Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

GUILLAIN BARRE SYNDROME

Oleh:
Nadya Andrea Perdana : 22710031
Ilham Akbar Habibie : 22710120

Pembimbing :
dr. Estu Nila Widuri, Sp.S

RUMAH SAKIT UMUM DR.WAHIDIN SUDIROHUSODO MOJOKERTO

SMF NEUROLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA


SURABAYA

2022
LEMBAR PENGESAHAN

Referat

SMF Ilmu Penyakit Saraf

Disusun Oleh :

Nadya Andrea Perdana : 22710031

Ilham Akbar Habibie : 22710120

TELAH DISETUJUI DAN DAN DISAHKAN PADA :

HARI :…………………………………………

TANGGAL :…………………………………………

MENGETAHUI

DOKTER PEMBIMBING,

dr. Estu Nila Widuri, Sp.S


KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan YME karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, penulis mampu menyelesaikan referat ini
dengan judul “Guillain Barre Syndrome”. Referat ini dikerjakan demi memenuhi
salah satu syarat guna mengikuti ujian utama SMF Ilmu Rehab Medik sebagai
dokter muda di RSU dr.Wahidin Sudirohusodo.

Terselesaikannya referat ini tentunya tak lepas dari dorongan dan uluran
tangan berbagai pihak. Oleh karena itu, tak salah kiranya bila penulis
mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:

1. dr. Estu Nila Widuri, Sp.S selaku Staff bagian Ilmu Penyakit Saraf serta
sebagai pembimbing referat di RSU dr.Wahidin Sudirohusodo yang telah
memberikan banyak ilmunya kepada penulis sehingga penulis mampu
menyelesaikan tugas ini dengan maksimal.
2. Orang tua penulis serta semua keluarga yang selalu mendukung dan
memberikan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan referat ini.
3. Teman-teman pendidikan Dokter Umum angkatan 2022 yang telah banyak
membantu menyelesaikan referat ini.
4. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan referat ini.
Akhir kata penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun sebagai masukan yang berharga bagi penulis. Semoga nantinya
referat ini bisa memberikan sumbangan pikiran yang berguna bagi fakultas dan
masyarakat.

Mojokerto, Agustus 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
GBS adalah sindrom pasca infeksi yang didefinisikan dengan onset yang
tertunda dari gejala akut infeksi didahului oleh infeksi simtomatik seperti seperti
influenza, atau cytomegalovirus pada sekitar dua pertiga kasus . Guillain-Barre
Sindrom (GBS), juga dikenal sebagai akut polineuropati demyelinating inflamasi,
adalah demye- penyakit lapisan pada sistem saraf tepi yang disebabkan oleh
produksi antibodi otomatis terhadap myelin. GBS dapat terjadi beberapa minggu
setelah infeksi bakteri atau virus dan biasanya hadir dengan parestesia, demam,
dan malaise sebelum onset akut kelemahan asenden simetris, kelemahan motorik,
dan kehilangan sensorik. Banyak penyebabnya bakteri dan virus memiliki
oligosakarida di permukaan sel mereka yang meniru gangliosida inang,
menyebabkan sistem kekebalan inang untuk secara tidak tepat menargetkan
mereka sendiri sel dalam proses yang dikenal sebagai mimikri molekuler.

Guillain-Barre sindrom kira-kira 1-2 per 100.000 orang/tahun dengan


insiden meningkat sebesar 20% untuk setiap peningkatan usia 10 tahun. Diagnosis
GBS biasanya dikonfirmasi dengan lumbal pungsi yang menunjukkan disosiasi
albuminositologi, dengan peningkatan dalam protein cairan serebrospinal (CSF)
tanpa adanya sel darah putih. Penurunan progresif fungsi pernapasan tion dan tes
konduksi saraf abnormal dukungan lebih lanjut diagnosa.

