SINDROM GUILLAIN-BARRE
A. Definisi
Sindrom guillain-barre merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak
diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial (Smeltzer & Bare, 2010). Sindrom
Guillain-Barr (SGB) atau acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(AIDP), adalah sindrom klinik yang ditandai oleh kelemahan motorik yang progresif
(Sidharta, 2000) .
B. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2010) sindrom ini paling banyak ditimbulkan oleh
adanya infeksi (pernafasan dan gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi
serangan penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan, dapat terjadi setelah vaksinasi
atau pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virum primer, reaksi imun,
dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis
menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang
myelin perifer (myelin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti
akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi impuls saraf).
C. Manifestasi klinis
Terdapat variasi dala bentuk awitannya. Gejala-gejala neurologik diawali dengan
parestesia ( kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan
cepat adanya paralisis lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang
menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan juga
menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan. Disfungsi autonom yang
sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya
sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti dimanefestasikan oleh gangguan
frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi transien, hipotensi
ortostatik) dan gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan nyeri hebat dan menetap pada daerah punggung dan kaki. Seringkali
pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti
keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi dengan
bentuk parestesia.
D. Pemeriksaan penunjang
Langkah dalam mendiagnosis sindrom Guillain - Barre adalah tekan tulang
belakang (tusuk lumbal) dan tes fungsi saraf umumnya digunakan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis sindrom Guillain -Barre :
1. Spinal tap (tusuk lumbalis) = (lumbar puncture) Prosedur ini melibatkan menarik
sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di daerah (lumbar. Cairan
cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis tertentu perubahan yang biasanya terjadi
pada orang yang memiliki sindrom Guillain - Barre. Jika Anda memiliki GBS, tes
ini dapat menunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang belakang
tanpa tanda infeksi lain.
2. Tes fungsi saraf Dua jenis tes fungsi saraf - elektromiografi dan kecepatan konduksi
saraf:
Elektromiografi membaca aktivitas listrik dalam otot untuk menentukan apakah
kelemahan disebabkan oleh kerusakan otot atau kerusakan saraf.
Studi konduksi saraf menilai bagaimana saraf dan otot menanggapi rangsangan listrik
kecil. Jika Ada memiliki GBS, hasilnya mungkin menunjukkan melambatnya fungsi
saraf, yang biasa nya menunjukkan bahwa kerusakan pada (meliputi selubung mielin
dari saraf perifer telah terjadi.
E. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
a. Penatalaksanaan medis
Diperlukan pemantauan EKG kontiniu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan
atau ritme jantung. Disaritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal
atonom yang diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardia dan hipertensi.
Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan
endrotrakeal dan terapi fisik.
b. Penatalaksanaan keperawatan
Sasaran utama pada pasien SGB dapat mencakup mempertahankan fungsi
pernafasan, pencapaian mobilitas, terpenuhinya kebutuhan nutrisi normal, dan tidak
ada komplikasi.
Penatalaksanaan keperawatan untuk pasien SGB antara lain :
Mempertahankan fungsi pernafasan
Pasien berada pada resiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk
membersihkan jalan nafas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang
dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal nafas akut.
Terapi fisik dada dan peninggian kepala tempat tidur memudahkan
pernafasan dan meningkatkan batuk lebih efektif. Suction mungkin
diperlukan untuk mempertahankan jalan nafas yang lebih efektif
Memantau dan mengatasi komplikasi potensial
Pengkajian fungsi pernafasan dengan interval yang teratur adalah penting
karena pernafasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya
kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan diafragma yang
berkembang cepat. Kapasitas vital sign dipantau lebih sering dengan
interval teratur dalam penambahan kecepatan pernafasan dan kualitas
pernafasan, sehingga pernafasan tidak efektif dapat diantisipasi. Penurunan
kapasitas vital dihubungkan dengan kelemahan otot-otot yang digunakan
saat menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernafasan. Tanda
dan gejalanya meliputi adanya kesukaran bernafas saat berbicara,
pernafasan dangkal dan iregular, menggunakan otot-otot aksesoris,
takikardia dan perubahan pola nafas.
