Anda di halaman 1dari 48

BAGIAN ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2022


UNIVERSITAS HALU OLEO

INKONTINENSIA URIN

Oleh :

Wa Ode Siti Zurrahmah S.Ked


K1B1 21 037

Pembimbing

dr. Mono Valentino Yohanis, Sp OG

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU OBSTETRI & GINEKOLOGI


RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2022
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Wa Ode Siti Zurrahmah, S.Ked

Nim : K1B1 21 037

Judul referat : Inkontinensia Urin

Telah menyelesaikan referat dalam rangka kepaniteraan klinik pada bagian ilmu
obstetri dan ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo

Kendari, Mei 2022

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Mono Valentino Yohanis, Sp OG

ii
INKONTINENSIA URIN

A. Pendahuluan

Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang cukup sering dijumpai

pada wanita, sekitar 25% wanita muda, 44-57% wanita usia pertengahan dan

pascamenopause, dan 75% dari wanita yang lebih tua mengalami inkontinensia urin.

Namun masalah ini tidak dilaporkan dan tidak dilakukan pengobatan, karena

menganggap masalah tersebut adalah masalah yang memalukan untuk diceritakan dan

ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin1.

Akibatnya banyak wanita dengan inkontinensia urin hidup dengan keterbatasan

fisik, fungsional, psikologis dan penurunan kualitas hidup di rumah dan di tempat

kerja. Inkontinensia urin menjadi masalah yang sulit diskusikan bagi pasien, sehingga

dokter harus berusaha mendapatkan informasi dari pasien dan melakukan

pemeriksaan untuk memperoleh gejala ini1.

Gangguan pada sistem ini diakibatkan oleh persalinan, penuaan, atau kondisi

medis lainnya yang dapat menyebabkan inkontinensia urin2. Berbagai komplikasi

dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, gangguan tidur,

masalah psikososial seperti depresi, mudah marah dan rasa terisolasi. Inkontinensia

urin pada wanita umumnya terdiri atas inkontinensia urin tipe stress dan

inkontinensia urin tipe urgensi, dimana keduanya dapat dievaluasi berdasarkan

riwayat dan pemeriksaan klinis sederhana yang sebagian besar tersedia di pelayanan

perawatan primer3.

1
B. Anatomi Saluran Kemih Bawah dan Fisiologi Berkemih

1. Anatomi Saluran Kemih

a. Diaphragma Pelvis dan Urogenital

Diaphragma pelvis dibentuk oleh m.levator ani, m.coccygeus dan

fascia pelvis yang membungkus dua otot tersebut. M.levator ani dibagi

menjadi tiga bagian yaitu m.pubococcygeus, m.puborectalis dan

m.ileococcygeus. Pada wanita serabut bagian medial m.pubococcygeus

mengadakan perlekatan antara uretra dan vagina yang disebut

m.pubovaginalis. Diaphragma pelvis berfungsi membentuk fiksasi viscera

pelvis dan menahan tekanan intra abdominal yang semakin meningkat.

Bersama dengan kontraksi otot dinding ventral abdomen meningkatkan

tekanan intra abdominal, misalnya pada defekasi m.pubovaginalis

berperan dalam mengontrol proses miksi dan pada saat defekasi

m.puborectalis mengalami relaksasi hingga anorectal menjadi kendor4.

Diaphragma urogenital dibentuk oleh m.transversus perinea

profundus dan m.sphincter uretra. Dilalui oleh uretra kira-kira 2,5 cm

disebelah dorsal symphysis osseum pubis. Fascia yang menutupi

diaphrgama urogenital merupakan lanjutan dari pars anterior fascia

diaphragma pelvis4.

2
Gambar 1. Diaphragma pelvis

(Sumber : Wei dan Lancey, 2004)

b. Traktus Urinarius Bawah

Kontinensi urin diatur oleh hubungan kompleks antara

neurofisiologi dan strukur penujang saluran kemih bagian bawah. Saluran

kemih bagian bawah dapat dibagi menjadi kandung kemih dan uretra4.

1) Kandung kemih

Kandung kemih adalah sebuah kantong yang tersusun oleh

jaringan ikat dan otot polos, berfungsi sebagai tempat penyimpanan

dan pengosongan urin, di mana otot detrusor memiliki peranan penting

dalam proses tersebut. Bentuk, ukuran, lokasi dan hubungan dengan

organ-organ disekitar kandung kemih sangat bervariasi ditentukan oleh

usia, jenis kelamin dan volume urin. Saat kosong bentuk kandung

kemih agak bulat, terletak didalam pelvis dan mempunyai empat buah

dinding yaitu fascies superior, fascies infero-lateralis, dan fascies

3
posterior. Fascies superior dan bagian superior dari basis kandung

kemih ditutupi oleh peritoneum yang membentuk lipatan (flexi) dari

dinding lateral dan venteral abdomen dekat tepi atas symphysis

osseum pubis. Saat kandung kemih terisi penuh maka peritoneum

ditekan kearah atas sehingga lipatan tadi ikut terangkat ke atas.

Disebelah dorsal kandung kemih terdapat uterus dan vagina, dimana

peritoneum membentuk lipatan kearah uterus setinggi isthmus

sehingga kandung kemih kosong pada wanita terletak disebelah caudal

corpus uteri4.

Gambar 2. Struktur Vesica Urinaria

(Sumber : Paulsen dan Waschke, 201216)

4
2) Uretra

Uretra adalah saluran fibromuscular yang memanjang di bawah

kandung kemih. Pada wanita terletak di bagian anterior vagina,

muaranya disebut ostium uretra externum dan berada didalam

vestibulum vagina. Uretra berjalan melalui diaphragma pelvis dan

diaphragma urogenital, juga berkaitkan dengan beberapa struktur yang

berhubungan dengan disfungsi saluran kemih bagian bawah4 :

a) Otot lurik sfingter urogenital

Otot lurik sfingter urogenital sering disebut sebagai sfingter

uretra eksternal yang melingkari uretra di bagian tengah. Di bawah

lengkungan tulang pubis, otot ini terbagi untuk masuk ke dalam

dinding vagina dan membran. Otot ini bertanggungjawab untuk

meningkatkan tekanan intrauretra saat kandung kemih penuh

dengan menarik uretra kearah proksimal selama waktu yang

dibutuhkan sehingga uretra tertutup dan tidak terjadi inkontinensia.

b) Otot polos sfingter urogenital

Otot polos uretra atau sfingter uretra interna tidak berada

dibawah kontrol volunter. Sfingter ini berfungsi saat kandung

kemih berelaksasi sfingter uretra internum menutup pintu keluar

kandung kemih, melalui fungsi dua lapisan otot yaitu lapisan

sirkular luar dan lapisan longitudinal dalam.

5
Gambar 3. Uretra Wanita

(Sumber : Paulsen dan Waschke, 201216)

2. Fisiologi Berkemih

Setelah terbentuk di ginjal, urin disalurkan melalui ureter ke kandung

kemih. Kontraksi peristaltik otot polos di dinding ureter mendorong urin maju

dari ginjal ke kandung kemih. Susunan anatomi ureter yang menembus dinding

kandung kemih secara oblik dan berjalan melaui dinding kandung kemih

beberapa sentimeter sebelum membuka ke dalam rongga kandung kemih,

bertujuan mencegah aliran balik urin dari kandung kemih ke ginjal ketika

tekanan di kandung kemih meningkat5.

Kandung kemih adalah suatu kantong yang dibentuk oleh jaringan ikat

dan otot polos yang berada diregio pelvik. Dalam keadaan kosong kandung

kemih terletak dibelakang simfisis pubis dan bila penuh akan keluar hingga

melewati simfisis pubis sehingga sangat mudah diraba. Bagian dasar kandung

6
kemih dibentuk oleh otot fibroelastik yang berbentuk segitiga yang dikenal

dengan trigone. Trigone kandung kemih ini mengandung serabut saraf sensorik

yang berbentuk seperti segitiga terbalik5.

