Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH ASKEP GADAR NEUROSENSORI

GUILLAIN BARRE SYNDROME

Nama Kelompok
Kurotul Akyun (7121012)
Ali Khidaifi (7121005)

PRODI D3 KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ‘ULUM JOMBANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat
serta hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah
Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Neurosensori yang membahas mengenai
Guillain Barre Syndrome. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Asuhan Keperawatan Gadar Neurosensori atas bimbingan selama
perkuliahan, dan seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah
ini.
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran
yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan baik dari
segi materi maupun teknik penulisan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dalam bidang keperawatan khususnya bagi proses pembelajaran Riset
Keperawatan.

Samarinda, 17 Januari 2019

Penyusun

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Centers of Disease Control and Prevention / CDC (2012),
Guillain Barre Syndrom (GBS) adalah penyakit langka di mana sistem
kekebalan seseorang menyerang sistem syaraf tepi dan menyebabkan
kelemahan otot bahkan apabila parah bisa terjadi kelumpuhan. Hal ini terjadi
karena susunan syaraf tepi yang menghubungkan otak dan sumsum belakang
dengan seluruh bagian tubuh kita rusak. Kerusakan sistem syaraf tepi
menyebabkan sistem ini sulit menghantarkan rangsang sehingga ada
penurunan respon sistem otot terhadap kerja sistem syaraf (Rahayu, 2013).
Angka kejadian penyakit GBS kurang lebih 0,6-1,6 setiap 10.000-
40.000 penduduk. Perbedaan angka kejadian di negara maju dan berkembang
tidak tampak. Kasus ini cenderung lebih banyak pada pria dibandingkan
wanita. Data RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta menunjukkan pada
akhir tahun 2010-2011 tercatat 48 kasus GBS dalam satu tahun dengan
berbagai varian jumlahnya per bulan. Pada Tahun 2012 berbagai kasus di
RSCM mengalami kenaikan sekitar 10% (Rahayu, 2013).
Penyakit GBS juga berkaitan dengan kelemahan bulbar, kegagalan
pernapasan dan disfungsi saraf otonom. Prognosis untuk pemulihan pada
pasien GBS dapat digolongkan cukup baik dengan gejala sisa minor,
bagaimanapun tingkat kematian pada penyakit ini berkisar antara 2-12%, dan
kegagalan napas merupakan komplikasi yang paling mengancam nyawa dari
penyakit GBS. Diperkirakan sepertiga dari pasien GBS dirawat di ruang
intensive care unit (ICU), dan banyak diantaranya yang membutuhkan
ventilasi mekanik. Pada fase kritis ini pasien berisiko akan komplikasi
sistemik dengan potensi morbiditas yang banyak dan mortalitas yang tinggi.
Oleh karenanya, sangat penting untuk mengetahui konsep penyakit GBS dan
manajemen penanganannya untuk mencegah komplikasi yang dapat terjadi
dan mencegah kematian. (Hu et al., 2012)

4
B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang dapat diambil rumusan masalah yaitu


“Bagaimanakah konsep penyakit dan asuhan keperawatan gawat darurat pada
kasus Guillain Barre syndrome?”

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui konsep asuhan keperawatan gawat darurat pada
kasus Guillain Barre syndrome

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep penyakit Guillain Barre
Syndrome.
b. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep penelitian keperawatan
dengan aplikasi filsafat epistemologi.
c. Untuk mengetahui bagaimanakah konsep penelitian keperawatan
dengan aplikasi filsafat aksiologi.
d. Untuk mengetahui apakah yang dimaksud struktur disiplin ilmu
keperawatan.

D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Sebagai bahan perbandingan antara tinjauan teori dengan studi
kasus yang ditemui dilapangan.

2. Bagi Institusi Pendidikan


Diharapkan laporan ini dapat digunakan sebagai bahan masukan
untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan penerapan asuhan
keperawatan yang telah dipelajari di lembaga pendidikan khususnya
kegawatdaruratan neurosensori.

