Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PENDAHULUAN

SINDROM GUILLAIN-BARRE

A. Definisi
Sindrom guillain-barre merupakan sindrom klinik yang penyebabnya tidak
diketahui yang menyangkut saraf perifer dan kranial (Smeltzer & Bare, 2010). Sindrom
Guillain-Barr (SGB) atau acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
(AIDP), adalah sindrom klinik yang ditandai oleh kelemahan motorik yang progresif
(Sidharta, 2000) .
B. Etiologi
Menurut Smeltzer & Bare (2010) sindrom ini paling banyak ditimbulkan oleh
adanya infeksi (pernafasan dan gastrointestinal) 1 sampai 4 minggu sebelum terjadi
serangan penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan, dapat terjadi setelah vaksinasi
atau pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan oleh infeksi virum primer, reaksi imun,
dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi proses. Salah satu hipotesis
menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang
myelin perifer (myelin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti
akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi impuls saraf).
C. Manifestasi klinis
Terdapat variasi dala bentuk awitannya. Gejala-gejala neurologik diawali dengan
parestesia ( kesemutan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke
ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Kelemahan otot dapat diikuti dengan
cepat adanya paralisis lengkap. Saraf kranial yang paling sering terserang, yang
menunjukkan adanya paralisis pada okular, wajah dan otot orofaring dan juga
menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan. Disfungsi autonom yang
sering terjadi dan memperlihatkan bentuk reaksi berlebihan atau kurang bereaksinya
sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti dimanefestasikan oleh gangguan
frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipertensi transien, hipotensi
ortostatik) dan gangguan vasomotor lainnya yang bervariasi. Keadaan ini juga dapat
menyebabkan nyeri hebat dan menetap pada daerah punggung dan kaki. Seringkali
pasien menunjukkan adanya kehilangan sensasi terhadap posisi tubuh sama seperti
keterbatasan atau tidak adanya refleks tendon. Perubahan sensori dimanifestasi dengan
bentuk parestesia.
D. Pemeriksaan penunjang
Langkah dalam mendiagnosis sindrom Guillain - Barre adalah tekan tulang
belakang (tusuk lumbal) dan tes fungsi saraf umumnya digunakan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis sindrom Guillain -Barre :
1. Spinal tap (tusuk lumbalis) = (lumbar puncture) Prosedur ini melibatkan menarik
sejumlah kecil cairan dari kanal tulang belakang di daerah (lumbar. Cairan
cerebrospinal kemudian diuji untuk jenis tertentu perubahan yang biasanya terjadi
pada orang yang memiliki sindrom Guillain - Barre. Jika Anda memiliki GBS, tes
ini dapat menunjukkan peningkatan jumlah protein dalam cairan tulang belakang
tanpa tanda infeksi lain.
2. Tes fungsi saraf Dua jenis tes fungsi saraf - elektromiografi dan kecepatan konduksi
saraf:
Elektromiografi membaca aktivitas listrik dalam otot untuk menentukan apakah
kelemahan disebabkan oleh kerusakan otot atau kerusakan saraf.
