati Indonesia (PPHI)
dalamsurveilans KSH. Interval surveilans yang dianjurkanadalah 6
bulan.Tujuandarisurveilansadalahuntukdeteksi KSH stadium
sangatawal (ukurankurangdari 2
cm)karenasampaisaatiniperkembanganterapi KSH untukpasien
stadium lanjutmasihsangatsedikit. Pasiendengan KSH yang
baruterdeteksi pada stadium lanjutmemiliki prognosis yang
burukdengan median kesintasan 0.7 sampai 2 bulan.5,11-
Sebuahrandomized controlled trial (RCT)yang dilakukan di Shanghai
13

membagi18,816 penderita hepatitis B


kronikkedalamkelompokskrining (9,373) dan kelompokkontrol
(9,443). Pada kelompokskriningdilakukanpemeriksaan USG dan AFP
setiap 6 bulan. Tingkat mortalitaslebihrendahsecarasignifikan pada
kelompokskriningdibandingkankelompokkontrol (83.2/100,000 dan

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 181


131.5/100,000). Surveilansmenurunkanangkamortalitas KSH sebesar
37%.14Sebuahstudi longitudinal berbasispopulasidilakukan di Taiwan
membandingkanpasien KSH yang mendapatkanpemeriksaan USG
abdomen ≥3 kali (kelompok ≥ 3) dan < 3 kali (kelompok<
3)dalamkurunwaktu 2 tahunsebelum diagnosis KSH.
Dilaporkanbahwapasiendalamkelompok ≥ 3 kali memiliki median
kesintasanlebihtinggidibandingkankelompok< 3 kali (1.42 tahun vs.
0.51 tahun). Angkakesintasan 5 tahunpada kelompok ≥ 3 kali sebesar
14.4% sedangkan pada kelompok< 3 kalisebesar 7.7%.15

Kelebihandari USG abdomen antara lain: efektifbiaya,tidakinvasif,


dantidakmeningkatkanrisikopaparanradiasi. Keterbatasan USG
abdomen adalahdipengaruhi oleh teksturpermukaanhati,
karakteristikpasiensepertiobesitas, dan pengalamandari operator
(operator dependent).Sensitivitas USG abdomen untukmendeteksilesi
KSH pada stadium apapunadalahsebesar 94% dan KSH stadium
awaladalah 63%. Melakukanpemeriksaan USG abdomen setiap 6
bulanmeningkatkansensitivitassebesar 70% dibandingkansetiap 1
tahun. Sensitivitas USG abdomen berkurang pada
pasiendenganobesitas dan
sirosishatiakibatpenyakithatialkoholikkronikatauperlemakanhati non-
alkoholiksehinggadapatterjadikesalahanmendeteksinodulhati
stadium awal.6

Biladitemukannodul pada pemeriksaan USG abdomen dan kadar AFP


lebihdari 10 ng/mL pada populasi yang

182 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


dilakukansurveilansmakaperludilanjutkandenganpemeriksaanuntuk
diagnosis KSH.5

Kesimpulan

Surveilanssirosishatidengantransient elastography dan surveilans KSH


dengan USG abdomen pentingdilakukan pada penderita hepatitis B
maupun hepatitis C kronik.

Referensi

1. Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan. Hasil Utama


RisetKesehatan Dasar 2018. Jakarta: KementrianKesehatan
RI; 2018.
2. Badan Penelitian dan PengembanganKesehatan.
RisetKesehatan Dasar 2013. Jakarta: KementrianKesehatan
RI; 2013.
3. PerhimpunanPenelitiHati Indonesia. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis B di Indonesia. In: Lesmana CRA,
editor. Jakarta: PerhimpunanPenelitiHati Indonesia; 2017.
4. PerhimpunanPenelitiHati Indonesia. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis C di Indonesia. In: Sulaiman AS,
editor. Jakarta: PerhimpunanPenelitiHati Indonesia; 2017.
5. PerhimpunanPenelitiHati Indonesia,
PerhimpunanDokterSpesialisPatologi Indonesia,

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 183


PerhimpunanDokterSpesialisOnkologiRadiasi Indonesia,
PerkumpulanSubspesialisRadiologi Abdomen Indonesia,
PerhimpunanDokterSpesialisBedahDigestef Indonesia.
Konsensus Nasional PenatalaksanaanKarsinomaSelHati. In:
Hasan I, Loho IM; editors. Jakarta: PerhimpunanPenelitiHati
Indonesia; 2017.
6. Harris PS, Hansen RM, Gray ME, Massoud OI, McGuire BM,
Shoreibah MG. Hepatocellular carcinoma surveillance: An
evidence-based approach. World J Gastroenterol 2019;
25(13): 1550-9.
7. Jung KS, Kim SU. Clinical applications of transient
elastography. Clinical and Molecular Hepatology 2012; 18:
163-71.
8. Wong GLH. Transient Elastography (Fibroscan): A New Look
of Liver Fibrosis and Beyond. Euroasian J Hepato-
Gastroenterol 2013; 3(1): 70-7.
9. Friedrich-Rust M, Ong MF, Martens S, Sarrazin C, Bojunga J,
Zeuzem S, et al. Performance of Transient Elastography for
the Staging of Liver Fibrosis: A Meta-Analysis. Gastroenterol
2008; 134: 960-74.
10. Lim JK, Flamm SL, Singh S, Falck-Ytter YT, Clinical Guidelines
Committee of the American Gastroenterological Association.
American Gastroenterological Association Institute Guideline
on the Role of Elastography in the Evaluation of Liver Fibrosis.
Gastroenterol 2017; 152: 1536-43.

184 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


11. Heimbach JK, Mulik LM, Finn RS, Sirlin CB, Abecassis MM,
Roberts LR, et al. AASLD Guidelines for the Treatment of
Hepatocellular Carcinoma. Hepatology 2018; 67: 358-80.
12. European Association for the Study of the Liver. EASL Clinical
Practice Guidelines: Management of hepatocellular
carcinoma. J Hepatol 2018; 69: 182-236.
13. Omata M, Cheng AL, Kokudo N, Kodu M, Lee JM, Jia J, et al.
Asia-Pacific clinical practice guidelines on the management
of hepatocellular carcinoma: a 2017 update. Hepatol Int
2017; 11: 317-70.
14. Zhang BH, Yang BH, Tang ZY. Randomized controlled trial of
screening for hepatocellular carcinoma. J Cancer Res Clin
Oncol 2004; 130(7): 417-22.

Chiang JK, Chih-Wen L, Kao YH. Effect of ultrasonography surveillance


in patients with liver cancer: a population-based longitudinal study.
BMJ Open

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 185


BAGAIMANA MENGELOLA HEPATITIS KRONIK

Rino A Gani

Divisi Hepatologi Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia, RSUPN Cipto Mangunkusumo

Pendahuluan

Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh


banyak hal namun yang terpenting diantaranya adalah karena infeksi
virus-virus hepatitis. Virus-virus ini selain dapat memberikan
peradangan hati akut, juga dapat menjadi kronik. Virus-virus hepatitis
dibedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan
peradangan pada hati oleh karena sifat hepatotropik virus-virus
golongan ini. Petanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis)
adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama
peningkatan alanin aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi
baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel hati. Hepatitis kronik
dibedakan dengan hepatitis akut apabila masih terdapat tanda-tanda
peradangan hati dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan. Hepatitis
Kronik dpaat disebabkan oleh banyak hal yaitu virus, autoimmune,
drug-induced hepatitis, penyakit yang jarang ditemukan seperti
Wilson/s disease dan α1-Antitypsin deficiency dan Cryptogenic
hepatitis. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan
hepatitis kronik adalah virus hepatitis B dan C. Infeksi virus-virus

186 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


hepatitis masih menjadi masalah masyarakat di Indonesia. Hepatitis
akut walaupun kebanyakan bersifat self-limited kecuali hepatitis C,
dapat menyebabkan penurunan produktifitas dan kinerja pasien untuk
jangka waktu yang cukup panjang. Hepatitis kronik selain juga dapat
menurunkan kinerja dan kualitas hidup pasien, lebih lanjut dapat
menyebabkan kerusakan hati yang signifikan dalam bentuk sirosis hati
dan kanker hati. Pengelolaan yang baik pasien hepatitis akibat virus
sejak awal infeksi sangat penting untuk mencegah berlanjutnya
penyakit dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul. Akhir-akhir
ini beberapa konsep pengelolaan hepatitis akut dan kronik banyak
yang berubah dengan cepat sehingga perlu dicermati agar dapat
memberikan pengobatan yang tepat.

Perjalanan Penyakit Hepatitis B

Pajanan virus ini akan menyebabkan dua luaran klinis, yaitu: (1)
Hepatitis akut yang kemudian sembuh secara spontan dan
membentuk kekebalan terhadap penyakit ini, atau (2) Berkembang
menjadi kronik. Pasien yang terinfeksi VHB secara kronik bisa
mengalami 4 fase penyakit, yaitu fase immune tolerant, fase immune
clearance, fase pengidap inaktif, dan fase reaktivasi. Fase immune
tolerant ditandai dengan kadar DNA VHB yang tinggi dengan kadar
alanin aminotransferase (ALT) yang normal. Sedangkan, fase immune
clearance terjadi ketika sistem imun berusaha melawan virus. Hal ini
ditandai oleh fluktuasi level ALT serta DNA VHB. Pasien kemudian

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 187


dapat berkembang menjadi fase pengidap inaktif, ditandai dengan
DNA VHB yang rendah (2000 IU/ml dan inflamasi hati kembali terjadi.

Gambar 1. Perjalanan Penyakit Hepatitis B Kronik

Perjalanan Penyakit Hepatitis C

Masa inkubasi VHC berkisar antara 14-180 hari (±45 hari). Apabila
setelah 6 bulan pasca paparan, anti-HCV dan RNA VHC masih
terdeteksi di dalam darah maka dapat didiagnosis sebagai hepatitis C
kronik. Hampir 80% pasien hepatitis C akut akan menetap menjadi
hepatitis C kronik. Progresifitas hepatitis C kronik berjalan lambat, 10-
20% akan berkembang menjadi sirosis hati dalam kurun waktu 15- 20

188 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


tahun dan setelah menjadi sirosis hati sebanyak 1-5% per tahun
berkembang menjadi karsinoma hepatoselular (KHS). Angka
mortalitas akibat komplikasi penyakit sirosis hati terkait infeksi
hepatitis C kronik sekitar 4% per tahun

Gambar 2. Perjalanan Alamiah Infeksi Virus Hepatitis

Pengelolaan Hepatitis B Kronik

Tujuan pengobatan pada hepatitis kronik untuk meningkatkan kualitas


hidup dan kesintasan pasien yang terinfeksi dengan cara mencegah
perkembangan penyakit, progresi penyakit menjadi sirosis, sirosis
dekompensata, penyakit hati lanjut, karsinoma hepatoselular, dan
kematian; sekaligus mencegah terjadinya transmisi virus. Secara
umum, pasien yang dianggap sebagai kandidat pengobatan adalah

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 189


mereka yang berada dalam fase immune clearance (HBeAg-positif
CHB), yang mana pengobatan bertujuan untuk merangsang
serokonversi HBeAg dan meminimalkan kerusakan hati, dan pada
pasien dengan risiko tinggi terkena kerusakan pada hati, yaitu mereka
yang menderita HBB-negatif CHB dan atau penyakit hati lanjut, dimana
pengobatan bertujuan untuk mencegah perkembangan lebih lanjut
atau membalikkan penyakit hati yang ada. Pada pasien ini, terapi
antivirus telah terbukti menekan replikasi HBV, menormalkan
konsentrasi ALT, meningkatkan serokonversi HBeAg (pada pasien
HBeAg-positif), membalikkan fibrosis dan sirosis, dan meningkatkan
fungsi hati pada penyakit hati dekompensasi. Terapi antivirus dengan
nucleo (s) tide analogs (NUCs) juga baru-baru ini terbukti mengurangi
risiko HCC dan mortalitas terkait HBV.

Pasien dengan ALT yang terus-menerus normal atau sedikit meningkat


(misalnya, pasien dalam fase toleran kekebalan) memiliki risiko rendah
cedera hati dan cenderung memiliki respons yang lebih buruk
terhadap terapi antivirus. Oleh karena itu, pengobatan umumnya tidak
diindikasikan kecuali ada bukti penyakit hati lanjut.

Demikian juga, pembawa yang tidak aktif tidak memerlukan


pengobatan karena fase ini dikaitkan dengan hasil yang
menguntungkan. Namun, untuk kedua kelompok pasien, pemantauan
teratur terhadap HBV DNA dan ALT dianjurkan untuk mendeteksi
setiap perubahan dalam status penyakit yang mungkin memerlukan
inisiasi pengobatan.

190 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Rekomendasi PPHI mengatakan indikasi terapi pada pasien Hepatitis B
kronik dengan HBeAg positif adalah pada pasien dengan DNA VHB > 2
x 104IU/mL dan ALT > 2x batas atas normal. Pada pasien dengan
HBeAg negatif, terapi dimulai pada pasien dengan DNA VHB > 2 x 103
IU/mL dan ALT > 2x batas atas normal.

Sampai sekarang telah terdapat setidaknya 2 jenis obat hepatitis B


yang diterima secara luas, yaitu golongan interferon (pegylated
interferon α-2a 90-180 μg 1 kali per minggu, maupun pegylated
interferon α-2b 1-1,5 μg/kg 1 kali per minggu) dan golongan analog
nukleos(t)ida. Golongan analog nukleos(t)ida ini lebih jauh lagi terdiri
atas lamivudin 100 mg, adefovir 10 mg, entecavir 0,5 mg, telbivudin
600 mg, dan tenofovir 300 mg.Semua jenis obat tersebut telah
tersedia dan beredar di Indonesia.

Rekomendasi lini pertama untuk terapi hepatitis B kronik saat ini


terdiri dari pegylated interferon, entecavir, atau tenofovir. Pada
pasien non sirosis yang menginginkan terapi untuk jangka waktu
tertentu, terapi yang lebih direkomendasikan adalah Peg-IFN.13
Rekomendasi lini kedua sebagai alternatif terapi hepatitis B antara lain
lamivudin, adefovir, dan telbivudin.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 191


192 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019
Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 193
Gambar 3. Algoritma tatalaksana untuk pasien dengan hepatitis B
kronis (CHB) yang memiliki antigen hepatitis B e (HBeAg) - penyakit
positif (A), penyakit negatif-HBeAg (B), atau sirosis (C)

Pengelolaan Hepatitis C Kronik

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pilihan terapi standar untuk


hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi antara Pegylated
Interferon-α (Peg-IFNα) dan ribavirin (RBV). Terapi ini memberikan
hasil yang kurang memuaskan pada pasien dengan genotipe 1 karena
hanya 40-50% pasien yang berhasil mencapai sustained virological
respons (SVR24) sedangkan pada genotipe 2 dan 3 sekitar 80% dapat
mencapai SVR24. Kemajuan yang dicapai pada terapi hepatitis C kronik
adalah penemuan agen direct acting antivirus (DAA). Seiring dengan
perkembangan DAA, muncul kelompok DAA generasi baru, yaitu
simeprevir, sofosbuvir, ledipasvir, daclatasvir, elbasvir, dan
grazoprevir. Obat-obat ini memiliki angka SVR12 yang lebih tinggi
dibandingkan dengan terapi berbasis interferon, waktu pengobatan
yang lebih singkat, tersedia dalam sediaan oral dan memiliki efek
samping yang lebih sedikit. DAA yang tersedia di Indonesia saat ini
adalah sofosbuvir, ledipasvir/ sofosbuvir, simeprevir, dan daclatasvir,
sementara elbasvir/grazoprevir dan velpatasvir/sofosbuvir
direncanakan untuk masuk ke Indonesia di masa yang akan datang.

194 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Grafik 1. Perkembangan pengobatan untuk hepatitis C kronis,

Gambar 4. Pilihan Terapi DAA

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 195


Terapi hepatitis C saat ini dapat dilakukan dengan strategi pengobatan
dual therapy (kombinasi Peg-IFN dan ribavirin) atau non dual therapy
(kombinasi DAA dengan atau tanpa regimen Peg-IFN).

Tabel 1. Pemilihan regimen terapi pada infeksi VHC tanpa sirosis

Kesimpulan

Etiologi utama Hepatitis Kronis di seluruh dunia adalah infeksi virus B


dan C. Pengobatan hepatitis akut dan kronik pada dewasa, mengalami
perubahan dan kemajuan yang pesat sehingga harus senantiasa
dicermati perubahannya agar dapat memberi pelayanan yang terbaik
pada pasien dengan hepatitis kronik.

196 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Daftar Pustaka

1. Hasan I, Gani RA, Sulaiman AS, Lesmana CR, Kurniawan J, et al.


Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis B di Indonesia
2017.editor : Sulaiman AS. PPHI. Jakarta;2017
2. Kupcinskas L. Chronic Hepatitis in West and East. Digestives
Disease. 2007
3. Hasan I, Gani RA, Sulaiman AS, Lesmana CR, Kurniawan J, et al.
Konsensus nasional penatalaksanaan hepatitis C di Indonesia
2017.editor : Sulaiman AS. PPHI. Jakarta;2017
4. Han S-H, Tran TT. Management of Chronic Hepatitis B: An Overview
of Practice Guidelines for Primary Care Providers. JABFM. 2015.
5. Umar M, Khan AG, Abbas Z, Arora S, Asifabbas N, et al. Diagnosis,
Management, and Prevention of Hepatitis C. World
Gastroenterology Organisation Global Guidelines. 2017.
.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 197


NSAID GASTROPATI

Agasjtya Wisjnu Wardhana

Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Budhi Asih

Jakarta

Epidemiologi :

Gastroenteropati adalah terminology dari gambaran abnormalitas


muko sagaster dan usus halus dan ditandai dengan perdarahan
submukosa dan ataukerusakanmukosa (erosi).

Insidens NSAID Gastropati sangat tinggi karena penggunaan NSAID


secaraluas pada berbagai penyakit, 25 % penderita mengalami ulkus
akibat penggunaan NSAID dan sekitar 2-4% mengalami perdarahan
atau perforasi saluran cerna. Ada 100.000 pasien dirawat di Rumah
Sakit oleh karena efek samping NSAID Gastropati ini. dan terjadi
kematian pada 7.000 -10.000 pasien yang dirawat dalam kurun waktu
1 tahun. Terbanyak penyebab perdarahan gastrointestinal ini karena
penggunaan Aspirin dosis rendah (75-325 mg).

Di Indonesia peradarahan akibat NSAID Gastropati ini menempati


urutan kedua setelah perdarahan varises esophagus. Serta rangking
kedua setelah perdarahan ulkus saluran cerna akibat infeksi
Helicobacter pylori.

Gambaran klinis :

198 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Obatanti inflamasinonsteroid ( NSAID ) adalah kelas obat yang
mengurangi rasa sakit , mengurangi demam , mencegah pembekuan
darah dan, dalam dosis yang lebih tinggi, mengurangi peradangan.
Efeksamping tergantung pada obat spesifik, tetapi sebagian besar
mencakup peningkatan risiko borok dan perdarahan gastrointestinal,
serangan jantung dan penyaki tginjal.

OAINS dikenal sebagai salah satu faktor agresif eksogen yang dapat
menyebabkan kerusakan mukosa lambung. Lesimukosa lambung
dikenal dengan gastropati. Penggunaan OAINS bersama dengan obat
mengalami gastropati dapat mengalami sindrom serta gejala klinis
gastropati timbul dyspepsia tanpa adanya ulkus, ulkus dengan atau
bahkan komplikasinya berupa perdarahan atau perforasi.

Timbulnya gastropati terutama berkaitan dengan lamanya konsumsi


OAINS. Terbanyak pada pasien tidak mengalami keluhan atau gejala
klinis sedangkan yang timbul gejala klinis sudah pada taraf timbulnya
ulkus dan atau perdarahan aktif sampai ada gejala anemia.

