Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Usus manusia secara umum terdiri atas usus besar dan usus halus. Segmen pada

usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum merupakan bagian

pertama dari usus setelah lambung. Duodenum akan diikuti oleh bagian usus yang

panjang yang disebut jejunum. Jejunum diikuti oleh ileum yang merupakan bagian akhir

dari usus halus yang akan menghubungkan usus halus dengan usus besar. Apabila bagian

dari usus ini gagal untuk berkembang pada fetus akan mengakibatkan terjadinya

sumbatan pada usus. Kondisi ini disebut dengan atresia intestinal.1

Atresia intestinal merupakan obstruksi yang sering terjadi pada neonatus yang

baru lahir. Atresia intestinal dapat terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Atresia intestinal

dapat terjadi pada berbagai tempat pada usus halus. 50% kasus atresia intestinal terjadi

pada duodenum dengan 57% perempuan dan 43% laki-laki. 46% kasus terjadi pada

jejunoileal dengan 61% laki-laki dan 39% perempuan.2

Duodenal atresia terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Beberapa penelitian juga

menyebutkaninsiden dari duodenal atresia mencapai 1 dari 2000 kelahiran 3sampai 1 dari

40.000 kelahiran.Sepertiga neonatus yang lahir dengan duodenalatresia disertai dengan

down sindrom. Disamping itu, juga terdapat penyakit lain yang menyertai seperti

penyakit jantung.terjadi pada 1 dari 5000-10.000 kelahiran. Atresia duodenal dan

jejunoileal merupakan kasus obstruksi intestinal yang paling sering terjadi di afrika.

Atresia Di afrika, insiden dari duodenal atresia duodenal dapat terjadi pada pars desenden

dari duodenum diikuti dengan obstruksi yang terjadi dibawah ampula vater.2

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Duodenum atau juga disebut dengan usus duabelas jari merupakan usus yang

berbentuk seperti huruf C yang menghubungkan antara gaster dengan jejunum.

Duodenum melengkung di sekitar caputpancreas. Duodenum merupakan bagian terminal

atau muara dari sistemapparatus biliaris dari hepar maupun dari pancreas. Selain itu

duodenum juga merupakan batas akhir dari saluran cerna atas. Dimana saluran cerna

dipisahkan menjadi saluran cerna atas dan bawah oleh adanya ligamentum Treitz (m.

suspensorium duodeni) yang terletak pada flexura duodenojejunales yang merupakan

batas antara duodenum dan jejunum. Di dalam lumen duodenum terdapat lekukanlekukan

kecil yang disebut dengan plica sircularis. Duodenum terletak di cavum abdomen pada

regio epigastrium dan umbilikalis. Duodenum memiliki penggantung yg disebut dengan

mesoduodenum.1

Gambar 1. Gambaran Usus

2
Gambar 2. Gambaran Bagian-bagian Duodenum

Duodenum terdiri atas beberapa bagian:1

1. Duodenum pars superior

Bagian ini bermula dari pylorus dan berjalan ke sisi kanan vertebrae lumbal I dan

terletak di linea transpylorica. Bagian ini tereletak setinggi vertebrae lumbal I dan

memiliki sintopi:

a. Anterior: lobus quadrates hepatis, vesica velea

b. Posterior: bursa omentalis, a. gastroduodenalis, ductus choleducus, v.

portae hepatis dan v. cava inferior

c. Supior: foramen epiploica winslow

d. Inferior: caput pankreas

2. Duodenum pars decendes

Bagian dari duodenum yang berjalan turun setinggi vertebrae lumbal II-

III. Pada duodenum bagian ini terdapat papilla duodeni major dan minor

yang merupakan muara dari ductus pancreaticus major dan ductus

3
choleductus serta ductus pancreaticus minor yang merupakan organ

apparatus billiaris dan termaksud organ dari system enterohepatic.

Duodenum bagian ini memiliki sintopi:

a. Anterior: Fundus vesica felea, colon transerum, lobus hepatis

dextra

b. Posterior: ureter dextra, hilus renalis dextra

c. Medial: caput pankreas

d. Lateral: colon ascendens, fleksura coli dextra, lobus hepatis dextra

3. Duodenum pars horizontal

Merupakan bagian dari duodenum yang berjalan horizontal ke sinistra mengikuti

pinggir bawah caput pancreas dan memiliki skeletopi setinggi vertebrae lumbal II.