Studi konduksi saraf menilai bagaimana saraf dan otot menanggapi rangsangan listrik
kecil. Jika Ada memiliki GBS, hasilnya mungkin menunjukkan melambatnya fungsi
saraf, yang biasa nya menunjukkan bahwa kerusakan pada (meliputi selubung mielin
dari saraf perifer telah terjadi.
E. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
a. Penatalaksanaan medis
Diperlukan pemantauan EKG kontiniu, untuk kemungkinan perubahan kecepatan
atau ritme jantung. Disaritmia jantung dihubungkan dengan keadaan abnormal
atonom yang diobati dengan propanolol untuk mencegah takikardia dan hipertensi.
Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode bradikardia selama pengisapan
endrotrakeal dan terapi fisik.
b. Penatalaksanaan keperawatan
Sasaran utama pada pasien SGB dapat mencakup mempertahankan fungsi
pernafasan, pencapaian mobilitas, terpenuhinya kebutuhan nutrisi normal, dan tidak
ada komplikasi.
Penatalaksanaan keperawatan untuk pasien SGB antara lain :
Mempertahankan fungsi pernafasan
Pasien berada pada resiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk
membersihkan jalan nafas dan mengalami kesulitan dalam menelan, yang
dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal nafas akut.
Terapi fisik dada dan peninggian kepala tempat tidur memudahkan
pernafasan dan meningkatkan batuk lebih efektif. Suction mungkin
diperlukan untuk mempertahankan jalan nafas yang lebih efektif
Memantau dan mengatasi komplikasi potensial
Pengkajian fungsi pernafasan dengan interval yang teratur adalah penting
karena pernafasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya
kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan diafragma yang
berkembang cepat. Kapasitas vital sign dipantau lebih sering dengan
interval teratur dalam penambahan kecepatan pernafasan dan kualitas
pernafasan, sehingga pernafasan tidak efektif dapat diantisipasi. Penurunan
kapasitas vital dihubungkan dengan kelemahan otot-otot yang digunakan
saat menelan, dan adanya indikasi memburuknya fungsi pernafasan. Tanda
dan gejalanya meliputi adanya kesukaran bernafas saat berbicara,
pernafasan dangkal dan iregular, menggunakan otot-otot aksesoris,
takikardia dan perubahan pola nafas.
Komplikasi lain yang harus dikaji dan dipantau pada pasien meliputi
disaritmia jantung yang memerlukan pemantauan ekg, trombosis vena
profunda, dan emboli paru.
Mengurangi efek imobilitas
Ekstremitas paralisis disokong dengan fungsioal dan memberikan latihan
rentang gerak secara pasif paling sedikit dua kali sehari. Intervensi
keperawatan meliputi memberikan hidrasi yang adekuat, membantu terapi
fisik, dan memberikan obat-obatan antikoagulan sesuai order.
Individu paralisis mempunyai kemungkinan mengalami kompresi neuropati
atau dekubitus, paling sering saraf ulnar dan peroneal. Bantalan dapat
ditempatkan di siku dan kepala fibula untuk mencegah terjadinya masalah
ini.
Memberikan nutrisi adekuat
Perhatian yang diberikan untuk nutrisi yang adekuat dan pencegahan
kelemahan otot karena kurang makanan. Jika klien tidak dapat menelan,
makan diberikan melalui selang NGT.

