Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

    Guillain Bare’ Syndrom (GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut
dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup
demielinasi dan degenerasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak
diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa
peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus
yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’ terjadi dengan frekuensi yang sama
pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada
kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia.
Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum
awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal. 
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Definisi Guillain Barre Syndrom


Guillain Bare Syndrome didefinisikan sebagai sebuah penyakit demyelinisasi
neurologist. Terjadi secara akut, berkembang dengan cepat. Biasanya mengikuti pola
ascending (merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan perifer. Terkadang
mengenai saraf-saraf cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan variabel yang tinggi. 
(Symposium Guillain BarreSyndrom, di Brussel, 1937).
Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang
memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya
paralisis sementara ( Doenges:369).

2.2. Etiologi Guillain Barre Syndrom


Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a.    Infeksi
b.    Vaksinasi
c.    Pembedahan
d.    Penyakit sistemik
e.    Keganasan
f.    Systemic lupus erythematosus
g.    Tiroiditis
h.    Penyakit addison
i.    Kehamilan atau dalam masa nifas
2.3. Manifestasi klinis Guillain Barre Syndrom
Sulit dideteksi pada awal kejadian, biasanya : Gejala berupa flu, demam, headache,
pegal dan 10 hari kemudian muncul gejala lemah. Selang 1-4 minggu, sering muncul
gejala berupa:
a.    Paraestesia (rasa baal, kesemutan)
b.    Otot-otot lemas (pada tungkai, tubuh dan wajah)
c.    Saraf-saraf cranialis sering terjadi patologi, shg  ganguan gerak bola mata, mimik
wajah, bicara,
d.    Gangguan pernafasan (kesulitan inspirasi)
e.    Ganggua saraf-saraf otonom (simpatis dan para simpatis)
f.    Gangguan frekuensi jantung
g.    Ganggua irama jantung
h.    Gangguan tekanan darah
i.    Gangguan proprioseptive dan persepsi terhadap tubuh diikuti rasa nyeri pada bagian
punggung dan daerah lainnya.

2.4. Klasifikasi Guillain Barre Syndrom


a.    Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang
paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh
respon autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b.    Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa
terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala,
yakni oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90%
kasus.
c.    Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang
nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan
oleh respon autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini
musiman dan penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-
GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
d.    Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga
menyerang aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan
kerusakan akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e.    Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang;
dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular
dan disritmia.
f.     Ensefalitis batang otak Bickerstaff’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,
ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff,
1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase
remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons,
midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

2.5. Fase Guillain Barre Syndrom


Perjalanan penyakit ini terdiri dari 3 fase,yaitu:
a.    Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis
pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan
fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
b.    Fase plateau. 
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus,
serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang
serta kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses
penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien
langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain
mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase
penyembuhan.
c.    Fase penyembuhan 
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibody yang
menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal,
serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang
masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang beregenerasi. Lama fase ini
juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja
kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan
samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari
derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.

2.6. Patofisiologi Guillain Barre Syndrom


Guillain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan system imun ewat
mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated
demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responya
terhadap antigen.
Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf
perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan system
penghantaran implus terganggu.
Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer
dan myelin saraf perifer, maka semua saraf dan cabangnya merupakan target potensial,
dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok
konduksi atau karena axor telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses
remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setyelah proses keradangan terjadi

2.7. Komplikasi Guillain Barre Syndrom


a.    Kegagalan jantung
b.    Kegagalan pernapasan
c.    Infeksi dan sepsis
d.    Trombosis vena
e.    Emboli paru

2.8. Pemeriksaan Diagnostik


a.    Cairan serebrospinalis: meningkatnya kadar protein, limposit normal
b.    Elektromyografi: menurunnya konduksi saraf
c.    Test fungsi paru: menurunya kapasitas vital, perubahan peningkatan pH.