Diketahui ekstensi dan intensitas adalah dua variabel yang perlu


dipertimbangkan ketika mengevaluasi neuropati. Ketika pasien dengan GBS
dievaluasi oleh riwayat dan pemeriksaan fisik, perluasan neuropati ditentukan;
yaitu, jika lebih rendah atau tungkai atas atau keduanya terpengaruh; simetris atau
asimetris; jika segmen distal atau proksimal ata keduanya terpengaruh dan jika
ada keterlibatan tulang belakang atau saraf kranial atau keduanya. Di sisi lain,
kami juga mengevaluasi intensitas yang motorik dan sensorik gangguan
diekspresikan, menggunakan yang digunakan secara tradisional disabilitas atau
skala fungsional. Kedua aspek, ekstensi dan intensitas, menyatakan besarnya
neuropati dan diketahui bahwa mereka tidak selalu proporsional. Kami percaya
bahwa dengan mempertimbangkan ekstensi akun dan intensitas ketika
mengevaluasi tingkat keparahan neuropati dapat memberikan sensitivitas yang
lebih besar terhadap perubahan ke skala dan pemahaman yang lebih baik tentang
mendasari etiopatogenesis dalam setiap kasus individu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Guillain Barre Syndrome merupakan kelainan saraf perifer yang bersifat


ascending, simetris, akut yang didahului infeksi pada 1-3 minggu dan kadang-
kadang hingga 8 minggu sebelumnya.

B. Epidemiologi

Penyakit GBS sudah ada sejak tahun 1859. Nama Guillain Barre diambil
dari dua ilmuwan Perancis, Guillain dan Barre yang menemukan dua orang
prajurit perang di tahun 1916 yang mengindap kelumpuhan kemudian sembuh
setelah menerima perawatan medis. GBS termasuk penyakit langka dan terjadi
hanya 1 atau 2 kasus per 100.000 di dunia tiap tahunnya.

Berdasarkan studi populasi, insiden GBS di Eropa dan Amerika Utara


dilaporan sebanyak 1,2 sampai 1,9 per 100.000 kasus penduduk tiap tahun,
sedangkan di dunia dilaporkan sebanyak 0,6-4 per 100.000 kasus. Laki-laki 1,5
kali lebih banyak dari perempuan dan insidennya meningkat berkaitan dengan
usia, 1 per 100.000 pada usia dibawah 30 tahun dan sekitar 4 per 100.000 kasus
pada usia setelah 75 tahun. Sebanyak 0,66 per 100.000 kasus GBS di Cina
dilaporkan pada usia dewasa. Sekitar dua pertiga kasus GBS di dahului oleh
infeksi dengan onset gejalanya terjadi enam minggu, biasanya terjadi infeksi
saluran napas atas atau saluran cerna, dengan insiden gagal napas sekitar 20-30%.

C. Etiologi

Sindroma Guillain Barre telah dihubungkan dengan infeksi virus dan


bakteri yang mendahuluinya, pemberian vaksin tertentu serta penyakit sistemik
lainnya. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit paska infeksi yang diperantarai
sistem imun yang menyerang saraf perifer. Sindroma Guillain Barre sering terjadi
paska infeksi pernafasan atau penyakit saluran cerna tetapi telah dilaporkan suatu
infeksi spesifik seperti cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, enterovirus,
Campylobacter jejuni, mycoplasma dan paska imunisasi.

Agen pencetus yang paling sering teridentifikasi adalah C.jejuni (13-39%


kasus), cytomegalovirus (5-22%), Epstein-barr virus (1-13% kasus) dan
Mycoplasma pneumonia (5% kasus). Seluruh kuman ini memiliki sekuens
karbohidrat (antigen) yang menyerupai jaringan saraf tepi.

D. Patofisiologi

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran


pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf
tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ketiga atau keempat,
kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung mielin pada hari
kelima, terlihat beberapa limfosit pada hari kesembilan dan makrofag pada hari
kesebelas, poliferasi sel schwan pada hari ketigabelas. Perubahan pada mielin,
akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari
keenampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Kerusakan mielin
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung
mielin dari sel schwan dan akson.

