Anda di halaman 1dari 15

2.

FISTULA
2.1. Definisi Fistula Urogenital

Fistula Urogenital adalah terdapatnya hubungan abnormal antara


saluran kemih dan saluran genitalia yang menyebabkan keluarnya urin
tanpa disadari kedalam vagina atau keluar.
2.2. Etiologi fistula Urogenital

Sejumlah faktor timbulnya vesiko vagina fistula dinegara


berkembang berhubungan dengan budaya nikah dan konsepsi pada usia
muda sering se- belum perkembangan panggul sempurna, gizi yang jelek
dan pertumbuhan yang tak sempurna menyebabkan keterbatasan dimensi
panggul yang sering menyebabkan “Cephalo Pelvic Disproportion” dan
malpresentasi. Selain itu beberapa wanita mengalami persalinan macet yang
mungkin telah berhari-hari atau berminggu-minggu. Efek dari penekanan
bagian janin ke dinding pang- gul, dalam waktu yang lama dapat
menyebabkan edema, hipoksia dan keru- sakan jaringan lunak vagina,
dasar vesika dan uretra sehingga dapat timbul fistula. Khusus pada negara
yang berkembang fistula urogenital dapat men- cakup fistula yang
mengenai vesika, uretra, trigonum vesika dan anterior din- ding servik.
Pada negara maju vesiko vaginal fistula terutama disebabkan oleh trauma
akibat operasi panggul (70%).
Faktor lain yang dapat menyebabkan fistula antara lain bedah vagina
atau panggul, penyakit radang panggul, lekemia, karsinoma, endometriosis,
distorsi anatomi oleh karena mioma uteri, seksio sesarea, pasca radiasi atau
batu buli-buli.
2.3. Jenis-jenis fistula
Berikut merupakan jenis-jenis dari fistula urogenital, yaitu:
1. Fistula uretrovaginal

2. vesiko uretrovaginal

3. vesikovaginal

4. vesikoserviko-vaginal fistula

5. uretero vaginal fistula


Gambar 1. Klasifikasi Fistula (A. Vesikoservikal B. Juxtaservikalis C. Midvaginal
Vesikovaginalis D. Suburethral Vesikovaginal E. Urethrovaginal

2.4. Gambaran klinik

Keluarnya urin yang tidak terkontrol kedalam vagina pasça persalinan atau

pasca operasi obstetri atau ginekologi

2.5. Diagnosisi Fistula Urogenital

1. Anamnesis

Penderita merasa basah karena keluar cairan melalui vagina yang terus
menerus, daerah ginetalia eksterna selalu basah dan kalau sudah lama
berlangsung dapat ditemukan tanda-tanda radang kronik termasuk
inpetigo
2. Pemeriksaan Ginekologi

Tanpak urin keluar dari liang kemaluan, pada inspekulum terdapat


urin dalam vagina karena penderita dalam posisi litotomi, dengan
menggunakan spekulum Sims dapat dilihat adanya fistula pada
dinding anterior vagina, mungkin satu, dan kecil dan kadang-kadang
luas, dan juga mungkin didapatkan beberapa fistula. Pada fistula
ginekologi fistula biasanya kecil dan terletak dekat pada servik
sedangkan fistula obstetri biasanya besar, kadang-kadang multipel dan
kurang bersih
3. Pemeriksaan penunjang

1. Tes biru metylen

Bila fistula tidak jelas letaknya atau adanya kecurigaan terdapat


fistula, tetapi keberadaannya tidak mudah dipastikan dengan
memakai spekulum Sims, maka pemeriksaan penunjang tes biru
metylen perlu dilakukan untuk memastikan fistula vesiko vaginal.
Caranya dalam vagina dimasukan 3 kasa bersih warna putih, dan
kandung kemih di isi melalui transuretra kateter cairan biru metylen
sebanyak 150 – 200cc, dibiarkan sebentar atau pasien disuruh jalan-
jalan, kemudian kembali tidur dalam posisi litotomi. Kasa satu demi
satu diambil dan bila ada kasa yang berwara kebiruan maka dapat
ditetapkan daerah terdapatnya fistula pada dinding vagina.
2. Pemeriksaan Sitoskopi

Bila diagnosis fistula masih sulit pastikan perlu dilakukan sitoskopi


untuk mengetahui adanya fistula, letak fistula, jumlah fistula dan
keadaan dinding kandung kemih, muara ureter.
3. Tes endokarmin.