4
3. Bagi Institusi Rumah Sakit

Sebagai bahan dan informasi bagi para perawat dalam


melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan
neurosensori.

4. Bagi Penulis
Sebagai bahan masukan dan informasi dalam melakukan asuhan
keperawatan pada klien dengan kegawatdaruratan neurosensori.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

E. Pengertian Guillain Barre Syndrome

Sindrom Guillain Barre (GBS) atau dikenali sebagai acute


inflammatory demyelinating polyradiculopathy (AIDP), merupakan jenis
neuropati akut yang paling umum dan dapat terjadi pada semua golongan
usia. Kasus terbanyak disebabkan oleh serangan autoimun pada mielin saraf-
saraf motor yang kebanyakan dipicu oleh infeksi. Penyebab infeksi terbanyak
yang telah diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni, Cytomegalovirus,
Eipstein-Barr virus, Mycoplasma pneumonia, dan Haemophilus influenza.
Penyebab lain GBS yang jarang adalah vaksinasi. Kirakira dari satu pertiga
kasus tidak dapat ditemukan pemicu dari sistem autoimun (Nandar, 2013).
Sindroma Guillain-Barre (GBS) mempunyai karakteristik yaitu
disfungsi saraf kranial dan perifer dengan onset akut. Infeksi virus pada
saluran pernafasan ataupun pencernaan, imunisasi, atau tindakan bedah
biasanya seringkali terjadi 5 hari sampai 4 minggu sebelum terjadinya gejala
neurologis. Gejala dan tanda-tanda terjadinya sindroma Guillain-Barre
termasuk kelemahan secara simetris yang cepat dan progresif, hilangnya
refleks tendon, diplegia wajah, parese otot orofaring dan otot pernafasan, dan
terganggunya sensasi pada tangan dan kaki. Terjadi perburukan kondisi
dalam beberapa hari hingga 3 minggu, diikuti periode stabil dan perbaikan
secara bertahap menjadi kembali normal atau mendekati fungsi normal.
Plasmapharesis atau IVIG yang dilakukan lebih awal akan mempercepat
penyembuhan dan memperkecil angka kejadian kecacatan neurologis jangka
panjang (Nandar, 2013).
Di Amerika Utara dan Eropa, angka polineuropati inflamasi
demyelinasi akut terhitung sebanyak lebih dari 90% adalah GBS. Termasuk
GBS adalah neuropati axon motoris akut (AMAN), neuropati axon motoris
dan sensoris akut (AMSAN), sindroma Miller-Fisher, dan neuropati autonom
dan sensoris akut (Nandar, 2013).

7
F. Etiologi
Penyebab GBS masih belum diketahui secara lengkap. Ada bukti
bahwa dipengaruhi oleh sistem imun. Terdapat patologi imun dan pasien
akan membaik dengan terapi modulasi imun. Sebuah penyakit dengan
gambaran klinis serupa (serupa dalam patologi, elektrofisiologi dan
gangguan CSF) dapat diinduksi pada hewan coba dengan imunisasi saraf tepi
utuh, mielin saraf tepi, atau pada beberapa spesies oleh protein dasar mielin
saraf tepi P2 atau galaktoserebrosid. Sebuah langkah penting pada penyakit
autoimun adalah terganggunya self-tolerance dan ada bukti bahwa hal ini
terjadi karena mimikri molekular pada 2 bentuk GBS, AMAN dan sindroma
MillerFisher, dengan reaksi silang epitope antara Campylobacter jejuni dan
saraf tepi. Saat GBS didahului oleh infeksi virus, tidak ada bukti langsung
infeksi virus pada saraf tepi maupun radix saraf (Nandar, 2013).
• Epstein-Barr virus • Mycoplasma pneumonia
Organisme penyebab
• Campylobacter jejuni • Cytomegalovirus
GBS
• HIV
• Rabies vaccine • Influenza vaccines
Vaksinasi yang • Oral polio vaccine • Smallpox vaccine
berpotensi menimbulkan • Diphtheria and tetanus vaccines
GBS • Measles and mumps vaccines
• Hepatitis vaccines

G. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala neurologik diawali dengan parestesia (kesemutan dan
kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ektremitas atas,
batang tubuh atau otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat
adanya paralisis yang lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang,
yang menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan
juga menyebabkan kesukaran bicara, mengunyah, dan menelan. Disfungsi
autonom yang sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan
atau kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, dengan
manifestasi gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah,

8
dan gangguan vasomotor lainnya. Keadaan ini juga dapat menyebabkan nyeri
berat dan menetap pada punggung dan daerah kaki. Seringkali pasien
menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti
keterbatasan atau tidak adanya reflex tendon (Smeltzer & Bare, 2004).
H. Klasifikasi
Terdapat tiga tahap pada keadaan akut GBS adalah:
1. The initial period (1-3 minggu, dimulai pada onset pertama dari gejala
yang nyata dan berakhir ketika tidak terjadi keadaan yang memburuk.
Tanda dan gejala yang timbul antara lain kelemahan otot, penurunan
tendon, dan gangguan pernafasan.
2. The plateu period (beberapa hari sampai 2 minggu). Tanda dan gejala
yang timbul antara lain nyeri, disphasia, dan diplopia.
3. The recovery period (4-6 bulan). Tanda dan gejala yang timbul antara
lain disritmia jantung.
Klien yang mengalami injury pada akson memerlukan rehabilitasi yang
intensif mungkin lebih dari 2 tahun. Jika penyembuhan tidak terjadi
denganbaik maka disebut sebagai GBS kronik dengan tanda dan gejala
seperti: kelumpuhan total, gagal nafas, dan infeksi pernafa

9
I. Patofisiologi
Patofisiologi Guillain-Barre syndrome (GBS) atau sindrom Guillain-Barre pada
dasarnya muncul setelah proses infeksi, dan dimediasi oleh sistem imun yang
menyebabkan kerusakan saraf perifer. Sistem imun humoral dan selular memegang
peranan penting dalam perjalanan penyakit ini. Terdapat empat faktor yang
mempengaruhi, yaitu antibodi anti ganglioside, molecular mimicry, aktivasi komplemen,
dan faktor host.[4,9,11]

Antibodi Anti Ganglioside


Gangliosida banyak tersebar di seluruh saraf perifer, dan berperan penting dalam menjaga
struktur membran sel. Antibodi terhadap gangliosida ditemukan pada sekitar setengah
penderita GBS. Antibodi ini akan menyebabkan gejala, di mana perbedaan tingkat
keparahan GBS tergantung gangliosida yang diserang.[4,9,11]

Antibodi anti ganglioside umumnya awal terjadi di ekstremitas inferior, kemudian


menyebar ke atas dan seluruh tubuh. GBS yang parah dapat terjadi di otot-otot pernafasan
sehingga pasien mengalami gagal napas yang berujung kematian.[1-3]
Molecular Mimicry dan Reaksi Silang
Molecular mimicry dan reaksi silang dapat ditemukan pada GBS yang didahului oleh
infeksi Campylobacter jejuni, penyebab gastroenteritis. Virulensi C. jejuni disebabkan
oleh antigen spesifik (lipo-oligosakarida) di kapsulnya yang menyerupai struktur
karbohidrat pada gangliosida.[4,9,11]
Sistem imun tubuh akan mengalami reaksi silang dan menyerang gangliosida yang
akhirnya akan menyebabkan kerusakan saraf. Tipe gangliosida yang menyerupai antigen
kapsul C. jejuni akan mempengaruhi serta menentukan tingkat keparahan dan jenis
subtipe GBS yang muncul.[4,9,11]
Aktivasi Komplemen
Pemeriksaan post-mortem penderita GBS menunjukkan adanya aktivasi komplemen lokal
pada lokasi kerusakan saraf. Adanya aktivasi komplemen akan memperluas tingkat
kerusakan saraf yang diserang oleh antibodi.[4,9,11]