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang


mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada


pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh
berbagai peristiwa sebelumnya. Pada GBS, gangliosid merupakan target dari
antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya
kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut mielin ini
menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan
bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh.
Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan
gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang
menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan
tiruan (mimicry) dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter
jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson
ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk
merespon adanya epitop yang sama. Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang
menginisisasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi
limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan
menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls
saraf.

E. Manifestasi Klinis

Sindroma Guillain-Barre muncul sebagai paralisis motorik areflesia yang


berkembang cepat dengan atau tanpa gangguan sensorik. Kelemahan biasanya
berkembang selama beberapa jam hingga hari dan sering disertai dengan rasa
kebas dan disestesia pada ekstremitas. Tungkai biasanya lebih berat terkena
dibandingkan lengan. Saraf kranial bawah juga sering terlibat, menyebabkan
kelemahan bulbar dan kesulitan mengeluarkan ludah dan menjaga jalan nafas.
Sebagian besar pasien memerlukan perawatan rumah sakit, dan hampir 30%
memerlukan bantuan ventilator pada perjalanan penyakitnya.

Kelemahan yang bersifat asending, simetris bisa melibatkan otot pelvis,


abdominal, thorakal dan ekstremitas atas. Kelumpuhan bisa berlanjut sampai 10
hari dan kemudian bertahan tidak berubah secara relatif selama 2 minggu.

Nervus kranialis VII sering terlibat dimana kelemahan fasialis bilateral


kira-kira 50% dari kasus. Disfungsi orofaringeal terlihat pada kasus berat dan
merupakan tanda awal yang mengancam terjadinya gagal nafas. Tingkat gangguan
sensorik biasanya bervariasi dan biasanya ringan. Fungsi saraf otonom dapat
terganggu seperti takikardi, aritmia jantung, hipotensi postural atau gejala
vasomotor.

F. Diagnosis

Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis

 Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih


 Arefleksia

Temuan klinis yang mendukung diagnosis :


 Gejala atau tanda sensorik ringan
 Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya
 Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti
 Disfungsi otonom
 Tidak adanya demam saat onset
 Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu
 Adanya tanda yang relatif simetris

Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:

 Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl


 Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau
terbloknya hantaran saraf
G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan LCS

Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl )
tanpa diikuti kenaikan jumlah sel (disosiasi cyto-albumin). Keadaan ini oleh
Guillain (1961) disebut sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan
cerebrospinal pada 48 jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga.
Kenaikan kadar protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua.
Kebanyakan pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang
kurang dari 10/mm3 (albuminocytologic dissociation).

2. Pemeriksaan EMG

Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan pada
akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada kasus dengan
demielinasi, memanjangnya distal latency, perlambatan kecepatan hantaran,
adanya blok konduksi dan dispersi temporal dari potensial aksi gabungan adalah
gambaran yang biasa ditemukan.
3. Pemeriksaan MRI

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-kira
pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
cauda equina yang bertambah besar.

H. Diagnosa Banding

Sindroma Guillain-Barre ini didiagnosis banding dengan :

1. Poliomyelitis
Penyakit ini ditandai dengan adanya demam dan myalgia yang berat, diikuti
dengan kelumpuhan otot tipe flaksid yang asimetris. Pada cairan
serebrospinal dijumpai pleocytosis dan tidak dijumpai keterlibatan sensorik.
2. Botulism
Sering terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi makanan kaleng. Gejala
diawali dengan diplopia.
3. Neuropati logam berat
Onset kelemahan lebih lambat. Pada kebanyakan kasus dijumpai riwayat
terpapar logam berat di daerah industri.
4. Paralisis periodik hipo atau hiperkalemik
Onset yang tiba – tiba dari paralisis general dengan disertai salah satu apakah
hipo atau hiperkalemik.
5. Polymyositis akut
Dijumpai kelemahan simetris otot proximal dengan onset akut. Ruam sering
didapati pada dermatomysitis. Laju endap darah dan level creatine
phosphokinase meningkat.
6. Myasthenia gravis
Ptosis dan kelemahan okulomotor yang merupakan gambaran GBS pada
beberapa kasus dapat menyerupai myasthenia gravis, tetapi pada perjalanan
penyakit selanjutnya tidak dijumpai gangguan sensoris, reflek tendon (+).
I. Penatalaksanaan