2.9. Pemeriksaan Penunjang Guillain Barre Syndrom.


a.    Cerebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah
protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel).
Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah
beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis
mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya
pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya
protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
a.    Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf,
antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan
prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal
saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS
yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan
berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan
potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan
SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan
dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien
GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10%
penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode
penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan
denervasi EMG.
b.    Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke
bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif
penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju
endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah
satu gejala.
b.    Dapat dijumpai respon hipersensitivitas antibodi tipe lambat
Dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgA, dan IgM, akibat demyelinasi saraf
pada kultur jaringan.Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus,
menunjukkan adanya hepatitis viral yang akut atau sedang berlangsung; umumnya
jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun akibat infeksi CMV ataupun EBV.
c.    Elektrokardiografi (EKG)
Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T
akan mendatar atauinverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang
dijumpai, namun tidak sering.
d.    Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru)
Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending).
Penatalaksanaan Guillain Bare Syndrome
a.    Penatalaksanaan Keperawatan ( Perawatan Supportif)
a).    Respirasi
Monitor ketat frekuensi dan pola nafas yaitu monitor oksimetri dan AGD. Pernafasan
mekanik, perawatan pasien dengan ventilator mekanik.
b).    Kardiovaskuler : monitor ketat frekuensi, irama, kekuatan denyut nadi (HR ) dan
tekanan darah (blood pressure ).
c).    Pemenuhan kebutuhan cairan, elektrolit dan nutrisi.
d).    Perawatan secara umum :
- physioterapi
- perawatan pada bagian-bagian tubuh yang tertekan
- pertahankan ROM sendi
- pertahankan fungsi paru
- kultur urine dan sputum tiap 2 minggu
- pencegahan terhadap tromboemboli
- pemberian antidepressant jika pasien depresi
b.    Penatalaksanaan Medis
a).    Pengobatan Spesifik
Plasmas exchange (plasmaphoresis) lebih efektif dalam 7 hari dari timbulnya serangan /
gejala. Diperlukan filter khusus yang menyerupai filter pada dialisa ginjal. Filter ini
digunakan untuk menyaring keluar antibodi-antibodi (merupakan media dari system imun)
yang menyerang dan merusak lapisan myelin dan saraf-saraf perifer. Tak ada pedoman yang
pasti dalam melakukan tindakan ini,namun umumnya sekitar 3-5 liter dari plasma pasien
disaring keluar dan digantikan pada waktu yang sama dengan plasma atau plasma + normal
saline. Setiap hari  setelah terapi selesai, pasien diberi  ± 4-5 unit FFP (Fresh Frozen  Plasma)
untuk menggantikan factor pembeku darah yang dapat ikut tersaring keluar. Penggantian
plasma diharapkan dilakukan setiap hari selama 3-5 hari dan biasanya berhasil  dengan sangat
baik, namun jika pasien tidak berespon terhadap terapi ini  sampai hari ke lima maka terapi /
tindakan ini tidak diulangi. Tindakan penggantian plasma ini telah terbukti berhasil mencegah
pasien menggunakan ventilator atau mengurangi lamanya pasien menggunakan
ventilator.Masalah yang timbul  dengan tindakan penggantian plasma antara lain :
o    Biayanya mahal.
o    Dapat menyebabkan hipotensi, arythmia, haematoma, thrombus dan komplikasi yang
mengarah terjadinya sepsis.
o    Membutuhkan perawat yang trampil.
b).    Pemberian immunoglobulin secara intravena yang diberikan dengan dosis 0,4 g/kg
selama 5 hari berturut – turut.
c).    Cairan , elektrolit dan nutrisi.
d).    Sedative dan analgetik.

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1    Pengkajian
1.      Pengkajian
  Identitas klien : meliputi nama, alamat, umur, jenis kelamin, status
  Keluhan utama : kelumpuhan dan kelemahan
  Riwayat keperawatan : sejak kapan, semakin memburuknya kondisi / kelumpuhan, upaya
yang dilakukan selama menderita penyakit.
2.      Pemeriksaan Fisik
  B1 (Breathing)
Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru,
reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
  B2 (Bleeding)
Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
  B3 (Brain)
Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman
penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu
badan.
  B4 (Bladder)
Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
  B5 ( Bowel)
Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi
sampai hilangnya sensasi anal.
  B6 (Bone)
Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.

Pemeriksaan FT
•         Anamnesis
–        Keluhan utama pasien
•         Rasa lemas seluruh badan dan disertai adanya rasa nyeri
•         Paraestasia jari kaki s/d tungkai
•         Progresive weakness > 1 Ekstremitas
•         Hilangnya refleks tendon
–        Pendukung
•         Weakness berkembang cepat dalam 4 minggu
•         Gangguan sensory Ringan
•         Wajah nampak lelah meliputi otot-otot bibir terkesan bengkak
•         Tachicardi, cardiac arytmia, Tekanan Darah labil
•         Tidak ada demam
•         Inspeksi
–        Tampak kelelahan pada wajah
–        Otot-otot bibir terkesan bengkak
–        Kemungkinan adanya atropi
–        Kemungkinan adanya tropic change
•         Palpasi
–        Nyeri tekan pada otot
•         Auskultasi
–        Breathsound terdengar cepat
•         Vital Sign
–        Blood Preasure
•         Labil (selalu berubah-ubah)
–        Heart Rate
•         Tachicardy
•         Cardiac arythmia
–        Respiratory Rate
•         Hyperventilasi

Pemeriksaan Fungsi Gerak  Dasar


•         Aktif
–        Kekuatan otot
•         Pasif
–        Lingkup Gerak Sendi, endfeel

•         Tes Isometrik Melawan Tahanan


–        Pada ketiga tes tersebut dominan menunjukkan adany kelemahan.
–        Gangguan sendi dimungkinkan pada kasus yang telah lama