F. Komplikasi
Komplikasi dari sindrom Guillan - Barre dapat termasuk:
Kesulitan bernapas. Sebuah komplikasi berpotensi mematikan sindrom Guillain Barre
adalah kelemahan atau kelumpuhan bisa menyebar ke otot yang mengontrol pernapasan
anda. Anda mungkin butuh bantuan sementara dari mesin untuk bernapas ketika Anda
sedang dirawat di rumah sakit untuk perawatan.
Sisa mati rasa atau sensasi lainnya. Kebanyakan penderita sindrom Guillain - Barre
sembuh sepenuhnya atau hanya kecil, kelemahan residu atau sensasi abnormal, seperti
mati rasa atau kesemutan. Namun, pemulihan sepenuhnya mungkin lambat, sering
mengambil tahun atau lebih.

G. WOC (terlampir)
ASUHAN KEPERAWATAN STROKE NON HEMORAGIK
A. Pengkajian
1. Data Klinis
Terdiri dari inisial pasien, nomor rekam medis, usia, jenis kelamin, diagnosa medis,
hari rawatan, dll.
2. Keluhan Utama
Kaji alasan klien dibawa ke rumah sakit, biasanya terjadi kelemahan anggota gerak,
kehilangan kemampuan berbicara, pusing, kejang, dll.
3. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
Kondisi klien saat pengkajian, berupa data subjektif dan data objektif. Klien dengan
SGB mengalami kelemahan anggota gerak yang biasanya diawali dengan rasa kebas
dan kesemutan.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah sebelumnya klien pernah mengalami demam atau proses pembedahan
sebelumnya, karena SGB berkaitan dengan infeksi atau virus.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Kaji apakah ada keluarga klien yang memiliki riwayat penyakit yang sama.
4. Pengkajian Fungsional Gordon
1) Pola Persepsi dan penanganan kesehatan
Terjadi penurunan kemampuan sensori dan persepsi sehingga mudah terjadi
injury dan terjadi disorientasi serta kesulitan dalam pengambilan keputusan.
2) Pola Nutrisi dan metabolisme
Klien mengalami disfagia atau kesulitan dalam menelan, berkurangnya sensori
di pipi, tenggorokan, dan lidah.
3) Pola Eliminasi
Setelah timbul gejala stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urin
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan
dan ketidakmampuan mengontrol keluaran urin akrena gangguan kontrol
motorik.
4) Pola aktivitas dan olahraga
Klien mengalami gangguan dalam beraktivitas karena hemiplegia atau
hemiparise dan penurunan tonus otot.
5) Pola istirahat atau tidur
Klien bisa mengalami gangguan tidur karena ketidaknyamanan pada anggota
tubuh dan juga mudah lelah karena kemampuan motorik yang berkurang.
6) Pola kognitif atau persepsi
Klien mengalami gangguan kognitif dan persepsi seperti afasia (berkurangnya
kemampuan berkomunikasi), disfungsi persepsi visual, gangguan dalam
hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori.
7) Pola peran hubungan
Kaji dukungan yang didapatkan klien dan bagaimana pengaruh penyakit
terhadap peran dan hubungan nya dengan orang terdekat
8) Pola seksualitas dan reproduksi
klien dapat mengalami gangguan reproduksi dan seksualitas karena adanya
penurunan fungsi motorik dan sensorik
9) Pola kognitif toleransi stress
Karena mengalami kelemahan pada anggota gerak, maka akan berdampak pada
kemampuan klien bertoleransi terhadap stress.
10) Pola keyakinan dan nilai
Kaji pengaruh agama terhadap kemampuan klien beradaptasi dengan penyakit.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Pemeriksaan Neurologis

Pemeriksaan neurologik terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini :


a) Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dibagi menjadi dua macam yaitu :
1. Kesadaran kuantitatif (GCS / Glasgow Coma Scale)
Penilaian skor skala koma Glasgow :
Tabel. Skala koma Glasgow.

Buka mata (E) Respon motorik Respon verbal


(M) (V)
1. Tidak ada respons 1. Tidak ada gerakan 1. Tidak ada suara
2. Respons dengan 2. Ekstensi abnormal 2. Mengerang
rangsangan nyeri
3. Buka mata dengan 3. Fleksi abnormal 3. Bicara kacau
perintah
4. Buka mata spontan 4. Menghindari nyeri 4. Disorientasi tempat
dan waktu
5. Melokalisir nyeri 5. Orientasi baik dan
sesuai
5. Mengikuti perintah

Penilaian skor skala koma Glasgow :


