Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB)
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi
antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun
Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate
1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan
antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Pada pasien yang
mengalami miastenia gravis akan rentan terhadap komplikasi-komplikasi yang
sangat berbahaya bagi penderitanya, misalnya: kegagalan jantung, kegagalan
pernapasan, infeksi dan sepsis, trombosis vena, serta emboli paru, oleh karena itu
perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

1.2 Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini, adalah:
a. Untuk memenuhi tugas untuk kegiatan belajar mengajar dalam mata
kuliah Keperawatan Medikal Bedah I (KMB I).
b. Memperoleh gambaran mengenai Guillan Barrre Sindrome (GBS).
c. Dapat memahami tentang konsep asuhan keperawatan pasien dengan
Guillan Barrre Sindrome (GBS).

1
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Guillan Barre Syndrome (GBS)


Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB) adalah
proses peradangan akut dengan karakteristik kelemahan motorik dan paralisis
yang disebabkan karena demylin pada sarat perifer. Sindrom penyakit ini berupa
paralisis flaccid asenden simetris yang berkembang secara cepat, biasanya
mengikuti infeksi virus. Pada kondisi ini peran perawat adalah memberikan
perawatan proses rehabilitasi mencegah komplikasi, memenuhi kebutuhan ADL
dan support emosional.
Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya
paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.
Guillan Barre Syndrome (GBS) mempunyai banyak sinonim (istilah lain),
antara lain :
a. Polineuritis akut pasca infeksi
b. Polineuritis akut toksik
c. Polineuritis febril
d. Poliradikulopati
e. Acute ascending paralysis.

2.2 Etiologi Guillan Barre Syndrome (GBS)


Secara pasti penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan
beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya SGB, antara lain :
a. Penyakit akut, trauma, pembedahan dan imunisasi 1-4 minggu sebelum
tanda dan gejala GBS (15% dari kasus)
b. Di dahului Infeksi saluran pernapasan akut, penyakit gastrointestinal
(50% dari kasus)
c. Reaksi immunologi

2
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan
penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari
sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewa-
saan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen
harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag
yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, aller-
gen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen
tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit 
T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan
substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh
aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah
saraf, untuk mengaktifkan sellimfosit T dan pengambilan makrofag.
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
d. Infeksi
a) Infeksi : Misalnya, radang tenggorokan atau radang lainnya
b) Infeksi virus : Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral
yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling
sering adalah infeksi virus. Misalnya : Measles, mumps, rubela,
influenza A, influenza B, varicella zoster, infections mono
nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf, coxakie).
c) Vaksin : rabies, swine flu
d) Infeksi yang lain : mycoplasma pneumonia, salmonella thyposa,
brucellosis, campylobacter jejuni.
e. Vaksinasi
f. Pembedahan
g. Penyakit sistematik
a) Keganasan, Hodgkin’s disease, carcinoma, lymphoma

3
b) Systemic lupus erythematosus
c) Tiroiditis
d) Penyakit addison
h. Kehamilan atau dalam masa nifas
Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada
pemeriksaan patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan
oleh kelainan immunobiologik.

2.3 Patogenesis Guillan Barre Syndrome (GBS)


Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti
bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf
tepi pada sindroma ini adalah :
1. Didapatkannya antibody atau adanya respon kekebalan seluler (celli
mediated immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf
tepi.

2.4 Patologi Guillan Barre Syndrome (GBS)


Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan
saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan
pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian
timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat
beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas,
poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan
selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke-66, sebagian
radiks dan saraf tepi telah hancur.

4
Asbury dkk mengemukakan bahwa, perubahan pertama yang terjadi adalah
infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan
epineural. Keadaan ini segera di ikuti demyelinisasi segmental. Bila
peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan
myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan
selubung myelin dari sel schwan dan akson.