10
Faktor Host

Hanya sekitar 1 dari 1000 pasien yang terinfeksi C. jejuni akan berlanjut menjadi GBS.
Walaupun beberapa kali terjadi peningkatan insiden GBS, tetapi belum pernah terjadi
wabah GBS. Faktor inang mungkin berperan dalam patogenesis, jumlah kerusakan saraf,
dan keluaran GBS pada suatu individu.[4,9,11]

11
J. Web of Caution (WOC)
WOC GUILLAIN BARRE SYNDROME

Infeksi, virus, vaksin, keganasan, pembedahan

Mengganggu kerja sitem imun

Limfosit T dan Limfosit B

Produksi antibody terbentuk dan mengaktifasi sistem complemen dan polimononuklear

Melawan komponen selubung myelin (proses demeilinisasi)

selubung myelin terlepas

Konduksi saltatori tidak terjadi

Transmisi impuls tidak ada

B2 B3 B5 B6
B1

14
Disfungsi saraf
otonom
Gangguan fungsi saraf
gg. saraf perifer dan neuromuskular perifer dan
Kurang berfungsinya sistem Saraf V, Saraf IX,
Saraf III, IV neuromuscular
saraf simpatis dan parasimpatis VII X
dan VI
Paralisis otot napas Gangguan frekuensi jantung, Paralisis okuler Paralisis otot Paralisis otot Parestesia dan
ritma, perubahan tekanan wajah, sulit orofaring, kelemahan otot
darah, gangguan vasomotor Ketajaman mengunyah kesulitan bicara, kaki yang dapat
Insufisien penglihatan mengunyah, berkembang ke
pernapasan Penurunan terganggu dan menelan atas, batang
Penuruanan curah
Curah Jantung tubuh dan otot
jantung Intake
Gg. ventilasi wajah
Perubahan nutrisi tidak Gangguan
Persepsi Komunikasi
adekuat
Sensori Perubahan tonus
Akumulasi Ekspansi paru Verbal
otot
sekret tidak adekuat Risiko
B3 B4 Hipovolemi
Bersihan Jalan Gangguan Gangguan
Sesak mobilitas pemenuhan
Napas Tidak
Aliran Aliran fisik ADL
Efektif Aliran darah
darah ke darah ke
Pola ke ginjal
otak jaringan Filtrasi
O2 ke
menurun menurun \menurun
Jaringan
otak kurang
menurun O2 glomerulus
menurun

15
Tracheostomy ETT

Oliguria
Ventilator Gangguan Gangguan
Perfusi Perfusi Gangguan
Jaringan Jaringan Eliminasi
Serebral Perifer Urin

16
K. Pengobatan
Plasmapharesis lebih awal dan terapi IVIG terbukti berguna pada
pasien GBS. Pemberian glukokortikoid tidak memendekkan perjalanan
penyakit ataupun memperngaruhi prognosis. Bantuan nafas mekanik kadang
dibutuhkan dan pencegahan terhadap aspirasi makanan atau isi lambung
harus dilakukan jika otot orofaring terganggu. Paparan pada keratitis harus
dicegah pada pasien dengan diplegia wajah. Perawatan kegawatdaruratan
pada GBS termasuk monitoring respirasi dan kardiovaskular secara ketat.
Bisa didapatkan indikasi untuk dilakukan intubasi (Nandar, 2013).
Gangguan autonom yang labil dapat menimbulkan komplikasi pada
penggunaan obat-obat vasoaktif dan sedatif. Pada kasus yang berat,
kelemahan otot dapat menimbulkan kegagalan nafas. Sebuah penelitian
epidemiologis pada tahun 2008 melaporkan bahwa terdapat 2-12% mortalitas
walaupun sudah dilakukan managemen pada ICU (Nandar, 2013).
Plasma exchange dan imunoglobulin intravena bisa menjadi terapi
yang efektif, namun pasien bisa membutuhkan intubasi dan perawatan
intensif yang lebih lama. Setelah keluar rumah sakit, terapi selama rawat
jalan dan terapi lewat aktivitas sehari-hari dapat memberikan perbaikan pada
pasien GBS untuk meningkatkan status fungsional mereka (Nandar, 2013).
Sekitar setengah dari semua pasien penderita GBS mengalami
neuropati residual jangka panjang yang mempengaruhi serabut syaraf
bermyelin baik dengan ukuran besar maupun sedang. Secara keseluruhan,
pasien yang menderita GBS cenderung berkurang kualitas hidup maupun
fungsi fisiknya. Pada kasus yang sangat langka, pasien dapat mengalami
rekurensi GBS (Nandar, 2013).
Diantara penderita GBS yang bertahan hidup, Khan et al di dalam
(Nandar, 2013) menemukan bahwa faktor-faktor berikut berhubungan
dengan tingkat fungsi dan kondisi yang lebih buruk:
a. Jenis kelamin perempuan
b. Usia yang tua (57 tahun atau lebih)
c. Masuk rumah sakit lebih dari 11 hari