Gambar 4. Pelvis Perempuan

(Sumber : Paulsen dan Waschke, 201216)

Dinding kandung kemih (vesika) terdiri atas empat lapisan, yakni lapisan

serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa, dan lapisan mukosa. Saat otot

detrusor berelaksasi pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung

kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau berkemih langung.

Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang dipicu

oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik3.

Sistem saraf involunter mencakup sistem saraf simpatis dan parasimpatis.

Sistem saraf simpatis mengatur pengisian kandung kemih melalui merelaksasi

otot kandung kemih sehingga dapat terisi oleh urin dan mengkontrasikan

7
sfingter uretra internal dalam mencegah urin memasuki uretra. Sistem saraf

parasimpatis menimbulkan keinginan untuk berkemih atau pengosongan

kandung kemih melalui stimulasi otot kandung kemih untuk berkontraksi

sehingga menyebabkan sensasi berkemih dan merelaksasikan sfingter uretra

interna yang menyebabkan urin memasuki uretra6.

Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan

kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis,

medulla spinalis, dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung

kemih mulai terisi urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan

medulla spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal

(ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi

sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan

untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa

penggembungan kandung kemih disadari dan pusat kortikal (pada lobus frontal)

bekerja menghambat pengeluaran urin. Ketika terjadi desakan berkemih,

rangsangan saraf dari korteks disalurkan melalui medulla spinalis dan saraf

pelvis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian

menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung

kemih. Kontraksi otot detrusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik

oleh saraf pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin

sehingga Prostaglandin inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor

dan kontraksi kandung kemih juga mengandung calcium-channel dependent

8
sehingga calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontraksi kandung

kemih3.

Otot-otot polos kandung kemih tumbuh beranyaman satu sama lain

menjadi satu lapisan dengan kelanjutan serabutnya ditemukan juga pada

dinding uretra sebagai otot-otot uretra dikenal sebagai muskulus sfingter visisae

internus atau muskulus lisosfinter. Selain muskulus sfingter vesisae internus,

sedikit ke distal sepanjang 2 cm, uretra dilingkari oleh suatu lapisan otot tidak

polos dikenal sebagai muskulus sfingter uretra eksternus atau muskulus

rabdosfingter eksternus. Otot ini dapat meningkatkan fungsi sfingter vesika

dengan menarik uretra kearah proksimal hingga uretra lebih menyempit7.

Otot-otot polos vesika urinaria dan urethra berada dibawah pengaruh

saraf parasimpatis dengan demikian berfungsi serba atonom. Muskulus

rabdosfingter merupakan bagian dari otot-otot dasar panggul sehingga

kekuatannya dapat ditingkatkan dengan latihan-latihan dasar panggul dan ikut

memperkuat muskulus bulbokavernosus dan ishiokavernosus. Pada muskulus

rabdosfingter ini urethra dapat aktif ditutup jika penuh dan ada perasaan ingin

berkemih sehingga tidak terjadi inkontinensia. Bila vesika urinaria berisi urin

maka otot dinding vesika mulai diregangkan dan perasaan ini disalurkan melaui

saraf sensorik ke bagian sacral sumsum tulang belakang. Rasangan dapat

disalurkan ke bagian motorik yang kemudian dapat menimbulkan kontraksi

ringan pada otot dinding vesika (m. detrusor). Bila isi vesika hanya sedikit

maka kontraksi ringan tersebut tidak menimbulkan pengeluaran air kemih, akan

9
tetapi bila vesika terus diregangkan maka muskulus detrusor berkontraksi lebih

kuat dan urin dikeluarkan7.

Sfingter uretra internum merupakan otot polos sehingga tidak berada di

bawah kontrol volunter. Ketika kandung kemih melemas, susunan anatomi

regio sfingter uretra internum menutup pintu keluar kandung kemih. Sfingter

uretra eksternum dilapisi otot rangka dan diperkuat oleh diafragma pelvis

sehingga berada dibawah kontrol sadar, oleh karena itu orang dapat secara

sengaja mengkontraksikan keduanya untuk mencegah pengeluaran urin

meskipun kandung kemih berkontraksi dan sfingter internum terbuka5.

Gambar 5. Otot-otot sfingter uretra

(Sumber : Prawirohardjo, 2007)

Inervasi sfingter uretra internal dan eksternal bersifat kompleks.

Aktivistas adrenergic-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Sehingga

pengobatan dengan agonis adrenergik alfa (pseudoefedrin), dapat memperkuat

10
kontraksi sfingter sedangkan zat alfa-blocking (terazosin) dapat menggangu

penutupan sfingter. Inervasi adrenergic-beta menyebabkan relaksasi sfingter

uretra. Sehingga zat beta-adrenergik blocking (propanolol) dapat mengganggu

karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktifitas kontraktil

adrenergik-alfa3.

Hubungan uretra dengan kandung kemih dan rongga perut adalah

komponen penting dalam mekanisme sfingter. Mekanisme sfingter berkemih

memerlukan angulasi yang tepat antara uretra dan kandung kemih dan posisi

yang tepat pada uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intraabdomen

secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat urin

tidak akan keluar pada saat tekanan batuk yang meningkatkan tekanan intra

abdomen7.

Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan

rangkaian kordinasi proses fisiologi berurutan yang dibagi menjadi 2 fase yaitu

fase penyimpanan dan fase pengosongan. Mekanisme dasar proses berkemih

diatur oleh refleks yang berpusat di medulla spinalis segmen sakral yang

dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian (penyimpanan) kandung

kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan

penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih, serta

penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik

pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik

menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot

11
detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi

oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri, dan

serebelum5.

Proses pengosongan kandung kemih atau miksi diatur oleh dua

mekanisme yaitu refleks berkemih dan kontrol volunter. Refleks berkemih

dimulai ketika reseptor regang di dalam dinding kandung kemih terangsang.

Kandung kemih pada orang dewasa dapat menampung hingga 250-400 ml urin

sebelum tegangan di dindingnya mulai cukup meningkat untuk mengaktifkan

reseptor regang. Semakin besar tegangan yang melebihi ukuran ini, maka

semakin besar aktivasi resptor. Serat-serat aferen dari reseptor regang

membawa impuls ke korda spinalis dan melalui antarneuron merangsang saraf

parasimpatis untuk kandung kemih dan menghambat neuron motorik ke sfingter

eksterna. Stimulasi saraf parasimpatis kandung kemih menyebabkan organ ini

berkontraksi. Perubahan bentuk kandung kemih selama kontraksi secara

mekanis akan menarik terbukanya sfingter internum secara bersamaan sfingter

eksternum melemas karena neuron-neuron motoriknya dihambat kemudian

kedua sfingter terbuka dan urin terdorong melalui uretra oleh gaya yang

ditimbulkan kontraksi kandung kemih5.

12
C. Definisi

Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang

tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang

mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya3.

International Continence Society (ICS) mendifinisikan inkontinensia urin

sebagai keluarnya urin yang tidak dapat dikendalikan atau dikontrol, secara objektif

dapat diperlihatkan dan merupakan suatu masalah sosial atau higienis. Hal ini

memberikan perasaan tidak nyaman yang menimbulkan dampak terhadap kehidupan

sosial, psikologi, aktivitas seksual dan pekerjaan. Juga menurunkan hubungan

interaksi sosial dan interpersonal. Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau

persisten. Inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati bila penyakit atau

masalah yang mendasarinya seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran,

vaginitis atrofik, rangsangan obat–obatan dan masalah psikologik. Inkontinensia urin

sendiri tidak mengancam jiwa penderita, tetapi berpengaruh pada kualitas hidup yang

disebabkan oleh faktor gangguan psikologis dan faktor sosial yang sulit diatasi8.

D. Epidemiologi

Inkontinensia urin lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki.