Bila fistula disangka disebabkan oleh trauma ureter (uretero vagina


fistula) dapat dilakukan pula tes endokarmin. cairan endokarmin
disuntikan entravenus kemudian satu sampai dua jam dilakukan
pemeriksaan vagina untuk melihat apakah ada cairan berwarna
seperti cairan endokarmin bila positif berarti ada fistula
ureterovaginal
4. Pemeriksaan intravenuspielografi IVP

Pemeriksaan IVP ini dilakukan bila dicurigakan adanya fistula


uretero vagina. Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk
mendiagnosisi fistula uretero vagina, menilai bentuk dan fungsi
ginjal dan keadaan ureter serta melihat ureter mana yang mengalami
fistula ke vagina.
2.6. Penatalaksanaan Fistula Urogenital

Pada fistula obstetrik yang sangat kecil yang segera diketahui setelah
melahirkan atau fistula ginekologi pasca operasi ginekologik (7 hari pasca
operasi), diobati dengan melakukan drainase transurethral selama 3
minggu; diharapkan fistula akan menutup sendiri, diberikan pula antibiotika
dan pasien dirawat di rumah sakit dengan baring total. Bila dengan cara ini
fistula masih tetap ada, direncanakan reparasi fistula 3 bulan kemudian.
Kebanyakan para- sarjana menganut waktu reparasi fistula dilakukan
setelah 3 bulan pasca ter- jadi fistula. Hal ini diharapkan infeksi, edema,
nekrosis jaringan telah hilang dan telah terbentuk pembulu darah baru.
1. Teknik Reparasi

Penderita diletakan dalam posisi litotomi dan lampu sorot harus men-
genai seluruh liang vagina dan liang fistula, penderita harus dalam anestesi
regional atau general. Untuk mefiksasi dinding fistula, dapat dipasang
polika- teter (yang diisi air 2-3 cc), atau dibuat jahitan penunjang pada jam
11, jam 2, jam 4 dan jam 8. Pinggir fistula di insisi sirkular dan pada jam
12 dan jam 6, kemudiana mukosa vagina dibebaskan dari dasarnya ke
sekeliling fistula seluas 1 cm. Bila pembebasan ini berjalan baik maka
fistula akan mengecil bahkan akan dapat menutup lubang fistula.
Kemudian fistula ditutup dengan jahitan bentuk matras dimulai pada
submukosa visika dengan benang vikril no. 3.O. Kemudian dilakukan pula
penjahitan lapisan otot dinding vagina, kalau memungkinkan berlawanan
arah dengan lapisan ke 1 (seperti membuat tikar). Lapisan otot ini dijahit
dengan vikril juga dengan no. 3.O secara ma- tras. terakhir dilakukan
penjahitan lapisan mukosa vagina satu-satu dengan vikril no 2.O. Pasca
reparasi fistula, dipasang drainase transuretra dengan poly kateter triway.
Kateter dipertahankan selama 10-12 hari. Dan bila tidak ada ke- bocoran
pada hari 10 kateter dapat dilepas dan penderita dianjurkan untuk berkemih
sendiri. Penderita boleh pulang dari rumah sakit bila penderita telah dapat
menahan berkemih dalam waktu 2-3 jam. Penderita dilarang melakukan
hubungan intim selama lebih kurang 2 bulan, dan perlu diberikan informasi
pada penderita dan keluarga bahwa penderita tidak boleh melahirkan
pervagi- nam dan harus dengan seksiosesarea (operasi).

