Anda di halaman 1dari 69

SMF/ BAGIAN REHABILITASI MEDIK LAPORAN KASUS

RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES JANUARI 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS NUSA CENDANA

GUILLAIN–BARRÉ SYNDROME

Disusun oleh :

Bartolomeus Umbu Flugentius, S.Ked (2008020043)

Vanessa Luvita Sari, S.Ked (2008020062)

Maria Yoseva Mandala Dede, S.Ked (1508010001)

Pembimbing :

dr. Dyah G. Rambu Kareri, Sp.KFR

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


SMF/ BAGIAN ILMU REHABILITASIMEDIK
RSUD PROF. DR. W. Z. JOHANNES
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2021
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

Laporan kasus dengan judul : “Guillain–Barré Syndrome” atas nama Bartolomeus Umbu

Flugentius, S.Ked (2008020043), Vanessa Luvita Sari, S.Ked (2008020062), Maria Yoseva

Mandala Dede, S.Ked (1508010001), pada Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas

Kedokteran Universitas Nusa Cendana telah di sajikan dalam Kepaniteraan Klinik bagian

Rehabilitasi Medik RSUD Prof. Dr. W. Z. Johanes Kupang pada tanggal Maret 2021

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Dyah G. Rambu Kareri, Sp.KFR

ii
DAFTAR ISI

BAB I...............................................................................................................................................1
PENDAHULUAN...........................................................................................................................1
BAB II.............................................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................3
2.1 Definisi dan Etiologi Guillain–Barré syndrome (GBS)...........................................................3
2.2 Manifestasi Klinis.....................................................................................................................4
2.3 Pemeriksaan Penunjang.............................................................................................................9
2.3.1 Pemeriksaan laboratorium......................................................................................................9
2.3.2 Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)................................................................................9
2.3.3 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)............................10
2.3.4 Pemeriksaan patologi anatomi..............................................................................................10
2.3.5 Magnetic Resonance Imaging (MRI)...................................................................................11
2.3.6 Pemeriksaan lain...................................................................................................................12
2.4 Diagnosis.................................................................................................................................12
2.4.1 Fase Progresif.......................................................................................................................12
2.4.2 Fase Plateau..........................................................................................................................13
2.4.3 Fase Penyembuhan...............................................................................................................13
2.5 Diagnosis Banding...................................................................................................................15
2.6 Penatalaksanaan.......................................................................................................................17
2.6.1 Terapi Farmakologi..............................................................................................................17
2.6.2 Terapi Suportif......................................................................................................................20
2.6.3 Program rehabilitasi..............................................................................................................21
2.6.4 Prognosis...............................................................................................................................22
BAB III..........................................................................................................................................27

LAPORAN KASUS......................................................................................................................27

BAB IV..........................................................................................................................................40

PEMBAHASAN............................................................................................................................40
BAB V...........................................................................................................................................42

KESIMPULAN..............................................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................44
BAB I
PENDAHULUAN

Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala dengan onset

akut yang merupakan penyakit yang diperantarai oleh sistem kekebalan tubuh yang

menyerang sistem saraf perifer. Guillain–Barré syndrome dikemukakan pada tahun

1916 oleh Guillain dan Barre yang menjelaskan mengenai karakteristik temuan cairan

serebrospinal (CSS) dimana ditemukan peningkatan konsentrasi protein namun tanpa

disertai dengan kenaikan jumlah sel pada dua prajurit Perancis yang mengalami

kelemahan.1

Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, muncul pada setiap musim dan dapat

menyerang semua umur. Angka kejadian tahunan keseluruhan GBS di Amerika

Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan rasio kejadian pada laki-lakidan

wanita 3 : 2. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada

akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan berbagai

varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di RSCM mengalami

kenaikan sekitar 10%. Beberapa infeksi terlibat dalam perkembangan GBS. Sekitar

dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas atau gejala gastrointestinal telah

dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya gejala GBS. Bukti yang paling kuat

adalah pada infeksi Campylobacter jejuni, namun GBS juga dilaporkan pada infeksi

berikut yaitu Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, cytomegalovirus,


2

dan Epstein-Barr. Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang dimulai

dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis

ke empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat

bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang sama sekali.2,3

Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan

menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke ekstremitas

atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf sensoris yang terjadi kurang signifikan

dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya

proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa

parestesia dan disestesia pada ekstremitas bawah, rasa sakit dan kram juga dapat

menyertai terutama pada anak anak. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi

awal pada lebih dari 50% anak - anak yang dapat menyebabkan kesalahan dalam

mendiagnosis. Di samping itu, kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat

menimbulkan kematian. Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau

hipertensi, aritmia bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang tidak

terkontrol, dan kelainan dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien

sedangkan aritmia terjadi pada 30% dari pasien.2,3

Makalah ini dibuat untuk mempelajari aspek klinis dan penatalaksanaan GBS

lebih rinci sehingga dapat memberikan wawasan bagi pembaca dan penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Etiologi Guillain–Barré syndrome (GBS)

Guillain–Barré syndrome adalah sekumpulan gejala yang merupakan suatu

kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf

tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf

motorik yang sifatnya progresif. Guillain-Barré syndrome ini memiliki beberapa

subtipe yaitu:1,4

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan

patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhi baik oleh

mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat progresif dengan

kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat hiporefleksia atau arefleksia.

2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibodi

yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a, GalNAc-GD1a,

dan GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai adanya proses

demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi Campylobacter jejuni yang biasanya

terjadi pada musim panas pada pasien muda.

3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme

yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal sensoris,

sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.


4

4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana

antibodi imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller Fisher

syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang memiliki gejala yang khas

berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan arefleksia. Selain itu juga terdapat

kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang terjadi pada 50% kasus.

5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana

kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya pada

kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus ini.

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya

mielin, material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut dengan

demielinisasi. Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut

menjadi lambat atau berhenti sama sekali. Guillain–Barré syndrome menyebabkan

inflamasi dan destruksi dari mielin dan menyerang beberapa saraf. Penyebab

terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini belum diketahui. Ada

yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh penyakit autoimun.2

Mekanisme GBS diyakini merupakan suatu neuropati inflamasi yang disebabkan oleh

reaktivitas silang antara antigen dan antibodi saraf yang disebabkan oleh infeksi

tertentu yaitu organisme menular, seperti C. jejuni, yang memiliki struktur dinding

bakteri yang mirip dengan gangliosida. Molekular mimikri ini akan menciptakan

antibodi anti-gangliosida yang akan menyerang saraf. 2,4


5

2.2 Etiologi

Guillain-Barre Syndrom (GBS) adalah inflamasi demielinisasi

polineuropati akut yang di tandai oleh kelemahan motorik, paralisis, dan

hiporefleksia simetris, asendens dan progresif dengan atau tanpa disertai

gejala sensorik atau otonom. Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS

disebabkan karena hilangnya myelin, material yang membungkus saraf.