Prevalensi inkontinensia urin pada perempuan dewasa menurut penelitian dari 17

negara pada tahun 2004 berkisar antara 5% hingga 69%. Perempuan usia lanjut lebih

cenderung mengalami inkontinensia urin tipe mixed dan urge, sedangkan perempuan

muda dan usia pertengahan umumnya mengalami inkontinensia tipe stress. Secara

keseluruhan, sekitar setengah dari seluruh perempuan dengan inkontinensia urin

13
diklasifikasikan sebagai inkontinensia tipe urge atau tekanan. Faktor-faktor risiko

yang berkaitan dengan prevalensi inkontinensia pada perempuan antara lain usia,

riwayat kehamilan, obesitas, hormon, diabetes mellitus (DM), infeksi saluran kemih

(ISK) dan menopause9.

Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan publik di seluruh dunia

mempengaruhi kehidupan jutaan orang perempuan dan menyebabkan masalah sosial

ekonomi yang serius serta masalah fisik dan psikologis. Inkontinesia urin juga

mempengaruhi hubungan seksual yang menyebabkan penurunan kualitas hidup dan

terjadinya depresi. Dalam sebuah penelitian, dinyatakan bahwa inkontinensia urin,

penyakit Alzheimer dan Stroke adalah tiga penyakit kronis yang dapat mempengaruhi

dan menurunkan kualitas kesehatan10.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa inkontinensia urin

adalah masalah kesehatan utama, dan terdapat lebih dari 200 juta populasi di dunia

mengalami masalah berkemih. Prevalensi inkontinesia urin pada wanita adalah 3-

55%. Berdasarkan penelitian oleh Thom dan Rortveir, prevalensi inkontinensia

didapat pada postpartum adalah 33% dan separuh prevalensinya adalah inkontinensia

tipe stress10.

Berdasarkan penelitian Perkumpulan Kontinensia Indonesia (PERKINA)

mengenai profil inkontinensia urin di Indonesia pada tahun 2008. Penelitian ini

melibatkan enam rumah sakit pendidikan yaitu : Jakarta, Bandung, Semarang,

Surabaya, Makasar, dan Medan. Dari total 2.765 responden yang memenuhi kriteria

inklusi, didapatkan prevalensi total inkontinensia urin sebesar 13%. Secara umum,

14
OAB (over active bladder) dan inkontinensia tekanan merupakan dua tipe yang

paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 4,1% dan 4,0%. Sedangkan prevalensi

inkontinensia urin yang lain secara berurutan : campuran (1,6%), luapan (0.4%),

enuresis (0.4%), dan tipe lain (0.7%)11.

Pada penelitian oleh Fakhrizal dkk (2016), inkontinensia urin di Indonesia dari

81 subjek (20,3%) ditemukan inkontinensia urin pada tiga bulan postpartum. Dari 81

subjek tersebut yang mengalami inkontinensia urin, 35 subjek (8,8%) memiliki

inkontinensia urin tipe stress, 25 subjek (6,3%) memiliki inkontinesia urin tipe urge

dan 21 subjek (5,3%) memiliki tipe campuran. Pada penelitian ini juga didapatkan

diantara 143 subjek yang menjalani persalinan pervaginam dan 211 subjek yang

menjalani operasi section caesar terdapat 20 subjek (14,15%), dan 15 subjek (7,1%)

masing-masing mengalami inkontinensia urin tipe stress. Risiko berkembang menjadi

inkontinensia urin tipe stress persisten dalam waktu tiga bulan postpartum dan lebih

tinggi pada persalinan pervaginam dibandingkan dengan persalinan operasi section

caesar10.

E. Etiologi

Penyebab inkontinensia urin dibedakan berdasarkan jenisnya yaitu12 :

1. Inkontinensia yang terjadi secara akut, merupakan inkontinensia yang terjadi

secara mendadak dan berkaitan dengan sakit yang dialami, inkontinensia ini

disebabkan oleh12 :

15
a. Delirium, kesadaran yang menurun berpengaruh terhadap tanggapan

rangsangan berkemih, bila delirium membaik maka inkontinensia akan

pulih

b. Infeksi, infeksi saluran kemih dapat menyebabkan terjadinya

inkontinensia urin

c. Atropic vaginitis dan atrophic urethritis, atropic vaginitis biasanya

disertai dengan atropic urethritis dan keadaan ini menyebabkan

inkontinensia pada wanita

d. Pharmaceuticals, obat-obatan merupakan salah satu penyebab utama

inkontinensia akut, misalnya diuretic, antikolinergik, psikotropik,

analgesic opioid, alfa blocker pada wanita, dan pengambat kalsium

e. Faktor psikologi, depresi berat dengan retardasi psikomotor dapat

menurunkan kemampuan atau motivasi untuk mencapai tempat berkemih

f. Restricted mobility, hambatan mobilitas untuk mencapai tempat berkemih

2. Inkontinensia yang menetap/kronik/persisten, inkontinensia yang

berlangsung lama dan tidak berkaitan dengan penyakit atau obat-obatan.

Secara umum penyebab inkontinensia yang menetap adalah12 :

a. Aktivitas otot detrusor yang berlebihan (over active bladder atau

inkontinensia urin tipe urgensi). Aktivitas otot detrusor yang berlebihan

menyebabkan kontraksi yang tidak terkendali dari kandung kemih dan

berakibat keluarnya urin. Keadaan ini merupakan penyebab utama

inkontinensia pada usia lanjut.

16
b. Aktivitas otot detrusor yang menurun (inkontinensia urin tipe overflow

atau luapan). Inkontinensia ini akibat gangguan persyarafan sacrum

(neurogenic bladder), ditandai dengan sering berkemih terutama pada

malam hari dengan jumlah urin sedikit dan sisa urin residu setelah

berkemih sekitar 450cc.

c. Kegagalan uretra (Inkontinensia urin tipe stress). Inkontinensia ini

ditandai dengan kebocoran urin saat beraktifitas. Urin dapat keluar saat

tertawa, bersin, batuk atau mengangkat benda berat.

3. Inkontinensia funsional, terutama disebabkan oleh trauma pada persalinan.

Pada proses persalinan dasar panggul didorong dan regangkan serta sebagian

dirobek. Kerusakan ini menyebabkan kelainan letak kandung kemih serta

otot-otot sekitar kandung kemih mengalami cedera. Hal ini dapat

menyebabkan inkontinesia pada masa nifas dan akan hilang sendiri bila

jaringan-jaringan yang mengalami cedera akibat partus sembuh kembali12.

F. Patofisiologi

Inkontinensia urin terjadi ketika terdapat disfungsi baik dalam fungsi

penyimpanan atau fungsi pengosongan saluran kemih bawah. Disfungsi sfingter

uretra dan disfungsi kandung kemih dapat terjadi bersamaan2 :

1. Disfungsi Vesica Urinaria

a. Disfungsi vesica urinaria terbagi menjadi 2 yaitu :

17
1) Inkontinensia urgensi

Proses terjadinya inkontinensia urge meliputi mekanisme

Overactivity muskulus detrusor baik yang nonneurogenic maupun

neurogenic. Inkontinensia urge terjadi ketika tekanan kandung kemih

cukup untuk mengalahkan mekanisme sfingter. Peningkatan tekanan

kandung kemih atau detrusor cenderung membuka leher kandung

kemih dan uretra. Peningkatan tekanan detrusor dapat terjadi karena

kontraksi kandung kemih intermiten (over activity detrusor) atau

karena penambahan kenaikan tekanan dengan volume kandung kemih

meningkat (poor compliance). Over activity detrusor adalah idiopatik

atau berhubungan dengan penyakit neurologis (detrusor overactivity

karena neurogenik). Over activity detrusor umumnya terjadi pada

orang tua dan berhubungan dengan obstruksi kandung kemih2.

2) Inkontinensia Overflow

Inkontinensia overflow terjadi pada volume kandung kemih yang

ekstrim. Hilangnya urin didorong oleh peningkatan tekanan detrusor.