Indikasi penggunaan NSAID (OAINS) :

NSAID biasanya digunakanuntuk pengobatan kondisi akut atau kronis


di mana rasa sakit dan peradangan hadir.

NSAID umumnya digunakan untuk menghilangkan gejala dari kondisi


berikut:

• Osteoartritis
• Artritisreumatoid

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 199


• Nyeri ringanhinggasedangkarenaperadangan dan cederajaringan
• Nyeri punggungbawah
• Arthropatiperadangan (mis., Ankylosing spondylitis , psoriatic
arthritis , arthritis reaktif )
• Tennis elbow
• Sakitkepala
• Migrain
• Gout akut
• Dismenorea (nyeri haid )
• Nyeri tulang metastatik
• Nyeri pascaoperasi
• Kekakuan dan nyeriototkarena penyakit Parkinson
• Pyrexia ( demam )
• Ileus
• Kolikginjal
• Edema makula
• CideraTraumatis

Tata laksana Gastropati NSAID (OAINS)

Langkah pertama adalah melakukan identifikasi factor risiko pada


pasien. Hal ini berkaitan perlunya pengkajian indikasi dan durasi
penggunaan NSAID.

Beberapa pendekatan dilakukan pada pasien dengan memberikan zat


gastroprotektor, mengganti dengan COX2 selective inhibitor atau
melakukan eliminasi Helicobacter pylori sebelum pemberian NSAID
(OAINS).

200 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Kajian Risiko oleh American College Gastroenterology:

Risiko ProfilRisiko
High risk History of previous complicated
ulcers
Intermediate risk > 2 risk factors
age > 65 years old
High dose NSAIDs use
History of previous non-
complicated ulcers
Low risk Use with aspirin, corticosteroids,
Independent risk factor or anticoagulants
No risk factor
H pylori infection

Obat-obat yang dipakai sebagai gastroprotektor pada OAINS:

A. H2 antagonis
B. PPI
C. Prostaglandin Analog
D. Gastroenteroprotective
E. Mucoprotective

A.H2 Antagonis

Asam meningkatkan risiko cedera mukosa oleh antagonis H2 paling


umum digunakan sebagai agen penekanasam. H2 antagonis adalah
obatpertama yang digunakan untuk pelindung terhadap NSAID.
Hasilnya lebih baik pada perlindungan pada mukosa duodenum
dibanding pada mukosagaster.

B. PPI

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 201


Adalah obat pilihan yang lebih baik pada pengobata ngastropati OAINS
karena penekan asam yang kuat dan menurunkan insidens ulkus
karena penggunaan OAINS dan lebih kuat dibanding H2 antagonis
reseptor maupun Prostaglandin analog.
Mis : Lansoprazole 30 mg 2x sehari mampu mencegah ulkus akiba
penggunaan obat OAINS.

C. Prostaglandin Analog
Obat Misoprostol adalah preparat yang dipakai untuk pengobatan
Gastropati OAINS. Efek kerjanaya adalah mensekresi
mukosabikarbonat dan meningkatkan aliran darah di mukosa.
Dosis 4x200 mg mampu mencegah ulkus pada mukosa (lebih dari
40%). Efeksamping tersering diare.

D. Gastroenteroprotective
Golongan obat yang melindungi mukosa lambung dengan cara
menstimulasi prostaglandin endogen, eliminasi radikal bebas,
mengurangi pro inflammatory cytokines.
Obat Rebamipide ini sama efektifnya dengan pemberian misoprostol
dengan profil keamanan yang lebih. Obat ini terutama digunakan pada
pengguna aspirin jangka panjang.

F. Mucoprotective
Sukralfate adalah preparat yang tersedia untuk pengguna NSAID.
Komponen adalah garam aluminium melindungi mukosa akibat OAINS.

202 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Preparat ini lebih baik untuk mengobati ulkus duodenum akibat OAINS
disbanding ulkus gaster.

SIMPULAN
Gastropati OAINS adalah hal yang kita hadapi sehari-hari di tempat
praktek. Kasus ini meningkat seiring dengan jumlah kasus penyakit
yang butuh obat ini dan seiring usia penderita yang perlu
menggunakan obat.

Pilihan obat yang tersedia dapat menjadi alternative dalam


memberikan terapi sesuai kasus yang dihadapi kendati masih belum
ada obat yang sempurna untuk menuntaskan Gastropati OAINS.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 203


ENTEROPATI OAINS

Ruswhandi

Deparetemen Ilmu Penyakit Dalam


RSPAD Gatot Soebroto Jakarta

A. PENDAHULUAN
OAINS (obat anti inflamasi non steroid) adalah obat yang
sehari-hari banyak pemakaiannya. Sebagai obat dengan khasiat
antinflamasi, analgesik, dan anti platelet, obat ini banyak dipakai pada
pengobatan dan pencegahan rhematoid arthritis, osteoarthritis,
penyakit kolagen, penyakit jantung koroner dan serebrovaskular.

Dari dulu OAINS sangat terkenal dengan risiko komplikasi


serius gastroduodenal seperti ulkuspeptikum, perdarahan, dan
bahkan perforasi. Penelitian akhir-akhir ini dengan kemajuan teknik
endoskopi seperti kapsul endoskopi dan enteroskopi, membuat kita
mampu mengevaluasi langsung usus halus dan telah membuka
kenyataan adanya cedera di usus halus dan kolon karena OAINS.

Graham1 melaporkan kejadian cedera usus halus 71 % pada


pengguna kronik OAINS. Gejala enteropati OAIN tidak spesifik dan
patofisiologinya belum dimengerti jelas hingga saat ini. Selain itu,
belum ada pengobatan atau pencegahan yang terbukti efektif untuk
keadaan ini.

B. EPIDEMIOLOGI
Dalam 10 tahun terakhir ada kecenderungan kenaikan
komplikasi saluran cerna akibat OAINS seperti perdarahan dan
perforasi dengan penurunan pada saluran cerna bagian atas dan
kenaikan padasaluran cerna bagian bawah. Rasio berubah dari 4,1

204 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


tahun 1996 menjadi 1,4 tahun 2005. Hal ini disebabkan sulit
mengevaluasi perdarahan saluran cerna bagian bawah sebelum era
kapsul endoskopi dan enteroskopi.

Penelitian akhir-akhir ini mendapatkan bahwa komplikasi yang


terjadi pada saluran cerna bagian bawah sama sering dan beratnya
dibandingkan saluran cerna bagian atas. Allison dkk.2 melaporkan
prevalensi ulkus usus halus pada post mortem antara pengguna dan
non pengguna OAINS. Ulserasi usus halus ditemukan pada 8,4%
pengguna OAINS dan 0,6% pada bukan pengguna.

Dalam sebuah penelitian pengamatan hasil enteroskopi


kapsul, Maiden dkk.3 menemukan bahwa cedera usus kecil terjadi
pada 68% sukarelawan sehat yang menggunakan diklofenak plus
omeprazole selama 2 minggu. Dalam penelitian lain dengan 28 pasien
rheumatoid arthritis, kerusakan usus kecil terdeteksi pada 13 dari 16
pasien (81,3%) yang menggunakanOAINS dan pada 4 dari 12 pasien
(33,3%) yang tidak.

Dalam studi yang menggunakan DBE, enteropati OAINS terjadi


pada 51% pasien yang menggunakan OAINS. Endo dkk.4 melaporkan
cedera usus kecil lebih sering terjadi pada sukarelawan sehat yang
diberikan aspirin salut enterik dosis rendah selama 14 hari,
dibandingkan pada kelompok yang tidak diberikan obat apa pun (80%
berbanding 20%, P = 0,023).

C. PATOGENESIS
Bjarnason dkk.5 menyarankan hipotesis 3-hit. Pertama,
fosfolipid dalam membrane sel pada permukaan mukosa langsung
rusak oleh OAINS, selanjutnya terjadi cedera mitokondri adalam sel.
Kedua, kerusakan mitokondria menginduksi penurunan sintesis
energi, menyebabkan habisnya kalsium dan terbentuknya radikal
bebas. Kemudian, terjadi gangguan persimpangan interselular dan
peningkatan permeabilitas mukosa. Ketiga, kandungan intraluminal,
seperti asam empedu, enzim proteolitik, bakteri usus, dan racun,

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 205


dapat menyerang sel melalui penghalang mukosa yang melemah, dan
terjadilahperadangan. Suatu hasil penelitian menunjukkan infeksi usus
kecil pada pemberian OAINS tidak selektif dan COX – 2 inhibitor selektif
tidak signifikan berbeda pada pasien dalam waktu jangka panjang
(62% pada OAINS konvensional dan 50% dengan COX-2 inhibitor
selektif, pvalue tidak signifikan).

Sirkulasi enterohepatic OAINS juga memiliki peran penting


dalam pathogenesis enteropati OAINS yang diinduksi oleh
pengulangan sirkulasi enterohepatik. Aspirin yang dilapisi
(enterocoated) larut terutama di usus kecil dan memasuki sirkulasi
enterohepatik. Suatu penelitian menunjukkan ulkus usus halus lebih
sering terjadi pada pasien yang memakai enterocoated aspirin (56,3%)
dibandingkan aspirin yang tidak dilapisi (16,7%).

Bakteri usus penting dalam pathogenesis enteropati yang


diinduksi OAINS. Ketika usus didominasi oleh bakteri gram negative
usus halus rentan terhadap cedera yang disebabkan oleh OAINS.
Beberapa antibiotika yang bekerja melawan bakteri gram negative
efektif dalam mengurangi enteropati yang diinduksi OAINS. OAINS
dapat diangkut melintasi epitel dan memasuki sirkulasi enterohepatik,
sedangkan penekanan asamkronis oleh proton pump inhibitor (PPIs)
menginduksi pertumbuhan berlebih bakteri dan memperburuk
enteropati yang diinduksi OAINS melalui dysbiosis. Sama halnya,
probiotik dapat mengurangi keparahanen teropati yang diinduksi
OAINS.

D. TANDA DAN GEJALA KLINIS


Tanda dan gejalaen teropati yang diinduksi OAINS biasanya
tidak spesifik. Beberapa manifestasi antara lain anemia defisiensi besi,
kehilangan protein, gangguan pencernaan, sembelit, diare, dan sakit
perut. Enteropati yang diinduksi OAINS berhubungan dengan
perdarahan saluran cerna yang tersembunyi.

206 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Kameda dan kawan-kawan6 melaporkan bahwa enteropati
yang diinduksi OAINS adalah etiologi yang paling umum dari
perdarahan GI yang tidakjelas. Kehilangan protein pada enteropati
adalah manifestasi klinis lain dari enteropati yang diinduksi OAINS,
yang dapat menyebabkan hipoalbuminemia. Albumin serum rendah
terdeteksi pada 10% pasien rheumatoid arthritis yang memakai OAINS.
Dalam studi menggunakan kromium, kehilangan protein diamati
terutama pada tingkat ileum distal pada pengguna OAINS jangka
panjang.

Dalam penelitian lain, enteropati yang diinduksi OAINS


dilaporkan berhubungan dengan divertikulitis dan perdarahan
divertikular, vitamin B12, defisiensi, dan gangguan penyerapan asam
empedu.

E. DIAGNOSIS
Alasan utama terabaikannya diagnosis klinis enteropati yang
diinduksi OAINS adalah sulitnya membuat diagnosis. Satu penelitian
menggunakan permeabilitas Cr-EDTA menunjukkan bahwa usus kecil
lebih banyak kerusakan pada peningkatan dosis OAINS (19% dengan
750mg naproxen berbanding 68% dengan 1000mg naproxen).

Sejumlah50-70% pasien pengguna OAINS jangka panjang


menunjukkan angka peningkatan keradangan pada pemeriksaan
skintigrafi, tetapi tes ini sulit digunakan dalam praktek klinis karena
biaya yang tinggi. Satu studi menunjukkan bahwa kadar calprotectin
berkorelasi dengan ekskresi tinja lekosit yang diberi label. Namun,
calprotectin memiliki spesifisitas rendah karena dapat meningkat pada
IBD, ususbesar, kanker, dan kondisi peradangan lainnya.

Maiden dkk.7 membagi cedera OAINS yang ditemukan oleh CE


(capsule endoscopy) menjadi 5 kategori: petechiae (area yang dibatasi
mukosa merah), lipatan memerah, area gundul (kehilangan vili),
kerusakan mukosa (erosi mukosa atau borok), dan adanya darah tanpa
lesi yang tervisualisasi. Dalam laporan ini, kerusakan mukosa

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 207


terdeteksi pada sekitar 40% sukarelawan sehat setelah mengonsumsi
150mg/hari diklofenak selama 2 minggu.

Dalam penelitian DBE (double balloon Endoscopy), beberapa


pasien mengalami cedera usus halus pada 28% pasien yang
menggunakan OAINS. Graham8 melaporkan bahwa lesi mukosa,
termasuk bintik-bintik merah, erosi kecil, erosi besar, dan bisul,
berkembang pada 13 dari 21 pasien (62%) yang merupakan pengguna
OAINS kronis. Hayashi dkk.9 mendefinisikan kriteria enteropati yang
diinduksi OAINS sebagai (1) riwayat penggunaan OAINS, (2) temuan
endoskopi, seperti erosi, borok, dan penyempitan seperti diafragma,
(3) peningkatan manifestasi klinis dan/atau temuan endoskopi setelah
menghentikan OAINS, dan (4) pengecualia netiologilain, seperti IBD,
infeksi, dan keganasan.

F. PENCEGAHAN DAN PERAWATAN


Metode yang paling efektif untuk mencegah enteropati yang
diinduksi OAINS adalah dengan menghentikan OAINS. Meski
penarikan sementara OAINS dimungkinkan, akan ada kontraindikasi
secara medis untuk menghentikan OAINS terus menerus pada pasien
dengan nyeri kronis atau terapi anti-platelet. Oleh karena itu, obat
profilaksis sangat penting pada pengguna OAINS kronis, terutama jika
diduga ada pendarahan usus kecil. Sampai saat ini, meskipun banyak
upaya telah dicoba, tidak ada metode atau obat untuk mencegah atau
menyembuhkan enteropati yang diinduksi OAINS. Obat-obatan,
seperti antagonis H2, sukralfat, atau PPI, yang dikembangkan untuk
meminimalkan cedera GI bagian atas yang disebabkan oleh OAINS,
tidak mencegah cedera usus halus.

Inhibitor COX-2 selektif menghasilkan lebih sedikit ulserasi dan


perdarahan gastroduodenal, dibandingkan dengan OAINS non-
selektif. Oleh karena itu, penghambat COX-2 dianggap kurang
toksigenik terhadap usus kecil. Goldstein dkk.10 menunjukkan bahwa
cedera usus kecil lebih rendah pada pasien yang menggunakan

208 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


celecoxib selama 2 minggu, dibandingkan dengan naproxen yang
dikombinasikan dengan omeprazole. Inhibitor COX-2 menghasilkan
lebih sedikit ulserasi dan perdarahan gastroduodenal, dibandingkan
dengan OAINS non-selektif.

Watanabe11 melaporkan bahwa misoprostol, tetapi bukan


terapi PPI, efektif dalam memperbaiki cedera mukosa dalam
penelitian menggunakan CE pada pasien tukak lambung yang
mengonsumsi aspirin dosis rendah. Sebaliknya, tidak ada pengurangan
permeabilitas usus pada penelitian menggunakan 51Cr-EDTA pada
pasien yang menggunakan indometasin, bahkan ketika misoprostol
dosis rendah diberikan.

Penelitian denganCE oleh Niwa dkk.12 menunjukkan efektivitas


rebamipide dalam mengobati enteropati yang diinduksi OAINS pada
orang sehat. Cedera usus kecil lebih jarang pada pasien yang
menerima diklofenak selama 7 hari, bersama dengan rebamipide,
dibandingkan pada mereka yang menerima plasebo (20% dengan
rebamipide vs 80% dengan plasebo). Namun, dalam studi yang lebih
besar, tidak ada perbedaan antara kelompok yang menggunakan
diklofenak, PPI, dan rebamipide selama 14 hari dan kelompok yang
menggunakan diklofenak, PPI, dan plasebo.

Metronidazola dalah antibiotik yang efektif melawan banyak


bakteri anaerobenterik. Bjarnason et al. melaporkan bahwa
metronidazole yang diberikan bersama (dengan OAINS) efektif dalam
mengurangi enteropati yang diinduksi OAINS. Dalam sebuah studi
klinis menggunakan CE, cedera usus kecil ditemukan lebih umum pada
pasien yang diobati dengan naproxen dan omeprazole (55%) daripada
yang diobati dengan obat lain (16% dengan celecoxib saja, 7% pada
kontrol).

Fosfolipid telah diusulkan untuk mengurangi efek OAINS.


Dalam studi tersebut, fosfolipid merupakan komponen penghalang
epitel untuk difusi asam kembali dan memiliki peran penting dalam
mencegah OAINS mengganggu penghalang. Dalam uji klinis,

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 209


Phospatidilcholine-ibuprofen mengurangi cedera gastroduodenal,
dibandingkan dengan ibuprofen saja. Namun, tidak ada studi klinis
mengenai efektivitas Phospatidilcholine-OAINS pada cedera usus
halus. Sulfasalazin mungkin merupakan modalitas pengobatan dalam
enteropati yang diinduksi OAINS. Pada pasien rheumatoid arthritis
yang menggunakan OAINS, sulfasalazine mengurangi peradangan usus
dan kehilangan darah, sedangkan obat anti rematik pemodifikasi
penyakit tidak.

G. KESIMPULAN
Enteropati yang diinduksi OAINS mungkin sesering dan
separah komplikasi saluran cerna bagian atas. Dalam kebanyakan
kasus, manifestasi klinis tidaks pesifik dan mekanisme pathogen tidak
diketahui dengan baik, tetapi diduga rumit. Modalitas diagnostic baru,
seperti CE dan DBE, memungkinkan diagnosis cedera usus kecil yang
disebabkan oleh OAINS lebih mudah daripada di masa lalu. Namun,
tidak ada obat yang terbukti efektif untuk mengobati enteropati yang
diinduksi OAINS. Oleh karena itu, studi lebih lanjut mengenai
pencegahan dan pengobatan cedera usus yang disebabkan oleh OAINS
sangat dibutuhkan.

