Anda di halaman 1dari 34

SMF/BAGIAN ILMU SARAF REFERAT

RSUD PROF. DR. W.Z JOHANNES DESEMBER 2021


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA

GANGGUAN FUNGSI LUHUR

Oleh :

Maria Jozilyn Bria Seran, S.Ked

2008020001

Pembimbing :

dr. Johana Herlin, Sp.N

dr. Yuliana Imelda W. Ora Adja, M.Biomed, Sp.N


DIBAWAKAN DALAM KEPANITERAAN KLINIK

SMF/BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS NUSA CENDANA

RSUD PROF. DR. W.Z. JOHANNES KUPANG

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Referat ini diajukan oleh:

Nama : Maria Jozilyn Bria Seran

NIM : 2008020001

Fakultas : Fakultas Kedokteran Universitas Nusa CendanaKupang

Bagian : Ilmu Penyakit Saraf RSUD. Prof. Dr. W.Z. Johannes Kupang

Judul : Gangguan Fungsi Luhur

Laporan kasus ini telah disusun dan dibacakan di hadapan pembimbing klinik dalam
rangka memenuhi salah satu syarat mengikuti ujian kepaniteraan klinik di
SMF/Bagian Ilmu Penyakit Saraf RSUD. Prof. Dr. W.Z. Johannes, Kupang.
Pembimbing Klinik :

1. dr. Johana Herlin,Sp.N (..............................)

2. dr. Yuliana Imelda Ora Adja, M. Biomed, Sp.N (..............................)

Ditetapkan di : Kupang

Tanggal : Desember 2021

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat

rahmat dan Anugerah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan referat yang

berjudul “Gangguan Fungsi Luhur” dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan

klinik bagian Neurologi Program Studi Profesi Dokter Universitas Nusa Cendana di

RSUD Prof.W.Z.Johannes Kupang.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis ucapkan kepada para pengajar di SMF

Neurologi RSUD Prof.W.Z.Johannes Kupang, khususnya dr. Johana Herlin Sp.N dan

dr. Yuliana Imelda Ora Adja, M.Biomed, Sp.N atas bimbingan yang diberikan selama

berlangsungnya pendidikan di bagian Neurologi.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak terdapat

kesalahan. Untuk itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkanguna perbaikan dalam pembuatan laporan kasus selanjutnya.

Semoga referat ini dapat berguna bagi kita semua, khususnya bagi para pembaca

dan rekan-rekan sejawat yang menempuh tugas kepaniteraan klinik bagian Neurologi

Program Studi Profesi Dokter Universitas Nusa Cendana di RSUD

Prof.W.Z.Johannes Kupang.

Kupang, Desember 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

COVER...........................................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................................ii

KATA PENGANTAR..................................................................................................iii

DAFTAR ISI................................................................................................................iv

DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................v

DAFTAR SINGKATAN..............................................................................................vi

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................2

2.1. Anatomi...........................................................................................................2

2.2. Gangguan Kortikal Luhur...............................................................................7

2.2.1 Defenisi..................................................................................................7

2.2.2 Amnesia.................................................................................................8

2.2.3 Afasia...................................................................................................10

2.2.4 Apraksia...............................................................................................17

2.2.5 Agnosia................................................................................................19

2.2.6 Alexia dan Agraphia............................................................................21

2.2.7 Sidrom Diskoneksi...............................................................................22

2.2.8 Unilateral Neglect................................................................................25

iv
BAB 3 PENUTUP.......................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................28

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Permukaan superolateral Serebrum..........................................................3

Gambar 2. 2 Permukaan superolateral Serebrum..........................................................4

Gambar 2. 3 Permukaan superolateral Serebrum........................................................10

Gambar 2. 4 Area pusat bahasa pada hemisfer dominan.............................................12

Gambar 2. 5 Skema Afasia..........................................................................................16

Gambar 2. 6 Sirkuit skematik pada Aleksia tanpa Agraphia.......................................23

Gambar 2. 7 Tes menggunakan pensil dan kertas pada pasien UN.............................26

v
DAFTAR SINGKATAN

UN : Unilateral Neglect

vi
BAB 1
PENDAHULUAN

Lesi otak fokal pada kondisi patologis seperti serangan iskemik, tumor, dan

penyakit infeksi yang mempengaruhi sebagian kecil dari korteks serebri dapat

menyebabkan kerusakan substansial dan terbatas pada fungsi primer atau kognitif

atau keduanya. Kerusakan ini akan muncul berdasarkan area dan sirkuit yang terlibat.