Inkontinensia overflow terlihat ketika ada pengosongan kandung

kemih yang tidak lengkap disebabkan oleh obstruksi atau kontraktilitas

kandung kemih yang buruk2.

2. Disfungsi Uretra (Inkontinensia Stress)

Inkontinensia terkait uretra atau inkontinensia stress terjadi karena

hipermobilitas uretra atau defisiensi sfingter intrinsik. Inkontinensia terkait

18
dengan hipermobilitas uretra disebut inkontinensia anatomi sebab inkontinensia

ini merupakan malposisi sfingter. Pemindahan dari uretra proksimal di bawah

dasar panggul tidak memungkinkan untuk transmisi tekanan perut yang

biasanya membantu dalam menutup uretra. Ada wanita dengan mobilitas leher

kandung kemih atau uretra yang tidak mengalami inkontinensia, defisiensi

sfingter intrinsik baru biasanya terjadi setelah kegagalan dari satu atau lebih

operasi untuk inkontinensia stres. Penyebab lain defisiensi sfingter intrinsik

termasuk myelodysplasia, trauma, dan radiasi. Beberapa penulis telah berteori

bahwa semua pasien inkontinensia harus memiliki unsur defisiensi sfingter

intrinsik. Pasien dengan inkontinensia stress akan mengeluarkan urin dengan

peningkatan mendadak tekanan perut. Pada pasien dengan defisiensi sfingter

intrinsik berat, dibutuhkan hanya sedikit peningkatan tekanan perut untuk

menyebabkan pengeluaran urin, dan karena itu pasien dapat mengeluarkan urin

dengan aktivitas minimal2.

G. Faktor Risiko

1. Umur dan Jenis kelamin

Inkontinensia urin lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan

laki-laki. Pada perempuan prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia,

namun penuaan bukan penyebab inkontinensia satu-satunya. Prevalensi

inkontinensia urin lebih tinggi pada usia tua berhubungan dengan adanya

perubahan sistem saluran kemih pada usia tersebut. Penurunan estrogen saat

menopause dapat menyebabkan inkontinensia dengan melemahkan otot

19
panggul, menyebabkan atrofi vagina dan menurunkan fungsi jaringan

pendukung di sekitar uretra wanita. Bertambahnya usia menyebabkan

pengurangan kapasitas kandung kemih, peningkatan jumlah urin sisa dan

kontraksi kandung kemih yang involunter menjadi alasan lain terjadinya

inkontinensia urin13.

2. Hormon Seks

Penurunan estrogen dalam sirkulasi setelah menopause, berhubungan

dengan perubahan fisiologi saluran kemih pada penuan dan kurangnya reseptor

estrogen menyebabkan peningkatan prevalensi inkontinesia urin. Inkontinensia

urin juga meningkat pada wanita akibat perubahan hormon selama kehamilan.

Sebuah penelitian oleh Santos dkk (2006) pada wanita hamil, prevalensi

inkontinensia urin tipe tekanan atau stress ditemukan 5,4% sebelum kehamilan

dan 51,5% selama kehamilan. Begitu pula pada sebuah penelitian oleh Wesnes

dkk (2007), prevalensi inkontinensia urin meningkat dari 26% sebelum

kehamilan menjadi 58% pada minggu ke 30 kehamilan. Inkontinensia urin yang

berkembang selama kehamilan biasanya menghilang dalam beberapa minggu

setelah kelahiran namun, ada pula kemungkinan berkembang menjadi

inkontinensia urin permanen13.

3. Proses Persalinan

Faktor persalinan dilaporkan memiliki peran penting dalam

perkembangan inkontinensia urin. Pada suatu penelitian, didapatkan bahwa

persalinan meningkatkan risiko inkontinesia urin, tingkat inkontinesia urin lebih

20
rendah pada wanita nulipara dan lebih tinggi pada wanita yang telah melahirkan

4 kali atau lebih (multipara).

Inkontinensia tekanan atau stress dapat terjadi akibat melemahnya

jaringan penunjang cervix vesicae atau leher kandung kemih melalui kerusakan

jaringan yang diakibatkan oleh persalinan pervaginam. Persalinan pervaginam

dengan trauma menyebabkan disfungsi dasar panggul sehingga meningkatkan

risiko inkontinensia urin. Pada penelitian oleh Wilson dkk (1996), prevalensi

inkontinensia urin setelah persalinan pervaginam adalah 24,5% dan setelah

operasi section caesar adalah 5,2%. Penelitian Hvidman dkk (2003),

melaporkan bahwa inkontinensia urin setelah persalinan pervaginam adalah

24,9% dan inkontinensia urin setelah operasi section Caesar adalah 8,8%.

Adanya laserasi selama persalinan atau tindakan episiotomi meningkatkan

risiko terjadinya inkontinensia urin tipe stress lebih dari 3 kali. Faktor lain yang

mempengaruhi prevalensi inkontinesia urin adalah cedera saraf pudenda

postnatal dan pada wanita yang melahirkan bayi besar mengakibatkan

kerusakan saraf panggul dan melemahnya otot-otot dasar panggul13.

4. Obesitas, Merokok dan Konstipasi Kronis

Kasus apapun yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdominal

kronis berisiko menjadi inkontinensia urin. Obesitas, merokok dan konstipasi

dinyatakan sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya inkontinensia urin tipe

stress. Banyak penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa peningkatan

Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah faktor risiko untuk terjadinya inkontinensia

21
urin dimana kejadian tertinggi pada orang-orang dengan IMT lebih dari 25.

Sebagian besar, wanita yang kelebihan berat badan didiagnosis dengan

inkontinesia urin tipe stress disarankan menurunkan berat badan untuk mecegah

timbulnya gejala13.

Batuk keras dan sering, yang terjadi pada perokok mengakibatkan

peningkatan tekanan intraabdominal sehingga dapat terjadi inkontinensia urin,

selain itu inkontinensia juga terjadi akibat kerusakan sintesis kolagen dan efek

antiestrogenik dari beberapa bahan kimia yang terkandung dalam rokok, hal ini

dijelaskan dalam beberapa penelitian yang melaporkan prevalensi inkontinensia

lebih tinggi pada perokok dibandingkan bukan perokok. Konstipasi dapat

menyebabkan disfungsi otot panggul yang menyebabkan kerusakan pada saraf

panggul karena ketegangan sehingga inkontinensia urin dapat terjadi13.

5. Prolaps Organ Pelvis

Inkontinensia urin dan Pelvic organ Prolapse (POP) merupakan masalah

ginekologis yang dapat terjadi bersamaan, karena semua POP dan inkontinensia

urin disebabkan oleh alasan umum yaitu insufisiensi dasar panggul. Dalam

penelitian Gözükara dkk (2015), melaporkan bahwa inkontinensia urin

meningkat 3,4 kali pada mereka yang prolaps dan 9,1 kali pada mereka yang

punya sistokel13.

6. Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih sering ditemukan pada wanita. Infeksi sistem

saluran kemih adalah faktor risiko untuk terjadinya inkontinensia urin karena

22
menyebabkan stimulasi kontraksi otot detrusor yang involunter. Dalam suatu

penelitian oleh Santos dkk (2010) melaporkan bahwa inkontinensia urin

meningkat 6,5 kali pada pasien yang menderita infeksi saluran kemih

berulang13.

7. Gangguan Lainnya

Inkontinesia urin dapat terjadi pada beberapa penyakit seperti hipertensi,

diabetes mellitus dan stroke. Pada penelitian Santos dkk (2006) melaporkan

hipertensi dapat meningkatkan risiko inkontinensia urin sebesar 3,18 kali,

diabetes melitus meningkat 17,7 kali dan stroke meningkat 15,9 kali13.