Komplikasi lain yang harus dikaji dan dipantau pada pasien meliputi
disaritmia jantung yang memerlukan pemantauan ekg, trombosis vena
profunda, dan emboli paru.
Mengurangi efek imobilitas
Ekstremitas paralisis disokong dengan fungsioal dan memberikan latihan
rentang gerak secara pasif paling sedikit dua kali sehari. Intervensi
keperawatan meliputi memberikan hidrasi yang adekuat, membantu terapi
fisik, dan memberikan obat-obatan antikoagulan sesuai order.
Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati
atau dekubitus, paling sering saraf ulnar dan peroneal. Bantalan dapat
ditempatkan di siku dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah
ini.
Memberikan nutrisi adekuat
Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan
kelemahan otot karena kurang makanan. Jika klien tidak dapat menelan,
makan diberikan melalui selang NGT.
F. Komplikasi
Komplikasi dari sindrom Guillan - Barre dapat termasuk:
Kesulitan bernapas. Sebuah komplikasi berpotensi mematikan sindrom Guillain Barre
adalah kelemahan atau kelumpuhan bisa menyebar ke otot yang mengontrol pernapasan
anda. Anda mungkin butuh bantuan sementara dari mesin untuk bernapas ketika Anda
sedang dirawat di rumah sakit untuk perawatan.
Sisa mati rasa atau sensasi lainnya. Kebanyakan penderita sindrom Guillain - Barre
sembuh sepenuhnya atau hanya kecil, kelemahan residu atau sensasi abnormal, seperti
mati rasa atau kesemutan. Namun, pemulihan sepenuhnya mungkin lambat, sering
mengambil tahun atau lebih.
G. WOC (terlampir)
ASUHAN KEPERAWATAN STROKE NON HEMORAGIK
A. Pengkajian
1. Data Klinis
Terdiri dari inisial pasien, nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, diagnosa medis,
hari rawatan, dll.
2. Keluhan Utama
Kaji alasan klien dibawa ke rumah sakit, biasanya terjadi kelemahan anggota gerak,
kehilangan kemampuan berbicara, pusing, kejang, dll.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Kondisi klien saat pengkajian, berupa data subjektif dan data objektif. Klien dengan
SGB mengalami kelemahan anggota gerak yang biasanya diawali dengan rasa kebas
dan kesemutan.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah sebelumnya klien pernah mengalami demam atau proses pembedahan
sebelumnya, karena SGB berkaitan dengan infeksi atau virus.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada keluarga klien yang memiliki riwayat penyakit yang sama.
4. Pengkajian Fungsional Gordon
1) Pola Persepsi dan penanganan kesehatan
Terjadi penurunan kemampuan sensori dan persepsi sehingga mudah terjadi
injury dan terjadi disorientasi serta kesulitan dalam pengambilan keputusan.
2) Pola Nutrisi dan metabolisme
Klien mengalami disfagia atau kesulitan dalam menelan, berkurangnya sensori
di pipi, tenggorokan, dan lidah.
3) Pola Eliminasi
Setelah timbul gejala stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urin
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan
dan ketidakmampuan mengontrol keluaran urin akrena gangguan kontrol
motorik.
4) Pola aktivitas dan olahraga
Klien mengalami gangguan dalam beraktivitas karena hemiplegia atau
hemiparise dan penurunan tonus otot.
5) Pola istirahat atau tidur
Klien bisa mengalami gangguan tidur karena ketidaknyamanan pada anggota
tubuh dan juga mudah lelah karena kemampuan motorik yang berkurang.
6) Pola kognitif atau persepsi
Klien mengalami gangguan kognitif dan persepsi seperti afasia (berkurangnya
kemampuan berkomunikasi), disfungsi persepsi visual, gangguan dalam
hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori.
7) Pola peran hubungan
Kaji dukungan yang didapatkan klien dan bagaimana pengaruh penyakit
terhadap peran dan hubungan nya dengan orang terdekat
8) Pola seksualitas dan reproduksi
klien dapat mengalami gangguan reproduksi dan seksualitas karena adanya
penurunan fungsi motorik dan sensorik
9) Pola kognitif toleransi stress
Karena mengalami kelemahan pada anggota gerak, maka akan berdampak pada
kemampuan klien bertoleransi terhadap stress.