Duodenum bagian ini memiliki sintopi:

a. Anterior : mensentrium usus halus, vasa mensentrica superior, lekukan

jejunum

b. Posterior : ureter dextra, m.psoas dextra, aorta

c. Superior : caput pancreas

d. Inferior : lekukan jejunum

4. Duodenum pars ascendens

Merupakan bagian terakhir dari duodenum yang bergerak naik hingga flexura

duodenujejunales yang merupakan batas antara duodenum dan jejunum. Pada

flexura duodenojejunales ini terdapat ligamentum yang menggantung yang

merupakan lipatan peritoneum yang disebut dengan ligamentum Treiz

(m.suspensorium duodeni) yang dimana ligamentum ini juga merupakan batas

4
yang membagi saluran cerna menjadi saluran cerna atas dan saluran cerna bawah.

Duodenum bagian ini memiliki skelotopi setinggi vertebrae lumbal I atau II.

Duodenum bagian ini memiliki sintopi:

a. Anterior: mensentrium, lekukan jejunum

b. Posterior: pinggir kiri aorta , pinggir medial m.psoas sinistra.

Vaskularisasi duodenum

Vaskularisasi duodenum baik arteri maupun vena nya terbagi menjadi dua bagian.

Untuk duodenum pars superior hingga duodenum pars descendens diatas papilla

duodeni major (muara ductus pancreticus major), divaskularisasi oleh R. superior a.

pancrearicoduodenalis cabang dari a. gastroduodenalis, cabang dari a. hepatica

communis, cabang dari triple hallery yang dicabangkan dari aorta setinggi Vertebae

Thoracal XII – Vertebrae Lumbal I. dan aliran vena nya langsung bermuara ke

system portae. Sedangkan dibawah papilla duodeni major, duodenum divaskularisasi

oleh R.duodenalis a. mesenterica superior yg dicabangkan dari aorta setinggi Vertebrae

Lumbal I. Sedangkan aliran vena nya bermuara ke v. mesenterica superior.1,3

Inervasi Duodenum

Duodenum di innervasi oleh persarafan simpatis oleh truncus sympaticus segmen

thoracal VI-XII, sedangkan persarafan parasimpatisnya oleh n.vagus.3

2.2 Definisi

Atresia duodenum merupakan kondisi dimana duodenum tidak berkembang baik.

Pada kondisi ini deodenum bisa mengalami penyempitan secara komplit sehingga

menghalangi jalannya makanan dari lambung menuju usus untuk mengalami proses

5
absorbsi. Apabila penyempitan usus terjadi secara parsial, maka kondisi ini disebut

dengan duodenal stenosis.1

2.3 Epidemiologi

Atresia intestinal merupakan obstruksi yang sering terjadi pada neonatus yang

baru lahir. Atresia intestinal dapat terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Atresia

intestinal dapat terjadi pada berbagai tempat pada usus halus. 50% kasus atresia

intestinal terjadi pada duodenum dengan 57% perempuan dan 43% laki-laki. 46%

kasus terjadi pada jejunoileal dengan 61% laki-laki dan 39% perempuan. Duodenal

atresia terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Beberapa penelitian juga

menyebutkaninsiden dari duodenal atresia mencapai 1 dari 2000 kelahiran 3sampai 1

dari 40.000 kelahiran. Sepertiga neonatus yang lahir dengan duodenalatresia disertai

dengan down sindrom. Disamping itu, juga terdapat penyakit lain yang menyertai

seperti penyakit jantung.terjadi pada 1 dari 5000-10.000 kelahiran.2

2.4 Etiologi

Penyebab yang mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum

diketahui. Atresia duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada

neonatus lainnya, yang menunjukkan kemungkinan bahwa hal disebabkan karena

gangguan yang dialami pada awal kehamilan dan hal ini juga diduga karena karena

gangguan pembuluh darah masenterika. Gangguan ini bisa disebabkan karena

volvulus, malrotasi, gastrokisis maupun penyebab yang lainnya. Pada atresia

duodenum, juga diduga disebabkan karena kegagalan proses rekanalisasi. Faktor

risiko maternal sampai saat ini tidak ditemukan sebagai penyebab signifikan

terjadinya kondisi seperti ini. Pada sepertiga pasien dengan atresia duodenal

6
menderita pula trisomi 21 (sindrom down), akan tetapi ini bukanlah faktor risiko

yang signifikan menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Beberapa penelitian

menyebutkan bahwa 12-13% kasus atresis duodenal di sebabkan karena

polihidramion. Disamping itu , beberapa penelitian menyebutkan bahwa annular

pancreas berhubungan dengan terjadinya atresia duodenal.1,3

2.5 Perkembangan Embriologi Duodenum

Deodenum dibentuk dari bagian akhir usus depan dan bagian sefalik dari usus

tengah. Titik pertemuan kedua bagian ini terletak tepat di sebelah distal pangkal

