Anda di halaman 1dari 14

ASUHAN KEPERAWATAN MENINGITIS

Keperawatan Medical Bedah III


Dosen Pengapu: Cholik

Di Susun Oleh:
Elva Vadila
Lisa Safitri
Sri Mulianingsih

PRODI S1 KEPERAWATAN
STIKES KARYA KESEHATAN KENDARI
2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr. wb
Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
Tugas Kelompok Asuhan Keperawatan GBS (Guillain-Barre-Syndrome) ini.
Maksud dan tujuan pembuatan Asuhan Keperawatan ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah keperawatan Medkal Bedah III yang diberikan oleh Bapak
Cholik. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan Asuhan Keperawatan ini
masih banyak terdapat kesalahan mulai dari penulisan begitupun dengan isi.
Kami harapkan Asuhan Keperawatan Medikal Bedah ini bermanfaat bagi
para pembaca begitupula dengan kami sendiri. Semoga dengan adanya Asuhan
Keperawatan Medikal Bedah III bisa menambah pengetahuan kita dalam
menangani dan menghadapi GBS (Guillain-Barre-Syndrome).
Tidak lupa kritik dan saran yang membangun untuk kami, agar dalam
pembuatan Asuhan Keperawatan selanjutnya lebih baik dan tertata rapi dari segi
penulisan maupun isi. Saya ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum wr, wb

Kendari, 19 November 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I KONSEP TEORI................................................................................ 1
A. Definisi.................................................................................................... 1
B. Etiologi.................................................................................................... 1
C. Patofisiologi............................................................................................ 2
D. Manifestasi Klinis................................................................................... 3
E. Tatalaksana.............................................................................................. 4
BAB II KONSEP ASKEP.............................................................................. 7
A. Pengkajian............................................................................................... 7
B. Diagnosa.................................................................................................. 9
C. Intervensi................................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 11

ii
1

BAB I
KONSEP TEORI
A. Definisi
Sindrom Guillain Barre (SGB) atau penyakit poliradikuluneuropati
adalah kumpulan gejala klinis akibat proses inflamasi akut yang menyerang
system saraf. Sindrom Guillain Barre ditandai dengan kelemahan anggota
gerak bersifat flaccid pasca terjadinya infeksi. Sindrom Guillain Barre
disebabkan oleh proses autoimun di mana targetnya adalah saraf tepi.
Sindrom Guillain Barre adalah salah satu kelainan karena gangguan system
imun dengan ciri paralisis akut.
Sindrom Guillain Barre bersifat ascending, progresif dan berbuhungan
dengan proses autoimun. Secara klinis, kejadian Sindrom Guillain Barre
sering didahului oleh infeksi akut non spesifik sebelumnya, seperti infeksi
saluran nafas atau infeksi saluran cerna.
Sindrom Guillain Barre merupakan polineuropati demielinisasi akut
dengan berbagai macam jenis yaitu: Sindrom Guillain Barre motor-sensoris,
Sindrom Guillain Barre motor murni, Miller Fisher, bulbar, Sindrom Guillain
Barre aksonal primer.
Parry mengatakan bahwa, Sindrom Guillain Barre adalah suatu
polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut Menurut Bosch, Sindrom Guillain Barre
merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang
terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya
adalah saraf perifer, radiks, dan nerves kranialis(Julia fitriany, 2018).
B. Etiologi
Sindroma Guillain Barre telah dihubungkan dengan infeksi virus dan
bakteri yang mendahuluinya, pemberian vaksin tertentu serta penyakit
sistemik lainnya. Penyakit ini dianggap sebagai penyakit paska infeksi yang
diperantarai sistem imun yang menyerang saraf perifer. Sindroma Guillain
Barre sering terjadi paska infeksi pernafasan atau penyakit saluran cerna
tetapi telah dilaporkan suatu infeksi spesifik seperti cytomegalovirus, Epstein-
2

