Anda di halaman 1dari 123

Mau Dibawa Kemana IDI-2?

Mau Dibawa Kemana IDI-2?


MAU DIBAWA KE MANA IDI – 2
Ketawa dan Menangis Gaya Dokter Indonesia

Penyusun/Penanggung Jawab
Judilherry Justam
Pandu Riono

Tim Artistik & Disain Kartun


Nunik Iswardhani
Johannes Jouns (Kartunis)

Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta


Lingkup Hak Cipta
Pasal 1
Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis
berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan
dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pidana
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran
hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1)
huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak
ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama
3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp500.000.000,O0 (lima ratus juta rupiah).

ii Mau Dibawa Kemana IDI-2?


(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin
Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak
ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat
(l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan
Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama
4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1O (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).

Mau Dibawa Kemana IDI-2? iii


iv Mau Dibawa Kemana IDI-2?
PENGANTAR PENYUSUN
Adakah organisasi yang sempurna? Tidak. Adakah organisasi
yang tidak berubah, tidak berusaha memperbaiki diri dan
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi di tempatnya berada?
Juga tidak ada. Organisasi sebesar IDI pun harus dapat menilai diri,
siap berubah, berkembang, dan memperbaiki diri menyesuaikan
dengan kebutuhan negara, bangsa, dan para anggotanya serta
masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya. Lalu apakah yang
dapat dijadikan pedoman untuk perubahan itu? Apakah IDI
mengenali masalah yang sedang dihadapi? Seharusnya ada upaya
audit internal menilai kemajuan organisasi, mengenali masalah
yang ada dalam mencapai visi dan misinya. Jangan-jangan IDI
sedang dalam masa krisis untuk mengenali dirinya dan kehilangan
kiblat arah tujuan menuju visi dan misinya.
Pernahkah IDI menilai diri melakukan audit internal
menjalankan siklus jaga mutu? Benarkah IDI mengenali
permasalahan yang dihadapi, menerapkan upaya perbaikan,
mengevaluasi hasil perbaikannya, dan memonitor tindak lanjutnya?
Paling kurang, pedoman yang dapat dipakai adalah hasil audit
internal itu, antara lain kritik yang dilakukan anggota pengurus dan
audit eksternal dari anggota IDI di luar kepengurusan atau dari
masyarakat umum yang peduli. Coba tengok pandangan dari
seorang anggota Dewan Pakar PB-IDI dalam presentasinya pada
Webinar pra-Muktamar Banda Aceh yang diselenggarakan bulan
Januari lalu. Beliau secara terbuka menyampaikan di hadapan
forum PB-IDI, IDI Wilayah, IDI Cabang dan Perhimpunan Dokter
Pelayanan Primer/Spesialis/Seminat bahwa saat ini IDI dalam
keadaan kritis dan yang dibutuhkan IDI saat ini adalah pemimpin
yang mewakafkan dirinya untuk IDI, tidak memiliki kepentingan
lain apapun (maksudnya tentu bukan mementingkan kepentingan
pribadi atau kelompok). Tidak kurang juga Prof. F.A. Moeloek,
mantan Menteri Kesehatan dan Ketua Umum PB-IDI periode 2003-

Mau Dibawa Kemana IDI-2? v


2006, menyampaikan keprihatinannya melalui e-mail yang
ditujukan pada Dr. Judilherry Justam beberapa waktu yang lalu
“Saya malu……….tata organisasi, organisasi profesi dibuat seperti
partai politik……inilah kesalahan konsep fikir mereka yang duduk
di PB sekarang yang keliru …..silahkan sampaikan statement saya
ini kepada yang lain.” Pendek kata semua kritik yang membangun
harus kita sikapi secara bijaksana jauh dari sikap reaktif untuk
kebaikan bersama. Naskah komikal ini berupa kritik yang ingin
membangun atas dasar kepedulian yang perlu disikapi secara positf.
Komik parodi ini merupakan refleksi wajah kita semua
anggota IDI agar dapat melihat semua yang telah terjadi secara
jelas mana yang benar dan mana yang keliru. Sajiannya yang
komikal hanya untuk mempermudah pemahaman bagi pembaca
yang tidak banyak waktu untuk memahami narasi rinci, panjang
dan lebar. Sekalipun semua data disajikan secara cermat dan faktual
jauh dari pelintiran apalagi fitnah, sudah barang pasti ada
kekurangannya. Untuk itu para penyusun mohon maaf yang
sebesar-besarnya. Jika ada individu tergambarkan dalam komik ini,
sama sekali bukan untuk mendikreditkan yang bersangkutan, akan
tetapi untuk mempermudah memahami masalah yang telah
terjadi. Sekali lagi perlu ditekankan di sini bahwa parodi ini bukan
bertujuan untuk mepermalukan siapa pun tetapi untuk
menyadarkan kita semua agar dapat segera mengembalikan
keluhuran IDI kita tercinta.
Sudah waktunya semua peristiwa yang menyangkut maslahat
IDI dan jajarannya dibuka disajikan secara transparan agar setiap
anggota IDI dapat memetik pelajaran dari semua yang telah terjadi.
Ada pelajaran baik yang patut dikembangkan dan sebaliknya ada
kenyataan pahit yang harus kita sikapi bersama secara positif.
Tujuan utama naskah komikal ini semata-mata untuk meningkatkan
marwah IDI. Kita semua tentu ingin agar IDI kembali ke khitahnya
sebagai organisasi terpandang yang penuh semangat membangun
negara dan mensejahterakan anggotanya serta melayani
masyarakat sebaik mungkin.
Menarik kalau disimak beberapa endorsemen dari dokter-
dokter kita yang pernah bekerja atau masih bekerja di luar negeri.

vi Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Jelas terlihat bahwa ada anomali pengelolaan organisasi IDI. Tidak
ada negara lain yang mewajibkan dokter menjadi anggota
organisasi setempat. Tidak ada juga yang mewajibkan dokter perlu
meminta rekomendasi dari organisasi profesi untuk memperoleh
izin praktek. Tidak ada juga organisasi profesi dokter punya wakil
di Medical Council atapun Medical Board. Tidak ada juga negara
lain yang menempatkan kolegium (college) atau Perhimpunan
Dokter Spesialis sebagai sub-ordinate dari organisasi profesi. Tidak
ada juga organisasi profesi yang menyelenggarakan CPD/CME tanpa
ada akreditasi dan atau pengawasan dari Medical Council atau
Medical Board. Sampai kapan kondisi profesi kedokteran di negeri
kita dibiarkan seperti itu? Kemudian bagi mereka yang sering
mengeluhkan bahwa pendidikan untuk menjadi SpKKLP terlalu
lama sampai 8 atau 9 tahun, bisa membaca endorsemen dari dokte-
dokter dari berbagai negara bahwa pendidikan untuk menjadi
family physician/general practitioner/huisart membutuhkan waktu
antara 9-10 tahun, bahkan kalau di Amerika Serikat untuk menjadi
Family Physician bisa makan waktu 11-12 tahun.
Tentu saja naskah ini berupa audit eksternal sebagai salah
satu cara atau pemicu dan pemacu untuk mencapai tujuan luhur
IDI itu dengan mengembalikan IDI ke khitahnya, berpartisipasi
secara proporsional untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dokter, dan menjaga serta meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan. Naskah ini bukan ingin menuduh bahwa IDI telah
terpuruk atau salah arah melainkan mencegah jangan sampai IDI
menjauh dari visi dan misi luhurnya. Semoga dapat menjadi
kenyataan sebagaimana yang diharapkan anggota Dewan Pakar PB-
IDI di atas bahwa IDI memerlukan transformasi yang mendasar
untuk lahirnya IDI baru (IDI REBORN).

Jakarta, 15 Maret 2022

Dr. dr. Judilherry Justam, MM, ME


Dr. Pandu Riono, MPH, PhD

Mau Dibawa Kemana IDI-2? vii


viii Mau Dibawa Kemana IDI-2?
DAFTAR ISI
Pengantar Penyusun ............................................................. v
Tata Kelola Organisasi Profesi ............................................... 1
Wewenang Organisasi Profesi .............................................. 21
Retaker – UKDI – UKMPPD ................................................... 29
Dokter Layanan Primer/Spesialis Kedokteran Keluarga
Layanan Primer ..................................................................... 45
Kolegium Kedokteran ........................................................... 55
Konsil Kedokteran Indonesia ................................................ 65
RUU Pendidikan Dokter Usulan IDI Yang Diajukan Oleh
Fraksi Nasdem sebagai inisiatif DPR ..................................... 73
Simpulan ............................................................................... 89
Endorsemen .......................................................................... 91

Mau Dibawa Kemana IDI-2? ix


Mau Dibawa Kemana IDI-2?
TATA KELOLA ORGANISASI PROFESI
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) didirikan pada tanggal 24
Oktober 1950 dengan Ketua Umumnya yang pertama adalah Dr.
Sarwono Prawirohardjo. Pada awalnya Muktamar IDI
diselenggarakan setiap 2 (dua) tahun sekali, tetapi sejak tahun
1990-an Muktamar diselenggarakan setiap 3 (tiga) tahun. Dalam
setiap Muktamar dapat dilakukan perubahan AD/ART (Anggaran
Dasar/Anggaran Rumah Tangga) sesuai dengan kebutuhan
organisasi saat Muktamar diselenggarakan. Khususnya dalam
beberapa kali Muktamar IDI tahun 2000-an telah disesuaikan
struktur organisasi IDI dengan kebutuhan organisasi profesi
kedokteran dengan membentuk struktur kepemimpinan IDI yang
terdiri dari 4 (empat) unsur yaitu Pengurus Besar Ikatan Dokter
Indonesia (PB-IDI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia
(MKKI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis
Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK).
Dalam ART IDI tahun 2003 Pasal 26 huruf (a) disebutkan
bahwa: “Personalia MPP (Majelis Pimpinan Pusat) terdiri dari Ketua
Umum PB-IDI dan Ketua-Ketua Majelis, yaitu Ketua MKKI, Ketua
MKEK dan Ketua MPPK, yang secara bersama-sama membentuk
dan melaksanakan Kepemimpinan Kolektif”; Tetapi dalam Anggaran
Dasar (AD) IDI Tahun 2019 mengenai struktur kepemimpinan tidak
terdapat atau tidak disebut lagi pasal/ayat yang menyebutkan
adanya kepemimpinan kolektif antara Ketua Umum PB-IDI, Ketua
MKKI, MKEK dan Ketua MPPK. Dan keberadaan lembaga MPP
(Majelis Pimpinan Pusat) juga dihilangkan. Dalam ART IDI tahun
2003 Pasal 25 huruf (a) disebutkan “Musyawarah Pimpinan Pusat
(MPP) adalah instansi kepemimpinan tertinggi organisasi”,
sedangkan di dalam ART IDI Tahun 2015 Pasal 18 angka (1) huruf
(a) ketentuan ini telah berubah menjadi: “Pengurus Besar adalah
struktur kepemimpinan tertinggi organisasi.”

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 1


Pasal 53 ayat (1) dan Pasal 54 ayat 2 UU No. 17 Tahun 2013
mengamanatkan perlunya pengawas internal bagi setiap organisasi
kemasyarakatan. Sidang komisi organisasi Muktamar IDI tahun 2012
dan 2015 telah berhasil memutuskan dibentuknya Dewan
Pengawas bagi pengurus IDI. Namun, keputusan komisi organisasi
itu dalam dua kali Muktamar tersebut dimentahkan dalam sidang
paripurna Muktamar. Terkesan bahwa memang Pengurus IDI tidak
menginginkan adanya badan yang mengawasi organisasi, walaupun
ketentuan ini merupakan amanat UU a quo.
AD/ART IDI tahun 2018 mensiasati ketentuan UU a quo
dengan membuat ketentuan bahwa Dewan Pertimbangan PB-IDI
juga menjalankan fungsi pengawasan internal oganisasi (Pasal 14
huruf i Anggaran Dasar), tetapi Pasal 14 huruf h menyebutkan
bahwa Dewan Pertimbangan dibentuk oleh PB-IDI. Pertanyaannya
adalah bagaimana mungkin suatu badan yang dibentuk oleh PB-
IDI dapat melakukan pengawasan yang efektif terhadap badan yang
membentuknya?
Untuk dapat menyelenggarakan fungsi pengawasan secara
efektif, Dewan/Badan Pengawas itu seharusnya dipilih dalam forum
Muktamar sehingga posisinya sejajar dengan PB-IDI. “Adik”
organisasi IDI saja yaitu PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia)
sudah memiliki struktur pengawas dalam organisasinya yang
disebut sebagai Dewan Pengawas. Pengurus Pusat PDGI dan Dewan
Pengawasnya sama-sama dipilih dalam Kongres PDGI. Apakah PDGI
lebih “dewasa” dari IDI? Bisa kita nilai sendiri.
Pada tanggal 18 Agustus 2020 telah diterbitkan SKB (Surat
Keputusan Bersama) antara PB-IDI dan KDI (Kolegium Dokter
Indonesia) tentang Implementasi Modul Pembelajaran Untuk
Resertifikasi Kompetensi Dokter Umum pada 18 Agustus 2020 yang
intinya menyebutkan bahwa untuk mendapatkan resertifikasi
seorang dokter harus mengikuti Modul Dasar Penguatan
Kompetensi Dokter Umum Pada Layanan Kesehatan Primer yang
telah dibuat KDI bersama PDUI dengan minimal harus memiliki
minimal 20 SKP. Untuk mengikuti Modul Pembelajaran tersebut
setiap dokter harus mendaftarkan dirinya pada Cabang atau
Komisariat PDUI.

2 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Dengan adanya ketentuan ART IDI pasal 24 ayat f dan g
tentang “Satu Perhimpunan Satu Kolegium”, dan sebagai akibat
dari SKB PB-IDI dan KDI ini, setiap dokter “dipaksa” untuk menjadi
anggota PDUI, yang mana hal ini tentunya melanggar hak asasi
dan hak kebebasan untuk berserikat yang dijamin oleh konstitusi.
Berbeda dengan IDI, karena ada ketentuan pasal 1 angka 12 UU
No. 29 tahun 2004, yang menyebutkan bahwa Organisasi Profesi
Kedokteran itu adalah IDI. Tetapi tidak ada satupun ketentuan
hukum perundang-undangan yang menyebutkan bahwa
Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI) itu adalah satu-
satunya organisasi untuk dokter (umum), dan dengan demikian
tidak berhak untuk memaksakan agar dokter (umum) menjadi
anggota PDUI.
PDKI (Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia) adalah
organisasi dokter layanan primer pertama yang didirikan di
lingkungan PB-IDI. Sejak tahun 1989, atas perkenan Ketua Umum
PB-IDI waktu itu, Prof. Dr. Azrul Azwar (alm.), diberikanlah salah
satu ruangan di Gedung IDI untuk digunakan sebagai kantor
sekretariat PDKI. Pada awal tahun 2012, dalam masa kepemimpinan
Dr. Priyo Sidipratomo, dilakukan renovasi Gedung IDI. Untuk itu
seluruh organisasi dalam lingkungan IDI yang berkantor di Gedung
IDI diminta untuk sementara meninggalkan kantornya masing-
masing. Namun ketika renovasi gedung selesai yang bertepatan
dengan awal kepengurusan PB-IDI yang baru pada awal 2013,
semua organisasi yang sebelumnya berkantor di Gedung IDI
diizinkan kembali menempati salah satu ruangan pasca renovasi,
kecuali PDKI. Bahkan ada organisasi yang sebelumnya tidak
berkantor di Gedung IDI, diberikan fasilitas ruangan tersendiri,
seperti PDUI.
Ketika dipertanyakan pada Ketua Umum PB-IDI yang baru
dijawab bahwa “Tidak ada tempat lagi untuk PDKI, semua ruangan
sudah tertata dan telah ditempati oleh masing-masing institusi yang
sudah diatur oleh PB-IDI periode yang lalu.” Namun ketika kemudian
dikonfirmasi pada Dr. Slamet Budiarto Sekjen PB-IDI periode lalu
ternyata dikatakan bahwa “Kami tidak pernah mengatur susunan
ruangan bagian belakang gedung IDI seperti yang ditentukan saat ini.”

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 3


Tetap saja PB-IDI bergeming tanpa memberikan solusi. Sekjen
PB-IDI hanya minta kesabaran PDKI, nanti akan dicarikan solusinya.
Setelah hampir 3 (tahun) tanpa adanya solusi, terpaksalah Ketua
PDKI, Dr. Judilherry Justam, mengubungi Pengacara Dr. Firman
Wijaya, SH. untuk mewakili PDKI mengajukan somasi pada PB-IDI.
Untuk diketahui saja Firman Wijaya bukanlah pengacara ecek-
ecek, beliau pernah membela sejumlah tokoh beken seperti Anas
Urbaningrum, Setya Novanto, dll. Dengan adanya somasi dan
pertemuan dengan Tim Kuasa Hukum, barulah PB-IDI bersedia
menyerahkan sebagian ruangan untuk dapat digunakan sebagai
ruangan sekretariat PDKI berbagi tempat dengan YP-IDI (Yayasan
Penerbit IDI). Apakah cara seperti ini yang selalu harus dilakukan
untuk menuntut keadilan? Ternyata PB-IDI hanya mengenal bahasa
hukum. Ketika sesudahnya bertemu Sekjen PB-IDI, Dr. Daeng M.
Faqih, mengatakan “Bang Judil, sebetulnya kami sudah berencana
menyediakan ruangan bagi PDKI. Tapi bang Judil sudah keburu
menyampaikan somasi.” Pintar ngeles rupanya.
Dr. Judilherry Justam adalah salah seorang pemohon judicial
review tentang UU No. 29 Tahun 2004 dan UU No. 20 Tahun 2013
pada tahun 2017. Karena pengajuan judicial review ini dianggap
dapat mencemarkan organisasi IDI, maka beberapa jam sebelum
berlangsungnya Muktamar IDI di Samarinda tahun 2018, Dr.
Judilherry Justam “diadili” oleh sebuah Tim PB-IDI yang dipimpin
oleh Prof. Errol Hutagalung, Ketua Dewan Pertimbangan PB-IDI.
Beliau mengatakan akan mengusulkan ke PB-IDI untuk pemberian
sanksi ringan pada semua dokter yang mengajukan permohonan
judicial review tersebut.
Dr. Judilherry menanggapinya dengan mengatakan bahwa
mengajukan judicial review adalah hak warga negara yang
dilindungi undang-undang. Undang-undang adalah produk
bersama Presiden dan DPR, apakah kalau ada warga negara yang
mengajukan permohonan judicial review terhadap suatu undang-
undang dapat dianggap mencemarkan nama Presiden atau DPR?
Tentunya tidak. Apapun sanksi yang dijatuhkan oleh PB-IDI, akan
kami tolak, dan bukan tidak mungkin kami akan mengajukan
gugatan pidana maupun perdata, ujar Dr. Judilherry Justam.

4 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Sekitar 2 (dua) jam setelah “pengadilan” terhadap Dr.
Judilherry, dalam pidato pembukaan Muktamar, Ketua Umum PB-
IDI Prof. Ilham Oetama Marsis, mengecam upaya judicial review
tersebut dan mengatakan “Bila tidak ada Prof. Sjamsuhidajat, yang
merupakan guru saya, sebagai salah seorang pemohon judicial
review, saya akan sikat para separator ini”. Nampaknya beliau
mengabaikan bahwa masih ada dokter lain yang lebih senior dari
Prof. Marsis yang seyogianya harus dihormati juga (bukan justru
mau disikat) menjadi pemohon judicial review tersebut seperti Prof.
Dr. Soenarto Sastrowiyoto, Prof. Teguh Ranakusuma, Prof. Endang
Basuki, Dr. dr. Setyawati Budiningsih (almh.), Dr. Tom Suryadi dan
lain-lain.
Satu lagi keganjilan atau kesewenang-wenangan terjadi
dalam Muktamar IDI Samarinda. Ketika Dr. Judilherry Justam
sebagai peserta Muktamar ingin bicara dalam sidang Komisi
Organisasi, ada peserta berteriak untuk melarang Dr. Judilerry
berbicara dengan mengatakan bahwa sebagai pemohon Judicial
Review Dr. Judilherry dianggap telah mencemarkan nama
organisasi, jadi tidak boleh bicara dalam sidang. Pendapat ini
didukung oleh 2 atau 3 orang peserta yang lain. Berdasarkan hal
itu, Ketua Sidang Komisi langsung saja menyetujuinya dan
mengetokkan palu sidang. Satu bentuk kesewenang-wenangan
Ketua Sidang Komisi, karena tidak ada ketentuan dalam tata tertib
Muktamar, bahwa peserta Muktamar begitu saja bisa dihilangkan
haknya untuk berbicara.
Terdapat nota kesefahaman antara KKI periode lalu dengan
PB-IDI tentang Integrasi Data KKI melalui Portal MKKI/Pusdalin
(Pusat Data dan Informasi) IDI. Setiap kolegium diharuskan meng-
input data Sertifikat Kompetensi dokternya masing-masing ke Portal
MKKI/Pusdalin IDI yang menjadi satu jaringan sistem informasi
dengan KKI, sehingga KKI kemudian dapat menerbitkan STR (Surat
Tanda Registrasi) bagi dokter yang bersangkutan. Dalam prakteknya,
sebuah kolegium baru yang ingin meng-input data Sertifikat
Kompetensi dokter spesialisnya ke Portal MKKI/Pusdalin IDI
terhambat. Portal MKKI/Pusdalin IDI tidak memberikan akses agar
data Serkom tersebut dapat di-input. Padahal data Serkom tersebut

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 5


sudah siap untuk di-input sejak beberapa bulan sebelumnya. Ketika
hal ini dipertanyakan pada Penanggung Jawab Portal MKKI/Pusdalin
IDI dijawab bahwa putusan untuk membuka akses meng-input data
itu ada pada Ketua Umum PB-IDI. Ketika hal ini ditanyakan pada
Ketum PB-IDI, sama sekali tidak ada jawaban. Banyak dokter yang
telah memiliki Serkom menjadi khawatir karena STR mereka segera
akan berakhir, yang selanjutnya berakibat tidak bisa mempepanjang
izin praktek.
Hal ini dipertanyakan pada Ketua KKI, karena tidak ada
ketentuan hukum perundang-undangan yang menyatakan bahwa
Sertifikat Kompetensi harus melalui integrasi data KKI dan IDI dulu
untuk dapat memperoleh STR. Ketentuan UU No. 29 Tahun 2004
hanya menyatakan bahwa syarat untuk memperoleh STR itu adalah
bila dokter sudah memiliki Serkom. Karena setelah cukup lama
menunggu tidak ada tanggapan Ketum PB-IDI untuk membuka
akses ke Portal MKKI/Pusdalin IDI, akhirnya KKI membuka akses
langsung ke KKI tanpa harus melalui Portal MKKI/Pusdalin IDI,
sehingga sekitar 600-an dokter yang telah memiliki Serkom dapat
memperoleh STR dari KKI.
Selanjutnya dalam bulan Januari 2021 tersiar kabar
munculnya komplain dari banyak daerah karena terhambatnya
pengeluaran Sertifikat Kompetensi akibat server IDI sedang
bermasalah. Pada hal banyak dari anggota IDI yang izin prakteknya
(SIP) sudah akan habis masa berlakunya. Untuk itu dibutuhkan STR
dari KKI, tetapi karena Serkom belum ada maka STR tidak bisa
diterbitkan. Seharusnyalah, bila sistem yang bermasalah,
lakukanlah penerbitan Serkom secara manual. Dari kedua kasus di
atas, jelaslah bahwa hal yang seharusnya mudah dipersulit sendiri
oleh PB-IDI. Janganlah sampai anggota menjadi korban.

6 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Mau Dibawa Kemana IDI-2? 7
8 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 9
10 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 11
12 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 13
14 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 15
16 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 17
18 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 19
20 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
WEWENANG ORGANISASI PROFESI
Sejalan dengan reformasi 1998, muncul semangat untuk
memberdayakan masyarakat madani (civil society), karena selama
32 tahun bangsa kita terkungkung dalam sistem politik yang sangat
sentralistik. Sejak tahun 2000, berbagai pemangku kepentingan
telah mulai membahas perlunya Undang-Undang yang memisahkan
kewenangan Kementerian Kesehatan sebagai regulator sekaligus
sebagai badan pemerintah yang mengurus pelayanan kesehatan
dengan membentuk Konsil Kedokteran Indonesia yang
bertanggung-jawab “untuk melindungi masyarakat penerima jasa
pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatan
dari dokter dan dokter gigi”.
Selanjutnya Organisasi Profesi Kedokteran dan Kedokteran
Gigi diberikan pula sejumlah kewenangan yang sebagian
diantaranya sebelumnya merupakan kewenangan Kementerian
Kesehatan sepenuhnya. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga IDI tahun 2003-pun sudah disusun untuk mengantisipasi
diterbitkannya UU Praktik Kedokteran.
Khusus menyangkut organisasi profesi, UU No. 29 Tahun 2004
Tentang Pendidikan Kedokteran memberikan sejumlah
kewenangan pada organisasi profesi seperti:
1. Pasal 1 angka 12 UU No. 29 Tahun 2004 menyebutkan
“Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter
dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi.”
Ketentuan ini bermakna bahwa IDI adalah satu-satunya
organisasi profesi kedokteran untk dokter dan PDGI untuk
dokter gigi dan menegasikan keberadaan organisasi dokter
spesialis seperti PAPDI (Persatuan Ahli Penyakit Dalam), POGI
(Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia), IDAI (Ikatan
Dokter Anak Indonesia) dan lain-lain yang memiliki hak
konstitusional yang sama untuk diakui sebagai organisasi profesi

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 21


dokter. Kemudian pada dasarnya kolegiumpun adalah bentuk
organisasi profesi juga yang bergerak dalam bidang pendidikan
dan pengembangan ilmu. Demikian juga ketetapan IDI sebagai
wadah tunggal profesi juga bertentangan dengan ketentuan
pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang memberikan jaminan
pemenuhan hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat.
Kemudian bila ingin menjalankan praktik dokter, setiap dokter
perlu rekomendasi dari IDI Cabang agar dapat memperoleh SIP
(Surat Izin Praktek) dari Dinas Kesehatan setempat, maknanya
dokter yang bersangkutan haruslah menjadi anggota IDI
sebelumnya. Belum ada referensinya di negara lain, adanya
produk legislatif yang menetapkan nama organisasi profesi
kedokteran disebutkan secara eksplisit.
2. Pasal 14 ayat 1 UU No. 29 Tahun 2004 menyebutkan bahwa
keanggotaan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) terdiri dari 17
(tujuh belas) orang yang terdiri dari 7 (tujuh) orang masing-
masing dari Kolegium Kedokteran dan Kolegium Kedokteran
Gigi, dan 3 (tiga) orang unsur masyarakat. Khusus untuk
keanggotaan Kolegium Kedokteran terdiri dari wakil-wakil IDI,
Kolegium Kedokteran, AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan
Kedokteran Indonesia), ARSPI (Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan
Indonesia), Kementerian Kesehatan dan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan. Permasalahannya adalah apa
logikanya bila anggota IDI, anggota Kolegium Kedokteran,
anggota AIPKI dan anggota ARSPI yang menjadi objek dari
regulasi, sedangkan wakil IDI, Kolegium Kedokteran, AIPKI dan
ARSPI itu sendiri di KKI duduk sebagai regulator. Syukurlah
Hakim Majelis Konstitusi dapat menyadari hal ini sehingga
dalam perkara No. 10/PUU-XV/2017 memutuskan Ketua Umum
PB-IDI Prof. I. O. Marsis dicopot dari keanggotaannya sebagai
salah seorang konsilor KKI untuk menghindari timbulnya konflik
kepentingan. Dan penting juga untuk diketahui bahwa secara
umum di dunia kedokteran internasional tidak ada referensinya
organisasi profesi kedokteran (Medical Association) mempunyai
wakil di Konsil Kedokteran (Medical Council).

22 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


3. Pasal 1 angka 13 UU No. 29 Tahun 2004 menyebutkan “Kolegium
Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia
adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk
masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas untuk
mengampu cabang disiplin ilmu tersebut.” Ketentuan ini
menempatkan Kolegium Kedokteran menjadi sub-ordinat dari
organisasi profesi (IDI) yang berakibat IDI dapat mengintervensi
Kolegium Kedokteran sehingga Kolegium Kedokteran tidak
dapat mengeluarkan keputusan secara independen, misalnya
dalam hal penetapan cabang ilmu atau spesialisasi baru
kedokteran. Hal ini juga merupakan anomali karena tidak ada
juga referensinya di dunia kedokteran internasional dimana
kolegium merupakan bagian dari organisasi profesi kedokteran.
Seharusnyalah kolegium yang mengurus pendidikan secara
organisatoris terpisah dari organisasi profesi IDI yang
“domain”nya mengurus pelayanan profesi dokter, etik
kedokteran dan kesejahteraan anggotanya, sehingga bisa saling
kontrol dan dapat tercipta mekanisme check and balances.
Kemudian menurut Penjelasan Pasal 29 ayat 3c disebutkan
bahwa untuk dapat memperoleh STR (Surat Tanda Registrasi)
seorang dokter harus lebih dahulu memiliki Serfikat Kompetensi
yang dikeluarkan dari Kolegium yang dibentuk oleh IDI.
4. Pasal 28 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 menyebutkan “Setiap
dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti
pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi
berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan
lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam
rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.” Ketentuan UU ini
“diterjemahkan” IDI ke dalam AD/ART IDI dengan membentuk
BP2KB (Badan Pengembangan Pendidikan Keprofesian
Berkelanjutan) yang mempunyai fungsi membantu PB-IDI dalam
kebijakan bidang pendidikan kedokteran berkelanjutan,
penilaian dan akreditasi lembaga penyelenggaraan Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) atau secara internasional
disebut sebagai Continuous Professional Development (CPD).

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 23


Maknanya IDI adalah pihak yang bertanggung-jawab dalam
pelaksanaan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB),
kemudian memberikan akreditasi lembaga penyelenggara
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan serta melakukan
penilaian terhadap program tersebut. Permasalahannya dalam
hal ini adalah IDI bukan merupakan satuan pendidikan
kedokteran, bagaimana mungkin IDI yang menyelenggarakan
P2KB sekaligus menjadi pihak yang mengakreditasi dan
memberikan penilaiannya. Lalu pihak mana yang bisa
mengakreditasi IDI dalam penyelenggaraan P2KB ini?
Seharusnya ada pihak yang dapat mengawasi dan
mengakreditasi P2KB yang diselenggarakan oleh IDI. Menurut
Prof. Herkutanto, salah seorang konsilor KKI periode lalu yang
berasal dari unsur pemerintah, menyebutkan “Seharusnya KKI
memiliki peran sentral dalam CPD khususnya mengesahkan
Standar Pendidikan dalam CPD sebagaimana dimiliki oleh konsil
kedokteran lainnya di dunia.” KKI tidak mempunyai akses untuk
memantau kualitas program CPD (Continuous Professional
Development) yang diselenggarakan oleh IDI untuk memastikan
apakah dokter yang telah berpraktik dan memohon
perpanjangan STR (Surat Tanda Registrasi) dari KKI masih laik
dan kompeten. Selanjutnya menurut Prof. Herkutanto dalam
keterangannya di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi atas
perkara No. 10/PUU-XV/207 mengatakan “Beberapa upaya KKI
untuk memantau kualitas CPD senantiasa ditolak oleh IDI,
sehingga unit khusus untuk CPD di KKI tidak bisa berfungsi.”
5. Pasal 38 ayat (1) huruf c UU No. 29 tahun 2004 menyebutkan
bahwa untuk memperoleh izin praktek dari Dinas Kesehatan,
seorang dokter harus lebih dulu mendapatkan rekomensasi
surat izin praktek dari IDI. Maknanya tanpa rekomendasi IDI,
izin praktik tidak akan dapat diperoleh. Ketentuan ini juga
merupakan anomali di dunia kedokteran, karena belum ada
referensinya terdapat ketentuan serupa di negara-negara lain.
Praktis dengan kewenangan yang diperoleh IDI sebagaimana
tersebut di atas, IDI telah memonopoli dunia kedokteran dari hulu
sampai ke hilir. Dan dengan kedudukan IDI yang diatur dalam UU

24 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Praktik Kedokteran ini juga menjadi masalah karena menempatkan
organisasi profesi yang secara konseptual bergerak di bidang
pendidikan profesi dan pengembangan ilmu (kolegium) menjadi
satu dengan IDI yang merupakan organisasi profesi di sektor
pelayanan kesehatan dan kesejahteraan anggotanya.
Selanjutnya IDI menginisiasi RUU Pendidikan Kedokteran
melalui fraksi NASDEM dalam Badan Legislasi DPR. Dalam RUU
DIKDOK ini, IDI turut terlibat dalam pendirian atau pencabutan
izin fakultas kedokteran, Kemendikbud harus bekerja-sama dengan
IDI untuk menentukan besarnya kuota mahasiswa kedokteran, IDI
hadir dalam acara pengucapan sumpah dokter bagi dokter baru
dan lain sebagainya. Kemudian, kolegium yang dibentuk oleh IDI
berwenang untuk menyelenggarakan pendidikan dokter spesialis
dan sub-spesialis, di samping Fakultas Kedokteran, dan lain-lain.
Terdapat 70 kali penyebutan kata “kolegium”, 16 kali penyebutan
“organisasi profesi”, 16 kali penyebutan kata AIPKI dan 16 kali
penyebutan kata ARSPI dalam 69 pasal-pasal RUU DIKDOK.
Bila RUU ini disetujui sempurnalah monopoli IDI dari hulu
sampai ke hilir, termasuk dalam pendidikan dokter. Apakah hal ini
dapat dibiarkan begitu saja?

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 25


26 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 27
28 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
RETAKER – UKDI - UKMPPD
Menurut UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
setiap dokter baru bisa teregistrasi di Konsil Kedokteran Indonesia
bila sudah memperoleh Sertifikat Kompetensi dari Kolegium (yang
dibentuk oleh IDI) terlebih dahulu.
Pada awal tahun 2007 KDDKI (Kolegium Dokter dan Dokter
Keluarga Indonesia) bersama AIPKI (Asosiasi Institusi Pendidikan
Kedokteran Indonesia) dan PDKI (Perhimpunan Dokter Keluarga
Indonesia) dengan persetujuan PB-IDI, membentuk Komite
Bersama Uji Kompetensi Dokter Indonesia (KBUKDI) yang
bertanggung jawab terhadap pelaksanaan uji kompetensi dokter
lulusan fakultas kedokteran (Uji Kompetensi Dokter Indonesia) yang
dilaksanakan sejak bulan Juni tahun 2007. Peserta UKDI ini adalah
mereka yang sudah mendapat ijazah dari Perguruan Tinggi masing-
masing. Untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi para dokter baru
ini harus menempuh UKDI lebih dahulu.
UKDI berjalan lancar setidaknya sampai akhir tahun 2013.
Terdapat sekitar 45.000-an dokter yang sudah lulus UKDI dan sekitar
2500-an yang tidak lulus walaupun telah mengikuti UKDI beberapa
kali. Bahkan ada yang sudah mengikuti UKDI belasan kali, tapi tetap
saja tidak kunjung lulus. Sebenarnya ketidak lulusan 2500-an dokter
itu masih wajar secara statistik yaitu sekitar 5% dari seluruh peserta
UKDI. Peserta UKDI yang tidak kunjung lulus ini disebut sebagai
“retaker”.
Dr. Pandu Riono dipilih sebagai Ketua KDPI (nama lama KDI/
Kolegium Dokter Indonesia) berdasarkan SK PB-IDI tertanggal 22
Februari 2012. Dalam kondisi adanya protes dari para retaker, Dr.
Pandu Riono diharapkan PB-IDI bisa menyelesaikan masalah dokter
retaker ini. Ketika itu ada keinginan kuat dari sebagian pengurus
PB IDI untuk melakukan pemutihan saja, ujian hanya formalitas
tanpa dasar akademis yang kuat. Dr. Pandu dan beberapa pengurus

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 29


KDPI tidak menginginkan adanya pemutihan begitu saja, karena
memberikan sertifikat kompetensi pada dokter yang tidak
kompeten dapat membahayakan keselamatan pasien (public safety)
bila melakukan praktik kedokteran.
Tetapi tetap saja PB IDI ingin melakukan pemutihan atau
apapun namanya, dalam pengertian agar dokter retaker tersebut
dapat diberikan sertifikat kompetensi sehingga dapat berpraktik
atau bekerja di layanan kesehatan untuk memberikan layanan
kesehatan kepada pasien. Untuk memudahkan upaya pemutihan
ini, dilakukanlah retrukturisasi Kolegium Dokter Primer Indonesia
(KDPI) oleh PB-IDI dengan membubarkan KDPI yang dipimpin oleh
Dr. Pandu Riono pada bulan Oktober 2013, PB-IDI kemudian
membentuk kolegium baru yang dapat melakukan upaya
pemutihan tersebut. PB-IDI membentuk Kolegium sendiri yang
menyelenggarakan Uji Kompetensi, terpisah dari Uji Kompetesi
yang diselenggarakan KB-UKDI.
Melihat kenyataan bahwa Perguruan Tinggi asal para retaker
ini tidak mau bertanggung-jawab lagi atas retaker, maka dalam Pasal
36 UU No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidkan Kedokteran, hal ini
dikoreksi dengan menetapkan ketentuan “Untuk menyelesaikan
program profesi dokter atau dokter gigi, mahasiswa harus lulus uji
kompetensi yang bersifat nasional sebelum mengangkat sumpah
sebagai Dokter atau Dokter Gigi”.
Dengan demikian uji kompetensi dokter itu telah diganti
menjadi ujian yang berbentuk exit exam. Dengan demikian
Perguruan Tinggi – baik PTN maupun PTS - tidak bisa lagi langsung
meluluskan mahasiswa kedokteran, tanpa menempuh ujian
nasional yang diselenggarakan oleh PNUK (Panitia Nasional Uji
Kompetensi) yaitu UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa Program
Profesi Dokter). Sebelum menempuh ujian nasional, seluruh
mahasiswa perlu menyelesaikan serangkaian proses pembelajaran
dan evaluasi hasil pembelajaran di fakultas kedokteran dari
Perguruan Tinggi masing-masing.Setelah mahasiswa ini lulus
UKMPPD barulah Perguruan Tinggi bersangkutan dapat
memberikan ijazah dokter pada yang bersangkutan. Dengan
demikian bila seorang mahasiwa tetap tidak kunjung lulus,

30 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Perguruan Tinggi yang bersangkutan masih berkewajiban untuk
melakukan “reschooling” bagi mahasiswa tersebut.
Kemudian KB-UKDI juga dibekukan atau dibubarkan secara
sepihak oleh PB-IDI, tetapi AIPKI sudah mengubah KB-UKDI menjadi
Panitia Nasional Uji Kompetensi Dokter dan tetap melakukan ujian
kompetensi yang baku, dan menjadi cikal bakal Panitia Nasional
Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter yang sekarang
tetap berjalan dengan nama UKMPPD (Uji Kompetensi Mahasiswa
Program Profesi Dokter). KDPI/PB-IDI tetap melaksanakan Uji
Kompetensi Dokter Indonesia tersendiri yang terpisah dari
UKMPPD. Ketentuan baru UU No. 20 tahun 2013 tentang
Pendidikan Kedokteran yang menyangkut Uji Kompetensi ini tidak
diterima oleh PB-IDI, mungkin karena merasa kewenangannya
untuk melakukan Uji Kompetensi tersendiri dikurangi.
Pada awal Januari 2014 ketika UKMPPD mulai dilaksanakan
oleh PNUK (Panitia Nasional Uji Kompetensi), IDI tetap saja masih
melaksanakan UKDI-nya sendiri secara terpisah. Hal ini dimungkinkan
karena kewenangan untuk memberikan Sertifikat Kompetensi dokter
berada pada Kolegium bentukan IDI (menurut Pasal 29 ayat (3) UU
No. 29 tahun 2004), maka mereka yang lulus UKMPPD diharuskan
untuk mendapatkan Sertifikat Kompetensi dari Kolegium Dokter
Indonesia sebagai syarat untuk memperoleh STR dari KKI. Namun
ternyata disamping itu KDI tetap saja mewajibkan mereka yang sudah
lulus UKMPPD untuk mengikuti lagi UKDI versi IDI/KDI sebagai syarat
untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi.
Terdapat perbedaan kualitas dan kuantitas soal uji
kompetensi yang diselenggarakan oleh Panitia Nasional Uji
Kompetensi (PNUK) bila dibandingkan dengan UKDI versi IDI. Uji
Kompetensi yang diselenggarakan PNUK (UKMPPD) terdiri dari 200
soal CBT (Computer Based Test) dan OSCE (Objective Structured
Clinical Examination). OSCE merupakan metode evaluasi
ketrampilan klinik terintegrasi dan berbasis simulasi bagi
mahasiswa, yang menggambarkan penerapan berbagai
kemampuan mahasiswa dalam kondisi klinis tersimulasi. Di pihak
lain soal-soal UKDI versi IDI hanya terdiri dari 100 soal CBT, tanpa
OSCE. Belum lagi kalau kita membandingkan proses pembuatan

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 31


soal UKMPPD yang melibatkan staf pengajar banyak Fakultas
Kedokteran secara institusional. Selain itu proses uji coba soal
secara rutin untuk menilai validitas dan reliabilitas serta tingkat
kesulitas soal dalam penyusunan soal-soal UKMPPD. Sedangkan
pada UKDI versi IDI disusun hanya oleh sejumlah individu dokter
yang tidak jelas kualifikasinya dan diragukan apakah ada melibatkan
Fakultas Kedokteran secara institusional. Dengan demikian
mengikuti uji kompetensi versi IDI/KDPI yang sub-standar akan
berpotensi menghasilkan dokter yang sub-standar pula.
Dalam semester I tahun 2014, masih terdapat lulusan dokter
yang sudah mempunyai ijazah dari Perguruan Tinggi asalnya yang
tetap mengikuti UKDI versi KDI(KDPI)/IDI, walaupun UKMPPD sudah
diberlakukan. Di pihak lain pemerintah dan AIPKI (Asosiasi Institusi
Pendidikan Kedokteran Indonesia) sudah mulai menyelenggarakan
UKMPPD. Untuk mengatasi kekisruhan ini diberlakukan masa
transisi pada tanggal 10 Juli 2014 dengan membuat kesepakatan
antara KKI, PB-IDI, KDPI, MKKI dan AIPKI yang isinya a.l. pertama,
bagi mahasiswa yang belum diwisuda sebagai dokter pertanggal 8
Juli 2014 (SK Panitia Nasional Uji Kompetensi/PNUK) mengikuti uji
kompetensi yang dilaksanakan PNUK (UKMPPD), dan kedua, Dekan
tidak diperkenankan mengeluarkan ijazah/sertifikat profesi tanpa
melalui ujian nasional yang dilakukan oleh AIPKI sampai
pelaksanaan exit exam yang dilakukan oleh PNUK (UKMPPD).
Jadi artinya jelas bahwa IDI/KDPI hanya diperkenankan
menyelenggarakan UKDI bagi mereka yang sudah lulus sebagai
dokter sebelum tanggal 8 Juli 2014 dan untuk mereka yang belum
lulus pada tanggal 8 Juli 2014 diharuskan mengikuti uji kompetensi
secara nasional (UKMPPD) yang diselenggarakan oleh Fakultas
Kedokteran/AIPKI.
Kenyataannya dalam praktek IDI/KDPI melakukan berbagai
pelanggaran sebagai contoh berikut:
a. Pada bulan November 2014, IDI/KDI membuat pengumuman
mengenai pelaksanaan Uji Kompetensi versi KDPI/IDI yang sama
sekali tidak menyebut bahwa peserta uji kompetensi adalah
bagi mereka yang lulus sebagai dokter sebelum tanggal 8 Juli
2014. Dalam pengumuman tersebut disebutkan bahwa

32 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


“Peserta Ujian Kompetensi Dokter adalah seluruh dokter
(dibuktikan dengan ijazah), WNI yang belum pernah memiliki
Sertifikat Kompetensi mulai lulusan 2007 sampai terakhir.”
b. Sebagian cukup besar lulusan UKDI versi IDI/KDPI yang
berjumlah lebih dari 500 orang diselenggarakan bulan
November 2014, ternyata baru lulus sebagai dokter sekitar
bulan Oktober 2014 (artinya telah melanggar kesepakatan
dengan KKI tanggal 10 Juli 2014 yang menentukan UKDI versi
IDI/KDPI hanya dapat dilaksanakan untuk mereka yang lulus
sebagai dokter sebelum 8 Juli 2014).
c. Sebagian besar lulusan UKDI versi IDI/KDPI bulan Maret 2015
yang berjumlah lebih dari 350 orang, ternyata baru lulus sebagai
dokter sekitar bulan Februari 2015 (artinya telah melanggar
kesepakatan dengan KKI tanggal 10 Juli 2014 yang menentukan
UKDI versi IDI/KDPI hanya dapat dilaksanakan untuk mereka
yang lulus sebagai dokter sebelum 8 Juli 2014) dan ternyata
mayoritas berasal dari sebuah Perguruan Tinggi tertentu.
Selanjutnya yang memprihatinkan juga adalah akibat dari
adanya ketentuan dari Fakultas Kedokteran yang berakreditasi
tinggi yang mempersyaratkan penerimaan pendidikan dokter
spesialis hanyalah untuk mereka yang lulus UKMPPD. Dengan
demikian lulusan dokter mengikuti Uji Kompetensi Dokter
Indonesia (UKDI) memiliki resiko berpotensi dirugikan karena tidak
dapat melanjutkan pendidikan dokter spesialis. Mengapa masih
banyak yang memilih mengikuti UKDI dari pada UKMPPD? Tentunya
mudah ditebak karena peluang lulusnya lebih tinggi bila mengikuti
UKDI ketimbang UKMPPD. Seharusnyalah Panitia Penyelenggara
UKDI terus terang memberitahu para peserta UKDI tentang resiko
bila mengikuti UKDI versi IDI/KDPI.
Dari uraian di atas jelas bahwasanya Uji Kompetensi Dokter
yang dilaksanakan oleh IDI tidak punya landasan hukum karena
telah melanggar Pasal 36 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2013 serta
ketentuan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia), disamping berpotensi
merugikan peserta UKDI dan masyarakat yang dilayani oleh
lulusannya.

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 33


Di pihak lain sejumlah Fakultas Kedokteran mensyukuri
adanya UKMPPD justru membuat mereka terpacu untuk
meningkatkan kualitas pendidikannya masing-masing, sehingga
akhirnya justru membuat peringkat akreditasinya meningkat.
Akreditasi C menjadi Akreditasi B dan Akreditasi B meningkat
menjadi Akreditasi A.
Dr. Pandu Riono mengatakan dalam sidang Mahkamah
Konstitusi (MK) atas perkara No. 10/PUU-XV/2017 bahwa beliau
dipecat sebagai Ketua KDPI karena tidak bersedia meloloskan
retaker yang sejatinya adalah dokter yang belum kompeten. Hakim
Konstitusi Suhartoyo menanggapinya dengan mengatakan bahwa
pasien tidak boleh dikorbankan akibat dokter yang tidak kompeten.
Bahkan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati menanggapinya:
“Saya jadi takut berobat ke dokter muda.”
Ternyata UKMPPD yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun
2014 sampai bulan Mei 2021 telah berhasil meluluskan dokter lebih
dari 70.000 orang dengan jumlah retaker sekitar 1500 orang atau
sekitar 2,1% peserta ujian. Kembali IDI mempersoalkan masalah
retaker ini. Terbentuk pulalah apa yang disebut Persatuan Dokter
Muda Indonesia yang meng-klaim bahwa mereka sudah lulus dari
almamaternya, tetapi ijazahnya masih ditahan. Padahal mereka ini
belum dapat ijazah dokter karena memang telah berkali-kali tidak
lulus UKMPPD.
Berjangkitnya pandemi covid-19 yang telah mengakibatkan
wafatnya lebih dari 600 orang dokter dijadikan dalih oleh PB-IDI
agar para retaker yang disebutkan berjumlah 3500 orang (bulan
Mei 2021 sudah berkurang menjadi 1500 orang) segera diluluskan
dan dimanfaatkan untuk ikut menanggulangi pandemi Covid-19.
Berbagai advokasi dilakukan PB-IDI ke Menko PMK dan
Kementerian-kementerian terkait. Menanggapi hal ini Dirjen DIKTI
Prof. Nizam mengatakan “Kami tidak mau ambil resiko meluluskan
dokter yang tidak kompeten.” Prof. Ova Emilia dari FKKMK UGM
menengarai bahwa masalah ini sudah cenderung dipolitisir.
Sebetulnya, kata beliau, setiap tahun lulusan UKMPPD itu
berjumlah sekitar 12.000 orang, sudah lebih dari cukup untuk
dilibatkan dalam penanggulangan Covid-19 dan yang pasti mereka
ini pasti sudah kompeten dalam melaksanakan praktik kedokteran.

34 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Mau Dibawa Kemana IDI-2? 35
36 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 37
38 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 39
40 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 41
42 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 43
44 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
DOKTER LAYANAN PRIMER
(SPESIALIS KEDOKTERAN KELUARGA LAYANAN PRIMER)

Negara-negara yang mengutamakan pelayanan kesehatan


primer telah terbukti mempunyai status kesehatan yang lebih baik
dibandingkan dengan negara-negara yang tidak memprioritaskan
pelayanan kesehatan primer. Untuk memperkuat layanan
kesehatan primer dibutuhkan dokter spesialis layanan primer yang
dalam prakteknya disebut sebagai dokter keluarga, dokter layanan
primer, dokter praktek umum (general practitioners), huis-art, dll.
Dan untuk menarik minat dokter untuk mengambil spesialisasi
dokter layanan primer di negara-negara yang sedang berkembang,
perlu upaya affirmatif dari pemerintah. Berbeda dengan spesialisasi
klinis, walaupun tanpa upaya affirmatif dari pemerintah sudah
cukup banyak peminatnya. Bahkan dalam banyak kasus pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah memberikan dana tubel (tugas
belajar) bagi dokter yang ingin mengambil spesialisasi-spesialisasi
tertentu.
UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran telah
diundangkan pada 6 Agustus 2013. Dalam tahun 2015, PDUI
(Perhimpunan Dokter Umum Indonesia), organisasi dalam
lingkungan IDI, mengajukan permohonan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi untuk menghapuskan pasal-pasal dan
ketentuan-ketentuan mengenai program studi (Prodi) Dokter
Layanan Primer (DLP) dan Uji Kompetensi Mahasiswa Program
Profesi Dokter (UKMPPD) dari UU No. 20 Tahun 2013.
Muktamar IDI XXIX bulan Oktober 2015 di Medan disebutkan
telah memutuskan untuk menolak Prodi DLP (Dokter Layanan
Primer). Walaupun sebetulnya tidak pernah ditemukan dokumen
yang secara eksplisit menyebutkan bahwasanya Muktamar IDI XXIX
yang menolak program studi DLP. Bahwa diakui memang ada
Keputusan Muktamar IDI XXIX yang “Menolak Pembahasan

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 45


Program Studi DLP.” Nampaknya PB-IDI menafsirkan bahwasanya
Keputusan Muktamar IDI XXIX yang menolak pembahasan program
studi DLP sebagai “Menolak Program Studi DLP”.
Pada tanggal 7 Desember 2015, Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam Amar Putusannya atas Perkara No. 122/PUU-XII/2014
menyatakan menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Putusan penolakan permohonan judicial review PDUI dari
Mahkamah Konstitusi itu diputuskan setelah Muktamar IDI
memutuskan untuk menolak program studi DLP. Seharusnyalah
dengan keluarnya Putusan MK yang menolak judicial review PDUI,
apa yang disebut sebagai putusan muktamar untuk menolak DLP
menjadi batal demi hukum. Namun IDI tetap tidak menerima
putusan Mahkamah Konstitusi a quo karena masih berpegangan
pada Putusan Muktamar IDI Tahun 2015 yang menolak Prodi DLP
dengan dalih bahwa IDI setuju dengan DLP tapi menolak prodi DLP.
Intinya bahwa yang dimaksud DLP oleh IDI sudah cukup
dilaksanakan oleh dokter umum yang sekarang sudah ada
dilengkapi dengan modul-modul pelatihan dokter layanan primer,
tetapi tidak setuju adanya prodi DLP yang berupa pendidikan “post
graduate.” Padahal jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan DLP
dalam UU No. 20 Tahun 2013 adalah program studinya.
Dalam hubungan ini Wakil Ketua Umum PB-IDI Dr. Slamet
Budiarto mengatakan bahwa putusan muktamar hanya bisa
dibatalkan oleh putusan muktamar lagi. Maknanya Putusan MK
tidak bisa membatalkan putusan Muktamar IDI. IDI selalu berdalih
tidak menolak putusan MK, IDI setuju dengan DLP tetapi menolak
Program Studi (Prodi DLP). Argumen yang aneh, karena DLP yang
dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan
Kedokteran adalah Prodi DLP. Undang-Undangnya saja diberi judul
“Tentang Pendidikan Kedokteran”. Bagaimana mungkin IDI
mengatakan tidak menolak Putusan MK yang menolak
penghapusan Prodi DLP dan UKMPPD dalam UU No. 20 tahun 2013
tentang Pendidikan Kedokteran, tetapi menolak Prodi DLP?
Berbagai upaya dilakukan oleh PB-IDI dengan membuat dan
atau mengirimkan

46 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


a. Surat PB-IDI no. 005228/PB/E.6/03/2016 tanggal 23 Maret 2016
yang ditujukan pada Direktur Jenderal Pembelajaran dan
Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan
Tinggi untuk menyampaikan bahwa Muktamar IDI menolak
segala bentuk pendidikan formal DLP.
b. Surat PB-IDI no. 006102/PB/A.3/08/2016 tanggal 23 Agustus
2016 kepada Segenap Ketua IDI Wilayah dan Ketua IDI Cabang
perihal Penolakan Terhadap Pendidikan DLP untuk menjaga
ketetapan Muktamar IDI XXIX tahun 2015.
c. Surat PB-IDI no 0061040/PB/A.3/08/2016 tanggal 25 Agustus
2016 kepada segenap Ketua Kolegium perihal penolakan
terhadap pendidikan DLP dengan alasan untuk menjaga
ketetapan Muktamar IDI XXIX tahun 2012 terkait dengan
penolakan Pendidikan DLP (Dokter Layanan Primer).
Disamping itu PB-IDI selalu berusaha menghambat sosialisasi
pelaksanaan DLP dan pembahasan RPP UU NO. 20 Tahun 2013
Tentang Pendidikan Kedokteran dengan membuat dan atau
mengirimkan:
a. Surat PB-IDI No. 005246/PB/E.6/03/2016 tanggal 28 Maret 2016
perihal Penolakan Substansi DLP dalam RPP. Disebutkan juga
jika pemerintah tetap memaksakan substansi DLP tetap menjadi
bagian dari RPP maka PB-IDI tetap menolak substansi DLP dalam
RPP tersebut.
b. Surat PB-IDI no. 006346/PB/A.3/09/2016 tanggal 28 September
2016 tentang Penolakan Program Studi DLP yang ditujukan pada
Para Ketua IDI Wilayah dan Ketua IDI Cabang.
c. Surat PB-IDI no. 006400/PB/E.1/10/2016 tanggal 7 Oktober
2016 yang ditujukan kepada Kepala BPPSDM Kesehatan
Kementerian Kesehatan yang menolak untuk menghadiri
undangan rapat pembahasan terkait DLP.
d. Surat PB-IDI No. 006434/PB/A.3/10/2016 tanggal 14 Oktober
yang ditujukan pada Segenap Ketua IDI Wilayah dan Ketua IDI
Cabang untuk melakukan advokasi kepada Pimpinan Pemda

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 47


(Gubernur, Walikota dan Bupati) terkait penolakan IDI terhadap
Program Studi DLP (Dokter Layanan Primer).
e. Surat PB-IDI No. 006465/PB/A.3/10/2016 tanggal 18 Oktober
2016 yang menginstruksikan Ketua-Ketua IDI Wilayah, Ketua-
Ketua IDI Cabang dan Ketua-Ketua Perhimpunan untuk
melakukan Aksi Damai (Unjuk Rasa) secara Nasional dalam
rangka Ulang Tahun IDI ke-66 tanggal 24 Oktober 2016 .
f. Surat Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Umum Indonesia
(PDUI) No. 096/PP-PDUI/A/X/2016 tanggal 18 Oktober 2016
kepada Ketua PDUI Cabang Se-Indonesia untuk ikut
berpartisipasi pada aksi nasional terkait terhadap penolakan
pendidikan formal dokter layanan primer pada tanggal 24
Oktober 2016.
Selanjutnya IDI menerbitkan Buku Putih “Penolakan Program
Studi DLP” pada bulan Maret 2017. Menarik mencermati pengantar
dari Ketua Tim Penyusun Buku Putih ini, Prof. A. Razak Thaha, yang
menyebutkan “PB IDI ditengarai telah ‘bermain mata’ dengan
Kemenkes dan Kemristekdikti dan dengan sengaja melanggar
amanah Muktamar yang jelas-jelas menolak Prodi DLP. Desakan-
desakan memuncak dalam bentuk suara-suara yang mengusulkan
pemakzulan Ketua Umum PB IDI.” Karena adanya ancaman
pemakzulan, Prof. I.O. Marsis Ketua Umum PB-IDI masa itu yang
awalnya terlibat dalam Pokjanas Percepatan RPP UU DIKDOK dari
Kemenkes terpaksa balik badan menentang DLP, bahkan langsung
memimpin unjuk rasa (disebut Aksi Damai) secara nasional untuk
menentang Prodi DLP.
Jelas dari uraian di atas, IDI tetap melaksanakan berbagai
upaya dan kegiatan untuk menolak program studi dokter layanan
primer (DLP) sesuai dengan Keputusan Muktamar IDI XXIX di Medan
bulan Oktober 2015, walaupun sesudahnya Mahkamah Konstitusi
atas Perkara No. 122/PUU-XII/2014 telah memutuskan untuk
menolak secara keseluruhan permohonan uji materi PDUI
(Perhimpunan Dokter Umum Indonesia) secara keseluruhan pada
bulan Desember 2015.

48 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Menurut Pasal 63 UU No. 20 Tahun 2013, Peraturan
Pelaksanaan UU ini sudah harus ditetapkan paling lambat 2 (dua)
tahun sejak UU ini diundangkan. Tetapi ternyata Kemenristekdikti
belum berhasil menetapkan Peraturan Pelaksanaan dari UU No.
20 Tahun 2013, terutama disebabkan oleh penolakan prodi DLP
oleh IDI.
Sejak awal 2016 Kemenristekdikti memulai pembahasan RPP
UU No. 20 Tahun 2013 dengan melibatkan stake holder IDI. IDI
menolak bila Prodi DLP turut dibahas dalam RPP ini. Dalam surat
PB-IDI no. 005246/PB/E.6/03/2016 tanggal 28 Maret 2016 yang
ditujukan pada Menristekdikti menyatakan bahwa (1) perwakilan
PB-IDI tidak akan terlibat dalam pembahasan khusus DLP di RPP
karena betentangan dengan hasil Muktamar IDI ke-29 dan (2) jika
pemerintah tetap memaksakan substansi DLP menjadi bagian dari
RPP maka PB-IDI tetap menolak substansi DLP dalam RPP yang akan
diterbitkan.
Akhirnya Kemenristekdikti tetap melanjutkan pembahasan
RPP UU No. 20 Tahun 2013 tanpa keterlibatan stake holder IDI,
sehingga ditetapkanlah PP No. 52 Tahun 2017 Tentang Peraturan
Pelaksanaan UU No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran
pada tanggal 28 Desember 2017. Artinya baru dapat ditetapkan
lebih dari 4 (empat) tahun setelah UU No. 20 Tahun 2013
ditetapkan.
Dalam pembahasan lanjutan di Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI) diusahakan integrasi antara Prodi DLP dan Kedokteran
Keluarga yang diajukan ke KKI oleh Kolegium Ilmu Kedokteran
Keluarga Indonesia (KIKKI) yang sudah disetujui PB-IDI.
Disepakatilah bahwa untuk program studi Spesialisasi Kedokteran
Keluarga Layanan Primer ini, kolegiumnya adalah KIKKI dan
perkumpulannya Perhimpunan Dokter Keluarga Indonesia (PDKI).
Perkonsil no. 65 Tahun 2019 Tentang Standar Pendidikan Profesi
Dokter Spesialis Kedokteran Keluarga Layanan Primer ditetapkan
oleh KKI pada tanggal 16 Oktober 2019 dengan persetujuan seluruh
stake holders utama seperti MKKI dan PB-IDI.
Dengan ditetapkannya Perkonsil No. 65 Tahun 2019, maka
sejumlah Fakultas Kedokteran berakreditasi A mulai

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 49


mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan Prodi SpKKLP. Yang
sudah disetujui saat ini adalah Prodi SpKKLP dari Fakultas
Kedokteran UI dan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan
Keperawatan UGM. Disamping itu masih ada sekitar 8 prodi SpKKLP
masih dalam pembahasan di KKI dan LAMPTKes. Dibutuhkan waktu
9 (Sembilan) tahun untuk dapat melaksanakan pendidikan pasca
sarjana Kedokteran Keluarga Layanan Primer. Namun, masih ada
sekelompok oknum2 IDI yang berupaya untuk menghambat prodi
SpKKLP dengan berbagai alasan.

50 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Mau Dibawa Kemana IDI-2? 51
52 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 53
54 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
KOLEGIUM KEDOKTERAN
Kolegium Kedokteran haruslah bersifat independen terpisah
dari organisasi profesi. Bila Kolegium merupakan bagian dari
organisasi profesi, maka terdapat peluang intervensi terhadap
Kolegium khususnya dalam bidang Pendidikan. Salah satu contohnya
adalah MKKI hanya berwenang mengusulkan cabang ilmu atau
spesialisasi baru kepada Ketua Umum PB-IDI (ART IDI Pasal 25 angka
e dan f, untuk selanjutnya diputuskan oleh Ketua Umum PB-IDI).
Berbeda dengan MKEK dan Dewan Etik Perhimpunan yang telah
memiliki putusan dengan kekuatan tetap, bersifat mengikat dan
wajib dilaksanakan oleh Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia dan
perhimpunan yang terkait”. Pertanyaannya sekarang, mengapa MKKI
hanya berwenang mengusulkan keputusannya pada PB-IDI untuk
kemudian diputuskan oleh PB-IDI, tetapi kok keputusan MKEK wajib
untuk dilaksanakan oleh PB-IDI?
Padahal Mahkamah Konstitusi dalam putusannya dalam
Perkara No. 10/PUU-XV/2017 menyebutkan “Struktur
kepemimpinan pada tingkat pusat terdiri dari: a. PB-IDI, b. MKKI, c.
MKEK dan MPPK, yang masing-masing memiliki wewenang dan
tanggung jawab sesuai tugasnya. Pengaturan mengenai kegiatan
internal organisasi yang berkaitan dengan bidang pendidikan
kedokteran menjadi tanggung-jawab Majelis Kolegium Kedokteran
Indonesia.” (halaman 304).
Jelas dari keputusan MK di atas bahwa PB-IDI, MKKI, MKEK
dan MPPK mempunyai wewenang dan tanggung jawab masing-
masing sesuai dengan tugasnya, serta ditambah penegasan bahwa
bidang pendidikan kedokteran menjadi tanggung jawab MKKI.
Status, fungsi dan wewenang kolegium (MKKI) sepenuhnya
di atur dalam AD/ART IDI yang ditetapkan dalam setiap Muktamar,
dimana Kolegium-kolegium sama sekali tidak memiliki hak suara.
Setiap rancangan perubahan AD/ART IDI diusulkan oleh PB-IDI dan

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 55


hanya cabang-cabang IDI yang memiliki hak suara dalam Muktamar.
Dengan demikian nasib kolegium/MKKI tidak ditentukan oleh
kolegium-kolegium itu sendiri tapi ditentukan oleh cabang-cabang
IDI yang memiliki hak suara.
Kemudian kalau melihat Pasal 18 ayat (2) Anggaran Dasar IDI
mengenai hirarkhi peraturan organisasi, terdapat 15 tingkat
peraturan. Yang umum pada semua organisasi kemasyrakatan
adalah hirarkhi 1 dan 2 adalah Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga. Peraturan dan Keputusan Ketua Majelis (MPPK,
MKKI dan MKEK) berada pada hirarkhi 8 dan 9, berada di bawah
Peraturan Pengurus Besar (hirarkhi 5) dan Keputusan Ketua Umum
Pengurus Besar (hirarkhi 7).
Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (3) Anggaran Dasar IDI secara
jelas disebutkan bahwa “Setiap pengambilan keputusan organisasi
IDI, wajib dan harus memperhatikan keputusan organisasi yang
lebih tinggi.” Jadi jelas dari ketentuan Anggaran Dasar IDI di atas,
Majelis-majelis (termasuk MKKI yang merupakan koordinator
kolegium-kolegium) ditempatkan sebagai sub-ordinate IDI.
Yang jelas tidak ada referensinya dalam praktek global di
seluruh dunia bahwa Kolegium Kedokteran dibentuk oleh atau
merupakan bagian dari Organisasi Profesi. Royal College of
Paediatricians berdiri terpisah dari British Medical Association,
Australian College of General Practitioners bukan merupakan
bagian dari Australian Medical Association, American Academy
of Cardiologists terpisah secara organisatoris dari American
Medical Association dan lain sebagainya.
Dengan demikian seharusnyalah ada pembagian
kewenangan, kolegium mengurus pendidikan dan organisasi profesi
mengurus etika profesi dan pelayanan kesehatan oleh dokter.
Secara organisatoris Kolegium dan Organisasi Profesi harus terpisah,
sehingga terdapat mekanisme check & balances, bisa saling kontrol.
Kolegium juga haruslah terbagi antara Kolegium Dokter
Spesialis dan Kolegium Dokter Umum.
1. Kolegium untuk dokter spesialis, tugasnya mengampu cabang
ilmu terkait. Misalnya Kolegium Penyakit Dalam untuk

56 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


mengampu ilmu penyakit dalam, Kolegium Saraf mengampu
ilmu saraf. Kepengurusan kolegium terutama terdiri dari Guru
Besar, Kepala Departemen dan Kepala Program Studi cabang
ilmu terkait
2. Kolegium untuk dokter umum
Sebetulnya tidak tepat ada istilah kolegium untuk dokter umum,
tetapi karena UU Praktik Kedokteran menyebutkan bahwa
hanyalah kolegium yang dapat menerbitkan Seritifikat
Kompetensi untuk dokter, dibentulah Kolegium Dokter
Indonesia untuk dokter umum. Dokter Umum bukan cabang
ilmu kedokteran, karena Kedokteran Umum tidak punya guru
besar, program studi dan departemen tersendiri. Kedokteran
Umum adalah batang tubuh ilmu kedokteran, dengan demikian
program studi dokter umum adalah Fakultas Kedokteran.
Dengan demikian ketika Kolegium Dokter Umum disebut
sebagai Kolegium Dokter Indonesia (KDI) didirikan
kepengurusannya haruslah terdiri dari Wakil/Pembantu Dekan
bidang Pendidikan seluruh Fakultas Kedokteran yang
berakreditasi tertinggi. Hal ini sudah terlaksana sejak awal
pendirian KDI di tahun 2000 dan periode berikutnya, tetapi
secara bertahap peranan Fakultas Kedokteran secara
institusional dikurangi dan dihilangkan sama sekali. Saat ini
peranan Fakultas Kedokteran direduksi sama sekali peranannya
dalam kolegium, sehingga KDI (Kolegium Dokter Indonesia)
hanya sekadar sebagai kolegium dari Perhimpunan Dokter
Umum Indonesia tanpa sama sekali ada keterlibatan Fakultas
Kedokteran secara institusional.
Seharusnya definisi/pengertian kelogium adalah sebagai
berikut:
1. Kolegium Dokter Spesialis dibentuk oleh pakar cabang ilmu
terkait, bersifat independen dan terakreditasi.
2. Kolegium Dokter Umum dibentuk oleh seluruh Fakultas
Kedokteran berakreditasi tertinggi, bersifat independen dan
terakreditasi.

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 57


Lebih dari itu, selama ini tidak ada pihak yang mengakreditasi
kolegium, yang seharusnya menjadi kewenangan dari KKI,
sebagaimana halnya menjadi kewenangan konsil kedokteran di luar
negeri. Tetapi dalam praktek ternyata pada masa lalu KKI
terkooptasi oleh IDI. Menurut keterangan ahli Prof. Herkutanto
dihadapan sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 10/
PUU-XV/2017, beberapa upaya KKI untuk memantau kualitas CPD
(Continuous Professional Development) senantiasa ditolak oleh IDI,
dimana seharusnya KKI bertugas mengesahkan standar CPD yang
dilakukan oleh IDI. Namun syukurlah pada masa Menteri Dr.
Terawan, posisi KKI sudah lebih baik, tidak lagi terkooptasi oleh
organisasi profesi.

58 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Mau Dibawa Kemana IDI-2? 59
60 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 61
62 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 63
64 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
KONSIL KEDOKTERAN INDONESIA
Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom,
mandiri, non-struktural, dan bersifat independen yang terdiri dari
Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi. Pasal 4 ayat 1 UU
No. 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran menyebutkan bahwa
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dibentuk “untuk melindungi
masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan
mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi”. Dengan
demikian misi yang ditugaskan ke KKI ini sejatinya sangat berat.
KKI harus menjadi regulator yang baik untuk mengawasi kinerja
OP (Organisasi Profesi) seperti IDI, PDGI, MKKI, MKKGI, Kolegium
dan berbagai asosiasi seperti AIPKI dan ARSPI, sebagai pihak yang
diregulasi. Oleh karena itu KKI harus dapat independen dari
berbagai pihak yang diawasi dan tentunya harus juga independen
dari pemerintah.
Keanggotan KKI menurut Pasal 14 ayat (1) UU No. 29 Tahun
2004 disebutkan bahwa jumlah anggota KKI 17 (tujuh belas) orang
yang mewakili Organisasi Profesi Kedokteran/Kedokteran Gigi,
Kolegium Kedokteran/Kedokteran Gigi dan Asosiasi-Asosiasi Rumah
Sakit dan Institusi Pendidikan, Pemerintah serta Tokoh Masyarakat.
Anggota Konsil Kedokteran saja ada 7 (tujuh) orang terdiri dari 2
(dua) orang wakil IDI, 1 (satu) orang wakil Kolegium, masing-masing
satu orang wakil AIPKI dan ARSPI, serta masing-masing 1 (satu)
orang wakil Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan.
Demikian juga anggota Konsil Kedokteran Gigi juga terdiri dari 7
(tujuh). Selebihnya 3 (tiga) orang wakil masyarakat.
Bagaimana posisi masing-masing unsur dalam Kolegium
Kedokteran dalam menyusun kebijakan KKI? Marilah kita lihat tabel
berikut ini.

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 65


Unsur-unsur dalam Kolegium Kedokteran Posisi masing-masing unsur
Wakil IDI – 2 (dua) orang Jelas mengikuti sikap PB-IDI
Wakil Kolegium – 1 (satu) orang Praktis mengikuti suara IDI karena Kolegium
dibentuk oleh IDI
Wakil AIPKI – 1 (satu) orang Dapat dikatakan proxy IDI
Wakil ARSPI – 1 (satu) orang Lebih mendengarkan pendapat IDI
Wakil Kemenkes – 1 (satu) orang Menjalankan tugas secara netral
Wakil Kemendikbud – 1 (satu) orang Menjalankan tugas secara netral
Catatan: Menyangkut kebijakan kedokteran dan kesehatan, posisi wakil masyarakat umumnya
netral, kecuali bila menyangkut kepentingan masyarakat banyak.

AIPKI dapat dikatakan sebagai proxy IDI antara lain didasarkan


atas adanya surat AIPKI yang ditujukan pada Dirjen Belmawa
Kemendikbudristek tertanggal 25 Juni 2018 yang menyebutkan
bahwa “karena revisi UU DIKDOK sudah masuk dalam prolegnas
2018, maka diminta agar semua pembicaraan mengenai DLP
ditunda sampai revisi UU selesai.” Sungguh tidak masuk akal
permintaan AIPKI ini. Katakanlah RUU sudah masuk Prolegnas,
tentunya draft RUU akan dibahas dulu oleh BALEG, kemudian
diajukanke rapat paripurna untuk disetujui. Kemudian pimpinan
DPR akan mengirimkan draftnya ke Presiden agar Presiden
mengirim DIM (Daftar Isian Masalah) ke DPR untuk kemudian
Komisi X akan membahasnya bersama dengan Kementerian terkait.
Dengan demikian AIPKI menghendaki selama RUU dibahas,
UU yang saat ini berlaku tidak usah dijalankan dulu. Biarkanlah
terjadi kekosongan hukum. Sungguh absurd usulan AIPKI seperti
ini. Surat AIPKI ini yang memberi kesan bahwa AIPKI merupakan
proxi-nya IDI.
Dengan komposisi keanggotaan Konsil Kedokteran seperti di
atas praktis IDI mendominasi KKI. Dalam hal terdapat perbedaan
pendapat dalam KKI yang harus diselesaikan dengan voting, suara
IDI selalu menang. Dalam sejumlah kasus berikut di bawah ini,
terkesan bahwa KKI periode yang lalu terkooptasi oleh IDI:
1. Menkes Prof. Nila Moeloek dalam sur atnya tertanggal 22
Februari 2017 meminta Ketua KKI untuk mengambil sikap
mengenai posisi Ketua PB IDI Prof. I. O. Marsis yang merangkap
jabatan sebagai anggota KKI, karena rangkap jabatan dilarang
oleh undang-undang.

66 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Jawaban Ketua KKI Prof. Bambang Supriatno tidak ada masalah
jabatan rangkap dan menyatakan juga bahwa dalam hubungan
ini juga tidak ada konflik kepentingan.
Seperti kita ketahui kemudian Putusan Mahkamah Konstitusi
atas Perkara No. 10/PUU-XV/2017 menyetujui permohonan
judicial review untuk mencopot posisi Ketua Umum PB-IDI Prof.
Marsis dari keanggotaan KKI dengan alasan adanya konflik
kepentingan antara IDI sebagai pihak yang diregulasi dan Ketua
IDI sebagai regulator di KKI.
2. KKI begitu saja menerbitkan STR setelah menerima Sertifikat
Kompetensi dari Kolegium Dokter Indonesia tanpa merasa perlu
untuk memverifikasi kelaikan Serkom yang diterbitkan,
termasuk Sertifikat Kompetensi dokter yang lulus dari UKDI versi
KDPI November 2014 dan Maret 2015 yang patut diduga telah
melanggar peraturan perundang-undangan serta ketentuan
yang ada.
3. KKI tidak pernah mengawasi atau mengontrol pelaksanaan
P2KB/CPD yang dilaksanakan oleh IDI sehingga unit CPD di KKI
tidak bisa berfungsi.
4. KKI menyurati Dirjen Belmawa Kemendikbudristek untuk
menyelesaikan RPP UU No. 12 Tahun 2013 tanpa memasukkan
DLP, sesuai dengan kemauan IDI yang menginginkan agar DLP
dikeluarkan dari pembahasan RPP UU No. 12 Tahun 2013.
Dari beberapa contoh di atas terlihat jelas adanya konflik
kepentingan posisi IDI sebagai Komisioner KKI dan IDI sebagai pihak
yang merupakan salah satu objek dari regulasi KKI. Apakah
sebetulnya konflik kepentingan itu? Konflik Kepentingan adalah
persinggungan yang terjadi antara kepentingan professional dengan
kepentingan pribadi atau kelompok ketika seseorang berada pada
posisi yang memerlukan kepercayaan.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Perkara No. 10/
PUU-XV/2017 yang menyidangkan permohonan Uji Materi UU No.
29 Tahun 2004 dari sekelompok anggota Pemerhati Pendidikan
Kedokteran dan Pelayanan Kesehatan menyebutkan “Pengisian

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 67


anggota KKI harus mempertimbangkan tugas KKI yang berpotensi
bersinggungan dengan kepentingan institusi asal anggota KKI”.
Organisasi profesi dokter, dalam hal ini IDI, merupakan objek yang
diregulasi KKI karena para dokter yang merupakan anggota IDI
merupakan objek dari regulasi. Di sisi lain sesuai dengan UU, IDI
sebagai organisasi profesi juga merupakan salah satu institusi asal
anggota KKI. Keadaan ini menimbulkan potensi konflik kepentingan
dari sisi IDI. IDI bertindak sebagai regulator dalam menjalankan
fungsi sebagai anggota KKI, pada saat yang sama juga menjadi objek
regulasi yang dibuat oleh KKI tersebut.
Dalam praktek global kita sulit menjumpai adanya asosiasi
dokter (medical association) yang menjadi anggota Konsil
Kedokteran (Medical Council). Sebagai contoh:
1. Keanggotaan General Medical Council (GMC) di Inggris
bertanggung jawab pada Ratu, dipilih secara individu dari
dokter-dokter yang terdafar di GMC.
2. Singapore Medical Council (SMC) di Singapura berada di bawah
Kemenkes terdiri dari 2 (dua) praktis medis dari setiap FK yang
terakreditasi, 12 praktisi medis yang dipilih oleh dokter yang
teregister di SMC dan 8 praktisi medis yang ditunjuk oleh
Menkes.
3. Medical Council di Selandia Baru juga berada di bawah
Kemenkes, keanggotaannya terdiri dari 13 (tiga belas) orang,
mayoritas anggota adalah dokter, selain itu terdapat beberapa
orang awam.
4. Medical Council di Canada adalah badan publik yang
independen, 50 anggota Konsil yang terdiri dari wakil regulatory
authority setiap provinsi, seorang wakil dari FK-FK, 5 orang wakil
masyarakat, 2 wakil mahasiswa S1 dan S2.
Walaupun terdapat beberapa variasi keanggotaan konsil
kedokteran dari contoh di atas, tetapi jelas sama sekali tidak ada
perwakilan organisasi profesi dokter (medical association) dalam
Konsil Kedokteran negara masing-masing. Hal ini semata-mata
untuk menghindari timbulnya potensi konflik kepentingan.

68 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Makanya menjadi sangat aneh kalau Ketua KKI Prof. Bambang
Supriatno dalam menjawab surat Menkes Prof. Nila Moeloek
mengatakan tidak ada konflik kepentingan bila Ketua Umum IDI
Prof. Marsis merangkap duduk sebagai salah seorang komisioner
KKI.

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 69


70 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 71
72 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
RUU PENDIDIKAN DOKTER USULAN IDI YANG
DIAJUKAN OLEH FRAKSI NASDEM SEBAGAI
INISIATIF DPR
UU No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran adalah
Undang-Undang yang merupakan insiatif DPR. Beberapa substansi
yang penting dalam UU ini adalah tentang Program Studi (Prodi)
Dokter Layanan Primer (DLP) dan UKMPPD (Uji Kompetensi
Mahasiswa Program Profesi Dokter).
Pada 21 Oktober 2014, PDUI (Perhimpunan Dokter Umum
Indonesia) mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK) untuk menghapuskan DLP dan UKMPPD dari UU
No. 20 Tahun 2013. Dan sementara itu Muktamar IDI Medan bulan
Oktober 2015 disebutkan telah memutuskan untuk menolak
program studi DLP. Kemudian MK dalam putusannya tanggal 5
Desember 2015 telah menolak secara keseluruhan judicial review
dari PDUI, maknanya DLP dan UKMPPD tetap sah secara
konstitusional untuk dilaksanakan.
Namun bagaimanapun juga IDI tetap menolak Prodi DLP
dengan mengadakan berbagai kegiatan seperti menghambat atau
memboikot sosialisasi DLP yang dilakukan Kemenkes dan
Kemenristekdikbud, menerbitkan buku putih IDI menolak Prodi DLP
dan menyelenggarakan unjuk rasa (demo) secara nasional untuk
menentang Program Studi DLP. IDI dan jajarannya ternyata lebih
mematuhi putusan Muktamar IDI ketimbang menta’ati putusan
MK.
Dalam pada itu pada tahun 2016, setelah gagal dalam
permohonan judicial review ke MK, IDI mulai melakukan persiapan
untuk mengajukan apa yang disebut “legislative review” dengan
mengajukan revisi UU Pendidikan Kedokteran (DIKDOK) 2013 ke
DPR tetap dengan tujuan untuk menghapuskan Prodi DLP dan
UKMPPD.

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 73


Dalam perkembangan selanjutnya ternyata IDI tidak cukup
puas untuk hanya merevisi UU DIKDOK 2013 yang awalnya
bertujuan untuk menghapus Prodi DLP dan UKMPPD, tetapi
kemudian ditambah dengan sejumlah substansi agar IDI dan
Kolegium lebih dilibatkan dalam proses pendidikan kedokteran,
bukan hanya pendidikan “under-graduate” tetapi juga pendidikan
spesialis dan sub-spesialis, sehingga untuk mengakomodasinya,
rencana semula untuk merevisi UU DIKDOK 2013 dirobah menjadi
RUU baru tentang Pendidikan Kedokteran yang kemudian diusulkan
oleh Fraksi NASDEM di Badan Legislasi (BALEG) DPR-RI. Kenapa
fraksi Nasdem? Mudah-mudahan tidak ada hubungannya dengan
status Ketua Umum PB-IDI Dr. Daeng M. Faqih yang pada pemilu
tahun 2014 menjadi Caleg NASDEM. Pada saat itu (2014) Dr. Daeng
M. Faqih menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PB-IDI.
RUU Pendidikan Kedokteran (DIKDOK) berhasil masuk
Prolegnas 2020. RUU DIKDOK hasil Baleg disetujui oleh Pleno DPR
dan disampaikan pada Presiden untuk mengajukan DIM (Daftar Isian
Masalah), tetapi dua kementerian, Menteri Ristekdikbud dan Menteri
Kesehatan menolak untuk membahas RUU DIKDOK tersebut,
sehingga gagal untuk dibahas DPR. Kembali RUU masuk lagi dalam
Prolegnas 2021 dan berhasil disetujui kembali oleh Pleno DPR.
Setelah diajukan ke Presiden, pada tanggal 2 Desember 2021
Presiden sudah mengirimkan Surpres untuk membahas RUU DIKDOK
inisiatif DPR ini. Menaggapi Surpres ini, Baleg menyelenggarakan
Raker pada tanggal 14 Februari 2022 bersama pihak pemerintah yang
diwakili oleh Kemendikbudristek, Kemenkumham, Kemendagri dan
Kementerian Keuangan. Dalam Raker Baleg ini secara tegas Dirjen
DIKTI Prof. Nizam menolak untuk membahas RUU DIKDOK, namun
Ketua Baleg tetap menginginkan agar pemerintah mengajukan DIM
untuk membahas RUU DIKDOK tersebut.
Dalam sidang BALEG DPR tanggal 29 September 2021 perlu
dicatat beberapa pendapat dari sejumlah Fraksi mengenai RUU
DIKDOK ini. Jubir Fraksi PDI-Perjuangan, Irmadi Lubis,
mengemukakan bahwa Kolegium harus bersifat independen,
melibatkan program studi terkait dan terakreditasi. Sejalan dengan
ini Jubir Fraksi PAN, Prof. Zainudin Maliki, mengatakan “Kolegium

74 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Kedokteran harus bersifat independen dan terpisah dari organisasi
profesi.” Di pihak lain, Ketua BALEG, Suptratman Agtas
menanggapinya dengan mengatakan “MK sudah memutuskan
kolegium tidak boleh terpisah dari organisasi profesi, kita harus
ta’ati itu.”
Mengenai status IDI, Jubir Fraksi PKB Nur Nadlifah
mengungkapkan bahwa dibutuhkan organisasi profesi kedokteran
yang tidak tunggal, profesi dokter tidak seharusnya dimonopoli oleh
satu organisasi saja. Hal ini juga ditanggapi oleh Ketua Baleg yang
mengatakan “Sekali lagi saya tekankan, MK sudah memutuskan
organisasi profesi dokter hanya satu, kita harus ta’ati itu.”
Adalah aneh juga, di satu sisi Ketua Baleg mengatakan kita
harus ta’at putusan MK yang menyebutkan bahwa Kolegium tidak
boleh terpisah dari organisasi profesi dan organisasi profesi dokter
hanyalah satu organisasi, tetapi di sisi lain kok Ketua Baleg bisa
menerima RUU DIKDOK yang menghapuskan DLP dan UKMPPD,
padahal MK sudah memutuskan untuk menolak judicial review yang
ingin menghapuskan DLP dan UKMPPD.
Kemudian dalam audiensi Pemerhati Pendidikan Kedokteran
dan Pelayanan Kesehatan dengan Wakil Ketua DPR Muhaimin
Iskandar serta Ketua Komisi X Syaiful Huda pada tanggal 18 Februari
2022, bapak Muhaimin Iskandar dan bapak Syaiful Huda sepakat
agar Baleg mempertimbangkan untuk menghentikan pembahasan
RUU DIKDOK, belum ada urgensinya untuk dibahas.
Seyogianyalah kita berpedoman pada praktik global. Tidak
ada presedennya di dunia kedokteran internasional bahwa
kolegium itu merupakan bagian dari organisasi profesi (medical
association) dan demikian juga tidak ada contohnya legislasi di
negara lain yang menyebutkan nama organisasi profesi (medical
association) secara eksplisit dalam perundang-undangannya. UU
No. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran memberikan
sejumlah kewenangan pada IDI seperti ditetapkan sebagai satu-
satunya organisasi profesi kedokteran, membentuk kolegium,
menempatkan 2 (dua) orang wakil di KKI, menyelenggarakan P2KB
yang merupakan syarat untuk memperoleh kecukupan SKP (Satuan

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 75


Kredit Partisipasi) untuk memperoleh Sertifikat Kompetensi dan
memberikan rekomendasi izin praktik yang merupakan syarat
mutlak untuk memperoleh Surat Izin Praktik (SIP) dari Dinas
Kesehatan.
Praktis dengan kewenangan yang diperoleh dari UU No. 29
Tahun 2004, IDI sudah “menguasai” dunia kedokteran dari hulu
(kecuali pendidikan “undergraduate”) sampai ke hilir. Kondisi ini
sudah menjurus kearah praktek monopoli yang dilakukan NGO
(non-government organization) atau LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) sebagai organisasi swasta/privat. Tanpa rekomendasi
izin praktek dan Sertifikat Kompetensi (Serkom) yang dikeluarkan
kolegium bentukan IDI, dokter tidak akan dapat memperoleh izin
praktek. Jadi wajarlah muncul anggapan bahwa dokter lebih patuh
pada IDI ketimbang Kementerian Kesehatan.
Menurut ahli hukum tatanegara Dr. Refly Harun, SH, dalam
sistem ketatanegaraan negara demokrasi hanya lembaga negara
(state organ) yang memiliki kewenangan yang bersifat mengatur
dan memonopoli kewenangan, itupun disertai dengan mekanisme
pengawasan (check and balances). Monopoli itu seharusnya
ditangani oleh badan atau lembaga negara, bukan swasta.
Monopoli oleh badan atau lembaga pemerintah sejatinya ditujukan
untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat. Monopoli oleh
swasta hanya terjadi di negara otoriter untuk kepentingan
kelompok-kelompok bisnis di lingkaran kekuasaan, seperti dalam
masa Orde Baru.
Nah, selanjutnya sekarang dengan RUU Pendidikan
Kedokteran, IDI dan Kolegium akan lebih jauh lagi melibatkan diri
dalam pendidikan kedokteran. Bilamana RUU DIKDOK ini disetujui
menjadi sempurnalah penguasaan IDI (monopoli) dalam dunia
kedokteran mulai dari hulu (pendidikan kedokteran) sampai hilir
(profesi kedokteran dan pelayanan kesehatan).
Dalam RUU DIKDOK ini, IDI turut terlibat dalam pendirian
atau pencabutan izin fakultas kedokteran, Kemendikbud harus
bekerja-sama dengan IDI untuk menentukan besarnya kuota
mahasiswa kedokteran, IDI hadir dalam acara pengucapan sumpah
dokter bagi dokter baru dan lain sebagainya. Kemudian, kolegium

76 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


yang dibentuk oleh IDI berwenang untuk menyelenggarakan
pendidikan dokter spesialis dan sub-spesialis, di samping Fakultas
Kedokteran, dan lain-lain. Terdapat 70 kali penyebutan kata
“kolegium”, 16 kali penyebutan “organisasi profesi”, 16 kali
penyebutan kata AIPKI dan 16 kali penyebutan kata ARSPI dalam
69 pasal-pasal RUU DIKDOK.
Bandingkan dengan UU sebelumnya. Dalam UU Pendidikan
Kedokteran 2013 hanya disebutkan 8 kali kata “Organisasi Profesi”.
Pengertian Organisasi Profesi dalam UU DIKDOK Tahun 2013 ini
adalah sebagai organisasi yang kompeten dalam bidang kedokteran
dan kedokteran gigi yang diakui pemerintah. Tetapi tentunya dalam
UU yang menyangkut pendidikan kedokteran ini, Organisasi Profesi
yang dimaksud tentunya adalah Kolegium. Bukan domain IDI dalam
urusan pendidikan sebagaimana pernah disampaikan oleh sesepuh
IDI Prof. R. Sjamsuhidajat bahwa IDI tidak punya jurisdiksi dalam
bidang pendidikan kedokteran.
Dengan demikian jelaslah bahwa peran fakultas kedokteran
dan pemerintah sangat direduksi dalam penyelenggaraan
pendidikan kedokteran. Hal ini menjadi keprihatinan anggota DPR
Fraksi PDI Perjuangan Putra Nababan yang dalam Webinar “Posisi
Organisasi dan Asosiasi dalam Pendidikan Kedokteran” bulan
Oktober 2021 yang mengemukakan “Peran Kolegium dan
Organisasi Profesi harus benar-benar dibatasi. Negara harus hadir
dalam penyelenggaraan pendidikan kedokteran”. Selanjutnya beliau
mengatakan “Jika Kolegium dan Organisasi Profesi diberikan
kewenangan dalam mengatur pendidikan, maka akan berobah
menjadi organisasi yang super body. Apalagi jika kolegium masih
berada di bawah IDI.”
Ahli Hukum Tatanegara lain Prof. Yusril Ihza Mahendra dalam
webinar yang sama mengemukakan “IDI tidak boleh mencampuri
urusan pendidikan, peranannya cukup dengan memberikan
sumbangan pemikiran. Penyelenggara Pendidikan adalah fakultas
kedokteran.” Sesepuh IDI Prof. R. Sjamsuhidayat yang juga menjadi
Guru Besar paling senior di Fakultas Kedokteran UI menyatakan
“Pendidikan Kedokteran harus menunjang kepentingan nasional
jangka Panjang. IDI tidak punya jurisdiksi dalam bidang Pendidikan

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 77


Kedokteran, tugas IDI adalah untuk melindungi dokter dalam
pelaksanaan praktik kedokteran, dengan KODEKI dan penjaminan
asuransi profesi.”

78 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Mau Dibawa Kemana IDI-2? 79
80 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 81
82 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 83
84 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 85
86 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
Mau Dibawa Kemana IDI-2? 87
88 Mau Dibawa Kemana IDI-2?
SIMPULAN
1. Sepenuhnya sependapat dengan simpulan presentasi Dr. Ario
Djatmiko dalam Webinar Pra-Muktamar IDI Banda Aceh tanggal
13 Februari 2022 lalu bahwa saat ini IDI dalam keadaan krisis,
sehingga IDI memerlukan transformasi yang mendasar untuk
lahirnya IDI baru (IDI REBORN).
2. Tata Kelola organisasi IDI perlu diperbaiki, jangan pernah
menganggap IDI sebagai “self regulating body” yang tidak
berada dalam pengawasan pemerintah serta membuat
kebijakan yang bertentangan dengan Undang-undang dan
Putusan Mahkamah Konstitusi dengan alasan Putusan
Muktamar hanya bisa dibatalkan oleh Putusan Muktamar
3. Hentikanlah sikap yang berupaya mensiasati hukum dengan
mengatakan misalnya IDI tidak menolak dokter layanan primer,
tetapi yang ditolak adalah program studi dokter layanan primer
(padahal jelas MK telah menolak uji materi UU No. 20 Tahun
2013 untuk menghapuskan Prodi Layanan Primer dan UKMPPD)
dan PB-IDI membentuk Dewan Pertimbangan PB-IDI yang
mempunyai fungsi sebagai Pengawas Internal Organisasi untuk
mensiasati perlunya Pengawas Internal Organisasi sebagai
amanat UU No. 17 Tahun 2013 (bagaimana mungkin Dewan
Pertimbangan yang dibentuk oleh Ketua Umum PB-IDI dapat
mengawasi PB-IDI yang membentuknya?).
4. UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran yang telah
berusia 18 tahun perlu direvisi disesuaikan dengan dinamika
perkembangan pelayanan kesehatan dan kedokteran akhir-
akhir ini tanpa mengabaikan praktik global di dunia kedokteran.
5. Kolegium Kedokteran haruslah independen, terpisah dari
organisasi perofesi kedokteran sehingga tercipa mekanisme
check and balances, dan berada di bawah pengawasan KKI
sebagaimana juga berlaku di negara-negara lain.

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 89


6. Ketetapan IDI sebagai wadah tunggal profesi dokter
bertentangan dengan ketentuan pasal 28E ayat (3) UUD 1945
yang memberikan jaminan pemenuhan hak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. UU
Tentang Keperawatan dan UU Tentang Kebidanan serta UU
Kefarmasian yang terbit setelah UU No. 29 Tahun 2004, tidak
menyebutkan nama organisasi perawat, bidan dan ahli farmasi
secara eksplisit dalam Undang-undang masing-masing.
7. Ketentuan diperlukannya rekomendasi izin praktek dari
organisasi profesi perlu dihapuskan. Kalau ada permasalahan
etik kedokteran, cukup diinformasikan saja pada dinas
kesehatan yang menerbitkan surat izin praktek. Tidak ada
referensinya di seluruh dunia untuk mendapat izin praktek
harus terlebih dahulu memperoleh rekomendasi dari organisasi
profesi.
8. Kenggotaan KKI (Konsil Kedokteran Indonesia) tidak seharusnya
merupakan unsur dari organisasi profesi, kolegium, asosiasi
fakultas kedokteran dan asosiasi rumah sakit karena berpotensi
munculnya konflik kepentingan. Tidak tepat bila pihak yang
harus diregulasi sekaligus merangkap menjadi regulator.
9. Anggota-anggota KKI seyogianya dipilih oleh sebuah Panitia
Seleksi yang melakukan “fit and proper test” terhadap calon-
calon anggotanya sebagaimana halnya lembaga KPK, KPU,
Komisi Judisial, Ombudsman dan lain-lain.
10. Bila RUU Pendidikan Kedokteran yang diinisiasi IDI disetujui,
menjadi sempurnalah monopoli IDI terhadap dunia kedokteran
dari hulu sampai ke hilir, dari mulai pendidikan kedokteran,
penyelenggaraan pendidikan keprofesian berkelanjutan sampai
dokter memberikan pelayanan pada masyarakat.
11. Yang dibutuhkan IDI saat ini adalah pemimpin yang sudah
selesai dengan dirinya dan yang mewakafkan dirinya untuk IDI,
tidak memiliki kepentingan lain apapun baik kepentingan
pribadi maupun kelompok. Dan jangan menjadikan IDI sebagai
batu loncatan untuk menduduki jabatan tinggi dalam
pemerintahan maupun lembaga-lembaga non-departemen.

90 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


ENDORSEMEN
Endorsemen ini ditulis oleh sejumlah guru besar, mantan dekan
fakultas kedokteran, dokter-dokter senior dari dalam dan luar
negeri serta mahasiswa (termasuh Ketua BEM) dari Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Buku ini layaknya pintu bagi dokter maupun mahasiswa


kedokteran untuk melihat realita yang terjadi dalam IDI sebagai
organisasi profesi di Indonesia. Sajian fakta-fakta yang disampaikan
melalui buku ini sangat penting diketahui dokter maupun
mahasiswa kedokteran menjadi concern serta keharusan untuk
segera mengevaluasi dan merestorasi peran vital IDI sebagai
organisasi profesi (Elza Nur, Ketua BEM FKUI).

Dalam 25 tahun yang akan datang penerus kedokteran


Indonesia adalah mahasiswa yang saat ini berada di bangku
pendidikan dokter. Pengetahuan dan refleksi yang baik terhadap
apa yang terjadi saat ini dan masa lampau akan menjadi bekal
berharga untuk menentukan jalan dan arah kedokteran Indonesia
di masa depan. Sebagaimana kelebihan perlu menjadi
pembelajaran untuk ditiru dan dikembangkan, maka kekurangan
dan kesalahan juga perlu dijadikan refleksi untuk menentukan mana
yang lebih baik dan benar. Semoga mahasiswa kedokteran sebagai
penerus bisa banyak belajar, termasuk dari yang tertuang di buku
ini (Nico Gamalliel, S.Ked., Mahasiswa FKUI).

Dengan terbitnya buku ini yang disebar-luaskan secara online,


akan menyadarkan lebih banyak dokter Indonesia bahwa ada
masalah di dalam “rumah kita”. Bahwa IDI tidak dalam keadaan
baik-baik saja, dan perlu perbaikan (Prof. Dr. dr. Endang Sri
Murtiningsih Basuki. MPH, Jakarta).

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 91


Saya mengenal Dr Judil dari berita di jaman orde baru tentang
kelompok petisi 50. Keteguhan hatinya untuk memperjuangkan hal
yang beliau anggap benar, sampai harus melepaskan kariernya
sebagai PNS saya kagumi, meskipun saya tidak terlalu menyetujui
langkahnya. Saya kemudian berkenalan dengan beliau waktu saya
mengundang prof Wahyuning (yang kebetulan sahabat sekelas di
FKUI) bersama Dr Judil untuk saya dapat menanyakan tentang
judicial review yang mereka ajukan ke Mahkamah Konstitusi terkait
UU Praktek Kedokteran. Hal itu disebabkan karena saya merasa
bahwa UU Praktek Kedokteran yang kelahirannya tidak lepas dari
peran PB IDI jaman Dr Merdias dan saya (sejak 1997-2003), adalah
salah satu alat perjuangan untuk mengatur tata laksana praktek
dokter yang bermartabat. Rancangan UU tsb yang pernah macet
ketika pemerintah mengajukannya atas usulan IDI, kemudian
diambil-alih sebagai RUU inisiatif DPR, setelah dokter-dokter yang
anggota DPR dari semua fraksi di DPR diundang untuk
bersilaturahmi ke kantor PB IDI.
Dari pertemuan awal dengan Dr Judil, yang saya maksudkan
untuk “mengkoreksi” tindakan Dr Judil, justru menyadarkan saya
bahwa ada hal-hal yang perlu dikoreksi pada IDI, khususnya setelah
terjadi perubahan AD-ART IDI tahun 2003 yang disusun jaman ketua
PB IDI Dr Merdias dan saya, yang mengatur tatalaksana organisasi
yang mengantisipasi berlakunya UU Praktek Kedokteran.
Dari komik ini saya melihat bahwa kita semua, baik anggota
maupun pengurus IDI, perlu melakukan introspeksi dan menilai
diri sendiri apa-apa saja dari kita, apa-apa saja dari tatalaksana
organisasi IDI, yang perlu kita koreksi. Saya yakin semua itu karena
kecintaan Dr Judil pada organisasi dokter Indonesia. Dan tulisan
saya ini juga merupakan ungkapan rasa cinta saya pada IDI,
keinginan agar dokter-dokter yang berserikat dalam berbagai
bentuk kebhinekaan karya (ada karya yang mengurusi mutu
keilmuan : MKKI, ada karya yang mengurusi etika : MKEK, ada karya
yang mengurusi perkembangan cabang-cabang ilmu kedokteran:
MPPK, ada karya yang mengurusi kesejahteraan anggota, dll: PB-
IDI), tetap tunggal dalam mengabdi pada bangsa dan negara. Kita
berharap rumah besar IDI tetap menjadi rumah besar dimana MKKI,

92 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


MKEK, MPPK dan PB IDI bersama-sama, dalam kedudukan yang
setara, mengabdi pada bangsa dan negara, masing-masing dengan
karyanya, dan bukan dalam posisi saling subordinasi. Juga IDI selalu
bersinergi dengan pemerintah dan masyarakat dalam menjaga
ketahanan kesehatan bangsa. Saya melihat semangat itu ada dalam
komik ini. Selamat menikmati (Prof. Dr. dr. M. Ahmad Djojosugito,
SpOT(K), MHA, MBA, mantan Dirjen Pelayanan Medik Kemenkes
dan Ketua Umum IDI periode 2000-2003).
Membaca Buku komik IDI MAU DIBAWA KEMANA terasa kita
terlempar kembali ke masa dimana masalah-masalah tersebut
benar-benar terjadi. Fakta-fakta ini menunjukan betapa berat
tantangan menjadikan IDI sebagai organisasi profesi yang baik dan
profesional ke depan untuk membangun kesehatan di Tanah Air.
Tidak semua dokter dan dokter spesialis mengetahui atau
mengalami kejadian-kejadian dalam komik ini. Bahkan
Perhimpunan dan Kolegium Spesialis tampaknya tidak terganggu
dengan peristiwa yang telah terjadi. Selama masalah tersebut tidak
mengganggu pekerjaan, tidak mengganggu perijinan praktik, tidak
berarti masalah tersebut tidak mencederai profesi dokter. Profesi
dokter adalah profesi yang mulia, kita perlu berhimpuan dalam
organisasi yang melaksanakan visi dan misi yang mulia pula, yaitu
menolong dan memberikan upaya terbaik bagi pasien dan
masyarakat, membench mark dirinya secara global dan tidak melulu
menghimpun force untuk tujuan sempit. IDI sebagai rumah besar
bersama perlu mendefinisikan kembali perannya, dan
melaksanakan kegiatan untuk menunjukan kepada masyarakat
bahwa setiap individu dokter selalu berusaha menjaga kemuliaan
profesi dokter. Perlu kesadaran, kepedulian dan dorongan dari
setiap insan dokter untuk tetap menjaga agar organisasi profesi
sebagai rumah kita tetap layak menjadi rumah besar bersama.
Menceritakan kembali sebuah kejadian dalam bentuk komik,
tentu membutuhkan akurasi data, kemampuan mengungkapkan
dalam bentuk visual dan keberanian menghadapi akibat
mengungkapkan masalah ini.
Saya mengucapkan selamat atas terbitnya buku ini. Semoga
buku ini mampu membuka mata hati setiap dokter untuk

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 93


memelihara rumah besar bersama yang bersih, professional, layak
huni sehingga meraih kembali kepercayaan masyarakat (Prof. Dr. dr.
Ratna Sitompul, SpM(K), mantan Dekan Fakultas Kedokteran UI).

Sebagai narasumber pada pertemuan Advokasi RUU DikDok


2020, pada tanggal 15 Desember 2019 di Hotel Ibis Harmoni, Jakarta
Pusat, saya diminta memberikan masukan mengenai Pendidikan
Dokter dan Praktek Dokter di Amerika Serikat (yang saya alami
selama hampir 20-tahun), dan di Malaysia (yang saya alami selama
5-tahun), sebagai perbandingan dengan (yang saya alami lebih dari
20-tahun) di Tanah-Air. Di Amerika Serikat kita mengenal American
Medical Association (AMA), dan di Malaysia: Malaysian Medical
Association (MMA).
Secara garis besar visi dan misi AMA dan MMA adalah setaraf
dengan IDI. Namun, secara praktis AMA dan MMA tidak
mewajibkan dokter warga negaranya maupun dokter warga negara
asing untuk menjadi anggota. AMA dan MMA tidak terlibat dalam
Under-Gradutae, Graduate, Post-Graduate Medical Education,
maupun kolegium. Buku Komik Parodi: IDI MAU DIBAWA KEMANA
(edisi) – 2, telah menayangkan kronologi perjuangan salah satu
penulis: Dr. dr. Judilherry Justam, yang saya kenal baik sejak SMA,
dalam menegakkan reformasi dalam berdemokrasi bagi Nusa-
Bangsa, dan dalam berdemokrasi dalam berorganisasi bagi IDI.
Semoga perjuangannya dapat meningkatkan marwah IDI
sebagai organisasi yang kita banggakan bersama. Semoga buku ini
dapat diterima oleh pimpinan IDI untuk melakukan reformasi secara
holistik. Semoga pimpinan IDI (hasil Muktamar ke-31 di Aceh, 22-
25 Maret 2022) peka terhadap kebutuhan anggota generasi muda
untuk siap berhadapan dengan tantangan globalisasi, medical
tourism, industri 4.0 – 5.0. Saya menyambut baik dan mengucapkan
selamat kepada para penulis atas terbitnya buku ini yang telah
mempermudah memahami: IDI MAU DIBAWA KEMANA (edisi) – 1
(Prof. Dr. dr. Hafil Budianto Abdulgani, BA, MD, PhD, FACS, FACC,
SpB, SpBTKV(K), Jakarta).

94 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Jika tidak ada yang mengkritik anda, kemungkinan anda tidak
akan meraih sukses (Malcom X). Kritik sangat diperlukan oleh
organisasi sebesar dan sepenting IDI. Apalagi menyangkut visi, masa
depan yang hendak diwujudkannya. Bukan sekedar rumusan kata-
kata indah, tetapi kejadian-kejadian dan keputusan-keputusan yang
berlangsung dan mencerminkan kehidupan organisasi besar itu dari
hari ke hari.
Sejak lebih dari empat puluh dua tahun lalu ketika saya mulai
menjadi anggota IDI, tidak pernah terpikir kompleksitas tantangan
yang sekarang dihadapi IDI. Apakah organisasi masih disegani dan
dihormati oleh masyarakat? Tuntutan profesionalitas dokter oleh
masyarakat yang semakin menyadari hak-hak fundamentalnya
dalam layanan kesehatan, sistem jaminan kesehatan dengan posisi
payer yang kuat dalam ikut mengatur layanan oleh dokter, teknologi
dan pengetahuan kedokteran yang berkembang cepat disertai
informasi yang semakin terbuka, membutuhkan pengelolaan
organisasi IDI yang cerdas, inklusif didukung kepemimpinan yang
melayani (servant leadership). Sebagaimana dipertanyakan oleh
pencetus servant leadership (Robert Greenleaf), apakah dalam
organisasi anda kepemimpinan dianggap sebagai kesempatan
melayani orang lain, apakah pemimpin berbagi kuasa dan
pengendalian organisasi kepada yang dipimpin, apakah sukses
diukur berdasarkan pertumbuhan dan perkembangan organisasi,
dan apakah pemimpin mau mendengarkan apa yang diinginkan
anggotanya?
Komik yang ditulis oleh Dr. Judilhery Justam dan Dr. Pandu
Riono, para aktivis yang kritis, mengisahkan peristiwa-peristiwa
anekdotal yang sekaligus berupa kritik membangun. Kisah-kisah
tokoh-tokoh yang digambarkan dalam komik yang terkesan artistik
ini memicu refleksi, apakah kepemimpinan IDI dapat disebut
servant leadership, yang membawa para dokter sebagai insan yang
dicintai dan dipercaya oleh masyarakat karena kompetensi yang
tinggi, penuh pengabdian dan menonjol dalam persaingan global
sebagai tenaga profesional yang unggul dan terus-menerus
meningkatkan diri. Organisasi IDI dan seluruh pengurusnya tentu
akan memetik manfaat dari buku ini, seperti yang dikatakan oleh

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 95


Kute Blackson, jika anda tidak haus pujian dan alergi terhadap kritik,
anda akan menikmati kebebasan yang menyenangkan. Selamat
menikmati komik yang indah ini (Prof. dr. Hari Kusnanto, SU.,Dr.PH,
SpKKLP, Guru Besar FKKMK Universitas Gajah Mada).

Komik adalah media komunikasi yang mampu menyampaikan


pesan-pesan penting melalui bahasa visual dan tulisan yang
sederhana namun jitu. Dalam waktu singkat pembaca komik dapat
memahami inti masalah, bahkan pesan filosofis, hingga satire, dan
tak lupa humor. Menertawakan ironi realita dunia termasuk diri
kita sendiri.
Problematika profesi kedokteran semakin kompleks seiring
dengan merasuknya materialisme, individualisme, dan kapitalisme.
Mungkin tidak banyak para sejawat dokter yang punya waktu luang
untuk mengkaji hal tersebut melalui media yang menyebabkan
kening berkerut. Komik ini merupakan upaya trigger bagi kita semua
menerenungi riwayat profesi dokter; yang dihiasi perilaku kita
dengan warna-warna cerah maupun kelam.
Langkah pertama untuk memecahkan permasalahan profesi
kedokteran adalah keharusan para dokter mengenali wajah diri
sendiri.
Selamat atas perjuangan para Penulis yang tak kenal lelah
‘membaca’ dunia profesi kedokteran. Insya Allah jadi pelajaran
berharga semuanya (Dr. dr. Yoni Fuadah Syukriani, MSi, Sp.FM(K),
DFM., mantan Dekan FK Universitas Pajajaran).

Kita sepakat bahwa IDI adalah suatu organisasi yang besar,


paling tidak bila dilihat dari jumlah anggotanya dan sebaran
anggotanya yang meliputi seluruh wilayah Republik Indonesia.
Sebagai organisasi profesi sudah seharusnya IDI bisa selalu bersikap
dan bertindak profesional. Itu artinya IDI harus bisa menjadi suatu
learning organization.
Buku ini, dengan gayanya yang unik dan mudah dipahami,
berhasil menyajikan potret yang jelas tentang bahkan semakin
memburuk. Saya yakin masih banyak orang, internal maupun
ekstrenal IDI, yang sangat peduli dengan eksistensi dan

96 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


kelangsungan peran IDI sebagai organisasi profesi yang sama-sama
kita cintai. Kedua orang penulis buku inipun jelas memperlihatkan
kepedulian tersebut. Secara mengelitik keduanya menguraikan
tentang hal-hal yang menurut mereka perlu dibenahi.
Saya membayangkan alangkah indahnya kalau para pengurus
IDI menanggapi secara positif terbitnya buku ini, mencermati,
memahami dan kemudian mengambil hikmah dari apa yang tertulis
di dalamnya, sehingga mereka bisa mengembalikan dan bahkan
mengangkat marwah IDI sebagai oganisasi profesi yang mulia,
sesuai dengan khitahnya. Aamiin (Dr. dr. Mohammad Zulkarnain,
MMedSc, PKK, mantan Dekan Fakultas Kedokteran Uiversitas
Sriwijaya, Palembang).

Membaca komik, membuat kita menjadi yang kurang jelas


menjadi jelas, karena di pandu dengan gambar dan juga narasi yang
simple. Komik IDI MAU DIBAWA KEMANA karya seorang dokter
senior, terasa membawa kita kealam para senior ini berfikir, ada
suatu harapan terhapan organisasi IDI yang menjadi wadah penulis.
Sarat dengan kritik dan juga harapan, seolah kita di tuntun
dengan gambar dan narasi yang jelas, proses perjalanan organisasi
pada dokter ini, yang semakin menarik mau kemana arah
perjalanannya. Kadang pembaca di suguhkan tetang konflik
internal, sampai ke ranah hiruk pikuk pecat memecat, saling sodok
ke ranah hukum, tentang judicial review, seolah berhadap hadapan
dengan musuh yang sebenarnya, akan tetapi masih saudara
kandung dalam sumpah yang mereka ucapkan saat menjadi dokter.
Tapi itulah kehidupan yang mau tidak mau, kita harus hadapi,
saya yakin IDI akan menemukan jati dirinya menjadi organisasi
profesi para dokter yang makin solid. Dan kritik yang dituangkan
penulis Dr dr Judilherry Justam dan Dr Pandu Riono ini dalam
bentuk komik, adalah karya seni, tentang kritik organisasi yang juga
mereka menjadi anggotanya, membawa kita tahu lebih dalam
tentang IDI. Saya yakin begitulah proses perjalanan hidup
berorganisasi, kritik dan aoutokritik adalah rabuk organisasi agar
menjadi lebih baik.

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 97


Semoga buku ini menjadi bahan renungan bagi para generasi
pendahulu, akan jejak langkahnya, dan juga pelajaran bagi generasi
mendatang, agar yang baik digunakan dan yang kurang baik
ditinggalkan (Dr. dr. Darwito Suwito, SH, SpB (K) Onk., Yogyakarta).

Saya lulus menjadi dokter umum pada tahun 1973 dari FKUI.
Semenjak tahun 1994 sampai dengan tahun 1980 saya bekerja
sebagai dokter Puskesmas, dan tahun 1981 sampai dengan saat
ini menjadi staf pengajar di FKMUI. Selama rentang waktu 1974
sampai 2019 (sebelum masa pandemi) saya juga berprofesi dan
praktik sebagai dokter praktik umum. Saya juga pernah terlibat
dalam Health Workforce Sector (HWS) Project di Direktorat
Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI (tahun 2000 – 2005). Serta
program Penanggulangan TBC di Kemenkes RI (2000 – saat ini).
Dari kegiatan tersebut saya berkesemapatan mengunjungi 28 dari
34 propinsi di Indonesia, dan bertemu serta berdiskusi dengan
dokter-dokter yang bekerja dan berpraktik sebagai dokter umum.
Kesan dan pesan utama dari pertemuan dan diskusi dengan sejawat
di berbagai daerah tersebut, di samping pengalaman pribadi
sebagai dokter praktik umum selama kurang lebih 45 tahun,
menurut saya kompetensi dokter yang berprofesi sebagai dokter
praktik umum harus ditingkatkan, baik dalam kemampuan
diagnosis, komunikasi dengan pasien dan keluarga atau pelaku
rawatnya, serta kemampuan mengadvokasi masyarakat di bidang
kesehatan.
Sangat menggembirakan bahwa Program Studi Spesialis
Kedokteran Keluarga Layanan Primer (Sp.KKLP) saat ini sudah diakui
oleh Ikatan Dokter Indonesia, Konsil Kedokteran Indonesia,
Kementerian Kesehatan, serta Kementerian Pendidikan,
Kebudayaan, Riset dan Teknologi Republik Indonesia. Saatnya para
Spesialis Kedokteran Keluarga Layanan Primer saat ini menunjukkan
kinerja untuk masyarakat Indonesia yang lebih sehat. Selamat dan
sukses (Prof. Dr. dr. Sudijanto Kamso, SKM, Guru Besar FKM-UI).

Saya menjadi bagian dari penulis buku parodi naratif “IDI mau
dibawa ke mana? – jilid 1” yang rupanya tidak berhasil menjadi
populer apalagi membahana, gaungnya nyaris tidak terasa sama

98 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


sekali. Tetapi baiklah, kenyataannya membaca buku semacam itu
sering tidak menarik sekalipun gaya tulisannya sudah dibuat dapat
menghipnotis. Agaknya kesibukan para sejawat, yang menjadi
rundungan ataupun yang diuntungkan lebih memilih opsi “yang
penting bisa praktik” dan dapur tetap ngebul serta cicilan kredit
lancar. Dapat dimaklumi karena hidup harus terus berjalan, tanpa
menyadari apa yang sedang terjadi. Mudah-mudahan buku parodi
komikal yang ini, yang dibuat lebih menarik dan sederhana dapat
mempunyai daya tarik agar seluruh anggota untuk hijrah menjadi
anggota IDI yang peduli akan organisasinya yang sedang sakit atau
bahkan disakiti dan kesakitan.
Salah satu yang membuat saya heran dan bimbang adalah,
mengapa IDI tidak menghargai UKMPPD apalagi mendukungnya?
Yang terjadi malahan menyalahkan UKMPPD sebagai penyebab
ribuan retaker tidak kunjung lulus. Anehnya yang terbaca adalah
jumlah absolutnya yang memang “ribuan” (sebenarnya 2500-an),
padahal secara proporsional jumlah itu hanya sekitar 5% atau
bahkan kurang dari jumlah yang sudah berhasil lulus yaitu sekitar
70.000.
Parahnya jumlah absolut itu yang dikumandangkan sebagi
hasil penzoliman oleh UKMPPD. Digaungkan UKMPPD sulit dan
menyulitkan, padahal banyak penyebab ketidak-lulusan itu antara
lain proses pendidikan yang kurang kondusif. Soal ujian UKMPPD
sulit? Tentu tidak, buktinya jauh lebih banyak yang lulus daripada
yang gagal. Sebenarnya ada ujian yang lebih sulit bagi seorang
dokter yaitu ujian di lapangan karena setiap hari diuji oleh masalah
pasien dan tidak boleh salah sedikit pun. Justru UKMPPD
membantu para peserta mengukur diri apakan kiranya akan dapat
lulus dalam ujian langsung di lapangan yang tidak ada toleransi
keliru apalagi salah. Jadi UKMPPD menjamin kelamatan dirinya dan
pasiennya
Yang juga aneh lagi, IDI membela para retaker yang tentunya
belum anggota IDI dan belum menjadi kewajibannya. Lebih parah
lagi, IDI menyelenggarakan uji kompetensi sendiri (yang dapat
dipastikan substandar) untuk membantu “meloloskan” para
retaker. Sungguh memprihatinkan, sepertinya IDI yang salah satu

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 99


tugasnya ikut menjaga profesionalitas anggotanya malahan
meloloskan peserta yang belum kompeten.
Sayang sekali IDI telah keblinger. Buku parodi komikal ini
disusun untuk mengingatkan seluruh anggota IDI bahwa organisasi
ini perlu segera ditolong untuk bangkit kembali menjadi organisasi
yang berwibawa, bermartabat, kembali ke khitahnya sebagai
pengayom para anggotanya jauh dari keinginan untuk ikut-ikutan
campur dalam pendidikan dokter yang bukan ranah kridanya (Dr.
Sugito Wonodirekso, MSi, SpKKLP, mantan Dekan FK Universitas
Tanjungpura, Pontianak).

Sebuah organisasi profesi untuk dokter adalah ibarat sebuah


rumah bagi seluruh dokter. Rumah tersebut berkomitmen untuk
menjalankan hak dan kesempatan yang berimbang, mendukung
keragaman dan juga menciptakan lingkungan yang inklusif bagi
anggota dan juga pemangku kepentingan yang terkait. Organisasi
mendukung anggota dari sisi kehidupan profesinya,
memperjuangkan keadilan (fairness) dalam profesi kedokteran
termasuk yang berkaitan dengan proses legal serta menegosiasikan
remunerasi dan kondisi tempat kerja yang layak. Pertanyaannya
adalah bagaimana dengan IDI sebagai rumah seluruh dokter?
Dalam buku yang dikompilasi oleh dr Judil dan dr. Pandu adalah
refleksi panjang yang merasakan adanya pergeseran dari peran IDI.
Semoga buku ini dapat kembali mengingatkan pada kita semua
tentang maksud awal adanya IDI dan memperjuangkan sebuah
organisasi yang sesuai dengan niat pembentukannya semula.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa menjernihkan fikiran dan hati kita
semua untuk warisan pada generasi yang akan dating (Prof. dr. Ova
Emilia, M.Med.Ed., SpOG(K), Ph.D., Guru Besar FKKMK UGM).

‘’IDI Mau Dibawa Kemana?’’ Buku ini menggambarkan


adanya keruwetan dalam organisasi IDI. Gema dari keruwetan ini
terasa sampai di tingkat wilayah, membuat kami menjadi sangat
prihatin melihat kondisi ini. Dari membaca buku ini kita mendapat
gambaran betapa ruwetnya permasalahan yang mendera IDI.
Nampaknya masalah-masalah tersebut bermuara dari agak
terlupakannya tujuan dasar awal organisasi profesi kita ini yaitu

100 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


ingin mewujudkan dokter Indonesia sejahtera, professional dan
masyarakat yang sehat. Apakah kita sudah berjalan sesuai visi IDI?
Kalau belum bagaimana solusinya? Menurut hemat kami sudah
tiba saatnya kita para pihak (Kemenkes, Kemdikbudristek, KKI, IDI)
duduk bersama dengan besar hati sebagai teman sejawat untuk
mencari solusinya. Apakah IDI mesti kembali kepada tujuan dasar
awalnya? Apakah IDI perlu mengatur kembali tugas dan
kewenangan sesuai yurisdiksinya? (Prof.em. Dr. dr. Mulyanto.
mantan Dekan FK Universitas Mataram, Lombok).

Saya lulus dari FKUI tahun 1974, kemudian pindah ke Australia


tahun 1975. Saya menjalani spesialisasi “Family Medicine”, atau
lebih dikenal General Practitioner (GP). Saya menjalankan praktik
sebagai generalist GP di Dandenong dan sebagai Womens Health
GP specialist di Clayton.
Di Australia, Australian Medical Association (AMA) adalah
sebuah “Political Body” bagi dokter yang tugasnya melakukan
advokasi untuk kepentingan anggota termasuk kesejahteraan dan
kenyamanan dalam bekerja. AMA sama sekali tidak berkaitan
dengan perizinan praktik, apalagi pendidikan kedokteran. Tentu
saja dalam fungsi advokasi itu termasuk memberi masukan kepada
pemerintah untuk perbaikan sistem pendidikan kedokteran jika
dianggap perlu. Izin praktek diberikan oleh Medical Board.
Pendidikan kedokteran di Australia, untuk menjadi seorang
GP (General Practitioner adalah spesialis yang bekerja di ranah
pelayanan primer) diperlukan waktu paling kurang 9-10 tahun.
Sebagian fakultas kedokteran disini seperti Melbourne University
hanya menerima post graduate / bachelor bidang science untuk
mengikuti FK selama 3 tahun. Bagi FK yg menerima lulusan SMA
waktu kuliahnya 5 tahun. Setelah selesai FK harus internship selama
1 tahun, dan belum boleh praktik diluar Rumah sakit.
Setelah selesai internship baru memasuki specialist college
seperti misalnya mau menjadi GP akan melalui RACGP (Royal
Australian College of General Practice) selama 3 tahun. Tentunya
specialist training ini dilakukan di klinik yg di akreditasikan oleh
RACGP.

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 101


Kiranya apa yg baik dapat kita pertahankan dan apa yg kurang
baik, dapat kita perbaiki. (Celyanda Gultom, MD, anggota Royal
Australian College of General Practice, Melbourne).

Buku ini sangat penting paling tidak untuk saya karena


mengingatkan saat saya masih di sekolah dasar sering diajak ayah
saya, yang anggota IDI, mengikuti acara-acara dalam pertemuan
IDI dan IIDI. Seingat saya saat itu sama sekali tidak ada pertemuan
ilmiah yang bersifat akademis, melainkan hanya acara yang bersifat
kemasyarakatan. Memang sebenarnya IDI itu adalah “organisasi
yang mewadahi para profesional medis” untuk menjamin
kesejahteraan sosialnya. Sama sekali tidak mengurusi ranah
akademis apalagi pendidikan kedokteran.
Saat itu memang beluma ada sosok kolegium seperti yang
kita kenal sekarang sebagai “lembaga” yang bertanggung jawab
atas standar akademik dan profesi seorang dokter spesialis
sekalipun tidak berwenang melakukan pendidikannya. Katakanlah
kolegium itu menjadi bagian dari komponen penjamin mutu
internal dari sebuah institusi pendidikan dokter spesialis. Rumusan
tentang kompetensi standar yang dihasilkannya dilaksanakan
pendidikannya oleh institusi pendidikannya. Secara mudah,
kolegium menjadi pembuat resep masakan dan institusi pendidikan
menjadi juru masaknya. Karena itu kolegium harus mandiri,
terpisah dan tidak menjadi subordinat IDI.
Adalah keliru kalau kolegium menjadi subordinat IDI dan
bertanggung jawab kepada PB IDI karena IDI itu samasekali bukan
satuan pendidikan melainkan sebuah “union” yang tugas
utamanya menjamin kesejahteraan sosial anggotanya. Walaupun
demikian tetap masih dibenarkan untuk memberi masukan guna
meningkatkan mutu pendidikan sekalipun tidak melibatkan diri.
Sebagai contoh IDI memberi masukan bahwa kompetensi lulusan
perlu ditingkatkan dan atau bernegosiasi menjalin kerjasama
mutualistis dengan BPJS menyepakati tarif jasa dokter dan dokter
spesialis yang layak. Sayangnya tugas utama ini sepertinya tidak
pernah terwujud.

102 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Saya menjadi sangat prihatin akan kiprah IDI yang sekarang
yang justru menjauh dari tugas utamanya itu. Saya rindu IDI yang
santun dalam kebersamaan dan kesejawatan yang kental. Mudah-
mudahan buku parodi komikal ini dimaknai sebagi pengingat agar
IDI kembali ke khitahnya sebagai organisasi yang mewadahi dan
memberi kesejukan kepada sejawat para anggotanya (Dr. Suryono
Slamet Iman Santoso, SpOG (K), mantan Ketua Perhimpunan
Obstetri Ginekologi Indonesia/POGI).

Saya alumni FKUI, lulusan tahun 73. Saya pindah ke Amerika


thn 1995 ikut suami. Di sana Ikut pendidikan psikiatri tahun 2000
dan lulus tahun 2004 di Los Angeles. Sampai sekarang masih praktik
di sana.
Parodi komikal ini sangat bagus dan perlu menjadi pelajaran
buat kita semua untuk berubah agar dapat menjalankan tugas
masing-masing. Tidak selayaknya IDI ikut mengurusi pendidikan
dokter apalagi menentukan kebijakan pendidikan. Sebagai
perbandingan, tidak semua dokter di Amerika menjadi anggota
American Medical Associatiom (AMA) yang sama sekali tidak ikut
campur dalam pendidikan sekalipun mungkin boleh memberikan
masukan kepada penyelenggara pendidikan kedokteran guna
meningkatkan mutu lulusannya.
Di Amerika, lisensi untuk praktik diberikan oleh lembaga
mandiri yang terakreditasi dan diakui pemerintah. Tambahan lagi
CME diberikan oleh Accreditation Council for CME ( ACCME) atau
recognized state medical society (SMS) seperti Nevada Psychiatric
Association, California Medical Association etc, jadi tidak seratus
persen oleh AMA. Dari parodi komikal ini, saya sangat heran IDI
ternyata mempunyai “kekuasaan tanpa batas”, bahkan di bidang
pendidikan kedokteran sampai praktiknya. Kekuasaan seperti itu
seharusnya dihindari agar IDI dapat lebih fokus pada tugas
organisasi untuk mensejahterakan anggotanya.
Menyoal lama pendidikan untuk menjadi PCP (Primary Care
Provider) misalnya Dokter Keluarga, di Amerika diperlukan waktu
tidak kurang dari 11-12 tahun baru bisa praktik dan itu pun harus
lulus ujian lisensi yang diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 103


terakreditasi. Untuk para calon praktisi, sepanjang pendidikannya
ada tiga tahap ujian dan harus lulus, fase I (biomedis), fase II (klinis)
dan III (lisensi). Perlu diketahui bahwa Pendidikan Kedokteran di
USA dimulai dengan 4 thn bachelor sciences, lalu 4 thn Medical
School. Selesai medical school belum boleh praktek. Residensi untuk
Primary Care (Family Medicine, Internal Medicine atau Paediatrisc)
selama 3 tahun lagi. Untuk spesialis lain bisa lebih lama. Perlu
dicatat bahwa setelah lulus FK, tidak wajib jadi anggota AMA. Tidak
menjadi anggota AMA atau organisasi spesialis, tidak masalah,
karena izin praktik dikeluarkan oleh Medical Board (sebuah
Lembaga independen terakreditasi) di setiap negara bagian (state).
Sudah saatnya IDI kembali ke khitahnya guna mengembalikan
marwah IDI sebagai organisasi para profesi medis yang
mensejaterakan anggotanya yang bermuara pada keselamatan
pasien (Murni Lubis, MD, Diplomate of the American Board of
Psychiatry and Neurology, Los Angeles)

Ketika dinamika sebuah organisasi profesi dokter seperti


Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ditulis, ada pilihan apakah
menggunakan metode penulisan naratif seperti buku, ataukah
menggunakan pendekatan lainnya seperti video, dan podcast. Yang
menarik Dr. Judil dan Dr. Pandu Riono memilih pendekatan komik
untuk menggambarkan dinamika IDI sebagai sebuah organisasi
profesi. Pendekatan komik di sini (sebagai versi baru edisi ke 2
dari buku tebal mengenai IDI mau dibawa kemana?) ternyata
mampu memvisualisasikan dan memberikan narasi menarik
tentang dinamika IDI. Dipandang dari kedalaman pesan,
pendekatan komik ini mampu menggaris bawahi berbagai hal yang
sulit digambarkan dengan pendekatan penulisan lainnya.
Pendekatan komik ini mampu menggambarkan realitas yang
sudah menjadi sejarah masa lalu dengan cara menarik. Sebagai
contoh tantangan yang dihadapi PDKI di tahun 2012 ketika tidak
mendapatkan kembali ruang kantornya di Gedung IDI pasca
renovasi. Teknik penulisan secara komik jelas memberikan pesan
tentang masalah yang dihadapi PDKI. Contoh lain, penggambaran
IDI sebagai raksasa dalam kisah Aladin mampu memberikan

104 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


gambaran bahwa saat ini IDI merupakan organisasi dengan
kekuatan besar yang dapat disalahgunakan untuk keperluan
kelompok atau individu, bukan untuk kepentingan bangsa. Dalam
hal ini Lampu Aladdinnya adalah UU Praktek Kedokteran 2004 yang
memberikan wewenang sangat besar ke IDI sebagai organisasi
masyarakat.
Buku ini merupakan karya dari 2 orang tokoh dokter
Indonesia, yang pernah menjadi pengurus IDI namun kemudian
tidak berada lagi di kepengurusan. Jadi dapat dilihat bahwa buku
ini merupakan sebuah self-critics untuk IDI yang bertujuan baik
untuk mengembangkan IDI dan menempatkannya dalam posisi
yang tepat dalam tata kelola sistem kesehatan.
Sebagai akhir kata, buku ini menarik untuk dibaca semua
pihak dengan kepala dingin , untuk pengembangan IDI dan untuk
membangun sistem kesehatan di Indonesia. Buku ini juga akan
menjadi bagian dari berbagai catatan sejarah mengenai dinamika
organisasi IDI yang saat ini mulai menjadi perhatian para ilmuwan
sosial, termasuk sejarahwan (Prof. dr. Laksono Trisnantoro, MSc,
PhD, Guru Besar FKKMK Universitas Gajah Mada).

IDI memerlukan Oto-Kritik untuk mendorong Program


Evaluasi Internal yang kuat dan berani dengan tolok ukur obyektif
mutu pelayanan kedokteran pada konsumen dan berupaya
menghilangkan penyebab hambatan pelayanan bermutu pada
konsumen.
Saat ini kekuasaan IDI dikalangan dokter MUTLAK karena
kewenangannya memberikan ijin praktek pada dokter-dokter.
“Governing Body” efektif masih jauh dari sempurna, kepentingan
konsumen masih sangat terbatas. Referal dan kerjasama
multidisipliner dokter masih kurang dan sharing data kesehatan
pasien antar praktisi kedokteran dengan consent pasien sangat
terbatas.
Di Australia atas consent pasien sharing data pasien pasien
sangat lancar antar dokter, antar rumah sakit, antar laboratorium,
antar berbagai penyelenggara diagnostic imaging yang semuanya
disertifikasi oleh Medical Board of Australia Health Practitioner

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 105


Agency (APHRA) dan Medicare (yang di Indonesia setara KIS-BPJS
Kesehatan). Pelanggaran kode etik kedokteran dapat berakibat
pada hilangnya surat ijin praktek dokter dan perawat. Penyebab
utama hilangnya ijin praktek dokter di Australia adalah dishonesty
(curang). Pelakunya dicabut ijin prakteknya dan diumumkan di
website Medical Board APHRA.
Ijin praktek diperbaharui setiap tahun pada tanggal 30
September dengan memenuhi kredit 50 jam kredit setiap tahun
oleh masing2 keakhlian (College) dari Australian Medical Council,
dimana General Practitioner, Spesialis, dan Hospitalis setara.
Parodi ini mengungkapkan ada upaya PB IDI untuk meloloskan
retaker Ujian Kompetensi Dokter di Indonesia (UKDI), yang ternyata
sebagian besar adalah sarjana kedokteran lulusan Fakultasi
Akreditasi B dan C, jarang sekali yang lulusan Fakultas Kedokteran
Akreditasi A.
Parodi berbentuk kartun kocak ini harus dilihat sebagai
bagian dari Oto-Kritik dokter-dokter agar IDI melakukan tanggung-
jawabnya menjadi penjaga mutu praktek kedokteran yang baik dan
benar.
Parodi yang panjang dan padat ini menuntut pembacaan yang
serius, bab demi bab agar pembaca memahami mengapa IDI
memerlukan Reformasi agar sesuai dengan tugas dan panggilannya
sebagai penjaga mutu pelayanan kedokteran di Indonesia (Dr. Berlian
Siagian, MPH, PhD, Ahli Kesehatan Masyarakat, Ekonom Kesehatan)

Buku ini dengan jeli menunjukkan masalah-masalah yang


dihadapi dalam organisasi-organisasi yang mengatur dokter
Indonesia. Bagi dokter umum, saya yakin sebagian besar tidak
mengerti apa fungsi dan tugas organisasi-organisasi tadi: KKI,
kolegium, IDI, dll. kalau masih ada lagi. Penulis mencoba
menerangkan gesekan-gesekan yang terjadi dalam badan-badan
tadi secara logis dan taat asas. Sudah seharusnya semua masalah
diselesaikan secara logis sesuai dengan jiwa perundangan dan
peraturan yang ada. Kalau ada yang kurang sesuai, mungkin
undang-undang itu yang harus diubah. Sebagai dokter umum,
pesan saya cuma satu. Kalau bisa, semua peraturan disederhanakan

106 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


menjadi sesederhana mungkin. Untuk pengurusan SIP misalnya,
apa tidak mungkin dibuat satu pintu? Semua lewat IDI saja atau
apapun. Fotokopi ijazah misalnya. Semua minta. Semua saling tidak
percaya. Kapan bisa seperti imigrasi yang hanya perlu satu fotokopi
KTP untuk perpanjangan paspor? Semoga buku ini dapat membuka
mata kita pada berbagai masalah yang ada (Dr. E. Nugroho, dokter
umum di Jakarta).

l Dokter adalah sebuah profesi yang mulia karena terdapat


kontrak / tanggung jawab sosial di dalamnya yang tidak dapat
semata-mata digantikan dengan penghargaan finansial. Apabila
kepentingan finansial adalah yang utama, maka menjadi dokter
bukanlah jawabannya.
l Himpunan dokter diharapkan menjadi sebuah himpunan
tanggung jawab sosial yang mengupayakan kebersamaan
kolegial dalam upaya melayani pasien dengan kemampuan
setinggi-tingginya seperti telah dijanjikan setiap dokter ketika
mengucapkan sumpahnya (Sumpah Hipokrates).
l Membaca buku karya dr. Judlherry Justam dan dr. Pandu Riono
ini menunjukkan bahwa perkumpulan dokter telah berubah dari
marwahnya, sehingga kepentingan pribadi atau golongan
seolah menjadi prioritas daripada tanggung jawab sosialnya.
l Hanya setitik dokter – menjadi rusak ‘dokter sebelanga’ sangat
tidak diharapkan.
l Dokter adalah praktisi atau akademisi atau peneliti. Seorang
pemimpin dokter tentunya harus menjalankan setidaknya salah
satunya, agar dalam bekerjanya bukan sebagai elit politik
semata yang menjauhkannya dari sikap profesional seorang
dokter.
l Sejarah kebangkitan bangsa Indonesia banyak diawali oleh
tokoh-tokoh kedokteran. Semoga keteladanan ini dapat terus
terwariskan untuk dokter masa depan Indonesia, demi
Indonesia Sehat, Indonesia Kuat, Indonesia Maju (Prof. dr. Mora
Claramita, MHPE, Ph.D., Sp.KKLP, Guru Besar FKKMK UGM).

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 107


Until a few years ago I was involved with Indonesian Diaspora
Global Network Health and heard about IDI a lot. Although I have
never dealt with IDI in my career and profession, I would like to
congratulate the authors of this book. Both have succeeded in
clarifying the problems within the system and at the same time I
am convinced that they have no intention of portraying their
colleagues in black light. The system has to change and that is their
noble intention. I sincerely wish that this book will be widely read,
and that finally improvements in health care in Indonesia will be
realized; in quality, reach and accessability for all (P.Liam Oey MD.
Ph.D., Neurologist in retirement, Den Haag).

Tulisan singkat berdasarkan wawancara dengan


P. Liam Oey, MD, Phd.
P. Liam Oey lulus SMA Kansius di Jakarta pada tahun 1966.
Kemudian berangkat Ke Belanda, selesai studi Kedokteran di
Nijmegen (1977) dan memperoleh gelar Ph.D dari Universitas
Amsterdam (1981), lalu menjadi spesialis Neurologi (1984) dari
Academish Medisch Centrum, Amsterdam. Bekerja selama 25
tahun di Academic Medical Center Utrecht.
Perkumpulan dokter di Belanda namanya Landelijke
Vereniging van Artsen in Dienstverband (LAD), seperti BMA
(British Medical Association) di Inggris. Tidak ada kewajiban dokter
di Belanda untuk menjadi anggota LAD, tetapi undang-undang
sudah memproteksi hak-hak seorang dokter. Kemudian ada
perkumpulan dokter umum/keluarga (huisarts) bernama LHV
(Landelijke Husiatrs Vereniging).
Pendidikan di Fakultas Kedokteran selama 6 (enam) tahun,
tidak boleh langsung praktek, lulusannya disebut basis arts atau
basic medical doctor. Bisa bekerja sebagai administrasi kedokteran
(medical administration) atau bekerja di bidang research. Untuk
bisa menjalankan praktek, dokter harus menempuh pendidikan lagi
selama 2 (dua) atau 3 (tiga) tahun untuk dapat bekerja sebagai
general practitioner(GP)/huistarts. Jadi huisarts itu spesialis GP.

108 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


Untuk dokter spesialis ada perkumpulannya bernama LSV
(Landelijke Spesialis Vereniging). Untuk menjalankan praktik
sebagai neurologist saya harus mendaftar ke LSV, dan mendapatkan
sertifikat. Sertifikat itu berlaku 5 tahun dan harus diperpanjang
lagi. Pada setiap permohonan perpanjangan akan dilakukan
penilaian oleh sebuah komisi di LSV. Kita harus mengumpulkan
sebanyak 40 acreditasi points misalkan dengan mengikuti kongres
atau membuat publikasi.
LAD sama sekali tidak terlibat dalam proses pendidkan di
Fakultas Kedokteran. Pendidikan itu di bawah Kementerian
Pendidikan. Menurut saya IDI itu harus berobah. Dari buku komik
yang saya baca ini nampaknya IDI sangat berkuasa dan menjadi
semacam hambatan untuk memajukan dan mengembangkan
medical-care di Indonesia.

Buku IDI MAU DIBAWA KEMANA Jilid 2, dalam penampilan


sebagai komik parodi yang diberikan oleh penulis-penyusunnya,
Sejawat DR Dr Judilherry Justam (yang ditulis dan disusun bersama
Dr Pandu Riono), memberikan kesempatan bagi saya untuk
merenungi kembali IDI. IDI adalah organisasi profesi yang saya ikuti
secara aktif sebagai anggota pengurus di PB-IDI sejak Dr. Samsudin
Sp.A(K) menjadi Ketua Umum nya di tahun 1978. Seolah-olah nyata,
cepat melintas di otak saya berbagai situasi di PB.IDI dan di IDI
umumnya, yang telah saya alami sampai 2014. Komik parodi itu
sepertinya mengajak pembaca, jika sejawat dokter, untuk ikut aktif
bila mungkin, atau sekadar mendorong untuk upaya memperbaiki
IDI. Jika pembaca bukan dokter, (karena sebagai buku, semua yang
berminat boleh ikut membaca), sepertinya diajak untuk memberi
masukan kepada IDI, agar IDI sebagai organisasi profesi berani
berbenah diri, menjadi organisasi profesi yang benar-benar sadar,
mawas diri akan fungsinya.
Dengan gambar yang bagus dan jelas, buku ini berupaya
memberikan informasi kepada pembacanya sebanyak mungkin
berbagai keadaan dan situasi di PB.IDI khususnya dan IDI umumnya,
yang sudah dan masih berlangsung, sejak hampir 10 tahun yang
lalu. Dokter yang merupakan anggota aktif di IDI sebagai pengurus

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 109


(Cabang, Wilayah, atau bahkan PB) akan lebih mudah menyerap
dan selanjutnya menganalisis, kira-kira upaya apa yang dapat
dilakukan. Meskipun bagi mereka, dokter yang hanya sekadar
anggota IDI, dan tak aktif, lebih-lebih yang bukan dokter, tidak
mudah mengikuti mencerna sajian buku ini. Tetapi dengan upaya,
akan didapat hasil mengetahui lebih banyak, lebih tepat situasi
buruk yang sudah dan masih berlangsung di IDI. Bagi sebagian besar
pembaca golongan ini, walau tahu lebih banyak dan lebih benar
mengenai PB-IDI dan IDI, itu ibarat baca berita di koran, yang tak
memberi dampak apapun bagi diri dan sekitarnya. Dari pembaca
yang dokter, baik yang anggota IDI ataupun yang bukan, diharapkan
adanya masukkan kepada para Teman Sejawatnya yang menjadi
Pengurus IDI, baik di cabang, wilayah, lebih-lebih di PB, ataupun di
‘unit’ lain di lingkungan IDI. Dan terakhir bagi para Teman Sejawat
yang menjadi anggota Pengurus IDI di semua jenjang tingkatnya
dan di bebagai ‘unit’ di lingkungan IDI, sangat diharapkan untuk
memulai dari diri sendiri, lalu ke lingkungan sekitarnya di IDI, untuk
mengupayakan perubahan, memperbaiki IDI, organisasi tercinta
kita agar menjadi makin baik. Semoga. Wabillahittaufiq wal hidayah,
wassalamu’alaykum wr.wb. (Prof. DR Dr Wahyuning Ramelan,
Sp.And(K).

Pendidikan SMP - SMA saya menempuh di Kanisius Kolese


Jakarta. ï966 saya melanjutkan studi di Fakultas Kedokteran
Universitas Vienna (Austria) dimana bukan berlaku studie terpimpin
melainkan studie bebas. Berarti kita bisa menentukan sendiri kapan
kita mau maju ujian. Setelah lulus dokÍer tahun 1975 saya pindah
ke Belanda dimana saya mulai dengan pendidikan spesialis
kardiologi di Utrecht bulan januari 1976. Pendidikan kardiologi
waktu itu berjalan selama 5 tahun. Selama internship/pendidikan
spesialis 5 tahun itu kami digaji penuh sesuai skala gaji ditentukan.
Begitu lulus spesialisi jantung kami harus mendaftarkan diri
pada SRC (Specialisten Registratie Commissie) yang memberikan
izin praktek spesialis. Badan tersebut juga menjaga mutu science
dan medical skill dari semua spesialis: setiap 5 tahun izin praktek
harus diperpanjang dengan mengisi formulir menyebutkan jumlah
pasien yang ditangani setiap bulan, investigation yang kita lekukan

110 Mau Dibawa Kemana IDI-2?


(USG, coronairangiograpphy dsb.) kongres/seminar2 yang kami ikuti
dalam 5 tahun silam (harus meraih jumlah point tertentu) dll.
Bilamana tidak memenuhi syarat izin praktek tidak diperpanjang.
Setiap spesialis mempunyai perkumpulan sendiri, begitu juga
Perkumpulan Kardiologi Belanda (NVVC = Netherlandse Vereniging
voor Cardiologie). Tidak diwajibkan tetapi dianjurkan menjadi
anggauta NVVC, karena CME diselenggarakan sendiri oleh NVVC,
disamping itu juga setahun 2 kali menyelenggarakan kongres
nasional. Kalau tidak menjadi anggota NVVC, kita membayar lebih
mahal untuk menghadiri kongres. NVVC juga bekerja sama dengan
European Society of Cardiology (ESC). Disamping itu NVVC menjaga
medical skill para cardiologist dan kwalitas kerja di. CCU/ cardiology
department. Untuk izin praktek tidak perlu rekomendasi dari NVVC.
Disamping SRC dan NVVC, ada lagi badan yang mencatat dan
berwenang memperpanjang atau mencabut akreditasi kedokteran
kita (bukan akreditasi spesialis), disebut BlG-registratie (Beroepen
in Individuele. Gezondheidszorg).
Setiap profesi di bidang kesehatan, dokter, jururawat, bidan,
fisioterapis dlsb, wajib terdaftar dan mendapat nomor (BIG
registratie nummer). Untuk meneruskan praktek setiap 4-5 tahun
kita harus perpanjang BIG registration. Untuk itu kita harus
menunjukkan lagi data jumlah pasien dsb. Daftar BIG terbuka untuk
umum sehingga setiap orang bisa cek apakah dokter atau bidannya
masih terdaftar dan berkwalifikasi.
Berarti yang menentukan karier kita dalam membuka praktek
di Belanda ada 3 (tiga) badan : SRC dan BIG yang beroperasi atas
nama Inspeksi / Kementerian Kesehatan, disamping itu
Perhimpunan spesialis masíng2 (seperti NVVC). Bilamana kita tidak
mau perpanjang rjin praktek misalnya karena pensiun, oleh SRC
ditentukan bahwa kita tidak boleh memakai titet spesialisasi lagi.
Dalam hal saya ini diberí tambahan “cardioloog niet praktiserend”
(Dr. Tan Pao-Han, arts, cardioloog niet praktiserend, Belanda).

UKMPPD sebagai Ujian Nasional telah meningkatkan kualitas


lulusan FK di Indonesia. Dengan UKMPPD perbedaan kualitas yang
lebar dari berbagai FK menjadi semakin sempit karena setiap FK

Mau Dibawa Kemana IDI-2? 111


berusaha mencapai kelulusan UKMPPD yang tinggi. UKMPPD
merupakan penilaian dari pelaksanaan SKDI (Standar Kompetensi
Dokter Indonesia) yang berlaku bagi seluruh FK. Secara kumulatif
terdapat 5% atau sekitar 2500 peserta Ujian yang tidak lulus. Jumlah
ini kemudian dibesar-besarkan seolah-olah UKMPPD menghambat,
sehingga timbulah berbagai upaya untuk meluluskan mereka
dengan cara lain dengan berbagai alasan yang sebenarnya
mengandung unsur-unsur kepentiingan-kepentingan tertentu.
Sungguh sangat disayangkan tujuan mulia UKMPPD yang ingin
meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran secara komprehensif
dari hulu sampai muara diselesaikan dengan cara membuat ujian
lain yang tidak sesuai denga SKDI (dr Tom Surjadi, MPH. Dekan FK-
Untar 2004-2012).

Sangat menarik membaca buku ini. Penuh dengan data dan


fakta dan dikemas sebagai komik. Dibahas banyak hal penting
secara menarik. Saya membacanya lebih dari sekedar otokritik tapi
sebagai usul perbaikan organisasi IDI kedepan; do not take it
personally.
Saya selalu melihat IDI sebagai keluarga besar bukan sekedar
organisasi profesi. Oleh karenanya bacalah buku ini secara
kekeluargaan dan ambil pelajaran yang ada didalamya. Insya Allah
organisasi kita, IDI, akan bertambah baik. Salam (Prof. Dr. dr. Akmal
Taher, SpU(K), Guru Besar FKUI).

112 Mau Dibawa Kemana IDI-2?

Anda mungkin juga menyukai