Hilangnya myelin ini disebut demyelinisasi. Demyelinisasi menyebabkan

penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat atau berhenti sama

sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari myelin dan menyerang

beberapa saraf. Oleh karena itu GBS disebut juga Acute Inflammatory

Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP)


6

Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS sampai saat ini

belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut disebabkan oleh

penyakit autoimun.

Pada sebagian besar kasus, GBS didahului oleh infeksi yang

disebabkan oleh virus, yaitu Epstein-Barr virus, coxsackievirus,

influenzavirus, echovirus, cytomegalovirus, hepatitisvirus, dan HIV. Selain

virus, penyakit ini juga didahului oleh infeksi yang disebabkan oleh bakteri

seperti Campylobacter Jejuni pada enteritis, Mycoplasma pneumoniae,

Spirochaeta, Salmonella, Legionella dan Mycobacterium Tuberculosa.

Vaksinasi seperti BCG, tetanus, varicella, dan hepatitis B; penyakit sistemik

seperti kanker, lymphoma, penyakit kolagen dan sarcoidosis; kehamilan

terutama pada trimester ketiga; pembedahan dan anestesi epidural. Infeksi

virus ini biasanya terjadi 2 – 4 minggu sebelum timbul GBS.

2.3 Patofisiologi

Infeksi , baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen

lain memasuki sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri Antigen

tersebut mengaktivasi sel limfosit T. Sel limfosit T ini mengaktivasi proses

pematangan limfosit B dan memproduksi autoantibodi spesifik. Ada beberapa

teori mengenai pembentukan autoantibodi , yang pertama adalah virus dan


7

bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh

mengenalinya sebagai benda asing.

Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi tersebut menyebabkan

kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri berkurang.

Autoantibodi ini yang kemudian menyebabkan destruksi myelin bahkan

kadang kadang juga dapat terjadi destruksi pada axon.

Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang myelin

disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan

myelin. Hal ini menyebabkan terjadinya respon imun terhadap myelin yang di

invasi oleh antigen tersebut.

Destruksi pada myelin tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat

mengirimkan signal secara efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya

untuk merespon perintah dari otak dan otak menerima lebih sedikit impuls

sensoris dari seluruh bagian tubuh.


8

Patofisiologi Pasien GBS

2.4 Manifestasi Klinis

Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi yang

terjadi. GBS dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal dari infiltrasi sel

monuklear pada saraf perifer. Pada subtipe AIDP (Acute inflammatory demyelinating

polyradiculopathy), mielin lebih dominan mengalami kerusakan, sedangkan pada

AMAN (Acute motor axonal neuropathy), nodus ranvier merupakan target inflamasi.5
9

Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan

rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke

empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat bilateral.

Badan, bulbar, dan otot respirasi mungkin saja terkena. Pasien mungkin tidak dapat

berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang

sama sekali. Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan

menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke ekstremitas

atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan sarafmotoris ini bervariasi pada masing-

masing individu, mulai dari kelemahan sampai pada quadriplegia flaksid. Kelemahan

lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot respiratorik dan sekitar 25%

pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik.5,6

Umumnya, kegagalan respirasi terjadi pada pasien dengan progresi gejala

yang cepat, kelemahan anggota gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan

bulbar. Kelemahan biasanya mencapai puncak pada minggu kedua, diikuti dengan

fase plateu dengan durasi yang bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi

dengan gejala disabilitas sisa. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus,

biasanya meliputi kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan

tersebut dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan

yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy. Pada GBS juga terjadi

kerusakan pada saraf sensoris namun kurang signifikan dibandingkan dengan

kelemahan pada otot. Saraf yang diserang biasanya proprioseptif dan sensasi getar.
10

Gejala yang dirasakan penderita biasanya berupa parestesia dan disestesia pada

ekstremitas distal. Gejala sensoris ini umumnya ringan, kecuali pada pasien dengan

GBS subtipe AMSAN (Acute motor-sensory axonal neuropathy). Rasa nyeri dan

kram juga dapat menyertai kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak. Nyeri

dirasakan terutama saat bergerak terjadi pada 50 – 89% pasien GBS. Nyeri yang

dideskripsikan berupa nyeri berat, dalam, seperti aching atau crampin/kaku pada otot

yang terserang, sering memburuk pada malam hari. Nyeri bersifat nosiseptif dan/atau

neuropatik. Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50%

pasien yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda. Kelainan saraf

otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Gejala otonom terjadi

pada dua per tiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan darah (hipotensi atau

hipertensi), takikardia, aritmia jantung bahkan cardiac arrest, ortostasis, facial

flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas gastrointestinal.

Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari

pasien. Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan untuk

mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi,konstipasi, kesulitan menelan dan bernapas,

perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur (blurred visions).5,6

Tabel 1. Gambaran klinis dan patologis subtype GBS5

Subtipe Gambaran patologis Gejala klinis


AIDP (Acute inflammatory Demielinisasi perifer -Subtipe yang paling sering

demyelinating multifokal, remielinisasi terjadi (lebih dari 90%


11

polyradiculopathy) yang lambat, mekanisme pasien GBS di Amerika

humoral dan seluler Serikat)

-Kelumpuhan simetris dan

progresif

-Hiporefleksia atau

arefleksia
AMAN (Acute motor Antibodi antigangliosida - AMAN meliputi

Axonal Neuropathy) GM1, GD1a, Ga1Nac- sekitar 5-10% kasus GBS.

GD1a, GD1b pada - Berhubungan erat dengan

aksonsaraf motorik infeksi C.jejuni; lebih

perifer; tidak ada sering terjadi saat musim

demielinisasi panas, pada pasien-pasien

muda dan China atau

Jepang.

- Kelemahan tungkai dan

lengan yang bersifat

simetris, onset

akut/subakut

- Hanya gejala motorik

yang hilang

- Refleks tendon dalam

dapat tidak muncul


12

(arefleksia difus)

- Kelemahan otot

orofaringeal dan fasial

- Insufisiensi respirasi
AMSAN (Acute motor- Mekanisme menyerupai - Quadriparesis akut -

sensory axonal neuropathy) neuropati axonal motorik Arefleksia (kehilangan

akut, namun dengan refleks)

degenerasi aksonal - Kehilangan fungsi

sensorik. sensoris bagian distal

(lebih mendominasi

dibandingkan AMAN)

- Insufisiensi respirasi
Miller Fisher Syndrome Miller Fisher Syndrome - Jarang (3% GBS di

Amerika serikat)

- Optalmoplegi bilateral -

Ataksia

- Arefleksia

- Kelemahan fasial, bulbar

(50% kasus)

- Kelemahan badan dan

ekstremitas (50% kasus)


Acute autonomic Mekanisme tidak jelas - Subtipe yang paling

neuropathy jarang
13

- Gejala otonomik,

terutama

kardiovaskuler dan

visual

- Hilangnya sensoris

- Penyembuhan lama,

dapat inkomplit

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat

difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk

yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot

interkostal. Tanda rangsang meningeal seperti tanda kernig dan kaku kuduk mungkin

dapat ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinski umumnya negatif. 6,7

Secara lebih ringkas, subtipe dan gejala GBS dapat dilihat pada Tabel 1.