tunas hati. Ketika lambung berputar, duodenum mengambil bentuk melengkung

seperti huruf C dan memutar ke kanan. Perputaran ini bersama-sama dengan

tumbuhnya kaput pankreas, menyebabkan duodenum membelok dari posisi

tengahnya yang semula ke arah sisi kiri rongga abdomen. Deodenum dan kaput

pankreas ditekan ke dinding dorsal badan, dan permukaan kanan mesoduodenum

dorsal menyatu dengan peritonium yang ada didekatnya. Kedua lapisan tersebut

selanjutnya menghilang dan duodenum serta kaput pankreas menjadi terfikasasi di

posisi retroperitonial. Mesoduodenum dorsal menghilang sama sekali kecuali di

daerah pilorus lambung, dengan sebagian kecil duodenum ( tutup duodenum) yang

tetap intraperitonial.Selama bulan ke dua, lumen duodenum tersumbat oleh

ploriferasi sel di dindingnya. Akan tetapi, lumen ini akan mengalami rekanalisasi

sesudah bulan kedua. Usus depan akan disuplai oleh pembuluh darah yang berasal

dari arteri sefalika dan usus tengah oleh arteri mesenterika superior, sehingga

duodenum akan di suplai oleh kedua pembuluh darah tersebut3,4

7
2.6 Patofisiologi

Terdapat dua faktor yaitu faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga

menyebabkan terjadinya atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga

menyebabkan terjadinya anomali ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus.

Duodenum dibentuk dari bagian akhir foregut dan bagian sefalik midgut. Selama

minggu ke 5-6 lumen tersumbat oleh proliferasi sel dindingnya dan segera

mengalami rekanalisasi pada minggu ke 8- 10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut

dengan atresia duodenum. Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi

endoderm yang tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau

disebabkan kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak

penelitian yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berploriferasi dalam usia

kehamilan 30-60 hari ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian

akan menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses

vakuolisasi.4,6

Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis yang timbul pada lumen

duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel epitel, kejadian

ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini mengakibatkan terjadinya

rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini mengalami kegagalan, maka

lumen duodenum akan mengalami penyempitan. Pada beberapa kondisi, atresia

duodenum dapat disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena

gangguan perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum

berkaitan dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik

yang mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden.

8
Kondisi ini akan mengakibatkan gangguan perkembangan duodenum.4,6

2.7 Klasifikasi

Atresia dapat diklasifikasikan ke dalam tiga tipe morfologi. Atresia tipe I terjadi

pada lebih dari 90 % kasus dari semua obstruksi duodenum. Kandungan lumen

diafragma meliputi mukosa dan submukosa. Terdapar windsock deformity dimana

bagian duodenum yang terdilatasi terdapat pada bagian distal dari duodenum yang

obstruksi. Pada tipe I ini, tidak ada fibrous cord dan duodenum masih kontinu.

Atresia tipe II, dikarakteristikan dengan dilatasi proksimal dan kolaps pada segmen

area distal yand terhubung oleh fibrous cord. Atresia tipe III memiliki gap pemisah

yang nyata antara duodenal segmen distal dan segmen proksimal.3,4,6

Gambar 3. Gambaran Tipe Atresia Duodenum

2.8 Penegakkan Diagnosis

a. Manifestasi Klinis

Pasien dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Gejala akan nampak

dalam 24 jam setelah kelahiran. Pada beberapa pasien dapat timbul gejala dalam

beberapa jam hingga beberapa hari setelah kelahiran. Muntah yang terus menerus

9
merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal.

Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien.. Muntah akan berwarna

kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu (biliosa). Akan tetapi pada 15%

kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosa apabila atresia terjadi pada proksimal dari

ampula veteri. Muntah neonatus akan semakin sering dan progresif setelah neonatus

mendapat ASI. Karakteristik dari muntah tergantung pada lokasi obstruksi. Jika atresia

diatas papila, maka jarang terjadi. Apabila obstruksi pada bagian usus yang tinggi, maka

muntah akan berwarna kuning atau seperti susu yang mengental. Apabila pada usus yang

lebih distal, maka muntah akan berbau dan nampak adanya fekal. Apabila anak terus

menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah yang

cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti roentgen dan

harus dicurigai mengalami obstruksi usus. Ukuran feses juga dapat digunakan sebagai

gejala penting untuk menegakkan diagnosis. Pada anak dengan atresia, biasanya akan

memiliki mekonium yang jumlahnya lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan

berwarna lebih abu-abu dibandingkan mekonium yang normal.6

Pada beberapa kasus, anak memiliki mekonium yang nampak seperti normal.

Pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama biasanya tidak terganggu. Akan tetapi,

pada beberapa kasus dapat terjadi gangguan. Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan

cepat, maka anak akan mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan

keseimbangan elektrolit. Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik

hipokalemia atau hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan

berwarna empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.Anak dengan atresi duodenum juga

akan mengalami aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada neonatus sehat,

10
biasanya aspirasi gastrik berukuran kurang dari 5 ml. Aspirasi gastrik ini dapat

mengakibatkan terjadinya gangguan pada jalan nafas anak. Pada beberapa anak,

mengalami demam. Kondisi ini disebabkan karena pasien mengalami dehidrasi. Apabila

temperatur diatas 30oF, maka kemungkinan pasien mengalami ruptur intestinal atau

peritonitis.6

b. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi ini tidak

selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat. Jika obstruksi

pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat tidak terlihat jika

pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak nampak sampai neonatus

berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang dikonsumsi neonatus dan muntah

yang dapat menyebabkan traktus alimentari menjadi kosong. Pada beberapa neonatus,

distensi bisa sangat besar setelah hari ke tiga sampai hari ke empat, kondisi ini terjadi

karena ruptur lambung atau usus sehingga cairan berpindah ke kavum peritoneal.

Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut yang berbentuk skafoid.

Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik yang melewati epigastrium dari kiri

ke kanan atau gelombang peristaltik duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila

obstruksi pada jejunum, ileum maupun kolon, maka gelombang peristaltic akan terdapat

pada semua bagian dinding perut.

c. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan saat prenatal maupun pada saat postnatal.

 Pre natal

Dalam berbagai kasus secara general atresia dunodenum sulit untuk di diagnosis

11
selama kehamilan. Diagnosis prenatal selalu berdasarkan tanda non spesifik pada fetal

ultrasound seperti dilatasi lambung. Karena cairan amnion di telan dan di cerna secara

normal oleh fetus, atresia duodenum dapat menyebabkan peningkatan cairan dalam sakus

amnion dab hidroamnion. Hal tersebut mungkin merupakan tanda awal atresia

duodenum. Diagnosis saat masa prenatal yakni dengan menggunakan prenatal

ultrasonografi. Sonografi dapat meng-evaluasi adanya polihidramnion dengan melihat

adanya struktur yang terisi dua cairan dengan gambaran double bubble pada 44% kasus.

Sebagian besar kasus atresia duodenum dideteksi antara bulan ke 7 dan 8 kehamilan,

akan tetapi pada beberapa penelitian bisa terdeteksi pada minggu ke 20.

USG Transversal

12
USG Transversal

USG Longitudinal

13
USG Transversal

Gambar 4. USG prenatal pada atresia duodenal

 Post natal

Pemeriksaan yang dilakukan pada neonatus yang baru lahir dengan kecurigaan

atresia duodenum, yakni pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiografi.

Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa yakni pemeriksaan serum, darah lengkap, serta

fungsi ginjal pasien. Pasien bisanya muntah yang semakin progresive sehingga pasien

akan mengalami gangguan elektrolit. Biasanya mutah yang lama akan menyebabkan

terjadinya metabolik alkalosis dengan hipokalemia atau hipokloremia dengan

paradoksikal aciduria. Oleh karena itu, gangguan elektrolit harus lebih dulu dikoreksi

sebelum melakukan operasi. Disamping itu, dilakukan pemeriksaan darah lengkap untuk

mengetahui apakah pasien mengalami demam karena peritonitis dan kondisi pasien

secara umum.

14
Gambar 5. Gambaran Double Bubble pada atresia duodenum

Gambar 6. Gambaran atresia duodenum xray

15
Gambar 7. Gambaran atresia duodenum (Barium study)

Upper Gastrointestinal (UGI) atau disebut juga barium swallow adalah

pemeriksaan radiografi (X-ray) pada saluran pencernaan atas. Kerongkongan, lambung

dan duodenum (bagian pertama dari usus) dilihat menggunakan film X-ray dengan

suspensi cair. Suspensi cair ini bisa berupa barium atau cairan kontras yang dapat larut

dalam air. Jika hanya bagian faring (bagian belakang mulut dan tenggorokan) dan

kerongkongan (saluran berongga berotot dari bawah lidah sampai ke lambung) yang

diperiksa dengan barium, prosedur ini disebut barium swallow.