H. Klasifikasi

Berdasarkan sifat reversibilitasnya inkontinensia urin dapat dikelompokkan

menjadi 2 yaitu :

1. Inkontinensia Urin Akut (Transient Incontinence)

Inkontinensia urin ini terjadi secara mendadak, terjadi kurang dari 6 bulan

dan biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenic

dimana menghilang jika kondisi akut teratasi. Penyebabnya dikenal dengan

DIAPPERS yaitu : Delirium, Infeksi dan Inflamasi, Atrophic vaginitis,

Psikologi dan Pharmacology, Excessive urin production (produksi urin yang

berlebihan), Restriksi mobilitas dan Stool impaction (impaksi feses)3.

2. Inkontinensia Urin Kronik (Persisten Incontinence)

Inkontinensia urin ini tidak berkaitan dengan kondisi akut dan

berlangsung lama (lebih dari 6 bulan). Ada 2 penyebab kelainan mendasar yang

23
melatar belakangi Inkontinensia urin kronik (persisten) yaitu menurunnya

kapasitas kandung kemih akibat hiperaktif dan karena kegagalan pengosongan

kandung kemih akibat lemahnya kontraksi otot detrusor. Inkontinensia urin

kronik ini dikelompokkan lagi menjadi beberapa tipe yaitu stress, urge,

overflow, dan mixed12 :

a. Inkontinensia urin tipe stress (tekanan)

Inkontinensia urin ini terjadi apabila urin secara tidak terkontrol

keluar akibat peningkatan tekanan di dalam perut seperti melemahnya

otot dasar panggul, operasi dan penurunan estrogen. Gejalanya antara lain

kencing sewaktu batuk, mengedan, tertawa, bersin, berlari, atau hal lain

yang meningkatkan tekanan pada rongga perut. Pengobatan dapat

dilakukan tanpa operasi (misalnya dengan Kegel exercises, dan beberapa

jenis obat-obatan) maupun dengan operasi. Inkontinesia urin tipe stress

dapat dibedakan dalam 4 jenis yaitu :

1) Tipe 0 : pasien mengeluh kebocoran urin tetapi tidak dapat dibuktikan

melalui pemeriksaan

2) Tipe 1 : Inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan manuver

stress seperti batuk, bersin, ketawa, atau kerja berat dan adanya sedikit

penurunan uretra pada leher vesika urinaria

3) Tipe 2 : Inkontinensia urin terjadi pada pemeriksaan dengan penurunan

uretra pada leher vesika urinaria 2 cm atau lebih

24
4) Tipe 3 : Uretra terbuka dan area leher kandung kemih tanpa kontraksi

kandung kemih. Leher uretra dapat menjadi fibrotik (riwayat trauma

atau bedah sebelumnya) dengan gangguan neurologik atau keduanya.

Tipe ini disebut juga defisiensi sfingter intrinsik.

b. Inkontinensia urin tipe urge (desakan)

Inkontinensia ini timbul pada keadaan otot detrusor kandung kemih

yang tidak stabil, yang mana otot ini bereaksi secara berlebihan.

Inkontinensia urin ini ditandai dengan ketidak mampuan menunda

berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya dapat berupa

perasaan ingin kencing yang mendadak (urge), kencing berulang kali

(frekuensi) dan kencing di malam hari (nokturia).

c. Inkontinensia urin tipe overflow

Pada keadaan ini urin mengalir keluar akibat isinya yang sudah

terlalu banyak di dalam kandung kemih, umumnya akibat otot detrusor

kandung kemih yang lemah. Biasanya hal ini dijumpai pada gangguan

saraf akibat penyakit diabetes, cedera pada sumsum tulang belakang, atau

saluran kencing yang tersumbat. Gejalanya berupa rasa tidak puas setelah

kencing (merasa urin masih tersisa di dalam kandung kemih), urin yang

keluar sedikit dan pancarannya lemah. Inkontinensia tipe overflow ini

paling banyak terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita.

25
d. Inkontinensia tipe campuran (Mixed)

Inkontinensia yang merupakan kombinasi dari setiap jenis

inkontinensia urin di atas. Kombinasi yang paling umum tipe campuran

adalah inkontinensia tipe stress dan tipe urgensi atau tipe stress dan tipe

fungsional.

Inkontinensia dapat dibagi dalam beberapa tingkat untuk memudahkan

membuat diagnosis dan terapi, yaitu7 :

1. Tingkat I, yaitu adanya air kemih keluar meskipun sedikit pada waktu batuk

atau bersin atau ketawa, atau kerja berat.

2. Tingkat II, yaitu keluarnya air kemih bila bekerja ringan, naik tangga atau

jalan-jalan.

3. Tingkat III, yaitu keluarnya terus air kemih tidak tergantung dari berat

ringannya bekerja, bahkan saat berbaring air kemih dapat keluar.

I. Diagnosis

Diagnosis pasien dengan gejala inkontinensi urin pada wanita dapat dilakukan

beberapa evaluasi minimal yaitu : anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan

urinalisis, pengukuran postvoid volume urin residual, dan demonstrasi inkontinensia

urin stress14.

1. Anamnesis

Anamnesis dilakukan untuk menentukan jenis inkontinensia urin yang

dialami. Anamnesis dapat dilakukan melalui cara sebagai berikut14:

26
a. Anamnesis riwayat berkemih dapat dilakukan dengan menanyakan :

1) Sudah berapa lama mengalami inkontinensia urin (durasi

inkontinensia)

2) Kondisi kebocoran yang dialami misalnya saat batuk, mengedan atau

rasa urgensi

3) Gejala penyimpanan kandung kemih misalnya frekuensi inkontinensia,

gejala urgensi atau nokturia (terbangun untuk berkemih pada malam

hari)

4) Gejala berkemih lain seperti aliran buruk, terputus-putus, dan tegang.

Berikut bagan penilaian yang digunakan untuk mendiagnosis jenis

inkontinensia :

Tabel 1. Penilaian gejala inkontinensia urin14

Gejala
Frekuensi dengan urgensi Ya Tidak
(lebih dari 8 kali dalam 24
jam)
Terbangun untuk Sering Jarang
berkemih pada malam hari
lebih dari 1 kali
Urgensi (keinginan kuat, Ya Tidak
mendadak untuk
berkemih)

Kemampuan untuk Tidak Ya


mencapai toilet pada
waktunya setelah urgensi
berkemih
Jumlah kebocoran urin Banyak (jika ada) Sedikit
pada setiap episode
inkontinensia

27
Kebocoran saat Tidak Ya
melakukan aktivitas fisik
(contoh : tertawa, batuk,
bersin)
Diagnosis kerja Inkontinensia Inkontinesia stress
urgensi
b. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat penyakit dahulu mencakup masalah medis lainnya seperti :

diabetes melitus (menyebabkan timbulnya diuresis osmotik jika kontrol

glukosa buruk), insufisiensi vaskuler (menyebabkan timbulnya

inkontinensia pada malam hari saat edema perifer dimobilisasi ke sistem

vaskuler, sehingga menyebabkan peningkatan diuresis), penyakit paru

kronis (yang dapat menyebabkan stress inkontinensia karena batuk

kronis) dan adanya hipertensi harus diketahui, riwayat nyeri atau

ketidaknyamanan area suprapubik atau perineal perlu diketahui. Sensasi

seperti itu dapat timbul karena kemungkinan adanya karsinoma kandung

kemih, batu atau distensi akut kandung kemih14.

c. Riwayat penggunaan obat-obatan yang dapat mempengaruhi traktus

urinarius bagian bawah. Jenis obat yang bisa mempengaruhi fungsi

saluran kemih bagian bawah termasuk diuretik, kafein, alkohol, analgesik

narkotika, obat antikolinergik, antihistamin, obat psikotropika, alfa-

adrenergik blocker, agonis alfa-adrenergik, dan kalsium chanel blocker1.

28
d. Riwayat obstetrik

Riwayat obstetrik seperti jumlah paritas, riwayat persalinan sulit,

riwayat persalinan lama perlu dicari pada wanita dengan inkontinensia

stress14.

e. Riwayat pembedahan

Riwayat pernah menjalani operasi yang dapat mempengaruhi proses

berkemih juga harus diketahui, seperti operasi untuk kondisi

inkontinensia stress atau operasi pelvis14.

f. Kondisi fisik

Kondisi fisik yang mempengaruhi kemampuan fungsional berkemih

seperti fungsi tangan, kemampuan berpakaian, keseimbangan duduk,

kemampuan untuk melakukan transfer dan ambulasi juga perlu diketahui

untuk mencari kemungkinan mengapa pasien menjadi inkontinensia dan

untuk merencanakan manajemen terapi14.

g. Keterbatasan sosial

Keterbatasan sosial dialami yang disebabkan oleh inkontinensia.

Hal ini penting untuk menentukan manajemen yang akan berikan14.

h. Penilaian melalui buku harian berkemih

Buku harian berkemih dapat menjadi tambahan berguna untuk

mengetahui riwayat inkontinensia pasien, yang dapat memberikan

informasi tentang asupan cairan, pola berkemih, dan episode terjadinya

29
inkontinensia sehingga dapat membantu diagnosis dan pengobatan

inkontinensia urin1.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik umum meliputi pemeriksaan abdomen, panggul,

genitalia yaitu vulva nilai apakah terdapat prolaps atau penurunan organ

panggul dan colok dubur. Penilaian fungsi otot dasar panggul dari pemeriksaan

vagina atau rektum sebelum dilakukan latihan otot dasar panggul (Pelvic Floor

Muscle Training) dan pemeriksaan urin sisa setelah berkemih (Urine Residual

Postvoid/PVR) harus dinilai1.

Pemeriksaan bimanual pada semua pasien dengan gejala inkontinensia

urin termasuk pemeriksaan otot dasar panggul, penilaian kekuatan otot dan

relaksasi otot. Pemeriksaan rektum berguna untuk mengevaluasi lebih lanjut

kelainan anorektal dan impaksi tinja, yang dapat dikaitkan dengan inkontinensia

pada wanita usia tua. Pemeriksaan rektum juga untuk menilai tonus dan

kekuatan sfingter ani dan patologi rektum lainnya, termasuk fistula

rektovaginal, tumor, hemoroid, atau fisura1.

Pemeriksaan pelvis, termasuk evaluasi struktur penyokong uretra

merupakan hal yang penting. Beberapa hal yang penting dalam pemeriksaan

fisik14 :

1) Pasien dengan inkontinensia urin harus diperiksa dalam keadaan

kandung kemih penuh, terutama jika keluhan utamanya adalah

inkontinensia stress.

30
2) Pasien harus berdiri tegak, relaks dengan kaki terbuka selebar bahu

lalu pasien diminta untuk batuk beberapa kali untuk melihat jika ada

tanda fisik inkontinensia stress yang tampak. Jika tampak keluar urin,

konfirmasikan hal tersebut dan apakah hal tersebut mengganggu dia.

3) Diagnosis inkontinensia stress tidak dapat ditegakkan jika manuver ini

tidak berhasil dilakukan. Jika terjadi kebocoran, penting untuk dicatat

apakah hal ini terjadi bersamaan dengan manuver atau tertunda

beberapa detik.

a. Tes stress/tekanan batuk atau mengedan

Terdapatnya pengeluaran cairan dari uretra bersamaan dengan batuk

atau mengedan adalah tes inkontinensia stress positif, jika kehilangan urin

terjadi secara tertunda setelah batuk atau mengedan dianggap hasil tes

negatif. Tes stress dapat dilakukan dalam posisi terlentang atau duduk

dibangku kemudian paha dibuka dan pasien diminta batuk atau

mengedan. Bila terdapat inkontinensia maka dari uretra akan keluar urin1.

b. Pad test

Pada test merupakan penilaian semi objektif untuk mengetahui

apakah cairan yang keluar adalah urin, seberapa banyak keluarnya urin

dan dapat digunakan untuk memantau keberhasilan terapi inkontinensia.

Pasien diberikan phenazopyridine oral (Pyridium) atau indigo carmin

(methylene blue) dimasukkan ke dalam kandung kemih melalui kateter

uretra. Pyridium membuat urin warna merah dan methylene blue

31
membuat urin berwarna biru. Jika pembalut mengalami perubahan warna

maka cairan yang keluar adalah urin. Pad test ini dapat dilakukan selama

1 jam atau 24 jam. Pad kemudian ditimbang (1g=1ml) untuk menilai

berapa banyak urin yang keluar14.

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah :

a) Kultur urin yang dapat membantu untuk menyingkirkan infeksi, yang

berhubungan dengan inkontinensia14.

b) Pemeriksaan Postvoid Residual Urine Volume (PVR). Pasien dengan

volume Postvoid Residual Urine Volume besar mempunyai kapasitas

kandung kemih yang fungsional terbatas karena adanya dead space di

kandung kemih yang menampung urin. Ruang ini dapat menjadi sumber

infeksi traktus urinarius. Residual yang besar dapat menyebabkan

inkontinensia yaitu jika kandung kemih overdistensi, peningkatan tekanan

intraabdominal dapat mendorong urin melalui sfingter uretra,

menyebabkan timbulnya inkontinensia urin. Berdasarkan nilai uji evaluasi

urodinamik, volume residual postvoid kurang dari 150 ml diukur dengan

ultrasonografi pada kandung kemih atau kateter menunjukkan

pengosongan kandung kemih pada wanita1.

c) Sistoskopi, digunakan untuk menentukan adanya radang, tumor, struktur,

perubahan struktur vesika yang dapat menimbulkan inkontinensia14.

32
d) Uretrosistografi dapat memperlihatkan keadaan uretra, vesika urinaria,

dan sudut antara uretra dan vesika untuk menemui etiologi

inkontinensia14.

e) Sfingtometri menunjukkan bahwa tahanan dari muskulus rabdosfingter

lebih tinggi daripada muskulus lisosfingter dengan memanfaatkan

elektromiografi14.

J. Penatalaksanaan

1. Tatalaksana Awal Inkontinensia Urin

Penanganan awal inkontinensia urin tekanan, desakan atau campuran

pada wanita meliputi anjuran untuk memperbaiki gaya hidup, terapi fisik,

pengaturan jadwal berkemih, terapi perilaku dan medikasi/obat-obatan15.

a. Perbaikan gaya hidup

Perbaikan gaya hidup seperti menurunkan berat badan pada

obesitas, mengurangi asupan kafein, menurunkan asupan cairan hanya

pada pasien dengan masukkan cairan abnormal tinggi dan tidak dilakukan

pada semua pasien karena kekurangan cairan dapat menyebabkan

dehidrasi, infeksi saluran kemih, dan sembelit dan menyilangkan dan

menekukkan kaki ke depan dapat mengurangi pengeluaran urin saat batuk

atau tekanan lainnya15.

1) Perbaikan gaya hidup inkontinensia urgensi atau desakan

Perbaikan gaya hidup merupakan langkah awal terapi

inkontinensia urin desakan. Terapi perilaku didasarkan pada pemikiran

33
bahwa kondisi ini terjadi karena hilangnya kontrol kortikal terhadap

detrusor pada proses berkemih yang sebelumnya ada selama fase toilet

training anak-anak sehingga perlu dilakukan bladder retraining dan

latihan otot-oto dasar panggul15.

Bladder training adalah latihan kandung kemih yang bertujuan

untuk mengembangkan tonus otot dan otot spingter kandung kemih

agar bertujuan maksimal. Bladder training biasanya digunakan untuk

stress inkontinensia, desakan inkontinensia atau kombinasi keduanya

atau yang disebut inkontinensia campuran. Pelatihan kandung kemih

yang mengharuskan klien menunda berkemih, melawan atau

menghambat sensasi urgensi dan berkemih sesuai dengan waktu yang

telah ditetapkan dan bukan sesuai dengan desakan untuk berkemih.

Tujuan bladder training adalah untuk memperpanjang interval antara

urinasi klien, menstabilkan kandung kemih dan menghilangkan

urgensi16

Tujuan bladder retraining (bladder drill) adalah membentuk

kembali kemampuan kontrol korteks serebral terhadap fungsi kandung

kemih dengan bladder retraining diharapkan pola kebiasaan

disfungsional, memperbaiki kemampuan untuk menekan urgensi dapat

diubah dan secara bertahap akan meningkatkan kapasitas kandung

kemih dan memperpanjang interval berkemih. 15

34
Bladder retraining dilakukan dengan cara meningkatkan waktu

antar berkemih secara progresif 10-15 menit setiap satu minggu atau

30 menit setiap 2-5 hari hingga tercapai interval yang cukup (2,5-3

jam). Interval berkemih ditingkatkan secara bertahap seiring dengan

kemampuan pasien menekan urgensi dalam waktu yang cukup lama

agar dapat berjalan secara perlahan ke toilet dan berkemih secara

terkontrol. Kontraksi dasar panggul dipergunakan untuk menginhibisi

urgensi dan menunda berkemih15.

Latihan otot dasar panggul dan stimulasi elektrik dapat

membantu memperkuat otot dasar panggul untuk memperkuat

penutupan uretra dan secara refleks menghambat kontraksi kandung

kemih. Latihan kandung kemih ini sering sangat bermanfaat untuk

pasien-pasien dengan perbaikan lesi neurologis (contoh cedera kepala,

stroke) dan fungsi kandung kemih tetapi mengalami gangguan

berkemih atau rasa takut adanya inkontinensia berdasarkan

pengalaman sebelumnya15.

2) Perbaikan gaya hidup inkontinensia stress

Terapi konservatif untuk hipermobilitas uretra, yang merupakan

penyebab inkontinensia stress paling sering, mencakup penurunan

berat badan jika pasien obesitas dan latihan otot dasar panggul atau

Kegel exercise.

35
Kegel Exercise

 Definisi

Kegel Exercise adalah latihan untuk membantu memperkuat otot

dasar panggul. Keberhasilan pengobatan dari 64 pasien dengan

inkontinensia stress urin, latihan ini dapat meningkatkan fungsi

sphincter yang terganggu. Latihan otot dasar panggul atau Kegel

exercise dapat menurunkan kejadian inkontinensia pada wanita

bermotivasi tinggi.

 Tujuan

Kegel Exercise (biasa juga dengan latihan kegel) dapat memperkuat

otot dasar panggul untuk meningkatkan fungsi Sphincter. Senam

kegel exercise awalnya ditujukan untuk mengatasi inkontinensia

urin pada wanita. Latihan ini digunakan untuk memperkuat otot

pubococcygeal (PC) dan otot diafragma pelvis lainnya.

 Cara Melakukan Kegel Exercise17

Pokok Bahasan
1. Definisi Tujuan Kegel Exercise adalah memperbaiki
kekuatan dan kekakuan otot dasar panggul
2 Tujuan  Menguatkan otot rangka pada dasar
panggul, sehingga memperkuat fungsi
sfingter pada kandung kemih
 Mengatasi inkontinensia urin

3 Indikasi  Klien mengalami inkontinensia urin


 Pria yang mengalami masalah ejakulasi diri
serta ereksi lebih lama

36
4 Kontraind Penderita penyakit jantung yang dapat
ikasi menyebabkan nyeri dada saat melakukan
gerakan minimal
5 Hal yang  Temukan otot yang tepat
perlu  Pertahankan focus, fokuskan hanya untuk
diperhari melatih otot dasar panggul
kan  Ulang 3x sehari
6 Persiapan a. Arloji
Alat b. Matras/karpet
c. Handscoon
7 Prosedur Tahap Pra Interaksi
 Cek catatan keperawatan atau catatan medik
klien
 Siapkan handscoon
 Cuci tangan

Tahap Orientasi
a. Berikan salam dan panggil klien dengan
namanya
b. Jelaskan tujuan, prosedur dan lama
tindakan pada klien atau keluarga
c. Kosongkan kandung kemih atau latihan ini
dilakukan setelah pasien melakukan
urinasi jika pasien yang masihmemakai
kateter maka dilakukan bersamaan dengan
bledder training
d. Memberi kesempatan pada klien untuk
bertanya bila ada yang ditanyakan
e. Menciptakan lingkungan yang nyaman
dengan menutup ruangan atau tirai
ruangan
f. Atur posisi klien yang nyaman (posisi
duduk atau berbaring)
Tahap Kerja
a. Memakai handscoon
b. Berikan kesempatan pada klien atau
keluarga untuk bertanya sebelum kegiatan
di mulai
c. Anjurkan pasien mengontraksikan otot
panggul dengan cara yang sama ketika
menahan lencing atau bunh angina (pasien
harus dapat meremas akan uretra dan anus

37
d. Palpasi pada otot perut atau pantat bila
mengeras maka pasien tidak berlatih
dengan benar
e. Bila pasien sudah menemukan cara yang
tepat untuk mengontraksikan dalam
hitungan (1-10) atau selama 10 detik
kemudian istirahat selama 10 detik
f. Lakukan latihan berulang-ulang sampai
10-15 kali proses latihan
g. Latihan ini dilakukan 2-3x sehari
h. Responden diminta melakukan ini rutin
selama pasien dirawat inap maupun rawat
jalan
i. Anjurkan pasien untuk minum (200-250
cc)
j. Tanyakan pada klien apakah terasa ingin
berkemih setelah 1 jam
k. Lepaskan handscoon dan rapikan semua
peralatan

Tahap Terminal
a. Menanyakan pada klien apa yang
dirasakan setelah dilakukan tindakan
b. Memberitahu latihan senam kegel tidak
perlu lama tetapi harus rutin
c. Menyimpulkan hasil prosedur yang telah
dilakukan
d. Melakukan kontrak dengan klien untuk
tindakan selanjutnya
e. Berikan reinforcement sesuai dengan
kemampuan klien
f. Merapikan lingkungan dan
mempersilahkan pasien istirahat.
Mengakhiri kegiatan dengan cara memberi
salam pamitan

Pada awalnya mampu melakukan hal tersebut tidak lebih dari

satu hingga dua detik, tetapi setelah beberapa minggu, sebagian besar

mampu memperpanjang durasi kontraksi. Pasien juga diajarkan untuk

38
mengkontraksikan sfingternya pada setiap maneuver stress. Kontraksi

akan memperkuat otot sehingga terjadi penutupan uretra dan secara

refleks akan menginhibisi gejala urgensi15.

b. Farmakoterapi inkontinensia urin

1) Farmakoterapi inkontinensia urin urgensi (desakkan)

Jika terapi perilaku tidak memuaskan, obat anticholinergic-

antispasmodik dapat diberikan. Obat-obatan ini hanya digunakan untuk

mendukung, bukan menggantikan intervensi perilaku (bladder

training). Obat-obat yang dipergunakan untuk inkontinensia urgensi

dapat dikelompokkan sesuai karakteristik farmakologisnya. Agen

antikolinergik mempunyai efek terutama pada kandung kemih dengan

menghambat aktivitas asetilkolin di reseptor muskarinik, karena

reseptor muskarinik merupakan mediator utama kontraksi otot

detrusor. Sehingga obat-obatan yang sering dipergunakan untuk terapi

kondisi ini adalah obat untuk mengurangi kontraksi otot detrusor

involunter melalui penghambatan reseptor muskarinik. Berikut jenis

obat-obat yang digunakan untuk inkontinensia urgensi15 :

Tabel 2. Farmakoterapi inkontinensia urin urgensi14

Jenis Obat Dosis

Obat Antimuskarinik Oxybutinin chloride 5-20 mg


Emepronium
Propantheline bromide 15-120 mg/hari
Hyoscyamine sulfate 0,125-0,25 mg
Hyoscyamine sulfate, 0,375 mg

39
(extended release)
Dycyclomine hydrochloride 30-90 mg / hari
Terodiline 25-50 mg/hari
Calcium channel Nifedipine
Blockers Diltiazem

2) Farmakoterapi inkontinensia urin tekanan (stress)

Pengobatan pada inkontinensia urin tipe stress bertujuan untuk

meningkatkan penutupan uretra dengan meningkatkan pola otot polos

dan otot lurik. Faktor-faktor yang berkontribusi terhadap penutupan

uretra termasuk pola otot polos dan lurik uretra serta lamina propria

uretra, khususnya pembuluh darah15. Terapi obat-obatan diberikan jika

rehabilitasi dasar panggul saja tidak efektif. Kecuali jika kontraindikasi

karena adanya kondisi medis yang lain, maka terapi dengan alpha-

adrenergik agonist seperti phyenylpropanolamine (50-100 mg) dapat

ditambahkan untuk terapi stress inkontinensia dan sering bermanfaat

terutama bila diberikan bersama dengan estrogen. Ephedrine dan

Phenylpropanolamine merupakan dua agen yang sering dipergunakan.

Ephedrine menyebabkan dilepaskannya norepinephrine yang secara

langsung menstimulasi reseptor alfa dan beta. Phenylpropanolamine

secara farmakologi sama dengan ephedrine tetapi memberikan

stimulasi SSP lebih kecil14.

40
c. Pengaturan jadwal berkemih dengan interval dua jam dapat bermanfaat

sebagai intervensi pada wanita dengan inkontinensia urin ringan dan pola

berkemih yang jarang terjadi15.

Gambar 6. Tatalaksana Awal Inkontinensia Urin Pada Wanita

(Sumber : Thuroff dkk, 2011)

2. Tatalaksana Operatif Inkontinensia Urin

a. Tatalaksana operatif inkontinensia urin desakan (urgensi)

Terapi operasi untuk memperbaiki kapasitas kandung kemih pada

pasien dewasa dengan kelainan berkemih neurogenik terkadang

diperlukan walaupun jarang dilakukan. Pada umumnya indikasi operasi

adalah inkontinensia urin desakan berat atau compliance kandung kemih

41
yang buruk walaupun sudah diberikan terapi konservatif dan

farmakologis. Salah satu teknik yang sering dipakai untuk meningkatkan

kapasitas dan tekanan kandung kemih adalah intravesikal augmetation

cystoplasty, yaitu pengangkatan sebagian kandung kemih dan

dilekatkannya sebuah segmen usus di kandung kemih yang tersisa.

Komplikasi yang mungkin terjadi meliputi infeksi traktus urinarius yang

rekuren (59%) pembentukan batu (22%) dan komplikasi yang

menyebabkan diperlukannya lagi tindakan operasi lebih lanjut 44%.

Pasien perlu dimotivasi secara baik dan memahami bahwa pengosongan

kandung kemih yang tidak efisien dapat terjadi setelah operasi, sehingga

diperlukan clean intermittent catheterization (CIC) jangka panjang. Juga

terjadi peningkatan mukus di urin karena adanya segmen usus. Metode

lain yang dapat digunakan adalah penggunaan neurostimulasi, dapat

dilakukan untuk menurunkan kontraksi kandung kemih yang tidak

diinhibisi14.

b. Tatalaksana operatif inkontinensia urin tekanan (stress)

Dilakukan jika metode konservatif atau farmakoterapi gagal atau

tidak dapat diterima oleh pasien, terapi yang dapat diberikan yaitu15 :

1) Pembedahan terbuka dan laparoskopi. Kolposuspensi merupakan

standar emas intervensi pembedahan untuk inkontinensiaa urin tekanan

tanpa komplikasi. Parameter luaran yang digunakan untuk menilai

pembedahan inkontinensia tekanan antara lain : angka kontinensia dan

42
jumlah episode inkontinensia urin, komplikasi umum dan spesifik

terkait prosedur, kualitas hidup.

2) Ambin mid-uretra. Ambin sintetik merupakan konsep baru yang

penting dalam terapi inkontinensia urin tekanan.

3) Bulking agent. Injeksi bulking agent ke dalam jaringan submukosa

uretra untuk meningkatkan penyatuan jaringan dinding uretra,

sehingga meningkatkan resistensi uretra dan memperbaiki kontinensia.

Tempat injeksi yang disarankan bervariasi tergantung pada bulking

agents yang digunakan. Injeksi dilakukan transuretra atau periuretra di

bawah kontrol uretroskopi, atau dengan cara lain menggunakan alat

yang dapat memposisikan ujung jarum pada posisi yang diinginkan.

43
Gambar 7. Tatalaksana spesialistik inkontinensia urin pada wanita

(Sumber : Thuroff dkk, 2011)

44
DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Obstetricians and Gynecologists. 2015. Urinary


Incontinence In Women. ACOG Practice Bulletin. Vol 126(5). June : 66-81.

2. Norton, P dan Brubaker, L. 2006. Urinary Incontinence in Woman. The Lancet.


Vol 367. January : 57-57.

3. Setiati, S dan Pramantara, I.D. 2014. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3 Edisi 4 :
Inkontinensia Urin dan Kandung Kemih Hiperaktif. Jakarta. Interna Publishing.

4. Wei, J.T dan Lancey, J.D. 2004. Functional Anatomy of the Pelvic Floor and
Lower Urynaru Tact. Clinical Obstetrics and Gynecology. Vol 47(1). March :
3-17.

5. Sherwood Lauralee. 2014. Fisiologi Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Jakarta.


EGC.

6. Chai, T.C dan Steers. 1997. Neurophysiology of Micturition and Continence in


Women. International Urogynecology Journal. Vol 8. 85-97.

7. Prawirohardjo, S. 2007. Ilmu Kandungan. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka.

8. Gajewski, J.B., Schurch, B., Hamid, R., Averbeck, M., Sakakibara, R., Agro,
E.F. 2017. An International Continence Society (ICS) Report on the
Terminology For Adult Neurogenic Lower Urinary Tracy Dysfunction.
Neurourology and Urodynamic Journal. 1-10.

9. Milsom, I., Altman, D., Lapitan, M., Nelson, R., Sillen, U., Thom, D. 2009.
Epidemiology of urinary (UI) and faecal (FI) incontinence and pelvic organ
prolapse (POP). International Consultation on Incontinence. July : 37-112.

10. Fakhrizal, E., Priyatini, T., Santoso, B.I., Junizaf., Moegni, F., Djusad, S. 2016.
Prevalence and Risk Factors of Persistent Stress Urinaty Incontinence at Three
Months Postpartum in Indonesian Women. Medical Journal Of Indonesia. Vol
25(3). September : 163-170.

45
11. Perkumpulan Kontinensia Indonesia. 2012. Panduan Tata Laksana
Inkontinensia Urin Pada Dewasa. Jakarta. Perkumpulan Kontinensia Indonesia.
ISBN : 9786021894903.

12. Pranarka, Kris. 2014. Ilmu Kesehatan Usia Lanjut : Inkontinensia. Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

13. Onsekiz Canakkale. 2016. Recent Advances in Health Sciences : Epidemiology


of Urinary Incontinence and Risk Factors. Turkey. St. Kliment Ohridski
University. ISBN : 9789540741369.

14. Vitriana. 2002. Evaluasi dan Manajemen Medis Inkontinensia Urin. Jakarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

15. Thuroff, J.W., Abrams, P., Anderssom, K.E., Artibani, W., Chapple, C.R.,
Drake, M.J. 2011. European Association of Urology Guidelines on Urinary
Incontinence. European Urology. Vol 59. 387-400.

16. Paulsen, F dan Waschke, 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. Jakarta. EGC.

17. Wahdi, A., dkk. 2021. Kegel Exercise “Latihan otot dasar panggul pada post
TURP dengan Inkontinensia Urin”.Jawa Tengah. CV. Pena Persada

46

Anda mungkin juga menyukai