3. FISTULA REKTOVAGINAL
3.1. Definisi dan Epidemiologi

Penanganan trauma obsetrik di negara berkembang seperti di Indone-


sia ini masih kurang memadai, sehingga menimbulkan berbagai
komplikasi. Salah satu komplikasi obsetrik adalah fistula. Walaupun
jumlahnya sedikit, namun merupakan masalah yang paling mengganggu
dan memalukan bagi wanita yang menderitanya sehingga jarang mencari
pertolongan.
Salah satu bentuk fistula obsetrik adalah fistula rektovaginal.
Prevalensi fistula rektovaginal sangat rendah yaitu berkisar 0,01-0,08%,
namun fistula ini memberikan dampak yang serius dalam kehidupan
seorang penderita. Banyak penderita bercerai dari suaminya akibat
gangguan senggama dan terisolir dari kegiatan sosial masyarakat karena
menderita fistula rektovaginal. Untuk itu ginekolog dituntut mengatasi
problem yang dihadapi penderita fistula ini. Ke- berhasilan untuk
memperbaiki fistula tersebut, tidak hanya tergantung keahlian operator,
namun ditentukan pula oleh besar, lokasi, teknik operasi yang dipilih, serta
perawatan pasca operasi.

Definisi fistula rektovaginal adalah adanya hubungan antara rektum


dan vagina. Fistula rektovaginal jarang mengalami penyembuhan spontan
karena adanya komunikasi antara kavitas dengan tekanan positif (rektum)
dan ka- vitas dengan tekanan negatif (vagina). Meskipun kasus ini jarang,
yaitu 5% dari keseluruhan fistula, namun berdampak terhadap kualitas
hidup seseorang.
Penyebab tersering dari fistula rektovaginal adalah trauma obsetrik
yaitu sebanyak 88% dari kasus fistula rektovaginal. Penyebab lainnya yaitu
kongenital, inflamasi, neoplasma, dan latrogenik proses.
Gejala yang dialami pasien berupa keluarnya flatus, feses, maupun
pus dari vagina. Gejala ini tergantung dari etiologi, lokasi, dan luas dari
fistula. Selain itu didapatkan gejala berupa kesulitan mengkontrol flatus dan
feses per rektum pada beberapa pasien.
3.2. Insiden
Insiden fistula rektovaginal sangat jarang. Prevalensinya adalah 0,1%
sampai 0,08% dari keseluruhan persalinan transvaginal. Pada negara
berkem- bang prevalensi ini lebih sedikit, namun di Afrika dan Asia
Selatan masih meningkat karena kurangnya fasilitas medis yang memadai.
Diperkirakan ada 2 juta wanita di Afrika dan Asia yang mengalami fistula
rektovaginal yang tidak tertangani.
Di Afrika, insiden dapat mencapai 0,12% pada daerah rural. Pada ba-
gian Sub-Sahara terdapat 33,451 kasus fistula obsetrik termasuk fistula
rek- tovaginal pada tahun 1999. Kebanyakan penyebab fistula obsetrik ini
adalah persalinan macet. Persalinan macet yang menyebabkan fistula juga
berkaitan dengan umur ibu saat persalinan terjadi. Penelitian yang
dilakukan di Nigeria, hampir 50% kasus fistula berasal dari ibu berusia 10
sampai 19 tahun. Sedan- gkan di Etiopia 3 dari 1000 persalinan
menimbulkan fistula dan mayoritas pada ibu berusia dibawah 20 tahun.
Hampir seluruh kasus ini terjadi pada primipara.
Sedangkan di Indonesia sendiri, kasus fistula rektovaginal yang di-
dapatkan di RSCM adalah satu kasus tiap tahun, 70% berasal dari wanita
usia 21-30 tahun, 90% merupaka primipara dan dilakukan episiotomi.
Penyebab fistula rektovaginal disini akibat penjahitan episiotomi yang
kurang baik.
3.3. Etiologi
Penyebab fistula rektovaginal bermacam-macam antara lain terang-
kum pada tabel di bawah ini :
Tabel 1. Penyebab fistula rektovaginal