Kepustakaan

1. Graham DY, Opeun AR, Willingham FF, Qureshi WA. Visible


small-intestinal mucosal injury in chronic OAINS users. Clin
Gastroenterol Hepatol. 2005;3:55-59.
2. Allison MC, Howston AG, Torrance CJ, Lee FD, Russell RI.
Gastrointestinal Damage Associated with the use of
nonsteroidal anti-inflammatory drugs.N Engl J Med.
1992;327:749-754.
3. Maiden L, Thjodleifsson B, Seigal A, et al. Long-term effects of
nonsteroidal anti-inflammatory drugs and cyclooxygenase-2
selective agents on the small bowel: a cros-sectional capsule

210 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


enteroscopy study. Clin Gastroenterol Hepatol.2007;5:1040-
1045.
4. Endo H, Hosono K, Inamori M, et al. Characteristics of small
bowel injury in symptomatic chronic low-dose aspirin users:
the experience of two medical centers in capsule endoscopy. J
Gastroenterol. 2009;44:544-549.
5. Bjarnason I, Hayllar J, MacPherson AJ, Russell AS, Side effects
of nonsteroidal anti-inflammatory drugs on the small and large
intestine in humans. Gastroenterology. 1993;104:1832-1847.
6. Kameda N, Higuchi K, Shiba M, et al. A prospective, singleblind
trial comparing wireless capsule endoscopy and double
ballonenteroscopy in patients with obscure gastrointestinal
bleeding. J Gastroenterol.2008;43:434-440.
7. Maiden L, Thjodleifsson B, Theodors A, Gonzalez J, Bjarnason
I. A quantitative analysis of OAINS-induced small bowel
pathology by capsule enteroscopy. Gastroenterology.
2005;128:1172–1178.
8. Graham DY, Opekun AR, Willingham FF, Qureshi WA. Visible
small-intestinal mucosal injury in chronic OAINS users. Clin
Gastroenterol Hepatol. 2005;3:55–59.
9. Hayashi Y, Yamamoto H, Kita H, et al. Non-steroidal anti-
inflammatory drug-induced small bowel injuries identified by
double-balloon endoscopy. World J Gastroenterol.
2005;11:4861–4864.
10. Goldstein JL, Eisen GM, Lewis B, et al. Video capsule
endoscopy to prospectively assess small bowel injury with
celecoxib, naproxen plus omeprazole, and placebo. Clin
Gastroenterol Hepatol. 2005;3:133–141.
11. Watanabe T, Sugimori S, Kameda N, et al. Small bowel injury
by low dose enteric-coated aspirin and treatment with
misoprostol: a pilot study. Clin Gastroenterol Hepatol.
2008;6:1279–1282.
12. Niwa Y, Nakamura M, Ohmiya N, et al. Efficacy of rebamipide
for diclofenac induced small-intestinal mucosal injuries in
healthy subjects: a prospective, randomized, double-blinded,
placebo controlled, cross-over study. J Gastroenterol.
2008;43:270–276.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 211


ROAD TO A CURE FOR HIV

Samsuridjal Djauzi, Suzy Maria

Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia

Laporan pertama kasus infeksi HIV di Indonesia dilaporkan oleh Zubairi


Djoerban pada tahun 1986, seorang perempuan di Jakarta. Di Bali Tuti
Parwati melaporkan kasus wisatawan Belanda yang meninggal karena
AIDS. Pada era sebelum ada obat antiretroviral (ARV), kasus AIDS
hanya dapat bertahan sekitar 6 bulan sampai 2 tahun. Karena itulah di
berbagai negara berdiri shelter AIDS untuk menampung orang dengan
HIV/AIDS (Odha). Mereka tinggal di shelter sampai meninggal dunia.
Pada tahun 1997, obat ARV dinyatakan bermanfaat untuk terapi HIV
dan sejak itu angka kematian dan kejadian masuk rumah sakit
menurun tajam. Dewasa ini sebagaian besar Odha yang mendapat
obat ARV dapat mencapai keadaan virus tidak terdeteksi sehingga
obat ARV tidak hanya sebagai terapi, namun juga dianggap berperan
penting dalam mencegah penularan HIV. Mereka yang keadaan virus
HIV-nya tak terdeteksi dapat menikah dan punya anak. Risiko mereka
menularkan kepada pada pasangan dan anak amatlah kecil. Dewasa ini
sebagian besar mereka telah berhasil hidup produktif, namun harus
tetap minum obat ARV. Namun, masyarakat masih berharap agar HIV
dapat disembuhkan sehingga Odha mencapai keadaan virus tak
terdeteksi dan tak perlu lagi minum obat ARV. Salah satu yang
menyulitkan dalam penyembuhan HIV adalah keberadaan HIV dalam
sel reservoir. Di antara sel reservoir adalah makrofag yang terdapat di
berbagai organ tubuh seperti paru, otak, dan saluran genital.
Pemberian obat ARV tidak memengaruhi HIV yang berada dorman
dalam makrofag. Jika pemberian ARV dihentikan, HIV yang dalam
keadaan dorman akan dapat aktif, keluar dari sel makrofag serta
berkembang biak di darah.

212 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Apabila ARV diberikan pada saat infeksi primer, viral load HIV akan
tetap rendah dan terjadi remisi yang lama. Pada tahun 2012, 14 Odha
Perancis mulai minum ARV dalam 10 minggu setelah infeksi HIV.
Setelah menggunakan ARV selama 3 tahun, mereka menghentikan
penggunaan ARV. Penghentian ARV ini tidak meningkatkan kembali
viral load secara nyata selama 7 tahun. Setelah 7 tahun barulah viral
load HIV meningkat sehingga dianggap terjadi rekurens dan terapi ARV
dimulai lagi. Kelompok Odha ini dikenal sebagai VISCONTI cohort.
Bagaimana jika penggunaan ARV dimulai sejak bayi? Pada tahun 2013
seorang bayi di Mississippi mendapat ARV segera setelah lahir. Pada
tahun 2014 seorang bayi yang lahir di California juga mendapat ARV
sejak 4 jam setelah lahir. Kedua bayi ini juga mengalami remisi yang
cukup lama, namun kemudian bayi Missisipi dinyatakan rekurens pada
Juli 2014.

Perkembangan teknologi informasi telah memengaruhi penelitian dan


layanan kedokteran. Proyek Human Genome yang dimulai tahun 1990
melibatkan ribuan peneliti berhasil diselesaikan dalam 13 tahun.
Dengan kemajuan metode sequencing yang dibantu oleh
perkembangan informasi teknologi, proyek Human Genome mungkin
dapat diselesaikan hanya dalam beberapa hari dengan biaya yang jauh
lebih murah. Apakah teknologi kedokteran serta teknologi informasi
akan dapat mempercepat tercapainya a Cure for HIV? Timothy Brown
yang juga dikenal sebagai pasien Berlin didiagnosis menderita
Leukemia dan HIV. Ia menjalani terapi cangkok sumsum tulang dengan
sel punca dari donor yang mengalami mutasi CCR5-delta32 yang
resisten terhadap HIV. Timothy Brown merupakan orang pertama
yang dinyatakan sembuh secara fungsional. Dia telah berhenti minum
obat ARV. Namun, pendekatan terapi ini merupakan tindakan yang
berisiko serta mahal sehingga tak mudah dilaksanakan secara massal.

Tersedia lima jalan menuju penyembuhan HIV. 1) Shock and Kill. Cara
ini mencoba mengosongkan virus di sel reservoir dengan kombinasi
ARV dan obat yang disebut HDAC (histone deacetylase) inhibitor.
Penelitian menunjukkan bahwa HIV dapat didorong keluar dari sel
reservoir. Namun, ada kekhawatiran karena sel makrofag terdapat di

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 213


berbagai organ tubuh termasuk otak, terapi ini akan menimbulkan
efek samping yang berbahaya bagi otak. 2) Block and Lock. Pada
penelitian binatang, dCA berhasil menekan protein Tat HIV sehingga
produksi HIV di sel reservoir dapat di-block dan dikunci (lock) dalam
sel. 3) Gene Editing. Sistem CRISPR-Cas9 dapat mengedit DNA yang
menargetkan koreseptor CCR5 sehingga mencegah masuknya HIV ke
dalam sel CD4. 4) Modulasi Imun. Obat yang digunakan adalah infus
broadly neutralizing antibodies (bNAbs) yang dapat menekan viral
rebound ketika ARV dihentikan. Rebound HIV dapat terjadi sekitar 19
sampai 30 minggu setelah penghentian ARV. 5) Vaksin terapi.
Kemungkinan menggunakan vaksin terapi dengan kombinasi ARV juga
diteliti.

Kemajuan dalam teknologi kedokteran membuka jalan untuk


mencapai penyembuhan HIV. Pertanyaan yang timbul adalah jalan apa
yang terbaik dan kapan kita akan dapat mencapai penyembuhan HIV?
Selain itu, berbagai masalah etik juga akan timbul dalam menerapkan
cara terapi menuju kesembuhan HIV.

Key words : HIV cure, reservoir cell, functional cure

214 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


DIRECT ACTING ANTIVIRUS (DAA) THERAPY IN
PATIENTS WITH HEPATITIS C AND HIV

Juferdy Kurniawan

Divisi Hepatobilier, Departemen Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional Cipto Mangunkusumo

Epidemiologi HCV-HIV

World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa


pada tahun 2015, 71 juta orang hidup dengan infeksi hepatitis C virus
(HCV) kronis di seluruh dunia (prevalensi global: 1%) dan sejumlah
399.000 telah meninggal karena sirosis atau karsinoma hepatoseluler
(HCC).1 Sebanyak 25% pasien HIV di United States menderita ko-infeksi
dengan HCV dan sekitar 75% pasien dengan HIV yang menggunakan
narkoba suntikan terinfeksi HCV. Progesivitas virus hepatitis pada
pasien HIV lebih cepat dan lebih banyak menyebabkan kerusakan hati
dibanding dengan pasien hepatitis C yang tidak memiliki riwayat HIV.
Pasien dengan koinfeksi HCV-HIV lebih dari tiga kali lipat memiliki
resiko gagal hati, dan kematian terkait penyakit hati.2 Untuk itu, perlu
diagnosis dan tatalaksana yang tepat untuk menekan angka
morbiditas dan mortalitas pasien. Diagnosis hepatitis C kronik dapat
ditegakkan apabila anti-HCV dan RNA HCV tetap terdeteksi > 6 bulan
sejak terinfeksi dengan atau tanpa gejala penyakit hati kronik.3

Kemajuan terapi HCV saat ini

Sebelum memulai terapi antivirus, perlu dilakukan beberapa


pengkajian terlebih dahulu, seperti penilaian terhadap kemungkinan
adanya ko-infeksi lain, penilaian terhadap derajat keparahan penyakit,
derajat fibrosis hati, muatan virus dan genotipe virus untuk

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 215


menentukan regimen terapi, durasi, dan memperediksi respon terapi
antivirus, serta penilaian terhadap genetik host.3 Pemberian terapi
antivirus diindikasikan pada seluruh pasien naive dan gagal terapi
dengan penyakit hati kompensata dan dekompensata. Pemberian
terapi antivirus pada pasien dengan sirosis hati kompensata ditujukan
untuk mengurangi risiko komplikasi terjadinya sirosis hati
dekompensata dan risiko terjadinya karsinoma hepatoselular.3

Terapi perlu diprioritaskan pada pasien dengan fibrosis berat


(METAVIR score F3-F4), koinfeksi HIV maupun HBV, kandidat
transplantasi hati, dan rekurensi HCV pasca transplantasi. Terapi HCV
diprioritaskan pula pada pasien dengan sindrom metabolik,
manifestasi ekstrahepatik, bukti kerusakan organ, dan morbiditas
psikososial signifikan. Di samping itu, terlepas dari status fibrosis,
pasien yang memiliki risiko tinggi menularkan virus juga menjadi target
terapi, misalnya pada pengguna narkoba suntik, homoseksual dengan
HIV, narapidana, pekerja seks komersial, wanita yang berpotensi
hamil, serta pekerja pelayanan kesehatan.3

WHO juga menyatakan bahwa pasien dengan ko-infeksi HCV-


HIV termasuk dalam daftar pasien yang diprioritaskan untuk
menerima terapi.1 Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pilihan terapi
standar untuk hepatitis C kronik adalah terapi kombinasi antara
Pegylated Interferon-α (Peg-IFNα) dan ribavirin (RBV). Tetapi terapi ini
memberikan hasil yang kurang memuaskan pada pasien dengan
genotipe 1 karena hanya 40-50% pasien yang berhasil mencapai
sustained virological respons (SVR24) sedangkan pada genotipe 2 dan
3 sekitar 80% dapat mencapai SVR24.3

Selain itu, penggunaan Peg-IFN dan RBV memiliki parameter


yang perlu diperhatikan yaitu jumlah CD4, adanya infeksi oportunistik,
serta ada atau tidaknya riwayat penggunaan obat antiretroviral (ARV)
untuk HIV. Rekomendasi PPHI menyatakan bahwa semua pasien
koinfeksi HCV-HIV adalah kandidat untuk mendapat pengobatan
Hepatitis C strategi dual therapy Peg IGN dan Ribavirin , dengan syarat
CD4> 350 sel/mm3. Regimen ini dapat digunakan pada pasien koinfeksi

216 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


HCV-HIV seperti pada pasien tanpa infeksi HIV dengan lama
pengobatan selama 1 tahun untuk semua genotipe.3 Berbeda dengan
APASL, pasien ko-infeksi HCV-HIV dengan jumlah CD4<100/µL
sebaiknya menerima highly active anti-retroviral therapy (HAART) dan
terapi HCV sebaiknya ditunda sampai fungsi imun membaik yaitu
CD4>200/µL.4

Saat ini, sudah banyak kemajuan dibidang terapi pada


Hepatitis C, terutama dengan ditemukannya agen direct acting
antivirus (DAA). Seiring dengan perkembangan DAA, muncul kelompok
DAA generasi baru, yaitu simeprevir, sofosbuvir, ledipasvir,
daclatasvir, elbasvir, dan grazoprevir. Keuntungan dari obat-obat ini
yaitu memiliki angka SVR12 yang lebih tinggi dibandingkan dengan
terapi berbasis interferon, waktu pengobatan yang lebih singkat,
tersedia dalam sediaan oral dan memiliki efek samping yang lebih
sedikit.3 Selain itu WHO dan penelitian yang dilakukan oleh Wyles
menyatakan bahwa SVR pada pasien dengan terapi DAA pada pasien
ko-infeksi HCV-HIV mencapai >95%, bahkan pada pasien yang
sebelumnya gagal menjalani terapi dan pada pasien sirosis.1,7 Selain
itu,efek samping serius hanya ditemukan sebanyak 2%.7

Penelitian lain juga mengungkapkan hal serupa yaitu SVR12


tercapai pada pasien yang menerima regimen PI, NNRTI, dan ISNTI
berturut-turut 97,1%, 100%, dan 94,9%. Dan SVR12 tercapai 100%
pada pasien dengan HCV genotipe 1b dan non GT-1.8 Untuk durasi
pemberian terapi pada pasien dengan ko-infeksi HCV-HIV, WHO, EASL,
dan AASLD, merekomendasikan penggunaan sofosbuvir dan
daclatasvir selama 12 minggu.1,5,6 Selain itu, terapi berbasis DAA sesuai
genotipe, tidak perlu mempertimbangkan jumlah CD4. Tetapi harus
berhati-hati terhadap interaksi obat ARV dengan terapi HCV.3

DAA yang tersedia di Indonesia saat ini adalah sofosbuvir,


ledipasvir/ sofosbuvir, simeprevir, dan daclatasvir,
sementaraelbasvir/grazoprevir dan velpatasvir/sofosbuvir
direncanakan untuk masuk ke Indonesia di masa yang akan datang.3
Berdasarkan rekomedasi EASL, terapi dengan DAA sebaiknya

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 217


digunakan pada pasien ko-infeksi HCV-HIV sama seperti terapi pada
pasien tanpa HIV, tetapi penyesuaian dosis sebaiknya diperhatikan,
mengingat adanya interaksi dengan obat antiretroviral. (Child-Pugh
A).5

Interaksi Sofosbuvir Daclatasvir dengan obat lain

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat memberikan ARV


dan DAA yaitu regimen pangenotypic dan efavirenz dapat
dikontraindikasikan pada kasus sofosbuvir / velpatasvir dan
glecaprevir / pibrentasvir) atau memerlukan penyesuaian dosis (dalam
kasus sofosbuvir / daclatasvir).1 Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu
apabila daclatasvir digunakan bersama efavirenz, dosis daclatasvir
perlu dinaikkan menjadi 90 mg.9

Selain interaksi antar obat RAV dan DAA, Beberapa interkasi


obat penting yang perlu diketahui adalah penggunaanya bersama
dengan Rifampicin.3,5,6 DAA berinteraksi dengan obat anti TB,
terutama rifampisin, sehingga OAT harus diselesaikan terlebih dahulu
sebelum memulai terapi HCV, dan juga perlu monitoring fungsi hati
ketat terkait hepatotoksisitas penggunaan OAT.1,3

Selain interaksinya dengan obat TB, hal penting yag perlu


diperhatikan yaitu interaksi dengan pasien yang menderita penyakit
ginjal kronik. Pilihan DAA pada pasien dengan penyakit ginjal kronik
yaitu CrCl ≤ 30 ml/min infeksi GT-1a, 1b, atau 4 diterapi dengan
elbasvir/ grazoprevir selama 12 minggu atau
Paritaprevir/ombitasvir/dasabuvir 12 minggu. (+ribavirin 200 mg
untuk GT-1a apabila Hb > 10 g/dL).5,6 Regimen berbasis sofosbuvir
tidak direkomendasikan pada pasien dengan CrCl ≤ 30 ml/min. Apabila
terpaksa digunakan, harus dilakukan pemantauan ketat fungsi ginjal.
Stop terapi apabila perburukan.5

Kesimpulan

Pasien dengan koinfeksi HCV-HIV lebih dari tiga kali lipat


memiliki resiko gagal hati, dan kematian terkait penyakit hati sehingga

218 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


pasien dengan koinfeksi HCV-HIV diprioritaskan untuk menerima
terapi. Penggunaan DAA dapat mencapai SVR12 yang lebih tinggi
dibandingkan dengan terapi berbasis interferon, waktu pengobatan
yang lebih singkat, dan memiliki efek samping yang lebih sedikit.
Terapi DAA pada pasien HIV sebaiknya memperhatikan penyesuaian
dosis, mengingat adanya interaksi dengan obat ARV. Regimen
pangenotypic dan efavirenz dapat dikontraindikasikan pada kasus
sofosbuvir / velpatasvir dan glecaprevir / pibrentasvir) atau
memerlukan penyesuaian dosis (dalam kasus sofosbuvir / daclatasvir).
Apabila daclatasvir digunakan bersama efavirenz, dosis daclatasvir
perlu dinaikkan menjadi 90 mg.

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. Guideline for the care and


treatment of persons diagnosed with chronic hepatitis c virus
infection. Geneva: 2018.
2. Centers for disease control and Prevention. Epidemiology and
Prevention of HIV and Viral Hepatitis. USA: Division of Viral
Hepatitis, National Center for HIV/AIDS, Viral Hepatitis, TSD.
And TB Prevention; 2017. Available from: https://www.
cdc.gov/hiv/pdf/library/factsheets/hiv-viral-hepatitis.pdf
3. Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia. Konsensus Nasional
Penatalaksanaan Hepatitis C di Indonesia. In: Sulaiman, AS,
editor. Jakarta: Perhimpunan Peneliti Hati Inonesia; 2017.
4. Omata M, Kanda T, Wei L, et al. APASL consensus statements
and recommendation on treatment of hepatitis C. Hepatol Int.
2016;10(5):702-26.
5. European Association dor the Study of the Liver. EASL
Recommendations on Treatment of Hepatitis C. Journal of
Hepatology. 2018; 69: 461-511.
6. AASLD/IDSA. Hepatitis C Guidance: AASLD-IDSA
Recommendations for Testing, Managing, and Treating Adults

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 219


Infected With Hepatitis C Virus. Hepatology. 2015; 62(3):932-
54.
7. Wyles DL, Ruane PJ, Sulkowski MS, Dieterich D, Leutkemeyer
A, Morgan TR, et al. Daclatasvir plus sofosbuvir for HCV in
patients coinfected with HIV-1. N Engl J Med. 2015;373:714-
25.
8. Luetkemeyer AF, McDonald C, et al. 12 weeks of Daclatasvir in
Combination With Sofosbuvir for HIV-HCV Coinfection (ALLY-
2Study): Efficacy and Safety by HIV combination Antiretroviral
Regimens. Clinical Infectious Diseases. 2016;62(12):1489–96
9. Bifano M, et al. Assessment of Pharmacokinetic interactions of
the HCV NS5A replication Complex Inhibitor Daclatasvir with
Antiretroviral Agents: ritonavir-boosted atazanavir, efavirenz,
and tenofovir. Antiviral Therapy 2013; 18: 931-40.