Sinar X-ray menggunakan sinar elektromagnetik untuk memproduksi gambaran

jaringan internal, tulang dan organ pada film. X-ray dibuat menggunakan radiasi

eksternal untuk memproduksi gambaran tubuh, organ dan struktur internal untuk tujuan

diagnosis. X-ray menembus tubuh melewati jaringan tubuh sampai plat khusus (mirip

dengan film kamera) dan negatif dihasilkan. Kontras barium kadang-kadang dapat

16
diberikan melalui tabung orogastrik atau nasogastrik di bawah fluoroskopi untuk

mengevaluasi saluran pencernaan bagian atas. Hanya sejumlah barium terkontrol

ditempatkan untuk mengkonfirmasi obstruksi. Kemudian dikeluarkan dengan selang

nasogastrik untuk mencegah refluks dan potensi aspirasi.

Upper gastrointestinal (UGI) dilakukan untuk: 

 melihat penyebab gejala penyakit pencernaan, seperti kesulitan menelan, muntah,

bersendawa, sakit perut (perih pada perut) atau gangguan pencernaan

 melihat adanya penyempitan pada saluran pencernaan atas, ulcer, tumor, polip,

atau pyloric stenosis

 melihat adanya peradangan pada usus, sindrom malabsorbsi, atau kelainan pada

gerakan meremas untuk memindahkan makanan pada usus (kelainan motilitas)

 melihat adanya objek yang tertelan

Pada umumnya, rangkaian seri UGI tidak perlu dilakukan jika Anda tidak mengalami

gejala-gejala permasalahan pada pencernaan. UGI dilakukan pada orang yang memiliki:

 kesulitan menelan

 kemungkinan sembelit

 sakit perut yang datang dan hilang saat makan

 heartburn parah atau sering

17
Gambar 8. Gambaran atresia duodenum congenital

Gambar 9. Gambaran atresia duodenum (frontal)

18
Pemeriksaan roentgen yang pertama kali dilakukan yakni plain abdominal x-ray.

X-ray akan menujukkan gambaran double-bubble sign tanpa gas pada distal dari usus.

Pada sisi kiri proksimal dari usus nampak gambaran gambaran lambung yang terisi cairan

dan udara dan terdapat dilatasi dari duodenum proksimal pada garis tengah agak kekanan.

Apabila pada x-ray terdapat gas distal, kondisi tersebut tidak mengekslusi atresia

duodenum. Pada neonatus yang mengalami dekompresi misalnya karena muntah, maka

udara akan berangsur-angsur masuk ke dalam lambung dan juga akan menyebabkan

gambaran double-bubble.

Karena anak-anak lebih sensitif terhadap radiasi. maka penggunaa CT pada anak

hanya jika sangat penting dalam membuat keputusan diagnostik dan tidak dilakukan

pengulangan jika sangat diperlukan. Contohnya pada semua kanker solid risiko konsisten

dengan peningkatan tinier dosis radiasi, dari dosis rendab sampai 2,5 Sv dan anak-anak

jauh lebih radiosensitif dari pada dewasa. Bergantung pada selling sistem pada CT

scanner, organ target akan mencrima dosis radiasi dalam kisaran 15 mSv (pada dewasa)

sampai 30 mSv (pada bayi baru lahir) untuk CT yang umumnya dilakukan dua sampai

tiga CT skan per pasico yang akhinya dapat mencapai dosis dalam rentang 30 sampai 90

mSv. Dengan demikian, pada rentang dosis tersebut, terbukri akan mengalami

peningkatan risiko kanker. Jika dikaitkan dengan usia, terdapat penuruoan risiko kanker

dari paparan 10 mGy (10 mSv) dengan bcrtambahnya usia untuk sebagian besar kanker

yang ditunjuk.kan pada bukti ini secara beralasan menyakinkan unluk dewasa dan sangat

menyakinkan untuk anak. Untuk sebuah dosis tertentu, terdapat perbedaan dalam risiko

kanker dari paparan radiasi terhadap anak dibandingkan dengan dewasa. Beberapa alasan

untuk perbedaan ini adalah; .9

19
(I) Sebagian besar jaringan dan organ pada anak dalam lahap

pertumbuhan clan perkemba ngan yang menycbabkan menjadi lebih sensitif

terhadap efek radiasi dibandingkan dengan organ orang dewasa yang sudab matang,

(II) Efek onkogenik radiasi mempunyai masa laten yang lama

bervariasi bergantung jenis kanker. Leukemia mcmpunyai periode lebih singkat

(sekitar 2-10 tabun) dari kanker mempat. Anak memiliki harapan hidup yang lebih

panjang untuk memanifestasikan potensi efek onkogenik radiasi dibandingan

dengan dewasa. .9

Organisasi bcsar international yang bertanggungjawab tcrhadap evaluasi efek dan

risiko radiasi, seperti lCRP. UNSCEA dan lainnya. sependapat bahwa terdapat

kcmungkinan tidak ada dosis rendah radiasi sebagai batas ambang untuk menginduksi

