Anda di halaman 1dari 714

DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. OKTRIAN | DR.

LUTHER
DR. REZA | DR. CEMARA | DR. REYNALDO | DR. FAIZ

OFFICE ADDRESS:
Jakarta Medan
Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung
Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872 Sari, Kec. Medan Selayang 2013
WA. 081380385694/081314412212 WA/Line 082122727364

w w w. o p t i m a m e d i s . co m
ILMU
P E N YA K I T
DALAM
1. Reaksi hipersensitivitas
1. Reaksi hipersensitivitas
2. Hipertiroid
Hipertiroidisme

Kumar and Clark Clinical Medicine


Hipertiroid Primer & Sekunder

Human Physiology.
Klasifikasi Struma

Struma

Difusa Nodosa

Non Toksik Toksik Non Toksik Toksik

Konsumsi goitrogen :
Hashimoto Tiroidiitis,
PTU atau litihium dan Adenoma toksik,
Iodium Defisiensi Grave’s Disease
Iodium defisiensi (late Plummer’s Disease
(Early), Paparan radiasi
stage)
Graves’ disease(penyebab Manifestasi klinis hipertiroid
hipertiroid terbanyak) • Apathetic thyrotoxicosis
• Pr:Lk5–10:1, usia terbanyak – dpt terjadi pada org tua dengan
40 - 60 thn satu2nya gejala berupa letargi

• Antibodi tiroid (+): TSI atauTBII • Thyroid storm/krisis


(+pada 80%), anti-TPO, tiroid(mengancam jiwa,
antithyroglobulin; ANA mortalitas 20–50%):
• Manifestasi klinis yaitu gejala – delirium, demam, takikardia,
hipertiroid ditambah: – hipertensisistolik dengan tekanan
nadi melebar &↓MAP, gejala
– Goiter
pencernaan;
• diffusa, tdk nyeri, terdengar
bruit
– ophthalmopati: 90% kasus
• Edema periorbital, retraksi
kelopak, proptosis
– myxedema pretibial (3%):
• edema di tungkai bawah akibat
dermopati infiltratif
Pemeriksaan penunjang • Hipertiroid Subklinis
• ↑FT4 &FT3; ↓TSH (↑ pada sebab
sekunder) – ↓TSH ringan &free T4
• RAIU scan utk menentukan normal,tanpa gejala klinis
penyebab – 15%  hipertiroid dlm 2 thn;
• Tidak perlu periksa autoantibodi ↑resiko AF & osteoporosis
kecuali pada kehamilan (resiko fetal
Graves)
• Dapat terjadi hipercalciuria,
hipercalcemia, anemia
• Indeks Wayne
– Skor>19 hipertiroid
– Skor<11 eutiroid
– Antara 11-19 equivocal
2. Pemeriksaan
Hipertiroid

• The diagnosis of hyperthyroidism is based upon thyroid function tests. In patients in whom there is
a clinical suspicion of hyperthyroidism, the best initial test is serum TSH.
Penyakit Endokrin
20.
Radioactive Iodine
3. PENYAKIT HEPATOBILIER
3. Cholecystitis
• Cholecystitis is inflammation of the gallbladder that occurs
most commonly because of an obstruction of the cystic
duct by gallstones arising from the gallbladder
(cholelithiasis).
• Clinical symptoms of acute cholecystitis include abdominal
pain (right upper abdominal pain), nausea, vomiting, and
fever
• Jaundice may be noted in approximately 15% of patients
• Murphy’s sign are the characteristic findings of acute
cholecystitis.
• A positive Murphy’s sign has a specificity of 79%–96% for
acute cholecystitis.
Penyakit Hepatobilier
• Diagnosis kolesistitis:
– Murphy sign atau nyeri tekan
abdomen kanan atas
– Demam, leukositosis, atau
peningkatan CRP
– USG: ditemukan batu (90-95%
kasus), tanda inflamasi kandung
empedu (penebalan
dinding/double rim cairan
perikolesistik, dilatasi duktus
biliaris)

• Temuan lab lainnya:


– aminotransferase meningkat
sedang (biasanya <5 kali batas atas)
– Bilirubin meningkat ringan (<5
mg/dL), bila tinggi kemungkinan
koledokolitiasis

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed. McGraw-Hill


Pocket medicine. 4th ed. Lippincott Williams & Wilkins.
Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Penyakit Hepatobilier
• Temuan USG kolesistitis:
– Sonographic Murphy sign
(nyeri tekan timbul ketika
probe USG ditekan ke arah
kandung empedu)
– Penebalan dinding kandung
empedu (>4 mm)
– Pembesaran kandung
empedu (long axis diameter
>8 cm, short axis diameter
>4 cm)
– Impacted stone,
pericholecystic fluid
collection
Diagnostic criteria and severity assessment of acute cholecystitis: Tokyo Guidelines. J Hepatobiliary Pancreat
Surg. 2007 Jan; 14(1): 78–82.
Murphy sign
Penyakit Hepatobilier
Kolesistitis
• Terapi Medik
– Puasa, NGT, tatalaksana cairan & elektrolit
– NSAID untuk analgesik karena lebih sedikit menimbulkan
spasme sfingter Oddi daripada morfin.
– Antibiotik IV: piperacillin, ampicillin sulbactam,
ciprofloxacin, moxifloxacin, & sefalosporin generasi 3.
• Terapi Bedah
– Waktu optimal untuk operasi tergantung kestabilan pasien.
– Kolesistektomi dini (dalam 72 jam) merupakan terapi
pilihan pada sebagian besar pasien kolesistitis akut.
Lokasi Nyeri Anamnesis Pemeriksaan Pemeriksaan Diagnosis Terapi
Fisis Penunjang
Urea breath test (+): H.
pylori
Membaik dgn makan PPI: ome/lansoprazol
Endoskopi:
Nyeri epigastrik (ulkus duodenum), H. pylori:
Tidak spesifik eritema (gastritis akut) Dispepsia
Kembung Memburuk dgn makan klaritromisin+amoksili
atropi (gastritis kronik)
(ulkus gastrikum) n+PPI
luka sd submukosa
(ulkus)

Nyeri tekan & defans,


Gejala: mual &
perdarahan
muntah, Demam Peningkatan enzim Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik retroperitoneal
Penyebab: alkohol amylase & lipase di Pankreatitis Nutrisi enteral
menjalar ke punggung (Cullen: periumbilikal,
(30%), batu empedu darah Analgesik
Gray Turner:
(35%)
pinggang), Hipotensi

Prodromal (demam,
Nyeri kanan atas/ Transaminase, Serologi
malaise, mual)  Ikterus, Hepatomegali Hepatitis Akut Suportif
epigastrium HAV, HBSAg, Anti HBS
kuning.
Risk: Female, Fat,
Fourty, Hamil Nyeri tekan abdomen
Nyeri kanan atas/ USG: hiperekoik dgn Kolesistektomi
Prepitasi makanan Berlangsung 30-180 Kolelitiasis
epigastrium acoustic window Asam ursodeoksikolat
berlemak, Mual, TIDAK menit
Demam

Resusitasi cairan
Nyeri epigastrik/ USG: penebalan dinding
Mual/muntah, AB: sefalosporin gen.
kanan atas menjalar Murphy Sign kandung empedu Kolesistitis
Demam 3 + metronidazol
ke bahu/ punggung (double rims)
Kolesistektomi
4. Infeksi Saluran Kemih
• Escherichia coli is by far the most frequent cause
of uncomplicated community-acquired UTIs.

• Other bacteria frequently isolated from patients


with UTIs are:
Klebsiella spp.,
other Enterobacteriaceae,
Staphylococcus saprophyticus, and
enterococci.
4. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
4. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
• Rute infeksi saluran kemih:
Ascending
• kolonisasi uretra, lalu infeksi menyebar ke atas
Hematogen
• bakteri ke ginjal berasal dari bakteremia
Limfogen
•dari abses retroperitoneal atau infeksi intestin
4. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
4. Infeksi Saluran Kemih
• Pielonefritis
 Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis
 Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare,
 Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit
esterase +.
• Sistitis:
 Inflamasi pada kandung kemih
 Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin berbau,
 Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+) nitrit +/-.
• Urethritis:
 Inflamasi pada uretra
 Disuria, frekuensi, pyuria, duh tubuh.
 Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+), nitrit (-).
4. Tatalaksana Sistitis Akut
• Guideline IDSA/EAU
Recommended:
 Nitrofurantoin
 Trimetoprim-
Sulfametoksazole
 Fosfomycin trometamol
 Pivmecillinam

• Amoxicillin or ampicillin
should not be used for
empirical treatment given
the relatively poor efficacy
4. Tatalaksana Sistitis Akut
• Berdasarkan pedoman IAUI
• Antibiotik pilihan pada terapi sistitis akut
adalah:
Nitrofurantoin, cephalosporin generasi ke 2 dan 3,
fluoroquinolone, Aminopenisilin + BLO (beta
lactamase inhibitor)
5. Anemia
• Menurut WHO, anemia merupakan keadaan
dimana terjadi pengurangan jumlah sel darah
merah, baik itu dalam kadar hemoglobin dan
atau hematokrit, selama volume darah total
dalam batas normal
• WHO memakai standard kadar Hb < 12,5 g/dL
untuk dapat menegakkan diagnosis anemia
• Di Amerika, digunakan batas Hb < 13,5 g/ dL
untuk laki-laki dan <12,5 dL untuk perempuan.
5. Gejala anemia
• Gejala dapat bervariasi
• Pada anemia karena
kehilangan darah yang akut,
lemah atau pun tidak
sadar.
• Sementara pada keadaan
pendarahan kronisbadan
lemah atau bahkan tidak
bergejala sama sekali.
• Pada anemia hemolisis
perubahan warna kulit
menjadi warna kuning
(ikterus) karena proses
hemolisis yang menghasilkan
bilirubin
5. Anemia
5. Defisiensi Vitamin B12
Etiologi
• Pernicious anemia (lack of intrinsic factor)—most
common cause in the Western hemisphere
• Gastrectomy / Bariatric surgery
• Poor diet (e.g., strict vegetarianism); alcoholism
• Crohn’s disease, ileal resection (terminal ileum
approximately the last 100 cm)
• Other organisms competing for vitamin B12
Diphyllobothrium latum infestation (fish tapeworm)
Blind-loop syndrome (bacterial overgrowth)
Absorbsi Vitamin B12
Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi Vitamin B12
Diagnosis
• Apusan darah tepi
 Megaloblastik anemia
 Hypersegmented neutrofil
• Vit B 12 serum rendah (<
100pg/mL)
• Meningkatnya kadar asam
metilmalonic dan
homosistein
• Antibodi thdp faktor
intrinsik (pd anemia
pernisiosa)
• Schiling test
Defisiensi Vitamin B12
• Numerous
treatment regimens
have been
proposed, including
cobalamin 1000
mcg IM/SC daily for
5 days followed by
1000 mcg/wk for 5
weeks, then 100-
1000 mcg/mo for
life.
Defisiensi B12 & asam folat – Etiologi
5. Defisiensi Asam Folat
6. IBD

Inflamasi idiopatik
dan kronik pada
GI tract

Crohn Disease Ulcerative Kolitis

• Diare • Diare dengan / tanpa darah


• Biasanya pada terminal • Tenesmus, nyeri rektal,
ileum  Nyeri abdomen pasasu mucus
kanan bawah, memberat • Tempat paling sering rectum
setelah makan  Nyeri kiri bawah
• Transmural
Cheifettz A. Management Active Crohn Disease. 0 JAMA, May 22/29, 2013—Vol 309, No. 20
Gambaran Radiologi Pada IBD

Single-contrast enema study in a patient with Crohn disease. Crohn colitis. Double-contrast
total colitis shows mucosal ulcers with a variety barium enema study demonstrates marked
of shapes, including collar-button ulcers, in ulceration, inflammatory changes, and
which undermining of the ulcers occurs, and
narrowing of the right colon.
double-tracking ulcers, in which the ulcers are
Gambaran Radiologi Kolitis Ulceratif

Button type = deep ulcer penetrating the


muscularis mucosae undermining the
submucosal fat Flask like ulcers with flat base
Barium Enema UC
Gambaran Radiologi Kolitis Ulceratif

Acute stage
Fine mucosal granularity
- First sign
Narrowing of lumen
Collar button ulcers

Wide and deep Base


Narrow neck Intestinal
Lumen
Gambaran Radiologi Kolitis Ulceratif

Double tracking = is spreading


of these ulcer result in large
round or linear ulcers
paralleling the course of
longitudinal muscle (taenia
coli) these are longitudinal
ulcers in submucosa.
Gambaran Radiologi Kolitis Ulceratif

Acute stage
Fine mucosal granularity
- First sign
Narrowing of lumen
Gambaran Radiologi Kolitis Ulceratif

Acute stage
Fine mucosal granularity
- First sign
Narrowing of lumen
Collar button ulcers
Pseudopolyps - 'island'
of preserved colonic
mucosa, surrounded by
'sea' of ulcerated
hemorrhagic mucosa
Gambaran Radiologi Kolitis Ulceratif

Chronic stage
Loss of haustrations
Shortened and
narrowed colon – due to
spasm or fibrosis
(Lead-pipe colon)
Gambaran Radiologi Chron Disease

Aphthous ulcers – First


sign
Gambaran Radiologi Chron Disease

Aphthous ulcers – First


sign
Cobblestone
appearance - due to
deep fissuring ulcers
around inflamed
mucosa
Gambaran Radiologi Chron Disease
Aphthous ulcers – First
sign
Cobblestone
appearance
String sign – due to
spasm or fibrosis of
intestinal wall
Gambaran Radiologi Chron Disease

Aphthous ulcers – First


sign
Cobblestone
appearance
String sign
Fistulas, strictures,
abscesses

Ileo-Ileal Fistula
Divertikulum Kolon
• tumbuhnya kantong-kantong pada dinding mukosa
kolon
• Biasanya asimtomatik namun pada beberapa kasus
tertentu pasien mengeluhkan feses berdarah
Diagnosis Characteristic
Crohn disease diarrhea; abdominal pain that is usually insidious in the right lower
quadrant, triggered or aggravated frequently after meals; weight loss;
& an association with a tender, inflammatory mass in the right lower
quadrant. The diarrhea is usually nonbloody.
Colitis ulcerative diarrhea, with or without blood in the stool. If inflammation is
confined to the rectum (proctitis), blood may be seen on the surface
of the stool; other symptoms include tenesmus, urgency, rectal pain,
and passage of mucus, without diarrhea.
Colon carcinoma Lesions of the right colon commonly ulcerate, leading to chronic,
insidious blood loss without a change in the appearance of the stool
 anemia of iron deficiency  fatigue, palpitations, & even angina
pectoris.

Since stool becomes more formed as it passes into the transverse &
descending colon, tumors of the left colon tend to impede the passage
of stool, resulting in the development of abdominal cramping,
occasional obstruction, & even perforation.
Diverticulosis Uncomplicated Diverticular Disease—75% : abdominal pain, fever,
leukocytosis, anorexia, obstipation.
Complicated Diverticular Disease—25%: abscess, perforation, stricture,
fistula.
Polyp Mostly asymptomatic, some can cause bleeding.
7. Malaria
• Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit
Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan
nyamuk anopheles. Berdasarkan jenis
plasmodiumnya, infeksi malaria ini dapat
menimbulkan berbagai gejala antara lain:
– Plasmodium vivax  malaria tertian benigna/malaria
vivax
– Plasmodium falciparum  malaria tertiana maligna/
malaria Tropicana
– Plasmodium malariae  malaria kuartana
– Plasmodium ovale  malaria tertian benigna ovale
Malaria
Malaria
Malaria
Malaria the disease

• 9-14 day incubation


period
• Fever, chills, headache,
back and joint pain
• Gastrointestinal
symptoms (nausea,
vomiting, etc.)
Malaria the disease

• Malaria tertiana: 48h


between fevers (P. vivax
and ovale)

• Malaria quartana: 72h


between fevers (P.
malariae)

• Malaria tropica: irregular


high fever (P. falciparum)
Tatalaksana Malaria Falciparum

• Lini pertama
– Menggunakan ACT (dihydroartemisinin piperakuin
(DHP) atau artesunat + amodiakuin) selama 3 hari +
primakuin dosis tunggal

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama)


– Kina + doksisiklin/ tetrasiklin + primakuin
– Dosis:
• Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari
• Primakuin: 0.25 mg/kgBB
Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale

• Lini pertama
– Menggunakan ACT (dihydroartemisinin piperakuin (DHP) atau
artesunat + amodiakuin) selama 3 hari + primakuin dosis tunggal
– Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin
diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama)


– Kina + primakuin
– Dosis:
• Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari
• Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (0.5 mg bila relaps)
Tatalaksana Malaria Malariae dan Malaria Mix
(Falciparum + Vivaks)

• Malaria malariae
– ACT 1x/hari selama 3 hari

• Malaria Mix
– ACT
– Hari 1-14 primakuin dosis 0.25 mg/kgBB
• Tetrasiklin/ doksisiklin dikontraindikasikan pada ibu hamil dan
anak < 8 tahun
• Primakuin dikontraindikasikan pada bayi < 6 bulan dan ibu
hamil (Depkes, 2017)
• Tatalaksana malaria pada ibu hamil pada trimester 1 s.d. 3
adalah ACT selama 3 hari TANPA primakuin, baik malaria
falciparum maupun vivaks
7.Malaria
Catatan :
• Sebaiknya dosis pemberian DHP
berdasarkan berat badan, apabila
• penimbangan berat badan tidak dapat
dilakukan maka pemberian
• obat dapat berdasarkan kelompok
umur.
• a. Apabila ada ketidaksesuaian antara
umur dan berat badan
• (pada tabel pengobatan), maka dosis
yang dipakai adalah
• berdasarkan berat badan.
• b. Apabila pasien P.falciparum dengan
BB >80 kg datang kembali
• dalam waktu 2 bulan setelah
pemberian obat dan pemeriksaan
• Sediaan Darah masih positif
P.falciparum, maka diberikan DHP
• dengan dosis ditingkatkan menjadi 5
tablet/hari selama 3 hari.
Catatan :
• Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan,
apabila penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka
pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur.
• Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan
(pada tabel pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah
berdasarkan berat badan.
• Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat
badan ideal.
• Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
8. Penyakit katup Jantung
8. Penyakit Katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease.


8. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
8. Penyakit katup Jantung

Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
9. Osteoporosis
• Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan
densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur
tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah.
• Compromised bone strength
• Tipe osteoporosis
– Osteoporosis tipe I  pasca menopause (defisiensi esterogen)
– Osteoporosis tipe II  senilis (gangguan absorbsi kalsium di
usus)
• Faktor risiko osteoporosis
– Usia, genetik, lingkungan, hormon, sifat fisik tulang
• Dapat menyebabkan fraktur patologis
9. Klasifikasi Osteoporosis
9. Osteoporosis
Tanda dan Gejala
• Seringnya tanpa
gejala – silent
disease
• Gejala lain yang
dapat muncul
Nyeri punggung
Fraktur patologis
Penurunan tinggi
badan
Imobilisasi
Kifosis bertambah
Fraktur Kompresi pada Osteoporosis
• Wedge fractures –
collapse of the
anterior or posterior
of the vertebral body

• Biconcave
fractures – collapse of
the central portion of
both vertebral body
endplates

• Crush fractures –
collapse of entire
vertebral body
Ciri OA RA Gout Spondilitis
Ankilosa
Prevalens Female>male, >50 Female>male Male>female, >30 Male>female,
tahun, obesitas 40-70 tahun thn, hiperurisemia dekade 2-3
Awitan
Inflamasi
gradual
-
Arthritis gradual
+
akut
+
Variabel
+
Patologi Degenerasi Pannus Mikrotophi Enthesitis
Jumlah Sendi Poli Poli Mono-poli Oligo/poli
Tipe Sendi Kecil/besar Kecil Kecil-besar Besar

Predileksi Pinggul, lutut, MCP, PIP, MTP, kaki, Sacroiliac


punggung, 1st pergelangan pergelangan kaki Spine
CMC, DIP, PIP tangan/kaki, kaki & tangan Perifer besar
Temuan Sendi Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Kristal urat En bloc spine
Heberden’s nodes neck, Boutonniere enthesopathy
Perubahan Osteofit Osteopenia erosi Erosi
tulang erosi ankilosis

Temuan - Nodul subkutan, Tophi, Uveitis, IBD,


Extraartikular pulmonari cardiac olecranon bursitis, konjungtivitis,
splenomegaly batu ginjal insuf aorta,
psoriasis
Lab Normal RF +, anti CCP Asam urat
10. Abses Paru
• Abses Paru
– Proses supuratif lokal yang ditandai oleh nekrosis jaringan paru.

• Etiologi dan patogenesis


– Aspirasi materi infektif: alkoholisme akut, koma, anestesia, sinusitis,
gingivodental sepsis.
– Kelanjutan infeksi paru: abses post-pneumonic, biasanya oleh S.
aureus, K. pneumoniae, dan type 3 pneumococcus.
– Emboli septik
– Neoplasia: infeksi sekunder akibat obstruksi bronkopulmonar.
– Lain-lain: trauma langsung, perluasan infeksi dari organ sekitar
(supurasi esofagus, vertebra, ruang subfrenik, ruang pleura),
hematogen.
10. Abses Paru
• Sebagian besar
diagnosis ditegakkan
dari roentgen toraks.

• Kavitas abses memiliki


dinding yang terlihat
jelas mengelilingi
daerah lusen atau
adanya air fluid level
di area pneumonia.
10. Abses Paru
Diagnosis Karakteristik

Hidropneumotoraks Masuknya cairan dan udara ke rongga pleura. Dapat


disebabkan oleh ruptur kista hidatid, kista koksidioidomikosis.

Bulla pulmoner Bulla adalah dilatasi fokal ruang udara yang disebabkan oleh
gabungan dari area-area emfisema.

Tuberkulosis Batuk > 2 minggu, sesak, batuk darah, demam, keringat


malam, BTA (+), pada roentgen kavitas TB tidak disertai air
fluid level.

Efusi pleura Sesak, perkusi redup, pada roentgen tampak sinus


costofrenikus tumpul.
11. Demam rematik
• Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat
GABHS (Streptococcus pyogenes)
• Usia rerata penderita: 10 tahun
• Komplikasi: penyakit jantung reumatik
• Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis
GABHS setelah 1-5 minggu
• Pengobatan:
– Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/
ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I
– Dalam kasus demam rematik:
• Antibiotik: penisilin/eritromisin
• Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid
• Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview
Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings
• Migratory Polyarthritis • Characteristic murmurs of
– is the most common symptom acute carditis include
– (polyarticular, fleeting, and – the high-pitched, blowing,
involves the large joints) holosystolic, apical murmur of
– frequently the earliest mitral regurgitation;
manifestation of acute – the low-pitched, apical, mid-
rheumatic fever (70-75%). diastolic, flow murmur (Carey-
Coombs murmur);
• Carditis: – and a high-pitched,
decrescendo, diastolic murmur
– (40% of patients) of aortic regurgitation heard at
– and may include cardiomegaly, the aortic area.
new murmur, congestive heart – Murmurs of mitral and aortic
failure, and pericarditis, with or stenosis are observed in
without a rub and valvular chronic valvular heart disease.
disease.
Physical Findings
• Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies):
– 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers.
– They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists,
elbows, and knees.

• Erythema marginatum:
– 5% of patients.
– The rash is serpiginous and long lasting.

• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"):


– occurs in 5-10% of cases
– consists of rapid, purposeless movements of the face and upper
extremities.
– Onset may be delayed for several months and may cease when the
patient is asleep.
Rheumatic fever-treatment
• Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure
• Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting) 1.2
million units once(IM injection) or oral penicillin V 10 days, if allergic
to penicillin  erythromycin 10 days (antibiotic is given even if throat
culture is negative)
• Anti-inflammatory agents
Aspirin in anti-inflammatory doses effectively reduces all
manifestations of the disease except chorea, and the response
typically is dramatic.
• Aspirin 100 mg/kg per day for arthritis and in the absence of carditis- for 4-6 weeks
to be tapered off
• Corticosteroids If moderate to severe carditis is present as indicated by cardiomegaly,
third-degree heart block, or CHF, add PO prednisone to salicylate therapy -2 mg/kg per day
– for 2-6 weeks to be tapered off
Rheumatic fever- prevention
Secondary prevention – prevention of recurrent
attacks
• Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD
every 4 weeks
• Penicillin V 250 mg twice daily orally
• Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice
daily orally
Rheumatic fever- prevention
Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis
• Rheumatic fever + carditis + persistent valve
disease - 10 years since last episode or until 40
years of age, sometimes life long
• Rheumatic fever + carditis + no valvar disease –
10 years or well into adulthood whichever is
longer
• Rheumatic fever without carditis - 5 years or until
21 years whichever is longer
(Continous prophylaxis is important since patient may have
asymptomatic GAS infection)
TABEL KLASIFIKASI PGK BERDASARKAN
12. Gagal Ginjal DERAJATNYA
Derajat Deskripsi LFG (ml/mnt/1,73m2)
Kronik
• Definisi
• Kerusakan ginjal (renal damage) yang 1 LFG normal atau ↑ ≥ 90
terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan
struktural atau fungsional, dengan atau
2 Penurunan LFG ↓ ringan 60-89
tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG), dengan manifestasi:
– Kelainan patologis 3a Penurunan LFG ↓ ringan 30-59
– Terdapat tanda kelainan ginjal, hingga sedang
termasuk kelainan dalam komposisi
3b Penurunan LFG ↓
darah atau urin, atau kelainan dalam
tes pencitraan (imaging test). sedang hingga berat
• LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 4 15-29
selama 3 bulan, dengan atau tanpa Penurunan LFG ↓ berat
kerusakan ginjal.
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
Stage Kreatinin Terapi
Sumber: KDIGO 2012
1 Early ♀: < 1,5 ♂: < 2 Reserve progression
Klasifikasi di samping banyak digunakan, berdasarkan
guideline dari National Kidney Foundation. Rumus
2 Latent 1,5-2,5 Stop progression Kockroft-Gault dijadikan dasar penghitungan LFG.
3 Emergent 2,5-3,5 Slow progression

4 Imminent 3,5-5,0 Persiapan ESRD


LFG (ml/mnt/1,73m2) =
(140-umur) x BB* / 72x kretinin plasma (mg/dl)
5 ESRD > 5,0 Dialysis/
Transplantasi *pada perempuan dikalikan 0,85
12. Gangguan Ginjal Akut
Definisi

• kondisi penurunan mendadak faal ginjal


dalam 48 jam berupa
• kenaikan kadar kreatinin serum ≥0,3 mg/dl
(≥26,4 µmol/l), atau
• presentasi kenaikan kreatinin serum ≥50%
(1,5 kali kenaikan dari nilai dasar), atau
• pengurangan produksi urin (oligouria yang
tercatat ≤0,5 ml/kg/jam dalam waktu lebih
dari 6 jam).
Gambar 11. Klasifikasi GGA menurut RIFLE dan AKIN (Sumber:
Cruz,N.D.,et al, 2009. Critical Care 13:211).

• Klasifikasi
Klasifikasi interdisipliner internasional yang pertama kali untuk GGA adalah kriteria
RIFLE yang diajukan oleh The Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI). Kemudian ada
upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk mempertajam
kriteria RIFLE sehingga lebih awal dikenali.
• disebabkan oleh berbagai kondisi yang
GGA prerenal menimbulkan hipoperfusi ginjal →
(~55%) penurunan fungsi ginjal tanpa ada
kerusakan parenkim yang berarti.

• Kerusakan langsung pada parenkim ginjal. Proses


inflamasi memegang peranan penting pada
patofisiologi GGA yang terjadi karena iskemia..
GGA renal • Obstruksi renovaskular
• Penyakit pada glomerulus atau pembuluh darah
(~40%) • Nekrosis tubular akut
• Nefritis interstitial
• Obstruksi intratubular

• Gangguan yang berhubungan dengan


obstruksi saluran kemih.
GGA postrenal • Obstruksi ureter
(~5%) • Obstruksi leher vesica urinaria
• Obstruksi urethra
Patofisiologi GGA

Mekanisme GGA. ( Sumber: Lattanzio, M.R. dan Kopyt, N.P., 2009. New Concepts in Definition, Diagnosis, Pathophysiology, and Treatment, J Am
Osteopath Assoc, 109:13-19.).
Diagnosis GGA

Epidemiologi, gambaran klinis, dan diagnosis sebab mayor GGA. ( Sumber: Liu, D.K. dan Chertow, G.M., 2013. Harrison’s Principles of Internal
Medicine 18th edition, McGrawHill, chp. 279).
Terapi Spesifik
GGA Prerenal
 Pemberian terapi cairan pengganti harus disesuaikan dengan kondisi pasien.
 Pilihan cairan: Larutan Ringer Laktat (pilihan utama), larutan NaCL (berpotensi
menimbulkan asidosis hiperkloremik).
 Dosis: Pada pemberian awal →bolus cepat 1-2 liter pada dewasa dan 20 ml/kg
BB pada anak→ nilai respon untuk memutuskan penanganan lanjutannya.
Perhitungan jumlah total volume kristaloid yang dibutuhkan dikenal dengan 3
for 1 rule → mengganti setiap mililiter darah yang hilang dengan 3 ml kristaloid.
 Obat-obatan: pasien gagal jantung → agen inotropik, penurun preload dan
afterload, antiaritmia, atau tindakan invasif seperti intraaortic ballon pumps.
Selama pemberian terapi cairan, dokter harus memperhatikan timbulnya
ascites dan edema paru.
Terapi Spesifik

• GGA renal (~40%)


 NTA iskemik → pengembalian perfusi renal dilakukan dengan pemberian
resusitasi cairan dan agen vasopressor.
 NTA nefrotoksik → eliminasi agen nefrotoksiknya, juga dapat diberikan
penanganan spesifik untuk toksinnya, misalnya forced alkaline diuresis
dilakukan untuk rabdomiolisis, dan allopurinol/rasburicase untuk sindrom
lisis tumor.
 Glukokortikoid dan agen imunosupresan lainnya dapat diberikan pada GGA
renal yang lain seperti pada glomerulonefritis akut, vaskulitis renal, dan
nefritis intersititial alergik.

• GGA postrenal (~5%)


 Menghilangkan obstruksi
Terapi suportif dan pencegahan
komplikasi GGA
Kelebihan volume intravskular: pembatasan garam (1-
2 g/hari) dan air (<1 L/hari), diuretik (Furosemid),
ultrafiltrasi atau dialisis.
Hiponatremia: pembatasan asupan air (<1 L/hari),
hindari infus cairan hipotonik termasuk larutan yang
mengandung dextrose.
Hiperkalemia: pembatasan asupan kalium (<40
mmol/hari), hindari diuretik hemat kalium, gunakan
loop-diuretic untuk meningkatkan ekskresi kalium,
potassium binding ion-exchange resins (seperti
sodium polystyrene sulfonate atau Kayexelate), insulin
(10 U) dan glukosa (50 ml dekstrosa 50%) β2-agonis,
kalsium glukonas untuk stabilisasi miokardium.
Terapi suportif dan pencegahan
komplikasi GGA
 Asidosis metabolik: natrium bikarbonat (upayakan
bikarbonat serum >15 mmol/L, pH >7,2).
 Hiperfosfatemia:pembatasan asupan fosfat (800 mg/hari),
obat pengikat fosfat (kalium asetat, kalsium karbonat).
 Hipokalsemia: kalsium karbonat atau kaslium glukonat (10-
20 ml larutan 10%).
 Nutrisi: pembatasan asupan protein (0,8-1 g/kg BB/hari)
jika tidak dalam kondisi katabolik, karbohidrat (100 g/hari).
 Pemilihan agen terapi: hindari obat-obat nefrotoksis
seperti ACE inhibitor/ARB, eminoglikosida, NSAID,
radiokontras kecuali sangat membutuhkan dan tidak ada
alternatif lain.
Terapi Pengganti Ginjal
• Indikasi memulai terapi pengganti ginjal pada GGA:
 Oligouria: urine output<200 cc/ 12 jam
 Anuria: urine output<50 cc/ 12 jam
 Hiperkalemia: K+>6,5 mmol/L
 Asidemia berat: pH <7
 Azotemia: kadar urea >30 mmol/L
 Ensefalopati uremikum
 Neuropati/miopati uremikum
 Perikarditis uremikum
 Natrium abnormalitas plasma: Na+>155 mmol/L atau
<120 mmol/L
 Hipertermia
 Keracunan obat
13. Hepatitis
• Inflamasi hepar yang disebabkan oleh berbagai macam
penyebab.
• Penyebab hepatitis: autoimun, hepatitis imbas obat, virus,
alkohol, dan lain-lain.
• Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik yang dominan
menyerang hepar. Hepatitis jenis ini paling sering disebabkan
oleh virus hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E).
• Incubation periods
– hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks)
– hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks)
– hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks)
– hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.
13. Hepatitis B clinical course
HEPATITIS VIRUS
• HBsAg (the virus coat, s= surface)
– the earliest serological marker in the serum.
• HBeAg
– Degradation product of HBcAg.
– It is a marker for replicating HBV.
• HBcAg (c = core)
– found in the nuclei of the hepatocytes.
– not present in the serum in its free form.
• Anti-HBs
– Sufficiently high titres of antibodies ensure
imunity.
• Anti-Hbe
– suggests cessation of infectivity.
• Anti-HBc
– the earliest immunological response to HBV
– detectable even during serological gap.

Principle & practice of hepatology.


13. Hepatitis
14. Sindrom Koroner Akut
• Gejala khas
 Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan
kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati.
 Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.

• Gejala tidak khas:


 Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati).
 Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah
yang sulit dijabarkan.
 Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit
ginjal kronik/demensia.

• Angina stabil:
 Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut),
berlangsung 2-5 menit,
 Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat &
nitrogliserin sublingual.

Penatalaksanaan STEMI, PERKI


14. Sindrom Koroner Akut
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
14. ACS
14. ACS
15. Tuberkulosis
• Penyakit infeksi yang di sebabkan oleh
mycrobacterium tubercolosis dengan gejala
yang sangat bervariasi
• Kuman TB berbentuk batang, memiliki sifat
tahan asam terhadap pewarnaan Ziehl
Neelsen sehingga dinamakan Basil Tahan
Asam (BTA).
Tanda dan Gejala
1. Gejala lokal/ gejala respiratorik
 batuk - batuk > 2 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
2. Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam,
anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan fisik
• Pada TB paru
• tergantung luas kelainan struktur paru. Umumnya terletak di daerah
lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior, serta
daerah apex lobus inferior.
• Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas
bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah.
• Pleuritis TB
• kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga
pleura.
• Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang
melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
• Pada limfadenitis TB
• terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher
(pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah
axila
Alur Diagnosis TBDan TBResistan Obat Di Indonesia

Terduga TB

Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat
15. Tuberculosis
dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)

Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)

Tidak memiliki akses untuk TCM TB Memiliki akses untuk TCM TB

Pemeriksaan Mikroskopis BTA Pemeriksaan TCM TB

MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Pos, Rif MTB Neg
(- -) (+ +) Sensitive Indeterminate Resistance
(+ -)
Tidak bisa
dirujuk
Ulangi Foto Toraks
TB RR
TB Terkonfirmasi pemeriksaan (Mengikuti alur
Bakteriologis TCM yang sama
Foto Terapi
dengan alur
Toraks Antibiotika
pada hasil
Non OAT
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan
Pengobatan
mikrokopis BTA
pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan
TB Lini 1 negatif (- -) )
OAT Lini 1 dan Lini 2
Gambaran Tidak Mendukung TB;
Mendukung
TB
Bukan TB; Cari
kemungkinan penyebab
penyakit lain
Ada
Perbaikan
Tidak Ada
Perbaikan TB RR; TB Pre TB XDR
Algoritma TB
Klinis Klinis, ada
TB MDR

Nasional 2016
XDR
faktor risiko
TB TB, dan atas
Terkonfirmasi Bukan TB; Cari pertimbangan
Klinis Lanjutkan Pengobatan
kemungkinan dokter Pengobatan TB RO
TB RO
penyebab dengan Paduan Baru
penyakit lain
Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB
TB
Terkonfirmasi yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis
Klinis
maupun klinis adalah pemeriksaan HIV dan
gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai
Pengobatan indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
TB Lini 1
Pembagian kasus TB
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan
lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak
BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi
gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala
klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan :
 Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan
dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
 Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif
atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5
(satu bulan sebelum akhir pengobatan)
 Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran
radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir
bulan ke-2 pengobatan
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2
dengan pengawasan yang baik
15. Tuberkulosis
OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 
– Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis.
– Pasien TB paru terdiagnosis klinis
– Pasien TB ekstra paru

Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) 


– Pasien kambuh
– Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1
sebelumnya
– Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)

• Pemberian sisipan tidak diperlukan lagi pada pedoman TB terbaru.

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


Tuberkulosis

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


Tuberkulosis

Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.


Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji
Kepekaan Obat
Secara umum, resistensi terhadap obat
antituberkulosis terbagi atas :
• Resistensi primer
– apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat
pengobatan TB, (2)
• Resistensi sekunder
– bilamana pasien memiliki riwayat pengobatan
• Resistensi inisial
– jika riwayat pengobatan tidak diketahui dengan pasti
Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji
Kepekaan Obat
• Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini
pertama saja
• Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini
pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan
• Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan
Rifampisin (R) secara bersamaan
• Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga
resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal
salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin
dan Amikasin)
• Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau
tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan
metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
16. Perbedaan DM tipe I dan
II
Komplikasi DM Komplikasi DM

Akut Kronik

Krisis
Hipoglikemia Makroangiopati
hiperglikemia

Ketoasidosis
Mikroangiopati
diabetikum

• Istilah Koma hiperglikemia


hiperosmolar nonketotik sudah Hiperosmolar
tidak digunakan hiperglikemik
• Istilah HONK diganti dengan state
HHS dikarenakan acuan untuk
mendiagnosis adalah
osmolalitas bukan non ketosis https://emedicine.medscape.com/article/1914705-
overview
HHS vs KAD

• Diagnosis acuan untuk KAD adalah pH darah pada pasien


• Diagnosis acuan untuk HHS adalah osmolalitas
• Glukosa plasma dan adanya keton tidak menjadi acuan mutlak untuk
mendiagnosis
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crisis in adult patients with diabetes. Diabetes Care. 2009;32(7):1339. Copyright 2009 American
Diabetes Association
Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crisis in adult patients with diabetes. Diabetes Care. 2009;32(7):1339. Copyright 2009 American
Diabetes Association
17. Abses Hepar
• Infeksi pada hati disebabkan bakteri, parasit, jamur
maupun nekrosis steril yang bersumber dari sistem
gastrointestinal.
– bses hati amebik (AHA)  Entamoeba histolytica
– Abses hati piogenik (AHP)  Enterobactericeae, streptococci,
klebsiella pneumoniae, bacteroides, fusobacterium,
staphylococcus aureus, cancida, aspergillus, actinomyces,
yersinia enterolitica, salmonella thypii, dll
• AHP dapat terjadi akibat komplikasi apendisitis, infeksi
intraabdominal, infeksi sistem biliaris
• Lobus kanan > lobus kiri
– lobus kanan menerima darah dari a. mesenterika superior dan
vena portal, sedangkan lobus kiri dari a. mesenterika inferior
dan aliran limfatik
17. ABSES HEPAR AMOEBA
• Riwayat disentri
sebelumnya
• Demam
• Nyeri abdomen kanan
atas, dapat menjalar ke
bahu atau lengan kanan
• Mual muntah
• Hepatomegali
• Ludwig sign (+): menekan
sela iga ke-6 setentang
linea axilaris anterior,
terdapat nyeri tekan
17. Abses Hepar
Manifestasi klinis
• Anamnesis
– nyeri perut kanan atas, jalan membungkuk ke depan, demam, malaise,
nyeri pada bahu kanan, batuk atau atelektasis, mual, muntah, nafsu makan
turun, penurunan BB, kelemahan badan, ikterus, BAB seperti kapur, BAK
gelap.
• PF
– febris, hepatomegali, nyeri tekan hepar, splenomegali, asites, ikterus, tanda
hipertensi portal
– Ludwig sign  menekan sela iga ke-6, linea axilaris anterior, apabila
terdapat nyeri tekan maka menguatkan dugaan abses hati.
• Penunjang
– leukositosis, shift to the left, anemia, LED meningkat, peningkatan alkali
fosfatase, peningkatan enzim transaminase, peningkatan serum bilirubin,
penurunan albumin dan PT
– Kultur hasil aspirasi standar emas untuk penegakan diagnosis miikrobiologi
– Foto thoraks (efusi pleura, diafragma kanan meninggi, empiema, abses
paru), foto abdomen (air fluid level), CT scan abdomen, MRI, USG abdomen
17. Abses hepar
USG Abdomen
• Liver abscesses are typically
poorly demarcated with a
variable appearance,
ranging from
predominantly hypoechoic
(still with some internal
echoes however) to
hyperechoic.
• Gas bubbles may also be
seen
• Colour Doppler will
demonstrate absence of
central perfusion.
• Liver cyst
– round or ovoid anechoic
lesion, but almost
asymptomatic
17. Tatalaksana Abses Hepar
• The management of pyogenic liver
abscess differs from that of amebic liver
abscess.
• Medical management is the cornerstone
of therapy in amebic liver abscess
• whereas early intervention in the form of
surgical therapy or catheter drainage
and parenteral antibiotics is the rule in
pyogenic liver absces.
17. Tatalaksana Abses Hepar Pyogenik
• Percutaneous drainage under CT or ultrasound guidance
is essential in the treatment of pyogenic liver abscesses.
• Empiric broad-spectrum antibiotics are recommended
initially until culture results are available.
• Surgery, indications:
– Multiple abscesses
– Loculated abscesses
– Abscesses with viscous contents obstructing the drainage
catheter
– Underlying disease requiring primary surgical management
– Inadequate response to percutaneous drainage within seven
days
Empiric Broad Spectrum Antibiotics:
• Initial antibiotic regimens should comprise
– a third-generation cephalosporin and metronidazole, or
– piperacillin/tazobactam. Advantage: enterococcal infections are also
partly covered
• Metronidazole (500 mg IV q8h) plus ceftriaxone or levofloxacin.
• Monotherapy with a beta-lactam/betalactamase inhibitor, such as
piperacillin/ tazobactam (4.5 g q6h), ticarcillin-clavulanate (3.1 g
q4h), or ampicillin-sulbactam (3 g q6h).
• Monotherapy with a carbapenem, such as imipenem (500 mg IV
q6h), meropenem (1 g q8h), or ertapenem (1 g daily).
• Duration of antibiotic treatment is usually 4 to 6 wk with IV
antibiotics used for the first 1 to 2 wk or until a favorable clinical
response, followed thereafter with oral antibiotics (e.g.,
metronidazole 500 mg PO q8h plus ciprofloxacin 500 mg PO q12h).
• Third-generation cephalosporins should not be used as single
agents for empiric therapy because of risk of the emergence of
beta-lactamase-producing bacteria.
Tatalaksana Abses Hepar Amebik
• Aspiration of hepatic amebic abscesses is not
required unless there is no response to
treatment or a pyogenic cause is being
considered.
• Empiric broad-spectrum antibiotics are
recommended initially until culture results are
available.
• Antibiotic coverage for amebic liver abscesses
includes:
– Tissue agent: metronidazole 750 mg PO tid for 10 days
– Luminal agent: after therapy with tissue agent
treatment with any luminal agent is required even if
the stool is negative, such as paromomycin for 10 days
or diiodohydroxyquin for 20 days.
Indikasi Aspirasi dan Operasi Abses
Amebik
• Consider therapeutic aspiration of amebic liver abscess
in the following situations:
– high risk of abscess rupture, as defined by cavity size
greater than 5 cm;
– left lobe liver abscess, which is associated with higher
mortality and frequency of peritoneal leak or rupture into
the pericardium;
– failure to observe a clinical medical response to therapy
within 5-7 days; and
– cannot differentiate from a pyogenic liver abscess
• Consider open surgical drainage when the abscess is
inaccessible to needle drainage or a response to
therapy has not occurred in 5-7 days.
18. HIPERTIROIDISME

• Tirotoksikosis:
manifestasi
peningkatan
hormon tiroid
dalam sirkulasi.
• Hipertiroidisme:
tirotoksikosis
yang disebabkan
oleh kelenjar
tiroid hiperaktif.

Kumar and Clark Clinical Medicine


Hipertiroid Primer & Sekunder

Human Physiology.
Nodul Tiroid
• Neoplasma endokrin
paling sering ditemukan.
• Lebih sering pada wanita.
• Berdasarkan tampilan
klinis:
– Nodul soliter
– Nodul multipel
• Berdasarkan fungsi:
– Nodul hiperfungsi
– Nodul hipofungsi
– Nodul berfungsi normal
Karakteristik Nodul
Ganas Jinak
• Keluhan suara serak, susah napas, • Konsistensi lunak, rata, dan tidak
batuk, disfagia. terfiksir
• Konsistensi padat, keras, tidak rata, • Batas tegas.
terfiksir. • 80% nodul soliter bersifat jinak.
• Infiltrasi nodul ke jaringan sekitar. • Riwayat keluarga tiroiditis
• 20% nodul soliter bersifat ganas Hashimoto atau penyakit tiroid
• Muncul tiba-tiba atau cepat autoimun.
membesar. • Riwayat keluarga dengan nodul
• Limfadenopati servikal. tiroid jinak atau goiter.
• Riwayat keganasan tiroid • Gejala hipotiroidisme atau
sebelumnya. hipertiroidisme.
• Riwayat radiasi pengion pada saat • Nyeri dan kencang pada nodul.
kanak-kanak. • Struma multinodular tanpa nodul
dominan dan konsistensi sama.

Buku Ajar IPD Edisi VI.


Nodul Tiroid
• Modalitas diagnostik:
– FNAB
– USG
– Thyroid scan
– CT scan/MRI
– Hormon tiroid dan serum TSH
18. Pemeriksaan
Hipertiroid

• The diagnosis of hyperthyroidism is based upon thyroid function tests. In patients in whom there is
a clinical suspicion of hyperthyroidism, the best initial test is serum TSH.
Thyroid Nodules. American Family Physician.
https://www.aafp.org/afp/2013/0801/p193.html
Evaluation and Management of Thyroid
Nodules (ATA 2015)
Diagnosis Banding Hipertiroidisme
19. Dispepsia
• Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah
abdomen bagian atas.

• Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu:
– nyeri epigastrium,
– rasa terbakar di epigastrium,
– rasa penuh setelah makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna
atas, mual, muntah, dan sendawa.

• Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik &


fungsional.
– Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi,
gastritis, duodenitis dan proses keganasan
– Untuk dispepsia fungsional, keluhan berlangsung setidaknya selama tiga bulan
terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan.

Konsensus Nasional Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi Helicobacter pylori. 2014.


KLASIFIKASI DISPEPSIA FUNGSIONAL (ROMA III)

Epigastric pain syndrome Post prandial distress


syndrome
• Dispepsia fungsional dengan gejala • Dispepsia fungsional dengan gejala
predominan nyeri epigastrium predominan gejala ketidaknyaman
• Diagnostic criteria* Must include all pada perut
of the following: • Diagnostic criteria (Must include one
– Pain or burning localized to the or both of the following):
epigastrium of at least moderate – Bothersome postprandial fullness,
severity, at least once per week occurring after ordinary-sized meals, at
least several times per week
– The pain is intermittent
– Early satiation that prevents finishing a
– Not generalized or localized to other regular meal, at least several times per
abdominal or chest regions week
– Not relieved by defecation or passage * Criteria fulfilled for the last 3 months with
of flatus symptom onset at least 6 months prior to
– Not fulfilling criteria for gallbladder diagnosis
and sphincter of Oddi disorders • Supportive criteria
* Criteria fulfilled for the last 3 months – Upper abdominal bloating or
with symptom onset at least 6 months postprandial nausea or excessive
prior to diagnosis belching can be present
– Epigastric pain syndrome may coexist
Ya Tidak
Dispepsia
• Gejala predominan
– Nyeri epigastrium
 PPI
(omeprazole,
lansoprazole, dll)
– Cepat kenyang,
mual, muntah 
Agen prokinetik
(contoh:
metoklopramid,
domperidon)
• Dapat
dikombinasikan
antara PPI dan agen
prokinetik
20. PANKREATITIS AKUT
DEFINISI
• Reaksi peradangan pankreas yang akut

KLINIS
• Dispepsia sedang sampai berat, gelisah kadang disertai gangguan kesadaran
• Demam, ikterus, gangguan hemodinamik, syok dan takikardia, bising usus
menurun (ileus paralitik)
• Pankreatitis akut berat dapat mengalami sesak napas karena inflamasi diafragma
akibat pankreatitis, efusi pleura, atau adult respiratory distress syndrome.
• Nyeri tekan abdomen, defans, tanda perdarahan retroperitoneal (Cullens –
periumbilical, Grey Turners – pinggang) jarang terlihat

PENEGAKAN DIAGNOSIS
• Amylase & lipase ↑
– Amilase meningkat pada 6-12 jam dari onset pankreatitis. Lipase meningkat pada 24 jam-14
hari dari onset pankreatitis.
• MRI
• MRCP (bila terdapat dugaan bahwa pankreatitis disebabkan oleh koledokolithiasis)

https://www.uptodate.com/contents/clinical-manifestations-and-diagnosis-of-acute-pancreatitis
A. Cullen Sign
B. Grey-Turner Sign
Etiologi Pankreatitis Akut
Mechanical Gallstones, biliary sludge, ascariasis, periampullary diverticulum, pancreatic or periampullary cancer,
ampullary stenosis, duodenal stricture or obstruction
Toxic Ethanol, methanol, scorpion venom, organophosphate poisoning

Metabolic Hyperlipidemia (types I, IV, V), hypercalcemia

Drugs Didanosine, pentamidine, metronidazole, stibogluconate, tetracycline furosemide, thiazides,


sulphasalazine, 5-ASA, L-asparaginase, azathioprine, valproic acid, sulindac, salicylates, calcium,
estrogen
Infection Viruses-mumps, coxsackie, hepatitis B, CMV, varicella-zoster, HSV, HIV

Bacteria-mycoplasma, Legionella, Leptospira, salmonella

Fungi-aspergillus

Parasites-toxoplasma, cryptosporidium, Ascaris

Trauma Blunt or penetrating abdominal injury, iatrogenic injury during surgery or ERCP (sphincterotomy)

Congenital Cholodochocele type V, pancreas divisum

Vascular Ischemia, atheroembolism, vasculitis (polyarteritis nodosa, SLE)

Miscellaneous Post ERCP, pregnancy, renal transplantation, alpha-1-antitrypsin deficiency

Genetic CFTR, PRSS1, SPINK1,and other genetic mutations

https://www.uptodate.com/contents/image?imageKey=GAST%2F78423&topicKey=GAST%2F5652&search=pancreatitis&rank=1~150&source=see_link
Klasifikasi Pankreatitis
Tatalaksana
Pankreatitis
Akut

NPOnil per os (tidak


ada asupan oral)

https://teachmemedicine.org/cleveland-clinic-acute-pancreatitis/
ILMU
BEDAH
21. Luka Bakar
Tatalaksana Emergency luka Bakar

Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb
2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Rule of nines

Adult Infant
• Bayi berusia sampai satu tahun
– Luas permukaan kepala dan leher berkisar 18%
– Luas permukaan tubuh dan tungkai berkisar 14%.
• Dalam masa pertumbuhannya, setiap tahun di
atas usia satu tahun, maka ukuran kepala
berkurang sekitar 1% dan ukuran tungkai
bertambah 0. 5%
• Proporsi dewasa tercapai saat seorang anak
mencapai usia sepuluh tahun
• Usia 10 thn penambahan ukuran tungkai dipindahkan ke
genitalia dan perineum 1%
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Contoh
• Anak usia 6 tahun datang dengan luka bakar di
wajah dan seluruh bagian depan kaki kanan
• Luas permukaan yang terbakar adalah?
– Wajah (18-(6-1))/2= 6,5%
– Bagian depan 1 kaki (14+(0,5x(6-1))/2= 8,25%
– Total 13,75%
Indikasi Resusitasi Cairan
• Rumus Baxter adalah
dasar pemberian cairan
pertama kali
• Titrasi sesuai produksi
urine
– Bila kurang dari target
0,5-1 cc/KgBB/Jam
tambahkan volume
cairan resusitasi menjadi
150% pada jam
berikutnya atau bolus
cairan 5-10cc/KgBB
Emergency Management of Severe Burns (EMSB) COURSE MANUAL 17th edition Feb 2013
Australia and New Zealand Burn Association Ltd 1996
Contoh
• Seorang perempuan, berat 60 kg dengan luka
bakar di dada dan perut, karena ledakan kompor
1 jam yang lalu. Terdapat eritem di dada dan
perut, bula, bula pecah, suara serak tidak ada.
• Kebutuhan cairan 4x18%x60 kg = 4320 cc/24 jam
– 2160 cc dalam 8 jam pertama 270 cc/jam
– 2160 cc dalam 16 jam berikutnya
• Saat pemberian cairan jam pertama urine 30
cc/jam (sesuai target 0,5-1 cc/KgBB/Jam
• jam ke-2 didapatkan urine 10 cc/jam (kurang dari
target.
A. Jam berikutnya diberikan 270ccx150% = 405
cc/ jam kemudian nilai ulang produksi urine
jam berikutnya
– Masih kurang? Tambah jadi 405ccx150%= 607,5
cc/jam
B. Atau berikan bolus cairan 5-10 cc/kgBB
secepatnya (utk pasien ini 300-500 cc). Nilai
urine jam berikutnya
– Masih kurang? Boleh pilih A atau B lagi
INDIKASI RAWAT INAP
PADA LUKA BAKAR
– LB yang memenuhi indikasi resusitasi cairan (Baxter)
– LB derajat II >30%  ICU
– LB yang mengenai: wajah, leher, mata, telinga, tangan,
kaki, sendi, genitalia
– LB derajat III >5% (semua umur)
– LB elektrik / petir dengan kerusakan di bawah jaringan
kulit
– LB kimia / radiasi
– LB dengan Trauma Inhalasi
– LB dengan penyakit penyerta

emedicine
Luka Bakar Khusus
• Luka bakar listrik
– Target urine lebih banyak (1-2cc/kgBB/jam)
• mencegah sumbatan mioglobin di ginjal
• bila tidak memenuhi target dengan penambahan volume
cairan
• pertimbangkan pemberian manitol 12,5 g setiap 1000 cc
cairan resusitasi
– Fasciotomi segera untuk kompartemen syndrome
• Luka bakar anak <10 thn
– Risiko hipoglikemiaberikan cairan maintenance
tambahan yang mengandung glukosa (dihitung
dengan rumus Darrow/Holliday Segar)
22. Initial Assessment
Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang
cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan
sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat.
Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ).

Penilaian awal meliputi:


1. Persiapan
2. Triase
3. Primary survey (ABCDE)
4. Resusitasi
5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi
6. Secondary survey
7. Tambahan terhadap secondary survey
8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan
9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik

ATLS Coursed 9th Edition


Primary Survey
A. Airway dengan kontrol servikal
1. Penilaian
a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi)
b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2. Pengelolaan airway
a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line
immobilisasi
b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang
rigid
c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal
d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. Fiksasi leher
4. Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap
penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau
perlukaan diatas klavikula.
5. Evaluasi

ATLS Coursed 9th Edition


ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-line immobilization
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi
1. Penilaian
a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan
kontrol servikal in-line immobilisasi
b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan
c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali
kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris
atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera
lainnya.
d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor
e) Auskultasi thoraks bilateral
2. Pengelolaan
a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12
liter/menit)
b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask
c) Menghilangkan tension pneumothorax
d) Menutup open pneumothorax
e) Memasang pulse oxymeter
3. Evaluasi

ATLS Coursed 9th Edition


C. Circulation dengan kontrol perdarahan
1. Penilaian
a) Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal
b) Mengetahui sumber perdarahan internal
c) Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus.
d) Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda
diperlukannya resusitasi masif segera.
e) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis.
f) Periksa tekanan darah
2. Pengelolaan
a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal
b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta
konsultasi pada ahli bedah.
c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah
untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia
subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA).
d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat.
e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien
fraktur pelvis yang mengancam nyawa.
f) Cegah hipotermia
3. Evaluasi
ATLS Coursed 9th Edition
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
D. Disability
1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor
GCS/PTS
2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek
cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi
3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi,
ventilasi dan circulation.

E. Exposure/Environment
1. Buka pakaian penderita, periksa jejas
2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan
tempatkan pada ruangan yang cukup hangat.
ATLS Coursed 9th Edition
23. Trauma Dada
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Hemotoraks Laserasi • Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok,
pembuluh darah takikardia, Frothy/ bloody sputum.
di kavum toraks • Suara napas menghilang pada tempat yang
terkena, vena leher mendatar, perkusi dada
pekak.

Simple Trauma tumpul • Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan


pneumotoraks spontan udara bocor ke dalam rongga dada.
• Nyeri dada, dispneu, takipneu.
• Suara napas menurun/ menghilang, perkusi
dada hipersonor
Open Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar
pneumotoraks area toraks masuk ke rongga pleura.
• Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis.
• Suara napas menurun/menghilang
• Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi
• Sucking chest wound
Diagnosis Etiologi Tanda dan Gejala
Tension Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah,
pneumotoraks di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi
dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea.
(mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas,
suara napas menghilang, perkusi
hipersonor.
Flail chest Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas
tulang iga, • Pernapasan paradoksal
melibatkan minimal 3
tulang iga.
Efusi pleura CHF, pneumonia, • Sesak, batuk, nyeri dada, yang
keganasan, TB paru, disebabkan oleh iritasi pleura.
emboli paru • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun,
pergerakan dinding dada tertinggal
pada area yang terkena.
Pneumonia Infeksi, inflamasi • Demam, dispneu, batuk, ronki
Hemopneumothorax
• Hemopneumotoraks akumulasi darah dan udara di dalam
rongga pleura.
http://emedicine.medscape.com/article/433779
Flail chest:
FLAIL CHEST • Beberapa tulang iga
• Beberapa garis fraktur pada
satu tulang iga

The first rib is often fractured


posteriorly (black arrows). If multiple
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang rib fractures occur along the midlateral
berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding (red arrows) or anterior chest wall
dada yang bergerak secara independen (blue arrows), a flail chest (dotted
black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/

Treatment
ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi
Analgesik kuat
intercostal blocks
Hindari analgesik narkotik
Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah
meningkat
Ventilasi tekanan positif
Hindari barotrauma
Chest tubes bila dibutuhkan
Perbaiki posisi pasien
Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu
mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena
Aggressive pulmonary toilet
Surgical fixation  rarely needed
Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade
Gejala Pemeriksaan Fisik
• Takipnea dan DOE, rest • Takikardi
air hunger • Hypotension shock
• Weakness • Elevated JVP with blunted
• Presyncope y descent
• Dysphagia • Muffled heart sounds
• Batu • Pulsus paradoxus
• Anorexia – Bunyi jantung masih
terdengar namun nadi
• (Chest pain) radialis tidak teraba saat
inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html

“Water bottle configuration"


bayangan pembesaran jantung
yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung:
– Echocardiography
– Pericardiocentesis
• Dilakukan segera untuk
diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis
– Sering kali merupakan pilihan
terbaik saat terdapat kecurigaan
adanya tamponade jantung atau
terdapat penyebab yang
diketahui untuk timbulnya
tamponade jantung

http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
24. Urolithiasis
Nyeri Alih
25. Torsio Testis
Gejala dan tanda:
• Nyeri hebat pada skrotum yang mendadak
• Pembengkakan skrotum
• Nyeri abdomen
• Mual dan muntah
• Testis terletak lebih tinggi dari biasanya atau
pada posisi yang tidak biasa
RINGDAHL ERIKA,et al. Testicular Torsion
Am Fam Physician. 2006 Nov 15;74(10):1739-1743. Columbia, Missouri. In
http://www.aafp.org/afp/2006/1115/p1739.html
Ultrasound
• Normal: homogenous symmetric

Late ischemia/infarct: Early ischemia: enlargement, no Δ


hypoechoic echogenicity

• Hemorrhage: hyperechoic areas


in an infarcted testis,
heterogenous, extra testicular
fluids
• Penurunan Vaskularisasi
http://emedicine.medscape.com/article/2036003-treatment#a1156

Tatalaksana Torsio Testis


• Manual detorsion
– Dapat dilakukan saat pasien di IGD dan merupakan terapi
sementara
– Cara manual detorsion
• Seperti Opening of a book bila dokter berdiri di kaki pasien
• Sebagian besar torsio testis , terpelintir kearah dalam dan medial, sehingga
manual detorsion akan memutar testis kearah luar dan lateral
• Bila testis kiri yang terkena, dokter memegang testis dengan ibu jari dan
telunjuk kanan kemudian memutar kearah luar dan lateral 180derajat
• Rotasi testis mungkin memerlukan pengulangan 2-3 kali sampai detorsi
terpenuhi
– Bila berhasil (dikonfirmasi dengan USG color Doppler dan gejala
yang membaik)  terapi definitif masih harus dilakukan sebelum
keluar dari RS
• Surgical detorsion  Terapi definitif
• Untuk memfiksasi testis
• Tetap dilakukan walaupun,manual detorsion berhasil
• CITO bila manual detorsion tidak berhasil dilakukan
• Bila testis yang terkena sudah terlihat, testis dibungkus
kassa hangatuntuk memperbaiki sirkulasi dan menentukan testis
masih hidup atau tidak
• Orchiectomy  Bila testis telah nekrosis
Epididymitis
• Inflamasi dari epididimis
• Bila ada keterlibatan
testisepididymoorchit
is
• Biasanya disebabkan
oleh STD
• Common sexually
transmitted pathogen,
Chlamydia
PRESENTATION TREATMENT
• Nyeri skrotum yang • Oral antibiotic.
menjalar ke lipat paha dan • Scrotal elevation, bed rest,
pinggang.
&use of NSAID.
• Pembengkakan skrotum
karena inflamasi atau • Admission & IV drugs used.
hidrokel • In STD treat partner.
• Gejala dari uretritis, • In chronic pain do
sistitis, prostatitis.
epididymectomy.
• O/E tendered red scrotal
swelling.
• Elevation of scrotum
relieves painphren sign
(+)
26. Kista Aterom
• Tumor non-kanker atau
pembengkakan kulit yang
lambat tumbuh.
• Merupakan kantung kecil
yang berisi folikel rambut,
kulit, atau cairan sebum.
• Kista sebasea terbentuk
karena unit
pilosebaseaous atau
kelenjar sebasea terblokir.
• Warna kulit biasanya
normal, dan ada puncta
(komedo) di atas dome.
Lipoma Kista ateroma Kista dermoid Ganglion
• Deposisi lemak • Sumbatan muara • Kelainan embrional di • Degenerasi kistik
dibawah kulit kelenjar sebasea daerah fusi embrional jaringan periartikuler,
• Sering pada laki> 40 • Klinis: massa kistik • Klinis: massa kapsul sendi atau
thn dengan puncta, tidak konsistensi kistik, pembungkus tendon
• Klinis: mobile, massa nyeri, tidak mobile tidak mobile • Wanita> laki-laki
padat-lunak batas (menempel ke kulit (menempel ke dasar), • Klinis: massa
tegas, permukaan atas) sewarna kulit konsistensi kenyal,
licin, berkapsul • Predileksi: kulit yang • Predileksi: dahi, sudut batas tegas, tidak
• Predileksi: seluruh banyak mengandung luar mata, kepala mobile terfiksir ke
tubuh kelenjar sebasea • Tatalaksana: kapsul tendon. Massa
• Tatalaksana: • Tatalaksana • Eksisi dapat membesar
• Bedah eksisi • Eksisi dengan aktifitas,
• Ekstirpasi dapat menghilang
spontan
• Predileksi:
pergelangan tangan
(dorsal manus)
• Tatalaksana:
• Imobilisasi
• Injeksi
hialorudinase
• Diseksi
tonotome
• Aspirasi ganglion
27. HEMOROID

Hemoroid interna dan eksterna dibatasi


oleh linea dentata.

