Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Medikal di
Ruang 26i RSUD. Dr. Saiful Anwar Malang
OLEH :
SHINTA ARDIANA PUSPITASARI
115070201111021
KELOMPOK 2
REGULER 1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Guillain Bare Syndrom ( GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh
awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit
mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial.
Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin
sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus,
tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare terjadi
dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak
yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa
berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai
penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal
dari pernapasan atau gastrointestinal.
Sindroma Guillain-Barre (GBS) atau disebut juga dengan radang polineuropati
demyelinasi akut (AIDP), poliradikuloneuritis idiopatik akut, polyneuritis idiopatik akut,
Polio Perancis, paralisis asendens Landry, dan sindroma Landry Guillain Barre adalah
suatu penyakit autoimun yang menyerang sistem saraf perifer; dan biasanya dicetuskan
oleh suatu proses infeksi yang akut. GBS termasuk dalam kelompok penyakit neuropati
perifer.
GBS tersebar diseluruh dunia terutama di negaranegara berkembang dan
merupakan penyebab tersering dari paralysis akut. Insiden banyak dijumpai pada
dewasa muda dan bisa meningkat pada kelompok umur 45-64 tahun. Lebih sering
dijumpai pada laki laki dari pada perempuan. Puncak yang agak tinggi terjadi pada
kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin juga berkembang pada setiap golongan
usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyakit febris ringan 2-3 minggu
sebelum awitan. Infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
Angka kejadian penyakit ini berkisar 1,6 iga puluh persen% penderita ini
membutuhkan mesin bantu pernafasan untuk bertahan hidup, sementara 5% pesampai
1,9/100.000 penduduk per tahun lebih dari 50% kasus biasanya didahului dengan infeksi
saluran nafas atas. Tnderita akan meninggal, meskipun dirawat di ruang perawatan
intensif. Sejumlah 80% penderita sembuh sempurna atau hanya menderita gejala sisa
ringan, berupa kelemahan ataupun sensasi abnormal, seperti halnya kesemutan atau
baal. Lima sampai sepuluh persen mengalami masalah sensasi dan koordinasi yang
lebih serius dan permanen, sehingga menyebabkan disabilitas berat; 10% diantaranya
beresiko mengalami relaps.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi GBS
Guillain Barre Syndrom (GBS) didefinisikan sebagai sebuah penyakit demyelinisasi
neurologist. Terjadi secara akut, berkembang dengan cepat. Biasanya mengikuti pola
ascending (merambat ke atas) mengenai akar saraf-saraf spinal dan perifer. Terkadang
mengenai saraf-saraf cranial. Memiliki rangkaian klinis dengan variabel yang tinggi.
(Symposium Guillain BarreSyndrom, di Brussel, 1937).
Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang
memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi
biasanya paralisis sementara ( Doenges:369)
GBS merupakan suatu kelompok heterogen dari proses yang diperantarai oleh imunitas,
suatu kelainan yang jarang terjadi; dimana sistem imunitas tubuh menyerang sarafnya
sendiri. Kelainan ini ditandai oleh adanya disfungsi motorik, sensorik, dan otonom.
Guillain Barre Syndrome (GBS) atau yang dikenal dengan Acute Inflammatory
Idiopathic Polyneuropathy (AIIP) atau yang bisa juga disebut sebagai Acute Inflammatory
Demyelinating Polyneuropathy (AIDP) adalah suatu penyakit pada susunan saraf yang
terjadi secara akut dan menyeluruh, terutama mengenai radiks dan saraf tepi, kadangkadang mengenai saraf otak yang didahului oleh infeksi. Penyakit ini merupakan penyakit
dimana sistem imunitas tubuh menyerang sel saraf.
Fungsi dari myelin :
1. Fungsi dari selubung mielin adalah untuk memfasilitasi konduksi impuls listrik melalui
sel-sel saraf. Selubung mielin terbuat dari modifikasi membran plasma yang melilit
akson saraf dalam pola spiral. Selubung mielin sangat penting untuk berfungsinya
2.
sistem saraf.
Fungsi mielin adalah melindungi akson dan memberi nutrisi.
3. Klasifikasi
Klasifikasi Guillain Barre Syndrom
a. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS yang paling
banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.
b. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi dan
bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa
terjadi. Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni
oftalmoplegia, ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1b dalam 90% kasus.
c. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina; menyerang nodus
motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal ini disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan
penyembuhan dapat berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a,
sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering ditemukan pada AMAN.
d. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang
aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan
akson yang berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.
e. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang; dihubungkan
dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.
f.
Ensefalitis batang otak Bickerstaffs (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,
ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff,
1957; Al-Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase
remisi dan relaps. Lesi luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons,
midbrain, dan medulla. Meskipun gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.
4. Etiologi
Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya
dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan
mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
a. Infeksi
b. Vaksinasi
c. Pembedahan
d. Penyakit sistematik :
Keganasan
Systemic lupus erythematosus
Tiroiditis
Penyakit Addison
e. Kehamilan atau dalam masa nifas
SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus
SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% 80%, yaitu 1 sampai 4
minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau
infeksi
gastrointestinal.
Salah
satu
hipotis
menyatakan
bahwa
infeksi
virus
Definite
Probable
Virus
CMVEBV
HIVVaricella-
Possible
InfluenzaMeaslesMumps
zosterVaccinia/smallpox Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri
Campylobacter Jejeni
Typhoid
Borrelia
Mycoplasma
BParatyphoidBrucellosis
Pneumonia
Chlamydia
Legionella
Listeria
adalah infeksi Campylobacter jejuni yang secara khas memyebabkan penyakit GI swasirna
yang ditandai dengan diare, nyeri abdomen, dan demam.
Akibat tersering dari kejadian ini dalam petologi adalah bahwa kejadian pencetus
(virus atau proses inflamasi) merubah dalam sistem saraf sehingga sistem imun mengenali
sistem tersebut sebagai sel asing. Sesudah itu, limfosit T yang tersensitisasi dan amkrofag
akan menyerang mielin. Selain itu limfosit mengiduksi limfosit B untuk menghasilkan
antibody yang menyerang bagian tertentu daris selubung mielin, menyebabkan kerusakan
mielin (NINDS,2000).
Akibatnya adalah cedera demielinasi ringan hingga berat yang mengganggu konduksi
impuls dalam saraf perifer yang terserang. (sebaliknya, demielinasi pasda MS hanya
terbatas pada sistem saraf pusat). Perubahan patologi mengikuti pola yang tepat : infiltrasi
limfosit terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan saraf tersebut dan
menjadi fokus degenerasi mielin.
Demielinsi akson saraf perifer menyebabkan timbulnya gejala positif dan negatif.
Gejala positif adalah nyeri dan perestesia yang berasal dari aktivitas impuls abnormal dalam
serat sensoris atau cross-talk listrik antara akson abnormal yang rusak. Gejala negatif
adalah kelemahan atau paralisis otot, hilangnya refleks tendon, dan menurunnya sensasi.
Dua gejala negatif pertama tersebut disebabkan oleh kerusakan akson motorik; yagn
terakhir disebabkan oleh kerusakan serabut sensorik.
Pada GBS, gejala sensorik cenderung ringan dan dapat terdiri dari rasa nyeri, geli,
mati rasa, serta kelainan sensasi getar dan posisi. Namun, polineuropati merupakan motorik
dominan dan temuan klienis dapat bervarisasi mulai dari kelemahan otot hingga paralisis
otot pernapasan yang membutuhkan penanganan ventilator. Kelemahan otot rangka sering
kali sangat akut sehingga tidak terjadi atrofi otot, namun tonus otot hilang dan mudah
terdeteksi arefleksia. Kepekaan biasnya dirangsang dengan tekanan yang kuat dan
pemerasan pada otot. Lengan dapat menjdi kurus atau otot lengan kurang lemah
dibandingkan dengan otot tungkai. Gejala autonom termasuk hipotensi postural, takikardi
sinus, dan tidak kemampuan untuk berkeringat. Bila saraf kranial terlibat, paralisis akan
menyerang otot wajah, okular, dan otot orofaringeal biasanya setelah keterlibatan lengan.
Gejala saraf kranial adalah palsi wajah dan kesulitan bicara, gangguan visual dan kesulitan
menelan. Istilah palsi bulbar kadang-kadang digunakan secara khusus untuk peralisis
rahang, faring, dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI,
yang berasal dari medula oblongata dan biasa disebut bulb.
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli
membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindrom ini adalah melalui
mekanisme imun. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindrom ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity)
terhadap agen infeksious pada saraf tepi,
2. Adanya auto-antibody terhadap sistem saraf tepi,
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh
darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan
imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering
adalah infeksi virus.
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping peran
makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang
mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi, antigen harus dikenalkan pada
limfosit
(CD4)
melalui
makrofag.
Makrofag
yang
telah
menelan
(fagositosis)
antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen
tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limfosit T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi
marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta TNF-.
Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan
berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan
pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.
6. Fase-Fase GBS
Fase Guillain Barre Syndrom
Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase,yaitu:
a. Fase progresif
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala
menetap, dikenal sebagai titik nadir. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan
progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung
seberapa berat serangan pada penderita. Kasus GBS yang ringan mencapai nadir klinis
pada waktu yang sama dengan GBS yang lebih berat. Terapi secepatnya akan
mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan
fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala.
b. Fase plateau.
Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik
perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama
dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada.
Perlu dilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi,
keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini.
Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta
fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta
kekakuan otot dan sendi; namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan
dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai
fase penyembuhan setelah fase infeksi, sementara pasien lain mungkin bertahan di fase
plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan.
c. Fase penyembuhan
Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan
penyembuhan
spontan.
Sistem
imun
berhenti
memproduksi
antibody
yang
kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak atas dan saraf kranialis
kadang-kadang juga bisa ke empat anggota di kenai secara anggota kemudian
menyebar ke badan dan saraf kranialis.
b. Gangguan sensibilitas
Parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa di kenai
dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya minimal. Rasa nyeri otot
sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas fisik
c. Saraf kranilis
Yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai pada satu sisi
tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan berat antara kedua
sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat
terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan sukar
menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkab pernapasan karena paralis
dan laringeus
d. Gangguan fungsi otonom
Gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan tersebut
berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah ( facial
flushing ), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya keringat atau episodik
profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom
ini jarang menetap lebih dari satu atau dua minnggu.
e. Kegagalan pernapasan
Kegagalan pernapasan merupakan koomplikasi utam yang dapat berakibat fatal bila
tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis
pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33%
penderita
f.
Papiledema
Kadang-kadang di jumpai papiledem, penyebabnya belum di ketahui dengan pasti di
duga karena penindian kadar protein dalam otot yang menyebabkan penyumbatan
arachcoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang
pertama, mungkin diperlukan pemeriksaan seri pungsi lumbal (perlu diulang untuk dalam
beberapa hari).
Elektromiografi : hasilnya tergantung pada tahap dan perkembangan sinrdom yang
timbul. Kecepatan konduksi saraf diperlambat pelan. Fibrilasi (getaran yang berulang dari
unit motorik yang sama) umumnya terjadi pada fase akhir.
Darah lengkap : terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
Foto rontgen : dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan
pernapasan, seperti atelektasis, pneumonia.
Pemeriksaan fungis paru : dapat menunjukan adanya penurunan kapasitas vital, volume
tidal, dan kemampuan inspirasi.
serebrospinal (CSS)
Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah
protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel).
Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah
beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih kanjut di saat gejala klinis mulai
stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6
minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam
CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan elektromiografi (EMG)
Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara
lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi
atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok
hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah
terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen
motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu
setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat
hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi
serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang
lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang
tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu)
serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
Pemeriksaan darah
Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke
bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit.
Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah
dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala.
Arefleksia
Disfungsi otonom
dokter dan
perawat.
d. Gangguan tidur
Gangguan tidur dapat menjadi masalah berat untuk pasien dengan gangguan
ini,terutama karena nyeri tampak meningkat pada malam hari. Tindakan yang
e. Dukungan emosional
Ketakutan, keputusasaan, dan ketidakberdayaan semua dapat terlihat pada
pasien dan keluarga sepanjang perjalanan terjadinya gangguan. Penjelasan yang
teratur tentang intervensi dan kemajuan dapat sangat berguna. Pasien harus
diperbolehkan untuk membuat keputusan sebanyak mungkin sepanjang perjalanan
pemulihan. Kadang pasien seperti sangat sulit untuk dirawat karena mereka
membutuhkan banyak waktu perawat. Mereka dapat menggunakan bel pemanggil
secara berlebihan jika merasa tidak aman. Perawat harus mempertimbangkan untuk
membiarkan keluarga menghabiskan sebagian waktu lebih banyak bersama pasien.
Dengan menyediakan perawat primer dapat memberikan pasien dan keluarga rasa
aman, mengetahui bahwa ada seseorang yang dapat menjadi sumber informasi dengan
konsisten. Pertemuan tim dengan pasien dan keluarga harus dilakukan secara.
Farmakologi
Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien
diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan
ventilator yang kadang-kadang dalam waktu yang lama.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum
bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu
dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup
tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah
mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas
(imunoterapi).
a. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak
mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
b. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.
Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu
pertama).
Metode ini digunakan untuk menghilangkan antibody dari darah. Prosesnya
meliputi pengambilan darah dari tubuh, biasanya dari tangan, darah dipompa ke
mesin yang memisahkan antibody, kemudian mengembalikannya lagi ke tubuh
pasien.
Rejimen yang kami gunakan menghilangkan 200 sampai 250 ml/kg plasma
dalam 4 sampai 6 penanganan pada selang beberapa hari atau dalam jangka waktu
yang lebih pendek jika tidak ada koagulopati. Cairan pengganti yang digunakan yaitu
larutan saline dikombinasikan dengan 5% albumin. Akses vena yang besar biasanya
membutuhkan insersi dari subclavia atau kateter internal jugular, dan ini dapat
menjadi sumber utama komplikasi (pneumothorax, infeksi, hemoragik). Pada
kebanyakan pasien, penatalaksanaan ini dapat dilakukan melalui vena antekubiti.
Saat prosedur, hipotensi, hipoprotrombinemia dengan perdarahan (biasanya
epitaksis) dan aritmia jantung dapat terjadi. Beberapa grup memilih untuk
menggunakan
kadar
fibrinogen,
yang
saat
menurun
saat
dilakukannya
netral kembali. Namun patut dicatat, pada sekitar 20% pasien, obat tersebut
menimbulkan efek samping berupa nyeri otot dan kedinginan.
Metode ini digunakan untuk memblok antibody dengan menggunakan
dosis tinggi dari immunoglobulin (IVIG). Pada kasus ini, immunoglobulin
dimasukkan ke dalam darah dalam jumlah besar, yang mengakibatkan
terhambatnya antibody yang menyebabkan inflamasi.
The Dutch Study Group telah menemukan
bahwa intravenous
Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
a. 6 merkaptopurin (6-MP)
b. Azathioprine
c. Cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
j.
disritmia
jantung,
yang
terlihat
melalui
pemantauan
EKG
dan
mengobservasi klien terhadap tanda trombosis vena profunda dan emboli paru-paru,
yang sering mengancam klien imobilisasi dan paralisis.
a. Anamnesis
Identitas klien, antara lain: nama, jenis kelamin, umur, alamat, pekerjaan, agama,
pendidikan, dsb.
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan
kesehatan adalah berhubungan dengan kelemahan otot baik kelemahan fisik
secara umum maupun lokalis seperti melemahnya otot-otot pernapasan.
Riwayat Penyakit, meliputi:
Riwayat Penyakit Saat Ini
Keluhan yang paling sering ditemukan pada klien GBS dan merupakan
komplikasi yang paling berat dari GBS adalah gagal napas. Melemahnya otot
pernapasan membuat klien dengan gangguan ini berisiko lebih tinggi terhadap
hipoventilasi dan infeksi pernapasan berulang. Disfagia juga dapat timbul,
mengarah pada aspirasi. Keluhan kelemahan ekstremitas atas dan bawah
hampir sama seperti keluhan klien yang terdapat pada klien stroke. Keluhan
lainnya
adalah
kelainan
dari
fungsi
kardiovaskular,
yang
mungkin
menyebabkan gangguan sistem saraf otonom pada klien GBS yang dapat
mengakibatkan disritmia jantung atau perubahan drastis yang mengancam
kehidupan dalam tanda-tanda vital.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernahkan klien mengalami ISPA, infeksi gastrointestinal, dan tindakan bedah
saraf. Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan klien, seperti
pemakaian obat kartikosteroid, pemakaian jenis-jenis antibiotik dan reaksinya
(untuk
menilai
resistensi
pemakaian
antibiotik)
dapat
menambah
Pengkajian Psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien GBS meliputi beberapa penilaian yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status
emosi, kognitif, dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang
digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap
penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya
baik dalam keluarga ataupun masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang
secara sadar biasa digunakan klien selama masa stres meliputi kemampuan
klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan
pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis
yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam
mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh
defisit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis di dalam
sistem dukungan individu.
b. Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien,
pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian
anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per sistem (B1-B6) dengan
fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan
dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien GBS biasanya didapatkan suhu tubuh normal. Penurunan denyut
nadi terjadi berhubungan dengan tanda-tanda penurunan curah jantung.
Peningkatan frekuensi pernapasan berhubungan dengan peningkatan laju
metabolisme umum dan adanya infeksi pada sistem pernapasan dan adanya
akumulasi sekret akibat insufisiensi pernapasan. TD didapatkan ortostatik
hipotensi atau TD meningkat (hipertensi transien) berhubungan dengan penurunan
reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
B1 (Breathing)
Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas,
penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan karena
infeksi saluran pernapasan dan paling sering didapatkan pada klien GBS
adalah penurunan frekuensi pernapasan karena melemahnya fungsi otot-otot
pernapasan. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan GBS
berhubungan akumulasi sekret dari infeksi saluran napas.
B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler pada klien GBS didapatkan bradikardi
yang berhubungan dengan penurunan perfusi perifer.Tekanan darah didapatkan
ortostatik Hipotensi atau TD meningkat ( hipertensi transien ) berhubungan
dengan penurunan reaksi saraf simpatis dan parasimpatis.
B3 (Brain)
Merupakan pengkajian focus meliputi :
Tingkat kesadaran
Pada klien GBS biasanya kesadaran compos mentis ( CM ). Apabila klien
mengalami penurunan tingkat kesadaran maka penilaian GCS sangat
penting untuk menilai dan sebagai bahan evaluasi untuk monitoring
pemberian asuhan keperawatan.
Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai
gaya bicara klien dan observasi ekspresi wajah, dan aktivitas motorik
yang pada klien GBS tahap lanjut disertai penurunan tingkat kesadaran
biasanya status mental klien mengalam perubahan.
- Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
- Saraf IX dan X. paralisi otot orofaring, kesukaran berbicara,
mengunyah, dan menelan. Kamampuan menelan kurang baik sehngga
mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
XI. Tidak ada atrof otot sternokleinomastoideus
- Saraf
dan
System motorik
Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan koordinasi pada klien
GBS tahap lanjut mengalami perubahan. Klien mengalami kelemahan
motorik secara umum sehingga menggaganggu moblitas fisik .
Pemeriksaan reflexs
Pemeriksaan reflex dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum,
periosteum derajat reflexs dalam respons normal.
Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang, Tic,dan distonia.
System sensorik
Parestesia ( kesemutan kebas ) dan kelemahan otot kaki, yang dapat
berkembang ke ekstrimtas atas, batang tubuh, dan otot wajah. Klien
mengalami penurunan kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri, dan
suhu.
B4 (Bladder)
Terdapat penurunan volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan
penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung.
Pemenuhan nutris pada klien GBS menurun karena anoreksia dan kelemahan
otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan
via oral kurang terpenuhi.
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menururnkan
mobilitas pasien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien
lebh banyak dibantu orang lain.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis GBS sangat bergantung pada :
a. Riwayat penyakit dan perkembangan gejala-gejala klinik.
b. Lumbal pungs dapat menunjukkan kadar protein normal pada awalnya dengan
kenaikan pada mnggu ke-4 sampai ke-6. Cairan spinal memperlihatkan adanya
peningkatan konsentrasi protein dengan menghitung jumlah sel normal.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan kelemahan progresif cepat otototot pernapasan dan ancaman gagal pernapasan
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam setelah diberikan tindakan pola napas kembali efektif.