Kategori Kondisi Mekanis


me
Trauma 1. Pemanjangan kala II 1. Nekrosis karena tekanan

obsetrik pada

2. Episiotomi medialis septum rektovaginal

3. Laserasi perineum 2. Ekstensi langsung ke


dalam rektum
3. Laserasi perineum
Benda 1. Pesarium vagina 1. Nekrosis karena tekanan
asing 2. Coitus dengan 2. Perforasi mekanis

ke- kerasan 3. Perforasi mekanis


3. Pelecehan seksual
Latrogenik 1. Histerektomi 1. Perlukaan pada dinding rektum

2. Anastomosis 2. Garis staple yang


kolorektal dengan mengenai vagina
staple 3. Batas yang dalam dari
3. Eksisi transanal reseksi anterior ke dalam
dari tumor vagina
rektum 4. Perforasi mekanik

4. Enema 5. Perforasi mekanik

5. Bedah anorektal
(ex: insisi dan
drainase abses
intramural
Inflamasi 1. Penyakit Chron’s 1. Perforasi inflamasi transmural

2. Radiasi pelvis 2. Nekrosis tumor dini

3. Abses pelvis 3. Inflamasi transmural lambat

4. Abses perirektal 4. Inflamasi transmural lambat


Keganasan 1. Rektal Pertumbuhan tumor lokal ke

2. Servikal dalam struktur yang berdekatan

3. Uterus

4. Vagina
5. Tumor primer
atau rekuren
Dari semua penyebab di atas penyebab terbanyak adalah trauma ob-
setrik. Fistula yang terjadi akibat malformasi kongenital tidak dibicarakan
dalam pembahasan ini.
3.4. Patofisiologi

Patofsiologi dari fistula rektovaginal bervariasi berdasarkan


etiologinya yang telah kita bahas di atas. Patofisiologi fistula rektovaginal
secara garis besar adalah akibat trauma obsetri, trauma lainnya, inflamatory
bowel disease, infeksi, dan neoplasma.
1. Trauma obsetri

Trauma obsetri dapat terjadi akibat trauma langsung atau akibat


keru- sakan jaringan dasar pelvis. Trauma langsung pada badan perineum
dan sep- tum rektovaginal merupakan penyebab tersering fistula
rektovaginal di negara berkembang. Laserasi perineum yang terjadi saat
persalinan, terutama episio- proktotomi merupakan predisposisi dari fistula
rektovaginal. Laserasi perine- um ini sering pada primigravida, kelahiran
yang terlalu cepat, dan pemakaian

forsep atau vakum ekstraksi. Selain itu kegagalan diagnosa atau perbaikan
dari laserasi perineum serta infeksi sekunder menyebabkan peningkatan re-
siko terjadinya fistula rektovaginal. Partus macet dengan tekanan pada
septum rektovaginal dapat menyebabkan iskemik dan akhirnya nekrosis
pada bagian tersebut sehingga terbentuk fistula.
2. Trauma lainnya

Trauma lainnya yang dapat menyebabkan fistula rektovaginal


adalah akibat benda asing, contohnya penggunaan pesarium yang sudah
lama tidak diganti. Selain itu coitus dengan kekerasan atau pelecehan
seksual juga dapat menyebabkan fistula rektovaginal. Trauma akibat
pembedahan atau latroge- nik juga dapat terjadi, namun kasusnya sangat
jarang. Contoh fistula yang disebabkan trauma latrogenik adalah fistula
setelah histerektomi akibat perlu- kaan pada dinding rektal anterior,
anastomosis kolorektal dengan staple, eksisi transanal tumor rectal, bedah
anorektal, dan lain-lain. Insiden fistula rekto- vaginal akibat operasi dan
latrogenik berkisar 2-24%.
3. Penyakit radang usus (Inflamatory bowel disease)