17
d. Perawatan di Intensive care unit
e. Keluar rumah sakit untuk rehabilitasi
Outcome tidak menunjukkan hubungan dengan derajat keparahan
penyakit saat onset.
Tabel 4. Komplikasi dan efek akut dari GBS
Tanda Tindakan
Approximately 25% of patients will
Neuromuscular respiratory failure develop neuromuscular respiratory failure
requiring ventilation
These symptoms lead to dysphagia and are
Facial weakness and bulbar palsy
predictive of the need for ventilation
Autonomic dysfunction, often due to
Autonomic dysfunction, including
involvement of the vagus nerve, affects
cardiac arrhythmias, labile blood
15% of patients with AIDP. These
pressure and postural hypotension,
symptoms are associated with significant
paralytic ileus and urinary retention
Mortality
Syndrome of inappropriate ADH
Requires careful monitoring of electrolytes
secretion

L. Penanganan
Perawatan sebelum masuk rumah sakit pada pasien dengan sindroma
Guillain-Barre (GBS) membutuhkan perhatian yang ketat pada jalan nafas,
pernafasan, dan sirkulasi (ABCs). Indikasi pemberian oksigen dan bantuan
pernafasan dapat ditemukan, bersamaan dengan pemasangan infus untuk
administrasi intravena. Petugas medis kegawatdaruratan harus memonitor
aritmia jantung dan mentransport pasien dengan secepat mungkin.
Pada departemen kegawatdaruratan (ED), ABCs, IV, oksigen, dan
bantuan pernafasan dapat tetap terindikasi untuk dilanjutkan. Intubasi harus
dilakukan pada pasien yang mengalami kegagalan nafas derajat berapapun.
Indikator klinis untuk intubasi pada ED termasuk hipoksia, fungsi respirasi
yang menurun dengan cepat, batuk yang lemah, dan curiga adanya aspirasi.
Pada umumnya, intubasi terindikasi pada saat Forced vital capacity (FVC)
kurang dari 15 ml/kg. Indikasi dilakukannya intubasi adalah cardiac arrest,
kehilangan kesadaran, ketidakseimbangan hemodinamik dengan sistolik < 70
mmhg, paO2 < 45 mmhg walaupun sudah diberi oksigen.