2.5 Pemeriksaan Penunjang

2.5.1 Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil

umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal,

haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis

polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit

cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat
14

terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Dapat dijumpai respon

hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA,

dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan.8,9,10

2.5.2 Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS)

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya

kenaikan kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini

oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi sitoalbuminik,

yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya pleositosis. Pada

kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah

beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat gejala klinis mulai

stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6

minggu setelah mulainya gejala klinis. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan

naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit

mononuklear/mm.8

2.5.3 Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,

kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua

dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada minggu

pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%), perpanjangan distal

latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (50%).

Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai otot (CMAP, 100%),
15

perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan konduksi motor (84%).

Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni, prolongasi masa laten motorik

distal yang menandai blok konduksi distal dan prolongasi atau absennya respon

gelombang F yang menandakan keterlibatan bagian proksimal saraf, blok hantar saraf

motorik, serta berkurangnya KHS. Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang

dapat dijumpai 2-4 minggu setelah awitan gejala telah terbukti berhubungan dengan

tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS,

akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita

menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan

yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi

EMG.11

2.5.4 Pemeriksaan patologi anatomi

Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya

infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal. Pada fase

lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama dengan

demielinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat. Saraf perifer

dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik

intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root, saraf spinal

proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel limfosit dan sel mononuklear lain juga

didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.10,11
16

2.5.5 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan pada hari ke

13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan penebalan pada

radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium. Adanya penebalan radiks

kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier darah saraf. Hal ini dapat
10,11
terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai 83% untuk GBS akut.

Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang sangat sugestif mengarah ke GBS

sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral. MRI lumbosakral dapat

digunakan sebagai modalitas diagnostic tambahan, terutama bila temuan klinis dan

elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar.11


17

Gambar 1. Gambaran MRI lumbosakral pada pasien perempuan 39 tahun dengan

GBS dan SLE, potongan sagital dan aksial menunjukkan herniasi diskus T12-L1 yang

menyebabkan kompresi minimal pada conus medullaris11

2.5.6 Pemeriksaan lain

Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah Elektrokardiografi

(EKG) yang biasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan yang

ditemukan tidak diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum Kreatinin Kinase

biasanya normal atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau pengukuran

kapasitas vital paru biasanya menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang

sedang berjalan (impending). Intubasi dan mekanisme ventilasi. harus

dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada dibawah 15 mL/kg/BB atau tekanan

oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak diperlukan dan

biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat adanya denervation

atrophy. 10,11

2.6 Diagnosis

Diagnosis GBS terutama ditegakkan dari temuan klinis dan pemeriksaan penunjang.

Perjalanan penyakit GBS dapat dibagi menjadi 3 fase, yakni:8

2.6.1 Fase Progresif

Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai tiga minggu

sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai “titik nadir”.
18

Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik.

Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang

muncul pada penderita. Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi

menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.

2.6.2 Fase Plateau

Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak didapati

baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti namun derajat

kelemahan tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada

pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan

sendi. Keadaan umum penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan

khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang

hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Pengawasan terhadap tekanan

darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis

perlu dilakukan dengan rutin. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Lama fase ini

tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan

setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama

beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan

2.6.3 Fase Penyembuhan

Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan

penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang

menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf


19

mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk

membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal

dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang

beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan

penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap

menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat

penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

Selain daripada manifestasi klinis dan diagnosis berdasarkan fase, kriteria

diagnostik GBS menurut The National Institute of Neurological and Communicative

Disorders and Stroke (NINCDS) menjadi patokan untuk diagnosis GBS; meliputi

gejala utama, gejala tambahan, pemeriksaan CSS, pemeriksaan elektrodiagnostik, dan

gejala yang menyingkirkan diagnosis.10,11 a. Gejala utama

1) Kelemahan yang bersifat progresif pada satu atau lebih ekstremitas dengan

atau tanpa disertai ataksia

2) Arefleksia atau hiporefleksia yang bersifat general

b. Gejala tambahan

1) Progresivitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal

dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3

minggu, 90% dalam 4 minggu.

2) Biasanya simetris
20

3) Adanya gejala sensoris yang ringan 4) Gejala saraf kranial, 50% terjadi

parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya

yang mempersarafi lidah dan otot-otot bulbar,kadang < 5% kasus neuropati

dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain.

5) Disfungsi saraf otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural,

hipertensi dan gejala vasomotor.

6) Tidak disertai demam saat onset gejala neurologis

7) Pemulihan dimulai antara minggu ke 2 sampai ke 4 setelah progresivitas

berhenti. penyembuhan umumnya fungsionil dapat kembali

c. Pemeriksaan CSS

1) Peningkatan protein

2) Sel MN < 10 /µl

d. Pemeriksaan elektrodiagnostik

1) Terlihat adanya perlambatan atau blok pada konduksi impuls saraf

e. Gejala yang menyingkirkan diagnosis

1) Kelemahan yang sifatnya asimetri

2) Disfungsi vesika urinaria yang sifatnya persisten

3) Sel PMN atau MN di dalam CSS > 50/ul


21

4) Gejala sensoris yang nyata

2.7 Diagnosis Banding

Diagnosis banding yang sering mirip GBS, dapat dibedakan dengan: 9,10

a. Miastenia gravis akut: Tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun

terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita GBS

tetap kuat, sedangkan pada miastenia, otot mandibula akan melemah setelah

beraktivitas serta tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia.

b. Thrombosis arteri basilaris: Dapat dibedakan dari GBS dimana pada GBS,

pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F;

sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis

Babinski.

c. Paralisis periodik: Ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa

keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. Pada GBS, terdapat

paralisis umum yang mendadak dan boleh menyebabkan paralisis otot

respirasi.

d. Botulisme: Didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan

kaleng yang terinfeksi, dimana gejala dimulai dengan diplopia, disertai

dengan pupil yang non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang

jarang terjadi pada pasien GBS.


