Anda di halaman 1dari 25

BAGIAN NEUROLOGI

Refarat
FAKULTAS KEDOKTERAN
Januari 2020
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

“GUILLAIN BARRE SINDROME”

Disusun Oleh :

Andi Nur Mutmainnah, S.Ked

Nurul Azisah, S.Ked

Pembimbing :

dr. Hj. Sitti Nurhani, Sp.S

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Pada Bagian Neurologi

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya dalam menyelesaikan referat Ilmu Penyakit Saraf yang berjudul Guillain Barre
Sindrome. Referat ini disusun sebagai bagian dalam rangka memenuhi salah satu tugas kami
sebagai mahasiswa kedoteran yang mengikuti program studi profesi dokter di bagian
Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Makassar

Penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan berbagai pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas penyusunan
referat ini .

Penulis juga mengharapkan segala masukan baik berupa saran maupun kritik
membangun daripada pembaca dalam rangka meningkatkan kualitas refarat ini .

Demikianlah referat ini disusun, kiranya dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca dan Fakultas Kedokteran Universitas Muhammaiyah Makassar

Makassar, Januari 2020

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Fungsi utama sistem saraf adalah mendeteksi, menganalisis, dan menyalurkan

informasi. Informasi dikumpulkan oleh sistem sensorik, diintegrasikan oleh otak, dan

digunakan untuk menghasilkan sinyal ke jalur motorik dan autonom untuk

mengontrol gerakan serta fungsi organ viseral dan endokrin. Berbagai kegiatan ini

dikontrol oleh neuron, yang saling berhubungan untuk membentuk jaringan sinyal

yang membentuk sistem motorik dan sensorik. Selain neuron, sistem saraf

mengandung sel neuroglia yang memiliki beragam fungsi imunologis dan penunjang

serta memodulasi aktivitas neuron.1

Sindrom Guillain-Barre, juga dikenal dengan nama poli-neuritis infeksiosa

atau polineuritis idiopatik akut, merupakan bentuk polineuritis yang akut, progresif

cepat, serta berpotensi fatal dan menyebabkan kelemahan otot serta gangguan

sensoris.2 Secara khas digambarkan dengan kelemahan motorik yang progresif dan

arefleksia. Secara patologi SGB memiliki 2 pola gambaran patologi, yaitu: bentuk

demielinisasi dan aksonopati. Demielinisasi segmental pada SGB dihubungkan

dengan adanya infiltrasi sel-sel inflamasi.3 Sindrom ini dapat terjadi pada segala usia

meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30-50 tahun. SGB dialami laki-

laki dan perempuan sama seringnya. Kesembuhan terjadi spontan dan komplet pada

95% pasien sekalipun gangguan motorik atau refleks yang ringan dapat menetap pada

kaki dan tungkai.

Prognosis sindrom ini paling baik jika keluhan dan gejala sudah menghilang

sebelum 15 hingga 20 hari sesudah awitan penyakit.2 Sindroma Guillain-Barre (SGB)

merupakan penyebab kelumpuhan yang cukup sering dijumpai pada usia dewasa

3
muda. SGB ini seringkali mencemaskan penderita dan keluarganya karena terjadi

pada usia produktif, apalagi pada beberapa keadaan dapat menimbulkan kematian,

meskipun pada umumnya mempunyai prognosa yang baik.4

Suatu penyakit dianggap sebagai auto-imunologik jika faktor persyaratan di

bawah ini terpenuhi.8 Lesi yang mendasari penyakit mengandung unsur-unsur respon

imunologik yang terdiri dari respon antibody dan respon CMI (Cell-Mediated

Immunity).8

1. Sel plasma mengandung antibodi

2. B-sel dan T sel harus terbukti aktif melaksanakan respon imunologik

3. Limfoblas serta fagosit harus ikut melengkapi gambaran radang setempat.

Antibody harus ditemukan dan pembuatannya harus ditiru, penyakitnya harus

dapat ditularkan kepada binatang percobaan dengan pemasukan limfosit yang berasal

dari penderita, faktor yang menghilangkan toleransi imunologik harus ada, serta masa

bebas gejala yang merupakan masa berlangsungnya proses penyerapan substansi auto-

antigen dan pembuatan auto-antibodi harus ada.8

Adapun penyakit-penyakit susunan saraf yang memenuhi syarat tersebut di

atas ialah Ensefalomielitis diseminata Akuta, Skeloris multipleks, Polineuritis akuta

postinfeksiosa (sindrom Guillain-Barre-Strohl), Miastenia gravis, dan Polimielitis.9

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik akut)

merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai dengan

kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan cepat menjalar

ke otot-otor proksimal. Terjadi demielinasi segmental dan sel-sel inflamasi kronik

yang mengenai radiks saraf serta saraf perifer. Kelainan ini dimediasi oleh imun dan

sering terjadi sesudah infeksi virus (sitomegalovirus, Virus Epstein Barr) atau

campylobacter jejuni.6

B. ETIOLOGI 8
Etiologi GBS Penyebab yang pasti sampai saat ini masih belum diketahui.

Kelemahan dan paralisis yang terjadi pada GBS disebabkan karena hilangnya mielin,

material yang membungkus saraf. Hilangnya mielin ini disebut dengan demielinisasi.