Jika lesi mempengaruhi area motor primer, yang terletak pada lobus frontalis kedua

hemisfer dan khususnya pada area Brodmaan 4, maka akan tampak paresis

kontralateral. Pada kerusakan area sensorik primer dan jarasmya maka akan

menyebabkan gangguan sensorik kontralateral (contoh anastesi pada ekstermitas

kontralateral ketika korteks sensorik parietal rusak). Ketika kerusakan terjadi diluar

korteks motorik dan sensorik primer, defisit kognitif kompleks dapat muncul,

melibatkan fungsi luhur. Pada kasus kerusakan fungsi luhur, kerusakan dapat terjadi

mulai dari kemampuan analisis kognitif hingga program motorik atau berkaitan

dengan fungsi bahasa, memori, kemampuan mengambil keputusan, atau spesifik

domain yang meliputi kesadaran(1)

Fungsi luhur merupakan sifat khas manusia yang mencakup kebudayaan,

bahasa, ingatan, dan pengertian. Fungsi luhur berkembang pada manusia melalui

mekanisme neuronal yang memungkinkan penyadaran dan pengenalan segala sesuatu

yang berasal dari dunia di luar dirinya, sehingga menjadi pengalaman miliknya.(2)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

1.
2.

2.1. Anatomi

Serebrum merupakan bagian terbesar dari otak manusia. Serebrum

merupakan pusat dari kontrol motorik volunter dan proses mental kompleks.

Secara anatomis, serebrum terdiri dari dua hemisfer yang dipisahkan oleh

fisura longitudinalis. Terdapat korpus kalosum yang menghubungkan kedua

korteks ini (kiri dan kanan). Setiap hemisfer memiliki lima lobus dengan

perbedaan anatomi dan fungsi(3) :

- Lobus frontalis : terdapat dibawah tulang frontalis, superior mata. Lobus

frontalis adalah pusat pikiran sadar dan abstrak, serta memori. Lobus ini

juga tempat proses kognitif dan emosional. Hal ini termasuk suasana

perasaan, motivasi, pengambilan keputusan, perencanaan, kontrol emosi,

penilaian perilaku, produksi bicara dan kontrol motorik volunter.

- Lobus parietal : lobus parietal bertanggungjawab dalam proses visual

(melalui jalur optik yang melalui lobus parietal dan temporal). Lobus

parietal juga bertanggung jawab dalam persepsi spasial/visuospasial

persepsi. Lesi pada lobus parietal kanan menyebabkan pasien akan

mengabaikan (neglect) sisi kiri tubuhnya.


- Lobus oksipital : berlokasi di belakang kepala, dibawah tulang oksipital

dan berfungsi sebagai pusat visual/penglihatan

- Lobus temporal : lobuus ini bertanggungjawab dalam pendengaran,

emosi, pembauan, pemahaman bahasa, proses belajar, ingatan mengenai

tata bahasa dan kosa kata, pembentukan dari memori jangka panjang baru

(memory consolidation), dan pusat memori auditori, verbal dan visual.

- Insula : bagian dari lobus temporal, dibawah sulkus lateralis. Insula

berfungsi untuk memproses sensasi nyeri dan rasa, sensasi viseral, respon

emosional dan empati, kesadaran serta menyeimbangkan laju jantung dan

tekanan darah saat berolahraga.

Gambar 2. 1 Permukaan superolateral Serebrum(4)

3
Dari segi fungsi, korteks serebri dapat dibagi menjadi area-area kortikal

primer dan area asosiasi unimodal serta multimodal. Beberapa area menerima

informasi motorik, dan lainnya menerima informasi sensorik. Kedua tipe ini

dipisahkan oleh sulkus sentralis. Terdapat pula area asosiasi yang

mengkoordinasi data yang masuk dan keluar dari area motorik dan sensorik.

Setiap hemisfer serebral mengirim dan menerima informasi dari sisi

kontralateral.(1,5)

Gambar 2. 2 Permukaan superolateral Serebrum(3)

Area motorik (korteks motorik primer) terdapat pada permukaan dari girus

presentralis. Neuron pada daerah ini mengendalikan pergerakan volunter.

4
Ketika suatu neuron motorik terstimulus pada korteks motorik primer, maka

akan terjadi kontraksi dari otot lurik spesifik. (3)

Area sensorik terdapat pada girus postsentralis. Neuron akan menerima

informasi sensorik dari reseptor nyeri, tekan, suhu, raba, dan vibrasi. Manusia

sadar akan sensasi ini ketika nukleus talamus melanjutkan infromasi ke

korteks somatosensorik. Pada lobus oksipital, korteks visual menerima

informasi visual. Pada lobus temporal, korteks auditorik menerima informasi

mengenai pendengaran dan korteks olfaktori menerima informasi mengenai

pembauan. Pada insula anterior dan sekitar area lobus frontalis, korteks

gustatorik menerima infromasi mengenai rasa dari reseptor di faring dan

lidah. (3)

Area asosiasi unimodal terletak dekat area kortikal primer. Area ini berfungsi

untuk memberikan interpretasi awal impuls sensorik yang diproses dalam

bentuk relatif kasar di area kortikal primer. Informasi sensorik yang

dihantarkan ke area asosiasi dibandingkan dengan informasi yang telah

disimpan sebelumnya sehingga dapat ditarik makna dari informasi tersebut.