18
Pasien harus dimonitor secara ketat untuk mengetahui perubahan
tekanan darah, denyut jantung, dan aritmia. Terapi jarang dibutuhkan untuk
takikardia. Atropine direkomendasikan untuk bradikardi simptomatik.
Karena adanya labilitas dari disautonomia, hipertensi paling baik diterapi
dengan agen yang bekerja jangka pendek, seperti beta-blocker jangka pendek
atau nitroprusside. Hipotensi dari diautonomia biasanya merupakan respon
yang timbul pada cairan intravena dan pemposisian supinasi. Pacing secara
temporer dapat dibutuhkan pada pasien heart block derajat dua dan tiga.
Konsultasikan dengan spesialis neurologi jika ada ketidakpastian dan
ketidakyakinan dalam diagnosis. Konsultasikan pada tim ICU untuk evaluasi
butuh tidaknya untuk dimasukkan ke ICU. Keputusan untuk melakukan
intubasi pada pasien GBS ditentukan berdasarkan kasus. Seperti kelainan
neuromuskular lain dengan potensi kelemahan diafragmatika, tanda-tanda
kolaps respiratori termasuk takipnea, penggunaan otot-otot tambahan
inspirasi, negative inspiratory force (NIF) kurang dari 20 atau forced vital
capacity (FVC) kurang dari 15cc/kg merupakan indikator untuk melakukan
intubasi dan pemberian ventilasi artifisial. Namun demikian, parameter
tersebut tidak dapat digunakan sekiranya adanya kelemahan fasial dan
ketidakmampuan untuk melakukan pengiraan pada instrumen yang
digunakan untuk mengukur. Sekresi tidak dapat dikeluarkan dan resiko
aspirasi merupakan indikasi lain untuk intubasi, kelemahan pada tungkai
biasanya merupakan petanda awal bahwa adanya keterlibatan komponen
respiratori.

M. Pengkajian Primer dan Sekunder


a. Pengkajian Primer
i. Airway
- Adanya tanda-tanda perdarahan jalan napas
- Keberadaan rangsangan obstruksi jalan napas
- Risiko kerusakan hipoksia pada otak ginjal dan jantung
- Spasme laring (sekret atau darah dijalan napas)

19
BAB III
Konsep Askep

Pengkajian Primer dan Sekunder

b. Pengkajian Primer
i. Airway
- Adanya tanda-tanda perdarahan jalan napas
- Keberadaan rangsangan obstruksi jalan napas
- Risiko kerusakan hipoksia pada otak ginjal dan jantung
- Spasme laring (sekret atau darah dijalan napas)

ii. Breathing
- Kesulitan bernapas
- Suara napas berkurang
- Menurunnya kapasitas vital paru
- Terdengar suara sonor
iii. Circulation
- Kulit dan jari terlihat pucat
- Terjadi hipoksia
- Gangguan kesadaran
- Denyut jantung lemah
- Diastolik rendah

c. Pengkajian Sekunder
i. Keluhan Utama
Keluhan utama sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan berhubungan dengan kelemahan otot, baik
kelemahan fisik secara umum maupun lokal seperti melemahnya otot
pernapasan
ii. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan
mulai serangan, sembuh atau bertambah buruk. Keluhan tersebut
diantaranya gejala-gejala neurologis diawali dengan perestasia
(kesemutan/kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang
20
pada ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Kelemahan dapat
diikuti dengan paralisis lengkap.
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien sindrom
guillain bare dan merupakan komplikasi yang paling berat dari
sindrom ini adalah gagal napas. Melemahnya otot pernapasan
membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat
muncul pada penyakit sindrom guillain bare ini yang lebih mengarah
pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas hampir sama
seperti keluhan klien stroke. Keluhan lainnya adalah kelainan dari
fungsi kardiovaskuler seperti terjadinya disaritmia jantung yang
diakibatkan oleh gangguan sistem saraf otonom pada klien dengan
sindrom guillain bare.

21
iii. Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang
memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan
sekarang meliputi pernahkah klien mengalami ISPA, infeksi
gastrointestinal dan tindakan bedah syaraf.
Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat kortikosteroid, antibiotik, dan menilai
reaksinya (resistensi pemakaian antibiotik) dapat menambah
komprehensifnya pengkajian. Pengkajian riwayat dahulu dapat
mendukung pengkajian riwayat penyakit sekarang dan merupakan
data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan
selanjutnya.
iv. Pengkajian Psikospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga
penting untuk menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
hari baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada
dampak yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan dan
kecacatan, cemas, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara
optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar
biasa digunakan klien selama masa stress, seperti kemampuan klien
untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui
dan perubahan perilaku stress.
v. PemeriksaanFisik