220 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


INFEKSI OPORTUNISTIK TOXOPLASMOSIS PADA
HIV/AIDS

Adityo Susilo

Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam

FKUI/RSCM/RSUI, Jakarta

Pendahuluan

Infeksi oportunistik merupakan manifestasi klinis utama yang


menandakan terdapatnya kemungkinan AIDS (Acquired
Immunodeficiency Syndrome). Di antara berbagai infeksi oportunistik
1

yang ada, toksoplasmosis dan berbagai infeksi jamur termasuk ke


dalam kelompok infeksi oportunistik yang sering ditemui.1,2

Perjalanan Infeksi HIV – AIDS

Infeksi oleh virus HIV (Human immudeficiency virus)-1 menyumbang


lebih dari 95% kasus HIV/AIDS global. Virus HIV-1 termasuk ke dalam
kelompok family Retroviridae dengan genus Lentivirus. Virus ini
memiliki kemampuan untuk bertranskripsi dan berintergrasi dengan
DNA pejamu dalam bentuk provirus. Adapun target utama dari virus
HIV-1 adalah pada CD4 positif limfosit T, monosit dan makrofag.3

Infeksi HIV memiliki tiga fase utama yang harus dilewati; fase
akut infeksi primer akut, fase laten asimtomatik, dan fase kronik
simtomatik. Lama waktu yang dibutuhkan dapat bervariasi, mulai dari
6 bulan setelah serokonversi hingga lebih dari 30 tahun hingga

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 221


akhirnya jatuh ke dalam kondisi AIDS.3 Kondisi AIDS ditandai dengan
kadar CD4 yang turun hingga kurang dari 200/ul.1-3

Setelah daya tahan tubuh seseorang terganggu, maka


berbagai macam infeksi dapat menyerang. Kelompok infeksi ini dikenal
sebagai infeksi oportunistik. Penyakit Pneumocystis pneumocystosis
(PCP) merupakan infeksi oportunistik pertama yang pada akhirnya
membuat dunia mengetahui adanya penyakit AIDS.4

Infeksi Oportunistik: Toksoplasmosis

Hingga saat ini infeksi oportunistik tetap menjadi permasalahan


penting pada penanganan HIV/AIDS, dengan morbiditas dan
mortalitas yang tinggi.1,5 Toksoplasmosis merupakan infeksi yang
disebabkan oleh parasitToxoplasma gondii. Hingga saat ini toxoplasma
ensefalitis tetap menjadi permasalahan infeksi oportunistik di jaringan
saraf yang paling sering dilaporkan.3,6

Toxoplasma gondii adalahsuatu protozoa intraseluler,yang


diperkirakan telah menginfeksi separuh penduduk dunia, dan
mayoritas populasi yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala
khusus/asimtomatik.6 Bukti adanya riwayat paparan terhadap parasit
toksoplasma dapat dinilai melalui evaluasi antibodi IgG terhadap
toksoplasma. Sehingga anjuran untuk melakukan skrining terhadap
IgG anti-toksoplasma, sangat direkomendasikan pada semua pasien
yang telah diketahui terinfeksi HIV/AIDS dalam rangkaian
tatalaksananya.5

Evaluasi serologis tersebut menjadi sangat penting oleh


karena penyakit toksoplasmosis, terutama toksoplasma ensefalitis,
terjadi oleh karena proses reaktivasi dari kista bradizoit di jaringan
yang dimungkinkan oleh karena daya tahan tubuh pejamu yang
menurun.3

222 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Infeksi primer toksoplasmosis, terjadi oleh karena tertelannya
ookista, yang di dalam tubuh pejamu akan berubah menjadi bentuk
takizoit aktif yang terus bereplikasi. Setelah melalui mekanisme
imunitas yang kompleks, bentuk takizoit aktif akan berubah menjadi
bentuk bradizoit yang bersifat laten dan dapat menetap di berbagai
jaringan lunak dalam tubuh pejamu seperti otot dan otak hingga
bertahun-tahun lamanya. Pada kondisi imunodefisien, dengan
berkurangnya jumlah sel limfosit T CD4-positif, mengakibatkan sistem
imunitas tubuh tidak mampu mempertahankan kondisi infeksi laten,
sehingga kista bradizoit berubah menjadi bentuk takizoit aktif, yang
ahirnya menimbulkan masalah kesehatan bagipejamu.3,6,7

Sehingga dapat dimengerti bahwa, evaluasi diagnostik dan


upaya pencegahan terhadap reaktivasi toksoplasma menjadi sangat
penting dalam rangkaian tatalaksana HIV/AIDS.

Mainfestasi klinis Toksoplasmosis pada HIV/AIDS

Gejala klinis dari toksoplasmosis sangat bergantung kepada


organ atau jaringan yang mengalami reaktivasi. Namun pada
HIV/AIDS, toksoplasma ensefalitis (toksoplamosis serebral)
merupakan manifestasi klinis tersering yang ada. Dan umumnya risiko
ini akan meningkat pada hitung CD4 <100 sel/mm3.6,8Manifestasi klinis
toksoplasmosis ekstraserebral berkisar antara 1,5-2%, jauh lebih kecil
dibandingkan toksoplasma ensefalitis. Manifestasi toksoplasmosis
okuler merupakan yang terbanyak di antara seluruh kasus
toksoplasmosis ekstraserebral dan seringkali digunakan sebagai
penanda terhadap kemungkinan toksoplasmosis intrakranial dan
toksoplasmosis diseminata.6

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 223


Gambar 1. Gambaran MRI otak dengan ring enhanced lesion pada
AIDS7

Tatalaksana Toksoplasmosis pada HIV/AIDS

Deteksi dini terhadap kemungkinan telah masuknya parasit


toksoplasma ke dalam tubuh pasien menjadi kunci penting dalam
tatalaksana komprehensif HIV/AIDS. Skrining menggunakan serologi,
dengan IgG anti toksoplasma, menjadi pilihan yang utama. Pada
kelompok pasien yang bergejala, pendekatan diagnostik lebih lanjut
menggunakan metode pencitraan seperti MRI atau CT-scan otak
hingga analisa cairan serebrospinal menjadi suatu keharusan.

Terapi profilaksis menggunakan trimethoprim-


sulfamatoksazol (TMP-SMX) menjadi pilihan yang efektif untuk
mencegah reaktivasi toksoplasma, pada kelompok pasien dengan
hitung CD4 < 100 sel/mm3. Dosis yang dianjurkan adalah TMP-SMX 960
mg (double strength/forte) setiap hari, dengan alternatif dosis TMP-
SMX 960 mg 3 kali/minggu. Terapi profilaksis lain yang dapat diberikan
adalah dapsone-pyrimethamine (+) leucovorin, atau atovaquone
dengan/tanpa pyrimethamine(+)leucovorin, dengan tingkat
rekomendasi yang lebih rendah. Pemberian profilaksis dapat

224 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


dihentikan apabila hitung CD4 > 200 sel/mm3, selama 3 bulan atau
lebih.1

Untuk pilihan terapi pengobatan, terapi pyrimetahmine (+)


sulfadiazine (+) leucovorin dengan laternatif pyrimethamine (+)
clindamycin (+) leucovorin merupakan rejimen terapi yang dianjurkan.
Pilihan terapi menggunakan pyrimethamine-based sangat dianjurkan
mempertimbangkan pyrimethamine memiliki kemampuan penetrasi
otak yang sangat baik meskipun tidak ada proses inflamasi yang
signifikan di otak. Pada suatu studi RCT, pemberian TMP-SMX tunggal
dengan dosis 5/25 mg setiap 12 jam, dapat menjadi alternatif.1

Oleh karena kadar CD4 memberikan manfaat yang besar


dalam tatalaksana tokspolasmsis, maka terapi antiretroviral (ARV)
harus segera diberikan. Tidak ada anjuran waktu tertentu untuk
menginisiasi terapi ARV pada toksoplasmosis, namun kebanyakan
klinisi cenderung akan memulai terapi ARV dalam 2 sampai 3 minggu
setelah terapi toksoplasma dimulai.1,9

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 225


Daftar Pustaka

1. AIDSinfo. Guidelines for prevention and treatment of


opportunistic infections in HIV-infected adults and
adolescents. 2018. Available at http://aidsinfo.nih.gov/
contentfiles/lvguidelines/adult_oi. pdf.
2. Aberg JA, Kaplan JE, Libman H, Emmanuel P, Anderson JR,
Stone VE, et al. Primary Care Guidelines for the
Management
of Persons Infected with Human
Immunodeficiency Virus: 2009 Update by the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society
of America. CID
2009;49:651–81.
3. Tan IL, Smith BR, von Geldern G, Mateen FJ, McArthur JC. HIV-
associated opportunistic infections of the CNS. Lancet Neurol
2012;11:605-17.
4. Bienvenu AL, Traore K, Plekhnova I, Bouchrik M, Bossard C,
Picot S. Pneumocystis pneumonia suspected cases in 604 non-
HIV and HIV patients. IIJD 2016;46:11-7.
5. Aberg JA, Gallant JE, Ghanem KG, Emmanuel P, ZIngman BS,
Horberg MA. Primary Care Guidelines for the Management of
Persons Infected With HIV: 2013 Update by the HIV Medicine
Association of the Infectious Diseases Society of America. CID
2013. DOI: 10.1093/cid/cit665.
6. Nissapatorn V. Toxoplasmosis ini HIV/AIDS: a living legacy.
Southeast Asian J Trop Med Pub Health. 2009;40(6):1158-78.
7. Lee SB, Lee TG. Toxoplasmic encephalitis in patient
with
Acquired Immunodeciency Syndrome. Brain Tumor Res Treat
2017;5(1):34-36.
8. Nissapatorn V, Lee C, Quek KF, Leong CL, Mahmud R, Abdullah
KA. Toxoplasmosis in HIV/AIDS patients: a current situation.
Jpn J Infect Dis 2004; 57: 160-5
9. Zolopa A, Andersen J, Powderly W, et al. Early antiretroviral

226 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


therapy reduces AIDS progression/death in individuals with
acute opportunistic infections: a multicenter randomized
strategy trial. PLoS One. 2009;4(5):e5575. Available at http://
www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19440326. 


Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 227


WHAT HAVE WE LEARNED FROM DIABETES CVOT:
IMPLICATION TO DAILY PRACTICE

Tri Juli Edi Tarigan

Department of Internal Medicine, Division of Endocrinology and


Metabolism, Dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital,
Faculty of Medicine Universitas Indonesia, Jakarta-Indonesia

Introduction

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) will be a pandemic non-


communicable disease in the worldwide. Individual with T2DM have
greater CV risk than those without diabetes.2 Conventionally, a
successful achievement in treatment of T2DM are defined by attaining
glycemic control and prevention of chronic microvascular
complication in next future. As current studies show that the selection
of glucose-lowering agents will be individualized based on patients’ CV
risk, not only to reduce blood glucose level.3 The U.S. Food and Drug
Administration (FDA) guidance 2008 for diabetes drug development,
greatly increase the collection data on CV outcomes of treatment.1
After 10 nine years issued, 9 long term prospective CVOT have been
completed, 13 are under way, 4 terminated. Mostly big or mega trials

228 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


need much money and big works to do. It is worth it for our patients
all of resourses that have been spent?

Cardiovascular Outcome Trials

The U.S. FDA focused spesifically on CV safety, recognition of the


excess burden of CV disease in T2DM. Reflection from diabetes drugs
that have been launched before, some of them suspected have
potential increased CV risk, notably the TZD rosiglitazone and
muraglitazar.12,13 That’s why regulatories call for cardiovascular
outcome trial for new diabetes drugs.

Many studies evaluating effect of T2DM drugs on vascular


complications, such as UK prospective diabetes study (UKPDS),
promoted that tight glycemic control reduced diabetes-related CV
events.4-6 The Action to Control Cardiovascular Risk in Diabetes
(ACCORD) study showed that tight controlled glucose level was
correlated with increasing number of cardiovascular mortality and all-
cause mortality.7,8 However, Veterans Affairs Diabetes Trial (VADT)
and Action in Diabetes and Vascular Disease (ADVANCE) found no
evidence that tight glycemic control reduced major cardiovascular
events.9-11 Table 1 displays major conventional trials evaluating the
effects of intensive glycemic control of T2DM.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 229


Table 1. Major conventional diabetes trials evaluating the effects of
intensive glycemic control of T2DM

Study CV Myocar CV All-cause


composit d infarct mortalit mortality
e y
UKPDS
-
Main ─ ─ ↔ ─ ─ ↔ ↓
randomization ↓
(SU or insulin
vs.
conventional
therapy)4,5
- Additional ─ ─ ↓* ─ ─ ↓*
randomization ↓* ↓*
of overweight
patients
(metformin vs.
SU vs.
conventional
therapy)6
ACCORD7,8 ↔ ↔ ↓ ↑ ↑ ↔
↔ ↑
ADVANCE9 ↔† ↔ ↔ ↔
VADT10,11 ↔ ↓ ↔ ↔ ↔ ↔
↔ ↔
Left columns show initial results; right columns show long-term follow-
up. ↔, Neutral effect; ↓, decrease; ↑, increased, not
assessed/reported; ADVANCE, Action in Diabetes and Vascular
Disease: Preterax and Diamicron MR Controlled Evaluation; SU,
sulfonylurea. Adapted from Bergenstal et al. *Metformin group only.
†A decrease was reported in a combined CV/microvascular composite
but was found to be mostly attributable to nephropathy.

230 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Studies completed after 2008 FDA guidance, provide strong evidence
for CV benefit for several drugs and reassurance about the lack of CV
risks for other. In addition they have yielded futher information on non
CV benefit such as reduction on renal diasease and potential harms
such as heart failure and lower limb amputation. Liraglutide Effect and
Action in Diabetes: Evaluation of Cardiovascular Outcome Results
(LEADER) trial reported treatment with liraglutide was associated with
a small but statistically significant increase in heart rate (3.0 bpm), with
reductions with reductions in mean updated A1C (0.4%), systolic blood
pressure (1.2 mmHg), and weight (2.3 kg) and a slight increase in
diastolic blood pressure (0.6 mmHg).14 Similar results were found in
SUSTAIN-6 (Trial to Evaluate Cardiovascular and Other Long-term
Outcomes with Semaglutide in Subjects with Type 2 Diabetes).15

The EMPA-REG OUTCOME (BI 10773 [Empagliflozin] Cardiovascular


Outcome Event Trial in Type 2 Diabetes Mellitus Patients) trial of the
SGLT2 inhibitor empagliflozin showed a small but statistically
significant 0.36% A1C reduction at study end, similar reductions in
systolic (4–5 mmHg) and diastolic (2 mmHg) blood pressure and weight
(̴ 2 kg), and minimal increases in LDL and HDL cholesterol, with no
changes observed in heart rate.16 As compared with placebo,
empagliflozin resulted in a significant lower risk of death from CV
cause (HR 0.62; CI 0.49-0.77; p<0.001), death from any cause (HR 0.68;
CI 0.57-0.82; p<0.001), and hospitalization for heart failure (HR 0.65;
CI 0.50-0.85; p < 0.002). Notably, reduction in in the risk of death from
CV cause and from any cause occurred early in the trial and this

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 231


benefits continued throughout the study. The relative reduction 32%
in the ris of death from any cause in the pooled empa group means
that 39 patients would need to be treated during a 3-year period to
prevent one death, but these numbers cannot be extrapolated to
patient population with other clinical characteristics.

In the CANVAS (Canagliflozin Cardiovascular Assessment Study)


Program, there were statistically significant reductions in mean A1C
updated over time (0.58%), systolic (3.93 mmHg) and diastolic (1.39
mmHg) blood pressure, and weight (1.6 kg) and increases in LDL and
HDL cholesterol (4.68 and 2.05 mg/dL, respectively) with canagliflozin
treatment.17

In the DECLARE Trial, patients with type 2 diabetes who had or were
at risk for atherosclerotic cardiovascular disease, treatment with
dapagliflozin did not result in a higher or lower rate of MACE than
placebo but did result in a lower rate of cardiovascular death or
hospitalization for heart failure, a finding that reflects a lower rate of
hospitalization for heart failure.

After more a decade of experience with CVOT designed on basis of


2008 guidance, it is time to reevaluate how best the Guidance to
patient advantages. Greater efficacy and relevance to clinical practice
might be obtained by some new classes of diabetes medications.
Many countries and societies guidelines have changed after CVOT
result, mostly recommended to put CV consideration as ultimate goal
of diabetes treatment. Another points are considering heart failure

232 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


and CKD as the target of primary prevention by using SGLT-2 inhibitor
classes in diabetes management.

SUMMARY

The paradigm in managing diabetes is shifting from attaining glycemic


control to the selection of glucose-lowering agents will be
individualized based on patients’ CV risk, availability of heart failure,
and occurance of chronic kidney disease.

REFERENCES

1. U.S. Department of Health and Human Services Food and Drug


Administration Center for Drug Evaluation and Research (CDER).
Guidance for Industry Diabetes Mellitus — Evaluating
Cardiovascular Risk in New Antidiabetic Therapies to Treat Type 2
Diabetes. Clinical/Medical. 2008;1-5.
2. Rawshani A, Rawshani A, Franz´en S, et al. Mortality and
cardiovascular disease in type 1 and type 2 diabetes. N Engl J Med
2017;376:1407–18.
3. Ismail-Beigi, Moghissi, Kosiborod, Inzucchi. Shifting paradigms in
the medical management of type 2 diabetes: reflections on recent
cardiovascular outcome trials. J Gen Intern Med. 2017;32 (9):
1044-51

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 233


4. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Intensive blood-
glucose control with sulphonylureas or insulin compared with
conventional treatment and risk of complications in patients with
type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet
1998;352:837–53.

5. Holman RR, Paul SK, Bethel MA, Matthews DR, Neil HAW. 10-year
follow-up of intensive glucose control in type 2 diabetes. N Engl J
Med 2008; 359:1577–89.
6. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group. Effect of intensive
blood-glucose control with metformin on complications in
overweight patients with type 2 diabetes (UKPDS 34). Lancet
1998;352:854–65.
7. Gerstein HC, Miller ME, Byington RP, et al. Action to Control
Cardiovascular Risk in Diabetes Study Group. Effects of intensive
glucose lowering in type 2 diabetes. N Engl J Med 2008;358:2545–
59.
8. ACCORD Study Group. Nine-year effects of 3.7 years of intensive
glycemic control on cardiovascular outcomes. Diabetes Care
2016;39:701–8.
9. Patel A, MacMahon S, Chalmers J, et al. ADVANCE Collaborative
Group. Intensive blood glucose control and vascular outcomes in
patients with type 2 diabetes. N Engl J Med 2008;358:2560–72.
10. Duckworth W, Abraira C, Moritz T, et al. VADT Investigators.
Glucose control and vascular complications in veterans with type
2 diabetes. N Engl J Med 2009;360:129–39.

234 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


11. Hayward RA, Reaven PD, Wiitala WL, et al. VADT Investigators.
Follow-up of glycemic control and cardiovascular outcomes in type
2 diabetes. N Engl J Med 2015;372:2197–206.
12. Nissen SE, Wolski K. Effect of rosiglitazone on the risk of
myocardial infarction and death from cardiovascular causes. N
Engl J Med 2007;356: 2457–71.
13. Caveney E, Turner JR. A review of FDA guidance: understanding
the FDA guidance on assessing cardiovascular risks for new
antidiabetic therapies [Internet]. Available from
http://www.quintiles.com/library/white-papers/newfda-
guidance-on-ntidiabetic-therapies. Accessed 23 July 2018.
14. Marso SP, Daniels GH, Brown-Frandsen K, et al. LEADER Steering
Committee; LEADER Trial Investigators. Liraglutide and
cardiovascular outcomes in type 2 diabetes. N Engl J Med.
2016;375:311–22.
15. Marso SP, Bain SC, Consoli A, et al.; SUSTAIN-6 Investigators.
Semaglutide and cardiovascular outcomes in patients with type 2
diabetes. N Engl J Med 2016;375:1834–44.
16. Zinman B,Wanner C, Lachin JM, et al. EMPAREG OUTCOME
Investigators. Empagliflozin, cardiovascular outcomes, and
mortality in type 2 diabetes. N Engl J Med 2015;373:2117–28.
17. Neal B, Perkovic V, Mahaffey KW, et al. CANVAS Program
Collaborative Group. Canagliflozin and cardiovascular and renal
events in type 2 diabetes. N Engl J Med. 2017;377:644–57.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 235


18. S.D. Wiviott, I. Raz, M.P. Bonaca, O. Mosenzon, E.T. Kato, A. Cahn,
et all. Dapagliflozin and Cardiovascular Outcomes in Type 2
Diabetes. N.Engl J Med. 2018; 1-12.