Area asosiasi visual adalah area 18 dan 19, yang berdekatan dengan area

visual primer (area 17). Area asosiasi somatosensorik terletak dibelakang

korteks somatosensorik primer di area 5. Area asosiasi unimodal menerima

5
input neural melalui serabut asosiasi dari area korteks primer yang

bersesuaian.(5)

Area asosiasi multimodal tidak berhubungan dengan sebuah area kortikal

primer tertentu. Area ini membuat koneksi aferen dan eferen dengan berbagai

area otak dan mengolah informasi dari berbagai modalitas somatosensorik

dan sensorik khusus. Bagian anterior dari lobus parietalis mengolah informasi

somatosensorik (area 1,2,3 dan 5), sedangkan posteriornya mengintegrasikan

informasi visual dengan informasi somatosensorik untuk memungkinkan

dilakukannya gerakan yang kompleks. (5)

Tabel 2.1.Fungsi Hemisfer Dominan dan Non Dominan

Fungsi hemisfer dominan (umumnya Fungsi hemisfer non dominan


hemisfer kiri) (umumnya hemisfer kanan)
Bahasa Prosodi (emosi yang muncul lewat
nada suara)
Formulasi motorik terampil (praksis) Analisis visuospasial dan atensi ruang
Aritemtik : urutan dan kemampuan Aritmetik : kemampuan untuk
berhitung analitikal memperkirakan jumlah
Kemampuan bermusik : urutan dan Kemampuan musical : pada musisi
kemampuan analisis pada musisi tidak terlatih
terlatih
Peka terhadap arah : mengikuti arah Peka terhadap arah : mengetahui
tertulis secara berurutan lokasi bedasarkan orientasi ruang

Terdapat daerah tertentu yang berfungsi spesifik, namun daerah-daerah

tersebut bekerja melalui interaksi dalam system saraf. Lesi fokal dapat

menyebabkan deficit spesifik.

6
Bahasa merupakan salah satu spesialisasi hemisfer. Pada sebagian besar

individu, fungsi bahasa secara pokok bergantung pada hemisfer kiri.

Hemisfer kiri bertanggungjawab terhadap bahasa pada 95% individu yang

aktif menggunakan tangan kanan dan sekitar 60-70% individu yang aktif

menggunakan tangan kiri. Sehingga lesi pada hemisfer kiri umumnya

menyebabkan difungsi bahasa, bahkan pada pasien dengan tangan kiri.

Namun, banyak pasien dengan dominan tangan kiri memiliki representasi

bahasa bilateral, khususnya jika terdapat riwayat keluarga dengan tangan kiri

atau ambidekstriti.(6)

Pada hemisfer non dominan, umumnya spesifik terhadap fungsi non verbal

dan tampak lebih penting pada kemampuan visuospasial kompleks, untuk

memberikan makna emosional pada peristiwa dan bahasa, dan untuk persepsi

musik. Lesi pada hemisfer kanan umumnya menyebabkan inatensi pada

daerah kontralateral (kiri), bahkan pada individu dengan hemisfer kanan

sebagai dominan bahasa. (6)

2.2. Gangguan Kortikal Luhur

2.2.1. Definisi

Fungsi kortikal luhur termasuk bahasa, penglihatan, kemampuan

mengenal objek dalam ruang (visuospasial), dan kesadaran. Tiga

karakteristik dari fungsi luhur adalah(3) :

- Korteks serebral : interaksi kompleks pada korteks dan area-area otak

7
- Proses informasi sadar maupun tidak sadar

- Fungsi luhur menyesuaikan setiap waktu : bukan kemampuan yang

dibawa dari lahir, tetap atau perilaku refleksif.

Fungsi luhur sebagian besar dilakukan oleh koteks asosiasi multimodal,

yang membentuk lebih dari sebagian besar permukaan otak yang

menerima input aferen dari koteks somatosensorik primer, korteks

sensorik khusus, dan korteks motorik. (5)

2.2.2. Amnesia(3)

Untuk mengingat sesuai, diperlukan memori. Beberapa jenis memori

adalah :

- Memori fakta : informasi spesifik seperti cara membuka pintu dengan

kunci

- Memori terampil (skill) : kemampuan motorik yang dipelajari, seperti

cara membuat kopi. Dengan berjalannya waktu, memori terampil akan

dikendalikan secara tidak sadar. Memori terampil berkaitan dengan

makan, perilaku bawaan, disimpan di batang otak. Memori terampil

kompleks seperti bermain music, membutuhkan integrasi dari pola

motorik di nucleus basalis, korteks serebri dan serebelum.

Untuk jenis memori berdasarkan waktu :

8
- Memori jangka pendek : hanya bertahan beberapa waktu, dimana

informasi dapat dengan cepat diingat. Ingatan ini hanya berisi sedikit

informasi seperti nama orang, atau nama jalan. Pengulangan informasi

memperkuat memori jangka pendek asli, dan dapat diubah menjadi

memori jangka panjang

- Memori jangka panjang : bertahan untuk waktu lebih lama, dapat seumur

hidup. Berubahnya dari memori jangka pendek menjadi jangka panjang

disebut konsolidasi memori. Memori jangka panjang memiliki dua tipe :

memori sekunder yang memudar seiring waktu dan membutuhkan usaha

besar untuk diingat, dan memori tersier yang akan bertahan sepanjang

hidup, seperti nama dan penampakan pribadi.