22

e. Tick paralysis: Terjadi paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan;

umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu yang menempel

pada kulit.

f. Porfiria intermiten akut: Terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak,

namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum

asam aminolevulinik delta. Pada GBS, terdapat keterlibatan paralisis otot

respirasi, namun hasil pemeriksaan urin dalam batas normal.

g. Neuropati akibat logam berat: Umumnya terjadi pada pekerja industri

dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat

daripada GBS.

h. Cedera medula spinalis: Ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah

tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hampir sama yakni pada fase syok

spinal, dimana refleks tendon akan menghilang.

i. Poliomielitis: Didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala

meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik.

j. Mielopati servikalis: Pada GBS, terdapat keterlibatan otot wajah dan

pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang

muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam

pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
23

2.8 Penatalaksanaan

Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan

penyakit GBS. Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh

dengan sendirinya. Pengobatan yang diberikan lebih bersifat simptomatis.

Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan

untuk mempercepat proses penyembuhan penderita. Meskipun dikatakan

sebagian besar dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan mengenai waktu

perawatan yang lama dan juga masih tingginya angka kecacatan / gejala sisa

pada penderita, sehingga terapi tetap harus diberikan.12

2.8.1 Terapi Farmakologi

Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa

preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian

kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan secara

signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone secara intravena yang

berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak memberikan manfaat secara

signifikan dalam waktu jangka panjang.12,13 Sebuah studi awal mengemukakan

pasien yang diberikan kortikosteroid oral menunjukkan hasil yang lebih buruk

daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi randomisasi di Inggris

dengan 124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap hari selama

15 hari dan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak
24

didapatkan pernedaan antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan

maupun outcome yang lainnya.10,11

Plasmaparesis

Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti

autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi

nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang

menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat,

minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang lebih

singkat.3,14 Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua

minggu pada pasien GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan

ventilator (alat bantu napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma dari

darah dan menggunakan centrifugal blood separators untuk menghilangkan

kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian

dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisis 5% albumin

untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.1,2 Terapi ini

dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari.

Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat bila dilakukan

pada awal onset gejala (minggu pertama GBS).14 Keterbatasan plasmaparesis

yaitu akses intravena memerlukan kateter double-lumen besar melalui vena

femoral atau vena subklavia internal. Komplikasi yang mungkin terjadi antara

lain: pneumothoraks, hipotensi, sepsi, trombositopenia, hipokalsemia, dan


25

anemia. Selama plasmaparesis penting untuk memonitoring tekanan darah,

nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar. Selain itu, perlu juga dilakukan

monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR satu atau dua hari bila

ditemukan parameter koagulasi abnormal.10

Imunoglobulin Intravena

Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan

dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan

komplikasi yang sifatnya lebih ringan.14,13 Penggunaan IVIg dapat memodulasi

respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi

autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh

komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan

mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk menunjukkan

respon IVIg pada GBS pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-Barre

Syndrome Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka membandingkan

efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok

kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam

GBS tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan plasmaparesis.15 Pada

penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada anak yang dilakukan oleh

Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan dengan IVIg pada kasus

GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi dapat

mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan


26

pada penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari. 12 Efek

samping yang muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang

terjadi. Meskipun efek samping dikatakan ringan dan jarang terjadi,

pemberian pertama biasanya dimulai dengan kecepatan rencah yaitu 25-50

cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif 50cc/jam setiap 15-

20 menit hingga 150- 200 cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri kepala,

mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul

pada 10% kasus dan mengalami perbaikan dengan penurunan kecepatan

infuse serta dapat dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen,

benadryl dan bila perlu methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang

jarang terjadi meliputi meningitis neutropenia, macular hiperemis pada

telapak tangan, telapak kaki, dan badan dengan adanyadeskuaminasi.

Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa anafilaksis,

stroke, infark miokardial akibat sindrom hiperviskositas.12

2.8.2 Problem Fisioterapi

Berdasarkan penjabaran di atas dapatlah disebutkan ada 4 problem dasar

dari sisi pandang fisioterapi, yaitu problem muskuloskeletal, kardiopulmonari,

otonomik dan sensorik. Dalam bab ini akan dibahas secara mendetail masing-

masing problem.

Muskuloskeletal
27

Gangguan muskuloskeletal yang menonjol adalah berkurangnya

kekuatan otot. Seperti disebutkan di atas, kelemahan otot disebabkan oleh

terhambatnya atau terhentinya konduksi saraf dari spinal cord ke neuromusculo

junction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa

serat otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron. Saraf yang

menginervasi motor neuron berasal dari akar saraf tulang belakang. Satu akar

saraf bisa menginervasi ribuan motor neuron. Sebaliknya satu otot mungkin

disarafi oleh beberapa motor neuron yang berasal dari beberapa akar saraf

tulang belakang. Jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka

sebagian serabut otot tidak mendapatkan inervasi; sedangkan serabut otot yang

mendapat innervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.

Kelumpuhan (plegia) terjadi akibat banyaknya motor unit, atau semua,

dalam satu otot yang tidak terkonduksi, sehingga otot tersebut tidak bisa

dikontraksikan. Sedangkan kelemahan (parese) terjadi akibat hanya sebagian

motor unit dalam satu otot yang masih terkonduksi saraf, sehingga masih

mampu untuk mengkontraksikan otot tersebut. Oleh karena hanya sebagian

serabut otot yang terinervasi yang bekerja untuk menggerakkan satu otot,

penderita GBS lebih cepat lelah.

Selanjutnya bila otot tidak bisa berkontraksi berarti bagian badan

tersebut tidak bergerak. Bila hal ini terjadi dalam kurun waktu lama, yang akan

terjadi bukan hanya kekuatan otot yang terganggu, tetapi juga akan terjadi
28

pemendekan otot, dan keterbatasan luas gerak sendi (LGS). Jadi akibat

berkurangnya konduksi saraf, akan mengurangi jumlah motor unit yang

bekerja, bahkan mungkin tidak ada sama sekali, sehingga kelemahan otot atau

lumpuh sama sekali, dan akan terjadi pemendekan otot, dan pada akhirnya

keterbatasan LGS.

Kardiopulmoner

Hal yang sama juga terjadi bila proses kerusakan selaput myelin terjadi

pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot

pernafasan, yakni otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical,

diafragma mengalami gangguan juga. Akibatnya bahkan semakin rumit. Oleh

karena otot-otot intercostal, mungkin juga diafragma, berkurang kekuatannya,

maka ekspansi dada berkurang.

Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, sehingga fungsi

ventilasi juga menurun. Akibat kapasitas vital menurun, kemampuan batuk pun

menurun. Sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan

menjadi berkurang.
29

Keadaan ini diperburuk oleh kenyataan bahwa penderita yang

mengalami kelemahan otot paru hanya mampu berbaring. Dalam posisi

berbaring, kapasitas paru semakin berkurang karena pengaruh gravitasi

terhadap posisi paru. Akibat gravitasi juga, otot-otot pernafasan yang sudah

lemah tersebut, semakin berat melakukan ekspansi paru. Berkurangnya daya

ekspansi paru berakibat terjadinya atelektasis, sehingga fungsi ventilasi paru

berkurang.

Resiko infeksi paru tinggi bila terjadi gangguan menelan, akibat

terserangnya cranial nerves yang bersangkutan. Karena gangguan menelan

tersebut, makanan bisa masuk ke saluran pernafasan, yang akan menjadi

sumber penyebab infeksi paru. Terjadinya infeksi paru akan meningkatkan

kebutuhan ventilasi. Sebaliknya infeksi paru juga menurunkan kemampuan

pertukaran gas di paru. Sehingga perbedaan kebutuhan ventilasi dan

kemampuan ventilasi paru akan sangat besar, yang akan memperburuk kondisi

pasien.

Sistem Saraf Otonomik

Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin

mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan

saraf otonomik simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai saraf vagus

(salah satu cranial nerves) akan terjadi gangguan parasimpatik. Oleh karena
30

saraf-saraf tepi otonomik berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang

belakang thoracal dan saraf vagus. Gangguan yang biasanya tampak adalah

naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan, ataupun postural

hipotensi.

Kecuali gangguan tekanan darah yang naik turun secara tiba-tiba, dan

menelan, gangguan-gangguan tersebut tidak akan banyak mempengaruhi

program fisioterapi. Tetapi dalam memberikan pengobatan fisioterapi

hendaknya selalu mengawasi tanda-tanda tersebut, terutama bila hendak

memberikan perubahan posisi yang berarti atau mobilisasi.

Sensasi

Gejala lain yang dirasakan penderita GBS adalah gangguan rasa

(sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar,

ataupun nyeri. Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah

setiap saat. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya, tetapi gangguan rasa

tersebut menimbulkan rasa tidak nyaman. Rasa nyeri kadangkala juga terjadi

akibat sebuah sendi tidak digerakkan dalam waktu tertentu. Jadi kadangkala

nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi, tetapi kadangkala juga

disebabkan oleh kombinnasi gangguann sensasi dan sendi yang sudah lama

tidak digerakkan.
31

Selain gangguan rasa yang berakibat tidak nyaman, gangguan sensasi

juga bisa menyebabkan komplikasi. Misalnya gangguan rasa tebal, disertai

kelemahan otot, bisa menyebabkan dekubitus. Oleh karenanya perlu dipikirkan

untuk pencegahannya.

2.8.3 Terapi Suportif

Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga terapi

suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya

pasien GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan

intermediet untuk memungkinkan monitoring pernapasan dan fungsi otonom

yang lebih intensif. Penurunan expiratory forced vital capacities < 15 cc/kgBB

ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah 60 cmH2O mengindikasikan

bahwa pasien memerlukan intubasi dan ventilator mekanik sebelum terjadi

hipoksemia. Setelah duaminggu penggunaan intubasi, perlu dipertimbangan

dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan bed-ridden perlu diberikan

profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau antikoagulan berupa heparin

atau enoxaprin subkutan.14,16,17 Apabila terjadi kelompuhan otot wajah dan otot

menelan, maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat memenuhi kebutuhan

nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan menjelang masa

penyembuhan untuk mengembalikan lagi fungsi alat gerak penderita, menjaga

fleksibilitas otot, berjalan dan melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi


32

pasif dilakukan setelah terjadi masa penyembuhan untuk memulihkan

kekuatan otot penderita.11,12

2.8.4 Program rehabilitasi

a) Terapi fisioterapi

Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak

awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit

GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan

fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut

hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut

yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi

pasien akan terus menurun.


33

Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi

pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan

dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua

problem menjadi sangat penting. Sedangkan pada fase kedua hanya problem

muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara

keseluruhan penatalaksanaan fisioterapi ditujukan pada pengoptimalan

kemampuan fungsional.

Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi,

penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh

karenanya sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis

berusaha memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem,

sesuai dengan penguraian problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada

prakteknya, pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain.

Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal


34

Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting

baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah

masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan

motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan

kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa

kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu.

Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi

pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap

memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali bekerja.

Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot

Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan

aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri

anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian

kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya

fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam

fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang

diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu.

Sebaiknya seorang fisioterapis mempunyai sistematis dalam

menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati.

Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan


35

motorik pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan

anggota tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang

terkuat. Secara psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien.

Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah

gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot

yang tertinggal.

Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati

tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu

lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor

unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya ototnya akan

kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS,

frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk

mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas.

Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih

banyak sesi dalam sehari.

Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase

sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot.

Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu

berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif

seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif

dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat


36

menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan

kekuatan otot.

Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya

fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat,

seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan,

hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah

memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan

otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau

mensiasati bila ada keterbatasan.

Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran

kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama

kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan

penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya

berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran

pada tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala,

misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun

penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan

menjadi motivasi keduanya.

Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)


37

Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa

dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase

pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara

penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk

menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang

fungsional.

Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi

sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal.

Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2

sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk

mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk

mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua.

Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah

pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer.

Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya

disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer

pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari

waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan

fungsional yang maksimal.

Penatalaksanaan pada Panjang Otot


38

Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian

besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya

melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk

mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band,

sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting

dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga

bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas

penderita bila sembuh nanti.

Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot

tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya

untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis

harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak

mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot

adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk

sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh.

Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan

cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa

digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena biasanya

keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan

bila ada keterbatasan panjang otot.


39

Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari

Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus

GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena

berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat

melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang.

Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan

menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga

saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang

juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital.

Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada

Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak

bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan

bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume

sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi

meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga

memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS

persendian disekitar tulang rusuk terpelihara.

Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali

membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal


40

dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan.

Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual

hyperinflation bisa memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan

aktif harus segera diberikan. Pemberian latihan masih harus memperhatikan

aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini

berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi

latihan, untuk menghindari kelelahan.

Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan

Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi

saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari

sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila

sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka

diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan.

Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup

volume udara.

Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan

yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan

sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan

akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang,

sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang.


41

Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan

yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan

ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang

ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu

ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa

dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual

hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu memindahkan

sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih proksimal. Untuk

membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk,

atau bila tidak harus dilakukan suction.

Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda

gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau

saturasi penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk

sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan

saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase ke-dua, ketika

otot-otot pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan

otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk

berguna untuk mempertahankan kekuatan otot.

Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan


42

Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin

tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan

menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi

dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu

sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke

saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien

mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan

sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot

pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk.

Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima

makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu

dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak

banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program

fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila

otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita

belajar menelan, resiko masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah

teratasi.

Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik

Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila

kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni
43

cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal

yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguan-

gangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak

sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan

mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi,

misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh

karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh.

Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama

memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi

tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan

input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila

terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu.

Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati

tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan

darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan

digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat.

Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita,

atau warna muka sebagai indikator tekanan darah.

Penatalaksanaan pada Problem Sensasi


44

Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar,

kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk

mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta.

Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa

disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi.

Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya

gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendi-sendi

tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa

nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri

tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan

sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya.

Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang

sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi,

tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik

bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain

ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu

dekubitus.

Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur

pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan

akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan


45

sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam,

dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.

b) Terapi bicara

Terapi bicara ini ditujuka untuk meningkatkan keterampilan berbicara dan

menelan aman bagi pasien yang memiliki kelemahan orofaringeal signifikan

dengan disfagia resultan dan dysatria. Pada pasien ventilator dependent,

strategi komunikasi alternative mungkin juga perlu diterapkan. Setelah

dilepaskan dari ventilator, pasien dengan tracheostomies bisa belajar

menyuarakn strategi dan kahirnya bisa dilepaskan dari tabung trakeostomi.

Skrining kognitif juga dapat dilakukan conjointly dengan neuropsikologi

untuk menilai deficit, karena masalah kognitif telah dialporkan pada beberapa

pasien dengan GBS, terutama setelah mereka memiliki masa tinggal

diperpanjang di unit perawatan intensif (ICU).10,12

2.9 Prognosis

Meskipun kebanyakan pasien dengan GBS membuat pemulihan yang

baik, 2-12% dari mereka meninggal akibat komplikasi yang berkaitan dengan

GBS dan persentase yang signifikan dari penderita sequel motor persisten.

Estimasi data menunjukkan bahwa 75%-85% dari pasien mengalami

pemulihan yang baik, 15-20% memiliki sisa deficit sedang, dan 1-10% yang

tersisa dengan cacat. Meskipun prevalensi yang tepat tidak pasti, hinggal
46

25.000-50.000 orang di Amerika Serikat mungkin telah deficit fungsional

panjang dari GBS.1,4

2.10 Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan

atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya

infeksi, trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu,

dan kontraktur pada sendi


47

BAB III

LAPORAN KASUS

Identitas

Nama : Ny. SS

JenisKelamin :Perempuan

Umur : 17 Tahun

Agama : Budha

Alamat :Walikota

Tanggal MRS : 2 Maret 2021

Tanggal pemeriksaan : 2 Maret 2021

Anamnesa Umum

 KeluhanUtama

Kelemahan keempat anggota gerak

 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan utama kelemahan anggota gerak

sejak 1 hari SMRS. Keluhan mulai di rasakan kemarin namun pasien

masih bisa menggerakan kedua kaki dan tangannya sedikit demi sedikit.

Keluhan di mulai dari kaki pada pagi hari. Awalnya kedua kaki terasa

berat untuk di gerakan, tetapi pasien masih bisa melakukan aktifitas.

Semakin malam pasien pasien merasa kedua kakinya semakin berat

hingga tidak bisa di gerakan. Tidak hanya kaki, tangannya pun juga susah

di gerakan. Pasien juga merasakan baal pada kaki yang menjalar pada
48

tubuh bagian atas.Seminggu kaki kebas dan ada demam selama 2 hari di

sertai batuk dan susah menelan, mual dan muntah di sangkal. Riwayat

trauma di sangkal. BAB tidak ada sejak kemarin dan BAK tidak ada

sejak tadi pagi.

 Riwayat Penyakit Dahulu

 Riwayat Hipertensi (-)

 Riwayat Diabetes Mellitus(-)

 Riwayat Penyakit Ginjal(-)

 Riwayat Pengobatan

Disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga

Tidak ada keluarga atau lingkungannya yang menderita

penyakit serupa denganpasien, tidak ada anggota keluarga yang

mengalami hipertensi, diabetes mellitus dan stroke.

Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis

Pemeriksaan Umum

 Keadaan umum : Tampak Lemah

 Kesadaran (GCS = E4V5M6) : Compos mentis


49

Tanda Vital

 TD : 120/80mmHg

 Nadi : 64 x/mt,reguler

 RR : 24x/menit

 Suhu : 37,9ºC aksiler

Kepala:

Rambut : hitam (+) tidak mudah di cabut

Wajah : simetris, odema (-), deformitas (-)

Mata :

 pupil : isokor (+/+)

 Konjungtiva : anemis (-)

 Skelra : ikterik (-)

Telinga: serumen (-), darah (-)

Hidung: deformitas (-), sekret (-), darah (-)

Mulut : sianosis (-), bibir simetris

Leher : pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)

Thorax :

Paru-paru :

 inspeksi : pergerakan dada simetris, jejas (-)

 Palpasi : nyeri tekan (-) , massa (-)

 Perkusi : sonor
50

 Auskultasi : bunyi nafas vesikuler kedua lapang paru, rhonki (-),

wheezing (-)

Jantung:

 Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat

 Palpasi : ictus cordis teraba pada ICS V midclavicula sinistra

 Perkusi: redup

 Auskultasi: BJ I,II,murni, reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen:

 Inspeksi: datar

 Auskultasi : bising usus (+)

 Palpasi: supel, nyeri tekan (-)

 Perkusi: timpani

Alat kelamin: tidak di periksa

Ekstremitas: atrofi (-), odem (-), sianosis (-), gerakan terbatas superior dan

inferior.

B. Status Neurologis

Kesadaran: Kompos mentis (E4V5M6)

Saraf kranial:

N.I (olfaktorius) : Normosmia

N.II (optikus) : OD OS

 Ketajaman penglihatan : >2/60 >2/60 (posisi berbaring)

 Lapangan penglihatan : Tidak dapat dievaluasi Tidak dapat di evaluasi

N.III (okulomotorius), N.IV (toklearis), N.VI (abducens)


51

OD OS

 Celah kelopak mata: normal normal

 Ptosis : - -

 Eksoftalmus / endoftalmus : - -

Pupil :

 Ukuran / bentuk : 3mm / bulat 3mm/ bulat

 Refleksi cahaya langsung / tidak langsung : +/+ +/+

 Refleks akomodasi : + +

Gerakan bola mata

 Parase : - -

 Nistagmus: - -

N.V (Trigeminal)