236 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


EMPA-REG OUTCOME IN REAL WORLD SETTING:
INTERIM RESULT OF EMPRISE REAL WORLD DATA

Di tahun 2012, diperkirakan 17.5 juta manusia meninggal karena


penyakit kardiovaskular yang mencakup 31% dari seluruh kematian di
dunia dimana 7.4 juta meninggal karena penyakit jantung coroner dan
6.7 juta karena stroke1.

Selain itu, diperkirakan pada angka harapan hidup pasien laki – laki
usia 60 tahun akan berkurang 6 tahun jika dia terdiagnosa dengan
Diabetes dan akan berkurang lagi 6 tahun jika ia terdiagnosa dengan
Diabetes dengan komplikasi penyakit jantung (MI atau Stroke)2.

Sedangkan untuk gagal jantung merupakan masalah global dengan


prevalensi sekitar 26 juta di seluruh dunia3.

Pada dasarnya, kategori gagal jantung antara lain:

1. Preserved Ejection Fraction (HFpEF)4-5

a. LVEF > 50%

b. Bagian dari pro-inflammatory CV dan keadaan ko-


existing non-CV

c. Berhubungan dengan hipertensi, obesitas, diabetes,


sindroma metabolic, penyakit paru, merokok, dan
kekurangan zat besi.

d. Kurang dimengerti dibandingkan Reduced Ejection


Fraction

e. Merupakan lebih dari 50% semua kasus gagal jantung


dengan prevalensi peningkatan 1% tiap tahunnya.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 237


2. Reduced Ejection Fraction (HFrEF)6-7

a. LVEF < 40%

b. Ada karena kekurangan fungsi sistolik

c. Penyebab utama: penyakit jantung coroner

d. Berhubungan dengan faktor resiko penyakit jantung


coroner seperti hipertensi, diabetes, usia lanjut,
merokok, dan dyslipidemia.

e. Merupakan sekitar 50% dari seluruh kasus gagal


jantung.

Dari hasil – hasil penelitian sebelumnya, pengobatan – pengobatan


(beta bloker, ACE inhibitor atau ARB, ARNi, Digoxin, PDE5 inhibitor,
MRA, Hydralazine, CRT, ICD, dan olahraga) terbukti berhasil menjadi
terapi untuk HFrEF namun belum menghasilkan bukti positif pada
HFpEF.

Komplikasi Diabetes terbagi atas Mikrovaskular dan Makrovaskular8.


Kedua komplikasi tersebut pada umumnya terjadi karena adanya
disfungsi endotel dimana terjadi perubahan fungsional dan structural
dari endotel sehingga terjadi kehilangan proteksi dan menjadi struktur
aterosklerosis antara lain9:

1. Remodeling / hipertrofi otot jantung sehingga terjadi MI dan


gagal jantung

2. Remodeling / plak pembuluh darah sehingga terjadi penyakit


arteri perifer, TIA, Stroke, dan Aneurisma Aorta

3. Mikroalbuminuria sehingga terjadi Proteinuria dan gagal ginjal


(ESRD)

Dari hasil – hasil penelitian seperti TOPCAT, RELAX, SOCRATES-P,


EPHESUS, PARADIGM, GSTG HF, OPTIMIZE, dan ADHERE, prevalensi

238 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Diabetes sekitar 25 – 30% dari semua kasus gagal jantung, dimana 40
– 45% dari angka tersebut dirawat karena gagal jantung10-18.

Selain itu, pasien dengan Diabetes tipe 2 memiliki 60 – 80%


kemungkinan kematian lebih tingga pada mereka dengan gagal
jantung. Diabetes dapat meningkatkan resiko semua jenis kematian
dan kematian karena kardiovaskular pada komplikasi gagal jantung19-
22
.

Pada pasien – pasien Diabetes, diketahui bahwa terjadi Hiperglikemia,


Resistensi Insulin, dan Hiperinsulinemia yang bisa menyebabkan
Iskemia pada otot jantung, Hipertensi, dan Diabetic Cardiomyopathy
yang dapat berujung pada gagal jantung23.

Dengan adanya peningkatan perawatan dan pengobatan Diabetes,


angka kejadian komplikasi MI, Stroke, dan ESRD dari tahun ke tahun
sudah menurun. Akan tetapi angka kejadiannya masih lebih tinggi
pada pasien – pasien dengan Diabetes dibandingkan dengan yang
tanpa Diabetes24.

Pada penelitian – penelitian lain (ACCORD, ADVANCE, UKPDS, dan


VADT), kontrol glukosa intensif tidak terbukti dapat menurunkan
resiko kematian dan sedikit penurunan pada angka kejadian
kardiovaskular mayor (MACE) yang terlihat berasal dari efek yang
signifikan dari penurunan kejadian MI. Secara garis besar dari keempat
penelitian tersebut, kontrol glukosa intensif terbukti menurunkan
resiko kejadian mikrovaskular namun tidak menunjukkan hasil yang
memuaskan pada komplikasi makrovaskular dan kematian25-30.

Dari hasil penelitian – penelitian obat – obat Diabetes, Insulin Glargine,


Acarbose, Lixisenatide, Exanetide, Alogliptin, dan Sitagliptin
menunjukkan hasil yang netral untuk hasil kardiovaskular dan gagal
jantung, sedangkan untuk Liraglutide dan Semaglutide menunjukkan
kenetralan untuk hasil gagal jantung tetapi menunjukkan hasil positif
pada kardiovaskular. Sedangkan untuk Pioglitazone, Rosiglitazone,
dan Saxagliptin menunjukkan peningkatan resiko peningkatan
kejadian gagal jantung. Untuk salah satu obat – obat Diabetes

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 239


golongan baru: SGLT-2 inhibitors (Empagliflozin, Canagliflozin, dan
Dapagliflozin) terbukti menunjukkan hasil positif untuk kardiovaskular
dan gagal jantung.

Akan tetapi, dari hasil – hasil penelitian kardiovaskular pada obat –


obatan Diabetes golongan baru (GLP-1 RA, DPP-4i, dan SGLT-2i), belum
ada penelitian yang memasukkan sample pasien dengan gagal jantung
yang besar.

Penelitian – penelitian kardiovaskular tersebut antara lain31:

1. SGLT-2i

a. EMPA-REG OUTCOME

b. CANVAS & CANVAS-R

c. CREDENCE

d. DECLARE TIMI

e. VERTIS CV

2. DPP-4i

a. SAVOR-TIMI 53

b. EXAMINE

c. TECOS

d. CAROLINA

e. CARMELINA

f. OMNEON

3. GLP-1 RA

a. ELIXA

b. LEADER

240 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


c. SUSTAIN-6

d. EXSCEL

e. FREEDOM-CVD

f. HARMONY

g. REWIND

Untuk hasil penelitian kardiovaskular dari golongan DPP-4i, secara


garis besar menunjukkan hasil yang netral terhadap angka kejadian
gagal jantung, dengan pengecualian pada Saxagliptin dimana terjadi
peningkatan resiko32-36.

Pada penelitian EMPA-REG OUTCOME, terbukti bahwa Empagliflozin


memberikan efek penurunan resiko kejadian37:

1. 3P-MACE sebesar 14%

2. Kematian kardiovaskular sebesar 38%

3. Perawatan karena gagal jantung sebesar 35%

4. Semua jenis kematian sebesar 32%

5. Gabungan kematian kardiovaskular dan perawatan karena


gagal jantung sebesar 34%

Hasil tersebut konsisten pada pasien dengan atau tanpa riwayat gagal
jantung38.

Dari hasil tersebut, pada guideline ESC tahun 2016, Empagliflozin


disarankan pada pasien – pasien Diabetes tipe 2 untuk memperlambat
mulainya atau onset dari gagal jantung dan memperlama angka
harapan hidup39.

Seiring dengan berjalannya waktu, dari hasil penelitian – penelitian


tersebutlah didapatkan bahwa40-42:

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 241


1. Pada era sebelum Statin (1994), setiap dokter merawat 30
pasien dengan Simvastatin selama 5.4 tahun, dokter dapat
menyelamatkan 1 nyawa dari kematian.

2. Pada era sebelum ACE inhibitor / ARB (2000), setiap dokter


merawat 56 pasien dengan Ramipril selama 5 tahun, dokter
dapat menyelamatkan 1 nyawa dari kematian.

3. Pada era ACEi / ARB (2015), setiap dokter merawat 39 pasien


dengan Empagliflozin selama 3 tahun, dokter dapat
menyelamatkan 1 nyawa dari kematian. Selain itu, setiap
seribu pasien yang diberikan Empagliflozin, dokter dapat
menyelamatkan 25 nyawa dari kematian.

EMPRISE

Di Amerika Serikat, Empagliflozin resmi diluncurkan sebagai


pengobatan untuk Diabetes tipe 2 pada Agustus 2014. Lalu pada
September 2015, diumumkan hasil EMPA-REG OUTCOME bahwa
pemberian Empagliflozin dapat menurunkan resiko kematian
kardiovaskular, perawatan karena gagal jantung, dan semua jenis
kematian pada pasien – pasien Diabetes tipe 2 dengan penyakit
kardiovaskular (sebagian besar merupakan penyakit jantung koroner)
dibandingkan dengan pengobatan standar. Analisa – analisa tambahan
menunjukkan bahwa efek – efek tersebut bersifat konsisten di semua
keadaan resiko kardiovaskular pada populasi EMPA-REG OUTCOME.
Analisa ekonomi dari EMPA-REG OUTCOME menyarankan bahwa
Empagliflozin berpotensi memberikan benefit ekonomi pada sistem
perawatan kesehatan43-46.

Dari literatur yang ada, satu dari tiga pasien Diabetes tipe 2 memiliki
penyakit kardiovaskular dimana pada penelitian EMPA-REG OUTCOME
hampir semua populasi memiliki penyakit kardiovaskular. Pada

242 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


penelitian EMPRISE, terdapat populasi dengan dan tanpa penyakit
kardiovaskular47-49.

Penelitian EMPRISE ditujukan untuk menilai efektivitas, keamanan,


penggunaan bahan kesehatan, dan biaya perawatan dari Empagliflozin
dibandingkan dengan DPP-4i pada pasien – pasien dengan Diabetes
tipe 2 dimana populasi tersebut merupakan pengguna pertama
Empagliflozin selama 5 tahun (2014 – 2019) dengan jumlah populasi
sekitar lebih dari 200,000 pasien diikutkan (>100,000 Empagliflozin
dibandingkan dengan >100,000 DPP-4i)49-50.

Yang akan dilihat pada penelitian EMPRISE meliputi50-51:

1. Efektivitas

a. Hasil primer

i. Perawatan karena MI

ii. Perawatan karena Stroke

iii. Kematian kardiovaskular

iv. Semua jenis kematian

v. Perawatan karena gagal jantung

vi. 3P-MACE

b. Hasil sekunder

i. ESRD

ii. Perawatan untuk Retinopati

iii. Tindakan revaskularisasi koroner

2. Keamanan

a. Hasil sekunder

i. Fraktur tulang

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 243


ii. Kanker saluran urine

iii. Amputasi tungkai bawah

iv. Hipoglikemia berat

v. Ketoasidosis Diabetikum

vi. Cedera ginjal berat yang memerlukan


hemodialisa

3. Penggunaan sumber daya kesehatan dan biaya

a. Sumber daya kesehatan

i. Rawat inap

1. Perawatan semua jenis dan


kardiovaskular

2. Periode perawatan di rumah sakit

ii. Rawat jalan

1. Semua jenis kunjungan ke unit gawat


darurat

2. Kunjungan ke tempat kerja

3. Layanan rawat jalan lainnya

iii. Farmasi

1. Pengobatan

b. Biaya

i. Total biaya perawatan

ii. Biaya rawat jalan

iii. Biaya rawat inap

iv. Biaya farmasi

244 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


v. Biaya unit gawat darurat

Pada penelitian EMPRISE, dari 347,031 pasien berusia 18 tahun ke atas


mengawali pengobatan dengan Empagliflozin atau DPP-4i dengan
kelanjutan 12 bulan dieksklusi sebanyak 40,044 pasien didapatkan
306,987 pasien. Jumlah tersebut melalui pencocokan propensity dan
didapatkan hasil 35,102 pasien dan terbagi atas masing – masing
17,551 pengguna baru Empagliflozin dan DPP-4i dengan waktu follow
up rata – rata 5.3 bulan49.

Hasil sementara selama 24 bulan adalah pada pemberian


Empagliflozin terjadi penurunan resiko perawatan karena gagal
jantung sebesar 44% dengan HR 0.56 (95% CI 0.43, 0.73) p<0.0001.
Hasil tersebut konsisten jika dibagi perawatan karena gagal jantung
pada diagnosa utama (spesifik) –dengan HR 0.49 (0.27, 0.89) ataupun
bukan diagnosa utama (broad) – HR 0.56 (0.43, 0.73). Pada perawatan
gagal jantung bukan sebagai diagnosa utama, pada populasi dengan
penyakit kardiovaskular dan tanpa penyakit tersebut, hasilnya juga
konsisten: dengan penyakit kardiovaskular terjadi penurunan dengan
HR 0.56 (0.41, 0.76) dan tanpa dengan HR 0.46 (0.26, 0.83). Terakhir,
pada pembagian berdasarkan dosis, dimana pada hasil EMPA-REG
OUTCOME, pada Empagliflozin 10 mg didapatkan HR 0.62 (0.45, 0.86)
dan 25 mg dengan HR 0.68 (0.50, 0.93). Sedangkan pada EMPRISE,
pada pemberian Empagliflozin 10 mg didapatkan HR 0.55 (0.39, 0.78)
dan 25 mg dengan HR 0.62 (0.41, 0.95)48-49.

Jika dibandingkan antara hasil EMPA-REG OUTCOME dengan EMPRISE


(perbandingan Empagliflozin dengan DPP-4i dan dengan Sitagliptin),
didapatkan hasil penurunan resiko perawatan karena gagal jantung
sebagai berikut48-49:

1. EMPA-REG OUTCOME HR 0.65 (95% CI 0.50, 0.85) p=0.002

2. EMPRISE (DPP-4i) HR 0.56 (95% CI 0.43, 0.73) p<0.0001

3. EMPRISE (Sitagliptin) HR 0.51 (95% CI 0.39, 0.68) p<0.0001

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 245


Dari hasil penurunan resiko perawatan karena gagal jantung dari
subgrup status penyakit kardiovaskular pada EMPA-REG OUTCOME
dan EMPRISE didapatkan hasil yang konsisten sebagai berikut48-49,52-53:

1. EMPA-REG OUTCOME

Total populasi : HR 0.65 (0.50, 0.85)


Tanpa riwayat MI atau Stroke : HR 0.57 (0.35, 0.95)
Dengan riwayat MI atau Stroke : HR 0.68 (0.50, 0.94)
2. EMPRISE (DPP-4i)

Total populasi : HR 0.56 (0.43, 0.73)


Tanpa riwayat MI atau Stroke : HR 0.46 (0.26, 0.83)
Dengan riwayat MI atau Stroke : HR 0.56 (0.41, 0.76)
3. EMPRISE (Sitagliptin)

Total populasi : HR 0.51 (0.39, 0.68)


Tanpa riwayat MI atau Stroke : HR 0.40 (0.22, 0.73)
Dengan riwayat MI atau Stroke : HR 0.60 (0.44, 0.83)
Jika dilihat perbandingan antara kedua penelitian tersebut didapatkan
perbedaan48-49:

1. Hasil

EMPA-REG OUTCOME : 35% penurunan resiko pada


Empagliflozin dibandingkan dengan placebo
EMPRISE : 49% penurunan resiko pada
Empagliflozin dibandingkan dengan Sitagliptin
2. Pasien dengan kejadian perawatan karena gagal jantung

EMPA-REG OUTCOME : 221 dari 7020 pasien


EMPRISE : 236 dari 32,886 pasien
(Empagliflozin vs. Sitagliptin)
3. Alokasi pengobatan

EMPA-REG OUTCOME : Randomisasi dan blinded


EMPRISE : Perawatan rutin (Tanpa proses
randomisasi dan blinded)
4. Identifikasi hasil

246 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


EMPA-REG OUTCOME : Didapatkan dari investigator
EMPRISE : Didapatkan dari database malalui
algoritma yang tervalidasi
5. Penilaian perawatan karena gagal jantung

EMPA-REG OUTCOME : Diatur oleh panitia hasil penelitian


EMPRISE : Tidak diatur
Dari hasil yang keuntungan – keuntungan kardiovaskular yang
didapatkan oleh pasien, muncul beberapa teori yang diperkirakan
menyebabkan hal tersebut, antara lain penurunan glukosa darah
melalui ekskresi glukosa via urin dari Empagliflozin dan meningkatkan
penurunan kalori yang akan memecah lemak pada proses lipolisis
sehingga menurunkan berat badan. Penurunan glukosa plasma juga
menyebabkan rendahnya kalori atau energi yang ada pada organ –
organ tubuh sehingga mengurangi insulin yan gberedar dan
meningkatkan lipolisis pada jaringan adiposa sehingga menyebabkan
naiknya glukagon. Dengan meningkatnya lipolisis, asam lemak bebas
dilepaskan dari jaringan adiposa yang dapat meningkatkan masukan
asam lemak bebas tersebut ke dalam hepar. Pada rendahnya insulin
dan tingginya glukagon, asam – asam lemak bebas di hepar akan
diubah menjadi keton dimana asam lemak bebas dan keton yang akan
memasukan energi ke dalam organ. Keton tersebut dioksidasi oleh
jaringan jantung dan lainnya sehingga menyebabkan masukan energi
ke dalam jantung dan meningkatkan fungsi jantung dan ginjal54-67.

Selain teori tersebut, ada teori lainnya yang mengemukakan bahwa


Empagliflozin meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin yang
menyebabkan rendahnya glukosa darah dan hilangnya kalori.
Penurunan ini menurunkan jumlah insulin sehingga terjadi
peningkatan lipolisis pada jaringan adiposa. Asam lemak bebas lalu
dilepaskan dari jaringan lemak dan masuk ke dalam hepar. Asam lemak
ini menyebabkan sintesis lipid yang meningkatkan produksi dan
sekresi VLDL-C ke dalam hepar. Sehingga terjadi sedikit peningkatan
LDL-C di dalam darah. Penurunan kadar glukosa plasma menurunkan
kembalinya glukosa intraseluler sehingga menurunkan resistensi
insulin dan sintesis trigliserida sehingga HDL-C naik. Selain itu,

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 247


penurunan glukosa plasma menyebabkan penurunan asupan substrat
ke dalam hepar untuk sintesis trigliserida sehingga jumlahnya
menurun. Peningkatan LDL-C dapat menurunkan struktur atau fungsi
dinding arteri dimana penurunan trigliserida dan peningkatan HDL-C
memberikan efek berlawanan54-55,68-79.