2.5 Patofisiologi Guillan Barre Syndrome (GBS)


Kerusakan myelin diantara Node of Ranvier ditemukan pada sebagian besar
kasus GBS, sehinga konduksi impuls akan lambat dan terganggu. Myelin
berfungsi menghantarkan impuls yang pada respon motorik berasal dari otak.
Keadaan ini mengakibatkan kelemahan/paralisi pada ekstermitas bawah kemudian
berjalan ke tubuh bagian atas. Bila terjadi kompresi dan demyelin pada saraf
bagian interkosta dan diafragma maka berpotensi terhadap gangguan pernapasan.
Kerusakan myelin menurut beberapa teori disebabkan karena infiltrasi virus ke
spinal dan terkadang pada akar-akar saraf kranial, yang kemudian menimbulkan
respon peradangan. Pada tanda awal terjadi edema, kompresi akar saraf sampai
terjadi kerusakan myelin. Teori lain mengatakan bahwa kerusakan myelin karena
respon autoimun dari tubuh yang disebabkan oleh toksin atau agen infeksi.
Fase Sindroma Guillain Barre, adalah sebagai berikut :
1. Fase Progresif
Fase ini dimulai dari terjangkit penyakit. Selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal, belangsung beberapa hari
sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.
2. Fase Plateau
Fase ini telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini biasanya
hanya 2 hari sampai 3 minggu.
3. Fase Rekonvalesen (Perbaikan)
Fase ini ditandai dengan terjadi perbaikan kelumpuhan ekstremitas
yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalan penyakit
Sindroma Guillain Barre ini biasanya berlangsung dalam kurun 6
bulan.

5
2.6 Gambaran Klinis Guillan Barre Syndrome (GBS)
Penyakit infeksi dan keadaan prodromal :
Pada 60-70% penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan
saluran nafas atau saluran pencernaan, 1 – 3 minggu sebelumnya. Sisanya oleh
keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau
eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma, dan
setelah vaksinasi influenza.
Masa Laten
Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya
dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara
1 - 28 hari, rata-rata 9 hari. Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang
timbul.
Keluhan utama
Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas,
kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua
ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak.

2.7 Manifestasi Klinis Guillan Barre Syndrome (GBS)


1. Kelumpuhan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe
lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai
dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke
badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa
keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke
badan dan saraf kranialis.
Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau
arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih
berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal
lebih berat dari bagian proksimal.
2. Gangguan sensibilitas

6
Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka
juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan
sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada
sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri
setelah suatu aktifitas fisik.
3. Saraf Kranialis
Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan
otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi
bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan
menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus
yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n.
laringeus.
4. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25% penderita SGB.
Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus
bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi
yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis.
Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai. Gangguan otonom
ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
5. Kegagalan pernafasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat
berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini
disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan,
yang dijumpai pada 10-33% penderita .
6. Papiledema
Kadang-kadang dijumpai papil edema, penyebabnya belum diketahui
dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot
yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi
cairan otak berkurang

7
7. Perjalanan penyakit
Perjalanan penyakit ini terdiri dari 3 fase. Fase progresif dimulai dari
onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat
sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung dari beberapa sampai 4
minggu, jarang yang melebihi 8 minggu. Segera setelah fase progresif
diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal
dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3
minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu.
Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan
ekstremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan
penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

2.8 Pemeriksaan Diagnostik Guillan Barre Syndrome (GBS)


1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein
dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel
dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sitoalbuminik. Peninggian
kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset
penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel
mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil
penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak.
Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada
beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate
Antidiuretik Hormone).
2. Pemeriksaan elektromyography (EMG)
Gambaran elektro diagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah  :
a. Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat
b. Distal motor retensi memanjang
c. Kecepatan hantaran gelombang-F melambat, menunjukkan perlam-
batan pada segmen proksimal dan radiks saraf.
d. Disamping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektro
fisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila

8
ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan
penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .
3. Test Fungsi Paru
Menurunnya kapasitas vital, perubahan nilai AGD (penurunan PaO2,
meningkatnya PaCO2 atau peningkatan pH).