 Sensibilitas: N. VI : Normal

 N. V2 : Normal

 N. V3 : Normal

 Motorik N.V3 : Inspeksi / palpasi (istirahat / menggigit) : normal

 Refleks Kornea : +/+

N. VII (Facialis) :

 Motorik: M. Frontalis M. Orbik okuli M. Orbik oris

 Istirahat : simetris simetris simetris

 Gerak mimik: simetris simetris simetris

Sensorik khusus
52

 Pengecapan 2/3 lidah bagian depan : +

N. VIII (vestibulokoklearis)

Pendengaran : kesan normal

 Tes rinne : +/+

 Tes Webber : tidak ada lateralisasi

 Tes Swabach : sama dengan pemeriksa / sama dengan pemeriksa

N. IX (glosofaringeus) dan N.X (Vagus)

 Posisi arkus faring (istirahat / AAH) : Simetris

 Refleks telan / muntah :+

 Pengecapan 1/3 belakang : normal

 Suara : normal

 Takikardi / bradikardi : -/-

N. XI (asesorius)

 Memutar kepala : normal

 Angkat bahu : normal

N XII (hiplogossus)

 Deviasi lidah :-

 Atrofi :-

 Tremor :-

 Ataksia :-

Tanda rangsang meningeal (TRM)


53

 Kaku kuduk : -

 Kernig sign : -

 Brudzinski I :-

 Brudzinski II : -

o Motorik: Superior inferior

Kanan kiri

kanan kiri

Trofi otot : eutrofi eutrofi

eutrofi eutrofi

Pergerakan : terbatas terbatas

terbatas terbatas

Kekuatan : 1/0/0 1/0/0

0/0/0 0/0/0

Tonus otot : hipotonus hipotonus

hipotonus hipotonus

Otot terganggu: - -

- -

Refleks fisiologis Superior inferior

Kanan/ kiri kanan / kiri

Biceps : + + KPR: + +

Triceps: + + APR: + +

Brachioradialis : + +

Klonus Kanan/ kiri kanan / kiri


54

Lutut: - - - -

Refleks patologis: Kanan/ kiri kanan / kiri

Hoffmann Trommer : - - Babinski : - -

Chaddock : - -

Gordon : - -

Schaefer: - -

Oppenheim: - -

Pergerakan abnormal spontan : -

o sensorik

Eksteroseptif superior inferior

Kanan/ kiri kanan / kiri

Nyeri : normal / normal hipestesia r.pedis-umbilikus menurun

Suhu:

Raba halus: normal / normal hipestesia r.pedis-umbilikus menurun

Proprioseptif superior inferior

Kanan kiri kanan kiri

Rasa sikap : normal normal - -

Nyeri dalam : normal normal - -

Fungsi kortikal superior inferior

Kanan kiri kanan kiri

Diskriminasi : Dapat Tidak Dapat


Dapat Tidak Dapat
membedak membedak membedakan membedakan
an dua titik an dua titik dua titik dua titik
55

Stregnosis :
Dapat Dapat Tidak Dapat Tidak Dapat
mengenali mengenali mengenali mengenali
benda benda benda benda
o

Gangguan koordinasi dan keseimbangan:

Kanan kiri

Tes jari hidung : sulit di evaluasi sulit di evaluasi

Tes tumit : sulit di evaluasi

Tes romberg : sulit di evaluasi

Tes pronasi-supinasi: sulit di evaluasi sulit di evaluasi

Tes pegang jari : sulit di evaluasi sulit di evaluasi

o Otonom :BAB tidak ada sejak kemarin dan BAK tidak ada sejak

tadi pagi

Pemeriksaan Penunjang

1. Hasil Laboratorium Darah

Lengkap 2/3/2021

 WBC : 10.92x 10³/µL (N : 4.0 – 11.0x10³/µL)

 PLT : 293 x103/UL (N: 150-400 x10³/µL)

 HGB : 11.0 x 10³/µL (N: 12-16 x g/DL)

 Glukosa sewaktu: 111 mg/dl (<180mg/dl)

 Ureum : 23 mg/dl (10-50 mg/dl)

 Creatinin : 0.3 mg/dl (<1.4mg/dl)


56

2. Hasil Foto Thoracal AP/L (2/3/2021)

Bacaan:

Aligment colummna vertebra thoracal baik, tidak tampak listhesis

Tidak tampak fraktur maupun destruksi tulang

Mineralisasi tulang baik

Discus intervertebralis dan foramen intervertebralis baik

Jaringan lunak di sekitarnya baik

Kesan: tidak tampak kelainan radiologis pada foto ini


57

RESUME

Pasien perempuan umur 17 tahun, masuk RS dengan keluhan

keempat anggota gerak tidak dapat di gerakan sejak -/+ 1 hari sebelum

masuk rumah sakit.kelemahan mulai di rasakan kemarin namun pasien masih

bisa menggerakan kedua kaki dan tangannya sedikit demi sedikit. Keluhan di

mulai dari kaki pada pagi hari. Awalnya kedua kaki terasa berat untuk di

gerakan, tetapi pasien masih bisa melakukan aktifitas. Semakin malam

pasien pasien merasa kedua kakinya semakin berat hingga tidak bisa di

gerakan. Tidak hanya kaki, tangannya pun juga susah di gerakan. Pasien juga

merasakan baal pada kaki yang menjalar pada tubuh bagian atas. Seminggu

kaki kebas dan ada demam selama 2 hari di sertai batuk dan susah menelan,

mual dan muntah di sangkal. Riwayat trauma di sangkal. BAB tidak ada

sejak kemarin dan BAK tidak ada sejak tadi pagi.

Pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak lemah, kesadaran

kompos mentis, tanda vital dalam batas normal namun suhu badan pasien

mengalami peningkatan, pemeriksaan fisik dari kepala sampai kaki dalam

batas normal. Dari pemeriksaan neurologis di dapatkan gerakan terbatas

kekuatan motorik ekstremitas superior dextra / sinistra dan inferior dextra /

sinistra 2/2/1/1 dan hipotoni; refleks fisiologis pada keempat ekstremitas

menurun (+) ; pemeriksaan sensorik eksteroseptif (nyeri dan raba) menurun

pada kedua ekstremitas inferior, pemeriksaan sensorik fungsi kortikal untuk


58

diskriminasi dua titik kedua ekstremitas inferior abnormal (tidak dapat

membedakan dua titik) dan stereognosis kedua exstremitas inferior tidak

mengenali benda.

Pada pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah di dapatkan

dalam batas normal dan pemeriksaan radiologi foto rontgen thoraks

AP/Lateral dan cervikalis normal.