Demielinisasi menyebabkan penghantaran impuls oleh saraf tersebut menjadi lambat

atau berhenti sama sekali. GBS menyebabkan inflamasi dan destruksi dari mielin dan

menyerang beberapa saraf. Penyebab terjadinya inflamasi dan destruksi pada GBS

sampai saat ini belum diketahui. Ada yang menyebutkan kerusakan tersebut

disebabkan oleh penyakit autoimun yang didahului oleh adanya suatu infeksi.

Beberapa etiologi yang dapat dikatakan sebagai penyebab GBS diantaranya

adalah sebagai berikut:

1. Infeksi oleh bakteri atau virus

5
Infeksi saluran pernafasan dan pencernaan sering mendahului gejala

neuropati dalam 1 sampai 3 minggu (kadang-kadang lebih lama) pada kira-kira

60% penderita GBS. Pada banyak kasus sering disebabkan oleh infeksi dari

bakteri maupun virus. Berdasarkan penelitian Yuki dkk 2012, dua pertiga kasus

didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas atau diare. Agen infeksi yang

paling sering diidentifikasi terkait dengan perkembangan selanjutnya dari GBS

adalah C. jejuni dan pada satu penelitian meta-analisis, 30% dari infeksi

disebabkan oleh bakteri ini, sedangkan virus adalah Cytomegalovirus yang telah

diidentifikasi terdapat hingga 10%. Insiden GBS ini diperkirakan 0,25-0,65 per

1.000 kasus infeksi C. jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus infeksi Cytomegalovirus

primer. Agen infeksi lain dengan hubungan yang terdefinisi dengan GBS

diantaranya virus Epstein-Barr, virus varicella-zoster, dan Mycoplasma

pneumoniae.

a. Infeksi Campylobacter jejuni Infeksi

C.jejuni adalah penyebab paling umum penyakit gastroenteritis yang

terkadang melebihi infeksi yang disebabkan oleh bakteri lainnya seperti

Salmonella, Shigella dan Eschericia coli. Terjadinya infeksi-infeksi ini dapat

diperoleh dari mengkonsumsi daging hewan unggas yang kurang atau belum

terlalu matang dan dari air yang terkontaminasi. Infeksi oleh C. jejuni ini

menunjukkan adanya antigen spesifik dalam kapsul. Respon imun yang terjadi

akibat infeksi ini adalah kapsul lipopolisakarida yang akan menghasilkan antibodi

yang bereaksi silang dengan mielin sehingga menyebabkan demielinasi.

b. Infeksi Cytomegalovirus (CMV)

6
Infeksi Cytomegalovirus ini merupakan infeksi yang paling sering dilaporkan

kedua setelah infeksi yang disebabkan oleh C.jejuni. Dalam studi di Belanda

menyatakan bahwa sebanyak 13% pasien GBS yang terlebih dulu terinfeksi oleh

CMV. Infeksi ini dapat berupa infeksi saluran pernafasan atas, pneumonia, dan

penyakit yang tidak spesifik seperti flu. Pasien GBS yang mengalami infeksi ini

memiliki keterlibatan dengan saraf sensorik dan saraf kranial. Infeksi ini secara

bermakna dikaitkan dengan antibodi terhadap GM2. Keterlibatan secara langsung

maupun tidak langsung replikasi virus dapat mempengaruhi proses patologis pada

GBS.

c. Infeksi Epstein–Barr virus (EBV), VVZ dan Mycoplasma Pneumonia

Ketiga patogen tersebut akan menyebabkan infeksi yang nantinya akan

menjadi penyebab dari penyakit GBS. Tetapi, belum banyak studi yang

menunjukkan hal tersebut dan juga memang tidak banyak ditemukan kasuskasus

pasien yang terinfeksi ketiga patogen tersebut. Infeksi EBV sekitar 10% dari

pasien GBS, Mycoplasma pneumonia hanya 5% lebih sering dari pada kelompok

kontrol.