Konsolidasi memori berhubungan dengan amigdala dan hipokampus

yang merupakan bagian dari sistem limbic. Ketika terjadi kerusakan di

hipokampus, maka akan terdapat ketidakmampuan untuk mengubah

memori jangka pendek menjadi memori jangka panjang baru. Namun,

memori jangka panjang yang sudah ada akan tetap intak. Traktus yang

menghubungkan amigdala ke hipotalamus dapat menghubungkan memori

ke emosi tertentu. Daerah dekat diensefalon, yaitu nucleus basalis

memainkan peran dalam menyimpan dan mengambil memori. Dia

dihubungkan dengan hipokampus, amigdala dan semua korteks serebral.

9
Ketika rusak, maka akan terjadi perubahan pada fungsi intelektual,

keadaan emosional dan memori.

Gambar 2. 3 Permukaan superolateral Serebrum(7)

Korteks serebri menyimpan sebagian besar dari memori jangka panjang.

Area asosiasi yang sesuai mengatasi memori sensorik dan motorik sadar.

Memori visual, sebagai contoh, disimpan pada area asosiasi visual.

Korteks premotor menyimpan memori dari aktivitas motorik volunteer.

Memori akan kata, suara dan wajah membutuhkan area spesifik pada

lobus oksipital dan temporal.

Amnesia terjadi ketika ada lesi bilateral di system limbic (hipokampus

pada sisi medial lobus temporal, sebagian thalamus dan jaringannya).

Kerusakan memori karena daerah ini adalah kehilangan memori jangka

panjang dan disebut amnesia anterograde (mempengaruhi memori yang

10
terjadi setelah penyakit/kecelakaan). Amnesia retrograde substansial

(kehilangan memori saat terjadinya sakit/kecelakaan), terjadi tanpa

amnesia anterograde sebagai hasil dari kerusakan otak, namun dapat juga

muncul pada kelainan psikiatri.

2.2.3. Afasia(1,8)

a) Definisi

Afasia merupakan gangguan fungsi bahasa karena kerusakan pusat bahasa

di otak. Kerusakan dapat terjadi langsung maupun tidak langsung dari

penyakit otak, ataupun akibat proses degeneratif.

b) Patofisiologi

Pusat bahasa tradisional adalah pusat bahasa motorik pada area Broca dan

pusat bahasa reseptif Wernicke yang terletak di hemisfer dominan

(tersering pada hemisfer kiri baik pada dominasi tangan kanan maupun

kiri). Keduanya dihubungkan oleh jaras transkortikal yang disebut

fasikulus arkuata. Komponen neuroanatomi yang berperan dalam proses

produksi bahasa dan pemahaman sangat rumit. Komponen ini meliputi

masukan (input) auditori dan pengkodean bahasa di lobus temporal

superior, analisis bahasa di lobus parietal, dan ekspresi di lobus frontal.

Masukan tersebut kemudian naik ke traktus kortikobulbar menuju kapsula

11
interna dan batang otak, dengan efek modulator dari ganglia basalis dan

serebelum. Terakhir, masukan akan dimaknai sebagai bahasa lengkap

dengan kosakata, makna sintaksis, dan gramatikal di interkoneksi antar

pusat-pusat bahasa.

Gambar 2. 4 Area pusat bahasa pada hemisfer dominan. Area Broca dan Wernicke
dihubungkan oleh serabut saraf di fasikulus arkuata

c) Gejala dan tanda klinis

Pengelompokan sindrom afasia dapat dinilai dari modalitas fungsi bahasa

yaitu : kelancaran bicara (fluency), pemahaman, kemampuan pengulangan

(repetisi), kemampuan menemukan kata yang sesuai (word finding), dan

atau penamaan (naming). Semua pasien afasia yang disertai gangguan

kemampuan penamaan dimasukkan dalam parafasia.

Tabel 2.2 Jenis Kelancaran Bicara(8)

12
Jenis kelancaran Bicara
Variabel
Tidak lancar Lancar
Kecepatan Lambat (<50 kata/menit) Normal (90 kata/menit)
Usaha Meningkat Normal
Artikulasi Disartrofonik Normal
Panjang kalimat Singkat (<5 kata) Normal (>5 kata)
Ritme bicara Abnormal, disporosodik Normal, prosodic
Isi Agramatisme, banyak Berisi
tambahan
Kesalahan Jarang, biasa literal Banyak kesalahan literal
parafasik dan semantic, neologisme

d) Klasifikasi

1. Afasia Broca

Area Broca berada di korteks insulamendia dan mendapatkan suplai

darah dari arteri serebri media segmen M2 divisi superior. Sumbatan

atau oklusi di arteri tersebut dapat menyebabkan terjadinya afasia

Broca. Area Broca bertentangga dengan area Exner yang merupakan

pusat menulis dan girus presentralis yang merupakan pusat motorik

primer, sehingga umumnya gambaran klinis penderita afasia Broca

juga mengalami afasia, hemiparesis dan gangguan menulis. Apraksia

wajah dan bicara juga sering dijumpai pada pasien dengan afasia

Broca. Gangguan bahasa yang dijumpai berupa gangguan ekspresi

bahasa dan repetisi yang buruk (tingkat kata hingga kalimat). Bicara

pasien sangat lambat dan penuh usaha. Pasien juga mengalami

kesulitan menamai objek dan repetisi. Pasien dapat mengerti

percakapan verbal, namun sulit pada sintaksis yang kompleks. Dalam

13
bicara pasien terlihat penuh usaha dalam mengucapkan setiap kata,

dengan diiringi jeda dan kata-kata yang dihasilkan tidak jelas.

2. Afasia Wernicke

Afasia Wernicke adalah sindrom afasia klasik yang berhubungan

dengan gangguan pada pemahaman berbahasa akibat lesi pada korteks

temporoparietal posterior kiri, yang akan memengaruhi elemen utama

system fonologi dan semantic yang berperan dalam pemahaman

bahasa. Kelainan dapat disebabkan akibat sumbatan thrombus maupun

emboli pada arteri serebri media segmen M2 divisi inferior pada sisi

hemisfer dominan (umumnya kiri) yang memperdarahi lobus superior

temporal. Ganggaun pemahaman bahasa pada afasia Wernicke

dimodulasi oleh derajat analisis fonologi. Pemahaman berbahasa yang

diucapkan, yang membutuhkan fonologi derjat tinggi mengalami

kerusakan parah. Kemampuan pemahaman menulis kata yang

dimediasi oleh fonologi dan proses visual hanya mengalami sedikit

kerusakan dibandingkan pemahaman pengucapan kata.

3. Afasia global

Afasia ini terjadi karena kresuakan pada area Broca dan Wernicke,

bisa akibat infark luas daerah parenkim otak yang diperdarahi oleh

arteri serebri media. Gangguan terjadi pada seluruh komponen fungsi

bahasa. Terkadang afasia globat dapat disertai apraksia verbal. Fluensi

14
atau kelancaran berbicara terganggu disertai produksi kata yang

terbatas pada satu-dua kata yang tidak memiliki makna, bahkan pasien

tidak dapat berkata-kata sama sekali. Selain itu, hangguan juga muncul

pada pemahaman baik verbal maupun literal, serta kemampuan

repetisi, membaca dan menulis.

4. Afasia transkortikal

Afasia ini dapat dibedakan dari jenis lainnya dengan ciri utama

kemampuan mengulang/repetisi tetap intak. Pada afasia transkortikal

motorik umumnya terjadi lesi pada lobus frontal kiri di atas dan depan

dari area Broca. Afasia transkortikal sensorik terjadi akibat lesi pada

lobus temporal atau parietal, sekitar area Wernicke.

5. Afasia anomik

Pasien afasia anomik memiliki masalah dalam mengingat nama sebuah

benda. Misalnya saat pasien diminta menyebutkan nama dari gambar

pena, pasien akan mengatakan “benda yang digunakan untuk menulis”.

Afasia anomik dapat terjadi karena aneurisma pembuluh darah otak

yang menyumbat aliran darah menuju area berbahasa. Afasia ini terjadi

akibat lesi pada lobus temporal kiri inferior, dekat batas temporal dan

oksipital. Afasia ini dapat berupa perbaikan/evolusi dari afasia global

atau Wernicke.

6. Afasia konduksi

15
Afasia konduksi memiliki gejala ketidakmampuan dalam mengulang

kata / bahasa yang diucapkan. Afasia ini disebabkan oleh diskoneksi

antara area Broca dan Wernicke, disebabkan oleh rusaknya fasikulus

arkuata. Pasien afasia konduksi mampu mengucapkan kata dengan

lancar namun banyak terdapat kesalahan parafrasa. Pemahaman pasien

masih baik, namun karena terdapat kerusakan pada jalur hubungan

area Wernicke dan Broca menyebabkan gangguan repetisi dan

penamaan. Pasien tidak dapat membaca dengan suara keras, tetapi

dapat membaca dalam hati dengan pemahaman yang bagus.

Kemampuan menulis dapat pula terganggu, kemampuan mengeja

buruk disertai adanya penghilangan dan penggantian huruf.

Gambar 2. 5 Skema Afasia(6)

16
Tabel 2.3. Perbedaan Afasia
Fluensi Pemahaman Repetisi Naming Karakteristik
Khusus
Broca Tidak Baik/ Tergangg Terganggu Telegraphic
menurun u speech
ringan
Wernicke Lancar Terganggu Tergangg Terganggu Parafasia
u
Global Tidak Terganggu Tergangg Terganggu
u
Transkortika Tidak Baik/ Baik Terganggu Repitisi relatif
l motorik Terganggu cukup baik
ringan
Transkortika Lancar Terganggu Baik Terganggu Repitisi relatif
l Sensorik cukup baik
Transkortika Tidak Terganggu Baik Terganggu
l Campuran
Konduksi Lancar Baik Tergangg Terganggu Parafasia
u ringan fonemik
Anomik Lancar Baik Baik Terganggu Word-finding-
problems
Afemia/ Mutisme Baik Baik Mutisme, Dapat menulis,
Mutisme/ dapat foreign accent
Apraksia menulis syndrome
verbal *

2.2.4. Apraksia(1,5)

a) Definisi

Apraksia didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan

gerakan terampil dan sikap motorik(skill) meskipun fungsi motorik dan

sensorik, koordinasi dan komprehensi yang normal

b) Klasifikasi

1. Ideomotor Apraxia

17
Apraksia ideomotor merupakan ketidakampuan untuk melakukan

gerakan terampil dengan menggunakan anggota gerak sesuai perintah

verbal dan/atau dengan meniru. Pasien dengan apraksia ideomotor

menunjukkan kesalahan dalam urutan gerakan spasial dan temporal,

pada amplitudo dan konfigurasi serta posisi ekstremitas di ruangan

(spasial). Pasien dapat melakukan tindakan sehari-hari dengan spontan

namun gagal melakukan tindakan jika diberikan perintah. Lesi terjadi

di hemisfer dominan bahasa (kiri), baik di area asosiasi motorik atau

pada serabut asosiasi dan komisural yang mempersarafi atau

menghubungkannya.

2. Ideational apraxia

Pasien dengan apraksia ideasional memiliki kesulitan dalam eksekusi

tindakan secara berurutan ketika melakukan tindakan kompleks

(sepreti membuat kopi). Pasien dengan ideasional apraksia umumnya

memiliki kesulitan dalam kehidupan sehari-hari. Lesi terjadi pada

hemisfer dominan bahasa bagian temporoparietal.

3. Orofacial apraxia

Apraksia orofasial merupakan kegagalan pada eksekusi gerakan

terampil meliputi wajah, mulut, lidah, laring dan faring (contoh :

bersiul) ketika diminta oleh penguji. Seperti apraksia ideomotor,

gerakan otomatis dengan otot yang sama umumnya tetap normal.

18
Apraksia orofasial dan ekstremitas dapat terjadi bersamaan juga tidak

bersamaan.

4. Limb-kinetic apraxia

Apraksia limb-kinetik adalah tidak teraturnya (canggung) pergerakan

ekstremitas distal bagian kontralateral lesi. Berbeda dari apraksia

ideomotor, gerakan yang tidak teratur ini muncul terlepas dari ada atau

tidaknya perintah verbal.

5. Constructional apraxia

Apraksia konstruksional merupakan apraksia dimana pasien tidak

dapat secara spontan menggambar objek, meniru angka dan menyusun

balok atau pola dari kayu setelah kerusakan pada lobus parietalis

hemisfer non dominan bahasa (umumnya kanan).

2.2.5. Agnosia(1,5)

a) Definisi

Agnosia adalah kegagalan pengenalan objek atau konteks spasiotemporal

meskipun persepsi primer intak (penglihatan, pendengaran, dan sensasi

somatic normal) dari fungsi motorik yang intak (tidak ada kelemahan).

Agnosia dapat berupa visual, auditorik, somatosensorik, atau spasial.

b) Klasifikasi

1. Agnosia objek visual

19
Jika area asosiasi visual rusak, pasien masih dapat memahami struktur

spasial objek yang familiar tetapi tidak dapat mengidentifikasinya.

Misalnya pasien dapat menggambarkan cangkir dengan benar tetapi

tidak dapat dikenali sebagai cangkir. Jenis agnosia yang lebih

kompleks seperti prosopagnosia (ketidakmampuan mengenali wajah),

dan aleksia (ketidakmampuan membaca)

2. Agnosia somatosensorik

Astereognosia adalah ketidakmampuan untuk mengenali suatu objek

hanya dengan perabaan, meskipun sensasi intak dan objek dapat

dinamakan tanpa kesulitan selain dengan meraba. Asomatognosia

adalah penurunan secara umum, atau bahkan tidak adanya,

kemampuan untuk mempersiapkan tubuh seseorang. Sindrom

Gerstmann terdiri dari ketidakmampuan untuk menyebutkan salah

satu jarinya sendiri (agnosia jari), yang disertai oleh gangguan

menulis (disgrafia atau agrafia), gangguan kalkulasi (akalkulia), dan

ketidakmampuan untuk membedakan sisi kanan dan kiri.

3. Agnosia taktil

Agnosia taktil adalah ketidakmampuan untuk mengenali objek melalui

sentuhan, dengan tidak adanya deficit sensorik dasar. Pengenalan

objek dengan modalitas lainnya tetap normal. Lokus lesi termasuk

20
bagian posterior-inferior dari lobus parietal, dapat berupa lesi

unilateral maupun bilateral.