Hemoroid eksterna Hemoroid Interna


Diluar anal canal, sekitar sphincter Didalam anal canal
Gejala terjadi karena thrombosis Gejala timbul karena perdarahan atau
iritasi mukosa
Tidak dapat dimasukkan ke dalam anal dapat dimasukkan ke dalam anal canal
canal sampai grade III
• Internal Hemorrhoids
Internal hemorrhoidal plexus
– V. Rectus Inferior
– V. Rectus Media
• External Hemorrhoids
external hemrroidal plexus
– V. Rectus Inferior
Gambaran Histologis
• Hemoroid  structur
vaskular dalam anal
canal
• Gambaran Histologis:
Epitel skuomosa
kolumnar simplex dan
eptel skuomosa
bertingkat dengan
pelebaran vena pada
lapisan lamina proria
dan submukosa
Grading Hemoroid Interna
(Banov, 1985)
• Grade I hemorrhoids project into the anal canal and often bleed but do
not prolapse

• Grade II hemorrhoids may protrude beyond the anal verge with straining
or defecating but reduce spontaneously when straining ceases (ie, return
to their resting point by themselves)

• Grade III hemorrhoids protrude spontaneously or with straining and


require manual reduction (ie, require manual effort for replacement into
the anal canal)

• Grade IV hemorrhoids chronically prolapse and cannot be reduced; these


lesions usually contain both internal and external components and may
present with acute thrombosis or strangulation
ACG (American College of
Gastroenterology Guideline
Treatment for internal hemorrhoids by grade:
• Grade I hemorrhoids
– conservative medical therapy and avoidance of nonsteroidal anti- inflammatory drugs
(NSAIDs) and spicy or fatty foods
– Conservative therapy:
• Increased fiber intake and adequate fluids  reducing both prolapse and bleeding
• Avoid straining and limit their time spent on the commode
• Topical and systemic analgesics; proper anal hygiene
• a short course of topical steroid cream
• Grade II or III hemorrhoids
– initially treated with nonsurgical procedures, rubber band ligation, sclerotherapy, and infrared
coagulation
– Rubber band Ligation is the treatment of choice for second- degree hemorrhoids, and it is a
reasonable first-line treatment for third-degree hemorrhoids
• Very symptomatic grade III and grade IV hemorrhoids
– surgical hemorrhoidectomy, or stapled
– Very symptomatic gr. III  continous bleeding, intractable pain, large hemoroid gr. III
• Treatment of grade IV internal hemorrhoids or any incarcerated or gangrenous
tissue requires prompt surgical consultation

Wald A, Bharucha AE, Cosman BC, et al. ACG clinical guideline: management of benign anorectal
disorders. Am J Gastroenterol. Aug 2014
28. Hirschsprung
• Suatu kelainan bawaan
berupa aganglionik usus,
mulai dari spinchter ani
interna kearah proksimal
dengan panjang yang
bervariasi, tetapi selalu
termasuk anus dan setidak-
tidaknya sebagian rectum
dengan gejala klinis berupa
gangguan pasase usus.
• Tidak terdapat ganglion
Meisner dan Auerbach
EPIDEMIOLOGI
1 diantara 5000
kelahiran hidup

Laki-laki > wanita

Faktor genetik
ETIOLOGI

Kegagalan
perkembangan Tidak terdapatnya sel Terbentuknya
pleksus submukosa ganglion parasimpatis panjang terminal
Meissner dan pleksus dari pleksus Auerbach aganglionik usus
mienteric Auerbach di colon besar yang bervariasi
di usus besar
PATOFISIOLOGI
Gagal migrasi bakal sel
ganglion dari cranio- caudal
Minggu 5 – 12

Segmen
aganglionik
Peristaltik propulsif Ganglion
tidak ada, sfingter ani parasimpatik
internus gagal intramural tidak ada
mengendur pada
distensi rectum
Colon tidak
Defekasi terganggu
mengembang

obstruksi Distensi abdomen konstipasi


MANIFESTASI KLINIS

KETERLAMBATAN EVAKUASI MEKONIUM

MUNTAH HIJAU

DISTENSI ABDOMEN
DIAGNOSA

GAMBARAN KLINIS

COLOK DUBUR

PEM.PENUNJANG :
BNO POLOS BARIUM
Gambaran ENEMA
hearing bone Gambaran
zona transisi
• Darm kontur: terlihatnya bentuk usus pada
abdomen
• Darm Steifung: terlihatnya gerakan peristaltik
pada abdomen
Rontgen :
• Abdomen polos
– Dilatasi usus
– Air-fluid levels.
– Empty rectum
• Contrast enema
– Transition zone
– Abnormal, irregular contractions of
aganglionic segment
– Delayed evacuation of barium
• Biopsy :
– absence of ganglion cells
– hypertrophy and hyperplasia of nerve
fibers,
PENATALAKSANAAN
• Prinsip terapi
– mengatasi obstruksi,
– mencegah terjadinya enterocolitis
– membuang segmen aganglionik
– mengembalikan kontinuitas usus
TERAPI

SEMENTARA COLOSTOMY

PEMBEDAHAN
RECTOSIGMOIDESTOMY
CARA SWENSON

DEFINITIF

ANASTOMOSE
COLOANAL CARA
DUHAMEL DAN SOAVE
29. Dislokasi Panggul
ANTERIOR POSTERIOR

Paling sering terjadi akibat trauma


Jarang terjadi (10%)
dashboard saat mengerem (90%)

Dislokasi anterior acetabulum Dislokasi posterior acetabulum

Fleksi panggul, internal rotasi,


Ekstensi panggul, abduksi,
adduksi, ekstremitas terlihat
eksternal rotasi
memendek
soundnet.cs.princeton.edu
Posterior Hip Dislocation
Gejala
• Nyeri lutus
• Nyeri pada sendi
panggul bag.
belakang
• Sulit
menggerakkan
ekstremitas
bawah
• Kaki terlihat
memendek dan
dalam posisi
fleksi, endorotasi
dan adduksi
Risk Factor
• Kecelakaan
• Improper seating
adjustment
• sudden break in
the car
netterimages.com
soundnet.cs.princeton.edu

Anterior Hip Dislocation


Gejala
• Nyeri pada sendi
panggul
• Tidak dapat berjalan
atau melakukan
adduksi dari kaki.
• The leg is externally
rotated, abducted,
and extended at the
hip

netterimages.com
Tatalaksana Dislokasi Sendi Panggul:
Reposisi
• Bila pasien tidak memiliki komplikasi lain:
– Berikan Anestetic atau sedative dan manipulasi
tulang sehingga kembali pada posisi yang
seharusnya reduction/reposisi
• Pada beberapa kasus, reduksi harus dilakukan
di OK dan diperlukan pembedahan
• Setelah tindakan, harus dilakukan
pemeriksaan radiologis ulang atau CT-scan
untuk mengetahui posisi dari sendi.
30. Fraktur Antebrachii
• Fraktur Galeazzi: adalah fraktur radius distal disertai
dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal.
• Fraktur Monteggia: adalah fraktur ulna sepertiga
proksimal disertai dislokasi ke anterior dari kapitulum
radius.
• Fraktur Colles: fraktur melintang pada radius tepat
diatas pergelangan tangan dengan pergeseran dorsal
fragmen distal.
• Fraktur Smith: Fraktur smith merupakan fraktur
dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering
disebut reverse Colles fracture.
Prinsip diagnostik
• Secara umum, pada kasus
fraktur dilakukan foto polos AP
dan lateral
• Khusus untuk fraktur pada
lengan bawah dan
pergelangan, urutan foto
polos: PA
- PA Bila hanya Akan menentukan
pergelangan tangan saja tangan sebelah
yang difoto mana yang patah
- APBila meliputi sendi dan arah PA
siku dan pergelangan pergeserannya
tangan pada foto lateral
- Lateral
- Oblique

Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2nded


Fraktur Monteggia
Fraktur Galeazzi

Fraktur Colles
Fraktur Smith
Klasifikasi fraktur galeazzi berdasarkan posisi distal radius:
• Tipe 1: dorsal displacement
• Tipe 2: volar displacement
31. Ruptur Tendon Achilles
• Ruptur tendo Achilles adalah putusnya tendo
Achilles atau cedera yangmempengaruhi
bagian bawah belakang kaki.
• Klasifikasi:
• Tipe I: Pecah parsial, yaitu sobek yang kurang dari
50%, biasanya diobati dengan manajemen
konservatif
• Tipe II: sobekan yang penuh dengan kesenjangan
tendon kurang dari sama dengan 3 cm, biasanya
diobati dengan akhir-akhir anastomosis
• Tipe III: sobek yang penuh dengan jarak tendon 3
sampai 6 cm
• Tipe IV: perpisahan yang penuh dengan cacat
lebih 6 cm (pecah diabaikan)
http://emedicine.medscape.com/article/1922965-overview
Manifestasi Klinik Ruptur Tendo Achilles
1. Rasa sakit mendadak yang berat dirasakan pada bagian belakang
pergelangan kaki atau betis
2. Bengkak, kaku dan memar
3. Terlihat depresi di tendon 3-5 cm diatas tulang tumit
4. Tumit tidak bisa digerakan turun naik.
5. Pasien mungkin menggambarkan sensasi ditendang di bagian
belakang kaki.
6. Nyeri bisa berat.
7. Nyeri lokal, bengkak dengan gamblang sepanjang tendon Achilles
dekat lokasi penyisipan, dan kekuatan plantar flexion lemah
8. Rasa sakit mendadak dan berat dapat dirasakan di bagian
belakang pegelangan kakiatau betis
9. Terlihat bengkak dan kaku serta tampak memar dan kelemahan di
dekat tumit.
10.Sebuah kesenjangan atau depresi dapat dilihat di tendon sekitar 2 cm di
atas tulang tumit.
11.Tumit tidak dapat digerakan turun atau naik atau “push off” kaki terluka
ketika berjalan.
12.Pasien merasa seolah-olah ia telah dipukul tepat pada tumitnya dan tidak
bisaberjinjit.
13.Apabila ada robekan,suatu celah dapat dilihat dan terasa 5 cm diatas
insersio tendon.
14.Plantar flexi kaki akan lemah dan tidak disertai dengan tendon
Diagnosis

• Weakness in
plantarflexion
• Gap in tendon
• Palpable swelling
• Positive Thompson test
Pemeriksaan Fisik Ruptur Tendon
Achilles

Infeksi dan Test Thomphson


palapasi

Obrie’n test/
Copeland test
test jarum
O’Brien test
• Jarum 25G, ditusukan pada otot
tungkai bawah 10cm di atas
tonjolan calcaneus.
• Gerakan pangkal jarum
berlawanan arah saat dilakukan
gerakan pasif plantar fleksi dan
dorso fleksi menandakan
tendon achilles yang intak.

Copeland test
• Pasien dalam posisi prone, cuff
sphygmomanometer diletakan
pada bagian tungkai yang paling
besar, kaki pasien diminta plantar
fleksi, kemudian
sphygmomanometer di pompa
hingga 100mmHg.
• Jika tendon achilles intak, tekanan
akan meningkat menjadi 140mmHg
saat pasien diminta dorsofleksi
Pemeriksaan Penunjang
Magnetic Resonance Image (MRI)

Foto Rontgen
Tatalaksana Ruptur Tendo Achilles
• Terapi fisik
– Pengobatan konservatif  Boot
orthosis
– Percutaneous Surgery
– Open Surgical Repair

• Terapi obat NSAIDs


– Ibuprofen dan Asetaminofen
Injury Clinical Findings Imaging
Ankle sprain Positive drawer/inversion X-Ray
test
Achilles Rupture Thompson test, tendon USG
gap, unable to plantaflex
foot
Metatarsal fracture Bone tenderness over the X-Ray
navicular bone or base of
the fifth metatarsal
Tarsal Tunnel Syndrome Tinnel test (+), paresthesias MRI
along tibial nerve
Plantar fasciitis Severe plantar pain, foot Not needed
cord tightness
http://www.qualitycarept.com/Injuries-Conditions/Foot/Foot-
Issues/Achilles-Tendon-Problems/a~253/article.html
32. Fibroadenoma
• Most common benign tumor of
breast.
• Benign tumors that represent a
hyperplastic or proliferative
process in a single terminal ductal
unit.
• Young females:15 -25yrs of age.
• Aberration in normal development
of a lobule.
• Cause -unknown.
• 10% of disappear spontaneously
each year.
• Most stop growing after they
reach 2-3 cm.
• Involute in postmenopausal womencoarse
calcifications develop.
• Conversely grow rapidly during pregnancy,
HRT or immunosuppression-(multiple or
growing fibroadenomas -related to Epstein
barr virus infn)
• Variants
• juvenile fibroadenomas
• myxoid fibroadenomas Carney complex, an
autosomal dominant neoplasia syndrome
(skin mucosal lesions, myxomas, and
endocrine disorders.)
Types
• Gross: Soft, Hard,
Giant.
• Microscopy
– Intracanalicular-
mainly cellular
tissue
– Pericanalicular-
mainly fibrous
• Clinical features • Treatment
– Painless swelling • Excision of the lump
• In pericanalicular type -
– Smooth, firm, non-
periareolar incision
tender
• Intracanalicular-
– Well-localized submammary incision
– Moves freely within the
breast tissue- breast
mouse.
– Axillary LN not enlarged.
The Breast Lump
33. Ileus Obstruktif
• Ileus:
– Kelainan fungsional atau terjadinya paralisis dari
gerakan peristaltik usus.
• Obstruksi:
– Adanya sumbatan mekanik yang disebabkan
karena adanya kelainan struktural sehingga
menghalangi gerak peristaltik usus.
– Obstruksi dapat parsial atau komplit
– Obstruksi simple atau strangulated
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
34. Fraktur Klavikula
Tipe I: Fraktur mid klavikula (Fraktur 1/3
tengah klavikula)
• Fraktur pada bagian tengah clavicula
• Lokasi yang paling sering terjadi
fraktur, paling banyak ditemui

Tipe II : Fraktur 1/3 lateral klavikula


Fraktur klavikula lateral dan ligament
korako-kiavikula, yang dapat dibagi:
– type 1: undisplaced jika ligament intak
– type 2: displaced jika ligamen korako-
kiavikula ruptur.
– type 3: fraktur yang mengenai sendi
akromioklavikularis.

Tipe III : Fraktur pada bagian proksimal


clavicula. Fraktur yang paling jarang
terjadi
Displaced or comminuted clavicle fractures are associated with complications such
as subclavian vessels injury, hemopneumothorax, brachial plexus paresis,
nonunion, malunion, posttraumatic arthritis, refracture, and other complications
related to osteosynthesis.

Complications associated with clavicular fracture. Orthop Nurs. 2009 Sep-Oct;28(5):217-24.


35. Limfedema pada Kanker
Serviks
• Limfeedema terjadinya akibat tertutup saluran
limfatik sehingga menyebabkan terjadinya
penumpukan cairan di dalam jaringan lunak

1. Jaringan
kanker
Tertutupnya
2. Radiasi dan
jaringan Limfedema
Kemoterapi
limfatik
3. Riwayat
pembedaha
Limfedema pada Kanker
Serviks
• Gejala: • Terapi  Decongestive
• Bengkak pada tungkai Lymphatic therapy
• Tungkai terasa berat • Compression bandages
• Menurunnya flexibilitas • Skin care
• Nyeri • Exercise
• Kulit berwarna mengkilat • Specialised massage
technique: Manual
lymphatic drainage
• Analgesik
• Antibiotik  jika
ditemukan tanda-
tanda infeksi
Managemen Nyeri
ILMU
P E N YA K I T
M ATA
36. Kelainan Refraksi
Fisiologi Refreksi
Sinar Aquoeus Vitreous
Kornea Lensa retina
masuk humour humour

Diagnosis
• Anamnesis • PF
• Sulit melihat • Pemeriksaan subjektif :
• Sakit kepala Snellen chart
• Mata terasa pegal • Pemeriksaan objektif :
• Pandangan ganda/ buram Retinoskopi

https://emedicine.medscape.com/ophthalmology
Klasifikasi Miopia Hipermetropia Astigmatisme Presbiopi

Definisi Rabun jauh Rabun dekat Mata silindris Mata tua

Letak Bayangan Depan Retina Belakang retina Dua titik berbeda Belakang retina

PF khusus Snellen chart Snellen chart Snellen chart, tes astigmat Snellen chart, kartu jaeger
chart, Tes Placido
Koreksi Sferis negatif terkecil Sferis positif terbesar Silindris dgn atau tanpa Sferis berdasarkan usia*
sferis

• *Koreksi lensa pada presbiop sesuai usia


• + 1.0 D → usia 40 tahun
• + 1.5 D → usia 45 tahun
• + 2.0 D → usia 50 tahun
• + 2.5 D → usia 55 tahun
• + 3.0 D → usia 60 tahun

https://emedicine.medscape.com/ophthalmology
Klasifikasi Hipermetrop
• Berdasarkan penyebab
• Simple biologis (kelainan axis bola mata)
• Patologis maldevelopmental, trauma
• Fungsional paralisis akomodasi
• Berdasarkan derajat keparahan dioptric
• Low ≤ +2 dioptric
• Moderate + 2,25 – 5,00 dioptric
• High > + 5,00 dioptric
• Berdasarkan kemampuan akomodasi
• Total koreksi (visus 6/6) diukur dengan siklopegik
• Manifest koreksi diukur dengan lensa sferis terkuat
• Absolut koreksi diukur dengan lensa sferis terlemah
• Laten Hipermetrop total – hipermetrop manifest
• Fakultatif Hipermetrop manifest – hipermetrop absolut
https://www.aoa.org/documents/optometrists/CPG-16.pdf
Contoh Soal
• Pasien pandangan buram, melakukan pemeriksaan
sbb
• + 1,0 visus 6/20
• + 1,5 visus 6/12
• + 2,0 visus 6/6
• + 2,5 visus 6/6
• + 3,0 visus 6/6
• + 3,5 visus 6/12
• + 5,0 visus 6/6 (dengan siklopegik)
• Hipermetrop
• Total = + 5,0
• Manifest = + 3,0
• Absolut = + 2,0
• Laten = + 5,0 – 3,0 = + 2,0
• Fakultatif= +3,0 – 2,0 = +1,0
37. Defisiensi vitamin A
• Vitamin A meliputi retinol, retinil ester, retinal
dan asam retinoat. Provitamin A adalah semua
karotenoid yang memiliki aktivitas biologi β-
karoten
• Sumber vitamin A: hati, minyak ikan, susu &
produk derivat, kuning telur, margarin, sayuran
hijau, buah & sayuran kuning
• Fungsi: penglihatan, diferensiasi sel, keratinisasi,
kornifikasi, metabolisme tulang, perkembangan
plasenta, pertumbuhan, spermatogenesis,
pembentukan mukus

Kliegman RM. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011


• Konjungtiva normalnya memiliki sel goblet.
Hilangnya/ berkurangnya sel goblet secara
drastis bisa ditemukan pada xerosis
konjungtiva.
• Gejala defisiensi:
– Okular (xeroftalmia): rabun senja, xerosis
konjungtiva & kornea, keratomalasia, bercak Bitot,
hiperkeratosis folikular, fotofobia
– Retardasi mental, gangguan pertumbuhan,
anemia, hiperkeratosis folikular di kulit
Xerophthalmia (Xo)
Stadium :
XN : night blindness (hemeralopia)
X1A : xerosis conjunctiva
X1B : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot)
X2 : xerosis cornea
X3A : Ulcus cornea < 1/3
X3B : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea
XS : Corneal scar
XF : Xeroftalmia fundus
Xeroftalmia
XN. NIGHT BLINDNESS
• Vitamin A deficiency can interfere with rhodopsin
production, impair rod function, and result in
night blindness.
• Night blindness is generally the earliest
manifestation of vitamin A deficiency.
• “chicken eyes” (chickens lack rods and are thus
night-blind)
• Night blindness responds rapidly, usually within
24—48 hours, to vitamin A therapy
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS
AND BITOT’S SPOT
• The epithelium of the • Conjunctival xerosis first
conjunctiva in vitamin A appears billateraly, in the
deficiency is transformed temporal quadrant, as an
from the normal columnar isolated oval or triangular
to the stratified squamous, patch adjacent to the
with loss of goblet cells, limbus in the interpalpebral
formation of a granular cell fissure.
layer, and keratinization of
the surface.
• Clinically, these changes are
expressed as marked
dryness or unwettability,
the affected area appears
roughened, with fine
droplets or bubbles on the
surface.
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS
AND BITOT’S SPOT
• In some individuals, keratin • Conjunctival xerosis and
and saprophytic bacilli Bitot’s spots begin to
accumulate on the xerotic resolve within 2—5 days,
surface, giving it a foamy or most will disappear within 2
cheesy appearance, known weeks.
as Bitot’s spots and they’re
easily wiped off)
• Generalized conjunctival
xerosis, involving the
inferior and/or superior
quadrants, suggests
advanced vitamin A
deficiency.
X2 CORNEAL XEROSIS
• Corneal changes begin early in • Clinically, the cornea develops
vitamin A deficiency, long before classical xerosis, with a hazy,
they can be seen with the naked lustreless, dry appearance, first
eye which characteristic are observable near the inferior
superficial punctate lesions of the limbus
inferior—nasal aspects of the • Corneal xerosis responds within
cornea, which stain brightly with 2—5 days to vitamin A therapy,
fluorescein with the cornea regaining its
• Early in the disease the lesions normal appearance in 1—2 weeks
are visible only through a slit-
lamp biomicroscope
• With more severe disease the
punctate lesions become more
numerous, spreading upwards
over the central cornea, and the
corneal stroma becomes
oedematous
X3A, X3B. Corneal
ulceration/keratomalacia
• Ulceration/keratomalacia • Superficial ulcers heal
indicates permanent with little scarring,
destruction of a part or all deeper ulcers, especially
of the corneal stroma, perforations, form dense
resulting in permanent peripheral adherent
structural alteration leukomas.
• Ulcers are classically • Localized keratomalacia is
round or oval “punched- a rapidly progressive
out” defects condition affecting the
• The ulceration may be full thickness of the
shallow, but is commonly cornea
deep
XS. SCARS XF. XEROPHTHALMIC FUNDUS
• Healed sequelae of prior • The small white retinal
corneal disease related to lesions described in some
vitamin A deficiency include cases of vitamin A
opacities or scars of varying deficiency
density (nebula, macula, • They may be accompanied
leukoma), weakening and by constriction of the visual
outpouching of the fields and will largely
remaining corneal layers disappear within 2—4
(staphyloma, and months in response to
descemetocele), and vitamin A therapy
phthisis bulbi. • Gambaran funduskopi “
fenomena cendol”
Pemeriksaan Penunjang
• A serum retinol study is a costly • The serum retinol level may be
but direct measure using high- low during infection because of a
performance liquid transient decrease in the RBP.
chromatography. • A zinc level is useful because zinc
– A value of less than 0.7 mg/L in deficiency interferes with RBP
children younger than 12 years is production.
considered low.
• A serum RBP study • An iron panel is useful because
iron deficiency can affect the
– easier to perform and less metabolism of vitamin A.
expensive than a serum retinol
study, because RBP is a protein and • Albumin levels are indirect
can be detected by an measures of vitamin A levels.
immunologic assay.
• Obtain a complete blood count
– RBP is also a more stable (CBC) with differential if anemia,
compound than retinol
– However, RBP levels are less
infection, or sepsis is a possibility.
accurate, because they are
affected by serum protein
concentrations and because types
of RBP cannot be differentiated.
Therapy and Prevention
• For treatment of xerophthalmia, vitamin A is given in three doses at
the age-specific doses:
– Infants < 6 months of age: 50,000 international units orally
– Infants 6 to 12 months of age: 100,000 international units orally
– Children >12 months: 200,000 international units orally
– Adolescent and adults is 200,000 international units orally

• The first dose is given immediately on diagnosis, the second on the


following day, and the third dose at least two weeks later.

• Women of reproductive age or who are pregnant and have night


blindness should be treated with frequent small doses of vitamin A,
rather than high doses used for other adults
38.DAKRIOSISTITIS
• Partial or complete obstruction of the nasolacrimal duct
with inflammation due to infection (Staphylococcus aureus
or Streptococcus B-hemolyticus), tumor, foreign bodies,
after trauma or due to granulomatous diseases.
• Clinical features : epiphora, acute, unilateral, painful
inflammation of lacrimal sac, pus from lacrimal punctum,
fever, general malaise, pain radiates to forehead and teeth
• Diagnosis : Anel test(+) :not dacryocystitis, probably skin
abcess; (-) or regurgitation (+) : dacryocystitis. Swab and
culture
• Treatment : Systemic and topical antibiotic, irrigation of
lacrimal sac, Dacryocystorhinotomy
Dakriosistitis Akut VS Kronik
Dakriosistitis Akut Dakriosistitis Kronik
• consists of inflammation of the lacrimal sac in • several stages of presentation:
general caused by infection
• Catarrhal:
• predominantly found in adult women, also in
– there is intermittent conjunctival
young infants
hyperaemia and epiphora, with
• The most notable common signs and symptoms : mucoid discharge that is normally
– reddening, oedema and the presence of a sterile.
painful area of induration overlying the • Lacrimal sac mucocele:
nasolacrimal sac, specifically just below the
– stagnant tears collect and there is
anatomical boundary of the medial canthal dilation of the lacrimal sac, with
ligament. mucoid content. &
– Epiphora and discharge may also be
observed.
• Chronic suppurative:
– epiphora and chronic
– In particular, when pressure is applied to the
conjunctivitis are observed, with
inflamed tear duct, purulent material may be
erythema of the lacrimal sac.
expressed through the lacrimal punctum.
– There is reflux of purulent material
– Frequently, patients may present with pressure, and microorganisms
conjunctivitis and preseptal celluliti are often isolated.

Sueiro et.al. Dacryocystitis: Systematic Approach to Diagnosis and Therapy. Curr Infect Dis Rep. 2012
Risk Factor
• The highest risk factor is the obstruction of the nasolacrimal duct
• Age : the occurrence of acute dacryocystitis being more prevalent with
increasing age among patients with nasolacrimal duct obstruction. the
peak prevalence of this disease occurs in the fifties and sixties
• Female : higher rates of both acute and chronic dacryocystitis have been
reported among women (73%, 63.3%, respectively)
• Nasal pathologies seem to have a crucial role in the risk of developing
dacryocystitis.  nasal septum deviation, rhinitis and inferior turbinate
hypertrophy on the same side as the infection.
• The presence of dacryoliths at various levels of the lacrimal drainage
system is a known risk factor for the development of dacryocystitis
– The use of make-up seems to be involved in the formation of dacryoliths.
Hyphae, especially of Candida, have also been isolated involved in the
formation of these dacryoliths

Sueiro et.al. Dacryocystitis: Systematic Approach to Diagnosis and Therapy. Curr Infect Dis Rep. 2012
39.Classification of Scleral
inflmamations

Lalit Varma. Scleral Inflammations: An update. 2013


Scleritis vs episcleritis
Applied anatomy of vascular coats
Normal Episcleritis Scleritis

• Radial superficial episcleral • Maximal congestion • Maximal congestion of


vessels of episcleral vessels deep vascular plexus
• Deep vascular plexus • Slight congestion of
adjacent to sclera episcleral vessels
Simple episcleritis
• This common condition is a benign, • Treatment
recurrent inflammation of the – Supportive: reassurance ± cold
episclera compresses.
• it is most common in young women. – Artificial tears
– Topical: consider lubricants ± NSAID
• Episcleritis is usually self-limiting and (e.g., ketorolac 0.3% 3x/day; uncertain
may require little or no treatment. benefit).
• It is not usually associated with any – Although disease improves with topical
systemic disease, although around steroids, there may be rebound
10% may have a connective tissue inflammation on withdrawal.
disease. – Systemic: if severe or recurrent disease,
consider oral NSAID (e.g., flurbiprofen
• Clinical features 100 mg 3x/day for acute disease).
– Sudden onset of mild discomfort,
tearing ± photophobia; may be
recurrent.
– Sectoral (occasionally diffuse) redness
that blanches with topical
vasoconstrictor (e.g., phenylephrine
10%); globe nontender; spontaneous
resolution 1–2 weeks.
Nodular episcleritis
• Clinical features • Treatment
– Sudden onset of FB sensation, – Treat as for simple episcleritis,
discomfort, tearing ± but there is a greater role for
photophobia. It may be ocular lubricants.
recurrent. – Patients with severe or
– Red nodule arising from the prolonged episodes may
episclera require artificial tears and/or
– can be moved separately from topical corticosteroids.
the sclera (cf. nodular scleritis) – Nodular episcleritis is more
and conjunctiva indolent and s
– blanches with topical – Topical ophthalmic 0.5%
vasoconstrictor (e.g., prednisolone, 0.1%
phenylephrine 10%) dexamethasone, or 0.1%
– does not stain with fluorescein; betamethasone daily may be
– globe nontender used.
– Spontaneous resolution occurs
in 5–6 weeks.
40. Kalazion
• Inflamasi idiopatik, steril, dan kronik dari kelenjar Meibom
• Ditandai oleh pembengkakan yang tidak nyeri, muncul berminggu-
minggu.
• Dapat diawali oleh hordeolum, dibedakan dari hordeolum oleh
ketiadaan tanda-tanda inflamasi akut.
• Pada pemeriksaan histologik ditemukan proliferasi endotel asinus
dan peradangan granullomatosa kelenjar Meibom
• Tanda dan gejala:
– Benjolan tidak nyeri pada bagian dalam kelopak mata. Kebanyakan
kalazion menonjol ke arah permukaan konjungtiva, bisa sedikit merah.
Jika sangat besar, dapat menekan bola mata, menyebabkan
astigmatisma.
• Tatalaksana: steroid intralesi (bisa membuat remisi terutama untuk
kalazion lesi kecil), Insisi dan kuretase untuk lesi kecil; eksisi
(pengangkatan granuloma untuk lesi yang besar)

Sumber: Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan and Asbury’s General Ophtalmology 17th ed. Philadephia:
McGraw-Hill, 2007.
Teknik Bedah Definisi

Insisi Sayatan yang dilakukan pada jaringan dengan instrumen


yang tajam tanpa melakukan pengangkatan organ atau
jaringan tersebut

Eksisi Suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor atau


pengangkatan sebagian dari jaringan dari organ dalam
tubuh.
Eksisi luas Suatu tindakan pengangkatan seluruh massa tumor disertai
pengangkatan jaringan sehat di sekitarnya

Ekstirpasi Tindakan pengangkatan seluruh massa tumor beserta


kapsulnya atau pengangkatan seluruh jaringan atau organ
yang rusak.
Biopsi Prosedur medis yang dilakukan dengan mengambil contoh
jaringan dari suatu massa tumor atau organ untuk diperiksa
di bawah mikroskop

http://www.peralatankedokteran.com/2012/01/definisi-teknik-bedah-minor.html
NEUROLOGI
41. EPIDURAL HEMATOM
• Pengumpulan darah diantara tengkorak dg
duramater. Biasanya berasal dari arteri yg pecah
oleh karena ada fraktur atau robekan langsung.
• Gejala (trias klasik) :
1. Interval lusid.
2. Hemiparesis/plegia.
3. Pupil anisokor.
 Diagnosis akurat dg CT scan kepala : perdarahan
bikonveks atau lentikulerdi daerah epidural.

PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006


EPIDURAL
HEMATOM

Epidural
HEMATOM
HEMATOM EPIDURAL HEMATOM SUBDURAL
SUBARAKHNOID

• Lucid interval • SDH akut : kurang dari • Kaku kuduk


• Kesadaran makin 72 jam • Nyeri kepala
menurun • SDH subakut : 3-21 hr • Bisa didapati
• Late hemiparesis pasca trauma. gangguan kesadaran
kontralateral lesi • SDH khronis : > 21 • Akibat pecah
• Pupil anisokor hari. aneurisme berry
• Babinsky (+) • Gejala: sakit kepala
kontralateral lesi disertai /tidak disertai
• Fraktur daerah penurunan kesadaran
temporal * akibat robekan
* akibat pecah a. bridging vein
meningea media
42. Cluster Type Headache
Klasifikasi
Berdasarkan jangka waktu periode cluster dan periode remisi,
International Headache Society telah mengklasifikasikan cluster
headache menjadi dua tipe :

A. Episodik
Dalam tipe ini, cluster headache terjadi setiap hari selama satu minggu
sampai satu tahun diikuti oleh remisi tanpa nyeri yang berlangsung
beberapa minggu sampai beberapa tahun sebelum berkembangnya
periode cluster selanjutnya.

B. Kronik
Dalam tipe ini, cluster headache terjadi setiap hari selama lebih dari
satu tahun dengan tidak ada remisi atau dengan periode tanpa nyeri
berlangsung kurang dari dua minggu.
43. Bell’s Palsy
44. Spondilitis TB
Fraktur Kompresi/ Depresi (Wedge)
• Karena gaya vertikal di depan garis tengah
vertebra yang menekan tepi anterior vertebra
• Sering terjadi pada torakolumbal Tata Laksana
• Pada usila: akibat jatuh terduduk • < 50% tinggi vertebra anterior:
• Usia muda: jatuh mendarat pada kaki konservatif, korset
• > 50%: operasi
• Fraktur patologis: spondilitis TB/ Osteoporosis
45. Abses Serebri
• Definisi  pus didalam parenkim otak
• Penyebaran  perkontinuitatum atau hematogen
• Faktor Risiko :
• Penyakit jantung kongenital
• Meningitis
• Otitis media
• Mastoiditis
• Sinusitis
• Imunodefisiensi
• Gejala : Triage abses otak
• Tanda infeksi (demam)
• Tanda peningkatan TIK (nyeri kepala)
• Tanda defisit neurologis fokal

https://reference.medscape.com/article/212946-overview
• Pemeriksaan penunjang
• Lab darah (marker infeksi)
• Lumbal pungsi
• CT Scan kontras
• hipodens sentral dikelilingi kontras (ring enhancement)
• MRI
• Etiologi:
• Streptococcus aureus
• streptococci (viridians, pneumococci, microaerophilic)
• bakteri anaerob (bakteri kokus gram
positif, Bacteroides spp, Fusobacterium spp, Prevotella s
pp, Actinomyces spp, dan Clostridium spp)
• basil aerob gram-negatif (enteric rods,
Proteus spp, Pseudomonas aeruginosa, Citrobacter
diversus, dan Haemophilus spp)
• Infeksi parasit (Schistosomiasis, Amoeba)
• Fungal (Actinomycosis, Candida albicans)
• Tatalaksana
• Pembedahan  needle aspirasi dengan burhole
• Abses > 2,5 cm
• Terdapat gas dalam abases
• Terletak di fosa posterior
• Antibiotik
Dosis dan Pilihan Obat Frekuensi

Cefotaxime (Claforan) 50-100 2-3 kali per hari,


mg/KgBBt/Hari IV
Ceftriaxone (Rocephin) 2-3 kali per hari,
50-100 mg/KgBBt/Hari IV

Metronidazole (Flagyl) 3 kali per hari,


35-50 mg/KgBB/Hari IV

Nafcillin (Unipen, Nafcil) setiap 4 jam,


2 grams IV
Vancomycin setiap 12 jam,
15 mg/KgBB/Hari IV

https://reference.medscape.com/article/212946-overview
DD Ring enhancement
Abses otak Neuro toxoplasmosis Tuberkuloma otak

Etiologi Umumnya bakteri T. gondii M. Tuberculosis

Deskripsi Round dengan Berbentuk cincin tipis Lobulated nodul


hipodens sentral dan halus dengan peri edema
tanpa kalsifikasi parenkim dan
kalsifikasi sentral

Jumlah Umumnya single Umumnya multipel Single atau multipel

Gambaran radiologi

https://radiopaedia.org/articles/intracranial-tuberculous-granuloma
ILMU
PSIKIATRI
46. Ansietas
Diagnosis Characteristic
Gangguan panik Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan perasaan akan
datangnya kejadian menakutkan.
Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya
provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif bebas dari
gejala di antara serangan panik.
Tanda fisis:Takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat.
Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit, jarang melebihi 1 jam.
Tatalaksana: terapi kognitif perilaku + antidepresan.
Gangguan fobik Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau situasi,
antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera, dan
kematian.
Gangguan Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku dalam waktu
penyesuaian <3 bulan dari awitan stresor. Tidak berhubungan dengan duka cita
akibat kematian orang lain.
Gangguan cemas Ansietas berlebih terus menerus berlangsung setiap hari sampai bbrp
menyeluruh minggu disertai Kecemasan (khawatir akan nasib buruk), ketegangan
motorik (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas
otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan
gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita).
• Gangguan panik
– Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan
perasaan akan datangnya kejadian menakutkan.
– Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa
adanya provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan
yang relatif bebas dari gejala di antara serangan panik
– Tanda fisis:
• Takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat.
• Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit, jarang
melebihi 1 jam.
– Tatalaksana: terapi kognitif perilaku + antidepresan.