2. Vaksinasi

Dalam suatu studi epeidemiologi, dikatakan bahwa pemberian vaksin pada

seseorang akan berkaitan dengan terjadinya GBS. Beberapa vaksin yang dapat

menyebabkan GBS adalah influenza, rabies, polio oral, campak, tetanus toksoid,

hepatitis B. Gejala-gejala GBS dimulai satu hari sampai beberapa minggu setelah

dilakukan vaksinasi dan biasanya mencapai puncak pada 2 minggu setelah

pemberian vaksin. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa vaksin influenza cukup

berpengaruh dalam peningkatan resiko terjadinya GBS. Dikatakan bahwa pada

7
tahun 2009 terdapat sekitar 1,6 kasus per 100.000 populasi yang diberi vaksin

influenza yang akhirnya menjadi penyebab GBS, namun pada penelitian yang

terbaru yaitu pada tahun 2011 menyimpulkan bahwa tidak ditemukan bukti yang

memadai mengenai hubungan pemberian vaksin influenza dengan terjadinya

penyakit GBS. Selain pemberian vaksin influenza, vaksin rabies dikatakan dapat

meningkatkan resiko terjadinya penyakit GBS. Vaksin rabies dibuat dari jaringan

otak yang terinfeksi dari hewan dewasa sehingga dapat meningkatkan resiko

terjadinya GBS oleh karena adanya kontaminasi dengan antigen mielin. Tetapi,

ada formulasi baru dari vaksin rabies berasal dari sel-sel embrio ayam, dimana

tidak terlihat hubungan antara pemberian vaksin dengan peningkatan resiko GBS.

Bagaimanapun kemungkinan peningkatan resiko terjadinya GBS masih

ada meskipun sangatlah kecil. Untuk vaksin yang lainnya seperti polio oral,

tetanus toksoid, dan Hepatitis B terbukti tidak ditemukan adanya hubungan

dengan peningkatan resiko terjadinya GBS.

3. Pembedahan

Proses pembedahan ini masih belum diketahui dengan jelas dikatakan sebagai

penyebab GBS, tetapi pada saat proses pembedahan dapat menyebabkan

pelepassnantigen dari sel saraf yang dapat memicu timbulnya penyakit GBS

C. ANATOMI
Neuron merupakan unit fungsional dasar susunan saraf. Neuron terdiri dari

badan sel saraf dan prosesus-prosesusnya. Prosesus (serabut saraf) sel neuron terbagi

menjadi dendrit-dendrit dan sebuah akson. Serabut saraf ini mengirimkan impuls

listrik, yang memungkinkan otak untuk tetap berhubungan dengan semua aspek

fungsi tubuh. Serabut saraf sensorik mengirim pesan dari struktur perifer, seperti kulit,

8
persendian, dan tulang, ke otak. Serabut motorik mengirim pesan dari otak ke otot.

Pesan ini dikirim dalam bentuk impuls listrik. Setiap serabut saraf terdiri dari kabel

listrik yang dikenal sebagai akson, dan selubung isolasi dikenal sebagai myelin seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Struktur Neuron

Myelin adalah campuran dari lipid dan protein. Pada susunan saraf perifer,

selubung myelin diproduksi oleh sel Schwann dan hanya terdapat satu sel Schwann

untuk setiap segmen serabut saraf. Ketebalan myelin bergantung pada jumlah spiral

membrane sel Schwann. Selubung myelin bukan struktur berkelanjutan, tetapi terdiri

dari beberapa segmen myelin, masing-masing dipisahkan oleh celah singkat yang

dikenal sebagai nodus Ranvier. Nodus ini memainkan peranan penting dalam

perkembangan efek rangsangan dari reseptor ke medulla spinalis atau sebaliknya,

dengan mengadakan konduksi cepat impuls melalui konduksi saltatori dari potensial

aksi. Makin tebal selubung myelin makin cepat konduksi sel saraf.

9
Cedera Saraf Perifer Neuropati perifer merupakan istilah umum yang

mengindikasikan adanya kerusakan pada sistem saraf perifer. Neuropati perifer dapat

diklasifikasikan dalam beberapa bentuk yaitu mononeuropati dan polineuropati. Pada

mononeuropati merupakan gangguan saraf perifer tunggal akibat trauma, khusunya

akibat tekanan, atau gangguan suplai darah. Sedangkan polineuropati merupakan

gangguan beberapa saraf perifer yang sering diakibatkan oleh proses peradangan,

metabolik atau toksik yang menyebabkan kerusakan dengan pola difus, distal, dan

simetris yang biasanya mengenai ektremitas bawah sebelum ekstremitas atas. Secara

patofisiologis, polineuropati dapat dibagi menjadi subdivisi lagi tergantung apakah

lokasi penyakit pada selubung myelin atau sarafnya sendiri (neuropati aksonal dan

neuropati demielinasi). Neuropati aksonal dihasilkan dari degenerasi akson sedangkan

neuropati demielinasi merupakan hasil neuropati dari degenerasi myelin.