22
Klien dengan Sindrom Guillain-Bare biasanya didapatkan suhu
tubuh normal. Penurunan denyut nadi terjadi berhubunga dengan
peningkatan laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem
pernapasan serta akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan.
Tekanan darah didapatkan ortotastik hipotensi atau tekanan darah
meningkat berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis. Pemeriksaan fisik meliputi
1. B1 (Breathing)
Hasil inspeksi akan didapatkan klien batuk, peningkatan
produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas
meningkat dan yang paling sering didapatkan pada klien sindrom
guillain bare adalah menurunnya frekuensi pernapasan karena
melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan Sindrom Guillain-Bare
berhubungan dengan akumulasi sekret dari nfeksi saluran
pernapasan.
2. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien Sindrom
Guillain-Bare menunjukkan bradikardi akibat penurunan perfusi
perifer. Tekanan darah didapatkan hipotensi tau hipertensi akibat
penurunan reaksi saraf simpatis dan parasmpatis.
3. B3 (Brain)
Pengkajian Brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih
lengkap dibandingkan sistem lainnya. Pemeriksaan brain meliputi:
a. Pengkajian tingkat kesadaran
Klien dengan Sindrom Guillain-Bare biasanya kesadaran klien
komposmentis. Apabila klien mengalami penurunan tingkat
kesadaran maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai
tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan

23
b. Pengkajian fungsi serebral
Pengkajian fungsi serebral merupakan pengkajian yang
menyangkut status mental yaitu observasi penampilan, tingkah
laku, nilai gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
klien. Klien dengan Sindrom Guillain-Bare untuk tahap yang
lebih lanjutnya disertai penurunan kesadaran biasanya status
mental klien mengalami perubahan.
c. Pengkajian saraf kranial
Pengkajian saraf kranial meliputi pengkajian saraf kranial I-
XII, yaitu:
i. Saraf I, biasanya pada klien Sindrom
Guillain-Bare tidak ada kelainan dari
fungsi penciuman.
ii. Saraf II, tes ketajaman dan penglihatan
pada kondisi normal.
iii. Saraf III, IV, dan VI, penurunan
membuka dan menutup kelopak mata
disebut paralisis okuler.
iv. Saraf V, klien dengan Sindrom Guillain-
Bare didapatkan paralisis pada otot wajah
sehingga mengganggu proses
mengunyah.
v. Saraf VII, persepsi pengecapan dalam
batas normal, wajah asimetris karena
adanya paralisis unilateral.
vi. Saraf VIII, tidak ditemukan adanya tuli
konduksi dan tuli persepsi.
vii. Saraf IX, X, paralisis otot orofaring,
kesulitan berbicara, mengunyah, dan
menelan. Kemampuan menelan kurang
baik sehingga menggangu pemenuhan
nutrisi via oral.

24
viii. Saraf XI, tidak ada atrofi otot
stemkleidomantoideus dan trapezius.
Kemampuan mobilisasi leher baik.
ix. Saraf XII, lidah simetris, tidak ada
deviasi pada satu sisi dan tidak ada
fasikulasi, indra pengecapan normal.
d. Pengkajian sistem motorik

Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi


pada Sindrom Guillain-Bare tahap lanjut mengalami
perubahan. Klien mengalami kelemahan motorik secara umum
sehingga mengganggu mobilitas fisik.

25
e. Pengkajian refleks
Pemeriksaan refleks propunda, pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respn
normal.
f. Pengkajian sistem sensorik
Parestesia (kesemutan/kebas) dan kelemahan otot kaki, yang
dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh, dan otot
wajah. Klien mengalami penurunan kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri, dan suhu.
4. B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urin, hal ini berhubungan
dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
5. B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien meningitis menurun
karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta
gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral
menjadi berkurang.
6. B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.

N. Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan progresif cepat


otot-otot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan

2. Ketidak efektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan paralisis otot


pernapasan,imobilisasi, sekresi statis,batuk tak efektif sekunder akibat
penyakit guillani barre sindrom ditandai dengan: Subyektif; menyatakan
sulit bernafas, menyatakan skret menumpuk. Obyektif tampak kelemahan
otot pernapasan, , suara nafas ronchi,tampak penggunaan otot bantu
prnafasan,RDD meningkat.
26
3. Risiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan
frekuensi, irama, dan konduksi listrik jantung

4. Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan neuromusculer, inflamasi saraf


ditandai dengan: Subyektif; menyatakan nyeri tekan pada otot dan sendi.
Obyektif; skala nyeri 8 (1-10), respirasi meningkat, nadi meningkat, wajah
meringis,diaporesis,gelisah.