Non-farmakologi

1. Pertahankan ABC jalur intravena dan bantuan ventilasi sesuai indikasi


2. Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami gagal nafas. Indikator
klinis untuk intubasi mencakup hipoksia, penurunan fungsi respirasi yang
cepat, batuk yang lemah, dan dicurigai aspirasi.
3. Pasien dengan GBS harus dimonitor ketat untuk perubahan tekanan darah,
denyut jantung dan aritmia lainnya.
a. Jarang dibutuhkan pengobatan untuk takikardi
b. Atropin direkomendasikan untuk bradikardi simtomatik
c. Karena labilnya disautonomia, hipertensi sebaiknya ditangani dengan
obat short acting seperti beta blocker atau nitroprusside
d. Hipotensi akibat disauotonomia biasanya menunjukkan respon terhadap
cairan intravena dan posisi telentang
e. Alat pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan pada pasien dengan
blok jantung derajat dua atau derajat tiga.

Farmakologi

Pengobatan yang telah diuji secara pada GBS ada tiga macam yaitu
kortikosteroid, plasma exchange dan intravenous immunoglobulin (IVIG). Dari
ketiganya, plasma exchange dan IVIG yang memperlihatkan keefektifannya.
Efikasi plasma exchange (PE) dan IVIG tampaknya sama dalam memperpendek
durasi penyakit. Terapi kombinasi tidak memperlihatkan penurunan disabilitas
yang bermakna. Keputusan untuk menggunakan terapi didasarkan kepada
keparahan penyakit, laju progresifitas dan rentang waktu antara simptom pertama
dengan presentasi klinis.

1. Intravenous immunoglobulin
Saat ini IVIG merupakan pilihan terapi untuk GBS. Dosis total standar
untuk suatu pemberian IVIG adalah 2gr/kg. Secara konvensional diberikan
0,4g/kg/hari selama 5 hari.
Intravenous immunoglobulin (IVIG) bekerja dengan menetralisir antibodi
myelin yang melalui antibodi anti-idiotypic, menurunkan sitokin proinflamasi
seperti interferon-gamma (INF-gamma), juga menghambat kaskade
komplemen dan memicu remielinisasi.
Pada prakteknya pemberian IVIG relatif lebih mudah dan aman
dibandingkan PE, sehingga umumnya IVIG merupakan pengobatan yang
lebih dipilih. Namun terdapat situasi dimana PE lebih dipilih atau
diindikasikan, misalnya :
a. Adanya kontraindikasi penggunaan IVIG
b. Intoleransi atau efek samping yang serius pada penggunaan IVIG
c. IVIG tidak tersedia sedang PE tersedia
2. Plasma Exchange
Albumin digunakan pada PE saat plasma pasien ditukar dengan subsitusi
plasma. Dapat menghilangkan autoantibodi dan kompleks imun dari serum.
Plasma exchange diberikan bersamaan dengan albumin (50 ml/kg) selama
periode 10 hari dan terbukti mempercepat pemulihan dan dapat membantu
menghilangkan konstituen sitotoksik dari serum.
Plasma exchange dilakukan sebanyak lima kali pada hari yang berselang.
Setiap kali PE, 40-50 ml/kg plasma dikeluarkan dan digantikan, setengahnya
dengan saline 0,9% dan setengahnya dengan albumin 5% dalam 0,9% larutan
saline. Regimen replacement dengan menggunakan albumin sama efektifnya
dengan regimen yang menggunakan fresh frozen plasma.
3. Neuroprotektan