Polineuropati terdapat dua subtipe yaitu akut dan kronis.

Gambar 2.2 Guillain-Barré Syndrome (GBS)

10
Pada Gambar 2.2 Guillain-Barré Syndrome (GBS) merupakan contoh

polineuropati akut yang terjadi tiba-tiba dan berkembang secara cepat. Gambar 2.2.A

menunjukkan saraf motorik myelin secara normal. Bagian utama dari sel, badan sel,

terletak di sumsum tulang belakang atau di batang otak dari saraf kranial. Akson

meluas dari badan sel ke otot, yang dapat terletak di lengan, kaki, atau di tempat lain.

Akson normal yang dimielinasi berarti ditutupi dengan lapisan isolasi dari myelin

untuk mencegah kebocoran arus listrik yang mengalir turun akson dari badan sel ke

otot. Sedangkan pada Gambar 2.2.B menggambarkan apa yang terjadi pada pasien

dengan selubung myelin rusak (demielinasi) pada kondisi Guillain-Barré Syndrome

(GBS). Beberapa segmen dari myelin merosot dan dilucuti dari akson yang

mendasari, menghilangkan isolasi dan mengarah ke "hubungan pendek." Akson tetap

utuh, tetapi kebocoran saat keluar dan pesan gagal untuk mencapai otot

mengakibatkan kelemahan.

D. PATOFISIOLOGI

Mekanisme terjadinya Guillain Barré Syndrome (GBS) sebenarnya masih

belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan

saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-

bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf

tepi pada sindroma ini adalah didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan

seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi. Adanya

autoantibodi terhadap sistem saraf tepi, dan didapatkannya penimbunan kompleks

antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses

demielinisasi saraf tepi.

11
Perjalanan penyakit ini umumnya diawali oleh kejadian atau faktor pemicu

lain seperti infeksi, vaksinasi dan pembedahan, yang paling sering adalah infeksi.

Infeksi, baik yang disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan antigen lain memasuki

sel Schwann dari saraf dan kemudian mereplikasi diri. Antigen tersebut mengaktivasi

sel limfosit T. Sel limfosit T ini selanjutnya mengaktivasi proses pematangan limfosit

B dan memproduksi autoantibodi spesifik yang dapat merusak atau mendestruksi

mielin maupun akson dari saraf tepi. Selain itu, pada saraf penderita GBS ditemukan

sel inflamasi dan makrofag, yang selanjutnya akan diikuti dengan dekstruksi mielin

akibat aktivitas sitokin. Inflamasi dan degenerasi mielin menyebabkan kebocoran

protein dari darah ke cairan serebrospinalis, sehingga menyebabkan peningkatan

konsentrasi protein cairan cerebrospinalis. Tanda ini merupakan ciri khas pada GBS.

Destruksi tersebut menyebabkan sel sel saraf tidak dapat mengirimkan sinyal secara

efisien, sehingga otot kehilangan kemampuannya untuk merespon perintah dari otak

dan otak menerima lebih sedikit impuls sensoris dari seluruh bagian tubuh.

Ada beberapa teori mengenai pembentukan autoantibodi, yang pertama adalah

virus dan bakteri mengubah susunan sel sel saraf sehingga sistem imun tubuh

mengenalinya sebagai benda asing. Teori yang kedua mengatakan bahwa infeksi

tersebut menyebabkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya sendiri

berkurang. Teori lain mengatakan bahwa respon imun yang menyerang mielin

disebabkan oleh karena antigen yang ada memiliki sifat yang sama dengan myelin.

Teori - teori tersebut diperjelas dengan adanya empat faktor utama yang diketahui

berperan dalam perjalanan penyakit GBS, antara lain antibodi antigangliosida,

mimikri molekular dan reaktivitas silang, aktivasi komplemen, dan faktor penjamu

(host).

12
1. Antibodi antigangliosida

Gangliosida adalah asam N-acetylneuraminic (asam sialat) yang

berhubungan dengan glikospingolipid dan berada di luar membran sel saraf dan

berkaitan dengan oligosakarida pada permukaan sel. Gangliosida ini terdiri dari

ceremide yang melekat satu atau lebih gula (heksosa) dan mengandung asam N-

acetilneuraminic (asam sialat) yang berikatan pada inti oligosakarida dan

merupakan komponen penting dari sistem saraf perifer. Pada lebih dari separuh

pasien GBS, ditemukan antibodi serum terhadap berbagai gangliosida di saraf

tepi, meliputi LM1, GM1, GM1b, GM2, GD1a, Ga1Nac-GD1a, GD1b, GD2,

GD3, GT1a, dan GQ1b. Sebagian besar antibodi spesifik terhadap subtipe dari

GBS itu sendiri. Antibodi GM1, GM1b, GD1a dan Ga1Nac-GD1a berhubungan

dengan GBS motorik murni atau varian aksonal. Sedangkan antibodi GD3, GT1a,

GQ1b berhubungan dengan oftalmoplegi pada Miller Fisher Syndrome (MFS).