10) Pola keyakinan dan nilai
Kaji pengaruh agama terhadap kemampuan klien beradaptasi dengan penyakit.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Neurologis
c) Fungsi motorik
a. Masa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan tahanan,
bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan yaitu 0: tidak
ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi, 2: gerakan yang dibatasi oleh
gravitasi, 3: gerakan melawan gravitasi, 4: gerakan melawan gravitasi dengan
sedikit tahanan, 5: gerakan melawan gravitasi dengan tahanan penuh (normal).
c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu bandingkan
dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi peningkatan tonus tetapi
sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah menyebabkan penurunan tonus otot.
4. Reflek
Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo
profunda, dan reflek superfisial. Reflek renggang diantaranya yaitu reflek
biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan sekala
0-4+ yaitu 0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+: meningkat, 4+:
hiperaktif. Jika reflek hiperaktif merupakan ciri penyakit traktus
ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit, hipertiroidisme dan kelainan metabolik,
sedangkan jika reflek berkurangnya reflek merupakan ciri kelainan sel kornu
anterior dan miopati.
Reflek superfisial yang abnormal / reflek patologis yaitu reflek
babinski, reflek chaddock, reflek openheim. Reflek babinski untuk menguji
radiks saraf pada lumbal lima sampai sacrum dua, dengan menggores bagian
telapak kaki bagian lateral dari tumit ke arah pangkal jari-jari kaki melengkung
ke medial, maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan penyebaran jari-
jari lainya. Reflek chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di
gores. Reflek openheim dengan penekanan tulang kering yang akan
menyebabkan dorsofeksi ibu jari kaki (Hendri Budi, 2010).
d) Fungsi sensorik
a. Sentuhan ringan
b. Sensasi nyeri
c. Sensasi getar
d. Propriosepsis (sensasi posisi)
e. Lokalisasi taktil.
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer diantara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual-pasial ( mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area pasial ) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegi kiri. Pasien tidak
mampu memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan mencocokan pakaian
kebagian tubuh. Kerusakan yang terjadi pada pasien stroke berupa kerusakan sentuhan
ringan atau berat, dengan kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh serta kesulitan dalam menginter pretasikan stimuli visual taktil dan
audiotorius (Smeltzer & Bare, 2010).
e) Fungsi serebelar
a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati
sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas bawah
menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai dari lutut,
dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-goyang dari sisi ke sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.
d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa, dengan
kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling bersentuhan tes
ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus memindahkan kakinya
untuk keseimbangan.
e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. Ataksia serebelum
berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua kakinya sangat jauh terpisah
ketika berjalan. Foot drop dengan gaya berjalan seperti menampar yang khas.
Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan langkah-langkah yang tinggi.
2. Pengkajian fisik head to toe
a. Tanda- tanda vital
b. Pemeriksaan fisik head to toe
- Kepala : inspeksi kulit kepala untuk kebersihan kepala. Lalu inspeksi
bentuk kepala apakah ada deformitas atau benjolan
- Mata : perhatikan conjunctiva dan sklera
- Wajah : perhatikan kesimetrisan wajah, biasanya pasien dengan stroke akan
mengalami kelemahan pada wajah
- Mulut : perhatikan kesimetrisan bibir dan kemampuan pasien berbicara dan
menelan
- Leher : perhatikan apakah ada pembengkakan
- Thoraks
Paru-paru :
o Inspeksi = dada simetris kira=kanan , penggunaan otot bantu
pernafasan
o Palpasi = fremitus
o Perkusi = sonor
o Auskultasi : dapat terjadi rhonkie karena kesulitan kien
mengeluarkan sekret.
Jantung : lakukan pemeriksaan IPPA, biasanya tidak ada kelainan
- Abdomen : bisa ditemukan kembung dan penurunan peristaltik usus karena
bed rest yang lama
- Ekstremitas : klien bisa mengalami hemiplegia dan hemiparise. Kaji
kekuatan otot dan refleks