Criteria hasil : secara subjektif sesak napas (-),RR 16-20x/menit. Tidak menggunakan otot
bantu pernapasan, gerakan dada normal
Intervensi
Rasional
perubahan
irama
parameter
monitoring
serangan
gagal
dan
gejala
meliputi
adanya
kesukaran
kelemahan
otot-otot
pernapasan
saat
Membantu
humidifikasi
pemenuhan
oksigen
yang
sangat
3L/Menit
sedang meningkat
Penurunan
curah
jantung
mengakibatkan
Menunjukkan
gangguan
aliran
darah
dalam
Perubahan
frekuensi
dan
irama
jantung
Resiko gangguan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan
ketdakmampuan mengunyah dan menelan makanan
Tujuan : pemenuhan nutrisi klien terpenuhi
Criteria hasil : setelah dirawat tiga hari klien tidak terjadi komplikasi akibat penurunan
asupan nutrisi
Kaji
Intervensi
kemampuan
klien
dalam Perhatian
yang
Rasional
diberikan untuk nutrisi
yang
Monitor
akibat
komplikasi
akibat
insufisisensi
parasimpatis
parasimpatis.
melalui
Dalam
kejadian
ini,
intravena dipertimbangkan
oral
Berikan nutrisi via oral bila paralis Bila klien dapat menelan, makanan melalui oral
menelan berkurang
alat
dan
selanjutnya
sarana
yang Bila
pemulihan
mulai
untuk
dlakukan,
klien
dibutuhkan klien dalam pemenuhan dapat hipotensi ortostatik ( dari disfungsi otonom )
aktivitas sehari-hari
Hindari
factor-faktor
yang Individu
paralisis
mempunyai
kemungkinan
memungkinkan terjadinya trauma pada mengalalmi kompresi neuropati, paling sering saraf
saat klien melakukan mobilisasi
Monitor komplikasi gangguan mobilitas Deteksi awal thrombosis vena profunda dan
fisik
dengan
Cemas yang berhubungan dengan kondisi sakit dan prognosis penyakit yang buruk
Tujuan : dalam waktu 1x24 jam setelah diberikan intervensi kecemasan hilang atau
berkurang
Criteria hasil : mengenal perasaannya, dapat mengidentifikasi penyebab atau factor yang
mempengaruhinya, dan menyatakan cemas berkurang
Intervensi
Rasonal
Bantu
klien
mengekspresikan Cemas berkelanjutan dapat memberikan dampak
perasaan
marah,
kehilangan,
takut
Kaji tanda verbal dan non verbal Reaksi verbal atau nonverbal dapat menunjukkan
kecemasan,
dampingi
klien,
Konfrontasi
dapat
menurunkan
Mulai
melakukan
mengurangi
tindakkan
kerja
meningkatkan
sama,
rasa
dan
marah,
mungkin
memperlambat penyembuhan
untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
kecemasan.
Beri
Daftar Pustaka
Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-mediated
polyradiculoneuropathies.
The
Neurologist
(4);
211-226
Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta: EGC
Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta
Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC
Hadinoto, S, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Simposium Gangguan Gerak, hal 173-179,
Badan Penerbit FK UNDIP, Semarang.
Harsono, 1996, Sindroma Guillain Barre, dalam : Neurologi Klinis, edisi I : hal 307-310, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta.
Hudak & Gallo. (1996). Keperawatan kritis : pendekatan holistic. Vol. 2. EGC.jakarta.
Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Ed,VI. Vol
1. Jakarta: EGC
Jukarnain.,2011. Materi Kuliah Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan.
Makassar.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
R. Syamsuhidayat & Wim de Jong, 2001, Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi, EGC, Jakarta.
Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.3
Edisi 8. EGC :Jakarta
Staf Pengajar IKA FKUI, 1985, Sindroma Guillain Barre, dalam : Ilmu Kesehatan Anak, Jilid II :
ha; 883-885, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, Jakarta.