PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Guillain Bare’ Syndrom (GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut
dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup
demielinasi dan degenerasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak
diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa
peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus
yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ terjadi dengan frekuensi yang sama
pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada
kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia.
Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum
awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
BAB II
LANDASAN TEORI
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Pengkajian
Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya
yang dilakukan selama menderita penyakit.
2. Pemeriksaan Fisik
B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru,
reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman
penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu
badan.
B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi
sampai hilangnya sensasi anal.
B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.
Pemeriksaan FT
• Anamnesis
– Keluhan utama pasien
• Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri
• Paraestasia jari kaki s/d tungkai
• Progresive weakness > 1 Ekstremitas
• Hilangnya refleks tendon
– Pendukung
• Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu
• Gangguan sensory Ringan
• Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak
• Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil
• Tidak ada demam
• Inspeksi
– Tampak kelelahan pada wajah
– Otot-otot bibir terkesan bengkak
– Kemungkinan adanya atropi
– Kemungkinan adanya tropic change
• Palpasi
– Nyeri tekan pada otot
• Auskultasi
– Breathsound terdengar cepat
• Vital Sign
– Blood Preasure
• Labil (selalu berubah-ubah)
– Heart Rate
• Tachicardy
• Cardiac arythmia
– Respiratory Rate
• Hyperventilasi
Prinsip Penanganan
Pemeliharaan sistem pernapasan
Mencegah kontraktur
Pemeliharaan ROM
Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
Re-edukasi otot
Dilakukan sedini mungkin
• Deep breathing Exercise
• Mobilisasi ROM
• Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai
• Change position untuk mencegah terjadinya decubitus
Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untukmencegah kontraktur
Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah
Edukasi terhadap keluarga
3.2 Diagnosa keperawatan
1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal
4. Rencana keperawatan
1. Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan
peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %
- Monitor status hidrasi
- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab
2. Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek
adanya atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %
Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
• Analisa hasil BGA
3. Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
• Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
• Penggantian insersi surflo dengan vanocath
• Pemeriksaan leuko
• Pemeriksaan albumin
• Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg
4. Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan
penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
• Alinamin F 3 X 1 ampul
BAB 1V
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang
mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu
kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan
kadang-kadang juga muka
4.2 Saran
Penulis menghimbau kepada semua pembaca agar selalu menjaga kebersihan kesehatan ,
sebaliknya apabila seorang terkena Sindroma Guillain Barre (SGB) harus diobati secara
tuntas agar tidak terjadi infeksi pada prosesus mastoiditis yang dapat komplikasi yang lebih
parah.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
2.16 Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-
310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
2.17 Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan
Anak, Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.