Pasien GBS sebagian besar mengalami gangguan sensorik berupa


gangguan saraf neuropati yang ditandai dengan gejala kesemutan, kebas, dan
kram. Gangguan ini dapat dicegah ataupun diatasi dengan mengkonsumsi
vitamin neurotropik. Vitamin neurotropik adalah vitamin yang sangat
dibutuhkan untuk menjaga sistem saraf agar dapat bekerja dengan baik. Vitamin
ini terdiri dari vitamin B1, B6, dan B12 yang berfungsi untuk melindungi dan
membantu perbaikan kerusakan sel saraf, sehingga pasien GBS yang mengalami
gangguan neuropati dapat menjadi lebih baik dengan pemberian asupan vitamin
neurotropik untuk melindungi dari degenerasi/kerusakan dan membantu dalam
proses regenerasi/ perbaikan saraf selama fase progresivitas penyakit GBS.

Kekurangan vitamin B12 dapat dengan mudah merusak mielin yang


menjadi target serangan autoimun, kekurangan vitamin B12 berhubungan
dengan menurunnya aktivitas imunomodulator, defisiensi vitamin B12
berhubungan dengan menurunnya aktivitas neurotropik, aktivitas-infalmasi dan
demielinasi berhubungan dengan proses remielinasi yang dengan proses
remielinasi yang dengan pasti membutuhkan konsumsi vitamin B12, oleh karena
itu vitamin B12 berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan mielin, memiliki
efek imunomudulator dan neurotropik.
Terapi mecobalamin sangat bermanfaat pada GBS karena:
a. Penyimpangan respon autoimun yang menyebabkan kerusakan saraf pada
GBS hanya bersifat sementara;
b. Saraf perifer pada dasarnya memiliki kemampuan regenerasi dan
memperbaiki diri setelah terjadi kerusakan;
c. Blood-nerve barrier juga mengalami kerusakan pada saraf yang rusak,
sehingga neuroprotektan yang diberikan selama fase akut GBS dapat
mencapai serabut saraf yang rusak;
d. Intervensi neuroprotektan dan neurotropik berlangsung dalam jangka
waktu yang terbatas (oleh karena sifat monofasik GBS),
4. Imunoglobulin
Pemberian imunoterapi seperti imunoglobulin intravena aman dan efektif
dalam pengobatan penyakit GBS yang parah dan dapat digunakan untuk semua
umur. Regimentasi dosis imunoglobulin intravena sebesar 0, 4 g / kgBB setiap
hari selama 5 hari berturut – turut. Efek samping yang biasanya terjadi adalah
reaksi alergi dan dapat menyebabkan terjadinya pembekuan pada pembuluh
darah vena. Selain itu, efek samping yang bisa terjadi dan cukup
membahayakan adalah gagal ginjal, infark miokard, dan meningismus.
Mekanisme kerja dari imunoglobulin intravena pada pasien Guillain-Barré
Syndrome adalah menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan
produksi autoantibodi tersebut. Selain itu, imunoglobulin ini juga berperan
dalam mengganggu proliferasi limfosit T dan menekan fungsi sel NK.
Pemberian imunoglobulin ini perlu diperhatikan dengan baik, karena
kemungkinan adanya interaksi dengan obat lain. Berdasarkan suatu studi
menyatakan bahwa pemberian imunoglobulin yang bersamaan dengan
pemberian vaksin misalnya MMR dan varicella dapat mengganggu efektivitas
dari vaksin tersebut. Selain itu, imunoglobulin intravena juga tidak dapat
diberikan bersama dengan penisilin, ceftriaxone, fenitoin, azatriopin serta
siklosporin.
Pemberian imunoterapi seperti imunoglobulin intravena dan plasma
exchange efektif untuk pasien GBS baik dewasa maupun anak – anak (Meena,
et al. 2011). Dibandingkan dengan plasma exchange, imunoglobulin intravena
memberikan kenyamanan yang lebih besar terhadap pasien karena metode
pelaksanaannya yang lebih mudah dan juga ketersediaannya yang lebih baik.
Selain itu, bila ditinjau dari segi farmakoekonomi, biaya terapi imunoglobulin
intravena ini dapat lebih rendah dibandingkan dengan plasma exchange karena
dapat menunjukkan pengurangan biaya untuk waktu tinggal di rumah sakit dan
juga karena lebih sedikitnya terjadi komplikasi dan penggunaan ventilator.
Karena beberapa alasan tersebut, terapi imunoglobulin intravena banyak
digunakan sebagai terapi pilihan pada pasien GBS.
J. Prognosis