Saat ini, sedang berlangsung penelitian khusus untuk gagal jantung


dengan dan tanpa Diabetes tipe 2 dari Empagliflozin yaitu EMPEROR,
dimana penelitian merupakan fase 3, dengna randomisasi, double-
blind, dan terkontrol placebo. Tujuannya adalah untuk melihat
keamanan dan efikasi dari Empagliflozin dibandingkan dengan Placebo
pada pasien – pasien dengan gagal jantung reduced dan preserved.
Populasinya adalah pasien dengan dan tanpa Diabetes tipe 2, usia 18
tahun ke atas, dan gagal jantung kronik (NYHA 2 – 4). Sekitar 2850
pasien dimasukkan ke penelitian EMPEROR-reduced (LVEF < 40%) dan
4126 ke penelitian EMPEROR-preserved (LVEF > 40%)80-81.

Kesimpulan

Penyakit kardiovaskular merupakan beban dunia yang signifikan.


Sedangkan Diabetes tipe 2 merupakan faktor resiko independen untuk
komplikasi mikro dan makrovaskular. Pasien – pasien dengan Diabetes
tipe 2 memiliki resiko lebih akan gagal jantung dan dengan adanya
Diabetes maka akan memperburuk prognosisnya (reduced dan
preserved). Penelitian – penelitian kardiovaskular pada obat – obat
Diabetes menunjukkan hasil yang positif pada komplikasi
mikrovaskular namun belum pada makrovaskular. Dari hasil EMPA-
REG OUTCOME, pemberian Empagliflozin menunjukkan hasil lebih
dibalik kontrol glikemik dengan beberapa potensi penjelasan
mekanisme keuntungannya. Dari hasil sementara analisa sekitar
33,000 pasien pada EMPRISE, didapatkan hasil adanya penurunan
resiko relatif akan perawatan karena gagal jantung oleh Empagliflozin
dibandingkan dengan DPP-4i pada pasien – pasien Diabetes tipe 2
sebesar 44%. Hasil tersebut konsisten pada subgrup yang ada.

248 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


EMPRISE yang memasukkan ¾ populasi pasien tanpa penyakit
kardiovaskular menunjukkan konsistensi akan penurunan resiko
perawatan karena gagal jantung oleh Empagliflozin yang konsisten
pada pasien dengan atau tanpa penyakit kardiovaskular49.

Kepustakaan

1. WHO. CVD Fact sheet No.317, Jan 2015.http://www.who.int/


mediacentre/factsheets/fs317/ en/#

2. The Emerging Risk Factors Collaboration. JAMA 2015;314:52

3. Ponikowski P et al. Heart failure: Preventing disease and death


worldwide. European Society of Cardiology, 2014.
www.escardio.org/static_file/Escardio/Subspecialty/HFA/WH
FA-whitepaper-15-May-14.pdf (accessed Nov 2015)

4. Redfield MM et al. N Engl J Med 2016;375:1868

5. Bugger H et al. Diabetologia 2014;57:660

6. Borlaug BA. Heart failure with preserved ejection fraction. In:


Springer Verlag; 2015;213–230.

7. Mann DL et al. Braunwald's Heart Disease: A Textbook of


Cardiovascular Medicine, Single Volume, 10th Edition. Elsevier
Saunders, Philadelphia 2015

8. World Health Organization. http://www.who.int/diabetes/


action_online/basics/en/index3.h tml

9. Versari D et al. Diabetes Care 2009;32(suppl 2):S314

10. Pitt B et al. N Engl J Med 2014;390:1383

11. Redfield MM et al. JAMA 2013;309:1268

12. B et al. Eur Heart J 2016;38:1119

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 249


13. Pitt B et al. N Engl J Med 2003;348:1309

14. McMurray JJV et al. N Engl J Med 2014;371:993

15. Gheorghiade M et al. JAMA 2015;314:2251

16. Luo N et al. JACC Heart Fail 2017;5:305

17. Greenberg BH et al. Heart J 2007;154:277 e12277 e8

18. Peacock F et al. N Engl J Med 2008; 358:2117-2126

19. Kannel WB et al. Am J Cardiol 1974;34:29

20. Cubbon RM et al. Diab Vasc Dis Res 2013;10:330

21. MacDonald MR et al. Eur Heart J 2008;29:1377

22. Varela-Roman A et al. Eur J Heart Failure 2005;7:859

23. Circulation. 2016 Jun 14;133(24):2459-502. doi: 10.1161/


CIRCULATIONAHA.116.022194

24. Gregg EW et al. N Engl J Med 2014;370:1514

25. Turnbull FM et al. Diabetologia 2009;52:2288

26. Bergenstal RM et al. Am J Med 2010;123:374.e9

27. Genuth S & Ismail Beigi F. Clin Endocrinol Metab 2012;97:41;

28. Ismail-Beigi F et al. Lancet 2010;376:419

29. Hayward RA et al. N Engl J Med 2015;372:2197

30. Zoungas S et al. N Engl J Med 2014;371:1392

31. Johansen OE. World J Diabetes 2015;6:1092

32. Pfeffer M A et al., N Engl J Med 2015;373:2247

33. Scirica BM et al. N Engl J Med 2013;369:1317

250 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


34. FDA Drug Safety Communication, Available at:
http://www.fda.gov/Drugs/DrugSafety/ucm486096.htm
(accessed April 2016)

35. Zannad F et al. Lancet 2015;385:2067

36. Green JB et al. N Engl J Med 2015;373:232;

37. Zinman B, et al. N Engl J Med 2015;373:2117–2128

38. Fitchett D et al. Eur Heart J 2016;37:1526

39. Ponikowski P et al. Eur Heart J 2016;37:2129

40. 4S investigator. Lancet 1994; 344: 1383-89,


http://www.trialresultscenter.org/study2590-4S.htm

41. HOPE investigator N Engl J Med 2000;342:145-53,


http://www.trialresultscenter.org/study2606-HOPE.htm

42. Zinman B et al. N Engl J Med 2015; doi: 10.1056


/NEJMoa1504720

43. ClinicalTrials.gov. NCT03363464 (accessed Jul 2018)

44. Fitchett D et al. J Am Coll Cardiol 2018;71:364

45. Fitchett D et al. ACC 2018; oral presentation

46. Iannazzo S et al. Farmeconomia: Health Economics and


Therapeutic Pathways 2017;18:43

47. Einarson TR et al. Cardiovasc Diabetol 2018;17:83

48. Zinman B et al. N Engl J Med 2015;373:2117

49. Patorno E et al. Circulation 2019; doi: 10.1161/


CIRCULATIONAHA.118.039177

50. EU PAS Register. EUPAS20677. www.encepp.eu/encepp


/viewResource.htm?id=21657 (accessed Jan 2019)

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 251


51. ClinicalTrials.gov. NCT03363464 (accessed Jan 2019)

52. Fitchett D et al. ACC 2018; oral presentation

53. Boehringer Ingelheim. Data on file. 2018

54. Ferrannini G et al. Diabetes Care 2015;38:1730

55. Heise T et al. Diab Obes Metab 2013;15:613

56. Rossmeislová L et al. Int J Obes (Lond) 2013;37:640

57. Heilbronn LK et al. JAMA 2006;295:1539

58. Dwyer JT et al. in Endotext [Internet] 2015, Ch 11.


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK278991/#diet-
treatment-obes.toc-11-summary-of-weight-loss-phase
(Accessed Mar 2017)

59. Ferrannini E et al. J Clin Invest 2014;124:499

60. Habegger KM et al. Nat Rev Endocrinol 2010;6:689

61. Mudaliar S et al. Diabetes Care. 2016;39:1115

62. Kitabchi AE et al. Diabetes Care 2006;29:2739

63. Laffel L. Diabetes Metab Res Rev 1999;15:412

64. Aubert G et al. Circulation. 2016;133:698

65. Veech RL et al. IUBMB Life 2001;51:247

66. Ronco C et al. J Am Coll Cardiol 2008;52:1527

67. McCullogh PA et al. Contrib Nephro 2013;182:82

68. Halter JB et al. J Clin Endocrinol Metab 1979;48:946

69. Koutsari C et al. Diabetes 2013;62:2386

70. Ebbert JO et al. Nutrients 2013;5:498

71. Fernandez ML et al. J Nutr 2005;135:2075

252 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


72. Nielsen S, Karpe F. Curr Opin Lipidol 2012;23:321

73. Taskinen MR. Diabetologia 2003;46:733

74. Henriksen JE et al. Diabetes 2000;49:1209

75. Giannini C et al. Diabetes Care 2011;34:1869

76. Chapman MJ et al. Eur Heart J 2011;32:1345

77. Nolan CJ et al. Diabetes 2015;64:673

78. Guiducci L et al. Endocr Res 2011;36:9

79. Jacobson TA et al. J Clin Lipidol 2015;9:129

80. ClinicalTrials.gov NCT03057977

81. ClinicalTrials.gov NCT03057951

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 253


POSTER
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
KEJADIAN HIPERTENSI PADA PASIEN RAWAT JALAN
DI PUSKESMAS KAMPUNG SAWAH, KOTA
TANGERANG SELATAN, PROVINSI BANTEN
TAHUN 2017

Muhammad Iqbal*

*) Fakultas Kedokteran dan Kesehatan, Universitas


Muhammadiyah Jakarta

ABSTRAK

Latar Belakang : Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah secara


menetap dan saat ini masih menjadi tantangan besar di Indonesia yang
sering ditemukan pada pelayanan kesehatan primer. Hipertensi
mempunyai beberapa faktor resiko yang dapat dimodifikasi dan yang
tidak dapat dimodifikasi. Dampak dari hipertensi apabila tidak
ditanggulangi dengan baik dapat menimbulkan masalah besar bagi
seseorang oleh karena komplikasi yang ditimbulkannya.
Tujuan : Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
kejadian Hipertensi pada pasien rawat jalan di Puskesmas Kampung
Sawah, Kota Tangerang Selatan, Provinsi Banten tahun 2017
Metode : Desain studi cross sectional dengan 161 sampel yang diambil
dengan teknik accidental sampling dan dilakukan pada bulan Mei-Juni
2017. Data penelitian diperoleh melalui pengukuran Tekanan Darah,
Tinggi Badan, Berat Badan dan pengisian kuesioner. Data dianalisis
dengan menggunakan uji chi-square dan dilanjutkan dengan analisis
multivariat.
Hasil :Terdapat tujuh variabel yang memiliki hubungan bermakna
dengan kejadian hipertensi pada uji chi-square (P-value< 0,05), yaitu
Riwayat Keturunan, Usia, Kebiasaan Merokok, Obesitas, Konsumsi
Makanan Asin, Konsumsi Kafein dan Konsumsi Makanan Berlemak.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 257


Variabel Riwayat Keturunan dan Usia menjadi variabel yang paling
berpengaruh terhadap kejadian Hipertensi pada analisis multivariat.
Kesimpulan : Riwayat Keturunan dan Usia merupakan faktor resiko
yang paling berpengaruh terhadap kejadian Hipertensi pada pasien
rawat jalan di Puskesmas Kampung Sawah, Kota Tangerang Selatan,
Provinsi Banten tahun 2017.

Kata kunci: Hipertensi, Riwayat Keturunan, Usia, Jenis Kelamin,


Merokok, Obesitas, Kebiasaan Olahraga, Konsumsi Makanan Asin,
Konsumsi Kafein, Konsumsi Alkohol Konsumsi Makanan Berlemak

258 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


PERITONEAL DIALYSIS DAN HEMODIALISIS PADA
PASIEN DENGAN PENYAKIT GINJAL TAHAP AKHIR:
LAPORAN KASUS BERBASIS BUKTI
Putri Nurra Kusumawardhany Hakim1, Hamzah Shatri2,
Pringgodigdo Nugroho2

Peserta PogramStudiPendidikanDokter,
1

FakultasKedokteranUniversitas Indonesia, Jakarta


2
Departemen IlmuPenyakitDalam, FakultasKedokteranUniversitas
Indonesia, RumahSakitUmumPusatNasionalCiptoMangunkusumo,
Jakarta

ABSTRAK

Pendahuluan Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah penurunan fungsi


ginjal ireversibel yang pada tahap Penyakit Ginjal TahapA khir (PGTA)
akan memerlukan tatalaksana terapi pengganti ginjal.
Skenarioklinis Pasien laki-laki 34 tahun datang dengan
keluhan sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Pasien didiagnosa PGTA 2 tahun lalu dan rutin hemodialisis.
Pasien belum mendapatkan giliran karena penuh,s ehingga
menanyakan terapi Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis
yang dapat dilakukan secara mandiri.
Patient(P) :Pasien gagal ginjal tahap akhir
Intervention(I) : Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 259


Comparison(C) : Hemodialisis

Outcome(O) : Quality of lifedan efektifitas biaya

Metode Pencarian literature menggunakan Cochrane, EBSCOHost,


Scopus dan Pubmed dengan kata kunci “Chronic Kidney Disease”,
“Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis”, “Hemodialysis”,
“Quality of life and Cost-Effectiveness” beserta sinonimnya ditemukan
69 studi. Setelah skrining menjadi 15 studi dan dua studi kohort dipilih
berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi.

Hasil Nilai CAPD 17.41 dan HD 16.42 berdasarkan Chang et al.


sementara Pacheco et al. menemukan CAPD 66.88 dan HD 65.75.
Biaya tahunan CAPD lebih murah menurut Chang et al. namun tidak
berbeda menurut Pacheco et al.

Diskusi Chang et al. menggunakan kuesioner EQ-5D, Pacheco et al.


menggunakan HRQOL. Tidak ada perbedaan bermakna pada kualitas
hidup. CAPD memiliki biaya yang lebih rendah menurut Chang et al.

Rekomendasi Kualitas hidup pasien CAPD dan HD sama, namun biaya


CAPD lebih efektif. Diperlukan sosialisasi lebih mengenai CAPD.

260 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Referensi
1. Levey, et al.(2005). Kidney Int;67(6):2089-100.
2. Pacheco, et al. (2007). Peritoneal dialysis
international.1;27(3):359-63.
3. Chang, et al.(2016). Scientific reports;6:30266.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 261


DEMAM BERDARAH DENGUE PADA KEHAMILAN:
SEBUAH LAPORAN KASUS PENANGANAN PASIEN DI
LOKASI SUMBER DAYA TERBATAS

Lauretta Ariella Sugondo, Yosef William Angliwarman

Siloam Hospitals Labuan Bajo

Infeksi Dengue merupakan infeksi arboviral dengan perkembangan


dan penyebaran tercepat di dunia, baik dari segi geografis maupun
intensitas. Dampak Demam Dengue dan DemamBerdarah Dengue
masih menjadi masalah yang terus berkembang dan mengkhawatirkan
kesehatan masyarakat secara global. Pada wanita hamil infeksi
Dengue sering kali terlambat dikenali dan diatasi karena perubahan
fisiologis, seperti peningkatan volume darah dan kadar hematokrit
yang rendah, memberikan efek masking terhadap hemokonsentrasi
yang disebabkan oleh infeksi Dengue.

Pada laporan kasus ini kami menyajikan pasien wanita suku Manggarai
usia 26 tahun, G2P1A0 gravid 22-23 minggu yang dirawat dengan
diagnosis Sindrom Shock Dengue (SSD) pada periode KLB Dengue di
Manggarai Barat bulan Januari 2019. Pasien dirujuk dari RSUD Komodo
dengan demam hari keempat disertai nyeri kepala dan lemas.
Pemeriksaan fisik dan hitung darah lengkap serta status KLB menjadi
dasar diagnosis pasien terinfeksi Dengue dengan pemberat anemia. Di
hari pertama perawata npasien dibantu dengan topangan dobutamin,
hari kedua dilakukan penurunan dosis sampai dengan penghentian
terapi tesebut. Di hari ketiga dan keempat dilakukan transfuse sel
darah merah. Di hari kelima pasien diizinkan untuk rawat jalan. Selama
perawatan inap status janin dipantau berkala dan dinyatakan baik.
Pasien kemudian dating untuk kontrol di hari kelima rawat jalan
dengan keadaan baik dan hitung trombosit normal.

262 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Dengan meluasnya jangkauan infeksi Dengue dan kondisi KLB maka
infeksi pada wanita hamil juga harus diwaspadai, terutama pada
wanita hamil dengan keluhan nyeri kepala, nyeri ulu hati, dan gejala
khas Dengue lainnya. Pengenalan dini dan tatalaksana segera akan
membantu mengurangi angka kesakitan dankematian pada wanita
hamil.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 263


PERAN ADVANCE DIRECTIVES PADA GAGAL JANTUNG
TERMINAL PASIEN GERIATRI

Edward Faisal1, Hamzah Shatri2, Rudi Putranto2, Ika Fitriana3

.DepartemenIlmuPenyakitDalam, FakultasKedokteranUniversitas
1

Indonesia/RSUPN CiptoMangunkusumo, Jakarta


2.
DivisiPsikosomatik, DepartemenIlmuPenyakitDalam,
FakultasKedokteranUniversitas Indonesia/RSUPN
CiptoMangunkusumo, Jakarta
3.
Divisi Geriatri, DepartemenIlmuPenyakitDalam,
FakultasKedokteranUniversitas Indonesia/RSUPN
CiptoMangunkusumo, Jakarta

Pendahuluan

Studi Taylor dkk. Menunjukkan bahwa tren kesintasan 1, 5, dan 10


tahun gagal jantung adalah 6,6%; 7,2%; dan 6,4%; dan kematian akibat
gagal jantung adalah 42,4%. Inisiasi dini perawatan paliatif perlu untuk
gagal jantung terminal.

IlustrasiKasus

Perempuan, 62 tahun dengan sesak memberat saat aktivitas sejak 2


hari, sudah terjadi 3 kali dalam 2 bulan, disertai orthopnoe, dan
paroxysmal nocturnal dyspnoe, tanpa komorbid. Diagnosisnya adalah
gagal jantung kelas fungsional 3-4 (rEF26,4%) dan CAD 3VD-LM. Pasien
direncanakan CABG, tapi menolak. Skor paliatif pasien adalah 5 (perlu
perawatan paliatif). Pasien sudah mengetahui jelas tentang
penyakitnya dan sudah pernah berdiskusi tentang rencana untuk
penyakitnya dan mengerti. Saat dilakukan advanced directive (AD),

264 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


pasien tetap mau dilakukan resusitasi jantung paru (RJP). Harapan
pasien adalah meninggal di rumah.

Diskusi

Studi Jimenez dkk. Menunjukkan bahwa advanced care planning(ACP)


berhubungan dengan perawatan pada akhir kehidupan. Untuk
mencapai kondisi yang diharapkan, perludilakukan AD. Studi Kim dkk.
Menunjukkan pasien yang melengkapi AD menunjukkan kesintasan 5
tahun lebih baik.

Kesimpulan

Advance directive diperlukan untuk pasien gaga ljantung terminal


sejak awal terdiagnosis, dengan tujuan untuk meningkatkan
kesintasan dan kualitas hidup pasien gagal jantung.

Referensi

1. Taylor CJ, Ordóñez-Mena JM, Roalfe AK, Lay-Flurrie S, Jones NR,


Marshall T, dkk. Trends in survival after a diagnosis of heart failure
in the united kingdom 2000-2017: Population based cohort study.
BMJ. 2019;364:1-10.
2. Kim JS, An M, Heo S, Shin MS. Attitudes toward advance directives
and prognosis in patients with heart failure: A pilot study. KJIM.
2019;158:1-10.
3. Jimenez G, Tan WS, Virk AK, Low CK, Car J, Ho AHY. State of
advance care planning research: A descriptive overview of
systematic reviews. Palliat Support Care. 2018:1-11.
4. Liao M-Y, Lee JJ, Smith R, Lin C-C. Knowledge of and attitudes
toward advance directives in patients with advanced heart failure.
JHPN. 2019;21:80-9.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 265


DIARE KRONIK PADA PASIEN PANCOLITIS
AKIBAT TRICHURIS TRICHIURA

Sheila Adiwinata1, Willy Brodus Uwan2, Budiman Gunawan3

1
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik
Atamajaya, Jakarta, Indonesia

Unit Endoskopi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RS Santo


2

Antonius, Pontianak, Indonesia


3
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, RS Kharitas Bhakti, Pontianak,
Indonesia

Korespondensi:

Sheila Adiwinata

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Katolik


Atamajaya, Jakarta, Indonesia

Jl. Pluit Raya 2, Jakarta, Indonesia, 14440

Phone: 6221-6691944

Email: sheilaadiwinata@gmail.com

Latar Belakang: Indonesia merupakan salah satu negara tropis


terbesar di duniadengan tingginya angkakejadian kolitis akibat infeksi
parasit, sehingga pasien dengan diare kronik harus dievaluasi adanya
infeksi parasit seperti trikiasis.