Diagnosis Neurologi:

Diagnosia Klinis: Paraplegi inferior, Hipotoni, Hiporefleks, Paraparese

superior grade 1, Hipestesia

Diagnosis Topis: Radiks medula spinalis setinggi cauda equina

Diagnosis Etiologis: Paraplegi nferior ec suspek Guillain Bare Syndrome

Diagnosis Fungsional:

Impairtment: Paraplegi inferior, Hipotoni, Hiporefleks, Paraparese superior

grade 1, Hipestesia

Disabillity : tidak bisa berjalan dan kesulitan melakukan aktivitas sehari- hari

Handicap: tidak bisa mengikuti pendidikan formal

Diagnosis Banding: Miastenia gravis, Poliomeilitis, Paralisis Periodik


59

Penatalaksanaan

Medikamentosa: IVFD NaCl 0,9% 20tmp

Paracetamol drip 500mg/8jam

Methilprednisolon 3 x 125 mg/hari/IV tap off 2 hari

Norages 3x1 ampul

Ceftriaxone 2 x1 gr/IV

Kalmeco 3x1 amp dan ranitidin 2x1 amp/hari/IV

Non medikamentosa:

Fisioterapi dengan terapi pasif karena kekuatan otot <2

Prognosis:

o Ad vitam : dubia ad malam

o Ad functionam : dubia ad bonam

o Ad sanactionam : dubia ad bonam


60

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada  kasus  ditemukan pasien mengalami gejala parese  yang menjalar  dari

tungkai bawah yang bergerak secara progresif ke ekstremitas atas dan disertai dengan

rasa hypoestesia, hal ini memenuhi kriteria penegakan diagnosis secara klinis suatu

GBS yakni ascending paralysis yang mana hal ini disebabkan karena adanya infeksi

virus atau bakteri tertentu yang menyerang sistem saraf perifer yang memicu

terjadinya auto imun terhadap sistem saraf perifer yang mekanismenya belum

sepenuhnya dapat dipahami yang mana menyebabkan  dimielinisasi saraf.  Dimana

myelin merupakan suatu selubung saraf yang berfungsi sebagai media yang

mempercepat penghantaran aliran sinyal saraf.

Proses dimielinisasi ialah robeknya atau tidak dilapisinya neuron oleh

selubung myelin, diamana apabila terjadi proses ini maka aliran saraf tidak akan

berjalan dan otot target saraf perifer tidak akan mendapatkan inervasi yang berguna

untuk proses pergerakan dan koordinasi gerak otot. Selain itu pada anamnesis

didapatkan pasien sempat mengalami demam, batuk dan nyeri saat menelan yang

kemungkinan pasien mengalami Tonsilitis, sesuai dengan teori bahwa GBS biasanya

didahului oleh suatu infeksi pernapasan sebagai faktor predisposisi terjadinya. Virus

maupun bakteri dari infeksi saluran pernapasan inilah yang menyebabkan terjadinya

dimielinisasi sehingga menimbulkan manifestasi klinis seperti diatas.


61

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bahwa pasien ini terjadi hiporefleks

dan hipoastesia hal ini menunjukkan bahwa kelainan neurologis ini terdapat pada

lower motor neuron yang mana menyerang saraf perifer. Dimana lesi lower motor

neuron memberikan gambaran klinis hiporefleks dan hipoastesia. Dimana GBS

merupkan suatu kelainan neurologis yang menyerang sistem saraf perifer yang mana

termasuk dalam lower motor neuron. Selain, pada pemeriksaan fisik ditemukan juga

pada pasien leukositosis pada pemeriksaan darah lengkap, hal ini menjelaskan bahwa

pasien sedang dalam suatu proses infeksi. Seperti yang diketahui bahwa faktor

predisposisi utama terjadinya GBS ialah suatu proses infeksi yang mana

menyebabkan timbulnya suatu proses autoimun terhadap sistem saraf perifer sehingga

menyebabkan destruksi saraf perifer oleh imun penjamu itu sendiri.


62

BAB V
PENUTUP

Guillain–Barré Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis

yang ditandai adanya paralisis flaksid yang terjadi secara akut berhubungan

dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan

nervus kranialis. Kelainan ini kadang-kadang juga menyerang saraf sensoris,

otonom, maupun susunan saraf pusat. GBS merupakan polineuropati akut,

bersifat simetris dan asendens yang biasanya terjadi dalam 1-3 minggu dan

kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut.

Pada sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau

bisa terjadi paralisis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot – otot pernafasan

dan wajah. Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat

herediter. Beberapa penelitian menunjukkan beberapa faktor pencetus yang

terlibat, diantaranya infeksi virus, vaksinasi, dan beberapa penyakit sistemik.

Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan

sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan.

Pemeriksaan penunjang untuk GBS adalah pemeriksaan cairan

serebrospinal, elektromiografi dan MRI. Terapi farmakoterapi dan terapi fisik,

serta prognosis GBS tergantung pada progresifitas penyakit, derajat

degenerasi aksonal, dan umur pasien. Tatalaksana untuk Guillain–Barré


63

Syndrome meliputi plasmaparesis dan IVIg mengobati komplikasi,

mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penserta terapi

suportif. Tujuan utama penatalaksanaan GBS adalah mengurangi gejala,

megakan diagnosis lebih dini akan memberikan prognosis yang lebih baik.

Komplikasi yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan

aritmia.
64

DAFTAR PUSTAKA

1. Ganong William F, Stephen J Mcphee. Patofisiologi Penyakit : Pengantar


Menuju Kedokteran Klinis edisi 5. Penerbit EGC, Jakarta, 2007.
2. P. Kowalak Jennifer, William Wels, dkk. Guillan-Barre Sindrome dalam
Professional Guide To Pathophysiology. Penerbit EGC, J akarta, 2011.
3. Pinzon Rizaldy. Sindrom Guillan-Barre : Kajian Pustaka. Jurnal Kedokteran:
Dexa Medica, Jakarta, 2007.
4. Iskandar Japardi, Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara. Di akses pada
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1958/1/bedahiskandar
%20japardi46.pdf .
5. Mahar Mardjono. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat, Jakarta,
2009.
6. Robbins, Cotran. Penyakit saraf perifer dalam Dasar Patologis Penyakit.
Penerbit EGC, Jakarta, 2010.
7. Kumar Penyakit Sistem saraf perifer dalam Buku Ajar Patologi Robbins Edisi
7. Penerbit EGC, Jakarta, 2007.
8. Sherwood Laurale. Fisiologi Neuron dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
sistem. Penerbit EGC, Jakarta 2010.
9. Rinaldi S. Update on guillian barre syndrome. Journal of the peripheral nervous
system. 29
2013; 18: 99-112
10. Beth A, Rosen. Gullain barre syndrome. American academy of pediactrics.
2012; 33(4); 164-71
12. Lukito V, Mangunatmadja I, Pujdiaji A H, Puspandjono T M. Plasmaferesis
sebaga terapi syndrome gullain-barre berat. 2010; 11(06): 448-55
65

Anda mungkin juga menyukai