Sebagian besar pasien dengan GBS dapat sembuh total meskipun memerlukan
beberapa bulan terapi intensif. Kecacatan persisten dapat terjadi pada 15% pasien,
10% tidak dapat berjalan tanpa bantuan pada satu tahun. Dan kekambuhan dapat
terjadi pada 2-5% kasus. Kematian pada GBS berkisar antara 2- 12%. Penyebab
kematian yang umum akibat tromboemboli vena, pneumonia, aritmia dan
komplikasi yang berhubungan dengan disautonomia.
BAB III

KESIMPULAN

Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah penyakit autoimun pada sistem


saraf yang biasanya beronset akut atau sub akut, dipicu oleh infeksi bakteri
antesenden atau infeksi virus antesenden, dan ditandai dengan kelemahan
progresif dari ekstremitas, parestesia/ baal ekstremitas, dan arefleksia relatif atau
komplit. Deteksi dini secara cepat dan tepat sangat diperlukan dengan mengetahui
faktor risiko, gejala –gejala klinis, dan penegakkan diagnosis sehingga terapi
dapat dilakukan secepatnya untuk prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. COVID-19–associated Guillain-Barré syndrome: The early pandemic
experience Received: 11 July 2020 Accepted: 14 July 2020 DOI:
10.1002/mus.27024
2. Therapeutic plasma exchange in a patient with acute motoraxonal neuropathy
subtype of Guillain-Barre syndrome and systemic lupus erythematosus
Received: 21 July 2021 Revised: 31 December 2021 Accepted: 9 February
2022 DOI: 10.1002/jca.21977.
3. Proposal for the functional assessment of acuteinflammatory neuropathy
(FAAIN) in Guillain-Barré syndrome Zurina Lestayo O’Farrill, Alina
González-Quevedo, Joel Gutierrez-Gil, José Luis Hernández-Cáceres &
Vivian Sistach-Vega. Neurological Research A Journal of Progress in
Neurosurgery, Neurology and Neurosciences 2022, VOL. 44, NO. 6, 534–54
https://doi.org/10.1080/01616412.2021.2024725
4. Yuki, N., Hartung, H.P. 2012. Medical Progress : Guillain–Barré Syndrome.
NEJM.
5. Wahyu,Fadlan. 2018. Guillain-Barré Syndrome: Penyakit Langka Beronset
Akut yang Mengancam Nyawa. Volume 8|Nomor 1|April 2018 Hal: 112-116
6. Machfoed, MH. 2011. Buku Ajar Ilmu Penyakit Saraf. Surabaya : Pusat
Penerbitan dan Percetakan Unair.
7. Zahrah, S. 2017. Penatalaksanaan Nutrisi pada Pasien Guillain-Barre
Syndrome dengan Gagal Napas, Sepsis dan Gizi Kurang. Makassar. Unhas.
8. Pithadia AB, Kakadia N. 2010. Guillain-Barré syndrome (GBS).
Pharmacological Reports; 62 : 220-232.

Anda mungkin juga menyukai