Inflamatory bowel disease dan colitis ulceratif berkaitan dengan


fistula rektovaginal. Fistula ini bisa timbul secara primer, atau merupakan
komplikasi dari perianal sepsis. Selain itu fistula rektovaginal berkaitan
dengan timbulnya abses perirektal.
4. Infeksi

Penyebab infeksi yang sering menimbulkan fistula rektovaginal


adalah infeksi kriptoglandular. Penyebab lainnya yang juga dapat
menimbulkan fistula rektovaginal menskipun jarang adalah tuberkulosis,
limfogranuloma ve- nereum, dan skistosomiasis. Divertikulosis merupakan
penyebab tertinggi fistula rektovaginal letak tinggi, dan meningkat
resikonya pada wanita yang pernah menjalani histerektomi.
5. Neoplasma

Neoplasma dapat menyebabkan fistula rektovaginal sebagai akibat


ekstensi atau perluasan tumor secara langsung menuju rektum. Selain itu
dapat diakibatkan oleh terapi dari neoplasma itu sendiri yaitu radiasi pelvis
pada kanker endometrium dan kanker serviks. Fistula dapat terbentuk
setelah enam bulan sampai dua tahun setelah terapi.

3.5. Klasifikasi

Banyak sistem yang dipakai menjadi dasar klasifikasi fistula


rektovagi- nal. Salah satunya berdasarkan sistem anatomis, yang sering
digunakan oleh ahli bedah. Klasifikasinya yaitu :
1. Fistula rektovaginal letak tinggi : adalah fistula yang terjadi an-
tara sepertiga atas vagina, dekat dengan servik dengan sepertiga
tengah rektum. Disini vagina hanya tertutup sebagian
peritonium.
2. Fistula rektovaginal letak tengah : adalah fistula yang terjadi
anta- ra sepertiga tengah vagina dengan sepertiga bawah
rektum. Pada bagian ini vagina dan rektum hanya dibatasi oleh
septum tipis.
3. Fistula rektovaginal letak bawah atau distal : adalah fistula yang
terjadi antara vagina dengan rektum bagian distal atau dengan
anus.
Selain itu terdapat klasifikasi lain yang membagi menjadi fistula
rektovaginal simpel dan komplek. penjelasan singkat tentang klasifikasi ini
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2. Klasifikasi fistula rektovaginal

Fistula rektovaginal Fistula rektovaginal

simpel komplek

Lokasi Vagina bagian tengah Vagina bagian atas


atau

bawah

Diameter fistula < 2,5 cm >2,5 cm


Penyebab Trauma Inflamatory bowel dis-

Infeksi ease Radiasi


Neoplasma
Partus macet
Kegagalan terapi sebel- umnya

3.6. Diagnosa

Penegakan diagnosa fistula rektovaginal dengan pendekatan


anamnesa yang lengkap, pemeriksaan fisik yang teliti, dan pemeriksaan
penunjang lain- nya. Hal ini dilakukan untuk menentukan ukuran, lokasi,
dan etiologi dari fistula rektovaginal yang akan mendasari penentuan
teknik perbaikan fistula rektovaginal.