4. Agnosia akustik

Agnosia akustik adalah ketidakmampuan penamaan objek melalui

suara (contoh : gagal menamakan kunci saat diberikan suara kunci

yang digoyangkan) dengan kemampuan pengenalan objek melalui

domain sensorik lainnya tetap aman.

5. Prosopagnosia

Prosopagnosia adalah ketidakmampuan untuk mengenali wajah yang

familiar. Deficit ini terbatas pada identifikasi sifat fisiognomik, seperti

fakta bahwa identifikasi dilakukan melalu sifat non fisiognomik

(seperti suara, pakaian, bekas luka atau cara berjalan). Biasanya pasien

tidak mengenali teman, kerabat, dan orang terkenal. Pada kasus lebih

berat, pasien bahkan tidak dapat mengenali wajah sendiri di cermin.

Akan tetapi, kategori perseptual tetap normal (pasien tetap mengetahui

wajah adalah wajah) serta kemampuan untuk membedakan wajah

berdasarkan jenis kelamin, suku, usia dan ekspresi wajah.

2.2.6. Alexia dan Agraphia(7)

Aleksia atau ketidakmampuan untuk membaca dapat terjadi sebagai

bagian dari sindrom afasia atau dapat pula muncul sendiri. Aleksia

21
afasia ditujukan kepada ketidakmampuan untuk membaca pada pasien

afasia Broca, Wernicke, dan global.

Aleksia dengan agrafia merupakan ketidakmampuan untuk membaca

dan menulis, yang tampak pada lesi patologis pada area hubungan

temporoparietal, khususnya pada girus angularis. Karena lesi yang

terjadi pada girus angularis menyebabkan sindrom Gerstmann dan

anomia, gejala agrafia, sindrom Gerstmann dan anomia dapat muncul

bersamaan.

Aleksia tanpa agraphia adalah kelainan dimana pasien tidak dapat

membaca namun kemampuan menulis masih normal. Pasien dengan

gangguan ini dapat menulis namun tidak dapat membaca tulisan yang

ditulisnya. Sindrom ini muncul saat terjadi kerusakan pada korteks visual

kiri (dominan) dan pada splenium dari korpus kalosum. Sebagai hasil

dari kerusakan korteks visual kiri, dapat terjadi homonym hemianopsia

kanan dan tulisan pada sisi kanan lapang pandang tidak dapat diproses.

Tulisan pada lapang pandang kiri diproses pada korteks visual kanan.

Namun, neuron pada korteks visual kedua sisi umumnya berhubungan

melalui akson yang keluar dari spelium. Apabila terjadi kerusakan pada

splenium, informasi visual dari korteks visual kanan tidak dapat

ditransmisi ke korteks visual kiri (dominan) sehingga terjadi gangguan

komprehensi bahasa (Wernicke).

22
Gambar 2. 6 Sirkuit skematik pada Aleksia tanpa Agraphia(6)

2.2.7. Sindrom Diskoneksi(5,6)

Sindrom diskoneksi dapat terjadi karena kerusakan pada jalur yang

menghubungkan satu korteks ke korteks lain. Lesi pada korpus kalosum

dapat menimbulkan sindrom diskoneksi. Lesi yang mengenai korpus

kalosum primer umumnya jarang, namun dapat terjadi pada multiple

sclerosis, glioma, metastasis, lymphoma, lipoma dan infark. Tindakan

korpus kalostomi (dilakukan pada kasus epilepsy refrakter dengan akibat

jatuh pada pasien), dilakukan untuk mencegah generalisasi sekunder.

23
Setelah dilakukan korpus kolostomi, hemisfer kanan tidak dapat

mengakses fungsi bahasa pada hemisfer kiri. Sehingga dapat terjadi

agraphia pada tangan kiri, ketidakmampuan menamakan objek yang

diletakkan pada tangan kiri dengan mata tertutup, dan ketidakmampuan

membaca pada lapang pandang kiri. Beberapa pasien kesulitan melakukan

tindakan yang membutuhkan koordinasi bimanual, dan pada kasus berat

kedua tangan dapat bekerja berlawanan.

Diskoneksi system olfaktori. Jaras ini tidak menyilang, nervus

olfaktorius kiri dan kanan mengirimkan impulsnya masing-masing ke

korteks olfaktorius kiri dan kanan. Kedua pusat olfaktorius primer

dihubungkan oleh komisura anterior. Lesi yang mengganggu serabut

traktus ini menyebabkan pasien tidak dapat mengidentifikasi bau yang

dipresentasikan melalui lubang hidung kanan, karena tidak ada jaras

untuk menghantarkan impuls ke pusat bicara di hemisfer kiri. Pasien tidak

dapat menyebutkan sumber bau secara spontan, namun bau yang

dipresentasikan di lubang hidung kiri dapat segera teridentifikasi.