Barr virus, enterovirus, Campylobacter jejuni, mycoplasma dan paska


imunisasi.
Agen pencetus yang paling sering teridentifikasi adalah C.jejuni (13-
39% kasus), cytomegalovirus (5-22%), Epstein-barr virus (1-13% kasus) dan
Mycoplasma pneumonia (5% kasus). Seluruh kuman ini memiliki sekuens
karbohidrat (antigen) yang menyerupai jaringan saraf tepi.
pada sebagian besar kejadian Sindrom Guillain Barre, terdapat infeksi
yang mendahului beberapa minggu sebelumnya. Infeksi pada saluran
pencernaan adalah yang paling sering ditemui. Organisme yang paling sering
adalah Compylobacterus dan Epstein-Barr Virus. Penyebab lain yang jarang
adalah HIV, Mycoplasma pneumonia, dan Varicella-zoster(Nst, 2014).
C. Patofisiologi
Hingga saat ini, patogenesis GBS dipercaya sebagai sebuah respon
imun yang abnormal terhadap sebuah kejadian yang terjadi sebelumnya,
paling sering didahului oleh suatu infeksi. Dua pertiga pasien melaporkan
adanya gejala infeksi saluran pernafasan atau saluran pencernaan sebelum
onset GBS dimulai. Pada kurang lebih setengah penderita GBS, infeksi
spesifik yang mendahului dapat diidentifikasi, dan Campylobacter jejuni
bertanggung jawab terhadap paling sedikit sepertiga dari infeksi tersebut.
Selain itu, patogen lain yang dapat menyebabkan infeksi yang mendahului
terjadinya GBS ialah cytomegalovirus, virus Epstein–Barr, Mycoplasma
pneumonia, Haemophilus influenzae, dan virus influenza A. Namun,
meskipun terdapat asosiasi yang kuat antara infeksi akut spesifik dengan
GBS, risiko terjadinya komplikasi pasca infeksi yang berat ini sangatlah
kecil. Hanya satu dari 1.000 – 5.000 pasien dengan enteritis Campylobacter
yang akan berkembang menjadi GBS dalam jangka waktu dua bulan.
Vaksin juga dianggap terlibat sebagai sebuah faktor pencetus.
Beberapa bukti menduga bahwa vaksin flu babi yang digunakan saat musim
influenza pada tahun 1976 menyebabkan peningkatan insidens GBS. Namun
hingga saat ini belum terdapat penelitian ataupun konsensus yang menyatakan
bahwa vaksin meningkatkan risiko GBS.
3

Patofisiologi pada GBS belum sepenuhnya dimengerti. Berbagai bukti


penelitian eksperimental dan penemuan klinis mendemostrasikan bahwa pada
GBS terjadi interaksi sinergi yang kompleks antara sistem imunitas humoral
dan selular terhadap antigen yang terdapat pada saraf perifer. Infeksi yang
terjadi dapat mencetuskan sebuah respons autoimun yang mengakibatkan
produksi antibodi terhadap sebuah agen infektif dengan epitop yang serupa
dengan saraf gangliosida perifer pejamu. Fenomena ini disebut sebagai
mimikri molekular post-infeksi(Guillain-barre, 2013).
D. Manifestasi Klinis
GBS seringkali muncul beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
gejala infeksi virus pada saluran pernafasan atas atau pada saluran
pencernaan. Biasanya gejala neurologis pertama adalah kelemahan anggota
gerak simetris, seringkali juga diikuti dengan mati rasa. Berlawanan dengan
kebanyakan neuropati, otot proximal kadang terpengaruh lebih besar
dibandingkan dengan otot distal. Pada beberapa kasus, otot wajah, mata, dan
orofaring terpengaruh lebih dahulu. Lebih dari 50% pasien mengalami
diplegia wajah, dan disfagia maupun disartria terjadi dalam jumlah kasus
yang serupa.
Beberapa pasien membutuhkan ventilasi mekanik. Refleks tendon bisa
normal dalam beberapa hari awal namun hilang pada hari-hari berikutnya.
Derajat gangguan sensoris memiliki banyak variasi. Pada beberapa pasien,
semua modalitas sensoris terjaga dengan baik, pada kasus lain terdapat
penurunan pada persepsi posisi sendi, getaran, rasa sakit, temperatur dengan
distribusi pada telapak tangan dan kaki (glove-stocking). Pasien kadang
mengalami papiledem, ataksia sensoris, dan respon ekstensor plantar yang
tidak permanen.
Disfungsi autonom termasuk hipotensi ortostatik, tekanan darah yang
labil, takiaritmia, dan bradiaritmia, atau takikardia menetap sering terjadi
pada kasus yang lebih parah dan menjadi sebab utama morbiditas dan
mortalitas. Banyak juga kejadian nyeri otot, dan bisa terjadi peningkatan
4