2.9 Penatalaksanaan
Penatalaksaan yang dilakukan pada pasien dengan kasus guillan barre
syndrom, yaitu:
1. Terapi
GBS dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi
diunitintensif care. Pasien yang mengalami masalah pernafasan memer-
lukan ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama. Pada
sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh
sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka
kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus
diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat penyembuhan melalui system imunitas (imunoterapi).
Plasmaparesis
Plasmaparesis atau pertukaran plasma bertujuan untuk mengeluarkan factor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memper-
lihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat,
penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang
lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml
plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila
diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
Pengobatan imunosupresan :
 Immunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih mengun-
tungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping atau
komplikasi lebih ringan. Dosis pemberian 0.4 gr/kg BB/hari selama 3

9
hari dilanjutkan dengan dosis perawatan 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari
sampai sembuh.
 Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
- 6 merkaptopurin (6-MP)
- Azathioprine
- Cyclophossphamid
Efek samping dari obat – obat ini adalah : alopecia, muntah, mual
dan sakit kepala.
2. Perawatan
Perawatan umum ditujukan pada kandung seni (bladder), traktus
digestivus (bowel), pernafasan (breathing), badan dan kulit (body and skin
care), mata dan mulut, makanan (nutrition and fluid balance). Bila ada
tanda-tanda kelumpuhan otot pernafasan harus secepatnya dirujuk atau di
konsultasikan kebagian anesthesia bila PO2 menurun dan PCO2 meningkat
atau vital kapasitas <15 1/menit. Apakah memerlukan respirator untuk
mengetahui dengan cepat gangguan otot pernafasan, yang terdapat dua
bentuk adalah sentral dan perifer. Yang sentral tidak ada dyspnea, tetapi
kelainan ritme: cheyne-stroke.
a. Perawatan pernapasan, seperti antisipasi kegagalan pernapasan,
persiapan ventilator dan pemeriksaan AGD
b. Monitoring hemodinamik dan kardiovaskuler
c. Management bowel dan bladder
d. Support nutrisi
e. Perawatan immobilisasi
f. Plasmapheresis seperti penggantian plasma untuk meningkatkan
kemampuan motorik
g. Pengobatan dengan pemberian kortikosteroid, immunosuppressive
dan antikoagulan
h. Pembedahan tracheostomy dan indikasi kegagalan pernapasan

2.10 Komplikasi

10
a. Polinneuropatia terutama oleh karena defisiensi atau metabolik
b. Tetraparese oleh karena penyebab lain
c. Hipokalemia
d. Miasternia gravis
e. Adhoc commite of GBS
f. Tick paralysis
g. Kelumpuhan otot pernafasan
h. Dekubitus

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

11
3.1 Pengkajian
a. Anamnesa
 Identitas klien
 Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
 Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi
atau kelumpuhan, upaya yang dilakukan selama menderita penyakit.
b. Pemeriksaan Fisik
 B1 Breathing
Dispnea (sesak), pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas
vital paru, reflek batuk turun, risiko akumulasi secret.
 B2 Blooding
Hipotensi/hipertensi, takikardi/bradikardi, wajah kemerahan.
 B3 Brain
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ektremitas sensasi nyeri turun,
perubahan ketajaman pengelihatan, gangguan keseimbangan tubuh,
afasis (kemampuan bicara turun), konstipasi sampai hilangnya
sensasi anal.
 B4 Bladder
Menurunnya fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi
saat berkemih.
 B5 Bowel
Kesulitan menelan dan mengunyah, kelemahan otot abdomen,
peristaltik usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
 B6 Bone
Gangguan mobilitas fisik-risiko cedera atau fraktur tulang, hemiplegi,
paraplegi.
c. Pengelompokan Data
Data Subjektif :
 Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
 Sebelumnya dia mengalami diare dan demam kira-kira 1 minggu
sebelumnya.
 Tidak mampu menelan air liurnya

12
 Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga, lari
pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya.
Data Objektif
 Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda objektif yang menun-
jukan stroke
 Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya dan akhirnya meng-
gunakan alat bantu pernafasan (ventilator)
 Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi
dan tekanan meningkat, leukositosis.
d. Analisa Data (Masalah Etiologi)
DS
 Tidak mampu menelan air liurnya
DO
 Pernafasan cepat, dangkal dan irreguler
 Bunyi paru wheezing +/+
 Pengembangan dada tidak maksimal
 GDA kurang dari normal
 Menggunakan ventilator pola nafas dan pertukaran gas tidak efektif
 Kelemahan otot-otot bantu pernafasan
DS
 Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan
DO
 Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya
 Kekuatan otot imobilisasi paralisis

3.2 Diagnosa Keperawatan


a. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
b. Resiko tejadi gangguan pertukaran gas
c. Ketidakefektifan pola nafas
d. Gangguan komunikasi verbal
e. Resiko tinggi terjadi infeksi