Anamnesa yang dilakukan meliputi gejala-gejala yang dirasakan


pasienFistula rektovaginal memberikan keluhan berupa pengeluaran flatus
dan feces melalui vagina. Pasien juga dapat mengalami vaginitis atau
cystitis. Vaginal discharge menjadi berbau busuk pada beberapa pasien.
Namun pada beberapa pasien juga sering asimptomatik, terutama jiika
fistula terletak sangat distal. Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan
meliputi pemeriksaan perineum, lubang anal, rektal, dan vagina. Pada kulit
perineum apakah didapati dim- pling (cekungan) perianal atau adanya
dovetail sign (tanda ekor merpati) yaitu lipatan perineum ke posterior
menuju lubang anus dengan mukosa halus pada sisi anteriornya, ini
merupakan tanda adanya gangguan sfingter anal atau juga dapat
menggambarkan adanya fistula. Pemeriksaan rektum meliputi integritas
sfingter anus, jaringan sekitar fistula, dan ada tidaknya abses atau massa.
Kita harus lebih teliti dalam memeriksa lokasi-lokasi yang sering
menimbulkan fis- tula seperti sepanjang jaringan parut vagina atau
perineum setelah episiotomi atau laserasi persalinan, dan linea dentata atau
tepi superior dari sfingter anal eksterna. Dapat juga dilakukan probing
menggunakan probe lakrimal untuk mengetahui pintu dari fistula.
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan metode yang ber-
macam-macam, dari yang sederhana hingga menggunakan tekhnologi mu-
takhir. Pemeriksaan penunjang yang sederhana dengan menggunakan tam-
pon vagina yang diletakkan pada vagina, lalu memasukkan methylen blue
ke dalam rektum, evaluasi tampon setelah 15-20 menit. Jika methylen blue
terserap ke dalam tampon maka dicurigai adanya fistula. Cara sederhana
lain- nya adalah dengan memasukkan udara ke rektum melalui
proktoskopi, dan mengisi vagina dengan salin atau air hangat, jika
didapatkan gelembung udara pada vagina maka dicurigai adanya fistula
rektovaginal.
Pemeriksaan yang lebih canggih digunakan untuk mengetahui lokasi
fistula dengan menggunakan barium enema atau hidrogen peroksida yang
dimasukkan dengan angiokateter. Selain itu dapat menggunakan endoanal
ultrasound yang diindikasikan untuk mengidentifikasi laserasi sfingter
yang terjadi bersamaan dengan fistula. Pemeriksaan dengan sigmoidoscopy
atau colonoscopy dilakukan jika dicurigai adanya inflamatory bowel
disease. CT scan juga dapat memperlihatkan adanya inflamasi perifistular.
3.7. Penatalaksanaan
1. Terapi Medis

Walaupun sebagian ahli berpendapat bahwa fistula rektovaginal tidak


dapat menutup sendiri tanpa operasi, namun terapi medis perlu dilakukan.
Sebagian kecil fistula rektovaginal yang berdiameter kecil akibat trauma
ob- setrik ataupun trauma operasi dapat sembuh sempurna dengan
perawatan.
Terapi medis untuk akut fistula rektovaginal akibat trauma dan kom-
plikasi fistula akibat infeksi sekunder adalah dengan drainase abses jika di-
dapati abses, dan diberikan antibiotik yang adekuat. Antibiotik biasanya
diberikan secara intravena, agar dapat mencapai jaringan yang dimaksud.
Jar- ingan akan membaik dalam enam sampai dua belas minggu. Selain itu
modi- fikasi diet dengan suplementasi serat dapat mengurangi gejala selama
periode penyembuhan. Jika fistula menutup dan sembuh sempurna maka
tidak perlu terapi lebih lanjut. Pada fistula yang menetap namun jaringan
sudah tidak lagi terdapat tanda-tanda inflamasi dan sudah tidak kaku, maka
dapat dilakukan terapi bedah.
2. Persiapan Operasi

Persiapan operasi meliputi perbaikan kondisi umum pasien baik fisik


maupun mental. Sebelum melakukan operasi maka harus sudah ditentukan
letak, besar, dan mobilisasi dari fistula. Fistula pada saat akan dioperasi
sudah tidak ada tanda-tanda radang, artinya proses peradangan telah
teratasi pada saat terapi medis. Sebagai tindakan profilaksis dapat
digunakan antibiotik intravena baik untuk teknik operasi lokal maupun
transabdominal.Persiapan lainnya berupa pemasangan kateter ke dalam
vesiko urinaria. Profilaksis ter- hadap tromboemboli vena dengan
pemberian heparin.
3. Waktu Pelaksanaan Operasi