kanker yang bcrarti tidak ada j umlah radiasi yang dapat dipertimbangkan aman secara

absolut. Data dari studi epidemiologi terakhir pada populasi lain yang teradiasi

menunjukkan risiko yang kecil tetapi signifikan peningkatan risiko kanker meskipun pada

tingkat radiasi yang rendah yang relevan dengan CT skan pada anak. .9

Dosis efektif dari sekali skan CT pada anak dapac berkisar dari sekitar < I sampai

30 mSv. Di antara anak-anak yang menerima tindakan CT skan, paling tidak sekitar

sepertiganya mendapatkan tiga kali scan yang menimbulkan kekawatiran khusus. Sebagai

comoh, tiga scan dapat diharapkan berisiko kanker tiga kali dari setiap scan tunggal.

Selain itu, selama pemeriksaan tunggal mungkin dilakukan lebih dari sam kali scan yang

bcrarti meningkatkan lebih lajuh dosis radiasi. Dengan demikian akaa sernakin besar

masalah pada kesehataa masyarakat jika populasi anak yang terpapar dengan risiko yang

kecil ini meningkat tcrus dengan cepat. .9

20
Tabel.1 Rentang dosis organ dari berbagai jenis pemeriksaan radiologi pada anak
Jenis pemeriksaan Organ target Dosis serap (mGy) Dosis efektif (msv)
Kepala (200 mAs, otak 23-49 1,8-3,8
tanpa penyesuaian)
Kepala (100 mAs, Otak 11-25 0,9-1,9
disesuaikan)
Abdomen(200 mAs Lambung 21-43 11-24
tanpa penyesuaian)
Abdomen (50 mAs, Lambung 5-11 3-6
diseuaikan)
Xray dada posterior Paru 0,04-0,08 0,01-0,03
anterior
X-ray dada lateral Paru 0,04-0,10 0,03-0,06

Gambar 9. CT-Scan Atresia Duodenum

21
Gambar 10. CT Scan Atresia Duodenum

Reduksi risiko pengggunaan ct-scan pada anak

Keseimbangan antara manfaatdan risiko penggunaan radiodiagnostik selama ini

telah tcrbenruk dan dipahami dengan baik tetapi tidak demikiao halnya dengan

penggunaan CT skan. .rumlah radiasi yang dipcrlukan Lmtuk pemeriksaan CT pada janin

dan anak lebih rendah dari dewasa. Jika selling yang sama digunakan untuk anak dan

dewasa, maka anak-anak akan menerima kelebihan jmnlah radiasi yang tidak diperlukan.

Beberapa hal yang dapat dilakukan unruk mereduksi tingkat radiasi yang diterima anak

dari pemeriksaan dengan CT skan yaitu; .9

1. Melakukan penyesuaian terhadap parameter paparan CT skan yang akan digunakan

untuk anak-anak berdasarkan ukuran!beratbadananak;

2. Pembatasan sckccil mungkin bagian tubuh yang diskan;

3. Memperkecil m A dan/atau k\/p menggunakan selling paparan disesuaikan untuk anak

khususnya skeletal, paru dan pemeriksaan follow up;

4. Hasil pencitraan untuk tujuan diagnostic tidak dengan resolusi tinggi dengan tingkat

radiasi yang rendah

5. Mengganti penggunaan ct scan dengan opsi lain seperti USG dan MRI

22
6. dan paling efektif adalah menurunkan jumlah pemeriksaan ct yang di resepkan

Protocol ct scan untuk dewasa umumnya multiple scan pada bagian tubuh yang sama

sedangkan untuk anak sebuah scan tunggal pada bagian tubuh menjadi target biasanya

cukup untuk keperluan diagnostic. Dari sudut pandang individual, ketika sebuah CT scan

dijustifikasi dengan kebutuhan medic, risiko yang terkait lebih kecil di bandingkan

dengan informasi diagnostic yang di peroleh. Tetapi, jika benar bahwa sekitar sepertiga

dari CT scan tidak di justifikasi dengan kebutuhan medis, maka sejumlah pasien anak

akan diiradiasi meskipun tidak di perlukan.9

Pemindaian CT menggunakan radiasi yang dapat meningkatkan risiko kanker.