PPDGJ
Kaplan & Sadock synopsis of psychiatry.
Panic Disorder (DSM 5)
• DSM-5 criteria for panic disorder include 4 or more attacks in a 4-
week period, or 1 or more attacks followed by at least 1 month of
fear of another panic attack.
• The following are potential symptom manifestations of a panic attack:
– Palpitations, pounding heart, or accelerated heart rate
– Sweating
– Trembling or shaking
– Sense of shortness of breath or smothering
– Feeling of choking
– Chest pain or discomfort
– Nausea or abdominal distress
– Feeling dizzy, unsteady, lightheaded, or faint
– Derealization or depersonalization (feeling detached from oneself)
– Fear of losing control or going crazy
– Fear of dying
– Numbness or tingling sensations
– Chills or hot flashes
Tatalaksana Gangguan Panik
• Cognitive-Behavioral Therapy • Medication
– This is a combination of cognitive – SSRIs
therapy • the first line of medication treatment for
– Cognitive therapymodify or panic disorder
eliminate thought patterns – Tricyclic antidepressants
contributing to the patient’s symptoms – High-potency benzodiazepines
– Behavioral therapy aims to help the • Ex: Clonazepam
patient to change his or her behavior. • may cause depression and are associated
– Cognitive-behavioral therapy generally with adverse effects during use and after
requires at least eight to 12 weeks discontinuation of therapy
• Some people may need a longer time • Poorer outcome and global functioning than
in treatment to learn and implement antidepresant
the skills – monoamine oxidase inhibitors (MAOIs)
• Combination Therapy
• Treatment i n Emergency • Psychodynamic therapy
Departement – help to relieve the stress that contributes to
– Oral benzodiazepine panic attacks, they do not seem to stop the
attacks directly
– Iv medication, e.x. Lorazepam
– Sometimes beta blockers are used to
reduce anxiety

http://www.aafp.org/afp/2005/0215/p733.html
Ven XR :Venlafaxine extended release
• SNRI : Serotonin norephinephrine
reuptake inhibitor

http://www.currentpsychiatry.com/home/article/panic-
disorder-break-the-fear-
circuit/990b7a325883ba278cdf8e46222a61f9.html
47. GANGGUAN PSIKIATRI POST PARTUM

• Post partum blues


– Sering dikenal sebagai baby blues
– Mempengaruhi 50-75% ibu setelah proses melahirkan
– Sering menangis secara terus-menerus tanpa sebab
yang pasti dan mengalami kecemasan
– Berlangsung pada minggu pertama setelah
melahirkanbiasanya kembali normal setalah 2
minggu tanpa penanganan khusus
– Tindakan yang diperlukanmenentramkan dan
membantu ibu
• Post partum Depression
– Kondisi yang lebih serius dari baby blues
– Mempengaruhi 1 dari 10 ibu baru
– Mengalami perasaan sedih, emosi yang
meningkat, tertekan, lebih sensitif, lelah, merasa
bersalah, cemas dan tidak mampu merawat diri
dan bayi
– Timbul beberapa hari setelah melahirkan sampai
setahun sejak melahirkan
– Tatalaksanapsikoterapi dan antidepresan
• Postpartum Psychosis
– Kondisi ini jarang terjadi
– 1 dari 1000 ibu yang melahirkan
– Gejala timbul beberapa hari dan berlangsung
beberapa minggu hingga beberapa bulan setelah
melahirkan
– Agitasi, kebingungan, hiperaktif, perasaan hilang
harapan dan malu, insomnia, paranoia, delusi,
halusinasi, bicara cepat, mania
– Tatalaksanaharus segera dilakukan, dapat
membahayakan diri dan bayi
Baby Blues vs Postpartum Depression
POSTPARTUM MAJOR
CHARACTERISTIC BABY BLUES DEPRESSION
Duration Less than 10 days More than two weeks

Onset Within two to three days Often within first month;


postpartum may be up to one year

Prevalence 80 percent 5 to 7 percent


Severity Mild dysfunction Moderate to severe
dysfunction

Suicidal ideation Not present May be present

Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933


Tatalaksana Postpartum Depression
• Tatalaksana utama: PSIKOTERAPI

• Tatalaksana farmakologis terutama digunakan untuk


depresi sedang dan berat.
– Drug of choice: antidepresan golongan SSRI
– Pada ibu menyusui, secara umum antidepresan dapat
ditemukan dalam ASI. Namun pada penggunaan Sertraline,
Paroxetine, dan Nortryptiline, kadar obat tidak terdeteksi
dalam serum bayi. Sedangkan penggunaan Fluoxetine dan
Citalopram terdeteksi dalam serum bayi namun dalam kadar
yang sangat rendah dan secara umum tidak menimbulkan
bahaya bagi bayi.
Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933
Dosis Obat Golongan SSRI
pada Postpartum Depression
USUAL
STARTING TREATMENT MAXIMAL ADVERSE
DRUG DOSAGE DOSAGE DOSAGE EFFECTS
Selective serotonin reuptake inhibitors
Citalopram 10 mg 20 to 40 mg 60 mg Headache,
(Celexa) nausea,
diarrhea,
Escitalopram 5 mg 10 to 20 mg 20 mg
sedation,
(Lexapro)
insomnia,
Fluoxetine 10 mg 20 to 40 mg 80 mg tremor,
(Prozac) nervousness,
Paroxetine 10 mg 20 to 40 mg 50 mg loss of libido,
(Paxil) delayed
orgasm
Sertraline 25 mg 50 to 100 mg 20
(Zoloft)
Postpartum Depression, Am Fam Physician. 2010 Oct 15;82(8):926-933
48. Skizofrenia (DSM 5)
A. Dua atau lebih gejala berikut yang berlansung selama 1 bulan. Salah satu
dari dua gejala tersebut harus gejala nomor (1), (2), atau (3):
1) Waham
2) Halusinasi
3) Disorganisasi bicara (inkoherensia)
4) Perilaku tidak terorganisasi atau perilaku katatonik
5) Gejala negatif (tidak ada ekspresi emosional, dll)
B. Disfungsi sosial pada lingkungan kerja, hubungan interpersonal,
kemampuan menjaga diri, dll yang signifikan.
C. Terdapat tanda gangguan bertahan selama minimal 6 bulan, dengan
terpenuhinya kriteria A selama minimal 1 bulan. Dalam 6 bulan tersebut,
dapat dijumpai gejala residual/negatif.
D. Gangguan skizoafektif, depresi, atau bipolar disingkirkan karena tidak
terdapat gejala depresi mayor/manik yang terjadi bersamaan dengan
gejala psikotik, atau hanya terjadi sangat singkat bila dibandingkan dengan
gejala psikotik/
E. Gangguan tidak disebabkan oleh obat-obatan atau kondisi medis lain.
PPDGJ

SKIZOFRENIA
Skizofrenia Gangguan isi pikir, waham, halusinasi, minimal 1
bulan
Paranoid merasa terancam/dikendalikan
Hebefrenik 15-25 tahun, afek tidak wajar, perilaku tidak dapat diramalkan,
senyum sendiri
Katatonik stupor, rigid, gaduh, fleksibilitas cerea
Skizotipal perilaku/penampilan aneh, kepercayaan aneh, bersifat magik, pikiran
obsesif berulang
Waham menetap hanya waham
Psikotik akut gejala psikotik <2 minggu.
Skizoafektif gejala skizofrenia & afektif bersamaan
Residual Gejala negatif menonjol, ada riwayat psikotik di masa lalu yang
memenuhi skizofrenia
Simpleks Gejala negatif yang khas skizofrenia (apatis, bicara jarang, afek
tumpul/tidak wajar) tanpa didahului halusinasi/waham/gejala
psikotik lain. Disertai perubahan perilaku pribadi yang bermakna
(tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, penarikan diri).
48. Gangguan Waham Menetap
(DSM-IV)
Jenis Gangguan Waham Menetap
(DSM-IV)
PRINSIP TERAPI ANTIPSIKOTIK
• Key points for using antipsychotic therapy:
1. An oral atypical antipsychotic drug should be considered as
first-line treatment.
2. Choice of medication should be made on the basis of prior
individual drug response, patient acceptance, individual side-
effect profile and cost-effectiveness, other medications being
prescribed and patient co-morbidities.
3. The lowest-effective dose should always be prescribed
initially, with subsequent titration.
4. The dosage of a typical or an atypical antipsychotic medication
should be within the manufacturer’s recommended range.

Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Psikofarmaka
• Key points for using antipsychotic therapy:
5. Treatment trial should be at least 4-8 weeks before changing
antipsychotic medication.
6. Antipsychotic medications, atypical or conventional, should
not be prescribed concurrently, except for short periods to
cover changeover.
7. Treatment should be continued for at least 12 months, then if
the disease has remitted fully, may be ceased gradually over
at least 1-2 months.
8. Prophylactic use of anticholinergic agents should be
determined on an individual basis and re-assessment made at
3-monthly intervals.
9. A trial of clozapine should be offered to patients with
schizophrenia who are unresponsive to at least two adequate
trials of antipsychotic medications.

Western Australian Psychotropic Drugs Committee. Antipsychotic Drug Guidelines Version 3 August 2006
Obat Antipsikotik Tipikal dan Atipikal
49. GANGGUAN AFEKTIF BIPOLAR

1 atau lebih
1 atau lebih Gangguan
Gangguan episode
episode afektif
mood mania atau
depresi bipolar
hipomania

Dengan/ tanpa Episode kini


psikosis? manik/ depresi?
Pedoman Diagnosis Gangguan Bipolar
(PPDGJ-III)
• Ditandai setidaknya 2 episode yang menunjukkan
pada 1 waktu tertentu terjadi peninggian mood
dan energi (mania/hipomania), dan pada 1 waktu
lain berupa penurunan mood dan energi
(depresi).
• Ada periode penyembuhan sempurna antar
episode.
• Manik terjadi tiba-tiba, lamanya antara 2 minggu-
5 bulan.
• Depresi biasanya terjadi selama 6 bulan-1 tahun.
Episode Manik (DSM-IV)
Bipolar Tipe I dan II

Gangguan bipolar

Bipolar tipe I Bipolar tipe II

1 atau lebih Episode depresi


episode manik, Pada pria dan berulang dan Lebih sering pada
dapat disertai wanita episode wanita
gejala psikotik hipomanik

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17696573
Bipolar tipe I dan II
Keterangan:
Pada bipolar tipe II,
episode peningkatan
mood lebih ke arah
hipomanik.

Pada bipolar tipe I,


episode peningkatan
mood lebih berlebihan
(full-blown manik, bisa
disertai dengan gejala
psikotik)

http://www.medscape.com/viewarticle/754573
Tatalaksana: Mood Stabilizer
Tatalaksana Gangguan Bipolar
FASE AKUT (DOC: Lithium) MAINTENANCE
• Manik – Lithium atau Asam valproat,
– Lithium, atau setidaknya selama 6 bulan.
– Asam valproat
– Antipsikotik perlu diteruskan
bila pasien cenderung memiliki
• Depresi risiko mengalami gejala psikotik
– Lithium, atau berulang
– Lamotrigine
– Monoterapi dengan – Psikoterapi
antidepresan tidak
direkomendasikan – Electroconvulsive therapy
(ECT)
• Gejala psikotik
– Antipsikotik, diutamakan
golongan atipikal

American Psychiatric Association, 2010


50. GANGGUAN TIDUR
• Gangguan tidur non organik mencakup :
– Disomnia: kondisi psikogenik primer dengan ciri
gangguan pada jumlah, kualitas atau waktu tidur
 insomnia, hipersomnia, gangguan jadwal
tidur
– Parasomnia: peristiwa episodik abnormal selama
tidur. Pada masa kanak ada hubungan dengan
perkembagan anak, pada orang dewasa berupa
 somnabulisme, night terror, nightmare
INSOMNIA
Menurut DSM IV
• Sulit memulai atau mempertahankan tidur
• Tidur non-restoratif yang berlangsung setidaknya satu bulan
• Menyebabkan gangguan fungsi yang signifikan pada individu

INSOMNIA AKUT INSOMNIA KRONIK


• Terjadi pada 1 malam dalam • Terjadi pada 3 malam dalam
beberapa minggu seminggu, terjadi selama
• Etiologi: minimal 1 bulan
- Stres psikologis (pekerjaan, • Etiologi:
kehidupan cinta) - Gangguan cemas
- Jet lag - Depresi
- Stres kronik
- Nyeri kronik
Klasifikasi Insomnia
• Early insomnia (initial insomnia/ sleep onset insomnia), yaitu
kesulitan untuk memulai tidur yang ditandai dengan perpanjangan
masa laten tidur (waktu dari berbaring hingga tertidur). Gangguan
ini sering berkaitan dengan gangguan cemas.

• Middle insomnia (sleep maintenance insomnia), merupakan


kesulitan untuk mempertahankan tidur. Gangguan ini ditandai
dengan seringnya terbangun di malam hari dan suliit memulai tidur
lagi, dan sering berkaitan dengan penyakit organik, nyeri, dan
gangguan depresi.

• Terminal insomnia (late insomnia/ early morning wakening


insomnia) ditandai dengan bangun lebih pagi dari yang diperlukan
secara terus menerus. Gangguan ini berkaitan dengan depresi.
F51.1 Hipersomnia non organik
• Hipersomnia adalah bertambahnya waktu tidur
sampai 25% dari pola tidur yang biasa.
• Gejala :
a) Rasa kantuk siang hari yang berlebihan atau
adanya serangan tidur dan atau transisi yang
memanjak dari saat mulai bangun hingga sadar
penuh.
b) Terjadi setiap hari, lebih dari 1 bulan atau
berulang dengan kurun waktu lebih pendek.
c) Tidak ada kondisi neurologis atau medis yang
menunjukan gejala rasa kantuk pada siang hari.
Narkolepsi (DSM 5)
Kriteria diagnosis
A. Episode berulang dari keinginan tidur yang tidak
tertahankan, tiba-tiba jatuh tertidur yang terjadi pada hari
yang sama. Episode tersebut harus terjadi minimal
3x/minggu selama 3 bulan berturut-turut.
B. Adanya minimal satu dari gejala berikut:
1. Episode katapleksi beberapa kali dalam sebulan, dapat berupa:
a. Pada pasien dengan gangguan lama: hilangnya tonus otot bilateral secara
mendadak dengan kesadaran terjaga, dicetuskan oleh tertawa/bercanda.
b. Pada anak/pasien onset <6 bulan: menyeringai/membuka rahang secara
spontan, atau hipotonia global tanpa pencetus emosional.
2. Defisiensi hipokretin LCS (≤1/3 nilai normal atau ≤110 pg/mL)
yang bukan akibat kelainan SSP.
3. Polisomnografi tidur nokturnal menunjukkan latensi fase tidur
rapid eye movements (REM) ≤ 15 menit, atau uji latensi tidur
menunjukkan rata-rata latensi tidur ≤ 8 menit serta ≥2 periode
REM
F51.2 Gangguan jadwal tidur non
organik
• Gangguan ini timbul akibat ketidakcocokan antara
ritme sirkadian normal dan siklus tidur-terjaga
normal yang dituntut oleh lingkungan.
• Ditandai dengan :
– Pola tidur-jaga dari individu tidak seirama dengan pola
tidur-jaga yang normal bagi masyarakat setempat.
– Insomnia pada waktu orang-orang tidur dan
hipersomnia pada waktu kebanyakan orang jaga, yang
dialami hampir setiap hari untuk sedikitnya 1 bulan
atau berulang dengan kurun waktu yang lebih pendek.
– Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti cemas,
depresi.
F51.3 Somnambulisme (Sleepwalking)
• Somnambulisme adalah gangguan tidur sambil berjalan,
yang merupakan gangguan perilaku yang terjadi dalam
tahap mimpi dari tidur.

• Penyebab
a) Kurang tidur (sleep deprivation)
b) Jadwal tidur yang tidak teratur/kacau (chaotic sleep
schedules)
c) Demam (fever)
d) Stres atau tekanan (stress)
e) Kekurangan (deficiency) magnesium
f) Intoksikasi obat atau zat kimia
F51.4 Teror tidur (night terrors)
• Night terror adalah suatu kondisi terbangun dari sepertiga awal tidur malam,
biasanya diikuti dengan teriakan dan tampakan gejala cemas yang berlebihan,
berlangsung selama 1 – 10 menit.
• Gejala
Dalam episode yang khas, ypenderita akan terduduk di tempat tidur dengan
kecemasan yang sangat dan tampakan agitasi serta gerakan motorik perseverativ
(seperti menarik selimut), ekspresi ketakutan, pupil dilatasi, keringat yang
berlebihan, merinding, nafas dan detak jantung ang cepat.
• Kriteria DSM-IV untuk Night Terror :
– Episode berulang dari bangun secara tiba-tiba dari tidur, biasanya berlangsung pada sepertiga
awal tidur dan dimulai dengan teriakan yang panik.
– Ketakutan yang sangat dan tanda-tanda sistem autonomik yang meningkat seperti takikardi,
bernafas dengan cepat, dan keringat dalam setiap episode.
– Tidak responsif secara relatif terhadap dukungan orang sekitar untuk menenangkan disaat
episode.
– Tidak dijumpainya mimpi yang dapat diingat dan timbulnya amnesia terhadap episode.
– Episode-episode serangan dapat menyebabkan distress tang tampak secara klinis dan ketidak
seimbangan dalam lingkungan, pekerjaan dan dalam aspek lain.
– Gangguan tidak disebabkan oleh efek psikologis suatu zat secara langsung (seperti
penyalahgunaan zat atau untuk medikasi) ataupun dalam suatu kondisi medis umum.
F51.5 Mimpi buruk (nightmare)
• Gangguan ini terdiri dari terjaga dari tidur yang berulang
dengan ingatan terperinci yang hidup akan mimpi
menakutkan.
• Gambaran klinis berikut adalah esensial untuk diagnosis
secara pasti terhadap mimpi buruk, yaitu:
– Terbangun dari tidur malam atau tidur siang berkaitan dengan
mimpi yang menakutkan yang dapat diingat kembali secara
terperinci dan jelas (vivid),
– Setelah terbangun dari mimpi yang menakutkan, individu segera
sadar dan mampu mengenali lingkungannya.
– Pengalaman mimpi itu dan akibat dari tidur yang terganggu,
menyebabkan penderitaan yang cukup berat bagi individu.
• Psikoterapi dan pengobatan perilaku merupakan metode
pengobatan paling efektif.
KULIT & KELAMIN,
MIKROBIOLOGI,
PARASITOLOGI
51. Pitiriasis Rosea
• Etiologi: tidak jelas, diduga virus karena self limiting
• Gejala klinis:
1. Gatal ringan
2. Pitiriasis (skuama halus)
3. Lesi khas
Lesi yang pertama muncul:
Herald Patch
• Lokasi di badan
• Soliter
• Oval dan annular
• Diameter ± 3 cm
• Lesi eritema dan skuama halus di pinggirnya

• Gambaran lesi seperti lesi pertama


hanya lebih kecil dan semakin banyak
• Susunan sejajar costae seperti pohon
cemara terbalik
• Timbul serentak atau dalam beberapa
hari 4-10 hari setelah lesi pertama:
• Predileksi: badan, lengan atas
proksimal, dan paha atasseperti
Pohon cemara terbalik
pakaian renang wanita jaman dahulu Djuanda A., Hamzah M., Aisah S., 2010, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 5. Jakarta: FKUI
Ptiriasis Rosea: Pemeriksaan dan Tatalaksana
• Pemeriksaan
– Laju endap darah >>
– KOH  untuk membedakan dgn
tinea korporis
– VDRL untuk membedakan dengan
sifilis II

• Tatalaksana
– Suportif
• Zinc oxide, antihistamin oral
dan kalamin untuk pruritus
– Steroid topikal/oral (kurang
direkomendasikan)  lesi luas
– UV B fototerapi untuk pruritus

Studberg DL, et al. Pityriasis Rosea. American Family Physician. 2004 Jan 1;69(1):87-91
http://emedicine.medscape.com/article/1107532-treatment#d8
52. Kondiloma Akuminatum
• PMS akibat HPV, kelainan berupa fibroepitelioma pada
kulit dan mukosa

• Gambaran klinis
– Vegetasi bertangkai dengan permukaan berjonjot dan
bergabung membentuk seperti kembang kol

• The incubation period after exposure ranges from three


weeks to eight months. Most infections are transient and
cleared within two year

• Pemeriksaan
– Bubuhi asam asetat  berubah putih
Kondiloma Akuminatum
• Risk factor : • Clinical manifestation
– Digital/anal, oral/anal and – Patients with a small number of
digital/vaginal contact warts are often asymptomatic.
probably can also spread – Other patients may have
the virus, as may fomites pruritus, bleeding, burning,
– The disease is also more tenderness, vaginal discharge
common in (women), or pain
immunosuppressed – Condylomata can occasionally
individuals form large exophytic masses that
can interfere with defecation,
intercourse, or vaginal delivery.
– Lesions involving the proximal
Breen E, et,al. Condyloma Acuminata (Anogenital warts).
www.uptodate.com
anal canal may also cause
stricturing.
Terapi
• Modalitas terapi utama untuk kondiloma akuminata adalah
terapi destruktif:
– Elektrokauterisasi,
– krioterapi dengan nitrogen cair,
– eksisi,
– Kemoterapi: tingtura podofilin 25%, podofilin resin, asam
trikloroasetat (TCA) 80% - 90% (CDC 2010) atau 50% (buku ajar
kulit kelamin FKUI, 5-Fluorourasil 1-5%,
– Laser karbondioksida
• Pada wanita hamil tidak semua modalitas terapi di atas
dapat digunakan, pilihan terapi yang dapat diberikan antara
lain krioterapi, elektrokauterisasi, terapi laser, dan asam
trikloroasetat.
Pemeriksaan Penunjang IMS ec
Penyakit Pemeriksaan
Virus Gambaran

Herpes Simpleks • Tzank Test: Multinucleated


giant cells
• Cytopathiceffect (+)

Genital Warts • Tzank Test: Koilosit


• Cytopathic effect (+)

Molluskum Kontagiosum • Tzank Test: Badan inklusi


intrasitoplasma
• Cytopathiceffect (+)
53. Psoriasis vulgaris
• Bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar berlapis-lapis dan transparan

• Predileksi
• Skalp, perbatasan skalp-muka, ekstremitas ekstensor (siku & lutut), lumbosakral
• Khas: fenomena tetesan lilin, Auspitz sign, Kobner sign

• Patofisiologi
– Genetik: berkaitan dengan HLA
– Imunologik: diekspresikan oleh limfosit T, sel penyaji antigen dermal, dan keratinosit
– Pencetus: stress, infeksi fokal, trauma, endokrin, gangguan metabolisme, obat, alkohol,
dan merokok

• Tata laksana
– Topikal: preparat ter, kortikosteroid, ditranol, tazaroen, emolien, dll
– Sistemik: KS, sitostatik (metotreksat), levodopa, etretinat, dll
– PUVA (UVA + psoralen)

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2010.
Psoriasis Vulgaris
Tanda dan Gejala
• Perburukan lesi skuama kronik
• Onset cepat pada banyak area kecil
dengan skuama dan kemerahan
• Baru terinfeksi radang tenggorokan
(streps), virus, imunisasi, obat
antimalaria, trauma
• Nyeri (terutama pada kasus psoriasis
eritrodermis atau pada sendi yang
terkena arthritis psoriasis)
• Pruritus
• Afebril
• Kuku distrofik
• Ruam yang responsif terhadap steroid
• Konjungtivitis atau blepharitis

http://emedicine.medscape.com/article/1943419-overview
Psoriasis Vulgaris: Tanda Khas
Tanda Penjelasan

Skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada


Fenomena
goresan, seperti lilin yang digores, akibat berubahnya
tetesan lilin
indeks bias.

Tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat


Fenomena
papilomatosis dengan cara pengerokan skuama yang
Auspitz
berlapis-lapis hingga habis.

Kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis yang


Fenomena
timbul akibat trauma pada kulit sehat penderita
Kobner
psoriasis, kira-kira muncul setelah 3 minggu.
Tipe Psoriasis
Tipe
Plak • Bentuk paling umum
Psoriasis • Lesi meninggi dasar kemerahan dan tertutup sisik putih (sel kulit mati)
• Predileksi: kulit kepala, lutut, siku, punggung, dan kulit yang sering terkena
trauma
• Terasa gatal dan nyeri, dapat retak dan berdarah
Psoriasis • Tersering kedua
Gutata • Lesi berbentuk titik/ plak kecil
• Dimulai pada masa anak-dewasa muda, dapat merupakan kelanjutan dari
infeksi streptokokus.
Inverse • Lesi berwarna merah, pada lipatan kulit
Psoriasis • Tampak licin dan mengkilat
• Dapat muncul bersama tipe lain

Psoriasis • Pustul berwarna putih (bula steril) dikelilingi dasar kemerahan


Pustular • Isi pus adalah sel darah putih
• Tidak menular
• Paling sering muncul di tangan dan kaki
Nail • Perubahan warna kuku menjadi kuning-kecoklatan, permukaan menjadi
Psoriasis tidak rata (sering berbentuk pit kecil multipel)
Treatment of Psoriasis
• Avoid environmental trigger: stress, alcohol, drugs.
• treatments extensive, include emollients, salicylic acid,
coal tar,
• anthralin, corticosteroids, methotrexate
• emollient creams, parafin, petrolatum, hydrogenated
oils reduce scaling, best applied after bathing
• Salicyclic acid is a keratinolytic, softens scales.
• Coal tar and corticisteroids are anti-inflammatory and
reduce proliferation. Used in combination with UV
light (Goekerman regimen)
Biopsi dikerjakan jika secara klinis gejala
psoriasis tidak khas

Mayoritas psoriasis terbagi menjadi 3


macam, yaitu gutata,
eritroderma/pustular, dan plak kronik
(paling sering)
Guttate self limiting+spontaneous
resolution in 6-12 weeks.
Eritroderma fast acting systemic

Keterangan gambar:
Garis solidfirst line
Garis putus-putussecond line
Cyclosporin bukan first line
BB-UVB:broadband UVB
BSA: body surface area
FAE: fumaric acid ester
NB-UVB: narrowband UVB
PUVA: psoralen+UVA light

Fitzpatrick
54. Nekrolisis Epidermal Toksik
• Sindrom yang mengenai kulit, selaputlendir di orifisium, dan mata dengan
keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat
• Penyebab: alergi obat (>50%), infeksi, vaksinasi, graft vs host disease,
neoplasma, radiasi
• Reaksi hipersensitivitas tipe 4 (cell mediated)
• Trias kelainan
– Kelainan kulit: eritema, vesikel, bula
– Kelainan mukosa orifisium: vesikel/bula/pseudomembran pada mukosa mulut
(100%), genitalia (50%). Berkembang menjadi krusta kehitaman
– Kelainan mata: konjungtivitis
• Komplikasi: bronkopneumonia, gangguan elektrolit, syok
• Pengobatan: KS sistemik-oral, antibiotik, suportif

Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2010.
Nekrolisis Epidermal Toksik
Definition Physical Findings & Clinical Presentation
• Stevens-Johnson syndrome (SJS) is a • The cutaneous eruption generally occurs
rare, severe vesiculobullous form of within 8 wk of drug initiation and is
erythema multiforme (EM) affecting
the skin, mouth, eyes, and genitalia. generally preceded by vague, nonspecific
• SJS  detachment <10% of body
symptoms of low-grade fever and fatigue
surface area (BSA). (influenza-like symptoms).
• SJS–toxic epidermal necrolysis (TEN) • Enlarging red-purple macules or papules
overlap syndrome  detachment 10% and bullae generally occur on the
to 30% of BSA, it is known as. conjunctiva, mucous membranes of the
• TEN affects detachment >30% of mouth nares, and genital regions.
BSA.
• Corneal ulcerations may result in
blindness.
Etiology
• Drugs • Ulcerative stomatitis results in
hemorrhagic crusting.
• Upper respiratory tract infections (e.g.,
Mycoplasma pneumoniae) and HSV
infections have also been implicated

Ferri’s best test: a practical guide to clinical laboratory medicine and diagnostic
imaging, ed 3, Philadelphia, 2014, Elsevier
Manifestasi Klinis

A. Early eruption. Erythematous


dusky red macules (flat atypical
target lesions) that progressively
coalesce and show epidermal
detachment.

B. Early presentation with


vesicles and blisters, note the
dusky color of blister roofs,
strongly suggesting necrosis of
the epidermis.

C. Advanced eruption. Blisters


and epidermal detachment have
led to large confluent erosions.

D. Full-blown epidermal
necrolysis characterized by large
erosive areas reminiscent of
scalding.
Medications and the Risk of Epidermal Necrolysis
High Risk Lower Risk Doubtful Risk No Evidence of Risk
• Allopurinol • Acetic acid NSAIDs • Paracetamol • Paracetamol
• Sulfamethoxazole (e.g., diclofenac) (acetaminophen) (acetaminophen)
• Sulfadiazine • Aminopenicillins • Pyrazolone • Pyrazolone
• Sulfapyridine • Cephalosporins analgesics analgesics
• Sulfadoxine • Quinolones • Corticosteroids • Corticosteroids
• Sulfasalazine • Cyclins • Other NSAIDs • Other NSAIDs
• Carbamazepine • Macrolide (except aspirin) (except aspirin)
• Lamotrigine • Sertraline • Sertralin
• Phenobarbital
• Phenytoin
• Phenylbutazone
• Nevirapine
• Oxicam NSAIDs
• Thiacetazone

Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest et all. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine.8th edition.New York: Mc Graw Hill ; 2012
SSJ vs TEN
Clinical Features that Distinguish SJS, SJS-TEN Overlap, and TEN

Clinical entitiy SJS SJS-TEN overlap TEN


Primary lesions • Dusky red • Dusky red • Poorly
lesion lesions delineated
• Flat • Flat atypical erythematous
atypical targets plaques
targets • Epidermal
detachment
• Dusky red
lesions
• Flat atypical
targets
Distribution • Isolated • Isolated lesions • Isolated
lesions • Confluence (++) lesions (rare)
• Confluenc on face and • Confluence
e (+) on trunk (+++) on face,
face and trunk, and
trunk elsewhere
Mucosal Yes Yes Yes
involvement
Systemic Usually Always Always
symptoms
Detachment (% < 10 10-30 >30
body surface
Harr T, French LE. Toxice Epidermal Necrolysis and Steven-Johnson area)
Syndrome. Oprhanet Journal of Rare Disease. 2010.
Management
• Treatment of associated conditions (e.g., acyclovir for HSV infection, azithromycin for
Mycoplasma infection).
• Antihistamines for pruritus.
– Treatment of the cutaneous blisters with cool, wet Burow’s compresses; kompres NaCl
0,9% atau Larutan Permanganas kalikus 1/10.000 dengan 3 lapis kasa selama 10-15 menit.
Kompres dilakukan 3 kali sehari sampai lesi kering.
• Relief of oral symptoms by frequent rinsing with lidocaine (Xylocaine Viscous).
• Liquid or soft diet with plenty of fluids to ensure proper hydration.
• Treatment of secondary infections with antibiotics.
• Corticosteroids: use remains controversial and there is a clear risk of sepsis; they should
be used only in severe cases early in the disease; when used, prednisone 20 to 30 mg bid
until new lesions no longer appear, then rapidly tapered.
– Topical steroids: may use to treat papules and plaques; however, should not be applied to
eroded areas (kortikosteroid potensi ringan-sedang, misalnya hidrokortison krim 2.5% atau
mometason furoat krim 0.1%
• Vitamin A: may be used for lacrimal hyposecretion.
• Consider IVIG in severe cases.
Ferri’s best test: a practical guide to clinical laboratory medicine and diagnostic imaging, ed 3, Philadelphia, 2014, Elsevier
Diagnosis Banding
Eritema multiforme Eritroderma Phototoxic eruptions

Acute generalized Generalized bullous fixed drug eruption


exanthematous pustulosis
Diagnosis Banding
Paraneoplastic pemphigus Staphylococcal scalded skin syndrome

Linear IgA bullous dermatosis


55. Schistosomiasis
• Etiologi: Schistosoma japonicum (Danau Lindu),
Schistosoma haematobium (Afrika dan timur
tengah)
• Stadium infektif  serkaria (melalui kulit)
• Stadium diagnostik  telur pada feses/urin
– berbentuk oval
– Transparan atau kuning pucat
– Tanpa operculum
– Terdapat spina
(kecil pada S. japonicum)
Daur Hidup Schistosoma sp.
Schistosomiasis
• Gejala
– Sindrom disentri
– Demam katamaya (fever, an urticarial rash,
enlarged liver and spleen, and bronchospasm)
– Fibrosis periportal, hipertensi portal, hipertensi
portal, granuloma pada otak
• Tatalaksana  Prazikuantel
– S. japonicum  3 x 20 mg/kg selama 1 hari
– S. haematobium  2 x 20 mg/kg selama 1 hari
Nama cacing Cacing dewasa Telur

Dinding tebal 2-3 lapis,


Ascaris bergerigi, berisi unsegmented
lumbricoides ovum

kulit radial dan mempunyai 6


Taenia solium kait didalamnya, berisi onkosfer
dan embriofor

Enterobius ovale biconcave dengan dinding


vermicularis asimetris berisi larva cacing

Ancylostoma
ovale dengan sitoplasma jernih
duodenale
berisi segmented ovum/ lobus 4-
Necator
8 mengandung larva
americanus

coklat kekuningan, duri terminal,


Schistosoma
transparan, ukuran 112-170 x
haematobium
40-70 µm

Tempayan dengan 2 operkulum


Trichuris
atas-bawah
trichiura Brooks GF. Jawetz, Melnick & Adelberg’s medical microbiology, 23rd ed. McGraw-Hill; 2004.
KEY POINTS
KEY POINTS
KEY POINTS
KEY POINTS
ILMU
KESEHATAN
ANAK
56. Kandidosis Oral
JENIS KLINIS GAMBARAN KLINIS
Kandidosis Pseudomembran Akut • Plak putih serupa susu pada
(Thrush) mukosa --> Diangkat --> dasar
eritema

Kandidosis Eritematosa Atrofik • Area eritematosa pada dorsum


Akut dan Kronik lidah, palatum atau mukosa
bukal
Kandidosis Hiperplasia Kronik • Plak putih yang tidak dapat
• Kandidosis Oral Kronik diangkat
(Leukoplakia Kandida)
• Sindrom Kandidosis Endokrin
• Kandidosis Mukokutaneus
Terlokalisasi Kronis
• Kandidosis Kronik Difus
Denture Related Stomatitis • Eritema dan edema kronik
pada mukosa yang berkontak
dengan denture
Kelitis kandidal (keilitis • Lesi pada sudut mulut
angularis/perleche) • perih, eritema dan fissura

a
Candida albicans
Prinsip tatalaksana
Gejala klinis DOC Keterangan

Ringan • Nistatin drops 7-14 hari Catatan:


- Dewasa: 4x400.000-600.000 U • Mild thrush –
- 1-12 bulan: 4x200.000 U Involves <50
- 1-18 tahun: sama dengan dewasa percent of the oral
• Nystatin lozenge 200,000 units to 400,000 units mucosa and
(one to two lozenges) four times per day for 7 absence of deep,
to 14 days. erosive lesions
• Clotrimazole 10 mg (one lozenge) five or six • Moderate/severe
times per day for 7 to 14 days. thrush – Involves
- Nystatin and clotrimazole lozenges are a ≥50 percent of the
choking hazard and should not be used in oral mucosa or
children younger than four years. deep, erosive
lesions
Sedang-berat Fluconazole oral 1x100-200mg/hari selama 7-14
hari
Management of oropharyngeal candidiasis (thrush) in infants 1
through 11 months of age
Management of oral thrush in children ≥12 months
CONDITION C L I N I C A L P R E S E N TAT I O N CAUSES

Smooth, shiny, erythematous,


MEDIAN sharply circumscribed, rhomboid
Often associated with candidal
RHOMBOID shaped plaque; usually
infection
GLOSSITIS asymptomatic, but burning or itching
possible; dorsal midline location

Caused by underlying disease,


ATROPHIC Smooth, glossy appearance with red medication use, or nutritional
GLOSSITIS or pink background deficiencies (e.g., iron, folic acid,
vitamin B12, riboflavin, niacin)

Epstein-Barr virus super infection;


ORAL HAIRY White, hairy appearing lesions on associated with
LEUKOPLAKIA lateral border of tongue immunocompromise, human
immunodeficiency virus infection

Bare patches on dorsal tongue Associated with fissured tongue,


GEOGRAPHIC
surrounded by serpiginous, raised, inversely associated with tobacco
TONGUE
slightly discolored border use

TONGUE-TIE Shortened frenulum limiting tongue


Congenital, adhesion of frenulum
(ANKYLOGLOSSIA) protrusion, breastfeeding difficulties
Disorders of Tongue

Median rhomboid glossitis Atrophic Glossitis


Disorders of Tongue

Georaphic Tongue Ankyloglossia


Disorders of Tongue

Hairy Tongue Oral hairy leukoplakia


Disorders of Tongue

Leukoplakia Eritroplakia

Eritroleukoplakia
57. Diare akut

• Diare akut:
- BAB >3 kali dalam 24 jam
- Konsistensi cair
- Durasi <1 minggu

• Diare kronik: diare karena penyebab apapun


dan berlangsung ≥ 14 hari
Gejala dan tanda dehidrasi
Klasifikasi diare pada anak
Tanpa dehidrasi PPM IDAI 2011

Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat

Terapi zinc
Syok hipovolemik
pada anak
• Jika diare sangat massif
sehingga volume loss
sangat tinggi, anak dapat
mengalami syok
hipovolemik
• Tatalaksana syok akibat
diare pada anak tidak
menggunakan rencana
terapi C melainkan
algoritma tatalaksana
syok hipovolemik anak
58. Pertusis
• Stadium:
– Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea,
demam subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa.
Penularan terjadi dalam stadium ini.
– Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang lama,
bisa diikuti dengan whooping atau stadium apnea. Bisa
disertai muntah.
– Stadium konvalesens: batuk kronik hingga beberapa
minggu

Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. http://emedicine.medscape.com/article/967268-


overview
Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis
• Diagnosis :
– Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit
diketahui terjadi lokal.
– Tanda diagnostik : Batuk paroksismal diikuti whoop saat inspirasi disertai muntah,
perdarahan subkonjungtiva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami
henti napas sementara/sianosis
• Penatalaksanaan :
– Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan
– < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henti napas, atau
sianosis dirawat di RS
• Pemeriksaan penunjang
– Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan
limfositosis absolut
– IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan antibodinya (IgG terhadap toksin
pertusis)
Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008
Tatalaksana
• Suportif umum (terapi oksigen dan ventilasi mekanik jika dibutuhkan)
• Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi
terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia
• Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7
hari selesai pemberian antibiotik. Gejala batuk paroksismal setelah terapi
antibiotik tidak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah
pemberian terapi hari ke-5
• Belum ada studi berbasis bukti untuk pemberian kortikosteroid, albuterol,
dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukti efektif sebagai terapi
pertusis.
• Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianotik,
hipoksia dan/ atau dehidrasi.
• Terapi antibiotik: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi,
mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi.
• Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan setiap anak dalam keluarga
Penyulit/ Komplikasi
• Pneumonia • Kejang
• Atelektasis • Tanda perdarahan, berupa:
• Ruptur alveoli Epistaksis, melena, perdarahan
• Emfisema subkonjungtiva, hematom
• Bronkiektasis epidural, perdarahan
• Pneumotoraks intrakranial
• Ruptur diafragma
• Meningoensefalitis,
ensefalopati, koma
• Dehidrasi dan gangguan nutrisi
• Hernia umbilikalis/inguinalis,
prolaps rekti
59. Glomerulonefritis akut
• Glomerulonefritis akut kondisi yang ditandai dengan edema, hematuria,
hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefritik) di mana terjadi
inflamasi pada glomerulus
• Glomerulonefritis disebabkan oleh beberapa macam kelainan yang memiliki
karakteristik berupa kerusakan glomerulus akibat inflamasi
• Glomerulonefritis akut post streptococcal merupakan salah satu bentuk tersering
dari glomerulonefritis akut
• Gejala klinis:
 Gross hematuria: urin berwarna seperti the atau coca-cola
 Oliguria
 Edema
 Nyeri kepala, merupakan gejala sekunder akibat hipertensi
 Dyspneabisa akibat edema paru atau gagal jantung yang mungkin terjadi
 Hipertensi

Niaudet P. Overview of the pathogenesis and causes of glomerulonephritis in children. UpToDate, 2016
Parmar MS. Acute glomerulonephritis. Emedicine, 2016
Patogenesis dan Patofisiologi
Streptococcal infection

Aktivasi komplemen Komplemen serum turun

Immune injuries
Proliferasi selular
Destruksi membran basal glomerulus
Lumen kapiler menyempit
hematuria
Aliran darah glomerular menurun

GFR turun Reabsorbsi natrium distal

oliguria
Retensi air dan natrium

Volume darah meningkat

Edema dan hipertensi


Pemeriksaan penunjang
• Urinalisis
 Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit
• Peningkatan ureum dan kreatinin
• ASTO meningkat (ASTO: antibodi terhadap streptolysin O,
yang merupakan toxin yang diproduksi oleh kuman grup
A)
• Komplemen C3 menurun pada minggu pertama
• Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, dan
hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut
Therapy in Pediatric GNAPS
• The major goal is to control edema and blood pressure
• Management of edema:
– Sodium and fluid restriction
• A sodium-restricted diet is tailored to provide the child with approximately 2 to 3 mEq of
sodium/kg per day (23-46 mg/kg), the amount of sodium required for a growing child.
• maximum sodium intake of 2000 mg/day
• Fluid restriction can be considered in patients with generalized edema in poststrep GN
– Diuretic therapy
• If significant edema or hypertension develops
• Loop diuretics (eg, (Furosemide 1-2 mg/kg/kali IV per 6-12 jam; Oral: 2 mg/kg once daily)
• Management of Hypertension
– For hypertension not controlled by diuretics, usually calcium channel blockers,
angiotensin-converting enzyme inhibitors (ACEIs), or angiotensin receptor blockers
(ARBs) are useful
• Specific therapy:
– Strep Inf. (+): Treat with oral penicillin V (250 mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with
erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for patients allergic to penicillin
– This helps prevent nephritis in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to
others
• Indications for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical
manifestations of uremia
• Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari.
60. Mumps (Parotitis Epidemica)
• Acute, self-limited, systemic viral illness characterized by the
swelling of one or more of the salivary glands, typically the
parotid glands.
• Highly infectious to nonimmune individuals and is the only
cause of epidemic parotitis.
• Taksonomi:
– Species: Mumps rubulavirus
– Genus: Rubulavirus
– Family: Paramyxoviridae
– Order: Mononegavirales
MUMPS
• Salah satu penyebab parotitis • Penularan terjadi sejak 6 hari
• Satu-satunya penyebab sebelum timbulnya
parotitis yang mengakibatkan pembengkakan parotis sampai
“occasional outbreak” 9 hari kemudian.
• Disebabkan oleh • Bisa tanpa gejala
paramyxovirus, dengan • Masa inkubasi 12-25 hari,
predileksi pada kelenjar dan gejala prodromal tidak spesifik
jaringan syaraf. ditandai dengan mialgia,
• The transmission mode is anoreksia, malaise, sakit
person to person via kepala dan demam ringan 
respiratory droplets and saliva, Setelah itu timbul
direct contact, or fomites. pembengkakan
• Insidens puncak pada usia 5-9 unilateral/bilateral kelejar
• tahun. parotis.
• Imunisasi dengan live • Gejala ini akan berkurang
attenuated vaccine sangat setelah 1 minggu dan
berhasil (98%) biasanya menghilang setelah
10 hari.
MUMPS
• Conservative, supportive medical care is
indicated for patients with mumps.
• No antiviral agent is indicated, as mumps is a
self-limited disease.
• Encouraging oral fluid intake
• Refrain from acidic foods and liquids as they may
cause swallowing difficulty, as well as gastric
irritation.
• Analgesics (acetaminophen, ibuprofen)
• Topical application of warm or cold packs to
the swollen parotid may soothe the area.
VAKSINASI MMR

• Merupakan vaksin kombinasi untuk Measles (Campak),


Mumps (Parotitis), dan Rubella
• Vaksin kering, mengandung virus hidup, disimpan pada
temperatur 2-8⁰C, dan terlindung dari cahaya
• Pemberian dengan dosis tunggal 0.5 ml intramuskular
atau subkutan dalam
• Harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak,
gondongan, dan rubella
• Jadwal IDAI 2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan,
MMR diberikan usia 15 bulan (interval minimal 6
bulan); jika belum mendapat campak 9 bulan, MMR
bisa diberikan usia 12 bulan
VAKSINASI MMR
Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017
Usia
Imunisasi Bulan Tahun
Lahir 1 2 3 4 5 6 9 12 15 18 24 3 5 6 7 8 9 10 12 18
Hepatitis B 1 2 3 4
Polio 0 1 2 3 4
BCG 1 kali
DTP 1 2 3 4 5 6 (Td/Tdap) 7 (Td)
Hib 1 2 3 4
PCV 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3a
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis A 2 kali, interval 6 – 12 bulan
Varisela 1 kali
HPV 2 atau 3 kalib
Japanese encephalitis 1 2
Dengue 3 kali, interval 6 bulan

Keterangan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
Cara membaca kolom usia : misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal
Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis
a
Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir
b
Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14
setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10
Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi
Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel pertama kali (primary immunizatio
n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4
1. Vaksin hepatiti s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL.
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monova- 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit
i s B 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan
(HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka
usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. dapat diberikan vaksin MMR/MR.
2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar.
bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling se- Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
dikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga
3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja
usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib
o d i setara dengan 3 dosis.
4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang
DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun
tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 berikutnya.
dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari)
aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan)

bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12

bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan)

optimal catchup booster daerah endemis

1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam
setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal
pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg
positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila
diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4
bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2,
4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana
kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster
diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan
dengan OPV-3
3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan
usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau
kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih
7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia
10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun
5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2
kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya
perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir.
Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali
6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua
diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu.
Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval
4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu
7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal
4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau
lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat
MMR
9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia
15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak,
dapat diberikan MMR/MR
10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih
dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu
11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6
bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan
12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis
yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2
tahun berikutnya
13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
61. Kolera
• Infeksi usus oleh Vibrio cholerae
– Bakteri anaerobik fakultatif,
– batang gram negatif yang melengkung
berbentuk koma,
– tidak membentuk spora
– Memiliki single, sheathed, polar flagellum
• Gejala klinis (sangat cepat (24-48 jam)):
– Diare sekretorik profuse, tidak berbau,
bersifat tidak nyeri, seperti warna air
cucian beras
– Muntah  tidak selalu ada
– Dehidrasi  berlangsung sangat cepat,
dengan komplikasi gagal ginjal akut, syok,
dan kematian
– Abdominal cramps

Thaker VV. Cholera. http://emedicine.medscape.com/article/962643-overview


Vibrio Cholerae
PATHOPHYSIOLOGY OF CHOLERA

V. cholerae
activation of ion
accumulates in increase cAMP
channels
stomach

NaCl influx into


G- protein stuck in
Produces exotoxins intestinal lumen to
"on" position
drag water into lumen

Toxins will bind to G-


protein coupled lead to watery
Inactivation of GTPase
receptor (ganglioside diarrhea
receptor)
Prinsip Terapi Cairan Pada Kolera
• Rehidrasi merupakan prioritas pertama pada
cholera
• Pemberian cairan terbagi menjadi 2 fase yaitu
rehidrasi dan maintenance
• Fase rehidrasi:
– mencapai status hidrasi normal dalam waktu ≤ 4 jam.
– Lebih diutamakan untuk menggunakan ringer
lactate, jika tidak ada bisa menggunakan NaCl 0.9%
• Fase maintenance:
– menjaga status hidrasi normal terutama melalui oral
dengan menggunakan oralit
TERAPI
• Rehidrasi sesuai dengan status dehidrasi
pasien
• Antibiotik, diindikasikan pada pasien
dengan dehidrasi berat di atas 2 tahun.
• Antibiotik yang sensitif untuk strain
vibrio cholerae : Tetrasiklin, doksisiklin,
kotrimoksazol, eritromisin, dan
kloramfenikol
• Erythromycin 12.5 mg/kg/ 6 hours for 3
days.
• azithromycin, 20 mg/kg, in a single dose,
without exceeding 1 g
• Tetrasiklin:
– <8 years: Not recommended
– Multiple dose: 50 mg/kg/day PO divided
q6hr for 3 days; not to exceed 2 g/day
Sumber: WHO Cholera. 2011. | emedicine | PAHO
• Doxycycline: | Uptodate
– 4-6 mg/kg (single dose)
Antibiotics Summary for Cholera
Typical pediatric
Class Antibiotic Adult dose Comment(s)
dose*
4-6 mg/kg (single Antibiotic resistance to all tetracyclines is
Doxycycline 300 mg (single dose)
dose) common[1]. Empiric use is appropriate in
epidemics caused by documented
Tetracyclines 50 mg/kg/day in 500 mg four times susceptible isolates. Not
Tetracycline four equally divided per day for three recommended for pregnant women
doses, for three days days
and children less than 8 years.
20 mg/kg (single
Azithromycin 1 g (single dose)
dose)
Single dose azithromycin is preferred
Macrolides 40 mg/kg/day in 500 mg four times therapy[2]. Rare reports of macrolide
Erythromycin four equally divided per day for three resistance.
doses, for three days days

Reduced susceptibility to
fluoroquinolones has been reported in
Fluoroquinolo 20 mg/kg (single Asia and Africa[2,3]. Not
Ciprofloxacin 1 g (single dose)
nes dose)
recommended for pregnant women
and children less than 18 years.
Guidelines for Cholera Treatment with Antibiotics
DOC FOR SPECIAL
RECOMMENDATION DOC ALTERNATE
POPULATIONS

Ab for cholera Erythromycin is


WHO patients with severe Doxycycline Tetracycline recommended drug
dehydration only for children

Erythromycin or
azithromycin DOC for
Ab for cholera pregnant women and
patients with Ciprofloxacin children
PAHO Doxycycline
moderate or severe Azithromycin Ciprofloxacin &
dehydration doxycycline as
second-line for
children

Ab for severely Erythromycin


MSF dehydrated patients Doxycycline Cotrimoxazole
only Chloramphenicol
62. Pansitopenia ec Anemia Aplastik

Manifestasi klinis disebabkan


oleh sitopenia

Anemia Trombositopenia Leukopenia

Ptekiae, epistaksis,
Pucat, lemah,
perdarahan gusi, Demam, infeksi
dispnea
menoragia

Tidak ada limfadenopati atau splenomegali

Lichtman MA, Segel GB. Aplastic anemia: acquired and inherited. In: Lichtman et al, editors. William’s hematology. 8th ed. New York: McGraw Hill; 2010. p.463-79
PANCYTOPENIA
• Simultaneous presence of anaemia, leukopenia,
thrombocytopenia
APLASTIC ANEMIA:
• Failure of two or more cell lines
• Anaemia, leukopenia, thrombocytopenia
(pancytopenia) + hypoplasia or aplasia of the marrow
• Pathology: Reduction in the amount of haemopoietic
tissue  inability to produce mature cells for
discharge into the bloodstream
• no hepatomegaly; no splenomegaly; no
lymphadenopathy;
• Hallmark: peripheral pancytopenia with
hypoplastic/ aplastic bone marrow
CLASSIFICATION:
• Idiopathic
• Secondary:
– idiosyncratic drug reaction
– chemical exposure
– infectious hepatitis
– paroxysmal nocturnal haemoglobinuria
• Constitutional (inherited/congenital)
– Diamond-Blackfan syndrome
– Shwachmann-Diamond syndrome
– Fanconi anemia
– Dyskeratosis Congenita
– TAR (thrombocytopenia with absent radii)
– Amegakaryocytic thrombocytopenia
ACQUIRED APLASTIC ANEMIA - CAUSES
• Radiation • Immune diseases:
• Drugs and chemicals – eosinophilic fascitis
– chemotherapy – thymoma
– Benzene • Pregnancy
– Chloramphenicol: idiosyncratic; • PNH
sudden onset after several
months; 1 of every 20,000, • Marrow replacement:
irreversible – leukemia
– organophosphate – Myelofibrosis
• Viruses: – myelodysplasia
– CMV
– EBV
– Hep B, C,D
– HIV
PATHOPHYSIOLOGY

• Direct destruction of haemopoietic


progenitors
• Disruption of marrow micro-environment
• Immune mediated suppression of marrow
elements
 Cytotoxic T cells in blood and marrow
release gamma IFN and TNF  inhibit early
and late progenitor cells
CLINICAL FEATURES

RBC (anemia)
• Progressive and persistent pallor
• Anemia related symptoms
WBC (Leucopenia/neutropenia)
• Prone to infections - Pyodermas, OM, pneumonia, UTI, GI
infections, sepsis
Platelets (Thrombocytopenia)
• Petechiae, purpura, ecchymoses
• Hematemesis, hematuria, epistaxis, gingival bleed
• Intracranial bleed-headache, irritability, drowsiness, coma
Blood picture:
• Anemia-normocytic, normochromic
• Leukopenia (neutropenia)
• Relative lymphocytosis
• Thrombocytopenia
• Absolute reticulocyte count low
• Mild to moderate anisopoikilocytosis
Gold Standard

• Bone Marrow Puncture : dry aspirate,


hypocellular with fat (>70% yellow marrow)
Management:
• Identification and Definitive therapy
elimination of • Bone marrow transplantation
underlying cause – Treatment of choice
– HLA matched donor. Usually
• Supportive therapy: siblings
– Red cell transfusion for – Long term survival rates: 60-70%
anemia • Immunosuppression
– Prevention and – Antithymocyte globulin (ATG)
treatment of – Antilymphocyte glubulin (ALG)
haemorrhage – Cyclosporin
– Prevention and – Intensive immunosupression :
treatment of infection cyclophosphamide
– Corticosteroids
63. Ikterus Neonatorum
• Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1
– Kemungkinan besar: inkompatibilitas ABO, Rh,
penyakit hemolitik, atau sferositosis. Penyebab
lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD
• Ikterus yang berkembang cepat setelah usia
48 jam
– Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD.
Penyebab lebih jarang: inkompatibilitas ABO, Rh,
sferositosis.
Anemia Hemolisis Neonatus/ Hemolytic
Disease of Neonates
P E N YA K I T KETERANGAN

Adanya aglutinin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap


Inkompatibilitas aglutinogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi
ABO antibodi IgG Anti-A/B terhadap gol. darah anak (golongan darah A
atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama

Rh+ berarti mempunyai antigen D, sedangkan Rh– berarti tidak


memiliki antigen D. Hemolisis terjadi karena adanya antibodi ibu
dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap antigen Rh anak
Inkompatibilitas (berati anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn antibodi ibu
Rh terhadap antigen D anak yg berhasil melewati plasenta belum
banyak.
Ketika ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + antibodi
yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis
Inkompatibilitas Rhesus

• Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan


eritrosit
• Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk antibodi Rh
– Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
– Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)
Inkompatibilitas Rhesus
• Faktor Rh: salah satu jenis antigen permukaan
eritrosit
• Inkompatibilitas rhesus: kondisi dimana wanita
dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+),
sehingga membentuk antibodi Rh
– Ketika ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+),
terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian
aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran
normal
– Ketika wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah
Rh (+)
 

• Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal


terhadap antigen Rh yang bisa dengan bebas melewati plasenta
hingga membentuk kompleks antigen-antibodi dengan eritrosit
fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit tersebut  fetal
alloimmune-induced hemolytic anemia.
• Ketika wanita gol darah Rh (-) tersensitisasi diperlukan waktu
kira-kira sebulan untuk membentuk antibodi Rh yg bisa
menandingi sirkulasi fetal.
• 90% kasus sensitisasi terjadi selama proses kelahiran  o.k itu
anak pertama Rh (+) tidak terpengaruhi karena waktu pajanan
eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, tidak bisa memproduksi
antibodi scr signifikan
Inkompatibilitas Rhesus
• Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan
kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua
menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa meninggal in utero
• Risiko sensitisasi tergantung pada 3 faktor:
– Volume perdarahan transplansental
– Tingkat respons imun maternal
– Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan
• Adanya inkompatibilitas ABO pada saat bersamaan dengan
ketidakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompatibilitas Rh
 karena serum ibu yang mengandung antibodi ABO
menghancurkan eritrosit janin sebelum sensitisasi Rh yg signifikan
sempat terjadi
• Untungnya inkompatibilitas ABO biasanya tidak memberikan
sekuele yang parah
http://emedicine.medscape.com/article/797150
Inkompatibilitas ABO
• Terjadi pada ibu dengan • Gejala yang timbul adalah
golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan
janin dengan golongan peningkatan bilirubin
darah A, B, atau AB serum.
• Tidak terjadi pada ibu gol A • Lebih sering terjadi pada
dan B karena antibodi yg bayi dengan gol darah A
terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi
melewati plasenta, hemolisis pada gol darah
sedangkan 1% ibu gol darah tipe B biasanya lebih berat.
O yang memiliki titer • Inkompatibilitas ABO jarang
antibody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops
antigen A dan B, bisa fetalis dan biasanya tidak
melewati plasenta separah inkompatibilitas Rh
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas

• Prenatal emergency care for Rh


incompatibility:
– Tipe Rh ibu
– the Rosette screening test atau the Kleihauer-
Betke acid elution test bisa mendeteksi
alloimmunization yg disebabkan oleh fetal
hemorrhage
– Amniosentesis/cordosentesis

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Pemeriksaan Penunjang Inkompatibilitas

• Pemeriksaan penunjang yang dilakukan post natal baik untuk


inkompatibilitas ABO dan Rh
– Cek tipe ABO dan Rh, hematokrit, Hb, serum bilirubin,
apusan darah, dan direct Coombs test.
– direct Coombs test yang positif menegakkan diagnosis
antibody-induced hemolytic anemia yang menandakan
adanya inkompabilitas ABO atau Rh
• Pada inkompatibilitas ABO manifestasi yg lebih dominan
adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan anemia, dan apusan
darah tepi memberikan gambaran banyak spherocyte dan
sedikit erythroblasts, sedangkan pada inkompatibilitas Rh
banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
Tatalaksana Inkompatibilitas Rh
• Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensitisasi,
berikan human anti-D immunoglobulin (Rh IgG atau
RhoGAM)
• Jika sang ibu sudah tersensitisasi, pemberian Rh IgG
tidak berguna
• Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompatibilitas,
transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar
bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya
reticulocyte count

http://emedicine.medscape.com/article/797150
Tatalaksana Umum Hemolytic Disease
of Neonates
• In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum
bilirubin levels, oral hydration, and phototherapy are the mainstays of
management.
• For infants who do not respond to these conventional measures, intravenous fluid
supplementation and/or exchange transfusion may be necessary to treat
hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in
reducing the need for exchange transfusion.
• Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervention to treat
and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effective and safe intervention. The
AAP has developed guidelines for the initiation and discontinuation of
phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age
of the patient, gestational age, and the presence or absence of risk factors for
hyperbilirubinemia including alloimmune HDN
• Hydration — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the
fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addition,
by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydration is
inadequate, intravenous hydration may be necessary.
• Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as
previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion
removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of antibody-
coated neonatal RBCs and unbound maternal antibody.
I N KO M PAT I B I L I TA S A B O I N KO M PAT I B I L I TA S R H

Tidak pernah terjadi pada anak pertama


dengan rhesus (+) karena antibodi ibu yg
Bisa terjadi pada anak pertama
terbentuk belum cukuop untuk
menyebabkan inkompatibilitas

Inkompatibilitas ABO jarang sekali


Gejala biasanya lebih parah jika
menimbulkan hidrops fetalis dan
dibandingkan dengan inkompatibilotas
biasanya tidak separah
ABO, bahkan hingga hidrops fetalis
inkompatibilitas Rh

Risiko dan derajat keparahan meningkat


seiring dengan kehamilan janin Rh (+)
Risiko dan derajat keparahan tidak berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan
meningkat di anak selanjutnya bayi dengan anemia ringan, sedangkan
kehamilan ketiga dan selanjutnya bisa
meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan pada inkompatibilitas Rh banyak


gambaran banyak spherocyte dan ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte
sedikit erythroblasts
64-65. Hipotiroid Kongenital
• Hipotiroid kongenital adalah kelainan fungsi dari kelenjar tiroid yang
didapat sejak bayi baru lahir.
• Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan
metabolisme pembentukan hormon tiroid atau defisiensi iodium.
• Selama kehamilan, plasenta berperan sebagai media transportasi
elemen-elemen penting untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing
Hormone (TRH) dan iodium – yang berguna untuk membantu
pembentukan Hormon Tiroid (HT) janin – bisa bebas melewati plasenta.
Demikian juga hormon tiroksin (T4). Namun disamping itu, elemen yang
merugikan tiroid janin seperti antibodi (TSH receptor antibody) dan obat
anti tiroid yang dimakan ibu, juga dapat melewati plasenta. Sementara,
TSH, yang mempunyai peranan penting dalam pembentukan dan
produksi HT, justru tidak bisa melewati plasenta.

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Hipotiroid kongenital pada Anak
• Merupakan salah satu penyebab retardasi
mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi
setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan IQ
bermakna.
• Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya
diagnosis etiologi ditegakkan sebelum usia 2
minggu dan normalisasi hormon tiroid
(levotiroksin)sebelum usia 3 minggu.

Postellon DC. Congenital hypothyroidism. http://emedicine.medscape.com/article/919758-overview


Gambaran klinis
Figure 3 Diagnostic algorithm for the detection of primary congenital hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) Detection and treatment of congenital hypothyroidism


Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160
Skrining
• Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah ketika umur
bayi 48 sampai 72 jam.
• Namun, pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa
ditolerir antara 24–48 jam (contoh: ibu pulang paksa).
• Akan tetapi, sebaiknya darah tidak diambil dalam 24 jam pertama
setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH masih tinggi, sehingga
akan memberikan sejumlah hasil tinggi/positif palsu (false positive).
• Jika bayi sudah dipulangkan sebelum 24 jam, maka spesimen perlu
diambil pada saat kontrol, tepatnya saat bayi berusia 48 sampai 72
jam
• Sampel darah diteteskan di kertas saring dan diperiksa di
laboratorium
• Hasil sudah bisa diperoleh dalam 1 minggu

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Intepretasi hasil
• Kadar TSH < 20 μU/mL berarti normal
• Jika kadar TSH antara ≥ 20 μU/mL , perlu pengambilan
spesimen ulang (resample) atau dilakukan pemeriksaan
DUPLO (diperiksa dua kali dengan spesimen yang sama,
kemudian diambil nilai rata-rata). Bila pada hasil
pengambilan ulang didapatkan:
 Kadar TSH < 20 μU/mL, maka hasil tersebut dianggap
normal.
 Kadar TSH ≥ 20 μU/mL, maka harus dilakukan
pemeriksaan TSH dan FT4 serum
Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014
Tatalaksana
• Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes
konfirmasi.
• Bayi dengan hipotiroid berat diberi dosis tinggi, sedangkan bayi
dengan hipotiroid ringan atau sedang diberi dosis lebih rendah.
• Bayi yang menderita kelainan jantung, mulai pemberian 50%
dari dosis, kemudian dinaikkan setelah 2 minggu.
Dosis levotiroksin (L-T4)

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


Evaluasi terapi
• Pemantauan pertama setelah 2 minggu sejak pengobatan
tiroksin
• Selanjutnya tiap 4 minggu sampai kadar TSH normal
• Tiap 2 bulan sampai umur 12 bulan
• Dari umur 1 – 3 tahun, pemantauan klinis dan
laboratorium tiap 4 bulan
• Selanjutnya tiap 6 bulan sampai selesai masa
pertumbuhan.
• Setelah umur 18 tahun, dialihrawatkan pada ahli penyakit
dalam.
• Pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih sering bila
kepatuhan minum obat meragukan, atau ada perubahan
dosis (4 – 6 minggu setelah perubahan dosis).
Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014
Target pengobatan

• Nilai T4 serum,130 – 206 nmol/L (10 – 16


μg/dl )
• FT4 18 – 30 pmol/L (1,4 - 2,3 μg/dl) kadar FT4
ini dipertahankan pada nilai di atas 1,7 μg/dl
(75% dari kisaran nilai normal). Kadar ini
merupakan kadar optimal.
• Kadar TSH serum, sebaiknya dipertahankan di
bawah 5 μU/mL

Pedoman skrining hipotiroid kongenital kemenkes 2014


66. Demam Tifoid
Gejala Klinis:
• Demam persisten pada minggu kedua
• Nyeri kepala
• Gejala abdomen (biasanya berupa nyeri epigastrium,
diare atau konstipasi), mual, muntah
• Bradikardi relatif,
• Lidah yang tremor dan berselaput
• Meteorismus.
• Hepatomegali, splenomegali

496
Sensitivity of Typhoid Cultures
Spesimen Incubation Minggu I Minggu II Minggu Minggu IV
III
Darah Sensitivitas 70% Sensitivitas 40-
(GOLD 50%
STANDARD) disarankan
kultur feses/urin
Bone Sensitivitas 90%
marrow (setelah 5 hari
antibiotik akan turun)
terlalu invasif dan
tidak menjadi pilihan
utama

Feses Sensitivitas 20-60%

Urin Sensitivitas 25-30%


Tes Widal:
• Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H
dari salmonella.
• Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari
dari hasil pertama.
• Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H
meningkat setelah 10-12 hari.
• Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel
karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi
hingga 1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian
memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang
signifikan.
• Sensitivitas 64% dan spesifisitas 76%
Typhidot
• Deteksi IgM dan IgG terhadap outer
membrane protein (OMP) 50 kDa dari
S. typhi.
• Positif setelah infeksi hari 2-3.
• Sensitivitas 79%, spesifisitas 89%

Tubex TF
• Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya
S. typhi).
• Positif setelah hari ke 3-4.
• Sensitivitas 78%, spesifisitas 89%
A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
Tatalaksana Demam Tifoid
Tatalaksana Demam Tifoid
67. Hepatitis Viral Akut
• Hepatitis viral: Suatu proses peradangan pada hati atau
kerusakan dan nekrosis sel hepatosit akibat virus hepatotropik.
Dapat akut/kronik. Kronik → jika berlangsung lebih dari 6 bulan
• Perjalanan klasik hepatitis virus akut
– Fase inkubasi
– Stadium prodromal/ preikterik: flu like syndrome,
– Stadium ikterik: gejala-gejala pada stadium prodromal berkurang
disertai munculnya ikterus, urin kuning tua
– Stadium konvalesens/penyembuhan
• Anamnesis Hepatitis A :
– Manifestasi hepatitis A:
• Anak dicurigai menderita hepatitis A jika ada gejala sistemik yang
berhubungan dengan saluran cerna (malaise, nausea, emesis, anorexia, rasa
tidak nyaman pada perut) dan ditemukan faktor risiko misalnya pada keadaan
adanya outbreak atau diketahui sumber penularan.

Pedoman Pelayanan Medis IDAI


Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Hepatitis A

• Virus RNA (Picornavirus)


ukuran 27 nm
• Kebanyakan kasus pada usia
<5 tahun asimtomatik atau
gejala nonspesifik
• Rute penyebaran: fekal oral;
transmisi dari orang-orang
dengan memakan makanan
atau
minumanterkontaminasi,
kontak langsung.
• Inkubasi: 2-6 minggu (rata-
rata 28 hari)

Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.


Hepatitis
Hepatitis Jenis virus Antigen Antibodi Keterangan
HAV RNA HAV Anti-HAV Ditularkan
secara fekal-
oral
HBV DNA HBsAg Anti-HBs •Ditularkan
HBcAg Anti-HBc lewat darah
HBeAg Anti-HBe •Karier
HCV RNA HCV Anti-HCV Ditularkan
C100-3 lewat darah
C33c
C22-3
NS5
HDV RNA HBsAg Anti-HBs Membutuhkan
HDV antigen Anti-HDV perantara HBV
(hepadnavirus)
HEV RNA HEV antigen Anti-HEV Ditularkan
secara fekal-
oral
Hepatitis A
• Self limited disease dan tidak • Diagnosis
menjadi infeksi kronis – Deteksi antibodi IgM di darah
• Gejala: – Peningkatan ALT (enzim hati
Alanine Transferase)
– Fatique
– Demam • Pencegahan:
– Mual – Vaksinasi
– Nafsu makan hilang – Kebersihan yang baik
– Jaundice  karena – Sanitasi yang baik
hiperbilirubin • Tatalaksana:
– Bile keluar dari peredaran darah – Simptomatik
dan dieksresikan ke urin 
– Istirahat, hindari makanan
warna urin gelap
berlemak dan alkohol
– Feses warna dempul (clay-
– Hidrasi yang baik
coloured)
– Diet
Profilaksis Hepatitis A
• Imunoglobulin yang diberikan sebelum pajanan atau sewaktu masa inkubasi
awal efektif mencegah timbulnya gejala klinis hepatitis A.