Tabel 2.1 Subtipe GBS dan antibodi antigangliosida yang terlibat.

Subtipe GBS Serum Antibodi Antigangliosida


AIDP (Acute inflammatory Tidak diketahui
demyelinating poliradiculoneuropathy)
AMAN/ AMSAN (Acute motor (and GM1, GM1b, GD1a dan Ga1Nac-
sensory) axonal neuropathy) GD1a
MFS dan GBS overlapping syndrome GD3, GT1a, GQ1b

2. Mimikri molekuler dan Reaksi Silang

Mekanisme imunitas humoral dan seluler berperan dalam manifestasi

GBS. Onset GBS umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit infeksius

muncul. Banyak organisme infeksius dianggap menginduksi produksi antibodi

yang bereaksi silang dengan gangliosid dan gikolipid, seperti GM1 dan GD1b,

yang tersebar luas disepanjang mielin pada saraf perifer. Reaksi silang ini disebut

molecular mimicry (Munir, 2015). C. jejuni yang diisolasi dari pasien GBS dapat

13
mengekspresikan lipooligosakarida (LOS) pada dinding bakteri, menyerupai

karbohidrat dari gangliosida. Mimikri molekuler ini membentuk antibodi

antigangliosida yang menyerang saraf perifer. Tipe mimikri gangliosida C.jejuni

berbeda – beda, tergantung spesifisitas antibodi antigangliosida dan berhubungan

dengan subtipe GBS. C.jejuni yang diisolasi dari pasien GBS motorik atau

aksonal umumnya mengekspresikan GM-1like dan GD1a-like LOS. Di sisi lain.

C.jejuni yang diisolasi dari pasien dengan optalmoplegi atau MFS

biasanya mengekspresikan GD3-like, GT1a-like atau GD1c-like LOS. Berbagai

antibodi pada pasien-pasien tersebut umumnya memiliki reaksi silang dan

mengenali LOS seperti gangliosida atau kompleks gangliosida.

3. Aktivasi Komplemen

Studi post mortem menunjukkan bahwa aktivasi komplemen lokal terjadi

pada lokasi kerusakan saraf, seperti pada axolemma pada pasien AMAN dan

membran sel Schwann pada pasien AIDP. Beberapa antibodi antigangliosida

sangat toksik terhadap saraf perifer. Dalam studi percobaan, efek menyerupai

αlatrotoxin dapat diinduksi pada tikus percobaan, dikarakteristikan dengan

pelepasan secara dramatis, menyebabkan deplesi neurotransmiter tersebut pada

ujung saraf, blokade transmisi saraf, dan paralisis saraf-otot. Ujung saraf dan sel

Schwann perisinaptik juga akan dihancurkan. Antibodi terhadap GM-1

mempengaruhi kanal natrium pada nodus Ranvier pada saraf perifer kelinci. Hal -

hal tersebut nampaknya bergantung pada aktivasi komplemen dan pembentukan

membran attack complex (MAC) efek neurotoksisk akibat antibodi tersebut dapat

dihambat oleh imunoglobulin dan inhibitor komplemen eculizumab.

14
Gambar 2.3 Imunobiologi dalam Guillain-Barré Syndrome (GBS)

4. Faktor Penjamu (Host Factor)

Kurang dari 1 per 1000 pasien dengan infeksi C jejuni akan menderita

GBS. Meskipun beberapa waktu terjadi peningkatan insiden, namun tidak pernah

dilaporkan adanya epidemik atau wabah GBS. Faktor penjamu mungkin

mempengaruhi suseptibilitas (kerentanan) terhadap GBS, atau perluasan

kerusakan saraf dan keluaran yang dihasilkan. Single-nucleotide polymorphisms

(SNPs) tidak memiliki hubungan yang konsisten dengan suseptibilitas terhadap

GBS. Namun, SNP tersebut nampaknya memiliki peranan sebagai faktor yang

memodifikasi penyakit. Terdapat hubungan antara keparahan penyakit atau

15
keluaran dan SNP pada gen yang mengkode mannose-binding lectin, Fc gamma

receptor III, matrix metalloproteinasi 9, dan TNF-α.