Diskoneksi pada system visual. Penyilangan serabut dari setengah

bagian nasal masing-masing retina di khiasma optikum menyebabkan

setengah lapang pandang kanan dan kiri direpresentasikan secara terpisah

di korteks visual kiri dan kanan. Dengan demikian, jika hubungan antara

kedua hemisfer ini terganggu, stimulus visual yang direpresentasikan di

24
setengah lapang pandang kiri tidak dapat disebutkan, begitu pula dengan

kata-kata (afasia dan aleksia selektif). Namun penamaan benda dan

pembacaan kata pada setengah lapang pandang kanan tidak terganggu.

Sebaliknya, konstruksi spasial kompleks yang dipresentasikan pada

setengah lapang pandang kanan tidak dapat diolah di hemisfer kanan

sehingga tidak dapat dianalisa secara tepat.

2.2.8. Unilateral Neglect(1)

a) Definisi

Unilateral neglect (UN) adalah sindrom neurologik dengan gejala

kehilangan kesadaran akan keberadaan objek pada ruang persepsi dan

mental sisi yang terdampak.

b) Manifestasi klinis

Umumnya pasien tidak melihat dan memahami keberadaan suatu objek di

suatu ruang pada sisi terdampak. Sebagai contoh, pada fase akut stroke,

lesi hemisfer kanan, pasien umumnya menunjukkan deviasi penuh dari

mata dan kepala ke sebelah kanan, gagal untuk memberikan respon pada

daerah visual dan stimulus auditorik kiri, cenderung untuk lebih jarang

menggunakan ekstremitas kiri (walaupun tanpa hemiplegi atau gangguan

motorik berat), tidak mengeksplorasi bagian lingkungan bagian kiri, dan

lainnya. Pasien UN umumnya tidak sadar dengan gejala mereka

(anosognosia). UN dapat didiagnosis dengan menggunakan pensil dan

25
kertas. Ketika diminta untuk membagi garis menjadi dua bagian, pasien

UN salah membagi dengan membagi pada daerah lebih kanan pada garis;

menggunakan tes Albert dimana pasien diminta untuk mencoret garis di

kertas (sudah diprint), pasien tidak mencoret garis pada daerah kiri kertas;

selanjutnya pada menggambar atau mengingat objek sederhana (contoh

bunga aster atau jam) pasien gagal mengatur atau mendistorsi detail

bagian kiri.

Gambar 2. 7 Tes menggunakan pensil dan kertas pada pasien UN

A) kiri atas adalah contoh bunga aster. Gambaran aster oleh pasien UN; B) Albert’s
cancellation task : pasien gagal menyilangi garis bagian kiri; C) menggambar jam
melalui memori oleh pasien UN(6)

Gejala UN dapat berupa gejala visual, pendengaran, dan somatic, persepsi

spasial, dan gerakan secara simultan. Umumnya lesi penyebabnya

terdapat di lobus parietalis hemisfer non dominan (hemisfer kanan).

26
BAB 3
PENUTUP
3.
Fungsi luhur adalah sifat khas manusia yang berkembang melalui mekanisme

neuronal yang memungkinkan penyadaran dan pengenalan segala sesuatu yang

berasal dari dunia di luar dirinya, sehingga menjadi pengalaman miliknya. Gangguan

fungsi luhur berkaitan dengan terjadinya lesi pada korteks, dengan manifestasi

bergantung pada area terjadinya lesi. Gangguan fungsi luhur dapat dibagi berdasarkan

lesi hemisfer, berupa lesi pada hemisfer kiri (mayoritas dominan) seperti afasia,

aleksia, agrafia, dan apraksia. Sedangkan pada lesi hemisfer kanan dapat berupa

unilateral neglect.

.
DAFTAR PUSTAKA

1. Berti A, Garbarini F, Neppi-Madona M. Disorder of Higher Cortical Function.


In: Neurology of Brain Disorders. Elsevier Inc.; 2014.
2. Mardjono M, Sidharta P. Kesadaran dan Fungsi Luhur. In: Neurologi Klinis
Dasar. Jakarta: Dian Rakyat; 2014. p. 183–218.
3. Moini J, Piran P. Cerebral cortex. Functional and Clinical Neuroanatomy.
2020. 177–240 p.
4. Singh V. Cerebrum. In: Clinical Neuroanatomy. 3rd edition. New Delhi:
Elsevier; 2016.
5. Baehr M, Frotscher M. Serebrum. In: Kedokteran PB, editor. Diagnosis Topik
Neurologi DUUS. 4th ed. 2014. p. 310–56.
6. Blumenfeld H. Higher-Order Cerebral Function. In: Neuroanatomy through
Clinical Cases. 2nd editio. Sunderland, Massachusetts: Sinauer Associates, Inc.
Publisher; 2011. p. 879–971.
7. Waxman S. Higher Cortical Functions. In: Clinical Neuroanatomy. 29th
edition. Lange; 2017. p. 612–28.
8. Aninditha T, Wiratman W, editors. Afasia. In: Buku Ajar Neurologi. 1st ed.
Jakarta: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017. p. 181–94.

Anda mungkin juga menyukai