O. Intervensi

Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) diberi kode (I.01011). 

Manajemen jalan napas

1. Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing,
ronkhi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
2. Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
3. Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk efektif
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika perlu.
 Lakukan hiperoksigenasi sebelum
 Penghisapan endotrakeal
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika perlu

P. Implementasi

27
adalah tindakan–tindakan yang dilakukan oleh individu atau pejabat–pejabat,
kelompok–kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada terciptanya
tujuan–tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijakan.

Q. Evaluasi

merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan untuk mengetahui sejauh


mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai. Evaluasi ini dilakukan dengan
cara membandingkan hasil akhir yang teramati dengan tujuan dan kriteria hasil
yang dibuat dalam rencana keperawatan.

28
BAB IV
PENUTUP

R. Kesimpulan
Salah satu kegawatdaruratan neurosensori adalah penyakit Guillain-
barre syndrome (GBS) yaitu sebuah kelainan pada sistem imun yang
ditunjukkan oleh onset akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer
dan kranial. Proses penyakit yang termasuk demielinasi dan degenerasi
selaput myelim dari saraf perifer dan kranial. Otot ekstermitas bawah
biasanya terkena pertama kali dengan paralisis yang berkembang ke atas
tubuh. Kegawatan yang dapat terjadi yaitu gangguan pernapasan dan
kardiovaskuler serta dalam waktu lama dapat mengganggu fungsi ginjal dan
organ-organ tubuh lainnya.
Perawat perlu memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas
kepada klein yang mengalami kegawatdaruratan neurologi sehingga masalah
kesehatan klien dapat teratasi dengan baik dalam rangka mempertahankan
dan meningkatkan status kesehatan klien.

S. Saran
a. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang
asuhan keperawatan kegawatdaruratan neurosensori dengan Guillain
Barre Syndrom, baik dari konsep maupun asuhan keperawatan yang harus
diberikan, sehingga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa dan update
ilmu pengetahuan.
b. Bagi Tenaga Kesehatan
Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk
mendapatkan hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi.
c. Bagi Mahasiswa
Diharapkan mahasiswa mampu mengetahui asuhan keperawatan
kegawatdaruratan neurosensori dengan Guillain Barre Syndrom sehingga
dapat menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di kemudian hari.

29
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, L. J. (2010). Buku saku diagnosis keperawatan edisi 13. Jakarta: EGC.

Doenges, M. E., Moorhouse, M. F., & Geissler, A. C. (2012). Rencana asuhan


keperawatan pedoman untuk perencanaan dan pendokumentasian
perawatan pasien. Jakarta: EGC.

Hu, M., Chen, C., Lin, K., Wang, H., Hsia, S., Chou, M., … Wu, C. (2012). Risk
Factors of Respiratory Failure in Children with ´ Syndrome. Pediatrics and
Neonatology, 53(5), 295–299. https://doi.org/10.1016/j.pedneo.2012.07.003

Judith M. Wilkinson, Nancy R. Ahren. Buku Saku Diagnosis Keperawatan:


Diagnosis NANDA, intervensi NIC, kriteria hasil NOC. Edisi 9. Jakarta:
EGC, 2011.

Nandar, S. (2013). Sindroma Guillain-Barre dalam Pendidikan Kedokteran


Berkelanjutan II Neurologi. Malang: PT Danar Wijaya.

Muttaqin, A. (2008). Asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem


persarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Rahayu, T. (2013). Mengenal Guillain Barre Syndrome (GBS). Retrieved from


https://journal.uny.ac.id/index.php/wuny/article/download/3525/pdf

30

Anda mungkin juga menyukai