Prinsip Penanganan
  Pemeliharaan sistem pernapasan
   Mencegah kontraktur
   Pemeliharaan ROM
   Pemeliharaan otot-otot besar yng denervated
   Re-edukasi otot
   Dilakukan sedini mungkin
•         Deep breathing Exercise
•         Mobilisasi ROM
•         Monitor Kekuatan Otot hingga latihan ktif dapat dimulai
•         Change position untuk mencegah terjadinya decubitus
  Gerak pasif general ekstermitas sebatas toleransi nyeri untukmencegah kontraktur
   Gentle massage untuk memperlancar sirkulasi darah
   Edukasi terhadap keluarga
3.2    Diagnosa keperawatan
1. Resiko terjadi ketidakefektifan bersihan jalan nafas
2. Resiko tejadi ggn pertukaran gas
3. Ketidakefektifan pola nafas
4. Ggn komunikasi verbal

4. Rencana keperawatan

1.    Dx : Resiko terjadi bersihan saluran nafas tidak efektif b.d penurunan reflek menelan dan
peningkatan produksi saliva
Tujuan : Setelah dirawat sekret bersih, saliva bersih, stridor (-), sumbatan tidak terjadi
Tindakan:
- Lakukan perawatan EET setiap 2 jam
- Lakukan auskultasi sebelum dan setelah tindakan fisiotherapi dan suction
- Lakukan fisiotherapi nafas dan suction setiap 3 jam jika terdengar stridor atau SpO2 < 95 %
- Monitor status hidrasi
- Monitor vital sign sebelum dan setelah tindakan
- Kolaborasi pemberian bisolvon 3 X 1 tab

2.    Dx : Resiko terjadi ggn pertukaran gas b.d dengan adanya ggn fungsi paru sebagai efek
adanya atelektasis paru
Tujuan : Setelah dirawat
- BGA dalam batas normal
- Wh -/-, Rh -/-, suara paru +/+
- Cyanosis (-), SpO2 > 95 %

Tindakan:
- Lakukan pemeriksaan BGA setiap 24 jam
- Monitor SpO2 setiap jam
- Monitor respirasi dan cyanosis
- Kolaborasi :
• Seting ventilator SIMV PS 15, PEEP +2, FiO2 40 %, I : E 1:2
• Analisa hasil BGA
3.    Dx. : Resiko tinggi terjadi infeksi b.d pemakaian alat perawatan seperti kateter dan infus
Tujuan : setelah dirawat diharapkan
- Tanda-tanda infeksi (-)
• leiko 3-5 X 10 4, Pada px urine ery (-), sylinder (-),
• Suhu tubuh 36,5-37 oC
• Tanda-tanda radang pada lokasi insersi alat perawatan (-)
Tindakan :
- Rawat ETT setiap hari
-Lakukan prinsip steril pada saat suction
- Rawat tempat insersi infus dan kateter setiap hari
- Ganti kateter setiap 72 jam
- Kolaborasi :
• Pengggantian ETT dengan Tracheostomi
• Penggantian insersi surflo dengan vanocath
• Pemeriksaan leuko
• Pemeriksaan albumin
• Lab UL
• Pemberian profilaksis Amox 3 X 500 mg dan Cloxacilin 3 X 250 mg

4.    Dx : Resiko terjadi disuse syndrome b.d kelemahan tubuh sebagai efek perjalanan
penyakit GBS
Tujuan : Setelah dirawat
-Kontraktur (-)
- Nutrisi terpenuhi
- Bab dan bak terbantu
- Personal hygiene baik
Tindakan:
- Bantu Bab dab Bak
- Monitor intake dan output cairan dan lakukan balance setia 24 jam
- Mandikan klien setiap hari
- Lakukan mirimg kanan dan kiri setiap 2 jam
- Berikan latihan pasif 2 kali sehari
- Kaji tanda-tanda pnemoni orthostatik
- Monitor status neurologi setiap 8 jam
- Kolaborasi:
• Alinamin F 3 X 1 ampul

 BAB 1V
PENUTUP

4.1    Kesimpulan
Sindroma Guillain Barre (SGB) adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang
mengenai radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu
kelumpuhan yang simetris tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan
kadang-kadang juga muka

4.2    Saran
Penulis menghimbau kepada semua pembaca agar selalu menjaga kebersihan kesehatan ,
sebaliknya apabila seorang terkena Sindroma Guillain Barre (SGB)  harus diobati secara
tuntas agar tidak terjadi infeksi pada prosesus mastoiditis yang dapat komplikasi yang lebih
parah.

BAB V
DAFTAR PUSTAKA

2.12     Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan 


Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC

2.13    Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk


Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC

2.14    Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated


polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta:  EGC
2.15    Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal
173-179, Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.

2.16    Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-
310, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

2.17    Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan
Anak, Jilid II : ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai