PENDAHULUAN
A. Epidemiologi
Ruptur perineum serta jaringan penyokong terjadi sewaktu melahirkan
dan penanganannya merupakan asuhan kebidanan. Beberapa cedera jaringan
penyokong baik cedera akut maupun non akut, baik telah diperbaiki atau
belum, dapat menjadi masalah ginekologis di kemudian hari. Jaringan lunak
jalan lahir dan struktur di sekitarnya akan mengalami kerusakan pada setiap
persalinan. Kerusakan biasanya lebih nyata pada wanita nulipara, karena
jaringan pada nulipara lebih padat dan lebih resisten daripada wanita
multipara. Kulit perineum dan mukosa vagina dapat terlihat untuh, menutupi
banyak robekan kecil terjadi pada otot dan jaringan di bawahnya. Kerusakan
pada penyokong panggul biasanya segera terlihat dan diperbaiki setelah
persalinan (Prawiroharjo, 2010).
Setiap wanita mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda untuk
mengalami ruptur. Hereditas juga merupakan faktor yang mempengaruhi.
Contohnya, jaringan pada wanita kulit yang berambut kemerahan, tidak
sekuat pada wanita berkulit gelap dalam menahan regangan. Wanita yang
jaringannya cenderung mengalami ruptur biasanya mengalami vases dan
diastasis rektus abdominis, selain itu penyembuhan juga kurang efisien pada
wanita kelompok ini. Penanganan untuk perbaikan segera mempercepat
penyembuhan dan mengurangi kerusakan lebih lanjut, serta mengurangi
kemungkinan terjadinya infeksi. Selama hari-hari awal pascapartus, perawat
dan pemberi jasa kesehatan dengan seksama memeriksa perineum dan
menilai lokasi dan gejala untuk menemukan adanya kerusakan yang tidak
diketahui sebelumnya (Smith et al., 2013).
Kejadian ruptur perineum di seluruh dunia pada tahun 2009 terjadi 2,7
juta ibu bersalin mengalami ruptur perineum, angka ini diperkirakan akan
meningkat 6,3 juta pada tahun 2050 seiring dengan makin tingginya bidan
yang tidak melaksanakan asuhan kebidanan dengan baik. Hasil penelitian
Puslitbang Bandung pada tahun 2009 sampai 2010 pada beberapa Provinsi di
Indonesia didapatkan bahwa satu dari lima ibu bersalin yang mengalami
ruptur perineum akan meninggal dunia. Prevalensi ruptur perineum terjadi
3. Hematoma
Hematoma dapat terjadi akibat trauma partus pada persalinan karena
adanya penekanan kepala janin serta tindakan persalinan yang ditandai
dengan rasa nyeri pada perineum dan vulva berwarna biru dan merah.
4. Infeksi
Infeksi pada masa nifas adalah peradangan di sekitar alat genetalia
pada kala nifas.Perlukaan pada persalinan merupakan tempat masuknya
suhu
tubuh
melebihi
380 C,
tanpa
II.
TINJAUAN PUSTAKA
4) Pernafasan
b. Mata
3. Patofisiologi
Faktor - faktor yang mempengaruhi persalinan yaitu power, passage,
passenger, posisi ibu dan psikologi (Sumarah, 2009).Namun dalam hal
ruptur perineum yang paling sering menjadi penyebab adalah faktor
passage dan passenger.
a. Passage (Jalan Lahir)
Jalan lahir terdiri dari panggul ibu, yakni bagian tulang padat,
dasar panggul, vagina, dan introitus (lubang luar vagina). Meskipun
jaringan lunak, khususnya lapisan-lapisan otot dasar panggul ikut
menunjang keluarnya bayi, tetapi panggul ibu jauh lebih berperan
dalam proses persalinan. Janin harus behasil menyesuaikan dirinya
terhadap jalan lahir yang relatif kaku (Llewellyn, 2002).
b. Passenger (Janin dan Plasenta)
Janin dapat mempengaruhi jalannya kelahiran karena ukuran dan
presentasinya.Dari semua bagian janin, kepala merupakan bagian yang
paling kecil mendapat tekanan. Namun, karena kemampuan tulang
kepala untuk molase satu sama lain, janin dapat masuk melalui jalan
lahir asalkan tidak terlalu besar dan kontraksi uterus cukup kuat
(Llewellyn, 2002).
Passenger atau janin, bergerak sepanjang jalan lahir merupakan
akibat interaksi beberapa factor, yakni ukuran kepala janin, presentasi,
letak, sikap, dan posisi janin. Karena plasenta juga harus melewati jalan
lahir, maka ia juga dianggap sebagai bagian dari passenger yang
menyertai janin (Sumarah, 2009).
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama
dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat
dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar
panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat, sebaliknya kepala janin
yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan
menyebabkan asfiksia dan pendarahan dalam tengkorok janin, dan
melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan
terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi digaris tengah dan
bisa menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat (Sumarah,
2009).
B. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan darah lengkap harus dilakukan sejak periode
antenatal. Kadar hemoglobin di bawah 10 g/dL berhubungan dengan hasil
kehamilan yang buruk.Pemeriksaan golongan darah dan tes antibodi harus
dilakukan sejak periode antenatal.Perlu dilakukan pemeriksaan faktor
koagulasi seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan.
2. Endoanal Ultrasonografi (EAUS)
Sebuah metode sederhana untuk pencitraan komplek sfingter. EAUS
digunakan sebagai pelengkap anorektal manometri sehingga dapat menilai
struktur dan fungsi sfingter dengan baik. EAUS merupakan salah satu
metode untuk mengeksplorasi otot sfingter ani mengukur ketebalan dan
keutuhan serta mendeteksi adanya jaringan parut atau diskontinuitas
jaringan otot.
4. Peri-rule
Penilaian trauma perineum. Trauma perineum mempengaruhi
hingga 65% dari wanita yang melahirkan melalui persalinan
pervaginam (Albers et al, 1999). Melakukan penelitian untuk
C. Penegakan Diagnosis
1. Bagan Penegakan Diagnosis
Diagosis dapat ditegakkan secara klinis dengan mengikuti alur
berikut :
D. Rencana Terapi
1. Penanganan Ruptur Perineum
Penanganan ruptur perineum diantaranya dapat dilakukan dengan
cara melakukan penjahitan luka lapis demi lapis, dan memperhatikan
jangan sampai terjadi ruang kosong terbuka kearah vagina yang biasanya
dapat dimasuki bekuan-bekuan darah yang akan menyebabkan tidak
baiknya penyembuhan luka. Selain itu dapat dilakukan dengan cara
memberikan antibiotik yang cukup (Moctar, 2005). Prinsip yang harus
diperhatikan dalam menangani ruptur perineum adalah :
a. Bila seorang ibu bersalin mengalami perdarahan setelah anak lahir,
segera memeriksa perdarahan tersebut berasal dari retensio plasenta
atau plasenta lahir tidak lengkap.
b. Bila plasenta telah lahir lengkap dan kontraksi uterus baik, dapat
dipastikan bahwa perdarahan tersebut berasal dari perlukaan pada jalan
11
dari
titik
pangkal
robekan
sebelah
12
mendiagnosa
berapa
derajat
robekan
dan
melakukan
penjahitan
Gambar 2.5 Mukosa vagina dan fascia rektovaginal (Leeman et al, 2003).
13
14
Gambar 2.9 Mukosa rektal dan spincter anus eksternal(Leeman et al, 2003).
15
2) Sfingter ditarik secara lateral, tempatkan allys klem pada ujung otot
agar mudah diperbaiki.
3) Sfingter anus diakhiri dengan jahitan kontinyu dengan menggunakan
benang vicryl 2-0.
4) Sfingter ani eksternal terlihat seperti berkas otot skeletal dengan
kapsul fibrous. Allis klem ditempatkan pada setiap ujung spincter
anus, kemudian jahitan dilakukan pada pukul 12,3,6 dan 9 dengan
menggunakan benang polydiaxanone 2-0 (absorbi yang agak lambat)
untuk memungkinkan kedua ujung sfingter membentuk scar secara
bersamaan.
Bukti penelitian menunjukan bahwa sambungan dari ujung
ke ujung pada sfingter tidak memberikan sambungan anatomis yang
baik, dan buruknya fungsi sfingter dikemudian hari jika ujungnya
beretraksi. Teknik jahitan ujung ke ujung dapat dilihat pada gambar
berikut.
16
17
Jika tidak ada komplikasi, tidak dibutuhkan perawatan dan monitoring dalam
jangka waktu lama (Peyton, 2001).
F. Komplikasi
Komplikasi jangka pendek dan jangka panjang dapat terjadi setelah
perbaikan luka pada episiotomi atau robekan perineum. Komplikasi jangka
pendek yang paling utama adalah hematoma dan infeksi, sedangkan
komplikasi jangka panjang adalah inkontinensia feses dan nyeri perineum
persisten (Peyton, 2001).
Perdarahan
Seorang wanita dapat meninggal karena perdarahan pasca persalinan
dalam waktu satu jam setelah melahirkan. Penilaian dan penatalaksanaan
yang cermat selama kala satu dan kala empat persalinan sangat penting.
Menilai kehilangan darah yaitu dengan cara memantau tanda vital,
mengevaluasi asal perdarahan, serta memperkirakan jumlah perdarahan
dan
massa
yang
dapat
dipalpasi
pada
pemeriksaan
bimanual(Peyton, 2001).
Infeksi
Infeksi pada kebanyakan wanita setelah episiotomi atau robekan
akan disertai dengan keluhan nyeri dan sekret yang berbau. Dapat pula
disertai demam. Namun biasanya sulit membedakan antara nyeri post
18
PEMBAHASAN
Gambar 2.12 Terapi Low Level Laser Therapy (Herrera et al, 2012).
20
b
c
minggu.
Padabeberapakasus, adalaporanbahwaluka lama menjadilebihburuk
Padapasiendengankankerdisarankantidakmenggunakanterapiinikarena
dapat menciderai mata, sehingga dalam pelaksanaan terapi ini
dibutuhkan penggunaan kacamata.
C. Harapan Terapi
Robekan perineum pada dasarnya dapat dicegah dengan seperti
menghindari episiotomy yang rutin, dan juga pijat perineum pada kala II. Hal
ini telah terbukti secara ilmiah memberikan dampak terhadap robekan
perineum yang lebih sedikit terutama robekan derajat III dan IV, nyeri
perineum yang berkurang, aktivitas seksual yang lebih cepat, dispareunia
akibat penjahitan perineum dan self esteem ibu sendiri yang tinggi.
Ada banyak pilihan bagi ibu maupun petugas kesehatan dalam
memberikan asuhan bagi ibu khususnya pasca persalinan dengan robekan
perineum tingkat I-IV, misalnya secara medikal maupun tradisional dengan
terapi herbal, yang mana telah terbukti secara ilmiah bermanfaat bagi proses
penyembuhan dan pencegahan infeksi. Sebagai petugas kesehatan yang
bijaksana, harus dapat memberikan saran yang baik berdasarkan bukti ilmiah
dan semua keputusan dikembalikan kepada ibu dan keluarga dengan
sebelumnya memberikan informasi yang tepat.
Dengan adanya evidence base yang
telah
dipaparkan
diatas,
diharapkan agar para praktisi kesehatan terutama bidan dapat secara bijak
mengambil keputusan yang tepat pada saat menolong ibu dalam proses
persalinan sehingga dapat meminimasi kejadian trauma perineum tersebut,
dengan meminimasi intervensi yang tidak diperlukan seperti episiotomi rutin
yang malah akan memperparah robekan perineum.
IV.
KESIMPULAN
21
22