Anak-anak, terutama bayi, memiliki risiko lebih besar karena pada anak dan bayi

mempunyai otak yang masih berkembang. Dan CT scan yang tidak perlu, dapat

menghasilkan lebih banyak tes dan perawatan, dengan lebih banyak risiko. 9

2.9 Tata Laksana

Tatalaksana yang di gunakan meliputi tata laksana preoperative, intraoperative serta

post operatif.

Tata Laksana Preoperatif

Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan dengan

melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas elektrolit serta

melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan

menjaga hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir.

Sebagian besar pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan

kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan

mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus berat badan lahir yang

23
sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi. Sebaiknya pesien dirawat dalam

incubator.

Tata Laksana Intraoperatif

Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang dipilih untuk

mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun atresia. Kemudian,

berdasarkan perkembangannya, ditemukan berbagai teknik yang bervariasi, meliputi

side-to-side duodenoduodenostomi, diamnond shape duodenoduodenostomi, partial

web resection with heineke mikulick type duodenoplasty, dan tapering

duodenoplasty. Side-to-side duodenoplasty yang panjang, walaupun dianggap efektif,

akan tetapi pada beberapa penelitian teknik ini memyebabkan terjadinya disfungsi

anatomi dan obstruksi yang lama. Pada pasien dengan duodenoduodenostomi sering

mengalami blind-loop syndrome.

Saat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun open

duodenoduodenostomi. Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada bagian

proksimal secara melintang ke bagian distal secara longitudinal atau diamond shape.

Dilakukan anastomosis diamond-shape pada bagian proksimal secara tranversal dan

distal secara longitudinal. Melalui teknik ini akan didapatkan diamater anatomosis

yang lebih besar, dimana kondisi ini lebih baik untuk mengosongkan duodenum

bagian atas. Pada beberapa kasus, duodenoduodenostomi dapat sebagai alternatif dan

menyebabkan proses perbaikan yang lebih mudah dengan pembedahan minimal.

Untuk open duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara tranversal pada

kuadran kanan atas pada suprambilikal. Untuk membuka abdomen maka diperlukan

insisi pada kulit secara tranversal, dimulai kurang lebih 2 cm diatas umbilikus dari

24
garis tengah dan meluas kurang lebih 5 cm ke kuadran kanan atas. Setelah kita

menggeser kolon ascending dan tranversum ke kiri, kemudian kita akan melihat

duodenal yang mengalami obstruksi. Disamping mengevaluasi duodenal stresia,

dapat dievaluasi adanya malrotasi karena 30% obstruksi duodenal kongenital

dihubungkan dengan adanya malrotasi. Kemudian dilakukan duodenotomi secara

tranversal pada dinding anterior bagian distal dari duodenum proksimal yang

terdilatasi serta duodenostomi yang sama panjangnya dibuat secara vertikal pada

batas antimesenterik pada duodenum distal. Kemudian akan dilakukan anstomosis

dengan menyatukan akhir dari tiap insisi dengan bagian insisi yang lain.

Disamping melakukan open duodenoduodenostomi, pada negara maju dapat

dilakukan teknik operasi menggunakan laparoscopic. Teknik dimulai dengan

memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan diinsersikan dua

instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-epigastik kanan.

Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami obstruksi.

Kemudian dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan

laparoscopik anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik ini

memerlukan banyak jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan, kondisi ini dapat

diselesaikan dengan menggunakan nitinol U-clips untuk membuat

duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan lebih untuk dapat

segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi secara konvensional.

Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular pankreas, maka dilakukan

duodenoduodenostomi antara segmen duodenum diatas dan dibawah area cincin

pankreas. Operator tidak boleh melakukan pembedahan pada pankreas karena akan

25
menyebabkan pankreatik fistula, kondisi demikian menyebabkan stenosis atau atresia

duodenum akan menetap.

Tata Laksana Postoperatif

Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien

menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai menyusui

setelah 48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka panjang, maka dapat

dipasang kateter intravena baik sentral maupun perifer apabila transanastomotic

enteral tidak adekuat untuk memberi suplai nutrisi serta tidak ditoleransi oleh pasien.

Semua pasien memiliki periode aspirasi asam lambung yang berwarna empedu.