E. DIAGNOSIS.

Diagnosis SGB ditegakkan berdasarkan gejala dan tanda kelemahan akut

progresif pada ekstremitas bawah dan atas disertai arefleksi atau hiporefleksi. Belum

ada uji diagnostik yang spesifik untuk SGB, namun dapat menggunakan kriteria

diagnostik menurut National Instute of Neurological and Communite Disorders and

Stroke (NINCDS) Sebagai berikut:

Tanda minimum untuk pengenalan diagnosis:

1. kelemahan progresif pada kedua lengan dan tungkai (dapat dimulai dari

ekstremitas bawah)

2. hopreleksia atau arefleksia

Tanda yang memperkuat diagnosis:

1. Perburukan gejala yang mencapai titik nadir kurang atau sama dengan 28 hari

(4 minggu)

2. Pola distrubusi defisit neurologis yang simetris

3. Gangguan sensoris minimal

4. Gangguan nervus kranial, terutama kelemahan otot fasialis bilateral

5. Disfungsi saraf otonom

6. Nyeri

7. Peningkatan protein pada GCS

8. Gambaran elektrokardiagnostik khas yang sesuai dengan kriteria SGB.

Tanda yang meragukan diagnosis

1. Disfungsi pernapasan berat lebih dominan daripada kelemahan esktremitas

pada awal onset

16
2. Gangguan sensorik lebih dominan dari pada kelemahan ekstremitas pada awal

onset

3. Gangguan BAB dan BAK

4. Demam pada awal onset

5. Defisit sensoris berbatas tegas

6. Progresivitas lambat dengan gangguan motorik minimal tanpa keterlibatan

sistem (lebih sesuai dengan subacute atau chronic inflamatory demyelinating

polyneuropathy).

7. Kelemahan asimetris persisten

8. Gangguan BAK atau BAB persisten.

9. Peningkatan jumlah sel monuklear pada cairan serebrospinal (GCS)

(>50x106/L) disfungsi saraf otonom.

10. Peningkatan sel polimorfonuklear pada CCS.

Disfungsi otonom sering ditemukan sehingga dua pertiga kasus SGB dengan

manifestasi berupa aritmia, fluktuasi tekanan darah, respon hemodinamik yang

abnormal terhadap pengobatan, serta gangguan miksi, defekasi dan berkeringat.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Kecepatan Hantar Saraf (KHS)

Kriteria elektrodiagnosis yang digunakan secara luas isalah kriteria dari Ho

dkk dan Hadden dkk. Gambaran dispersi temporal lebih ditekankan oleh HO dkk,

sedangkan konsep blok konduksi dikenalkan kembali oleh Haden dkk sebagai

kriteria diagnostik SGB tipe diemelinisasi. Yang dimaksud dispersi temporal disini

adalah terdapatnya pemenjangan durasi compound muscle action potential

(CMAP) proksimal lebih dari 30 % dibandingkan CMAP distal. Batasan ini dinalai

cukup sensitif dan spesifik dalam membedakan antara dispersi temporal akibat

17
dieleminisasi dan dispersi temporal yang terjadi secara fisiologis pada stimulasi

proksimal.

Pemeriksaan KHS yang dilakukan pada minggu pertama onset sering

menunjukkan hasil yang normal sering menunjukkan hasil yang normal atau tidak

memenuhi kriteria SGB menurut HO dkk maupun Hadden dkk. Oleh karena itu

tidak dapat dijadikan landasan untuk menunda pemberian imunoterapi jika sudah terdapa

gambaran klinis yang khas SGB. Pemeriksaan KHS pada minggu pertama ini lebih

berguna untuk menyingkirkan diagnosis banding neuropati perifer lainnya.

Pada awal perjalanan openyakit SGB tipe AMAN dapat ditemukan gambraan

blok konduksi pada pemeriksaan KHS. Gambaran blok ini mengalami perbaikan

atau menghilang dalam hitungan hari disertai peningkatan amplitudo CMAP distal

dan pemendekan latensi motor distal kembali ke nilai normal. Pada kasus u=ini

tidak lazim ditemukan dispersi temporal dan gelombang CMAP polifasik.

Fenomena ini dikenal sebagai AMAN with reversible conduction failure (AMAN

RCF) dan sering didiagnosis. Secara keliru sebagai AIDP atau AMAN. Untuk

mengurangi keselahan interpretasi dan klasifikasi tipe SGB, maka pemeriksaan

KHS harus dilakukan secara serial minimal dua kali pada 3 saraf motorik dan 3

saraf sensorik dalam 4-6 minggu pertama.