Koma (GCS = 3-8)
Konfusi, lateragi atau stupor (GCS = 9-14)
Sadar penuh, atentif dan orientatif (GCS = 15)
2. Kesadaran kualitatif
Beberapa tingkatan dalam penilaian kesadaran kualitatif adalah sebagai
berikut (sheeys dkk, 2003) :
1) Kompos mentis : klien dalam keadaam kesadaran pennuh, mampu merespons
semua rangsang dengan baik
2) Latergi : klien mampu merespons tetapi lambat, klien tampak mengantuk dan
tidur jika tidak ada rangsangan
3) Apatis : klien tidak bangun dengan ransangan minimal, perlu ransangan yang
agak keras untuk tetap terjaga. Tidak mampu mengikuti perintah pemeriksa.
4) Sopor : hanya merespons jika diberi ransangan kuat
5) Sopor koma : hanya merespons refleks cahaya, tidak berespons secara fisik,
atau berespons secara fisik hanya untuk tujuan tertentu saja.
6) Koma : tidak merespons ransangan apapun. Jika koma masih belum terlalu
dalam mungkin bisa menerima ransang nyeri yang hebat. Jika dalam konsisi
koma yang dalam, klien tidak mampu merangsang respons apapun (Masjoer,
dkk., 2010)
b) Nervus kranial
Berikut adalah pemeriksaan 12 saraf kranial menurut Rathe, dkk (2000) :
No. Saraf Kranial Fungsi Pemeriksaan
1. Olfaktori Mengenali bau-bau an Minta klien menutup
: Saraf sensori mata, letakkan bau-
bauan yag dikenali
klien di depan hidung
lalu minta klien
memberi tahu bau
tersebut (misal :
minyak kayu putih)
2. Optik Bekerja pada indra Sama seperti
: Saraf sensori penglihatan, lapang pemeriksaan fisik
pandang, kemampuan mata dan snallen chart
melihat, reaksi pupil
terhadap cahaya, dan
kemampuan akomodasi
mata
3. Okulomotor Penggerak kelopak mata, Pemeriksaan rangsang
: saraf motorik ukuran pupil, dan cahaya, reflek pupil
reaktivitas terhadap dan pemeriksaan
cahaya gerakan bola mata
pada delapan arah
4. Troklear Kemampuan bola mata Minta klien menoleh
: motorik bergerak ke arah bawah ke arah bawah dan
dan lateral lateral
5. Trigeminal Proses mengunyah dan a. Minta klien untuk
: motorik dan sensorik merasakan makanan, membuka mulut
refleks kornea sementara
pemeriksa
mencoba menutup,
dan minta klien
menggerakkan
rahang ke kiri dan
kanan, kemudia
perintahkan untuk
menutup gigi.
b. Minta kilen
menutup mata, sap
daerah pada wajah
dan minta klien
menyebutkan
daerah mana yang
di usap, usap
kornea dengan
kapas halus, jika
masih ada respons
klie aka menutup
mata.
6. Abdusen Menggerakkan bola mata Minta klien
: motorik ke arah lateral menggerakkan bola
mata ke arah lateral
7. Fasial Memberi ekspresi wajah, a. Minta klien
; motorik dan sensorik perasa, refleks kornea, tersenyum,
penutupan kelopak mata menaikkan alis,
dan biir serta tetap
berusaha menutup
mata dan bibir
sementara
pemeriksa
mencoba
membukanya
b. Minta kilen
merasakan gula
dan garam yang
diletakkan di lidah.
Normalnya pasien
akan merasakan
rasa yag berbeda
8. Vestibulokoklear Pendengaran dan Memeriksa
: saraf sensoris keseimbangan tubuh ketajaman
pendengaran
seperti pada
pengkajian telinga,
gangguan
pendengaran dapat
menyebabkan
gangguan
keseimbangan
9. Glossofaringeal Proses menelan dan Sentuh ujung
: sensori dan motorik muntah, merasakan rasa tenggorakan
pada lidah dengan spatel lidah
dan lihat refleks
muntah
10. Vagus Proses menelan (motorik), Diperiksa
: motorik dan sensorik bicara (fonasi), dan refleks bersamaan dengan
muntah saraf IX dan kaji
kejelasan klie
dalam berbicara
11. Spinal aksesoris Gerakan bahu dan rotasi a. Minta klien untuk
motorik kepala menoleh ke arah
kiri dan kanan,
menganggukkan
dan
mendongakkan
kepala
b. Minta klien
menaikkan bahu
sementara
pemeriksa
memberi tahanan
pada bahu
12. Hipoglosus Menggerakkan lidah, Minta klien untuk
: saraf motorik membantu proses mengeluarkan lidah,
artikulasi saat berbicara mendorong pipi kiri
dankanan dengan
lidah. Serta kaji
artikulasi dalam
berbicara

