PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini, adalah:
a. Untuk memenuhi tugas untuk kegiatan belajar mengajar dalam mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah I (KMB I).
b. Memperoleh gambaran mengenai Guillan Barrre Sindrome (GBS).
c. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan
Guillan Barrre Sindrome (GBS).
1
BAB II
TINJAUAN TEORI
2
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan
penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari
sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewa-
saan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen
harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag
yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, aller-
gen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen
tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit
T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh
aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah
saraf, untuk mengaktifkan sellimfosit T dan pengambilan makrofag.
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
d. Infeksi
a) Infeksi : Misalnya, radang tenggorokan atau radang lainnya
b) Infeksi virus : Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral
yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus. Misalnya : Measles, mumps, rubela,
influenza A, influenza B, varicella zoster, infections mono
nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie).
c) Vaksin : rabies, swine flu
d) Infeksi yang lain : mycoplasma pneumonia, salmonella thyposa,
brucellosis, campylobacter jejuni.
e. Vaksinasi
f. Pembedahan
g. Penyakit sistematik
a) Keganasan, Hodgkin’s disease, carcinoma, lymphoma
3
b) Systemic lupus erythematosus
c) Tiroiditis
d) Penyakit addison
h. Kehamilan atau dalam masa nifas
Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada
pemeriksaan patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan
oleh kelainan immunobiologik.
4
Asbury dkk mengemukakan bahwa, perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera di ikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan
myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan
selubung myelin dari sel schwan dan akson.
5
2.6 Gambaran Klinis Guillan Barre Syndrome (GBS)
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70% penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan
saluran nafas atau saluran pencernaan, 1 – 3 minggu sebelumnya. Sisanya oleh
keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau
eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma, dan
setelah vaksinasi influenza.
Masa Laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya
dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara
1 - 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang
timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas,
kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua
ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.
6
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka
juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan
sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada
sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri
setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan
otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi
bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan
menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n.
laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25% penderita SGB.
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus
bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis.
Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom
ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini
disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan,
yang dijumpai pada 10-33% penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papil edema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot
yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi
cairan otak berkurang
7
7. Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit ini terdiri dari 3 fase. Fase progresif dimulai dari
onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat
sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung dari beberapa sampai 4
minggu, jarang yang melebihi 8 minggu. Segera setelah fase progresif
diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal
dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3
minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan
ekstremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan
penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
8
ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan
penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
3. Test Fungsi Paru
Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan PaO2,
meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH).
2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien dengan kasus guillan barre
syndrom, yaitu:
1. Terapi
GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi
diunitintensif care. Pasien yang mengalami masalah pernafasan memer-
lukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama. Pada
sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui system imunitas (imunoterapi).
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau pertukaran plasma bertujuan untuk mengeluarkan factor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memper-
lihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan :
Immunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih mengun-
tungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping atau
komplikasi lebih ringan. Dosis pemberian 0.4 gr/kg BB/hari selama 3
9
hari dilanjutkan dengan dosis perawatan 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.
Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
- 6 merkaptopurin (6-MP)
- Azathioprine
- Cyclophossphamid
Efek samping dari obat – obat ini adalah : alopecia, muntah, mual
dan sakit kepala.
2. Perawatan
Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus
digestivus (bowel), pernafasan (breathing), badan dan kulit (body and skin
care), mata dan mulut, makanan (nutrition and fluid balance). Bila ada
tanda-tanda kelumpuhan otot pernafasan harus secepatnya dirujuk atau di
konsultasikan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat
atau vital kapasitas <15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk
mengetahui dengan cepat gangguan otot pernafasan, yang terdapat dua
bentuk adalah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspnea, tetapi
kelainan ritme: cheyne-stroke.
a. Perawatan pernapasan, seperti antisipasi kegagalan pernapasan,
persiapan ventilator dan pemeriksaan AGD
b. Monitoring hemodinamik dan kardiovaskuler
c. Management bowel dan bladder
d. Support nutrisi
e. Perawatan immobilisasi
f. Plasmapheresis seperti penggantian plasma untuk meningkatkan
kemampuan motorik
g. Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid, immunosuppressive
dan antikoagulan
h. Pembedahan tracheostomy dan indikasi kegagalan pernapasan
2.10 Komplikasi
10
a. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolik
b. Tetraparese oleh karena penyebab lain
c. Hipokalemia
d. Miasternia gravis
e. Adhoc commite of GBS
f. Tick paralysis
g. Kelumpuhan otot pernafasan
h. Dekubitus
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
11
3.1 Pengkajian
a. Anamnesa
Identitas klien
Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi
atau kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
b. Pemeriksaan Fisik
B1 Breathing
Dispnea (sesak), pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas
vital paru, reflek batuk turun, risiko akumulasi secret.
B2 Blooding
Hipotensi/hipertensi, takikardi/bradikardi, wajah kemerahan.
B3 Brain
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ektremitas sensasi nyeri turun,
perubahan ketajaman pengelihatan, gangguan keseimbangan tubuh,
afasis (kemampuan bicara turun), konstipasi sampai hilangnya
sensasi anal.
B4 Bladder
Menurunnya fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi
saat berkemih.
B5 Bowel
Kesulitan menelan dan mengunyah, kelemahan otot abdomen,
peristaltik usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
B6 Bone
Gangguan mobilitas fisik-risiko cedera atau fraktur tulang, hemiplegi,
paraplegi.
c. Pengelompokan Data
Data Subjektif :
Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
Sebelumnya dia mengalami diare dan demam kira-kira 1 minggu
sebelumnya.
Tidak mampu menelan air liurnya
12
Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga, lari
pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya.
Data Objektif
Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda objektif yang menun-
jukan stroke
Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya dan akhirnya meng-
gunakan alat bantu pernafasan (ventilator)
Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi
dan tekanan meningkat, leukositosis.
d. Analisa Data (Masalah Etiologi)
DS
Tidak mampu menelan air liurnya
DO
Pernafasan cepat, dangkal dan irreguler
Bunyi paru wheezing +/+
Pengembangan dada tidak maksimal
GDA kurang dari normal
Menggunakan ventilator pola nafas dan pertukaran gas tidak efektif
Kelemahan otot-otot bantu pernafasan
DS
Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
DO
Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya
Kekuatan otot imobilisasi paralisis
13
f. Resiko terjadi trauma
g. Resiko terjadi disuse syndrome
h. Kecemasan pada orang tua
14
terjadi infeksi b.d diharapkan : b. Lakukan prinsip steril pada
pemakaian alat Tanda-tanda saat suction
perawatan seperti infeksi (-) c. Rawat tempat insersi infus
kateter dan infus leiko 3-5 X 10 dan kateter setiap hari
4, Pada px d. Ganti kateter setiap 72 jam
urine ery (-),
Kolaborasi :
sylinder (-),
Suhu tubuh 1. Pengggantian ETT dengan
36,5-37 oC Tracheostomi
Tanda-tanda 2. Penggantian insersi surflo
radang pada dengan vanocath
lokasi insersi 3. Pemeriksaan leuko
alat perawatan 4. Pemeriksaan albumin
(-) 5. Lab UL
6. Pemberian profilaksis Amox
3 X 500 mg dan Cloxacilin 3
X 250 mg
15
Kolaborasi:
1. Alinamin F 3 X 1 ampul
2. Sonde pediasuer 6 X 50 cc
3. Latihan fisik fasif oleh
fisiotherapis
BAB IV
16
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB)
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis. Guillan Barre Sindrome dapat menyebabkan
perubahan status kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan
komplikasi yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan kasus
tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.
17