266 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Ilustrasi Kasus: Wanita, 22 tahun, mengeluhkan diareberlendir tanpa
darah sejak 1 bulan lalu. Pasien mengeluhkan perut mulas, nyeri difus
periumbilikal dan muntah setiap harinya. Terdapat penurunan berat
badan sebanyak 3 kg. Tidak ditemukan riwayat penyakit dahulu yang
bermakna. Pasien mengaku memiliki kebiasaan higiene yang buruk
dan sumber air yang tidak bersih. Pasien sebelumnya sudah
mengunjungi rumah sakit terdekat, dari pemeriksaan darah
didapatkan hemoglobin 12.8 gr/dl, leukosit 28,000/µL, pada
pemeriksaan feses ditemukan eritrosit dan leukosit mikroskopik tanpa
telur cacing dan parasit. Pemeriksaan laboratorium lain dalam batas
normal. Pasien dirawat dan diberikan terapi Levofloksasin, attalpugite,
dan probiotik. Setelah 5 hari perawatan tidak ada perbaikan
bermakna, pasien dirujuk ke rumah sakit kami untuk kolonoskopi.
Hasil kolonoskopi menunjukkan inflamasi pada seluruh kolon dengan
erosi dan ulsera serta multipel Trichuris trichiura. pasien mendapatkan
terapi mebendazole dan mengalami perbaikan klinis. Hasil
kolonoskopi ulang setelah 2 minggu menunjukkan tidak ditemukan
inflamasi dan cacing.

Diskusi:

Pasien diare kronik di negara tropis harus dievaluasi adanya infeksi


parasit. Pemeriksaan feses dan kolonoskopi perlu untuk penegakan

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 267


diagnosis. ManifestasiInfeksi Trichuris trichiuradapat asimptomatik
atau diare kronik/disentri yang menyerupai pasien Inflammatory
Bowel Disesase.

Kata Kunci: Diare Kronik, Trikiasis, Penyakit Tropik

268 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


EFEKTIVITAS TERAPI KOMBINASI PROKINETIK DAN
PPI DIBANDINGKAN DENGAN PPI SEBAGAI
MONOTERAPI PADA PASIEN GERD : LAPORAN KASUS
BERBASIS BUKTI

Cholifatun Nisa1, Hanna Farida Rachmat1

1
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

ABSTRAK:

Latar belakang: Gastroesophageal reflux disease (GERD) merupakan


gejala atau komplikasi akibat refluks isi lambung ke esofagus dan dapat
melibatkan organ lain disekitarnya.Proton pump inhibitor (PPI)
dipertimbangkan sebagai terapi paling efektif dalam mengurangi
gejala GERD. Namun, suatu RCT menyatakan bahwa pemberian
mosapride (prokinetik) dapat memberikan efek terapi yang lebih baik
dibandingkan PPI saja. Laporan inibertujuan untuk mengklarifikasi
data dari tatalaksana GERD dengan melakukan penelusuran literatur
berdasarkan laporan kasus terhadap efikasi dari prokinetik
(mosapride) ditambah PPI terhadap perbaikan gejala GERD.

Metode: Pencarian terstruktur dilakukan dengan menggunakan


Pubmed dan Scopus. Setelah dilakukan penapisan judul dan abstrak
dengan kriteria inklusi dan eksklusi, hanya tiga studi (2
systematicreview, 1 RCT/randomized control trial) yang digunakan
penulis. Ketiga studi ini kemudian dinilai kualitasnya yang mencakup
validity, importance, dan applicability.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 269


Hasil: ketiga studi menunjukkan perbaikan gejala dan perubahan skor
FSSG(Frequency Scale for the Symptoms of GERD)secara signifikan
pada kedua kelompok baik yang diberi terapi kombinasi prokinetik dan
PPI maupun PPI saja. Pemberian terapi kombinasi prokinetik dan PPI
efektif pada kelompok pasien dengan skor FSSG tinggi, GERD refrakter,
dan GERD erosif, serta menurunkan episode refluks.

Kesimpulan:pemberian prokinetik sebagai terapi tambahan bersama


PPI tidak lebih efektif dibandingkan dengan terapi PPI saja pada pasien
GERD secara umum.

Kata kunci: GERD, prokinetik, PPI

270 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


HIPOKALEMIA BERULANG PADA PENGGUNAAN
OLANZAPINE, SEBUAH LAPORAN KASUS

Dwi Rendra Hadi1, Suzy Maria2

Rumah Sakit OMNI Pulomas, Jakarta


1

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas


2

Indonesia – RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Latar Belakang: Hipokalemia dapat disebabkan oleh perpindahan


transeluler, kehilangan kalium melalui saluran cerna, dan kehilangan
kalium melalui ginjal. Antipsikotik termasuk obat yang sering
menyebabkan hipokalemia, namun tidak banyak kasus yang
melaporkan olanzapine sebagai penyebab.

Ilustrasi kasus:Pria 33 tahun datang dengan keluhan lemas mendadak


di seluruh tubuh sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Tidak ada
muntah dandiare. Pasien tidak menyadari adanya demam.Keluhan
serupa sudah berulang sejak empat tahun terakhir.Setiap tahun pasien
dirawat inap karena hipokalemia tanpa pencetus yang jelas. Sejak 8
tahun terakhir pasien didiagnosis skizofrenia, mendapat olanzapine 10
mg dua kali sehari, clonazepam 2 mg dua kali sehari, dan valproat
sodium 500 mg dua kali.Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu
38,8oC, kekuatan motorik ekstremitas atas 3/5 dan ekstremitas bawah
2/5. EKG tidak menunjukkan kelainan bermakna. Pemeriksaan
laboratorium menunjukkan leukosit 12.900/µL,kalium 2,5 mEq/L,
fosfor 2,5 mg/dl, pemeriksaan lain dalam batas normal. Pemeriksaan
lebih lanjut menunjukkan K urin 11 mmol/24 jam.

Pasien diduga mengalami hipokalemia terkait penggunaan olanzapine


dengan komorbid infeksi bakteri. Kondisi hipokalemia masih
didiagnosis banding dengan paralisis periodik.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 271


Pasien mendapatkan KCl intravena25 meq setiap 8 jam dan amoksilin
klavulanat 625 mg tiga kali sehari. Setelah dua hari pengobatan,
demam perbaikan, kekuatan motorik5/5, dan K 4,1 mEq/L. Psikiater
menurunkan dosis obat antipsikotik. Pasien mendapatkan
suplementasi kalium oral untuk rawat jalan.

Kesimpulan: Tidak ditemukan kehilangan kalium melalui ginjal


ataupun saluran cerna pada pasien. Olanzapin beberapa kali
dilaporkan menyebabkan hipokalemia, diduga akibat perpindahan
transelular. Kami menyimpulkan kausalitas ini possible menurut
kategori kausalitas WHO-UMC.

Kata Kunci: hipokalemia, olanzapine, antipsikotik

272 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


EFEKTIVITAS DAN KEAMANAN FEBUXOSTAT
DIBANDINGKAN DENGAN ALLOPURINOL PADA
PASIEN PENYAKIT GINJAL KRONIK DALAM
MENURUNKAN KADAR ASAM URAT: SEBUAH
LAPORAN KASUS BERBASIS BUKTI

GemaBarlian Effendi1
1
Departemen IlmuPenyakitDalam, FakultasKedokteranUniversitas
Indonesia, RumahSakitUmum Pusat Nasional CiptoMangunkusumo

LatarBelakang

Pasien laki-laki usia 63 tahun dating dengan hasil medical check-up.


Saat ini pasien tidak ada keluhan. Pasien memiliki riwayat hipertensi
sejak 10 tahun yang lalu dan rutin menjalani hemodialysis sejak 3
tahun terakhir. Hasil pemeriksaan kadar asam urat pasien 8,7 mg/dl.
Saat ini pasien terdiagnosis hiperurisemia asimtomatis dan penyakit
ginjal kronik (PGK) stadium 5. Hiperurisemia merupakan kondisi yang
dikaitkan dengan penurunan fungsi ginjal dan harus diterapi secara
adekuat untuk mencegah penurunan fungsi ginjal yang progresif.
Allopurinol telah dianggap sebagai obat lini pertama pengobatan
hiperurisemia. Namun terdapat efeksamping yang merugikan dan
dosis yang dapat diberikan pada pasien PGK terbatas. Febuxostat, obat
yang lebih baru, telah dilaporkan memiliki efek lebih poten dalam
menurunkan kadar asam urat. Obat mana yang lebih efektif dalam
proteksi fungsi ginjal masih belum diketahui jelas karena tidak
cukupnya perbandingan langsung antara kedua obat tersebut.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 273


Tujuan

Mengetahui efektivitas dan keamanan febuxostat terhadap


penurunan kadar asam urat dibandingkan dengan allopurinol pada
pasien penyakit ginjal kronik.

Metode

Penelusuran dilakukan pada database ilmiah online, yaitu PubMed,


Cochrane Library,Science Direct, dan pencarian manual. Telaah kritis
dan level of evidence ditentukan berdasarkan kriteria Center of
Evidence-based Medicine, University of Oxford, tahun 2011.

Hasil

Terdapat tiga studi randomized controlled trial (RCT) yang telah


ditelaah. Ketiga artikel disimpulkan valid, penting, dan dapat
diterapkan di Indonesia.

Kesimpulan

Pemberian febuxostat dapat lebih efektif dalam menurunkan kadar


asam urat serta memiliki efek protektif terhadap ginjal dibandingkan
dengan allopurinol. Terapi febuxostat jangka panjang pada pasien PGK
dengan hiperurisemia dapat memberikan prognosis yang lebihbaik.

274 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU PADA REMAJA
DENGAN RIWAYAT BERAT BADAN LAHIR RENDAH:
STUDI KOHORT TANJUNGSARI, INDONESIA

Hikmat Permana 1, Ria Bandiara 1, Stefanie Yuliana Usman 1, Evan


Susandi 1, Aly Diana 2, Bachti Alisjahbana 1,3

1
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran/ RSUP Dr. Hasan Sadikin, Bandung, Indonesia
2.
Nutrition Working Group, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Bandung, Indonesia
3.
Frontier for Health Foundation, Bandung,Indonesia

Abstrak

Latar Belakang

Prevalensi diabetes terus mengalami peningkatan di Indonesia.


Penelitian terdahulu menunjukkan berat badan lahir rendah (BBLR)
dan status nutrisi intrauterin yang buruk merupakan faktor risiko
untuk terjadinya toleransi glukosa terganggu (TGT) dan diabetes
melitus tipe 2 (DMT2) pada orang dewasa.Status nutrisi sejak awal
kehidupan turut berkontribusi terhadap kemunculan diabetes.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 275


Objektif

Studi ini bertujuan mengevaluasi adanya hubungan antara berat lahir,


pertumbuhan janin terhambat (PJT) dengan kejadian TGT pada
remaja.

Metode

Studi Kohort Tanjungsari dimulai tahun 1987, melibatkan seluruh bayi


lahir pada periode 1 Januari 1988- 31 Maret 1990 di Kecamatan
Tanjungsari, Kabupaten Sumedang. Selanjutnya saat subjek memasuki
masa remaja (usia 12-14 tahun), dilakukan survei potong lintang
berupa pengukuran antropometri dan tes toleransi glukosa oral.
Peneliti melakukan analisis komparatif data antropometri dan glukosa
plasma post-prandialterhadapriwayat berat lahir dan status
pertumbuhan intrauterin subjek.

Hasil

Penelitian ini melibatkan 536 subjek, ditemukan 67 subjek denganTGT.


Subjek dengan riwayat BBLRlebih pendek, mempunyai berat badan
danIndeks Masa Tubuh (IMT) yang lebih rendah (masing-masing
p<0.05). Secara signifikan, proporsi TGT ditemukan lebih tinggi pada
subjek dengan riwayat BBLR (RR 1.7 [1.1 – 2.7]). Proporsi TGT
ditemukan lebih tinggi pada subjek dengan riwayat PJT, walaupun
tidak signifikan (p=0.286). Analisis regresi logistikmenunjukkan efek
BBLR tetap signifikan, setelah dilakukan penyesuaian terhadapvariabel
jenis kelamindan status sosioekonomi subjek (RR1.7 [1.1 – 2.6]).

Kesimpulan

Ditemukan hubungan yang signifikan antara BBLR dengan TGT


dibandingkan dengan subjek lahir berat badan normal. Pencegahan

276 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


terhadap diabetes sebaiknya dimulai sedini mungkin, bahkan sejak
berada di dalam kandungan.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 277


PERBANDINGAN EFEKTIVITAS POLYETHYLENE GLYCOL
3350 (PEG 3350) DENGAN LACTULOSE DALAM
MENURUNKAN DERAJAT ENSEFALOPATI HEPATIKUM
BERDASARKAN HEPATIC ENCEPHALOPATHY SCORING
ALGORITHM (HESA)

Iqbal Taufiqqurrachman1, Czeresna Heriawan Soejono2

1 Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta,


Indonesia

2 Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia/Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia

Ensefalopati hepatikum adalah perubahan status mental dankognitif


selama gagal hati akibat peningkatan amoniak dan peranan
neurotransmiter. Tata laksana ensefalopati hepatikum adalah
laktulosa oral dengan dosis 60-120 mL per hari untuk memicu
terjadinya defekasi. Naderian M, et al menyatakan bahwa
polyethylene glycol (PEG) dapat digunakan untuk mengatasi
ensefalopati hepatikum serta lebih cepat dibandingkan laktulosa. Oleh
karena itu, dilakukan pencarian literatur mengenai perbandingan PEG
dan laktulosa dalam menurunkan derajat ensefalopati
hepatikum.Pencarian literatur randomized controlled trial (RCT) dan
systematic review dilakukan dengan kata kunci “(((((hepatic
encephalopathy[MeSH Terms]) AND polyethylene glycol 3350[MeSH
Terms]) OR peg 3350[MeSH Terms]) AND lactulose) AND hepatic

278 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


encephalopathy scoring algorithm) OR hesa” padathe Cohcrane
Library, EBSCO Host, ProQuest, PubMed dan Scopus. Hasilnya berupa
artikel Rahimi R, et al yang membandingkan PEG dan laktulosa dalam
menurunkan derajat ensefalopati hepatikum berdasarkanHepatic
Encephalopathy Scoring Algorithm (HESA). Hasilnya adalah HESA
kelompok dengan PEG turun lebih cepat dibandingkan kelompok yang
diberikan laktulosa. Nilai relative risk (RR) 1,6125; absolute relative risk
(ARR) 0,32; relative riskreduction (RRR) 0,615 dan number needed to
treat (NNT) 3,125. PEG mampu meningkatkan ekskresi amoniak lewat
feses, serta efek asidosis metabolik ringan dari PEG mampu
meningkatkan kadar NH4+ dan menurunkan kadar NH3. Kekurangan
PEG dibanding laktulosa adalah perlu diminum dalam jumlah 4L
selama 4 jam, sementara laktulosa cukup 30-45 mL. Studi Rahimi R, et
al hanya dilakukan pada satu rumah sakit dan tidak dapat mewakili
seluruh populasi di luar tempat penelitian tersebut, maka penggunaan
PEG hanya dapat digunakan pada pasien yang memiliki karakteristik
dari kelompok studi tersebut.

Kata Kunci: Ensefalopati hepatikum, Hepatic encephalopathy scoring


algorithm (HESA) Laktulosa, Polyethylene glycol (PEG)

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 279


TINGKAT PENYELESAIAN PENCEGAHAN PASCA
PAPARAN (PPP) HIVDENGAN BERBAGAI REGIMEN
OBAT: EVIDENCED-BASED CASE REPORT

Bramantya Wicaksana1, Andrian Wiraguna1, Evy Yunihastuti1,2

Unit Pelayanan Terpadu HIV, RSUPN dr. Cipto


1

Mangunkusumo, Jakarta.
2
Divisi Alergi-Imunologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,
RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Ilustrasi Kasus

Perempuan 27 tahun, petugas kesehatan rumah sakit, tertusuk jarum


pasca pemasangan intravena ketika sedang bertugas. Dua jam
kemudian, berkunjung ke UPT HIV untuk konsultasi tindakan
selanjutmya karena jarum tersebut bekas pasien dengan status HIV
positif tanpa diketahui jumlah virusnya. Perawat khawatir dirinya akan
tertular HIV. Sebab kejadian tertusuk kurang dari 72 jam, dokter
merekomendasikan Pencegahan Pasca Paparan HIV dengan regimen
TDF+FTC+LPV/r selama 28 hari. Di sisi lain, dokter khawatir perawat
akan mengalami masa sulit untuk menuntaskan regimen tersebut
karena jumlah obat, efek samping dan sediaan obat. Kemudian dokter
mencari tahu tingkat kesuksesan lini tersebut dibandingkan dengan
regimen lainnya.

Pendahuluan

Pencegahan pasca paparan (PPP) HIV dapat menurunkan risiko


penularan HIV kepada petugas kesehatan jika diberikan dalam waktu
72 jam selama 28 hari. Namun, tingkat penyelesaian PPP masih

280 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


merupakan masalah yang ada dalam keberhasilan program ini. Saat ini
ARV Yang tersedia di Indonesia adalah TDF, AZT, ABC, 3TC, FTC, RPV,
EFV, NVP dan LPV/r. Penelitian ini mencoba mencari tingkat
penyelesaian PPP HIV dengan berbagai regimen yang ada di Indonesia.

Metode

Pencarian literatur melalui databasePubMed, Cohcrane, ProQuest dan


googlescholar menggunakan kata kunci “HIV post exposure
prophylaxis OR HIV post-exposure prophylaxis” dan “meta-analysis OR
review OR systematic review”. Kami melanjutkan pencarian dengan
regimen ARV yang tersedia di Indonesia. Didapatkan tiga studi
yangrelevan. Studiterpilih ditelaah berdasarkan prinsip CEEBM.

Hasil

Studi meta-analisis dari Nathan F (2015) mengungkapkan tingkat


penyelesaian tertinggi pada TDF+FTC(78.38%) dan terendah adalah
ZDV+3TC (58.80%). Regimen lain memiliki rentang nilai diantaranya,
TDF+FTC+LPV/r (71.10%) dan ZDV+3TC+LPV/r (59.11%). Terdapat data
tambahan dari studi retrospektif S. Wiboonchutikul (2016)
menunjukkan tingkat penyelesaian regimen ZDV+3TC, NRTIs+EFV dan
2NRTIs +LPV/r secara berurutan adalah 74,41%, 9,09% dan 90,40%.
Regimen baru lainnya yaitu TDF+FTC+RPV pada studi observasi Marie
C (2019) menunjukkan tingkat penyelesaian yang lebih baik (86.1%).

Kesimpulan

Tingkat penyelesaian regimen dua obat adalah TDF+FTC dan pada


regimen tiga obat TDF+FTC+RPV.