c) Fungsi motorik
a. Masa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan tahanan,
bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan yaitu 0: tidak
ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi, 2: gerakan yang dibatasi oleh
gravitasi, 3: gerakan melawan gravitasi, 4: gerakan melawan gravitasi dengan
sedikit tahanan, 5: gerakan melawan gravitasi dengan tahanan penuh (normal).
c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu bandingkan
dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi peningkatan tonus tetapi
sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah menyebabkan penurunan tonus otot.
4. Reflek
Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang, atau tendo
profunda, dan reflek superfisial. Reflek renggang diantaranya yaitu reflek
biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai berdasarkan sekala
0-4+ yaitu 0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+: normal, 3+: meningkat, 4+:
hiperaktif. Jika reflek hiperaktif merupakan ciri penyakit traktus
ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit, hipertiroidisme dan kelainan metabolik,
sedangkan jika reflek berkurangnya reflek merupakan ciri kelainan sel kornu
anterior dan miopati.
Reflek superfisial yang abnormal / reflek patologis yaitu reflek
babinski, reflek chaddock, reflek openheim. Reflek babinski untuk menguji
radiks saraf pada lumbal lima sampai sacrum dua, dengan menggores bagian
telapak kaki bagian lateral dari tumit ke arah pangkal jari-jari kaki melengkung
ke medial, maka akan terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan penyebaran jari-
jari lainya. Reflek chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di
gores. Reflek openheim dengan penekanan tulang kering yang akan
menyebabkan dorsofeksi ibu jari kaki (Hendri Budi, 2010).
d) Fungsi sensorik
a. Sentuhan ringan
b. Sensasi nyeri
c. Sensasi getar
d. Propriosepsis (sensasi posisi)
e. Lokalisasi taktil.
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori
primer diantara mata dan korteks visual.
Gangguan hubungan visual-pasial ( mendapatkan hubungan dua atau lebih objek
dalam area pasial ) sering terlihat pada pasien dengan hemiplegi kiri. Pasien tidak
mampu memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan mencocokan pakaian
kebagian tubuh. Kerusakan yang terjadi pada pasien stroke berupa kerusakan sentuhan
ringan atau berat, dengan kehilangan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan
bagian tubuh serta kesulitan dalam menginter pretasikan stimuli visual taktil dan
audiotorius (Smeltzer & Bare, 2010).
e) Fungsi serebelar
a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati
sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas bawah
menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai dari lutut,
dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-goyang dari sisi ke sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.
d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa, dengan
kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling bersentuhan tes
ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus memindahkan kakinya
untuk keseimbangan.
e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. Ataksia serebelum
berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua kakinya sangat jauh terpisah
ketika berjalan. Foot drop dengan gaya berjalan seperti menampar yang khas.
Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan langkah-langkah yang tinggi.
2. Pengkajian fisik head to toe
a. Tanda- tanda vital
b. Pemeriksaan fisik head to toe
- Kepala : inspeksi kulit kepala untuk kebersihan kepala. Lalu inspeksi
bentuk kepala apakah ada deformitas atau benjolan
- Mata : perhatikan conjunctiva dan sklera
- Wajah : perhatikan kesimetrisan wajah, biasanya pasien dengan stroke akan
mengalami kelemahan pada wajah
- Mulut : perhatikan kesimetrisan bibir dan kemampuan pasien berbicara dan
menelan
- Leher : perhatikan apakah ada pembengkakan
- Thoraks
Paru-paru :
o Inspeksi = dada simetris kira=kanan , penggunaan otot bantu
pernafasan
o Palpasi = fremitus
o Perkusi = sonor
o Auskultasi : dapat terjadi rhonkie karena kesulitan kien
mengeluarkan sekret.
Jantung : lakukan pemeriksaan IPPA, biasanya tidak ada kelainan
- Abdomen : bisa ditemukan kembung dan penurunan peristaltik usus karena
bed rest yang lama
- Ekstremitas : klien bisa mengalami hemiplegia dan hemiparise. Kaji
kekuatan otot dan refleks