2. Pungsi lumbal

Tindakan pugsi lumbal rutin dilakukan pada pasien yang di duga menderita

SGB, untuk menyingkirkan diagnosis banding, dan bukan merupakan kriteria

utama penegakan diagnosis SGB. Pada anlisis CSS dapat ditemukan disosiasi

sitoalbumin, yaitu terdapatnya peningkatan kadar protein CSS tanpa disertai

peningkatan jumlah sel. Disosiasi sitoalbumin adalah temuan khas untuk SGB dan

dapat ditemukan pada 50 % kasus pada minggu pertama dan meningkat menjadi

18
75% kasus pada minggu ketiga. Apabila analisa CSS normal pada SGB dengan

onset kurang dari 2 minggu, maka hal ini tidak mempengaruhi penegakan

diagnosis SGB selama ditemukan tanda dan gejala klinis yang sesuai dan tidak

perlu dilakuka pungsi lumbal ulangan.

Peningkatan jumlah sel dan protein CSS dapat ditemukan pasca terapi

imunoglobulin intravena dosis tinggi (intravenous immunoglobulin/IVIG) yang

diduga akibat mekanisme transudasi atau meningistis aspetik. Apabila ditemuikan

penjingkatan jumlah sel CSS pada minggu pertama onset gejala makan

kemungkinan diagnosis banding yang lain harus lebih dipertimbangkan, seperti

infeksi, neruopati akibat Human Immunodeficciency Virus (HIV).

3. Radiologi

Pemeriksaan radiologi dilakukan jika ditemukan tanda dan gejala klinis SGB

yang meragukan. Hal ini untuk menyingkirkan lesi struktural sebagai penyebat

defisit neurologis yang ada. Hasil pemeriksaan MRI pada kasusSGB adalah murni

normal, baik pada otak maupun medulla spinalis, walau dapat dijumpai

penyengatan pada radisk proksimal. Pada 11% kasus BBE, dapat ditemukan

adanya lesi fokal pada T2W MRI di mesensefalon, thalamus, serebelum, dan

batang otak.

4. Antibodi antigangliosida

Walaupun berbagai studi mengaitkan kejadian SGB dengan antibodi seperti

yang tercantum pada tabel 1, nilai diagnosis belum dapat dipastikan. Pemeriksaan

ini bermanfaat, tetapi hasil negatif tidak menggugurkan diagnosis SGB dan

pemeriksaan ini belum tersedia di sarana pemeriksaan laboratorium sehari-hari

19
G. DIAGNOSIS BANDING

Telah disebutkan bahwa pada 10% kasus SGB dapat ditemukan refleks tendon

dalam yang normal bahkan meningkat , oleh karena itu pada keadaan tersebut adanya

lesi SSP harus disingkirkan. Gejala klinis SGB dapat menyerupai gejala lesi medulla

spinalis akut seperti mielitis transversa, namun pada lesi medulla spinalis gangguan

berkemih muncul lebih awal dan defisit sensoris yang ada mempunyai batas yang

tegas.

Jika pada pasien tidak ditemukan adanya difisit sensorik, maka pertimbangan

diagnosis banding yang mungkin adalah mistenia gravis,periodok paralisis

hipokalemia, botulisme, poliomielitis, dan mielopati akut. Diagnosis banding untk

SMF dan kelemahan faring servikal-brakhialis adalah stroke batang otak, miastenia

gravis dan botulisme.

G. PENATALAKSANAAN.

Prinsip tatalaksana SGB adalah diagnosis dini dan tatalaksana multidisplin yang

tepat. Risiko kematian SGB mencapai 5% sebagian besar disebabkan komplikasi SGB

berupa sepsis, emboli paru, dan disautonomia. GBS disability score atau Hughes

Score adalah sistem penilai status fungsional untuk evaluasi dan pemantauan derajat

keparahan penyakit.

Imunoterapi dapat diberikan sejak onset gejala neuropati pertamakali muncul.

Manfaat terbaik muncul pada pmeberian imunoterapi dalam 2 minggu pertama onset
20
pada pasien dengan GBS Disability Score > 3. Baik plasmaferesis dan

immunoglobulin intravena (IV) memeliki efektefitias yang sama dalam perbaikan

kekuatan motorik pasien, peningkatan GBS disability score dan penurunan kebutuhan

penggunaan ventilator pada pasien dengan gejala gagal napas.

Plasmaferesis dilakukan 5 kali dalam waktu 2 minggu dengan jumlah maksimum

pertukaran plasma sebanyak lima kali dari volume plasma (200-250 ml/kgBB). Dosis

total imunoglobulin IV adalah 2g/kg Bbdi berikan dalam 5 hari. Pemberian

imunoterapi pada pasien dengan gejala ringan (GBS disabilty score <3) tetapdapat

memberikan manfaat namun perlu memperhitungkan efisiensi pengobatan . penelitian

menunjukkan pemberian plasmaferesis diikuti pemberian imonoglobulin IV

memberikan hasil yang sama dengan pemberian terapi plasmaferesis saja atau

imunoglobulin saja oleh karena itu tidak dianjurkan untuk melakukan kedua terapi

namun dipilih satu modalitas saja plasmeferesis atau IVIG. Pemberian kortikosteroid

oral maupun IV tidak memberikan manfaat pada kasus SGB.