sensitivitas saraf pada penekanan, namun tidak ada tanda iritasi meningen
seperti rigiditas nuchal.
Sindroma Guillain-Barre muncul sebagai paralisis motorik areflesia
yang berkembang cepat dengan atau tanpa gangguan sensorik. Kelemahan
biasanya berkembang selama beberapa jam hingga hari dan sering disertai
dengan rasa kebas dan disestesia pada ekstremitas. Tungkai biasanya lebih
berat terkena dibandingkan lengan. Saraf kranial bawah juga sering terlibat,
menyebabkan kelemahan bulbar dan kesulitan mengeluarkan ludah dan
menjaga jalan nafas. Sebagian besar pasien memerlukan perawatan rumah
sakit, dan hampir 30% memerlukan bantuan ventilator pada perjalanan
penyakitnya.
Kelemahan yang bersifat asending, simetris bisa melibatkan otot
pelvis, abdominal, thorakal dan ekstremitas atas. Kelumpuhan bisa berlanjut
sampai 10 hari dan kemudian bertahan tidak berubah secara relatif selama 2
minggu. Nervus kranialis VII sering terlibat dimana kelemahan fasialis
bilateral kira-kira 50% dari kasus. Disfungsi orofaringeal terlihat pada kasus
berat dan merupakan tanda awal yang mengancam terjadinya gagal nafas.
Tingkat gangguan sensorik biasanya bervariasi dan biasanya ringan. Fungsi
saraf otonom dapat terganggu seperti takikardi, aritmia jantung, hipotensi
postural atau gejala vasomotor(Children, 2019).
E. Tatalaksana
1. Terapi Suportif
Manajemen awal meliputi :
 Pertahankan ABC jalur intravena dan bantuan ventilasi sesuai
indikasi.
 Intubasi harus dilakukan pada pasien yang mengalami gagal nafas.
Indikator klinis untuk intubasi mencakup hipoksia, penurunan fungsi
respirasi yang cepat, batuk yang lemah, dan dicurigai aspirasi.
 Pasien dengan SGB harus dimonitor ketat untuk perubahan tekanan
darah, denyut jantung dan aritmia lainnya.
o Jarang dibutuhkan pengobatan untuk takikardi
5

o Atropin direkomendasikan untuk bradikardi simtomatik.