13
f. Resiko terjadi trauma
g. Resiko terjadi disuse syndrome
h. Kecemasan pada orang tua

3.3 Konsep Rencana Keperawatan


No Diagnosa
Tujuan Tindakan
. Keperawatan
1. Resiko terjadi Setelah dirawat a. Lakukan perawatan EET
bersihan saluran sekret bersih, setiap 2 jam
nafas tidak efektif saliva bersih, b. Lakukan auskultasi sebelum
b.d penurunan stridor (-), dan setelah tindakan
reflek menelan dan sumbatan tidak fisiotherapi dan suction
peningkatan terjadi c. Lakukan fisiotherapi nafas
produksi saliva dan suction setiap 3 jam jika
terdengar stridor / SpO2 <
95%
d. Monitor status hidrasi
e. Monitor TTV sebelum dan
sesudah tindakan
f. Kolaborasi pemberian
bisolvon 3x1 tab
2. Resiko terjadi Setelah dirawat : a. Lakukan pemeriksaan BGA
gangguan  BGA dalam setiap 24 jam
pertukaran gas b.d batas normal b. Monitor SpO2 setiap jam
adanya gangguan  Wh -/-, Rh -/-, c. Monitor respirasi dan
fungsi paru sebagai Suara paru cyanosis
efek adanya +/+ d. Kolaborasi :
atelektasis paru.  Cyanosis (-),  Setting ventilator SIMV
SpO2 > 95% PS 15, PEEP +2, FiO2 40
%, I : E 1:2
 Analisa hasil BGA
3. Resiko tinggi Setelah dirawat a. Rawat ETT setiap hari

14
terjadi infeksi b.d diharapkan : b. Lakukan prinsip steril pada
pemakaian alat  Tanda-tanda saat suction
perawatan seperti infeksi (-) c. Rawat tempat insersi infus
kateter dan infus  leiko 3-5 X 10 dan kateter setiap hari
4, Pada px d. Ganti kateter setiap 72 jam
urine ery (-),
Kolaborasi :
sylinder (-),
 Suhu tubuh 1. Pengggantian ETT dengan
36,5-37 oC Tracheostomi
 Tanda-tanda 2. Penggantian insersi surflo
radang pada dengan vanocath
lokasi insersi 3. Pemeriksaan leuko
alat perawatan 4. Pemeriksaan albumin
(-) 5. Lab UL
6. Pemberian profilaksis Amox
3 X 500 mg dan Cloxacilin 3
X 250 mg

4. Resiko terjadi Setelah dirawat : a. Bantu Bab dab Bak


disuse syndrome  Kontraktur (-) b. Monitor intake dan output
b.d kelemahan  Nutrisi cairan dan lakukan balance
tubuh sebagai efek terpenuhi setia 24 jam
perjalanan  Bab dan bak c. Mandikan klien setiap hari
penyakit GBS terbantu d. Lakukan mirimg kanan dan

 Personal kiri setiap 2 jam

hygiene baik e. Berikan latihan pasif 2 kali


sehari
f. Kaji tanda-tanda pnemoni
orthostatic
g. Monitor status neurologi
setiap 8 jam

15
Kolaborasi:

1. Alinamin F 3 X 1 ampul
2. Sonde pediasuer 6 X 50 cc
3. Latihan fisik fasif oleh
fisiotherapis

5. Kecemasan pada Setelah dirawat a. He tentang penyakit GBS,


orang tua b.d klien dapat perjalanan penyakit dan
ancaman kematian menerima penanganannya.
pada anak serta keadaan dan b. He tentang perawatan dan
perawatan yang kooperatif pemasangan alat perawatan
lama terhadap tindakan alternatif sehubungan dengan
yang akan proses perawatan yang lama
dilakukan seperti pemasangan
tracheostomi dan vanocath
c. Meminta agar keluarga
mengisi informed konsen dari
tindakan yang akan dilakukan
oleh petugas

BAB IV

16
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Guillan Barre Syndrome atau Sindrom Guillan Barre (GBS atau SGB)
merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis. Guillan Barre Sindrome dapat menyebabkan
perubahan status kesehatan pada penderitanya serta dapat menimbulkan
komplikasi yang dapat memperparah kondisi prognosis pada klien dengan kasus
tersebut. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius terhadap kasus ini.

17

Anda mungkin juga menyukai