Pemantauan fungsi paru dapat dilakukan setiap 1-4 jam untuk meminimalkan

risiko gagal napas berupa evaluasi frekuensi serta kedalaman napas, kapasitas vital

paru-paru dan kemampuan refleks batuk. Indikasi pemasangan alat bantu napas pada

SGB sesuai dengan:

21
Pemasangan monitor kardiovaskuler diperlukan dalam identifikasi dan antisipasi

disfungsi otonom. Disfungsi otonom dapat berupa bradiaritmia berat atau terdapat

variasi tekanan sistolik lebih dari 85 mmhg . pada pasien tersebut dapat pasang alat

pacu jantung sementara atau diberikan atropin. Gangguan miksi dapat ditatalaksana

dengan pemasangan kateter, sementara gangguan defekasi dapat diatasi dengan

pemberian laksatif.

Nyeri merupakan manifestasi klinis yang banyak ditemukan pada pasien sejak

awal onset sampai dengan masa pemulihan. Lokasi nyeri yaitu punggung dan

ekstremitas sesuai dengan distribusi kelemahan otot mototriknya. Nyeri menunjukkan

adanaya keterlibatan serabut saraf berdiameter kecil dan saraf otonom sedangkan

disestesia melibatkan serabut saraf berdiameter lebar. Tatalaksana nyeri yang dapat

diberikan berupa penggunaan obat anti nyeri neruopatik berupa gabapentin dan

karbamazepin

G. PROGNOSIS.

Prognosis SGB dapat ditentukan berdasarkan Erasmus GBS Outcome Score (EGOS)

EGOS ini dapat digunakan untuk menetukn probobalitas pasien SGB dapat berjalan
mandiri enam bulan setelah onset. Semakin besar nilai EGOS yang didapat, maka
semakin kecil kemungkinan pasien SGB dapat berjalan setelah 6 bulan dari onset.
Penelitian di RSCM jakarta pada 24 subjek pasien SGB yang dirawat periode januari
2012- desember 2014 menjukkan sebagian besar pasien mengalami perbaikan klinis
pada akhir perawatan. Kekuatan motorik (MRS sum score) saat masuk berada pada
skor < 30 (50%) dan meningkat menjadi 50-41 pada akhir perawatan (29,2%). GBS

22
disability scor saat masuk 4 (aktivitas terbatas pada tempat tidur atau kursi) 54,2%
skor meningkat menjadi 3 (jalan dengan bantuan) pada akhir perawatan (37,5%)

23
BAB III

KESIMPULAN

Sindrom Guillain-Barre (poliradikuloneuropati demielinasi inflamatorik akut)

merupakan paralisis asendens yang dapat membawa kematian dan disertai dengan

kelemahan yang dimulai pada ekstremitas distal tapi kemudian dengan cepat menjalar

ke otot-otor proksimal, dapat diisebabkan oleh infeksi vaksinasia dan pembedahan

Proses yang terjadi adalah adanya kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini

adalah melalui mekanisme imunologi. Adanya autoantibodi terhadap sistem saraf tepi,

dan didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh

darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Ganong William F, Stephen J Mcphee. 2007. Patofisiologi Penyakit : Pengantar

Menuju Kedokteran Klinis edisi 5. Jakarta : EGC

2. P. Kowalak Jennifer, William Wels, dkk. 2011. Guillan-Barre Sindrome dalam

Professional Guide To Pathophysiology. Jakarta : EGC

3. Pinzon Rizaldy. 2007. Sindrom Guillan-Barre. Jakarta : Jurnal Kedokteran Dexa

Medica.

4. Iskandar Japardi, Sindroma Guillain Barre. Fakultas Kedokteran Universitas

Sumatera Utara. Di akses pada

repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1958/1/bedahiskandar%20japa rdi46.pdf.

5. Mahar Mardjono. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta : Dian Rakyat

6. Robbins, Cotran. 2010. Penyakit saraf perifer dalam Dasar Patologis Penyakit.

Jakarta : EGC

7. Meidianti, AR. 2017. Studi Penggunaan Antibiotika pada Pasien Guillain-Barre

Syndrome (GBS) dengan Infeksi. Malang : Eprints.umm.ac.id

8. Choirunnisa, A. 2017. Profil Penggunaan Obat pada Pasien GBS. Malang :

Eprints.umm.ac.id.

9. Wiratman T, Ananditha T. 2017. Buku Ajar Neurologi Jilid 2. Jakarta: Badan

Penerbit FKUI: 2017

25

Anda mungkin juga menyukai