o Karena labilnya disautonomia, hipertensi sebaiknya ditangani
dengan obat short acting seperti beta blocker atau
nitroprusside.
 Hipotensi akibat disauotonomia biasanya menunjukkan respon
terhadap cairan intravena dan posisi telentang.
 Alat pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan pada pasien
dengan blokjantung derajat dua atau derajat tiga.
2. Terapi Spesifik
Pengobatan yang telah diuji secara pada SGB ada tiga macam yaitu
kortikosteroid, plasma exchange dan intravenous immunoglobulin
(IVIG). Dari ketiganya, plasma exchange dan IVIG yang
memperlihatkan keefektifannya, sedangkan studi yang berulang tidak
memperlihatkan keefektifan dari terapi steroid.
Efikasi plasma exchange (PE) dan IVIG tampaknya sama dalam
memperpendek durasi penyakit. Terapi kombinasi tidak memperlihatkan
penurunan disabilitas yang bermakna. Keputusan untuk menggunakan
terapi didasarkan kepada keparahan penyakit, laju progresifitas dan
rentang waktu antara simptom pertama dengan presentasi klinis.
Pada SGB dikenal sistem skoring untuk menggambarkan kondisi
penyakit yang disebut sebagai scale of disability.
a) Intravenous immunoglobulin
Saat ini IVIG merupakan pilihan terapi untuk SGB. Dosis total
standar untuk suatu pemberian IVIG adalah 2gr/kg. Secara
konvensional diberikan 0,4g/kg/hari selama 5 hari.
Intravenous immunoglobulin (IVIG) bekerja dengan
menetralisir antibodi myelin yang melalui antibodi anti-idiotypic,
menurunkan sitokin proinflamasi seperti interferon-gamma (INF-
gamma), juga menghambat kaskade komplemen dan memicu
remielinisasi.
6

Pada prakteknya pemberian IVIG relatif lebih mudah dan aman


dibandingkan PE.sehingga umumnya IVIG merupakan pengobatan
yang lebih dipilih. Namun terdapat situasi dimana PE lebih dipilih
atau diindikasikan, misalnya :
o Adanya kontraindikasi penggunaan IVIG
o Intoleransi atau efek samping yang serius pada penggunaan
IVIG
o IVIG tidak tersedia sedang PE tersedia.
b) Plasma Exchange
Albumin digunakan pada PE saat plasma pasien ditukar
dengan subsitusi plasma. Dapat menghilangkan autoantibodi dan
kompleks imun dari serum. Plasma exchange diberikan bersamaan
dengan albumin (50 ml/kg) selama periode 10 hari dan
terbuktimempercepat pemulihan dan dapat membantu
menghilangkan konstituen sitotoksik dari serum. Plasma exchange
dilakukan sebanyak lima kali pada hari yang berselang. Setiap kali
PE, 40-50 ml/kg plasma dikeluarkan dan digantikan, setengahnya
dengan saline 0,9% dan setengahnya dengan albumin 5% dalam
0,9% larutan saline. Regimen replacement dengan menggunakan
albumin sama efektifnya dengan regimen yang menggunakan fresh
frozen plasma.
7

BAB II
KONSEP ASKEP

A. Pengkajian
Pengkajian terhadap komplikasi Guillain Bare Syndrome meliputi
pemantauan terus menerus terhadapat ancaman gangguan gagal napas akut
yang mengancam kehidupan. Komplikasi ini mencakup distrimia jantung.,
yang terlihat melalui pemantauan EKG dan mengobservasi klien terhadap
tanda thrombosis vena provunda dan emboli paru-paru, yang sering
mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
1) Keluhan Utama
Kelemahan otot baik kelemahan fisik secara umum maupun local
seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
2) Riwayat penyakit sekarang
Pada pengkajian klien GBS biasanya didapatkan keluhan yang
berhubungan dengan proses demielinisasi. Keluhan tersebut diantaranya
gejala-gejala neurologis diawali dengan paretesia (Kesemutan kebas) dan
kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang
tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan cepat adanya
paralisis yang lengkap.
3) Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkan klien mengalami Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA),
infeksi gastrointestinal dan tindakan bedah saraf.
Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien,
seperti pemakaian obat kortikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik,
dan reaksinya untuk menilai resistensi pemakaian antibiotik dapat
komprehensifnya pengkajian.
4) Pengkajian psikososiospritual
8

Meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk


memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kognitif, dan
perilaku klien.
5) Pemeriksaan fisik
Pada klien dengan GBS biasanya suhu tubuh normal. Penurunan
denyut nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah
jantung. Peningkatan frekuensi napas berhubungan dengan peningkatan
laju metabolisme umum dan adanya infeksi pada system pernapasan serta
akumulasi secret akibat insufisiensi pernapasan. Tekanan darah di
dapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan darah meningkat (hipertensi
transien) berhubungan dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan
parasimpatis.
a) BI (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum,
sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan peningkatan frekuensi
pernapasan karena infeksi saluran pernapasan dan yang paling sering
didapatkan pada klien GBS adalah penurunan frekuensi pernapasan
karena melemahnya fungsi otot-otot pernapasan. Palpasi biasanya
taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas
tambah seperti ronkhi pada klien dengan GBS berhubungan akumulasi
secret dari infeksi saluran napas.
b) B2 (Blood)
Pengkajian pada pasien system kardiovaskuler pada klien GBS
menunjukan bradikardi akibat penurunan fungsi parifer. Tekanan
darah didapatkan ortostatik hipotensi atau tekanan Darah (TD)
meningkat (hipertensi transien) akibat pernurunan reaksi saraf
simpatis dan parasimpatis.
c) B3 (Brain)
1) Pengkajian tingkat kesadaran
2) Pengkajian fungsi serebral
3) Pengkajian saraf cranial
9

4) Pengkajian system motorik


5) Pengkajian reflex
6) Pengkajian system sensorik
d) B4 (Bladder)
Pemeriksaan pada system perkemihan biasanya didapatkan
berkurangnya volume pengeluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
e) B5 (Bowed)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi
asam lambung. Terjadi penurunan nutrisi karena anoreksia dan
kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan
menyebabkan pemenuhan via oral jadi berkurang.
f) B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran
menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan
kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
6) Pemeriksaan diagnosis
Pemeriksaan GBS sangat bergantung pada riwayat penyakit dan
perkembangan gejala klinis dan tidak ada satu pemeriksaanpun yang dapat
memastikan GBS; pemeriksaan tersebut hanya menyingkirkan dugaan-
dugaan.
Lumbal fungsi dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya
dengan kenaikan pada minggu 4-6. Pemeriksaan konduksi saraf mencatat
trensmisi impuls sepanjang serabut saraf.
Sekitar 25% orang dengan penyakit ini mempunyai antibody baik
terhadap sitomegalovirus atau virus Epstein-Barr. Telah di tunjukan bahwa
suatu perubahan respon imun pada antigen saraf perifer pada penunjang
perkembangan gangguan.
B. Diagnosa
1) Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif
cepat otot-otot pernapasan, dan ancaman gagal napas.
10

2) Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan


perubahan frekuensi jantung ritme dan irama bradikardi.
C. Intervensi
1) Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif
cepat otot-otot pernapasan, dan ancaman gagal napas.
a) Kaji fungsi paru, adanya bunyi napas tambahan, perubahan irama dan
kedalaman, penggunaan otot-otot eksesori.
b) Evaluasi keluhan sesak napas, baik secara verbal dan non-verbal.
c) Beri ventilasi mekanik.
d) Lakukan pemeriksaan kapasitas vital pernapasan.
e) Kolaborasi: Pemberian humidifikasi oksigen liter/menit.
2) Resiko tinggi penurunan curah jantung yang berhubungan dengan
perubahan frekuensi jantung ritme dan irama bradikardi.
a) Auskultasi Tekanan Darah. Bandingkan kedua lengan, ukur dalam
keadaan berbaring, duduk, atau berdiri bila memungkinkan.
b) Evaluasi kualitas dan kesamaan nadi.
c) Catat murmur.
d) Pantau frekuensi jantung dan irama.
e) Kolaborasi: Berikan O2 tambahan sesuai indikasi.
11

DAFTAR PUSTAKA

Children, G. S. (2019). Tinjauan Pustaka Guillain-Barré Syndrome pada Anak.


25(3), 107–114.
Guillain-barre, S. (2013). HOW CITE THIS ARTICLE :
Julia fitriany, N. H. (2018). SINDROME GUILLAIN BARRE.
Nst, I. K. (2014). SINDROMA GUILLAIN-BARRE.

Anda mungkin juga menyukai