Kebanyakan ahli melakukan operasi penutupan fistula 3-6 bulan


pasca fistula. Namun ada beberapa pendapat ahli yaitu Collins, Pent, dan
Jones, melakukan operasi reparasi fistula pada minggu ke dua dan ke tiga,
setelah penderita diterapi kortison 100 mg tiap hari selama 10 hari.
Prosedur ini di- lakukan terutama untuk fistula akibat trauma obsetri.
Namun pendapat ini ma- sih belum diterima secara umum.
4. Teknik Operasi

Fistula rektovaginal dapat diperbaiki dengan berbagai teknik operasi.


Teknik yang dipilih berdasarkan jenis, lokasi, besar diameter fistula, etiolo-
gi, serta keahliaan operator. Fistula rektovaginal simpel biasanya dilakukan

perbaikan dengan metode fistulectomy dan sphincteroplasty sebagai


pilihan awal terapi. Terapi ini dapat dilanjutkan dengan rectal flap
(penutupan fis- tula tranrectal) ataupun vaginal flap (penutupan fistula
transvagina), dan dapat pula kombinasi keduanya jika terapi awal kurang
memuaskan. Jika dilihat dari lokasinya maka fistula rektovaginal letak
rendah dapat diperbaiki dengan metode transvaginal, transanal, dan
transperineal.
Pada fistula rektovaginal yang kompleks akibat ulcerative colitis
maka penanganannya tergantung keaktifan dari penyakitnya. Jika telah
mengenai rektum maka perlu dilakukan proctocolectomy terlebih dahulu
kemudian di- lakukan vaginal flap sebagai indikasi, karena kita tidak boleh
membedah pada mukosa yang mengalami inflamasi. Pada Chron’s disease
juga diindikasikan perbaikan menggunakan vaginal flap. Jika tidak berhasil
dan didapati fistula letak tinggi maka dilakukan teknik operasi
transabdominal, karena teknik op- erasi transabdominal secara umum
diindikasikan untuk fistula rektovaginal letak tinggi.
Perbaikan transperineal sering dilakukan oleh ginekolog untuk kasus
fistula rektovaginal letak rendah disertai laserasi perineum yang sering
dise- babkan trauma obsetri. Perbaikan transperineal terkadang melibatkan
mus- cular graft. Otot yang dapat dipakai antara lain musculus gracilis
(gracilo- plasty) dan musculus bulbocavernosus.
Teknik operasi untuk perbaikan fistula rektovaginal terus
berkembang. Setiap teknik mempunyai kelebihan dan kekurangan. Sampai
saat ini tidak ada satupun teknik yang lebih unggul dari teknik yang lain.
Perkembangan penelitian tentang teknik perbaikan fistula rektovaginal
terus berkembang hingga saat ini.
4.1. Teknik Operasi Transvaginal

Teknik ini sering digunakan oleh banyak ahli bedah dan ginekologis
un- tuk menangani fistula rektovaginal letak rendah, yang sering
disebabkan oleh trauma obsetri. Namun, resiko kegagalan cukup tinggi
karena akan terbentuk zona bertekanan tinggi pada rektum. Untuk itu
teknik ini hanya dilakukan untuk fistula letak rendah dengan diameter kecil
dan perineum yang intak.
Untuk dilakukan operasi transvaginal, pasien berada pada posisi lito-
tomi dan dalam anastesi. Leher fistula dinaikkan ke dalam vagina,
kemudian dibuat dua sampai tiga jahitan melingkar untuk menutup fistula.
Fistula dima sukkan lagi ke dalam rektum, kemudian mukosa vagina
disatukan dan diperbaiki lagi dengan dijahit. Selain teknik yang telah
disebutkan ini masih ada teknik transvaginal yang lain.
4.2 Teknik Operasi Transrektal