Kondisi ini terjadi karena peristaltik yang tidak efektif atau distensi pada duodenum

bagian atas. Permulaan awal memberi makanan oral tergantung pada penurunan

volume gastrik yang di aspirasi.8

2.10 Prognosis

Angka harapan hidup untuk bayi dengan duodenal atresia yakni 90-95%. Mortalitas

yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas kongenital yang

multiple. Komplikasi post operatif dilaporkan pada 14-18% pasien, dan beberapa

pasien memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi yang sering terjadi dan

menyebabkan pasien perlu dioperasi kembali, yakni kebocoran anatomis , obstruktif

fungsional duodenal serta adanya adhesi.8

BAB III

KESIMPULAN

26
Atresia intestinal didefinisikan dengan kegagalan usus untuk berkembang pada

fetus akan mengakibatkan terjadinya sumbatan pada usus. Atresia intestinal dapat

terjadi pada bagian dimana saja dari usus. Yang tersering adalah terjadi pada

duodenum. Duodenal atresia terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Penyebab yang

mendasari terjadinya atresia duodenal sampai saat ini belum diketahui. Atresia

duodenal sering ditemukan bersamaan dengan malformasi pada neonatus lainnya,

seperti down sindrom, maupun penyakit jantung.

Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya atresia

duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali ini karena

kegagalan rekanalisasi lumen usus. Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat

disebabkan karena faktor ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan

perkembangan struktur tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan

dengan pankreas anular. Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang

mengelilingi sekeliling duodenum, terutama deodenum bagian desenden.Pasien

dengan atresia duodenal memiliki gejala obstruksi usus. Muntah yang terus menerus

merupakan gejala yang paling sering terjadi pada neonatus dengan atresia duodenal.

Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu

(biliosa). Anak dengan atresia, biasanya akan memiliki mekonium yang jumlahnya

lebih sedikit, konsistensinya lebih kering, dan berwarna lebih abu-abu dibandingkan

mekonium yang normal. Anak dengan atresi duodenum juga akan mengalami

aspirasi gastrik dengan ukuran lebih dari 30 ml. Pada pemeriksaan fisik ditemukan

distensi abdomen. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut

yang berbentuk skafoid.

27
Peran Pemeriksaan Radiologi pada kasus atresia duodenum adalah sebagai alat

pemeriksaan penunjang penegakan diagnosa dengan menggunakan USG, Foto Polos

Abdomen. Pemeriksaan penunjang untuk atresia duodenum saat prenatal yaitu

menggunakan USG pada saat antenatal care, saat postnatal meliputi pemeriksaan

foto polos abdomen yang menunjukkan gambaran khas yaitu gambaran double

bubble. Pada pemeriksaan imaging CT- Scan tidak di srankan untuk pasien anak-

anak–anak karena memiliki tingkat radiasi yang cukup tinggi dan Pemindaian CT

menggunakan radiasi yang dapat meningkatkan risiko kanker pada anak-anak,

terutama bayi, memiliki risiko lebih besar karena pada anak dan bayi mempunyai

otak yang masih berkembang. .

Managemen pasien dilakukan melalui operasi side-to-side duodenoduodenostomi,

diamnond shape duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke mikulick

type duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty.

DAFTAR PUSTAKA

1. Laura K, Jay GL, Karen WW, Frederick JR, Scherer LR, Schott AG. Intestinal Atresia

and Stenosis. Arch Surg. 2007;113:490-497

28
2. Tamer S, Mustafa K, Ulas A, Ali SK, Duodenal Atresia and Hirchsprung Disease in a

Patient with Down Syndrome. Eur J Gen Med.2011;8(2):157- 9

3. Free FA, Barry G. Duodenal Obstruction in the Newborn Due To Annular Pancreas.

Surg.2004;103:321-325

4. Alan PL, James AM. Congenital Duodenal Abnormalies in a Adult. Arch

Surgery.2001;136:578-561

5. Kessel D, Bruyn D, Drake F. Case report: Ultrasound Diagnosis Of Duodenal Atresia

Combined With Isolated Oesophageal Atresia. The British Journal of

Radiology.2011;66: 86-88

6. Hayden CK, Marshall ZS, Michael D, Leonard ES. Combine Esophageal and Duodenal

Atresia: Sonograpic Findings. Arch Surg.2003;140:225-230

7. Richard FL, Benneth AL, Norman GB, Anthony JB, Brian RJ. Sonographic

Appearance of Duodenal Atresia in Utero. Am J Roentgenol.2001;131:701-702

8. Felicitas EW, Afu AJ, Sanjay K. Duidenal Atresia and Stenosis. 2009;p 936-938

9. Arch, M.E.. and Frush, 0.P., Pediatric body MOCT: A 5-ycar fol low-up survey of

scanning parameters used by pediatric radiologists, American Journal o f

Roenlgenology 176: 289-296, (2008).

29

Anda mungkin juga menyukai