C. Diagnosa Keperawatan yang muncul


- Pola nafas tidak efektif b.d kelemahan otot pernafasan
- Hambatan mobilitas fisik b.d hemiparesis, hemiplegia dan kehilangan keseimbangan
dan koordinasi
- Hambatan komunikasi verbal b.d penurunan fungsi otot facial
- Gangguan menelan b.d penurunan fungsi nervus vagus
- Defisit perawatan diri b.d kelemahan
D. Rencana Asuhan Keperawatan
No. Diagnosa keperawatan outcome Intervensi
1.
2. Hambatan mobilitas fisik b.d Self care : ADLs Exercise therapy : ambulation
hemiparesis, hemiplegia dan Kriteria Hasil: Tindakan :
kehilangan keseimbangan dan Klien meningkat dalam aktivitas fisik
koordinasi Mengerti tujuan dan peningkatan Monitoring vital sign sebelum/sesudah latihan dan
mobilitas lihat respon pasien saat latihan
Definisi : keterbatasan dalam Memverbalisasikan perasaan dalam Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana
gerakan fisik atau satu atau meningkatkan kekuatan dan kemampuan ambulasi sesuai dengan kebutuhan
lebih ekstremitas secara berpindah Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat
mandiri dan terarah Memperagakan penggunaan alat berjalan dan cegah terhadap cedera
Bantu untuk mobilisasi (walker) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang
Batasan karakteristik : teknik ambulasi
Dispnea setelah beraktivitas Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
Gangguan sikap berjalan Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs
Gerakan lambat secara mandiri sesuai kemampuan
Gerakan spastik Dampingi dan Bantu pasien saat mobilisasi dan
Gerakan tidak terkoordinasi bantu penuhi kebutuhan ADLs pasien.
Kesulitan membolak-balik Berikan alat bantu jika klien memerlukan.
posisi Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan
Keterbatasan rentang gerak berikan bantuan jika diperlukan
Ketidaknyamanan
Penurunan kemampuan
penggunaan motorik halus dan
kasar
3. Defisit perawatan mandi : Self-Care Assistance: Bathing / Hygiene
mandi Self Care Deficit Hygiene - Pertimbangkan budaya pasien ketika
mempromosikan aktivitas perawatan diri.
Definisi : hambatan - Perawatan diri Mandi : mampu untuk - Pertimbangkan usia pasien ketika
kemampuan untuk melakukan membersihkan tubuh sendiri secara mandiri mempromosikan aktivitas perawatan diri
atau menyeIesaikan mandi / dengan atau tanpa alat bantu - Menentukan jumlah dan jenis bantuan yang
aktivitas perawatan diri untuk -Perawatan diri Hygiene oral : mampu untuk dibutuhkan,Tempat handuk, sabun, deodoran, alat
diri sendiri . merawat mulut dan gigi secara mandiri pencukur, dan aksesoris lainnya yang dibutuhkan
dengan atau tanpa alat bantu di samping tempat tidur atau di kamar mandi
Batasan karakterstik : - Membersihkan dan mengeringkan tubuh - Menyediakan artikel pibadi yang diinginkan
Ketidakmampuan untuk - Mengungkapkan secara verbal kepuasan (misalnya, deodoran, sekat gigi, sabun mandi,
mengakses kamar mandi tentang kebersihan tubuh dan hygiene oral sampo, lotion, dan produk aromaterapi)
Ketidakmampuan - Menyediakan lingkungan yang terapeutik dengan
mengeringkan tubuh memastikan hangat, santai, pengalaman pribadi,
Ketidakmampuan mengambil dan personal
perlengkapan mandi - Memfasilitasi gigi pasien menyikat gigi
Ketidakmampuan menjangkau - Memfasilitasi diri mandi pasien, sesuai
sumber air - Memantau pembersihan kuku, menurut
Ketidakmampuan mengatur kemampuan perawatan diri pasien
air mandi - Memantau integritas kulit pasien
Ketidakmampuan membasuh - Memfasilitasi pemeliharaan rutin yang biasa
tubuh pasien tidur, isyarat sebelum tidur, alat peraga,
Faktor Yang Berhubungan : dan benda-benda asing (misalnya, untuk anak-
Gangguan kognitif anak, cerita, selimut / mainan, goyang, dot, atau
Penurunan motivasi favorit, untuk orang dewasa, sebuah buku untuk
Kendala lingkungan membaca atau bantal dari rumah), sebagaimana
sesuai
Ketidakmampuan merasakan - Mendorong orang tua / keluarga partisipasi,
bagian tubuh dalam kebiasaan tidur biasa
Ketidakmampuan merasakan - Memberikan bantuan sampai pasien sepenuhnya
hubungan spasial dapat mengasumsikan perawatan diri.
Gangguan muskoloskeletal
Gangguan neuro muskular
Nyeri
Gangguan persepsi
Ansietas berat

Anda mungkin juga menyukai