Teknik operasi transrektal mempunyai keuntungan yaitu sfingter anal


tidak perlu diinsisi, akses menuju fistula letak rendah baik dan flap rektum
jauh lebih mudah dibandingkan flap vaginal karena mukosa rektum jauh
lebih mudah bergerak (mobile). Prosedur ini dilakukan dengan posisi
prone, dan dapat dilakukan dengan anastesi regional. Ini merupakan metode
operasi yang baik jika tidak didapatkan inkontinensia dan cedera sfingter.
Hasil dari teknik operasi ini memuaskan asalkan sesuai kriteria pemilihan.
Angka keberhasilan sama dengan teknik operasi transvaginal, namun lebih
rendah jika dibanding- kan dengan transperineal.
4.3 Teknik Operasi Transperineal

Teknik operasi transperineal biasa dilakukan jika fistula rektovaginal


disertai dengan defisiensi perineum dan cedera sfingter. Teknik ini
dilakukan pada pasien yang mengalami keluhan fistula rektovaginal dan
inkontinensia feses. Teknik transperineal dilakukan dengan cara membuat
insisi pada perineum melewati vagina dan rektum. Fistula ditutup dari
kedua sisi, yaitu sisi vagina dan sisi rektum. Setelah fistula tertutup maka
dilakukan reparasi perineum dan sfingter. Jika tidak terdapat inkontinensia
feses, teknik operasi transperineal cukup dilakukan levatoplasti, tanpa
pembelahan sfingter.
4.4 Teknik Operasi Transabdominal

Teknik operasi transabdominal secara umum dipakai untuk fistula


rek- tovaginal letak tinggi. Fistula letak tinggi ini sering berasal dari
neoplasma, radiasi, atau inflamatory bowel disease. Teknik operasi bisa
dilakukan dengan atau tanpa reseksi usus.
Teknik operasi transabdominal dilakukan tanpa reseksi usus jika jar-
ingan usus dan jaringan sekitar fistula masih normal, operasi yang dilaku-
kan hanya menutup mengeksisi fistula dan menutup fistula dari rektum dan
vagina. Terkadang dapat dilakukan interposisi dari jaringan lain yang
sehat, tersering dari omentum untuk perbaikan dan pemisahan sambungan
jahitan.
Teknik operasi transabdominal dilakukan dengan reseksi usus, jika di
dapati adanya jaringan yang abnormal karena radiasi, inflamasi, atau
neoplasma. Perbaikan fistula akan gagal jika tidak disertai reseksi jaringan
abnormal ini.

3.8. Perawatan Pasca Operasi

Setelah operasi pasien diberikan diet makanan lunak tanpa serat atau
makanan cair, serta diberikan pelunak feses. Antibiotik profilaksis dapat
di- berikan peroral, antibiotik yang diberikan berupa antibiotik dengan
spektrum luas 3-5 hari pasca operasi. Evaluasi perbaikan fistula, melihat
apakah ada- kah gejala fistula yang rekuren, namun tidak boleh dilakukan
pemeriksaan dalam selama perawatan. Lakukan observasi pada prilaku
usus besar selama pasca operasi.
3.9. Komplikasi Operasi

Komplikasi yang sering pada teknik operasi perbaikan secara lokal


(transvaginal, transanal, transperineal) adalah infeksi yang mengancam
kega- galan perbaikan fistula. Komplikasi lainnya yang jarang adalah
perdarahan, nyeri pasca operasi, dan retensi urin.
Sedangkan pada teknik operasi transabdominal komplikasi yang
sering juga berupa infeksi seperti infeksi traktus urinarius, iskemik kolon,
abses, dan striktur. Stoma ditutup 2-4 bulan setelah operasi, dengan
peringatan kepada pasien bahwa pasien akan mengalami diare dan
inkontinensia selama 2-3 bulan setelah penutupan.

Anda mungkin juga menyukai