• Untuk profilaksis pascaterpajan orang dekat dengan hepatitis A (tinggal


serumah, pasangan seks), imunoglobulin segera diberikan dengan dosis 0,02
mL/kg.

• Ig masih efektif bila diberikan paling lambat 2 minggu setelah terpajan.

• Imunoglobulin profilaksis tidak diberikan untuk:


– Orang yang sudah vaksin hepatitis A,
– Kontak kasual di tempat kerja, sekolah, rumah sakit,
– Lansia yang kemungkinan besar sudah imun,
– Orang yang sudah anti-HAV (+).

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


Profilaksis Hepatitis A

• Vaksin diberikan dengan injeksi IM.


• Proteksi anti-HAV pascavaksin mulai timbul 4 minggu setelah pemberian pertama.
• Proteksi bertahan hingga 20 tahun.

Harrison’s principles of internal medicine. 19th ed.


68-69. Diabetes Melitus Tipe 1
(Insulin-dependent diabetes mellitus)
• Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme
• glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik.
• Etiologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β
pankreas sehingga produksi insulin berkurang, bahkan
terhenti. Dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan.
• Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun
• Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum,
retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and
autonomic neuropathy, macrovascular disease
• Manifestasi Klinik:
– Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan
– Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat
• dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
Kriteria Diagnosis DM pada Anak
• Kriteria diagnostik
• Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah
kapiler < 126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk
DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa
darah.
• Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut:
– Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan
yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1
mmol/L).
– Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah
sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari
normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari
satu kali pemeriksaan.
Tes Toleransi Glukosa
• Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan untuk
mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas.
• Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu
ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar
glukosa darah tidak menyakinkan.
• Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum 75 g).
• Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-250 ml air) dalam jangka
waktu 5 menit.
• Testoleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet tinggi karbohidrat
(150-200 g per hari) selama tiga hari berturut-turut dan anak puasa semalam
menjelang TTG dilakukan.
– Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi.
– Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari- hari.
• Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa
oral), 60 dan 120.
Penilaian hasil tes toleransi glukosa
• Anak menderita DM apabila:
Kadar glukosa darah puasa ≥140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau Kadar
glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

• Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila:


Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar
glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L)

• Anak dikatakan normal apabila :


Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L)
dan
Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
Patogensis

http://emedicine.medscape.com/article/919999-overview

http://www.noahhealth.org/five-most-common-food-myths-associated-with-diabetes/#pid
DM Tipe 1 vs Tipe 2

http://s3.amazonaws.com/stopdiabete/symptoms-between-type-1-and-type-2-diabetes.html
• Pemeriksaan Penunjang :
– Penderita baru : gula darah, urin reduksi dan keton urin, HbA1C, C-
Peptide (untuk membedakan diabetes tipe 1 dan tipe 2), pemeriksaan
autoantibodi yaitu: cytoplasmic antibodies (ICA), insulin
autoantibodies (IAA), dan glutamic acid decarboxylase (GAD).
– Penderita lama : HbA1c Setiap 3 bulan sebagai parameter kontrol
metabolik
• Tatalaksana: Insulin

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation.
2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
HbA1c
• Parameter kontrol metabolik standar:
- HbA1c < 7% baik
- HbA1c < 8% cukup
- HbA1c > 8% buruk
• Untuk modifikasi tatalaksana.
• Wajib setiap 3 bulan.
• Perbedaan HbA1c 1%  risiko komplikasi ↓25-50%.
• Penyimpangan kurva pertumbuhan ideal periode 6
bulan  evaluasi HbA1c.

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation.
2009
2. Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
Insulin

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan
Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009 http://www.distrodoc.com/203580-cara-penggunaan-insulin
Pilihan Insulin
Insulin kerja cepat : Insulin kerja menengah:
• Setelah makan • Pilihan pada penderita yang
• Snack sore memiliki pola hidup teratur
• Saat hiperglikemi dan Insulin kerja panjang:
ketosis • Masa kerja lebih dari 24 jam
• Pada CSII (continuous • Digunakan dalam regimen
subcutaneous insulin basal-bolus
infusion) Insulin kerja campuran:
Insulin kerja pendek: • Dianjurkan bagi penderita
• Sebelum makan yang memiliki kontrol
• Pilihan pada balita metabolik baik.

1. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009
69. KAD
Diagnostic Criteria and Typical Total Body Deficits of
Water and Electrolytes in Diabetic Ketoacidosis

• Diagnostic criteria* • Typical deficits


– Water: 6 L, or 100 mL per kg
– Blood glucose: > 250 mg per dL body weight
(13.9 mmol per L) – Sodium: 7 to 10 mEq per kg body
– pH: <7.3 weight
– Serum bicarbonate: < 15 mEq/L
– Potassium: 3 to 5 mEq per kg body
– Urinary ketone: ≥3+
weight
– Serum ketone: positive at 1:2
– Phosphate: ~1.0 mmol per kg
dilutions†
body weight
– Serum osmolality: variable

*Not all patients will meet all diagnostic criteria, depending on


hydration status, previous administration of diabetes treatment and
other factors.
Adapted with permission from Ennis ED, Stahl EJ, Kreisberg RA. Diabetic ketoacidosis. In: Porte D Jr, Sherwin
RS, eds. Ellenberg and Rifkin's Diabetes mellitus. 5th ed. Stamford, Conn.: Appleton & Lange, 1997;827–44.

CLASSIC TRIAD OF DKA


HIV dan Kehamilan
• Pada ibu hamil yang didiagnosis dengan HIV  RUJUK!
• Permenkes No 74 Tahun 2014 mewajibkan dilakukannya
skrining HIV pada Ibu hamil selama masa antenatal
• Pemberian antiretroviral pada ibu hamil dengan HIV 
SEGERA tanpa melihat CD4 dan Stadium klinis
• Persalinan pervaginam.  pemberian ARV mulai <14
minggu (ART > 6 bulan atau VL < 1000 kopi / µL  jika tidak
memenuhi disarankan untuk SC
• Semua bayi lahir dari ibu dengan HIV, baik yang diberi ASI
eksklusif maupun susu formula, harus diberi zidovudin
sejak hari pertama (umur 12 jam), selama enam minggu.
• Bila pada minggu keenam, bila diagnosis HIV belum dapat
disingkirkan, maka diperlukan pemberian kotrimoksasol pro
laksis sampai usia 12 bulan atau sampai dinyatakan HIV
negative / non-reaktif.
Diagnosis HIV pada Bayi
• Uji virologi:
– Dilakukan setelah bayi berumur 6 minggu
– PCR DNA  sampel darah lengka atau dried blood spot
– Jika pada pemeriksaan virologi pertaman  (+) langsung
diberikan ARV bersamaan pemeriksaan kedua
• Uji Serologi
– <18 bln: menentukan paparan HIV selama kehamilan dan
persalinan; >18 bln: Uji diagnostic
– <18 bln klinis baik, terpapar HIV (+), uji virologi belum 
uji serologi usia 9 bl
– <18 bln, gejala HIV (+), uji virologi tidak tersedia 
diagnosis presumtif

Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Kemenkes. 2015
Terapi Retroviral pada Ibu Hamil

S: Siap menerima menerima HRV


A: Adherence, patuh minum ARV
D: Disiplin
A: Aktif berkonsultasi
R : Rajin memeriksan diri
Pedoman Pelaksanaan Pencegahan Penularan HIV dan Sifilis dari Ibu ke Anak Bagi Tenaga Kesehatan. Kemenkes. 2015
Pemberian ASI oleh Ibu Hamil dengan
HIV
• PILIH SALAH SATU!!: ASI atu SUSU FORMULA
• Pemberian susu formula disarankan hanya pada ibu yang
dapat memenuhi syarat AFASS (affordable, feasible,
acceptable, sustainable, dan safe)
• Ibu dengan bayi dengan status HIV (-) atau tidak diketahui
tetap boleh memberikan ASI jika tidak dapat memenuhi
AFASS
• Pada negara berkembang, WHO menyarankan untuk
dilakukan pemberian ASI dikarenakan kesulitan memenuhi
kriteria AFASS
• Jika kemudian syarat AFASS dapat terpenuhi, untuk
melakukan penghentian ASI, bayi dapat secara total diberi
susu formula, sehingga produksi ASI akan terhenti secara
berangsur (ASI TIDAK diberikan kembali).
Alasan ASI dan Sufor tidak boleh
Selang Seling
• Sangat tidak dianjurkan untuk mencampur ASI
dengan susu formula  risiko tertinggi penularan HIV
ke bayi karena susu formula adalah benda asing yang
dapat menimbulkan perubahan mukosa dinding usus
 virus HIV mudah masuk dalam ASI ke darah bayi.
• Jika bayi telah diketahui HIV positif: i) ibu sangat
dianjurkan untuk memberikan ASI eksklusif sampai bayi
berumur enam bulan; ii) mulai usia enam bulan, bayi
diberikan makanan pendamping ASI dan ASI tetap
dilanjutkan sampai anak berumur dua tahun.
PPIA 2015. Depkes
Pemenuhan syarat AFASS ditandai
dengan adanya:
• i) memiliki jaminan atas akses air bersih dan sanitasi
yang baik;
• ii) mampu menyediakan susu formula dalam jumlah
cukup untuk mendukung tumbuh kembang anak;
• iii) mampu menyiapkan susu formula dengan bersih
dan dengan frekuensi yang cukup, sehingga bayi aman
dan terhindar dari diare dan malnutrisi;
• İv) dapat memenuhi kebutuhan susu formula secara
terus-menerus sampai bayi berusia 6 bulan;
• v) keluarga mampu memberikan dukungan dalam
proses pemberian susu formula yang baik; dan
• vi) dapat mengakses pelayanan kesehatan yang
komprehensif bagi bayinya.
ASI Peras yang Dipanaskan
• Alternatif atas indikasi:
– Jika bayi: berat lahir rendah, sakit, atau tidak bisa menyusui.
– Jika ibu sakit, sementara waktu tidak dapat menyusui, atau sedang mengalami
– masalah pada payudara (misalnya mastitis, puting lecet/luka).
– Bayi dalam masa persiapan penyapihan.
– ARV untuk sementara waktu tidak tersedia.
• Ada dua metode sederhana, yaitu:
– Pemanasan ASI dengan cara cepat (flash-heating).
Letakkan ASI perah pada wadah terbuka yang berbahan gelas di dalam panci
yang sudah berisi air dan panaskan panci di atas api sampai air mendidih.
Matikan api bila air sudah mendidih, angkat segera ASI perah dari panci. Tutup
dan biarkan ASI berangsur-angsur menjadi dingin.
– Pasteurisasi cara Pretoria.
Rebus air dalam wadah (panci) sampai mendidih dan angkat panci, matikan
apinya. Letakan ASI perah dalam tempat yang berbahan gelas, tutup,
kemudian letakkan dalam air panas yang sudah dididihkan tersebut selama 20
menit, lalu angkat dan biarkan dingin.
OBSTETRI &
GINEKOLOGI
71. Konseling KB
• Prinsip pelayanan kontrasepsi saat ini adalah memberikan kemandirian
pada ibu dan pasangan untuk memilih metode yang diinginkan.
• Pemberi pelayanan berperan sebagai konselor dan fasilitator, sesuai
langkah-langkah di bawah ini.
1. Jalin komunikasi yang baik dengan ibu
– Beri salam kepada ibu, tersenyum, perkenalkan diri Anda.
– Gunakan komunikasi verbal dan non-verbal sebagai awal interaksi
dua arah.
– Tanya ibu tentang identitas dan keinginannya pada kunjungan ini.
2. Nilailah kebutuhan dan kondisi ibu
– Tanyakan tujuan ibu berkontrasepsi dan jelaskan pilihan metode
yang dapat diguakan untuk tujuan tersebut.
– Tanyakan juga apa ibu sudah memikirkan pilihan metode tertentu.

Buku pelayanan Kesehatan Ibu di Faskes Dasar dan Rujukan. 2013.


Vasektomi
Permanen
Tubektomi

IUD
Berbantu
Kondom/
Barrier
diafragma

Spermisida
Metode Sementara
Kontrasepsi
Implan
MAL
Hormonal Pil/suntik
Pantang
Alami
berkala
Kondar
Senggama
terputus
KB: Metode Barrier

• Menghalangi bertemunya
sperma dan sel telur
• Efektivitas: 98 %
• Mencegah penularan PMS
• Efek samping
– Dapat memicu reaksi alergi
lateks, ISK dan keputihan
(diafragma)
• Harus sedia sebelum
berhubungan
Kontrasepsi Hormonal
No Jenis kontrasepsi Mekanisme Kerja
1 Pil Kombinasi menekan ovulasi, mencegah implantasi,
mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh
sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga
transportasi telur terganggu
2 Pil progestin Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH,
meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan
jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan
motilitas cilia di tuba falopi
3 Suntik kombinasi menekan ovulasi, mengentalkan lendir
serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada
endometrium sehingga implantasi terganggu, dan
menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini
diberikan sekali tiap bulan
4. Suntik Progestin Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan
LH serta LH surge

5. Implan Kombinasi antara supresi LH surge, supresi ovulasi,


mengentalkan lendir servix, mencegah pertumbuhan dan
perkembangan endometrium
Jenis Progestin pada Kontrasepsi
No. Generasi Jenis

1 Generasi pertama • Norethindrone acetate


• Ethynodiol diacetate
• Lynestrenol
• Norethynodrel

2 Generasi kedua • Norgestrel


• Levonorgestrel

3 Generasi ketiga • Desogesthrel


• Gestodene
• Norgestimate

4 Generasi keempat • Drospirenone


• Cyproterone acetate
Pil kontrasepsi kombinasi (esterogen
dan progesteron)

No. Jenis Esterogen Jenis Progesteron

1 Etinil estradiol 30 mcg Levonorgestrel

2 Etinil estradiol 35 mcg Cyproterone acetate

3 Etinil estradiol 30 mcg Drospirenone

4 Etinil estradiol 20 mcg Drospirenone


Metode Hormonal:
Pil & Suntikan Kombinasi
• Jenis Pil Kombinasi
– Monofasik (21 tab): E/P dalam dosis yang
sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif
(placebo).
– Bifasik (21 tab): E/P dengan dua dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif.
– Trifasik (21 tab) : E/P dengan tiga dosis yang
berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif

• Jenis Suntikan Kombinasi


– 25mg Depo Medroksiprogesteron Asetat + 5
mg Estradiol Sipionat, IM sebulan sekali
– 50mg Noretindron Enantat + 5 mg Estradiol
Valerat, IM sebulan sekali
Metode
Pil dan Hormonal:
Suntikan Progestin
Pil & Suntikan Kombinasi
• Pil Progestin
– Isi 35 pil: 300 µg levonorgestrel atau 350 µg
noretindron
– Isi 28 pil: 75 µg norgestrel
– Contoh
• Micrinor, NOR-QD, noriday, norod (0,35 mg
noretindron)
• Microval, noregeston, microlut (0,03 mg
levonogestrol)
• Ourette, noegest (0,5 mg norgestrel)
• Exluton (0,5 mg linestrenol)
• Femulen (0,5 mg etinodial diassetat)

• Suntikan Progestin
– Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo Provera)
 150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan
– Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat) 
200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2 bulan
Metode Hormonal: Implan
• Implan (Saifuddin, 2006) • Cara Kerja
– Norplant: 36 mg levonorgestrel dan lama • menekan ovulasi,
kerjanya 5 tahun. mengentalkan lendir
serviks, menjadikan
selaput rahim tipis dan
atrofi, dan mengurangi
– Implanon: 68 mg ketodesogestrel dan lama transportasi sperma
kerjanya 3 tahun.
• Efek Samping
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
– Jadena dan Indoplant: 75 mg
levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun
• Kontra Indikasi
• Serupa dengan
hormonal pil dan
suntikan
KB: Metode IUD
• Cara Kerja
– Menghambat kemampuan sperma
untuk masuk ke tuba falopii
– Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum
mencapai kavum uteri
– Mencegah implantasi hasil konsepsi
kedalam rahim

• Efek Samping
– Nyeri perut, spotting, infeksi, gangguan
haid

• Kontra Indikasi
• Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak diketahui,
sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan terakhir sedang
mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik, penyakit trofoblas yang
ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat genital, ukuran rongga rahim
kurang dari 5 cm
EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari
http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2
KB Mantap
Definisi
• Menutup tuba falopii (mengikat dan
memotong atau memasang cincin),
sehingga sperma tidak dapat bertemu
dengan ovum
• oklusi vasa deferens sehingga alur
transportasi sperma terhambat dan
proses fertilisasi tidak terjadi

Efek Samping
• Nyeri pasca operasi

Kerugian
• Infertilitas bersifat permanen
KB: Metode Alami
• Menghitung masa subur
– Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang -
11)
– Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi

• Mengukur suhu basal


tubuh (pagi hari)
• Saat ovulasi: suhu tubuh
akan meningkat 1-2° C
KB: Metode Alami
• Metode Amenorea Laktasi • Keuntungan khusus bagi
Mekanisme: kesehatan:
– pemberian Air Susu Ibu (ASI) – Mendorong pola menyusui yang
eksklusif untuk menekan ovulasi. benar, sehingga membawa
– Metode ini memiliki tiga syarat – manfaat bagi ibu dan bayi.
yang harus dipenuhi:
• Ibu belum mengalami haid lagi
• Bayi disusui secara eksklusif dan • Risiko bagi kesehatan:
sering, sepanjang siang dan malam – Tidak ada.
• • Bayi berusia kurang dari 6 bulan
• Efek samping:
• Efektivitas: – Tidak ada.
– Risiko kehamilan tinggi bila ibu
tidak menyusui bayinya secara • Mengapa beberapa orang
benar. menyukainya:
– Bila dilakukan secara benar, risiko – Metode alamiah, mendorong
kehamilan kurang dari 1 di antara kebiasaan menyusui, dan tidak
100 ibu dalam 6 bulan setelah perlu biaya.
persalinan.
Kontrasepsi Darurat
• kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah kehamilan setelah
senggama tanpa pelindung atau tanpa pemakaian kontrasepsi yang
tepat dan konsisten sebelumnya
• Indikasi penggunaan kontrasepsi darurat misalnya:
– Perkosaan
– Sanggama tanpa menggunakan kontrasepsi
– Pemakaian kontrasepsi tidak benar atau tidak konsisten:
• Kondom bocor, lepas atau salah digunakan
• Diafragma pecah, robek, tau diangkat terlalu cepat
• Sanggama terputus gagal dilakukan sehingga ejakulasi terjadi di vagina atau
genitalia eksterna
• Salah hitung masa subur
• AKDR ekspulsi (terlepas)
• Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet
• Terlambat suntik progesti lebih dari 2 minggu atau terlambat suntik kombinasi
lebih dari 7 hari
• Kontrasepsi darurat dapat bermanfaat bila
digunakan dalam 5 hari pertama, namun lebih
efektif bila dikonsumsi sesegera mungkin.
Kontrasepsi darurat sangat efektif, dengan
tingkat kehamilan <3%.
• Efek samping:
– mual, muntah (bila terjadi dalam 2 jam pertama
sesudah minum pil pertama atau kedua, berikan
dosis ulangan), perdarahan/bercak.
Kontrasepsi Darurat
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan

• Pada klien yang tidak menyusui, masa infertilitas


rata-rata sekitar 6 minggu
• Pada klien yang menyusui, masa infertilitas lebih
lama, namun, kembalinya kesuburan tidak dapat
diperkirakan
• Metode yang langsung dapat digunakan adalah :
Spermisida
Kondom
Koitus Interuptus
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

MAL Mulai segera • Manfaat kesehatan bagi • Harus benar-benar ASI


ibu dan bayi eksklusif
• Efektivitas berkurang jika
sudah mulai suplementasi
Kontrasepsi • Jangan sebelum 6- • Akan mengurangi ASI • Merupakan pilihan terakhir
Kombinasi 8mg pascapersalinan • Selama 6-8mg bagi klien yang menyusui
• Jika tidak menyusui pascapersalinan • Dapat diberikan pada klien
dapat dimulai 3mg mengganggu tumbuh dgn riw.preeklamsia
pascapersalinan kembang bayi • Sesudah 3mg
pascapersalinan akan
meningkatkan resiko
pembekuan darah

Kontrasepsi • Bila menyusui, • Selama 6mg pertama • Perdarahan ireguler dapat


Progestin jangan mulai pascapersalinan, progestin terjadi
sebelum 6mg mempengaruhi tumbuh
pascapersalinan kembang bayi
• Bila tidak menyusui • Tidak ada pengaruh pada
dapat segera dimulai ASI
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan
Metode Waktu Pascapersalinan Ciri Khusus Catatan

AKDR • Dapat dipasang • Tidak ada pengaruh • Insersi postplasental


langsung terhadap ASI memerlukan petugas
pascapersalinan • Efek samping lebih terlatih khusus
sedikit pada klien yang
menyusui
Kondom/S • Dapat digunakan Tidak pengaruh terhadap Sebaiknya dengan kondom
permisida setiap saat laktasi dengan pelicin
pascapersalinan
Diafragma Tunggu sampai 6mg • Tidak ada pengaruh • Perlu pemeriksaan dalam
pascapersalinan terhadap laktasi oleh petugas

KB Alamiah • Tidak dianjurkan • Tidak ada pengaruh • Suhu basal tubuh kurang
sampai siklus haid terhadap laktasi akurat jika klien sering
kembali teratur terbangun malam untuk
menyusui
KB: Usia > 35 Tahun
Metode Catatan

Pil/suntik • Tidak untuk perokok


Kombinasi • Dapat digunakan sebagai terapi sulih hormon pada masa
perimenopause
Kontrasepsi • Dapat digunakan pada masa perimenopause (40-50 tahun)
Progestin (implan, • Dapat untuk perokok
pil, suntikan) • Implan cocok untuk kontrasepsi jangka panjang yang belum
siap dengan kontap
AKDR • Tidak terpapar pada infeksi saluran reproduksi dan IMS
• Sangat efektif, tidak perlu tindak lanjut, efek jangka panjang
Kondom • Satu-satunya metode kontrasepsi yang dapat mencegah
infeksi saluran reproduksi dan IMS
• Perlu motivasi tinggi bagi pasangan untuk mencegah
kehamilan
Kontrasepsi Benar-benar tidak ingin tambahan anak lagi
Mantap
72. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum
Emesis gravidarum:
• NVP without complication, frequency is usually <5 x/day
• 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week
• 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks

Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition)


• NVP with complications:
– dehydration,
– hyperchloremic alkalosis,
– ketosis

Grade 1 Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of
dehydration (+)
Grade 2 Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration,
aceton breath
Grade 3 Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3.
Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) index
• Pregnancy-Unique Quantification of Emesis
(PUQE) score can be used to classify the
severity of NVP

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
The initial management of NVP and HG
• Women with mild NVP should be managed in the
community with antiemetics.
• Ambulatory daycare management should be used for
suitable patients when community/primary care measures
have failed and where the PUQE score is less than 13.
• Inpatient management should be considered if there is at
least one of the following:
– continued nausea and vomiting and inability to keep down oral
antiemetics
– continued nausea and vomiting associated with ketonuria
and/or weight loss (greater than 5% of body weight), despite
oral antiemetics
– confirmed or suspected comorbidity (such as urinary tract
infection and inability to tolerate oral antibiotics)
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Therapeutic options for NVP and HG
• Antiemetics
– There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as
antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they should
be prescribed when required for NVP and HG
– Combinations of different drugs should be used in women who do not
respond to a single antiemetic.
– For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route may be
necessary and more effective than an oral regimen. Women should be asked
about previous adverse reactions to antiemetic therapies.
– Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of
extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy.
– There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because data are
limited it should be used as second-line therapy
– Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can occur with
the use of phenothiazines and metoclopramide. If this occurs, there should be
prompt cessation of the medications.

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
73. Penyakit Trofoblastik Gestasional

WHO Classification

Malformations of the
Benign entities that
Malignant neoplasms chorionic villi that are
can be confused with
of various types of predisposed to
with these other
trophoblats develop trophoblastic
lesions
malignacies

Choriocarcinoma Hydatidiform moles Exaggerated placental site

Placental site
Complete Partial Placental site nodule
trophoblastic tumor

Epithilioid trophoblastic
tumors Invasive
Mola Hidatidosa

• Definisi
– Latin: Hidatid  tetesan air, Mola  Bintik

– Mola Hidatidosa menunjukkan plasenta dengan


pertumbuhan abnormal dari vili korionik
(membesar, edem, dan vili vesikular dengan
banyak trofoblas proliferatif)
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko

• Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun


• Pernah mengalami kehamilan mola
sebelumnya
• Risiko meningkat sesuai dengan jumlah
abortus spontan
• Wanita dengan golongan darah A lebih
berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi
bukan mola hidatidosa
Trofoblastik Gesatasional Maligna
MOLA INVASIF Plasental-Site
(DESTRUENS) KORIOKARSINOMA Trophoblastic Tumor
• Jaringan mola menembus • Perbedaan dengan mola • Tumbuh dari trofoblas
miometrium  dapat destruens: tidak ada vili ditempat implantasi
menyebabkan perforasi korionik, tumbuh dalam plasenta
uterus dan perdarahan pola bifasik (sinsitio dan
intraabdominal sitotrofoblas) • Diferensiasi terutama
sitotrofoblas, sedikit
sinsitiotrofoblas 
• Metastasis • Tumbuh cepat dan kadar HCG lebih
– Daerah pelvis atau jauh bermetastasis dalam rendah dari
waktu singkat koriokarsinoma

GEJALA DAN TANDA


• Kadar HCG serum menetap atau meningkat • Nyeri abdominal  metastasis hati/ GI
pada pasien observasi setelah mola • Hemoperitoneum
hidatidosa • Perdarahan hingga syok hematologik
• Defisit neurologis: letargi-koma  metastasis otak
• Metastasis ke saluran genital bawah: papul
• Jaundice  bila metastasis menyebabakn
ungu kehitaman atau nodul, sangat vaskular obstruksi bilier
dan dapat berdarah hebat saat biopsi
http://emedicine.medscape.com/article/279116-overview
Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis

T I P E KO M P L I T T I P E PA R S I A L
• Perdarahan pervaginam setelah • Seperti tipe komplit hanya lebih
amenorea
ringan
• Uterus membesar secara abnormal dan
menjadi lunak • Biasanya didiagnosis sebagai
• Hipertiroidism aborsi inkomplit/ missed abortion
• Kista ovarium lutein • Uterus kecil atau sesuai usia
• Hiperemesis dan pregnancy induced kehamilan
hypertension
• Peningkatan hCG 100,000 mIU/mL • Tanpa kista lutein

Karakteristik Mola Komplit Mola Parsial


Jaringan Embrionik/ Fetal Tidak ditemukan Ditemukan, tidak sempurna

Pembengkakan hidatidiform vili korionik Difus Fokal


Hiperplasi tropoblas Difus Fokal
Scalloping vili korionik Tidak ditemukan Ditemukan
Inklusi stroma tropoblas Tidak ditemukan Ditemukan
Mola Hidatidosa: Diagnosis
• Pemeriksaan kadar hCG 
sangat tinggi, tidak sesuai usia
kehamilan

• Pemeriksaan USG  ditemukan


adanya gambaran vesikuler atau
badai salju
– Komplit: badai salju
– Partial: terdapat bakal janin dan
plasenta

• Pemeriksaan Doppler  tidak


ditemukan adanya denyut
jantung janin
Mola
Hidatidosa:
Tatalaksana
Tatalaksana Kuret
• Kuretase dengan kuret tumpul
 seluruh jaringan
hasil kerokan di PA
• 7-10 hari sesudahnya 
kerokan ulangan dengan kuret
tajam, agar ada kepastian
bahwa uterus betul-betul
kosong dan untuk memeriksa
tingkat proliferasi sisa-sisa
trofoblas yang dapat
ditemukan
74. Kala Persalinan: Kala II
• Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan
berakhir dengan lahirnya bayi

• Gejala dan tanda kala II persalinan


– Dor-Ran  Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan
terjadinya kontraksi
– Tek-Num  Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada
rektum dan/atau vaginanya.
– Per-Jol Perineum menonjol
– Vul-Ka  Vulva-vagina dan sfingter ani membuka
– Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah

• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam


(informasi objektif)
– Pembukaan serviks telah lengkap, atau
– Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III
• Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya
plasenta dan selaput ketuban

• Tanda pelepasan plasenta


– Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan
retroplasenter pecah saat plasenta lepas
– Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen
uterus yang lebih bawah atau rongga vagina
– Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular
(bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus
– Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam
abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini
disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen
uterus yang lebih bawah
(Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
Amniotomy
• If the membranes are intact, there is a great
temptation, even during normal labor, to perform
amniotomy.
• The presumed benefits are more rapid labor, earlier
detection of meconium-stained amnionic fluid, and
the opportunity to apply an electrode to the fetus or
insert a pressure catheter into the uterine cavity for
monitoring.
• Importantly, the fetal head must be well applied to the
cervix and not be dislodged from the pelvis during the
procedure to avert umbilical cord prolapse
75. Diagnosis kehamilan
• Pregnancy is usually identified when a woman presents with
symptoms and possibly a positive home urine pregnancy test
result (urine or blood for human chorionic gonadotropin/hCG
test)
Pregnancy Test
• Detection of hCG in maternal blood and urine
is the basis for endocrine assays of pregnancy.
• This hormone is a glycoprotein with high
carbohydrate content.
• The hCG composed by two subunits, the α-
subunit and β-subunit
• the α-subunit is identical to those of LH, FSH
and TSH  but the β-subunit is structurally
distinct  the principal of pregnancy test
HCG
• HCG prevents involution of the corpus luteum, which is the
principal site of progesterone formation during the first 6 weeks of
pregnancy
• Syncytiotrophoblast produce hCG in amounts that increase
exponentially during the first trimester following implantation.
• With a sensitive test, the hormone can be detected in maternal
serum or urine by 8 to 9 days after ovulation.
• The doubling time of serum hCG concentration is 1.4 to 2.0 days.
• Serum hCG levels increase from the day of implantation and reach
peak levels at 60 to 70 days.
• Thereafter, the concentration declines slowly until a plateau is
reached at approximately 16 weeks.
Diagnosis Kehamilan: Deteksi -hCG
Testpack Plano Test
• Di rumah • Di laboratorium
• Bentuk: Strip & compact
• Bentuk: Kit neo planotest
• Sampel: Urin duoclon
• Metode: antibodi HCG akan • Sampel: urin
berubah warna bila terkena HCG
(min. kadar 10-25 IU/ml)  • Metode: melihat adanya
menjadi 2 strip
• Apabila masih negatif dan belum aglutinasi saat
haid  diulang 1 minggu lagi pencampuran (positif)
Urine pregnancy test
• Standard urine pregnancy tests used in clinical practice
have a urine hCG threshold of 20 to 50 milli-
int. units/mL.
• Because the urine beta hCG concentration can be much
lower than in serum, urine pregnancy tests may not be
positive when serum beta hCG is positive
• A random urine sample can be used for testing
because hCG production is not circadian and a low
urine specific gravity does not appear to alter the
sensitivity of detecting hCG, unless the test used has a
high threshold for hCG positivity or the urine specimen
is extremely dilute.

Uptodate. Com
76. PELVIC INFLAMMATORY DISEASE
• Infeksi pada traktus genital atas wanita yang melibatkan
kombinasi antara uterus, ovarium, tuba falopi, peritonium
pelvis, atau jaringan penunjangnya.
• PID terutama terjadi karena ascending infection dari traktus
genital bawah ke atas
• Patogen: Dapat berupa penyakit akibat hubungan seksual atau
endogen (Tersering: N. Gonorrhea & Chlamydia Trachomatis)
• Faktor Risiko:
 Kontak seksual
 Riwayat penyakit menular seksual
 Multiple sexual partners
 IUD

PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012


Salphingitis
• Inflamasi pada tuba fallopi

• Salphingitis akut biasanya disamakan dengan PID karena merupakan bentuk paling sering
dari PID

• Faktor Risiko
– Instrumentasi pada serviks dan uteri (IUD, biopsi, D&C)
– Perubahan hormonal selama menstruasi, menstruasi retrogard

• Gejala dan Tanda


– Spotting, dismenorea, dispareunia, demam, nyeri punggung bawah, sering BAK, mual dan muntah,
nyeri goyang serviks

• Diagnosis
• Nyeri perut bawah, nyeri adneksa bilateral, nyeri goyang serviks
• Tambahan: suhu oral > 38.3 C, keputihan abnormal, peningkatan C rekative protein, adanya bukti
keterlibatan N. gonorrhoeae atau C. trachomatis

• Terapi
– Rawat inap dengan antibiotik IV (cefoxitin dan doksisiklin)
– Rawat jalan dengan cefotixin IM dan Doksisiklin oral
– Operatif bila antibiotik gagal

http://emedicine.medscape.com/article/275463-overview#a2
PID:Current concepts of diagnosis and management,Curr Infect Dis Rep, 2012
PID: Pengobatan
• Harus berspektrum luas
• Semua regimen harus efektif melawan N. gonorrhoeae dan C.
trachomatis karena hasil skrining endoserviks yang negatif tidak
menyingkirkan infeksi saluran reproduksi atas

• Rawat jalan atau rawat inap bergantung pada:


 Adanya emergensi (contoh; apendisitis)
 Pasien hamil
 Pasien tidak berespon baik terhadap antibiotik oral
 Pasien tidak memungkinkan untuk menoleransi antibiotik oral
 Pasien memiliki penyakit berat, mual-muntah, demam tinggi
 Pasien memiliki abses tubo-ovarian

http://www.cdc.gov/std/treatment/2010/pid.htm
Pelvic Inflammatory Disease

http://depts.washington.edu/handbook/syndromesFemale/ch8_pid.html
Sexually active woman presenting with abnormal vaginal
discharge, lower abdominal pain, OR dyspareunia

Uterine tenderness, OR
Adnexal tenderness, OR
Cervical motion tenderness on pelvic exam?

YES NO

1) Perform NAAT for gonorrhea and chlamydia


2) Perform pregnancy testing See Vaginal Discharge algorithm,
3) Perform vaginal microscopy if available consider other organic causes
4) Offer HIV testing

Empiric treatment for PID* if no other organic


cause found (e.g. ectopic pregnancy, appendicitis)

Signs of severe illness (i.e. high fever, nausea/vomiting), OR


Surgical emergency (e.g. appendicitis) not excluded, OR
Suspected to have a tubo-ovarian abscess, OR
Unable to tolerate or already failed oral antibiotics, OR
Pregnant?

YES NO

Inpatient PID treatment: Outpatient PID treatment:


Cefotetan 2g IV Q12 hours OR Ceftriaxone 250mg IM x 1 dose PLUS
Cefoxitin 2g IV Q6 hours, PLUS Doxycycline 100mg PO BID x 14 days,** WITH OR WITHOUT
Doxycycline 100mg PO/IV Q12 hours** Metronidazole 500mg PO BID x 14 days***
(other regimens available****) OR
Cefoxitin 2g IM x 1 dose and Probenecid 1g PO x 1dose together PLUS
Doxycycline 100mg PO BID X 14 days,** WITH OR WITHOUT
Metronidazole 500mg PO BID x 14 days***
(other regimens available****)

1) Hospitalize 24-48 hours to ensure response to treatment Response to treatment


2) Discharge on oral antibiotics to complete 14 day course 72 hours later?

NO YES

See Inpatient treatment Continue treatment for 14 days


USG pada PID
• Ultrasound is the imaging technique that has been most
studied for the evaluation of PID.
• Thickened, fluid-filled fallopian tubes and the cogwheel
sign (cogwheel appearance on a cross-section of the tube)
may be present.
• Among women who have endometritis, ultrasound may
show fluid or gas within the endometrial canal,
heterogeneous thickening, or indistinctness of the
endometrial stripe, but these findings are inconsistent.
• When a tubo-ovarian abscess is present, a complex thick-
walled, multilocular cystic collection can be seen in the
adnexa, typically with internal echoes or multiple fluid
levels.
http://www.cdc.gov/std/treatment/2010/pid.htm
77. Abortus
• Definisi:
– ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum
janin dapat hidup di luar kandungan.
– WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan
kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan
terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang
dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500
gram
• Diagnosis • Faktor predisposisi :
– Perdarahan pervaginam dari bercak – Faktor dari janin (fetal) : kelainan
hingga berjumlah banyak genetik (kromosom)
– Perut nyeri dan kaku – Faktor dari ibu (maternal) : infeksi,
– Pengeluaran sebagian produk kelainan hormonal seperti
konsepsi hipotiroidisme, diabetes mellitus,
– Serviks dapat tertutup maupun malnutrisi, penggunaan obat-
terbuka obatan, merokok, konsumsi
alkohol, faktor immunologis dan
– Ukuran uterus lebih kecil dari yang defek anatomis seperti uterus
seharusnya didelfis,inkompetensia serviks
– Diagnosis ditegakkan dengan (penipisan dan pembukaan serviks
bantuan pemeriksaan sebelum waktu in partu, umumnya
ultrasonografi pada trimester kedua) dan
sinekhiae uteri karena sindrom
Asherman.
– Faktor dari ayah (paternal):
kelainan sperma
Abortus Imminens Abortus Insipiens Abortus Inkomplit

Abortus Komplit Missed Abortion


Jenis Abortus
Abortus: Tatalaksana Umum
• Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk
tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu).
• Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik
<90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok
• Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan
tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena
kondisinya dapat memburuk dengan cepat
• Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi,
berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam:
– Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam
– Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam
– Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit .
• Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional
dan konseling kontrasepsi pasca keguguran.
• Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens
• Pertahankan kehamilan.
• Tidak perlu pengobatan khusus.
• Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan
seksual.
• Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya
pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar
Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan
penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi.
• Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan
USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens
• Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan
AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera:
– Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu)
– Rencanakan evakuasi segera.
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu:
– Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam
uterus (lakukan dengan AVM).
– Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan
kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk
pemeriksaan patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan
produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24
jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan
pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit
• Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16
minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang
mencuat dari serviks.
• Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi
uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam
sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera
dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu).
• Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl
0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu
pengeluaran hasil konsepsi.
– Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu
baik, pindahkan ibu ke ruang rawat.
• Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan
patologi ke laboratorium.
• Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi
urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil
pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit
• Tidak diperlukan evakuasi lagi.
• Konseling untuk memberikan dukungan
emosional dan menawarkan KB pasca keguguran.
• Observasi keadaan ibu.
• Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet
sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika
anemia berat berikan transfusi darah.
• Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
78. Emesis Gravidarum
• Emesis gravidarum (nausea and vomiting of
pregnancy /NVP)
– NVP should only be diagnosed when onset is in the first
trimester of pregnancy and other causes of nausea and
vomiting have been excluded.
– Nausea and vomiting of varying severity usually
commence between the first and second missed menstrual
period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation

• Hiperemesis gravidarum
– protracted NVP with the triad of more than 5%
prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte
imbalance.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Nausea in pregnancy
• the initial treatment approach involves counseling about dietary changes and
trigger avoidance.
• Ginger and/or pyridoxine or doxylamine-pyridoxine is added if symptoms do not
improve

Diet
• Meals and snacks
– Women with nausea should eat before, or as soon as, they feel hungry to avoid an
empty stomach, which can aggravate nausea
– A snack before getting out of bed in the morning and snacks during the night (eg,
crackers with peanut butter or cheese taken prior to bathroom trips) may be helpful.
– Meals and snacks should be eaten slowly and in small amounts every one to two hours
to avoid an overly full stomach, which can also aggravate nausea for some women
– Foods high in sugar may exacerbate symptoms.
– Women should determine what foods they tolerate best and try to eat those foods.
Dietary manipulations that help some women include eliminating coffee and spicy,
odorous, high-fat, acidic, and very sweet foods, and substituting snacks/meals that are
protein-dominant, salty, low-fat, bland, and/or dry (eg, nuts, pretzels, crackers, cereal,
toast)
– Drinking peppermint tea or sucking peppermint candies may reduce postprandial
nausea
Therapeutic options for NVP and HG
• Antiemetics
– There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as
antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they should
be prescribed when required for NVP and HG
– Combinations of different drugs should be used in women who do not
respond to a single antiemetic.
– For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route may be
necessary and more effective than an oral regimen. Women should be asked
about previous adverse reactions to antiemetic therapies.
– Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of
extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy.
– There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because data are
limited it should be used as second-line therapy
– Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can occur with
the use of phenothiazines and metoclopramide. If this occurs, there should be
prompt cessation of the medications.

RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
79. HIV pada Kehamilan
• Penularan dari ibu ke anak
– Lebih dari 90% anak yang terinfeksi HIV didapat dari
ibunya.
– Virus dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada
anaknya selama hamil, saat persalinan dan menyusui.
– faktor utama yang berpengaruh pada penularan HIV dari
ibu ke anak, yaitu faktor ibu, bayi/anak, dan tindakan
obstetrik
Faktor yang Mempengaruhi penularan HIV dari
Ibu ke Anak
• Faktor Ibu • Faktor anak
– Jumlah virus (viral load) : Risiko penularan
HIV menjadi sangat kecil jika kadar HIV – Usia kehamilan dan berat badan bayi
rendah (kurang dari 1.000 kopi/ml) dan saat lahir : (BBLR) lebih rentan
sebaliknya jika kadar HIV di atas 100.000
kopi/ml. tertular HIV karena sistem organ dan
– Jumlah sel CD4 : Semakin rendah jumlah sistem kekebalan tubuhnya belum
sel CD4 risiko penularan HIV semakin berkembang dengan baik.
besar.
– Status gizi selama hamil : Berat badan – Periode pemberian ASI : Semakin
rendah serta kekurangan vitamin dan lama ibu menyusui, risiko penularan
mineral selama hamil meningkatkan risiko
ibu untuk menderita penyakit infeksi yang HIV ke bayi akan semakin besar.
dapat meningkatkan jumlah virus dan – Adanya luka di mulut bayi
risiko penularan HIV ke bayi.
– Penyakit infeksi selama hamil : Sifilis,
PMS, infeksi saluran reproduksi lainnya,
malaria, dan tuberkulosis, berisiko
meningkatkan jumlah virus dan risiko
penularan HIV ke bayi.
– Gangguan pada payudara : mastitis, abses,
dan luka di puting payudara dapat
meningkatkan risiko penularan HIV melalui
ASI.
• Tindakan obstetri
– Jenis persalinan : penularan persalinan per vaginam > (sectio caesaria).
– Lama persalinan : Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV
dari ibu ke anak semakin tinggi
– Ketuban pecah lebih dari 4 jam sebelum persalinan meningkatkan risiko penularan
hingga dua kali lipat
– Tindakan episiotomi, ekstraksi vakum dan forseps meningkatkan risiko penularan HIV
karena berpotensi melukai ibu atau bayi.
Terapi HIV dalam kehamilan
• Epidemiologi HIV dan kebijakan tes yang akan
diambil pada ibu hamil
Pemberian ARV pada ibu hamil dengan HIV
• Semua ibu hamil dengan HIV harus diberi terapi ARV, tanpa memandang
jumlah CD4, karena kehamilan itu sendiri merupakan indikasi pemberian
ARV yang dilanjutkan seumur hidup (pedoman WHO 2013, option B+).
• Pemeriksaan CD4 dilakukan untuk memantau hasil pengobatan, bukan
sebagai acuan untuk memulai terapi.
• Paduan ART pada ibu hamil sama dengan paduan ART pada orang dewasa
lainnya.
• Efavirenz (EFV) yang dulu tidak boleh diberikan pada trimester pertama,
belakangan tidak terbukti menunjukkan efek teratogenik dibandingkan
bayi yang tidak terpajan EFV, sehingga sejak Juli 2012 WHO mengeluarkan
kebijakan membolehkan penggunaan EFV pada ibu hamil.
• Pemberian ARV dapat segera dimulai setelah ibu didiagnosis HIV
berapapun usia kehamilan.
• Ibu yang sudah mendapat ARV sebelum kehamilan, ARV dapat diteruskan
tanpa perlu diganti. ARV tetap diteruskan setelah melahirkan hingga
seterusnya.

DEPKES. PEDOMAN PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL 2014


Algoritma rekomendasi
ARV pada ibu hamil dan
menyusui

DEPKES. PEDOMAN PENGOBATAN ANTIRETROVIRAL 2014


80. Gingivitis pada kehamilan
• Peningkatan hormon estrogen dan
progesteron pada kehamilan mempengaruhi
proliferasi dan differensiasi sel pada gusi
• Peningkatan estrogen  Menurunkan
imunitas gusi terhadap plak microbial
• Gejala: gusi tampak berdarah, bengkak,
kemerahan disertai dengan nafas berbau
Gingivitis pada kehamilan
• Gejala gingivitis pada wanita hamil pada
umumnya dapat menghilang dengan
sendirinya pasca melahirkan
• Tindakan pencegahan:
– Jaga kesehatan mulut : sikat gigi 2x
– Kumur dengan menggunakan air garam
– Flossing 1x sehari
Gingivitis pada kehamilan
• Komplikasi: Periodotitis dan pregnancy tumor
• Pregnancy tumor: hyperplasia pada daerah
gusi akibat inflamasi kronik yang disebabkan
perubahan hormonal
81. Hemorrhagia Post Partum

Etiologi (4T dan I) • Palpasi uterus


• Tone (tonus) – atonia – Bagaimana kontraksi uterus dan tinggi
fundus uterus.
uteri • Memeriksa plasenta dan ketuban:
• Trauma – trauma – lengkap atau tidak.
traktus genital • Melakukan eksplorasi kavum uteri untuk
• Tissue (jaringan)- mencari :
– Sisa plasenta dan ketuban.
retensi plasenta
– Robekan rahim.
• Thrombin – – Plasenta suksenturiata.
koagulopati • Inspekulo :
• Inversio Uteri – untuk melihat robekan pada serviks, vagina
dan varises yang pecah.
• Pemeriksaan laboratorium :
– periksa darah, hemoglobin, clot
observation test (COT), dan lain-lain.
Hemorrhagia Post Partum: Definisi

• Definisi Lama
– Kehilangan darah > 500 mL setelah persalinan
pervaginam
– Kehilangan darah > 1000 mL setelah persalinan sesar
(SC)
• Definisi Fungsional
– Setiap kehilangan darah yang memiliki potensial untuk
menyebabkan gangguan hemodinamik
• Insidens
– 5% dari semua persalinan
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
G E J A L A D A N TA N D A G E J A L A & TA N D A YA N G DIAGNOSIS
YA N G S E L A L U A D A KADANG-KADANG ADA
• Uterus tidak berkontraksi dan lembek • Syok Atonia uteri
• Perdarahan setelah anak lahir (perdarahan
pascapersalinan primer)

• Perdarahan segera • Pucat Robekan jalan


• Darah segar yang mengalir segera setelah bayi • Lemah lahir
lahir • Menggigil
• Uterus kontraksi baik
• Plasenta lengkap

• Plasenta belum lahir setelah 30 menit • Tali pusat putus akibat traksi Retensio plasenta
• Perdarahan segera (P3) berlebihan
• Uterus kontraksi baik • Inversio uteri akibat tarikan
• Perdarahan lanjutan

• Plasenta atau sebagian selaput (mengandung • Uterus berkontaksi tetapi tinggi Tertinggalnya
pembuluh darah) tidak lengkap • fundus tidak berkurang sebagian plasenta
• Perdarahan segera • (kontraksi hilang-timbul)
Hemorrhagia Post Partum: Diagnosis
GEJALA DAN
G E J A L A D A N TA N D A TA N D A YA N G
DIAGNOSIS
YA N G S E L A L U A D A KADANG-KADANG
ADA
• Uterus tidak teraba • Syok neurogenik Inversio uteri
• Lumen vagina terisi massa • Pucat dan limbung
• Tampak tali pusat (jika plasenta belum lahir)
• Perdarahan segera
• Nyeri sedikit atau berat

• Sub-involusi uterus • Anemia Perdarahan


• Nyeri tekan perut bawah • Demam terlambat
• Perdarahan > 24 jam setelah persalinan. Perdarahan Endometritis atau
sekunder atau P2S. Perdarahan bervariasi (ringan atau sisa plasenta
berat, terus menerus atau tidak teratur) dan berbau (terinfeksi atau
(jika disertai infeksi) tidak)

• Perdarahan segera (Perdarahan intraabdominal dan / • Syok Robekan dinding


atau pervaginam • Nyeri tekan perut uterus (Ruptura
• Nyeri perut berat atau akut abdomen • Denyut nadi ibu cepat uteri
HPP: Tatalaksana

2 komponen utama:
1. Tatalaksana
perdarahan
obstetrik dan
kemungkinan syok
hipovolemik
2. Identifikasi dan
tatalaksana
penyebab utama
82. Hipertiroidisme dalam Kehamilan
• Penyebab utama hipertiroidisme dalam kehamilan adalah penyakit
Graves disease.
• Tanda dan gejala
– Takikardia dan palpitasi
– Peningkatan abnormal denyut jantung saat tidur
– Pembesaran kelenjar tiroid
– Eksoftalmus
– Berat badan tidak naik pada wanita non-obes meskipun asupan
makanan cukup atau berlebih
– Merasa panas atau berkeringat berlebihan
– Suhu tubuh meningkat
– Tremor
• Faktor predisposisi
– Jenis kelamin perempuan, riwayat hipertiroidisme pada keluarga
Tatalaksana Awal
• Tata laksana awal dilakukan di rumah sakit, kemudian rawat jalan dapat dilanjutkan
di pusat layanan kesehatan yang lebih sederhana.
• Untuk terapi awal, anjurkan rawat inap untuk mengontrol kadar hormon tiroid
• Tirah baring dianjurkan untuk mengurangi aktifitas dan menstabilkan emosi.
• Berikan diet yang sesuai untuk mengembalikan defisit kalori.
• Propiltiourasil 300-450 mg/hari, dibagi dalam 3 dosis. Bila kadar FT4 dan T3 bebas
mencapai batas normal, berikan dosis pemeliharaan 50-300 mg/hari, dalam dosis
terbagi.
• Propanolol digunakan untuk mengurangi manifestasi simpatetik, dengan dosis 40-
80 mg/hari, terbagi dalam 3-4 dosis. Tidak digunakan pada kehamilan dengan
hipertiroid yang disertai penyakit paru obstruktif, blokade jantung, dekompensasio
kordis, dan diabetes melitus.
• Tiroidektomi dapat dipertimbangkan ketika kondisi hipertiroid telah teratasi lewat
pengobatan.
• Setelah bayi lahir, periksa kadar hormon tiroidnya untuk menyingkirkan
kemungkinan hipotiroidisme pada bayi akibat pengobatan selama ibu hami
Mekanisme kerja PTU
• Antithyroid (thionamides), which contain a sulfhydryl
group and a thiourea moiety within a heterocyclic
structure
• Propylthiouracil, but not methimazole or carbimazole,
can block the conversion of thyroxine to
triiodothyronine within the thyroid and in peripheral
tissues
• Their primary effect is to inhibit thyroid hormone
synthesis by interfering with thyroid peroxidase
mediated iodination of tyrosine residues in
thyroglobulin, an important step in the synthesis of
thyroxine and triiodothyronine
Antihipertiroid in pregnancy
• Propylthiouracil is the drug of choice during the first
trimester of pregnancy  causes less severe birth
defects than methimazole.
• Methimazole  2nd to 3rd trimester
• Because there have been rare cases of liver damage in
people taking propylthiouracil, some clinicians will
suggest switching to methimazole after the first
trimester, while others may continue propylthiouracil.
• For women who are nursing, methimazole is probably
a better choice than propylthiouracil (to avoid liver side
effects).
• The dosage of methimazole :
– 15-100 mg daily, administered as divided doses 3 times daily.
– Once serum thyroid hormone levels return to normal, it is necessary to
decrease the dosage to 5-20 mg daily of methimazole
• The appropriate dosage of PTU:
– 300 mg daily to a maximum dose of 1200 mg daily in divided doses 3 times
daily.
– Once serum thyroid hormone levels return to normal, it is necessary to
decrease the dosage to 50-300 mg daily for PTU in divided doses.
• When doses of PTU are > 300 mg/day or > 20 mg/day for methimazole are
taken long term, fetal goiter and hypothyroidism may result.
• This is why it is important to decrease the dosage after levels return to
normal.
• TSH levels should be checked every 3-4 weeks to assess thyroid function.
• The free T3 and T4 levels should be just above the normal range.
83. Plasenta Acreta
• Placenta accreta is a general term used to describe the
clinical condition when part of placenta, or the entire
placenta invades and is inseparable from the uterine wall
– Placenta increta : chorionic villi invade only the myometrium
– Percreta : invasion through myometrium and serosa and
occasionally into adjacent organs such as bladder.
• Clinically placenta accreta becomes problematic during
delivery when the placenta does not completely separate
from the uterus and followed by massive obstetric
hemorrhage.
• The average blood loss at delivery in women with placenta
accreta is 3000-5000 ml
• Incidence : 1 in 533 pregnancy
Risk Factor
• Women who have myometrial damaged caused
by a previous cesarean delivery with either
anterior or posterior placenta previa overlying
the uterine scar.
• Placenta previa
• Repeat cesarean delivery
• Maternal age and multiparity
• Condition resulting in myometrial damage
followed by secondary collagen repair such as,
previous myomectomy, Asherman syndrome,
uterine artery embolization, leiomyomas
Diagnosis
• Prenatal diagnosis usually established by USG and occasionally by
MRI
• Ultrasonography :
– Transvaginal or transabdominal can be used. Transvaginal USG is safe
for patients with placenta previa
– Normal placental attachment site characterized by normal pl
hypoechoic boundary between the placenta and the bladder.
– USG suggested placenta acreta :
• irregularly shaped placental lacunae (vascular spaces) within the placenta,
• thinning of the myometrium overlaying the placenta,
• loss of the retroplacental clear space,
• protrution of the placenta ito the bladder,
• increased vascularity of the uterine serosa bladder interface,
• turbulent blood flow through lacunae
• The prescence and
increasing number of
lacunae within the placenta
accreta  sensitivity 79%
and PPV 92%
• These lacunae may result in
the placenta having moth
eaten or swiss cheese
appearance
• USG is sufficient to diagnose
placenta accreta with
sensitivity 77-87% ,
spescificity 96-98%, PPV 65-
93%.

http://www.acog.org/Resources-And-Publications/Committee-Opinions/Committee-on-
Obstetric-Practice/Placenta-Accreta
84. Hipertensi dalam kehamilan
Definisi
- Tekanan darah ≥140/90 mmHg
- Pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak 4-6 jam
Faktor predisposisi - Gangguan vaskuler
- Gemelli plasenta
- Penyakit trofoblas - Faktor herediter
- Hidroamnion - Riwayat preeklampsia
- DM sebelumnya
- Obesitas sebelum hamil

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi pada Kehamilan: Patofisiologi

• Faktor Risiko:
– Kehamilan pertama
– Kehamilan dengan vili
korionik tinggi (kembar
atau mola)
– Memiliki penyakit KV
sebelumnya
– Terdapat riwayat genetik
hipertensi dalam
kehamilan

Cunningham FG, et al. William’s obstetrics. 22nd ed. McGraw-Hill.


Hipertensi Kronik
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Sebelum hamil pasien sudah memiliki hipertensi, atau
- Pasien sudah memiliki hipertensi saat usia kehamilan masih
<20 minggu

Tatalaksana:
- Jika TD sistolik ≥ 160 mmHg atau TD diastolik ≥ 110 mmHg 
terapi antihipertensi
- Kontraindikasi: ACE-I, ARB, dan thiazide
- Suplementasi kalsium 1.5-2 gram per hari + aspirin 75 mg/hari
mulai dari usia kehamilan 20 minggu
- Jika HR janin <100 x/menit atau > 180x/menit tatalaksana
sebagai gawat janin
- Jika tidak ada komplikasi tunggu sampai aterm

Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Hipertensi Gestasional
- Hipertensi tanpa proteinuria
- TD ≥140/90 mmHg
- Tidak ada riwayat hipertensi sebelum hamil
- Dapat disertai gejala preeklampsia seperti nyeri ulu hati dan
trombositopenia
- Diagnosis pasti ditegakkan pasca persalinan TD normal
setelah melahirkan

Tatalaksana
- Pantau tekanan darah, urin untuk proteinuria, dan kondisi janin
setiap minggu
- Jika tekanan darah meningkat tatalaksana sebagai
preeklampsia
- Kondisi janin memburuk atau pertumbuhan janin
terhambatrawat untuk pemantauan kesehatan janin
- Jika TD stabil bisa persalinan normal
Sumber: Buku saku pelayanan kesehatan ibu di fasilitas kesehatan dasar dan rujukan WHO, 2013
Preeklamsia
• preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi
pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya
gangguan organ.
• Kebanyakan kasus preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein
urin, namun jika protein urin tidak didapatkan, salah satu gejala dan
gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis
preeklampsia, yaitu:
– 1. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
– 2. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
– 3. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali
normal dan atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas
abdomen
– 4. Edema Paru

Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Diagnosis dan Tatatalaksana Preeklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal 2016
– 5. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri
kepala, gangguan visus
– 6. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi
tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta :
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR)
atau didapatkan adanya absent or reversed end
diastolic velocity (ARDV)
Eklamsia
• Eklampsia
– Kejang umum dan/atau koma
– Ada tanda dan gejala preeklampsia
– Tidak ada kemungkinan penyebab lain (misalnya
epilepsi, perdarahan subarakhnoid, dan
meningitis)
85. Sperm Analysis
• The extent of progressive sperm motility is
related to pregnancy rates
• Sperm motility within semen should be
assessed as soon as possible after liquefaction
of the sample, preferably at 30 minutes, but in
any case within 1 hour, following ejaculation,
to limit the deleterious effects of dehydration,
pH or changes in temperature on motility

WHO laboratory manual for the Examination and processing of human semen 5th ed. 2010
• The motility of each spermatozoon is graded as follows:
– Progressive motility (PR): spermatozoa moving actively, either
linearly or in a large circle, regardless of speed.
– Non-progressive motility (NP): all other patterns of motility with
an absence of progression, e.g. swimming in small circles, the
flagellar force hardly displacing the head, or when only a
flagellar beat can be observed.
– Immotility (IM): no movement.

• Lower reference limit


– The lower reference limit for total motility (PR + NP) is 40% (5th
centile, 95% CI 38–42).
– The lower reference limit for progressive motility (PR) is 32%
(5th centile, 95% CI 31–34).
WHO laboratory manual for the Examination and processing of human semen 5th ed. 2010
• Asthenozoospermia is the medical term for
reduced sperm motility: the percentage of
progressively motile sperm is below 32%.
• Causes of asthenozoospermia are insufficient
liquefaction, autoantibodies, inflammation
and disorders of the sperm tails.
• Causes of false-negative asthenozoospermia
are cold sperm, old sperm or sperm collection
with contamination (e.g. soap).
WHO laboratory manual for the Examination and processing of human semen 5th ed. 2010
Sperma Abnormal

• Azoospermia: tidak terdapat ejakulat


sperma dalam cairan ejakulat • Astenozoospermia: motilitas <
• Oligospermia: jumlah sperma normal
kurang dari 20 juta per ml • Teratozoospermia: morfologi
cairan ejakulat abnormal
• Necrozoospermia: tidak ada
sperma hidup dalam cairan
IKK &
FORENSIK
86. Sistem Pembayaran Kesehatan (WHO)
Fee for service Pembayaran per item pelayanan (pemeriksaan, terapi, pelayanan
pengobatan/tindakan diidentifikasi satu persatu) kemudian
dijumlahkan dan ditagihkan kepada pasien
Case payment Pembayaran bagi paket pelayanan atau episode pelayanan. Tidak
berdasarkan item
Daily charge Pembayaran langsung dengan jumlah tetap per hari bagi pelayanan
rawat inap
Bonus payment Pembayaran langsung sejumlah yang disepakati (biasanya global)
bagi tipe pelayanan yang diberikan
Capitation Pembayaran berdasarkan jumlah orang yang menjadi tanggung
jawab dokter (tiap tahun)
Salary Pendapatan per tahun tidak berdasarkan beban kerja atau biaya
pelayanan yang diberikan
Global budget Seluruh anggaran pelaksanaan ditetapkan di awal yang dirancang
untuk menyediakan pengeluaran tertinggi, tetapi memungkinkan
pemanfaatan dana secara fleksibel dalam batas tertentu
Sistem Pembayaran BPJS Kesehatan
• Mekanisme pembayaran BPJS kesehatan
untuk faskes primer (puskesmas, klinik
pratama, dokter praktek perorangan) adalah
kapitasi dan non kapitasi untuk kasus tertentu.

• Mekanisme pembayaran BPJS kesehatan


untuk faskes sekunder dan tersier adalah case
payment menggunakan INA CBGs serta non
INA CBGs untuk kondisi tertentu.
PEMBAYARAN BPJS DI FASKES PRIMER

PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52 TAHUN 2016 TENTANG STANDAR TARIF PELAYANAN
KESEHATAN DALAM PENYELENGGARAAN PROGRAM JAMINAN KESEHATAN
Tarif Kapitasi
• Tarif Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
huruf a diberlakukan pada FKTP yang melakukan
pelayanan:
a. administrasi pelayanan;
b. promotif dan preventif;
c. pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
d. tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun
non operatif;
e. obat dan bahan medis habis pakai;
f. pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium
tingkat pratama.
Tarif Non Kapitasi
• Tarif Non Kapitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b
diberlakukan pada FKTP yang melakukan pelayanan kesehatan di
luar lingkup pembayaran kapitasi, yang meliputi:
a. pelayanan ambulans
b. pelayanan obat program rujuk balik;
c. pemeriksaan penunjang pelayanan rujuk balik;
d. pelayanan penapisan (screening) kesehatan tertentu termasuk
pelayanan terapi krio untuk kanker leher rahim;
e. rawat inap tingkat pertama sesuai indikasi medis;
f. jasa pelayanan kebidanan dan neonatal yang dilakukan oleh
bidan atau dokter, sesuai kompetensi dan kewenangannya; dan
g. pelayanan Keluarga Berencana di FKTP
Penyakit yang Termasuk dalam
Program Rujuk Balik

https://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/dmdocuments/4238e7d5f66ccef4ccd89883c46fcebc.pdf
Pembayaran BPJS di Faskes Sekunder
& Tersier (Rumah Sakit)
• Indonesian-Case Based Groups (INA-CBGs): besaran
pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas
Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan atas paket layanan
yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis
penyakit dan prosedur.

• Non INA-CBGs: tarif diluar tarif paket INACBG untuk


beberapa item pelayanan tertentu meliputi alat bantu
kesehatan, obat kemoterapi, obat penyakit kronis,
CAPD dan PET Scan, dengan proses pengajuan klaim
dilakukan secara terpisah dari tarif INA-CBG

Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No. 52 tahun 2016


87. Iuran Peserta BPJS Kesehatan
• Peserta PBI: Rp 19.225,00 per orang per bulan (ditanggung
oleh pemerintah).

• Bukan peserta PBI: 5% dari gaji/ upah per bulan.


– Pegawai pemerintah (PNS, TNI, POLRI): 3% dibayar oleh pemberi
kerja, 2% dibayar oleh pekerja.
– Pegawai non pemerintah: 4% dibayar oleh pemberi kerja, 1%
dibayar oleh pekerja.

• Peserta individu:
– Kelas 1: Rp 80.000,00/bulan
– Kelas 2: Rp 51.000,00/bulan
– Kelas 3: Rp 25.500,00/bulan
87. Denda Iuran BPJS
Ketentuan denda pelayanan atas keterlambatan pembayaran iuran JKN-KIS
sebagai berikut :
• Denda hal keterlambatan pembayaran Iuran JKN-KIS lebih dari 1 (satu)
bulan sejak tanggal 10, maka penjamin peserta diberhentikan sementara.
• Pemberhentian sementara penjaminan peserta berakhir dan kepesertaan
kembali aktif apabila peserta membayar iuran tertunggak paling banyak
untuk waktu 12 (dua belas) bulan.
• Dalam waktu 45 (empat puluh lima) hari sejak status kepesertaan aktif
kembali, peserta JKNKIS wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan
untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap.
• Denda sebagaimana yang dimaksud adalah sebesar 2,5 % (dua koma lima
persen) dari setiap biaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan
tertunggak, dengan ketentuan :
– Jumlah bulan tertunggak paling banyak 12 (dua belas) bulan.
– Besar denda paling tinggi Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).

• Pelunasan denda harus dilakukan dalam 3x24 jam sejak masuk rawat inap
atau sebelum pasien pulang.
88. JENIS RUJUKAN
• Interval referral: pelimpahan wewenang dan
tanggungjawab penderita sepenuhnya kepada dokter
konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka
waktu tersebut dokter tsb tidak ikut menanganinya.
• Collateral referral: menyerahkan wewenang dan
tanggungjawab penanganan penderita hanya untuk satu
masalah kedokteran khusus saja.
• Cross referral: menyerahkan wewenang dan
tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada
dokter lain untuk selamanya.
• Split referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab
penanganan penderita sepenuhnya kepada beberapa
dokter konsultan, dan selama jangka waktu pelimpahan
wewenang dan tanggungjawab tersebut dokter pemberi
rujukan tidak ikut campur.
88. Jenis Rujukan Berdasarkan
Tingkatannya
• Rujukan horizontal : rujukan yang dilakukan
antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila
perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan
sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan
fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya
sementara atau menetap.
– Misalya rujukan dari RS tipe B ke RS tipe B lainnya

• Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan


antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat
dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke
tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.
– Misalnya rujukan dari puskesmas ke RS
89. Langkah Menentukan Uji Statistik
• Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik)

• Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah


variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila
kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah
memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan
soal UKMPPD, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan
bahwa variabel tersebut terdistribusi normal atau
memenuhi persyaratan chi square.

• Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.


TABEL UJI HIPOTESIS
VARIABEL
U J I S TAT I S T I K U J I A LT E R N AT I F
INDEPENDEN DEPENDEN

Fisher (digunakan untuk tabel


Kategorik Kategorik Chi square 2x2)*
Kolmogorov-Smirnov
(digunakan untuk tabel bxk)*

Kategorik T-test independen Mann-Whitney**


Numerik
(2 kategori)
T-test berpasangan Wilcoxon**

One Way Anova (tdk


Kruskal Wallis**
Kategorik berpasangan)
Numerik
(>2 kategori) Repeated Anova
Friedman**
(berpasangan)
Numerik Numerik Korelasi Pearson Korelasi Spearman**
Regresi Linier
Keterangan:
* : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi
**: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Syarat Uji Chi Square
• Tidak ada cell dengan nilai frekuensi kenyataan atau
disebut juga Actual Count (F0) sebesar 0 (Nol).
• Apabila bentuk tabel kontingensi 2 X 2, maka tidak boleh
ada 1 cell saja yang memiliki frekuensi harapan atau
disebut juga expected count (“Fh”) kurang dari 5.
• Apabila bentuk tabel lebih dari 2 x 2, misal 2 x 3, maka
jumlah cell dengan frekuensi harapan yang kurang dari 5
tidak boleh lebih dari 20%.

Bila tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan


di atas, maka uji chi square tidak dapat digunakan.
One Sample vs Two Sample T-Test
One sample T-test Two Sample T-test
• Mengetahui perbedaan mean • Mengetahui apakah terdapat
(rerata) satu kelompok perbedaan mean antara dua
dibandingkan dengan mean kelompok populasi.
yang sudah ditetapkan peneliti
atau mean sudah diketahui di • Misalnya penelitian ingin
populasi. mengetahui apakah terdapat
perbedaan mean GDS dari
• Misalnya penelitian tentang kelompok pasien DM yang
mean gula darah sewaktu (GDS) diberi metformin dengan
pada pasien DM yang diberi kelompok pasien DM yang
metformin. Contoh pertanyaan diberi insulin?
penelitiannya adalah: apakah
mean GDS pasien DM yang
diberi metformin lebih dari 200
mg/dl?
Independent vs Paired T-Test
Independent T-test Paired T-test
• Prinsipnya adalah setiap • Prinsipnya adalah setiap
subjek hanya dilakukan 1 kali subjek dilakukan pengukuran
pengukuran. lebih dari 1 kali.

• Contoh: penelitian obat A dan • Contoh: penelitian obat A dan


obat B terhadap kadar obat B terhadap kadar
kolesterol. Subyek dibagi dua kolesterol. Subyek dibagi dua
kelompok, kelompok pertama kelompok, kelompok pertama
diberi obat A dan kelompok diberi obat A dan kelompok
kedua diberi obat B. setelah 3 kedua diberi obat B. Sebelum
bulan, tiap subyek diukur mulai penelitian, tiaap subyek
kadar kolesterolnya. diukur kadar kolesterolnya.
setelah 3 bulan, tiap subyek
diukur kadar kolesterolnya
lagi.
Korelasi Pearson vs Regresi Linier
• Penelitian yang meneliti hubungan antara dua
variabel, di mana kedua variabel bersifat
numerik, dapat menggunakan korelasi Pearson
dan regresi linier.

• Korelasi pearson digunakan untuk mengetahui


arah dan kekuatan hubungan antara kedua
variabel. Sedangkan regresi linier digunakan
untuk memprediksi nilai variabel dependen
melalui variabel independen (dinyatakan dalam
persamaan Y = a + bX).
90. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik
dibanding non-probability
• Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari
semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa
memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam
populasi itu.

• Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat


berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin,
dsb). Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan
dulu jenis kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari
kelompok pria diambil sampel secara acak, demikian
juga dari kelompok wanita.
Probability Sampling Techique lebih
baik dibanding non-probability
• Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah.
Pemilihan sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak.
Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta.
Seluruh penduduk dari 20 kecamatan terpilih dijadikan sampel.

• Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2


teknik sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya
mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling).
Kemudian dari masing-masing kecamatan terpilih, diambil 50
sampel secara acak (simple random sampling).

• Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan


tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai
disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang
ganjil saja.
Non-probability Sampling
• Purposive/judgmental Sampling: sampel yang dipilih
secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya.
• Snowball Sampling: Dari sampel yang prevalensinya
sedikit ,peneliti mencari informasi sampel lain dari
yang dijadikan sampel sebelumnya, sehingga makin
lama jumlah sampelnya makin banyak
• Quota Sampling:anggota sampel pada suatu tingkat
dipilih dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri
tertentu
• Convenience sampling:mengambil sampel sesuka
peneliti (kapanpun dan siapapun yang dijumpai
peneliti)
When population is small,
homogeneous & readily
available. All subsets of the
frame are given an equal
probability.

The frame organized into


separate "strata." Each stratum
is then sampled as an
independent sub-population,
out of which individual
elements can be randomly
selected
In this technique, the total
population is divided into these
groups (or clusters) and
a simple random sample of the
groups is selected (two stage)
Ex. Area
sampling or geographical
cluster sampling
91. Perlukaan akibat kekerasan
Pelbagai jenis kekerasan
o Kekerasan bersifat mekanik
• Kekerasan tumpul
• Kekerasan tajam
• Tembakan senjata api

o Kekerasan bersifat alam


• Luka akibat api
• Luka akibat listrik

o Kekerasan bersifat kimiawi


• Luka akibat asam keras
• Luka akibat basa kuat
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka memar: Tampak sebagai bercak, biasanya
berbentuk bulat/lonjong. Luka memar yang baru
terjadi tampak sebagai bercak biru kemerahan dan
agak menimbul. Proses penyembuhan menyebabkan
warna bercak berubah menjadi kebiruan, kehijauan,
kecoklatan, kekuningan dan akhirnya hilang saat terjadi
penyembuhan sempurna dalam 7-10 hari.

• Luka robek: Luka terbuka tepi tidak rata, pada salah


satu sisi dapat ditemukan jejas berupa luka lecet tekan.
Luka Akibat Kekerasan Tumpul
• Luka lecet tekan: Tampak sebagai
bagian kulit yang sedikit
mencekung, berwarna kecoklatan.
Bentuknya memberikan gambaran
bentuk benda penyebab luka.

• Luka lecet geser: Bagian yang


pertama bergeser memberikan
batas yang lebih rata, dan saat
benda tumpul meningalkan kulit
yang tergeser berbatas tidak rata.
Tampak goresan epidermis yang
berjalan sejajar.
Luka Akibat Kekerasan Tajam
• Luka tusuk: Akibat kekerasan tajam yang mengenai kulit dengan
arah kekerasan tegak terhadap permukaan kulit. Tepi luka rata.
– Lebar luka menggambarkan lebar pisau yang digunakan.
– Karena elastisitas kulit, dalamnya luka tidak menggambarkan
panjangnya pisau

• Luka sayat: Akibat kekerasan tajam yang bergerak k.l sejajar dengan
permukaan kulit. Panjang luka jauh melebihi dalamnya luka.

• Luka bacok: Akibat kekerasan tajam dengan bagian “mata” senjata


yang mengenai kulit dengan arah tegak. Kedua sudut luka lancip
dengan luka yang cukup dalam.
92. KAIDAH DASAR MORAL

Hanafiah, J., Amri amir. 2009. Etika Kedokteran dan Hukum\Kesehatan (4th ed). Jakarta: EGC.
Berbuat baik (beneficence) Tidak berbuat yang merugikan
(nonmaleficence)
• Selain menghormati martabat manusia,
dokter juga harus mengusahakan agar • Praktik Kedokteran haruslah memilih
pasien yang dirawatnya terjaga keadaan pengobatan yang paling kecil risikonya dan
kesehatannya (patient welfare). paling besar manfaatnya. Pernyataan kuno:
• Pengertian ”berbuat baik” diartikan first, do no harm, tetap berlaku dan harus
bersikap ramah atau menolong, lebih diikuti.
dari sekedar memenuhi kewajiban.
Keadilan (justice)
Menghormati martabat manusia (respect
• Perbedaan kedudukan sosial, tingkat
for person) / Autonomy ekonomi, pandangan politik, agama dan
faham kepercayaan, kebangsaan dan
• Setiap individu (pasien) harus kewarganegaraan, status perkawinan,
diperlakukan sebagai manusia yang serta perbedaan jender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter
memiliki otonomi (hak untuk menentukan terhadap pasiennya.
nasib diri sendiri), • Tidak ada pertimbangan lain selain
• Setiap manusia yang otonominya kesehatan pasien yang menjadi perhatian
berkurang atau hilang perlu mendapatkan utama dokter.
perlindungan. • Prinsip dasar ini juga mengakui adanya
kepentingan masyarakat sekitar pasien
yang harus dipertimbangkan
Beneficence
Kriteria
1. Mengutamakan altruism (menolong tanpa pamrih, rela berkorban untuk kepentingan
orang lain)
2. Menjamin nilai pokok harkat dan martabat manusia
3. Memandang pasien/keluarga sebagai sesuatu yang tak hanya menguntungkan dokter
4. Mengusahakan agar kebaikan lebih banyak dibandingkan keburukannya
5. Paternalisme bertanggungjawab/berkasih sayang
6. Menjamin kehidupan baik minimal manusia
7. Pembatasan goal based (sesuai tujuan/kebutuhan pasien)
8. Maksimalisasi pemuasan kebahagiaan/preferensi pasien
9. Minimalisasi akibat buruk
10. Kewajiban menolong pasien gawat darurat
11. Menghargai hak-hak pasien secara keseluruhan
12. Tidak menarik honorarium di luar kewajaran
13. Maksimalisasi kepuasan tertinggi secara keseluruhan
14. Mengembangkan profesi secara terus menerus
15. Memberikan obat berkhasiat namun murah
16. Menerapkan golden rule principle
Beneficence (Berbuat baik)
• General beneficence
– Melindungi dan mempertahankan hak, mencegah terjadinya kerugian
– Menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada yang lain
• Specific beneficence
– Menolong orang cacat, menyelamatkan dari bahaya, mengutamakan kepentingan pasien
– Memandang pasien/ keluarga/ sesuatu tidak hanya sejauh menguntungkan dokter/ rumah
sakit/ pihak lain
– Maksimalisasi akibat baik
– Menjamin nilai pokok: “apa saja yang ada, pantas kita bersikap baik terhadapnya” (apalagi ada
yang hidup)
• Prinsip tindakan
– Berbuat baik kepada siapa pun, termasuk yang tidak kita kenal
– Pengorbanan diri demi melindungi dan menyelamatkan pasien
– “janji” atau wajib menyejahterakan pasien dan membuat diri terpecaya
• Contoh tindakan
– Dokter bersikap profesional, bersikap jujur, dan luhur pribadi (integrity); menghormati pasien,
peduli pada kesejahteraan pasien, kasih sayang, dedikatif mempertahankan kompetensi
pengetahuan dan keterampilan teknisnya
– Memilih keputusan terbaik pada pasien yang tidak otonom (kurang mampu memutuskan
bagi dirinya), misalnya anak, pasien dengan gangguan jiwa, pasien dalam kondisi gawat
Non-maleficence
Kriteria
1. Menolong pasien emergensi :
Dengan gambaran sbb :
- pasien dalam keadaan sangat berbahaya (darurat) / berisiko
kehilangan sesuatu yang penting (gawat)
- dokter sanggup mencegah bahaya/kehilangan tersebut
- tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
- manfaat bagi pasien > kerugian dokter
2. Mengobati pasien yang luka
3. Tidak membunuh pasien ( euthanasia )
4. Tidak menghina/mencaci maki/ memanfaatkan pasien
5. Tidak memandang pasien hanya sebagai objek
6. Mengobati secara proporsional
7. Mencegah pasien dari bahaya
8. Menghindari misrepresentasi dari pasien
9. Tidak membahayakan pasien karena kelalaian
10. Memberikan semangat hidup
11. Melindungi pasien dari serangan
12. Tidak melakukan white collar crime dalam bidang kesehatan
Non-Maleficence
• Sisi komplementer beneficence dari sudut pandang pasien: tidak boleh
berbuat jahat (evil) atau membuat derita (harm) pasien; minimalisasi
akibat buruk
• Primum non nocere: First do no harm
• Kewajiban dokter untuk menganut ini berdasarkan hal-hal:
– Pasien dalam keadaan amat berbahaya atau berisiko hilangnya sesuatu yang
penting dan dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan tersebut
– Tindakan kedokteran tadi terbukti efektif
– Manfaat bagi pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal)
– Norma tunggal, isinya larangan
• Contoh tindakan:
– Tidak melakukan malpraktik etik, baik sengaja atau tidak; seperti dokter tidak
mempertahankan kemampuan ekspertisnya atau menganggap pasien sebagai
komoditi
– Menghentikan pengobatan yang sia-sia atau pengobatan luar biasa, yaitu
pengobatan yang tidak biasa diperoleh atau digunakan tanpa pengeluaran
amat banyak, nyeri berlebihan, atau ketidaknyamanan lainnya
– Juga membiarkan mati (letting die), bunuh diri dibantu dokter, euthanasia,
sengaja malpraktik etis
Autonomy
Kriteria
1. Menghargai hak menentukan nasib sendiri, menghargai martabat pasien
2. Tidak mengintervensi pasien dalam membuat keputusan (kondisi elektif)
3. Berterus terang
4. Menghargai privasi
5. Menjaga rahasia pasien
6. Menghargai rasionalitas pasien
7. Melaksanakan informed consent
8. Membiarkan pasien dewasa dan kompeten mengambil keputusan sendiri
9. Tidak mengintervensi atau menghalangi otonomi pasien
10. Mencegah pihak lain mengintervensi pasien dalam mengambil keputusan
termasuk keluarga pasien sendiri
11. Sabar menunggu keputusan yang akan diambil pasien pada kasus non
emergensi
12. Tidak berbohong ke pasien meskipun demi kebaikan pasien
13. Menjaga hubungan (kontrak)
Autonomy
• Autonomy
• Pandangan Kant
– Otonomi kehendak = otonomi moral, yaitu kebesan
bertindak, memutuskan atau memilih dan menentukan diri
sendiri sesuai dengan kesadaran terbaik bagi dirinya yang
ditentukan sendiri tanpa hambatan, paksaan, atau campur
tangan pihak luar (heteronomi), suatu motivasi dari dalam
berdasar prinsip rasional atau self-legislation dari manusia
• Tell the truth
– Hormatilah hak privasi orang lain, lindungi formasi
konfidensial, mintalah consent untuk intervensi diri pasien;
bila ditanya, bantulah membuat keputusan penting
Justice
Kriteria
1. Memberlakukan sesuatu secara universal
2. Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang telah ia lakukan
3. Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam posisi yang sama
4. Menghargai hak sehat pasien
5. Menghargai hak hukum pasien
6. Menghargai hak orang lain
7. Menjaga kelompok yang rentan
8. Tidak melakukan penyalahgunaan
9. Bijak dalam makro alokasi
10. Memberikan kontribusi yang relative sama dengan kebutuhan pasien
11. Meminta partisipasi pasien sesuai kemampuannya
12. Kewajiban mendistribusikan keuntungan dan kerugian (biaya, beban, sanksi)
secara adil
13. Mengembalikan hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten
14. Tidak memberi beban berat secara tidak merata tanpa alas an tepat/sah
15. Menghormati hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/gangguan
kesehatan
16. Tidak membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status social, dsb
Justice
• Justice (Keadilan)
• Memberi perlakuan sama untuk setiap orang (keadilan sebagai fairness), yaitu:
– Memberi sumbangan dan menuntut pengorbanan relatif sama terhadap kebahagiaan diukur
dari kebutuhan dan kemampuan pasien
• Jenis keadilan:
– Komparatif (perbandingan antarkebutuhan penerima)
– Distributif (membagi sumber): sesuai keselarasan sifat dan tingkat perbedaan jasmani-rohani ;
secara material kepada:
• Setiap orang andil yang sama
• Setiap orang sesuai kebutuhannya
• Setiap orang sesuai upayanya
• Setiap orang sesuai jasanya
– Sosial: kebajikan melaksanakan dan memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bersama
• Utilitarian: memaksimalkan kemanfaatan publik dengan strategi menekankan efisiensi sosial dan
memaksimalkan nikmat/ keuntungan bagi pasien
• Libertarian: menekankan hak kemerdekaan sosial-ekonomi (mementingkan prosedur adil > hasil
substansif atau materiil)
• Komunitarian: mementingkan tradisi komunitas tertentu
• Egalitarian: kesamaan akses terhadap nikmat dalam hidup yang dianggap bernilai oleh setiap individu
rasional (sering menerapkan kriteria material kebutuhan bersama)
– Hukum (umum)
• Tukar-menukar: kebajikan memberkan atau mengembalikan hak-hak kepada yang berhak
• Pembagian sesuai denan hukum (pengaturan untuk kedamaian hidup bersama) mencapai
kesejahteraan umum
93. Infantisida (Pembunuhan anak
sendiri)
• Pasal 341-343 KUHP
– Seorang Ibu yang karena takut diketahui bahwa ia
mempunyai anak, melakukan pembunuhan pada anak
saat dilahirkan atau tidak lama setelah dilahirkan
• Kasus infasitisida harus ditentukan
– Bayi viable atau tidak
– Lahir hidup atau mati
– Tanda perawatan
– Tanda kekerasan
• Penentuan usia berdasarkan pusat penulangan

– Kuboid 40 minggu
– Distal femur 36 minggu
– Proksimal tibia38 minggu
– Talus 28 minggu
– Kalkaneus 24 minggu
– Metatarsal 9 minggu
Kriteria Bayi viabel Cukup bulan
Usia > 28 minggu 37 – 42 minggu
Berat badan > 1000 gr 2500 – 4000 gr
Panjang badan > 35 cm 46 – 50 cm
Lingkar kepala > 23 cm > 30 cm
Lainnya Tidak ada cacat bawaan -

https://radiopaedia.org/articles/ossification-centres-of-the-foot
94. VISUM ET REPERTUM (VER)

• VeR : Keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan


penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan
medis terhadap manusia, baik hidup atau mati untuk
kepentingan peradilan.
• Dasar: PASAL 133 KUHAP
– Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga
karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
• Pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP: yang berwenang
meminta keterangan ahli → penyidik & penyidik pembantu
Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Visum et
Repertum

Antemortem Postmortem

Visum Pemeriksaan Pemeriksaan


sementara luar dalam (Otopsi)

Otopsi
Visum definitif anatomis

Visum lanjutan Otopsi klinis

Otopsi forensik
Syarat Pembuatan Visum et Repertum
Syarat yang menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam
pembuatannya, yaitu:
• Permintaan visum et repertum haruslah secara tertulis (sesuai
dengan pasal 133 ayat 2 KUHAP)
• Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara bedah, jika ada
keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau
pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya dilakukan
bedah mayat.
• Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa
pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas
peristiwa yang telah lampau.
• Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya pemeriksaan.
• Isi visum et repertum tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran
yang telah teruji kebenarannya
Sanksi Hukum Bila Menolak
Pembuatan VeR
PASAL 216 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau
permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh
pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh
pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi
kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana;
demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna
menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara
paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling
banyak sembilan ribu rupiah.

Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna


Sanksi Hukum Bila Menolak Otopsi
PASAL 222 KUHP
Barangsiapa dengan sengaja mencegah,
menghalang-halangi atau menggagalkan
pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
95. ASFIKSIA MEKANIK
• Penutupan lubang saluran pernafasan bagian atas:
– Pembekapan (smothering)
– Penyumbatan/ penyumpalan (gagging , choking)
• Penekanan dinding saluran pernafasan:
– Penjeratan (strangulation)
– Pencekikan (manual strangulation)
– Gantung (hanging)
• External pressure of the chest yaitu penekanan dinding
dada dari luar.
• Drowning (tenggelam) yaitu saluran napas terisi air.
• Inhalation of suffocating gases.
Penyumbatan/ Penyumpalan
(Gagging, Choking)
• Asfiksia mekanik yang terjadi akibat tertutupnya rongga
mulut oleh benda asing, misalnya sapu tangan, tissue,
makanan, dan sebagainya.

• Pemeriksaan luar yang ditemukan pada kasus


penyumpalan:
– Pemeriksaan luar menunjukkan hipoksia akibat asfiksia secara
umum.
– Memar atau lecet pada bagian tubuh akibat perkelahian dengan
pelaku dapat ditemukan
– Luka memar atau robek di rongga mulut dapat ditemukan
– Lengan atau tungkai kadang ditemukan dalam keadaan terikat
Penjeratan
JENIS PENJERATAN:
• Manual Strangulation :dilakukan dengan tangan dan
tangan tidak perlu melingkari leher korban.

• Palmar Strangulation :dilakukan dengan kedua tangan


,dimana tangan kanan pelaku ditekan horizontal pada
mulut korban dibantu tangan kiri yang menekan vertikal
sehingga telapak tangan kiri menekan leher korban bagian
depannya.

• Garroting atau penjeratan dengan alat: dilakukan dengan


menyerang korban dari belakang dan menjeratnya dengan
alat perjerat.
Ciri Penjeratan Dengan Alat
• Alat penjerat yang biasanya dibawa oleh pelaku seperti tali, kawat, dll.
Sedang, alat yang biasa dibawa korban seperti selendang, dasi, stocking
atau kain lainnya.
• Jumlah lilitan satu dengan simpul mati.
• Alat penjerat berjalan mendatar, luka lecet umumnya melingkari leher
secara keseluruhan.
• Dapat ditemukan luka bulan sabit, yang disebabkan oleh kuku (baik kuku
penjerat atau kuku korban)
• Patah tulang lidah (os. hyoid) tidak lazim kecuali didahului dengan
pencekikan.
• Bila mekanisme kematiannya asfiksia, akan ditemukan kelainan mayat
akibat mati lemas (lebam mayat yg lebih gelap dan luas, sianosis, bintik
pendarahan di mata, busa halus putih keluar dari mulut, darah tetap cair ,
dan sembabnya organ dalam tubuh)
• Bila mekanisme kematiannya refleks vagal, maka kelainan yang ditemukan
terbatas pada alat penjerat dengan luka lecet tekan akibat alat penjerat.
Ciri Penjeratan Dengan Tangan
(Pencekikan)
• Manual Strangulation biasa dilakukan bila korbanya lebih lemah dari
si pelaku, seperti orang tua, anak-anak, wanita gemuk.
• Adanya luka lecet pada bahu si pelaku berbentuk bulan sabit yang
disebabkan oleh kuku si pelaku.
• Patahnya tulang lidah disertai dengan resapan darah di jaringan
ikat dan otot sekitarnya.
• Sembabnya kutub pangkal tenggorokan (epiglotis) dan jaringan
longgar di sekitarnya dengan bintik-bintik pendarahan.
• Jika mekanisme kematiannya oleh asfiksia maka akan dijumpai
tanda-tanda asfiksia
• Jika mekanisme kematiannya inhibisi vagal, kelainan terbatas pada
bagian leher disertai tanda-tanda asfiksia.
• Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pencekikan sekitar 30
detik-beberapa menit.
Pembekapan
• Obstruksi mekanik aliran udara dari
lingkungan sekitar ke dalam mulut dan atau
rongga hidung, yang menghambat pemasukan
udara ke paru-paru, dengan cara menutup
mulut dan hidung. Penutupan lubang hidung
dan mulut bisa menggunakan tangan, bantal,
atau kantong plastik.
Pemeriksaan Forensik pada Kasus
Pembekapan
• Kekerasan yang mungkin dapat ditemukan adalah luka lecet jenis tekan
atau geser, jejas bekas jari/kuku di sekitar wajah, dagu, pinggir rahang,
hidung, lidah dan gusi, yang mungkin terjadi akibat korban melawan.

• Luka memar atau lecet dapat ditemukan pada bagian/permukaan dalam


bibir akibat bibir yang terdorong dan menekan gigi, gusi dan lidah. Ujung
lidah juga dapat mengalami memar atau cedera.

• Bila pembekapan terjadi dengan benda yang lunak, misal dengan bantal,
maka pada pemeriksaan luar jenazah mungkin tidak ditemukan
tandatanda kekerasan.

• Ditemukan tanda-tanda asfiksia baik pada pemeriksaan luar maupun pada


pembedahan jenazah. Perlu pula dilakukan pemeriksaan kerokan bawah
kuku korban, adakah darah atau epitel kulit si pelaku.
PENGGANTUNGAN (HANGING)
• Penggantungan (Hanging) adalah suatu keadaan
dimana terjadi konstriksi dari leher oleh alat penjerat
yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau
sebagian.

• Alat penjerat sifatnya pasif, sedangkan berat badan


sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada
leher. Umumnya penggantungan melibatkan tali, tapi
hal ini tidaklah perlu. Penggantungan yang terjadi
akibat kecelakaan bisa saja tidak terdapat tali.
THT-KL
96. Otitis Media

Akut
Otitis Media Efusi
(Air Bubble (+))
Infeksi (-)

Kronik
Glue Ear
Oklusi tuba
Akut
< 3 bulan
Infeksi (+) Otitis Media
Kronik
> 3 bulan
Otitis Media
96. Otitis Media Efusi
• Radang mukoperiosteum rongga telinga tengah yang ditandai
dengan adanya cairan dan membrane timpani yang utuh.
• Klasifikasi: Eksudativa (Aerotitis, Barotrauma), Serosa
(Kataralis), Mukoid (Glue Ear)
• Gejala:
– Telinga seperti tertutup atau penuh
– Tinnitus nada rendah
– Tuli konduktif
– Displakusis (mendengar suara ganda)
• Terapi:
– Cari pencetusnya
– Medikamentosa: steroid, dekongestan, antihistamin
– Definitf: pemasangan ear ventilation tube (grommet tube)
• Terjadi ketika suatu
oklusi tuba tidak
teratasi. Terjadi
pengumpulan cairan
serosa di dalam
cavum timpani
dengan gejala khas
berupa gelembung
udara pada
pemeriksaan otoskop
(Air Bubble)

Otitis Media Efusi


97. Otitis Media Supuratif Kronik
Klasifikasi OMSK:

• Tipe benign/mucosal:
– Tidak melibatkan tulang.
– Tipe perforasi: sentral.
– Th/: ear wash with H2O2 3% for 3-5 Large central perforation
days, ear drops AB & steroid,
systemic AB

• Tipe malignant/tulang:
– Melibatkan tulang atau
kolesteatoma.
– Tipe perforasi: marginal atau attic.
– Th/: mastoidektomi.
Cholesteatoma at attic
type perforation
1) Diagnostic handbook of otorhinolaryngology. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
97. Otitis Media Supuratif Kronik
• Tanda dini OMSK tipe maligna:
Adanya perforasi marginal atau atik,
Tanda lanjut
• abses atau fistel aurikular,
• polip atau jaringan granulasi di liang telinga luar yang
berasal dari dalam telinga tengah,
• terlihat kolesteatoma pada telinga tengah (sering
terlihat di epitimpanum),
• sekret berbentuk nanah & berbau khas,
• terlihat bayangan kolesteatoma pada foto mastoid.
Terapi OMSK
• OMSK tipe benigna:
– Secara umum terapi OMSK jinak adalah konservatif.
Obat yang dapat digunakan berupa obat cuci telinga
H2O2 3% selama 3-5 hari, antibiotik (penggunaan
antara 1-2 minggu) dan antibiotik oral. Miringoplasti
atau timpanoplasti dapat dilakukan setelah dua bulan
ketika keadaan sekret sudah kering.
• OMSK tipe bahaya:
– Secara umum pembedahan, mastoidektomi dengan
atau timpanoplasti.
97. Tatalaksana Pembedahan untuk OMSK
• Mastoidektomi sederhana:
– Indikasi: OMSK tipe aman yg tidak membaik dgn terapi konservatif
– Tujuan: membersihkan jaringan patologik pada ruang mastoid, sehingga infeksi
tenang dan sekret tidak keluar lagi.
– Fungsi pendengaran tidak diperbaiki.
• Miringoplasti (timpanoplasti tipe I)
– Rekonstruksi membran timpani tanpa memperbaiki rongga telinga tengah
– Indikasi: OMSK tipe aman dengan tuli ringan hanya akibat perforasi membran
timpani. Infeksi telah teratasi.
– Mencegah rekurensi infeksi telinga tengah, memperbaiki fungsi pendengaran.
• Timpanoplasti (tipe II, III, IV, V)
– Eksplorasi kavum timpani dengan/tanpa mastoidektomi dilanjutkan rekonstruksi
membran timpani dan tulang pendengaran
– Indikasi: OMSK tipe aman dgn kerusakan lebih berat, OMSK tipe aman yang gagal
medika mentosa
– Menghentikan proses infeksi secara permanen, memperbaiki membran timpani dan
tulang pendengaran
• Mastoidektomi radikal
– Untuk OMSK tipe bahaya
• Mastoidektomi radikal dengan modifikasi:
– Dinding dipertahankan  pada OMSK tipe bahaya tanpa kerusakan luas
98. Epistaksis
Penatalaksanaan
• Perbaiki keadaan umum
– Nadi, napas, tekanan darah

• Hentikan perdarahan
– Bersihkan hidung dari darah & bekuan
– Pasang tampon sementara yang telah dibasahi adrenalin
1/5000-1/10000 atau lidokain 2%
– Setelah 15 menit, lihat sumber perdarahan

• Cari faktor penyebab untuk mencegah rekurensi


– Trauma, infeksi, tumor, kelainan kardiovaskular, kelainan darah,
kelainan kongenital
98. Epistaksis
• Epistaksis anterior:
– Sumber: pleksus kisselbach plexus atau a. ethmoidalis
anterior
– Dapat terjadi karena infeksi & trauma ringan, mudah
dihentikan.
– Penekanan dengan jari selama 10-15 menit akan menekan
pembuluh darah & menghentikan perdarahan.
– Jika sumber perdarahan terlihat  kauter dengan AgNO3, jika
tidak berhenti  tampon anterior 2 x 24 jam.

Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.


98. Epistaksis
• Epistaksis Posterior
– Perdarahan berasal
dari a. ethmoidalis
posterior atau a.
sphenopalatina, sering
sulit dihentikan.
– Terjadi pada pasien
dengan hipertensi
atau arteriosklerosis.
– Terapi: tampon
bellocq/posterior
selama 2-3 hari.
Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
99. ADENOID
o Jaringan limfoid di dinding nasofaring
o Letak di dinding posterior, tidak berkapsul
o Bagian dari cincin Waldeyer
o Pada anak sampai pubertas
o Umur 12 tahun mengecil
o Umur 17 – 18 tahun menghilang

Fungsi:
• Sistem pertahanan tubuh pertama (lokal) sal. nafas
• Memproduksi limfosit
• Membentuk antibodi spesifik (Ig)
ADENOIDITIS KRONIS
 Etiologi :  Akibatnya:
– rinolalia oklusa ( bindeng ) krn
– Post nasal drip  sekret koane tertutup
kavum nasi jatuh ke belakang – mulut terbuka utk bernapas 
muka terkesan bodoh ( adenoid
– Sekret berasal dari : sinus face )
maksilaris & ethmoid
– aproseksia nasalisSulit
berkonsentrasi
– Sefalgi
 Gejala klinis : – pilek dan batuk
– nafsu makan menurun
– Disebabkan oleh hipertrofi
adenoid  buntu hidung – oklusio tuba  pendengaran
menurun
– tidur ngorok

707
Pemeriksaan
• Rinoskopi anterior : Adenoid membesar
• Phenomena palatum mole (-)
– Pergerakan palatum molle pada saat pasien diminta untuk
mengucapkan huruf “ i “
– Akan negatif bila
• terdapat massa di dalam rongga nasofaring yang menghalangi pergerakan palatum
molle
• kelumpuhan otot-otot levator dan tensor velli palatini

• Rinoskopi posterior : Adenoid membesar dan tidak hiperemi


 Pemeriksaan tambahan:
– Endoskopi, foto skull lateral soft tissue (adenoid), CTScan

709
Indikasi Adenoidektomi
• Pembesaran menyebabkan obstruksi jalan nafas hidung yang
dapat menyebabkan obstruksi pernafasan, gejala obstructive
sleep apnea, dan pernafasan lewat mulut kronik (dapat
menyebabkan abnormalitas palatum dan gigi-geligi).

• Otitis media rekuren atau persisten pada anak berusia >3-4


tahun.

• Sinusitis kronik dan/atau rekuren.

http://emedicine.medscape.com/article/872216-overview#a10
99. Adenoids
• Adenoiditis
• Hypertrophic adenoids
– Inflammation of the adenoid
tissue, usually caused by an – Repeated adenoiditis may
infection lead to enlarged adenoids
– Classified into acute and – Etiologi:
chronic • Terjadi karena inflamasi
langsung pada adenoid
– Acute adenoiditis: (karena PND pada
• Fever adenoiditis kronis)
• Runny nose • karena reaksi folikel limfoid
• Nasal airway obstruction leads dalam adenoid terhadap
to oral breathing inflamasi/infeksi di
• Dry mouth faring/nasofaring yang
berulang
• Snoring
• Sleep apnea
– Clinical manifestation:
• Rhinorrhea • Nasal obstruction
100. Faringitis Akut
• Definisi: iritasi atau infeksi pada faring
• Etiologi paling umum adalah virus diikuti grup A
streptokokus (GAS)
• Cara membedakan etiologi
– GAS umumnya pada usia 4 – 7 tahun
– Onset yang tiba-tiba mengarah infeksi GAS; faringitis
setelah batuk dan rinorea mengarah infeksi virus
– Kontak dengan penderita faringitis GAS atau demam
rematik
– Nyeri kepala mengarahkan pada infeksi GAS
– Muntah mengarah pada infeksi GAS
– Riwayat demam rematik sangat penting untuk
menentukan etiologi
https://emedicine.medscape.com/article/764304-overview
• Gejala dan tanda
• Demam
• Odinofagia
• Nyeri kepala
• Konjungtivitis (umum pada virus
• Batuk (umum pada virus)
• Faring hiperemis
• Eksudat (pada bakteri)
• KGB membesar (pada bakteri)
• Penentuan penggunaan antibiotik
pada faringitis menggunakan
Centor score
• Terapi lainnya untuk mengatasi
simptomatik
• Indikasi tonsilektomi
• ≥ 7 infeksi dlm 1 tahun
• ≥ 5 infeksi dlm 2 tahun
• ≥ 3 infeksi dlm 3 tahun
• Gagal terapi farmako
https://www.aafp.org/afp/2016/0701/p24.html
Patofisiologi faringitis
• Rhinovirus
– Virus masuk ke melalui sel epitel bersilia
– Meningkatkan aktivitas sekresi kelenjar mucous
– Sekret menyebabkan trapping mikroorganisme sehingga
menyebabkan iritasi dan inflamasi
– Virus tidak menginvasi mukosa
• Adenovirus
– Virus akan menginvasi mukosa secara langsung
– Menyebabkan sitopatik efek
• Strepcococcus
– Menghasilkan M protein dan adesin yang menyebabkan bakteri
dapat menginvasi mukosa
– Menghasilkan eksotoxin yang menyebabkan reaksi inflamasi
– Menghasilkan enzim lipopolisakaride yang menyebabkan bakteri
terhindar dari respon imun dan profilerasi masif

https://emedicine.medscape.com/article/225243-overview#a5

Anda mungkin juga menyukai