Kata kunci:PPP HIV, tingkat penyelesaian.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 281


LAPORAN KASUS: HUBUNGAN ANSIETAS DENGAN
KEJADIAN ESOFAGITIS

Cindy Rahardja*, Hamzah Shatri**

*
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo,
Jakarta

Divisi Psikosomatis dan Paliatif, Departemen Ilmu Penyakit Dalam,


**

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Umum Pusat


Nasional Cipto Mangunkusumo, Jakarta

Pendahuluan

Stres dan ansietas dilaporkan dapat menurunkan regulasi pada sistem


imunitas tubuh tubuh dengan mempengaruhi berbagai
neurotransmiter, neuropeptida, neurohepton, neurohormon, dan
hormon adrenal. Beberapa penelitian melaporkan bahwa stres
emosional dan depresi berhubungan dengan gangguan
gastrointestinal fungsional maupun organik, salah satunya adalah
refluks esofagitis yang dikaitkan dengan stres emosional.

Ilustrasi Kasus

Pasien perempuan 25 tahun datang dengan keluhan nyeri ulu hati


berulang sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Pasien
juga mengeluhkan mual, muntah, dada terasa nyeri, dan berdebar-
debar. Pasien berobat dan menjalani pemeriksaan endoskopi
dikatakan mengalami esofagitis grade A dan hiatal hernia. Pasien rutin
minum omeprazole2x20 mg dan rutin menghindari pantangan

282 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


makanan sesuai anjuran dokter. Namun keluhan masih berulang.
Pasien berobat kembali dan dilakukan endoskopi ulang, dikatakan
esofagitis grade B. Pasien sering merasa cemas dan khawatir akan hasil
akhir akan setiap pekerjaan yang dijalaninya. Pasien juga sulit tidur
apabila sedang merasa cemas. Pasien dirujuk ke Poli Psikosomatik dan
diketahui mengalami gangguan cemas menyeluruh. Pasien mendapat
psikoterapi dan psikofarmaka berupa alprazolam 1x0.25 mg dan
sertraline 1x25 mg selama 4 minggu. Pada kontrol berikutnya, pasien
mengatakan mengalami perbaikan.

Diskusi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Choi et al, dilaporkan


bahwa penyakit refluks esofageal berhubungan secara signifikan
dengan ansietas (adjusted OR, 2.20; 95% IK, 1.27–3.81). Pasien dengan
ansietas pun dilaporkan memiliki risiko 3.2x lebih tinggi untuk
mengalami refluks esofagitis berdasarkan penelitian Jansson et al.
Penelitian yang dilakukan oleh Song et al juga menunjukkan bahwa
skor ansietas pada pasien dengan refluks esofagitis lebih tinggi
dibandingkan kontrol.

Kesimpulan

Ansietas memiliki peran yang penting pada terjadinya esofagitis. Oleh


karena itu, pasien yang mengalami esofagitis perlu dilakukan evaluasi
terhadap stress dan ansietas yang dapat menjadi pencetusnya.

References:

1. Choi JM, Yang JI, Kang SJ, Han YM, Lee J, Lee C, Chung SJ, Yoon DH,
Park B, Kim YS. Association Between Anxiety and Depression and
Gastroesophageal Reflux Disease: Results From a Large Cross-
sectional Study. J Neurogastroenterol Motil. 2018 Oct 1;24(4):593-
602. doi: 10.5056/jnm18069.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 283


2. Yang XJ, Jiang HM, Hou XH, Song J. Anxiety and depression in
patients with gastroesophageal reflux disease and their effect on
quality of life. World J Gastroenterol. 2015 Apr 14;21(14):4302-9.
doi: 10.3748/wjg.v21.i14.4302. PubMed PMID: 25892882; PubMed
Central PMCID: PMC4394093.
3. Jansson C, Nordenstedt H, Wallander MA, Johansson S, Johnsen R,
Hveem K, Lagergren J. Severe gastro-oesophageal reflux symptoms
in relation to anxiety, depression and coping in a population-based
study. Aliment Pharmacol Ther. 2007;26:683–691

284 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


LAPORAN KASUS ARTRITIS SEPTIK
SALMONELLA PADA PASIEN LUPUS
ERITEMATOSUS SISTEMIK

Cindy Yusuf, Mario Steffanus

Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran dan Ilmu


Kesehatan UNIKA Atma Jaya / RS Atma Jaya, Jakarta

ABSTRAK

Pendahuluan

Pasien lupus eritematosus sistemik (LES) mudah mengalami infeksi


sekunder, seperti artritis septik, yang menyebabkan peningkatan
mortalitas. Mikroorganisme yang umumnya ditemukan pada artritis
septic adalah Stafilokokus aureus, Hemofilus influenza tipeB, dan
Streptokokus, sedangkan, infeksi piogenik pada sendi akibat
Salmonella hanya terjadi pada 1% kasus, sehingga merupakan
manifestasi ekstra intestinal yang penting terutama pada pasien
imunosupresi.

Ilustrasi Kasus

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 285


Pasien wanita 25 tahun datang dengan keluhan nyeri pada lutut kiri
yang disertai bengkak dan kemerahan sejak 1 minggu. Pasien sudah
terdiagnosisLES sejak 3 bulan sebelumnya, terkontrol dengan
metilprednisolon dan mikofenolatmofetil. Pemeriksaan fisik genu kiri
didapatkan hasil inspeksi tampak kemerahan dan bengkak, palpasi
teraba bengkak dan hangat, disertai penurunan range of motion pada
fleksi dan ekstensi. Pada pemeriksaan penunjang didapatkan kadar
hemoglobin 12,4 g/L dan leukosit 15,26× 106/L. Pemeriksaan aspirasi
cairan sendi genu kiri menunjukkan cairan sendi berwarna kuning,
keruh, terdapat 80.000 eritrosit/mm3, 58.750 leukosit/mm3, dan
kristal monosodium urat monohidrat negatif. Pada pewarnaan Gram
tidak terdapat bakteri diplokokus Gram negatif. Pada pemeriksaan
kultur cairan sendi didapatkan bakteri Salmonella. Pasien diberikan
terapi antibiotik ceftazidim dan Siprofloksasin. Kondisi pasien
kemudian berangsur membaik.

Diskusi
Salmonella merupakan bakteri basil Gram negatif yang dapat
menginfeksi manusia dan hewan, serta dapat berperan sebagai karier.
Infeksi pada individu imunokompeten dapat dieradikasi dengan
mudah, namun pada pasien imunosupresi, infeksi dapat menyebar
secara hematogenik dan membentuk lesifokal. Infeksi dapat
diakibatkan oleh reaktivasi infeksi laten, infeksi baru, atau keduanya.
Faktor predisposisi artritis septik akibat Salmonella adalah nekrosisa

286 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


vaskuler. Penggunaan steroid dapat menganggu aliran darah
mikrovaskular tulang dan menyebabkan kolonisasi infeksi Salmonella.

Kata Kunci :Artritis Septik, Salmonella, Lupus Eritematosus Sistemik,


Laporan Kasus

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 287


ANSIETAS SEBAGAI PEMICU TERJADINYA
ULKUS PEPTIKUM

Eddy Chandra, Rudi Putranto, Hamzah Shatri

Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Psikosomatik dan Paliatif

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, Jakarta

Pendahuluan :

Riskesdas melaporkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional


penduduk Indonesia tahun 2018 (9.8%) semakin meningkat sebanyak
2.8% dibandingkan tahun 2013.1 Stresorpsikis dapat mempengaruhi
keseimbangan saraf otonom yang dimana pada saluran cerna
mempengaruhi sekresi, motilitas, vaskularisasi, dan ambang nyeri.2

IlustrasiKasus :

Laki-laki 54 tahun, menikah, seorang guru dating dengan keluhan


perut kembung sejak 8 tahun yang lalu dan memberat 1 bulanterakhir.
Pasien sudah berobat dan dilakukan endoskopi saluran cerna bagian
atas tahun 2011 dengan hasil gastritis. Februari 2019, keluhan tetap
ada, dilakukan endoskopi ulang dengan hasil tukak lambung dan
diberikan obat-obatan. Evaluasi endoskopi pada bulan April 2019
didapatkan tukak lambung perbaikan namun keluhan masih tetap
dirasakan. Pasien juga mengeluh tidur sering terbangun, sering merasa
cemas karena penyakitnya sejak 8 tahun yang lalu. Pasien didiagnosis

288 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


gangguan cemas menyeluruh. Heart Rate Variablility menunjukkan
aktivitas parasimpatis yang dominan.

Diskusi :

Goodwin RD dan Stein MB melaporkan bahwa ansietas terutama jenis


gangguan cemas menyeluruh berhubungan dengan meningkat nyaris
ikoulkuspeptikum (OR, 2.8; 95% IK, 1.4-5.7; p=0.0002).3 Pada
kondisiansietas, terjadi ketidakseimbangan vegetative akibat
disregulasi system saraf otonom yang menimbulkan keluhan fisik baik
fungsional maupun organik.2,4 Pada kasus ini, ansietas yang
berlangsung lama dapat menyebabkan hipertoni parasimpatis pada
saluran cerna sehingga terjadi hipersekresi asam lambung, dimana hal
ini merupakan faktor resiko terjadinya erosi mukosa lambung dan
ulkus peptikum.5 Diagnosis dan tata laksana ansietas sejak dini dapat
menurunkan resiko terjadinya gangguan organik dan meningkatkan
kualitash idup pada pasien.

Referensi :

1. Hasil utamariskesdas 2018. Kementerian Kesehatan Badan


Penelitian dan PengembanganKesehatan. 2019. [Diakses 1
Agustus 2019]. Diunduhdari : http://www.depkes.go.id/
resources/download/info-terkini/materi_rakorpop_2018/
Hasil%20 Riskesdas%202018.pdf
2. Murni AW. GangguanPsikosomatikSaluranCerna. Dalam
:Setiati S, Alwi I, Sudoyo A W, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam A F. Buku Ajar IlmuPenyakitDalam. Jilid III (VI). Jakarta
:Interna Publishing; 2014 : h. 3585-92.
3. Goodwin,R.D, Stein M.B. 2002. Generalized anxiety disorder
and peptic ulcer disease among adults in the United States.
Psychosomatic Medicine.2002; 64(6): h.862-66
4. Budihalim S, Mujaddid E. KedokteranPsikosomatik
:Pandangandarisudutilmupenyakitdalam. Dalam :Setiati S,

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 289


Alwi I, Sudoyo A W, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A F.
Buku Ajar IlmuPenyakitDalam. Jilid III (VI). Jakarta :Interna
Publishing; 2014 : h. 3565-68.
5. Budihalim S, Sukatman D, Mujaddid E.
KetidakseimbanganVegetatif. Dalam :Setiati S, Alwi I, Sudoyo
A W, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam A F. Buku Ajar
IlmuPenyakitDalam. Jilid III (VI). Jakarta :Interna Publishing;
2014 : 3574-77

290 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Laporan Kasus

KANKER TIROID SEBAGAI KANKER SEKUNDER PADA


KANKER PAYUDARA

Jessica Novia Hadiyanto1, Ikhwan Rinaldi1, Abdul Muthalib1, Barlian


Sutedja2, Diah Rini Handjari3, Tjondro Setiawan4, Judy Tjahjaindra4

1
Divisi Hematologi Onkologi Medik, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS Cipto
Mangunkusumo, Jakarta;

Unit Bedah, RS Gading Pluit, Jakarta;


2

Unit Patologi Anatomik, RS Gading Pluit, Jakarta;


3

4
Unit Radiologi, RS Gading Pluit, Jakarta

Pendahuluan

Angka kejadian kanker tiroid sekunder pada wanita dengan riwayat


kanker payudara primer sebanyak 3-34% dengan rata-rata interval
4tahun setelah diagnosis kanker payudara ditegakkan. Kami

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 291


melaporkan wanita dengan kanker payudara primer diikuti kanker
tiroid sekunder5 tahun kemudian.

Ilustrasi Kasus

Wanita usia 49 tahundengan obesitas derajat 1, memiliki riwayat


benjolan payudara kiri tahun 2014yang telah dilakukan
cryosurgerydan biopsi dengan hasilT4N0M0 derajat IIIBinvasive ductal
carcinoma. Pemeriksaan imunohistokimia ER positif, PR positif dan
HER2 negatif. Pasien mendapatkan kemoterapi docetaxel dan CIS-
platinum sebanyak 6 siklus diikuti terapi hormonal tamoxifen. Pasien
kontrol rutin sampai pemeriksaan PET-CT Februari 2018 menunjukkan
kesan relaps, metastasis kelenjar getah bening, paru dan
tulang.Kemoterapi kembali diberikan sebanyak 6 siklusdilanjutkan
radioterapi dan terapi hormonal. Evaluasi PET-CT Maret 2019
menunjukkan kesan relaps tanpa metastasis tetapi
ditemukankalsifikasi pada tiroid. DilakukanFNAB tiroid, hasil
karsinoma papiler tiroid.Pasien dilakukan eksisi luas payudara kiri dan
tiroidektomi total dengan hasil patologi karsinoma payudara telah
nekrotik, bebas tumor dan karsinoma papiler tiroid bilateral. Pasien
kemudian menjalani tindakan ablasi 12 minggu pasca operasi, terapi
hormonal dan euthyrax.

292 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Diskusi
Wanita dengan kanker payudara memiliki risiko 1,55 kali lebihtinggi
terkena kanker tiroid, terutama pasien obesitas, karena kadar
estrogen yang tinggi memicu sekresi TSHserta karsinogenesis tiroid.
Detection bias, efek terapi kanker primer dan kerentanan genetik juga
meningkatkan risiko.Penting melakukan edukasi kepada pasien
dengan kanker primer yang telah menjalani kemoterapi untuk tetap
melakukan surveillance rutin.

Kata Kunci : Kanker Payudara, Kanker Tiroid, Kanker primer, Kanker


sekunder.

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 293


HIGH DOSE DEXAMETHASONE SEBAGAI
TATA LAKSANA ITP PADA PERIODE PERIPARTUM:
SEBUAH LAPORAN KASUS

Asiyah N Fadila1, Tulus Widiyanto2, Edison YP Saragih3


1Program Studi Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
2Departemen Ilmu PenyakitDalam, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, RumahSakit Cipto Mangunkusumo Jakarta


3Divisi Ilmu Penyakit Dalam, RSUD KabupatenTangerang

Pendahuluan: Immune Thrombocytopenia (ITP) merupakan suatu


kelainan didapat berupa gangguan autoimun yang menyebabkan
trombositopenia. ITP terjadipada 0,2%dariseluruhkasuskehamilan,
danseringkaliterjadipada trimester pertamadankedua.

IlustrasiKasus: Pasien wanita, 27 tahun, hamil G1P0A0 37-38 minggu


dating ke Rumah Sakit dengan keluhan kelua darah dari vagina sejak 1
hari SMRS. Pasien juga mengeluh lemas sejak 3 hari SMRS. Rambut
rontok, malar rash, atralgia, nyeri kepala, penurunan kesadaran, dan
riwayat kuning tidak ada. Tampak petekie dan purpura pada
ekstremitas bawah, hepar dan limpa tidak teraba. Pada pemeriksaan
darah perifer lengkap ditemukan Hb:10,9 mg/dL, Ht 33%, Leukosit
12200/mm3, Platelet 42000/mm3.

Pasien diberikan terapi Deksametason pulse dose (2 x 15 mgdan 1x10


mg per hari) selama empat hari. Terjadi peningkatan trombosit pada
hari pertama (50000 /mm3). Pada hari pengobatan kedua, pasien
diberikan transfusi TC sebanyak 10 U karena direncanakan untuk
dilakukan operasi sesar. Terjadi peningkatan trombosit pada hari
pengobatan kedua, dan ketiga, namun terjadi sedikit penurunan pada

294 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


hari keempat (75000 /mm3, 91000/mm3, 82000/mm3). Pasien
melahirkan bayi perempuan secara normal, pada hari pengobatan
keempat. Jumlah perdarahan saat persalinan 180 mL, dengan
trombosit paska persalinan adalah 73000/mm3. Pasien mendapatkan
terapi predinosone 3 x 10 mg, sebagai obat pulang.

Kesimpulan: Immune Thrombocytopenia (ITP) merupakan kelainan


autoimun yang menyebabkan trombositopenia yang dapat terjadi
pada ibuhamil. Deksametason dapat diberikan pada pasien hamil
aterm, dan bermanfaat untuk efek maturase pulmonal dan juga untuk
menekan sistem imun pada ITP.

Referensi:

1. Stavrou E, McCrae KR. Immune thrombocytopenia in


pregnancy. HematolOncolClin North Am. 2009;23(6):1299–
1316. doi:10.1016/j.hoc.2009.08.005
2. Gernsheimer, T., James, A. H., & Stasi, R. How I treat
thrombocytopenia in pregnancy. Blood. 2013;121(1): 38-47.
Doi:10.1182/blood-2012-08-448944

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 295


PREVALENSI KETIDAKPATUHAN KUNJUNGAN KONTROL
PADA PASIEN HIPERTENSI YANG BEROBAT DI FASILITAS PELAYANAN
TINGKAT PERTAMA (FKTP) DAN FAKTOR-FAKTOR
YANG MEMPENGARUHINYA

Puri Prameshwari, Duddy Mulyawan Djajadisastra

Klinik Batari Husada, Buaran, Jakarta Timur

Pendahuluan

Menurut WHO, lebih dari 1 pada 5 orang dewasa di dunia mengalami


hipertensi, suatu kondisi yang menyebabkan sekitar setengah dari
seluruh kematian akibat stroke dan penyakit jantung. Komplikasi dari
hiperensi tercatat sekitar 9,4 juta kematian di seluruh dunia setiap
tahun. Menurut Riskesdas 2018, terjadi kenaikan prevalensi hipertensi
yang diukur di masyarakat dari 25,8% di tahun 2013 menjadi 34,1 di
tahun 2018. Namun terjadi penurunan prevalensi yang minum obat
dari 9,5% menjadi 8,8%, berturut-turut di tahun 2013 dan 2018. Belum
didapatinya penelitian yang menghubungkan kepatuhan minum dan
faktor yang mempengaruhinya pada pasien FKTP. Penelitian ini
dilakukan untuk menganalisis faktor yang berpengaruh dalam
kepatuhan berobat menurut jenis kelamin, usia, komorditas, dan
jumlah obat yang diresepkan.

296 | Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019


Metode
Penelitian ini merupakan studi retrospektif, melalui penelusuran
rekam medis pada pasien yang mengalami hipertensi yang berobat
antara bulan September 2018 – Agustus 2019.

Hasil
Dari 66 pasien yang menjadi subyek penelitian, 7 orang dieksklusi
karena alasan pindah fasilitas 4 orang, dirujuk ke RS 1 orang dan 2
orang belum genap 1 tahun pengobatan. Meski relatif berimbang,
pasien wanita sedikit lebih banyak 52,5 %. Berdasarkan klasifikasi JNC
8 - 2018 prevalensi terbesar adalah hipertensi derajat 1 mencapai
91,8 %. Tujuh puluh lima persen pasien mendapatkan 1 jenis obat dan
golongan Calcium Channel Blocker merupakan jenis obat yang
tersering diberikan. Prevalensi pasien yang kontrol kurang dari 10 kali
setahun mencapai 26,2%, dan penyebabnya 62,6% akibat kendala
pembayaran. Dari analisa bivariate tidak ditemukan hubungan
bermakna antara kepatuhan dengan jumlah obat yang dikonsumsi,
jenis kelamin dan usia.

Simpulan
Prevalensi ketidakpatuhan kontrol masih tinggi. Diperlukan penelitian
lanjutan untuk mengetahui faktor-faktor lain yang menjadi penyebab.

Kata Kunci: Faktor berpengaruh, hipertensi, ketidakpatuhan kontrol

Jakarta Internal Medicine in Daily Practice 2019 | 297

Anda mungkin juga menyukai